PETA POLITIK PERDAGANGAN MINYAK DI TIMUR-TENGAH Untuk Memenuhi Nilai Tugas Kapita Selekta Informatika Progam Studi Teknik Informatika Nama : Sapto Waluyo NIM : 0903015118 Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Fakultas Teknik/Teknik Informatika Jakarta 2012 PETA POLITIK PERDAGANGAN MINYAK DI TIMUR-TENGAH Mencermati perubahan peta politik di kawasan Timur-Tengah yang terjadi akhir-akhir ini sangatlah menarik ditinjau dari sudut pandang perdagangan minyak global. Eskalasi konflik yang terus meningkat antara negara-negara Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa) dengan Republik Islam Iran semakin mencapai titik kulminasinya dengan diumumkannya rencana penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Situasi politik di Timur-Tengah pun semakin bertambah rumit dengan adanya konfrontasi antara Pemerintah Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar Al-Assad dengan kelompok oposisi Suriah. Gelombang revolusi di Suriah merupakan kelanjutan dari gelombang revolusi dan perubahan politik di negara-negara Arab seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yordania, Iraq, Bahrain, Libanon, Maladewa, dan Yaman. Situasi di Timur-Tengah semakin menimbulkan kekhawatiran internasional sekaligus mengundang intervensi dari negara-negara adikuasa dunia. Rencana negara-negara “Barat” yang didukung oleh sekutu-sekutunya di kawasan Timur-Tengah untuk memutuskan resolusi dan memberikan sanksi terhadap Suriah akhirnya mengalami kegagalan. Republik Federasi Rusia dan Republik Rakyat China telah menggunakan Hak Veto-nya dalam sidang Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga rancangan resolusi dan sanski tersebut tidak dapat diterapkan oleh PBB. Pemerintah Suriah telah berhasil memainkan diplomasi politiknya di pentas internasional dengan memberikan konsesi-konsesi politik dan ekonomi kepada Rusia, Cina, dan Iran, serta kelompok perlawanan Hizbullah. Dengan konfrontasi politik yang semakin meningkat fluktuasinya antara Iran dengan Amerika Serikat, Iran sangat berkepentingan dengan stabilitas keamanan di Suriah guna menjaga kepentingan nasionalnya di Timur-Tengah. Kawasan Timur-Tengah, khususnya negara-negara di sekitar Selat Hormuz, juga dijadikan alat diplomasi politik oleh Iran untuk menyandera kepentingan politik dan ekonomi Amerika Serikat terkait dengan stabilitas harga dan keamanan perdagangan minyak global. Selat Hormuz adalah wilayah yang sangat strategis dan penting bagi jalur perlayaran perdagangan minyak internasional, khususnya dari negara-negara Arab ke negara-negara konsumen minyak dunia. Dapat diduga apabila Selat Hormuz benar-benar ditutup oleh Iran untuk jalur pelayaran niaga internasional, maka dunia akan mengalami krisis harga minyak akibat biaya transportasi minyak dunia yang meningkat pesat karena harus melalui jalur pelayaran lainnya yang lebih jauh dan lebih mahal. Produksi minyak dunia saat ini sebenarnya cukup stabil akibat telah kembali normalnya volume produksi minyak di Iraq dan Libya seperti sebelum kedua negara tersebut dilanda konflik internal dan eksternal. Konflik yang telah meluluhlantakkan perekonomian Iraq sempat menurunkan produksi minyakn negars itu hingga ke titik paling rendah sepanjang sejarah. Sehingga pada tahun 2007 dan 2008 produksi minyak dunia mengalami kekurangan pasokan dan terjadi kelangkaan minyak yang berakibat meningkatnya harga minyak secara pesat dan irasional. Krisis harga minyak global yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008 itu kini kembali mengancam dunia, terutama apabila Selat Hormuz jadi ditutup oleh Iran, serta apabila Iran menghentikan ekspor minyaknya kepada negara-negara yang berkonfrontasi secara frontal dengannya. Di sisi lain, akibat terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat, maka terjadi penurunan permintaan minyak yang cukup drastis dari negeri Paman Sam kepada negaranegara Petrodollar di kawasan Timur-Tengah itu. Dampaknya adalah Saudi Arabia mulai menggeser negara-negara tujuan penjualan minyaknya dari Amerika Serikat ke sejumlah negara-negara industri baru di Asia seperti China, Korea Selatan, dan India.. Akibat berkurangnya permintaan minyak Amerika Serikat terhadap negara-negara Petrodollar tersebut, maka negara Paman Sam itu tidak terlalu peduli dengan kondisi dan situasi politik di Timur Tengah yang terus-menerus memburuk. Namun Amerika Serikat menjadi sangat berkepentingan terhadap kawasan Timur Tengah karena Israel sebagai sekutu terdekatnya tentu akan sangat terganggu pasokan minyak bagi negaranya apabila Selat Hormuz benar- benar ditutup oleh Iran. Sebagai “anak emas” Amerika Serikat, keberadaan Israel sangat vital bagi kepentingan geopolitik internasional Amerika Serikat di kawasan Timur-Tengah. Amerika Serikat juga berkepentingan terhadap hegemoninya di dunia internasional dalam bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), penyebarluasan paham demokrasi, serta sistem ekonomi kapitalisme. Itulah sebabnya mengapa Amerika Serikat menarik duta besarnya di Suriah dengan tujuan mempercepat proses demokratisasi di Suriah. Hal yang sama juga diikuti oleh Kerajaan Inggris dan Kerajaan Saudi Arabia dengan menarik duta besar mereka dari Suriah, tentu saja dengan kepentingan yang berbeda. Inggris merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat sehingga mengikuti juga kebijakan Amerika Serikat untuk menarik duta besarnya dari Suriah. Sedangkan Saudi Arabia menarik duta besarnya dari Suriah dengan tujuan mengimbangi pengaruh politik Iran di kawasan Timur-Tengah. Saudi Arabia juga turut aktif mendorong terjadinya proses suksesi kepemimpinan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah sehingga pemerintahan baru Suriah nantinya tidak terlalu dikuasai oleh Iran. Saudi Arabia berusaha mencegah terjadinya intervensi militer dari negara-negara Barat terhadap Suriah untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan kawasan Timur-Tengah. Hal ini dilakukan oleh Saudi Arabia dengan cara mendesak Rusia dan China agar menggunakan hak vetonya dalam sidang DK PBB. Senjata diplomasi yang digunakan oleh Saudi Arabia adalah dengan menjamin ketersediaan pasokan minyak dari Arab Saudi ke China, Korea Selatan, India dan Rusia. Dengan digunakannya hak veto oleh Rusia dan China, Inggris dan Amerika Serikat tentu berpikir puluhan kali untuk menyerang Iran karena khawatir dengan resiko krisis harga minyak global akibat ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Apalagi Rusia dan China juga memberikan sinyal dukungannya kepada Suriah melalui penggunaan hak veto dalam sidang DK PBB. Sebagai dua negara adikuasa yang bersaing dengan Amerika Serikat dan Inggris serta perekonomiannya sedang tumbuh cukup pesat, China dan Rusia tentu tidak ingin mengambil resiko kekurangan pasokan minyak dari wilayah Timur-Tengah. Begitu juga dengan Saudi Arabia yang tentu tidak menginginkan penutupan selat Hormuz oleh Iran karena dapat mengganggu perniagaan minyak global dari Saudi Arabia ke negara-negara konsumen minyak. http://politik.kompasiana.com/2012/07/18/peta-politik-perdagangan-minyak-di-timur-tengah/