Templat tugas akhir S1

advertisement
APLIKASI SINGLE BEAM ECHOSOUNDER DAN MAGNETOMETER UNTUK
MENGESTIMASI KEDALAMAN PIPA TERPENDAM
DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA
FICI IMAN NASETION
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Single Beam
Echosounder dan Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam
di Alur Pelayaran Barat Surabaya adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Fici Iman Nasetion
NIM C54120035
ABSTRAK
FICI IMAN NASETION. Aplikasi Single Beam echosounder dan Magnetometer
untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran Barat Surabaya.
Dibimbing oleh HENRY M MANIK.
Survei pipa dasar laut merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi pipa
guna keperluan yang berkaitan dengan pembangunan, perencanaan infrastruktur
dasar laut dan keamanan jalur navigasi. Penelitian bertujuan mengestimasi
kedalaman pipa terpendam menggunakan instrumen single beam echosounder dan
magnetometer. Penelitian menggunakan data hasil survei dari Pusat Hidrografi dan
Oseanografi TNI AL tanggal 15-16 Oktober 2014 di Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS). Hasil pemeruman kedalaman divisualisasikan dalam tampilan batimetri 2
dimensi dan 3 dimensi. Pengolahan kemagnetan bumi dilakukan menggunkan
metode analytic signal dan euler deconvolution sehingga diperoleh kedalaman
target diduga pipa dan peta anomali magnetik. Estimasi kedalaman pipa terpendam
diperoleh dari selisih antara kedalaman dasar laut dari peta batimetri dengan
kedalaman target diduga pipa. Estimasi kedalaman pipa terpendam rata-rata 4,33 m
dengan kedalaman terpendam minimal 0,27 m dan kedalaman terpendam maksimal
7,79 m dari permukaan dasar laut. Kedalaman pipa terpendam rata-rata masih
sesuai dengan peraturan pemasangan awal pipa, namun posisi dan kedalaman pipa
saat ini perlu dipertimbangkan sehubungan dengan dilakukan revitalisasi jalur
pelayaran.
Kata kunci: pipa, estimasi, kedalaman, kemagnetan, APBS
ABSTRACT
FICI IMAN NASETION. Application of Single Beam Echosounder and
Magnetometer for Estimating Depth of Buried Pipe in the Surabaya Western
Shipping Route. Supervised by HENRY M MANIK.
Marine pipeline survey is an activity to determine the condition of the pipe
for purposes relating to the construction, infrastructure planning and safety
navigation. The study aims to estimate the depth of buried pipe using a single beam
echosounder and the magnetometer instrument. The rawdata from Center of
Hydrography and Oceanography Indonesian Navy survey on 15-16 October 2014
in West Surabaya Shipping Lane. Sounding result visualized in the 2 dimension and
3 dimension of bathymetry. Analysis of magnetic is using analytic signal and euler
deconvolution method to obtain the the target depth is suspected pipe and magnetic
anomaly map. Estimated depth of buried pipe obtained from the difference between
the depth of the seafloor bathymetry map with the target depth suspected pipe.
Estimated depth average of buried pipe is 4.33 m with minimum depth is 0.27 m
and the maximum depth is 7.79 m buried on the sea floor. It is still in accordance
with applicable regulations, but the position and depth of the pipe needs to be
considered in conjunction with the revitalization.
Keywords: pipes, estimate, depth, magnetic, the surabaya western shipping route
APLIKASI SINGLE BEAM ECHOSOUNDER DAN MAGNETOMETER UNTUK
MENGESTIMASI KEDALAMAN PIPA TERPENDAM
DI ALUR PELAYARAN BARAT SURABAYA
FICI IMAN NASETION
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2016 ini ialah akustik
dan instrumentasi kelautan, dengan judul Aplikasi Single Beam Echosounder dan
Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur Pelayaran
Barat Surabaya.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan selama penelitian, terutamakepada :
1. Dr Henry M. Manik, SPi, MT selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi.
2. Letnan Kolonel Laut (KH) Dr Gentio Harsono, ST, MSi selaku dosen
penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dalam penyusunan
skripsi.
3. Dr Ir Sri Pujiyati, MSi dan Adriani Sunuddin, SPi, MSi selaku dosen gugus
kendali mutu yang telah membantu dalam penulisan skripsi.
4. Kepala Pusat Hidrografi Oseanografi TNI AL (PUSHIDROSAL) yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti survei dan melakukan penelitian
di PUSHIDROSAL.
5. Mayor Laut (E) Anang Prasetia Adi,ST,Msi; Sersan Mayor Eko Budiyono,
Amd; dan Sersan Mayor Jaenudin, Amd yang telah memberikan waktu
luang diskusi dan saran dalam menjalakan penelitian serta Komandan KRI
Pulau Romang, Mayor Laut (P) Ibnu A. Aziz, ST yang telah memberikan
pengalaman mengikuti survei.
6. Kedua orang tua tercinta, Bambang Setiyono dan Sulastri, serta seluruh
keluarga besar yang telah memberikan doa,semangat, motivasi dan kasih
sayang.
7. Teman-teman ITK 49 dan Asisten Oseanografi umum yang selalu
memberikan saran dan motivasi.
8. Pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2017
Fici Iman Nasetion
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Bahan
2
Alat
3
Akuisisi Data
4
Pemeruman dengan single beam echosounder
4
Pengukuran kemagnetan bumi dengan magnetometer
5
Pengolahan Data
5
Pengolahan data single beam echosounder
5
Pengolahan data magnetometer
7
Estimasi kedalaman pipa terpendam
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
11
Distribusi Kedalaman Dasar Laut Menggunakan Single Beam Echosounder 11
Anomali Magnetik Menggunakan Instrumen Magnetometer
13
Estimasi Kedalaman Pipa Terpendam
17
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
21
DAFTAR TABEL
1 Spesifikasi alat single beam echosounder Atlas Deso 15
2 Spesifikasi alat Marine Magnetometer Geometrics G-882
3 Lokasi target yang terdeteksi menggunakan magnetometer di APBS
3
3
16
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Peta lokasi penelitian
Single beam echosounder Atlas Deso 15
Marine Magnetometer Geometrics G-882
Skema survei single beam echosounder dan magnetomer menggunakan
KM. Heru
Tahapan pengolahan data single beam echosounder
Grafik pasang surut
Tahapan pengolahan data magnetometer
Tahapan pendugaan kedalaman pipa terpendam
Grafik ramalan pasang surut Alur Pelauyaran Barat Surabaya bulan
Desember 2014
Tampilan batimetri 2 dimensi
Tampilan batimetri 3 dimensi
Profil intensitas medan magnetik (a) anomali bernilai negatif (b) anomali
bernilai positif.
Peta anomali magnetik
Overlay 2 dimensi batimetri dan target pipa secara horisontal di APBS
Tampilan estimasi kedalaman terpendam pipa dasar laut
2
4
4
5
6
7
8
10
11
12
12
14
15
17
18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai positif tiap lajur
2 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai negatif tiap lajur
3 Matlah script untuk visualisasi batimetri dan estimasi kedalaman pipa
terpendam
21
22
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Survei pipa dasar laut merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi pipa
guna keperluan yang berkaitan dengan pembangunan, perencanaan infrastruktur
dasar laut dan keamanan jalur navigasi pelayaran. Penggunaan pipa dasar laut untuk
kepentingan distribusi minyak bumi mempertimbangkan aspek keamanan
pemasangan pipa, sehingga diperlukan informasi posisi dan pemantauan berkala.
Penggelaran pipa bawah laut harus sesuai dengan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 tentang keselamatan kerja
pipa penyalur minyak dan gas bumi.
Keamanan navigasi pelayaran membutuhkan informasi posisi pipa dasar
laut. Berdasarkan hal ini pula perlu dilakukan investigasi untuk memperoleh
informasi kedalaman pipa terpendam di bawah dasar laut. Banyak metode untuk
mendeteksi obyek di dasar laut, namun hal ini sangat bergantung biaya, waktu dan
kompleksitas area survei. Tersedia beberapa instrumen akustik maupun geofisika
yang mampu memberikan informasi posisi peletakan pipa dasar laut.
Single beam echosounder merupakan instrumen hidroakustik yang mampu
memberikan informasi kedalaman laut dari perhitungan waktu tempuh sinyal
akustik yang dikirimkan melalui transducer menuju kolom air hingga dasar
perairan (Brouwer 2008). Penggunaan single beam echosounder mampu digunakan
untuk menampilkan profil dasar laut dan banyak digunakan untuk pengukuran
kedalaman tepat di bawah kapal untuk membantu navigasi secara real time
(Fachrurrozi 2013). Selain mampu menghasilkan nilai kedalaman secara real time,
Balan et al. (2013) mengatakan bahwa penggunaan instrumen single beam
echosounder mampu memberikan hasil profil dasar laut yang mempunyai resolusi
vertikal yang tinggi secara konsisten. Penerapan akustik single beam echosounder
untuk mengetahui kondisi dasar laut telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan
oleh Fachrurrozi et al. (2013). Namun, penelitian sebelumnya tidak bisa
mendeteksi target logam di dasar laut.
Magnetometer laut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur
intensitas medan magnet di laut. Magnetometer mampu mengukur dan mencatat
penyimpangan medan magnet yang disebabkan oleh adanya bahan feromagnetik
(Camidge et al. 2010). Perbedaan maupun selisih nilai kemagnetan yang terdapat
pada suatu daerah disebut juga dengan anomali magnetik lokal dengan nilai yang
dimiliki lebih tinggi dari pada nilai regionalnya (Arini et al. 2013). Magnetometer
mampu digunakan untuk mendeteksi obyek seperti pipa, kabel, ranjau maupun
benda logam lainnya. Magnetometer bekerja tanpa ada pengaruh dari udara, air
maupun tanah sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi obyek tersembunyi
seperti pipa dasar laut (Markiyeh et al. 2015). Penelitian tentang deteksi target
logam menggunakan instrumen magnetometer telah dilakukan sebelumnya oleh
Arini et al. (2013) dan Tchernychev et al. (2013). Estimasi kedalaman pipa
terpendam menggunakan single beam echosounder dan magnetometer merupakan
salah satu alternatif yang bisa digunakan untuk memberikan nilai estimasi
kedalaman terpendam target tanpa menggunakan instrumen sub bottom profiler
yang membutuhkan biaya operasional survei lebih tinggi (Tchernychev et al. 2013)
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengestimasi kedalaman pipa terpendam di Alur
Pelayaran Barat Surabaya menggunakan instrumen single beam echosounder dan
magnetometer.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian melakukan pengolahan data single beam echosounder dan
magnetometer hasil survei Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL tanggal 1516 Oktober 2014 di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS). Peta lokasi penelitian
ditunjukan oleh Gambar 1. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada April-Juni
2016. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi
Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengolahan Data Pusat
Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, Ancol.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah data hasil akuisisi oleh Pusat
Hidrografi dan Oseanografi TNI AL tanggal 15-16 Oktober 2014. Data yang yang
3
digunakan adalah data single beam echosounder berekstensi .hpo dan data
magnetometer berekstensi .INT.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah laptop, perangkat lunak
Oasis Montaj untuk mengolah data magnetometer, perangkat lunak HYDROpro
untuk mengubah ekstensi data dari .hpo menjadi .xyz, perangkat lunak Matlab
untuk visualiasasi hasil pengukuran ke dalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi,
perangkat lunak Surfer untuk overlay dan digitasi, perangkat lunak ArcMap untuk
pembuatan peta lokasi. Pemeruman menggunakan alat single beam echosounder
Atlas Deso 15 (Gambar 2) dan pengukuran kemagnetan bumi dengan Marine
Magnetometer Geometrics G-882 (Gambar 3). Spesifikasi kedua alat tersebut
dijelaskan pada Tabel 1 dan 2 di bawah ini.
Tabel 1 Spesifikasi alat single beam echosounder Atlas Deso 15
Jarak pengukuran
Frekuensi
Kecepatan suara
Frekuensi pulsa
Akurasi
Resolusi
Power consumtion
Dimensi
Berat
Power transmission
0,2-650 m
33 KHz dan 210 KHz
1400-1600 m/s
1-20 pulsa/s
10 cm (33KHz)
1 cm (210 KHz)
1 cm
Maksimal 100 VA
312 mm x 485 mm x 335 mm
(HxWxD)
18 kg
300 W, 600 W, 1000 W
Tabel 2 Spesifikasi alat Marine Magnetometer Geometrics G-882
Prinsip operasi
Jangkauan operasi
Sensitivitas
Heading error
Akurasi mutlak
Dimensi towfish
Berat towfish
Altitude
Power
Self-oscillating split-beam Caseium
Vapour (non-radioactive)
20000-100000 Nt
<0.004 nT/ 𝜋Hz rms
<1 Nt
<2nT
Diamater 7 cm, panjang 1,37 m
18 kg
9m
24-32 VDC
4
Echogram
Depth display
Transducer
Frequency
Power Speed
Mode
Input
Power on/off
Gambar 2 Single beam echosounder Atlas Deso 15
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Nose
Plug
Tow
Handling
Magnetic
sensor
Tow cable
Port
Gambar 3 Marine Magnetometer Geometrics G-882
(Sumber : www.geometrics.com)
Akuisisi Data
Pemeruman dengan single beam echosounder
Instrumen akustik yang digunakan untuk survei adalah single beam
echosounder Atlas Deso 15 dengan frekuensi 210 KHz. Gelombang suara akan
ditransmisikan oleh transducer menuju kolom perairan. Sinyal yang ditransmisikan
akan terus merambat hingga menyentuh obyek maupun dasar perairan. Sinyal yang
menyentuh obyek akan dipantulkan dan diterima kembali oleh receiver yang
kemudian dianalisis berdasarkan waktu tempuh sinyal. Alat ini merekam data
secara langsung kondisi dasar perairan melalui sinyal yang dipantulkan. Single
beam echosounder Atlas Deso 15 dioperasikan bersama Differential Global
Positioning System (DGPS) Fugro Seastar 9200-G2 dengan akurasi 0.5 m sebagai
penentu titik posisi survei. Jarak antar lajur 16 meter dengan kecepatan kapal ratarata 2-3 knot. Lajur pemeruman berjumlah 109 lajur. Selama pengambilan data,
single beam echosounder Atlas Deso 15 dihubungkan dengan perangkat lunak
HYDROpro, hasil pengambilan data diperoleh data dengan ekstensi .hpo. Skema
survei single beam echosounder dapat dilihat pada Gambar 4.
5
Pengukuran kemagnetan bumi dengan magnetometer
Pengukuran kemagnetan bumi dilakukan dengan menggunakan instrumen
Marine Magnetometer Geometrics G-882. Marine Magnetometer Geometrics G882 merupakan alat pasif untuk mengukur nilai total kemagnetan bumi pada lokasi
tertentu. Magnetometer dihubungkan dengan DGPS Seastar 9200-G2 untuk
mengetahui posisi. Alat magnetometer ditarik di belakang kapal menggunakan
kabel untuk menghindari pengaruh kemagnetan dari kapal. Panjang tali antara kapal
dengan towfish adalah 20,7 meter. Kedalaman alat diatur konstan 2 meter dari
permukaan laut, hal ini berguna untuk menjaga keamanan dari alat. Pegambilan
data magnetometer mengikuti lajur survei single beam echosounder dengan jarak
antar lajur 16 meter dengan jumlah lajur pengambilan data adalah 109 lajur. Lajur
survei menggunkan prinsip bi-directional yaitu berbalik arah setelah mencapai
ujung lajur dengan kecepatan rata-rata 2-3 knot. Skema survei magnetometer dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Skema survei single beam echosounder dan magnetomer menggunakan
KM. Heru
Pengolahan Data
Pengolahan data single beam echosounder
Pengolahan data single beam echosounder menggunakan perangkat lunak
HYDROpro dan Matlab dengan script sesuai Lampiran 3. Tahapan dalam
pengolahan data single beam echosounder ditunjukan pada Gambar 5.
6
Gambar 5 Tahapan pengolahan data single beam echosounder
Data hasil pemeruman instrumen single beam echosunder disimpan dalam
raw data berekstensi .hpo. Proses pengolahan pertama dengan melakukan
menggunakan perangkat lunak HydroPro. Data yang telah dimasukan kemudian
dikoreksi dengan pasang surut hasil pengukuran langsung untuk mendapatkan
kedalaman reduksi. Pengukuran data pasang surut dimulai tanggal 15 Oktober 2016
pukul 00.00 WIB hingga 23.15 WIB dan tanggal 16 Oktober 2016 pukul 00.00
WIB hingga pukul 23.30 WIB. Gambar 6 menunjukan grafik pasang surut selama
survei berlangsung. Hasil pengukuran pasang surut hanya diperoleh selama 2 hari
sehingga dilakukan prediksi pasang surut pada bulan Desember 2014.
7
Gambar 6 Grafik pasang surut
Data yang sudah terkoreksi diubah menjadi data berekstensi .xyz melalui
proses ekspor yang tersedia di Navedit HYDROpro. Jumlah lajur perum
keseluruhan adalah 109 lajur. Data hasil ekstrak diolah menggunakan perangkat
lunak Microsoft Excel untuk merapikan data dan diubah menjadi data berekstensi
.txt sehingga dapat dilanjutan ke pengolahan menggunakan perangkat lunak
Matlab. Perangkat lunak Matlab digunakan untuk memvisualisasi hasil pengukuran
batimetri kedalam bentuk 2 dimensi dan 3 dimensi. Metode interpolasi yang
digunakan adalah natural neighbor interpolation. Natural neighbor interpolation
memungkinkan untuk melakukan interpolasi secara halus untuk data yang rapat
antar titik perum (Ledoux dan Gold 2005).
Pengolahan data magnetometer
Pengolahan data magnetometer untuk mengetahui anomali magnetik,
kedalaman target, pemetaan anomali magnetik. Nilai medan magnetik total hasil
akuisisi instumen magnetometer termasuk nilai medan magnetik, medan magnetik
target/Anomali magnetik dan faktor noise. Hal ini sesuai Markiyeh et al. (2015)
yang menjelaskan bahwa :
B tot = B bumi + B target + 𝑁𝑜𝑖𝑠𝑒...........................................(1)
Keterangan :
B tot
: Nilai medan magnetik total (nT)
B bumi : Nilai medan magnetik bumi di bumi (nT)
B target : Nilai medan magnetik target/anomali target (nT)
Noise : Nilai medan magnetik ganggungan (nT)
Pengolahan data magnetometer menggunakan perangkat lunak Oasis Montaj.
Format data .INT. Hasil pengambilan data magnetometer terdiri dari 2 file .INT.
Hal ini disebabkan pengambilan data dilakukan selama dua hari. Dua file hasil
pegambilan data perlu dikoreksi masing-masing sebelum digabungkan menjadi
satu. Tahapan dalam pengolahan data magnetometer ditunjukan pada Gambar 7.
8
Gambar 7 Tahapan pengolahan data magnetometer
Data hasil pengambilan magnetometer terlebih dahulu dilakukan koreksi
terhadap noise. Koreksi terhadap noise perlu dilakukan untuk menghilangkan data
yang bersifat pencilan di tiap lajur hasil pengambilan data. Tahapan koreksi
selanjutnya adalah koreksi International Geomagnetics Reference Field (IGRF).
Koreksi IGRF digunakan untuk menghilangkan pengaruh magnet utama. Nilai
IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar
1 juta km2 yang dilakukan dalam waktu lima tahun (Arini et al. 2013). Nilai IGRF
suatu wilayah dapat diperoleh dari beberapa sumber informasi seperti Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), National Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) ataupun melalui perhitungan otomatis
perangkat lunak pengolahan data magnetometer Oasis Montaj. Koreksi terhadap
pengaruh diurnal magnetik tidak dilakukan, hal ini disebabkan pengukuran
kemagnetan base station di darat tidak akurat untuk dikoreksikan dengan
pengukuran kemagnetan di laut dan tidak dilakukannya pengukuran kemagnetan
base station di laut karena keterbatasan peralatan dan biaya survei (Plets dan Dix
2013).
9
Tahap analisis target menggunakan dua metode, yaitu metode analytic signal
dan euler deconvolution. Kedua metode ini sering digunakan untuk mencari
kedalaman dan posisi target (Catalan et al. 2003). Penggunaan metode analytic
signal dan euler deconvolution tidak dipengaruhi oleh arah kemagnetan. Solusi
yang cepat dari euler deconvolution dan analytic signal merupakan keunggulan dari
metode ini (Yudistira dan Grandi 1998).
Analisis target dimulai dengan analytic signal untuk menghasilkan grid dan
peta anomali magnetik. Metode analytic signal tidak memerlukan informasi arah
medan magnet sehingga tidak diperlukan koreksi terhadap kutub bumi maupun
koreksi terhadap ekuator (Salem 2005). Hal serupa juga disampaikan oleh
Subasinghe et al. (2014) bahwa hasil peta analytic signal tidak berbeda secara
signifikan dengan peta yang dikoreksi terhadap kutub magnet. Semua nilai
amplitudo akan diubah menjadi bernilai positif sehingga mempermudah dalam
interpretasi hasil berupa peta anomali magnetik. Perhitungan metode analytic
signal seperti yang dijelaskan oleh Roest (1992)
.........................................(2)
Keterangan :
A
: Nilai amplitudo kemagnetan/anomali magnetik (nT)
T
: Nilai medan magnetik yang terukur (nT)
x, y, z : Posisi pengukuran
Pendeteksian kedalaman target berupa logam feromagnetik yang terpendam
menggunakan metode euler deconvolution (El Dawi 2004). Penggunaan algoritma
euler deconvolution dalam perangkat lunak Oasis Montaj untuk menduga lokasi
dan kedalaman berdasarkan grid data anomali magnetik. Amigun et al. (2012)
menjelaskan bahwa euler deconvolution dari grid hasil analytic signal medan
magnet mampu menjelaskan lokasi dan kedalaman benda feromagnetik. Hal serupa
juga dijelaskan oleh Ndlovu et al. (2015) bahwa interpretasi euler deconvolution
dalam peta hasil analytic signal mampu mengidetifikasi lokasi dan kedalaman
target. Hasil yang baik dari euler deconvolution dipengaruhi oleh nilai structural
index (N). Nilai N untuk beberapa target berbeda, untuk pipa silinder telah
ditentukan nilai N=2 (Reid et al 1990). Estimasi kedalaman pipa menggunakan
persamaan euler (Thomson 1982) :
...............................(3)
Keterangan :
x0,y0,z0 : Posisi sumber magnetik
x, y,z : Posisi pengukuran
T
: Nilai medan magnetik terukur (nT)
B
: Nilai medan magnetik regional (nT)
N
: Structural index
10
Hasil analisis data berupa peta anomali magnetik perlu dilakukan proses
mapping untuk menambahkan atribut peta seperti arah mata angin, judul peta, skala
peta. Hasil berupa kedalaman target perlu dilakukan manajemen target untuk
mengatur lebar jendela yang diperbolehkan seperti toleransi kesalahan kedalaman.
Estimasi kedalaman pipa terpendam
Estimasi kedalaman pipa terpendam berdasarkan hasil pengolahan data single
beam echosounder dan magnetometer. Tahapan dalam menentukan kedalaman pipa
terpendam ditunjukan pada Gambar 8.
Gambar 8 Tahapan pendugaan kedalaman pipa terpendam
Hasil pengolahan tahap sebelumya berupa batimetri 2 dimensi dan kedalaman
target pipa dilakukan overlay menggunakan perangkat lunak Surfer. Kedalaman
dasar laut tepat di atas pipa diperoleh dari digitasi peta hasil overlay antara peta
batimetri dengan sebaran kedalaman target. Estimasi kedalaman pipa terpendam
berdasarkan selisih antara kedalaman dasar laut dari peta batimetri dengan
kedalaman target pipa secara vertikal. Estimasi kedalaman pipa terpendam
divisualisasikan menggunakan perangkat lunak Matlab dengan script sesuai
Lampiran 3.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Kedalaman Dasar Laut Menggunakan Single Beam Echosounder
Sebelum dilakukan visualisasi batimetri dalam bentuk 2 dimensi dan 3
dimensi terlebih dahulu dilakukan koreksi pasang surut selama pemeruman
berlangsung. Koreksi pasang surut digunakan untuk mereduksi pengaruh naik
turunnya permukaan laut secara periodik sehingga didapatkan kedalaman
sebenarnya. Berdasarkan grafik ramalan pasang surut di Alur Pelayaran Barat
Surabaya bulan Desember 2014 (Gambar 9), tinggi muka air rata-rata (MSL) 1,10
cm, pasang tertinggi (HHWL) 2,00 cm dan pasang terendah (LLWL) 0,30 cm.
Berdasarkan Gambar 9, terjadi satu kali pasang dalam satu hari sehingga tipe
pasang surut wilayah Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) adalah harian tunggal,
Rinaldy et al. (2012) menyatakan bahwa wilayah tersebut bertipe pasang surut
harian tunggal (diurnal tide) dengan periode pasang surut rata-rata 24 jam 50 menit.
Gambar 9 Grafik ramalan pasang surut Alur Pelauyaran Barat Surabaya bulan
Desember 2014
Hasil pemeruman batimetri dengan akustik single beam echosounder yang
telah terkoreksi pasang surut ditampilkan menggunakan perangkat lunak Matlab.
Hasil pemeruman menggunakan single beam echosounder hanya terakuisisi di
sepanjang jalur survei, sehingga diperlukan interpolasi yang sesuai untuk
memberikan nilai kedalaman antar lajur dan menghasilkan tampilan yang
representatif (Plets dan Dix 2013). Kedalaman area survei di Alur Pelayaran Barat
Surabaya (APBS) ditampilkan menggunakan perangkat lunak Matlab berupa
tampilan batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi. Hasil tampilan 2 dimensi ditunjukan
pada Gambar 9 dan tampilan 3 dimensi ditunjukan pada Gambar 10.
12
Gambar 10 Tampilan batimetri 2 dimensi
Tampilan betimetri 2 dimensi dan 3 dimensi digunakan untuk mempermudah
dalam menganalisa dan mengetahui morfologi permukaan dasar laut. Area survei
di Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) relatif dangkal. Hal ini bisa dilihat dari
kedalaman minimal yang terekam adalah 5,11 m dan kedalaman maksimal yang
terekam adalah 14,59 m serta kedalaman rata-rata adalah 10,57 m. Morfologi dasar
perairan dari batimetri 3 dimensi ditunjukan oleh Gambar 11.
Gambar 11 Tampilan batimetri 3 dimensi
13
Berdasarkan Gambar 11, secara visual permukaan dasar laut area survei di
Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS) cenderung landai. Secara horisontal dari
utara hingga selatan area survei relatif dangkal, namun bagian timur laut dari peta
menunjukan nilai yang lebih dangkal dan morfologi yang terjal dibandingkan
bagian area survei lainnya. Morfologi dasar laut yang terjal dan lebih dangkal
ditunjukkan dengan warna merah gelap. Berbeda dengan wilayah timur laut area
survei, wilayah tenggara area survei cenderung berwarna biru gelap. Hal ini
menunjukan daerah yang lebih dalam dibandingkan dengan wilayah lain.
Penggunaan instrumen single beam echosounder Atlas Deso 15 mempunyai
beberapa kelebihan. Tingkat ketelitian alat single beam echosounder Atlas Deso 15
mencapai ketelitian 1 cm sehingga data yang terakuisisi lebih akurat. Single beam
echosounder Atlas Deso 15 memiliki dua jenis frekuensi yaitu frekuensi rendah (33
KHz) dan frekuensi tinggi (210 KHz). Pemilihan frekuensi tinggi digunakan selama
survei untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dari dasar laut perairan
dangkal. Frekuensi tinggi dari sebuah transducer menghasilkan lebar pancaran
yang lebih luas serta atenuasi yang lebih tinggi (Balan et al. 2013).
Anomali Magnetik Menggunakan Instrumen Magnetometer
Penggunaan instrumen magnetometer banyak dimanfaatkan untuk
mengidentifikasi perubahan kemagnetan bumi secara spasial. Berbeda dengan
prinsip akustik, magnetometer tidak mentransmisikan sinyal namun menghitung
variasi kemagnetan bumi secara pasif (Plets dan Dix 2013). Magnetometer mampu
mendeteksi perubahaan medan magnet lokal disebabkan oleh struktur geologi
maupun benda feromagnetik. Perubahan medan magnet lokal dipengaruhi oleh
kemagnetan induksi dan kemagnetan permanen. Perubahan medan magnet lokal
disebut dengan anomali magnetik. Anomali magnetik yang teramati menerangkan
pengaruh kemagnetan induksi maupun kemagnetan permanen. Pengukuran variabel
kemagnetan permanen jarang dilakukan, sehingga total anomali magnetik hasil
pengamatan ditafsirkan bersumber dari kemagnetan induksi (Breiner 1999).
Gambar 11 menunjukan profil intensitas total medan magnetik tiap lajur yang
diduga dilewati jalur pipa. Arah pengambilan data menggunakan magnetometer
adalah memotong dari barat-timur (W-E). Profil intensitas total magnetik dari
Gambar 12 merupakan hasil sebelum dikoreksi terhadap kutub bumi, koreksi
terhadap ekuator ataupun analytic signal, sehingga tampilan anomali magnetik
masih bernilai positif maupun bernilai negatif. Anomali bernilai negatif maupun
positif menunjukan arah dari medan magnetik yang disebabkan oleh suatu sumber
terhadap kutub dipole (Breiner 1999). Gambar 11 (a) menunjukan anomali positif,
sedangkan (b) menunjukan anomali bernilai negatif. Berdasarkan nilai anomali,
anomali positif memiliki nilai yang lebih besar sedangkan anomali negatif memiliki
nilai yang lebih kecil dibandingkan nilai rata-rata anomali magnetik sekitar. Adanya
Wilayah sekitar ekuator cenderung menunjukan anomali bernilai negatif (Kaeting
dan Sailhac 2004). Selain dipengaruhi oleh dipole kemagnetan, faktor perubahan
arah survei dari barat-timur menjadi timur-barat (Bi-Directional) mempengaruhi
nilai perhitungan sinyal kemagnetan (Camidge et al. 2010). Pengaruh dipole berupa
anomali bernilai positif maupun negatif dapat dikoreksi metode analytic signal
untuk mengubah menjadi anomali bernilai positif (Subasinghe et al. 2014). Profil
14
intensitas medan magnet tiap lajur yang diduga terdapat target pipa dapat dilihat
pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.
(a)
(b)
Gambar 12 Profil intensitas medan magnetik (a) anomali bernilai positif (b)
anomali bernilai negatif
Sumbu X pada Gambar 12 merupakan jarak dari titik nol hingga akhir akuisisi
menggunakan magnetometer tiap lajur. Sumbu Y menerangkan besarnya intensitas
medan magnetik. Amplitudo yang berbeda signifikan menunjukan adanya
intensitas yang berbeda diterima oleh sensor dan disebut anomali magnetik.
Amplitudo yang berbeda signifikan ditunjukan oleh lingkaran pada profil intensitas
medan magnetik Gambar 12.
Secara umum pipa merupakan target yang mudah dideteksi. Hal ini karena
nilai intensitas medan magnetik yang besar ketika melewati area tersebut. Target
berupa pipa memiliki anomali yang tinggi serta perbedaan amplitudo yang tinggi
dari profil intensitas medan magnetik. Anomali target diduga pipa ditunjukan oleh
lingkaran hitam pada Gambar 12. Target bukan logam tidak akan berpengaruh
terhadap nilai anomali magnetik. Bahan-bahan seperti pasir, lempung, terumbu
karang, air maupun udara merupakan contoh bahan non-logam yang tidak
mempengaruhi anomali magnetik dari objek (Breiner 1999).
Peta anomali magnetik hasil analytic signal menggunakan perangkat lunak
Oasis Montaj ditampilkan dalam Gambar 13. Peta anomali magnetik memberikan
informasi lokasi anomali yang diduga sebagai target feromagnetik seperti pipa.
Analytic signal sangat efektif untuk membantu interpretasi terhadap data anomali
magnet khususnya dalam penentuan arah dan posisi pipa (Subarsyah dan Nhirwana
2011).
15
Diduga
jalur
pipa
Analytic
(nT)
signal
Gambar 13 Peta anomali magnetik
Gambar 13 menjelaskan sebaran anomali magnetik sepanjang area survei
hasil pengambilan data magnetometer. Sebaran anomali magnetik hasil analytic
signal bernilai positif, sehingga mempermudah dalam intepretasi hasil (Keating dan
Sailhac 2004). Anomali magnetik yang terdeteksi diduga pipa berkisar 18,27 nT230,77 nT. Berdasarkan Breiner (1999) nilai anomali magnetik untuk pipa dengan
estimasi jarak 7,5 meter adalah 50 nT-200 nT, pipa berjarak 15 meter 0 nT-50 nT.
Nilai anomali yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kedalaman towfish, noise sekitar, noise alat, dan tidak dilakukannya
koreksi variasi harian terhadap hasil pengamatan.
Berdasarkan interpretasi warna, sebagian besar area survei berwarna hijau,
menunjukan wilayah dengan nilai anomali magnetik rendah. Area yang memiliki
anomali magnetik lebih tinggi ditunjukan dengan warna merah hingga ungu.
Terdapat area berwarna kuning hingga oranye tersebar secara tidak merata, hal ini
diduga merupakan target kecil yang tersebar atau anomali yang disebabkan oleh
noise (Camidge et al. 2010). Warna biru merupakan area yang tidak tertutup oleh
interpolasi sehingga anomali dianggap sangat rendah.
Sepanjang area survei ditemukan nilai anomali magnetik yang tinggi dengan
pola garis lurus yang memotong area survei dari barat daya menuju timur laut.
Anomali magnetik dengan pola garis lurus ini diduga sebagai jalur pipa dasar laut.
Berdasarkan pengolahan analisis target menggunakan perangkat lunak Oasis
Montaj juga ditemukan sebaran target yang diduga benda feromagnetik. Sebaran
target feromagnetik ditunjukan dengan simbol (+) pada peta yang ditunjukan oleh
Gambar 13. Target tidak hanya terdeteksi di antara area yang diduga jalur pipa,
16
namun tersebar di beberapa titik yang mempunyai anomali magnetik tinggi.
Estimasi kedalaman target yang diduga pipa disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Lokasi target yang terdeteksi menggunakan magnetometer di APBS
No Target ID Lajur
1
2
5
2
3
11
3
14
27
4
19
31
5
24
39
6
25
43
7
27
49
8
28
51
9
30
55
10
34
65
11
36
69
12
37
75
13
45
89
14
59
101
15
74
123
16
104
139
17
112
143
18
117
145
19
118
147
20
123
149
21
124
151
22
127
155
23
132
159
24
133
161
25
139
167
26
141
169
27
152
173
28
155
189
29
157
193
30
160
203
31
161
211
Bujur (BT)
112° 40’ 53.50”
112° 40’53.60”
112° 40’55.50”
112° 40’56.20”
112° 40’57.40”
112° 40’57.90”
112° 40’59.00”
112° 40’59.20”
112° 40’59.70”
112° 41’1.03”
112° 41’1.80”
112° 41’2.45”
112° 41’4.52”
112° 41’6.46”
112° 41’9.57”
112° 41’12.20”
112° 41’12.80”
112° 41’13.00”
112° 41’13.30”
112° 41’13.50”
112° 41’1.03”
112° 41’14.40”
112° 41’15.50”
112° 41’15.30”
112° 41’16.40”
112° 41’16.50”
112° 41’17.20”
112° 41’19.60”
112° 41’ 20.10”
112° 41’ 21.70”
112° 41’ 22.90”
Lintang (LS)
7° 0’49.96”
7° 0’48.09”
7° 0’43.31”
7° 0’42.14”
7° 0’39.66”
7° 0’38.49”
7° 0’36.92”
7° 0’36.14”
7° 0’35.10”
7° 0’32.10”
7° 0’31.05”
7° 0’29.23”
7° 0’25.18”
7° 0’21.62”
7° 0’15.40”
7° 0’10.70”
7° 0’9.53”
7° 0’9.01”
7° 0’8.36”
7° 0’7.96”
7° 0’7.31”
7° 0’6.14”
7° 0’4.96”
7° 0’4.31”
7° 0’2.77”
7° 0’2.09”
7° 0’1.05”
6° 59’56.35”
6° 59’55.05”
6° 59’52.31”
6° 59’49.83”
Kedalaman
(m)
19.97
15.26
13.52
17.74
14.29
18.23
19.06
18.95
13.09
12.46
13.80
13.99
16.57
16.20
13.64
14.57
18.25
15.72
14.50
15.02
18.02
14.60
15.53
15.57
18.07
16.30
13.90
15.09
18.30
15.38
15.57
Proses filter awal untuk mendapatkan target melalui penyaringan dengan
maksimal toleransi kesalahan kedalaman target sebesar 15%, sehingga
menghasilkan 31 target yang diduga adalah pipa (Tabel 3). Target tersebar di 31
lajur dari total 109 lajur survei. Nilai maksimal toleransi kesalahan sebesar 15%
berdasarkan Thomson (1982), Reid et al. (1990) Ogah et al. (2012) dan standar
operasional perangkat lunak Oasis Montaj. Kedalaman target paling dalam yang
17
terdeteksi sepanjang jalur pipa adalah 19,97 m di lajur nomor 5 dengan posisi 7° 0’
49.96” LS, 112° 40’ 53.50” BT. Kedalaman target paling dangkal yang terdeteksi
adalah 12,46 m di lajur nomor 65 dengan posisi 7° 0’ 32.10” LS, 112° 41’ 1.03”
BT.
Estimasi Kedalaman Pipa Terpendam
Berdasarkan pengolahan data single beam echosounder diperoleh tampilan
batimetri 2 dimensi dan 3 dimensi. Berdasarkan pengolahan data magnetometer
diperoleh peta anomali magnetik dan kedalaman target pipa. Kedua hasil dari alat
yang bereda ini dapat dimanfaatkan untuk mementukan estimasi kedalaman
terpendam pipa dasar laut yang melintasi area Alur Pelayaran Barat Surabaya
(APBS). Informasi lokasi yang tepat antara kedaman target dan kedalaman dasar
laut diperoleh dari proses overlay dan digitasi. Hasil overlay tampilan batimetri
dengan target pipa secara horisontal di APBS ditampilkan pada Gambar 14.
Diduga
Jalur
pipa
Gambar 14 Overlay 2 dimensi batimetri dan target pipa secara horisontal di APBS
Masing-masing titik target setelah dihubungkan memiliki pola berupa garis
lurus. Berdasarkan Gambar 13, garis lurus tersebut ditampilkan berwarna ungu.
Target dimulai dari lajur 5 hingga lajur 211. Penarikan garis lurus ini diasumsikan
sebagai panjang jalur pipa dasar laut yang terdeteksi dalam area survei di APBS.
Panjang jalur pipa dari target lajur 5 hingga target lajur 211 adalah 1907 m.
Overlay 2 dimensi secara vetikal ditampilkan dalam Gambar 15. Sumbu X
merupakan jarak dari titik pertama ditemukan target di lajur 5 hingga titik akhir
ditemukan target di lajur 211. Sumbu Y merupakan kedalaman dari permukaan air.
Garis berwarna biru merupapakan profil batimetri dasar laut tepat diatas jalur pipa.
18
Garis berwarna hijau merupakan estimasi kedalaman target pipa. Garis berwarna
merah merupakan hasil smoothing dari estimasi kedalaman target yang paling
memungkinkan dari profil kedalaman target (Tchernychev et al. 2013).
Pemasangan pipa cenderung lurus sehingga smoothing untuk mempermudah dalam
menduga posisi pipa di APBS.
Gambar 15 Tampilan estimasi kedalaman terpendam pipa dasar laut
Berdasarkan Gambar 15 kedalaman target 12,45 m-19,97 m sedangkan
kedalaman batimetri tepat di atas pipa di APBS berkisar 10,26 m-12,46 m.
Kedalaman terpendam pipa rata-rata adalah 4,33 m dari permukaan dasar laut,
kedalaman terpendam pipa paling dangkal adalah 0,27 m dari permukaan dasar laut
dan kedalaman terpendam pipa paling dalam adalah 7.79 m dari permukaan dasar
laut. Secara umum pipa yang melewati jalur APBS berada pada posisi kedalaman
lebih dari 2 meter dari dasar laut. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 tentang aturan dalam
penggelaran pipa bahwa kedalaman dasar laut kurang dari 13 meter maka pipa harus
ditanam minimal 2 meter di bawah dasar laut (ESDM 1997).
Berdasarkan kedalaman rata-rata batimetri area survei adalah 10,57 m hal ini
menyebabkan hanya kapal dengan draft kapal kurang dari 10,57 m yang bisa
melewati APBS dengan tetap mempertimbangkan kondisi pasang surut di wilayah
alur. Kondisi APBS sebagai jalur pelayaran yang padat oleh transportasi kapal dan
adanya pelaksanaan pendalaman dan pelebaran alur di APBS sebagai revitalisasi
jalur pelayaran, perlu dipertimbangkan posisi dan kedalaman pipa yang melintas di
APBS ini guna keamanan posisi lego jangkar dan jalur navigasi terutama untuk
kapal dengan draft kapal yang besar.
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Analisis dari betimetri dasar laut dan kedalaman target menghasilkan
informasi berupa kedalaman terpendam pipa dasar laut. Estimasi kedalaman pipa
terpendam rata-rata adalah adalah 4,33 m dengan kedalaman terpendam minimal
adalah 0,27 m dan kedalaman terpendam maksimal adalah 7,79 m dari permukaan
dasar laut. Secara umum posisi pipa berada di kedalaman lebih dari 2 m dari
permukaan dasar laut.
Saran
Perlu dilakukan pemeruman dan pengukuran data magnetik untuk lajur silang
sehingga dapat dilakukan koreksi terhadap hasil pemeruman dan koreksi variasi
harian untuk data magnetik.
DAFTAR PUSTAKA
Amigun JO, Afolabo O, Ako BD. 2012. Euler 3D Deconvolution of analytical
signal magnetic anomalies over iron ore deposit in Okena, Nigeria. JETEAS.
3(4):711-717
Arini D, Suprayogi A, Awaluddin M. 2013. Aplikasi magnetometer dan side scan
sonar untuk pemetaan sebaran anomaly kemagnetan dasar laut (studi kasus:
Perairan Lohgung, Palang, Tuban, Jawa Timur). Jurnal Geodesi Undip.
2(4) :130-146.
Balan S, Das Arnab, Kandhelwal M, Chaudhari P. 2013. A review of various
technologies for depth measurement in estimating reservoir sedimentation.
IJERT. 2(10):223-228
Breiner S. 1999. Application Manual for Portable Magnetometers. California (US):
Geometrics
Brouwer P. 2008. Seafloor classification using single beam echosounder [Tesis].
Delft (NL): Delf University of Technology
Camidge K, Holt P, Johns C, Randall L , Schmidt A .2010. Developing
Magnetometer Techniques to Identify Submerged Archaeological Sites –
Theoretical Study Report. Cornwall (GB): Historic Environment, Cornwall
Council
Catalan M, Davila JM, ZEE Marking Group. 2003. A magnetic anomaly study
offshore the Canary Archipelago. Marine Geophysical Research. 24:129148.
El Dawi MG, Tianyou L, Hui S, Dapeng L. 2004. Depth estimation of 2-D magnetic
anomalous sources by using euler deconvolutin method. American Journal
of Applied Sciences. 1(3):209-214
[ESDM]. 1997. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
300.K/38/M.PE/1997 tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak
20
dan Gas Bumi. [internet].
[diacu 15 Juni 2016]. Tersedia dari
http://prokum.esdm.go.id/kepmen/1997/kep-mentamben-300-1997.pdf
Fachrurrozi M. 2013. Studi pemetaan batimetri untuk keselamatan pelayaran di
Pulau Karang, Kepulauan Karimun Jawa, kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah. Jurnal Oseanografi. 2(3):310-317
[Geometrics]. 2016. G-882 Marine Magnetometer [Internet].[diacu 18 Desember
2016]. Tersedia dari http://www.geometrics.com/
Keating P, Sailhac P. 2004. Use of the analytic signal to identify magnetic
anomalies due to kimberlites pipes. Geophysics. 69(1):180-190
Ledoux H, Gold G. 2005. An efficient natural neighbour interpolation algorithm for
geoscientific Modelling [Internet]. [diacu 15 Agustus 2016]. Tersedia dari
https://3d.bk.tudelft.nl/hledoux/pdfs/04_sdh.pdf
Markiyeh J, Moniri MR, Monajati AR. 2015. Detection of magnetic anomaly using
total field magnetometer. IJAREEI. 4(3):1813-1820
Ndlovu T, Mashingaidze RT, Mpofu P. 2015. Analytic signal and euler depth
interpretation of magnetic anomalies: applicability to the Beatrice
Greenstone Belt. Journal of Geography and Geology. 7(4):108-112
Ogah AJ, Lawal KM, Sule PO. 1990. An Automated technique for averaging 3D
euler depth solutions. JETEAS. 3(5):895-898
Plets RB, Dix J. 2013. Marine Geophysics Data Acquisition, Processing and
Interpretation. Inggris (UK): English Heritage
Reid AB, Allsop IM, Grsner H, Millet A J, Somerton IW.1990. Magnetic
interpretation in three dimension using euler deconvolutin. Geophysics.
55:80-91
Rinaldy Y, Nugraha AL, Subiyanto S. 2014. Analisis pengukuran batimetri dan
pasang sutut untuk menentukan kedalaman kolam pelabuhan (Studi kasus:
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya). Jurnal Geodesi Undip. 3(4):25-36
Roest WR,Verhoef J, and Pilkingto M. 1992. Magnetic interpretation using the 3D analytic signal. Geophysics. 57:116–125
Salem A. 2005. Intepretation of magnetic data using analytic signal devarivatives.
Geophysical Prospecting. 53:75–82
Subarsyah, Nhirwana B. 2011. Penggunaan metode analisis sinyal dalam intepretasi
data magnet di perairan selat sunda untuk menentukan arah dan posisi pipa
bawah laut. Jurnal Geologi Kelautan. 9(1):45-52
Subasinghe ND, Charles WKDGDR, De Silva SN. 2014. Analytical signal and
reduction to pole intepretation of total magnetic field data at Eppawala
phospate deposit. Journal of Geoscience and Enviromental Protection.
2:181-189
Thomson DT. 1982. EULDPH: a new technique for making computerassisted depth
estimates form magnetic data. Geophysics. 47(1):31-37
Tchernychev M, Johnson R, Kupla J. 2013. Using a transverse marine gradiometer
(TVG) as submarine pipeline location tool. OCEANS San Diego; 2013
September 23-27; San Diego, California. San Diego (CA). IEEE
Yudistira T, Grandis H. 1998. Interpretasi gravitasi dan megnetik menggunakan
metode sinyal analitik dan dekonvolusi euler 3D. Prosiding Himpunan Ahli
Geofisika Indonesia. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke23; 1998 Oktober 78 ;
Yogyakarta, Indonesia (ID)
21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai positif tiap lajur
22
Lampiran 2 Profil intensitas magnetik dengan anomali bernilai negatif tiap lajur
23
Lampiran 3 Matlah script untuk visualisasi batimetri dan estimasi kedalaman pipa
terpendam
Matlab script batimeteri 2D
%batimetri 2D
data = load('batimat2.txt');
labels = num2str(data(:,3),2);
% batas wilayah untuk peta batimetri
minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x
maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x
miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y
maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y
x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x
[X,Y] = meshgrid(x,y);
Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural');
v = 16:0.3:0;
contourf(X,Y,Z,v,'k')
colorbar;
xlabel('BUJUR');
Matlab script batimeteri 3D
%batimeteri 3d
data = load('batimat2.txt');
labels = num2str(data(:,3),2);
% batas wilayah untuk peta batimetri
minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x
maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x
miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y
maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y
x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x
[X,Y] = meshgrid(x,y);
Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural');
v = 20:0.5:0;
contour3(X,Y,Z,v,'k');
surface(X,Y,Z,'EdgeColor','none') ;
view(15,25) ;
grid on;
colorbar;
xlabel('BUJUR');
ylabel('LINTANG');
zlabel('KEDALAMAN (m)');
Matlab script jalur pipa
jalurpipa 2D
data = load('batimat2.txt');
d=load('digittargetmat2.txt');
a=d(:,1);
b=d(:,2);
labels = num2str(data(:,3),2);
% batas wilayah untuk peta batimetri
minx=min(data(:,1)); %menentukan batas minimum sumbu x
maxx=max (data(:,1)); %menentukan batas maksimum sumbu x
miny=min(data(:,2)); %menentukan batas minimum sumbu y
maxy=max (data(:,2)); %menentukan batas maksimum sumbu y
x = minx:0.0001:maxx; y = miny:0.0001:maxy; %sumbu x
[X,Y] = meshgrid(x,y);
Z = griddata(data(:,1),data(:,2),data(:,3),X,Y,'natural');
24
v = 16:0.3:0;
contourf(X,Y,Z,v);
colorbar ;
hold on ;
plot(a,b,'m','linewidth',4);
hold off ;
xlabel('BUJUR');
ylabel('LINTANG');
Matlab script estimasi kedalaman target
%kedalaman target
d=load('targetmat2.txt');
x=d(:,1);
y=d(:,2);
y2=d(:,3);
y3=d(:,4);
smot=smooth(y,30,'moving');
plot(x,y,'og');
hold on ;
plot(x,y2,'linewidth',2);
hold off ;
hold on ;
plot (x(2:32),smot(2:32),'r','linewidth',4)
hold off ;
hold on ;
plot(x,y3,'or');
hold off ;
grid on ;
xlabel('Jarak (m)');
ylabel('Kedalaman (m)');
legenda=legend('kedalaman target pipa','kedalaman dasar
laut','smoothing kedalaman pipa','posisi
magnetometer','location','southeast');
25
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ngawi tanggal 26 Mei 1994 sebagai
anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus
dari SMAN 1 Ngawi. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan pada tahun 2012.
Selama kuliah di IPB penulis pernah aktif berorganisasi
sebagai Staf Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB
pada tahun 2013, Ketua Divisi Kajian dan Strategi BEM FPIK
pada tahun 2014 dan Ketua Divisi Eksternal Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) pada tahun 2015. Selain
itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum
pada tahun 2014-2015 dan Akustik Kelautan pada tahun 2014.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis
melakukan penelitian dengan judul Aplikasi Single Beam Echosounder dan
Magnetometer untuk Mengestimasi Kedalaman Pipa Terpendam di Alur
Pelayaran Barat Surabaya dibawah bimbingan Dr Henry M Manik, SPi, MT.
Download