- Balai Riset dan Observasi Laut

advertisement
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Electronik: 2085-6695
JURNAL
ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN TROPIS
Diterbitkan Oleh:
Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis merupakan pengembangan dari E-Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis yang mulai terbit semenjak Juni 2009, mulai
Desember 2010 diterbitkan secara cetak dan elektronik. Jurnal ini merupakan jurnal
ilmiah dibidang ilmu dan teknologi kelautan tropis dan diterbitkan secara berkala
sebanyak dua kali dalam setahun. Redaksi menerima paper dalam bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris yang diketik di atas kertas A4 dalam 1 spasi, Times New Roman,
Font 12, termasuk gambar dan tabel dan dikirim melalui email ke alamat redaksi.
Pedoman penulisan paper dapat dilihat pada bagian belakang jurnal ini.
Diterbitkan oleh
: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Penanggung Jawab : Ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Pemimpin Redaksi : Bisman Nababan, Ph.D.
Penyunting Ahli (Mitra Bebestari):
Augy Syahailatua, Ph.D. (Marine Fisheries and Marine Biology, P2O-LIPI)
Bambang Yulianto, Ph.D. (Marine Ecotoxicology, FPIK-UNDIP)
Prof. Dr. Bonar Pasaribu (Marine Acoustic, ITK-IPB)
Prof. Dr. Feliatra (Marine Microbiology, ITK-UNRI)
Dwi Djoko Eny Setyono, Ph.D. (Marine Biology and Aquaculture, P2O-LIPI)
Prof. Dr. Inneke Rumengan (Marine Biotechnology, FPIK-UNSRAT)
Iskaq Iskandar, Ph.D. (Physical Oceanography, NOAA-PMEL, USA)
Iqbal Djawad, Ph.D. (Marine Aquaculture & Physiology., FIKP-UNHAS)
John I. Pariwono, Ph.D. (Physical Oceanography, ITK-IPB)
Joko Santoso, Ph.D. (Aquatic Product Processing Technology, THP-IPB)
Dr. Jonson L. Gaol (Marine Remote Sensing & GIS, ITK- IPB)
Prof. Dr. Mulia Purba (Physical Oceanography, ITK-IPB)
Neviaty P. Zamani, Ph.D. (Marine Biology, Coral Reef, ITK-IPB)
Suhartati M. Natsir, Ph.D. (Marine Ecology, P2O-LIPI)
Wahyu Pandoe, Ph.D. (Physical Oceanography, Modeling, BPPT)
Zainal Arifin, Ph.D. (Marine Pollution, Chemical Oceanography, P2O-LIPI)
Tri Prartono, Ph.D. (Chemical Oceanography, ITK-IPB)
Penyunting Pelaksana: Sri Ratih Deswati, M.Si., Meutia Samira Ismet, M.Si.,
Jafar Elly, M.Si., Muhammad Subhan, S.Pi., dan
Sahat M.R. Tampubolon, Amd.
Alamat Redaksi
: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK
Jl. Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
e-mail: [email protected]
Isi dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
___________________________________________________________________
KATA SAMBUTAN
Saya sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) sangat senang
dan bangga atas terbitnya Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2
Nomor 2 Desember 2010 ini yang merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009.
Dengan
terlaksananya kerjasama antara ISOI dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor maka Jurnal ITKT
dapat diterbitkan dan menjadi jurnal cetak sekaligus jurnal elektronik serta diharapkan
menjadi jurnal andalan ISOI.
Seperti disepakati bersama, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada
bulan Juni dan Desember setiap tahun. Dengan manajemen yang baik, diharapkan
Jurnal ITKT ini dapat terbit tepat waktu. Melalui mitra bebestari yang professional dan
ahli dalam bidangnya diharapkan mutu artikel (paper) yang terbit dalam Jurnal ITKT ini
memiliki mutu ilmiah yang tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan.
Semoga dalam waktu dekat, Jurnal ITKT ini dapat memperoleh akreditasi dari
Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
untuk menjaga dan meningkatkan mutu ilmiah dari jurnal ini.
Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Kementerian Pendidikan
Nasional yang telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini.
Penghargaan sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Pemimpin Redaksi, Mitra
Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras untuk dapat
menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya sebagai Ketua Umum ISOI
mengucapkan selamat atas terbitnya Jurnal ITKT Volume 2 Nomor 2 Desember 2010
ini. Semoga Jurnal ITKT ini dapat menjadi rujukan utama dalam bidang ilmu dan
teknologi kelautan serta bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia.
Jakarta, Desember 2010
Prof. Dr. Indroyono Susilo
Ketua Umum ISOI
KATA SAMBUTAN
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas bimbingan-Nya sehingga Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT) Volume 2 Nomor 2 Desember 2010 dapat
terbit. Jurnal ini merupakan pengembangan dari E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis yang sudah terbit semenjak Juni 2009 melalui kerjasama antara Ikatan Sarjana
Oseanologi Indonesia (ISOI) dengan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Seperti E-Jurnal ITKT, Jurnal ITKT akan terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan
Juni dan Desember setiap tahun dan diharapkan dapat terbit tepat waktu. Dengan mitra
bebestari yang professional dan ahli dalam bidangnya, diharapkan mutu paper dalam
Jurnal ITKT ini dapat ditingkatkan dan diharapkan dapat memperoleh akreditasi dari
Kementerian Pendidikan Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang
telah bersedia menyediakan dana untuk penerbitan Jurnal ini. Begitu juga kepada
Pemimpin Redaksi, Mitra Bebestari, dan Penyunting Pelaksana yang telah bekerja keras
untuk dapat menyelesaikan proses penerbitan Jurnal ini. Akhir kata, saya mengucapkan
selamat atas terbitnya Jurnal ITKT ini dan semoga Jurnal ini dapat digunakan sebagai
media diseminasi hasil-hasil penelitian dalam bidang ilmu dan teknologi kelautan serta
bidang perikanan tropis di Indonesia maupun di dunia.
Bogor, Desember 2010
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Volume 2 Nomor 2 ini dapat terbit.
Melalui seleksi dan review oleh tim reviewer (mitra bebestari), dari sejumlah
paper yang masuk sebanyak 11 (sebelas) paper dapat diterima dengan perbaikan untuk
diterbitkan pada edisi ini dengan judul sebagai berikut: (1) Pengaruh calsium dan fosfor
terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, kandungan mineral dan komposisi tubuh juvenil
ikan kerapu macan (epinephelus fuscoguttatus); (2) Identifikasi jenis ikan anemon
(amphiprioninae) dan anemon simbionnya di kepulauan spermonde, sulawesi selatan;
(3) Keragaan reproduksi ikan kerapu bebek (cromileptes altivelis) dari alam (f-0), induk
generasi pertama (f-1), dan induk generasi ke dua (f-2); (4) Pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu (plectropomus leopardus) dengan persentase pergantian air yang berbeda;
(5) Karakteristik senyawa bioaktif bakteri simbion moluska dengan gc-ms; (6)
Akumulasi logam berat pb, cu, dan zn di hutan mangrove muara angke, jakarta utara;
(7) Kajian stabilitas empat tipe kasko kapal pole and line; (8) Struktur komunitas ikan
pada padang lamun yang berbeda di pulau barrang lompo; (9) Distribusi foraminifera
bentik resen di laut Arafura; (10) Perencanaan waktu tetas telur ikan kerapu dengan
penggunaan suhu inkubasi yang berbeda; dan (11) Massa air subtropical di perairan
hamahera.
Semoga Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis ini dapat meningkatkan
diseminasi dan ketersediaan informasi akan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu dan
teknologi kelautan serta perikanan tropis.
Pemimpin Redaksi
ISSN Cetak
: 2087-9423
ISSN Elektronik : 2085-6695
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
DAFTAR ISI
PENGARUH CALSIUM DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN, EFISIENSI PAKAN, KANDUNGAN
MINERAL DAN KOMPOSISI TUBUH JUVENIL IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
(THE EFFECT OF CALCIUM AND PHOSPHOROUS ON GROWTH, FEED EFFICIENCY, MINERAL CONTENT AND
BODY COMPOSITION OF BROWN MARBLED GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus) JUVENILE)
Zainuddin ............................................................................................................................................................................... 1
IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON SIMBIONNYA DI KEPULAUAN
SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
(IDENTIFICATION OF ANEMONEFISHES (Amphiprioninae) AND THEIR SIMBIONT IN
SPERMONDE
ARCHIPELAGO, SOUTH SULAWESI)
Inayah Yasir, Syafiuddin, dan Sumarjito ............................................................................................................................ 10
KERAGAAN REPRODUKSI IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) DARI ALAM (F-0), INDUK
GENERASI PERTAMA (F-1), DAN INDUK GENERASI KE DUA (F-2)
(REPRODUCTION PERFORMANCE OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes altivelis)
FROM WILD
BROODSTOCK (F-0), FIRST GENERATION BROODSTOCK (F-1), AND SECOND GENERATION BROODSTOCK (F2))
Tridjoko .................................................................................................................................................................................. 17
PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE
PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA
(DIFFERENT PERCENTAGE OF WATER EXCHANGE ON GROWTH OF CORAL TROUT GROUPER FINGERLING
(Plectropomus leopardus))
Titiek Aslianti ......................................................................................................................................................................... 26
KARAKTERISTIK SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI SIMBION MOLUSKA DENGAN GC-MS
(CHARACTERISTIC BIOACTIVE COMPOUND OF THE MOLLUSC SYMBIOTIC BACTERIA BY USING GC-MC)
Delianis Pringgenies ............................................................................................................................................................... 34
AKUMULASI LOGAM BERAT PB, CU, DAN ZN DI HUTAN MANGROVE MUARA ANGKE, JAKARTA
UTARA
(ACCUMULATION OF HEAVY METALS PB, CU, AND ZN IN THE MANGROVE FOREST OF MUARA ANGKE,
NORTH JAKARTA)
Faisal Hamzah dan Agus Setiawan ....................................................................................................................................... 41
KAJIAN STABILITAS EMPAT TIPE KASKO KAPAL POLE AND LINE
(STABILITY ANALYSIS OF FOUR TYPES OF POLE AND LINER)
St. Aisyah Farhum ................................................................................................................................................................. 53
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PADA PADANG LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO
(FISH COMMUNITY STRUCTURE IN DIFFERENT SEAGRASS BEDS OF BARRANG LOMPO ISLAND)
Rohani Ambo Rappe .............................................................................................................................................................. 62
DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA
(THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN THE ARAFURA SEA)
Suhartati M. Natsir dan Rubiman ........................................................................................................................................ 74
PERENCANAAN WAKTU TETAS TELUR IKAN KERAPU DENGAN PENGGUNAAN SUHU INKUBASI
YANG BERBEDA
(PLANNING ON HATCHING TIME OF GROUPER EGGS THROUGH DIFFERENT INCUBATION TEMPERATURES)
Regina Melianawati, Philip Teguh Imanto, dan Made Suastika ..................................................................................... 83
MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HALMAHERA
(SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS)
Hadikusumah ......................................................................................................................................................................... 92
Pedoman Penulisan Naskah Artikel ..................................................................................................................................... 109
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 1-9, Desember 2010
PENGARUH CALSIUM DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN,
EFISIENSI PAKAN, KANDUNGAN MINERAL DAN KOMPOSISI TUBUH
JUVENIL IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
THE EFFECT OF CALCIUM AND PHOSPHOROUS ON GROWTH, FEED
EFFICIENCY, MINERAL CONTENT AND BODY COMPOSITION OF BROWN
MARBLED GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus) JUVENILE
Zainuddin
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Email: [email protected]
ABSTRACT
The objectives of this study were to know concentration of calcium (Ca) and posphorus
(P) in feed for growth, feed efficiency, proximate composition of the body and mineral
content of brown marbled grouper juvenile. The study was conducted in the Center for
Brackiswater Aquaculture Development, Takalar with randomized completed design 6 x
3 with the treatment of Ca and P supplement in feed i.e., (A) the supplement of 0 g/kg
Ca and 0 g/kg P, (B) the supplement of 6 g/kg Ca and 0 g/kg P, (C) the supplement of 0
g/kg Ca and 6 g/kg P, (D) the supplement of 6 g/kg Ca and 6 g/kg P, (E) the supplement
of 12 g/kg Ca and 6 g/kg P, and (F) the supplement of 18 g/kg Ca and 6 g/kg P. The
result showed that P supplement with doses of 6 g/kg and Ca of 0 g/kg in feed are
significantly affects on relative growth, feed efficiency, proximate composition and
mineral content of brown marbled grouper juvenile.
Keywords: growth, feed efficiency, proximate composition, brown marbled grouper
juvenile
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi calcium (Ca) dan fosfor (P)
dalam pakan terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat dan
kandungan mineral tubuh juvenil ikan kerapu macan. Penelitian dilakukan di Balai
Budidaya Air Payau Takalar. Penelitian dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap 6
x 3 dengan perlakuan penambahan Ca dan P dalam pakan. Perlakuan A : penambahan
Ca 0 g/kg pakan dan P 0 g/kg pakan, perlakuan B : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P
0 g/kg pakan, perlakuan C : penambahan Ca 0 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan,
perlakuan D : penambahan Ca 6 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan, perlakuan E :
penambahan Ca 12 g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan dan perlakuan F : penambahan Ca 18
g/kg pakan dan P 6 g/kg pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan P
sebesar 6 g/kg dan 0 g/kg ke dalam pakan secara nyata berpengaruh terhadap
pertumbuhan relatif, efisiensi pakan, kompisisi prosimat dan kandungan mineral tubuh
juvenil ikan kerapu macan.
Kata Kunci: pertumbuhan, efisiensi pakan, komposisi proksimat, juvenile ikan kerapu
macan
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
1
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
I. PENDAHULUAN
Calcium(Ca) dan phosphor (P)
merupakan makro mineral yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan pemeliharaan sistem skeleton
serta berpartisipasi dalam berbagai proses
fisiologis tubuh organisme. Kebutuhan
Ca pada ikan dipengaruhi oleh kimia air,
level P dalam pakan dan spesies (Lall,
2002). Hossain dan Furuichi (2000a, b,
c) melaporkan bahwa penambahan Ca
dalam pakan sangat diperlukan untuk
pertumbuhan ikan belanak merah,
Japanese flounder dan ikan scorpion.
Pada kebanyakan spesies ikan, defisiensi
P berakibat pada pertumbuhan yang
lambat, efisiensi pakan yang jelek,
mineralisasi
tulang
yang
buruk,
kandungan lipid tubuh yang tinggi serta
kadar abu yang rendah (Tacon, 1992;
Zainuddin et al., 2000; dan Lall, 2002).
Ca dan P merupakan mineral yang saling
sinergis (Zainuddin, 2001, 2004a) dan
dalam bentuk hydroxyapatite dalam
membentuk kristal-kristal tulang (Ye et
al., 2006).
Beberapa spesies ikan kerapu
sangat potensial dibudidayakan karena
pertumbuhannya cepat, konversi pakan
yang efisien dan nilai jualnya yang tinggi
(Millamena, 2002; Zainuddin et al.,
2004b). Sebagai contoh kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus) merupakan
salah satu jenis yang umum dibudidayakan di Indonesia (Zainuddin et al.,
2008). Penelitian tentang aspek nutrisi
ikan kerapu yang dilaporkan umumnya
pada komponen utama pakan diantaranya
kebutuhan protein (Shiau dan Lan, 1996),
karbohidrat (Shiau dan Lin, 2001) dan
kebutuhan lipid (Lin dan Shiau, 2003).
Informasi tentang kebutuhan mineral
bagi ikan kerapu sangat terbatas.
Penelitian Zhou et al. (2004) melaporkan kebutuhan P dalam pakan kerapu E.
coioides sebesar 0,86% dari total pakan,
serta Ye et al. (2006) melaporkan
2
penambahan Ca dan P masing-masing 6
g/kg pakan memberikan pertumbuhan
yang optimum pada spesies yang sama.
Namun demikian, penelitian kebutuhan
akan Ca dan P dalam pakan pada jenis
kerapu macan E. fuscoguttatus masih
sangat terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kadar Ca dan P dalam pakan
yang sesuai untuk pertumbuhan, efisiensi
pakan juvenil kerapu macan, komposisi
proksimat tubuh, morfometri dan
kandungan mineral tubuh juvenil kerapu
macan.
Manfaat yang dapat diperoleh dari
penelitian ini adalah diperolehnya informasi baru bagi pengembangan iptek
khususnya dalam bidang nutrisi dengan
penentuan komposisi pakan juvenil
kerapu macan yang tepat, akurat dan
efisien serta sebagai informasi baru bagi
industri/perusahaan pakan khususnya
pakan kerapu macan.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Tempat dan Waktu
Penelitian berlangsung dari Juli –
Nopember 2009 di Balai Budidaya Air
Payau Takalar.
2.2. Pakan uji
Pakan uji yang digunakan sebanyak
6 pakan dengan dua level P (dengan dan
tanpa penambahan P). Pakan uji merupakan pakan dengan formulasi sendiri
dengan formulasi pakan dasar seperti
yang disajikan pada Tabel 1.
Pakan A dan B tanpa penambahan
P, pakan C, D, E dan F dengan
penambahan P masing-masing 6 g/kg
(sumber P digunakan NaH2PO42H2O).
Kedalam masing-masing pakan
tersebut (A, B, C, D, E, dan F) masingmasing ditambahkan Ca berturut-turut
sebesar 0,0; 6,0; 0,0; 6,0; 12,0; dan 18,0
g/kg (Ca-carbonat sebagai sumber Ca)
(Tabel 2).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Tabel 1. Komposisi pakan dasar
Komposisi bahan
Tepung ikan
Tepung kedelai
Tepung jagung
Minyak jagung
Minyak ikan
Mineral mix tanpa Ca & P
Vitamin mix
Sellulosa
g/kg pakan kering
400
150
100
70
65
20
20
175
Tabel 2. Komposisi pakan uji setelah ditambahkan Ca dan P
Bahan pakan
Tepung ikan
Tepung kedelei
Tepung jagung
Minyak ikan
Minyak jagung
Mineral mix
Vitamin mix
Ca
P
Sellulosa
A
400
150
100
65
70
20
20
0
0
175
B
400
150
100
65
70
20
20
6
0
169
Semua bahan kering yang digunakan ditimbang dan dicampur dalam mixer
selama 15 menit, minyak ikan dan
minyak jagung ditambahkan ke dalam
mixer lalu diaduk selama 15 menit.
Selanjutnya ditambahkan air sebanyak
250 mL/kg pakan kering dan diaduk
selama 15 menit. Selanjutnya dibuat
pakan dalam bentuk semimoist. Pakan ini
disimpan dalam lemari pendingin pada
suhu –20oC sebelum digunakan.
Setelah analisis proksimat diperoleh komposisi nutrisi pakan uji seperti
yang disajikan pada Tabel 3.
2.3. Prosedur penelitian
Juvenil kerapu macan E. fuscoguttatus diperoleh dari pendederan Balai
Budidaya Air Payau Takalar. Jumlah
juvenil yang disiapkan sebanyak 300
ekor dengan panjang rata-rata 12 cm dan
Pakan uji (g/kg pakan)
C
D
E
400
400
400
150
150
150
100
100
100
65
65
65
70
70
70
20
20
20
20
20
20
0
6
12
6
6
6
169
163
157
F
400
150
100
65
70
20
20
18
6
151
bobot rata-rata 40 g/ekor. Juvenil-juvenil
ini diadaptasikan di dalam bak-bak
berkapasitas 5 ton pada kondisi
lingkungan suhu 31oC dan salinitas 30
ppt. Selama masa adaptasi ikan uji diberi
pakan uji A (pakan tanpa penambahan Ca
dan P) hingga juvenil terbiasa memakan
pakan buatan secara total. Aklimatisasi
dilakukan selama 3 hari supaya P yang
terdeposit masih sangat rendah.
Juvenil yang telah diaklimatisasi
dan diseleksi menurut ukuran panjang
dan bobot yang relatif sama ditebar
secara acak ke dalam 18 buah ember
plastik berkapasitas 80 L. Setiap wadah
diisi juvenil sebanyak 5 ekor dengan
panjang tubuh rata-rata 12 ± 0,3 cm dan
bobot rata-rata 40 ± 0,85 g per ekor. Air
yang digunakan adalah air laut yang telah
disaring dengan salinitas 30 ± 0,5 ppt.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
3
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
Tabel 3. Komposisi nutrisi pakan uji
Komposisi (%)
Protein Lemak Serat
BETN
Kadar
Ca
P
kasar
kasar
kasar
Abu
A
41,31
22,83
2,11
16,19
17,56
2,44
1,36
B
40,96
23,11
2,32
15,79
17,83
2,99
1,70
C
41,12
22,97
2,08
15,73
18,10
3,18
1,86
D
41,28
23,04
2,18
15,37
18,13
3,58
1,89
E
40,88
22,86
2,29
16,14
17,83
3,68
1,91
F
41,42
23,19
2,13
15,30
17,96
3,79
1,94
Ket. Hasil analisis Lab. Kimia Makanan Ternak, Fak. Peternakan Unhas,2009
Pakan
Cahaya alami digunakan selama
pemeliharaan.Pemberian pakan dilakukan
secara satiasi (kenyang) yang diberikan
dua kali perhari yakni pukul 09.00 dan
16.00 selama 8 minggu.
1. Pertumbuhan bobot, WG =
100x
2.4. Sampling dan metode analisa
Pada awal percobaan, sebanyak 5
ekor juvenil diambil secara acak untuk
analisa awal komposisi tubuh.Pada akhir
penelitian (hari ke-60 pemeliharaan), 5
ekor juvenil diambil secara acak dari
setiap tangki untuk analisa komposisi
tubuh. Kandungan mineral pada pakan
dan tubuh juvenil ikan diukur dengan
menggunakan plasma atomic emission
spectrophotometer.
Kadar air, protein
kasar, lemak kasar dari pakan uji, dan
tubuh ikan diukur dengan metode standar
(AOAC, 1984). Kadar air diukur melalui
pengeringan dalam oven pada 105oC
selama 24 jam; protein kasar dianalisa
dengan metode Kjeldahl; lemak kasar
dianalisa dengan metode ekstraksi ether
melalui system Soxlec. Analisa kadar
abu dilakukan dengan pengabuan pada
suhu 550oC selama 24 jam dalam muffle
furnace.
3. Kandungan mineral Ca dan P pada
tubuh
4. Komposisi proksimat tubuh yang diuji
pada seluruh tubuh
5. Morfometri meliputi:
a. Faktor kondisi,
CF = 100x
2.5. Parameter uji
Paramater yang akan diuji dalam
penelitian ini sama dengan yang
dilakukan oleh Ye et al. (2006) sebagai
berikut:
4
2. Efisiensi pakan, FE =
100%
b. Indeks somatic organ dalam,
VSI = 100x
2.6. Rancangan Perlakuan
Adapun perlakuan yang diterapkan
dalam penelitian ini adalah penambahan
Ca dan P dalam pakan masing-masing
sebagai berikut:
Perlakuan A: penambahan Ca 0 g/kg
pakan dan P 0 g/kg pakan,
Perlakuan B: penambahan Ca 6 g/kg
pakan dan P 0 g/kg pakan,
Perlakuan C: penambahan Ca 0 g/kg
pakan dan P 6 g/kg pakan,
Perlakuan D: penambahan Ca 6 g/kg
pakan dan P 6 g/kg pakan,
Perlakuan E: penambahan Ca 12 g/kg
pakan dan P 6 g/kg pakan, dan
Perlakuan F: penambahan Ca 18 g/kg
pakan dan P 6 g/kg pakan
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Setiap perlakuan diberi ulangan
sebanyak 3 kali sehingga terdapat 18
satuan percobaan.Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap (RAL).
2.7. Analisis Statistik
Seluruh data dipresentasikan secara
rata-rata dan dianalisis varians satu arah
(SPSS for Windows ver 11,5) untuk
menguji perbedaan antara perlakuan.
Jika terdapat pengaruh perlakuan
terhadap parameter uji, maka dilanjutkan
dengan uji beda nilai tengah BNT pada
taraf kepercayaan 5%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pertumbuhan Bobot Relatif dan
Efisiensi Pakan
Data hasil pertumbuhan bobot
relatif dan efisiensi pakan juvenil ikan
kerapu macan selama pemeliharaan
disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan
bahwa rata-rata pertumbuhan bobot
relatifjuvenil kerapu macan tertinggi
diperoleh pada perlakuan C sebesar
66,25% diikuti oleh perlakuan F 65,25%,
perlakuan B 65,00%, perlakuan E
52,00%, perlakuan D 44,75%
dan
terendah pada perlakuan A sebesar
42,25%. Sementara itu, efisiensi pakan
tertinggi diperoleh pada perlakuan C
sebesar 12.30% diikuti perlakuan B
11.30%, perlakuan F 10.61%, perlakuan
E 8.88%, perlakuan D 7.88% dan
terendah pada perlakuan A sebesar
7.70%. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pertumbuhan bobot dan efisiensi
pakan juvenile yang tidak ditambahkan
Ca dan P dalam pakannya (perlakuan A)
secara
signifikan
lebih
rendah
dibandingkan dengan perlakuan lainnya
yang di dalam pakannya ditambahkan Ca
dan P. Hal ini disebabkan karena pakan
A (tanpa Ca dan P) mengakibatkan
juvenile ikan kerapu macan mengalami
defisiensi terhadap Ca dan P. Defisiensi
terhadap Ca dan P tidak hanya
mengakibatkan
pertumbuhan
yang
terhambat tetapi efisiensi pakan juga
jelek serta dalam jangka panjang ikan
akan mengalami malformation (Steffens,
1989).
Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan C (penambahan P 6g/kg)
menyebabkan pertambahan bobot dan
efisiensi secara nyata signifikan (P<0,05)
lebih
tinggi
dibandingkan
tanpa
penambahan P. Hal ini menunjukkan
bahwa pada pakan uji dengan
penambahan P sebesar 6g/kg telah
mencukupi kebutuhan juvenile sehingga
Tabel 4. Pertumbuhan bobot relatif dan efisiensi pakanjuvenil kerapu macan pada
semua perlakuan
Perlakuan Penambahan
Rerata Pertumbuhan
Efisiensi Pakan
Ca dan P dalam pakan
bobot relatif
(%)
(g/kg pakan)
(%)
A (0 Ca, 0 P)
42,25±5,303a
7.70±1,041a
b
B (6 Ca, 0 P)
65,00±4,419
11.30±0,352bc
C (0 Ca, 6 P)
66,25±1,767bc
12.30±0,288b
a
D (6 Ca, 6 P)
44,75±0,353
7.88±0,354a
E (12 Ca, 6 P)
52,00±9,899acd
8.88±1,346ac
bd
F (18 Ca, 6 P)
65,25±9,545
10.61±1,823bc
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada kolom yang sama
menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
5
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
dapat bertumbuh dengan baik. Demikian
pula halnya dengan kondisi lingkungan
pemeliharaan yang sesuai dengan
pertumbuhan dan efisiensi pakan juvenile
kerapu
macan.
Selama
masa
pemeliharaan
kondisi
lingkungan
meliputi oksigen terlarut sebesar 4,5 ±
0,15 ppm, suhu 31 ± 0,5 oC, salinitas 30
± 0,5 ppt dan pH 8 ± 0,5. Kondisi
lingkungan seperti ini sangat mendukung
kelangsungan hidup organisme budidaya.
Sebagai perbandingan dengan peneliti
lain yang menunjukkan
terjadinya
pertumbuhan yang lambat dan efisiensi
pakan yang rendah akibat defisiensi P
pada ikan sea bass Eropa (Oliva-Teles
and Pimentel-Rodrigues, 2004), dan
haddock (Roy and Lall, 2003).
3.2. Komposisi Proksimat Tubuh dan
Morfometri
Komposisi proksimat tubuh juvenil
kerapu macan yang diberi pakan dengan
kandungan Ca dan P yang berbeda
disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pakan uji tanpa
penambahan Ca dan P memiliki
kandungan lemak tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Kandungan
lemak tubuh semakin menurun seiring
dengan peningkatan level penambahan
Ca dan P ke dalam pakan meskipun tidak
berbeda secara signifikan. Menurunnya
kandungan lemak ini sebagai respon
terhadap peningkatan jumlah P yang ada
di dalam pakan dan hal ini terlihat pada
setiap perlakuan penambahan Ca dan P di
dalam pakan. Pakan uji tanpa penambahan P menyebabkan kadar abu pada
tubuh lebih rendah, demikian pula halnya
dengan kandungan BETN (Bahan
Ekstraks Tanpa Nitrogen) meskipun
keduanya tidak berbeda secara signifikan.
Hal ini disebabkan karena fungsi P dalam
pembentukan tulang sangat signifikan.
Dalam proses mineralisasi tulang Ca dan
P memiliki peran yang penting karena
6
sekitar 80 – 90% unsur tulang tersusun
dari Ca, P dan Mg.
Pakan uji tanpa penambahan P
menyebabkan faktor kondisi, indeks
somatic organ dalam dan kandungan
lemak tubuh tinggi. Hasil yang sama
diperoleh pada penelitian-penelitian
sebelumnya (Skonberg et al., 1997;
Zainuddin dkk. 2000; Vielma et al.,
2002; Roy dan Lall, 2003). Akumulasi
lemak dalam tubuh sebagai dampak dari
defisiensi P berhubungan dengan
perubahan metabolisme intermedier yang
lebih cepat dari pakan yang dikonsumsi
(Vielma et al., 2002). Dengan demikian
deposit lemak akan berlangsung lebih
cepat jika pakan kekurangan atau
defisiensi P. Berdasarkan penelitian ini,
konsumsi pakan pada perlakuan tanpa
penambahan P juvenil mengkonsumsi
pakan lebih sedikit. Hal ini membuktikan
bahwa akumulasi lipid tidak berhubungan dengan banyaknya pakan yang
dimakan.
3.3. Kadar Abu dan Kandungan Ca
dan P pada Tulang
Kadar abu dan kandungan mineral
pada tulang belakang juvenil kerapu
macan disajikan pada Tabel 6.
Hasil penelitian menunjukkan
kadar abu, kandungan Ca dan P pada
tulang ikan kerapu macan secara
signifikan (P<0,05) lebih rendah pada
pakan uji tanpa penambahan P. Kecuali
perlakuan A, semua perlakuan lainnya
mengalami peningkatan kadar abu tulang
juvenil ikan kerapu macan. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan Ca dan
P
berpengaruh
positif
terhadap
peningkatan kadar abu tulang. Demikian
pula halnya dengan kandungan Ca dan P
pada tulang menunjukkan peningkatan
yang signifikan pada semua perlakuan
penambahan Ca dan P dibandingkan
dengan perlakuan tanpa penambahan Ca
dan P (Tabel 7). Hal ini mempertegas
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Tabel 5 Komposisi tubuh dan morfometri juvenil kerapu macan yang diberi pakan
dengan kandungan Ca dan P yang berbeda
Komposisi
(%)
Tubuh
Protein
Lemak
Sera kasar
BETN
Kadar Abu
Morfometri
CF (g/cm3)
VSI
Awal
Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan (g/kg pakan)
A
B
C
D
E
F
76.02
8.04
5.51
1.98
8.45
79.75
7.44
1.95
2.16
8.71
79.27
6.65
1.27
2.60
10.21
78.21
6.90
2.75
2.69
9.46
78.06
6.56
2.30
2.88
10.21
79.63
6.42
1.79
2.22
9.95
77.73
6.42
3.32
3.32
10.06
2,30
3.18
2.34
4.09
2.29
3.21
2.27
4.23
2.55
4.22
2,42
3.93
2,57
4.65
Ket. Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05); CF = faktor kondisi; VSI = indeks
somatic organ dalam; BETN = Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
Tabel 6. Kadar abu dan kandungan mineral pada tulang juvenil kerapu macan pada
semua perlakuan
Perlakuan Penambahan Ca dan P dalam pakan (g/kg pakan)
Konsentrasi
Awal
(%)
A
B
C
D
E
F
a
b
b
b
b
Kadar Abu 31.18 26.44
32.94
31.50
31.11
32.27
31.55b
a
b
b
b
b
Ca
10.39 8.96
10.96
10.92
10.67
11.17
11.04b
P
5.02
5.10a
6.44b
6.16b
6.23b
6.57b
6.43b
Ket. Huruf superscript yang berbeda dibelakang angka pada baris yang sama
menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
bahwa P sangat dibutuhkan dalam proses
mineralisasi tulang, karena 80 – 90%
tulang tersusun oleh P, selain Ca dan Mg.
Hasil yang sama pada penelitian Roy
dan Lall (2003) yang melaporkan
penggunaan pakan tanpa penambahan P
menyebabkan kadar abu, Ca dan P secara
nyata lebih rendah pada tulang dan
operculum ikan haddock.
Penambahan Ca dalam pakan
berpengaruh signifikan terhadap kadar
abu, Ca dan P tulang pada dua level P
yang berbeda.
Ketika pakan tidak
ditambahkan dengan P, penambahan Ca
pada pakan basal memberikan pengaruh
yang sama terhadap kadar abu, Ca dan P
tulang. Hal ini menunjukkan bahwa jika
P tidak tersedia maka penambahan Ca
juga tidak akan mampu memperbaiki
proses mineralisasi tulang atau deposit
Ca dan P. Ca dan P merupakan mineral
yang saling sinergis (Zainuddin dkk.
2000). Penelitian yang menunjukkan
hasil yang sama telah dilakukan
diantaranya pada ikan black sea bream
(Hossain and Furuichi, 1999) dan atlantic
salmon (Vielma and Lall, 1998a).
Lebih lanjut hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penambahan Ca di
atas 12 g/kg pakan akan menurunkan
kadar abu, Ca dan P tulang. Hasil
penelitian serupa pada kerapu batik (Ye
et al., 2006). Porn-Ngam et al. (1993)
melaporkan bahwa absorbsi P dapat
terhalang akibat adanya peningkatan Ca
dalam pakan. Hal ini terjadi karena pada
ikan laut mampu menyerap lebih banyak
Ca dari lingkungannya. Akan tetapi,
penelitian Vielma and Lall (1998a)
menunjukkan bahwa penambahan Ca
dalam pakan tidak memberikan dampak
negatif terhadap kadar abu, Ca dan P
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
7
Pengaruh Calsium dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Pakan...
tulang ketika P juga ditambahkan.
Berbeda halnya di perairan tawar yang
membutuhkan Ca lebih tinggi di dalam
pakannya. Hal ini bisa saja terjadi karena
kondisi media air tawar dan air laut yang
digunakan berbeda, dimana diketahui
bahwa kandungan Ca pada air laut jauh
lebih banyak dibandingkan pada air
tawar.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan Pertumbuhan bobot
relatif,efisiensi
pakan,
komposisi
proksimat tubuh dan kandungan mineral
tubuh juvenil ikan kerapu macan secara
signifikan mengalami perubahan setelah
ditambahkan Ca dan P di dalam
pakannya.
Perlakuan terbaik dari
penelitian ini adalah penambahan P
sebesar 6g/kg pakan dan Ca 0g/kg ke
dalam pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 1999.
Necessity of dietary calcium
supplement in black sea bream.
Fish. Sci., 65:893-897.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000a.
Essentiality of dietary calcium
supplement in redlip mullet Liza
haematocheila. Aquac. Nutr., 6:33–
38.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000b.
Necessity of calcium supplement to
the diet of Japanese flounder. Fish.
Sci., 66:660–664.
Hossain, M.A., and M. Furuichi. 2000c.
Essentiality of dietary calcium
supplement in fingerling scorpion
fish (Sebastiscus marmoratus).
Aquaculture, 189:155–163.
Lall, S.P. 2002. The minerals. In: Halver,
J.E., Hardy, R.W. (Eds.), Fish
Nutrition, 3rd ed. Academic Press,
San Diego, CA, 259–308pp.
8
Lin, Y.H. and S.Y. Shiau. 2003. Dietary
lipid requirement of grouper,
Epinephelus malabaricus, and
effects on immune responses.
Aquaculture, 225:243–250.
Millamena, O.M. 2002. Replacement of
fish meal by animal byproduct
meals in a practical diet for growout culture of grouper Epinephelus
coioides. Aqua-culture, 204:75–84.
Oliva-Teles, A. and A. PimentelRodrigues. 2004. Phosphorous
requirement of European sea bass
(Dicentrarchus
labrax
L.)
juveniles. Aquac. Res., 35:636-642.
Porn-Ngam, N., S. Satoh, T. Takeuchi,
and T. Watanabe. 1993. Effect of
the ratio of phosphorous to calcium
on zinc availability to rainbow trout
in high phosphorous diet. Nippon
Suisan Gakkaishi, 59:2065-2070
Roy, P.K. and S.P. Lall. 2003. Dietary
phosphorous
requirement
of
juvenile haddock (Melanogrammus aeglefinus L.). Aquaculture,
221:451-468.
Shiau, S.Y. and C.W. Lan. 1996.
Optimum dietary protein level and
proteinto energy ratio for growth of
grouper (Epinephelus malabaricus). Aquaculture, 145: 259–266.
Shiau, S.Y. and Y.H. Lin. 2001.
Carbohydrate utilization and its
proteinsparing effect in diets for
grouper, Epinephelus malabaricus.
Anim. Sci., 73:299–304.
Skonberg, D.I., L. Yogev, R.W. Hardy,
and F.M. Dong. 1997. Metabolic
response to dietary phosphorous
intake
in
rainbow
trout
(Oncorhynchus mykiss). Aquaculture, 157:11-24.
Steffens, W. 1989. Principles of fish
nutrition. John Wiley & Sons. New
York.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Zainuddin
Suderajad, P. 2003. Pengaruh penambahan kalsium dalam pakan
terhadap pertumbuhan dan sintasan
juvenil ikan bandeng (Chanos
chanos). Skripsi. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Tacon, A.G. 1992. Nutritional fish
pathology. Morphological signs of
nutrient deficiency and toxicity in
farmed fish. FAO Fisheries
Technical Paper, vol. 330. FAO,
Rome, Italy. 75 pp.
Vielma, J. and S.P. Lall. 1998a.
Phosphorus utilization by Atlantic
salmon (Salmo salar) reared in
freshwater is not influenced by
higher dietary calcium intake.
Aquaculture, 160:117–128.
Vielma, J. and S.P. Lall. 1998b. Control
of phosphorous homeostasis of
Antalantic salmon (Salmo salar) in
fresh
water.
Fish
Physiol.
Biochem., 19:83-93.
Vielma, J., J. Koskela, and K. Ruohonen.
2002. Growth, bone mineralizeation, and heat and low oxygen
toelance in European whitefish
(Coregonus lavaretus L.) fed with
graded levels of phosphorous.
Aquaculture, 212:321-333.
Ye, C.X., Y. Liu, L. Tian, K. Mai, Z.
Y. Du, H. Yang, and J. Niu. 2006.
Effect of dietary calcium and
phosphorus on growth, feed
efficiency, mineral content and
body composition of juvenil
grouper, Epinephelus coioides.
Aquaculture, 255:263–271
Zainuddin, I. Mokoginta, R. Affandi, dan
D. Yusadi. 2000.
Kadar Fosfor
Optimum dalam Pakan Benih Ikan
Jambal Siam (Pangasius sutchi
Fowler), Hayati, 7(2):41-44.
Zainuddin. 2001. Pengaruh Pemberian
Mineral Fosfor dalam Pakan
terhadap
Pertumbuhan
dan
Kelangsungan
Hidup
Juvenil
Udang Windu (Penaeus monodon), Lembaga Penelitian, Universitas Hasanuddin. Makassar.
Zainuddin. 2004a. Pengaruh CalsiumFosfor Dengan Rasio Berbeda
Terhadap
Pertumbuhan
dan
Efisiensi Pakan Udang Windu
(Penaeus Monodon Fabr.). Lembaga Penelitian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Zainuddin, A. Niartiningsih, Arifin, dan
Supriadi. 2004. Pembesaran ikan
kerapu
macan
(Epinephelus
fuscoguttatus) dalam Karamba
Jaring Apung. Adaptive Research
and Extention.
Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
(MCRMP) Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan.
Zainuddin, M.N. Nessa, M.I. Djawad,
dan D. Dh. Trijuno. 2008. Deposit
glikogen juvenil ikan kerapu macan
(Epinephelus fuscogu-ttatus) pada
frekeunsi pemberian pakan yang
berbeda. Torani,18(2):179–186.
Zhou, Q.C., Y.J. Liu, K.S. Mai, and L.X.
Tian. 2004. Effect of dietary
phosphorus level on growth, body
composition, muscle and bonemineral concentrations for orangespotted
grouper
Epinephelus
coioides reared in floating cages. J.
World Aquac. Soc., 35:427–435.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
9
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 10-16, Desember 2010
IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON
SIMBIONNYA DI KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
IDENTIFICATION OF ANEMONEFISHES (Amphiprioninae) AND THEIR
SIMBIONT IN SPERMONDE ARCHIPELAGO, SOUTH SULAWESI
Inayah Yasir, Syafiuddin, dan Sumarjito
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasauddin
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar-90245
email: [email protected]
ABSTRACT
The study was conducted in June 2009 around the waters of Samalona, Barranglompo,
Koedingareng Keke, Badi, Langkai and Kapoposang islands, representing four zones of
Spermonde Archipelago of South Sulawesi. Seven species of anemonefish from two
genera were found living symbiotically with 7 species of sea anemones. Those fishes
were Amphiprion clarkii, A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion,
A. polymnus and Premnas biaculeatus. Three of these fishes were simbiotically found
with one species of anemone (specific symbiont), and one species of fish was
symbiotically found with five species of anemones.
Keywords: Amphiprioninae, Spermonde Archipelago, anemone symbiont
ABSTRAK
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 di perairan pulau Samalona, P.
Barranglompo, P. Koedingareng Keke, P. Badi, P. Langkai dan P. Kapoposang yang
mewakili empat zona perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Pada penelitian
ini ditemukan 7 jenis ikan giru yang berasal dari 2 genera dan hidup bersimbiosis
dengan 7 jenis anemon laut. Ketujuh jenis ikan giru tersebut adalah Amphiprion clarkii,
A. melanopus, A. ocellaris, A. sandaracinos, A. perideraion, A. polymnus dan Premnas
biaculeatus. Tiga diantara ikan giru ini ditemukan bersimbiosis hanya dengan 1 jenis
anemon saja (simbion spesifik), sedangkan 1 jenis lainnya ditemukan bersimbiosis
dengan 5 jenis anemon.
Kata Kunci: Amphiprioninae, Kepulauan Spermode, anemon
I. PENDAHULUAN
Ikan merupakan organisme yang
jumlah biomassanya terbesar dan juga
organisme besar yang mencolok yang
dapat ditemui di ekosistem terumbu
karang. Banyaknya celah dan lubang
yang terdapat di daerah terumbu karang
memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan
invertebrata yang berada disekitarnya
(Nybakken dan Bertness, 2004). Lebih
dari 4000 species ikan (atau sekitar 18%
10
dari jumlah species ikan yang ada di
seluruh dunia) dapat ditemukan di daerah
terumbu karang. Umumnya ikan-ikan
yang hidup di daerah terumbu karang ini
berukuran kecil dan menetap sepanjang
hidupnya di daerah tersebut. Salah satu
jenis ikan karang yang hidup di daerah
terumbu karang adalah ikan-ikan dari
Familia
Pomacentridae,
subfamilia
Amphiprioninae.
Semua ikan dalam subfamilia
Amphiprioninae hidup bersimbiosis
dengan anemon laut (Dunn, 1981; Fautin,
1991) dalam hubungan simbiosis
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Yasir et al.
mutualisme (Fautin dan Allen, 1992)
sehingga kelompok ikan ini juga dikenal
sebagai ikan anemon (anemonefish).
Pola warnanya yang indah, kemampuannya untuk hidup dalam akuarium dan
hubungan simbiosis yang menarik
dengan anemon membuat ikan ini sangat
diminati oleh pencinta ikan hias laut
(Fautin dan Allen, 1997).
Akibat
kepopularannya, ikan anemon dijuluki
juga ‘ikan mas’ akuarium air laut (Hoff,
1996).
Kepulauan Spermonde,yang oleh
masyarakat di kepulauan ini dikenal
dengan nama Pulau-pulau Sangkarang,
adalah gugusan pulau-pulau yang terletak
di pesisir barat daya Pulau Sulawesi.
Mata pencaharian utama penduduk di
Kepulauan Spermonde adalah sebagai
nelayan yang memanfaatkan sumberdaya
wilayah pesisir. Menurunnya hasil tangkapan ikan di daerah sekitar Kepulauan
Spermonde memaksa hanya nelayan
dengan modal menengah hingga besar
yang dapat tetap melaut, sedangkan yang
hanya bermodalkan perahu kecil tanpa
motor harus mencari sekitar pulau saja.
Alternatif lain muncul seiring dengan
meningkatnya jumlah pemelihara ikan
hias air laut di seluruh dunia (Ziemann,
2001).
Permintaan yang meningkat
akhirnya berdampak juga terhadap ikanikan terumbu karang yang tadinya tidak
dieksploitasi karena tidak dikonsumsi.
Ikan-ikan anemon termasuk yang
paling terkena imbas dari trend ini,
karena permintaan dunia yang memang
tinggi untuk kelompok ikan ini (Wood,
2001; Wabnitz, 2003). Selain itu, ketergantungannya terhadap anemon membuat
ikan ini mudah untuk ditangkapi karena
di alam ikan ini tidak pernah jauh
meninggalkan
anemon
simbionnya.
Meskipun telah dikenal dan dieksploitasi
untuk keperluan ekspor, belum ada data
akurat tentang jenis ikan anemon yang
dapat ditemukan di pulau-pulau Kepulauan Spermonde.
Diketahui di dunia terdapat 28 jenis
ikan anemone dari 2 genera yaitu genus
Amphiprion dengan 27 species dan genus
Premnas dengan 1 species (Allen, 1991)
yang tersebar di seluruh dunia. Menurut
Allen (1991) di Indonesia ditemukan 9
species yaitu Amphiprion akallopsis, A.
clarkii, A. ephippium, A. frenatus, A.
melanopus, A. ocellaris, A. periderion, A.
polymnus, A. sebae, dan A. sandaracinos,
lalau oleh Kuiter dan Tonozuka (2001)
ditambahkan dengan A. percula.
Semua ikan anemon hidup bersimbiosis mutualistik dengan anemon
tertentu (Allen, 1991). Dalam simbiosis
ini, ikan mendapat proteksi dan memakan
material non-metabolik yang dikeluarkan
oleh anemon. Di sisi lain, anemon
‘dibersihkan’ dan dilindungi dari predator oleh ikan simbionnya (Randall dan
Fautin, 2002).
Upaya identifikasi suatu organisme
diperlukan dalam pengenalan jenis berdasarkan sifat-sifat morfologi, anatomi,
bahkan perilaku organisme tersebut.
Identifikasi didasarkan pada karak-ter
fisik dari bagian-bagian tubuh. Untuk
ikan kelompok Amphiprioninae, karakter
yang umum digunakan adalah perpaduan
antara penggunaan karakter morfometrik,
meristik dan pola pewarnaan tubuh
(Allen, 1991).
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juni sampai bulan Agustus 2009 pada 4
zona Kepulauan Spermonde yang berada
dalam kawasan pemerintahan Provinsi
Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel
dilakukan pada tanggal 6 hingga 10 Juni
2009. Untuk zona 1 diwakili oleh Pulau
Samalona, zona 2 diwakili oleh P.
Barrang lompo dan P. Koedingareng
Keke sedangkan zona 3 diwakili oleh P.
Badi. Pulau Kapoposang dan P. Langkai
adalah pulau-pulau yang mewakili zona 4
(Gambar 1). Sampling dilakukan dengan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
11
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
cara menyelam menggunakan peralatan
selam hingga kedalaman 25 meter. Satu
pulau pengamatan dibagi ke dalam 4
daerah untuk memudahkan sampling.
Sampling dimulai dengan langsung turun
ke kedalaman 25 meter sebagai posisi
awal (starting point), lalu bergerak ke
satu arah hingga batas daerah sampling.
Sampling dilanjutkan dengan berbalik ke
arah diagonal mengikuti kontur perairan
naik ke kedalaman 15 meter. Lanjut lagi
dengan cara yang sama ke kedalaman 5
meter dst.
Ikan anemon yang ditemukan
diamati pola warna tubuh dan kecenderungan bentuk tubuh. Pola warna ikan
yang ditemukan kemudian dibandingkan
dengan pola warna ikan pada gambar
yang dibawa serta. Setelah proses identifikasi visual selesai, ikan kemudian
diambil gambarnya. Bila identifikasi
dengan pola warna masih meragukan, 2
ekor dari kelompok tersebut kemudian
ditangkap dengan menggunakan serok
lalu dipasangi label dan dimasukkan ke
dalam tas jaring untuk kemudian
diadakan
identifikasi
lanjutan
di
laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan
12
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Yasir et al.
Untuk identifikasi jenis, anemon
yang berasosiasi dengan ikan giru dicatat
lalu diambil gambarnya sebagai bahan
re-check nantinya untuk keperluan
identifikasi di laboratorium. Pengukuran
diameter anemon kemudian dilakukan
lalu dilanjutkan dengan menghitung
jumlah ikan yang ada dalam kelompok
itu. Data penunjang lainnya termasuk
organisme lain yang ikut menghuni
anemon (bila ada), kondisi ikan
Amphiprion (bertelur atau tidak) dan
kondisi ekologi sekitar anemon juga
dicatat dan diamati.
Ikan yang identifikasi lapangannya
dianggap meragukan, ditangkap untuk
kemudian diidentifikasi lebih lanjut di
laboratorium biologi laut dengan meng-
gunakan kombinasi metode morfometrik
dan meristik (Allen, 1991).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di lokasi penelitian ditemukan
tujuh jenis dari dua genera dari
subfamilia Amphiprioninae, yaitu Amphiprion clarkii, A.melanopus, A. ocellaris,
A. perideraion, A. polymnus, A. sandaracinos dan Premnas biaculeatus.
Ketujuh jenis Amphioprioninae yang
ditemukan di lokasi penelitian dapat
ditemukan di semua pulau lokasi
penelitian yang masuk pada zona 1, 2 dan
3, namun pada zona 4, hanya ada 5 jenis
yang ditemukan (Tabel 1).
Tabel 1. Penyebaran Amphiprioninae berdasarkan zona di Kepulauan Spermonde
Zona
Pulau
1
Samalona
2
Kodingareng Keke
dan Barrang
Lompo
3
Pulau Badi
4
Kapoposang &
Langkai
Jenis Amphiprioninae
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion melanopus
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Amphiprion sandaracinos
Premnas biaculeatus
Amphiprion clarkii
Amphiprion ocellaris
Amphiprion perideraion
Amphiprion polymnus
Premnas biaculeatus
Kedalaman (m)
1-10
1-10
1- 10
1- 10
16
1- 2
1- 10
1- 19
6
1- 13
1- 12
23
2
1- 15
1-19
4-6
4- 11
1- 15
9
3- 9
2- 12
3-11
5 -15
4-29
4-14
5-11
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
13
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
Pada zona 1, zona 2 dan zona 3
ditemukan Amphiprion clarkii, A.
melanopus, A. ocellaris, A. Polymnus, A.
Sandaracinos, A. perideraion dan
Premnas biaculeatus. Pada Zona 4 yang
merupakan zona terluar, hanya 5 jenis
Amphiprioninae yang ditemukan tanpa A.
sandaracinos dan A. melanopus. Pola
penyebaran yang tidak merata pada
kelompok ikan kemungkinan besar
disebabkan oleh kondisi lingkungan
pulau,
seperti
gelombang,
arus,
kedalaman perairan dan kompleksitas
terumbu karang pada masing-masing
zona. Pada zona 1, 2 dan 3, kontur
kedalaman terumbu sekeliling pulau
berupa reef flat yang dilanjutkan dengan
reef slope. Kompleksitas terumbu karang
yang relatif bagus dan beragam jenisnya
di
hampir
semua
sisi
pulau
memungkinkan beragam anemon hidup
yang pada akhirnya menyediakan tempat
berlindung bagi ikan Amphiprioninae
(Allen, 1998). Zona-zona ini relatif
berbeda dibandingkan dengan zona 4
dengan areal yang cenderung sempit, dan
keberagaman kondisi terumbunya yang
kurang. Beberapa bagian pulau yang
berupa drop off dengan kondisi arus yang
cukup kuat kemungkinan besar menjadi
kendala bagi anemon simbion ikan
Amphiprioninae untuk hidup.
Keberadaan jenis anemon juga
turut mempengaruhi sebaran ikan
Amphiprioninae (Allen, 1972 dan Dunn,
1981). Jenis dan jumlah anemon yang
ditemukan di setiap pulau pada zona 1, 2
dan 3 cukup banyak bila dibandingkan
dengan jenis dan jumlah anemon yang
ditemukan di pulau-pulau yang mewakili
zona 4. Adanya beberapa jenis ikan
Amphiprioninae yang anemon simbionnya spesifik seperti A. sandaracinos yang
hanya berasosiasi dengan Stichodactyla
mertensii dan Premnas biaculeatus
dengan Entacmaea quadricolor (Allen,
1991), membuat penyebarannya tidak
14
merata.A. clarkiiditemukan di setiap zona
penelitian karena mampu menerima
berbagai
jenis
anemon
sebagai
simbionnya. Dengan kata lain, jenis ini
tidak memiliki 'host' yang spesifik (Allen,
1991; Dunn, 1981).
Jenis anemon yang berbeda
mempunyai jenis toksin yang berbeda
pula, sehingga beberapa anemon
memiliki toksin yang lebih kuat daya
racunnya dibandingkan dengan jenis
yang lain (Mebs, 1994).
Di lokasi
penelitian ditemukan A. clarkii yang
mampu bersimbiosis dengan 5 (lima)
jenis anemon yaitu Stichodactyla
mertensii, S. gigantea, Heteractis crispa,
H. aurora dan Entacmaea quadricolor.
Dari hasil analisis kimia lendir yang
menyelimuti A. clarkii disimpulkan kalau
jenis ini menghasilkan lendir sendiri yang
spesifik yang menyebabkan nematocyst
anemon tidak ditembakkan (Mebs, 2009).
Kemampuan ini menyebabkan A. clarkii
dapat hidup di banyak jenis anemon. A.
clarkii dapat hidup di tujuh jenis anemon
(Tabel 1, Fautin dan Allen, 1997), namun
di lokasi penelitian, hanya ditemukan
berasosiasi dengan lima jenis anemon
saja (Tabel 2).
Berbeda dengan A. clarkii, A.
sandaracinos ditemukan hanya berasosiasi dengan anemon jenis Stichodactyla
mertensii. Anemon jenis ini ditemukan
di semua pulau di zona 1, 2 dan 3,
sedangkan di zona 4 hanya ditemukan di
P. Langkai dengan ko-simbion A. clarkii.
Premnas biaculeatus dan A. melanopus
di lokasi penelitian hanya ditemukan
berasosiasi dengan anemon Entacmaea
quadricolor.
Padahal menurut Allen
(1991), A. melanopus juga ditemukan
bersimbiosis dengan H. crispa dan H.
magnifica. Kedua jenis anemon ini juga
dijumpai di lokasi penelitian. Tidak
dihuninya kedua jenis anemon ini oleh A.
melanopus
di
lokasi
penelitian
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Yasir et al.
H. crispa dan E. quadricolor
masing-masing
dapat
bersimbiosis
dengan 3 jenis Amphiprioninae (Tabel
2), namun H. crispa adalah jenis yang
paling banyak ditemukan dan juga paling
banyak dihuni oleh ikan Amphiprioninae.
Hal ini disebabkan karena H. crispa
dapat hidup di semua habitat yang bisa di
tempati anemon untuk hidup.
Berdasarkan
pengamatan
di
lapangan, jenis ini umumnya menghuni
habitat dengan kondisi pecahan karang
hancur, pasir dan celah-celah karang.
Kondisi ekologi ini pula yang mendominasi lokasi penelitian.
Selain ikan dari subfamilia
Amphiprioninae, di lokasi penelitian
ditemukan beberapa jenis biota lain yang
juga hidup berasosiasi dengan anemon.
Yang paling umum ditemukan adalah
ikan damsel Dascyllus trimaculatus,
kepiting Neopetrolisthes maculatus, dan
udang Periclemenes tosaensis. Namun
jenis ini ditemukan tidak di semua jenis
anemon. Untuk Dascyllus trimaculatus
hanya ditemukan di anemon jenis H.
magnifica, S. mertensii, H. crispa, S.
haddoni dan S. gigantea. Neopetrolisthes
maculatus hanya di anemon jenis S.
mertensii, E. quadricolor, S. haddoni dan
S. gigantea. Udang Periclimenes
tosaensis hanya ditemukan bersimbiosis
dengan anemon H. crispa, H. magnifica
dan S. haddoni (Tabel 2).
Berdasarkan hasil uji statistik
dengan analisis regresi menunjukan
bahwa tidak ada pengaruh yang nyata
antara besarnya koloni dengan ukuran
anemon simbionnya (P>0,05). Besar
atau kecilnya koloni ikan simbionnya
sepertinya lebih tergantung pada perilaku
dari masing-masing jenis daripada
ukuran anemon simbionnya.
Anemon dari jenis S. haddoni
dengan diameter 51 cm bersimbiosis
dengan A. polymnus dengan jumlah
hingga 31 ekor.
Anemon jenis E.
quadricolor yang umumnya berukuran
besar, hanya dihuni oleh sepasang P.
biaculeatus. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena pola perilaku jenis
yang beragam.
Sebagai contoh P.
biaculeatus cenderung sangat agresif
terhadap apapun yang mendekati anemon
simbionnya termasuk peneliti sendiri.
Jenis ini juga terkait sangat dekat dengan
anemonnya.
Tabel 2. Amphiprioninae dan jenis anemon simbionnya
7
No
Simbiosis
1
2
3
4
5
6
1 Amphiprion clarkii
X
X
X
X X X
X
2 Amphiprion melanopus
3 Amphiprion ocellaris
X
X
4 Amphiprion perideraion
X
X
5 Amphiprion polymnus
X
X
6 Amphiprion sandaracinos
X
X
7 Premnas biaculeatus
8 Dascyllus trimaculatus
X
X
X X X
9 Neopetrolisthes maculatus
X
X X X
10 Periclimenes tosaensis
X X
X
Keterangan: 1. Heteractis magnifica, 2. H. crispa, 3. H. aurora, 4. Stichodactyla
haddoni, 5. S. gigantea, 6. S. mertensii, 7. Entacmaea quadricolor
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
15
Identifikasi Jenis Ikan Anemon (Amphiprioninae) dan Anemon Simbionnya...
Hal berbeda diamati pada A.
polymnus. Bila merasa terancam, koloni
A. polymnus yang mendiami anemon
cenderung
meninggalkan
anemone
simbionya meskipun tidak terlalu jauh.
Tetapi dua ikan dari koloni tersebut yang
berukuran paling besar akan berlindung
dengan cara masuk ke dalam mulut
anemon untuk kemudian keluar lagi bila
sumber gangguan telah hilang.
IV. KESIMPULAN
Terdapat tujuh jenis dari dua
genera Amphiprioninae yang ditemukan
di Kepulauan Spermonde berdasarkan
pembagian zona yaitu Amphiprion
clarkii, A. melanopus, A. perideraion, A.
polymnus, A. ocellaris, A. sandaracinos
dan Premnas biaculeatus. Ketujuh jenis
Amphioprioninae yang ditemukan di
lokasi penelitian berada pada zona 1, 2
dan 3, sedangkan di zona 4, hanya
ditemukan lima jenis. Terdapat tujuh
jenis anemon yang hidup bersimbiosis
dengan genera Amphiprioninae
di
Kepulauan Spermode yaitu Heteractis
aurora,
H.crispa,
H.
magnifica,
Stichodactyla mertensii, S. haddoni, S.
gigantea dan Entacmaea quadricolor.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. R. 1991. Damselfishes of the
world. Germany, Hans A. Baensch.
Dunn, D. F. 1981. The clownfish sea
anemones:
Stichodactylidae
(Coelenterata: Actiniaria) and other
sea anemones symbiotic with
pomacentrid fishes. Transactions of
the
American
Philosophical
Society, 71:115.
Fautin, D. G. 1991. The anemonefish
symbiosis: what is known and what
is not. Symbiosis, 10:23-46.
16
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1992. Field
guide to anemonefishes and their
host sea anemones. Australia,
Western Australian Museum.
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1997.
Anemone fishes and their host sea
anemones: a guide for aquarists and
divers.
Western
Australian
Museum.
Hoff, F.H. 1996. Conditioning, spawning
and rearing of fish with emphasis
on marine clownfish. Florida, Dade
City, Aquaculture Consultants, Inc.
Kuiter R.H. and T. Tonozuka. 2001.
Pictorial guide to Indonesian reef
fishes – Zoonetics- Australia
Mebs, D. 1994. Anemonefish symbiosis:
vulnerability and resistance of fish
to the toxin of the sea anemone.
Toxicon, 32:1059-1068.
Mebs, D. 2009. Chemical biology of the
mutualistic relationships of sea
anemones
with
fish
and
crustaceans, Toxicon, doi:10.1016/
j.toxicon. 2009.02.027
Nybakken, J. W. and M. D. Bertness.
2004.
Marine Biology: An
Ecological Approach.
Randall, J. E dan D.G. Fautin. 2002.
Fishes other than anemonefishes
that associate with sea anemones.
Coral Reefs, 21:188–190
Wabnitz, C.; M. Taylor; E. Green and T.
Razak. 2003. From Ocean to
Aquarium. Cambridge, UK, UNEPWCMC: 64.
Wood, E.M. 2001. Collection of coral
reef fish for aquaria: global trade,
conservation
issues
and
management strategies.
Marine
Conservation Society, UK. 80pp.
Ziemann, D. A. 2001. The potential for
the
restoration
of
marine
ornamental
fish
populations
through
hatchery
releases.
Aquarium
Sciences
and
Conservation, 3:107–117.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 17-25, Desember 2010
KERAGAAN REPRODUKSI IKAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis)
DARI ALAM (F-0), INDUK GENERASI PERTAMA (F-1), DAN INDUK
GENERASI KE DUA (F-2)
REPRODUCTION PERFORMANCE OF HUMPBACK GROUPER (Cromileptes
altivelis) FROM WILD BROODSTOCK (F-0), FIRST GENERATION
BROODSTOCK (F-1), AND SECOND GENERATION BROODSTOCK (F-2)
Tridjoko
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut – Gondol,
Email: [email protected]
ABSTRACT
Grouper seeding technology still relies on the broodstock from the ocean, eventhough, the
existence of the broodstock is rare and difficult to obtain. The broodstock takes a long time to
mature and spawn. Therefore, to anticipate the scarcity humpback grouper from wild, it is
important to produce broodfish from aquaculture. This study was aimed to know the
reproduction performance of humpback grouper wild broodstock F-0, first generation
broodstock (F-1) and second generation broodstock (F-2). The cultured of humback grouper
broodstock used three tanks 75 m3 in volume (tank I, II and tank III). Tank I: reared 35 fishes
broodstock F-0. Tank II and tank III for reared each 50 fishes F-1 and F-2 broodstock. Food
for broodstock from the wild (F-0) was given from fresh trash fish, squid, and added vitamin
mixture, vitamin C and vitamin E. Meanwhhile, food given to F-1 and F-2 broodstock was a
commercial dry pellet (PG 9-10) that contains following nutrients: protein content of 43%, min.
fat of 9%, ash content of 13%, fiber levels of 2%, and moisture content of 12%. Mixture of
vitamin C and E were also added. The results showed that the humpback grouper F-0, F-1 and
F-2 were cultured in 75 m3 concrete tank was successfully spawn with the fertilization rate of
87%, 78% and 45% respectively. This result proves that the broodstock from F-0 gaved the best
results.
Keywords:
Humpback grouper reproduction, wild broodstock (F-0), first generation (F-1),
seccond generation (F-2)
ABSTRAK
Teknologi pembenihan ikan kerapu bebek masih mengandalkan induk dari laut. Padahal induk
dari laut sudah sulit didapatkan dan hanya ada di perairan tertentu saja. Disamping itu induk dari
laut diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa matang gonad hingga memijah. Oleh karena
itu untuk mengantisipasi kelangkaan induk ikan kerapu bebek hasil tangkapan dari laut perlu
diupayakan produksi induk ikan kerapu yang berasal dari budidaya/generasi pertama (F-1)
maupun induk generasi ke dua (F-2). Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaan reproduksi
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2. Bak pemeliharaan induk ikan kerapu bebek
menggunakan 3 tangki volume 75 m3 (tangki I, II dan III). Untuk tangki I diisi 35 ekor induk
kerapu bebek F-0, sedangkan pada tangki II dan III diisi induk F-1 dan F-2 masing-masing 50
ekor. Pakan induk F-0 yaitu ikan rucah segar, cumi-cumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan pakan untuk induk F-1 dan induk F-2 adalah pellet kering
komersial (PG 9-10) dengan kandungan nutrisi sebagai berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%, kadar serat max. 2% dan kadar air max. 12%, juga
ditambahkan vitamin mix, vitamin C dan vitamin E. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F-2 yang dipelihara pada tangki volume 75 m3 secara
terkontrol sudah berhasil memijah dengan tingkat fertilisasi tertinggi 87%, 78% dan 45%. Hal
ini membuktikan bahwa induk F-0 memperlihatkan hasil yang terbaik.
Kata Kunci:
reproduksi, induk kerapu alam (F-0), induk generasi pertama (F-1), induk
generasi ke dua (F-2)
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
17
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
I. PENDAHULUAN
Dari beberapa jenis ikan kerapu,
ikan
kerapu bebek
(Cromileptes
altvelis) adalah satu diantara jenis ikan
keluarga Serranidae yang bernilai
ekonomis tinggi, karena banyak diminati
oleh konsumen baik sebagai ikan hias
maupun sebagai ikan konsumsi. Upaya
untuk membudidayakan melalui pembenihan telah dilakukan oleh Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
dan telah berhasil memproduksi benih
kerapu bebek dengan kelangsungan
hidup yang relatif tinggi (Tridjoko et al.,
1999; Sugama et al., 2001).
Salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam usaha pembenihan ikan
kerapu khususnya ikan kerapu bebek
adalah ketersediaan induk. Selama ini
induk ikan kerapu yang dipijahkan
berasal dari alam yang biasa ditangkap
oleh para nelayan. Untuk memperoleh
induk ikan kerapu bebek ini relatif sulit,
karena hanya ada pada perairan-perairan
tertentu saja. Untuk menanggulangi
tantangan tersebut, maka sebagai
alternatif sudah saatnya dilakukan kajian
dan usaha-usaha untuk menyediakan
calon induk untuk dijadikan induk dari
hasil budidaya.
Dengan tersedianya induk hasil
budidaya ini diharapkan dapat diproduksi
induk yang berkualitas baik dan tidak
terjadi penurunan genetik serta bebas
penyakit. Produksi benih di hatcheri
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu, salinitas, variasi pakan,
kandungan nutrisi, kepadatan larva) dan
faktor genetik yang berbeda. Akhir-akhir
ini telah banyak dilakukan penelitian
mengenai pakan buatan terutama
kandungan nutrisinya pada ikan kerapu
bebek ( Giri et al., 1999 ; Suwirya et al.,
2001; Suwirya et al., 2002). Selanjutnya
keragaman genetik ikan perlu dipertahankan dalam proses penggunaan induk
dalam perbenihan, karena terjadinya
18
reduksi gen akan mengakibatkan
hilangnya sebagian karakter genetik
benih turunannya (Gondie et al., 1995;
Benzie dan William, 1996; Sugama et al.,
1998).
Tingginya keragaman genetik ini
juga banyak dipengaruhi oleh jumlah
induk dalam suatu populasi pembenihan
dan juga jumlah induk yang effektif
dalam suatu pemijahan. Benih hasil
budidaya turunan pertama (F-1) yang
dijadikan calon induk untuk pembenihan
sangatlah penting untuk diketahui nilai
rasio RNA/DNA-nya. Semakin tinggi
nilai rasio RNA/DNA pada ikan tersebut,
maka kualitas ikan juga semakin baik
(Caldarone dan Buckley, 1997; Jung dan
Clemmesen, 1997; Seginni dan Chung,
1997; Chicharo et al., 1998).
Secara bertahap penelitian induk
ikan kerapu bebek telah dimulai dari
induk yang berasal dari alam (F-0),
kemudian induk ikan hasil budidaya (F1) dan berikutnya induk generasi ke dua
(F-2). Penelitian diarahkan untuk
menghasilkan induk yang dapat dimanfaatkan untuk produksi benih berkualitas,
sehingga tidak lagi tergantung dari hasil
tangkapan di laut.
II. METODE PENELITIAN
Hewan uji yang digunakan adalah
induk ikan kerapu bebek F-0, F-1 dan F2. Untuk pemeliharaan induk ikan kerapu
bebek menggunakan 3 (tiga) bak beton
(bak I, bak II dan bak III) yang berbentuk
silinder , vulome 75 m3 dan kedalaman
air 2 meter. Pada bak I diisi induk ikan
kerapu bebek F-0 sebanyak 35 ekor,
sedangkan pada bak II dan bak II diisi
induk F-1 dan F-2 masing-masing 50
ekor.
Pada bak pemeliharaan induk
dilengkapi dengan airasi sebagai sumber
oksigen dan sistem air mengalir dengan
laju pergantian air antara 350 –
500%/hari. Pakan yang diberikan untuk
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
induk F-0 adalah ikan rucah segar, cumicumi dan juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Sedangkan
pakan untuk induk F-1 dan induk F-2
adalah pellet kering komersial (PG 9-10)
dengan kandungan nutrisi sebagai
berikut: kadar protein min. 43%, kadar
lemak min 9%, kadar abu max. 13%,
kadar serat max. 2% dan kadar air max.
12%, juga ditambahkan vitamin mix,
vitamin C dan vitamin E. Bila pada bak
pemeliharaan induk ikan kerapu terlihat
adanya sisa makanan atau kotoran, maka
dilakukan penyiponan.
Selanjutnya antara 3 - 5 minggu
sekali induk direndam air tawar selama 5
- 10 menit untuk menghilangkan parasit
dan bak pemeliharaan induk dibersihkan
untuk menghindari dan menanggulangi
adanya berbagai kemungkinan serangan
penyakit. Pada pipa pembuangan air
dipasang jaring kecil berbentuk segi
empat dengan ukuran panjang 1 meter,
lebar 75 cm dan tinggi 60 cm sebagai
tempat penampungan telur yang terbuat
dari nylon monofilamen dengan ukuran
mata jaring 400 m.
Untuk mengetahui produksi telur
ikan kerapu bebek, maka setiap pagi jam
07:30 WITA dilakukan pengamatan pada
tempat penampungan telur . Selanjutnya
dilihat kualitas dan kuantitas telur
tersebut, yaitu jumlah telur yang
mengapung, jumlah telur yang tenggelam, jumlah total telur yang dihasilkan,
diameter telur, jumlah gelembung
minyak pada telur, diameter gelembung
minyak dan daya tetas telur.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pemijahan induk
ikan kerapu bebek dari alam (F-0) yang
dipelihara pada tangki volume 75 m3
(tangki I) selama 1 tahun dari bulan
Januari sampai dengan Desember, tertera
pada Tabel (1). Dari 35 ekor induk
kerapu bebek dengan bobot tubuh antara
1800–3800 gram/ekor telah berhasil
memijah sebanyak 33 kali. Jumlah total
telur
yang
dihasilkan
mencapai
15.349.000 butir telur. Dari jumlah total
telur yang didapatkan nampaknya telur
yang dibuahi berjumlah 8.350.000 butir
dan daya tetasnya antara 15-85%.
Sedangkan telur yang tidak dibuahi
sebanyak 6.995.000 butir. Dari hasil-hasil
penelitian mengenai pemijahan, bahwa
telur yang mempunyai daya tetas rendah
atau dibawah 35% akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan larva. Hal tersebut
berakibat pertumbuhan larva lambat, dan
sering terjadi kematian massal atau tidak
sampai umur 45 hari. Seperti halnya yang
terjadi pada ikan kerapu batik (Slamet
dan Tridjoko, 1997), kerapu bebek
(Tridjoko et al., 1999), dan juga pada
ikan laut lainnya seperti ikan napoleon
(Slamet et al., 1998), ikan cobia (Priyono
et al., 2005).
Dari 33 kali pemijahan, terlihat
bahwa pada bulan April, Mei dan Juni
tidak terjadi pemijahan (Gambar 1). Pada
bulan Maret, Juli, Agustus dan
September jumlah telur yang dihasilkan
masing-masing 699.000, 3.350.000,
3.325.000
dan
2.825.000
butir.
Sedangkan jumlah telur terbanyak terjadi
pada bulan Oktober yaitu 5.150.000
butir.
Beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa pemijahan ikan-ikan
laut ekonomis penting pada umumnya
jumlah telur yang dihasilkan setiap
bulannya tidaklah stabil melainkan
terjadi fluktuasi. Seperti halnya yang
terjadi pada ikan bandeng (Vanstone et
al., 1977), ikan kerapu macan
(Setyadharma et al., 2003), dan ikan
kerapu sunu (Suwirya et al., 2003).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
19
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
Tabel 1. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek dari alam (F-0) selama
penelitian berlangsung.
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki I)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
35
Kisaran bobot tubuh (g)
1900-3800
Pemijahan (kali)
33
Jumlah total telur (butir)
15.349.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
8.350.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
6.995.000
Diameter telur (m)
820-915
Diameter gelembung minyak (m)
158-215
Daya tetas telur (%)
15-87
______________________________________________________________________
6.000.000
Jumlah telur (butir)
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
1.000.000
0
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Bulan
Gambar 1. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
dari alam (F-0).
Selanjutnya hasil pengamatan
pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1) yang dipelihara
pada tangki volume 75 m3 (tangki II)
selama 8 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Agustus, tertera pada Tabel (2).
Dari 50 ekor induk kerapu bebek dengan
bobot tubuh antara 1150– 18500
gram/ekor telah berhasil memijah
sebanyak 27 kali. Jumlah total telur yang
dihasilkan mencapai 5.642.000 butir
telur. Dari jumlah total telur yang
didapatkan nampaknya telur yang
20
dibuahi berjumlah 1.154.000 butir dan
yang tidak dibuahi 4.488.000 butir.
Diameter telur 799 – 818 m , sedangkan
daya tetas telur antara 10-78%. Induk
ikan kerapu bebek generasi pertama ini
memijah setiap bulan, dan frekuensi
pemijahan sebanyak 27 kali (Gambar 2).
Jumlah total telur tertinggi yang
dihasilkan selama pemijahan terjadi pada
bulan Agustus yaitu sebanyak 1.045.000
butir, sedangkan yang terrendah pada
bulan Januari yaitu 260.000 butir.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Tabel 2. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-1)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki II)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
50
Kisaran bobot tubuh (g)
1150-1850
Pemijahan (kali)
27
Jumlah total telur (butir)
5.642.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
1.154.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
4.488.000
Diameter telur (m)
799-818
Diameter gelembung minyak (m)
162-165
Daya tetas telur (%)
10-78
______________________________________________________________________
Jumlah telur (butir)
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul
Agt
Bulan pemijahan
Gambar 2. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi pertama (F-1)
Jumlah telur yang dihasilkan dari
pemijahan induk kerapu bebek generasi
pertama lebih sedikit jika dibandingkan
dengan induk ikan kerapu bebek
tangkapan di alam. Hal tersebut diduga
bahwa ukuran induk dari alam lebih
besar, disamping faktor lainnya seperti
umur ikan dan lain-lain (Tridjoko et al.,
1996). Dari bulan Januari sampai dengan
bulan April jumlah total telur yang
dihasilkan terus mengalami trend
kenaikan, dan turun lagi pada bulan Mei.
Pada bulan berikutnya Mei, naik lagi
hingga bulan Agustus, seperti yang
tertera pada Gambar (2).
Berikutnya
hasil
pengamatan
pemijahan induk ikan kerapu bebek
generasi ke dua (F-2) yang dipelihara
pada tangki volume 75 m3 (tangki III)
selama 8 bulan dari bulan Januari sampai
dengan Agustus, tertera pada Tabel (3).
Dari 50 ekor induk kerapu bebek F-2
dengan bobot tubuh antara 850– 1200
gram/ekor telah berhasil memijah
sebanyak 36 kali. Jumlah total telur yang
dihasilkan mencapai 12.800.000 butir
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
21
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
telur. Dari jumlah total telur yang
didapatkan, telur yang dibuahi berjumlah
1.497.000 butir dan yang tidak dibuahi
11.303.000 butir. Diameter telur 710 –
861 m, sedangkan daya tetas telur
antara 0-55%.
Dari 36 kali pemijahan, terlihat
bahwa dari bulan Maret sampai dengan
bulan Oktober terjadi pemijahan dan
(Gambar 3). Jumlah telur terbanyak
terjadi pada bulan Juni yaitu 2.285.000
butir. Dari hasil pengamatan pemijahan
induk kerapu bebek F-2 yang masih
belum stabil dan masih relatif sedikit,
diduga bahwa jumlah individu jantan
yang siap membuahi masih belum
memadai.
Hal tersebut berkaitan dengan
perkembangan gonad yang secara alami
membutuhkan waktu yang cukup lama
terutama bagi induk kerapu bebek jantan,
karena sifatnya yang "protogynous
hermaphrodit". Sifat tersebut dimana
betina
dewasa
akan
mengalami
perubahan kelamin
menjadi jantan
(Mishima dan Gonzares, 1994). Namun
perubahan
kelamin
ikan
kerapu
tergantung pada ukuran, umur dan
jenisnya. Oleh karena itu dalam
manejemen induk kerapu bebek hasil
budidaya F-1 maupun F-2 agar cepat
mendapatkan induk jantan diperlukan
rekayasa hormonal.
Tabel 3. Hasil pengamatan pemijahan induk ikan kerapu bebek generasi pertama (F-2)
selama penelitian berlangsung
______________________________________________________________________
Parameter
Hasil Pengamatan (Tangki III)
______________________________________________________________________
Jumlah Induk (ekor)
50
Kisaran bobot tubuh (g)
850-1200
Pemijahan (kali)
36
Jumlah total telur (butir)
12.800.000
Telur yang mengapung/dibuahi (butir)
1.497.000
Telur yg mengendap/tdk dibuahi (butir)
11.303.000
Diameter telur (m)
710-861
Diameter gelembung minyak (m)
147-175
Daya tetas telur (%)
0-45
______________________________________________________________________
Jumlah telur (butir)
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Bulan pemijahan
Agt
Sep
Okt
Gambar 3. Jumlah total telur yang dihasilkan dari pemijahan induk ikan kerapu bebek
turunan ke-2 (F-2)
22
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Umur (hari)
Rekayasa hormonal merupakan
salah satu alternatif dalam menunjang
atau mempercepat proses perkembangan
oosit. Untuk perkembang biakan secara
buatan tersebut dapat dilakukan dengan
cara implantasi (Vanstone et al., 1977;
Crim, 1985; Lee et al., 1986 ; Kuo et al.,
1988; Tridjoko et al., 1997). Penelitian
implan hormon juga telah dilakukan pada
beberapa jenis ikan, seperti pada ikan
bandeng ( Prijono et al, 1990), ikan
kerapu macan (Setiadharma et al, 2001)
ikan napoleon (Slamet et al., 1999) ikan
kerapu sunu (Suwirya et al, 2005).
Dari hasil pemijahan induk kerapu
bebek F-0, F-1 dan F-2, maka dilakukan
pengamatan
pemeliharaan
larva.
Pertumbuhan larva hingga mencapai
umur 25 hari , seperti yang tertera pada
Gambar (4) berikut ini :
D-20
F-3
F-2
D-10
F-1
D-1
0
5
10
Panj. total larva (mm)
Gambar 4. Pertumbuhan panjang total
larva ikan kerapu bebek F-1,
F-2 dan F-3 yang dipelihara
selama 25 hari (D-25)
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa induk ikan kerapu bebek F-0, F-1
dan F-2 yang dipelihara pada tangki
volume 75 m3 secara terkontrol sudah
berhasil memijah dengan tingkat
fertilisasi tertinggi 87%, 78% dan 45%.
Hal ini membuktikan bahwa induk F-0
memperlihatkan hasil yang terbaik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bpk/Ibu : Bagus Winaya, M.
Rivai, dan semua kelompok Peneliti/
Teknisi serta para Siswa/Mahasiswa
Praktek Kerja Lapangan/Magang yang
telah membantu selama penelitian ini
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Benzie,J.A.H. and S.T.W. Williams.
1996. Limitation of the genetic
variation of hatchery produced
batches of Giant Clam, Tridacna
gigas. Aquaculture, 139:225-241.
Caldarone, E.M. and L.J. Buckley. 1997.
Relationship between RNA/DNA
ratio, temperature and growth rate
in
Atlantic
cod
larvae.
Ichthyoplankton Ecology Fishries
Society of the British Isles, 50pp.
Chicharo, M.A., L. Chicharo, L. Valdes,
E. Lopez-Jamar, and P. Re. 1998.
Estimation of starvation and diet
variation of the RNA/DNA ratios
in Field-caught Sardina pilcardus
larvae of the North of Spain. Mar.
Ecol. Prog. Ser., 164:273-283.
Crim, L.W. 1985. Methods for acute and
chronic hormone administration in
fish ,p : 1-9 In Proceeding for a
workshop held at Tungkang Marine
Laboratory Taiwan, April 22-24,
1985.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi.
1999. Kebutuhan protein, lemak,
dan vitamin C untuk yuwana ikan
kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis).
Jurnal
Penelitian
Perikanan Indonesia, 5(3):38-46
Goundie, C.A., Q. Liu. B.A. Simeo, and
K.B.
Davis.
1995.
Genetic
relationship of growth sex and
glucose phosphate isomerase-B in
channel cat fish. Aquaculture,
138:119-124.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
23
Keragaan Reproduksi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) dari Alam (F-0)...
Jung, T. and C. Clemmesen. 1997. Effect
of different food organism on the
development
and
nutritional
condition of cod larvae (Gadus
morhua L.) in laboratory rearing
experiment.
Ichthyoplankton
Ecology Fisheries Society of the
British Isles, 50pp.
Kuo, C.M., Y.Y. Thing, and S.L. Yeh.
1988. Induced sex reversal and
spawning of spotted grouper, E.
fario. Aquaculture, 74:113-126.
Lee, C.S., C.S. Tamaru, J.E. Banno, and
C.D. Kelly. 1986. Influence of
administration of LHRH analoque
and/or 17 methyltestoteron on
maturation in milkfish, Chanos
chanos. Aquaculture, 59:147-159.
Mishima, H. and B. Gonzaes. 1994.
Some biological and ecological
aspect on Cromileptes altivelis
around Palawan Island, Philippines.
Suisanzoshoku, 42(2):345-349
Prijono, A., G. Sumiarsa, dan Z.I.
Azwar. 1990. Implantasi hormon
LHRH-a dan atau 17a MT untuk
pematangan gonad induk bandeng.
J. Penel. Budidaya Pantai, 6(1):2023
Priyono. A., B. Slamet, dan Asmanik.
2005. Pengamatan pemijahan alami
di
bak
pemeliharaan,
perkembangan embrio dan awal
larva ikan cobia (Rachycentron
canadum). Seminar akuakultur
Indonesia, Hotel Sahid Jaya,
Makasar, 23-25 Nopember 2005.
12 hal.
Seginni, M.I., and K. S. Chung. 1997.
Influence of environmental factors
on the instant growth of tropical
fishes assessed by the RNA/DNA
relationship. Biol. Inst. Oceanogr.
Venez., 36(1/2):21-29
Setiadharma,T., N.A. Giri, Wardoyo, dan
A. Prijono. 2001. Pembenihan Ikan
Kerapu
Macan
(Epinephelus
fuscoguttatus) ). Pros. Lokakarya
24
Nasional Pengembangan Agribisnis
Kerapu hal 165-174. Jakarta 28-29
Agustus 2001.
Setiadharma, T., A. Prijono, dan N.A
Giri. 2003. Aplikasi hormon
LHRH-a untuk meningkatkan
pemijahan dan kualitas telur induk
ikan kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus). Laporan Teknis
Proyek Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol Bali. P.101-109.
Slamet, B., Hersapto, dan Tridjoko. 1999.
Pematangan induk ikan napoleon
Cheilinus
undulatus
dengan
perbandingan pakan segar yang
berbeda.
Seminar
Nasional
Penelitian
dan
Deseminasi
teknologi Budidaya Laut dan
Pantai. Jakarta, 2 desember 1999.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1997.
Pengamatam pemijahan alami,
perkembangan embrio dan larva
ikan kerapu batik, Epinephelus
microdon dalam bak terkontrol. J.
Pen. Perikanan Indonesia, 3(4):4050.
Slamet, B., Hersapto, dan Tridjoko. 1998.
Pengamatan
panjang-bobot,
kebiasaan makan dan aspek biologi
reproduksi
ikan
napoleon,
Cheilinus undulatus. Prossiding
Seminar Teknologi Perikanan
Pantai. Bali, 6-7 Agustus 1998:
119-123.
Sugama, K., Tridjoko, Haryanti, S.B.
Moria, dan F. Cholik. 1998.
Genetic variation and population
stucture in the Humback grouper,
Cromileptes altivelis throughout its
range in Indonesian waters.
Indonesian Fisheries Research
Journal, 5(1)1:32-38
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S. Ismi,
E. Setadi, dan S. Kawahara. 2001.
Petunjuk teknis produksi benih ikan
kerapu
bebek,
Cromileptes
altivelis. BBRPBL, Pusris., DKP
dan JICA. 40p
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Tridjoko
Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi.
2001. Pengaruh n-3 HUFA
terhadap pertumbuhan dan efisiensi
pakan yuwana ikan kerapu bebek,
Cromileptes altivelis. In Sudrajad,
A., E.S. Heruwati, A. Poernomo,
A. Rukyani, J. Widodo, dan E.
Danakusuma
(Eds)
Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan
Sea Farming di
Indonesia.
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan p.201-206.
Suwirya, K., N.A. Giri, M. Marzuqi, dan
Tridjoko.
2002.
Kebutuhan
karbohidrat untuk pertumbuhan
yuwana ikan kerapu bebek,
Cromileptes altivelis. JPPI, Edisi
Akuakultur, 8:9-14.
Suwirya,K., A. Prijono, N.A Giri, B.
Slamet, dan Marzuqi. 2003.
Pematangan induk induk kerapu
sunu, Plectropomus leopardus
dengan penambahan vitamin C
pada pakan. Laporan Teknis
Proyek Riset Perikanan Budidaya
Laut, Gondol Bali. hal. 314-223
Suwirya, K., A. Priyono, M. Marzuqi,
N.A. Giri, dan R. Andamari. 2005.
Pemijahan dan pemeliharaan larva
kerapu sunu halus, Plectropomus
leopardus.
Warta
Penelitian
Perikanan
Indonesia.
Edisi
Akuakultur, 2(3):7-10.
Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu, dan K.
Sugama.
1996.
Pengamatan
pemijahan dan perkembangan telur
ikan kerapu bebek (Chromileptes
altivelis)
pada
bak
secara
terkontrol. J. Penel. Perikanan
Indonesia, 2(2):55-62.
Tridjoko, B. Slamet, dan D. Makatutu.
1997. Pematangan induk kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis)
dengan
rangsangan
suntikan
hormon LHRH-a dan 17 alphamethyltestoteron.
J.
Penel.
Perikanan Indonesia, 3(4):30-34.
Tridjoko, B. Slamet., T. Aslianti,
Wardoyo, S. Ismi, J.H. Hutapea,
K.M. Setiawati, I. Rusdi, D.
Makatutu,
A.
Prijoni,
T.
Setiadharma, H. Matsuda, and S.
Kumagai.
1999.
The
seed
production technique of humback
grouper, Cromileptes altivelis.
Japan International Cooperation
Agency (JICA) and Gondol
Research Station For Coastal
Fisheries (GRSCF). 56p.
Vanstone, W.E., Tiro, Jr., L.B. Villaluz,
A.C. Ramsingh, D.C. Kumagai, S.
Dulduco, P.T. Barnes, M.M. L.,
and C.E. Duenas. 1977. Breeding
and Larval rearing of the milkfish
Chanos-chanos (Pisces Chanidae)
SEAFDEC, Aquculture Deparment
Tech. Report, 3:3-17.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
25
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 26-33, Desember 2010
PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus)
DENGAN PERSENTASE PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA
DIFFERENT PERCENTAGE OF WATER EXCHANGE ON GROWTH OF
CORAL TROUT GROUPER FINGERLING (Plectropomus leopardus)
Titiek Aslianti
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol
PO Box 140 Singaraja 81101, Bali
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Coral trout grouper (Plectropomus leopardus) is the prospective aquaculture
commodities with a high demand. Fingerling culture is the one of shortly rearing time
methods for grow out in net-cages in order to produce continuously. Two hundred
fishes with initial total length 16.6±0.5 cm and 72.2±7.6 g of body weight were stocked
in each of three of concrete tanks of 4m3 seawater. Water replace as a treatment was
applied i.e. A (200%/day), B (300%/day) and C (400%/day).respectively. Feeding
frequency of pellet was done twice a day of about 3 - 5% of body weight. Survival and
growth of fishes were monitored during two-month period. The result showed that the
different percentage of water replace had a significant role in increasing the growth
and survival rate of the fishes. Water replaced of 400% daily (treatment C) gave the
best survival rate (97%) and growth performance (TL 21.61±0,54 cm; BW 156.84±1.05
g). In contrast, the treatment B (300%/day) and A (200%/day) resulted in a lower
survival and growth , i.e. (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm; BW 140.96±0.08 g) and A (SR
93%; TL 19.08±0.30 cm; BW 132.2±2.65 g)., respectively.
Keywords: Coral trout grouper, growth, survival rate, water exchange
ABSTRAK
Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) termasuk komoditas budidaya yang
prospektif dengan pangsa pasar cukup tinggi. Upaya penggelondongan merupakan salah
satu cara untuk mempersingkat waktu pemeliharaan di keramba jaring apung (KJA)
agar kontinuitas produksi dapat terpenuhi sesuai permintaan pasar. Penelitian dilakukan
selama 2 bulan dengan menggunakan 3 unit bak fiber (4m3), masing-masing diisi 200
ekor kerapu sunu yang berukuran awal rata-rata panjang total (TL) 16.6±0.5cm dan
berat tubuh (BW) 72.2±7.6g. Pergantian air pemeliharaan merupakan perlakuan yaitu A
(200%/hari), B (300%/hari) dan C (400%/hari). Pakan berupa pellet komersial diberikan
dua kali sehari 3-5% dari bobot biomas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
persentase pergantian air memberikan pengaruh yang berbeda terhadap peningkatan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Pergantian air 400%/hari (C) menghasilkan
kelangsungan hidup (97%) dan pertumbuhan (TL 21.61±0,54cm; BW 156.84±1.05g)
paling baik, sedangkan perlakuan B (300%/hari) dan A (200%/hari) menghasilkan
kelangsungan hidup dan pertumbuhan lebih rendah dari pada C yaitu berturut-turut B
(SR 95.5%; TL 19.51 ±0.52cm; BW 140.96±0.08g) dan A (SR 93%; TL
19.08±0.30cm; BW 132.2±2.65g).
Kata Kunci: Ikan kerapu sunu, pertumbuhan, laju kelangsungan hidup, pergantian air
26
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Aslianti
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu sunu (Plectropomus
leopardus) yang dikenal dengan kerapu
bintang termasuk satu diantara komoditas
ekspor unggulan Indonesia dari budidaya
laut (marine fin-fish culture). Warna
merah pada kerapu sunu merupakan daya
tarik tersendiri bagi beberapa negara
importir seperti Hongkong dan China,
yang sebagian besar masyarakatnya
masih meyakini bahwa warna merah
identik dengan keberuntungan, sehingga
pangsa pasar kerapu sunu di kedua
negara tersebut sangat tinggi dan
merupakan negara tujuan ekspor yang
potensial (Sidik, 2002; Nurjana, 2006).
Kerapu sunu dalam budidayanya
memiliki prospek pengembangan yang
sangat baik, karena tehnik produksi benih
secara masal telah dikuasai dan dapat
diterapkan di hatchery skala rumah
tangga (Aslianti et al., 2009a).
Permintaan pasar terhadap kerapu sunu
terutama dalam keadaan hidup sangat
tinggi (Sutarmat et al., 2007) dan terus
meningkat,
sementara
pemenuhan
melalui penangkapan di alam sangat
tidak disarankan, karena memiliki banyak
resiko yang merugikan diantaranya
adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran
tidak seragam, resiko cacat fisik saat
penangkapan dan dampak tertinggi
adalah berkurangnya populasi di alam.
Hal ini memberikan peluang cukup besar
bagi kegiatan budidaya sekaligus
meningkatkan pasok yuwana yang
kontinyu, namun faktor kualitas tetap
menjadi prioritas yang perlu diperhatikan
mengingat persaingan pasar yang
semakin ketat (Nurjana, 2010).
Dalam usaha pembesaran kerapu
sunu di Keramba Jaring Apung (KJA)
hingga mencapai ukuran konsumsi (300400gr) biasanya memerlukan waktu
pemeliharaan yang cukup lama dan
memiliki resiko kematian yang tinggi.
Oleh karenanya upaya penggelondongan
perlu dilakukan agar waktu pemeliharaan
di KJA dapat dipersingkat dan diperoleh
produksi yang tinggi dengan kualitas dan
tampilan yang proporsional. Langkah
awal yang harus dilakukan dalam
mempersiapkan yuwana sebagai benih
untuk pembesaran di KJA antara lain
ukuran yang seragam, tidak cacat tubuh
dan ikan sudah terbiasa mengkonsumsi
pakan buatan (Sutarmat, 2005). Uji coba
pendederan dalam wadah terkontrol
dengan
berbagai
ukuran
hingga
pembesarannya di KJA telah dilakukan
Sutarmat dan Ismi (2007), namun tingkat
kelangsungan hidup yang dihasilkan
belum stabil (Suwirya et al., 2006), dan
masih perlu dilakukan perbaikan yang
mengarah pada peningkatan produksi
Dalam kegiatan budidaya, selain
pakan yang memerlukan biaya ±60% dari
total biaya operasional, faktor lingkungan
juga merupakan sarana yang tidak kalah
pentingnya, mengingat air sebagai media
tempat ikan dipelihara juga merupakan
media tumbuh bagi berbagai macam
mikroorganisme baik yang pathogen
maupun nonpathogen. Sedangkan di
alam, golongan ikan kerapu umumnya
hidup di perairan karang, bersifat
menyendiri dan lebih menyukai habitat
yang bersih dengan kondisi perairan yang
stabil
(Aslianti
et
al.,
1998).
Mengantisipasi sifat alami ikan kerapu
tersebut, pergantian air merupakan faktor
penting dalam menjaga kestabilan
kualitas air selama pemeliharaan dalam
wadah terkontrol. Oleh karenanya
pengelolaan lingkungan pemeliharaan
kerapu sunu melalui pergantian air yang
kontinyu dengan prosentase yang optimal
diharapkan dapat mengurangi kendalakendala ekstrim yang terjadi.
Dengan melihat permasalahan yang
cukup konkrit dan tuntutan peluang pasar
yang memerlukan solusi secara cepat,
maka
perlu
dilakukan
penelitian
penggelondongan kerapu sunu dalam
wadah terkontrol melalui perbaikan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
27
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
lingkungan sampai mencapai ukuran siap
tebar (± 150gr) sehingga masa
pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
informasi pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu dalam wadah terkontrol,
serta kendala yang dihadapi selama
pemeliharaan sehingga resiko yang
mungkin
terjadi
pada
budidaya
pembesaran di KJA dapat diperkecil.
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Persiapan wadah
Kegiatan penelitian diawali dengan
pencucian wadah penelitian berupa tiga
(3) unit bak fiber kapasitas 4 m3
berbentuk segi empat berukuran 2x2x1m,
dengan cara menyikat dan menyemprot
dengan air tawar, kemudian dikeringkan
selama satu hari. Hal ini untuk
menghindari kemungkinan kontaminasi
parasit. Selanjutnya wadah diisi air laut
bersalinitas 30-33 ppt sampai ketinggian
air 75 cm. Pengaturan pipa dan batu
aerasi disesuaikan dengan kebutuhan dan
diatur sedemikian rupa sehingga pasok
oksigen yang mengalir dalam bak
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
ikan. Demikian juga pengaturan debit air
masuk (inlet) dan keluar (outlet)
disesuaikan dengan perlakuan dengan
cara terlebih dahulu memposisikan stop
kran yang disesuaikan dengan jumlah air
masuk per menit, sehingga dalam waktu
24 jam (sehari semalam) diharapkan air
dapat terganti sesuai perlakuan.
2.2. Hewan uji.
Hewan uji (kerapu sunu) yang telah
melalui seleksi (keseragaman ukuran dan
kondisi fisik) dimasukkan kedalam
masing-masing bak dengan kepadatan
200 ekor. Rata-rata panjang total (TL)
dan berat tubuh (BW) awal adalah
16.6±0.5cm dan 72.2±7.6g. Selama
pemeliharaan,
ikan
diberi
pakan
komersial berbentuk pellet berdiameter
±5 mm dengan kandungan protein 42%,
28
lemak 10%, abu 13%, dan kadar air 10%
(Aslianti et al., 2009b). Pakan diberikan
dua kali sehari sebanyak 3-5% dari bobot
biomasa (±500 gr) dengan cara menebar
hingga ikan tidak merespon (ad-libitum).
Sisa pakan ditimbang untuk mengetahui
jumlah pakan yang terkonsumsi setiap
hari serta dilakukan penghitugan pada
akhir penelitian untuk mengetahui nilai
rasio konversi pakannya. Penelitian
dilakukan selama 2 bulan dengan
menggunakan sistim air mengalir dan
persentase pergantian air merupakan
perlakuan yaitu A (200%/hari); B
(300%/hari)
dan
C(400%/hari).
Penyiponan dasar bak dilakukan setiap 2
hari
untuk
membersihkan
sisa
metabolisme berupa faeses ataupun sisa
pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan.
2.3. Parameter yang diamati
Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap bulan melalui pengukuran
panjang total dan berat tubuh terhadap 20
ekor sampel (10% dari jumlah biomas)
yang diambil secara acak dari masingmasing perlakuan. Untuk mengetahui
efektifitas pakan terhadap pertumbuhan
dilakukan dengan cara menghitung rasio
konversi pakan (FCR), sedangkan
kualitas air diamati secara kontinyu
setiap minggu sebagai data pendukung
meliputi oksigen terlarut (DO), ammonia
(NH3-N), nitrit (NO2-N) dan pH.
2.4. Analisa data
Semua data yang diperoleh
dihimpun secara tabulasi dan dianalisis
secara diskriptif serta diolah dengan
menggunakan program microsoft Excel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang dan berat mutlak,
kelangsungan hidup dan rasio konversi
pakan gelondongan kerapu sunu dari
masing-masing perlakuan tertera pada
Tabel 1.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Aslianti
Dari Tabel 1. diketahui bahwa
persentase
kenaikan
pertumbuhan
perlakuan C baik terhadap panjang total
(30.18%) maupun berat tubuh (117.23%)
terlihat lebih tinggi dari pada perlakuan
A (14.94% dan 83.10%) maupun B
(17.53% dan 95.24%). Demikian juga
tingkat kelangsungan hidup yang dicapai
perlakuan C lebih tinggi (97%) dari pada
perlakuan A (93%) ataupun B (95,5%).
Hal ini menunjukkan bahwa pergantian
air sebesar 400% setiap hari terbukti
sangat mendukung pertumbuhan maupun
kelangsungan hidup kerapu sunu. Makin
tinggi persentase pergantian air dalam
penelitian ini mempunyai dampak yang
positip terhadap kestabilan kualitas air
pemeliharaan. Kondisi air yang kotor
akibat terakumulasinya sisa metabolisme
ataupun kotoran lain yang terdapat dalam
bak, akan terganti secara cepat jika
persentase pergantian air cukup tinggi,
sehingga diprediksi dapat menghambat
tumbuhnya parasit (jamur ataupun
bakteri). Kondisi ini didukung dari hasil
pengamatan kualitas air yang dilakukan
setiap tiga hari yang menunjukkan bahwa
kandungan nitrit dan ammonia cenderung
menurun
dengan
meningkatnya
persentase pergantian air (Tabel 2).
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konfersi
pakan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
Parameter
Panjang total awal/Initial length (cm)
Panjang total akhir/Final length (cm
Pertambahan panjang/TL gain (%)
Berat tubuh awal/Initial weight (g)
Berat tubuh akhir/Final weight (g)
Pertambahan berat/BW gain (%)
Kelangsungan hidup/SR (%)
Rasio konfersi pakan/FCR
A
B
C
(200%/day) (300%/day) (400%/day)
16.60
16.60
16.60
19.08
19.51
21.61
14.94
17.53
30.18
72.20
72.20
72.20
132.20
140.96
156.84
83.10
95.24
117.23
93
95.5
97
1.05
1.21
1.34
Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari dari
masing-masing perlakuan
Parameter
Suhu maximum/Temp. max (oC)
Suhu minimum/Temp. min (oC)
Salinitas/Salinity (ppt)
pH
DO/Disolve Oksigen (mg/L)
NO2/Nitrite (mg/L)
NH3/Amonium (mg/L)
A
B
C
(200%/day) (300%/day) (400%/day)
28.50 ± 0.16 28.28 ± 0.19 27.96 ± 0.23
26.64 ± 0.21 26.98 ± 0.45 27.30 ± 0.42
32.4 ± 1.61 32.4 ± 1.61 32.40 ± 1.61
7.78 ± 0.30 7.51 ± 0.23 7.05 ± 0.10
6.39 ± 0.13
6.72 ±0.31
7.10 ± 0.29
1.50 ± 0.25 1.26 ± 0.04 0.69 ± 0.13
1.83 ± 0.06 1.57 ± 0.08 0.98 ± 0.05
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
29
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
Tingginya kandungan nitrit dan
ammonia pada perlakuan A dan B diduga
sebagai
akibat
adanya
proses
pembusukkan serta penguraian sisa
metabolisme yang mengendap di dasar
bak. Pengendapan terjadi akibat jumlah
pergantian air yang kurang mencukupi
sehingga badan air tidak cukup mampu
mendorong sisa metabolisme ke-arah
saluran pembuangan. Kondisi ini akan
semakin buruk apabila air laut yang
mengalir saat itu dalam keadaan keruh
yang biasa terjadi akibat adanya hujan.
Mekanisme toksisitas dari nitrit dapat
berpengaruh
terhadap
transportasi
oksigen dalam darah dan kerusakan
jaringan tubuh ikan. Sesuai pendapat
Boyd (1990) yang menyatakan bahwa
kandungan ammonia dalam media
pemeliharaan merupakan hasil metabolisme ikan, pembusukan senyawa
organik dan bakteri. Amonia adalah hasil
utama penguraian protein dan merupakan
racun bagi ikan, karenanya kandungan
ammonia dianjurkan tidak lebih dari 1
mg/L (Pescod, 1973 dalam Aslianti , et
al. 1998). Tingginya kandungan nitrit dan
ammonia pada perlakuan A dan B diduga
berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup ikan sehingga lebih rendah dari
pada C. Namun demikian kondisi suhu,
salinitas, pH dan DO nampak masih
berada dalam batas normal dan masih
mendukung kehidupan ikan. Kualitas air
yang baik dan stabil sangat berpengaruh
terhadap kesehatan ikan yang pada
gilirannya dapat meningkatkan kelangsungan hidupnya.
Ditinjau dari hubungan partumbuhan panjang dan berat tubuh secara
linier (Gambar 1) pada perlakuan C
(pergantian air 400%/hari) diperoleh
persamaan regresi Y=1.6972X+120.24
dengan R2 = 0.9354. Hal ini
menunjukkan bahwa antara pertumbuhan
panjang dan berat tubuh kerapu sunu
pada perlakuan C terdapat korelasi yang
positif, yang berarti bahwa pergantian air
sebesar 400%/hari tidak saja berpengaruh
terhadap pertumbuhan panjang tetapi
juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
berat dengan tingkat korelasi sebesar
93.54%.
Dari hasil pengamatan selama
pemeliharaan gelondongan kerapu sunu
dalam
wadah
terkontrol
terdapat
beberapa ekor ikan yang mengalami
kematian. Hingga akhir penelitian
kematian paling banyak terjadi pada
perlakuan A (14 ekor), sedangkan B (9
ekor) dan C (6 ekor). Dari hasil deteksi
laboratorium diketahui bahwa kematian
umumnya disebabkan oleh penyakit
infeksi bakteri gram negatif yang
merupakan penyakit utama kerapu sunu.
BERAT TUBUH (GR)
164.0
y = 1.6972x + 120.24
R2 = 0.9354
160.0
156.0
152.0
148.0
19.0
21.0
23.0
25.0
PANJANG TOTAL (CM)
Gambar 1. Hubungan pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu
dengan pergantian air 400%/hari (linier) pada akhir penelitian
30
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
sunu
Aslianti
Gejala kematian ditandai dengan
ikan tidak nafsu makan dan berenang
lemah, cenderung sering berada di
permukaan air, menyendiri, dan terdapat
luka pada permukaan kulit (Gambar 2a).
Infeksi bakteri diduga berasal dari
lingkungan pemeliharaan (air) yang juga
merupakan media hidup bagi semua
mikroorganisme baik yang patogen
maupun nonpatogen. Semakin tinggi
persentase pergantian air terlihat semakin
sedikit jumlah ikan yang mati karena
dengan semakin cepat air media terganti
maka kemungkinan ikan terinfeksi
parasit yang ada dalam air media
semakin kecil. Penanggulangan pertama
yang dilakukan adalah dengan merendam
ikan yang sakit dengan 100 ppm formalin
selama 1 jam atau dalam larutan
streptomysin 1 gram dalam 100 liter air
laut selama 1 jam serta memisahkan ikan
yang sakit dari yang lainnya (Sutarmat et
al., 2007).
Selain itu pada akhir penelitian
juga ditemukan beberapa ekor ikan
dengan
performansi
mulut
yang
abnormal (deformity) yaitu antara mulut
bagian atas dan bawah tidak simetris
(Gambar 2b). Kondisi ini dapat
menyebabkan ikan tidak bisa merespon
pakan dengan sempurna yang pada
gilirannya dapat mengakibatkan kematian. Sesuai pendapat Kordi (2004), yang
menyatakan bahwa ikan yang cacat akan
mengalami kesulitan dalam mendapatkan
a
makanannya, sehingga ikan akan
mengalami keterlambatan pertumbuhan
(kerdil), memiliki daya tahan tubuh yang
rendah dan akan sangat mudah diserang
penyakit.
Terjadinya
performansi
yang
abnormal belum diketahui penyebabnya
secara pasti, namun diduga adanya faktor
genetis dari induk sebagai penghasil
telur. Oleh karenanya dalam proses
pembenihan, tahap seleksi telur sangat
penting sebelum dilakukan penebaran
dalam wadah pemeliharaan larva.
Tingkat pembuahan telur yang optimal
dengan daya tetas mencapai 90%
umumnya menghasilkan benih yang
normal. Namun demikian deformity pada
mulut biasanya ditemukan justru setelah
ikan bertumbuh menjadi gelondongan.
Diduga selain faktor genetis, juga faktor
nutrisi pakan selama pemeliharaan
kurang
mendukung
(malnutrition),
sehingga dapat memicu terjadinya
ketidaknormalan pada mulut. Dengan
demikian pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu dalam wadah terkontrol
hingga mencapai ukuran ± 150 gram
memberikan dampak positif terhadap
tingkat selektifitas performansi ikan
sebelum ditebar di KJA. Selain waktu
pemeliharaan di KJA hingga mencapai
ukuran konsumsi dapat dipersingkat, juga
performansi yang dihasilkan sesuai
dengan selera pasar.
b
Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang menimbulkan luka pada permukaan
tubuh kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada
mulut unsimetris (b)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
31
Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus Leopardus)…
IV. KESIMPULAN
Pergantian air dalam pemeliharaan
gelondongan
kerapu
sunu
secara
terkontrol merupakan faktor penting yang
mendukung kelangsungan hidup maupun
pertumbuhannya.
Kelangsungan
hidup
dan
pertumbuhan ikan yang dipelihara
dengan pergantian air 400%/hari lebih
tinggi (SR 97%; TL 21.61±0,54 cm, BW
156.84±1.05g) dari pada pergantian air
300% (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm;
BW 140.96±0.08 g) ataupun 200% (SR
93%; TL 19.08±0.30 cm; BW
132.2±2.65 g).
Pergantian air hingga 400%/hari
dapat menghindarkan ikan dari serangan
parasit sehingga ikan bertumbuh normal
dan memperkecil jumlah ikan yang cacat
tubuh (deformity).
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, T., K.M. Setiawati dan
Wardoyo.
1998.
Pengaruh
Peningkatan Pergantian Air terhdap
Pertumbuhan dan Sintasan Larva
Kerapu
Bebek,
Cromileptes
altivelis.
Prosiding
Seminar
Teknologi
Perikanan
Pantai.
Denpasar-Bali, 6-7 Agustus 1998.
hal 173-177.
Aslianti, T., P.T. Imanto, dan M.
Suastika. 2009a. Dampak Minyak
Buah Merah, Pandanus conoideus
Lam pada Performansi Yuwana
Kerapu
Sunu,
Plectropomus
leopardus.
Jurnal
Perikanan,
XI(1):1-8.
Aslianti T, Afifah dan M. Suastika.
2009b. Pemanfaatan Minyak Buah
Merah, Pandanus conoideus Lam
dan Carophyll Pink dalam Ransum
Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah,
Lutjanus sebae. Jurnal Riset
Akuakultur, 4(2):191-200.
32
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds
for Aquaculture. Alabama : Auburn
University. 482p.
Kordi, M.G.H. 2004. Penanggulangan
Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta.
PT Rineka Cipta dan PT Bina
Adikarsa. Hal 68.
Nurjana,
M.L.
2006.
Indonesian
Aquaculture Development. Innovative and Eco-friendly Technologies for the Production of Safe
Aquaculture Food. Food &
Fertilizer Technology Center For
The Asian and Pacific Region
(FFTC-ASPAC)/RCA.
International Workshop. Den-pasar
Bali, Indonesia. December 4-8,
2006. pp 81-100.
Nurjana, M. L. 2010. Proyeksi produksi
perikanan
budidaya
menurut
komoditas utama 2009 s/d 2014.
Materi presentasi pada acara
Forum Inovasi dan Teknologi
Akuakultur. Puriskan Budidaya.
Bandar Lampung, 20-24 April
2010.
Sidik. 2002. Alternatif Kebijakan
Budidaya Ikan Kerapu Masya-rakat
Nelayan dalam Pengem-bangan
Industri
Perikanan
Kerapu.
Majalah Ilmiah Analisis Sistem,
4(IX):104-109
Sutarmat, T. 2005. Analisis Finansial
Produksi Yuwana Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus) dengan
Pakan Pelet Komersial dan Ikan
Rucah dalam Keramba Jaring
Apung.
Jurnal
Perikanan,
VII(2):144-150.
Sutarmat, T. dan S. Ismi. 2007. Variasi
ukuran
tubuh
benih
pada
pendederan ikan kerapu sunu
(Plectropomus leopardus). Buku
Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. hal
59-63.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Aslianti
Sutarmat, T., K. Suwirya, dan N. A. Giri.
2007.
Penelitian
pendahuluan
pembesaran
kerapu
sunu
(Plectropomus leopardus) dalam
Keramba Jaring Apung. Buku
Pengembangan
Teknologi
Budidaya Perikanan. Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut.
BRKP. Hal 438-445.
Suwirya, K., A. Priyono, A. Hanafi, R.
Andamari, R. Melianawati, M.
Marzuqi, K. Sugama dan N.A. Giri.
2006. Pedoman Teknis Pembenihan
Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus
leopardus). Pusat Riset Perikanan
Budidaya. Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. 18 hal.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
33
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 34-40, Desember 2010
KARAKTERISTIK SENYAWA BIOAKTIF BAKTERI SIMBION
MOLUSKA DENGAN GC-MS
CHARACTERISTIC BIOACTIVE COMPOUND OF THE MOLLUSC SYMBIOTIC
BACTERIA BY USING GC-MC
Delianis Pringgenies
Marine Science Departement, Faculty of Fisheries and Marine Science
Diponegoro Univeristy, Semarang, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
It has been discovered that mollusca produce a secondary metabolite and in the same time
bear its important role in its ecosystems so became a strategic target for the development of
noble bioactive substances for marine pharmacology. The current study of mollucs
symbiotic bacteria showed that from species of Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo and from based on screening of symbiotic bacteria in the Mollusc
toward some bacteria , 3 isolates had been had good performance in inhibiting the grow
of bacteria and to be the best candidates for a new antibiotic based on result of screening
consistency. Size and character inhibiting zone resulted toward test bacteria were TCM,
TCAand TOV. The research aims to current study of characteritic of symbiotic bacteria
from mollucs that produce a new anti-pathogenic bacteria by using GC-MS method. GCMS result showed that fraction TCM-6.1 consist of some compounds, that are Nitrogen
oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid (CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2methyl-(CAS) Isobutyric acid and fraction TOV12.16 consist of compound such as
Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl-(CAS) 2Methylbutanoid acid then fraction TSA8.7 consist of 1,2-Propadiene (CAS) Allene. The
research pointed towards the three active symbiotic bacteria seems to be promising since
this three candidates potential result for the development of a new antibiotic.
Keywords: Bacteria simbiont, mollusc, anti-bacteria, bioaktif compound
ABSTRAK
Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan moluska laut telah memungkinkan penggunaan
organisme tersebut sebagai sumber utama bakteri yang baru dan sumber senyawa bioaktif
termasuk senyawa antimikroba. Hasil penelitian sebelumnya dari isolasi bakteri simbion
jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dan berdasarkan konsistensi
hasil skrining, besar kecilnya zona hambat yang dihasilkan dan sifat penghambatannya
terhadap beberapa jenis bakteri uji melalui uji sensitivitas maka dihasilkan 3 isolat bakteri
simbion yang memiliki senyawa bioaktif antibakteri yakni: TCM, TCA dan TOV. Tujuan
penelitian adalah mengetahui karakteristik senyawa bioaktif bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska jenis Conus miles, Stramonita armigera, Cymbiola vespertilo dengan
metode GC-MS. Analisis GC-MS dilakukan menggunakan GCMS-QP2010S Shimadzu.
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa terdapat beberapa senyawa yang terdeteksi dari
fraksi isolat TCM6.1, yakni: Nitrogen oxide (N2O) (CAS) Nitrous oxide; Acetic acid
(CAS) Ethylic acid; Propanoic acid,2-methyl-(CAS) Isobutyric acid dan fraksi isolat
TOV12.16. : Propanoic acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2-methyl(CAS) 2-Methylbutanoid acid sedang fraksi isolat TSA8.7: 1,2-Propadiene (CAS) Allene.
Hasil penelitian disimpulkan bahwa isolat bakteri aktif yang diperoleh dalam penelitian ini
menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.
Kata Kunci: Bakteri simbion, moluska, anti-bakteri, senyawa bioaktif
34
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Pringgenies
I. PENDAHULUAN
Lautan merupakan sumber dari
kelompok besar kimia bahan hayati laut
dengan struktur yang unik, yang terutama
terakumulasi pada hewan-hewan avertebrata yang banyak terdapat pada
ekosistem terumbu karang, seperti,
sponge, tunikata, bryozoa, karang lunak
dan moluska. Beberapa metabolit
sekunder yang dimiliki avertebrata laut
tersebut menunjukkan adanya aktifitas
farmakologi dan merupakan kandidatkandidat baru untuk bahan obat-obatan.
Sejumlah senyawa bioaktif yang diperoleh dari hewan avertebrata diduga
dihasilkan juga oleh mikroorganisme
yang berasosiasi dengannya. Seperti
dinyatakan oleh Watermann, 1999;
Burgess et al. (2003) bahwa mikroorganisme yang berasosiasi dengan
organisme laut akan mensistesa metabolit
sekunder seperti organisme inangnya.
Keberadaan bakteri yang berasosiasi dengan moluska laut telah
memungkinkan penggunaan organisme
tersebut sebagai sumber utama bakteri
yang
baru.
Bukti-bukti
ilmiah
menunjukkan bahwa bakteri yang
berasosiasi dengan avertebrata filum
Moluska jenis Conus miles, Stramonita
armigera, Cymbiola vespertilo mempunyai peranan dalam produksi senyawa
bioaktif, sehingga menjadi pemacu dalam
pencarian senyawa antimikroba dari
bakteri yang berasosiasi dengan Moluska
(Pringgenies et al., 2008). Penanganan
bakteri patogen di dalam bidang
kesehatan serta pemanfaatan senyawa
antibiotik yang ramah lingkungan yang
dihasilkan oleh bakteri yang berasosiasi
dengan Moluska telah menjadi pekerjaan
rumah yang harus segera ditangani secara
multidisiplin (Hunt and Vincent, 2006).
Secara geografis perairan Ternate
merupakan pertemuan lempeng antara
benua Australia dan Indonesia dan biota
di tempat tersebut memiliki potensi yang
sangat spesifik terutama sebagai bahan
farmasi bahari, maka sampel bakteri yang
berasosiasi dengan Moluska dikoleksi
dari perairan Ternate.
Tujuan penelitian adalah mengetahui karakteristik senyawa bioaktif
bakteri yang berasosiasi dengan Moluska
jenis Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola vespertilo dengan metode GCMS.
II. METODE PENELITIAN
Sampling Moluska jenis Conus
miles, Stramonita armigera, Cymbiola
vespertilo dikoleksi dari perairan pulau
Bastiong Kepulauan Ternate, Maluku.
Selanjutnya dilakukan isolasi bakteri,
skrining bakteri penghasil senyawa antiMDR, uji antibakteri moluska, isolasi
bakteri patogen klinik (MDR) jenis
Klebsiella, E. coli, Coagulase Negatif
Staphylococcus (CNS), Enterobacter 5,
Enterobacter 10 dan Pseudomonas, uji
sensitifitas antibakteri, uji kepekaan
terhadap kuman antimikroba. Hasil
seleksi dari 12 isolat bakteri moluska
jenis Conus miles, Stramonita armigera,
Cymbiola
vespertilo
yang
sudah
dilakukan sebelumnya memperlihatkan
bahwa ada 3 isolat yang dianggap paling
berpotensi untuk dijadikan sebagai
sumber antibiotik baru berdasarkan
konsistensi hasil skrining, besar kecilnya
zona hambat yang dihasilkan dan sifat
penghambatannya terhadap beberapa
jenis bakteri uji yakni isolat bakteri
TCM, TCA dan TOV digunakan untuk
studi selanjutnya. Selanjutnya dilakukan
ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dengan
metode PCR, Sekuensing DNA. Hasil
sekuen 16S rDNA selanjutnya dianalisis
dan diedit dengan menggunakan program
GENETYX dan Analisis sekuen 16S
rDNA.
Amplifikasi DNA dari ke 3 isolat
bakteri moluska yakni: TCM, TCA dan
TOV yang sudah dilakukan sebelumnya
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
35
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
menunjukkan bahwa semua isolat
menghasilkan single band (pita tunggal)
dengan ukuran sekitar 1500 bp sesuai
dengan pembandingan menggunakan
marker DNA. Analisis homologi
menggunakan BLAST searching menunjukkan bahwa
isolate TOV12.16
memiliki prosentase kesamaan tertinggi
dengan genus Vibrio alginolyticus strain
VM341 (96%). Sedangkan isolat TCM
memiliki prosentase kesamaan tertinggi
dengan genus Pseudoalteromonas sp.
(99%), dan isolate TCA memiliki
tertinggi dengan Vibrio sp. AC1 (99 %).
Hasil identifikasi bakteri diketahui bahwa
isolat TCM
memiliki kekerabatan
terdekat dengan Pseudoalteromonas
sedangkan
isolat TCA dan TOV
memiliki kekerabatan yang dekat isolat
yang sama-sama berada dalam genus
Vibrio. Hasil penelitian ini dilajutkan
untuk mengetahui karakteristik senyawa
bioaktif Moluska sampel isolat TCM,
TCA dan TOV dengan analisis Gas
Chromatography-Mass
Spectrometer
(GC-MS).
2.1. Analisis Gas ChromatographyMass Spectrometer (GC-MS)
Analisis GC-MS dilakukan menggunakan GCMS-QP2010S Shimadzu
dengan kondisi analisis sebagai berikut :
kolom Rtx-5MS 30 meter, diameter 0,25
mm, suhu terprogram dari 80 oC sampai
300 oC dengan kenaikan suhu
10
o
C/menit, dan gas pembawa Helium,
sedangkan untuk tekanannya sebesar 22
kPa. Jumlah senyawa yang terdapat
dalam ekstrak ditunjukkan oleh jumlah
puncak (peak) pada kromatogram,
sedangkan nama/jenis senyawa yang ada
diinterpretasikan
berdasarkan
data
spektra dari setiap puncak tersebut
dengan menggunakan metode pendekatan
pustaka
pada
database
GC/MS
(Hendayana, 1994).
36
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Skrining terhadap isolat bakteri
simbion pada moluska jenis
Conus
miles, Stramonita armigera, Cymbiola
vespertilo dari perairan pulau Bastiong
Kepulauan Ternate, Maluku telah
dilakukan. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa isolat bakteri aktif yang
diperoleh
dalam
penelitian
ini
menunjukkan
hasil
yang
sangat
menjanjikan karena ketiga isolat mampu
menghambat bakteri MDR lebih dari satu
jenis
yang
meliputi
Klebsiella,
Pseudomonas, Staphylococcus, E.coli
dan Enterobacter. Hasil penelitian
disimpulkan bahwa isolat TCM memiliki
kekerabatan terdekat dengan Pseudoalteromonas sedangkan isolat TCA dan
TOV memiliki kekerabatan yang dekat
isolat yang sama-sama berada dalam
genus Vibrio.
Dari 3 isolat yang paling aktif dan
menjanjikan yang berasosiasi dengan
moluska dalam penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut
tersebut termasuk genus Vibrio dan
Pseudoaltermonas.
Anggota
dari
Alteromonadales dan Vibrionales dalam
Proteobacteria dikenal sebagai produser
dominan antibiotic (Long and Azam,
2001; Grossat et al., 2004). Lebih lanjut
Radjasa et al. (2007a), melaporkan
aktivitas
antibakteri
dari
bakteri
Pseudoalteromonas luteoviolacea TAB
4.2 yang berasosiasi dengan karang keras
Acropora
sp.
aktif
menghambat
pertumbuhan
bakteri
karang
dan
pathogen. Bakteri Pseudoalteromonas
flavipulchra BSP5.1 yang merupakan
simbion sponge Haliclona sp. yang
diperoleh dari perairan Bandengan,
Jepara mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap bakteri pathogen Alteromonas
hydrophila dan Vibrio parahaemolyticus
(Radjasa et al., 2007c). Penelitian lain
(Radjasa et al., 2007d), melaporkan
aktivitas antibakteri dari 3 isolat bakteri
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pringgenies
dari sponge Aaptos sp. termasuk
Pseudoalteromonas luteoviolacea SPA21
yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri MDR Escherichia coli dan
Proteus sp. Bakteri genus Pseudoalteromonas diketahui memiliki fragmen
gen Non-ribosomal peptide syntehase
(NRPS) yang diketahui menghasilkan
siderophore Alterobactin (Deng et al.,
1995).
Genus Vibrio diketahui sebagai
sumber potensial antibiotika, Radjasa et
al (2007c) menyatakan bahwa bakteri
Vibrio BSP1.12 yang diisolasi dari
sponge Haliclona sp. mampu menghambat pertumbuhan bakteri pathogen
Alteromonas hydrophila yang merupakan
causative agent pada penyakit Motile
Aeromonas Septicemia (MAS) yang
menyerang ikan mas. Bakteri Vibrio
MJ.11 yang diisolasi dari karang lunak
Porites lutea juga diketahui mampu
menghambat bakteri pathogen Bacillus
subtilis dan Staphylococcus sp. (Radjasa,
tidak dipublikasikan).
Hasil skrining menunjukkan bahwa
bakteri simbion moluska sangat potensial
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
MDR. Hal ini menjadi poin penting
karena selama ini masalah suplai bahan
baku
menjadi
kendala
dalam
pengembangan senyawa bioaktif dari
avertebrata laut (Proksch et al., 2002),
karena senyawa yang dihasilkan sangat
terbatas sehingga dapat mengancam
keberadaan avertebrata laut itu sendiri.
Hasil skrining terhadap isolat
bakteri simbion pada moluska yang
diambil dari wilayah Maluku Utara
menunjukkan bahwa bakteri simbion
moluska
sangat
potensial
dalam
menghambat pertumbuhan bakteri MDR.
Hal ini menjadi poin penting karena
selama ini masalah suplai bahan baku
menjadi kendala dalam pengembangan
senyawa bioaktif dari invertebrate laut
(Proksch et al., 2002), karena senyawa
yang dihasilkan sangat terbatas sehingga
dapat mengancam keberadaan avertebrata
laut itu sendiri. Jadi dalam konteks
pemanfaatan sumber daya laut yang
berkelanjutan hasil penelitian ini sangat
menjanjikan untuk ditindak lanjuti lebih
lanjut.
Analisis GC-MS dilakukan pada
isolat aktif TCM6.1, TCA8.7 dan
TOV12.sebagai fraksi yang memiliki
aktivitas anti bakteri terbaik. Pendugaan
senyawa dengan menggunakan Gas
Chromatography menunjukkan terdapat
beberapa senyawa yang terdeteksi dari
fraksi TCM, yakni:
Nitrogen oxide
(N2O) (CAS) Nitrous oxide; 1,3Dioxolane, 2-(6-octynyl)-(CAS); Acetic
acid (CAS) Ethylic acid; Propanoic
acid,2-methyl-(CAS) Isobutyric acid;
Iso-VALERIC ACID; Butanoic acid, 2methyl-(CAS) 2-Methylbutanoic acid; 1Pentadecanol (CAS) Pentadecanol; 1,2Benzenedicarboxylic acid, dioctyl ester
(CAS) Dioctyl phthalate; Tetradecane,1iodo-;
Cholastane,
3-thiocyanato,
(3.aplpha,.5.alpha.)-(CAS)
Thiocyanic
acid,5.alp. Sedang fraksi TOV terdekteki
senyawa
Propanoic
acid,2-methyl(CAS)Isobutyric acid; Butanoic acid, 2methyl-(CAS) 2-Methylbutanoid acid
dan fraksi TSA terdekteksi senyawa: 1,2Propadiene (CAS) Allene seperti yang
tertera pada Gambar 1, 2 dan 3.
Hasil GC-MS pada sampel fraksi
TCM memperlihatkan bahwa pada fraksi
terdeteksi 10 puncak senyawa, tapi hanya
3 senyawa yang lebih dominan, yakni
senyawa Nitrogen oxide (N2O) (CAS)
Nitrous oxide; Acetic acid (CAS) Ethylic
acid; Propanoic acid,2-methyl-(CAS)
Isobutyric acid dan fraksi isolat
TOV terdeteksi
senyawa
Propanoic
acid,2-methyl-(CAS)Isobutyric
acid;
Butanoic acid, 2-methyl-(CAS) 2Methylbutanoid acid sedang fraksi isolat
TSA terdeteksi senyawa 1,2-Propadiene
(CAS) Allene.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
37
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
Gambar 1.
Kromatogram GC-MS TCM memperlihatkan bahwa senyawa yang
dominan
adalah Acetic acid (CAS) Ethylic acid
Gambar 2.
Kromatogram GC-MS TOV memperlihatkan bahwa Propanoic acid,2methyl-(CAS) Isobutyric acid
38
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pringgenies
Gambar 3.
Kromatogram GC-MS TSA memperlihatkan bahwa Propadiene (CAS)
Allene
Senyawa acid memperlihatkan
senyawa yang yang potensi sebagai anti
bakteri dengan cara menghancurkan
dinding sel dan menghambatan sintesis
dinding sel (Mutchler, 1991). Diduga
senyawa acid tersebutlah yang berperan
memiliki kemampuan antibakteri (Kim et
al., 2004). Seperti yang dinyatakan oleh
Hillenga et al. (1995), bahwa Asam
Benzenasetat digunakan dalam pembuatan Penicilin G. Asam Benzen-asetat
mempunyai kemampuan untuk menembus membran plasma pada sel.
Dapat
diasumsikan
bahwa
mekanisme kerja dari TCM, TOV dan
TSA dari bakteri simbion Moluska
adalah melalui penghambatan sintesis
dinding sel seperti mekanisme kerja
penisilin melalui penghambatan sintesis
dinding sel (Jawetz et al, 2001).
Ditambahkan pula oleh Katzung (2004),
bahwa antibiotik beta-laktam melintasi
membran luar dan memasuki organismeorganisme gram negatif melalui saluran
protein membran luar. Jadi dalam
konteks pemanfaatan sumber daya laut
yang berkelanjutan hasil penelitian ini
sangat menjanjikan untuk ditindak lanjuti
lebih lanjut.
IV. KESIMPULAN
Isolat bakteri aktif yang diperoleh
dalam penelitian ini menunjukkan hasil
yang sangat menjanjikan karena ketiga
isolat mampu menghambat bakteri MDR.
Hasil GC-MS pada sampel fraksi
TCM memperlihatkan bahwa pada fraksi
terdeteksi 10 puncak senyawa, senyawa
yang lebih dominan yakni senyawa
Acetic acid (CAS) Ethylic acid dan fraksi
isolat TOV terdeteksi senyawa yang lebih
dominan yakni Propanoic acid,2-methyl(CAS) sedang fraksi isolat TSA
terdeteksi
senyawa
1,2-Propadiene
(CAS) Allene.
Isolat fraksi TCM berpotensi
memberikan kontribusi sebagai sumber
alternatif baru metabolit sekunder dari
bahan farmasi bahari dalam menghasilkan produk sebagai desinfektan.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
39
Karakteristik Senyawa Bioaktif Bakteri Simbion…
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan Nasional, Hibah
Kompetensi 2010. Ucapan terima kasih
disampaikan kepada Dr. Ocky K Radjasa
dan Dr. Adus Sabdono MSc Jur. Ilmu
Kelautan FPIK UNDIP Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Burgess J.G., K.G. Boyd, E. Amstrong,
Z. Jiang, L. Yan, M. Berggren, U.
May, T. Pisacane, A. Granmo, and
D.R. Adams, 2003. Development
of a marine natural product-based
antifouling
paint.
Biofouling,
19:197- 205
Hunt, B., and A.C.J. Vincent. 2006. Scale
and sustainability of marine
bioprospecting for pharmaceuticals. Ambio, 35(2):57-64.
Kim TK, MJ Garson., and J A Fuerst.
2005. Marine actinomycetes related
to the Salinospora group from the
Great
Barrier
Reef
sponge
Pseudoceratina clavata. Environ.
Microbiol., 7:509-518.
Long R, and F. Azam, 2001.
Antagonistic interactions among
marine pelagic bacteria. Appl
Environ Microb., 67:4975-4983
Pringgenies. D, O.K. Radjasa, dan A.
Sabdono.
2008.
Bioprospeksi
Moluska dan Bakteri Simbionnya
Dalam Rangka Penanganan Strain
MDR (Multi Drug Resistant.
Program Intensif Riset Dasar
2007/2008..
LembagaPenelitian
Universitas Diponegoro. November 2008. Laporan Penelitian. 40
Hal.
Proksch, P., R.A. Edrada, and R. Ebel.
2002. Drugs from the sea-current
status and microbiological implications. Appl. Microbiol. Biotechnol., 59:125-134.
40
Sukarmi dan O.K. Radjasa. 2007.
Bioethical Consideration in the
Search for Bioactive Compounds
from Reef’s Invertebrates. J. Appl.
Sci., 7(8):1235-1238
Rajasa, O.K. 2003. Marine invertebrataassociated bacteria in coral reef
ecosystems as a new source of
bioactive compounds. J. Coast.
Dev., 7: 65-70
Radjasa, O.K. and A.Sabdono. 2003.
Screening of secondary metabolite-producing bacteria associated
with corals using 16S rDNA-based
approach. J. Coast. Dev., 7:11-19.
Radjasa, O.K., A. Sabdono, Junaidi, and
E. Zocchi. 2007c. Richness of
secondary metabolite- producing
marine bacteria associated with
sponge Haliclona sp. Int. J.
Pharmacol., 3(3):275-279.
Radjasa, OK, H Urakawa, K KitaTsukamoto, and K Ohwada. 2001.
Characterization of psychrotro-phic
bacteria in the surface and deep-sea
waters from north-western Pacific
Ocean based on 16S ribosomal
DNA approach. Mar. Biotechnol.,
3:454-462.
Hunt, B., and A.C.J. Vincent. 2006. Scale
and sustainability of marine
bioprospecting for pharmaceuticals. Ambio, 35(2):57-64.
Olivera, B.M. 2000. Conotoxin MVIIA:
From marine snail venom to
analgesic drug. In: Fusetani (ed.)
Drugs from the sea. Karger, 74–
85pp.
Watermann, B. 1999. Alternative antifoulant techniques present and
future. Limno. Mar., 1(6):6-7.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 41-52, Desember 2010
AKUMULASI LOGAM BERAT PB, CU, DAN ZN
DI HUTAN MANGROVE MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA
ACCUMULATION OF HEAVY METALS PB, CU, AND ZN IN THE MANGROVE
FOREST OF MUARA ANGKE, NORTH JAKARTA
Faisal Hamzah dan Agus Setiawan
Balai Riset dan Observasi Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan
[email protected], [email protected]
ABSTRACT
In this study, the concentrations of three kinds of heavy metals, namely Pb, Zn, and Cu from 3
species of mangrove that grow in Muara Angke were measured and analyzed. Our result
showed that substrate of mangrove ecosystem in Muara Angke was dominated by clay (30.5% 62.4%), silt (21.7% -35.6%), and sand (2% -39.5%). The heavy metals accumulation in roots is
higher than in sediment, water and leaves with concentration of Zn as the highest.
Bioconcentration Factor (BCF; content ratio of heavy metal concentrations in roots or leaves
and sediment) and Translocation Factor (TF; ratio of heavy metal concentrations in leaves and
roots) of non-essential heavy metals (Pb) is higher in leaves than in roots, but for essential
heavy metals (Zn and Cu), the BCF and TF was higher in roots than in leaves. TF values for
heavy metals Pb, Cu, and Zn were 0.98-2.59, 0.17-0.51, and 0.52-0.86, respectively. The values
of root BCF of those three heavy metals were 0.71-3.17, 0.27-0.74, and 0.95-1.53, while the
values of leaf BCF were 1.84-3.45, 0.07-0.34, and 0.72-1.19, respectively. Furthermore, by
calculating the phytoremediation (FTD), i.e. the difference between BCF and TF, it is obtained
that Sonneratia caseolaris and Avicennia marina can be used in phytoremidiation, with leaves
and roots FTD of 1.93 and 2.09, respectively for Sonneratia caseolaris and 1.93 and 1.98 for
Avicennia marina.
Keywords: heavy metals, mangroves, phytoremidiation, Muara Angke, bioconcentration factor,
translocation factor
ABSTRAK
Dalam penelitian ini, konsentrasi tiga jenis logam berat, yaitu Pb, Zn, dan Cu dari 3 spesies
mangrove yang tumbuh di Muara Angke diukur dan dianalisis. Hasil analisa menunjukkan
bahwa substrat yang mendominasi ekosistem mangrove di Muara Angke adalah liat (30,5% 62,4%), debu (21,7%-35,6%), dan pasir (2%-39,5%). Akumulasi logam berat di akar lebih
tinggi daripada di daun, dimana konsentrasi logam berat Zn adalah yang tertinggi. Nilai
Bioconcentration Factor (BCF; rasio kandungan konsentrasi logam berat dalam akar atau daun
dengan sedimen) dan Translocation Factor (TF; rasio konsentrasi logam berat dalam daun dan
akar) logam berat non esensial (Pb) lebih tinggi di daun daripada di akar, namun untuk logam
berat esensial (Zn dan Cu), BCF dan TF lebih tinggi di akar daripada di daun. Nilai TF untuk
logam berat Pb, Cu, dan Zn berturut-turut adalah 0,98-2,59; 0,17-0,51 dan 0,52-0,86. Sementara
itu, nilai BCF akar ketiga logam berat tersebut adalah 0,71-3,17; 0,27-0,74, dan 0,95-1,53. BCF
daun logam Pb, Cu, dan Zn adalah 1,84-3,45, 0,07-0,34, dan 0,72-1,19. Selanjutnya, dengan
menghitung fitoremediasi (FTD), yang merupakan selisih antara BCF dan TF, diperoleh bahwa
Sonneratia caseolaris dan Avicennia marina merupakan spesies mangrove yang dapat
digunakan dalam fitoremidiasi di Muara Angke, dengan FTD daun dan akar sebesar 1,93 dan
2,09 untuk Sonneratia caseolaris dan 1,93 dan 1,98 untuk Avicennia marina.
Kata Kunci: logam berat, mangrove, fitoremidiasi, Muara Angke, bioconcentration faktor,
translocation faktor
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
41
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn…
I. PENDAHULUAN
Mangove merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang mempunyai
peranan penting di daerah estuari.
Ekosistem mangrove memiliki tingkat
produktivitas paling tinggi dibandingkan
dengan ekosistem pesisir lainnya.
Mangrove juga merupakan tempat
mencari makan, memijah dan berkembang biak bagi udang dan ikan serta
kerang
dan
kepiting.
Ekosistem
mangrove bagi manusia juga bermanfaat
baik secara langsung dan tidak langsung
terhadap
sosio-ekonomi
penduduk
sekitar. Selain itu, ekosistem mangrove
juga berfungsi sebagai perangkap
sedimen dan mencegah erosi serta
penstabil bentuk daratan di daerah estuari
(Harty, 1997).
Disamping kegunaan mangrove
yang begitu banyak, adapula usaha dan
aktvitas lain yang menyebabkan luasan
mangrove berkurang. Kegiatan ini seperti
reklamasi pantai, pembukaan lahan untuk
pertanian dan perikanan budidaya,
industri serta pengembangan perumahan
didaerah pesisir (Eong, 1995). Dampak
dari aktivitas diatas dapat menyebabkan
secara langsung masuknya limbah
kedalam ekosistem estuari yang salah
satunya adalah logam berat (MacFarlane,
2002). Peningkatan kadar logam berat
pada ekosistem mangrove dapat juga
berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan
minyak, pengolahan limbah tumbuhan
serta peningkatan sampah dan aktivitas
pertambangan (Peters et al., 1997).
Masukan dari aktivitas pertanian seperti
penggunaaan insektisida dan pupuk yang
berlebihan juga meningkatkan konsentrasi logam berat di estuari (Alloway,
1994). Konsentrasi logam berat yang
tinggi akan menyebabkan kerusakan
lingkungan dan meningkatkan daya
toksisitas, persistan dan bioakumulasi
logam itu sendiri (Lindsey et al., 2004).
42
Secara umum, logam berat untuk
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dibagi menjadi dua yaitu logam
esensial dan non esensial. Cu dan Zn
merupakan logam yang termasuk
esensial, sedangkan Pb merupakan logam
non esensial bagi tumbuhan (Baker dan
Walker, 1990 dalam MacFarlane and
Burchett, 2002). Cu sangat berguna untuk
pertumbuhan jaringan tumbuhan terutama jaringan daun dimana terdapat proses
fotosintesis (Kamaruzzaman et al., 2008).
Selain itu, Cu juga mempunyai fungsi
sebagai salah satu mikronutrien yang
diperlukan didalam mitokondria dan
kloroplas, enzim yang berhubungan
dengan transpor elektron II, proses
sintesis dan metabolisme karbohidrat dan
protein serta sebagai dinding sel lignin
(Verkleij dan Schat, 1990 dalam
MacFarlane and Burchett, 2003). Pb
merupakan logam yang sangat rendah
daya larutnya bersifat pasif, dan mempunyai daya translokasi yang rendah
mulai dari akar sampai organ tumbuhan
lainnya. Pb juga memiliki toksisitas yang
tertinggi dan menyebabkan racun bagi
beberapa
spesies
(Wozny
dan
Kzreslowka, 1993 dalam MacFarlane and
Burchett, 2002). Zink sangat berguna
dalam sistem enzim, enzim aktivator
dalam proses respirasi dan hormon
pertumbuhan.
Mills
(1995)
telah
melakukan observasi terhadap beberapa
logam berat yang masuk ke daerah
estuari, dan hasilnya adalah sebagian
besar logam yang masuk kedalam estuari
berasal dari aktivitasi industri antara lain
Cu, Pb, dan Zn. Ketiga logam tersebut
masuk kedaerah estuari dengan konsentrasi yang tinggi dengan peningkatan
nilai konsentrasi sampai dengan 1000 µg
Cu g-1, 1000 µg Pb g-1, dan 2000 µg Zn
g-1 didalam sedimen yang terkontaminasi
(Irvine dan Birch, 1998).
Walaupun masukan sumber pencemar sangat banyak, mangrove memiliki
toleransi yang tinggi terhadap logam
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hamzah dan Setiawan
berat (Macfarlane dan Burchett, 2001).
Hal ini menunjukkan bahwa mangrove
secara aktif menghindari masukan logam
berat yang berlebih dan berfungsi sebagai
penyaring dan memiliki daya treatment
khas secara alami melalui organ akar
(Clark et al., 1998 dalam Kammaruzaman et al., 2008) Akumulasi logam
berat terjadi pada akar dan dibawa ke
jaringan lainnya dan proses ini bisa
membatasi masuknya udara ke dalam
jaringan tersebut (Silva et al., 1990;
Chiu dan Chou, 1991 dalam MacFarlane
et al., 2003).
Hutan Lindung Angke Kapuk
(HLAK) merupakan kawasan konservasi
di daerah Muara Angke yang terletak di
ujung Jakarta dengan luas hutan seluas
44,7 Ha. Luasan hutan ini termasuk kecil,
namun mengingat keberadaan dan
fungsinya kawasan ini mempunyai nilai
yang sangat khusus. Sebagian besar
ekosistem yang tumbuh didaerah HLAK
yaitu mangrove jenis Avicennia marina,
Rhizophora mucronata, dan Sonneratia
caseolaris. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
akumulasi logam pada
mangrove terutama pada jaringan utama
seperti akar dan daun. Selain itu,
diketahuinya perbandingan konsentrasi
logam antara di mangrove dengan di
lingkungan sehingga diketahui apakah
vegetasi tersebut dapat dijadikan
indikator pencemaran logam berat di
kawasan Muara Angke.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Jenis Sampel
Survey pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Juni 2010 di Hutan
Lindung Angke Kapuk (HLAK), Muara
Angke, Jakarta. HLAK merupakan
daerah konservasi hutan mangrove
berada dibawah koordinasi Dinas
Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta.
Sebanyak 3 titik diambil pada penelitian
ini yaitu stasiun 2A, 2B dan 5 (Gambar
1). Pemilihan jenis mangrove berdasarkan spesies yang dominan yang
ditemukan di daerah penelitian. Secara
umum jenis mangrove yang dominan
yang ditemuakan adalah Avicennia
marina, Rhizophora mucronata, dan
Sonneratia caseolaris.
Sampel yang diambil meliputi
parameter fisika kimia air dan sedimen
yaitu suhu, pH, salinitas air dan tanah,
kandungan oksigen terlarut (DO). Logam
yang dianalisa meliputi logam esensial
dan non esensial bagi mangrove yaitu Pb,
Cu, dan Zn. Sampel untuk analisa logam
berat berasal dari air, sedimen, akar dan
daun mangrove.
2.2. Pengambilan Sampel dan Metode
Ekstraksi
Pengukuran
insitu
dilakukan
terhadap parameter suhu, salinitas,
kandungan oksigen terlarut (DO) dan pH.
Suhu diukur dengan menggunakan
termometer, salinitas air diukur dengan
menggunakan refraktometer sedangkan
salinitas sedimen diukur dengan SCT
Meter.
pH
air
diukur
dengan
menggunakan pH meter sedangkan pH
sedimen diukur dengan mengunakan
ekstrak H2O dan CaCl2 dimana pH yang
diekstrak
dengan
air
merupakan
kemasaman aktif (aktual) dan ekstrak
CaCl2 0.01 M merupakan kemasaman
potensial
(cadangan).
Kandungan
oksigen
terlarut
diukur
dengan
menggunakan metode titrasi winkler.
Sampel air untuk logam diambil dengan
menggunakan Van Dorn dan dimasukkan
kedalam botol polietilen yang terlebih
dahulu dibersihkan dengan menggunakan
HCl 6 N dan dibilas dengan aquadest
(Hutagalung et.al., 1997). Sampel
sedimen diambil dengan menggunakan
Ekman grab dan dimasukan kedalam
botol polietilen.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
43
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, dan Zn…
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Muara Angke, Juni 2010
Kandungan logam berat pada air
diukur dengan cara terlebih dahulu
menghilangkan ion mayor seperti Na+,
Ca2+, SO4-2, K+, dan Mg2+ dengan
menambahkan metil iso butil keton,
APDC,
dan
NaDDC
sehingga
memudahkan proses adsorbsi logam
berat oleh AAS (Hutagalung et.al.,
1997). Untuk logam berat pada sedimen
juga dihilangkan ion mayor kemudian
ditambahkan HF hingga suhu mencapai
1300C. Setelah dingin, sampel siap
diukur dengan AAS menggunakan nyala
udara asitilen. Fraksinasi sedimen juga
dilakukan pada penelitian ini. Fraksinasi
sedimen dilakukan dengan menganalisa
tekstur dengan menggunanakan metode
fraksional yang menggunakan alat
saringan bertingkat.
Sampel akar dan daun mangrove
diambil dengan menggunakan gunting
tanaman. Sampel akar yang diambil
merupakan akar mangrove yang masuk
kedalam sedimen, sedangkan daun
mangrove yang diambil merupakan daun
mangrove yang tidak terlalu tua dan tidak
juga terlalu muda. Sebanyak ± 30 daun
44
diambil dari 5 jenis pohon 3 spesies.
Pohon
yang diambil mempunyai
diamater berkisar antara 15-20 cm
dengan tinggi 3-5 m. Sampel daun dan
akar, terlebih dahulu di keringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 1050C
selama 24 jam. Tambahkan HNO3 dan
HClO4 (APHA, 2005), Kemudian
dipanaskan dan ditambah HNO3, dan siap
diukur dengan menggunakan nyala udara
asitilen.
2.3. Analisa Data
Untuk
mengetahui
terjadi
akumulasi logam pada mangrove
dilakukan dengan cara menghitung
konsentrasi logam pada sedimen, akar
dan daun. Perbandingan antara konsentrasi logam di akar/daun dengan
konsentrasi di sedimen dikenal dengan
bio-concentration factor (BCF). BCF
pada daun dan akar dihitung untuk
mengetahui seberapa besar konsentrasi
logam pada daun dan akar yang berasal
dari lingkungan (MacFarlane et al.,
2007). Selain itu juga dihitung
perbandingan antara konsentrasi logam
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hamzah dan Setiawan
pada daun dan akar yang dikenal sebagai
translocation factors (TF). Nilai TF
dihitung untuk mengetahui perpindahan
akumulasi logam dari akar ke tunas
(MacFarlane et al., 2007). Selisih antara
nilai BCF dan TF digunakan untuk
menghitung fitoremediasi (Yoon et al.,
2006). Pearson correlation digunakan
untuk mengetahui hubungan antara
konsentrasi logam pada sedimen, akar
dan daun.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Paramater Fisika dan Kimia
Parameter fisika dan kimia air yang
diukur secara insitu adalah adalah pH,
suhu, salinitas dan oksigen terlarut
sedangkan untuk sedimen, paramater
yang diukur adalah salinitas dan pH.
Secara umum, pH hasil pengukuran
diketiga lokasi hampir sama yaitu
berkisar 7,53 - 7,68. Nilai tertinggi untuk
pH ditemukan pada Stasiun 2B. Untuk
suhu, secara umum juga hampir sama di
semua lokasi penelitian yaitu berkisar
antara 28.5-29 0C (Tabel 1). Nilai suhu
dan pH berdasarkan baku mutu air laut
untuk biota laut didaerah mangrove
masih berada dibawah baku mutu
(KepMen LH No 51, 2004). Nilai
salinitas dan oksigen terlarut memiliki
nilai yang beda antarstasiun. Stasiun 5
merupakan stasiun yang paling rendah
salinitas dan DO-nya (3 ‰ & 1,77 mg/l),
sedangkan stasiun 2B memiliki salinitas
dan DO paling tinggi yaitu 19 ‰ dan
6,39 mg/l. Rendahnya salinitas pada
stasiun 5 diduga bahwa Stasiun 5 dekat
dengan
Sungai
Angke,
sehingga
mendapat pengaruh dari masukan air
tawar. Kondisi substrat yang bersifat
anaerob merupakan salah satu ciri daerah
estuari. Hal ini mengindi-kasikan bahwa
secara umum oksigen terlarut di daerah
estuari memang sangat rendah dan
bersifat anaerob. Oksigen terlarut dari air
diserap ke sedimen dan digunakan untuk
kegiatan respirasi oleh bakteri (Hogarth,
1999).
Salinitas pada sedimen berkisar 1225 ‰, sedangkan pH sedimen yang
diukur melalui pendekatan H2O berkisar
5,2-7,5 dan CaCl2 berkisar 5,1-7,4.
Secara umum pH dengan menggunakan
pendekatan ekstraksi H2O dan CaCl2
tidak jauh beda antarstasiun dan jika
dibandingkan antara pH air dan sedimen,
maka stasiun 2A dan 2B memiliki pH
yang sama, tetapi untuk stasiun 5
memiliki perbedaaan nilai antara air dan
sedimen. Pengukuran pH dengan
menggunakan ekstraksi H2O akan
mendapatkan
hasil
lebih
besar
dibandingkan dengan menggunakan
ekstrak CaCl2 0.01 M karena ekstrak
CaCl2 merupakan kemasaman cadangan
sehingga nilainya selalu lebih kecil dari
ekstrak air.
Faktor lain yang
mempengaruhi rendahnya nilai pH pada
stasiun 5 adalah proses reaksi reduksi dan
oksidasi yang terjadi pada sedimen
diduga bisa mengurangi kandungan pH.
Secara umum, kondisi ekosistem
mangrove di Muara Angke berada
didaerah tercemar (Teluk Jakarta).
Masukan limbah yang berasal dari
industri, pelabuhan, dan aktivitas rumah
tangga
menyebabkan
tingginya
pencemaran yang terjadi terutama logam
berat. Sumber pencemar yang berasal
dari aktivitas rumah tangga yang
mengandung bahan organik akan
mempengaruhi
kondisi
ekosistem
mangrove terutama sedimen. Bahan
organik yang ada pada ekosistem
mangrove secara alami berasal dari
serasah mangrove. Selain itu, bahan
organik juga akan mempengaruhi derajat
keasaman (Setyawan, 2008). Peningkatan
logam didaerah estuari juga dipengaruhi
oleh faktor sedimen yang dipengaruhi
oleh pH, bahan organik, perpindahan
kation, spesies mangrove, dan umur
mangrove.
Mobilitas logam dan
ketersediaan dari logam berat di sedimen
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
45
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
secara umum rendah. Kondisi ini
ditentukan sekali oleh pH yang tinggi,
sedimen berbentuk lempung dan bahan
organik tinggi. (Jung dan Thomton, 1996;
Rosselli et al., 2003 dalam Yoon et al.,
2006).
3.2. Fraksinasi Sedimen
Sedimen di daerah Muara Angke
terdiri dari berbagai tipe substrat dengan
ukuran yang berbeda, penentuan jenis
dan komposisi sedimen dilakukan dengan
mengidentifikasi fraksi-fraksi pemben-
tuknya yakni pasir, debu dan
liat.
Gambar
2
menunjukkan
bahwa,
berdasarkan hasil analisa laboratorium,
komposisi substrat didaerah Muara
Angke sebagian besar didomininasi oleh
liat (30,5 - 62,4%), sedangkan untuk
fraksi lainnya yaitu debu (21,7%-35,6%),
dan pasir (2%-39,5%). Stasiun 2B dan
2A
merupakan
stasiun
tertinggi
komposisi liatnya
yaitu 62,4% dan
45,6%. Stasiun 5 lebih didominasi oleh
pasir dengan jumlah persentase mencapai
39, 5%.
Tabel 1. Parameter fisika kimia air dan sedimen di daerah Muara Angke
No
Parameter
Satuan
Stasiun
5
2A
2B
7,56
7,53
7,68
C
28,5
29
29
Air
1
pH (in-situ)
o
2
Suhu (in-situ)
3
Salinitas (in-situ)
‰
3
10
19
4
Oksigen Terlarut
mg/L
1,77
5,68
6,39
‰
13
12
25
H2O
-
5,2
7,5
7,5
CaCl2
-
5,1
7,4
7,4
Sedimen
5
Salinitas
6
pH
Gambar 2. Komposisi tekstur sedimen di Muara Angke
46
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hamzah dan Setiawan
Prosentase antara liat dan debu
pada Stasiun 5 hampir sama yaitu 30,5%
dan 30%. Kondisi substrat dengan fraksi
lumpur akan berpengaruh terhadap
konsentrasi logam (Hogarth, 1999).
3.3. Kandungan logam berat Pb, Cu
dan Zn pada air dan sedimen
Hasil
pengukuran
kandungan
logam
Cu dan Pb total pada air
menunjukkan kurang dari 0,006 ppm,
sedangkan untuk logam Zn total berkisar
antara 0,044-0,062 ppm. Pada sedimen,
kandungan logam berat Cu total berkisar
antara 28,41-51,36 ppm, kandungan
logam Zn total berkisar 56,58-69,3 ppm
dan 18,64-29,57 ppm untuk logam Pb
total. Kandungan rerata logam berat Pb,
Cu, dan Zn pada air dan sedimen dapat
dilihat pada Tabel 2.
Secara umum kandungan logam
baik Pb, Cu, dan Zn dalam air memiliki
nilai yang lebih rendah dibandingkan
dengan yang di sedimen. Dalam air,
logam Zn memiliki konsentrasi tertinggi
di dibandingkan logam lainnya. Pb dan
Cu memiliki daya larut yang rendah
dibandingkan dengan Zn, sehingga di
perairan konsentrasinya rendah. Di
sedimen, konsentrasi logam Zn memiliki
nilai
konsentrasi
yang
tinggi
dibandingkan dengan Cu dan Pb.
Tingginya konsentrasi logam Zn total
baik di air dan sedimen dapat
menunjukkan bahwa terdapat masukan
dari aktivitas industri, pelabuhan, dan
perumahan yang menuju HLAK. Jika
dikaitkan dengan kondisi perairan yang
asam, Zn akan berikatan dengan Cl- dan
mudah terlarut sehingga bisa meningkat
konsentrasi Zn. Tingginya kandungan Zn
di sedimen dibandingkan dengan air
dikarenakan ion Zn sangat mudah
terserap kedalam sedimen. Dalam hal ini,
konsentrasi Zn dalam air, tidak berupa
ion melainkan berbentuk senyawa
(Effendi, 2003).
3.4. Kandungan logam berat Pb, Cu,
dan Zn pada daun dan akar
Kandungan logam Cu pada akar
berkisar antara 12,17-37,68 ppm dengan
konsentrasi tertinggi terdapat pada
species Avicennia marina ke-3 stasiun 2.
Kandungan logam Zn total pada akar
berkisar 55,38-99,88 ppm, sedangkan
kandungan logam Pb berkisar 20,9868,78 ppm. Logam Zn tertinggi
ditemukan di St. 2 pada species
Avicennia marina ke-5 dan Pb teringgi
ditemukan di stasiun 5 pada spesies
Sonneratia caseolaris. Kandungan logam
Cu pada daun berkisar 2,07 - 10,07 ppm
dengan konsentrasi tertinggi terdapat
pada spesies Avicennia marina stasiun 2
(Tabel 3).
Tabel 2. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada air dan sedimen
Stasiun
No
Parameter
Satuan
5
2A
2B
Air
1
Cu Total
ppm
<0,006
<0,006
<0,006
2
Pb Total
ppm
<0,006
<0,006
<0,006
3
Zn Total
Sedimen
ppm
0,062
0,048
0,044
4
Cu Total
ppm
28,41
29,68
51,36
5
Zn Total
ppm
56,58
65,28
69,3
6
Pb Total
ppm
23,23
18,64
29,57
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
47
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
Penyerapan tetap dilakukan, namun
dalam jumlah yang terbatas dan
terakumulasi di akar. Selain itu, terdapat
sel endodermis pada akar yang menjadi
penyaring dalam proses penyerapan
logam berat. Dari akar, logam akan di
translokasikan ke jaringan lainnya seperti
batang dan daun serta mengalami proses
kompleksasi dengan zat yang lain seperti
fitokelatin. (Baker dan Walker, 1990
dalam MacFarlane et al., 2003).
Logam Zn dan Pb berkisar 47,8667,45 ppm dan 54,31-85,48 ppm, dengan
konsentrasi logam Zn dan Pb tertinggi
terdapat pada stasiun 5, spesies
Sonneratia caseolaris dan Rhizophora
mucronata. Kandungan logam berat pada
akar dan daun dapat dilihat pada Tabel 4.
Jika dilihat perbandingan konsentrasi logam pada akar dan daun, maka
kandungan logam berat pada akar lebih
tinggi dibandingkan pada daun. Logam
Cu dan Zn lebih tinggi pada akar
dibandingkan
pada
daun,
namun
sebaliknya konsentrasi logam Pb lebih
tinggi di daun dibandingkan pada akar.
Tingginya konsentrasi logam Pb pada
daun diduga tingkat mobilitas logam Pb
yang tinggi, namun berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh MacFarlane et al.,
(2003). Kandungan logam berat Pb pada
Avicennia marina pada kondisi terkontrol
lebih tinggi di akar dibandingkan di daun.
Baker (1981) dalam MacFarlane et al.,
(2003) menyatakan bahwa Avicennia
marina merupakan spesies mangrove
yang sangat ketat dalam menyerap logam
Pb bahkan sampai tidak menyerap sama
sekali. Berdasarkan mekanisme fisiologis, mangrove secara aktif mengurangi
penyerapan logam berat ketika konsentrasi logam berat di sedimen tinggi.
3.5. Akumulasi dan translokasi logam
Cu, Zn, dan Pb
Berdasarkan data konsentrasi akar,
daun dan sedimen, akumulasi logam bisa
dilihat dengan cara membandingkan
konsentrasi antar jaringan tumbuhan
mangrove. Baker dan Brooks (1989)
menyatakan bahwa, tumbuhan mampu
mengakumulasi logam berat hingga >
1000 mg kg-1 dan dikenal sebagai
hiperakumulator. Pada dasarnya, tumbuhan mempunyai daya toleransi dan
mengakumulasi logam berat dan hal ini
berkaitan dengan tujuan fitostabilisasi.
Bioconcentration factors (BCF) dan
Translocation
factors
(TF)
bisa
digunakan untuk menduga tumbuhan
yang bisa dijadikan sebagai fitoremidiasi.
Tabel 3. Kandungan rerata logam berat Pb, Cu dan Zn pada daun dan akar
Lokasi dan Spesies mangrove
No
Parameter
Satuan
5 - RM 3
5 - SC 4
2A - AM 3
2A - AM 4
2A - AM 5
Akar
1
Cu Total
ppm
12,17
15,36
37,68
13,88
22,04
2
Zn Total
ppm
55,38
83,05
95,61
66,18
99,88
3
Pb Total
Daun
ppm
53,89
68,78
20,98
57,52
59,16
4
5
Cu Total
Zn Total
ppm
ppm
2,07
47,86
2,57
67,45
8,45
50,15
7,08
51,76
10,07
54,22
6
Pb Total
ppm
85,48
67,71
54,31
61,93
64,32
Keterangan : 5 - RM 3 : Rhizophora mucronata St.5; 5 - SC 4: Sonneratia caseolaris St. 5; 2A - AM 3:
Avicennia marina St. 2; 2A - AM 4: Avicennia marina St. 2A; 2A - AM 5: Avicennia marina St. 2A
48
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hamzah dan Setiawan
Tabel 4. Akumulasi dan translokasi logam Cu, Zn dan Pb di daerah Muara Angke
Spesies
Stasiun
Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Avicennia marina-3
Avicennia marina-4
Avicennia marina-5
5
5
2B
2B
2A
BCF Daun
BCF Akar
TF
Cu
Zn
Pb
Cu
Zn
Pb
Cu
Zn
Pb
0,07
0,09
0,16
0,14
0,34
0,85
1,19
0,72
0,75
0,83
3,68
2,91
1,84
2,09
3,45
0,43
0,54
0,73
0,27
0,74
0,98
1,47
1,38
0,95
1,53
2,32
2,96
0,71
1,95
3,17
0,17
0,17
0,22
0,51
0,46
0,86
0,81
0,52
0,78
0,54
1,59
0,98
2,59
1,08
1,09
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat
bahwa dari 5 pohon mangrove untuk
logam Pb, Rhizophora mucronata pada
stasiun 5 memiliki nilai BCF daun paling
tinggi yaitu 3,68 kemudian diikuti oleh
Avicennia marina-5 pada stasiun 2A
(3,45). Hal ini bisa dilihat bahwa
konsentrasi logam Pb total pada daun
memang
memiliki
nilai
tertinggi
dibandingkan dengan daun mangrove
lainnya dan juga didukung oleh
konsentrasi total logam Pb pada sedimen
di stasiun 5 lebih tinggi dibandingkan
pada stasiun 2A (23,23 ppm). Berbeda
dengan logam Pb, nilai BCF daun untuk
logam Zn tertinggi ditemukan pada
spesies Sonneratia caseolaris (1,19) di
stasiun 5 dan untuk BCF daun logam Cu
tertinggi ditemukan di stasiun 2A spesies
Avicennia marina-5 (0,34). Nilai BCF
daun rata-rata logam Pb dan Zn (2,46 dan
0,76) spesies Avicennia marina lebih
besar dibandingkan oleh yang dilakukan
McFarlane et al., 2007 (BCF= 0,17 dan
0,45).
Akumulasi logam dari sedimen
menuju akar yang dilihat dari nilai BCF
akar. Secara umum, akumulasi dan
penyerapan logam Pb, Cu, dan Zn dari
sedimen ke akar tertinggi ditemukan pada
spesies Avicennia marina-5 di stasiun 2A
dengan nilai BCF akar logam Pb, Cu, dan
Zn berturut-turut adalah 3,17; 0,74 dan
1,53. Tingginya nilai BCF akar untuk
semua logam didukung oleh tingginya
konsentrasi semua logam pada akar dan
rendah
pada
sedimen
sehingga
menghasilkan nilai BCF akar yang tinggi.
Nilai BCF daun rata-rata logam Cu (0,58)
spesies Avicennia marina lebih kecil
dibandingkan oleh yang dilakukan
McFarlane et al., (2007) (BCF= 0,92),
sedangkan untuk BCF rata-rata akar
logam Pb dan Zn jauh lebih tinggi (1,94
dan 1,62) dibandingkan dengan yang
dilakukan oleh McFarlane et al., (2007)
(BCF akar Pb=0,57; BCF akar Zn=0,69).
Translokasi logam dihitung antara
rasio konsentrasi logam di daun dan di
akar. Berdasarkan hasil perhitungan,
didapatkan bahwa nilai TF Cu, Zn, dan
Pb berkisar 0,17-2,59. Nilai TF tertinggi
ditemukan pada spesies Avicennia
marina-3 stasiun 2B untuk logam Pb dan
nilai TF terendah ditemukan pada logam
Cu spesies Rhizophora mucronata dan
Sonneratia caseolaris (0,17). Nilai TF
daun rata-rata logam Pb dan Zn (1,58 dan
0,61) spesies Avicennia marina lebih
besar dibandingkan oleh yang dilakukan
McFarlane et al., 2007 (TF= 0,41 dan
0,51) namun, untuk logam Cu pada
spesies yang sama, nilai TF rata-rata
lebih kecil (TF= 0,39) dibandingkan yang
dilakukan McFarlane et al. (2007)
(TF=0,50). Jika dilihat kandungan total
logam Pb pada akar dan daun Avicennia
marina-3 pada Tabel 4, spesies ini
merupakan spesies yang paling kecil
memiliki kandungan logam dibandingkan
dengan Rhizophora mucronata dan
Sonneratia caseolaris. Avicennia marina
merupakan salah satu jenis mangrove
yang mensekresi garam melalui daun.
Selain itu juga pada bagian akar terdapat
pneumatopora sehingga dapat mentrans-
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
49
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
lokasikan berbagai kandungan garam dan
logam menuju daun (MacFarlane et al.,
2007).
Translokasi logam dari akar ke
daun untuk logam esensial (Cu dan Zn)
sangat rendah dibandingkan pada logam
non esensial (Pb). Rendahnya nilai TF
pada logam esensial menunjukkan bahwa
mangrove menggunakan kedua logam
tersebut untuk aktivitas metabolisme dan
pertumbuhan. Sedangkan untuk logam
non esensial, proses mobilitas logam dari
akar ke daun sangat tinggi, hanya
Sonneratia
caseolaris
yang
nilai
mempunyai nilai TF dibawah 1 (0,98).
Pada daun, Pb bersifat racun terutama
pada
saat
tumbuhan
melakukan
fotosintesis, sintesa khlorofil, dan sintesa
enzim antioksidan (Kim et al., 2003
dalam Yoon et al., 2006). Terkadang
akar juga mempunyai sistem penghentian
transpor logam menuju daun terutama
logam non esensial, sehingga ada
penumpukkan logam di akar (Yoon et al.,
2006).
Analisa
Pearson
Correlation
dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara kandungan logam pada daun dan
sedimen, serta kandungan logam pada
sedimen dan akar. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa hubungan
antara kandungan logam pada sedimen
dan daun berkorelasi negatif terjadi pada
logam Cu dengan nilai korelasi -0.296
dan berkorelasi positif pada logam Zn
dan Pb dengan nilai korelasi masingmasing 0.192 dan 0.135. Hal
ini
menunjukkan bahwa, konsentrasi Cu
pada daun secara tidak langsung
ditranslokasikan dari sedimen menuju
daun, tetapi diakumulasikan terlebih
dahulu diakar sedangkan pada logam Pb
dan Zn, sekitar 19 % dan 13 % kedua
logam tersebut di transfer dari sedimen
menuju
daun.
Hubungan
antara
kandungan logam berat di akar dan di
sedimen untuk logam Pb, Cu dan Zn
berturut-turut adalah -0.57, 0.57, dan 0.04. Korelasi antara kandungan logam
Cu pada akar dan sedimen mempunyai
hubungan yang positif yaitu sebesar 57%.
Hal ini mengindikasikan
bahwa
sebanyak 57 % logam di sedimen diserap
oleh organ akar. Sedangkan untuk logam
Pb dan Zn mempunyai hubungan negatif.
Ma et al. (2001) menyatakan
bahwa fitoremidiasi merupakan salah
satu solusi yang murah biaya, waktu yang
lama, dan
hemat tenaga
didaerah
terkontaminasi. Salah satu aplikasi dari
fitoremidiasi
yaitu
fitostabilisasi.
Fitostabilasasi merupakan usaha untuk
mengurangi kandungan polutan dimana
tumbuhan yang digunakan sebagai
sarananya dengan tujuan mengurangi
tingkat pergerakan logam pada tanah atau
sedimen. Fitoremidiasi (FTD) merupakan selisih antara nilai BCF dan TF. FTD
akan maksimal jika BCF tinggi dan TF
rendah (Yoon et al., 2006).
Berdasarkan Tabel 6, Avicennia
marina-5 stasiun 2A merupakan jenis
mangrove yang mempunyai nilai FTD
paling besar dibandingkan dengan jenis
mangrove lainnya (FTD akar dan daun;
1,93 dan 2,09), kemudian diikuti oleh
Tabel 5. Fitoremidiasi pada akar dan daun di Muara Angke
50
Spesies
Stasiun
Rhizophora mucronata
Sonneratia caseolaris
Avicennia marina-3
Avicennia marina-4
Avicennia marina-5
5
5
2B
2B
2A
FTD Daun
Cu
Zn
-0,1
-0,02
-0,08
0,38
-0,06
0,2
-0,37
-0,04
-0,12
0,29
Pb
2,09
1,93
-0,8
1,02
2,36
Cu
0,26
0,37
0,51
-0,24
0,29
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
FTD Akar
Zn
Pb
0,11
0,73
0,66
1,98
0,86
-1,88
0,17
0,87
0,99
2,09
Hamzah dan Setiawan
Sonneratia caseolaris stasiun 5 dengan
nilai FTD daun dan akar masing-masing
1,93 dan 1,98. Untuk spesies Rhizophora
mucronata stasiun 5, spesies ini
mempunyai nilai FTD daun cukup tinggi
(2,09), namun nilai FTD akar cukup kecil
(0,73) dan juga nilai TF cukup besar
(1,59).
Dari
uraian
diatas
dapat
disimpulkan bahwa untuk didaerah
Muara Angke, spesies mangrove yang
dapat
digunakan
untuk
tujuan
fitoremidiasi dilingkungan tercemara
adalah Avicennia marina-5
dan
Sonneratia caseolaris. Fitoremidiasi dan
fitostabilisasi bisa digunakan untuk
mengurangi pergerakan polutan didalam
tanah/sedimen. Proses ini menggunakan
kemampuan akar tanaman (mangrove)
untuk mengubah kondisi lingkungan
tercemar berat menjadi sedang bahkan
ringan. Mangrove bisa mengentikan atau
mengurangi proses penyerapan dan
akumulasi logam berat melalui akar.
Proses ini akan mengurangi pergerakan
logam dan mengencerkannya serta
mengurangi logam masuk kedalam
system rantai makanan di daerah estuari
(Susarla et al., 2002).
IV. KESIMPULAN
Secara umum konsentrasi logam
berat di Muara Angke pada akar
mangrove lebih tinggi dibandingkan
pada daun, sedimen dan air dengan
konsentrasi: akar (12,17-99,88 ppm),
daun (2,07-85,48 ppm), sedimen (18,6469,3 ppm), air (<0,006-0,0062 ppm).
Konsentrasi
Zn
paling
tinggi
dibandingkan dengan Pb dan Cu.
Akumulasi logam berat pada daun dan
akar bisa dihitung melalui BCF. Nilai
BCF daun tertinggi pada logam Pb
species Avicennia marina (3,45) dan
BCF akar juga tertinggi pada logam Pb
pada Avicennia marina (3,17). Nilai TF
tertinggi ditemukan pada spesies
Rhizophora mucronata (1,59). Untuk
tujuan
fitoremidiasi,
Sonneratia
caseolaris dan Avicennia marina
merupakan spesies mangrove yang dapat
digunakan didaerah Muara Angke.
DAFTAR PUSTAKA
Alloway, B.J. 1994. Toxic metals in
soil–plant systems. Chichester, UK:
John Wiley and Sons.
American Public Health Association,
American
Water
Works
Assosiation dan Water Pollution
Control Federation. 2005. Standard
Methods for the Examination of
Water and Wastewater, AWWA,
WPCF. 21st Eds. Hal 3-10.
Baker, A.J.M. and R.R. Brooks. 1989.
Terrestrial higher plants which
hyperaccumulate
metallic
elements—a review of their
distribution, ecology and phytochemistry. Biorecovery,1:81–126.
Eong, O.J. 1995. The ecology of
mangrove
conservation
and
management. Hydrobiologia, 295:
343–351.
Harty, C. 1997. Mangroves in New South
Wales
and
Victoria.
Vista
Publications, Melbourne, 47 pp.
Hutagalung, H.P, D. Setiapermana, dan
S.H. Riyono. 1997. Metode
Analisis Air laut, Sedimen dan
Biota (Buku Kedua). P3O LIPI.
Jakarta.
Irvine, I. and G. F. Birch. 1998.
Distribution of heavy metals in
surficial sediments of Port Jackson,
Sydney, New South Wales. Aust. J.
Earth Sci., 45:297–304.
Kamaruzzaman, B.Y., M.C. Ong.,
K.C.A., Jalal., S. Shahbudin., dan
O.M. Nor. 2008. Accumulation of
Lead and Copper in Rhizophora
apiculata from Setiu Mangrove
Forest, Terengganu, Malaysia.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
51
Akumulasi Logam Berat Pb, Cu, Dan Zn…
Journal of Environ-mental Biology:
821-824
KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004.
Baku mutu Air Laut.
Lindsey, H.D., M.M. James, and M.G.
Hector. 2004. An Assessment of
Metal Contamination in Mangrove
Sediments and Leaves from Punta
Mala Bay, Pacific Panama. Marine
Pollution Bulletin., 50:, 547-552.
Ma, L. Q., K.M. Komar, C. Tu, and W.
A. Zhang. 2001.
A fern that
Hyperaccumulator arsenic. Nature
409:579.
MacFarlane, G.R. and M.D. Burchett.
2001. Photosynthetic pigments and
Peroxides activity as indicators of
Heavy Metal stress in the Grey
Mangrove
Avicennia
marina
(Forsk.) Veirh. Marine Pollution
Bulletin, 42: 233-240.
MacFarlane, G.R. 2002. Leaf biochemical parameters in Avicennia
marina (Forsk.) Vierh as potential
biomarkers of heavy metal stress in
estuarine ecosystems. Mar. Pollut.
Bull, 44: 244–256.
MacFarlane, G.R. and M.D. Burchett.
2002. Toxicity, growth and
accumulation
relationships
of
copper, lead and zinc in the Grey
Mangrove
Avicennia
marina
(Forsk.) Veirh. Marine Environmental Research, 54: 65–84.
MacFarlane, G.R., Pulkownik, and M.D.,
Burchett. 2003. Accumulation and
Distribution of Heavy Metals in
grey Mangrove, Avicennia marina
(Forsk)
Vierh:
Biological
indication potential. Environmental
Pollution, 123: 139-151.
MacFarlane, G.R., E.C. Koller, and S.P.
Blomberg. 2007. Accumula-tion
and Patitioning of Heavy Metals in
Mangrove: A Synthesis of Fieldbased Studies. Chemosphere. 14541464.
52
Mills, W.B. 1995. Water Quality
Assessment: A Screening Procedure for Toxic and Conventional
Pollutants in Surface and Ground
Water – Part 1. US EPA, Georgia.
Peters, E.C., N.J. Gassman, J.C. Firman,
R.H. Richmond, and E.A. Power.
1997. Ecotoxicology of tropical
marine ecosystems. Environmental
Toxicology and Chemistry, 16:12–
40.
Rao, N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah
dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi
kedua. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Setyawan, A.D. 2008. Biodiversitas
Ekosistem Mangrove di Jawa;
Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan
Jawa Tengah. Cetakan Pertama.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, LPPM Universitas Sebelas
Maret. Surakarta: 71-79.
Susarla S., V.F. Medina, and S.C.
McCutcheon .2002. Phytoremediation, an ecological solution to
organic contamination. Ecol Eng,
18:647–58.
Yoon, J., C. Xinde, Z. Qixing , and L.Q.
Ma. 2006. Accumulation of Pb, Cu,
and Zn in Native Plants Growing
on a Contaminated Florida Site.
Science of the Total Environment:
456-464.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 53-61, Desember 2010
KAJIAN STABILITAS EMPAT TIPE KASKO KAPAL POLE AND LINE
STABILITY ANALYSIS OF FOUR TYPES OF POLE AND LINER
St. Aisyah Farhum
Faculty of Marine and Fisheries Science, Hasanuddin University, Indonesia;
email: [email protected]
ABSTRACT
This study was purposed to compare the stability of four types of pole and liner casco
(round bottom, round flat bottom, round sharp bottom and u-v bottom),. The stability
value was analyzed by calculating the stability on the curve with the heeling angle of 090°. The stability results of each casco type were then compared with the criteria of
minimum standard value derived from IMO (International Maritime Organization).
Results showed that the four casco types had greater stability values than IMO
standard values. This study found that the stability value of the round –sharp bottom
casco was better than the others.
Keywords: Stability of fishing boat, Pole and liner, casco
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan nilai stabilitas pada empat tipe
kasko kapal pole and line, masing-masing round bottom, round flat bottom, round sharp
bottom dan u-v bottom. Analisis nilai stabilitas dilakukan melalui perhitungan nilai
stabilitas terhadap kurva stabilitas pada sudut kemiringan 0 – 90o. Hasil analisis
stabilitas masing-masing bentuk kasko kemudian dibandingkan dengan standar
minimum kriteria stabilitas kapal perikanan yang dikeluarkan International Maritim
Organization. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, keempat bentuk kasko kapal pole
and line memiliki nilai stabilitas yang lebih besar dari kriteria stabilitas minimum IMO,
dimana tipe kasko round-sharp bottom merupakan tipe kasko kapal yang memiliki nilai
stabilitas yang lebih baik dibandingkan tipe kasko yang lain.
Kata Kunci: Stabilitas, Kapal Pole and Line, Kasko
I. PENDAHULUAN
Desain merupakan hal yang penting
dalam pembangunan kapal ikan (Fyson,
1985). Sesuai dengan perbedaan jenis
kapal ikan, maka desain dan konstruksi
kapal dibuat berbeda-beda dengan
memperhatikan
persyaratan
teknis
pengoperasian
setiap
jenis
kapal
berdasarkan alat tangkap yang dioperasikan. Desain dan konstruksi yang berbeda
berdasarkan jenis kapal ikan ini,
membuat bentuk badan kapal (kasko)
menjadi berbeda-beda (Gillmer and
Johnson, 1982 ; Fyson, 1985).
Bentuk badan kapal bergantung
pada ukuran utama, perbandingan ukuran
utama dan koefisien bentuk kapal (Fyson,
1985). Ukuran utama kapal terdiri dari
panjang kapal (L), lebar kapal (B),
tinggi/dalam kapal (D) dan draft/sarat air
kapal (d). Kesesuaian rasio dimensi
sangat menentukan kemampuan suatu
kapal ikan, karena akan mempengaruhi
resistensi kapal (nilai L/B), kekuatan
memanjang kapal (nilai L/D) dan
stabilitas kapal (nilai B/D) (Fyson, 1985)
Stabilitas kapal merupakan kemampuan sebuah kapal untuk kembali ke
posisi semula setelah mengalami
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
53
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
Penelitian yang menitikberatkan
pada kajian stabilitas ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat kestabilan masingmasing jenis kasko kapal pole and line,
sehingga dapat diperoleh informasi
mengenai perbandingan nilai stabilitas
pada empat tipe kasko kapal pole and
line.
keolengan. Stabilitas kapal terkait erat
dengan
distribusi
muatan
dan
perhitungan nilai lengan penegak (GZ).
Perbedaan distribusi muatan yang terjadi
pada setiap kondisi pemuatan akan
mengakibatkan terjadinya perubahan
pada nilai KG, yaitu jarak vertikal antara
titik K (keel) dan titik G (centre of
gravity)
yang
selanjutnya
akan
mempengaruhi nilai lengan penegak
(GZ) yang terbentuk (Hind, 1982; Derret,
1990).
Stabilitas kapal bergantung pada
beberapa faktor antara lain dimensi
kapal, bentuk badan kapal yang berada di
dalam air, distribusi benda-benda di atas
kapal dan sudut kemiringan kapal
terhadap bidang horizontal (Fyson,
1985).
Pada kapal pole and line,
keberhasilan pengoperasian sangat bergantung pada kondisi stabilitas kapal
karena sifat pengoperasiannya yang
oseanik. Kapal pole and line di Sulawesi
Selatan, memiliki bentuk badan kapal
yang beragam.
Berdasarkan hasil
penelitian Farhum (2006), ada empat
bentuk badan kapal pole and line di
Sulawesi Selatan, yaitu round bottom,
round flat bottom, round sharp bottom
dan u-v bottom.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Data yang Digunakan
Kajian ini menggunakan data:
empat karakteristik kapal pole and line
dengan masing-masing bentuk kasko
round-sharp botttom (K-A), round-flat
bottom (K-B), U-V bottom (K-C) dan
round bottom (K-D). Spesifikasi sampel
kapal yang digunakan untuk keempat
bentuk kapal pole and line diterakan pada
Tabel 1.
2.2. Analisis Data
Perhitungan stabilitas kapal pole
and line sampel meliputi analisis
terhadap perkiraan perubahan nilai KG
pada empat kondisi distribusi muatan
terhadap empat bentuk badan kapal,
masing-masing adalah:
1) Kondisi kapal kosong; pada kondisi
ini bahan bakar, umpan hidup dan
muatan diasumsikan kosong (0%).
Tabel 1. Spesifikasi Kapal Pole and Line Sampel
Sampel
K-A
K-B
K-C
K-D
LOA (m)
20.44
22.20
21.50
18.40
B (m)
4.06
5.04
3.84
3.52
D (m)
1.75
2.12
1.92
1.80
d (m)
1.40
1.70
1.20
1.44
Keterangan:
LOA: lenght over all (panjang keseluruhan kapal)
B: Breadth (lebar kapal)
D: Depth (dalam/tinggi kapal)
D: Draught (tinggi garis air)
Cb: Coefficient of block
GT: Gross tonnage
54
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Cb
0.46
0.54
0.57
0.43
GT
24.31
30.71
26.82
17.83
Farhum
2) Kondisi kapal berangkat; pada kondisi
ini bahan bakar, umpan hidup
diasumsikan penuh (100%) dan
muatan kosong (0%).
3) Kondisi kapal beroperasi; pada
kondisi ini bahan bakar diasumsikan
setengah penuh (50%), umpan hidup
seperempat penuh (25%) dan muatan
tigaperempat penuh (75%).
4) Kondisi kapal pulang; pada kondisi ini
bahan bakar diasumsikan seperempat
penuh (25%), umpan hidup 10% dan
muatan penuh 100%.
Perubahan nilai KG dianalisis
dengan membuat perkiraan perubahan
jarak vertikal – horizontal pada setiap
kondisi perubahan distribusi muatan.
Nilai KG diperoleh dengan menggunakan
formula berikut (Hind, 1982):
moment of ∆ Z
KG =
∆
dimana: ∆Z adalah momen vertikal
Analisis stabilitas statis melalui
kurva stabilitas statis GZ dilakukan
dengan metode Attwood’s Formula
(Hind, 1982). Metode ini menganalisis
stabilitas statis kapal pada sudut
keolengan 0O - 90O.
Hasil
perhitungan
stabilitas
kemudian dibandingkan dengan standar
stabilitas kapal yang dikeluarkan oleh
United Kingdom Regulations [The
Fishing Vessels (Safety Provision)
Rules,1975]
(Hind,
1982)
dan
International Maritime Organization
(IMO) pada Torremolinos International
Convention for The Safety of Fishing
Vessels–regulation 28 (1977) melalui
kurva GZ.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Nilai KG Kapal Pole and Line
Sampel pada Berbagai Kondisi
Muatan
Hasil perhitungan terhadap nilai
KG kapal yang dibuat pada empat
kondisi muatan disajikan pada Tabel 2.
Analisis nilai KG dilakukan
berdasarkan hasil perkiraan perubahan
distribusi muatan pada empat kondisi
pemuatan. Dari hasil analisis tersebut
terlihat bahwa nilai KG kapal akan
berubah jika terjadi perubahan distribusi
muatan Jika nilai ton displacement
bertambah maka nilai KG kapal akan
semakin besar, tetapi nilai GM-nya
menjadi lebih kecil. Umumnya nilai KG
tertinggi pada keseluruhan kapal sampel
berada pada kondisi kapal beroperasi
yaitu pada kondisi bahan bakar
diasumsikan
setengah penuh (50%),
umpan hidup satu per empat penuh
(25%) dan muatan tiga per empat penuh
(75%).
Kapal sampel K-A dengan bentuk
round sharp dan K-B dengan bentuk
round flat memiliki nilai KG yang lebih
Tabel 2. Hasil perhitungan perkiraan nilai KG, ton displacement
pada empat kondisi distribusi muatan
No Kondisi
Kapal
1. Kapal
Kosong
2. Kapal
Berangkat
3. Kapal
Beroperasi
4. Kapal
Pulang
∆
K-A
KG GM
∆
(∆) dan
K-B
KG
GM
∆
K-C
KG
GM
∆
GM
K-D
KG
GM
66.0
1.90
0.68
78.2
1.87
0.46
44.0
1.45
0.50
32.5
1.35
0.42
87.3
1.95
0.63
101.9 1.92
0.41
59.6
1.50
0.45
47.0
1.37
0.40
87.5
1.97
0.61
99.2
1.94
0.40
58.7
1.51
0.44
45.2
1.40
0.37
87.2
1.96
0.62
96.4
1.93
0.41
57.4
1.52
0.43
44.2
1.39
0.38
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
55
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
tinggi dibandingkan kedua kapal sampel
lainnya, karena nilai ton displacement
kedua kapal tersebut juga lebih besar.
Sebuah kapal dapat dikatakan stabil
apabila kapal tersebut dapat kembali
menjadi tegak setelah mengalami momen
kemiringan. Stabilitas pada kapal ikan
amat bergantung dari distribusi muatan
yang ada pada kapal tersebut.
Taylor (1977) dan Hind (1982)
menyatakan bahwa stabilitas sebuah
kapal dipengaruhi oleh letak ketiga titik
konsentrasi gaya yang bekerja pada kapal
tersebut. Ketiga titik tersebut adalah titik
B (centre of bouyancy), titik G (centre of
gravity) dan titik M (metacentre).
Selanjutnya Hind (1982) mengemukakan
bahwa posisi titik G bergantung dari
distribusi muatan dan posisi titik B
bergantung pada bentuk kapal yang
terendam di dalam air.
Saat kapal berangkat menuju
daerah penangkapan, muatan pada kapal
pole and line terdiri atas perbekalan,
bahan bakar dan bak umpan hidup yang
terisi penuh. Pada saat kembali, muatanmuatan tersebut akan berkurang tetapi
palkah ikan akan terisi oleh hasil
tangkapan.
Hal ini menyebabkan
perubahan titik berat pada kapal,
sehingga letak titik G (centre of gravity)
kapal akan berubah.
Titik berat (G) pada sebuah kapal
merupakan titik tangkap dari sebuah titik
pusat seluruh gaya berat yang menekan
ke bawah. Letak titik G dapat ditentukan
dengan meninjau semua pembagian berat
yang berada di atas kapal terhadap lunas
kapal.
Letak titik berat di atas lunas
(KG) akan mempengaruhi besar kecilnya
nilai lengan penengak GZ yang terbentuk
pada saat kapal mengalami keolengan.
Berdasarkan
hasil
perkiraan
perubahan distribusi muatan pada
keempat bentuk kapal (K-A, K-B, K-C
dan K-D) yang diterakan pada Tabel 4.2
memperlihatkan bahwa nilai KG kapal
akan berubah jika terjadi perubahan berat
56
dan distribusi muatan. Hal ini juga
dijelaskan oleh Hind (1982) bahwa
penambahan dan perpindahan muatan
pada kapal dapat mengakibatkan
perubahan nilai displacement, draft,
posisi G, posisi B, posisi M dan trim fore
dan aft.
Dari Tabel 2 diketahui bahwa,
perubahan nilai ton displacement
berpengaruh terhadap nilai KG kapal,
tetapi tidak menentukan peningkatan dan
penurunan nilai tersebut. Peningkatan
dan penurunan nilai KG bergantung
kepada distribusi muatan yang ada di atas
kapal. Hasil penelitian dari Iskandar
(1997) juga menjelaskan bahwa tinggi
rendah nilai KG tidak bergantung pada
nilai ton displacement kapal, tetapi pada
kondisi penempatan muatan di atasnya.
Berdasarkan Tabel 2 juga diketahui
bahwa nilai ton displacement berpengaruh terbalik terhadap nilai tinggi
metacentre (GM) yang terbentuk, dimana
semakin tinggi nilai ton displacement
kapal, maka tinggi metacentre akan
menurun. Hal ini dapat dijelaskan pada
Gambar 1 bahwa, jika sebuah beban w
(ton) meningkatkan draft kapal maka
centre of gravity kapal akan meningkat,
sehingga terjadi sebuah posisi GG1 yang
baru, sehingga tinggi metacentre akan
menurun.
Kapal sampel K-A dengan bentuk
round sharp bottom memiliki nilai KG
yang lebih tinggi dibandingkan ketiga
Gambar 1. Penambahan beban pada
kapal (Sumber: Hind, 1982)
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
statis kapal pole and line sampel pada
berbagai kondisi distribusi muatan
disajikan pada Gambar 2.
Nilai lengan penegak GZ yang
terbentuk pada kurva GZ berbanding
terbalik dengan nilai KG. Pada kurva
tersebut terlihat bahwa semakin tinggi
nilai KG maka nilai GZ akan semakin
rendah, demikian pula sebaliknya. Dari
keempat bentuk kapal yang ada, kapal KA dengan bentuk badan round-sharp
bottom memiliki nilai GZ yang lebih
tinggi dibandingkan kapal sampel dengan
bentuk badan kapal yang lain.
Nilai lengan penegak GZ menunjukkan nilai stabilitas suatu kapal. Nilai
ini memiliki standar yang ditetapkan oleh
IMO. Hasil perhitungan stabilitas kapal
pole and line sampel yang diterakan pada
Tabel 3 sampai Tabel 6, menunjukkan
bahwa seluruh nilai lengan penegak GZ
kapal pole and line sampel memiliki nilai
lebih besar dibandingkan nilai minimum
yang ditetapkan oleh IMO.
kapal sampel lainnya. Hal ini disebabkan
karena bentuk seperti ini memungkinkan
untuk mendistribusikan muatan yang
lebih banyak pada bagian atas deck
sehingga titik berat kapal bergerak ke
atas. Dengan demikian nilai KG yang
terbentuk menjadi lebih tinggi.
Nilai KG tertinggi pada keseluruhan kapal sampel berada pada saat
kondisi kapal beroperasi dan pulang,
Tingginya nilai KG pada saat kondisi
tersebut karena bertambahnya muatan di
atas dek oleh hasil tangkapan sedangkan
muatan di bawah dek seperti bahan bakar
dan umpan hidup menjadi berkurang,
sehingga titik G bergerak ke atas.
3.2. Nilai Lengan Penegak GZ Kapal
Pole and Line Sampel
Stabilitas statis keempat kapal
sampel diukur dengan menghitung nilai
lengan penegak (GZ) yang terbentuk
pada kurva GZ.
Pada kurva GZ
ditunjukkan nilai GZ pada berbagai sudut
keolengan (00 – 800). Kurva stabilitas
GZ (m ) 0.35
K-A
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Heel Angle (deg)
KG-1
KG-2
KG-3
KG-4
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
57
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
GZ (m ) 0.35
K-B
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Heel Angle (deg)
KG-1
KG-2
KG-3
KG-4
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
GZ (m ) 0.35
K-C
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Heel Angle (deg)
KG-1
KG-2
KG-3
KG-4
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
GZ(m ) 0.35
K-D
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0
10
KG-1
20
30
KG-2
40
KG-3
50
60
70
80
Heel Angle (deg)
KG-4
Gambar 2. Kurva GZ Kapal Pole and Line Sampel (lanjutan)
58
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
Tabel 3. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-A dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
0B
0
A (0-30 )
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Kondisi Distribusi Muatan
2
3
Standar IMO
(Nilai Minimum)
1
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
0.087
0.140
0.052
37
0.305
0.680
0.081
0.128
0.047
36
0.280
0.630
0.078
0.124
0.045
36
0.263
0.610
4
0.079
0.125
0.046
36
0.267
0.620
Tabel 4. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-B dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
2B
A (0-300)
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Kondisi Distribusi Muatan
2
3
4
Standar IMO
(Nilai Minimum)
1
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
0.061
0.095
0.035
37
0.200
0.460
3B
0.054
0.083
0.029
36
0.170
0.410
0.052
0.079
0.028
35
0.160
0.400
0.053
0.082
0.029
35
0.170
0.410
Tabel 5. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-C dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
4B
A (0-300)
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
Kondisi Distribusi Muatan
2
3
5B
1
0.064
0.105
0.041
37
0.240
0.500
0.057
0.093
0.036
35
0.210
0.450
0.056
0.091
0.035
35
0.200
0.440
4
0.055
0.088
0.033
35
0.200
0.430
Tabel 6. Nilai kriteria stabilitas kapal pole and line K-D dan nilai standar IMO
Nilai Pada
Kurva GZ
6B
0
A (0-30 )
B (0-400)
C (30-400)
D (sudut GZmax)
E (GZmin)
F (GM)
Standar IMO
(Nilai Minimum)
0.005 m-rad
0.090 m-rad
0.030 m-rad
30 deg
0.2 m
0.15 m
Berdasarkan
kurva
stabilitas,
diperoleh nilai stabilitas maksimum dan
kisaran stabilitas yang diterakan pada
Tabel 7. Stabilitas maksimum adalah
nilai GZ maksimum yang dapat dicapai
oleh kapal pada kondisi tertentu dan
terjadi pada besar sudut tertentu. Kisaran
Kondisi Distribusi Muatan
2
3
7B
1
0.049
0.073
0.023
30
0.140
0.420
0.047
0.069
0.022
30
0.130
0.400
0.043
0.061
0.019
30
0.120
0.370
4
0.044
0.064
0.019
30
0.120
0.380
stabilitas merupakan sudut terbesar
kemiringan kapal tanpa terjadinya nilai
GZ yang negatif.
Besar sudut ini
diketahui dari titik potong kurva GZ
dengan sumbu X (axis), dimana nilai GZ
sama dengan 0 dan disebut dengan angle
of vanishing stability.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
59
Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line
Tabel 7. Nilai maksimum dan kisaran stabilitas kapal pole and line sampel
No.
Kapal
1.
K-A
2.
K-B
3.
K-C
4.
K-A
Kondisi
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Kapal Kosong
Kapal Berangkat
Kapal Beroperasi
Kapal Pulang
Maksimum Stabilitas
Sudut (º)
GZ (m)
37
0.305
36
0.280
36
0.263
36
0.267
37
0.200
36
0.170
35
0.160
35
0.267
37
0.240
35
0.210
35
0.200
35
0.200
30
0.140
30
0.130
30
0.120
30
0.120
Ada dua gaya yang mengatur
kestabilan kapal di laut, yaitu gaya berat
(forces of gravity, G) yang selalu
bergerak vertikal ke bawah dan gaya
apung (forces of bouyancy, B) yang
bergerak vertikal ke atas. Pada saat kapal
dalam kondisi tenang, kedua gaya ini
berada pada satu garis vertikal yang
sama.
Pada saat kapal mengalami
keolengan, gaya berat dan gaya apung
kapal akan bergerak ke arah yang
berlawanan. Jarak perpendicular yang
dibentuk oleh kedua garis gaya ini
disebut lengan penegak (GZ). (Gillmer
dan Johnson, 1982).
Perhitungan stabilitas statis kapal
pole and line sampel dilakukan dengan
analisis nilai GZ kapal pada beberapa
sudut keolengan yang sesuai dengan
aturan yang dikeluarkan oleh IMO.
Nilai lengan GZ kapal pole and line
sampel yang disajikan pada Tabel 3 – 6
memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan nilai minimum yang
ditetapkan oleh IMO. Hal ini dapat
dilihat dari nilai margin yang positif
(Tabel 7). Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa pada keempat kondisi pemuatan,
kapal dapat menghasilkan momen kopel
yang positif untuk mengembalikan kapal
60
Sudut Kisaran
Stabilitas (º)
0 – 80
0 – 77
0 – 74
0 – 75
0 – 72
0 – 67
0 – 65
0 – 67
0 – 80
0 – 75
0 – 74
0 – 72
0 – 70
0 – 67
0 – 62
0 – 64
ke posisi semula setelah terjadi oleng
akibat gaya yang bekerja padanya.
Nilai GZ akan menjadi negatif jika
sudut keolengan lebih besar dari batas
nilai maksimum kisaran stabilitas (Tabel
7), yang mengakibatkan kapal tidak lagi
menghasilkan lengan GZ yang positif.
Bila hal ini terjadi kapal akan terbalik
karena saat terjadi keolengan pada sudut
tersebut.
Kapal dengan lengan GZ
negatif akan meneruskan geraknya ke
arah kemiringannya dan tidak kembali ke
posisi semula.
IV. KESIMPULAN
Lengan penegak GZ yang terbentuk
pada keempat kapal pole and line sampel
pada setiap kondisi pemuatan bernilai
positif dan berada di atas nilai standar
minimum yang ditetapkan oleh IMO,
yang berarti nilai lengan penegak GZ
yang
dihasilkan
masih
dapat
mengembalikan kapal ke posisi semula
setelah terjadi keolengan, sehingga dapat
disimpulkan bahwa keempat kapal
sampel tersebut memiliki stabilitas yang
baik.
Kapal sampel K-A dengan bentuk
round-sharp bottom memiliki nilai
kriteria stabilitas yang
lebih tinggi
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Farhum
dibandingkan
lainnya.
ketiga
bentuk
kapal
DAFTAR PUSTAKA
Derret, D.R. 1990. Ship Stability for
Masters and Mates.
Fourth
Edition, Revised. Butler & Tanner
Ltd, Frome and London.
Farhum, S.A. 2006. Kajian Stabilitas
dan Keselamatan Pengoperasian
Kapal Pole and Line pada Kondisi
Gelombang Beam Seas. Disertasi
pada Program Pascasarjana IPB.
Bogor.
Farhum, S.A. 2007. Distribusi Statistik
Karakteristik Teknis Kapal Pole
and Line Sulawesi Selatan. Jurnal
Torani, 3(17):246-253
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing
Vessels. Fishing News (Books)
Ltd. England.
Gillmer, T.C and B. Johnson. 1982.
Introduction to Naval Architecture.
Naval Institute Press. Annapolis.
Maryland.
Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of
Fishing Vessels and Other Small
Ships. Second Edition. Fishing
News Books Ltd.
Farnham,
Surrey, England.
International Maritime Organization
(IMO).
1983.
International
Confrence on Safety Fishing
Vessels 1977. IMO. London.
Iskandar, B.H. 1997.
Studi tentang
Desain Kapal Kayu Mina Jaya
BPPT 01. Tesis pada Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Kok, H.G.M, E.G.V. Lonkhyusen, and
F.A.C. Nierich. 1983. Bangunan
Kapal. Zundort. Netherland.
Taylor, L.G. 1977. The Principles of
Ship Stability. Brown, Son &
Publisher, Ltd., Nautical Publisher,
52 Darnley Street. Glasgow.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
61
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 62-73, Desember 2010
STRUKTUR KOMUNITAS IKAN PADA PADANG LAMUN
YANG BERBEDA DI PULAU BARRANG LOMPO
FISH COMMUNITY STRUCTURE IN DIFFERENT SEAGRASS BEDS OF
BARRANG LOMPO ISLAND
Rohani Ambo Rappe
Marine Science Department, Hasanuddin University, Makassar 90245
Email: [email protected]
ABSTRACT
The importance of seagrass meadows as a habitat for fishes, including several of
economic importance, is widely acknowledged. The complexity of seagrass beds might
offer a different condition of habitat for fishes. The physical nature of the seagrass
canopy is thought to play a major role, potentially influencing available shelter, food,
and protection from predators. Structural complexity of seagrass such as shoot and leaf
density is also an important factor in determining ecological function of seagrass in the
marine environment. The objective of the research is to assess the ecological function of
different seagrass beds (in terms of spesies and density) in supporting fish community.
The study found 28 species of fish originating from 14 families and Pomacentridae were
dominantly found. Abundance of fish found to be higher in seagrass beds with high
densities both composed by one species of seagrass (monospesific) or by more than one
species of seagrass (multispesific), compared to the seagrass beds with low density and
bare areas. Fish community diversity index was found higher in dense seagrass beds
composed of many species of seagrass compared to the rare and consists of only one
species of seagrass. The presence of epiphytes as nutrients for the fish that live in
seagrass beds may contribute to the finding.
Keywords: Seagrass, fish, Barrang Lompo Island
ABSTRAK
Peranan padang lamun terhadap keberadaan ikan terutama yang bernilai ekonomis
penting, sudah sering dilaporkan. Hal ini terkait dengan kompleksitas dari padang
lamun yang dapat menyediakan makanan dan perlindungan dari predator bagi ikan-ikan
tersebut. Kompleksitas padang lamun dapat diukur dari kepadatan tegakan dan daun
penyusunnya, penutupan daun, serta jenis-jenis lamun penyusun padang lamun tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi fungsi ekologis dari padang lamun
yang berbeda (dalam hal perbedaan spesies lamun penyusun dan kerapatan lamun)
dalam mendukung keberadaan komunitas ikan. Penelitian ini menemukan 28 spesies
ikan yang berasal dari 14 famili dan Pomacentridae adalah famili yang dominan
ditemukan. Kelimpahan ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun dengan
kerapatan yang tinggi baik itu tersusun oleh satu spesies lamun (monospesifik) maupun
oleh lebih dari satu spesies lamun (multispesific), dibandingkan pada padang lamun
dengan kerapatan rendah dan pada daerah tidak bervegetasi. Nilai indeks
keanekaragaman komunitas ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun yang rapat
dan tersusun oleh banyak spesies lamun dibandingkan pada padang lamun jarang dan
hanya terdiri dari satu spesies lamun. Keberadaan epifit sebagai nutrisi bagi ikan yang
hidup di padang lamun dapat berkontribusi terhadap hasil yang dicapai.
Kata Kunci: Padang lamun, ikan, Pulau Barrang Lompo
62
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Rappe
I. PENDAHULUAN
Lamun (seagrass) adalah satusatunya tumbuh-tumbuhan berbunga
yang terdapat di lingkungan laut. Seperti
halnya rumput di darat, mereka
mempunyai tunas berdaun yang tegak
dan tangkai-tangkai yang merayap efektif
untuk berkembang-biak dan mempunyai
akar dan sistem internal untuk
mengangkut gas dan zat-zat hara
(Romimohtarto dan Juwana, 2001)
Lamun juga merupakan tumbuhan
yang telah menyesuaikan diri hidup
terbenam di laut dangkal. Lamun
mempunyai akar dan rimpang (rhizome)
yang mencengkeram dasar laut sehingga
dapat membantu pertahanan pantai dari
gerusan ombak dan gelombang. Padang
lamun dapat terdiri dari vegetasi lamun
jenis tunggal ataupun jenis campuran
(Hemminga and Duarte, 2000).
Padang
lamun
memiliki
produktivitas sekunder dan dukungan
yang besar terhadap kelimpahan dan
keragaman ikan (Gilanders, 2006).
Padang lamun merupakan tempat
berbagai jenis ikan berlindung, mencari
makan, bertelur, dan membesarkan
anaknya. Ikan baronang, misalnya,
adalah salah satu jenis ikan yang hidup di
padang lamun. Bell dan Pollard (1989)
mengidentifikasi 7 karakteristik utama
kumpulan ikan yang berasosiasi dengan
lamun yaitu: (1) Keanekaragaman dan
kelimpahan ikan di padang lamun
biasanya lebih tinggi daripada yang
berdekatan dengan substrat kosong, (2)
Lamanya asosiasi ikan-lamun berbedabeda diantara spesies dan tingkatan siklus
hidup, (3) Sebagian besar asosiasi ikan
dengan padang lamun didapatkan dari
plankton, jadi padang lamun adalah
daerah asuhan untuk banyak spesies yang
mempunyai nilai ekonomi penting, (4)
Zooplankton dan epifauna krustasean
adalah makanan utama ikan yang
berasosiasi dengan lamun, dengan
tumbuhan, pengurai dan komponen
infauna dari jaring-jaring makanan di
lamun yang dimanfaatkan oleh ikan, (5)
Perbedaan yang jelas (pembagian
sumberdaya) pada komposisi spesies
terjadi di banyak padang lamun, (6)
Hubungan yang kuat terjadi antara
padang lamun dan habitat yang
berbatasan, kelimpahan relatif dan
komposisi spesies ikan di padang lamun
menjadi tergantung pada tipe (terumbu
karang, estuaria, mangrove) dan jarak
dari habitat yang terdekat, (7) Kumpulan
ikan dari padang lamun yang berbeda
seringkali berbeda juga, walaupun dua
habitat itu berdekatan.
Hasil penelitian Radjab et al.
(1992) menemukan 1.588 jumlah
individu ikan yang terdiri dari 61 spesies
yang mewakili 10 suku di areal padang
lamun Teluk Baguala, khususnya di
perairan
Passo.
Sedangkan
hasil
penelitian Rani et al. (2010) pada areal
lamun buatan menemukan bahwa ikan
memilih padang lamun dengan struktur
yang lebih kompleks dibandingkan
struktur yang sederhana. Oleh karena itu
peneliti marasa perlu untuk membuktikan
pengaruh keberadaan padang lamun
dengan tingkat kompleksitas yang
berbeda terhadap kelimpahan dan
keragaman jenis ikan. Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
keanekaragaman jenis dan kelimpahan
ikan pada padang lamun yang berbeda
kerapatan dan komposisi jenisnya.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan waktu pengamatan
Penelitian ini dilakukan pada bulan
April 2010 pada daerah padang lamun
perairan Pulau Barrang Lompo, Kota
Makassar (Gambar 1). Terdapat 5 stasiun
pengamatan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat kompleksitas yang berbeda
berdasarkan kerapatan dan jenis lamun
penyusunnya, yaitu: (1) LPU; lamun
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
63
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
padat multispesifik, (2) LPO; lamun
padat monospesifik, (3) LJU; lamun
jarang multispesifik; (4) LJO; lamun
jarang monospesifik, dan (5) LNV;
daerah tidak bervegetasi. Terdapat 3
ulangan untuk setiap stasiun.
Masing-masing stasiun dibatasi
menggunakan tali untuk membuat area
pengamatan seluas 10m x 10m.
Pengambilan
data
ikan
meliputi
pengamatan jenis dan jumlah ikan
dilakukan dalam area pengamatan (10m x
10m) pada setiap stasiun. Pengamatan ini
dilakukan pada saat air pasang dengan
metode sensus visual dengan bantuan
kamera bawah air mengikuti Edgar et al.
(2001). Metode ini dapat dilakukan
untuk mengambil data ikan yang
berukuran cukup besar pada daerah
padang lamun di perairan dangkal dengan
kecerahan air yang tinggi.
Pengukuran parameter lingkungan
meliputi pengukuran suhu, salinitas, pH,
kedalaman dan kecerahan perairan
dilakukan secara in situ pada setiap
stasiun pengamatan.
Adapun biomassa epifit diukur
dengan mengambil secara acak 3 sampel
daun lamun pada setiap stasiun
pengamatan menggunakan kuadrat 20cm
x 20cm. Epifit diserut dari permukaan
daun lamun kemudian dikeringkan dalam
oven dengan suhu 60oC selama 48 jam,
kemudian
ditimbang.
Metode
pengukuran biomassa epifit ini mengikuti
Sidik et al. (2001).
2.2. Pengolahan data
Parameter yang diamati untuk data
ikan adalah kelimpahan, komposisi jenis
(KJ), indeks keanekaragaman (H’),
Indeks keseragaman (E), dan Indeks
dominansi (C).
Komposisi jenis adalah perbandingan antara jumlah jenis tiap suku
dengan jumlah seluruh jenis yang
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
64
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
ditemukan
berikut:
dengan
KJ =
formula
sebagai
ni
x 100%
N
dimana:
KJ = Komposisi jenis (%)
Ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Indeks keanekaragaman adalah
nilai
yang
dapat
menunjukkan
keseimbangan keanekaragaman dalam
suatu pembagian jumlah individu tiap
jenis.
Sedikit
atau
banyaknya
keanekaragaman spesies dapat dilihat
dengan menggunakan indeks keanekaragaman (H’). Keanekaragaman (H')
mempunyai nilai terbesar jika semua
individu berasal dari genus atau spesies
yang berbeda-beda. Sedangkan nilai
terkecil didapat jika semua individu
berasal dari satu genus atau satu spesies
saja (Odum, 1983).
Adapun kategori Indeks Keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Adapun indeks keanekaragaman
Shannon (H’) menurut Shannon and
Weaver (1949) dalam Odum (1983)
dihitung menggunakan formula sebagai
berikut:
H’ = -∑ (ni/N)ln(ni/N)
dimana:
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
Pengujian juga dilakukan dengan
pendugaan indeks keseragaman (E),
dimana
semakin
besar nilai
E
menunjukkan kelimpahan yang hampir
seragam dan merata antar jenis (Odum,
1983). Adapun kriteria komunitas
lingkungan berdasarkan nilai indeks
keseragaman disajikan pada Tabel 2.
Rumus dari indeks keseragaman
Pielou (E) menurut Pielou (1966) dalam
Odum (1983) yaitu:
H'
E=
ln S
dimana:
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
S = Jumlah jenis
Nilai dari indeks dominansi
Simpson memberikan gambaran tentang
dominansi organisme dalam suatu
komunitas ekologi. Indeks ini dapat
menerangkan bilamana suatu jenis lebih
banyak terdapat selama pengambilan
data.
Adapun kategori penilaiannya
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman
Nilai Keanekaragaman (H’)
H’ ≤ 2,0
2,0 < H’ ≤ 3,0
H’ ≥ 3,0
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Tabel 2. Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan Nilai Indeks Keseragaman
Nilai Indeks Keseragaman (E)
0,00 < E ≤ 0,50
0,50 < E ≤ 0,75
0,75 < E ≤ 1,00
Kondisi Komunitas
Komunitas berada pada kondisi tertekan
Komunitas berada pada kondisi labil
Komunitas berada pada kondisi stabil
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
65
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
Tabel 3. Kategori Indeks Dominansi
Dominansi (C)
0,00 < C ≤ 0,50
0,50 < C ≤ 0,75
0,75 < C ≤ 1,00
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Rumus indeks dominansi Simpson
(C) menurut Margalef (1958) dalam
Odum (1983) yaitu:
C = ∑(ni/N)2
dimana:
C = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah individu seluruh spesies
2.3. Analisis data
Perbedaan kelimpahan ikan antara
stasiun pengamatan dianalisis menggunakan uji statistik One-way ANOVA
dengan bantuan paket program SPSS
(Statistical
Product
and
Service
Solutions).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kelimpahan ikan pada daerah
padang lamun
Kelimpahan
ikan
ditemukan
berbeda antar stasiun pengamatan
(p<0,05). Hasil uji lanjut menunjukkan
Kelimpahan Ikan (ekor/100 m²)
90
80
a
70
bahwa ikan lebih melimpah pada daerah
padang lamun dengan kerapatan tinggi
baik monospesifik (hanya tersusun oleh
satu jenis lamun; LPO) maupun
multispesifik (tersusun oleh lebih dari
satu jenis lamun; LPU) dibandingkan
pada padang lamun jarang terutama
monospesifik (LJO) maupun daerah yang
tidak bervegetasi (LNV) (Gambar 2).
Menurut Hemminga and Duarte (2000),
padang lamun terutama dengan kerapatan
yang tinggi menyediakan perlindungan
bagi ikan dari serangan predator, selain
itu kerapatan lamun yang tinggi tentunya
meningkatkan luas permukaan bagi
perlekatan
hewan-hewan
maupun
tumbuhan renik yang merupakan
makanan utama bagi ikan-ikan di padang
lamun.
3.2. Komposisi jenis
Hasil penelitian pada ekosistem
padang lamun di perairan Pulau Barrang
Lompo secara keseluruhan ditemukan 28
spesies ikan yang berasal dari 14 famili
yaitu 1 spesies dari famili Gerreidae, 3
spesies dari Siganidae, 2 spesies dari
Labridae, 8 spesies dari Pomacentridae, 3
spesies dari Nemipteridae, 2 spesies dari
Gobiidae, 2 spesies dari Apogonidae, dan
masing-masing 1 spesies dari Sphyraenidae, Muraenidae, Monachanti dae,
Tetraodontidae,
Hemiramphidae,
a
60
ab
50
40
b
30
b
20
10
0
LPU
LPO
LJU
LJO
LNV
Gambar 2. Kelimpahan ikan (mean±SE, n=3) pada setiap stasiun pengamatan
66
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
Serranidae, dan Acanthuridae. Ketersediaan pangan dan tempat perlindungan
dari predator juga menjadikan sejumlah
besar organisme termasuk ikan hidup
pada padang lamun (Gilanders, 2006).
Adapun jenis yang ditemukan maupun
tidak ditemukan pada setiap stasiun
pengamatan disajikan pada Tabel 4.
Jumlah jenis ikan yang ditemukan
pada penelitian ini lebih tinggi jika
dibandingkan hasil yang didapatkan
peneliti sebelumnya di lokasi yang sama
yaitu Erftemeijer and Allen (1993) dan
Supriadi et al. (2004) yang menemukan
berturut-turut 27 dan 19 spesies. Jika
dibandingkan dengan hasil penelitian di
tempat lain, jumlah jenis ikan yang
ditemukan di daerah padang lamun Pulau
Barrang Lompo ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan yang ditemukan di
daerah padang lamun Pulau Wakatobi
Marine National Park sebanyak 81 jenis
(Unsworth et al., 2007). Hal ini
dikarenakan areal pengamatan di
Wakatobi yang lebih luas dan terutama
teknik pengambilan data ikan yang
berbeda, dimana teknik “beach seining”
digunakan di Wakatobi dan teknik
“visual
sensus”
digunakan
pada
penelitian ini. Beach seine dapat
menjaring ikan yang jauh lebih banyak
termasuk ikan-ikan yang bersembunyi di
antara rhizoma dan daun lamun, yang
kemungkinan tidak terdata pada saat
teknik visual sensus diterapkan.
Dari hasil pengamatan, ikan yang
dominan ditemukan di daerah padang
lamun Pulau Barrang Lompo ini juga
banyak ditemukan pada daerah terumbu
karang (Kuiter and Tonozuka, 1992;
Azis, 2002). Hal yang sama ditemukan
sebelumnya oleh Erftemeijer and Allen
(1993) dan Supriadi et al. (2004). Pola
yang serupa juga ditemukan oleh
Unsworth et al. (2007) di Taman Laut
Nasional Wakatobi. Menurut Kikuchi
dan Peres (1977), padang lamun
(seagrass beds) dapat juga sebagai daerah
asuhan, padang penggembalaan dan
mencari makan bagi berbagai jenis ikan
herbivora dan ikan-ikan karang (coral
fishes). Hal ini didukung pula oleh
karena daerah padang lamun perairan
Pulau Barrang Lompo merupakan areal
yang bersambungan langsung dengan
daerah terumbu karang (seagrass
associated reef system).
Stasiun pengamatan LPU (lamun
padat multispesifik) memiliki jumlah
jenis ikan yang tertinggi yaitu 21 jenis
dibanding stasiun lain, dan yang terendah
adalah pada stasiun LNV (daerah tidak
bervegetasi) yaitu hanya ditemukan 4
jenis ikan (Tabel 4).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa
secara umum ikan memilih berada pada
daerah padang lamun dibandingkan pada
daerah kosong yang tidak bervegetasi
kemungkinan
berkaitan
dengan
tersedianya perlindungan dan makanan
pada daerah padang lamun untuk ikanikan tersebut. Lebih spesifik untuk
daerah padang lamun yang berbeda, ikanikan memilih padang lamun dengan
susunan yang lebih kompleks (yaitu
kerapatan tinggi dan terdiri dari banyak
spesies lamun) seperti pada stasiun LPU.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Rani et al. (2010) pada lamun buatan
yang mendapatkan bahwa lamun buatan
dengan struktur yang lebih kompleks
menarik lebih banyak jenis ikan
dibandingkan lamun buatan dengan
struktur yang lebih sederhana. Padang
lamun multispesifik di Pulau Barrang
Lompo tersusun atas enam spesies lamun
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii,
Halophila
ovalis,
Syringodium isotifolium, Cymodocea
rotundata, dan Halodule pinifolia
(Amran and Ambo Rappe, 2009).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
67
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
Tabel 4. Jenis ikan yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan
Famili
Spesies
Gerreidae
Siganidae
Labridae
Pomacentridae
LPU
LPO
LJU
LJO
LNV
Gerres oyena
+
+
+
-
+
Siganus margaritiferus
+
+
-
+
-
Siganus canaliculatus
+
+
+
+
-
Siganus virgatus
-
+
-
-
Halichoeres chloropterus
+
+
+
+
-
Novaculichthys sp
+
-
+
+
-
Pomacentrus simsiang
+
+
+
-
Pomacentrus saksoni
+
+
+
-
+
Pomacentrus sp.
-
-
+
-
-
Dischistodus perspicillatus
+
+
-
+
+
Dischistodus fasciatus
+
+
-
-
-
Dischistodus sp.
-
-
-
+
-
Abudefduf vaigiensis
+
+
+
-
-
Amphiprion ocellaris
+
-
-
-
-
Pentapodus trivittatus
+
+
-
+
-
Pentapodus bifasciatus
+
+
+
+
-
Scolopsis sp.
+
+
-
+
-
Cryptocentrus cinctus
+
+
+
+
-
Cryptocentrus sp.
+
+
+
+
+
Apogon cyanosoma
-
-
+
-
-
Apogon males
-
+
-
+
-
Sphyraenidae
Sphyraena barracuda
+
-
-
-
-
Muraenidae
Gymnothorax sp.
+
-
-
-
-
Monachantidae
Acreichthys tomentosus
+
-
-
-
-
Tetraodontidae
Arothron manilensis
-
-
-
+
-
Hemiramphidae
Tylosurus sp.
+
+
+
+
-
Serranidae
Ephinephelus ongus
-
+
-
-
-
Acanthuridae
Acanthurus auranticafus
+
-
-
-
-
Jumlah Jenis
21
16
14
15
4
Nemipteridae
Gobiidae
Apogonidae
Ket : + = Ditemukan, - = Tidak Ditemukan
LPU = lamun padat multispesifik, LPO = lamun padat monospesifik, LJU = lamun jarang
multispesifik, LJO = lamun jarang monospesifik, LNV = daerah tidak bervegetasi
Keenam
jenis
lamun
ini
mempunyai bentuk morfologi yang
berbeda-beda dalam hal bentuk dan
ukuran
daun.
Hal
inilah
yang
meningkatkan kompleksitas padang
lamun multispesifik sehingga dapat
menawarkan
perlindungan
dan
penyediaan makanan yang lebih optimal
bagi ikan-ikan di padang lamun tersebut.
68
Komposisi jenis ikan pada stasiun
LPU didominasi oleh 4 jenis yaitu
Siganus margaritiferus (20%), Gerres
oyena (19%), Pentapodus bifasciatus
(14%), dan Tylosurus sp (12%).
Sedangkan pada stasiun LPO, komposisi
jenis ikan tertinggi ada pada Siganus
canalicatus (46%) yang disusul Siganus
margaritiferus (27%) (Gambar 3).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
Tingginya persentasi komposisi
jenis Siganus canalicatus dan Siganus
margaritiferus pada stasiun LPO diduga
disebabkan antara lain karena ikan
tersebut memiliki kebiasaan hidup
bergerombol di daerah padang lamun,
terutama lamun monospesifik yang hanya
disusun oleh jenis Enhalus acoroides.
Sesuai dengan pernyataan Darsono dan
Prapto (1993) sebagian besar jenis
Siganus
(Siganidae)
hidup
menggerombol (schooling).
Komposisi jenis tertinggi pada
stasiun LJU adalah Siganus canalicatus
(27%) namun tidak berbeda jauh dengan
spesies lain. Sedangkan pada stasiun
LJO, komposisi jenis dengan persentase
tertinggi terdapat spesies Cryptocentrus
sp. Walaupun stasiun LJU dan LJO
memiliki kepadatan lamun yang jarang
namun masih mendukung keberadaan
berbagai jenis ikan, yaitu 14 jenis pada
LJU dan 15 jenis pada LJO. Adapun
komposisi jenis ikan pada stasiun LNV
sangat kurang yaitu hanya ditemukan 4
spesies (Cryptocentrus sp, Dischistodus
perspicillatus, Gerres oyena, dan
Pomacentrus saksoni) (Gambar 3).
Rendahnya
jumlah
spesies
disebabkan karena stasiun ini tidak
bervegetasi, hal ini sesuai dengan
perrnyataan Hemminga and Duarte
(2000) bahwa keanekaragaman dan
kelimpahan ikan di padang lamun
biasanya lebih tinggi daripada yang
berdekatan dengan substrat kosong.
Meskipun didominasi oleh ikan
yang berasal dari terumbu karang, pada
penelitian ini teridentifikasi 2 spesies
yang khas ditemukan pada daerah padang
lamun Pulau Barrang Lompo, yaitu
Acreichthys tomentosus dan Novaculichthys sp, sesuai dengan Erftemeijer and
Allen (1993). Pada penelitian ini
ditemukan pula 2 spesies ikan bernilai
ekonomis penting yang menghuni daerah
padang lamun Pulau Barrang Lompo
yaitu
Siganus
canaliculatus
dan
Sphyraena barracuda.
3.3. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi menunjukkan
keseimbangan dalam pembagian jumlah
individu
setiap
jenis
dan
juga
menunjukkan kekayaan jenis (Odum,
1983). Hasil analisa data untuk indeks
keanekaragaman
(H’),
indeks
keseragaman (E) dan indeks dominansi
(C) ikan yang ditemukan selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi komunitas ikan
pada daerah padang lamun Pulau Barrang Lompo
Stasiun
Indeks Keanekaragaman (H')
Indeks Keseragaman (E)
Indeks Dominansi (C)
LPU
2,44
0,80
0,12
LPO
1,65
0,60
0,29
LJU
2,24
0,85
0,14
LJO
2,19
0,81
0,16
LNV
1,10
0,79
0,41
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
69
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
LPU
Abudefduf
vaigiensis
2%
Acanthurus
auranticafus
2%
Pentapodus
trivittatus
4%
Amphiprion
ocellaris
1%
Scolopsis sp.
2%
LPO
Halichoeres
chloropterus
7%
Tylosurus sp.
12%
Pomacentrus
saksoni
1%
Gerres oyena
7%
Siganus
margaritiferus
20%
Pentapodus
bifasciatus
14%
Apogon males
1%
Scolopsis sp.
1%
Tylosurus sp.
1%
Cryptocentrus sp.
4%
Siganus canalicatus
1%
Siganus
canaliculatus
46%
Cryptocentrus
cinctus
2%
Pentapodus
bifasciatus
3%
Pentapodus
trivittatus
1%
Gerres oyena
19%
Sphyraena
Acreichthys
Cryptocentrus
barracuda
tomentosus
cinctus
1%
1%
3%
Dischistodus
Gymnothorax sp.
fasciatus
1%
Pomacentrus
1%
Dischistodus
Pomacentrus simsiang Halichoeres
Cryptocentrus sp.
perspicillatus Novaculichthys sp saksoni
4%
chloropterus
4%
1%
1%
7%
4%
Siganus
margaritiferus
27%
LJU
Novaculichthys sp
2%
Pomacentrus sp.
1%
Pomacentrus
saksoni
3%
LJO
Tylosurus sp.
2%
Apogon
cyanosoma
12%
Apogon males
1%
Pentapodus
bifasciatus
12%
Novaculichthys sp
6%
Cryptocentrus
cinctus
5%
Cryptocentrus sp.
12%
Pomacentrus
simsiang
1%
Siganus virgatus
3%
Dischistodus
perspicillatus
Dischistodus
1%
fasciatus
Abudefduf
1%
vaigiensis Ephinephelus ongus
1%
1%
Siganus
canaliculatus
27%
Siganus
margaritiferus
1%
Gerres oyena
3%
Abudefduf
vaigiensis
Halichoeres 7%
Scolopsis sp.
10%
Siganus canalicatus
17%
Pentapodus
trivittatus
12%
Arothron
Pentapodus manilensis
Halichoeres
Dischistodus sp.
bifasciatus chloropterus
1%
3%
4%
3%
chloropterus
10%
Cryptocentrus
cinctus
6%
Cryptocentrus sp.
30%
Tylosurus sp.
2%
Pomacentrus
simsiang
2%
Dischistodus
perspicillatus
2%
LNV
Gerres oyena
13%
Cryptocentrus sp.
59%
Dischistodus
perspicillatus
20%
Pomacentrus
saksoni
8%
Gambar 3. Komposisi jenis ikan pada setiap stasiun pengamatan
Nilai indeks keanekaragaman ikan
pada semua stasiun berkisar antara 1,10 –
2,44. Berdasarkan kriteria indeks
keanekaragaman,
pada
stasiun
pengamatan LPO dan LNV masih
tergolong rendah sedangkan LPU, LJU,
LJO tergolong sedang.
70
Rendahnya keanekaragaman pada
stasiun LNV disebabkan oleh sedikitnya
jumlah spesies ikan yang ditemukan,
yaitu hanya ditemukan 4 spesies, dan
kecenderungan indeks dominansi yang
cukup besar. Hal ini disebabkan stasiun
pengamatan tidak bervegetasi sehingga
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
tidak ditemukan banyak spesies ikan
serta adanya kemungkinan dominansi
oleh spesies tertentu yaitu Cryptocentrus
sp (lihat Gambar 3). Sedangkan pada
stasiun LPO didapatkan nilai indeks
keanekaragaman yang rendah meskipun
jumlah jenis cukup banyak. Hal ini
disebabkan indeks keseragaman pada
stasiun LPO termasuk dalam kategori
komunitas
yang
labil,
hal
ini
menunjukkan
kemerataan
jumlah
individu untuk setiap jenis ikan di stasiun
LPO rendah.
3.4. Keberadaan ikan, epifit, dan
faktor lingkungan di daerah
padang lamun
Adapun data parameter lingkungan
yang diukur seperti suhu (28,8 – 32,0oC),
salinitas (29 – 31 ppt), pH (7,80 – 8,14),
kedalaman (83 – 283 cm), dan kecerahan
perairan pada semua stasiun mencapai
100%. Parameter lingkungan tersebut
tidak berpengaruh terhadap hasil yang
dicapai.
Tingginya kelimpahan dan jumlah
jenis ikan yang didapatkan pada stasiun
pengamatan
LPU,
lamun
padat
multispesifik, lebih berkaitan dengan
ketersediaan makanan yang tinggi di
daerah tersebut. Hal ini didukung oleh
data biomassa epifit yang diperoleh,
dimana
biomassa
epifit
tertinggi
didapatkan pada stasiun pengamatan
LPU, padang lamun dengan kerapatan
tinggi dan tersusun atas kurang lebih 6
spesies lamun (Gambar 4).
Epifit pada lamun adalah seluruh
organisme autotrofik (yaitu, produsen
primer) yang menempel pada rhizoma,
batang dan daun lamun. Epifit
merupakan produsen primer yang penting
dalam ekosistem lamun dan memberikan
konstribusi yang signifikan dalam rantai
makanan.
Konstribusi
epifit
bisa
mencapai lebih dari 50% dalam rantai
makanan di padang lamun. (Borowitzka
et al., 2006).
IV. KESIMPULAN
Padang lamun dengan tingkat
kompleksitas yang berbeda (dapat diukur
dari tingkat kerapatan dan banyaknya
jenis lamun penyusun) berpengaruh
terhadap keberadaan ikan di daerah
tersebut. Kelimpahan ikan ditemukan
lebih tinggi pada padang lamun dengan
kerapatan yang tinggi baik itu tersusun
oleh satu spesies lamun (monospesifik)
maupun oleh lebih dari satu spesies
0,7000
BIOMASSA EPIFIT (GRAM)
0,6000
0,5000
0,4000
0,3000
0,2000
0,1000
0,0000
Gambar 4. Biomassa epifit (mean±SE, n=3) pada setiap stasiun pengamatan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
71
Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun…
lamun (multispesific), dibandingkan pada padang lamun dengan kerapatan
rendah
dan
pada
daerah
tidak
bervegetasi. Nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman komunitas
ikan yang lebih tinggi dengan indeks
dominansi yang rendah ditemukan pada
padang lamun yang rapat dan tersusun
oleh banyak spesies lamun.
DAFTAR PUSTAKA
Amran, M.A. and R.A. Rappe. 2009.
Estimation of Seagrass Coverage
by Depth Invariant Indices on
Quickbird
Imagery.
Research
Report DIPA Biotrop 2009.
Aziz, A.W. 2002. Studi Kelimpahan dan
Keanekaragaman Ikan Karang
Famili Pomacentridae dan Labridae
pada Daerah Rataan Terumbu
(Reef Flat) di Perairan Pulau
Barrang Lompo. Skripsi. Program
Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu
Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan
dan
Perikanan.
Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Bell, J.D. and D.A. Pollard. 1989.
Ecology of Fish Assemblages and
Fisheries
Associated
with
Seagrasses. In: Larkum, A.W.D.,
McComb, A.J., and Shepherd, S.A.
(Eds.), Biology of Seagrasses: A
Treatise on the Biology of
Seagrasses with Special Reference
to the Australasian Region.
Elsevier, Amsterdam, 565– 609pp.
Borowitzka, A.M., S.P. Lavery, and
V.M. Keulen. 2006. Epiphytes of
Seagrasses. In: Larkum, A.W.D.,
Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.),
Seagrasses: Biology, Ecology, and
Conservation.
Springer,
The
Netherland, 441-461pp.
Darsono dan Prapto. 1993. Culture
Potential Of Rabbitfishes, Siganus
(Siganidae) . Bidang Sumberdaya
Laut, P2O-LIPI.
72
Edgar, G.J., H. Mukai, and R.J. Orth.
2001. Fish, Crabs, Shrimps and
Other Large Mobile Epibenthos:
Measurement Methods for Their
Biomass and Abundance in
Seagrass. In: Short, F.T., Coles,
R.G. and Short, C.A. (Eds.), Global
Seagrass
Research
Methods.
Elsevier, New York, 255-270pp.
Erftemeijer, P.L.A. and G.R. Allen.
1993. Fish fauna of seagrass beds
in South Sulawesi, Indonesia. Rec.
West. Aust. Mus., 16(2):269-277.
Gilanders, B.M. 2006. Seagrasses, Fish,
and Fisheries. In: Larkum, A.W.D.,
Orth, R.J., Duarte, C.M. (Eds.),
Seagrasses: Biology, Ecology, and
Conservation.
Springer,
The
Netherland, 503-536pp.
Hemminga, M.A. and C.M. Duarte.
2000.
Seagrass
Ecology.
Cambridge
University
Press,
Cambridge, UK.
Hind, J.A. 1982. Stability and Trim of
Fishing Vessels and Other Small
Ships. Second Edition. Fishing
News Books Ltd.
Farnham,
Surrey, England.
International Maritime Organization
(IMO).
1983.
International
Confrence on Safety Fishing
Vessels 1977. IMO. London.
Iskandar, B.H. 1997.
Studi tentang
Desain Kapal Kayu Mina Jaya
BPPT 01. Tesis pada Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Kok, H.G.M, E.G.V. Lonkhyusen, and
F.A.C. Nierich. 1983. Bangunan
Kapal. Zundort. Netherland.
Kikuchi, T., J.M. Peres. 1977. Consumer
Ecology of Seagrass Beds. In:
McRoy, C.P., Helffrich, C. (Eds.),
Seagrass Ecosystems: A Scientific
Perspective. Marcel Dekker, Inc.,
New York, 147-193pp.
Kuiter, R.H. and T. Tonozuka. 1992.
Tropical Reef of The Western
Pacific, Indonesia and Adjacent
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Rappe
Waters. PT Gramedia Pustaka
Major, Jakarta.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology.
Saunders College Publishing, New
York.
Radjab, W. A. S. Dody, dan F.D.
Hukom. 1992. Komunitas Ikan di
Padang Lamun Perairan Passo
Teluk Baguala. Balai penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut,
P2O-LIPI, Ambon.
Rani, C., Budimawan, dan Rohani. 2010.
Kajian keberhasilan ekologi dari
penciptaan habitat dengan lamun
buatan:
penilaian
terhadap
komunitas ikan. Ilmu Kelautan.
Indonesian Journal of Marine
Sciences, 2(Edisi Khusus):244-255.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001.
Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut. Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Sidik, B.J., S.O. Bandeira, and N.A.
Milchakova. 2001. Methods to
Measure Macroalgal Biomass and
Abundance in Seagrass Meadows.
In: Short, F.T., Coles, R.G. and
Short, C.A. (Eds.), Global Seagrass
Research Methods. Elsevier, New
York, 223-235pp.
Supriadi, Y.A. La Nafie,
dan A.I.
Burhanuddin. 2004. Inventarisasi
jenis, kelimpahan, dan biomassa
ikan di padang lamun Pulau
Barrang Lompo Makassar. Torani,
14(5): 288-295.
Taylor, L.G. 1977. The Principles of
Ship Stability. Brown, Son &
Publisher, Ltd., Nautical Publisher,
52 Darnley Street. Glasgow.
Unsworth, R.K.F., E. Wylie, D.J. Smith,
and J.J. Bell. 2007. Diel trophic
structuring of seagrass bed fish
assemblages in the Wakatobi
Marine National Park, Indonesia.
Estuarine, Coastal and Shelf
Science, 72:81-88.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
73
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 74-82, Desember 2010
DISTRIBUSI FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI LAUT ARAFURA
THE DISTRIBUTION OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA
IN THE ARAFURA SEA
Suhartati M. Natsir dan Rubiman
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
Email: [email protected]
ABSTRACT
Arafura Sea consists of shallow waters and located in the Southern of Papua to the north coast of
Australia. The waters is vegetated by shallow-water ecosytems such as mangrove, seagrass bed, and
coral reefs. The Arafura continental shelf is predominated by sediment from late Paleozoic,
Mesozoic to Cenozoic and underlain by granitic basement. Foraminifera is a single cell
microorgainsm, has pseudopodia with high level of diversity. Foraminifera dwells in every level of
sea depth, from estuary to the deep sea. However, a certain species commonly dwells in the specific
profundity. The aim of the study was to recognize the distribution of benthic foraminifera in the
waters of Arafura Sea and it relation with the environmental characteristics. As many as 11
sediment samples was collected in May 2010 from the water of Arafura Sea using a box core with
capcity of 0,3 m3. Laboratory analyses on the colleted samples were performed to determine the type
of sediments and identify the benthic foraminifera, and to determine the abundance of each samples.
The number of species found from the collected sediments were 37 species consisting of 29 genera of
which most of them were member of Suborder Rotaliina and many of them belong to Suborder
Miliolina and Textulariina. The most common species of the sampling sites were Ammonia beccarii
and Pseudorotalia schroeteriana. The Arafura Sea commonly recognized as shallow waters, open
seas, with current speed of midium to high. The predominant sediment type of the waters is sandy
mud and little of clay.
Keywords: distribution, benthic foraminifera, sediment and Arafura
ABSTRAK
Laut Arafura merupakan perairan dangkal yang terletak di wilayah Papua bagian Selatan sampai
bagian utara pantai Australia. Ekosistem yang terdapat pada perairan tersebut merupakan ekosistem
penciri perairan dangkal seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Sedimen yang
mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum
sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Foraminifera merupakan
mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu yang mempunyai keragaman sangat tinggi. Habitat
foraminifera terdiri dari semua kedalaman laut dari tepi pantai sampai pada laut dalam. Secara
umum, suatu spesies bentik hidup pada kedalaman tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui distribusi foraminifera bentik yang terdapat pada sedimen di perairan Laut Arafura dan
kaitannya dengan karakteristik perairan tersebut. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei
2010 di Peraiaran Laut Arafura. Sebanyak 11 sampel sedimen diambil dari dasar perairan
menggunakan box core. Kemudian sampel yang diperoleh dianalisis jenis sedimennya dan
kandungan foraminifera bentik didalamnya. Jumlah spesies yang ditemukan mencapai 37 spesies
yang termasuk dalam 29 genus yang sebagian besar merupakan anggota dari subordo Rotaliina dan
beberapa spesies merupakan anggota Miliolina dan Textulariina. Spesies yang ditemukan merata
hampir di semua stasiun adalah Ammonia beccarii dan Pseudorotalia schroeteriana. Karakeristik
sebagian besar perairan Laut Arafura merupakan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi
arus menengah sampai kuat. Jenis sedimen yang mendominasi perairan Laut Arafura adalah Lumpur
pasiran dengan sedikit lempung.
Kata Kunci: distribusi, foraminifera bentik, Sedimen, Arafura
74
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Natsir dan Rubiman
I. PENDAHULUAN
Laut Arafura merupakan perairan
yang meliputi landas kontinen Arafura –
Sahul dan terletak di wilayah Papua
bagian Selatan sampai perbatasan Benua
Australia. Batas bagian Utara perairan
tersebut merupakan Laut Seram dan
Pulau Irian Jaya (Papua), sedangkan
Pantai Utara Australia dari Semenanjung
York
sampai
Semenanjung
Don
merupakan batas di bagian Selatan. Di
bagian Barat, perairan tersebut dibatasi
oleh Laut Banda dan Laut Timor yang
melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar.
Sedangkan di bagian Timur terdapat
Pulau Dolak dan Semenajung Don yang
membatasi perairan tersebut. Brdasarkan
tingkat kedalamannya, Laut Arafura
termasuk perairan dangkal dengan
kisaran kedalaman antara 30-90 m.
Ekosistem yang terdapat pada perairan
tersebut merupakan ekosistem penciri
perairan dangkal seperti hutan mangrove,
padang lamun dan terumbu karang
(Wagey dan Arifin, 2008). Menurut
Katili
(1986),
sedimen
yang
mendominasi landas kontinen perairan
Arafura berasal dari masa Paleozoikum
akhir, Mesozoikum sampai Kenozoikum
yang dilandasi oleh lapisan granit pada
bagian bawah.
Foraminifera merupakan mikroorganisme bersel tunggal dan berkaki semu
yang mempunyai keragaman sangat
tinggi dan menempati hampir 2,5% dari
seluruh hewan yang dikenal sejak zaman
kambrium hingga resen. Sebanyak
38.000 spesies berupa fosil dan 10.000 –
12.000 spesies foraminifera resen
ditemukan
di
seluruh
lauatan
(Boltovskoy and Wright, 1976). Menurut
Murray (1973), distribusi dan kelimpahan
spesies mendapat perhatian yang cukup
besar, baik spesies yang masih hidup
maupun yang sudah mati. Foraminifera
merupakan kelompok hewan yang
sebagian besar hidup di laut.
Program pemantauan lingkungan
perairan dapat dilakukan berdasarkan
distribusi foraminifera karena beberapa
keunggulannya antara lain ukurannya
yang relatif kecil, hidup pada lingkungan
tertentu, jumlahnya melimpah, mudah
dikoleksi, ekonomis dan secara signifikan
dapat diolah secara statistik. Habitat
foraminifera
terdiri
dari
semua
kedalaman laut dari tepi pantai sampai
pada laut dalam. Secara umum, suatu
spesies bentik hidup pada kedalaman
tertentu. Kedalaman merupakan faktor
ekologi yang mempengaruhi distribusinya (Boltovskoy and Wright, 1976).
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk
mengetahui distribusi foraminifera bentik
yang terdapat pada sedimen di perairan
Laut Arafura dan kaitannya dengan
karakteristik perairan tersebut.
II. METODE PENELITIAN
Secara umum, metode yang
digunakan dalam penelitian dilapangan
adalah metode survey, sedangkan
observasi dan analisis dilakukan di dalam
laboratorium.
Pengambilan
sampel
dilakukan pada bulan Mei 2010 di Laut
Arafura dari bagian tenggara Kepulauan
Tanimbar ke arah bagian selatan dan
timur Kepulauan Aru sampai sekitar
Pulau Dolak dan Pulau Irian Jaya (Papua)
(Gambar 1). Sedimen dasar laut diambil
dengan menggunakan box core yang
berkapasitas 0,3 m3 untuk memperoleh
sampel foraminifera bentik dari 11 lokasi
yang telah ditentukan. Sampel yang
diperoleh dimasukkan ke dalam kantong
plastik yang telah diberi label untuk
dianalisa lebih lanjut di laboratorium.
Proses preparasi, observasi dan analisis
terhadap
sampel
dilakukan
di
laboratorium Geologi Laut, Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
75
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di perairan Laut Arafura
Sampel yang diperoleh merupakan
material dari dasar laut secara
keseluruhan yang meliputi material
sedimen,
serasah
dan
organisme
termasuk foraminifera bentik. Tahap
preparasi diperlukan untuk memisahkan
foraminifera bentik yang terdapat pada
sampel tersebut dari bahan-bahan dan
organisme
lain
sehingga
dapat
diidentifikasi dengan mudah. Preparasi
sampel dilakukan dengan beberapa tahap,
antara lain pencucian sampel, picking,
deskripsi dan identifikasi serta sticking
dan dokumentasi.
Pencucian
sampel
dilakukan
dengan menggunakan air mengalir diatas
saringan dengan diameter berturut-turut
1.0, 0.5, 0.250, 0.125, 0.063 mm. Setelah
pencucian, sampel tersebut dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 30°C
sampai kering (selama ± 30 menit).
Sampel yang telah kering dimasukkan ke
dalam kantong plastik yang telah diberi
label untuk analisis lebih lanjut. Setelah
76
pencucian dan pengeringan, saringan
harus direndam dalam larutan methiline
blue untuk mencegah kontaminasi oleh
sampel berikutnya dan dicuci. Tahap
selanjutnya
adalah
picking
yang
dilakukan dengan menyebarkan sampel
yang telah dicuci pada extraction tray
dibawah mikroskop secara merata.
Foraminifera yang terdapat dalam sampel
tersebut diambil dan disimpan pada
foraminiferal slide.
Kemudian
dilakukan
proses
deskripsi dan identifikasi terhadap
spesimen yang didapatkan. Spesimen
yang telah dipisahkan diklasifikasikan
berdasarkan morfologinya seperti bentuk
cangkang, bentuk kamar, formasi kamar,
jumlah kamar, ornamentasi cangkang,
kemiringan apertura, posisi apertura dan
kamar tambahan. Sedangkan proses
identifikasi
dilakukan
berdasarkan
berbagai referensi tentang foraminifera
bentik. Tahap selanjutnya merupakan
kajian sistemik dan analisis kuantitatif
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Natsir dan Rubiman
untuk mendapatkan data kelimpahan.
Proses sticking dan
dokumentasi
dilakukan dengan meletakkan spesimen
yang terpilih pada foraminiferal slide
dengan posisi tampak apertura, tampak
dorsal, tampak ventral dan tampak
samping yang kemudian didokumentasikan dibawah mikroskop.
Pengelompokan kelimpahan foraminifera
bentik
yang
ditemukan
berdasarkan jumlah spesimen yang
ditemukan. kelimpahan foraminifera
bentik dikelompokkan kedalam 3
kategori yaitu tinggi (melimpah), sedang
dan rendah (jarang). Spesies yang
tergolong dalam kelimpahan tinggi
merupakan spesies yang ditemukan
sebanyak lebih dari 50 spesimen,
sedangkan kelimpahan sedang dan
rendah masing-masing diwakili oleh
jumlah spsies yang ditemukan sebanyak
11 – 50 spesimen dan kurang dari 11
spesimen.
Penentuan jenis sedimen dari
sampel yang diambil dilakukan dengan
analisis granulometri
menggunakan
ayakan berukuran 0,063 – 4 mm.
Pengelompokan butir sedimen dilakukan
berdasarkan skala Wenworth (1922) dan
penamaannya berdasarkan klasifikasi
Shepard (1960).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Laut Arafura terletak di wilayah
Papua bagian Selatan sampai perbatasan
Benua Australia. Menurut Wagey dan
Arifin (2008), perairan Laut Arafura
merupakan perairan dangkal dengan
kisaran kedalaman antara 30-90 m
dengan Ekosistem yang terdapat pada
perairan tersebut merupakan ekosistem
penciri perairan dangkal seperti hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu
karang. Namun, pada penelitian ini
ditemukan bahwa terdapat perairan yang
mempunyai kedalaman lebih dari 300 m.
Stasiun 13 yang terletak di bagian
Selatan Kepulauan Tanimbar tercatat
mempunyai kedalaman yang mencapai
341 m. Lokasi tersebut diduga
merupakan titik pertemuan antara Busur
Banda dan lempeng Benua Australia
seperti yang dinyatakan oleh Katili
(1986) bahwa terdapat lengkungan
kebawah pada sedimen di perairan
Arafura yang berbatasan dengan Busur
Banda. Pola tektonik dari deformasi
tersebut terjadi karena dorongan Busur
Banda ke arah Benua Australia dan
semakin meningkat ke arah Utara.
Sedangkan kedalaman di stasiun lainnya
tercatat tidak lebih dari 60 m dan perairan
paling dangkal ditemukan di dekat Pulau
Dolak (stasiun 14).
Secara keseluruhan, hasil analisis
terhadap sampel sedimen yang diperoleh
dari 10 lokasi di perairan Laut Arafura
diperoleh foraminifera bentik resen
sebanyak 1593 individu. Jumlah tersebut
terdiri dari 37 spesies yang termasuk
dalam 29 genus (Tabel 1). Sebagian besar
spesies yang ditemukan merupakan
anggota dari subordo Rotaliina, namun
juga ditemukan beberapa spesies yang
merupakan anggota Milioliina dan
Textulariina. Kelimpahan dan jenis
foraminifera bentik yang ditemukan pada
masing-masing stasiun berbeda-beda
seiring dengan komposisi atau jenis
sedimennya.
Setiap stasiun mempunyai komposisi kelimpahan foraminifera bentik yang
berbeda. Jumlah foraminifera terbanyak
diperoleh dari stasiun 22 dengan
kedalaman 38 m yang terletak di sebelah
tenggara Kepulauan Aru. Sedimen yang
mendominasi stasiun tersebut adalah
jenis lumpur pasiran dan sedikit lempung
(Tabel 2). Spesies yang ditemukan
melimpah pada stasiun tersebut adalah
Ammonia beccarii dan Pseudorotalia
schroeteriana
yang
masing-masing
mencapai 111 dan 64 individu (Tabel 1).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
77
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
Tabel 1. Jumlah foraminifera bentik yang ditemukan pada sampel yang berasal dari
perairan Laut Arafura
Sampel
Foraminifera Benthic
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Ammonia beccarii (Linnaeus)
-
104
21
46
121
69
14
116
131
111
14
Amphistegina lessonii
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
Anomalina rostrata (Bradyi)
21
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Asterorotalia trispinosa
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
Astocolus reniformis (d'Orbigny)
6
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Bolivina earlandi (Parr)
82
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
Bolivina spathulata (Williamson)
26
16
-
-
41
4
-
-
-
-
4
Bolivina subspinecens (Cushman)
12
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Cancris oblongus (Cushman)
40
-
48
-
-
-
-
-
-
18
-
Cibicides berthelotianus (d'Orbigny)
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
Cibicides molis
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
-
Discorbinella biconcavus (Parker & Jones)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
Elphidium craticulatum
-
-
-
-
-
-
-
6
9
41
-
Elphidium crispum
-
-
7
-
-
8
4
-
-
29
-
Eponides berthelotianus (d'Orbigny)
-
12
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Fissurina exsculpra (Brady)
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
Guttulina dawsoni (Chusman and Ozawa)
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
Gyroidina neosoldanii
-
-
-
-
-
-
2
2
-
-
2
Hoglundina elegans (d'Orbigny)
-
-
-
-
6
-
2
4
-
-
-
Lagena gracillisima (Sguenza)
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Nonion sp.
8
12
-
-
-
-
24
2
-
-
2
Oolina apiculata (Reuss)
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
Operculina ammonoides
-
-
-
-
-
-
-
12
12
-
1
Planispinoides bucculantus (Brady)
-
-
-
-
-
-
-
-
6
-
-
Planorbulina sp. (d'Orbigny)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Pseudopolymorphina ligua (Rosmer)
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
Pseudorotalia schroeteriana
-
40
-
28
30
24
3
21
6
64
2
Quinqueloculina cultrate
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
-
Quinqueloculina granulocostata
-
-
-
-
-
4
-
-
-
3
-
Quinqueloculina parkery
-
2
-
-
1
3
-
-
-
8
1
Quinqueloculina seminulum
-
-
-
-
-
2
-
-
-
8
2
Quinqueloculina sp.
Rosalina sp.
Spiroloculina communis
-
-
-
-
1
-
2
-
-
-
4
-
2
3
Textularia pseudogramen
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
Triloculina tricarinata
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8
Young miliolidae
4
-
-
-
-
2
-
-
-
-
-
78
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Natsir dan Rubiman
Tabel 2. Kedalaman dan jenis sedimen pada masing-masing stasiun pengambilan
sampel di perairan Laut Arafura
Stasiun
Kedalaman (m)
Jenis sedimen
13
341
Lempung
14
19
Lempung
15
35
lumpur pasiran - pasir sedang
16
29
lanau – lempung
17
35
Lumpur - pasir sedang – lempung
18
38
Lumpur pasiran – lempung
19
48
Lumpur pasiran – lempung
20
60
Lumpur pasiran
21
35
Lumpur pasiran – lempung
22
38
Lumpur pasiran – Lempung
23
59
Pasir (sedang-kasar) lumpuran
Boltovskoy and Wright (1976)
menyatakan
bahwa
Asterorotalia
trispinosa dan Ammonia beccarii banyak
dijumpai pada sedimen pasir dan lumpur
pasiran. Namun A. Trispinosa hanya
ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit. Spesies yang ditemukan dengan
tingkat kelimpahan sedang pada stasiun
tersebut adalah Cancris oblongus,
Cibicides molis dan dua spesies dari
genus Elphidium. Spesies yang terdapat
melimpah
dan
sedang
tersebut
merupakan anggota dari Subordo
Rotaliina.
Selain itu, pada stasiun 22 juga
ditemukan beberapa spesies yang
termasuk dalam Subordo Miliolina,
namun dalam jumlah yang sedikit atau
termasuk dalam kelimpahan rendah.
Spesies-spesies tersebut diwakili oleh
merupakan
anggota
dari
genus
Quinqueloculina yang diwakili oleh
Quinqueloculina sp., Q. granulocostata,
Q. parkery dan Q. seminulum. Spesiesspesies yang bercangkang hialin tersebut
masing-masing ditemukan tidak lebih
dari 10 individu.
Spesies yang bersimbiosis dengan
terumbu karang, berdasarkan klasifikasi
yang dilakukan oleh Hallock et al. (2003)
hanya ditemukan pada stasiun 23 dengan
jumlah yang sangat sedikit. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa perairan tersebut
bukan termasuk lingkungan yang
kondusif untuk pertumbuhan terumbu
karang.
Spesies
tersebut
adalah
Amphistegina lessonii yang ditemukan
dengan kondisi cangkang yang sudah
rusak. Demikian pula dengan beberapa
spesies yang ditemukan pada stasiun 17
dan 19 juga ditemukan dengan kondisi
cangkang yang rusak. Hal tersebut dapat
dimungkinkan akibat hempasan arus
sehingga dapat menghancurkan cangkang
foraminifera bentik yang terdapat di
perairan tersebut.
Beberapa spesies yang ditemukan
di lokasi ini merupakan penciri perairan
dangkal dan terbuka dengan kecepatan
arus menengah sampai tinggi. Menurut
Gustiantini dan Usman (2008), beberapa
spesies dari genus Elphidium merupakan
penciri perairan dangkal dengan energi
arus yang relatif tinggi. Sedangkan
spesies dari genus Quinqueloculina
merupakan penghuni lingkungan perairan
terbuka dengan kecepatan arus sedang
sampai tinggi, serta sedimen lumpur dan
pasir (Boltovskoy and Wright, 1976;
Yassini and Jones, 1995; dan Rositasari
dan Rahayuningsih, 2000). Suhartati
(1994 dan 2010) juga menemukan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
79
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
Quinqueloculina melimpah di Pulau Pari
dan Pulau Belanda, Kepulauan Seribu
pada kedalaman 26-32 m, sedangkan
Barker (1960) menemukannya di bagian
selatan Papua pada kedalaman 37 m.
Graham dan Milante (1959) menemukan
spesies-spesies tersebut sangat melimpah
pada beberapa stasiun di Teluk Puerto
Galera, Philipina dan termasuk spesies
kosmopolitan.
Spesies yang ditemukan hampir di
seluruh stasiun adalah Ammonia beccarii
dan Pseudorotalia schroeteriana. A.
beccarii ditemukan sangat melimpah
pada semua stasiun kecuali stasiun 13
dengan kedalaman yang mencapai 341
m. Menurut Hallock et. al. (2003), A.
beccarii tergolong dalam spesies yang
oportunis sehingga dapat ditemukan di
berbagai lokasi yang berbeda. Walaupun
demikian, terdapat spesies oportunis lain
yang ditemukan dalam jumlah melimpah
dan dominan pada stasiun 13, yaitu dari
genus
Bolivina.
Genus
tersebut
didominasi oleh spesies Bolivina erlandi
yang ditemukan mencapai 82 individu,
sedangkan B. spathulata dan B.
subspinecens masing hanya mencapai 26
dan 12 individu.
Sebagai spesies penciri perairan
dangkal,
P.
schroeteriana
juga
ditemukan hampir di semua stasiun
kecuali stasiun 13 dan 15. Spesies
tersebut ditemukan dengan kelimpahan
rendah sampai tinggi. Menurut Biswas
(1976), P. schroeteriana merupakan
penciri perairan dangkal, terbuka dengan
tingkat energi arus menengah dengan
sedimen pasir halus. Oleh karena itu
karakeristik sebagian besar perairan Laut
Arafura merupakan perairan dangkal,
terbuka dengan tingkat energi arus
menengah sampai kuat karena juga
ditemukan Elphidium sebagai penciri
perairan berarus kuat.
Selain itu, spesies dari genus
Elphidium juga termasuk dalam genus
oportunis sesuai dengan pernyataan
80
Hallock et al. (2003), terbukti dengan
ditemukannya spesies tersebut pada 6
stasiun dari 11 stasiun yang diteliti.
Namun, genus yang diwakili oleh E.
craticulatum dan E. crispum tersebut
hanya ditemukan dengan kelimpahan
rendah sampai sedang (tidak lebih dari 50
individu).
Spesies-spesies
tersebut
ditemukan pada stasiun yang memiliki
kisaran kedalaman antara 35-60 m. Hal
ini sesuai dengan hasil peneletian yang
dilakukan oleh Murray (1973) dan
Boltovskoy dan Wright (1976) yang
menyatakan bahwa E. craticulatum dan
E. crispum memiliki penyebaran yang
luas dari daerah pantai hingga neritik
tengah.
Menurut Katili (1986), sedimen
yang mendominasi landas kontinen
perairan Arafura berasal dari masa
Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai
Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan
granit pada bagian bawahnya. Hasil
analisis sedimen yang diperoleh pada
lokasi penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar sedimen di perairan Laut
Arafura adalah lumpur pasiran. Sedimen
berupa lempung ditemukan disekitar
Kepulauan Tanimbar dengan kedalaman
341 m (stasiun 13) dan di sekitar Pulau
Dolak (stasiun 14). Sedangkan sedimen
pasir sedang sampai kasar yang
bercampur dengan fragmen karang dan
moluska ditemukan pada stasiun 23 yang
terletak di bagian selatan Kepulauan Aru
(Tabel 2 dan 3). Jenis spesies yang
ditemukan
pada
stasiun
tersebut
sebanyak 13 spesies. Jumlah tersebut
relatif lebih banyak dibandingkan dengan
stasiun lainnya, namun kelimpahan
masing-masing spesies tergolong sangat
rendah. Kelimpahan tertinggi hanya
mencapai 14 individu, yaitu pada spesies
Ammonia beccarii. Secara keseluruhan
jumlah
foraminifera
bentik
yang
ditemukan di stasiun 23 hanya mencapai
48 individu.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Natsir dan Rubiman
Selain foraminifera bentik, juga
ditemukan foraminifera planktonik yang
menyebar hampir di semua stasiun
kecuali stasiun 16, 17 dan 22. Begitu pula
dengan fragmen moluska yang juga
terdapat di hampir semua stasiun (Tabel
3). Hal ini diduga karena karakteristik
perairan Laut Rafura yang terbuka
dengan
arus
yang
relatif
kuat
memungkinkan distribusi foraminifera
planktonik dan fragmen moluska tersebut
ke beberapa staiun disekitarnya, termasuk
perairan dalam (stasiun 23).
IV. KESIMPULAN
Jumlah spesies yang ditemukan di
perairan Laut Arafura dari sekitar
Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru
hingga Pulau Dolak adalah 37 spesies
yang termasuk dalam 29 genus. Sebagian
besar spesies yang ditemukan merupakan
anggota dari subordo Rotaliina dan
beberapa spesies yang merupakan
anggota Milioliina dan Textulariina.
Spesies yang ditemukan merata hampir di
semua stasiun adalah Ammonia beccarii
dan
Pseudorotalia
schroeteriana.
Berdasarkan
distribusi
foraminifera
bentik yang ditemukan, karakeristik
sebagian besar perairan Laut Arafura
merupakan perairan dangkal, terbuka
dengan tingkat energi arus menengah
sampai kuat. Selain P. schroeteriana,
juga ditemukan spesies penciri lainnya
seperti dari genus Elphidium dan
Quinqueloculina. Selain itu, pada
perairan terbuka tersebut juga ditemukan
foraminifera planktonik yang dtersebar
merata hampir di setiap stasiun. Jenis
sedimen yang mendominasi perairan
Laut Arafura adalah Lumpur pasiran
dengan sedikit lempung. Jumlah individu
terbanyak diperoleh dari stasiun dengan
sedimen lumpur pasiran, sedangkan
jumlah spesies terbanyak diperoleh dari
sedimen pasir lumpuran dengan butiran
pasir sedang sampai kasar.
Tabel 3. Organisme selain foraminifera bentik yang ditemukan dari sampel yang
berasal dari perairan Laut Arafura
Keterangan
Stasiun
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Foraminifera planktonik



-
-




-

Moluska
-

-
-
-



-
-

Bryozoa
-
-
-
-
-


-


Gastropoda
-
-
-
-
-

-
-
-
-
-
Ostracoda
-
-
-
-
-



-
-
-
Fragmen karang
-
-
-

-
-
-

-
-

Fragmen moluska





-

-



Keterangan:
= terdapat dalam jumlah banyak; = terdapat dalam jumlah sedang; = terdapat dalam jumlah sedikit;
− = tidak ada
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
81
Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura
DAFTAR PUSTAKA
Barker, R.W. 1960. Taxonomic Notes.
Society of Economic Paleontologist
and
Mineralogist.
Special
Publication
No.
9.
Tulsa.
Oklahoma, USA. 238 pp.
Boltovskoy, E. and R. Wright. 1976.
Recent Foraminifera. Dr. W. June,
B. V. Publisher, The Haque,
Netherland.
Graham, J.J. and Militante. 1959. Recent
Foraminifera from The Puerto
Galera Area Northern Mindoro,
Philippines. Stanford University,
California.
Hallock, P., B.H. Lidz, E.M. CockeyBurkhard, and K.B. Donnelly.
2003.
Foraminifera
as
bioindicators
in
coral
reef
assessment and monitoring: the
FORAM Index. Environmental
Monitoring and Assessment, 81(13):221-238.
Katili, J.A. 1986. Geology and
hydrocarbon potential of the
Arafura Sea. In: Future Petroleum
Provinces of the World. AAPG
Memoir 40, M.T. Halbouty (editor)
487-501.
Murray, J. W. 1973. Distribution and
Ecology of Living Foraminifera.
The
John
Hopkins
Press.
Baltimore.
Rositasari R. dan S. K. Rahayuningsih.
2000. Foraminifera Bentik: Dalam
Foraminifera sebagai bioindikator
pencemaran, hasil studi di perairan
estuarin
Sungai
Dadap,
Tangerang. Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Oseanografi.
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia: 3-26.
Shepard, F. P. 1954, Nomenclature based
on sand-silt-clay ratios: Journal of
Sedimentari Petrology, 24:151-158.
82
Suhartati, M.N. 1994. Benthic Foraminifera In The Seagrass Beds of Pari
Island, Seribu Islands, Jakarta.
Proceedings.
Third
ASEANAustralia Symposium on Living
Coastal Resources. Volume 2:
Research Papers. Chulalongkorn
University Bangkok, Thailand.
323p.
________. 2010. Sebaran Foraminifera
Bentik
di
Pulau
Belanda,
Kepulauan Seribu pada Musim
Barat. Ilmu Kelautan, Edisi khusus,
2:381–387.
Wagey, T., Arifin, Z. 2008. Marine
Biodiversity Review of The
Arafura and Timor Seas. Ministry
of Marine Affairs and Fisheries,
Indonesian Institute of Sciences,
United
Nation
Development
Program, and Cencus of Marine
Life. Jakarta. 136 pp.
Wentworth, C. K. 1922, A scale of grade
and class term for clastic sediment.
Jour. Geol. 30:337-392
Yassini, I. and B.G. Jones. 1995.
Foraminiferida and Ostracoda from
estuarne and shelf environments on
The South Eastern Coast of
Australia.
University
press.,
Wollonggong. 270 pp.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 83-91, Desember 2010
PERENCANAAN WAKTU TETAS TELUR IKAN KERAPU DENGAN
PENGGUNAAN SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
PLANNING ON HATCHING TIME OF GROUPER EGGS THROUGH
DIFFERENT INCUBATION TEMPERATURES
Regina Melianawati, Philip Teguh Imanto, dan Made Suastika
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Bali;
email: [email protected]
ABSTRACT
Groupers were known as a high economically marine commodity and in order to support groupers
production, the seed availability was the most important. Eggs are still as limited factor in hatchery
production, for this reason the success of eggs transportation is one as base of successful production
of seed. Planning on hatching time of eggs through different incubation temperature was an option
to solve that problem. This experiment was aimed to find out the optimum temperature for groupers
eggs and the minimum temperature to arrange incubation time and to plan the hatching time.
Fertilized eggs were incubated into three beaker glasses of 1 liter in volume with the density of ±
250 eggs/liter. The incubation was done under laboratory condition at controlled temperature, i.e.
(A) 21-22 ºC, (B) 24-25 ºC, (C) 27-28 ºC and (D) 30-31 ºC. The eggs that used were including
orange spotted grouper (Epinephelus coiodes), brown marbled grouper (E. microdon), tiger grouper
(E. fuscoguttatus) and humpback grouper (Cromileptes altivelis). Investigated variables were
embryonic development pattern, incubation time and hatching rate. The result showed that the eggs
incubated in temperature range of 24-31°C had the normal sequence of embryonic development
pattern, but in temperature of 21-22°C performed irregular sequence and the embryonic
development stopped at blastula or gastrula stage or even the eggs could still develop but the body
of hatched larvae were abnormal. In lower temperature incubation, the incubation time was longer
and the hatching rate of eggs was lower than those in higher temperature. Therefore the optimum
temperature for incubation of orange spotted grouper, marbled grouper, tiger grouper and
humpback grouper eggs ranged between 24-31 ºC, while the lowest possible temperature was 24 ºC.
Keywords: incubation temperature, embryonic development pattern, grouper eggs, hatching rate
ABSTRAK
Ikan kerapu merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi dan benihnya sangat diperlukan Pasok
telur masih menjadi faktor pembatas dalam produksi benih, dan transportasi telur menjadi salah satu
kunci keberhasilan produksinya. Transportasi telur jarak jauh dapat dilakukan dengan perencanaan
waktu tetas melalui manipulasi suhu media penetasan. Tujuan penelitian untuk mengetahui kisaran
suhu optimum dan batas toleransi suhu terendah untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan
waktu tetas telur ikan kerapu. Penelitian menggunakan telur fertil yang diinkubasikan dalam 3 buah
beaker glass volume 1 liter dengan kepadatan ± 250 butir/liter. Suhu inkubasi yang diujikan adalah
(A) 21-22 ºC ; (B) 24-25 ºC ; (C) 27-28 ºC dan (D) 30-31 ºC. Jenis telur ikan kerapu yang digunakan
dalam penelitian ini adalah telur kerapu lumpur (Epinephelus coiodes), kerapu batik (E. microdon),
kerapu macan (E. fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Parameter pengamatan
meliputi pola perkembangan embrio, masa inkubasi dan tingkat penetasan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telur yang diinkubasikan pada suhu 24-31°C menghasilkan pola perkembangan
embrio yang teratur, sedang pada suhu 21-22°C perkembangan embrio terhenti pada stadia blastula
atau gastrula atau terus berkembang tetapi menghasilkan larva yang cacat. Pada suhu rendah, masa
inkubasi berlangsung lebih lama dan tingkat penetasan telurnya lebih rendah dibandingkan pada
suhu yang lebih tinggi. Kisaran suhu optimum bagi penetasan telur kerapu lumpur, kerapu batik,
kerapu macan dan kerapu bebek adalah 24-31oC, dengan batas toleransi suhu terendah dalam
kaitannya untuk mengatur masa inkubasi dan perencanaan waktu tetas adalah 24oC.
Kata Kunci: suhu inkubasi, pola perkembangan embrio, telur ikan kerapu, tingkat penetasan
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
83
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
I. PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan komoditas
perikanan laut yang bernilai ekonomis
tinggi. Permintaan terhadap jenis ikan ini
tidak saja berasal dari dalam negeri tetapi
juga sebagai komoditas ekspor yang
banyak diminati, baik di Asia seperti
Taiwan,
Jepang,
Singapura
dan
Hongkong, maupun di Eropa, Australia
dan Amerika (Andamari et al., 2005).
Beberapa jenis ikan kerapu yang bernilai
ekonomis tinggi diantaranya adalah ikan
kerapu lumpur Epinephelus coiodes (Lau
dan Jones, 1999), kerapu batik E.
microdon (Slamet, et al., 1997), kerapu
macan E. fuscoguttatus (Kohno et al.,
1990; Sudjiharno et al., 2001) dan kerapu
bebek Cromileptes altivelis (Putro et al.,
1999; Sudaryanto et al., 1999).
Selama ini pemenuhan kebutuhan
pasar mayoritas diperoleh dari hasil
penangkapan di alam. Untuk memenuhi
permintaan pasar yang semakin tinggi
dan sekaligus menjaga kelestarian
populasi ikan kerapu di alam, maka
kegiatan budidaya mutlak diperlukan.
Hal ini menjadikan produksi benih yang
berasal dari hatchery (panti benih)
menjadi sangat penting peranannya.
Dalam usaha pembenihan, pasok
telur menjadi faktor pembatas produksi
karena tidak semua panti benih mampu
mencukupi sendiri kebutuhan telurnya.
Penanganan telur, termasuk transportasinya hingga sampai di lokasi pembenihan
merupakan tahap awal yang menentukan
keberhasilan usaha tersebut. Hambatan
yang sering dialami pada transportasi
telur ini adalah masa inkubasinya yang
singkat sehingga sering terjadi telur telah
menetas sebelum tiba di lokasi tujuan.
Apabila hal ini terjadi akan menyebabkan
kualitas air media menjadi buruk dan
mengakibatkan kematian pada telur atau
larva yang baru menetas dalam proses
transportasi (Slamet, 1993). Suhu
merupakan salah satu faktor yang penting
84
dalam transportasi karena berpengaruh
terhadap nilai metabolisme mahkluk
hidup dan perkembangan embrio
(Mulyanto, 1990 dalam Setiadharma et
al., 1997).
Penelitian ini bertujuan mengetahui
kisaran suhu optimum dan batas toleransi
suhu terendah dalam kaitannya untuk
mengatur masa inkubasi dan perencanaan
waktu tetas telur ikan kerapu.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Besar Riset Perikanan
Budidaya Laut Bali.
Telur yang
digunakan untuk pengamatan adalah telur
yang fertil dan merupakan hasil
pemijahan induk secara alami pada
tangki beton.
Telur fertil yang telah diseleksi
selanjutnya diinkubasi dalam wadah
beaker glass volume 1 liter, masingmasing beaker glass diisi dengan 250
butir. Setiap ulangan (3 beaker glass)
ditempatkan dalam sebuah wadah plastik
berbentuk empat persegi panjang dengan
volume ± 46 liter dan semua wadah
tersebut kemudian ditempatkan dalam
sebuah cooler waterbath yang dilengkapi
dengan alat pengatur suhu. Suhu pada
waterbath diatur pada 21-22°C untuk
menyesuaikan dengan suhu terendah
yang diujikan dalam penelitian ini.
Untuk mengatur suhu dalam masingmasing wadah tersebut digunakan heater
yang suhunya disesuaikan dengan
perlakuan yang diujikan.
Penelitian dilaksanakan dengan 4
perlakuan tingkat suhu inkubasi yang
berbeda yaitu (A) 21-22 ºC, (B) 24-25 ºC,
(C) 27-28 ºC dan (D) 30-31 ºC. Masingmasing perlakuan terdiri dari 3 ulangan.
Jenis telur ikan kerapu yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi kerapu
lumpur (Epinephelus coiodes), kerapu
batik (E. microdon), kerapu macan (E.
fuscoguttatus)
dan
kerapu
bebek
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
(Cromileptes altivelis). Parameter yang
diamati meliputi pola perkembangan
embrio, masa inkubasi dan tingkat
penetasan.
Pengamatan perkembangan embrio,
baik menurut waktu dan suhu media
inkubasi,
dilakukan
dengan
cara
mengambil 10-15 butir sampel telur
secara acak dari ketiga media inkubasi
masing-masing perlakuan dengan menggunakan pipet, menempatkannya pada
single concave object glass dan
kemudian mengamatinya di bawah
mikroskop. Pengamatan dilakukan setiap
interval waktu satu jam sampai dengan
saat telur menetas. Masa inkubasi
dihitung mulai dari saat inkubasi
dilakukan hingga telur menetas seluruhnya.
Klasifikasi perkembangan embrio
(Chen et al., 1977) didasarkan atas 7
tingkat stadia (Tabel 1) untuk mempermudah dalam pengamatan perkembangan
embrio.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap perkembangan embrio telur ikan kerapu
yang diamati dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa masing-masing
stadia ditandai dengan karakteristik
perkembangan embrio (Gambar 1).
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa
perbedaan
suhu
inkubasi
berpengaruh pada pola perkembangan
embrio dan masa inkubasi telur ikan
kerapu. Secara umum terlihat bahwa
pada telur yang diinkubasikan pada suhu
yang
lebih
tinggi
perkembangan
embrionya
terjadi
lebih
cepat
dibandingkan dengan yang diinkubasi
pada suhu yang lebih rendah (Gambar 2,
3, 4, 5). Hal ini disebabkan karena pada
suhu
yang
lebih
tinggi
proses
metabolisme terjadi lebih cepat.
Tabel 1. Klasifikasi perkembangan embrio (Chen et al., 1977)
1
Stadia Perkembangan embrio
1
Deskripsi
Pembuahan hingga multisell
2
Blastula
3
Gastrula
4
Pembentukan bayangan embrio
5
Pembentukan kuppfer vesicle
6
7
Pergerakan embrio
Penetasan embrio
2
3
4
5
6
7
Gambar 1. Stadia perkembangan embrio ikan kerapu (1. Multisel; 2. Blastula; 3.
Gastrula; 4. Pembentukan bayangan embrio; 5. Pembentukan kuppfer
vesicle; 6. Pergerakan embrio; 7. Penetasan embrio)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
85
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
Hasil pengamatan pada telur ikan
kerapu lumpur yang diinkubasikan pada
kisaran suhu 24-31°C (perlakuan B, C
dan D) cenderung membentuk pola yang
hampir sama, dimana dari tujuh stadia
perkembangan, perkembangan embrio
pada stadia 5 cenderung berlangsung
paling lama. Pola perkembangan embrio
telur yang diinkubasi pada suhu terendah
21-22oC (perlakuan A) berbeda dengan
pada perlakuan lainnya. Pada suhu
inkubasi ini terjadi ketidakteraturan pola
perkembangan embrio mulai dari awal
hingga akhir masa inkubasi. Kondisi
suhu media yang rendah diduga
berpengaruh terhadap ketidakteraturan
tersebut sehingga menghambat proses
perkembangan embrio telur ikan kerapu
lumpur (Gambar 2).
Hasil pengamatan terhadap telur
kerapu batik menunjukkan bahwa telur
yang diinkubasi pada suhu 27-31 ºC
cenderung memiliki pola perkembangan
yang
sama
pada
masing-masing
stadianya. Perkembangan embrio pada
stadia 1 sampai dengan stadia 3
berlangsung lebih lama daripada stadia 4,
sedangkan pada stadia 5 cenderung
berlangsung paling lama dan pada stadia
6 serta stadia 7 berlangsung paling
singkat.
Perbedaannya adalah pada
kecepatan perubahan pada masingmasing stadia perkembangan embrio,
dimana telur yang diinkubasi pada suhu
30-31 ºC perkembangan embrionya
terjadi lebih cepat daripada yang
diinkubasi pada media dengan suhu 2728 ºC. Perkembangan embrio dari telur
yang diinkubasi pada suhu 24-25 ºC
menunjukkan pola yang tidak teratur
mulai stadia 1 sampai dengan stadia 3.
100%
80%
60%
40%
P 20%
e
0%
r
k 100%
80%
e
m 60%
b
40%
a
20%
n
0%
g
a 100%
n 80%
60%
E 40%
m
20%
b
0%
r
i 100%
o
80%
30-31oC
27-28oC
24-25oC
60%
40%
20%
0%
0:00
21-22oC
5:00
10:00
15:00
20:00
25:00
30:00
35:00
40:00
TIME (HOUR)
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 2. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu lumpur yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
86
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Setelah melewati stadia 3 pola
perkembangan embrio menunjukkan
kecenderungan yang sama dengan telur
yang diinkubasi pada suhu 27-31ºC.
Telur yang diinkubasi pada suhu 21-22
ºC tidak berhasil menetas. Dari hasil
pengamatan
terlihat
bahwa
telur
mengalami kematian embrio pada stadia
3. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
inkubasi
berpengaruh
terhadap
perkembangan embrio telur ikan kerapu
batik (Gambar 3).
Pola perkembangan embrio telur
ikan kerapu macan yang diinkubasikan
pada kisaran suhu 24-31°C cenderung
hampir
sama.
Dari
7
stadia
perkembangan yang diamati, stadia 4
berlangsung dalam waktu yang paling
singkat, sedangkan stadia 5 berlangsung
paling lama. Perbedaan yang nampak
dari setiap perlakuan adalah lama waktu
perkembangan pada masing-masing
stadia. Perkembangan masing-masing
stadia pada telur yang diinkubasi pada
suhu 24-25oC terjadi lebih lambat
dibandingkan pada telur yang diinkubasi
pada
suhu
27-28oC.
Sedangkan
perkembangan stadia pada telur yang
diinkubasi pada suhu 27-28oC itu sendiri
masih lebih lambat dibandingkan pada
telur yang diinkubasi pada suhu 30-31oC.
Dengan demikian nampak bahwa suhu
media inkubasi berpengaruh terhadap
kecepatan perkembangan masing-masing
stadia pada perkembangan embrio ikan
kerapu macan. Sedangkan perkembangan
embrio telur yang diinkubasi pada suhu
21-22oC hanya berlangsung sampai stadia
3 atau fase gastrula.
100%
75%
30-31 oC
50%
P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n
25%
0%
100%
75%
27-28 oC
50%
25%
0%
100%
75%
E
m
b
r
i
o
24-25 oC
50%
25%
0%
100%
75%
21-22 oC
50%
25%
0%
0:00
2:05
4:45
7:45
10:45
13:45
16:45
19:45
22:45
25:45
28:45
Time (hour)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 3. Perkembangan embrio telur kerapu batik yang diinkubasi pada suhu berbeda
(S: Stadia)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
87
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa batas suhu terendah untuk
inkubasi telur kerapu macan adalah 240C
(Gambar 4).
Hasil pengamatan terhadap telur
ikan kerapu bebek yang diinkubasi pada
kisaran
suhu
24-31ºC
cenderung
memiliki pola perkembangan embrio
yang sama. Perbedaan yang terjadi adalah
pada lama waktu perkembangan masingmasing stadia, dimana perkembangan
stadia terjadi lebih lambat pada suhu
inkubasi yang lebih rendah dan
sebaliknya. Perkembangan embrio pada
stadia 1 sampai dengan stadia 4 terjadi
relatif cepat, sedang perkembangan
embrio yang paling lama terjadi pada
stadia 5 (Gambar 5).
Pola perkembangan embrio pada
suhu inkubasi 21-22ºC nampak kurang
teratur pada stadia 1 hingga stadia 2.
Ketidakteraturan ini diduga karena
ketidakmampuan telur untuk berkembang
pada kondisi suhu inkubasi yang rendah.
P
e
r
k
e
m
b
a
n
g
a
n
E
m
b
r
i
o
Hal ini terlihat dari paling banyaknya
kematian telur yang terjadi pada stadia
tersebut. Perkembangan embrio mulai
teratur pada stadia 3 dan hal ini terus
berlanjut hingga menetas. Pada suhu
inkubasi ini waktu perkembangan yang
paling lama terjadi pada stadia 6. Hal ini
mungkin disebabkan karena embrio
kesulitan untuk menetas. Suhu inkubasi
yang rendah di dalam media penetasan
diduga juga berpengaruh terhadap
lambatnya proses penetasan telur.
Dari hasil pengamatan dapat
diketahui
bahwa
suhu
inkubasi
berpengaruh terhadap masa inkubasi.
Telur ikan kerapu yang diinkubasi pada
suhu lebih rendah, masa inkubasinya
berlangsung lebih lama (dibandingkan
telur yang diinkubasikan pada suhu lebih
tinggi) (Tabel 2). Srihati (1997)
mengemukakan
bahwa
suhu
air
berpengaruh terhadap penetasan telur
dimana makin tinggi suhu air makin
cepat terjadi penetasan telur.
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
0:00
3:00
6:00
9:00
12:00
15:00
18:00
21:00
S6
S7
TIME (hour)
S1
S2
S3
S4
S5
Gambar 4. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu macan yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
88
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Tabel 2. Masa inkubasi dan Tingkat penetasan telur ikan kerapu yang diinkubasi pada
beberapa tingkatan suhu
Jenis telur
Kerapu Lumpur
Suhu inkubasi
Masa Inkubasi
21-22oC
*
24-25oC
24 jam 30 menit
27-28oC
17 jam 30 menit
30-31oC
14 jam 30 menit
Kerapu batik
21-22oC
*
24-25oC
29 jam 45 menit
27-28oC
19 jam 45 menit
30-31oC
15 jam 45 menit
Kerapu macan
21-22oC
*
24-25oC
21-23 jam
27-28oC
18-22 jam
30-31oC
16-21 jam
Kerapu bebek
21-22oC
45 jam 45 menit
24-25oC
27 jam 45 menit
27-28oC
18 jam 45 menit
30-31oC
14 jam 45 menit
* Perkembangan embrio terhenti pada stadia 2 dan 3
Tingkat penetasan
0%
36%
50%
82%
0%
58%
100%
100%
0%
84%
100%
100%
3%
57%
100%
100%
100%
75%
50%
30-31 ºC
25%
0%
100%
75%
50%
27-28 ºC
25%
0%
100%
75%
24-25 ºC
50%
25%
0%
100%
75%
21-22 ºC
50%
25%
0%
1
7
13
19
25
31
37
43
WAKTU (jam)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Gambar 5. Pola perkembangan embrio telur ikan kerapu bebek yang diinkubasi pada
suhu berbeda (S: Stadia)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
89
Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu dengan…
Secara alami masa inkubasi telur
ikan kerapu lumpur tergantung pada suhu
media, seperti halnya pada kegiatan
pembenihan ikan laut di Singapore, masa
inkubasi telur ikan kerapu lumpur (E.
tauvina) dilaporkan berlangsung selama
23-25 jam pada suhu 27-28°C dan selama
20-22 jam pada suhu 29-30°C (Cheong
dan Chuan, 1980) atau setelah 23-25 jam
masa inkubasi pada suhu 27°C (Chen et
al., 1977), sedangkan di Kuwait
penetasan telur jenis ikan tersebut terjadi
setelah 26-35 jam inkubasi pada kondisi
suhu 27-30°C (Hussain et al., 1975).
Masa inkubasi telur ikan kerapu batik
secara alami berlangsung sekitar 18 jam
30 menit pada suhu air 27-29 ºC (Slamet
dan Tridjoko, 1997).
Pada kondisi
normal telur ikan kerapu bebek menetas
setelah inkubasi selama 17 jam 45 menit
pada kisaran suhu 27,5-30,5ºC dan
salinitas 31-33 ppt (Tridjoko et al.,
1996).
Dari keempat jenis telur kerapu
yang digunakan dalam penelitian ini
hanya telur kerapu bebek yang
embrionya dapat berkembang pada suhu
inkubasi 21-22oC, sedangkan pada telur
kerapu lumpur, kerapu batik dan kerapu
macan perkembangan embrio terhenti
pada stadia 2 atau 3. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian suhu
inkubasi yang rendah pada fase awal
inkubasi mengakibatkan terhambatnya
proses pembelahan sel. Sugama et al
(2001) mengemukakan bahwa fase yang
sangat peka dalam perkembangan telur
adalah sebelum stadia embrio, terutama
sebelum mencapai stadia blastula. Untuk
telur-telur yang dapat melewati fase kritis
tersebut,
selanjutnya
dapat
terus
berkembang dengan
baik
hingga
mencapai stadia embrio dan menetas
dengan bentuk tubuh normal.
Telur
kerapu
bebek
yang
diinkubasi
pada
suhu
21-22ºC
mempunyai masa inkubasi yang paling
lama yaitu 45 jam 45 menit. Larva yang
90
berhasil menetas tubuhnya tidak normal
dan bengkok. Ketidaknormalan tubuh
larva ini kemungkinan dipengaruhi oleh
masa inkubasi, dimana masa inkubasi
yang terlalu lama mengakibatkan
pertumbuhan embrio di dalam telur juga
terlalu lama dan kurang sempurna
sehingga embrio menjadi tidak normal.
Larva yang bentuk tubuhnya tidak
normal tidak akan dapat bertahan hidup.
IV. KESIMPULAN
Telur yang diinkubasikan pada
suhu 24-31°C menghasilkan pola
perkembangan embrio yang teratur,
sedangkan
pada
suhu
21-22°C
perkembangan embrio terhenti pada
stadia blastula atau gastrula atau embrio
terus berkembang tetapi menghasilkan
larva yang tidak normal tubuhnya.
Suhu inkubasi 24-25oC dapat
dimanfaatkan untuk menunda waktu tetas
dalam kaitannya untuk transportasi telur
jarak jauh, meskipun tingkat penetasan
telurnya lebih rendah dibandingkan pada
suhu 27-31oC.
Kisaran suhu optimum bagi
penetasan telur kerapu lumpur, kerapu
batik, kerapu macan dan kerapu bebek
adalah 24-31oC, sedangkan batas
toleransi suhu terendah dalam kaitannya
untuk mengatur masa inkubasi dan
perencanaan waktu tetas adalah 24oC.
DAFTAR PUSTAKA
Andamari, R., B. Teguh dan Mujimin.
2005. Kajian ekspor kerapu dari
propinsi Bali. Dalam: Sudrajat et
al. (2005). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Hal:259-268.
Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chao and R.
Lim. 1977. Artificial spawning and
larval rearing of the grouper,
Epinephelus tauvina (Forskal) in
Singapore. Singapore J. Pri. Ind.,
5(1):1-21.
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Melianawati et al.
Cheong, L. and L.L. Chuan. 1980.
Current work on the induced
breeding of grouper Epinephelus
tauvina, F. in Singapore. 4pp.
Hussain, N., M. Saif, and M. Ukawa.
1975.
On
the
culture
of
Epinephelus tauvina (Forskal).
Kuwait institute for scientific
research. 14 pp.
Kohno, H., P.T. Imanto, S. Diani, B.
Slamet, and P. Sunyoto. 1990.
Reproductive performance and
early life history of the grouper,
Epinephelus fuscoguttatus. Bull.
Penelitian perikanan, 1(special
edition):27-35.
Lau, P.P.F. and R.P. Jones, 1999. The
Hongkong trade in live reef fish for
food. TRAFFIC East Asia and
World Wide Fund for Nature
Hongkong. 64 p.
Putro, D.H., Evalawati dan P. Hartono.
1999. Pengamatan pendahuluan
pembesaran
kerapu
bebek
(Cromileptes altivelis) di karamba
jaring apung. Bulletin Budidaya
Laut, 12:5-8.
Setiadharma, T., A.Prijono dan T.
Ahmad. 1997. Pengaruh kepadatan
pasa pengangkutan dengan system
tertutp terhadap daya tetas telur
bandeng
(Chanos
chanos.
Forsskal).
Jurnal
Penelitian
Perikanan Indonesia, 3(1):68-72.
Slamet, B. 1993. Pengaruh penurunan
suhu media terhadap penundaan
penetasan
dan
peningkatan
optimasi kepadatan pada transportasi telur ikan kerapu macan,
Epinephelus
fuscoguttatus.
J.
Penelitian
Budidaya
Pantai,
9(5):30-36.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1997.
Pengamatan pemijahan alami,
perkembangan embrio dan larva
ikan kerapu batik, E. microdon,
dalam bak terkontrol. J. Penelitian
Perikanan Indonesia. Edisi khusus
3(4):40-50.
Srihati. 1997. Pengaruh suhu terhadap
penetasan telur, pertumbuhan dan
daya tahan hidup larva ikan
bandeng (Dicentranchus labrax L.)
Seminar biologi XV. Bandar
Lampung: 872-876.
Sudaryanto, Sudjiharno dan P. Hartono.
1999. Upaya mengubah kelamin
pada kerapu bebek (Cromileptes
altivelis). Bulletin budidaya laut 12,
Lampung:1-4.
Sudjiharno, H. Minjoyo, E. Sutrisno dan
Mustamin.
2001.
Teknologi
produksi massal benih kerapu
macan (Epinephelus fuscogut-tatus)
di Balai Budi Daya Laut Lampung.
Dalam Sudradjat, A., Heruwati,
E.S., Poernomo, A., Rukyani, A.,
Widodo, J. dan Danakusumah, E.
2001. Teknologi Budi Daya Laut
dan Pengembangan Sea Farming di
Indonesia. Puslitbang Eksplorasi
Laut dan Perikanan. 489 p.
Sugama, K., Tridjoko, B. Slamet, S.
Ismi, E. Setiadi, dan S. Kawahara
2001. Petunjuk teknis produksi
benih
ikan
kerapu
bebek
Cromileptes altivelis. Balai Riset
Budidaya Laut Gondol dan Japan
International Cooperation Agency.
40p.
Tridjoko, B. Slamet, D. Makatutu, dan K.
Sugama.1996. Pengamatan pemijahan dan perkembangan telur ikan
kerapu
bebek
(Cromileptes
altivelis)
pada
bak
secara
terkontrol.
Jurnal
Penelitian
Perikanan Indonesia, 2(2):55-62
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
91
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-108, Desember 2010
MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA
SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS
Hadikusumah
Bidang Dinamika Laut – Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI
Jl. Pasir Putih No.1, Ancol Timur, P.O. Box 480 /JKTF. 14430
E-mail: [email protected]
U
U
ABSTRACT
Research of water masses by using conductivity temperature depth (CTD), are conducted in the
eastern path of the Indonesia Throughflow (ITF) in the Halmahera, Seram and Banda seas during
March-April 2007 under the Expedition of Widya Nusantara (EWIN). The objective of this research
is to see maximum salinity spread of South Pacific Subtropical Water (SPSW) water masses enter
the eastern Indonesia Waters. The temperature and salinity profiles show the presence of the
presence of SPSW have been very much confined to the Halmahera Sea only. Little of this water
masses have been detected in the eastern Seram Sea, but none in Banda Sea. Early data of Arlindo
Mixing (ARMIX) experiment in southeast monsoon 1993 indicated that this water masses SPSW may
entered the southern most part of the Moluccas Sea. Type of South Pacific Subtropical Water
(SPSW) water masses appears in the Halmahera Sea at an average depth of 200m and the dominant
flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the east). Type of South
Pacific Intermediate Water (SPIW) water mass appeared on average Halmahera Sea at a depth of
750m and the dominant flows between Halmahera and Obi Islands (Moluccas Sea continues to the
east). Type of North Pacific Subtropical Water (NPSW) water masses at an average depth of ~ 150m
found in the northern part of Halmahera, the dominant flow to the Celebes Sea, Makassar Strait,
Flores Sea and partly flows into Lombok Straits. Type of minimum salinity water mass of North
Pacific Intermediate Water (NPIW) obtained at an average depth of ~ 400m dominant flow towards
the Celebes Sea, Makassar Strait and Flores Sea.
Keywords: maximum salinity, SPSW, Halmahera, Seram, and Banda Seas
ABSTRAK
Penelitian massa air dengan menggunakan conductivity temperature depth (CTD), dilakukan di
bagian timur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO – ITF) di Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut
Banda dari bulan Maret - April 2007 pada pelayaran Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN). Tujuan
penelitian ini untuk melihat penyebaran salinitas maksimum dari massa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) masuk ke bagian timur Indonesia. Profil suhu dan salinitas menunjukkan adanya
kehadiran SPSW sudah sangat terbatas ke Laut Halmahera saja. Sebagian kecil massa air ini telah
terdeteksi di bagian timur Laut Seram, tapi tidak ke Laut Banda. Awal data Arlindo Mixing
(ARMIX) eksperimen di musim tenggara 1993 menunjukkan bahwa massa air SPSW ini dapat
masuk ke bagian paling selatan Laut Maluku. Jenis masa air South Pacific Subtropical Water
(SPSW) muncul di Laut Halmahera pada rata-rata kedalaman 200m serta dominan mengalir di
antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian timur). Jenis massa air South
Pacific Intermediate Water (SPIW) muncul di Laut Halmahera rata-rata pada kedalaman 750m serta
dominan mengalir di antara Pulau Halmahera dan Pulau Obi (terus ke Laut Maluku bagian
timur).Jenis massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) pada rata-rata kedalaman ~150m
didapatkan di bagian utara Halmahera, dominan mengalir menuju ke Laut Sulawesi, Selat Makassar,
Laut Flores dan sebagian mengalir ke Selat Lombok. Jenis massa air bersalinitas minimum North
Pacific Intermediate Water (NPIW) didapatkan pada rata-rata kedalaman ~400m dominan mengalir
ke arah Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Laut Flores.
Kata Kunci: salinitas maksimum, SPSW, Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda
92
©Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia dan
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
Hadikusumah
I. PENDAHULUAN
Perairan Indonesia terletak diantara
Samudera Pasifik dan Hindia. Massa air
dari Pasifik masuk dan menyebar di
perairan Indonesia sebelum mengalir
keluar Indonesia (Wyrtki, 1956). Empat
jenis massa air telah diketahui dan
menyebar pada lapisan termoklin dan
lapisan dalam, yaitu massa air North
Pacific Subtropical Water (NPSW) dan
North Pacific Intermediate Water
(NPIW) yang merupakan massa air yang
dibawa oleh arus Mindanao Eddy dan
arus North Equatorial Current (NEQ),
massa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) dan South Pacific
Intermediate Water (SPIW) yang
merupakan massa air yang dibawa oleh
arus New Guinea Coastal Current
(NGCC) dan arus South Equatorial
Current (SEQ) (Tomczak & Godfrey,
1994). NPSW adalah massa air dari
Pasifik utara yang bergerak ke arah
selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada
lapisan dangkal (lapisan termoklin);
SPSW yaitu massa air dari Pasifik
Selatan yang bergerak ke arah Laut
Halmahera lewat perairan pantai utara
Pulau Papua di lapisan dangkal (lapisan
termoklin). Keberadaan massa air
tersebut diindikasikan oleh salinitas
maksimum (Smaks). Di bawah lapisan
salinitas maksimum (NPSW) terdapat
lapisan massa air NPIW yaitu massa air
dari Pasifik utara yang bergerak ke arah
selatan dan masuk ke Laut Sulawesi pada
lapisan dalam; SPIW adalah massa air
dari Pasifik selatan yang bergerak ke arah
Laut Halmahera lewat utara Pulau Papua
terletak di lapisan dalam (Wyrtki, 1962)
dan (Ffield, 1994). Keberadaan massa air
tersebut diindikasikan oleh salinitas
minimum (Smin).
Pada lapisan pycnocline (100
sampai 300 m) ada lapisan salinitas
maksimum dari utara dan selatan
Samudera Pasifik. Massa air ini disebut
Northern/Southern Subtropical Lower
Waters (Wyrtki, 1961) atau North/South
Pacific Tropical Waters (Fine et al.,
1994) dalam (Yuji et al., 1996).
Gambaran umum dari sirkulasi di
perairan
lautan
Indonesia
yang
menunjukkan dengan jelas pembalikan
aliran musiman pola arus permukaan dan
distribusi massa air laut dalam yang lebih
jelas berasal dari berbagai lokasi
Samudra Pasifik bagian utara atau bagian
barat Samudera Pasifik. Lautan Indonesia
merupakan satu-satunya penghubung
antar samudera antara Pasifik bagian
barat dengan Samudra Hindia bagian
timur (Birowo 1990).
South Pacific Central Water
(SPCW) melewati Halmahera Sea (HS)
ke South Banda (BS) dan Timor Sea
(TS). North Pacific Central Water
(NPCW) melewati Makassar Strait (MS)
ke Timor Sea (TS). Keduanya kemudian
diubah menjadi Indian Central Water
(ICW) (Ffield et al., 1992). Air
bersalinitas asal Pasifik Selatan (South
Pacific) diamati di bawah lapisan
termoklin di Laut Seram dan Laut
Maluku bagian selatan terutama pada
musim barat laut (Ilahude dan Gordon,
1996). Di dalam perairan Indonesia, mass
air berstratifikasi dari Samudera Pasifik
secara nyata diubah oleh pencampuran
vertikal seperti maksimum salinitas yang
berbeda yang berasal dari North Pacific
(salinitas 34,8psu pada 100m) dan South
Pacific (salinitas 35,4psu pada 150m)
akhirnya hilang. Akibatnya, pada saat air
throughflow meninggalkan Indonesia
untuk memasuki Samudra Hindia mereka
membawa salinitas homogen (34,6psu)
melalui termoklin bagian atas, dinyatakan
oleh (Ffield et al., 2005). Air subtropical
Samudera
Pasifik
bagian
selatan
bersalinitas tinggi tidak menyebar ke
bagian atas termoklin di Laut Banda dari
pintu masuknya di Laut Halmahera
(Gordon 2005). Air bagian atas South
Pacific mengalir menuju searah jarum
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
93
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
jam sekitar Halmahera eddy (HE) dan
kembali untuk menggabungkan dengan
arus kearah timur dari Midanau Current
(MC). Sejumlah kecil air massa air South
Pacific memasuki Laut Seram dan terbagi
menjadi dua cabang. Cabang ke arah
utara kembali ke Samudera Pasifik dan
ke arah selatan mengalir memasuki Laut
Banda (Liu et al., 2005).
Tujuan penelitian EWIN Ambon
2007 salah satunya ialah untuk melihat
sebaran salinitas maksimum masa air
South Pacific Subtropical Water (SPSW)
dan North Pacific Subtropical Water
(NPSW) dan sebaran salinitas minimum
masa air South Pacific Intermediate
Water (SPIW) dan North Pacific
Intermediate Water (NPIW) di perairan
Indonesia Timur.
II. METODE PENELITIAN
Pengukuran parameter Oseanografi fisika di sekitar perairan Laut
Halmahera, Laut Seram, Laut Banda dan
Teluk Ambon telah dilakukan dari
tanggal 8 Maret s.d 3 April 2007 dengan
menggunakan KR. Baruna Jaya VII
dalam program Ekspedisi Widya
Nusantara (EWIN). Jumlah stasiun
oseanografi CTD yaitu 30 stasiun
(Gambar 1). Parameter fisika yang diukur
adalah suhu, salinitas dan turbiditas
dengan menggunakan instrumen CTD
Model SBE-91. Profil data pengukuran
CTD dengan interval kedalaman 0.5
94
meter di stasiun-stasiun perairan dangkal
(stasiun biologi) dan 1 meter di stasiun
laut dalam. Stasiun CTD di bagian
selatan Halmahera dan bagian tengah
Laut Seram hampir berimpit dengan
program Arlindo Mixing (ARMIX) 1993
pada musim tenggara (Ilahude & Gordon
1996). Untuk melengkapi analisa massa
air Pacific bagian selatan ke perairan
Laut Halmahera bagian selatan dan Laut
Seram telah ditambah data WOCE Line
08 dan 09. Analisa data suhu dan
salinitas yaitu dengan membuat distribusi
salinitas penampang vertikal dan korelasi
antara salinitas dan suhu dalam diagram
T-S.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Arus
Arus di stasiun MBIO-2A di bagian
timur Pulau Misol pada kedalaman 5m
diperoleh kecepatan arus bervariasi dari
0,18 – 74,34 cm/dt dan hasil analisis
didapatkan rata-rata komponen arus
timur barat (TB) ialah 0,96 cm/dt dan
komponen arus utara selatan (US) ialah 1,99 cm/dt. Hasil analisis progressive
vector diagram (PVD) didapatkan
mampu menempuh jarak 3,37 km dalam
waktu 42 jam 22 menit dan resultante
arahnya (current direction) ialah 154,22°
atau arus bergerak ke arah tenggara, serta
arus sisanya (residual current) sebesar
2,21 cm/dt (Gambar 2).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
14
4
PACIFIC OCEAN
2
Latitude, N/S
27
0
Waigeo
37
38
39
Biak
1 2 3 4
4041
54243
6 Misol 7
8 44
9 10
Seram Sea
13 14
11 12 45
46
15
Seram
161718
Buru
192021
222324
252627
2829
30
Obi
-2
Mangole
-4
Yapen
105
PAPUA
BANDA SEA
-6
126
128
130
132
134
136
138
140
142
144
Longitude, E
Gambar 1. Peta dan stasiun oseanografi Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) pada
tahun 2007 di stasiun bertanda lingkaran hitam dan Arlindo mixing
(ARMIX) pada ekspedisi selama musim tenggara tahun 1993 di stasiun
bertanda lingkaran biru dan merah dan WOCE di stasiun bertanda hijau
PVD arus, Jam 21:10 s/d 13:00, 10 - 12 Maret 2007
Posisi: 2° 4.063 S; 130° 15.133 E, Kampung Lelintah - P. Misol
0
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
22
Pergeseran Komponen Arus, US (km)
-0.5
0
-1
3
2
1
6
18
-1.5
12
9
-2
0
-2.5
3
6
12
9
-3
-3.5
Pergeseran Komponen Arus, TB (km)
Gambar 2. Proressive Vector Diagram arus di stasiun MBIO-1, Jam 21:10 s/d 13:00, 10
- 12 Maret 200, Posisi: 2° 4.063 S; 130° 15.133 E, Kampung Lelintah - P.
Misol
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
95
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
Arus di stasiun MBIO-13 di bagian
timur Pulau Seram pada kedalman 5m
didapatkan kecepatan arus bervariasi dari
0,6 – 31,9 cm/dt dan rata-rata komponen
arus TB ialah 5,5 cm/dt dan komponen
arus utara selatan (US) ialah -2.2 cm/dt.
Hasil analisis arus PVD didapatkan
mampu menempuh jarak 5,84 km dalam
waktu 27 jam 20 menit dan resultante
arahnya (current direction) ialah 111,7°
atau arus menuju ke arah tenggara, serta
arus sisanya (residual current) ialah 5,92
cm/dt.
Arus di stasiun MBIO-14 diperoleh
kecepatan arus bervariasi dari 0.30 –
43.80 cm/dt dan hasil analisa diperoleh
rata-rata komponen arus TB ialah -1.11
cm/dt dan komponen arus US ialah -0.13
cm/dt. Hasil analisa progressive vector
diagram diperoleh bahwa PVD arus dapat
menempuh jarak 0.32 km dalam waktu 7
jam 55 menit dan resultante arahnya
(current direction) ialah 262.95 ° atau
arus ke arah barat daya, serta arus sisanya
(residual current) ialah 1.12 cm/dt
(Gambar 3). Pola arus di stasiun MBIO-
2A,
MBIO-13
dan
MBIO-14
menandakan bahwa masa air tersebut
bergerak ke arah tenggara sampai barat
daya dan ini merupakan masa air
ARLINDO di bagian permukaan.
Berdasarkan data arus mooring
1993-1994 selama setahun pada stasiun
29;
dari Program Kerjasama antara
ASEAN dan Australia di Laut Halmahera
bahwa
kecepatan
arus
rata-rata
maksimum pada kedalaman 428m
didapatkan tertinggi (25,95cm/dt) pada
bulan Februari, jika dibandingakan
kecepatan arus pada kedalaman 720m
(19,42 cm/dt) pada bulan Desember dan
kecepatan arus paling rendah pada
kedalaman 912m (16,90cm/dt) bulan
Desember. Hasil analisis progressive
vector diagram (PVD) menunjukkan
bahwa pergeseran arus selama satu tahun
pada kedalaman 720 m didapatkan
terbesar (2875,6km) dengan arah arus
dominan bergerak ke selatan (188°) atau
masuk
ke
perairan
Indonesia
(ARLINDO),
dibandingkan
dengan
kedalaman 428m, pergeseran arusnya
0.45
PVD arus di stasiun MBIO-14 di Tl. Seleman
Posisi 2° 57.321' S; 129° 07.19' E tanggal 2 April
2007
0.4
15
0.35
0.3
Pergeseran komponen arus, US (km)
12
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
-0.35
-0.3
-0.25
18
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0
0.05
-0.05
-0.1
Pergeseran komponen arus, TB (km)
Gambar 3. Proressive Vector Diagram arus di stasiun MBIO-14 di Teluk Seleman
Posisi: 2° 57.321' S; 129° 07.19' E tanggal 2 April 2007
96
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
0.1
Hadikusumah
(556,86km) dengan arah arus dominan ke
barat daya (204°) serta kedalaman 912m,
pergeseran arusnya paling rendah
(453km) dengan dominan arah arus
bergerak ke barat daya (264°) atau ke
perairan Indonesia. Pola arus antara
bulan Mei s.d September arah arus
dominan menuju ke arah barat laut,
sebaliknya antara bulan Oktober s.d April
arah arus dominan menuju ke arah
dominan ke arah selatan (Gambar 4).
500
Current displacement comp_NS (km)
October
August 93
-600
-500
-400
-300
-200
0
-100
0
100
December
January 94
-500
-1000
March
-1500
June
Mooring #5, 428 m depth
Halmahera Strait
-2000
Current displacement comp_EW (km)
Gambar 4. Proressive Vector Diagram arus di stasiun mooring di Laut Halmahera pada
kedalaman 428m dari tahun 1993/1994
3.2. Karakteristik
dan
Distribusi
Tegak massa Air
Salinitas maksimum 34,988psu
(St.1) pada profil salinitas didapatkan
pada kedalaman 236m yaitu pada lapisan
termoklin. Dari perairan yang diobservasi
ternyata didapatkan ada dua massa air
yang berbeda dari permukaan sampai
kedalaman ~700 m, yaitu masa air
besalintas rendah di Laut Banda Seram
timur dan salinitas tinggi di Laut
Halmahera sampai Laut Seram bagian
barat. Sedangkan massa air permukaan
bersalinitas rendah (kedalaman <185m)
di St.15 didapatkan sama dengan salinitas
Laut Banda, sedangkan di kedalaman
>185m didapatkan masa air bersalinitas
tinggi, demikian pula salinitas maksimum
masih didapatkan di St-16 (34,65psu) di
kedalaman >164m. Ini menandakan
bahwa pertemukan atau front masa air
besalinitas tinggi dan rendah ada di
antara St.15 sampai 16.
Distribusi horizontal salinitas di
bagian permukaan (1m) didapatkan
antara 32 s.d 34psu, dimana salinitas
Selat Halmahera dan Laut Seram
didapatkan lebih tinggi dibandingkan
salinitas Laut Banda atau perairan Seram
timur. Distribusi horizontal salinitas pada
kedalaman 50m didapatkan antara 33,5
s.d 34,3psu, di mana salinitas lepas pantai
Selat Halmahera (>34,2psu) dan salinitas
perairan lepas pantai Laut Seram
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
97
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
(>34,1psu) didapatkann lebih tinggi
dibandingkan salinitas Laut Banda
(<34psu) atau perairan Seram timur,
sedangkan salinitas perairan pantai lebih
rendah (<33,5 psu).
Distribusi tegak salinitas antara
St.1 sampai 4 bahwa antara St.1 sampai 2
didapatkan inti (core) salinitas <34,9psu
pada kedalaman 200m dengan ketebalan
inti salinitas makin ke arah timur makin
berkurang. Salinitas minimum (<34,6psu)
juga didapatkan di laut dalam pada
kedalaman >465m dan diduga sampai
dasar. Distribusi salinitas vertikal antara
St.1 sampai 11 didapatkan bahwa core
salinitas maksimum di St.1 (<34,9psu)
dengan ketebalan ~120m dan makin ke
arah selatan (St.11) core salinitasnya
makin berkurang (>34,8psu) dengan
ketebalan <70m. Sedangkan salinitas
minimum (<34,6psu) didapatkan pada
kedalaman >440m dan diduga sampai
dasar.
Distribusi tegak salinitas antara
St.2 sampai 12 didapatkan bahwa core
salinitas (>34,9 psu) di St.2 dengan
ketebalan ~ 60m dan makin ke arah
selatan
nilai
salinitasnya
makin
berkurang atau mengecil (>34,7) yaitu
antara St.8 s.d (di Laut Seram) dengan
ketebalan ~60m. Sedangkan salinitas
minimum di laut dalam didapatkan pada
kedalaman ~ 460m (St.2) dan makin ke
arah selatan (dangkal sampai kedalaman
~360m). Distribusi tegak salinitas antara
98
St.11 sampai 14 (di Laut Seram) bahwa
core salinitas (>34,8 psu) didapatkan
pada kedalaman 200m dengan ketebalan
~ 65m. Core salinitas makin ke arah
timur didapatkan nilai salinitasnya makin
berkurang dan sampai di St.14
(>34,6psu) dengan ketebalan <20m.
Salinitas <34,6psu didapatkan di laut
dalam di St.11 dikedalaman ~ 400m dan
makin ke arah timur salinitas (<34,6psu)
didapatkan di kedalaman ~ 240m (makin
dangkal atau naik).
Distribusi salinitas vertikal antara
St.1 sampai 30 yaitu dari Selat
Hamahera, Laut Seram dan Laut Banda
bahwa salinitas di bagian lapisan
permukaan antara St.1 sampai St.13
didapatkan salinitas lebih besar (>34 psu)
dibandingkan
salinitas
di
bagian
permukaan ke arah selatan Laut Banda
(<34psu). Inti salinitas di St.1 adalah
sama seperti pembahasan di atas,
didapatkan bahwa salinitas makin ke arah
selatan core salinitas Selat Halmahera
sudah tidak muncul lagi. Core salinitas
>34,6 psu masih muncul di St.15 pada
kedalaman 200m. Ini artinya bahwa
salinitas maksimum tersebut tidak
mengalir secara kuat ke arah timur ke
arah Laut Banda. Karena di St.24 sampai
27 dan 30 nilai salinitas >34,6psu sudah
tidak muncul lagi, sehingga yang disebut
lapisan minimum salinitas (<34,6 psu) di
lapisan dalam sudah tidak terstatifikasi
lagi (Gambar 5).
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
St_30
27
24
21
18
15
13
8
5
1
0
depth (m)
-200
>
-400
-600
-800
Salinity (psu)
-1000
-4.5
-4.0
-3.5
-3.0
-2.5
-2.0
-1.5
Latitude, S
Gambar 5. Distribusi tegak salinitas antara St.1 sampai 30 dari Laut Halmahera, Laut
Seram dan Laut Banda.
Distribusi tegak salinitas antara
St.4 sampai 28 bahwa salinitas perairan
dangkal di lapisan permukaan (mixed
layer depth) bagian timur Pulau Misol
didapatkan salinitas (>34 psu) yaitu
antara St.4 sampai St.14. Sedangkan
salinitas makin ke arah selatan, salinitas
makin berkurang (<34psu). Demikian
juga bahwa core salinitas (>34,6psu)
masih muncul didapatkan di St.15 pada
kedalaman ~ 200m. Ini menandakan
bahwa salinitas (>34,6psu) masih
menyebar ke arah timur, meskipun core
salinitas tersebut sudah berkurang 0,3psu
dari St.1. Demikian salinitas <34,6psu
didapatkan salinitas minimum di
kedalaman laut dalam sudah tidak
terstatifikasi lagi, sama seperti pada
distribusi tegak salinitas antara St.1
sampai St.30 (Gambar 6).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
99
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
St_28
25
22
19
17
15
14
10
7
4
0
Depth (m)
-200
-400
-600
Salinity (psu)
-800
-1000
-4.5
-4.0
-3.5
Latitude, S
-3.0
-2.5
-2.0
Gambar 6. Distribusi tegak salinitas antara St.4 sampai 28 di Laut Seram sampai Laut Banda
Distribusi tegak salinitas Line 08
bahwa inti salinitas maksimum >35,3psu
didapatkan pada kedalaman rata-rata
110m (~100 – 175m) antara St.23 sampai
St.27. Salinitas maksimum tersebut
berada dibagian mulut Laut Halmahera
antara Pulau Halmahera dan Pulau
Papua, dan makin ke arah utara nilai
salinitas makin berkurang. Salinitas
>35,2psu, posisi penyebarannya bergerak
naik ke arah permukaan antara
kedalaman 90m s.d 100m (St.23 sampai
St.19) yang disebut masa air South
Pacific Subtropical Water (SPSW).
Salinitas 35,1psu didapatkan di St.27
berada antara kedalaman 90m s.d 220m
dan makin ke arah utara ketebalan lapisan
salinitas makin menipis (80m sampai
100m) di St.13. Salinitas 35,0psu
100
didapatkan di St.27 terletak antara
kedalaman 90m s.d 225m. Gradasi
sebaran salinitas 35,0 didapatkan makin
ke arah utara ketebalan lapisan salinitas
makin menipis (100m s.d 200m) atau
disebut masa air North Pacific
Subtrophical Water (NPSW).
Inti salinitas minimum <34,5psu
didapatkan rata-rata pada kedalaman
360m antara St.23 sampai St.13 (5°N). Di
bagian selatan antara St.27 s.d 24 inti
salinitas minimum <34,5psu tidal muncul
lagi. Inti salinitas <34,6psu didapatkan
pada lapisan atas yaitu antara kedalaman
~520m (St.27) dan ~250m (St.25 sampai
St.13), dan pada lapisan bawah rata-rata
pada kedalaman ~1500m (antara suhu
3°C s.d 8°C). Masa air bersalinitas
rendah di lapisan bawah tersebut disebut
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
dengan masa air North Pacific
Intermediate Water (NPIW). Selanjutnya
makin kebawah didapatkan salinitas
>34,6psu dengan suhu <3°C s.d <1°C.
Distribusi tegak salinitas Line 09
bahwa inti salinitas maksimum lebih
besar
35,5psu
didapatkan
antara
kedalaman 150m s.d 180m antara St.105
s.d St.103. Salinitas >35,3psu didapatkan
antara kedalaman 125m s.d 140m antara
St.105 s.d St.92 dan salinitas >35,0psu
didapatkan antara kedalaman 60m s.d
300m (St.105), dan makin ke arah utara
ketebalan sebaran salinitas makin
menipis antara kedalaman 95m s.d 140m
(St.79), makin ke arah utara lagi (St.76)
nilai salinitas didapatkan makin mengecil
(>34,8psu). Nilai salinitas 34,6psu
didapatkan antara kedalaman 70m s.d
520m (St.105), dan makin ke arah utara
ketebalan lapisan salinitas 34,6psu makin
menipis dari kedalaman ~140 m s.d 75m
(St.76). Sedangkan inti salinitas <35,5psu
secara ruang baik memanjang maupun
vertikal di Line 08 pada kedalaman yang
sama tidak muncul lagi. Sedangkan
salinitas <34,6psu didapatkan antara
kedalaman ~500m s.d 1500m dan makin
ke arah utara lapisannya makin menebal
antara ~150m s.d 1500m (St.76). Masa
air bersalinitas demikian disebut dengan
massa air South Pacific Intermediate
Water (SPIW). Massa air SPSW dan
SPIW di Selat Damper, Raja Empat
sudah didapatkan oleh Hadikusumah
(2009).
Penampang tegak salinitas Line 09
di utara Papua dapat disimpulkan bahwa
inti salinitas (>35,5psu) yang paling
tinggi berada di pantai utara Papua, dan
makin ke arah utara (5°N), inti salinitas
>35,5psu makin berkurang atau menurun.
Ketebalan lapisan salinitas (>35psu) di
bagian selatan (St.105) sampai mencapai
240m dan dibagian utara (5°N)
didapatkan hanya 45m (St.79). Salinitas
maksimum demikian disebut dengan
massa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) dari Samudera Hindia.
Penampang tegak salinitas di Laut
Flores antara St.1 sampai St.7 dapat
disimpulkan
bahwa
inti
salinitas
(34,551psu) adalah massa air yang sudah
terencerkan oleh masa air Laut Jawa,
dibandingkan
dengan
salinitas
maksimum Selat Makassar (34,862psu)
disebut dengan masa air North Pacific
Subtrophical Water (NPSW). Salinitas
minimum (<34,5) pada kedalaman
~400m yang mempunyai pola kedalaman
yang sama dengan salinitas minimum
laut dalam Selat Makassar disebut
dengan masa air North Pacific
Intermediate Water (NPIW) (Gambar 7)
seperti diuraikan oleh Hadikusumah
(2008).
3.3. Diagram T-S
Dalam membahas TS-diagram
sekaligus dibandingkan dengan data
ARMIX 93 dan WOCE, didapatkan ada
enam jenis masa air yaitu: (1). Jenis masa
air campuran antara Laut Banda dan Laut
Seram yaitu antara sigma-t <21 s.d <22
pada lapisan antara permukaan sampai
kedalaman <100m dengan suhu antara
29,24 °C s.d 28,56 °C dan salinitas antara
33,068 psu a/d 33,942 psu disebut masa
air lokal Laut Banda dan Seram (BSW);
(2). Jenis masa air campuran antara Selat
Halmahera dan perairan Misol dengan
sigma-t >21 s.d 23 yaitu dari permukaan
s.d <100m, dengan suhu antara 29,26 s.d
27,00 °C dan salinitas antara 33,901 s.d
34,213psu; (3). Jenis massa air Laut
Banda antara sigma-t 25 – 26, dengan
suhu antara 17,47 s.d 13,10°C dan
salinitas antara 34,512 s.d 34,512psu
antara kedalaman <200 m s.d 400m; (4).
Jenis masa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW) merupakan masa air Laut
Halmahera bagian selatan, Laut Seram
antara salinitas 34,987 s.d 34,721psu
dalam sigma-t ~25 s.d ~26 dengan suhu
16,04 s.d 15,95°C pada rata-rata
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
101
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
kedalaman 200m; merupakan massa air
Laut Banda bagian Seram timur pada
salinitas 34,663 psu dalam sigma-t ~26
dengan suhu 14,96°C (Gambar 8),
St.1
2
0
merupakan massa air yang mengalir
diantara Pulau Halmahera dan Pulau Obi
dan Laut Seram tengan (ARMIX 93).
3
5
4
6
7
< 33.3
-100
Depth (m)
>34.54
>34.54
-200
>34.54
-300
< 34.5
-400
Salinity (psu)
>34.5
-500
-8.1
-8.0
-7.9
-7.8
-7.7
-7.6
-7.5
-7.4
-7.3
Latitude, S
-6
-6.5
Latitude, S
-7
-7.5
-8
-8.5
-9
120
7
6
5
4
3
2
1
8
FLORES SEA
FLORES
120.5
121
121.5
122
Longitude, E
Gambar 7. Distribusi tegak salinitas di Laut Flores, bulan Mei 2005
102
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
0
WAIGEO
Halmahera Sea
HALMAHERA
-1
37
38
39
PAPUA
OBI
MISOL
Latitude, S
-2
Seram Sea
-3
SERAM
-4
Banda Sea
-5
127
128
129
130
131
132
Longitude, E
Gambar 8. Distribusi tegak salinitas antara St.37 sampai St.39 pada program ARMIX 93
Salinitas 34,744psu s.d 34,688psu
antara sigma-t ~25 s.d ~26 dengan suhu
15,15°C s.d 17,02 °C, merupakan massa
air bagian utara Laut Halmahera sampai
bagain utara (Line08) dengan salinitas
antara 35,393 psu s.d 35,057 psu antara
sigma-t ~22 - ~25 dengan suhu antara
23,54 s.d 23,71°C merupakan massa air
dibagian utara Pulau Papua antara sigmat ~22 s.d ~26 dengan suhu antara
20,61°C s.d 20,76°C dan salinitas antara
35,459psu a/d 34,813psu; (5). Jenis
massa air South Pacific Intermediate
Water (SPIW) atau masa air dari
Samudera
Pasifik
bagian
selatan
merupakan massa air Laut Halmahera
dengan salinitas 34,538 psu dengan
sigma-t ~ 27 dan suhu 6,45°C pada ratarata kedalaman 750m, merupakan masa
air antara Pulau Halmahera dan Laut
Seram bagian dibagian tengah (ARMIX
93) dengan salinitas antara 34,604 psu
sampai 34,601 psu dalam sigma-t ~27 <27,5 dan suhu 5,27 s.d 6,08°C,
merupakan masa air utara Pulau Papua
(Line 09) dengan salinitas antara
34,471psu s.d 34,633psu dalam sigma-t
(27 s.d <72,5) antara suhu 8,27°C s.d
8,48°C pada rata-rata kedalaman 750m;
(6). Jenis massa air Antartic Intermediate
Water (AAIW) untuk massa air Laut
Halmahera dan Seram antara salinitas
34,167psu – 34,614 psu dalam sigma-t
~27,5 s.d <28 antara suhu 3,48°C s.d
3,28°C pada kedalaman >1500m, masa
air Laut Halmahera bagian utara dan
utara Pulau Papua bersalinitas antara
34,673 s.d 34,675psu dalam sigma-t ~28
antara suhue 1,57°C s.d 1,58°C pada
kedalaman ~ 3200m (Gambar 9).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
103
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
T-S Diagram Misol, Seram dan Banda bulan Maret - April 2007
35
L. Banda, Seram
30
75 m
σ-t= 21
Sl. Halmahera, Misol,
S
50 m
22
25
100
Temperature (°C)
23
20
24
SPSW
200
15
25
300
L.Band
10
500
26
SPIW
5
1000
27
28
0
33
33,5
34
Salinity (psu)
34,5
35
35,5
Gambar 9. Diagram T-S Laut Halmahera, Laut Seram (merah dan kuning) dan Laut Banda
(biru) pada program EWIN 2007
Massa air bersalinitas maksimum
antara 34,51psu s.d 34,981psu didapatkan
pada sigma-t (24 s.d <27), dengan suhu
antara 21,77 s.d 15,94°C dan kedalaman
antara 150m s.d <300m. Kondisi ini
sesuai dengan hasil analisa (Wyrtki 1961;
Fine et al., 1994) bahwa pada lapisan
pycnocline (100 to 300m) ada lapisan
salinitas maksimum dari South Pacific.
Kondisi inipun sesuai dengan (Ffield et
al., 1992) bahwa South Pacific Central
Water (SPCW) melewati Halmahera Sea
(HS) memesuki South Banda (BS) and
Timor Seas (TS). Kondisi ini sesuai
dengan hasil (Ilahude and Gordon 1996)
bahwa air bersalinitas dari asal South
Pacific telah diobservasi dibawah
thermocline di Laut Seram dan bagian
selatan Laut Maluku. Inti (core) salinitas
34,98 psu di St.1 makin ke arah timur
sudah tidak didapatkan lagi, bahkan inti
salinitas >34,6 psu hanya diketemukan di
St.15 pada kedalaman 200m. Kondisi ini
menggambarkan
bahwa
salinitas
maksimum tersebut tidak mengalir secara
104
kuat ke arah timur ke arah Laut Banda.
Karena di St.24 sampai St.27 dan St.30
nilai salinitas 34,6psu sudah tidak
diketemukan lagi atau tidak muncul.
Kemungkinan
salinitas
maksimum
mengalir ke arah barat ke Selat Obi dan
ke barat laut Laut Seram.
Arah transport salinitas maksimum
tersebut adalah sesuai dengan (Liu, et al.,
2005) bahwa air di atas South Pacific
mengalir searah Halmahera eddy (HE)
dan bergabung dengan arus ke arah
timur dari Midanau Current (MC). Suatu
jumlah yang kecil salinitas maksimum
yang masuk Laut Seram dan Laut Banda
dan kondisi demikian adalah sesuai
dengan Ffiel et al. (2005). Hal ini pun
sesuai dengan Gordon (2005) bahwa
bersalinitas
tinggi
South
Pacific
Subtropical Water tidak menyebar
kedalam lapisan thermocline di Laut
Banda dari pintu gerbang Laut
Halmahera. Setelah masuk perairan
Indonesia bagian timur terjadi gradasi
penurunan dari salinitas maksimum masa
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
air South Pacific Subtropical Water
(SPSW) pada rata-rata kedalaman ~200m
karena ada vertical mixing (Ffield, et al.,
2005) yaitu dimulai dari salinitas
maksimum 35,459psu bagian pantai utara
Pulau Papua, sampai di mulut Halmahera
menjadi 35,394psu, sampai di Laut
Halmahera bagian selatan menjadi
34,987psu , sampai di Halmahera bagian
barat antara Pulau Halmahera dan Pulau
Obi menjadi 34,744psu, sampai Laut
Seram bagian tengah menjadi 34,721psu,
sampai di Laut Banda menjadi 34,663
psu.
Sedangkan
North
Pacific
Subtropical Water (NPSW) pada ratarata kedalaman ~150m yaitu di mulai dari
salinitas 35,057psu di utara Halmahera,
sampai di Selat Makassar menjadi
34,863psu, sampai di Laut Flores
menjadi 34,567psu dan sampai di Selat
Lombok menjadi 34,555psu.
Sebaliknya salinitas minimum
massa air North Pacific Intermediate
Water (NPIW) justru ada kenaikan
setelah bercampur dengan massa air laut
dalam perairan Indonesia, dimulai dari
Laut Hamahera bagian utara salinitas
minimum pada rata-rata kedalaman
~400m yaitu salinitas 34,395psu, sampai
di Selat Makassar menjadi 34,481 psu
(Anonimus, 2003 and 2004), sampai di
Laut Flores menjadi 34.464 psu
(Anonimus, 2005) dan sampai di Selat
Lombok menjadi 34.464 psu (Instant,
2003).
Demikian
untuk
salinitas
minimum massa air South Pacific
Intermediate Water (SPIW) rata-rata
pada kedalaman ~750m, dimulai dari
pantai utara Pulau Papua yaitu salinitas
34.537psu, sampai di mulut Laut
Halmahera salinitas menjadi 34.534 psu
dan Halmahera bagian selatan 34.538
psu, sampai di Selat Obi menjadi 34.604
psu dan Seram 34.535 psu, sampai di
Laut Banda Seram bagian timur menjadi
34.547 psu.
Penurunan salinitas maksimum
masa air NPSW pada kedalaman ~120m
s.d 160m yaitu dimulai dari pantai utara
Pulau Papua yang bersalinitas 35.576
psu dan sampai di mulut Halmahera
menjadi 35.394 psu. Selajutnya salinitas
masimum tersebut masuk ke perairan
Indonesia bagian timur di Laut
Halmahera bagian selatan menjadi
34.987 psu, sampai di Halmahera bagian
barat antara Pulau Halmahera dan Pulau
Obi menjadi 34.744 psu, sampai Laut
Seram bagian tengah menjadi 34.721 psu,
sampai di Laut Banda menjadi 34.663
psu. Sedangkan salinitas maksimum
masa air NPSW pada rata-rata kedalaman
~150 m yaitu di mulai dari salinitas
maksimum 35.057 psu di utara
Halmahera, sampai di Selat Makassar
menjadi 34.863 psu, sampai di Laut
Flores menjadi 34.567 psu dan sampai di
Selat Lombok menjadi 34.555 psu.
Sebaliknya salinitas minimum
massa air NPIW justru didapatkan
kenaikan setelah bercampur dengan
massa air laut dalam perairan Indonesia,
dimulai dari Laut Hamahera bagian utara
salinitas minimum pada rata-rata
kedalaman ~400m yaitu salinitas
34,395psu, sampai di Selat Makassar
menjadi 34,481psu, sampai di Laut
Flores menjadi 34.464psu dan sampai di
Selat Lombok menjadi 34,464psu.
Demikian untuk salinitas minimum
massa air SPIW rata-rata pada kedalaman
~750m, dimulai dari pantai utara Pulau
Papua (34,537psu), sampai di mulut Laut
Halmahera salinitas menjadi 34,534psu
dan Halmahera bagian selatan 34,538psu,
sampai di Selat Obi menjadi 34,604psu
dan Seram 34,535 psu, sampai di Laut
Banda Seram bagian timur menjadi
34,547psu (Gambar 10).
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
105
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
35
30
30
Seram - Banda
Halmahera
50 m
14
38
Sigma_t = 21
22
39
30
45
25
Temperature (°C)
100
♦ Flores St_6
24
▲ Flores St_8
▲ Halmahera St_1
● Seram St_8
– Seram St_15
25
♦ Banda St_21
▲Banda St_30
ж Armix St_37
26
+ Armix St_38
- Armix St_39
■ Armix St_45
▲Papua St_105
♦ Halmahera St_27
▲Halmahera St_14
20
15
10
5
27
6
23
25
NPSW
21
8
20
SPSW
BANDA
FLORES
105
1
8
SERAM
15
150
SPSW
15
HALMAHERA
200
10
300
NPIW
500
700
27
SPIW
5
28
1000
4700
AAIW
0
0
33
33.2
33.4
33.6
33.8
34
34.2
34.4
34.6
34.8
35
35.2
35.4
35.6
35.8
36
Salinity (psu)
Gambar 10. Diagram T-S bagian selatan Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda (2007),
Laut Floras (2005), Selat Obi (ARMIX 1993). Bagian utara Pulau Halmahera dan
Pulau Papua pada Expedisi WOCE
IV. KESIMPULAN
Arus bagian permukaan dan bagian
dalam lebih dominan bergerak ke arah
selatan sampai barat daya, ini
menggambarkan bahwa arus tersebut
adalah arus ARLINDO yaitu dari massa
air Samudera Pasifik bagian selatan
melalui Laut Halmahera.
Kedalaman lapisan permukaan
perairan Halmahera, Seram dan Banda
didapatkan berkisar antara 18m s.d 74m.
Kedalaman lapisan batas atas termoklin
berkisar antara 25m s.d 96m dengan
rata-rata 70m, sedangkan kedalaman
termoklin batas bawah berkisar antara
75m - 267m dengan rata-rata kedalaman
180m.
Suhu di lapisan permukaan (mixed
layer) di Laut Halmahera didapatkan
lebih tinggi dibandingkan suhu Laut
Seram dan Laut Banda, demikian pula di
lapisan termoklin pada kedalaman antara
106
225m – 385m. Pada kedalaman antara
545m s.d 612m didapatkan mempunyai
nilai salinitas maksimum. Perairan yang
diobservasi ternyata didapatkan ada dua
massa air yang berbeda dari permukaan
sampai kedalaman ~700m, yaitu masa air
besalintas rendah di Laut Banda dekat
dengan Seram bagian timur dan salinitas
tinggi di Selat Halmahera sampai Laut
Seram di bagian barat. Massa air
bersalinitas maksimum (34,988psu)
antara densitas <25 s.d >26 didapatkan
pada kedalaman 236m terdapat pada
lapisan termoklin, dan mengecil ke arah
barat dan timur Laut Seram sampai Laut
Banda.
Hasil
analisa
diagram
T-S
didapatkan ada enam jenis masa air yaitu
massa air Selat Halmahera dan perairan
Misol (HMW); massa air Laut Seram dan
Laut Banda (SBW); masa air Laut Banda
(BW); masa air South Pacific Subtropical
Water (SPSW); massa air South Pacific
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Hadikusumah
Intermediate Water (SPIW); massa air
Antartic Intermediate Water (AAIW).
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada rekan peneliti dan
awak kapal KR. Baruna Jaya VII. Penulis
menyampaikan penghargaan yang tinggi
yaitu kepada mereka, Prof Dr Lukman
Hakim, sebagai Ketua LIPI, Dr Herry
Harjono, sebagai Deputi Bidang IPK LIPI, Dr Suharsono sebagai Ketua Pusat
Penelitian Oseanografi - LIPI untuk saran
dan dukungan kebijakan penerapan
program. Terima kasih dan penghargaan
kepada
Fredy
Letemia
sebagai
Koordinator Program EWIN di Ambon.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2003. Laporan akhir studi
dinamika Selat Makassar serta
interaksinya
dengan
daratan
PULAU Kalimantan dan PULAU
Sulawesi. Program kompetitif
Kalimantan Timur dan Bangka –
Belitung – LIPI. 105 hal.
Anonimus. 2004. Laporan akhir studi
dinamika Selat Makassar serta
interaksinya
dengan
daratan
PULAU Kalimantan dan PULAU
Sulawesi. Program kompetitif
Kalimantan Timur dan Bangka –
Belitung - LIPI. 146 hal.
Anonimus.
2005.
Laporan
akhir
Penelitian Arlindo dan Efeknya
pada Stratifikasi Massa Air Laut
Flores dan Sekitarnya. P2O - LIPI.
36 hal.
Birowo. 1990. Introduced the scientific
knowledge of circulation in
Indonesia
Seas.
In.
Intergovernmental Oceanographic
Commission Workshop Report No.
72.
Ffield, A. 1994. Tidal mixing in
Indonesian Seas. Paper presented at
International Scientific Symp. of
the IOC-WESTPAC, Intergov.
Oceanogr. Comm. Bali. Indonesia.
Ffield, A. and A.L. Gordon, 1992.
Vertical mixing in the Indonesian
thermocline, J. Phys. Oceanogr.,
22:184-195.
Ffield, A. and R. Robertson. 2005.
Indonesian seas fine structure
variability.
Oceanography.,
18(4):108–111.
Fine, R.A., R. Lukas, F.Bingham, M.
Warner, and R. Gammon. The
western equatorial Pacific: A water
masses crossroads, J. Geophys.
Res., 99:25,063-25,080
Gordon, A.L. 2005. Oceanography of the
Indonesian Seas and their trough
flow. Oceanography, 18(4):14–27.
Hadikusumah.
2008.
Masa
Air
Subtropikal
dan
Intermediate
Melalui Selat Makassar. J. Segara,
4(2):111-120
Hadikusumah. 2009. The Circulation of
Raja Ampat Waters – Papua with
Pacific intrusion to the East
Indonesian
Waters.
Jurnal
Ichthyos, 8(1):27-34.
Ilahude, A.G. and A.L. Gordon. 1996.
Thermocline Stratification Within
the Indonesian seas. Journal of
Geophysical
Research,
101(C5):12,401–12,409.
Liu Hailong, Li Wei, Yu Yongqiang, and
Zhang
Xuehong.
2005:
Climatology and variability of the
Indonesian throughflow in an
Eddy-permitting Oceanic GCM,
Adv. Atmos. Sci., 22(4):496-508.
Tomczak, M. and J. S. Godfrey. 1994.
Regional
Oceanography:
An
Introduction. Pergamon.
Wyrtki, K. 1956. The subtropical lower
water between the Philippines and
New Guinea. Mar. Res. Indonesia,
1:21-45.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
107
Massa Air Subtropical Di Perairan Hamahera
Wyrtki, K. 1961. Physical oceanography
of the Southeast Asian Waters.
Scientific results of Marine
investigations of the South China
Sea and the Gulf of Thailand 19591961. The University of California,
Scripps
Institution
of
Oceanography La Jolla, California:
195 pp.
Wyrtki, K. 1962. Physical oceanography
of the Southeast Asian waters,
Naga Report, Vol.2. Scripps
Institution
of
Oceanography,
California:195 pp.
Yuji, K., M., Aoyoma, T., Kawano, N.
Hendiarti,
Syaefudin,
Y.,
Anantasena, K. Muneyama, and H.,
Watanabe. 1996. The water masses
between Mindanao and New
Guinea.
J.
Geophys.
Res.,
101(C5):12,391-12,400.
108
http://www.itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt22
Pedoman Penulisan Naskah Artikel
1. Ketentuan Umum
Artikel merupakan hasil penelitian atau sanggahan (note) ilmiah bidang ilmu dan
teknologi kelautan tropis dan belum pernah dimuat maupun dalam proses pengajuan dalam
publikasi ilmiah lain. Artikel yang diusulkan dapat berasal dari bidang ilmu dan teknologi
kelautan tropis sebagai berikut: biologi laut, ekologi laut, biologi oseanografi, kimia
oseanografi, fisika oseanografi, geologi oseanografi, dinamika oseanografi, coral reef
ecology, akustik kelautan, remote sensing kelautan, sistem informasi geografis kelautan,
mikrobiologi kelautan, pencemaran laut, akuakultur kelautan, teknologi hasil perikanan,
bioteknologi kelautan, air-sea interaction, dan ocean engineering.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris diketik dengan MSWord, font Times New Roman ukuran 12 pada kertas kuarto atau A4 termasuk Gambar
dan Tabel dengan margin top and bottom 3 cm serta left and right 3cm. Untuk artikel
dalam bahasa Indonesia, tulisan dilengkapi dengan abstract (bahasa Inggris) dan abstrak
(bahasa Indonesia). Sedangkan artikel dalam bahasa Inggris, tulisan hanya menyertakan
abstract (bahasa Inggris).
Semua komunikasi dengan penerbit dilakukan secara electronic (email). Naskal
artikel harap dikirim ke Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
dengan email address: [email protected]. Semua naskah yang masuk akan
mendapat balasan penerimaan. Hasil review dari reviewers (mitra bebestari) juga akan
dikirim via email.
2. Sistematika Susunan Artikel
2.1. Sistematika susunan artikel hasil penelitian umumnya sebagai berikut:

 Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris yang
diketik secara miring (italic).
 Nama Penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail corresponding author.
 Abstract dalam Bahasa Inggris (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode,
dan hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata. Semua ditulis dalam Bahasa
Inggris dengan cetak miring)
 Artikel dalam bahasa Indonesia (memuat sedikit latar belakang, tujuan, metode, dan
hasil penelitian serta tidak lebih dari 250 kata).
 Keywords maximum 8 words (English)
 Kata kunci maksimal 8 kata (Bahasa Indonesia)
 Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang, masalah, rumusan
masalah, rangkuman kajian teoretik, ulasan ilmiah terkait judul berdasarkan rujukan
(pustaka) terkini, dan tujuan penelitian). Dalam pendahuluan ini juga disajikan
pertanyaan ilmiah (scientific question) yang akan dijawab dalam penelitian tersebut.
 Metode Penelitian (ditulis dengan jelas waktu, lokasi, bahan, dan analisis data
penelitian sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi percobaan yang
109





terkait). Bagian ini dapat dibuat dalam beberapa sub-bab.
Hasil dan Pembahasan (sajikan hasil terlebih dahulu kemudian diikuti dengan penjelasan
atau pembahasan. Pembahasan harus menggunakan rujukan atau dibandingkan (diulas)
dengan rujukan (pustaka) terkini).
Kesimpulan dan Saran (ditulis dalam bentuk essay (paragraph) secara ringkas
dan jelas dan harus bisa menjawab (menjelaskan) judul, tujuan, dan hasil
penelitian).
Ucapan Terima Kasih (ditulis dengan jelas dan ringkas kepada siapa ucapan
terima kasih itu diberikan. Penelitian yang dibiayai DIPA, hibah, atau sejenisnya
agar mencantumkan nomor kontraknya).
Daftar Pustaka (lihat ketentuan berikutnya)
Lampiran (jika ada)
2.2. Sistematika susunan sanggahan (note) ilmiah umumnya adalah
sebagai berikut:







Judul (sesingkat mungkin) dan disertai dengan terjemahan berbahasa Inggris yang
ditulis dalam bentuk miring (italic).
Nama penulis, nama dan alamat instansi, dan e-mail address corresponding author.
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat pengantar topik utama diakhiri dengan
rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas)
Pembahasan diikuti dengan Subjudul sesuai kebutuhan
Kesimpulan (bila perlu)
Daftar Pustaka
Lampiran (jika ada)
3. Teknik Penulisan
3.1. Judul
Judul ditulis dengan huruf kapital, dicetak tebal, di tengah (center), font Times
New Roman 12, hitam. Di bawah judul naskah dalam bahasa Indonesia, diberikan
terjemahan judul dalam bahasa Inggris dengan huruf miring (italic).
Contoh:
STUDI INTERAKSI PADA HUMIN UNTUK ADSORPSI Mg (II) DAN Cd (II)
DALAM MEDIUM AIR LAUT
STUDY OF INTERACTION ON HUMIN FOR Mg (II) AND Cd (II)
IN THE SEA WATER MEDIUM
3.2. Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar dengan huruf kapital pada awal nama,
dicetak tebal, di tengah, font Times New Roman 12, hitam. Dilengkapi dengan nama
dan alamat instansi dan e-mail untuk corresponding author dengan font Times New
Roman 12, hitam dengan spasi 1.
Contoh:
110
Tuti Wahyuni
Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: [email protected]
Jika artikel ditulis lebih dari satu orang dan alamat instansinya berbeda maka
disetiap nama penulis diikuti dengan nomor yang ditulis secara superscript
Email address yang dicantumkan hanya utk corresponding author saja.
Contoh 1:
Contoh 2:
Tuti Wahyuni1 dan Dendy Mahabror2
1
Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: [email protected]
2
Balai Riset Observasi dan Kelautan-BRKP-DKP
Tuti Wahyuni1, Dendy Mahabror2, dan Rani Ulawi3
1
Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP-DKP
e-mail: [email protected]
2
Balai Riset Observasi dan Kelautan-BRKP-DKP
3
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB
3.3. Abstrak Berbahasa Inggris dan Keywords
Tulisan “Abstract” ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebalmiring (italic), font Times New Roman 12, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal.
Penulisan rata kiri dan kanan, tanpa alinea (abstract keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan “Keywords” ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, font
Times New Roman 12, hitam, diberi titik dua, selanjutnya tidak dicetak tebal. Penulisannya
rata kiri.
Contoh:
ABSTRACT
A study of interaction on humin for Mg(II) and Cd(II) in the sea water medium was
investigated... ... and so on.
Keywords: Adsorption, Humin, Magnesium, Cadmium
3.4. Abstrak Berbahasa Indonesia dan Kata Kunci
Tulisan “Abstrak” ditulis dengan huruf kapital, tengah (center) dicetak tebal, font
Times New Roman 12, hitam, spasi 1. Isinya tidak dicetak tebal. Penulisan rata kiri dan
kanan, tanpa alinea (abstrak keseluruhan merupakan satu alinea).
Tulisan “Kata kunci” ditulis dengan huruf kapital di awal kata, dicetak
tebal, font Times New Roman 12, hitam, diberi titikdua, selanjutnya tidak dicetak tebal.
Penulisannya rata kiri.
Contoh:
111
ABSTRAK
Penelitian tentang studi interkasi pada humin untuk absorpsi Mg(II) dan Cd(II) dalam
medium air laut .... dan seterusnya.
Kata kunci: Adsorpsi, Humin, Magnesium, Kadmium
3.6. Bab (Chapter) dan Sub-Bab (Sub-Chapter)
Bab (Chapter) ditulis dengan urutan angka romawi, huruf kapital, dicetak tebal,
rata tepi kiri, font Times New Roman 12, hitam sedangkan sub-bab (sub-chapter) ditulis
dengan urutan angka biasa, huruf kapital di awal kata, dicetak tebal, rata tepi kiri, font
Times New Roman 12, hitam. Apabila di bagian sub-bab masih ada subnya lagi, maka
penulisannya diberi nomor paralel dengan sub-bab sebelumnya diikuti titik, judul
dengan huruf kapital di awal kata, cetak tebal, rata tepi kiri, font Times New Roman 12,
hitam.
Contohnya berikut ini:
--------------------------------------------------------------I. PENDAHULUAN
II.
2.1.
2.2.
2.3.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Data
Analisis Data
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.1. Suhu Permukaan
3.1.2. Konsentrasi Klorofil-a
3.2. Pembahasan
IV. KESIMPULAN
----------------------------------------------------------------3.8. Catatan Kaki (Footnote)
Catatan kaki diberi simbol angka setelah frase/istilah(1) yang akan diterangkan.
Catatan kaki yang merupakan keterangan kata/frase ditulis dengan font Times New Roman
8, hitam.
3.9. Tabel
Judul tabel diletakkan di atas tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di tengah (center), font Times New Roman 12. Tabel diberi
nomor, diikuti titik, kemudian judul tabel (misalnya Tabel 1. Judul…, Tabel 2.
Judul…). Jarak peletakan table dari kalimat diatasnya sebanyak 2 spasi dan jarak tabel ke
kalimat baru dibawahnya sebanyak 2 spasi. Jarak dari judul tabel terhadap tabel itu sendiri
sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk tabel tersebut maka jaraknya dari table
ádalah 1 spasi. Bila lebih dari satu baris menggunakan spasi 1.
Contoh:
112
Tabel 1. Kandungan Humin dan Asam Humat Hasil Isolasi Tanah Gambut
ctional Group
Content (cmole/kg)
Humin (1)
Humin (2)
Total Acidity
677
543
-COOH
115
199
-OH Phenolic 562
344
1= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan.
2= Isolated Peat Soil from Siantan Hulu, West Kalimantan (Saleh, 2004)
3.10. Gambar
Gambar dapat berupa diagram, grafik, peta, foto (yang mengemukakan data) dan
lain-lain. Judul gambar diletakkan di bawah gambar, ditulis dengan huruf kapital di
awal kata, diletakkan di tengah (center), font Times New Roman 12. Jarak dari judul
gambar terhadap gambar itu sendiri sebanyak 1 spasi. Kalau ada catatan kaki untuk gambar
tersebut maka jaraknya dari table ádalah 1 spasi. Gambar diberi nomor diikuti titik,
kemudian judul gambar (misal Gambar 1. Judul..., Gambar 2. Judul ...). Bila judul lebih
dari dua baris menggunakan spasi 1.
Contoh penulisan sebagai berikut:
Gambar 1. Dermaga Tetap
3.11. Rujukan dan Daftar Pustaka
Teknik penulisan rujukan dalam teks dan daftar pustaka, menggunakan gaya
yang umum dipakai dalam pedoman penulisan ilmiah khususnya dalam International
Journal. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam teks saja.
Sebaliknya, referensi yang dirujuk dalam teks harus dicantumkan dalam daftar pustaka.
Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis, menggunakan font Times New Roman 12,
hitam. Bilamana referensinya lebih dari satu maka diurutkan berdasarkan tahun terbit
yang paling baru. Cara menuliskan sumber pustaka (rujukan) adalah sebagai berikut.
Menulis Rujukan dalam Teks
 Untuk penulisan rujukan, tulis nama keluarga dari pengarang diikuti koma atau titik
dan tahun terbit artikel/paper/laporan/prosiding/dll. Untuk pengarang lebih dari 2
orang dituliskan dengan menggunakan “et al.” (ditulis miring).
 Penulisan “dan” atau ”and” sebelum nama terakhir ditulis sesuai dengan judul tulisan
tersebut yaitu ”dan” untuk Indonesia dan ”and” untuk Inggris.
Contoh:
Anastasi (1997) menyatakan ..... atau .....(Anastasi, 1997).
Kiswara dan Winardi (1994) menyimpulkan ..... atau ..... (Kiswara dan Winardi,
1994).
113
Berk and Romly (1984) meneliti .... atau ...... (Berk and Romly, 1984).
Ali et al. (2008) menjelaskan....atau...... (Ali et al., 2008).
Menulis Daftar Pustaka


Tulis nama keluarga diikuti koma, satu spasi jarak, singkatan nama pertama atau
kedua (bila ada) diikuti titik, dua spasi jarak, tahun terbit diikuti dengan titik, dua
spasi jarak, Judul artikel/paper, nama jurnal (ditulis dengan miring) diikuti titik,
volume(edisi), titik dua, nomor halaman paper/artikel dalam jurnal.
Bila lebih dari satu baris, maka baris selanjutnya masuk dengan 9 ketukan (1,25 cm
hanging left).
Contoh:
Kiswara, W. dan L. Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk
Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. Jurnal Teknologi Kelautan
Nasional: 3(1):23-36.
Mardi, L.M., T.M. Nathan, R.A. Raman, and W.L. Joran. 2008. Fish stock
assessment in Java Sea. J. Marine Science, 3(2):123-145.
Buku dengan seorang penulis atau lebih
Anastasi, A. 1997. Psychological Testing. 4th ed. MacMillan Press. New York. 234p.
Berk, R.A., B.A. Romly, and N.N. Siogu. 1984. A Guide Criterion Referenced Test
Construction. The John Hopkins University Press. Baltimore. 389p.
Artikel dalam sebuah buku/prosiding
Artikel yang terdapat dalam sebuah buku atau prosiding, ditulis dengan menulis
artikel itu terlebih dahulu lalu diikuti dengan buku atau prosiding tersebut.
Contoh:
Berk, R.A.1988. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed.), A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 200-217pp.
Ramdi, N.S., B.K. Roland, and D. Torres. 2010. Variabilitas konsentrasi klorofil-a di
Laut Jawa. Dalam: Nababan et al. (ed.). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
VI ISOI 2009, International Convention Center, Botani Square, Bogor, 16-17
November 2009. Hal.: 223-247.
Dua artikel dalam sebuah buku
Ditulis dengan cara seperti yang telah diuraikan, dengan tambahan huruf a, b,
c, dan seterusnya, yang ditempatkan dibelakang tahun terbit.
Contoh:
Berk, R. A. 1984a. Selecting index or realibility. In: R.A. Berk (ed). A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore, 234-345p.
114
Berk, R. A 1984b. Conducting the item analysis. In: R.A. Berk (ed). A Guide to
Criterion-Referenced Test Construction. The John Hopkins University Press.
Baltimore. 123-134p.
Terjemahan
 Cara penulisannya sama dengan cara menulis pustaka lain, kecuali judul buku
diganti dengan judul yang sudah diterjemahkan.
 Di belakang judul tersebut dituliskan nama penerjemah, yang diawali dengan
nama kecilnya, yang di belakang dituliskan kata penterjemah.

Contoh:
Gagne, R.M., L.J. Briggs, and W.W. Wage. 1988. Prinsip-prinsip Desain Instruksional,
(3rd Ed.). Soeparman, K. (penterjemah). Holt, Rineahart, and Winston press.
Chicago.
Artikel dari Internet
Artikel yang diambil dari internet (website) maka cara menulisakannya sebagai
berikut: nama pengarang artikel, tahun terbitan, judul artikel, nama majalah/
artikel/jurnal/yang lain, alamat website, tanggal akses.
Contoh:
Lynch, T. 1996. DS9 Trials and Tribble – Actions Review. From Psi Phi:Bradley’s
Science Fiction Club, http://www.bradley.edu/compusorg/psiphi/DS9/ep/SO3r.htm.
Retrieved on 23 March 2007.
Artikel pada surat kabar
 Surat kabar atau artikel dalam surat kabar, pada umumnya dicantumkan dalam
daftar pustaka dengan menulis nama penulis, tahun terbit, judul artikel, nama
surat kabar dan tanggal terbit.
Contoh:
Nababan, B. 2009. Laut Bukan Lagi Penyerap Carbon. Antara, 12 Mei 2009.
Artikel yang tidak dipublikasikan
 Skripsi, tesis, dan disertasi dapat digolongkan ke dalam materi yang tidak
dipublikasikan.
Contoh:
Nababan, B. 2005. Bio-optical Variability of Surface Waters in the Northeastern Gulf
of Mexico. Dissertation. College of Marine Science. University of South
Florida. 158p.
Buku/Laporan Hasil Penelitian Tanpa Pengarang
Buku atau laporan hasil penelitian yang merupakan hasil penelitian dari institusi
atau lembaga ditulis dengan menyebutkan nama institusi atau lembaga yang
menerbitkan buku atau laporan hasil penelitian tersebut, diikuti tahun penerbitan, judul
buku, penerbit (institusi penerbit), dan diikuti jumlah halaman.
115
Contoh:
Kementerian Pendidikan Nasional. 1985. Kurikulum Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 219hal.
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI). 2008.
Prospek Perikanan Indonesia. P2O-LIPI, Jakarta. 234hal.
116
Download