BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia dan lingkungan hidupnya bagaikan dua sisi mata uang
yang tak dapat dipisahkan. Diantara keduanya terdapat hubungan timbal
balik antara manusia dan lingkungan tempat hidupnya. Manusia
mempengaruhi lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia dipengaruhi
oleh lingkungan hidupnya.1 Sehingga jika lingkungannya rusak, maka
manusiapun akan terganggu pula dalam melakukan segala aktivitasnya.2
Manusia dianugrahkan oleh Tuhan dengan kemampuan otak yang
lebih baik, sehingga manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki
kemampuan berfikir yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya.
Karenanya, manusia secara aktif dapat mencari, mengumpulkan, maupun
mengolah berbagai sumber daya yang ada di alam untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup sesuai dengan yang dikehendakinya. Kegiatan-kegiatan
manusia yang seperti ini tentu saja selalu menimbulkan bermacam
pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya, baik yang bersifat positif
maupun yang berdampak negatif.
1
2
Sastrawijaya, 2009, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 15.
Ibid.
2
Namun, semakin merosotnya daya dukung lingkungan serta
dibarengi pula dengan menipisnya persediaan sumber daya alam sebagai
penyokong hidup, timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, serta
semakin kurang bersahabatnya alam kepada manusia telah membuat sadar
manusia bahwa begitu pentingnya daya dukung lingkungan terhadap
kehidupan manusia di seluruh alam semesta.3
Kegiatan konsumsi manusia atas sejumlah barang-barang yang
bersumber dari alam juga membawa dampak yang besar kepada
lingkungan. Semakin besar eksploitasi manusia terhadap alam untuk
memenuhi kebutuuhan sehari-harinya dan menjadikan alam sebagai alat
pemenuhan kebutuhannya tersebut. Hutan sebagai salah satu sumber
utama yang menyokong kehidupan manusia pada dasarnya merupakan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Namun apabila hutan
dimanfaatkan secara terus menerus tanpa adanya upaya manusia untuk
mengembalikan kelestarian hutan tersebut maka bukanlah hal yang tidak
mungkin bahwa hutan akan rusak, bahkan musnah.
Hutan sendiri menurut Dangler adalah sejumlah pepohonan yang
tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban,
cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan
tetapi dipengaruhi pula oleh tumbuhan-tunbuhan atau pepohonan baru
3
Pramudya Sunu, 2001, Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, PT
GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 7.
3
asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhannya cukup
rapat baik secara horisontal maupun vertikal.4
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 yang dimaksud hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki luas hutan tropis
terluas di Dunia, tepatnya berada di urutan kedua setelah negara Brazil.5
Indonesia memiliki areal berhutan sebesar 98.072,7 juta ha atau 52,2%
dari seluruh luas daratan yang dimiliki.6 Namun hal tersebut juga
dibarengi dengan laju kehilangan dan kerusakan hutan yang sangat tinggi
pula.
Penyebab utama dari rusak atau hilangnya hutan di Indonesia
adalah kebakaran hutan, perubahan lahan konservasi hutan menjadi
peruntukan yang lain dan juga penebangan liar. Indonesia sebagai salah
satu negara dengan laju kerusakan dan kehilangan hutan tertinggi di dunia
menempati urutan ketiga penyumbang emisi karbon terbesar setelah
4
H.S. Salim, 2003, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 40.
Zamzami,
“Menyelamatkan
Hutan
Kita
Dengan
Moratorium”,
http://m.greenpeace.org/seasia/id/high/blog/menyelamatkan-hutan-kita-denganmoratorium/blog/52454/ diakses 5 Oktober 2015
6
Kementrian
Kehutanan
RI,
“Statistik
Kementerian
Kehutanan”,
http://www.dephut.go.id/uploads/files/2fba7c7da8536e31671e3bb84f141195.pdf, diakses pada 5
Oktober 2015
5
4
negara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat.7 Kerusakan dan
susutnya lahan hutan di Indonesia yang sangat tinggi ini membahayakan
kelestarian sumberdaya hutan dan memicu terjadinya perubahan iklim
global.8
Kesadaran manusia akan betapa pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan hidupnya telah dimulai sejak tahun 1972. Pada tahun itu
digelarlah suatu konferensi di kota Stockholm, Swedia. Konferensi yang
dilaksanakan oleh PBB tersebut merupakan sebuah titik awal yang
menandai bahwa semakin meningkatnya kesadaran manusia akan betapa
pentingnya menjaga lingkungan hidup. Konferensi tersebut menghasilkan
sebuah deklarasi yang berisikan tentang prinsip-prinsip umum kepada
seluruh penduduk dunia untuk miningkatkan dan melindungi lingkungan
manusia.9
Manusia kemudian tersadar bahwa setiap produk mempunyai
dampak terhadap lingkungan selama tahap-tahap daur hidupnya yaitu
mulai dari perolehan bahan baku, proses produksi, distribusi sampai
kepada pembuangan akhir.10 Potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan
dari suatu produk dapat ditekan dengan mempertimbangkan aspek-aspek
atau isu lingkungan seperti penerapan prinsip ekolabel, pengurangan gas
7
Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan, “Peranan Hutan Sebagai Penyimpan Karbon”, http://sttlmataram.ac.id/peranan-hutan-sebagai-penyimpan-karbon/, diakses pada 5 Oktober 2015
8
Darmawan, A.H., NugrohoB., Kartodihardjo H,. Kolopaking L.M., Boer R, 2012, SVLK, Jalan
Menuju REDD+, Forest Governance dan Multistakeholder Forestry Programme, Jakarta, hlm. 13.
9
Louis B. Sohn, 1973, The Stockholm Declaration on the Human Environment, The Harvard
International Law Journal Volume 15 Number 3, hlm. 423.
10
Suminto, 2011, Kajian Penerapan Ekolabel Produk Di Indonesia, Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Standardisasi, Jakarta, hlm. 201.
5
rumah kaca, pengurangan limbah dan pemanfaatan bahan baku daur ulang
ke dalam standar produksi suatu produk.11 Oleh karena itulah penerapan
standar di bidang lingkungan terutama penerapan konsep ekolabel pada
suatu produk akan berperan dalam menunjang upaya-upaya pelestarian
fungsi lingkungan.12
Label ramah lingkungan atau yang lebih dikenal dengan istilah
lainnya yaitu ekolabel adalah suatu hal yang tidak asing lagi di kalangan
produsen maupun konsumen pada masa sekarang ini. Ekolabel diharapkan
dapat menjadi suatu hal yang dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap
lingkungan dan menjadikan produsen maupun konsumen untuk hidup
lebih “hijau” atau ramah terhadap lingkungan.
Ketika berbicara mengenai ekolabel, ada suatu kriteria tertentu
yang menjadikan sebuah produk mendapatkan sertifkat atau dikategorikan
kedalam produk-produk berekolabel. Penerapan kriteria dan kategori
tersebut dapat berbeda-beda, merefleksikan variabel lokal mupun regional,
namun dengan tetap berdasarkan standar yang telah ditentukan tersebut
haruslah memperhatikan proses produksi sejak awal hingga akhir.13 Dalam
proses produksinya, produk tersebut haruslah bebas ataupun setidaknya
11
Ibid.
Ibid.
13
Global
Ecolabelling
Network
(GEN),
“GEN
Member
Standards”,
http://www.globalecolabelling.net/categories_7_criteria/index.htm, diakses pada 9 Oktober 2015
12
6
hanya sedikit menimbulkan pencemaran, hemat energi, hemat bahan
bakar, dan juga isu lain yang menyangkut lingkungan.14
Atas hal tersebut, penerapan prinsip ekolabel dirasa sangat
diperlukan. Hal ini menjadi penting, mengingat menjaga kelestarian
lingkungan hidup telah menjadi suatu hal yang wajib kita lakukan dan
ditambah Indonesia juga sudah menerapkannya ke dalam suatu peraturan
yang perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
serta
dikuatkanya dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun
2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel. Penerapan prinsip ekolabel ini
sangat perlu untuk dilaksanakan dengan baik, karena ekolabel merupakan
bagian dari upaya melestarikan lingkungan hidup agar kehidupan dimasa
sekarang dan masa depan tetap dapat berlangsung.
Penerapan prinsip ekolabel ini apabila dikaitkan dengan upaya
pelestarian lingkungan terutama di sektor kehutanan dapat berbentuk
pemberian sertifikasi ekolabel yang merupakan instrumen berbasis pasar
sebagai sebuah pengakuan atas praktek pengelolaan hutan yang baik atau
lestari.15 Praktik pengelolaan yang lestari diharapkan dapat memberikan
peningkatan pada aspek ekologi seperti menyerap karbondioksida
sekaligus menghasilkan oksigen bagi kehidupan, sumber air, pencegah
erosi dan banjir, habitat hewan, sumber keanekaragaman hayati, namun
14
15
Ibid.
Suminto, Loc.Cit. hlm. 202.
7
dengan tetap dapat meningkatkan aspek ekonomi maupun sosial.16
Mengingat pula bahwa sebagian besar emisi karbon yang dihasilkan oleh
Indonesia adalah berasal dari sektor kehutanan, maka sektor kehutanan
merupakan target utama dalam upaya pelestarian lingkungan dengan
penerapan prinsip ekolabel tersebut.17
Penerapan prinsip ekolabel pada Standar Verifikasi Legalitas Kayu
atau SVLK adalah sebagai salah satu sistem yang digunakan dalam upaya
melakukan perbaikan tata kelola kehutanan menuju pengelolaan hutan
lestari. SVLK adalah sebuah sistem pelacakan yang disusun secara
multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar
dan diperdagangkan di Indonesia.18 Sistem legalitas kayu dikembangkan
untuk memerangi illegal logging dan illegal trade, memperbaiki tata
kelola kehutanan (forest governance), dan mewujudkan pengelolaan hutan
berkelanjutan.19
SVLK ini dalam kegiatan verifikasi dan penilaiannya dilakukan
oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Dengan kegiatan sertifikasi
yang dimiliki dalam pelaksanan ekolabel pada SVLK diharapkan secara
signifikan dapat memperbaiki pengelolaan hutan di Indonesia secara
lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang kemudian
16
Natural Resources Development Center, 2013, Modul: Konsep Dan Kebijakan Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari Dan Implementasinya (Sustainable Forest Management/SFM, Natural
Resources Development Center, Jakarta, hlm. 9.
17
Darmawan, A.H., Loc.Cit, hlm. 9.
18
Anonim, “Apa dan Bagaimana SVLK”, http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3, diakses
pada 5 Oktober 2015
19
Darmawan, A.H, Loc.Cit., hlm. 2.
8
sebagai tujuan utama dari hal tersebut adalah pengurangan kerusakan
hutan, emisi karbon, serta menanggulangi perubahan iklim ke arah yang
jauh lebih baik.20
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan pada latar belakang di atas,
penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam
mengenai upaya melestarikan lingkungan hidup yang dilakukan dengan
suatu penerapan konsep yang bernama ekolabel dalam bidang kehutanan
terutama pada Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), melalui sebuah
penulisan hukum yang berjudul “Artikulasi Konsep Ekolabel pada
Standar Verifikasi Legalitas Kayu sebagai Upaya Perlindungan dan
Pelestarian Lingkungan (Kajian Aspek Yuridis Lingkungan) ”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang di atas, dapat dikemukakan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk penerapan Konsep Ekolabel pada
Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)?
2. Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan Standar Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK)?
20
Minangsari, Mardi. 2012. SVLK sebagai Bagian dari Strategi Nasional REDD+, Forest
Governance and Multistakeholder Forestry Programme, Jakarta, hlm. 13.
9
C. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui artikulasi konsep ekolabel pada Standar
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
b. Mengetahui pelaksanaan kebijakan Standar Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK)
2. Tujuan Subjektif
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menyusun
penulisan hukum guna melengkapi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
D. KEASLIAN PENELITIAN
Dalam penelitian kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan
Pusat Universitas Gadjah Mada dan Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, penulis tidak menemukan penulisan yang
berkaitan dengan ekolabel pada Standar Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK), tetapi penulis menemukan beberapa penulisan yang meneliti
mengenai ekolabel dan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang
diteliti secara terpisah. Beberapa penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
10
1. Penulisan hukum yang ditulis oleh Angling Galih Cahaya
Widiyanto pada tahun 2014 dengan judul “STATUS HUKUM
EKOLABELING
DALAM
PERSPEKTIF
PERJANJIAN
WORLD TRADE ORGANIZATIONS (WTO)”, Fakultas
Hukum
Universitas
Gadjah
Mada,
dalam
pembahasan
penelitian yang dilakukan oleh Angling, membahas mengenai
status hukum ekolabel dalam GATT 1994 yang merupaka
trade-related environmental measure pada Artikel XX(g),
sedangkan di dalam perjanjian Technical Barrier to Trade
(TBT) ekolabel adalah regulasi standar ataupun teknik.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan
penelitian ini adalah, saudara Angling lebih menekankan pada
regulasi skema ekolabel pada perspektif WTO dan regulasi
perjanjian WTO yang berkaitan dengan skema ekolabel
sedangkan penulisan hukum yang penulis tulis adalah
membahas skema ekolabel yang dikhususkan pada Standar
Verifikasi Legalitas Kayu bukan berdasarkan pada perjanjian
yang dilaksanakan melalui perjanjian WTO.
2. Tesis yang ditulis oleh Masthur pada tahun 2005 dengan judul
TINJAUAN
PRINSIP-PRINSIP
BERKELANJUTAN
TERHADAP
PEMBANGUNAN
PENERAPAN
EKOLABEL PRODUK HASIL HUTAN DI INDONESIA,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam pembahasan
11
penelitian yang dilakukan oleh Masthur adalah membahas
mengenai
pengaturan
perdagangan
Internasional
dalam
kaitannya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan di
bidang kehutanan yang dilihat dari ketentuan dalam GATT dan
WTO dan implikasi penggunaan label lingkungan produk hasil
hutan terhadap pelestarian fungsi hutan. Perbedaan penelitian
yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian ini adalah,
penulisan hukum yang penulis lakukan adalah mengkaji
penerapan konsep ekolabel yang diterapkan pada produk hasil
hutan melalui penerapan Standar Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) yang merupakan peraturan yang tidak berkaitan
dengan ekolabel yang diatur di dalam ketentuan GATT maupun
WTO.
3. Tesis yang ditulis oleh Achmad Syofi’i pada tahun 2014
dengan judul EKONOMI POLITIK SISTEM VERIVIKASI
LEGALITAS KAYU (SVLK) (STUDI KASUS INDUSTRI
MEBEL DI KABUPATEN JEPARA), Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, dalam pembahasan penelitian yang
dilakukan oleh Achmad, membahas mengenai perubahan
permintaan dan harga kayu setelah (Unit Manajemen Hutan
Rakyat) UMHR mendapatkan sertifikat legalitas kayu dan
pengaruh permintaan kayu terhadap kelestarian produksi kayu
hutan rakyat setelah UMHR mendapatkan sertifikat legalitas
12
kayu. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan
penelitian ini adalah, penulisan hukum yang penulis lakukan
adalah bukan melihat perubahan permintaan dan harga kayu
setelah sertifikasi SVLK namun melihat perkembangan atau
peningkatan unit manajemen kehutanan yang telah melakukan
sertifikasi
SVLK
dalam
beberapa
tahun
terakhir
dan
menjabarkan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan
sertifikasi tersebut.
4. Tesis yang ditulis oleh Halifa Haqqi pada tahun 2007 dengan
judul ECOLABEL SEBAGAI BENTUK PROTEKSIONISME
BARU
(CASE
STUDY:
PEMBLOKIRAN
KAYU
BERSERTIFIKASI ECOLABEL DARI INDONESIA OLEH
UNI EROPA), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dalam
pembahasan penelitian yang dilakukan oleh Halifa membahas
mengenai perubahan kebijakan ecolabel Uni Eropa menjadi
New Protectionism. Ecolabel sebagai bentuk proteksionisme
didasarkan pada kriteria, indikator, proses, dan bentuk yang
hampir sama, di mana alasan lingkungan dan perjanjian yang
bersifat sukarela dijadikan alasan pembenaran. Perbedaan
penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian ini
adalah, penulisan hukum yang penulis lakukan adalah bukan
melihat ekolabel dalam bidang perkayuan yang diterapkan
melalui SVLK pada ruang lingkup Uni Eropa namun lebih
13
mengedepankan pada penerapan konsep ekolabel SVLK yang
diterapkan oleh Indonesia sebagai suatu upaya perlindungan
dan pelestarian lingkungan.
Keempat penelitian di atas sama sekali berbeda dengan penulisan
hukum yang penulis tulis. Di mana penulisan yang penulis buat lebih
difokuskan kepada permasalahan artikulasi prinsip ekolabel dalam Standar
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Selain itu, penulis mengkaji mengenai
aspek-aspek yuridis lingkungan dari penerapan prinsip ekolabel tersebut.
Dan ruang lingkup yang diteliti adalah ruang lingkup yang berbeda dengan
yang telah dilakukan pada keempat penelitian tersebut. Dengan demikian,
penulisan hukum ini adalah asli dan bukan merupakan hasil plagiarisme,
sehingga memenuhi syarat keaslian penelitian.
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan
(insight) mengenai prinsip ekolabel pada Standar Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) sebagai bagian dari upaya melestarikan lingkungan,
khususnya dalam diskursus Hukum Lingkungan.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran
bagi semua pemangku kepentingan (stakeholder) terkait pentingnya
14
penggunaan atau permanfaatan produk-produk olahan atau hasil hutan
berupa kayu dengan tetap mengedepankan upaya-upaya pelestarian
lingkungan hidup dan membantu mengurangi dampak negatif yang
mungkin ditimbulkan.
Download