Semnas Sipendikum FH UNIKAMA

advertisement
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
KEADILAN RESTORATIF DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM
ANAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
Moh. Abd. Rauf dan Rifka Herliani1
E-mail:[email protected]
Abstrak
Maraknya kasus pelecehan seksual menjadi problem krusial yang
harus ditangani secara intensif. Pada dasarnya, Peraturan
Perundang-undangan nomor 1 tahun 2016 yang diubah ke dalam UU
nomor 17 tahun 2016, menjelaskan bahwa kekerasan seksual
terhadap anak merupakan kejahatan serius. Namun, implementasinya
tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Disisi lain, adanya
kebijakan masih belum bisa memberikan efek jera pada pelaku.
Beberapa data membuktikan banyaknya kasus kekerasan seksual yang
masih terjadi pada anak. Maka dari itu, perlunya berbagai upaya
perlindungan hukum yang menitik-beratkan keadilan terhadap
sesuatu yang menjadi hak asasi korban.Harapan penulis, penelitian
ini menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta
dapat memberikan kontribusi dan solusi konkrit bagi para legislator
dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
perkosaan. Dalam menangani problem krusial tersebut, peneliti
merumuskan pertanyaan Bagaimana bentuk perlindungan hukum
terhadap anak perempuan sebagai korban kekerasan seksual pada
saat ini? dan Bagaimana upaya penanganan yang dapat diberikan
untuk menegakkan keadilan pada korban kekerasan seksual sesuai
perundangan-undangan yang telah ditetapkan baik secara
konstitusional maupun praktsinya?Penelitian yang dugunakan adalah
normatif-yuridis atau penelitian kepustakaan (library reaserch)
dengan
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan.
Bagiamanapun secara konstitusional telah diatur dalam UURI
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak seperti
mekanisme pemulihan korban baik dari segi psikologis,sarana
pendidikan, dan sarana kembali ke masyarakat. Akan tetapi, dalam
praktisnya masih belum berjalan dengan optimal dan maksimal,
sehingga perlu adanya kontribusi dari lembaga khusus.
Kata Kunci: AnakKorban, Keadilan Restoratif, Perlindunggan
Hukum
1
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah danTarbiah IAIN Jember
106
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
PENDAHULUAN
Sebuah peradaban, tidak lepas dari proses interaksi sosial antara
seseorang dengan orang lain. Karena disamping manusia sebagai makhluk
individu, juga sebagai makhluk sosial. Namun, dalam bersosialisasi juga terdapat
suatu batasan-batasan yang mengatur tingkah laku yakni norma, dengan tujuan
tidak rentan terjadi suatu penyimpangan sosial. Adanya norma tidak cukup tanpa
wujud hukum yang notabene bersifat memaksa. Maka dari itu, hukum yang
merupakan wujud dari pemerintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh
pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan hukum bagi rakyat,
baik di dalam maupun di luar wilayahnya bagi bangsa dan negara sangat penting.
Pondasi dasar dalam perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia
diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi, “Untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, dan perdamaian abadi, dan
keadilan sosial”. Kemudian dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 Amanademen juga
ditegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Makna dari ayat ini adalah
bahwa Indonesia merupakan negara yang memegang teguh dan menjunjung tinggi
hukum. Meskipun dalam implementasinya penegakan hukum di Indonesia masih
banyak ketimpangan dan cenderung berat sebelah. Hal ini yang kemudian memicu
masih masifnya tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat.
Salah satu tindak kejahatan yang sampai saat ini menjadi isu yang krusial
adalah kekerasan seksual pada perempuan. Terlebih lagi jika korbannya adalah
seorang anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa
kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan dalam kurun waktu tahun 2011
hingga tahun 2014 mengalami peningkatan, dengan perincian pada tahun 2011
korban kekerasan seksual sebanyak 329 anak, tahun 2012 sebanyak 746 anak,
tahun 2013 sebanyak 525anak, dan tahun 2014 sebanyak 1.380 anak.2 Masih
banyaknya anak perempuan yang menjadi objek kekerasan seksual menjadi
2
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santri-dinilai-lambantangani-kasus-kekerasan-seksual 02/03/1017 14.18 WIB
107
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
indikator belum optimalnya upaya perlindungan hukum baik dalam bentuk upaya
preventif maupun represif yang diberikan negara terhadap korban kekerasan
seksual. Sehingga diperlukan keterlibatan semua pihak baik keluarga masyarakat
dan elemen masyarakat lainnya untuk bersama-sama membentuk sistem
perlindungan bagi anak yang terintegrasi sehingga masa depan generasi penerus
bangsa ini dapat bertumbuh kembang dengan baik.
Kekerasan seksual terutama jika kasusnya berupa pemerkosaan tentu
membutuhkan upaya penanganan yang serius berupa perlindungan psikologis atau
mental dan penanganan fisik, serta pendampingan sosial dan spiritual. Karena
setelah mengalami tindakan kekerasan ini, anak akan merasa ketakutan, malu,
resah, dan trauma yang berkepanjangan. Penanganan fisik juga perlu diperhatikan,
ketika korban mengalami luka-luka atau bahkan hingga tidak bernyawa akibat
siksaan pelaku setelah melakukan pemerkosaan. Begitu pula dengan penanganan
psikososialnya, seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan dicap
sebagai perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa
dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan
korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun
mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan.3
Upaya pemerintah dengan melakukan reformulasi terhadap UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang
sudah menunjukkan upaya perlindungan hukum terhadap korban kekerasan
seksual. Hal ini terlihat dalam pasal 59A yang berbunyi :
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) dilakukan melalui upaya:
1. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi
secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan
gangguan kesehatan lainnya;
2. Pendampingan
psikososial
pada
saat
pengobatan
sampai
pemulihan;
3
Taslim, A. 1995. Bila Perkosaan Terjadi. Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan Informasi
Perempuan.
108
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
3. Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga
tidak mampu; dan
4. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses
peradilan.
Namun dalam kenyataannya Dalam proses peradilan pidana, keberadaan
korban perkosaan tetap mengkhawatirkan. Keterwakilannya oleh jaksa tidak
menjadikan peristiwa yang dialami menjadi terganti. Bahkan pemenuhan hakhaknya cenderung diabaikan karena putusan pengadilan hanya berfokus penjeraan
pelaku. Dihukumnya pelaku perkosaan tidak menghilangkan rasa traumatis yang
diderita korban.4 Bahkan seringkali ungkapan-ungkapan yang menyudutkan
korban sering sekali terdengar disampaikan oleh berbagai pihak yang membuat
semakin melemahnya posisi korban. Hukum seharusnya mampu memberi
keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban. Keadilan bagi korban paling
tidak akan berbentuk hukuman yang setimpal bagi para pelaku, dan perlindungan
yang efektif bagi korban. Bertolak pada alasan tersebut, peneiliti ingin mengkaji
lebih dalam permasalahan ini dalam sebuah judul “Perlidungan Hukum Bagi
Korban Kejahatan Seksual berbasis Keadilan Restoratif”.
PEMBAHASAN
Teori Perlindungan HukumdanTeori Restorative Justice
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan
hukum bagi rakyat meliputi5:pertama, Perlindungan Hukum Preventif : dimana
kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive.Kedua,
Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian
sengketa.
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun
4
Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu, 2010, hlm.13
5
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987, hlm.7
109
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada pertama,
usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin
mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum
preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif. Kedua, Usahausaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan cara
musyawarah.Kedua, Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan
terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan
forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan
tentram terutama melalui hubungan acaranya.
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam
tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan:6“Restorative Justice
is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come
together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and
its implication for the future.” (keadilan restoratif adalah sebuah proses dimana
para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama
untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan
akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap
kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai
pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaatkepada
semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam
proses peradilan. Menurutnya ada 4 (empat) konsep pemidanaan, yaitu:
a)
Structured sentencing (pemidanaan terstruktur);
b) Indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan); dan
c)
Restorative/community justice (pemulihan/keadilan masyarakat).
Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh
Toni
Marshal
dalam
tulisannya
“Restorative
Justice
an
Overview”,
dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision
6
Tony F. Marshall, Restorative Justice an Overview, Home Office, Information & Publications
Group,Research Development and Statistics Directorate, Room 201, 50 Queen Anne‟s Gate,
London SW1H 9AT, hlm.5
110
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative
justice yaitu7 :
a) Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
b) Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada
akibat terjadinya tindak kejahatan;
c) Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku
secara utuh;
d) Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;
e) Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat
mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Konsep Perlindungan HukumterhadapKejahatan SeksualTindak Kekerasan
Terhadap Perempuan
Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia.8Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitupertama, Perlindungan Hukum
Preventif.
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta
memberikan
rambu-rambu
kewajiban.Kedua,
atau
batasan-batasan
dalam
melakukan
sutu
Perlindungan Hukum RepresifPerlindungan hukum represif
7
Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak
dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak
(PKPA), Medan, 2007,hlm. 83
8
Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. hlm. 3
111
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.9
Kejahatan di bidang kesusilaan adalah kejahatan mengenai hal yang
berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI Buku II dengan titel ”Kejahatan Terhadap
Kesusilaan”:
a)
Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281);
7
b) Kejahatan pornografi (Pasal 282);
c)
Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal 283);
d) Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal 283 bis);
e)
Kejahatan perzinahan (Pasal 284);
f)
Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285);
g) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam.
Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikutKekerasan terhadap
perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis,
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.10
Beberapa elemen dalam definisi kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
a)
Setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence);
b) Yang berakibat atau mungkin berakibat;
c)
Kesengsaraan atau penderitaan perempuan;
d) Secara fisik, seksual atau psikologis;
e)
Termasuk ancaman tindakan tertentu;
f)
Pemaksaan kemerdekaan secara sewenang-wenang;
g) Baik yang terjadi dalam masyarakat atau dalam kehidupan pribadi.11
9
Ibid hlm.20
Anonim, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender,
(Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 66
11
Achie Sudiarti Luhulima (Penyunting), Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta, PT. Alumni, 2000), hlm. 150
10
112
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
Hidup bermasyarakat dengan peran gender perempuan membuat kaum
perempuan rentan terhadap berbagai tindakan dan perlakuan kekerasan yang bisa
berbentuk apa saja dan terjadi dimana-mana. Sebagaimana yang tertuang dalam
rekomendasi Konvensi Eliminasi dari Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW), sebagai berikut:12
“Kekerasan diarahkan terhadap perempuan karena ia adalah
seorang perempuan atau dilakukan terhadap atau terjadi terhadap
perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya
tindakan-tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik, mental atau
menyakitkan secara seksual atau bersifat ancaman akan tindakantindakan tersebut, pemaksaan dan mendukung kebebasan”
Kekerasan terhadap perempuan ialah suatu bentuk ketidakadilan gender,
atau suatu konsekuensi dari adanya relasi yang timpang antara perempuan dan
laki-laki sebagai bentukan nilai dan norma sosial13. Deklarasi Beijing
memberikan definisi kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut:
“Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk kekerasan
berdasarkan gender yang akibatnya berupa atau dapat berupa
kerusakan, atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada
perempuan, termasuk ancaman-ancaman dari perbuatanperbuatan semacam itu, seperti paksaan atau perampasan yang
semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi di tempat umum
atau di dalam kehidupan pribadi seseorang”.
Definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat adanya
persamaan unsur antara tindak kekerasan terhadap perempuan dengan tindak
pidana perkosaan. Persamaan itu antara lain: korban adalah perempuan; adanya
kekerasan fisik, seksual dan psikologi; serta adanya ancaman dan/ pemaksaan.
Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bagian dari beberapa macam jenis
tindak kekerasan terhadap perempuan. Adanya keterkaitan antara tindak
kekerasan terhadap perempuan dengan tindak pidana perkosaan berdasarkan
uraian di atas, dapat dilihat dari beberapa unsur dari masing-masing yang dapat
dibuat penggabungan definisi menjadi: “Suatu perbuatan dengan ancaman berupa
12
Rekomendasi Konvensi Eliminasi dari Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW,
(Artikel 1, 1992)
13
Zohra Andi Baso, et al., (2002), Kekerasan Terhadap Perempuan: Menghadang Langkah
Perempuan, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM,), hlm. 15
113
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
tindakan tertentu memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan pelaku
sehingga menimbulkan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis”.
Konsep Restorative Justice
Menurut Eva Achjani Zulfa Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa
tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang
ada pada saat ini”14
Restorative Justice dikatakan sebagai pedoman dasar dalam mencapai
keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan
proses perdamaian dari pelaku tindak pidana dan korban yang timbulnya akibat,
yaitu korban atau kerugian dari perbuatan pidana tersebut. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip–prinsip dasar meliputi :
a) Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana
b) Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung
jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak
pidana yang dilakukannya
c) Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak
pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan
kesepakatan diantara para pihak.
Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan
menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) yang berkaitan
dengan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dan pendekatan
koseptual (conceptual approach) mengenai konsep restorative justice. Sedangkan
tekhnik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dengan menelaah peraturan
perundang-undangan dan buku-buku yang berkaitan dengan perlindungan hukum
bagi anak perempuan sebagai korban kejahatan seksual. Kemudian cara analisis
bahan hukumnya dilakukan secara deskriptif-analitis.
14
Eva Achjani Zulfa, (2009), Keadilan Restoratif, Jakarta: FHUI, hlm. 3
114
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Anak Perempuan Korban
Kekerasan Seksual Saat Ini.
Menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT), kekerasan
seksual terhadap anak merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak
dengan seseorang yang lebih tua atau orang dewasa, seperti orang asing, saudara
sekandung, atau orang tua dimana anak digunakan sebagai objek pemuas
kebutuhan seksual pelaku15. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak dalam kasus ini adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun, baik yang masih dalam kandungan seorang Ibu.
Mayoritas pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, baik orangtua, kerabat,
atau guru. Penyebab tindakan kejahatan ini sangat bervariasi dan berbagai modus
operandi yang menimbulkan tekanan pada korban, selain itu masih adanya sistem
nilai yang merujuk pada penempatan perempuan pada posisi subordinasi dan
marginalisasi.
Secara umum belum adanya implementasi yang proporsional antara silasila pancasila sebagai
ideologi
bangsa,
UUD 1945 sebagai
landasan
konstitusional, serta penegakkan keadilan Hak Asasi Manusia yang dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (DUHAM 1948) dijelaskan bahwa,
“Semua orang dilahirkan bebas dengan martabat yang setara”, hingga dalam
praktek apapun dan dimanapun masih saja terjadi beberapa perlakuan yang tidak
wajar trerhadap anak. Indonesia sebagai negara hukum haruslah mampu
menciptakan tujuan nasionalnya yang notabene mensejahterakan kehidupan
bangsa dan negara. Dua jenis upaya menurut Hadjon yang dapat dilakukan
sebagai bentuk perlindungan hukum adalah preventif dan represif.
Fakta kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di wilayah Pontianak
pada tahun 2014, yaitu Mawar anak berusia 16 tahun menjadi korban kekerasan
seksual, ia digilir oleh 18 orang. Pada saat melapor, korban ditempatkan di ruang
khusus yakni RPK (Ruang Pelayanan Khusus) yang seharusnya anggotanya terdiri
dari polisi wanita, sehingga korban tidak merasa malu ketika menceritakan
15
Ghea Alifia Putri, Pengaruh Terpaan Tayangan Berita Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak di
Televisi Terhadap Tingkat Kecemasan Orangtua di SD Al-Ulum, Jom Fisip, Volume 2 No.
2Oktober 2015.
115
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
kronologis peristiwa yang dialami. Disisi lain ketika penyidik memberikan
berbagai pertanyaan, korban tidak merasa terpojokkan. Namun, realitanya jumlah
anggota polisi wanita di unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Pontianak
Kota terbatas, sehingga yang bertindak melakukan pemeriksaan pada saat itu
adalah polisi laki-laki. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak pasal 59 ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah,
Pemerintah
Daerah,
dan
Lembaga
Negara
lainnya
berkewajiban
dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak”.
Perlindungan khusus yang dimaksud terhadap anak pun dijelaskan dalam pasal 59
ayat 2J, yaitu terhadap anak korban kejahatan seksual.
Selain itu, korban didampingi orangtuanya untuk melakukan visum at
repertum, yakni keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik bagi manusia baik
hidup maupun mati. Namun karena tidak disediakannya ruang khusus visum bagi
korban, sehingga korban diarahkan ke Rumah Sakit Bhayangkara. Selain tidak
tersedianya ruang khusus visum, unit PPA Polresta Pontianak belum bekerjasama
dengan Dinas Sosial Kota Pontianak untuk menyediakan Psikiater demi
memulihkan kondisi psikologis korban tersebut, karena selain terganggunya fisik,
korban kekerasan seksual juga mengalami gangguan psikologis. Pada kasus ini
terbukti masih belum optimalnya upaya perlindungan hukum terhadap korban.
Fakta lain berkenaan dengan upaya penanganan kekerasan seksual
dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Direktur Woman’s Crisis Center
(WCC) Jombang, Palupi Pusporini, yang menjelaskan bahwa lambannya
penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota Santri ini dapat dilihat
dari lamanya berkas penyidikan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri. Sejak
Januari hingga September 2016 pihaknya mencatat 21 kasus kekerasan seksual
terhadap anak yang didampinginya. Dari jumlah tersebut baru 30% yang kini
sudah masuk ke meja hijau dan divonis. Sementara sisanya masih berhenti di
penyidik kepolisian.16Lambannya penanganan kasus ini menimbulkan dampak
tersendiri terhadap anak korban kekerasan seksual. Jadi tidak jarang ketika
16
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santri-dinilai-lambantangani-kasus-kekerasan-seksual 05/03/2017 13.20 WIB
116
13
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
melihat korban kekerasan seksual yang mengalami tekanan psikologis dan
tekanan sosial, sementara para pelaku dengan bebasnya menghirup udara segar.
Upaya lain dalam pemberian perlindungan hukum bagi korban
kekerasan
seksual ditandai penandatanganan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1 Tahun 2016) oleh
Presiden Joko Widodo. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan
seksual, yaitu minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara, penjara
seumur hidup, dan hukuman mati. Perpu tersebut juga mengatur 3 pidana
tambahan, yaitu pengumuman identitas pelaku kepada publik, kebiri kimia, serta
pemasangan alat deteksi elektronik (chip elektronik). Namun isu hukuman kebiri
kimia sampai hari ini masih menuai kontroversi. Kebiri hanya menafasirkan
secara sempit bahwa kejahatan seksual atau perkosaan hanya terkait dengan alat
kelamin laki-laki. oleh karena itu, kebiri dapat Melanggengkan berbagai bentuk
kejahatan seksual di luar kasus yang menggunakan penetrasi melalui alat kelamin.
Bentuk kejahatan seksual seksual tidak hanya menggunakan penetrasi
namun beragam bentuknya, dilakukan dengan berbagai cara dengan menggunakan
bagian tubuh yang lain, bahkan benda-benda diluar tubuh manusia. Hukuman
kebiri ini akan melanggengkan cara pandang bahwa kekerasan seksual hanya
terfokus pada soal penetrasi vaginal dan mengabaikan bentuk-bentuk perkosaan
atau perundungan seksual lainnya. Dengan demikian hukuman kebiri tidak
mampu menangkap pelaku yang meggunakan perkosaan dengan menggunakan
alat tubuh lain dan benda-benda lainnya.17
Bahwa hukuman kebiri justru berpotensi, menghambat pengungkapan
kasus perkosaan terhadap anak dan mengakibatkan tindakan penyembunyian
terhadap pelaku dan korban, dalam kasus-kasus perkosaan dimana pelaku dan
korban merupakan bagian dari satu keluarga. Konteks kejahatan seksual indonesia
yang paling tidak tersentuh oleh kebijakan adalah kejahatan seksual yang berada
di ruang domestik, yang melahirkan kejahatan seksual melalui inses. Mendorong
17
Supriyadi Widodo Eddyono dkk, 2016, Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri
(Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform),
hlm.22
Seksual Anak di Indonesia
117
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
kebiri kimia mengakibatkan makin tersembunyinya jenis kejahatan ini karena
pelaku akan lebih berhati hati menyembunyikan praktek kejahatan.
Upaya perlindungan hukum bagi anak perempuan sebagai korban
Kekerasan Seksual melalui Pendekatan Restorative Justice
Menurut penelitian Thony F. Marshall restorative justice (keadilan
restoratif) adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam
pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara
bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi
kepentingan masa depan). Dalam teori ini, pihak yang dimaksud ialah
sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam UU Perlindungan Anak pasal 72 ayat
2, yaitu oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak, kesejahteraan
sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia
usaha.
Berdasarkan analisa dari beberapa kasus yang sudah dipaparkan diatas,
kebijakan dari beberapa pihak memang sudah terealisasi dalam menangani
kasusnya. Namun, masih diperoleh beberapa kesimpulan berdasarkan data yang
ada bahwa penanganan kasus tersebut belum optimal. Adapun kesimpulan analisa
yang diperoleh ialah :
a. Kurangnya kesadaran pihak yang berwajib dalam menangani kasus
kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak. Sedangkan dalam pasal 59
ayat 1 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sudah dijelaskan bahwa pihak-pihak yang berwajib menangani kasus
kekerasan seksual terhadap anak adalah “Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak.
b. Masih minimnya personil polisi wanita di unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (PPA) baik di polsek, polres dan polresta di seluruh Indonesia
sehingga unit PPA masih diamanahkan pada polisi laki-laki. Padahal bagi
anak korban perkosaan keberadaan polisi wanita sangat penting. Dengan
adanya polisi wanita anak akan lebih terbuka dan tidak takut untuk
menceritakan kronologi kasus yang dialaminya.
118
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
c. Belum adanya psikiater yang bertugas untuk pemulihan psikologis korban
kekerasan seksual. berdasarkan data pada kasus Mawar, unit PPA Polresta
Pontianak belum bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Pontianak.
d. Lambatnya penanganan kasus. Terbukti dalam data Palupi Pusporini,
Direktur Woman’s Crisis Center (WCC) Jombang, terhadap kasus
kekerasan seksual pada anak di Kota Santri dapat dilihat dari lamanya
berkas penyidikan dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri18.
e. Belum adanya fasilitas khusus untuk rehabilitasi medis, psikis dan
psikososial bagi anak korban kekerasan seksual.
f. Faktor hukum. Kebijakan hukum sangat menentukan makmurnya suatu
negara. Hukum mengenai kekerasan seksual terhadap anak sudah diatur
dalam UU Perlindungan Anak. Dalam hal ini sudah mengalami pergantian
sebanyak empat kali, dari UU No. 23 tahun 2002 menjadi UU No. 35
tahun 2014, karena masih belum bisa meminimalisir kasus kekerasan
seksual terhadap anak, diganti ke dalam UU No. 1 tahun 2016, hingga saat
ini peraturan perundang-undangan yang resmi digunakan adalah UU No.
17 tahun 2016 yang berlaku sejak 09 November 2016. Namun belum dapat
diimplementasikan karena masih menuai pro kontra berkaitan hukuman
kebiri kimia, disamping juga masih minimnya dokter yang mampu
menjalankan eksekusi hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan
seksual bagi anak. Selain itu, masih minimnya anggaran untuk penggunaan
chip elektronik untuk mendeteksi aktivitas pelaku kekerasan seksual agar
mencegah terjadinya penguangan tindak pidana.
Sebagai wujud bentuk perlindungan hukum bagi korban kiranya
Pemerintah perlu membuat langkah taktis karena kejahatan seksual adalah
kejahatan yang serius. Langkah ini sangat penting untuk menghilangkan beban
dan berbagai akibat negatif yang dialami oleh korban. Pemerintah segera perlu
membentuk sebuah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 17 tahun 2016 tentang
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
18
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santri-dinilai-lambantangani-kasus-kekerasan-seksual 05/03/2017 13.20 WIB
119
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang agar nantinya hak-hak anak sebagai korban kekerasan
seksual bisa terpenuhi. Implementasi dari aturan pelaksana ini berkaitan
mekanisme pembayaran Restitusi oleh pelaku kepada korban dan mekanisme
pemberian kompensasi untuk merehabilitasi korban.
Resistusi dan kompensasi memiliki akar pemidanaan yang kuat karena
arah pemidanaannya berbasis kedilan restoratif yang berorientasi pada pemulihan
hak-hak pada korban (victim oriented) yang diakibatkan oleh pelaku tindak
pidana. Dengan adanya resistusi, tanggungjawab pelaku kekerasan terhadap anak
perempuan tidak hanya sebatas menjalani hukuman pemenjaraan ataupun
pemulihan psikologisnya selama dalam tahanan tetapi juga dengan mengganti
sejumlah kerugian korban akibat kejahatan seksual yang dilakukan pelaku yang
dimasukkan sebagai pidana tambahan. Namun Negara pun harus bertanggung
jawab kepada korban, karena gagal dalam melindungi anak dari praktek kekerasan
seksual, sehingga wujud dari kegagalan maka Negara memberikan kompensasi
kepada korban, ketika pelaku tidak mampu memberikan restitusi. Bentuk kongkrit
kompensasi adalah memberikan layanan medis, layanan psikologis hingga ganti
keugian pada korban yang ditujukan untuk memulihkan hak-hak anal korban
pemerkosaan yang hilang.
Mengenai
hukuman
kebiri
kimia
juga
perlu
dibuat
peraturan
pelaksananya agar nantinya mekanisme hukuman yang masih kontrovesial ini
tidak salah diterapkan. Jangan sampai pemberlakuan hukuman kebiri kimia ini
dilakukan serampangan karena akan berakibat munculnya korban-korban baru.
Keputusan untuk menerapkan kebiri kimia ini harus melalui pengkajian yang
mendalam dan syarat yang ketat. Kebiri kimia harus dijadikan sebagai alternatif
terakhir dalam penghukuman. Ini sebagai wujud implementasi keadilan restoratif
yang sekaligus membangun pemahaman bahwa kebiri bukan solusi utama untuk
meminimalisir kejahatan seksual yang beragam bentuk dan modus operandinya.
KESIMPULAN
Dari analisis yang dilakukan peneliti di atas , dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut pertama, Implementasi dalam memberikan perlindungan hukum
120
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
bagi anak korban yang menjadi korban kekerasan seksual di masa sekarang masih
menuai banyak kelemahan misalnya seperti masih minimnya polisi wanita di unit
Pelayanan Perempuan dan Anak, belum tersedianya fasilitas visum et repertum
bagi korban, belum tersedianya fasilitas dan tenaga profesional rehabilitasi
terintegrasi untuk pemulihan fisik, psikis dan psikososial anak yang menjadi
korban kekerasan seksual, kurangnya kesadaran pihak yang berwenang dalam
penanganan yang mengakibatkan lambatnya proses perlindungan hukum, serta
masih lemahnya pengaturan hukuman kebiri kimia dan mekanisme pemasangan
alat deteksi elektronik bagi pelaku kekerasan seksual, sehingga sampai saat ini
belum bisa memberikan efek jera pada pelaku.Kedua, Upaya perlindungan hukum
terhadap anak perempuan sebagai korban kejahatan kekerasan seksual berbasis
keadilan restoratif dapat dilakukan dengan membentuk peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan UndangUndang No. 17 tahun 2016 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang
memuat mekanisme resistusi dan kompensasi dalam memberikan layanan
rehabilitasi fisik, psikis dan psikososial anak sebagai korban kekerasan seksual.
Disamping juga pembuatan aturan pelaksana mengenai mekanisme penerapan
kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi berupa chip eletronik untuk memantau
aktifitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.(2004),Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan
Keadilan Gender. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Baso, Zohra Andi, et al. (2002),Kekerasan Terhadap Perempuan: Menghadang
Langkah Perempuan. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM
Hadjon M Phillipus. (1987).Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: PT. Bina Ilmu
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santridinilai-lamban-tangani-kasus-kekerasan-seksual 05/03/2017 13.20 WIB
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santridinilai-lamban-tangani-kasus-kekerasan-seksual 05/03/2017 13.20 WIB
121
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
http://news.okezone.com/read/2016/09/29/519/1502098/polisi-di-kota-santridinilai-lamban-tangani-kasus-kekerasan-seksual02/03/1017 14.18 WIB
Luhulima, Achie Sudiarti (Penyunting),()2000.Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta :
PT. Alumni
Marlina. (2007).Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan
terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar
dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi
Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak
(PKPA), Medan
Marshall, Tony F. l, Restorative Justice an Overview, Home Office, Information &
Publications Group,Research Development and Statistics Directorate,
Room 201, 50 Queen Anne‟s Gate, London SW1H 9AT
Putri, Ghea Alifia,(2015).Pengaruh Terpaan Tayangan Berita Kasus Kekerasan
Seksual Pada Anak di Televisi Terhadap Tingkat Kecemasan Orangtua di
SD Al-Ulum, Jom Fisip, Volume 2 No. 2
Rekomendasi Konvensi Eliminasi dari Diskriminasi Terhadap Perempuan atau
CEDAW, (Artikel 1, 1992)
Setiono. 2004.Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Supriyadi Widodo Eddyono dkk. 2016.Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan
Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku KejahatanSeksual Anak di
Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform
Taslim, A. 1995. Bila Perkosaan Terjadi. Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan
Informasi Perempuan.
Yulia
Rena.2010. Viktimologi: Perlindungan Hukum
Kejahatan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu,
terhadap
Korban
Zulfa, Eva Achjani.2009.Keadilan Restoratif.Jakarta: FHUI
122
Download