BAB II STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN NILAI Bab ini memuat teori-teori tentang variabel besar yang diteliti, penulis berusaha menguraikan secara lengkap dan konsisten dengan permasalahan yang diajukan serta menghindari melebar serta meluasnya pembahasan dalam penelitian ini. Adapun yang ingin penulis uraikan meliputi teori tentang strategi pembelajaran dan pendidikan nilai. A. Strategi Pembelajaran 1. Pengertian Strategi Pembelajaran Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal (David, 1976), di kutip dalam buku karangan Sutarjo Adisulo. Maka strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.1 Dalam pendapat Trianto, secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.2 Sedangkan Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak 1 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai- Karakter (Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif)-Ed.1-Cet.2.-, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 85. 2 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif (konsep landasan dan implementasinya pada kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP), (Jakarta: Kencana Media Group, cetakan ke-4, 2011), hlm. 139. 20 21 sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dari makna ini jelas terlihat bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, di mana antara keduanya menjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya.3 Dari rumusan tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Maka strategi pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran harus dikerjakan baik oleh pendidik maupun peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.4 Reigeluth (1983: 31) di kutip dalam buku karangan Rusmono, mendifinisikan (blueprint) strategi yang berisi pembelajaran merupakan komponen-komponen pedoman yang berbeda umum dari pembelajaran agar mampu mencapai keluaran yang diinginkan secara 3 4 Ibid., hlm. 17 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 85. 22 optimal di bawah kondisi-kondisi yang diciptakan. Seperti pada situasi kelas dengan karakteristik siswa yang heterogen, baik kelas kecil maupun kelas besar, penanganannya jelas berbeda, baik dalam strategi pengorganisasian maupun strategi pengelolaannya. Hal ini dimaksudkan agar hasil pembelajarannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien serta memiliki daya tarik tersendiri, ini semua digambarkan dalam strategi pembelajaran Reigeluth. Pendapat lain di kemukakan oleh Romizowsky (1981 : 214) di kutip dalam buku karangan Rusmono, mendifinisikan strategi pembelajaran adalah kegiatan yang digunakan seseorang dalam usaha untuk memilih metode pembelajaran. Plomp dan Ely (1996 : 78) menyebutkan bahwa strategi pembelajaran meliputi identifikasi tujuan khusus, merancang solusi yang optimum, mengembangkan intervensi, dan membandingkan hasil belajar.5 Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan perencanaan dalam usaha mencapai sasaran, dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. 5 Rusmono, Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu perlu (untuk meningkatkan profesional guru), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 21-22. 23 2. Prinsip-prinsip Penggunaan Strategi Pembelajaran Permen Diknas nomor 19 Tahun 2005 mengatakan bahwa proses pembelajaran pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpasitipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. Dari peraturan pemerintah tersebut, tampak ada sejumlah prinsip dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut. a. Interaktif Prinsip interaktif mengandung makna bahwa mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik; akan tetapi mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar. Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses interaksi baik antara pendidik dan peserta didik, antara sesama peserta didik, maupun peserta didik dengan lingkungannya. Dengan cara tersebut dimungkinkan kemampuan peserta didik akan berkembang baik secara mental-spiritual, intelektual, emosional, sosial, dan fisik.6 Senada dengan Abdul Majid, strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi antara peserta 6 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87 24 didik,7 dan di kembangkan dalam rentang pengelompokan dan metode-metode interaktif. Dapat dijelaskan bahwa strategi pembelajaran interaktif yakni, mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar bentuk diskusi dan saling berbagi antara peserta didik. b. Inspiratif Proses pembelajaran dikatakan inspiratif jika proses pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk mencoba dan melakukan sesuatu. Dalam proses pembelajaran pendidik harus membuka berbagai peluang agar peserta didik dapat melakukan sesuatu yang terkait dengan materi pembelajaran. Peserta didik dimotivasi untuk mengembangkan inspirasinya sendiri, sehingga pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya dapat dikembangkan sendiri lebih bermakna dan kontekstual.8 Berbagai informasi dan proses pemecahan masalah dalam pembelajaran bukan harga mati, yang bersifat mutlak, akan tetapi merupakan hipotesis yang merangsang siswa untuk mau mencoba dan mengujinya. Oleh karena itu, guru mesti membuka berbagai kemungkinan yang dapat di kerjakan siswa berbuat dan berpikir sesuai 7 Abdul Majid, Strategi Pembelajaran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya cetakan kedua, 2013), hlm. 11 8 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87 25 dengan inspirasinya sendiri, sebab pengetahuan pada dasarnya bersifat subjektif yang bisa dimaknai oleh setiap subjek belajar.9 c. Menyenangkan Proses pembelajaran harus memungkinkan seluruh potensi peserta didik dapat dikembangkan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika proses pembelajaran di sekolah tidak menegangkan, tidak menakutkan, tetapi menyenangkan, menggembirakan bagi peserta didik. Proses pembelajaran yang menyenangkan atau bermakna bisa dilakukan pendidik dengan cara, pertama, dengan menata ruangan yang apik dan menarik, yaitu memenuhi unsur kesehatan, seperti ventilasi, cahaya dan lain-lain dan memenuhi unsur keindahan, seperti keindahan, cat tembok yang segar, lukisan yang cocok, dan lain-lain. Kedua, pengelolaan pembelajaran yang hidup dan bervariasi, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang relevan serta kontekstual. Namun yang paling mudah untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan adalah sikap pendidik sendiri, masuklah ruang kelas/ kuliah dengan senyum sebab senyum dapat membuat suasana terasa damai tidak menakutkan; menerima peserta didik seperti apa adanya tidak perlu mulai menuntut ini dan itu, menyapa setiap peserta didik dengan ramah sebagai bentuk memberi perhatian. Komunikasi 9 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran (berorientasi standar proses pendidikan), (Jakarta: Kencana Prenada Group, cetakan ke 3, 2007)., hlm. 134 26 pendidik dan peserta didik harus dialogis, lancar dan tanpa beban, sehingga peserta didik merasa di dalam kelas seperti di rumahnya. d. Menantang Proses pembelajaran haruslah membuat peserta didik tertantang untuk mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan keterampilan aplikatif dan keterampilan bersosial. Kemampuan tersebut dapat ditumbuhkan dengan cara mengembangkan rasa ingin tahu dengan kegiatan mencoba-coba, berpikir secara intuitif dan analisis. Peserta didik perlu dilatih untuk belajar berpikir (learning how to learn) dan belajar melakukan sesuatu (learning how to do). Informasi awal yang harus dikembangkan sendiri oleh peserta didik. Informasi dari pendidik bukan untuk “ditelan” tetapi untuk “dikunyah” sehingga informasi menjadi bagian diri dari peserta didik bukan sekedar sesuatu yang ditempelkannya. e. Motivasi Motivasi adalah daya dorong yang memungkinkan peserta didik untuk bertindak atau melalukan sesuatu. Motivasi ini hanya muncul manakala peserta didik merasa membutuhkan. Terkait dengan proses pembelajaran,pendidik amat berperan dalam menumbuhkan motivasi belajar peserta didik, dengan jalan menunjukkan pentingnya pengalaman dan materi pembelajaran bagi kehidupan peserta didik di kemudian hari. Peserta didik harus ingat pepatah kuno Romawi: Decimus nun scholae set vitae (terjemahan bebasnya: kita belajar 27 bukan untuk sekolah/cari ijazah, tetapi untuk hidup). Motivasi belajar yang utama adalah kebutuhan untuk dapat hidup di kemudian hari dengan baik,bukan untuk mencari gelar atau ijazah.10 3. Tujuan Strategi Pembelajaran Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan yang harus dicapai oleh siswa dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Dalam konteks pengembangan kurikulum, kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dalam kurikulum kompetensi sebagai tujuan pembelajaran itu dideskripsikan secara eksplisit, sehingga di jadikan standar dalam pencapaian tujuan kurikulum. Baik guru maupun siswa perlu memahami kompetensi yang harus yang dicapai dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Dalam kompetensi sebagai tujuan strategi pembelajaran, di dalamnya terdapat beberapa aspek, yaitu: a. Pengetahuan (kwowledge) Yaitu, kemampuan dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang guru sekolah dasar mengetahui teknik-teknik mengidentifikasi kebutuhan siswa, dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat sesuai dengan kebutuhan siswa. 10 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87-90. 28 b. Pemahaman (understanding) Yaitu, kedalaman pengetahuan yang dimiliki setiap individu. Misalnya, guru sekolah dasar bukan hanya sekedar tahu tentang teknik mengidentifikasi siswa, tapi juga memahami langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam proses mengidentifikasi tersebut. c. Kemahiran (skill) Yaitu, kemampuan individu untuk melaksanakan secara praktek tentang tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya, kemahiran guru dalam menggunakan media dan sumber pembelajaran dalam proses belajar mengajar di dalam kelas; kemahiran guru dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. d. Nilai (value) Yaitu, norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu. Nilai inilah yang selanjutnya akan menuntun setiap individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya, nilai kejujuran, nilai kesederhanaan, nilai keterbukaan, dan lain sebagainya. e. Sikap (attitude) Yaitu, pandangan individu terhadap sesuatu. Misalnya, senang tidak senang, suka tidak suka, dan lain sebagainya. Sikap erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki individu, artinya mengapa individu bersikap demikian? Itu disebabkan nilai yang dimilikinya. 29 f. Minat (Intertest) Yaitu kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu perbuatan. Minat adalah aspek yang dapat menentukan motivasi seseorang melakukan aktivitas tertentu. Sesuai dengan aspek-aspek di atas, maka tampak bahwa kompetensi sebagai tujuan dalam kurikulum itu bersifat kompleks.11 Maka tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pembelajaran, sebab seluruh aktivitas guru dan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu.12 4. Macam-Macam Strategi Pembelajaran a. Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE) Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE) adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori. Pertama, strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang 11 12 Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 70-71 Ibid., hlm. 86 30 mengidentikannya dengan ceramah. Kedua, biasanya materi pelajaran data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan. Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori, yaitu: (1) persiapan (preparation), (2) penyajian (presentation), (3) menghubungkan (correlation), (4) menyimpulkan (generalization), (5) penerapan (aplication).13 b. Strategi Pembelajaran Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Johnson; dalam Sutarjo Adisusilo).14 Senada dengan Abdul Majid, strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) 13 14 Ibid., hlm. 185 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 90 31 sehingga siswa memiliki pengetahuan/ Keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/ konteks ke permasalahan konteks lainnya.15 Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran dan authentic assessment-nya.16 c. Strategi Pembelajaran Inkuiri Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri. Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk mencari dan menemukan, itu berarti strategi inkuiri menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar. Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah 15 16 Abdul Majid, op. cit., hlm. 228 Ibid., hlm. 230 32 mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis. Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri peserta didik tidak hanya dituntut agar menguasai materi pembelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.17 Strategi pembelajaran inkuiri merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student centrered approach). Dikatakan demikian karena dalam strategi ini siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran.18 Pelaksanaan strategi pembelajaran inkuiri, pendidik perlu memperhatikan karakteristik inkuiri, yaitu: pertama, bahwa ada masalah sosial di dalam kelas yang dapat sebagai titik tolak untuk diskusi kelas. Kedua, dari masalah sosial dalam kelas dapat dirumuskan suatu hipotesis sebagai fokus inkuiri. Ketiga, menggunakan fakta yang ada dalam masyarakat untuk menguji hipotesis.19 d. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) merupakan Strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan dan memilih topik masalah yang ingin 17 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 102 Abdul Majid, op. cit., hlm. 223 19 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 107 18 33 dijawab terkait dengan materi pembelajaran tertentu. Peserta didik diarahkan pada aktivitas pembelajaran yang mengarah pada penyelesaian masalah secara sistematis dan logis. Strategi Pembelajaran Pembelajaran Berbasis Inkuiri Masalah (SPI) (SPBM) dengan sama-sama Strategi strategi pembelajaran yang berbasis masalah antara keduanya terdapat perbedaan. Masalah dalam SPI sifatnya tertutup dalam arti jawaban atas masalah sudah pasti dan pendidik mengetahui hal ini. Tugas pendidik adalah menggiring peserta didik agar lewat tanya jawab peserta didik menemukan jawaban sendiri. Sedangkan SPBM masalah sifatnya terbuka, dalam arti jawaban belum pasti; setiap peserta didik dapat mengembangkan berbagai kemungkinan jawaban tergantung dari permasalahan yang dirumuskan peserta didik. Peserta didik harus melakukan eksplorasi dan analisis agar menemukan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan. Melihat dari sudut tujuan, maka tujuan SPI adalah menumbuhkan keyakinan dalam diri peserta didik tentang jawaban dari masalah yang mereka rumuskan. Sedangkan dalam SPBM, tujuannya adalah agar peserta didik terlatih berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis dalam rangka memecahkan masalah yang dirumuskannya.20 20 Ibid., hlm. 108 34 e. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir atau SPPKB merupakan model pembelajaran yang bertumpu pada proses perbaikan dan peningkatan kemampuan berpikir siswa. Menurut Peter Reason dalam buku Wina Sanjaya, berpikir (thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekedar mengingat (remembering) dan memahami (comprehending). Mengingat pada dasarnya hanya melibatkan usaha penyimpanan sesuatu yang telah dialami untuk suatu saat dikeluarkan kembali atas permintaan; sedangkan memahami memerlukan pemerolehan apa yang didengar dan dibaca serta melihat keterkaitan antar aspek dalam memori. Berpikir menyebabkan seseorang harus bergerak hingga di luar informasi yang didengarnya. Misalkan kemampuan berpikir seseorang untuk menemukan solusi baru dari suatu persoalan yang dihadapi. SPPKB bukan hanya sekedar model pembelajaran yang diarahkan agar peserta didik dapat mengingat dan memahami berbagai data, fakta, atau konsep, akan tetapi bagaimana data, fakta, dan konsep tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk melatih kemampuan berpikir siswa dalam menghadapi dan memecahkan suatu persoalan.21 21 Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 231 35 f. Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.22 Pada hakikatnya, pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok. Oleh karena itu, banyak guru yang menyatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning, karena mereka telah biasa melakukan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk belajar kelompok, walaupun tidak semua belajar kelompok disebut sebagai cooperative learning.23 Salah satu strategi model pembelajaran kelompok adalah Strategi Pembelajaran Kooperatif (kooperatif learning) (SPK). SPK akhir-akhir ini dianjurkan untuk digunakan dalam PBM karena: (1) strategi ini selain mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik, juga mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik, juga mampu meningkatkan hubungan sosial, meningkatkan toleransi dan meningkatkan harga diri; (2) dapat memenuhi berbagai kebutuhan peserta didik dalam belajar berpikir, memecahkan mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan. 22 23 Ibid., hlm. 113 Abdul Majid, op. cit., hlm. 174 masalah, 36 g. Strategi Pembelajaran Afektif Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermaktabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan pendidikan di atas, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas strategi pembelajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai.24 Strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran pembentukan sikap, moral, atau karakter peserta didik melalui semua mata pelajaran. Hal ini dikarenakan ranah afektif peserta didik sangat berkaitan dengan komitmen, tanggung jawab, kerja sama, disiplin, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, mengendalikan diri, dan lain sebagainya.25 Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau 24 Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 273 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Offset, cetakan ke-2, 2013)., hlm. 190 25 37 situasi yang problematis. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik.26 Beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap. Yakni; (1) model konsiderasi, (2) model pengembangan kognitif, (3) teknik mengklarifikasi nilai. Beberapa contoh nilai-nilai berikut ini adalah bukti empiris bahwa strategi pembelajran afektif memuat pendidikan nilai secara utuh. 1. Religius Kebermaknaan hidup ini akan sampai pada puncaknya ketika peserta didik berkeyakinan bahwa belajar tidak ubahnya ibadah kepada Tuhan,27 yakni mempelajari ciptaan-ciptaan-Nya dan ritual peribadatan adalah salah satu manifestasi nilai-nilai religius. Contoh sederhana, termasuk teori Big Benk, peserta didik dapat mengagumi betapa dahsyatnya karya-karya Tuhan. 2. Kejujuran Strategi pembelajaran afektif sarat dengan pelibatan mental dan emosi positif. Dua enititas ini hanya bisa diketahui oleh peserta didik yang bersangkutan. Sedangkan guru hanya bisa mengetahui dari gejala-gejala yang ditimbulkan. Atas dasar ini, dapat ditegaskan bahwa mental dan emosi positif sifatnya 26 27 Ibid., hlm. 279 Suyadi, op. cit., hlm. 194 38 selalu jujur dan mustahil melakukan tipu daya. Sebab tidak mungkin seseorang menupu sendiri. Dengan demikian, strategi pembelajaran afektif pasti memuat nilai kejujuran yang terdalam.28 3. Tanggung jawab Ketika pemikiran dan perbuatan didasarkan pada kesadaran mental dan emosi positif, maka secara psikologi terdapat kesiapan untuk berani mengambil resiko atas pilihan hidupnya. Sedangkan pilihan hidup itu sendiri diambil berdasarkan pada pemikiran mendalam dan mental yang matang, serta emosi positif yang suci atau jernih. Atas dasar ini peserta didik akan memiliki nilai-nilai kuat untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang diambil serta pantang melempar kesalahan pada orang lain.29 4. Disiplin Strategi pembelajaran afektif juga mengandung nilainilai disiplin. Namun disiplin dibentuk strategi ini berbeda dengan disiplin bentukan strategi lain. Disiplin bentukan strategi pembelajaran afektif bersumber pada kesadaran kritis yang mendalam, dan kematangan mental serta emosi positif jernih (suci), sehingga sikap disiplin bukan sebuah tuntutan yang 28 29 Suyadi, op. cit., hlm. 194 Ibid., hlm. 195 39 dipaksakan , melainkan kebutuhan batiniah yang dikonstruksi dalam dirinya.30 5. Mandiri Strategi pembelajaran afektif membentuk kesadara dalam diri peserta didik bahwa segala bentuk kebaikan atau keburukan, termasuk cerdas atau tidak atas dirinya ditentukan sepenuhnya oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Hal ini berimplikasi pada sikap kemandirian yang tinggi, sehingga tugas apapun di tangannya selalu diselesaikan dengan sebaikbaiknya.31 Proses pembentukan sikap pada diri peserta didik tidaklah terjadi secara tiba-tiba, melainkan melewati proses berliku dalam rentang waktu yang cukup panjang. Banyak pola dalam rentang waktu yang cukup panjang. Banyak pola dalam memproses pembentukan sikap, dua diantaranya adalah pola pembiasaan dan modeling. B. Pendidikan Nilai 1. Pengertian Pendidikan Nilai Secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi 30 31 Suyadi, op. cit., hlm. 195 Ibid., 40 bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Bagi kehidupan umat manusia, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Definisi nilai, secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (value of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilainilai memberi adalah setia, dapat di percaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati (Linda, 1995, dalam Tianto).32 Berbagai penjelasan tentang definisi Pendidikan dan Nilai, maka Pendidikan Nilai merupakan hakikat dan tujuan pendidikan itu 32 Zaim Elmubarok, op. cit., hlm. 7 41 sendiri.33 Menurut Sastrapratedja, Pendidikan Nilai ialah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seorang. Pedidikan nilai tidak harus merupakan satu program atau pelajaran khusus, seperti pelajaran menggambar atau bahasa Inggris, tetapi lebih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.34 Dalam ranah ilmu pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan haruslah mengandung tiga dimensi filosofis yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan sedang epistemologi menyinggung sumber pengetahuan dan aksiologi kepagian tugas menilai apa manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan. Yang terakhir inilah kajian pendidikan nilai. Meneliti menelaah dan menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Dalam kanal pendidikan, istilah pendidikan nilai mengacu pada aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/ moral kepada peserta didik (Kosasih Jahiri, modul perkuliahan pendidikan nilai UPI, dalam Zaim Elmubarok). Secara lebih rinci pendidikan dan nilai bisa mempunyai makna sendiri-sendiri, namun jika disatukan maka akan muncul beberapa definisi tentang pendidikan nilai (Mulyana, 2004, dalam Zaim Elmubarok), ini berarti makna pendidikan nilai, memicu banyak arti 33 Ibid,. Sastrapratedja, Sj, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT. Grasindo, 1993),. hlm. 3 34 42 dan pengertian. Mardimadja (1986) dalam Zaim Elmubarok, mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengkaji nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Telah sepakat bahwa konsep pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat beberapa mata kuliah akan tetapi mencakup seluruh proses pendidikan (Mulyana, 2004, dalam Zaim Elmubarok). Pendidikan nilai adalah ruh pendidikan itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan akan muncul dengan sendirinya. Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan (Sukanta, 2007, dalam Zaim Elmubarok.35 Sementara itu dalam laporan National Resource Center for Value Education, Pendidikan Nilai di negara India didefinisikan sebagai usaha untuk membimbing peserta didik dalam memahami, mengalami, dan mengamalkan nilai-nilai ilmiah, kewarganegaraan dan sosial yang tidak secara khusus dipusatkan pada pandangan agama tertentu (NRCVE; dalam Rohmat Mulyana). Lebih operasional (David Aspin dalam Rohmat Mulyana) pendidikan nilai sebagai bantuan untuk mengembangkan dan mengartikulasikan kemampuan pertimbangan nilai atau keputusan moral yang dapat melembagakan kerangka tindakan manusia.36 35 Ibid,. hlm. 11-12. Rohmat Mulyana, Mengatikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung, CV. Alfabeta, 2011)., hlm. 119 36 43 Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat ditarik suatu definisi pendidikan nilai yang mencakup keseluruhan aspek, yakni pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. 2. Tujuan Pendidikan Nilai Pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada perilaku yang baik dan benar perlu diperkenalkan oleh para pendidik. Komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Educational Innovation for Development), pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak; (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan; dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilainilai tersebut. Dengan demikian pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO; dalam buku Rohmat Mulyana)37 37 Ibid., hlm. 120 44 3. Subtansi nilai Dikemukakan 18 nilai karakter versi Kemendinas sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).38 a. Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan. b. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar dan melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya. c. Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut. 38 Suyadi, op. cit., hlm. 8 45 d. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertibyang berlaku. e. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lainlain dengan sebaik-baiknya. f. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya. g. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantug pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh kerja sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain. h. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain. i. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. 46 j. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan. k. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri. l. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi. m. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komukasi yang santun sehingga tercipta kerjasama secara kolaboratif dengan baik. n. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu. o. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya. p. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang brupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. 47 q. Peduli sosial yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya. r. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.39 4. Ciri-ciri Nilai a. Berkaitan dengan tanggung jawab kita Nilai moral berikatan dengan pribadi manusia. Sedangkan perbuatan sendiri berasalah dari inisiatif bebas. Oleh karenanya harus kita katakan bahwa manusia sendiri menjadi sumber nilai moral. manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Hal itu tergantung pada kebebasannya. b. Berkaitan dengan hati nurani Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang meneduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral. 39 Suyadi, op. cit., hlm. 8-9. 48 c. Mewajibkan Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Kita bisa memanfaatkan pembedaan terkenal yang dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel Kant; dalam K. Bertens, antara imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah) kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan imperatif hipotetis. Harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain bulutangkis ingin menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi keharusan ini hanya berlaku dengan syarat: kalau ingin menjadi juara. Sebaliknya, nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja, tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu harus dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak tanpa syarat. d. Bersifat formal Nilai moral merupakan suatu jenis nilai yang tidak bisa ditempatkan begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Tidak ada nilai-nilai moral yang “murni”, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa nilai moral bersifat formal. 49 5. Pendekatan Pendidikan Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan Budi Pekerti di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, seperti telah diuraikan di atas, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut: a. Tujuan pendidikan budi pekerti ialah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesianya, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. b. Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual. Dalam rangka pendidikan Budi Pekerti, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya. 50 c. Selanjutnya menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaanya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka pendidikan Budi Pekerti, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia. d. Dalam pengajaran Budi Pekerti di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini, berbeda dengan pendidikan moral mementingkan dalam proses masyarakat atau liberal, keterampilan yang dalam hanya membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran Budi 51 Pekerti faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama dipentingkan.40 6. Lingkungan Pendidikan Nilai Sejak lama Ki Hajar Dewantara memproklamirkan adanya tiga lingkungan pendidikan yang disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Tiga lingkungan itu adalah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam program pengembangan pendidikan nasional ketiganya menjadi wilayah garapan Pendidikan Nasional yang sering disebut sebagai lingkungan pendidikan formal, informal, dan nonformal. a. Lingkungan Sekolah Sebagai salah satu sistem sosial, yang berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, lingkungan sekolah dapat dipastikan melibatkan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa nilai secara sengaja dilembagakan melalui sejumlah ketentuan formal seperti kedisiplinan dan kerapihan yang diatur dalam tata tertib sekolah atau nilai kecerdasan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesehatan yang diatur melalui kurikulum tertulis. Selain itu, sekolah adalah tempat bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan tindakan perorangan. Nilai-nilai seperti itu cenderung muncul spontanitas dalam berbagai kekhasan pribadi setiap orang meski agak tersembunyi dan tidak di rencanakan secara formal, nilai-nilai 40 Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 191-192 52 yang direfleksikan melalui tampilan perorangan itu berperan bagi terbentuknya iklim budaya sekolah yang penuh makna. Karena itu, para ahli pendidikan nilai selalu melihat adanya pengembangan nilai di sekolah pada dua sisi kepentingan yang berbeda. Pertama, sekolah secara restruktur membangun nilai yang menyatu kurikulum tertulis. Kedua, perambatan nilai berlangsung secara alamiah dan sukarela melalui jalinan hubungan interpersonal antar warga sekolah, meski hal itu tidak diatur langsung dalam kurikulum formal atau dengan kata lain berada dalam wilayah kurikulum tersembunyi.41 b. Lingkungan Keluarga Sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan anak, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai. Nilai dapat berkembang dan terpelihara melebihi jumlah dan intensitas nilai yang terjadi di sekolah. Demikian pula ada internalisasi nilai pada diri anak cenderung lebih melekat jika dibandingkan dengan hasil penanaman nilai di sekolah. Perekat utamanya tiada lain adalah perasaan yang terpadu antara sifat mengayomi pada orang tua dengan sifat yang paing hakiki, proses pendidikan nilai di keluarga sudah berlangsung sejak anak berada dalam kandungan sampai ia meninggal dunia. 41 Rohmat Mulyana, op. cit., hlm 142 53 Hal krusial yang dihadapi pendidikan nilai di keluarga adalah kecenderungan menipisnya ikatan emosional anak terhadap orang tua, atau sebaliknya. Keadaan ini terjadi sebagai akibat pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia yang merembes ke dalam kehidupan keluarga. Untuk itu, hal terpenting yang harus di tata orang tua dalam membangun pendidikan nilai di keluarga adalah menjadikan keluarga zona iklim pembelajaran nilai yang kondusif bagi anak, sehingga ia dapat memenuhi sebagai hasrat untuk mendapat sambutan dan penghargaan.42 c. Lingkungan Masyarakat Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan peran-peran dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal itu berlaku pula bagi seorang anak. Ia membutuhkan lingkungan masyarakat sebagai tempat mendewasakan dirinya. Dengan cara bergaul di masyarakat, ia belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya. Semakin lama dan semakin banyak pengalaman, maka ia semakin memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dalam hidupnya. Untuk itu, lingkungan masyarakat merupakan lingkungan penting lainnya yang ikut berpengaruh terhadap kesadaran nilai pada anak. Seperti halnya pada lingkungan keluarga, karakteristik pergaulan anak dalam masyarakat dapat berlangsung secara 42 Ibid., hlm. 144 54 sukarela. Dalam arti yang positif, sukarela bermakna kebebasan pada diri anak untuk memilih lingkungan atau teman, dan pilihanya itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan moral yang matang. Sifat sukarela terkadang dapat menjerumuskan anak pada pergaulan yang merugikan bagi dirinya andaikata ia tidak cerdas membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata lain, pendidikan nilai dalam lingkungan masyarakat melibatkan dua faktor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan anak, yaitu potensi anak dalam memilih nilai dan mozaik nilai yang berkembang di masyarakat. Dalam masyarakat yang serba primitif, mozaik nilai banyak diwarnai oleh lahirnya nilai-nilai buruk atau hal yang destruktif bagi perkembangan diri anak. Permusuhan, kekerasan, kemunafikan, kebohongan, ketidak-adilan, kekejaman, ketidaktaatan, kecintaan pada materi dan seterusnya, merupakan sederetan nilai yang kurang menguntungkan bagi perkembangan anak. Sebab itu, pendidikan nilai di masyarakat memerlukan kerja sama dari semua pihak.43 43 Ibid., hlm. 145.