BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dalam kehidupannya. Rasa aman ini merupakan kewajiban yang harus dijamin oleh negara tempat dimana orang itu bertempat tinggal. Di Indonesia, landasan yang menjadi kewajiban oleh negara memberikan rasa aman atau keamanan kepada warga negaranya terdapat pada bagian dari pembukaan (preambule) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” Dengan demikian, Pemerintah dengan segala kewenangan yang dimiliki wajib mencegah, memberantas, dan menanggulangi segala hal-hal yang dapat mengancam keamanan dan keselamatan segenap bangsa Indonesia dan dunia. Keamanan yang dapat diwujudkan oleh Pemerintah sangat berpengaruh dalam menjamin situasi yang kondusif bagi warga negara untuk hidup dalam kebebasan, kedamaian, dan keselamatan; berpartisipasi penuh dalam proses pemerintahan; menikmati perlindungan hak-hak dasar; memiliki akses ke sumber daya dan kebutuhan dasar kehidupan; dan menghuni lingkungan yang tidak merugikan kesehatan dan kesejahteraan mereka.1 1 Syafran Sofyan, "Pentingnya Pancasila Bagi NKRI". http://www.lemhannas.go.id/portal/in/component/content/article/177-artikel-artikel/2008pentingnya-pancasila-bagi-nkri.html. Diakses pada 4 Juli 2014. Di tingkat nasional, tujuan keamanan mencakup "konsolidasi demokrasi; pencapaian keadilan sosial, pembangunan ekonomi dan lingkungan yang aman; pengurangan tingkat kejahatan, kekerasan dan ketidakstabilan politik. Stabilitas dan pembangunan dianggap sebagai terkait erat dan saling menguatkan". Di tingkat internasional, tujuan keamanan mencakup "pertahanan kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan politik negara, dan promosi keamanan regional".2 Saat ini, salah satu hal yang dapat mengancam keamanan Indonesia dan dunia Internasional adalah terorisme. Yang dimaksud dengan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan pemerintah; mempengaruhi penyelenggaraan Negara dengan cara penculikan dan pembunuhan 3 . Ancaman ini sangat mempengaruhi keamanan negara karena terorisme merupakan tindak kejahatan terorganisir yang dapat menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau menghilangkan kemerdekaan seseorang serta merugikan harta benda. Ketakutan masyarakat akibat aksi-aksi teror seperti rangkaian peristiwa pengeboman masih berdampak hingga sekarang. Teror merupakan penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menimbulkan rasa 2 Ibid. Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta,hlm. 173. 3 takut dan meniadakan perlawanan4. Kejadian Bom Bali 1 dan 2 yang dilakukan oleh para teroris belum dapat dilupakan oleh masyarakat. Tindakan pengeboman serta serentetan peristiwa lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Penegakan hukum yang belum optimal dalam menanggulangi berbagai permasalahan meningkatkan rasa frustasi masyarakat ditengah kemiskinan yang semakin memperberat kehidupan masyarakat yang kurang beruntung. Kondisi ini diperburuk dengan melemahnya tingkat keyakinan sebagian masyarakat terhadap ideologi Pancasila sebagai akibat pengaruh globalisasi. Ketidakadilan dan kemiskinan semakin menjauhkan masyarakat yang termarginalkan dari ideologi Pancasila. Kelompokkelompok masyarakat yang merasakan terpinggirkan ini tentu saja sangat rentan dan mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris untuk melakukan tindakan yang mengarah pada aksi-aksi terorisme. Masuknya pengaruh terorisme internasional, semakin memperkuat jaringan dan aksi terorisme dalam negeri, sehingga aksi terorisme yang ada semakin berbahaya dan mengancam keselamatan bangsa. Namun bagi sekelompok orang, situasi ini dimanfaatkan sebagai alat perjuangan yang 4 Laporan Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia. Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia Dengan Kemitraan, Jakarta, hlm. 113. efektif. Dari waktu ke waktu, cara-cara ini menarik perhatian bagi sebagian kalangan masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang sempit untuk bergabung dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan teror. Perang besar melawan terorisme telah dimulai oleh pemerintah. Pasca Bom Bali tahun 2002, lahirlah Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2/2002 yang memberlakukan surut Perpu 1/2002 untuk peristiwa Bom Bali. Dua Perpu itu kemudian diterima menjadi UndangUndang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk UU No. 15 Tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. Dalam perkembangannya UU No. 16 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Meski beberapa pelaku tindak pidana terorisme telah ditangkap dan dijatuhkan sanksi pidana yang tegas sesuai Pasal-Pasal dalam UU No. 15/2003 namun belum menyurutkan para pelaku teroris lainnya yang masih berkeliaran untuk tetap melakukan teror-teror di berbagai daerah di Indonesia. Upaya konvensional selama ini dengan mengejar dan menghukum pelaku tindak pidana terorisme (follow the suspect) dianggap belum mampu menghentikan kelompok terorisme yang terus mengalami perkembangbiakan dan menghasilkan jaringan atau sel baru. Maka harus terdapat strategi baru yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi tindak kejahatan ini. Untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme secara maksimal, perlu diterapkan upaya lain dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana (follow the money). Hal ini dikarenakan tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Menurut mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Adang Daradjatun,"Terorisme takkan berhasil tanpa adanya bentuk pendukung seperti dukungan dana karena itu, perlu pemutusan mata rantai pendanaan teroris berdasarkan hukum".5 Kriminalisasi pendanaan terorisme sebagai tindak pidana, mutlak dilakukan karena penyandang dana juga pelaku dari tindak pidana terorisme. Menjerat master mind dalam hal ini penyandang dana sangat penting dalam mendukung keberhasilan penanggulangan terorisme. Selama ini memang sudah terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang; dan 5 Kriminalisasi Penyandang Dana Cara Perangi Terorisme. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt518244569b612/kriminalisasi-penyandang-dana-cara-perangi-terorisme. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2014, Pukul 15.18. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memang telah mengatur mengenai tindak pidana pendanaan terorisme namun masih terdapat kelemahan. Begitu pula, upaya memasukkan tindak pidana terorisme sebagai salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang belum dapat diimplementasikan secara efektif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Dalam UU 15 Tahun 2003 (Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) hanya dua Pasal yang secara tegas mengatur pendanaan terorisme yaitu tindak pidana bagi orang yang sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 11) dan untuk mendapatkan bahan kimia dan pemusnah serta tindak pidana lain (Pasal 12). Ketentuan kedua Pasal tersebut dianggap kurang memadai karena menjerat hanya pendanaan terhadap tindakan terorisme (terrorist act) saja belum menjangkau pada finansial untuk operasional teroris individu atau organisasi terorisme. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan manusia sehingga seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk terorisme dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Substansi Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373 yaitu6: 1. Mencegah dan menindak pendanaan terhadap teroris. 2. Pembekuan dana sumber-sumber keuangan para teroris. 3. Melarang warga negara untuk mendanai teroris. 4. Mencegah warga negara mendukung teroris, termasuk mencegah rekrutmen dan mengeliminir suplai senjata. 5. Menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke negara lain melalui pertukaran informasi. 6. Menolak untuk dijadikan tempat persembunyian teroris. 7. Mencegah digunakannya wilayah teritorial untuk melakukan kegiatan teroris terhadap negara lain atau warga negaranya. 8. Menjamin bahwa para teroris dan pengikutnya diajukan ke pengadilan dan di jatuhi hukuman setimpal dengan kesalahannya. 6 Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Inggris: United Nations Security Council resolution) adalah resolusi PBB yang ditetapkan lewat pemungutan suara oleh lima anggota tetap dan sepuluh anggota tidak tetap dari Dewan Keamanan PBB dengan "tanggung jawab utama bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional". Piagam PBB menetapkan (dalam Pasal 27) bahwa konsep resolusi pada non-prosedural jika hal itu diadopsi sembilan atau lebih dari lima belas anggota Dewan Keamanan untuk memilih resolusi serta jika tidak dipergunakannya "hak tolak" oleh salah satu dari lima anggota tetap. 9. Menyediakan bantuan dalam rangka investigasi kriminal. 10. Menerapkan pengawasan perbatasan secara efektif, meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap dokumen perjalanan. The Financial Action Task Force (FATF) pada 19 Oktober 2012, merilis Public Statement tentang High-risk and non-cooperative jurisdictions yang isinya adalah hasil identifikasi terhadap negara-negara yang beresiko tinggi dan tidak kooperatif dalam melindungi sistem keuangaan internasional dari pencucian uang dan pendanaan terorisme. FATF dalam Public Statement tersebut mengidentifikasi dua kelompok negara. Kelompok Pertama, negaranegara yang diminta untuk menerapkan langkah-langkah pemberantasan yaitu Irak dan Korea Utara. Kelompok Kedua, negara-negara yang diminta untuk mempertimbangkan resiko yang ditimbulkan atas kekurangan strategi anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme (anti-money laundering and combating the financing of terrorism). Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara yang masuk dalam kelompok kedua dan diidentifikasi sebagai negara yang belum ada kemajuan yang signifikan untuk mengatasi kekurangan strategi serta tidak ada komitmen untuk mengembangkan rencana aksi anti pencucian uang dan pemberantasan pendanaan terorisme. Terhadap Indonesia, FATF menyerukan agar7: 1. mengkriminalkan pendanaan terorisme; 2. menetapkan prosedur identifikasi dan pembekuan aset teroris; 7 http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnoncooperativejurisdictions/documents/fatfpublicstatement-19october2012.html diakses pada tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 16.12 dan 3. mengubah dan menerapkan undang-undang atau instrumen hukum lainnya untuk melaksanakan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International Convention for The Suppression of the Financing of Terrorism, 1999). Dalam Rekomendasi FATF, pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme juga mencakup organisasi teroris atau teroris individu meski tanpa ada ikatan khusus dengan tindakan terorisme (Rekomenasi 5/SRII) dan dilakukan pembekuan tanpa penundaan/freeze without delay (Rekomendasi 6/SIII). Pembekuan tanpa penundaan juga dilakukan terhadap pendanaan senjata pemusnah massal (Rekomendasi 7). Perluasan cakupan pendanaan tindak pidana terorisme juga berkaitan dengan peran lembaga nirlaba (non-provit organisation). FATF dalam Rekomendasi 8 menilai, organisasi nirlaba sangat rentan, dan negaranegara harus memastikan bahwa mereka tidak dapat disalahgunakan, maka FATF menghimbau negara-negara untuk meninjau peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan entitas-entitas yang dapat disalah gunakan untuk pendanaan terorisme, yaitu: a. Oleh organisasi teroris menyamar sebagai entitas yang sah; b. Mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai sarana pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan melarikan asset dari upaya pembekuan, dan c. Untuk menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap untuk organisasi teroris. Di Indonesia, pengawasan secara represif terhadap organisasi kemasyarakatan atau lembaga non profit sepatutnya dilakukan pembatasan secara ketat. Hal ini didasarkan pada fakta, bahwa pendanaan terorisme tidak hanya bersumber dari dana haram atau hasil kejahatan seperti merampok bank atau kejahatan lain (yang sering dimaknai secara salah oleh kelompok teroris sebagai Fa’i) dan bersumber dari sumber dana yang halal. Menurut Yunus Husein, mantan Kepala PPATK, pendanaan teroris berasal dari hasil tindak pidana maupun dari hasil sah, sedangkan pencucian uang pasti berasal dari tindak pidana. Pada hari Selasa, tanggal 12 Februari 2013, DPR RI melalui Rapat Paripurna akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU P2TP2T) menjadi Undang-Undang. Dengan terbitnya Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini maka Indonesia memposisikan diri sebagai negara yang ikut berpartisipasi secara internasional dalam upaya pemberantasan pendanaan terorisme sebagai konsekuensi dari UndangUndang No. 6 Th. 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4617). Undang-undang No. 9 Tahun 2013 ini telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 50 pada tanggal 13 Maret 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin. Undang-undang No. 9 Tahun 2013 ini menjadi payung hukum bagi upaya mencegah dan menanggulangi pendanaan terorisme oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Meski sebelumnya, Indonesia telah mengesahkan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 berdasarkan UU No 6 Tahun 2006 serta Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Peraturan Bank Indonesia No. 11/28/ PBI/2009 beserta Surat Edaran Bank Indonesia No.11/31/DPNP 12/20/PBI/2010 beserta dan Surat Peraturan Edaran Bank Indonesia Bank No. Indonesia No.13/14/DKBU/2011 yang intinya tentang penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank, namun hal tersebut dianggap belum cukup untuk menjadikan Indonesia bebas dari penilaian negatif dunia internasional berkaitan perlindungan transaksi keuangan intenasional. Dengan adanya konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam aturan hukum Indonesia dan 9 special recommendation yang dikeluarkan oleh FATF, serta banyaknya kelemahan yang dimiliki beberapa peraturan yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana pendanaan terorisme, maka diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Di dalam Penjelasan Undang-undang No. 9 Tahun 2013 menyatakan bahwa Undang-Undang ini mengatur secara komprehensif mengenai kriminalisasi tindak pidana pendanaan terorisme dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, penerapan prinsip mengenali pengguna jasa keuangan, pelaporan dan pengawasan kepatuhan, pengawasan kegiatan pengiriman uang melalui sistem transfer atau melalui sistem lainnya yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan, pengawasan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia, mekanisme pemblokiran, pencantuman dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris, pengaturan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta kerja sama, baik nasional maupun internasional, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.8 Lingkup pendanaan terorisme dalam Undang-Undang ini mencakup perbuatan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana kepada pihak lain yang diketahuinya akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. 9 Dengan UU ini pihak kepolisian melalui Detasemen Khusus Anti Teror 88 (Densus 88) bisa melakukan proses penyelidikan karena ada kriminalisasi baru. Meskipun kejahatan teror belum dilakukan, namun karena sudah ada niat untuk membiayai kegiatan teroris, penyandang dana dapat ditangkap oleh pihak kepolisian. 8 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 9 Ibid. Selain itu, diatur pula mengenai organisasi teroris yaitu kumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan telah melakukan tindak pidana terorisme atau yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga organisasi teroris. Teroris adalah orang atau individu yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terorisme atau yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan dalam daftar terduga teroris.10 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 ini maka pemerintah dalam menegakkan hukum untuk memberantas tindak pidana terorisme yang tadinya hanya fokus dalam mengejar dan menghukum pelaku tindak pidana terorisme sebagai bentuk upaya konvensional kini telah mengembangkan upayanya dengan strategi baru yaitu menelusuri aliran dana yang akan digunakan untuk tindak pidana terorisme dan memutus aliran dana yang merupakan bagian vital dari kegiatan terorisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai suatu lembaga intelijen di bidang keuangan, menjadi lembaga sentral (focal point) dalam menelusri aliran pendanaan terorisme di Indonesia sesuai dengan UndangUndang No. 9 tahun 2013, maka dalam penulisan hukum ini akan dilakukan pembatasan mengenai upaya memutus mata rantai pendanaan terorisme yang dilaksanakan oleh PPATK. Indonesia merupakan negara hukum maka pemutusan mata rantai pendanaan terorisme haruslah 10 Ibid. berlandaskan hukum dalam penerapannya. Sehingga diharapkan kegiatan terorisme tidak dapat berjalan tanpa adanya sokongan dana dan tidak terjadi lagi aksi-aksi teror di negara ini dikemudian hari. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka terdapat dua permasalahan yang perlu mendapat perhatian dan pengkajian terkait dengan "Penegakan Hukum Dalam Penanggulangan Terorisme Setelah Berlakunya UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme" 1.2.1. Bagaimana upaya memutus rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 Tahun 2013? 1.2.2. Apa saja kendala-kendala dan solusi dalam upaya memutus rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 Tahun 2013? 1.3. Tujuan Penelitian Setiap karya ilmiah tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai, baik untuk penulis sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Demikian pula dengan penulisan ini mempunyai tujuan yang dimaksud. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1.3.1 Tujuan Subjektif Untuk memenuhi persyaratan dan tugas dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, khususnya pada bagian hukum pidana, agar memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum. 1.3.2. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui upaya memutus rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 Tahun 2013. b. Untuk mengetahui kendala dan solusi dalam upaya memutus rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 Tahun 2013. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penulisan hukum yang telah diketahui, maka manfaat penulisan hukum antara lain: 1.4.1. Manfaat akademis a. Untuk dapat mengetahui sinkronisasi antara ilmu yang diperoleh dalam dunia perkuliahan dengan kenyataan dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi ilmu hukum khususnya penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme setelah berlakunya UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan sumbangsih nyata dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. 1.4.2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Penelitian yang dilakukan akan memiliki manfaat bagi penulis sendiri, yaitu menambah wawasan pengetahuan untuk penulis terkait penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme setelah berlakunya UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. b. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil dari penilitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran yang bermanfaat dalam perkembangan hukum secara umum dan khususnya bagi penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme melalui upaya memutus rantai pendanaan kegiatan terorisme. c. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat untuk dapat lebih mengetahui upaya memutus rantai pendanaan terorisme, kendala penanggulangannya. 1.5. Keaslian Penelitian dalam pelaksanaannya serta upaya Untuk mengetahui keaslian penelitian, penulis telah melakukan penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan diketahui bahwa terdapat satu penulisan hukum yang menyinggung mengenai tindak pidana pendanaan terorisme, yakni sebagai berikut : 1.5.1. Penulisan hukum yang disusun oleh Musa Sinambela, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011 yang rinciannya adalah sebagai berikut: a. Judul Penulisan Hukum "Peran Dan Tanggung Jawab Bank Umum Dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pendanaan Terorisme Setelah Berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomer 11/28/PBI/2009" b. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah peran Bank Umum dalam mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomer 11/28/PBI/2009? 2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Bank Umum terhadap perbuatan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dilakukan melalui transaksi perbankan? c. Kesimpulan 1. Peranan Bank dalam mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 11/28/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang penerapan Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) bagi bank umum sangat diperlukan untuk membantu penegak hukum dalam mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme dengan wajib melakukan Customer Due Dilligence (CDD) terhadap calon nasabah dan/atau nasabah untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan nasabah sesuai dengan profil nasabah. 2. Pertanggungjawaban Bank Umum terhadap perbuatan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dilakukan melalui transaksi perbankan adalah Bank yang digunakan sebagai saran pencucian uang dan pendanaan terorisme wajib melaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) setiap transaksi keuangan yang terindikasi mencurigakan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebagai Transaksi Keuangan Tunai dan, sehingga tercipta database informasi yang dapat dipergunakan oleh PPATK dan penegak hukum dalam menelusuri proses terjadinya pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga memudahkan penegak hukum untuk melakukan investigasi lebih lanjut. d. Perbedaan dengan Penelitian Penulis Berdasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan penulis lakukan, baik dari segi perumusan masalah, tujuan penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Pada penulisan tersebut, terdapat beberapa perbedaan, yakni penulisan hukum tersebut lebih mengetengahkan pada peran dan tanggung jawab Bank Umum dalam mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomer 11/28/PBI/2009, sementara yang penulis teliti lingkupnya lebih mengerucut pada penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme setelah berlakunya UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Berdasarkan judul penulisan hukum diatas, dapat dilihat dan dibandingkan dengan penulisan hukum yang penulis susun terdapat perbedaan yang signifikan terhadap pokok permasalahan yang dibahas. Penulisan hukum yang penulis susun dengan judul “Penegakan Hukum Dalam Penanggulangan Terorisme Setelah Berlakunya UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme” belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan, kritik dan saran yang membangun. 1.6. Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini akan disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, dan Bab V. Dari Bab-bab tersebut, kemudian akan diurai lagi menjadi subbab-subbab yang diperlukan. Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: Tinjauan Pustaka Pada bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu tinjauan umum mengenai hukum pidana, dan tinjauan umum mengenai tindak pidana pendanaan terorisme. BAB III: Cara Penelitian Pada bab ini terdiri dari 6 (enam sub bab) yaitu sifat penelitian, jenis penelitian, alat dan cara penelitian, analisis data, jalannya penelitian, dan kendala penelitian. BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu upaya memutus mata rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 tahun 2013 dan kendala-kendala serta solusi dalam upaya memutus mata rantai pendanaan terorisme menurut UU No. 9 tahun 2013. BAB V : Kesimpulan dan Saran Pada bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran.