kajian teoritis konsepsi pengembalian kerugian negara melalui

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN
KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI PENGATURAN
PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK
DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu
Hukum
pada Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
UMAR HANIE P.
NIM. E0008081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI
INDONESIA
Oleh
Umar Hanie P
NIM. E0008081
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juli 2012
Pembimbing Utama
Co. Pembimbing
Kristiyadi, S.H., M.Hum.
NIP. 19581225 198601 1001
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 19821008 200501 1001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA
MELALUI URGENSI PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG
DI INDONESIA
Oleh
Umar Hanie P
NIM. E0008081
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :.....................................
Tanggal :.......... ..........................
DEWAN PENGUJI
1 Edy Herdyanto, S.H., M.H.
:..............................................................
Ketua
2 Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.:...............................................................
Sekretaris
3 Kristiyadi, S.H., M.Hum
:...............................................................
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof.Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
NIP. 19570203
commit to1985032001
user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Umar Hanie P.
NIM
: E0008081
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
Kajian Teoritis Konsepsi Pengembalian Kerugian Negara Melalui Urgensi
Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam Perkara
Pencucian Uang di Indonesia ini adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2012
yang membuat pernyataan,
Umar Hanie P.
NIM. E0008081
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Q.S. Al
Baqarah:153)
“Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan
cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi
Penolong (bagimu).” (Q.S. An Nisaa’:45)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu tercinta, Tosyim Prabowo, B.Sc., dan Suharni, S.H., yang
senantiasa memberikan semangat dan kasih sayangnya, Mbak Evita Hanie
Pangaribowo yang penulis sayangi, serta kawan-kawan sekalian yang turut
membantu penulisan hukum (skripsi) ini.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Umar Hanie P, E0008081. 2012. KAJIAN TEORITIS KONSEPSI
PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI URGENSI
PENGATURAN PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN
TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA.
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang serta
kontribusi dari pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik
memberikan kontribusi dalam mengembalikan kerugian negara akibat pencucian
uang. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian doktrinal,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis,
dikaji, kemudian ditarik suatu simpulan dalam hubungannya dengan masalah yang
diteliti. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Bahan hukum yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian
dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa peradilan in absentia diperlukan
untuk memperlancar proses pemeriksaan di persidangan dalam hal terdakwa tidak
hadir di persidangan. Dengan tetap berjalannya proses pemeriksaan di
persidangan meski tidak dihadiri terdakwa, hakim dapat menjatuhkan putusan
berupa perampasan harta terdakwa. Demikian juga dengan pembuktian terbalik.
Apabila terdakwa hadir di persidangan, maka terdakwa diberi beban pembuktian
bahwa harta kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana.
Pembuktian terbalik dimaksudkan untuk menambah keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk digunakan sebagai
pemulihan kerugian negara.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik ini merupakan bentuk upaya dalam
memberantas money laundering. Selain itu, peradilan in absentia dan pembuktian
terbalik memiliki urgensi dan kontribusi dalam pengembalian kerugian negara
akibat money laundering. Di samping itu, penulis juga memberikan saran agar
pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik perlu diatur secara lebih
detail lagi dalam undang-undang pencucian uang.
Kata kunci: pencucian uang, peradilan in absentia, pembuktian terbalik,
pengembalian kerugian negara
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Umar Hanie P, E0008081. 2012. THEORETICAL STUDY OF THE
INDEMNIFICATION OF THE STATE CONCEPTION THROUGH THE
URGENCY OF COURT IN ABSENTIA AND SHIFTING BURDEN OF
PROOF REGULATION IN THE CASE OF MONEY LAUNDERING IN
INDONESIA. Faculty of Law The Sebelas Maret University.
This study aims to examine more deeply about the urgency of the judiciary
in absentia and the shifting burden of proof in case of money laundering as well
as the contribution of judicial arrangements in absentia and shifting burden of
proof to contribute in restoring state due to loss of money laundering. In writing
this essay, the author uses doctrinal research, legal research is done by
examining library materials or secondary data consisting of primary legal
materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Legal materials
are arranged systematically, examined, and then drawn a conclusion in relation
to the matter under investigation. The collection of legal materials in this study
using the technique of collecting legal materials with literature. Legal materials
relating to issues discussed described, systematized, and then analyzed to
interpret the law.
The results were that the court in absentia is required to facilitate the
inspection process at the hearing in this case the defendant was not present at the
hearing. By keeping the passage of the examination process at the trial, though
not attended by the accused, the judge ruled on a defendant's seizure of property.
Similarly, the shifting burden of proof. If the defendant is present at the hearing,
the defendant was given the burden of proving that his/her property is not derived
from criminal acts. Shifting burden of proof is intended to increase confidence in
the judge ruled on the defendant to a deprivation of property used as the recovery
of state losses.
The conclusion to be drawn from the results of this study is that the court in
absentia and the shifting burden of proof is a form of effort in combating money
laundering. In addition, the court in absentia and the shifting burden of proof has
the urgency and contribute to the indemnification of the state due to money
laundering. In addition, the author also gives suggestions for regulating court in
absentia and the shifting burden of proof should be regulated in greater detail in
the money laundering legislation.
Key words: money laundering, the court in absentia, shifting burden of proof,
indemnification of the state
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “KAJIAN TEORITIS
KONSEPSI
URGENSI
PENGEMBALIAN
PENGATURAN
KERUGIAN
PERADILAN
NEGARA
IN
MELALUI
ABSENTIA
DAN
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG DI
INDONESIA” ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini merupakan satu syarat untuk menyelesaikan studi dan
mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
kesukaran. Namun berkat bantuan, bimbingan serta pengarahan berbagai pihak,
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sepantasnyalah penulis
menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
2.
Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang
telah memberikan izin bagi tersusunnya skripsi ini hingga selesai.
3.
Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum. selaku pembimbing utama yang telah
memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta bimbingan
sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku pembimbing pembantu
yang telah memberikan petunjuk-petunjuk, pengarahan, saran-saran serta
bimbingan sehingga memperlancar penulisan skripsi ini.
5.
Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik
penulis atas segala bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh
perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas
commit
to userSebelas Maret.
ix
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan bekal ilmu hukum kepada penulis selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7.
Bapak Tosyim Prabowo, B.Sc., Ibu Suharni, S.H., dan Evita Hanie
Pangaribowo selaku bapak, ibu, dan kakak dari penulis yang telah memberi
kasih sayang serta motivasi kepada penulis.
8.
Sahabat-sahabat penulis di kampus, Triyono, Advent, Ichsan, Niko, Aaf,
Alfin, Anjar, dan Peter. Bersama kalian, penulis melewati masa perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan suka dan
duka. Penulis berharap hubungan baik diantara kita senantiasa tetap terjaga.
9.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara
moril maupun materiil.
Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan yang seimbang dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan, walaupun penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam penulisan
skripsi ini, kekurangan-kekurangan skripsi ini tetap tidak dapat dihindari karena
keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka.
Surakarta, Juli 2012
Penulis
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................
iv
HALAMAN MOTTO..................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
vii
ABSTRACT .................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ix
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xiii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................................
5
C. Tujuan Penelitian ................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
6
E. Metode Penelitian ...............................................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................
10
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
12
A. Kerangka Teori ..................................................................
12
1. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang ...................
12
1. Pengertian Pencucian Uang ...............
12
2. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses
Pencucian Uang ......................................................
13
2. Tinjauan Umum Tentang Peradilan In Absentia ..........
17
3. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian .........................
commit to user
1. Definisi Menurut Para Ahli ...............
19
xi
19
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
digilib.uns.ac.id
2. Sistem-Sistem Pembuktian ................
20
4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Terbalik ...........
24
B. Kerangka Pemikiran ..........................................................
27
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................
29
A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian
Terbalik Memberikan Kontribusi Terhadap Konsep
Pengembalian Kerugian Negara dalam Perkara Pencucian
Uang
29
1. Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian
Uang .............................................................................
29
2. Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian
Uang ...........................................................................
32
3. Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan
Pembuktian Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian
Negara dalam Perkara Pencucian Uang ......................
38
B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian
Terbalik dalam Perkara Pencucian Uang di Indonesia ......
49
1. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam
Perkara Pencucian Uang di Indonesia .........................
49
2. Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam
BAB IV
Perkara Pencucian Uang di Indonesia ........................
55
PENUTUP ...............................................................................
63
A. Simpulan ...........................................................................
63
B. Saran
67
...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran .........................................
27
2. Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian
Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara ................
commit to user
xiii
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bidang ekonomi tidak dapat terlepas dari hubungan
antarmanusia di dunia yang mengalami percepatan dan perubahan. Proses
perubahan yang sekarang berlangsung merupakan suatu proses transformasi
masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, yaitu suatu masyarakat
yang kehidupan dan kemajuannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan
informasi. Salah satu perkembangan dalam bidang informasi tersebut yaitu
mengenai penyedia jasa keuangan (PJK). Perkembangan di bidang PJK yang
mengaplikasikan informasi dan teknologi dirasa sangat membantu jalannya
kehidupan umat manusia pada masa kini. Akan tetapi, tidak selamanya
kemajuan di bidang PJK berbasis informasi dan teknologi tersebut membawa
dampak positif. Kemajuan teknologi selalu diikuti dengan perkembangan
bentuk kejahatan dari yang tradisional hingga yang berbentuk dimensi baru. Di
sisi lain, kemajuan teknologi juga harus dikembangkan untuk menanggulangi
masalah yang timbul, dan dampak yang negatif dari perkembangan teknologi.
Dalam
pergolakan
teknologi
dengan
segala
aspek,
implikasi
dan
konsekuensinya, kejahatan tidak mau ketinggalan. Perkembangan kejahatan
diikuti para pelakunya yang secara profesional menggunakan teknologi
mutakhir untuk merencanakan dan melaksanakan kejahatannya (Supanto,
2010:102). Beberapa pihak memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut dengan
melakukan tindak pidana, salah satunya yaitu melakukan money laundering
atau pencucian uang.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya sulit
dilacak oleh aparat penegak hukum. Pelaku tindak pidana tersebut
memanfaatkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana untuk
to user
melakukan berbagai kegiatan.commit
Kegiatan
memanfaatkan harta kekayaan yang
1
perpustakaan.uns.ac.id
2
digilib.uns.ac.id
berasal dari tindak pidana itulah yang disebut dengan money laundering atau
pencucian uang.
Pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem
perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan
landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas
penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil
tindak pidana.
Pencucian uang makin mendapat perhatian khusus dari berbagai
kalangan. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan bahwa saat ini semakin maraknya
kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu, sehingga berbagai pihak telah
secara konkrit mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu dalam
mengatasi masalah pencucian uang. Jika pada mulanya pencucian uang lebih
erat kaitannya dengan kejahatan-kejahatan perdagangan obat bius/narkotika
dan kejahatan besar lainnya, tetapi kini kejahatan pencucian uang sudah
dihubungkan dengan proses atas uang hasil perbuatan kriminal secara umum
dalam jumlah besar (N. H. T. Siahaan, 2008:vii). Salah satu contohnya adalah
pencucian uang hasil korupsi. Bahkan, masalah money laundering kini
berkaitan erat dengan perbuatan korupsi.
Indonesia telah melakukan upaya dalam mencegah dan memberantas
money laundering, salah satunya dengan membentuk Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Undang-undang ini menggantikan undang-undang tentang
pencucian uang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang kini sudah tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, terdapat beberapa perbedaan
prinsipiil dengan ketentuan hukum pidana formil dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain, asas-asas
commit8 toTahun
user 2010 ini cukup banyak diberi
ketentuan Undang-Undang Nomor
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
nuansa oleh ketentuan yang bersifat lex specialis. Hal ini karena pencucian
uang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary
enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures).
Dari dimensi ini, langkah komprehensif yang dapat dilakukan Sistem Peradilan
Pidana Indonesia dalam menangani perkara pencucian uang antara lain
ditempuh dengan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik.
Dalam mengembangkan langkah-langkah anti-pencucian uang, pemerintah
menghadapi tugas sulit menemukan pendekatan-pendekatan yang seimbang
antara kebutuhan menciptakan langkah-langkah efektif dalam memerangi
pencucian uang dan mendapatkan kembali hasil-hasil dari tindak pidana. Oleh
karena itu digunakanlah sistem pembuktian terbalik dan peradilan in absentia
agar dapat menuntut para pelaku pencucian uang sekaligus mendapatkan
kembali atau merampas hasil-hasil dari tindak pidana.
Sebagai asas universal, pembalikan beban pembuktian akan menjadi bias
apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Pengertian istilah
“Pembalikan Beban Pembuktian” adalah beban pembuktian yang diletakkan
kepada terdakwa, yang seharusnya merupakan tugas Penuntut Umum. Proses
pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang dikenal sebagai pembalikan
beban pembuktian dan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dikenal
dengan “Sistem Pembuktian Terbalik”.
Dasar hukum pembuktian terbalik ini terdapat pada Pasal 77 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010. Apabila dilihat dari sudut objek, maka sesuai
ketentuan Pasal 78 ayat (1), terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang diantaranya sebagai
berikut:
1) Korupsi; 2) Penyuapan; 3) Narkotika; 4) Psikotropika; 5) Penyelundupan
tenaga kerja; 6) Penyelundupan migran; 7) Di bidang perbankan; 8) Di bidang
pasar modal; 9) Di bidang perasuransian; 10) Kepabeanan; 11) Cukai; 12)
commit to user
Perdagangan orang; 13) Perdagangan
senjata gelap; 14) Terorisme; 15)
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
Penculikan; 16) Pencurian; 17) Penggelapan; 18) Penipuan; 19) Pemalsuan
uang; 20) Perjudian; 21) Prostitusi; 22) Di bidang perpajakan; 23) Di bidang
kehutanan; 24) Di bidang lingkungan hidup; 25) Di bidang kelautan dan
perikanan; dan 26) Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara
empat tahun atau lebih.
Pencucian uang di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun baik
kuantitas maupun kualitasnya yang telah merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional. Sedangkan pelakunya ada yang ditangkap
kemudian melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi di wilayah Indonesia.
Pelaku pencucian uang yang melarikan diri, diproses secara hukum, dengan
melaksanakan peradilan in absentia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010. Peradilan in absentia, merupakan suatu proses pemeriksaan di
sidang pengadilan yang mengadili terdakwa dan menjatuhkan pidana yang
bersifat mengikat tanpa dihadiri terdakwa. Pelaksanaan peradilan in absentia
bertujuan untuk penyelamatan keuangan negara. Berdasarkan putusan
peradilan in absentia itu, seluruh harta kekayaan terpidana yang telah disita,
dirampas untuk negara. Dalam perkara pencucian uang, peradilan in absentia
diatur dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) undang-undang tersebut, pelaksanaan peradilan
in absentia hanya dilakukan terhadap orang yang telah dipanggil secara sah
namun tidak hadir tanpa alasan yang sah, serta terhadap orang yang telah
meninggal dunia (Pasal 79 ayat (4)).
Peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memang sangat diperlukan
dalam memberantas money laundering. Mengingat money laundering ini
merupakan harta yang berasal dari tindak pidana, jumlahnya pasti mencapai
skala besar. Pelaku money laundering bisa mendapatkan harta tersebut dari
berbagai sumber, misalnya dari keuangan negara. Pada hakikatnya,
pemberantasan money laundering bertujuan untuk merampas harta pelaku yang
berasal dari tindak pidana dan mengembalikan harta tersebut ke tempat asal
mula harta itu berada. Perampasan harta money laundering dapat ditempuh
commit
to user terbalik. Namun, dari sini masih
dengan peradilan in absentia dan
pembuktian
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyisakan sebuah pertanyaan, apakah penerapan peradilan in absentia dan
pembuktian terbalik mampu mengembalikan aset keuangan negara apabila
harta pelaku money laundering merupakan harta negara. Oleh karena itu, perlu
ditelaah dan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peradilan in absentia
dan pembuktian terbalik dalam memberantas money laundering guna
mengembalikan kerugian negara. Penelitian ini sangat penting, karena apabila
penelitian ini tidak dilakukan, kejahatan money laundering akan semakin
meluas serta semakin sulit untuk dicegah dan diberantas.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis kemudian
tertarik untuk menelaah lebih lanjut persoalan tersebut dalam penulisan hukum
yang berjudul “KAJIAN TEORITIS KONSEPSI PENGEMBALIAN
KERUGIAN
NEGARA
MELALUI
URGENSI
PENGATURAN
PERADILAN IN ABSENTIA DAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM
PERKARA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian terbalik
memberikan kontribusi terhadap konsep pengembalian kerugian negara
dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia?
2. Apa urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia dan pembuktian
terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
Tujuan objektif penulisan hukum ini adalah:
a. Untuk mengetahui kontribusi pengaturan peradilan in absentia dan
pembuktian terbalik terhadap konsep pengembalian kerugian negara
dalam penanganan perkara pencucian uang di Indonesia.
b. Untuk mengetahui urgensi yang melatari perlunya peradilan in absentia
dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang di
commit to user
Indonesia.
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif penulisan hukum ini adalah:
a. Untuk menambah wawasan penulis di bidang pencucian uang khususnya
mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik yang termasuk
ke dalam Hukum Acara Tindak Pidana Khusus.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata
Satu dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan manfaat yang
berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan bidang penelitian tersebut.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara
pidana pada umumnya dan penanganan perkara pencucian uang pada
khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau
bahan-bahan informasi ilmiah tentang peradilan in absentia dan
pembuktian terbalik dalam penanganan perkara pencucian uang.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi
masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait
dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang
efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu
to userpidana khusus.
hukum khususnya hukumcommit
acara tindak
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.
Metode penelitian merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam
penelitian dan penilaian. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini merupakan jenis penelitian hukum
kepustakaan, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hutchinson memberikan
definisi mengenai penelitian hukum doctrinal, yaitu (Peter Mahmud
Marzuki, 2009:32) :
“Doctrinal Research: Research which provides a systematic exposition
of the rules governing a particular legal category, analyses the
relationship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps,
predicts future development.”
(“Penelitian doktrinal: Penelitian yang menyajikan pemaparan sistematis
dari ketentuan tentang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara
aturan-aturan, menjelaskan bagian-bagian yang sulit dan, mungkin,
memprediksi perkembangan di masa mendatang.”)
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat doktrinal. Hal
ini karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif dan bukan
deskriptif sebagaimana ilmu-ilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial (Peter
Mahmud Marzuki, 2009:33).
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian hukum adalah preskriptif dan terapan. Sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilainilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan normanorma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar
prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan
hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Sifat preskriptif dalam
penelitian ini yaitu penulis akan mempelajari mengenai dilaksanakannya
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam penanganan perkara
pencucian uang.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi
dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya. Pendekatanpendekatan
yang
digunakan
dalam
penelitian
hukum
diantaranya
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach),
pendekatan
historis
(historical
approach),
pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009:93). Pendekatan penelitian yang
digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan undang-undang
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan tidak
beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang
belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Walaupun
menemukan aturan hukum, yang ditemukan hanya makna yang bersifat
umum. Oleh karena itu perlu membangun suatu konsep untuk dijadikan
acuan dalam penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
4. Sumber Penelitian Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan
bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang bahan hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum
(Peter Mahmud Marzuki, 2009:141).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum primer
dan sekunder. Adapun sumber bahan hukum yang penulis gunakan adalah
sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer meliputi:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara;
5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
6) United Nations Conventions Against Transnational Organized
Crime 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Kejahatan Transnasional Terorganisir 2000);
7) United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi 2003).
b. Bahan hukum sekunder meliputi:
1) Buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan;
commit todengan
user permasalahan;
2) Jurnal hukum yang berkaitan
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Artikel-artikel baik di media cetak maupun internet yang berkaitan
dengan permasalahan.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Studi pustaka yang
dimaksud dilakukan dengan cara melakukan pengkodean atas bahan-bahan
hukum baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan. Bahan hukum
yang
berhubungan
dengan
masalah
yang
dibahas
dipaparkan,
disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang
berlaku.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah dengan metode deduktif, yaitu cara berpikir berpangkal pada
prinsip-prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan objek yang akan
diteliti yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta
yang bersifat khusus. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara
deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim,
2006:393). Dalam penulisan hukum ini, bahan hukum yang telah didapat
penulis, kemudian diolah dan dianalisis dalam bentuk interpretasi dengan
cara menafsirkan yang berkaitan dengan peradilan in absentia dan
pembuktian terbalik dalam perkara pencucian uang.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara
keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada
dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi:
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dikemukakan tentang kerangka teori yang
meliputi tinjauan tentang pencucian uang, tinjauan tentang
peradilan in absentia, tinjauan tentang pembuktian, dan
tinjauan tentang pembuktian terbalik. Dalam bab ini juga
dikemukakan tentang kerangka pemikiran yang berbentuk
bagan dan uraian singkat.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan
guna
menjawab
permasalahan
mengenai
bagaimana
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik memberikan
kontribusi pengembalian kerugian negara dalam perkara
pencucian uang, serta urgensi yang melatari perlunya
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik dalam
penanganan perkara pencucian uang di Indonesia.
BAB IV
: PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari
hasil penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang
diajukan penulis sebagai implikasi dari simpulan yang
didapat.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pencucian Uang
a. Pengertian Pencucian Uang
Money laundering has been defined as "the process by which
criminals attempt to hide and disguise the true origin and ownership of the
proceeds of their criminal activities, thereby avoiding prosecution,
conviction, and confiscation of the criminal funds." (Andrew De
Lotbiniftre McDougall, International Arbitration and Money Laundering,
The American University International Law Review, 2009, Vol. 12 No. 2,
hlmn 1022).
(Pencucian uang didefinisikan sebagai “proses yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan dalam menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
harta kekayaannya yang berasal dari aktivitas tindak pidana, hal demikian
dimaksudkan guna menghindari penuntutan, penghukuman, dan penyitaan
terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana tersebut”).
Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan
uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial
yang rumit guna menyulitkan berbagai pihak untuk mengetahui asal-usul
uang tersebut. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pakar money
laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang (N. H. T.
Siahaan, 2008:5-6).
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang, atau
pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula dengan pembersihan
uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010, istilah money laundering disebut dengan Pencucian Uang,
sebagaimana tercantum dalam judul undang-undang tersebut. Kata money
dalam money laundering dapat diistilahkan secara beragam. Ada yang
menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money, atau illicit
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam, berupa
uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap (N.H.T. Siahaan,
2008:6).
Istilah pencucian uang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 yaitu setiap perbuatan menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata
uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya
tersebut. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pencucian uang
adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan harta secara
tidak sah supaya terlihat diperoleh dari harta yang sah, atau dengan kata
lain, pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses
yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu
uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram dari
pemerintah atau otoritas yang berwenang, terutama dengan cara
memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan, sehingga uang
tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang
halal.
b. Tahapan dan Teknik-Teknik Proses Pencucian Uang
There is no one method of laundering money. Methods range from the
purchase and resale of luxury items to the passing of money through a
complex international web of legitimate businesses and "shell"
companies.' Despite the variety of methods available, the laundering
process proceeds in three stages: 1) placement, 2) layering, and 3)
integration (Paulina L. Jerez, Proposed Brazilian Money Laundering
Legislation: Analysis and Recommendations, The American University
International Law Review, 2009, Vol. 20, No.5, hlmn 332).
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Pencucian uang tidak hanya melibatkan satu jenis metode. Metodemetode tersebut bermula dari aktivitas transaksi keuangan hingga
melibatkan jejaring dan perusahaan internasional yang kompleks dalam
suatu kegiatan bisnis legal. Meskipun terdapat beberapa metode, proses
pencucian uang meliputi tiga tahap: 1) penempatan, 2) pelapisan, dan 3)
penyatuan).
Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui
perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan
lainnya terhadap hasil dari suatu tindak pidana, baik itu pelakunya
organized crime maupun individu yang melakukan tindak pidana dengan
maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal. Latar
belakang perbuatan tersebut adalah memindahkan atau menjauhkan pelaku
dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya
kecurigaan kepada pelaku melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk
aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah (Edi Setiadi,
2010: 154).
Instrumen yang paling dominan dalam pencucian uang biasanya
menggunakan sistem keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang
paling menarik digunakan dalam pencucian uang, mengingat perbankan
merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen
keuangan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa: (Edi
Setiadi, 2010: 154-155)
1) Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;
2) Menyimpan
uang
di
bank
dalam
bentuk
deposito/
tabungan/rekening/giro;
3) Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang
lebih besar atau lebih kecil;
4) Menggunakan fasilitas transfer;
5) Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan L/C
commit tobekerja
user sama dengan oknum terkait;
dengan memalsukan dokumen
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering,
karena kegiatannya sangat kompleks. Namun para pakar telah berhasil
menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap, yaitu:
1) Tahap Placement
Placement adalah penempatan harta yang berasal dari perbuatan
kriminal untuk pertama kalinya atau tahap awal dari siklus pencucian
uang haram. Tahap ini merupakan upaya menempatkan dana yang
dihasilkan
dari
suatu
aktivitas
kriminal,
misalnya
dengan
mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan.
Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, uang tersebut
kemudian akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang
bersangkutan. Variasinya antara lain dengan menempatkan uang giral
ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan
mentransfer
ke
dalam
valuta
asing.
Uang/aset
dapat
pula
diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan
uang/aset tersebut dari sumber asalnya. Modus operandinya adalah
dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan.
Placement ini merupakan fase menempatkan uang yang
dihasilkan dari aktivitas kejahatan misalnya memecah uang tersebut
dalam pecahan besar atau kecil untuk ditempatkan dalam sistem
perbankan, atau placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan
fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari
suatu negara ke negara lain, maupun menggabungkan uang tunai yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan
yang sah. Proses placement ini merupakan titik yang paling lemah
dalam pencucian uang (Edi Setiadi, 2010: 155).
2) Tahap Layering
Layering adalah pengalihan dari suatu bentuk investasi ke
bentuk investasi lainnya yang dilakukan untuk memperpanjang jalur
commit to
usermenutupi sumber sebenarnya dari
pelacakan atau suatu tindakan
untuk
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
uang/aset dengan melakukan berlapis-lapis transaksi finansial yang
dirancang untuk menghilangkan jejak dan menciptakan anonim.
Berbagai modus operandi dapat dilakukan melalui tahap layering ini
yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya maupun
asal-usul uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari
beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara
lain dan dapat dilakukan beberapa kali, memecah-mecah jumlah
dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya,
mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, dan lain-lain
(N. H. T. Siahaan, 2008:9). Dengan demikian layering dapat
disimpulkan sebagai proses memisahkan hasil kejahatan dari
sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Layering
dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekeningrekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia
bank.
3) Tahap Integration
Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang
kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering.
Penyatuan uang melibatkan pemindahan sejumlah dana yang telah
melewati proses pelapisan yang teliti kemudian disatukan dengan dana
yang berasal dari kegiatan legal ke dalam arus perputaran dana global
yang begitu besar (Aziz Syamsuddin, 2011: 21). Modus operandinya
yaitu dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal atau
dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang terlapis tadi digunakan
untuk pembayaran, kemudian transaksi itu dapat dilakukan melalui
lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi yang jernih.
Misalnya pembayaran hutang atau tagihan lainnya. Dengan cara ini
akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah
kemudian uang kotor itu telah tercuci (N. H. T. Siahaan, 2008:9-10).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17
digilib.uns.ac.id
2. Tinjauan Tentang Peradilan In Absentia
Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan di
luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum
dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan (Edi
Setiadi, 2010: 43). Hakim pun dapat menjatuhkan hukuman meski terdakwa
tidak hadir dalam persidangan.
Dalam perkara pidana, menurut mantan Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh, konsep in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil
secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga
pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran
terdakwa (Abdul Rahman Saleh, 2008: 208).
Dasar hukum peradilan in absentia ini tidak dicantumkan secara jelas
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hanya saja
di dalam Pasal 196 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHAP
disebutkan sebagai berikut:
Pasal 196
(1) “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali
dalam hal Undang-Undang ini menentukan lain.”
Pasal 214
(1) “Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan
perkara dilanjutkan.”
(2) “Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat
amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.”
Di samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9
Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa
dimana intinya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa
commitdengan
to userAcara Pemeriksaan Cepat (baik
perkara-perkara yang diperiksa
perpustakaan.uns.ac.id
18
digilib.uns.ac.id
perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan)
dapat diputus di luar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP
berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan
Cepat. Jadi, hukum acara pidana tidak hanya mengakui keberadaan
persidangan secara in absentia untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan,
tetapi berlaku juga bagi perkara tindak pidana ringan (Pasal 205 KUHAP).
Selain itu, persidangan in absentia secara khusus diatur dalam beberapa
undang-undang lainnya, antara lain: (www.hukumonline.com)
1) Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan:
“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa kehadirannya.”
2) Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
3) Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 yang menyatakan, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat
dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.” Dalam Angka 3 Surat Edaran
Mahkamah Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan, disebutkan
bahwa, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah dalam
pengertian perkara in absentia, yaitu terdakwa sejak sidang pertama
tidak pernah hadir di persidangan.”
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Pasal
35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Terorisme yang menyatakan, “Dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
terdakwa.”
Di luar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat beberapa
peraturan lain yang mengatur mengenai peradilan in absentia, antara lain:
1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil;
2) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi;
3) Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi.
3. Tinjauan Tentang Pembuktian
a. Definisi menurut para ahli:
1) Menurut M. Yahya Harahap:
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman mengenai cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2010:
273).
2) Menurut Alfitra:
Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakantindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis
di persidangan, sistem yang dianut dengan pembuktian, syarat-syarat
dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim
untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Alfitra,
2011: 21).
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sistem-Sistem Pembuktian:
1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction in time)
Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Dari mana
hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan
hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam persidangan
ataupun bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti tersebut diabaikan
hakim dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa.
Sistem ini memberikan kebebasan terlalu besar kepada hakim
sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasihat
hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim
dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah
melakukan apa yang didakwakan.
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana
manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya,
berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus
dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk
keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang
yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenangwenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin (Adami
Chazawi, 2008:25).
2) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis (Conviction Raisonee)
Dalam sistem ini, keyakinan hakim tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
dalam sistem ini faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem
pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim sangat leluasa
tanpa batas, pada sistem conviction raisonee ini keyakinan hakim
harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib
commit to user
menguraikan dan menjelaskan
alasan-alasan apa yang mendasari
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keyakinannya atau kesalahan terdakwa. Dengan kata lain, keyakinan
hakim harus didukung dengan alasan yang dapat diterima akal, tidak
semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan
yang tak masuk akal.
Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama,
walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap
didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem yang
kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim
untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis.
Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas
(vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim
bebas menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan
dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut (Adami
Chazawi, 2008:26-27).
3) Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif
(Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Sistem ini hanya berpedoman pada alat-alat bukti yang
disebutkan dalam undang-undang. Untuk membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang, sedangkan keyakinan hakim tidak
ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim
dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan
pembuktian yang keras (Andi Hamzah, 2008: 251).
Ada kalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem
menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal
membuktikan
didasarkan
kesalahan
semata-mata
terdakwa
pada
melakukan
alat-alat
bukti
tindak
serta
pidana
cara-cara
mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dulu dalam
commit
to hal
usermembuktikan telah sesuai dengan
undang-undang. Apabila
dalam
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik
mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya,
maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali
tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan
dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan
tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan
sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata (Adami
Chazawi, 2008:27).
Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada
penganut lagi, karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia,
yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan
tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama
sekali
mengabaikan
perasaan
nurani
hakim.
Hakim
bekerja
menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah
diprogram melalui undang-undang (Adami Chazawi, 2008:28).
4) Sistem
pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
negatif/terbatas (Negatief Wettelijk)
Sistem ini adalah hasil penggabungan secara terpadu antara
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time)
dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Dari hasil penggabungan kedua sistem tersebut, terwujudlah rumusan
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yang
berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang”.
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak
sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang
ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai
commit
to user
pula keyakinan bahwa
terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana.
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta
yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.
Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan
pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan
kesatuan atau dengan kata lain tidak berdiri sendiri-sendiri.
Disebut dengan sistem menurut undang-undang, karena dalam
membuktikan harus menurut ketentuan undang-undang baik alat-alat
bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta
syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang
terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang
didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan
pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana di samping dengan menggunakan
alat-alat
bukti
yang
sah
menurut
undang-undang
juga
dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan
keyakinan hakim, tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang
dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan
telah memenuhi syarat minimal bukti (Adami Chazawi, 2008:28-29).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merupakan penganut sistem pembuktian ini, hal tersebut terlihat
dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa
pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang, yaitu alat bukti
yang sah sesuai ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan
keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
4. Tinjauan Tentang Pembuktian Terbalik
Secara teoritis Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana asasnya
mengenal tiga teori hukum pembuktian, yaitu:
a.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif,
yaitu dengan titik tolak adanya alat bukti yang secara limitatif
ditentukan oleh undang-undang;
b.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim, polarisasinya
hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka
dengan tidak terikat oleh suatu peraturan;
c.
Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif,
yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila
alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan
didukung pula keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti
bersangkutan.
Konsekuensi logis teori hukum pembuktian tersebut berkorelasi dengan
eksistensi terhadap asas beban pembuktian. Dikaji dari perspektif ilmu
pengetahuan hukum pidana dikenal ada tiga teori tentang beban
pembuktian. Indonesia juga mengenal tiga teori tentang beban pembuktian
tersebut, yaitu:
a.
Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut
Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara
akurat, sebab jika tidak demikian akan sulit meyakinkan hakim tentang
kesalahan terdakwa. Beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini
berkorelasi dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas
tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination). Teori beban
pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan Pasal 66
KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini
dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”
commit to user
(Lilik Mulyadi, 2007: 102).
perpustakaan.uns.ac.id
b.
25
digilib.uns.ac.id
Beban Pembuktian pada Terdakwa
Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa
dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu,
terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala
beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana (Lilik Mulyadi, 2007:
102). Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori
“Pembalikan Beban Pembuktian”. Dikaji dari perspektif teoritis dan
praktik, teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi
pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat
terbatas. Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut
merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga
merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana pencucian
uang.
c.
Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa
dan/atau Penasihat Hukum saling membuktikan di depan persidangan.
Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa
sedangkan sebaliknya terdakwa beserta Penasihat Hukum akan
membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini dinamakan
juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” (Lilik Mulyadi,
2007: 103).
Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji
dari tolok ukur Penuntut Umum dan terdakwa, teori beban pembuktian
dapat dibagi menjadi dua kategorisasi. Pertama, sistem pembuktian
“biasa” atau “konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan
terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti. Kemudian terdakwa
dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut
commit
Umum sesuai ketentuan
Pasalto66user
KUHAP. Kedua, teori pembalikan
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori
pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni”
bahwa
terdakwa
dan/atau
Penasihat
Hukum
membuktikan
ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban
pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian
terdakwa dan Penuntut Umum saling membuktikan kesalahan atau
ketidakbersalahan dari terdakwa. Pada hakikatnya, asas pembalikan
beban pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dikenal
dalam Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian
Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), dan Perlindungan
Konsumen (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999).
Pada dasarnya, apabila dijabarkan lebih terinci, dengan dianutnya
pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya
asas
praduga tidak
bersalah
menjadi
asas
praduga
bersalah.
Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersalah relatif
cenderung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal
khususnya terhadap asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga
tidak bersalah merupakan asas fundamental dalam negara hukum.
Konsekuensinya, setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana
mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti
kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban pembuktian
pada Penuntut Umum, norma pembuktian yang cukup dan metode
pembuktian harus mengikuti cara-cara yang adil (Lilik Mulyadi, 2007:
105).
Lebih
lanjut,
dalam
hal
pembalikan
beban pembuktian,
terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Jika ia tidak dapat membuktikannya, ia dianggap bersalah (Indriyanto
Seno Adji, 2001: 46).
commit to user
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pencucian Uang
(Money Laundering)
Pengaturan Money Laundering
(UU No.8 Tahun 2010)
Peradilan In Absentia
Pembuktian Terbalik
Urgensi yang Melatari
Pengembalian Kerugian
Negara
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa
pencucian uang (money laundering)
merupakan
commit
to user salah satu tindak pidana khusus
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai salah satu tindak pidana
khusus, maka dalam penanganan perkara pencucian uang terdapat hal-hal yang
khusus pula dalam proses beracara pada pemeriksaan di persidangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 memuat beberapa substansi
mengenai proses beracara pada pemeriksaan di persidangan yang sedikit
menyimpang dari ketentuan hukum pidana formil dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu terkait dengan perwujudan dari sifat
kekhususan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Akan tetapi,
penyimpangan tersebut tetap dibenarkan berdasarkan asas lex specialis derogat
legi generali. Mengingat pencucian uang merupakan tindak pidana khusus dan
termasuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka diperlukan
penanganan khusus dan luar biasa pula, terutama dalam hal pemeriksaan di
persidangan. Kekhususan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut
antara lain mengenai peradilan in absentia dan pembuktian terbalik. Dalam
perkara pencucian uang, dimungkinkan untuk dilaksanakan peradilan in absentia,
yaitu persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Kekhususan lainnya yaitu tentang
pembuktian terbalik, dimana dalam hal ini terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana. Dua hal
kekhususan pada proses beracara inilah yang merupakan suatu bentuk upaya luar
biasa sebagai penanganan perkara pencucian uang, dimana pada intinya memiliki
tujuan pokok yang sama, yaitu untuk mengembalikan kerugian negara akibat
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Terkait hal inilah penulis kemudian
tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai urgensi yang melatari perlunya
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik sebagai upaya pengembalian aset
kekayaan negara dalam perkara pencucian uang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik Memberikan
Kontribusi Terhadap Konsep Pengembalian Kerugian Negara dalam
Perkara Pencucian Uang
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peradilan in absentia dan
pembuktian terbalik serta pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Selain itu, selanjutnya akan dikemukakan tentang kontribusi pengaturan
peradilan in absentia dan pembuktian terbalik guna mengembalikan kerugian
negara akibat money laundering atau pencucian uang.
1.
Pengaturan Peradilan In Absentia dalam Pencucian Uang
Peradilan in absentia adalah peradilan yang dilakukan/dilaksanakan
di luar kehadiran terdakwa, setelah prosedur pemanggilan secara hukum
dilakukan tetapi terdakwa tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan. Pada
dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menentukan, bahwa pemeriksaan di pengadilan harus dengan hadirnya
terdakwa. Dalam penjelasan Pasal 154 ayat (4) disebutkan bahwa
kehadiran terdakwa di sidang pengadilan adalah merupakan kewajibannya,
bukan merupakan haknya. Jadi terdakwa dapat dihadirkan secara paksa.
Kehadiran terdakwa di depan pengadilan bukan saja hanya untuk
memenuhi hak-hak terdakwa tetapi juga untuk mewujudkan prinsip due
process of law (proses hukum yang baik) yang merupakan asas universal
dan merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Prinsip ini harus selalu
dipegang teguh dalam penegakan hukum pidana (Edi Setiadi, 2010:43-44).
Berlangsungnya sidang pengadilan yang tanpa dihadiri oleh
terdakwa, sesungguhnya sebagai antisipasi agar semua orang yang telah
distatuskan sebagai terdakwa tidak bebas begitu saja, meskipun ia
melarikan diri.
Model
persidangan in
commit to user
29
absentia
dapat
dijadikan
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat hukum
yang tidak dapat menghadirkan terdakwa di depan persidangan, karena
terdakwa melarikan diri (Waluyadi, 2009:114).
Bagaimanapun harus diakui, bahwa persepsi aparat hukum dan
persepsi pelaku tindak pidana terhadap berlangsungnya proses hukum
berbeda. Aparat hukum akan berusaha semaksimal mungkin agar setiap
pelaku tindak pidana diproses secara hukum. Sebaliknya, seorang pelaku
tindak pidana akan melakukan hal yang sama agar ia terlepas dari jeratan
hukum yang salah satu jalannya adalah dengan cara melarikan diri.
Peradilan in absentia juga dimungkinkan oleh undang-undang. Pasal
12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan:
a.
Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain;
b.
Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan
telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat diketahui bahwa prinsip persidangan
dilakukan dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan
lain. Pengertian kata “dengan” dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, tidak sama dengan pengertian kata “harus”,
sehingga Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak
dapat diartikan bahwa “persidangan harus dihadiri terdakwa”. Ini berarti,
tanpa hadirnya terdakwa pun, persidangan tetap dapat dilaksanakan. Oleh
karena itu, dikembalikan pada hukum formal (Hukum Acara), termasuk di
dalamnya KUHAP, Undang-Undang Kehakiman dan undang-undang lain
sepanjang mengatur tentang proses beracara di pengadilan.
Peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang diatur dalam
Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
user berikut:
2010. Pasal-pasal tersebut commit
berbunyitosebagai
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
Pasal 79 ayat (1):
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir
di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
Pasal 79 ayat (3):
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
Pasal 79 ayat (4):
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan
penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang
telah disita.
Penjelasan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat
berjalan dengan lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan
patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara
tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Sedangkan dalam
Penjelasan Pasal 79 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai
usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana
tersebut telah merugikan keuangan negara. Meskipun ketentuan-ketentuan
tersebut menyimpang dari KUHAP, namun penyimpangan tersebut tetap
diperbolehkan karena ketentuan-ketentuan ini merupakan implementasi
dari asas lex specialis derogat legi generali dalam pencucian uang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
2.
32
digilib.uns.ac.id
Pengaturan Pembuktian Terbalik dalam Pencucian Uang
Pembalikan beban pembuktian atau sering disebut pembuktian
terbalik dalam bahasa Inggris disebut reversal burden of proof. Selain itu,
beberapa kalangan memadankan dengan istilah shifting burden of proof
(Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 7).
Secara konseptual, penggunaan metode pembalikan beban pembuktian
atau pembuktian terbalik dengan baik dapat membawa perubahan dalam
sistem hukum nasional. Termasuk perubahan paradigma bagi para penegak
hukum yang cenderung berpikir normatif-dogmatik dalam menerapkan
kaidah-kaidah hukum. Hal ini penting guna membangun sistem hukum
nasional yang lebih utuh, efektif dan efesien dalam mewujudkan tujuan
hukum. Selain itu, penggunaan metode pembuktian terbalik dalam
persidangan di pengadilan memberikan sedikit kemudahan kepada jaksa
penuntut umum dalam hal pembuktian. Terutama dalam perkara tindak
pidana pencucian uang yang mengkondisikan bahwa untuk membuktikan
unsur asal-usul harta kekayaan terdakwa, cukup terdakwa sendiri yang
harus membuktikannya. Khusus perkara pencucian uang, pembalikan
beban pembuktian sangat dibutuhkan sebab perkara ini tergolong rumit.
Apalagi bentuknya sebagai kejahatan berlanjut (secondary crime), yang
bersumber dari kejahatan asal yang disebut primary core atau core crime.
Sehingga proses pembuktiannya pun tergolong rumit.
Penerapan beban pembuktian dalam pencucian uang berdasarkan
sistem atau asas tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada
terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak
pidana, dan jika keterangan terdakwa ini benar, maka pihak yang
berwenang atau hakim dapat mempertimbangkan keterangan tersebut
sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan bagi diri terdakwa, atau
sebaliknya dapat merugikan diri terdakwa apabila keterangan tersebut
ternyata tidak benar. Sistem pembuktian dalam perkara pidana pada
to user Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
umumnya didasarkan padacommit
Undang-Undang
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Acara Pidana. Demikian pula dengan pencucian uang, juga
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Akan tetapi, ada
beberapa pengecualian terutama dalam penanganan pencucian uang ini
mengingat bahwa pencucian uang merupakan extraordinary crime,
sehingga dalam penanganannya pun harus melalui cara-cara yang luar
biasa. Salah satu bentuk pengecualian dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 ini adalah sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian
terbalik menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
sistem pembuktian terbalik yang berimbang. Pengaturan mengenai sistem
pembuktian terbalik dalam pencucian uang sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 68, Pasal 69, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, yakni :
Pasal 68
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 69
Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak
wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Pasal 77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
Pasal 78
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara
mengajukan alat bukti yang cukup.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdakwa menjelaskan asal-usul
harta kekayaannya, karena patut diduga tindak pidana yang dilakukan
pelaku money laundering berasal dari kekayaan negara, dan oleh
karenanya dapat merugikan keuangan negara. Pembuktian terbalik ini
diberlakukan terhadap perampasan harta benda terdakwa yang diduga
berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Terdakwa wajib
membuktikan dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana. Akan tetapi, bukti
itu belum dapat menjamin dirinya tidak terlibat dalam tindak pidana yang
disangkakan itu, oleh karena penuntut umum masih tetap berkewajiban
membuktikan dakwaannya. Hal inilah yang disebut dengan sistem
pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dalam pencucian uang.
Terdakwa "wajib" membuktikan bahwa ia tidak melakukan pidana
setelah diperkenankan oleh hakim. Selain itu, pembuktian bahwa terdakwa
tidak melakukan tindak pidana tidaklah bersifat imperatif. Artinya, apabila
terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta yang dimilikinya tidak
berasal dari tindak pidana, maka hal tersebut akan memperkuat posisi
dakwaan penuntut umum bahwa terdakwa melakukan pencucian uang.
Sebaliknya, apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa harta yang
dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka keterangan tersebut
dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan bagi diri terdakwa
sendiri. Dalam keadaan seperti ini, jaksa penuntut umum tetap
commit
to user terdakwa bersalah melakukan
berkewajiban membuktikan
bahwa
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencucian uang. Dari sini jelaslah bahwa beban pembuktian tetap
diserahkan kepada jaksa penuntut umum.
Apabila pembuktian terbalik ini diterapkan secara total dan absolut
yang terjadi maka hanya akan membebaskan jaksa penuntut umum dari
beban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa.
Selain itu, reversal of burden proof secara absolut dan total akan
menimbulkan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya
pelanggaran terhadap asas "presumption of innocence" dan "non selfincrimination". Oleh karena itu, yang diterapkan dalam sistem beban
pembuktian ini hanyalah sekadar "shifting of burden proof" dengan
memberikan kesempatan terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak
bersalah melakukan tindak pidana (Jawade Hafidz, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol 11, No 2, 2011, hlmn 9). Begitu pula beban pembuktian
kepada jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana. Dengan demikian, beban pembuktian
terhadap suatu perkara pidana tetap dibebankan kepada jaksa penuntut
umum.
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa
yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa.
Menurut ketentuan ini terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal
tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan tindak pidana, sebab
penuntut
umum
masih
tetap
berkewajiban
untuk
membuktikan
dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang
terbatas, dalam artian jaksa penuntut umum masih tetap wajib
membuktikan dakwaannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang
menegaskan dianutnya sistem pembalikan beban pembuktian/pembuktian
terbalik yang masih bersifat terbatas ini masih belum jelas eksplisitasnya.
"Terbatas" menurut undang-undang ini menunjuk pada peran jaksa
commit to user
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penuntut umum yang masih memiliki kewajiban untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menentukan bahwa
hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan
tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang
harta kekayaan terdakwa tidak harus dihubungkan dengan tindak pidana
asal
(core
crime)
ataupun
fokus
pada
perbuatan
terdakwa
(daadstraafrecht). Kedua, keberhasilan pembuktian terbalik dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak bergantung pada pembuktian
tindak pidana asalnya karena ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana
pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun
2010 dalam praktiknya, hakim tetap dapat memerintahkan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa meskipun tidak terkait dengan dugaan terdakwa
telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian
terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mengacu pada bunyi
ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus
pada perampasan aset terdakwa tidak harus perlu menghubungkannya
dengan tindak pidana asal. Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi
2003 berbunyi:
”Each state party may consider the possibility of requiring that an
offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime
or other property liable to confiscation.”
(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk
mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana atau properti lainnya
guna keperluan penyitaan).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi:
”Each state party shall consider…as a criminal offence, when
committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant
increase in the assets of a public official that he or she cannot
reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
(Negara peserta seharusnya mempertimbangkan kemungkinan untuk
mewajibkan bagi pelaku kejahatan untuk menerangkan asal-muasal
harta kekayaannya, yang dalam hal ini diperoleh dari kekayaan yang
tidak sah, atau apabila kekayaannya meningkat secara signifikan dan
tidak sebanding dengan pendapatannya yang sah).
Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus
membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya
yang sah, bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan
terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 dapat dikatakan telah memahami sungguh-sungguh
semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20
Konvensi PBB Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam
menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.
Permasalahan dalam pembuktian terbalik adalah bahwa pembuktian
terbalik memiliki beberapa kelemahan. Pertama, bahwa penggunaan
metode pembalikan beban pembuktian dalam penanganan perkara tindak
pidana pencucian uang jika tidak dilakukan dengan tepat dapat berakibat
terhadap kurangnya implementasi hukum dalam menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM). Sebab, pembalikan beban pembuktian bisa saja
mengabaikan hak-hak dasar terdakwa, termasuk hak untuk dilindungi
nama baiknya. Kedua, dalam praktek sehari-hari, metode pembalikan
beban pembuktian di Indonesia
commit tomasih
user tergolong baru. Apalagi belum
perpustakaan.uns.ac.id
38
digilib.uns.ac.id
banyak perkara yang diputus di pengadilan yang menggunakan metode
pembuktian terbalik terutama perkara-perkara pencucian uang. Hal ini
tentunya menyulitkan aparat penegak hukum (polisi, jaksa penuntut umum
dan hakim) dalam mengimplementasikan aturan mengenai penggunaan
pembalikan beban pembuktian terutama untuk perkara tindak pidana
pencucian uang. Ketiga, belum adanya ketentuan hukum terutama hukum
acara yang mengatur secara khusus tentang penggunaan pembalikan beban
pembuktian yang dapat dijadikan acuan para penegak hukum sehingga
metode ini sukar untuk di implementasikan. Keempat, secara teoritis,
penggunaan metode pembalikan beban pembuktian memberi kemudahan
kepada jaksa penuntut umum dalam menuduh seseorang meskipun belum
tentu orang tersebut melakukan hal apa yang dituduhkan kepadanya.
Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi kesalahan dalam menuduh
seseorang. Sehingga, pelanggaran terhadap asas presumption of innocence
sangat mungkin terjadi.
3.
Kontribusi Pengaturan Peradilan In Absentia dan Pembuktian
Terbalik Guna Mengembalikan Kerugian Negara dalam Perkara
Pencucian Uang
Salah satu unsur mendasar dalam pencucian uang ialah adanya
kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan pencucian
uang tidak semata-mata bertujuan agar pelaku dijatuhi pidana penjara
(detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara
akibat dari tindak pidana. Pengembalian kerugian negara diharapkan
mampu menutupi defisit APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja
Negara) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam
membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara adalah
berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
commit to melawan
user
jumlahnya sebagai akibat perbuatan
hukum baik sengaja ataupun
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
lalai. Pengertian ini menunjukkan bahwa kerugian negara mengandung arti
yang luas sehingga mudah dipahami dan ditegakkan bila terjadi
pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara. Di samping itu, kerugian
negara tidak boleh diperkirakan sebagaimana yang dikehendaki tetapi
wajib dipastikan berapa jumlah yang dialami oleh negara pada saat itu. Hal
ini dimaksudkan agar terdapat suatu kepastian hukum terhadap keuangan
negara yang mengalami kekurangan agar dibebani tanggung jawab bagi
yang menimbulkan kerugian negara (Muhammad Djafar Saidi, 2011:109110).
Penentuan keberadaan keuangan negara didasarkan pendekatan yang
digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara sebagaimana
tercantum pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara adalah sebagai berikut: (Muhammad Djafar
Saidi, 2011:11-12)
a.
Dari sisi obyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu
baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;
b.
Dari sisi subyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,
dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara;
c.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban;
d.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan
commit
user
dan hubungan hukum
yang toberkaitan
dengan pemilikan dan/atau
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Mengenai kerugian negara, maka sudah pasti hal itu juga
menyangkut tentang keuangan negara. Dalam Pasal 1 angka 22 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan
bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Unsur-unsur kerugian
negara/daerah tersebut meliputi:
a.
Kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya;
b.
Perbuatan melawan hukum;
c.
Kausalitas perbuatan melawan hukum dengan kekurangan yang
terjadi;
d.
Subjek penanggung jawab kerugian.
Dalam hal unsur “kerugian keuangan negara”, konstruksi Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 harus dikaji secara komprehensif, dengan
menganalisis sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara
dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak yang
melanggar hukum, dalam hal ini mengenai kejahatan pencucian uang atau
money
laundering.
Pengembalian
kerugian
negara
setelah
hasil
pemeriksaan yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dari hasil audit
yang dilakukannya harus segera dilaporkan kepada instansi yang
berwenang (Kepolisian dan Kejaksaan) untuk melihat apakah terjadinya
kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan
melawan hukum atau tidak.
Pencucian uang tidak akan pernah lepas kaitannya dengan tindak
to user korupsi ibarat mata uang, tidak
pidana korupsi. Pencuciancommit
uang dengan
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bisa dipisahkan satu sama lain. Bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, korupsi merupakan jenis tindak pidana
yang disebut paling awal yang dalam hal ini terdakwa memperoleh harta
kekayaannya. Dengan kata lain, apabila seseorang melakukan pencucian
uang, besar kemungkinan sebelumnya yang bersangkutan telah melakukan
korupsi atau tindak pidana asal yang lainnya.
Mengingat bahwa pencucian uang dan korupsi sangat erat kaitannya,
maka pengaturan mengenai pencucian uang dengan korupsi memiliki
banyak
kesamaan
dalam
hal
proses
peradilan
dan
upaya
pemberantasannya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut “UU PTPK”) juga mengenal mengenai
konsep pengembalian kerugian negara. Terkait dengan kerugian negara
yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, UU PTPK
menggunakan dan memaksimalkan konsep “upaya pengembalian kerugian
keuangan negara”. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan
kerugian keuangan negara.
UU PTPK mengatur enam hal dalam kaitan dengan pengembalian
kerugian keuangan negara, terdiri dari lima meliputi gugatan perdata dan
satu melalui pidana tambahan, yaitu: (gagasanhukum.wordpress.com)
a.
Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara yang nyata
disebabkan setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup
bukti, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU PTPK;
b.
Gugatan perdata disebabkan karena adanya putusan bebas sedangkan
secara nyata ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal
32 ayat (2) UU PTPK;
c.
Gugatan perdata dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 33 UU PTPK;
d.
Gugatan perdata dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat
commit
to user
dilakukan pemeriksaan
sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah ada kerugian keuangan negara, seperti diatur dalam Pasal 34 UU
PTPK;
e.
Gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih terdapat harta benda
yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara, seperti diatur dalam Pasal 38 C UU PTPK;
f.
Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b
UU PTPK.
Pengaturan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi menandai
bahwa norma-norma hukum pidana saja tidak cukup memadai untuk
pengembalian kerugian keuangan negara, setidak-tidaknya dalam keadaankeadaan tertentu. Apabila UU PTPK
dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan pidana, maka diaturnya upaya gugatan perdata dalam
undang-undang tersebut menunjukkan pula bahwa suatu peraturan
perundang-undangan dapat sekaligus mengandung aspek hukum pidana
maupun
perdata,
bahkan
juga
hukum
administrasi
(gagasanhukum.wordpress.com).
Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang
menyimpang atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan
negara berada dalam keadaan semula untuk membiayai pelaksanaan
pemerintahan negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Upaya negara
untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaan
keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah
disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana.
Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian
negara melalui peradilan adalah UU PTPK dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010. Hal itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong
commit to user
sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
biasa, sama halnya dengan pencucian uang. Dengan demikian, kerugian
negara dalam kacamata instrumen hukum pidana adalah tindak pidana
korupsi dan pencucian uang yang memerlukan pemberantasan berbeda
dengan tindak pidana lainnya, seperti pembunuhan.
UU PTPK memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
tindakan atau perbuatan hukum yang menimbulkan kerugian negara dan
memerlukan penyelesaian secara tepat tanpa melanggar hak asasi manusia
terhadap pihak-pihak yang terjaring sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Ketentuan-ketentuan UU PTPK yang berkaitan dengan kerugian negara
adalah sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan
denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu
miliar rupiah.
Pasal 3 UU PTPK:
Setiap orang yang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua
puluh tahun dan/atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan
paling banyak satu miliar rupiah.
Dalam penjelasan umum UU PTPK ditegaskan bahwa keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara, dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(Muhammad Djafar Saidi, 2011:139)
commit to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sementara itu, pengertian perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat. Dalam arti perekonomian negara termasuk pula
sebagai unsur tindak pidana korupsi ketika perekonomian negara dirugikan
atas perbuatan termaksud. Sebenarnya tindak pidana korupsi sebagai
sasaran instrumen hukum pidana diupayakan agar dapat diperkecil dan
bahkan diharapkan tidak terjadi lagi (Muhammad Djafar Saidi, 2011:139140).
Pengembalian kerugian negara melalui peradilan boleh dilakukan
bersamaan dengan pengembalian kerugian negara di luar peradilan. Hal ini
didasarkan dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: (Muhammad
Djafar Saidi, 2011:151)
a.
Pengembalian
kerugian
negara
melalui
peradilan
dengan
pengembalian kerugian negara di luar peradilan memiliki prosedur
yang berbeda;
b.
Kerugian negara yang dikembalikan di luar peradilan bukan
merupakan sanksi atau hukuman melainkan hanya bersifat pengganti
atas kerugian negara yang ditetapkan oleh atasannya atau Badan
Pemeriksa Keuangan;
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Kerugian negara yang dikembalikan melalui peradilan merupakan
sanksi atau hukuman berupa denda yang dijatuhkan oleh pengadilan
atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pengembalian kerugian negara
baik di luar peradilan maupun melalui peradilan secara bersamaan atau
terpisah bukan merupakan suatu pelanggaran hukum di bidang hukum
keuangan negara. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka pengembalian
kerugian negara yang dinyatakan hilang dan/atau digunakan untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dengan demikian,
pengembalian kerugian negara baik di luar peradilan maupun melalui
peradilan perlu diterapkan secara bersamaan dalam rangka pemberantasan
perbuatan yang merugikan keuangan negara, dalam hal ini khususnya
mengenai pencucian uang yang melibatkan aset kekayaan negara.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diatur secara detail
mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang.
Pengaturan mengenai konsep pengembalian kerugian negara hanya diatur
secara sepintas melalui pengaturan peradilan in absentia, yang dalam hal
ini pemeriksaan di
persidangan dalam perkara pencucian uang
dimungkinkan untuk dilaksanakan persidangan secara in absentia, yaitu
persidangan tanpa kehadiran terdakwa, baik karena terdakwa tidak hadir
maupun karena terdakwa meninggal dunia. Hal ini dilakukan untuk
menyelamatkan aset kekayaan negara akibat tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa.
Konsep pengembalian kerugian negara lainnya yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu mengenai penerapan
pembuktian terbalik, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dan rinci
pengaturannya dalam undang-undang. Dalam hal ini, terdakwa dibebani
kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya
user terdakwa mampu membuktikan
bukan berasal dari tindak commit
pidana. to
Apabila
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu
dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman
bagi terdakwa. Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu
dapat menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi
tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar biasa
dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan dalam
perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan jenis
kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa bukan tidak
mungkin berasal dari kekayaan negara yang telah dikorupsi, karena
korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling berkaitan dan tidak
bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
mengatur
ketentuan
tentang
pembuktian
terbalik
yang
sifatnya
“compulsory”, yaitu dalam proses pemeriksaan di persidangan, terdakwa
“wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak berasal dari tindak
pidana. Hal ini sebagai upaya dalam memberantas pencucian uang, serta
untuk mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa.
Lebih lanjut, pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian
terbalik memberikan kontribusi mengenai konsep pengembalian kerugian
negara dalam pencucian uang dapat dilihat pada skema berikut:
commit to user
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Proses Pengembalian Kerugian Negara
Terdakwa Tidak Hadir
Terdakwa Hadir
Peradilan In Absentia
Penuntut Umum vs
Terdakwa
Penuntut Umum vs
“Kursi Kosong”
Pembuktian Terbalik
Secara Berimbang
Penuntut Umum
Pembuktian
Melakukan
Penuntut
Umum
dan
Terdakwa Dibebani Beban
Pembuktian
Putusan Hakim
Perampasan Harta Terdakwa
Guna Mengembalikan Kerugian
Negara
Gambar 2. Skema Kontribusi Peradilan In Absentia dan Pembuktian
Terbalik dalam Proses Pengembalian Kerugian Negara
Berdasarkan skematik tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam hal
terdakwa tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah
dilakukan pemanggilan yang sah, maka proses pemeriksaan di persidangan
tetap dilanjutkan dengan peradilan in absentia, yaitu persidangan tanpa
commit
to penuntut
user
kehadiran terdakwa. Dalam
hal ini
umum akan melawan “kursi
perpustakaan.uns.ac.id
48
digilib.uns.ac.id
kosong”, karena kursi yang seharusnya diduduki oleh terdakwa tidak ada
penghuninya. Berhubung terdakwa tidak hadir, maka terdakwa pun
kehilangan hak-haknya untuk melakukan pembelaan di muka persidangan.
Hal ini akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh penuntut umum dalam
melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang dimilikinya guna
meyakinkan hakim bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan tindak pidana, khususnya pencucian uang, dan dengan
berdasarkan keyakinan hakim serta adanya alat-alat bukti dari penuntut
umum, maka hakim pun akan menjatuhkan putusan berupa perampasan
harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara
guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan terdakwa.
Dalam hal terdakwa hadir di persidangan, maka proses pemeriksaan
di pengadilan berjalan seperti pada umumnya. Kali ini, penuntut umum
tidak lagi melawan “kursi kosong”, karena terdakwa hadir di persidangan.
Berhubung terdakwa hadir di persidangan, terdakwa dibebani beban
pembuktian terbalik, yaitu terdakwa harus membuktikan di muka
persidangan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari
tindak pidana. Hal ini sebagai imbas dari ketentuan pengaturan
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Apabila
terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya
tidak berasal dari tindak pidana, maka hal itu akan menjadi bahan
pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman terdakwa. Sebaliknya,
apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya
bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu pula akan menambah
keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana,
khususnya pencucian uang. Meskipun pembuktian terbalik diterapkan
secara berimbang, dalam arti penuntut umum tetap dibebani beban
pembuktian, namun ketidakmampuan terdakwa dalam membuktikan harta
kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana, dapat
commit
to user
menjadi landasan yang kuat
bagi
hakim untuk menjatuhkan putusan
perpustakaan.uns.ac.id
49
digilib.uns.ac.id
berupa perampasan harta terdakwa yang untuk selanjutnya dimasukkan ke
dalam kas negara guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan
terdakwa.
Mencermati uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu
hasil analisis bahwa pengaturan peradilan in absentia dan pembuktian
terbalik dalam pencucian uang memberikan kontribusi yang besar dan
signifikan dalam pengembalian kerugian negara. Secara tidak langsung,
pencucian uang dapat berakibat pada kerugian negara, yang dalam hal ini
pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan (secondary crime).
Dalil tersebut mengacu pada tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Apabila tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka hal itu jelas sangat
merugikan negara. Bagaimanapun juga, pencucian uang dan korupsi
sangat erat kaitannya. Sehingga apabila terdakwa melakukan korupsi,
maka patut diduga terdakwa pasti juga melakukan pencucian uang. Oleh
karena itu, diperlukan upaya luar biasa dalam memberantas pencucian
uang. Bagi terdakwa yang melarikan diri atau telah meninggal dunia,
proses pemeriksaan di persidangan dilakukan secara peradilan in absentia.
Dan bagi terdakwa yang sanggup hadir di persidangan, maka yang
bersangkutan dibebani beban pembuktian terbalik. Peradilan in absentia
dan pembuktian terbalik memiliki tujuan utama serta memberikan
kontribusi yang sama, yaitu sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian
negara akibat perbuatan terdakwa.
B. Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dan Pembuktian Terbalik dalam
Perkara Pencucian Uang di Indonesia
1.
Urgensi Perlunya Peradilan In Absentia dalam Perkara Pencucian
Uang di Indonesia
Money laundering atau pencucian uang merupakan salah satu bentuk
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Letak “luar biasa” tersebut bisa
menyangkut beberapa aspek, mulai dari pelakunya, jaringannya, modus
commit to user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
operandinya,
hingga
akibat
yang
ditimbulkannya.
Namun,
pada
pembahasan kali ini akan lebih difokuskan pada pelakunya.
Pencucian uang bukanlah jenis kejahatan yang biasa. Berhubung
pencucian uang merupakan kejahatan luar biasa, maka sudah pasti
pelakunya pun bukan orang sembarangan. Pelaku money laundering
pastilah orang yang pintar, berilmu, serta memiliki keahlian dan
kedudukan terpandang dalam bidangnya. Inilah sebabnya money
laundering juga termasuk salah satu jenis kejahatan kerah putih atau sering
disebut dengan white collar crime. Istilah “kerah putih” ini menunjukkan
bahwa pelakunya merupakan seorang profesional dan memiliki keahlian di
bidangnya.
Perlu diketahui bahwa profesionalitas pelaku money laundering ini
tidak hanya sebatas memiliki skill dalam bidangnya saja, tetapi juga
memiliki keahlian lainnya dalam merencanakan atau mempersiapkan
segala sesuatu setelah yang bersangkutan melakukan tindak pidana.
Misalnya, setelah pelaku berhasil melakukan pencucian uang, pelaku telah
mempersiapkan segala rencana dan sarana untuk melarikan diri agar tidak
ditangkap atau setidak-tidaknya sulit dilacak oleh aparat penegak hukum.
Meskipun telah mengerahkan segala daya dan upaya, namun pada
akhirnya aparat penegak hukum tidak mampu menangkap atau mengetahui
keberadaan pelaku. Aparat penegak hukum tidak lantas hanya berdiam diri
saja setelah gagal menangkap pelaku, karena dalam konteks ini negara
telah mengalami kerugian akibat tindakan dari pelaku. Bagaimanapun
juga, hukum harus tetap ditegakkan. Dan segala sesuatu yang hilang dari
aset negara serta menimbulkan kerugian bagi negara, harus kembali lagi
dalam genggaman negara.
Berangkat dari fenomena itulah, maka timbul pengaturan mengenai
peradilan in absentia, yaitu proses pemeriksaan di persidangan tanpa
dihadiri oleh terdakwa. Dalam hal ini, terdakwa tidak hadir tanpa alasan
yang sah, setelah dilakukan pemanggilan secara sah kepada yang
user pemeriksaan di persidangan tetap
bersangkutan. Oleh karenacommit
itulah, to
proses
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilanjutkan dengan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Hal ini tak lepas dari
kondisi yang urgent, yaitu demi mengembalikan kerugian negara.
Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian
uang terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan
peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang menunjukkan bahwa
pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam
proses penanganan perkara pencucian uang. Pencucian uang tidak hanya
mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi
juga
dapat
membahayakan
sendi-sendi
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
pencegahan dan pemberantasan pencucian uang memerlukan landasan
hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan
hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak
pidana, yang dalam hal ini salah satunya yaitu melalui pengaturan
peradilan in absentia dalam penanganan perkara pencucian uang.
Diperlukannya peradilan in absentia memang tak lepas dari urgensiurgensi
serta
alasan-alasan
yang
melatarinya.
Urgensi-urgensi
diperlukannya peradilan in absentia tersebut antara lain:
a.
Sebagai upaya dalam mengembalikan kerugian negara
Money laundering merupakan salah satu kejahatan luar biasa
yang dapat mengakibatkan pada kerugian negara. Kerugian negara
tersebut akan tetap terus ada walaupun pelaku money laundering
melarikan diri. Hal itu jelas tidak dapat dibiarkan begitu saja. Aparat
penegak hukum harus menemukan solusi untuk mengembalikan
kerugian negara akibat tindakan pelaku money laundering. Apabila
aparat penegak hukum telah mengerahkan segala daya upaya untuk
menemukan pelaku yang melarikan diri tetapi tetap tidak mampu
commit
to user
menangkap pelaku, maka
dalam
proses pemeriksaan di persidangan
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan peradilan in absentia. Model persidangan in absentia dapat
dijadikan klep/pengaman terhadap keterbatasan-keterbatasan aparat
hukum yang tidak dapat menghadirkan pelaku money laundering di
depan persidangan, karena yang bersangkutan melarikan diri. Hal ini
sangat diperlukan dan bersifat urgent, mengingat perbuatan money
laundering dari pelakunya dapat merusak kestabilan perekonomian
negara serta menimbulkan dampak kerugian yang besar bagi negara.
Oleh karena itu peradilan in absentia sangat penting guna
mengembalikan kerugian negara akibat money laundering melalui
proses pemeriksaan di persidangan guna melakukan perampasan harta
terdakwa setelah adanya putusan hakim.
b.
Sebagai upaya dalam menegakkan hukum meskipun terdakwa
melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya
Pelaku money laundering dapat menimbulkan dampak pada
kerugian negara. Terhadap siapapun yang telah mengambil aset
kekayaan negara ataupun menimbulkan kerugian negara, maka
baginya harus dijatuhi hukuman yang setimpal. Hukuman tersebut
adalah berupa perampasan harta kekayaan yang dimilikinya dan untuk
selanjutnya dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan
kerugian negara akibat perbuatan dari pelaku tersebut. Meskipun
pelaku money laundering melarikan diri, proses pemeriksaan di
persidangan harus tetap dilanjutkan setelah berkas perkara yang
bersangkutan telah dilimpahkan ke pengadilan. Terdakwa yang
melarikan diri, diadili secara in absentia. Hal ini sangat penting guna
menegakkan aturan hukum bahwa siapa saja yang telah melakukan
tindak pidana dan berakibat pada kerugian negara, maka harta
kekayaan yang dimilikinya harus dirampas guna mengembalikan
kerugian negara yang timbul. Dan proses perampasan harta pelaku
tindak pidana harus melalui pemeriksaan di persidangan serta dengan
putusan
hakim.
Oleh karena itu, aturan hukum mengenai
commit
to user
pengembalian kerugian
negara
harus tetap ditegakkan meski pelaku
perpustakaan.uns.ac.id
53
digilib.uns.ac.id
money laundering melarikan diri. Penegakan aturan hukum tersebut
adalah melalui peradilan in absentia.
c.
Adanya pergeseran paradigma dalam peradilan
Pada umumnya, proses pemeriksaan di persidangan bertujuan
untuk menegakkan hukum dan menghukum terdakwa dengan
hukuman setimpal apabila terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan teknologi, yang mengakibatkan makin
berkembangnya pula bentuk-bentuk tindak pidana, maka kebutuhan
dalam proses peradilan di tingkat pengadilan pun mengikuti arus
perkembangan yang ada. Tidak dipungkiri bahwa kejahatan money
laundering merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang
modern, dalam artian teknik-teknik dan modus operandinya serba
canggih serta tidak lepas dari pemanfaatan teknologi mutakhir. Selain
teknik-teknik dan modus operandinya yang luar biasa, money
laundering juga mengakibatkan hal yang luar biasa pula pada
kerugian negara. Harta kekayaan pelaku money laundering, bisa jadi
bersumber dari aset kekayaan negara yang seharusnya digunakan
untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena money laundering ini bisa
berdampak pada kerugian negara, maka penanganannya pun harus
ditujukan untuk mengembalikan kerugian negara. Inilah letak dari
pergeseran paradigma dalam peradilan. Mengingat begitu urgent
terkait kerugian negara ini, maka dalam money laundering proses
peradilannya mulai fokus pada pemulihan atau pengembalian kerugian
negara, dan tidak lagi dicurahkan sepenuhnya pada pemberian
hukuman bagi terdakwa. Hal ini penting karena aset kekayaan negara
yang mengalami kerugian akibat perbuatan terdakwa merupakan harta
negara yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu,
aspek upaya pengembalian kerugian negara jauh lebih penting
daripada keperluan menghukum terdakwa seberat-beratnya. Apalagi
to user
dalam hal terdakwa commit
melarikan
diri, maka apabila aparat penegak
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum telah berusaha menangkap terdakwa tetapi tidak membuahkan
hasil, proses pemeriksaan di persidangan tetap dapat dilanjutkan
meski tanpa kehadiran terdakwa, yaitu dengan peradilan in absentia.
Peradilan in absentia ini merupakan wujud nyata telah terjadinya
pergeseran paradigma dalam dunia peradilan, yang dalam hal ini lebih
difokuskan sebagai upaya pengembalian kerugian negara akibat
perbuatan terdakwa daripada menjadikan peradilan tersebut sebagai
sarana untuk menghukum terdakwa seberat-beratnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dinyatakan bahwa jika
terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir di persidangan
pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus oleh hakim tanpa kehadirannya. Peradilan in absentia itu
ditujukan pada harta benda negara. Ide dasar peradilan in absentia dalam
tindak pidana ekonomi yang diambil dari Belanda tersebut, dimaksudkan
untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil tindak pidana.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai urgensi peradilan in absentia di
atas, maka dapat ditarik suatu benang merah tentang perlunya peradilan in
absentia dalam proses pemeriksaan di tingkat persidangan perkara
pencucian uang pada intinya ialah sebagai upaya untuk mengembalikan
kerugian negara akibat perbuatan pelaku money laundering. Kerugian
negara yang sudah timbul akibat perbuatan pelaku, harus tetap diupayakan
pemulihannya, meskipun pelaku melarikan diri atau meninggal dunia.
Peradilan in absentia menjadi sarana yang dapat ditempuh aparat penegak
hukum untuk tetap terus melanjutkan pemeriksaan perkara pencucian uang
apabila terdakwa melarikan diri atau telah meninggal dunia. Hal ini
diperlukan
karena
dalam
hal
perampasan
harta
terdakwa
guna
mengembalikan kerugian negara, terlebih dahulu harus sudah ada putusan
hakim. Sehingga meskipun terdakwa tidak hadir, aparat penegak hukum
dapat terus melakukan pemeriksaan perkara pencucian uang hingga tingkat
commit
user yang untuk selanjutnya hakim
persidangan dengan peradilan
in to
absentia
perpustakaan.uns.ac.id
55
digilib.uns.ac.id
akan menjatuhkan putusan berupa perampasan harta terdakwa untuk
dimasukkan ke dalam kas negara guna mengembalikan kerugian yang
diderita oleh negara akibat perbuatan terdakwa.
2.
Urgensi Perlunya Pembuktian Terbalik dalam Perkara Pencucian
Uang di Indonesia
Pencucian uang atau money laundering dilakukan dengan berbagai
modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian
negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara
pencucian uang lolos dari pembuktian sistem KUHAP. Oleh karena itu
pengaturan mengenai pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, diterapkan upaya hukum pembuktian terbalik. Pembuktian yang
diterapkan dalam money laundering menganut dua sistem sekaligus, yaitu
sistem Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan sekaligus dengan sistem
KUHAP. Kedua teori itu ialah penerapan hukum pembuktian dilakukan
dengan cara menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau
berimbang, serta yang menggunakan sistem pembuktian negatif menurut
KUHAP. Jadi, tidak menerapkan teori pembuktian terbalik murni, tetapi
teori pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Kata-kata “terbatas atau
berimbang” menunjukkan bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan
dalilnya bahwa harta kekayaan yang dimiliki terdakwa tidak berasal dari
tindak pidana, hal itu tidak berarti harta kekayaan terdakwa tidak berasal
dari tindak pidana, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Setelah terdakwa memberikan keterangan mengenai asal-usul harta
kekayaannya, ditambah dengan pembuktian dari penuntut umum, maka
hakim akan mempertimbangkan semuanya dan hakim akan menentukan
pendapatnya. Apabila keterangan terdakwa terbukti benar bahwa harta
kekayaan yang dimilikinya tidak berasal dari tindak pidana, maka
commithal
to yang
user menguntungkan bagi terdakwa.
keterangan itu dipakai sebagai
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun, jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang asal-usul harta
kekayaan yang dimilikinya, maka keterangan itu dapat dipergunakan untuk
menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan money
laundering.
Dalam money laundering terkait lebih dari satu jenis tindak pidana,
yaitu kejahatan menghasilkan uang haram (misalnya korupsi) dan
pencucian uang haram tersebut. Kualifikasi money laundering dirumuskan
sebagai penempatan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa
keuangan. Berdasarkan ketentuan ini maka adanya perbuatan korupsi tidak
perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup apabila ada pengetahuan atau
dugaan bahwa uang haram tersebut berasal dari perbuatan korupsi, yaitu
bila sudah terdapat bukti permulaan yang cukup (Edi Setiadi, 2010:148).
Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, ditegaskan
bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib” membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Perkataan “wajib”
bagi terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari
tindak pidana mengandung pengertian bahwa dalam undang-undang ini
dianut sistem pembuktian terbalik.
Di samping konsepsi pembuktian terbalik terdapat dalam berbagai
instrumen hukum nasional, konsepsi pembuktian terbalik juga terdapat
dalam instrumen hukum internasional, salah satunya adalah pada United
Nations Conventions Against Transnational Organized Crime (UNCTOC)
yang ditandatangani di Palermo, Italia, Desember 2000. UNCTOC
bertujuan mempromosikan kerjasama untuk mencegah dan memerangi
kejahatan terorganisir antarnegara (transnational organized crime). Selain
utamanya mengatur perihal kejahatan transnasional terorganisir, di
dalamnya diatur beberapa kriminalisasi atas beberapa perbuatan, yaitu
delik
“turut-serta
dalam
sebuah
kelompok
organisasi
kriminal”
(participation in an organized criminal group) pada Pasal 5, delik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57
digilib.uns.ac.id
“pencucian hasil kejahatan” (the laundering of proceeds of crime) pada
Pasal 6, dan delik korupsi pada Pasal 8.
Sedangkan Pasal 12 UNCTOC yang mengatur tentang Penyitaan dan
Perampasan menetapkan bahwa negara-negara peserta harus mengadopsi
tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk memudahkan penyitaan
atas hasil-hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana yang dicakup
dalam konvensi dan properti yang senilai yang berkaitan dengan hasilhasil kejahatan dimaksud, properti, perlengkapan atau instrumentalinstrumental lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk dipergunakan
dalam tindak pidana yang dicakup dalam konvensi ini. Negara-negara
peserta wajib mengadopsi tindakan-tindakan tersebut yang mungkin
diperlukan untuk memudahkan identifikasi, pelacakan, pembekuan atau
perampasan atas setiap hal yang dimaksud di atas yang pada akhirnya
untuk tujuan penyitaan/perampasan. Apabila hasil dari kejahatan itu telah
diubah bentuknya atau dikonversikan sebagian atau seluruhnya ke dalam
properti lain, properti itu dapat dikenakan tindakan-tindakan sebagaimana
tersebut dalam pasal ini sebagai pengganti hasil-hasil kejahatan (M. Akil
Mochtar, 2009:183).
Pasal 12 angka 7 UNCTOC berbunyi:
“States Parties may consider the possibility of requiring that an
offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime
or other property liable to confiscation, to the extent that such a
requirement is consistent with the principles of their domestic law
and with the nature of the judicial and other proceedings.”
(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk
mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah
yang didakwa diduga merupakan hasil-hasil kejahatan atau properti
lain yang dapat dikenakan penyitaan, sepanjang persyaratan tersebut
konsisten dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya dan dengan
sifat dari yudisialnya dan hukum acara lainnya).
Pasal tersebut menerapkan ketentuan sistem pembuktian terbalik
yang menetapkan bahwa pelaku harus menunjukkan asal-usul yang sah
dari sesuatu yang didakwa sebagai hasil kejahatan atau properti lain yang
commit to user
dapat dikenakan perampasan sejauh bahwa kewajiban itu adalah tidak
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan prosedur hukum
acara lainnya.
Ketentuan yang bunyinya hampir sama terdapat dalam Pasal 31
angka 8 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)/
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, yaitu:
“States Parties may consider the possibility of requiring that an
offender demonstrate the lawful origin of such alleged proceeds of
crime or other property liable to confiscation, to the extent that such
a requirement is consistent with the fundamental principles of their
domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.”
(Negara peserta dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk
mengharuskan bahwa seorang pelaku menunjukkan asal-muasal sah
dari yang diduga didakwa merupakan hasil-hasil kejahatan atau
properti lain yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh bahwa
kewajiban seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
dari hukum nasionalnya dan dengan sifat dan proses hukum acara
lainnya).
Ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang hampir
serupa dengan pengaturan pada Pasal 12 angka 7 UNCTOC dan Pasal 31
angka 8 UNCAC tersebut di atas, adalah ketentuan Pasal 77 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi:
Pasal 77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana.
Selanjutnya, mengingat Indonesia telah meratifikasi United Nations
Convention
Against
Corruption/UNCAC
2003
(Konvensi
Anti
Korupsi/KAK 2003) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003
dan United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime/UNCTOC 2000 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
to user 2000) melalui Undang-Undang
Kejahatan Transnasional commit
Terorganisir
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime 2000, maka ketentuan sistem
pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentu berdampak pada hukum pembuktian yang masih
dilandaskan pada ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, penggunaan sistem
pembuktian terbalik merefleksikan terjadinya pergeseran dari penggunaan
prinsip
Ultimum
Remedium
menjadi
Primum
Remedium
dalam
pemberantasan money laundering. Dalam prinsip Ultimum Remedium,
hukum pidana tidak lagi digunakan apabila sarana-sarana lain telah
berhasil dalam memberantas tindak pidana. Sebaliknya, dalam prinsip
Primum Remedium, hukum pidana dikedepankan sebagai sarana utama
dalam memberantas tindak pidana pada umumnya, dan money laundering
pada khususnya. Hal ini mengingat telah terjadi perubahan paradigma
tentang money laundering dari hanya sebagai salah satu jenis kejahatan
menjadi kejahatan yang cara pemberantasannya harus dilakukan dengan
cara yang luar biasa sebab kerugian yang ditimbulkan oleh money
laundering tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga telah
merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Selain itu,
dunia melalui UNCAC 2003 dan UNCTOC 2000 sangat prihatin atas
seriusnya masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh
money laundering terhadap stabilitas negara yang dapat melemahkan
pembangunan berkelanjutan.
Ditinjau dari fungsinya, penerapan pembuktian terbalik mempunyai
fungsi kontrol sosial berupa apa yang harus dan apa yang jangan
dilakukan. Hal ini dimaknai bahwa seseorang dalam upaya memiliki harta
kekayaannya harus melalui suatu cara perolehan yang wajar, jujur, dan
bersih. Apabila hal ini dilanggar maka perintah penerapan pembuktian
terbalik
atas
harta
kekayaannya
segera
diberlakukan.
Penerapan
pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi sebagai penyelesaian
sengketa terhadap suatu harta kekayaan tertentu. Apabila dapat dijelaskan
commitmelalui
to usercara-cara yang wajar maka harta
bahwa perolehannya ditempuh
perpustakaan.uns.ac.id
60
digilib.uns.ac.id
kekayaan tersebut tetap menjadi milik yang memberikan penjelasan.
Namun, apabila tidak dapat dijelaskan bahwa perolehan harta kekayaan itu
melalui cara-cara yang wajar maka negara dalam hal ini dapat melakukan
perampasan. Pemberlakuan pembuktian terbalik juga mempunyai fungsi
rekayasa sosial (social engineering), yaitu kebijakan sosial yang
direncanakan untuk memudahkan pembuktian kasus-kasus penyuapan/
korupsi, serta untuk memulihkan kerugian keuangan/perekonomian negara
akibat terjadinya pencurian, penggelapan dan korupsi melalui prosedur
yang terlegitimasi, bahkan terhadap harta kekayaan yang merupakan hasil
suatu tindak pidana (money laundering) dimungkinkan untuk dapat
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah. Pembuktian terbalik juga
mempunyai fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance) yaitu
menjaga atau berupaya agar pencapaian kesejahteraan masyarakat dapat
terus terwujud dan pemberantasan terhadap hambatan-hambatannya seperti
perilaku korupsi dapat diberantas atau setidaknya diminimalisir (M. Akil
Mochtar, 2009:192-193).
Tujuan diterapkannya pembuktian terbalik dalam perkara money
laundering adalah agar tujuan preventif dan efek jera diharapkan
terpenuhi. Tujuan preventifnya jelas, yaitu agar money laundering tidak
terjadi lagi di masa mendatang. Sedangkan tujuan pemberian efek jera
kepada pelaku, dapat dipahami bahwa money laundering merupakan
perbuatan yang mencederai diri sendiri secara berat karena resiko yang
diterima jauh lebih besar, yaitu hukumannya sangat berat dan resiko
tersebut cepat datangnya, karena dengan adanya penerapan pembuktian
terbalik. Sementara itu kemanfaatan yang akan dinikmati dari money
laundering kemungkinan besar tidak akan diperoleh. Hal ini karena harta
kekayaannya akan segera disita, dirampas, atau dikembalikan. Dengan
demikian kerugian/perekonomian negara yang terganggu dapat segera
dipulihkan.
Pembuktian terbalik juga memiliki pergeseran paradigma dalam hal
to userDalam hukum pidana formil pada
beban pembuktian dalam commit
persidangan.
perpustakaan.uns.ac.id
61
digilib.uns.ac.id
umumnya yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHAP, disebutkan bahwa
siapa yang mendakwa, maka pihak itulah yang membuktikannya dalam
persidangan. Sedangkan pembuktian terbalik memiliki konsep yang
berbeda dengan KUHAP, yaitu dalam hal ini posisi terdakwa sebagai
pihak yang didakwa, juga dibebani beban pembuktian di persidangan.
Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan
berasal dari tindak pidana. Namun, penerapan pembuktian terbalik tidak
dilakukan secara absolut, tetapi secara terbatas atau berimbang, sesuai
dengan asas shifting of burden proof. Dikatakan terbatas atau berimbang,
karena tidak hanya terdakwa yang diberikan beban pembuktian, tetapi
penuntut umum selaku pihak yang mendakwa juga tetap wajib melakukan
pembuktian. Meskipun tidak diterapkan secara absolut, pembuktian
terbalik merupakan suatu bukti adanya pergeseran paradigma dalam hal
beban pembuktian di persidangan. Semula hanya penuntut umum yang
melakukan beban pembuktian, kini beban tersebut dibagi juga kepada
terdakwa. Hal ini sangat penting mengingat terdakwa telah melakukan
money laundering yang termasuk kategori kejahatan luar biasa serta
berimbas pada kerugian negara. Sehingga pembuktian terbalik dapat
menjadi salah satu sarana ampuh dalam mengembalikan kerugian negara
dengan melalui perampasan harta kekayaan terdakwa untuk dimasukkan
ke dalam kas negara guna menutupi aset yang telah hilang dalam kekayaan
negara.
Diterapkannya pembuktian terbalik, sebenarnya juga tidak lepas dari
adanya suatu “suspicious” atau “kecurigaan” dari aparat penegak hukum
kepada terdakwa. Terdakwa dicurigai telah mengambil aset kekayaan
negara, yang untuk selanjutnya aset tersebut kemudian dilakukan
pencucian. Berawal dari dalil tersebut, maka aparat penegak hukum
melakukan terobosan dalam hal pemanfaatan pembuktian terbalik.
Pembuktian terbalik dinilai sebagai suatu “jaminan” agar dapat dilakukan
penyitaan atau perampasan terhadap harta kekayaan terdakwa yang patut
user
diduga berasal dari tindakcommit
pidana,tokhususnya
melakukan penyelewengan
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap aset kekayaan negara. Perampasan terhadap harta kekayaan
negara tentu tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya putusan hakim
terlebih dahulu. Sedangkan hakim dapat menjatuhkan putusan dengan
adanya minimal dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim. Untuk
alat bukti, hal itu menjadi tanggung jawab penuntut umum. Sedangkan
untuk keyakinan hakim, didasarkan pada penilaian hakim selama
persidangan. Dalam hal penilaian hakim ini, salah satunya didasarkan pada
pembuktian terbalik. Penerapan pembuktian terbalik inilah yang nantinya
akan menjadi salah satu bahan pertimbangan hakim guna mencapai
keyakinannya dalam menjatuhkan putusan. Disinilah letak pembuktian
terbalik sebagai “jaminan” agar dapat dilakukan perampasan harta
kekayaan terdakwa. Pembuktian terbalik mempunyai sumbangsih dalam
memberikan keyakinan hakim untuk menjatuhkan putusan berupa
perampasan harta kekayaan terdakwa yang untuk selanjutnya digunakan
untuk mengembalikan kerugian negara.
Mencermati dari berbagai uraian di atas, maka pembuktian terbalik
merupakan suatu hal yang urgent untuk diterapkan dalam pemeriksaan
perkara money laundering di persidangan. Adanya pergeseran paradigma
dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula hanya diemban
penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa, menunjukkan betapa
pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut persoalan harta
kekayaan.
Pelaku
money
laundering
yang
patut
diduga
telah
menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan
tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta
kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Tujuan perampasan harta
kekayaan terdakwa tersebut adalah untuk dikembalikan ke kas negara guna
menutupi kerugian negara yang telah ada. Bagaimana pun, aset kekayaan
negara harus tetap utuh dan kerugian negara harus dipulihkan. Karena
kekayaan negara itulah yang nantinya dimanfaatkan untuk kesejahteraan
rakyat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis terhadap permasalahan yang dikaji dalam
penelitian, maka dapat diambil simpulan dan saran sebagai berikut:
A. Simpulan
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki kontribusi yang
signifikan mengenai konsep pengembalian kerugian negara akibat
pencucian uang. Letak kontribusi pengembalian kerugian negara akibat
pencucian uang terdapat pada pengaturan mengenai peradilan in absentia
dan pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang
terdapat pada pasal-pasal berikut:
a.
Pasal 68
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Pasal ini secara tersirat memiliki kontribusi dalam pengembalian
kerugian negara, yaitu dengan disebutkannya ketentuan bahwa beberapa
hal mengenai proses pemeriksaan perkara pencucian uang terdapat halhal yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini. Hal ini mengingat
urgensi dari pemberantasan pencucian uang yang merupakan kejahatan
luar biasa serta adanya peran undang-undang ini dalam mengupayakan
pengembalian kerugian negara akibat pencucian uang.
b.
Pasal 69
“Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”
Rumusan ketentuan ini merupakan cerminan dari Pasal 20 dan Pasal 31
commit to user
ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang dalam hal ini kata kunci
63
perpustakaan.uns.ac.id
64
digilib.uns.ac.id
kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan
asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,
bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa
dan tindak pidana yang telah dilakukannya, sehingga tidak perlu
terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya. Dengan adanya
ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 telah memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta
makna di balik Pasal 20 dan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB
Antikorupsi, sehingga dengan demikian Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan
keuangan negara secara signifikan.
c.
Pasal 77
“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana.”
Pasal ini merupakan pasal yang mengatur mengenai penerapan
pembuktian terbalik di persidangan dalam perkara pencucian uang.
Dalam hal ini, terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa
harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana.
Apabila terdakwa mampu membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak
berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat menjadi bahan
pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman bagi terdakwa.
Sebaliknya, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka hal itu dapat
menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana, khususnya pencucian uang, serta dapat memperkuat posisi
tuntutan penuntut umum. Pembuktian terbalik merupakan upaya luar
biasa dalam proses pemeriksaan di persidangan, hal ini patut diterapkan
dalam perkara pencucian uang, mengingat pencucian uang merupakan
jenis kejahatan yang luar biasa pula. Harta kekayaan milik terdakwa
to user
bukan tidak mungkincommit
berasal
dari kekayaan negara yang telah
perpustakaan.uns.ac.id
65
digilib.uns.ac.id
dikorupsi, karena korupsi dan pencucian uang ibarat mata uang, saling
berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 melalui pasal ini mengatur ketentuan tentang
pembuktian terbalik yang sifatnya “compulsory”, yaitu dalam proses
pemeriksaan di persidangan, terdakwa “wajib” membuktikan bahwa
harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana. Hal ini sebagai
upaya dalam memberantas pencucian uang, serta untuk mengembalikan
kerugian negara akibat perbuatan dari terdakwa.
d.
Pasal 78
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1).
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan
perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti
yang cukup.
Pasal ini, baik dalam ayat (1) maupun ayat (2) mengatur mengenai
langkah-langkah dan prosedur bagi terdakwa dalam melakukan
pembuktian terbalik. Jadi, pasal ini dapat dikatakan sebagai rangkaian
tentang penerapan pembuktian terbalik dalam proses pemeriksaan
perkara pencucian uang di tingkat persidangan yang merupakan salah
satu upaya guna mengembalikan kerugian negara akibat perbuatan
terdakwa.
e.
Pasal 79 ayat (1):
“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa hadirnya terdakwa.”
Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian
negara adalah bahwa pengaturan ini dimaksudkan guna mempercepat
proses pemeriksaan perkara pencucian uang di pengadilan. Apabila
terdakwa tidak diketahui keberadaannya meskipun sudah dilakukan
commit
user
upaya pencarian, maka
guna tomemperlancar
proses pemeriksaan di
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persidangan, dapat tetap dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Hal ini
mengingat urgensi yang ditimbulkan akibat pencucian uang sebagai
kejahatan luar biasa yang telah merugikan negara, sehingga proses
pemeriksaan di persidangan pun perlu dituntaskan secepat mungkin
guna memulihkan kerugian negara yang telah ada.
f.
Pasal 79 ayat (3):
“Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor
pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.”
Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian
negara adalah bahwa meskipun terdakwa pencucian uang tidak hadir
dalam persidangan, proses pemeriksaan perkaranya tetap dapat
dilanjutkan hingga tahap paling akhir atau tahap penjatuhan putusan.
Putusan
tersebut
kemudian
dipublikasikan
agar
publik
dapat
mengetahui bahwa kerugian negara akibat pencucian uang dapat segera
dipulihkan setelah adanya putusan tersebut.
g.
Pasal 79 ayat (4):
“Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan
terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut
umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.”
Letak kontribusi pasal ini terhadap konsep pengembalian kerugian
negara adalah bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar
ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk
mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah
merugikan keuangan negara.
2. Landasan hukum peradilan in absentia dalam perkara pencucian uang
terdapat pada Pasal 79 ayat (1), Pasal 79 ayat (3), dan Pasal 79 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya pengaturan
peradilan in absentia dalamcommit
perkara
uang menunjukkan bahwa
to pencucian
user
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaturan tersebut memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam
proses penanganan perkara pencucian uang. Peradilan in absentia tersebut
ditujukan pada aset kekayaan negara. Urgensi peradilan in absentia
dimaksudkan untuk segera menyelamatkan harta yang merupakan hasil
tindak pidana. Sementara itu, dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010, ditegaskan bahwa di sidang pengadilan terdakwa “wajib”
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana. Perkataan “wajib” bagi terdakwa untuk membuktikan harta
kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana mengandung pengertian
bahwa dalam undang-undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Adanya
pergeseran paradigma dalam hal pemberian beban pembuktian yang semula
hanya diemban penuntut umum, kini juga dibagi kepada terdakwa,
menunjukkan betapa pentingnya penyelesaian sengketa yang menyangkut
persoalan harta kekayaan. Pelaku money laundering yang patut diduga telah
menyelewengkan aset kekayaan negara, perlu ditindaklanjuti dengan
tindakan yang luar biasa untuk dilakukan perampasan terhadap harta
kekayaannya, yaitu dengan pembuktian terbalik. Urgensi perampasan harta
kekayaan terdakwa melalui pembuktian terbalik tersebut adalah untuk
dikembalikan ke kas negara guna menutupi kerugian negara yang telah ada.
B. Saran
1. Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memberantas dan
menanggulangi pencucian uang, ketentuan mengenai peradilan in absentia
dan pembuktian terbalik dalam peraturan mengenai money laundering atau
pencucian uang perlu diatur lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam
pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang money laundering
tersebut. Hukum acara mengenai peradilan in absentia dan pembuktian
terbalik perlu dipertimbangkan pula untuk diterapkan pada segala jenis
kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
commit to user
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Guna memaksimalkan pencegahan dan pemberantasan money laundering,
perlu diatur melalui hukum acara yang bersifat khusus dengan memuat
substansi:
a.
Mewajibkan kepada hakim untuk menerapkan hukum pembuktian
terbalik terhadap terdakwa;
b.
Memberlakukan sebuah standar khusus pembuktian terbalik dengan
menekankan pada penerapan asset recovery, dengan prioritas ditujukan
kepada harta kekayaan dan bukan pada diri pribadi terdakwa. Dengan
kata lain, penekanan kepada pemulihan kerugian akibat perbuatan
terdakwa dan bukan penghukuman terhadap diri terdakwa;
c.
Mengatur secara lebih detail mengenai mekanisme penyitaan,
pembekuan, dan perampasan terhadap aset kekayaan terdakwa yang
diduga merupakan hasil dari tindak pidana.
commit to user
Download