KONFLIK SURIAH PADA SAAT ARAB SPRING 2010 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Raisa Rachmania 1110033200004 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2015 M ABSTRAK Raisa Rachmania 1110033200004 Konflik Suriah Pada Saat Arab Spring 2010 Skripsi ini menganalisa konflik yang terjadi di Suriah dalam kurun waktu terjadinya Arab Spring 2010 hingga pemilihan presiden Suriah pada tahun 2014 yang kembali dimenangkan oleh Bashar Al-Asad. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan terjadinya konflik di negara yang sempat diprediksi sebagai salah satu negara dengan imunitas yang tinggi di Timur Tengah dan alasan dibalik bertahannya kekuasaan Bashar Al-Asad dalam konflik internal di Suriah. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Peneliti menemukan, bahwa Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Al-Asad yang sudah memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk mendapat kedaulatan dari rakyatnyadanpengaruh Arab Spring yang berawal di Tunisia dan Mesir membuat semangat para aktivis untuk menumbangkan rezim pemerintahan AlAsad semakin besar. Argument ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan melihat kebijakan awal masa pemerintahan Bashar Al-Asad, kemudian melihat dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor pemicu terjadinya Suriah Spring dan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teori.Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori antagonisme politik dan teori elit politik. Hasil temuan dari penelitian ini diketahui bahwa permasalah mahzab menjadi faktor awal konflik ini yang dimulai sejak masa kependudukan Perancis atas Suriah yang kemudian disusul dengan kesenjangan sosial dan faktor ekonomi sehingga lahir konflik Suriah pada 2011. I KATA PENGANTAR Penelitian ini bermula dari rentetan peristiwa dalam Arab Spring yang terjadi sejak tahun 2010 yang hingga saat ini masih belum terselesaikan di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Salah satu dampak dari peristiwa tersebut hingga saat ini adalah bergolaknya pemberontakan melawan rezim pemerintahan di negara Suriah, negara yang dianggap memiliki tingkat keamanan dan stabilitas politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya. Tidak seperti Mesir, Tunisia, Libya, yang dapat menumpas pemberontakan hanya dalam hitungan bulan, Suriah hingga saat ini masih berkutat dengan perlawanan untuk menumbangkan rezim Al-Asad. Pemberontakan yang meningkat menjadi perang sipil yang telah memakan waktu hampir 5 tahun ini, telah memberikan perhatian lebih kepada penulis untuk melihat fenomena tersebut secara komprehensif. Suriah menjadi pilihan karena kekuatan rezim Al-Asad yang mampu mempertahankan status quo saat konflik berkepanjangan melanda negara Suriah, tanpa sedikitpun berpikir untuk menarik diri dari pemerintahan. Konflik Suriah merupakan buah dari berbagai masalah tak terselesaikan sejak munculnya negara Suriah. Penelitian ini membuktikan hal tersebut. Selama menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini, dengan izin Allah SWT, banyak orang serta lembaga yang turut membantu penulis dalam mengerjakan tugas ini. Tanpa bantuan mereka, sangat sulit dibayangkan penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf karena tidak II dapat menyebutkan satu-persatu di bagian ini. Akan tetapi, penulis harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa diantara mereka. Pertama dan utama, Ali Munhanif, Ph.D selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik dan pembimbing penelitian skripsi ini sejak masih berada dalam konsep hingga penelitian ini selesai. Melalui diskusi intelektual dan berbagai referensi yang beliau berikan, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis merasa sangat beruntung memiliki pengalaman dibimbing oleh dosen seperti beliau. Di tengah kesibukannya, beliau dengan rendah hati melakukan pengeditan keseluruhan draft penelitian penulis dan juga memotivasi penulis sehingga mendorong penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Tanpa bantuan beliau, mungkin hasil penelitian ini kurang memiliki nilai ilmiah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zaki Mubarak M.Si dan A. Alfajri MA yang telah bersedia menguji penelitian ini. Terima kasih pula penulis berikan kepada Dewan Penguji Proposal Skripsi, yaitu Iding Rosyidin, MA dan Suryani Sua’eb, M.Si yang bersedia menguji proposal penelitian penulis. Selain itu, penulis haturkan terima kasih atas dorongan dari Sekertaris Program Studi Ilmu Politik, Zaki Mubarak, M.Si dan dosen-dosen yang turut memberikan masukan dan referensi, yaitu Armen Daulay M.Si dan Dr. Bakir Ihsan, yang telah membantu penulis mengembangkan ide-ide dan teori untuk penelitian ini. Di samping itu, terima kasih pula penulis berikan kepada Prof. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat nuansa akademis yang ditularkannya sehingga III memberikan semangat intelektual kepada penulis. Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan Yoselin, M.Psi yang telah memberikan kemudahan akses jurnal untuk menambah referensi penelitian ini. Kepada Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UI, Perpustakaan Paramadina, Perpustakaan Al-Hidayah Kebayoran Lama, dan Lembaga Pusat Kajian DPR RI senantiasa memberikan kebutuhan penulis akan buku-buku dan artikel terkait dengan penelitian ini. Tanpa bantuan dari instansi tersebut, penulis tidak akan mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman Program Studi Ilmu Politik UIN angkatan 2010; Imam Utomo, Ahmad Hidayah, Herman Afrianto, Umar, Aliya, Abudan, Abdau, dan semua yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, yang telah saling mendukung dan melakukan perjuangan bersama-sama untuk menggapai cita-cita dan harapan masing-masing. Terima kasih khusus penulis berikan kepada. Halil sahabat yang ada di kala susah maupun senang, yang telah bersedia memberi masukan dan arahan untuk penelitian ini, Eri, S.Sos dan Siswo Mulayartono, S.Sos, atas motivasi dan bantuannya dalam memberikan berbagai referensi terkait penelitian ini. Terakhir, terima kasih penulis berikan kepada seluruh keluarga besar yang selalu menerima penulis di setiap keadaan. Orangtua penulis, Pupu Abdul Gofur dan Afiati Gofur S.Pd, yang dengan kasih sayang selalu mendukung penulis untuk selalu IV menyelesaikan tanggung jawab dan jalan yang telah dipilih penulis. Terima kasih kepada kakek tercinta, Sis Suseno Tjakradisurya, dan semua paman-bibi penulis, Endang Abdurrahman Manan, Aminah, Dra. Iis Rosyidah, Asti Taslimah, S.Hum, dan Iman Santosa, S.E atas doa dan dukungan baik moril maupun materil. Terima kasih kepada saudara penulis Nadhira Gofur dan (Alm) Ibrahim Ahmad, yang telah bersedia mendengarkan luapan ide-ide penulis dan juga bersedia mengajarkan penulis arti berbagi dan menyayangi. Samluck Mueeza dan Makki, kucing-kucing yang kini menjadi bagian dari keluarga dan hidup penulis, pun telah memberikan hiburan tersendiri di tengah kejenuhan yang melanda selama penelitian ini berlangsung. Terima kasih dan sanjungan juga penulis berikan kepada partner of life, Doni Romdoni, atas kesabaran, ketabahan, kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Semoga semua yang telah membantu penulis mendapatkan balasan yang sesuai dari Allah SWT. Aamiin. Ciputat, Tangerang Selatan 18 Juni 2015 V DAFTAR ISI ABSTRAK ...................................................................................................................................... I KATA PENGANTAR .................................................................................................................. II DAFTAR ISI................................................................................................................................ VI BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ...........................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................................6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………… ..7 D. Tinjauan Pustaka ………………………….…………………………………. 7 E. Metodologi Penelitian ……………………………………………..………….8 F. Sistematika Penulisan …………………………………………….…………10 BAB II KERANGKA TEORETIS A. Teori Antagonisme Politik …………………..……………………………...12 Tingkat Individual ………………………………….……………….13 Tingkat Kolektif…….……………………………………………….24 B. Teori Elit Politik.…………………………………………………………….33 BAB III SURIAH SPRING A. Lahirnya Negara Suriah ……………………………………….……………39 B. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad………….……………...…43 C. Pemerintahan Bashar Al-Asad………………………………………………46 D. Suriah Spring ……………………………………………………………….61 BAB IV ANALISA KONFLIK SURIAH A. Dinamika Konflik Suriah ……………………………………….…………..71 VI B. Faktor-faktor Pemicu Suriah Spring 2011 …………………………...……..74 1. Kebijakan Militer Suriah ……………………………………………….74 2. Kesenjangan Ekonomi ………………………………………………….75 3. Damaskus Spring 2001 …………………………………………………78 4. Konflik Sunni – Alawie di Suriah ……………………………………...81 BAB V Turning Point Kelompok Alawie …………………....………….….85 PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………..……………………………..92 B. Saran ………………………………………………………………………..95 DAFTAR PUSTAKA …………………..……………………………………………………..96 VII BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring, secara harafiah berarti pemberontakan Arab) merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Meski demikian, tidak semua pihak yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab. Rangkaian ini terjadi di sebagian besar negara-negara Timur Tengah juga Afrika Utara. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia kemudian diikuti Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab tersebut. Protes dilakukan dengan cara pemberontakan sipil, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype. Upaya tersebut dilakukan dengan mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah. Pengunjuk rasa di dunia Arab itu menggunakan slogan Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin 1 menumbangkan rezim ini).1 Rangkaian protes ini berawal dari peristiwa yang terjadi di Tunisia pada 17 Desember 2010. Yakni peristiwa pembakaran diri Mohamed Bouazizi2 sebagai protes atas korupsi dan kesewenangan sikap pemerintah Tunisia.3 Protes di Tunisia menuai kemudian menginspirasi gelombang kerusuhan yang menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negaranegara lain. Umumnya, unjuk rasa terbesar dan terorganisir terjadi pada "hari kemarahan". Yakni, hari Jumat setelah shalat Jumat. Protes itu juga mendorong kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab. Pada Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal yang mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun. 1 “Arab Spring” artikel diakses pada 6 November 2013 dari http://www.wikipedia.com/ArabSpring. html 2 Mohammed Bouazizi adalah seorang pemuda berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai pedagang sayur dan buah-buahan di kota Sidi Bou Zid, 300 meter kilometer dari selatan Tunis, Tunisia. Jum‟at, 17 Desember 2010, ia melakukan pembakaran diri di depan gedung pemerintahan setempat, sebagai protes atas penguasa yang korup. Kejadian tersebut bermula ketika dirinya yang akan berjualan, dihentikan oleh seorang polisi wanita bernama Fetya Hamdi, karena Bouazizi dituduh tidak memiliki izin untuk berjualan. Kemudian polisi tersebut menampar dan mengobrakabrik dagangannya. Tidak terima akan perlakuan tersebut, Bouazizi bermaksud untuk melaporkan hal tersebut kepada wali kota setempat. Namun, seorang resepsionis di kantor wali kota mengatakan bahwa wali kota sedang rapat sehingga Bouazizi tidak dapat menemuinya. Kemudian, Bouazizi pergi ke sebuah toko dan membeli bensin. Tanpa piker panjang lagi ia menuangkan bensin tersebut pada seluruh tubuhnya dan menyulut tubuhnya dengan korek api. Keesokan harinya, Menobia, ibu Bouazizi melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh polisi wanita tersebut terhadap anaknya ke kantor wali kota. Namun, keluhannya tidak mendapat respon, sehingga ia melakukan protes sendirian di luar gedung. Sepupu Boazizi, Ali Bouazizi, merekam protes yang dilakukan oleh Menobia dan mengunggahnya ke Internet, dan pada hari yang sama awak jaringan televise Al Jazeera mengambil dan menayangkannya dalam televisi, sehingga seluruh dunia mengetahuinya dan membuat rakyat berani untuk melawan rezim yang sedang berkuasa, Presiden Zine Al-Abidine Ben Ali. 3 M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013)., hal. 33. 2 Selama periode kerusuhan regional tersebut, beberapa kepala pemerintahan mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Misalnya, Presiden Sudan Omar al-Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015. Begitu pula Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya akan berakhir tahun 2014, meski pengunjuk rasa menuntut pengunduran dirinya sesegera mungkin. Di sisi lain, pemimpin Libya Muammar al-Khadafi menolak mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan pemberontak yang berbasis di Benghazi.4 Di Suriah juga terjadi hal yang serupa hingga saat ini masih berjalan. Pada awalnya, Suriah merupakan negara yang relative lebih stabil dibanding negara-negara Arab lainnya saat terjadi Arab Spring, namun pada 6 Maret 2011 muncul sebuah perlawanan di kota Deraa yang dilakukan oleh para orang tua yang anak-anaknya ditahan oleh polisi setempat karena membuat grafiti di dinding sebuah bangunan dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam (Rakyat ingin menumbangkan razim).5 Lima belas orang anak sekolah yang dianggap melakukan pembuatan grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian setempat. Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara. Hal tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur 4 M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD, 2013)., hal. 107. 5 Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), hal. 114 3 setempat. Perilaku membuat grafiti di dinding tersebut oleh anak-anak sekolah usia sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut. Mereka menganggap, bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan termasuk ke dalam tindakan subversif. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan tersebut, mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga kota Deraa melakukan aksi protes yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa, Faisal Khaltoum. Namun, protes yang dilancarkan oleh para demostran malah disambut dengan pemukulan dan pembubaran paksa aksi yang dilakukan di depan kediaman gubernur tersebut. Aparat keamanan kemudian melanjutkan aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para demonstran hingga menelan korban.6 Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya merambah ke kota-kota lainnya di Suriah. Tuntutan yang diajukan para demonstran pun akhirnya beragam, yang pada awalnya hanya sebatas pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga menjadi penurunan rezim yang berkuasa. Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah 6 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi, 2012, hal. 115 – 116. 4 pusat tidak bisa tinggal diam. Pemerintah, melancarkan serangan kepada para demonstran secara masif. Gerakan para demonstran kemudian dijadikan kesempatan bagi para oposisi untuk membantu berjuang bersama menumbangkan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring berjalannya konflik, banyak free rider7 yang turut memperkeruh suasana di Suriah baik itu di pihak oposisi maupun loyalis pemerintah. Sudah hampir dua tahun konflik di Suriah dalam Arab Spring berlangsung, namun belum terlihat tanda-tanda akan berakhirnya konflik tersebut. Dalam periode Arab Spring kali ini, konflik yang terjadi di Suriah merupakan konflik terlama dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan sebagainya. Kedua belah pihak baik oposisi maupun loyalis sama-sama memiliki kekuatan yang seimbang, sehingga terjadi deadlock yang menyebabkan konflik ini sulit diatasi. Konflik tersebut telah menelan banyak korban. Meskipun demikian tetap saja tidak menyulutkan semangat kedua belah pihak untuk menurunkan ego dan tuntutannya. Konflik tersebut tidak hanya menelan korban jiwa tapi juga materil yang tidak sedikit jumlahnya. Hal itu dapat dilihat dari lamanya konflik ini berlangsung mengingat Suriah bukan termasuk negara yang makmur malah cenderung sebagai negara yang memiliki tingkat inflasi dan pengangguran yang cukup tinggi, namun dapat menggelontorkan biaya yang besar untuk perang. 7 Free Rider merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok atau individu yang memiliki kepentingan tersembunyi dengan mencari keuntungan atas suatu masalah yang sedang terjadi. 5 Kekuatan Bashar al-Asad sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah juga cukup mencengangkan karena tetap konsisten melawan oposisi, yang telah menelan banyak korban dari pihak sipil. Selain itu, banyaknya pihak asing yang ikut bermain dalam konflik ini membuat konflik ini semakin sulit diatasi. Ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki Suriah, tidak seperti negara Arab lainnya, tentu hal ini pun melahirkan pertanyaan perihal kepentingan apa yang akan dituai dari para pihak asing yang ikut bermain dalam konflik tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian untuk mengkaji konflik yang terjadi di Suriah pada pemerintahan Presiden Bashar al-Asad. Berdasarkan masalah tersebut, maka skripsi ini berjudul “Konflik Suriah pada saat Arab Spring 2010”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tidak melebar ke topik yang lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas di skripsi ini yaitu dimulai tahun 2011 saat Suriah ikut terkena gejolak Arab Spring hingga Bashar Al-Asad kembali menjabat sebagai presiden Suriah untuk ketiga kalinya. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana konflik di Suriah dapat terjadi? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konflik di Suriah? 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian : 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konflik di Suriah terjadi dan apa saja faktor yang mempengaruhi konflik di negara tersebut. 2. Manfaat Penelitian : a. Manfaat Akademis : 1. Untuk memberikan kontribusi literatur keilmuan dan menjadikan skripsi ini sebagai literatur di bidang ilmu politik. 2. Penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi peneliti skripsi yang menulis masalah yang sama di masa yang akan datang. b. Manfaat Praktis : Mengembangkan ilmu politik khususnya analisa terhadap konflik yang terjadi di suatu negara, sehingga dapat dilihat tidak hanya dari satu sudut pandang saja. D. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang peneliti gunakan diantaranya buku dengan judul “Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi” oleh Trias 7 Kuncahyono. Buku tersebut membahas keadaan Suriah sebelum terjadi revolusi hingga saat revolusi sedang berlangsung. Buku selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah “Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasional” oleh Dina Y Sulaeman. Buku tersebut membahas propaganda yang dilakukan beberapa media massa maupun elektronik pro oposisi dan barat guna mendapatkan dukungan intervensi politik dan keamanan dari masyarakat dunia. Kemudian, kesamaan penelitian yang penulis lakukan dengan dua penelitian sebelumnya adalah terletak pada periode yang digunakan, yaitu pada saat Arab Spring berlangsung. Perbedaannya adalah penulis berusaha memaparkan faktor apa saja yang menjadi penyebab Suriah ikut terkena gelombang Arab Spring. E. Metodologi Penelitian a. Pendekatan Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah melakukan pengamatan terhadap individuindividu dengan cara berdialog langsung, serta mengetahui bahasa dan pandangan mereka, yang berkaitan dengan lingkungannya.8 Peneliti mengggunakan pendekatan penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan data yang akan menghasilkan pemahaman yang 8 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung : Tarsito, 2003)., hal. 5. 8 lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. b. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan kedutaan besar Suriah yang mempunyai sumber terpercaya dari informasi atas kasus ini hingga skripsi selesai. c. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan menggunakan teknik data saat pengumpulan data penelitian, dengan maka cara penulis penelitian kepustakaan (library research). Maka, penelitian ini menggunakan buku, jurnal, serta artikel pada media massa dan internet sebagai data pokok, dan wawancara dengan pengamat Timur Tengah, para diplomat, dan Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sebagai data penunjang. d. Teknik Analisa Data Untuk menganalisa data, penulis akan menerapkan metode analisa penelitian secara deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah metode dengan menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitian, sehingga 9 diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.9 Proses tersebut diharapkan dapat memberikan ketepatan dalam mengelola data penelitian ini. F. Sistematika Penulisan Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian lengkap, maka penulis memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar penulisan melalui beberapa bab, disertai dengan sub-bab dalam menjelaskan berbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan, meliputi : pernyataan masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Kerangka Teori Bab III : Pembahasan konflik di Suriah, mulai dari awal pembentukan Suriah, peristiwa Arab Spring hingga Suriah Spring, dan keadaannya hingga saat skripsi ini ditulis. Bab IV : Pembahasan mengenai analisa komparatif konflik dan faktor terjadinya konflik Suriah. 9 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta : Erlangga, 2009)., hal. 148. 10 Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran atas penelitian ini. Daftar Pustaka. Lampiran. 11 BAB II Kerangka Teoretis Dalam bab ini, penulis akan memaparkan teori10 Antagonisme Politik dan teori Elit Politik. Kedua teori tersebut menggambarkan dan membahas fenomenafenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau nilai dan dinamakan non-valutional (value-free).11 Dengan menggambarkan kerangka teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan jawaban awal dalam berbagai permasalahan terhadap konfik yang terjadi di Suriah pada masa pemerintahan Bashar Al-Assad. A. Teori Antagonisme Politik Antagonisme adalah sebuah realitas yang menempatkan sesuatu menjadi lawan dari sesuatu, apakah hal tersebut untuk mempertahankan kedudukan, merebut kekuasaan, atau mempertahankan diri dari ancaman politik.12 Dalam teori sosiologi politik, Maurice Duverger melihat bahwa antagonisme politik lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama, sebab individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis. Kedua, 10 Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran manusia, dan karena hal tersebut, onsep bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Bahasan dalam fenomena yang bersifat politik seperti; tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan tersebut, kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, kewajibankewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Sumber : Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 43. 11 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 44. 12 Maurice Duverger, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 156. 12 sebab kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial dan faktor sosiokultural. 1. Tingkat Individual Ada dua jenis sebab individual di dalam pergolakan politik. Pertama adalah, perbedaan bakat alami di kalangan manusia. Ada manusia yang lebih berbakat daripada yang lain dalam konteks untuk menjamin kekuasaannya. Di pihak lain, tergantung pada kecenderungan psikologis, individu-individu tertentu lebih cenderung daripada yang lain kepada dominasi atau kepatuhan: yang pertama berusaha untuk memerintah yang terakhir, dan yang terakhir lebih atau kurang menerima keadaan taklukannya.13 1.1 Bakat-bakat Individual Teori-teori yang menjelaskan tentang pergolakan-pergolakan politik dalam hubungannya dengan perbedaan di dalam bakat-bakat pribadi berasal dari konsep-konsep biologis Charles Darwin tentang Struggle of life. Menurutnya, setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu yang berhasil. Proses seperti ini (seleksi alam) menjamin terpeliharanya spesies maupun perbaikannya. Kemudian proses seperti ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Di dalam arena politik, hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama dan hal ini berlaku sebagai landasan teori elite (dari 13 Duverger, Sosiologi Politik, hal.158. 13 persaingan merebut kekuasaan, munculah yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah). Di dalam doktrin-doktrin liberal tentang elite, persaingan seleksi alam didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan diri sendiri. Sejak permulaan munculnya manusia hingga saat ini, kecenderungan untuk saling menguasai antara satu manusia dengan yang lain adalah alasan dari faktor kelangkaan ekonomi.14 Dengan setiap orang mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan pribadinya, maka persaingan permanen muncul sebagai akibat dari konsumen yang terlalu banyak dan barang-barang konsumsi yang jumlahnya terbatas. Dalam kompetisi ini, mereka yang memegang kekuasaan memperoleh keuntungan yang penting. Dalam sejarahnya, baik individu, kelompok, maupun kelas sosial yang melaksanakan kekuasaan politik, semakin banyak kekuasaan politik dimiliki seseorang semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi; dan juga sebaliknya, semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi, maka semakin besar bagiannya dalam kekuasaan politik. Dalam perjuangan politik sebagaimana terdapat persaingan ekonomi, peserta yang terbaik yang menang, yaitu mereka yang paling bermutu dalam intelegensinya, keberaniannya, kekuatannya, kelicikannya, dan kemampuannya bekerja. Sebagaimana dalam motif politik, kepentingan pribadi juga merupakan motif utama dalam 14 Duverger, Sosiologi Politik, hal.161. 14 persaingan ekonomi. Kekuasaan dicari bagi keuntungan dirinya dan bukan karena dedikasinya bagi pelayanan umum. Persaingan ekonomi menempatkan wiraswasta yang terbaik menjadi kepala produksi sedang mereka yang kurang berbakat disingkirkan. Maka, dalam pandangan liberal, integrasi politik dihasilkan oleh perjuangan politik itu sendiri. Selanjutnya, di dalam teori konservatif tentang elite menganggap perbedaan dalam bakat sebagai faktor utama di dalam pergolakan politik. Kaum konservatif lebih percaya bahwa orang yang lebih mampu lebih dimotivasi oleh pertimbangan altruistic15 daripada pertimbangan ekonomi.16 Orang yang lebih mampu bukanlah orang yang paling kuat, inteligen, licik, atau pun berani, tapi mereka yang paling baik. Orang yang paling baik memiliki kualitas moral dan keputusan nilai yang lebih dari yang lain. Teori ini didasarkan kepada pemahaman bahwa manusia secara alami jahat, dimotivasikan oleh naluri dan impuls yang rendah, dan 15 Altruisme atau altruistic adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Altruisme 16 Duverger, Sosiologi Politik, hal.163. 15 senantiasa siap untuk kembali kepada keadaan kebuasan primitive. Hanya beberapa individu yang dikaruniai kekuatan moral yang besar, berhasil mengatasi kecenderungan instingtif tersebut. Peradaban dipertahankan terutama melalui penggunaan kekuatan, yang dilaksanakan oleh kekuasaan politik yang dipegang oleh elite. Tanpa kekerasan semacam ini, masyarakat akan jatuh ke dalam anarki dan berbalik kepada keadaan buas. Perjuangan politik kaum elite tidak tergerak terutama oleh kepentingan diri sendiri, akan tetapi lebih dimotivasi oleh rasa mengabdi (sense of service). Mereka percaya bahwa kepentingan diri sendiri adalah kasar dan tidak patut. Dalam doktrin ini bukan saja bakat yang dibawa sejak lahir yang menjadi dasar perbedaan antara kaum elite dan massa tapi juga latihan sosial yang mengembangkan naluri-naluri baik dan menekan naluri buruk. Namun pada prinsipnya, pergolakan antara kaum elite dan massa, atau antara orang yang sangat berbakat dengan orang yang kurang berbakat, adalah pergolakan individual. Teori konservatif cenderung mencampurbaurkan elite yang terdiri dari individu-individu yang superior dengan aristokrasi kasta turuntemurun. Secara normal, aristokrasi dan elite berada dalam satu jalur. Peradaban berpijak kepada pembentukan elite di dalam masyarakat dengan rasa kepentingan masyarakat, kehormatan, dan pelayanan, yang diwarisi turun temurun di tengah kehidupan massa yang hanya 16 dimotivasi oleh keinginan dan naluri kepentingan diri sendiri. Dalam doktrin konservatif, seorang sosiolog Italia, Vilfredo Pareto, mengungkapkan tentang gerakan elite yang mengungkapkan konflik permanen antara permainan silang bakat individual dan kecenderungan untuk membentuk kelas-kelas sosial atau kasta turun-temurun. Menurutnya, elite adalah Individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan manusia. Mereka berjuang melawan kaum-kaum yang kurang berbakat, kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan. Namun dalam usaha ini, mereka diblokir oleh kecenderungan kaum elite yang berkuasa untuk membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri dan turuntemurun sehingga membatasi gerakan kaum elite untuk maju ke tangga atas sosial dari mereka yang terbaik dan yang paling berbakat.17 Dalam teori Pareto, bila kelas-kelas sosial atau kasta sangat kaku dan tertutup rapat, maka individu-individu yang berbakat dari kasta atau kelas yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk bangkit ke posisi yang sesuai dengan kemampuannya. Maka konsekuensinya, mereka bergabung untuk melawam tatanan sosial yang ada, dengan tingkat kekerasan yang lebih besar untuk menjatuhkan tatanan sosial tersebut. Sebaliknya, jika kelas-kelas yang memerintah lebih terbuka dan mudah untuk didekati, maka individu-individu yang sangat berbakat dari kelaskelas yang lebih rendah dapat diterima dan akan mengurangi ketegangan sosial.18 Kekakuan yang ada pada setiap kelas lebih mungkin merupakan reaksi dari sikap kelas yang memerintah (the ruling class). 1.2 Sebab-sebab Psikologis 17 Duverger, Sosiologi Politik, hal.165. Duverger, Sosiologi Politik, hal.166. 18 17 Dalam menganalisa faktor terjadinya antagonisme politik, kemampuan individual (bakat individu) dan tempramen psikologis merupakan dua alasan dari terjadinya antagonisme tersebut. Kemampuan individual (bakat individu) merupakan aspek eksternalnya, sedangkan analisa psikologis merumuskan hakikat dalamnya.19 Bagi psikoanalis, antagonisme politik merupakan akibat dari frustasi psikologis yang kurang atau lebih berhubungan dengan konflik dari masa kecilnya yang terkubur di dalam alam bawah sadar. Pengalaman dari masa kecil memiliki pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnya di masa yang akan datang seorang individu. Dalam tahap pertama eksistensinya, seorang anak hidup di dalam suatu keadaan yang dikuasai oleh kesenangan atau kebebasan. Hidup seorang anak didominasikan oleh prinsip kesenangan. Selanjutnya, unuk dapat bergabung dengan masyarakat, dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, yang berarti dia harus menekan kesenangan dan membatasi kesenangan tersebut. Dia diwajibkan untuk mengikuti dan mematuhi segala aturan yang berlaku di masyarakat. Namun, naluri kesenangan tersebut terlalu kuat untuk dihilangkan. Perdebatan batin dalam diri seseorang menyangkut naluri kesenangannya dengan aturan di masyarakat menghasilkan frustasi yang menjadi pondasi lahirnya antagonisme sosial. Peradaban industri, yang menjadikan alam semesta menjadi rasional, 19 Duverger, Sosiologi Politik, hal.174. 18 mekanis, modal, dan antiseptik, bertentangan secara diametris terhadap kecenderungan instingtif dan keinginan yang mendalam dari manusia. Kemajuan teknologi yang membangun suatu dunia dimana naluri manusiawi tidak mendapat tempat, cenderung menyebabkan meningkatnya sifat agresif, dalam keinginan untuk menguasai, dalam kekerasan, dan konsekuensinya di dalam intensifikasi antagonisme dan konflik.20 Faktor-faktor yang jelas di dalam antagonisme politik bisa juga menjadi produk dari fenomena kompensasi. Keinginan untuk menguasai dan sikap otoritarian bisa juga menjadi akibat dari keinginan untuk berkuasa dari seorang individu yang kuat dan penuh energi, atau dari kelemahan psikologis, kekacauan dari dalam bati, ketidakmampuan untuk memperoleh respek orang lain, yang tersembunyi di balik sikap yang persis sebaliknya. Seorang ilmuan asal Amerika, Theodora Adorno, pada tahun 1950 pernah melakukan penelitian tentang kepribadian otoritarian. Kepribadian tersebut didefinisikan oleh konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta oleh penglihatan yang disederhanakan tentang alam sosial dan moral yang dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih).21 Di dalam otoritarian muncul paham di mana yang berkuasa harus memerintah karena mereka yang terbaik, yang lemah harus mendapatkan tempat di bawah karena dari segala segi mereka lebih rendah, dan nilai orang 20 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 178. Duverger, Sosiologi Politik, hal.179. 21 19 ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada kondisi sosial. Umumnya, kepribadian otoritarian adalah khas milik individu-individu yang tidak pasti akan dirinya sendiri, yang tidak pernah berhasil di dalam membangun kepribadiannya sendiri dan menstabilkannya, yang tidak percaya kepada dirinya sendiri dan meragukan identitasnya. Mereka berpegang teguh pada bentuk-bentuk luar karena mereka mempunyai sesuatu di dalam dirinya sendiri untuk berpegang. Stabilitas ketertiban sosial dengan demikian menjadi dasar stabilitas kepribadiannya sendiri, yang bisa menjadi disintegrasi tanpanya. Lalu, sejalan dengan semua itu, bilamana mereka mempertahankan ketertiban sosial, adalah diri mereka sendiri, dasar dari keberadaannya sendiri dan equilibrium psikologisnya sendiri yang mereka bela. Hal ini yang menjadi dasar bentuk keagresifannya dan kebenciannya terhadap mereka yang tidak setuju dengannya, terutama terhadap “orang lain”, orang-orang “yang berbeda”, yang jalan hidupnya dan sistem nilai-nilainya menantang ketertiban sosial yang ada, mereka yang mempertanyakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umumnya. Kepribadian otoritarian mendukung partai-partai konservatif dalam masa tenang ketika ketertiban sosial tidak terancam. Bila timbul ancaman, sikap keagresifannya dengan sendirinya timbul dan mendorongnya kearah gerakan-gerakan fasistis. Maka, orang-orang yang paling tidak stabil ke dalam mempengaruhi secara luar bisaa wajah stabilitas dari luar: partai-partai politik yang dibangun atas kekerasan adalah terutama terdiri dari individu-individu yang lemah. 20 Seringkali, otoritarianisme, dominasi, dan kekerasan merupakan kompensasi bagi kekecewaan dan kemunduran pribadi. Seorang psikoanalis pemberontak, Alred Adler, mencatat bahwa brutalitas dan despotisme seringkali menjadi overkompensasi bagi kesakitan yang dialami orang-orang kecil atau dengan cacat fisik. Ia menganggap kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa manusia. Baginya, naluri untuk menguasai adalah sumber perilaku manusia, yang menggantikan libido, naluri kesenangan. Dalam psikoanalisa mengenai antagonisme politik, ada penjelasan bahwa terjadi ambivalensi yaitu adanya konflik dan integrasi di dalam fenomena kekuasaan politik. Hal ini juga terkait akan perasaan seorang anak terhadap orang tuanya. Banyak ahli yang mengemukakan bahwa keluarga merupakan sel atau unit dasar dari semua masyarakat manusia, dan yakin bahwa yang terakhir dibentuk menurut pola keluarga. Simon Freud berpendapat bahwa otoritas orang tua berlaku sebagai model sampai tingkat tertentu, sebagai suatu proto tipe bagi bentuk-bentuk lain dari otoritas. Di dalam pengalaman pertama peralihan manusia dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, orang tua memainkan peranan yang menentukan. Mereka merumuskan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban, dan larangan-larangan yang harus diikuti oleh seorang anak. Peranan orang tua seperti ini menciptakan konflik di dalam hati seorang anak. Sampai dengan saat itu, anak dapat menerima apa adanya, semata-mata kegembiraan dan kesenangan. Kini mereka menjadi rintangan bagi 21 kesenangannya, sedangkan pada saat yang sama, anak tersebut membutuhkan orang tuanya dan tetap bergantung kepada mereka karena kelemahannya. Situasi ini secara kuat melahirkan emosi ambivalen di dalam diri seorang anak terhadap orang tuanya, secara bersamaan ada rasa cinta dan benci, juga rasa syukur dan kesebalan. Ambivalensi terhadap semua otoritas yang serentak dirasa sebagai protektif dan tak dapat ditahan, datang bukan saja dari pengalaman, yang mengungkapkan bahwa kekuasaan adalah juga berguna dan mengganggu, perlu dan memaksa, tapi dia juga mempunyai alasan-alasan yang lebih dalam, yang lebih sulit untuk dilihat. 1.2.1 Tempramen Politik Tempramen politik adalah kategori-kategori yang berlaku untuk mengklasifikasikan individu-individu menurut perilaku dan sikap-sikapnya secara keseluruhan. Bagi sebagian orang, tempramen muncul sebagai pembawaan dari lahir yang bersifat biologis. Sedangkan bagi yang lain, tempramen didapat akibat dari hubunganhubungan psikososial. Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini bercampur begitu tak terpisahkan dalam proporsinya masing-masing. Konsep tempramen politik meliputi menyoloknya faktor-faktor yang berhubungan dengan individu-individu, dan bukan terhadap struktur sosial. Paham tentang tempramen mencoba menjelaskan antagonisme sosial dalam hubungan dengan disposisi, yang kurang atau lebih bersifat bawaan. Maka, tipe-tipe tertentu orang-orang 22 didorong oleh kecenderungan-kecenderungan pribadinya kearah sikapsikap politik tertentu, yang membawanya kepada konflik-konflik dengan tipe manusia lain yang kecenderungan pribadinya membawanya kepada sikap politik yang berlawanan. Konsep tersebut berada di dalam kerangka sebab-sebab individu bagi antagonisme politik. a. Klasifikasi Umum Tempramen dan Sikap Politik Klasifikasi ini dipopulerkan di Perancis oleh Rene Le Senne dan Gaston Berger. Hal ini tergantung dari 3 kriteria dasar : emotivity, activity, dan reverberation, yaitu panjangnya jangka waktu suatu ide atau citra bertahan di dalam pikiran seseorang. Dalam hubungan dengan reverberation di wilayah politik, orang dengan tipe amorph (unemotive, inactive, primary) dan yang phlegmatics (unemotive, inactive, secondary) bisaanya indiferen terhadap perjuangan atau konflik, tidak berminat untuk memperoleh kekuasaan, menghormati kebebasan orang lain, dan dari sini moderat dan bersifat mendamaikan dalam antagonisme politik. Sebaliknya, individu yang passionate (emotive, active, secondary) dan yang choleric (emotive, active, primary) tertarik kepada pergolakan politik dan perjuangan untuk merebut kekuasaan; tipe yang pertama bisaanya para pemimpin yang otoritarian, dan tipe yang kedua bisaanya orang yang membentuk opini public, orator, dan wartawan yang pada akhirnya bisaanya tidak akan melaksanakan kekuasaan secara 23 diktatoral. Orang dengan tipe lainnya yaitu nervous (emotive, inactive, primary) dan sentimental (emotive, inactive, secondary) bisaanya orang dengan tipe revolusioner, yang pertama agak anarkis, sedang yang kedua tidak selalu enggan untuk mempergunakan metode-metode otoritarian. Orang dengan tipe apathetic (unemotive, inactive, secondary) bisaanya konservatif, dan sanguine (unemotive, active, primary) cenderung menjadi oportunis.22 b. Teori Eysenck tentang Tempramen Politik Seorang ahli psiko-sosiologi Inggris H.J. Eysenck membangun sebuah klasifikasi tempramen politik. Klasifikasinya didasarkan pada analisa secara matematis dari jawaban-jawaban kuesioner tentang sikap-sikap politik. Sumbangannya pada ilmu sosiologi politik adalah pada penggantian klasifikasi berdimensi satu dengan berdimensi banyak, yang memakai dua sumbu : sumbu pertama adalah radikalkonservatif, dan yang kedua adalah sumbu keras-lembut.23 2. Tingkat Kolektif. Antagonisme yang bergerak pada Tingkat kolektif adalah konflik-konflik politik yang mencerminkan perjuangan-perjuangan antar ras, persainganpersaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas territorial lainnya, kompetisi antara kelompok-kelompok yang diorganisir, dan pertempuran 22 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 200-203. Duverger, Sosiologi Politik, hal. 204. 23 24 antara kelompok ideologi atau agama.24 a. Perjuangan Kelas Banyak orang percaya bahwa antagonisme politik disebabkan oleh ketidaksamaan antara kelompok-kelompok sosial atau pun kelas-kelas sosial. Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut paham bahwa perbedaan kelas didasarkan pada perbedaan kontras antara yang kaya dengan yang miskin, yang berpunya dengan yang tidak, dan kelompok yang berprivilese dengan kelompok yang dihisap, kedalam teori tentang strata sosial. Namun, Marxisme menempatkan perbedaan kelas sosial kepada peranan yang lebih rendah dan menolak hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa apakah yang menyebabkan kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang-orang yang lain. Karena, bilamana kekayaan dan kemiskinan hanya tergantung dari kemampuan individual dari seseorang, pada inelegensi, kekuatan, dan kemampuan bekerja, maka seharusnya tidak ada kelas. Kemiskinan dan penghisapan adalah akibat dari kelahiran dan dengan demikian mempunyai sifat turun temurun. Konsep kelas didasarkan pada ide bahwa perbedaan dalam status sosial tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi dipaksakan kepada mereka atas cara yang khusus. Dalam kaitannya dengan Antagonisme, hanya beberapa orang yang menyangkal bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik politik. Bagi kaum Marxis, antagonism kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas, yang pada gilirannya ditentukan oleh system produksi dan system milik, yang 24 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 188. 25 keduanya merupakan efek dari perkembangan teknologi. b. Konflik-Konflik Rasial Anagonisme politik tertentu disebabkan juga oleh konflik antar ras. Dari segi zoologis, manusia merupakan species homo sapiens, tetapi dibagi lagi menjadi beberapa varietas yang memiliki sifat turun temurun tertentu.25 Teori rasis mengatakan bahwa ras manusia yang berbeda-beda mempunyai bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka menganggap beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain, misalnya tidak mampu mengorganisir dan mempertahankan masyarakat modern pada tingkat yang maju. Namun, ras-ras tersebut yang dianggap lebih rendah, tidak mau mengakui ketidakmampuannya. Maka, terjadilah pertentangan antar ras-ras yang dianggap lebih rendah dengan ras-ras yang dianggap lebih tinggi, untuk memperoleh dan melaksanakn kekuasaan politik. Karena itu, terjadilah perlawanan melawan ras-ras superior demi menghindari penguasaan ras tersebut. Teori-teori rasis sebenarnya tidak mempunyai nilai ilmiah. Pelariannya kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima. Kenyataan bahwa teori-teori ras adalah palsu tidaklah menghindari terjadinya konflik-konflik rasial. Namun, bukan konflik antara ras yang 25 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 228. 26 rendah atau yang lebih tinggi, namun lebih kepada konflik antara ras-ras yang berbeda-beda. Secara mendasar, ada perbedaan konflik rasial, yaitu konflik rasial vertikal dan konflik rasial horizontal. Konflik rasial vertikal terjadi antara kelompok rasial yang dominan, yang bertempat tinggi di atas tangga sosial, dan kelompok rasial yang diperintah, yang bertempat di bawahnya. Contohnya konflik rasial antara orang-orang kulit putih dan orang-orang deng kulit hitam di tanah-tanah jajahan. Dalam konflik rasial horizontal, kedua ras yang bertentangan satu sama lain yang tidak berada dalam hubungan dominan bawahan. Contohnya adalah konflik antara suku-suku di beberapa negara Afrika saat ini. Jika dilihat dari para pelaku konflikya, sebenarnya konflik antar ras yang terjadi saat ini bukanlah soal tentang ras-ras yang benar dalam pengertian biologis, akan tetapi tentang pseudoras, yang adalah entitas kultural daripada kelompok-kelompok biologis yang berbeda. c. Konflik Antara Kelompok-kelompok Horizontal Dalam konflik kelompok horizontal, setiap kelompok mencoba saling menguasai yang lain sebagai mana halnya di dalam konflik antara kelompok vertikal. Klasifikasi dari kelompok horizontal meliputi : kelompok-kelompok territorial (bangsa, propinsi, daerah-daerah, dan komuni), corporate group (profesi, asosiasi, serikat buruh),dan kelompok ideologis (partai politik, agama).26 Dalam kelompok-kelompok ini, antagonisme berkembang dengan berbagai corak, dan menjadi tameng bagi antagonisme dari jenis lain. 26 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 247. 27 d. Konflik Antara Kelompok Teritorial Kelompok-kelompok territorial didasarkan pada eksistensinya daripada melalui persamaan. Pada paruh abad kedua puluh, bangsa-bangsa masih merupakan entitas territorial yang mendasar. Di dalam masa-masa purba, kelompok-kelompok kesukuan dan kemudian di kota-kota meliputi pengelompokan-pengelompokan utama secara horizontal. Kadang, komunitaskomunitas yang besar berkembng, kemudian kita sebut sebagai imperium, seperti Mesir, Assiria, Persia, dan Roma.27 Konflik antara bangsa-bangsa cenderung diselesaikan baik dengan kekerasan (perang) atau semata-mata dengan prosedur kontraktual (perjanjian atau pun persetujuan diplomatic), bilamana tidak ada arbitrase kekuasaan politik. Kebanyakan kelompok-kelompok territorial berada di dalam bangsabangsa. Ada “masyarakat universal” yang lebih kecil meliputi subdivisi, seperti komune, daerah, dan provinsi. Lainnya adalah berupa subdivisisubdivisi dari masyarakat khusus yang juga dibentuk di dalam bangsa, seperti cabang-cabang lokal dari asosiasi tertentu, perserikatan, dan masyarakatmasyarakat dari titik tilik yang terakhir, pembagian kelompok-kelompok territorial dan kelompok-kelompok korporatif gabungan satu dengan yang lain. Antagonisme dalam ranah ini berkembang tergantung dari tingkat integrasi nasional. Ada pula kelompok-kelompok territorial di luar pengelompokan nasional, beberapa diantaranya adalah subdivisi dari masyarakat internasional. Beberapa 27 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 251. 28 bangsa bisa berorganisasi menjadi blok-blok yang kurang lebih koheren, seperti NATO, blok timur, masyarakat Eropa, dan Organisasi negara-negara Amerika. Politik internasional dengan demikian didasarkan bukan saja pada antagonisme antar bangsa akan tetapi juga antagonisme antar blok bangsabangsa. Beberapa kelompok teritorial tertentu berada pada titik yang sama dengan bantuan nasional, misalnya di dalam gereja Katolik Roma, kita mendapatkan gereja Katolik Perancis, gereja Katolik Spanyol, dan gereja Katolik Amerika Serikat.28 Berkembangnya antagonisme antar kelompok teritorial adalah akibat dari ketidaksamaan kepemilikan, seperti pemilikan alat produksi. Aspek material dari konflik antara kelompok-kelompok teritorial kadang-kadang tersembunyi di balik ideologi dan mitos-mitos, yang membuat kontroversi tersebut kelihatannya lebih idealistis, kurang materialistis, namun tetap ada unsur dari faktor material. Sejalan dengan unsur-unsur riil tersebut, antagonisme antara kelompokkelompok teritorial seringkali menjadi tameng bagi konflik-konflik dari jenis lain, seperti antagonisme kelas. Nasionalisme adalah alat untuk menutupi permusuhan antara orang yang mempunyai privilege dan yang tertekan di dalam suatu negara dengan rasa solidaritas yang berasal dari menjadi anggota suatu komunitas teritorial yang sama. Dalam hubungan tertentu, solidaritas teritorial bersifak arkaik, yang didasarkan pada masa lalu yang ingin dipeliharanya, di mana solidaritas kelas 28 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 254. 29 adalah fenomena yang lebih baru.29 e. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif Seperti kelompok teritorial, kelompok korporatif juga tergantung pada berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan. Kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif yang paling penting. Dalam arti yang sempit, kelompok korporatif mempersatukan orang yang terlibat di dalam kegiatan professional tertentu. Di dalam arti yang luas, kelompo ini dapat berarti mereka yang dididik atau dilatih di dalam sekolah yang sama, mereka yang menjadi anggota agen pemerintahan yang sama atau klasifikasi professional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang dengan kepentingan rekreasi yang sama (olahraga, atletik, dan asosiasi kultural).30 f. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif Kelompok-kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif yang paling penting. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi mempertahankan kemajuan korporat melawan anggota-anggota dari profesi atau organisasi yang lain. Maka, ada antagonisme alami antara berbagai profesi, dan pada saat yang sama, sebuah komunitas kepentingan di kalangan anggota dalam profesi yang sama. Secara umum, kepentingan kelas lebih kuat dari kepentingan korporat. Karena itu, antagonisme kelas lebih penting secara politik daripada 29 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 256. Duverger, Sosiologi Politik, hal. 261. 30 30 antagonisme korporat. Namun dalam beberapa wilayah tertentu, kepentingan korporat mengatasi kepentingan-kepentingan lain. Hal ini menjadi agak sering di dalam pertanian, terutama konflik antara sector pertanian dalam ekonomi dan sector industri dan sector komersial.31 Kaum Marxis beranggapan bahwa konflik korporat ini di dalam kelas sosial yang sama menjadi kontradiksi daripada antagonisme. Ini berarti bahwa konflik tersebut tidak terlalu fundamental.32 Salah satu contoh tentang kelompok-kelompok korporat yang berperan sebagai kamuflase bagi antagonisme lain adalah doktrin korporati yang berkembang pada tahun 1930-an. Ide fundamentalnya adalah untuk mengorganisir bangsa-bangsa menurut profesi, di dalam kategori horizontal, pekerja dan manager diwakili bersama dan bekerjasama di dalam di setiap korporasi. Atas doktrin ini, negara-negara fasis membinasakan serikat pekerja dan tidak memungkinkan para pekerja menyampaikan tuntutannya. g. Konflik di Antara Kelompok-kelompok Ideologis Kelompok-kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan ideologis yang sama. Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, masyarakat intelektual, dan dari partai-partai politik merupakan kelompok-kelompok ideologis. Sebuah doktin menjadi ideologi ketika suatu kelompok sosial menganutnya. Ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan intelektual dari seorang pemiki dan menjadi suatu ekspressi dari aspirasi, keinginan dan 31 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 264. Duverger, Sosiologi Politik, hal. 265. 32 31 keyakinan suatu kelompok orang (kelas, bangsa, dll). Sampai ke tingkat bahwa kelompok ini berbeda dari kelompok lain, dan mempunyai organisasi dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.33 Pada masa sekarang, partai-partai merupakan kelompok ideologis utama dari jenis politik. Kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang berhubungan dengan politik tanpa secara langsung berurusan dengan mengejr kekuasaan, berada dalam kategori yang sama. Pada waktu lain, kelompok ideologis menerima bentuk-bentuk yang berbeda, seperti liga, asosiasi rahasia, dan organisasi-organisasi paramiliter. Ideologi-ideologi non-politik adalah yang tidak mempunyai hubungahubungan langsung dengan kekuasaan, seperti ideologi agama, filosofis, dan artistic. Setiap ideologi cenderung menjadi suatu system yang komplit untuk menjelaskan manusia dan dunia, di mana politik secara alami mendapatkan tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak terlalu gampang dipisahkan satu dengan lainnya. Seperti ideologi-ideologi politik, ideologi non-politik cenderung berfungsi sebagai basis bagi kelompok-kelompok yang kurang lebih terorganisir. Dengan demikian, agama mengambil bentuk gereja-gereja, filosofi menjadi dasar dari berbagai sekte, dan kesenian melahirkan aliran-aliran dan gerakangerakan dari berbagai jenis. 33 Duverger, Sosiologi Politik, hal. 266. 32 Hakekat ideologi membuat antagonisme kelompok-kelompok ideologi non-politik lebih militant, dan semakin fundamental ideologinya. Inilah sebab mengapa keterlibatan organisasi-organisasi gereja dan agama di dalam konflik politik pada umumnya lebih kuat dan lebih menyerap daripada kelompokkelompok lain.34 B. Teori Elit Politik Teori elit politik merupakan sebuah teori yang lahir dari hasil diskusi para ilmuan sosial Amerika tahun 1950-an, yaitu Schumpeter (ekonom), Lasswell (ilmuan politik) dan sosiolog C. Wright Mills. Mereka tulisan dari para pemikir Eropa masa awal munculnya fasisme, diantaranya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol).35 Teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the ruling class) terdapat dua unsur; elit yang berkuasa (the ruling elite) dan elit tandingan (opposition) yang mampu meraih kekuasaan jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Elit tidak selamanya selalu digambarkan hanya terdiri dari satu kelompok, namun bisa juga berupa gabungan dari berbagai kelompok sosial. Kekuasaan merupakan alasan bagi elit atau kelompok elit untuk mengambil peranan aktif dalam politik. Seiring berkembangnya zaman, 34 banyak ahli politik yang Duverger, Sosiologi Politik, hal. 268. S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 201. 35 33 mengembangkan penafsirkan teori elit tersebut. Namun, mereka semua sepakat akan dasar dari teori tersebut bahwa ada sekelompok kecil di masyarakat yang memerintah masyarakat lainnya. Pareto berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas. Pertama, kelas atas. Kelas atas adalah kelompok elit yang memerintah dan tidak memerintah. Kedua, kelas bawah atau sering disebut non-elit. Ia memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah saja yang menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan. Kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas. Pertama, kelas yang memerintah, terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum dan paksaan.36 Dari penjelasan diatas, kelas pertama disebut kelompok elit politik. Lipset dan Solari berpendapat bahwa elit ialah posisi puncak dalam masyarakat pada struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu ekonomi, pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan bebas.37 36 Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan polarisasi ummat islam 19651987 dalam perspektif Sosiologis, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), h.56. 37 Saymour Martin Lipset dan A. Solari, “Elites in Latin America” dalam J.W. Schoorl, Modernisasi: pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang, penerjemah Soekadijo, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal.128. 34 Soejono Soekanto, pakar Sosiologi Indonesia, menerangkan bahwa elit adalah : “Kelompok orang-orang yang dalam situasi sosial tertentu menduduki posisi tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar dan hak-hak istimewa, kadangkadang diartikan sebagai golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Sering kali juga diartikan sebagai posisi-posisi dalam struktur sosial yang relatif tinggi, sehingga mereka yang menduduki posisi-posisi tersebut juga mempunyai kedudukan yang tinggi.” 38 Istilah elit kemudian diartikan sebagai suatu minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas atau kelompok dengan cara yang bernilai sosial.39 Teori elit menjelaskan setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yaitu:40 1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah. 2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Kelompok elit sebenarnya bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai lapisan maupun kepentingan. Kelompok elit politik tersebut terbagi kedalam tiga tipe, yaitu: a. Elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan. Tipe ini cenderung bersifat tertutup atau menolak kehadiran golongan dan kelompok lain. Dalam hubungannya dengan sesama elit, tipe ini bekerjasama untuk mempertahankan keadaan yang ada. Mereka bersikap dan berperilaku yang cenderung 38 Soerjono Soekanto, Kumpulan istilah-istilah Sosiologi, (Jakarta: UI Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, 1977), h. 51 dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan (Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988), h.63. 39 Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal.3. 40 S. P. Varma, Teori Politik Modern, hal.197. 35 memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat secara jelas dapat menguntungkannya. b. Elit politik liberal. Kelompok ini bersikap dan berperilaku yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakat untuk meningkatkan status sosial mereka. Tipe ini cenderung terbuka terhadap golongan masyarakat yang bersangkutan agar mampu bersaing secara sehat untuk menjadi elit, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan elit. Elit politik ini cenderung berorientasi pada kepentingan masyarakat umum sehingga mereka juga akan bersikap tanggap atas tuntutan masyarakat. c. Pelawan elit. Pada tipe ini, para pemimpin berorientasi pada khalayak dengan cara menentang segala bentuk kemapanan maupun dengan cara menentang segala bentuk perubahan. Umumnya kelompok ini bersifat ekstrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas rasial tertentu, dan menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasinya.41 Perubahan pada proses politik terjadi oleh karena kaum elit politik mengubah sikap mereka terhadap proses tersebut. Perubahan tersebut juga bisa karena kelompok elit tersebut digantikan atau ditentang oleh satu elit yang lain karena mempunyai sikap yang berbeda terhadap proses politik. 41 Ramlan Surbekti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hal.76. 36 Kaum elit yang tidak memegang kekuasaan akan lebih cenderung merasa berkepentingan dengan perluasan partisipasi politik untuk meraih kekuatan dan juga untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik.42 42 Samuel Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, penerjemah Sahat Simamora (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 39-41. 37 BAB III SURIAH SPRING Suriah spring adalah gelombang demonstrasi di Suriah dengan tujuan menumbangkan rezim pemerintahan. Suriah spring merupakan efek domino dari peristiwa Arab spring. Arab spring mengacu kepada sebuah keadaaan saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi, kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan sosial, sehingga mendorong rakyat untuk berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan yang baru. Revolusi tersebut memanfaatkan pemberontakan sipil dalam kampanye dengan melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype. Tujuannya ialah mengorganisir dan meningkatkan kesadaran khalayak terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.43 Motor penggerak revolusi tersebut adalah para pemuda berpendidikan di masing-masing negara Timur Tengah yang dilanda revolusi. Revolusi tersebut menekankan bahwa kekuasaan otoriter sudah tidak tepat diterapkan di negara Timur Tengah dan ingin mengubahnya menjadi demokrasi. Arab Spring yang dimulai pada tanggal 18 Desember 2010 di negara Tunisia kemudian menjalar ke negara-negara Arab lain diantaranya; Mesir, 43 Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah., hal. 12 38 Libya, Bahrain, Oman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Kuwait, Lebanon, Sudan, dan perbatasan Israel. Dalam kekusutan revolusi di Timur Tengah, tidak sedikit campur tangan pihak asing yang turut memanfaatkan momentum tersebut seperti Cina, Rusia, Amerika Serikat. 1. Lahirnya Negara Suriah Suriah pada awalnya merupakan bagian dari negara Republik Arab.44 Nama Suriah atau Syria berasal dari bahasa Arab, al-Sham atau Levant dalam bahasa Inggris. Daerah yang ditunjuk oleh kata ini telah berubah dari waktu ke waktu. Suriah terletak di ujung timur Mediterania, antara Mesir dan Saudi Arabia di selatan dan Kilikia di utara, Peregangan pedalaman untuk memasukkan Mesopotamia, dan memiliki batas pasti ke timur laut yang menggambarkan dari barat ke timur, Commagene, Sophene , dan Adiabene. Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah Suriah.45 Suriah memiliki bahasa resmi bahasa Arab dengan satuan mata uang Pound Syria. Sebagai sebuah negara dengan berbagai entitas46 di dalamnya, Suriah 44 H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, 5 ed. (Jakarta : UI-Press, 2008), hal. 224. 45 Suriah terletak di pantai Timur Laut Tengah; di utara berbatasan dengan Turki, di timur berbatasan dengan Irak, di barat berbatasan dengan Lebanon dan Laut Tengah, di selatan berbatasan Yordania dan Israel, beribu kotakan Damaskus Luasnya 185.180 km2, penduduknya 12.254.000, kepadatan penduduk 66/km2. Sumber : Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999, hal 321, tetapi dalam Ensiklopedi Geografi, Intermassa, cetakan tahun 1990, hal 217, bahwa penduduk Syiria berjumlah 12.210.000, dan kepadatan penduduk 65/km2. 46 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun th 39 terdiri atas mayoritas komunitas Muslim Sunni 75%, yang secara historis tetap dominan, dan beberapa komunitas minoritas lainnya; Kristen 19%, dan beberapa sekte Islam heterodoks, Alawiy 11,5%, Druze 3%, dan Ismailiy 1,5%, yang sebagian besar di pedesaan, khususnya kaum Alawiy.47 Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah Suriah, negeri yang sudah dihuni manusia sejak zaman batu. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa Suriah pernah menjadi salah satu pusat peradaban tertua di dunia. Karena terletak di persilangan jalur perdagangan dan militer antara Laut Tengah, Mesopotamia, dan Mesir, maka Suriah menjadi sasaran penyerbuan dari negara-negara tetangganya. Suriah juga merupakan tempat sejarah Kekristenan yang paling berpengaruh; Saulus dari Tarsus telah melewati Jalan ke Damaskus, kemudian dikenal sebagai Rasul Paulus, dan muncul sebagai tokoh penting dalam Gereja Kristen terorganisir pertama di Antiokhia di Suriah kuno, yang mana ia meninggalkan jejak perjalanan misionaris. Pada 1920, Kerajaan Suriah didirikan oleh Faisal I dari keluarga Hashimiah, yang kemudian menjadi Raja Irak . Namun, pemerintahannya di Suriah berakhir setelah hanya beberapa bulan, setelah bentrokan antara pasukan Arab Suriah dan pasukan Perancis pada Pertempuran Maysalun. Pasukan Perancis menduduki Suriah setelah konferensi San Remo dan tidak harus dalam bentuk fisik. 47 Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam (Penerbit Tiara Wacana, 2001), hal. 59. 40 meminta kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Suriah di bawah mandat Perancis.48 Pada tahun 1925 Sultan Pasha al-Atrash memimpin pemberontakan di Druze dan menyebar ke seluruh bagian Suriah dan Lebanon. Hal ini dianggap sebagai salah satu revolusi yang paling penting terhadap mandat Perancis, karena pertempuran mencakup seluruh Suriah dan menyaksikan pertempuran sengit antara pemberontak dan pasukan Prancis. Pada 23 Agustus 1925 Sultan Pasha al-Atrash resmi menyatakan revolusi melawan Perancis, dan segera meletus pertempuran di Damaskus, Homs dan Hama. Al-Atrash memenangkan beberapa pertempuran melawan Prancis pada awal revolusi, terutama Pertempuran Al-Kabir pada tanggal 21 Juli 1925, Pertempuran alMazra pada tanggal 2 Agustus 1925, dan pertempuran di dataran Almsifarh dan Suwayda. Setelah mengalami kekalahan, kemudian Perancis mengirimkan ribuan pasukan ke Suriah dan Libanon dari Maroko dan Senegal yang dilengkapi dengan senjata modern. Hal ini secara dramatis mengubah hasil pertempuran dan mengizinkan Prancis untuk memperoleh kembali banyak kota, meskipun perlawanan berlangsung sampai musim semi 1927. Perancis menghukum mati Sultan al-Atrash, tapi ia melarikan diri dan kemudian para pemberontak akhirnya diampuni oleh Perancis. Ia kembali ke Suriah pada 1937 setelah penandatanganan Perjanjian Perancis – Suriah. 48 Peter N Stearns, William Leonard Langer, Ensiklopedi of World History “The Midle East”, Houghton Mifflin Books, London, hal 761. 41 Suriah dan Perancis merundingkan 7% perjanjian kemerdekaan pada bulan September 1936, dan Hashim al-Atassi, yang merupakan Perdana Menteri di bawah pemerintahan Raja Faisal, adalah presiden pertama yang dipilih di bawah konstitusi baru, yang juga merupakan titik awal pertama dari republik modern Suriah. Namun, perjanjian tersebut tidak pernah berlaku karena legislatif Perancis menolak untuk meratifikasinya. Dengan jatuhnya Perancis pada tahun 1940 selama Perang Dunia II, Suriah berada di bawah kontrol Pemerintah Vichy sampai Inggris dan Perancis Merdeka dan menduduki negara itu kembali pada bulan Juli 1941. Suriah memproklamirkan kemerdekaannya lagi tahun 1941, namun tidak sampai 1 Januari 1944 negara tersebut diakui sebagai republik merdeka. Pada bulan April 1946, Prancis mengundurkan tentara mereka karena mendapat tekanan dari kelompokkelompok nasionalis Suriah dan Inggris, dan kemudian meninggalkan Suriah di tangan pemerintahan republik yang telah terbentuk selama mandat.49 Melihat ada cara untuk mempertahankan posisinya melalui manuver dalam negeri, pemerintah Suriah berbalik ke Mesir dan meminta bantuan kepada Presiden Gamal Abdul Nasser. Diskusi tentang persatuan antara Suriah dan Mesir telah dilaksanakan pada tahun 1956 tetapi sempat tergangu oleh krisis Terusan Suez. Kemudian opsi tentang persatuan Mesir dan Suriah kembali dibicarakan pada bulan Desember 1957, ketika Partai Ba‟ath mengumumkan bahwa telah terjadi perundingan untuk bersatu dengan Mesir. 49 Background : Syria “bureau of Near Eastren Affairs”, United States Dapartment of State, May 2007. 42 Persatuan Suriah dan Mesir di Republik Persatuan Arab (RPA) diumumkan pada tanggal 1 Februari 1958, dan kemudian diratifikasi oleh plebisit50 di setiap negara. Namun, bentuk RPA bukan seperti apa yang telah disiapkan oleh para anggota partai Ba‟ath. Salah satu alasan Nasser untuk menyutujui bentuk serikat adalah bahwa kedua negara benar-benar terintegrasi. Persatuan ini tidak berjalan lama, sehingga pada 28 September 1961 terjadi kudeta militer dan membuat Suriah akhirnya memisahkan diri dan kembali menjadi negara Republik Suriah. Kemudian, kabinet baru dibentuk dengan partai Ba‟ath sebagai penguasanya. Kudeta militer kembali terjadi di Suriah pada 13 Nopember 1970, dimana Menteri Pertahanan Suriah pada masa itu, Hafiz al-Assad, menobatkan dirinya sebagai Perdana Menteri. Selama Suriah berada di bawah kepemimpinan Hafez Al-Assad, hingga ia tutup usia pada 10 Juni 2000. Kemudian, tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Bashar Al-Assad, hingga saat ini. 2. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad Presiden Suriah hingga saat ini adalah Bashar al-Asad. Ia menjabat sebagai presiden sejak tahun 2000 menggantikan mendiang ayahnya, Hafiz al-Asad yang meninggal pada tahun yang sama. Selain sebagai presiden, Bashar juga menjabat sebagai Sekertaris Wilayah partai Ba‟ath. 50 Pemungutan suara umum untuk menentukan status daerah tersebut. 43 Pada mulanya, pilihan untuk meneruskan tampuk kepemimpinan jatuh kepada Rif‟at Al-Asad, yang merupakan adik dari Hafiz Al-Asad, kepala pusat pertahanan, sebelum akhirnya badan tersebut bergabung kedalam Syirian Army pada pertengahan tahun1980an. Namun akhirnya, kepercayaan padanya hilang setelah ia terang-terangan melakukan konspirasi untuk menurunkan kakaknya, Hafiz Al-Asad, saat ia koma. Setelah sembuh dari koma, Hafiz mulai menurunkan adiknya dari kursi pemerintahan, dan berakhir dengan pemecatan Rif‟at dari posisinya sebagai wakil Presiden bagian keamanan nasional. Pilihan selanjutnya untuk meneruskan kepemimpinan jatuh kepada anak tertuanya, Basil Al-Asad. Pada permulaan tahun 1990, Hafiz bekerja keras mempersiapkan Basil untuk menjadi presiden Suriah selanjutnya. Namun, kecelakaan mobil pada tahun 1994 telah merenggut nyawa Basil. Ketika saudaranya meninggal dalam kecelakaan, Bashar Al-Asad, salah satu anak laki-laki Hafiz, sedang menempuh pendidikan dokter spesialis mata (ophthalmology)51. Pidato resmi selama pemakaman Basil, berkali-kali mengarahkan bahwa penerus selanjutnya adalah Bashar. Segera setelah itu, usaha peningkatan kekuasaan pada Bashar pun dimulai. Ia ditugaskan untuk menggantikan posisi kakakanya, Basil Al-Asad, sebagai pasukan penjaga keamanan negara. Setelah tahun 1998, ia dipercayakan untuk mengemban tanggung jawab atas kebijakan negara Suriah terhadap Lebanon dan memimpin kampanye melawan korupsi. 51 Oftalmologi adalah spesialis medis yang berurusan dengan diagnosis dan pengobatan gangguan yang mempengaruhi mata dan bagian terkait dari sistem visual. 44 Bashar dilatih secara bertahap agar siap menggantikan ayahnya sebagai presiden. Persiapan tersebut dilakukan melalui tiga tahap; pertama, dibangun sebuah kekuatan dukungan untuk Bashar di bidang militer dan perlindungan. Kedua, membangun kesan dan figur sosok seorang Bashar al-Asad. Ketiga, Bashar diperkenalkan lebih mendalam dengan mekanisme untuk mengatur negara. Sementara persiapan Bashar terus dilaksanakan, Hafiz Al-Asad secara hati-hati terus mengganti anggota pasukan keamanan yang terlihat menolak pengangkatan Bashar sebagai penggantinya kelak. Salah satu orang terkemuka yang ikut dicopot dari posisinya adalah Hikmat al-Shihabi52, seorang kepala staff angkatan bersenjata.53 Transisi kepemimpinan Hafiz Al-Asad kepada putranya, Bashar Al-Asad, tahun 2000 berjalan begitu lancar. Tidak ada pergolakan menentang kepemimpinan Bashar saat itu. Untuk meluruskan rencana tersebut, Hafiz pun telah merubah konstitusi perihal batas minimal seseorang untuk menjadi presiden yaitu menjadi minimal 34 tahun agar Bashar bisa segera menduduki posisi presiden tersebut. Untuk mencapai posisi presiden itu pun, Bashar AlAsad mendapat kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal dan menetapkannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah. Transisi kepemimpinan tersebut tidak lepas dari peran para petinggi di 52 Hikmat al-Shihabi (8 Januari 1931 – 5 Maret 2013) adalah seorang perwira militer Suriah, yang pernah menjabat sebagai kepala staf pasukan militer Suriah antara 1974 hingga 1998. Shihabi lahir dari sebuah keluarga Sunni pada tahun 1931 di kota Al Bab, propinsi Aleppo. Ia meniti karir militernya dengan masuk di sekolah militer Suriah di kota Homs dan kemudian ia melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat. 53 Nadjib Ghadbian “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” Middle East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) hal. 626 45 pemerintahan seperti, menteri pertahanan Letnan Jenderal Mustafa Tlas, kepala staf angkatan bersenjata Letnan Jenderal „Ali Aslan, Mayor Jenderal „Asif Shawkat, Mayor Jenderal Bahjat Sulayman yang merupakan saudara ipar Bashar dan juga petinggi di badan intelijen, dan kepala badan keamanan negara Mahir Al-Asad yang juga merupakan adik Bashar Al-Asad. Satusatunya orang yang bukan termasuk sekte Alawiy adalah Mustafa Tlas yang telah berkarir di militer sejak Hafiz Al-Asad berkuasa. 3. Pemerintahan Bashar al-Asad a. Kebijakan Luar Negeri Saat melaksanakan tugasnya sebagai presiden, awalnya Bashar memiliki sikap yang berbeda dengan mendiang ayahnya. Ada beberapa kebijakan yang dilanjutkan olehnya, namun ada pula yang berbeda untuk membuktikan bahwa sikap yang ia ambil lebih efektif dan berhasil. Kebijakan yang dilanjutkan oleh Bashar terutama pada kebijakan luar negeri diantaranya alasan proses damai negara Arab dengan Israel, kehadiran militer Suriah di Lebanon, dan hubungan Suriah dengan dunia. Permasalahan dataran Golan yang diambil dari Suriah oleh Israel, dan keengganan Israel untuk mengembalikan seluruh wilayah yang merupakan wilayah Suriah sebelum tahun 196754 dan seluruh perjanjian dengan 54 Perang Enam Hari (Milkhemet Sheshet HaYamin) atau Perang Arab-Israel 1967 adalah perang antara Israel menghadapi tiga gabungan negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah. Negara Arab tersebut mendapat bantuan dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan, dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung 6 hari. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan 46 mengembalikan kembali wilayah Palestina seperti sebelum terjadinya intifada Al-Aqsha.55 Di lain pihak, kepemimpinan Bashar tidak segera melanjutkan negosiasinya dengan Israel perihal dataran tinggi Golan. Padahal semasa ia menjabat sebagai presiden, Hafiz Al-Asad, selalu menekan Israel untuk segera mengembalikan datarang tinggi Golan. Apa yang dilakukan Hafiz Al-Asad tersebut membuat rakyat Suriah dan Arab begitu menghormatinya. Selain itu, mereka juga menghormatinya karena perbedaan sikap yang ditunjukkan Hafiz Al-Asad terhadap Israel berbeda dengan para pemimpin negara Arab lainnya, seperti Anwar Sadat (Mesir), Raja Husein (Jordania), dan pemimpin PLO Yasir „Arafat yang bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Israel, dan hal tersebut merupakan penghinaan bagi rakyat Arab.56 Hafiz Al-Asad juga menolak melakukan hal ramah tamah kepada pemimpin Israel walaupun menteri luar negeri Suriah berjabatan tangan dengan perdana menteri Israel. Sebelum terjadinya intifada kedua, Suriah dan Israel sudah memulai hubungan yang semakin baik untuk mencapai kesepakatan damai. Keduabelah pihak menyadari kepentingan atas kesepakatan damai tersebut. Setelah meninggalnya Hafiz, terlihat berbagai tanda kesediaan terhadap pangkalan udara Mesir karena takut akan invasi dari Mesir. Kemudian, Yordania menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akir perang. Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Sumber : Wikipedia Indonesia. 55 Intifada adalah gelombang kerusuhan dalam bahasa Arab. Intifada di Palestina terjadi dua kali. Pertama pada tahun 1987 hingga 1993, dan kedua pada 28 Sepetmber tahun 2000 hingga 8 Februari 2005 yang lebih dikenal dengan Intifada Al-Aqsha. Intifadah Al-Aqsha merupakan pemberontakan kedua Palestina atas pendudukan Israel di negara tersebut. Kejadian tersebut dimulai pada saat Ariel Sharon berkunjung ke wilayah masjid Al-Aqsha dengan membawa 1000 pasukan militer ke wilayah tersebut. 56 Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 627. 47 untuk melanjutkan perundingan. Namun presiden baru, Bashar Al-Asad, tidak juga mencanangkan proses tersebut. Kebijakan luar negeri selanjutnya adalah pendudukan tentara Suriah di Lebanon. Permintaan penarikan kembali pasukan militer Suriah di Lebanon semakin kencang seiring dengan penarikan kembali pasukan Israel dari selatan Lebanon. Lebanon merupakan negara yang menjadi pemisah antara nergara Suriah dan Israel. Banyak keuntungan yang didapat oleh Suriah atas kehadiran tentara Suriah di negara tersebut. Ada tiga sektor ekonomi yang di dapat Suriah atas pendudukan ini, yaitu para perwira militer dan keamanan Suriah terlibat dalam penyeludupan, pengusaha Suriah yang memanfaatkan bank Lebanon dan lembaga keuangan yang bersifat liberal, dan hampir setengah juta tenaga kerja Suriah yang sekarang ini bekerja di Lebanon.57 Namun keuntungan tidak hanya didapat oleh pihak Suriah tetapi juga pihak Lebanon. Ada golongan Lebanon yang mendapat keuntungan atas pendudukan tentara Suriah tersebut, diantaranya adalah gerakan Hizbullah, yang mendapat dukungan kuat dari Suriah dan Iran selama gerakan tersebut berperang melawan Israel. Selanjutnya, Hizbullah bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik dan bekerja dari dalam sistem, mengadvokasi dan mendukung rakyat yang tertindas dalam kehidupan masyarakat di Lebanon. Sejauh ini, Hizbullah dapat memanfaatkan 57 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 629. 48 perannya dalam kemenangan atas pasukan Israel. Penarikan kembali pasukan Israel dari Lebanon tidak membuat pasukan Hizbullah menerima begitu saja. Pemimpin golongan tersebut menginginkan bahwa untuk mencapai kesepakatan damai, Israel harus mengembalikan perkebunan Seb‟a, sebuah wilayah yang Israel ambil pada perang tahun 1967, dan juga pembebasan tahanan-tahanan Lebanon dari penjara Israel, yang sebagian merupakan aktivis Hizbullah. Pihak Israel juga menghitung bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Israel untuk bertahan akan jauh lebih besar ketimbang penarikan mundur. Hal itu pula yang menjadi pertimbangan keberadaan pasukan Israel di Lebanon, dan dengan penarikan mundur, Israel berharap juga dapat memperdalam kertakan antara Suriah dan Lebanon atas gagasan ketidakterpisahkan kepentingan. Banyak rakyat Lebanon menetang keberadaan pasukan Suriah dan penentangan tersebut semakin hari semakin membesar. Mereka berpendapat bahwa kepentingan nasional Suriah dengan Lebanon tidaklah sama. Mendapat penentangan yang besar, Gerakan Hizbullah mencari dukungan dari kelompok-kelompok pro-Suriah dan juga terus berusaha menentang usaha-usaha yang dilakukan Lebanon untuk berhenti bekerjasama dengan Suriah. Selain Hizbullah, keberadaan pasukan militer Suriah juga mendapat dukungan dari kelompok Syiah Lebanon “Amal”, serta politisi Sunni Lebanon.58 Pada 14 Juni 200559, ribuan pasukan Suriah 58 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 630. 49 dievakuasi dari sekitar Beirut dan menyerahkan barikade mereka kepada tentara Lebanon. Pada Agustus 2001, tentara Lebanon menahan ratusan pendemo dan massa pro-oposisi Lebanon. Tindakan keras ini diambil akibat kemelut politik, sejak hal tersebut mengambil posisi tanpa pemeberitahuan sebelumnya dari Perdana Menteri, dan diikuti oleh vonis hukuman dari politisi dan anggota persatuan ahli hukum. Ketika sebagian besar demonstran dibebaskan secara langsung atau pun diberikan hukuman yang ringan, penangkapan tersebut merupakan pengingat dari pendukung Suriah dalam tentara Lebanon atas bahaya menjadi oposisi dari persaudaraan tentara Suriah atau “Brotherly Syrian Army”.60 Ketika penarikan kembali seluruh tentara Suriah tidak dapat dihindari, kedua, Suriah dengan Lebanon, negara yang mendapatkan keuntungan dari konflik Suriah di dalam negara tersebut akan menentang pergerakan apapun yang akan mengancam kepentingan dan hak istimewa yang mereka dapatkan. Perang sipil yang terjadi di Lebanon telah menyebabkan Lebanon dan Suriah tidak mempu untuk tidak mencampuri masalah negara masing-masing sejak hubungan antara mereka terjalin ketika tentara Suriah memasuki wilayah Lebanon pada tahun 1967. Kebijakan luar negeri Suriah selanjutnya adalah hubungan antar 59 “Penarikan Pasukan Suriah dari Lebanon,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.dw.de/penarikan-pasukan-suriah-dari-lebanon/a-2957553 60 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 631. 50 pemimpin negara-negara di sektor regional dan internasional. Setelah dalam jangka waktu yang lama terisolasi hingga pada tahun 1980an, Hafiz Al-Asad membuat strategi dan menawarkan kembali bantuan agar Suriah dapat kembali hadir dalam tatanan dunia pasca perang dingin. Hafiz menyadari bahwa runtuhnya Uni Soviet sebagai penyokong utama Suriah dan juga salah satu pemeran utama dari perang dingin, dapat memperkeruh kondisi negaranya sehingga mempersulit Suriah untuk meraih kesamaan derajat dengan Israel. Untuk memulihkan kembali kondisi dimana banyak sekutu Suriah yang hilang, namun juga mengambil kesempatan untuk menjadi salah satu negara yang mengendalikan tatanan dunia, Hafiz alAsad membuat keputusan untuk bergabung dengan dengan koalisi Amerika untuk menentan Iraq selama Perang Teluk tahun 1990 hingga 1991, walau pun hal tersebut sangat jelas melanggar keyakinan partai Ba‟ath, yang juga merupakan partai yang sama dengan pemerintahan Iraq. Langkah berikutnya yang diambil Suriah adalah menghadiri konferensi perdamaian di Madrid pada Oktober 1991. Langkah tersebut dapat membuat Suriah mendapatkan pinjaman dan bantuan keuangan dari negara-negara Teluk, dan dapat memperlemah langkah rivalnya, Saddam Husein, memasuki proses yang akan membuat Suriah mendapatkan dataran tinggi Golan kembali, sehingga dapat meringankan beban negaranya untuk anggaran militer dan mengeluarkan Suriah dari Isolasi dan merubah pandangan public atas Suriah sebagai negara miskin. 51 Saat ini, Suriah memiliki hubungan baik dengan negara-negara teluk Arab, Iran, Mesir, dan Jordania sepeninggal Raja Husein. Selama tahun pertama Bashar al-Asad memerintah, Jordania dan Suriah telah menambah hubungan ekonomi bilateral. Dari segi politik, kedua negara telah meningkatkan hubungan mereka dan mengurangi kritik posisi masingmasing negara terhadap Israel. Jordania telah mengungkapkan dukungannya terhadap Suriah dalam upaya mendapatkan kembali dataran tinggi Golan. Suriah telah membebaskan tahanannya yang berkebangsaan Jordania, ketika pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah meninggalkan pengasingannya di Amman, Jordania. Peningkatan hubungan antara dua negara sejak kepergian Raja Husein dan Hafiz al-Asad, dapat ditunjukkan sebagian dalam pergantian kepemimpinan dan kesamaan pandangan pragmatis atas pemimpin baru Damaskus dan Amman.61 Setelah menjadi presiden, Bashar al-Asad juga memperbaiki hubungan antara pemerintahan Suriah dengan Yasir Arafat. Semasa hidup Hafiz alAsad, Arafat merupakan orang yang dengan penuh kegigihan menentang usaha Hafiz untuk menguasai PLO62. Selama beberapa tahun, Yasir menjadi persona non grata63 di Damaskus. Masing-masing pihak 61 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 632. PLO (Palestine Liberation Organisation) atau yang lebih dikenal dengan Organisasi Pembebasan Palestina adalah sebuah lembaga politik resmi bangsa Arab Palestina yang telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Organisasi ini didirikan pada tahun 1969 dengan ketuanya, Yasir Arafat. Ia memimpin hingga tahun 2004. Organisasi ini merupakan sebuah wadah untuk mempersatukan semua organisasi perlawanan demi memperjuangkan wilayah Palestina di tanah Arab. 63 Persona non grata adalah istilah dalam bahasa Latin yang dipakai dalam perkancahan politik dan diplomasi internasional. Secara harfiah berarti orang yang tidak diinginkan. Orangorang yang termasuk dalam persona non grata biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau 62 52 menyalahkan atas ketiadaan kordinasi dalam negosiasi dengan Israel, yang mana memungkinkan pemerintah Israel mempermainkan salah satu pihak untuk melawan yang lain. b. Kebijakan Ekonomi Kepemimpinan Bashar diharapkan dapat memberikan perubahanperubahan pada bidang perbaikan ekonomi, sistem politik, dan birokrasi. Menjelang berlangsungnya kepemimpinan Bashar al-Asad, telah beredar kabar bahwa akan ada perbaikan di bidang ekonomi dan sistem politik. Pada kedua bidang tersebut, Bashar mengerahkan dukungan penuh dan mempererat kekuasaannya. Sebelum kepergian ayahnya, Bashar telah melakukan kampanye anti korupsi, dan memecat Jenderal Muhammad Bashir al-Najjar, yang merupakan kepala bagian intelejen dengan tuduhan korupsi. Al-Najjar dikeluarkan dari posisinya dan dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara atas dakwaan korupsi yang ia lakukan pada tahun 1998. Kampanye tersebut mencapai puncaknya dengan pembubaran kabinet dan pembentukan kabinet baru pada Maret 2000.64 Kampanye tersebut membuat rakyat dan aktivis Suriah beranggapan bahwa Bashar akan menciptakan perubahan dalam negera tersebut. negara. Apabila ia sudah ada di negara tersebut, ia harus dideportasi. 64 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 633 53 Pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad, perekonomian Suriah berada dibawah negara-negara disekitarnya ditambah dengan permasalahanpermasalahan seperti korupsi, kelebihan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan jumlah lapangan kerja, inefisiensi atau tidak tepat guna dalam menelola keuangan negara. Pendapatan perkapita Suriah sekitar 1.000 dollar, tertinggal jauh dengan Lebanon yang mencapai angka 3.000 dollar, dan Israel dengan 17.000 dollar. Pengangguran diperkirakan berjumlah sekitar 22%, dan negara membelanjakan lebih dari 7% dari PNB dan hampir 50% dari anggaran adalah untuk pembiayaan militer dan pasukan keamanan. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya sumber daya alam, jumlah militer yang terlalu besar, berkurangnya bantuan luar negeri, korupsi, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu sekitar 3,15%.65 Kondisi tersebut membuat pemuda Suriah bersedia mendukung segala kebijakan yang dapat memperbaiki perekonomian di negara tersebut termasuk mendukung Bashar yang juga menggagas ide pembaharuan tersebut. Perekonomian Suriah membutuhkan perubahan struktural yang diadopsi dari negara-negara sosialis Eropa Timur. Mendiang presiden Hafiz al-Asad melakukan liberalisasi ekonomi dengan setengah hati, yang mana termasuk pengokohan pada sektor swasta dan mendorong investasi asing. Peningkatan sektor bisnis di Suriah menjadi dukungan untuk Bashar dalam usahanya mengarahkan sektor ekonomi pada menuju ekonomi liberal dan mengarahkannya ke arah pasar bebas. 65 Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 634. 54 Perbaikan ekonomi yang Bashar al-Asad canangkan pada awal penobatannya sebagai presiden, tetap ia laksanakan. Namun, kerja kerasnya dalam memperbaiki perekonomian dalam negeri hanya dirasakan oleh mereka yang dekat, memiliki hubungan, serta ikatan keluarga dengan rezim. Tekadnya untuk memberantas korupsi hanya sampai pada pidatopidato awal pemerintahannya saja.66 Tahun 2004, Suriah dikenai sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat yang membuat kegiatan eksport-import negara tersebut terbatas dan sempat menyebabkan gejolak anti pemerintah oleh kalangan rakyat Suriah.67 Banyak industri-industri produktif yang sebelumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja muda dibongkar pada saat Bashar al-Asad memerintah, sehingga memperbanyak pengangguran pada usia kerja. Perekonomian diubah menjadi perekonomian rente yang dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan rezim yang berkuasa. Sebanyak 81 persen lulusan perguruan tinggi membutuhkan waktu paling kurang empat tahun untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka. Pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan 66 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 75. Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Suriah guna memperkuat tekanan politik Washington terhadap Damaskus. Presiden George W. Bush memerintahkan larangan semua jenis ekspor kecuali bahan pangan dan obat-obatan dan melarang hubungan lalulintas udara dengan Suriah. Tindakan itu didasarkan pda tuduhan bahwa selama ini Suriah telah mendukung terorisme dan bercita-cita memiliki senjata pemusnah massal. Bush menjanjikan pencabutan sanksi, bila Suriah bersedia bekerjasama dalam perang anti terror. Wakil pemerintah Suriah menyatakan, Damaskus tetap ingin melakukan dialog dengan AS. Sumber http://www.dw.de/as-jatuhkan-sanksi-terhadap-suriah/a-2953511 67 55 pekerjaan dan sumber daya alam yang semakin menipis. Produksi minyak per hari pada tahun 2010 hanya 385.000 barrel, jauh di bawah tahun 1996 yaitu, 583.000 barrel.68 Perubahan iklim yang ekstrem sejak sepuluh tahun terakhir membuat Suriah dan negara-negara Timur Tengah semakin kering.69 Hal tersebut berpengaruh kepada sektor pertanian yang menghasilkan 20 persen GDP Suriah. Karena semakin buruknya kondisi perekonomian, muncul sikap ketidakpuasan terhadap rezim yang berkuasa mulai dari kelompok ekonomi terpinggirkan. Perbaikan sektor ekonomi tanpa adanya reformasi dari sistem politik dirasa penuh keraguan oleh kalangan intelektual Suriah. c. Kebijakan Politik Bashar mewarisi sistem politik satu partai, yang didominasi oleh militer yang beraliran sekte Alawi. Sistem tersebut terdiri dari pemerintahan resmi dan pemerintahan bayangan. Pada pemerintahan resmi, terdapat institusi seperti kabinet, parlemen, kepengurusan partai Ba‟ath, dan beberapa partai kecil. Keputusan yang sebenarnya dibuat dibelakang pemerintahan resmi tersebut, pada sebuah golongan kecil yang berisikan kepala pemerintahan yang bertugas untuk memelihara kestabilan 68 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 88 Banyak wilayah di Suriah yang mengalami kekeringan akibat penurunan curah hujan. Banyak desa, kampung-kampung, dan ladang-ladang ditinggalkan, mengungsi ke wilayah-wilayah kumuh di kota-kota besar. Tahun 2009, International Institute for Sustainable Development mencatat akibat penurunan curah hujan dan langkanya cadangan air menyebabkan sekitar 160 desa di Suriah bagian utara pada periode 2007 – 2008, ditinggalkan penduduknya. Kekeringan juga mengakibatkan banyak ternak yang mati. Sumber Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 91-92. 69 56 rezim. Hanna Batatu, seorang ahli sejarah Timur Tengah, mengemukakan bahwa 61% dari pemerintahan bayangan tersebut menganut sekte Alawi. Pemerintahan bayangan ini memberikan jawaban kepada presiden yang bersifat mutlak. Orang-orang yang berada di luar area pemerintahan dapat tetap menjalankan pekerjaan mereka dengan tenang selama mereka tidak ikut campur dalam keputusan politik. Dari sudut pandang ekonomi politik, pada bagian hak istimewa di dalam lapisan strata sosial Suriah, sistem ekonomi di Suriah di dominasi oleh tiga golongan; pertama, pemimpin di sektor publik, kedua pengusaha kelas kecil, ketiga pelindung kegiatan mereka yaitu dari kalangan keamanan dan elit militer. Siapa pun yang bekerja sebagai aparat negara tidak dapat tersentuh dari hukum, sehingga dapat memperkaya diri. Hal tersebut dibiarkan oleh mendiang presiden, Hafiz al-Asad, untuk kalangan yang telah setia kepadanya, dan sanggup untuk melakukan segala cara untuk memelihara keamanan dan stabilitas rezim. Contoh penerapan dari pemeliharaan keamanan pada era Hafiz al-Asad adalah pada tahun 1982 ketika pasukan keamanan dan elit militer, membombardir kota Hama, yang menelan ratusan warga sipil.70 Pada tahun pertama pemerintahan Bashar, orang-orang yang bekerja di pemerintahannya tidak akan ditolerir jika tersangkut kasus korupsi. Bashar juga memperbaharui sektor-sektor negara namun tetap mempertahankan 70 Riza Shibudi, Menyandera Timur Tengah ( Hikmah Publishing House, 2007) hal. 34. 57 struktur politik yang ada. Kepemimpinan Bashar menjadi harapan baru bagi rakyat Suriah. Adanya iklim politik yang baru di Suriah pada saat itu membuat para cendekiawan Suriah yang tergabung dalam “Kelompok 99”71 melayangkan surat terbuka untuk meminta presiden segera menghentikan keadaan darurat dan darurat militer yang berlaku sejak tahun 1963, membebaskan para tahanan politik dan mengizinkan orang-orang Suriah yang diasingkan untuk dapat kembali, serta mengabulkan kebebasan politik termasuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kelompok lain yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Friends of Civil Society” juga mengeluarkan petisi serupa yang disebut “Manifesto 1000”. Pada manifesto tersebut, menyatakan kembali keinginan yang sama dengan surat dari kelompok sebelumnya dan juga menambahkan acuan untuk masyarakat sipil dan keberagaman politik di Suriah. Tokoh terkemuka pada pergerakan ini adalah Riyad Sayf72. Perkembangan selanjutnya terjadi forum-forum diskusi yang luas di berbagai tempat yang membahas tentang masyarakat sipil, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia. Permintaan selanjutnya datang dari kelompok Ikhwanul Muslimin. 71 Kelompok 99 adalah kumpulan 99 orang yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti cendekiawan, aktivis, pengacara, dosen, seniman, dokter, penulis, ekonom, musisi, jurnalis, yang mendukung perubahan penuh politik di Suriah. Mereka meluangkan gugatannya pada sebuah petisi pada 27 September 2000. Sumber : http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html 72 Riyad Sayf adalah seorang oposisi pemerintah Suriah dan pengusaha terkemuka yang mendirikan dan memimpin Forum Dialog Nasional. Sayf terpilih ke Parlemen Suriah pada tahun 1994 sebagai wakil dari kelompok independen dan terpilih lagi pada tahun 1998. Selama beberapa tahun ia memiliki sebuah waralaba Adidas di Damaskus. 58 Kelompok tersebut menyatakan bahwa kepemimpinan Bashar tidaklah sah dan meminta untuk agar kepemimpinan dapat dipilih secara terbuka. Permintaan selanjutnya dari kelompok Ikhwanul Muslimin sama dengan permintaan “Friends of Civil Society”, namun ada penambahan bahwa pergerakan tersebut harus mendapatkan status resmi di dalam negeri, karena sebelumnya menjadi anggota dari Ikhwanul Muslimin adalah terlarang dan dapat dijatuhi hukuman mati. Dari petisi-petisi tersebut, Suriah mengalami perubahan yang signifikan. Pada 16 November 2000, pemerintah Suriah membebaskan 600 tahanan politik, anggota partai Ba‟ath Irak, dan anggota komunis. Selanjutnya, pemerintah Suriah juga mensahkan pendirian surat kabar swasta, al-Dumari. Minat baca rakyat Suriah meningkat hingga dicetak 75.000 eksemplar pada edisi pertama surat kabar tersebut. Pemerintah juga melakukan hal yang sama dengan sayap dari partai komunis Suriah yang telah setia kepada rezim Ba‟ath untuk menerbitkan surat kabar “Suara Rakyat”. Hal tersebut merupakan kabar gembira bagi sebagian besar rakyat Suriah. Namun, kalangan intelektual dan oposisi menginginkan lebih hingga penghapusan menyeluruh atas darurat militer. Setelah enam bulan semenjak pelantikannya sebagai presiden, dan segala perubahan yang ia setujui, Bashar al-Asad berubah pikiran. Masa sebelum Bashar menjabat kembali berlangsung. Forum-forum diskusi dibatasi dan harus mengikutsertakan petugas keamanan. Siapapun yang 59 ingin menyelenggarakan pertemuan-pertemuan harus mengurus izin seminggu sebelumnya, dan menyertakan informasi tentan topic pembicaraan, pembicara, tamu undangan, dan materi pembicara. Ada dua alasan untuk mengungkung aktifitas kelompok intelektual. Pertama, keputusan para petinggi rezim dan penjaga keamanan yang merasa bahwa kritik yang begitu tajam dan lantang terhadap pemerintah jika tidak ditekan dapat meningkat dan dapat mengancam stabilitas negara. Kedua, untuk membungkam kelompok intelektual tersebut sehingga keinginan mereka akan adanya perubahan dalam segi politik dan reformasi rezim terhenti. Pasca pencabutan segala permohonan yang dilayangkan dalam petisi maupun surat terbuka oleh rakyat, kepemimpinan Bashar al-Asad berubah dari image pembawa perubahan menjadi sama dengan kepemimpinan mendiang Hafiz al-Asad, diktatoris. Gerakan tersebut belakangan dikenal dengan “Damaskus Spring” kurang mendapat antusiasme dari mayoritas rakyat Suriah. Misi gerakan tersebut tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat Suriah yang sedang menghadapi masalah ekonomi. Gerakan tersebut juga hadir bersamaan dengan pecahnya Intifada kedua di Palestina. Para intelektual penggagas petisi dan surat terbuka mengusung gagasan-gagasan Barat, suatu hal yang bertentangan dengan semangat anti-Israel dan Barat terebut. 60 Damaskus spring dengan umur yang pendek, namun mampu menginspirasi lahirnya partai-partai oposisi di pengasingan di luar Suriah. Salah satunya adalah Partai Pembaharuan Suriah atau Hizb al-Islah alSuri, yang didirikan oleh seorang pengusaha Amerika-Suriah, Farid Nahid al-Ghadiri. 4. Suriah Spring Akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011, disaat negara-negara Arab lain dipenuhi dengan pemberontakan, aksi-aksi demo, dan upaya penggulingan rezim berkuasa di negara-negara tersebut, Suriah merupakan negeri yang lebih stabil dibandingkan yang lainnya. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa rezim Asad dan Suriah tidak akan tersapu angin gelombang revolusi Arab Spring. Rezim Asad membangun pemerintahan dengan menempatkan tentara baik sebagai simbol kekuasaan maupun sebagai suatu alat untuk mengontrol negara.73 Dalam beberapa kesempatan, tentara digunakan untuk menekan atau menghadapi rakyat dengan kekerasan demi mempertahankan stabilitas politik. Rezim ini pun dibangun diatas empat pilar: pertama, kekuasaan di tangan klan al-Asad. Kedua, rezim ini mempersatukan kaum minoritas Alawi. Ketiga, mengontrol seluruh aparatur militer intelijen. Keempat, monopoli partai Ba‟ath atas sistem politik. Faktor lain yang dianggap sebagai sistem kekebalan bagi Suriah dari gelombang Arab Spring adalah sikap pemimpinnya yang anti Barat dan 73 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 44. 61 dukungannya terhadap Palestina. Posisi tersebut dianggap menguntungkan rezim yang berkuasa dan mengukuhkan keyakinan rakyatnya. Posisi strategis kaum Alawie di Suriah turut menjaga keberlangsungan pemerintahan rezim Asad. Dari 200.000 tentara militer di Suriah, 70 persen merupakan Alawie. Sekitar 80 persen perwira militer Suriah pun Alawie. Dan divisi paling elit di militer Suriah, Garda Republik, dipimpin oleh adik lakilaki Bashar, Maher al-Asad.74Penempatan orang-orang kepercayaan rezim alAsad juga diperhitungkan dalam menjaga stabilitas rezim. Untuk menghindari pembelotan oleh angkatan udara yang sebagia pilotnya adalah Sunni, orangorang Alawie ditempatkan di bagian logistik, komunikasi, perawatan pesawat, serta intelijen angkatan udara. Peristiwa Arab Spring serta kejatuhan para pemimpin negara Timur Tengah berhembus kencang hingga sampai ke rakyat Suriah. Semangat yang ditularkan para aktivis dan demonstran di Tunisia dan Mesir melalui video yang diunggah ke Youtube dan berbagai seruan perlawanan terhadap rezim di media sosial belum mampu menembus kekebalan yang dimiliki rezim al-Asad karena pihak keamanan menekan para aktivis tersebut agar tidak melakukan demonstrasi jika tidak ingin kejadian di Hama pada tahun 1982 terulang.75 Namun, peristiwa penyiksaan terhadap anak-anak sekolah oleh aparat keamanan di kota Deraa, kota kecil di Suriah yang berbatasan dengan Yordania dan 100 kilometer sebelah selatan Damaskus, mengubah stabilitas 74 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 85. Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 95. 75 62 kondisi negara tersebut. Pada 6 Maret 2011 muncul sebuah perlawanan di kota Deraa yang dilakukan oleh para orang tua yang anak-anaknya ditahan oleh polisi setempat karena membuat grafiti di dinding sebuah bangunan dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam (Rakyat ingin menumbangkan razim).76 Lima belas orang anak sekolah yang dianggap melakukan pembuatan grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian setempat. Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara. Hal tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur setempat. Perilaku membuat grafiti di dinding tersebut oleh anak-anak sekolah usia sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut.77 Mereka menganggap, bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan termasuk ke dalam tindakan subversif78. Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan tersebut, mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga melakukan aksi protes 76 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 114 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi, 2012, hal. 115. 78 Subversif merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Dalam bahasa Latin berarti, asal, awalnya tersebut berlaku untuk beragam aktivitas sebagai kemenangan secara militer dalam perebutan kekuasaan negara. Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Subversif 77 63 yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa, Faisal Khaltoum. Tanggal 15 Maret 2011 selain di kota Deraa, demonstrasi juga terjadi di kota pantai Banias. Pemicu protesnya adalah pelarangan kepada para guru perempuan untuk menggunakan jilbab model Suriah atau niqab oleh rezim yang berkuasa daerah tersebut. Protes yang dilancarkan oleh para demostran malah disambut dengan pemukulan dan pembubaran paksa. Aparat keamanan kemudian melanjutkan aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para demonstran hingga menelan korban. Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya merambah ke kota-kota lainnya seperti Dayar al-Zor, al-Hasaka, dan Hama. Tuntutan yang diajukan para demonstran pun akhirnya beragam, yang pada awalnya hanya sebatas pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga menjadi penurunan rezim yang berkuasa. a. Day of Rage Kemudian, pada hari Jumat, 18 Maret 2011, terjadi demonstrasi di seluruh Suriah dan aksi tersebut diunggah ke media sosial hingga menyebar di seluruh dunia. Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah pusat tidak bisa tinggal diam. Menyebarnya video perlawanan terhadap pemerintah ke seluruh dunia dengan bantuan internet membuat pemerintah pusat mengambil sikap pemadaman aliran listrik dan layanan telepon. Pemerintah, melancarkan serangan kepada para demonstran secara masif. Gerakan para demonstran kemudian dijadikan kesempatan bagi para 64 oposisi untuk membantu berjuang bersama menumbangkan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring berjalannya konflik, banyak free rider79 yang turut memperkeruh suasana di Suriah baik itu di pihak oposisi maupun loyalis pemerintah. b. Reaksi Internasional Melihat revolusi yang terjadi di Suriah, pada pertengahan Agustus 2011, Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Uni Eropa, dan Kanada menyatakan bahwa rezim Suriah tidak lagi sah. Mereka juga menyerukan kepada Bashar al-Asad agar segera meletakkan jabatannya. Reaksi internasional berlanjut dengan agenda Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Namun, Rusia dan China, dua negara yang tergabung dalam DK PBB menggunakan hak veto mereka agar tidak terjadi campur tangan pihak asing dalam konflik yang terjadi di Suriah. Akibatnya, agenda intervensi asing gagal diterapkan atas Suriah.80 Liga Arab pun turut memberikan perhatian terhadap masalah yang terjadi di Suriah. Organisasi regional Arab ini mengutus para pengamatnya ke Suriah. Mereka menawarkan protocol pengamat Arab yang menjadi bagian dari resolusi Liga Arab. Saat itu, Suriah bersedia menandatangani protocol tersebut. Namun, saat protocol berikutnya menawarkan penyelesaian konflik dengan menyeru agar Bashar al-Asad menyerahkan kekuasaannya, tawaran tersebut pun ditolak. 79 Free Rider merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok atau individu yang memiliki kepentingan tersembunyi dengan mencari keuntungan atas suatu masalah yang sedang terjadi. 80 Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah, hal. 177. 65 Usaha terakhir dunia Internasional adalah dengan dibentuknya gabungan negara Arab dan Barat. Dalam pertemuan pertama, pihak oposisi pemerintah meminta pihak rezim Bashar al-Asad untuk melakukan genjatan senjata. Pertemuan tersebut juga meminta pihak oposisi untuk meloloskan bantuan dari organisasi kemanusiaan bagi warga sipil yang menjalani penderitaan. Revolusi Suriah tidak hanya mempermasalahkan sikap otoriter Bashar alAsad, permusuhan antara Sunni dan Syi‟ah, tapi juga keadaan yang diperumit dengan dugaan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah. Pertengahan Agustus 2013 merupakan puncak isu penggunaan senjata kimia di Suriah. Saat terjadi pertempuran di pinggir kota Damaskus, lebih dari 400 orang tewas, yang dilaporkan akibat senjata kimia berupa gas sarin, mustard, dan VX. Selain ratusan orang tewas, ribuan orang juga terkena dampak gas beracun tersebut.81 Terkait dengan penggunaan senjata kimia, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mencanangkan akan segera melakukan agresi militer ke Suriah. Namun, niatan tersebut seperti dikaji ulang oleh Barack Obama. Ia meyakini bahwa intervensi militer Amerika Serikat ke Suriah tergantung pada persetujuan kongres.82 Tidak hanya Amerika Serikat yang ingin ambil andil dalam konflik di Suriah, Inggris juga mengusulkan sebuah draft resolusi untuk memperoleh persetujuan serangan militer ke Suriah dari DK PBB, namun upaya tersebut pun gagal. 81 “Serangan Senjata Kimia Pemerintah Suriah,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/08/130821_suriah_kimia 82 Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah, hal. 184. 66 Sampai saat ini, Revolusi Suriah masih terus bergejolak. Jika dibandingkan dengan negara Arab lain, Revolusi Suriah terbilang sangat lama. c. Oposisi Pemerintah pada Suriah Spring Kelompok oposisi telah hadir jauh sebelum terjadinya Suriah Spring. 1. Free Syirian Army (FSA) adalah salah satu oposisi yang berperang melawan pemerintah Suriah. Kelompok ini dipimpin oleh adik dari Hafiz al-Asad, Rif‟ad al-Asad, yang pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad juga sempat melakukan kudeta namun gagal. Kelompok ini mendeklarasikan diri sebagai oposisi melawan pemerintah pada Juli 2011.83 2. Ikhwanul Muslimin yang sudah memberontak pada akhir 1970 dan awal 1980an. Keberadaan dan keanggotaan kelompok tersebut sudah dilarang oleh pemerintah Suriah terutama sejak tragedi Hama pada Februari 1982. Kelompok tersebut dipimpin oleh Ali Sadreddine al-Bayanouni. 3. Fron Penyelamatan Nasional (National Salvation Front/NSF) yang sebagian anggotanya juga merupakan anggota kelompok Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini dipimpin oleh mantan wakil presiden Abdul Halim Khaddam. 4. National Democratic Gathering (NDG) yang ikut memimpin demonstrasi tahun 1970an. Kemudian para ketua kelompok tersebut dijadikan tahanan politik (tapol) saat Hafiz al-Asad masih menjabat sebagai presiden, dan kembali lagi memimpin aksi massa pada pergolakan Suriah tahun 2011. 83 Philip Gamaghelyan, “A Caution against Framing Syria as an Assad – Opposition Dichotomy” (2013): hal. 104. 67 Kelompok tersebut merupakan koalisi politik sekular yang dibentuk pada akhir tahun 1979 oleh lima partai berhaluan nasionalis dan kiri ilegal yaitu, Uni Sosialis Arab Democratik, Partai Rakyat Demokratik Suriah, Gerakan Sosialis Arab, Partai Revolusioner Buru Partai Sosialis Arab Ba‟ath Demokratik, dan Partai Aksi Komunis. 5. Jabhah al-Nusrah. Kelompok ini disebut sebagai kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Kelompok ini ingin mendirikan Khilafah Islam setelah tumbangnya Bashar al-Asad. 68 69 BAB IV Analisa Konflik Suriah Pemberontakan di suatu negara dapat dijelaskan dengan menguji siapa yang memilliki atau tidak memiliki kemauan untuk memberontak melawan kelompok yang berkuasa. Begitupun di Suriah, pemberontakan dapat dikaji melalui seberapa besar kemauan oposisi rezim Al-Asad untuk turun tangan melawan rezim yang sedang berkuasa tersebut. Arab spring yang melanda negara-negara Timur Tengah telah memberikan dampak yang luar biasa bagi keadaan sosial maupun politik bagi Suriah. Kondisi saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi, kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan sosial, telah mendorong rakyat untuk berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan yang baru, ternyata tidak serta membuat Suriah kembali ke kondisi normal. Gelombang yang dimulai pada Desember 2010 di negara Tunisia dan kemudian menjalar ke negara-negara Timur Tengah lainnya termasuk Suriah, merupakan hasil dari sebuah proses panjang atas kebijakankebijakan pemerintah terhadap rakyatnya. Pada bab ini akan dijelaskan dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor pemicu terjadinya Suriah Spring. 70 1. Dinamika Konflik Suriah Gelombang Arab Spring yang dengan cepat menyebar melalui dunia maya, menyadarkan negara-negara lain bahwa otoritarianisme sudah tidak lagi relevan dengan keadaan sosial dan politik saat ini. Gelombang demokrasi yang semakin keras disuarakan oleh aktivis-aktivis pro demokrasi dan dengan cepat menyebar melalui media internet. Upaya penyebaran revolusi Arab Spring melalui internet sudah dilakukan oleh aktivis-aktivis pembebasan Tunisia dan Mesir pada saat gelombang protes di kedua negara tersebut berlangsung. Mereka seolah ingin menyadarkan rakyat Suriah untuk bangun dan bergerak melawan rezim otoriter. Pada awal Februari 2011, situs-situs sosial media seperti Facebook, Twitter di dalam maupun luar Suriah menyerukan dilakukannya demonstrasi besar-besaran di seluruh Suriah pada tanggal 4 dan 5 Februari 2011 untuk menuntut pemerintah segera melakukan reformasi. Para aktivis pro-demokrasi Tunisia dan Mesir mengirim sejumlah paket modem satelit, telepon seluler, computer, dan alat sosial media lainnya sebagai persiapan bila peristiwa besar seperti di Tunisia dan Mesir terjadi.84 Namun, menjelang hari tersebut para aktivis dihubungi dan diancam oleh intel dan pasukan keamanan untuk tidak melakukan demonstrasi tersebut. Tanggal yang ditentukan oleh aktivis di luar Suriah, 4 dan 5 Februari 2011, 84 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 97 71 mengingatkan mereka akan tragedi pemberontakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1982 di Hama.85 Tragedi tersebut membuat aktivis pro demokrasi di Suriah enggan melakukan demonstrasi karena yang mereka inginkan adalah perubahan secara damai, bukan perang saudara. Namun, saat terjadi penahanan terhadap kelimabelas anak-anak sekolah yang menulis graffiti “Ash-sha`b yurid isqat an-nizam” (Rakyat ingin menumbangkan rezim ini)86 segalanya berubah. Demonstrasi untuk menuntut keadilan kepada gubernur kota Deraa, Faisal Kalthoum dijawab dengan tindakan represif dari aparat keamanan. Situasi semakin keruh saat aparat keamanan menembaki para demonstran dengan senjata api. Insiden tersebut menimbulkan korban jiwa dari pihak demonstran. Sejak anak-anak tersebut ditahan oleh aparat keamanan, demonstrasi terus terjadi. Demonstrasi yang dilakukan kemudian tidak hanya menuntut pembebasan anak-anak tersebut, namun juga menuntut kebebasan politik. Para demonstran yang turun ke jalan tidak didengar aspirasinya dan dihadang kembali oleh petugas keamanan. Namun, mereka tetap melakukan hal tersebut karena pasca Damaskus Spring di awal tahun pemerintahan Bashar al-Asad, wadah aspirasi bagi rakyatnya 85 “1982 : Syria‟s President Hafez Al-Assad crushes renellion in Hama,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://www.theguardian.com/theguardian/from-the-archive-blog/2011/aug/01/hamasyria-massacre-1982-archive 86 “Arab Spring” artikel diakses pada 6 November 2013 dari http://www.wikipedia.com/ArabSpring.html 72 tidak ada lagi. Setelah keinginan para demonstran semakin beragam, pemerintah pusat mulai turun tangan. Bashar al-Asad mengirim delegasinya yang berasal dari kota Deraa untuk menemui keluarga anak-anak yang ditahan tersebut. Jendral Rustom Ghazali, salah satu anggota Intelijen Militer Suriah, menjamin kepada para penduduk kota tersebut bahwa keadaan akan kembali seperti sedia kala dan anakanak yang ditahan oleh aparat keamanan akan segera dibebaskan. Aparat keamanan yang telah bertindak brutal pun akan diberikan sanksi. Anak-anak yang dibebaskan ternyata mendapat penyiksaan dari petugas keamanan selama dalam tahanan dan hal tersebut membuat keluarga mereka marah dan memicu demonstrasi yang lebih besar. Rakyat yang akan berdemo memilih masjid sebagai tempat untuk berkumpul dan meyusun rencana, karena hanya masjid tempat yang tidak dicurigai sebagai tempat berkumpul. Pasukan pengamanan pemerintah kota Deraa menyerang masjid yang biasa dijadikan tempat berkumpul sebelum demonstrasi, Masjid Omari yang berada tepat di jantung kota Deraa. Pasukan pengamanan tersebut menembaki orangorang yang ada di dalam masjid. Penyerangan tersebut membuat graffiti-grafiti anti rezim semakin banyak dan tulisan pada graffiti pun semakin beragam seperti “Turunkan Rezim yang Korup”. 73 Upacara penguburan orang-orang yang menjadi korban penembakan di dalam Masjid Omari dijadikan momentum untuk mengungkapkan kekecawaan serta perlawanan tehadap rezim. Dari situ demonstrasi lahir semakin membesar dan mulai merambat ke daerah lain termasuk dua kota terbesar di Suriah, Damaskus dan Aleppo. 2. Faktor-faktor pemicu Suriah Spring 2011 Rentetan masalah akibat dari berbagai kebijakan pemerintah Suriah, baik selama pemerintahan Hafiz al-Asad maupun Bashar al-Asad, telah melahirkan sebuah gelombang revolusi di negara tersebu. Berikut peneliti akan membahas masalah apa saja dan kebijakan apa saja sehingga Suriah yang dianggap imun dari revolusi, justru menjadi negara yang paling lama mengalami perpecahan dan pemberontakan. a. Kebijakan Militer Suriah Kebijakan pemerintah Suriah pada pemerintahan Bashar al-Asad, banyak yang hanya meneruskan kebijakan pada masa ayahnya, Hafiz al-Asad, terdahulu. Kebijakan tersebut ada juga yang telah mengalami perubahan, seperti pendudukan tentara Suriah di Lebanon pada masa pemerintahan presiden Hafiz al-Asad yang pada pemerintahan Bashar al-Asad telah berkembang menjadi penarikan pasukan militer Suriah dari negara tersebut akibat biaya operasi militer dan tuntutan rakyat 74 Lebanon agar Suriah tidak perlu ikut campur akan masalah negara mereka.87 Kemudian, Tentara keamanan yang ditempatkan di luar wilayah suriah dan pasukan pengamanan untuk memata-matai segala aktivitas rakyat dibayar (40 dollar) sehari dan membuat negara harus menghabiskan sepertiga anggaran belanja negara untuk kebutuhan militer. Pemerintah Suriah jadi lebih memerhatikan kondisi militer ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Anggaran belanja Suriah menghabiskan 50 persen untuk mendanai kebutuhan pasukan militer. b. Kesenjangan Ekonomi Kesenjangan ekonomi yang dirasakan rakyat Suriah sejak masa pemeritahan Hafiz al-Asad, terus berlanjut hingga anaknya, Bashar al-Asad, memimpin. Hal tersebut diperparah dengan kondisi rezim yang penuh dengan korupsi dan pegawai-pegawai pemerintahan yang haus akan suap. Pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad, perekonomian Suriah tertinggal jauh dibawah negara-negara disekitarnya diiringi dengan permasalahanpermasalahan seperti korupsi, kelebihan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan jumlah lapangan kerja, inefisiensi atau tidak tepat guna dalam menelola keuangan negara. Pendapatan perkapita Suriah sekitar 1.000 dollar, berbeda jauh dengan Lebanon yang mencapai angka 3.000 dollar, dan Israel dengan 17.000 dollar. 87 Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 630. 75 Pengangguran diperkirakan berjumlah sekitar 22%, dan negara membelanjakan lebih dari 7% dari PNB88 dan hampir 50% dari anggaran adalah untuk pembiayaan militer dan pasukan keamanan. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya sumber daya alam, jumlah militer yang terlalu besar, berkurangnya bantuan luar negeri, korupsi, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu sekitar 3.15%.89 Ketika Bashar al-Asad mulai berkuasa, ia mewarisi kondisi perekonomian dari ayahnya. Kondisi perekonomian pada saat itu memang tidak baik. PDB per kapita turun selama 1980an dan tidak menunjukan perubahan hingga pada tahun 1990an. Kemudian, ia menjanjikan akan melakukan reformasi ekonomi. Pada tahun 2005, Bashar al-Asad memperkenalkan reformasi ekonomi yang disebut “ekonomi pasar sosial” yang mengalihkan perekonomian yang dikelola oleh pemerintahan menjadi perekonomian liberal. Liberalisasi ekonomi memberikan kemakmuran pada sejumlah kota besar seperti Damaskus dan Aleppo, namun tidak dapat merata dan menyebar ke daerah-daerah kecil atau pun kota-kota lain. Sistem ekonomi Suriah didominasi oleh tiga kelompok. Pertama, para manager di sektor publik, pengusaha kecil, dan kelompok pelindung pengusaha 88 Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode, biasanya selama satu tahun. Produk Nasional Bruto (GNP) Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional 89 Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 634. 76 yang juga tergabung dalam kelompok keamanan dan militer. Kelompokkelompok tersebut mendapat hak istimewa dalam perekonomian Suriah. Dan siapapun yang tergabung dalam pasukan militer atau pun pengamanan tidak akan tersentuh oleh hukum sehingga korupsi beredar di wilayah pasukan keamanan tersebut. Kesenjangan ekonomi semakin dirasa ketika tidak semua lapisan masyarakat dapat bergabung dengan pasukan keamanan tersebut, karena mahzab yang dianut juga berpengaruh dalam penerimaan untuk menjadi pasukan keamanan. Dari 200.000 tentara militer Suriah, sekitar 70% adalah Alawie. Korupnya sistem di Suriah juga terlihat dari para pegawai negeri yang akan bekerja hanya jika disuap, termasuk memberikan kuasa untuk mengantarkan barang dan jasa yang memang sudah kewajibannya. Pertumbuhan penduduk juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dan sumber daya alam yang semakin menipis. Pada tahun 1975, angka kelahiran mencapai 50 kelahiran hidup per 1000 orang.90 Angka kelahiran yang begitu tinggi adalah akibat dari kebijakan yang diterapkan pemerintah Suriah tentang pelarangan penggunaan alat kontrasepsi dan berpendapat bahwa angka pertumbuhan yang tinggi dan migrasi internal akan menjadi stimulasi kemajuan sosial dan ekonomi dalam kerangka pembangunan. Produksi minyak per hari pada tahun 2010 hanya 385.000 barrel, jauh di bawah tahun 1996 yaitu, 583.000 barrel.91Banyak industri-industri produktif yang 90 Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 87. Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal.123 91 77 sebelumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja muda dibongkar dibawah pemerintahan Bashar al-Asad, sehingga memperbanyak pengangguran pada usia kerja. Perekonomian diubah menjadi perekonomian rente yang dikontrol dan dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan rezim yang berkuasa. Perubahan iklim yang ekstrem sepuluh tahun belakangan ini membuat Suriah dan negara Timur Tengah semakin kering.92 Hal tersebut berpengaruh kepada sektor pertanian yang menghasilkan 20 persen GDP Suriah. Karena semakin buruknya kondisi perekonomian, muncul sikap ketidakpuasan terhadap rezim yang berkuasa mulai dari kelompok ekonomi terpinggirkan. c. Damaskus Spring 2001 Di awal pemerintahan Bashar al-Asad, para intelektual Suriah maupun pengamat luar negeri berasumsi bahwa pemerintahan yang dipimpinnya akan berubah menjadi lebih demokratis ketimbang masa pemerintahan ayahnya, Hafiz al-Asad. Asumsi tersebut didukung dengan pertimbangan bahwa Bashar al-Asad tidak memiliki latar belakang militer dan tumbuh di negara yang demokratis. Ia juga tidak dipersiapkan untuk menjadi presiden dan sedang menempuh pendidikan spesialis dokter mata. 92 Banyak wilayah di Suriah yang mengalami kekeringan akibat penurunan curah hujan. Banyak desa, kampong-kampung, dan ladang-ladang ditinggalkan, mengungsi ke wilayah-wilayah kumuh di kota-kota besar. Tahun 2009, International Institute for Sustainable Development mencatat akibat penurunan curah hujan dan langkanya cadangan air menyebabkan sekitar 160 desa di Suriah bagian utara pada periode 2007 – 2008, ditinggalkan penduduknya. Kekeringan juga mengakibatkan banyak ternak yang mati. Sumber Trias Kuncahyono hal 91-92. 78 Kampanye-kampanye anti korupsi pada awal Bashar masuk ke pemerintahan di saat ayahnya masih menjabat sebagai presiden juga mengindikasikan bahwa ia berbeda dengan ayahnya, sehingga saat ia berjanji menawarkan perubahan kepada rakyat Suriah, para pemuda dan kaum intelektual pun setuju untuk mendukungnya. Janji yang Bashar al-Asad berikan tentang kebebasan ditagih saat ia menjabat sebagai presiden. Bashar pun membuktikan dengan tidak mentolerir segala bentuk korupsi yang ada di pemerintahannya. Keterbukaan politik yang dijanjikan oleh Bashar al-Asad ditagih para intelektual Suriah. Intelektual Suriah yang tergabung dalam “Kelompok 99” dan “Friends of Civil Society” melayangkan surat terbuka untuk meminta kepada presiden segera menghentikan keadaan darurat dan darurat militer yang berlaku sejak tahun 1963, membebaskan para tahanan politik dan mengizinkan orangorang Suriah yang diasingkan untuk dapat kembali, serta mengabulkan kebebasan politik termasuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.93 Perkembangan selanjutnya terjadi forum-forum diskusi yang luas di berbagai tempat yang membahas tentang masyarakat sipil, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia. Permintaan selanjutnya datang dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Kelempok tersebut menyatakan keinginan serupa dengan kelompok sebelumnya dan menambahkan bahwa kepemimpinan Bashar tidaklah sah dan meminta untuk agar kepemimpinan dapat dipilih secara terbuka. Kemudian, ada penambahan 93 “99 group petition,” artikel diakses http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html 79 pada 5 Juli 2015 dari bahwa pergerakan tersebut harus mendapatkan status resmi di dalam negeri, karena sebelumnya menjadi anggota dari Ikhwanul Muslimin adalah terlarang dan dapat dijatuhi hukuman mati. Dari petisi-petisi tersebut, Suriah mengalami perubahan yang signifikan. Namun, setelah rezim Bashar al-Asad mengabulkan berbagai tuntutan tersebut, kalangan intelektual dan oposisi menginginkan lebih hingga penghapusan menyeluruh atas darurat militer.94 Setelah enam bulan semenjak pidato pengukuhannya sebagai presiden, dan segala perubahan yang ia setujui, Bashar al-Asad berubah pikiran dan Suriah kembali ke masa sebelum Bashar menjabat sebagai presiden. Forum-forum diskusi dibatasi dan harus mengikutsertakan petugas keamanan. Siapapun yang ingin menyelenggarakan pertemuan-pertemuan harus mengurus izin seminggu sebelumnya, dan menyertakan informasi tentan topic pembicaraan, pembicara, tamu undangan, dan materi pembicara. Kebebasan yang diberikan kepada rakyat Suriah pada saat itu dinilai sebagai kebebasan yang berlebihan sehingga dapat mengganggu stabilitas rezim dan negara. Pembungkam kelompok intelektual diperlukan agar keinginan mereka akan adanya perubahan dalam segi politik dan reformasi rezim terhenti. Berubahnya Damasus Spring menjadi Damaskus Winter tidak serta meredupkan pikiran-pikiran para pemuda dan kelompok intelektual yang pernah merasakan kebebasan sesaat yang diberikan rezim Bashar al-Asad. Kelompok oposisi lahir dan berkembang dari masa itu di luar Suriah dan menunggu 94 Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 637 80 momentum untuk kembali merasakan kebebasan tersebut. Mereka kembali menjadi aktivis pro demokrasi saat Arab Spring melanda sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara dan berusaha mengubah tatanan politik yang ada di negara tersebut. d. Konflik Sunni – Alawie di Suriah Setelah perang dunia pertama, aliansi kelompok yang menang dalam perang tersebut, Inggris dan Perancis, membagi provinsi Arab yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Ottoman menjadi beberapa bagian. Di bagian selatan tepatnya di Palestina, menjadi milik Inggris. Sedangkan di utara tepatnya di Suriah dan Lebanon menjadi miliki Perancis. Suriah dibagi lagi menjadi enam bagian yaitu; Aleppo, Hama, Horns, Damaskus, Jabal al-Druze, dan Latakia. Begitupun dengan Lebanon yang juga dibagi menjadi 4 bagian yaitu; Tripoli, Beirut, Sidon, dan Tyre.95 Selama kependudukan Perancis di Suriah dari tahun 1920 hingga 1946, sektesekte keagamaan bebas berkembang sehingga menimbulkan tekanan bagi Nasionalisme Arab dan menahan gerakan kemerdekaan di negara tersebut. Separatisme, partikularisme keagaamaan, dan primordialisme mendukung pengabulan otonomi daerah dimana kelompok minoritas menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Kelompok muslim Sunni yang mengembangkan paham Nasionalisme Arab 95 Ayse Tekdal Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria,” Proquest Journal diakses pada 3 Mei 2015, hal. 1. 81 merasa terancam atas kependudukan dan kebijakan Perancis maupun Kristen dan juga kelompok muslim yang dianggap menyimpang seperti Druze, Ismaili, dan Alawie. Tujuan politik dari kelompok Nasionalisme Arab (Pan Arab) ialah merdeka dan menyatukan seluruh negara-negara Arab di bawah satu naungan pemerintahan. Tujuan tersebut bertentangan dengan keinginan Perancis dan kelompok minoritas lain yang ada di Suriah. Karena, arogansi kelompok Sunni Arab akan membuat pemerintahan menjadi berkelas-kelas dan menomorduakan kelompok minoritas selain Sunni Arab sebagai kelompok Arab yang tidak sempurna. Oleh karena itu, pemerintah Perancis di Suriah memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok Druze, Alawie, dan beberapa kelompok minoritas lainnya. Pemerintah Perancis mengabulkan dua daerah otonomi di Suriah untuk dua kelompok minoritas Druze dan Alawie. Pada tahun 1922, wilayah Jabal al-Druze, yang berlokasi di wilayah Druze di selatan Damaskus, memproklamirkan diri berpisah di bawah perlindungan Perancis, dengan gubernurnya sendiri dan anggota kongres terpilih. Wilayah pegunungan di belakang Latakia, dengan populasi Alawie sebagai mayoritasnya, menjadi rezim administrasi khusus di bawah perlindungan Perancis dan memproklamirkan diri sebagai negara terpisah. Kebijakan “divide and rule” yang diterapkan pemerintah Perancis mencegah kelompok Nasionalis Arab menginfeksi daerah yang dihuni minoritas. Pemerintah pendudukan Perancis juga memutus tali antara oposisi nasionalis perkotaan dan 82 daerah pinggiran. Karena kebijakan ini pula, pergerakan nasionalis Suriah menemui kendala besar dalam memperluas aktivitasnya diluar Damaskus, Aleppo, Hama, dan Horms. Pemerintah Perancis, sebagai negara yang menguasai Suriah pada saat itu, tidak pernah melatih administrasi yang efisien dan elit yang berdedikasi dan justru malah mempersulit hubungan antara Sunni Arab sebagai mayoritas dan kelompok-kelompok minoritas. Hal tersebut karena sesungguhnya Perancis tidak ingin melepas kendalinya atas Suriah. Selanjutnya, Perancis berusaha mengikis tali antara etnis dan kaum religius Suriah, penempaan golongan satu dengan golongan lain sehingga masing-masing kelompok saling menyerang.96 Pemerintah Perancis di Suriah menerapkan aturan perihal keberagaman etnis dengan penempatan terpisah etnis-etnis di kepala cabang lembaga pemerintahan yang berbeda, dengan mengizinkan satu etnis atau kelompok keagamaan untuk dominan mewakili etnisnya dalam suatu lembaga. Kebijakan tersebut membuat kelompok Sunni Arab sangat dominan di dalam politik, petugas kepolisian, namun tidak terwakili dalam militer. Sebaliknya, etnis Circassian (Kaukasus) mengisi pasukan militer, namun tidak terwakili di dalam parlemen dan kepolisian. Kaum Alawie pun menduduki pasukan militer, namun tak terwakili di politik dan petugas kepolisian. Karakteristik kehidupan politik di Suriah ialah penuh kisruh persaingan antar elite politik itu sendiri, di dalam kota atau antara pemimpin di lain kota, atau 96 Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 2. 83 antara pemimpin perkotaan dengan pedesaan. Kelompok Nasionalis Arab menghadapi sebuah pertentangan antara persatuan Pan-Arab dan kepentingan lokal. Sebelum merdeka, gerakan nasionalis Suriah terwakili di Blok Nasional (alKutla al-Wataniya), sebuah persatuan veteran dari berbagai latar belakang dan tertarik untuk bersatu berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Ketika kependudukan Perancis berakhir, kelompok Sunni yang tinggal di perkotaan mewarisi pemerintahan Suriah dari Perancis. Pasca kemerdekaan, pemerintahan Suriah berangsur-angsur menghapuskan wilayah minoritas serta wakilnya di parlemen, dimana mereka mendapat keuntungan semasa pemerintahan Perancis. Langkah tersebut ialah menghapuskan beberapa kebijakan hukum yang mengabulkan entitas kaum Alawie dan Druze pada masa kepemimpinan Perancis. Penghapusan kebijakan yang berlandaskan hukum tersebut dalam rangka mendirikan pusat kekuasaan di Damaskus guna menyalakan pertentangan antar minoritas. Penguasa-penguasa Sunni di Damaskus menyatukan Latakia kedalam negara Suriah dan menghapuskan negara bagi kaum Alawie. Kursi untuk kaum Alawie di Parlemen dan pengadilan tinggi yang menggunakan hukum Alawie juga dihapuskan. Saat itu, kaum Alawie sebagai minoritas tanpa dukungan Perancis berdamai atas kebijakan tersebut guna mendapatkan kewarganegaraan Suriah. 84 1. Turning Point Kelompok Alawie Kelompok Alawie merupakan kelompok minoritas miskin dan terpinggirkan di Suriah bahkan sejak negara tersebut dikuasai oleh kerajaan Ottoman. Kaum Alawie yang lebih dikenal dengan Nusayris atau Ansaris. Nama tersebut diubah oleh Perancis, saat negara tersebut menduduki Suriah. Pendudukan Perancis memposisikan negara Alawie, Latakia, pada 1 Juli 1922. Kaum Alawie juga memperoleh otonomi yang legal. Kaum Alawie merupakan golongan petani miskin di Suriah, yang bekerja untuk kelompok tuan tanah Sunni dan Kristen di pegunungan di daerah Latakia. Efek politik atas kemiskinan diperburuk dengan kondisi geografis yang jauh dari perkotaan. Kelompok Sunni yang hidup di daerah perkotaan sangat menikmati kekayaan dan menguasai buruh tani dan petani Alawie. Semasa pendudukan Perancis di Suriah, negara tersebut membentuk sebuah pasukan keamanan yang disebut Troupes Speciales du Levant, sebuah pasukan militer lokal yang terbentuk pada tahun 1921 dan kemudian dikembangkan menjadi pasukan keamanan Suriah-Lebanon. Pemerintah Perancis juga menggunakan prinsip “divide and rule” pada saat seleksi penerimaan pasukan Troupes Speciales du Levant. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah kelompok-kelompok etnis dari mendapatkan posisi kekuasaan penuh sehingga membahayakan kedudukan Perancis di Suriah. Dalam usahanya, pasukan militer mengembangkan sebuah pedesaan yang kuat dari keterwakilan minoritas, dengan detasemen khusus yang terdiri atas 85 kaum Alawie, Druze, Kurdi, dan Circassian (Kaukasus). Perancis menganggap pasukan dari minoritas pedesaan yang jauh dari wilayah perkotaan karena warga urban yang mayoritas Sunni Arab telah didominasi ideologi Nasionalis Arab, sehingga lebih menjadi kendala baru bagi Perancis jika tetap ingin mengambil hati kaum urban Suriah. Kebijakan Perancis atas penerimaan pasukan militer mengakibatkan perlemahan pada pasukan nasionalisme Arab Sunni yang dahulu digunakan untuk menantang pendudukan negara tersebut. Sehingga, representasi Arab Sunni pada pasukan militer lebih rendah dari jumlah populasinya di Suriah. Pasukan Troupes Speciales du Levant digunakan untuk memelihara perintah dan menekan pemberontakan lokal. Pasukan tersebut secara luas terdiri dari kaum-kaum minoritas, yang aktivitasnya mengarah pada kebencian dengan Sunni.97 Kondisi tekanan ekonomi membuat pasukan keamanan sebagai kendaraan gerakan sosial kaum Alawie. Menjelang akhir kependudukan Perancis, beberapa infantri dan battalion tersusun hampir sepenuhnya diisi oleh kaum Alawie. Tidak satu pun battalion yang tersusun sepenuhnya berisi Sunni Arab. Namun ada beberapa battalion yang diisi sejumlah Sunni Arab yang biasanya berasal dari wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan. Kelompok Sunni Arab yang kaya seperti tuan tanah, yang memimpin pergerakan nasionalis Arab selama kependudukan Perancis, secara tidak langsung menguatkan 97 Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 3. 86 kecenderungan terhadap representasi kuat atas minoritas pada pasukan Troupes Speciales du Levant dengan menolak untuk mengirim putra-putra mereka untuk mendapatkan latihan militer, walau sebagai perwira, pada pasukan yang mana mereka lihat untuk melayani kepentingan pemerintah Perancis. Walaupun kelompok Alawie merupakan kelompok yang hidup dibawa garis kemiskinan pada saat itu, dengan pendapatan perhari seorang buruh tani sebesar 22 piastres sedangkan standar biaya hidup mencapai 50 piastres, pemuda Alawie sangat memanfaatkan kesempatan mereka di dunia militer Suriah. Pendapatan kecil namun rutin yang mereka dapatkan sebagai pasukan keamanan membuat mereka disiplin, terlatih, dan membuka gagasan-gagasan baru bagi kemajuan pasukan tersebut. Bagi kaum Alawie saat itu, melayani pemerintah Perancis membuat permulaan peluang besar bagi perubahan nasib kaum Alawie. Walaupun kelompok Alawie banyak mengisi pasukan militer, pangkat mereka hanyalah kopral, sersan, dan perwira muda sebelum akhirnya diambil alih oleh partai Ba‟ath pada tahun 1963. Pada sisi lain, kelompok yang paling penting, yang menjalankan politik dan strateginya dan menjadi bagian penting dari infantry battalion adalah kelompok Sunni. Pemimpin-pemimpin Sunni rupanya percaya bahwa melayani posisi atas untuk mereka sendiri akan mencukupi untuk mengambil alih militer. Pemimipin tiga kudeta pertama antara 1949 hingga 1954 semuanya dari 87 kelompok Sunni. Pada periode antara 1954 dan 1958, ketika negara Suriah dengan Mesir bersatu menjadi Persatuan Republik Arab (United Arab Republic) didirikan, para petugas kepolisian dibagi kedalam golongan yang saling berlawanan. Perjuangan antara perwira senior Sunni diperlemah oleh keterwakilan kelompok Sunni pada kesatuan militer dan memperkuat minoritas yang sebagaian besar berada pada kesatuan tersebut. Saat perwira Sunni saling mengeliminasi satu sama lain, kelompok Alawie mulai mewarisi posisi mereka dan mengalami kenaikan jabatan. Saat ada satu saja anggota Alawie yang menduduki jabatan penting dalam kesatuan tersebut, ia segera menarik kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan di sekelilignya. Dua institusi pemerintahan yang memainkan peran utama, militer dan partai Ba‟ath, selanjutnya di kuasai oleh kelompok Alawie hingga mereka dapat menambah kekuasaan dan akhirnya mengambil alih kehidupan politik Suriah. Keinginan untuk bersatunya negara-negara Arab mulai dijalankan kelompok Nasionalis Arab yang memerintah Suriah setelah Perancis menarik mundur pasukannya dari Suriah pada April 1946. Selama bergabungnya Suriah dengan Mesir menjadi satu pemerintahan (1958-1961)98, seluruh partai politik yang dulunya berkembang di Suriah dilarang. Namun, larangan tersebut tidak dindahkan oleh beberapa orang yang termasuk ke dalam golongan Alawie. Dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia, mereka tetap menjalankan roda organisasi Ba‟ath tersebut. Mereka percaya suatu hari 98 Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 5 88 Suriah akan kembali melepaskan diri dari persatuannya dengan Mesir. Tahun 1961, Suriah menyatakan berpisah secara pemerintahan dengan Mesir. Dalam keadaan sebagai negara baru yang kosong pemerintahan partai Ba‟ath, yang dulunya secara sembunyi-sembunyi berjalan, hadir sebagai satusatunya partai yang siap memimpin Suriah. Dominasi golongan militer dalam partai Ba‟ath memiliki akar pada saat Suriah dan Mesir bersatu. Pemimpin kelompok; Salah Jadid, Hafez al-Asad, Muhammad Umran, kesemuanya merupakan anggota Alawie, dan Hamad Ubayd merupakan kelompok Druze. Tujuan dari organisasi adalah memulihkan pasukan Suriah kedalam kekuasaan Suriah. Anggota organisasi rahasia ini belakangan diketahui sebagai anggota militer, yang tidak termasuk ke dalam struktur pengurus partai Ba‟ath, namun saat organisasi tersebut kosong, kepengurusan partai diambil alih oleh mereka. Saat akhirnya kelompok Alawie dapat menguasai kehidupan politik di Suriah, mereka memanfaatkan dengan memberi posisi-posisi strategis dalam militer dan pemerintahan kepada sanak keluarga mereka. Orang-orang yang dekat walau bukan keluarga pun dapat menikmati kesempatan merasakan kemudahan berbisnis di negara tersebut. Kekuasaan yang diperoleh kelompok Alawie sangat dimanfaatkan dengan baik. Dahulu saat Suriah masih dikuasai kerajaan Ottoman kemudian dikuasai oleh Perancis, kelompok Alawie terkenal sebagai rakyat kelas paria yang hanya akan berprofesi sebagai buruh tani atau pekerja kasar lainnya tanpa 89 pendidikan yang memadai. Pada tahun 1970, Hafez al-Asad menguasai Partai Ba‟ath dan kemudian menjadi presiden. Saat ia berkuasa, Hafez al-Asad berusaha memperkuat posisinya melalui kekuasaan Partai Ba‟ath yang sekular. Beberapa kelompok, terutama dari kalangan Sunni, menentang kebijakan sekular yang dijalankan Partai Ba‟ath. Tahun 1976 hingga 1982, kelompok Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) memimpin pemberontakan melawan rezim di kota Hama. Kemudian, pada Februari 1982 pemerintah Suriah membombardir kota tersebut hingga sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani untuk menentang rezim Hafez al-Asad. Setelah 30 tahun menjabat sebagai presiden, karena faktor usia, Hafez alAsad meninggal dunia pada 10 Juni 2000. Setelah meninggal, Bashar al-Asad, melanjutkan tampuk kepemimpinan yang diberikan ayahnya dengan cara mengubah konstitusi negara tersebut yang menetapkan usia minimum presiden pada usia 40 menjadi 34, sesuai dengan usia Bashar saat itu. Kemudian pada 10 Juli 2000, diadakan referendum nasional untuk pemilihan calon tunggal Bashar al-Asad sebagai Presiden Suriah.99 99 M. Hamdan Basyar, “Krisis Suriah dan Pengaruhnya Bagi Dunia Islam,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://ismes.net/2013/01/krisis-suriah-dan-pengaruhnya-bagi-dunia-islam/ 90 Semasa pemerintahan Hafez al-Asad yang kemudian dilanjutkan oleh Bashar al-Asad, pendidikan untuk kelompok minoritas, terutama Alawie, pun membaik. Terbukti dengan universitas-universitas di Suriah kini diisi oleh dosen-dosen dari kelompok Alawie. 91 BAB V Penutup Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab yang merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab telah membawa dampak besar kepada politik dan ekonomi dunia. Rangkaian revolusi ini terjadi di seluruh Timur Tengah juga Afrika Utara sejak 18 Desember 2010. Suriah, negara diprediksi memiliki tingkat kekebalan tinggi dari pemberontakan, ternyata tak luput dari pemberontakan dan gejolak Arab Spring hingga saat ini. A. Kesimpulan Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Asad yang sudah memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk mendapat kedaulatan dari rakyatnya. Revolusi yang bermula terjadi di Tunisia dan Mesir dengan cepat menyebar ke negara lain akibat dari kemajuan teknologi internet. Para aktivis maupun pemuda di negara Timur Tengah lainnya dapat dengan mudah mengakses segala kejadian yang diunduh para pejuang demokrasi di negara Tunisia dan Mesir, serta berbagai ajakan di media sosial lainnya untuk ikut menumbangkan rezim yang sedang memerintah. Walaupun kemudian pemerintah berusaha menggagalkan aksi mereka dengan mengancam para aktivis pro demokrasi, namun hal tersebut tidak menghalangi langkah mereka dalam mengupayakan perubahan dalam negeri. 92 Berselang beberapa bulan, penahanan 15 anak sekolah di kota Deraa akibat mencoret-coret dinding dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el nizam (rakyat ingin menumbangkan rezim) membuat geram para orang tua sehingga melahirkan protes di kota tersebut. Tuntutan yang dilayangkan para orang tua ditanggapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan sehingga menyulut api kebencian dan melahirkan protes yang lebih besar. Rakyat menggunakan masjid sebagai tempat konsolidasi sebelum demonstrasi, karena hanya masjid tempat yang tidak dicurigai sebagai tempat berkumpul. Kemudian, kebijakan militer juga ikut berpengaruh atas kondisi Suriah saat itu. Penempatan mata-mata untuk rakyat yang dibayar hingga 40 dollar per hari dan kebijakan darurat militer membuat anggaran belanja negara 50 persen digunakan untuk kebutuhan militer tersebut. Selanjutnya, setelah kepemimpinan Hafiz al-Asad, strata sosial di Suriah menjadi terbalik dengan kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie menguasai baik itu militer, disusul dengan pemerintahan, kemudian ekonomi. Kemudahan bisnis yang dirasakan oleh kelompok Alawie dan kerabat-kerabat terdekat rezim tidak dirasaka pula oleh mayoritas warga Suriah yang beraliran Sunni. Hal tersebut membuat kesenjangan ekonomi semakin hari semakin besar. 93 Ditambah dengan korupsi, kelebihan tenaga kerja, dan inefisiensi atau tidak tepat guna dalam mengelola keuangan negara membuat keadaan negara semakin terpuruk. Kemudian, para intelektual Damaskus Spring yang pernah ada di awal pemerintahan Bashar al-Asad juga berperan penting dalam revolusi di Suriah. Para intelektual yang sempat berkembang pemikirannya kemudian dikungkung kembali membuat benih-benih kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers ingin mereka rasakan kembali. Suriah Spring menjadi momentum penting bagi mereka untuk mengulang kembali kenyamanan kebebasasan berekspresi, berpolitik, dan kebebasan pers seperti di negara lain. Selanjutnya, konflik Sunni dengan kelompok Alawie di Suriah menjadi alasan mendasar sikap anti rezim yang ditunjukkan oleh mayoritas rakyat Suriah. Kelompok Sunni Arab yang merasa derajatnya lebih tinggi ketimbang kelompok mahzab lain di negeri Arab, menginginkan negara persatuan dan menyingkirkan kelompok-kelompok minoritas yang dianggap murtad. Sikap tersebut membuat strata sosial yang hampir absolut hingga datang pemerintah Perancis dan merangkul kelompok minoritas. Kesempatan tersebut digunakan dengan baik oleh kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie hingga dapat menguasai pemerintahan, kemudian membalikkan keadaan dimana kelompok Alawie berkuasa atas kelompok Sunni. 94 B. Saran Cronycracy (pemerintahan yang berdasarkan kekerabatan) yang diterapkan oleh rezim al-Asad takkan membawa dampak baik yang berkepanjangan baik untuk rezim itu sendiri maupun rakyat Suriah secara luas. Sejatinya hal tersebut hanya akan membuat rasa iri yang semakin besar bagi kelompok yang terpinggirkan. Keberadaan intelejen di tengah-tengah masyarakat pun hanya akan memperbesar anggaran belanja negara di bidang keamanan tanpa melihat keamanan yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat adalah keamanan dari penindasan pasukan keamanan. Dalam konteks konflik Suriah, ada kelompok yang memanfaatkan status quo yang mereka peroleh untuk mendapatkan keuntungan atas kelompok lain. Hal tersebut sah saja selama regulasi di negara tersebut tidak tumpang tindih dan memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Seyogyanya rezim al-Asad tidak lagi menerapkan kebijakan devide and rule seperti yang diterapkan pemerintah Perancis, karena tidak akan menjaga keutuhan negara dengan memecahbelah rakyatnya sendiri. Sudah waktunya pemerintahan Bashar al-Asad menerapkan kesetaraan dan pemerataan ekonomi, serta disusul dengan hal-hal lain yang juga mendukung keamanan dan kesejahteraan rakyat seperti, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan politik. 95 Daftar Pustaka ABM, M. Agastya. Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah. Jogjakarta : Penerbit IRCiSoD, 2013. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005. Fildis, Ayse Tekdal. “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria.” Proquest Journal diakses pada 3 Mei 2015 Gamaghelyan, Philip. “A Caution against Framing Syria as an Assad – Opposition Dichotomy,” Turkish Policy Quarterly, March 2013: h. 104. Ghadbian, Nadjib. “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria.” Middle East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) h. 626-634 Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam . Penerbit Tiara Wacana, 2001. Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Penerjemah Sahat Simamora. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994. Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta : Erlangga, 2009. Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1984. Kuncahyono, Trias. Musim Semi di Suriah: Anak-anak Penyulut Revolusi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012. 96 Lipset, Saymour Martin dan A. Solari. Elites in Latin America. Dalam J.W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Penerjemah Soekadijo. Jakarta: PT Gramedia, 1982: h. 128. Mulkan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali, 1989. S. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung : Tarsito, 2003. S.P. Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. Shibudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Hikmah Publishing House, 2007. N Stearns, Peter dan Langer, William Leonard. “The Middle East.” Dalam Ensiclopedia of World History. London : Houghton Mifflin Books, h. 761. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. 5th ed. Jakarta : UI-Press, 2008. Soekanto, Soerjono. Kumpulan istilah-istilah Sosiologi. Jakarta: UI Fakultas Ilmu- ilmu Sosial, 1977: h. 51. Dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988: h. 63. Surbekti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1992. Sulaeman, Dina Y. Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasiona. Depok: Pustaka Iman, 2013. Sumber Website “99 group petition,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html “1982 : Syria‟s President Hafez Al-Assad crushes renellion in Hama,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://www.theguardian.com/theguardian/from-thearchive-blog/2011/aug/01/hama-syria-massacre-1982-archive 97 “Arab Spring.” artikel diakses pada 6 November 2013 dari http://www.wikipedia.com/ArabSpring. Html Deutsche Welle. “Penarikan Pasukan Suriah dari Lebanon.” Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.dw.de/penarikan-pasukan-suriah-dari-lebanon/a2957553 Deutsche Welle. “AS Jatuhkan Sanksi Terhadap Suriah.” Artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari http://www.dw.de/as-jatuhkan-sanksi-terhadap-suriah/a 2953511 Basyar, M. Hamdan. “Krisis Suriah dan Pengaruhnya Bagi Dunia Islam,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari http://ismes.net/2013/01/krisis-suriah-danpengaruhnya-bagi-dunia-islam/ 98