APLIKASI SINGLE BEAM ECHOSOUNDER DAN MAGNETOMETER UNTUK MENGESTIMASI KEDALAMAN PIPA TERPENDAM DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA FICI IMAN NASETION DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Single Beam Echosounder dan Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Fici Iman Nasetion NIM C54120035 ABSTRAK FICI IMAN NASETION. Aplikasi Single Beam echosounder dan Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Dibimbing oleh HENRY M MANIK. Survei pipa dasar laut merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi pipa guna keperluan yang berkaitan dengan pembangunan, perencanaan infrastruktur dasar laut dan keamanan jalur navigasi. Penelitian bertujuan mengestimasi kedalaman pipa terpendam menggunakan instrumen single beam echosounder dan magnetometer. Penelitian menggunakan data hasil survei dari Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL tanggal 15-16 Oktober 2014 di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Hasil pemeruman kedalaman divisualisasikan dalam tampilan batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi. Pengolahan kemagnetan bumi dilakukan menggunkan metode analytic signal dan euler deconvolution sehingga diperoleh kedalaman target diduga pipa dan peta anomali magnetik. Estimasi kedalaman pipa terpendam diperoleh dari selisih antara kedalaman dasar laut dari peta batimetri dengan kedalaman target diduga pipa. Estimasi kedalaman pipa terpendam rata-rata 4,33 m dengan kedalaman terpendam minimal 0,27 m dan kedalaman terpendam maksimal 7,79 m dari permukaan dasar laut. Kedalaman pipa terpendam rata-rata masih sesuai dengan peraturan pemasangan awal pipa, namun posisi dan kedalaman pipa saat ini perlu dipertimbangkan sehubungan dengan dilakukan revitalisasi jalur pelayaran. Kata kunci: pipa, estimasi, kedalaman, kemagnetan, APBS ABSTRACT FICI IMAN NASETION. Application of Single Beam Echosounder and Magnetometer for Estimating Depth of Buried Pipe in the Surabaya Western Shipping Route. Supervised by HENRY M MANIK. Marine pipeline survey is an activity to determine the condition of the pipe for purposes relating to the construction, infrastructure planning and safety navigation. The study aims to estimate the depth of buried pipe using a single beam echosounder and the magnetometer instrument. The rawdata from Center of Hydrography and Oceanography Indonesian Navy survey on 15-16 October 2014 in West Surabaya Shipping Lane. Sounding result visualized in the 2 dimension and 3 dimension of bathymetry. Analysis of magnetic is using analytic signal and euler deconvolution method to obtain the the target depth is suspected pipe and magnetic anomaly map. Estimated depth of buried pipe obtained from the difference between the depth of the seafloor bathymetry map with the target depth suspected pipe. Estimated depth average of buried pipe is 4.33 m with minimum depth is 0.27 m and the maximum depth is 7.79 m buried on the sea floor. It is still in accordance with applicable regulations, but the position and depth of the pipe needs to be considered in conjunction with the revitalization. Keywords: pipes, estimate, depth, magnetic, the surabaya western shipping route APLIKASI SINGLE BEAM ECHOSOUNDER DAN MAGNETOMETER UNTUK MENGESTIMASI KEDALAMAN PIPA TERPENDAM DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA FICI IMAN NASETION Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2016 ini ialah akustik dan instrumentasi kelautan, dengan judul Aplikasi Single Beam Echosounder dan Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya. Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian, terutamakepada : 1. Dr Henry M. Manik, SPi, MT selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi. 2. Letnan Kolonel Laut (KH) Dr Gentio Harsono, ST, MSi selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi. 3. Dr Ir Sri Pujiyati, MSi dan Adriani Sunuddin, SPi, MSi selaku dosen gugus kendali mutu yang telah membantu dalam penulisan skripsi. 4. Kepala Pusat Hidrografi Oseanografi TNI AL (PUSHIDROSAL) yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti survei dan melakukan penelitian di PUSHIDROSAL. 5. Mayor Laut (E) Anang Prasetia Adi,ST,Msi; Sersan Mayor Eko Budiyono, Amd; dan Sersan Mayor Jaenudin, Amd yang telah memberikan waktu luang diskusi dan saran dalam menjalakan penelitian serta Komandan KRI Pulau Romang, Mayor Laut (P) Ibnu A. Aziz, ST yang telah memberikan pengalaman mengikuti survei. 6. Kedua orang tua tercinta, Bambang Setiyono dan Sulastri, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa,semangat, motivasi dan kasih sayang. 7. Teman-teman ITK 49 dan Asisten Oseanografi umum yang selalu memberikan saran dan motivasi. 8. Pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2017 Fici Iman Nasetion DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 2 Waktu dan Tempat 2 Bahan 2 Alat 3 Akuisisi Data 4 Pemeruman dengan single beam echosounder 4 Pengukuran kemagnetan bumi dengan magnetometer 5 Pengolahan Data 5 Pengolahan data single beam echosounder 5 Pengolahan data magnetometer 7 Estimasi kedalaman pipa terpendam HASIL DAN PEMBAHASAN 10 11 Distribusi Kedalaman Dasar Laut Menggunakan Single Beam Echosounder 11 Anomali Magnetik Menggunakan Instrumen Magnetometer 13 Estimasi Kedalaman Pipa Terpendam 17 SIMPULAN DAN SARAN 19 Simpulan 19 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 19 LAMPIRAN 21 DAFTAR TABEL 1 Spesifikasi alat single beam echosounder Atlas Deso 15 2 Spesifikasi alat Marine Magnetometer Geometrics G-882 3 Lokasi target yang terdeteksi menggunakan magnetometer di APBS 3 3 16 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Peta lokasi penelitian Single beam echosounder Atlas Deso 15 Marine Magnetometer Geometrics G-882 Skema survei single beam echosounder dan magnetomer menggunakan KM. Heru Tahapan pengolahan data single beam echosounder Grafik pasang surut Tahapan pengolahan data magnetometer Tahapan pendugaan kedalaman pipa terpendam Grafik ramalan pasang surut Alur Pelauyaran Barat Surabaya bulan Desember 2014 Tampilan batimetri 2 dimensi Tampilan batimetri 3 dimensi Profil intensitas medan magnetik (a) anomali bernilai negatif (b) anomali bernilai positif. Peta anomali magnetik Overlay 2 dimensi batimetri dan target pipa secara horisontal di APBS Tampilan estimasi kedalaman terpendam pipa dasar laut 2 4 4 5 6 7 8 10 11 12 12 14 15 17 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai positif tiap lajur 2 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai negatif tiap lajur 3 Matlah script untuk visualisasi batimetri dan estimasi kedalaman pipa terpendam 21 22 23 PENDAHULUAN Latar Belakang Survei pipa dasar laut merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi pipa guna keperluan yang berkaitan dengan pembangunan, perencanaan infrastruktur dasar laut dan keamanan jalur navigasi pelayaran. Penggunaan pipa dasar laut untuk kepentingan distribusi minyak bumi mempertimbangkan aspek keamanan pemasangan pipa, sehingga diperlukan informasi posisi dan pemantauan berkala. Penggelaran pipa bawah laut harus sesuai dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 tentang keselamatan kerja pipa penyalur minyak dan gas bumi. Keamanan navigasi pelayaran membutuhkan informasi posisi pipa dasar laut. Berdasarkan hal ini pula perlu dilakukan investigasi untuk memperoleh informasi kedalaman pipa terpendam di bawah dasar laut. Banyak metode untuk mendeteksi obyek di dasar laut, namun hal ini sangat bergantung biaya, waktu dan kompleksitas area survei. Tersedia beberapa instrumen akustik maupun geofisika yang mampu memberikan informasi posisi peletakan pipa dasar laut. Single beam echosounder merupakan instrumen hidroakustik yang mampu memberikan informasi kedalaman laut dari perhitungan waktu tempuh sinyal akustik yang dikirimkan melalui transducer menuju kolom air hingga dasar perairan (Brouwer 2008). Penggunaan single beam echosounder mampu digunakan untuk menampilkan profil dasar laut dan banyak digunakan untuk pengukuran kedalaman tepat di bawah kapal untuk membantu navigasi secara real time (Fachrurrozi 2013). Selain mampu menghasilkan nilai kedalaman secara real time, Balan et al. (2013) mengatakan bahwa penggunaan instrumen single beam echosounder mampu memberikan hasil profil dasar laut yang mempunyai resolusi vertikal yang tinggi secara konsisten. Penerapan akustik single beam echosounder untuk mengetahui kondisi dasar laut telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan oleh Fachrurrozi et al. (2013). Namun, penelitian sebelumnya tidak bisa mendeteksi target logam di dasar laut. Magnetometer laut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur intensitas medan magnet di laut. Magnetometer mampu mengukur dan mencatat penyimpangan medan magnet yang disebabkan oleh adanya bahan feromagnetik (Camidge et al. 2010). Perbedaan maupun selisih nilai kemagnetan yang terdapat pada suatu daerah disebut juga dengan anomali magnetik lokal dengan nilai yang dimiliki lebih tinggi dari pada nilai regionalnya (Arini et al. 2013). Magnetometer mampu digunakan untuk mendeteksi obyek seperti pipa, kabel, ranjau maupun benda logam lainnya. Magnetometer bekerja tanpa ada pengaruh dari udara, air maupun tanah sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi obyek tersembunyi seperti pipa dasar laut (Markiyeh et al. 2015). Penelitian tentang deteksi target logam menggunakan instrumen magnetometer telah dilakukan sebelumnya oleh Arini et al. (2013) dan Tchernychev et al. (2013). Estimasi kedalaman pipa terpendam menggunakan single beam echosounder dan magnetometer merupakan salah satu alternatif yang bisa digunakan untuk memberikan nilai estimasi kedalaman terpendam target tanpa menggunakan instrumen sub bottom profiler yang membutuhkan biaya operasional survei lebih tinggi (Tchernychev et al. 2013) 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengestimasi kedalaman pipa terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya menggunakan instrumen single beam echosounder dan magnetometer. METODE Waktu dan Tempat Penelitian melakukan pengolahan data single beam echosounder dan magnetometer hasil survei Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL tanggal 1516 Oktober 2014 di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Peta lokasi penelitian ditunjukan oleh Gambar 1. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada April-Juni 2016. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengolahan Data Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, Ancol. Gambar 1 Peta lokasi penelitian Bahan Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah data hasil akuisisi oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL tanggal 15-16 Oktober 2014. Data yang yang 3 digunakan adalah data single beam echosounder berekstensi .hpo dan data magnetometer berekstensi .INT. Alat Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah laptop, perangkat lunak Oasis Montaj untuk mengolah data magnetometer, perangkat lunak HYDROpro untuk mengubah ekstensi data dari .hpo menjadi .xyz, perangkat lunak Matlab untuk visualiasasi hasil pengukuran ke dalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi, perangkat lunak Surfer untuk overlay dan digitasi, perangkat lunak ArcMap untuk pembuatan peta lokasi. Pemeruman menggunakan alat single beam echosounder Atlas Deso 15 (Gambar 2) dan pengukuran kemagnetan bumi dengan Marine Magnetometer Geometrics G-882 (Gambar 3). Spesifikasi kedua alat tersebut dijelaskan pada Tabel 1 dan 2 di bawah ini. Tabel 1 Spesifikasi alat single beam echosounder Atlas Deso 15 Jarak pengukuran Frekuensi Kecepatan suara Frekuensi pulsa Akurasi Resolusi Power consumtion Dimensi Berat Power transmission 0,2-650 m 33 KHz dan 210 KHz 1400-1600 m/s 1-20 pulsa/s 10 cm (33KHz) 1 cm (210 KHz) 1 cm Maksimal 100 VA 312 mm x 485 mm x 335 mm (HxWxD) 18 kg 300 W, 600 W, 1000 W Tabel 2 Spesifikasi alat Marine Magnetometer Geometrics G-882 Prinsip operasi Jangkauan operasi Sensitivitas Heading error Akurasi mutlak Dimensi towfish Berat towfish Altitude Power Self-oscillating split-beam Caseium Vapour (non-radioactive) 20000-100000 Nt <0.004 nT/ đHz rms <1 Nt <2nT Diamater 7 cm, panjang 1,37 m 18 kg 9m 24-32 VDC 4 Echogram Depth display Transducer Frequency Power Speed Mode Input Power on/off Gambar 2 Single beam echosounder Atlas Deso 15 (Sumber : dokumentasi pribadi) Nose Plug Tow Handling Magnetic sensor Tow cable Port Gambar 3 Marine Magnetometer Geometrics G-882 (Sumber : www.geometrics.com) Akuisisi Data Pemeruman dengan single beam echosounder Instrumen akustik yang digunakan untuk survei adalah single beam echosounder Atlas Deso 15 dengan frekuensi 210 KHz. Gelombang suara akan ditransmisikan oleh transducer menuju kolom perairan. Sinyal yang ditransmisikan akan terus merambat hingga menyentuh obyek maupun dasar perairan. Sinyal yang menyentuh obyek akan dipantulkan dan diterima kembali oleh receiver yang kemudian dianalisis berdasarkan waktu tempuh sinyal. Alat ini merekam data secara langsung kondisi dasar perairan melalui sinyal yang dipantulkan. Single beam echosounder Atlas Deso 15 dioperasikan bersama Differential Global Positioning System (DGPS) Fugro Seastar 9200-G2 dengan akurasi 0.5 m sebagai penentu titik posisi survei. Jarak antar lajur 16 meter dengan kecepatan kapal ratarata 2-3 knot. Lajur pemeruman berjumlah 109 lajur. Selama pengambilan data, single beam echosounder Atlas Deso 15 dihubungkan dengan perangkat lunak HYDROpro, hasil pengambilan data diperoleh data dengan ekstensi .hpo. Skema survei single beam echosounder dapat dilihat pada Gambar 4. 5 Pengukuran kemagnetan bumi dengan magnetometer Pengukuran kemagnetan bumi dilakukan dengan menggunakan instrumen Marine Magnetometer Geometrics G-882. Marine Magnetometer Geometrics G882 merupakan alat pasif untuk mengukur nilai total kemagnetan bumi pada lokasi tertentu. Magnetometer dihubungkan dengan DGPS Seastar 9200-G2 untuk mengetahui posisi. Alat magnetometer ditarik di belakang kapal menggunakan kabel untuk menghindari pengaruh kemagnetan dari kapal. Panjang tali antara kapal dengan towfish adalah 20,7 meter. Kedalaman alat diatur konstan 2 meter dari permukaan laut, hal ini berguna untuk menjaga keamanan dari alat. Pegambilan data magnetometer mengikuti lajur survei single beam echosounder dengan jarak antar lajur 16 meter dengan jumlah lajur pengambilan data adalah 109 lajur. Lajur survei menggunkan prinsip bi-directional yaitu berbalik arah setelah mencapai ujung lajur dengan kecepatan rata-rata 2-3 knot. Skema survei magnetometer dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Skema survei single beam echosounder dan magnetomer menggunakan KM. Heru Pengolahan Data Pengolahan data single beam echosounder Pengolahan data single beam echosounder menggunakan perangkat lunak HYDROpro dan Matlab dengan script sesuai Lampiran 3. Tahapan dalam pengolahan data single beam echosounder ditunjukan pada Gambar 5. 6 Gambar 5 Tahapan pengolahan data single beam echosounder Data hasil pemeruman instrumen single beam echosunder disimpan dalam raw data berekstensi .hpo. Proses pengolahan pertama dengan melakukan menggunakan perangkat lunak HydroPro. Data yang telah dimasukan kemudian dikoreksi dengan pasang surut hasil pengukuran langsung untuk mendapatkan kedalaman reduksi. Pengukuran data pasang surut dimulai tanggal 15 Oktober 2016 pukul 00.00 WIB hingga 23.15 WIB dan tanggal 16 Oktober 2016 pukul 00.00 WIB hingga pukul 23.30 WIB. Gambar 6 menunjukan grafik pasang surut selama survei berlangsung. Hasil pengukuran pasang surut hanya diperoleh selama 2 hari sehingga dilakukan prediksi pasang surut pada bulan Desember 2014. 7 Gambar 6 Grafik pasang surut Data yang sudah terkoreksi diubah menjadi data berekstensi .xyz melalui proses ekspor yang tersedia di Navedit HYDROpro. Jumlah lajur perum keseluruhan adalah 109 lajur. Data hasil ekstrak diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel untuk merapikan data dan diubah menjadi data berekstensi .txt sehingga dapat dilanjutan ke pengolahan menggunakan perangkat lunak Matlab. Perangkat lunak Matlab digunakan untuk memvisualisasi hasil pengukuran batimetri kedalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi. Metode interpolasi yang digunakan adalah natural neighbor interpolation. Natural neighbor interpolation memungkinkan untuk melakukan interpolasi secara halus untuk data yang rapat antar titik perum (Ledoux dan Gold 2005). Pengolahan data magnetometer Pengolahan data magnetometer untuk mengetahui anomali magnetik, kedalaman target, pemetaan anomali magnetik. Nilai medan magnetik total hasil akuisisi instumen magnetometer termasuk nilai medan magnetik, medan magnetik target/Anomali magnetik dan faktor noise. Hal ini sesuai Markiyeh et al. (2015) yang menjelaskan bahwa : B tot = B bumi + B target + đđđđ đ...........................................(1) Keterangan : B tot : Nilai medan magnetik total (nT) B bumi : Nilai medan magnetik bumi di bumi (nT) B target : Nilai medan magnetik target/anomali target (nT) Noise : Nilai medan magnetik ganggungan (nT) Pengolahan data magnetometer menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj. Format data .INT. Hasil pengambilan data magnetometer terdiri dari 2 file .INT. Hal ini disebabkan pengambilan data dilakukan selama dua hari. Dua file hasil pegambilan data perlu dikoreksi masing-masing sebelum digabungkan menjadi satu. Tahapan dalam pengolahan data magnetometer ditunjukan pada Gambar 7. 8 Gambar 7 Tahapan pengolahan data magnetometer Data hasil pengambilan magnetometer terlebih dahulu dilakukan koreksi terhadap noise. Koreksi terhadap noise perlu dilakukan untuk menghilangkan data yang bersifat pencilan di tiap lajur hasil pengambilan data. Tahapan koreksi selanjutnya adalah koreksi International Geomagnetics Reference Field (IGRF). Koreksi IGRF digunakan untuk menghilangkan pengaruh magnet utama. Nilai IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km2 yang dilakukan dalam waktu lima tahun (Arini et al. 2013). Nilai IGRF suatu wilayah dapat diperoleh dari beberapa sumber informasi seperti Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) ataupun melalui perhitungan otomatis perangkat lunak pengolahan data magnetometer Oasis Montaj. Koreksi terhadap pengaruh diurnal magnetik tidak dilakukan, hal ini disebabkan pengukuran kemagnetan base station di darat tidak akurat untuk dikoreksikan dengan pengukuran kemagnetan di laut dan tidak dilakukannya pengukuran kemagnetan base station di laut karena keterbatasan peralatan dan biaya survei (Plets dan Dix 2013). 9 Tahap analisis target menggunakan dua metode, yaitu metode analytic signal dan euler deconvolution. Kedua metode ini sering digunakan untuk mencari kedalaman dan posisi target (Catalan et al. 2003). Penggunaan metode analytic signal dan euler deconvolution tidak dipengaruhi oleh arah kemagnetan. Solusi yang cepat dari euler deconvolution dan analytic signal merupakan keunggulan dari metode ini (Yudistira dan Grandi 1998). Analisis target dimulai dengan analytic signal untuk menghasilkan grid dan peta anomali magnetik. Metode analytic signal tidak memerlukan informasi arah medan magnet sehingga tidak diperlukan koreksi terhadap kutub bumi maupun koreksi terhadap ekuator (Salem 2005). Hal serupa juga disampaikan oleh Subasinghe et al. (2014) bahwa hasil peta analytic signal tidak berbeda secara signifikan dengan peta yang dikoreksi terhadap kutub magnet. Semua nilai amplitudo akan diubah menjadi bernilai positif sehingga mempermudah dalam interpretasi hasil berupa peta anomali magnetik. Perhitungan metode analytic signal seperti yang dijelaskan oleh Roest (1992) .........................................(2) Keterangan : A : Nilai amplitudo kemagnetan/anomali magnetik (nT) T : Nilai medan magnetik yang terukur (nT) x, y, z : Posisi pengukuran Pendeteksian kedalaman target berupa logam feromagnetik yang terpendam menggunakan metode euler deconvolution (El Dawi 2004). Penggunaan algoritma euler deconvolution dalam perangkat lunak Oasis Montaj untuk menduga lokasi dan kedalaman berdasarkan grid data anomali magnetik. Amigun et al. (2012) menjelaskan bahwa euler deconvolution dari grid hasil analytic signal medan magnet mampu menjelaskan lokasi dan kedalaman benda feromagnetik. Hal serupa juga dijelaskan oleh Ndlovu et al. (2015) bahwa interpretasi euler deconvolution dalam peta hasil analytic signal mampu mengidetifikasi lokasi dan kedalaman target. Hasil yang baik dari euler deconvolution dipengaruhi oleh nilai structural index (N). Nilai N untuk beberapa target berbeda, untuk pipa silinder telah ditentukan nilai N=2 (Reid et al 1990). Estimasi kedalaman pipa menggunakan persamaan euler (Thomson 1982) : ...............................(3) Keterangan : x0,y0,z0 : Posisi sumber magnetik x, y,z : Posisi pengukuran T : Nilai medan magnetik terukur (nT) B : Nilai medan magnetik regional (nT) N : Structural index 10 Hasil analisis data berupa peta anomali magnetik perlu dilakukan proses mapping untuk menambahkan atribut peta seperti arah mata angin, judul peta, skala peta. Hasil berupa kedalaman target perlu dilakukan manajemen target untuk mengatur lebar jendela yang diperbolehkan seperti toleransi kesalahan kedalaman. Estimasi kedalaman pipa terpendam Estimasi kedalaman pipa terpendam berdasarkan hasil pengolahan data single beam echosounder dan magnetometer. Tahapan dalam menentukan kedalaman pipa terpendam ditunjukan pada Gambar 8. Gambar 8 Tahapan pendugaan kedalaman pipa terpendam Hasil pengolahan tahap sebelumya berupa batimetri 2 dimensi dan kedalaman target pipa dilakukan overlay menggunakan perangkat lunak Surfer. Kedalaman dasar laut tepat di atas pipa diperoleh dari digitasi peta hasil overlay antara peta batimetri dengan sebaran kedalaman target. Estimasi kedalaman pipa terpendam berdasarkan selisih antara kedalaman dasar laut dari peta batimetri dengan kedalaman target pipa secara vertikal. Estimasi kedalaman pipa terpendam divisualisasikan menggunakan perangkat lunak Matlab dengan script sesuai Lampiran 3. 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Kedalaman Dasar Laut Menggunakan Single Beam Echosounder Sebelum dilakukan visualisasi batimetri dalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi terlebih dahulu dilakukan koreksi pasang surut selama pemeruman berlangsung. Koreksi pasang surut digunakan untuk mereduksi pengaruh naik turunnya permukaan laut secara periodik sehingga didapatkan kedalaman sebenarnya. Berdasarkan grafik ramalan pasang surut di Alur Pelayaran Barat Surabaya bulan Desember 2014 (Gambar 9), tinggi muka air rata-rata (MSL) 1,10 cm, pasang tertinggi (HHWL) 2,00 cm dan pasang terendah (LLWL) 0,30 cm. Berdasarkan Gambar 9, terjadi satu kali pasang dalam satu hari sehingga tipe pasang surut wilayah Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) adalah harian tunggal, Rinaldy et al. (2012) menyatakan bahwa wilayah tersebut bertipe pasang surut harian tunggal (diurnal tide) dengan periode pasang surut rata-rata 24 jam 50 menit. Gambar 9 Grafik ramalan pasang surut Alur Pelauyaran Barat Surabaya bulan Desember 2014 Hasil pemeruman batimetri dengan akustik single beam echosounder yang telah terkoreksi pasang surut ditampilkan menggunakan perangkat lunak Matlab. Hasil pemeruman menggunakan single beam echosounder hanya terakuisisi di sepanjang jalur survei, sehingga diperlukan interpolasi yang sesuai untuk memberikan nilai kedalaman antar lajur dan menghasilkan tampilan yang representatif (Plets dan Dix 2013). Kedalaman area survei di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) ditampilkan menggunakan perangkat lunak Matlab berupa tampilan batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi. Hasil tampilan 2 dimensi ditunjukan pada Gambar 9 dan tampilan 3 dimensi ditunjukan pada Gambar 10. 12 Gambar 10 Tampilan batimetri 2 dimensi Tampilan betimetri 2 dimensi dan 3 dimensi digunakan untuk mempermudah dalam menganalisa dan mengetahui morfologi permukaan dasar laut. Area survei di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) relatif dangkal. Hal ini bisa dilihat dari kedalaman minimal yang terekam adalah 5,11 m dan kedalaman maksimal yang terekam adalah 14,59 m serta kedalaman rata-rata adalah 10,57 m. Morfologi dasar perairan dari batimetri 3 dimensi ditunjukan oleh Gambar 11. Gambar 11 Tampilan batimetri 3 dimensi 13 Berdasarkan Gambar 11, secara visual permukaan dasar laut area survei di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) cenderung landai. Secara horisontal dari utara hingga selatan area survei relatif dangkal, namun bagian timur laut dari peta menunjukan nilai yang lebih dangkal dan morfologi yang terjal dibandingkan bagian area survei lainnya. Morfologi dasar laut yang terjal dan lebih dangkal ditunjukkan dengan warna merah gelap. Berbeda dengan wilayah timur laut area survei, wilayah tenggara area survei cenderung berwarna biru gelap. Hal ini menunjukan daerah yang lebih dalam dibandingkan dengan wilayah lain. Penggunaan instrumen single beam echosounder Atlas Deso 15 mempunyai beberapa kelebihan. Tingkat ketelitian alat single beam echosounder Atlas Deso 15 mencapai ketelitian 1 cm sehingga data yang terakuisisi lebih akurat. Single beam echosounder Atlas Deso 15 memiliki dua jenis frekuensi yaitu frekuensi rendah (33 KHz) dan frekuensi tinggi (210 KHz). Pemilihan frekuensi tinggi digunakan selama survei untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dari dasar laut perairan dangkal. Frekuensi tinggi dari sebuah transducer menghasilkan lebar pancaran yang lebih luas serta atenuasi yang lebih tinggi (Balan et al. 2013). Anomali Magnetik Menggunakan Instrumen Magnetometer Penggunaan instrumen magnetometer banyak dimanfaatkan untuk mengidentifikasi perubahan kemagnetan bumi secara spasial. Berbeda dengan prinsip akustik, magnetometer tidak mentransmisikan sinyal namun menghitung variasi kemagnetan bumi secara pasif (Plets dan Dix 2013). Magnetometer mampu mendeteksi perubahaan medan magnet lokal disebabkan oleh struktur geologi maupun benda feromagnetik. Perubahan medan magnet lokal dipengaruhi oleh kemagnetan induksi dan kemagnetan permanen. Perubahan medan magnet lokal disebut dengan anomali magnetik. Anomali magnetik yang teramati menerangkan pengaruh kemagnetan induksi maupun kemagnetan permanen. Pengukuran variabel kemagnetan permanen jarang dilakukan, sehingga total anomali magnetik hasil pengamatan ditafsirkan bersumber dari kemagnetan induksi (Breiner 1999). Gambar 11 menunjukan profil intensitas total medan magnetik tiap lajur yang diduga dilewati jalur pipa. Arah pengambilan data menggunakan magnetometer adalah memotong dari barat-timur (W-E). Profil intensitas total magnetik dari Gambar 12 merupakan hasil sebelum dikoreksi terhadap kutub bumi, koreksi terhadap ekuator ataupun analytic signal, sehingga tampilan anomali magnetik masih bernilai positif maupun bernilai negatif. Anomali bernilai negatif maupun positif menunjukan arah dari medan magnetik yang disebabkan oleh suatu sumber terhadap kutub dipole (Breiner 1999). Gambar 11 (a) menunjukan anomali positif, sedangkan (b) menunjukan anomali bernilai negatif. Berdasarkan nilai anomali, anomali positif memiliki nilai yang lebih besar sedangkan anomali negatif memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan nilai rata-rata anomali magnetik sekitar. Adanya Wilayah sekitar ekuator cenderung menunjukan anomali bernilai negatif (Kaeting dan Sailhac 2004). Selain dipengaruhi oleh dipole kemagnetan, faktor perubahan arah survei dari barat-timur menjadi timur-barat (Bi-Directional) mempengaruhi nilai perhitungan sinyal kemagnetan (Camidge et al. 2010). Pengaruh dipole berupa anomali bernilai positif maupun negatif dapat dikoreksi metode analytic signal untuk mengubah menjadi anomali bernilai positif (Subasinghe et al. 2014). Profil 14 intensitas medan magnet tiap lajur yang diduga terdapat target pipa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. (a) (b) Gambar 12 Profil intensitas medan magnetik (a) anomali bernilai positif (b) anomali bernilai negatif Sumbu X pada Gambar 12 merupakan jarak dari titik nol hingga akhir akuisisi menggunakan magnetometer tiap lajur. Sumbu Y menerangkan besarnya intensitas medan magnetik. Amplitudo yang berbeda signifikan menunjukan adanya intensitas yang berbeda diterima oleh sensor dan disebut anomali magnetik. Amplitudo yang berbeda signifikan ditunjukan oleh lingkaran pada profil intensitas medan magnetik Gambar 12. Secara umum pipa merupakan target yang mudah dideteksi. Hal ini karena nilai intensitas medan magnetik yang besar ketika melewati area tersebut. Target berupa pipa memiliki anomali yang tinggi serta perbedaan amplitudo yang tinggi dari profil intensitas medan magnetik. Anomali target diduga pipa ditunjukan oleh lingkaran hitam pada Gambar 12. Target bukan logam tidak akan berpengaruh terhadap nilai anomali magnetik. Bahan-bahan seperti pasir, lempung, terumbu karang, air maupun udara merupakan contoh bahan non-logam yang tidak mempengaruhi anomali magnetik dari objek (Breiner 1999). Peta anomali magnetik hasil analytic signal menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj ditampilkan dalam Gambar 13. Peta anomali magnetik memberikan informasi lokasi anomali yang diduga sebagai target feromagnetik seperti pipa. Analytic signal sangat efektif untuk membantu interpretasi terhadap data anomali magnet khususnya dalam penentuan arah dan posisi pipa (Subarsyah dan Nhirwana 2011). 15 Diduga jalur pipa Analytic (nT) signal Gambar 13 Peta anomali magnetik Gambar 13 menjelaskan sebaran anomali magnetik sepanjang area survei hasil pengambilan data magnetometer. Sebaran anomali magnetik hasil analytic signal bernilai positif, sehingga mempermudah dalam intepretasi hasil (Keating dan Sailhac 2004). Anomali magnetik yang terdeteksi diduga pipa berkisar 18,27 nT230,77 nT. Berdasarkan Breiner (1999) nilai anomali magnetik untuk pipa dengan estimasi jarak 7,5 meter adalah 50 nT-200 nT, pipa berjarak 15 meter 0 nT-50 nT. Nilai anomali yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kedalaman towfish, noise sekitar, noise alat, dan tidak dilakukannya koreksi variasi harian terhadap hasil pengamatan. Berdasarkan interpretasi warna, sebagian besar area survei berwarna hijau, menunjukan wilayah dengan nilai anomali magnetik rendah. Area yang memiliki anomali magnetik lebih tinggi ditunjukan dengan warna merah hingga ungu. Terdapat area berwarna kuning hingga oranye tersebar secara tidak merata, hal ini diduga merupakan target kecil yang tersebar atau anomali yang disebabkan oleh noise (Camidge et al. 2010). Warna biru merupakan area yang tidak tertutup oleh interpolasi sehingga anomali dianggap sangat rendah. Sepanjang area survei ditemukan nilai anomali magnetik yang tinggi dengan pola garis lurus yang memotong area survei dari barat daya menuju timur laut. Anomali magnetik dengan pola garis lurus ini diduga sebagai jalur pipa dasar laut. Berdasarkan pengolahan analisis target menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj juga ditemukan sebaran target yang diduga benda feromagnetik. Sebaran target feromagnetik ditunjukan dengan simbol (+) pada peta yang ditunjukan oleh Gambar 13. Target tidak hanya terdeteksi di antara area yang diduga jalur pipa, 16 namun tersebar di beberapa titik yang mempunyai anomali magnetik tinggi. Estimasi kedalaman target yang diduga pipa disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Lokasi target yang terdeteksi menggunakan magnetometer di APBS No Target ID Lajur 1 2 5 2 3 11 3 14 27 4 19 31 5 24 39 6 25 43 7 27 49 8 28 51 9 30 55 10 34 65 11 36 69 12 37 75 13 45 89 14 59 101 15 74 123 16 104 139 17 112 143 18 117 145 19 118 147 20 123 149 21 124 151 22 127 155 23 132 159 24 133 161 25 139 167 26 141 169 27 152 173 28 155 189 29 157 193 30 160 203 31 161 211 Bujur (BT) 112° 40’ 53.50” 112° 40’53.60” 112° 40’55.50” 112° 40’56.20” 112° 40’57.40” 112° 40’57.90” 112° 40’59.00” 112° 40’59.20” 112° 40’59.70” 112° 41’1.03” 112° 41’1.80” 112° 41’2.45” 112° 41’4.52” 112° 41’6.46” 112° 41’9.57” 112° 41’12.20” 112° 41’12.80” 112° 41’13.00” 112° 41’13.30” 112° 41’13.50” 112° 41’1.03” 112° 41’14.40” 112° 41’15.50” 112° 41’15.30” 112° 41’16.40” 112° 41’16.50” 112° 41’17.20” 112° 41’19.60” 112° 41’ 20.10” 112° 41’ 21.70” 112° 41’ 22.90” Lintang (LS) 7° 0’49.96” 7° 0’48.09” 7° 0’43.31” 7° 0’42.14” 7° 0’39.66” 7° 0’38.49” 7° 0’36.92” 7° 0’36.14” 7° 0’35.10” 7° 0’32.10” 7° 0’31.05” 7° 0’29.23” 7° 0’25.18” 7° 0’21.62” 7° 0’15.40” 7° 0’10.70” 7° 0’9.53” 7° 0’9.01” 7° 0’8.36” 7° 0’7.96” 7° 0’7.31” 7° 0’6.14” 7° 0’4.96” 7° 0’4.31” 7° 0’2.77” 7° 0’2.09” 7° 0’1.05” 6° 59’56.35” 6° 59’55.05” 6° 59’52.31” 6° 59’49.83” Kedalaman (m) 19.97 15.26 13.52 17.74 14.29 18.23 19.06 18.95 13.09 12.46 13.80 13.99 16.57 16.20 13.64 14.57 18.25 15.72 14.50 15.02 18.02 14.60 15.53 15.57 18.07 16.30 13.90 15.09 18.30 15.38 15.57 Proses filter awal untuk mendapatkan target melalui penyaringan dengan maksimal toleransi kesalahan kedalaman target sebesar 15%, sehingga menghasilkan 31 target yang diduga adalah pipa (Tabel 3). Target tersebar di 31 lajur dari total 109 lajur survei. Nilai maksimal toleransi kesalahan sebesar 15% berdasarkan Thomson (1982), Reid et al. (1990) Ogah et al. (2012) dan standar operasional perangkat lunak Oasis Montaj. Kedalaman target paling dalam yang 17 terdeteksi sepanjang jalur pipa adalah 19,97 m di lajur nomor 5 dengan posisi 7° 0’ 49.96” LS, 112° 40’ 53.50” BT. Kedalaman target paling dangkal yang terdeteksi adalah 12,46 m di lajur nomor 65 dengan posisi 7° 0’ 32.10” LS, 112° 41’ 1.03” BT. Estimasi Kedalaman Pipa Terpendam Berdasarkan pengolahan data single beam echosounder diperoleh tampilan batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi. Berdasarkan pengolahan data magnetometer diperoleh peta anomali magnetik dan kedalaman target pipa. Kedua hasil dari alat yang bereda ini dapat dimanfaatkan untuk mementukan estimasi kedalaman terpendam pipa dasar laut yang melintasi area Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Informasi lokasi yang tepat antara kedaman target dan kedalaman dasar laut diperoleh dari proses overlay dan digitasi. Hasil overlay tampilan batimetri dengan target pipa secara horisontal di APBS ditampilkan pada Gambar 14. Diduga Jalur pipa Gambar 14 Overlay 2 dimensi batimetri dan target pipa secara horisontal di APBS Masing-masing titik target setelah dihubungkan memiliki pola berupa garis lurus. Berdasarkan Gambar 13, garis lurus tersebut ditampilkan berwarna ungu. Target dimulai dari lajur 5 hingga lajur 211. Penarikan garis lurus ini diasumsikan sebagai panjang jalur pipa dasar laut yang terdeteksi dalam area survei di APBS. Panjang jalur pipa dari target lajur 5 hingga target lajur 211 adalah 1907 m. Overlay 2 dimensi secara vetikal ditampilkan dalam Gambar 15. Sumbu X merupakan jarak dari titik pertama ditemukan target di lajur 5 hingga titik akhir ditemukan target di lajur 211. Sumbu Y merupakan kedalaman dari permukaan air. Garis berwarna biru merupapakan profil batimetri dasar laut tepat diatas jalur pipa. 18 Garis berwarna hijau merupakan estimasi kedalaman target pipa. Garis berwarna merah merupakan hasil smoothing dari estimasi kedalaman target yang paling memungkinkan dari profil kedalaman target (Tchernychev et al. 2013). Pemasangan pipa cenderung lurus sehingga smoothing untuk mempermudah dalam menduga posisi pipa di APBS. Gambar 15 Tampilan estimasi kedalaman terpendam pipa dasar laut Berdasarkan Gambar 15 kedalaman target 12,45 m-19,97 m sedangkan kedalaman batimetri tepat di atas pipa di APBS berkisar 10,26 m-12,46 m. Kedalaman terpendam pipa rata-rata adalah 4,33 m dari permukaan dasar laut, kedalaman terpendam pipa paling dangkal adalah 0,27 m dari permukaan dasar laut dan kedalaman terpendam pipa paling dalam adalah 7.79 m dari permukaan dasar laut. Secara umum pipa yang melewati jalur APBS berada pada posisi kedalaman lebih dari 2 meter dari dasar laut. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 tentang aturan dalam penggelaran pipa bahwa kedalaman dasar laut kurang dari 13 meter maka pipa harus ditanam minimal 2 meter di bawah dasar laut (ESDM 1997). Berdasarkan kedalaman rata-rata batimetri area survei adalah 10,57 m hal ini menyebabkan hanya kapal dengan draft kapal kurang dari 10,57 m yang bisa melewati APBS dengan tetap mempertimbangkan kondisi pasang surut di wilayah alur. Kondisi APBS sebagai jalur pelayaran yang padat oleh transportasi kapal dan adanya pelaksanaan pendalaman dan pelebaran alur di APBS sebagai revitalisasi jalur pelayaran, perlu dipertimbangkan posisi dan kedalaman pipa yang melintas di APBS ini guna keamanan posisi lego jangkar dan jalur navigasi terutama untuk kapal dengan draft kapal yang besar. 19 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Analisis dari betimetri dasar laut dan kedalaman target menghasilkan informasi berupa kedalaman terpendam pipa dasar laut. Estimasi kedalaman pipa terpendam rata-rata adalah adalah 4,33 m dengan kedalaman terpendam minimal adalah 0,27 m dan kedalaman terpendam maksimal adalah 7,79 m dari permukaan dasar laut. Secara umum posisi pipa berada di kedalaman lebih dari 2 m dari permukaan dasar laut. Saran Perlu dilakukan pemeruman dan pengukuran data magnetik untuk lajur silang sehingga dapat dilakukan koreksi terhadap hasil pemeruman dan koreksi variasi harian untuk data magnetik. DAFTAR PUSTAKA Amigun JO, Afolabo O, Ako BD. 2012. Euler 3D Deconvolution of analytical signal magnetic anomalies over iron ore deposit in Okena, Nigeria. JETEAS. 3(4):711-717 Arini D, Suprayogi A, Awaluddin M. 2013. Aplikasi magnetometer dan side scan sonar untuk pemetaan sebaran anomaly kemagnetan dasar laut (studi kasus: Perairan Lohgung, Palang, Tuban, Jawa Timur). Jurnal Geodesi Undip. 2(4) :130-146. Balan S, Das Arnab, Kandhelwal M, Chaudhari P. 2013. A review of various technologies for depth measurement in estimating reservoir sedimentation. IJERT. 2(10):223-228 Breiner S. 1999. Application Manual for Portable Magnetometers. California (US): Geometrics Brouwer P. 2008. Seafloor classification using single beam echosounder [Tesis]. Delft (NL): Delf University of Technology Camidge K, Holt P, Johns C, Randall L , Schmidt A .2010. Developing Magnetometer Techniques to Identify Submerged Archaeological Sites – Theoretical Study Report. Cornwall (GB): Historic Environment, Cornwall Council Catalan M, Davila JM, ZEE Marking Group. 2003. A magnetic anomaly study offshore the Canary Archipelago. Marine Geophysical Research. 24:129148. El Dawi MG, Tianyou L, Hui S, Dapeng L. 2004. Depth estimation of 2-D magnetic anomalous sources by using euler deconvolutin method. American Journal of Applied Sciences. 1(3):209-214 [ESDM]. 1997. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak 20 dan Gas Bumi. [internet]. [diacu 15 Juni 2016]. Tersedia dari http://prokum.esdm.go.id/kepmen/1997/kep-mentamben-300-1997.pdf Fachrurrozi M. 2013. Studi pemetaan batimetri untuk keselamatan pelayaran di Pulau Karang, Kepulauan Karimun Jawa, kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Oseanografi. 2(3):310-317 [Geometrics]. 2016. G-882 Marine Magnetometer [Internet].[diacu 18 Desember 2016]. Tersedia dari http://www.geometrics.com/ Keating P, Sailhac P. 2004. Use of the analytic signal to identify magnetic anomalies due to kimberlites pipes. Geophysics. 69(1):180-190 Ledoux H, Gold G. 2005. An efficient natural neighbour interpolation algorithm for geoscientific Modelling [Internet]. [diacu 15 Agustus 2016]. Tersedia dari https://3d.bk.tudelft.nl/hledoux/pdfs/04_sdh.pdf Markiyeh J, Moniri MR, Monajati AR. 2015. Detection of magnetic anomaly using total field magnetometer. IJAREEI. 4(3):1813-1820 Ndlovu T, Mashingaidze RT, Mpofu P. 2015. Analytic signal and euler depth interpretation of magnetic anomalies: applicability to the Beatrice Greenstone Belt. Journal of Geography and Geology. 7(4):108-112 Ogah AJ, Lawal KM, Sule PO. 1990. An Automated technique for averaging 3D euler depth solutions. JETEAS. 3(5):895-898 Plets RB, Dix J. 2013. Marine Geophysics Data Acquisition, Processing and Interpretation. Inggris (UK): English Heritage Reid AB, Allsop IM, Grsner H, Millet A J, Somerton IW.1990. Magnetic interpretation in three dimension using euler deconvolutin. Geophysics. 55:80-91 Rinaldy Y, Nugraha AL, Subiyanto S. 2014. Analisis pengukuran batimetri dan pasang sutut untuk menentukan kedalaman kolam pelabuhan (Studi kasus: Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya). Jurnal Geodesi Undip. 3(4):25-36 Roest WR,Verhoef J, and Pilkingto M. 1992. Magnetic interpretation using the 3D analytic signal. Geophysics. 57:116–125 Salem A. 2005. Intepretation of magnetic data using analytic signal devarivatives. Geophysical Prospecting. 53:75–82 Subarsyah, Nhirwana B. 2011. Penggunaan metode analisis sinyal dalam intepretasi data magnet di perairan selat sunda untuk menentukan arah dan posisi pipa bawah laut. Jurnal Geologi Kelautan. 9(1):45-52 Subasinghe ND, Charles WKDGDR, De Silva SN. 2014. Analytical signal and reduction to pole intepretation of total magnetic field data at Eppawala phospate deposit. Journal of Geoscience and Enviromental Protection. 2:181-189 Thomson DT. 1982. EULDPH: a new technique for making computerassisted depth estimates form magnetic data. Geophysics. 47(1):31-37 Tchernychev M, Johnson R, Kupla J. 2013. Using a transverse marine gradiometer (TVG) as submarine pipeline location tool. OCEANS San Diego; 2013 September 23-27; San Diego, California. San Diego (CA). IEEE Yudistira T, Grandis H. 1998. Interpretasi gravitasi dan megnetik menggunakan metode sinyal analitik dan dekonvolusi euler 3D. Prosiding Himpunan Ahli Geofisika Indonesia. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke23; 1998 Oktober 78 ; Yogyakarta, Indonesia (ID) 21 LAMPIRAN Lampiran 1 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai positif tiap lajur 22 Lampiran 2 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai negatif tiap lajur 23 Lampiran 3 Matlah script untuk visualisasi batimetri dan estimasi kedalaman pipa terpendam Matlab script batimeteri 2D %batimetri 2D data = load('batimat2.txt'); labels = num2str(data(:,3),2); % batas wilayah untuk peta batimetri minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x [X,Y] = meshgrid(x,y); Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural'); v = 16:0.3:0; contourf(X,Y,Z,v,'k') colorbar; xlabel('BUJUR'); Matlab script batimeteri 3D %batimeteri 3d data = load('batimat2.txt'); labels = num2str(data(:,3),2); % batas wilayah untuk peta batimetri minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x [X,Y] = meshgrid(x,y); Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural'); v = 20:0.5:0; contour3(X,Y,Z,v,'k'); surface(X,Y,Z,'EdgeColor','none') ; view(15,25) ; grid on; colorbar; xlabel('BUJUR'); ylabel('LINTANG'); zlabel('KEDALAMAN (m)'); Matlab script jalur pipa jalurpipa 2D data = load('batimat2.txt'); d=load('digittargetmat2.txt'); a=d(:,1); b=d(:,2); labels = num2str(data(:,3),2); % batas wilayah untuk peta batimetri minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x [X,Y] = meshgrid(x,y); Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural'); 24 v = 16:0.3:0; contourf(X,Y,Z,v); colorbar ; hold on ; plot(a,b,'m','linewidth',4); hold off ; xlabel('BUJUR'); ylabel('LINTANG'); Matlab script estimasi kedalaman target %kedalaman target d=load('targetmat2.txt'); x=d(:,1); y=d(:,2); y2=d(:,3); y3=d(:,4); smot=smooth(y,30,'moving'); plot(x,y,'og'); hold on ; plot(x,y2,'linewidth',2); hold off ; hold on ; plot (x(2:32),smot(2:32),'r','linewidth',4) hold off ; hold on ; plot(x,y3,'or'); hold off ; grid on ; xlabel('Jarak (m)'); ylabel('Kedalaman (m)'); legenda=legend('kedalaman target pipa','kedalaman dasar laut','smoothing kedalaman pipa','posisi magnetometer','location','southeast'); 25 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ngawi tanggal 26 Mei 1994 sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 1 Ngawi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2012. Selama kuliah di IPB penulis pernah aktif berorganisasi sebagai Staf Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB pada tahun 2013, Ketua Divisi Kajian dan Strategi BEM FPIK pada tahun 2014 dan Ketua Divisi Eksternal Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) pada tahun 2015. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum pada tahun 2014-2015 dan Akustik Kelautan pada tahun 2014. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Single Beam Echosounder dan Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya dibawah bimbingan Dr Henry M Manik, SPi, MT.