BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini banyak terjadinya kejahatan dalam industri pengelolaan hutan seperti terjadinya illegal logging atau pembalakan liar sampai illegal trading. Menurut Pohnan dan Stolen (2013) pembalakan dianggap sebagai salah satu pendorong deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia sehingga menyebabkan menurunnya bahkan hilangnya keanekaragaman hayati , perubahan iklim dan penataan hutan yang buruk. Tingginya tingkat pembalakan liar di Indonesia menurunkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan produsen di Indonesia. Sehingga timbul pertanyaan apakah kayu yang digunakan adalah kayu yang legal atau sah secara hukum?. Tentu saja hal ini mempengaruhi produk hasil hutan Indosnesia dalam persaingan pasar internasional. Pasar internasional khususnya Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung Uni Eropa menuntut jaminan kelestarian produk kayu (Kurnianingsih et al., 2011). Dengan masing-masing kebijakan di setiap negara tersebut pada intinya mengatur tentang produk hasil hutan yang bisa masuk adalah produk yang legal guna mengurangi pembalakan liar. Pada tanggal 30 September 2013, Indonesia dan Uni Eropa menyepakati kerjasama kemitraan tentang Tata Kelola Penegakan Hukum dan Perdagangan Produk Kehutanan atau yang lebih dikenal dengan Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement Governance 1 and Trade (VPA-FLEGT). Kerjasama ini ditujukan untuk mengurangi tindak kejahatan pada industri kehutanan seperti pembalakan liar dan perdagangan produk ilegal. Dengan adanya kesepakatan tersebut, pelaku usaha kayu Indonesia dituntut untuk memverifikasi legalitas kayu yang akan diekspor ke pasar internasional. Maraknya pembalakan liar dan perdangangan ilegal hasil hutan membuat pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK merupakan instrumen yang ditujukan untuk mengurangi pembalakan liar dan perdagangan mengadakan perdagangan produk kayu legal ilegal di dengan cara Indonesia. Untuk menghasilkan produk yang legal, maka dari pasokan kayu sampai pemasaran harus mempunyai dokumen yang jelas dan ditetapkan sebagai barang yang legal secara hukum. Sistem SVLK sendiri terdiri dari tahap yang dapat dibagi menjadi tiga sesuai dengan alur kayu yaitu tahap pasokan kayu, tahap industri kayu dan tahap pemasaran (Maryudi et al., 2014). Indonesia telah mengembangkan sebuah sistem verifikasi dan legalitas kayu sejak diberlakukannya Permenhut P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Seiring dengan perkembangannya, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) mengalami perubahan pada kebijakan-kebijakan yang mengaturnya karena SVLK masih perlu disempurnakan guna mempermudah kinerja sistem tersebut. Tetapi pada dasarnya, SVLK adalah sistem untuk memastikan 2 keabsahan legalitas kayu pada industri berbasis kayu. Melalui Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, Pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh industri berbasis kayu mengantongi dokumen V-Legal pada tahun 2013, akan tetapi pada kenyataannya masyarakat Indonesia diduga belum siap untuk menerapkan kebijakan ini karena mengalami berbagai kendala. Oleh karena hal tersebut Pemerintah memberikan waktu satu tahun kepada industri pengelolaan berbasis kayu untuk mempersiapkan standar verifikasi legalitas kayu (Triastoningtias, 2015). Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diketahui mengenai kendalakendala yang dihadapi industri penggergajian dan pengrajin mebel skala kecil dalam menerapkan SVLK di Kabupaten Klaten. Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra industri perkayuan terbesar di Jawa Tengah selain Kabupaten Jepara. Banyak terjadi kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam penerapan SVLK di Kabupaten Klaten. Dari penelitian penelitian tersebut terdapat beberapa masalah yang dihadapi industri seperti biaya sertifikasi, pengetahuan dari pengusaha dan tingkat kepercayaan terhadap SVLK sendiri. Permasalahan tersebut sangat kompleks sehingga dalam penerapannya masih belum mencakup seluruh obyek sasaran SVLK sendiri. Dalam perkembangan SVLK di Klaten sendiri menerapkan percepatan SVLK dengan terbitnya Peraturan Bupati Nomor 16 tahun 2014 mengenai Sistem Percepatan Pelaksanaan SVLK. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah serius dalam mengawal SVLK. Sampai sekarang 3 pemerintah selalu berupaya membantu pengusaha yang bergerak di industri kayu dalam memperoleh standar verifikasi legalitas kayu tersebut. Pada tahun 2014 diterbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.43/Menhut-II/2014 jo. P.95/Menhut-II/2014 yang mengatur tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Peraturan tersebut merupakan peraturan terbaru mengenai SVLK. Dalam perkembangan SVLK sendiri terdapat perubahan status dari awalnya voluntary menjadi mandatory. Sejak SVLK diwajibkan yaitu mulai tahun 2013, terjadi beberapa kendala di lapangan. Hal tersebut menyebabkan pembaharuan peraturan, pada tahun 2014 terbit Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 yang menjelaskan bahwa beberapa pemegang izin seperti TPT dan IRT wajib memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) tetapi bisa juga hanya dengan menggunakan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP) yang lebih mudah mengurusnya. Akan tetapi berdasarkan data di lapangan, masih banyak pengusaha perkayuan di Kabupaten Klaten khususnya Tempat Penampungan Terdaftar (TPT) atau disebut depo kayu dan Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) atau disebut industri penggergajian yang masih belum menerapkan SVLK. Pada tahun 2016 ini, Indonesia sudah dihadapkan dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang dimana persaingan pasar ekonomi di Asia Tenggara semakin tinggi. Hal tersebut menuntut industri yang bergerak di bidang kayu untuk mempersiapkan produk hasil hutan yang bersertifikat dan legal guna meningkatkan daya saing di pasar ekonomi Asia Tenggara ini. Oleh karena 4 itu bertolak balik dari hal tersebut penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui kesiapan dari industri penggergajian dan depo kayu dalam pemenuhan standar sistem verifikasi dan legalitas kayu di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. 1.2. Rumusan Masalah Usaha perkayuan di Kabupaten Klaten bisa dikatakan jumlahnya lebih banyak dan maju dibandingkan di daerah lain. Akan tetapi dalam hal penerapan SVLK diduga menghadapi beberapa masalah, hal ini dibuktikan dengan sedikitnya industri yang mempunyai S-LK dan terbitnya peraturan daerah yang mengatur tentang percepatan SVLK di Kabupaten Klaten. Dengan terbitnya peraturan baru tersebut seharusnya lebih mudah dalam pemenuhan standar SVLK akan tetapi masih banyak pengusaha perkayuan yang belum menerapkannya. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Seberapa jauh kesiapan industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten? 2. Apakah kendala industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten? 3. Apakah harapan dan pemecahan masalah industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten? 5 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui seberapa jauh kesiapan industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten. 2. Mengetahui kendala industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten. 3. Mengetahui harapan dan pemecahan masalah industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Kabupaten Klaten. 1.4. Manfaat Penelitian Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 1. Dapat menambah informasi mengenai kesiapan industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu dalam pemenuhan dokumen VLK di Kabupaten Klaten. 2. Sebagai evaluasi bagi pembuat kebijakan tentang penerapan SVLK di industri penggergajian kapasitas ≤ 2.000 m3 dan depo kayu yang ada di Kabupaten Klaten. 3. Sebagai pertimbangan dalam menyusun strategi dalam pengembangan SVLK di Kabupaten Klaten. 6