act of state doctrine dan teori imunitas dalam hubunganny a dengan

advertisement
129
ACT OF STATE DOCTRINE
DAN TEORI IMUNITAS DALAM HUBUNGANNY A
DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL *)
_ _ _ _ _ _ _ _ _ Oleh: Syalunin A.K., S.H. _ _ _ _ _'_ __
PENDAHULUAN
Sudah umum diketahui, bahwa sa·
lah satu masalah yang selalu menarik
perhatian adalah; sejauh manakah suatu negara berdaulat dapat digugat
di hadapan forum pengadilan lain negara? Masalah ini berhubungan dengan
kedaulatan negara atau Sovereignty
Principies. 1 ) yang selalu dapat dipersoalkan jika timbul perselisihan antara
pihak swasta asing dan suatu negara
yang berdaulat. Misalnya suatu negara melakukan tindakan nasionalisasi
terhadap perusahaan-perusahaan milik
orang asing yang berada di negara yang
bersangkut~ maka pihak warganega. ra aSing yang t1)empunyai milik dalam
negara tersebut merasa dirinya dirugikan. Hal tersebut di atas pernah terjadi
di negara kita, yaitu pada kurang lebih
27 tahun yang lalu. 2 )
• ) Paper Ini telah berhasU penulis
presentasikan di hadapan Guru Besar Hukum Perdata Internasional, yaitu Prof.
Mr. Dr. Sudarlo Gautama dalam acara diskusi pada ProlJ,'am Pendidikan Pas('QSarjana Universitas Padjadjaran
1 Februari 1986.
1) M enlenai sitat hakikat dan p rinsip
kedaulatan nellara ini secara luaa telah dibahaa dalam; Mochtar Kusumaatmac:\ja. Pengo
antar Hukum Internaslonal. Buku I-Balian Un'lum. (Bandunl: Binacipta. 1978)
hlm. 16-18; Baca pula, Ian Brownlie. Prln·
clples of Public International Law. 8rd. ed.
(Oxford: University Press. 1979). blm. 109.
2) Baca. Sunarjati Hartono. Beberapa
Masalah Transnaslonal dalam Penanaman
Modal Asing dl Indonesia, (Bandunl: Blnacipta. 1972), hlm. 172 dan seterusnya.
Pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan tindakan menasionalisir perusahaan-perusahaan milik orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik warganegara Belanda itu
telah beralih menjadi milik negara Indonesia. Kemudian perusahaan-perusahaan tersebut beralih menjadi perusahaan-perusahaan negara Republik
Indonesia.
Dalam tulisan ini pembahasan terbatas pada uraian tentang perkembangan teori "Imunitas dan Act of State
Doctrine" (imunitas sekunder) dalam hubungannya dengan Hukum
Perdata Internasional .
PERKEMBANGAN TEORI IMUNIT AS DAN ACT OF STATE DOCTRINE
1. Negara Sebagai Pihak dalam Perkara
'lmmunity"
Suatu negara yang melakukan 11asionalisasi misalnya dapat menjadi
pihak dalam proses di muka pengadilan asing. Jika hal ini terjadi, maka menurut pendirian yang umum dianut,
gugatan pihak pemilik perusahaan (lama) ini akaIl kandas,3) karena pihak
3) Gouw Giok Sionl. Segi'Begi Hukum
In ternCIBional pada Nasional di Indonesia,
Penerbit Universitas, 196 O. hlm. 30.
April 1986
Hukum dan Pembangunan
130
•
negara yang digugat itu dapat mengajukan asas imunitas itu sebagai pembelaan (mengelakkan tuntutan itu), sebag~i negara berdaulat negara yang ber~
sangkutan dapat mengajukan imunitetnya, apa lagi jika tidak ada persetujuannya maka tidaklah dapat negara
itu digugat di muka hakim asing. Dan
pihak asing itu tidak dapat memeriksa
tuntutan serupa ini. Hakim asing yang
bersangkutan harus menyatakan diri·
nya tidak berwenang. Ketentuan terakhir ini dapat dikatakan umum diterima dalam hukum antar negara.4 )
Suatu alasan untuk dapat menerima
teori imunitas ini yaitu suatu prinsip
persamaan derajad (sederajad) daripada setiap negara berdaulat, atau dalam
istilah Romawi disebut Par in Parem
non habet Jurisdiction. 5 ) Maksudnya
"suatu negara berdaulat hams m~nghonnati tindakan atau perbuatan dari
negara yang berdaulat lainnya. Dan
hakim dari negara berdaulat satu tidak
dapat mengadili tindakan-tindakan da6)
ripada negara berdaulat lainnya.
.
''';:
(\ " r
.
Sehubungan dengan hal tetseo'ut di
atas, perlu pula diperhatikan; apakah
negara yang digugat ini telah bertindak
dalam kualitasnya sebagai negara (Jure
Imperii), atau bertindak sebagai lure
Gestiones, yaitu bertindak sarna seperti subjek-subjek hukum lainnya. Misalnya karena turut campur tangan dalam masalah perdagangan (commercial
activity) dan masalah industri. Hal
terse but menarik perhatian karena ber•
,I"
4) Sudargo Gautama, Masalah·masalah
Barn Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1984), hIm. 78.
5) Bandingkan; Fred Isjwara, Pengantar
Hukum In ternasional, 4th. ed. (Bandung:
Alumni, 1972), hlm. 122.
6) Sudargo Gautama, Hukum Perdata
dan Dallanll Internasional. (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 6 dan aetenunya.
bagai tindakan yang dilakukan oleh
negara kita telah menjadi bahan berbagai proses yang telah diajukan di
hadapan forum pengadilan-pengadilan
luar negeri. Demikian juga dalam per- kara antara gabungan perusahaan Arnerika-Jepang yang keduanya bergerak
dalam bidang perusahaan kayu, di mana tindakan Pemerintah Indonesia teo
lah diakui sah oleh Pemerintah Arnerika Serikat dengan dipergunitkannya
Act of State Doctrine oleh pengadilanpengadilan Amerika Serikat. 7 )
Jadi dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia tidal< dapat digugat
di hadapan forum pengadilan negara
asing, karena ia sebagai negara berdaulat mempunyai status lure Imperii.
Lain halnya jika suatu negara (meskipun merdeka dan berdaulat) dapat digugat di hadapan pengadilan asing
apabila dalam kualitasnya lure Ges!iones, yaitu negara bertindak sebagai
pedagang. Dalam lure Gestiones ini
negara tidak lagi berdaulat mutlak,
kedaulatannya telah dikurangi dan ia
dapat iilhad~pkaii' di'>oepan 'p en~adil;
ari !li.HirErie'
We'ija'di J s'efuicam~~rbsi
••
kedaulatari.) .
,,, " , •
t
geri,
•
•
•
~
I
Meskipun demikian, timbul pula
kesulitan mengenai apa yang sesungguhnya dianggap sebagai commercial
activity itu. Kesulitan ini nampak
dalam rangka memberlakukan teori
secondary immunity, yang dalam prakteknya dapat dianggap sebagai commercial activity, dan dapat pula dianggap/merupakan tindakan sebagai pe·
merintah yang lebih bersifat hukum
publik. Dalam hal inL dapat kita saksikan dalam Foreign Sovereign Immu-
7) Sudargo Gautama, Soal-.oal Aktual
Hukum Perdata Internaslonal (Bandune:
Alumni, 1981), hIm. 215.
Teorllmunitcu
131
nity Act of United States 1976, dan
yurisprudensi di negara tersebut sekitar Act of State Doctrine.
Demikian pula pada waktu OPEC
dan negara-negara anggota OPEC telah
digugat oleh Serikat Buruh di Amerika
Serikat (International Association of
Machinist and Aerospace Workers =
lAM) di hadapan District Court Los
Angeles, California tahun 1979-1981 ,
timbul permasalahan hukum yang serup'a. 8 )Pada tingkat pertarna (Distric Court
Los Angeles, California), jawaban yang
diberikan secara tepat oleh pengadilan, bah wa negara -negara berdaulat
bersangkutan (negara-negara anggota
OPEC, termasuk Republik Indonesia)
telah menyangkal adanyawewenang
(jurisdiction) dari. District Court Cali
fornia ini. Sebagai negara-negara merdeka dan berdaulat maka tidak akan
mungkin mereka ini digugat di hadapan forum pengadilan dari negara berdaulat lainnya (Amerika Serikat). Secara tepat pula berdasarkan Sovereign
Immunity, tidak dapat diajukan Republik Indonesia sebagai pihak dalarn
perkara tersebut.
Di sarnping itu , maka kita saksikan
bahwa dalam tingkat banding dipandang pula, bahwa tindakan-tindakan
dari negara-negara yang berdaulat ti
dak dapat diuji oleh hakim-hakim dari
negara berdaulat lainnya. Dengan lain
perkataan, bahwa tindakan-tindakan
dari Republik Indonesia cs. melalui
para Menteri (perminyakan/Perdagangan) yang telah mengadakan penentuan
pembatasan produksi minyak negaranegara OPEC (dan dengan demikian
mempengaruhi harga rninyak yang
disalurkan itu) tidak dapat diuji keabsahannya oleh para hakim negara
bagian Amerika Serikat yang bersangkutan. 9 ) Karena para Menteri dimaksud bertindak dalarn kualitasnya sebagai negara/pemerintah, bukan sebagai
pedagang (se bagaimana yang dituduhkan oleh Serikat Buruh di Amerika Serikat terse but).
Dengan demikian dalam tingkat
bandingan oleh Ninth Circuit di San
Fransisco ini telah dianggap, bahwa
pengadilan negara bagian Los Angeles
tidak berwenang untuk mengadili tindakan-tindakan pemerintah negara-negara anggota OPEC , termasuk negara
Republik Indonesia. Jadi yang ditekankan pada tingkat banding ini adalah
bahwa tindakan-tindakan daripada pemerintah (cq_ Menteri Perminylikan/
Perdagangan) negara-negara" OPEC dengan nyata berlaku Act of State Doctrine. Lain halnya pada tingkat pertarna (District Court Los Angeles),
yang menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara OPEC
versus lAM berdasarkan teori Immunity _
Dengan begitu jelas, bahwa pada
tingkat pertarna di hadapan District
Court Los Angeles telah dimenangkan
berdasarkan "Sovereinitas" negara (sovereign immunity). Sedangkan dalarn
tingkat bandingan pihak Indonesia cs.
dimenangkan berdasarkan teori immunitas sekunder (Act of State Doctrine).
Dengan perkataan lain teori immunitas
primer pada tingkat pertarna, dan teori
immunitas sekunder pada tingkat banding. Hasilnya adalah sarna, yaitu pemerintah negara-negara anggota OPEC
termasuk Indon~sia yang telah diaju·
~)
Sudargo Gautama, Aneka Milsalah
Hukum Perdata Internasional, (Bandung:
Alumni. 1986), hIm. 28 .
8) Ibid., hIm. 183.
•
April 1986
"
•
Hukum dan Pembangunan
132
bn st' bagai terguga t di depan pengadil;In ;Ising dapat dimenangkan berdasarkan kedua doktrin tersebut di atas.
Sekarang masalahnya adalah di manakah letak persamaan dan perbedaan
antara doctrine Imrriunitas dan doctrine Act of State itu? Memang ada
persamaan antara kedua doctrine sovereinitas dan Act of State ini. Sebagai
persamaan dapat kita saksikan, bahwa
kedua-duanya ini mengilustrasikan secara jelas keharusan untuk merespektir
•
kedaulatan dari negara-negara asmg.
Akan tetapi di samping persamaanpersamaan, dapat disaksikan pula perbedaan-perbedaan yang jelas: 10) (a)
Doctrine imunitas mempunyai sangku t-paut dengan masalah yurisdiksi.
Sebaliknya Act of State Doctrin bukan bersifat yurisdiksi. Ia adalah suatu
doctrine yang dipupuk oleh yurisprudensi untuk mencegah adanya tindakan-tindakan Hakim di bidang yang dianggap sensitif. Sovereign immunity
adalah suatu asas dalam hukum internasional publik yang untuk Amerika
telah eliakui dengan diundangkannya
"Foreign Sovereign Immunity Act of
1976"; (b) Menurut kenyataan pada
doctrine sovereign immunity ini , maka
negara-negara bersangku tanlah yang
sebagai pihak tergugat , dapat mengklaim sovereign immunity ini se bagai
dasar pembelaannya. Sebaliknya Act
of State Doctrine merupakan suatu
prinsip hukum yang didasarkan atas
keadaan khusus ten tang pembatasanpembatasan kekuasaan di dalam sistem
hukum Amerika Serikat sendiri. Bukan
saja diakui kedaulatan dari negara-negara asing , bahkan pihak swasta asing
dalam suatu proses peradilan dapat
mengajukan Ac t of State Doctrine
•
•
10) Op . Cit. , him . 188 .
•
ini, juga jika tidak ada suatu negara
yang merupakan pihak dalam sengketa
bersangkutan. Act of State Doctrine
ini elianggap cocok, pada setiap sa at
peraelilan-peradilan di Amerika Serikat
harus mempersoalkan legalitas daripada tindakan-tindakan sovereign dari
•
negara-negara asmg.
2. Sengketa Internasional mengenai
Penanaman Modal Asing
Se bagai pengecualian terhadap kedua doctrine yang telah diuraikan eli
atas, dalam praktek dapat kit a saksi·
kari., teristimewa mengenai kontrak.
kontrak yang menyangkut Penanaman Modal Asing di negara-negara yang
sedang berkembang. Pihak swasta asing
yang hendak melakukan investasj besar-besaran telah menempuh suatu cara
penyelesaian sengketa yang lain. Mereka telah menyadari, bahwa berdasarkan teori imunitas negara , baik yang
primer maupun immunitas sekunder
•
• •
tuntutarI-tuntutan para mvestor 1m
akan kandas jika diajukan eli hadapan
forum pengadilan biasa dari negaranegara berkembang bersangkutan. Maka mereka (investors) memilih jalan
lain, y aitu dengan meminta badan arbitrase melalui ketentuan-ketentuan
Konvensi Internasional dari World
Bank yang berpusat di Washington DC.
Berdasarkan Konvensi mengenai Penyelesaian sengketa tentang Penanamans Modal an tara pihak swasta dan
negara berdaulat lainnya , telah memilih jalan arbitrase melalui "In ternational Centre for the Settlement of Investment Disputes" (ICSID) dari Wo~ld
BarIk. Demikian pula jalan yang telah
ditempuh dalam Penanaman Modal di
negara Republik Indonesia.11 )
11) Sudargo Gaut ama,
HPl.. Op . C it., him . 30
Anek a Masalah
,
133
Teori Imunitas
Dalam rangka membuka pintu Iebar-Iebar bagi para investor asing dan
memupuk iklim yang favorable untuk
penanaman ' modal di negara kita,
Pemerin tah Republik Indonesia telah
turut serta dalam Konvensi Ie SID
dari World Bank itu pada tanggal 16
Februari 1968 - tidak lama setelah
diundangkannya UU. No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Seperti juga dengan negara-negara lain
yang sedang membangun yang hendak
menciptakan suatu iklim yang baik
u ntuk Penanaman Modal ini telah
dipilih Ar bitrase berdasa.rkan Konvensi yang dise diakan oleh World Bank
terse bu t.
Di sini tim bul pula m asalah huku m
yang apabila dilihat dari sudut hukum
internasional sebenarnya sangat menarik; bahwa pihak swasta asing yang
telah menanamkan modalnya di suatu
negara berdaulat yang sedang berkembang dapat menggugat negara itu di
hadapan forum arbitrase yang bersifat
internasional . Hal ini perlu diperh<itikan sungguh-sungguh , bayangkan!
pihak perusahaan-perusahaan swasta
asing, ataupun perorangan yang telah
menanamkan modalnya dalam negara
tertentu dapa t mengajukan gugatan di
hadapan forum arbitrase internasional,
dan/ atau negara berdaulat dapat dijadikan tergugat di hadapan Dewan Arbitrase .1 2 )
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi IeSID, dengan memilih
jalan arbitrase, maka tidak perlu lagi
mengajukan sengketa penanaman mo-
12) Arb it rase ialah suatu peradilan y ang
dilakukan oleh p ara hakim partikelir, bukan
hakim-hakim dari negara tertentu tetapi
orang-o rang bfasa y ang t elah dipilih sebagal arbitrase ol eh para pihak ,
dal di hadapan forum . pengadilan
nasional sua tu negara terten tu. J adi
by pass hakim-hakim dari negara di
mana penanaman modal itu dilakukan.
Persoalan ini dapat menjadi suatu masalah in ternasional dise babkan sengketa mengenai penanaman modal aSlng
dapat diadili oleh suatu Dewan Arbi trase Internasional. Dengan perkataan
lain baik pengadilan negara si investor
maupun pengadilan negara di mana
modal itu ditanamkan , kedua-duanya
tidak lagi berwenang. Dan keputusan
dari Dewan Arbitrase ini juga mempunyai nilai efektif yang sarna seperti
putusan melalui pengadilan biasa yang
telah memperoleh taraf executorial
atau enforceable , (jika di Indonesia
sudah melalui phase Pengadilan Negeri.
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung). Dengan kata lain , putusan dar'i
Dewan Arbitrase menurut IeSID ini
adalah sarna efek tifnya seperti keputusan yang telah dibuat oleh badan
peradilan dalam instansi terakhir.
•
Putusan Dewan Arbitrase akan bersifat Final and Binding sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 53,
54 IeSID sendiri, (yang sudah menjadi
J U.RI. No.5 Tahun 1968; Lembaran
Negara No. 32 Tahun 1968). Forum
Arbitrase melalui IeSID ini dipandang
sebagai Ie bih netral dan tidak berpihak
jika dibandingkan dengan prosedur
menurut pengadilan negara tertentu.
Karena itu arbitrase melalui IeSID ini
dalam sengketa yang menyangkut pe•
nanaman modal lebih disukai. dan 'ti dak lagi akan menghadapi persoalan,
baik dengan teori immunitas yang
primer (sovereign immunity) maupun
teori immunitas sekunder (Act of State Doc trine) se bagaimana telah kami
.uraikan di atas.
Apri/1986 ,
-
134
3. Yurisprudensi Intemasional
Berdasarkan Doctrine Act ef State ,
bahwa nasionalisasi yang dilakukan da·
lam batas·batas territorial · principles
sebagai suatu tindakan dari negara
yang berdaulat, tidak dapat dijadlkan
objek pengujian oleh para hakim ne·
gara asing (non reviewable). Ajaran di
atas merupakan aliran yang dianut
oleh hakim-hakim negara-negara pada
umumnya (terbanyak). Paling nyata
dapat kita saksikan, bahwa ali ran ini
dalam yurisprudensi dari hakim-hakim
di negara-negara Anglo Saxon, terutama Amerika Serikat, di mana Act
of State Doctrine ini sudah merupakan
suatu pendirian tetap para hakimhakimnya.
Meskipun demikian masih diragukan; mengapa para hakim di Amerika
Serikat sampai demikian teguhnya
, mempertahankan pendirian (penerima·
. an) Act of State Doctrine itu? Terhadap pertanyaan di atas telah dibahas
secara mendalam oleh para penasihat
hukum bagi pihak pengusaha Belanda
dalam sengketa "Tembakau Indonesia
di Bremen." Prof. Georg Dahm telah
mengemukakan , bahwa sikap dari para
hakim Amerika Serikat ini harus dili
hat sebagai pembawaan daripada sistern pemisahan kekuasaan yang berlaku di negara tersebut. 13) Dianutnya
teori Act of State oleh Amerika Serikat itu adalah karena dasar-dasar Hukum Tata Negara Amerika Serikat
ya~g menjunjung tinggi sistem SeparatIOn of Power. Hakim khawatir akan
turut campur tangan dalam memberi
kan suatu · keputusan yang bersifat
politis, yang sesungguhnya terletak di
bidang kewenangan badan eksekutif.
4/ 3 ) Gouw Giok Sionl. Op. Cit. , hIm. 42 .
Hukum dan Pembangunan
Hakim merasa bukan kewajibannya dalam hal terse but.
Sirigkatnya, jika suatu riegara telah
diakui oleh negara Amerika Serikat,
maka cara hakim d~ Amerika Serikat
akan menganggap dirinya tidak berwenang untuk menguji sah atau tidaknya
tindakan-tindakan dari negara-negara
yang bersangkutan yang telah dilakukan di dalam wilayah negaranya sendiri. Dan jika Presiden Amerika Seri·
kat sebagai kepaIa pemerintahan (eksekutif) telah mengakui negara-negara
itu , maka para hakim di Amerika Serio
kat menganggap diri mereka tidak
mempunyai wewenang menguji tindakari-tindakan negara-negara yang mempunyai hubungap diplomatik dan di
akui se bagai negara-negara berdaulat
oleh pemerintah (eksekutif) Amerika
Serikat sendiri.
Pendirian ini didasarkan atas falsafah negara dan dasar-dasar konstitusional yang mengakui adanya Trias
Politica atau Separation of Power. 13)
yaitu adanya badan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang masing-masing
bertindak dalam bidang-bidangnya sendiri-sendiri (meskipun dalam praktek
ketatanegaraannya check and balance ),
menganggap tidak pada tempatnyajika
pihak yudikatif campur tangan dalain
kebijaksanaan politis serta diplomasi
dari pihak eksekutif. Dengan perkataan lain , apabila suatu negara sudah sedemikian "biadab" hingga melanggar
berbagai ketentuan yang dianggap
asasi , maka pihak eksekutif negara
Amerika Serikat-lah yang harus bertindak dan harus memutuskan hubungan diplomatik dengan negara yang bersangkutan. lika negara ini mempunyai
•
14) Sudargo Gautama. Soal-soal A ktual
HPI. . Op . Cit. , hlm . 176.
. Teort Imunltcu
135
hubungan dengan Amerika Serikat dan
diakui sebagai negara berdaulat, maka
para hakim Amerika merasa dirinya
terikat untuk tidak menguji tindakantindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan
di dalam wilayahnya sendiri.
di sana menganggap diri mereka tidak
berwewenang untuk mengadili perkara
yang diajukan kepada mereka selama
hal terse but menyangkut kedaulatan
negara (sovereinitas)_
Doktrin ini telah tertanam kuat
dalam yurisprudensi, terutama di negara-negara Anglo Saxon (k1-.ususnya
Amerika Serikat) dan juga diakui oleh
banyak negara di dunia. Pokok masalah ini adalah lebih dikenal orang dengan Par in Parem non Habet Jurisdiction, yaitu suatu negara yang berdaulat harus menghormati tindakan
atau perbuatan dari negara berdaulat
lainnya. Hakim dari negara berdaulat
satu tidak dapat mengadili tindakantindakan dari negara-negara berdaulat
lainnya.
PENUTUP
Dari keseluruhan pembahasan terdahulu , akhirnya dapat diraih suatu
kesimpulan, bahwa pada pokoknya dalam Doctrine Act of State dijunjung
pengertian bahwa badan-badan peradilan dari suatu negara berdaulat tidak
dapat menguji sah atau tidaknya tindakan-tindakan dari negara-negara berdaulat lainnya yang telah dilakukan
dalam wilayahnya sendiri. Khususnya
di Amerika Serikat, apabila suatu negara telah diakuinya, maka para hakim
•
***
I
•
•
•
•
April 1986
Download