Bab II Landasan Teori 2.1 Motivasi Kerja 2.1.1 Definisi Motivasi Menurut beberapa penulis dapat diperoleh bahwa definisi motivasi adalah: 1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p210). Motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan. 2. Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson (2009, p178). Motivasi suatu kumpulan kekuatan yang energik yang mengkoordinasi di dalam dan di luar diri seorang pekerja, yang mendorong usaha kerja, dalam menentukan arah , intensitas, dan kegigihan. 3. Menurut George and Jones (2005, p175). Motivasi kerja adalah suatu kekuatan psikologis di dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku seseorang di dalam organisasi, tingkat usaha, dan kegigihan di dalam menghadapi rintangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu kumpulan proses psikologis yang memiliki kekuatan di dalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha dan kegigihan dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan. 2.1.2 Elemen Motivasi Menurut George and Jones (2005, p175-176) ada tiga elemen dalam motivasi kerja dan tiga elemen tersebut adalah adalah: arah perilaku, tingkat usaha, tingkat kegigihan. 7 8 Tabel 2.1 Elemen Motivasi Element Arah perilaku (Direction of Behavior) Definition Perilaku apakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan dalam organisasi? Tingkat Usaha (Level of Effort) Seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya? Tingkat kegigihan (Level of Persistence) Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu, seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilakunya dengan baik? Example Apakah seorang engineer memberikan waktu dan usahanya untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis dengan tujuan untuk mengubah spesifikasi desain produk baru dengan biaya yang produksi yang lebih rendah? Apakah seorang engineer mempersiapkan laporan permasalahan dengan spesifikasi sebenarnya, atau hanya menyebutkan permasalahan ketika berpapasan dengan seorang pimpinan di dalam lobby dan berharap bahwa pimpinan tersebut akan mengikuti nasihatnya dengan yakin? Ketika pimpinan tidak setuju dengan engineer nya dan menunjukkan bahwa perubahan dalam spesifikasi adalah hanya menyia-nyiakan waktu, apakah seorang engineer tersebut tetap gigih untuk dapat mengimplementasikan perubahan tersebut atau menyerah walaupun ia sangat yakin bahwa hal tersebut membutuhkan perubahan. Sumber: George and Jones (2005, p175) Arah perilaku: Perilaku manakah yang dipilih seseorang untuk ditunjukkan? Dalam pekerjaan manapun, ada banyak perilaku (beberapa tepat, dan beberapa tidak tepat) dimana seorang pekerja dapat terlibat di dalamnya. Arah perilaku mengacu pada perilaku yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan dari banyak potensi perilaku yang dapat mereka tunjukkan. Jika seorang pialang dalam perusahaan investment banking secara ilegal memanipulasi harga saham, jika seorang manager mengangkat karirnya sendiri dengan membebani bawahannya, atau jika seorang engineer menyakinkan pimpinan yang skeptis untuk mengubah spesifikasi desain dari sebuah produk baru dengan tujuan untuk menurunkan biaya produksi – semua tindakan tersebut merefleksikan perilaku yang dipilih karyawan untuk ditunjukkan. Sebagai contoh, karyawan dapat termotivasi dengan cara berfungsi, yang dapat menolong perusahaan dalam mencapai tujuannya, atau dengan tidak berfungsi yang 9 menghalangi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Dengan melihat kepada motivasi, manager ingin memastikan bahwa arah perilaku bawahan mereka berfungsi bagi organisasi. Mereka ingin karyawan untuk termotivasi datang tepat waktu, melakukan tugas yang diberikan dan dapat dipercaya, datang dengan ide-ide baru, dan menolong sesamanya. Manager tidak ingin karyawannya untuk datang terlambat, mengabaikan aturan yang mengutamakan kesehatan dan keamanan, atau menggantikan kualitas dengan “mulut manis”. Tingkat usaha: Seberapa keras seseorang bekerja untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya? Adalah tidak cukup bagi organisasi untuk memotivasi karyawannya untuk menunjukkan perilaku untuk berfungsi bagi perusahaan, organisasi juga harus memotivasi mereka untuk bekerja keras dalam perilaku ini. Sebagai contoh, jika seorang engineer memutuskan untuk meyakinkan pimpinan yang skeptis untuk perubahan suatu desain, level motivasi engineer tersebut menentukan seberapa jauh ia akan meyakinkan pimpinannya. Apakah engineer tersebut hanya menyebutkan kebutuhan akan perubahan tersebut dalam percakapan biasa, atau ia akan mempersiapkan laporan detail yang menunjukkan permasalahan tersebut dengan spesifikasi sebenarnya dan mendeskripsikan spesifikasi penurunan biaya baru yang dibutuhkan? Tingkat kegigihan: Ketika menghadapi rintangan, jalan buntu, dan tembok batu, seberapa keras seseorang tetap mencoba untuk menunjukkan perilaku yang dipilihnya dengan baik? Seandainya pimpinan seorang engineer menyatakan bahwa perubahan spesifikasi adalah hanya menyia-nyiakan waktu. Apakah engineer tersebut gigih mencoba untuk mendapatkan implementasi perubahan tersebut atau menyerah walaupun dia sangat percaya bahwa hal itu diperlukan? Misalnya, jika mesin pabrik dari salah seorang karyawan rusak, apakah karyawan akan berhenti bekerja dan menunggu seseorang untuk datang memperbaikinya, atau ia mencoba untuk memperbaiki mesin tersebut atau paling tidak memberitahu rekan kerjanya tentang permasalahan tersebut? 10 2.1.3 Motivasi intrinsik dan ekstrinsik Menurut George dan Jones (2005, p177-179), perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiskusikan motivasi adalah perbedaan antara sumber motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Perilaku dengan motivasi intrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk kepentingannya sendiri, dengan kata lain sumber motivasi biasanya datang dari penunjukkan perilaku itu sendiri. Seorang pemain violin profesional yang menikmati bermain di dalam orkestra tanpa menghiraukan bayaran yang relatif rendah dan seorang seorang CEO yang menghabiskan 12 jam kerja karena mereka menikmati pekerjaan mereka, dan itu adalah motivasi intrinsik. Perilaku dengan motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang ditunjukkan untuk memperoleh materi atau penghargaan sosial atau untuk menghindari hukuman. Perilaku tersebut ditunjukkan bukan untuk kepentingannya sendiri tetapi lebih kepada konsekuensinya. Contoh dari motivasi ekstrinsik termasuk bayaran, pujian, status, dll. Seorang karyawan dapat termotivasi secara ekstrinsik, termotivasi secara instrinsik, atau keduanya. Ketika karyawan lebih terutama termotivasi secara ekstrinsik dan melakukan pekerjaan itu sendiri tidak merupakan sumber motivasi, sangat penting bagi organisasi dan manager untuk membuat hubungan yang jelas antara perilaku yang diinginkan perusahaan untuk dilakukan karyawan dan hasil atau penghargaan yang dinginkan karyawan. Ada hubungan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik dengan nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik (akan di bahas pada sub bab kepuasan kerja). Karyawan yang memiliki nilai kerja intrinsik ingin menantang pencapain, kesempatan untuk membuat kontribusi dalam pekerjaan mereka dan perusahaan, dan kesempatan untuk mencapai seluruh potensinya di tempat kerja. Karyawan dengan nilai kerja ekstrinsik menginginkan beberapa dari konsekuensi kerja, misalnya menghasilkan uang, mendapatkan status dalam sebuah komunitas, kontak sosial, dan waktu bebas dari pekerjaan untuk waktu keluarga dan bersantai. Hal ini memberi alasan bahwa 11 karyawan dengan nilai kerja intrinsik yang kuat biasanya akan termotivasi secara intrinsik di tempat kerja dan mereka yang memiliki nilai kerja ekstrinsik akan termotivasi secara ekstrinsik. 2.1.4 Maslow’s hierarchy of needs (teori kebutuhan hirarki Maslow) Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p119) ada beberapa hal yang merupakan alasan dasar dari hirarki Maslow: • Sekali suatu kebutuhan terpuaskan, kepentingan peran motivasionalnya menurun. Bagaimanapun, setelah satu kebutuhan terpuaskan, kebutuhan lain pada tingkat yang lebih tinggi muncul untuk mengambil alih, jadi orang selalu memuaskan kebutuhannya. • Jaringan kebutuhan untuk kebanyakan orang sangat kompleks, dengan beberapa kebutuhan yang mempengaruhi perilaku di dalam satu waktu. Jelas bahwa, ketika seseorang berhadapan dengan situasi darurat, seperti rasa haus yang amat sangat, kebutuhan tersebut akan mendominasi sampai terpuaskan. • Kebutuhan pada level yang lebih rendah harus dipuaskan, sebelum kebutuhan pada level yang lebih tinggi diaktifkan untuk mempengaruhi perilaku. • Ada lebih banyak cara untuk memuaskan kebutuhan pada level yang lebih tinggi daripada level yang lebih rendah. Menurut George dan Jones (2005, p179-183), Seorang psikolog, Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 kebutuhan universal yang mereka cari untuk dipuaskan: kebutuhan fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan rasa penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini dan bagaimana mereka dapat dipuaskan dijelaskan dalam tabel berikut ini. Maslow menujukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan ini dapat diatur dalam kepentingan hirarki dengan kebutuhan paling dasar –fisiologi dan rasa aman- di paling dasar. Dua kebutuhan ini harus dipuaskan sebelum individu mencari untuk memuaskan 12 kebutuhan yang lebih tinggi dalam hirarki nya. Maslow juga menyatakan bahwa setelah suatu kebutuhan terpuaskan, maka tidak lagi sumber motivasi. Tabel 2.2 Kebutuhan hirarki Maslow Need Level Description Examples of how needs are met or satisfied Self-actualization (Highest-level needs) Needs to realize one’s full potential as a human being By using one’s skills and abilities to the fullest and striving to achieve all that one can on a job Esteem needs Needs to feel good about oneself and one’s capabilities, to be respected by others, and to receive recognition and appreciation By receiving promotions at work and being recognized for accomplishments on the job Belongingness needs Needs for social interaction, friendship, affection, and love By having good relations with co-workers and supervisors, being a member of a cohesive work group, and participating in social functions such as company picnics and holiday parties Safety needs Needs for security, stability, and safe environment By receiving job security, adequate medical benefits, and safe working conditions Physiological needs (Lowest-level needs) Basic needs for things such as food, water, and shelter that must be met in order for an individual to survive By receiving a minimum level of pay that enables a worker to buy food and clothing and have adequate housing Sumber: George dan Jones (2005, p179) Berdasarkan teori Maslow, kebutuhan yang tidak terpuaskan adalah motivator utama dari perilaku, dan kebutuhan yang berada pada level terendah dari hirarki akan didahulukan sebelum level yang lebih tinggi. Di waktu tertentu, bagaimanapun, hanya satu jenis kebutuhan yang memotivasi terjadinya perilaku, dan hal ini tidak mungkin melompati level tertentu. Setelah 13 seorang individu memuaskan satu jenis kebutuhannya, ia akan mencoba untuk memuaskan kebutuhan pada level berikutnya dalam hirarki, dan level ini akan menjadi fokus motivasi. Dengan menspesifikasi kebutuhan yang berkontribusi pada motivasi, teori Maslow membantu manager menentukan apa yang akan memotivasi seorang karyawan. Pelajaran yang sederhana namun penting dari teori Maslow adalah karyawan berbeda-beda dalam kebutuhannya dan mencoba memuaskannya di tempat kerja, dan apa yang memotivasi seorang karyawan mungkin tidak memotivasi yang lainnya. Hal yang dapat kita simpulkan adalah untuk memperoleh pekerja yang termotivasi, manager harus mengidentifikasi kebutuhan manakah yang sedang dicari untuk dipuaskan seorang karyawan di tempat kerja, dan setelah kebutuhankebutuhan ini terpenuhi, manager harus memastikan bahwa kebutuhan tersebut terpenuhi jika karyawan tersebut menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. 2.1.5 Hubungan motivasi dan kinerja Menurut George dann Jones (2005, p177) Kinerja adalah evaluasi dari hasil perilaku seseorang, termasuk menentukan seberapa baik atau buruk seseorang menyelesaikan pekerjaannya. Motivasi adalah salah satu faktor diantara banyak faktor yang berkontribusi terhadap kinerja karyawan. Kesimpulannya, karena motivasi hanya satu dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, maka motivasi yang tinggi tidak selalu menghasilkan kinerja yang tinggi. Sebaliknya, kinerja yang tinggi tidak menunjukkan bahwa motivasi tinggi, karyawan yang memiliki motivasi rendah dapat menunjukkan kinerja yang tinggi jika mereka memiliki kemampuan yang tinggi pula. Manager harus berhati-hati untuk tidak otomatis menyimpulkan penyebab kurangnya kinerja karena kurangnya motivasi, atau penyebab tingginya kinerja karena tingginya motivasi. 14 2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja Definisi kepuasan kerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1. Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson (2009, p105) “Job satisfaction is a pleasurable emotional state resulting from the appraisal of one’s job and what you think about your job.” – suatu pernyataan emosi yang menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan terhadap pekerjaan seseorang dan apa yang anda pikirkan tentang pekerjaan anda. 2. Menurut George dan Jones (2005, p75). “Job satisfaction is the collection of feelings and beliefs that people have about their current jobs.” – merupakan kumpulan perasaan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang pekerjaan mereka. 3. Menurut Kreitner dan Kinicki, (2008, p170) “Job satisfaction is an affective or emotional response toward various facets of one’s job.” – suatu respon yang mempengaruhi atau emosional terhadap berbagai segi dari pekerjaan seseorang. Dapat kita simpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu respon berupa pernyataan emosi perasaan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap berbagai segi dari pekerjaannya. 15 2.2.2 Determinan Kepuasan Kerja Menurut George dan Jones (2005, p80-83) ada beberapa determinan dari kepuasan kerja. Personality Cara seseorang merasakan, berpikir, dan berperilaku Work Situation Pekerjaan itu sendiri Kondisi kerja fisik Jam kerja, gaji Job Satisfaction kumpulan perasaan dan kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang pekerjaan mereka Values Nilai intrinsik dan ekstrinsik kerja, nilai etika Social influence Rekan kerja Kelompok (grup) Kultur Sumber: George dan Jones (2005, p80) Gambar 2.1 Bagan Determinan Kepuasan Kerja Personality: Personalitas merupakan cara seseorang merasakan, berpikir, dan berperilaku, merupakan determinan pertama dari bagaimana orang berpiir dan merasakan tentang pekerjaan mereka atau kepuasan kerja. Personalitas individu mempengaruhi tingkatan positif atau negatif dari pemikiran dan perasaan tentang sebuah pekerjaan. Seseorang yang tinggi dalam sifat-sifat utama orang ekstrovert biasanya memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada orang yang memiliki tingkatan yang rendah dalam sifat ini. Personalitas membantu menentukan kepuasan kerja dan personalitas, dan personalitas adalah bagian yang merupakan faktor genetis, peneliti-peneliti terkejut bahwa genetik 16 mempengaruhi kepuasan kerja. Richard Arvey dari Universitas Minnessota dan rekan kerjanya mengeksplorasi tingkatan level kepuasan kerja yang diwariskan dari orang tua mereka. Mereka meneliti 34 pasang kembar identik yang dibesarkan secara terpisah sejak kecil. Objek peneliti ini menyatakan sifat-sifat genetis yang sama tetapi terekspos dalam pengaruh situasi berbeda dalam beberapa tahun terakhir perkembangan kehidupan mereka. Untuk masing-masing pasangan kembar, peneliti mengukur derajat level kepuasan kerja yang satu sama dengan yang lainnya. Peneliti menemukan bahwa faktor genetik diperhitungkan sekitar 30% dari perbedaan level kepuasan kerja diantara anak kembar di dalam studi mereka. Penemuan menarik lainnya adalah pasangan kembar tersebut cenderung memegang pekerjaan yang mirip/serupa dalam hal kompleksitas, keahlian mesin, permintaan fisik yang dituntut dalam pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang mencari pekerjaan yang sesuai dengan sifat-sifat genetis mereka. Dengan kata lain, personalitas seseorang (yang sebagian diwariskan) mempengaruhi mereka untuk memilih jenis pekerjaan mereka. Apa arti penemuan ini bagi manager? Esensinya, mereka menunjukkan bahwa sebagian dari kepuasan kerja ditentukan oleh personalitas karyawan, dimana sebuah organisasi atau manager tidak dapat mengubahnya dalam waktu dekat. Apakah ini berarti para manager tidak perlu khawatir tentang level kepuasan kerja dari bawahan mereka atau ini tidak ada artinya untuk meningkatkan kepuasan kerja? Jelas Tidak. Walaupun secara pasti hal ini menyatakan bahwa faktor genetis diperhitungkan 30% dari perbedaan level kepuasan kerja, 70% dari variasi kepuasan kerja sisanya dapat dijelaskan. 70% inilah yang dapat dipengaruhi oleh seorang manager. Jadi manager harus berkonsentrasi terhadap kepuasan kerja karena ini adalah sesuatu yang merupakan kuasa mereka untuk mempengaruhi dan mengubah. 17 Values: Nilai memiliki dampak terhadap level kepuasan kerja karena mereka merefleksikan keyakinan karyawan tentang hasil yang seharusnya terjadi dan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku saat bekerja. Ada dua macam nilai kerja, yaitu: nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik. Contohnya, seseorang dengan nilai kerja intrinsik yang kuat (nilai yang berkaitan dengan alamiah dari pekerjaan itu sendiri), kemungkinan besar akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menarik dan berarti secara personal (misalnya pekerjaan sosial) tetapi itu juga membutuhkan jam kerja yang panjang dan gaji yang kurang baik. Seseorang dengan nilai kerja ekstrinsik yang kuat akan terpuaskan dengan pekerjaan dengan gaji yang baik tetapi monoton. Work Situation: Mungkin sumber kepuasan kerja yang paling penting adalah situasi kerja itu sendiri – pekerjaan yang dilakukan seseorang (contohnya, bagaimana menarik dan membosankannya hal itu), orang-orang yang berinteraksi dengan seseorang pekerja (customer, bawahan, supervisor), lingkungan dimana seseorang bekerja (tingkat keberisikan, keramaian, dan temperatur), dan bagaimana organisasi memperlakukan karyawannya (misalnya sebagai serorang petugas keamanan, mereka ditawarkan bayaran dan keuntungan yang layak). Setiap aspek dalam pekerjaan dan organisasi merpakan bagian dari situasi kerja dan dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Mengacu pada Working Mother magazine, yang mempublikasikan daftar 100 perusahaan teratas untuk ibu yang bekerja, menyatakan bahwa fleksibilitas di tempat kerja merupakan hal yang penting. Fleksibilitas dapat mengambil berbagai macam bentuk mulai dari minggu kerja yang di kompres dan waktu kerja yang fleksibel sampai kepada kemampuan untuk mengambil cuti tambahan untuk mengurus anak yang sakit. Kebanyakan orang dapat menjadi lebih terpuaskan dengan sebuah pekerjaan yang menggaji mereka secara baik dan itu sangat aman dibandingkan pekerjaan yang menggaji mereka sedikit dan ancaman pemberhentian kepada karyawan untuk selalu hadir. 18 Social Influence: Faktor penentu terakhir dari kepuasan kerja adalah pengaruh sosial atau pengaruh yang dimiliki perorangan maupun kelompok terhadap sikap dan perilaku seseorang. Sekelompok rekan kerja, sebuah kelompok dimana seseorang terlibat, dan kultur dimana seseorang bertumbuh dan hidup di dalamnya, semuanya memiliki potensi untuk mempengaruhi level kepuasan kerja. Pengaruh sosial dari rekan kerja dapat menjadi faktor penentu yang sangat penting dari kepuasan kerja seorang karyawan karena rekan kerja selalu ada disekeliling mereka, dan memiliki tipe pekerjaan yang serupa, dan seringkali memiliki beberapa hal yang sama dengan seorang karyawan (misalnya latar belakang edukasi). Rekan kerja dapat memiliki pengaruh potensial dalam kepuasan kerja seorang karyawan baru. Karyawan baru biasanya masih membentuk opini tentang organisasi dan pekerjaannya. Mereka mungkin belum tau apa yang dapat mereka perbuat atau apakah mereka akan menyukainya atau tidak pada akhirnya. Jika karyawan baru dikelilingi oleh rekan kerja yang tidak terpuaskan dengan pekerjaan mereka, maka biasanya karyawan tersebut juga akan menjadi tidak puas dengan pekerjaan mereka, dan jika karyawan baru tersebut dikelilingi oleh rekan kerja yang menikmati pekerjaan maka ia pun akan terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Kelompok dimana seseorang terlibat juga mempengaruhi level kepuasan kerja seorang karyawan. Keluarga dimana seorang anak bertumbuh, misalnya, dapat mempengaruhi bagaimana memuaskan anak tersebut dimana berpengaruh ketika ia dewasa dalam pekerjaannya. Seorang karyawan yang bertumbuh dalam keluarga berkecukupan mungkin tidak terpuaskan dengan pekerjaan sebagai seorang guru sekolah karena gajinya dibandingkan dengan tingginya standar kehidupannya ketika masih kecil. Seorang yang lebih rendah hati mungkin juga tidak menginginkan gaji yang lebih tinggi tetapi mungkin tidak terpuaskan dengan pekerjaan mengajar mereka karena bayarannya tersebut. 19 Variasi yang banyak di dalam suatu grup dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki grup religi biasanya tidak akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Serikat pekerja dapat memiliki efek yang besar dalam level kepuasan kerja para anggotanya. Menjadi anggota serikat pekerja yang percaya bahwa manager tidak memperlakukan karyawan dengan baik seperti seharusnya, sebagai contoh, dapat mengakibatkan seorang pekerja tidak terpuaskan dengan pekerjaannya. Kultur dimana seseorang bertumbuh dan tinggal di dalamnya dapat menyebabkan juga level kepuasan kerja karyawan. Karyawan yang bertumbuh di dalam kultur (misalnya kultur amerika) yang menekankan pentingnya pencapaian dindividu dan prestasi biasanya terpuaskan dengan pekerjaan yang memberikan tekanan kepada prestasi dan menyediakan bonus dan bayaran lebih bagi pencapaian individu. Karyawan yang bertumbuh dalam kultur (misalnya kultur Jepang) yang menekankan pentingnya melakukan apa yang baik bagi semua orang mungkin tidak akan terpuaskan dengan pekerjaan yang menekankan kompetisi individu dan pencapaian. Dalam kenyataannya, pengaruh kultur dapat membentuk tidak hanya kepuasan kerja tetapi juga sikap yang dimiliki karyawan tentang diri mereka sendiri. Seorang Amerika akan memperkenalkan sebuah perkuliahan dengan sebuah guyonan yang menunjukkan pengetahuan dan kejenakaannya. Tetapi seorang dosen Jepang di posisi yang sama biasanya akan memulai dengan meminta maaf dengan kekurangan keahliannya. Mengacu pasa Dr Hazel Markus dari University of Michigan dan Dr. Shinobu Kitayama dari University of Oregon, kedua gaya yang kontras ini merefleksikan bagaimana orang Amerika dan orang Jepang menunjukkan dirinya, dimana berdasar pada nilai-nilai dali kultur yang mereka hormati. Konsisten dengan kultur Amerika, Dosen Amerika menampilkan dan membawakan dirinya sebagai orang yang bebas, otonom, dan berusaha untuk mencapai: hal ini membuatnya merasa nyaman, dan membuat pendengar Amerikanya nyaman. Sangat berbeda, kultur Jepang 20 menekankan ketergantungan diri sendiri dengan orang lain; tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri, bertemu dengan kewajiban seseorang, dan memiliki relasi interpersonal yang baik. Gaya yang tidak menonjolkan diri dalam dosen Jepang merefleksikan nilai-nilai ini; hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dan menekankan koneksi antara dirinya dan pendengar. Markus dan rekan kerjanya pernah memimpin beberapa penelitian menarik tentang penerangan lebih jauh tentang efek kultur terhadap sikap tentang diri seseorang. Mereka meminta pada murid orang Jepang dan amerika untukmendeskripsikan diri mereka menggunakan apa yang peneliti sebut sebagai skala “Who am I”. Seorang Anerika cenderung untuk merespon skala ini dengan mendeskripsikan karakter personal (misalnya merupakan seoranng yang atletik atau pandai). Murid-murid Jepang, bagaimanapun cenderung mendeskrpsikan diri mereka dalam peran mereka (misalnya merupakan anak kedua). Responrespon ini sekali lagi mengilustrasikan bahwa orang Amerika menunjukkan diri mereka dalam karakteristik personal, dan orang Jepang menampilkan diri mereka dalam karakteristik sosial seperti posisi mereka dalam keluarga. Ini merupakan demonstrasi yang sederhana dan kuat yang menunjukkan bagaimana kultur dan lingkungan sosial dimana kita bertumbuh mempengaruhi sikap kita, bahkan sikap sebagai fundamental dari sikap tentang diri kita sendiri. (p80-83) 2.2.3 Dampak Ketidakpuasan Kerja Menurut Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84) ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Satu bingkai kerja teoritis (exit-voice-loyalty-neglect framework) sangat membantu untuk mengeri konsekuensi-konsekuensi ketidakpuasan kerja. Dalam bagan berikut mengilustrasikan 4 respon yang dibedakan dalam dua dimensi, yaitu: konstruktif/destriktif dan aktif/pasif. Dan definisi respon-respon tersebut adalah: 21 • Exit – keluar: ketidakpuasan ditunjukkan dengan perilaku yang mengarah kepada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru sebaik posisi mereka ketika berhenti. • Voice – suara: ketidakpuasan kerja ditunjukkan secara aktif dan konstruktif berusaha untuk meningkatkan konsisi-kondisi yang ada, termasuk memberikan saran-saran positif, mendiskusikan permasalahan dengan atasan, dan berbagai bentuk kegiatan serikat pekerja. • Loyalty – kesetiaan: ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk menjadi lebih baik, termasuk berbicara mewakili organisasi kepada kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan pihak manajemen bahwa telah melakukan hal yang benar. • Neglect – pengabaian: ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif mengizinkan kondisi menjadi semakin buruk, termasuk masalah absen atau keterlambatan yang kronis, penurunan usaha, dan meningkatnya level kesalahan. Perilaku exit dan neglect meliputi kinerja, produktivitas, kemangkiran, perputaran. Dan di dalam model ini juga terdapat voice dan loyalty dimana merupakan perilaku konstruktif yang mengizinkan individu untuk mentoleransi situasi yang tidak menyenangkan dan untuk mencapai kondisi kerja yang memuaskan. Hal ini menolong kita untuk mengerti situasi-situasi, seperti yang seringkali ditemukan dalam anggota serikat pekerja, dimana kepuasan kerja yang rendah berjalan bersamaan dengan perputaran pekerja yang rendah. Anggota serikat pekerja seringkali mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui prosedur keluhan atau melalui negosiasi kontrak formal. Mekanisme suara ini mengizinkan anggota serikat pekerja untuk melanjutkan pekerjaan mereka ketika meyakinkan diri mereka bahwa mereka sedang bertindak untuk membuat situasi menjadi lebih baik. 22 aktif EXIT VOICE destruktif konstruktif NEGLECT LOYALTY Gambar 2.2 Kuadran Ketidakpuasan Kerja pasif Sumber : Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84) Gambar 2.2 Kuadran Ketidakpuasan Kerja 2.2.4 Hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja Menurut Steven P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007, p84) pekerja yang senang biasanya merupakan pekerja yang produktif, walaupun sulit untuk mengatakan bagaimana kausalitasnya berjalan. Bagaimanapun, beberapa peneliti pernah mempercayai bahwa relasi antara kepuasan kerja dan kinerja merupakan mitos. Tetapi sebuah review dari 300 studi menyimpulkan bahwa korelasinya cukup kuat. Mulai dari level individu sampai kepada organisasi, juga ditemukan dukungan terhadap relasi kepuasan-kinerja. Ketika kepuasan dan data produktivitas dikumpulkan dari sebuah organisasi, kita akan menemukan bahwa organisasi dengan lebih banyak karyawan yang terpuaskan cenderung lebih efektif daripada organisasi dengan lebih sedikit karyawan yang terpuaskan. 23 2.3 Sikap Kerja 2.3.1 Definisi Sikap Kerja Menurut beberapa ahli, definisi sikap kerja adalah: 1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p160) dijelaskan bahwa “Attitude is a learned predisposition to respond in a consistenly favorable or unfavorable manner with respect to a given object.” – suatu kecendrungan yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap sikap yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dengan rasa menghargai kepada suatu objek tertentu. 2. Menurut George dan Jones (2005, p74) “Work attitudes is collections of feelings, beliefs, and thoughts about how to behave that people currently hold about their jobs and organizations.” – kumpulan perasaan, kepercayaan, dan pemikiran tentang bagaimana berperilaku yang dipegang oleh seseorang tentang pekerjaan dan organisasinya 3. Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p48) “Attitudes is relatively lasting feelings, beliefs, and behavioral tendencies aimed at specific people, groups, ideas, issues, or objects.” – suatu perasaan, kepercayaan, dan kecendrungan perilaku yang cenderung tidak berubah yang ditujukan pada orang, kelompok, gagasan, permasalahan, atau objek yang spesifik. Berdasarkan tiga definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap kerja adalah suatu kumpulan persaan, kepercayaan, dan pemikiran bagaimana harus berperilaku baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan terhadap suatu objek tertentu (dalam hal ini adalah pekerjaan dan organisasinya). 24 2.3.2 Komponen Sikap Kerja Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p160) ada tiga komponen di dalam sikap kerja, yaitu komponen afektif, kognitif, dan perilaku. 1. Affective component: komponen afektif dari sikap mengandung perasaan atau emosi yang dimiliki seseorang terhadap objek atau situasi tertentu. Misalnya, apa yang anda rasakan terhadap orang yang berbicara di telepon ketika di restoran? Jika anda merasa terganggu atau marah terhadap orang seperti ini maka anda sedang menekspresikan pengaruh atau perasaan negatif terhadap seseorang. Sebaliknya, komponen yang berpengaruh terhadap sikap anda adalah netral jika anda tidak tertarik (acuh tak acuh) terhadap orang yang berbicara di telepon di restoran tadi. 2. Cognitive component: Apa yang anda pikirkan terhadap orang yang berbicara di telepon di restoran? Apakah anda percaya perilaku ini tidak baik, produktif, sepenuhnya dapat diterima, atau kasar? Jawaban anda mewakili komponen kognitif dari sikap anda terhadap orang yang berbicara di telepon di restoran tersebut. Komponen kognitif dari sikap merefleksikan kepercayaan ide-ide yang dimiliki seseorang terhadap objek atau situasi. 3. Behavioral Component: komponen perilaku mengacu pada bagaimana seseroang berniat atau berharap untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu. Misalnya, bagaimana anda berniat untuk merespon seseorang yang sedang berbicara di telepon ketika makan malam di sebuah restoran jika orang ini duduk dekat anda dan tamu anda? Teori sikap menyatakan bahwa perilaku yang terbaik di dalam situasi seperti ini adalah fungsi dari ketiga komponen tersebut. Anda tidak biasa untuk mengatakan sesuatu apapun terhadap seseorang yang sedang menelepon di sebuah restoran. Jika anda tidak bermasalah dengan perilaku ini (afektif), jika anda percaya bahwa telepon genggam berfungsi untuk 25 membatu orang-orang untuk mengatur hidupnya (kognitif), dan anda tidak bermaksud untuk mencela berkonfrontasi dengan orang tersebut (perilaku). 2.3.3 Indikator Sikap Menurut Hellriegel dan Slocum (2004, p49). Ada beberapa indikator sikap yang terdapat dalam tiap komponen sikap di atas. affective component – mood, dan emosi terhadap seseorang, ide, situasi, atau objek. cognitive component – opini, pengetahuan, atau informasi yang ada pada seseorang behavioral component – kecendrungan untuk bertindak atas evaluasi kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu hal. 2.4 Kinerja – Job Performance 2.4.1 Definisi Kinerja Definisi kinerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut. 1. Menurut Kreitner dan Kinicki (2008, p36) Kinerja adalah nilai dari sekelompok perilaku karyawan yang berkontribusi, baik positif atau negatif, terhadap pencapaian tujuan organisasi. 2. Menurut Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue (2006, p222) Kinerja adalah tingkat prestasi/pencapaian dari suatu tugas yang membuat pekerjaan seorang karyawan menjadi lebih baik. Hal ini merefleksikan seberapa baik seorang karyawan memenuhi tuntutan pekerjaannya. 3. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p378) kinerja adalah apa yang karyawan lakukan dan tidak lakukan karyawan. 26 Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue juga menambahkan bahwa, usaha (effort) mengacu pada energi yang dihabiskan, sedangkan kinerja (performance) diukur dengan hasil. Misal, seorang murid mungkin berusaha keras untuk mempersiapkan sebuah tes dan tetap mendapatkan ranking yang rendah. Dalam kasus ini usaha yang dihasilkan sangat tinggi, tetapi kinerjanya rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah segala sesuatu yang dilakukan karyawan yang memberikan kontribusi bagi organisasi baik positif atau negatif, baik hal-hal yang dilakukan ataupun tidak dilakukan, demi mencapai tujuan organisasi dan membuat pekerjaan seorang karyawan menjadi lebih baik. 2.4.2 Determinan Kinerja Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p113-114) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi bagaimana seorang individu menunjukkan kinerjanya. Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Kemampuan individu untuk melakukan pekerjaannya. 2. Tingkat usaha 3. Dukungan organisasi Relasi diantara ketiganya diakui secara umum dalam literatur manajemen adalah sebagai berikut. Performance (P) = Ability (A) x Effort (E) x Support (S) Kinerja individu ditingkatkan sampai pada level dimana ketiga komponen tersebut hadir di dalam diri seorang karyawan. Akan tetapi, kinerja akan berkurang jika salah satu dari ketiga faktor tersebut dikurangi atau tidak ada. Sebagai contoh, kita asumsikan bahwa beberapa 27 pekerja produksi memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan mereka dan bekerja keras, tetapi organisasi menyediakan peralatan yang terbatas atau gaya manjemen dari atasan menyebabkan reaksi negatif dari pekerjanya. Contoh lain dari seorang karyawan layanan pelanggan di sebuah call center yang memiliki kemampuan dan pimpinan perusahaan memiliki dukungan yang baik. Tetapi karyawan tersebut tidak suka akan keterikatan dengan kabel telepon sepanjang hari dan seringkali tidak masuk karena tidak menyukai pekerjaannya sekalipun dibayar dengan gaji tinggi. Dalam kedua kasus tersebut, kinerja individu biasanya menjadi sedikit dibandingkan dengan situasi dimana ketiga komponen tersebut hadir. Effort Motivation Work Ethic Attendance Job Design Individual Performance (including quantity and quality) Individual Ability Talents Interests Personality factors Organizational Support Training and development Equipment and technology Performance standards Management and co‐ Gambar 2.3 Bagan Determinan Kinerja workers Sumber: Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p113-114) Gambar 2.3 Bagan Determinan Kinerja 28 2.4.3 Jenis Informasi Kinerja Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006, p379) manajer menerima tiga jenis informasi berbeda mengenai bagaimana para karyawan melakukan pekerjaan mereka. a. Informasi berdasar-sifat menidentifikasi sifat karakter subjektif dari karyawan – seperti sikap, inisiatif, atau kreativitas – dan mungkin hanya mempunyai sedikit kaitan dengan pekerjaan tertentu. Sifat-sifat cenderung mempunyai arti ambigu, dan perusahaan-perusahaan telah menyatakan bahwa penilaian kinerja berdasarkan pada sifat-sifat seperti ”kemampuan beradaptasi” dan ”sikap umum” adalah terlalu samar untuk digunakan dalam mengambil keputusan SDM berbasis kinerja. b. Informasi berdasar-perilaku berfokus pada perilaku tertentu yang mendukung keberhasilan kerja. Bagi seorang tenaga penjualan, perilaku ”persuasi verbal” dapat diamati dan digunakan sebagai informasi pada kinerja. Meskipun lebih sulit untuk diidentifikasi, informasi perilaku secara jelas menentukan perilaku yang diinginkan manajemen. Masalah potensial timbul jika lebih dari satu perilaku dapat membawa keberhasilan kinerja dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, mengidentifikasi ”persuasi verbal” yang berhasil untuk seseorang tenaga penjualan akan sulit karena pendekatan yang digunakan oleh seorang tenaga penjualan mungkin tidak berhasil jika digunakan oleh orang lain. c. Informasi berdasar-hasil memperhitungkan pencapaian karyawan. Untuk pekerjaan- pekerjaan di mana pengukuran mudah dilakukan dan jelas, pendekatan berdasar-hasil dapat diterapkan. Bagaimapun, bahwa hal apa yang diukur, cenderung untuk ditekankan. Tetapi penekanan ini mungkin menghilangkan bagian dari pekerjaan yang sama pentingnya tetapi tidak terukur. Sebagai contoh, seorang staf penjualan mobil yang mendapat gaji hanya dengan menjual mungkin tidak bersedia untuk melakukan pekerjaan tulis-menulis atau pekerjaan lainnya yang tidak secara langsung berkaitan dengan penjualan mobil. Lebih jauh, 29 masalah etika atau bahkan masalah hukum dapat timbul ketika hanya hasil yang ditekankan dan bukan bagaimana hasil tersebut dicapai. 2.4.4 Penilaian Kinerja – Performance Appraisal Menurut Lloyd I. Byars dan Leslie w. Rue (2006, p223-244) Penilaian kinerja adalah proses evaluasi dan komunikasi terhadap seorang karyawan bagaimana performanya dalam bekerja dan membuat perencanaan peningkatan. Ketika direncanakan dengan baik, penilaian kinerja tidak hanya membiarkan karyawan mengetahui seberapa baik mereka menunjukkan kinerjanya tetapi juga mempengaruhi tingkat usaha dan arah mereka di masa depan. Usaha seharusnya ditingkatkan jika ingin memperkuat kinerja yang baik. Persepsi kerja seorang karyawan seharusnya diperjelas dengan membuat perencanaan peningkatan. Satu dari kebanyakan pengguna penilaian kinerja membuat keputusan administrasi yang berhubungan dengan promosi, pemberhentian, pensiun, dan peningkatan gaji karena menikah. Sebagai contoh, kinerja seorang karyawan seringkali menjadi pertimbangan yang paling signifikan untuk menentukan apakah seseorang dapat dipromosikan atau tidak. Ketika kinerja yang baik tercapai dalam suatu pekerjaan, tidak berarti seorang karyawan akan menjadi efektif di tingkat pekerjaan yang lebih tinggi, penilaian kinerja menyediakan beberapa informasi prediktif. Informasi penilaian kinerja dapat juga menyediakan input yang dibutuhkan untuk menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan baik individual maupun organisasi. Sebagai contoh, informasi ini dapat digunakan untuk membantu menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan organisasi secara umum. Untuk karyawan individual, sebuah penilaian kinerja lengkap seharusnya mencakup perencanaan kebutuhan pelatihan dan pengembangan yang spesifik. Kegunaan penting lainnya dari penilaian kinerja adalah untuk memperkuat peningkatan kinerja. Dalam hal ini, penilaian kinerja digunakan untuk mengkomunikasikan kepada karyawan 30 bagaimana mereka bekerja dan menyarankan kebutuhan terhadap perubahan di dalam perilaku, sikap, skill, dan pengetahuan. Umpan baik seperti ini memperjelas ekspektasi kerja seorang manager terhadap karyawan. Seringkali umpan balik ini harus diikuti dengan pengajaran dan pelatihan dari manager untuk membimbing usaha dari seorang karyawan. Hal yang harus diperhatikan dalam organisasi adalah seberapa sering harus membuat penilaian kinerja. Sepertinya tidak ada konsensus yang nyata tentang seberapa sering penilaian kinerja harus dilaksanakan. Tetapi secara umum, jawabannya adalah sesering dibutuhkannya karyawan untuk mengetahui perkerjaan macam apa yang mereka lakukan dan, jika kinerjanya tidak memuaskan, maka harus dilakukan peningkatan. Untuk banyak karyawan, hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan penilaian kinerja tahunan. Untuk itu, direkomendasikan kepada kebanyakan karyawan, bahwa penilaian kinerja informal dilaksanakan dua atau tiga kali dalam setahun sebagai tambahan dari penilaian kinerja formal tahunan. 2.5 Penelitian terdahulu 2.5.1 Journal “The impact of locus of control on job stress, job performance and job satisfaction in Taiwan” Penulis: Jui-Chen Chen dan Colin Silverthorne Ket: Leadership & Organization Development Journal Vol. 29 No. 7, 2008 Penelitian ini membahas tentang hubungan antara locus of control dan perilaku yang berhubungan terhadap job stress, satisfaction, dan performance para akuntan di Taiwan. Dikatakan di dalam teorinya bahwa “It has long been assumed that higher employee satisfaction leads to an increase in employee performance and productivity (Lucas, 1999).” Dan juga di 31 dalam kesimpulan dari jurnal tersebut mengatakan “In addition, the mediating effects of locus of control indicate that job satisfaction affects job performance and job stress.” Dari pernyataan yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja memang mempengaruhi kinerja. Hanya saja dalam jurnal tersebut, peneliti mencoba menghubungkan antara kepuasan kerja dengan kinerja dengan variabel perantara locus of control. Dan pada penelitian kali ini penulis mencoba menghubungkan kepuasan kerja dengan kinerja dengan variabel perantara sikap kerja. Dan hasil yang diperoleh dari jurnal ini adalah ”Respondents who had an internal LOC perceived lower levels of job stress, reported higher levels of job satisfaction and job performance. Based on individual responses, the results indicate that high performance CPA firms probably have more internal LOC individuals than low performance firms. The mediator function tests also showed that LOC is a mediator, through which job stress influences job performance. In addition, the mediating effects of LOC indicate that job satisfaction affects job performance and job stress. In other words, for an external LOC individual, job stress would have a negative effect on his or her performance while for an internal LOC individual job stress can enhance his or her performance. Compared with external LOC individuals, an internal LOC individual was more easily satisfied with his or her job, thus increasing job performance. Also an internal LOC individual finds it easier to cope with job stress.” 2.5.2 Journal “Dimensions of Quality in Higher Education: How Academic Performance Affects University Students' Teacher Evaluations” Penulis: Sameer T Mustafa, Dalen Chiang. Ket: Journal of American Academy of Business, Cambridge. Hollywood: Mar 2006. Vol. 8, Edisi 1; pg. 294, 10 pgs 32 Penelitian ini dilakukan terhadap 485 mahasiswa kelas akuntasi dari AACSB accredited accounting program. Dimana variabel-variabelnya adalah sebagai berikut: teacher abilities (Xl), teacher attitudes (X2), course load (X3), and course materials (X4) sebagai independent variables. Teacher performance (Yl) and course content (Y2) sebagai intervening variables, and quality of education (Y3, amount of knowledge) sebagai the dependent variable. Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Jurnal 2 Dan dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hasil yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Ada relasi positif signifikan antara teacher performance dan course content terhadap quality of education. Dengan kata lain peningkatan positif pada teaching performance atau course content akan berpengaruh positif pada quality of education. Selain itu ada relasi positif yang signifikan teacher performance dan course content. Teacher performance dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: teacher abilities, teacher attitudes, dan course materials. Teacher abilities dan attitudes memiliki pengaruh positif terhadap teacher performance, ketika course materials menunjukkan pengaruh negatif. Yang cukup menarik adalah ketika the course load tidak berpengaruh terhadap teacher performance, ia malah berpengaruh positif pada course 33 content. Untuk itu, meningkatkan course load akan meningkatkan course content secara langsung dan secara tidak langsung meningkatkan the quality of education tanpa mempengaruhi evaluasi dari teacher performance. 2.6 Kerangka Pemikiran Motivasi kerja (X1) • • • • • Self-actualization Esteem needs Belongingness needs Safety needs Physiological needs • • • • Kinerja (Y) Kepuasan Kerja (X2) Personality Values Work Situation Social Influence • • • Sikap kerja (X3) • • • affective component cognitive component behavioral component Sumber: penulis Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Effort Individual Ability Organizational Support