BAB V KESIMPULAN Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat menunjukkan cara yang beragam dalam merespon konflik di Suriah yang telah berlangsung sejak Maret 2011 ini. Cara yang ditempuh mulai dari cara yang “lunak” seperti pemberian sanksi ekonomi dan bantuan diplomatik, hingga cara yang “keras” seperti mempersenjatai kelompok oposisi yang diakuinya dan sempat mempertimbangkan untuk melakukan serangan militer terbatas ke Suriah. Sikap Amerika Serikat yang semakin terlibat, meskipun secara tidak langsung, dalam konflik di Suriah ini terjadi seiring dengan terekskalasinya konflik di Suriah itu sendiri. Penggunaan senjata kimia oleh Pemerintah Suriah benar-benar telah menjadi “game changer” yang membuat Amerika Serikat merespon lebih “keras” dengan melibatkan elemen militer di dalamnya. Walaupun demikian, sikap Amerika Serikat dalam konflik Suriah ini terbilang hati-hati. Disebut hati-hati karena Amerika Serikat sampai menetapkan “red line” yang kemudian menjadi “game changer” bagi sikapnya dalam merespon konflik di Suriah. Sikap Amerika Serikat ini tidak bisa lepas dari politik luar negerinya di Timur Tengah pascatragedi 9/11 yakni mempromosikan demokrasi. Sasaran politik luar negeri ini utamanya ditujukan kepada negara yang tidak demokratis dan oleh Amerika Serikat dikategorikan sebagai rogue state, sebutan bagi negara yang dianggap Amerika Serikat melindungi kelompok teroris dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Sebutan rogue state sebenarnya juga bisa bermakna sebagai negara yang tidak memiliki hubungan baik dengan Israel. Hal ini karena terdapat perbedaan persepsi akan arti terorisme antara Amerika Serikat, sekutu Israel, dengan negara yang dikategorikan rogue state itu sendiri yang berakibat pada perbedaan sikap terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti Hizbullah dan Hamas. Suriah yang memiliki hubungan baik dengan kedua kelompok tersebut dianggap oleh Amerika Serikat dan Israel melindungi dan mendukung kelompok teroris mengingat kedua kelompok tersebut dilabeli kelompok teroris oleh Amerika Serikat dan Israel. Atas dasar tersebut, Amerika Serikat merasa pantas memberikan label rogue state kepada Suriah. Mengingat Suriah masuk dalam kategori rogue state, maka Amerika Serikat sangat mendukung aspirasi rakyat Suriah untuk menggulingkan Presiden Assad dan diadakannya transisi ke demokrasi di Suriah. Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden sebelumnya, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Obama selama ini lebih banyak mengedepankan multilateralisme dan penggunaan smart power dalam mencapai tujuan politik luar negerinya di Timur Tengah, 64 seperti contohnya adalah sikap Amerika Serikat dalam merespon konflik di Suriah ini. Walaupun demikian, elemen hard power masih tetap digunakan seiring dengan terekskalasinya konflik di Suriah. Kemudian, sikap yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat dalam merespon konflik di Suriah ini juga disebabkan oleh adanya beberapa kepentingan nasional Amerika Serikat di Timur Tengah yang berpotensi terancam seiring dengan berlangsungnya konflik di Suriah dan bisa jadi selama Presiden Assad masih memimpin Suriah. Kepentingan tersebut adalah mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, memerangi terorisme, menghalangi menyebarnya pengaruh Iran dan Rusia di Suriah, serta menjaga keamanan Israel yang juga berpotensi untuk terganggu dengan adanya pergolakan di Suriah. Saat kepentingan nasional Amerika Serikat terancam maka akan sama halnya dengan kepentingan nasional Israel karena kedua negara tersebut memiliki kepentingan nasional yang hampir sama. Hal ini semakin memantapkan niat dan usaha Amerika Serikat untuk mendukung perjuangan kelompok oposisi menggulingkan Presiden Assad karena sekalipun tidak ada konflik di Suriah seperti sekarang ini, selama Presiden Assad masih berkuasa di Suriah, Israel akan selalu merasa terancam karena kedekatan Suriah dengan Iran dan kelompok-kelompok yang dilabeli teroris oleh Israel dan Amerika Serikat. Dengan adanya konflik di Suriah ini telah melahirkan ancaman baru bagi kepentingan nasional Amerika Serikat dan Israel dari segi proliferasi senjata pemusnah massal oleh kelompok yang dilabelinya teroris dan memerangi kelompok Islam radikal seiring dengan lahirnya kelompok Jabhat al Nusra. Oleh sebab itulah, Amerika Serikat merasa sangat perlu untuk mengambil sikap merespon konflik di Suriah dengan mendukung perjuangan kelompok oposisi yang diakuinya. Menyadari bahwa konflik di Suriah ini menempatkannya pada posisi yang sulit antara pengalaman buruk di masa lalu, rendahnya dukungan publik Amerika Serikat terhadap keterlibatan pemerintahnya dalam konflik di Suriah dan kepentingan nasionalnya yang terancam di Suriah, Amerika Serikat tetap mengambil sikap-sikap yang dirasa perlu untuk dilakukan. Hal ini menjadi pilihan yang paling baik bagi Amerika Serikat dibanding tidak melakukan apa-apa untuk merespon konflik yang terjadi di Suriah. Dengan diam dan tidak bersikap apa-apa, Amerika Serikat sama saja dengan membiarkan keamanan dan kepentingan nasionalnya di Timur Tengah berada dalam ancaman. Amerika Serikat nampaknya masih harus bersabar menanti hasil akhir dari konflik di Suriah ini karena keterlibatan Rusia sebagai salah satu kekuatan besar dunia dalam 65 mendukung Presiden Assad. Dengan Rusia berada di pihak yang mendukung Presiden Assad, Amerika Serikat mengalami beberapa kendala-kendala yang berarti untuk bisa segera mengakhiri konflik di Suriah. Kendala tersebut bisa terlihat dari beberapa peristiwa seperti kegagalan DK PBB untuk bisa mengadopsi draf resolusi yang berisi pemberian sanksi terhadap pemerintah Suriah karena sebab yang sama, yakni digunakannya hak veto oleh Rusia. Hal ini berbeda dengan kasus di Libya saat Rusia menyetujui draf resolusi untuk diadakannya no flying zone di Libya. Hal tersebut membuka peluang bagi Amerika Serikat dan sekutunya yang tergabung dalam NATO untuk melakukan serangan udara ke Libya tanpa adanya serangan balik dari angkatan udara Libya akibat diberlakukannya no flying zone. Oleh sebab itulah, Muammar Qadhafi pada akhirnya dapat digulingkan dengan cara dibunuh. Skenario di Libya dicoba diterapkan oleh Amerika Serikat di Suriah, tetapi tidak bisa karena keberadaan Rusia di DK PBB sebagai anggota tetap yang memiliki hak veto. Kendala berikutnya terlihat saat perundingan damai Jenewa II atau Geneva II Peace Talks, dalam perundingan tersebut kubu pemerintah Suriah bersikeras menolak permintaan kelompok oposisi yang menginginkan pembentukkan pemerintahan transisi tanpa melibatkan Presiden Assad. Hal tersebut secara jelas mengirimkan sebuah pesan bahwa Presiden Assad harus tetap berada di tampuk kekuasaan sebagai bagian dari solusi mengakhiri konflik yang terjadi di Suriah. Hal tersebut sama dengan apa yang diinginkan oleh Rusia untuk menjaga Presiden Assad tetap berada di tampuk kekuasaan. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah kuatnya pengaruh Rusia terhadap Presiden Assad, hal ini terlihat saat Presiden Assad bersedia menyerahkan senjata kimia yang dimilikinya kepada OPCW untuk dihancurkan. Memang keputusan tersebut mungkin tidak akan diambil pemerintah Suriah jika Amerika Serikat tidak berencana untuk melakukan serangan militer terbatas ke Suriah. Akan tetapi, Presiden Assad sebenarnya memiliki kemampuan untuk menolak menyerahkan senjata kimia yang dimilikinya untuk dihancurkan jika Rusia menyarankan demikian. Namun, karena Rusia sendiri merasa tidak ingin serangan Amerika Serikat dilancarkan di Suriah, maka Rusia pun akhirnya membujuk Presiden Assad untuk mau menyerahkan senjata kimianya untuk dihancurkan. Presiden Assad kemungkinan besar juga tidak akan mau menyerahkan senjata kimia yang dimilikinya jika Rusia tidak menjamin keamanannya dari serangan negara lain, karena senjata kimia tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan eksternal. Dengan diserahkannya senjata kimia Suriah kepada OPCW, menyiratkan pesan akan besarnya pengaruh Rusia terhadap Presiden Assad dan kemungkinan akan adanya jaminan keamanan Presiden Assad oleh Rusia. Dilihat dari 66 besarnya peran Rusia dalam konflik di Suriah ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat kemungkinan besar tidak bisa bekerja sendiri hanya dengan aliansinya untuk mengakhiri konflik di Suriah tanpa melibatkan Rusia di dalamnya. Peran Rusia sangat penting untuk mengakhiri konflik di Suriah. Kendala berikutnya adalah fakta bahwa kelompok oposisi di Suriah sangatlah terfragmentasi terutama dari segi ideologi perjuangan, mulai dari Islam moderat hingga Islam ekstrimis. Amerika Serikat yang mendukung kelompok oposisi moderat tidak hanya harus berjuang melawan rezim Presiden Assad, tetapi juga harus berjuang melawan kelompok Jabhat al Nusra yang juga ikut berjuang melawan rezim Presiden Assad. Jika Presiden Assad berhasil digulingkan nantinya, Amerika Serikat dan kelompok oposisi yang didukungnya masih harus berjuang melawan kelompok Jabhat al Nusra yang kekuatannya, di kalangan kelompok oposisi di Suriah, tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal tersebut membuat beban kelompok oposisi moderat dan Amerika Serikat sendiri menjadi lebih besar. Dalam perkembangan terakhirnya, saat skripsi ini dibuat, situasi konflik di Suriah diperparah dengan kemunculan kelompok ISIS atau juga disebut ISIL. Kemunculan ISIS memunculkan ancaman baru bagi Amerika Serikat karena kelompok ini bertujuan ingin mendirikan kekalifahan Islam di wilayah Iraq dan Suriah. Dalam mencapai tujuannya, kelompok ISIS menempuh cara-cara yang sangat brutal seperti membunuh, memperkosa, memperbudak, dan memenggal kepala. Bahkan korbannya tidak hanya mereka yang beragama non-Islam seperti wartawan Amerika Serikat dan Inggris yang kabarnya sudah dipenggal kepalanya oleh kelompok ISIS, tetapi juga mereka yang beragama Islam tapi tidak mendukung atau tergabung dalam ISIS. Hal tersebut membuat Amerika Serikat langsung bereaksi keras dengan melakukan serangan udara di wilayah-wilayah yang diduduki ISIS. Dengan melakukan serangan tersebut, sebenarnya Amerika Serikat juga justru membantu Presiden Assad untuk mengalahkan ISIS, mengingat Presiden Assad juga berjuang melawan ISIS. Kemunculan ISIS ini semakin mempersulit posisi Amerika Serikat dalam pusaran konflik Suriah. Hal ini karena saat Amerika Serikat menyerang ISIS hal tersebut sama dengan Amerika Serikat membantu Presiden Assad mengalahkan musuhnya. Akan tetapi, jika Amerika Serikat tidak melawan ISIS, hal tersebut akan mempersulit perjuangannya dan kelompok FSA untuk menggulingkan Presiden Assad. Walaupun demikian, Amerika Serikat tetap harus mengambil semua tindakan yang dirasa perlu jika ingin melindungi kepentingan nasionalnya di Timur Tengah. 67