BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini upaya untuk mendialogkan agama dan kebudayaan lokal telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dielakan. Pengkajian studi agama maupun budaya pada tataran akademis sering diarahkan untuk menggali agama dan kebudayaan-kebudayaan lokal yang belum tersentuh atau juga telah teralienasi sebagai akibat dari proses modernisasi untuk disinergikan dengan pengetahuan modern yang telah meresapi kehidupan manusia modern. Banyak pendekatan akademis dipilih dan digunakan dalam mewacanakan dan mendialogkan fenomena tersebut. Meskipun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan dalam tataran praktis. Faktor pengkultusan masyarakat dan stakeholder agama terhadap agama-agama besar sebagai yang paling sahih yang dapat menuntun orang kepada kebaikan, kebajikan dan keselamatan menjadi tantangan tersendiri bagi pendekatan tersebut. Di lain sisi, resistensi yang dilakukan oleh mereka yang terlindas dan tertindas oleh agama-agama besar menjadi faktor lain yang mesti dicermati, diakomodasi dan tidak diabaikan begitu saja oleh semua pihak. Di Indonesia, proses mendialogkan agama dan kebudayaan telah mendapat sedikit titik pencerahan di era reformasi. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, era Orde Baru menjadi era kegelapan bagi perkembangan agama dan kebudayaan 1 lokal.1 Dominasi agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu telah mengisi ruang keberagamaan masyarakat Indonesia. Meskipun agama-agama lokal yang disebut aliran-kepercayaan (dalam bahasa Orde Baru) hidup, tetapi keberadaan mereka lebih dianggap secara politik sebagai ancaman bagi pertumbuhan atau perkembangan agama-agama besar. Di sisi lain, aliran-aliran dan kepercayaan lokal tersebut dianggap sebagai produk budaya primitif dan kafir masa lampau yang layak untuk dialienasi bahkan dilenyapkan. Salah satu sistem kepercayaan lokal yang teralienasi dalam ruang keberagaman di Indonesia adalah kepercayaan lokal etnis Halmahera yang disebut Gikiri. Gikiri adalah kepercayaan lokal etnis Halmahera yang berpusat pada penyembahan kepada Gikiri Moi (Tuhan pencipta) dan roh-roh leluhur (O Gomanga). Kepercayaan tersebut pernah menjadi bagian identitas tunggal keberagamaan lokal orang Halmahera termasuk orang Kao dimasa lampau jauh sebelum kedatangan para penjajah Barat yang kemudian memperkenalkan, dan mengkristenkan mereka. Setelah agama Kristen masuk dan mendominasi ruang hidup mereka, identitas keberagamaan lokal ini pun teralienasi dalam konteksnya sendiri. Bahkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya pasca pengkristenan oleh Zending sampai kepada era Orde Baru, kepercayaan tersebut mengalami fase-fase sulit tertindas baik oleh Kekristenan dan juga pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Agama Kristen (yang terwakilkan pada Gereja Masehi Injili Halmahera/GMIH) pada masa – masa tersebut gencar melakukan upaya1 Bagi penulis, era Orde Baru dapat dianggap sebagai metafora era pengejewantahan “kegelapan” modern atas agama seperti yang terjadi di masa zending (penjajahan bangsa Barat di Indonesia) ketika menjadikan Kekristenan sebagai agama besar penjajah pada masa itu, mengkristenkan komunitas-komunitas lokal di masa itu, serta mengkonstruksi opini tentang kepercayaan lokal sebagai berhala yang harus dilenyapkan dan diganti oleh Injil Kristen yang menghidupkan. 2 upaya konversi “utuh” bagi penganut kepercayaan tersebut yang masih tersisa, kemudian melakukan eradikasi terhadap semua bentuk simbol-simbol yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut serta menyatakan kepercayaan tersebut sebagai berhala dan kafir. Ketiadaan sikap dan polise yang jelas dari pemerintah terhadap keberadaan kepercayaan lokal, keberpihakan terhadap agama – agama besar turut memberi andil bagi kerapuhan Gikiri sebagai yang inferior, secara institusi tidak lagi memiliki bentuk, dan dianggap musnah. Kemudian yang tersisa hanyalah rekaman-rekaman memori dan kesadaran kepercayaan yang terus hidup dalam diri individu-individu orang Halmahera yang terus mempraktekkan kepercayaan tersebut, kemudian diturun alihkan bagi anak cucu mereka. Wacana tentang kepercayaan Gikiri dalam konteks etnis Halmahera tersebut diatas mungkin dapat dianggap sebagai hal yang sederhana, apabila melihat Gikiri hanya sebagai aliran kepercayaan yang dulu dianut oleh para tetua dan leluhur orang Halmahera, dan kepercayaan tersebut telah selesai karena mayoritas etnis tersebut telah berkonversi menjadi pengikut Kristen Protestan, telah meninggalkan kepercayaan pribumi mereka sebagai syarat konversi menjadi seorang Kristen Protestan. Namun, bila mengkaji lebih jauh dalam kehidupan etnis Halmahera, khususnya sejak konflik sosial yang terjadi pada tahun 1999, Gikiri menjadi fenomena menarik yang muncul tidak saja di permukaan tetapi menjadi cultural performance dan cultural ideational2 yang menegaskan identitas etnis Halmahera secara umum dan komunitas Kao secara khusus. 2 Ideational culture adalah konsep yang digunakan oleh Niels Mulder untuk menjelaskan tentang gagasan seperti ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan (lihat Mulder Niels, Ruang Batin Masyarakat Indonesia, terjemahan Wisnu Wardhana, Jogjakarta: LKiS 2001, hal. 141). 3 Komunitas Kao adalah komunitas lokal dari etnis Halmahera yang hidup di kabupaten Halmahera Utara, propinsi Maluku Utara yang beribu kota di Sofifi. Sejak di tetapkan sebagai Propinsi baru yang dimekarkan pada tahun 2003, propinsi Maluku Utara awalnya beribu kota di Ternate sebagai ikon sejarah dari wilayah Maluku. Namun, pada tahun 2010 status ibu kota propinsi dialihkan ke wilayah Sofifi. Wilayah Kao merupakan wilayah pinggiran yang selalu didominasi oleh kekuatan hegemonik lokal, sehingga otonomi daerah dan pemekaran propinsi baru Maluku Utara berdampak pada penciptaan wilayah Kao sebagai proyeksi dari politik ekonomi yang bernuansa elit tetapi tidak mengakomodir kepentingan masyarakat pribumi Kao yang masih berkutat dengan isu ketertinggalan-nya. Perwujudan dari politik ekonomi dimulai ketika wilayah Kao dibuka bagi operasi pertambangan emas yang dikelola oleh perusahaan berbendera Australia, yaitu PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM). Alih-alih menyatakan bahwa operasi PT. NHM di teluk Kao secara tidak langsung menghidupkan ketegangan antara orang Kao dan orang Makian-Malifut dalam memperjuangkan kepentingannya di sekitar wilayah tambang. Beroperasinya perusahaan tambang emas Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM) yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh perusahaan Australia tidak sepenuhnya memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan masyarakat setempat. Isu-isu sosial-ekonomi mengkristal antara orang Kao dan Malifut ketika beroperasinya PT. NHM yang dimulai dengan penerimaan pegawai/pekerja tambang yang lebih mengutamakan orang luar atau non-Kao, bahkan orang Malifut mendapat porsi yang jauh lebih besar daripada orang Kao sebagai native people telah menimbulkan kecemburuan sosial yang 4 menegangkan hubungan dari kedua etnis tersebut. Stereotype Kao sebagai “lazy native” atau Makian sebagai “etnik yang agresif” menjadi pemahaman yang artifisial untuk menggambarkan siapa itu orang Kao dan siapa itu orang Malifut ke dalam binari kultural untuk mengenal satu sama lain. Karena orang Makian terkenal rajin dan ulet bekerja, mereka lebih maju baik dalam hal pendidikan hingga pertanian, bahkan etnis Makian mampu menembus birokrasi kepemimpinan di tingkat propinsi. Orang Makian yang tinggal di wilayah Malifut memang lebih maju dibandingkan orang Kao dalam berbagai aspek khususnya sosial dan ekonomi. Konflik di antara kedua wilayah kultural ini meruncing ketika orang Malifut berjuang untuk menjadikan wilayah Malifut sebagai kecamatan yang independen dan terpisah dari kecamatan Kao. Perjuangan orang Malifut kemudian mendapat respons yang positif dari pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menetapkan Malifut sebagai wilayah kecamatan yang terdiri dari kurang lebih 27 desa, berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 1999. Keputusan pemerintah tersebut mendapat penolakan dari orang Kao, khususnya orang-orang Kao yang mendiami desa Gayok, Wangeotak, Sosol, Balisosan dan Tabobo yang menolak berintegrasi dengan orang Makian-Malifut dengan menegaskan identitas kulturalnya sebagai orang Kao. Wilayah dari lima desa tersebut merupakan wilayah operasi pertambangan PT. NHM yang juga merupakan wilayah adat dari soa Pagu. Aksi penolakan 5 desa soa Pagu kemudian memicu terjadinya penyerangan orangorang Malifut ke lima desa Kao-Pagu yang memaksa mereka mengungsi ke wilayah kecamatan Kao. Fluktuasi konflik kian memanas ketika orang Kao balas 5 menyerang orang Malifut yang memaksa orang-orang Malifut terusir dari wilayah tersebut. Konflik antara orang Kao versus orang Makian-Malifut yang menjadi eskalasi awal dari konflik di Maluku Utara tersebut yang menelan korban sekitar 2.800 jiwa serta korban material lainnya ternyata bukan hanya meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya tetapi sekaligus juga telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola relasi sosial dan keberagamaan masyarakat Halmahera secara umum dan masyarakat Kao khususnya .3 Momentum konflik pada waktu itu sepertinya menjadi konteks yang tepat bagi orang Kao untuk menghidupkan kembali kepercayaan pribumi, tradisi ataupun ritual-ritual perang yang setelah beberapa abad pasca pengkristenan telah ditinggalkan. Kebangkitan kepercayaan pribumi dimulai ketika orang Kao khususnya para laki-laki yang tergabung dalam pasukan perang Kao yang hendak turun ke medan perang terlebih dahulu melakukan ritual perang dengan penggunaan mantra, magic, ataupun mandi kebal baik terhadap diri mereka maupun senjata dan peralatan perang lainnya, untuk menjadi lebih kuat, sekaligus kebal terhadap berbagai serangan musuh. Praktik ini kemudian menandai kebangkitan dari agama pribumi orang Kao yang telah dihapus oleh badan Zending di era pemberitaan Injil, sehingga pencerabutan komunitas Kristen Protestan Kao maupun Halmahera Utara pada umumnya dari identitas lokal mengindikasikan adanya kemandekan dalam mendialogkan agama dengan kebudayaan pribumi dengan tujuan menjaga eksklusivitas dari agama baru. Kembali-nya kepercayaan pribumi tersebut menjadi 3 Gerry van Klinken, Communal Violance and Democratization in Indonesia, New York: Routledge 2007, p.107. lihat juga: Yayasan Sagu, Kerusuhan Halmahera, www.yayasansagu.com download on September 2010. 6 suatu wacana kontroversial yang mencuat ke permukaan dalam konteks keberagamaan etnis Halmahera masa kini menjadi menarik untuk dikaji. Berdasarkan realitas di atas maka studi ini akan mengkaji mengenai permasalahan kontestasi identitas kultural orang Kao, antara kepercayaan lokal (Gikiri) versus Kekristenan mereka. Menjadi orang Kao dalam komunitas Kristen Protestan adalah suatu identitas yang kompleks sekaligus terbelah dalam dikotomi Protestantisme vs agama pribumi orang Kao. Era konflik di tahun 1999 menjadi suatu masa dimana pewacanaan identitas kultural dan keagamaan lokal mencuat ke permukaan dengan logika bahwa identitas lokal pribumi seharusnya mendapat tempat dalam kebudayaan Kristen yang muncul kemudian, menjadi bagian yang seharusnya menyatu dan mengutuh dalam memahami diri sebagai individu maupun komunitas masyarakat Kristen Protestan di Kao dan bukan sebaliknya. Ketidakmampuan maupun pengabaian dalam mendialogkan kedua identitas tersebut berdampak pada pembentukan satu identitas yang lebih dominan dan identitas lain yang menjadi subordinan. Kondisi status quo dalam menjaga identitas dominan dan subordinan turut didukung oleh peranan institusi keagamaan yang mengutamakan identitas Kristen Protestan. Secara langsung hal ini berdampak pada pembentukan kesadaran tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang Kristen,4 dimana pertanyaan tentang identitas keagamaan bagi orang Kao dapat diasumsikan sebagai bagian dari suatu kondisi manusia yang di dalamnya memuat elemen-elemen dari kontinuitas (keberlanjutan), integrasi, identifikasi dan differensiasi. Perbedaan konteks dahulu dan sekarang memunculkan perdebatan diskursif tentang identitas 4 Warner & Witner dalam Nancy T Ammerman, A Handbook of the Sociology of Religion edited by Michelle Dillon, New York: Cambridge University Press 2003, p. 217. 7 yang dinamis, khususnya ketika komunitas Kristen Protestan Kao berada dalam ancaman identitas orang luar, maka penegasan identitas tentang keberadaan mereka sebagai orang Kao digali dan ditampilkan ke permukaan. Untuk itulah pendikotomian terhadap identitas lokal vs Kekristenan yang hidup dalam masyarakat Kao merupakan bentuk kegagalan dalam memainkan dinamika dari suatu identitas. Bentuk-bentuk eliminasi atau pro-kontra seputar identitas dan kebudayaan lokal orang Kao yang tidak terjembatani hingga kini melahirkan berbagai praktik homogenisasi dengan pengabaian terhadap pluralitas dan produksi makna simbol-simbol identitas serta pendangkalan terhadap identitas dari suatu komunitas itu sendiri. Proses pendeskripsian tentang arti Kao yang tersegmentasi dalam episode-episode penting yang memberi makna bagi masyarakat Kao maupun perubahan dan perkembangan wilayah tersebut yang tercover dalam bingkai kabupaten Halmahera Utara menjadi penting untuk dikaji. Pertama adalah episode konflik etnik yang terjadi di wilayah Kao antara orang Kao versus orang Makian-Malifut yang dipicu oleh perebutan wilayah antara orang Kao sebagai inlander dan orang Malifut sebagai pendatang. Kedua, era pasca konflik merupakan masa pergulatan dalam usaha merekonstruksi identitas kultural keagamaan orang Kao antara identitas keagamaan yang bersifat institusional Kristen Protestan pada satu sisi dan praktik keagamaan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Kao yang tetap bertalian erat dengan identitas kultural agama pribumi orang Kao yang berpusat pada Gikiri atau roh-roh. Wacana keagamaan khususnya indigenous religion merupakan wacana yang menjadi salah satu fokus kajian dalam Studi Agama Lintas Budaya yang menarik 8 untuk dikaji, sebagaimana yang terjadi dalam komunitas masyarakat Kristen Protestant di Kao yang mempertentangkan antara Kristianitas versus indigenous religion karena praktik keagamaan yang dipresentasikan dalam komunitas masyarakat tersebut mengalami pengkotakan, dikotomi dan kategorisasi antara agama-agama dunia dan agama lokal. Dalam pengkotakan tersebut menyebabkan praktek-praktek keagamaan yang bersifat lokal atau indigenous religion seperti praktek kepercayaan Gikiri mengalami subordinasi, alienasi dan dimarginalkan sebagai sesat ataupun kafir oleh agama-agama dunia. Ironisnya di dalam konteks bernegara di Indonesia pun pemerintah menetapkan hanya enam agama yang menjadi agama negara yang wajib dianut oleh setiap warga negara. Penetapan tersebut berdampak pada pemarginalan terhadap praktek keagamaan lain yang tidak memenuhi suatu standar keagamaan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi legitimatif. Dalam menyikapi pemahaman-pemahaman keagamaan yang keliru dan miris inilah maka peranan dari studi Agama dan Budaya lewat berbagai kajian keagamaan sangat dibutuhkan untuk mengkonstruksi sekaligus merekonstruksi pemahaman keagamaan yang baru yang lebih mampu merepresentasikan pemahaman keagamaan yang bersifat menyeluruh, setara (equal) dan tidak terdikotomik dalam berbagai kategorisasi dominan versus subordinan dalam praktik keagamaan sebagaimana yang dipahami oleh pelaku dari suatu praktik keagamaan tersebut. 9 B. Perumusan Masalah Adanya wacana dan pro-kontra yang menguat tentang agama pribumi orang Kao yang tidak terrepresentasi dalam konstruksi keagamaan formal dan institusional seperti Kristen Protestan yang malah secara hegemonik mengabaikan dan mengeliminir kepercayaan pribumi, sehingga ketika kepercayaan pribumi yang masih tersisip dalam praktek sehari-hari mendapat momentum kemunculannya dalam konflik sosial di Kao menjadi alur bagi fokus penelitian ini. Fokus utama penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih jauh pertanyaan-pertanyaan pokok penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah komunitas orang Kao merumuskan kepercayaan dan praktik kepada Gikiri? 2. Bagaimanakah kontestasi identitas Gikiri versus Kristen Protestan terjadi dalam komunitas orang Kao? C. Tujuan Penelitian Perumusan terhadap permasalahan formasi identitas Gikiri vs Kristianitas di atas, diharapkan untuk dapat memberikan gambaran yang memadai untuk memahami identitas lokal orang Kao dalam keutuhan sebagai orang Kristen sekaligus sebagai orang Kao yang berakar dalam kebudayaan Gikiri. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka studi ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan kepercayaan dan praktik Gikiri dalam kehidupan komunitas orang Kao. 2. Menganalisis kontestasi identitas Gikiri versus Kristen Protestan yang terjadi dalam komunitas orang Kao. 10 D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah secara akademis memberikan kontribusi pikir terhadap wacana kebangkitan kembali kepercayaan lokal Halmahera Gikiri dalam komunitas Kristen Protestan Kao, yang sebelumnya diawali oleh permainan negosiasi identitas di masa lalu yang kemudian memposisikan budaya dominan dan subordinan. Kedua, untuk mengkritisi kondisi status quo budaya dominan Kristianitas atas budaya lokal yang subordinan agar dapat dijembatani melalui suatu kritik atau dekonstruksi terhadap hegemoni kultural yang menindas kesadaran masyarakat melalui stabilitas dari status quo. Melalui kritik terhadap budaya dominasi kultural diharapkan mampu berkontribusi bagi pemahaman beragama yang lebih ramah terhadap kebudayaan lokal dalam hal ini agama pribumi agar sebagai orang Kao, komunitas Kristen Protestan dapat menyatu dengan budaya lokalnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya. E. Tinjauan Pustaka Referensi penelitian terhadap etnis Halmahera adalah penting untuk diungkapkan sebagai rujukan untuk melihat signifikansi penelitian yang penulis lakukan. Dari penelusuran penulis terhadap literatur-literatur baik Barat maupun Indonesia menunjukan bahwa penelitian etnografik terhadap etnis Halmahera masih belum banyak dilakukan. Penelitian tertua tentang Halmahera dilakukan oleh James Haire antara tahun 1941 – 1979. Dalam bukunya berjudul Gereja di Halmahera, Haire memperlihatkan signifikansi penelitiannya dalam menjelaskan historisitas dan dinamika Gereja Masehi Injili Halmahera dan tantangan - tantangan dari agama 11 suku setempat. Dalam hasil penelitiannya tersebut, Haire menunjukkan tentang keberadaan Gikiri sebagai kepercayaan pra-literer yang tidak setara dengan Kekristenan. Meskipun demikian ia tetap menjadi tantangan GMIH terbesar disaat itu karena penganutnya mayoritas adalah masyarakat tradisional yang juga akan atau telah memeluk Kekristenan. Menurutnya Gikiri adalah kepercayaan lokal yang mesti ditransformasi atau diterangi dari perspektif Kristen. Lebih lanjut ia melihat perjumpaan Kristen dan Islam di Halmahera sebagai yang bersifat kompetitif untuk mencari umat terbanyak (the politics of religious quantity). Ia melihat bahwa mayoritas Kekristenan di Halmahera adalah masyarakat pinggiran dari kerajaan Ternate yang hidup dan berupaya meresistensi bentuk-bentuk dominasi dari kekuasaan kerajaan tersebut. Karena itu sering kali misi penginjilan yang dilakukan oleh UZV sering dilindungi oleh elit-elit lokal seperti kapita-kapita perang dan tokoh-tokoh masyarakat. Kekristenan pada saat itu dilihat sebagai kebudayaan baru yang cenderung melindungi masyarakat lokal dari penindasan kekuasaan ternate. Meskipun demikian, karena penelitiannya ini adalah penelitian etno – teologi maka ia cenderung memandang kepercayaan lokal sebagai yang primitif, proses eradikasi atau pencerabutan masyarakat lokal dari budayanya sebagai hal yang normal karena masyarakat memang harus mengalami perubahan ketika bersentuhan dengan modernitas yang lebih banyak terwakilkan dengan kekristenan di masa itu. Sementara itu, Y.B. Mangunwijaya menggunakan perspektif roman sejarah untuk menjelaskan keberadaan etnis Halmahera khususnya orang Kao. Ini mungkin adalah penelitian etnografik pertama langsung di wilayah Kao. Hasil penelitian tersebut ia torehkan dalam bukunya Ikan-ikan Hiu Ido Homa, 1983. Dalam buku 12 tersebut ia memetaforakan hubungan Ternate - Halmahera sebagai Hiu (Ternate) versus Ido (Kao). Menurutnya, dinamika politik lokal yang terjadi di Maluku Utara pada masa itu telah menempatkan kerajaan Ternate sebagai pusat (center) melawan orang Kao – Tobelo sebagai pinggiran (periphery). Ia Menempatkan orang-orang Kao sebagai orang pinggiran dari kekuasaan Ternate yang selalu ditindas. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari Telaga Lina dan terdiri dari beberapa group lokal. Menurutnya, komunitas Kao adalah para tukang kapal handal yang sering dipekerjakan oleh kerajaan Ternate. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah bajak laut yang buas yang mempercayai kekuatan O Dilikine sebagai roh perang yang mampu menolong mereka. A.B.Magany adalah teolog lokal Halmahera yang juga pernah melakukan penelitian di wilayah Halmahera. Dalam bukunya, Bahtera Injil di Halmahera (1984), Magany menjelaskan tentang sejarah masuk dan berkembangnya Kekristenan di bumi Halmahera. Signifikansi penelitiannya ini berpusat pada penjelasan sejarah Kekristenan yang dibawa oleh badan Utrecht Zending Vereniging (UZV) ke Halmahera. Dalam penelitian tersebut, Magany juga menunjukan keberadaan Gikiri sebagai kepercayaan lokal Halmahera pra zending. Meskipun demikian, dia menganggap Gikiri sebagai kepercayaan kafir (dunia gelap) yang memang harus diterangi oleh cahaya Injil. Christopher Duncan, dalam disertasinya berjudul Ethnic identity, Christian Conversion and Re-settlement among the Forest Tobelo of North Eastern Halmahera tahun 1998 meneliti secara khusus masyarakat terasing suku Togutil yang tinggal di tanjung Lili. Dalam penelitiannya, Duncan menemukan bahwa 13 proses re-settlement suku Togutil dari komunitas hutan ke dalam perkampungan modern di Halmahera adalah bagian dari politik - ekonomi penguasaan tanah antara pemerintah pusat dan elit-elit lokal untuk tujuan ekspansi perusahaan – perusahaan kayu di daratan Halmahera. Re-settlement tersebut telah menyebabkan suku Togutil kehilangan habitat mereka sebagai “Orang Hutan”. Duncan kemudian mendeskripsikan gerakan The New Tribe Mission Organization dari Amerika sebagai gerakan penginjilan tetapi sekaligus gerakan konservasi suku Togutil, alam dan habitatnya sebagai komunitas tradisional. Menurut Duncan, suku Togutil kemudian berkonversi menjadi Kristen namun membedakan Kekristenan mereka dari Kekristenan penduduk suku-suku pesisir yang dikonversi oleh badan UZV. Salah satu pembedaan itu adalah suku Togutil tetap memelihara kepercayaan lokal Gikiri meskipun telah menjadi Kristen dan menempati habitat baru sebagai bagian dari komunitas suku-suku pesisir. Berbeda dari Duncan, Farsijana Adeney Risakotta melakukan penelitian etnografiknya di Ngidiho – Galela. Dalam disertasinya berjudul Politik, Ritual and Identity in Indonesia: A Moluccan History of Religion and Social Conflict, Farsijana memberikan aksentuasi terhadap peranan ritual di dalam masyarakat sebagai powerful form of reciprocal negotiation dan reciprocal transaction of exchange dimana beberapa pihak menggunakannya untuk mencapai persetujuan sosial yang merepresentasikan kepentingan mereka. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan tentang keberadaan ritual sebagai yang tidak statis melainkan konstan untuk menjelaskan kembali dinamika politik ekonomi masyarakat. Dalam hubungan dengan posisi kebudayaan lokal maka Farsijana menemukan bahwa 14 ternyata dalam konteks beragama orang Halmahera Utara, penganut Islam adalah lebih indigenous daripada saudara-saudara mereka yang Kristen. Karena di dalam komunitas Islam lokal ternyata lebih mampu menjaga identitas kelokalannya termasuk bagaimana mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Islam. Ini sangat berbeda dari yang Kristen yang menganggap beberapa elemen lokal seperti sistem kepercayaan ataupun simbol-simbol lain sebagai kafir. Meskipun penelitianpenelitian tersebut di atas telah menjelaskan tentang etnis Halmahera dan konteks mereka namun penulis berasumsi bahwa penelitian – penelitian itu adalah penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap etnis Halmahera dalam masa pra konflik 1999, kecuali penelitian yang dilakukan oleh Rissakotta yang dalam masa melakukan penelitian di wilayah Galela, dalam tempo tersebut pula terjadi konflik ethnis yang awalnya terjadi di wilayah Kao hingga menyebar ke Galela dengan isu yang berbeda. Namun penelitian sebelumnya belum memperlihatkan secara rinci bagaimana dikotomisasi dan kontestasi antara Gikiri dan Protestantisme yang terjadi dalam masyarakat Kao dan mencapai eskalasi tertingginya selama konflik di Halmahera. Dalam kenyataan, fase konflik sosial telah memainkan peranan penting terjadinya perubahan di segala aspek kehidupan etnis Halmahera. Momentum konflik ternyata telah menjadi ranah baru bagi perjumpaan dan konstruksi relasi antara Kekristenan dan kepercayaan lokal (Gikiri) setempat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses kontestasi yang terjadi antara Gikiri dan Kekristenan di Kao selama konflik berlangsung dan masa sesudah itu. 15 F. Kerangka Teoritik Untuk mengkaji penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori seperti habitus dan ranah dari Pierre Bourdieu dan identitas dari Bethan Benwell and Elizabeth Stokoe sebagai frame untuk menganalisis objek penelitian. f.1. Habitus dan Ranah Habitus dan ranah merupakan dua komposisi dasar dalam pemikiran Bourdieu. Ia membicarakan keduanya dalam keterkaitan satu sama lain. Habitus merupakan suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah dan menjadi basis dari suatu struktur subjektif. Ia selalu menjadi sumber penggerak dari tindakan, pemikiran, dan representasi untuk terjadinya perubahan stuktur. Bagi Bourdieu, Habitus adalah: “system of durable, transposable dispotition, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively, regulated and regular without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor”.5 Dari pendefinisian di atas, habitus dapat diasumsikan sebagai proses internalisasi struktur-struktur objektif dari lingkungan sosial ke dalam diri individu dan menjadi sarana bagaimana individu bersosialisasi dengan realitas sosialnya. Habitus terbentuk ke dalam diri individu melalui lingkungan atau realitas sosial, sehingga habitus menjadi suatu keterampilan yang terbentuk karena hasil pembelajaran yang 5 Pierre Bourdieu, the Field of Cultural Production, US and UK, Columbia University press 1993, p. 5 16 dilakukan berulang, halus dan tidak disadari sehingga habitus tampil sebagai sesuatu yang alamiah.6 Habitus menjadi dasar terbentuknya struktur subjektif, tindakan praktik maupun representasi dari agensi. Hasil dari habitus adalah sekumpulan sistem disposisi yang tahan lama dan dapat diwariskan, sekumpulan struktur yang dibentuk yang kemudian dapat berfungsi sebagai struktur-struktur yang membentuk (pengandaian stuktur yang berubah sangat dititikberatkan). Habitus kemudian menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup, serta stuktur-sturuktur namun tanpa harus menjadi buah dari berbagai kepatuhan akan berbagai aturan dari stuktur-stuktur tersebut. Habitus adalah hasil ketrampilan yang kemudian menjadi tindakan praktis yang diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang terlihat alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Pada proses perolehan tersebut struktur-stuktur yang dibentuk berubah menjadi stuktur-stuktur yang membentuk. Sedangkan ranah (field/champ) adalah jaringan relasi posisi-posisi objektif yang mengisi ruang sosial. Ranah merupakan kondisi di dalam masyarakat yang terstruktur dan digerakkan oleh berbagai kekuatan sehingga dapat berelasi membentuk sistem ranah yang lebih besar. Di dalam ruang sosial terdapat berbagai ranah sebagai tempat terjalinnya hubungan-hubungan sosial sekaligus sebagai ruang perebutan posisi dan modal. Modal yang dalam pemahaman Bourdieu tidak hanya terbatas pada modal ekonomi, tetapi juga sosial, kultural dan politik. Melalui sistem ranah dan habitus melahirkan dua posisi di masyarakat yaitu dominan dan subordinan sebagai hal yang lumrah karena di dalamnya masing-masing berjuang 6 Richard Harker, Cheelen Mahar dkk, (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, diterjemahkan dari: An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, oleh: Pipit Maizier, Yogyakarta: Jalasutra 2005, hal. xviii. 17 melalui berbagai strategi dan perjuangan simbolik untuk mendapatkan suatu posisi dan modal. Ranah menjadi sangat menentukan terutama di dalam masyarakat yang terdiferensiasi terutama terkait dengan politik menguasai dan dikuasai. Situasi, sumber dan strategi pelaku menjadi penentu dan penanda dalam ranah. Gerakan Protestantisme yang dianut oleh komunitas Kristen Halmahera terepresentasi ke dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera. Sebagai agama institusi GMIH membangun serta membentuk kerangka teologi dan ajaran-ajaran gereja melalui seperangkat dogma yang menempatkan Kekristenan sebagai agama kebenaran pada tataran konseptual. Dalam standardisasi kebenaran tersebut maka tersusun pula sejumlah skema yang mengatur apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, apa yang baik akan dibedakan dari yang buruk. Standardisasi dalam dogma Protestantisme ala Zending UZV telah menjadi suatu tradisi habitus yang menentukan hubungan antara gereja dan kepercayaan lokal. Pemetaan hubungan di antara keduanya terbentuk dalam hubungan yang bineri, Kekristenan sebagai kebenaran pada satu sisi, dan kepercayaan lokal sebagai kafir telah membentuk penciptaan ranah dengan habitus masing-masing. Kepercayaan lokal yang mengalami subordinasi dibawah superioritas budaya Kristen, tidak dapat dipetakan hanya sebatas oposisi biner, karena di dalam ranah yang tersusun dengan habitus yang bersifat transposable, maka tidak ada relasi yang berjalan stagnan seperti dominan versus subordinan, melainkan di dalam ranah, masing-masing agen baik Gikiri maupun Kekristenan selalu memiliki daya. Karena itu, alienasi terhadap Gikiri tidak selalu berarti menghilangkan jejaknya dari konteks kultural. Dalam ranah ia dapat kembali melakukan perlawanan dan 18 kebangkitan kembali, sebagaimana yang terjadi dalam komunitas Kristen Kao selama konflik sosial. Karena itu ranah merupakan ruang kontestasi yang mempertemukan berbagai agen, baik Gikiri, Kristianitas, maupun Negara dalam permainan kepentingannya. Komunitas Kao yang tengah mencoba untuk membangun bentuk-bentuk representasi diri melalui kebudayaan lokal seperti menghadapi jalan buntu ketika hendak memetakan posisi kebudayaan lokal di dalam Kristianitas sebagai agama yang bersifat institusional. Hal ini terjadi karena pemahaman sekaligus praktik keagamaan yang bersifat binari yang membenarkan suatu kepercayaan dan “mengkafirkan yang lain” sehingga Kao menjadi suatu ranah pertaruhan kedua identitas tersebut, khususnya pada masa konflik sosial yang terjadi di Halmahera, khususnya di Kao. Konflik pada tahun 1999 menjadi suatu ranah pertaruhan bagi kedua identitas yang tampil ke permukaan. Kekuatan Gikiri muncul ke permukaan selama konflik melalui agen-agennya yang tetap mempertahankan kebudayaan Gikiri di tengah-tengah tekanan maupun dominasi Kekristenan. Kontestasi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan fenomena identitas yang terdikotomik ke dalam hubungan dominan - subordinan, di masa konflik hubungan dikotomik tersebut muncul ke permukaan tidak dalam pemahaman sebelumnya dimana Gikiri berada sebagai identitas subordinan, melainkan menjadi kekuatan perlawanan yang diandalkan oleh orang Kao untuk menegaskan identitas dirinya sebagai “the people of the land”. Selama konflik, bahkan sesudahnya Gikiri hadir sebagai kekuatan yang mencari persamaannya di dalam dan dengan Kekristenan yang dilakukan oleh agen-agen yang menjaga 19 kebudayaan Gikiri. Kontestasi juga dipakai untuk melihat bahwa kemunculan dari kepercayaan Gikiri di masa konflik terjadi karena ia memiliki kekuatan yang ditawarkan kepada orang Kao dalam menyelesaikan krisis, sehingga dapat membalikkan posisinya yang subordinan terhadap kebudayaan Kristen menjadi setara. f.2. Identitas Identitas lokal merupakan identitas sosial yang melekat pada suatu kelompok untuk mengidentifikasi diri dan membedakannya dari kelompok lain. Menurut Bethan Benwell dan Elizabeth Stokoe, identitas sosial adalah hasil konstruksi yang terbentuk dengan melakukan subjektifikasi diri dalam berbagai persamaan sebagai identifikasi in-group dan melakukan pembedaan dengan kelompok lain sebagai out-group.7 Identitas kelompok akan selalu bergerak dinamis mengikuti perubahan konteks yang terjadi dalam suatu komunitas, sehingga pendefinisian terhadap suatu identitas tidak hanya dapat dikategorikan sebagai identitas yang terberi dan statik. Ketika muncul ke permukaan, identitas menjadi suatu pertunjukan pada ranah diskursus sebagai bagian dari representasi. Teks menjadi bagian penting dalam merepresentasikan identitas dan realitas sosial kelompok. Identitas Gikiri sebagai bagian dari identitas lokal yang mengalami “kebangkitan kembali” mulai mencapai bentuk-bentuk representasi ke dalam pewacanaan baik selama dan sesudah konflik sebagai usaha mendefinisi dan 7 Bethan Benwell and Elizabeth Stokoe, The Discourse and Identity, Edinburg: Edinburg University press 2006, p. 25-26 20 mendeterminasi diri (self-determination) secara sosial ke dalam struktur-struktur pengetahuan lokal yang dapat ditampilkan ke publik. Gikiri ketika menjadi diskursus maka ia berada dalam konstruksi-konstruksi pengetahuan dan relasi kuasa dari budaya-budaya dominan seperti Kekristenan yang merupakan agama institusi yang menempatkan Gikiri sebagai subordinan. Kekristenan memformulasikan bentuk identitas yang berlaku singular dan homogen dengan melakukan penolakan terhadap bentuk-bentuk kepercayaan lokal di masyarakat, sehingga membentuk social boundary antara dirinya sebagai budaya dominan dan Gikiri sebagai budaya subordinan menjadi tajam. Padahal melalui Gikiri orang Kao dapat melakukan identifikasi sosial antara in group dan out group serta memproduksi identitas sosial lebih sebagai rumusan yang dapat dimaknai pada level praktek sosial, percakapan maupun diskursus. Gikiri pada tahap awal terbentuk sebagai identitas terberi, tetapi dalam ranah konflik yang berimplikasi pada terjadinya perubahan-perubahan sosial di masyarakat, berimplikasi pada meluasnya pemahaman kultural terhadap identitas orang Kao yang tidak lagi membatasi pemahaman lokalitas secara eksklusif tetapi mampu menerapkan pemahaman Gikiri pada konteks yang plural dan terbuka terhadap perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Gikiri ketika di padankan dalam setiap konteks komunitasnya, maka ia akan selalu ada dalam bentukan reproduksi kultural, resistensi, fragmentasi maupun pencairan identitas yang terbuka terhadap unsur-unsur lain dari luar kebudayaan asli. Diskursus tentang identitas lokal orang Kao merupakan permasalahan yang urgen dalam ruang perubahan sosial yang membutuhkan adanya reproduksi- reproduksi kebudayaan baru dan sekaligus memberi makna bagi identitas lokal 21 tentang Kao dan bagaimana komunitas masyarakat Kristen Protestan Kao tidak menjadi bingung dengan identitas keagamaan yang ambigu serta pro dan kontra. Representasi kebudayaan lokal hanya dapat terjadi ketika adanya negosiasi identitas agama Kristen Protestan sebagai agama insitusional dan bersifat global dengan local religion yang selama ini tersegmentasi dalam oposisi biner. Padahal masyarakat Kao yang umumnya adalah Kristen Protestan seharusnya mendapatkan suatu formula dalam menempatkan sekaligus memaknai kehidupan beragamanya dalam pemahaman kesatuan sekaligus keutuhan karena pada satu sisi mereka adalah orang Kristen, dan di sisi lain mereka juga adalah orang Kao yang memiliki identitas lokal dan kepercayaan lokal yang telah menjadi bagian dari praktek hidup sehari-hari. Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka di dalam wacana tentang Gikiri memunculkan besarnya peranan dari habitus dalam membangun konsep identitas. Habitus dipahami sebagai proses pembelajaran berulang yang dilakukan oleh individu sehingga dari proses pembelajaran dari luar membentuk kesadaran struktur-struktur subjektif individu maupun kolektif dalam membangun persepsi diri dan kelompok sosial. Proses mengkonstruksi identitas komunal merupakan suatu habitus yang dilakukan dan dipelajari secara berulang oleh individu dalam menginternalisasi pengetahuan kognitif dari luar ke dalam dirinya yang memungkinkan terjadinya pengenalan dan penyerapan individu ke dalam suatu kelompok sosial serta membangun skema-skema persamaan (similarities) dalam kelompok dan pembedaan diri dari kelompok lain. Maka diskursus identitas merupakan proses pembentukan yang dilakukan berulang, dan bukan menjadi suatu 22 pengetahuan terberi yang stagnan. Di dalam proses pembentukan identitas terjadi proses konstruksi, negosiasi bahkan kontestasi dalam memproduksi sekaligus mereproduksi suatu identitas. G. Metodologi Penelitian g.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis penelitian yang dipakai oleh penulis di lapangan adalah kualitatif dengan pendekatan ethnografik, metode ini mencoba untuk melakukan eksplorasi informasi dari berbagai pihak khususnya key person yang kehidupan mereka secara langsung berperan penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan terlibat dalam beberapa aspek historis penting yang berhubungan dengan tema penelitian ini. Penelitian Kualitatif (Qualitative Research) selalu berhubungan dengan pengalaman hidup(life experience) maupun pengalaman yang dihidupi dari suatu komunitas masyarakat. Denzin dan Lincoln menyatakan bahwa “Qualitative research is a field of inquiry in its own right”.8 Penelitian kualitatif lebih mengutamakan bagaimana peneliti terlibat langsung dengan kehidupan masyarakat/komunitas yang ditelitinya. Hanya dengan dan melalui keterlibatan langsung maka ia dapat mengenal masyarakat itu dan mampu menarasikan masyarakat tersebut sebagaimana mereka adanya. Pendekatan ethnography memberikan suatu acuan untuk melakukan kajian yang mendalam terhadap suatu objek penelitian. Pengamatan atau observasi menjadi suatu tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dilapangan 8 Denzin and Lincoln, Qualitative Research, California: Sage Publications 2005, p. 2. 23 dengan mengamati, membangun komunikasi maupun interaksi aktif dengan komunitas sosial memungkinkan adanya pengetahuan maupun pemahaman peneliti tentang lokalitas kultural masyarakat tersebut. Selanjutnya, dari pengetahuan yang didapat, peneliti diharapkan mampu untuk mendeskripsikan suatu pengetahuan maupun kebudayaan lokal masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri. Studi ethnography menyibak suatu pemahaman dalam teori pengetahuan untuk menyingkirkan suatu standardisasi nilai objektif yang selalu berkiblat pada ilmuilmu positif yang akhirnya mengeliminasi realitas kehidupan manusia yang plural dan terfokus pada kebudayaan Barat. Dengan mengangkat realitas lokal dalam perspektif dan pemahaman lokalitas masyarakat, maka realitas masyarakat yang dianggap pinggiran (the other) diposisikan kembali sebagai “the self”. g.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara Propinsi Maluku Utara. metode yang dipakai dalam melakukan penelitian lapangan adalah wawancara (indepth interview), observasi dan studi dokument. Wawancara dilakukan dengan beberapa informan kunci (key person) seperti, Jiko Makolano Kuabang, para sangaji Kao yaitu sangaji Tiwiliko, Boeng, Pagu dan Modole, guru injil, maupun beberapa elit lokal seperti Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo, ketua Komisi III DPRD Halmahera Utara bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Camat Kao, Ketua Sinode GMIH dan beberapa pendeta lainnya, dosen theologi Universitas Halmahera seperti Julianus Mojau, dan lain sebagainya. 24 Untuk mendapatkan berbagai informasi penting dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk membangun komunikasi maupun terlibat dalam berbagai proses-proses sosial yang terjadi ketika penulis berada di daerah penelitian. Pertama, di setiap bulan Desember khususnya sebelum masa perayaan natal pada tanggal 24 Desember, orang Kao akan melayat dan membersihkan kuburan. Tradisi ini biasanya dilakukan pada siang atau sore hari, kemudian setelah ibadah keluarga pada pukul 00.00 saat peralihan hari ke tanggal 25 Desember yang tandai sebagai hari natal, mereka akan kembali ke kuburan untuk menyalakan lilin lagi sebagai tanda mengingat dan mengenang mereka yang telah meninggal. Praktik ini telah berlangsung turun-temurun untuk menjaga harmonisasi dan kesatuan antara mereka yang masih hidup dan sanak keluarganya yang telah meninggal. Membersihkan dan menghiasi kuburan dengan pernak-pernik menjadi simbol bahwa kuburan tersebut dijaga oleh keluarganya yang masih hidup dan secara sosial dimaknai sebagai tanda kepedulian sekaligus komunikasi dari mereka yang masih hidup untuk tidak melupakan leluhurnya. Dengan rasa peduli untuk terus menjaga kuburan dari sanak keluarga yang telah meninggal menandakan bahwa jarak antara dunia kehidupan dan kematian dapat dijembatani sekalipun orang yang telah meninggal itu tidak kasat mata. Bila ada kuburan yang dibiarkan kotor dan tidak terurus, hal itu menjadi tanda ketidak pedulian dari sanak keluarga yang masih hidup terhadap leluhurnya dan biasanya mereka akan menuai “cibiran” dari orang lain. Kedua, di dalam penyelenggaran sidang tahunan Majelis Sinode ke XVI (SMS) yang berlangsung di Kao, penulis mengamati bahwa SMS sarat dengan berbagai muatan baik agama, sosial maupun politik sesuai dengan peran-peran yang dimainkan oleh elit-elit lokal 25 untuk mepertaruhkan kepentingannya. Selain melakukan pengamatan terhadap praktik-praktik tersebut, penulis juga mengumpulkan berbagai informasi tertulis, dokumen-dokumen terkait konlfik tahun 1999 dan data-data lain yang berkaitan dengan topik penelitian. g.3. Metode Analisa Data Analisis data yang penulis lakukan adalah dimulai dengan data collection, setelah data dikumpulkan kemudian penulis akan melakukan data reduction, selanjutnya data display, data verification, data presentation dan kesimpulan. Pekerjaan analisis baru akan berakhir dengan data clarification setelah semua proses telah dilakukan pengumpulan data, pengolahan data dan análisis data dilakukan secara simultan selama proses penelitian dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Data kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian akan digunakan untuk menyempurnakan hasil penelitian. H. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bagian yang terdiri dari bab I merupakan pengantar yang berisi tentang latar belakang yang menggambarkan secara umum wacana atau permasalahan yang menjadi objek penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta metodologi penelitian. Pada bab II berisi gambaran tentang lokasi penelitian mencakup wilayah Halmahera Utara, Kao dan penduduknya, kemudian Kao dalam historisitas dunia Maluku, Kao dan kebudayaan, Kao dan struktur adat, juga Kao 26 dan keagamaan Di dalam bab III akan membahas tentang Gikiri dan Kekristenan dalam kontestasi identitas di Kao mencakup kepercayaan dan praktek kepada Gikiri dan pengaruh kepercayaan Gikiri terhadap kehidupan orang Kao di masa pra Kristen Protestan, di era Kekristenan maupun di era konflik sosial dan pasca konflik sosial 1999. Pada Bab IV akan membahas tentang Gikiri dan Kekristenan dalam sebuah analisis yang mencakup pewacanaan dikotomisasi Gikiri versus Kekristenan, konflik sebagai ranah kontestasi yang mempertemukan Gikiri dan Kekristenan dan juga Negara dalam ranah kontestasi untuk mencapai tujuan menguasai. Pada bagian ini secara khusus memberi penekanan kepada skema relasi trilogi ketiga agen di masa lalu dan bagaimana skema itu diperbaharui di masa kini melalui sebuah ranah yang tidak pernah direncanakan sebelumnya dalam kehidupan keberagamaan orang Kao. Pada bagian ini juga akan dijelaskan tentang Gikiri dan Kekristenan dalam rekonstruksi identitas dan tantangan modernisasi di Kao. Bab V menjadi bab penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi terhadap penelitian. 27