MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN YANG BERKUALITAS MELALUI PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU Oleh, Hilal Mahmud* Abstrak: Profesionalisme mengandung arti kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya dalam kurun waktu tertentu dimana hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat. Profesionalsime merujuk pada komitmen seseorang untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakoni profesinya. Singkatnya, profesionalisme adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar. Profesional adalah orang yang terampil, handal dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Sebagai pendidik, guru harus profesional. Sebagaimana ditetapkan dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian, Guru sebagai tenaga profesional diharapkan bisa mewujudkan pembelajaran yang berkualitas. Untuk mencapai hal tersebut, seorang guru harus menghindari tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru, yaitu: mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berprilaku negatif, menggunakan “destructive discipline”, mengabailkan perbedaan peserta didik, merasa paling pandai, tidak adil dan memaksa hak peserta didik. Untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas, seorang guru harus mampu memilih strategi pembelajaran yang tepat, yaitu menciptakan kesiapan belajar siswa, membuka dan menutup pelajaran, menggunakan keterampilan bertannya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas dan mengajar kelompok kecil dan perorangan. * Hilah, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palopo 57 58 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 Kata Kunci : Profesionalisme guru, Pembelajaran yang Berkualitas A.Pendahuluan Pembelajaran memiliki keunikan tersendiri. Pembelajaran bisa berlangsung dimana saja. Di ruang yang dikelilingi sekat tembok atau di alam terbuka pembelajaran dapat berlangsung. Keberhasilan pembelajaran sebenarnya bukan ditentukan oleh tempat berlangsungnya proses pembelajaran, tetapi lebih pada bagaimana seorang guru mampu memanfaatkan tempat dan lingkungan belajar yang mengandung banyak sekali event, isyarat, serta pemicu yang turut mempengaruhi pembelajaran. Dan yang sama pentingnya (atau lebih penting) adalah bagaimana siswa belajar (Eric Jensen:2010). Permasalahan belajar sebenarnya begitu kompleks dan ‘unik’. Belajar menjadi hal yang sentral untuk mewujudkan perubahan. Jika siswa benar-benar belajar, maka mereka akan berubah dengan sungguh-sungguh akibat hasil belajar tersebut. Jika mereka benar-benar berubah dan menjadi pembelajar sejati, maka mereka akan merefleksikan perubahan-perubahan itu, kemudian akan belajar lebih banyak lagi. Artinya, belajar memicu terjadinya perubahan dan perubahan memicu terjadinya belajar yang lebih banyak lagi, sehingga pembelajaran berkualitas terwujud dan membentuk siklus kemaslahatan. Untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas, berbagai macam teori dan strategi pembelajaran telah ditawarkan para pakar pendidikan. Namun sampai saat ini, masih banyak persoalan-persoalan yang muncul dalam proses pembelajaran. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menenetapkan strategi belajar yang tepat untuk suatu situasi dan lingkungan belajar tertentu. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal, faktor guru merupakan salah satu faktor yang sangat berpengruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sangat tergantung pada bagaimana guru merekayasa proses pembelajaran di kelas. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah, tanggung jawab itu diambil alih oleh guru. Pada taraf itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 59 mereka mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif dalam proses interaksi dengan guru. Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan terfokus pada “input-proses-output”. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok” sedangkan output terkait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Pada tataran proses inilah yang paling dominan dalam mewujudkan situasi pembelajaran berkualitas di sekolah. Kualitas proses pembelajaran amat tergantung pada bagaimana guru mengelolanya. Jika pengelolaan pendidikan memasung kreatifitas, tidak kondusif untuk melakukan inovasi, dan membelenggu, berarti bahwa pendidikan bisa berbahaya bagi kemandirian, pengembangan wawasan dan kepribadian, serta kebebasan siswa sebagai individu. Hal ini sejalan dengan ungkapan menarik dari Emille Durkheim yang melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Model sekolah yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang Paulo Freire sebut sebagai sekolah “gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, sekolah hanya akan menjadi sebuah kegiatan menabung. Para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan siswa hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak siswa menyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya. Model sekolah seperti ini memicu siswa untuk lari dari kelasnya yang sumpek dan membelenggu. Guru sebagai tenaga profesional diharapkan mampu merekayasa pembelajaran sehingga bergeser dari pendidikan yang membelenggu kearah pendidikan yang mampu membebaskan individu. B. Profesionalime Guru Profesionalisme guru menjadi taruhan ketika menghadapi tuntutan perubahan zaman. Tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa, tidak sekedar kemampuan guru menguasai pelajaran tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional. Sudarwan Danim (2003) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam 60 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, ia hadir sebagai subyek paling diandalkan. Guru adalah penentu kualitas pembelajaran di kelas. . Tuntutan akan kehadiran guru professional makin terasa jika diperhadapkan pada suasana sekolah yang pada umumnya tidak lagi kondusif bagi generasi yang oleh Jemy V. Confide disebut sebagai Digital Native. Digital Native adalah generasi yang sangat fasih dengan bahasa global dan sangat akrab dengan informasi dan pengetahuan global melalui internet. Generasi digital ini memerlukan suasana kondusif yang memungkinkan mereka mendapat energi besar untuk terdorong dan betah belajar di sekolah. Diperlukan suasana yang mampu menginspirasi mereka untuk terus belajar dalam dunia mereka, dunia digital. Dan suasana yang demikian itu sulit mereka temukan di sekolah, tetapi mereka bisa menikmatinya di dunia virtual (maya). Profesionalisme guru menunjuk kepada komitmen para guru sebagai anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Walter Johnson (dalam Djam’an Satori, 2008) mengartikan professional sebagai seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan pencapaian kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi. Singkatnya, profesionalisme adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar. Profesional adalah orang yang terampil, handal dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Sebagai pendidik, guru harus profesional, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Guru profesional adalah guru yang terampil, handal dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya Profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise), keterampilan yang Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 61 dipersiapkan secara khusus untuk melakoni pekerjaan itu. Untuk memahami profesi, berikut ini dikemukakan beberapa kriteria untuk menentukan ciri-ciri dari suatu profesi seperti yang dikemukakan oleh Rochman Natawijaya (dalam Djam’an Satori, 2008) adalah: 1) Ada standar kerja yang baku dan jelas; 2) Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku, memiliki standar akademik yang memadai dan bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu; 3)Ada organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya; 4) Ada etika dan kode etik yang mengatur prilaku etik para pelakunya dalam memperlakukan kliennya; 5) Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku; 6) Ada pengakuan masyarakat (professional, penguasa, dan awam) terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi. Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa profesi memiliki cirri-ciri utama sebagai berikut : 1) Memiliki standar unjuk kerja yang baku; 2) Anggota profesinya memperoleh pendidikan tinggi yang memberikan dasar pengetahuan yang bertanggungjawab; 3) Memiliki lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan tenaga profesi yang dibutuhkan; 4) Memiliki orgasnissasi profesi yang memperjuangkan hakhak anggotanya serta bertanggung jawab untuk meningkatkan profesi yang bersangkutan; 5) Adanya pengakuan yang layak dari masyarakat; 6) Adanya system imbalan yang memadai sehingga anggota profesi dapat hidup layak dari profesinya; 7) Memiliki kode etik yang mengatur setiap anggota profesi (Djam’an Satori, 2008). Seorang guru profesional, setidaknya memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt mengemukakan bahwa guru yang baik harus memiliki tujuh kriteria, yaitu: 1) Sifat positf dalam membimbing siswa; 2) Pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang dibina; 3) Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap; 4) Mampu menguasai metodologi pembelajaran; 5) Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa; 6) Mampu mengakomodir kebutuhan siswa; 7) Mampu menguasai manajemen kelas. Selain hal tersebut di atas, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional, yaitu suasana kondusif lingkungan belajar baik fisik maupun psikis. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 disebut dengan istilah 62 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 menyenangkan. Demikian juga E.Mulyasa (2005) menegaskan bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan hasratnya untuk belajar. Eric Jensen (2010) menegaskan bahwa lingkungan belajar memiliki efek kumulatif baik pada siswa maupun guru. Lingkungan belajar yang dirancang dengan baik dapat melakukan banyak hal. Paling tidak, lingkungan pembelajaran yang menyenangkan dapat: 1) Mendorong hubungan positif antara siswa dan materi pokok; 2) Membangun relasi antara guru dan murid; 3)Merangsang pemikiran, kreativitas dan keingintahuan; 4) Meningkatkan harga diri, keyakinan dan nilai diri siswa; 5) Menginformasikan, memengaruhi, membujuk, dan menimbulkan semangat; 6) Meningkatkan tingkat responsibilitas, rasa keadilan, dan perasaan [positif siswa Anda tentang sekolah; 7) Membantu membuat ruang kelas Anda menjadi tempat yang nyaman. Terkait dengan suasana lingkungan belajar yang nyaman tersebut, seorang guru profesional seyogyanya senantiasa memikirkan bagaimana menciptakan suasana lingkungan pembelajaran yang kondusif dan menumbuhkan kesan menghibur. Dengan begitu banyak jam dihabiskan di ruang kelas, memungkinkan mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka, belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah” bagi para guru yang profesional. C. Tujuh Kesalahan Yang Sering Dilakukan Guru Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas guru, antara lain melalui pelatihan, seminar, lokakarya, bahkan melalui pendidikan formal. dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Latar belakang pendidikan guru ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhinya. Namun kadang-kadang dalam kenyataannya. dalam praktek pendidikan sehari-hari, masih banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam menunaikan tugas dan fungsinya. Karena pekerjaan mengajar itu sudah menjadi rutinitas sehari- Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 63 hari, maka kesalahan-kesalahan tersebut seringkali tidak disadari oleh para guru. Bahkan masih banyak diantaranya yang menganggap hal tersebut biasa dan wajar. Padahal, sekecil apapun kesalahan yang dilakukan guru, khususnya dalam pembelajaran, akan berdampak negatif terhadap perkembangan peserta didik. Sebagai manusia biasa, tentu saja guru tidak akan terlepas dari kesalahan baik dalam berprilaku maupun dalam melaksanakan tugas pokoknya. Namun demikian, bukan berarti kesalahan guru harus dibiarkan dan tidak dicarikan cara pemecahannya. Dari berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negatif, menggunakan destructive discipline, mengabaikan perbedaan individu, merasa diri paling pandai, tidak adil serta memaksa hak peserta didik (Mulyasa,2005). 1. Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian informasi kepada peserta didik. Sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai keunikannya. Dalam pada itu, guru dituntut memahami berbagai strategi dan model pembelajaran yang efektif agar dapat membimbing peserta didik secara optimal. Untuk maksud itu, guru dituntut untuk membuat perencanaan dan persiapan mengajar yang efektif dan efisien. Namun dalam kenyataannya, dengan berbagai alasan, banyak guru yang mengambil jalan pintas dengan tidak membuat persiapan ketika mau melakukan pembelajaran. Mengajar tanpa persiapan, disamping merugikan guru sebagai tenaga profesional juga akan sangat mengganggu perkembangan peserta didik. 2. Menunggu Peserta Didik Berperilaku Negatif Kebanyakan siswa merasa bahwa tidak ada yang peduli dan memperhatikan mereka, baik orang tua maupun guru, bahkan teman mereka sendiri juga tidak. Dalam pembelajaran di kelas, guru berhadapan dengan sejumlah peserta didik yang semuanya ingin diperhatikan. Tidak sedikit guru yang sering mengabaikan perkembangan kepribadian peserta didik, serta lupa memberikan pujian kepada mereka yang berbuat baik, dan tidak membuat masalah. Biasanya guru baru memberikan perhatian kepada peserta didik ketika ribut, tidak memperhatikan, atau mengantuk di Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 64 kelas. Kondisi tersebut kemudian seringkali mendapat tanggapan yang salah dari peserta didik. Mereka beranggapan bahwa jika ingin mendapat perhatian dari guru, maka harus berbuat salah, berbuat gaduh, mengganggu dan melakukan tindakan indisiplin lainnya. Sesungguhnya menghargai perilaku peserta didik yang positif memberi hasil yang nyata. Sangat efektif jika pujian guru langsung diarahkan kepada perilaku khusus daripada hanya diekspresikan dengan pernyataan positif yang sifatnya sangat umum. Disisi lain, guru harus memperhatikan perilaku-perilaku peserta didik yang negatif, dan mengeliminasi perilaku-perilaku tersebut agar tidak terulang kembali. Guru bisa mencontohkan berbagai perilaku peserta didik yang negatif, misalnya melalui ceritera atau illustrasi, dan memberikan pujian kepada mereka karena tidak melakukan perilaku negatif tersebut. 3. Menggunakan Destructive Discipline Di Era Generasi Digital sekarang ini guru di kelas telah berkompetisi dengan banyak sumber belajar yang telah menjadi ‘guru lain’ dari generasi digital ini. Bagi generasi digital, rasanya aktivitas mereka sehari-hari tidak lengkap jika tidak menyentuh Google, Yahoo, Blog, Wikipedia, Youtube, facebook, twitter, foursquare dan nama lain dalam teknologi Web 2.0. Semua itu sudah menjadi menu wajib generasi digital sehari-hari. Mereka berinteraksi, sharing, membuat dan berbagi konten melalui situs jejaring social. Chatting yang sepuluh tahun yang lalu hanya dapat mereka lakukan di warnet, kini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja berkat teknologi 3G. Bahkan lebih fatal lagi jika guru gaptek alias gagap teknologi sehingga sering dikibuli siswanya yang purapura belajar di depan komputer, tetapi ternyata sedang asyik menjelajah situs-situs terlarang. Jika ‘guru lain’ ini telah mengalahkan ‘gesach’ guru di kelas, maka akan membuka peluang lebih lebar perilaku negatif dilakukan oleh para peserta didik. Bahkan penerimaan informasi yang salah mendorong peserta didik berprilaku negative yang melampaui batas kewajaran karena telah menjurus pada tindak melawan hukum, melanggar tata tertib, melanggar moral agama dan telah membawa akibat yang sangat merugikan masyarakat. Hal demikian ini memaksa guru menghadapi situasi-situasi Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 65 yang menuntut mereka harus melakukan tindakan disiplin. Seperti alat pendidikan lain, jika guru tidak memiliki rencana tindakan yang benar, maka dapat melakukan kesalahan yang tidak perlu. Seringkali guru memberikan hukuman kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kesalahan yang dilakukannya, tidak jarang guru memberikan hukuman melampaui batas kewajaran pendidikan (malledukatif), dan banyak guru yang memberikan hukuman kepada peserta didik tidak sesuai dengan jenis kesalahan. Tindakan tersebut merupakan upaya penegakan disiplin yang destruktif, yang sangat merugikan perkembangan peserta didik. 4. Mengabaikan Perbedaan Peserta Didik Kesalahan berikutnya yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran adalah mengabaikan perbedaan individu peserta didik. Peserta didik memiliki perbedaan gender, yang berkorelasi pada perbedaan gaya belajar serta emosi yang sangat bervariasi. Pada umumnya guru melihat perilaku-perilaku tersebut sebagai hal yang relatif normal, dan cukup bisa ditangani dengan menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif. Akan tetapi, perlu diingat bahwa guru di sekolah dihadapkan pada sejumlah perilaku peserta didik. Guru seringkali kesulitan untuk mengetahui mana perilaku yang normal dan wajar dan mana perilaku yang indisiplin dan perlu mendapat penanganan khusus. Hal ini berpengaruh pada kualitas pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Setiap peserta didik memiliki perbedaan yang unik, mereka memiliki kekuatan, kelemahan, minat dan perhatian yang berbeda-beda. Latar belakang keluarga, latar belakang sosial ekonomi, dan lingkungan, membuat peserta didik berbeda dalam aktivitas, kreativitas, intelegensi, dan kompetensinya. Guru seharusnya dapat mengidentifikasi perbedaan individual peserta didik, dan menetapkan karakteristik umum yang menjadi ciri kelasnya, dan ciri-ciri individual yang menjadi karakteristik umumlah seharusnya guru memulai pembelajaran. Dalam hal ini, guru harus memahami ciri-ciri peserta didik yang harus dikembangkan dan yang harus diarahkan kembali. 5. Merasa Paling Pandai Kesalahan lain yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran adalah merasa paling pandai dalam kelas. Kesalahan ini berangkat dari Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 66 kondisi bahwa pada umumnya para peserta didik di sekolah usianya relatif lebih muda dari gurunya, sehingga guru merasa bahwa peserta didik tersebut lebih bodoh dibanding dirinya, peserta didik dipandang sebagai gelas yang perlu diisi air ke dalamnya. Di Era Generasi Digital perasaan seperti ini sangat menyesatkan. Saat ini peserta didik dapat dengan mudah belajar melalui internet dan berbagai media massa, yang mungkin guru belum menikmatinya. Melalui dunia maya mereka dengan mudah mendapat informasi yang diinginkan. Bagi generasi digital, cukup lewat jari, apapun yang diinginkan akan begitu mudah tersaji di depan mata. Dunia betul-betul sudah dalam genggaman. Dunia semakin kecil. Dunia betul-betul sudah selebar daun kelor. Dengan demikian, dalam hal tertentu mungkin saja peserta didik yang belajar lebih pandai daripada guru. Jika hal ini benar terjadi, maka guru harus demokratis untuk bersedia belajar kembali, bahkan belajar dari peserta didik sekalipun, atau saling membelajarkan. Dalam hal ini, guru harus menjadi pembelajar sepanjang hayat(long life education). Guru sejatinya menyesuaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika tidak, maka akan ketinggalan kereta, bahkan akan disebut guru ‘jadul’. 6. Tidak Adil ( Diskriminatif ) Pembelajaran yang baik dan efektif adalah yang mampu memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara adil dan merata ( tidak diskriminatif), sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan dalam pembelajaran merupakan kewajiban guru dalam pembelajaran, dan hak peserta didik untuk memperolehnya. Dalam prakteknya disadari atau tidak, banyak guru yang tidak adil sehingga merugikan perkembangan peserta didik. Ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan guru terutama dalam melakukan penilaian. Penilaian merupakan upaya untuk memberikan penghargaan kepada peserta didik sesuai dengan usaha yang dilakukannya selama proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam memberikan penilaian harus dilakukan secara adil, dan benar-benar merupakan cermin dari perilaku dan hasil kerja peserta didik. 7. Memaksa Hak Peserta Didik Memaksa hak peserta didik merupakan kesalahan yang sering dilakukan guru, sebagai akibat dari kebiasaan guru berbisnis dalam Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 67 pembelajaran, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Guru boleh saja memiliki pekerjaan sampingan, memperoleh penghasilan tambahan, dan itu sudah menjadi haknya, tetapi tindakan memaksa bahkan mewajibkan peserta didik untuk membeli buku tertentu sangat fatal serta kurang bisa digugu dan ditiru. Sebatas menawarkan boleh saja, tetapi kalau memaksa, kasihan orang tua siswa yang tidak mampu. Kondisi semacam ini seringkali membuat prustrasi peserta didik. D. Gagasan Pemecahan Masalah Untuk mengubah dari pendidikan yang bersifat membelenggu ke pendidikan yang bersifat membebaskan, maka seorang guru yang profesional harus bisa menciptakan pembelajaran yang demokratis dan berkualitas (aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan). 1. Pembelajaran Demokratis Sebagai upaya keluar dari pembelajaran yang membelenggu menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan sikap demokratis (keterbukaan dan lapang dada) dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Pendekatan yang membebaskan merupakan proses dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan sikap, pikiran dan pandangannya secara kritis. Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subyek yang membebaskan atau obyek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dengan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling menerima dan memberi. Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior. Jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus. Dalam pembelajaran demokratis peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdayakan potensi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap 68 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 dan berkreasi sendiri. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasl 40 ayat 2 yang beisi:Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Seiring dengan demokrasi politik, ada tuntutan demokrasi pendidikan. Dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang dan digantikan oleh peranan siswa semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan (student centered). Demikian pula, pergantian istilah anak didik,terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantik, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif, progresif dan proaktif dibandingkan peran masa lampaunya. 2. Menciptakan Pembelajaran Yang Berkualitas Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu, untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas, diperlukan seorang guru yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Keterampilan mengajar merupakan kompetensi profesional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Turney (1979) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa ada delapan keterampilan dasar mengajar yang sangat berperan dan menentukan keberhasilan pembelajaran, yaitu keterampilan bertanya, Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 69 memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas serta mengajar kelompok kecil dan perorangan a. Menggunakan Keterampilan Bertanya Keterampilan bertanya sangat perlu dikuasai guru untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dalam setiap tahap pembelajaran, guru dituntut untuk mengajukan pertanyaan, dan kualitas pertanyaan yang diajukan guru akan menentukan kualitas jawaban peserta didik. Pertanyaan yang baik berfungsi mendorong siswa untuk berfikir, meningkatkan keterlibatan siswa, mendiagnosis kelemahan siswa, membantu siswa fokus pada satu masalah, dan membiasakan siswa mengungkapkan pendapat dan fikirannya dengan bahasa yang baik dan benar. Keterampilan bertanya yang perlu dikuasai guru meliputi keterampilan bertanya dasar dan keterampilan bertanya lanjutan. Keterampilan bertanya dasar mencakup pertanyaan yang jelas dan singkat, pemberian acuan, pemusatan perhatian, pemindahan giliran, penyebaran pertanyaan, pemberian waktu berpikir, pemberian tuntunan dengan mengungkapkan pertanyaan dengan cara lain, menanyakan dengan pertanyaan yang lebih sederhana, dan mengulangi penjelasan sebelumnya. Keterampilan bertanya lanjutan merupakan kelanjutan dari keterampilan bertanya dasar. Keterampilan bertanya lanjutan yang perlu dikuasai guru meliputi pengubahan tuntutan kognitif dalam menjawab pertanyaan,, pengaturan urutan pertanyaan, pertanyaan pelacak, dan peningkatan terjadinya interaksi. b. Memberi Penguatan Penguatan merupakan respon terhadap suatu perilaku siswa yang baik dan dapat mendorong kemungkinan terulangnya kembali serta meningkatkan perilaku baik tersebut. Penguatan dapat dilakukan secara verbal, dan nonverbal, dengan prinsip kehangatan, keantusiasan, kebermaknaan, dan menghindari penggunaan respon yang negatif. Penguatan secara verbal berupa kata-kata dan kalimat pujian; seperti bagus, tepat, bapak atau ibu puas dengan kerja kalian. Sedangkan secara nonverbal dapat dilakukan dengan gerakan mendekati peserta didik, sentuhan, acungan jempol, dan kegiatan yang menyenangkan. 70 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 Penguatan bertujuan untuk meningkatkan perhatian peserta didik terhadap pembelajaran, merangsang dan meningkatkan motivasi belajar dan meningkatkan kegiatan belajar, dan membina perilaku yang produktif, mengontrol prilaku negative, menumbuhkan rasa percaya diri, dan memelihara iklim kelas yang kondusif.. Penguatan dapat ditujukan kepada pribadi tertentu, kepada kelompok tertentu, dan kepada kelas secara keseluruhan. Dalam pelaksanaannya penguatan harus dilakukan dengan segera, dan bervariasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam memberi penguatan yaitu : penguatan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Penguatan yang diberikan harus memiliki makna yang sesuai dengan kompetensi yang diberi penguatan. Hindarkan respon negatif terhadap jawaban peserta didik. Penguatan yang diberikan hendaknya bervariasi. c. Mengadakan Variasi Mengadakan variasi merupakan keterampilan yang harus dikuasai guru dalam pembelajaran untuk mengatasi kebosanan peserta didik. Kegiatan pembelajaran yang variatif dapat meningkatkan minat dan keingintahuan siswa. Variasi yang tepat membuat siswa selalu antusias, tekun dan penuh partisipasi. Variasi dalam pembelajaran adalah perubahan dalam proses kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik, serta mengurangi kejenuhan dan kebosanan. Variasi dalam kegiatan pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu: variasi dalam gaya mengajar, variasi dalam penggunaan media dan sumber belajar, variasi dalam pola interaksi, dan variasi dalam kegiatan. Variasi dalam gaya mengajar dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti : variasi suara rendah, tinggi, besar dan kecil, memusatkan perhatian, membuat kesenyapan sejenak, mengadakan kontak pandang dengan peserta didik. Variasi gerakan badan dan mimik, dan mengubah posisi, misalnya, bergerak dari depan kelas, berkeliling ditengah kelas tetapi tidak mengganggu suasana pembelajaran. Variasi dalam penggunaan media dan sumber belajar dapat dilkukan dengan variasi alat dan bahan yang dapat dilihat, alat dan bahan yang dapat didengar, alat dan bahan yang dapat diraba dan dimanipulasi serta variasi penggunaan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar. Sedangkan variasi dalam pola interaksi dapat dilakukan dengan variasi dalam: pengelompokan peserta didik, tempat kegiatan pembelajaran, pola Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 71 pengaturan guru, pengaturan hubungan guru dengan peserta didik, pengorganisasian pembelajarn, pengorganisasian pesan, dan dalam pengelolaan pesan. Selanjutnya, variasi dalam kegiatan pembelajaran dilakukan dengan jalan variasi penggunaan metode pembelajaran, penggunaan media dan sumber belajar, variasi dalam pemberian contoh dan illustrasi dan dalam interaksi dan kegiatan peserta didik. d. Menjelaskan Menjelaskan adalah mendeskripsikan secara lisan tentang sesuatu benda, keadaan, fakta dan data sesuai dengan waktu dan hukum-hukum yang berlaku. Menjelaskan merupakan suatu aspek penting yang harus dimiliki guru, mengingat sebagian besar pembelajaran menuntut guru untuk memberikan penjelasan. Oleh sebab itu, keterampilan menjelaskan perlu ditingkatkan agar dapat mencapai hasil yang optimal. Keterampilan menjelaskan terdiri atas dua komponen.Pertama, merencanakan materi penjelasan yang mencakup: menganalisis masalah, menentukan hubungan, dan menggunakan rumus dan generalisasi yang sesuai. Kedua, menyajikan penjelasan yang mencakup: kejelasan dengan bahasa lisan, penggunaan contoh dan illustrasi, pemberian tekanan dengan variasi gaya mengajar yang sesuai karakteristik siswa, dan balikan untuk memperoleh informasi tentang tingkat pemahaman siswa. d. Membuka dan Menutup Pelajaran Membuka dan menutup pelajaran merupakan dua kegiatan rutin yang dilakukan oleh guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran. Agar kegiatan tersebut memberikan sumbangan yang berarti terhadap pencapaian tujuan pembelajaran, maka perlu dilakukan secara profesional. Kegiatan membuka pelajaran dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa mengikuti pelajaran. Sedangkan kegiatan menutup pelajaran bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Agar kegiatan membuka dan menutup pelajaran dapat dilakukan secara efektif dan berhasil guna, maka perlu diperhatikan komponenkomponen yang terkait di dalamnya. Komponen-komponen yang berkaitan dengan hal tersebut adalah menarik minat peserta didik, membangkitkan motivasi, memberi acuan dan membuat kaitan. e. Membimbing Diskusi Kelompok Kecil 72 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur dan melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka untuk mengambil kesimpulan dan memecahkan masalah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membimbing diskusi adalah : memusatkan perhatian peserta didik pada tujuan dan topik diskusi, memperluas masalah atau urunan pendapat, mengnalisis pandangan peserta didik, meningkatkan partisipasi peserta didik, menyebarkan kesempatan berpartisipasi dan menutup diskusi. Kegiatan membimbing diskusi kelompok kecil dilakukan guru dengan mempertimbangkan kesesuaian diskusi dengan topik yang dibahas, kekuatan dan kelemahan diskusi dalam pembelajaran, perencanaan dan persiapan yang matang, iklim diskusi yang terbuka dan bersahabat, serta pemilihan topik diskusi yang tepat. f. Mengelola Kelas Mengelola kelas merupakan keterampilan guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, dan mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu : kehangatan dan keantusiasan, tantangan, bervariasi, luwes, penekanan pada hal positif dan penanaman disiplin diri. Komponen keterampilan mengelola kelas terdiri atas keterampilan yang bersifat preventif dan yang bersifat repressif. Keterampilan preventif ditunjukkan dengan sikap tanggap, memusatkan perhatian kelompok, memberi penguatan, dan memberi petunjuk yang jelas. Keterampilan repressif dilakukan dengan pendekatan modifikasi tingkah laku, pengelolaan kelompok, dan menemukan dan memecahkan masalah yang ditimbulkannya. g. Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan Pembelajaran kelompok kecil dan perorangan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap peserta didik. Pembelajaran kelompok kecil dan perorangan dapat menjalin hubungan yang lebih akrab antara guru dengan peserta didik, maupun antara peserta didik dengan peserta didik. Pengorganisasian nya dapat dilakukan dengan berbagai variasi sesuai topik, kemampuan, waktu, serta fasilitas yang ada. Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 73 Guru dalam mengelola kelompok kecil dan perorangan harus menguasai empat komponen keterampilan: mengadakan pendekatan secara pribadi, mengorganisasikan, membimbing dan memudahkan belajar, serta merencanakan dan melakukan kegiatan pembelajaran. Selain keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang guru yang profesional untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas, maka seorang guru juga harus mampu melakukan kiat dan terobosan untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Pembelajaran akan aktif apabila : Guru bersahabat dan bersikap terbuka, memberikan pertanyaan yang mengundang banyak jawaban siswa, merespon dan menghargai semua pendapat siswa, memberikan umpan balik, dan secara aktif memfasilitasi siswa. Pembelajaran akan kreatif apabila Guru: menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,bervariasi dan kreatif, meminta siswa untuk menghsilkan karya atau kreativitas, dan menghargai serta memamerkan hasil karya semua siswa. Pembelajaran akan efektif apabila Guru: memperhatikan efisiensi waktu, mengakomodasi semua gaya belajar siswa, memberikan memberikan tugas-tugas dengan panduan yang jelas, memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran dengan tepat, mengelola kelas dengan baik, dan memiliki aturan main dan kesepakatan. Selanjutnya, pembelajaran akan menyenangkan apabila: Guru tampil dengan bersemangat, gembira dan ramah, menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif, dan memberikan tugas-tugas yang menarik, menantang dan sesuai dengan karakteristik/kebutuhan siswa. E. P e n t u p Dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang berkualitas, guru sebagai tenaga profesional diharapkan mampu mengubah paradigma dari pendidikan yang bersifat membelenggu ke pendidikan yang bersifat membebaskan. Untuk mampu melakukan hal tersebut, seorang guru harus mampu menghindarkan diri dari melakukan hal-hal yang dapat membelenggu kehidupan pribadi siswa dengan tidak mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, tidak menunggu peserta didik berprilaku negatif, tidak menggunakan destructive discipline, tidak mengabaikan perbedaan peserta didik, tidak merasa paling pandai, dan tidak adil. 74 Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 Selain hal tersebut, seorang guru yang profesional diharapkan mampu menciptakan pembelajaran yang demokratis. Pembelajaran yang demokratis bisa terwujud apabila peran siswa telah dimaksimalkan, siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdayakan potensi yang dimilikinya untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri. Selain itu, seorang guru yang profesional harus memiliki keterampilan: bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan materi pelajaran, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas dan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Daftar Rujukan Bobby Deporter dan Mieke Hernachi. 2002. Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa. Coley, R.J. 2002. An uneven start: Indicators of Inequality in School Readness. Princeton, NJ: Educational Testing Service. Dede Rosyada. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada. Donald P. Kauchosick and Paul D.Eggen. 1996. Learning and Teaching Research Basic Method. Baston,:Allya and Baron. DuFour, Richard.2002. The Learning Principal dalam jurnal Educational Leadership. Edisi Mei 2002. Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:Rosdakarya. Jensen, Eric.2010. Guru Super dan Super Teaching. Jakarta: PT. Indeks. Pak Tee, Ng. 2005. The Learning School – Innovation and Enterprise. Singapore: Pearson Education South Asia Pte. Ltd. Richey, Robert W. 1974. Preparing for a Career in Education. New York: Mc Graw Hill. Rosner, Jerome. 1993. Helping Children Overcome Learning Difficulties. New York: Worker and Company Satori, Djam’an. 2008. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka. Volume 13, Nomor 2, Juni 2011 75 Sudarwan Danim. 2003. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Soedijarto. 1982. Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan (Terutama Guru) dan Implikasinya dalam Penyusunan Kurikulum. LPTK Malang: Konsorsium Ilmu Pendidikan. Turney, C. 1979. Sydney Micro Skills. Handbook Series 1. Sydney: Sydney University Press. -------. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun. 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. KLoang Klede Putra Timur. Wragg, E.C & Dooley, P.A. 1984. Class Management during Teaching Practice. Dalam E.C. Wragg (ed) Classroom Teaching Skills. New York: Nichols Publishing Company.