hukum kejahatan anak - Ridho Mubarak, SH, MH.

advertisement
BUKU AJAR
HUKUM KEJAHATAN ANAK
O
L
E
H
WESSY TRISNA, SH., M.H
RIDHO MUBARAK, SH., M.H
UNIVERSITAS MEDAN AREA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan buku ajar ini dapat diselesaikan.
Salawat dan salam penulis hantarkan kehadapan junjungan umat nabi besar
Muhammad SAW yang telah m enggelar ajaran Islam disegenap penjuru alam dan berjasa
besar dalam rangka merubah budaya jahiliyah kepada budaya hidayah yang penuh sinaran
cahaya Iman dan Islam.
Buku ajar ini berisikan materi tentang sejarah pengaturan anak, proses pemeriksaan
anak dan pelaksanaan hukuman serta sekilas mengenai konsep diversi dan Restoratif justice .
Hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun
yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi : Sidang Pengadilan Anak, Anak sebagai pelaku
tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak
-hak Anak,
Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal, dan lain
sebagainya. Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak
kewajiban ana k, hukum perlindungan anak berupa:
-hak dan
hukum adat, hukum perdata, hukum
pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak.
Tuntutan pidana penjara terhadap anak paling lama ½ dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang de wasa. Jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak diancam
dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dituntut
paling lama 10 (sepuluh) tahun. Melihat usia anak yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam Undang-undang Perlindungan Anak Hakim memberikan berupa tindakan
terhadap anak berusia 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun dan pidana penjara
terhadap anak berusia diatas 12 (dua belas) tahun hingga 18 (delapan belas) tahun.
i
Penulis berharap buku ajar ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Medan Area tentang apa dan bagaimana fenomena hukum kejahatan anak dan penulis sangat
menyadari buku ajar ini masih belum sempurna. Saran dan kritik membangun dari pembaca sangat
diharapkan. Akhir kat a, ucapan terimaksih tertinggi kepada Allah Tuhan Semesta Alam yang telah
memberikan Rahmat sehingga buku ajar ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, April 2012
Penulis
Ridho mubarak, SH., M.H & Wessy Trisna, SH., M.H
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
iii
BAB I
: SEJARAH LAHIRNYA HUKUM ANAK DI INDONESIA ............
1
Kompetensi Dasar....................................................................................
1
Uraian singkat .........................................................................................
3
1.1. Pengertian Anak ..............................................................................
1
1.2. Pengertian Kejahatan Anak .............................................................
5
1.3. Faktor-faktor timbulnya kejahatan anak ..........................................
10
Rangkuman .............................................................................................
11
Uji Kompetensi .......................................................................................
13
BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK ...........................
14
Kompetensi Dasar ..................................................................................
14
Uraian singkat ........................................................................................
15
2.1. Pengertian Anak ..............................................................................
20
2.2. Hukum perlindungan anakk ............................................................
20
2.3. Hak dan Kewajiban Anak ................................................................
23
2.4. Penangglangan kenakalan anak ......................................................
24
Rangkuman ............................................................................................
27
Uji kompetensi .......................................................................................
29
iii
BAB III : PROSES PEMERIKSAAN ANAK ......................................................
30
Kompentensi dasar ..................................................................................
30
Uraian singkat .........................................................................................
30
3.1. Tahap Penyidikan .............................................................................
31
3.2. Tahap Penuntutan .............................................................................
32
3.3. Tahap Persidangan dan Pelaksanaan Hukuman ...............................
39
Rangkuman .............................................................................................
57
Uji Kompetensi .......................................................................................
58
BAB IV : SEKILAS KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE ........
59
Kompetensi dasar ....................................................................................
59
Uraian singkat .........................................................................................
59
4.1. Diversi .............................................................................................
60
4.2. Restoratif justice ..............................................................................
71
Rangkuman .............................................................................................
100
Uji kompetnsi ..........................................................................................
101
iv
BAB I
SEJARAH LAHIRNYA HUKUM ANAK DI INDONESIA
Kompetensi Dasar.
Adapaun yang menjadi kompetensi dasar dalam Bab I ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan sejarah lahirnya hukum anak di Indonesia;
2. Menjelaskan pengertian anak dan kejahatan anak;
3. Menjelaskan faktor-faktor timbulnya kejahatan anak
Uraian singkat.
Dalam sistem perundang -undangan kita belum terdapat unifikasi tentang
hukum anak, akan tetapi terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang
-
undangan yang berlaku saat ini, seperti pada: Hukum Perburuhan, Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP), Undang
-undang Pengadilan Anak (Undang -
undang No. 3 Tahun 1997), Undang-undang Pemasyarakatan (Undang-undang No.
12 Tahun 1995), Undang-undang Kesejahteraan Anak, dan lain sebagainya.
Hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang
anak. Adapun yan g diatur dalam hukum anak itu, meliputi : Sidang Pengadilan
Anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana,
Kesejahteraan Anak, Hak -hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar,
Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal, dan lain sebagainya.1
Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu
sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan,
1
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT. Cira Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 1.
1
bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak
tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949
No. 9 yang mengatur P embatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926
lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda
bekerja diatas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai
berlaku pada
tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
Sebaliknya Pasl -pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297, dan lain
-lain
memberikan perlindung an terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat
hukuman atau mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan -perbuatan tertentu
terhadap anak.
Pada tahun 1948 lahir Undang -undang pokok Perburuhan (Undang -undang
No. 12 Tahun 1948) yang melarang anak mel akukan pekerjaan. Pada tanggal 23
Juli 1979 lahir pula Undang -undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No.2 Tahun 1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak
Pengadilan Anak s
dan Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
erta Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
2
1.1. PENGERTIAN ANAK
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dakam
bidang ilmu pengetahuan, tapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralisasi
kehidupan. Seperti nya agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian
anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.2
Menurut hukum islam, berapa usia sup
aya dapat dikatakan dewasa atau
belum dewasa dalam ketentuan hukum islam tidak ada. Ketentuan menurut
hukum islam bahwa yg dikatakan masih dibwah umur adalah sesorang yang
belum aqil baligh, dimana bagi pria belum pernah bermimpi dengan
mengeluarkan carian sprema sedangkan wanita belum menstruasi (haid).
Menurut hukum adat, seseorang yg dikatakan belum dewasa bilamana
seseorang itu blum menikah berdiri-sendiri belum terlepas dari orang tua.
Ketentuan didalam Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang
-Undang Huku m
Pidana (KUHP), mendefenisikan anak yang belum dewasa apabila belum berusia
16 Tahun.3
Adapun beberapa pengertian anak menurut peraturan perundang
-undangan
adalah sebagai berikut:
1. Menurut UU No. 4 Thn 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin.
2
Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grasindo,Jakarta, 2000,
halaman 1.
3
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3
2. Menurut Pasal 1 Convention On The Rights of The Child
Anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya.
3. Menurut Undang -Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
4. Menurut Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat (1)
tentang Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk
anak yang masih di dalam kandungan.
5. Menurut UU Nomor 3 Thn. 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yag telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah menikah.
6. Menurut hukum perburuhan
Anak adalah orang laki -laki atau perempuan berumur 14(empat belas)
tahun kebawah dan belum pernah menikah.
4
7. Menurut Hukum UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pengertian anak tidak begitu jelas tetapi batas umur perkawinan laki -laki
adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
1.2. PENGERTIAN KEJAHATAN ANAK
Kenakanalan anak diambil dari istilah asing Juvenille Deliquenhcy, tetapi
kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Juvenile artinya young, anak -anak, anak muda,
ciri karakteristik pada masa muda sifat -sifat khas pada periode remaja, sedangkan
Deliquency artinya doing wrong , terabaikan/mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, a
-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat
ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjan, dursila dan lain-lain.
Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan
di Amerika Serikat dalm rangka usaha membentuk suatu Undang
-Undang
Peradilan bagi anak di Negara tersebut.4
Tingkah laku yang menjurus k
epada masalah
Juvenille Deliquency ,
menurut Adler adalah sebagai berikut:
1. Kebut-kebutan dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2. Perilaku ugal -ugalan, berandal, urakan, yang mengacaukan ketentraman
lingkungan sekitarnya. Tingkah laku ini bersumber pada kelebihan energi dan
dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan;
4
Wagita Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT.Refika Aditama, Bandung, 2006, halaman 9.
5
3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, anat sekolah, antar suku (tawuran),
sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi
ditempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperiman bermacam
-macam
kedurjanaan dan tindakan a-susila;
5. Kriminalitas anak, remaja dan adolensens antara lain beru
pa perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret,
menyerang, merampok, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhan
dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan
dan pelanggaran lainnya;
6. Berpesta-pora sambil mabuk -mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau
orgi (mabuk -mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang
mengganggu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif
-sosial atau
didorong oleh reaksi -reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut
pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam , kekecawaan
ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;
8. Kecanduan dan ketagihan narkoba yang erat berkaitan dengan tindak
kejahatan;
9. Tindakan-tindakan imoral seksual secara terang
-terangan tanpa teleng alin,
tanpa malu dengan casar kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali yang
didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha
-usahan
kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya;
6
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya
pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis;
11. Perjudian dan bentuk
-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga
menimbulkan akses kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis
-gadi deliquen dan
pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a -sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak -anak
dan remaja psikopatik, neurotik dan menderita gangguan jiwa lainnya;
15. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (
dan ledakan manigitis serta
encephaleticslethargoical)
post-encephalitics; j uga luka dikepala dengan
kerusakan pada otak adakalanya membuahkan kerusakan mental sehingga
orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri;
16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak
yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ inferior.5
Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana
ciri-ciri khas atau ciri umum amat menonjol pada tingkah laku dari anak
-anak
puber tersebut di atas, antara lain:
1. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta
kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan masyarakat dewasa
ini sedang demam materiil, di mana orang mendewa -dewakan kehidupan lux
atau kemewahan, sehingga anak -anak muda usia yang emosi dan mentalnya
5
Ibid, halaman 14
7
belum matang serta dalam situasi labil, maka dengan mudah ia ikut terjangkit
nafsu serakah dunia materiil;
2. Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian
yang condong melebih -lebihkan kemampuan d iri sendiri, terefleksi pada
kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya.
3. Senang mencari pehatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan
jalan mabuk-mabukan minuman keras;
4. Sikap hidupnya bercorak a -sosial dan keluar dari pada dunia o bjektif ke arah
dunia subjektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan
-kegunaan teknis
yang sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan kawan
sebaya. Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman dan lebih berani
untuk berjuang dalam m elakukan eksploarasi dan eksperimen hidup dalam
dunianya yang baru. Maka banyak kita ketemui pemuda
-pemuda yang
mempunyai geng -geng ciri. Akibatnya timbul kericuhan, perkelahian antar
geng dimana-mana;
5. Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung mele paskan diri dari identitas
maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta
subsitusi identifikasi yang lama.
Jadi, hal yang diatas memberikan perumusan mengenai pengertian
Juvenille Deliquency yaitu sebagai berikut:
a. Semua perbuatn yang adri orang -orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan deliuency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh
hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya;
8
b. Semua perbuatan penyelewangan dari norma
kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki
tidak sopan, mode you can see dan sebagainya;
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
temasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.6
Menurut Kartini Kartono yang dikatakan
Perilaku jahat/dursila atau kejahatan anak
Juvenille Deliquency adalah :
-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak -anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan
Juvenille Deliquency
adalah
perbuatan anti sosoial yang di lakukan oleh remaja, apabila dilakukan oleh remaja
maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.
R. Kusumanto Setyonegro, dalam hal ini mengemukakan pendapatnya
antara lain sebagai berikut
: Tingkah laku individu yang bertentangan dengan
syarat-syarat dan pendapat umum yang diangap sebagai akseptabel dan baik, oleh
suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang
berkebudayaan tertentu.7
Sedangkan menurut Pasal 1 butir 2 Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau;
6
7
Ibid, halaman 9.
Ibid, halaman 10.
9
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan bagi anak, baik menurut
peraturan perundang -undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.8
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Juvenille Deliquency adalah
suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun
norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.
Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada
kejahatan anak, terlalu ekst rim rasanya seorang anak yang melakukan tindak
pidana sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak
boleh tidak setiap manusia harus kegoncongan semasa menjelang kedewasaannya.
Dalam KUHPidana di Indonesia, jelas terkandung makna
bahwa suatu
perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:
a. Adanya perbuatan manusia;
b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
c. Adanya kesalahan;
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.9
1.3. FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA KENAKALAN ANAK
Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kejahatan anak perlu
diketahui penyebab atau faktor timbulnya kenakalan anak atau faktor -faktor yang
mendorong anak melakukan kenakalan atau juga dapat dikatak
8
9
an latar belakang
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Ibid, halaman 12.
10
dilakukannya perbuatan itu. Adapun faktor timbulnya kenakalan anak dapat dilihat
dari 2 (dua) macam yaitu:
1.
Motifasi Intrinsik yaitu:
a. Faktor Intelegentia (kecerdasan)
b. Faktor usia
c. Faktor kelamin
d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga
2.
Motifasi Ekstrinsik yaitu:
a. Faktor rumah tangga
b. Faktor pendidikan dan sekolah
c. Faktor pergaulan anak
d. Faktor mas media
RANGKUMAN
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumusk an sejak
tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonansi 1949
No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926
lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda
bekerja diatas kapal. S
elanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku pada
tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tinda
Sebaliknya Pasl -pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297, dan lain
k pidana.
-lain
memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat
11
hukuman atau mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan -perbuatan tertentu
terhadap anak.
Pada tahun 1948 lahir Undang -undang pokok Perburuhan (Undang -undang
No. 12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23
Juli 1979 lahir pula Undang -undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No.2
Kesejahteraan Anak
Tahun 1988 tentang Usaha
dan Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak serta Undang
-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Ana
Hukum islam bahwa yg dikatakan masih dibwah umur adalah sesorang
yang belum aqil ba
ligh, dimana bagi pria belum pernah bermimpi dengan
mengeluarkan carian sprema sedangkan wanita belum menstruasi (haid) dan
hukum adat mengakatan seseorang yg dikatakan belum dewasa bilamana
seseorang itu blum menikah berdiri-sendiri belum terlepas dari orang tua.
Anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
Kenakanalan anak diambil dari istilah asing Juvenille Deliquenhcy, tetapi
kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Juvenile artinya young, anak -anak, anak muda,
ciri karakteristik pada masa muda sifat -sifat khas pada periode remaja, sedangkan
Deliquency artinya doing wrong , terabaikan/mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, a
-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat
ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjan, dursila dan lain-lain.
12
Faktor yang mendorong anak melakukan ke
nakalan atau juga dapat
dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Adapun faktor timbulnya
kenakalan anak dapat dilihat dari 2 (dua) macam yaitu
: Faktor ekstrinsik dan
Intrinsik.
UJI KOMPETENSI:
1. Bagaimana sejarah hukum anak di Indonesia?
2. Bagaimana pengertian anak dan kejahatan anak serta beberapa faktor timbulnya
kenakalan anak?
13
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
Kompetensi Dasar:
Adapun yang menjadi kompetensi dasar dalam Bab II ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang perlindungan anak;
2. Menjelaskan mengenai hukum perlindungan anak;
3. Menjelaskan hak dan kewajiban anak;
4. Menjelaskan penanggulangan kenakalan anak
Uraian Singkat.
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungan anak dan hak
-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kema
nusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
Prinsip-prinsip perlindungan anak yang dapat kita lihat adalah sebagai
berikut : Anak tidak dapat berjuang sendiri; Kepentingan terbaik anak; Ancaman
daur kehidupan dan ; Lintas sektoral.
Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan
kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa:hukum adat, hukum perdata,
hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut anak.
14
2.1. Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosia l.10
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hukum merupakan jaminan bagi
kegiatan perlindungan anak. Aris Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum
perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa aki
bat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.11
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,
sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan
anak dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang
mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan
tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kerativitas dan hal
anak
-hal lain yang
menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali,
sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak
-
haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu: (1)
Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam
bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan. (2) Perlindungan
10
Maidin Gultom, Perlindu ngan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Refika Aditama: Bandung, 2008, halaman 33.
11
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Pressindo: Jakarta, 1989, halaman 19.
15
anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang
kesehatan, bidang pendidikan.
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungan anak dan hak
-
haknya agar dapat hidup , tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala
upaya yang ditujukan untuk mencegah, r
yang mengalami tindak perlakuan salah (
ehabilitasi, dan memberdayakan anak
child abused ), eksploitasi dan
penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak secara wajar, baik fisik, mental dan sosialnya.
12
Menurut Arif Gosita
berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.13
Dasar pelaksanaan perlindungan anak14 adalah :
1. Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis
pelaksanaan perlindungan anak.
2. Dasar Etis; pelaksanaan perlindungan anak ha rus sesuai dengan etika profesi
yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan
kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
12
Lihat Konvensi. Media Advokasi dan Penegakan Hak -hak Anak . Volume II No. 2 Medan:
Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LLAI). 1998, Hlm. 3.
13
Arif Gosita. Op.Cit. Hlm 52.
14
Arif Gosita, Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak -hak Anak, Era Hukum. Jurnal
Ilmiah Ilmu Hukum, No. 4/Th.V/April 1999. Fakultas Hukum Tarumanagara. Jakarta, 1999, Hlm.
266-267.
16
3. Dasar Yuridis; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD
1945 dan
berbagai peraturan perundang -undangan lainnya yang berlaku.
Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu
menyangkut peraturan perundang -undangan dari berbagai bidang hukum yang
berkaitan.
Pelaksanaan perlindungan anak, ha
rus memenuhi syarat antara lain:
merupakan perkembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak; harus
mempunyai landasan filsafat, etika, dan hukum; secara rasional positif; dapat
dipertanggungjawabkan; bermanfaat untuk yang bersangkutan; mengutamakan
perspektif kepentingan yang diatur, bukan perspektif kepentingan yang mengatur;
tidak bersifat aksidental dan komplimenter, tetapi harus dilakukan secara
konsisten, mempunyai rencana operasional, memperhatikan unsur
-unsur
manajemen; melaksanakan respons k eadilan yang restoratif (bersifat pemulihan);
tidak merupakan wadah dan kesempatan orang mencari keuntungan
pribadi/kelompok; anak diberi kesempatan untuk berpatisipasi sesuai situasi dan
kondisinya; berdasarkan citra yang tepat mengenai anak manusia; berw
awasan
permasalahan (problem oriented) dan bukan berwawasan target; tidak merupakan
faktor kriminogen; tidak merupakan faktor viktimogen.15
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksu dnya kegiatan langsung ditujukan kepada anak
yang menjadi sasaran penangan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa antara
lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan dalam
dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan ber bagai cara, mencegah
15
Ibid, Hlm. 265-266.
17
anak kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara,
menyediakan sarana pengembangan diri dan sebagainya. Sedangkan perlindungan
anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak,
tetapi orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha
perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orangtua atau yang terlibat dalam
usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar ataupun dari
dalam diri anak, mereka yang b ertugas mengasuh, membina, mendampingi anak
dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan,
mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara, mereka yang
menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya; mereka yang
terlibat dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Anak.
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yaitu :
a. Menghormati dan menjamin hak asasi set iap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelainan anak dan kondisi fisik dan/ atau mental (Pasal 21);16
b. Memberikan dukungan sarana dan prasana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 23);
18
d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
perndapat sesuai usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24).
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui peran kegiatan masyarakat dalam kegiatan penyelenggaraan
perlindungan anak. 17 Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua
dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 Undang -Undang Nomor 23
Tahun 2002 yaitu :
a. Mengasuh, memlihara, mendidik dan melindungi anak;
b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak ketahui keadaannnya atau karena
suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih
kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Adapun prinsip -prinsip perlindungan anak yang dapat kita lihat adalah
sebagai berikut :
a. Anak tidak dapat berjuang sendiri;
b. Kepentingan terbaik anak;
c. Ancaman daur kehidupan;
d. Lintas sektoral.
17
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
19
2.2. Hukum perlindungan Anak
Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan
kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa:hukum adat, hukum perdata,
hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut anak.
Bismar siregar mengatak an bahwa “masalah perlindungan hukum bagi
anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak
-anak
Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu
pendekatan yang lebih luas yaitu, ekonomi, sosial dan budaya.18
2.3. Hak-hak dan Kewajiban Anak
1. Hak Anak
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.
d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang
18
Bismar Siregar dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta: Rajawali, 1986 , halaman 82.
20
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam
keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai
anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya. khusus
bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai -nilai kesusilaan
dan kepatutan.
h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekr
easi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri.
i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
j.
(1) Setiap anak selama da lam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
21
diskriminasi;
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
ketidakadilan;
dan perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku
dikenakan pemberatan hukuman.
k. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
l. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

pelibatan dalam sengketa bersenjata;

pelibatan dalam kerusuhan sosial;

pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

pelibatan dalam peperangan.
m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
n. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak ha
nya
22
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
o. (1)
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
 memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya ukum yang berlaku;
 membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan
 tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
p. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
2. Kewajiban Anak
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
23
2.4. Penanggulangan Kenakalan Anak
Pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus
masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai
masalah sosial merupakan gejala yang dinamis selalu t umbuh dan terkait dengan
gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, yang
merupakan suatu socio-political problems.19
Asas-asas yang mendasari kebijakan penanggulangan kenakalan anak
berbeda dengan orang dewasa. Modifikasi langkah
-langkah penal maupun non
penal dalam politik kriminal dalam kenakalan anak adalah kebutuhan akan
keterpaduan (integritas) antara kebijaksanaan
penanggulan kejahatan dengan
politik sosial dan politik penengakan hukum. Dalam konteks kebijakan
penanggulangan kenakalan anak dan prilaku, perlu dimodifikasi politik
kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum.
Secara khusus
diarahkan kepada politik kesejahteraan anak dan politik
perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yang menjadi
korban orang dewasa maupun korban anak pelaku kenakalan anak.
Menurut Soedjono Dirdjosisworo, dalam usaha penanggulangan kej ahatan
cara umum yang konsesional, dilakukan dengan memadukan berbagai unsur yang
berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana serta partisipasi masyarakat,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum, mel iputi pemantapan
organisasi, personel dan sarapan prasarana untuk penyelesaian perkara pidana;
19
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995, halaman 7.
24
b. Perundang-undangan yang dapat berfungsi mengkanalisir dan membendung
kejahatan dan mempunyai jangkauan kemasa depan;
c. Mekanisme peradilan pidana yang efekt if dengan syarat -syarat cepat, tepat,
murah dan sederhana;
d. Kordinasi antara aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintahan lainnya
yang berhubungan, untuk meningkatkan daya guna dalam penanggulangan
kriminilitas;
e. Partisipasi masyarakat untuk membantu kelancaran pelaksanaan penanggulan
kriminalitas.
Peran masyarakat juga sangat penting dalam melakukan penanggulangan
kenakalan anak, hal ini juga diatur dalam Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungna Anak yaitu :
a. Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas
-luasnya untuk berperan
dalam perlindungan anak.
b. Peran masyarakat sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
badan usaha, dan media massa.
Kenakalan anak dapat dicegah dengan mengefektifkan hubungan yang
harmonis antara orang tua dengan anak. Hakikat yang terkandung dalam setiap
proses antara hubungan orang tua dengan anak, seyogyanya ada 4 unsur yang
selalu tampil dalam setiap proses interaksi antara orang tua dengan anak yaitu:
a. Pengawasan melekat; terjadinya melalui perantaraan keyakinan anak terhadap
sesuatu hal. Pengawasan tipe ini meliputi usah a perinternalisasian nilai -nilai
25
dan norma -norma yang diakaitkan erat dengn pembentukan rasa takut, rasa
berasalah pada diri anak melaui proses pemberian pujian dan hukuman oleh
orang tua atas perilaku anan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki;
b. Pengawasan tidak langsung; melelui penanaman keyakinan pada diri anak,
agar timbul perasaan dan kehendak untuk tidak melukai atau membikin malu
keluarga, melalui keterlibatan anak pada perlilaku -perliku yang bertentangan
dengan harapan orang tua dan keluarg
a. Jenis pengawasab ini sangat
menentukan adanya rasa keterikatan anak pada orang tua dan keluarga;
c. Pengawasan langsung; lebih menekankan pada larangan dan pemberian
hukuman pada anak. Misalnya; aturan -aturan tentang penggunaan waktu luang
sebaik-baiknya, baik pada saaat orang tua tidak ada dirumah maupun pada saat
anak diluar rumah; cara memilih teman
-teman bermain sesuai dengan
perkembangan jiwa yang sehat pada anak dan tidak membahayakan diri anak
diluar rumah.
d. Pemuasan kebutuhan; berkaitan dengan
kemampuan orang tua dalam
mempersiapkan anak untuk sukses baik disekolah, dalam pergulan dengan
teman-teman yang sebaya maupun dimasyarakat luas.
Mantan nara pidana anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat, karena itu keterlibatan masy
arakat dalam mengembalikan mantan
nara pidana anak kejalan yang benar mutlak yang diperlukan.
Tanggung jawab masyarakat mengenai mantan narapidana anak adalah
masyarakat harus menampung para narapidana anak yang baru keluar dari
penjara, memimpin dan mem
bingnya, kemudian dapat menghadapi segala
kesulitan hidup kemasyarakatan dengan tabah, aman, tentram dan damai. Jadi,
26
usaha politik kriminal harus diselenggarakan bersambung, yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang padat berdasarkan satu asas dan menuju
satu ke
arah tujuan, mulai dari usaha kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga
pemayarakatan dan akhirnya masyarakat.
Masyrakat harus membuka diri terhadap bekas mantan narapidana anak
semaksimal mungkin. Pelbagai sikap masyarakat seperti: curiga dan
mengasingkan mantan narapidana dari pergaulan sosial, membuat kesan seolah
-
olah masyarakat tidak pernah melakukan kesalahan. Sikap masyarakat yang tidak
mau melupakan kesalahan mantan narapidana dapat menimbulkan persoalan baru.
Mantan narapidana melakukan kemabali tindak pidana agar masuk ke Lembaga
Pemasyrakatan, karena masyarakat sulit menerima kembali mantan narapidana
sebagai anggota masyarakat sebagaimana lazimnya.
RANGKUMAN
Prinsip-prinsip perlindungan anak yang dapat kita lihat adalah sebagai
berikut : Anak tidak dapat berjuang sendiri; Kepentingan terbaik anak; Ancaman
daur kehidupan dan ; Lintas sektoral.
Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan
kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa:hukum adat, hukum perdata,
hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang
menyangkut anak. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan
dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
27
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif,
kerativitas dan hal -hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain
dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan
kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu: (1)
Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam
bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdata
an. (2) Perlindungan
anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang
kesehatan, bidang pendidikan.
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan
pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang -Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Hak Anak
adalah setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru;mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa, dan
negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; melaksanakan etika
dan akhlak yang mulia.
Kenakalan anak dapat dicegah dengan mengefektifkan hubungan yang
harmonis antara orang tua dengan anak dan ada 4 unsur yang selalu tampil dalam
setiap proses interaksi antara orang tua dengan anak yaitu:
Pengawasan melekat;
Pengawasan tidak langsung; Pengawasan Langsung dan Pengawasan Kebutuhan.
Penanggulangan kenakalan anak pun tidak luput dari peran masyarakat yang juga
28
sangat pent ing dalam melakukan penanggulangan kenakalan anak, hal ini juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungna Anak.
UJI KOMPETENSI
1. Bagiamana hukum perlindungan anak di Indonesia?
2. Bagaimana hak dan kewajiban anak?
3. Bagaimana penanggulangan kenkalan anak di Indonesia?
29
BAB III
PROSES PEMERIKSAAN ANAK
Kompetensi dasar:
Adapun yang menjadi kompetensi dasar dalam Bab III ini adalah sebagai berikut:
5. Menjelaskan tentang proses pemeriksaan anak;
6. Menjelaskan tahap penyidikan;
7. Menjelaskan penuntutan; dan
8. Menjelaskan tahap persidangan dan pelaksanaan hukuman.
Uraian Singkat.
Proses peradilan pidana anak yaitu dimulai dengan tahapan penyelidikan yang
selanjutnya menuju tahapan penuntutan hal ini dijalanka
n oleh penuntut umum. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana memmuat wewenang penuntut umum untuk
menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu. Setelah menerima dan memeriksa berkas perkara, penuntut berkewajiban
mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan oleh pihak penyidik,
dengan memberi petunjuk dan arahan apa saja yang mesti mendapat penyempurnaan
berkas penyidikan dari penyidik.
Setelah berkas yang diterima dari penyidik telah sempurna sela njutnya penuntut
harus membuat surat dakwaan yang diselesaikan dengan sempurna seterusnya dilakukan
pelimpahan perkara ke pengadilan yang
dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan anak yang menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakw
a, saksi,
pembela, hakim dan semua berkas yang diperlukan.
Pembukaan sidang pengadilan anak , di mana hakim tunggal memanggil
terdakwa dan memeriksa identitas terdakwa dengan teliti sampai proses pembacaan
putusan ada sekitar 11 (sebelas) kali sidang. Put usan hakim dapat berupa pidana penjara
atau mengembalikan kepada orang tua terdakwa (anak).
30
3.1. Tahap Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti
20
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan
untuk men gumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi
merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan untuk menemukan
pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan penyelidikan.
Penyelidikan kasus pidana dilak ukan oleh kepolisian sesuai dengan Undang
-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
disebut dengan KUHAKP) yang berlaku sejak tanggal 31 Desember 1981 dimuat dalam
Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981 dan Undang
-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak yang diundangkan sejak tanggal 3 Januari 1997 termuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3. Polisi dalam melakukan
penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan be
rbagai
ketentuan mengenai upaya penanganan anak mulai dari penangkapan sampai proses
penempatan.
3.2. Tahap Penuntutan
Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyelidikan yaitu tahapan
penuntutan21 yang dijalankan oleh penuntut umum. Kitab Undang -Undang Hukum Acara
Pidana memmuat wewenang penuntut umum untuk menerima dan memeriksa berkas
20
Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang -undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.
Pasal 1 butir 7
KUHAP
21
31
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.
22
Setelah menerima dan
memeriksa berkas perkara, penuntut berkewajiban mengadakan prapenuntutan apabila
ada kekurangan pada penyidikan oleh pihak penyidik, dengan memberi petunjuk dan
arahan apa saja yang mesti mendapat penyempurnaan berkas penyidikan d ari penyidik. 23
Apabila diperlukan untuk proses penyidikan penuntut dapat melakukan perpanjangan
penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status
tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.24
Setelah berkas yang diterima dari penyidik telah sempurna selanjutnya penuntut
harus membuat surat dakwaan.
25
Setelah surat dakwaan diselesaikan dengan sempurna
seterusnya dilakukan pelim pahan perkara ke pengadilan.
26
Sebagai tindak lanjut
pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, penuntut berkewajiban menyampaikan
pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disid
angkan
yang disertai surat pengadilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang
pada sidang yang telah ditentukan.
27
Tugas selanjutnya setelah waktu persidangan
dimulai adalah melakukan penuntutan, 28 menuntut perkara demi kepentingan hukum dan
mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang -undang ini seperti penetapan hakim.
29
Jika terdakwa
meminta kepada penuntut umum untuk dil akukan penangguhan penahanan dengan atau
tanpa syarat jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan, maka
penuntut dapat melakukan penangguhan penahanan.30
Dalam keadaan yang dibutuhkan untuk kepentingan penunt utan, penuntut umum
berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Penahanan tersebut dilakukan
22
23
24
25
26
27
28
29
30
KUHAP Pasal 14 jo Pasal 138 ayat 1
Ibid, Pasal 14 jo Pasal 138 ayat 2
Ibid, Pasal 14
Ibid, Pasal 14 jo Pasal 140 ayat 1
Ibid, Pasal 14 jo Pasal 139 jo Pasal 143 ayat 1
Ibid, Pasal 146
Ibid, Pasal 137
Ibid, Pasal 14
Ibid, Pasal 31 ayat 1
32
paling lama 10 (sepuluh) hari.
31
Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum
selesai, penuntut umum meminta untuk dapat memperpanjang penahanan oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari.32 Dalam waktu
25 (dua puluh l ima) hari, penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara anak
kepada Pengadilan Negeri, jika dalam jangka waktu tersebut berkas perkara belum
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.33
Setelah penuntutan, dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang
menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakwa, saksi, pembela, hakim dan
semua berkas yang diperlukan.
Penuntutan dikaitkan dengan prapenuntutan terlihat adanya hubungan yang erat
antara jaksa penuntut umum dengan pihak penyidik dalam penanganan kasus pidana.
Jaksa penuntut umum berwenang mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan
tujuan penyempurnaan penyidikan yang disebut dengan prapenuntutan. Tugas p
enyidik
selesai apabila berkas perkara dinyatakan sudah lengkap (telah diterbitkan PK 21),
berakhirlah masa prapenuntutan beralih menjadi penuntutan. Hubungan jaksa penuntut
umum sejak penuntutan adalah dengan hakim dalam penyidangan perkara. Setelah
penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi
persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHP). Dalam
hal penuntut umum berpendapat dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia
dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 140
ayat 1 KUHP. Dalam hal penuntut umum memintakan untuk menghentikan penuntutan
karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan mrupakan tindak
31
32
33
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anal, Pasal 46 ayat 2
Ibid, Pasal 46 ayat 3
Ibid, Pasal 46 ayat 2
33
pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam
surat ketetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat 2a KUHP.
Penghentian penuntutan termasuk wewenang penuntut an sebagaimana tercantum
dalam Pasal 14 KUHP huruf h yang berbunyi “penuntut umum berwenang menutut
perkara demi kepentingan hukum, akan tetapm praktik ada keengganan atau keragu
-
raguan bagi jaksa penuntut umum melakukan penghentian penuntutan dihubungkan
dengan surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap”, yang seseuai dengan
format formulir P.21 (surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap). Ada
sebagian jaksa berpendapat dengan dikeluarkannya P.21, berkas perkara harus
dilimpahkan ke pengad ilan untuk disidangkan. Anggapan/pendapat demikian adalah
keliru. Menurut Osman Simanjuntak 34 tanpa dikeluarkannya P.21 tidaklah mungkin
perkara dihentikan penuntutannya kare
na dengan dikeluarkannya P.21 akan terjadi
penyerahan tahap kedua yaitu penyerahan berkas perkara, barang bukti dan terdakwa.
Tanpa ada penyerahan tahap kedua tidak mungkin perkara bisa dihentikan penuntutannya.
Hal yang menjadi persoalan mengenai kalimat
“pemberitahuan hasil penyidikan sudah
lengkap”, kalimat ini menimbulkan persoalan seharusnya diganti dengan “pemberitahuan
hasil penyidikan sudah maksimum” karena dalam praktiknya tidak semua hasil
penyidikan yang sudah dinyatakan jaksalengkap telah memenu
hi unsur -unsur yang
didakwakan. Meskipun pada umumnya hasil penyidikan yang sudah dinyatakan jaksa
penuntut umum lengkap, telah memenuhi unsur
-unsur yang didakwakan dan bisa
dilimpahkan akan tetapi dalam pelaksanannya terkadang hasil penyidikan sudah
maksimum dan penuntut umum telah mengirimkan petunjuk
-petunjuk pada penyidik
untuk melengkapinya akan tetapi tidak ditemukan unsur -unsurnya. Bilamana dari hasil
penyidikan berkas perkara sesuai dengan Pasal 139 KUHP dan Pasal 140 ayat 1 KUHP,
jaksa penuntut umu m berpendapat tidak cukup unsur (bukti) atau kadaluarsa maka
penuntut umum menghentikan penuntutan dan menuangkan dalam surat ketetapan.
34
Osman Simanjuntak, (1994), Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta, hal. 108
34
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut disimpulkan bahwa hasil penyidikan yang
dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umu m bukan selamanya mengandung arti bahwa
perkara harus dimajukan atau dilimpahkan ke persidangan; tetapi sekalipun dinyatakan
hasil penyidikan sudah lengkap ada kemungkinan perkara dihentikan penuntutannya
karena tidak memenuhi unsur atau kadaluarsa atau meninggal dunia dan sebagainya.
Perkara dihentikan demi kepentingan hukum adalah perkara yang dihentikan
karena tidak terdapat cukup buykti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana. Dalam penghentian penuntutan ini ada 2 (dua) persoalan, pertam
a dihentikan
penuntutannya, demi kepentingan hukum.
Perkara dihentikan penuntutannya “demi kepentingan hukum” mengandung arti
agar kepastian hukum dan wibawa hukum terjamin. Perkara yang sejak awal sudah
diketahui oleh jaksa penuntut umum, berdasarkan ber kas perkara tidak cukup bukti atau
perkara bukan merupakan tindak pidana dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan
sudah dapat diperkirakan putusan yang akan dijatuhak hakim adalah putusan bebas
murni. Putusan bebas murni sudah tentu menyangkut kepentingan hukum, oleh karena itu
untuk apa dimajukan ke persidangan kalau sejak awal sudah dapat diperkirakan bahwa
putusan bebas. Untuk menjaga kemurnian hukum itu agar jaksa penuntut umum dan
penyidik tidak sewenang -wenang melakukan penghentian penyidikan dan p enghentian
penuntutan, maka kepada pihak yang ketiga yang berkepentingan diberi hak untuk
mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan dan penghentuikan
penuntutuan tujuannya adalah bahwa tindakan penghentikan penyidikan dan penghentian
penuntutan benar demi kepentingan hukum belaka.35
Berdasarkan saran -saran, Kajari mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung
Republik Indoesia agar Jaksa A
gung Republik Indonesia menyampingkan perkara
tersebut. Tindakan penyimpangan perkara demi kepentingan hukum harus benar
-benar
demi kepentingan hukum. Hal ini berarti bahwa tidak dituntutnya seseorang anak oleh
35
Ibid, hal. 112 - 113
35
jaksa penuntut bukan pertimbangan terhadap ke
pentingan anak sehingga anak tidak
dituntut akan tetapi dikembalikan kepada orang tua atau wali atau diserahkan kepada
pihak lembaga sosial. Akan tetapi dikarenakan bukti -bukti yang dimiliki belum lengkap
sehingga belum cukup bukti untuk dilakukan penuntutan.
Di Amerika Serikat dalam proses pemeriksaan (
hearning) di pengadilan jaksa
menyampaikan tuduhan dalam ruangan tertutup sehingga tidak terganggu oleh peserta
sidang. Jaksa menyampaikan pertanyaan
-pertanyaan secara ramah dengan
mempergunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti. Hasil proses pemeriksaan
dirangkum dalam sebuah catatan yang dirahasuiakan, sehingga informasi tersebut tidak
diperbolehkan untuk dipublikasikan ke luar pengadilan anak atau membuat foto anak di
pengadilan untuk disebarkan.36
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan untuk segera dicermati adalah selama
anak berada dalam pelimpahan pihak penyidik kepada kejaksaan. Pihak kejaksaan juga
melakukan hal yang sama yaitu melakukan penahanan. Penahanan
yang dilakukan
merupakan suatu tindakan yang seharusnya dihindarkan dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap anak. Secara internasional upaya untuk menghindarkan penahanan
yang dilakukan terhadap anak dalam proses peradilan anak diatur dalam Butir 13
The
Beijing Rules . Pendapat informan mengenai tindakan jaksa melakukan penahanan
terhadap tersangka anak pelaku tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak bahwa proses penahanan yang dilakukan ole
h pihak penuntut untuk
kepentingan penuntutan yaitu 10 (sepuluh) hari. Apabila dalam waktu 10 (sepuluh) hari
tidak selesai maka akan dilakukan perpanjangan hingga 15 (lima belas) hari. Dalam
waktu 25 (dua puluh lima) hari penuntut umum harus melimpahkan be rkas perkara anak
kepada pengadilan negeri. Apabila dalam jangka waktu tersebut berkas perkara belum
36
Edwin H. Sutherland, Op.cit, hal. 403
36
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
Ketentuan penahanan yang dimuat dalam Undang -Undang Nomor 3 Ta hun 1997
tentang Pengadilan Anak. Jika pada saat anak di kepolisian telah dilakukan penahanan
menurut batas maksimal penahanan oleh pihak kepolisian selama 30 (tiga puluh) hari,
maka sampai pada saat akhir batas penahanan selama 55 (lima puluh lima) hari.
Ironisnya proses penahanan sebelum pengadilan tetap berlangsung ketika kasus
anak tersebut dilimpahkan kepada pihak pengadilan. Pihak pengadilan juga melakukan
hal yang sama yaitu melakukan penahanan.
Keputusan jaksa penuntut melakukan tuntutan pidana karena :
1. Sejak awal di pengadilan jaksa penuntut umum menilai bahwa anak telah memenuhi
unsur tindak pidana
2. Orang tua anak tidak dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap anak
Oleh karena itu, jaksa akan melakukan penuntutan terhadap anak guna
menegakkan keadilan. Di samping itu, Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan
penuntutan tidak secara individu, akan tetapi tuntutan yang diberikan kepada seorang
anak merupakan keputusan lembaga. Karenanya keputusan tersebut harus dihormati.
Tuntutan pidana yang diberikan kepada anak sesuai dengan ketentuan ancaman hukuman
terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 26,
tuntutan pidana penjara terhadap anak paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana
penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak diancam dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dituntut paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
3.3. Tahap Persidangan dan Pelaksanaan Hukuman
A. Persidangan
37
Menurut ketentuan Pasal 47 Undang
-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak untuk kepentingan pemeriksaan, hakim sidang pengadilan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk paling lama 15 (lima belas) hari, jika
belum selesai diper panjang penahanan hingga 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu 45
(empat puluh lima) hari keluar demi kepentingan hukum.
Lamanya proses pengadilan seorang anak untuk dibuktikan bersalah atau
tidaknya, anak berada dalam penahanan menjadi renungan bagi semua p
ihak untuk
memikirkan kembali tentang kondisi kejiwaan dan perkembangan anak. Lamanya proses
pengadilan ini membuktikan bahwa Undang
-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak belum sesuai dengan The Beijing Rules sebagai pedoman peradilan anak
di d unia. Oleh karena itu, Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dilakukan perubahan. Selain panjangnya proses pengadilan yang dijalankan, proses
tahapan persidangan yangan akan dilalui oleh anak dalam persidangan, menambah
penjangnya pender itaan yang akan dihadapi anak. Mulai dengan pembukaan sidang
pengadilan, di mana hakim memanggil terdakwa dan memeriksa identitas terdakwa
dengan teliti sampai proses pembacaan putusan ada sekitar 11 (sebelas) kali sidang.
Sama halnya dengan proses penyel esaian kasus orang dewasa, setelah terdakwa
menerima vonis atau putusan hakim ia masih memiliki upaya hukum untuk mencari
keadilan. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terdakwa yaitu upaya hukum biasa dan
upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah s
uatu upaya hukum yang dapat
dilakukan, baik oleh terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan pengadilan
melalui banding, kasasi dan perlawanan baik perlawanan terhadap putusan hakim yang
bersifat penetapan maupun perlawanan terhadap putusan verstek. Upaya hukum luar biasa
yaitu peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan hukum.
38
Hakim yang melangsungkan persidangan yaitu hakim anak,
melalui Surat Keputusan Mahkamah A
37
yang ditetapkan
gung atas usul Ketua Pengadilan yang
bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Syarat ditunjuk sebagai hakim anak
yaitu, berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Hakim dalam memberikan keputusan terhadap anak masih menetapkan putusan
pidana penjara terhadap anak. Hal ini dikarenakan tuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum masih mengajukan tuntutan pidana terhadap pelaku anak. Anak pelaku tindak
pidana dihindarkan dari pidana penjara dengan mencari alternatif tindakan sebagaimana
diatur dalam Butir 17 angka 1, 2, 3 dan 4 Beijing Rules.
Putusan pidana berupa pidana penjara dalam jangka waktu tertentu terhadap
anak. Adapun alasan pengadilan melakukan pemutusan pidana adalah :
1. Karena telah terbukti memenuhi unsur
-unsur tindak pidana yang telah dituntut
kepadanya
2. Anak telah ditahan selama proses persidangan, sehingga dengan diputus pidana maka
putusan pidana kurungan dapat dikurangi atau hampir sama dengan masa penahanan
yang tekag dilakukannya.
Tindakan pemutusan pidana penjara ini dilakukan karena untuk menutupi
tindakan yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan proses
penyidikan dan pemeriksaan terhadap kasus anak pelaku tindak pidana. Akan tetapi
sebaiknya seorang anak tidak diputus pidana, apabila anak tersebut masih sekolah,
pertama kali
melakukan tindak pidana ringan, orang tua dan wali masih mampu
melakukan pembinaan dan anak tersebut masih bisa dibina.
Pertimbangan pemutusan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam proses
persidangan, yaitu jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak terg olongan ringan, jaksa
menuntut pidana di bawah 1 (satu) tahun. Terhadap tuntutan jaksa tersebut, hakim akan
37
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 9
39
mempertimbangkan berdasarkan bukti dan saksi yang ada. Hakim akan
mempertimbangkan pidana penjara terhadap seorang anak seringan -ringannya 4 (empat)
bulan, dipotong masa tahanan 3 (tiga) bulan, jadi anak akan menjalankan pidana
penjaranya tinggal 1 (satu) bulan lagi.
Umur anak yang ditangani pengadilan anak di setiap negara berbeda, namun
terdapat kesepakatan batas usia anak laki-laki 16 – 20 tahun dan anak perempuan 16 – 21
tahun. Di Amerika Serikat pengadilan anak dapat juga mengadili orang dewasa yang
mempunyai peran atau terlibat dengan delikuensi aanak atau melakukan pengekangan
terhadap anak. 38 Dari hal te rsebut pengadilan anak merupakan proses yang dijalankan
khusus terhadap anggota masyarakat yang memerlukan perlindungan yaitu anak. Selain
itu, peran dari para hakim dalam pengadilan anak tidak boleh terlepas dari keterkaitannya
dalam sebuah sistem peradil an pidana anak dan aspek perlindungan anak yang berbeda
dengan orang dewasa.
Penanganan kasus anak dilakukan oleh bagian khusus ytang menangani anak dari
pengadilan negeri. Filosopi dari pengadilan terhadap anak adalah melakukan intervensi
seminimal mungkin dari sistem pengadilan pidana terhadap anak.
39
Pengadilan berusaha
semaksimal mungkun agar anak tidak menjalani persidangan yang lama dan berbelit -belit
karena akan menganggu mental anak dan aktivitas kehidupan anak yang semestinya
dijalaninya.
Pada era tahun 1980 di Negara Inggris jalannya sistem peradilan pidana bagi
anak didasarkan pada sebuah filosofi anti pemenjaraan ( anti-cus-tody). Dengan kata lai n
sistem peradilan yang dilaksanakan berusaha menghindarkan anak dari masuk penjara.
Cara yang ditempuh oleh pekerja pengadilan seperti hakim dilakukan dengan sistem
manajemen yang baik yang sesuai untuk anak yang diputus dalam pengadilan seperti
ketersediaan lembaga sosial mengurusi anak yang bermasalah, keluarga yang dapat
38
39
Edwin H. Sutherland, Op.cit, hal. 405
Kevin Haines and Mark Drakeford (1998),
London, hal. 73
Young People and Youth Justice
, Macmillan,
40
mengayomi kembali anaknya dan masyarakat yang bekerja sama untuk menyelesaikan
konflik anggotanya (contoh restorative justice ). Jadi hakim dapat berusaha semaksimal
mungkin agar anak dapat diselamatkan dari pemenjaraan.
B. Pelaksanaan Hukuman
Berbicara masalah hukum pidana akan selalu terbentu pada suatu titik
pertentangan yang paradoksal yaitu bahwa pidana di suatu pihak diadakan untuk
melindungi kepentingan seseorang anak, tetapi di pihak lain ternyata memberikan
hukuman berupa penderitaan kepada pelaku.40
Hukuman berupa penderitaan kepada pelaku kejahatan dikenal dengan
sistem penjara dimulai sejak zaman penjajahan dengan sistem diskriminatif, yaitu
dengan dikeluarkannya peraturan umum untuk golongan Indonesia (golongan
bumi putera) yang dipidana dengan kerja pak
sa (Staatsblad 1926 Nomor 16),
sedangkan untuk golongan Eropa Belanda berlaku penjara.
41
Pada tahun 1917
lahirlah reglement penjara (gestichken reglement) yang tercantum dalam
Staatsblad 1919 Nomor 708, tanggal 1 Januari 1918 yang menjadi dasar peraturan
narapidana dan cara pengelolaan penjara.42
Tahun 1964 di Indonesia lahir apa yang dinamak
an “sistem
pemasyarakatan”. Sistem pemasyarakatan tersebut dicetuskan oleh
Sahardjo.Menurut Sahrdjo tujuan pidana penjara di samping menimbulkan rasa
derita pada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing
narapidana agar bertaubat dan me ndidiknya menjadi anggota masyarakat yang
40
41
42
Bambang Poernomo, (1986),
Pelaksanaan Pidana Dengan Sistem Pemasyarakatan
Yogyakarta, Cetakan Kesatu, Liberty, hal. 103
Andi Hamzah, (1996), Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia Dari Retribusi Ke
Reformasi, Jakarta, Prandya Paramita, Cetakan Pertama, hal. 91 - 92
Ibid, hal. 93
,
41
baik. Mustapa yang mengutip pendapat Sanusi Has, menyatakan bahwa
pelaksanaan terhadap terpidana didasarkan pada pandangan :
1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun
telah terses at, tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu
penjahat, sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan
sebagai manusia
2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang hidup di luar
masyarakat. Narapidana har us kembali ke masyarakat sebagai warga yang
berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang
3. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak, jika perlu
diusahakan supaya narapidana m
empunia suatu mata pencarian dan
mendapatkan upah untuk pekerjaannya43
Selanjutnya dengan lahirnya Undang
-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Pasal 5 Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyatakan bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan atas :
1. Pengayoman, yaitu melindungi penghuni lembaga dari rasa tidak nyaman dan
ketakutan
2. Persamaan perlakuan dan pelayanan yaitu setiap penghuni lembaga
mendapatkan hak yang sama dalam pembinaan tanpa diskriminasi dan
perbedaan
3. Pendidikan, yaitu memberikan pemahaman
akan tugas mereka sebagai
masyarakat nantinya setelah bebas atau keluar dari lembaga tersebut
43
Muhammad Mustafah, (1981), Bantuan Hukum Untuk Terpidana Penjara (Warga Tersisi)
Dari Buku BeberapaPemikiran Mengenai Bantuan Hukum Kearah Bantuan Hukum
Struktural, Bandung, Alumni, hal. 74
42
4. Pembimbingan, yaitu membimbing penghuni dalam mempersiapkan diri untuk
kembali kemasyarakat sebagai warga negara yang baik dan taat hukum
5. Penghormatan harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
7. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang
-orang
tertentu, yaitu tidak memutuskan dan mengisolasi penghuni lembaga dari
hubungan dengan keluarganya agar tidak menimbulkan penderitaan mental
Secara tegas Undang
-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan mengatur tentang hak
-hak apakah yang dimiliki oleh
narapidana.44
Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan para
terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan
menjadi masyarakat yang baik dan taat hukum. Namun ternyata program
pembinaan tersebut belum sepenuhnya dapat dila
ksanakan karena keterbatasan
baik sarana, prasarana maupun kemampuan intelektual para pembina dalam
mengembangkan pr5oses pembinaan narapidana anak yang menunjukkan
keberhasilan.
44
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, menentukan bahwa narapida na berhak
:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
b. Mendapatakan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
e. Menyampaikan keluhan
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
terlarang
g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau irang tertentu lainnya
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
k. Mendapatkan pembebasan masyarakat
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas
m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
43
Program pemasyarakatan bagi narapidana anak bertujuan agar anak dapat
terhindari dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya dan tetap
dapat menjalani kehidupan secara normal. Program yang dibuat dalam lembaga
pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktifitas yang dapat
mengembangkan kemampuan anak di masa depan.
Para pelaku anak yang melakukan tindka pidana serius yang berada di
lembaga pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan
kemampuan seperti hobi, pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan
kegiatan mental lainnya semaksimal sesu ai dengan kemampuan lembaga. Untuk
pendidikan disediakan sekolah khusus di dalam lembaga. Tujuannya agar anaj
tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan kerja untuk
bekal selesai menjalani pembinaan.45
Di USA terdapat banyak program penanganan terhadap anak yang diputus
penjara dilakuka ndi luar penjara itu sendiri seperti pusat trauma, bimbingan
mental dan program yang dilaksanaka n di rumah secara berkelompok. Program program ini bertujuan mengembalikan kondisi perkembangan anak dari tindak
pidana yang dilakukan sebelumnya sehingga anak dapat tumbuh kembali seperti
semula, mempersingkat waktu pengekangan anak, menyadarkan anak tent
ang
penderitaan yang dialami korban dan memberi efek baik anak dengan cara yang
lebih mendidik dan manusiawi melalui kegiatan yang bermanfaat.46
Di Indonesia anak yang dibina di lembaga khusus anak dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :
45
46
Clemens Bartollas (1985), Correctional Treatment , Englewood Clifs, New Jersey, Prentice Hall, hal. 94
Ibid, lihat juga Louis P. Camey, (1980), Corrections, Treatment and Philosophy , Englewood
Clifs, New Jersey, P rentice-Hall, 261, lihat juga Peter C. Kratcoski dan Lucille Dunn Kratcoski
(1979), Juvenile Delinquency, Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall, hal. 354
44
1. Anak pidana, yaitu anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi
pidana perampasan kemerdekaan
2. Anak negara, yaitu seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang
diserahkan pada negara untuk dididik sampai dengan 18 (delap
an belas)
tahun47
3. Anak sipil, yaitu anak yang berdasarkan permintaan orang tua/wali
memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri, dititipkan ke lembaga
pemasyarakatan khusus anak
Pembinaan terhadap anak sesuai deng an Keputusan Menteri Kehakiman
Nomor 02-PK04. 10 Tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan.
Menurut ketentuan ini pembinaan di lembaga dilakukan 4 (empat) tahap. Di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanggerang selain pembinaan dengan
meperhatikan 4 (empat) tahap pembinaan tersebut, juga diarahkan kepada
pembinaan mental dan spiritual. Pembinaan mental ini ditujukan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri dan kemampuan narapidana dengan memberikan
keterampilan-keterampilan terhadap anak didik pemasyara
katan. Pembinaan
spiritual ditujukan untuk menumbuhkan nilai keagamaan di dalam diri narapidana,
sehingga narapidana menyadari akan kesalahannya dan menjadi orang yang
bergua.
Seyogyanya hukum pidana untuk anak bukan merupakan hukuman anak anak, melainkan merupakan suatu tindakan pendidikan yang terpimpin yang
menempatkan anak tahanan, anak negara, anak napi dan anak sipil dalam lembaga
47
Lihat ketentuan Pasal 45 dan 46 KUHP
45
pemasyarakatan anak bukan sebagai subjek pembalasan/hukuman melainkan
dengan pembinaan dan bimbingan sesuai dengan The Beijing Rules.48
Di Lembaga Pemasyarakatan Tanggerang pola pembinaannya tetap
mempunyai 4 (empat) tahapan hanya saja dalam pengembangan pembinaan
mengarah pada pembinaan mental dan kemandiri an anak. Menurut Pak Hayumi
selaku Ketua Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanggerang dalam upaya membina
mental dan kemandirian dalam jiwa anak maka program yang digunakan
dinamakan program pembinaan kemadirian dan kepribadian yang mengarah pada
program kampus biru. Mengapa kampus biru karena anak -anak identik dengan
kecintaan, artinya dalam melakukan pembinaan maka kecintaan yang utama harus
ditanamkan dalam diri pembina di lembaga tersebut.
Kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tanggerang keadaanya
cukup baik dalam batasan bersih dan teratur dengan penuh kesederhanaan. Anak anak dibiarkan bebas bermain dalam bloknya masing-masing. Masing-masing blok
terdiri dari teras tidur yang panjang untuk anak
-anak tersebut. Anak tidak
dibolehkan bebas berkeliaran, k ecuali anak -anak yang telah diberi tugas untuk
membantu petugas lembaga. Di Tanggerang ada pemisahan khusus antara
Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita.
Berdasarkan hasil pengamatan, anak -anak di Lembaga Pemasyarakatan
Anak Tanggerang mendapatkan perlakuan yang baik dari petugas lembaga dan
pembinaan kerohaniaan secara teratur dengan menghadirkan penceramah dan
anak-anak muda yang memeiliki kemampuan secara agama. Hadirnya anak -anak
48
United Nations Minimum Rules for the Administration of Juvenile justice (The Beijing Rules)
No. 13.5 While in custody, juveniles shall receive care, protection and all necessary individual
assistance-social, educational, psychological, medi cal and physical -that they may rewuire in
view of their age, sex and personality
46
muda ke lembaga pemasyrakatan bertujuan
untuk memberikan bimbingan yang
diharapkan lebih komunikatif dan bersahabat.
Melihat kondisi anak saat ini yang banyak menjadi subjek pelanggaran
hukum dan menjalani hukuman di lembaga
terhadap anak yang telah melakukan tinda
-lembaga pemasyarakatan, maka
kan pidana harus segera diperbaiki
melalui tindakan yang betul -betul memperhatikan kesejahteraan dan masa depan
anak yang baik. Tindakan yang diberikan kepada anak adalah tindakan yang
bersifat mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut menjad i anak
yang baik, bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah menjalani
proses peradilan. Jonkers, seorang ahli hukum pidana mengajukan tindakan
-
tindakan yang dapat diberikan pada anak/remaja, setelah remaja diperiksa dan
diadili, yaitu :
1. Mengembalikan kepada orang tua/wali
2. Memberikan pendidikan terpimpin
3. Menempatkan di rumah sakit jiwa bagi yang tidak mampu bertanggung
jawab49
4. Menempatkan pada suatu lembaga pendidikan terpimpin50
5. Menempatkan pada tempat tahanan tertentu
Hukuman terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman
penjara tetapi tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya.
Ganti ruhi ( restitution) yang dima ksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh
sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar
sejumlah uang atau kerja (service) baik langsung maupun pengganti (pihak
49
50
Ibid, Pasal 44 KUHP
KUH Perdata Pasal 308, 304, 384a
47
keluarga korban kejahatan).
51
Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah
kerja proyek masyarakat dibandingkan ganti rugi berbentuk uang karena pada
umumnya anak tidak mempunyai kemampuan untuk mengganti rugi
uang
terutama bagi anak dari keluarga miskin atau homeless. Seorang anak yang diputus
untuk ganti rugi oleh pengaduilan dapat dimasukkan dalam program kerja secara
berkelompok dengan teman -teman lain. 52 Ganti rugi dengan kerja proyek akan
melatih anak untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab atas hukuman yang
diberikan kepadanya. Bentuk dari hukum an berupa sanksi ganti rugi ini sangat
diperlukan dalam pelaksanaan hukuman berupa untuk anak dalam rangka
perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum.
Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam Undang
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak d
-Undang Nomor 3
ianggap belum begitu memberikan
perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, perlu
adanya perubahan dan pembaharuan. Hal itu penting mengingat perkembangan
perlindungan anak saat ini merupakan hal utama dalam isu internasional te
ntang
anak.
Dalam melakukan perubahan terhadap undang -undang ada 3 (tiga) sistem
yang digunakan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat, yaitu :
1. Sistem global, di mana perubahan ditempatkan dalam suatu undang
-undang
hukum pidana khusus, undang -undang semacam ini adalah di luar KUHP dan
51
52
Burt Galaway and Joe Hudson, (1978),
Offender Restitution in Theory and Actions
,
Lexington, Mass eath, hal. 1
Clemens Bartollas, (1985), Correctional Treatment T heory and Practice , University of
Northern Lowa, Prentice-Hall Icn : Englewood Cliffs, New Jersey, hal. 91
48
memuat aturan -aturan, baik hukum pidana materiil maupun hukum acara
pidana
2. Sistem evolusi, di mana perubahan dilakukan dengan menambah atau
mengubah pasal-pasal dalam KUHP yang telah ada
3. Sistem kompromi, di mana perubahan dilakukan dengan menambah bab
tertentu di dalam KUHP53
Ketiga pendekatan sistem ini dilaksanakan di Indonesia. Bahkan undang undang KUHP khusus masih diberlakukan acara yang berbeda seperti pada Pasal
153 KUHAP, yang menyatakan untuk anak dan wanita diadakan perbedaan
pidana.
Secara garis besar rancangan KUHP yang baru tekah mengatur jenis
pidana anak, batas minimum umur untuk da
pat dipertanggung jawabkan secara
pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana dan penentuan pertimbangan
psikologis seperti emosional, intelektual dan mental anak.
Klausula yang paling relevan adalah mengenai pidana perampasan
kemerdekaan atau institutionalisation yang meburut Beijing Rules sebaiknya
mempertimbangkan 2 (dua) hal penting yaitu :
1. Pidana merupakan suatu upaya terakhir dan tidak dapat dielekkan lagi
(sehubungan dengan keseriusan tindakan yang dilakukan seorang anak)
2. Pidana dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat mungkin54
Masalah hak anak dalam lembaga pemasyarakatan erat hubungan denganb
falsafah peradilan pidana anak. Di Indonesia secara eksplisit memang belum
53
54
Loebby Loqman, (1992), Hukum tentang Pidana Denda , Jakarta, Departemen Kehakiman,
hal. 34
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The
Beijing Rules) Butir 13.1 “Detention pending tralshal be use only as a measure of last resort
and for the shortest possible period of time
49
pernah dinyatakan falsafah yang dianut dalam menangani anak yang me
lakukan
tindak pidana. Namun perlu dikatkan dengan tujuan sistem peradilan pidana anak
sebagaimana dianjutkan dalam aturan Nomor 5 Beijing Rules
55
yaitu perlakuan
yang baik dan menjamin bahwa keputusan sebagai bagian lingkungannya seperti
status sosial, suasana keluarga, kerusa kan akibat pelanggarannya atau faktor lain
yang berhubungan dengan suasana lingkungannya yang khusus serta keinginan
pelaku untuk mengganti kerugian dan keinginannya untuk menjadi bagian
masyarakat yang baik termasuk perlindungan bagi korban. Pengadilan ju
ga
menjamin kesejahteraan anak dan memberikan hak -hak individu mereka selama
jalannya peradilan.
Pasal 7 Beijing Rules ,56 menyatakan bahwa j aminan-jaminan prosedural
yang pokok/mendasar, harus menjamin pada setiap proses peradilan, anak yaitu :
1. Hak diberitahukannya tuduhan
2. Hak tetap diam
3. Hak memperoleh penasihat hukum
4. Hak hadirnya orang tua/wali
5. Hak menghadapkan saksi dan pemeriksaan sidang para saksi
6. Hak banding ke tingkat yang lebih atas
Menurut butir 5.1. Beijing Rules menunjukkan 2 (dua) tujuan atau sasaran
yang sangat penitng yaitu :
1. Memajukan kesejahteraan anak
55
56
Ibid. Butir 5 “the juvenile justice system shal empasize the well -being of the juvenile and shall
ensure that any reaction to juvenile offender shall always be inproportion to the circumstances
of both the offenders and the offence
Ibid. Butir 7.1. Basic procedural safeguards such as the presumption of innocence, the right to
be notified of the charges, the righ t to remain silent, the right to counsel, the right to the
presence of a parent or guradian, the right to confront and cross -examine witneses and the right
to appeal to a higher authority shall be graranteed at all stages of proceedings
50
2. Prinsip proporsional
Perlunya perlakuan dan pendekatan khusus terhadap kasus anak telah
dijelaskan dalam Declaration of the Right of The Child dan SMR
-JJ (Beijing
Rules). Mengenai kebijakan untuk tidak menjatuhkan pidana mati tertuang di
dalam Nomor 17.2 dijelaskan di dalam commnetary bahwa hal itu sesuai dengan
Pasal 6 (5) dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
mengenai larangan penggunaan pidana badan.
Masa naka -anak adalah masa di mana seseorang sangat membutuhkan
kasih sayang terutama dari or ang tua untuk berkembang dan belajar. Keadaan ini
tidak akan ditemui di dalam lembaga pemasyarakatan yang dibatasi oleh
kelompok yang tinggi dan dalam suasana yang tidak harmonis dengn satu sama
lain. Di dalam keluarga saja jika anak tidak mendapatkan kasi h sayang/perhatian
dari keluarganya terutama orang tuanya, anak itu akan mencari perhatian di dalam
ataupun di luar rumah dan bisa saja anak akan menjadi nakal. Sedangkan di
lembaga pemasyarakatan kasih sayang yang seharusnya didapat dari lingkungan
keluarga tidak mungkin didapatkan, para petugas lembaga tidak dapat sepenuhnya
memperhatikan para penghuni karena banyaknya anak-anak yang erti mere awasi.
Menurut pengamatan peneliti apabila anak dididik di lembaga, bukan tidak
mungkin anak bertambah nakal kar
ena dalam lembaga pemasyarakatan anak
tergantung dengan berbagai anak yang melakukan tindak pidana yang berbeda
-
beda. Kehidupan sehari -hari dalam proses pergaulan anak -anak tersebut biasanya
berada dalam satu ruangan yang terdiri dari 20 (dua puluh) orang
dengan latar
belakang kehidupan yang berbeda dan latar belakang pendidikan dan kejahatan
yang berbeda juga. Dengan perbedaan tersebut sehingga keseharian menyebabkan
51
anak-anak akan mengalami proses pergaulan yang kemungkinan besar akan
menyebabkan perkemba ngan kejiwaan si anak menjadi tidak baik/terganggu.
Sehingga masyarakat mengatakan bahwa lembaga pemasyarakatan adalah
lembaga untuk “sekolah kejahatan”. Anggapan ini tidak semuanya benar tapi tidak
juga disalahkan karena pada kenyataannya perilaku anak se
telah keluar terjadi
peningkatan pengetahuan kejahatan dan perilaku lainnya dan masih berlaku
hukum rimba.
Penjatuhan pidana atau yang disebut dengan istilah “pidana” secara resmi
dipergunakan oleh rumusan Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk
peresmian nama Kitab Undang -Undang Hukum Pidana (KUHP), sekalipun dalam
Pasal IX-XXV masih tetap dipergunakan istilah penjara.57
Penggunaan istilah
pidana diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk
pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman,
penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman
pidana.
Moelyatno58 mengatakan bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata
straf dan istilah dihukum yang berasal dari kata woedt gestraf, merupakan istilag istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah
-istilah itu dan
menggunakan istilah yang tidak konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan
kata straf dan diancam dengan pidana, untuk menggantikan kata
wordt gestraf .
Menurutnya, kata straf diartikan hukuman maka strafrect seharusnya diartikan
hukuman-hukuman. Menurut beliau “dihukum” diartikan terapi hukum, baik
57
58
Lihat Kitab Undang -Undang Hukum Pidana, 1967, terjemahan Moeljatno, Cetakan Keempat,
Minerva, hal. 18 - 19
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (1992),
Teori-teori dan Kebijakan Pidana , Bandung,
Alumni, hal. 1
52
hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari
penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana, sebab
mencakup juga keputusan hakim dalam hukum perdata.
Demikian pula Soedarto 59 mengatakan bahwa “penghukuman” berasal dari
kata “hukum” sehingga dapat diartikan sebagai “menerapkan hukum” atau
memutuskan tentang hukumannya “ berechten”, “menetapkan hukum” atau suatu
peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga
hukum perdata. Selanjutnya dikemukakan oleh beliau bahwa “penghukuman”
dapat disempitkan artinya, yakni “pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana
oleh hakim. “Pengh ukuman” dalam arti yang demikian menurut Prof. Soedarto
mempunyai makna sama dengan “ sentence atau veroordeeld” yang sama artinya
dengan “dihukum bersyarat” atau pidana bersyarat. Akhirnya Prof. Doedarto
mengemukakan bhwa istilah “hukuman” kadang
-kadang di gunakan untuk
mengganti perkataan “straf” namun istilah “pidana” lebih baik dari pada
“hukuman”.
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie
60
mengatakan dirinya mengikuti pendap at
Prof. Soedarto dan dirinya menggunakan istilah pidana bukan “hukuman” ataupun
“hukuman Pidana”. Selaint itu Muladi dan Barda Nawawi
61
juga mengemukakan
istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mmepunyai arti yang luas dan berubah
-berubah karena istilah itu dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering
digunakan dalam ilmu hukuk, tetapi juga dalam istilah sehari
59
60
61
-hari di bidang
Ibid, hal. 1 – 2
Jimly Asshiddiqie, (1995), Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia , Bandung, Angkasa, hal.
15
M. T. Tirtaadmidjaja, (1995), Pokok-pokok Hukum Pidana , Jakarta, Fosco, hal. 13 – 15, lihat
juga Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 56
53
pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Menurut pandangan mereka pidana
merupakan istilah yang lebih khusus.
Dari beberapa istilah tersebut di atas, penulis sependapat dengan beberapa
sarjana yang menggunakan istilah pidana dan pemidanaan. Pembicaraan mengenai
apakah arti pidana tidak akan bisa dilepeaskan dari pengertian hukum pidana itu
sendiri. Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah
“kumpulan aturan yang
mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi
pidana atau hukuman bila dilarang.”
62
Sanksi dalam hukum pidana jauh lebih
keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang lainn ya, akan tetapi ada juga
para ahli yang berpendapat sebaliknya bahwa hukum pidana tidak mengadakan
norma baru tetapi mempertegas sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga
hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.63
Selanjutnya mengenai pidana juga terjadi pertentangan pendapat sejak
zaman keemasan paham sofisme bersama pengikutnya, yang menyebut dirinya
golonga potogoras. Golongan potogoras mengatakan bahwa tujuan pidana harus
memperhatikan masa datang dan usaha untuk mencegah agar seseorang atau orang
yang lain sadar untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
64
Terutama untuk
pidana mati dan pidana seumur hidup perlu ditinjau kembali, karena banyak
negara yang sudah menghapuskan pidana mati dan memberlakukan pidana penjara
seumur hidup diikuti dengan adanya upaya untuk membata
si penerapan pidana
penjara serta usaha memperbaiki pelaksanaannya. Kongres PBB tahun 1984 di
Venezuela membahas tentang pencegahan dilakukannya kejahatan, antara lain
62
63
64
Ibid, hal. 56
M. T. Tirtaadmidjaja, (1995), Pokok-pokok Hukum Pidana , Jakarta, Fosco, hal. 13 – 15, lihat
juga Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 56
Alf Ross, (1975), On Guilt, Responsibility and Punishment , Lo ndon, Steven and Sons Ltd.,
hal. 33
54
dinyatakan bahwa narapidana yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup adalah
tidak sesu ai dengan salah satu tujuan utama dari pemidanaan yaitu reintegrasi
terhukum ke dalam masyarakat
65
, sehingga pada akhir kongres melahirkan point
33 yang menyatakan akibat-akibat dari pemenjaraan bagi narapidana yang dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup m ungkin sesuai untuk administrasi pidana dalam
waktu singkat, namun narapidana yang menjalaninya cenderung mempunyai
persoalan penanganan karena manajemen penjara yang miskin dan buruk. Akibat akibat ini tidak sesuai dengan salah satu tujuan utama dari pemi danaan, reintegrasi
si terhukum ke dalam masyarakat, institusionalisasi menghantarkan narapidana
dengan perlengkapan buruk itu kepada suatu pengalaman ketika berinteraksi
dengan dunia di luar penjara.
Selanjutnya mengenai lamanya hukuman yang diberikan ke
pada
narapidana tidak akan menjamin bahwa narapidana tersebut akan baik setelah
keluar nantinya, sehingga tidak menjamin akan berkurangnya kejahatan
masyarakat. Hal tersebut antara lain dikatakan oleh Robert Kilroy -Silk, mengenai
pengaruh lamahanya hukuman (the length of sentence ) dalam menghindari dan
mengurangi kejahatan selengkapnya. Robert, 66 mengatakan bahwa dari riset yang
dilakukannya yang membandingkan negara
65
66
-negara Eropa Barat dan USA
United Nation, (1994), Life Imprisonment, Crime Prevention and Criminal Justice, France :
Vienna, hal. 7. “while the effects of “prisonization” on life sent
ence prisoners might be
desirable for penal administrations in the short term, in that an instititionalized inmate tends to
create fewer management problems than one who is on
-institutionalized, these effects
undermine one of the central proposes of senten cing; the prisoners ill equipped to deal with the
experiences and interactions outside of prison”
Robert Kilroy-Silk, (1984), Prisons, the last twenty year of the twentieth century, prison service
journal, hal. 7….one of the main reasons for our high prison po
pulation in the most prison
sentences in this country are longer on average, that in most other west European countries. The
over whelming weight of research now indicates that longer sentence do not produce greater
benefis in preventing or reducing further offenses that shorter ones, and that any impact which a
custodial sentence may have occursinthe early stages. These considerations argue for a
reduction in sentences lenghts except for the minority of offenders who are a serious danger to
the public
55
mengindikasikan bahwa hukuman yang lebih lama tidak serta merta memberikan
keuntungan yang besar dalam mencegah atau mengurangi pelanggaran pada waktu
yang akan datang kecuali hanya dalam waktu yang singkat saja. Pertimbangan ini
mengarahkan pada pengurangan lama hukuman terutama kepada pelanggaran oleh
anak-anak ( minor) kecuali pelanggaran yang dilakukan anak tersebut
menimbulkan kerugian yang serius bagi masyarakat.
Kedua pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa lamanya
narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tidak menjadikan jaminan
berkurangnya kejahatan berikutnya, karena pada saatnya dia bebas belum tentu
menjadi baik. Pidana penjara hanyalahsalah sat u jenis sanksi pidana yang sering
digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Ketika kita membahas pelaksanaan peradilan pidana terhadap anak yang
melakukan tindak pidana maka akan dapat dilihat keadaan yang sangat
menyedihkan, menurut mereka sangat sulit untuk melaksanakan apa yang telah
diberikan oleh Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang mengatakan terhadap anak nakal dapat dikenakan tindakan
dikembalikan pada orang tua, diberikan pada pemerintah untu
k dididik atau
dimasukkan ke dalam panti sosial untuk diasuh. Kesulitan mengambil tindakan
dalam kasus anak adalah dikarenakan sampai saat ini khususnya di kalangan para
hakim masih ada rasa saling mencurigai (kurang percaya). Karena tidak adanya
saling kepercayaan tersebut sebagian besar hakim tidak mengambil tindakan yang
tepat dalam kasus anak karena tidak ingin mendengar tudingan bahwa telah
menerima sesuatu dari pelaku. Kondisi tersebutlah yang menyebabkan bahwa
hakim tetap mengambil tindakan memidana
anak sesuai dengan telah lamanya
56
anak menjalankan penahanan. Namun ada dilematis lain yang ditemui dalam
penelitian bahwa jika terhadap kasus anak yang melakukan tindakan pidana, jika
hakim memutus kurang dari 2/3 tuntutan yang diberikan jaksa maka jaksa a
meminta terhadap kasus tersebut dilakukan banding.
67
kan
Mengenai kebenaran
membanding suatu kasus yang diputus hakim, didapatkan hasil penelitian bahwa
hampir semua kasus penetapan hukuman hakim yang tidak sesuai dengan aturan
yaitu kurang dar 2/3 tuntutan maka jaksa akan membandingnya.
Dilihat dari sejarahnya penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk
menghukum, baru dimulai pada abad ke -18 akhir yang bersumber pada paham
individualiems. Dengan demikian makin berkembangnya paham individualisme
dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang
peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang
dipandang kejam. Namun seberapa jauh penggunaa
n pidana penjara ini
memerlukan peninjauan kembali sebagai salah satu sarana politik, kriminal,
walaupun pidana penjara ini dapat dikatakan telah menjadi “pidana dunia”, artinya
terdapat di seluruh dunia.
Rangkuman.
Proses peradilan pidana an ak yaitu dimulai dengan tahapan penyelidikan yang
selanjutnya menuju tahapan penuntutan hal ini dijalankan oleh penuntut umum. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana memmuat wewenang penuntut umum untuk
menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dar
i penyidik atau penyidik
pembantu. etelah menerima dan memeriksa berkas perkara, penuntut berkewajiban
mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan oleh pihak penyidik,
67
Wawancara dengan 3 orang hakim PN Medan, 26 – 28 Agustus 2008 di Medan
57
dengan memberi petunjuk dan arahan apa saja yang mesti mendapat peny
empurnaan
berkas penyidikan dari penyidik.
Setelah berkas yang diterima dari penyidik telah sempurna selanjutnya penuntut
harus membuat surat dakwaan yang diselesaikan dengan sempurna seterusnya dilakukan
pelimpahan perkara ke pengadilan yang
dilanjutkan ke tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan anak yang menghadirkan semua pihak yang terkait seperti terdakwa, saksi,
pembela, hakim dan semua berkas yang diperlukan.
Pada saat anak di kepolisian telah dilakukan penahanan menurut batas maksimal
penahanan oleh pihak kepolisian selama 30 (tiga puluh) dan selanjutnya di tahap
penuntutan anak ditahan selama maksimal 25 (dua puluh lima) hari dan di dalam Pasal
47 Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak untuk kepentingan
pemeriksaan, hakim sidang
pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan anak untuk paling lama 15 (lima belas) hari, jika belum selesai diperpanjang
penahanan hingga 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari keluar
demi kepentingan hukum.
Tuntutan pidana penjara terhadap anak paling lama ½ dari maksimum ancaman
pidana penjara bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak diancam
dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat
dituntut paling lama 10 (sep uluh) tahun. Melihat usia anak yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dalam Undang -undang Perlindungan Anak Hakim memberikan
berupa tindakan terhadap anak berusia 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun dan
pidana penjara terhadap anak berusia dia tas 12 (dua belas) tahun hingga 18 (delapan
belas) tahun.
Uji Kompetensi.
1. Bagaimana proses hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana?
2. Bagiamana pelakasnaan hukuman terhadap anak yang tel ah divonis oleh Pengadilan
anak
58
BAB IV
SEKILAS KONSEP DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE
Kompetensi Dasar:
Adapun yang menjadi kompetensi dasar dalam Bab IV ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang Konsep Diversi; dan
2. Menjelaskan Konsep Restoratif justice.
Uraian Singkat.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah
melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan
diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus
-kasus anak yang berkonflik
dengan hukum. Adapun yang me
njadi tujuan upaya diversi adalah :
untuk
menghindari anak dari penahanan;
untuk menghindari c ap/label anak sebagai
penjahat; untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh
anak; agar anak berta
nggung jawab atas perbuatannya;
untuk melaku kan
intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tan pa harus melalui
proses formal; menghindari anak men gikuti proses sistem peradilan; menjauhkan
anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
metode sebagaimana
Pelaksanaan
telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai
kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang
lalu sebagai alternative penyelesaian perkara
pidana anak. Kelompok Kerja
Peradilan Anak Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative
justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
tertentu duduk bersama -sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan data
ng. Proses ini pada
dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari
proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara
59
musyawarah. Penyelesaian melalui mu syawarah sebetulnya bukan hal baru bagi
Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian
perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah
dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keada
Dengan menggunakan metode
an.
restorative, hasil yang diharapkan ialah
berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara,
menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal
sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari.
4.1. Diversi
A. Bentuk Pelaksanaan Diversi di Berbagai Negara
Pelaksanan diversi di New Zealand dapat menjadi gabaran keberhasilan
penerapan fungsi aparat penega k hukum dalam menangani masalah anak yang
terlibat kasus pidana. Di New Zealand sejarah diversi dimulai dengan kesuksesan
family group conferencing yaitu perundingan antara pihak korban dan pelaku
dalam penyelesaian tindak pidana di masyarakat, yang akhirn
ya dilakukan
reformasi terhadap hukum peradilan anak pada tahun 1989.
60
68
Penerapan peradilan khusus anak telah memberikan ruang untuk pelaksanaan
diversi secara luas. Perubahan -perubahan pada peradilan umum menuju peradilan
yang mengutamakan perlindungan anak dan diversi pada saat itu dapat kita lihat
pada tabel berikut :
Tabel : Restrukturisasi Peradilan Pidana di New Zealand Setelah Reformasi
Hukum69
Proses
Kebijakan
Penyebab Kejahatan
Tindakan Pencegahan Delikuensi
Tindak Pidana Oleh Anak
Dekriminalisasi
Ditangkap Polisi
Diversi
Pengadilan
Proses Peradilan Anak
Penjara
Deinstitutionalisation/Diskresi70
Tabel di atas menggambarkan terjadinya perubahan kebijakan peradilan
pidana yang ditujukan untuk melindungi anak yang melakukan tindak pidana.
Penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal ya
ng ada selama ini lebih
mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan
pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan
68
69
70
Morris and Gabrielle Maxwell, (2001), Restorative for Juveniles, Conferencing, Mediation
and Circles , New Zealand : edited by Allison Institue of Criminology, Victoria University of
Welington, hal. 114
Kenneth Folk, (Desember, 2003), Early Intervention : Diversion and Youth Conferencing, A
National Review of Current Approach to Diverting Juvenile From The Criminal Justice
System, Australia : Canberra, Commonwealth of Australia, Government Attorney
-general’s
Departement, hal. 3
Jack E. Bynum dan William E. Thompson, (2002),
Juvenile Deliquency a Sociologica l
Approach, Boston : Apreason Education Company, hal. 428
61
diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum
terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak
yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.
Terhadap anak yang telah ditangkap polisi, polisi dapat melakukan diversi
tanpa meneruskan ke jaksa penuntut. Kemudian ap abila kasus anak sudah sampai
di pengadilan, maka hakim dapat melakukan peradilan sesuai dengan prisedurnya
dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila anak sudah
berada di dalam penjara maka petugas penjara dapat membuat kebijakan di
versi
terhadap anak sehingga anak dapat dilimpahkan ke lembaga sosial atau sanksi
alternatif yang berguna batgi perkembangan dan masa depan anak.71
Diversi terhadap anak hanyalah sebuah komponen dari perbaikan struktur
sistem peradilan pidana yang dicapai dengan maksimal di New Zealand pada
pertengahan tahun 1970, sebagai alternatif dari peradilan pidana formal yang ada
sebelumnya. Perkembangan selanj utnya rasa ingin tahu masyarakat pada proses
non peradilan yaitu family group conferencing . Proses ini memperlihatkan hasil
yang lebih baik sehingga masyarakat semakin memberikan dukungan terhadap
konsep diversi.
Tahun 1970, 2 (dua) bentuk besar dari diversi yang ada di Australia,
difokuskan bukan untuk membuat diversi kepada sebuah program alternatif,
melainkan diversi untuk mengeluarkan sistem peradilan. Satu hal utama dari
bentuk ini yaitu sikap kehati -hatian da ri polisi, di mana anak muda yang telah
ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan
dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut
71
Kenneth Fokl, (Desember, 2003), Op.cit.,
62
melakukan pelanggaran selanjutnya (mengulangi) maka a
kan dilakukan proses
lanjutan.
Bentuk diversi di atas mulai dilaksanakan di Negara bagi Victoria pada
tahun 1959, Queensland tahun 1963 dan New South Wales tahun 1985, semuanya
berada di Negara Australia. Bentuk kedua yang dilaksanakan di Australia bagian
selatan tahun 1964 dan Australia bagian barat tahun 1972 melibatkan sebuah
pertemuan pelaku anak dan orang tuanya dengan polisi dan sebuah pekerja sosial
negara. Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke
pengadilan formal. Pertemua n dilakukan dalam suasana relatif informal untuk
memberikan peringatan dan konseling. Proses diversi yang dilangsungkan
bertujuan mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana jika anak tidak
mengulangi tindak pidana, akan tetapi jika anak melakukan kejah
atan telah
berulang kami (residivis) dikenakan proses selanjutnya. Cressey dan Mc Dermott
dalam bukunya menganggap apa yang dilakukan di Australia sebagai
“true
diversion”.
Negara-negara bagian seperti Victoria, New South Wales dan Queensland
berani melak ukan reformasi terhadap sistem hukumnya yang ada untuk
mendukung pelaksanaan program diversi secara sempurna. Wundersitz menyebut
pelaksanaan diversi di negara -negara tersebut dengan istilah “
principle of the
frugality of punishment (prinsip kesederhanaan dalam menghukum)”.72
72
Kenneth Folk, Op.cit., hal. 6 : doing nothing in cases involving occasional, relatively minor
delinquency may be better than doing smothing. Experimenting with new behaviour testing the
limit of adult tolerance and participating in yo uth culture aktivities are regarded as normal
adolescent experiences and most youths will mature out of such behaviour on their own.
Official intervention may interfe with the natural process of maturational reform (terjemahan
penulis, tak melakukan apa -apa kalau kasus yang melibatkan sekali -kali, merupakan kenakalan
anak yang relatif kecil, mungkin lebih baik daripada melakukan sesuatu terhadapnya.
Melakukan eksperimen terhadap lingkungan/perilaku baru mencoba kelakuan orang dewasa
dan ikut -ikutan dalam bu daya anak muda diakui sebagai anak yang normal -normal saja dan
63
Peraturan di Negara Queesland memuat aturan, an
ak ditempatkan di
tahanan sebagai tempat terakhir ( Juvenile Justice Act 1992, 4 (b) (i)). Menurut
Wundersitz73 dengan aturan tersebut jumlah pelaku anak yang dipenjara dalam
kurun waktu 11 (sebelas) tahun turun dari 1.352 or ang pada tahun 1981 menjadi
577 orang pada tahun 1992. Selanjutnya masyarakat Australia berhasil
mewujudkan keinginannya untuk mengubah penekanan dari welfere model kepada
justice model .74 Hal itu dapat dilihat dalam
Children Protection an d Young
Offender Act 1979 di Australia Selatan dan Children’s Criminal Proceedings Act
1987, 56 (a) di New South Wales yang berisi : “ ……………..chindrens have right
and freedom before the law equal to those enjoyed by adults and in penticipate in
the process”.
Adanya ketentuan hukum tersebut masyarakat cenderung untuk memakai
cara lain seperti Family Group Conferens yang merupakan masukan baru dalam
diversi. Menurut Wundersitz inspirasi besar mengenai perubahan tersebut dengan
adanya aturan peradilan anak di
New Zealand yang berlandaskan :
“……….Unless the public interest requires otherwise, criminal proceedings
should not be instituted againts a child or young person if there is an alternatives
means of dealing with the mater.”
(terjemahan penulis : kecuali ma
syarakat
menghendaki lain, maka model proses pidana tidak harus dikenakan terhadap
seorang anak atau orang muda jika masih ada hal alternatif yang bisa lebih
menyelesaikan permasalahan yang terjadi).
73
74
banyak anak akan mematangkan perilakunya sendiri. Intervensi petugas mungkin akan
mencampuri (mengganggu) proses pematangan (Waegel 1989 : 236)
Wundersitz, Op.cit., hal. 126
Ibid, hal. 119
64
Hal senada juga terdapat dalam aturan butir 11 dari
United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The Beijing
Rules”), yang menyebutkan bahwa untuk kasus anak tidak seharusnya
dilimpahkan ke pengadilan, tetapi lebih kepada kebijakan diskresi dengan sanksi
lain.75
Di Negara bagian Tasmania, Australia, Undang-Undang Youth Justice Act
1997 mengizinkan polisi melakukan dikresi langsung terhadap pelaku anak
dengan memberikan peringatan informal (nasihat) (Pasal 8), per
ingatan formal
(tertulis) (Pasal 10), peringatan melalui pertemuan, pertemuan dengan anggota
masyarakat conferencing melalui proses diversi (Pasal 13 – 19) atau diteruskan ke
pengadilan. Pertemuan yang dibuat polisi sama dengan model wagga-wagga76 dan
hasilnya dinyatakan sebagai peringatan resmi pihak polisi. 77 Ketika petugas polisi
memberikan peringatan resmi akan ada pilihan yang diberikan terhadap pelaku
anak, seperti membayar kompensasi, membuat kerja pertanggung jawaban,
melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat selama 35 jam untuk keperluan
korbannya melalui lembaga sosial atau lainnya atau tindakan lain yang tepat
(Pasal 10 (2)). Pilihan-pilihan itu diputuskan melalui rapat para petugas polisi dan
juga masyarakat.
Polisi dapat juga menyerahkan pelaku anak kepada penanga
nan formal
jika mereka yakin bahwa permasalahan yang terjadi cukup serius seperti
pembunuhan, percobaan pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan
75
United Na tions Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The
Beijing Rules”), G. A. res. 40/33, annex, 40 U. N. GAOR Supp. (Nomor 53) at 207, U. N. Doc.
A/40/53 (1985) dikutip dari http://www1.edu/humanrts/instree/j3unsmr.htm.
76
Wagga-wagga, adalah model pertemuan untuk menyelesaikan kasus oleh bangsa Maori, suku
asli di Benua Australia. Proses ini juga terdapat dalam pembahasan mengenai restorative justice
pada hal. 397
Kenneth Folk., Op.cit., hal. 14
77
65
keselamatan jalan raya, maka pengadilan formal lebih sering dilakukan.
Pelanggaran selain itu diputuskan dengan diskresi oleh polisi.
Biasanya peringatan formal diberikan oleh anggota polisi yang dipercaya
menangani anak. Peringatan diberikan dengan menghadirkan orang tua anak di
kantor polisi atau polisi langsung datang ke rumah anak tersebut. Berikutnya
dipertimbangkan secara restorative justice apakah lebih berat kerusakan dan
kerugian dibandingkan sisi pelanggaran hukumnya. Peringatan yang terperinci
terhadap pelaku dicatat dalam catatan pelaku (arsip) yang mana catatan ini akan
dilakukan penghapusan setela h 5 (lima) tahun. Knoxlink Program , setelahh itu
jika masih mengulangi akan dikirim ke pengadilan untuk diproses secara pidana.
Di Negara bagian Northern Territory Australia peringatan formal ataupun
penyelesaian dengan perundingan telah diterapkan oleh p
emerintah menjadi
ketetapan hukum. Negara telah meresmikan pemberian peringatan dan diversi
menuju perundingan sebagai keputusan yang mempunyai kekuatan hukum sesuai
dengan kesepakatan Perdana Menteri dan Kepala Kementerian Negara.
Peraturan Police Administration Act
78
memberikan 4 (empat) tingkatan untuk
melakukan diversi sebelum pengadilan.
Tingkatan pertama terdiri dari 2 (dua) bentuk peringatan yang diberikan
dan disepakati dan penyelesaian dengan perundingan kemudian diperingatkan
secara lisan.
Tingkatan kedua peringatan secara resmi (
formal cauttioning) , yaitu
peringatan secara tertulis dari polisi. Tingkatan ketiga untuk anak yang beresiko
mengulangi tindakannya lagi orang tua diserahi tanggung jawab untuk
78
Ibid, hal 16
66
memulihkan anak dengan penga wasan di rumah. Tingkatan keempat melalui
lembaga juvenile diversion unit
pada lembaga kepolisian yang bertugas
menangani proses diversi anak dari proses pidana formal ke nonformal. Selain itu
memberikan nasihat kepada polisi dalam menangani anak pelaku ti
ndak pidana.
Lembaga ini memfasilitasi wadah bagi anak yang menjalani proses diversi.
Menurut Wundersitz dalam literatur yang ditulisnya ada beberapa bentuk
penanganan oleh polisi yaitu79 :
1. Pada semua proses peradilan ada gabungan dari
penanganan informal dan
formal. Proses ini adalah diskresi, di mana polisi dapat menggunakan
kebijakannya sendiri. Hal ini termasuk hanya memberikan peringatan atau
teguran keras kepada pelaku. Semua itu dilakukan walau tanpa dilengkapi
petunjuk kerja oleh
undang-undang. Hanya undang
-undang dan polisi
mempunyai prosedur yang dapat diartikan untuk memberi peringatan yang
tepat, mereka cukup memerintahkan pelaku pergi dan tidak mengulanginya
lagi
2. Beberapa bentuk penanganan oleh polisi, baik
formal maupun informal
diteruskan sebagai diversi keluar dari sistem peradilan pidana. Aturan
peradilan dapat merujuk pelaku anak kembali kepada penanganan oleh
kembali kepada penanganan oleh polisi. Pengadilan dapat menginstruksikan
bahwa peringatan forma l dicatat sebagai keputusan namun tidka perlu
diberikan tindakan lebih lanjut. Polisi juga melakukan proses interview
terhadap anak untuk menghasilkan pertimbangan yang kuat apakah anak akan
diberi peringatan saja atau tindakan lebih lanjut
79
Ibid, hal. 18
67
3. Melalui pros es peradilan, sejumlah gambaran cenderung menjadi proses
peringatan formal seperti :
a. Harus ada cukup alasan yang dapat diterima untuk disebut sebagai
pelanggaran. Hal ini untuk keperluan bentuk peringatan apa yang diberikan
b. Anak tersebut harus mau me ngakui kesalahannya atas bukti yang ada. Hal
ini untuk keperluan seluruh sistem peradilan. Anak harus mengakui
tindakan pelanggaran tersebut dan harus dibenarkan oleh polisi tentang
peran keterlibatannya atau masih belum dipastikan
c. Pelaku anak harus mau mengikuti proses peringatan/pidana dan harus ada
pengacara yang mendampinginya dan hak lainnya
d. Diversi diberikan dan ditujukan untuk mengalihkan (
removal) untuk
pelanggaran yang sifatnya “accidental” atau tidak disengaja
e. Proses diawali dengan kesemp atan interview oleh polisi setempat yang
senior dan mengikutsertakan pelaku, orang tua/wali atau orang dewasa
yang mengerti anak. Jika telah selesai proses peringatan, anak bebas untuk
meninggalkan tempat acara
Contoh lain pelaksanaan diversi di Negara ba gian Northamphinshire USA.
Pelaksanaan diversi untuk pertama kalinya di Negara bagian Northamphinshire
USA pada tahun 1981 yang dinamakan dengan
Juvenile Liaison Bureaux (JLB).
Petugas yang terlibat dalam proses ini adalah polisi, pekerja dinas sosial, peke rja
pemasyarakatan, guru dan pemuda sosial. Tahun 1984 lembaga JLB lain berdiri
68
dan tahun 1986 berdiri lagi 2 (dua) lembaga yang menangani masalah diversi di
kalangan dewasa.80
Tahun 1992 karena pengaruh kekhawatiran masyara
kat dan terjadinya
kesalahan polisi dalam menangani pengulangan pelaku tindak pidana anak
segingga kemudian pelaku anak secara otomatis dirujuk ke JLB. Rekomendasi
dari JLB ini menjadi pertimbangan polisi untuk melakukan peringatan saja atau
memprosesnya k e tahapan berikutnya.
81
Polisi sebagai pihak yang melakukan
penangkapan diberi hak untuk memegang peranan secara tersendiri dalam
menentukan kebijakannya sendiri melakukan tindakan diversi.
Ada 2
(dua) kelompok pemegang kebijakan di Negara bagian
Northamphinshire USA yaitu petugas tahanan yang membuat kebijakan pertama
dan yang kedua pelaksana proses ( process makers ) yang menerima kasus dari
petugas tahanan untuk diteliti. Pelaksanaan proses didasa
rkan atas dukungan
administrasi masing -masing bagian di lembaga kepolisian yang mempunyai
tanggung jawab masing-masing.
B. Hambatan Dalam Pelaksanaan Diversi
Pelaksanaan diversi di Kota Bandung merupakan sebuah perjalanan yang
terhitung baru. Pelaksanaan diversi di Indonesia, khususnya di Kota Bandung
Tengah menghadapi beberapa hambatan yaitu :
1. Pemahaman terhadap pengertian diversi
80
81
Blagg, H., et.al, (1986), The Final Report on The Juvenile Liaison Bereue, Corbin , Lancaster :
Departemen of Social Administration, University of Lancaster, yang dikutip dari Loraine
Gelsthorpe and Nicola Padfield, Op.cit., hal. 33
Loraine Gelsthorpe and Nicola Padfield, Op.cit., hal. 34
69
Defisinisi dan pengertian diversi sangat tergantung dari latar belakang dan di
mana diversi akan diterapkan. Diversi dapat
memberikan makna yang luas
terhadap jenis dan tindakan apa saja yang dapat disebut diversi. Setiap
pelanggaran yang terjadi dan masuk ke dalam proses formal maka akan
ditangani oleh aparat penegak hukum sampai mempunyai keputusan hukum
atau pidana terhada pnya. Dalam proses penanganan terhadap pelakunya
petugas akan melaksanakannya sesuai dengan aturan hukum yang
diberlakukan. Aturan diversi adalah salah satu diantara kebijakan penanganan
tindak pidana yang masuk kepada proses peradilan formal
2. Batasan kebijakan aparat pelaksana diversi
Aparat harus mengetahui pengertian dan tujuan dari diversi itu sebelum
melakukan diversi. Apabila aparat melakukan diversi sebagai tugas maka
aparat harus dapat mengambil tindakan yang tepat berkaitan dengan tinda kan
diversi, bila tidak akan menimbulkan sikap apriori bagi masyarakat, baik
korban maupun pelaku. Akibatnya masyarakat akan menghindari
prosesdiversi, karena beranggapan ada ketimpangan dalam pelaksanaannya
dan diversi sebagai kesewenang
-wenangan aparat d alam menerjemahkan
kekuasaannya. Batasan kebiajakan pelaksanaan diversi dilakukan oleh aparat
yang menangani suatu tindak pidana. Panduan diversi bagi aparat penegak
hukum sangat diperlukan, untuk mengarahkan kebebasan aparat dalam
menentukan tindakannya
3. Kepercayaan masyarakat terhadap aturan pelaksanaan diversi dan
hambatannya.
70
Aturan pelaksanaan dalam sebuah kebijakan hukum sangat penting. Dengan
aturan pelaksanaan, aparat penegak hukum mempunyai pedoman untuk
melakukan suatu tindakan. Di Indonesia khu
susnya terhadap pelaksanaan
konsep diversi belum ada aturan yang mengaturnya. Akibatnya aparat penegak
hukum dalam melaksanakan diversi berdasarkan pandangan pribadinya. Akan
tetapi pelaksanaan diversi di Bandung merupakan pelaksanaan yang
berdasarkan pada
kesepakatan bersama dalam memberikan perlindungan
terhadap pelaku anak. Untuk itu aparat penegak hukum melakukan
kesepakatan bersama untuk melakukan tindakan terbaik bagi anak.
Pada kasus anak, diversi merupakan kebijakan yang sangat penting
diaplikasikan untuk melindungi anak dari proses peradilan formal. Akan tetapi
terkadang aparat masih ragu menjalankannya. Hal ini karena tuntutan
masyarakat, politik atau hal lain yang menjadi pertimbangan aparat. Aparat
juga takut dipersalahkan di kemudian hari jika p
elaku mengulangi
perbuatannya. Masyarakat juga masih pesimis dengan kebijakan diversi aparat
akan merugikan kepentingan pihak tertentu. Oleh karena itu, perlunya
pemberian pemahaman terhadap masyarakat tentang konsep tersebut
4.2. Restoratif Justice
A. Perkembangan Restorative Justice
Restorative Justice telah berkembang secara global di seluruh dunia. Di
banyak negara restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan penting
dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus menerus dipertimbangkan
di
sistem peradilan dan undang -undang. Sesuai dengan penyebaran proses ini di
71
seluruh dunia maka timbul beberapa inovsi yang memang terbuka untuk
restorative justice. Sebagai contoh dapat dilihat di bawah ini :
1. Korban dan pelaku bertemu dengan mengambi l tempat di penjara, ini terjadi
negara AS, Canada, Inggris, Belgia, Belanda dan beberapa negara lain. Pada
beberapa keadaan pertemuan melibatkan korban dan pelaku pada suatu jenis
mediasi pasca pemidanaan oleh peradilan pidana pemerintah. Pada saat lain
pertemuan melibatkan kelompok yang tidak mempunyai hubungan secara
langusng dengan korban atau pelaku. Hal ini dilakukan pada kasus korban
kekerasan seksual ( sexual assault ), pelakunya di negara Canada dan Inggris.
Hal itu juga dilakukan oleh kirban dan pel aku pada kasus kekerasan perusakan
barang atau bangunan ( property offences ) sampai pada kasus pembunuhan.
Dalam program Prison Fellowship International yang telah diterapkan di
Negara Mew Zealand, Inggris dan AS. Tujuan dari pertemuan tersebut untuk
membantu setiap kelompok dalam proses penyembuhannya dengan memberi
kesempatan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan yang mana mereka
mungkin tidak pernah dapat menyampaikan sebelumnya. Dalam beberapa
kasus hal tersebut tepat karena korban dan pelaku sebenarnya
tidak diketahui
atau tidak dapat dihadirkan lagi. Pada kasus lain hal tersebut merupakan
langkah persiapan menuju sebuah pertemuan pelaku dan korban
2. Circles diberlakukan di Negara Canada terhadap kasus pelaku kekerasan
seksual yang serius (seperti kasu
s phedophilia) yang dibebaskan kepada
masyarakat atas hukuman mereka. Circles dibentuk dari masyarakat yang setia
yang masuh dalam perjanjian pembebasan pelaku yang berhubungan dengan
dorongan dan pertanggung jawaban. Program ini meningkatkan keamanan
72
masyarakat/publik dengan memegang surat pernyataan pertanggung jawaban
pelaku dengan mengembalikan mereka pada suatu pengawasan ketat dan
pemberitahuan kepada polisi (agar diawasi) jika diperlukan dan dengan
meyakinkan bahwa beberapa orang pemuka atau warga bi
asa masyarakat
mendukung pelaku untuk diawasi. Sistem ini juga untuk mengamankan pelaku
dari ancaman dan rasa takut dengan menempatkannya pada lembaga
masyarakat atau bekerja membantu polisi dan pihak berwenang lain
3. Proses restorative justice untuk meny elesaikan konflik antar warga negara dan
pemerintah di negara penyelesaian perselisihan pada kasus kebrutalan polisi
terhadap warga negara.82
4. Aksi kalangan legislative telah dilakukan untuk menggunakan
restorative
justice termasuk Indonesia. Dalam surveynya Van Ness dan Nolan tahun 1998
mengamati beberapa agenda kegiatan legislasi restorative justice di beberapa
negara :83
a. Untuk mengurangi rintangan rumitnya sistem hukum untuk penerapan
progran restorative justice
b. Melihat sebuag peluang dasar hukum
c. Memandu dan mendirikan program restorative justice
d. Melindungi hak-hak korban dan pelaku
e. Dalam banyak sistem peradilan program restorative justice dimulai sebagai
model contoh atau pilot program untuk dilihat keefektivitasnya dalam
82
83
Helen Duffy, (2000), Overview :
Truuth Commissions as a Response to State
-sanctioned
Crime, Paper to the ancillia
ry meeting on Restorative Principles in Responde to State
Sanctioned Crime at the 10 th UN Crime Congress, Vienna, May, 2000 yang dikutip dari buku
Allison Morris, Op.cit., hal. 12
D. Van Ness and P. Nolan (1998), Legislating for to Regent, London : University Law Review,
hal. 53 - 111
73
jangka waktu tertentu. Walaupun program tersebut berhasil namun untuk
mempersiapkan kelengkapan restorative just ice dibutuhkan dana yang
cukup banyak terutama untuk training dan perekrutan para staf. Canada
dan USA dan England adalah beberapa contoh dari negara
-negara yang
mempunyai penelitian untuk pengembangan program restorative justice
f. Satu hasil dari pengemb angan restorative justice adalah adanya debat dan
diskusi pada tingkat internasional. Pada tahun 2000 panitia kementerian
Uni Eropa merekomendasikan penggunaan mediasi dalam permasalahan
hukuman. Uni Eropa mendanai pembentukkan forum Eropa untuk VOM
dan restorative justice, tujuannya adalah tukar menukar pemahaman ( brain
share) untuk mempertimbangkan mutu kerja sama dan penyelenggaraan
secara internasional penelitian Comparative dalam mediasi. Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah memberikan perhatian pada restorative justice dalam
sebuah Hand Book on Nustice for Victims84
“The framwork for restorative jus tice involves the offender, the victim and
the entire community in effort to create a balance approach that is
offender-directed and at the same time, victim centered. Victim
compensation has become a key feature of restorative justice in many
developed co untries but could well be review in developing countries,
where it has largely been abandoned with the introduction of alien justice
system ( terjemahan penulis, kerangka berpikit
restorative justice adalah
pelibatan pelaku, korban dan lingkungan serta masy arakatnya dalam upaya
menciptakan pendekatan seimbang antara peran langsung korban dan
84
United Nations Office for drug control and crime prevention, Han d book on justice for victim,
on the use and application of the declaration of basic prinsiples of justice for victims of crime
and abuse of power (Centre for International Crime Prevention, New York, 1999, hal. 42 – 43)
74
pelaku. Kompensasi terhadap korban menjadi kunci/ciri khas yang
menggambarkan pelaksanaan restorative justice di berbagai negara namun
dapat menampilkan sesuatu yang leb ih bak lagi, di mana telah menjadi
sesuatu yang terbuang dengan pengenalan dari sistem peradilan yang
berbeda”.
Restorative justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasusu
kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permaslaahan dar i suatu
kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki
kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Perbaikan
tatanan sosial masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan merupakan
bagian penting dari konsep restorative justice. Konsep restorative justice bukanlah
merupakan sebuah konsep yang sudah mantap dan sempurna, untuk
menerapkannya dengan baik dalam sebuah tatanan masyarakat suatu negara harus
dibangun konsep yang sesuai dengan akar budaya
masyarakat negara tersebut.
Ketika konsep ini akan diterapkan maka banyak pertimbangan yang harus
disesuaikan dengan budaya dari masyarakat, karena salah satu pihak yang menjadi
pelaksananya adalah masyarakat itu sendiri.
Untuk menempatkan
restorative jus tice menjadi suatu bentuk proses
penyelesaian kasus tindak pidana yang diakui dan dijalankan di sebuah negara.
Tantangan besar yang harus dihadapi untuk melaksanakan konsep
justice dalam sebuah negara yaitu membuat supaya
restorative
restorative justice dapat
dimasukkan dalamkonstitusi negara yang sudah mantap. Pada kenyataannya
tantang dalam mengubah sistem peradilan pidana formal yang ada dan menjadikan
restorative justice sebagai salah satu unsur dalam sistem peradilan pidana tersebut
75
tidaklah mudah. Beb erapa negara seperti USA, Inggris dan Australia pun yang
sudah menjadikan konsep restorative justice sebagai proses yang diakui namun
dalam penerapannya tetap saja ada tantangan yang berat karena negara lebih
mengutamakan sistem peradilan pidana yang ada sebagai jalan dalam penyelesaian
kasus anak.
Penyelesaian perkara dengan
restorative justice menitik beratkan pada
kerusakan yang berakibat pada korban atau para korban dan masyarakat terdekat
yang menekankan kepentingan dari pihak. Inti dalam proses
restorative justice
yaitu korban, masyarakat dan pelaku untuk membangun tanggapan yang bersifat
menyembuhkan tindakan kejahatan. Teori
restorative justice mempunyai suatu
peningkatan pengaruh bagi masyarakat dan sistem peradilan yang telah ada seperti
yang terj adi di negara Amerika Utara, Eropa dan Fasifik Selatan. Program
restorative justice yang paling lama dan banyak diterapkan di banyak negara di
dunia adalah aplikasi restorative justice dalam bentuk victim offender mediation .
Lebih dari 25 tahun pengalaman dan penelitian yang melibatkan ribuan referensi
kasus di sepanjang Amerika Utara dan Eropa.
mana sering disebutkan
Victim offender mediation yang
victim offender reconciliation
atau victim offender
conferencing, tetap secara empiris menjadi dasar yang kuat dalam perkembangan
restorative justice.
Permasalahan pelaksanaan konsep restorative justice dan victim offender
mediation adalah alam menentukan suatu model mediasi yang harus diterapkan
atau diadopsi untuk memberikan ketepatan akan kebutuhan dari para p
ihak yang
terlibat dalam proses apabila yang ditangani adalah kasus dengan konflik kriminal
yang cukup serius. Untuk itu diperlukan training atau pelatihan yang sangat
76
intensif terhadap mediator dalam waktu yang cukup lama untuk menangani kasus
yang ada di masa yang akan datang. Sebagai contoh mediator harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan khusus berhubungan dengan pekerjaannya dalam
menangani kasus kriminal serius sebagai tambahan dari keterampilan mediasi
bisasa yang standar.
Pelatihan lanjutan tid
ak hanya menitik beratkan pada mekanisme
negosiasi/mediasi saja, lebih dari itu juga ditekankan kepada sebuah pemahaman
berdasarkan pengalaman dari perjalanan yang menyedihkan, menyakitkan dari
pihak peserta mediasi. Selain itu pelatihan lanjutan butuh pen
itik beratan pada
proses memfasilitasi suatu dialog langsung atau terbuka diantara pihak yang
berhubungan dengan kejahatan kekerasan yang terjadi, mengamati pengalaman
kesakitan dari korban atau anggota keluarganya dan kemungkinan pengakhiran
dan penyembuh an melalui proses yang saling memperhatikan dan saling
menolong.
Dari sisi pandangan korban, hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh
seorang mediator agar mempunyai pemahaman terhadap seseorang yang menjadi
korban dan mau kembgali berunding dengan per
asaan sakit dan kerugian yang
mereka alami, memahami trauma pasca tekanan yang dijalani dan akibatnya serta
kemampuan berkolaborasi dengan ahli psikoterapi.
Dari sisi pandangan pelaku kriminal, seorang mediatir memerlukan hal -hal
seperti pemahaman atas si stem peradilan pidana dan pemasyarakatan, sebuah
pemahaman pengalaman pelaku dan narapidana, kemampuan berhubungan dengan
pelaku kejahatan sadis dalam sebuah keadaan bukan di persidangan dan
kemampuan bernegosiasi dengan petugas tingkat atasan di lembaga
77
pemasyarakatan untuk memperkuat jalur hubungan dengan para narapidana yang
ada di lembaga pemasyarakatan. Kemampuan mediator berpengaruh dalam proses
restorative justice yang akan dilakukan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak
pidana.
Bazemore dan Lode W algrave mendefinisikan restorative justice sebagai
setiap aksi yang pada dasarnya bermaksud melakukan/membuat keadilan dengan
melakukan perbaikan atas kerugian yang terjadi oleh kriminal.
Menurut pihak yang bermusyawarah aksi tersebut termasuk sanksi
coercive sebagai proses yang sukarela. Sesuai dengan prinsip
restorative justice
secara umum dikenal bahwa masukan dan usulan dari korban dan masyarakat
dalam proses tatap muka, tidak berbentuk ber lawanan, nonformal dan pertemuan
secara sukarela dengan pelaku dalam suasana aman akan menghasilkan proses
yang terbaik. Walaupun dalam proses sukarela yang melibatkan 2 (dua) pihak
yang sebelumnya terlibat dalam pertentangan akibat kriminal namun tidak se lalu
semudah yang kita bayangkan. Tindakan coercive kemungkinan dapat saja terjadi
dalam suasana yang versifat sukarela dan mengutamakan kejujuran dan ketulusan
masing-masing. Jika terjadi coercive maka prosesselanjutnya harus dikembalikan
ke sistem peradi
lan pidana formal (biasa) untuk menghindari terjadinya
pemaksaan pada salah satu pihak. Namun kekurangan karena
ditanggapi secara rasional,
coercion harus
restorative dan aspek (saling menghormati) harus
diutamakan karena kita mencari jalan peradilan yang
adil dan sanksi yang
diberikan tepat untuk mendapat hasil maksimum dan efek restorative pada korban,
pelaku dan masyarakat. Intervensi peradilan merupakan bagian dari
restorative
justice jika memang tidak dicapai kesekapatan dan hal ini yang merupakan
78
penyesuaian kondisi sehingga dapat lebih dibatasi dari pada saat dilakukan dalam
suasana sukarela.
cour de cassation
Dalam hal penghukuman orang Belgia menyebut
(supreme court) mengartikan vonis pengadilan sebagai “sebuah perlakuan keras
yang diimplikasikan o leh peradilan pidana, berdasarkan hukum menghukum
(sanksi) terhadap perilaku pelaku yang melanggar hukum. Secara umum hukuman
adalah implikasi dari pencabutan hak yaitu berupa perbaikan yang keras atau
menyakitkan terhadap seseorang karena mereka telah din
yatakan melakukan
kesalahan.
Ada 4 (empat) hal yang penting dalam penghukuman :
1. Coerciveness atau bersifat pemaksaan
2. Pengawasan keras yang dikenakan
3. Maksud atau tujuan untuk menimbulkan penderitaan
4. Adanya hubungan sebab akibat kesakitan dan pe
nderitaan yang diberikan
dengan kesalahan yang dilakukan.
Jika salah satu dari 4 (empat) elemen di atas tidak dipenuhi, maka selama
itu tidak disebut hukuman.
Menurut pandangan restorative justice pengawasan yang keras/ketat dari
sebuah kesepa katan bukan alasan yang tepat untuk menyebutnya sebagai
hukuman. Pendendaan yang tidak dihubungkan dengan kesalahan yang dilakukan
atau tidak menimbulkan sifat pemaksaan bukanlah sebuah hukuman atau
punishment. Keraguan ini harus didasarkan pada lokasi psi
kologis dari perasaan
tersiksa pelaku. Hukuman (legal atau nonformal) adalah berlaku sebagai sebuah
perbuatan yang disengaja terhadap pelaku atas nilai kesalahannya.
79
Banyak versi konsep restorative justice diterima bahwa pengadilan dapat
menjatuhkan sanks i restorative seperti ganti rugi resmi, melakukan kerja yang
hasilnya untuk dana korban atau kerja sosial dengan mempertimbangkan contoh
sebagai berikut :
1. Korban dan masyarakat setempat tidak dipersiapkan untuk setuju pada keadaan
yang tidak adil terhad ap pelaku. Mediasi antara korban dan pelaku tidak dapat
dipaksakan sehingga seorang hakim hendaknya memutuskan untuk
melaksanakan restorative justice
2. Pelaku bisa menolak untuk menerima tindakan
rasional, karena korban dan masyar
restorative justice
yang
akat tidak dapat memaksakan hal itu.
Pilihan hanyak untuk hakim untuk menjatuhkan sanksi. Namun sanksi yang
dijatuhkan juga dapat berupa restorative justice
3. Ada beberapa pelanggaran yang sungguh -sungguh serius sehingga berdampak
pada masyarakat lokal. S uatu intervensi publik memaksa atau sanksi oleh
peradilan pidana mungkin lebih tepat sebagai rasa kekhawatiran korban dan
masyarakat, sehingga aspek restorative justice tetap ada walaupun prosesnya
dijalankan lembaga peradilan pidana. Isi dari sanksi yang
diputuskan harus
diutamakan untuk kebaikan dan penyembuhan semuanya, kalau perlu mungkin
pelaku dapat ditahan, namun harus diberi kesempatan
Mengapa kita tidak menyebut hasil dari
restorative justice.
restorative justice sebagai suatu
hukuman ? Hal itu karena tidak ada tujuan atau maksud untuk membuat pelaku
memperoleh penderitaan. Kepentingan restorative justice dan beban hanyalah
sisi akibat lain dari tindakan restorative justice. Ketidak enakan pada pelaku
mungkin dan kadang merupakan konsekuensi dari ke
wajiban restorative
80
justice, tetapi tidak bermaksud mengakibatkan supaya menderita/luka.
Restorative justice tidak melihat apa yang menjadi perasaan pelaku, sepanjang
haknya sebagai warga negara dihormati dan sebuah kontribusi yang wajar
dibuat untuk menye mbuhkan kerugian, penderitaan, kegelisahan masyarakat
yang diakibatkan kejadian itu
Pada awalnya mungkin pelaku tidak senang hati menerima proses
restorative justice , akan tetapi dalam jangka waktu panjang pelaku dapat
memahami sanksi yang ditetapkan, kar ena sanksi yang ditetapkan lebih mudah
memberikan kesempatan kepada pelaku untuk diterima masyarakat dari pada
dengan cara retributive.
Sanksi restorative justice di dalam masyarakat akan menjadi pendidikan
untuk masyarakat itu sendiri. Berdasarkan teori
Republik pada peradilan pidana
menurut Braithwaite dan Pettii adalah target dari sistem peradilan pidana yaitu
untuk memelihara, melindungi, mempertahankan atau untuk
mengembalikan/menyembuhkan kekuasaan, memaksakan atau mengancam
terhadap peristiwa kejahatan.
Restorative justice tidak hanya ditujukan pada pelaku saja sebagai pokok
utama prosesnya, sebaliknya untuk merehabilitasi keadilan dan hukum.
Restorative justice dapat dijalankan walau pelakunya tidak diketahui atau tidak
ditangkap. Saat kerugian dik etahui kemungkinan ada korban dan faktor
pendukung restorative justice
-faktor
dipenuhi seperti masyarakat mau mendukung
supaya ada kompensasi dan perbaikan. Jika nantinya pelaku tertangkap maka
pelaku diwajibkan menjalani proses penyembuhan. Pelaku bukan s
ebuah objek
81
dari restorative justice , melainkan bagian dari pelaksanaan konsep
restorative
justice.
B. Pelaksanaan Restorative Justice
Di Indonesia pengembangan konsep restorative justice merupakan suatu
yang baru, yang mana Kota Bandung menjadi salah sa
tu tempat pelaksaan pilot
project Unicef tentang pengembangan konsep restorative justice pada tahun 2003.
Restorative justice adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana
formal ke inf ormal sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana tertentu bersama
-sama memecahkan masalah untuk menangani
akibat perbuatan anak di masa yang akan datang.
Tindak pidana, khususnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dilihat
sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan berhubungan antara manusia,
yang menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi
perbaikan, rekonsiliasi dan menenteramkan hati.
Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 3 Undang
-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Perlind ungan Anak, yaitu bahwa “penangkapan, penahanan atau
tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabilasesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Pengadilan negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan mengadil i
perkara-perkara yang dilimpahkan dari kejaksaan negeri. Dari daftar perkara
82
pidana anak pada Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bandung selama 1
(satu) tahun terakhir (Januari 2004 – Mei 2005) tercatat sebanyak 70 (tujuh puluh)
perkara anak, yang usia nya berkisar 13
– 18 tahun yang pada saat perkara
dilimpahkan hampir semua terdakwa berada dalam tahanan.
Sejalan dengan tujuan restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah
membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan
terdakwaanak yang ditahan dari terdakwa dewasa sejak saat yang bersangkutan
tiba dari rutan.
Terdakwa anak yang menunggu waktu persidangan ditempatkan di ruang
tunggu khusus dengan didampingi oleh orang tua atau keluarganya dan atau
petugas Bapas dan di ruangan it u disediakan pula buku -buku bacaan anak -anak
dan remaja yang merupakan sumbangan dari Unicef ( United Nation Children and
Education Fund).
Ruang sidang anak itu sendiri, tempat bagi terdakwa anak, sengaja tidak
diberi tulisan “terdakwa” dengan pertimbangan
psikologis si anak agar merasa
aman, bebas dan tidak merasa dipermalukan selama menjalankan persidangan.
Selanjutnya dalam hal penuntutan pidana dari jaksa penuntut umum, jarang
sekali ditemukan adanya tuntutan pidana melainkan tindakan agar apabila
terdakwa anak tersebut terbukti bersalah, dijatuhi tindakan dikembalikan kepada
orang tua atau setidak-tidaknya sesuai/pas dengan lamanya terdakwa anak tersebut
berada dalam tahanan sementara.
Upaya melaksanakan perintah undang
-undang agar penjatuhan pidana
penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) maka
83
putusan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan terdakwa anak
kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.
Adanya supaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti bahwa semua
perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada
orang tua, karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria -kriteria tertentu,
antara lain :
1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first offender)
2. Anak tersebut masih sekolah
3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius,
tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat
seumur hidup atau tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepenti
ngan
umum
4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi
anak tersebut secara lebih baik
Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya
sebuah sistem tetaplah kembali pada kemauan dan kemampuan cara pelaksa nanya
untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang
terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip
the best
interest of the children.
Hambatan pelaksanaan restorative justice di Bandung, Pertama aturan
yang berlaku dalam sisyem hukum yang ada mewajibkan polisi dan jaksa penuntut
umum untuk menindak lanjuti perkara-perkara yang masuk. Artinya setiap perkara
yang masuk dalam sistem peradilan pidana diharapkan polisi melakukan tindakan
untuk melakukan penangkapan. Selanjutnya dilakukan penahanan. Dengan adanya
84
penahanan yang dilakukan, polisi berusaha untuk menyelidiki kasusnya guna
melimpahkan perkara ke pihak kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Penuntutan
pihak kejaksaan tersebut selanjutnya dilimpahkan pada pihak p
engadilan untuk
dilakukan persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan
tersangka. Tahapan -tahapan tersebut dianggap merupakan kewajiban aparat
penegak hukum untuk melakukan tindakan yang semestinya dilakukan sehingga
sulit melakukan tindakan pengalihan pada penanganan kasus anak.
Hambatan kedua yang dihadapi oleh penuntut umum, bahwa berdasarkan
aturan yang berlaku jaksa penuntut umum wajib mengajukan rencana tuntutan
kepada atasannya dan atasan itulah yang berwenang memutuskan pidana atau
tindakan apa yang akan dituntutkan kepada terdakwa, sehingga dalam
melaksanakan konsep restorative justice tersebut harus ada pemahaman secara
menyeluruh bagi semua komponen pelaksana peradilan anak. Artinya pemahaman
yang sama harus tertanam secara menyelur uh dalam setiap individu di instansi
yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak.
Karakteristik pelaksanaan restorative justice di Bandung85 :
1. Pelaksanaan restorative justice
di Bandung ditujukan untuk membuat
pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
oleh kesalahannya
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan
dan kualitasnya dalam bert anggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya,
di samping itu untuk mengatasi rasa bersalah secara konstruktif
85
Wawancara dengan Gustinus Pohan dari Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat, tanggal 1
Juni 2005 di Jakarta
85
3. Penyelesaian kasus tindak p idana yang dilakukan melibatkan korban atau para
korban, orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, sekolah
dan teman sebaya
4. Penyelesaian forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang
terjadi
5. Menetapkan hubungan langsun g dan nyata antara kesalahan dengan reaksi
sosial
Berdasarkan karakteristik restorative justice tersebut di atas maka ada
prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice, yaitu :
1. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku
2. Harus ada persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di
luar sistem peradilan pidana anak yang berlaku
3. Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memiliki
kewenangan diskresioner
4. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar
sistem peradilan pidana anak
Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep
restorative justice, adalah “86 :
1. Kasus tersebut bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan
orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas jalan
2. Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka
berat atau cacat seumur hidup
86
Hasil Worshop Draff Pedoman Diversi untuk Perlindungan bagi Anak yang berhadapan dengan
Hukum yang diadakan oleh Unicef pada tanggal 1- 2 Juni 2005 di Jakarta
86
3. Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius yang
menyangkut kehormatan
Kasus yang dapat diselesaikan dengan
restorative justice adalah kasus
yang telah masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk
dalam sistem peradilan pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan
pidana).
Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justice di Bandung
adalah sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam
masyarakat, dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga
lainnya dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku) dan tujuan
yang hendak dicapai melalui proses mu syawarah adalah untuk memulihkan segala
kerugian dan “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak
tersebut.
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam
restorative justice
(musyawarah
pemulihan) di Bandung, adalah :87
1. Korban dan keluarga korban. Keterlibatan korban dan keluarga korban dalam
penyelesaian secara
restorative justice
tersebut penting sekali. Hal ini
dikarenakan selama ini dalam sistem peradilan pidana, korban kurang
dilibatkan padahal korban adalah pihak yang terlibat langsung dalam konflik
(pihak yang menderita kerugian). Dalam musyawarah tersebut suara atau
kepentingan korban penting untuk didengar dan merupakan bagian dari
putusan yang ajan diambil. Selanjutnya kenapa keluarga korban dilibatkan
87
Agustinus Pohan (2005), Model R estorative Justice Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum di Kota Bandung, Jakarta, 1 Juni 2005, hal. 3
87
sebab umumnya dalam masyarakat Indonesia, konflik pidana sering menjadi
persoalan keluarga, apalagi bila korban masih di bawah umur
2. Pelaku dan keluarganya. Pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan,
karena keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih disebabkan
karena usia pelaku yang belum dewasa (anak). Pelibatan keluarga pelaku juga
dipandang sangat penting karena keluarga sangat mungkin menjadi bagian dari
kesepakatan dalam penyelesaian seperti halnya dalam hal pembayaran ganti
rugi atau pelaksanaan kompensasi lainnya
3. Wakil masyarakat. Wakil masyarakat ini penting untuk mewakili kepentingan
dari lingkung an di mana peristiwa pidana tersebut terjadi. Tujuannya agar
kepentingan-kepentingan yang bersifat publik diharapkan tetap dapat
terwakilkan dalam pengambilan putusan. Adapun kriteria wakil masyarakat
yaitu tokoh masyarakat atau pihak yang dianggap tokoh m asyarakat setempat
(memiliki legitimasi sebagai wakil masyarakat), tidak memiliki kepentingan
dalam kasus yang dihadapi (dapat bertindak mandiri). Memperhatikan
keseimbangan gender agar aspirasi perempuan senantiasa terwakili dalam
pengambilan keputusan.
Adapun tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan yaitu pada tingkat
rukun warga (RW) di lingkungan di mana kasus kenakalan anak tersebut terjadi
(tempat kejadian perkara/TKP) atau di sekolah, khususnya dalam hal kenakalan
yang terjadi di sekolah, baik pelaku maupun korbannya berasal dari sekolah yang
sama.
Unsur pendukung pelaksanaan
restorative justice
membutuhkan
keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk berperan pada tahapawal
88
sebagai inisiator mendorong penggunaan musyawarah pemulihan sebagai
alternatif penyelesaian. Pada tahap awal LSM juga dibutuhkan sebagai konsultan
dan fasilitaor dalam tahap pelaksanaan musyawarah pemulihan.
Syarat-syarat Keputusan Hasil Musyawarah
Restorative Justice
yang
diambil, adalah :88
1. Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan instansi
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana
2. Putusan tidak bersifat punitif, tetapi lebih merupakan solusi dengan
memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti
restitusi (ganti rugi) atau
communityservice order berupa kewajiban kerja
sosial
3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat dan
dapat dilaksanakan
4. Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan atau
dengan bantuan LSM sebagai fasilitator
Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus
dilakukan secara khusus. Pada Pasal 64 ayat (2) Undang -UndangNomor 23 Tahun
2002 t entang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :89
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
-hak
anak
2. Penyediaan petugas pendamping bagi anak sejak dini
88
89
Ibid, hal. 4
Mas Guntur Laupe (2005), Prosedur Khusus Untuk Perlindungan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum dan Upaya Diversi di Kepolisian Res or Kota Bandung Tengah , Jakarta, 1
Juni 2005. Seminar Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, hal. 3
89
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga
7. Perlindungfan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
menurut ayat (3) dilaksanakan melalui : 90
1. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga
2. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media dan untuk
menghindari labelisasi
3. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik,
mental maupun sosial
4. Pemberian jalur untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara
Peranan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan dan
restorative justice ,
yaitu :
1. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari 4 (empa
t)
lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara
90
Ibid
90
2. Pasal 15 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2994 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan khusushanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang
diatur dengan undang -undang. Karena itu, pengadilan anak yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara, berada di
lingkungan peradilan umum
3. Pengadilan anak sebagai pengadilan khusus bagi anak nakal yang berusia
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun dan belum genap 18 (delapan belas)
tahun serta belum pernah kawin, melakukan tindakan pidana atau melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan yang hidup dan berlaku bagi
masyarakat yang bersangkutan91
4. Penanganan anak yang berhadapan de
khusus. Pasal 64 ayat 2 Undang
ngan hukum harus dilakukan secara
-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang
berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :92
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak -hak
anak
b. Penyediaan petugas pendamping bagi anak sejak dini
c. Penyediaan sarana dan prasarana
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
e. Pemantauan dan pencatatan terus -menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum
91
92
Pasal 4 jo Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Ibid, hal. 2
91
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga
g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi
Hakim dalam sidang anak, yaitu :
1. Hakim tingkat prtama, tingkat banding dan tingkat kasasi memeriksa perkara
anak sebagai hakim tunggal, namun dalam hal tertentu dan dipandang perlu
ketua pengadilan yang bersangkutan dan ketua Mahkamah Agung dapat
menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis
2. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengatur tat tertib persidangan
untuk dilakukan secara tertutup, namun putusannya harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum
Peranan Mahkamah Agung dalam diversi dan restorative justice .93 Sesuai
dengan tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang
-undang, Mahkamah
Agung dan badan peradilandi bawahannya, hanya anak nakal yang telah berusia 8
(delapan) tahun dan belum genap 18 (delapan belas) tahun yang perkaranya
diajukan oleh jaksa/penuntut umum saja yang dapat diperiksa dan diputus oleh
pengadilan anak. Berarti anak yang belum berusia 8 (delapan) tahun tidak dapat
diajukan ke pengadilan.
Permasalahan yang kini menjadi perhatian yaitu apakah anak nakal yang
berusia 8 (delapan)
tahun dapat dijauhkan dalam sistem peradilan, dengan
pengertian penyidik tidak akan meneruskan perkaranya ke jaksa/penuntut umum
sehingga pada akhirnya perkara tersebut tidak akan sampai ke pengadilan. Hal ini
93
Marianna Sutadi, 2005, Makalah Peranan Mahkamah Agung Dalam Diversi dan Restorative
Justice, Workshop Pedoman Diversi Untuk Penegak Hukum Untuk Perlindungan Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005, hal. 2
92
sangat tergantung dari tingkat keseriusan tin dak pidananya dan melihat keadaan
dan kemampuan keluarga anak untuk mendidik dan membina anak tersebut.
Praktiknya seorang anak berusia 9 (sembilan) tahun yang mencuri tidak diproses
hukum, hal ini dapat kita implementasikan dalam tindakan diskresi.94
Mahkamah Agung dalam berbagai penataan/pelatihan selalu mengingatkan
para hakim agar lebih mengutamakan tindakan sebagaimana dimaksud oleh Pasal
24 Undang -Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang dijatuhkan kepada anak nakal.
Namun permasalahan utamanya
orang tua ataupun wali anak tersebut tidak
mampu memberikan pendidikan dan pembinaan lebih baik oleh karena ketidak
mampuan secara ekonomi dan kurangnya pengetahuan untuk berbuat yang terbaik
bagi anak.
Dengan diajukan perkara anak nakal ke pengadilan mak a pengadilan wajib
untuk memaksa dan memutus perkara tersebut. Persidangan anak dilakukan pada
hari tidak ada persidangan orang dewasa dan dalam ruangan tunggu tidak sama
dengan orang dewasa.95
C. Tindak Pidana Yang Diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice
Praktik restorative justice telah dipergunakan oleh berbagai negara di
dunia untuk menyelesaikan tindka pidana melalui proses di luar peradilan pidana
formal. Penyelesaian tindak pidana tertentu terutama yang dilakukan oleh anak
terjadi karena pelaksanaan restorative justice di berbagai negara mempunyai jenis
tindak pidana yang da pat diselelsaikan menurut karakteristik dan aturan di negara
tersebut. Secara umum dalam konsep
94
95
restorative justice tidak membatasi dan
Ibid, hal. 3
Dari makalah Marianna Sutadi, Wakil Ketua Mahkamah Agung Repu blik Indonesia, Peranan
Mahkamah Agung Dalam Diversi dan Restorative Justice , 1 Juni 2005
93
menempatkan tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan. Setiap tindak pidana
dapat diselesaikan dengan penyelesaian di luar peradilan formal melalui proses
restorative justice , hanya saja pelaksanaan proses tersebut harus sesuai dengan
prinsip utama restorative justice.
Pada perjalanan pelaksanaannya di beberapa negara penyelesaian
restorative justice telah dilakukan u ntuk menyelesaikan beberapa macam tindak
pidana yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh di negara Italia, menurut aturan
pidananya ada beberapa tindak pidana yang dapat dilakukan dengan perdamaian
tanpa dirujuk kepada sistem peradilan pidana formal yaitu :96
1. Melukai seseorang (personil injury)
2. Kekeliruan dalam membantu seseorang yang membutuhkan pertolongan
(failure to come to the aid of someone in distress)
3. Penghinaan (insult)
4. Pencemaran nama baik (libel)
5. Penyerangan (assaulti)
6. Perampasan (usurpation)
7. Pencurian aliran air (illegal water diverson)
8. Penguasaan tanah illegal (illegal occupation of land)
9. Perusakan barang (damage to property0
10. Membunuh binatang ternak orang lain (killing animals flock or herd)
11. Pencatatan atau pengotoran barang (defacement or soiling of propertyi)
12. Menjual minuman beralkohol pada anak-anak (selling alcohol to minor)
96
Lode Walgrave (2003),
Editions, hal. 289
Repositioning Restorative Justice , UK : Willan Publishing, First
94
13. Membuat orang lain menjadi mabuk (
causing another person to become
intoxicated)
selling alcohol to
14. Menjual alkohol pada seseorang yang sedang mabuk (
indiviiduals who are intoxicated)
15. Kegagalan memenuhi kewajiban untuk menyediakan pendi dikan dasar (failure
to fulfill obligation to provide a basic education)
16. Pelangaran terhadap moral masyarakat (offence againts public moral)
Tindakan yang dilakukan terhadap pelanggaran
-pelanggaran tersebut
97
adalah perundingan/langkah perbaikan, diversi dan tindakan penghukuman.
Diversi dilakukan dengan ketentuan tindak pidana yang dilakukan tidak
menimbulkan kerusakan yang berat, pelaku tidak mempunyai sejarah melakukan
tindak pidana serius, tingkat kebersalahan pelaku yang kecil dan apabila dikenakan
sanksi akan mengakibatkan efek
buruk bagi pekerjaan, studi, keluarga atau
kesehatan dari pelaku.
Tindak pidana yang diselesaikan melalui proses
victim offender mediation
restorative justice yaitu
di negara Jerman menurut hasil penelitian adalah
melukai badan ( bodily injury ), pencurian (theit), pengrusakan barang ( damage to
property), perampokan atau pemerasan ( robbery/extortion), tindak pidana yang
tergolong berat (felonies) dan kejahatan kekerasan lain (violent crimes).98
Di Negara Norwegia semua tindak pidana dapat dilakukan mediasi kecuali
tindak pidana sangat serius dan berat. Sebagai contoh kasus yang ditangani
melalui restorative justice pada tahun 1993 diantaranya pencurian ( theit), ugal -
97
98
Ibid
Elmar G. M. Weitekamp & Hans-Jurgen Kerner (2003), Op.cit, hal. 212
95
ugalan dalam berkendara (joy riding), pengrusakan barang orang lain (vanndalism)
atau kasus serius tanpa menyebabkan luka yang parah pada korbannya.99
Di Negara Australia pelanggaran yang dapat dialihkan kepada
restorative
justiceadalah tindak pidana selain yang terjadi cukup serius, akrena jika cukup
serius seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan, pelanggaran konsumsi
alkohol dan keselamatan jalan raya maka harus ditangani oleh pengadilan.
Pelanggaran selain itu diputuskan dengan diskresi oleh polisi.
Dalam buku restorative justice, Philosophy to Practice
oleh Heather
Strang disebutkan beberapa contoh kasus yang diselesaikan dengan proses
restorative justice, seperti :100
1. Seorang anak bernama David berumur 15 tahun yang telah beberapa kali
mendapat peringatan dari polisi dalam kasus pelanggaran ringan. Namun suatu
saat dia terlibat kasus kriminal serius yaitu pencurian kenderaan dan
pembongkaran rumah ( burglary) dalam satu kejadian. Karena pelanggaran
yang dilakukan cukup serius maka David mendapat kurungan selama 6 (enam)
bulan dan setelah itu karena proses
restorative justice ditempatkan bersama
saudara perempuannya
2. Seseorang yang mengemudi sambil meminul al kohol juga dapat diselesaikan
dengan restorative justice
3. Tindakan pembunuhan ( murder) terhadap seorang laki -laki oleh beberapa
pelaku perampokan bersenjata yang melepaskan tembakan serampangan dalam
toko pizza. Melalui proses yang panjang akhirnya dilak
ukan pelaksanaan
perundingan, namun tidak memutuskan pelaku untuk mendapatkan
99
100
Lode Walgrave (2003), Op.cit., hal. 50
Heather Strang dan John Braitwaite (2000), Op.cit., hal. 81 – 87
96
pembebasan. Tapi dengan dilaksanakannya proses
restorative justice pihak
keluarga korban tidak merasakan beban yang terlalu berat lagi atas kematian
anaknya dan pihak pelaku tidak terlalu berat memikul perasaan bersalahnya
Di Negara Polandia tidak ada batasan untuk tindak pidana (kasus) apa
dapat dilakukan proses restorative justice untuk anak. Asalkan luka atau bahaya
yang timbul diakui oleh pelaku kemudian korban dapat diketahu i dan pertanggung
jawaban oleh pelaku tidak bertentangan dengan hukum (misalnya tidak boleh
pertanggung jawabannya pelaku dipukuli, disakiti secara fisik dan lain-lain).
D. Hambatan Pelaksanaan Restorative Justice
Pelaksanaan restorative justice di berbagai negara menunjukkan beberapa
keberhasilan. Beberapa negara telah melaksanakan dan berhasil dalam
pelaksanaan restorative justice dalam penanganan kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dengan memakai bentuk -bentuk yang sesuai dan mempunyai
akar di negara masing -masing, hal ini dapat kita lihat pada bagian B sbbab 2
perkembangan restorative justice dan subbab 3 mengenai ilustrasi penelitian
terhadap pelaksanaan restorative justice, yaitu pelaksanaan restorative justice .
Namun, di samping keb erhasilan berbagai negara dalam pelaksanaan konsep
restorative justice didapati juga hambatan atau tantangan dalam pelaksanaannya
di berbagai negara tersebut.
Hambatan yang dialami oleh beberapa negara dalam pelaksanaan
restorative justice
diantaranya pad a pelanggaran yang sangat serius yang
dilakukan oleh anak. Kebanyakan pelanggaran serius yang dilakukan anak di
Negara Canada akan dikembalikan ke peradilan formal untuk mendapatkan
97
hukuman penjara
101
restorative justice
Untuk tipe pelaku tertentu
bukan
merupakan pilihan ya ng tepat, menurut Umbreit tidak semua atau ada beberapa
tindak pidana serius atau pelaku tertentu yang harus diasingkan dari lingkungan
dengan alasan keamanan umum. 102 Adanya kesulitan untuk membuat rasa percaya
masyarakat terhadap pelaksanaan restorative justice pada kasus-kasus yang berat.
Selain itu, alasan adanya tindakan residivis oleh pelaku anak setelah menjalani
proses restorative justice
membuat pertanyaan masyarakat apabila harus
mengulangi proses tersebut beberapa kali terhadap pelaku yang sama.
Terjadinya re -offending terhadap anak pelaku setelah menjalankan
restorative justice
kembali. Kegagalan
membuat anak harus menjalani proses peradilan formal
restorative justice
dikarenakan gagalnya pelaksanaan
kesepakatan restitusi oleh pelaku. 103
Pelaksanaan restorative justice
yang dilaksanakan dengan kurangnya
pelatihan dalam mengatasi konflik dan teknik memfasilitasi/mediasi dan
pelaksanaannya kurang se mpurna akan menyebabkan kurangnya keberhasilan
dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, peran pelaksana
membantu sukses atau tidaknya dalam pelaksanaan.
akan mempunyaia pengalaman dimarginalkan (
apabila dia tidak diundang dalam proses
restorative justice sangat
104
Sebagai contoh, k orban
experience marginalisationi)
restorative justice . Selain itu, apabila
tidak dipersiapkan dengan baik mengenai hak -hak dan tanggung jawab masing masing pihak dalam media
101
102
103
104
si maka proses tidak akan menemukan hasil
Roach (2000), Changing Punishment at The Turn of The Ce ntury : Restorative Justice on The
Rise Canadian Journal of Criminology , hal. 42 – 43; 249 – 280, yang dikutip dari Elmar G.
M. Weitekamp &Hans-Jurgen Kerner (2003), Op.cit., hal. 2
Gordon Bazemore dan Mark S. Umbreit (1995). Rethinking The Sanction Function in Juvenile
Court; Retributive or Restorative Response to Youth Crime : Crime and Delinquency, hal. 41 –
43; 296 – 316, Elmar G. M. Weitekamp & Hans-Jurgen Kerner (2003), Ibid
Elmar G. M. Weitekamp & Hans-Juger Kerner (2003), Op.cit., hal. 208
Heather Strang dan John Braitwaite (2000), Op.cit., hal. 69
98
sebagaimana yang diharapkan. Apabila korban tidak mendapat pendampingan,
baik oleh walinya, lembaga anak maupun pihak pendukungnya maka akan
membuat perasaan diintimadasi dan dikorbankan kembali pada korban, terleb
ih
lagi jika pelaku yang hadir dan pihak keluarganya berkeinginan keras untuk
mencapai kesepakatan.
Menurut John Braitwaite : 105 “restorative justice fails in case one or more
of primary stake holders is silenced, marginalised and empowered in pro
cesses
that are intended to be restorative. Conversly, restorative justice succeeds in
cases where the primary stake holders can speak their minds without intimidation
or fear, and empowered to take an active role in negotiating a resolution that is
acceptable and is right for them (
terjemahan penulis : restorative justice tidak
dapat dilakukan dalam hal ada 1 (satu) atau lebih dari pihak utama tidak ikut serta
atau tidak berpartisipasi diabaikan dan diwakilkan dalam jalannya proses.
Sebaliknya restorative justice
akam berhasil apabila pihak utama dapat
menyampaikan aspirasinya dengan baik, jujur tanpa paksaan dan intimidasi serta
diberi mandat untuk aktif dalam proses negosiasi untuk merumuskan sebuah
penyelesaian yang dapat diterima dan benar bagi semua pihak).
Tanpa semua sumber daya manusia yang ikut berperan, maka
restorative
justice hanya sebagi nama dari proses tanpa hasil yang terbaik bagi semua pihak
yang ikut serta.
105
John Braitwaite (1960), Restorative Justice and A Better Future , Dalhouise : Dorothy J.
Killam Memorial Lecture hal. 24, yang dikutip dari Heather Strang dan John Braithwaite
(2000), Op.cit., hal. 70
99
Rangkuman
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) ada
lah segala
unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus
-kasus
kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama
kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah
anak akan d ibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga
pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan
atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak
akan ditempatkan dalam pilihan
-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai
dimasukkan dalam institusi penghukuman.
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga
telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.
Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi pen
yelesaian kasus -kasus anak yang
berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjad
:untuk m enghindari anak dari penahanan;
sebagai penjahat;
i tujuan upaya diversi adalah
untuk menghindari c ap/label anak
untuk mencegah pengulangan tindak pidana
yang yang
dilakukan oleh anak; agar anak berta nggung jawab atas perbuatannya;
untuk
melakukan intervensi -intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tan
pa
harus melalui proses formal; menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
menjauhkan anak dari pengaruh dan i
mplikasi negatif dari proses peradilan.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi
mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi
anak.
Adapun yang menjad i tujuan upaya diversi adalah:
untuk m enghindari
anak dari penahanan; untuk menghindari c ap/label anak sebagai penjahat; untuk
mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak; agar anak
bertanggung jawab atas perbuatannya;
untuk melakukan intervensi -intervensi
yang diperlukan bag i korban dan anak tan
pa harus melalui proses formal;
menghindari anak men gikuti proses sistem peradilan;
menjauhkan anak dari
pengaruh dan implikas i negatif dari proses peradilan;
Program diversi dapat
100
menjadi b entuk restoratif justice jika mendorong anak untuk berta nggung jawab
atas perbuatannya; memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan
yang dilakukan dengan b erbuat kebaikan bagi si korban; memberikan kesempatan
bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; memberikan kesempatan bagi anak
untuk dapat mempertah
ankan hubungan dengan keluarga;
memberikan
kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan
oleh tindak pidana.
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang
lalu seb agai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja
Peradilan Anak Perserikatan Bangsa -Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative
justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana
tertentu duduk bersama -sama untuk me mecahkan masalah dan memikirkan
bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan data
ng. Proses ini pada
dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari
proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan seca
ra
musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi
Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian
perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah
dengan tujuan untuk mendapa
tkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Dengan menggunakan metode
restorative, hasil yang diharapkan ialah
berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara,
menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal
sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari.
Uji kompetensi
1. Bagaimana mengenai konsep Diversi dan Restoratif Justice?
2. Bagaimana hambatan -hambatan dalam penerapan konsep Diversi dan
Restoratif
justice?
101
Download