konflik suriah pada saat arab spring 2010

advertisement
KONFLIK SURIAH PADA SAAT ARAB SPRING 2010
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Raisa Rachmania
1110033200004
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ABSTRAK
Raisa Rachmania
1110033200004
Konflik Suriah Pada Saat Arab Spring 2010
Skripsi ini menganalisa konflik yang terjadi di Suriah dalam kurun waktu
terjadinya Arab Spring 2010 hingga pemilihan presiden Suriah pada tahun 2014 yang
kembali dimenangkan oleh Bashar Al-Asad. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui alasan terjadinya konflik di negara yang sempat diprediksi sebagai salah
satu negara dengan imunitas yang tinggi di Timur Tengah dan alasan dibalik
bertahannya kekuasaan Bashar Al-Asad dalam konflik internal di Suriah.
Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Peneliti menemukan, bahwa
Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Al-Asad yang sudah
memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk mendapat
kedaulatan dari rakyatnyadanpengaruh Arab Spring yang berawal di Tunisia dan
Mesir membuat semangat para aktivis untuk menumbangkan rezim pemerintahan AlAsad semakin besar. Argument ini dirumuskan melalui tahapan analisa, yaitu dengan
melihat kebijakan awal masa pemerintahan Bashar Al-Asad, kemudian melihat
dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor pemicu terjadinya Suriah Spring dan
selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teori.Kerangka teori yang
digunakan dalam skripsi ini adalah teori antagonisme politik dan teori elit politik.
Hasil temuan dari penelitian ini diketahui bahwa permasalah mahzab menjadi
faktor awal konflik ini yang dimulai sejak masa kependudukan Perancis atas Suriah
yang kemudian disusul dengan kesenjangan sosial dan faktor ekonomi sehingga lahir
konflik Suriah pada 2011.
I
KATA PENGANTAR
Penelitian ini bermula dari rentetan peristiwa dalam Arab Spring yang terjadi
sejak tahun 2010 yang hingga saat ini masih belum terselesaikan di beberapa negara
Timur Tengah dan Afrika Utara. Salah satu dampak dari peristiwa tersebut hingga
saat ini adalah bergolaknya pemberontakan melawan rezim pemerintahan di negara
Suriah, negara yang dianggap memiliki tingkat keamanan dan stabilitas politik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara
lainnya. Tidak seperti Mesir, Tunisia, Libya, yang dapat menumpas pemberontakan
hanya dalam hitungan bulan, Suriah hingga saat ini masih berkutat dengan
perlawanan untuk menumbangkan rezim Al-Asad. Pemberontakan yang meningkat
menjadi perang sipil yang telah memakan waktu hampir 5 tahun ini, telah
memberikan perhatian lebih kepada penulis untuk melihat fenomena tersebut secara
komprehensif. Suriah menjadi pilihan karena kekuatan rezim Al-Asad yang mampu
mempertahankan status quo saat konflik berkepanjangan melanda negara Suriah,
tanpa sedikitpun berpikir untuk menarik diri dari pemerintahan. Konflik Suriah
merupakan buah dari berbagai masalah tak terselesaikan sejak munculnya negara
Suriah. Penelitian ini membuktikan hal tersebut.
Selama menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini, dengan izin Allah SWT,
banyak orang serta lembaga yang turut membantu penulis dalam mengerjakan tugas
ini. Tanpa bantuan mereka, sangat sulit dibayangkan penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf karena tidak
II
dapat menyebutkan satu-persatu di bagian ini. Akan tetapi, penulis harus
mengucapkan terima kasih kepada beberapa diantara mereka.
Pertama dan utama, Ali Munhanif, Ph.D selaku Kepala Program Studi Ilmu
Politik dan pembimbing penelitian skripsi ini sejak masih berada dalam konsep
hingga penelitian ini selesai. Melalui diskusi intelektual dan berbagai referensi yang
beliau berikan, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis merasa
sangat beruntung memiliki pengalaman dibimbing oleh dosen seperti beliau. Di
tengah kesibukannya, beliau dengan rendah hati melakukan pengeditan keseluruhan
draft penelitian penulis dan juga memotivasi penulis sehingga mendorong penulis
untuk menyelesaikan penelitian ini. Tanpa bantuan beliau, mungkin hasil penelitian
ini kurang memiliki nilai ilmiah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zaki
Mubarak M.Si dan A. Alfajri MA yang telah bersedia menguji penelitian ini.
Terima kasih pula penulis berikan kepada Dewan Penguji Proposal Skripsi,
yaitu Iding Rosyidin, MA dan Suryani Sua’eb, M.Si yang bersedia menguji proposal
penelitian penulis. Selain itu, penulis haturkan terima kasih atas dorongan dari
Sekertaris Program Studi Ilmu Politik, Zaki Mubarak, M.Si dan dosen-dosen yang
turut memberikan masukan dan referensi, yaitu Armen Daulay M.Si dan Dr. Bakir
Ihsan, yang telah membantu penulis mengembangkan ide-ide dan teori untuk
penelitian ini. Di samping itu, terima kasih pula penulis berikan kepada Prof. Bachtiar
Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Berkat nuansa akademis yang ditularkannya sehingga
III
memberikan semangat intelektual kepada penulis. Penelitian ini juga tidak akan
selesai tanpa bantuan Yoselin, M.Psi yang telah memberikan kemudahan akses jurnal
untuk menambah referensi penelitian ini.
Kepada Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Pasca Sarjana UI,
Perpustakaan Paramadina, Perpustakaan Al-Hidayah Kebayoran Lama, dan Lembaga
Pusat Kajian DPR RI senantiasa memberikan kebutuhan penulis akan buku-buku dan
artikel terkait dengan penelitian ini. Tanpa bantuan dari instansi tersebut, penulis
tidak akan mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman Program Studi Ilmu
Politik UIN angkatan 2010; Imam Utomo, Ahmad Hidayah, Herman Afrianto, Umar,
Aliya, Abudan, Abdau, dan semua yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu, yang
telah saling mendukung dan melakukan perjuangan bersama-sama untuk menggapai
cita-cita dan harapan masing-masing. Terima kasih khusus penulis berikan kepada.
Halil sahabat yang ada di kala susah maupun senang, yang telah bersedia memberi
masukan dan arahan untuk penelitian ini, Eri, S.Sos dan Siswo Mulayartono, S.Sos,
atas motivasi dan bantuannya dalam memberikan berbagai referensi terkait penelitian
ini.
Terakhir, terima kasih penulis berikan kepada seluruh keluarga besar yang
selalu menerima penulis di setiap keadaan. Orangtua penulis, Pupu Abdul Gofur dan
Afiati Gofur S.Pd, yang dengan kasih sayang selalu mendukung penulis untuk selalu
IV
menyelesaikan tanggung jawab dan jalan yang telah dipilih penulis. Terima kasih
kepada kakek tercinta, Sis Suseno Tjakradisurya, dan semua paman-bibi penulis,
Endang Abdurrahman Manan, Aminah, Dra. Iis Rosyidah, Asti Taslimah, S.Hum,
dan Iman Santosa, S.E atas doa dan dukungan baik moril maupun materil. Terima
kasih kepada saudara penulis Nadhira Gofur dan (Alm) Ibrahim Ahmad, yang telah
bersedia mendengarkan luapan ide-ide penulis dan juga bersedia mengajarkan penulis
arti berbagi dan menyayangi. Samluck Mueeza dan Makki, kucing-kucing yang kini
menjadi bagian dari keluarga dan hidup penulis, pun telah memberikan hiburan
tersendiri di tengah kejenuhan yang melanda selama penelitian ini berlangsung.
Terima kasih dan sanjungan juga penulis berikan kepada partner of life, Doni
Romdoni, atas kesabaran, ketabahan, kasih sayang, serta dukungan baik moril
maupun materil yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Semoga semua yang telah membantu penulis mendapatkan balasan
yang sesuai dari Allah SWT. Aamiin.
Ciputat, Tangerang Selatan
18 Juni 2015
V
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................................................... I
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. II
DAFTAR ISI................................................................................................................................ VI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ...........................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………… ..7
D. Tinjauan Pustaka ………………………….…………………………………. 7
E. Metodologi Penelitian ……………………………………………..………….8
F. Sistematika Penulisan …………………………………………….…………10
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Teori Antagonisme Politik …………………..……………………………...12
 Tingkat Individual ………………………………….……………….13
 Tingkat Kolektif…….……………………………………………….24
B. Teori Elit Politik.…………………………………………………………….33
BAB III
SURIAH SPRING
A. Lahirnya Negara Suriah ……………………………………….……………39
B. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad………….……………...…43
C. Pemerintahan Bashar Al-Asad………………………………………………46
D. Suriah Spring ……………………………………………………………….61
BAB IV
ANALISA KONFLIK SURIAH
A. Dinamika Konflik Suriah ……………………………………….…………..71
VI
B. Faktor-faktor Pemicu Suriah Spring 2011 …………………………...……..74
1. Kebijakan Militer Suriah ……………………………………………….74
2. Kesenjangan Ekonomi ………………………………………………….75
3. Damaskus Spring 2001 …………………………………………………78
4. Konflik Sunni – Alawie di Suriah ……………………………………...81

BAB V
Turning Point Kelompok Alawie …………………....………….….85
PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………..……………………………..92
B. Saran ………………………………………………………………………..95
DAFTAR PUSTAKA …………………..……………………………………………………..96
VII
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring, secara
harafiah berarti pemberontakan Arab) merupakan gelombang revolusi unjuk
rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Meski demikian, tidak semua pihak
yang terlibat dalam protes merupakan bangsa Arab.
Rangkaian ini terjadi di sebagian besar negara-negara Timur Tengah juga
Afrika Utara. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia
kemudian diikuti Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di
Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko,
dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi,
Sudan, dan Sahara Barat.
Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh
kebangkitan dunia Arab tersebut. Protes dilakukan dengan cara pemberontakan
sipil, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook,
Twitter, YouTube, dan Skype. Upaya tersebut dilakukan dengan mengorganisir,
berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan
dan penyensoran internet oleh pemerintah.
Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan
pengunjuk rasa pro-pemerintah. Pengunjuk rasa di dunia Arab itu
menggunakan slogan Ash-sha`b yurid isqat an-nizam (Rakyat ingin
1
menumbangkan rezim ini).1
Rangkaian protes ini berawal dari peristiwa yang terjadi di Tunisia pada
17 Desember 2010. Yakni peristiwa pembakaran diri Mohamed Bouazizi2
sebagai protes atas korupsi dan kesewenangan sikap pemerintah Tunisia.3
Protes di Tunisia menuai kemudian menginspirasi gelombang kerusuhan
yang menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke negaranegara lain. Umumnya, unjuk rasa terbesar dan terorganisir terjadi pada "hari
kemarahan". Yakni, hari Jumat setelah shalat Jumat. Protes itu juga mendorong
kerusuhan sejenis di luar kawasan Arab.
Pada Juli 2011, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan dua
kepala negara, yaitu Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang melarikan
diri ke Arab Saudi pada 14 Januari setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir,
Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18
hari protes massal yang mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun.
1
“Arab
Spring”
artikel
diakses
pada
6
November
2013
dari
http://www.wikipedia.com/ArabSpring. html
2
Mohammed Bouazizi adalah seorang pemuda berusia 26 tahun yang berprofesi sebagai
pedagang sayur dan buah-buahan di kota Sidi Bou Zid, 300 meter kilometer dari selatan Tunis,
Tunisia. Jum‟at, 17 Desember 2010, ia melakukan pembakaran diri di depan gedung pemerintahan
setempat, sebagai protes atas penguasa yang korup. Kejadian tersebut bermula ketika dirinya yang
akan berjualan, dihentikan oleh seorang polisi wanita bernama Fetya Hamdi, karena Bouazizi
dituduh tidak memiliki izin untuk berjualan. Kemudian polisi tersebut menampar dan mengobrakabrik dagangannya. Tidak terima akan perlakuan tersebut, Bouazizi bermaksud untuk melaporkan
hal tersebut kepada wali kota setempat. Namun, seorang resepsionis di kantor wali kota
mengatakan bahwa wali kota sedang rapat sehingga Bouazizi tidak dapat menemuinya. Kemudian,
Bouazizi pergi ke sebuah toko dan membeli bensin. Tanpa piker panjang lagi ia menuangkan
bensin tersebut pada seluruh tubuhnya dan menyulut tubuhnya dengan korek api. Keesokan
harinya, Menobia, ibu Bouazizi melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh polisi wanita
tersebut terhadap anaknya ke kantor wali kota. Namun, keluhannya tidak mendapat respon,
sehingga ia melakukan protes sendirian di luar gedung. Sepupu Boazizi, Ali Bouazizi, merekam
protes yang dilakukan oleh Menobia dan mengunggahnya ke Internet, dan pada hari yang sama
awak jaringan televise Al Jazeera mengambil dan menayangkannya dalam televisi, sehingga
seluruh dunia mengetahuinya dan membuat rakyat berani untuk melawan rezim yang sedang
berkuasa, Presiden Zine Al-Abidine Ben Ali.
3
M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD,
2013)., hal. 33.
2
Selama
periode
kerusuhan
regional
tersebut,
beberapa
kepala
pemerintahan mengumumkan keinginannya untuk tidak mencalonkan diri lagi
setelah masa jabatannya berakhir. Misalnya, Presiden Sudan Omar al-Bashir
mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015. Begitu pula
Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya akan berakhir
tahun 2014, meski pengunjuk rasa menuntut pengunduran dirinya sesegera
mungkin. Di sisi lain, pemimpin Libya Muammar al-Khadafi menolak
mengundurkan diri dan mengakibatkan perang saudara antara pihak loyalis dan
pemberontak yang berbasis di Benghazi.4
Di Suriah juga terjadi hal yang serupa hingga saat ini masih berjalan.
Pada awalnya, Suriah merupakan negara yang relative lebih stabil dibanding
negara-negara Arab lainnya saat terjadi Arab Spring, namun pada 6 Maret 2011
muncul sebuah perlawanan di kota Deraa yang dilakukan oleh para orang tua
yang anak-anaknya ditahan oleh polisi setempat karena membuat grafiti di
dinding sebuah bangunan dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam
(Rakyat ingin menumbangkan razim).5 Lima belas orang anak sekolah yang
dianggap melakukan pembuatan grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian
setempat.
Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara.
Hal tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat
demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur
4
M. Agastya ABM, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah (Jogjakarta : IRCiSoD,
2013)., hal. 107.
5
Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2012), hal. 114
3
setempat.
Perilaku membuat grafiti di dinding tersebut oleh anak-anak sekolah usia
sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang
menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di
Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat
menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga
mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut. Mereka menganggap,
bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan
termasuk ke dalam tindakan subversif. Tindakan kekerasan yang dilakukan
aparat keamanan tersebut, mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga
kota Deraa melakukan aksi protes yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa,
Faisal Khaltoum. Namun, protes yang dilancarkan oleh para demostran malah
disambut dengan pemukulan dan pembubaran paksa aksi yang dilakukan di
depan kediaman gubernur tersebut. Aparat keamanan kemudian melanjutkan
aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para
demonstran hingga menelan korban.6
Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya
merambah ke kota-kota lainnya di Suriah. Tuntutan yang diajukan para
demonstran pun akhirnya beragam, yang pada awalnya hanya sebatas
pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga menjadi penurunan rezim
yang berkuasa.
Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah
6
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi, 2012, hal. 115 –
116.
4
pusat tidak bisa tinggal diam. Pemerintah, melancarkan serangan kepada para
demonstran secara masif. Gerakan para demonstran kemudian dijadikan
kesempatan
bagi
para
oposisi
untuk
membantu
berjuang
bersama
menumbangkan rezim yang berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring
berjalannya konflik, banyak free rider7 yang turut memperkeruh suasana di
Suriah baik itu di pihak oposisi maupun loyalis pemerintah.
Sudah hampir dua tahun konflik di Suriah dalam Arab Spring
berlangsung, namun belum terlihat tanda-tanda akan berakhirnya konflik
tersebut. Dalam periode Arab Spring kali ini, konflik yang terjadi di Suriah
merupakan konflik terlama dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya
sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan sebagainya. Kedua belah pihak
baik oposisi maupun loyalis sama-sama memiliki kekuatan yang seimbang,
sehingga terjadi deadlock yang menyebabkan konflik ini sulit diatasi. Konflik
tersebut telah menelan banyak korban. Meskipun demikian tetap saja tidak
menyulutkan semangat kedua belah pihak untuk menurunkan ego dan
tuntutannya.
Konflik tersebut tidak hanya menelan korban jiwa tapi juga materil yang
tidak sedikit jumlahnya. Hal itu dapat dilihat dari lamanya konflik ini
berlangsung mengingat Suriah bukan termasuk negara yang makmur malah
cenderung sebagai negara yang memiliki tingkat inflasi dan pengangguran
yang cukup tinggi, namun dapat menggelontorkan biaya yang besar untuk
perang.
7
Free Rider merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok atau
individu yang memiliki kepentingan tersembunyi dengan mencari keuntungan atas suatu masalah
yang sedang terjadi.
5
Kekuatan Bashar al-Asad sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi
angkatan bersenjata Suriah juga cukup mencengangkan karena tetap konsisten
melawan oposisi, yang telah menelan banyak korban dari pihak sipil.
Selain itu, banyaknya pihak asing yang ikut bermain dalam konflik ini
membuat konflik ini semakin sulit diatasi. Ketersediaan sumber daya alam yang
dimiliki Suriah, tidak seperti negara Arab lainnya, tentu hal ini pun melahirkan
pertanyaan perihal kepentingan apa yang akan dituai dari para pihak asing yang
ikut bermain dalam konflik tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan
penelitian untuk mengkaji konflik yang terjadi di Suriah pada pemerintahan
Presiden Bashar al-Asad. Berdasarkan masalah tersebut, maka skripsi ini berjudul
“Konflik Suriah pada saat Arab Spring 2010”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tidak
melebar ke topik yang lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah
yang akan dibahas di skripsi ini yaitu dimulai tahun 2011 saat Suriah ikut
terkena gejolak Arab Spring hingga Bashar Al-Asad kembali menjabat
sebagai presiden Suriah untuk ketiga kalinya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana konflik di Suriah dapat terjadi?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konflik di Suriah?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian :
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konflik di
Suriah terjadi dan apa saja faktor yang mempengaruhi konflik di
negara tersebut.
2. Manfaat Penelitian :
a. Manfaat Akademis :
1. Untuk memberikan kontribusi literatur keilmuan dan
menjadikan skripsi
ini sebagai literatur di bidang ilmu politik.
2. Penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi peneliti
skripsi yang menulis masalah yang sama di masa yang
akan datang.
b. Manfaat Praktis :
 Mengembangkan ilmu politik khususnya analisa terhadap
konflik yang terjadi di suatu negara, sehingga dapat dilihat
tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang peneliti gunakan diantaranya buku dengan judul
“Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi” oleh Trias
7
Kuncahyono. Buku tersebut membahas keadaan Suriah sebelum terjadi
revolusi hingga saat revolusi sedang berlangsung.
Buku selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah “Prahara Suriah :
Membongkar Persekongkolan Multinasional” oleh Dina Y Sulaeman. Buku
tersebut membahas propaganda yang dilakukan beberapa media massa
maupun elektronik pro oposisi dan barat guna mendapatkan dukungan
intervensi politik dan keamanan dari masyarakat dunia.
Kemudian, kesamaan penelitian yang penulis lakukan dengan dua
penelitian sebelumnya adalah terletak pada periode yang digunakan, yaitu
pada saat Arab Spring berlangsung. Perbedaannya adalah penulis berusaha
memaparkan faktor apa saja yang menjadi penyebab Suriah ikut terkena
gelombang Arab Spring.
E. Metodologi Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah melakukan pengamatan terhadap individuindividu dengan cara berdialog langsung, serta mengetahui bahasa dan
pandangan mereka, yang berkaitan dengan lingkungannya.8
Peneliti mengggunakan pendekatan penelitian tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena
melalui pengumpulan data yang akan menghasilkan pemahaman yang
8
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung : Tarsito, 2003)., hal. 5.
8
lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang akan diangkat dalam
penelitian ini.
b. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Freedom Institute,
Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan kedutaan besar Suriah
yang mempunyai sumber terpercaya dari informasi atas kasus ini hingga
skripsi selesai.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam
mengumpulkan
menggunakan
teknik
data
saat
pengumpulan
data
penelitian,
dengan
maka
cara
penulis
penelitian
kepustakaan (library research). Maka, penelitian ini menggunakan buku,
jurnal, serta artikel pada media massa dan internet sebagai data pokok, dan
wawancara dengan pengamat Timur Tengah, para diplomat, dan Direktorat
Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia sebagai data penunjang.
d. Teknik Analisa Data
Untuk menganalisa data, penulis akan menerapkan metode analisa
penelitian secara deskriptif analitis. Deskriptif analitis adalah metode
dengan menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitian, sehingga
9
diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses ini
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.9 Proses tersebut diharapkan dapat memberikan
ketepatan dalam mengelola data penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam menjelaskan permasalahan tersebut dalam bagian lengkap, maka
penulis memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis
besar penulisan melalui beberapa bab, disertai dengan sub-bab dalam
menjelaskan berbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian yang
lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, meliputi : pernyataan masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Kerangka Teori

Bab III : Pembahasan konflik di Suriah, mulai dari awal pembentukan
Suriah, peristiwa Arab Spring hingga Suriah Spring, dan keadaannya
hingga saat skripsi ini ditulis.

Bab IV : Pembahasan mengenai analisa komparatif konflik dan faktor
terjadinya konflik Suriah.
9
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
(Jakarta : Erlangga, 2009)., hal. 148.
10

Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran atas penelitian
ini.

Daftar Pustaka.

Lampiran.
11
BAB II
Kerangka Teoretis
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan teori10 Antagonisme Politik dan
teori Elit Politik. Kedua teori tersebut menggambarkan dan membahas fenomenafenomena dan fakta-fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma-norma atau
nilai dan dinamakan non-valutional (value-free).11 Dengan menggambarkan
kerangka teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan jawaban awal
dalam berbagai permasalahan terhadap konfik yang terjadi di Suriah pada masa
pemerintahan Bashar Al-Assad.
A. Teori Antagonisme Politik
Antagonisme adalah sebuah realitas yang menempatkan sesuatu menjadi
lawan dari sesuatu, apakah hal tersebut untuk mempertahankan kedudukan,
merebut kekuasaan, atau mempertahankan diri dari ancaman politik.12 Dalam
teori sosiologi politik, Maurice Duverger melihat bahwa antagonisme politik
lahir dari berbagai sebab yang digolongkan ke dalam dua kategori. Pertama,
sebab individual , seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologis. Kedua,
10
Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun
generalisasi, teori selalu memakai konsep-konsep yang lahir dalam pikiran manusia, dan karena
hal tersebut, onsep bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.
Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Bahasan dalam
fenomena yang bersifat politik seperti; tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan
tersebut, kemungkinan dan kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, kewajibankewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Sumber : Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009)., hal. 43.
11
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 4. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2009)., hal. 44.
12
Maurice Duverger, Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 156.
12
sebab kolektif, seperti faktor-faktor rasial, perbedaan dalam kelas-kelas sosial
dan faktor sosiokultural.
1. Tingkat Individual
Ada dua jenis sebab individual di dalam pergolakan politik. Pertama
adalah, perbedaan bakat alami di kalangan manusia. Ada manusia yang lebih
berbakat daripada yang lain dalam konteks untuk menjamin kekuasaannya. Di
pihak lain, tergantung pada kecenderungan psikologis, individu-individu
tertentu lebih cenderung daripada yang lain kepada dominasi atau kepatuhan:
yang pertama berusaha untuk memerintah yang terakhir, dan yang terakhir
lebih atau kurang menerima keadaan taklukannya.13
1.1 Bakat-bakat Individual
Teori-teori yang menjelaskan tentang pergolakan-pergolakan
politik dalam hubungannya dengan perbedaan di dalam bakat-bakat
pribadi berasal dari konsep-konsep biologis Charles Darwin tentang
Struggle of life. Menurutnya, setiap individu harus bertempur melawan
yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu
yang
berhasil.
Proses
seperti
ini
(seleksi
alam)
menjamin
terpeliharanya spesies maupun perbaikannya. Kemudian proses seperti
ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan
manusia. Di dalam arena politik, hal ini menjadi perjuangan untuk
posisi utama dan hal ini berlaku sebagai landasan teori elite (dari
13
Duverger, Sosiologi Politik, hal.158.
13
persaingan merebut kekuasaan, munculah yang terbaik, yang paling
mampu, dan mereka yang mampu memerintah).
Di dalam doktrin-doktrin liberal tentang elite, persaingan seleksi
alam didasarkan pada motif-motif ekonomi dan keinginan-keinginan
diri sendiri. Sejak permulaan munculnya manusia hingga saat ini,
kecenderungan untuk saling menguasai antara satu manusia dengan
yang lain adalah alasan dari faktor kelangkaan ekonomi.14 Dengan
setiap orang mencoba untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan
pribadinya, maka persaingan permanen muncul sebagai akibat dari
konsumen yang terlalu banyak dan barang-barang konsumsi yang
jumlahnya terbatas. Dalam kompetisi ini, mereka yang memegang
kekuasaan memperoleh keuntungan yang penting. Dalam sejarahnya,
baik individu, kelompok, maupun kelas sosial yang melaksanakan
kekuasaan politik, semakin banyak kekuasaan politik dimiliki
seseorang semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan ekonomi;
dan juga sebaliknya, semakin besar bagian seseorang dalam kekayaan
ekonomi, maka semakin besar bagiannya dalam kekuasaan politik.
Dalam perjuangan politik sebagaimana terdapat persaingan
ekonomi, peserta yang terbaik yang menang, yaitu mereka yang paling
bermutu
dalam
intelegensinya,
keberaniannya,
kekuatannya,
kelicikannya, dan kemampuannya bekerja. Sebagaimana dalam motif
politik, kepentingan pribadi juga merupakan motif utama dalam
14
Duverger, Sosiologi Politik, hal.161.
14
persaingan ekonomi. Kekuasaan dicari bagi keuntungan dirinya dan
bukan karena dedikasinya bagi pelayanan umum. Persaingan ekonomi
menempatkan wiraswasta yang terbaik menjadi kepala produksi
sedang mereka yang kurang berbakat disingkirkan. Maka, dalam
pandangan liberal, integrasi politik dihasilkan oleh perjuangan politik
itu sendiri.
Selanjutnya, di dalam teori konservatif tentang elite menganggap
perbedaan dalam bakat sebagai faktor utama di dalam pergolakan
politik. Kaum konservatif lebih percaya bahwa orang yang lebih
mampu lebih dimotivasi oleh pertimbangan altruistic15 daripada
pertimbangan ekonomi.16 Orang yang lebih mampu bukanlah orang
yang paling kuat, inteligen, licik, atau pun berani, tapi mereka yang
paling baik. Orang yang paling baik memiliki kualitas moral dan
keputusan nilai yang lebih dari yang lain.
Teori ini didasarkan kepada pemahaman bahwa manusia secara
alami jahat, dimotivasikan oleh naluri dan impuls yang rendah, dan
15
Altruisme atau altruistic adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa
memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan
dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas
etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu
keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri. Altruisme
dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada
motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa
memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari
individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak
(seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban,
sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau
keuntungan. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Altruisme
16
Duverger, Sosiologi Politik, hal.163.
15
senantiasa siap untuk kembali kepada keadaan kebuasan primitive.
Hanya beberapa individu yang dikaruniai kekuatan moral yang besar,
berhasil mengatasi kecenderungan instingtif tersebut. Peradaban
dipertahankan
terutama
melalui
penggunaan
kekuatan,
yang
dilaksanakan oleh kekuasaan politik yang dipegang oleh elite. Tanpa
kekerasan semacam ini, masyarakat akan jatuh ke dalam anarki dan
berbalik kepada keadaan buas.
Perjuangan politik kaum elite tidak tergerak terutama oleh
kepentingan diri sendiri, akan tetapi lebih dimotivasi oleh rasa
mengabdi (sense of service). Mereka percaya bahwa kepentingan diri
sendiri adalah kasar dan tidak patut. Dalam doktrin ini bukan saja
bakat yang dibawa sejak lahir yang menjadi dasar perbedaan antara
kaum elite dan massa tapi juga latihan sosial yang mengembangkan
naluri-naluri baik dan menekan naluri buruk. Namun pada prinsipnya,
pergolakan antara kaum elite dan massa, atau antara orang yang sangat
berbakat dengan orang yang kurang berbakat, adalah pergolakan
individual.
Teori konservatif cenderung mencampurbaurkan elite yang terdiri
dari individu-individu yang superior dengan aristokrasi kasta turuntemurun. Secara normal, aristokrasi dan elite berada dalam satu jalur.
Peradaban berpijak kepada pembentukan elite di dalam masyarakat
dengan rasa kepentingan masyarakat, kehormatan, dan pelayanan,
yang diwarisi turun temurun di tengah kehidupan massa yang hanya
16
dimotivasi oleh keinginan dan naluri kepentingan diri sendiri.
Dalam doktrin konservatif, seorang sosiolog Italia, Vilfredo Pareto,
mengungkapkan tentang gerakan elite yang mengungkapkan konflik
permanen antara permainan silang bakat individual dan kecenderungan
untuk membentuk kelas-kelas sosial atau kasta turun-temurun.
Menurutnya, elite adalah
Individu-individu yang paling mampu dalam setiap cabang kegiatan
manusia. Mereka berjuang melawan kaum-kaum yang kurang berbakat,
kurang mampu untuk mencapai posisi kekuasaan. Namun dalam usaha
ini, mereka diblokir oleh kecenderungan kaum elite yang berkuasa untuk
membentuk oligarki-oligarki yang mengabdikan diri sendiri dan turuntemurun sehingga membatasi gerakan kaum elite untuk maju ke tangga
atas sosial dari mereka yang terbaik dan yang paling berbakat.17
Dalam teori Pareto, bila kelas-kelas sosial atau kasta sangat kaku
dan tertutup rapat, maka individu-individu yang berbakat dari kasta atau
kelas yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk bangkit ke posisi
yang sesuai dengan kemampuannya. Maka konsekuensinya, mereka
bergabung untuk melawam tatanan sosial yang ada, dengan tingkat
kekerasan yang lebih besar untuk menjatuhkan tatanan sosial tersebut.
Sebaliknya, jika kelas-kelas yang memerintah lebih terbuka dan mudah
untuk didekati, maka individu-individu yang sangat berbakat dari kelaskelas yang lebih rendah dapat diterima dan akan mengurangi ketegangan
sosial.18 Kekakuan yang ada pada setiap kelas lebih mungkin merupakan
reaksi dari sikap kelas yang memerintah (the ruling class).
1.2 Sebab-sebab Psikologis
17
Duverger, Sosiologi Politik, hal.165.
Duverger, Sosiologi Politik, hal.166.
18
17
Dalam menganalisa faktor terjadinya antagonisme politik, kemampuan
individual (bakat individu) dan tempramen psikologis merupakan dua
alasan dari terjadinya antagonisme tersebut. Kemampuan individual (bakat
individu) merupakan aspek eksternalnya, sedangkan analisa psikologis
merumuskan hakikat dalamnya.19
Bagi psikoanalis, antagonisme politik merupakan akibat dari frustasi
psikologis yang kurang atau lebih berhubungan dengan konflik dari masa
kecilnya yang terkubur di dalam alam bawah sadar. Pengalaman dari masa
kecil memiliki pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan
psikologis berikutnya di masa yang akan datang seorang individu. Dalam
tahap pertama eksistensinya, seorang anak hidup di dalam suatu keadaan
yang dikuasai oleh kesenangan atau kebebasan. Hidup seorang anak
didominasikan oleh prinsip kesenangan. Selanjutnya, unuk dapat
bergabung dengan masyarakat, dia harus mengganti prinsip kesenangan
dengan prinsip kenyataan, yang berarti dia harus menekan kesenangan dan
membatasi kesenangan tersebut. Dia diwajibkan untuk mengikuti dan
mematuhi segala aturan yang berlaku di masyarakat. Namun, naluri
kesenangan tersebut terlalu kuat untuk dihilangkan. Perdebatan batin
dalam diri seseorang menyangkut naluri kesenangannya dengan aturan di
masyarakat menghasilkan frustasi yang menjadi pondasi lahirnya
antagonisme sosial.
Peradaban industri, yang menjadikan alam semesta menjadi rasional,
19
Duverger, Sosiologi Politik, hal.174.
18
mekanis, modal, dan antiseptik, bertentangan secara diametris terhadap
kecenderungan instingtif dan keinginan yang mendalam dari manusia.
Kemajuan teknologi yang membangun suatu dunia dimana naluri
manusiawi
tidak
mendapat
tempat,
cenderung
menyebabkan
meningkatnya sifat agresif, dalam keinginan untuk menguasai, dalam
kekerasan, dan konsekuensinya di dalam intensifikasi antagonisme dan
konflik.20
Faktor-faktor yang jelas di dalam antagonisme politik bisa juga
menjadi produk dari fenomena kompensasi. Keinginan untuk menguasai
dan sikap otoritarian bisa juga menjadi akibat dari keinginan untuk
berkuasa dari seorang individu yang kuat dan penuh energi, atau dari
kelemahan psikologis, kekacauan dari dalam bati, ketidakmampuan untuk
memperoleh respek orang lain, yang tersembunyi di balik sikap yang
persis sebaliknya.
Seorang ilmuan asal Amerika, Theodora Adorno, pada tahun 1950
pernah melakukan penelitian tentang kepribadian otoritarian. Kepribadian
tersebut didefinisikan oleh konformitas yang sangat kuat, kepatuhan buta
oleh penglihatan yang disederhanakan tentang alam sosial dan moral yang
dibagi ke dalam kategori yang jelas (baik dan buruk, hitam dan putih).21 Di
dalam otoritarian muncul paham di mana yang berkuasa harus memerintah
karena mereka yang terbaik, yang lemah harus mendapatkan tempat di
bawah karena dari segala segi mereka lebih rendah, dan nilai orang
20
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 178.
Duverger, Sosiologi Politik, hal.179.
21
19
ditentukan hanya oleh kriteria luar, yang didasarkan pada kondisi sosial.
Umumnya, kepribadian otoritarian adalah khas milik individu-individu
yang tidak pasti akan dirinya sendiri, yang tidak pernah berhasil di dalam
membangun kepribadiannya sendiri dan menstabilkannya, yang tidak
percaya kepada dirinya sendiri dan meragukan identitasnya. Mereka
berpegang teguh pada bentuk-bentuk luar karena mereka mempunyai
sesuatu di dalam dirinya sendiri untuk berpegang. Stabilitas ketertiban
sosial dengan demikian menjadi dasar stabilitas kepribadiannya sendiri,
yang bisa menjadi disintegrasi tanpanya. Lalu, sejalan dengan semua itu,
bilamana mereka mempertahankan ketertiban sosial, adalah diri mereka
sendiri, dasar dari keberadaannya sendiri dan equilibrium psikologisnya
sendiri yang mereka bela. Hal ini yang menjadi dasar bentuk
keagresifannya dan kebenciannya terhadap mereka yang tidak setuju
dengannya, terutama terhadap “orang lain”, orang-orang “yang berbeda”,
yang jalan hidupnya dan sistem nilai-nilainya menantang ketertiban sosial
yang ada, mereka yang mempertanyakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip
umumnya. Kepribadian otoritarian mendukung partai-partai konservatif
dalam masa tenang ketika ketertiban sosial tidak terancam. Bila timbul
ancaman,
sikap
keagresifannya
dengan
sendirinya
timbul
dan
mendorongnya kearah gerakan-gerakan fasistis. Maka, orang-orang yang
paling tidak stabil ke dalam mempengaruhi secara luar bisaa wajah
stabilitas dari luar: partai-partai politik yang dibangun atas kekerasan
adalah terutama terdiri dari individu-individu yang lemah.
20
Seringkali, otoritarianisme, dominasi, dan kekerasan merupakan
kompensasi bagi kekecewaan dan kemunduran pribadi.
Seorang
psikoanalis pemberontak, Alred Adler, mencatat bahwa brutalitas dan
despotisme seringkali menjadi overkompensasi bagi kesakitan yang
dialami orang-orang kecil atau dengan cacat fisik. Ia menganggap
kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa
manusia. Baginya, naluri untuk menguasai adalah sumber perilaku
manusia, yang menggantikan libido, naluri kesenangan.
Dalam psikoanalisa mengenai antagonisme politik, ada penjelasan
bahwa terjadi ambivalensi yaitu adanya konflik dan integrasi di dalam
fenomena kekuasaan politik. Hal ini juga terkait akan perasaan seorang
anak terhadap orang tuanya. Banyak ahli yang mengemukakan bahwa
keluarga merupakan sel atau unit dasar dari semua masyarakat manusia,
dan yakin bahwa yang terakhir dibentuk menurut pola keluarga. Simon
Freud berpendapat bahwa otoritas orang tua berlaku sebagai model sampai
tingkat tertentu, sebagai suatu proto tipe bagi bentuk-bentuk lain dari
otoritas. Di dalam pengalaman pertama peralihan manusia dari prinsip
kesenangan kepada prinsip kenyataan, orang tua memainkan peranan yang
menentukan. Mereka merumuskan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban,
dan larangan-larangan yang harus diikuti oleh seorang anak. Peranan
orang tua seperti ini menciptakan konflik di dalam hati seorang anak.
Sampai dengan saat itu, anak dapat menerima apa adanya, semata-mata
kegembiraan dan kesenangan. Kini mereka menjadi rintangan bagi
21
kesenangannya, sedangkan pada saat yang sama, anak tersebut
membutuhkan orang tuanya dan tetap bergantung kepada mereka karena
kelemahannya. Situasi ini secara kuat melahirkan emosi ambivalen di
dalam diri seorang anak terhadap orang tuanya, secara bersamaan ada rasa
cinta dan benci, juga rasa syukur dan kesebalan. Ambivalensi terhadap
semua otoritas yang serentak dirasa sebagai protektif dan tak dapat
ditahan, datang bukan saja dari pengalaman, yang mengungkapkan bahwa
kekuasaan adalah juga berguna dan mengganggu, perlu dan memaksa, tapi
dia juga mempunyai alasan-alasan yang lebih dalam, yang lebih sulit
untuk dilihat.
1.2.1
Tempramen Politik
Tempramen politik adalah kategori-kategori yang berlaku
untuk mengklasifikasikan individu-individu menurut perilaku dan
sikap-sikapnya secara keseluruhan. Bagi sebagian orang, tempramen
muncul sebagai pembawaan dari lahir yang bersifat biologis.
Sedangkan bagi yang lain, tempramen didapat akibat dari hubunganhubungan
psikososial.
Dalam
kenyataannya,
faktor-faktor
ini
bercampur begitu tak terpisahkan dalam proporsinya masing-masing.
Konsep tempramen politik meliputi menyoloknya faktor-faktor
yang berhubungan dengan individu-individu, dan bukan terhadap
struktur sosial. Paham tentang tempramen mencoba menjelaskan
antagonisme sosial dalam hubungan dengan disposisi, yang kurang
atau lebih bersifat bawaan. Maka, tipe-tipe tertentu orang-orang
22
didorong oleh kecenderungan-kecenderungan pribadinya kearah sikapsikap politik tertentu, yang membawanya kepada konflik-konflik
dengan
tipe
manusia
lain
yang
kecenderungan
pribadinya
membawanya kepada sikap politik yang berlawanan. Konsep tersebut
berada di dalam kerangka sebab-sebab individu bagi antagonisme
politik.
a. Klasifikasi Umum Tempramen dan Sikap Politik
Klasifikasi ini dipopulerkan di Perancis oleh Rene Le Senne dan
Gaston Berger. Hal ini tergantung dari 3 kriteria dasar : emotivity,
activity, dan reverberation, yaitu panjangnya jangka waktu suatu ide
atau citra bertahan di dalam pikiran seseorang.
Dalam hubungan dengan reverberation di wilayah politik, orang
dengan tipe amorph (unemotive, inactive, primary) dan yang
phlegmatics (unemotive, inactive, secondary) bisaanya indiferen
terhadap perjuangan atau konflik, tidak berminat untuk memperoleh
kekuasaan, menghormati kebebasan orang lain, dan dari sini moderat
dan bersifat mendamaikan dalam antagonisme politik. Sebaliknya,
individu yang passionate (emotive, active, secondary) dan yang
choleric (emotive, active, primary) tertarik kepada pergolakan politik
dan perjuangan untuk merebut kekuasaan; tipe yang pertama bisaanya
para pemimpin yang otoritarian, dan tipe yang kedua bisaanya orang
yang membentuk opini public, orator, dan wartawan yang pada
akhirnya bisaanya tidak akan melaksanakan kekuasaan secara
23
diktatoral. Orang dengan tipe lainnya yaitu nervous (emotive, inactive,
primary) dan sentimental (emotive, inactive, secondary) bisaanya
orang dengan tipe revolusioner, yang pertama agak anarkis, sedang
yang kedua tidak selalu enggan untuk mempergunakan metode-metode
otoritarian. Orang dengan tipe apathetic (unemotive, inactive,
secondary) bisaanya konservatif, dan sanguine (unemotive, active,
primary) cenderung menjadi oportunis.22
b. Teori Eysenck tentang Tempramen Politik
Seorang ahli psiko-sosiologi Inggris H.J. Eysenck membangun
sebuah klasifikasi tempramen politik. Klasifikasinya didasarkan pada
analisa secara matematis dari jawaban-jawaban kuesioner tentang
sikap-sikap politik. Sumbangannya pada ilmu sosiologi politik adalah
pada penggantian klasifikasi berdimensi satu dengan berdimensi
banyak, yang memakai dua sumbu : sumbu pertama adalah radikalkonservatif, dan yang kedua adalah sumbu keras-lembut.23
2. Tingkat Kolektif.
Antagonisme yang bergerak pada Tingkat kolektif adalah konflik-konflik
politik yang mencerminkan perjuangan-perjuangan antar ras, persainganpersaingan antar bangsa, propinsi-propinsi dan komunitas territorial lainnya,
kompetisi antara kelompok-kelompok yang diorganisir, dan pertempuran
22
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 200-203.
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 204.
23
24
antara kelompok ideologi atau agama.24
a. Perjuangan Kelas
Banyak orang percaya bahwa antagonisme politik disebabkan oleh
ketidaksamaan antara kelompok-kelompok sosial atau pun kelas-kelas sosial.
Para ahli sosiologi Amerika masa sekarang menganut paham bahwa perbedaan
kelas didasarkan pada perbedaan kontras antara yang kaya dengan yang
miskin, yang berpunya dengan yang tidak, dan kelompok yang berprivilese
dengan kelompok yang dihisap, kedalam teori tentang strata sosial. Namun,
Marxisme menempatkan perbedaan kelas sosial kepada peranan yang lebih
rendah dan menolak hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa apakah yang
menyebabkan kekayaan dari beberapa orang dan kemiskinan orang-orang
yang lain. Karena, bilamana kekayaan dan kemiskinan hanya tergantung dari
kemampuan individual dari seseorang, pada inelegensi, kekuatan, dan
kemampuan bekerja, maka seharusnya tidak ada kelas. Kemiskinan dan
penghisapan adalah akibat dari kelahiran dan dengan demikian mempunyai
sifat turun temurun. Konsep kelas didasarkan pada ide bahwa perbedaan
dalam status sosial tidak tergantung hanya pada individu-individu, akan tetapi
dipaksakan kepada mereka atas cara yang khusus.
Dalam kaitannya dengan Antagonisme, hanya beberapa orang yang
menyangkal bahwa antagonisme kelas adalah sumber konflik politik. Bagi
kaum Marxis, antagonism kelas adalah refleksi dari perjuangan kelas, yang
pada gilirannya ditentukan oleh system produksi dan system milik, yang
24
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 188.
25
keduanya merupakan efek dari perkembangan teknologi.
b. Konflik-Konflik Rasial
Anagonisme politik tertentu disebabkan juga oleh konflik antar ras. Dari
segi zoologis, manusia merupakan species homo sapiens, tetapi dibagi lagi
menjadi beberapa varietas yang memiliki sifat turun temurun tertentu.25
Teori rasis mengatakan bahwa ras manusia yang berbeda-beda mempunyai
bakat-bakat sosial dan intelektual yang tidak sama dan tidak merata. Mereka
menganggap beberapa ras secara biologis lebih rendah dari yang lain,
misalnya tidak mampu mengorganisir dan mempertahankan masyarakat
modern pada tingkat yang maju. Namun, ras-ras tersebut yang dianggap lebih
rendah,
tidak
mau
mengakui
ketidakmampuannya.
Maka,
terjadilah
pertentangan antar ras-ras yang dianggap lebih rendah dengan ras-ras yang
dianggap lebih tinggi, untuk memperoleh dan melaksanakn kekuasaan politik.
Karena itu, terjadilah perlawanan melawan ras-ras superior demi menghindari
penguasaan ras tersebut.
Teori-teori rasis sebenarnya tidak mempunyai nilai ilmiah. Pelariannya
kepada ilmu pengetahuan adalah sebuah percobaan untuk mendapatkan
pengesahan, suatu usaha yang kurang lebih secara tidak sadar untuk menutupi
alasan-alasan yang secara sosial tidak dapat diterima.
Kenyataan bahwa teori-teori ras adalah palsu tidaklah menghindari
terjadinya konflik-konflik rasial. Namun, bukan konflik antara ras yang
25
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 228.
26
rendah atau yang lebih tinggi, namun lebih kepada konflik antara ras-ras yang
berbeda-beda. Secara mendasar, ada perbedaan konflik rasial, yaitu konflik
rasial vertikal dan konflik rasial horizontal.
Konflik rasial vertikal terjadi antara kelompok rasial yang dominan, yang
bertempat tinggi di atas tangga sosial, dan kelompok rasial yang diperintah,
yang bertempat di bawahnya. Contohnya konflik rasial antara orang-orang
kulit putih dan orang-orang deng kulit hitam di tanah-tanah jajahan. Dalam
konflik rasial horizontal, kedua ras yang bertentangan satu sama lain yang
tidak berada dalam hubungan dominan bawahan. Contohnya adalah konflik
antara suku-suku di beberapa negara Afrika saat ini.
Jika dilihat dari para pelaku konflikya, sebenarnya konflik antar ras yang
terjadi saat ini bukanlah soal tentang ras-ras yang benar dalam pengertian
biologis, akan tetapi tentang pseudoras, yang adalah entitas kultural daripada
kelompok-kelompok biologis yang berbeda.
c. Konflik Antara Kelompok-kelompok Horizontal
Dalam konflik kelompok horizontal, setiap kelompok mencoba saling
menguasai yang lain sebagai mana halnya di dalam konflik antara kelompok
vertikal. Klasifikasi dari kelompok horizontal meliputi : kelompok-kelompok
territorial (bangsa, propinsi, daerah-daerah, dan komuni), corporate group
(profesi, asosiasi, serikat buruh),dan kelompok ideologis (partai politik,
agama).26 Dalam kelompok-kelompok ini, antagonisme berkembang dengan
berbagai corak, dan menjadi tameng bagi antagonisme dari jenis lain.
26
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 247.
27
d. Konflik Antara Kelompok Teritorial
Kelompok-kelompok territorial didasarkan pada eksistensinya daripada
melalui persamaan. Pada paruh abad kedua puluh, bangsa-bangsa masih
merupakan entitas territorial yang mendasar. Di dalam masa-masa purba,
kelompok-kelompok
kesukuan
dan
kemudian
di
kota-kota
meliputi
pengelompokan-pengelompokan utama secara horizontal. Kadang, komunitaskomunitas yang besar berkembng, kemudian kita sebut sebagai imperium,
seperti Mesir, Assiria, Persia, dan Roma.27
Konflik antara bangsa-bangsa cenderung diselesaikan baik dengan
kekerasan (perang) atau semata-mata dengan prosedur kontraktual (perjanjian
atau pun persetujuan diplomatic), bilamana tidak ada arbitrase kekuasaan
politik. Kebanyakan kelompok-kelompok territorial berada di dalam bangsabangsa. Ada “masyarakat universal” yang lebih kecil meliputi subdivisi,
seperti komune, daerah, dan provinsi. Lainnya adalah berupa subdivisisubdivisi dari masyarakat khusus yang juga dibentuk di dalam bangsa, seperti
cabang-cabang lokal dari asosiasi tertentu, perserikatan, dan masyarakatmasyarakat dari titik tilik yang terakhir, pembagian kelompok-kelompok
territorial dan kelompok-kelompok korporatif gabungan satu dengan yang
lain. Antagonisme dalam ranah ini berkembang tergantung dari tingkat
integrasi nasional.
Ada pula kelompok-kelompok territorial di luar pengelompokan nasional,
beberapa diantaranya adalah subdivisi dari masyarakat internasional. Beberapa
27
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 251.
28
bangsa bisa berorganisasi menjadi blok-blok yang kurang lebih koheren,
seperti NATO, blok timur, masyarakat Eropa, dan Organisasi negara-negara
Amerika. Politik internasional dengan demikian didasarkan bukan saja pada
antagonisme antar bangsa akan tetapi juga antagonisme antar blok bangsabangsa. Beberapa kelompok teritorial tertentu berada pada titik yang sama
dengan bantuan nasional, misalnya di dalam gereja Katolik Roma, kita
mendapatkan gereja Katolik Perancis, gereja Katolik Spanyol, dan gereja
Katolik Amerika Serikat.28
Berkembangnya antagonisme antar kelompok teritorial adalah akibat dari
ketidaksamaan kepemilikan, seperti pemilikan alat produksi. Aspek material
dari konflik antara kelompok-kelompok teritorial kadang-kadang tersembunyi
di balik ideologi dan mitos-mitos, yang membuat kontroversi tersebut
kelihatannya lebih idealistis, kurang materialistis, namun tetap ada unsur dari
faktor material.
Sejalan dengan unsur-unsur riil tersebut, antagonisme antara kelompokkelompok teritorial seringkali menjadi tameng bagi konflik-konflik dari jenis
lain, seperti antagonisme kelas. Nasionalisme adalah alat untuk menutupi
permusuhan antara orang yang mempunyai privilege dan yang tertekan di
dalam suatu negara dengan rasa solidaritas yang berasal dari menjadi anggota
suatu komunitas teritorial yang sama.
Dalam hubungan tertentu, solidaritas teritorial bersifak arkaik, yang
didasarkan pada masa lalu yang ingin dipeliharanya, di mana solidaritas kelas
28
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 254.
29
adalah fenomena yang lebih baru.29
e. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif
Seperti kelompok teritorial, kelompok korporatif juga tergantung pada
berbagai jenis solidaritas melalui kesamaan. Kelompok professional adalah
kelas dari kelompok korporatif yang paling penting.
Dalam arti yang sempit, kelompok korporatif mempersatukan orang yang
terlibat di dalam kegiatan professional tertentu. Di dalam arti yang luas,
kelompo ini dapat berarti mereka yang dididik atau dilatih di dalam sekolah
yang sama, mereka yang menjadi anggota agen pemerintahan yang sama atau
klasifikasi professional yang sama, maupun sosialisasi yang terdiri dari orang
dengan kepentingan rekreasi yang sama (olahraga, atletik, dan asosiasi
kultural).30
f. Konflik antara Kelompok-kelompok Korporatif
Kelompok-kelompok professional adalah kelas dari kelompok korporatif
yang paling penting. Anggota-anggota dari suatu profesi atau organisasi
mempertahankan kemajuan korporat melawan anggota-anggota dari profesi
atau organisasi yang lain. Maka, ada antagonisme alami antara berbagai
profesi, dan pada saat yang sama, sebuah komunitas kepentingan di kalangan
anggota dalam profesi yang sama.
Secara umum, kepentingan kelas lebih kuat dari kepentingan korporat.
Karena itu, antagonisme kelas lebih penting secara politik daripada
29
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 256.
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 261.
30
30
antagonisme korporat. Namun dalam beberapa wilayah tertentu, kepentingan
korporat mengatasi kepentingan-kepentingan lain. Hal ini menjadi agak sering
di dalam pertanian, terutama konflik antara sector pertanian dalam ekonomi
dan sector industri dan sector komersial.31
Kaum Marxis beranggapan bahwa konflik korporat ini di dalam kelas
sosial yang sama menjadi kontradiksi daripada antagonisme. Ini berarti bahwa
konflik tersebut tidak terlalu fundamental.32
Salah satu contoh tentang kelompok-kelompok korporat yang berperan
sebagai kamuflase bagi antagonisme lain adalah doktrin korporati yang
berkembang pada tahun 1930-an. Ide fundamentalnya adalah untuk
mengorganisir bangsa-bangsa menurut profesi, di dalam kategori horizontal,
pekerja dan manager diwakili bersama dan bekerjasama di dalam di setiap
korporasi. Atas doktrin ini, negara-negara fasis membinasakan serikat pekerja
dan tidak memungkinkan para pekerja menyampaikan tuntutannya.
g. Konflik di Antara Kelompok-kelompok Ideologis
Kelompok-kelompok ideologis adalah kelompok dengan tubuh keyakinan
ideologis yang sama. Gereja-gereja, sekte-sekte filosofis, masyarakat
intelektual, dan dari partai-partai politik merupakan kelompok-kelompok
ideologis. Sebuah doktin menjadi ideologi ketika suatu kelompok sosial
menganutnya. Ketika ia berhenti menjadi sebagai hanya bangunan intelektual
dari seorang pemiki dan menjadi suatu ekspressi dari aspirasi, keinginan dan
31
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 264.
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 265.
32
31
keyakinan suatu kelompok orang (kelas, bangsa, dll). Sampai ke tingkat
bahwa kelompok ini berbeda dari kelompok lain, dan mempunyai organisasi
dan lembaga, dia merupakan kelompok ideologis.33
Pada masa sekarang, partai-partai merupakan kelompok ideologis utama
dari
jenis
politik.
Kelompok-kelompok
kepentingan
tertentu
yang
berhubungan dengan politik tanpa secara langsung berurusan dengan mengejr
kekuasaan, berada dalam kategori yang sama. Pada waktu lain, kelompok
ideologis menerima bentuk-bentuk yang berbeda, seperti liga, asosiasi rahasia,
dan organisasi-organisasi paramiliter.
Ideologi-ideologi non-politik adalah yang tidak mempunyai hubungahubungan langsung dengan kekuasaan, seperti ideologi agama, filosofis, dan
artistic.
Setiap ideologi cenderung menjadi suatu system yang komplit untuk
menjelaskan manusia dan dunia, di mana politik secara alami mendapatkan
tempatnya, karena berbagai aspek kegiatan manusia tidak terlalu gampang
dipisahkan satu dengan lainnya.
Seperti ideologi-ideologi politik, ideologi non-politik cenderung berfungsi
sebagai basis bagi kelompok-kelompok yang kurang lebih terorganisir.
Dengan demikian, agama mengambil bentuk gereja-gereja, filosofi menjadi
dasar dari berbagai sekte, dan kesenian melahirkan aliran-aliran dan gerakangerakan dari berbagai jenis.
33
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 266.
32
Hakekat ideologi membuat antagonisme kelompok-kelompok ideologi
non-politik lebih militant, dan semakin fundamental ideologinya. Inilah sebab
mengapa keterlibatan organisasi-organisasi gereja dan agama di dalam konflik
politik pada umumnya lebih kuat dan lebih menyerap daripada kelompokkelompok lain.34
B. Teori Elit Politik
Teori elit politik merupakan sebuah teori yang lahir dari hasil diskusi para
ilmuan sosial Amerika tahun 1950-an, yaitu Schumpeter (ekonom), Lasswell
(ilmuan politik) dan sosiolog C. Wright Mills. Mereka tulisan dari para
pemikir Eropa masa awal munculnya fasisme, diantaranya Vilfredo Pareto dan
Gaetano Mosca (Italia), Roberto Michels (seorang Jerman keturunan Swiss)
dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol).35
Teori elit mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the
ruling class) terdapat dua unsur; elit yang berkuasa (the ruling elite) dan
elit tandingan (opposition) yang mampu meraih kekuasaan jika elit yang
berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Elit tidak
selamanya selalu digambarkan hanya terdiri dari satu kelompok, namun
bisa juga berupa gabungan dari berbagai kelompok sosial. Kekuasaan
merupakan alasan bagi elit atau kelompok elit untuk mengambil peranan
aktif dalam politik.
Seiring
berkembangnya
zaman,
34
banyak
ahli
politik
yang
Duverger, Sosiologi Politik, hal. 268.
S.P. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 201.
35
33
mengembangkan penafsirkan teori elit tersebut. Namun, mereka semua
sepakat akan dasar dari teori tersebut bahwa ada sekelompok kecil di
masyarakat yang memerintah masyarakat lainnya.
Pareto berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas. Pertama,
kelas atas. Kelas atas adalah kelompok elit yang memerintah dan tidak
memerintah. Kedua, kelas bawah atau sering disebut non-elit. Ia
memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah saja yang
menurutnya berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan
kelicikan. Kekuasaan dalam masyarakat terdapat dua kelas. Pertama, kelas
yang memerintah, terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik,
memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang
ditimbulkan dengan kekuasaan. Kedua, kelas yang diperintah, yang
berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa
dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum dan paksaan.36
Dari penjelasan diatas, kelas pertama disebut kelompok elit politik.
Lipset dan Solari berpendapat bahwa elit ialah posisi puncak dalam
masyarakat pada struktur-struktur sosial yang terpenting, yaitu ekonomi,
pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan
pekerjaan-pekerjaan bebas.37
36
Abdul Munir Mulkan, Perubahan Perilaku Politik dan polarisasi ummat islam 19651987 dalam perspektif Sosiologis, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), h.56.
37
Saymour Martin Lipset dan A. Solari, “Elites in Latin America” dalam J.W. Schoorl,
Modernisasi: pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang Berkembang,
penerjemah Soekadijo, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal.128.
34
Soejono Soekanto, pakar Sosiologi Indonesia, menerangkan bahwa elit
adalah :
“Kelompok orang-orang yang dalam situasi sosial tertentu menduduki posisi
tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar dan hak-hak istimewa, kadangkadang diartikan sebagai golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor
keturunan. Sering kali juga diartikan sebagai posisi-posisi dalam struktur sosial
yang relatif tinggi, sehingga mereka yang menduduki posisi-posisi tersebut juga
mempunyai kedudukan yang tinggi.” 38
Istilah elit kemudian diartikan sebagai suatu minoritas pribadi yang
diangkat untuk melayani suatu kolektivitas atau kelompok dengan cara
yang bernilai sosial.39
Teori elit menjelaskan setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori
yaitu:40
1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah.
2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Kelompok elit sebenarnya bersifat heterogen atau terdiri dari berbagai
lapisan maupun kepentingan. Kelompok elit politik tersebut terbagi
kedalam tiga tipe, yaitu:
a. Elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan
pribadi atau golongan. Tipe ini cenderung bersifat tertutup atau
menolak kehadiran golongan dan kelompok lain. Dalam hubungannya
dengan sesama elit, tipe ini bekerjasama untuk mempertahankan
keadaan yang ada. Mereka bersikap dan berperilaku yang cenderung
38
Soerjono Soekanto, Kumpulan istilah-istilah Sosiologi, (Jakarta: UI Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial, 1977), h. 51 dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di
Pedesaan (Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita, 1988), h.63.
39
Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam
Masyarakat Modern, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal.3.
40
S. P. Varma, Teori Politik Modern, hal.197.
35
memelihara dan mempertahankan struktur masyarakat secara jelas
dapat menguntungkannya.
b. Elit politik liberal. Kelompok ini bersikap dan berperilaku yang
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakat
untuk meningkatkan status sosial mereka. Tipe ini cenderung terbuka
terhadap golongan masyarakat yang bersangkutan agar mampu
bersaing secara sehat untuk menjadi elit, dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan elit. Elit politik ini cenderung berorientasi pada
kepentingan masyarakat umum sehingga mereka juga akan bersikap
tanggap atas tuntutan masyarakat.
c. Pelawan elit. Pada tipe ini, para pemimpin berorientasi pada khalayak
dengan cara menentang segala bentuk kemapanan maupun dengan cara
menentang segala bentuk perubahan. Umumnya kelompok ini bersifat
ekstrim, tidak toleran, anti intelektualisme, beridentitas superioritas
rasial tertentu, dan menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan
aspirasinya.41
Perubahan pada proses politik terjadi oleh karena kaum elit politik
mengubah sikap mereka terhadap proses tersebut. Perubahan tersebut juga
bisa karena kelompok elit tersebut digantikan atau ditentang oleh satu elit
yang lain karena mempunyai sikap yang berbeda terhadap proses politik.
41
Ramlan Surbekti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hal.76.
36
Kaum elit yang tidak memegang kekuasaan akan lebih cenderung merasa
berkepentingan dengan perluasan partisipasi politik untuk meraih kekuatan
dan juga untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan politik.42
42
Samuel Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,
penerjemah Sahat Simamora (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 39-41.
37
BAB III
SURIAH SPRING
Suriah spring adalah gelombang demonstrasi di Suriah dengan tujuan
menumbangkan rezim pemerintahan. Suriah spring merupakan efek domino
dari peristiwa Arab spring. Arab spring mengacu kepada sebuah keadaaan
saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena
ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi,
kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan
sosial,
sehingga
mendorong
rakyat
untuk
berusaha
menggulingkan
pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan yang baru.
Revolusi tersebut memanfaatkan pemberontakan sipil dalam kampanye
dengan melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media
sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype. Tujuannya ialah
mengorganisir dan meningkatkan kesadaran khalayak terhadap usaha-usaha
penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.43
Motor penggerak revolusi tersebut adalah para pemuda berpendidikan
di masing-masing negara Timur Tengah yang dilanda revolusi. Revolusi
tersebut menekankan bahwa kekuasaan otoriter sudah tidak tepat diterapkan
di negara Timur Tengah dan ingin mengubahnya menjadi demokrasi.
Arab Spring yang dimulai pada tanggal 18 Desember 2010 di negara
Tunisia kemudian menjalar ke negara-negara Arab lain diantaranya; Mesir,
43
Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah., hal. 12
38
Libya, Bahrain, Oman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Kuwait, Lebanon,
Sudan, dan perbatasan Israel.
Dalam kekusutan revolusi di Timur Tengah, tidak sedikit campur tangan
pihak asing yang turut memanfaatkan momentum tersebut seperti Cina,
Rusia, Amerika Serikat.
1. Lahirnya Negara Suriah
Suriah pada awalnya merupakan bagian dari negara Republik Arab.44
Nama Suriah atau Syria berasal dari bahasa Arab, al-Sham atau Levant dalam
bahasa Inggris. Daerah yang ditunjuk oleh kata ini telah berubah dari waktu ke
waktu. Suriah terletak di ujung timur Mediterania, antara Mesir dan Saudi
Arabia di selatan dan Kilikia di utara, Peregangan pedalaman untuk
memasukkan Mesopotamia, dan memiliki batas pasti ke timur laut yang
menggambarkan dari barat ke timur, Commagene, Sophene , dan Adiabene.
Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sejarah
Suriah.45 Suriah memiliki bahasa resmi bahasa Arab dengan satuan mata uang
Pound Syria.
Sebagai sebuah negara dengan berbagai entitas46 di dalamnya, Suriah
44
H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
5 ed. (Jakarta : UI-Press, 2008), hal. 224.
45
Suriah terletak di pantai Timur Laut Tengah; di utara berbatasan dengan Turki, di timur
berbatasan dengan Irak, di barat berbatasan dengan Lebanon dan Laut Tengah, di selatan
berbatasan Yordania dan Israel, beribu kotakan Damaskus Luasnya 185.180 km2, penduduknya
12.254.000, kepadatan penduduk 66/km2. Sumber : Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van
Hoeve 1999, hal 321, tetapi dalam Ensiklopedi Geografi, Intermassa, cetakan tahun 1990, hal 217,
bahwa penduduk Syiria berjumlah 12.210.000, dan kepadatan penduduk 65/km2.
46
Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun
th
39
terdiri atas mayoritas komunitas Muslim Sunni 75%, yang secara historis tetap
dominan, dan beberapa komunitas minoritas lainnya; Kristen 19%, dan
beberapa sekte Islam heterodoks, Alawiy 11,5%, Druze 3%, dan Ismailiy
1,5%, yang sebagian besar di pedesaan, khususnya kaum Alawiy.47
Keadaan geografi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
sejarah Suriah, negeri yang sudah dihuni manusia sejak zaman batu. Bukti
arkeologi menunjukkan bahwa Suriah pernah menjadi salah satu pusat
peradaban tertua di dunia. Karena terletak di persilangan jalur perdagangan
dan militer antara Laut Tengah, Mesopotamia, dan Mesir, maka Suriah
menjadi sasaran penyerbuan dari negara-negara tetangganya.
Suriah juga merupakan tempat sejarah Kekristenan yang paling
berpengaruh; Saulus dari Tarsus telah melewati Jalan ke Damaskus, kemudian
dikenal sebagai Rasul Paulus, dan muncul sebagai tokoh penting dalam Gereja
Kristen terorganisir pertama di Antiokhia di Suriah kuno, yang mana ia
meninggalkan jejak perjalanan misionaris.
Pada 1920, Kerajaan Suriah didirikan oleh Faisal I dari keluarga
Hashimiah, yang kemudian menjadi Raja Irak . Namun, pemerintahannya di
Suriah berakhir setelah hanya beberapa bulan, setelah bentrokan antara
pasukan Arab Suriah dan pasukan Perancis pada Pertempuran Maysalun.
Pasukan Perancis menduduki Suriah setelah konferensi San Remo dan
tidak harus dalam bentuk fisik.
47
Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam (Penerbit Tiara Wacana, 2001), hal. 59.
40
meminta kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk menempatkan Suriah di bawah
mandat Perancis.48
Pada tahun 1925 Sultan Pasha al-Atrash memimpin pemberontakan di
Druze dan menyebar ke seluruh bagian Suriah dan Lebanon. Hal ini dianggap
sebagai salah satu revolusi yang paling penting terhadap mandat Perancis,
karena pertempuran mencakup seluruh Suriah dan menyaksikan pertempuran
sengit antara pemberontak dan pasukan Prancis. Pada 23 Agustus 1925 Sultan
Pasha al-Atrash resmi menyatakan revolusi melawan Perancis, dan segera
meletus
pertempuran
di
Damaskus,
Homs
dan
Hama.
Al-Atrash
memenangkan beberapa pertempuran melawan Prancis pada awal revolusi,
terutama Pertempuran Al-Kabir pada tanggal 21 Juli 1925, Pertempuran alMazra pada tanggal 2 Agustus 1925, dan pertempuran di dataran Almsifarh
dan Suwayda.
Setelah mengalami kekalahan, kemudian Perancis mengirimkan ribuan
pasukan ke Suriah dan Libanon dari Maroko dan Senegal yang dilengkapi
dengan senjata modern. Hal ini secara dramatis mengubah hasil pertempuran
dan mengizinkan Prancis untuk memperoleh kembali banyak kota, meskipun
perlawanan berlangsung sampai musim semi 1927. Perancis menghukum mati
Sultan al-Atrash, tapi ia melarikan diri dan kemudian para pemberontak
akhirnya diampuni oleh Perancis. Ia kembali ke Suriah pada 1937 setelah
penandatanganan Perjanjian Perancis – Suriah.
48
Peter N Stearns, William Leonard Langer, Ensiklopedi of World History “The Midle
East”, Houghton Mifflin Books, London, hal 761.
41
Suriah dan Perancis merundingkan 7% perjanjian kemerdekaan pada bulan
September 1936, dan Hashim al-Atassi, yang merupakan Perdana Menteri di
bawah pemerintahan Raja Faisal, adalah presiden pertama yang dipilih di
bawah konstitusi baru, yang juga merupakan titik awal pertama dari republik
modern Suriah. Namun, perjanjian tersebut tidak pernah berlaku karena
legislatif Perancis menolak untuk meratifikasinya. Dengan jatuhnya Perancis
pada tahun 1940 selama Perang Dunia II, Suriah berada di bawah kontrol
Pemerintah Vichy sampai Inggris dan Perancis Merdeka dan menduduki
negara itu kembali pada bulan Juli 1941. Suriah memproklamirkan
kemerdekaannya lagi tahun 1941, namun tidak sampai 1 Januari 1944 negara
tersebut diakui sebagai republik merdeka. Pada bulan April 1946, Prancis
mengundurkan tentara mereka karena mendapat tekanan dari kelompokkelompok nasionalis Suriah dan Inggris, dan kemudian meninggalkan Suriah
di tangan pemerintahan republik yang telah terbentuk selama mandat.49
Melihat ada cara untuk mempertahankan posisinya melalui manuver dalam
negeri, pemerintah Suriah berbalik ke Mesir dan meminta bantuan kepada
Presiden Gamal Abdul Nasser. Diskusi tentang persatuan antara Suriah dan
Mesir telah dilaksanakan pada tahun 1956 tetapi sempat tergangu oleh krisis
Terusan Suez. Kemudian opsi tentang persatuan Mesir dan Suriah kembali
dibicarakan pada bulan Desember 1957, ketika Partai Ba‟ath mengumumkan
bahwa telah terjadi perundingan untuk bersatu dengan Mesir.
49
Background : Syria “bureau of Near Eastren Affairs”, United States Dapartment of
State, May 2007.
42
Persatuan Suriah dan Mesir di Republik Persatuan Arab (RPA)
diumumkan pada tanggal 1 Februari 1958, dan kemudian diratifikasi oleh
plebisit50 di setiap negara. Namun, bentuk RPA bukan seperti apa yang telah
disiapkan oleh para anggota partai Ba‟ath. Salah satu alasan Nasser untuk
menyutujui bentuk serikat adalah bahwa kedua negara benar-benar
terintegrasi. Persatuan ini tidak berjalan lama, sehingga pada 28 September
1961 terjadi kudeta militer dan membuat Suriah akhirnya memisahkan diri dan
kembali menjadi negara Republik Suriah. Kemudian, kabinet baru dibentuk
dengan partai Ba‟ath sebagai penguasanya.
Kudeta militer kembali terjadi di Suriah pada 13 Nopember 1970, dimana
Menteri Pertahanan Suriah pada masa itu, Hafiz al-Assad, menobatkan dirinya
sebagai Perdana Menteri.
Selama Suriah berada di bawah kepemimpinan Hafez Al-Assad, hingga ia
tutup usia pada 10 Juni 2000. Kemudian, tampuk kepemimpinan dilanjutkan
oleh anaknya, Bashar Al-Assad, hingga saat ini.
2. Transisi Kepemimpinan kepada Bashar al-Asad
Presiden Suriah hingga saat ini adalah Bashar al-Asad. Ia menjabat
sebagai presiden sejak tahun 2000 menggantikan mendiang ayahnya, Hafiz
al-Asad yang meninggal pada tahun yang sama. Selain sebagai presiden,
Bashar juga menjabat sebagai Sekertaris Wilayah partai Ba‟ath.
50
Pemungutan suara umum untuk menentukan status daerah tersebut.
43
Pada mulanya, pilihan untuk meneruskan tampuk kepemimpinan jatuh
kepada Rif‟at Al-Asad, yang merupakan adik dari Hafiz Al-Asad, kepala
pusat pertahanan, sebelum akhirnya badan tersebut bergabung kedalam
Syirian Army pada pertengahan tahun1980an. Namun akhirnya, kepercayaan
padanya hilang setelah ia terang-terangan melakukan konspirasi untuk
menurunkan kakaknya, Hafiz Al-Asad, saat ia koma.
Setelah sembuh dari koma, Hafiz mulai menurunkan adiknya dari kursi
pemerintahan, dan berakhir dengan pemecatan Rif‟at dari posisinya sebagai
wakil Presiden bagian keamanan nasional.
Pilihan selanjutnya untuk meneruskan kepemimpinan jatuh kepada anak
tertuanya, Basil Al-Asad. Pada permulaan tahun 1990, Hafiz bekerja keras
mempersiapkan Basil untuk menjadi presiden Suriah selanjutnya. Namun,
kecelakaan mobil pada tahun 1994 telah merenggut nyawa Basil.
Ketika saudaranya meninggal dalam kecelakaan, Bashar Al-Asad, salah
satu anak laki-laki Hafiz, sedang menempuh pendidikan dokter spesialis mata
(ophthalmology)51. Pidato resmi selama pemakaman Basil, berkali-kali
mengarahkan bahwa penerus selanjutnya adalah Bashar. Segera setelah itu,
usaha peningkatan kekuasaan pada Bashar pun dimulai. Ia ditugaskan untuk
menggantikan posisi kakakanya, Basil Al-Asad, sebagai pasukan penjaga
keamanan negara. Setelah tahun 1998, ia dipercayakan untuk mengemban
tanggung jawab atas kebijakan negara Suriah terhadap Lebanon dan
memimpin kampanye melawan korupsi.
51
Oftalmologi adalah spesialis medis yang berurusan dengan diagnosis dan pengobatan
gangguan yang mempengaruhi mata dan bagian terkait dari sistem visual.
44
Bashar dilatih secara bertahap agar siap menggantikan ayahnya sebagai
presiden. Persiapan tersebut dilakukan melalui tiga tahap; pertama, dibangun
sebuah kekuatan dukungan untuk Bashar di bidang militer dan perlindungan.
Kedua, membangun kesan dan figur sosok seorang Bashar al-Asad. Ketiga,
Bashar diperkenalkan lebih mendalam dengan mekanisme untuk mengatur
negara. Sementara persiapan Bashar terus dilaksanakan, Hafiz Al-Asad secara
hati-hati terus mengganti anggota pasukan keamanan yang terlihat menolak
pengangkatan Bashar sebagai penggantinya kelak. Salah satu orang
terkemuka yang ikut dicopot dari posisinya adalah Hikmat al-Shihabi52,
seorang kepala staff angkatan bersenjata.53
Transisi kepemimpinan Hafiz Al-Asad kepada putranya, Bashar Al-Asad,
tahun 2000 berjalan begitu lancar. Tidak ada pergolakan menentang
kepemimpinan Bashar saat itu. Untuk meluruskan rencana tersebut, Hafiz pun
telah merubah konstitusi perihal batas minimal seseorang untuk menjadi
presiden yaitu menjadi minimal 34 tahun agar Bashar bisa segera menduduki
posisi presiden tersebut. Untuk mencapai posisi presiden itu pun, Bashar AlAsad
mendapat
kenaikan
pangkat
menjadi
Letnan
Jenderal
dan
menetapkannya sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata Suriah.
Transisi kepemimpinan tersebut tidak lepas dari peran para petinggi di
52
Hikmat al-Shihabi (8 Januari 1931 – 5 Maret 2013) adalah seorang perwira militer
Suriah, yang pernah menjabat sebagai kepala staf pasukan militer Suriah antara 1974 hingga 1998.
Shihabi lahir dari sebuah keluarga Sunni pada tahun 1931 di kota Al Bab, propinsi Aleppo. Ia
meniti karir militernya dengan masuk di sekolah militer Suriah di kota Homs dan kemudian ia
melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.
53
Nadjib Ghadbian “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” Middle
East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) hal. 626
45
pemerintahan seperti, menteri pertahanan Letnan Jenderal Mustafa Tlas,
kepala staf angkatan bersenjata Letnan Jenderal „Ali Aslan, Mayor Jenderal
„Asif Shawkat, Mayor Jenderal Bahjat Sulayman yang merupakan saudara
ipar Bashar dan juga petinggi di badan intelijen, dan kepala badan keamanan
negara Mahir Al-Asad yang juga merupakan adik Bashar Al-Asad. Satusatunya orang yang bukan termasuk sekte Alawiy adalah Mustafa Tlas yang
telah berkarir di militer sejak Hafiz Al-Asad berkuasa.
3. Pemerintahan Bashar al-Asad
a. Kebijakan Luar Negeri
Saat melaksanakan tugasnya sebagai presiden, awalnya Bashar
memiliki sikap yang berbeda dengan mendiang ayahnya. Ada beberapa
kebijakan yang dilanjutkan olehnya, namun ada pula yang berbeda untuk
membuktikan bahwa sikap yang ia ambil lebih efektif dan berhasil.
Kebijakan yang dilanjutkan oleh Bashar terutama pada kebijakan luar
negeri diantaranya alasan proses damai negara Arab dengan Israel,
kehadiran militer Suriah di Lebanon, dan hubungan Suriah dengan dunia.
Permasalahan dataran Golan yang diambil dari Suriah oleh Israel, dan
keengganan Israel untuk mengembalikan seluruh wilayah yang merupakan
wilayah Suriah sebelum tahun 196754 dan seluruh perjanjian dengan
54
Perang Enam Hari (Milkhemet Sheshet HaYamin) atau Perang Arab-Israel 1967 adalah
perang antara Israel menghadapi tiga gabungan negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah.
Negara Arab tersebut mendapat bantuan dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan, dan Aljazair.
Perang tersebut berlangsung 6 hari. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan
46
mengembalikan kembali wilayah Palestina seperti sebelum terjadinya
intifada Al-Aqsha.55 Di lain pihak, kepemimpinan Bashar tidak segera
melanjutkan negosiasinya dengan Israel perihal dataran tinggi Golan.
Padahal semasa ia menjabat sebagai presiden, Hafiz Al-Asad, selalu
menekan Israel untuk segera mengembalikan datarang tinggi Golan. Apa
yang dilakukan Hafiz Al-Asad tersebut membuat rakyat Suriah dan Arab
begitu menghormatinya. Selain itu, mereka juga menghormatinya karena
perbedaan sikap yang ditunjukkan Hafiz Al-Asad terhadap Israel berbeda
dengan para pemimpin negara Arab lainnya, seperti Anwar Sadat (Mesir),
Raja Husein (Jordania), dan pemimpin PLO Yasir „Arafat yang bersedia
menandatangani perjanjian damai dengan Israel, dan hal tersebut
merupakan penghinaan bagi rakyat Arab.56 Hafiz Al-Asad juga menolak
melakukan hal ramah tamah kepada pemimpin Israel walaupun menteri
luar negeri Suriah berjabatan tangan dengan perdana menteri Israel.
Sebelum terjadinya intifada kedua, Suriah dan Israel sudah memulai
hubungan yang semakin baik untuk mencapai kesepakatan damai.
Keduabelah pihak menyadari kepentingan atas kesepakatan damai
tersebut. Setelah meninggalnya Hafiz, terlihat berbagai tanda kesediaan
terhadap pangkalan udara Mesir karena takut akan invasi dari Mesir. Kemudian, Yordania
menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akir perang. Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur
Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Sumber : Wikipedia Indonesia.
55
Intifada adalah gelombang kerusuhan dalam bahasa Arab. Intifada di Palestina terjadi
dua kali. Pertama pada tahun 1987 hingga 1993, dan kedua pada 28 Sepetmber tahun 2000 hingga
8 Februari 2005 yang lebih dikenal dengan Intifada Al-Aqsha. Intifadah Al-Aqsha merupakan
pemberontakan kedua Palestina atas pendudukan Israel di negara tersebut. Kejadian tersebut
dimulai pada saat Ariel Sharon berkunjung ke wilayah masjid Al-Aqsha dengan membawa 1000
pasukan militer ke wilayah tersebut.
56
Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 627.
47
untuk melanjutkan perundingan. Namun presiden baru, Bashar Al-Asad,
tidak juga mencanangkan proses tersebut.
Kebijakan luar negeri selanjutnya adalah pendudukan tentara Suriah di
Lebanon. Permintaan penarikan kembali pasukan militer Suriah di
Lebanon semakin kencang seiring dengan penarikan kembali pasukan
Israel dari selatan Lebanon. Lebanon merupakan negara yang menjadi
pemisah antara nergara Suriah dan Israel. Banyak keuntungan yang
didapat oleh Suriah atas kehadiran tentara Suriah di negara tersebut. Ada
tiga sektor ekonomi yang di dapat Suriah atas pendudukan ini, yaitu para
perwira militer dan keamanan Suriah terlibat dalam penyeludupan,
pengusaha Suriah yang memanfaatkan bank Lebanon dan lembaga
keuangan yang bersifat liberal, dan hampir setengah juta tenaga kerja
Suriah yang sekarang ini bekerja di Lebanon.57
Namun keuntungan tidak hanya didapat oleh pihak Suriah tetapi juga
pihak Lebanon. Ada golongan Lebanon yang mendapat keuntungan atas
pendudukan tentara Suriah tersebut, diantaranya adalah gerakan Hizbullah,
yang mendapat dukungan kuat dari Suriah dan Iran selama gerakan
tersebut berperang melawan Israel. Selanjutnya, Hizbullah bertransformasi
menjadi sebuah gerakan politik dan bekerja dari dalam sistem,
mengadvokasi dan mendukung rakyat yang tertindas dalam kehidupan
masyarakat di Lebanon. Sejauh ini, Hizbullah dapat memanfaatkan
57
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 629.
48
perannya dalam kemenangan atas pasukan Israel.
Penarikan kembali pasukan Israel dari Lebanon tidak membuat
pasukan Hizbullah menerima begitu saja. Pemimpin golongan tersebut
menginginkan bahwa untuk mencapai kesepakatan damai, Israel harus
mengembalikan perkebunan Seb‟a, sebuah wilayah yang Israel ambil pada
perang tahun 1967, dan juga pembebasan tahanan-tahanan Lebanon dari
penjara Israel, yang sebagian merupakan aktivis Hizbullah. Pihak Israel
juga menghitung bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Israel untuk bertahan
akan jauh lebih besar ketimbang penarikan mundur. Hal itu pula yang
menjadi pertimbangan keberadaan pasukan Israel di Lebanon, dan dengan
penarikan mundur, Israel berharap juga dapat memperdalam kertakan
antara Suriah dan Lebanon atas gagasan ketidakterpisahkan kepentingan.
Banyak rakyat Lebanon menetang keberadaan pasukan Suriah dan
penentangan
tersebut
semakin
hari
semakin
membesar.
Mereka
berpendapat bahwa kepentingan nasional Suriah dengan Lebanon tidaklah
sama. Mendapat penentangan yang besar, Gerakan Hizbullah mencari
dukungan dari kelompok-kelompok pro-Suriah dan juga terus berusaha
menentang usaha-usaha yang dilakukan Lebanon untuk berhenti
bekerjasama dengan Suriah. Selain Hizbullah, keberadaan pasukan militer
Suriah juga mendapat dukungan dari kelompok Syiah Lebanon “Amal”,
serta politisi Sunni Lebanon.58 Pada 14 Juni 200559, ribuan pasukan Suriah
58
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 630.
49
dievakuasi dari sekitar Beirut dan menyerahkan barikade mereka kepada
tentara Lebanon.
Pada Agustus 2001, tentara Lebanon menahan ratusan pendemo dan
massa pro-oposisi Lebanon. Tindakan keras ini diambil akibat kemelut
politik, sejak hal tersebut mengambil posisi tanpa pemeberitahuan
sebelumnya dari Perdana Menteri, dan diikuti oleh vonis hukuman dari
politisi dan anggota persatuan ahli hukum. Ketika sebagian besar
demonstran dibebaskan secara langsung atau pun diberikan hukuman yang
ringan, penangkapan tersebut merupakan pengingat dari pendukung Suriah
dalam tentara Lebanon atas bahaya menjadi oposisi dari persaudaraan
tentara Suriah atau “Brotherly Syrian Army”.60
Ketika penarikan kembali seluruh tentara Suriah tidak dapat dihindari,
kedua, Suriah dengan Lebanon, negara yang mendapatkan keuntungan dari
konflik Suriah di dalam negara tersebut akan menentang pergerakan
apapun yang akan mengancam kepentingan dan hak istimewa yang
mereka dapatkan. Perang sipil yang terjadi di Lebanon telah menyebabkan
Lebanon dan Suriah tidak mempu untuk tidak mencampuri masalah negara
masing-masing sejak hubungan antara mereka terjalin ketika tentara
Suriah memasuki wilayah Lebanon pada tahun 1967.
Kebijakan luar negeri Suriah selanjutnya adalah hubungan antar
59
“Penarikan Pasukan Suriah dari Lebanon,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari
http://www.dw.de/penarikan-pasukan-suriah-dari-lebanon/a-2957553
60
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 631.
50
pemimpin negara-negara di sektor regional dan internasional. Setelah
dalam jangka waktu yang lama terisolasi hingga pada tahun 1980an, Hafiz
Al-Asad membuat strategi dan menawarkan kembali bantuan agar Suriah
dapat kembali hadir dalam tatanan dunia pasca perang dingin. Hafiz
menyadari bahwa runtuhnya Uni Soviet sebagai penyokong utama Suriah
dan juga salah satu pemeran utama dari perang dingin, dapat memperkeruh
kondisi negaranya sehingga mempersulit Suriah untuk meraih kesamaan
derajat dengan Israel. Untuk memulihkan kembali kondisi dimana banyak
sekutu Suriah yang hilang, namun juga mengambil kesempatan untuk
menjadi salah satu negara yang mengendalikan tatanan dunia, Hafiz alAsad membuat keputusan untuk bergabung dengan dengan koalisi
Amerika untuk menentan Iraq selama Perang Teluk tahun 1990 hingga
1991, walau pun hal tersebut sangat jelas melanggar keyakinan partai
Ba‟ath, yang juga merupakan partai yang sama dengan pemerintahan Iraq.
Langkah berikutnya yang diambil Suriah adalah menghadiri konferensi
perdamaian di Madrid pada Oktober 1991. Langkah tersebut dapat
membuat Suriah mendapatkan pinjaman dan bantuan keuangan dari
negara-negara Teluk, dan dapat memperlemah langkah rivalnya, Saddam
Husein, memasuki proses yang akan membuat Suriah mendapatkan
dataran tinggi Golan kembali, sehingga dapat meringankan beban
negaranya untuk anggaran militer dan mengeluarkan Suriah dari Isolasi
dan merubah pandangan public atas Suriah sebagai negara miskin.
51
Saat ini, Suriah memiliki hubungan baik dengan negara-negara teluk
Arab, Iran, Mesir, dan Jordania sepeninggal Raja Husein. Selama tahun
pertama Bashar al-Asad memerintah, Jordania dan Suriah telah menambah
hubungan ekonomi bilateral. Dari segi politik, kedua negara telah
meningkatkan hubungan mereka dan mengurangi kritik posisi masingmasing
negara
terhadap
Israel.
Jordania
telah
mengungkapkan
dukungannya terhadap Suriah dalam upaya mendapatkan kembali dataran
tinggi Golan. Suriah telah membebaskan tahanannya yang berkebangsaan
Jordania, ketika pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah meninggalkan
pengasingannya di Amman, Jordania. Peningkatan hubungan antara dua
negara sejak kepergian Raja Husein dan Hafiz al-Asad, dapat ditunjukkan
sebagian dalam pergantian kepemimpinan dan kesamaan pandangan
pragmatis atas pemimpin baru Damaskus dan Amman.61
Setelah menjadi presiden, Bashar al-Asad juga memperbaiki hubungan
antara pemerintahan Suriah dengan Yasir Arafat. Semasa hidup Hafiz alAsad, Arafat merupakan orang yang dengan penuh kegigihan menentang
usaha Hafiz untuk menguasai PLO62. Selama beberapa tahun, Yasir
menjadi persona non grata63 di Damaskus. Masing-masing pihak
61
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 632.
PLO (Palestine Liberation Organisation) atau yang lebih dikenal dengan Organisasi
Pembebasan Palestina adalah sebuah lembaga politik resmi bangsa Arab Palestina yang telah
mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Organisasi ini didirikan pada tahun 1969 dengan
ketuanya, Yasir Arafat. Ia memimpin hingga tahun 2004. Organisasi ini merupakan sebuah wadah
untuk mempersatukan semua organisasi perlawanan demi memperjuangkan wilayah Palestina di
tanah Arab.
63
Persona non grata adalah istilah dalam bahasa Latin yang dipakai dalam perkancahan
politik dan diplomasi internasional. Secara harfiah berarti orang yang tidak diinginkan. Orangorang yang termasuk dalam persona non grata biasanya tidak boleh hadir di suatu tempat atau
62
52
menyalahkan atas ketiadaan kordinasi dalam negosiasi dengan Israel, yang
mana memungkinkan pemerintah Israel mempermainkan salah satu pihak
untuk melawan yang lain.
b. Kebijakan Ekonomi
Kepemimpinan Bashar diharapkan dapat memberikan perubahanperubahan pada bidang perbaikan ekonomi, sistem politik, dan birokrasi.
Menjelang berlangsungnya kepemimpinan Bashar al-Asad, telah beredar
kabar bahwa akan ada perbaikan di bidang ekonomi dan sistem politik.
Pada kedua bidang tersebut, Bashar mengerahkan dukungan penuh dan
mempererat kekuasaannya.
Sebelum kepergian ayahnya, Bashar telah melakukan kampanye anti
korupsi, dan memecat Jenderal Muhammad Bashir al-Najjar, yang
merupakan kepala bagian intelejen dengan tuduhan korupsi. Al-Najjar
dikeluarkan dari posisinya dan dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara
atas dakwaan korupsi yang ia lakukan pada tahun 1998. Kampanye
tersebut
mencapai
puncaknya
dengan
pembubaran
kabinet
dan
pembentukan kabinet baru pada Maret 2000.64 Kampanye tersebut
membuat rakyat dan aktivis Suriah beranggapan bahwa Bashar akan
menciptakan perubahan dalam negera tersebut.
negara. Apabila ia sudah ada di negara tersebut, ia harus dideportasi.
64
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 633
53
Pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad, perekonomian Suriah berada
dibawah negara-negara disekitarnya ditambah dengan permasalahanpermasalahan seperti korupsi, kelebihan tenaga kerja yang tidak sesuai
dengan jumlah lapangan kerja, inefisiensi atau tidak tepat guna dalam
menelola keuangan negara. Pendapatan perkapita Suriah sekitar 1.000
dollar, tertinggal jauh dengan Lebanon yang mencapai angka 3.000 dollar,
dan Israel dengan 17.000 dollar. Pengangguran diperkirakan berjumlah
sekitar 22%, dan negara membelanjakan lebih dari 7% dari PNB dan
hampir 50% dari anggaran adalah untuk pembiayaan militer dan pasukan
keamanan. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya sumber daya alam,
jumlah militer yang terlalu besar, berkurangnya bantuan luar negeri,
korupsi, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu sekitar 3,15%.65
Kondisi tersebut membuat pemuda Suriah bersedia mendukung segala
kebijakan yang dapat memperbaiki perekonomian di negara tersebut
termasuk mendukung Bashar yang juga menggagas ide pembaharuan
tersebut. Perekonomian Suriah membutuhkan perubahan struktural yang
diadopsi dari negara-negara sosialis Eropa Timur. Mendiang presiden
Hafiz al-Asad melakukan liberalisasi ekonomi dengan setengah hati, yang
mana termasuk pengokohan pada sektor swasta dan mendorong investasi
asing. Peningkatan sektor bisnis di Suriah menjadi dukungan untuk Bashar
dalam usahanya mengarahkan sektor ekonomi pada menuju ekonomi
liberal dan mengarahkannya ke arah pasar bebas.
65
Ghadbian, “ The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 634.
54
Perbaikan ekonomi yang Bashar al-Asad canangkan pada awal
penobatannya sebagai presiden, tetap ia laksanakan. Namun, kerja
kerasnya dalam memperbaiki perekonomian dalam negeri hanya dirasakan
oleh mereka yang dekat, memiliki hubungan, serta ikatan keluarga dengan
rezim. Tekadnya untuk memberantas korupsi hanya sampai pada pidatopidato awal pemerintahannya saja.66
Tahun 2004, Suriah dikenai sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat yang
membuat kegiatan eksport-import negara tersebut terbatas dan sempat
menyebabkan gejolak anti pemerintah oleh kalangan rakyat Suriah.67
Banyak industri-industri produktif yang sebelumnya mampu menyerap
banyak tenaga kerja muda dibongkar pada saat Bashar al-Asad
memerintah, sehingga memperbanyak pengangguran pada usia kerja.
Perekonomian diubah menjadi perekonomian rente yang dikontrol dan
dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan rezim yang
berkuasa. Sebanyak 81 persen lulusan perguruan tinggi membutuhkan
waktu paling kurang empat tahun untuk mendapatkan pekerjaan pertama
mereka.
Pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan
66
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 75.
Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Suriah guna memperkuat
tekanan politik Washington terhadap Damaskus. Presiden George W. Bush memerintahkan
larangan semua jenis ekspor kecuali bahan pangan dan obat-obatan dan melarang hubungan
lalulintas udara dengan Suriah. Tindakan itu didasarkan pda tuduhan bahwa selama ini Suriah telah
mendukung terorisme dan bercita-cita memiliki senjata pemusnah massal. Bush menjanjikan
pencabutan sanksi, bila Suriah bersedia bekerjasama dalam perang anti terror. Wakil pemerintah
Suriah menyatakan, Damaskus tetap ingin melakukan dialog dengan AS. Sumber
http://www.dw.de/as-jatuhkan-sanksi-terhadap-suriah/a-2953511
67
55
pekerjaan dan sumber daya alam yang semakin menipis. Produksi minyak
per hari pada tahun 2010 hanya 385.000 barrel, jauh di bawah tahun 1996
yaitu, 583.000 barrel.68
Perubahan iklim yang ekstrem sejak sepuluh tahun terakhir membuat
Suriah dan negara-negara Timur Tengah semakin kering.69 Hal tersebut
berpengaruh kepada sektor pertanian yang menghasilkan 20 persen GDP
Suriah. Karena semakin buruknya kondisi perekonomian, muncul sikap
ketidakpuasan terhadap rezim yang berkuasa mulai dari kelompok
ekonomi terpinggirkan. Perbaikan sektor ekonomi tanpa adanya reformasi
dari sistem politik dirasa penuh keraguan oleh kalangan intelektual Suriah.
c. Kebijakan Politik
Bashar mewarisi sistem politik satu partai, yang didominasi oleh
militer yang beraliran sekte Alawi. Sistem tersebut terdiri dari
pemerintahan resmi dan pemerintahan bayangan. Pada pemerintahan
resmi, terdapat institusi seperti kabinet, parlemen, kepengurusan partai
Ba‟ath, dan beberapa partai kecil. Keputusan yang sebenarnya dibuat
dibelakang pemerintahan resmi tersebut, pada sebuah golongan kecil yang
berisikan kepala pemerintahan yang bertugas untuk memelihara kestabilan
68
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 88
Banyak wilayah di Suriah yang mengalami kekeringan akibat penurunan curah hujan.
Banyak desa, kampung-kampung, dan ladang-ladang ditinggalkan, mengungsi ke wilayah-wilayah
kumuh di kota-kota besar. Tahun 2009, International Institute for Sustainable Development
mencatat akibat penurunan curah hujan dan langkanya cadangan air menyebabkan sekitar 160 desa
di Suriah bagian utara pada periode 2007 – 2008, ditinggalkan penduduknya. Kekeringan juga
mengakibatkan banyak ternak yang mati. Sumber Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah :
Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 91-92.
69
56
rezim. Hanna Batatu, seorang ahli sejarah Timur Tengah, mengemukakan
bahwa 61% dari pemerintahan bayangan tersebut menganut sekte Alawi.
Pemerintahan bayangan ini memberikan jawaban kepada presiden yang
bersifat mutlak. Orang-orang yang berada di luar area pemerintahan dapat
tetap menjalankan pekerjaan mereka dengan tenang selama mereka tidak
ikut campur dalam keputusan politik.
Dari sudut pandang ekonomi politik, pada bagian hak istimewa di
dalam lapisan strata sosial Suriah, sistem ekonomi di Suriah di dominasi
oleh tiga golongan; pertama, pemimpin di sektor publik, kedua pengusaha
kelas kecil, ketiga pelindung kegiatan mereka yaitu dari kalangan
keamanan dan elit militer. Siapa pun yang bekerja sebagai aparat negara
tidak dapat tersentuh dari hukum, sehingga dapat memperkaya diri. Hal
tersebut dibiarkan oleh mendiang presiden, Hafiz al-Asad, untuk kalangan
yang telah setia kepadanya, dan sanggup untuk melakukan segala cara
untuk memelihara keamanan dan stabilitas rezim. Contoh penerapan dari
pemeliharaan keamanan pada era Hafiz al-Asad adalah pada tahun 1982
ketika pasukan keamanan dan elit militer, membombardir kota Hama,
yang menelan ratusan warga sipil.70
Pada tahun pertama pemerintahan Bashar, orang-orang yang bekerja di
pemerintahannya tidak akan ditolerir jika tersangkut kasus korupsi. Bashar
juga memperbaharui sektor-sektor negara namun tetap mempertahankan
70
Riza Shibudi, Menyandera Timur Tengah ( Hikmah Publishing House, 2007) hal. 34.
57
struktur politik yang ada. Kepemimpinan Bashar menjadi harapan baru
bagi rakyat Suriah.
Adanya iklim politik yang baru di Suriah pada saat itu membuat para
cendekiawan Suriah yang tergabung dalam “Kelompok 99”71 melayangkan
surat terbuka untuk meminta presiden segera menghentikan keadaan
darurat dan darurat militer yang berlaku sejak tahun 1963, membebaskan
para tahanan politik dan mengizinkan orang-orang Suriah yang diasingkan
untuk dapat kembali, serta mengabulkan kebebasan politik termasuk
kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kelompok lain yang
mengatasnamakan dirinya sebagai “Friends of Civil Society” juga
mengeluarkan petisi serupa yang disebut “Manifesto 1000”. Pada
manifesto tersebut, menyatakan kembali keinginan yang sama dengan
surat dari kelompok sebelumnya dan juga menambahkan acuan untuk
masyarakat sipil dan keberagaman politik di Suriah. Tokoh terkemuka
pada pergerakan ini adalah Riyad Sayf72. Perkembangan selanjutnya
terjadi forum-forum diskusi yang luas di berbagai tempat yang membahas
tentang masyarakat sipil, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Permintaan selanjutnya datang dari kelompok Ikhwanul Muslimin.
71
Kelompok 99 adalah kumpulan 99 orang yang terdiri dari berbagai latar belakang
seperti cendekiawan, aktivis, pengacara, dosen, seniman, dokter, penulis, ekonom, musisi, jurnalis,
yang mendukung perubahan penuh politik di Suriah. Mereka meluangkan gugatannya pada sebuah
petisi
pada
27
September
2000.
Sumber
:
http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html
72
Riyad Sayf adalah seorang oposisi pemerintah Suriah dan pengusaha terkemuka yang
mendirikan dan memimpin Forum Dialog Nasional. Sayf terpilih ke Parlemen Suriah pada tahun
1994 sebagai wakil dari kelompok independen dan terpilih lagi pada tahun 1998. Selama beberapa
tahun ia memiliki sebuah waralaba Adidas di Damaskus.
58
Kelompok tersebut menyatakan bahwa kepemimpinan Bashar tidaklah sah
dan meminta untuk agar kepemimpinan dapat dipilih secara terbuka.
Permintaan selanjutnya dari kelompok Ikhwanul Muslimin sama dengan
permintaan “Friends of Civil Society”, namun ada penambahan bahwa
pergerakan tersebut harus mendapatkan status resmi di dalam negeri,
karena sebelumnya menjadi anggota dari Ikhwanul Muslimin adalah
terlarang dan dapat dijatuhi hukuman mati.
Dari petisi-petisi tersebut, Suriah mengalami perubahan yang
signifikan. Pada 16 November 2000, pemerintah Suriah membebaskan 600
tahanan politik, anggota partai Ba‟ath Irak, dan anggota komunis.
Selanjutnya, pemerintah Suriah juga mensahkan pendirian surat kabar
swasta, al-Dumari. Minat baca rakyat Suriah meningkat hingga dicetak
75.000 eksemplar pada edisi pertama surat kabar tersebut. Pemerintah juga
melakukan hal yang sama dengan sayap dari partai komunis Suriah yang
telah setia kepada rezim Ba‟ath untuk menerbitkan surat kabar “Suara
Rakyat”. Hal tersebut merupakan kabar gembira bagi sebagian besar
rakyat Suriah. Namun, kalangan intelektual dan oposisi menginginkan
lebih hingga penghapusan menyeluruh atas darurat militer.
Setelah enam bulan semenjak pelantikannya sebagai presiden, dan
segala perubahan yang ia setujui, Bashar al-Asad berubah pikiran. Masa
sebelum Bashar menjabat kembali berlangsung. Forum-forum diskusi
dibatasi dan harus mengikutsertakan petugas keamanan. Siapapun yang
59
ingin menyelenggarakan pertemuan-pertemuan harus mengurus izin
seminggu
sebelumnya,
dan
menyertakan
informasi
tentan
topic
pembicaraan, pembicara, tamu undangan, dan materi pembicara.
Ada dua alasan untuk mengungkung aktifitas kelompok intelektual.
Pertama, keputusan para petinggi rezim dan penjaga keamanan yang
merasa bahwa kritik yang begitu tajam dan lantang terhadap pemerintah
jika tidak ditekan dapat meningkat dan dapat mengancam stabilitas negara.
Kedua, untuk membungkam kelompok intelektual tersebut sehingga
keinginan mereka akan adanya perubahan dalam segi politik dan reformasi
rezim terhenti.
Pasca pencabutan segala permohonan yang dilayangkan dalam petisi
maupun surat terbuka oleh rakyat, kepemimpinan Bashar al-Asad berubah
dari image pembawa perubahan menjadi sama dengan kepemimpinan
mendiang Hafiz al-Asad, diktatoris.
Gerakan tersebut belakangan dikenal dengan “Damaskus Spring”
kurang mendapat antusiasme dari mayoritas rakyat Suriah. Misi gerakan
tersebut tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat Suriah yang
sedang menghadapi masalah ekonomi. Gerakan tersebut juga hadir
bersamaan dengan pecahnya Intifada kedua di Palestina. Para intelektual
penggagas petisi dan surat terbuka mengusung gagasan-gagasan Barat,
suatu hal yang bertentangan dengan semangat anti-Israel dan Barat terebut.
60
Damaskus spring dengan umur yang pendek, namun mampu
menginspirasi lahirnya partai-partai oposisi di pengasingan di luar Suriah.
Salah satunya adalah Partai Pembaharuan Suriah atau Hizb al-Islah alSuri, yang didirikan oleh seorang pengusaha Amerika-Suriah, Farid Nahid
al-Ghadiri.
4. Suriah Spring
Akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011, disaat negara-negara Arab lain
dipenuhi dengan pemberontakan, aksi-aksi demo, dan upaya penggulingan
rezim berkuasa di negara-negara tersebut, Suriah merupakan negeri yang lebih
stabil dibandingkan yang lainnya. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa
rezim Asad dan Suriah tidak akan tersapu angin gelombang revolusi Arab
Spring.
Rezim Asad membangun pemerintahan dengan menempatkan tentara baik
sebagai simbol kekuasaan maupun sebagai suatu alat untuk mengontrol
negara.73 Dalam beberapa kesempatan, tentara digunakan untuk menekan atau
menghadapi rakyat dengan kekerasan demi mempertahankan stabilitas politik.
Rezim ini pun dibangun diatas empat pilar: pertama, kekuasaan di tangan klan
al-Asad. Kedua, rezim ini mempersatukan kaum minoritas Alawi. Ketiga,
mengontrol seluruh aparatur militer intelijen. Keempat, monopoli partai
Ba‟ath atas sistem politik.
Faktor lain yang dianggap sebagai sistem kekebalan bagi Suriah dari
gelombang Arab Spring adalah sikap pemimpinnya yang anti Barat dan
73
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 44.
61
dukungannya terhadap Palestina. Posisi tersebut dianggap menguntungkan
rezim yang berkuasa dan mengukuhkan keyakinan rakyatnya.
Posisi strategis kaum Alawie di Suriah turut menjaga keberlangsungan
pemerintahan rezim Asad. Dari 200.000 tentara militer di Suriah, 70 persen
merupakan Alawie. Sekitar 80 persen perwira militer Suriah pun Alawie. Dan
divisi paling elit di militer Suriah, Garda Republik, dipimpin oleh adik lakilaki Bashar, Maher al-Asad.74Penempatan orang-orang kepercayaan rezim alAsad juga diperhitungkan dalam menjaga stabilitas rezim. Untuk menghindari
pembelotan oleh angkatan udara yang sebagia pilotnya adalah Sunni, orangorang Alawie ditempatkan di bagian logistik, komunikasi, perawatan pesawat,
serta intelijen angkatan udara.
Peristiwa Arab Spring serta kejatuhan para pemimpin negara Timur
Tengah berhembus kencang hingga sampai ke rakyat Suriah. Semangat yang
ditularkan para aktivis dan demonstran di Tunisia dan Mesir melalui video
yang diunggah ke Youtube dan berbagai seruan perlawanan terhadap rezim di
media sosial belum mampu menembus kekebalan yang dimiliki rezim al-Asad
karena pihak keamanan menekan para aktivis tersebut agar tidak melakukan
demonstrasi jika tidak ingin kejadian di Hama pada tahun 1982 terulang.75
Namun, peristiwa penyiksaan terhadap anak-anak sekolah oleh aparat
keamanan di kota Deraa, kota kecil di Suriah yang berbatasan dengan
Yordania dan 100 kilometer sebelah selatan Damaskus, mengubah stabilitas
74
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 85.
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 95.
75
62
kondisi negara tersebut. Pada 6 Maret 2011 muncul sebuah perlawanan di kota
Deraa yang dilakukan oleh para orang tua yang anak-anaknya ditahan oleh
polisi setempat karena membuat grafiti di dinding sebuah bangunan dengan
tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el Nizam (Rakyat ingin menumbangkan
razim).76 Lima belas orang anak sekolah yang dianggap melakukan pembuatan
grafiti tersebut ditahan oleh kepolisian setempat.
Anak-anak yang ditahan tersebut disiksa saat berada di dalam penjara. Hal
tersebut membuat keluarga dan warga marah sehingga menyulut semangat
demonstrasi anti rezim yang awalnya hanya ditujukan kepada Gubernur
setempat.
Perilaku membuat grafiti di dinding tersebut oleh anak-anak sekolah usia
sekitar 10-15 tahun merupakan perbuatan yang mereka tiru dari televisi yang
menyiarkan tentang perilaku serupa yang dilakukan oleh para demonstran di
Tahrir Square, Mesir. Namun, aparat keamanan (mukhabarat) setempat
menganggap hal ini merupakan pembangkangan terhadap rezim, sehingga
mereka merasa perlu menindak tegas aksi tersebut.77 Mereka menganggap,
bahwa anak-anak tersebut adalah perpanjangan tangan para demostran dan
termasuk ke dalam tindakan subversif78.
Tindakan
kekerasan
yang
dilakukan
aparat
keamanan
tersebut,
mengakibatkan warga masyarakat beserta keluarga melakukan aksi protes
76
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 114
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Penyulut Revolusi, 2012, hal. 115.
78
Subversif merujuk kepada salah satu upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur
kekuasaan termasuk negara. Dalam bahasa Latin berarti, asal, awalnya tersebut berlaku untuk
beragam aktivitas sebagai kemenangan secara militer dalam perebutan kekuasaan negara. Diakses
melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Subversif
77
63
yang ditujukan kepada Gubernur kota Deraa, Faisal Khaltoum.
Tanggal 15 Maret 2011 selain di kota Deraa, demonstrasi juga terjadi di
kota pantai Banias. Pemicu protesnya adalah pelarangan kepada para guru
perempuan untuk menggunakan jilbab model Suriah atau niqab oleh rezim
yang berkuasa daerah tersebut.
Protes yang dilancarkan oleh para demostran malah disambut dengan
pemukulan dan pembubaran paksa. Aparat keamanan kemudian melanjutkan
aksinya dengan menyemprotkan gas air mata, air, dan tembakan ke arah para
demonstran hingga menelan korban.
Aksi di atas membuat para demonstran semakin marah dan akhirnya
merambah ke kota-kota lainnya seperti Dayar al-Zor, al-Hasaka, dan Hama.
Tuntutan yang diajukan para demonstran pun akhirnya beragam, yang pada
awalnya hanya sebatas pembebasan kepada anak-anak yang ditahan hingga
menjadi penurunan rezim yang berkuasa.
a. Day of Rage
Kemudian, pada hari Jumat, 18 Maret 2011, terjadi demonstrasi di seluruh
Suriah dan aksi tersebut diunggah ke media sosial hingga menyebar di seluruh
dunia. Melihat begitu banyaknya demonstrasi di wilayah Suriah, pemerintah
pusat tidak bisa tinggal diam. Menyebarnya video perlawanan terhadap
pemerintah ke seluruh dunia dengan bantuan internet membuat pemerintah
pusat mengambil sikap pemadaman aliran listrik dan layanan telepon.
Pemerintah, melancarkan serangan kepada para demonstran secara masif.
Gerakan para demonstran kemudian dijadikan kesempatan bagi para
64
oposisi untuk membantu berjuang bersama menumbangkan rezim yang
berkuasa, Bashar Al-Asad. Kemudian seiring berjalannya konflik, banyak free
rider79 yang turut memperkeruh suasana di Suriah baik itu di pihak oposisi
maupun loyalis pemerintah.
b. Reaksi Internasional
Melihat revolusi yang terjadi di Suriah, pada pertengahan Agustus 2011,
Amerika Serikat (AS), Perancis, Inggris, Uni Eropa, dan Kanada menyatakan
bahwa rezim Suriah tidak lagi sah. Mereka juga menyerukan kepada Bashar
al-Asad agar segera meletakkan jabatannya.
Reaksi internasional berlanjut dengan agenda Resolusi Dewan Keamanan
(DK) PBB. Namun, Rusia dan China, dua negara yang tergabung dalam DK
PBB menggunakan hak veto mereka agar tidak terjadi campur tangan pihak
asing dalam konflik yang terjadi di Suriah. Akibatnya, agenda intervensi
asing gagal diterapkan atas Suriah.80
Liga Arab pun turut memberikan perhatian terhadap masalah yang terjadi
di Suriah. Organisasi regional Arab ini mengutus para pengamatnya ke
Suriah. Mereka menawarkan protocol pengamat Arab yang menjadi bagian
dari resolusi Liga Arab. Saat itu, Suriah bersedia menandatangani protocol
tersebut. Namun, saat protocol berikutnya menawarkan penyelesaian konflik
dengan menyeru agar Bashar al-Asad menyerahkan kekuasaannya, tawaran
tersebut pun ditolak.
79
Free Rider merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok atau
individu yang memiliki kepentingan tersembunyi dengan mencari keuntungan atas suatu masalah
yang sedang terjadi.
80
Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah, hal. 177.
65
Usaha terakhir dunia Internasional adalah dengan dibentuknya gabungan
negara Arab dan Barat. Dalam pertemuan pertama, pihak oposisi pemerintah
meminta pihak rezim Bashar al-Asad untuk melakukan genjatan senjata.
Pertemuan tersebut juga meminta pihak oposisi untuk meloloskan bantuan
dari organisasi kemanusiaan bagi warga sipil yang menjalani penderitaan.
Revolusi Suriah tidak hanya mempermasalahkan sikap otoriter Bashar alAsad, permusuhan antara Sunni dan Syi‟ah, tapi juga keadaan yang diperumit
dengan dugaan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah.
Pertengahan Agustus 2013 merupakan puncak isu penggunaan senjata kimia
di Suriah. Saat terjadi pertempuran di pinggir kota Damaskus, lebih dari 400
orang tewas, yang dilaporkan akibat senjata kimia berupa gas sarin, mustard,
dan VX. Selain ratusan orang tewas, ribuan orang juga terkena dampak gas
beracun tersebut.81
Terkait dengan penggunaan senjata kimia, Presiden Amerika Serikat,
Barack Obama, mencanangkan akan segera melakukan agresi militer ke
Suriah. Namun, niatan tersebut seperti dikaji ulang oleh Barack Obama. Ia
meyakini bahwa intervensi militer Amerika Serikat ke Suriah tergantung pada
persetujuan kongres.82
Tidak hanya Amerika Serikat yang ingin ambil andil dalam konflik di
Suriah, Inggris juga mengusulkan sebuah draft resolusi untuk memperoleh
persetujuan serangan militer ke Suriah dari DK PBB, namun upaya tersebut
pun gagal.
81
“Serangan Senjata Kimia Pemerintah Suriah,” artikel diakses pada 18 Mei 2015 dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/08/130821_suriah_kimia
82
Agastya, Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah, hal. 184.
66
Sampai saat ini, Revolusi Suriah masih terus bergejolak. Jika
dibandingkan dengan negara Arab lain, Revolusi Suriah terbilang sangat
lama.
c. Oposisi Pemerintah pada Suriah Spring
Kelompok oposisi telah hadir jauh sebelum terjadinya Suriah Spring.
1. Free Syirian Army
(FSA) adalah salah satu oposisi yang berperang
melawan pemerintah Suriah. Kelompok ini dipimpin oleh adik dari Hafiz
al-Asad, Rif‟ad al-Asad, yang pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad juga
sempat melakukan kudeta namun gagal. Kelompok ini mendeklarasikan
diri sebagai oposisi melawan pemerintah pada Juli 2011.83
2. Ikhwanul Muslimin yang sudah memberontak pada akhir 1970 dan awal
1980an. Keberadaan dan keanggotaan kelompok tersebut sudah dilarang
oleh pemerintah Suriah terutama sejak tragedi Hama pada Februari 1982.
Kelompok tersebut dipimpin oleh Ali Sadreddine al-Bayanouni.
3. Fron Penyelamatan Nasional (National Salvation Front/NSF) yang
sebagian anggotanya juga merupakan anggota kelompok Ikhwanul
Muslimin. Kelompok ini dipimpin oleh mantan wakil presiden Abdul
Halim Khaddam.
4. National Democratic Gathering (NDG) yang ikut memimpin demonstrasi
tahun 1970an. Kemudian para ketua kelompok tersebut dijadikan tahanan
politik (tapol) saat Hafiz al-Asad masih menjabat sebagai presiden, dan
kembali lagi memimpin aksi massa pada pergolakan Suriah tahun 2011.
83
Philip Gamaghelyan, “A Caution against Framing Syria as an Assad – Opposition
Dichotomy” (2013): hal. 104.
67
Kelompok tersebut merupakan koalisi politik sekular yang dibentuk pada
akhir tahun 1979 oleh lima partai berhaluan nasionalis dan kiri ilegal yaitu,
Uni Sosialis Arab Democratik, Partai Rakyat Demokratik Suriah, Gerakan
Sosialis Arab, Partai Revolusioner Buru
Partai Sosialis Arab Ba‟ath
Demokratik, dan Partai Aksi Komunis.
5. Jabhah al-Nusrah. Kelompok ini disebut sebagai kelompok yang
berafiliasi dengan Al-Qaeda. Kelompok ini ingin mendirikan Khilafah
Islam setelah tumbangnya Bashar al-Asad.
68
69
BAB IV
Analisa Konflik Suriah
Pemberontakan di suatu negara dapat dijelaskan dengan menguji siapa
yang memilliki atau tidak memiliki kemauan untuk memberontak melawan
kelompok yang berkuasa. Begitupun di Suriah, pemberontakan dapat dikaji
melalui seberapa besar kemauan oposisi rezim Al-Asad untuk turun tangan
melawan rezim yang sedang berkuasa tersebut.
Arab spring yang melanda negara-negara Timur Tengah telah memberikan
dampak yang luar biasa bagi keadaan sosial maupun politik bagi Suriah. Kondisi
saat pemerintah tidak lagi mendapatkan kedaulatan dari rakyatnya karena
ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah akibat terjadinya korupsi,
kesewenangan dalam menegakkan peraturan, dan tingginya kesenjangan sosial,
telah mendorong rakyat untuk berusaha menggulingkan pemerintahan yang ada
dan menggantinya dengan yang baru, ternyata tidak serta membuat Suriah
kembali ke kondisi normal. Gelombang yang dimulai pada Desember 2010 di
negara Tunisia dan kemudian menjalar ke negara-negara Timur Tengah lainnya
termasuk Suriah, merupakan hasil dari sebuah proses panjang atas kebijakankebijakan pemerintah terhadap rakyatnya.
Pada bab ini akan dijelaskan dinamika konflik Suriah dan rentetan faktor
pemicu terjadinya Suriah Spring.
70
1. Dinamika Konflik Suriah
Gelombang Arab Spring yang dengan cepat menyebar melalui dunia maya,
menyadarkan negara-negara lain bahwa otoritarianisme sudah tidak lagi relevan
dengan keadaan sosial dan politik saat ini. Gelombang demokrasi yang semakin
keras disuarakan oleh aktivis-aktivis pro demokrasi dan dengan cepat menyebar
melalui media internet.
Upaya penyebaran revolusi Arab Spring melalui internet sudah dilakukan oleh
aktivis-aktivis pembebasan Tunisia dan Mesir pada saat gelombang protes di
kedua negara tersebut berlangsung. Mereka seolah ingin menyadarkan rakyat
Suriah untuk bangun dan bergerak melawan rezim otoriter.
Pada awal Februari 2011, situs-situs sosial media seperti Facebook, Twitter di
dalam maupun luar Suriah menyerukan dilakukannya demonstrasi besar-besaran
di seluruh Suriah pada tanggal 4 dan 5 Februari 2011 untuk menuntut pemerintah
segera melakukan reformasi. Para aktivis pro-demokrasi Tunisia dan Mesir
mengirim sejumlah paket modem satelit, telepon seluler, computer, dan alat sosial
media lainnya sebagai persiapan bila peristiwa besar seperti di Tunisia dan Mesir
terjadi.84 Namun, menjelang hari tersebut para aktivis dihubungi dan diancam
oleh intel dan pasukan keamanan untuk tidak melakukan demonstrasi tersebut.
Tanggal yang ditentukan oleh aktivis di luar Suriah, 4 dan 5 Februari 2011,
84
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 97
71
mengingatkan mereka akan tragedi pemberontakan Ikhwanul Muslimin pada
tahun 1982 di Hama.85 Tragedi tersebut membuat aktivis pro demokrasi di Suriah
enggan melakukan demonstrasi karena yang mereka inginkan adalah perubahan
secara damai, bukan perang saudara.
Namun, saat terjadi penahanan terhadap kelimabelas anak-anak sekolah yang
menulis graffiti “Ash-sha`b yurid isqat an-nizam” (Rakyat ingin menumbangkan
rezim ini)86 segalanya berubah. Demonstrasi untuk menuntut keadilan kepada
gubernur kota Deraa, Faisal Kalthoum dijawab dengan tindakan represif dari
aparat keamanan. Situasi semakin keruh saat aparat keamanan menembaki para
demonstran dengan senjata api. Insiden tersebut menimbulkan korban jiwa dari
pihak demonstran.
Sejak anak-anak tersebut ditahan oleh aparat keamanan, demonstrasi terus
terjadi. Demonstrasi yang dilakukan kemudian tidak hanya menuntut pembebasan
anak-anak tersebut, namun juga menuntut kebebasan politik. Para demonstran
yang turun ke jalan tidak didengar aspirasinya dan dihadang kembali oleh petugas
keamanan. Namun, mereka tetap melakukan hal tersebut karena pasca Damaskus
Spring di awal tahun pemerintahan Bashar al-Asad, wadah aspirasi bagi rakyatnya
85
“1982 : Syria‟s President Hafez Al-Assad crushes renellion in Hama,” artikel diakses pada 5
Juli 2015 dari http://www.theguardian.com/theguardian/from-the-archive-blog/2011/aug/01/hamasyria-massacre-1982-archive
86
“Arab
Spring”
artikel
diakses
pada
6
November
2013
dari
http://www.wikipedia.com/ArabSpring.html
72
tidak ada lagi.
Setelah keinginan para demonstran semakin beragam, pemerintah pusat mulai
turun tangan. Bashar al-Asad mengirim delegasinya yang berasal dari kota Deraa
untuk menemui keluarga anak-anak yang ditahan tersebut. Jendral Rustom
Ghazali, salah satu anggota Intelijen Militer Suriah, menjamin kepada para
penduduk kota tersebut bahwa keadaan akan kembali seperti sedia kala dan anakanak yang ditahan oleh aparat keamanan akan segera dibebaskan. Aparat
keamanan yang telah bertindak brutal pun akan diberikan sanksi.
Anak-anak yang dibebaskan ternyata mendapat penyiksaan dari petugas
keamanan selama dalam tahanan dan hal tersebut membuat keluarga mereka
marah dan memicu demonstrasi yang lebih besar. Rakyat yang akan berdemo
memilih masjid sebagai tempat untuk berkumpul dan meyusun rencana, karena
hanya masjid tempat yang tidak dicurigai sebagai tempat berkumpul.
Pasukan pengamanan pemerintah kota Deraa menyerang masjid yang biasa
dijadikan tempat berkumpul sebelum demonstrasi, Masjid Omari yang berada
tepat di jantung kota Deraa. Pasukan pengamanan tersebut menembaki orangorang yang ada di dalam masjid. Penyerangan tersebut membuat graffiti-grafiti
anti rezim semakin banyak dan tulisan pada graffiti pun semakin beragam seperti
“Turunkan Rezim yang Korup”.
73
Upacara penguburan orang-orang yang menjadi korban penembakan di dalam
Masjid Omari dijadikan momentum untuk mengungkapkan kekecawaan serta
perlawanan tehadap rezim. Dari situ demonstrasi lahir semakin membesar dan
mulai merambat ke daerah lain termasuk dua kota terbesar di Suriah, Damaskus
dan Aleppo.
2. Faktor-faktor pemicu Suriah Spring 2011
Rentetan masalah akibat dari berbagai kebijakan pemerintah Suriah, baik
selama pemerintahan Hafiz al-Asad maupun Bashar al-Asad, telah melahirkan
sebuah gelombang revolusi di negara tersebu. Berikut peneliti akan membahas
masalah apa saja dan kebijakan apa saja sehingga Suriah yang dianggap imun dari
revolusi, justru menjadi negara yang paling lama mengalami perpecahan dan
pemberontakan.
a. Kebijakan Militer Suriah
Kebijakan pemerintah Suriah pada pemerintahan Bashar al-Asad, banyak
yang hanya meneruskan kebijakan pada masa ayahnya, Hafiz al-Asad, terdahulu.
Kebijakan tersebut ada juga yang telah mengalami perubahan, seperti pendudukan
tentara Suriah di Lebanon pada masa pemerintahan presiden Hafiz al-Asad yang
pada pemerintahan Bashar al-Asad telah berkembang menjadi penarikan pasukan
militer Suriah dari negara tersebut akibat biaya operasi militer dan tuntutan rakyat
74
Lebanon agar Suriah tidak perlu ikut campur akan masalah negara mereka.87
Kemudian, Tentara keamanan yang ditempatkan di luar wilayah suriah dan
pasukan pengamanan untuk memata-matai segala aktivitas rakyat dibayar (40
dollar) sehari dan membuat negara harus menghabiskan sepertiga anggaran
belanja negara untuk kebutuhan militer. Pemerintah Suriah jadi lebih
memerhatikan kondisi militer ketimbang kesejahteraan rakyatnya. Anggaran
belanja Suriah menghabiskan 50 persen untuk mendanai kebutuhan pasukan
militer.
b. Kesenjangan Ekonomi
Kesenjangan ekonomi yang dirasakan rakyat Suriah sejak masa pemeritahan
Hafiz al-Asad, terus berlanjut hingga anaknya, Bashar al-Asad, memimpin. Hal
tersebut diperparah dengan kondisi rezim yang penuh dengan korupsi dan
pegawai-pegawai pemerintahan yang haus akan suap.
Pada masa pemerintahan Hafiz al-Asad, perekonomian Suriah tertinggal
jauh dibawah negara-negara disekitarnya diiringi dengan permasalahanpermasalahan seperti korupsi, kelebihan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan
jumlah lapangan kerja, inefisiensi atau tidak tepat guna dalam menelola keuangan
negara. Pendapatan perkapita Suriah sekitar 1.000 dollar, berbeda jauh dengan
Lebanon yang mencapai angka 3.000 dollar, dan Israel dengan 17.000 dollar.
87
Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 630.
75
Pengangguran diperkirakan berjumlah sekitar 22%, dan negara membelanjakan
lebih dari 7% dari PNB88 dan hampir 50% dari anggaran adalah untuk
pembiayaan militer dan pasukan keamanan. Hal tersebut diperparah dengan
terbatasnya sumber daya alam, jumlah militer yang terlalu besar, berkurangnya
bantuan luar negeri, korupsi, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu sekitar
3.15%.89
Ketika Bashar al-Asad mulai berkuasa, ia mewarisi kondisi perekonomian
dari ayahnya. Kondisi perekonomian pada saat itu memang tidak baik. PDB per
kapita turun selama 1980an dan tidak menunjukan perubahan hingga pada tahun
1990an. Kemudian, ia menjanjikan akan melakukan reformasi ekonomi. Pada
tahun 2005, Bashar al-Asad memperkenalkan reformasi ekonomi yang disebut
“ekonomi pasar sosial” yang mengalihkan perekonomian yang dikelola oleh
pemerintahan menjadi perekonomian liberal. Liberalisasi ekonomi memberikan
kemakmuran pada sejumlah kota besar seperti Damaskus dan Aleppo, namun
tidak dapat merata dan menyebar ke daerah-daerah kecil atau pun kota-kota lain.
Sistem ekonomi Suriah didominasi oleh tiga kelompok. Pertama, para
manager di sektor publik, pengusaha kecil, dan kelompok pelindung pengusaha
88
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga
keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode, biasanya
selama satu tahun. Produk Nasional Bruto (GNP) Produk Nasional Bruto (Gross National Product)
atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara
(nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga
negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang
beroperasi di wilayah negara tersebut. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
89
Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 634.
76
yang juga tergabung dalam kelompok keamanan dan militer. Kelompokkelompok tersebut mendapat hak istimewa dalam perekonomian Suriah. Dan
siapapun yang tergabung dalam pasukan militer atau pun pengamanan tidak akan
tersentuh oleh hukum sehingga korupsi beredar di wilayah pasukan keamanan
tersebut. Kesenjangan ekonomi semakin dirasa ketika tidak semua lapisan
masyarakat dapat bergabung dengan pasukan keamanan tersebut, karena mahzab
yang dianut juga berpengaruh dalam penerimaan untuk menjadi pasukan
keamanan. Dari 200.000 tentara militer Suriah, sekitar 70% adalah Alawie.
Korupnya sistem di Suriah juga terlihat dari para pegawai negeri yang akan
bekerja hanya jika disuap, termasuk memberikan kuasa untuk mengantarkan
barang dan jasa yang memang sudah kewajibannya.
Pertumbuhan penduduk juga tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan dan sumber daya alam yang semakin menipis. Pada tahun 1975, angka
kelahiran mencapai 50 kelahiran hidup per 1000 orang.90 Angka kelahiran yang
begitu tinggi adalah akibat dari kebijakan yang diterapkan pemerintah Suriah
tentang pelarangan penggunaan alat kontrasepsi dan berpendapat bahwa angka
pertumbuhan yang tinggi dan migrasi internal akan menjadi stimulasi kemajuan
sosial dan ekonomi dalam kerangka pembangunan.
Produksi minyak per hari pada tahun 2010 hanya 385.000 barrel, jauh di
bawah tahun 1996 yaitu, 583.000 barrel.91Banyak industri-industri produktif yang
90
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal. 87.
Kuncahyono, Musim Semi di Suriah : Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, hal.123
91
77
sebelumnya mampu menyerap banyak tenaga kerja muda dibongkar dibawah
pemerintahan Bashar al-Asad, sehingga memperbanyak pengangguran pada usia
kerja. Perekonomian diubah menjadi perekonomian rente yang dikontrol dan
dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan rezim yang berkuasa.
Perubahan iklim yang ekstrem sepuluh tahun belakangan ini membuat
Suriah dan negara Timur Tengah semakin kering.92 Hal tersebut berpengaruh
kepada sektor pertanian yang menghasilkan 20 persen GDP Suriah. Karena
semakin buruknya kondisi perekonomian, muncul sikap ketidakpuasan terhadap
rezim yang berkuasa mulai dari kelompok ekonomi terpinggirkan.
c. Damaskus Spring 2001
Di awal pemerintahan Bashar al-Asad, para intelektual Suriah maupun
pengamat luar negeri berasumsi bahwa pemerintahan yang dipimpinnya akan
berubah menjadi lebih demokratis ketimbang masa pemerintahan ayahnya, Hafiz
al-Asad. Asumsi tersebut didukung dengan pertimbangan bahwa Bashar al-Asad
tidak memiliki latar belakang militer dan tumbuh di negara yang demokratis. Ia
juga tidak dipersiapkan untuk menjadi presiden dan sedang menempuh
pendidikan spesialis dokter mata.
92
Banyak wilayah di Suriah yang mengalami kekeringan akibat penurunan curah hujan.
Banyak desa, kampong-kampung, dan ladang-ladang ditinggalkan, mengungsi ke wilayah-wilayah
kumuh di kota-kota besar. Tahun 2009, International Institute for Sustainable Development mencatat
akibat penurunan curah hujan dan langkanya cadangan air menyebabkan sekitar 160 desa di Suriah
bagian utara pada periode 2007 – 2008, ditinggalkan penduduknya. Kekeringan juga mengakibatkan
banyak ternak yang mati. Sumber Trias Kuncahyono hal 91-92.
78
Kampanye-kampanye anti korupsi pada awal Bashar masuk ke pemerintahan
di saat ayahnya masih menjabat sebagai presiden juga mengindikasikan bahwa ia
berbeda dengan ayahnya, sehingga saat ia berjanji menawarkan perubahan kepada
rakyat Suriah, para pemuda dan kaum intelektual pun setuju untuk
mendukungnya. Janji yang Bashar al-Asad berikan tentang kebebasan ditagih saat
ia menjabat sebagai presiden. Bashar pun membuktikan dengan tidak mentolerir
segala bentuk korupsi yang ada di pemerintahannya.
Keterbukaan politik yang dijanjikan oleh Bashar al-Asad ditagih para
intelektual Suriah. Intelektual Suriah yang tergabung dalam “Kelompok 99” dan
“Friends of Civil Society” melayangkan surat terbuka untuk meminta kepada
presiden segera menghentikan keadaan darurat dan darurat militer yang berlaku
sejak tahun 1963, membebaskan para tahanan politik dan mengizinkan orangorang Suriah yang diasingkan untuk dapat kembali, serta mengabulkan kebebasan
politik termasuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.93 Perkembangan
selanjutnya terjadi forum-forum diskusi yang luas di berbagai tempat yang
membahas tentang masyarakat sipil, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Permintaan selanjutnya datang dari kelompok Ikhwanul Muslimin.
Kelempok tersebut menyatakan keinginan serupa dengan kelompok sebelumnya
dan menambahkan bahwa kepemimpinan Bashar tidaklah sah dan meminta untuk
agar kepemimpinan dapat dipilih secara terbuka. Kemudian, ada penambahan
93
“99
group
petition,”
artikel
diakses
http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html
79
pada
5
Juli
2015
dari
bahwa pergerakan tersebut harus mendapatkan status resmi di dalam negeri,
karena sebelumnya menjadi anggota dari Ikhwanul Muslimin adalah terlarang dan
dapat dijatuhi hukuman mati. Dari petisi-petisi tersebut, Suriah mengalami
perubahan yang signifikan. Namun, setelah rezim Bashar al-Asad mengabulkan
berbagai tuntutan tersebut, kalangan intelektual dan oposisi menginginkan lebih
hingga penghapusan menyeluruh atas darurat militer.94
Setelah enam bulan semenjak pidato pengukuhannya sebagai presiden, dan
segala perubahan yang ia setujui, Bashar al-Asad berubah pikiran dan Suriah
kembali ke masa sebelum Bashar menjabat sebagai presiden. Forum-forum
diskusi dibatasi dan harus mengikutsertakan petugas keamanan. Siapapun yang
ingin menyelenggarakan pertemuan-pertemuan harus mengurus izin seminggu
sebelumnya, dan menyertakan informasi tentan topic pembicaraan, pembicara,
tamu undangan, dan materi pembicara.
Kebebasan yang diberikan kepada rakyat Suriah pada saat itu dinilai
sebagai kebebasan yang berlebihan sehingga dapat mengganggu stabilitas rezim
dan negara. Pembungkam kelompok intelektual diperlukan agar keinginan mereka
akan adanya perubahan dalam segi politik dan reformasi rezim terhenti.
Berubahnya Damasus Spring menjadi Damaskus Winter tidak serta
meredupkan pikiran-pikiran para pemuda dan kelompok intelektual yang pernah
merasakan kebebasan sesaat yang diberikan rezim Bashar al-Asad. Kelompok
oposisi lahir dan berkembang dari masa itu di luar Suriah dan menunggu
94
Ghadbian, “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in Syria” hal. 637
80
momentum untuk kembali merasakan kebebasan tersebut. Mereka kembali
menjadi aktivis pro demokrasi saat Arab Spring melanda sejumlah negara Timur
Tengah dan Afrika Utara dan berusaha mengubah tatanan politik yang ada di
negara tersebut.
d. Konflik Sunni – Alawie di Suriah
Setelah perang dunia pertama, aliansi kelompok yang menang dalam perang
tersebut, Inggris dan Perancis, membagi provinsi Arab yang pada saat itu dikuasai
oleh Kerajaan Ottoman menjadi beberapa bagian. Di bagian selatan tepatnya di
Palestina, menjadi milik Inggris. Sedangkan di utara tepatnya di Suriah dan
Lebanon menjadi miliki Perancis. Suriah dibagi lagi menjadi enam bagian yaitu;
Aleppo, Hama, Horns, Damaskus, Jabal al-Druze, dan Latakia. Begitupun dengan
Lebanon yang juga dibagi menjadi 4 bagian yaitu; Tripoli, Beirut, Sidon, dan
Tyre.95
Selama kependudukan Perancis di Suriah dari tahun 1920 hingga 1946, sektesekte keagamaan bebas berkembang sehingga menimbulkan tekanan bagi
Nasionalisme Arab dan menahan gerakan kemerdekaan di negara tersebut.
Separatisme, partikularisme keagaamaan, dan primordialisme mendukung
pengabulan otonomi daerah dimana kelompok minoritas menjadi mayoritas di
wilayah tersebut.
Kelompok muslim Sunni yang mengembangkan paham Nasionalisme Arab
95
Ayse Tekdal Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria,” Proquest Journal diakses
pada 3 Mei 2015, hal. 1.
81
merasa terancam atas kependudukan dan kebijakan Perancis maupun Kristen dan
juga kelompok muslim yang dianggap menyimpang seperti Druze, Ismaili, dan
Alawie. Tujuan politik dari kelompok Nasionalisme Arab (Pan Arab) ialah
merdeka dan menyatukan seluruh negara-negara Arab di bawah satu naungan
pemerintahan. Tujuan tersebut bertentangan dengan keinginan Perancis dan
kelompok minoritas lain yang ada di Suriah. Karena, arogansi kelompok Sunni
Arab akan membuat pemerintahan menjadi berkelas-kelas dan menomorduakan
kelompok minoritas selain Sunni Arab sebagai kelompok Arab yang tidak
sempurna.
Oleh karena itu, pemerintah Perancis di Suriah memelihara hubungan baik
dengan kelompok-kelompok Druze, Alawie, dan beberapa kelompok minoritas
lainnya. Pemerintah Perancis mengabulkan dua daerah otonomi di Suriah untuk
dua kelompok minoritas Druze dan Alawie.
Pada tahun 1922, wilayah Jabal al-Druze, yang berlokasi di wilayah Druze di
selatan Damaskus, memproklamirkan diri berpisah di bawah perlindungan
Perancis, dengan gubernurnya sendiri dan anggota kongres terpilih. Wilayah
pegunungan di belakang Latakia, dengan populasi Alawie sebagai mayoritasnya,
menjadi rezim administrasi khusus di bawah perlindungan Perancis dan
memproklamirkan diri sebagai negara terpisah.
Kebijakan “divide and rule” yang diterapkan pemerintah Perancis mencegah
kelompok Nasionalis Arab menginfeksi daerah yang dihuni minoritas. Pemerintah
pendudukan Perancis juga memutus tali antara oposisi nasionalis perkotaan dan
82
daerah pinggiran. Karena kebijakan ini pula, pergerakan nasionalis Suriah
menemui kendala besar dalam memperluas aktivitasnya diluar Damaskus,
Aleppo, Hama, dan Horms.
Pemerintah Perancis, sebagai negara yang menguasai Suriah pada saat itu,
tidak pernah melatih administrasi yang efisien dan elit yang berdedikasi dan
justru malah mempersulit hubungan antara Sunni Arab sebagai mayoritas dan
kelompok-kelompok minoritas. Hal tersebut karena sesungguhnya Perancis tidak
ingin melepas kendalinya atas Suriah.
Selanjutnya, Perancis berusaha mengikis tali antara etnis dan kaum religius
Suriah, penempaan golongan satu dengan golongan lain sehingga masing-masing
kelompok saling menyerang.96 Pemerintah Perancis di Suriah menerapkan aturan
perihal keberagaman etnis dengan penempatan terpisah etnis-etnis di kepala
cabang lembaga pemerintahan yang berbeda, dengan mengizinkan satu etnis atau
kelompok keagamaan untuk dominan mewakili etnisnya dalam suatu lembaga.
Kebijakan tersebut membuat kelompok Sunni Arab sangat dominan di dalam
politik, petugas kepolisian, namun tidak terwakili dalam militer. Sebaliknya, etnis
Circassian (Kaukasus) mengisi pasukan militer, namun tidak terwakili di dalam
parlemen dan kepolisian. Kaum Alawie pun menduduki pasukan militer, namun
tak terwakili di politik dan petugas kepolisian.
Karakteristik kehidupan politik di Suriah ialah penuh kisruh persaingan antar
elite politik itu sendiri, di dalam kota atau antara pemimpin di lain kota, atau
96
Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 2.
83
antara pemimpin perkotaan dengan pedesaan. Kelompok Nasionalis Arab
menghadapi sebuah pertentangan antara persatuan Pan-Arab dan kepentingan
lokal.
Sebelum merdeka, gerakan nasionalis Suriah terwakili di Blok Nasional (alKutla al-Wataniya), sebuah persatuan veteran dari berbagai latar belakang dan
tertarik
untuk
bersatu
berjuang untuk
mencapai
kemerdekaan.
Ketika
kependudukan Perancis berakhir, kelompok Sunni yang tinggal di perkotaan
mewarisi pemerintahan Suriah dari Perancis.
Pasca kemerdekaan, pemerintahan Suriah berangsur-angsur menghapuskan
wilayah minoritas serta wakilnya di parlemen, dimana mereka mendapat
keuntungan
semasa
pemerintahan
Perancis.
Langkah
tersebut
ialah
menghapuskan beberapa kebijakan hukum yang mengabulkan entitas kaum
Alawie dan Druze pada masa kepemimpinan Perancis. Penghapusan kebijakan
yang berlandaskan hukum tersebut dalam rangka mendirikan pusat kekuasaan di
Damaskus guna menyalakan pertentangan antar minoritas. Penguasa-penguasa
Sunni di Damaskus menyatukan Latakia kedalam negara Suriah dan
menghapuskan negara bagi kaum Alawie. Kursi untuk kaum Alawie di Parlemen
dan pengadilan tinggi yang menggunakan hukum Alawie juga dihapuskan. Saat
itu, kaum Alawie sebagai minoritas tanpa dukungan Perancis berdamai atas
kebijakan tersebut guna mendapatkan kewarganegaraan Suriah.
84
1. Turning Point Kelompok Alawie
Kelompok
Alawie
merupakan
kelompok
minoritas
miskin
dan
terpinggirkan di Suriah bahkan sejak negara tersebut dikuasai oleh kerajaan
Ottoman. Kaum Alawie yang lebih dikenal dengan Nusayris atau Ansaris.
Nama tersebut diubah oleh Perancis, saat negara tersebut menduduki Suriah.
Pendudukan Perancis memposisikan negara Alawie, Latakia, pada 1 Juli 1922.
Kaum Alawie juga memperoleh otonomi yang legal.
Kaum Alawie merupakan golongan petani miskin di Suriah, yang bekerja
untuk kelompok tuan tanah Sunni dan Kristen di pegunungan di daerah
Latakia. Efek politik atas kemiskinan diperburuk dengan kondisi geografis
yang jauh dari perkotaan. Kelompok Sunni yang hidup di daerah perkotaan
sangat menikmati kekayaan dan menguasai buruh tani dan petani Alawie.
Semasa pendudukan Perancis di Suriah, negara tersebut membentuk
sebuah pasukan keamanan yang disebut Troupes Speciales du Levant, sebuah
pasukan militer lokal yang terbentuk pada tahun 1921 dan kemudian
dikembangkan menjadi pasukan keamanan Suriah-Lebanon. Pemerintah
Perancis juga menggunakan prinsip “divide and rule” pada saat seleksi
penerimaan pasukan Troupes Speciales du Levant. Hal tersebut bertujuan
untuk mencegah kelompok-kelompok etnis dari mendapatkan posisi
kekuasaan penuh sehingga membahayakan kedudukan Perancis di Suriah.
Dalam usahanya, pasukan militer mengembangkan sebuah pedesaan yang
kuat dari keterwakilan minoritas, dengan detasemen khusus yang terdiri atas
85
kaum Alawie,
Druze,
Kurdi,
dan
Circassian
(Kaukasus).
Perancis
menganggap pasukan dari minoritas pedesaan yang jauh dari wilayah
perkotaan karena warga urban yang mayoritas Sunni Arab telah didominasi
ideologi Nasionalis Arab, sehingga lebih menjadi kendala baru bagi Perancis
jika tetap ingin mengambil hati kaum urban Suriah.
Kebijakan Perancis atas penerimaan pasukan militer mengakibatkan
perlemahan pada pasukan nasionalisme Arab Sunni yang dahulu digunakan
untuk menantang pendudukan negara tersebut. Sehingga, representasi Arab
Sunni pada pasukan militer lebih rendah dari jumlah populasinya di Suriah.
Pasukan Troupes Speciales du Levant digunakan untuk memelihara
perintah dan menekan pemberontakan lokal. Pasukan tersebut secara luas
terdiri dari kaum-kaum minoritas, yang aktivitasnya mengarah pada kebencian
dengan Sunni.97 Kondisi tekanan ekonomi membuat pasukan keamanan
sebagai kendaraan gerakan sosial kaum Alawie.
Menjelang akhir kependudukan Perancis, beberapa infantri dan battalion
tersusun hampir sepenuhnya diisi oleh kaum Alawie. Tidak satu pun battalion
yang tersusun sepenuhnya berisi Sunni Arab. Namun ada beberapa battalion
yang diisi sejumlah Sunni Arab yang biasanya berasal dari wilayah pedesaan
dan wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan perkotaan. Kelompok Sunni
Arab yang kaya seperti tuan tanah, yang memimpin pergerakan nasionalis
Arab selama kependudukan Perancis, secara tidak langsung menguatkan
97
Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 3.
86
kecenderungan terhadap representasi kuat atas minoritas pada pasukan
Troupes Speciales du Levant dengan menolak untuk mengirim putra-putra
mereka untuk mendapatkan latihan militer, walau sebagai perwira, pada
pasukan yang mana mereka lihat untuk melayani kepentingan pemerintah
Perancis.
Walaupun kelompok Alawie merupakan kelompok yang hidup dibawa
garis kemiskinan pada saat itu, dengan pendapatan perhari seorang buruh tani
sebesar 22 piastres sedangkan standar biaya hidup mencapai 50 piastres,
pemuda Alawie sangat memanfaatkan kesempatan mereka di dunia militer
Suriah. Pendapatan kecil namun rutin yang mereka dapatkan sebagai pasukan
keamanan membuat mereka disiplin, terlatih, dan membuka gagasan-gagasan
baru bagi kemajuan pasukan tersebut. Bagi kaum Alawie saat itu, melayani
pemerintah Perancis membuat permulaan peluang besar bagi perubahan nasib
kaum Alawie.
Walaupun kelompok Alawie banyak mengisi pasukan militer, pangkat
mereka hanyalah kopral, sersan, dan perwira muda sebelum akhirnya diambil
alih oleh partai Ba‟ath pada tahun 1963. Pada sisi lain, kelompok yang paling
penting, yang menjalankan politik dan strateginya dan menjadi bagian penting
dari infantry battalion adalah kelompok Sunni.
Pemimpin-pemimpin Sunni rupanya percaya bahwa melayani posisi atas
untuk mereka sendiri akan mencukupi untuk mengambil alih militer.
Pemimipin tiga kudeta pertama antara 1949 hingga 1954 semuanya dari
87
kelompok Sunni. Pada periode antara 1954 dan 1958, ketika negara Suriah
dengan Mesir bersatu menjadi Persatuan Republik Arab (United Arab
Republic) didirikan, para petugas kepolisian dibagi kedalam golongan yang
saling berlawanan. Perjuangan antara perwira senior Sunni diperlemah oleh
keterwakilan kelompok Sunni pada kesatuan militer dan memperkuat
minoritas yang sebagaian besar berada pada kesatuan tersebut. Saat perwira
Sunni saling mengeliminasi satu sama lain, kelompok Alawie mulai mewarisi
posisi mereka dan mengalami kenaikan jabatan. Saat ada satu saja anggota
Alawie yang menduduki jabatan penting dalam kesatuan tersebut, ia segera
menarik kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan di sekelilignya. Dua
institusi pemerintahan yang memainkan peran utama, militer dan partai
Ba‟ath, selanjutnya di kuasai oleh kelompok Alawie hingga mereka dapat
menambah kekuasaan dan akhirnya mengambil alih kehidupan politik Suriah.
Keinginan untuk bersatunya negara-negara Arab mulai dijalankan
kelompok Nasionalis Arab yang memerintah Suriah setelah Perancis menarik
mundur pasukannya dari Suriah pada April 1946. Selama bergabungnya
Suriah dengan Mesir menjadi satu pemerintahan (1958-1961)98, seluruh partai
politik yang dulunya berkembang di Suriah dilarang. Namun, larangan
tersebut tidak dindahkan oleh beberapa orang yang termasuk ke dalam
golongan Alawie. Dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia, mereka tetap
menjalankan roda organisasi Ba‟ath tersebut. Mereka percaya suatu hari
98
Fildis, “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria” hal. 5
88
Suriah akan kembali melepaskan diri dari persatuannya dengan Mesir.
Tahun 1961, Suriah menyatakan berpisah secara pemerintahan dengan
Mesir. Dalam keadaan sebagai negara baru yang kosong pemerintahan partai
Ba‟ath, yang dulunya secara sembunyi-sembunyi berjalan, hadir sebagai satusatunya partai yang siap memimpin Suriah.
Dominasi golongan militer dalam partai Ba‟ath memiliki akar pada saat
Suriah dan Mesir bersatu. Pemimpin kelompok; Salah Jadid, Hafez al-Asad,
Muhammad Umran, kesemuanya merupakan anggota Alawie, dan Hamad
Ubayd merupakan kelompok Druze. Tujuan dari organisasi adalah
memulihkan pasukan Suriah kedalam kekuasaan Suriah. Anggota organisasi
rahasia ini belakangan diketahui sebagai anggota militer, yang tidak termasuk
ke dalam struktur pengurus partai Ba‟ath, namun saat organisasi tersebut
kosong, kepengurusan partai diambil alih oleh mereka.
Saat akhirnya kelompok Alawie dapat menguasai kehidupan politik di
Suriah, mereka memanfaatkan dengan memberi posisi-posisi strategis dalam
militer dan pemerintahan kepada sanak keluarga mereka. Orang-orang yang
dekat walau bukan keluarga pun dapat menikmati kesempatan merasakan
kemudahan berbisnis di negara tersebut.
Kekuasaan yang diperoleh kelompok Alawie sangat dimanfaatkan dengan
baik. Dahulu saat Suriah masih dikuasai kerajaan Ottoman kemudian dikuasai
oleh Perancis, kelompok Alawie terkenal sebagai rakyat kelas paria yang
hanya akan berprofesi sebagai buruh tani atau pekerja kasar lainnya tanpa
89
pendidikan yang memadai.
Pada tahun 1970, Hafez al-Asad menguasai Partai Ba‟ath dan kemudian
menjadi presiden. Saat ia berkuasa, Hafez al-Asad berusaha memperkuat
posisinya melalui kekuasaan Partai Ba‟ath yang sekular. Beberapa kelompok,
terutama dari kalangan Sunni, menentang kebijakan sekular yang dijalankan
Partai Ba‟ath.
Tahun 1976 hingga 1982, kelompok Ikhwanul Muslimin (Muslim
Brotherhood) memimpin pemberontakan melawan rezim di kota Hama.
Kemudian, pada Februari 1982 pemerintah Suriah membombardir kota
tersebut hingga sejak saat itu, tidak ada lagi yang berani untuk menentang
rezim Hafez al-Asad.
Setelah 30 tahun menjabat sebagai presiden, karena faktor usia, Hafez alAsad meninggal dunia pada 10 Juni 2000. Setelah meninggal, Bashar al-Asad,
melanjutkan tampuk kepemimpinan yang diberikan ayahnya dengan cara
mengubah konstitusi negara tersebut yang menetapkan usia minimum
presiden pada usia 40 menjadi 34, sesuai dengan usia Bashar saat itu.
Kemudian pada 10 Juli 2000, diadakan referendum nasional untuk pemilihan
calon tunggal Bashar al-Asad sebagai Presiden Suriah.99
99
M. Hamdan Basyar, “Krisis Suriah dan Pengaruhnya Bagi Dunia Islam,” artikel diakses
pada 5 Juli 2015 dari http://ismes.net/2013/01/krisis-suriah-dan-pengaruhnya-bagi-dunia-islam/
90
Semasa pemerintahan Hafez al-Asad yang kemudian dilanjutkan oleh
Bashar al-Asad, pendidikan untuk kelompok minoritas, terutama Alawie, pun
membaik. Terbukti dengan universitas-universitas di Suriah kini diisi oleh
dosen-dosen dari kelompok Alawie.
91
BAB V
Penutup
Kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab yang merupakan gelombang
revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab telah membawa dampak
besar kepada politik dan ekonomi dunia. Rangkaian revolusi ini terjadi di seluruh
Timur Tengah juga Afrika Utara sejak 18 Desember 2010. Suriah, negara
diprediksi memiliki tingkat kekebalan tinggi dari pemberontakan, ternyata tak
luput dari pemberontakan dan gejolak Arab Spring hingga saat ini.
A. Kesimpulan
Konflik Suriah merupakan luapan kekesalan rakyat atas rezim Asad yang
sudah memerintah hampir 30 tahun namun dengan sikap repressive untuk
mendapat kedaulatan dari rakyatnya.
Revolusi yang bermula terjadi di Tunisia dan Mesir dengan cepat menyebar
ke negara lain akibat dari kemajuan teknologi internet. Para aktivis maupun
pemuda di negara Timur Tengah lainnya dapat dengan mudah mengakses segala
kejadian yang diunduh para pejuang demokrasi di negara Tunisia dan Mesir, serta
berbagai ajakan di media sosial lainnya untuk ikut menumbangkan rezim yang
sedang memerintah. Walaupun kemudian pemerintah berusaha menggagalkan
aksi mereka dengan mengancam para aktivis pro demokrasi, namun hal tersebut
tidak menghalangi langkah mereka dalam mengupayakan perubahan dalam
negeri.
92
Berselang beberapa bulan, penahanan 15 anak sekolah di kota Deraa akibat
mencoret-coret dinding dengan tulisan As-Shaab Yoreed Eskaat el nizam (rakyat
ingin menumbangkan rezim) membuat geram para orang tua sehingga melahirkan
protes di kota tersebut. Tuntutan yang dilayangkan para orang tua ditanggapi
dengan kekerasan oleh pasukan keamanan sehingga menyulut api kebencian dan
melahirkan protes yang lebih besar. Rakyat menggunakan masjid sebagai tempat
konsolidasi sebelum demonstrasi, karena hanya masjid tempat yang tidak
dicurigai sebagai tempat berkumpul.
Kemudian, kebijakan militer juga ikut berpengaruh atas kondisi Suriah saat
itu. Penempatan mata-mata untuk rakyat yang dibayar hingga 40 dollar per hari
dan kebijakan darurat militer membuat anggaran belanja negara 50 persen
digunakan untuk kebutuhan militer tersebut.
Selanjutnya, setelah kepemimpinan Hafiz al-Asad, strata sosial di Suriah
menjadi terbalik dengan kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie
menguasai baik itu militer, disusul dengan pemerintahan, kemudian ekonomi.
Kemudahan bisnis yang dirasakan oleh kelompok Alawie dan kerabat-kerabat
terdekat rezim tidak dirasaka pula oleh mayoritas warga Suriah yang beraliran
Sunni. Hal tersebut membuat kesenjangan ekonomi semakin hari semakin besar.
93
Ditambah dengan korupsi, kelebihan tenaga kerja, dan inefisiensi atau tidak tepat
guna dalam mengelola keuangan negara membuat keadaan negara semakin
terpuruk.
Kemudian, para intelektual Damaskus Spring yang pernah ada di awal
pemerintahan Bashar al-Asad juga berperan penting dalam revolusi di Suriah.
Para intelektual yang sempat berkembang pemikirannya kemudian dikungkung
kembali membuat benih-benih kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers ingin
mereka rasakan kembali. Suriah Spring menjadi momentum penting bagi mereka
untuk mengulang kembali kenyamanan kebebasasan berekspresi, berpolitik, dan
kebebasan pers seperti di negara lain.
Selanjutnya, konflik Sunni dengan kelompok Alawie di Suriah menjadi alasan
mendasar sikap anti rezim yang ditunjukkan oleh mayoritas rakyat Suriah.
Kelompok Sunni Arab yang merasa derajatnya lebih tinggi ketimbang kelompok
mahzab lain di negeri Arab, menginginkan negara persatuan dan menyingkirkan
kelompok-kelompok minoritas yang dianggap murtad. Sikap tersebut membuat
strata sosial yang hampir absolut hingga datang pemerintah Perancis dan
merangkul kelompok minoritas. Kesempatan tersebut digunakan dengan baik oleh
kelompok-kelompok minoritas terutama Alawie hingga dapat menguasai
pemerintahan, kemudian membalikkan keadaan dimana kelompok Alawie
berkuasa atas kelompok Sunni.
94
B. Saran
Cronycracy (pemerintahan yang berdasarkan kekerabatan) yang diterapkan
oleh rezim al-Asad takkan membawa dampak baik yang berkepanjangan baik
untuk rezim itu sendiri maupun rakyat Suriah secara luas. Sejatinya hal tersebut
hanya akan membuat rasa iri yang semakin besar bagi kelompok yang
terpinggirkan.
Keberadaan intelejen di tengah-tengah masyarakat pun hanya akan
memperbesar anggaran belanja negara di bidang keamanan tanpa melihat
keamanan yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat adalah keamanan dari
penindasan pasukan keamanan.
Dalam konteks konflik Suriah, ada kelompok yang memanfaatkan status quo
yang mereka peroleh untuk mendapatkan keuntungan atas kelompok lain. Hal
tersebut sah saja selama regulasi di negara tersebut tidak tumpang tindih dan
memang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Seyogyanya rezim al-Asad tidak
lagi menerapkan kebijakan devide and rule seperti yang diterapkan pemerintah
Perancis, karena tidak akan menjaga keutuhan negara dengan memecahbelah
rakyatnya sendiri. Sudah waktunya pemerintahan Bashar al-Asad menerapkan
kesetaraan dan pemerataan ekonomi, serta disusul dengan hal-hal lain yang juga
mendukung keamanan dan kesejahteraan rakyat seperti, kebebasan pers,
kebebasan berekspresi, dan politik.
95
Daftar Pustaka
ABM, M. Agastya. Arab Spring : Badai Revolusi Timur Tengah. Jogjakarta :
Penerbit IRCiSoD, 2013.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Penerjemah Daniel Dhakidae. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Fildis, Ayse Tekdal. “Roots of Alawie-Sunni Rivalry in Syria.” Proquest Journal
diakses pada 3 Mei 2015
Gamaghelyan, Philip. “A Caution against Framing Syria as an Assad –
Opposition Dichotomy,” Turkish Policy Quarterly, March 2013: h. 104.
Ghadbian, Nadjib. “The New Asad Dynamics of Continuity and Change in
Syria.” Middle East Journal, Vol.55, No. 4 (2001) h. 626-634
Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam . Penerbit Tiara Wacana, 2001.
Huntington, Samuel dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Penerjemah Sahat Simamora. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial : Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta : Erlangga, 2009.
Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu Dalam
Masyarakat Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Kuncahyono, Trias. Musim Semi di Suriah: Anak-anak Penyulut Revolusi. Jakarta:
Penerbit Kompas, 2012.
96
Lipset, Saymour Martin dan A. Solari. Elites in Latin America. Dalam J.W.
Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang. Penerjemah Soekadijo. Jakarta: PT Gramedia, 1982: h.
128.
Mulkan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam
1965-1987 dalam Perspektif Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali, 1989.
S. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung : Tarsito, 2003.
S.P. Varma. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Shibudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Hikmah Publishing House, 2007.
N Stearns, Peter dan Langer, William Leonard. “The Middle East.” Dalam
Ensiclopedia of World History. London : Houghton Mifflin Books, h. 761.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. 5th
ed. Jakarta : UI-Press, 2008.
Soekanto, Soerjono. Kumpulan istilah-istilah Sosiologi. Jakarta: UI Fakultas
Ilmu- ilmu Sosial, 1977: h. 51. Dalam M. Mansyur Amin, dkk., Kelompok
Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jakarta: PT Pustaka Grafika Kita,
1988: h. 63.
Surbekti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1992.
Sulaeman, Dina Y. Prahara Suriah : Membongkar Persekongkolan Multinasiona.
Depok: Pustaka Iman, 2013.
Sumber Website
“99 group petition,” artikel diakses pada 5 Juli 2015 dari
http://www.meforum.org/meib/articles/0010_sdoc0927.html
“1982 : Syria‟s President Hafez Al-Assad crushes renellion in Hama,” artikel diakses
pada 5 Juli 2015 dari http://www.theguardian.com/theguardian/from-thearchive-blog/2011/aug/01/hama-syria-massacre-1982-archive
97
“Arab Spring.” artikel diakses pada 6 November 2013 dari
http://www.wikipedia.com/ArabSpring. Html
Deutsche Welle. “Penarikan Pasukan Suriah dari Lebanon.” Artikel diakses pada
18 Mei 2015 dari http://www.dw.de/penarikan-pasukan-suriah-dari-lebanon/a2957553
Deutsche Welle. “AS Jatuhkan Sanksi Terhadap Suriah.” Artikel diakses pada 18
Mei 2015 dari http://www.dw.de/as-jatuhkan-sanksi-terhadap-suriah/a
2953511
Basyar, M. Hamdan. “Krisis Suriah dan Pengaruhnya Bagi Dunia Islam,” artikel
diakses pada 5 Juli 2015 dari http://ismes.net/2013/01/krisis-suriah-danpengaruhnya-bagi-dunia-islam/
98
Download