UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004) DISERTASI MUCHAMAD ALI SAFA’AT NPM: 8504000191 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2009 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004) DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia MUCHAMAD ALI SAFA’AT NPM: 8504000191 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2009 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Muchamad Ali Safa’at : Ilmu Hukum : Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004) Disertasi ini membahas tentang pembubaran partai politik di Indonesia pada kurun waktu 1959 sampai 2004, baik dari sisi pengaturan hukum maupun praktik pelaksanaannya serta prospek pengaturan di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan sejarah dan perbandingan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1959 hingga 2004 pada masing-masing periode, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, terdapat ketentuan yang berbeda-beda tentang pembubaran partai politik. Pada kurun waktu tersebut juga terjadi beberapa praktik pembubaran partai politik dalam berbagai bentuk baik berdasarkan hukum yang berlaku maupun tidak. Di masa yang akan datang perlu dilakukan pengaturan yang lebih mendetail terkait dengan alasan pembubaran, pemohon, proses peradilan, serta akibat hukum pembubaran partai politik. Kata kunci: Kebebasan berserikat, demokrasi, pembubaran partai politik. vii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia ABSTRACT Name Study Program Title : Muchamad Ali Safa’at : Law : The Dissolution of Political Party in Indonesia (Analisys of the rule and practices of the Dissolution of Poltical Parties Since 1959 Until 2004) The focus study of this disertation is the law and practices of the dissolution of political parties in Indonesia since 1959 until 2004, and how it should be ruled in the future. This research is a normative research that use historical dan comparative approach. The result is tha there were laws concerning the dissolution of political parties between 1959 until 2004 for each period, Orde Lama, Orde Baru, and Reformasi. Some political parties had dissolved at that time with various ways, whether based on positive law or not. The reseacher sugest that The law concerning the dissolution of political party in the future should be more detail especially about the ground or reason of dissolution, applicant, court process, and the consequences. Key words: Freedom of association, democracy, dissolution of political party. viii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Muchamad Ali Safa’at NPM : 8504000191 Tanda Tangan: ............................... Tanggal : 8 Januari 2009 ii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. HALAMAN PENGESAHAN Disertasi ini diajukan oleh : Nama : Muchamad Ali Safa’at NPM : 8504000191 Program Studi : Ilmu Hukum Judul Disertasi : Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004). Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Promotor : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. ( .............................) Kopromotor : 1. Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A. (..............................) : 2. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. (..............................) Tim Penguji : 1. Prof. Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D. (Ketua) (…..........................) 2. Prof. Dr. Sri Soemantri M., S.H., M.CL. (Anggota) (..............................) 3. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (Anggota) (..............................) 4. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Anggota) (..............................) 5. Dr. Jufrina Rizal, S.H., M.A. (Anggota) Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 8 Januari 2009 iii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. (..............................) KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada henti-hentinya melimpahkan kesabaran dan kemampuan hingga akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi penulis untuk menyelesaikan program doktor pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Lahirnya karya ini juga tidak dapat dilepaskan dari bimbingan, dukungan, dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu sudah ucapan terima kasih penulis senantiasa melekat dan menjadi bagian dari karya ini. Kepada Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan beliau sebagai Promotor yang telah memberikan bimbingan, arahan dan bantuan, tidak hanya terkait dengan penulisan disertasi ini, tetapi juga dalam mendalami ilmu hukum dan ketatanegaraan secara umum. Penulis juga menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk menjalankan tugas-tugas yang beliau amanatkan. Kepada Ko-Promotor, Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A. dan Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., penulis menyampaikan terima kasih atas kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan dan arahan yang diberikan. Bimbingan beliau berdua sangat berarti dalam proses penulisan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para penguji, yaitu Prof. Dr. Sri Soemantri M, S.H., M.CL.; Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.; Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A.; dan Dr. Jufrina Rizal, S.H., M.A. Beliaubeliau tidak hanya bertindak sebagai penguji dalam tahapan-tahapan ujian yang telah dilalui penulis, tetapi juga memberikan saran dan masukan yang sangat berarti. Atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph.D, serta dekan periode sebelumnya, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M. Ph.D. iv Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Brawijaya yang telah memberikan ijin dan kesempatan melanjutkan studi pada jenjang strata tiga; kepada Pembantu Rektor II Universitas Brawijaya, Bapak Warkum Sumitro, S.H., M.S., serta Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Herman Suryokumoro, S.H., M.S. atas segala bantuan dan dukungannya; serta kepada segenap pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang telah mendukung penyelesaian studi penulis. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada segenap keluarga, kedua orang tua, mertua, khususnya istri dan kedua anak tercinta, yang telah banyak berkorban dan memberikan segalanya. Terima kasih juga harus penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, di antaranya Bapak Salahudin Wahid dan Bapak Janedjri, serta seluruh rekan dan sahabat yang mohon beribu maaf tidak dapat disebutkan satu-persatu dalam kata pengantar ini. Akhirnya, penulis berharap karya ini dapat membawa manfaat walaupun pasti terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki. Semoga karya ini bukan capaian akhir dari penulis, melainkan titik awal untuk lahirnya karya yang lebih baik. Jakarta, Januari 2009 Penulis Muchamad Ali Safa’at v Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Fakultas Jenis karya : : : : : Muchamad Ali Safa’at 8504000191 Ilmu Hukum Hukum Disertasi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004). beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Jakarta Pada tanggal: 8 Januari 2009 Yang menyatakan (Muchamad Ali Safa’at) vi Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... ii PENGESAHAN ............................................................................................. iii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii ABSTRACK .................................................................................................. viii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR DAN TABEL .............................................................. xv BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1. LATAR BELAKANG .............................................................................. 1 1.2. MASALAH PENELITIAN ..................................................................... 14 1.3. PERTANYAAN PENELITIAN .............................................................. 15 1.4. KERANGKA TEORI DAN KONSEP .................................................... 15 1.4.1. Kebebasan Berserikat, Demokrasi dan Partai Politik ...................... 15 1.4.2. Partai Politik Sebagai Badan Hukum ............................................. 20 1.4.3. Pembubaran Partai Politik .............................................................. 24 1.4.4. Konsep-Konsep .............................................................................. 31 1.4.4.1 Partai Politik ..................................................................... 31 1.4.4.2 Pembubaran ...................................................................... 33 1.4.4.3 Pengaturan ........................................................................ 34 1.4.4.4 Kurun Waktu 1959 – 2004 ............................................... 34 1.5. TUJUAN PENELITIAN .......................................................................... 36 1.6. MANFAAT PENELITIAN ..................................................................... 36 1.7. METODE PENELITIAN ......................................................................... 36 1.7.1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................. 38 1.7.1.1. Bahan Hukum Primer ....................................................... 38 1.7.1.2. Bahan Hukum Sekunder ................................................... 39 1.7.2. Analisis Data ................................................................................... 40 1.8. ASUMSI PENELITIAN .......................................................................... 40 1.9. SISTEMATIKA PEMBAHASAN .......................................................... 41 ix Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia BAB II PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DALAM NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI ................................... 43 2.1. PARTAI POLITIK, HAK ASASI MANUSIA, DAN DEMOKRASI .... 43 2.1.1. Demokrasi Perwakilan Sebagai Wujud Demokrasi Modern ....... 46 2.1.2. Partai Politik dalam Demokrasi Perwakilan ................................ 49 2.2. PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK ................................................ 52 2.2.1. Tahapan Perkembangan Partai Politik ......................................... 52 2.2.1.1. Faksionalisasi ................................................................. 52 2.2.1.2. Polarisasi ........................................................................ 53 2.2.1.3. Ekspansi ......................................................................... 54 2.2.1.4. Institusionalisasi ............................................................. 54 2.2.2. Sejarah Perkembangan Partai Politik ........................................... 56 2.2.3. Perkembangan Model-Model Partai Politik ................................. 60 2.3. SISTEM KEPARTAIAN ......................................................................... 63 2.3.1. Sistem Satu Partai ........................................................................ 63 2.3.2. Sistem Dua Partai ......................................................................... 64 2.3.3. Sistem Multi Partai ....................................................................... 66 2.4. FUNGSI PARTAI POLITIK ................................................................... 71 2.4.1. Fungsi Komunikasi dan Sosialisasi Politik .................................. 71 2.4.2. Fungsi Rekruitmen Politik ........................................................... 73 2.4.3. Fungsi Pengelola Konflik Politik ................................................. 73 2.5. PEMBUBARAN PARTAI POLITIK ...................................................... 75 2.5.1. Paradigma Pengaturan Partai Politik ............................................ 76 2.5.1.1. Managerial ..................................................................... 77 2.5.1.2. Libertarian ..................................................................... 78 2.5.1.3. Progressive...................................................................... 79 2.5.1.4. Political Markets ............................................................ 80 2.5.1.5. Pluralist .......................................................................... 81 2.5.2. Prinsip-Prinsip Pengaturan ........................................................... 83 2.5.3. Pedoman Venice Commission ...................................................... 84 2.5.4. Peraturan Pembubaran Partai Politik Di Berbagai Negara ........... 84 2.5.4.1. Pembatasan Partai Politik ............................................... 90 2.5.4.2. Pembubaran Partai Politik .............................................. 92 2.5.5. Kasus Pembubaran Partai Politik di Negara Lain ........................ 106 2.5.5.1. Pembubaran Halkin Emek Partisi (1993) dan Refah Party (1998) di Turki ...................................................... 106 2.5.5.2. Pembubaran Partai Thai Rak Thai di Thailand (2006) ... 111 x Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 2.5.5.3. Pembubaran Socialist Reich Party (1952) dan Communist Party (1956) di Jerman ............................... 114 BAB III SEJARAH PARTAI POLITIK DAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE LAMA ..................................... 119 3.1. PARTAI POLITIK SEBELUM DAN PADA AWAL KEMERDEKAAN ................................................................................... 119 3.1.1. Partai Politik Sebelum Kemerdekaan ........................................... 119 3.1.1.1. Munculnya Organisasi Politik ........................................ 119 3.1.1.2. Pembatasan dan Pembubaran Partai Politik ................... 122 3.1.2. Partai Politik di Awal Kemerdekaan ............................................ 125 3.1.2.1. Gagasan Partai Tunggal ................................................. 126 3.1.2.2. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 ...................... 127 3.1.2.2.1. Tujuan Pendirian Partai Politik ...................... 129 3.1.2.2.2. Batasan Partai Politik .................................... 130 3.1.2.3. Partai Politik Pasca Maklumat Pemerintah 3 November 1945 ................................................................................ 130 3.2. PARTAI POLITIK PADA MASA KONSTITUSI RIS DAN UUDS 1950 .......................................................................................................... 134 3.2.1. Ketentuan tentang Partai Politik ................................................... 134 3.2.2. Peran Partai Politik ....................................................................... 134 3.2.3. Partai Politik dalam Pemilihan Umum 1955 ................................ 137 3.3. PARTAI POLITIK DAN DEMOKRASI TERPIMPIN .......................... 138 3.3.1. Sistem Multipartai dan Konflik Politik ......................................... 138 3.3.2. Gagasan Mengubur Partai Politik ................................................ 141 3.3.3. Partai Politik dalam Konsepsi Presiden Soekarno ....................... 142 3.3.4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Demokrasi Terpimpin ............... 144 3.3.5. Pembatasan Peran Partai Politik ................................................... 148 3.4. PENYEDERHANAAN DAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK ..... 152 3.4.1. Peraturan Penyederhanaan dan Pembubaran Partai Politik........... 154 3.4.1.1. Syarat-Syarat Partai Politik dan Alasan Pembubaran .... 155 3.4.1.2. Mekanisme Pengakuan dan Pembubaran ....................... 157 3.4.2. Praktik Pengakuan Partai Politik .................................................. 161 3.5. PEMBUBARAN DAN PEMBEKUAN PARTAI POLITIK .................. 162 3.5.1. Pembubaran Partai Masjumi dan PSI ........................................... 162 3.5.1.1. Konflik antara Masjumi dan PSI dengan Presiden Soekarno ......................................................................... 163 xi Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 3.5.1.2. Keterlibatan Masjumi dan PSI dalam PRRI Permesta ... 164 3.5.1.3. Proses Pembubaran Partai Masjumi dan PSI ................. 166 3.5.2. Pembekuan Partai Murba ............................................................. 171 BAB IV PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU ................................................................................................. 175 4.1. DARI ORDE LAMA KE ORDE BARU .................................................. 175 4.1.1. Konflik TNI AD dan PKI ............................................................. 175 4.1.2. Peristiwa 30 September 1965 ....................................................... 177 4.1.3. Supersemar ................................................................................... 179 4.1.4. Peralihan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto ...... 181 4.1.5. Partai Politik Pada Masa Konsolidasi Orde Baru ........................ 185 4.2. PEMBUBARAN PKI DAN PEMBEKUAN PARTINDO ...................... 192 4.2.1. Proses Pembubaran PKI ............................................................... 192 4.2.2. Alasan dan Dasar Hukum Pembubaran PKI ................................ 193 4.2.3. Pembekuan Partindo ..................................................................... 196 4.3. PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK ........................................... 196 4.3.1. Konsensus Nasional dan Penyederhanaan Partai Politik ............. 196 4.3.2. Proses Penyederhanaan Partai Politik .......................................... 197 4.4. FUSI DAN PEMBATASAN PARTAI POLITIK ................................... 208 4.4.1. Fusi Partai Politik ......................................................................... 208 4.4.2. Pembatasan Partai Politik ............................................................. 210 4.5. PERATURAN PEMBEKUAN PENGURUS PARTAI POLITIK .......... 216 4.5.1. Alasan dan Dasar Hukum Pembekuan ......................................... 216 4.5.2. Prosedur Pembekuan .................................................................... 220 BAB V PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA REFORMASI ................................................................................................ 225 5.1. REFORMASI DAN DEMOKRATISASI POLITIK ............................... 225 5.1.1. Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto ...................................... 225 5.1.2. Reformasi dan Demokratisasi ...................................................... 227 5.1.3. Upaya Penyederhanaan Partai Politik .......................................... 235 5.2. PERATURAN MENGENAI PARTAI POLITIK ................................... 237 5.2.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 ........................................ 237 5.2.2. Perubahan UUD 1945 .................................................................. 241 5.2.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 ...................................... 244 5.2.4. Partai Politik Lokal ...................................................................... 251 xii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 5.3. PERATURAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK ............................. 255 5.3.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 ........................................ 255 5.3.1.1. Alasan Pembubaran ........................................................ 255 5.3.1.2. Prosedur Pembubaran .................................................... 258 5.3.2. Pembubaran Dalam Pembahasan Perubahan UUD 1945 ............. 259 5.3.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 ................................................................. 261 5.3.3.1. Alasan Pembubaran ........................................................ 262 5.3.3.2. Prosedur Pembubaran .................................................... 267 5.3.4. Ketentuan Electoral Treshold ...................................................... 270 5.3.5. Pembatalan Keabsahan ................................................................. 274 5.3.6. Akibat Hukum Pembubaran ......................................................... 276 5.4. GUGATAN PEMBUBARAN PARTAI GOLKAR ................................ 277 5.5. MAKLUMAT PEMBEKUAN PARTAI GOLKAR ............................... 281 BAB VI ANALISIS PENGATURAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DAN PROSPEK DI MASA MENDATANG .............................................. 291 6.1. TUJUAN DAN ARAH PENGATURAN ................................................ 291 6.1.1. Tujuan Pengaturan ........................................................................ 291 6.1.2. Arah Sistem Kepartaian ............................................................... 296 6.1.3. Paradigma Pengaturan .................................................................. 297 6.2. UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK ................................................................................................... 304 6.3. BENTUK-BENTUK PEMBUBARAN ................................................... 308 6.3.1. Bentuk-Bentuk Pembubaran Dalam Peraturan dan Praktik ......... 310 6.3.1.1. Tidak Diakuinya Partai Politik yang Telah Ada ............ 313 6.3.1.2. Pembubaran Sebagai Konsekuensi Kebijakan Fusi Partai ....................................................................... 316 6.3.1.3. Perintah Membubarkan Diri............................................ 319 6.3.1.4. Pembubaran oleh Pemerintah ......................................... 322 6.3.1.5. Pembubaran Berdasarkan Putusan Pengadilan .............. 323 6.3.1.6. Pembekuan Partai Politik ............................................... 325 6.3.2. Bentuk Pembubaran di Masa Mendatang .................................... 327 6.4. ALASAN PEMBUBARAN ..................................................................... 329 6.4.1. Alasan Pembubaran dalam Peraturan dan Praktik ....................... 331 6.4.2. Alasan Pembubaran di Masa Mendatang ..................................... 344 6.5. PROSEDUR PEMBUBARAN ................................................................ 351 xiii Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 6.5.1. Prosedur Pembubaran dalam Peraturan dan Praktik ..................... 351 6.5.2. Prosedur Pembubaran di Masa Mendatang ................................... 358 6.5.2.1. Pemohon dan Permohonan ............................................. 359 6.5.2.2. Persidangan .................................................................... 365 6.5.2.3. Putusan ........................................................................... 369 6.5.2.4. Pelaksanaan Putusan ...................................................... 370 6.6. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN ...................................................... 371 6.6.1. Akibat Hukum dalam Peraturan dan Praktik ............................... 373 6.6.2. Akibat Hukum Pembubaran di Masa Mendatang ........................ 374 6.6.2.1. Status Partai Politik sebagai Partai Terlarang ................ 374 6.6.2.2. Sanksi Terhadap Pengurus dan Anggota ........................ 375 6.6.2.3. Status Wakil Partai di Lembaga Perwakilan .................. 376 6.6.2.4. Harta Kekayaan Partai Politik ........................................ 379 BAB VII PENUTUP ...................................................................................... 381 7.1. KESIMPULAN ........................................................................................ 381 7.2. SARAN .................................................................................................... 385 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 387 xiv Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar 2.1. Hubungan Partai Politik Nasional dan Partai Politik Negara Bagian dan Lokal di Amerika Serikat ........................................ 68 Tabel 2.1. Klasifikasi Sistem Kepartaian Berdasarkan Jumlah dan Kekuatan Partai Politik .............................................................. 69 Tabel 2.2. Jumlah Partai Politik Rata-Rata, Terendah, dan Tertinggi Dari Hasil Pemilu Tahun 1945-1996 Di Tiga Puluh Enam Negara Demokrasi ..................................................................... 69 Tabel 2.3. Pembubaran Partai Politik Melalui Pengadilan Berdasarkan Dasar/Alasannya ........................................................................ 102 Tabel 2.4. Pemohon Pembubaran Partai Politik ......................................... 103 Tabel 2.5. Pengadilan yang Berwenang Memutus Pembubaran Partai Politik .............................................................................. 104 Tabel 6.1. Paradigma Pengaturan Partai Politik ......................................... 298 Tabel 6.2. Paradigma Pengaturan Partai Politik di Masa Mendatang ......... 301 Tabel 6.3. Bentuk-Bentuk Pembubaran Partai Politik ................................ 310 Tabel 6.4. Klasifikasi Jenis Pembubaran dalam Peraturan ......................... 312 Tabel 6.5. Jenis Pembubaran dalam Praktik ............................................... 313 Tabel 6.6. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Masa Orde Lama ........ 332 Tabel 6.7. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Awal Orde Baru ......... 334 Tabel 6.8. Alasan Pembekuan Pengurus Partai Politik Pada Masa Orde Baru ................................................................................... 335 Tabel 6.9. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Masa Reformasi ......... 341 Tabel 6.10. Prosedur Pembubaran Partai Politik Pada Masa Orde Lama ..... 352 Tabel 6.11. Prosedur Pembekuan Pengurus Partai Politik Pada Masa Orde Baru ................................................................................... 354 Tabel 6.12. Prosedur Pembubaran Partai Politik Pada Masa Reformasi ...... 356 xv Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami dinamika dan perubahan cepat sejak bergulirnya reformasi setelah kekuasaan Orde Baru berakhir. Salah satu dinamika yang terjadi adalah demokratisasi politik yang ditandai oleh lahir dan menguatnya peran partai politik dalam kehidupan bernegara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik1, hak membentuk partai politik diakui setelah dikekang selama Orde Baru. Muncul 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman dan HAM2. Dari jumlah tersebut, 48 partai politik yang memenuhi kualifikasi dan mengikuti pemilu yang diselenggarakan pada 7 Juni 19993. Pada pemilu 2004, partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Di samping itu, terdapat 26 partai politik yang tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), 58 partai politik yang tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum partai, dan 153 partai politik yang dibatalkan status badan hukumnya4. Setelah pemilu 2004, hingga awal 2008 terdapat 107 partai politik yang telah mengajukan pendaftaran pendirian kepada Departemen Hukum dan HAM dan terdapat 24 partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi badan hukum.5 Selain itu, berdasarkan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, partai-partai yang 1 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809. 2 Profil Partai Politik Peserta Pemilu 1999. http://www.kpu.go.id/ProPartai/1999/ partai_1999.shtml, 4 September 2006. 3 Aisyah Aminy, Pasang Surut Peran DPR – MPR 1945 – 2004, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), hal. 347. 4 Tim Litbang Kompas, Partai-partai Politik Indonesia; Ideologi dan Program 2004 – 2009, (Jakarta: Kompas, 2004), hal. 457 – 497. Walaupun demikian, banyaknya partai politik tersebut menurut Maswadi Rauf merupakan perkembangan tanpa kendali yang dipaksakan oleh tokoh-tokoh politik untuk memenuhi tuntutan sebagai partai nasional. Padahal, banyak di antara partai-partai yang muncul pada awal reformasi sesungguhnya tidak layak disebut sebagai partai politik. Lihat, Maswadi Rauf, “Perkembangan UU Bidang Politik Pasca Amandemen UUD 1945”. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh BPHN. Denpasar, 14 – 18 Juli 2003, hal. 9. 5 Data dari Sub Direktorat Hukum Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM, http://www.depkumham.go.id, 23/04/2008. 1 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 2 memperoleh kursi di DPR dapat mengikuti pemilu 2009. Jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR saat ini adalah 16 partai politik.6 Namun ketentuan tersebut atas permohonan beberapa partai politik dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.7 Pada awalnya keseluruhan jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 yang diumumkan oleh KPU pada 7 Juli 2008 adalah sebanyak 34 partai politik dan ditambah enam partai politik lokal di Aceh sehingga keseluruhan adalah 40 partai politik. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, empat partai politik8 mengajukan gugatan terhadap keputusan KPU ke PTUN Jakarta untuk dapat mengikuti pemilihan umum. Gugatan tersebut dikabulkan dan dilaksanakan oleh KPU sehingga peserta pemilihan umum bertambah 4 menjadi 44 partai politik. Setelah mengabulkan gugatan ke-4 partai politik tersebut, PTUN Jakarta juga mengabulkan gugatan Partai Republikku. Namun demikian, terhadap putusan tersebut KPU mengajukan banding ke PT TUN Jakarta karena Partai Republikku tidak lolos verifikasi.9 Sebagai negara demokrasi, peran partai politik saat ini dan di masa mendatang akan semakin penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu karena negara demokrasi memang dibangun di atas sistem kepartaian.10 Partai politik adalah salah satu perwujudan hak atas kemerdekaan berserikat yang terkait erat dengan kebebasan mengeluarkan pendapat serta kebebasan berfikir dan berkeyakinan. Hak-hak tersebut merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan hak-hak tersebut merupakan prasyarat demokrasi. 6 Penetapan Perolehan Jumlah Kursi Partai Politik dan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pemilihan Umum Tahun 2004, http://www.kpu.go.id/ Anggota_DPR/Anggota_DPR.htm, 4/3/2008. 7 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VI/2008, yang dibacakan pada 10 Juli 2008, ketentuan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 8 Keempat partai politik tersebut adalah Partai Syarikat Islam (PSI),Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI), dan Partai Merdeka. KN/OL-06, “Gugatan Empat Parpol: KPU Terima Salinan Putusan PTUN”, Media Indonesia, 15 Agustus 2008. 9 Faw/KN/*/P-1, “Peserta Pemilu 2009 Membengkak Jadi 44”, Media Indonesia, 18 Agustus 2008. 10 Harold J. Laski, A Grammar of Politic, Eleventh Impression, (London: George Allen & Unwin Ltd, 1951), hal. 312. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 3 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata kehidupan bernegara. Hal itu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Berdasarkan ketentuan tersebut ditentukan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.11 Selain itu, Pasal 6A UUD 1945 juga menetapkan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat yang pasangan calonnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.12 Ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai berikut. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Bahkan, berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga dilakukan secara langsung oleh rakyat dari pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik13, selain calon perseorangan yang juga dapat mengikuti pemilihan kepala daerah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007.14 11 Pada saat itu, ketentuan lebih lanjut untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD, DPD, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277. Saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 12 Ketentuan lebih lanjut untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4311. Saat ini ketentuan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui mekanisme kepartaian. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2003), hal. 45, footnote no. 98. 13 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. 14 Putusan ini menyatakan Pasal 56 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa “sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, dan Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa “yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan ini ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 4 Partai politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat sebagai salah satu prasyarat berjalannya demokrasi. Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal. Kecenderungan demikian itu merupakan suatu keniscayaan (organizational imperatives).15 Kecenderungan bermasyarakat yang pada prinsipnya adalah kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individuindividu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.16 Kecenderungan berorganisasi dalam perkembangannya menjadi salah satu kebebasan dasar manusia yang diakui secara universal sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan istilah kemerdekaan berserikat (freedom of association). Tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya. Kemerdekaan berserikat telah diakui dalam instrumen hukum internasional yaitu Article 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Article 21 dan 22 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Article 5 d (ix) Konvenan Pemberantasan Diskriminasi Rasial. Kemerdekaan berserikat semakin penting karena terkait dengan diakuinya hakhak politik seperti hak memilih (the right to vote), hak berorganisasi (the right of association), hak atas kebebasan berbicara (the right of free speech), dan hak persamaan politik (the right to political equality).17 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk memberikan landasan hukum bagi calon perseorangan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. 15 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 44. 16 Kecenderungan berorganisasi ini menjadi salah satu bagian dari teori perjanjian sosial yang dikemukakan baik oleh John Locke maupun J.J. Rousseu. Lihat, George H. Sabine, A History Of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt Rinehart And Winston, 1961), hal. 517541, 575-596; Sedangkan pentingnya kebebasan nurani (Freedom of Concience) bagi harkat manusia dan kemanusiaan dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dalam tulisan berjudul “Kebebasan Nurani (Freedom of Concience) Dan Kemanusiaan Universal sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, (Jakarta; Paramadina, 1994), hal. 123-144. 17 Richard H. Pildes, “The Constitutionalization of Democratic Politics”, Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hal. 18-19. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 5 Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat yang mempresuposisikan bahwa dalam suatu organisasi negara rakyatlah yang berdaulat.18 Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Sementara itu, Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kedua ketentuan tersebut mengandung arti bahwa Negara Indonesia menganut prinsip constitutional democracy atau negara hukum yang demokratis19. Berdasarkan prinsip tersebut, hukumlah yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara atau yang dikenal dengan prinsip the Rule of Law, and not of Man, termasuk dalam hal menjalankan demokrasi. Sebaliknya, dalam negara hukum yang demikian itu harus terdapat jaminan bahwa hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum itu sendiri berasal dari prinsip kedaulatan rakyat20. Demokrasi berdiri berdasarkan logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Persetujuan memerlukan perwakilan yang hanya dapat diperoleh melalui pemilihan umum. Gagasan tersebut merupakan pondasi yang menjadi dasar perkembangan demokrasi.21 Dari sisi etika politik, demokrasi terkait dengan masalah legitimasi kekuasaan. Satu-satunya legitimasi kekuasaan yang sah adalah legitimasi demokratis, bukan kepercayaan ideologis ataupun keahlian khusus suatu kelompok baik elitis maupun teknokratis22. Berdasarkan persamaan semua warga masyarakat, tidak ada satu kelompok pun yang berhak untuk memerintah orang lain, kecuali berdasarkan penugasan dan persetujuan masyarakat. Keyakinan itulah yang menjadi inti kedaulatan 18 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Cetakan ke-2, (Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981), halaman 22 – 23. 19 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945, op cit., hal. 4, footnote no. 3. UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan juga menganut prinsip kedaulatan rakyat tetapi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 59 – 105. 20 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 56. 21 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Judul Asli: On Democracy, Penerjemah: A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 2. 22 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Cetakan Kelima, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 289 – 290. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 6 rakyat. Kedaulatan rakyat berdasarkan atas hak setiap orang menentukan diri sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan.23 Perwakilan yang konstitusional merupakan cara melaksanakan demokrasi. Hal itu disebut oleh Robert A. Dahl dengan istilah Poliarki (Poliarchy).24 Demokrasi perwakilan modern merupakan bentuk demokrasi dalam skala besar yang membutuhkan lembaga politik tertentu sebagai jaminan terlaksananya demokrasi.25 Dalam demokrasi perwakilan, fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ negara. Hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi oleh prosedur untuk membentuk dan memilih organ itu. Karena itu, Pemerintahan demokrasi modern sering disebut sebagai “government by consent”26. Hans Kelsen menyatakan:27 The democratic form of nomination is election. The organ authorized to create or execute the legal norms is elected by subjects whose behavior is regulated by these norms. Internasional Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada 1965 merumuskan pengertian representative government sebagai berikut:28 Representative government is a government deriving its power and authority from the people which power and authority are exercised through representative freely choosen and responsible to them. Suatu pemerintahan perwakilan membutuhkan mekanisme untuk mengekspresikan keinginan yang diwakili sehingga hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat diakui sebagai hak asasi manusia yang penting. Partai politik adalah salah satu wujud pelaksanaan hak tersebut demi berjalannya demokrasi. Melalui institusi partai politik modern yang terstruktur, adanya pemilihan umum berkala, dan beroperasinya kelompok-kelompok penekan, demokrasi berjalan sebagai suatu mekanisme atau “an institutional arrangement 23 Ibid. Dahl, Op. Cit., hal. 125. 25 Ibid, hal. 118. 26 G. Lowell Field, Governments In Modern Society, (New York.Toronto.London: McGraw – Hill Book Company, Inc., 1951), hal. 291. 27 Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal. 289. 28 Sri Soemantri M., Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan VI, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 12. 24 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 7 for arriving at political decisions by means of competitive struggle for the people’s vote”.29 Di Indonesia, keberadaan partai politik muncul bersamaan dengan berkembangnya hak mengemukakan pikiran dan pendapat. Setelah melalui perjuangan bersenjata, upaya mencapai kemerdekaan dilakukan melalui pembentukan organisasi seperti Budi Utomo (1908) di Jakarta dan Indische Vereeniging (1909) di Belanda. Bahkan, juga terdapat partai politik yang merupakan “cabang” partai politik di Belanda seperti Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) dan de Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Pada paruh kedua dekade ketiga abad kesembilan belas muncul berbagai partai politik seperti Sarekat Islam (SI) dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang disusul oleh partai-partai lain seperti PSII, PII, dan Partindo. Berbagai organisasi tersebut, baik yang bersifat politik, budaya maupun keagamaan, merupakan tanda telah adanya nasionalisme dan kesadaran hak berserikat dan mengeluarkan pendapat di kalangan tokoh nasional pada saat itu.30 Pada awal kemerdekaan, para tokoh nasional telah menyadari pentingnya partai politik dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), dikeluarkan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang berisi pernyataan bahwa pemerintah menyukai adanya partai-partai politik. Disebutkan pula bahwa partai-partai politik diharapkan sudah terbentuk sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badanbadan perwakilan yang direncanakan pada Januari 1946.31 Setelah adanya Maklumat itu, terbentuklah sekitar 40 partai politik.32 Dalam perkembangan praktik politik di Indonesia, juga telah terjadi pembubaran partai politik, pelarangan dan pembatasan. Pembubaran partai politik pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu , Presiden Soekarno memandang partai politik menjadi penyakit yang lebih parah dari sekedar fanatisme kedaerahan dan 29 Ricardo Blaug and John Schwarzmantel (eds.), Democracy: a Reader, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 200), hal. 6 dan 157. 30 Syamsuddin Haris, Demokrasi Di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 64 – 70. 31 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid I (1945), (Jakarta: KPG, 1999), hal. 131 dan 438. 32 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat,Op. Cit., hal. 174. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 8 kesukuan sehingga menyarankan para pemimpin partai politik untuk berunding guna mengubur partai-partai politik.33 Pada 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-Partai34 yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 196035. Peraturan tersebut diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang Penolakan Pengakuan Partai-partai yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu, melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).36 Pada 17 Agustus 1960, diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang memerintahkan kepada Partai Masjumi dan PSI agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masjumi dan PSI membubarkan partai mereka.37 Dalam perkembangannya, pembubaran partai politik terjadi pada 1966 terhadap Partai Komunis Indonesia. Pembubaran dan pernyataan sebagai partai terlarang dituangkan dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang 33 Maswadi Rauf, Partai Politik dalam Sistem Kepartaian di Indonesia Antara Kenyataan dan Harapan, Akbar Tandjung Institute, Jurnal Politika,Vol. 2, No. 2, Tahun 2006, hal. 11. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 177-178. 34 Republik Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran PartaiPartai, Perpres Nomor 13 Tahun 1960, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140 Tahun 1960. 35 Republik Indonesia, Peraturan Presiden tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai, Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 1960. 36 Lihat M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang-Surut, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. 149. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op Cit., hal. 181-182. 37 Ibid., hal 181. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 9 di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pada masa Orde Baru, memang tidak terjadi pembubaran partai politik. Namun, pada masa awal Orde Baru terdapat kebijakan penyederhanaan partai politik karena partai politik dianggap sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas. Partai-partai politik mendapatkan berbagai tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan Orde Baru. Terhadap PNI misalnya, pada April 1966 dipaksa menyelenggarakan kongres. Dalam forum tersebut, sejumlah tokoh lama PNI disingkirkan serta beberapa cabang PNI di Sumatera dan Aceh dianjurkan secara sukarela membekukan diri. Aspirasi pendirian partai politik berbasis masa Islam seperti Masjumi, diwadahi dengan dua syarat, yaitu; pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai; dan kedua, Masjumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru. Terbentuklah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun, ketika Mohammad Roem terpilih menjadi ketua umum, partai ini tidak diakui dan dipaksa mengganti Ketua Umumnya. Kebijakan penyederhanaan partai politik di awal masa Orde Baru menghasilkan 10 peserta pemilu 1971, yaitu; PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik, PSII, Murba, Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKI.38 Kebijakan penyederhanaan dilanjutkan dengan kebijakan fusi partai politik. Presiden Soeharto menyarankan pengelompokkan partai politik sesuai dengan kesamaan identitas masing-masing. Presiden Soeharto menginginkan partai-partai dikelompokkan ke dalam golongan nasionalis, golongan spiritual, dan golongan karya, menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golongan Karya (Golkar).39 Fusi partai politik itu selanjutnya dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.40 Undang-undang itu membatasi organisasi 38 Lihat, Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 189-191. Bandingkan dengan Pradjoto, Kebebasan berserikat Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 60; dan R. William Liddle, Partisipasi & Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 189-196. 39 Lihat, Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 193-195. 40 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 10 peserta pemilihan umum dan menutup kemungkinan pembentukan partai baru.41 Kebijakan itu tetap bertahan hingga datangnya era reformasi yang ditandai berhentinya Presiden Suharto yang digantikan oleh B.J. Habibie. Bersamaan dengan proses demokratisasi di era reformasi, kehidupan partai politik kembali bergairah. Bahkan partai politik mendapatkan pengakuan secara konstitusional dalam Pasal 6A dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan anggota DPR dan DPRD. Terkait dengan pembubaran partai politik, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, yang memiliki wewenang memutus pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi. Selengkapnya ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai berikut. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Wewenang MK dalam memutus pembubaran partai politik juga diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 20 butir a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.42 Selain itu, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga menyatakan bahwa partai politik yang telah diakui berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik43 tetapi tidak menyesuaikan diri dengan undang-undang yang baru, dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 terdapat kasus gugatan pembubaran Partai Golkar di MA, yaitu Perkara No. 01.G/WPP/2000 dan Perkara No. 02.G/WPP/2001. Perkara pertama diputus tidak dapat diterima, sedangkan perkara kedua diputus ditolak oleh Majelis Hakim. 41 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op Cit., hal. 193 – 195. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251. Saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 43 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Ttahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 42 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 11 Selain itu, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan Maklumat yang salah satu isinya adalah membekukan Partai Golkar sambil menunggu putusan MA. Namun Maklumat tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Ketetapan Nomor I/MPR/2001 setelah terdapat fatwa MA mengenai maklumat tersebut. Perkembangan partai politik di Indonesia juga diwarnai dengan pembentukkan partai politik lokal. Saat ini, pembentukkan partai politik lokal dimungkinkan dilakukan di Papua dan Aceh. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,44 penduduk provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Namun ketentuan dalam Undang-Undang tidak memberikan aturan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan maupun pembubarannya. Ketentuan yang cukup lengkap tentang partai lokal terdapat pada UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh45. Dalam UndangUndang itu, partai politik lokal diatur dalam bab khusus mulai dari pembentukan hingga pembubarannya. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan sebagai berikut. (1) Partai politik lokal yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 82 ayat (4), dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. (2) Partai politik lokal yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf a dan huruf b, dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut, partai politik lokal dapat dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi jika melakukan pelanggaran tertentu baik dengan terlebih dahulu dibekukan atau secara langsung berdasarkan jenis pelanggarannya. Ketentuan lebih lanjut tentang 44 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4151. 45 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 12 partai politik lokal di Aceh diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.46 Keberadaan partai lokal menurut Maswadi Rauf diperkirakan akan mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah secara lebih baik. Terhadap partai lokal tidak perlu ada kekhawatiran akan memperbesar bahaya separatisme. Sebaliknya, dengan banyak saluran bagi rakyat di daerah untuk menyampaikan aspirasi mereka, kecenderungan untuk munculnya gerakan separatis dapat diredam. Dengan adanya partai lokal, gerakan separatis dapat menjadi gerakan parlementer yang bertujuan memajukan rakyat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.47 Berdasarkan uraian di atas, keberadaan partai politik sebagai wujud dari adanya kebebasan berserikat amat dibutuhkan dalam suatu negara demokrasi. Walaupun demikian, berdasarkan praktik dan ketentuan yang ada, partai politik ternyata dapat dibubarkan. Selain itu, juga terdapat peristiwa yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada pembubaran partai politik. Pembubaran partai politik tersebut tentu harus dilakukan bersadarkan peraturan perundang-undangan yang menentukan alasan, tata cara, dan akibat hukum pembubaran suatu partai politik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang pembubaran partai politik di Indonesia guna mengetahui pengaturan pembubaran partai politik yang pernah ada di Indonesia dan praktik pelaksanaannya, serta halhal yang melatarbelakangi baik dari sisi aturan maupun praktik. Penelitian ini juga diperlukan karena peran partai politik semakin penting dengan adanya proses demokratisasi sehingga diperlukan pemikiran tentang pengaturan di masa yang akan datang, terutama tentang pembubaran partai politik. Peraturan perundang-undangan yang akan dibuat tentu harus berkaca dari pengalaman masa lalu. Hal itu dimaksudkan agar tidak mengancam kebebasan berserikat dan tetap sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.48 46 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP Nomor 20 Tahun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4711. 47 Maswadi Rauf, Partai Politik Dalam Sistem Kepartaian, Op. Cit., hal. 10 48 Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” serta Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 13 Penelitian menyangkut masalah partai politik yang pernah dilakukan di antaranya adalah disertasi Ramly Hutabarat yang berjudul Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik Di Indonesia (1971 – 1997)49. Namun, disertasi tersebut membahas ketentuan tentang partai politik sebagai salah satu indikator politik hukum demokrasi. Penelitian lain yang melihat Partai Politik sebagai pelaksanaan kemerdekaan berserikat di antaranya adalah disertasi Eko Sugitario dengan judul Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Melalui Partai Politik.50 Salah satu kesimpulan disertasi itu adalah bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul memang dijamin secara konstitusional. Namun fungsi undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945 tidak sekedar memberikan jaminan, melainkan juga membatasi kemerdekaan berserikat dan berkumpul karena pada hakikatnya tidak ada kemerdekaan atau kebebasan yang sebebas-bebasnya. Selain itu juga ada penelitian disertasi yang dilakukan di Universitas Brawijaya oleh Fathur Rahman terkait dengan pembubaran partai politik. Namun penelitian tersebut memfokuskan pada peran pemerintah dan aspek hukum pembubaran partai politik melalui mekanisme peradilan yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Selain penelitian-penelitian tersebut, terdapat beberapa penelitian lain dari aspek politik.51 Sedangkan buku yang membahas partai politik di Indonesia dari sisi hukum adalah Kemerdekaan Beserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah Konstitusi karya Jimly Asshiddiqie52. Buku tersebut secara khusus membahas peran dan keberadaan partai politik, praktik pembubaran partai politik, serta kewenangan Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, terdapat pula buku-buku lain yang membahas partai politik di Indonesia, namun lebih banyak dari perspektif politik.53 49 Ramly Hutabarat, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik Di Indonesia (1971 – 1997), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002. 50 Eko Sugitario, Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Melalui Partai Politik di Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, 2006. 51 Penelitian terkait partai politik secara umum misalnya adalah penelitian Samugyo Ibnu Redjo dengan judul “Pembangunan Politik di Indonesia (Fungsionalisasi Partai-Partai Politik Pasca Asas Tunggal 1985), penelitian Moh. Effendi Anas dengan judul “Efektivitas Fungsi Organisasi Sosial Politik”, Penelitian Muh. Nawawi dengan judul “Sistem Kepartaian Dalam perpolitikan Orde Baru”, penelitian Dwi Tiyanto dengan judul “Perkembangan Sistem Kepartaian di Indonesia: 1945-1983”, serta berbagai penelitian lain yang memiliki perbedaan sudut pandang dan fokus dengan penelitian ini. 52 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit. 53 Dari perspektif sejarah misalnya adalah Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah potret pasangsurut yang ditulis oleh M. Rusli Karim. Buku ini mengetengahkan deskripsi partai poltik yang ada di Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 14 1.2. MASALAH PENELITIAN Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah pembubaran partai politik di Indonesia dari aspek aturan hukum serta praktik yang pernah terjadi. Pembubaran partai politik dalam penelitian ini adalah tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau aturan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban. Fokus penelitian ini adalah pembubaran yang dilakukan oleh otoritas negara (enforced dissolution) baik secara langsung, maupun secara tidak langsung melalui atau sebagai akibat dari aturan atau kebijakan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi hukum suatu partai politik. Pembubaran partai politik dalam hal ini juga meliputi bentuk-bentuk kebijakan yang mempengaruhi keberadaan partai politik di Indonesia, seperti penyederhaan dan fusi partai politik. Untuk itu yang akan diteliti adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pembubaran partai politik atau yang mempengaruhi eksistensi hukum partai politik di Indonesia serta praktik pelaksanaannya. Kasus-kasus yang terkait dengan pembubaran partai politik yang akan diteliti di antaranya meliputi penyederhanaan kepartaian pada masa Orde Lama, pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pembekuan Partai Murba, pembubaran PKI, pembekuan Partindo, kebijakan penyederhanaan partai politik pada awal Orde Baru, kebijakan fusi dan pembatasan partai politik masa Orde Baru, serta kasus pembekuan dan gugatan pembubaran Partai Golkar yang pernah terjadi pada masa reformasi. Kasus-kasus tersebut secara singkat telah disinggung pada bagian latar belakang. Aspek-aspek yang akan diteliti meliputi dasar atau alasan pembubaran, prosedur dan lembaga yang memiliki wewenang membubarkan partai politik, serta akibat hukum pembubaran partai politik. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat latar belakang munculnya aturan, kebijakan, dan praktik pembubaran partai politik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut akan dapat diketahui Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga adanya penyederhanaan partai politik pada masa Orde Baru dari sisi ideologi dan perannya. Lihat, M. Rusli Karim, Op. Cit.. Dari sisi politik misalnya adalah buku yang disunting oleh Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Edisi Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998). Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 15 permasalahan hukum yang muncul dan dapat dirumuskan pemikiran tentang pengaturan pembubaran partai politik di masa mendatang. 1.3. PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan masalah yang akan diteliti, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Apakah dasar dan prosedur pembubaran partai politik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak 1959 hingga 2004? 2. Bagaimana praktik pembubaran partai politik yang pernah terjadi sejak 1959 hingga 2004? 3. Bagaimana pengaturan pembubaran partai politik yang tepat pada masa yang akan datang? 1.4. KERANGKA TEORI DAN KONSEP 1.4.1. Kebebasan Berserikat, Demokrasi, dan Partai Politik Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa dari sisi etika politik manusia adalah individu, yang secara hakiki bersifat sosial.54 Individualitasnya dihayati dalam tindakan manusia yang sadar dan disengaja. Individualitas tersebut memberi manusia kebebasan bertindak, baik menyesuaikan diri maupun melawan masyarakat. Kebebasan tersebut menghasilkan pertanggungjawaban atas tindakan yang dipilih. Namun, kemampuan itu hanya dimiliki karena dan sejauh seorang manusia merupakan anggota masyarakat. Terdapat kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dalam kebersamaan dengan orang lain atau yang pemenuhannya dipermudah apabila dilakukan bersama-sama. Manusia hanya mempunyai eksistensi karena orang lain serta hanya dapat hidup dan berkembang karena keberadaan orang lain. Hubungan sosial manusia terjadi secara berstruktur sebagai suatu organisasi.55 Organisasi sebagai bentuk hubungan sosial manusia berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia mulai dari keluarga hingga organisasi yang bersifat internasional. 54 Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hal. 15 – 19. Proses ini merupakan transformasi kebebasan dasar menjadi kebebasan politik. Kelsen menyatakan Natural freedom becomes political liberty. This metamorphosis of idea of freedom is of the greatest importance for all our political thinking. Lihat, Kelsen, Op. Cit., hal 285. 55 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 16 Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup berorganisasi. Dalam pandangan Locke dan Rousseu, kecenderungan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani.56 Oleh karena itu dalam perkembangannya kebebasan berserikat menjadi salah satu kebebasan dasar manusia yang diakui secara universal sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan istilah kemerdekaan berserikat (freedom of association). Menurut Richard H. Pildes, tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.57 Pengakuan kemerdekaan berserikat secara internasional dikukuhkan dalam Artikel 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Artikel 21 dan 22 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Artikel 5 d (ix) Konvenan Pemberantasan Diskriminasi Rasial. Kemerdekaan berserikat semakin penting karena terkait dengan diakuinya hak-hak politik seperti hak memilih (the right to vote), hak berorganisasi (the right of association), hak atas kebebasan berbicara (the right of free speech), dan hak persamaan politik (the right to political equality). Partai politik adalah salah satu bentuk pengelompokkan warga negara berdasarkan kesamaan pikiran dan kepentingan politik. Hal itu telah terjadi sejak keberadaan lembaga perwakilan dalam struktur kekuasaan negara. Namun, partai politik sebagai organisasi yang terstruktur baru muncul pada 1830-an sebagai wujud perkembangan demokrasi modern, yaitu demokrasi perwakilan. Perkembangan demokrasi telah meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bernegara. Sarana kelembagaan terpenting yang harus dimiliki untuk mengorganisasi perluasan peran serta politik tersebut adalah partai politik58. 56 Sabine, Op. Cit., hal. 517-541, 575-596; Bandingkan dengan Elza Peldi Taher (ed.), Op. Cit., hal. 123-144. Pildes, Op. Cit., hal. 18-19. 58 Samuel P. Huntington, Tertib Politik Di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, Judul Asli: Political Order in Changing Societies, Penerjemah: Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 472; Alan Ware menyebutkan saat ini hanya terdapat dua macam negara tanpa kehadiran partai politik, pertama adalah sejumlah kecil negara-negara pada masyarakat tradisional khususnya di padang pasir Persia yang masih diatur oleh keluarga-keluarga, dan negara-negara rejim yang melarang keberadaan partai politik seperti pemerintahan militer dan negara otoriter dengan dukungan militer. Lihat, Alan Ware, Political Parties And Party System, (Oxford; Oxford University Press, 1996), hal. 1. 57 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 17 Demokrasi dalam arti harfiah adalah pemerintahan oleh rakyat. Pada awalnya, hal itu berarti rakyatlah yang benar-benar memerintah, yaitu mengambil keputusan bersama dalam suatu majelis yang diikuti oleh seluruh rakyat. Namun menurut MacIver, praktik demokrasi tersebut hanya mungkin dijalankan pada negara yang wilayah dan jumlah warganya sangat kecil. Dalam perkembangannya, demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung dalam pemerintahan tidak mungkin dilaksanakan.59 Oleh karena itu berkembang sistem demokrasi tidak langsung yang tetap dapat menjamin kepentingan dan kehendak warga negara tetap menjadi penentu. Demokrasi melalui partisipasi langsung bergeser menjadi demokrasi perwakilan.60 Rakyat tetap memegang kekuasaan tertinggi, namun pelaksanaanya dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih rakyat.61 Keterwakilan dalam negara demokrasi terkait erat dengan sistem kepartaian dan pemilihan umum62. Lembaga perwakilan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan kesatuan sistem yang sulit dipisahkan. Aktivitas partai politik adalah memperjuangkan program dan menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakili melalui lembaga perwakilan. Sebaliknya, anggota lembaga perwakilan pada umumnya adalah orang-orang dari partai politik yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum.63 Pemilu tanpa disertai partai politik hanya akan mempertahankan status quo. Pemilu sekadar perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum pada struktur dan kepemimpinan lama64. Partai politik menjalankan berbagai fungsi, antara lain sebagai (1) sarana komunikasi politik; (2) sarana sosialisasi politik; (3) sarana rekruitmen politik; dan (4) pengatur konflik.65 Fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi dan 59 Pada demokrasi langsung ini, terdapat penyatuan antara kedaulatan tertinggi dengan kedaulatan legislatif. Sedangkan dalam demokrasi tidak langsung, kedaulatan tertinggi tetap di tangan rakyat sehingga legislatif tidak memegang kedaulatan tertinggi. Lihat RM. MacIver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 313. 60 Treg A. Julander, Democracy Without Political Parties. George Washington University Law Review. 61 Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta; Rineka Cipta, 2001), hal. 240. 62 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 25 – 26; Lihat pula MacIver, Op. Cit., hal. 396 – 397. 63 Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Keempat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 266. 64 Huntington, Op. Cit., hal. 477. 65 Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Op. Cit., hal. 269; Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 163 – 164; Bandingkan dengan Gabriel A. Almond and G. Bingham Powell Jr., Comparative Politics; A Developmental Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 18 sosialisasi politik merupakan satu kesatuan. Partai politik menyerap aspirasi masyarakat, menampung berbagai masalah dan menyeleksinya, serta mengajukan solusi dalam bentuk program yang ditawarkan kepada pemilih (broker of ideas).66 Tugas partai politik adalah menata aspirasi yang berbeda dan samar-samar dijadikan “pendapat umum”67 yang lebih jelas sehingga dapat dibuat keputusan yang teratur. Pembuatan keputusan hanya mungkin jika telah ada kelompokkelompok menurut tujuan kenegaraan.68 Oleh karena itu, partai politik juga menjalankan fungi integrasi.69 Fungsi komunikasi dan sosialisasi politik biasanya dijalankan melalui media partai (the party-press) yang menurut MacIver merupakan media informasi dan publisitas sehari-hari.70 Pemerintahan modern yang demokratis adalah pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik. Partai politik memainkan peran dalam pemilihan organ legislatif ataupun eksekutif71 dengan menentukan calon-calon yang akan dipilih. Mekanisme penentuan calon tersebut biasanya menjadi masalah internal partai politik.72 Inilah yang disebut fungsi rekruitmen politik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemerintahan demokrasi modern dibentuk dari satu partai atau koalisi beberapa partai.73 Penyampaian aspirasi melalui partai politik dan lembaga perwakilan serta pergantian kekuasaan melalui kompetisi dalam pemilihan umum merupakan sarana untuk mengatur konflik secara lebih kreatif tanpa kekerasan. Tanpa adanya sistem kepartaian, perubahan pemerintahan akan terjadi dengan cara kudeta (coup Approach, (Boston: Little, Brown and Company Inc., 1966), hal. 114-127; Carl J. Friedrich, Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Fourth Edition, (MassachussetsToronto-London; Blaisdell Publishing Company, 1967), hal. 442. 66 Laski, op cit., hal. 312; Bandingkan dengan Barendt yang menyatakan “Parties are essential to translate the view of individuals and pressure groups into political programme, which in their turn constitute the policy of the executive government and provide the basis of legislation”, Barendt, Op. Cit., hal. 149. Woll menyatakan “Political parties acting as the primary force shaping public policy, bridge the gab between the government and the people by providing the electorate with alternatives at election time. Parties become, in modern sense, modern-day instruments of enlightenment ideals of rationality and progress. Party government is at its best “government by discussion”. Lihat, Barendt, Op. Cit., hal. 100. 67 Kelsen menyatakan “integration of individuals is the function of political parties”. Lihat, Kelsen, Op. Cit., hal. 294. 68 R. Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hal. 115. 69 Satya Arinanto, Parpol serpihan Vs Kebebasan Berserikat, Kompas, Selasa 12 Juni 2007. 70 MacIver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 195 dan 405. 71 Kelsen, Op. Cit., hal. 295. 72 John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, (London: MacMillan Education LTD, 1989), hal. 148. 73 Barendt, Op. Cit., hal. 149. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 19 d’état) atau revolusi.74 Oleh karena itu, partai politik merupakan sarana untuk perubahan politik secara damai75. Walaupun demikian, karena partai politik adalah fenomena abad ke-19, banyak negara di dunia yang tidak mengatur keberadaan partai politik, atau hanya mengatur secara singkat dalam konstitusinya76. Di Inggris, menurut Field, organisasi partai politik hingga saat ini lebih cenderung bersifat privat dan tidak resmi. Sedangkan di Amerika Serikat telah berkembang ketentuan hukum tentang partai politik.77 Kelsen berpendapat bahwa konstitusi dapat mengatur pembentukan dan aktivitas partai politik. Dalam negara demokrasi, pembentukan partai politik harus tidak dikekang dan tidak ada partai politik yang boleh diberi keistimewaan. Dengan demikian, partai politik dapat diatur oleh negara, termasuk masalah pembubarannya. Kelsen menyatakan78 In view of the decisive role that political parties play in the election of legislative and executive organs, it would even be justifiable to make them into organs of the State by regulating their constitutions. It is essential for a democracy only that the formation of new parties should not be excluded, and that no party should be given a privileged position or monopoly. Namun demikian, dalam perkembangannya banyak konstitusi negara yang disusun pasca Perang Dunia kedua mengakui peran dan mengatur keberadaan partai politik. Barendt menyatakan bahwa salah satu ketentuan yang komprehensif tentang partai politik adalah dalam Article 21 Konstitusi Jerman yang pada paragraf pertama menyatakan79 74 MacIver, Op. Cit., hal. 399. Woll, Op. Cit., hal. 124. 76 Barendt, Op. Cit., hal. 149. Misalnya dalam konstitusi Amerika sama sekali tidak menyebut masalah partai politik sama halnya dengan UUD 1945 sebelum perubahan. Sedangkan Konstitusi Perancis 1958 hanya menyebut hak membentuk partai politik pada article 4. 77 G. Lowell Field, Government in Modern Society, (New York-Toronto-London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1951), hal. 295. Bandingkan dengan Philip Parvin dan Declan McHugh yang menyatakan bahwa di Inggris, partai politik telah berkembang menjadi professional electoral machines dengan sedikit anggota dan lebih sedikit lagi anggota yang aktif, serta keberadaannya terutama untuk tujuan mendorong karir politik menuju kursi lembaga legislatif, baik daerah maupun nasional. Philip Parvin and Declan McHugh, Defending Representative Democracy: Parties and the Future of Political Engagement in Britain. Parliamentary Affairs. Vol 58 No. 3, 2005. hal. 640. 78 Kelsen, Op. Cit. 79 Barendt, Op. Cit., hal. 151. Adanya pengaturan terhadap partai politik juga dipandang penting di negaranegara yang sedang mengalami transisi demokrasi. Prof. Makau Mutua dari State University of New YorkBuffalo yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi HAM Kenya menyatakan bahwa dengan mengingat peran penting partai politik dalam proses transisi, setiap negara memerlukan hukum yang progresif untuk memberikan kriteria yang tegas dan adil pada partai politik. Friedrich Ebert Stiftung and Kituo Cha 75 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 20 The political parties shall participate in the forming of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for the sources and spending of their funds as well as their financial resources. Peter Mair menyatakan bahwa perkembangan dalam dua dekade terakhir menunjukkan semakin pentingnya keterkaitan antara partai politik dengan negara. Berkembangnya model partai politik yang bersifat top down, yaitu model partai catch-all dengan karakteristik organisasi electoral-professional membawa implikasi berkurangnya hubungan antara partai politik dengan masyarakat sipil. Di sisi lain, hal itu memperkuat hubungan antara partai politik dengan negara. Partai politik telah mengalami perubahan kecenderungan dari bentuk perwakilan kepentingan rakyat berhadapan dengan negara, ke arah independent broker antara rakyat dan negara. Dalam posisi ini, partai politik menjadi lebih dekat dengan negara. Partai politik di satu sisi, mendapatkan banyak keuntungan dan resources dari negara. Di sisi lain, keberadaan partai politik dan aktivitasnya semakin banyak yang diatur oleh negara.80 Scott Bennett menyatakan bahwa banyak negara demokrasi barat yang mengadopsi pengaturan partai politik. Negara-negara tersebut berpandangan81 Have seen parties as public organizations which have not only a responsibility to their members for their action, but also to the wider community, Have placed close-checking requirements on parties if they received public funding, Believe parties have a role to preserve the democratic nature of the state within which they operate, and See parties as having a responsibility to implement democratic practice within their own internal operations. 1.4.2. Partai Politik Sebagai Badan Hukum Pengaturan partai politik oleh negara juga dapat ditinjau dari keberadaan dan status partai politik sebagai badan hukum. Partai politik sebagai suatu organisasi, sebagaimana organisasi lainnya yang dibentuk beradasarkan kebebasan berserikat, keberadaannya dalam lalu lintas hukum hanya diakui jika Katiba, The Role of Political Parties in a Transition. The East African Regional Workshop on the Role of Political Parties in a Transition. Kampala, 12-13 May 2004. 80 Peter Mair, Party Organizations: From Civil Society to the State, dalam Richard S. Katz and Peter Mair (eds.), How Parties Organize: Change and Adaption in Party Organizations in Western Democracies, (London: SAGE Publications Ltd., 1994), hal. 7-10. 81 Scott Bennett, Australia’s Political Parties: More Regulation? Research Paper no. 21 2001-2002. http://www.aph.gov.au/library/pubs/rp/2001-02/02rp21.htm,14/03/ 2007, hal. 2. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 21 berbentuk badan hukum. Menurut Kelsen, beberapa orang dikatakan membentuk suatu organisasi yang berbadan hukum atau korporasi (corporation)82, jika tindakan mereka diatur oleh suatu tatanan, yaitu suatu sistem norma.83 Partai politik sebagai suatu badan hukum juga memiliki konstitusi yang berisi aturanaturan penting bagi partai tersebut.84 Badan hukum korporasi didefinisikan sebagai “sekelompok individu yang diperlakukan oleh hukum sebagai satu kesatuan, yaitu pribadi yang memiliki hak dan kewajiban terpisah dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya”. Suatu badan hukum dianggap sebagai person karena terdapat aturan hukum yang menentukan hak dan kewajiban hukum tertentu terkait dengan kepentingan anggota, tetapi tidak sebagai hak dan kewajiban anggota, dan karenanya ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban badan hukum itu sendiri. 85 Selain itu, beberapa individu dinyatakan membentuk suatu badan hukum, hanya ketika mereka mengorganisasikan diri. Hal itu terjadi jika setiap individu memiliki fungsi spesifik dalam hubungannya dengan yang lain. Aturan yang membentuk badan hukum disebut by-law corporation86, yaitu suatu tata norma yang menjadi tanda pendirian organisasi. Seperangkat norma itu mengatur bagaimana organisasi dijalankan dan perilaku anggota. Oleh karena itu, Kelsen menyatakan bahwa badan hukum adalah tata aturan hukum parsial (partial legal order) dalam seluruh tata aturan hukum (total legal order) yang membentuk negara. Hubungan antara total legal order dan badan hukum sebagai pribadi hukum adalah hubungan antara dua tata aturan 82 Korporasi dalam hal ini adalah terjemahan dari kata corporation yang berarti suatu organisasi yang merupakan badan hukum. Pengertian ini berbeda dengan pengertian umum di Indonesia yang menunjuk pada perusahaan yang bergerak di bidang keperdataan dan belum tentu merupakan badan hukum. 83 Ibid., hal. 98. 84 Alder and English, Op. Cit., hal. 33. 85 Kelsen, Op. Cit., hal 96. 86 Kelsen menyatakan bahwa beberapa orang membentuk suatu organisasi pada saat hubungan di antara mereka diatur oleh suatu tatanan, yaitu suatu sistem norma yang menjadi dasar pendirian organisasi tersebut. Inilah yang disebut sebagai by laws yang diartikan sebagai anggaran dasar organisasi. Lihat, Ibid., hal 98. Namun, istilah by laws juga biasa digunakan untuk menyebut peraturan daerah. Dalam Black’s Law Dictionary, by laws memiliki dua arti, yaitu (1) suatu aturan atau ketentuan administratif yang diadopsi oleh asosiasi atau korporasi untuk mengatur masalah internal; dan (2) ordinance. Ordinance dalam hal ini adalah an authoritative law or decree; esp., a municipal regulation. Sedangkan Kelsen menyebut peraturan tingkat daerah dengan istilah local norm. Dalam penelitian ini pengertian by laws yang digunakan adalah dalam arti anggaran dasar organisasi. Lihat, Bryan A. Garner et.all (eds). Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul, Minn.: West Group, 1999), hal. 193 dan 1125. Bandingkan dengan Kelsen, Op. Cit., hal. 304. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 22 hukum, yaitu tata aturan hukum parsial dan tata aturan hukum total, antara hukum negara dan by-laws corporation.87 Total legal order yang membentuk negara menentukan hanya elemen material dari perbuatan dan meninggalkan elemen personal88 untuk menjadi tugas partial legal order yang membentuk badan hukum. Aturan itulah yang menentukan individu sebagai organ yang harus melakukan tindakan dengan mana kewajiban dan hak badan hukum dijalankan.89 Sebagai pribadi hukum, dalam arti sempit dan teknis, organ badan diakui sebagai person dan dapat secara hukum mewakili organisasi. Hal itu hanya mungkin jika hukum negara memberikannya status badan hukum (legal personality)90. Dengan demikian, keberadaan partai politik sebagai salah satu jenis badan hukum ditentukan oleh hukum negara. Secara teoretis, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam setiap badan hukum selalu terkandung 4 unsur pokok, yaitu (1) harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain; (2) mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (3) mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; dan (4) memiliki organisasi kepengurusan yang teratur menurut peraturan perundang-undangan dan peraturan internalnya. Selain unsur tersebut, juga terdapat syarat formal, yaitu pendaftaran sehingga memperoleh status sebagai badan hukum.91 Tanpa adanya pendaftaran tidak akan diperoleh status badan hukum yang berarti belum diakui sebagai subyek hukum tersendiri. Pada umumnya, badan hukum dibedakan menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil membedakan keduanya berdasarkan subyek pembentuk dan lapangan hukum pembentukannya. Badan hukum publik adalah badan hukum yang dibentuk oleh penguasa umum dan didasarkan pada hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik. 87 Ibid., hal 99 – 100. Elemen material adalah batasan yang menentukan perbuatan mana yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh badan hukum, serta bagaimana tata cara pelaksanaannya. Sedangkan elemen personal adalah organ badan hukum mana atau individu anggota badan hukum yang akan menjalankannya untuk dan atas nama badan hukum. 89 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Translated from the Second (Revised and Enlarged) German Edition by Max Knight, (Barkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1934), hal. 180 – 185. 90 Ibid., hal. 190 – 191. 91 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op Cit., hal. 74-75. 88 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 23 Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang dibentuk pribadi orangperorang berdasarkan hukum perdata atau menyangkut kepentingan pribadi pembentuknya.92 Namun pembedaan tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi secara tegas. Hal itu dikarenakan lalu lintas hukum telah berkembang sedemikian kompleks sehingga badan hukum yang didirikan sebagai badan hukum publik juga melakukan aktivitas atau perbuatan hukum di lapangan hukum perdata. Demikian pula badan hukum privat juga ada yang melakukan kegiatan di lapangan hukum publik atau terkait dengan kepentingan publik. Pendekatan yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Untuk menentukan perbedaan antara badan hukum publik dan badan hukum privat tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat subyek pembentuknya. Sisi lain yang harus dilihat adalah kepentingan, tujuan pembentukan dan aktivitasnya. Hal itu mengakibatkan badan hukum yang dari satu sisi bersifat publik, dari sisi lainnya bersifat privat dan sebaliknya, tergantung kepada konteks peristiwa atau hubungan hukum yang melibatkan badan hukum tersebut.93 Dari sisi kepentingannya, suatu badan hukum adalah badan hukum publik jika kepentingan yang mendasari pembentukannya adalah kepentingan publik, bukan kepentingan privat pembentuknya. Sedangkan jika kepentingan yang mendasari pembentukannya adalah kepentingan pribadi orang-perorang, maka badan hukum tersebut adalah badan hukum privat. Dari sisi tujuan, badan hukum yang dibentuk dengan tujuan untuk melakukan kegiatan di lapangan hukum publik tentu dapat disebut sebagai badan hukum publik walaupun didirikan oleh orang perorang. Sebaliknya walaupun suatu badan hukum dibentuk oleh penguasa berdasarkan hukum publik, namun jika tujuan pembentukannya adalah untuk bergerak di lapangan hukum privat, tentu juga dapat disebut sebagai badan hukum privat.94 Jimly Asshiddiqie berkesimpulan bahwa walaupun badan hukum dapat dikelompokkan menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat, namun pengelompokkan tersebut tidak bersifat mutlak. Bahkan pembedaan tersebut 92 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 10-13. 93 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op Cit., hal. 78. 94 Ibid., hal. 78-79. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 24 dipandang tidak terlalu banyak relevansinya karena keduanya dapat bergerak baik di lapangan hukum publik maupun lapangan hukum perdata. Berdasarkan pembedaan badan hukum dari beberapa sisi, Jimly Asshiddiqie menyatakan dapat dibedakan empat macam badan hukum, yaitu: 1. Lembaga-lembaga negara yang dibentuk dengan maksud untuk kepentingan umum dapat mempunyai status sebagai badan hukum yang mewakili kepentingan umum dan menjalankan aktivitas di bidang hukum publik. 2. Badan hukum yang mewakili kepentingan publik dan menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata. 3. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya tetapi menjalankan aktivitas di bidang hukum publik. 4. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata pendirinya dan menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata. Dari sisi pendiriannya, partai politik yang didirikan oleh individu orangperorang dapat dilihat sebagai badan hukum privat. Namun demikian pendirian partai politik adalah untuk tujuan kepentingan yang bukan bersifat privat atau keperdataan, melainkan berkaitan dengan masalah politik dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, partai politik dapat disebut sebagai badan hukum publik. Di sisi lain, partai politik dapat saja terlibat dalam lalu lintas hukum perdata seperti jual beli atau sewa menyewa.95 1.4.3. Pembubaran Partai Politik Kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.96 Pembatasan yang dibutuhkan dalam masyarakat demokratis merupakan garis apresiasi yang menyeimbangkan antara kepentingan publik dan privat. Pembatasan tersebut 95 Ibid., hal. 84-85. 96 Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, Fifth Edition, (London-Sydney-Portland, Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004), hal. 589. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 25 harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.97 Menurut Sam Issacharoff, salah satu bentuk pembatasan yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, adalah pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.98 Pengaturan tentang pembubaran organisasi, khususnya partai politik, berbeda-beda antarnegara bergantung kepada bagaimana partai politik diposisikan serta kepentingan nasional yang harus dilindungi. Di negara-negara baru kawasan Asia dan Afrika, menurut Weiner dan Lapalombara, pada umumnya pengaturan partai politik terkait dengan dua elemen integrasi nasional, yaitu masalah kontrol terhadap seluruh wilayah nasional dan masalah loyalitas.99 Pelarangan dan pembubaran partai politik terkait erat dengan sejarah politik nasional yang menumbuhkan memori kolektif suatu bangsa.100 Hal itu dapat dilihat misalnya pada kasus pembubaran the Islamist Refah Party dan pro-Kurdish Halkin Emek Partisi di Turki yang menurut analisis Dicle Kogacioglu adalah untuk melindungi kemajuan, persatuan, dan demokrasi (progress, unity, and democracy)101. Pandangan Weiner dan Lapalombara tersebut sesuai dengan pendapat Sam Issacharoff yang menyatakan bahwa setiap negara memiliki dasar konstitusional yang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah. Prinsip tersebut menjadi ukuran untuk menentukan batas yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik. 97 Janusz Symonides, Human Rights: Concept and Standards, (Aldershot-Burlington USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing, 2000), hal. 91-92. 98 Sam Issacharoff, “Fragile Democracies”, New York University Public Las and Legal Theory Working Papers, Paper 40, Year 2006, hal. 6 dan 22. 99 Myron Weiner and Joseph Lapalombara, The Impact of Parties on Political Development, dalam Joseph Lapalombara and Myron Weiner (eds.), Political Parties and Political Development, (New York: Princeton University Press, 1966), hal. 414. 100 Nancy L. Rosenblum, “Banning Parties: Religious and Ethnic Partisanship in Multicultural Democracies”, I L. & Ethics Hum. Rts., 2007., hal. 36. 101 Dicle Kogacioglu, Progres, Unity, and Democracy: Dissolving Political Parties in Turkey, http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=16465880, 14/03/2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 26 Batas tersebut dapat berupa prinsip tertentu yang menentukan partai mana yang demokratis dan mana yang tidak. Batasan lain adalah integritas nasional.102 Mengingat organisasi merupakan salah satu ekspresi utama kebebasan hati nurani dan kebebasan berpikir, maka pembubarannya harus diputuskan melalui mekanisme due process of law dan dilakukan oleh pengadilan yang merdeka. Hal itu juga berlaku bagi partai politik yang sangat penting perannya dalam demokrasi serta sebagai wujud kebebasan berserikat. Wewenang tersebut tidak diberikan kepada eksekutif karena akan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Dalam konteks pembubaran partai politik, hal itu dapat digunakan untuk menghilangkan partai oposisi yang mengancam kekuasaan partai politik pemegang pemerintahan.103 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission) pada sidang pleno ke-41, 10 -- 11 Desember 1999, telah mengadopsi Guidelines on Prohibition and Dissolution of Political Parties and Analogous Measures. Dokumen tersebut didahului dengan pemaparan hasil survey yang dilakukan atas permintaan Sekretaris Jenderal Dewan Eropa mengenai pelarangan partai politik dan tindakan sejenisnya. Hasil survey yang dilakukan di 40 negara tersebut menunjukkan104 a. aktivitas partai di mana pun dijamin oleh prinsip kebebasan berserikat; b. di beberapa negara yang menjawab kuisioner, terdapat kemungkinan memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak menghormati seperangkat aturan tertentu, melalui pelarangan dan pembubaran partai politik; c. prosedur terkait dengan tindakan pembatasan aktivitas partai politik menunjukkan perhatian pemegang otoritas terhadap prinsip kebebasan berserikat. 102 103 Issacharoff, Op Cit., hal. 21-23. Ibid., hal. 42-43. 104 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution of Political Parties and Analogous Measures, Adopted by the Venice Commission at its 41st plenary session (Venice, 10 – 11 December 1999). http:/www.venice.coe.int/docs/2000/CDL-INF(2000)001e.asp?Print, 15/02/2007, hal. 1. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op Cit., hal. 129 – 130. Pada catatan kaki nomor 145, Jimly Asshiddiqie juga memberikan keterangan bahwa ke-40 negara yang disurvey tersebut adalah; Albania, Argentina, Austria, Azerbaijan, Belarus, Belgia, Bosnia and Herzegovina, Bulgaria, Canada, Croatia, the Czech Republic, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Jepang, Kyrghystan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Moldova, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Russia, Slovakia, Spanyol, Slovenia, Swedia, Switzerland, Turki, Ukraina, dan Uruguay. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 27 Hasil survey itu dieksplorasi pada bagian ketiga dokumen tersebut dengan menggambarkan pengaturan di negara-negara yang telah di survey. Berdasarkan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan terdapat dua kategori. Pertama, adalah negara-negara yang tidak mengenal adanya pengaturan yang mengarah pada pelarangan dan pembubaran partai politik. Negara-negara tersebut misalnya adalah Belgia, Yunani, dan Austria. Kedua, adalah negara-negara yang mengatur tujuan dan kegiatan partai politik serta sanksi pelanggaran tertentu. Substansi pengaturan tersebut dapat diklasifikasi menjadi 12 variasi, yaitu (1) partai harus aktif mempunyai kegiatan sebagai syarat pendaftaran; (2) partai mempunyai tujuan yang bersifat “unlawful or immoral aims”, tidak didaftar atau dibubarkan; (3) larangan kegiatan partai yang membahayakan hak asasi manusia, bersifat totalitarian, bertentangan dengan prinsip “rule of law and democracy”, kedaulatan rakyat, pluralisme, persamaan antar partai, pemisahan kekuasaan, dan independensi peradilan; (4) larangan partai ekstremis; (5) partai yang menyebarkan, mengajarkan, atau memperjuangkan kebencian, kekerasan, atau diskriminasi juga dilarang dan diancam dengan pembubaran; (6) larangan bagi partai yang melakukan kegiatan dengan cara-cara kekerasan yang anti demokrasi; (7) larangan bagi partai yang mengancam eksistensi dan kemerdekaan negara; (8) larangan partai yang mengancam integritas wilayah negara; (9) larangan partai yang menganjurkan kejahatan; (10) partai tidak boleh mengambil alih kegiatan yang merupakan tugas negara; (11) larangan kegiatan di lingkungan tertentu; dan (12) larangan kegiatan “para-militer”.105 Sedangkan pedoman yang diadopsi oleh Venice Commission meliputi106 1. Negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Hak ini harus meliputi pula kebebasan memiliki pendapat politik dan menerima serta memberi informasi tanpa campur tangan otoritas publik dan terlepas dari pembatasan. Persyaratan pendaftaran partai politik tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak tersebut. 105 Ibid, hal. 135. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), op cit., hal. 2 – 3. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 130 – 134. 106 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 28 2. Jika ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak dasar melalui partai politik tersebut, harus konsisten dan relevan dengan ketentuan Konvensi Uni Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya, baik pada waktu nomal maupun darurat. 3. Pelarangan atau pembubaran paksa partai politik juga mungkin dibenarkan dalam kasus partai politik melakukan tindakan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional, yang dengan demikian meruntuhkan hak dan kebebasan yang dijamin konstitusi. Namun demikian, kenyataan bahwa suatu partai menganjurkan perubahan konstitusi secara damai tidak cukup sebagai alasan pelarangan atau pembubarannya. 4. Suatu partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai. 5. Pelarangan atau pembubaran partai politik sebagai suatu tindakan jangka panjang tertentu harus digunakan dengan kendali penuh. Sebelum meminta lembaga yudisial yang berkompeten untuk melarang atau membubarkan partai, pemerintah atau organ negara harus menilai dengan memperhatikan situasi negara, apakah partai tersebut benar-benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik yang demokratis atau hak-hak individu, atau apakah tidak ada tindakan lain yang kurang radikal untuk mencegah bahaya tersebut.107 6. Upaya hukum untuk pelarangan atau pembubaran partai politik secara paksa yang legal harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang benar-benar tidak biasa serta diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. Upaya-upaya tersebut harus berdasarkan bukti yang cukup bahwa partai itu sendiri dan tidak hanya individu anggotanya yang mengejar tujuan politik itu dengan menggunakan atau bersiap-siap menggunakan sarana yang tidak konstitusional. 107 Thomas Ayres menyebut ketentuan ini dengan istilah “party dissolution as ‘a drastic measure’ to be applied “only in the most serious cases”. Lihat, Thomas Ayres, Batasuna Banned: The Dissolution of Political Parties Under the European Convention of Human Rights, www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/ 27_1/02_TXT.htm, 14/03/2007, hal. 3. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 29 7. Pelarangan atau pembubaran suatu partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair. Pada sidang pleno ke-58, 12 – 13 Maret 2004, Venice Commission kembali mengadopsi Guidelines and Explanatory Report on Legislation on Political Parties: Some Specific Issues. Dalam dokumen ini ditambahkan prinsipprinsip yang melengkapi Guidelines on Prohibition and Dissolution of Political Parties and Analogous Measures. Prinsip-prinsip tambahan tersebut yaitu:108 1. Untuk tujuan pedoman, partai politik adalah asosiasi orang-orang yang salah satu tujuannya adalah berpartisipasi dalam pengelolaan urusan publik dengan mengajukan kandidat untuk pemilihan yang fair dan demokratis. 2. Pendaftaran sebagai suatu langkah yang diperlukan guna pengakuan suatu organisasi sebagai partai politik, guna partisipasi partai dalam pemilihan umum atau pembiayaan publik, tidak boleh merupakan pelanggaran hakhak yang dilindungi oleh Article 11 dan 10 European Convention on Human Rights. Segala persyaratan terkait dengan pendaftaran harus merupakan sesuatu yang memang diperlukan dalam masyarakat yang demokratis dan secara obyektif memang proporsional antara tujuan dan persyaratannya. Negara-negara yang menerapkan prosedur pendaftaran partai politik harus membatasi diri dari penerapan persyaratan yang berlebihan (excessive) baik terkait dengan keterwakilan teritorial maupun keanggotaan minimal. Demokratis tidaknya karakter partai politik bukan merupakan alasan mendasar untuk menolak pendaftaran partai politik. Pendaftaran partai politik hanya dapat ditolak jika jelas-jelas sesuai dengan pedoman pelarangan partai politik dan tindakan yang serupa, yaitu ketika penggunaan kekerasan dianjurkan atau digunakan sebagai sarana politik untuk meruntuhan tatanan demokrasi konstitusional, yang dengan 108 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline and Explanatory Report on Legislation on Political Parties: Some Specific Issues, , Adopted by the Venice Commission at its 58th Plenary Session (Venice, 12 – 13 Maret 2004). CDL-AD(2004)007rev. Strasbourg, 15 April 2004., hal. 2 – 3. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 30 demikian melanggar hak-hak dan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Namun kenyataan adanya perubahan konstitusi secara damai yang dianjurkan oleh partai politik tidak cukup sebagai alasan penolakan pendaftaran. 3. Setiap aktivitas yang diperlukan oleh partai politik sebagai syarat untuk memperoleh status partai politik serta kontrol dan pengawasannya, harus dinilai menurut ukuran yang diperlukan dalam masyarakat demokratis (necessary in democratic society). Otoritas publik harus membatasi kontrol politik yang berlebihan terhadap aktivitas partai politik, seperti keanggotaan, jumlah dan frekuensi kongres atau pertemuan partai, kegiatan partai di wilayah dan di bidang tertentu. 4. Otoritas negara harus selalu netral terkait dengan proses pembentukan, pendaftaran dan aktivitas partai politik, serta membatasi diri dari upayaupaya yang dapat memberikan keistimewaan pada kekuataan politik tertentu dan mendiskriminasikan yang lainnya. Semua partai politik harus diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan. 5. Setiap campur tangan otoritas publik terhadap aktivitas partai politik, seperti penolakan pendaftaran, hilangnya status partai politik jika partai tersebut tidak berhasil memperoleh wakil di lembaga legislatif, harus dimotivasi dan ketentuan harus memberikan kesempatan bagi partai untuk melakukan upaya hukum atas putusan atau tindakan tersebut di pengadilan. 6. Walaupun perhatian terhadap persatuan negara dapat menjadi pertimbangan, negara-negara anggota harus menghilangkan pembatasan yang tidak diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis terkait pembentukan dan aktivitas organisasi dan persatuan politik baik di tingkat regional maupun lokal. 7. Ketika legislasi nasional menyatakan partai kehilangan statusnya sebagai partai politik, jika mereka tidak berhasil ambil bagian dalam pemilihan umum atau memperoleh wakil di lembaga legislatif, mereka harus dibolehkan melanjutkan eksistensi dan aktivitasnya berdasarkan hukum yang mengatur organisasi secara umum. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 31 8. Pengecualian secara umum atas warga negara asing dan orang tanpa kewarganegaraan dari keanggotaan partai politik tidak dapat dibenarkan. Warga negara asing dan orang tanpa kewarganegaraan dalam batas tertentu harus diijinkan berpartisipasi dalam kehidupan politik di wilayah tempat dia tinggal, setidaknya sepanjang mereka dapat ambil bagian dalam pemilihan. Paling tidak, di wilayah tempat dia tinggal harus membuat keanggotaan atas partai politik dimungkinkan. 1.4.4. Konsep-Konsep 1.4.4.1. Partai Politik Dari sisi etimologis, menurut Laica Marzuki, kata partai berasal dari bahasa latin pars, yang berarti bagian. Karena hanya suatu bagian, membawa konsekuensi pengertian adanya bagian-bagian lain. Oleh karena itu, jika hanya terdapat satu partai dalam satu negara berarti tidak sesuai dengan makna etimologis dari partai itu sendiri.109 Pengertian dari sisi etimologis juga dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie. Partai berasal dari akar kata part yang berarti bagian atau golongan. Kata partai menunjuk pada golongan sebagai pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan tertentu seperti tujuan, ideologi, agama, bahkan kepentingan. Pengelompokan itu bentuknya adalah organisasi secara umum, yang dapat dibedakan menurut wilayah aktivistasnya, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi politik. Dalam perkembangannya, kata partai lebih banyak diasosiasikan untuk organisasi politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik.110 Dengan demikian, partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang tidak terbatas pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai adalah partai politik, yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik. Penelitian ini memfokuskan pada partai politik sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik. 109 110 Wawancara dengan Hakim Konstitusi M. Laica Marzuki pada 1 November 2007. Wawancara dengan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. pada 6 Mei 2008. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 32 Beberapa ahli memberikan konsep tentang partai politik secara berbedabeda, namun memiliki elemen-elemen yang hampir sama. MacIver menyatakan “We may define a political party as an association organized in support of some principle or policy which by constitutional means it endavour to make the determinant of government”.111 Menurut Edmund Burke partai politik merupakan “a body of men united for promoting by their joint endavour the national interest upon some particular principle in which they are all aggree”.112 Setelah menganalisis berbagai definisi partai politik, Ware merumuskan definisi partai politik sebagai berikut.113 A political party is an institution that (a) seeks influence in a state, often by attempting to occupy positions in government, and (b) usually consists of more than a single interest in the society and so to some degree attempts to “aggregate interest”. Dalam penelitian ini, konsep partai politik yang digunakan adalah yang dikemukakan oleh Sorauf, dengan unsur-unsur “(1) mengembangkan organisasi dan mencapai tujuan melalui pemilihan umum; (2) organisasi bersifat inklusif dan mencakup berbagai kelompok masyarakat (ekstensif); (3) Perhatian utama pada panggung politik untuk mencapai tujuannya; dan (4) menunjukkan stabilitas dan berkelanjutan, serta bekerja sebagai satu kesatuan dalam pembuatan keputusan dan loyalitas dari anggota-anggotanya.114 Namun, kriteria pertama dipakai dengan mengingat bahwa pada masa-masa tertentu pada saat belum dilaksanakan pemilihan umum kreteria ini tidak berlaku, seperti pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan sebuah negara. Perkembangan politik juga menunjukkan adanya tiga komponen sebagai deskripsi kata ‘partai’, yaitu partai dalam pemerintahan, partai sebagai organisasi 111 MacIver, Op. Cit., hal. 398 Sabine, Op. Cit., hal. 611. 113 Definisi ini dirumuskan setelah mengkritisi beberapa kelemahan dari definisi-definisi lain seperti (1) Parties are institutions that seek to represent more than a single narrow interest in the society; (2) Parties are grouping of people with similar belief, attitudes, and values; (3) Party is a body of men united for promoting by their joint endeavours the national interest upon some particular principle in which they are all agreed; (4) Parties are institutions that bring together people for purpose of exercising power within the state; (5) Parties seek to use legitimate means for pursuing their ends; and (6) When they can contest elections in the state, parties will seek to do so. Lihat, Ware, Op. Cit., hal. 2 - 5. 114 “(1) the extent to which they pursue their organization through the contesting of elections; (2) the extensiveness and inclusiveness of their organization; (3) their sole concentration on political evenues for achieving their goals; and (4) they demonstrated stability and long life, and the way they operate as one, symbols, and objects of loyalty in the decision making of large member of citizens”. Lihat, Sorauf, Op. Cit., hal. 20. 112 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 33 (politisi profesional), dan partai sebagai kelompok pemilih.115 Penelitian ini melihat partai politik sebagai sebuah organisasi atau institusi, khususnya aspek hukum negara yang mengatur pembentukan dan pembubarannya. 1.4.4.2. Pembubaran Pembubaran dalam bahasa Inggris adalah dissolution. Menurut kamus Black’s Law, dissolution berarti (1) the act of bringing to an end; termination; (2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of annuling the contract’s binding force and restoring the parties to their original positions; dan (3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration of its charter, by legislative act, by bankruptcy, or by other means; the event immediately preceding the liquidation or winding-up process.116 Berdasarkan pengertian tersebut, bubarnya suatu partai politik berarti berakhirnya eksistensi hukum partai politik tersebut. Hal itu dapat terjadi karena membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas negara atau sebagai akibat dari adanya aturan baru atau kebijakan negara. Pembubaran kategori terakhir disebut sebagai pembubaran secara paksa (enforced dissolution). Pembubaran partai politik dalam penelitian ini adalah pembubaran secara paksa yang disebabkan oleh adanya tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau aturan negara yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban. Pembubaran mengakibatkan perubahan eksistensi hukum suatu partai politik dari ada menjadi tidak ada. Pembubaran secara paksa dalam penelitian ini meliputi pembubaran yang dilakukan oleh otoritas negara baik secara langsung berupa keputusan hukum, maupun secara tidak langsung melalui aturan atau kebijakan yang mengakibatkan adanya peristiwa pembubaran partai politik. Fokus penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pembubaran partai politik di Indonesia serta praktik pelaksanaannya. Kasus-kasus yang terkait dengan pembubaran partai politik yang akan diteliti di antaranya meliputi penyederhanaan kepartaian pada masa Orde Lama, 115 Ware mengemukakan bahwa partai terdiri atas tiga elemen, yaitu “party-in-electorate”, “the party organization”, dan “the party-in-government”. Lihat, Ware, Op. Cit., hal. 6; Persily & Cain, Op. Cit., hal. 2 116 Garner et.all (eds). Op. Cit.,hal. 486. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 34 pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pembekuan Partai Murba, pembubaran PKI, pembekuan Partindo, kebijakan penyederhanaan partai politik pada awal Orde Baru, kebijakan fusi dan pembatasan partai politik masa Orde Baru, serta kasus pembekuan dan gugatan pembubaran partai Golkar yang pernah terjadi pada masa reformasi. 1.4.4.3. Pengaturan Pengaturan menunjuk pada arah substansi peraturan perundang-undangan atau bagaimana sesuatu hal diatur sesuai dengan tujuan pembentukan aturan tersebut, serta penerapannya. Oleh karena itu, untuk melihat pengaturan hukum partai politik, tidak cukup dengan mengemukakan materi muatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga dengan memperhatikan tujuan pembentukannya dan penerapannya dalam praktik. Pengaturan (ruling) memiliki perbedaan arti dibandingkan dengan peraturan (rule). Peraturan menunjuk pada norma hukum atau proposisi pada suatu ketentuan yang bersifat umum. Sedangkan pengaturan meliputi juga hasil (outcome) yang diharapkan dari pelaksanaan suatu peraturan.117 1.4.4.4. Kurun Waktu 1959 - 2004 Kurun waktu yang diteliti adalah antara 1959 hingga 2004. Penentuan batas waktu mulai 1959 berdasarkan pada alasan bahwa mulai tahun tersebut, tepatnya sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, rejim yang berkembang adalah Demokrasi Terpimpin. Salah satu bentuknya adalah adanya penyederhanaan dan pengawasan partai politik yang mengakibatkan pembubaran Partai Masjumi dan PSI pada 1960. Sebelum 1959, partai politik tumbuh dan berkembang di alam kebebasan, terutama sejak adanya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang mendorong pembentukan partai politik.118 Bahkan walaupun Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap melakukan pemberontakan pada 1948, namun tidak dibubarkan. Namun demikian, periode sebelum 1955 117 Dalam Black’s Law Dictionary, dikutip pendapat Robert E. Keeton yang membedakan antara ruling dan rule sebagai berikut; A distinction is sometimes made between rules and rulings. Wether or not a formal distinction is declared, in common usage ‘legal ruling’ (or simply ‘ruling’) is a term ordinarily used to signify the outcome of applying a legal test when that outcome is one of relatively narrow impact. The immediate effect is to decide an issue in a single case. This meaning contrasts, for example, with the usual meaning of ‘legal rule’ (or simply ‘rule’). The term ‘rule’ ordinarily refers to a legal proposition of general application. A ‘ruling’ may have force as precedent, but ordinarily it has that force because the conclusion it expresses (for example, ‘objection sustained’) explicitly depends upon and implicitly reiterates a ‘rule’ – a legal proposition of more general application. Ibid., hal. 1334. 118 Promoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Kamil, Op. Cit. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 35 tetap disinggung untuk mengetahui latar belakang sejarah dan perkembangan pengaturan dan kehidupan partai politik. Sedangkan tahun 2004 ditentukan sebagai kurun waktu penutup karena pada 2004 dilaksanakan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik sebagai peserta. Partai politik pada pemilihan umum 2004 diatur dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Saat menjelang pelaksanaan pemilihan umum tersebut, partai-partai politik yang telah sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 harus menyesuaikan diri dalam waktu 9 bulan. Jika tidak menyesuaikan diri, maka partai politik tersebut dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum. Selain itu, hasil pemilihan umum 2004 juga terkait dengan ketentuan electoraltreshold yang menentukan partai politik mana yang dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya. Antara 1959 hingga 2005, walaupun sama-sama berlaku UUD 1945, namun dapat dikategorikan menjadi tiga periode berdasarkan praktik demokrasi yang dijalankan. Ketiga periode tersebut adalah periode 1959 – 1966 yang merupakan periode Demokrasi Terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno atau yang sering disebut sebagai Orde Lama. Selanjutnya adalah periode 1966 – 1998 yang merupakan periode kekuasaan Presiden Soeharto atau yang sering disebut dengan Orde Baru. Periode Orde Baru ini juga ada yang menyebutnya sebagai masa Demokrasi Pancasila. Namun penyebutan ini dipandang kurang tepat karena sejak Orde Lama hingga pasca Orde Baru Pancasila tetap menjadi dasar negara. Berikutnya adalah periode 1998 – 2004 yang merupakan periode pasca turunnya Presiden Soeharto atau yang sering disebut sebagai bagian dari periode reformasi. Pada masing-masing periode tersebut akan dianalisis ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pembubaran partai politik serta praktik pelaksanaannya. Kasus-kasus yang terkait dengan pembubaran partai politik yang akan diteliti pada masa Orde lama di antaranya adalah kebijakan penyederhanaan, pembubaran Partai Masjumi dan PSI, dan pembekuan Partai Murba. Kasus pada masa Orde Baru di antaranya adalah pembubaran PKI, pembekuan Partindo, kebijakan penyederhanaan partai politik, serta kebijakan fusi dan pembatasan Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 36 partai politik. Sedangkan pada masa reformasi di antaranya adalah kasus pembekuan dan gugatan pembubaran partai Golkar. 1.5. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan menganalisis pengaturan dan praktik pembubaran partai politik di Indonesia dalam kurun waktu 1959 sampai 2004. Guna memperkaya analisis tersebut, juga akan dideskripsikan kondisi yang melatarbelakangi setiap pengaturan dan praktik pembubaran partai politik. Pada akhirnya, akan dirumuskan pemikiran tentang pengaturan pembubaran partai politik Indonesia di masa mendatang. 1.6. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Dari sisi teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian teoretis hukum tata negara tentang partai politik, khususnya tentang pembubaran partai politik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menambah referensi analisis pengaturan pembubaran partai politik di Indonesia. Dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengaturan dan praktik pembubaran partai politik pada masa yang akan datang. 1.7. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan normatif dan sejarah hukum. Salah satu kegunaan dari penelitian hukum adalah untuk mengetahui apakah dan bagaimanakah hukum mengatur suatu hal serta bagaimana aturan hukum tersebut diterapkan.119 Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui pembubaran partai politik sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan praktik pelaksanaannya, baik berupa keputusan administratif maupun keputusan pengadilan. Pendekatan normatif 119 Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian hukum normatif memiliki beberapa kegunaan, di antaranya adalah mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu, serta juga untuk mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum.. Lihat Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Edisi Pertama, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 140141. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 37 tersebut dilakukan terhadap peraturan-peraturan yang terkait dalam rentang waktu yang sudah ditentukan, yaitu 1959 hingga 2006. Selain itu, untuk lebih memahami konsep dan subjek penelitian, dilakukan pula perbandingan pengaturan pembentukan dan pembubaran partai politik di beberapa negara lain. Metode pendekatan sejarah hukum meliputi sejarah norma hukum dan penerapan norma hukum.120 Pendekatan sejarah digunakan dalam penelitian yang tidak hanya menekankan pada waktu tertentu tetapi untuk memahami masa lalu. Hal itu membutuhkan penafsiran atas fakta-fakta yang diketahui dari bahan-bahan sejarah. Dokumen-dokumen yang akan dianalisis merupakan pintu masuk untuk mengkontruksikan kembali apa yang terjadi pada masa lalu sesuai dengan konteksnya saat itu.121 Pendekatan sejarah dilakukan dengan menafsirkan data-data yang diperoleh dari sumber data. Proses penafsiran tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu reproduksi (reproduction) dan representasi (representation). Reproduksi adalah proses menentukan apa yang terjadi pada suatu waktu di suatu tempat. Sedangkan representasi adalah mengetahui konteks lebih luas dari suatu peristiwa. Salah satu sumber data sejarah yang banyak memberikan informasi adalah dokumen yang merekam peristiwa-peristiwa masa lalu, termasuk dokumen hukum.122 Dalam penulisan sejarah, masalah yang dihadapi adalah membatasi unsur subyektivitas. Walaupun pengungkapan sejarah tidak pernah murni dari kacamata subyek peneliti, namun harus diupayakan untuk mencapai obyektivitas, yaitu sejarah dalam aktualitas sebagai kejadian itu sendiri yang terlepas dari subyek. 120 Ibid, hal. 144. Lihat, Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative Research, Second edition, (London: SAGE Publication Inc., 2000), hal. 374-375; bandingkan dengan Royce Singleton, JR. et. al., Approach to Social Research, (New York: Oxford University Press, 1988), hal. 355; lihat pula Earl Babbie, The Practice of Social Research, Eight Edition, (Belmont: Wadsworth Publising Company, 1998), hal. 325 dan 328 – 329. 122 Lihat, Michael S. Lewis-Beck, Alan Bryman, dan Tim Futing Liao (eds.), The SAGE Encyclopedia of Social Science Research Method, Volume 2, (California: SAGE Publication Inc., 2004), hal. 426 – 464; Ian Shaw dan Nick Gould, Qualitative Research in Social Work, (London: Sage Publication Inc., 2001), hal. 150 dan 154-155; George Ritzer, Explorations in Social Theory: From Metatheorizing to Rationalization, (London: Sage Publication Inc., 2001), hal. 65; Gary King, Robert o. Keohane, Sidney Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research, (New Jersey: Princenton University Press, 1994), hal. 36 – 37. 121 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 38 Untuk itu diperlukan kemampuan menempatkan fakta sejarah dalam suasana dan iklim masanya.123 Untuk memberi struktur pada kurun waktu yang akan diteliti, maka dilakukan periodesasi berdasarkan ciri khas tertentu124, yang dalam hal ini adalah demokrasi yang berkembang. Periodesasi tersebut adalah 1959 – 1966 atau periode Orde Lama, 1966 – 1998 atau periode Orde Baru, dan 1998 – 2004 yang disebut periode reformasi karena berada dalam periode reformasi, seperti yang telah di bahas pada bagian konsepsi. Pembahasan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif analitis. Data penelitian ini didapatkan dari dokumen, sehingga penelitian ini dapat juga disebut penelitian dokumen. Dokumen yang dipilih adalah dokumen yang terkait dan dapat menjawab permasalahan penelitian.125 Dokumen tersebut meliputi dokumen hukum dan literatur terkait, serta didukung dengan informasi dari media massa.126 1.7.1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan yang di dalamnya berisi aturan hukum dan informasi lain terkait dengan suatu aturan dan peristiwa hukum, yang disebut dengan bahan hukum. Bahan-bahan hukum diperoleh dengan cara melakukan penelusuran dokumen hukum peraturan perundangundangan, studi kepustakaan dan penelusuran arsip. Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini meliputi Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.127 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah dokumen yang berisi ketentuan hukum yang bersifat mengatur serta keputusan-keputusan hukum terkait dengan pembubaran 123 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 62 – 70. 124 Ibid., hal. 61. 125 John W. Creswell, Research Design; Qualitative & Quantitative Approaches, (London: Sage Publication, 1994), hal. 148. 126 Dalam penelitian sosial dikenal beberapa macam dokumen, Kenneth D. Bailey membedakan dua macam dokumen yaitu primary dan secondary document. Lihat, Bailey, op cit., hal. 302. Sedangkan Royce Singleton, JR. et. al. menyebutkan studi dokumen sebagai research using available data dengan sumbersumber data berupa public and official records, private documents, mass media, physical nonverbal evidence, dan social science data archives. Lihat, Singleton, JR. et. al., Op. Cit., hal. 326 – 335. Lihat pula tabel yang dibuat oleh Creswell yang membedakan antara observations, interviews, dan documents. Lihat, Creswell, Op. Cit., hal., 150. Sedangkan Earl Babbie menklasifikasikan studi dokumen sebagai bagian dari unobtrusive research. Lihat, Babbie, Op. Cit., hal. 307 – 330. 127 Sunaryati Hartono, Op. Cit., hal. 134. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 39 partai politik. Dokumen yang menjadi bahan hukum primer adalah dokumen yang memiliki suatu bentuk hukum sebagai salah satu jenis peraturan perundangundang yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, bahan hukum primer juga meliputi keputusan-keputusan hukum yang bersifat konkrit. Dengan demikian, bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: 1) Peraturan perundang-undangan terkait dengan pembubaran partai politik di Indonesia dalam kurun waktu 1959 hingga 2004, sesuai dengan jenis dan hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan. 2) Keputusan-keputusan hukum terkait dengan pembentukan dan pembubaran partai politik dalam kurun waktu 1959 sampai dengan 2004. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi tentang adanya suatu ketentuan hukum, materi yang diatur dalam suatu ketentuan hukum, pelaksanaan suatu aturan hukum, adanya suatu keputusan atau peristiwa hukum. Bahan hukum sekunder juga meliputi bahan-bahan yang memberikan informasi mengenai latar belakang adanya suatu aturan hukum dan peristiwa hukum tertentu, serta kondisi sosial pada saat itu aturan hukum diterapkan atau suatu peristiwa hukum terjadi. Bahan hukum sekunder diperlukan untuk dapat mengetahui dan memahami dengan tepat suatu aturan hukum dan praktiknya serta konteks yang berada di sekelilingnya.128 Bahan hukum sekuder dalam penelitian ini adalah dokumen yang memberikan informasi terkait dengan pembubaran partai politik yang meliputi: 1) Buku-buku literatur 2) Disertasi, tesis, dan laporan penelitian 3) Artikel, makalah, dan media massa 128 Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahan-bahan sekunder berguna untuk dirujuk guna meningkatkan mutu interpretasi atas hukum yang berlaku. Selain itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas. Bahan sekunder adalah hasil kegiatan teoretis akademis yang mengimbangi kegiatan praktik legislatif dan yudisial sehingga produk-produknya yang fragmentaris dapat terpola menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tidak saling bertentangan. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 155-156. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 40 1.7.2. Analisis Data Proses analisis dilakukan pertama-tama dengan melakukan pengelompokan data yang terkumpul dan menganalisisnya untuk menemukan prinsip-prinsip pengaturan yang menjadi materi muatan dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan hukum berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan.129 Hal itu dilakukan dengan cara menganilis isi dan melakukan penafsiran terhadap bahan hukum primer sesuai dengan konteks ruang dan waktu dokumen tersebut dibuat yang diperoleh dari bahan hukum sekunder.130 Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan berdasarkan masalah yang dianalisis, yaitu pembubaran partai politik berdasarkan periode waktu pembuatan dan masa berlakunya bahan hukum primer tersebut sesuai dengan periodesasi yang telah ditentukan. Selanjutnya, dilakukan analisis yang menghubungkan antara pengaturan pembubaran partai politik, peristiwa-peristiwa pembubaran partai politik, dan kondisi yang melatarbelakangi pada masing-masing periode dari 1959 hingga 2004. Analisis ini akan menghasilkan gambaran tentang bagaimana pengaturan pembubaran partai politik pada suatu periode, kondisi yang melatarbelakangi adanya pengaturan pembubaran partai politik tersebut, serta gambaran pelaksanaan aturan tersebut. Pengaturan dan praktik pembubaran pada setiap periode selanjutnya dianalisis kesesuaiannya dengan kerangka teoritis pembubaran partai politik untuk menentukan kekurangannya. Hasil analisis tersebut menjadi bahan untuk merumuskan masukan pemikiran pengaturan pembubaran partai politik pada masa mendatang. 1.8. 1. ASUMSI PENELITIAN Keberadaan partai politik adalah salah satu elemen utama pelaksana negara hukum yang demokratis sebagai bentuk kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun, terhadap kebebasan tersebut terdapat batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis. 129 James E. Mauch and Jack W. Birch, Guide to the Successful Thesis and Desertation, Third Edition, (New York: Marcel Dekker Inc., 1993), hal. 115. 130 Jimly Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ind. Hill-Co, 1998), hal. 14. Bandingkan dengan Hartono, op cit., hal. 152. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 41 2. Pembubaran partai politik diatur oleh norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk dan tata cara yang berbeda-beda pada masing-masing periode dari 1959 hingga 2004 sesuai dengan demokrasi yang dikembangkan. 3. Pengaturan pembubaran partai politik di masa yang akan datang harus dibuat dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi dengan mempertimbangkan keserasian antara perlindungan terhadap kebebasan warga negara dan kesinambungan negara hukum yang demokratis. 1.9. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Pembahasan dalam penelitian ini dilakukan dengan sistematika yang terdiri dari enam bab. Bab Satu dengan judul Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang perlunya dilakukan penelitian. Selain itu juga dipaparkan kerangka teori yang mengetengahkan teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan. Dalam bab ini juga akan ditentukan tujuan penelitian yang akan dicapai, manfaat penelitian, metode yang digunakan, asumsi yang mendasari, dan sistematika pembahasan. Dengan demikian pada Bab Satu akan terdiri dari Sub Bab Latar Belakang Masalah Penelitian, Pertanyaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konsep, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Asumsi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab Dua berisi uraian tentang keberadaan dan peran partai politik dalam negara hukum dan demokrasi. Pembahasan dimulai dari perkembangan partai politik, macam-macam sistem kepartaian, dan pembubaran di beberapa negara. Judul Bab Dua adalah Pembubaran Partai Politik Dalam Negara Hukum dan Demokrasi, dengan Sub Bab; Partai Politik, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Perkembangan Partai Politik, Sistem Kepartaian, Fungsi Partai Politik, dan Pembubaran Partai Politik. Bab Tiga menguraikan analisis normatif pengaturan dan peristiwaperistiwa terkait pembubaran partai politik serta kondisi yang melatarbelakangi pada periode 1959 hingga 1966 atau periode Orde Lama. Namun pada bab ini didahului dengan uraian mengenai sejarah partai politik di Indonesia sebagai pengantar. Judul Bab Tiga adalah Sejarah Partai Politik dan Pembubaran Partai Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 42 Politik Pada Masa Orde Lama dengan Sub Bab meliputi; Partai Politik Sebelum dan Pada Awal Kemerdekaan, Partai Politik dan Demokrasi Terpimpin, Penyederhanaan Partai Politik, serta Pembubaran dan Pembekuan Partai Politik. Pembahasan selanjutnya pada Bab Empat yang memaparkan pengaturan dan peristiwa-peristiwa terkait pembubaran partai politik serta kondisi yang melatarbelakanginya pada masa Orde Baru. Bab ini berjudul Pembubaran Partai Politik Pada Masa Orde Baru dengan Sub Bab meliputi; Dari Orde Lama Ke Orde Baru, Pembubaran PKI dan Pembekuan Partindo, Penyederhanaan dan Pengawasan Partai Politik, Fusi dan Pembatasan Partai Politik, serta Pengaturan Pembekuan Partai Politik. Sedangkan Bab Lima mendeskripsikan pengaturan dan peristiwa-peristiwa terkait pembubaran partai politik serta kondisi yang melatarbelakangi pada periode 1998 hingga 2004 atau masa reformasi. Judul Bab Lima adalah Pembubaran Partai Politik Pada Masa Reformasi dengan Sub Bab meliputi; Reformasi dan Demokratisasi Politik, Pengaturan Partai Politik, Pengaturan Pembubaran Partai Politik, Gugatan Pembubaran Partai Golkar, dan Maklumat Pembekuan Partai Golkar. Pada Bab Enam akan dibahas tentang analisis peraturan masa lalu, saat ini, dan pemikiran pengaturan pembubaran partai politik di Indonesia pada masa yang akan datang. Judul Bab Enam adalah Analisis Pengaturan Pembubaran Partai Politik Dan Prospek Di Masa Mendatang, yang meliputi Sub Bab Tujuan dan Arah Pengaturan, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Bentuk-Bentuk Pembubaran, Alasan Pembubaran, Prosedur Pembubaran, dan Akibat Hukum Pembubaran. Sedangkan Bab Tujuh merupakan Bab Penutup yang terdiri atas kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan untuk pengaturan pembubaran partai politik serta untuk penelitian lebih lanjut. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. BAB II PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DALAM NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI 2.1. PARTAI POLITIK, HAK ASASI MANUSIA, DAN DEMOKRASI Partai politik merupakan salah satu bentuk organisasi yang dibentuk oleh warga negara untuk memperjuangkan kepentingan politik. Membentuk suatu organisasi adalah salah satu wujud dari adanya kebebasan berserikat. Kebebasan tersebut dipandang merupakan salah satu natural rights yang fundamental dan melekat pada manusia sebagai makhluk sosial. Kebebasan berserikat terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, serta kebebasan berekspresi. Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kemerdekaan tersebut diekspresikan melalui pendapat baik lisan maupun tulisan. Oleh karena itu kebebasan menyatakan pendapat baik dalam bentuk lisan maupun tulisan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Wujud ekspresi lain dari kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah kebebasan berserikat. Membentuk suatu organisasi adalah ekspresi keyakinan dan pikiran yang menemukan persamaan di antara warga masyarakat, sekaligus sebagai sarana memperjuangkan keyakinan dan pikiran serta sebagai media menyatakan pendapat. Dengan demikian, semua organisasi atau asosiasi yang dibentuk adalah puncak manifestasi dari kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir.131 Walaupun hak asasi manusia diakui sebagai hak yang melekat pada setiap orang karena kemanusiaannya, namun terdapat pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tersebut. Pembatasan itu diperlukan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.132 131 132 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 7-21. Barnett, Op. Cit., hal. 589. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI.,43 2009. 44 Namun, terdapat hak yang karena sifatnya tidak dapat dibatasi. Hak atas kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir merupakan hak yang tidak dapat dibatasi karena sifatnya yang melekat di dalam diri setiap manusia. Tidak ada aturan hukum dan kekuasaan yang dapat membatasi kemerdekaan tersebut. Pembatasan hanya mungkin dilakukan terhadap ekspresinya, yaitu kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat karena wujudnya yang nyata berupa tindakan tertentu. Di sisi lain, adanya pembatasan harus benar-benar sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri, di antaranya adalah untuk melindungi hak dan kebebasan lain. Oleh karena itu, pembatasan harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan sematamata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.133 Negara dapat membubarkan suatu organisasi dengan landasan pembatasan HAM yang dibolehkan, yaitu untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, mencegah kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta melindungi hak dan kebebasan lain. Untuk memastikan bahwa pembatasan dalam bentuk pembubaran dilakukan benar-benar dengan untuk mencapai tujuan tersebut, harus ditentukan terlebih dahulu secara konstitusional ketentuanketentuan yang dapat menjadi alasan pembubaran suatu organisasi. Di sisi lain, untuk memutus apakah suatu organisasi memang keberadaannya dan aktivitasnya memenuhi alasan pembubaran, harus dilakukan melalui proses yang adil, seimbang, berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan obyektif. Oleh karena itu pembubaran suatu organisasi harus dilakukan melalui mekanisme peradilan. Di bidang politik, keberadaan organisasi partai politik juga merupakan wujud pelaksanaan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri dari negara demokrasi.134 Berbagai institusi demokrasi dan pemilihan umum adalah implikasi 133 Symonides, Op. Cit., hal. 91-92. International Commission of Jurist menentukan syarat-syarat representative government under the rule of law, sebagai berikut: (1) adanya proteksi konstitusional, (2) adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak, (3) adanya pemilihan umum yang bebas, (4) adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, (5) adanya tugas oposisi, dan (6) adanya pendidikan civic. Lihat, Soemantri M., Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Op Cit., hal. 12-13. Sedangkan menurut Dahl, institusiinstitusi yang harus ada untuk menjamin terlaksananya demokrasi perwakilan adalah; (1) para pejabat yang 134 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 45 dari ada dan diakuinya hak-hak politik seperti hak memilih (the right to vote), hak berorganisasi (the right of association), hak kebebasan berbicara (the right of free speech), dan hak persamaan politik (the right to political equality).135 Hanya dengan adanya kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat, demokrasi sebagai pemerintahan rakyat dapat terwujud. Kebebasan untuk berserikat, berunjuk rasa, dan lain sebagainya yang sering disebut sebagai “representation in ideas” di dalam negara demokrasi tetap dijamin meskipun sudah ada lembaga parlemen. Keberadaan wakil-wakil rakyat tidak dapat mengurangi makna kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat.136 European Court of Human Right dalam beberapa keputusannya terkait kasus pembubaran partai politik berpendapat bahwa hak membentuk partai politik merupakan satu kesatuan dengan hak berorganisasi yang dijamin oleh Article 11 (1) European Convention of Human Right. Setiap orang dapat membentuk organisasi untuk melindungi kepentingannya, baik sosial, budaya, maupun politik. Negara adalah penjamin pluralisme dalam masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemilihan yang bebas demi terciptanya kebebasan berekspresi. Ekspresi pemilih menjadi tidak berarti tanpa adanya partisipasi partai politik yang mewakili pendapat yang berbeda-beda dalam suatu negara. Oleh karena itu Ayers berpendapat bahwa partai politik memberikan kontribusi yang tidak dapat digantikan.137 Partisipasi dalam demokrasi membutuhkan kesamaan kesempatan warga negara untuk mempertanyakan agenda, mengekspresikan keinginan, dan memberikan masukan kebijakan. Partai politik memberikan forum bagi warga negara untuk ekspresi politik tersebut, mengagregasi kepentingan-kepentingan dipilih, (2) pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala, (3) kebebasan berpendapat, (4) sumber informasi alternatif, (5) otonomi asosiasional, dan (6) hak kewarganegaraan yang inklusif. Dahl, Op. Cit.., hal.118. 135 Pildes, Op. Cit., hal. 18-19. 136 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit., hal. 116. Dalam negara demokrasi, keberadaan negara adalah untuk melindungi kebebasan dan persamaan sebagai bagian dari martabat manusia. Lihat, Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hal. 134-135. Mahkamah Konstitusi Jerman saat mengadili permohonan pembubaran Sozialistische Reichspartei (SRP) mengartikan demokrasi sebagai “Penghormatan akan hak-hak manusia yang dikongkretkan dalam konstitusi, terutama penghormatan terhadap hak-hak pribadi untuk hidup dan kebebasan bergerak, kedaulatan rakyat, akan pemerintahan yang adil, serta kebebasan pengadilan, pembagian kekuasaan, serta tanggung jawab dari tiap pemerintah, jaminan sistem banyak partai serta jaminan berdasar konstitusi akan pembentukan dan pelaksanaan oposisi.” Lihat, B.N. Marbun, Demokrasi Jerman; Perkembangan dan Masalahnya, (Jakarta; Penerbit Sinar Harapan, 1983), hal. 185. 137 Thomas Ayres, Batasuna Banned: The Dissolution of Political Parties Under The European Convention of Human Rights, www.bundeswahlleiter.de, 27/07/2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 46 yang berbeda, dan mengajukannya kepada pemerintah. Sistem kepartaian yang kompetitif mengharuskan partai untuk menarik semua pemilih tanpa 138 diskriminasi. 2.1.1. Demokrasi Perwakilan Sebagai Wujud Demokrasi Modern Demokrasi modern merupakan suatu sistem yang dipandang dapat merealisasikan beberapa tujuan, di antaranya adalah menciptakan stabilitas politik dan mengekspresikan status persamaan bagi semua warga negara. Demokrasi menjadi instrumen untuk menjamin kekuasaan dilaksanakan secara bertanggungjawab melalui pemilihan untuk menentukan pemegang kekuasaan, memajukan kesejahteraan warga dengan membuat kebijakan yang responsif, memungkinkan penyebaran pembuatan keputusan, dan mengefektifkan partisipasi rakyat.139 Demokrasi tradisional sebagai suatu pemerintahan oleh rakyat, dalam arti segala keputusan diambil oleh seluruh rakyat yang berkumpul pada waktu dan tempat yang sama, hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah warganya sangat kecil.140 Pada zaman modern, suatu cita-cita demokrasi yang ideal di mana rakyat terlibat secara langsung dalam pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi karena jumlah warga negara yang banyak dan wilayah negara yang luas.141 Bahkan Robert A. Dahl berpendapat bahwa salah satu kegagalan demokrasi di jaman Romawi adalah karena rakyat tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam majelis warga di pusat pemerintahan karena untuk itu membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama.142 Jika tidak mungkin untuk dilaksanakan demokrasi langsung, maka harus diusahakan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menentukan pembuatan transformasi keputusan melalui karakteristik orang-orang demokrasi dari yang mewakili. partisipasi langsung Terjadilah menjadi 138 Julander, Op. Cit., hal. 12-13. Pildes, Op. Cit., hal. 13-14. 140 Dalam demokrasi langsung, terdapat penyatuan antara kedaulatan tertinggi dengan kedaulatan legislatif. Sedangkan dalam demokrasi tidak langsung, kedaulatan tertinggi tetap di tangan rakyat. Lihat Mac Iver, Op. Cit., hal. 313. 141 Rousseau tidak menyetujui adanya badan perwakilan sebagai pelaksanaan demokrasi perwakilan, tetapi mencita-citakan suatu bentuk “demokrasi langsung”. Lihat Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 173. 142 Dahl, Op. Cit., hal. 18-19. 139 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 47 perwakilan.143 Di dalam gagasan demokrasi perwakilan, kekuasaan tertinggi tetap di tangan rakyat, tetapi dalam pelaksanaanya dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih rakyat sendiri.144 Demokrasi perwakilan adalah demokrasi yang dibuat untuk dapat dipraktikkan dalam jangka waktu yang lama dan mencakup wilayah yang luas.145 Sistem perwakilan digambarkan oleh John Stuart Mill sebagai penemuan luar biasa di zaman modern.146 Demokrasi langsung, menurut Franz Magnis Suseno, tidak saja tidak dapat direalisasikan, melainkan juga tidak perlu. Yang harus dituntut adalah pemerintahan negara tetap berada di bawah kontrol efektif warga negara. Kontrol warga negara dilakukan melalui dua cara, yaitu secara langsung melalui pemilihan umum dan secara tidak langsung melalui keterbukaan pemerintahan.147 Gagasan demokrasi perwakilan telah berkembang menjadi sistem participatory democracy. Demokrasi dimaknai sebagai “kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, dan bersama rakyat”.148 Menurut John Locke, walaupun kekuasaan telah diserahkan kepada suatu organ, yaitu negara, namun rakyat sebagai kesatuan politik masih dapat menyampaikan tuntutan-tuntutan dan meminta perhatian terhadap pelanggaran yang terjadi. Untuk membentuk suatu masyarakat politik, dibuatlah undangundang atau hukum. Hukum yang dibuat sebagai dasar keberadaan negara tersebut harus demokratis, yaitu sesuai dengan tuntutan masyarakat. Maka yang pertama kali perlu dibuat adalah badan pembuat undang-undang yang dipilih dan dibentuk oleh rakyat149. Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin rakyatlah yang menentukan negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun 143 Treg A. Julander, “Democracy Without Political Parties”. George Washington University Law Review. Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hal. 240. Bandingkan dengan Talmon yang menyatakan sebagai berikut: “Democracy, in brief, is “that public order in which equality and good morals place all the people in the same condition to exercise legislative power usefully”. Lihat J.L. Talmon, The Origin Of Totalitarian Democracy, (New York: Frederick A. Praeger, Publisher, 1960), hal. 202. 145 Destutt de Tracy, A Commentary and Review of Montesquieu’s Spirit of Laws, (Philadelphia: William Duane, 1811), hal. 19, dikutip dalam Adriene Koch, The Philosophy of Thomas Jefferson (Chicago, 1964), hal. 152-153, dikutip oleh Dahl, Op. Cit., hal. 145. 146 Sabine, Op. Cit., hal. 695, 147 Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hal. 290 – 291. 148 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit., hal. 114. 149 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Edisi Revisi, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 121. 144 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 48 yudikatif. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.150 Demokrasi perwakilan sebagai sistem demokrasi modern menurut Kranenburg terdiri dari tiga jenis, yaitu; (1) pemerintahan rakyat yang representatif dengan sistem parlementer; (2) pemerintahan rakyat yang representatif dengan pemisahan kekuasaan; (3) pemerintahan rakyat yang representatif yang dikontrol oleh rakyat secara langsung (referendum dan inisiatif). Sistem pertama dikenal dengan sistem pemerintahan parlementer yang telah tumbuh dan berkembang di Inggris dan digunakan pula di beberapa negara lain. Sistem demokrasi kedua dikenal dengan sistem pemerintahan presidensiil dan dipraktikkan terutama di Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh pemikiran Montesquieu. Demokrasi dengan sistem referendum dapat dilaksanakan melalui sistem parlementer maupun presidensiil, namun tetap merupakan bagian dari sistem demokrasi perwakilan. Referendum dapat dilakukan baik dalam bentuk referendum obligator maupun referendum fakultatif. Contoh dari sistem referendum adalah negara Swiss.151 Salah satu permasalahan utama dalam sistem demokrasi modern adalah bagaimana menjembatani rakyat dengan wakil-wakilnya baik di parlemen maupun yang duduk sebagai pejabat publik. Bagaimanakah mewujudkan “pemerintahan oleh rakyat” dalam sistem perwakilan? Bagaimanakah partisipasi rakyat dalam pemerintahan dapat terwujud?152 Suatu pemerintahan perwakilan membutuhkan mekanisme dan institusi bagi ekspresi kehendak rakyat yang diwakili. Jika mekanisme dan institusi tersebut tidak ada, maka prinsip perwakilan dapat berubah menjadi manipulasi 150 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Op. Cit. Referendum obligator adalah mekanisme pembuatan undang-undang yang membutuhkan persetujuan rakyat. Setelah suatu undang-undang dibuat, harus dimintakan persetujuan rakyat dengan suara terbanyak agar dapat diberlakukan. Hal ini biasanya terkait dengan masalah-masalah konstitusional (Schewizerische Eidgenossenschaft). Sedangkan referendum fakultatif adalah mekanis jika suatu undang-undang sudah diberlakukan tetapi kemudian ada keberatan atau pendapat lain dari sejumlah rakyat. Jadi undang-undang dapat ditetapkan terlebih dahulu dan berlaku. Referendum ini biasanya terkait dengan peraturan-peraturan biasa yang tidak menyangkut materi konstitusi. Kranenburg dan Sabaroedin, Op. Cit., hal. 100-114. 152 Tanpa adanya jaminan mekanisme partisipasi rakyat dalam negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, konsep kedaulatan dapat dikebiri dan terjebak dalam pengertian kedaulatan rakyat yang totaliter seperti Soekarno dan Soepomo yang pernah mengidealkan konsep negara integralistik. Meskipun masalah konsep negara terselesaikan dan tidak mengacu pada usulan Soekarno dan Soepomo, namun pernah dimunculkan kembali pada masa Orde Baru yang melegitimasi kecenderungan otoritarian negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusi-onalisme Indonesia, Op. Cit., hal. 115-116. 151 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 49 dan paksaan (coercion) oleh pemegang kekuasaan.153 Pildes menyatakan sebagai berikut.154 All theories of representative democracy require, as minimum, that those who exercise power be regularly accountable through elections to those the represent; accountability is a necessary, even if not sufficient condition of democracy. Locke menyatakan bahwa peran rakyat diwujudkan dengan cara membentuk badan pembuat undang-undang yang dipilih oleh rakyat.155 Menurut Dahl, lembaga politik untuk menjamin terlaksananya demokrasi di antaranya adalah para pejabat yang dipilih dan adanya pemilihan umum yang bebas, adil, dan merata.156 Sedangkan Suseno menyatakan, selain melalui pembuatan undangundang oleh wakil-wakilnya, rakyat dapat mengontrol pemerintahan melalui keterbukaan pemerintahan.157 2.1.2. Partai Politik dalam Demokrasi Perwakilan Dalam demokrasi perwakilan, rakyat memerintah melalui pemilihan umum, baik untuk memilih pembuat undang-undang maupun untuk memilih pejabat publik lainnya. Selain itu, juga dilakukan dengan cara mengajukan tuntutan-tuntutan serta kontrol baik dalam pembuatan maupun dalam pelaksanaan undang-undang. Permasalahan berikutnya adalah siapakah yang menentukan calon-calon wakil rakyat dan calon-calon pejabat publik lain yang akan dipilih rakyat? Dari sisi pembuatan undang-undang, bagaimana dapat ditangkap apa yang menjadi tuntutan rakyat jika tidak dikemukakan dengan baik dan sistematis? Bagaimana dapat menentukan apakah suatu tuntutan adalah tuntutan publik dan bukan hanya tuntutan individu? Bagaimana pula mengompromikan berbagai tuntutan yang mungkin saja saling bertentangan? 153 Ricardo and Schwarzmantel (eds.), Op. Cit., hal. 157. Kaitan antara rakyat dan negara dalam sistem demokrasi disebut sebagai “political linkage” yang jika dihubungkan dengan peran partai politik meliputi masalah-masalah party identification, the social and ideological representativeness of party members, party position and voter orientations, party identification and interest intermediation, dan organisational linkages in the form of unions and new social movements. Alistair Clark, “Parties And Political Linkage: Towards a Comprehensive Framework for Analysis”, Paper for PSA Annual Conference, University of Leicester, 15th – 17th April 2003, hal. 3-4. 154 Pildes, Op. Cit., hal 14. 155 Deliar Noer, Op. Cit. 156 Dahl, Op. Cit., hal. 118. 157 Franz Magnis-Suseno, Op. Cit. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 50 Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat diperlukan adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan dengan adanya pengelompokkan-pengelompokkan besar berdasarkan tujuantujuan kenegaraan. Tugas partai politik adalah untuk menata aspirasi rakyat yang sering kali samar-samar dan berbeda-beda, dijadikan “pendapat umum” yang lebih mendasar sehingga dapat menjadi bahan pembuatan keputusan yang teratur.158 Dalam negara modern, jumlah pemilihnya sangat besar dan kepentingannya sangat bervariasi sehingga perlu dikelola untuk menjadi suatu keputusan. Partai politiklah yang memilih prinsip-prinsip aspirasi para pemilih yang akan diterjemahkan dalam proses legislasi.159 Dengan demikian partai politik berperan penting dalam proses seleksi baik pejabat maupun substansi kebijakan160. Berdasarkan aspirasi pemilih, partai politik membuat program yang akan dilaksanakan jika memerintah dan akan menjadi instrumen kontrol jika tidak menguasai pemerintahan. Program tersebut bermanfaat untuk menajamkan kebijakan publik yang akan dibuat sehingga tidak ada kesenjangan antara aspirasi rakyat dan kebijakan pemerintah karena senantiasa didiskusikan dalam keseharian antara rakyat dan pemerintah.161 Program tersebut sekaligus menjadi pertimbangan rakyat untuk memilih partai politik dalam pemilihan umum.162 Pilihan itu merupakan bentuk persetujuan rakyat terhadap program partai politik. Oleh karena itu pemerintahan demokrasi modern juga disebut dengan government by consent.163 Jika suatu partai memenangkan pemilu, maka partai inilah yang 158 Kranenburg dan Sabaroedin, Op. Cit., hal. 115. Lihat pula Julander, Op. Cit., hal. 8. Harold J. Laski, An Introduction to Politics, New Edition, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1960), hal. 65. Disebutkan juga bahwa partai politik merupakan moderator antara kepentingan pemilih dan institusi pembuat keputusan. Partai adalah chanel interaksi antara civil society dengan state. Lihat, Hans-Jürgen Puhle, Still the Age of Catch-allism? Volkpartein and Parteinstaat in Crisis and Re-equilibration, dalam Richard Gunther, Jose Ramon Montero, and Juan J. Linz (eds), Political Parties, Old Concepts and New Challenges, (New York; Oxford University Press, 2002), hal. 58. Lihat pula, Julander, Op Cit., 1 dan 9. 160 MacIver, Op. Cit., hal. 194. 161 Woll, Op. Cit., hal. 100. 162 Laski, A Grammar of Politics, Op. Cit., hal. 312. Bandingkan dengan Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit.., hal. 266. 163 Field, Op. Cit., hal. 291. 159 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 51 membentuk pemerintahan, atau merupakan koalisi dari beberapa partai.164 Sedangkan partai lain yang tidak berkuasa, menjadi oposisi.165 Oleh karena itu, program yang dijalankan oleh suatu pemerintahan adalah pelaksanaan kehendak mayoritas rakyat. Suatu mayoritas adalah hasil integrasi individu-individu. Proses Integrasi itu dijalankan oleh partai politik. Jika tidak diintegrasikan, individu-individu tersebut hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap jalannya pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian, agar pengaruhnya besar, individu-individu tersebut berasosiasi dengan individu-individu lain. Muncullah partai politik yang merupakan kendaraan pembentukan kehendak publik.166 Partai politik memiliki peran untuk mengaitkan (linkage) antara rakyat dan pemerintahan. Paling tidak terdapat enam model keterkaitan yang diperankan oleh partai politik. Pertama adalah participatory linkage, yaitu ketika partai berperan sebagai agen di mana warga dapat berpartisipasi dalam politik. Kedua, electoral linkage, di mana pemimpin partai mengontrol berbagai elemen dalam proses pemilihan. Ketiga, responsive linkage, yaitu ketika partai bertindak sebagai agen untuk meyakinkan bahwa pejabat pemerintah bertindak resposif terhadap pemilih. Keempat, clientelistic linkage, pada saat partai bertindak sebagai sarana memperoleh suara. Kelima, directive linkage, yaitu pada saat partai berkuasa mengontrol tindakan warga. Dan keenam adalah organisational linkage, yaitu pada saat terjadi hubungan antara elit partai dan elit organisasi dapat memobilisasi atau “menggembosi” dukungan suatu partai politik.167 Dengan demikian, partai politik merupakan sesuatu yang esensial bagi realisasi pemerintahan demokrasi. Pendapat ini didasari oleh asumsi bahwa partai politik dapat memberikan batasan yang diperlukan, koherensi, dan keutuhan proses formulasi dan implementasi kebijakan berdasarkan pilihan mayoritas dengan cara yang demokratis. Tanpa keberadaan partai politik proses seleksi calon anggota legislatif menjadi tidak teratur dan tidak terencana. Seseorang kandidat dapat saja terpilih tanpa dukungan partai politik, namun tidak akan memiliki 164 Menurut MacIver, kehendah rakyat sebagai “ultimate souvereign” adalah kehendak dari elemen pemenang dalam pertarungan politik. MacIver, Op. Cit., hal. 200. 165 Barendt, Op. Cit., hal. 149. Tidak seperti kelompok penekan lainnya, partai aktif baik dalam masyarakat maupun pemerintahan. Clark, Op. Cit., hal. 9. 166 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 294. 167 Clark, Op. Cit., hal. 10. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 52 kekuatan untuk melaksanakan janjinya pada pemilih saat berhadapan dengan jejaring pemerintahan yang kompleks.168 Perluasan kesadaran politik yang menjadi dasar dan tujuan demokrasi dapat berujung pada instabilitas politik berupa gerakan massal (mob) seperti revolusi jika aspirasi dan kekuatan politik tidak terorganisasi dengan baik. Untuk mencegahnya, diperlukan lembaga politik modern, yaitu partai politik dan pemilihan umum demi modernisasi dan pembangunan politik secara damai. Dengan keberadaan partai politik dan pemilihan berkala, demokrasi menjadi bekerja sebagai suatu mekanisme, yaitu suatu institusi untuk membuat keputusan politik melalui perjuangan kompetitif untuk mendapat pilihan rakyat.169 Pemilihan umum tanpa keberadaan partai politik yang bebas dari negara, hanya akan menjadi alat legitimasi kekuasaan pihak-pihak yang sedang berkuasa seperti terjadi pada negara-negara tradisional.170 Maka dua prinsip utama sistem kepartaian yang harus dikembangkan adalah bahwa partai politik harus bebas dari kontrol negara (staatsfreiheit) dan memiliki kesempatan yang sama (chancengleickheit).171 2.2. PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK 2.2.1. Tahapan Perkembangan Partai Politik Perkembangan partai politik di suatu negara melalui beberapa tahap, yaitu (1) faksionalisasi atau pengelompokkan; (2) polarisasi atau pemisahan; (3) ekspansi atau perluasan; dan (4) institusionalisasi atau pelembagaan. Tahapantahapan tersebut dikemukakan oleh Huntington berdasarkan perkembangan partai politik di Amerika Serikat.172 2.2.1.1. Faksionalisasi Faksionalisasi adalah pengelompokkan yang biasanya terjadi di antara anggota lembaga perwakilan, namun belum terbentuk sebagai organisasi resmi. Pada fase ini partisipasi maupun kelembagaan politik masih rendah. Individu168 Woll, Op. Cit., hal. 102. Lihat pula, Julander, Op. Cit., hal. 9 Ricardo and Schwarzmantel (eds.), Op Cit., hal. 6. 170 Huntington, Op Cit., hal. 477 dan 483. 171 Barendt, Op Cit., hal. 155. Kesen juga menyatakan “It is essential for democracy only that the formation of new parties should not be excluded, and that no party should be given a priveleged position or a monopoly”.Lihat, Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 295. 172 Huntington, Op. Cit., hal. 489. 169 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 53 individu dan kelompok-kelompok politik masih memiliki perilaku politik tradisional yang belum terorganisasi secara modern. Kehidupan politik hanya melibatkan sedikit orang yang bersaing satu sama lain dalam kelompok yang tidak terstruktur sehingga daya tahannya kecil dan merupakan wahana penonjolan pribadi-pribadi tertentu. Semua aliansi atau kaukus yang terbentuk dapat saja disebut partai, tetapi tidak memiliki dukungan sosial dan organisasional yang berkesinambungan. Model klik-klik politik dan aliansi keluarga pernah mendominasi politik Amerika Serikat dan Eropa pada abad ke-18, serta negara-negara nasional baru. Kelompok-kelompok demikian dalam lembaga legislatif merupakan pengelompokkan pra-partai yang khas pada awal modernisasi. Pada negara-negara yang belum merdeka atau tidak menyelenggarakan pemilihan umum dan tidak memiliki lembaga perwakilan, pengelompokkan ini menjadi “persekutuan revolusioner” yang jumlahnya sangat banyak namun kecil dan rentan perpecahan.173 Tahapan faksionalisasi atau pengelompokkan anggota parlemen telah terjadi bersamaan dengan keberadaan parlemen sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi perwakilan174. Namun, organisasi partai politik sebagai lembaga formal belum dikenal hingga tahun 1830-an175. Pengelompokan anggota parlemen awalnya bersifat elitis dan aristokratik dengan tujuan untuk mempertahankan kepentingan kaum bangsawan dari tuntutan raja. Kelompok-kelompok inilah yang selanjutnya berkembang menjadi partai politik.176 2.2.1.2. Polarisasi Polarisasi adalah pemisahan-pemisahan yang terjadi dalam kelompokkelompok dan membentuk kelompok baru. Pengelompokkan anggota parlemen kemudian meluas ke luar parlemen (ekspansi) yang berujung pada proses institusionalisasi secara formal. Sejumlah kelompok sosial baru tampil ke arena politik dengan mengorganisir diri dalam suatu partai politik yang menghubungkan beberapa kelompok sosial. Untuk mencapai proses integrasi, sering harus melalui 173 Ibid., hal. 489-492. Pengelompokkan terjadi terbatas pada anggota parlemen juga disebabkan oleh masih terbatasnya hak pilih hanya pada individu tertentu saja. Lihat Field, Op. Cit., hal. 292. Bandingkan dengan Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 104. 175 Barendt, Op. Cit., hal. 150. Lihat pula, Field, Op Cit., hal. 292. 176 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160. 174 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 54 berbagai konflik dan kompetisi antar kelompok, atau sebaliknya karena menghadapi permasalahan bersama sehingga menyatukan berbagai kelompok.177 2.2.1.3. Ekspansi Setelah proses integrasi antar kelompok tercapai, tahapan selanjutnya adalah ekspansi untuk mengikat dan mempersatukan masyarakat luas melalui organisasi yang efektif. Ikatan organisasi diusahakan untuk mencapai tujuan partai politik seperti merebut kekuasaan dan menata kembali struktur kemasyarakatan. Perjuangan untuk meluaskan partisipasi dan mengorganisir partai politik dapat juga berkembang dari adanya upaya berbagai kekuatan sosial untuk memasuki struktur politik. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut awalnya berada di luar struktur politik dan selanjutnya berusaha melakukan penetrasi. Beberapa partai sosialis di Eropa dan Amerika Latin mengikuti pola ini.178 2.2.1.4. Institusionalisasi Tahap institusionalisasi tercapai pada saat telah terbentuk organisasi partai politik modern dan tersedianya proses kompetisi yang melahirkan sistem kepartaian tertentu. Pembentukan sistem kepartaian dipengaruhi oleh proses internal partai politik dan kebijakan yang dikembangkan negara.179 Institusionalisasi partai politik merupakan komponen kunci pengelolaan konflik internal dan pengembangan fungsi demokrasi. Hal itu dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu (1) regularitas kompetisi partai, (2) keluasan akar partai dalam masyarakat, (3) tingkat penerimaan masyarakat atas pemilihan umun dan partai politik untuk menentukan siapa yang akan memerintah, dan (4) tingkat pengorganisasi internal partai politik.180 Institusionalisasi partai politik berkaitan erat dengan berfungsinya lembaga-lembaga negara yang keduanya mempengaruhi dejarat pelembagaan demokrasi. Partai politik yang belum terinstitusionalisasikan hanya akan menjadi kendaraan politik bagi sekelompok elit untuk merebut kekuasaan. Dalam kondisi lembaga negara yang belum berfungsi efektif, sekelompok elit melalui partai politik akan menguasai dan mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan. 177 Huntington, Op. Cit., hal. 492-494. Ibid., hal. 495-497. 179 Ibid., hal. 497. 180 Benjamin Reilly, “Political Engineering of Parties and Party Sistem”, Paper for the 2003 Annual Meeting of American Political Science Association, August, 28-31, 2003, hal. 5. 178 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 55 Sebaliknya, jika lembaga-lembaga negara telah bekerja berdasarkan sistem checks and balances, akan dapat menjaga mekanisme kepartaian dan mengembangkan kualitas sistem kepartaian.181 Pelembagaan partai politik tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Jimly Asshiddiqie, mengutip Yves Meny dan Andrew Knapp, menyatakan bahwa tingkat pelembagaan partai politik dalam sistem demokrasi bergantung kepada 3 hal, yaitu (i) its age, (ii) the depersonalization of organization, dan (iii) organizational differentiation.182 Partai politik sebagai suatu organisasi tumbuh dan berkembang menurut tahapan usianya. Semakin bertambah usia organisasi, ide-ide dan nilai-nilai yang dianut akan semakin terlembagakan. Hal itu akan diikuti dengan proses depersonalization. Partai politik akan semakin dipahami sebagai organisasi atau institusi dan tidak dicampuradukkan dengan permasalahan pribadi yang berada di dalamnya. Menurut Jimly Asshiddiqie, proses depersonalization ini masih belum dapat dilalui oleh partai politik di Indonesia yang dapat dilihat dari sulitnya proses pergantian kepemimpinan dan sering diikuti dengan konflik internal. Perkembangan selanjutnya adalah seberapa jauh partai politik dapat berperan mengorganisasikan perbedaan dan memobilisasikan dukungan. Proses tersebut menentukan perkembangan partai politik apakah dapat menjadi partai yang besar, atau tidak dapat berkembang karena tidak mampu mengakomodasi dan memobilisasi kepentingan yang berbeda.183 Perkembangan partai politik juga dikemukakan oleh Duverger yaitu dari partis-committe (caucus party) menjadi partis de masse (mass parties). Sementara itu Neuman mengemukakan perkembangan partai politik dari parties of individual representation menjadi parties of integration, dan menjadi parties of total integration184. Keberadaan dan perkembangan partai politik modern mewakili proses evolusi dari pemerintahan oleh kelas sosial tertentu sebagai bentuk negaranegara lama menjadi pemerintahan oleh rakyat dalam demokrasi modern. Negara181 182 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op Cit., hal. 52-53. Ibid, hal. 55. Bandingkan dengan Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politic in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, Third Edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), hal. 86. 183 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 55-58. Hans Daalder, Parties: Denial, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds), Op. Cit., hal. 39. 184 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 56 negara kelas sosial (class-state) ditransformasikan menjadi negara nasional (national-state).185 2.2.2. Sejarah Perkembangan Partai Politik Keberadaan dan perkembangan organisasi partai politik didasari oleh dua kondisi, yaitu penerimaan terhadap kekuatan yang plural dalam masyarakat dan pentingnya perwakilan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aspirasi rakyat yang berbeda-beda merupakan legitimasi untuk mengorganisir diri agar semuanya dapat terwakili.186 Di Inggris sejak akhir abad 17 telah terdapat dua faksi utama yang disebut Whigs dan Tories. Whigs merupakan faksi yang menentang kekuasaan monarki, sedangkan Tories berasal dari kalangan yang gagal mempertahankan keberadaan house of stuart sebagai representasi countrygentlement.187 Terdapat pula sumber yang menyatakan bahwa Tories pada awalnya adalah penjahat (bandits) Irlandia sedangkan Whigs awalnya adalah kelompok Skotlandia (Scottish) yang tidak puas dan melakukan perlawanan. Namun nama Tories dan Whigs dalam perpolitikan Inggris berkembang sehingga tidak lagi mewakili arti awal dari istilah tersebut.188 Tories dan Whigs juga pernah dipakai untuk membedakan dua kelompok yang memiliki orientasi berbeda dalam hal kebijakan terhadap wilayah-wilayah koloni Inggris. Kelompok yang mendukung campur tangan yang besar dalam politik di koloni-koloni Inggris menyebut diri sebagai the Whigs. Sedangkan yang mempertahankan otoritas dan pretensi kerajaan serta hak-hak Gubernur Jenderal, terpaksa menerima sebutan Tories.189 Dalam perkembangannya, anggota Tories biasanya adalah kaum pemilik tanah (bangsawan pemilik tanah), sedangkan pedagang dan pengusaha kaya (kaum kapitalis) biasanya berafiliasi dengan politisi Whigs. Pada awal abad 19 kedua faksi ini menjadi partai politik massa yang diorganisasikan di semua level struktur sosial. Tories menjadi Partai Konservatif dan Whigs menjadi Partai 185 MacIver, Op. Cit., hal. 400-401. Studi tentang perkembangan partai politik dan model-modelnya dibahas secara menyeluruh dari aspek politik dalam Maurice Duverger, Political Parties (London: Metheun & Co., 1964). Bandingkan dengan Hans Daalder, Parties: Denial, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds), Op. Cit., hal. 40. 187 Field, Op. Cit., hal. 307; Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 104-105; Friedrich, Op. Cit., hal. 431. 188 Holcombe, Op. Cit., hal. 16. 189 Ibid. 186 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 57 Liberal. Kedua partai ini menjadi partai utama hingga pasca perang dunia I.190 Sedangkan Partai Buruh pada awalnya merupakan suatu faksi dalam Partai Liberal yang memperjuangkan kepentingan kelas buruh. Partai Buruh menjadi partai utama (major party) pada saat mendekati perang dunia I. Partai ini menjadikan sosialisme sebagai prinsip umum organisasinya.191 Di Amerika Serikat, dapat dikatakan bahwa partai politik sama sekali tidak terpikirkan pada saat pembuatan konstitusi. Bahkan, para pendiri bangsa itu memandang partai politik dengan penuh kecurigaan. Salah satu prinsip argumentasi James Madison menerima konstitusi adalah bahwa sistem federalisme dan pemisahan kekuasaan akan mencegah setiap faksi dapat mengontrol aparat dan pemerintahan nasional. Faksi dalam hal ini adalah partai politik dan kelompok kepentingan.192 Namun demikian, keberadaan faksi-faksi itu sendiri telah ada pada saat pembentukan konstitusi193 dan diakui sebagai hal yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi kebebasan yang esensial bagi kehidupan politik.194 Dua faksi pada saat itu adalah Federalist yang menjadi partai konservatif merkantilis dan faksi Democratic-Republicans of Jafferson. Walaupun George Washington menentang keberadaan faksi-faksi, namun dia sendiri merupakan tokoh faksi federalist195. Faksi federalist mengontrol pemerintahan pada dua massa kepresidenan pertama. Pada awalnya, faksi Democratic-Republicans of Jafferson berdiri demi kepentingan para petani kecil, namun selanjutnya 190 Field, Op. Cit., hal. 307; Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 104-105; Friedrich, Op. Cit., hal. 431. Field, Op. Cit. 192 MacIver, Op. Cit., hal. 397. Madison mendefinisikan faksi sebagai “a number of citizens, whether amounting to majority or minority of the whole, who are united and actuated by some common impulse of passion, or of interest, adverse to the rights of other citizens, or to the permanent and aggregate interest of the community”. Woll, Op. Cit., hal. 97. 193 Revolusi Amerika menghasilkan konflik yang tajam antara dua kelompok yang berasal dari dua faksi di Inggris, yaitu the Whigs dan the Tories, yang telah terbentuk sebelum terjadi revolusi tersebut. Lihat Holcombe, Op. Cit., hal. 16 dan 69. 194 Madison mengibaratkan kebebasan dan faksi sama dengan udara dan api dengan ungkapan sebagai berikut “Liberty is to faction what air is to fire, an aliment, without which it instantly expires. But it could not be less folly to abolish liberty, which is essential to political life because it nourishes faction, than it would be to wish the annihilation of air, which is essential to animal life, because it imparts to fire its destructive agency.” Ibid., hal. 98-99. 195 Friedrich, Op. Cit., hal. 430. Penolakan George Washington adalah karena menginginkan konsensus dan dukungan penuh terhadap konstitusi untuk mewujudkan persatuan yang sempurna dari sebanyak mungkin negara bagian. Federalist semula adalah kelompok yang mengkampanyekan ratifikasi konstitusi, sedangkan Republikan adalah kelompok yang berusaha menjaga hak-hak negara bagian. Lihat Holcombe, Op. Cit. Bandingkan dengan T. Harry Williams, Richard N. Current, and Frank Freidel, A History of the United States to 1876, (New York; Alfred A. Knopf, 1963), hal. 192-194; dan Julander, Op. Cit., hal. 1. 191 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 58 didominasi oleh para pengusaha perkebunan pemilik buruh di bagian selatan saat menjelang perang sipil.196 Federalist dalam perkembangannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan praktik demokrasi dan hanya memiliki dukungan terbatas sehingga menghilang setelah tahun 1800. Di pihak lain, dalam tubuh DemocraticRepublicans of Jafferson, setelah berkembang selama dua dekade, muncul pengelompokkan internal. Akhirnya, pada tahun 1854 terbentuk Partai Republik yang mewakili kepentingan kaum merkantilis dan mantan faksi Whigs di bagian utara.197 Dalam perkembangannya, partai politik di Amerika Serikat telah menjalankan peran besar dalam agregasi kepentingan politik di semua wilayah.198 Partai-partai tersebut telah menyediakan kendaraan bagi pilihan publik dan perubahan politik secara damai199. Rakyat Amerika telah belajar menggunakan partai politik sebagai pengganti revolusi untuk melakukan perubahan dan mengontrol pemerintah. Sistem yang dibangun memungkinkan partai politik yang sedang berkuasa keluar dari pemerintahan dan partai politik yang berada di luar kekuasaan (the outs) mengambil giliran menjadi partai politik yang berkuasa (the ins).200 Di Belanda, pada awalnya anggota States General lebih merupakan kongres para duta negara bagian (a congress of ambassadors). Mereka merupakan wakil dari provinsi-provinsi yang berdaulat mengingat bentuk negara pada saat itu adalah semacam federasi (Republiek der Verenigde Nederlanden). Berdasarkan Konstitusi 1814, bentuk kerajaan berubah menjadi negara kesatuan dan anggota 196 Field, Op. Cit., hal. 308. Ibid. Pertumbuhan organisasi partai politik di Amerika berjalan terutama terkait dengan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang semula dilakukan oleh anggota kongres setelah melalui pemilihan pada electoral college. Pertentangan yang terjadi sejak awal adalah tarik-menarik antara kaukus anggota Kongres dan tokoh-tokoh partai. Kontrol efektif anggota Kongres dalam proses nominasi presiden baru dapat dipatahkan pada tahun 1832 dan partai politik semakin berpengaruh secara nasional. Pada tahun tersebut kaukus anggota kongres digantikan oleh delegasi yang dipilih oleh anggota partai dalam konvensi Partai Demokrat yang menominasikan Andrew Jackson di Baltimore. Hal ini menandai era baru partai politik dan demokrasi di Amerika dengan sebutan “The Liberal-Democractic Model of Party Government” (Jacsonian Democracy). Namun model ini juga beberapa kali berubah yang dipengaruhi oleh kekuasaan tokoh-tokoh tertentu, misalnya dalam nominasi Adlai Stevenson dan Dwight Eisenhower. Lihat Holcombe, Op. Cit., hal. 97-107; Woll, Op. Cit., hal. 99 dan 107-108; serta Williams, Current, and Freidel, Op. Cit., hal. 349. 198 Kontroversi tentang apakah partai politik di Amerika memiliki peranan signifikan atau tidak dibahas dalam artikel Barbara Sinclair. Lihat Barbara Sinclair, Do Parties Matter?, Center for The Study of Democracy(Irvine: University of California, 1998). 199 Ricardo and Schwarzmantel, Op. Cit. 200 Holcombe, Op. Cit., hal. 66. 197 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 59 States General mewakili seluruh rakyat Belanda. Partai politik pun mulai tumbuh dan semakin berkembang dengan penerapan prinsip mandat terbuka (vrije mandaat) dan sistem perwakilan proporsional. Partai nasional pertama yang berdiri adalah the Anti-Revolutionary Party (ARP) pada tahun 1879 sebagai partai protestan yang didirikan oleh A. Kuyper. Saat ini, partai utama adalah Partai Kristen Demokrat (Christen-Democratisch Appel: CDA), Partai Buruh (Partij van de Arbeid: PvdA), dan Partai Liberal (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie: VVD).201 Jika partai politik di Inggris dan Amerika terbentuk bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem demokrasi, maka di negara-negara jajahan partai politik dibentuk pada awalnya sebagai sarana pergerakan nasional. Partaipartai tersebut dapat duduk dalam dewan perwakilan ataupun menolaknya seperti yang terjadi di India dan Indonesia sebelum kemerdekaan.202 Partai-partai politik juga memiliki peran yang signifikan dalam proses demokratisasi seperti terjadi di Amerika Latin dan Asia203. Namun demikian, partai politik juga mendapatkan berbagai tantangan yang mengurangi perannya dalam kehidupan politik. Kemunduran peran partai politik dipengaruhi oleh lima faktor yaitu, (1) perkembangan teknologi, terutama media massa, (2) proliferasi kelompok-kelompok kepentingan, (3) semakin pentingnya peran pendanaan dalam politik, (4) teknik pemilihan baru yang lebih menekankan pada personalitas calon dari pada identitas kepartaian, dan (5) adanya pemilihan pendahuluan yang bersifat terbuka terutama berupa Presidential Primaries. Berbagai faktor tersebut mempengaruhi organisasi dan aktivitas partai politik sebagai berikut; (1) mengurangi identifikasi partai oleh pemilih dan munculnya ticket-splitting, (2) kegagalan partai menjalankan fungsi tradisionalnya, (3) melemahnya organisasi partai politik, dan (4) melemahnya kohesi politik.204 201 Constantijn A.J.M. Kortmann and Paul P.T. Bovend’Eert, Dutch Constitutional Law, (The Hague-LondonBoston; Kluwer Law International, 2000), hal. 68-70. 202 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160. Partai pergerakan kemerdekaan di India misalnya adalah Partai Kongres. Sedangkan di Indonesia, banyak partai telah didirikan sebelum kemerdekaan sebagai alat pergerakan nasional mencapai kemerdekaan seperti SI, PNI, PSI, Partindo, dan lain-lain. 203 Hans-Jürgen Puhle, Still the Age of Catch-allism? Volkpartein and Parteinstaat in Crisis and Reequilibration, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 58. 204 Julander, Op. Cit., hal. 6-8. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 60 2.2.3. Perkembangan Model-Model Partai Politik Partai politik berkembang sejalan dengan perkembangan demokrasi dan pemerintahan. Menurut Puhle, faktor-faktor penting yang mempengaruhi evolusi partai politik adalah (1) the electoral dimension; (2) the interests of the party constituency; (3) party organization; (4) the party sistem; (5) policy formulation (program dan ideologi); dan (6) policy implementation.205 Partai politik berkembang, baik dari sisi keanggotaan, peraturan internal, maupun ideologi atau programnya. Perkembangan partai politik dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Berdasarkan jumlah dan fungsi anggotanya, dapat dibedakan antara partai massa dan partai kader. Partai massa adalah partai yang mengutamakan jumlah anggota dengan ikatan yang longgar. Sedangkan Partai kader adalah partai yang menekankan loyalitas dan disiplin anggota yang tidak perlu berjumlah banyak. Berdasarkan orientasinya dapat dibedakan antara partai lindungan (patronage party) dan partai asas atau ideologi (weltanschauungs partie atau programmatic party). Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor, disiplin yang lemah, dan tujuan utamanya adalah memenangkan pemilihan umum sehingga aktivitas partai cenderung hanya dilakukan menjelang pemilihan umum. Sedangkan partai asas atau partai ideologi biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan dan memiliki disiplin partai yang kuat. Anggota dan pimpinan diseleksi menurut ideologi atau asas yang dianut partai politik tersebut.206 Partai kader biasanya juga merupakan partai asas atau ideologi. Jenis partai ini sudah jarang dijumpai di negara-negara demokrasi modern. Karakteristik partai kader menurut Wolinetz adalah:207 205 Hans-Jürgen Puhle, Still the Age of Catch-allism? Volkpartein and Parteinstaat in Crisis and Reequilibration, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 61. 206 Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hal. 268. Miriam Budiardjo mengemukakan contoh partai lindungan adalah Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat. Sedangkan contoh partai asas atau partai ideologi adalah partai-partai sosialis, komunis, fasis, dan kristen demokrat. Namun contoh ini menurut penulis tidak lagi bersifat kaku karena partai lindungan seperti Partai Demokrat dan Partai Republik juga memiliki asas tertentu seperti dalam hal ekonomi di mana Partai Republik lebih menekankan pada mekanisme pasar sedangkan Demokrat masih mempercayai intervensi negara. Demikian pula halnya dengan partai asas seperti partai-partai sosialis demokrat di Eropa yang kebijakannya sudah cukup sulit dibedakan dengan partaipartai liberal, demi memperoleh dukungan yang luas. Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 166 – 167. 207 Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracy, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 140 - 142. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 61 1. Professional leadership groups with high degree of accomodation the lower strata in the party; 2. a lower member; 3. a strong and broad-ranging orientation toward voters; 4. maintenance the structure to guarantee a certain degree of internal democracy; 5. the reliance for financial resources on combination of both public subsidies and the fees and donations of member. Partai-partai politik memiliki kecenderungan bergerak dari model partai kader menuju ke partai massa. Perkembangan itu melahirkan bentuk-bentuk organisasi yang dapat dibedakan menjadi partai elit (the elite party), partai massa (the mass party), dan partai catch-all (the catch-all party). Dalam partai elit kekuatan lebih banyak dipegang oleh anggota parlemen, sedangkan pengurus pusat partai politik lebih lemah.208 Partai massa muncul bersamaan dengan terjadinya ekspansi peran pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state). Selain itu juga dipengaruhi oleh perluasan hak pilih, dan keharusan komunikasi antar faksi-faksi dalam partai politik. Sedangkan partai catch-all adalah partai yang berusaha mendapatkan suara dari seluruh lapisan masyarakat dengan cara menyesuaikan diri terhadap perubahan struktur masyarakat.209 Tipe partai ini memiliki kelebihan memaksimalkan sifat inklusif guna memenangi kompetisi untuk memegang pemerintahan210. Selain itu, berdasarkan kemungkinan memenangkan pemilihan, partai politik dapat dibedakan menjadi major party dan minor party. Major party adalah partai yang secara rasional memiliki prospek untuk memenangi pemilihan umum. Partai yang menjadi major party biasanya memiliki karakter yang menggabungkan antara sisi realistis dan idealistik, antara program dan dukungan massa.211 Sedangkan minor party adalah partai politik yang tidak memiliki potensi untuk memperoleh suara signifikan. Partai politik yang banyak mendapat perhatian adalah major party. Klasifikasi ini dapat digabungkan dengan klasifikasi 208 Richard S. Katz and Peter Mair, The Ascedancy of the Party in Public Office: Party Organizational Change in Twentieth-Century Democracy, dalam Ibid., hal. 114 - 122. 209 Ibid. 210 David Easton, A System Analysis of Political Life, (Chicago: John Wiley & Sons, 1967), hal. 257. 211 Holcombe, Op. Cit., hal. 67. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 62 berdasarkan ada tidaknya disiplin dalam partai sehingga menghasilkan major party with dicipline dan major party without dicipline.212 Partai Liberal213, Partai Konservatif, dan Partai Buruh di Inggris adalah tipe major party with dicipline. Tipe ini juga ada di negara-negara persemakmuran Inggris. Politisi-politisi di Inggris menunjukkan kesetiaannya dengan bertindak sebagai suatu tim untuk semua masalah penting sesuai kebijakan partai. Hampir semua suara dalam parlemen mengikuti garis partai yang tegas. Ukuran utamanya adalah pada saat debat di parlemen214. Kadang-kadang memang terdapat anggota parlemen mayoritas yang abstain dalam suatu pemungutan suara. Namun hal itu hanya dilakukan jika tidak mengakibatkan kekalahan partai di parlemen. Kepemimpinan partai politik dapat menegakkan disiplin karena memiliki kekuasaan menghalangi nominasi ulang seorang anggota yang tidak patuh. Memenangkan dan menjaga kursi, serta membantu pemimpin partai dengan tetap menjaga kedekatan dengan aspirasi konstituen adalah tugas sewajarnya seorang anggota parlemen Inggris. 215 Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat adalah tipe major party without dicipline. Partai-partai tersebut didominasi oleh faksi-faksi yang tidak harus memiliki hubungan satu sama lain dan juga tidak harus memiliki kebijakan yang sama. Secara nasional, suatu partai politik dikelola sebagai federasi yang longgar dari berbagai macam organisasi lokal. Di samping itu, nominasi calon pejabat yang akan dipilih dilakukan melalui tahap primary yang memungkinkan setiap orang yang memiliki kesempatan dan kekuatan untuk mencalonkan diri. Bahkan di New York dan California seseorang dapat menominasikan diri dalam pemilihan primary lebih dari satu partai. Partai politik yang memiliki disiplin sulit dibentuk karena nominasi dalam suatu partai politik 212 Field, Op. Cit., hal. 293 – 307. Klasifikasi major party dan minor party inilah yang menjadi dasar klasifikasi sistem kepartaian, yaitu berdasarkan jumlah partai yang memiliki kekuatan untuk memenangkan pemilihan dan membentuk pemerintahan. 213 Menjadi minor party setelah abad ke-19. Ibid. 214 Parlemen dalam hal ini khususnya House of Common dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan House of Lord diangkat oleh Ratu, walaupun sedikit-banyak juga terpengaruh oleh garis kepartaian. 215 Seseorang tetap dapat menjadi calon anggota parlemen dengan mengumpulkan sejumlah tanda tangan dan menyetor sejumlah uang jaminan tanpa ada dukungan partai politik karena sistem pemilihan umum di Inggris pencalonannya bersifat individual. Namun demikian, sangat jarang calon independen dapat terpiih menjadi anggota House of Common. Bahkan pada pemilihan tahun 1983, 1987, dan 1992 tidak ada calon independen yang terpilih menjadi anggota House of Common. Lihat, Field, Op. Cit.. Bandingkan dengan Colin Turpin, British Government and the Constitution; Text, Cases and Materials, Third Edition, (London, Dublin, Edinburgh; Butterworths, 1995), hal. 458. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 63 ditentukan secara resmi dan formal oleh proses lokal. Hal itu mengakibatkan pemimpin nasional partai politik sulit mempengaruhi proses nominasi. Selain itu, karena terpilihnya kembali seorang anggota kongres adalah bergantung pada dukungan lokal, maka pemimpin nasional partai politik relatif tidak memiliki kekuasaan mengontrol anggota kongres.216 Perkembangan partai politik juga menunjukkan adanya partai yang tidak semata-mata bertujuan memenangi pemilihan umum. Terdapat pula partai politik yang tujuan utamanya adalah memperjuangkan kebijakan tertentu atau mendudukan kadernya dalam jabatan tertentu. Klasifikasi tersebut dikemukakan oleh Wolinetz, yaitu meliputi (1) policy-seeking party; (2) vote-seeking party; dan (3) office-seeking party.217 2.3. SISTEM KEPARTAIAN Pembahasan sistem kepartaian di suatu negara dalam berbagai literatur didasarkan pada jumlah partai politik yang memiliki kekuatan sebagai major party. Berdasarkan jumlah major party dikenal adanya sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem multi partai218. 2.3.1. Sistem Satu Partai Sistem satu partai adalah sistem politik dalam suatu negara yang hanya dikuasi oleh satu partai dominan. Dalam sistem ini mungkin terdapat partai-partai lain, namun kekuatannya tidak signifikan dan hanya ada satu partai yang menguasai pemerintahan. Namun sistem satu partai juga dapat terjadi dengan dibentuknya satu partai negara yang disertai larangan pembentukan partai politik lain. Sistem ini pada praktiknya mendekati sistem tanpa partai (non-party system).219 216 Ibid., hal. 301-307. Woll menyatakan “Whether or not congressmen support the president or the national congressional party organization will finally depend not on party label, but rather on the independent judgment of individual legislator regarding whether or not such support will benefit his or her reelection.” Hal ini juga dipengaruhi oleh perilaku pemilih yang kurang memperhatikan label partai, tetapi lebih kepada seberapa baik seorang kandidat mewakili kepentingannya. Bandingkan dengan Woll, Op. Cit., hal. 106. 217 Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracy, dalam Gunther, Montero, and Linz, Op. Cit., hal. 149 – 153. 218 Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hal. 268-269; Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 167-170; Field, Op. Cit., hal. 289; Huntington, Op. Cit., hal. 497-498. 219 Field, Op. Cit. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 64 Partai politik yang dominan dalam sistem satu partai atau partai politik tunggal di suatu negara disebut dengan parteinstaat, sedangkan rezimnya disebut dengan partitocrazia. Partai politik tersebut mendominasi negara dan “mengolonisasi” wilayah-wilayah penting negara dan masyarakat sehingga memiliki kecenderungan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.220 Sistem satu partai merupakan salah satu ciri negara otokrasi (autocracy).221 Model partai tunggal terdapat di beberapa negara, seperti di negara-negara Afrika (Ghana di masa Nkrumah, Mali, Pantai Gading), negara-negara Eropa Timur sebelum keruntuhan Komunisme Soviet, dan di Cina. Suasana kepartaian non-kompetitif karena tidak dibenarkan melawan kekuasaan partai negara. Kecenderungan untuk memilih sistem satu partai biasanya pada negara yang dihadapkan pada masalah integrasi sosial.222 2.3.2. Sistem Dua Partai Sistem dua partai adalah sistem politik suatu negara yang memiliki dua partai utama (major party) dengan kemungkinan adanya partai politik lain namun tidak signifikan223. Hanya terdapat dua partai politik yang kekuatannya mungkin menguasai parlemen atau membentuk pemerintahan. Terbentuknya dua partai politik utama terkait dengan sistem dan latar belakang sosial negara tertentu. Ide sistem dua partai di Inggris misalnya, terbangun dari praktik yang mengidealkan sistem pemilihan single member district yang dipercaya dapat menjaga hubungan antara elit dan pendukungnya.224 220 Hans-Jürgen Puhle, Still the Age of Catch-allism? Volkpartein and Parteinstaat in Crisis and Reequilibration, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 70; Friedrich, Op. Cit., hal. 435. 221 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 301-302. 222 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 167-168. Kecenderungan negara yang baru merdeka untuk memilih sistem satu partai juga terdapat di Amerika seperti diungkapkan dalam pidato perpisahan George Washington yang menyesalkan dominasi bergantian (alternate domination) dari satu faksi atas faksi lainnya. Thomas Jefferson juga mengidealkan persatuan antara Federalist dan Republican dengan menyatakan “We Are All Federalist, We Are All Republicans” serta mengungkapkan bahwa spirit konstitusi adalah “republicanism and separation of power”. Sedangkan di Perancis pada saat pembuatan konstitusi Republik Kelima terdapat semangat melawan sejumlah partai-partai kecil yang ada pada Republik Keempat. Demikian pula di Jerman, pembuatan Konstitusi Bonn juga dilandasi untuk mengurangi banyaknya partai pada masa Republik Weimar. Lihat Holcombe, Op. Cit., hal. 100; David N. Mayer, The Constitutional Thought of Thomas Jefferson, (Charlottesville and London; University Press of Virginia, 1997), hal. 119-144; John Bell, French Constitutional Law, (Oxford: Clarendon Press, 1992), hal. 19; serta BN Marbun, Op. Cit., hal. 182-183. 223 Field, Op. Cit., hal. 293; Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 168. 224 Hans Daalder, Parties: Denial, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 44. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 65 Selain karena sistem kabinet dan sistem pemilihan, terbentuknya dua partai politik utama di Inggris dipengaruhi oleh latar belakang agama yang dianut masyarakatnya, yaitu Katolik dan Protestan. Umat Katolik cenderung konservatif sedangkan Protestan cenderung liberal dan berafiliasi kepada Partai Buruh.225 Di Amerika Serikat, dua partai politik utama, Republik dan Demokrat, pada awalnya merepresentasikan dua kepentingan yang berbeda, antara wilayah selatan dan utara, antara pemilik tanah dan budak, dan antara kaum pengusaha dengan buruh pabrik.226 Sedangkan dua kekuatan utama di Jerman pada mulanya terbentuk berdasarkan perbedaan ideologi pasca kekuasaan Bismark, yaitu antara penganut sosialis dan nasionalis liberal.227 Miriam Budiardjo menyatakan bahwa sistem dua partai pernah disebut sebagai a convenient system for contended people. Sistem ini dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat yang homogen (social homogenity), terdapat konsensus yang kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial (political consensus), dan adanya keberlanjutan sejarah (history continuity). Sistem dua partai biasanya diperkuat dengan sistem pemilihan single member constituency yang menghambat pertumbuhan partai politik kecil.228 Tumbuh, berkembang, dan bekerjanya sistem dua partai membutuhkan kondisi tertentu yang dikemukakan oleh Holcombe sebagai berikut.229 First, it is desirable that the two parties divide the voters not too unequally, so that the “outs” can ordinarily hope to gain enough recruits at the next election by exploiting the mistakes or the misfortunes of the “ins” to secure a plurality at the polls. Secondly, the balance of power should lie in the hands of voters who are ready, able, and willing to shift from one side to the other, as the normal vicissitudes in the conduct of public affairs enhance or disminish the prestige of the party in power or the credit of the opposition. Thirdly, there should be general acceptance by both parties of basic principles of the constitutional system so that the great bulk of the voters will ordinarily consent to make their 225 Friedrich, Op. Cit., hal. 433. Field, Op. Cit., hal. 308. 227 Friedrich, Op. Cit., hal. 434. 228 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 168-169. Sistem dua partai dengan basis sosial dan ideologi yang luas kondusif bagi terciptanya demokrasi yang stabil. Lihat, Reilly, Op. Cit., hal. 5. Pendapat yang menyatakan bahwa sistem dua partai dapat diciptakan melalui sistem pemilihan umum single-member-constituency terutama dikemukakan oleh Maurice Duverger. Namun menurut penelitian Robert G. Moser di negara-negara postcommunist, sistem pemilihan umum tersebut tidak selamanya dapat mengendalikan jumlah partai. Faktor lain yang berperan adalah institusionalisasi sistem kepartaian dan partai politik. Lihat, Robert G. Moser, “Electoral System and the Number of Parties in Postcommunist States”, Paper for Annual Meeting Political Science Association, Washington DC. August 28-31 1997. 229 Holcombe, Op. Cit., hal. 66-67. 226 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 66 choice between the candidates of the major parties. Fourthly, the differences between the two parties respecting the controversial issues of the day should not be so great that the voters will ignore the differences between the personal qualifications of the major party candidates, or so little that the results at the polls will furnish inadequate guidance to the victors. Finally, the major parties, or at least one of them, must be capable of adopting new policies which have been bought forward by minor parties or faction and shown to posses durable capacity to attract popular support. Jika dikaitkan dengan model demokrasi, sistem dua partai merupakan tipikal dari model demokrasi mayoritas. Sistem dua partai dipandang memiliki dua kelebihan dibanding sistem multi partai. Kelebihan pertama adalah memberikan pilihan yang jelas kepada pemilih berupa dua alternatif kebijakan publik yang dibawa oleh masing-masing partai. Kelebihan kedua, sistem ini memoderasi kebijakan masing-masing partai karena pada umumnya pemilih berada di sayap tengah spektrum politik. Jika partai berada di ujung spektrum, maka akan banyak kehilangan suara pemilih. Namun, jika kedua partai sangat mirip, tidak akan menawarkan pilihan yang bermakna pada para pemilih.230 2.3.3. Sistem Multi Partai Sistem multi partai adalah suatu sistem politik di mana dalam suatu negara tidak terdapat satu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolut untuk dapat menguasai lembaga perwakilan atau membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain.231 Sistem multi partai memiliki kelebihan terutama bagi negara yang memiliki struktur heterogen dalam masyarakatnya.232 Namun sistem ini dipandang memiliki kelemahan dari sisi pemerintahan yang dihasilkan, yaitu cenderung tidak stabil karena tidak ada partai yang dominan, khususnya pada sistem pemerintahan parlementer.233 Sistem multi partai biasanya berkembang pada negara dengan masyarakat yang plural. Sistem ini berkembang di Belanda, Perancis, Swedia, dan Indonesia. 230 Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Haven and London; Yale University Press, 1999), hal. 63. Sementara itu Pildes menyatakan bahwa pada sistem dua partai, keduanya harus konsisten, koheren, dan memiliki perbedaan yang jelas posisi kebijakan umum agar label partai bermanfaat bagi pemilih untuk membuat penilaian tentang kinerja pemerintah. Pildes, Op. Cit., hal. 79. 231 MacIver, Op. Cit., hal. 417. Bandingkan dengan Field, Op. Cit., hal. 293. 232 Laski, An introduction to Politics, Op. Cit., hal. 66. 233 Hans Daalder, Parties: Denial, Dismissed, or Redundant? A Critique, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 45-48. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 67 Sistem multi partai biasanya diperkuat dengan sistem perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.234 Klasifikasi sistem kepartaian yang telah diuraikan di atas, lebih merupakan pendekatan politik dari pada pendekatan hukum. Disebut sebagai pendekatan politik karena mengukur keberadaan partai politik berdasarkan kekuatan politiknya, yaitu sebagai major party atau minor party. Suatu negara yang dikatakan menganut sistem dua partai pada kenyataanya dapat saja memiliki partai-partai politik lain selain dua partai dominan. Di Inggris, selain Partai Konservatif dan Partai Buruh, terdapat Partai Liberal Demokrat yang juga cukup kuat dan partai-partai lain yang mendapatkan kursi di House of Commons, diantaranya adalah235 1. Democratic Unionist Party (9 kursi) 2. Independent Kidderminster Hospital and Health Concern (1 kursi) 3. Scottish National Party (6 kursi) 4. Sinn Féin (5 kursi) 5. Social Democratic and Labour Party (3 kursi) 6. Ulster Unionist Party (1 kursi) 7. Respect (1 kursi) Di Amerika Serikat terdapat ratusan partai politik walaupun pada umumnya partai-partai tersebut diklasifikasikan sebagai demokrat dan republik. Masing-masing partai politik tersebut memiliki konstituen sendiri yang bersifat lokal dengan orientasi kebijakan berbeda. Partai politik nasional, seperti demokrat dan republik, merupakan konfederasi berbagai partai politik dan kelompok kepentingan, negara bagian, dan lokal. Hubungan antara partai politik negara 234 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 169-170. Selain itu juga terdapat partai-partai yang tidak memiliki wakil di parlemen yaitu Alliance for Green Socialism, Alliance for Workers Liberty, Communist Party of Britain, Communist Party of Britain (MarxistLeninis), Communist Party of Great Britain (Marxist-leninis), Communist Party of Great Britain (Provisional Central Committee), Independent Working Class Assciation, International Socialist Group, New Communist Party of Britain, Red Party, Revolutionary Communist Group, Socialist Appeal, Socialist Labour Party, Socialist Party of England and Wales, Socialist Party of Great Britain, Socialist Workers Party, Spartacist League, dan Workers Power. Encyclopedia, List of Political parties in the United Kingdom, www.natiomaster.com, 7/5/2005. 235 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 68 bagian dan lokal dengan partai politik nasional digambarkan Woll pada gambar 1 berikut ini.236 Gambar 2.1. Hubungan Parpol Nasional dan Parpol Negara Bagian dan Lokal di Amerika Serikat President Select and influences policy of National Party Committes Collect and dispense funds, influence policy. Selected by and representative of state and local party Congressional Party Members responsive to local party and State and local parties State and local parties Penentuan jumlah partai politik berdasarkan kemungkinan memenangi pemilihan umum dengan sendirinya mengesampingkan kekuatan partai-partai lain yang sedikit banyak juga memiliki kekuatan. Giovanni Sartori membuat kriteria lain terhadap mana suatu partai dapat dihitung keberadaannya, yaitu suatu partai yang memiliki potensi berkoalisi (coalition potential) atau potensi untuk mengajukan tuntutan (blackmail potential). Sementara itu, Jean Blondel mengajukan klasifikasi berdasarkan jumlah partai dan kekuatan relatifnya yang dapat dilihat dalam Tabel 2.1. berikut.237 236 237 Woll, Op. Cit., hal. 103-105. Lijphart, Op. Cit., hal. 65-67. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 69 Tabel 2.1. Klasifikasi Sistem Kepartaian Berdasarkan Jumlah Dan Kekuatan Partai Politik Sistem Kepartaian Contoh Hipotetis Jumlah Partai Pembagian Kursi Politik Sistem Dua Partai 55 – 45 2,0 Sistem Dua Partai Setengah 45 – 40 – 15 2,6 Sistem Multipartai dengan Partai Dominan 45 – 20 – 15 – 10 – 10 3,5 Sistem Multipartai tanpa Partai Dominan 25 – 25 – 25 – 15 – 10 4,5 Klasifikasi tersebut bermanfaat untuk mengetahui partai-partai politik yang relatif kuat dan relatif lemah dalam suatu negara. Namun menurut Lijphart, klasifikasi tersebut belum menunjukkan secara tepat berapa jumlah partai yang memiliki kekuatan dalam suatu sistem. Untuk melihat hal tersebut, Lijphart mengajukan indeks jumlah partai politik yang dikemukakan oleh Markku Laakso dan Rein Taagepera dengan rumus N=1/∑si2.238 Berdasarkan indeks yang dihasilkan dari rumus tersebut, jumlah partai politik di beberapa negara berubahubah dengan jumlah terendah, tertinggi, dan rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut ini:239 Tabel 2.2. Jumlah Partai Politik Rata-Rata, Terendah, dan Tertinggi Dari Hasil Pemilu Tahun 1945-1996 Di Tiga Puluh enam Negara Demokrasi Mean Lowest Highest Papua New Guinea 5,98 2,69 10,83 4 Switzerland 5,24 4,71 6,70 13 Finland 5,03 4,54 5,58 15 Italy 4,91 3,76 6,97 14 Netherlands 4,65 3,49 6,42 15 Israel 4,55 3,12 5,96 14 Denmark 4,51 3,50 6,86 21 Belgium 4,32 2,45 6,51 17 India 4,11 2,51 6,53 6 Iceland 3,72 3,20 5,34 16 238 239 Number of elections N adalah jumlah partai, si adalah proporsi kursi dari partai. Ibid, hal. 68. Ibid, hal. 76-77. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 70 Japan 3,71 2,58 5,76 19 France 3,43 2,49 4,52 10 Venezuela 3,38 2,42 4,88 8 Luxembourg 3,36 2,68 4,05 11 Norway 3,35 2,67 4,23 13 Portugal 3,33 2,23 4,26 8 Sweden 3,33 2,87 4,19 16 Colombia 3,32 2,98 4,84 14 Germany 2,93 2,48 4,33 13 Ireland 2,84 2,38 3,63 15 Spain 2,76 2,34 3,02 7 Mauritus 2,71 2,07 3,48 6 Austria 2,48 2,09 3,73 16 Costa Rica 2,41 1,96 3,21 11 United States 2,40 2,20 2,44 25 Canada 2,37 1,54 2,86 16 Australia 2,22 2,08 2,30 21 Greece 2,20 1,72 2,40 8 United Kingdom 2,11 1,99 2,27 14 Malta 1,99 1,97 2,00 6 New Zealand 1,96 1,74 2,16 17 Trinidad 1,82 1,18 2,23 7 Barbados 1,76 1,25 2,18 7 Bahamas 1,68 1,45 1,97 5 Jamaica 1,62 1,30 1,95 7 Bostwana 1,35 1,17 1,71 7 Dari sisi hukum, dasar pembedaannya tentu saja harus bersandar pada norma hukum yang mengatur masalah partai politik. Keberadaan partai politik secara hukum harus diukur dari eksistensinya secara yuridis sebagai sebuah asosiasi atau korporasi, bukan sekadar signifikansinya dalam pertarungan politik. Maka sistem satu partai, dua partai, atau pun multi partai tidak memiliki perbedaan sepanjang terdapat lebih dari satu partai politik dan memungkinkan dibentuknya partai politik baru. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 71 2.4. FUNGSI PARTAI POLITIK Sesuai dengan landasan teori partai politik dan asal usul serta perkembangannya, terdapat beberapa fungsi partai politik yang dikemukakan oleh para ahli. Fungsi-fungsi tersebut pada umumnya adalah; (1) sarana komunikasi politik; (2) sarana sosialisasi politik; (3) rekruitmen politik; dan (4) pengelola konflik.240 Hampir sama dengan fungsi-fungsi tersebut, Almond dan Powell mengemukakan tiga fungsi partai politik, yaitu rekruitmen politik (political recruitment), sosialisasi politik (political socialization), dan artikulasi dan agregasi kepentingan (interest articulation and aggregation)241. Sedangkan Friedrich mengemukakan fungsi partai politik sebagai berikut.242 (1) (2) (3) (4) selecting future leader, maintaining contact between the government, including the oposition, representing the various groupings in the community, and integrating as many of the groups as possible. 2.4.1. Fungsi Komunikasi dan Sosialisasi Politik Partai politik berkomunikasi dengan rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program politik. Partai politik menerima aspirasi dan mengelolanya menjadi pendapat umum dan dituangkan dalam bentuk program serta diperjuangkan menjadi keputusan pemerintah.243 Fungsi ini juga dikenal sebagai fungsi “broker of idea”244 dan bagi partai yang sedang memerintah berfungsi instruments)245. Melalui sebagai fungsi instrumen itu, partai kebijakan politik (parties as menerjemahkan policy dan menggabungkan pandangan-pandangan individual dan kelompok-kelompok tertentu (interest aggregation) menjadi program (interest articulation) yang akan 240 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 163-164. Bandingkan dengan Moh. Kunasdi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hal. 269. 241 Almond and Powell, Op. Cit., hal. 114-127. Bandingkan dengan Clark, Op. Cit., hal. 9. 242 Friedrich, Op. Cit., hal. 442. 243 Kranenburg dan Sabaroedin, Op. Cit., hal. 115. Dalam Konstitusi Jerman Article 21 (1) disebutkan; “Political parties participate in forming the political will of the people ..” Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham and London; Duke University Press, 1989), hal. 201. 244 Laski, An Introduction to Politics, Op. Cit., hal. 65. 245 Woll menyatakan sebagai berikut; “Party government stresses the parties at all stages of the policy process. It is the parties that collectively formulate policy proposals, set the legislative agenda, and determine the timing of legislative enactments. It is the parties that make electoral choice meaningful through legislation and executive actions that are responsive to the choices made by voters.” Lihat, Woll, Op. Cit., hal. 101. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 72 dilaksanakan pemerintah dan menjadi dasar legislasi.246 Fungsi itu sekaligus menjembatani antara pemerintah dan rakyat sehingga terjalin komunikasi dan sosialisasi dua arah yang dalam bentuk idealnya dapat mewujudkan government by discussion antara rakyat dan pemerintah.247 Di Amerika Serikat, government by discussion diwujudkan dalam empat tahap diskusi. Tahap pertama, merupakan tanggungjawab masing-masing partai untuk memformulasikan dan mempertajam kebijakan publik sebagai bahan perdebatan dan pertimbangan pemilih. Tahap ini terjadi dalam tubuh partai antara para aktivis dan tokoh partai politik. Pada tahap inilah kelompok-kelompok kepentingan mengemukakan aspirasi dan tuntutannya sebelum dirumuskan menjadi program partai. Tahap kedua adalah mempresentasikan program partai yang telah disetujui kepada publik pada waktu pemilihan. Pemilih diberikan kesempatan untuk menganalisis dan membandingkan program-program partai berdasarkan presentasi permasalahan yang dikemukakan oleh para kandidat partai politik. Proses pemilihan merupakan perluasan arena diskusi dan perdebatan dari partai politik kepada pemilih. Proses itu menentukan penilaian pemilih atas program dan kandidat partai.248 Tahap ketiga adalah proses diskusi setelah pemilu. Tahap ini terjadi pada level pemerintahan, baik di parlemen maupun eksekutif. Baik anggota kongres dari partai mayoritas maupun minoritas menyatukan agenda legislasi dengan program partai yang telah disetujui pada tahap sebelumnya. Idealnya, eksekutif berasal dari partai yang sama dengan mayoritas di legislatif dan bertindak sebagai pemimpin dalam menyusun agenda dan pedoman kerja dalam kongres. Tahap keempat adalah pada anggota legislatif dari partai minoritas yang berfungsi sebagai partai oposisi. Mereka mengkritisi kebijakan kelompok mayoritas dan merekomendasikan kebijakan berdasarkan platform dan program partainya. Hal itu berfungsi menajamkan perdebatan nasional sehingga alternatif kebijakan yang dikemukakan mendapat perhatian pemilih.249 Komunikasi dan sosialisasi politik terkait erat dengan proses pendidikan politik yang penting dalam demokrasi. Pengetahuan dan akses terhadap informasi 246 Barendt, Op. Cit., hal. 149. Woll, Op. Cit., hal. 100. Bandingkan dengan Laski, Op. Cit., hal. 312. 248 Woll, Op. Cit., hal. 100-101. 249 Ibid, hal. 101. 247 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 73 dapat mengakibatkan ketidaksamaan antara pemilih dan elit. Memajukan partisipasi dan meningkatkan pemahaman dilakukan dengan cara membuat forumforum diskusi dan penyampaian informasi. Di sinilah peran partai politik melakukan pendidikan pemilih serta membentuk suara mayoritas dan memobilisasi pemilih.250 2.4.2. Fungsi Rekruitmen Politik Fungsi selanjutnya adalah rekruitmen politik. Melalui partai politik dilakukan rekruitmen dan seleksi terhadap calon-calon anggota lembaga perwakilan. Calon-calon tersebut nantinya akan dipilih oleh rakyat.251 Selain itu, kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah juga dipilih dengan rekruitmen dan seleksi melalui partai politik, baik yang berasal dari partai itu sendiri maupun dari pihak ketiga. Salah satu tujuan sistem kepartaian adalah untuk mengontrol pemerintahan. Hampir setiap partai politik memiliki tujuan menguasai dan memelihara kontrolnya atas pemerintahan. Salah satu cara yang dilakukan adalah menyeleksi pimpinan pemerintahan. Fungsi ini membuat partai politik menjalankan peran pengendalian yang efektif (as a system of effective restrain).252 2.4.3. Fungsi Pengelola Konflik Politik Terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, fungsi partai politik dapat diklasifikasikan menjadi dua fungsi yang berbeda secara mendasar. Pada sistem pemerintahan parlementer, di mana eksekutif adalah kabinet yang merupakan komite dari partai mayoritas dalam parlemen, fungsi partai politik adalah untuk mengikat antara eksekutif dan legislatif. Fungsi ini membutuhkan disiplin anggota partai. Sedangkan dalam sistem konstitusi berdasarkan separation of power, fungsi partai politik adalah untuk memelihara dan mengelola 250 Julander, Op. Cit., hal. 13. Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hal. 266. 252 Friedrich, Op. Cit., hal. 443 dan 452. Mahkamah Konstitusi Jerman dalam kasus Schleswig-Holstein Voters Association menyatakan “incorporation (of political parties in Article 21) means that parties are not only politico-sociological entities; they are also integral part of (our) constitutional structure and (our) constitutionally ordered political life.” Di Inggris, walaupun partai politik adalah “a private associations to which the law does not give more rights and duties than other private organizations” namun juga diakui bahwa partai politik menentukan pemerintahan. Partai politik di Inggris juga mendapatkan bantuan (short money) bagi kandidat yang berhasil menjadi anggota parlemen. Lihat Kommers, Op. Cit., hal. 201. Bandingkan dengan Turpin, Op. Cit., hal. 457-460. 251 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 74 (guarantees) konflik antara legislatif dan eksekutif. Di Amerika, fungsi ini terbentuk karena seringnya pertentangan antara White House dengan Capitol Hill, bahkan pada saat keduanya dikuasai oleh satu partai yang sama. Hal itu terjadi karena longgarnya disiplin partai politik.253 Salah satu konsekuensi dari sistem demokrasi adalah perluasan partisipasi politik. Partisipasi tidak hanya dalam bentuk pemilihan dan aspirasi kebijakan, tetapi juga membuka peluang terhadap semua warga negara untuk memerintah dalam jabatan publik. Peluang itu membuka kemungkinan terjadinya pertentangan atau konflik. Konflik hanya dapat dikelola dengan baik jika terdapat aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial dalam organisasi partai politik. Tanpa adanya pengorganisasi, partisipasi dapat berubah menjadi gerakan massal yang merusak sehingga perubahan politik cenderung terjadi melalui revolusi atau kudeta. Oleh karena itu, partai politik juga menjalankan fungsi sebagai sarana pengelola konflik.254 Fungsi tersebut juga mencakup pengelolaan konflik masyarakat. Hal itu diperlukan pada negara multietnis yang memiliki permasalahan dalam pelaksanaan demokrasi karena isu etnisitas lebih mudah dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan dari pada program atau ideologi. Permasalah menjadi lebih rumit pada saat masyarakat sedang berada dalam perubahan politik. Kondisi tersebut dapat menimbulkan permainan politik sentrifugal sehingga merusak dan dapat menggagalkan jalannya demokrasi. Oleh karena itu, pembentukan partai politik berdasarkan etnis banyak dihindari. Pembentukan partai politik lebih diarahkan sebagai partai yang terpusat, agregatif, dan multietnis (centris, aggregative, and multiethnic).255 253 Woll, Op. Cit., hal. 103. Huntington, Op. Cit., hal. 477; Woll, Op Cit., hal. 124; MacIver, Op Cit., hal. 399. 255 Namun demikian terdapat perbedaan kecenderungan pembentukan partai politik antara negara yang maju dengan negara berkembang. Negara berkembang cenderung menghindari pembentukan partai berdasarkan etnis, sedangkan negara maju seperti negara-negara Uni Eropa mengakui hak etnis minoritas untuk membentuk partainya sendiri. Kecenderungan pembatasan pembentukan partai politik berdasarkan etnis tertentu dilakukan melalui centripetalism yang terdiri dari electoral incentives, area of bargaining, dan the development of centris, aggregative and multiethnic political parties or coalitions of parties. Upaya pembentukan sistem kepartaian dan partai multietnis menurut Reilly dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu; (1) attempts to constrain the development of ethnic parties and reduce the number of parties overall by, for example, requiring parties to demonstrate a broad organizational base, (2) rewards inter-ethnic moderation via the design of electoral systems which encourage cross-ethnic vote-seeking, (3) tries to strengthen parties from top-down via measures aimed at building greater party discipline and organizational capacity, and (4) involves external intervention to shape the nature of party systems in new democracies. Lihat, Reilly, Op. Cit., hal. 1-8. 254 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 75 Beberapa fungsi partai politik yang telah diungkapkan tidak selalu dapat diperankan dalam praktik kehidupan politik. Dapat terjadi suatu partai politik tidak memberikan informasi yang benar dan bermanfaat. Sebaliknya, informasi yang diberikan oleh partai politik berpotensi menimbulkan perpecahan. Suatu partai politik juga mungkin tidak menjadikan kepentingan nasional sebagai orientasi utama, tetapi lebih memperhatikan kepentingan golongan. Tidak dilaksanakannya fungsi partai politik menimbulkan kekecewaan dan mengarah pada pembatasan partai politik.256 Ketidakpuasan terhadap model partai konvensional menghidupkan kembali pilihan demokrasi langsung. Hal itu dapat dilihat dari menguatnya hak inisiatif pemilih, reformasi sistem pembiayaan kampanye, restrukturisasi model nominasi calon, pembatasan masa jabatan, dan dukungan terhadap partai alternatif serta calon perorangan.257 Fungsi-fungsi partai politik yang telah dibahas adalah fungsi-fungsi partai politik pada negara demokrasi. Sedangkan pada negara-negara otoriter, partai politik berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik. Selain itu, partai politik juga berfungsi untuk memaksakan individu menyesuaikan diri dengan cara hidup sesuai dengan kepentingan partai (enforcement of conformity).258 Walaupun partai politik adalah partai negara, keanggotaan partai bersifat terbatas dan kebijakan ditentukan oleh elit. Hal itu misalnya terjadi pada Partai Nazi Jerman dan Partai Komunis Uni Soviet sebelum keruntuhannya.259 2.5. PEMBUBARAN PARTAI POLITIK Sebagai suatu organisasi, partai politik adalah suatu korporasi atau pribadi hukum yang memiliki status dan pengaturan yang berbeda dengan bentuk badan hukum (juristic person) lainnya.260 Status badan hukum, baik sebagai suatu 256 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 164. Partai ketiga dapat menjadi sumber kekuatan penekan yang penting bagi partai dominan agar lebih responsif terhadap pemilih sehingga partai dominan menjadi lebih bertanggungjawab terhadap pemilih. Di Amerika, partai ketiga misalnya muncul pada tahun 1992 sebagai koalisi antara buruh, kelompok-kelompok komunitas, dan kelompok lain yang merasa Partai Demokrat di bawah Clinton telah bergerak terlalu jauh ke tengah. Lihat, Pildes, Op. Cit., hal. 9 dan 85-86. 258 Ibid, hal. 166. 259 Harold D. Lasswell, The Analysis of Political Behaviour. An Empirical Approach, Third Impression, (London; Routledge & Kegan Paul Ltd., 1951), hal. 137 dan 144. 260 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 98. 257 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 76 asosiasi privat maupun secara khusus sebagai badan hukum partai politik (partial legal order), diberikan oleh hukum negara (total legal order).261 Partai politik eksis secara hukum pada saat menerima status sebagai badan hukum baik karena cara pembuatan maupun setelah melalui prosedur hukum tertentu. Pada saat telah menjadi badan hukum, partai politik dapat bertindak melalui organnya sebagai pribadi hukum. Partai politik memiliki hak dan kewajiban sendiri yang berbeda dengan hak dan kewajiban setiap anggotanya.262 Namun, walaupun suatu partai politik belum memiliki status badan hukum, dapat saja telah melakukan aktivitasnya dalam kehidupan sosial. Eksistensi partai politik dapat dilihat dari sisi sosiologis, namun belum eksis dari sisi yuridis.263 Selain eksistensi secara sosiologis dan yuridis, juga harus dibedakan adanya eksistensi politik dari suatu partai politik. Hal itu terkait dengan keterlibatan partai politik dalam aktivitas politik, terutama pemilihan umum. Mekanime utama untuk memasuki wilayah politik adalah pemilihan umum sehingga eksistensi partai politik secara politis ditentukan oleh keberadaan dan kekuatan dalam mengikuti pemilihan umum. Eksistensi yuridis tidak serta merta memberikan eksistensi politis kepada partai politik. Hal itu bergantung pada bagaimana hukum negara mengatur penyelenggaraan pemilihan umum.264 2.5.1. Paradigma Pengaturan Partai Politik Bagaimanakah hukum suatu negara mengatur masalah partai politik? Kelsen menyatakan bahwa It is essential for democracy only that the formation of new parties should not be excluded, and that no party should be given a privileged position or a monopoly.265 Berdasarkan pernyataan tersebut, sistem kepartaian dalam negara demokrasi adalah sistem yang memberikan kebebasan pembentukan partai baru dan tidak memberikan monopoli atau keistimewaan pada partai politik 261 Kelsen, Pure Theory of Law, Op. Cit., hal. 190-191. Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 96. 263 Misalnya adalah partai-partai yang aktif memperjuangkan kemerdekaan pada masa penjajahan. Mereka tidak diakui secara yuridis tetapi ada dan aktif secara sosiologis. Lihat, Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 160. 264 Terdapat partai politik yang memiliki status sebagai badan hukum partai politik tetapi tidak dapat mengikuti pemilihan umum karena gagal memenuhi persyaratan tertentu seperti jumlah pengurus di daerah atau tidak lolos electoral trashold. Namun juga terdapat partai-partai tertentu yang memang tidak berorientasi pada wilayah politik pemilihan umum seperti model policy-seeking-party dan office-seeking-party. Lihat, Steven B. Wolinetz, Beyond the Catch-All Party: Approaches to the Study of Parties and Party Organization in Contemporary Democracy, dalam Gunther, Montero, and Linz (eds.), Op. Cit., hal. 149 – 153. 265 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 295. 262 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 77 tertentu. Sedangkan sistem kepartaian negara otokrasi adalah sistem kepartaian yang menutup kemungkinan pembentukan partai baru dan memberikan monopoli atau keistimewaan pada partai politik tertentu. Reilly menyatakan bahwa pembatasan pembentukan partai politik adalah ciri negara otoritarian yang disebut dengan sistem partai mandat. Sedangkan negara demokrasi memberikan kebebasan pembentukan partai politik.266 Pada negara demokrasi, sistem yang dikembangkan dapat berupa sistem dua partai, sistem multi partai, ataupun sistem satu partai, namun hal itu terbentuk tanpa adanya aturan negara yang melarang pembentukan partai politik baru ataupun aturan yang memberikan keistimewaan pada partai tertentu. Sedangkan negara otokratis mengatur pelarangan pembentukan partai baru atau memberikan keistimewaan pada partai politik tertentu. Pengaturan masalah partai politik merupakan salah satu upaya konstitusionalisasi demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics)267 dan menjadi obyek kajian hukum tata negara yang relatif baru. Persily dan Cain mengemukakan beberapa paradigma yang mempengaruhi bagaimana pengaturan partai politik dilakukan. Paradigma tersebut adalah managerial, libertarian, progressive, political markets, dan pluralist. 2.5.1.1. Managerial Paradigma managerial menempatkan partai politik sebagai instrumen negara guna menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik. Negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur partai politik baik dalam bentuk mengintervensi struktur internal partai ataupun memberikan otonomi. Kebebasan berserikat dalam partai politik hanya sedikit mendapatkan perhatian. Paradigma ini terwujud dalam pengaturan yang menekankan pada stabilitas pemilihan dan sistem dua partai. Paradigma ini mengasumsikan bahwa semua kepentingan dapat diekspresikan melalui salah satu dari dua partai utama. Kekuatan nyata dan utama dari partai politik adalah pada elemen partai dalam pemerintahan, sedangkan organisasi partai politik hanya merupakan alat dari institusi publik, bahkan elemen pemilih partai dianggap tidak relevan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang 266 Sistem partai mandat adalah sistem hukum negara yang hanya mengakui sejumlah partai tertentu dan menutup kemungkinan pembentukan partai baru seperti di Nigeria dan Indonesia pada masa Orde Baru. Reilly, Op. Cit., hal. 2. 267 Pildess, Op Cit., hal. 2 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 78 kuat, digunakan sistem pemilihan mayoritas (misalnya first-past-the-post). Jika sistem tersebut digunakan dengan sistem lebih dari dua partai, akan muncul resiko bahwa kandidat partai akan memerintah dengan mandat suara kurang dari lima puluh persen.268 Kelemahan utama dari paradigma ini adalah sandarannya pada negara. Negara bukan merupakan aktor yang bebas dari pengaruh partai politik. Negara sering dikontrol oleh satu partai, setidaknya untuk periode tertentu. Dengan demikian, memberikan otoritas total pada negara untuk mengatur organisasi partai politik sama halnya dengan memberikan hak pada pejabat dari satu partai tertentu untuk mengatur partai lain. Hal itu dapat berujung pada beberapa masalah sebagai konsekuensinya. Pertama, pendekatan managerial berpotensi mengutamakan elemen pejabat yang dipilih dari suatu partai dari pada elemen lain partai tersebut. Kedua, pendekatan ini menimbulkan kemungkinan partai yang me-merintah akan menghalangi partai kompetitor untuk mengorganisasikan diri dan memperoleh kekuasaan.269 Paradigma managerial tidak dapat secara efektif mengontrol kemungkinan munculnya tirani dari partai yang sedang memerintah.270 2.5.1.2. Libertarian Paradigma yang bertolak-belakang dengan managerial adalah paradigma libertarian. Bagi paradigma ini, partai politik adalah suatu spesies dari organisasi privat kelompok kepentingan yang harus diberikan hak berserikat, privasi, kebebasan berpendapat, dan bebas dari diskriminasi negara.271 Peran dan kekuasaan publik partai politik adalah efek tidak terencana dari aktivitas privatnya sehingga tidak tepat untuk tunduk pada aturan negara. Pemilihan umum dan sistem kepartaian adalah hal yang harus sedapat mungkin dipisah. Partai dilarang mendapatkan keuntungan dari negara (misalnya pendanaan). Aturan masalah 268 Persily & Cain, Op. Cit., hal. 4 Hal ini pernah muncul pada kasus Tashijan v. Republican Party of Connecticut, dimana Partai demokrat melalui legislasi berusaha mencegah diselenggarakannya pemilihan pendahuluan (primary election) terbuka tidak saja bagi anggota partai yang dilakukan oleh Partai Republik. 479 U.S. 208 (1986). Ibid, footnote no. 26. 270 Ibid, hal. 4-5. 271 Pada kasus Colorado Republican Fed. Campaign Comm. V. FEC, 518 U.S. 604, 616 (1996) diakui bahwa kebebasan berekspresi pandangan suatu partai politik adalah inti dari aktivitas amandemen pertama. Ibid, footnote no. 27. 269 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 79 internal partai, seperti pemilihan pendahuluan, hanya dapat dibenarkan jika benarbenar terkait dengan kepentingan negara yang tidak dapat dihindari.272 Pemilihan umum dalam pandangan paradigma libertarian memiliki beberapa macam tujuan. Di antaranya adalah, sebagai tempat protes terhadap partai yang sedang memerintah ataupun untuk sekedar mempengaruhi, mewujudkan hak warga negara untuk diperhatikan pandangannya, dan sebagai peninjauan periodik kontrak sosial antara warga negara dan pemerintah. Pemilihan umum adalah forum publik yang harus menolerasi perbedaan. Adanya ketentuan yang mengatur batasan kebebasan berbicara dan berserikat dengan sendirinya melanggar hak atas kebebasan berbicara dan berserikat. Oleh karena itu, paradigma ini lebih cenderung pada sistem multi partai. Kekuasaan partai politik dilihat terutama pada organisasi partai yang dikelola secara profesional. Sedangkan partai di pemerintahan harus diminimalisasi untuk menghindari kooptasi partai tertentu atas pemerintahan. Kelemahan utama dari paradigma ini adalah tidak mempertimbangkan tingkat heterogenitas partai politik. Demi mencapai kompetisi yang berimbang, tentu tidak dapat disamakan perlakuan terhadap partai yang sedang memerintah dengan partai yang tidak berkuasa, antara partai besar dan partai kecil. Adalah kepentingan negara untuk menyeimbangkan perbedaan tersebut demi menghindari terhalangnya partisipasi kelompok masyarakat tertentu.273 2.5.1.3. Progressive Pada saat partai politik berpengaruh negatif terhadap politik Amerika pada awal abad ini, muncul pandangan bahwa partai politik merupakan penghalang demokrasi. Partai dapat menghalangi demokrasi dengan mengalihkan pemilihan menjadi kompetisi semu di mana the true kingmaker memutuskan pemenangnya di balik pintu yang tertutup. Pandangan tersebut melatarbelakangi munculnya paradigma progressive.274 Masalah kepartaian dipandang sebagai salah satu bagian dari program besar reformasi institusional yang mencakup demokrasi 272 Ibid, hal. 5. Ibid, hal. 5-6. 274 Salah satu tokohnya adalah Woodrow Wilson yang lebih memilih partai di parlemen yang tersentralisasi seperti di Eropa. Ibid, catatan kaki no. 38. 273 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 80 langsung, pemilihan senator secara langsung, pemilihan pendahuluan langsung, hak pilih perempuan, dan menuntut pelayan publik yang tidak partisan.275 Kelompok progressive melihat partai sebagai kekuatan yang merusak (obstructive forces) bagi realisasi kehendak umum (general will) para pemilih. Paradigma ini cenderung menggunakan peraturan negara untuk menghilangkan otonomi partai dan membuat partai tidak relevan dalam proses pemilihan umum. Paradigma ini tidak mengakui peran esensial partai politik dalam demokrasi. Paradigma ini tidak mengakui bahwa walaupun dalam kondisi yang lemah, partai politik masih berfungsi sebagai alat identifikasi pemilih atas calon-calon yang akan dipilih, sebagai perumusan tujuan dan kebijakan, serta menciptakan pertanggungjawaban kolektif pejabat-pejabat yang dipilih.276 2.5.1.4. Political Markets Paradigma political markets berusaha membawa nilai-nilai ekonomi serta analisis pilihan publik ke wilayah hukum. Paradigma ini menilai konsepsi yang dikemukakan oleh managerial dan libertarian memiliki manfaat yang terbatas untuk pengaturan politik. Dengan mengemukakan kontroversi antara hak-hak individu dan kepentingan negara, mereka melihat adanya resiko berbahaya dalam berbagai kasus yang terjadi, yaitu resiko manipulasi aturan permainan secara partisan untuk tetap memperoleh keuntungan politik secara permanen. Oleh karena itu, aturan yang menghalangi demokrasi dan tidak kompetitif harus dihilangkan dengan menggunakan ketentuan konstitusional.277 Bagi penganut paradigma political markets, tujuan utama partai politik adalah memberikan pilihan kepada konsumen dalam pemilihan umum. Hal itu dilakukan dengan menghilangkan kompetisi partisan di mana terdapat invisible hand. Pasar politik tersebut akan rusak jika pejabat yang sedang berkuasa (incumbent officeholder) menggunakan posisi dominannya untuk menempatkan hambatan hukum guna menghilangkan kelompok yang akan menggantikan posisinya.278 Demi terciptanya kompetisi, maka semakin banyak partai semakin baik bagi pasar politik. Titik tekan political markets adalah pada partai sebagai suatu 275 Ibid, hal. 6. Ibid, hal. 6-7. 277 Ibid, hal. 7. 278 Ibid. 276 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 81 sistem yang berujung pada para pemilih sebagai konsumen. Suksesnya suatu sistem politik ditentukan oleh kemampuannya untuk memuaskan sebanyak mungkin pemilih dengan cara memberikan pilihan-pilihan yang paling sesuai dengan masing-masing konsumsi suara politik. Partai dalam pemerintahan harus dilihat secara hati-hati karena memiliki kekuasaan untuk memanipulasi aturan permainan. Sedangkan organisasi partai profesional melayani dan merespon perubahan permintaan pemilih dengan tujuan menyediakan produk dengan citra tertentu bagi konsumen. Hal itu diharapkan dapat menginspirasikan kesetiaan sebanyak mungkin pemilih.279 Kepentingan negara dan peran pengadilan dalam sistem kepartaian adalah untuk mengkonstruksikan aturan yang memaksimalisasi kompetisi di antara partai-partai. Hal itu akan tercapai apabila aktor-aktor yang relevan saling berkompetisi dengan membuat produknya (yaitu platform, janji kebijakan, dan calon) lebih efisien280 dan populer. Hakim harus melakukan intervensi demi mencegah rusaknya pasar karena praktik monopoli suara ataupun karena aturan main yang menguntungkan salah satu partai.281 2.5.1.5. Pluralist Bertitik tolak dari pentingnya kelompok-kelompok yang terorganisasi dalam proses politik, muncul paradigma pluralis yang memandang bahwa dunia poitik adalah kompetisi kelompok-kelompok, bargaining, pembentukan koalisi, dan bahkan jual beli suara. Menurut pandangan ini, demokrasi bukan merupakan “pemerintahan oleh rakyat” dan bahkan bukan “pemerintahan oleh mayoritas”, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan minoritas (minority rule) baik dalam bentuk kelompok rasial ataupun regional.282 Oleh karena itu, partai politik menurut pandangan pluralis harus lebih luas dan merupakan koalisi kelompok kepentingan yang terdesentralisasi dari pada sesuatu yang bersifat ideologis dan mapan. Hal itu merupakan acuan bagi partai politik untuk dapat mengagregasikan dan menggabungkan kecenderungan kelompok-kelompok baik secara politik, ekonomi, maupun etnis dari seluruh 279 Ibid, hal. 7-8. Efisiensi politik dapat didefinisikan sebagai kemampuan partai mengkonstruksi sebuah platform dengan jumlah komitmen politik yang seminimal mungkin untuk memperoleh jumlah suara maksimal. Ibid, catatan kaki no. 54. 281 Ibid, hal. 8. 282 Pengelompokkan dapat berdasarkan daerah, ideologi, atau kepentingan ekonomi. Ibid, hal. 8 280 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 82 wilayah negara. Partai yang terlalu ideologis akan gagal memenuhi kecenderungan pemilih yang luas. Jika wakil rakyat tidak dapat menyesuaikan dengan kebutuhan konstituennya dan harus mengikuti garis partai, maka partai tersebut akan gagal mendapatkan suara pemilih.283 Berdasarkan uraian kelima paradigma pengaturan partai politik tersebut, untuk menentukan dalam klasifikasi paradigma apakah suatu ketentuan terkait dengan partai politik, dapat dilihat dari empat kategori. Kategori pertama adalah hubungan antara negara dengan partai politik dalam hubungannya dengan rakyat sebagai pemilih, yaitu bagaimanakah negara memposisikan organisasi partai politik apakah lebih sebagai instrumen negara, atau sebaliknya sebagai instrumen rakyat. Kedua adalah pengakuan dan pemberian peran terhadap partai politik. Ketiga adalah sifat organisasi partai politik, apakah lebih merupakan organisasi publik atau organisasi privat. Keempat, adalah arah sistem kepartaian. Sedangkan kelima adalah tingkat kemandirian partai politik dari intervensi negara. Selain kelima paradigma hukum tersebut, terdapat dua aspek pokok yang harus diperhatikan dalam pengaturan partai politik, yang disebut oleh Albert Hirscman sebagai voice dan exit. Voice adalah kemungkinan kelompok kepentingan internal partai menyuarakan aspirasinya dan mempengaruhi partai politik. Sedangkan exit adalah kemungkinan suatu kelompok kepentingan menjadi partai tersendiri. Sistem kepartaian harus menyediakan dua alternatif bagi kelompok kepentingan. Pilihan pertama adalah bekerja sama dalam partai politik untuk mempengaruhi posisi, keputusan, dan kepemimpinan. Negara seringkali mengatur proses saling memengaruhi antar kelompok kepentingan dalam partai politik. Hal itu misalnya melalui pemilihan pendahuluan sebagai model nominasi, menunjuk siapa yang dapat memilih pada pemilihan pendahuluan tersebut, atau persyaratan bentuk organisasional partai tertentu. Ketika pilihan voice tidak dapat dilakukan, maka kelompok kepentingan harus memiliki hak keluar dan membentuk partai lain agar dapat mencalonkan kandidatnya sendiri.284 283 284 Ibid, hal. 9. Bandingkan dengan Lijphart, Op. Cit., hal. 243-257. Ibid, hal. 11. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 83 2.5.2. Prinsip-Prinsip Pengaturan Persily dan Cain menggabungkan kelima paradigma hukum pengaturan partai politik dengan aspek voice dan exit menjadi prinsip-prinsip pengaturan dan pengambilan keputusan. Prinsip pertama adalah simbiosis sistem pemilihan (principle of electoral system symbiosis). Berdasarkan prinsip ini, konstitusionalitas suatu aturan tentang partai politik bergantung kepada aturan hukum lain yang terkait, khususnya tentang metode nominasi, dan pembatasan terkait dengan sifat kompetitif dari pemilihan (electoral competitiveness).285 Prinsip kedua adalah otonomi partai politik (principle of party otonomy). Hukum negara yang menentukan keanggotaan partai, organisasi, atau prosedur nominasi harus dipandang telah mengganggu kebebasan berorganisasi. Pengecualian terhadap prinsip tersebut adalah jika memang dibutuhkan untuk memperluas partisipasi kelompok kepentingan dalam sistem kepartaian. Prinsip ketiga adalah anti-paternalisme (anti-paternalism principle). Setiap kepentingan negara yang dapat dicapai melalui pengaturan partai demi keuntungan sendiri tidak boleh dilakukan sebagai justifikasi aturan negara tentang partai politik. Sering terjadi, artikulasi kepentingan negara dalam pembangunan partai menutupi strategi incumbent untuk mengatur posisinya.286 Prinsip keempat adalah perlakuan yang sama (principle of equal treatment). Hukum negara yang memberikan keistimewaan dan beban yang tidak proporsional terhadap partai tertentu (khususnya partai minor) melanggar ketentuan perlindungan yang sama. Bahkan dalam sistem dua partai utama seperti di Amerika, tidak boleh dimaksudkan untuk hanya mengijinkan dua partai tersebut. Peraturan semacam itu biasanya muncul pada ketentuan batas minimal suara yang diperoleh partai untuk mengikuti pemilu dibandingkan dengan jumlah dukungan untuk suatu partai baru. Prinsip kelima adalah mempengaruhi pemilihan (Principle of Electoral Influence). Partai politik yang menunjukkan kemampuan mempengaruhi hasil pemilihan, memiliki hak untuk menjadi partai yang akan dipilih. Prinsip ini didasari oleh dua alasan, yaitu; (1) partai tersebut merupakan pendukung atau memperluas dukungan partai incumbent, atau (2) partai tersebut memiliki 285 286 Ibid, hal. 12. Ibid, hal. 12-13. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 84 kemampuan untuk menyebabkan partai incumbent kalah dalam pemilihan. Operasionalisasi dari prinsip ini dilakukan dengan menetapkan batas berdasarkan hasil pemilihan (electoraltreshold).287 2.5.3. Pedoman Venice Commission Terkait dengan pengaturan pembubaran partai politik, seperti telah diuraikan pada bagian kerangka teori pada bab pertama, Venice Commission membuat pedoman bahwa pada prinsipnya negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Pelarangan dan pembubaran paksa partai politik hanya dimungkinkan dalam kasus partai politik itu melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menghancurkan tatanan demokrasi yang menjamin hak dan kebebasan. Pembubaran tidak dapat dilakukan atas dasar tindakan individu anggota tanpa mandat dari partai. Pelarangan atau pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain dengan menjamin adanya due process of law, keterbukaan, dan pengadilan yang fair. 288 2.5.4. Peraturan Pembubaran Partai Politik Di Berbagai Negara Pengaturan partai politik di suatu negara dipengaruhi oleh kecenderungan hukum nasional menempatkan partai politik, apakah lebih sebagai organisasi privat atau publik. Hal itu juga terkait dengan paradigma pengaturan partai politik yang dianut. Paradigma managerial, progresif, dan pluralist, cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi publik yang perlu diatur oleh negara. Sedangkan paradigma libertarian dan political market, lebih memposisikan partai politik sebagai organisasi privat, sehingga hukum negara tidak terlalu banyak mengatur. Negara-negara yang lebih menekankan sifat privat partai politik diantaranya adalah Inggris dan Amerika Serikat.289 Di Inggris, hingga saat ini ketentuan tentang partai politik hanya ada terkait dengan pelaksanaan pemilihan 287 Ibid, hal. 14-15. European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Op. Cit., hal. 2 – 3. Bandingkan dengan Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 130 – 134. 289 Filed., Op. Cit., hal. 295. 288 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 85 umum, yaitu ketentuan pendaftaran dan pendanaan yang diatur dalam Political Parties, Election and Referendums Act 2000. Partai politik yang diharuskan mendaftar adalah partai politik yang akan mencalonkan kandidat pada suatu pemilihan. Pendaftaran pada awalnya dilakukan kepada the Registrar of Companies berdasarkan Registration of Political Parties Act 1998, namun selanjutnya ditentukan kepada Komisi pemilihan Umum (Electoral Commission) berdasarkan Political Parties, Election and Referendums Act 2000. Tujuan pendaftaran tersebut semata-mata adalah untuk melindungi nama dan lambang partai dari lawan politik yang akan menggunakan nama dan lambang yang hampir sama sehingga dapat membingungkan pemilih suatu partai.290 Di Amerika Serikat, partai politik juga masih lebih ditempatkan sebagai organisasi privat. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang partai politik, kecuali terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum, khususnya terkait dengan pendanaan kampanye dari masyarakat, serta penggunaan media dalam melakukan kampanye.291 Bahkan, terhadap Partai Komunis Amerika tidak dilakukan pembubaran atau pelarangan secara resmi terhadap organisasinya, melainkan dengan menangkap dan menahan pimpinan dan anggota partai tersebut berdasarkan the Alien Registration Act yang ditetapkan oleh Kongres pada 29 Juni 1940. Undang-undang tersebut menentukan ancaman pidana bagi orang yang menganjurkan penggunaan kekuatan, kekerasan dan cara-cara yang melanggar hukum untuk menggulingkan pemerintahan. Ajaran Karl Marx dipandang memenuhi unsur tersebut sehingga anggota Partai Komunis Amerika dapat dikenakan hukuman.292 Di sisi lain, terdapat negara-negara yang lebih menempatkan partai politik sebagai organisasi publik mengingat peran dan fungsinya yang penting dalam kehidupan bernegara.293 Konsekuensinya, banyak ketentuan hukum yang mengatur partai politik, bahkan di dalam konstitusinya terutama negara-negara Eropa Barat dan negara-negara demokrasi yang baru. Dari 132 konstitusi negara 290 Elyssa Wong, “Systems of Government in Some Foreign Countries: The United Kingdom”, Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat, Hongkong, 11 April 2000. 291 Lihat, Larry J. Sabato, “PACs and Parties”, Hoover Press: Anderson, DP5 HPANNE0300 10-04-00 rev1. 292 Lihat, Jacques Duclos, “On the Dissolution of the Communist Party of the United States”, www.marxist.org/subject/usa/eam/index.html, 18/03/2008; dan Alien Registration Act, http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/USAalien.htm, 18/03/2008. 293 Katz and Mair, Op. Cit., hal. 7-10. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 86 di dunia294, terdapat 72 konstitusi negara yang menyebut keberadaan partai politik. Dari ke-72 negara tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu; pertama, menyebut partai politik sebagai bagian dari pengaturan kebebasan berserikat secara umum, yaitu sebanyak 11 negara295. Article 102 Konstitusi Latvia misalnya menyatakan “Everyone has the right to form and join associations, political parties and other public organisations.”296 Contoh lain adalah Konstitusi Yordania297 yang pada Article 16 menyatakan sebagai berikut. (i) Jordanians shall have the right to hold meetings within the limits of the law. (ii) Jordanians are entitled to establish societies and political parties provided that the objects of such societies and parties are lawful, their methods peaceful, and their by-laws not contrary to the provisions of the Constitution. (iii) The establishment of societies and political parties and the control of their resources shall be regulated by law. Kedua, adalah konstitusi yang mengatur partai politik dalam artikel tersendiri namun secara singkat. Terdapat 25 negara yang konstitusinya masuk dalam kategori ini.298 Beberapa contoh pengaturan dalam konstitusi diantara ke-25 konstitusi tersebut adalah Andora299, Perancis300, Italia301, dan Spanyol302 sebagai berikut. 294 Ke-132 negara tersebut adalah: Afganistan, Albania, Algeria, Andora, Angola, Argentina, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Banglades, Belgia, Belize, Bosnia, Brazil, Bulgaria, Kamerun, Chile, China, Kolumbia, Kongo, Barbados, Belarus, Cape Verde, Ceko, Fiji, Armenia, Kuba, Islandia, Kosta Rika, Kroasia, Cyprus, Denmark, Djibouti, Dominica, Eritrea, Estonia, Finlandia, Perancis, Georgia, Ghana, Grenada, Guyana, Haiti, Hungaria, Irlandia, Italia, Iran, Antigua and Barbadua, Yunani, Mesir, Kamboja, Jerman, Timor Timur, Jamaika, Jepang, Yordania, Kazakhstan, Kiribati, Korea Utara, Laos, Liberia, Libia, Liechtenstein, Lithuania, Macedonia, Malaysia, Mali, Malta, Mauritania, Moldova, Mongolia, Maroko, Myanmar, Kuwait, Latvia, Lebanon, Lesotho, Luxembourg, Madagaskar, Meksiko, Mikronesia, Mozambique, Korea Selatan, Afrika Selatan, Slovakia, Namibia, Nauru, Nepal, Belanda, Nigeria, Norwegia, Oman, Pakistan, Papua New Guinea, Paraguay, Peru, Philippina, Polandia, Portugal, Rumania, Qatar, Rusia, Rwanda, Saint Christopher and Nevis, Samoa, Singapura, Slovenia, Solomon, Spanyol, Sudan, Suriname, Swedia, Swiss, Syria, Taiwan, Tajikistan, Tanzania, Thailand, Tonga, Trinidad and Tobago, Serbia, Tunisia, Turki, Tuvalu, Uganda, Ukraina, Uzbekistan, Yaman, Vietnam, Zimbabwe, dan Saint Vincent. 295 Meliputi Chile, Kamboja, Yordania, Mongolia, Maroko, Latvia, Slovakia, Namibia, Trinidad and Tobago, Turkmenistan, dan Tuvalu. 296 Latvia Constitution, Adopted 15 Februari 1922, Amended in 1933, 1994, 1996, 1997, 1998, 2002, 2003. http://www.oefre.unibe.ch/law/verfassungsgeschichte/konst-latvia.html, 26/07/2005. 297 The Constitution of The Hashemite Kingdom of Jordan, http://www.cmfmena.org/ kons-Jordan.htm, 26/07/2005. 298 Negara-negara tersebut adalah; Andora, Kroasia, Perancis, Guyana, Haiti, Hungaria, Iran, Fiji, Italia, Kazakhstan, Lithuania, Mali, Malta, Mauritania, Madagaskar, Afrika Selatan, Peru, Philipina, Rumania, Rwanda, Spayol, Swiss, Tanzania, Thailand, dan Uzbekistan. 299 The Constitution of Andorra, http://www.andorramania.com/the constitutions.html, 06/04,2005. 300 France Constitution, Adopted 28 Sept 1958, Amended in 1962, 1992, 1993, 1995. http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/France%20-%20Constitution.htm, 10/04/2005. 301 Italy Constitution, Adopted 22 Dec 1947, Effective since 1 Jan 1948, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/Italy%20-%20Constitution..htm, 17/04/2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 87 Article 26 Konstitusi Andora menyatakan: Andorrans have the right freely to create political parties. Their functioning and organization must be democratic and their activities lawful. The suspension of their activities and their dissolution is the responsibility of the judicial organs. Article 4 Konstitusi Perancis menyatakan sebagai berikut. Political parties and groups shall be instrumental in the exercise of the suffrage. They shall be freely formed and shall freely carry on their activities. They must respect the principles of national sovereignty and democracy. Article 49 Konstitusi Italia berbunyi sebagai berikut. All citizens have the right to freely associate in political parties in order to contribute by democratic methods to determine national policy. Sedangkan Article 6 Konstitusi Spanyol menyatakan: Political parties express democratic pluralism, assist in the formulation and manifestation of the popular will, and are a basic instrument for political participation. Their creation and the exercise of their activity are free within the observance of the Constitution and the laws. Their internal structure and operation must be democratic. Kategori ketiga, adalah konstitusi yang mengatur lebih mendetail tentang partai politik. Pada kategori ini terdapat 32 negara.303 Sebagai contoh, berikut ini adalah ketentuan yang mengatur partai politik dalam konstitusi Jerman304 dan konstitusi Turki.305 Chapter II Article 21 tentang partai politik dalam Konstitusi Jerman menyatakan, (1) The political parties participate in the forming of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They have to publicly account for the sources and use of their funds and for their assets. (2) Parties which, by reason of their aims or the behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality. 302 Spain Constitution, ICL Documen Status 29 Dec 1978, Consolidated up to amendment 27 August 1992, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/kons-Spain.htm, 01/08/2005. 303 Yaitu; Afghanistan, Albania, Algeria, Angola, Brazil, Bulgaria, Kongo, Belarus, Cape Verde, Armenia, Georgia, Ghana, Jerman, Timor Timur, Argentina, Kolumbia, Liberia, Macedonia, Moldova, Meksiko, Mozambique, Korea Selatan, Nepal, Nigeria, Papua New Guinea, Paraguay, Polandia, Portugal, Suriname, Turki, Uganda, dan Ukraina. 304 Axel Tschentscher, The Basic Law (Grundgesetz): The Constitution of the Federal Republic of Germany (May 23rd, 1945), Last up date on 18th July 2003, (Wurzburg/Bern: Jurisprudentia Verlag, 2003). 305 Turkey Constitution, Adopted in 1982, Amended in 17 Oct 2001, 27 Dec 2002, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/kons-Turkey.htm, 02/08/2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 88 (3) Details are regulated by federal statutes. Article 68 Konstitusi Turki mengatur tentang pembentukan, keanggotaan dan penarikan keanggotaan partai. Sedangkan pada Article 69 mengatur tentang prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh partai politik. Ketentuan dalam Article 68 dan 69 Konstitusi Turki adalah sebagai berikut. Article 68: Forming Parties, Membership and Withdrawal From Membership in a Party (1) Citizens have the right to form political parties and in accordance with the established procedure to join and withdraw from them. One must be over 18 years of age to become a member of a party. (2) Political parties are indispensable elements of the democratic political life. (3) Political parties shall be formed without prior permission and shall pursue their activities in accordance with the provisions set forth in the Constitution and law. (4) The statutes and programmes, as well as the activities of political parties shall not be in conflict with the independence of the State, its indivisible integrity with its territory and nation, human rights, the principles of equality and rule of law, sovereignty of the nation, the principles of the democratic and secular republic; they shall not aim to protect or establish class or group dictatorship or dictatorship of any kind, nor shall they incite citizens to crime. (5) Judges and prosecutors, members of higher judicial organs including those of the Court of Accounts, civil servants in public institutions and organizations, other public servants who are not considered to be labourers by virtue of the services they perform, members of the armed forces and students who are not yet in higher education institutions, shall not become members of political parties. (6) The membership of the teaching staff at higher education institutions in political parties is regulated by law. This law can not allow those members to assume responsibilities outside the central organs of the political parties. It also sets forth the regulations by which the teaching staff at higher education institutions shall observe as members of political parties. (7) The principles concerning the membership of students at higher education institutions to political parties are regulated by law. (8) The State shall provide the political parties with adequate financial means in an equitable manner. The financial assistance to be extended to the political parties, as well as procedures related to collection of membership dues and donations are regulated by law. Article 69: Principles to be Observed by Political Parties (1) The activities, internal regulations and operation of political parties shall be in line with democratic principles. The application of these principles is regulated by law. (2) Political parties shall not engage in commercial activities. (3) The income and expenditure of political parties shall be consistent with their objectives. The application of this rule is regulated by law. The auditing of the income and expenditure and acquisitions of political Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 89 (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) parties as well as the establishment of the conformity to law of their revenue and expenses, methods of auditing and sanctions to be applied in the event of unconformity shall also be regulated by law. The Constitutional Court shall be assisted in performing its task of auditing by the Court of Accounts. The judgments to be rendered by the Constitutional Court as a result of the auditing shall be final. The dissolution of political parties shall be decided finally by the Constitutional Court after the filling of a suit by the office of the Chief Public Prosecutor of the Republic. The permanent dissolution of a political party shall be decided when it is established that the statute and programme of the political party violate the provisions of the fourth paragraph of Article 68. The decision to dissolve a political party permanently owing to activities violating the provisions of the fourth paragraph of Article 68 may be rendered only when the Constitutional Court determines that the party in question has become a centre for the execution of such activities. A party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name. The members, including the founders, of a political party whose acts or statements have caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or supervisors in any other party for a period of five years from the date of publication in the official gazette of the Constitutional Court's final decision and its justification for permanently dissolving the party. Political parties which accept financial assistance from foreign states, international institutions and persons and corporate bodies shall be dissolved permanently. The foundation and activities of political parties, their supervision and dissolution, as well as the election expenditures and procedures of the political parties and candidates, are regulated by law in accordance with the above- mentioned principles. Sedangkan pada kategori keempat adalah ketentuan yang menegaskan dianutnya sistem satu partai dalam suatu negara. Ketentuan itu ada pada konstitusi Kuba306, Myanmark307, Syria308, dan Vietnam309. Article 5 konstitusi Kuba menyatakan sebagai berikut. The Communist Party of Cuba, a follower of Martí’s ideas and of MarxismLeninism, and the organized vanguard of the Cuban nation, is the highest leading force of society and of the state, which organizes and guides the common effort toward the goals of the construction of socialism and the progress toward a communist society. 306 Constitution of the Republic of Cuba 1992, http://www.cuba.net/document/constitution.htm, 09/04/2005. The Constitution of the Socialist Republic of the Union of Burma 1974, http://www.thailawforum.com/cons-myanmar.htm, 26/07/2005. 308 Syria-Constitution, Adopted 13 March 1973, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/kons-Syria.htm, 02/08/2005. 309 The Constitution of Vietnam, 1992, http://www.isop.ucla.edu/eas/documents/VN-cons.htm, 02/08/2005. 307 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 90 Article 11 Konstitusi Myanmark menyatakan “The State shall adopt a single-party system. The Burma Socialist Programme Party is the sole political party and it shall lead the State.” Article 8 Konstitusi Syiria secara khusus menegaskan keberadaan Bath Party sebagai satu-satu partai politik sebagai berikut. The leading party in the society and the state is the Socialist Arab Baath Party. It leads a patriotic and progressive front seeking to unify the resources of the people's masses and place them at the service of the Arab nation's goals. Pada negara-negara dengan sistem satu partai (partai negara) selalu tidak ada kebebasan untuk membentuk partai politik dan dengan sendirinya tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum demokrasi. Dalam negara tersebut, kebebasan berserikat di batasi, dan tidak ada kompetisi yang adil. Adanya pengaturan yang berbeda-beda dalam konstitusi negara tersebut menunjukkan perbedaan pendekatan pengaturan partai politik dari suatu negara dengan negara lainnya. Hal itu juga ditunjukkan dari hasil survey Venise Commission terhadap pengaturan partai politik di negara-negara Eropa.310 Pendaftaran partai politik misalnya, tidak selalu dibutuhkan dalam setiap sistem hukum. Di Jerman, Yunani, dan Swiss tidak diperlukan adanya proses pendaftaran. Sedangkan di Denmark dan Belanda, partai politik tidak diharuskan mendaftar, tetapi beberapa persyaratan diperlukan untuk dapat mengikuti pemilihan umum. Di Irlandia, pendaftaran dimaksudkan sekadar untuk menempatkan nama partai bersama dengan nama kandidatnya. Sementara itu di Swedia pendaftaran adalah untuk melindungi hak eksklusif penggunaan nama. 2.5.4.1. Pembatasan Partai Politik Pengaturan partai politik dalam konstitusi tidak hanya merupakan jaminan terhadap keberadaan partai politik, tetapi juga terdapat konstitusi yang memberikan pengaturan dalam bentuk pembatasan. Dari 72 konstitusi yang di dalamnya terdapat ketentuan tentang partai politik, terdapat 52 konstitusi yang memberikan pembatasan. Pembatasan tersebut ada yang ditentukan secara umum dan ada yang diatur secara mendetail. Salah satu contoh pembatasan yang bersifat 310 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines on Prohibition and Dissolution of Political Parties and Analogous Measure, www.venice.coe.int/docs/2000/CDLINF(2000)001-e.asp?Print, 15/02/2007, hal. 6 – 11. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 91 umum adalah pada Article 25 Konstitusi Andora yang menyatakan bahwa organisasi dan fungsi partai harus demokratis dan aktivitasnya sesuai dengan aturan hukum. Hal yang sama juga dapat dilihat pada Article 6 Konstitusi Spanyol yang menyatakan bahwa struktur internal dan aktivitas partai politik harus demokratis. Pembatasan secara umum biasanya terdapat pada konstitusi-konstitusi yang hanya mengatur masalah partai politik secara singkat. Pembatasan partai politik yang lebih mendetail terdapat pada konstitusi negara-negara yang mengatur masalah partai politik secara lebih mendetail. Ketentuan pembatasan atau prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh partai politik tersebut meliputi; 1. Organisasi dan aktivitas partai politik harus sesuai dengan prinsip demokrasi. 2. Program partai politik harus sesuai dengan nilai-nilai konstitusional. 3. Partai politik tidak boleh mengupayakan perubahan konstitusi secara paksa. 4. Struktur organisasi dan sumber-sumber keuangan harus terbuka kepada publik. 5. Partai politik dilarang memiliki organ militer atau paramiliter. 6. Partai politik dilarang memiliki afiliasi dengan partai politik asing atau pihak asing lainnya. 7. Pembentukan partai tidak boleh berdasarkan etnis, bahasa, agama, atau wilayah tertentu. 8. Program dan kegiatan partai politik dilarang mendorong kebencian rasial, agama, wilayah, atau etnis tertentu. 9. Partai politik dilarang menggunakan atau menghasut untuk menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi kebijakan negara. 10. Partai politik harus tidak merupakan atau membentuk organisasi rahasia. 11. Organisasi partai politik dilarang bersifat totalitarian. 12. Partai politik dilarang menyatakan ideologinya sebagai ideologi negara. 13. Partai politik dilarang menggunakan simbol-simbol negara. 14. Program dan aktivitas partai politik tidak boleh bertentangan dengan kemerdekaan bangsa kedaulatan nasional dan integritas teritorial. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 92 15. Program dan aktivitas partai politik harus tidak melanggar hak asasi manusia dan prinsip rule of law. 16. Partai politik dilarang melakukan usaha komersial. Menurut Venice Commission, pembatasan terhadap partai politik dalam berbagai hukum nasional negara-negara eropa dibagi menjadi dua kategori, yaitu pembatasan formal dan pembatasan material. Pembatasan formal terkait dengan persyaratan pendaftaran partai politik, masalah nama partai, singkatan, lambang, syarat minimal pendiri partai politik, serta jumlah kepengurusan. Ketentuan tentang nama, singkatan, dan lambang dimaksudkan untuk menghindari kerancauan sehingga harus berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak sama dengan nama atau lambang negara. Di beberapa negara juga mensyaratkan lambang tersebut tidak mencerminkan agama, daerah, atau etnis tertentu. Sedangkan pembatasan material adalah pembatasan terkait dengan tujuan, program, dan aktivitas partai politik. Pembatasan tersebut ditentukan secara umum mulai dari keharusan sesuai dengan prinsip demokrasi hingga larangan melakukan usaha komersial. Terhadap pelanggaran atas pembatasan-pembatasan baik yang bersifat formal maupun material, terdapat sanksi yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya.311 Salah satu bentuk sanksi tersebut adalah pembubaran. 2.5.4.2. Pembubaran Partai Politik Dari 72 konstitusi negara yang mengatur tentang partai politik, terdapat 23 konstitusi yang mengatur pembubaran partai politik.312 Ke 23 konstitusi negara tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu yang menyatakan diatur dengan aturan hukum, diputuskan oleh pengadilan atau melalui prosedur yudisial, dan yang secara tegas menyatakan pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi (constitutional court). 311 Sanksi tersebut dapat berupa penolakan status hukum, pembubaran, hingga dinyatakan sebagai organisasi terlarang. 312 Ke-23 negara ini adalah Kongo, Mauritania, Moldova, Afganistan, Paraguay, Andora, Cape Verde, Islandia, Spanyol, Ukraina, Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia, Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia, dan Turki. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 93 Konstitusi negara yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik dilakukan berdasarkan aturan hukum adalah konstitusi Kongo313, Mauritania314, dan Moldova315. Article 11 Konstitusi Mauritania misalnya, menyatakan sebagai berikut: (1) Parties and political groups shall work together for the formation of the expression of the political will. They shall be formed and shall engage in their activities freely provided that they respect democratic principles and that through their objectives or by their actions they do not undermine the national sovereignty, the territorial integrity, and the unity of the Nation and of the Republic. (2) The law shall determine the conditions for the creation, the functioning, and the dissolution of political parties. Konstitusi-konstitusi yang menyatakan pembubaran partai politik dilakukan berdasarkan putusan pengadilan atau melalui prosedur yudisial adalah konstitusi Afganistan, Paraguay, Andora, Cape Verde, Islandia, Spanyol, dan Ukraina. Article 125 Para 3 Konstitusi Paraguay316 menyatakan “The legal status of political parties and movements can be revoked only through a court decision.” Sedangkan Article 26 Konstitusi Andora menyatakan bahwa pembubaran partai politik “is the responsibility of the judicial organs”. Sedangkan negara-negara yang konstitusinya secara tegas menyatakan bahwa pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia, Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia, dan Turki. Ketentuan tentang pembubaran pada konstitusi negara-negara tersebut umumnya diatur dalam artikel tentang wewenang Mahkamah Konstitusi kecuali pada Konstitusi Turki yang masuk pada bagian ketentuan partai politik. Article 69 Para 5 Konstitusi Turki menyatakan “The dissolution of political parties shall be decided finally by the 313 Congo – Constitution, Adopted 15 March 1992, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/Congo%20%20Constitution.htm, 09/04/2005. 314 Mauritania – Constitution, Adopted 12 July 1991, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/Mauritania%20%20Constitution.htm, 26/07/2005. 315 The Constitution of the Republic of Moldova, Adopted on 29th July 1994, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl /Moldova%20-%20Constitution.htm, 26/07/2005. 316 Paraguay – Constitution, Adopted on 20 June 1992, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/Paraguay%20%20Constitution.htm, 01/08/2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 94 Constitutional Court after the filling of a suit by the office of the Chief Public Prosecutor of the Republic.”317 Konstitusi merupakan hukum dasar yang memuat prinsip-prinsip dasar aturan penyelenggaraan kehidupan bernegara dan kerangka hukum nasional. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan dalam aturan hukum nasional yang tingkatannya lebih rendah, terutama pada tingkat undang-undang atau act of parliament. Di Indonesia misalnya, keberadaan partai politik hanya disinggung dalam Pasal 6A Ayat (2)318, Pasal 8 Ayat (3)319, dan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945320. Partai politik diatur lebih lanjut secara khusus dalam suatu undangundang tertentu.321 Dalam konstitusi Jerman, partai politik diatur secara khusus dalam Article 21. Selengkapnya Article 21 Konstitusi Jerman adalah sebagai berikut. (1) The political parties participate in the forming of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They have to publicly account for the sources and use of their funds and for their assets. (2) Parties which, by reason of their aims or the behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality. (3) Details are regulated by federal statutes. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa dasar pembubaran partai politik adalah tujuan atau perilaku pengikutnya yang tidak sesuai atau berupaya menghapuskan tatanan dasar demokrasi, atau membahayakan eksistensi negara Republik Federal Jerman. Pembubaran dilakukan dengan menyatakan bahwa partai politik dimaksud bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional). 317 Ketentuan lebih lanjut mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam Law of the Organisation and Trial Procedure of the Constitutional Court. Law No. 2949 of 10 Nopember 1983. 318 Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 selengkapnya berbunyi; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. 319 Kalimat kedua Pasal 8 Ayat (3) selengkapnya berbunyi sebagai berikut; “Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.” 320 Pasal 22E Ayat (3) selengkapnya berbunyi; “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” 321 Undang-Undang yang mengatur partai politik saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 95 Kewenangan untuk menyatakan suatu partai politik bertentangan dengan konstitusi ada pada Mahkamah Konstitusi. Seperti diamanatkan Para 3 Article 21 Konstitusi Jerman, pengaturan lebih lanjut tentang partai politik diatur dalam undang-undang federal. Undang-undang yang mengatur adalah Parteiengesetz (Political Parties Act) yang ditetapkan pada 24 Juli 1967322 dan telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir pada 31 Januari 1994323. Dalam Undang-Undang Partai Politik Jerman disebutkan bahwa keberadaan partai politik adalah untuk membentuk sistem pemerintahan yang demokratis dan konstitusional.324 Partai politik harus berpartisipasi dalam pembentukan kehendak rakyat di semua bidang kehidupan publik, khususnya melalui:325 1. menggunakan pengaruhnya untuk menajamkan opini publik, memberikan inspirasi dan memajukan pendidikan politik; 2. memajukan partisipasi aktif individu warga negara dalam kehidupan politik; 3. melatih rakyat yang berbakat untuk menerima tanggungjawab publik; 4. berpartisipasi dalam pemilihan pemerintahan dengan menominasikan calon baik di tingkat federal, provinsi, maupun lokal; 5. melakukan upaya memberikan pengaruh politik pada parlemen dan pemerintah; 6. menginisiasikan tujuan politiknya dalam proses pebuatan keputusan nasional; dan 7. menjamin hubungan penting yang berkelanjutan antara rakyat dengan otoritas publik. Ketentuan tersebut dibuat untuk memperbaiki kesalahan utama pada masa Republik Weimar yang mentoleransi partai ekstrim dan cenderung merusak demokrasi sehingga memunculkan rejim Hitler. Berpijak pada pengalaman itulah, penyusun konstitusi Jerman berpendapat bahwa negara tidak akan pernah dapat 322 Federal Law Gazette I, Page 773. Ibid., Page 149. 324 Article 1 Para 1 Parteiengesetz. 325 Ibid., Para 2. 323 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 96 netral menghadapi musuh yang akan menghancurkannya. Untuk itu, upaya menghancurkan negara demokrasi dengan sendirinya bertentangan dengan demokrasi dan harus dihadapi. Dalam jurisprudensi konstitusional Jerman, hal itu disebut dengan istilah “militant democracy”.326 Sesuai dengan ketentuan Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman, apabila tujuan partai politik atau perilaku pengikutnya tidak sesuai dan berupaya menghapuskan tatanan dasar demokrasi atau membahayakan eksistensi negara Republik Federal Jerman, maka partai politik tersebut dinyatakan unconstitutional oleh Mahkamah Konstitusi Jerman. Hal itu sesuai dengan Article 13 UndangUndang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (BundesverfassungsgerichtsGesetz), yang menyatakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman adalah memberikan putusan tentang konstitusionalitas partai politik.327 Perkara tersebut ditangani oleh Panel Kedua Mahkamah Konstitusi Jerman328. Permohonan putusan tentang konstitusionalitas partai politik berdasarkan Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman, dilakukan oleh Bundestag, Bundesrat, atau Pemerintah Federal. Namun demikian, pemerintah negara bagian juga dapat mengajukannya jika organisasi partai tersebut berada dalam wilayahnya.329 Partai politik diwakili oleh pihak yang ditentukan sesuai dengan anggaran dasar partai, atau oleh orang yang menjalankan partai.330 Partai politik tersebut harus diberikan kesempatan pada waktu tertentu untuk memberikan pernyataannya.331 Putusan Mahkamah Konstitusi dapat meliputi keseluruhan partai politik atau bagian tertentu saja dari organisasi partai politik yang bertentangan dengan konstitusi. Jika secara keseluruhan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, maka putusan tersebut diikuti dengan pembubaran partai dimaksud. Jika bagian tertentu saja, maka bagian tersebut yang dibubarkan dan disertai dengan larangan 326 Kommers, Op. Cit., hal. 222. Undang-undang ini pertama kali ditetapkan pada 12 Maret 1951 (Federal Law Gazette I p. 243) terakhir kali diubah pada 16 Juli 1998 (Federal Law Gazette I p. 1823). Salah satu kewenangannya adalah “The Federal Constitutional Court shall decide in the cases determined by the Basic Law, to wit (2) on the unconstitutionality of parties (Article 21 (2) of the Basic Law).” 328 Article 14 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz. 329 Ibid, Article 43. 330 Ibid, Article 44. 331 Ibid, Article 45. 327 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 97 pembentukan organisasi penggantinya. Mahkamah juga dapat memutuskan bahwa kekayaan partai atau bagian dari partai disita untuk kepentingan negara.332 Pada saat suatu partai politik sudah diputuskan unconstitutional berdasarkan Pasal 21 ayat (2) Konstitusi Jerman, otoritas pemerintahan harus melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk melaksanakan putusan. Jika organisasi atau aktivitas tertentu dari suatu partai politik dinyatakan unconstitutional dalam wilayah provinsi negara bagian tertentu, Menteri Dalam Negeri pemerintah federal mengeluarkan keputusan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan putusan tersebut.333 Kebebasan membentuk partai politik juga mendapatkan jaminan dalam Konstitusi Korea Selatan.334 Namun demikian, Konstitusi Korea Selatan juga mengharuskan partai politik memiliki tujuan, organisasi, dan aktivitas yang demokratis serta memiliki sarana organisasi untuk pembentukan kehendak rakyat.335 Jika tujuan atau aktivitas partai politik bertentangan dengan tatanan dasar demokrasi, pemerintah dapat mengajukan pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi.336 Constitutional Court Act Korea Selatan mengatur proses pembubaran partai politik dalam Section 3 article 55 sampai 60.337 Pemerintah mengajukan permohonan pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi berdasarkan pertimbangan Dewan Negara (State Council).338 Permohonan tertulis yang diajukan paling tidak harus berisi dua hal, yaitu identitas partai politik yang dimohonkan pembubarannya dan alasan permohonan pembubaran.339 Pada saat menerima permohonan pembubaran partai politik, Presiden Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan kepada parlemen (National Assemby) dan Komisi Pemilihan Umum Nasional (National Election Commission).340 332 Ibid, Article 46, dan Article 33 Parteiengesetz. Ibid, Article 32. 334 Article 8 Para 1 Konstitusi Korea Selatan 335 Ibid, Article 8 Para 2 berbunyi: “Political parties must be democratic in their objectives, organization, and activities, and have the necessary organizational arrangements for the people to participate in the formation of the political will.” 336 Ibid, Article 8 Para 4. 337 Constitutional Court Act Korea Selatan ditetapkan pada 5 Agustus 1988 dan telah mengalami perubahan, yaitu pada 30 November 1991, 22 Desember 1994, 4 Agustus 1995, dan 13 Desember 1997. 338 Article 55 Constitutional Court Act of South Korea.. 339 Ibid, Article 56. 340 Ibid, Article 58 Para 1. 333 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 98 Dalam proses pengadilan, Mahkamah Konstitusi dapat menghentikan sementara aktivitas partai politik tersebut hingga ada putusan final.341 Pada saat Mahkamah Konstitusi memutuskan pembubaran partai politik, maka partai politik harus dibubarkan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Nasional342 dengan cara menghapus pendaftaran partai politik dan mengumumkan kepada masyarakat.343 Setelah suatu partai politik dibubarkan, tidak ada partai politik yang dapat didirikan dengan platform yang sama atau memiliki kesamaan dengan partai yang dibubarkan.344 Selain pembubaran karena alasan tujuan dan aktivitas partai politik bertentangan dengan tatanan dasar demokrasi, Political Parties Act Korea Selatan juga mengatur tentang pembubaran partai politik dengan cara pembatalan pendaftarannya oleh Komisi Pemilihan Umum Nasional. Pembatalan tersebut dapat dilakukan jika:345 1. Tidak memenuhi persyaratan sebagai partai politik, yaitu memiliki sedikitnya lima cabang, setiap cabang sedikitnya memiliki 1000 anggota yang tinggal di wilayah cabang partai politik dimaksud.346 2. Gagal berpartisipasi dalam pemilihan umum anggota National Assembly dalam empat tahun terakhir, atau dalam pemilihan kepala pemerintah daerah. 3. Gagal memperoleh kursi di National Assembly setelah mengikuti pemilihan umum, dan gagal memperoleh 2/100 dari jumlah suara sah. Konstitusi Bulgaria menyatakan bahwa partai politik harus didirikan berdasarkan prinsip pluralitas. Tidak ada partai politik yang boleh dinyatakan sebagai partai negara atau ideologinya merupakan ideologi negara. Semua partai politik harus memfasilitasi pembentukan dan ekspresi kehendak politik rakyat. Selain itu, terdapat larangan terhadap partai politik berdasarkan etnis, ras, ataupun agama. Partai politik juga dilarang merebut kekuasaan negara dengan cara 341 Ibid, Article 57. Ibid, Article 59 dan 60. 343 Article 47 Political Parties Act of South Korea, No. 7683, Aug. 4, 2005. 344 Ibid, Article 40. 345 Ibid, Article 44 Para 1. 346 Ibid, Article 17. 342 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 99 kekerasan. Konstitusi Bulgaria menyatakan bahwa pembubaran partai politik akan diatur dalam aturan hukum.347 Political Parties Act Bulgaria348 menyatakan terdapat empat cara pembubaran partai politik, yaitu (1) bergabung dengan partai politik lain; (2) pecah menjadi dua atau lebih partai politik; (3) membubarkan diri; dan (4) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.349 Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembubaran partai politik diambil berdasarkan tuntutan Jaksa Agung pada saat partai politik melakukan tindakan yang melanggar ketentuan hukum. Terhadap putusan tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kepada General Assembly of the College of Attorneys yang putusannya bersifat final dan mengikat.350 Hal-hal yang dapat mengakibatkan dibubarkannya partai politik meliputi:351 1. Aktivitasnya dimaksudkan untuk menentang kedaulatan atau integritas teritorial dan kesatuan bangsa, serta bertentangan dengan hak dan kebebasan warga negara; 2. tujuannya bertentangan dengan konstitusi dan hukum negara; 3. berdasarkan pengakuan terhadap etnis tertentu atau berusaha meningkatkan permusuhan rasial, nasional, etnis, dan agama; 4. memproklamasikan ideologi fasis atau berusaha mencapai tujuan dengan cara melanggar atau cara lain yang tidak diijinkan; dan 5. memiliki kelompok atau organisasi militer atau rahasia. Di Hungaria, partai politik kehilangan eksistensinya jika; (1) bergabung dengan partai politik lain; (2) terpecah menjadi dua atau lebih partai politik; (3) pembubaran; dan (4) dibubarkan atas perintah Mahkamah Konstitusi352. Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan pembubaran partai politik atas permohonan penuntut umum jika suatu partai politik dinilai gagal menjalankan fungsinya sebagai partai.353 Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga 347 Article 11 Konstitusi Bulgaria. Promulgated, SG, No. 29/10 April 1990, amended No. 121/1990, No. 59/1996. 349 Ibid, Article 22 350 Ibid, Article 23 Para 1. 351 Ibid, Article 3. 352 Article 3 Para 1 Act No. XXXIII of 1989 On the Operation and Financial Functioning of Political parties. 353 Ibid., Article 3 Para 2. 348 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 100 dapat membubarkan partai politik berdasarkan permohonan penuntut umum jika partai politik tersebut gagal memasukan kandidat dalam dua pemilihan umum secara berturut-turut.354 Di Moldova, konstitusinya menyatakan bahwa partai atau organisasi sosial politik dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi jika tujuan atau aktivitasnya bertentangan dengan politik pluralisme, prinsip rule of law, kedaulatan dan kemerdekaan atau integritas wilayah Moldova.355 Selain itu juga dilarang adanya organisasi yang bersifat rahasia atau yang melibatkan kepentingan asing.356 Proses dan tahapan pembubaran partai politik di Moldova lebih lanjut diatur dalam Law of the Republic Moldova on Political Parties and Other SocioPolitical Organizations.357 Proses pembubaran dilakukan Penuntut Umum setelah melalui Menteri Kehakiman. Menteri Kehakiman dapat membekukan aktivitas partai politik jika melanggar konstitusi atau aturan hukum untuk waktu enam bulan.358 Selama masa pembekuan, partai politik dilarang melakukan aktivitas menggunakan media massa, media elektronik, aktivitas perbankan, dan aktivitas lain yang terkait dengan pemilihan dan harta kekayaan partai.359 Pembekuan itu dapat diperpanjang menjadi satu tahun jika partai politik yang bersangkutan tidak mengubah tujuan atau menghentikan pelanggaran.360 Jika pembekuan tersebut telah dilakukan selama satu tahun dan tidak terdapat perubahan, Menteri Kehakiman mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan partai politik melalui Penuntut Umum.361 Selain karena alasan pelanggaran terhadap konstitusi dan aturan hukum, Menteri Kehakiman dapat membekukan aktivitas partai politik dan mengajukan pembubaran kepada Mahkamah Konstitusi, dengan alasan gagal melakukan aktivitas sebagai partai politik. Hal itu terjadi jika partai politik (1) tidak dapat 354 Ibid, Article 3 Para 3. Article 41 Para 4 Konstitusi Moldova. 356 Ibid, Article 41 Para 5 dan 6. 357 No. 718-XII of 17.09.91 Vestile N0 11-12/106, 1991 dan telah diamandemen dengan Law No. 795-XIV of 10.02.2000. 358 Ibid, Article 29 Para 1 dan 6. 359 Ibid, Article 29 Para 4. 360 Ibid, Article 29 Para 6. 361 Ibid, Article 32 Para 2 dan 3. 355 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 101 menyelenggarakan kongres atau konferensi selama 4 tahun; atau (2) jumlah anggotanya kurang dari yang dipersyaratkan.362 Berdasarkan pada ketentuan pembubaran partai politik di beberapa negara demokrasi tersebut, terdapat dua dasar atau alasan pembubaran suatu partai politik. Pertama adalah pelanggaran terhadap konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, rule of law, serta membahayakan kedaulatan dan integritas negara, atau dapat disebut sebagai pelanggaran konstitusi. Sedangkan dasar pembubaran kedua adalah tidak terpenuhinya lagi persyaratan sebagai partai politik, terutama keanggotaan, serta gagal menjalankan fungsi sebagai partai politik, diantaranya gagal memperoleh jumlah kursi tertentu dalam pemilihan umum. Alasan kedua itu dapat disebut sebagai alasan administratif. Terhadap alasan pembubaran pertama, proses pembubaran melalui mekanisme pengadilan. Sedangkan pembubaran dengan alasan kedua, terdapat negara yang pembubarannya dilakukan oleh institusi selain peradilan. Di Korea Selatan, pembubaran karena alasan kedua dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Namun, terdapat negara yang mengatur pembubaran dengan alasan kedua tetap dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Dengan demikian, terdapat model pembubaran partai politik melalui lembaga peradilan dilihat dari alasan pembubarannya. Pertama adalah pembubaran melalui pengadilan hanya untuk pelanggaran konstitusional, dan kedua adalah pembubaran melalui pengadilan baik untuk pelanggaran konstitusional maupun untuk alasan administratif. Beberapa negara yang menganut masing-masing model tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 362 Ibid, Article 32 Para 1. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 102 Tabel 2.3. Pembubaran Partai Politik Melalui Pengadilan Berdasarkan Dasar/Alasannya Model 1 Pelanggaran Konstitusional Eritrea Kamboja Azerbaijan Mongolia Taiwan Pakistan Jerman Afghanistan Armenia Bulgaria Korea Selatan Slovakia Slovenia Turki Thailand Model 2 Pelanggaran Konstitusional dan Alasan Administratif Rumania Yaman Yordania Georgia Moldova Polandia Hungaria Jika suatu partai politik dibubarkan berdasarkan alasan pelanggaran konstitusional, pada umumnya mengakibatkan tidak dapat didirikan lagi partai politik pengganti dengan tujuan dan platform sama. Bahkan Konstitusi Turki menyatakan bahwa para anggota, pendiri, dan pengurus partai yang dibubarkan tidak dapat menjadi anggota, pendiri, dan pengurus partai lain dalam jangka waktu lima tahun.363 Selain itu, pembubaran tersebut berakibat hilangnya keanggotaan parlemen dari partai politik yang dibubarkan. Dilihat dari pihak yang dapat mengajukan permohonan pembubaran partai politik, pada umumnya hak tersebut diberikan hanya kepada pemerintah melalui penuntut umum. Pemerintah dalam hal ini disebutkan berbeda-beda, seperti Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa, dan juga Pemerintah Daerah. Namun demikian, selain model tersebut terdapat empat model lain. Model kedua adalah permohonan dapat diajukan oleh Pemerintah atau oleh parlemen (atau jumlah tertentu anggota parlemen). Model ketiga adalah permohonan diajukan oleh komisi pemilihan umum. Model keempat, permohonan diajukan oleh pemerintah atau oleh partai politik. Model kelima, permohonan dapat 363 Article 69 Para 9 Konstitusi Republik Turki Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 103 diajukan oleh setiap warga negara. Beberapa negara yang menganut setiap model tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.4. Pemohon Pembubaran Partai Politik Pemerintah Pemerintah dan Parlemen Kamboja Azerbaijan Mongolia Taiwan Pakistan Yordania Afghanistan Bulgaria Korsel Moldova Polandia Turki Thailand Hungaria Rumania Armenia Georgia Jerman Pemerintah dan Partai Politik Slovakia Komisi Pemilihan Umum Eritrea Yaman Setiap Orang Slovenia Pada umumnya, pengadilan yang berwenang memutus pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Hal itu terkait dengan putusan pembubaran yang bersifat final dan mengikat, kecuali di Hungaria yang dapat diajukan kasasi kepada General Assembly of the College of Attorneys. Selain itu, paling tidak terdapat dua negara yang pembubarannya melalui pengadilan biasa, yaitu di Kamboja dan Yaman, serta khusus untuk alasan administratif di Rumania. Di sisi lain, hanya satu negara yang pembubarannya dilakukan oleh pemerintah terlebih dahulu sebelum diputuskan oleh Mahkamah Agung, yaitu di Pakistan. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 104 Tabel 2.5. Pengadilan Yang Berwenang Memutus Pembubaran Partai Politik Mahkamah Konstitusi Rumania (pelanggaran konstitusional) Azerbaijan Taiwan Jerman Armenia Bulgaria Georgia Korea Selatan Moldova Polandia Slovakia Slovenia Turki Thailand Hungaria Mahkamah Agung Eritrea Mongolia Pakistan Yordania Afghanistan Pengadilan Kamboja Rumania (alasan administratif) Yaman Berdasarkan ketentuan di beberapa negara, pembubaran partai politik lebih banyak merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun, tidak semua ketentuan yang mengatur Mahkamah Konstitusi di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi menyebutkan wewenang memutus pembubaran partai politik. Terdapat dua kemungkinan terkait hal tersebut. Pertama adalah wewenang itu diberikan atau diatur dalam undang-undang lain, misalnya undang-undang tentang partai politik, atau memang wewenang tersebut tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi negara yang bersangkutan tetapi ada pada Mahkamah Agung atau pengadilan lainnya. Beberapa negara yang memiliki konstitusi yang di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusinya mencantumkan wewenang pembubaran partai politik diantaranya adalah Albania, Armenia, Austria, Azerbaijan, Kroasia, Cheznya, Georgia, Hungaria, Jerman, Korea Selatan, Macedonia, Moldova, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Thailand, Turki, Taiwan, dan Chile. Pembubaran suatu partai politik memiliki akibat-akibat hukum tertentu. Beberapa negara yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik diantaranya adalah Turki, Jerman, Kamboja, Azerbaijan, Mongolia, Taiwan, Pakistan, dan Bulgaria. Article 69 Para (8) Konstitusi Turki menyatakan sebagai berikut. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 105 (8) A Party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name. (9) The members, including the founders of a political party whose acts or statements have caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or supervisors in any other party for period of five years from the date of publication in the official gazette of the Constitutional Court’s final decision and its justification for permanently dissolving the party.364 Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu partai politik yang telah dibubarkan secara permanen tidak dapat didirikan lagi dengan nama lain. Sanksi ini merupakan sanksi yang menyatakan partai yang dibubarkan tersebut sebagai partai terlarang. Akibat hukum lainnya adalah sanksi kepada anggota termasuk pendiri yang tindakan atau pernyataannya menyebabkan dibubarkannya partai politik, tidak dapat menjadi pendiri, anggota, pengurus, maupun pengawas partai politik lain. Di Jerman, selain sanksi pendirian partai atau organisasi yang sama untuk menggantikan partai yang dibubarkan, salah satu akibat hukum dari pembubaran partai politik adalah harta kekayaan partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik. Hal itu diatur dalam Article 6 Para 3 Federal Constitutional Court Act sebagai berikut. (3) The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit. Ketentuan mengenai akibat hukum terhadap harta kekayaan juga diatur lebih jelas dalam Political Parties Act Bulgaria365 pada Article 24 Para 2 sebagai berikut. (2) When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received. Sebagai salah satu konsekuensi dari disitanya harta kekayaan partai oleh negara, maka negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai 364 365 Article 69 Para 8 dan 9 Konstitusi Republik Turki. Promulgated State Gazette No. 29/10.04.1990, Amended SG No. 87/1990 & 59/1996. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 106 politik. Namun demikian, tanggungjawab tersebut sebatas pada nilai kekayaan yang disita dari partai politik yang dibubarkan. Akibat hukum lain dari pembubaran suatu partai politik adalah berakhirnya kenggotaan lembaga perwakilan dari seseorang yang mewakili partai politik yang dibubarkan. Hal itu misalnya terdapat di Taiwan dan Pakistan. Article 30-I Procedure Act Taiwan menyatakan sebagai berikut. The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately upon the judgment’s becoming effective. Akibat hukum terhadap anggota lembaga perwakilan dari partai yang dibubarkan tersebut juga diterapkan di Pakistan. Bahkan, di Pakistan diikuti dengan sanksi dilarang berpartisipasi dalam pemilihan untuk semua jabatan publik yang dipilih selama kurun waktu empat tahun sejak dinyatakan berhenti dari anggota lembaga perwakilan karena pembubaran partai politiknya.366 2.5.5. Kasus Pembubaran Partai Politik di Negara Lain Setelah mengetahui pengaturan partai politik di beberapa negara, pada bagian ini akan disajikan beberapa kasus pembubaran partai politik di negara lain. Beberapa kasus yang akan diuraikan adalah pembubaran Halkin Emek Partisi dan Partai Refah di Turki, pembubaran Partai Thai Rak Thai di Thailand, serta pembubaran Socialist Reich Party dan the Communist Party di Jerman. Kasuskasus tersebut dipilih karena mendapat banyak perhatian para ahli hukum dan politik sehingga memiliki pengaruh terhadap perkembangan kajian teoretis terkait dengan demokrasi, khususnya pembubaran partai politik. 2.5.5.1. Pembubaran Halkin Emek Partisi (1993) dan Refah Party (1998) di Turki Halkin Emek Partisi (HEP) adalah partai politik yang banyak menyuarakan masalah kelompok suku Kurdi di Turki. Partai ini baru mendapatkan kursi di parlemen pada pemilihan umum 1991. Kasus pembubaran HEP dimulai pada Juli 1993. Penuntut umum menuntut pembubaran HEP kepada Mahkamah Konstitusi Turki berdasarkan beberapa alasan. Pertama, HEP dinilai 366 Chapter III Article 16 The Political Party Order, 2002 (Chief Executive’s Order No. 18 of 2002). Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 107 telah menumbuhkan kesenjangan sosial yang bertujuan merusak kesatuan (inseperable unity) antara negara Turki dengan rakyat Turki. Kedua, HEP dipandang telah menjadi pusat aktivitas ilegal, terutama oleh Partai Pekerja Kurdi [Partiya Karkaren Kurdistan (PKK)], suatu organisasi gerilya ilegal yang menggunakan kekuatan bersenjata melawan kekuatan keamanan Turki di kawasan selatan timur Turki selama lebih dari satu dekade.367 Tuduhan tersebut didasarkan pada pernyataan pimpinan, tuntutan, dan pidato anggota partai yang telah terungkap dalam putusan pengadilan atas perkara beberapa anggota partai. Beberapa pernyataan dan tuntutan yang dipandang mendukung tuduhan terhadap HEP di antaranya adalah “Kami nyatakan bahwa rakyat Kurdi berada dalam kondisi yang tidak tertahankan”368, “Kami menuntut demokrasi dalam konteks masalah nasional suku Kurdi dan penyelesaiannya dapat secara bebas didiskusikan dengan segenap dimensinya”369, “Masalah Kurdi telah ada sejak pendirian Republik Turki. Orang Turki dan orang Kurdi bersama-sama membangun Republik. Tetapi sejak pendirian negara baru itu, rakyat Kurdi telah jelas dikecualikan”370, dan “Jelas bahwa negara kesatuan tidak dapat menyelesaikan masalah Turki hingga saat ini”.371 Terhadap masalah tersebut, penuntut umum menyatakan bahwa Perjanjian Lausanne 1923 telah menyelesaikan masalah kelompok minoritas di Turki. Berdasarkan perjanjian tersebut, hanya kelompok non muslim yang diakui sebagai minoritas372. Suku Kurdi tidak dapat menyatakan diri sebagai kelompok minoritas. Oleh karena itu upaya meresmikan penggunakan sebutan Kurdi serta upaya mengganti bahasa Turki sebagai bahasa nasional sama halnya dengan suatu gerakan separatisme.373 Terhadap tuduhan tersebut, pihak HEP menentang bahwa pemunculan budaya dan bahasa yang berbeda dapat disamakan dengan kecenderungan separatisme. HEP menyatakan bahwa yang dilakukan adalah menyuarakan realitas 367 Kogacioglu, Op. Cit., hal. 6. “We claim that Kurdish people exist in unbearable condition”. Case No.: 1992/1. Official Gazete, p. 74. 369 “We demand a democratic context where Kurdish national problem and its resolution can be discussed freely with all its dimensions.” Ibid., hal. 38. 370 “The Kurdish problem has existed since the foundation of the Turkish Republic. Turkish and Kurdish people establish the Republic together. But Since the founding of the new state The Kurdish people have been excluded absolutely.” Ibid. p. 108. 371 “It is clear that the unitary state has not been able to solve Turkey’s problem so far.” Ibid., p.55. 372 Yaitu kelompok non muslim Yunani dan Armenia di Anatolia. 373 Kogacioglu, Op. Cit., hal. 7. 368 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 108 rakyat suku Kurdi. Menjadi suatu bangsa atau menjadi minoritas adalah fakta sosiologis yang tidak mungkin dihilangkan oleh aturan hukum. Pernyataan yang mewakili kelompok minoritas juga tidak dapat disebut sebagai separatisme. Mendiskusikan secara terbuka permasalahan negara yang penting adalah sah bagi partai politik dan diperlukan dalam proses demokrasi. HEP berargumentasi bahwa adalah hak bagi masyarakat Kurdi untuk diakui karena telah berjuang bersama masyarakat Turki. Tuntutan mereka tidak seharusnya ditafsirkan sebagai tendensi separatisme, sebaliknya harus dilihat sebagai kehendak menjalankan urusan lokal sebagai patner sejajar masyarakat Turki. Kesatuan negara Turki akan menjadi slogan semata jika menolak realitas dan hak minoritas.374 Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi Turki menyatakan bahwa HEP terbukti telah mengekpresikan kehendak mendirikan tatanan sosial baru berdasarkan ras. Selain itu, HEP juga dinyatakan terbukti sebagai pusat aktivitas ilegal PKK. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa terdapat banyak kelompok yang secara bebas mengikuti tradisi tertentu, namun tradisi tersebut tidak dapat menjadi dasar untuk memperoleh status minoritas dan hakhaknya. Tuntutan tersebut memang tidak dapat disamakan dengan separatisme. Namun demikian, Mahkamah membangun konsep bahwa mengikuti suatu tradisi adalah legitimate, tetapi tidak dapat memasuki wilayah tuntutan politik. Mahkamah menyimpulkan bahwa pada saat HEP membawa tuntutan tersebut pada wilayah politik, maka sah bagi negara dan merupakan haknya secara demokratis untuk melindungi kesatuan dan tatanan publik dengan mengajukan pembubaran HEP. Pertimbangan Mahkamah yang lain adalah terkait dengan penggunaan bahasa Kurdi. Dalam pandangan Mahkamah, Bahasa Turki adalah bahasa resmi negara Turki dan hanya bahasa itulah yang diijinkan digunakan dalam pendidikan dan komunikasi publik. Bahasa Turki adalah bahasa yang paling banyak digunakan di Turki. Di samping itu memang terdapat berbagai bahasa lokal yang digunakan dalam keseharian kehidupan masyarakat di lingkungan rumah tangga, kerja, bahkan media dan karya seni yang salah satunya bahasa Kurdi. Namun Mahkamah membenarkan pelarangan penggunaan bahasa lokal tersebut di media 374 Ibid., hal. 7-8. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 109 karena dipandang sebagai wilayah politik sehingga penggunaan bahasa selain bahasa Turki menunjukkan adanya unsur separatisme. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan bahwa pada era Republik Turki modern, pemberian status minoritas berdasarkan perbedaan bahasa atau ras tidak sesuai dengan kesatuan bangsa dan negara. Negara adalah suatu kesatuan, bangsa adalah suatu keseluruhan, dan pernyataan sebaliknya hanya dapat dilihat sebagai pengaruh asing yang secara intensif dilakukan oleh retorika hak asasi manusia dan kebebasan.375 Mahkamah menekankan bahwa bangsa didirikan berdasarkan kehidupan bersama dan bukan separatisme. Nasionalisme membutuhkan persatuan dalam berbangsa. Status minoritas telah diakui berdasarkan perjanjian Lausanne, dan status ini telah diberikan untuk komunitas non Muslim Yunani dan Armenia. Berdasarkan pertimbangan tersebut, HEP dinyatakan terbukti memiliki prinsip yang tidak sesuai dengan kelanjutan demokrasi sehingga harus dibubarkan.376 Mahkamah Konstitusi Turki sejak 1980 hingga 1999 telah menjalankan wewenang pembubaran partai politik sebanyak 18 kali, 9 diantaranya terkait dengan masalah Kurdi. Alasan lainnya yang banyak menjadi dasar pembubaran adalah bertentangan dengan prinsip laicism377. Beberapa partai yang berhaluan Islam dibubarkan dengan alasan melindungi laicism. Satu diantaranya adalah Partai Refah.378 Partai Refah didakwa menjadi pusat aktivitas yang melawan prinsip laicism negara Turki dan bermaksud menggantikan sistem politik dengan sistem berdasarkan hukum shari’a.379 Dakwaan tersebut didasarkan pada aktivitas dan kedudukan partai dan pemimpinnya yang meliputi, pertama, Partai Refah 375 Ibid., hal. 8-9. Ibid., hal. 9. Terhadap putusan ini, HEP mengajukan ke Pengadilan HAM Eropa, namun putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi karena partai yang mendukung terorisme dapat menghilangkan kerangka demokrasi, kekuatan bersenjata akan menjadi alat untuk memonopoli dukungan publik yang bertentangan dengan European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. Lihat, Ayres, Op. Cit., hal. 4 377 Laicism merupakan paham pemisahan antara negara dan agama yang melebihi sekulerisme. Laicism menempatkan supremasi dan kontrol negara di atas kehidupan beragama dan politik. Istilah laicism berasal dari bahasa Perancis. Menurut paham ini, organisasi keagamaan harus berada di luar wilayah publik, serta larangan menggunakan simbol keagamaan dalam kehidupan publik. Ibid., hal. 3 dan footnote no. 13. 378 Ibid., hal. 4. 379 Menurut Kogacioglu, hukum Shari’a dalam hal ini menunjuk pada tatanan sosial berbeda dari hukum Shari’a yang banyak didiskusikan oleh ahli hukum yang lebih menunjuk pada model pembuatan dan penemuan hukum. Shari’a dikonstruksikan oleh para nasionalis Turki sebagai tatanan sosial di mana semua bidang kehidupan berada di bawah kontrol institusi keagamaan sehingga tidak demokratis dan bersifat adi duniawi. Konstruksi ini menempatkan Islam sebagai kekuatan masa lalu yang represif. Lihal Ibid., footnote no. 18 dan 33. 376 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 110 mendukung perjuangan pelajar putri dan pegawai negeri untuk menggunakan jilbab. Perjuangan tersebut bertentangan dengan keputusan Dewan Keamanan Nasional (NSC)380 dan bertentangan dengan hukum yang mengatur kesatuan pendidikan. Kedua, Necmettin Erbakan, pemimpin Partai Refah yang juga mantan Perdana Menteri Turki, telah menerima tamu makan malam beberapa pemimpin tarikat sufi di rumah dinas Perdana Menteri. Hal itu menunjukkan bahwa negara menerima orang-orang yang diketahui aktivitasnya bertentangan dengan laicism. Ketiga, Partai Refah digugat atas posisinya terhadap pendidikan keagamaan di suatu sekolah khusus. Hal itu mengakibatkan negara menjalankan pendidikan yang akan memunculkan kelompok Islam dalam kehidupan sekuler. Partai Refah mendukung sekolah tersebut walaupun keberadaan sekolah itu tidak diperlukan. Bahkan NSC secara tidak langsung telah memberikan sinyal bahwa hal itu menunjukkan Partai Refah akan menegakkan tatanan Shari’a. Keempat, pidato Erbakan yang mendukung adanya pluralisme hukum berdasarkan ide dalam konstitusi Madinah. Hal itu dipandang sebagai bukti bahwa Partai Refah mendorong tatanan Shari’a di Turki.381 Terhadap dakwaan-dakwaan tersebut, Partai Refah menyatakan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang melarang penggunaan jilbab di dalam institusi negara. Terkait dengan dukungan terhadap pendidikan agama, Refah menyatakan bahwa sekolah tersebut dibutuhkan dalam negara yang 99% penduduknya adalah Muslim. Untuk memperkuat argumen tersebut, dikutip pernyataan Ataturk bahwa setiap orang perlu mempelajari agamanya. Selain itu, Refah juga menyatakan bahwa pidato Erbakan dan pemimpin lainnya yang bertentangan dengan laicism tidak hanya dilindungi oleh kekebalan parlemen namun juga harus dipahami sesuai dengan konteksnya, serta tidak dimaksudkan sebagai fundamentalisme 380 National Security Council (NSC) adalah lembaga yang didirikan pada 1962 untuk memberikan nasihat kepada pemerintah. Pasca kudeta 1971, otoritas NSC semakin kuat termasuk memberikan rekomendasi kepada kabinet terkait dengan keamanan nasional. Bahkan dengan berlakunya Article 118 Konstitusi 1982, NSC mengirimkan pandangannya tentang keputusan yang dibutuhkan untuk menjaga keamanan kepada Dewan Menteri yang berisi formula, kelembagaan, dan implementasinya. Dewan Menteri harus memberikan perhatian prioritas kepada keputusan NSC. Keanggotaan NSC terdiri atas Perdana Menteri, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Komandan Angkatan Darat, Komandan Angkatan Laut, Komandan Angkatan Udara, Komandan Jenderal Kepolisian, di bawah kepemimpinan Presiden. NSC berkembang menjadi jalan bagi militer untuk memberikan masukan dan mempengaruhi kehidupan politik terutama dengan alasan guna menjaga tatanan kehidupan sekuler nasional serta demokrasi di Turki. Lihat, Ibid., hal. 3. 381 Ibid., hal. 9. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 111 agama. Semua itu dilindungi oleh norma umum kebebasan keyakinan individu yang dijamin konstitusi. Pada akhir pembelaannya, Refah menyatakan bahwa laicism harus dimaknai berbeda dengan atheism. Article 4 program Partai Refah menyatakan bahwa laicism tidak memusuhi agama. Sebaliknya, merupakan prinsip yang dikembangkan dan dilaksanakan guna melindungi kebebasan beragama dan kebebasan keyakinan.382 Mahkamah Konstitusi Turki mempertimbangkan keberadaan prinsip laicism yang diartikulasikan dalam Pembukaan Konstitusi Turki.383 Prinsip tersebut merupakan bagian dari prinsip Ataturk yang telah menjadi dasar pengembangan demokrasi. Oleh karena itu, agama harus diselamatkan dari politisasi, dari menjadi alat pemerintahan, dan tetap berada pada wilayah kesadaran rakyat. Agama adalah wilayah privat warga negara berupa keyakinan yang tidak boleh dikontaminasi oleh wilayah politik. Di sisi lain, kehidupan politik yang dicampur dengan kehidupan agama akan melahirkan perpecahan kesatuan nasional berdasarkan laicism dan demokrasi modern. Kehidupan yang mencampurkan antara budaya dan politik adalah kehidupan sosial “non-modern”. Suatu bangsa modern adalah hasil dari menyelamatkan politik dari agama. Bangsa modern inilah yang memunculkan kesatuan. Mengingat aktivitas Partai Refah telah menentang laicism dan mengancam kesatuan yang berarti mengancam kemajuan dan demokrasi, maka Mahkamah memutuskan pembubaran Partai Refah.384 2.5.5.2. Pembubaran Partai Thai Rak Thai (2006) di Thailand Salah satu kasus pembubaran partai politik terbaru di wilayah Asia Tenggara adalah pembubaran Partai Thai Rak Thai (TRT) pimpinan mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Pembubaran tersebut merupakan rangkaian dari kemelut politik di Thailand yang diawali oleh pembubaran 382 Case No. 1997/1, Official Gazette, p. 50. Ibid., hal. 10. Paragraf 4 Pembukaan Konstitusi Turki adalah sebagai berikut, “The recognition that no protection shall be afforded to thoughts or opinions contrary to Turkish national interests, the principle of the indivisibility of the existence of Turkey with its State and territory, Turkish historical and moral values or the nationalism, principles, reforms and modernism of Atatürk and that, as required by the principle of secularism, there shall be no interference whatsoever of the sacred religious feelings in State affairs and politics;” 384 Ibid., hal. 11-12. Putusan ini juga diajukan kepada Pengadilan HAM Eropa. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Turki dinyatakan tidak melanggar European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. ECHCR menyatakan bahwa multijudicial system yang didukung oleh Partai Refah akan menciptakan diskriminasi antar individu berdasarkan agama. Hal itu tidak konsisten dengan prinsip demokrasi. Ayres, Op Cit. 383 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 112 parlemen oleh Perdana Menteri Thaksin. Peristiwa tersebut diikuti pemilihan umum yang dipercepat, serta kudeta militer hingga pembubaran Partai TRT oleh Mahkamah Konstitusi Thailand. Wewenang Mahkamah Konstitusi Thailand untuk membubarkan partai politik diatur dalam Pasal 63 Konstitusi Thailand Tahun 1997 dan UndangUndang Partai Politik Thailand 1998. Yang menjadi pemohon adalah Jaksa Agung atas usulan atau permintaan siapa saja yang mengetahui ada anggota atau partai politik itu sendiri membahayakan negara dan konstitusi.385 Krisis politik Thailand diawali dengan menurunnya legitimasi politik Perdana Menteri Thaksin yang mendapat serangan dari pihak oposisi. Pemerintahan Thaksin dituding penuh dengan praktik korupsi dan kolusi serta kebijakan privatisasi yang merugikan. Salah satunya adalah penjualan separuh saham perusahaan BUMN telekomunikasi terbesar di Thailand, Shin Corp., kepada perusahaan Singapura, Temasek Holdings Ltd. Kebijakan tersebut menimbulkan gelombang besar demontrasi dari pihak oposisi yang didukung oleh kalangan militer.386 Di dalam parlemen, anggota dari partai oposisi melakukan aksi boikot sehingga parlemen tidak dapat melakukan sidang. Menghadapi hal tersebut, Perdana Menteri Thaksin membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum pada 2 April 2006. Pemilu itu diharapkan dapat menyelesaikan konflik politik dan mengembalikan legitimasi pemerintahan. Pemilihan umum seharusnya baru digelar pada tahun 2009. Namun pemilihan tersebut diboikot oleh pihak oposisi, sehingga pemilihan umum terancam gagal dilakukan karena jumlah calon yang mendaftar tidak mencukupi ketentuan minimum.387 Akhirnya, pemilihan tersebut tetap dapat dilaksanakan yang diikuti oleh partai TRT dan beberapa partai kecil. Partai TRT memenangi pemilihan umum dengan perolehan kursi mayoritas di parlemen. Penyelenggaraan pemilihan umum ternyata tidak dapat meredakan konflik politik. Krisis politik di Thailand meningkat setelah kudeta militer menggulingkan kekuasaan Perdana Menteri Thaksin pada 19 September 2006. Pasca kudeta, rejim 385 Mukthie Fadjar, Op. Cit., hal. 216-217 AFP/Rtr/Imam Gem, Junta Thailand Terus Didemo, Harian Sindo Edisi Sore, Jum’at, 08/06/2007. 387 Thailand Constitutional Court Voids Election Results, http://jurist.law.pitt.edu/ thisday/ thailandconstitutional-court-voids.php.htm, May 08, 2006. 386 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 113 militer memberlakukan konstitusi transisi yang dibuat oleh Council for Democratic Reform (CDR) yang selanjutnya menjadi Council for National Security (CNC) beranggotakan para perwira militer. Dalam Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang membubarkan partai politik dengan alasan melakukan kecurangan dalam pemilihan umum. Pembubaran partai politik juga disertai larangan berpolitik bagi pimpinan dan anggota utama partai selama lima tahun. Mahkamah Konstitusi yang mengadili kasus pembubaran TRT adalah Mahkamah Konstitusi yang dibentuk CDR setelah Mahkamah Konstitusi lama dibubarkan oleh CDR pasca kudeta.388 Setelah pelaksanaan Pemilu 2 April 2006, Kejaksaan Thailand mengajukan tuntutan pembubaran lima partai politik kepada Mahkamah Konstitusi karena dugaan melakukan kecurangan dalam pemilu. Kecurangan tersebut dipandang melanggar konstitusi dan merusak sendi-sendi demokrasi, serta melanggar undang-undang kepartaian. Kelima partai politik tersebut adalah Thai Rak Thai, Demokrat, Phaen Din Thai, Pattana Chart Thai, dan Prachatippatai Kao Na.389 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan pada 30 Mei 2007, Partai TRT dinyatakan terbukti bersalah melakukan kecurangan dalam pemilu. Partai TRT telah membayar dua partai kecil, yaitu partai Pattana Chart Thai dan Pandin Thai untuk ikut dalam pemilihan umum yang diboikot pihak oposisi, terutama oleh Partai Demokrat. Hal itu menyebabkan terpenuhinya suara minimum untuk pelaksanaan pemilu. Tindakan itu dinilai bertentangan dengan prinsip utama pemerintahan demokratis dan tidak menghormati hukum nasional Thailand. Sedangkan Partai Demokrat dan Prachatippatai Kao Na yang juga dituntut, dinyatakan bebas dari semua tuduhan kecurangan dan tidak dibubarkan.390 Di samping membubarkan Partai TRT, putusan tersebut juga membubarkan Partai Pattana Chart Thai dan Pandin Thai. Selain itu, 111 pengurus Partai TRT, 19 pengurus Partai Pattana Chart Thai, dan 3 pengurus Partai Pandin 388 Chen Feng, Thailand Awaits Landmark Ruling on Parties’ Dissolution Amid Anxiety, www.chinaview.cn, 2007-05-30. 389 OAG Proposes Dissolution of Democrat, Thai Rak Thai, 3 Other Parties, www.nationmultimedia.com, 2007-05-30. 390 Summary of the Decision of the Constitutional Tribunal Case Group 2, Decision no. 1-2/2550, Dated 30 May B.E. 2550, http://www.concourt.or.th/download/news/Party2.pdf, 4/9/2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 114 Thai dikenakan sanksi tidak boleh melakukan kegiatan politik termasuk memilih dan dipilih untuk waktu lima tahun. Partai yang dibubarkan tersebut tidak dapat dibentuk lagi, dan pengurus yang dikenakan sanksi dilarang membentuk partai baru.391 2.5.5.3. Pembubaran Socialist Reich Party (1952) dan Communist Party (1956) di Jerman Berdasarkan Article 21 Konstitusi Jerman, partai politik dalam sistem politik Jerman berkedudukan tidak hanya sebagai organisasi sosial politik, tetapi ditempatkan sebagai salah satu organ konstitusional. Hal itu ditegaskan dalam pendapat hukum Mahkamah Konstitusi Jerman pada kasus Schleswig-Holstein Voters’ Association.392 Berdasarkan ketentuan Konstitusi Jerman, suatu partai politik dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi393 berdasarkan tujuan atau perilaku pengikutnya yang tidak sesuai atau berupaya menghapuskan tatanan dasar demokrasi. Selain itu juga karena membahayakan eksistensi negara Republik Federal Jerman.394 Permohonan pembubaran partai politik dapat diajukan oleh Bundestag, Bundesrat, Pemerintah Federal, serta Pemerintah Negara Bagian tertentu.395 Di antara kasus-kasus pembubaran partai politik yang banyak mendapat perhatian adalah pembubaran Socialist Reich Party (SRP) pada 1952 dan Communist Party of Germany (KPD396) pada 1956. SRP dibubarkan karena terbukti memiliki struktur, tujuan, program, dan aktivitas mirip dengan partai Nazi yang berupaya menghancurkan nilai-nilai dasar demokrasi tertinggi dalam konstitusi. Putusan tersebut didasarkan pada beberapa fakta dan argumentasi yang mendukung pendapat bahwa SRP adalah bentuk baru dari partai Nazi yang mengancam demokrasi. Mahkamah Konstitusi Jerman menemukan bukti-bukti surat bahwa hampir semua pemimpin SRP adalah mantan anggota Nazi dengan berbagai posisi, seperti sebagai anggota SS dan SA. Pemimpin SRP juga secara aktif mencari mantan anggota Nazi lain untuk 391 Summary of the Decision of the Constitutional Tribunal Case http://www.concourt.or.th/download/news/Party1.pdf, 4/9/2007. 392 Kommers, Op. Cit., hal. 202. 393 Kewenangan ini juga disebutkan dalam Article 13 Bundesverfassungsgerichts-Gezets. 394 Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman. 395 Ibid, Article 43. 396 Kommunistische Partei Deutschlands. Group 1, Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 115 dijadikan sebagai pemimpin dan anggota SRP. Pihak SRP menyatakan bahwa partai yang lain juga mencoba mendaftar mantan anggota Nazi. Namun Mahkamah menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh SRP tidak sekadar mendaftar, tetapi hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan kembali pengaruh secara sistematis dan menempatkannya sebagai lingkaran inti SRP. Para mantan anggota Nazi tersebut menduduki posisi kunci dalam SRP. Namun demikian pembubaran tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan keinginan saja atau baru sebagai potensi.397 Di sisi lain, organisasi SRP memiliki banyak kemiripan dengan partai Nazi.398 Struktur internalnya tidak menerapkan prinsip demokrasi yang tersusun secara bottom up dan melibatkan anggota dalam pembuatan keputusan. Struktur SRP mengharuskan adanya kepatuhan absolut kepada pemimpin partai dengan otoritas yang dibuat secara top down. Berdasarkan Anggaran Dasar SRP, yang diterima sebagai anggota hanya yang benar-benar berjuang untuk partai. SRP tidak menerima aparat pengadilan, political prosecutees399, dan orang dengan kejahatan serius, serta orang yang terlibat dalam kasus 20 Juli.400 Fakta-fakta tersebut oleh Mahkamah dipandang sebagai bukti bahwa SRP dijalankan dengan cara diktator. Hal itu ditambah dengan pendirian organisasi yang berafiliasi kepada SRP. Organisasi itu adalah Reichsfront yang sama dengan SS401 dipandang sebagai kelompok pasukan elit Nazi, serta Reichsjugend dan Frauenbund yang mencerminkan penerapan prinsip-prinsip Fuhrer. Struktur dan prinsip organisasi tersebut diupayakan untuk menjadi struktur dan prinsip nasional sehingga SRP bertujuan menghilangkan tatanan dasar demokrasi. Bukti lain yang ada adalah bahwa program SRP menunjukkan adanya kepercayaan terhadap 397 Kommers, Op. Cit., hal. 225. Partai Nazi adalah Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, yang sering disingkat NSDAP. 399 Adalah anggota kelompok perlawanan dan partai oposisi yang pernah dituntut pada masa Hitler berkuasa. Ibid, hal. 225-226. 400 Menunjuk pada sekelompok tentara yang dipimpin oleh Kolonel Claus Graf Schenk von Stauffenberg, yang mencoba membunuh Hitler pada 20 Juli 1944 dengan menempatkan bom di Timur Prusia. Ibid. 401 SS adalah kependekan dari Schutzstaffel. SS didirikan pada 1925 sebagai unit penjaga pribadi Adolf Hitler. Di bawah kepemimpinan Heinrich Himmler, antara 1929 hingga 1945, SS tumbuh dari pasukan paramiliter kecil menjadi salah satu organisasi terbesar dan paling berkuasa dalam organisasi Nazi Jerman. Nazi menempatkan SS sebagai unit khusus penjaga partai. Seluruh personel SS dipilih berdasarkan prinsip pemurnian ras dan loyalitas mutlak pada partai Nazi. SS memiliki dua sayap, yaitu sayap politik yang disebut Allgemeine-ss, dan sayap militer yang bernama Waffen-SS. 398 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 116 mitologi superioritas ras Jerman, semangat anti semit, serta penerimaan pada ide negara otoritarian.402 Awal tahun proses pembubaran SRP sebenarnya bersamaan dengan pengajuan pembubaran KPD oleh Pemerintah Negara Bagian Adenauer, yaitu pada 1951. Namun kasus pembubaran KPD belum dapat diputus hingga 1956. Penundaan putusan tersebut karena Mahkamah menganggap bahwa pengajuan permohonan terlalu prematur. Selain itu, akan lebih baik jika membiarkan partai tersebut bubar dengan sendirinya karena seleksi politik dibanding membubarkannya dengan putusan hukum. KPD hanya mendapatkan 2,3 persen suara secara nasional pada pemilu 1953, dan sudah tidak mendapat dukungan lagi pada pemilu 1956. Namun demikian pemerintah tidak mencabut kasus tersebut.403 Mahkamah Konstitusi Jerman memutus pembubaran KPD pada 17 Agustus 1956. Dalam putusannya, Mahkamah memberikan analisis yang mendalam terhadap sejarah komunisme Jerman, ideologi Marxisme-Leninisme, serta meneliti struktur, kepemimpinan, kampanye, serta gaya politik KPD. Mahkamah menemukan bukti bahwa KPD memiliki tujuan dan aktivitas yang bertentangan dengan sistem konstitusional. Walaupun demikian, dalam menafsirkan Article 21 Mahkamah menolak anggapan bahwa aktivitas illegal atau tindakan konkret menghapus tatanan demokratis dibutuhkan untuk menghilangkan status konstitusional partai. Hal itu tidak cukup sebagai dasar pelarangan suatu partai politik. Hal yang penting adalah apakah suatu partai memiliki tujuan tetap yang secara terus menerus memerangi tatanan dasar demokrasi. Tujuan itu harus diwujudkan dalam tindakan politik yang benar-benar terencana. Hal itu dapat dilihat dari program, pernyataan resmi, pernyataan pemimpin partai, serta bahanbahan pelatihan dan pendidikan partai. Berdasarkan materi dalam bukti-bukti tersebut, Mahkamah Konstitusi Jerman menyatakan bahwa KPD adalah partai politik yang bertetangan dengan konstitusi sebagaimana dimaksud Article 21 Konstitusi Jerman.404 Seperti halnya pada kasus SRP, Mahkamah Konstitusi Jerman memerintahkan pembubaran KPD dan penyitaan segala aset-asetnya. Pembubaran 402 Ibid., hal. 226-227. Ibid., hal. 227. 404 Ibid., hal. 228. 403 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 117 itu merupakan konsekuensi dari putusan pengadilan yang menyatakan partai tersebut bertentangan dengan konstitusi. Konsekuensi lain dari pembubaran itu adalah, SRP maupun KPD kehilangan kursinya baik di parlemen federal maupun parlemen negara bagian.405 Berdasarkan uraian kasus pembubaran partai politik di Turki, Thailand, dan Jerman tersebut dapat dilihat bahwa pembubaran partai politik diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan pedoman Venice Commission.406 Pembubaran tersebut didasarkan pada pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh partai politik seperti diatur oleh konstitusi negara masing-masing. Namun terdapat perbedaan jenis pelanggaran yang menjadi dasar pembubaran partai politik. Venice Commision menentukan bahwa sebelum meminta lembaga yudisial yang berwenang untuk membubarkan partai, pemerintah harus menilai dengan memperhatikan situasi negara apakah partai tersebut menjadi ancaman bagi kebebasan, tatanan demokrasi, dan hak-hak individu. Upaya pembubaran tersebut juga harus didasarkan pada bukti bahwa suatu partai politik mengejar tujuan politik dengan cara yang tidak konstitusional. Terhadap hal tersebut terdapat perbedaan penerapan di ketiga negara. Dalam kasus pembubaran HEP dan Refah Party di Turki, pelanggaran yang menjadi alasan pembubaran adalah program dan aktivitas partai yang dianggap membahayakan prinsip sekularisme yang dianut oleh konstitusi Turki, walaupun hal itu dilakukan tidak dengan cara kekerasan yang bertentangan dengan konstitusi. Di Jerman, alasan pembubaran SRP dan KPD adalah struktur internal dan aktivitas partai yang tidak demokratis dan dipandang membahayakan tatanan demokrasi nasional. Sedangkan di Thailand, tindakan yang dipandang melanggar prinsip demokrasi dan aturan hukum adalah melakukan kecurangan berupa penyuapan kepada partai politik lain untuk mengikuti pemilihan umum agar memenuhi persyaratan dilaksanakannya pemilihan umum tersebut. Dari kasus-kasus pembubaran partai politik tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat persamaan dan perbedaan akibat hukum pembubaran partai politik. 405 Ibid., hal 229. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 406 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 118 Akibat hukum yang sama adalah penyitaan harta kekayaan partai oleh negara dan hilangnya kursi parlemen yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan tersebut, serta larangan mendirikan partai politik yang sama atau partai politik pengganti. Sedangkan perbedaannya adalah sanksi politik terhadap pengurus atau anggota. Di Turki, pengurus dan anggota partai politik yang dibubarkan tidak boleh mendirikan dan menjadi anggota atau pengurus partai selama waktu lima tahun. Di Thailand, selain memutuskan pembubaran partai politik, Mahkamah Konstitusi juga menjatuhkan sanksi larangan melakukan kegiatan politik, termasuk memilih dan dipilih, dalam waktu lima tahun kepada sejumlah pengurus partai politik yang dibubarkan. Sanksi tersebut tidak terdapat dalam pembubaran SRP dan KDP di Jerman. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. BAB III SEJARAH PARTAI POLITIK DAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE LAMA 3.1. PARTAI POLITIK SEBELUM DAN PADA AWAL KEMERDEKAAN 3.1.1. Partai Politik Sebelum Kemerdekaan 3.1.1.1. Munculnya Organisasi Politik Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu sudah mulai berkembang kekuatan-kekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan.407 Partai politik di Indonesia lahir bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas politik. Munculnya berbagai organisasi politik dapat dilihat sebagai hasil pendidikan modern saat diberlakukan kebijakan politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda.408 Walaupun tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda sebenarnya hanya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan administrasi dan birokrasi kolonial tingkat rendah,409 namun telah membangkitkan kesadaran kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan melalui gerakan politik.410 407 Huntington, Op. Cit., hal. 489. Lihat tahapan perkembangan partai politik yang telah diuraikan pada bab dua. 408 Kebijakan politik etis diumumkan oleh Ratu Wilhemina dalam pidato tahunan 1901. Kebijakan itu dipengaruhi oleh publikasi dan pembicaraan tentang kemiskinan, khususnya di wilayah pulau Jawa. Salah satu tulisan yang berpengaruh adalah karya anggota parlemen Belanda, Mr. C. Th. Van de venter dalam majalah De Gids dengan judul Een Ereschuld atau hutang kehormatan. Lihat, Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 1. Bandingkan dengan, Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Judul Asli: The Emergence of the Modern Indonesian Elite, Penerjemah: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 51. 409 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 159. 410 Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965: Suatu pengantar, dalam Miriam Buadiardjo (peny.), Partisipasi dan Partai Politik, Op. Cit., hal. 225. 119 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 120 Salah satu puncak perubahan pemerintahan kolonial Belanda adalah dibentuknya Volksraad pada 1916.411 Dewan itu pada awalnya hanya memiliki kekuasaan sebagai penasihat, bukan pembentuk undang-undang. Baru pada 1925, berdasarkan Undang-Undang Tata Pemerintahan Hindia Belanda, Volksraad memiliki kekuasaan mengajukan petisi, membahas undang-undang, dan menyetujuinya.412 Namun demikian, Gubernur Jenderal memiliki hak veto sehingga wewenang tersebut tidak banyak dapat dimanfaatkan.413 Organisasiorganisasi politik yang ada pada saat itu ada yang bersikap kooperatif dan ada yang mengambil jalan non kooperatif.414 Pada masa itu, hukum dasar yang berlaku di wilayah Hindia Belanda adalah regeerings-reglement (RR) 1854. Pasal 111 RR menyatakan bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan yang membicarakan soal pemerintahan atau yang membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia Belanda. Pada 1919, RR diganti Indische Staatsregeling (IS) 1918 yang pada Pasal 165 juga memuat larangan organisasi dan perkumpulan politik. Keberadaan ketentuan tersebut mengakibatkan organisasi politik tidak terang-terangan menunjukkan diri sebagai organisasi politik dalam tujuan, program, dan aktivitasnya.415 Hal itu dapat dilihat dari berdirinya Budi Utomo416 411 Rancangan pertama undang-undang pembentukan Volksraad telah diajukan oleh Menteri Jajahan Willem K. B. van Dedum pada 1893. Setelah mengalami beberapa perubahan, rancangan tersebut disetujui oleh parlemen Belanda pada 16 Desember 1916 dan menjadi undang-undang (Staatsblad 1916, No. 14). Berdasarkan Dekrit Raja 30 Maret 1917, ditentukan bahwa Volksraad mulai berlaku sejak 1 Agustus 1917. Pada 18 Mei 1918 Volksraad diresmikan Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. Lihat W.H. Van Helsdingen, Pekerjaan Dewan Ra’jat Sepoeloeh Tahoen 1918 – 1928. Wetevreden: Balai Pustaka, 1944, dalam Suradi, Op. Cit., hal. 11 – 12. 412 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 30. 413 George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, (Jakarta: Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 52. 414 Salah satu organisasi yang kooperatif adalah Sarekat Islam dengan salah satu tokohnya H. Agus Salim yang menyatakan bahwa partisipasi dalam Volksraad diperlukan. Walaupun Volksraad bukan merupakan majelis wakil rakyat, tetapi dengan usaha di dalamnya diharapkan bangsa Indonesia lebih siap untuk majelis wakil rakyat yang akan diperoleh nantinya. Pernyataan ini dimuat dalam tulisan “Soal keanggotaan Tjokro dan Moeis Dalam Volksraad” pada Neratja, 22 Maret 1919. Sedangkan tokoh yang mengambil jalan nonkooperasi salah satunya adalah Moh. Hatta. Menurut Hatta, politik non-kooperasi berdasarkan atas hubungan yang jelas antara penjajah dan yang terjajah. Keduanya saling bertolak belakang. Oleh karena itu kerjasama dengan pemerintah adalah tidak perlu. Lihat, Suradi, op cit., hal. 7. Peran SI dalam Volkraad juga dibahas dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 129 – 133. 415 Deliar Noer, Perkembangan Demokrasi Kita, Prisma 2, Februari 1977, hal. 18-33. 416 Berkembang dari kalangan terpelajar dalam kelompok-kelompok studi. Pada awalnya organisasi BU perhatiannya pada masalah sosial, ekonomi, serta pendidikan dan kebudayaan. Pada Kongres BU yang pertama pada 5 Oktober 1908, ditetapkan tujuan BU adalah kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan perdagangan, teknik dan industri serta kebudayaan (kesenian dan ilmu). Lihat, M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 15. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 121 (BU) pada 20 Mei 1908 dan Sarekat Islam (SI) pada 1911. Kedua organisasi itu tidak secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik.417 Namun dalam perkembangan kedua organisasi tersebut, program dan aktivitasnya telah merambah ke wilayah politik. Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan kedua organisasi tersebut dalam Volksraad.418 Bahkan, pada 23 Juli 1916 BU dan SI telah melakukan aktivitas politik menuntut ketahanan Hindia Belanda guna menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia saat itu telah berpikir mandiri. Aksi itu dikenal dengan Weerbaar Actie.419 Wakil-wakil BU dan SI juga menjadi anggota koalisi radical concentratie di dalam Volksraad yang menuntut adanya Majelis Nasional sebagai parlemen pendahuluan untuk menetapkan hukum dasar sementara bagi Hindia Belanda.420 Keberadaan kedua organisasi politik tersebut diikuti dengan munculnya berbagai organisasi partai politik. Partai-partai tersebut di antaranya adalah Indische Partij (IP), Insulinde, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Indonesia (Partindo), Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP), Indische Katholijke Partij, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Selain berbagai partai politik, juga pernah terbentuk federasi organisasiorganisasi politik. Pada 17 Desember 1927 lahir Permufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dibentuk oleh PNI, PSI, BU, Sarikat Pasundan, Sarikat Sumatera, dan Kaum Betawi. PPPKI berupaya menyamakan arah aksi dan kerja sama, dan menghindarkan perselisihan yang 417 Pada Kongres SI pertama, 26 Januari 1913 di Surabaya menerangkan bahwa SI bukan partai politik. Lihat A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1994), hal. 7. 418 Keanggotaan Volksraad terdiri atas anggota yang diangkat dan dipilih. Untuk memilih anggota Volksraad dari bangsa Indonesia dibentuk National Committee yang terdiri atas 10 organisasi, diantaranya adalah SI, BU, beberapa perkumpulan kaum bangsawan, dan persatuan guru Hindia Belanda. Komite ini diketuai oleh Woerjaningrat dari BU. Anggota Volksraad dari Hindia Belanda untuk periode 1918-1921 adalah Abdoel Moeis (SI), Abdoel Rivai (Insulinde), R. Aboekkesan Atmodirono (BU), R.M.T.A. Koesoemo Joedo (BU), R Kamil (BU), R.M. Koesoemo Oetojo (BU), R. Sastro Widjojo (BU), A.L. Woworoentoe (Perserikatan Minahasa), Dr. Radjiman Wediodipoero (BU), R.Ng. Dwijosewojo (BU), F. Laoh (Perserikatan Minahasa), DR. Tjipto Mangoenkoesoemo (Insulinde), dan R. Oemar Said Tjokroaminoto (SI). Lihat Suradi, Op. Cit., hal. 14 – 16, dan 27. Untuk daftar jumlah wakil masing-masing partai politik dapat dilihat pada A.K. Pringgodigdo, Op. Cit., hal. 92 – 94 dan 171 – 173. 419 Pernyataan tersebut disampaikan kepada Ratu Belanda oleh utusan yang dikirim ke negeri Belanda. Salah satu utusannya adalah Dwidjosewojo dari BU. Lihat Deliar Noer & Akbarsyah, KNIP: Parlemen Indonesia 1945 – 1950, (Jakarta: Yayasan Risalah, 2005), hal. 2, dan A.K. Pringgodigdo, Op. Cit., hal. 3. 420 Anggota lainnya adalah dari ISDV dan Insulinde. Lihat, A.K. Pringgodigdo, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 122 melemahkan aksi kebangsaan.421 Pada 1939 terbentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI).422 Salah satu tuntutan politik GAPI adalah pembentukan parlemen Indonesia yang merupakan lembaga legislatif dengan model dua kamar. Bahkan pada akhir Desember 1939 GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang menggabungkan antara GAPI, MIAI423, dan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN).424 Partai-partai politik yang ada sebelum kemerdekaan tersebut, tidak semuanya mendapat status badan hukum dari pemerintah kolonial Belanda. SI belum mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum hingga 1923. Demikian pula halnya dengan IP yang pada 4 Maret 1913 permohonannya ditolak oleh Gubernur Jenderal karena dipandang sebagai organisasi politik radikal dan mengancam keamanan umum.425 3.1.1.2. Pembatasan dan Pembubaran Partai Politik Kehidupan partai politik Indonesia sebelum kemerdekaan mulai menurun setelah 1930. Hal itu terjadi karena kebijakan represif yang dijalankan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Gubernur Jenderal B.C. de Jonge (1931) dan dan A.W.L. Tjarda van Starkenborg Stachouwer (1936) menolak memberi pengakuan pada organisasi pergerakan nasionalis. Kebijakan represif tersebut didukung oleh ketentuan Pasal 35, 36, 37, dan 38 IS yang memberikan hak eksorbitan kepada Gubernur Jenderal, yaitu wewenang mengasingkan orang-orang yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Partai politik secara ketat juga diawasi Politieke Inlichtingen Dienst, Badan Intelejen Politik saat itu.426 Pada 1935 dikeluarkan aturan Beperkt Vergader Verbod (BVV)427 yang memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal sesudah mendengar pertimbangan Raad van Indie, untuk menyatakan bahwa suatu perkumpulan bertentangan dengan ketertiban umum. Selain itu, Gubernur Jenderal juga dapat 421 Ibid., hal. 84. Meliputi Gerindo, Parindra, Pasoendan, Persatoean Minahasa, Partai Katolik Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai Arab Indonesia. Lihat, Kahin, Op. Cit., hal. 123, catatatn kaki no. 100. 423 Majelis Islam A’la Indonesia, federasi organisasi-organisasi Islam Indonesia yang terbentuk pada 1937. Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 219. 424 Deliar Noer & Akbarsyah, Op. Cit., hal. 8 – 9. 425 Insulinde kemudian menjadi National Indische Partij. Karim, Op. Cit., hal. 23. 426 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 6 – 8, catatan kaki no. 8, 9, dan 11. 427 Staatsblad Tahun 1935, No, 85. 422 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 123 membatasi hak mengadakan pertemuan. Setiap pertemuan politik harus diberitahukan lima hari sebelumnya kepada pejabat pemerintah setempat yang memiliki hak untuk melarang. Adanya aturan itu menurunkan aktivitas organisasiorganisasi politik.428 Di antara partai-partai yang ada pada masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut, yang pernah dibubarkan adalah IP, PKI, dan PNI.429 Pembubaran partaipartai pada masa kolonial Belanda dilakukan pada saat aktivitas partai politik dianggap membahayakan pemerintahan dan mengganggu stabilitas. Pada Maret 1913, setelah berkembangnya gagasan radikal dan aksi-aksi pemogokan dan boikot, terutama oleh Serikat Buruh Kereta Api (Vereeniging van SpoorenTramweg-Personeel), IP dinyatakan terlarang oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tiga pendiri IP diasingkan, pada awalnya ke luar Jawa. Douwes Dekker ke Kupang, Tjipto Mangunkusumo ke Banda, dan Suwardi Surjaningrat ke Bangka. Ketiganya kemudian dialihkan ke Belanda.430 PKI dibubarkan karena melakukan pemberontakan pada 13 November 1926 di Jakarta disusul dengan aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa tengah, dan Jawa Timur, dan di Sumatera Barat pada 1 Januari 1927.431 Namun pemberontakan tersebut dapat ditangani pemerintah kolonial Belanda dan para pemimpin PKI melarikan diri ke luar negeri. Sebagian yang tertangkap dikenakan hukuman mati, penjara, atau dibuang ke Boven Digul, Papua.432 Akibat pemberontakan tersebut, PKI dan salah satu organisasi bentukannya, yaitu Sarekat Rakyat, pada 23 Maret 1928 dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.433 428 Bahkan Moh. Roem menyatakan kondisi partai pada saat itu lemah dan sempit jalannya, bahkan hampir dapat dikatakan tinggal nama saja. Lihat. Suradi, Op. Cit., hal. 61-62. 429 Walaupun partai lain tidak dibubarkan atau dinyatakan terlarang, tetapi juga mendapatkan perlakuan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokohnya. Tjokroaminoto (SI) pernah ditahan selama tujuh bulan karena dituduh terlibat dalam SI Afdeeling B. Tindakan itu memicu keluarnya SI dari Volksraad pada 1923. Selain itu juga pernah dikeluarkan aturan yang melarang SI, PERMI, Partindo, dan PNI-Baru mengadakan rapat. Ibid., hal. 42. 430 A.K. Pringgodigdo, Op. Cit., hal. 13 – 14. 431 Pemberontakan ini dilakukan terutama oleh tokoh PKI Alimin dan kawan-kawan. Tan Malaka sesungguhnya sudah meragukan keberhasilan pemberontakan karena massa yang belum siap. M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 27. 432 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 166-167. 433 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 27-28. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 124 PNI dibubarkan karena sikap konfrontatif yang dilakukan, terutama oleh Soekarno. Larangan terhadap PNI mulai dikeluarkan pada 1927.434 Rangkaian peristiwa dilanjutkan dengan adanya larangan menjadi anggota PNI bagi anggota militer beserta keluarga dan pembantunya. Pada 29 Desember 1929 terjadi penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI, termasuk Soekarno. Pada 17 April 1931 Raad van Justitie menetapkan hukuman 4 tahun penjara bagi Soekarno, 2 tahun bagi Maskun, 1 tahun 8 bulan bagi Supriadinata, dan 1 tahun 3 bulan bagi Gatot Mangkupraja karena dinyatakan bersalah telah ikut suatu perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan pemberontakan. Keputusan itu menurut Pringgodigdo dapat diartikan sama halnya dengan menyatakan PNI sebagai partai terlarang sehingga dibubarkan.435 PNI akhirnya secara resmi dibubarkan oleh Mr. Sartono (Ketua saat itu) pada 11 November 1930.436 Sebagai penggantinya, muncul Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan pada akhir Desember 1933 di Yogyakarta.437 Menurunnya aktivitas politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang melarang keras semua kegiatan politik, termasuk rapat-rapat yang membicarakan organisasi dan struktur pemerintahan. Akibat larangan tersebut, Amir Syarifuddin yang menjadi pemimpin Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), nyaris dihukum mati oleh Jepang.438 Organisasi yang diberi kesempatan hidup adalah yang bercorak keagamaan terutama dari kalangan umat Islam. Pada masa itu, tepatnya September 1942 dihidupkan kembali Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang pada 24 Oktober 1943 diubah menjadi Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).439 Selain itu, terkait dengan janji kemerdekaan yang diberikan Jepang, pada 9 Maret 1943 didirikan Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) yang mencakup semua golongan politik, tetapi dibatasi di Jawa dan Madura. Poetera bagi Jepang 434 Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 137. A.K. Pringgodigdo, Op. Cit., hal. 72. 436 JImly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, op cit., hal. 171. Dalam buku Rusli Karim, pembubaran PNI adalah pada akhir April 1931. Waktu yang dikemukakan oleh Karim tersebut memiliki kelemahan karena dalam buku itu sendiri dikemukakan bahwa pendirian Partindo yang dimaksudkan untuk mengganti PNI adalah 30 April 1931. M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 41. 437 Partai ini tidak bertahan lama karena Soekarno lebih memilih bergabung dengan Partai Indonesia dan penangkapan serta pengasingan tokoh-tokoh nasional yang tetap berjalan. Ibid., hal. 40 - 41. 438 Ibid., hal. 28. 439 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 172-173. 435 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 125 lebih merupakan sarana untuk menggerakan dukungan Indonesia terhadap perang yang sedang dilakukan Jepang.440 Walaupun pada masa pendudukan Jepang eksistensi partai politik sebagai suatu organisasi tidak diakui, namun tokoh-tokoh partai politik tetap berperan besar dalam usaha-usaha mencapai kemerdekaan. Bahkan pada saat dibentuk BPUPK441 dan PPKI442 oleh pemerintahan Jepang, yang keanggotaannya diisi oleh tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya merupakan pimpinan partai politik.443 Partai-partai yang ada dan berkembang sebelum kemerdekaan tersebut pada umumnya dapat dikategorikan sebagai partai yang bersifat ideologis (weltanschauungs partie). Partai-partai tersebut memiliki fungsi dan program utama untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Partai-partai tersebut menjalankan fungsi mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk mencapai kemerdekaan. Selain itu, juga menjalankan fungsi rekruitmen politik yang memunculkan tokoh-tokoh nasional serta wakil rakyat yang menjadi anggota Volksraad. 3.1.2. Partai Politik di Awal Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 18 Agustus 1945, PPKI melaksanakan sidang yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD 1945444 sebagai konstitusi Indonesia. Di dalam UUD 1945, tidak terdapat pengaturan mengenai partai politik. Ketentuan yang terkait adalah Pasal 28 yang menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, 440 Kahin, Op. Cit., hal. 135 – 137. Didirikan melalui Maklumat Gunseikan Nomor 23, 29 april 1945. Anggotanya sebanyak 60 orang dan ketuanya adalah Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Dilantik pada 28 Mei 1945 dan bersidang untuk pertama kali pada 29 Mei 1945. Mengenai BPUPK dan keanggotaannya dapat dilihat pada RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Depok: Badan Penerbit FH UI, 2004). 442 Dibentuk pada 9 Agustus 1945 dengan Ketuanya adalah Ir. Soekarno dan Wakilnya adalah Mohammad Hatta. Anggota PPKI semula ditetapkan oleh Pemerintah Militer Jepang sebanyak 21 orang. Namun dalam sidang pada 18 Agustus, anggotanya ditambah 6 orang sehingga menjadi 27 orang. Lihat J.T.C. Simorangkir, S.H., Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal. 19. 443 Sebelum adanya BPUPK dan PPKI, tokoh-tokoh nasional banyak yang diangkat dalam jabatan pemerintahan militer Jepang. 7 tokoh nasional diangkat sebagai penasihat pada Pemerintahan Militer Jepang pada September 1945. Di antaranya adalah Ir. Soekarno di Departemen Urusan Umum (Sõmubu), Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasjid di Departemen Urusan Dalam Negeri (Naimubu), Prof. Dr. Mr. Soepomo untuk Departemen Kehakiman (Syibohu), Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kõtsubu), Mr. Moh. Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu), dan Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Ekonomi (Sangyobu). Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hal. 12. 444 Diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun II Nomer 7, 15 Pebruari 1946. 441 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 126 mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut belum memberikan jaminan konstitusional. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat baru ada jika sudah ditetapkan dengan undang-undang.445 3.1.2.1. Gagasan Partai Tunggal Pada 22 Agustus 1945, PPKI menyelenggarakan rapat yang salah satu keputusannya adalah membentuk Partai Nasional Indonesia. PNI diharapkan menjadi partai tunggal atau partai negara dan sebagai pelopor dalam kehidupan bangsa Indonesia.446 Keputusan itu telah ditindaklanjuti dengan persiapan pembentukan Partai Nasional Indonesia di daerah-daerah. Namun, pada 31 Agustus 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menunda segala aktivitas persiapan dan pembentukan PNI sebagai partai tunggal. Hal itu dimaksudkan untuk memusatkan perhatian dan tindakan ke dalam Komite Nasional karena kedudukannya yang dipandang sangat penting.447 Adanya gagasan partai tunggal tersebut sesuai dengan pandangan Soekarno sejak sebelum kemerdekaan. Soekarno telah mengemukakan perlunya partai pelopor melalui tulisannya yang berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka” pada tahun 1933. Soekarno berpendapat bahwa untuk mencapai massa aksi diperlukan adanya satu partai pelopor, tidak dua ataupun tiga. Sebab jika lebih dari satu akan membingungkan massa.448 Satu partai-pelopor? Ja, satu partai-pelopor, dan tidak dua, tidak tiga! Satu partai sahadja jang bisa paling baik dan paling sempurna, - jang lain-lain tentu kurang baik dan kurang sempurna. Satu partai sahadja yang bisa mendjadi pelopor! Memang: lebih dari satu pelopor, membingungkan masa; lebih dari satu komandan, mengantjaukan tentara. 445 Latar belakang lahirnya ketentuan Pasal 28 UUD 1945 merupakan hasil perdebatan antara Soekarno dan Soepomo yang mempertahan cita negara integralistik dengan Moh. Yamin dan Moh. Hatta yang mengusulkan masuknya ketentuan HAM secara detail. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007), hal. 769 – 777. Dengan demikian, UUD 1945 sebelum perubahan merupakan salah satu konstitusi yang sama sekali tidak menyebut partai politik di dalamnya seperti 60 konstitusi negara lain dari 132 konstitusi negara-negara di dunia. 446 Tjahaja, 23 Agustus 1945. Diambil dari Sartono Kartodirdjo, Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, Op. Cit., hal. 30. 447 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan A. Kamil, Op. Cit., Jilid I, hal. 49 – 50. Dalam buku Samsuddin Haris disebut dengan istilah pembubaran yang kemudian disusul adanya Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Menurutnya, hal tersebut adalah atas desakan Syahrir untuk memberlakukan kebebasan berserikat. Lihat Syamsuddin Haris, Op. Cit., hal. 111-113. 448 Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 282 – 284. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 127 Selain itu, dalam pidato Presiden Soekarno yang menyampaikan keputusan PPKI pada 23 Agustus 1945 di antaranya dinyatakan sebagai berikut.449 Bangsaku! Ada satu hal lagi jang penting, maha-penting, jang harus kita kerdjakan dengan segera ialah membangun suatu partai jang mendjadi motor perdjuangan rakjat dalam segala suasana dan lapangan, yaitu: PARTAI NASIONAL INDONESIA. Komite Nasional adalah suatu komite, Partai Nasional Indonesia adalah suatu partai. Komite diadakan untuk sementara waktu, partai kita hajatkan pula terus sampai di masa jang akan datang. Menurut Maswadi Rauf, Soekarno adalah seorang yang anti sistem multi partai model barat dan sistem demokrasi parlementer. Partai politik dianggap memperlemah perjuangan terhadap penjajahan dan usaha mengisi kemerdekaan. Partai politik merupakan sumber perpecahan.450 3.1.2.2. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 Pandangan Soekarno mengenai partai tunggal berlawanan dengan pandangan Sjahrir yang menentang konsep kepartaian monolitik karena akan lebih banyak menjadi alat untuk mengontrol dan mendisiplinkan perbedaan pendapat.451 Pandangan itu dalam perkembangannya mempengaruhi usulan BP KNIP di mana Sjahrir menjadi Ketua. Dalam Pengumuman Badan Pekerja Komite Nasional Nomor 3 disebutkan bahwa pembentukan satu partai, yaitu Partai Nasional Indonesia, pada saat itu memang diperlukan untuk mempersatukan segala aliran dalam masyarakat guna mempertahankan negara. Namun yang dapat memenuhi keperluan tersebut adalah Komite Nasional. Dengan kata lain, Komite Nasional-lah yang mempersatukan berbagai aliran yang berbeda, apalagi sudah berubah menjadi badan perwakilan rakyat sejak 16 Oktober 1945.452 Mengingat hal tersebut dan sesuai dengan semangat menjunjung asas demokrasi, diusulkan untuk memberi kesempatan kepada rakyat mendirikan partai politik. Dengan adanya partai-partai politik akan memudahkan memperkirakan kekuatan perjuangan serta meminta pertanggungjawaban para pemimpinnya. Bagian Pengumuman Badan Pekerja 449 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Kamil, Op. Cit., Jilid I, hal. 44 – 45. Maswadi Rauf, Partai Politik Dalam Sistem Kepartaian, Op. Cit., hal. 10 – 11. 451 J. D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 180 – 181. 452 Maklumat Nomor X 16 Oktober 1945. Berita Repoeblik Indonesia Tahun I Nomor 2, h. 10. Diambil dari H. Aa, Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Djilid I, (Djakarta-Bandung: Neijenhuis & Co. N. V., 1950), hal. 60. 450 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 128 Komite Nasional yang mengusulkan pembentukan partai-partai politik adalah sebagai berikut.453 Maka sesoeai dengan Oendang-oendang Dasar kita jang memoeat petoenjoek adanja kemerdekaan bersidang dan berkoempoel, Badan Pekerdja beranggapan bahwa sekarang soedah tiba saatnja oentoek mengoesahakan pergerakan rakjat dengan seksama. Hanja jang mendjadi pertanjaan ialah : Baik diadakan satoe partai sadjalah atau dibiarkan toemboeh beberapa partai menoeroet tjorak dan aliran jang hidoep dalam masjarakat kita? Karena kita menjoenjoeng azas demokrasi, tentoe tidak dapat kita hanja membolehkan satoe partai sadja jang berdiri. Dan lagi dengan adanja partai-partai itoe bagi kita moedah oentoek menaksir kekoeatan perdjoeangan kita dan bagi Pemerintahpoen moedah djoega oentoek minta tanggoeng djawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perdjoeangan. Maka kesimpoelan Badan Pekerdja tidak lain, ialah Pembentoekan Partai-partai sekarang boleh dimoelai dengan leloeasa asal sadja pembentoekan itoe pada azasnja dengan restriksi, memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan serta mendjamin keamanan masjarakat jang kini pada beberapa tempat amat terganggoe. Berhoeboeng dengan kesimpoelan ini, maka oleh Badan Pekerdja telah dioesoelkan kepada Pemerintah soepaja diberikan kesempatan kepada rakjat seloeas-loeasnja oentoek mendirikan partai-partai politik dengan restriksi, bahwa partai-partai itoe hendaknja memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan rakjat. Pada 3 November 1945 atas usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), pemerintah mengeluarkan Maklumat yang menyatakan bahwa pemerintah menyukai berdirinya partai-partai politik terkait dengan akan segera diselenggarakannya pemilihan umum.454 Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden karena Presiden Soekarno sedang mengadakan kunjungan ke luar negeri.455 Selengkapnya Maklumat Pemerintah 3 November 1945456 sebagai berikut.457 453 Berita Repoeblik Indonesia, Tahun I Nomor 74, h. 4. Diambil dari ibid, hal. 84. Maklumat tersebut menyatakan bahwa dengan adanya partai politik, berbagai aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Maklumat ini juga terkait dengan rencana pemilihan umum pada 1946. Lihat Deliar Noer & Akbarsyah, Op. Cit., hal. 37. 455 Menjadi pertanyaan apakah Soekarno mengetahui atau tidak saat Maklumat ini diumumkan karena pada 1956 Soekarno mengecam adanya Maklumat ini. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan berserikat, Op. Cit., hal. 177. 456 Berita Repoeblik Indonesia Tahun I Nomor 1. Hal. 3. Diambil dari Aa, Op. Cit., hal. 74. 457 Dalam wawancara dengan kantor berita PIA, Hatta menyatakan bahwa usul maklumat tersebut berasal dari Amir Sjarifuddin. Hatta sendiri merasa maklumat itu tidak perlu karena dalam negara demokrasi rakyat dengan sendirinya dapat mendirikan partai politik. Namun Amir Sjarifuddin mendesak untuk menghilangkan keraguan rakyat karena keputusan untuk mengubah PNI menjadi partai biasa dan tidak menjadi partai negara tidak dikenal di daerah-daerah yang jauh. Usul ini akhirnya diterima kabinet. Hatta melihat usul tersebut dalam rangka pemilihan umum yang rencananya diselenggarakan pada Januari 1946 sebagai pelaksanaan ketentuan Ayat Tambahan UUD 1945 yang menentukan bahwa dalam waktu 6 bulan dewan perwakilan 454 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 129 MAKLOEMAT PEMERINTAH Berhoeboeng dengan oesoel Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat kepada Pemerintah, soepaja diberikan kesempatan kepada rakjat seloeas-loeasnja oentoek mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itoe hendaknja memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannja jang telah diambil beberapa waktoe jang laloe bahwa: 1. Pemerintah menjoekai timboelnja partai-partai politik, karena dengan adanja partai-partai itoelah dapat dipimpin kedjalan jang teratoer segala aliran paham jang ada dalam masjarakat. 2. Pemerintah berharap soepaja partai-partai itoe telah tersoesoen, sebeloemnja dilangsoengkan pemilihan anggata Badan-Badan Perwakilan Rakjat pada boelan Djanoeari 1946. Djakarta, tanggal 3 Nopember 1945. Wakil Presiden, MOHAMAD HATTA. 3.1.2.2.1. Tujuan Pendirian Partai Politik Pembentukan partai politik berdasarkan Maklumat 3 Nopember 1945 adalah untuk “memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat”. Dari ketentuan tersebut, partai politik diletakkan sebagai instrumen negara. Namun partai politik bukan sekedar instrumen untuk mencapai stabilitas politik dan merajut partisipasi masyarakat seperti pandangan paradigma managerial, tetapi untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan. Maksud pendirian dalam Maklumat disebutkan sebagai restriksi atau batasan. Sebagai suatu batasan, sesungguhnya ketentuan itu dapat menjadi dasar pembubaran partai politik yang mengganggu atau menghambat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, arah pendirian partai politik dimaksudkan sebagai sarana untuk mengatur aspirasi rakyat dari berbagai golongan. Dengan adanya partai politik, aspirasi yang berbeda-beda dijadikan pemikiran dan program yang sistematis dan teratur untuk diperjuangkan sebagai kebijakan publik. Dengan demikian, partai berfungsi sebagai broker of idea, sekaligus sebagai pelopor bagi masyarakat, serta berfungsi untuk mengelola perbedaan yang ada. rakyat harus dibentuk. Lihat, Deliar Noer, Partai-Partai Islam Di Pentas Nasional 1945 -1965, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987), hal. 351, catatan kaki nomor 1. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 130 3.1.2.2.2. Batasan Partai Politik Di dalam Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 juga disebutkan bahwa Republik Indonesia tidak akan melarang organisasi politik selama dasar-dasarnya atau aksi-aksinya tidak melanggar asas-asas demokrasi yang sah. Ketentuan tersebut dapat dilihat sebagai batasan bagi partai politik seperti yang terdapat dalam berbagai konstitusi negara modern. Pembatasan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai pembatasan material menurut klasifikasi Venice Commission, terutama ketentuan bahwa partai politik harus sesuai dengan prinsip demokrasi serta tidak bertentangan dengan perjuangan dan kemerdekaan bangsa.458 Hal itu misalnya juga dapat dilihat pada Article 21 Konstitusi Jerman yang menyatakan Their internal organization must conform to democratic principles, serta Article 4 Konstitusi Perancis yang menyatakan They must respect the principles of national sovereignty and democracy. Namun demikian, masalah pembubaran partai politik tidak diatur lebih lanjut, baik dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan lain hingga masa demokrasi terpimpin. 3.1.2.3. Partai Politik Pasca Maklumat Pemerintah 3 November 1945 Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tersebut disambut antusias sehingga dalam waktu singkat telah terbentuk sekitar 40 partai politik.459 Berbagai partai politik yang sebenarnya sudah ada sebelum kemerdekaan, bangkit kembali. Pada 7 November 1945 didirikan kembali Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) di Jogjakarta.460 Pada 29 Januari 1946 didirikan PNI di Kediri yang berasal dari Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Republik Indonesia, dan beberapa partai kecil lain. Ketuanya yang pertama adalah S. Mangoensarkoro.461 458 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines on Prohibition and Dissolution of Political Parties and Analogous Measure, www.venice.coe.int/docs/2000/CDLINF(2000)001-e.asp?Print, 15/02/2007, 459 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 174. 460 Pidato Mohammad Natsir pada 7 November 1956 yang dimuat di harian Abadi edisi 9, 10, dan 12 November 1956. Lihat Feith & Castles (eds.). Op Cit., hal. 211. Pembentukan ini dilakukan melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Lihat, Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam Dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 110. 461 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 79 – 80. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 131 Pada 18 Nopember 1945 berdiri Partai Kristen Nasional (PKN) yang selanjutnya bersama Partai Kristen Indonesia (PARKI) pada Kongres di Prapat 9 – 20 April 1947 melebur diri menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).462 Pada 22 Nopember 1945 berdiri Partai Persatuan Tarbiyah Islamiah (Partai PERTI) di Bukit Tinggi. Partai ini berasal dari Pergerakan Tarbiyah Islamiah (PERTI) di Bukit Tinggi yang didirikan pada 20 Mei 1930.463 Pada 8 Desember 1945, melalui Kongres Golongan Politik Katolik, didirikan Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI). Pada Kongresnya 17 Desember 1949, PKRI diganti namanya menjadi Partai Katolik. Partai-partai lain yang terbentuk, baik merupakan partai baru maupun kelanjutan dari partai politik yang telah ada sebelum kemerdekaan di antaranya adalah Partai Indonesia Raya (PIR)464, Partai Rakyat Indonesia (PRI)465, Partai Banteng Republik Indonesia466, Partai Rakyat Nasional (PRN)467, Partai Wanita Rakyat468, Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI)469, Partai Kedaulatan Rakyat (PKR)470, Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI)471, Partai Rakyat Jelata (PRJ)472, Partai Tani Indonesia (PTI)473, Partai Komunis Indonesia (PKI)474, Partai Sosialis Indonesia (PSI)475, Partai Sosialis Indonesia (Parsi) di bawah pimpinan Mr. Amir 462 Ibid., hal. 77. Deliar Noer dan Akbarsyah menyebutkan bahwa Parkindo dibentuk pada 18 November 1945. Lihat Deliar Noer & Akbarsyah, Op. Cit., hal. 42. Sementara itu dalam Kronik Revolusi Jilid I dan menurut JCT. Simorangkir, Parkindo dibentuk pada 10 Nopember 1945. Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Kamil, Op. Cit., Jilid I, hal. 134, bandingkan JCT. Simorangkir, Beberapa Karya Lepas, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1985), hal. 44. 463 Partai ini didirikan oleh para ulama terkemuka di Bukit Tinggi, di antaranya adalah Syekh Suleman Rasuly, Syekh Mohammad Djamil Djaho, Syekh Abbas Ladang Laweh, Syekh Abdul Wahid es Salihy, dan Syekh Arifin Arsjady. Lihat M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 75. 464 Didirikan pada 10 Desember 1948. Ibid., hal. 81. 465 Didirikan 20 Mei 1950. Ibid., hal. 84. 466 Didirikan berdasarkan keputusan Kongres Gerakan Banteng Republik Indonesia 25 – 26 Maret 1950. Ibid., hal. 85. 467 Didirikan pada 23 Juli 1950 dari kemelut di tubuh PNI. Ibid., hal. 85. 468 Didirikan pada 6 September 1946 berasal dari organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) yang didirikan pada 17 Desember 1945. Ibid., hal. 86 – 87. 469 Didirikan pada Januari 1949. Ibid., hal. 87. 470 Didirikan pada 24 Nopember 1946. Ibid., hal. 88. 471 Didirikan pada 19 Januari 1946 di Banjarmasin, berasal dari partai Persatuan Rakyat Indonesia (PERI). Ibid., hal. 90. 472 Didirikan pada 1 Oktober 1945. Ibid., hal. 92. 473 Didirikan pada 5 Desember 1945. Ibid., hal. 92. 474 Didirikan pada 11 – 13 Januari 1947. Ibid., hal. 94. Dalam Kronik Revolusi Jilid I disebutkan berdiri pada 21 Oktober 1945 berdasarkan Osman rabily dalam Documenta Historica I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1953), hal. 663; dan 7 Nopember 1945 berdasarkan Rosihan Anwar, Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi, (Jakarta: Puataka Jaya, 1977), hal 116. Lihat, Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Op. Cit., Jilid I, hal. 89 dan 119. Lihat pula Kahin, Op. Cit., hal. 199 – 200. 475 Didirikan pada Maret 1947. Ibid., hal. 97. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 132 Sjarifuddin476, Partai Murba477, Partai Buruh Indonesia478, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI)479, Partai Demokrat Tionghoa480, dan Partai Indo Nasional481. Dalam buku Kepartaian Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan 1951, dibuat klasifikasi partai politik menurut Dasar Ketuhanan, Dasar Kebangsaan, Dasar Marxisme, dan Partai lain-lain. Partai politik yang diklasifikasikan dalam Dasar Ketuhanan adalah Masjumi, Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII)482, Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katholik. Partai-partai politik yang masuk kategori Dasar Kebangsaan adalah PNI, Persatuan Indonesia Raya (PIR), Parindra, PRI, Partai Demokrasi Rakyat (Banteng), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Wanita Rakyat (PWR), Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Ikatan Nasional Indonesia (INI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Wanita Demokrat Indonesia. Partai dengan dasar Marxisme adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, Partai Buruh, dan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). Sedangkan partai politik lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), dan Partai Indo Nasional (PIN).483 Walaupun pada masa awal kemerdekaan belum dapat dilaksanakan pemilihan umum hingga 1955484, namun partai politik telah mewarnai kehidupan nasional. Partai-partai politik di awal kemerdekaan telah memiliki pengaruh besar baik dalam parlemen maupun pemerintahan. Komite Nasional Indonesia Pusat 476 Didirikan pada 1 November 1945. Deliar Noer & Akbarsyah, Op. Cit., hal. 42. Didirikan pada 7 Nopember 1948. Ibid., hal. 97. 478 Didirikan pada 9 Nopember 1945. Kahin, Op. Cit., hal. 202 – 203. 479 Didirikan pada 15 – 17 Desember 1945 dan dikukuhkan melalui Kongres I di Surakarta pada 26 – 27 April 1946. M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 100. 480 Didirikan pada 23 Mei 1948. Ibid., hal. 100. 481 Didirikan pada 7 Juli 1949. Ibid., hal. 101. 482 Didirikan kembali pada 22 April 1947. Almanak Nasional 1954, dan Detik dan Peristiwa 17 Djanuari 1945-23 Agustus 1950, dikutip oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947), (Jakarta: KPG, 1999), hal. 147. 483 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 65 – 66. 484 Walaupun demikian, penyelenggaraan pemilihan umum telah menjadi perhatian pemerintah yang dibuktikan dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949. Sistem pemilihan menurut kedua UndangUndang tersebut adalah pemilihan bertingkat. Lihat, Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi: Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2005), hal. 8 477 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 133 (KNIP) yang pada awalnya berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 membantu Presiden menjalankan kekuasaan sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA, berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 kedudukannya menjadi parlemen. Maklumat tersebut menyatakan bahwa KNIP sebelum terbentuknya MPR dan DPR, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja yang dipilih dari dan oleh anggota KNIP.485 Komposisi anggota KNIP dari unsur partai politik pada awalnya adalah Masjumi 35 anggota, PNI 45 anggota, Partai Sosialis 35 anggota, PBI 6 anggota, Parkindo 4 anggota, PKRI 2 anggota, dan PKI 2 Anggota. Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 1946, wakil partai politik meningkat menjadi Masjumi 60 anggota, PNI tetap, Partai Sosialis tetap, PBI 35 anggota, Parkindo 8 anggota, PKRI 4 anggota, dan PKI 35 Anggota.486 Pengaruh partai politik juga sangat kuat dalam pemerintahan seiring dengan sistem parlementer yang dijalankan berdasarkan Maklumat Pemerintah 14 Nopember 1945.487 Berdasarkan sistem parlementer, pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Pembentukan kabinet dilakukan dengan persetujuan KNIP sebagai parlemen Indonesia saat itu. Bahkan, menteri sebagai satu kesatuan kabinet maupun secara sendiri-sendiri bertanggungjawab kepada KNIP. KNIP menentukan pembentukan dan jatuhnya kabinet. 485 Pada bagian pertimbangan Maklumat Wakil Presiden Nomor X disebutkan bahwa Maklumat merupakan usulan dari KNIP karena dalam kondisi genting saat itu diperlukan badan yang ikut bertanggungjawab terhadap nasib bangsa Indonesia di samping pemerintah. 486 Keanggotaan KNIP beberapa kali mengalami perubahan. Pertama kali anggota KNIP terdiri adalah 200 orang. Pada 18 April 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946 tentang Pembaharuan KNIP yang menentukan anggota KNIP terdiri dari 200 anggota dengan komposisi 100 wakil daerah, 60 wakil organisasi politik, dan 40 ditunjuk oleh Presiden. Namun PP tersebut belum sempat dilaksanakan dan telah dibatalkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan KNIP yang disetujui oleh BP KNIP pada 7 Juni 1946. Selanjutnya, pemerintah juga mengeluarkan PP Nomor 6 Tahun 1946 tentang Penyempurnaan Susunan KNIP pada 30 Desember 1946 yang kemudian dikukuhkan menjadi Maklumat Presiden Nomor 2 Tahun 1947, 21 Februari 1947. Pembahasan mendalam tentang KNIP serta kabinet pada 1945 hingga 1960 dibahas dalam Deliar Noer & Akbarsyah, Op. Cit. 487 Maklumat ini sesungguhnya adalah tentang Susunan Kabinet Baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan sjahrir. Namun dalam maklumat ini ditegaskan bahwa tanggungjawab adalah di tangan menteri. Berita Repoeblik Indonesia Th. I, Nomor 2, h. 9. Diambil dari Aa, Op. Cit., hal. 75 – 76. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 134 3.2. PARTAI POLITIK PADA MASA KONSTITUSI RIS DAN UUDS 1950 3.2.1. Ketentuan Mengenai Partai Politik Pada 31 Desember 1949, sebagai salah satu pelaksanaan hasil Konferensi Meja Bundar, negara Indonesia yang semula adalah negara kesatuan berubah menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi RIS488. Dalam Konstitusi RIS ketentuan-ketentuan yang mengatur hak asasi manusia lebih banyak jumlahnya. Namun demikian, seperti halnya dalam UUD 1945, tidak ada ketentuan khusus mengenai keberadaan dan pengaturan partai politik. Pasal-pasal hak asasi manusia yang terkait adalah Pasal 20 yang menyatakan “Hak penduduk atas kebebasan berkumpul, berapat setjara damai diakui dan sekadar perlu didjamin dalam peraturan2 undang-undang.” Konstitusi RIS berlaku kurang dari satu tahun. Karena tuntutan yang kuat untuk kembali ke negara kesatuan, akhirnya berdasarkan Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 ditetapkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang disahkan pada 15 Agustus 1950. Hal itu menandai kembalinya bentuk negara kesatuan.489 UUDS 1950 pada prinsipnya merupakan perubahan Konstitusi RIS yang disesuaikan dengan bentuk negara kesatuan. Oleh karena itu, ketentuan tentang partai politik secara khusus juga tidak ada. Ketentuan tentang kemerdekaan berserikat diatur dalam Pasal 20 yang menyatakan “Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan undangundang.” Sedangkan Pasal 19 UUDS 1950 menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunjai dan mengeluarkan pendapat.” 3.2.2. Peran Partai Politik Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, peran partai politik tetap besar baik di tubuh parlemen maupun eksekutif. Parlemen pada masa Konstitusi RIS adalah DPR dan Senat. DPR RIS terdiri atas 60 anggota, dan Senat RIS terdiri atas 6 anggota. Keanggotaan DPR pada masa berlakunya Konstitusi RIS telah ditetapkan pada rapat pleno KNIP ke-7, 14 Desember 1949. Tiap-tiap 12 anggota dari satu 488 Ditetapkan dengan Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 Nomor 48. Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 50 – 53. 489 Ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 135 partai atau golongan buruh dan tani dalam KNIP mendapatkan jatah 1 wakil dalam DPR RIS. Sedangkan nama anggota yang akan menjadi wakil tersebut diserahkan kepada partai yang bersangkutan tetapi bukan dari yang berkedudukan sebagai anggota KNIP. Jika tidak mencapai 12 anggota dalam KNIP, dapat digabungkan dengan partai atau golongan lain.490 Berdasarkan ketetapan KNIP tentang keanggotaan DPR RIS, partai-partai yang mengajukan calon dan memenuhi persyaratan adalah Masjumi 5 anggota, PNI 4 anggota, PSI 2 anggota, PKI 2 anggota, PBI 2 anggota, BTI 2 anggota, dan partai lainya yaitu PSII, Murba, STII, PKRI, Parkindo, Partai Sosialis, dan Partai Buruh masing-masing 1 anggota.491 Kuatnya pengaruh partai politik dalam pemerintahan dibarengi dengan konflik antar partai politik. Walaupun pada masa awal kemerdekaan juga dihadapkan pada ancaman penjajahan kembali oleh Belanda melalui agresi militer I dan II, serta upaya memperoleh pengakuan internasional, konflik antar partai politik tetap terjadi sehingga sering menimbulkan ketegangan yang mengganggu stabilitas pemerintahan. Beberapa masalah yang pernah menjadi obyek konflik antar partai politik di antaranya adalah penambahan anggota KNIP, perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, dan penerimaan hasil KMB. Bahkan, pada saat itu terdapat partai-partai politik yang menggunakan cara-cara yang melanggar hukum untuk mencapai tujuannya. Hal itu dapat dilihat dari peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Namun demikian, pada masa itu tidak ada satupun partai yang dibubarkan oleh pemerintah. Terhadap peristiwa pemberontakan di Madiun yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat pimpinan PKI492 pada 19 September 1948, tindakan hukum yang dilakukan adalah terhadap tokoh-tokoh pemimpin partai yang terlibat. Sedangkan partai politiknya 490 Selain itu juga ditentukan wakil golongan Cina 2 wakil, Arab 1 wakil, daerah Kalimantan 1 wakil, Sulawesi 1 wakil, Maluku 1 wakil, Sunda Kecil 1 wakil, Sumatera 11 wakil. Setiap 12 anggota KNIP yang tidak berpartai juga mendapatkan 1 wakil. Sedangkan anggota Senat RIS wakil dari RI adalah tiga orang untuk pulau Jawa, yaitu Sumanang, Ki Hadjar Dewantara, dan Prof. Johannes; tiga orang untuk pulau Sumatera yaitu Mr. Teuku Mohammad Hassan, Mr. Mohammad Rasjid, dan Mr. Mohammad Yusuf. Lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, Op. Cit., hal. 278 – 280. 491 Ibid., hal. 287 – 288. 492 Front Demokrasi Rakyat merupakan aliansi partai-partai yang menentang pemerintahan kabinet Hatta. FDR terdiri dari PKI dan partai-partai lain terutama yang beraliran komunis marxis. Karena keterlibatan dalam FDR Partai Sosialis pecah, antara Amir Sjarifuddin yang tetap berada di Partai Sosialis dan Sutan Sjahrir yang mendirikan partai baru yaitu PSI. FDR ditandingi oleh partai-partai sayap kanan yang membentuk Front Kemerdekaan Nasional (FKN) yang utamanya terdiri dari Masjumi, PNI, dan PBI. Lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, Op. Cit., hal. 186 dan 213. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 136 sendiri tidak dikenakan sanksi hukum. Menteri Kehakiman saat itu, Mr. Tirtoprodjo, mengeluarkan pernyataan bahwa para aktivis organisasi yang terlibat dalam pemberontakan Madiun tidak akan dituntut kecuali bagi mereka yang terbukti melakukan tindak kriminal. PKI muncul kembali dalam pentas politik nasional mulai 4 September 1949.493 Pada masa berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, partai-partai politik tetap berperan sebagai kekuatan politik yang amat berpengaruh. Parlemen yang pengisian anggotanya masih dilakukan melalui pengangkatan tidak lepas dari pengaruh partai politik. Kabinet-kabinet yang terbentuk tidak dapat menguasai mayoritas parlemen. Di sisi lain, kekuasaan Presiden dan Angkatan Bersenjata semakin berkurang.494 Pada saat itu mulai muncul keinginan tokoh militer untuk berperan dalam politik. Hal itu disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan.495 Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga pemilu 1955 pada umumnya dapat dilihat sebagai kelanjutan dari partai yang telah ada sebelum kemerdekaan. Partai-partai tersebut merupakan partai yang bersifat ideologis (weltanschauungs partie) dengan fungsi dan program utama untuk mempertahankan kemerdekaan. Partai-partai tersebut menjalankan fungsi mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan serta rekruitmen politik yang memunculkan tokohtokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan pemerintahan. Partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah partai massa, meskipun terdapat partai yang dapat dikategorikan sebagai partai kader dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi kebijakan (policy-seeking party), dan menduduki jabatan dalam pemerintahan (office-seeking party). 493 Atmadji Sumarkidjo, Mendung Di Atas Istana Merdeka: Menyingkap Peran Biro Khusus PKI Dalam Pemberontakan G-30-S, (Jakarta: TImEs Communications, 2000), hal. 38. Buku lain yang membahas pemberontakan PKI 1948 adalah Himawan Soetanto, Madiun: dari Republik ke Republik, (Jakarta: Kata, 2006). 494 Herbert Feith & Lance Castle (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 41. 495 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik, (Jakarta: LP3ES, 1978), hal. 30-31. Salah satu bentuk keinginan militer untuk ambil bagian dalam kehidupan politik adalah usaha Angkatan Darat menekan Presiden Soekarno agar membubarkan parlemen yang dikenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Lihat, Liddle, op cit., hal. 178. Pembahasan tentang Peristiwa 17 Oktober 1952 juga dapat dilihat pada Nugroho Notosusanto (ed.), Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991). Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 137 3.2.3. Partai Politik dalam Pemilihan Umum 1955 Pemilihan umum pertama dapat dilaksanakan pada 1955, tepatnya 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.496 Pemilihan umum 1955 dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.497 Rancangan Undang-Undang tersebut diserahkan kepada DPR pada 25 Nopember 1952 dan disahkan pada 4 April 1953.498 Pada pemilihan umum 1955, keberadaan partai politik dalam UndangUndang pemilu diatur terkait dengan proses pengajuan calon yang dapat dilakukan perorangan atau melalui partai politik. Pasal 36 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1953 menyatakan sebagai berikut. Seorang tjalon dikemukakan sebagai orang-seorang dalam suatu daftar tjalon jang selandjutnja disebut daftar-perseorangan atau bersama-sama tjalon-tjalon lain dalam suatu daftar tjalon kumpulan jang selandjutnja disebut daftar-kumpulan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa hendaknya suatu pemilihan diatur sehingga dalam masyarakat dapat diwakili sesuai dengan proporsi pengaruhnya dalam masyarakat dengan memberikan kesempatan kepada perseorangan dan partai politik. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 menyatakan sebagai berikut. Pada waktu jang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah, partai atau organisasi jang akan mengemukakan tjalon-tjalon atau orang jang akan dikemukakan sebagai tjalon perseorangan, mengadjukan nama dan tanda-gambar kepada Panitia Pemilihan Indonesia. Dengan demikian, peserta pemilihan umum 1955 tidak terbatas pada organisasi partai politik, tetapi juga organisasi lain dan calon perseorangan. Namun demikian, walaupun suatu organisasi menyatakan diri bukan sebagai partai politik, jika mengikuti pemilihan umum berarti telah bergerak di lapangan politik. Dengan demikian dapat disebut sebagai partai politik. 496 Pada pemilu 1955 tercatat 43.104.464 penduduk yang memiliki hak pilih, dan 37.875.299 pemilih (87,65%) yang menggunakan hak pilih. Jumlah seluruh penduduk pada saat itu adalah 77.987.879 jiwa. Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik, Prisma 9, September 1981, hal. 17-40. 497 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 29. 498 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 119. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 138 Pemilu 1955 diikuti lebih dari 118 peserta untuk pemilu DPR dan 91 peserta untuk pemilu Konstituante, yang terdiri dari partai politik dan organisasi kemasyarakatan serta calon perorangan. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 260. Sedangkan jumlah kursi Dewan Konstituante sebanyak 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai politik yang memperoleh kursi di DPR. Sepuluh besar partai politik yang memperoleh kursi di DPR adalah yaitu PNI 57 kursi, Masjumi 57 kursi, NU 45 kursi499, PKI 39 kursi, PSII 8 kursi, Parkindo 8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, PSI 5 kursi, IPKI 4 kursi, Perti 4 kursi. Sedangkan untuk Konstituante, 10 partai yang memperoleh kursi terbanyak adalah PNI 119 kursi, Masjumi 112 kursi, NU 91 kursi, PKI 80 kursi, PSII 16 kursi, Parkindo 16 kursi, Partai Katolik 10 kursi, PSI 10 kursi, IPKI 8 kursi, dan Perti 7 kursi.500 Berdasarkan hasil pemilihan tersebut, jika digunakan klasifikasi Blondel, maka sistem kepartaian pada saat itu adalah sistem multipartai tanpa partai dominan. 3.3. PARTAI POLITIK DAN DEMOKRASI TERPIMPIN 3.3.1. Sistem Multipartai dan Konflik Politik Munculnya demokrasi terpimpin merupakan reaksi terhadap demokrasi multi partai dan sistem pemerintahan parlemeter yang dijalankan sebelumnya. Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa. Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagai bukti perpecahan adalah dalam forum Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat menyelesaikan tugasnya membentuk konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan mendasar tentang dasar negara Islam dan Pancasila yang tidak menemukan titik temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh pemerintah untuk kembali pada UUD 1945 pun tidak menemukan titik temu apakah harus dengan perubahan atau tanpa perubahan.501 499 NU keluar dari Masjumi pada 31 Juli 1952 dikukuhkan dalam Muktamar ke-19 di Palembang dan menjadi partai sendiri pada 30 Agustus 1952. Lihat, PK. Poerwanta, Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 47. 500 Miriam Budiardjo (peny.), Partisipasi dan Partai Politik, Op. Cit., hal. 234 dan 256. 501 Pembahasan mendalam proses lahirnya demokrasi terpimpin yang ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dibahas dalam disertasi Adnan Buyung Nasution yang diterbitkan dalam bentuk buku Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956 – 1959, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 139 Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa kondisi yang melahirkan demokrasi terpimpin terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan. Kondisi tersebut adalah kemerosotan ekonomi yang pesat, perpecahan bangsa yang semakin meruncing, dan bangkitnya Angkatan Darat sebagai kekuatan utama dalam negara.502 Saat menjelang pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno sudah menyampaikan harapannya agar pemilihan umum tersebut digunakan untuk memenuhi tuntutan Revolusi Nasional dan tidak semakin menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Dalam pidato pada 17 Agustus 1954 Soekarno menyatakan:503 Dan, sebagai sudah kukatakan berulang-ulang, djanganlah pemilihan umum ini nanti mendjadi arena pertempuran politik, demikian rupa, hingga membahajakan keutuhan bangsa. Gedjala-gedjala akan timbulnja pertadjaman pertentangan-pertentangan antara kita sama kita telah ada, gedjala-gedjala akan karamnja semangat toleransi sudah muntjul. Ai, tidaklah orang sedar, bahwa zonder toleransi maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah pendjelmaan daripada toleransi? Apakah saudara menghendaki, di dalam kampanje pemilihan umum ini lahir hantu-hantu jang amat berbahaja, jaitu hantu Kebentjian dan hantu Panas-Panasan-hati? Lahirkanlah hantu-hantu itu, dan saudara nanti akan melihat, bahwa demokrasi ditelan bulat-bulat oleh anak-anak durhakanja sendiri. Maka demokrasi jang saudara tjita-tjitakan itu akan musnalah. Persatuan Bangsa akan musnalah. Kekuatan bangsa akan musnalah. Kedjajaan Revolusi Nasional akan musnalah. Dan jang nanti tinggal ialah terror dan anarchie, kekatjauan dan sembelih-sembelihan, dan gelaknja musuh jang terbahak-bahak karena terdjadi apa jang oleh mereka kehendaki. Demokrasi, kataku tempo hari, adalah alat. Alat untuk mentjapai masyarakat adil-makmur jang sempurna. Pemilihan umum adalah alat untuk menjempurnakan demokrasi itu. Pemilihan umum adalah dus sekedar alat untuk menjempurnakan alat. Kalau hantu kebentjian dan hantu panas-panasan-hati lahir dan meradjalela karena pemilihan umum itu, kalau keutuhan bangsa berantakan karena pemilihan umum itu, kalau tenaga bangsa remuk-redam karena pemilihan umum itu, maka benarlah apa jang kukatakan tempo hari, bahwa di sini “alat lebih djahat daripada penjakit jang hendak disembuhkannya”, - bahwa di sini het middel is erger dan de kwaal. Menurut Daniel S Lev, sistem multi partai di Indonesia mengalami kekacauan seperti halnya sistem multi partai di negara lain. Di satu sisi terdapat partai politik kecil yang memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan. Namun di sisi lain terdapat partai besar yang kurang terlibat dalam pemerintahan. Hal itu 502 Ibid., hal. 260. Amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1954 di Jakarta. Lihat, Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid kedua (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 199 – 200. 503 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 140 ditambah dengan berlakunya sistem parlementer tanpa ada partai politik yang memiliki kekuasaan penuh terhadap parlemen dan pemerintahan. Pemerintahan parlementer seringkali dijatuhkan oleh kekuatan ekstra parlementer, seperti partai politik, Presiden dan tentara. Hal itulah yang mendorong timbulnya gagasan demokrasi terpimpin.504 Persaingan antar partai politik dapat dilihat dari komposisi kabinet pada masa berlakunya UUDS 1950 mulai dari Kabinet Natsir sampai Kabinet Alisastroamidjojo II. Pada masa Kabinet Natsir dan Burhanuddin Harahap dari Masjumi, tidak ada menteri dari PNI. Sebaliknya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI, tidak terdapat menteri dari Masjumi. Pengecualian hanya terjadi pada masa Kabinet Sukiman (Masjumi) dan Kabinet Wilopo (PNI).505 Dalam pandangan Wilopo, keberadaan partai politik pada masa demokrasi liberal adalah untuk memudahkan penyusunan kekuatan dan perundingan guna membentuk pemerintahan melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya, karena tidak ada partai politik yang mempunyai suara mayoritas, penyusunan kabinet tidak dapat dilakukan dengan mudah. Akibat negatif yang ditimbulkan adalah:506 1. Kedudukan pemerintah, dalam hal ini adalah kabinet, sangat labil, terutama sebelum pemilu 1955. 2. Pemerintah belum mempunyai kesempatan yang memadai untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan secara terencana dan tuntas. 3. Keputusan-keputusan politik diambil melalui perhitungan suara (voting), terutama menyangkut kebijaksanaan pemerintah dan yang menjadi wewenang lembaga perwakilan rakyat. 4. Oposisi dijalankan dengan cara menampakkan citra negatif pemerintah di kalangan rakyat. 5. Karena adanya iklim kebebasan, maka dalam waktu yang relatif singkat kehidupan kepartaian laksana jamur di musim hujan. 504 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 70. M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 130. 506 Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-Kelemahannya, (Jakarta: Idayu, 1976), hal. 38; dan Karim, Op. Cit., hal. 125 – 126. 505 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 141 3.3.2. Gagasan Mengubur Partai Politik Pada 28 Oktober 1956, di depan pertemuan wakil-wakil pemuda dari semua partai politik, Presiden Soekarno menyatakan bahwa kondisi saat itu bertentangan dengan makna Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia saat itu terpecah-belah bukan hanya oleh rasa kesukuan dan kedaerah, tetapi oleh kepartaian yang menjadi penyakit yang lebih hebat dari rasa suku dan daerah. Pada 30 Oktober 1956, di hadapan Kongres persatuan guru, Soekarno mengecam Maklumat 3 November 1945 yang membuka jalan pembentukan partai-partai politik secara bebas. Partai politik disebut tidak berbeda dengan penyakit yang lebih parah dari fanatisme kesukuan dan kedaerahan sehingga satu dengan lainnya saling cakar-cakaran. Untuk itu Presiden Soekarno menyarankan agar para pemimpin partai politik berunding dan memutuskan bersama-sama mengubur partai-partai politik. Berikut ini kutipan pidato Soekarno.507 Di dalam bulan November tahun 1945 – terus terang saja kita membuat satu kesalahan yang amat besar, yaitu kita menganjurkan dibangunkan partai, partai, partai. Itu salah satu kesalahan: November 1945! Nu wreekt het zich!!! … Tahukah, saudara-saudara pemuda dan pemudi, impianku pada saat aku berpidato di hadapan saudara-sudara ini? Impianku lha bok ya – kata orang jawa, lha bok ya, pada satu saat pentol-pentol, artinya, pemimpin-pemimpin daripada partaipartai ini, berjumpa satu sama lain, mengadakan musyawarah satu sama lain, dan lantas mengambil keputusan satu sama lain: Marilah, sekarang ini bersama-sama kita menguburkan semua partai!!! Penguburan partai-partai tersebut dimaksudkan untuk menyehatkan kondisi politik karena jumlah partai politik dinilai sudah terlalu banyak. Hal itu akan dilakukan melalui pengurangan jumlah partai politik. Namun penyederhanaan tersebut tidak dapat dilakukan karena setiap partai politik tentu menolak menguburkan partainya sendiri. Oleh karena itu Soekarno menyatakan harus dikubur zonder pandang bulu. Setelah itu, Soekarno menyerahkan kepada pemimpin-pemimpin apakah akan membentuk satu partai saja, tidak membentuk partai tetapi suatu gerakan massa, atau membentuk beberapa partai politik yang rasional. Soekarno tidak ingin disebut sebagai directeur eigenaar atau dictator 507 Naskah lengkapnya dimuat dalam Indonesia, Pilihlah Demokrasimu yang Sejati, (Jakarta: Kementerian Penerangan, 1956). Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 63 – 64. Soekarno sejak awal, sebelum kemerdekaan, sudah banyak mengemukakan bahwa demokrasi yang dicita-citakan bukan demokrasi seperti di negara-negara barat yang hanya merupakan demokrasi politik. Lihat, Syamsuddin Haris, Op. Cit., hal. 95-97. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 142 sehingga menyerahkan kepada pemimpin partai. Saat itu Soekarno menyatakan sudah memiliki konsepsi yang akan diberikan jika diminta.508 3.3.3. Partai Politik dalam Konsepsi Presiden Soekarno Gagasan Presiden Soekarno untuk mengubah tatanan demokrasi parlementer kembali dikemukakan pada pidato 21 Februari 1957. Dalam pidato tersebut, Soekarno mengajukan konsepsi yang pernah diungkapkan. Pidato tersebut menunjukkan pandangan Soekarno bahwa berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat itu adalah karena pemerintahan yang tidak stabil akibat kurangnya kewibawaan kabinet dan keharusan menghadapi kekuatan oposisi. Demokrasi yang disebut dengan istilah demokrasi liberal parlementer adalah demokrasi barat yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Soekarno mengajukan konsepsi yang terdiri dari dua hal, yaitu tentang kabinet dan Dewan Nasional.509 Tentang kabinet, Soekarno mengusulkan dibentuknya Kabinet GotongRoyong yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia. Di dalam kabinet itu duduk semua partai-partai atau fraksi-fraksi yang ada dalam parlemen dan memiliki banyak wakil. Bahkan untuk partai kecilpun harus diberi kesempatan untuk duduk dalam kabinet. Hal itu merupakan perwujudan gotong royong Indonesia, penjelmaan jiwa Indonesia. Dengan model tersebut diharapkan kabinet tidak mudah dijatuhkan.510 Konsepsi kedua adalah pembentukan Dewan Nasional. Dewan ini semula hendak dinamakan Dewan Revolusioner. Namun, karena kata nasional dipandang lebih menunjukkan kekeluargaan yang besar, dipilih nama Dewan Nasional. Dewan tersebut meliputi seluruh bangsa Indonesia yang anggotanya terutama adalah golongan fungsional yang meliputi wakil-wakil kaum buruh, petani, cendekiawan, pengusaha, agama, angkatan 45, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan beberapa menteri yang dipandang penting. Anggota 508 Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 63 – 64. Ibid., hal. 67 – 68. 510 Naskah Lengkap dimuat dalam Kepada Bangsaku, (Panitia Pembinaan Djiwa Revolusi, tanpa tahun). Lihat, Ibid. Op. Cit., hal. 69 – 70. 509 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 143 Dewan Nasional terdiri atas 60 orang.511 Dewan Nasional dipimpin sendiri oleh Presiden Soekarno. Fungsi Dewan Nasional menurut Soekarno adalah memberi nasihat kepada Kabinet baik diminta maupun tidak.512 Konsepsi Presiden tersebut ditolak oleh partai-partai politik. Bahkan beberapa partai politik membentuk Liga Demokrasi yang menentang penguburan partai dan konsep restrukturisasi. Liga Demokrasi menyatakan bahwa penyelesaian berbagai permasalahan hendaknya tidak dicari dengan mengganti struktur, tetapi dengan mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintahan. Liga Demokrasi terdiri dari Masjumi, NU, PSII, PSI, Partai Katolik, Partai Protestan, dan Partai Rakyat Indonesia (PRI).513 Tokoh-tokoh NU, diantaranya Kyai Dahlan dan Imron Rosjadi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap konsepsi Presiden Soekarno. Kyai Dahlan menyatakan bahwa penguburan partai-partai bertentangan dengan semangat Islam karena dapat menimbulkan kediktatoran. Imron Rosjadi, yang saat itu menjadi Ketua Pemuda Anshor, menegaskan bahwa diktatur bertentangan dengan Islam.514 Mohammad Natsir, dalam pidato yang disampaikan pada peringatan sebelas tahun berdirinya Masjumi, 7 November 1956, menentang pendapat Soekarno bahwa berbagai masalah yang terjadi adalah karena banyaknya partai politik. Dengan menggantikan keberadaan partai politik, berarti berdiri pemerintahan diktator baik oleh satu orang atau oleh partai tunggal. Natsir berpendapat apabila demokrasi Indonesia dikubur, maka berakhir pula Republik Indonesia.515 Menurut Natsir, selama demokrasi masih ada, maka selama itu pula partai-partai tetap ada. Demikian pula sebaliknya, jika masih ada kebebasan 511 Miriam Budiardjo (peny.), Partisipasi dan Partai Politik, Op. Cit., hal. 269. Naskah Lengkap dimuat dalam Kepada Bangsaku, (Panitia Pembinaan Djiwa Revolusi, tanpa tahun). Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 70 – 71. 513 JImly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 178-179. 514 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 353 – 354. 515 Pidato ini dimuat di harian Abadi, 9, 10, dan 12 November 1956. Dalam pidato ini Natsir mengemukakan bahwa kesulitan bangsa Indonesia bersumper pada; 1) Melunturnya idealisme, sehingga yang merajalela ialah nafsu amarah, yakni nafsu amarah menteri yang rendah dan kasar dalam bermacam-macam bentuknya; 2) Menjadi kaburnya batas antara patut dan yang tidak patut, yang halal dan yang haram, pelanggaranpelanggaran batas-batas itu dilakukan dengan cara yang sangat cynis; dan 3) Kaburnya nilai-nilai keadilan yang zakenlijk dan obyectief untuk memutuskan persoalan dalam menempatkan tenaga-tenaga, sehingga yang hitam dijadikan putih, yang putih dihitamkan, menurut keadaan dan keinginan penguasa sewaktu-waktu. Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 78 – 79. 512 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 144 partai-partai, demokrasi akan ditegakkan. Jika partai-partai dikubur, maka demokrasipun akan terkubur.516 Pada 29 Pebruari 1957, Presiden Soekarno memanggil pimpinan partaipartai untuk mendengarkan pendapat mereka tentang konsepsi Presiden. Dalam pertemuan tersebut, Masjumi yang diwakili oleh Mohammad Natsir, Fakih Usman, dan Yunan Nasution secara implisit menolak konsepsi tersebut. Demikian pula dengan NU yang diwakili oleh Saifuddin Zuhri, Kyai Masjkur, dan Imron Rosjadi. PSII juga bersikap sama dan menyarankan untuk menyampaikan usul tersebut kepada Konstituante serta melakukan reshuffle besar-besar terhadap kabinet. Penolakan itu diikuti dengan pernyataan bersama lima partai yang menolak konsepsi Presiden pada 2 Maret 1957. Lima partai tersebut adalah Masjumi, NU, PSII, Partai Katholik, dan PRI.517 3.3.4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Demokrasi Terpimpin Pada 14 Maret 1957, Presiden Soekarno sebagai Penguasa Perang Tertinggi menyatakan negara dalam keadaan darurat perang. Presiden Soekarno juga memaksakan terbentuknya Kabinet Juanda sebagai kabinet karya yang bersifat non-partai politik. Namun demikian, dalam kabinet tersebut juga duduk wakil-wakil partai politik sebagai menteri, kecuali dari Masjumi, Partai Katolik, dan PSI. Pembentukan kabinet tersebut justru menimbulkan kekecewaan baik di pusat maupun di daerah-daerah, khususnya yang menjadi basis massa partai politik yang tidak terlibat dalam kabinet. Muncul tuntutan agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 hari serta membentuk kabinet baru dengan Sultan Hamengkubuwono IX dan Mohammad Hatta sebagai formatur. Gejolak tersebut juga menimbulkan pemberontakan, misalnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukit Tinggi dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Pemberontakan PRRI diduga melibatkan sejumlah pimpinan Masjumi dan PSI seperti M. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Soemitro Djojohadikoesoemo.518 516 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 354. Ibid, hal. 357 – 360. 518 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 179-180. 517 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 145 Beberapa pemberontakan dapat dengan cepat ditangani oleh militer. Kondisi tersebut menurut Feith dan Castles telah menimbulkan susunan politik baru yang dikuasai oleh Presiden Soekarno dan pimpinan militer. Kekuasaan itu semakin besar dengan telah dilakukannya pengambilalihan semua milik Belanda pada Desember 1957. Kondisi ini menandai mulai berakhirnya demokrasi liberal dan semakin melemahnya partai politik dan parlemen diganti dengan demokrasi terpimpin.519 Untuk mengatasi pertentangan politik yang tidak hanya ada dalam Kontituante, tetapi juga dalam tubuh DPR dan pemerintahan, kebijakan Soekarno mengarah pada demokrasi terpimpin yang harus segera dilaksanakan. Namun, demokrasi terpimpin tidak dapat dijalankan berdasarkan UUDS 1950 yang menganut demokrasi liberal. Oleh karena itu harus kembali diberlakukan UUD 1945. Kabinet Karya, pada sidang 10 Pebruari 1959 mengambil keputusan untuk melaksanakan demokrasi terpimpin dengan cara kembali pada UUD 1945. Hal itu diwujudkan dalam Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Dalam Rangka Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, bertanggal 19 Pebruari 1959.520 Di dalam keputusan tersebut ditentukan bahwa jika UUD 1945 telah kembali diberlakukan, Kabinet Karya akan menyiapkan rancangan undang-undang kepartaian dan rancangan undang-undang pemilihan umum. Keputusan Dewan Menteri tersebut disampaikan pada Sidang Pleno Konstituante pada 22 April 1959. Pada saat itu Presiden Soekarno memberikan amanat yang berisi anjuran kepada Konstituante untuk menerima berlakunya UUD 1945. Anjuran tersebut menimbulkan perdebatan dalam persidangan Konstituante, mulai dari sah tidaknya usulan pemerintah tersebut hingga berujung pada pendirian kelompok Islam yang akan menerima kembali UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta harus berlaku kembali dan termasuk kata-kata yang dihapuskan dari Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 dikembalikan menjadi “Negara berdasarkan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.521 519 Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 84 – 85. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1966), hal. 89 – 95. 521 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 380-401. 520 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 146 Setelah melalui pemandangan umum dan perdebatan dalam Konstituante, akhirnya dilakukan pemungutan suara terhadap usul perubahan yang diajukan oleh fraksi Islam pada 1 Juni 1959. Hasil pemungutan suara tersebut adalah 201 untuk perubahan dan 265 menentang perubahan. Sebelumnya telah diputuskan bahwa pemungutan suara hanya dilakukan satu kali. Dengan demikian usulan perubahan dari fraksi Islam ditolak karena tidak mendapat dukungan dua pertiga mayoritas.522 Sedangkan untuk pemungutan suara kembali kepada UUD 1945 dilakukan sebanyak tiga kali. Pemungutan pertama dilakukan pada 30 Mei 1959 dengan pilihan mendukung kembali UUD 1945 atau menolak yang menghasilkan 269 suara mendukung dan 199 menolak. Hasil tersebut tidak memenuhi syarat karena suara yang dibutuhkan sekurang-kurangnya 2/3 dari 474 anggota yang hadir, yaitu 316 suara. Pemungutan suara kedua dilakukan pada 1 Juni 1959 yang menghasilkan 246 mendukung dan 204 menolak. Suara yang diperlukan adalah 312. Pemungutan suara ketiga dilakukan pada 2 Juni 1959 dengan cara terbuka yang menghasilkan 263 mendukung dan 203 menolak. Suara yang dibutuhkan adalah 312 suara.523 Tidak berhasilnya Konstituante mengambil keputusan, dipandang membuat pertentangan semakin tajam. Hal itu mendorong Kepala Staf Angkatan Darat mengeluarkan peraturan Nomor Prt/Peperpu/040/1959 tanggal 3 Juni 1959 yang melarang adanya kegiatan-kegiatan politik. Akhirnya, pada 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang di dalamnya berisi pernyataan pembubaran Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950, berlakunya kembali UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya. Selengkapnya bunyi Dekrit Presiden tersebut adalah sebagai berikut.524 522 Ibid, hal. 400-401. Ibid., hal. 401. 524 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 75. 523 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 147 DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Dengan ini menjatakan dengan chidmat: Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang dasar 1945, jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas yang dipertjajakan oleh Rakjat kepadanja; Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mentjapai masjarakat jang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 mendjiwai Undang-undang-Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkain-kesatuan dengan Konstitusi tersebut; Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang-Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunja lagi Undang-undang-Dasar Sementara; Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara, jang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu jang sesingkat-singkatnja. Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal: 5 Juli 1959 Atas nama Rakjat Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 148 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG SOEKARNO. 3.3.5. Pembatasan Peran Partai Politik Dekrit Presiden tersebut secara aklamasi diterima oleh DPR pada sidang 22 Juli 1959 dan sekaligus menyatakan diri bersedia untuk bekerja atas dasar UUD 1945. Berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1959, DPR tersebut ditetapkan untuk menjalankan tugas DPR menurut UUD 1945 sebelum terbentuk DPR berdasarkan UUD 1945. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengemukakan program yang akan dijalankan dan agenda perubahan untuk melaksanakan demokrasi terpimpin. Dalam pidato yang selanjutnya menjadi Manifesto Politik (Manipol) tersebut, Soekarno mengemukakan tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah sandang-pangan, keamanan, melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan mempertahankan kepribadian bangsa. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah masyarakat adil dan makmur, melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem liberalisme harus dibuang dan menempatkan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin sebagai gantinya. Pelaksanaan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dilakukan dengan mengganti tatanan yang sudah ada dengan yang baru dengan istilah retooling for the future. Retooling tersebut meliputi semua alat-alat perjuangan, badan eksekutif, badan legislatif, semua alat kekuasaan negara, alat-alat produksi dan distribusi, serta organisasi kemasyarakatan. Retooling di bidang legislatif dikatakan oleh Soekarno sebagai berikut.525 Di bidang legislatif saja harap retooling djuga didjalankan terus: siapa jang tidak bersumpah setia kepada Undang-Undang dasar 1945 dikeluarkan dari DPR; siapa yang ikut pemberontakan, dipetjat dari DPR dan akan dihukum. Siapa jang tidak mengerti apa makna “kembali kepada Undang-Undang Dasar ‘45”, sebenarnja sebaiknja keluar sadja dari DPR. .. 525 Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 93. Hal ini juga disampaikan dalam Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1959 di Jakarta. Lihat, Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, djilid kedua, Op. Cit., hal. 351 – 391. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 149 Hanja dengan retooling diri jang demikian itulah, DPR akan dapat mendjadi alat pembangunan, alat perdjuangan, alat Revolusi. Pidato yang menjadi Manifesto Politik tersebut selanjutnya oleh DPA526 diusulkan sebagai Program Umum Revolusi.527 Wakil Ketua DPA, Roeslan Abdulgani menjelaskan secara sistematis ajaran-ajaran Manipol. Manipol memuat dua hal yang dikatakan sangat dibutuhkan untuk melancarkan jalannya Revolusi Indonesia, yaitu Persoalan-Persoalan Pokok daripada Revolusi Indonesia, dan Program Umum Revolusi Indonesia (Usaha-Usaha Pokok). Manipol juga ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Dinyatakan bahwa Program Revolusi harus menjadi program partai dan harus ambil bagian dalam melaksanakan program tersebut. Dengan adanya kejelasan pokok-pokok Revolusi Indonesia akan dapat ditarik garis antara revolusi dan kontra-revolusi, antara sahabat dan musuh Indonesia.528 Manifesto politik tersebut dikuatkan dengan Ketetapan MPRS529 Nomor I/MPRS/1960. Sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Penpres Nomor 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 22 Juli 1959.530 Pasal 1 ayat (1) Penpres Nomor 2 Tahun 1959 menyatakan sebagai berikut. (1) Sebelum tersusun Madjelis Permusjawaratan Rakjat menurut undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ajat (1) Undang-undang Dasar, maka dibentuk Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara jang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang dimaksud dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 ditambah dengan utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan menurut aturan-aturan seperti berikut. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa MPRS yang dibentuk terdiri atas anggota-anggota DPR yang dibentuk berdasarkan Penpres Nomor 1 Tahun 1959 ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa yang dimaksud 526 Dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 78. 527 Melalui Keputusan DPA Nomor 3/Kpts/Sd.II/59. Selengkapnya dimuat dalam Manifesto Politik Republik Indonesia, (Jakarta: Kementerian Penerangan, 1959). Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 78 – 79 529 MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959. Pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1960 tentang Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. 530 Republik Indonesia, Penetapan Presiden tentang Majelis Permusyawaratan Rakjat Sementara, Penpres Nomor 2 Tahun 1959. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 77, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 1816. 528 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 150 dengan golongan adalah golongan karya. Golongan-golongan tersebut lebih lanjut dirinci dalam Perpres Nomor 12 Tahun 1959 tentang Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.531 Golongan-golongan itu meliputi golongan tani, buruh/pegawai negeri, pengusaha nasional, koperasi, angkatan ’45, angkatan bersenjata, veteran, agama, pemuda, wanita, seniman, wartawan, dan cendekiawan/pendidik yang keseluruhan berjumlah 200 orang. Perpres Nomor 12 Tahun 1959 juga mengatur syarat-syarat keanggotaan MPRS. Pasal 4 Perpres tersebut menyatakan syarat-syarat keanggotaan MPRS diantaranya adalah setuju dengan kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju dengan Manifesto politik Presiden 17 Agustus 1959. Pasal 4 Perpres Nomor 12 Tahun 1959 adalah sebagai berikut. Sjarat-sjarat keanggotaan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara adalah sebagai berikut: a. Sjarat-sjarat keanggotaan Dewan Perwakilan Rakjat berlaku djuga bagi Anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara. b. Setudju dengan kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. c. Setia kepada perdjuangan Republik Indonesia. d. Setudju dengan Manifesto Politik Presiden tertanggal 17 Agustus 1959. Beberapa waktu kemudian, Presiden Soekarno membekukan DPR hasil pemilihan umum 1955 yang telah ditetapkan dengan Penpres Nomor 1 Tahun 1959 untuk menjalankan tugas sebagai DPR berdasarkan UUD 1945. Pembekuan itu dilakukan karena DPR menolak rencana anggaran belanja negara yang diajukan oleh pemerintah.532 Anggota-anggota DPR diberhentikan dengan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Presiden Soekarno menerapkan program retooling DPR dalam bentuk menghentikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan DPR hasil pemilu 1955 melalui Penpres Nomor 3 Tahun 1960533 dan mengadakan pembaruan susunan DPR. DPR yang baru adalah DPR-GR yang dibentuk 531 Ditetapkan pada 31 Desember 1959. Republik Indonesia, Peraturan Presiden tentang Susunan Majelis Permusjawaratan Rakjat, Perpres Nomor 12 Tahun 1959. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1917. 532 DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah karena berencana menaikkan pendapatan dari sektor pajak untuk menutupi kekurangan anggaran dengan mematok anggaran berimbang sebesar Rp. 44 miliar. Sebaliknya, fraksi-fraksi di DPR berpendapat, pengeluaran negara harus disesuaikan dengan kemampuan sendiri, sehingga anggaran hanya Rp 36 miliar--Rp 38 miliar, dan rakyat tidak dibebani pajak. Penolakan itu mengharuskan presiden memakai anggaran sebelumnya. Tapi, akibatnya, Presiden Soekarno lalu membubarkan DPR itu pada 24 Juni 1960 dengan alasan tidak bisa bekerja sama. Pracoyo Wiryoutomo, Irawati, Munawar Chalil, dan Hanibal, Perjalanan Demokrasi Indonesia Pesta Demokrasi di Bawah Dua Orde, http://www.forum.co.id/forum/redaksi/edisikhusus/08EKFORUT3.html, 17/4/2007. 533 Republik Indonesia, Penetapan Presiden tentang Penghentian Pelaksanaan Tugas DPR, Penpres Nomor 3 Tahun 1960. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 24. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 151 berdasarkan Penpres Nomor 4 Tahun 1960.534 Keanggotaan DPR-GR tidak lagi didasarkan atas kekuatan partai politik, melainkan kerjasama gotong royong.535 Pasal 2 Penpres Nomor 4 Tahun 1960 menyatakan bahwa DPR-GR terdiri atas wakil-wakil dari golongan politik dan golongan karya, serta seorang wakil Irian Barat yang menyetujui UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian sendiri dan bersedia turut serta melaksanakan Manifesto Politik 17 Agustus 1959. Anggota-anggota DPR-GR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pengangkatan anggota DPR-GR dilakukan melalui Keppres 156 Tahun 1960. Anggota DPR-GR dari unsur golongan politik adalah dari PNI 44 orang, NU 36 orang, PKI 30 orang, Parkindo 6 orang, Partai Katolik 5 orang, PSII 5 orang, Perti 2 orang, Murba dan Partindo masing-masing 1 orang. Komposisi keanggotaan tersebut lebih sedikit jika dibandingkan dengan wakil dari golongan karya yang meliputi angkatan darat 15 orang, angkatan laut 7 orang, angkatan udara 7 orang, polisi 5 orang, golongan tani 25 orang, buruh 26 orang, alim ulama Islam 24 orang, Protestan 3 orang, Katolik 2 orang, Hindu Bali 2 orang, golongan pemuda 9 orang, wanita 8 orang, cendekiawan/pendidik 5 orang, koperasi 3 orang, serta masing-masing 2 orang untuk golongan pengusaha nasional, angkatan ’45, veteran, seniman, dan wartawan.536 Selain MPRS, DPR-GR, dan DPAS, sebagai pelaksanaan demokrasi terpimpin juga dibentuk Dewan Perancang Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958537 dan Penpres Nomor 4 Tahun 1959538, serta Front Nasional berdasarkan Perpres Nomor 13 Tahun 1959539. Dewan Perancang Nasional bertugas mempersiapkan rencana dan menilai penyelenggaraan 534 Republik Indonesia, Penetapan Presiden tentang Susunan Dewan perwakilan Rakjat Gotong Rojong, Penpres Nomor 4 Tahun 1960. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 2015 535 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran, Op. Cit., hal. 125. 536 Ditetapkan pada 24 Juni 1960. 537 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Dewan Perantjang Nasional, Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1675. 538 Penpres Nomor 4 Tahun 1959 untuk Menyesuaikan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perantjang Nasional. Selanjutnya diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan UndangUndang Dewan Perantjang Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1876. 539 Republik Indonesia, Peraturan Presiden tentang Front Nasional, Perpres Nomor 13 Tahun 1959, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 152 pembangunan semesta. Sedangkan Front Nasional bertugas mempersatukan segenap kekuatan progresif dan memimpin masyarakat menyelesaikan revolusi. Baik Dewan Perantjang Nasional maupun Front Nasional dipilih Presiden. Mohammad Hatta, walaupun pada awalnya menyetujui bahwa salah satu masalah yang mengakibatkan pembangunan demokrasi terlantar adalah pertentangan antar partai,540 namun tidak menyetujui konsepsi Soekarno. Ketidaksetujuan Hatta kembali diungkapkan melalui artikel yang dimuat mingguan Pandji Masjarakat, 1 Mei 1960. Dalam pandangan Hatta, apa yang dilakukan Soekarno telah menghilangkan sisa-sisa demokrasi yang ada. Walaupun tindakan tersebut disetujui oleh partai-partai besar tertentu, demokrasi terpimpin telah membuka jalan bagi diktatur yang didukung oleh golongan-golongan tertentu.541 Dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Kita”, Hatta menyebut apa yang dilakukan oleh Soekarno mulai dari Dekrit hingga pembentukan DPRGR sebagai sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi dan merupakan suatu coup d’etat.542 Berdasarkan gambaran tersebut, dari sisi kepartaian kebijakan demokrasi terpimpin dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa keberadaan partai politik yang telah berkembang merupakan salah satu ciri demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk itu partai politik perlu disederhanakan dan diarahkan sebagai sarana negara untuk mendukung berjalannya demokrasi terpimpin. Dengan demikian partai politik lebih merupakan sarana bagi negara sesuai dengan paradigma managerial untuk menjaga keberhasilan pelaksanaan demokrasi terpimpin. 3.4. PENYEDERHANAAN DAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK Penyederhanaan partai politik merupakan salah satu agenda Soekarno yang telah disampaikan sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden dan berlakunya demokrasi terpimpin. Penyederhanaan partai politik merupakan agenda yang 540 Dapat dilihat pada pidato yang dikemukakan di Universitas Gadjah Mada pada 27 November 1956 beberapa hari sebelum mengundurkan diri. Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit.., hal. 80 – 83. Pidato ini dikemukakan sebelum Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri itu telah diutarakan pada 20 Juli 1956. Lihat A.H. Nasution, Op. Cit., hal. 279. 541 Lihat Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 123 – 127. 542 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, dalam Endang Basri Ananda dan Sori Siregar (peny.), Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 2 Kemerdekaan dan Demokrasi, (Jakarta: LP3ES, 2000), hal. 426 – 440. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 153 penting karena sistem multi partai dianggap merupakan model demokrasi barat yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Sistem multi partai dipandang sebagai akar penyebab perpecahan bangsa dan ketidakstabilan pemerintah. Amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1958, menyatakan.543 Sekali lagi: sederhanakanlah kepartaian! Sederhanakanlah isi-djiwanja, sederhanakanlah djumlahnja. Sederhanakanlah isi-djiwanja, djangan isi-djiwanja itu selintat-selintut seperti djiwa tukang tjatut dipasar gelap! Sederhanakanlah djumlahja, djangan djumlahja itu berpuluh-puluh buah seperti lalat-hidjau mengerumuni hidangan. Ultra-multi-partaisystem tak sesuai dan tak dapat dipergunakan sebagai alat penjelenggaraan masjarakat Res Publica. … Dan dengan zonder tèdèng-aling-aling pula saja disini mengandjurkan dirobekrobeknja Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, jang mengandjur-andjurkan diadakanja partai-partai, dan lalu menghidupkan dunia liberalisme parlementer dalam Revolusi kita, jang sebenarnja wajib dipimpin oleh keutuhan kommando, tetapi karenanja mendjadi petjah-belah samasekali sampai dewasa ini. Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno menerapkan konsep demokrasi terpimpin yang telah jelas arahnya di bidang kepartaian, yaitu tidak menyukai adanya banyak partai apalagi tingkat konflik antara satu partai dengan lainnya sangat tinggi. Walaupun demikian, keberadaan partai masih dibutuhkan sebagai legitimasi dan menjadi penyeimbang kekuatan militer, namun partaipartai tersebut diawasi secara ketat.544 Kebijakan tersebut menurut Wilopo dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan dapat bekerja lama, yang menjadi syarat bagi negara sedang berkembang. Pemerintahan juga harus diawasi oleh parlemen yang kuat. Untuk itu diperlukan partai dan organisasi politik yang tersusun baik dalam jumlah yang tepat.545 Namun demikian, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kabinet tidak lagi dikuasai oleh partai yang dominan dalam anggota legislatif, karena dipilih dan diangkat oleh Presiden.546 Bahkan seperti telah diuraikan, keanggotaan DPR-GR dan MPRS, serta lembaga-lembaga lain, juga ditentukan sendiri oleh Presiden. Dalam penentuan tersebut tidak ada wakil dari Masjumi dan PSI sebagai salah partai politik yang memperoleh kursi pada pemilu 1955. 543 Lihat, Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Dijild Kedua, Op. Cit., hal. 333. Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 180. 545 Wilopo, Op. Cit., hal. 65. 546 M. Rusli Karim, Op. Cit., hal. 147 544 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 154 3.4.1. Peraturan Penyederhanaan dan Pembubaran Partai Politik Kebijakan penyederhanaan kepartaian dimulai pada 31 Desember 1959 saat Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Kepartaian547. Penyederhanaan Dalam konsideran “Menimbang” Penpres disebutkan. bahwa berhubung dengan keadaan ketatanegaraan di Indonesia, jang menjebabkan dikeluarkanja Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia pada tanggal 5 Djuli 1959 dan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mentjapai masjarakat jang adil dan makmur, perlu diadakan peraturan tentang sjarat-sjarat dan penjederhanaan kepartaian; Berdasarkan konsideran “Menimbang” tersebut, dapat diketahui bahwa lahirnya ketentuan tentang penyederhanaan partai politik adalah karena keyakinan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan keadaan membahayakan negara dan merintangi pembangunan nasional hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden adalah karena sistem kepartaian yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu dinilai harus dilakukan perubahan dengan melakukan penyederhaan kepartaian. Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terdiri atas dua diktum, yaitu; pertama, mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 mengenai anjuran pemerintah tentang pembentukan partai politik, dan kedua, menetapkan Penetapan Presiden tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Hal itu dapat dilihat dari diktum memutuskan di bawah ini. Memutuskan: Pertama: Mentjabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 (Berita Republik Indonesia Tahun I No. 1 halaman 3 kolom 4) mengenai Andjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Kedua: Menetapkan Penetapan Presiden tentang Sjarat-sjarat dan Penjederhanaan Kepartaian. Penjelasan umum Penpres Nomor 7 Tahun 1959 menyatakan bahwa Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 ternyata tidak berhasil mencapai stabilitas politik. Penjelasan juga menyatakan bahwa ketidakstabilan politik mencapai puncaknya pada waktu Konstituante membicarakan Amanat Presiden 547 Republik Indonesia, Penetapan Presiden tentang Sjarat-Sjarat dan Penjederhanaan Kepartaian, Penpres Tahun 1959 Nomor 7. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1916. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 155 tanggal 22 April 1959 yang menganjurkan kembali kepada UUD 1945. Konstituante tidak berhasil mengambil keputusan. Berdasarkan alasan tersebut dipandang telah tiba waktunya untuk mencabut maklumat tersebut serta mengatur perkembangan partai politik sebagai alat demokrasi sehingga dapat berlangsung dalam suasana demokrasi terpimpin. 3.4.1.1. Syarat-Syarat Partai Politik dan Alasan Pembubaran Syarat-syarat partai politik di dalam Penpres tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu syarat kuantitatif dan syarat kualitatif. Syarat kuantitatif adalah mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit seperempat jumlah Daerah Tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.548 Sedangkan syarat yang bersifat kualitatif meliputi: 1. Menerima dan mempertahankan asas dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945;549 2. Dalam anggaran dasarnya harus dicantumkan dengan tegas, menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar negara, yaitu Pancasila, dan bertujuan membangun suatu masyarakat adil dan makmur menurut kepribadian Bangsa Indonesia, serta mendasarkan program kerjanya masing-masing atas Manifesto Politik Presiden 17 Agustus 1959 yang telah dinyatakan sebagai haluan negara;550 3. Dalam Anggaran Dasar dan atau Anggaran Rumah Tangga harus mencantumkan dengan tegas organisasi-organisasi lain yang mendukung dan atau bernaung di bawah partai;551 4. Dalam memperjuangkan tujuannya, partai politik diharuskan menggunakan jalan damai dan demokratis;552 5. Partai tidak diperbolehkan mempunyai pengurus maupun anggota seorang warga negara asing;553 dan 548 Pasal 5 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pasal 2 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 550 Pasal 3 ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 551 Pasal 3 ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 552 Pasal 4 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 553 Pasal 6 ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 549 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 156 6. Partai tanpa ijin pemerintah tidak boleh menerima bantuan dari pihak asing dan atau memberi bantuan kepada pihak asing dalam bentuk dan cara apapun.554 Berdasarkan ketentuan tersebut, persyaratan pengakuan partai politik meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan ideologi atau asas, tujuan, program, kegiatan, jumlah cabang, jumlah dan syarat keanggotaan, serta ketentuan pendanaan. Syarat-syarat tersebut lebih banyak yang bersifat umum dan dapat dijumpai pada peraturan partai politik di beberapa negara lain. Namun demikian, terdapat salah satu persyaratan yang bersifat khusus dan berpeluang ditafsirkan secara sepihak, yaitu mendasarkan programnya pada Manifesto Politik Presiden. Persyaratan tersebut juga merupakan arus utama dari demokrasi terpimpin, yaitu mendasarkan program kerja pada Manipol yang dikemukakan oleh Presiden Soekarno. Sedangkan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pembubaran diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 sebagai berikut.555 (1) Presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung dapat melarang dan/atau membubarkan Partai Jang: 1. bertentangan dengan azas dan tudjuan Negara; 2. programnja bermaksud merombak azas dan tudjuan Negara; 3. sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turutserta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah djelas memberikan bantuan, sedangkan Partai itu tidak dengan resmi menjalahkan perbuatan anggota-anggotanja itu; 4. tidak memenuhi sjarat-sjarat lain jang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi alasan pembubaran suatu partai politik. Alasan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1) angka 1 meliputi asas dan tujuan negara sebagai satu kesatuan, yang berarti suatu partai politik dapat dibubarkan jika bertentangan baik terhadap asas maupun tujuan negara. Hal itu menunjukkan adanya pemikiran bahwa partai politik yang bertentangan dengan asas negara juga pasti bertentangan dengan tujuan negara, 554 555 Pasal 6 ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 157 demikian pula sebaliknya. Namun dalam kenyataannya dapat saja terjadi suatu tujuan dicapai dengan asas yang berbeda.556 Dengan demikian, suatu partai politik dapat dibubarkan jika asas, program, atau kegiatannya bertentangan dengan asas dan tujuan negara, atau programnya hendak mengubah asas dan tujuan negara tersebut, tanpa ditentukan bahwa program tersebut dijalankan dengan cara damai dan demokratis atau tidak. Alasan selanjutnya adalah sedang melakukan pemberontakan. Hal itu dilihat dari peran pimpinan suatu partai politik dalam suatu pemberontakan dan partai politiknya tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota tersebut.557 Hal itu berarti bahwa tidak harus ada keterkaitan langsung antara organisasi partai politik dengan pemberontakan yang dijadikan alasan pembubaran, melainkan cukup dengan adanya keterlibatan pimpinan partai politik. Namun demikian, partai politik dapat terhindar dari pembubaran jika secara resmi menyalahkan tindakan anggota pimpinan tersebut. Bentuk menyalahkan dengan resmi tersebut tentu berupa tindakan yang dilakukan berdasarkan AD/ART partai politik. Selain itu, alasan pembubaran partai politik adalah tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Persyaratan tersebut adalah persyaratan yang berlaku untuk diakuinya suatu partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 6 Penpres Nomor 7 Tahun 1959, yang meliputi ideologi, asas, tujuan, program, kegiatan, jumlah dan syarat keanggotaan, serta ketentuan pendanaan. 3.4.1.2. Mekanisme Pengakuan dan Pembubaran Wewenang pengawasan dan pemeriksaan terhadap partai-partai politik ada di tangan Presiden.558 Wewenang tersebut sesuai dengan prinsip demokrasi 556 Di beberara negara lain, alasan pembubaran ini biasanya dirumuskan lebih umum dan luas yaitu bertentangan dengan konstitusi atau prinsip demokrasi, seperti Article 4 Konstitusi Perancis, Article 3 Konstitusi Hungaria, Article 20 Para 2 Konstitusi Macedonia, Article 8 Para 2 Konstitusi Korea Selatan. Sedangkan untuk tujuan partai politik tidak ditentukan sesuai tujuan negara, melainkan tujuan keberadaan partai politik, yaitu untuk membentuk dan menyalurkan kehendak rakyat, seperti Article 6 Konstitusi Spanyol yang menyatakan “Political parties express democratic pluralism, assist in the formulation and manifestation of the popular will…”, dan Article 137 Konstitusi Switzerland yang menyatakan “The political parties shall contribute to the forming of the opinion and the will of the People.” 557 Di negara-negara lain, alasan ini pada umumnya dirumuskan terkait dengan kedaulatan negara atau keutuhan wilayah. Hal itu dapat dilihat pada Article 17 Konstitusi Brazil, Article 6 Para 2 Konstitusi Kroasia, dan Article 4 Konstitusi Perancis. 558 Pasal 8 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 158 terpimpin. Pengawasan yang dilakukan Pemerintah bersifat represif dan preventif. Pemerintah tidak hanya dapat mengambil tindakan terhadap perbuatan yang melanggar hukum, tetapi juga dapat memberi arahan.559 Wewenang pembubaran dan pelarangan partai politik juga ada pada Presiden yang dilakukan sesudah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung560. Partai yang dinyatakan dibubarkan oleh Presiden, harus membubarkan diri dalam waktu paling lama 30 x 24 jam terhitung sejak tanggal berlakunya Keputusan Presiden yang membubarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) berikut ini. (2) Partai jang dibubarkan berdasarkan ajat (1) pasal ini, harus dibubarkan dalam waktu selama-lamanja tiga puluh kali dua puluh empat djam, terhitung mulai tanggal berlakunja Keputusan Presiden jang menjatakan pembubaran itu. Dengan demikian wewenang pembubaran partai politik ada di tangan pemerintah, yaitu Presiden tanpa melalui proses peradilan. Wewenang Mahkamah Agung hanyalah memberikan pertimbangan kepada Presiden, tidak memutuskan. Sedangkan jika dilihat dari sisi alasan-alasan pembubaran partai politik, alasan pertama hingga ketiga merupakan alasan yang juga dapat dijumpai di negaranegara demokrasi.561 Namun demikian, mengingat alasan tersebut bersifat umum, sangat rawan disalahgunakan.562 Oleh karena itu, di negara-negara demokrasi, wewenang memutus pembubaran partai politik ada pada pengadilan, bukan eksekutif yang pada hakekatnya mewakili partai tertentu. Apalagi terdapat alasan keempat yang penentuannya berada di tangan Presiden, yaitu syarat-syarat yang ditentukan oleh Presiden sendiri dalam Peraturan Presiden. Tidak mengherankan 559 Penjelasan Pasal 8 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 disebutkan bahwa dalam hal ini Mahkamah Agung itu menguji persoalannya atas dasar yuridis dan obyektif. 561 Chapter II Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman misalnya, menyatakan “Parties which, by reason of their aims or behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional.” Selain itu, di Armenia misalnya, Article 9 The of the Republic of Armenia on Political Parties menyatakan “Formation and activity of such parties, whose aims or activity are directed at violent overthrow of Constitutional order of the Republic of Armenia and territorial integrity of the Republic of Armenia, impaired of grounds of independence, formation of armed units, instigation of national, racial and religious hatred, incitement to violence and war, is prohibited. 562 Dapat dibandingkan dengan salah satu pedoman yang diadopsi oleh Venice Commission yang menyatakan bahwa pelarangan atau pembubaran paksa partai politik mungkin dibenarkan jika melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional sehingga meruntuhkan hak dan kebebasan yang dijamin konstitusi. Selain itu, juga dinyatakan bahwa partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapat mandat dari partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit., hal. 2-3. 560 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 159 apabila Penpres Nomor 7 Tahun 1959 pada pelaksanaannya menjadi legitimasi untuk “mengubur” partai-partai yang berseberangan dengan Presiden Soekarno.563 Adanya Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tampaknya memang dimaksudkan untuk menyederhanakan partai-partai yang sudah ada. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 11 yang menyatakan bahwa yang dapat diakui sebagai partai pada waktu berlakunya Penpres tersebut adalah partai-partai yang telah berdiri pada waktu Dekrit Presiden dikeluarkan dan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Bahkan menurut Jimly Ashiddiqie, Penpres tersebut tampaknya memang ditujukan kepada Masjumi dan PSI yang menolak berbagai gagasan Presiden dan diindikasikan terlibat dalam pemberontakan PRRI.564 Sebagai pelaksanaan Penpres Nomor 7 Tahun 1959, peraturan selanjutnya yang dikeluarkan untuk melakukan penyederhanaan partai politik adalah Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik565 yang selanjutnya diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960566. Perpres Nomor 13 Tahun 1960 mewajibkan kepada partai politik yang telah berdiri pada 5 Juli 1959 untuk menyesuaikan AD dan ART dengan ketentuan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959.567 Partai-partai tersebut selambat-lambatnya pada 28 Pebruari 1961 wajib melaporkan kepada Presiden mengenai, 1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-masing; 2. catatan jumlah cabang dan jumlah anggota di tiap cabang; 3. catatan nama, umur dan pekerjaan anggota di setiap cabang; 4. organisasi-organisasi lain yang mendukung dan/atau bernaung di bawah partai masing-masing; 563 Pedoman dari Venice Commission menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi dari temuan judisial tentang pelanggaran konstitusional yang tidak biasa. Pembubaran harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga judisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan fair. Lihat, ibid. 564 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 180. 565 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Pengakuan, Pengawasan, Dan Pembubaran PartaiPartai, Perpres Nomor 13 Tahun 1960, Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2016. 566 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan, Dan Pembubaran Partai-Partai, Perpres Nomor 25 Tahun 1960, Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2092. 567 Pasal 1 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 160 5. keterangan dari Polisi setempat bahwa partai sudah berdiri pada 5 Juli 1959.568 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 juga menambah persyaratan keanggotaan partai, yaitu sekurang-kurangnya 150.000 orang dan tiap cabang sedikitnya beranggotakan 50 orang.569 Pengakuan dan penolakan pengakuan terhadap partaipartai tersebut akan dilakukan dengan Keputusan Presiden.570 Setiap partai politik yang sudah diakui, wajib memberikan laporan kepada Presiden enam bulan sekali. Mekanisme pembubaran partai politik diatur dalam Pasal 6, 7, dan 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Apabila terdapat dugaan bahwa partai politik memenuhi syarat untuk dibubarkan seperti disebutkan Pasal 9 ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959, Presiden menyampaikan hal tersebut kepada Mahkamah Agung dengan menyerahkan surat-surat dan lainya yang dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian untuk menguatkan persangkaan itu.571 Mahkamah Agung mengadakan pemeriksaan dengan acara bebas572 tentang persangkaan tersebut, dan dapat mendengar saksi dan ahli. Setelah melakukan pemeriksaan, Mahkamah Agung menyampaikan pendapat pada Presiden.573 Keputusan Presiden tentang pembubaran suatu partai politik disampaikan kepada pimpinan partai, dan harus menyatakan partainya bubar dengan memberitahukan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 30 hari. Apabila tidak ada pernyataan tersebut, partai yang bersangkutan dinyatakan sebagai perkumpulan terlarang.574 Akibat hukum pembubaran suatu partai politik diatur dalam Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 sebagai berikut. Sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, seorang anggota dari partai itu jang duduk sebagai anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Dewan 568 Pada awalnya, berdasarkan Pasal 2 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 batas akhirnya adalah 31 Desember 1960, namun dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960 diubah menjadi 28 Pebruari 1961. Lihat Pasal I Perpres Nomor 25 Tahun 1960. 569 Pasal 3 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 570 Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 571 Pasal 6 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 572 Menurut Hakim Maruarar Siahaan, acara bebas adalah acara yang tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan diselenggarakan sendiri oleh Mahkamah Agung. Namun acara bebas tersebut bukan forum pemeriksaan pengadilan sehingga putusannya bukan putusan hukum melainkan pertimbangan kepada Presiden. Wawancara dengan Hakim Maruarar Siahaan pada 25 Oktober 2007. 573 Pasal 7 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 574 Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 161 Perwakilan Rakjat atau Dewan Perwakilan Rakjat Daerah dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa jika suatu partai politik dibubarkan, maka anggota partai yang duduk sebagai anggota lembaga perwakilan, yaitu sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan tersebut. Akibat hukum lain, yaitu terhadap harta kekayaan partai dan sanksi kepada para anggota atau pengurusnya tidak diatur. Akibat hukum dinyatakan sebagai partai terlarang hanya terjadi jika partai yang bersangkutan tidak membubarkan diri dalam waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, jika partai dibubarkan dalam batas waktu menurut Perpres Nomor 13 Tahun 1960, pengurus atau anggota dapat mendirikan partai baru. 3.4.2. Praktik Pengakuan Partai Politik Sebagai pelaksanaan dari Perpres Nomor 13 Tahun 1960, pada 14 April 1961 dikeluarkan Keppres Nomor 128 Tahun 1961 yang mengakui 8 partai politik, yaitu PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII Arudji, dan IPKI. Pada hari yang sama juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 yang menolak mengakui 4 partai politik, yaitu PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI, dan PRN Djody. Selain itu, pada 27 Juli 1961 juga dikeluarkan Keppres Nomor 440 Tahun 1961 yang mengakui Parkindo dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Terhadap Keputusan Presiden yang tidak mengakui beberapa partai politik tersebut tidak terdapat upaya hukum yang diajukan ke pengadilan. Kondisi tersebut dapat dipahami karena kekuasaan Presiden Sukarno pada saat itu sangat besar, bahkan Ketua MA ditempatkan sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga kedudukannya berada di bawah Presiden.575 Akibat kebijakan penyederhanaan partai politik tersebut, partai politik tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat dalam pembangunan bangsa. Bahkan partai-partai yang masih ada, juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari 575 Sejarah Mahkamah Agung Sejarah10_14.htm#Kurun52_66, 28/03/2008. Republik Indonesia, http://www.ma-ri.go.id/Html/ Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 162 militer dan pemerintahan sipil. Kegiatan politik diijinkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Manipol.576 Partai-partai yang tidak diakui tentu kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum. Pernyataan tidak mengakui partai politik oleh pemerintah memiliki akibat hukum yang sama dengan tindakan pembubaran partai politik, yaitu berakhirnya eksistensi partai politik sebagai subyek hukum. Dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu, tidak terdapat ketentuan yang memberikan upaya hukum kepada partai politik yang tidak mendapat pengakuan.577 Dari 4 partai yang tidak diakui, terdapat Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang menurut hasil pemilu 1955 memperoleh 2 kursi di DPR. PRI tidak mendapatkan kursi dalam DPR-GR yang dibentuk berdasarkan Penpres Nomor 4 Tahun 1960. Sedangkan partai-partai yang diakui mendapatkan jatah kursi, kecuali IPKI. 3.5. PEMBUBARAN DAN PEMBEKUAN PARTAI POLITIK 3.5.1. Pembubaran Partai Masjumi dan PSI Pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat dua partai politik yang dibubarkan yaitu Masjumi dan PSI, serta satu partai yang dibekukan, yaitu Partai Murba. Pembubaran Masjumi dan PSI dapat dilihat sebagai ujung dari konflik politik antara kedua partai tersebut dengan Presiden Soekarno dan partai-partai pendukungnya, terutama PKI. Masjumi adalah salah satu partai besar dalam perpolitikan Indonesia saat itu dengan basis masa umat Islam. Selain itu Masjumi juga merupakan partai yang memiliki dukungan paling luas di seluruh wilayah Indonesia sehingga merupakan partai yang bersifat nasional. Masjumi telah memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan sejak awal kemerdekaan. Pada Pemilu 1955, Masjumi memperoleh kursi terbanyak bersama dengan PNI, disusul oleh NU dan PKI. Walaupun kurang memiliki dukungan massa, PSI merupakan partai yang memiliki pengaruh kuat karena tokoh-tokohnya dikenal sebagai kelompok 576 Selo Soemardjan, “Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita, Review of Politics (Vol. XXV), Januari 1963, dalam Feith & Castles (eds.). Op. Cit., hal. 111 – 114. 577 Bandingkan dengan Venice Commission menyatakan bahwa terkait dengan penolakan pendaftaran dan hilangnya status partai politik harus ada ketentuan yang memberikan kesempatan bagi partai politik untuk melakukan upaya hukum atas putusan dan tindakan tersebut melalui pengadilan. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 163 cendekiawan dan teknokrat yang berperan besar dalam pemerintahan dan pembangunan. PSI pada Pemilu 1955 hanya menempati urutan ke-8 perolehan suara dan mendapat 8 kursi di DPR. 3.5.1.1. Konflik antara Masjumi dan PSI dengan Presiden Soekarno Masjumi dan PSI, serta PNI, pada awalnya merupakan pilar pemerintahan. Ketiga partai tersebut bergantian memegang tampuk pimpinan sebagai perdana menteri, dan selalu menempatkan tokoh-tokohnya dalam kabinet. Bahkan ketiga partai tersebut menjadi pendukung utama pemerintahan menghadapi oposisi yang dipimpin oleh PKI dan FDR dan berakhir dengan peristiwa Madiun 1948. Namun demikian, posisi mulai bergeser pada saat PKI bangkit kembali dan mempengaruhi kebijakan Soekarno serta diakomodasi dalam pemerintahan. Di sisi lain, Masjumi sebagai partai Islam menolak paham komunisme atheis PKI. Penolakan tersebut juga diwujudkan dengan penolakan keterlibatan PKI dalam kabinet.578 Hal itu bertentangan dengan kebijakan Presiden Soekarno yang hendak menyatukan seluruh kekuatan bangsa, yaitu unsur nasionalis, agama, dan komunis, guna melanjutkan revolusi yang mengakibatkan konflik antara Masjumi dan Soekarno. Pada saat pembentukan Kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masjumi-NU) setelah pemilu 1955, Soekarno menginginkan PKI dilibatkan dalam kabinet karena menduduki peringkat keempat hasil pemilu 1955 setelah PNI, Masjumi, dan NU. Namun keinginan tersebut tidak dipenuhi oleh Ali Sastroamidjojo karena Masjumi dan NU menolak dan menentang keterlibatan PKI. Hal itu karena PKI dipandang tidak mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa.579 Pertentangan antara Soekarno dengan Masjumi dan PSI semakin terbuka saat kedua partai tersebut menolak konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin untuk menggantikan demokrasi parlementer. Penolakan juga dilakukan 578 Pada 28 Pebruari 1957 ulama-ulama Islam di Makassar mengeluarkan fatwa yang melarang keterlibatan PKI dalam Kabinet. Lihat, Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 360. 579 Silverio R.L. Aji Sampurno, Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200 Tahun 1960: Sekitar Pembubaran Masyumi, Seri Laporan Penelitian – 1, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1995), hal. 19. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 164 pada saat dibentuk kabinet karya yang tidak memperhatikan kekuatan dalam parlemen, yaitu kabinet Djuanda yang diumumkan pada 8 April 1957.580 Masjumi secara organisasi melarang anggotanya turut serta dalam kabinet tersebut. Menurut pandangan Masjumi, prosedur yang ditempuh Presiden membentuk kabinet secara mutlak bertentangan dengan UUD dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, pembentukan kabinet “secara mutlak” dalam keadaan bahaya dinilai bertentangan dengan undang-undang keadaan bahaya itu sendiri. Namun demikian, terdapat anggota Masjumi yang menerima tawaran sebagai menteri, yaitu Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Muljadi Djojomartono sebagai Menteri Sosial. Pangeran Noor akhirnya dikeluarkan dari Partai Masjumi, sedangkan Muljadi Djojomartono keluar dari anggota Masjumi atas inisiatif sendiri. PSI juga menolak untuk ikut serta dalam kabinet tersebut. Sedangkan partai lain yang semula menolak konsepsi Presiden Soekarno, seperti NU dan PSII, mulai akomodatif dengan menerima dan mengirim wakil dalam kabinet Djuanda.581 3.5.1.2. Keterlibatan Masjumi dan PSI dalam PRRI Permesta Posisi Masjumi dan PSI semakin terpojok dengan keterlibatan tokoh-tokoh kedua partai tersebut dalam pembentukan PRRI Permesta di Sumatera Barat. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Natsir, Berhanoedin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara dari Masjumi serta Sumitro Djojohadikusumo dan Mr. St. Mohd. Rasyid dari PSI. Bersama-sama dengan Dewan Banteng dan panglima militer beberapa daerah lain, mereka membentuk Dewan Perjuangan. PRRI diproklamasikan pada 15 Pebruari 1958 dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Natsir sebagai juru bicara, dan Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Kehakiman. Sedangkan Sumitro Djojohadikusumo dari PSI menjabat sebagai Menteri Perhubungan.582 580 Pada awalnya yang ditunjuk sebagai formatur kabinet adalah Suwirjo, namun gagal dan mengembalikan mandatnya. Akhirnya kabinet disusun sendiri oleh Soekarno. Lihat, Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 362 – 363. 581 Ibid., hal. 363 – 364. 582 Buku yang membahas PRRI Permesta secara lengkap dari sudut pandang para pendukungnya adalah R.Z. Leirissa, PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991). Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa latar belakang timbulnya PRRI Permesta adalah karena gagalnya sistem politik, gagalnya pembangunan ekonomi, ancaman komunisme di Indonesia, dan guncangan dalam tubuh Angkatan Darat. Selain itu, juga terdapat buku yang membahas peristiwa PRRI Permesta dari sudut pandang tiga tokoh Masjumi yang terlibat, yaitu karya Suswanta, Keberanian Untuk Takut: Tiga Tokoh Masyumi Dalam Drama PRRI, (Yogyakarta: Avyrouz, 1992). Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 165 Para pemimpin Masjumi pada saat itu telah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan sebelum diproklamirkannya PRRI. Pada 25 Januari 1958 Masjumi mengirimkan Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Fakih Usman dengan sepengetahuan Perdana Menteri Djuanda. Namun upaya tersebut gagal karena para tokoh PRRI tetap teguh dengan tuntutannya.583 PSI yang pada saat itu dipimpin oleh Sjahrir juga mengirim utusan, yaitu Imam Bok Slamet dan Djoeir Mohammad, untuk menemui Sumitro agar tidak melibatkan diri dalam PRRI Permesta. Namun Sumitro menolak saran tersebut. Selain itu, juga dikirim Soerdarpo Sastrosatomo, namun juga tidak dapat mengubah pilihan Sumitro.584 Setelah diproklamasikannya PRRI, pimpinan Masjumi pada 28 April 1958 mengeluarkan pernyataan bahwa baik pemerintah pusat maupun PRRI telah melanggar UUD. Oleh karena itu, cara penyelesaian terbaik dapat ditempuh apabila kedua belah pihak kembali mematuhi UUD. Pernyataan itu ditandatangani oleh Sukiman sebagai Wakil Ketua dan M. Yunan Nasution sebagai Sekretaris Jenderal Masjumi.585 Hatta juga mengupayakan penyelesaian secara damai melalui pertemuan dengan Soekarno. Namun, pemerintah sudah mengambil langkah militer menyerang kota-kota basis PRRI di Sumatera Barat dan Tengah, Manado, dan beberapa kota lain di Sulawesi. Akhirnya, kekuatan PRRI dengan cepat dapat dilumpuhkan.586 Terhadap pemberontakan PRRI Permesta, Soekarno menyebutnya sebagai stadium puncak penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Terutama karena dipandang telah bekerjasama dengan pihak asing yang reaksioner dan pihak kolonial yang hendak menghancurkan republik.587 Sikap Presiden Soekarno terhadap Masjumi dan PSI semakin jelas pada saat pembentukan DPR-GR yang disusun sendiri oleh Soekarno melalui Keppres 156 Tahun 1960. DPR-GR yang dibentuk sama sekali tidak mengakomodasi wakil-wakil dari kedua partai tersebut. Komposisi anggota DPR-GR dari unsur 583 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 376. Rusdi, Partai Sosialis Indonesia Dan Peranan Kepolitikannya 1948 – 1960, Tesis, Program studi Ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997, hal. 218 – 219. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa Sumitro berperan sebagai penghubung antara PRRI dan Amerika melalui Singapura. 585 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 379. 586 Ibid., hal. 377. 587 Amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1958 di Jakarta. Lihat, Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Kedua, Op. Cit., hal. 320 -321. 584 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 166 golongan politik adalah PNI 44 orang, NU 36 orang, PKI 30 orang, Parkindo 6 orang, Partai Katolik 5 orang, PSII 5 orang, Perti 2 orang, serta Murba dan Partindo masing-masing 1 orang. Komposisi keanggotaan ditambah dengan wakil dari golongan karya. 3.5.1.3. Proses Pembubaran Partai Masjumi dan PSI Pada 5 Juli 1960, dengan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, Presiden Soekarno menjalankan kebijakan penyederhanaan partai politik sebagai pelaksanaan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tersebut selanjutnya diubah dengan Penpres Nomor 25 Tahun 1960 yang memberikan waktu hingga 28 Pebruari 1961 bagi partai politik yang telah terbentuk sebelum 5 Juli 1959 untuk melaporkan kepada Presiden mengenai AD ART, jumlah cabang dan jumlah anggota tiap cabang, catatan seluruh anggota, organisasi di bawah partai, dan keterangan dari Polisi bahwa partai tersebut sudah berdiri pada 5 Juli 1959. Pasal I Perpres Nomor 25 Tahun 1960 menyatakan sebagai berikut. Kata-kata “tanggal 31 Desember 1960” pada pasal 2 Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960 diubah mendjadi “tanggal 28 Pebruari 1961”. Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, Jimly Ashiddiqie berpendapat bahwa adanya beberapa ketentuan tersebut memang ditujukan sebagai dasar untuk membubarkan Masjumi dan PSI.588 Hal itu juga dinyatakan oleh Deliar Noer589 dengan menunjuk Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menyebutkan salah satu kriteria pembubaran partai politik adalah, …sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu. Hal itu juga dibuktikan dengan penerapan ketentuan tersebut pertama-tama terhadap Masjumi dan PSI. Dapat dibandingkan dengan keputusan pengakuan partai politik yang baru keluar setahun kemudian, yaitu Keppres Nomor 128 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 pada 14 April 1961 serta Keppres Nomor 440 Tahun 1961 yang keluar pada 27 Juli 1961. 588 589 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 180. Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 384. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 167 Pada 21 Juli 1960 Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masjumi dan PSI. Pemimpin Masjumi yang hadir adalah Prawoto Mangkusasmito dan M. Yunan Nasution. Sedangkan pemimpin PSI yang hadir adalah Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T. A. Murad. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno didampingi oleh Kepala Staf ketiga angkatan, Kepala Polisi, Jaksa Agung, Kepala Staf Komando Perang Tertinggi, Sekretaris Militer Komando Tertinggi, Menteri Penerangan, dan Direktur Kabinet. Dalam pertemuan selama sepuluh menit tersebut, Presiden menyerahkan daftar pertanyaan yang harus dijawab pemimpin partai secara tertulis dalam waktu satu minggu.590 Daftar pertanyaan yang disampaikan kepada pimpinan Masjumi dan PSI terdiri dari empat pertanyaan pokok, yaitu; apakah kedua partai tersebut menentang dasar dan tujuan negara; apakah kedua partai tersebut bermaksud mengubah dasar dan tujuan negara; apakah kedua partai tersebut berhubungan dengan pemberontakan PRRI; dan apakah kedua partai tersebut memenuhi persyaratan kepartaian yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959.591 Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, wakil Masjumi dan PSI menyerahkan jawabannya secara langsung kepada Presiden Soekarno pada 28 Juli 1960. Presiden menyatakan akan mempelajari jawaban tersebut. Untuk pertanyaan pertama dan kedua, yaitu apakah menentang dan bermaksud hendak mengubah dasar dan tujuan negara, Masjumi memberikan jawaban bahwa yang dianggap sebagai dasar dan tujuan negara adalah seperti yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945 dan tidak dalam Manipol. Masjumi membandingkan antara dasar dan tujuan negara dalam Mukadimah UUD 1945 dengan dasar dan tujuan partainya serta menyimpulkan bahwa keduanya tidak bertentangan.592 Atas pertanyaan ketiga, apakah berhubungan dengan pemberontakan PRRI, Masjumi menyatakan bahwa ia tidak terlibat dengan pemberontakan PRRI. Hal itu karena Penpres Nomor 7 Tahun 1959 mulai berlaku pada 31 Desember 1959 ketika para pemimpin Masjumi yang bergabung dengan PRRI telah memisahkan diri atau keluar dari Masjumi. Pimpinan partai baru yang dipilih pada Kongres bulan April 1959, tidak menyebutkan seorangpun dari orang yang terlibat 590 Ibid., hal. 384 – 385. Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 181. Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 385 – 386. 592 Ibid., hal. 385. 591 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 168 dalam PRRI. Juga dikemukakan bahwa sejak 9 September 1959 cabang-cabang partai di wilayah PRRI telah dibekukan oleh pemerintah dan hubungannya dengan pimpinan pusat partai telah terputus.593 Demikian pula dengan jawaban PSI yang menyatakan bahwa pimpinan PSI tidak setuju dengan adanya pemerintahan tandingan. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo sudah dikenakan skors.594 Terhadap pertanyaan keempat, tentang pemenuhan syarat-syarat kepartaian, Masjumi menyampaikan jawaban bahwa masih cukup waktu bagi Masjumi untuk memenuhi persyaratan tersebut karena kesempatan masih diberikan sampai 31 Desember 1960.595 Selain itu, Masjumi juga menyatakan bahwa Penpres Nomor 7 Tahun 1959 bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mengenal bentuk hukum Penetapan Presiden. Bahkan Penpres bertentangan dengan jiwa Proklamasi.596 Karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno, pada 17 Agustus 1960 dikeluarkan Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang membubarkan PSI.597 Keppres Nomor 200 Tahun 1960 menyatakan, Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabangtabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia.” Demikian pula dengan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang menyatakan, Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian/tjabangtabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia. Kedua Keppres tersebut disampaikan kepada pimpinan masing-masing partai dengan pengantar dari Direktur Kabinet Presiden, Mr. Tamzil, bertanggal 17 Agustus 1960. Dalam paragraf kedua dan ketiga surat Direktur Kabinet Presiden kepada Pucuk Pimpinan Partai Sosialis Indonesia, dinyatakan sebagai berikut. Menurut ketentuan dalam pasal 9 ajat (2) Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan pasal 8 ajat (2) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960, dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunja Keputusan Presiden tersebut di 593 Ibid., hal. 386. Rusdi, Op. Cit., hal 224 – 225. 595 Sebelum diubah dengan Penpres Nomor 25 Tahun 1960 yang memberikan waktu hingga 28 Pebruari 1961. 596 Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 386. 597 Jimy Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 181. 594 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 169 atas, jaitu tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia diharuskan menjatakan partainja bubar dengan memberitahukan kepada Presiden seketika itu djuga. Apabila tenggang waktu tiga puluh hari itu lampau tanpa pernjataan pimpinan Partai Sosialis Indonesia tersebut, maka Partai Sosialis Indonesia ialah perkumpulan terlarang (pasal 8 ajat (3) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960). Oleh karena itu, dalam waktu tiga puluh kali dua puluh empat jam terhitung mulai tanggal berlakunya Keppres tersebut, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan Masjumi dan PSI diharuskan menyatakan partainya bubar dengan memberitahukan kepada Presiden. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959598 dan Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 13 Tahun 1960599. Apabila dalam waktu tiga puluh hari tidak dilakukan pembubaran partai, maka akan dinyatakan sebagai partai terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Perpres Nomor 13 Tahun 1960600. Soekarno, dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi dan PSI adalah karena kedua partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Bahkan dinyatakan pula bahwa Mahkamah Agung saat itu juga berpendapat bahwa Masjumi dan PSI “terkena” ketentuan tersebut. Oleh karena itu Soekarno memerintahkan pembubarannya.601 Hal itu juga dimuat dalam konsideran “Mendengar” pada kedua Keppres tersebut. Alasan pembubaran karena keterlibatan Masjumi dan PSI dalam PRRI juga dapat dilihat dalam konsideran “Menimbang” Keppres pembubarannya. Dalam konsideran Keppres Nomor 200 tahun 1960 menyatakan sebagai berikut. bahwa untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau 598 Pasal 9 ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 menyatakan “Partai yang dibubarkan berdasarkan ayat (1) pasal ini, harus dibubarkan dalam waktu selama-lamanya tiga puluh kali dua puluh empat jam, terhitung mulai tanggal berlakunya Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu.” 599 Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 13 Tahun 1960 menyatakan “Dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran tersebut pada ayat (1) pasal ini, pimpinan partai harus menyatakan partainya bubar dengan memberitahukannya kepada Presiden seketika itu juga.” 600 Pasal 8 ayat (3) Perpres Nomor 13 Tahun 1960 menyatakan “Apabila tenggang-waktu tersebut dalam ayat (2) pasal ini lampau tanpa pernyataan partai termaksud, maka partai yang bersangkutan ialah perkumpulan terlarang.” 601 Lihat, Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Kedua, Op. Cit., hal. 411. Pidato ini juga menjadi lampiran dari Keputusan DPA Tentang Perintjian Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, No. 1/Kpts/Sd/I/61. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 170 “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut;602 Alasan tersebut juga dapat dilihat dari konsideran “Mengingat” yang mendasarkan pada Pasal 9 ayat (1) angka 3 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 baik pada Keppres Nomor 200 Tahun 1960 maupun pada Keppres Nomor 201 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 anggota Masjumi dan PSI yang duduk sebagai anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan tersebut sejak 17 Agustus 1960. Pada 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masjumi menyatakan partainya bubar. Pernyataan tersebut dipandang lebih baik dari pada bubar dengan sendirinya dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Pilihan tersebut didasari oleh pertimbangan bahwa jika ditetapkan sebagai partai terlarang, akan menimbulkan kesulitan dan bahaya yang lebih besar terhadap anggota-anggotanya.603 Selain itu, pimpinan partai terlarang menurut Pimpinan Pusat Masjumi tidak mungkin membawa perkara tersebut ke pengadilan karena kegiatan itupun akan dilarang. Selain itu, harta benda dan dokumen-dokumen partai terlarang juga akan disita.604 Terhadap keputusan pembubaran Masjumi, Prawoto Mangkusasmito meminta Mohamad Roem sebagai pengacara, mewakili kepentingan partai mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hal itu karena tindakan Presiden tersebut dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan Penpres yang mendasarinya adalah tidak sah. Oleh karena itu, segala tindakan yang didasarkan pada Penpres tersebut adalah tindakan yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Namun, Pengadilan Jakarta pada 11 Oktober 1960 menyatakan tidak berwenang karena terkait dengan kebijakan politik dalam soal konstitusi. 602 Dalam Keppres Nomor 201 Tahun 1960 kata Partai Politik Masjumi diganti dengan “Partai Sosialis Indonesia”. 603 Terlihat bahwa pimpinan Masjumi sebelumnya telah menyadari bahwa kemungkinan besar partainya akan dibubarkan. Hal itu dapat dilihat dari adanya penghapusan status keanggotaan istimewa terhadap Muhammadiyah, Persis, dan Al-Washliyah, yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara organisasiorganisasi tersebut dengan pimpinan Masjumi pada 8 September 1959. Lihat, Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 219 - 221. 604 Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 388. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 171 Terhadap putusan tersebut diajukan banding, namun tidak pernah diputuskan.605 Hal itu tentu terkait dengan kekuasaan Presiden Soekarno yang saat itu sangat besar dan Ketua Mahkamah Agung kedudukannya berada di bawah Presiden. Ketua MA ditempatkan sebagai Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga kedudukannya berada di bawah Presiden.606 Setelah Masjumi dan PSI dibubarkan, perjuangan tokoh-tokohnya dilakukan melalui Liga Demokrasi yang telah terbentuk sebelumnya, yaitu 24 Maret 1960. Liga Demokrasi pada awalnya merupakan liga dari tokoh-tokoh partai dan organisasi yang anti komunis. Mereka terutama dari PSI, Masjumi, NU, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Liga Muslimin, dan Anshor. Bahkan, Liga Demokrasi secara diam-diam juga mendapat dukungan A.H. Nasution dari Angkatan Darat. Namun, akhirnya Liga Demokrasi juga dibubarkan pada Maret 1961 dengan alasan tidak sesuai dengan Manipol.607 Pada Januari 1962, Sjahrir ditangkap dan ditahan tanpa diadili. Demikian pula dengan Imron Rosjadi dan H.J. Princen yang dipenjarakan tanpa proses pengadilan.608 3.5.2. Pembekuan Partai Murba Selain pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pada 5 Januari 1964 Presiden Soekarno membekukan Partai Murba. Pembekuan tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari konflik antar partai politik, terutama antara PKI dengan partai-partai yang menolak keberadaan dan praktik politik PKI. Sebenarnya, Partai Murba pada awal demokrasi terpimpin menyerukan gagasan sistem partai tunggal dengan mengutip pernyataan-pernyataan Soekarno. Gagasan tersebut juga dimaksudkan untuk membendung kekuatan PKI. Namun gagasan itu tidak banyak mendapat dukungan termasuk dari PKI. Gagasan partai 605 Ibid, hal. 387. Pada 3 Desember 1966, ketika kekuasaan Soekarno sudah melemah, Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) menyatakan bahwa pembubaran Masjumi dan PSI tidak dapat dibenarkan, karena itu harus direhabilitasi. Seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966 juga menyatakan bahwa sudah sewajarnya anggota bekas partai yang dinyatakan terlarang (Masjumi dan PSI) diikutsertakan dalam kehidupan politik agar mendapat kesempatan yang sama untuk dapat dipilih dan memilih. Lihat, Syafi’i Maarif, Op. Cit., hal. 190. 606 Sejarah Mahkamah Agung Republik Indonesia, http://www.ma-ri.go.id/Html/ Sejarah10_14.htm#Kurun52_66, 28/03/2008. 607 Rusdi, Op. Cit., hal. 230 – 234. 608 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, Judul Asli: Road to Power: Indonesian Military Politics 1945 – 1967, Penerjeman: Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 288 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 172 tunggal dituduh PKI sebagai usaha merongrong Front Nasional untuk kepentingan Inggris, Amerika, dan Malaysia.609 Pada 1 September 1964, pers yang condong terhadap Partai Murba membentuk Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme (BPS). BPS mempertanyakan apakah orang-orang komunis adalah penganut Pancasila sejati yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap pertanyaan tersebut, PKI menyatakan bahwa ajaran Presiden Soekarno tidak dapat dipahami dari sisi yang anti-komunis karena Presiden Soekarno menentang komunistofobi.610 Proses pembekuan Partai Murba diawali dengan ditemukannya dokumen rahasia PKI berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini (1963)”. Dokumen tersebut berisi program jangka pendek dan penilaian situasi, serta rencana aksi dan tujuan akhir PKI. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal karena tidak dipimpin oleh orang-orang komunis dan tidak menciptakan demokrasi rakyat. Oleh karena itu revolusi disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari kaum borjuis. Kondisi saat itu dinilai oleh PKI sudah cukup kuat untuk mengambil alih pimpinan revolusi.611 Dokumen rahasia tersebut jatuh ke tangan Partai Murba. Oleh tokoh Murba, Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh, diserahkan kepada Ketua PNI Ali Sastroamidjojo yang selanjutnya disampaikan pada sidang kabinet bulan Desember 1964. Terhadap dokumen tersebut, PKI menyatakan bantahan dan menganggap sebagai buatan kaum trotskis yang dibantu oleh kekuatan neokolim untuk menghancurkan PKI.612 Walaupun mendapatkan bantahan, partai-partai politik banyak yang bertambah menaruh curiga terhadap PKI. Namun PKI dapat meyakinkan Presiden Soekarno bahwa dokumen tersebut palsu. Presiden Soekarno lalu memanggil pimpinan partai-partai politik di Istana Bogor serta memerintahkan untuk menyelesaikan persengketaan antar partai. Pada 12 Desember 1964, sepuluh partai politik menandatangani “Deklarasi Bogor” yang menganggap permasalahan 609 Ibid., hal. 318 Ibid., hal. 319. 611 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 10 – 11. 612 Ibid., hal. 11. 610 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 173 dokumen tersebut selesai dan akan memelihara persatuan nasional atas dasar Pancasila, Manipol USDEK, dan rumusan Nasakom.613 Namun, pada 17 Desember 1964, Presiden Soekarno membubarkan BPS yang dianggap menyelewengkan ajaran Soekarno dan memecah-belah persatuan Nasakom. Hal itu diikuti dengan pembekuan Partai Murba pada 5 Januari 1965 dengan Keppres Nomor 291 Tahun 1965. Pembekuan tersebut diikuti dengan pembekuan anggota DPRGR dari Partai Murba berdasarkan Keppres No. 21 Tahun 1965614 serta penangkapan tokoh Murba, Sukarni.615 Berdasarkan uraian pada bab ini dapat dilihat bahwa partai politik di Indonesia telah ada dan berkembang sejak sebelum masa kemerdekaan bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan. Keberadaan partai politik adalah sebagai sarana perjuangan mencapai kemerdekaan. Untuk dapat bertindak sebagai badan hukum, partai politik harus mendapatkan pengakuan dari pemerintahan kolonial Belanda. Namun karena adanya batasan terhadap kebebasan berserikat berupa larangan terhadap perkumpulan yang membicarakan soal pemerintahan dan membahayakan keamanan umum, tidak banyak partai politik yang mendapatkan pengakuan. Bahkan beberapa partai politik dibubarkan dan dinyatakan sebagai perkumpulan terlarang oleh Gubernur Jenderal, yaitu IP, PKI, dan PNI, karena dipandang membahayakan pemerintahan dan mengganggu stabilitas. Partai politik sama sekali dilarang pada masa penjajahan Jepang. Keberadaan partai politik pada masa kemerdekaan dimulai dari adanya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang mendorong tumbuhnya banyak partai politik sesuai dengan iklim demokrasi yang dikembangkan dengan maksud untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan rakyat. Mulai saat itu partai politik sangat mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mendirikan partai politik belum terdapat ketentuan yang mengatur persyaratan khusus, demikian pula halnya dengan pembubarannya. Pada masa itu partai 613 Ibid., hal. 11. Pembekuan itu kemudian direhabilitasi pada awal Orde Baru melalui Keppres No. 21 Tahun 1966 serta diberikan empat kursi di DPRGR berdasarkan Keppres No. 7 Tahun 1967. Lihat, Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 81. 615 Lihat A.H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, (Djakarta: PT Seruling Masa, 1967), hal. 35. Namun demikian, beberapa tokoh Partai Murba tetap menjabat kedudukan tertentu, seperti Chaerul Saleh sebagai Wakil Perdana Menteri, Adam Malik dan Priyono sebagai Menteri, serta B.M. Diah sebagai Duta Besar. Lihat, Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 72. 614 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 174 politik benar-benar menjadi wujud kebebasan berserikat yang menopang berjalannya demokrasi walaupun juga menimbulkan dampak negatif berupa konflik antarpartai dan ketidakstabilan pemerintahan. Pembatasan terhadap kebebasan berserikat dalam partai politik mulai menguat pada saat diterapkannya demokrasi terpimpin, yang didahului dengan gagasan Presiden Soekarno untuk mengubur partai politik. Hal itu selanjutnya dituangkan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 yang mengatur syarat-syarat pengakuan partai politik sebagai badan hukum dan pembubaran partai politik beserta akibat hukumnya dengan tujuan untuk menyederhakan partai politik. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa keberadaan partai politik yang telah berkembang merupakan salah satu ciri demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk itu partai politik perlu disederhanakan dan diarahkan sebagai sarana negara untuk mendukung berjalannya demokrasi terpimpin. Pembatasan yang sekaligus sebagai dasar pembubaran partai politik adalah terkait dengan loyalitas terhadap asas dan tujuan negara serta integritas wilayah nasional. Alasan pembubaran tersebut dapat dilihat masih dalam ruang lingkup pembatasan yang diperlukan dalam suatu negara yang demokratis. Namun demikian pembubaran tidak dilakukan melalui proses yudisial oleh pengadilan. Pembubaran menjadi wewenang Presiden. Mahkamah Agung hanya memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal itu memperkuat sifat otoritarian demokrasi terpimpin, apalagi pada saat itu MA berada di bawah kekuasaan Presiden yang sangat besar. Mekanisme tersebut tidak sesuai dengan prinsipprinsip pembubaran partai politik dalam negara hukum dan demokrasi. Dalam praktiknya, di samping tidak diakuinya beberapa partai politik dan dibubarkannya dua partai politik juga terdapat tindakan pembekuan partai politik tanpa ada batas waktu. Pembekuan tersebut tidak memiliki dasar hukum karena tidak dikenal dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu. Pada kenyataannya pembekuan tersebut tidak pernah dicairkan kembali hingga berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno sehingga memiliki akibat hukum yang sama dengan pembubaran partai politik. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia BAB IV PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU 4.1. DARI ORDE LAMA KE ORDE BARU 4.1.1. Konflik TNI AD dan PKI Di penghujung kekuasaan Orde Lama, terdapat tiga kekuatan politik utama, yaitu PKI, TNI AD, dan Presiden Soekarno sendiri.616 Kekuatan politik yang dominan sebelumnya, yaitu Masjumi dan PSI telah dibubarkan dengan alasan terlibat dalam pemberontakan PRRI Permesta. Sedangkan kekuatan politik lainnya, terutama PNI dan NU, harus bertindak akomodatif dan kompromis agar tetap eksis dengan cara menerima konsepsi Nasakom yang digariskan oleh Presiden Soekarno. Dengan mundurnya kekuatan partai politik yang sebelumnya menjadi lawan PKI, TNI AD menjadi satu-satunya lawan politik yang mampu mengimbangi PKI.617 Berdasarkan pengalaman masa lalu di mana PKI pernah melakukan pemberontakan, TNI AD tidak dapat sepenuhnya mempercayai PKI.618 Dengan doktrin Nasakom, keberadaan PKI sulit diganggu gugat. Sejak 1957, Soekarno telah menyatakan bahwa PKI tidak dapat dikesampingkan karena telah terbukti menjadi partai politik yang memperoleh banyak dukungan dalam Pemilu 1955. Posisi PKI semakin menguat dengan dibentuknya Front Nasional sebagai salah satu bentuk pelaksanaan konsepsi Presiden.619 Peran PKI juga dapat dilihat dari kedudukan D.N. Aidit memimpin Panitia Kerja DPA yang merumuskan GBHN berdasarkan pidato Presiden berjudul 616 Dalam pandangan Alfian, munculnya militer sebagai kekuatan politik karena hilangnya kemampuan partai politik mengimbangi kekuatan PKI. Semula militer hanya berada di belakang partai politik. Soekarno memegang kunci keseimbangan karena baik PKI maupun militer memerlukan Soekarno. PKI membutuhkan Soekarno untuk melindungi kegiatan politiknya dari kecurigaan dan permusuhan dari kekuatan politik lain, terutama militer. Sedangkan militer membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi keikutsertaannya dalam fungsi politiknya. Sebaliknya, Soekarno membutuhkan militer sebagai basis kekuatan politik untuk mendukung demokrasi terpimpin. Di sisi lain, PKI dibutuhkan oleh Soekarno untuk mengimbangi kekuatan militer sehingga Soekarno memiliki bargaining politik cukup kuat. Lihat, Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 40 – 41. 617 Pada bulan Desember 1963 Aidit menyatakan bahwa PKI memiliki anggota lebih dari 2,5 juta orang. Lihat, Sundhaussen, Op. Cit., hal. 287. 618 Nasution menyatakan “Kami dalam pimpinan TNI setelah pengalaman-pengalaman dari PKI-Muso 1948 tidak pertjaja lagi akan kesetiaan PKI terhadap Pantjasila, UUD 1945 dan pula terhadap kekuasaan jang sjah. Apalagi sedjak lebih djelas doktrin-doktrin komunis terutama Maoisme jang dominant dalam PKI di Indonesia.” Lihat, Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 32 – 33. 619 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 2. 175 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 176 “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959. Posisi itu menurut Notosusanto berhasil dimanfaatkan untuk memasukkan tesis PKI “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI)” yang dirumuskan pada 1957 menjadi bagian dari doktrin Manipol.620 PKI yang sebelumnya tidak pernah berhasil masuk dalam kabinet pemerintahan, akhirnya dalam Kabinet Dwikora yang dibentuk pada 27 Agustus 1964 berhasil mendudukkan beberapa tokohnya dalam jajaran menteri koordinator dan menteri.621 Walaupun demikian, PKI pada saat itu tidak banyak terlibat memikul tanggungjawab kebijakan pemerintah, terutama di bidang ekonomi yang semakin merosot. Di sisi lain, PKI sering memprakarsai kebijakan yang banyak disetujui oleh Presiden Soekarno, yang pada saat itu sudah mulai kehabisan gagasan.622 Konflik politik saat itu terjadi terutama antara PKI dengan TNI AD dan kekuatan lain yang berseberangan dengan PKI. Pada 1960, PKI menuduh TNI AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Selain itu, PKI melakukan kekacauan di tiga daerah, yaitu di Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, yang dikenal dengan nama “Peristiwa Tiga Selatan”. Atas peristiwa tersebut, TNI AD menghentikan dan membekukan kegiatan PKI di beberapa daerah, serta menangkap dan memeriksa pimpinan PKI di daerah-daerah tersebut.623 Pimpinan TNI AD menyampaikan masukan kepada Presiden untuk tidak terlalu mempercayai PKI. TNI AD selalu berupaya menghalang-halangi masuknya orang PKI dalam kabinet atau jabatan pemerintahan lainnya.624 Namun, Presiden Soekarno justru menyarankan agar TNI AD tidak bersikap komunistofobi dan tidak menyalahgunakan undang-undang keadaan bahaya. Presiden Soekarno memerintahkan pencabutan semua tindakan yang telah dilakukan 620 Ibid., hal. 3 dan 4. Ibid., hal. 10. 622 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 315. 623 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 5. Kekuasaan panglima TNI AD di daerah saat itu cukup besar karena sejak 14 Maret 1957 dinyatakan negara dalam keadaan darurat perang berdasarkan Regeling of de Staat van Oorlog en van Beleg, Staatsblad 1939 Nomor 582, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya, Lembaran Negara RI Tahun 1957 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1485. Status Keadaan Bahaya baru dicabut pada 28 Desember 1962 sehingga kekuasaan Panglima sebagai Peperda dialihkan kepada Gubernur berdasarkan Penpres Nomor 4 Tahun 1962 tentang Keadaan Tertib Sipil. 624 Alfian, Op. Cit., hal. 42. 621 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 177 terhadap PKI. Bahkan, Presiden Soekarno melarang Penguasa Perang Daerah (Peperda) mengambil tindakan yang bersifat politik. Soekarno menyatakan Marhaenisme adalah Marxisme-Soekarnoisme yang paralel dengan komunisme.625 Pertikaian semakin memuncak dengan ditemukannya dokumen rahasia berisi program rahasia berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini (1963).” Program tersebut memuat rencana PKI untuk merebut pimpinan Indonesia. Penemuan dokumen dan dilakukannya ekspose dalam sidang kabinet menimbulkan ketegangan antar partai hingga harus diselesaikan melalui “Deklarasi Bogor”. Namun kemelut politik tersebut mengakibatkan Partai Murba dibekukan karena dianggap bersikap anti PKI sehingga mengganggu pelaksanaan Nasakom.626 Konflik lain antara PKI dengan TNI AD adalah terkait dengan gagasan pembentukan Angkatan Kelima. Hal itu dilakukan dengan mempersenjatai buruh dan tani dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Gagasan tersebut dikemukakan oleh Aidit pada 14 Januari 1965. Usul itu telah disampaikan kepada Presiden Soekarno dan disetujui. Usul tersebut juga didukung oleh Ir. Surachman mengatasnamakan PNI dan K. Werdoyo dari Partindo.627 4.1.2. Peristiwa 30 September 1965 Pada Mei 1965 muncul isu bahwa di lingkungan TNI AD terbentuk Dewan Jenderal yang beranggotakan 10 orang Jenderal. Informasi itu diperoleh Kepala Staf Badan Pusat Intelejen (BPI), Brigjen Sutarto, dan Kepala BPI, Waperdam I/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Informasi tersebut berasal dari dokumen yang ditemukan di rumah importir film Bill Palmer, warga negara Amerika Serikat, yang rumahnya digeledah oleh Pemuda Rakyat. Dokumen tersebut berupa konsep surat Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Gillchrist, sehingga disebut dengan Dokumen Gillchrist. Dalam dokumen tersebut terdapat kata-kata “our local army friends” yang digunakan untuk menuduh bahwa TNI 625 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 33. Tentang peristiwa ini telah diuraikan pada Bab III Sub Bab Pembubaran dan Pembekuan Partai Politik, khususnya yang membahas pembekuan Partai Murba. 627 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 19 – 20. 626 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 178 AD mempunyai hubungan dengan kekuatan Neokolim (Inggris dan Amerika Serikat) dan dicurigai memiliki Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.628 Pada 26 Mei 1965, Dokumen Gillchrist dilaporkan kepada Presiden Sukarno oleh Dr. Subandrio. Presiden Sukarno memanggil semua Menteri Panglima Angkatan dan menanyakan kebenarannya serta apakah masih ada orangorang dalam TNI AD yang berhubungan dengan Amerika dan Inggris. Jenderal A. Yani menyatakan bahwa tidak ada Dewan Jenderal, dan tidak ada yang berhubungan dengan Amerika dan Inggris, kecuali dua orang yang memang mendapat tugas khusus.629 Puncak pertikaian antara PKI dengan TNI AD terjadi pada saat meletusnya peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam630 Jenderal AD yang dilakukan oleh pasukan Resimen Cakrabirawa pada dini hari 1 Oktober 1965. Pasukan tersebut merupakan pasukan pengawal istana di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Peristiwa itu selanjutnya dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September PKI (G 30 S/PKI). Dalam peristiwa tersebut juga dilakukan penguasaan obyek-obyek vital seperti istana negara, RRI, dan sarana telekomunikasi.631 Setelah terjadinya peristiwa itu, Komandan Gerakan 30 September mengeluarkan pernyataan pada 1 Oktober 1965, bahwa peristiwa penculikan dan pembunuhan Jenderal-Jenderal AD merupakan “Gerakan Pembersihan” terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta pada Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Gerakan 30 September semata-mata ditujukan kepada anggota Dewan Jenderal.632 Untuk menindaklanjuti gerakan tersebut, dibentuk Dewan Revolusi yang memegang semua kekuasaan sebelum terbentuk MPR hasil pemilihan umum. Dewan Revolusi dalam kegiatannya sehari-hari diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri atas Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September. 628 Ibid., hal. 23 – 24. Tentang konflik antara PKI dan TNI AD sebelum peristiwa 30 September 1965 dapat dilihat pada A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 35 – 45. 630 Terdapat Lima Jenderal yang berhasil diculik, yaitu Letjen A. Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen MT Harjono, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Mayjen S. Parman. Sedangkan Jenderal A. H. Nasution yang juga menjadi target berhasil meloloskan diri. 631 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 50. 632 Komandan Gerakan 30 September terdiri atas; Komandan: Letnan Kolonel Untung; Wakil Komandan: Brigjen Supardjo; Wakil Komandan: Letnan Kolonel Udara Heru; Wakil Komandan: Kolonel Laut Sunardi; dan Wakil Komandan: Adjun Komisaris Besar Polisi Anwas. Lihat Ibid., hal. 54 – 56. 629 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 179 Pembentukan Dewan Revolusi diikuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, dan Dewan Revolusi Kecamatan.633 Terhadap peristiwa itu, para perwira TNI AD di bawah pimpinan Mayjend Soeharto dan beberapa Jenderal lainya mulai mengatur perlawanan dengan melokalisir pasukan lawan, meminta bantuan pasukan dari Kodam VI Siliwangi, melakukan konsolidasi dengan kekuatan angkatan lain, dan menggunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal. Saat itu Mayjend Soeharto menjabat Pangkostrad dan perwira paling senior di bawah Letjen A. Yani. Pada 2 Oktober 1965, Mayjen Soeharto, Mayjen Pranoto Reksosamudro, dan Laksamana Madya Omar Dani menghadap Presiden. Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang memberitahukan keselamatannya dan memerintahkan penyelesaian peristiwa 30 September dengan segera. Untuk itu ditunjuk Mayjend Soeharto guna melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban, dan Mayjend Pranoto Reksosamudro ditugasi menjalankan tugas Pimpinan AD.634 4.1.3. Supersemar Mayjend Soeharto, setelah menemukan sumur “Lubang Buaya” dan mengangkat jenazah enam jenderal, pada 4 Oktober 1965 menyampaikan pidato yang di dalamnya sudah menyatakan bahwa peristiwa 30 September dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan Gerwani, organisasi di bawah PKI, dengan bantuan dan telah mendapatkan pelatihan dari unsur dalam TNI AU.635 Presiden Soekarno sendiri menyatakan bahwa persitiwa 30 September 1965 disebabkan oleh tiga faktor, yaitu keblingeran pimpinan PKI, kelihaian subversi Neokolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar.636 Bersamaan dengan itu, terjadi demonstrasi oleh para pelajar, mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen masyarakat yang tergabung dalam beberapa 633 Dewan Revolusi selanjutnya dibentuk dengan Keputusan Komandan Gerakan 30 September Nomor 1 yang terdiri atas 45 orang. 634 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 72 – 73. Soeharto kemudian diangkat sebagai Menteri Panglima AD dengan pangkat Letnan Jenderal melalui Keppres Nomor 179/KOTI/1965 sekaligus mengangkatnya menjadi Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Bandingkan dengan Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974), hal. 16. 635 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 78 – 79. 636 Dikemukakan dalam surat Pelengkap Nawaksara yang ditujukan kepada Pimpinan MPRS bertanggal 10 Januari 1967. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 180 kesatuan aksi menuntut menteri-menteri yang berindikasi anggota atau simpatisan PKI dipecat, serta PKI dibubarkan. Kabinet harus dibersihkan dan dibubarkan. Harga-harga harus diturunkan. Tuntutan-tuntutan tersebut dikenal dengan akronim Tritura.637 Aksi-aksi menentang PKI semakin meningkat. Pada 8 Oktober 1965 KAPGestapu melangsungkan rapat umum di Jakarta yang dihadiri sekitar setengah juta orang. Tuntutan yang disampaikan juga semakin jelas, yaitu dilarangnya PKI, serta mendesak dibersihkannya kabinet, parlemen, MPRS, dan semua lembaga negara dari orang komunis dan para simpatisannya.638 Untuk menjawab tuntutan yang berkembang, Presiden Soekarno melakukan penyempurnaan terhadap Kabinet Dwikora, dikenal dengan kabinet 100 menteri, pada 21 Februari 1966. Namun tindakan itu tidak menyurutkan gejolak politik karena beberapa menteri yang dianggap terlibat PKI masih ada dalam kabinet.639 Ketegangan politik semakin meningkat hingga akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang memberikan kekuasaan kepada Soeharto pada 11 Maret 1966, yang dikenal dengan Supersemar.640 Supersemar berisi perintah dari Presiden Soekarno kepada Menpangad Letjen Soeharto.641 Isi surat perintah tersebut adalah sebagai berikut:642 SURAT PERINTAH I. Mengingat : 1. 1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik Nasional maupun Internasional. 1. 2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/ Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966. II. Menimbang: 2. 1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannya Revolusi. 637 Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 80. 638 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 378. 639 Menteri-menteri yang dianggap terlibat PKI tersebut di antaranya adalah Dr. Soebandrio, Oei Tjoe Tat, S.H., dan Ir. Surachman. Lihat, Nugroho Notosusanto, Pejuang Dan Prajurit, Op. Cit.,hal. 127. 640 Sebelumnya, Presiden Soekarno telah membebastugaskan Mayjen Pranoto dan mengangkat Mayjen Soeharto menjadi Panglima Angkatan Darat dan Kepala Staf Koti sehingga pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Lihat, Sundhaussen, Op. Cit., hal. 379. 641 Menurut Mahfud MD., dengan adanya Supersemar Presiden Soekarno praktis kehilangan kekuasaannya walaupun secara resmi masih menjabat sebagai Presiden. Lihat, Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hal.198. 642 Diambil dari lampiran II buku Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit, (Jakarta: Kasta Hasta Pustaka, 2006). Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 181 2. 2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannya. III. Memutuskan/Memerintahkan: Kepada : LETNAN DJENDERAL SUHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT Untuk : Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: 1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannya Pemerintahan dan djalannya Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknja. 3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut di atas. Djakarta, 11 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S. SUKARNO 4.1.4. Peralihan dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto Setelah dikeluarkannya Supersemar, secara resmi Soeharto sebagai pengemban Supersemar membubarkan PKI dan melakukan pembersihan unsurunsur PKI di dalam kabinet, DPRGR, birokrasi, dan ABRI sendiri. Pada 20 Juni hingga 6 Juli 1966, MPRS yang telah dibersihkan dari unsur-unsur PKI melakukan Sidang Umum ke IV berdasarkan resolusi DPRGR yang juga telah melakukan pembersihan anggota yang terlibat PKI.643 Sidang Umum tersebut menghasilkan 24 Ketetapan MPRS yang meliputi 12 Ketetapan bidang hukum dan ketatanegaraan, 1 Ketetapan bidang ekonomi, serta 10 Ketetapan bidang lainnya.644 Pada Sidang pertanggungjawabannya Umum sebagai tersebut, Presiden mandataris MPR. Soekarno Presiden dimintai Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966 berisi sembilan 643 Pada 9 Pebruari 1966 DPR menerima surat Presiden berisi 414 anggota DPR yang kurang lebih 300 dari jumlah tersebut adalah orang baru dengan kekuatan terbesar pada FKP. Sedangkan untuk anggota MPR ditambah 100 orang dari ABRI. Lihat, A. H. Naution, Bisikan Nurani, Op. Cit., hal. 111 – 112. 644 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan, Op. Cit., hal. 128. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 182 masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia, dikenal dengan pidato Nawaksara. Beberapa hasil Sidang Umum MPRS IV 1966 di antaranya adalah mengukuhkan Supersemar melalui Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Teringgi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum. Ketetapan tentang pemilihan umum itu mengamanatkan dilaksanakannya pemilihan umum selambat-lambatnya 5 Juli 1968, sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut berikut ini.645 Pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1968. Selain itu, juga dihasilkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Di Luar Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945. Terkait dengan pembentukan kabinet, MPRS membuat Ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera yang memerintahkan pembentukan kabinet baru sebelum 17 Agustus 1966.646 Tugas pembentukan kabinet diserahkan kepada pengemban Ketetapan Nomor IX/MPRS/1966 (Supersemar).647 Pasal 5 Ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 menyebutkan bahwa dalam pembentukan kabinet, Letjen Soeharto hendaknya berkonsultasi dengan Pimpinan MPRS dan Pimpinan DPRGR. Salah satu persyaratan menteri yang diangkat berdasarkan ketetapan tersebut adalah tidak terlibat G 30 S/PKI dan organisasi terlarang lainnya. Tugas pokok kabinet Ampera yang akan dibentuk adalah; (a) menciptakan kestabilan politik, dan (b) menciptakan kestabilan ekonomi. Sedangkan program pokok kabinet terdapat empat (Catur Karya), yaitu; (1) memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; (2) melaksanakan pemilihan umum; (3) melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif untuk 645 Pasal 1 Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum. Pasal 1 Ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. 647 Pasal 2 Ketetapan Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. 646 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 183 kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian/Keormasan dan Kekaryaan; dan (4) melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.648 Berdasarkan Ketetapan MPR yang memerintahkan pembentukan kabinet, Letjen Soeharto berhasil membentuk kabinet baru pada 25 Juli 1966. Kabinet tersebut dilantik pada 28 Juli 1966 terdiri atas 30 kementerian.649 Terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno, MPRS melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 meminta kepada Presiden untuk melengkapi laporan pertanggungjawabannya terutama mengenai sebab terjadinya G 30 S/PKI serta masalah kemunduran ekonomi dan akhlak. Presiden diminta memberikan pertanggungjawaban yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan UUD 1945. Namun Presiden belum memberikan jawaban hingga Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota Nomor 2/Pimp./MPRS/1966 bertanggal 22 Oktober 1966. Presiden Soekarno memberikan jawaban dengan surat Nomor 01/Pres/1967 bertanggal 10 Januari 1967 berupa “Pelengkapan Pidato Nawaksara.650 Terhadap jawaban tersebut, Pimpinan MPR menganggap Presiden masih meragukan keharusan bertanggungjawab kepada MPRS. Selain itu Pimpinan MPRS mengirimkan surat Nomor A/9/1/5/MPRS/1967 kepada Jenderal Soeharto agar memberikan bahan-bahan yuridis hasil penyelidikan untuk menjelaskan peranan Presiden dalam peristiwa G 30 S/PKI.651 Beberapa waktu kemudian, DPRGR mengeluarkan resolusi pada 9 Pebruari 1967 yang mendesak MPRS agar melakukan sidang istimewa dan memberhentikan Presiden/Mandataris MPRS dan agar dilakukan pengusutan oleh badan kehakiman. Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis, dan ideologis membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa, negara, dan Pancasila. Pidato Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara dinilai tidak memenuhi jiwa dan ketentuan UUD 1945 648 Ibid. Tolchah Mansoer, Op. Cit., hal. 89 – 90. 650 Ibid., hal. 91 – 92. 651 Ibid., hal. 92. 649 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 184 sehingga DPRGR menolak pertanggungjawaban tersebut. Selain itu, juga dinilai terdapat petunjuk keterlibatan Presiden Soekarno dalam G 30 S/PKI.652 MPRS menyatakan menolak Pelengkap Pidato Nawaksara pada 16 Pebruari 1967 melalui Keputusan Nomor 13/B/1967. Pada 20 Pebruari 1967, Presiden Soekarno mengumumkan menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengembang Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sesuai dengan jiwa Ketetapan Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukkan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Penjabat Presiden, dan melaporkan pelaksanaannya kepada Presiden setiap saat dirasa perlu.653 Isi pengumuman tersebut adalah sebagai berikut.654 Pengumuman Presiden Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia setelah menyadari bahwa konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan rakyat, bangsa dan negara. 1. Kami Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengembang Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. 2. Pengemban Ketetapan MPRS/IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu. 3. Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, para pemimpin masyarakat, segenap aparatur pemerintahan dan seluruh ABRI untuk terus meningkatkan persatuan dan menjaga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut di atas. 4. Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab pengumuman ini kepada rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Jakarta, 20 Februari 1967 Presiden/Mandatari MPRS/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ttd. Soekarno. Pada 23 Pebruari 1967, DPRGR mendesak pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Pada 7 hingga 12 Maret 1967 dilakukan 652 Ibid., hal. 91 – 93. Ibid., hal. 93. 654 Berita Yudha, 23 Februari 1967, dalam A. H. Notosusanto, Pejuang Dan Prajurit, Op. Cit., hal. 135. 653 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 185 Sidang Istimewa MPRS. Dalam sidang tersebut, tepatnya 12 Maret 1967, MPRS memutuskan menarik kembali mandatnya dari Presiden Soekarno dan segala kekuasaan Pemerintahan Negara serta melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik hingga pelaksanaan pemilihan umum. MPRS juga memutuskan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Dengan demikian, jabatan Presiden dijalankan oleh Soeharto. Bahkan dalam penjelasan keputusan tersebut disebutkan “sehingga sesuai dengan ketentuan itu maka Presiden Soekarno dengan ini diganti oleh Presiden Soeharto”.655 Pejabat Presiden Soeharto pada 10 Januari 1968 melaporkan secara tertulis bahwa Pemilu tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966, yaitu selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968. Hal itu karena belum selesainya pembahasan undang-undang pemilihan umum.656 Pada Maret 1968 dilakukan Sidang Umum MPR Ke-V. Salah satu ketetapan yang dihasilkan adalah Ketetapan Nomor XLII/MPRS/1968 yang mengamanatkan pelaksanaan pemilihan umum selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971. Selain itu juga dilakukan pengukuhan Soeharto sebagai Presiden yang disahkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 pada 27 Maret 1968.657 4.1.5. Partai Politik Pada Masa Konsolidasi Orde Baru Setelah peristiwa G 30 S/PKI dapat diatasi dan PKI dibubarkan, muncullah semangat baru yang merupakan reaksi terhadap sistem politik sebelumnya. Peristiwa tersebut merupakan titik peralihan dari sistem lama berdasarkan demokrasi terpimpin menuju suatu era baru.658 Sistem lama disebut dengan Orde Lama yang harus digantikan dengan Orde Baru.659 Masa Orde Baru juga ditandai dengan munculnya kekuatan politik baru yang menggantikan posisi partai-partai politik. Kekuatan politik tersebut adalah Golongan Karya yang 655 Tolchah Mansoer, Op. Cit., hal. 93 – 94. Moh. Mahfud M.D., Op. Cit., hal. 245. 657 Tolchah Mansoer, Op. Cit., hal. 101. 658 Liddle, Op. Cit., hal. 189. 659 Juwono Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hal. xi. 656 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 186 mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah dan TNI AD sebagai kekuatan utama.660 Golongan Karya pada awalnya adalah perhimpunan 97 organisasi yang tidak memiliki afiliasi politik. Pada 20 Oktober 1964, organisasi-organisasi tersebut membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Organisasi tersebut pada awalnya adalah golongan fungsional dalam Front Nasional yang dikonsolidasikan untuk mengimbangi dominasi PKI. Pada 20 Oktober 1964, dicapai kesepakatan perlunya membentuk Sekretariat Bersama Golongan Fungsional dalam Front Nasional, yang dinamakan Sekber Golkar. Pengembangan Sekber Golkar di daerah-daerah saat itu mendapatkan bantuan dari Kodam-Kodam atas perintah Men.Pangad/Kepala Staf Koti Jenderal A. Yani.661 Organisasi anggota Sekber Golkar terus berkembang hingga mencapai 220 pada Rakornas II, 2 hingga 7 Nopember 1967. Dalam Rakornas tersebut dilakukan pengelompokkan berdasarkan jenis kekaryaan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu Kosgoro, Sentral Organisasi Swadiri Indonesia (Soksi), Musyawarah Keluarga Gotong Royong (MKGR), Profesi, Ormas Hankam, Gakari (Gabungan Karyawan Republik Indonesia), dan Karya Pembangunan. Ketujuh Kino tersebut pada 4 Februari 1970 membuat keputusan bersama mengikuti pemilihan umum dengan nama Golongan Karya. Selanjutnya, pada Musyawarah Nasional (Munas) I tanggal 4 – 10 September 1973 dikukuhkan berdirinya Golongan Karya.662 Melalui Munas II pada 1978 di Denpasar, Bali, peranan ekskino Golkar disalurkan melalui jalur G (Golkar), A (ABRI), dan B (Birokrasi).663 Kekuatan Golkar mendapatkan dukungan penuh dari ABRI, khususnya TNI AD. Pada 5 September 1966, Jenderal Soeharto telah memberikan instruksi kepada keempat panglima angkatan agar memberikan fasilitas seluas-luasnya bagi 660 Yang berperan besar dalam perkembangan Golkar di awal Orde Baru menurut Liddle adalah Jenderal Soemitro dan Amir Moertono dari Departemen Pertahanan, Mayjen Amir Machmud dari Departemen Dalam Negeri, dan Brigjen Ali Moertopo yang saat itu adalah asisten pribadi Presiden Soeharto. Lihat, Liddle, Op. Cit., hal. 195. 661 Lihat, Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, Op. Cit., hal. 110 – 112. 662 Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2004 Oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hal. 24 – 25. 663 Afan Gaffar dkk., Golkar Dan Demokratisasi Di Indonesia, (Yogyakarta: PPSK, 1993), hal. 24. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 187 perkembangan Sekber Golkar. ABRI memposisikan Sekber Golkar sebagai saudara kandung.664 Sebagai pilar utama, TNI AD memiliki peran penting dalam menentukan arah kekuasaan pada masa Orde Baru. Hal itu terus berlanjut sepanjang kekuasaan Orde Baru. Alfian menyatakan bahwa peran politik militer, terutama TNI AD sudah menancap menjadi kenyataan yang kuat seiring dengan berkurangnya peran partai politik.665 Bahkan, konsepsi dasar Orde Baru dapat dikatakan lahir dari hasil Seminar II Angkatan Darat di Seskoad pada 25 sampai 31 Agustus 1966. Pengertian, ciriciri, dan hakikat Orde Baru menurut hasil seminar tersebut adalah: Djaman Orde Lama ini adalah djaman penderitaan lahir dan bathin dan jang melahirkan urgensi Ampera dan TRITURA, jang dipelopori oleh Angkatan 66. Orde Baru pada hakekatnja adalah suatu sikap mental. Tudjuannja ialah mentjiptakan kehidupan sosial, politik, ekonomi kulturil jang didjiwai oleh moral Pantjasila, chususnja oleh sila ke-Tuhan-an Jang Maha Esa. Orde Baru menghendaki suatu tata pikir jang lebih realistis dan pragmatis, walaupun tidak meninggalkan idealisme perdjuangan. Orde Baru menghendaki diutamakannja kepentingan Nasional, walaupun tidak meninggalkan commitments ideologis perdjuangan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Orde Baru mengingini suatu tata susunan jang lebih stabil, lebih berdasarkan lembaga-lembaga (institutionalized) dan jang kurang dipengaruhi oleh oknumoknum jang dapat menimbulkan kultus individu. Akan tetapi, Orde Baru tidak menolak pimpinan (leadership) jang kuat dan pemerintahan jang kuat, malahan menghendaki tjiri-tjiri demikian dalam masa pembangunan. Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi dan sosial dalam negeri. Orde Baru menghendaki pelaksanaan jang sungguh-sungguh dari tjita-tjita demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Orde Baru adalah suatu tata-kehidupan baru disegala bidang jang berlandaskan Pancasila/UUD 45, dan jang mempunjai perintjian idiil dan operasionil dalam ketetapan-ketetapan MPRS/IV/1966.666 Ali Moertopo mengidentifikasikan Orde Baru sebagai golongan-golongan serta perseorangan yang anti komunis atau non-komunis beserta organisasiorganisasinya, termasuk pula golongan-golongan ekstrem dan orang-orang yang anti terhadap konsepsi politik Presiden Soekarno. Sedangkan Orde Lama berpusat pada orang-orang berideologi komunis dengan tulang punggung PKI dan ormas- 664 Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut Partai Politik, Prisma 9, September 1981, hal. 30. 665 Alfian, Op. Cit., hal. 30. 666 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 26 – 27. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 188 ormasnya, beserta dengan orang-orang yang mengkultuskan individu Presiden Soekarno dan konsep-konsep politik Nasakom, Nefo, Dekon, dan lain-lain.667 Oleh karena itu, walaupun dengan berbagai persyaratan, pemerintah Orde Baru pada 17 Oktober 1966 melakukan rehabilitasi terhadap Partai Murba yang dibekukan oleh Presiden Soekarno. Selain itu, pemerintah juga mengijinkan berdirinya Parmusi, walaupun dengan beberapa syarat untuk membatasi perkembangan partai yang semula dimaksudkan sebagai pengganti Masjumi. Konsepsi yang dijadikan sebagai dasar berdirinya Orde Baru adalah Konsensus Nasional. Notosusanto menyatakan bahwa konsensus tersebut lahir dari dialog-dialog dalam masyarakat melalui berbagai seminar, simposium, dan diskusi yang banyak dilakukan pada saat itu. Selain itu, media massa juga memuat dan memberikan ulasan sehingga terjadi diskusi publik yang melibatkan banyak pihak. Dari proses tersebut muncul kata mufakat berupa kebulatan tekad yang sama.668 Konsesus tersebut berisi dua macam, yaitu konsensus utama, dan konsensus untuk melaksanakan konsensus utama. Konsensus utama adalah kebulatan tekad masyarakat dan pemerintah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus utama tersebut menurut A. H. Nasution dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata-Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Konsensus tersebut merupakan ikrar dari partai politik dan pemerintah yang tidak dapat ditawar, sebagaimana tertuang dalam huruf konsideran “Menimbang” berikut ini.669 Bahwa tuntutan suara hati nurani Rakyat mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen adalah tuntutan rakyat, pemegang kedaulatan dalam negara; 667 Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 16. Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 34. 669 Prof. Sunawar Sukowati juga berpendapat bahwa konsensus tersebut dilembagakan dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR tersebut berasal dari “Resolusi DPRGR RI Berisi Sumbangan Pikiran Untuk Dijadikan Acara Pokok Dalam Sidang Umum IV Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara” yang diserahkan kepada pimpinan DPRGR untuk dibahas dalam Sidang DPRGR 9 Juni 1966. Naskah tersebut diterima dan disampaikan kepada MPRS dengan judul “Memorandum DPRGR Dan Tata Urutan Perundangan R.I.” Dalam Skema Susunan Kekuasaan Didalam Negara Republik Indonesia yang menjadi lampiran Tap MPRS Nomor XX/MPRS/ 1966 disebutkan lima sumber tertib hukum, yaitu; (1) Pancasila: Sumber dari segala sumber hukum; (2) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945; (3) Dekrit 5 Juli 1959; (4) Undang-Undang Dasar Proklamasi; dan (5) Surat Perintah 11 Maret 1966. Lihat Ibid, hal. 33, 35, dan 42. 668 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 189 Sedangkan yang dimaksud dengan konsensus kedua diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Sidang Umum MPRS 1966 telah dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum dan Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian/ Keormasan, dan Kekaryaan. Untuk melaksanakan kedua ketetapan itu, pada Nopember 1966 pemerintah menyampaikan tiga rancangan undang-undang (RUU), yaitu RUU tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan; RUU tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat; dan RUU tentang Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari ketiga RUU tersebut, yang dapat diselesaikan pembahasannya dan disahkan menjadi undang-undang adalah RUU tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum AnggotaAnggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.670 Sedangkan RUU Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD671. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan memang bertujuan untuk mengokohkan kekuatan Orde Baru. Hal itu dapat dilihat pada konsideran “menimbang” butir b, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 sebagai berikut. b. bahwa pemilihan umum bukan hanja sekedar bertudjuan untuk memilih wakil-wakil rakjat jang akan duduk dalam lembaga permusjawaratan/perwakilan sadja, melainkan merupakan suatu sarana untuk mentjapai kemenangan Orde Baru dalam mewudjudkan penjusunan tata kehidupan jang didjiwai semangat Pantja Sila/Undang-undang Dasar 1945. Pelaksanaan pemilihan umum merupakan salah satu agenda sejak awal berdirinya Orde Baru. Pemilihan umum dalam pandangan para pendukung Orde Baru adalah sarana untuk menyusun kembali sistem kepartaian secara menyeluruh 670 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, UU Nomor 15 Tahun 1969, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2914. 671 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD., UU Nomor 16 Tahun 1969, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1969. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 190 guna mendukung stabilitas dan pembangunan ekonomi.672 Untuk mencapai tujuan tersebut, pilar Orde Baru adalah Golkar yang sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan militer. Pada 1971 Golkar berhasil memenangi pemilihan umum. Golkar menjadi single majority sepanjang kekuasaan Orde Baru hingga datangnya era reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998. Kebijakan Orde Baru dalam pandangan Maswadi Rauf merupakan upaya deparpolisasi dan pembentukan massa mengambang (floating mass). Pengertian partai politik dibatasi pada partai-partai selain Golkar. Deparpolisasi bertujuan mengurangi pengaruh partai politik dalam masyarakat dengan cara merusak citra partai politik di mata masyarakat, mempersulit keanggotaan partai, serta mengucilkan dan tidak memberikan pelayanan yang baik kepada warga masyarakat yang menjadi anggota partai politik.673 Secara keseluruhan, proses peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru oleh Ali Moertopo dibagi menjadi delapan tahapan.674 Tahap pertama adalah penghancuran PKI dengan cara membubarkan dan menyatakan sebagai partai terlarang. Tahapan ini dilakukan dengan tujuan jangka pendek untuk mematahkan perlawanan PKI dan dalam jangka panjang untuk tidak memberikan tempat pada kekekuatan PKI dalam mekanisme politik nasional. Tahap kedua adalah konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Tahapan ini dilakukan dengan pembersihan lembaga negara dan pemerintahan dari unsur-unsur PKI. Selain itu, juga dilakukan penataan penyelenggaraan negara melalui Sidang Umum MPRS Ke-IV yang ketetapanketetapannya meletakkan dasar bagi sistem politik baru. Tahap ketiga adalah menghapuskan dualisme kepemimpinan nasional. Hal itu tercapai melalui Sidang 672 Liddle, Op. Cit., hal. 194. Menurut Rudini, terdapat enam bentuk kekuatan destabilisasi, yaitu (1) PKI; (2) Penetrasi partai politik dalam tubuh birokrasi; (3) Sistem multipartai berdasarkan demokrasi liberal; (4) Konflik-konflik politik di pedesaan yang diwarnai oleh isu-isu kedaerahan (primordial), dan loyalitas primordial; (5) Partai massa; dan (6) Percaturan politik pada level ideologi. Untuk mengatasi tersebut dilakukan usaha counter, yaitu; (1) Pembubaran PKI; (2) Monoloyalitas; (3) Simplikasi kepartaian; (4) Floating mass; (5) Pemutusan afiliasi ormas terhadap partai politik; dan (6) Pancasila sebagai satu-satunya asas, dengan konsekuensi terjadinya percaturan politik pada level program. Lihat, Jenderal TNI (Purn) Rudini, “Penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 Dilihat Dari Prospek Demokrasi di Indonesia”. Prasarana yang disampaikan pada Seminar Sehari Dalam Rangka Menyambut Ulang Tahun Ke-22 LP3ES. Jakarta, 5 Agustus 1993. Hal. 4. 673 Maswadi Rauf, Partai Politik Dalam Sistem Kepartaian, Op. Cit., hal. 11 – 12. 674 Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 17 – 33. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 191 Istimewa MPRS 1967 di mana salah satu ketetapan yang dihasilkan adalah mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Tahap keempat adalah mengembalikan stabilitas politik dan merencanakan pembangunan. Tahapan ini dilakukan melalui Sidang Umum MPRS Ke-V 1968 yang menghasilkan beberapa ketetapan penting, diantaranya adalah Ketetapan MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 yang mengangkat Pengemban Ketetapan Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Presiden RI. Selain itu juga diputuskan Ketetapan Nomor XLI/MPRS/1968 yang mengamanatkan melanjutkan tugas Kabinet Ampera oleh Kabinet Pembangunan berdasarkan GBHN. Tahap kelima adalah pemilihan umum yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971. Pemilihan umum ini dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan Indonesia.675 Tahap keenam adalah penyederhanaan kepartaian. Tahapan ini dimaksudkan untuk memberikan corak baru pada kehidupan kepartaian di Indonesia disesuaikan dengan kebutuhan baru, yaitu mengabdi kepada pembangunan bangsa dan negara. Tahap ketujuh adalah Sidang Umum MPR 1973 yang menghasilkan 11 ketetapan. Di antaranya adalah Ketetapan Nomor IV/MPR/1973 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara yang menggariskan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang serta Pola Umum Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa. Tahap terakhir adalah Tahap kedelapan yang merupakan penentuan strategi Kabinet Pembangunan II sebagai kelanjutan dari Kabinet Pembangunan I. Strategi Kabinet Pembangunan II adalah Sapta Krida yang menitikberatkan peningkatan dan pemeliharaan stabilitas politik sesuai dengan GBHN, meningkatkan stabilitas ekonomi, meningkatkan stabilitas keamanan, dan meneruskan pelaksanaan Repelita I serta merencanakan Repelita II. 675 Selain itu, Ali Moertopo juga menyatakan bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan bagian dari tanggungjawab pemerintah atas perkembangan masyarakat. Pemilihan umum 1971 diselenggarakan dengan tujuan; (a) menciptakan kemantapan dan stabilitas politik; (b) perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golkar; (c) menciptakan mekanisme dan infrastruktur politik yang dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam melansir usaha-usaha pembangunan; dan (d) membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat. Lihat, Ibid., hal. 61. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 192 4.2. PEMBUBARAN PKI DAN PEMBEKUAN PARTINDO 4.2.1. Proses Pembubaran PKI Setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965 dan terdapat bukti-bukti bahwa PKI berada di belakang peristiwa tersebut, Mayjen Soeharto selaku staf Koti membekukan PKI dan Ormas-ormasnya. Kebijakan tersebut dijalankan oleh para panglima di daerah. Selain itu, pada 12 Nopember 1965 mengeluarkan Instruksi Hankam Nomor 1015/65 tentang pembersihan personil yang terlibat atau terindikasi terlibat G 30 S/PKI. Untuk pegawai negeri sipil, dikeluarkan Instruksi Koti Nomor 22/65. Namun instruksi tersebut ditarik kembali oleh Presiden Soekarno dan penyelesaiannya diserahkan kepada Presidium, yaitu Waperdam Subandrio.676 Pada 10 Oktober 1965, Menko Hankam/KSAB Jenderal A. H. Nasution mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang memberikan usul penyelesaian peristiwa G 20 S/PKI. Salah satu sarannya adalah segera dilakukan sidang Mahkamah Militer dan menjalankan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terhadap PKI dan partai politik lain yang terlibat.677 Presiden Soekarno masih berupaya bertahan untuk tidak membubarkan PKI.678 Dalam pidatonya pada 21 Desember 1965, Presiden Soekarno menyatakan “Gestoknja harus kita hantam, tapi komunisja tidak bisa, karena adjaran komunis itu adalah hasil keadaan objektif dalam masjarakat Indonesia seperti halnja nasionalis dan agama.” Bahkan, untuk mengimbangi kekuatan KAMI dan KAPPI yang menuntut pembubaran PKI, pada 17 Januari 1966 Menteri Penerangan Achmadi menyelenggarakan rapat pembentukan Barisan Sukarno dengan tenaga inti dari Universitas Bung Karno.679 Upaya pembersihan PKI juga dilakukan di dalam DPRGR. Pimpinan DPRGR pada Nopember 1965 membekukan keanggotaan DPRGR fraksi PKI yang tertuang dalam Keputusan Pimpinan DPRGR Nomor 10/Pimp/I/65-66 dan disusul dengan Keputusan Nomor 13/Pimp/I/1965-1966. Berdasarkan dua keputusan pimpinan DPRGR tersebut, 62 anggota DPRGR dibekukan sehingga 676 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran II, (Jakarta: Seruling Mas, 1967), hal. 67. Nugroho Notosusanto, Pejuang Dan Prajurit, Op. Cit., hal. 122. 678 Sejak setelah peristiwa G 30 S/PKI, Mayjen Soeharto bersama dengan Mayjen M. Jusuf telah lebih dari sepuluh kali melakukan pertemuan dengan Presiden Soekarno untuk membahas pembubaran PKI, namun belum dapat mengubah pendirian Presiden Soekarno. Lihat, Atmadji Sumarkidjo, Op. Cit., hal. 158. 679 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran II, Op. Cit., hal. 78 – 80. 677 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 193 jumlah anggota DPRGR menjadi 237 orang. Keputusan itu didukung oleh hasil Sidang Paripurna DPRGR yang diselenggarakan pada 15 Nopember 1965.680 Dalam perkembangannya, tuntutan pembubaran PKI serta melenyapkan kekuatan-kekuatan yang dipandang bertentangan dengan Pancasila semakin menguat. Pada 4 Mei 1966 beberapa partai politik dan organisasi menandatangani piagam pembentukan front Pancasila. Partai-partai politik dan organisasi tersebut adalah NU, PSII, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Perti, Muhammadiyah, Soksi, Gasbiindo, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).681 Setelah dikeluarkannya Supersemar, Letjend Soeharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 melalui Keppres Nomor 1/3/1966. Keputusan tersebut ditandatangani oleh Letjen Soeharto atas nama Presiden berdasarkan Surat Perintah 11 Maret.682 4.2.2. Alasan dan Dasar Hukum Pembubaran PKI Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI, sebagaimana tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966, adalah karena munculnya kembali aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30 September” PKI, berupa fitnah, hasutan, desas-desus, adu domba, dan upaya penyusunan kekuatan bersenjata. Aksi-aksi tersebut dipandang mengakibatkan terganggunya keamanan rakyat dan ketertiban. Dalam konsideran “Memperhatikan” keputusan itu juga disebutkan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh Gerakan 30 September/PKI sebagai salah satu dasar pertimbangan. Terhadap putusan itu Presiden Soekarno memberikan teguran dan memerintahkan pelaksanaan Supersemar dalam arti secara teknis saja dan tidak mengambil keputusan di luar hal yang bersifat teknis.683 Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan atau Menyebarkan atau Mengembangkan 680 Keputusan itu kemudian juga dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Keanggotaan DPRGR. Anggota baru yang mengganti keanggotaan PKI yang dibekukan baru dilantik pada 13 Pebruari 1968. Lihat, Mochtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 71 dan 79. Nama-nama anggota yang dibekukan dapat dilihat pada catatan kaki nomor 48 dan 49. 681 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 27. 682 Sesuai dengan konsideran “Mengingat” Keputusan Nomor 1/3/1966. 683 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran II, Op. Cit., hal. 77. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 194 Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. Ketetapan tersebut diputuskan pada 5 Juli 1966. Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966 menyatakan sebagai berikut. Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS. Dengan demikian yang dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang tidak hanya PKI di seluruh wilayah Indonesia, melainkan semua organisasi yang berada di bawahnya, bernaung, berlindung, bahkan yang seasas dengan PKI. Oleh karena itu, terhadap organisasi lain pun, yang seasas dengan PKI, yaitu yang memiliki asas komunisme atau marxisme-leninisme juga dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Keppres Nomor 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI tidak dibuat berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960, walaupun sebelumnya A.H. Nasution menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk segera menerapkan peraturan tersebut terhadap PKI. Dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966 yang disebut sebagai dasar hukum adalah Supersemar. Dalam keputusan tersebut juga tidak disebutkan adanya pertimbangan berdasarkan pendapat Mahkamah Agung.684 Alasan pembubaran PKI juga tertuang dalam huruf a dan b konsideran “Menimbang” Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yaitu sebagai berikut. a. Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti-hakekatnya bertentangan dengan Pancasila; 684 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960 berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/1966 tentang Peninjauan Kembali ProdukProduk Legislatif Negara tidak termasuk yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan berubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 13 Prps Tahun 1960, dan Undang-Undang Nomor 25 Prps Tahun 1960. Dengan demikian peraturan tersebut tetap berlaku hingga keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Lihat, Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 205. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 195 b. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan; Berdasarkan bunyi konsideran tersebut, terdapat dua alasan pembubaran PKI, yaitu terkait dengan ideologi atau asas, dan terkait dengan kegiatan. Terkait dengan ideologi atau asas, alasannya adalah karena faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa orang atau golongan yang menganut faham atau ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme, khususnya PKI, telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh karena itu dalam penjelasan dikatakan bahwa dipandang wajar untuk tidak memberikan hak hidup bagi PKI di Indonesia dan bagi kegiatan untuk mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pembubaran PKI diikuti dengan penangkapan menteri-menteri yang diduga terlibat PKI, di antaranya adalah Dr. Soebandrio, Dr. Chaerul Shaleh, Ir. Setiadi Reksodiputro, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Ir. Surahman, Jusuf Muda Dalam, Armunanto, Sumarto Martopradoto, Astrawinata, Mayjen Achmadi, Drs. Moch. Achadi, Letkol Inf. Moh Sjafei, J. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarno. Pembubaran PKI sebagai partai politik dan pernyataannya sebagai organisasi terlarang, juga diikuti dengan larangan bagi bekas anggota PKI dan organisasi massanya yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam G 30 S/PKI untuk mengikuti pemilihan umum, baik memilih ataupun dipilih. Hal itu untuk pertama kali diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat, sebagai berikut.685 (1) Warganegara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanja atau jang terlibat 685 Dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 juga diatur salah satu syarat untuk dapat didaftar sebagai pemilih adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/P.K.I” atau organisasi terlarang lainnya. Hal itu juga ditegaskan kembali pada Pasal 17 ayat (2). Bahkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, masalah G.30.S/P.K.I dibahas secara khusus. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 196 (2) langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/P.K.I." atau organisasi terlarang lainnja tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih; Organisasi-organisasi dilarang mentjalonkan orang jang tidak diberi hak untuk memilih dan dipilih seperti jang dimaksud dalam ajat (1). Penghapusan dan pencabutan hak untuk memilih dan dipilih saat itu dimaksudkan sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak dikhianati lagi dalam bentuk gerilya politik dan ekonomi.686 Bahkan sebelum dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang, telah dilakukan pembersihan terhadap anggota dan pimpinan PKI yang menjadi anggota DPRGR, MPRS, serta DPRDGR, maupun yang duduk dalam organisasi pemerintahan. 4.2.3. Pembekuan Partindo Selain pembubaran PKI, juga dilakukan pembekuan Partindo. Partindo memiliki kedekatan dengan PKI. Hal itu misalnya ditunjukkan dengan adanya dukungan Partindo terhadap program-program PKI. Dalam Kongres Partindo Januari 1964, Partindo menyetujui resolusi-resolusi yang bunyinya memiliki kemiripan dengan program PKI.687 Sebelum dibekukan, Partindo memiliki satu wakil di DPRGR berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Bahkan wakil Partindo ditambah menjadi tiga orang berdasarkan Keppres Nomor 37 A dan Nomor 38 Tahun 1968. Namun karena dinilai terbukti terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI dan memiliki kedekatan dengan PKI, anggota DPRGR dari Partindo diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968. Sebelumnya, Pangdam V/Jaya telah melarang anggota dan ormas Partindo melakukan kegiatan.688 4.3. PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK 4.3.1. Konsensus Nasional dan Penyederhanaan Partai Politik Politik kepartian pada masa Orde Baru diorientasikan untuk menegakkan stabilitas nasional berdasarkan konsensus nasional untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk melaksanakan konsensus 686 Angka 9 Paragraf 4, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969. Sundhaussen, Op. Cit., hal. 317. 688 Mochtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 80. 687 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 197 pertama tersebut, kedaulatan rakyat harus terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan melalui pemilihan umum. Masalah pemilihan umum terkait erat dengan penentuan partai politik peserta pemilu yang wakilwakilnya akan menjadi anggota MPR, DPR, dan DPRD. Saat itu berkembang gagasan “dwi partai” dan “dwi group” serta penyederhanaan struktur politik.689 Kelompok militer menginginkan perubahan besar dari sistem kepartaian. Partai-partai lama yang bersifat ideologis diganti dengan organisasi-organisasi dengan program sesuai kebutuhan pembangunan. Kekuatan politik diharapkan dapat mendukung program pemerintah.690 Arah penyederhanaan partai menjadi salah satu konsensus nasional yang tertuang dalam Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan. Dalam konsideran “Menimbang” disebutkan perlunya mengatur penggolongan masyarakat dalam partai politik, ormas, dan golongan karya agar dapat menjadi alat demokrasi yang sehat. Hal itu dilakukan dengan meninjau kembali Penpres Nomor 7 Tahun 1959, Perpres Nomor 13 Tahun 1960 dan Keppres Nomor 2 Tahun 1959. Pasal 1 Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 menyatakan sebagai berikut. Pemerintah bersama-sama DPRGR segera membuat Undang-undang yang mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhaan. Dengan demikian arah undang-undang yang akan dibuat telah ditentukan untuk menyederhanakan kepartaian, keormasan dan kekaryaan. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjadikan partai politik sebagai alat demokrasi yang sehat sesuai dengan UUD 1945.691 4.3.2. Proses Penyederhanaan Partai Politik Proses pengelompokkan penyederhanaan anggota kepartaian DPR berdasarkan mulai dilakukan Ketetapan MPRS dengan Nomor XXII/MPRS/1966. Pengelompokkan itu selanjutnya menjadi fraksi-fraksi DPR. Pengelompokkan tersebut meliputi,692 689 Juwono Sudarsono (ed.), Op. Cit., hal. xi. Liddle, Op. Cit., hal. 193. 691 Huruf d Konsideran Menimbang Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. 692 Mochtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 86 – 87. 690 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 198 1. Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Partai Katolik, Parkindo, dan PNI. 2. Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. 3. Kelompok Karya Pembangunan yang terdiri atas anggota DPR dari Golongan Karya melalui pemilihan umum, pengangkatan dari wilayah Irian Jaya, dan pengangkatan dari golongan karya non ABRI. 4. Kelompok ABRI yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang diangkat dari unsur ABRI meliputi AD, AL, AU, dan Kepolisian. Pengelompokkan itu sesuai dengan sasaran strategis bidang politik yang telah dirumuskan. Sasaran strategis di bidang politik meliputi; (a) menggarap kekuatan-kekuatan sosial politik dalam masyarakat melalui pengelompokkan partai-partai yang diarahkan pada orientasi program; (b) pembentukan fraksifraksi gabungan yang lebih sederhana dalam badan-badan legislatif, terutama di DPRD-DPRD; (c) membantu sepenuhnya Sekber Golkar; (d) membantu angkatan muda untuk menjadi kekuatan sosial-politik yang merupakan tunas-tunas pembangunan; (e) mempersiapkan pengamanan pemilihan umum; (f) penertiban politik luar negeri sehingga benar-benar mengabdi pada kepentingan nasional; dan (g) membentuk kerjasama dengan media massa yang pro Orde Baru.693 Penyederhanaan partai politik melalui pengelompokkan juga dikemukakan oleh Presiden Soeharto pada 7 Pebruari 1970 di hadapan pimpinan sembilan partai politik dan Golkar yang akan mengikuti pemilu 1971. Pada 27 Pebruari 1970, Presiden mengadakan konsultasi dengan pimpinan partai politik tentang pengelompokkan itu. Pengelompokkan dikatakan semata-mata untuk mempermudah kampanye pemilihan umum, bukan melenyapkan partai politik. Menurut Presiden Soeharto, gagasan penyederhanaan partai tidak hanya berarti pengurangan jumlah partai, tetapi yang lebih penting adalah untuk perombakan pola kerja menuju orientasi program. Oleh karena itu, disarankan pengelompokkan berdasarkan tekanan pada aspek pembangunan yang meliputi aspek spirituil dan materiil. Partai politik dapat dikelompokkan menjadi kelompok 693 Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 27 – 28. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 199 materiil-spirituil yang menekankan pada pembangunan materiil tanpa meninggalkan aspek spirituil (meliputi PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo), dan kelompok spirituil-materiil yang menekankan pada aspek spirituil tanpa meninggalkan materiil (meliputi NU, Parmusi, PSII, dan Perti).694 Dalam perkembangannya pengelompokkan diterima dan diwujudkan dalam pengelompokan golongan nasionalis, golongan spirituil, dan golongan karya.695 Sebagai salah satu tahapan pemantapan Orde Baru, penyederhanaan kepartaian dimaksudkan untuk mengurangi friksi-friksi ideologis yang pada masa Orde Lama sangat kuat. Selain itu, dalam jangka pendek bertujuan mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan, serta untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Terhadap saran tersebut, semua partai politik memberikan dukungan. Keberatan yang ada hanya disampaikan oleh Partai Katolik dan Parkindo karena dikelompokkan dalam golongan spirituil dan memilih masuk ke dalam kelompok nasionalis. Akhirnya, pada 4 Maret 1970 terbentuk kelompok nasionalis yang terdiri atas PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik. Pada 14 Maret 1970 terbentuk kelompok spiritul yang terdiri atas NU, Parmusi, PSII, dan Perti.696 Namun pengelompokkan itu belum sampai pada tingkat penggabungan partai. Masing-masing partai politik tetap mengikuti pemilu sendiri-sendiri. Pengelompokkan baru dilakukan sampai tahap pembentukan fraksi di DPR.697 Upaya penyederhanaan partai politik juga terlihat dalam proses pembahasan RUU Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan yang diajukan oleh pemerintah. Pemerintah dalam RUU tersebut mengajukan persyaratan bahwa semua partai politik, organisasi massa, dan organisasi golongan karya wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya, dan wajib pula mengamankan dan mengamalkannya. Ketentuan itu dimaksudkan agar tidak 694 Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 75. Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 33. 696 NU dan Parmusi menyambut pengelompokkan tersebut karena menganggap akan dapat menyatukan kelompok Islam yang semula terpecah menjadi beberapa partai. Subhan Z. E., seorang tokoh NU menyatakan bahwa pengelompokkan tersebut akan memudahkan proses pengambilan keputusan sehingga alternatif pendapat dalam masyarakat dapat dipeerkecil. Lihat, Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1996), hal. 56 – 57. 697 Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 34. 695 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 200 terulang penyimpangan pada masa lalu atau terjadi persaingan antar partai yang akan menonjolkan asas mereka masing-masing.698 Tidak ada penolakan terhadap kewajiban tersebut Namun beberapa partai politik menghendaki di samping Pancasila juga dapat dicantumkan asas yang menjadi ciri khas partai atau organisasi. Hal itu menimbulkan kebuntuan hingga satu bulan pembahasan belum menghasilkan putusan. Akhirnya diambil keputusan untuk menunda pembicaraan tersebut. Selanjutnya, pemerintah dan DPRGR akan membahas RUU tentang pemilihan umum.699 Sebelum RUU pemilihan umum dibahas, telah ada kesamaan pandangan antara DPRGR dan pemerintah bahwa pemilihan umum harus membawa hasil penyederhanaan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan. Karena pembahasan tentang RUU Kepartaian terhenti, pemerintah dan DPRGR menyepakati menambahkan satu pasal dalam RUU Pemilu, yaitu Pasal 34, yang menyatakan bahwa organisasi-organisasi politik yang ada pada waktu itu diakui dan karenanya boleh mengikuti Pemilihan Umum, termasuk organisasi-organisasi Golongan Karya yang sudah mempunyai perwakilan di DPRGR. Dengan adanya ketentuan Pasal 34 dalam Undang-Undang Pemilu tersebut, pemilihan umum dapat dilaksanakan walaupun belum ada Undang-Undang tentang Kepartaian.700 Dalam proses pembahasan Undang-Undang Pemilu, muncul beberapa permasalahan krusial (crussial point). Permasalahan tersebut adalah mengenai sistem pemilihan, penentuan daerah pemilihan, dan jumlah anggota DPR yang diangkat. Pemerintah mengajukan model pemilihan perorangan langsung (personenstelsel) dengan sistem distrik berwakil tunggal (single member district) sedangkan daerah pemilihan adalah Daerah Tingkat II. Pendapat itu didukung oleh Golongan Karya.701 Namun, partai-partai politik tidak mendukung rumusan tersebut karena akan mengurangi peran partai politik. PNI mengusulkan perwakilan proporsional (proportional representation) dengan sistem daftar (lijstenstelsel) dan daerah pemilihannya adalah Daerah Tingkat I. Pendapat PNI didukung oleh Partai Murba dan partai-partai lain dalam kelompok nasionalis, kecuali IPKI yang mendukung 698 Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 44. Ibid., hal. 44. 700 Ibid., hal. 44 – 45. 701 Ibid., hal. 45. 699 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 201 pemerintah untuk tercapainya penyederhanaan partai dan pembangunan sistem politik.702 NU, PSI, dan partai-partai Islam lain berpendapat bahwa sistem pemilihan yang diajukan pemerintah dapat diterima. Namun, yang menjadi masalah adalah stelsel perorangan yang dipandang belum sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. NU memilih sistem daftar yang dikombinasikan dengan daerah pemilihan pada Daerah Tingkat I. Hal itu akan menjamin kelangsungan hidup partai politik, namun jika partai tidak memperoleh suara yang cukup tidak boleh diberikan jatah kursi dan harus dinyatakan gugur sebagai partai politik.703 Parkindo dan Partai Katolik menyatakan bahwa sistem yang paling baik adalah menggabungkan antara sistem distrik dan proporsional yang harus memperhatikan perbedaan antara luas daerah dan konsentrasi jumlah penduduk. Sedangkan untuk daerah pemilihan, kedua partai itu setuju daerah pemilihan adalah Daerah Tingkat II.704 Pada 1967, partai-partai yang tergabung dalam Front Pancasila mengadakan pertemuan di Pelabuhan Ratu untuk menyamakan pandangan. Pada pertemuan tersebut tercapai kesepakatan memilih pemilihan proporsional sistem daftar (lijstenstelsel) dengan menghapuskan persyaratan domisili calon. Daerah pemilihan yang dipilih adalah Daerah Tingkat I. Kesepakatan itu disampaikan kepada pimpinan DPRGR dan para anggota dari masing-masing partai. Pemerintah dan ABRI akhirnya menerima pemilihan proporsional sistem daftar, dengan disertai kontra usul, yaitu adanya anggota yang diangkat.705 Pimpinan partai politik juga melakukan beberapa kali pertemuan konsultasi dengan pengemban Supersemar. Dalam konsultasi tersebut beberapa hal yang ditekankan oleh Soeharto adalah agar anggota DPR tidak “ngombroombro”. Akhirnya tercapai konsensus terkait dengan RUU Pemilihan Umum yaitu; (a) Jumlah anggota DPR tidak boleh “ngombro-ombro”; (b) ada perimbangan antara jumlah perwakilan dari Pulau Jawa dan luar Jawa; (c) faktor jumlah penduduk diperhatikan; (d) ada angota yang diangkat di samping yang 702 Ibid., hal. 46. Ibid., hal. 47. 704 Ibid., hal. 47. 705 Ibid., hal. 48. 703 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 202 dipilih; (e) tiap kabupaten dijamin minimal mendapat 1 wakil; dan (f) persyaratan mengenai domisili calon dihapuskan.706 Masalah yang masih tersisa adalah jumlah anggota yang diangkat. Pemerintah mengusulkan 1/3 anggota MPR diangkat oleh pemerintah dan 100 anggota DPR diangkat dari unsur ABRI. Pengangkatan anggota MPR dimaksudkan untuk menjamin UUD 1945 tidak akan diubah dengan menggunakan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Sedangkan pengangkatan anggota ABRI sebagai anggota DPR, yang pada awalnya diusulkan 50%, merupakan pengakuan terhadap perannya sebagai stabilisator dan dinamisator kehidupan sosial politik. Terhadap usulan itu, semula banyak partai yang menolak terkait dengan jumlahnya. Namun sesudah beberapa kali pertemuan konsultasi dengan Jenderal Soeharto, akhirnya diterima sebagai jaminan obyektif agar UUD 1945 tidak diubah.707 Dalam rapat Panitia Musyawarah DPRGR pada 18 Desember 1967 dicapai konsensus yang ditetapkan oleh Pimpinan DPRGR pada 16 Desember 1967 Nomor 20/Pimp/II/67-68. Konsensus tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan yang dibuat oleh Pansus 3 RUU dengan pemerintah pada 27 November 1967. Isi konsensus tersebut adalah: a. RUU Pemilu akan disahkan bersama-sama dengan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. b. Materi RUU Pemilu yang sudah selesai tidak akan dipersoalkan lagi. c. 12 pokok konsensus yang telah dicapai antara Panitia Khusus 3 RUU dan pemerintah tetap dipegang teguh dan tidak akan diadakan perubahanperubahan. Isi konsensus tersebut adalah; 706 Ibid., hal. 49. Proses konsultasi tersebut berlangsung terus hingga penyelesaian RUU Pemilu dan RUU Susduk MPR, DPR, dan DPRD. Lihat Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 49 – 62. Model pengangkatan ini terus mendapatkan kritik karena dipandang tidak demokratis. Menanggapi hal tersebut dan untuk tetap menjaga UUD 1945, Presiden Soeharto mengajukan gagasan mekanisme referendum untuk dapat dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Gagasan ini mulai mengemuka pada tahun 1980. Akhirnya gagasan referendum dikukuhkan melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR dan Ketetapan Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Namun, setelah adanya mekanisme referendum tersebut ternyata tidak menghilangkan keanggotaan DPR dan MPR yang diangkat. Berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD, jumlah anggota DPR yang diangkat tetap 100 dari 500 orang (sebelumnya dari 460) namun keseluruhan berasal dari ABRI. Jumlah tersebut berkurang menjadi 75 orang berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD. Lihat, Moh. Mahfud M.D., Op. Cit., hal. 266 – 269. 707 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 203 1. jumlah anggota DPR tidak boleh “ngombro-ombro”. 2. ada perimbangan yang baik antara jumlah perwakilan pulau Jawa dan luar Jawa; 3. faktor jumlah penduduk diperhatikan; 4. adanya anggota yang diangkat di samping anggota yang dipilih; 5. tiap kabupaten dijamin minimal 1 wakil; 6. persyaratan mengenai domisili dihapuskan; 7. yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan non-ABRI, serta telah disepakati yang non-ABRI harus non-massa. 8. jumlah yang diangkat untuk MPR adalah 1/3 dari seluruh anggota; 9. jumlah anggota DPR ditetapkan 500 orang; 10. sistem pemilihan: proportional representation yang sederhana. 11. stelsel pemilihan: lijstenstelsel; 12. daerah pemilihan: Daerah tingkat I Akhirnya RUU Pemilihan Umum dan RUU Susduk MPR, DPR, dan DPRD disetujui pada 17 Desember 1968. Kedua RUU tersebut diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan UndangUndang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, yang dapat mengajukan calon untuk pemilihan umum adalah organisasi yang memenuhi persyaratan.708 Syarat-syarat tersebut adalah; (a) bukan organisasi terlarang; (b) bagi golongan politik ialah partai-partai politik yang telah mendapat pengakuan; dan (c) bagi golongan karya ialah organisasi golongan karya yang telah mendapat pengakuan berdasarkan Undang-Undang.709 Selain itu juga ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 bahwa: (1) Organisasi-organisasi golongan Politik jang ada dan diakui serta organisasiorganisasi golongan Karya jang sudah mempunjai perwakilan di D.P.R.G.R 708 709 Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 204 dan/atau di D.P.R.D.G.R. pada saat Pemilihan Umum diselenggarakan berdasarkan Undang-undang ini dapat ikut serta pemilihan umum. Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tersebut mengakui bahwa organisasi politik dan golongan karya yang memiliki wakil di DPRGR dan DPRDGR “dapat” mengikuti Pemilu. Kata “dapat” seharusnya tidak menutup organisasi lain yang belum mempunyai wakil. Namun, dalam praktik pemilu 1971 dan sesuai dengan kesepakatan antara partai-partai, golongan karya, dan pemerintah pada pembahasan RUU Pemilu, ketentuan tersebut dimaknai bahwa peserta Pemilu 1971 “adalah” dan “dibatasi” pada organisasi politik dan golongan karya yang telah memiliki wakil di DPRGR dan/atau DPRDGR. Ali Moertopo menyatakan bahwa Undang-Undang Pemilihan Umum memang tidak dibuat sekedar mengatur teknik-teknik pemilihan. Lebih dari itu, Undang-Undang Pemilihan Umum memberikan perhatian khusus kepada Golkar dan ABRI.710 Untuk menjamin stabilitas nasional, pemerintah tidak hanya melakukan upaya penyederhanaan partai politik, tetapi juga intervensi ke dalam suatu partai politik. Intervensi terhadap partai politik dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan radikalisme dan fanatisme serta “menjinakkan” partai politik. Hal itu, di samping dilakukan dengan cara ikut menentukan personalia struktur partai, juga dengan menyeleksi calon-calon yang diajukan partai politik berdasarkan penilaian sikap politik dan kecakapannya.711 Hal itu dapat dilihat dari sikap pemerintah terhadap PNI. Walaupun banyak tuntutan pembubaran PNI karena dianggap terlibat dalam G 30 S/PKI, namun tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Yang dilakukan adalah membantu proses pembersihan partai dari orang-orang yang terlibat atau dipandang tidak sesuai dengan semangat Orde Baru dan dapat menjadi kekuatan politik yang besar.712 Kongres PNI yang dilangsungkan pada 1966 berhasil menyingkirkan para pemimpin yang dianggap masih setia kepada Soekarno. Pelaksanaan Kongres diwarnai pemeriksaan para peserta dan penjagaan yang ketat agar peserta yang 710 Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 66. Proses ini disebut oleh Mahfud M.D. dengan istilah “Emaskulasi Partai Politik” atau pengebirian partai politik dengan tujuan untuk memenangkan kekuatan Orde Baru. Lihat, Moh. Mahfud M.D., Op. Cit., hal. 218 – 220. 712 Alfian, Op. Cit., hal. 54. 711 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 205 dapat mengikuti adalah yang diundang oleh panitia yang dipimpin oleh Hardi, seorang penentang PNI Ali-Surachman yang dekat dengan PKI.713 Intervensi pemerintah terhadap partai politik juga terjadi dalam proses pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang semula dimaksudkan sebagai pengganti Masjumi. Upaya pembentukan kembali Masjumi dilakukan dengan membentuk Komite Rehabilitasi Masjumi yang dipimpin oleh Sjarif Usman dibawah bimbingan Faqih Usman dan Prawoto yang telah dibebaskan pada 1966. Namun demikian, pada Desember 1966 Komandan Kodam Jaya menyatakan bahwa Masjumi pernah melanggar UUD 1945, seperti yang dilakukan oleh PKI. Terhadap pernyataan tersebut, Prawoto mengajukan permohonan pertemuan dengan Soeharto untuk membahas rehabilitasi Masjumi. Pada 6 Januari 1967, Soeharto membalas surat tersebut dan menyatakan tidak akan menyetujui rehabilitasi Masjumi yang tidak menghukum anggotanya yang terlibat pemberontakan PRRI.714 Upaya lain yang dilakukan adalah membentuk partai baru pengganti Masjumi. Hal itu dimulai dengan pembentukan Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) pada Desember 1965 beriringan dengan pembentukan Komite yang dipimpin oleh Sjarif Usman. Presiden Soeharto yang menolak rehabilitasi Masjumi menyarankan agar BKAM membentuk partai sendiri sebagai wadah politiknya. Pada 7 Mei 1967 terbentuk suatu panitia untuk mempersiapkan pembentukan partai baru, yaitu Partai Muslimin Indonesia. Panitia tersebut terdiri dari tujuh orang, yaitu Faqih Usman, Anwar Harjono, Agus Sudono, Sjamsuridzal, Hasan Basri, Muttaqien, dan Marzuki Jatim. Panitia ini mendiskusikan kepemimpinan partai, dan pada 20 Juni 1967 menyampaikan pembentukan panitia kepada Presiden Soeharto.715 Soeharto menyatakan bahwa mantan anggota Masjumi memiliki hak sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan hukum. Pernyataan tersebut ditafsirkan oleh pendukung Masjumi bahwa pimpinan Masjumi bebas mendirikan partai baru. Namun demikian, pada pertengahan 1967, Rosihan Anwar dalam tulisannya di harian Kompas menyatakan bahwa ABRI keberatan terhadap 713 Moh. Mahfud M.D., Op. Cit., hal. 219. Ward, Op. Cit., hal. 24 – 28. 715 Ibid., hal. 29 – 30. 714 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 206 pemilihan Mohammad Roem dan Faqih Usman sebagai anggota dewan pimpinan. Hal itu dibuktikan dengan penolakan pemerintah terhadap susunan kepengurusan yang dibuat oleh panitia tujuh pada 15 September 1967716 dengan Ketua Umum Faqih Usman dari unsur Masjumi. Susunan itu selanjutnya diubah pada 31 Oktober 1967717 yang juga belum mendapat persetujuan dari pemerintah. Pada 5 Pebruari 1968, pimpinan partai diundang menghadap Presiden Soeharto. Delegasi dibagi dua, yang pertama kali bertemu dengan Soeharto adalah empat unsur Parmusi yang memiliki wakil di DPRGR, yaitu dari Muhammadiyah, KBIM, Gasbiindo, dan Djamiatul Al-Washliyah. Kepada delegasi ini Presiden Soeharto menyatakan bahwa masalah rehabilitasi Masjumi telah ditutup, namun beberapa orang menyatakan keberatan terhadap Parmusi karena hanya merupakan baju baru bagi Masjumi. Oleh karena itu, pimpinan Parmusi harus menunjukkan bahwa partai tersebut terdiri dari banyak organisasi agar sesuai dengan kebijakan penyederhanaan partai politik sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966. Parmusi tidak boleh terlihat sebagai Masjumi. Oleh karena itu, mantan pimpinan Masjumi tidak selayaknya menjadi pimpinan Parmusi. Mereka disarankan memimpin dari belakang. Hal itu menunjukkan adanya intervensi pemerintah terhadap internal partai.718 Pertemuan kedua diikuti oleh semua delegasi. Pada pertemuan itu Presiden Soeharto kembali menyampaikan nasihat bahwa para mantan pemimpin Masjumi sebaiknya tidak menjadi pimpinan partai pada awal kelahirannya. Setelah pertemuan tersebut, panitia tujuh, berdasarkan informasi dari pemerintah merekomendasikan beberapa nama yang harus dihapuskan dari jajaran pimpinan partai. Akhirnya, kepengurusan yang disempurnakan dapat tersusun pada 16 Pebruari 1968 yang dipimpin oleh Djarnawi Hadikusuma. Kepengurusan ini 716 Terdiri dari Ketua Umum: Faqih Usman; Ketua: A. D. Sjahruddin, Anwar Harjono, Djarnawi Hadikusumo, Hasan Basri, E. Z. Muttaqien; Sekjen: M. Sulaiman. Ibid., hal. 34. 717 Terdiri dari Ketua Umum: Faqih Usman; Ketua: A. D. Sjahruddin, Anwar Harjono, Djarnawi Hadikusumo, Hasan Basri, E. Z. Muttaqien, Agus Sudono, H.M. Sanusi; Sekjen: M. Sulaiman. Ibid., hal. 35. 718 Presiden Soeharto menyatakan: “Mereka dapat memimpin dari belakang. Di masa mendatang, pada saat kamu semua menyelenggarakan Kongres dan semua pemimpin Masjumi kembali, hal itu adalah masalah internal. Itu adalah masalah kedaulatan rakyat. Namun saat ini sayalah yang bertanggungjawab”. Ibid., hal. 36. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 207 diterima oleh pemerintah dan keberadaan Parmusi disahkan dengan Keppres Nomor 70 Tahun 1968, tanggal 20 Pebruari 1968.719 Setelah pembentukan Parmusi, tokoh-tokoh Masjumi memberikan dukungan secara terbuka. Kongres pertama Parmusi segera diselenggarakan di Malang dan Presiden Soeharto tidak berkeberatan terhadap pelaksanaan kongres tersebut. Sebelum pelaksanaan kongres, pada 28 Oktober 1968 pimpinan Parmusi bertemu dengan Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Presiden menyatakan bahwa lebih baik tidak dilakukan perubahan terhadap kepemimpinan partai.720 Sebelum pelaksanaan kongres, Ali Moertopo menyampaikan nama-nama yang dapat diterima untuk memimpin Parmusi, yaitu Djarnawi Hadikusuma, Anwar Harjono, Hasan Basri, dan Omar Tosin. Namun demikian, dalam pelaksanaan kongres, terdapat tujuh orang yang terpilih dalam nominasi pimpinan pusat, yaitu Djarnawi Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, M. Natsir, Prawoto, Sanusi, Sjarif Usman, dan Moh. Roem. Bahkan, Moh. Roem secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum. Susunan dewan pengurus pun segera tersusun dan masih didominasi tokoh-tokoh Masjumi.721 Atas hasil tersebut, staf Presiden Soeharto, Alamsyah, pada hari terakhir kongres menyampaikan radiogram yang menyatakan bahwa pemerintah merasa bahwa saat itu bukan waktu yang tepat untuk mengubah kepemimpinan partai dam perubahan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Keppres Nomor 70 Tahun 1968 yang mensahkan keberadaan Parmusi.722 Akhirnya, Mohammad Roem mengundurkan diri digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.723 Penyederhanaan partai politik dan menjadikan Golkar sebagai kekuatan politik mayoritas juga dapat dilihat dari upaya mencabut pengaruh partai politik terhadap pegawai negeri. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 Tahun 1969, pegawai negeri diharuskan hanya memiliki loyalitas kepada negara dan melarang masuk sebagai anggota partai politik. Permendagri itu diikuti dengan surat edaran yang mewajibkan pegawai negeri mengisi formulir 719 Kepengurusan yang disahkan terdiri dari, Ketua Umum: Djarnawi Hadikusumo; Ketua: Agus Sudono, H.M. Sanusi, J. Naro, Daud Badaruddin, Chadidjah Razak, Omar Tosin; Sekjen: Lukman Harus. Ibid., hal. 38 dan 39. 720 Ibid., hal. 51. 721 Susunan kepengurusan hasil kongres adalah, Ketua Umum: Mohammad Roem; Ketua: Anwar Harjono, Hasan Basri, Djarnawi Hadikusumo, Omar Tosin; Sekjen: Hasbullah. Ibid., hal 52 – 53. 722 Ibid., hal. 54. 723 Moh. Mahfud M.D., Op. Cit., hal. 220. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 208 dengan tujuan agar keluar dari partai politik dan menjadi anggota Korps Karyawan Departemen Dalam negeri (Kopkarmendagri). Bahkan sering ditegaskan, pegawai negeri yang tidak menjadi anggota, lebih baik keluar dari pegawai negeri.724 Proses pembatasan dan intervensi terhadap partai politik memberikan hasil yang luar biasa bagi Golkar sebagai pendukung pemerintahan yang dikendalikan oleh ABRI. Pada pemilu 1971, Golkar memperoleh 62,8 persen suara pemilih. Perolehan suara partai-partai lain jauh berada di bawah Golkar. NU memperoleh 18,67 persen, Parmusi 7,365 persen, PNI 6,94 persen, PSII 2,39 persen, Parkindo 1,34 persen, Partai Katolik 1,11 persen, dan Perti 0,70 persen. 4.4. FUSI DAN PEMBATASAN PARTAI POLITIK 4.4.1. Fusi Partai Politik Sebagai kelanjutan dari upaya penyederhanaan partai politik melalui pengelompokkan, Presiden Soeharto menunjuk Kepala Opsus Brigjen Ali Murtopo, Aspri Presiden Brigjen Sujono Humardani, Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Juwono, dan Brigjen Tjokropranolo sebagai penghubung partai-partai politik untuk menjalankan pengelompokkan hingga tercapainya fusi partai politik.725 Kebijakan penyederhanaan dengan melakukan fusi partai politik dilakukan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hasil Sidang MPR Tahun 1973. Ketetapan tersebut menyatakan bahwa pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Hal itu tertuang pada bagian Kebijaksanaan Pembangunan Bidang Politik GBHN 1973 sebagai berikut.726 4. Dalam rangka mempercepat proses pembaharuan dan penyederhanaan organisasi kekuatan-kekuatan sosial politik, baik partai politik maupun golongan karya dewasa ini telah memperlihatkan orientasinya kepada perkembangan masyarakat yang diwujudkan melalui penyusunan dan pelaksanaan program-program pembangunan di seluruh bidang kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 724 Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 32. Ibid., hal. 34. 726 Angka 4, Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Bidang Politik GBHN 1973. Tap MPR Nomor IV/MPR/1973. 725 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 209 Oleh karena itu dalam rangka membina kehidupan politik yang efektif dan efisien bagi pelaksanaan pembangunan, maka struktur, jumlah maupun sikap mental dari organisasi-organisasi kekuatan sosial politik tersebut, telah dapat mengelompokkan diri menjadi dua Partai Politik dan satu Golongan Karya. Dengan terdapatnya tiga pengelompokkan tersebut yang merupakan wadah penampungan dari seluruh aspirasi masyarakat, maka pada Pemilihan Umum yang akan datang hanya akan ada tiga Tanda Gambar. Hal itu senada dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan sebagai berikut.727 Pemilihan Umum yang dimaksud dalam pasal 1 Ketetapan ini diikuti oleh dua Golongan Politik dan satu Golongan Karya. Pada 10 Januari 1973, partai-partai yang tadinya masuk dalam kelompok nasionalis memutuskan diri untuk bergabung dalam satu wadah partai, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan kelompok spirituil menyatakan menggabungkan kegiatan politiknya dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).728 Namun fusi partai politik tersebut bukannya tanpa masalah. Baik di tubuh PPP maupun PDI mengalami kesulitan dalam menentukan identitas partai baru karena masing-masing unsur yang berfusi memiliki identitas sendiri. Kesulitan juga muncul dalam penyusunan kepengurusan yang harus menampung semua unsur di dalamnya sehingga struktur yang terbentuk sangat gemuk.729 Selain itu, baik PPP maupun PDI selalu diwarnai dengan konflik internal yang menunjukkan pertentangan antar unsur yang belum usai.730 Penyederhanaan partai politik telah berhasil dilakukan dengan terjadinya fusi partai politik. Pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Keberadaan ketiga organisasi politik tersebut dipertahankan dan dipertegas dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 yang menyatakan bahwa pemilihan umum diikuti oleh tiga organisasi kekuatan sosial politik, yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia.731 Penentuan peserta pemilihan umum terdiri atas ketiga organisasi 727 Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum. Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 34. 729 Ibid., hal. 34 – 35. 730 Zulkifli, Op. Cit., hal. 58 – 59. 731 Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/ 1978 tentang Pemilihan Umum. 728 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 210 tersebut juga disebutkan dalam Ketetapan MPR tentang GBHN dan Ketetapan MPR tentang Pemilihan Umum hingga tahun 1988.732 Kebijakan penyederhanaan melalui fusi partai politik dikuatkan dengan Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar yang rancangannya disampaikan oleh pemerintah kepada DPR pada 6 Desember 1974. Rancangan tersebut pada 14 Agustus 1975 disetujui oleh semua fraksi DPR dan pada 15 Agustus 1975 disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.733 Selain itu, di dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1975734 yang mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 juga sudah ditegaskan bahwa peserta pemilihan umum adalah PPP, PDI, dan Golkar.735 Terkait dengan penyederhaan partai politik, konsideran “Menimbang” huruf a dan b, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 secara jelas menyatakan sebagai berikut: a. bahwa dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan kehidupan politik, dewasa ini organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang telah ada telah mengelompokkan diri menjadi dua Partai Politik dan satu Golongan Karya, seperti yang telah dinyatakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara; b. bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar Partai-partai Politik dan Golongan Karya benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan;” 4.4.2. Pembatasan Partai Politik Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi kekuatan sosial politik terdiri atas, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan 732 Tap MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Tap MPR Nomor III/MPR/1983 tentang Pemilihan Umum, Tap MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan Tap MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. 733 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik Dan Golongan Karya, UU Nomor 3 Tahun 1975, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062. 734 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan /Perwakilan Rakyat, UU Nomor 4 Tahun 1975, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3063. Perubahan lebih lanjut adalah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3163. 735 Pasal II angka 4, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 211 Karya (Golkar).736 Di dalam undang-undang tersebut, tidak ada ketentuan yang mengatur tata cara pembentukan partai baru. Dengan demikian, hanya terdapat tiga kekuatan politik yang diakui secara hukum, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Bahkan, dari konsideran “Menimbang” butir c, dan Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 3 Tahun 1975, dapat disimpulkan bahwa ketiga kekuatan politik tersebut merupakan organ negara yang diberi pengukuhan dan landasan hukum.737 Dengan demikian, selain menegaskan fusi partai politik738, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 juga melakukan pembatasan dengan menutup pintu bagi pembentukan partai baru. Pembatasan terhadap partai politik juga terwujud dalam bentuk pembatasan kepengurusan partai politik hanya sampai daerah tingkat II, yaitu pada tingkat Kabupaten atau Kota.739 Ketentuan tersebut walaupun sempat mendapatkan keberatan dari PDI dan PPP, namun didukung sepenuhnya oleh Golkar dan ABRI. Alasan adanya ketentuan tersebut adalah bahwa masuknya pengurus partai ke desa-desa akan merusak ketenangan jika terjadi perbedaan ideologi yang tajam. Keberatan PDI dan PPP diakomodasi dengan adanya seorang komisaris di kecamatan yang dibantu oleh beberapa orang.740 Walaupun pada pemilu 1971 Golkar sebagai partai pemerintah telah memperoleh kemenangan, namun identitas partai masih dianggap berpotensi menjadi kekuatan yang dapat menyaingi Golkar, terutama identitas keagamaan yang digunakan oleh PPP. PPP yang merupakan fusi dari kelompok Islam menjadikan Islam sebagai identitas partai yang tidak dimiliki oleh PDI dan Golkar. PPP menjadi satu-satunya partai wadah bagi umat Islam. Identitas PPP sebagai partai Islam cukup sulit dihadapi oleh Golkar yang berorientasi pada program pembangunan. Bahkan untuk keperluan tersebut pada pemilu 1977, Ali Moertopo menyatakan bahwa Golkar sebagai kekuatan politik yang sangat diperlukan Orde Baru untuk pembangunan bangsa harus benar-benar 736 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Huruf c Konsideran “Menimbang” menyatakan “… yang sekaligus memberikan kepastian tentang kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari organisasi-organisasi kekuatan sosial politik yang bersangkautan …”. Sedangkan Paragraf Tiga Penjelasan Umum menyatakan “Dengan Undangundang ini dikukuhkan dan diberikan landasan hukum bagi dua Partai Politik dan satu Golongan Karya yang ada dewasa ini, …”. 738 Lihat Penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 739 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 740 Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 35. Lihat juga, Pasal 5 PP Nomor 9 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik Dan Golkar. 737 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 212 mampu bertindak sebagai pemain demokrasi dan boleh main keras asal dalam batas-batas peraturan permainan.741 Menjelang pelaksanaan Pemilu 1977, terdapat isu penting yang mengemuka, yaitu berkaitan dengan penentuan tanda gambar partai politik dan Golkar. PDI diharuskan mengubah rancangannya. Sedangkan untuk tanda gambar Ka’bah bagi PPP, pemerintah keberatan karena ka’bah adalah tempat suci bagi umat Islam. Mendagri saat itu, Amirmachmud, sangat berkeinginan untuk mengganti tanda gambar ka’bah guna mengaburkan identitas Islam pada PPP. Namun pihak PPP mempertahankannya, bahkan mengancam akan mengundurkan diri dari Pemilu 1977 sehingga pemerintah mengalah untuk sementara.742 Pengaruh identitas partai tersebut terlihat dari hasil pemilu 1977 yang meningkatkan suara PPP sebanyak 2,1 persen (menjadi 29,9 persen dibandingkan jumlah suara partai-partai pada pemilu 1971 yang berfusi menjadi PPP). Sedangkan Golkar mengalami penurunan sebesar 0,6 persen, dan PDI turun sebesar 1,41 persen. Dilihat dari perolehan kursi DPR, Golkar mendapat 232, PPP 99, dan PDI 29. Pengaruh identitas partai tersebut juga terlihat dari hasil pemilihan di beberapa daerah di mana PPP memperoleh suara yang mengejutkan. Di Jakarta, PPP memenangi pemilu dengan suara 1.079.214. Sedangkan Golkar berada di urutan kedua dengan suara 961.030, disusul PDI dengan suara 425.940. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu 1971, PPP mengalami peningkatan sebesar 40,75 persen, sedangkan perolehan suara Golkar dan PDI mengalami penurunan, masing-masing sebanyak 35,99 persen dan 4,83 persen. Untuk membatasi perkembangan partai politik, langkah lain yang dilakukan adalah memutus hubungan antara partai politik dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Hal itu dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya743, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 741 Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 37. F.S. Swantoro, Dinamika Politik Dalam Pemilihan Umum Era Orde Baru: 1971 – 1992, (Yogyakarta: PPS Ilmu Politik UGM, 1996), hal. 647. 743 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik Dan Golongan Karya, UU Nomor 3 Tahun 1985, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3285. 742 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 213 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dilaksanakan dengan PP Nomor 18 Tahun 1986. Berbagai upaya yang dilakukan terkait dengan penyederhanaan yang berujung pada fusi, pengawasan, dan pembatasan partai politik, merupakan langkah Orde Baru dalam melakukan penataan wadah kelembagaan politik. Sasaran selanjutnya adalah pembenahan isi atau individu yang berada di dalamnya. Hal itu dilakukan dengan membuat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang dikenal dengan P-4 dan dikukuhkan melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa.744 Program ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan tuntutan masyarakat agar partai politik dan Ormas menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, seperti telah digagas dan dikemukakan pemerintah pada awal Orde Baru. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 sudah ditentukan bahwa asas partai politik dan Golongan Karya adalah Pancasila dan UUD 1945.745 Namun demikian, karena masih mendapat penolakan, Undangundang tersebut masih memberikan ruang bagi partai politik untuk menggunakan asas atau ciri yang telah ada sebelumnya.746 Gagasan asas tunggal memperoleh keberhasilan yang dituangkan dalam GBHN 1983 dalam salah satu arah dan kebijaksanaan pembangunan bidang politik sebagai berikut.747 f. Peranan kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai-partai Politik dan Golongan Karya sangat penting artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta sebagai modal dasar pembangunan nasional. Dalam rangka ini dan demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, Partai Politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas… Ketentuan tentang penegasan Pancasila sebagai asas tunggal selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi 744 Ditetapkan pada 22 Maret 1978. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 746 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 747 Arah Dan Kebijaksanaan Pembangunan Nasional Bidang Politik, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. 745 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 214 Kemasyarakatan. Pada awalnya, ketentuan asas tunggal Pancasila ini menimbulkan pro dan kontra, baik dalam tubuh partai politik maupun dalam organisasi kemasyarakatan. Bahkan pro dan kontra tersebut melahirkan perpecahan di beberapa organisasi. Dengan keberhasilan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka perbedaan antara dua Partai Politik dan Golkar adalah pada program partai yang menguntungkan Golkar sebagai partai pemerintah yang menyuarakan pembangunan. Adanya pembatasan partai politik yang telah ditentukan oleh undangundang serta kekuasaan pemerintah yang besar terhadap partai politik melalui dominasi Golkar mengakibatkan pemilihan umum yang dilaksanakan selama masa Orde Baru menjadi sarana untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru. Seperti yang dinyatakan oleh Huntington, pemilihan umum menjadi perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum terhadap struktur dan kepemimpinan yang sedang berkuasa.748 Ketentuan yang membatasi hanya adanya tiga kekuatan politik menjadi salah satu ciri utama sistem politik Orde Baru hingga keruntuhannya. Pembatasan tersebut dengan sendirinya menunjukkan tidak adanya kebebasan berserikat yang merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi seperti pandangan Kelsen yang menyatakan bahwa esensi negara demokrasi yang harus ada adalah tidak adanya larangan pembentukan partai baru dan harus tidak ada partai politik yang diberi keistimewaan749 seperti PPP, PDI, dan Golkar di masa Orde Baru. Keistimewaan ketiga kekuatan politik tersebut dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan tentang pembentukan partai baru serta tidak adanya mekanisme pembubaran partai politik. Hal itu juga dibuktikan dengan sikap Orde Baru terhadap partai politik diluar PPP, PDI, dan Golkar yang sempat muncul di penghujung Orde Baru, yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan Partai Uni Demokrasi (PUDI). PRD merupakan partai yang dibentuk oleh aktivis mahasiswa yang semula tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dengan beberapa organisasi lainnya yang pertama kali dideklarasikan pada 2 Mei 1994. Semenjak pendiriannya, PRD tidak sempat melakukan upaya legalisasi 748 749 Huntington, Op. Cit., hal. 477 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 295. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 215 karena selalu berhadapan dengan tekanan aparat keamanan, hingga menerima tuduhan terlibat dalam kerusuhan 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta.750 Peristiwa tersebut diikuti munculnya Surat Keputusan Mendagri Nomor 201-221 Tahun 1997 yang membubarkan dan menyatakan PRD dan ormasormasnya sebagai Organisasi Terlarang (OT). Alasan pembubaran dan pelarangan adalah karena PRD tidak berasaskan Pancasila serta jiwa dan semangatnya bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap keputusan itu, Budiman Sudjatmiko selaku Ketua Umum PRD saat itu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta, namun diputus bahwa gugatan tidak dapat diterima.751 Terhadap putusan tersebut, tidak diajukan banding sehingga PRD tetap dinyatakan sebagai organisasi terlarang hingga berakhirnya kekuasaan Orde Baru. PUDI didirikan pada 29 Mei 1995. Walaupun menamakan diri sebagai partai politik, PUDI menolak penyelenggaraan pemilihan umum 1997 karena dipandang tidak dilaksanakan secara jujur dan adil dan hanya sebagai legitimasi kekuasaan Orde Baru. PUDI pada saat itu juga menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden. PUDI mencalonkan Sri Bintang Pamungkas dan Julius Usman sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden 1998–2003. Atas tindakantindakan tersebut, keduanya ditangkap dan dihukum atas dakwaan subversif.752 Selain tidak membuka ruang terbentuknya partai politik baru, sepanjang kekuasaan Orde Baru juga tidak hendak membubarkan tiga kekuatan politik yang ada dan diakui karena merupakan instrumen yang dibutuhkan oleh negara (manajerial). Partai politik diposisikan sebagai instrumen negara untuk menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik. Negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur partai politik bahkan mengintervensi struktur internal partai. Masalah kebebasan berserikat dalam partai politik hanya sedikit mendapatkan perhatian.753 750 Lihat, PRD, Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik (PRD) Menolak Takluk, tanpa tahun. Pep, Pemerintah Bubarkan dan Larang PRD, Kompas, 30 September 1997. 752 Zuhri, Lukas Luwarso, Partai Yang Tersungkur Sebelum Pemilu, http://www.forum.co.id/forum/redaksi/970324/24forut3.html, 31/05/2007. Lihat Juga Tempo Interaktif, Edisi 46/01 - 11/Jan/1997. 753 Persily & Cain, Op. Cit., hal. 4 751 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 216 4.5. PERATURAN PEMBEKUAN PENGURUS PARTAI POLITIK Dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, ketentuan tentang pembubaran partai politik yang diatur dengan Penpres Nomor 7 Tahun 1959754, Perpres Nomor 13 Tahun 1960755, dan Perpres Nomor 25 Tahun 1960756 dinyatakan tidak berlaku.757 Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975, ditetapkan PP Nomor 9 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik Dan Golongan Karya. Namun, baik di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 maupun PP Nomor 9 Tahun 1976, tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang pembubaran partai politik. Hal itu karena Undang-Undang tersebut telah menentukan bahwa organisasi kekuatan sosial politik hanya terdiri atas 3 organisasi, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Dengan sendirinya, telah tertutup kemungkinan adanya organisasi lain untuk diakui sebagai partai politik, sehingga tidak membutuhkan pengaturan tentang pendaftaran maupun pengakuan. Selain itu, penentuan tiga kekuatan politik juga menimbulkan konsekuensi bahwa ketiganya harus ada dalam sistem politik Indonesia. Oleh karena itu ketiganya tidak dapat dibubarkan. Pembubaran salah satu organisasi politik dengan sendirinya berarti pelanggaran terhadap Ketetapan MPR dan undangundang yang mendasari keberadaan PPP, PDI, dan Golkar. 4.5.1. Alasan dan Dasar Hukum Pembekuan Walaupun tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang pembubaran partai politik, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 diatur tentang larangan, pengawasan, dan pembekuan. Larangan bagi Partai politik dan Golkar sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 adalah sebagai berikut. a. menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme serta faham atau ajaran lain yang 754 Menjadi Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. 755 Menjadi Undang-Undang Nomor 13 Prps Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai. 756 Menjadi Undang-Undang Nomor 25 Prps Tahun 1960 tentang Perobahan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960. 757 Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 217 bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya; b. menerima bantuan dari pihak asing; c. memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat kepentingan Bangsa dan Negara. Selain larangan tersebut, partai politik dan Golkar diwajibkan mencantumkan asas dan tujuan yang telah ditentukan.758 Asas yang wajib dicantumkan adalah Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuan partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 adalah sebagai berikut.759 a. mewujudkan cita-cita Bangsa seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945; b. menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata spirituil dan materiil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c. mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila. Di samping itu, ditentukan pula kewajiban partai politik, yang di antaranya adalah melaksanakan, mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945.760 Pengawasan partai politik terkait dengan asas, kewajiban, dan larangan, dilakukan oleh Presiden. Untuk melaksanakan pengawasan tersebut, Presiden dapat meminta keterangan dari pengurus pusat partai politik dan Golkar.761 Dalam melaksanakan pengawasan tersebut Presiden dibantu oleh Menteri Dalam Negeri.762 Pembekuan pengurus partai politik diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 sebagai berikut. (1) (2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat membekukan Pengurus Tingkat Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang ternyata melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 7a dan Pasal 12 Undang-undang ini. Pembekuan yang dimaksud ayat (1) pasal ini dilakukan setelah mendengar keterangan dari Pengurus Tingkat Pusat yang bersangkutan dan sesudah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. 758 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 760 Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 761 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 762 Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1976. 759 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 218 Berdasarkan ketentuan tersebut, alasan pembekuan partai politik meliputi tiga aspek, yaitu aspek ideologi dan asas Pancasila, aspek ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, serta aspek pendanaan atau sumbangan. Terkait dengan asas Pancasila, pengurus pusat suatu partai politik dapat dibekukan jika tidak mencantumkan asas Pancasila sebagai salah satu asasnya walaupun mencantumkan asas atau ciri lain, serta harus melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. Dengan demikian alasan tersebut juga berlaku pada tingkat program dan kegiatan yang harus sesuai dengan Pancasila. Alasan lain adalah terkait dengan faham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk di dalamnya faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Faham atau ajaran tersebut baik pada tingkat “menganut” yang berarti sebagai ideologi atau asas, maupun “mengembangkan dan menyebarkan” yang berarti pada tingkat program dan kegiatan. Terhadap faham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila, tentu harus dibuktikan dua hal, yaitu apakah partai politik menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran dimaksud, serta apakah faham atau ajaran tersebut memang bertentangan dengan Pancasila. Alasan pembekuan pengurus selanjutnya adalah menerima bantuan dari pihak asing, atau memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat kepentingan bangsa dan negara. Alasan bantuan itu tentu terkait dengan masalah kedaulatan negara yang akan berkurang jika partai politik yang ikut menentukan kebijakan negara memiliki ikatan dengan pihak asing. Dengan demikian, apabila partai politik melanggar ketentuan tentang asas (Pasal 4), kewajiban (Pasal 7 huruf a), dan larangan (Pasal 12), maka Presiden dapat membekukan pengurus pusat partai politik atau Golkar setelah mendengar keterangan dari pengurus pusat dan mendengar pertimbangan Mahkamah Agung.763 Untuk memberikan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung mengadakan pemeriksaan mengenai persangkaan tersebut dan dapat mendengar keterangan dari pengurus pusat dan pihak lain.764 Berdasarkan ketentuan tersebut, sanksi yang diatur terhadap pelanggaran asas, kewajiban, dan larangan, adalah pembekuan pengurus, bukan pembekuan 763 764 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1976. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 219 organisasi. Pembekuan hanya dilakukan terhadap pengurus pusat. Sedangkan terhadap pengurus daerah berlaku ketentuan lain. Apabila pengurus tingkat daerah yang melakukan pelanggaran, maka Pengurus Pusat akan dimintai keterangan oleh Presiden dan diminta melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu. Langkah-langkah tersebut dapat berupa pemberian petunjuk, teguran, hingga pembekuan dan pembentukan pengurus sementara.765 Jika langkah-langkah tersebut tidak dilakukan, maka dengan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden dapat membekukan pengurus pusatnya.766 Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Perubahan tersebut di antaranya adalah penegasan bahwa Partai Politik dan Golongan Karya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.767 Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985, dibentuk PP Nomor 19 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985768. Ketentuan PP Nomor 19 Tahun 1986 mengatur lebih terperinci tentang kewajiban, larangan, pengawasan dan sanksi bagi partai politik. Di samping telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 bahwa partai politik dan Golkar berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas, juga ditegaskan bahwa partai politik dan Golkar tidak dibolehkan mencantumkan istilah atau pengertian lain yang dapat mengurangi atau mengaburkan maksud ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 PP Nomor 19 Tahun 1986 sebagai berikut. Partai Politik dan Golongan Karya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang wajib dicantumkan dalam Anggaran Dasar organisasi masing-masing, dan tidak dibolehkan mencantumkan istilah atau pengertian lain yang dapat mengurangi atau mengaburkan maksud ditetapkannya Pancasila sebagai satusatunya asas bagi Partai Politik dan Golongan Karya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 765 Penjelasan Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1976. Lihat Penjelasan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 767 Pasal I Angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 yang mengubah Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 768 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985, PP Nomor 19 Tahun 1986, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3332. 766 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 220 Hal itu berarti pencantuman asas yang menjadi ciri partai di samping asas Pancasila yang sebelumnya masih dibolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 menjadi hal yang dilarang dan apabila dilanggar dapat menjadi salah satu alasan pembekuan pengurus partai politik. Bahkan program partai juga tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan asas Pancasila.769 4.5.2. Prosedur Pembekuan Pasal 17 PP Nomor 19 Tahun 1986 mengatur prosedur pembekuan pengurus partai politik sebagai berikut. (1) Apabila terdapat petunjuk Partai Politik atau Golongan Karya melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 7 huruf a, dan Pasal 12 Undang-undang, Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat memberikan peringatan/teguran kepada Pengurus Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang bersangkutan. (2) Apabila peringatan/teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diindahkan oleh Partai Politik atau Golongan Karya yang bersangkutan, maka Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat memberitahukan adanya tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Mahkamah Agung dengan menyerahkan surat, dokumen atau bahan bukti lain yang memperkuat adanya tindakan pelanggaran tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut proses pembekuan didahului dengan peringatan dari Presiden. Apabila terdapat petunjuk bahwa partai politik dan Golkar melakukan tindakan yang bertentangan dengan asas (Pasal 4), tujuan (Pasal 7 huruf a), dan larangan (Pasal 12) yang ditentukan undang-undang, Presiden memberikan peringatan kepada pengurus pusat. Apabila peringatan itu tidak diindahkan, Presiden memberitahukan adanya pelanggaran tersebut kepada Mahkamah Agung dengan menyerahkan surat, dokumen, dan bahan bukti lain. Mahkamah Agung melakukan penelitian terhadap dokumen dan bukti tersebut, serta jika perlu dapat mendengar keterangan dari pengurus pusat partai politik atau Golkar dan pihak lain. Setelah melakukan penelitian tersebut, Mahkamah Agung menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden.770 Setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung, Presiden dapat membekukan pengurus pusat partai politik atau Golkar, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP Nomor 19 Tahun 1986 berikut ini. 769 770 Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 1986. Pasal 18 PP Nomor 19 Tahun 1986. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 221 (1) Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung dapat mengambil keputusan yang menyatakan pembekuan Pengurus Tingkat Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang bersangkutan. (2) Keputusan pembekuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Pengurus Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang bersangkutan serta diumumkan dalam Berita Negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, pertimbangan MA bersifat tidak mengikat, karena tidak disebutkan bahwa pertimbangan MA yang didengar dan dapat menjadi dasar pembekuan adalah pertimbangan yang menyatakan bahwa suatu partai politik atau Golongan Karya terbukti melakukan pelanggaran. Sebaliknya kata “dapat mengambil keputusan yang menyatakan pembekuan” juga berarti bahwa kalaupun MA memberikan pertimbangan bahwa suatu partai politik atau Golongan Karya telah melakukan pelanggaran, Presiden dapat saja tidak membekukan pengurus partai politik atau Golongan Karya dimaksud. Jika pengurus daerah yang melakukan pelanggaran, Presiden dapat meminta keterangan kepada pengurus pusatnya. Pengurus pusat wajib mengambil langkah penertiban. Jika tidak dilakukan Presiden dapat membekukan pengurus pusat setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung.771 Pembekuan pengurus pusat mengakibatkan pengurus partai yang bersangkutan, termasuk pengurus daerah tidak dibenarkan menjalankan kegiatan organisasi.772 Pembekuan akan dicairkan jika menurut pandangan Presiden telah terdapat alasan yang cukup, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP Nomor 1986 berikut ini. Apabila Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat memandang telah terdapat cukup alasan untuk mencairkan kembali Pengurus Tingkat Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang dibekukan, Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat mengambil keputusan pencairan dan disampaikan kepada Pengurus Tingkat Pusat Partai Politik atau Golongan Karya yang bersangkutan serta diumumkan dalam Berita Negara. Walaupun terdapat ketentuan tentang pembekuan, namun hal itu tidak dimaksudkan untuk menghilangkan eksistensi partai politik dan Golkar, karena pembekuan hanya dilakukan terhadap pengurus pusat partai dan dapat dicairkan kembali. Kewenangan pembekuan sepenuhnya ada di tangan Presiden, walaupun 771 772 Pasal 20 PP Nomor 19 Tahun 1986. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 1986. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 222 ditentukan dengan mendengar pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, seperti pada masa Orde Lama, pertimbangan MA tidak mengikat. Dengan demikian, pembekuan tidak ditentukan oleh putusan pengadilan, tetapi oleh keputusan Presiden, yang juga menjadi Dewan Pembina Golkar dengan kekuasaan yang besar. Hal itu mengakibatkan partai politik tidak dapat berfungsi sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat, serta tidak mampu menjamin berjalannya mekanisme demokrasi. Sebaliknya, partai politik menjadi sarana legitimasi bagi kekuasaan. Mengingat tidak adanya kemungkinan pembubaran partai politik pada masa Orde Baru, dengan sendirinya tidak ada pula ketentuan yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik, baik terkait dengan keanggotaan partai politik pada lembaga perwakilan maupun harta kekayaan partai politik. Partai politik yang pengurusnya dibekukan tidak membawa akibat terhadap keanggotaan partai di lembaga perwakilan dan harta kekayaan partai politik karena partai politik itu sendiri belum hilang statusnya sebagai badan hukum. Berdasarkan uraian pada bab ini menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru pernah berlaku dua ketentuan hukum yang mengatur partai politik dalam kurun waktu yang berbeda, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang juga berlaku pada masa Orde Lama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Ketentuan pertama berlaku pada masa awal Orde Baru, sedangkan ketentuan kedua berlaku sesudahnya hingga akhir Orde Baru. Namun, pembubaran PKI yang dilakukan pada awal Orde Baru tidak dilakukan berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pembubaran dilakukan melalui Keputusan Presiden yang ditandatangani oleh Pengemban Supersemar tanpa ada pertimbangan MA. Dasar Hukum Keputusan Presiden tersebut adalah Supersemar. Pembubaran tersebut dikuatkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Alasan pembubaran dalam ketetapan tersebut adalah karena komunisme dinilai bertentangan dengan Pancasila dan penganutnya telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan yang sah dengan jalan kekerasan. Selain itu, juga terjadi pembekuan partai politik yang tidak dikenal dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pembekuan tersebut hingga saat ini tidak pernah Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 223 dicairkan kembali sehingga akibat hukumnya sama dengan pembubaran. Tindakan pembekuan tersebut dapat disamakan dengan tindakan pembekuan Partai Murba pada masa Orde Lama yang juga tidak dikenal dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Peristiwa pembubaran dan pembekuan di awal Orde Baru menunjukkan bahwa pembubaran partai politik pada saat itu dilakukan tidak menggunakan aturan hukum yang berlaku dan semata-mata lebih mengedepankan kekuasaan negara. Mekanisme tersebut tidak sesuai dengan prinsip pembubaran partai di negara hukum dan demokrasi yang mengharuskan dilakukan berdasarkan ketentuan hukum melalui proses pengadilan berdasarkan prinsip due process of law dan pengadilan yang fair. Hal itu berbeda dengan proses pembubaran Partai Masyumi dan PSI pada masa Orde Lama yang dilakukan dengan mekanisme sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Pada kurun waktu kedua, berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 yang dibentuk pada masa menguatnya kekuatan politik Golkar dan ABRI menggantikan kekuatan partai politik. Arah pengaturan partai politik adalah penderhanaan partai politik sebagai salah satu bentuk konsensus nasional. Penyederhanaan tersebut dilakukan dengan mengurangi jumlah partai politik melalui kebijakan fusi partai politik, pembatasan, dan intervensi terhadap partai politik. Penyederhaan ini berbeda dengan masa Orde Lama yang dilakukan dengan proses pengakuan dan memperketat syarat-syarat pembentukan partai politik namun tetap membuka kesempatan pembentukan partai politik baru. Kebebasan berserikat sangat dibatasi dengan menentukan hanya terdapat tiga peserta pemilu, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Selain ketiga organisasi tersebut, tidak dapat dibentuk partai politik lain. Hal itu menempatkan ketiga organisasi tersebut tidak saja sebagai badan hukum, tetapi juga organ negara karena harus ada sebagaimana ditentukan undang-undang. Dengan demikian hukum negara melarang pembentukan partai politik baru dan memberi keistimewaan terhadap tiga organisasi politik sehingga dari sisi pengaturan tersebut Orde Baru adalah rejim otokratis. Hukum negara sebagai total legal order tidak hanya menentukan elemen material tetapi juga elemen personal dari partial legal order. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 224 Keistimewaan terhadap tiga organisasi politik yang ditentukan berdasakan undang-undang dikuatkan tidak adanya ketentuan yang mengatur pembubaran organisasi tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa ketiganya tidak dapat dibubarkan. Sanksi yang ditentukan adalah pembekuan pengurus pusat partai politik dan Golkar yang menjadi wewenang Presiden dengan pertimbangan MA. Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang mengenal adanya ketentuan pembubaran partai politik tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur pembekuan pengurus partai politik. Namun demikian mekanisme pembubaran pada masa Orde Lama dan pembekuan pengurus pada masa Orde Baru memiliki kesamaan, yaitu dilakukan oleh Presiden setelah mendengar pertimbangan MA. Alasan pembekuan adalah pelanggaran terhadap ideologi Pancasila dan terkait dengan pendanaan dari pihak asing. Pembekuan tersebut akan dicairkan kembali jika Presiden menilai telah terdapat alasan yang cukup. Tindakan pembekuan pengurus pusat ini tidak dapat dikategorikan sebagai pembubaran karena eksistensi hukum partai politik tetap ada. Pembekuan hanya berarti pengurus pusat tidak dapat menjalankan aktivitas organisasi untuk sementara waktu. Apabila dicairkan kembali, pengurus pusat organisasi politik yang dibekukan tersebut kembali aktif menjalankan organisasi dengan badan hukum yang sama. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. BAB V PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA REFORMASI 5.1. REFORMASI DAN DEMOKRATISASI POLITIK 5.1.1. Akhir Pemerintahan Presiden Soeharto Kekuasaan Presiden Soeharto sepanjang 30 tahun Orde Baru mulai goyah pada saat bangsa Indonesia didera oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi serta krisis multidimensi. Nilai tukar rupiah terhadap dolar terus menurun dan tidak dapat dipertahankan lagi sehingga Bank Indonesia pada 14 Agustus 1997 mengambil kebijakan nilai tukar mengambang. Upaya tersebut ternyata tidak membawa hasil sehingga pada Juli 1997 nilai tukar rupiah turun drastis dari Rp2.432,00 menjadi Rp3.000,00 per dolar Amerika.773 Bahkan nilai rupiah mencapai Rp17.000,00 per dolar Amerika pada Januari 1998.774 Krisis moneter merontokkan sendi-sendi perekonomian nasional yang berujung pada krisis ekonomi. Banyak perusahaan nasional gulung tikar sehingga mengakibatkan meningkatnya pengangguran. Pemerintah bahkan terpaksa menutup 16 bank yang dinyatakan tidak sehat dan tidak mungkin diselamatkan.775 Hal itu memicu keresahan masyarakat karena menurunnya daya beli bersamaan dengan meningkatnya harga barang dan kebutuhan pokok yang juga mengalami kelangkaan. Kondisi itu melahirkan krisis sosial yang meluas dan menyentuh semua sendi kehidupan bangsa, termasuk politik. Pemerintahan mengalami krisis kepercayaan masyarakat sehingga semakin memperkuat tuntutan untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru. Pemerintahan yang sedang berkuasa dipandang tidak mampu mengatasi krisis nasional. Saat itu pemerintah juga dipandang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.776 773 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta: THC Mandiri, 2006), hal. 2. 774 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000), hal. 39. 775 Peningkatan pengangguran terbuka dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 3. 776 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 41-42. 225 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 226 Kondisi krisis nasional merupakan momentum terjadinya perubahan mengikuti kuatnya tuntutan keterbukaan dan demokratisasi di penghujung Orde Baru. Salah satu tuntutan yang utama adalah mundurnya Presiden Soeharto. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa terjadi dengan intensitas tinggi di seluruh wilayah Indonesia dengan massa yang besar. Demonstrasi sering diikuti oleh konflik kekerasan antara massa dan aparat keamanan. Krisis sosial dan politik semakin meningkat setelah pada 12 Mei 1998 terjadi demonstrasi di kampus Tri Sakti yang dihadapi oleh aparat keamanan dengan kekerasan sehingga menimbulkan korban tewas dari kalangan mahasiswa. Peristiwa tersebut memicu kerusuhan besar di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998 serta meluas ke daerah-daerah.777 Presiden Soeharto yang pada saat peristiwa kerusuhan berada di Kairo untuk menghadiri pertemuan G-15, setibanya kembali di Indonesia berupaya melakukan langkah-langkah untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Langkah itu antara lain adalah merencanakan pembentukan Komite Reformasi dan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII yang rencananya akan diumumkan pada 19 Mei 1998. Namun rencana tersebut tidak terlaksa karena tidak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh nasional yang akan dilibatkan di dalamnya.778 Demonstrasi mahasiswa menuntut mundurnya Presiden Soeharto semakin menguat. Mulai 18 Mei 1998, gedung DPR/MPR diduduki oleh ribuan mahasiswa. Pada hari tersebut, pimpinan MPR juga mengeluarkan pernyataan meminta pengunduran diri Soeharto, Presiden yang dipilih oleh MPR sendiri pada 1997.779 Akhirnya, Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden B. J. Habibie, sesuai dengan 777 Pusat Penerangan ABRI melaporkan jumlah korban tewas mencapai 500 orang. Lihat, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 7. 778 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 44. Tokoh-tokoh yang diundang untuk membicarakan Komite Reformasi dan pelaksanaan pemilihan umum yang dipercepat pada 19 Mei 1998 adalah KH. Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Najib, Nurcholish Madjid, KH. Ali Yafie, Abdul Malik Fadjar, Sutrisno Mudham, KH. Cholil Baidlowi, KH. Ma’ruf Amin, dan Ahmad Bagja. Sementara itu, 13 menteri Kabinet Pembangunan VII yang dipimpin oleh Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyatakan tidak bersedia untuk menjadi menteri pada Kabinet Reformasi yang akan dibentuk. Lihat, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 19 dan 33. 779 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 44. Keterangan Pers disampaikan oleh Ketua DPR/MPR Harmoko dengan didampingi oleh para Wakil Ketua, yaitu Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Achmad. Lihat pula, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 15 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 227 ketentuan Pasal 8 UUD 1945780, menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Berhentinya Presiden Soeharto membuka kesempatan dilakukannya reformasi menuju demokrasi di Indonesia. 781 5.1.2. Reformasi dan Demokratisasi Untuk memenuhi tuntutan reformasi yang semakin kuat dan menyelesaikan krisis ketatanegaraan, dilakukan Sidang Istimewa MPR 1998. Salah satu hasil dari Sidang Istimewa MPR adalah Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara782 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemilihan umum selambat-lambatnya Juni 1999.783 Ketetapan itu juga menugaskan Presiden RI, B.J. Habibie untuk tetap melanjutkan dan memantapkan pembangunan, melaksanakan Ketetapan MPR, serta mempertanggungjawabkannya kepada MPR dalam Sidang Umum MPR 1999.784 Sebelum itu, pada 23 Mei 1998 terdapat tokoh-tokoh yang meminta kepada Presiden agar pemilihan umum dilakukan dengan segera, tidak lebih dari 3 bulan setelah Habibie menjadi Presiden. Namun usulan itu tidak dapat diterima karena Presiden Habibie menilai bahwa untuk melaksanakan pemilihan umum diperlukan persiapan yang baik. Selain itu, juga dibutuhkan waktu bagi partaipartai politik baru untuk memasyarakatkan aspirasi dan wawasannya.785 Dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 salah satu kebijakan bidang politik adalah penegakan kedaulatan rakyat. Salah satu agenda yang akan dijalankan adalah menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan 780 Pasal 8 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. 781 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.248. 782 Haluan negara sebelumnya, yaitu GBHN yang ditetapkan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. 783 Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, Bidang Politik, Angka 1, Huruf b Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. 784 Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998. 785 Tokoh-tokoh yang menyampaikan permintaan tersebut adalah Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan John Sapi’ie. Lihat, Bacharuddin Jusuf Habibie, Op. Cit., hal. 111 dan 112. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 228 dengan Pancasila. Hal itu dituangkan dalam Bab IV Bidang Politik, angka 2, huruf b, sebagai berikut. 2. Pelaksanaan Reformasi di bidang politik ditujukan pada usaha penegakan kedaulatan rakyat sebagai jalan pemecahan krisis nasional di segala bidang dengan skala prioritas. Agenda yang harus dijalankan adalah: a. … b. Menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Arah kebijakan tersebut merupakan dasar penghapusan asas tunggal. Partai politik yang sebelumnya harus hanya menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, berdasarkan kebijakan tersebut dapat memiliki asas, ciri, atau aspirasi yang beragam dengan batasan tidak bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, terkait dengan keberadaan Partai Golkar yang semasa Orde Baru menjadi partai pemerintah, Presiden Habibie melakukan perubahan mendasar. Dalam Munaslub Partai Golkar pada 9 sampai 11 Juli 1998, Habibie memberikan arahan kebijakan sebagai berikut.786 1. seluruh pegawai negeri yang merangkap jabatan struktural di Golkar segera ditarik. Kebijakan itu sejalan dengan usaha melepaskan birokrasi dari salah satu kekuatan politik; 2. dalam Partai Golkar tidak ada lagi Keluarga Besar Golkar dari jalur A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar); 3. Korpri tidak boleh memihak Golkar atau partai politik lain, dan harus memerhatikan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri; dan 4. semua partai politik, termasuk Partai Golkar harus menjadi lebih mandiri dan kredibel. Untuk pelaksanaan pemilihan umum 1999, MPR membuat Ketetapan Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Salah satu ketentuan yang diubah adalah Pasal 3 Ayat (1) yang semula menyatakan bahwa pemilihan umum 786 Ibid., hal. 145. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 229 diikuti oleh tiga organisasi kekuatan politik, yaitu Golongan Karya, PDI, dan PPP, menjadi sebagai berikut.787 (1) Pemilihan Umum yang dimaksud dalam Ketetapan ini diikuti oleh partaipartai politik yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kebijakan pembatasan partai politik telah berakhir. Sehingga masyarakat dapat membentuk partai politik selain Golongan Karya, PDI, dan PPP. Partai-partai politik yang dibentuk masyarakat memiliki hak yang sama untuk mengikuti pemilihan umum setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, salah satu kebijakan pemerintahan pada masa awal reformasi adalah pembangunan sistem politik yang demokratis dan konstitusional dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membentuk partai politik dan tidak membatasi peserta pemilihan umum.788 Hal itu juga dikemukakan oleh Presiden Habibie ketika memberikan keterangan pemerintah tentang RAPBN 1999/2000 pada Sidang Paripurna DPR 5 Januari 1999 sebagai berikut.789 Pemberian kesempatan munculnya partai-partai baru yang pada gilirannya akan menghasilkan sistem multipartai, merupakan respon kita terhadap luasnya tuntutan masyarakat akan kebebasan politik. Dalam era reformasi ini, kebebasan politik memang harus dijamin dan diatur dalam serangkaian produk perundangundangan. Pelaksanaan pemilihan umum menurut Habibie adalah untuk memperbaiki legitimasi DPR/MPR yang saat itu merupakan DPR/MPR yang dipilih melalui pemilihan umum 1997 dengan peserta yang dibatasi hanya tiga organisasi. Hal itu mengakibatkan legitimasi hasil pemilihan umum 1997 dipertanyakan sehingga menimbulkan ketidakstabilan. Oleh karena itu, pada pemilihan umum selanjutnya akan diberikan kesempatan kepada semua partai politik yang telah memenuhi kreteria untuk menjadi peserta pemilihan umum.790 787 Pasal I Angka 5 Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998. Lihat, Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hal. 155. 789 Lihat, A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Sistem Multi Partai: Prospek Politik Pasca 2004, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), hal. 86. 790 Bacharuddin Jusuf Hibibie, Op. Cit., hal. 108. 788 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 230 Untuk melaksanakan pemilihan umum 1999, dibuat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik791, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum792, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD793. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah membuka keran lahirnya banyak partai politik.794 Dengan datangnya demokratisasi politik yang menjamin kebebasan berserikat, khususnya pembentukan partai politik, pada 1998 hingga 1999 bermunculan berbagai partai politik baru. Terdapat 141 partai politik yang mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Departemen Hukum dan HAM. Banyaknya partai politik dari sisi politik berbanding lurus dengan proses demokratisasi, apalagi untuk kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebaliknya matinya partai politik memiliki hubungan dengan tidak adanya demokratisasi.795 Adanya kebebasan mendirikan partai politik dan tidak adanya partai politik yang diberikan keistimewaan tersebut merupakan salah satu esensi dari negara demokrasi.796 Partai politik relatif lebih bebas dari kontrol negara dan memiliki kesempatan yang sama adalah dua prinsip utama sistem kepartaian di negara demokrasi.797 Untuk melaksanakan pemilihan umum 1999, dibentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (PPPKPU), yang di samping bertugas membentuk Komisi Pemilihan Umum juga untuk melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap partai politik yang akan mengikuti pemilihan 791 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809. 792 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 3 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810. 793 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 4 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811. 794 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2001), hal. 166. 795 Kacung Marijan, “Partai Baru, Electoral Treshold, dan Masa Depan Sistem Multi partai”, Jurnal Politika, Op. Cit., hal. 36-37. 796 Kelsen, Op. Cit., hal 295 797 Barendt, Op. Cit., hal. 155 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 231 umum.798 Proses verifikasi tersebut menghasilkan 48 partai politik yang dapat mengikuti pemilihan umum 1999.799 Pemilihan umum 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999 menghasilkan 21 partai yang memperoleh kursi di DPR.800 Namun demikian, hanya terdapat 6 partai yang perolehannya di atas 10 kursi, yaitu PDIP (153), Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (34), dan PBB (13). Penetapan hasil pemilihan umum sempat menimbulkan konflik dan terdapat 27 partai politik yang tidak menandatangi hasil pemilihan umum801. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum menentukan bahwa untuk dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya, partai politik harus memiliki sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR, atau sekurang-kurangnya 3% kursi dari jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.802 Berdasarkan ketentuan tersebut, dilihat dari perolehan kursi DPR, partai politik yang lolos electoral treshold dan dapat mengikuti pemilihan umum 2004 adalah PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB. Agenda setelah pemilihan umum adalah Sidang Umum MPR 1999. Melalui Sidang Umum MPR tersebut, kebebasan partai politik kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Salah satu arah kebijakan bidang politik GBHN 19992004 adalah mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang 798 PPPKPU terdiri atas Nurcholish Madjid (Ketua), Adnan Buyung Nasution (Wakil Ketua), Adi Andoyo Sutjipto (Wakil Ketua), Andi Malarangeng (Sekretaris), Rama Pratama (Wakil Sekretaris), dengan anggotaanggotanya adalah; Afan Gaffar, Mulyana W. Kusumah, Miriam Budiardjo, Kastorius Sinaga, Eep Saifullah Fatah, dan Anas Urbaningrum. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik, Op. Cit., hal. 197-198. 799 Menurut Kompas, hingga 1999 terdapat 184 partai yang didirikan namun hanya 148 yang mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM, dan 141 yang mendapatkan pengesahan. Dari jumlah tersebut 48 partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum 1999. Lihat, Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, Jurnal Politika, Op. Cit., hal. 23. 800 Partai-partai yang memperoleh kursi adalah PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, PK, PKP, PNU, PDKB, PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, IPKI, PKU, Masjumi, dan PKD. 801 Ke-27 partai tersebut adalah PDI, Masyumi, PNI Supeni, PKNI, Partai KAMI, PKD, Partai Abdul Yatama, Partai MKGR, PIB, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, PNBI, PUDI, PBN, PKMI, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, PSPSI, PUMI, PSP, dan PRI. 802 Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 232 menghormati keberagaman aspirasi politik.803 Selain itu juga ditekankan pentingnya kemandirian partai politik dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat804. Sidang Umum MPR 1999 juga berhasil memilih Presiden yang baru, yaitu Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden terpilih adalah Megawati Soekarno Putri. Namun Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR melalui Sidang Istimewa Tahun 2001 pada 23 Juli 2001. Sidang Istimewa tersebut memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid805, dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden806, serta memilih Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden807. Walaupun menjalankan terjadi agenda pergantian reformasi kekuasaan, tetap berjalan. namun Di langkah antaranya untuk adalah dilaksanakannya perubahan terhadap UUD 1945 yang merupakan salah satu tuntutan reformasi. Perubahan terhadap materi UUD 1945 dapat dikatakan telah dimulai pada Sidang Istimewa MPR 1998, yaitu dengan adanya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Hal itu secara tidak langsung telah mengubah dan menambah materi UUD 1945. Semua kekuatan fraksi dalam MPR hasil pemilihan umum 1999 mendukung dilakukannya perubahan UUD 1945, termasuk fraksi TNI/Polri808. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap mulai 1999 hingga 2002 oleh MPR. Partai politik, yang sebelumnya tidak disebut dalam UUD 1945, masuk dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga809, yaitu pada ketentuan yang 803 Bab IV Arah Kebijakan, Huruf C Bidang Politik, Angka 1 Politik Dalam Negeri, huruf d, GBHN 19992004. 804 Bab IV Arah Kebijakan, Huruf C Bidang Politik, Angka 1 Politik Dalam Negeri, huruf e, GBHN 19992004. 805 Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. 806 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. 807 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. 808 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Op. Cit., hal. 51-55 dan 83-114. 809 Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, 9 November 2001. Sidang Tahunan MPR diselenggarakan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 233 terkait dengan pemilihan Presiden810, wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran partai politik811, dan tentang pemilihan umum anggota DPR dan DPRD812. Pemilihan umum kedua pada masa reformasi dilaksanakan pada tahun 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik813; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD814; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;815 dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden816. Pada pemilihan umum 2004, terdapat 80 partai politik yang mendaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. Namun setelah melalui proses verifikasi, hanya terdapat 50 partai politik yang lolos dan didaftar menjadi badan hukum. 50 partai politik tersebut mendaftarkan diri menjadi calon peserta pemilihan umum. Setelah dilakukan verifikasi oleh KPU, 24 partai politik lolos sebagai peserta pemilihan umum 2004.817 Pada pemilihan umum 2004 terdapat 17 partai politik yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Di antaranya, terdapat 10 partai yang memperoleh lebih dari 10 kursi, yaitu Partai Golkar (128), PDIP (109), PPP (58), PD (57), PAN (52), PKB (52), PKS (45), PBR (13), PDS (12), dan PBB (11). 810 Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. 812 Pasal 22E Ayat 93) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan mengenai partai politik dalam UUD 1945 ini, jumlah konstitusi yang menyebutkan partai politik di dalamnya menjadi 73 konstitusi. Namun pengaturan dalam UUD 1945 hasil perubahan tidak secara mendetail. 813 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 31 Tahun 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251. 814 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 12 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277. 815 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 22 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310. 816 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 23 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4311. 817 KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 105 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penelitian dan Penetapan Partai Politik Menjadi Peserta Pemilihan Umum yang kemudian diubah dengan Keputusan KPU Nomor. 615 Tahun 2003. Ke-24 partai politik peserta pemilihan umum 2004 tersebut adalah PNI Marhaenis, Partai Buruh Sosial Demokrat, PBB, Partai Merdeka, PPP, PPDK, PPIB, PNBK, Partai Demokrat, PKPI, PPDI, PPNUI, PAN, PKPB, PKB, PKS, PBR, PDIP, PDS, Partai Golkar, Partai Patriot, PSI, PPD, dan Partai Pelopor. 811 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 234 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan bahwa partai politik yang dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya (2009) adalah yang memperoleh sekurangkurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 4% dari jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah provinsi atau kabupaten/kota.818 Dengan demikian, berdasarkan perolehan kursi DPR, partai politik yang seharusnya dapat mengikuti pemilihan umum 2009 adalah Partai Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS, dan PAN.819 Selain memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kalinya dilangsungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945.820 Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% jumlah kursi DPR atau 20% perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPR.821 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 diikuti oleh 5 pasangan calon, yaitu; (1) Wiranto dan Salahuddin Wahid yang diajukan Partai Golkar; (2) Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi yang diajukan PDIP; (3) Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo yang diajukan PAN; (4) Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yusuf Kalla yang diajukan Partai Demokrat; dan (5) Hamzah Haz dan Agum Gumelar yang diajukan PPP. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada 5 Juli 2004. Namun tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dan 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi untuk menjadi pasangan calon terpilih, sesuai dengan ketentuan Pasal 6A Ayat (3) UUD 818 Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. 819 Ketentuan ini berubah seiring dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang di dalamnya mengubah electoral trashold menjadi parliamentary trashold dan adanya ketentuan peralihan. 820 Hasil perubahan ketiga UUD 1945. Pasal 5 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 821 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 235 1945. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, yaitu pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla (33,57%), dan pasangan calon Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi (26,61%). Pemilihan putaran kedua dilaksanakan pada 20 September 2004 yang menghasilkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammah Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2004-2009. Walaupun kehidupan partai politik sangat marak, namun terdapat pula pandangan yang melihat sisi negatif partai politik dan sistem kepartaian yang berkembang. Banyaknya partai politik menjadi permasalahan tersendiri dalam upaya menjalin kerja sama menuju sinergi nasional. Sistem multi partai dipandang sulit mewujudkan pemerintahan yang stabil, meskipun dalam sistem pemerintahan presidensiil.822 Di sisi lain, banyak partai-partai yang ada dinilai kurang mengakar, organisasinya rapuh sehingga sering mengalami konflik internal, kualitas kader yang kurang baik, serta kepemimpinan yang kurang demokratis.823 Selain itu, kinerja partai politik selama masa reformasi juga mendapat banyak sorotan. Sebagai ilustrasi, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menunjukan rata-rata 30,83% responden menyatakan kecewa terhadap kiprah partai politik yang dipilih pada pemilihan umum 2004. Sedangkan yang menyatakan tidak kecewa sebesar 60,14%, dan yang tidak menjawab sebesar 8,95%. Dilihat dari kepuasan terhadap kinerja pimpinan partai, 49,84% menyatakan tidak puas, 39,69% menyatakan puas, dan 17,62% tidak menjawab.824 5.1.3. Upaya Penyederhanaan Partai Politik Sejak awal masa reformasi telah disadari bahwa sistem kepartaian yang sesuai dengan kondisi Indonesia adalah sistem multi partai sederhana. Hal itu diwujudkan dalam bentuk peraturan yang mengarahkan penyederhanaan partai politik, baik melalui political engineering by legal process yaitu syarat 822 Sulastomo, “Membangun Sistem Politik Bangsa”, dalam St. Sularto (ed)., Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jacob Utama, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 62. 823 A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Op. Cit., hal 88-89. Bandingkan dengan, Mam, “Maswadi Rauf: Parpol Belum Siapkan Kader”, Harian Kompas, 12 Maret 2004; dan J. Kristiadi, “Menuju Terwujudnya Sistem Partai Kartel?”, Harian Kompas, Senin, 9 Mei 2005. 824 Data Kompas diolah. Lihat, “Jajak Pendapat ‘Kompas’: Menuju Pemilu 2009 dengan Menyeret Luka”, Harian Kompas, Sabtu, 7 Mei 2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 236 pembentukan, political engineering by beurocratic/administrative process melalui verifikasi administrasi dan faktual, maupun political engineering by electoral process melalui ketentuan electoral treshold.825 Namun, sistem multi partai sederhana yang dikehendaki belum dapat sepenuhnya terwujud, walaupun jika dilihat dari jumlah partai peserta pemilihan umum telah mengalami kecenderungan penurunan, dari 48 partai pada pemilihan umum 1999 menjadi 24 pada 2004.826 Selain itu juga ditunjukkan adanya koalisi partai dalam pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan umum 2004. Hal itu dipandang pengamat cukup menggembirakan karena sejarah partai politik di Indonesia menunjukkan sulitnya kerja sama antar partai.827 Oleh karena itu, upaya mewujudkan sistem multi partai sederhana melalui mekanisme hukum dan politik yang tidak melanggar hak berserikat menjadi salah satu permasalahan dalam pembahasan RUU Partai Politik dan RUU Pemilihan Umum. Upaya penyederhanaan partai politik juga dikemukakan oleh kalangan partai politik, utamanya partai politik besar. Pramono Anung misalnya, menyatakan bahwa sudah saatnya melakukan penyederhaan partai politik. Sistem kepartaian harus stabil dan tidak lagi dipenuhi partai-partai seumur jagung yang akan berganti baju pada pemilihan umum berikutnya. Idealnya partai politik di Indonesia jumlahnya 4 sampai 7 partai politik.828 Salah satu mekanisme yang digunakan adalah adanya ketentuan batas minimal suara yang harus diperoleh suatu partai politik sebagai syarat untuk dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya, untuk dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, serta mencalonkan pasangan kepala daerah dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Upaya penyederhanaan partai politik tersebut menjadi salah satu permasalahan dalam pembahasan RUU Partai Politik dan RUU Pemilihan Umum yang akan menjadi landasan hukum pelaksanaan pemilihan umum. Selain 825 Mukthie Fadjar, Mahkamah Konstitusi, Partai Politik, dan Pemilu, makalah disampaikan pada Sarasehan dan Lokakarya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bagi fungsionaris Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jakarta, 31 Agustus 2007., hal. 5-6. 826 Jumlah ini meningkat lagi pada Pemilu 2009, yaitu 44 Partai Politik. 827 Lihat, 69J, “Analisis Maswadi Rauf: Kemungkinan Koalisi Partai”, Harian Suara Merdeka, Sabtu 10 April 2004. 828 Pramono Anung, “Menyederhanakan Sistem Kepartaian”, Harian Kompas, 23 November 2005. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 237 menggunakan sarana electoral treshold829, Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDIP juga mengusulkan perubahan besaran daerah pemilihan dan diterapkannya parliamentary treshold, yaitu batas minimal suara yang diperoleh untuk dapat memperoleh kursi parlemen. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin bahwa hanya partai yang mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat yang berhak duduk di parlemen.830 Namun demikian fraksi-fraksi yang tidak terlalu besar keberatan terhadap usulan tersebut. Bahkan Fraksi PKS menghendaki electoral treshold tidak terlalu tinggi untuk menjamin partisipasi politik demokrasi yang lebih luas.831 Pada akhirnya yang disetujui adalah parliamentary treshold sebesar 2,5 persen. 5.2. PERATURAN MENGENAI PARTAI POLITIK Pada sub bab ini akan dideskripsikan ketentuan-ketentuan materi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur partai politik pada masa reformasi. Pada sub bab berikutnya akan dibahas lebih mendalam pengaturan terkait dengan pembubaran partai politik. 5.2.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang pertama kali secara khusus mengatur partai politik pada masa reformasi adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, partai politik diakui sebagai sarana yang sangat penting arti, fungsi, dan perannya. Partai politik merupakan wujud kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.832 Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman masyarakat Indonesia dengan sendirinya akan melahirkan berbagai macam partai 829 Menurut Kacung Marijan, dalam literatur politik arti electoral treshold berarti dukungan minimal yang harus dimiliki oleh partai politik atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen. Lihat, Kacung Marijan, Op. Cit., hal. 47. 830 Ketentuan mengenai parliamentary treshold selanjutnya diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 831 Lihat, DIK/VIN, “Penyederhanaan Partai Jadi Titik Perhatian”, Harian Kompas, Rabu, 12 September 2007. 832 Lihat konsideran “Menimbang” Huruf c, UU Nomor 2 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 238 politik.833 Oleh karena itu ditegaskan bahwa negara tidak membatasi jumlah partai politik.834 Bahkan, setiap partai politik dapat mempunyai ciri, aspirasi, dan program sendiri yang tidak bertentangan dengan Pancasila.835 Setiap partai politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat, serta bersifat mandiri.836 Materi muatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang syarat-syarat pembentukan; tujuan; fungsi, hak, dan kewajiban; keanggotaan dan kepengurusan; keuangan; serta pengawasan dan sanksi. Partai politik didirikan sekurang-kurangnya oleh 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun.837 Partai politik yang dibentuk tersebut harus memenuhi syarat; (a) mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam anggaran dasar partai; (b) asas atau ciri, aspirasi dan program partai politik tidak bertentangan dengan Pancasila; (c) keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih; dan (d) partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.838 Selain itu pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional839. Pendirian partai politik dilakukan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Hukum dan HAM. Partai politik yang telah didaftarkan, disahkan pendiriannya menjadi badan hukum yang diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Hukum dan HAM.840 Pendaftaran tersebut merupakan syarat formal untuk memperoleh status sebagai badan hukum.841 833 Hal itu terkait dengan pengertian partai politik yang ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1999 adalah “setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggota maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum”. 834 Lihat paragraf pertama Penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 1999. 835 Lihat paragraf keempat Penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 1999. 836 Pasal 1 Ayat (3) dan (4) UU Nomor 2 Tahun 1999. 837 Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa beberapa orang dikatakan membentuk suatu organisasi atau korporasi jika tindakan mereka diatur oleh suatu tatanan sistem norma, yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik yang menjadi partial legal order. Lihat, Kelsen, Op. Cit., hal. 96-100. 838 Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 1999. 839 Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1999. 840 Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 1999. 841 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 74-75. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 239 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 juga mengatur tujuan partai politik, yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tujuan umum dan tujuan khusus wajib dicantumkan dalam anggaran dasar setiap partai politik.842 Setiap partai politik yang terbentuk dan disahkan sebagai badan hukum memiliki hak untuk ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan persyaratan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, serta berhak memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara.843 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum menentukan bahwa untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum, partai politik harus memiliki pengurus di lebih dari ½ jumlah provinsi, memiliki pengurus di lebih dari ½ jumlah kabupaten/kota pada tiap provinsi tersebut, serta mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.844 Sedangkan partai politik yang dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya adalah partai politik yang memperoleh sedikitnya 2% dari jumlah kursi DPR atau sedikitnya 3% dari jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurangkurangnya di ½ jumlah provinsi dan ½ jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.845 Di samping menentukan hak partai politik, juga ditentukan kewajiban partai politik yang meliputi; (a) memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan UUD; (b) mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa; (d) menyukseskan pembangunan nasional; dan (e) menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia846. 842 Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 1999. Pasal 8 UU Nomor 2 Tahun 1999. 844 Pasal 39 Ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1999. 845 Pasal 39 Ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 1999. 846 Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun 1999. 843 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 240 Anggota partai politik adalah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin, dapat membaca dan menulis, dan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh partai politik.847 Partai politik dapat membentuk kepengurusan di ibukota negara Republik Indonesia untuk Pengurus Tingkat Pusat, di ibukota propinsi untuk Pengurus Daerah Tingkat I, di ibukota kabupaten/kotamadya untuk Pengurus Daerah Tingkat II, di kecamatan untuk Pengurus Tingkat Kecamatan, dan di desa/kelurahan untuk Pengurus Tingkat Desa/Kelurahan.848 Keuangan partai politik diperoleh dari iuran anggota, sumbangan, dan usaha lain yang sah. Selain itu partai politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara849 yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya. Partai politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing. Partai politik ditentukan sebagai organisasi nirlaba. Oleh karena itu partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.850 Jumlah sumbangan dari satu orang yang dapat diterima oleh partai politik sebanyak-banyaknya Rp15.000.000,00 dalam waktu satu tahun. Sedangkan sumbangan dari perusahaan sebanyak-banyaknya Rp150.000.000,00. Partai politik harus membuat daftar penyumbang dan jumlah sumbangannya, serta terbuka untuk diaudit oleh akuntan publik. Daftar tersebut wajib dilaporkan setiap akhir tahun dan setiap 15 hari sebelum serta 30 hari sesudah pemilihan umum kepada Mahkamah Agung.851 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 juga mengatur tentang larangan bagi partai politik. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh partai politik meliputi beberapa hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 sebagai berikut. (a) menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; (b) menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun dari pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung; 847 Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 1999. Pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 1999. 849 Yang dimaksud dengan anggaran negara adalah anggaran yang diperoleh dari APBN dan APBD yang disesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Lihat Penjelasan Pasal 12 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1999. 850 Pasal 12 dan 13 UU Nomor 2 Tahun 1999. 851 Pasal 14 dan 15 UU Nomor 2 Tahun 1999. 848 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 241 (c) memberi sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan (d) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, larangan terhadap partai politik meliputi aspek asas atau ideologi, kegiatan, dan pendanaan. Terkait dengan asas atau ideologi yang dilarang adalah asas atau idelogi Komunisme/Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila. Kegiatan yang dilarang meliputi dua hal, yaitu kegiatan mengembang dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila, serta kegiatan yang bertentangan kebijakan pemerintah, khusus kebijakan untuk dalam memelihara persahabatan dengan negara lain. Dengan demikian kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di luar yang terkait dengan memelihara persahaban dengan negara lain tidak dilarang. Sedangkan larangan terkait dengan pendanaan adalah larangan menerima sumbangan atau dana dari pihak asing, serta larangan memberikan sumbangan atau dana kepada pihak asing yang dapat mempengaruhi kepentingan bangsa dan negara. Pengawasan atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 2 tahun 1999 dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu partai politik. Selain itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara, serta dapat mencabut hak suatu partai politik untuk ikut pemilihan umum.852 5.2.2. Perubahan UUD 1945 Pada waktu proses perubahan UUD 1945, juga dibahas ketentuanketentuan yang terkait dengan partai politik. Pembahasan ketentuan yang menyangkut partai politik antara lain terjadi dalam pembahasan ketentuan tentang tata cara pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat itu masih terdapat dua alternatif, yaitu pemilihan dilakukan oleh MPR, dan pemilihan 852 Pasal 17 dan 18 UU Nomor 2 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 242 secara langsung oleh rakyat di mana pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.853 Namun perubahan itu baru dapat disetujui dalam perubahan ketiga pada 2001 menjadi Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pembahasan lain terkait dengan keberadaan partai politik adalah pada saat pembahasan ketentuan tentang pemilihan umum. Dalam rapat lobi dan tim perumus Panitia Ad Hoc I BP MPR 6 Juni 2000, sempat mengemuka perlunya memasukkan partai politik dalam konstitusi. Masalahnya adalah apakah menjadi heading tersendiri atau subheading dari ketentuan tentang pemilihan umum.854 Hal itu terkait dengan materi yang akan diatur dalam bab tentang pemilihan umum. Anggota Valina Singka Subekti mengusulkan bahwa pengaturan itu meliputi eksistensi dan tanggungjawab partai. Bahkan, anggota Soedijarto mengusulkan adanya ketentuan Ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut. Partai politik peserta pemilihan umum harus benar-benar merupakan wujud kemauan politik rakyat dan wakil aspirasi kepentingan rakyat dari segala lapisan 855 masyarakat. Ketentuan tersebut diakui diambil dari ketentuan dalam konstitusi Jerman. Adanya pendapat yang menghendaki pengaturan partai politik tersebut sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan bahwa konstitusi dapat mengatur pembentukan dan aktivitas partai politik.856 Namun, dalam rapat tersebut tercapai kesepakatan bahwa partai politik terkait dengan ketentuan dalam bab pemilihan umum adalah sebatas partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Masalah partai politiknya sendiri tidak diatur secara khusus. Sedangkan eksistensi partai politik secara umum, rujukannya 853 Lihat Risalah Rapat Tim Perumus Panitia Ad Hoc I BP MPR tanggal 26 Mei 2000, hal. 1-17; Risalah Rapat Singkronisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 9 Oktober 2000, hal. 6 dan 11; dan Risalah Rapat Lobi Sinkronisasi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR, tanggal 12 September 2001. 854 Lihat pernyataan Pimpinan Rapat, Jacob Tobing, dalam Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 06 Juni 2000, hal. 3-6. 855 Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Op. Cit., hal. 10-11. 856 Kelsen, Op. Cit., hal 295 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 243 adalah pada ketentuan yang mengatur tentang kebebasan berserikat pada bagian hak asasi manusia.857 Pembahasan tersebut menghasilkan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 sebagai bagian dari perubahan ketiga, yang berbunyi “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Sedangkan ketentuan tentang eksistensi dan tanggungjawab partai politik tidak diatur secara khusus dalam ketentuan pasal tersendiri. Menurut mantan anggota PAH I BP MPR yang terlibat dalam perumusan perubahan UUD 1945, Hamdan Zoelva, usulan adanya ketentuan khusus mengenai partai politik tersebut tidak ada kelanjutannya karena usulan itu tidak termasuk dalam rumusan rancangan yang telah disetujui. Selain itu, pada saat usulan itu disampaikan tidak ada anggota yang memiliki rumusan pasal yang mengatur partai politik tersebut.858 Pembicaraan lain terkait dengan partai politik adalah pada saat pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi. Salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi yang dikemukakan adalah memutus pembubaran partai politik.859 Wewenang tersebut diusulkan oleh Tim Ahli Panitia Ad Hoc I BP MPR pada Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc BP MPR pada 29 Mei 2001.860 Hal itu selanjutnya selalu menjadi bagian pembicaraan dalam pembahasan tentang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.861 Pembahasan tersebut menghasilkan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik. 857 Risalah Rapat Lobi dan Tim Perumus Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Op. Cit., hal 12-14. Hamdan Zoelva juga menambahkan bahwa mekanisme pembahasan pada saat itu adalah terhadap rancangan yang telah disepakati. Jika ada usulan baru, harus disetujui semua anggota terlebih dahulu untuk dapat dibahas. Hal ini dikemukakan Hamdan Zoelva menjawab pertanyaan penulis pada suatu forum di Apartemen Allson Jakarta, 26 Oktober 2007. 859 Lihat pendapat anggota I Dewa Gede Palguna pada rapat lobi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR. Risalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I badan Pekerja MPR, tanggal 8 Juni 2000, hal. 40. Lihat pula pernyataan pimpinan rapat, Jacob Tobing pada Rapat Sinkronisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 13 Juli 2000. 860 Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 29 Mei 2001. 861 Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-20 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 5 Juli 2001; Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tanggal 25 September 2001; Risalah Rapat Pleno Ke36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 26 September 2001; Risalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 27 September 2001; Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 27 September 2001; Risalah Rapat Pleno Ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 10 Oktober 2001; Risalah Rapat Tim Perumus Komisi A Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 6 November 2001; dan Risalah Rapat Komisi A Ke-3 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 6 November 2001. 858 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 244 5.2.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Untuk melaksanakan pemilihan umum 2004 dan menyesuaikan ketentuan tentang partai politik dengan hasil perubahan UUD 1945, dibuatlah UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Secara umum, materi muatan undang-undang itu dapat dilihat sebagai penyempurnaan dari undangundang sebelumnya. Selain aturan-aturan yang sebelumnya sudah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, terdapat ketentuan bab baru, yaitu peradilan perkara partai politik, larangan, serta pembubaran dan penggabungan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 kembali menegaskan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan dijamin dalam UUD 1945. Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dipandang merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum. Partai politik diakui sebagai salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran.862 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 secara tegas telah menunjukkan arah kebijakan menuju sistem multi partai sederhana. Hal itu tertuang dalam penjelasan umum yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Upaya membentuk sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif dan kuantitatif dalam pembentukan partai politik.863 Pengaturan persyaratan pembentukan partai politik hampir sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Namun dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 syarat jumlah kepengurusan yang semula menjadi syarat mengikuti pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 862 863 Konsideran “Menimbang” Huruf (a), (b), dan (d) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 245 1999 berubah menjadi salah satu syarat pendaftaran partai politik pada Departemen Hukum dan HAM. Partai politik harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.864 Partai politik juga harus mendaftar kembali jika terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik.865 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 mencantumkan kembali tujuan partai politik yang meliputi tujuan umum dan tujuan khusus seperti yang telah ada pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Selain itu, juga ditambahkan satu lagi tujuan umum, yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia866. Namun demikian, tidak ditentukan bahwa tujuan tersebut harus ada dalam AD/ART partai seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Hanya ditentukan bahwa tujuan tersebut diwujudkan secara konstitusional867. Hak partai politik yang pada awalnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 hanya meliputi hak mengikuti pemilihan umum dan memperoleh perlakuan yang sama dan sederajat, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 disebutkan secara lebih terperinci baik terkait dengan eksistensinya sebagai organisasi maupun keikutsertaannya dalam pemilihan umum. Hak-hak partai politik tersebut meliputi; (a) adil dari negara; (b) memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; (c) memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Departemen Hukum dan HAM sesuai dengan peraturan perundangundangan; (d) ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UndangUndang tentang Pemilihan Umum; (e) mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat; (f) mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (g) mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (h) 864 Pasal 2 Ayat (3) Huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 4 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 866 Pasal 6 Ayat (1) Huruf c Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 867 Pasal 6 Ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 865 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 246 mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.868 Demikian pula dengan kewajiban partai politik yang semula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 hanya terdiri dari 5 kewajiban, ditambah dan diuraikan lebih rinci menjadi 10 kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi; (a) mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; (b) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) berpartisipasi dalam pembangunan nasional; (d) menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; (e) melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik; (f) menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; (g) melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; (h) membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; (i) membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan (j) memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.869 Untuk masalah keanggotaan, selain menentukan syarat usia dan kewarganegaraan seperti dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, juga ditentukan keanggotaan partai politik yang bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi setiap warga negara Indonesia yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan. Selain itu, ditegaskan pula bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.870 Anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan, hak memilih dan dipilih serta wajib mematuhi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta berkewajiban berpartisipasi dalam kegiatan partai politik.871 868 Pasal 8 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 9 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 870 Ketentuan ini konstruksinya dapat dibandingkan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. 871 Pasal 10 dan 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 869 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 247 Dalam ketentuan tentang keanggotaan, juga diatur masalah pemberhentian anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan apabila; (a) menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain; (b) diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; atau (c) melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan hingga 872 diberhentikan. Untuk kententuan mengenai kepengurusan, di samping mengatur tingkat kepengurusan seperti dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, juga diatur bahwa kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Jika terjadi pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik tingkat nasional, susunan pengurus baru didaftarkan kepada Departemen Hukum dan HAM paling cepat 7 hari dan paling lambat 30 hari terhitung sejak terjadinya pergantian atau penggantian kepengurusan. Departemen Hukum dan HAM memberikan keputusan terdaftar kepada pengurus baru paling lambat 7 hari setelah pendaftaran diterima.873 Namun demikian, apabila terjadi keberatan dari sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah atau terdapat kepengurusan ganda, diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Jika penyelesaian tidak dapat dicapai, para pihak dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan.874 Salah satu bab baru dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah bab tentang Peradilan Perkara Partai Politik. Perkara partai politik, selain pembubaran partai politik, diajukan kepada Pengadilan Negeri yang putusannya merupakan putusan pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Perkara tersebut diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 hari dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari.875 Adanya batas 872 Pasal 12 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 874 Pasal 14 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 875 Pasal 16 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 873 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 248 waktu penyelesaian tersebut dengan tujuan tidak mengganggu konsolidasi partai yang juga dapat mengganggu situasi politik dan pelaksanaan pemilihan umum.876 Untuk masalah keuangan partai politik, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 meningkatkan batasan jumlah sumbangan, baik dari perorangan maupun dari perusahaan. Sumbangan dari perorangan paling banyak senilai Rp200.000.000,00 dalam waktu 1 tahun. Sedangkan sumbangan dari perusahaan paling banyak senilai Rp800.000.000,00 dalam waktu 1 tahun.877 Larangan yang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menjadi salah satu pasal dari bab Pengawasan dan Sanksi, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 diatur dalam bab tersendiri. Larangan tersebut terdiri dari empat macam yaitu terkait dengan nama, lambang atau tanda gambar; terkait dengan kegiatan yang dilakukan; terkait dengan bantuan atau sumbangan; larangan mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu badan usaha; dan larangan menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ Marxisme-Leninisme.878 Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan (a) bendera atau lambang negara Republik Indonesia; (b) lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; (c) nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional; (d) nama dan gambar seseorang; atau (e) yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain. Sedangkan untuk kegiatan, partai politik dilarang; (a) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya; (b) melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau (c) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.879 Selain itu, partai politik dilarang; (a) menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (b) menerima sumbangan, baik berupa barang 876 A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Op. Cit., hal 117-118. Pasal 18 Ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 878 Pasal 19 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 879 Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 877 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 249 maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; (c) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan; atau (d) meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.880 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 mengatur secara khusus masalah pembubaran dan penggabungan partai politik. Suatu partai politik bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembubaran dan penggabungan partai politik diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Hukum dan HAM.881 Wewenang pengawasan partai politik yang semula berada di tangan Mahkamah Agung, dialihkan ke tiga instansi, yaitu Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum dengan pembagian lingkup pengawasan masing-masing. Hal itu terjadi karena dalam penyusunan undang-undang tersebut, Mahkamah Agung menyatakan kewenangan pengawasan tersebut kurang sesuai dengan identitasnya sebaga lembaga peradilan. Mahkamah Agung juga memiliki tunggakan perkara kasasi yang amat banyak.882 Selain itu, terkait dengan pembubaran partai politik, pada saat itu telah terdapat ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan wewenang memutus pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi. Pengawasan partai politik meliputi beberapa macam kegiatan. Pengawasan yang dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM meliputi tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan syarat pendirian partai politik; melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan; melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik; dan menerima laporan perubahan anggaran dasar dan 880 Pasal 19 Ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 20 dan Pasal 22 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 882 A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Op. Cit., hal 112-113. 881 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 250 anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik, dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik.883 Pengawasan juga dilakukan dalam bentuk meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum. Pengawasan ini dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum.884 Selain itu, pengawasan juga dilakukan dalam bentuk penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap larangan-larangan partai politik yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.885 Namun pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi dan hak partai politik.886 Sanksi yang diberikan terhadap partai politik dibedakan menurut ketentuan yang dilanggar oleh partai politik. Pelanggaran terhadap persyaratan pembentukan partai politik, ketentuan tentang asas partai politik, serta larangan nama dan tanda gambar dikenai sanksi penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Hukum dan HAM.887 Pelanggaran terhadap kewajiban membuat pembukuan dan daftar sumbangan, dikenai sanksi teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum.888 Pelanggaran terhadap kewajiban membuat laporan keuangan secara berkala dapat dikenai sanksi dihentikannya bantuan dari anggaran negara.889 Partai politik juga dapat dikenai sanksi berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika melanggar larangan pendirian atau kepemilikan saham suatu badan usaha.890 Sanksi lainnya adalah pembekuan sementara partai politik dalam waktu 1 tahun oleh pengadilan negeri apabila partai politik melakukan kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.891 Sedangkan sanksi pembubaran partai politik ditentukan apabila pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.892 883 Pasal 23 Huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 23 Huruf e dan Pasal 24 Ayat (1) Huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 885 Pasal 23 Huruf f dan Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 886 Pasal 25 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 887 Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 888 Pasal 26 Ayat (2) dan Pasal 24 Ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 889 Pasal 26 Ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 890 Pasal 27 Ayat (4) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 891 Pasal 27 Ayat (2) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 892 Pasal 28 Ayat (6) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002. 884 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 251 5.2.4. Partai Politik Lokal Selain partai politik yang bersifat nasional, pada masa reformasi juga dimungkinkan pembentukan partai lokal, khususnya di Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan di Nangroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Pasal 28 Ayat UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan sebagai berikut. (1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. (2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. (4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing. Ketentuan yang menyatakan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik tersebut memiliki arti dapat didirikannya partai politik lokal untuk penduduk di Papua. Hal itu juga dapat dilihat dari ketentuan pada Ayat (3) yang menegaskan sebagai partai politik di papua, yang berarti meliputi partai politik baik yang bersifat nasional maupun yang lokal, untuk memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam rekrutmen politik. Namun ketentuan dalam Undang-Undang tidak memberikan aturan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan maupun pembubarannya. Tidak ada ketentuan bagaimanakan tata cara dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penduduk Papua untuk membentuk partai politik. Hingga saat ini juga belum ada ketentuan pelaksanaannya dalam peraturan yang lebih rendah. Oleh karena itu ketentuan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan, dan belum ada partai lokal Papua yang terbentuk. Selain itu, juga belum terdapat ketentuan tata cara keikutsertaan partai politik lokal dalam pemilihan umum sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, baik dalam undang-undang yang mengatur pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 252 Hal itu berbeda dengan keberadaan partai lokal di Aceh. Ketentuan yang cukup lengkap tentang partai lokal terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Seperti halnya pengaturan partai politik secara umum, pengaturan partai politik lokal Aceh juga meliputi banyak aspek, mulai dari pembentukan hingga pengawasan dan sanksi. Ketentuan lebih lanjut tentang partai politik lokal di Aceh diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Secara umum, kontruksi pengaturan partai politik lokal Aceh mengikuti kontruksi pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Ditentukan bahwa sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dapat membentuk partai politik lokal di Aceh. Namun anggota partai politik lokal dapat merangkap menjadi anggota partai politik nasional. Untuk dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, partai politik lokal harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% di kabupaten/kota dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan, didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang berwenang.893 Asas partai politik lokal tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun, Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh.894 Tujuan umum partai politik lokal adalah; a) mewujudkan cita-cita nasional berdasarkan UUD 1945; b) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Sedangkan tujuan khusus partai politik lokal adalah a) meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan b) memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan 893 894 Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 253 keistimewaan Aceh. Tujuan partai politik lokal diwujudkan secara 895 konstitusional. Pada prinsipnya, partai politik lokal hanya berhak mengikuti pemilihan umum daerah, yaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK).896 Terhadap partai lokal Aceh juga ditentukan larangan-larangan yang terkait dengan nama, lambang, dan tanda gambar, larangan melakukan kegiatan tertentu, larangan mendirikan atau memiliki saham pada badan usaha, serta larangan menganut dan menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Kegiatan-kegiatan yang dinyatakan dilarang berdasarkan Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 meliputi897 a. b. c. d. e. f. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lain; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. Keberadaan partai politik lokal pada awalnya menimbulkan perdebatan politik nasional. Berbagai pihak mengkhawatirkan keberadaan partai politik lokal akan menjadi instrumen gerakan separatisme. Untuk menjalankan fungsi partai politik sebagai pengelola konflik di negara berkembang, pembentukan partai politik berdasarkan etnis sering dihindari karena dapat menimbulkan permainan politik yang sentrifugal sehingga dikhawatirkan merusak atau menggagalkan demokrasi. Oleh karena itu kecenderungan pembentukan partai politik di negara berkembang diarahkan menjadi partai yang terpusat, agregatif, dan multietnis.898 895 Pasal 78 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 897 Berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan pengawasan partai lokal melalui penelitian dan pengecekan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran atas larangan-larangan tersebut. 898 Reily, Op. Cit., hal 1-8. 896 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 254 Namun di pihak lain, terdapat pandangan yang menyetujui keberadaan partai politik lokal. Menurut Maswadi Rauf, keberadaan partai lokal diperkirakan akan mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah lebih baik. Terhadap partai politik lokal tidak perlu ada kekhawatiran bahwa partai lokal akan memperbesar bahaya separatisme. Sebaliknya, dengan banyaknya saluran bagi rakyat di daerah untuk menyampaikan aspirasi mereka, kecenderungan untuk munculnya gerakan separatis dapat diredam. Dengan adanya partai politik lokal, gerakan separatis dapat menjadi gerakan parlementer yang bertujuan memajukan rakyat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.899 Berdasarkan uraian ketentuan undang-undang yang mengatur masalah partai politik pada masa reformasi, dapat dilihat adanya kecenderungan semakin banyaknya aspek partai politik yang diatur oleh hukum negara. Hal itu sesuai dengan kecenderungan semakin pentingnya hubungan antara negara dengan partai politik seperti yang dinyatakan oleh Mair.900 Pengaturan masalah partai politik yang semakin kompleks juga merupakan salah satu wujud upaya konstitusionalisasi demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics).901 Hal itu merupakan salah satu proses institusionalisasi sistem kepartaian melalui kebijakan negara untuk mengelola konflik dan mengembangkan demokrasi. Institusionalisasi diarahkan untuk menciptakan regularitas kompetisi, keluasan akar partai dalam masyarakat, tingkat penerimaan masyarakat atas hasil pemilihan umum, dan meningkatkan pengorganisasian internal partai politik.902 Partai politik tidak lagi dapat dikatakan sepenuhnya sebagai asosiasi privat berdasarkan subyek pembentuknya. Mengingat kepentingan, tujuan, dan aktivitasnya, partai politik juga merupakan badan hukum publik, bergantung kepada konteks peristiwanya. Jika menggunakan kategori yang dibuat oleh 899 Rauf, “Partai Politik Dalam Sistem Kepartaian”, Op. Cit., hal. 10. Bandingkan dengan Siti Zuhro, “Gagasan Pembentukan Partai Lokal dan Masa Depan Partai Lokal”, dalam Ibid., hal. 57-74. Bandingkan pula dengan Hendarmin Ranadireksa, Visi Politik Amandemen UUD’45: Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2002), hal. 136. 900 Peter Mair, Op. Cit., hal. 7-10. 901 Pildess, Op. Cit., hal. 2. 902 Reilly, Op. Cit., hal. 5. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 255 Asshiddiqie, partai politik merupakan badan hukum yang mewakili kepentingan pendirinya yang menjalankan aktivitas di bidang hukum publik.903 Pergeseran pengaturan partai politik juga menunjukkan adanya pergeseran paradigma pengaturan partai politik dari political markets ke arah paradigma managerial dan bahkan paradigma progresif. Paradigma political market diwakili oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menghilangkan ketentuan pada masa Orde Baru yang menghalangi adanya kompetisi yang fair serta mengarahkan partai politik. Partai politik harus dapat bersaing secara terbuka.904 Banyaknya kelemahan partai politik dan perlunya stabilitas pemerintahan telah menggeser paradigma tersebut kepada paradigma managerial yang menempatkan partai politik sebagai instrumen menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik.905 Hal itu diwujudkan dalam ketentuan mengenai persyaratan pembentukan dan persyaratan mengikuti pemilihan umum yang semakin berat, serta ketentuan yang memberikan prinsip-prinsip dasar pengelolaan partai politik yang lebih ketat. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan tentang prinsip keanggotaan, kepengurusan dan pemilihannya, serta peraturan partai politik dan keputusan partai politik. Pergeseran juga terjadi ke arah paradigma progressive906 dengan semakin kompleksnya pengaturan masalah internal partai, bahkan adanya calon perseorangan untuk pemilihan kepala daerah907 yang saat ini juga dituntut diterapkan untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. 5.3. PERATURAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK 5.3.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 5.3.1.1. Alasan Pembubaran Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik memberikan wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung karena saat itu 903 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 78-79. Persily and Cain, Op. Cit., hal. 6-8. 905 Ibid., hal. 4. 906 Ibid., hal. 5-6 907 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diucapkan pada Sidang Pleno yang terbuka untuk umum pada Senin, 23 Juli 2007. Putusan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakomodasikan calon perseorangan. 904 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 256 memang belum ada ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang ditetapkan sebagai perubahan ketiga yang ditetapkan pada 9 November 2001. Dalam Undang-undang tersebut, Mahkamah Agung memiliki wewenang mengawasi dan membubarkan partai politik. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan partai politik. Membekukan adalah menghentikan sementara kepengurusan dan/atau kegiatan partai politik. Sedangkan membubarkan adalah mencabut hak hidup dan keberadaan partai politik di seluruh wilayah Indonesia.908 Alasan pembekuan dan pembubaran partai politik adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, sebagaimana ditentukan pada Pasal 17 Ayat (2) UU Nomor 2 tahun 1999 sebagai berikut. Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang-undang ini. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang syaratsyarat pembentukan partai politik sebagai berikut. 1. Didirikan sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun; 2. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam anggaran dasar partai politik; 3. asas atau ciri, aspirasi dan program partai politik tidak bertentangan dengan Pancasila; 4. keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih;909 5. tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Indonesia Sang Merah Putih, bendera negara lain, gambar perorangan dan nama serta lambang partai yang telah ada. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan bahwa pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Dengan demikian, partai politik tidak boleh memiliki tujuan separatisme dan segala tindakan lain yang berakibat terganggunya persatuan dan kesatuan 908 Penjelasan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Yang dimaksud dengan terbuka adalah tanpa membedakan acuan kedaerahan, agama, suku, ras, dan jenis kelamin serta perbedaan lainnya. Lihat Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) Huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 909 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 257 nasional.910 Tujuan separatisme adalah tujuan memisahkan diri dari negara Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang tujuan partai politik. Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sedangkan tujuan khusus yang ditentukan adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 9 mengatur tentang kewajiban partai politik, yaitu meliputi; 1. 2. 3. 4. 5. memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; memelihara persatuan dan kesatuan bangsa; menyukseskan pembangunan nasional; menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung umum, bebas, dan rahasia. Sedangkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang larangan terhadap partai politik, yaitu tidak boleh: 1. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; 2. menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung; 3. memberi sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apapun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan 4. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain. Ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pembubaran partai politik tersebut sangat luas. Mulai dari ketentuan terkait dengan persyaratan pembentukan, identitas, tujuan, kewajiban, hingga larangan. Pelanggaran terhadap persyaratan pembentukan misalnya, tentu tidak proporsional apabila dijadikan sebagai dasar pembubaran karena partai politik yang tidak memenuhi syarat dengan sendirinya tidak mendapatkan status badan hukum melalui pendaftaran. Alasan-alasan pembubaran selain sangat luas, juga bersifat umum sehingga pada bagian-bagian tertentu sulit untuk menemukan tolok ukur ada tidaknya pelanggaran. Terkait dengan tujuan khusus memperjuangkan cita-cita 910 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 258 anggotanya misalnya, tentu harus ditentukan terlebih dahulu apa yang menjadi cita-cita anggotanya dan apa yang dilakukan oleh partai politik yang dipandang bertentangan dengan cita-cita tersebut. Mengingat partai politik merupakan sarana artikulasi cita-cita dan kepentingan anggota, maka apa yang dilakukan oleh partai politik seharusnya dipandang sebagai upaya memperjuangkan cita-cita anggotanya. Seseorang yang memiliki cita-cita tidak sesuai dengan perjuangan suatu partai politik tentu tidak akan menjadi anggota partai tersebut, atau akan keluar jika telah menjadi anggotanya. Masalah lainnya adalah bagaimana menentukan sesuatu merupakan cita-cita anggota atau hanya cita-cita sebagian anggota saja. 5.3.1.2. Prosedur Pembubaran Prosedur pembubaran partai politik diatur dalam Pasal 17 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999, sebagai berikut. (3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan. (4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Selain itu juga dapat dilakukan melalui pengadilan terlebih dahulu yang terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik. Namun demikian, sebelum pembubaran tersebut dilakukan, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan.911 Ketentuan pengawasan hingga pembubaran partai politik mengandung beberapa permasalahan. Pertama, wewenang pengawasan partai politik oleh Mahkamah Agung, termasuk memberi peringatan tertulis, tidak sesuai dengan prinsip bahwa lembaga peradilan bersifat pasif. Posisi yang demikian tentu kurang tepat dan akan mengganggu kemerdekaan Mahkamah Agung dan independensi 911 Penjelasan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 259 hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, baik dalam memutus pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik maupun dalam memutus pembubaran partai politik.912 Selain alasan dan proses pembubaran partai politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tidak mengatur mengenai akibat hukum pembubaran partai politik. Misalnya, apakah akibat hukumnya terhadap anggota lembaga perwakilan dan juga pejabat publik lain yang berasal dari partai politik yang dibubarkan. Demikian pula akibat hukum terhadap harta kekayaan partai yang dibubarkan juga tidak diatur. 5.3.2. Pembubaran Dalam Pembahasan Perubahan UUD 1945 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dibuat pada saat belum dilakukan perubahan UUD 1945. Setelah perubahan, terdapat ketentuan yang menyebut eksistensi partai politik dan pembubaran partai politik. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik.913 Namun, tidak ada ketentuan yang mengatur bagaimana wewenang tersebut dijalankan. Hal itu akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 24C Ayat (6) UUD 1945. Jika dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945, wewenang memutus pembubaran partai politik sejak awal sudah mengemuka terkait dengan akan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Pemberian wewenang itu menurut anggota Pataniari Siahaan karena perkara pembubaran partai politik menyangkut masalah politik sehingga dipandang lebih tepat menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi dan kurang tepat jika dimasukkan dalam masalah hukum yang ditangani Mahkamah Agung.914 Mahkamah Agung dinilai lebih banyak 912 Dengan demikian, walaupun pembubaran partai politik telah dilakukan oleh lembaga judisial, namun prosedur yang digunakan masih dipertanyakan apakah memenuhi prinsip due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair sesuai dengan pedoman Venice Commission. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit.. 913 Satya Arinanto dalam artikelnya pada 2001 terkait dengan isu pembubaran Partai Golkar sudah menyatakan bahwa kehadiran ketentuan dan institusi baru yang mengatur masalah pembekuan dan pembubaran partai politik sudah ditunggu. Ketentuan tersebut seharusnya dimuat dalam konstitusi. Kehadiran suatu Pengadilan Konstitusi sangat dinantikan agar visi reformasi tidak perlahan-lahan menghilang. Lihat, Satya Arinanto, “Tuntutan Pembubaran Partai Politik”, Harian Kompas, Senin, 12 Februari 2001. 914 Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 29 Mei 2001. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 260 menangani perkara kasasi yang saat itu sudah menumpuk.915 Selain itu, dari sisi hakim yang menangani perkara, hakim konstitusi dinilai memiliki kualifikasi yang lebih baik untuk menangani perkara-perkara terkait dengan konstitusi.916 Kewenangan pembubaran yang saat itu dipegang oleh Mahkamah Agung dinilai tidak proporsional. Bahkan, anggota Patrialis Akbar menyatakan sebagai berikut.917 Kemudian kita juga melihat bahwa Mahkamah Agung juga sekarang memutus masalah-masalah yang berkaitan dengan tuntutan partai politik, pembubaran salah satu partai politik misalnya. Ini sudah tidak profesional lagi dan profesional. Kenapa? Karena background hakim-hakim agung bukanlah dilandasi oleh background ketatanegaraan. Sedangkan hakim Mahkamah Konstitusi nanti lebih dititikberatkan pada orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang ketatanegaraan, para negarawan. Partai politik, dan juga pemilihan umum, terkait erat dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, masalah pembubaran partai politik juga dipandang menyangkut masalah konstitusi sehingga menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.918 Walaupun demikian, juga terdapat pendapat yang mempertanyakan masuknya wewenang memutus pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi. Anggota Harjono menyatakan bahwa yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah terkait dengan peraturan, bukan tindakan. Peraturan tersebutlah yang dapat dimintakan pembatalan dengan alat penguji UUD 1945.919 Namun dalam persidangan berikutnya, pendapat itu telah bergeser. Harjono menyatakan bahwa wewenang utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang dan memutus pertentangan antar lembaga negara. Sedangkan memutus pembubaran partai politik adalah wewenang tambahan dengan pemeriksaan yang melibatkan isu fakta, bukan hanya norma.920 Pada awalnya, wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran partai politik dalam rancangan perubahan tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya disebutkan sebagai kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Hal itu 915 Lihat pendapat Asnawi Latief. Ibid. Lihat pendapat Jacob Tobing. Ibid 917 Lihat Risalah Rapat Komisi A Ke-3 (lanjutan) Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, tanggal 6 November 2001. 918 Risalah Rapat Tim Perumus Komisi A Masa Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 6 November 2001. 919 Lihat Risalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tanggal 27 September 2001. 920 Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tanggal 10 Oktober 2001. 916 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 261 juga dikemukakan oleh Tim Ahli Pah I BP MPR.921 Namun akhirnya disepakati wewenang tersebut dirinci, termasuk untuk memutus pembubaran partai politik.922 Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pembubaran partai politik diatur dengan undang-undang. Undang-undang yang terkait tentunya adalah undang-undang yang mengatur tentang partai politik dan undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi. Undang-undang partai politik yang dibuat setelah perubahan UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Sedangkan undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.923 5.3.3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat tiga cara bubarnya partai politik, yaitu membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.924 Membubarkan diri dilakukan berdasarkan keputusan partai yang tata caranya diatur dalam aturan partai, terutama anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Demikian pula halnya dengan menggabungkan diri dengan partai lain, yang merupakan masalah internal partai politik. Undang-undang hanya menentukan bahwa bergabungnya suatu partai politik dengan partai politik lain dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bergabung dan membentuk partai politik baru, atau bergabung dengan menggunakan identitas partai politik lain yang telah ada925. Cara lain bubarnya partai politik adalah dibubarkan oleh Mahkamah 921 Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-19 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 29 Mei 2001, dan Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 27 September 2001. 922 Lihat Risalah Rapat Lobi Perumusan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 27 September 2001; Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR RI tanggal 25 September 2001; Risalah Rapat Pleno Ke-36 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI tanggal 26 September 2001; dan Risalah Rapat Komisi A (Lanjutan) Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 tanggal 6 November 2001. Dengan adanya ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Indonesia merupakan salah satu dari 14 negara yang konstitusi menyatakan bahwa pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi. Negara yang lain adalah Albania, Azerbaijan, Chile, Ceko, Armenia, Georgia, Jerman, Macedonia, Korea Selatan, Polandia, Rumania, Slovenia, dan Turki. 923 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 24 Tahun 2003, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316. 924 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 925 Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 262 Konstitusi.926 Pembubaran ini merupakan pembubaran secara paksa (force dissolution) karena pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh suatu partai politik. 5.3.3.1. Alasan Pembubaran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 menentukan alasan pembubaran partai politik, yaitu jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (6). Pengurus partai dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara927 dalam Pasal 107 huruf c, d, dan e, dan partainya dapat dibubarkan jika melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (5) yaitu Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasal 107c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 107d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan Pasal 107e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun: 926 Ketentuan ini telah sesuai dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga judisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process of, keterbukaan, dan pengadilan yang fair. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit. 927 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 263 a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah. Salah satu permasalahan yang muncul dalam perkara pembubaran partai politik adalah apakah harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu, yang menyatakan bahwa pengurus suatu partai politik melakukan tindakan sebagaimana dimaksud undang-undang, untuk dapat diajukan perkara pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi.928 Ataukah partai politik dapat langsung dimohonkan pembubarnnya karena telah melakukan pelanggaran Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 28 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 sebenarnya mengatur sanksi pidana bagi pengurus menggunakan partainya. Pembubaran partai hanya merupakan salah satu bentuk sanksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelanggaran yang dapat menjadi alasan pembubaran partai hanya terkait dengan kejahatan keamanan negara, khususnya terkait dengan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Hal itu sangat berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang jauh lebih luas. Jika melihat ketentuan tentang alasan pembubaran tersebut, proses pembubaran partai politik didahului dengan pengadilan terhadap pengurus partai politik yang bersangkutan. Apabila pengurus diputus bersalah melakukan kejahatan negara, tentu masih harus dibuktikan apakah perbuatan itu berhubungan dengan partai politik atau tidak, atau bahkan partai politik yang bersangkutan memang sekedar “dimanfaatkan” sebagai alat semata. Jika perbuatan tersebut tidak memiliki hubungan dengan identitas, asas, program, dan kegiatan partai politik, tentu tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembubaran partai politik.929 928 A. A. Oka Mahendra dan Soekedy, Op. Cit., hal 120. Bandingkan dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapat mandat dari partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit., hal. 2-3. 929 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 264 Oleh karena itu dari tiga ketentuan Pasal KUHP yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 di atas, yang mungkin dijadikan dasar pembubaran partai politik adalah jika pengurusnya terbukti melakukan kejahatan yang dimaksud dengan Pasal 107e, yaitu mendirikan atau berhubungan dengan organisasi yang menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Organisasi yang dimaksud harus partai politik itu sendiri, sehingga di pengadilan sebelum pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi, juga harus dibuktikan bahwa partai politik tersebut menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Menurut Jimly Asshiddiqie, selain ketentuan alasan pembubaran dalam Pasal 28 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, pembubaran juga dapat dilakukan dengan alasan pelanggaran ideologis yang terkait dengan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (6).930 Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 Ayat (5) yang menyatakan Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Selain pembubaran, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur sanksi pembekuan selama-lamanya 1 tahun bagi partai politik yang melakukan kegiatan yang dilarang dalam Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, sebagai berikut. 2) Partai politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya; b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. Suatu partai politik dapat dibekukan jika melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam 930 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat…, Op. Cit., hal. 117. Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tidak diatur sanksi terhadap pelanggaran Pasal 19 Ayat (5). Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 265 rangka ikut memelihara ketertiban dunia.931 Sanksi tersebut diberikan oleh pengadilan negeri. Namun pembekuan itu tidak memiliki kaitan dengan proses pembubaran partai politik. Hal itu berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik932 yang menentukan adanya keterkaitan antara sanksi pembekuan sementara dengan pembubaran partai politik. Dalam undangundang tersebut, partai politik yang telah dibekukan sementara dan melakukan pelanggaran lagi, dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.933 Menurut Jimly Asshiddiqie, alasan pembekuan partai politik dalam Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat dipakai sebagai alasan untuk mengajukan pembubaran partai politik kepada MK. Dengan demikian terdapat tiga skenario pembubaran partai politik dikaitkan dengan adanya proses pembekuan. Skenario pertama adalah pemerintah mengajukan terlebih dahulu gugatan pembekuan partai politik ke pengadilan negeri yang harus diputus dalam waktu 60 hari. Jika partai politik yang bersangkutan mengajukan kasasi ke MA, harus diputus dalam waktu 30 hari. Apabila telah terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah selanjutnya mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK.934 Skenario kedua adalah pemerintah dapat saja langsung mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK tanpa melalui proses pembekuan. Hal itu dapat dilandasi pemikiran bahwa pembekuan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu, jika memang pemerintah berpendapat bahwa partai yang bersangkutan sudah tidak mungkin memperbaiki diri, dapat saja langsung mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK.935 Skenario ketiga adalah dalam kasus partai politik telah diputus dibekukan oleh pengadilan negeri berdasarkan gugatan pemerintah. Selanjutnya partai politik 931 Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 19 Ayat (2) tersebut menjadi wilayah pengawasan Departemen Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Dengan demikian seharusnya yang mengajukan perkara pembekuan adalah Departemen Dalam Negeri. 932 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 933 Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. 934 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat…, Op. Cit., hal. 134 – 114. 935 Ibid., hal. 115 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 266 yang bersangkutan mengajukan kasasi ke MA yang ternyata membatalkan putusan pengadilan negeri, sehingga partai politik tidak dibekukan. Terhadap kasus tersebut pemerintah tetap dapat mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK.936 Pengajuan pembubaran ke MK tidak dapat dilihat sebagai upaya hukum dari putusan kasasi MA karena gugatannya berbeda, yaitu pembekuan dan pembubaran. Proses peradilan yang dilakukan untuk pembekuan dari pengadilan negeri hingga MA berbeda dan terpisah dengan proses peradilan pembubaran yang dilakukan oleh MA. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sejalan dengan ketentuan pembubaran partai politik lokal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Dinyatakan bahwa pengurus partai politik lokal yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lain, serta kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikenai sanksi berupa pembekuan sementara paling lama 1 tahun oleh pengadilan negeri.937 Jika melakukan pelanggaran lagi, partai politik itu dibubarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.938 Alasan pembubaran partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Walau tidak secara khusus menyebutkan alasan pembubaran partai politik, namun Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mewajibkan pemohon; menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, maka yang dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 adalah terkait dengan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.939 Sebaliknya, ajaran Komunisme/ 936 Ibid., hal. 116 Pasal 87 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 938 Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 939 Patut pula diingat bahwa menurut Venice Commission, perubahan konstitusi yang dianjurkan secara damai oleh partai politik tidak cukup sebagai alasan penolakan pendaftaran apalagi pembubaran. Lihat, 937 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 267 Marxisme-Leninisme yang bertentangan dengan UUD 1945 tersebut diperluas meliputi hal yang bersifat umum dan kegiatan atau tindakan konkrit. Hal yang bersifat umum tersebut meliputi (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; dan (d) program. Sedangkan yang nyata adalah kegiatan partai yang tentu dilakukan oleh pengurus dan atau anggota partai politik. Alasan-alasan tersebut bersifat alternatif, yaitu tidak mengharuskan adanya pertentangan dengan UUD 1945 pada semua aspek. Berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, permohonan pembubaran partai politik dapat dilakukan tidak terbatas dengan tindakan yang terkait dengan ajaran atau paham Komunisme/MarxismeLeninisme, tetapi cukup jika dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan tersebut tidak harus didahului dengan adanya putusan pengadilan yang mengadili pelanggaran yang dilakukan pengurus partai politik. Terkait dengan alasan pembubaran partai politik, belum ada kesesuaian antara UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003. Sebaiknya di masa yang akan datang dilakukan sinkronisasi. 5.3.3.2. Prosedur Pembubaran Ketentuan-ketentuan mengenai pembubaran partai politik juga dapat dimaknai bahwa tuntutan pembubaran partai politik dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, adalah dengan proses di pengadilan negeri terlebih dahulu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, diajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, adalah langsung mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Dilihat dari sisi alasan pembubaran, permohonan yang terkait dengan ideologi, asas, tujuan, dan program partai politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tentu lebih mudah dibuktikan karena bersifat tertulis. Sedangkan untuk alasan pembubaran pada aspek kegiatan, tentu dibutuhkan pemeriksaan atas fakta, sehingga lebih sesuai jika didahului proses pengadilan biasa yang mengadili pengurus yang melakukan kegiatan bertentangan dengan UUD 1945 terlebih dahulu. Selain alasan pembubaran partai politik, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juga mengatur hukum acara perkara pembubaran partai politik. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 268 Ditentukan bahwa yang menjadi pemohon adalah Pemerintah, yaitu Pemerintah Pusat.940 Tidak ditentukan instansi mana yang mewakili pemerintah. Jika dikaitkan dengan wewenang pengawasan partai politik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terkait dengan pelanggaran yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik, yang dapat menjadi pemohon adalah Departemen Dalam Negeri.941 Namun, jika diperlukan Pemerintah Pusat dapat saja menunjuk instansi lain atas nama Pemerintah Pusat, misalnya Jaksa Agung. Menurut Maruarar Siahaan, mengingat Pemerintahan Pusat dipimpin oleh Presiden, maka departemen pemerintahan yang mewakili pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik harus dengan penunjukkan Presiden atau didasarkan pada surat kuasa.942 Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hak pengajuan pembubaran diberikan kepada pihak lain, termasuk partai politik, berarti partai politik dibenarkan menuntut pembubaran saingannya sendiri. Hal itu harus dihindarkan karena dalam demokrasi seharusnya sesama partai politik bersaing secara sehat. Oleh karena itu partai politik tidak boleh diberikan kedudukan sebagai pemohon dalam perkara pembubaran partai politik.943 Namun demikian, mengingat pemerintah juga terbentuk dari partai politik yang memenangkan pemilihan umum, maka dapat menjegal saingannya dengan memanfaatkan pemerintah untuk membubarkan partai politik lain. Oleh karena itu wewenang pembubaran partai politik tidak dapat diserahkan kepada pemerintah tetapi harus melalui proses peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi. Pemerintah hanya bertindak sebagai “penuntut” dengan cara mengajukan permohonan.944 Dalam permohonan pembubaran partai politik, harus ditunjuk dengan tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Oleh karena itu Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan bahwa dengan demikian partai politik 940 Pasal 68 Ayat (1) dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 942 Lihat, Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 199-200. 943 Jimly Asshiddiqie, Pembubaran Partai Politik, Op. Cit., hal. 205 944 Ibid., hal. 205-206. 941 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 269 yang bersangkutan kedudukannya adalah sebagai termohon, walupun undangundang tidak menyatakan hal tersebut secara tegas.945 Permohonan perkara pembubaran partai politik yang diterima Mahkamah Konstitusi dicatat dalam Buku Registrasi perkara Konstitusi. Mahkamah konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat tersebut kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak pencatatan dilakukan. Karena tidak diatur secara khusus, proses pemeriksaan persidangan selanjutnya mengikuti hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan putusan.946 Perkara pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu selambatlambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.947 Jika Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.948 Artinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 68 tersebut, masalah subyek dan obyek permohonan harus sesuai. Subyek adalah terkait dengan pemohon yang dalam hal ini harus mewakili Pemerintah Pusat. Sedangkan obyek perkara yang dimohonkan adalah pembubaran partai politik berdasarkan alasan-alasan (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; (d) program, dan (e) kegiatan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Apabila subyek pemohon dan obyek permohonan telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, serta Mahkamah Konstitusi berpendapat permohonan beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.949 Hal itu berarti terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945, dan partai politik tersebut diputuskan dibubarkan. 945 Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 200-201. Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 947 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Selain itu, tata cara persidangan juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Saat ini Mahkamah Konstitusi tengah menyusun PMK tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik. 948 Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 949 Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 946 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 270 Sedangkan apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.950 Hal itu berarti tidak terbukti bahwa terdapat ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.951 Jika diputuskan permohonan pembubaran partai politik dikabulkan, pelaksanaannya dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah yang berarti pembatalan status badan hukumnya.952 Putusan tersebut diumumkan oleh pemerintah dalam berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 14 sejak putusan diterima.953 Mengingat yang menangani pendaftaran partai politik adalah Departemen Hukum dan HAM, maka pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi adalah dalam bentuk pembatalan pendaftaran partai politik.954 5.3.4. Ketentuan Electoral Treshold Selain peraturan pembubaran partai politik, juga terdapat peraturan yang berpengaruh terhadap eksistensi partai politik, yaitu keikutsertaanya dalam pemilihan umum. Ketentuan tersebut adalah mengenai electoral treshold dalam undang-undang pemilihan umum. Adanya ketentuan tersebut mengakibatkan tidak setiap partai politik yang diakui sebagai badan hukum berdasarkan undangundang partai politik, dapat menjadi peserta pemilihan umum. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 menentukan selain diakui menurut Undang-Undang Partai Politik, suatu partai politik dapat menjadi peserta pemilihan umum apabila memenuhi syarat; a) memiliki pengurus di lebih dari ½ jumlah provinsi di Indonesia; b) memiliki pengurus di lebih dari ½ jumlah kabupaten/kota tiap-tiap provinsi tersebut; dan c) mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.955 Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, menentukan sebagai berikut. 950 Pasal 70 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal 72 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 952 Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 953 Pasal 73 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 954 Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 201-202. 955 Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999. 951 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 271 (1) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Sedangkan untuk mengikuti pemilihan umum selanjutnya, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999 menentukan suatu partai politik harus; a) memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR; atau b) memiliki sekurang-kurangan 3% dari jumlah kursi DPRD I yang tersebar di ½ jumlah provinsi; atau c) memiliki 3% kursi DPRD II yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Apabila hendak mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik yang tidak memenuhi electoral treshold harus bergabung dengan partai lain.956 Persyaratan mengikuti pemilihan umum diatur lebih berat dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003. Untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum, selain memenuhi ketentuan Undang-Undang Partai Politik, partai politik harus; a) memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; b) memiliki pengurus lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di masing-masing provinsi tersebut; c) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada tiap tingkat kepengurusan; d) setiap tingkat kepengurusan tersebut memiliki kantor tetap; dan e) mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.957 Ketentuan electoral treshold diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) UndangUndang Nomor 12 tahun 2003, sebagai berikut. (1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia. 956 957 Pasal 39 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999. Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 272 Berdasarkan ketentuan tersebut, partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum selanjutnya harus memenuhi ketentuan electoral treshold, yaitu memperoleh sekurang-kurangnya 3% dari kursi DPR, atau 4% dari jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di ½ jumlah provinsi; atau 4% dari jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota di Indonesia.958 Apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut, partai politik dapat; a) bergabung dengan partai politik lain yang memenuhi syarat; atau b) bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi syarat namun gabungan suaranya dapat memenuhi syarat dan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai; atau c) membentuk partai politik baru.959 Ketentuan persyaratan mengikuti pemilihan umum juga diatur terkait dengan partai lokal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Selain harus telah disahkan sebagai badan hukum, untuk dapat mengikuti pemilihan umum DPRA/DPRK, partai politik lokal harus memenuhi persyaratan:960 a. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di Aceh; b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kecamatan dalam setiap kabupaten/kota; c. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik lokal; d. pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap; f. mengajukan nama dan tanda gambar kepada KIP. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 5% jumlah kursi atau sekurangkurangnya 5% jumlah kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah kabupaten/kota di Aceh. Sedangkan untuk dapat mengajukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan 958 Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. 960 Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 959 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 273 Wakil Walikota partai politik lokal harus memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRA atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRA di daerah yang bersangkutan. Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi persyaratan.961 Adanya persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum menyebabkan suatu partai politik dapat eksis secara hukum tetapi tidak eksis secara politik. Hal itu merupakan salah satu konsekuensi dari pengakuan kebebasan berserikat yang dijamin dalam UUD 1945. Namun demikian, kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan karena sarana utama partai politik dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, adalah melalui pemilihan umum.962 Jika partai politik tidak mengikuti pemilihan umum, maka partai tersebut telah kehilangan sarana utama menjalankan fungsi-fungsinya. Adanya ketentuan electoral treshold yang mengarah pada penataan partai politik dan penyederhanaan partai politik menurut Satya Arinanto tidak melanggar prinsip kebebasan berserikat. Dengan merujuk pada putusan MK Jerman atas kasus pengujian ketentuan electoral treshold yang diajukan Partai Bavaria, dinyatakan bahwa disamping sebagai pelaksanaan kebebasan berserikat, partai politik dan pemilihan umum juga memiliki fungsi integrasi. Oleh karena itu ketentuan electoral treshold, yang di Jerman saat itu adalah 5%, dapat dibenarkan untuk mencegah terlalu banyaknya partai serpihan (splinter parties).963 Hal itu juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-V/2007 yang menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 terkait dengan ketentuan electoral treshold.964 Fungsi integrasi tersebut melekat pada fungsi komunikasi dan sosialisasi politik yang memberikan tugas kepada partai politik untuk menata aspirasi yang berbeda dijadikan suatu “pendapat umum” agar dapat dibuat suatu keputusan yang 961 Pasal 91 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 963 Lihat, Satya Arinanto, “Parpol Serpihan Vs Kebebasan Berserikat”, Op. Cit. 962 964 Diucapkan pada Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 274 teratur. Pembuatan keputusan tersebut hanya mungkin dilakukan jika ada kelompok-kelompok besar menurut tujuan kenegaraan.965 5.3.5. Pembatalan Keabsahan Badan Hukum Selain membubarkan diri, bergabung dengan partai lain, dan dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi, suatu partai politik pada masa reformasi juga dapat kehilangan eksistensinya apabila tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang. Ketentuan tersebut belum terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, dan baru ada pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002. Ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 hanya menyatakan bahwa organisasi peserta pemilihan umum tahun 1997 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1985 dianggap telah memenuhi syarat sebagai partai politik dan didaftar sebagai badan hukum serta wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.966 Tidak ada ketentuan lebih lanjut tentang konsekuensi hukum jika organisasi tersebut, yaitu PPP, PDI, dan Golkar, tidak melakukan penyesuaian diri. Hal itu berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, menyatakan sebagai berikut. (1) Partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 9 (sembilan) bulan sejak berlakunya undang-undang ini. (2) Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya menurut undang-undang ini. Ditentukan bahwa partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah disahkan sebagai badan hukum, diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan diri selambat-lambatnya 9 bulan sejak berlakunya Undang- 965 Lihat, Laski, Op. Cit., hal. 312; Barendt, Op. Cit., hal. 149; Kranenburg dan Sabaroedin, Op. Cit., hal. 115; serta Friedrich, Op. Cit., hal. 442. 966 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 275 Undang Nomor 31 Tahun 2002.967 Partai politik yang tidak menyesuaikan diri dalam waktu tersebut, dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya.968 Ketentuan-ketentuan tersebut membawa konsekuensi hilangnya status badan hukum suatu partai politik, yang berarti hilangnya eksistensi partai politik sebagai subyek hukum. Konsekuensi itu sama halnya dengan bubarnya partai politik. Tindakan itu tidak dapat disamakan dengan penolakan pendaftaran pembentukan partai politik karena secara faktual partai politik tersebut telah menjadi badan hukum yang diakui keabsahannya. Undang-undang tidak menentukan siapa yang melakukan tindakan pembatalan keabsahan. Jika dilihat dari ketentuan yang melakukan pengesahan partai politik sebagai badan hukum adalah Menteri Hukum dan HAM969 setelah menerima pendaftaran. Oleh karena itu yang melakukan pembatalan adalah yang memberikan pengesahan, yaitu Menteri Hukum dan HAM. Dengan demikian, jika dilihat dari konsekuensi hukum dan inisiatifnya, pembatalan keabsahan partai politik sebagai badan hukum sama dengan tindakan pembubaran partai politik. Dengan tindakan tersebut, partai politik tidak lagi diakui keberadaannya secara hukum di seluruh wilayah Indonesia.970 Perbedaannya adalah pada alasan yang menyebabkan suatu partai politik dapat kehilangan statusnya sebagai badan hukum. Jika pembubaran partai politik yang diputus Mahkamah Konstitusi alasannya adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik, alasan yang menjadi dasar pembatalan keabsahan partai politik adalah terkait dengan syarat-syarat pembentukkan partai politik. Syarat-syarat tersebut, di samping syarat administratif, meliputi pula syarat-syarat substantif terkait dengan tujuan, asas, dan ciri partai politik. Dengan demikian terdapat dua cara bubarnya partai politik di luar pembubaran yang dilakukan oleh partai politik itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi dan melalui 967 Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 27 Desember 2002. 968 Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 969 Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999; Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002; dan Pasal 4 Ayat (3) RUU Partai Politik. 970 Berdasarkan Penjelasan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pembubaran partai politik adalah mencabut hak hidup dan keberadaan partai politik di seluruh wilayah Indonesia. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 276 pembatalan keabsahan badan hukum partai politik oleh Menteri Hukum dan HAM. Pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan pelanggaran ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik melalui keputusan pengadilan. Sedangkan pembubaran dalam bentuk pembatalan keabsahan badan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM terkait dengan kondisi partai politik yang sudah tidak memenuhi syarat untuk diakui sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan undang-undang yang baru. Jika keputusan pembatalan keabsahan badan hukum partai politik dipandang sebagai keputusan administratif pejabat tata usaha negara, mekanisme upaya hukumnya adalah melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 perkara partai politik diajukan melalui pengadilan negeri yang putusannya merupakan putusan pertama dan terakhir, serta hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian masih terdapat ketidakpastian proses hukum terkait dengan pembatalan keabsahan badan hukum partai politik.971 5.3.6. Akibat Hukum Pembubaran Permasalahan lain yang tidak diatur adalah akibat hukum dari pembubaran partai politik. Jika partai politik bubar atas keputusannya sendiri, tentu segala akibat hukumnya ditentukan sendiri oleh partai politik tersebut berdasarkan AD dan ART. Hal itu berbeda dalam hal partai politik dibubarkan yang akibat hukumnya tentu tidak dapat dilakukan berdasarkan AD dan ART. Apalagi pembubaran tersebut merupakan bentuk sanksi terhadap partai politik yang melakukan pelanggaran. Hingga saat ini masih terdapat kekosongan hukum untuk menentukan, apakah seorang anggota lembaga perwakilan harus diberhentikan atau tidak jika partainya dibubarkan. Apakah harta kekayaan partai politik yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi disita dan diambil alih oleh negara, atau dapat dibentuk panitia tersendiri untuk pengurusan harta kekayaan tersebut. Apakah terhadap pengurus partai politik dapat dikenakan sanksi tertentu? 971 Venice Commission menyatakan bahwa terkait dengan penolakan pendaftaran dan hilangnya status partai politik harus ada ketentuan yang memberikan kesempatan bagi partai politik untuk melakukan upaya hukum atas putusan dan tindakan tersebut melalui pengadilan. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guidelines and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 277 5.4. GUGATAN PEMBUBARAN PARTAI GOLKAR Pada masa reformasi, terdapat empat gugatan yang ditujukan kepada Partai Golkar. Di antara keempat gugatan tersebut, terdapat dua gugatan yang meminta pembubaran Partai Golkar, yaitu Perkara No. 01.G/WPP/2000 dan Perkara No. 02.G/WPP/2001. Sedangkan dua gugatan lain meminta agar Partai Golkar didiskualifikasi dari Pemilu 1999972 dan mencabut hak Partai Golkar untuk ikut Pemilu 2004973. Gugatan pertama yang meminta pembubaran Partai Golkar diajukan oleh Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dan beberapa penggugat lain kepada Mahkamah Agung yang diregistrasi dengan Perkara No. 01.G/WPP/2000. Gugatan ini diajukan oleh pihak yang sama dengan Perkara No. 521/PDT.G/1999/PN.JAK.PST yang meminta agar Partai Golkar didiskualifikasi dan dicabut haknya untuk mengikuti Pemilu 2004.974 Penggugat meminta agar membekukan atau membubarkan Partai Golkar, atau setidak-tidaknya mencabut hak Partai Golkar ikut dalam Pemilu 1999 dengan segala akibatnya termasuk menyatakan hasil suara dan kursi yang diperolehnya tidak sah dan dibatalkan. Hal itu karena Partai Golkar dinilai telah melanggar UU Parpol, khususnya Pasal 14 Ayat (1) dan (2) tentang batas maksimal sumbangan yang dapat diterima partai politik dan Pasal 9 huruf e yang mengatur kewajiban partai politik menyukseskan penyelenggaraan Pemilu secara demokratis, jujur dan adil. Pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh Partai Golkar oleh para penggugat adalah telah menerima sumbangan sebesar 15 milyar rupiah dari dana kasus Bank Bali. Selain itu Partai Golkar juga dituduh melakukan money politic, melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk mempengaruhi pemilih, menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), mencuri start kampanye, dan pelanggaran lainnya. Majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut adalah H. German Hoediarto, H. P. Panggabean, H. Usman Karim, Ahmad Syamsudin, dan O. K. Joesli. Putusan dibacakan pada tanggal 13 Maret 2000. Dalam putusan tersebut 972 Perkara No. 521/PDT.G/1999/PN.JAK.PST diajukan pada tanggal 11 Oktober 1999. Perkara No. 01.SP/WPP/III/2001 yang diajukan pada tanggal 8 Maret 2001. 974 O.C. Kaligis & Associates, Partai Golkar Digugat, (Jakarta: Otto Cornelis Kaligis, 2001), hal. 3 – 184. 973 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 278 dinyatakan bahwa perkara ini berkaitan dengan Perkara No. 521/PDT.G/1999/PN.JKT.PST. Untuk mencegah terjadinya putusan yang bertentangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa pekara No. 01.G/WPP/2000 belum waktunya diajukan ke Mahkamah Agung sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.975 Walaupun demikian, dalam amar putusannya Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili perkara tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir. Pada 2001, tuntutan Pembubaran Partai Golkar yang dianggap sebagai kekuatan Orde Baru dan menghambat proses reformasi semakin meningkat. Tuntutan-tuntutan tersebut disampaikan melalui berbagai demonstrasi oleh unsurunsur mahasiswa dan masyarakat. Tuntutan tersebut kemudian mengerucut kepada langkah hukum berupa gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung.976 Pihak yang mengajukan gugatan adalah Pijar Indonesia mewakili sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-Orde Baru, antara lain Rakyat Bergerak yang dipimpin Sri Bintang Pamungkas, Paguyuban Korban Orde Baru, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Front Indonesia Semesta, dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri Korban Rezim Orde Baru.977 Gugatan diajukan pada Mahkamah Agung dengan Perkara No. 02.G/WPP/2001. Para penggugat mengajukan gugatan agar Partai Golkar dibekukan dan dibubarkan, atau dicabut haknya (didiskualifikasi) untuk mengikuti Pemilihan Umum karena menerima sumbangan melebihi ketentuan undang-undang.978 Hal ini masih terkait dengan perkara sebelumnya yaitu dana Partai Golkar yang diduga dari kasus Bank Bali. Ketentuan yang didalilkan dilanggar diantaranya adalah sumbangan yang boleh diterima parpol sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah Rp15.000.000,00 dari sumbangan perorangan dan Rp150.000.000,00 975 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaksanaan wewenang MA membekukan atau membubarkan partai politik adalah setelah mendengar dan mempertimbangan keterangan Pengurus Partai Politik dan setelah melalui proses peradilan. 976 Pep/cal, Usulan Pembubaran Golkar Sebaiknya Lewat MA, Harian Kompas, Senin, 26 Februari 2001. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/02/25/0044.htm, 01/10/2007. 977 Gugatan Pembubaran Partai Golkar Disidangkan, Kompas, Sabtu 2 Juni 2001. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/02/nasional/guga07.htm, 26/09/2007. 978 An/ma, Akhirnya, MA Tolak Bekukan Golkar, Harian Duta Masyarakat, 31 Juli 2001. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/31/0036.html, 01/10/2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 279 dari perusahaan atau badan dalam waktu satu tahun. Tetapi, sesuai laporan Pricewaterhouse Coopers (PwC), Partai Golkar menerima dana 979 Rp15.000.000.000,00 dari kasus Bank Bali melalui Arung Gauk Jarre. Dana kepada Partai Golkar tersebut dikatakan oleh penggugat disalurkan melalui anggota DPR yang mewakili Golkar, seperti Didi F Korompis, Freddy Latumahina, Enggartiasto Lukito, dan Marimutu Manimaren. Selain itu, Partai Golkar juga menerima sumbangan dari AA Baramuli sebesar Rp1.000.000.000,00 yang diterima pengurus Golkar di Sulawesi Selatan dan dana dari Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp90.000.000.000. Penggugat menyatakan bahwa berdasarkan fakta tersebut majelis hakim selayaknya menyatakan Partai Golkar telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 1999. Untuk itu Majelis Hakim diminta mencabut hak Partai Golkar mengikuti Pemilu 2004. Selain itu, dengan alasan menerima dana Rp90.000.000.000,00 dari Bulog dan dana Rp15.000.000.000,00 dari kasus Bank Bali, menunjukkan Partai Golkar tidak adil dan tidak jujur pada proses pemenangan Pemilu 1999, penggugat meminta MA memutuskan Partai Golkar melanggar Pasal 9 huruf (e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Oleh karena itu, MA diminta membubarkan atau setidak-tidaknya membekukan Partai Golkar.980 Terhadap gugatan tersebut, Partai Golkar menyatakan bahwa gugatan tersebut telah kadaluarsa sesuai dengan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 1999 yang memberikan batasan pengaduan terkait dengan laporan keuangan Partai Politik 15 hari sebelum dan 30 sesudah pemilihan umum.981 Selain itu Partai Golkar juga mengajukan gugatan balik dengan menuntut ganti rugi sebesar Rp1.000.000.000.000,00. Namun demikian Majelis Hakim tetap melanjutkan persidangan tanpa menjatuhkan putusan sela dan memasuki pemeriksaan pokok perkara. Terkait dengan masa kadaluarsa, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi laporan keuangan yang berhubungan dengan dana kampanye, dan bukan laporan keuangan secara keseluruhan seperti yang dimaksudkan oleh penggugat. Gugatan tersebut diputuskan pada 31 Juli 2001 oleh Majelis Hakim yang terdiri atas Asma Samik sebagai hakim ketua dan para hakim anggota adalah 979 Gugatan Pembubaran Partai Golkar Disidangkan, Op. Cit. Ibid. 981 Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1999. 980 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 280 Tjung Abdul Mutallip, Abdul Rahman Saleh, Artidjo Alkostar, dan Muhammad Laica Marzuki. Putusan Majelis Hakim menyatakan menolak gugatan membekukan atau membubarkan Partai Golkar karena tidak cukup bukti yang menunjukkan bahwa Golkar telah melanggar batasan dan aturan pendanaan pemilihan umum.982 Bukti yang diajukan sebagian besar adalah fotokopi surat dan kliping berita yang menurut Majelis Hakim tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat. Bukti-bukti lain yang diajukan oleh penggugat tidak memiliki kekuatan untuk mendukung gugatan dan baru merupakan bukti awal yang perlu pembuktian lebih lanjut.983 Gugatan pembekuan atau pembubaran Partai Golkar tersebut tidak sesuai dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu partai politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16. Pasal-pasal yang menjadi dasar pembekuan atau pembubaran tersebut tidak terkait dengan ketentuan tentang dana kampanye ataupun dana partai politik secara umum yang secara khusus diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Penggugat telah membangun kontruksi hukum bahwa pelanggaran batas sumbangan kepada partai politik yang diterima Partai Golkar mengakibatkan partai tersebut melanggar kewajiban partai politik untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia yang dapat menjadi dasar pembekuan atau pembubaran partai politik berdasarkan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Namun, dengan tidak adanya bukti yang menguatkan pelanggaran sumbangan, kontruksi tersebut tidak dapat dipertahankan. 982 Mahkamah Agung Tolak Gugatan Pembubaran Golkar, http://www.voanews.com /indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-31-6-1.cfm, 26/09/2007. 983 An/ma, Op. Cit. Putusan Mahkamah Agung tersebut dibenarkan oleh Mahfud MD karena dalam persidangan memang tidak cukup bukti yang meyakinkan sebagai alasan pembekuan atau pembubaran Partai Golkar, walaupun dari rasa keadilan ada kehendak Partai Golkar semestinya dibubarkan. Lihat, tra, Menkeh dan HAM (Demisioner): Hakim Agung dalam Perkara Pembubaran Golkar Tak Salah, Harian Kompas, Sabtu 4 Agustus 2001. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/04/nasional/haki06.htm, 01/10/2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 281 Selain itu, juga patut dipertimbangkan adanya Penjelasan Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa sebelum proses peradilan pembekuan atau pembubaran partai politik, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan. Penjelasan dimaksud tentunya terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang dapat berujung pada proses peradilan pembekuan/pembubaran partai politik. Berdasarkan putusan MA tersebut, proses pembubaran partai politik dalam praktiknya dapat dilakukan tanpa melalui peringatan tertulis yang dikeluarkan oleh MA, tetapi melalui gugatan pihak ketiga. Walaupun amar putusan MA menolak gugatan, namun putusan tersebut telah memberikan hak kepada partai lain, bahkan setiap orang untuk mengajukan gugatan pembubaran partai politik tertentu. 5.5. MAKLUMAT PEMBEKUAN PARTAI GOLKAR Walaupun pada masa reformasi tidak terjadi pembubaran partai politik, namun pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan Maklumat984 yang membekukan Partai Golkar. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh konflik politik yang terjadi antara Presiden dengan parlemen terkait dengan berbagai permasalahan, terutama Memorandum yang diajukan oleh DPR terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden pada kasus dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei Darrusalam, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal bab ini. Ketegangan hubungan antara Presiden dan DPR juga disebabkan oleh kebijakan Presiden yang dinilai oleh DPR kontroversial. Kebijakan tersebut antara lain adalah pemberhentian Menteri negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi (dari PDIP) dan pemberhentian Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla (dari Partai Golkar).985 Bahkan, di tengah situasi krisis politik menjelang Sidang Istimewa MPR, Presiden Wahid juga menonaktifkan Kapolri Jenderal Polisi S. Bimantoro dan menggantikannya dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Kebijakan tersebut dinilai 984 985 Maklumat ini lebih sering disebut dengan Dekrit. Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 199. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 282 melanggar Pasal 7 Ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000986 yang mengharuskan adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan Kapolri.987 Sebelum adanya Maklumat Presiden yang membekukan Partai Golkar, untuk mengatasi perseteruan dengan DPR dan terkait dengan kontroversi rencana akan dilakukannya Sidang Istimewa MPR, pada 28 Mei 2001 Presiden mengeluarkan Maklumat yang menyatakan keadaan politik darurat. Dalam Maklumat tersebut, Presiden menugaskan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mengambil tindakan tegas yang diperlukan untuk mengatasi situasi darurat.988 Adanya Maklumat 28 Mei 2001 ternyata menimbulkan reaksi keras DPR dengan menyelenggarakan Sidang Paripurna. Salah satu putusan sidang paripurna DPR adalah mengeluarkan memorandum untuk Presiden terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei. Terhadap Memorandum I tersebut, Presiden menyampaikan jawaban yang di dalamnya mempertanyakan memorandum karena dinilai bergeser dari substansi kasus kepada pelanggaran sumpah jabatan dan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998. Jawaban tersebut tidak dapat diterima oleh DPR sehingga diputuskan menindaklanjuti dengan mengirim Memorandum II pada 1 Mei 2001.989 Akhirnya, DPR memutuskan meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.990 Pada 23 Juli 2001 Pukul 01.05 WIB, Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI991 mengeluarkan Maklumat dan meminta TNI dan Polri mengamankan pelaksanaan Maklumat tersebut. Maklumat itu berisi pernyataan pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat Indonesia; pembekuan MPR dan DPR; pembentukan badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu 986 Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 987 Hamdan Zoelva, Op. Cit., hal. 102-103. 988 Dhory Faraby, S. Satya Dharma, dan M. Nur Purnomosidhi, Pertanggungjawaban Publik Ali Masykur Musa: Aksi & Pemikiran dalam Perspektif Pers Indonesia, (Jakarta: Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia, 2005), hal. 36. Bandingkan dengan Arinanto, Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hal. 251 catatan kaki nomor 531. 989 Keputusan DPR RI Nomor 47/DPR RI/2000-2001. 990 Keputusan DPR RI Nomor 51/DPR RI/2000-2001. 991 Di dalam isi Maklumat disebutkan sebagai Kepala Negara RI. Sedangkan pada bagian penutup disebutkan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 283 tahun; serta penyelamatan gerakan reformasi total dan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Selengkapnya Maklumat Presiden 23 Juli 2001 adalah sebagai berikut.992 Maklumat Presiden RI Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama perkembangan politik yang menuju pada kebuntuan politik akibat krisis konstitusional berlarutlarut yang telah memperparah krisis ekonomi, dan menghalangi usaha penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang disebabkan oleh pertikaian kepentingan politik dan kekuasaan yang tidak mengindahkan lagi kaidah-kaidah perundangundangan. Apabila hal ini tidak dicegah maka akan menghancurkan berdirinya negara kesatuan RI, maka dengan keyakinan dan tanggungjawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan kehendak sebagian terbesar masyarakat Indonesia, kami selaku kepala negara RI terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa dengan memaklumkan: 1. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan, serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun; 3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan MA; 4. Untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI Polri untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan negara kesatuan Republik Indonesia, dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial serta ekonomi seperti biasa. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa meridhoi negara dan bangsa Indonesia. Jakarta, 22 Juli 2001 Presiden RI Panglima Tertinggi Angkatan Perang KH. Abdurrahman Wahid Terkait dengan pembekuan Partai Golkar, berdasarkan Maklumat tersebut dapat disimpulkan alasannya adalah untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru. Dengan demikian Partai Golkar dianggap sebagai unsur Orde Baru yang menghambat gerakan reformasi total. Namun, Presiden Wahid menyatakan bahwa Maklumat tersebut dipicu oleh pernyataan Ketua MPR bahwa sebentar lagi akan ada pemimpin nasional baru. Hal itu menurut Presiden Wahid berarti Ketua MPR tidak dapat 992 Diambil dari Hamdan Zoelva, Op. Cit., hal. 217-218. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 284 mengendalikan orang-orang yang hendak memaksa Presiden turun dari jabatannya. Jika Presiden Wahid diturunkan, maka akan ada beberapa provinsi yang melepaskan diri dari NKRI, padahal Presiden disumpah untuk menjaga keutuhan teritorial. Oleh karena itu, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Presiden memberlakukan Dekrit.993 Maklumat itu memperuncing konflik Presiden dengan DPR/MPR. Banyak pihak menyatakan bahwa Maklumat itu tidak memiliki landasan hukum. Albert Hasibuan menyatakan bahwa Maklumat atau yang lebih sering disebut Dekrit tersebut tidak memiliki legalitas hukum karena tidak ada kewenangan Presiden untuk membekukan MPR/DPR. Bahkan Menteri Hukum dan HAM saat itu, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa sepanjang sejarah Indonesia hanya sekali Dekrit Presiden dikeluarkan, yaitu pada 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, yang merupakan revolusi hukum. Demikian pula halnya dengan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa kondisi politik saat itu berbeda dengan kondisi politik saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Wahid tidak bisa diterima.994 Di sisi lain, penasihat hukum Presiden Wahid, Prof. Dr. Harun Alrasid, menyatakan bahwa dalam hukum tata negara, Presiden berwenang melakukan apa saja demi menyelamatkan negara, bahkan dengan melanggar Undang-Undang Dasar sekalipun. Pendapat yang lebih komprehensif disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Prof. Dr. Suwoto Mulyosudarmo. Dikatakan bahwa Dekrit dikeluarkan berdasarkan hukum tata negara darurat. Dalam kondisi demikian memang tidak relevan mempersoalkan dasar hukum upaya khusus yang ditetapkan Presiden untuk mengatasi kondisi darurat. Namun upaya tersebut harus mendapat dukungan dari militer dan parlemen, contohnya adalah Supersemar.995 Perlu dipertanyakan apakah maklumat yang berisi pembekuan Partai Golkar dikeluarkan dalam keadaan darurat. Sebelum Maklumat yang 993 Harian Kompas, Senin, 23 Juli 2001, dalam Faraby, Dharma, dan Purnomosidhi, Op. Cit., hal. 33. Faraby, Dharma, dan Purnomosidhi, Op. Cit., hal. 34-35. 995 Ibid., hal. 35. 994 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 285 membekukan Partai Golkar, memang terdapat Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001. Selengkapnya, Maklumat itu adalah sebagai berikut.996 MAKLUMAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Berhubung dengan situasi politik darurat yang kita hadapi karena adanya kontroversi mengenai kemungkinan Sidang Istimewa MPR RI dan kemungkinan Dekrit Presiden, maka dengan ini saya memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan untuk mengambil tindakan-tindakan dan langkahlangkah khusus yang diperlukan, dengan mengkoordinasi seluruh aparat keamanan secara fungsional, guna mengatasi krisis serta menegakkan ketertiban, keamanan, dan hukum secepat-cepatnya. Jakarta, 28 Mei 2001 Pukul 12.00 WIB ttd ABDURRAHMAN WAHID Menyatakan keadaan bahaya memang merupakan wewenang Presiden, namun harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan akibat yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-Undang yang mengatur keadaan bahaya adalah Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.997 Dilihat dari ketentuan undang-undang tersebut, Maklumat Presiden itu memiliki beberapa kelemahan. Terkait dengan substansi, Maklumat tersebut bukan merupakan pernyataan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Maklumat itu merupakan perintah Presiden kepada Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan untuk mengambil tindakan dan langkah yang diperlukan. Keadaan yang disebutkan sebagai alasan adanya Maklumat adalah situasi politik darurat yang tidak dikenal. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959, hanya membedakan keadaan bahaya menjadi, keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang. 996 Dapat dilihat pada http://groups.msn.com/MediaParlemen/tnicom.msnw, 01/10/2007. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya, UU Nomor 23 Prp Tahun 1959, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1908. 997 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 286 Apalagi dalam Maklumat itu juga disebutkan bahwa situasi politik darurat terjadi karena adanya kemungkinan Sidang Istimewa MPR dan kemungkinan Dekrit Presiden. Keduanya terlaksana atau tidak bergantung kepada lembaga negara, yaitu MPR dan Presiden sendiri. Hal itu tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 yang memberikan kriteria menentukan keadaan darurat, terkait dengan keamanan dan ketertiban, perang atau bahaya perang, dan ancaman terhadap kehidupan negara.998 Walaupun telah terdapat Maklumat yang membubarkan MPR, namun MPR tetap melaksanakan Sidang Istimewa yang didahului dengan permintaan fatwa yang diajukan oleh Ketua DPR dengan Surat Nomor KS02/3709.A/DPRRI/2001 tertanggal 23 Juli 2001 yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut langsung dijawab pada pagi hari yang sama oleh Ketua Mahkamah Agung dengan surat Nomor KMA 419/7/2001. Surat itu dibacakan pada Sidang Istimewa hari itu.999 Surat MA menjawab 3 pokok permasalah yang diajukan terkait dengan Maklumat Presiden 22 Juli 2001. Pertama, terkait dengan pembekuan DPR dan MPR. Berdasarkan Penjelasan UUD 1945 Angka VII di bawah subjudul Kedudukan DPR disebutkan bahwa kedudukan DPR adalah kuat dan Dewan tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Anggota DPR karena kedudukannya adalah anggota MPR berdasarkan Pasal 2 UUD 1945 beserta Penjelasan Umum Sub VII dan berdasarkan Bab II Bagian Pertama Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Presiden yang diangkat oleh MPR tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR sebagaimana tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 Subjudul 3 tentang Kekuasaan Negara Tertinggi di tangan 998 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 menyatakan tiga kriteria tersebut adalah (1) keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; (2) timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; dan (3) hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara. 999 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hal. 252, catatan kaki nomor 532. Surat Ketua MA tersebut juga dapat diperoleh melalui http://www.hamline.edu/apakabar/basis data/2001/08/01/0066.html, 01/10/2007. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 287 MPR. Oleh karena itu, ditinjau dari segi ketentuan hukum, Presiden tidak dapat membekukan DPR apalagi MPR.1000 Kedua, tentang pembentukan badan guna penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu 1 tahun. Menurut fatwa MA, hal itu merupakan kewenangan MPR berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.1001 Ketiga, terkait dengan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu putusan MA. Pada bagian ini, surat MA menyatakan bahwa kewenangan untuk membekukan partai politik ada pada MA berdasarkan Pasal 17 Ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Tindakan membekukan Partai Golkar oleh Presiden merupakan tindakan mencampuri badan peradilan, sebab dibekukan atau tidaknya Partai Golkar pada saat itu sedang dalam proses peradilan di MA. Juga dinyatakan bahwa dalam tindakan pembekuan Partai Golkar oleh Presiden tidak dijelaskan secara cermat tentang pertimbangan yang menjadi alasan pembekuan. Hal itu bertentangan dengan asas hukum administrasi bahwa motivasi dan pertimbangan keputusan administratif harus jelas.1002 Selain itu juga dinyatakan bahwa pemakaian istilah “maklumat” tidaklah tepat karena dalam tata urutan perundang-undangan menurut hukum ketatanegaraan tidak dikenal produk hukum yang disebut “maklumat”, sesuai Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000.1003 Oleh karena itu, tindakan pembekuan Partai Golkar bertentangan dengan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 sehingga pembekuan tersebut tidak berkekuatan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, pada bagian akhir fatwa MA menyatakan bahwa dikeluarkanya Dekrit Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Maklumat Presiden RI bertentangan dengan hukum.1004 Fatwa MA dibacakan oleh Sekretaris Jenderal MPR, Umar Basalim, dalam Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001. Presiden Wahid menyatakan bahwa Fatwa 1000 www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3254, 26/09/07. Bandingkan dengan Satya Arinanto, Hak Asasi Manuisa, Op. Cit. 1001 Ibid. 1002 Ibid. 1003 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan. 1004 www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3254, 26/09/07. Bandingkan dengan Satya Arinanto, Hak Asasi Manuisa, Op. Cit. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 288 MA tidak mencukupi sebagai dasar hukum karena tidak dibuat melalui sidang MA, melainkan hanya dibuat oleh Ketua MA.1005 Namun demikian, Ketua MA Bagir Manan menyatakan bahwa Fatwa itu diputuskan bersama sejumlah hakim agung yang dipimpin oleh Ketua MA. Surat permohonan dari DPR diterima pada 23 Juli 2001 dini hari, yaitu pukul 01.10 dan langsung dilakukan pembahasan karena dianggap penting untuk kelangsungan kehidupan bernegara. Pembahasan itu melibatkan Ketua-Ketua Muda MA dan hakim agung yang lain. Pembahasan dimulai sekitar pukul 03.00 dan selesai dibuat sekitar pukul 07.00.1006 Pada Sidang Istimewa hari itu, MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor I/MPR/2001 yang menyatakan Maklumat Presiden 21 Juli 2001 tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.1007 Sidang Istimewa juga memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid1008, dan mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden1009, serta berhasil memilih Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden1010. Jika dilihat dari sisi normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang berlaku saat itu, wewenang pembekuan partai politik memang ada di tangan Mahkamah Agung melalui proses pengadilan, dan setelah Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut dalam waktu 3 bulan.1011 Dengan demikian, Maklumat Presiden yang membekukan Partai Golkar tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan pengaturan partai politik. Bersamaan dengan demokratisasi sebagai arus utama reformasi, kemerdekaan berserikat mendapatkan jaminan dan pengakuan serta sekaligus sebagai bentuk 1005 TNA, “Gus Dur: Maklumat itu Jihad Presiden”, www.liputan6.com, 23/7/2001, 17:13. p03/tra, Ketua MA Bagir Manan: Fatwa MA Diputuskan Bersama Hakim Agung, Harian Kompas, Selasa 24 Juli 2001. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/24nasional/ketua08.htm, 01/10/2007. 1007 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. 1008 Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. 1009 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia. 1010 Ditetapkan dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. 1011 Pasal 17 dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1006 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 289 penghormatan terhadap keragaman organisasi sosial politik. Hal itu diwujudkan melalui pengakuan kebebasan membentuk partai politik yang sekaligus mengakhiri pembatasan partai politik pada masa Orde Baru. Oleh karena itu salah satu tanda demokrasi di masa reformasi adalah pemberian kebebasan membentuk partai politik dan diakhirinya pemberian keistimewaan terhadap partai politik tertentu. Bahkan pengakuan terhadap keberadaan dan peran partai politik juga diakui dalam UUD 1945. Partai politik memperoleh status badan hukum yang diberikan oleh negara melalui proses pendaftaran dengan memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Persyaratan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara yang hendak mendirikan partai politik. Selain partai politik nasional, juga dapat dibentuk partai politik lokal khusus untuk Nangro Aceh Darrusalam dan Papua. Dengan adanya kebebasan berserikat, termasuk membentuk partai politik yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, terbentuk sistem multipartai. Upaya penyederhanaan partai politik dilakukan tanpa membatasi kebebasan berserikat, yaitu melalui syarat pembentukan, proses verifikasi untuk mengikuti pemilu, dan melalui penerapan ketentuan electoral treshold. Pembubaran partai politik tidak lagi merupakan wewenang pemerintah atau Presiden, tetapi merupakan wewenang pengadilan melalui proses peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 partai politik dapat dibubarkan oleh MA. Perubahan terjadi pasca Perubahan UUD 1945 yang menentukan wewenang memutus pembubaran partai politik ada pada MK. Hal itu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Hal itu sesuai dengan prinsip pembubaran partai politik sebagai salah satu bentuk pembatasan kebebasan berserikat dalam negara hukum dan demokrasi yang harus dilakukan berdasarkan keputusan yudisial melalui due process of law and fair trial. Pemerintah, berdasarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 hanya berperan sebagai pemohon. Alasan pembubaran partai politik pada awalnya, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, dirumuskan meliputi banyak aspek, tidak hanya pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban, melainkan juga terhadap Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 290 persyaratan pendirian. Persyaratan tersebut dirumuskan semakin spesifik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, yaitu terkait dengan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, alasan pembubaran terkait dengan konstitusionalitas partai politik, yaitu jika ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. BAB VI ANALISIS PENGATURAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DAN PROSPEK DI MASA MENDATANG 6.1. TUJUAN DAN ARAH PENGATURAN 6.1.1. Tujuan Pengaturan Pengaturan partai politik menjadi salah satu kecenderungan utama negara demokrasi modern mengingat peran partai politik yang semakin penting. Pengaturan partai politik diperlukan untuk mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai dengan tipe demokrasi yang dikembangkan dan kondisi bangsa Indonesia. Pengaturan tentang partai politik juga dimaksudkan untuk menjamin kebebasan partai politik itu sendiri, serta membatasi campur tangan berlebihan dari pemerintah yang dapat memasung kebebasan dan peran partai politik sebagai salah satu institusi yang diperlukan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.1012 Di sisi lain, pengaturan juga diperlukan untuk menjamin berjalannya demokrasi dalam tubuh organisasi dan aktivitas partai politik itu sendiri. Pengaturan partai politik merupakan bagian dari proses institusionalisasi untuk mengembangkan demokrasi. Pengaturan dimaksudkan untuk mewujudkan regularitas kompetisi antarpartai, meningkatkan keluasan akar partai politik dalam masyarakat, meningkatkan penerimaan masyarakat atas hasil pemilihan umum, dan meningkatkan pengorganisasian internal partai politik.1013 Salah satu aspek pengaturan partai politik adalah pembubaran partai politik sebagai salah satu bentuk pembatasan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berserikat. Kebebasan berserikat sebagai hak asasi manusia memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain.1014 1012 Salah satu kesimpulan dari survei yang dilakukan Venice Commission di negara-negara Eropa menunjukkan bahwa aktivitas partai politik dijamin oleh prinsip kebebasan berserikat. Bahkan adanya tindakan pembatasan itu sendiri merupakan wujud perhatian terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan berserikat. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. 1013 Reilly, Op. Cit., hal. 5. 1014 Hilaire Barnett, Op. Cit., hal. 589. 291 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 292 Pembatasan yang dibutuhkan dalam masyarakat demokratis merupakan garis apresiasi yang menyeimbangkan antara kepentingan publik dan privat. Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.1015 Sam Issacharoff menyatakan bahwa salah satu bentuk pembatasan yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, adalah pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan, serta masyarakat secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.1016 Selain itu, pembatasan juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional tertentu, seperti loyalitas pada negara dan integrasi dan kedaulatan wilayah.1017 Tujuan pengaturan pembubaran partai politik dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur alasan pembubaran partai politik. Dari berbagai ketentuan di beberapa negara yang telah dibahas pada bab kedua, pengaturan pembubaran partai politik antara lain bertujuan untuk melindungi (a) demokrasi, (b) konstitusi, (c) kedaulatan negara, (d) keamanan nasional, dan (e) ideologi negara. Perlindungan terhadap demokrasi, dimaksudkan agar tatanan demokrasi yang sedang berjalan tidak rusak dan digantikan dengan sistem lain yang tidak demokratis. Pemerintahan yang demokratis harus mencegah bentuk-bentuk yang mengancam demokrasi.1018 Perlindungan tersebut diwujdukan dalam bentuk larangan program dan kegiatan partai politik yang hendak menghancurkan tatanan demokrasi, maupun dalam bentuk keharusan partai politik bersifat demokratis baik organisasi maupun cara yang digunakan.1019 1015 Janusz Symonides, Op. Cit., hal. 91-92. Sam Issacharoff, Op. Cit., hal. 6 dan 22. 1017 Weiner and Lapalombara, Op. Cit., hal. 414. 1018 Dikenal dengan doktrin militant democracy. Lihat Kommers, Op. Cit., hal. 202. 1019 Hal itu misalnya dapat dilihat di Albania, Algeria, Angola, Brazil, Cheznya, Korea Selatan, dan Spanyol Article 9 Para 1 Konstitusi Albania menyatakan, “Political parties are created freely. Their organization shall conform with democratic principles.” Article 42 Para 2 Konstitusi Algeria menyatakan, “However, this right cannot be used to viole the fundamental liberties … as well as the democratic and republican nature…”. Article 26 Konstitusi Andora menyatakan, “Andorrans have the right freely to create political parties. Their 1016 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 293 Perlindungan terhadap konstitusi diwujudkan dalam bentuk ketentuan yang melarang tujuan dan kegiatan partai politik bertentangan dengan konstitusi atau hendak menghilangkan atau merusak tatanan konstitusional.1020 Perlindungan terhadap konstitusi juga diwujudkan dalam bentuk adanya ketentuan yang melarang partai politik secara paksa atau dengan jalan kekerasan hendak mengubah tatanan negara konstitusional atau mengubah konstitusi.1021 Namun demikian tujuan mengubah konstitusi yang dilakukan secara demokratis dan damai tidak dapat dijadikan alasan pembubaran partai politik.1022 Perlindungan terhadap kedaulatan meliputi keharusan partai politik menghormati prinsip kedaulatan nasional,1023 larangan membahayakan eksistensi negara,1024 tidak melanggar kemerdekaan dan kesatuan atau kedaulatan nasional,1025 hingga larangan afiliasi dan memperoleh pendanaan dari pihak asing.1026 Perlindungan terhadap keamanan nasional diwujudkan melalui function and organization must be democratic…”. Article 4 Para 2 Konstitusi Angola menyatakan “Political parties shall, in their objectives, program and activity, contribute to:… (c) The defence of national souvereignity and democracy.” Article 17 Konstitusi Brazil menyatakan, “The creation, consolidation, merger and extinction of political parties is free, with due regard for … the democratic regime…”. Article 5 Konstitusi Cheznya menyatakan, “The political parties is based on free and voluntary formation … respecting the basic democratic precepts…”. Article 4 Konstitusi Perancis menyatakan, “… They must respect the principles of national souvereignty and democracy.” Article 8 Para 2 Konstitusi Korea Selatan menyatakan, “Political parties must be democratic in their objectives, organization, and activities, …”. Article 6 Konstitusi Spanyol menyatakan, “… Their internal structure and operation must be democratic.” 1020 Hal ini misalnya diatur dalam konstitusi Suriname, Spanyol, dan Fiji. Article 53 Para 3 Konstitusi Suriname menyatakan, “In exercising their rights the political organizations shall take into account the following: a. Their goals may not be in violation of or incompatible with the Constitution and the law.” Article 6 Konstitusi Spanyol menyatakan, “… Their creation and the exercise of their activity are free within the observance of the Constitution and the laws…” Article 7 Konstitusi Fiji menyatakan, “… Their activities may not cotravene the constitution and the laws, …” 1021 Misalnya diatur dalam konstitusi Mozambique, Macedonia, dan Belarus. Article 33 Konstitusi Mozambique menyatakan, “Political parties shall be prohibited from advocating or resorting to violence in order to change the political and social order of the country.” Article 20 Para 3 Konstitusi Macedonia menyatakan, “The programs and activities of political parties and other associations of citizens may not be directed at the violent destruction of the constitutional order of the Republic…” Article 5 Para 3 Konstitusi Belarus menyatakan, “The creation and activites of political parties and other public associations that aim to change the constitutional system by force…shall be prohibited.” 1022 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 2-3. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 130-134. 1023 Misalnya, Article 31-1 Konstitusi Haiti yang menyatakan, “… They must respect the principles of national and democratic sovereignty…”; Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of national sovereignty, …” 1024 Misalnya, Article 21 Para 2 menyatakan, “Parties which, by reason on their aims or behavior of their adherents, … or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional…” 1025 Misalnya, Article 26 Konstitusi Iran yang menyatakan, “…they do not violate the principles of independent, freedom, national unity,…”; Article 11 Para 1 Konstitusi Mauritania menyatakan, “…their actions they do do not undermine national sovereignty…”; Article 41 Para 4 Konstitusi Moldova menyatakan, “Parties and social/political organizations are declared unconstitutional by their aims or activities they are engaged in fighting against … the sovereignty and independent territorial integrity of the Republic Moldova.” 1026 Misalnya, Article 35 Para 2 konstitusi Afghanistan yang menyatakan, “…The party should have no affiliation to a foreign political party sources.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 294 kewajiban menghormati dan tidak mengganggu keamanan nasional,1027 larangan menghasut atau menasihatkan kekerasan atas dasar apapun,1028 hingga larangan membentuk dan menggunakan organisasi paramiliter.1029 Perlindungan terhadap ideologi negara adalah perlindungan terhadap faham atau asas tertentu yang dipandang sebagai dasar negara, misalnya pluralisme,1030 ajaran agama tertentu,1031 atau bahkan prinsip sekularisme.1032 Perlindungan ini juga diwujudkan dalam bentuk larangan partai politik menganut atau menjalankan program berdasarkan ideologi atau faham tertentu yang dipandang bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara.1033 Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembubaran partai politik di Indonesia, kepentingan utama yang hendak dilindungi adalah ideologi Pancasila,1034 konstitusi1035 dan kedaulatan nasional.1036 1027 Misalnya, Article 7 Konstitusi Rwanda menyatakan, “… They shall be formed and shall exercise their activities freely provided that they respect …, and the security of the State.”; Article 13 Para 5 Konstitusi Rusia menyatakan, “The establishment and the activities of public associations, whose aims and actions are …and undermining of the security of the state… are prohibited”; Article Article 8 Para 2 Konstitusi Kongo menyatakan, “Any propaganda or any act aiming to touch the internal security of the state,… shall be unconstitutional and punished by the laws and regulations in effect.” 1028 Misalnya Article 20 Para 3 Konstitusi Macedonia menyatakan “The programs and activities of political parties and other associations of citizens may not be directed at… or at encouragement or incitement to military aggression or ethnic, racial or religious hatred or intolerance.”; Article 26 Para 3 Konstitusi Georgia menyatakan, “The formation and activity of such public and political associations aiming at … or propagandising war or violence, provoking national, local, religious or social animosity, shall be impermissible.” 1029 Misalnya, Article 17 Para 4 Konstitusi Brazil menyatakan, “Political Parties are forbidden to use paramilitary organizations.”; Article 35 Para 2 Konstitusi Afghanistan menyatakan, “The party does not have military or paramilitary aims and structure.” 1030 Misalnya Article 11 Para 1 Konstitusi Bulgaria menyatakan, “Politics in the Republic of Bulgaria shall founded on the principle of political plurality” dan Para 4 yang menyatakan “There shall be no political parties on ethnic, racial, or religious line, …”; Article 125 Para 2 Konstitusi Cape Verde menyatakan, “The political parties shall not adopt denominations which directly or indirectly, … the church, religion or religious creed…” 1031 Misalnya Article 26 Konstitusi Iran menyatakan, “The formation of parties, societies, political or professional associations, … is permitted provided the do not violated… the criteria of Islam…” 1032 Misalnya, Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of … and the secularity of the State.” 1033 Misalnya, Article 13 Konstitusi Polandia yang menyatakan, “Political parties and other organizations whode programmes are based upon totalitarian methods and the modes of activity of nazism, fascism and communism, … shall be forbidden.” 1034 Pada masa Orde Lama diwujudkan dalam bentuk persyaratan menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang memuat dasar Pancasila, serta larangan bertentangan atau bermaksud mengubah asas dan tujuan negara. Pada masa Orde Baru diwujudkan dalam bentuk kewajiban mencantumkan asas Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu-satunya asas, larangan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme, serta ajaran atau faham lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pada masa reformasi diwujudkan dalam bentuk larangan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme, serta ajaran atau faham lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 1035 Ketentuan yang menunjukkan tujuan perlindungan terhadap konstitusi secara jelas adalah UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di mana dasar pembubaran partai politik adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 295 Tujuan untuk melindungi tatanan demokrasi dalam ketentuan yang pernah berlaku di Indonesia hanya ada dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa partai politik dalam memperjuangkan tujuannya harus menggunakan cara damai dan demokratis. Dapat saja dikatakan bahwa tujuan melindungi demokrasi sudah tercakup dalam perlindungan terhadap konstitusi. Namun perlu diingat bahwa prinsip demokrasi lebih luas dan tidak seluruhnya tercakup dalam konstitusi tertulis. Selain itu, dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia pengaturan pembubaran partai politik juga memiliki tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Pada masa Orde Lama hal itu dapat dilihat dari syarat pengakuan partai politik harus mendasarkan kerjanya pada Manifesto Presiden 17 Agustus 1959.1037 Pada masa Orde Baru hal itu dapat dilihat pada alasan pembekuan pengurus partai politik karena tidak melaksanakan kewajiban melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. Pengertian dan cara menjalankan kewajiban tersebut ditentukan sepihak oleh pemerintah. Pada masa reformasi, kepentingan untuk menjaga stabilitas dapat dilihat dari kewajiban partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang salah satunya adalah menyukseskan pembangunan nasional. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, tujuan pengaturan pembubaran partai politik adalah untuk melindungi ideologi1038, konstitusi1039, kedaulatan dan keselamatan negara1040. Tujuan tersebut perlu dirinci terutama untuk melindungi prinsip demokrasi dan negara hukum yang diyakini sebagai prinsip dasar dalam UUD 1945. Hal itu dimaksudkan agar 1036 Pada masa Orde Lama diwujudkan dalam bentuk alasan pembubaran jika sedang melakukan pemberontakan. Pada masa Orde Baru diwujudkan dalam bentuk larangan menerima dan/atau memberikan dana/dan atau sumbangan kepada pihak asing. Sedangkan pada era reformasi diwujudkan dalam bentuk larangan pembentukan partai politik yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. 1037 Pasal 3 Ayat (1) Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 1038 Pasal 48 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Article 13 Konstitusi Polandia yang menyatakan, “Political parties and other organizations whode programmes are based upon totalitarian methods and the modes of activity of nazism, fascism and communism, … shall be forbidden.” 1039 Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Article 7 Konstitusi Fiji menyatakan, “… Their activities may not cotravene the constitution and the laws, …” 1040 Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Ketentuan ini misalnya dapat dibandingkan dengan Article 31-1 Konstitusi Haiti yang menyatakan, “… They must respect the principles of national and democratic sovereignty…”, dan Article 28 Para 2 Konstitusi Mali menyatakan, “They must respect the principles of national sovereignty, …” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 296 demokrasi benar-benar dapat berjalan baik pada tingkat kenegaraan maupun internal partai politik. Artinya, suatu partai politik yang program dan aktivitasnya bertentangan dan melawan prinsip-prinsip demokrasi dapat dibubarkan, baik karena ideologi yang dianut maupun karena cara yang digunakan. Di masa yang akan datang, pengaturan pembubaran partai politik perlu juga ditujukan untuk melindungi keamanan nasional. Program atau kegiatan partai politik yang dapat mengganggu keamanan nasional misalnya adalah yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial. Tujuan ini dielaborasi lebih lanjut ke dalam alasan-alasan pembubaran partai politik di masa mendatang yang akan dibahas pada sub bagian tersediri. 6.1.2. Arah Sistem Kepartaian Pengaturan partai politik juga dimaksudkan untuk mewujudkan sistem kepartaian yang dipandang sesuai dengan kondisi bangsa. Pengaturan yang bertujuan untuk mengembangkan sistem kepartaian dalam negara demokrasi harus tanpa memberikan keistimewaan terhadap partai politik tertentu dan atau menghilangkan hak pembentukan partai politik baru. Jika dilihat dari jumlah major party di negara-negara demokrasi, sistem kepartaian yang berkembang adalah sistem dua partai atau sistem multi partai. Sedangkan sistem satu partai merupakan salah satu ciri dari kepartaian negara otokrasi.1041 Antara sistem dua partai dan sistem multipartai, masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Lijphart, sistem dua partai merupakan tipikal model demokrasi mayoritas, sedangkan sistem multi partai merupakan tipikal negara demokrasi konsensus.1042 Jika dilihat dari karakteristik demokrasi di Indonesia, terutama yang berkembang pasca reformasi, dapat ditentukan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi konsensus. Indonesia adalah sebuah negara dengan masyarakat yang plural baik dari sisi agama, ideologi, bahasa, budaya, etnis, ataupun ras. Tidak ada negara pada masyarakat yang plural menggunakan demokrasi mayoritas karena cenderung mengakibatkan minoritas tidak memiliki akses terhadap kekuasaan. Dalam demokrasi mayoritas, kelompok minoritas cenderung 1041 1042 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 301-302. Lijphart, Op. Cit., hal. 63. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 297 terpinggirkan. Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki keragaman lebih baik menganut model demokrasi konsensus.1043 Karakteristik demokrasi konsensus juga dapat dilihat dari susunan kabinet yang selalu merupakan koalisi atau pembagian kekuasaan di antara beberapa partai politik. Antara kekuasaan Presiden (executive power) dan kekuasaan DPR (legislative power) bersifat seimbang. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Hal itu merupakan konsekuensi sistem presidensiil yang dianut Indonesia. Pada model demokrasi mayoritas, kekuasaan kabinet lebih dominan karena kabinet diisi oleh orang-orang yang merupakan pimpinan partai mayoritas dalam parlemen. Selain itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat diuji terhadap Undang-undang Dasar. Hal itu merupakan karakteristik demokrasi model konsesus.1044 Sedangkan demokrasi mayoritas tidak mengenal judicial review karena menganut supremasi parlemen. Dengan demikian, sistem kepartaian yang sesuai dengan model demokrasi Indonesia, model demokrasi konsensus, adalah sistem multi partai. Namun, patut dipertimbangkan kelemahan sistem multi partai yang mengakibatkan pemerintahan kurang stabil. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, sistem multi partai yang dikembangkan akan lebih baik jika merupakan sistem multi partai sederhana dengan beberapa partai dominan. 6.1.3. Paradigma Pengaturan Dilihat dari sisi hubungan antara negara dan partai politik, pada bab kedua telah diuraikan lima paradigma pengaturan partai politik yang dikemukakan oleh Persily dan Cain, yaitu managerial, libertarian, progressive, poltical markets, dan pluralist.1045 Berdasarkan pengaturan partai politik pada periode Orde Lama dan Orde Baru, paradigma yang digunakan adalah managerial. Hal itu sesuai dengan sifat rejim Orde Lama dan Orde baru yang cenderung otoriter.1046 Pergeseran terjadi pada masa reformasi demokrasi, yang pada awalnya cenderung political 1043 Ibid, hal. 32 – 33. Ibid, hal. 41. 1045 Persily dan Cain, Op. Cit., hal. 4. 1046 Moh. Mahfud M.D. membedakan konfigurasi politik menjadi demokratis dan otoriter. Konfigurasi tersebut dibuat berdasarkan tiga indikator, yaitu peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan pers, dan peranan eksekutif. Berdasarkan indikator tersebut, Mahfud menggolongkan periode demokrasi terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) dalam konfigurasi politik otoriter. Lihat, Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hal. 4 dan 355. 1044 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 298 markets, namun selanjutnya diimbangi dengan unsur-unsur paradigma managerial dan progressive. Hal itu dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.1. Paradigma Pengaturan Partai Politik Periode Orde Lama Orde Baru Paradigma Pengaturan Peraturan 1. 2. 3. Penpres No. 7 Tahun 1959 Perpres No. 13 Tahun 1960 Perpres No. 25 Tahun 1960 1. 2. 3. 4. UU No. 3 Tahun 1975 PP No. 9 Tahun 1975 UU No. 3 Tahun 1985 PP No. 19 Tahun 1986 1. UU No. 2 Tahun 1999 1. 2. UU No. 31 Tahun 2002 UU No. 24 Tahun 2003 Managerial Managerial Political Markets Libertarian Reformasi Libertarian Political Markets Managerial Progressive Paradigma managerial pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat dilihat dari kedudukan partai politik yang diposisikan sebagai instrumen negara untuk menjaga stabilitas.1047 Pengaturan partai politik diarahkan untuk menyederhanakan partai politik pada masa Orde Lama1048 dan membentuk sistem kepartaian terbatas pada masa Orde Baru.1049 Mengingat partai politik ditempatkan sebagai instrumen negara, negara dapat melakukan intervensi terhadap partai politik,1050 serta peran partai politik dibatasi melalui mekanisme 1047 Pada masa Orde Lama, partai politik diposisikan sebagai salah satu alat untuk menjalankan demokrasi terpimpin. Hal itu dapat dilihat dari Penjelasan Umum Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menyatakan bahwa Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 ternyata tidak berhasil mencapai stabilitas politik, oleh karena itu dipandang tiba saatnya untuk mencabut Maklumat tersebut serta mengatur perkembangan partai politik sebagai alat demokrasi sehingga dapat berlangsung dalam suasana demokrasi terpimpin. Sedangkan pada masa Orde Baru paradigma managerial dapat dilihat dari konsideran “menimbang” huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan “bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar Partai-Partai Politik dan Golongan Karya benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan. 1048 Hal ini dapat dilihat mulai dari latar belakang munculnya Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terutama gagasan Presiden Sukarno mengubur partai-partai politik, hingga judul Penpres itu sendiri, yaitu “Sjarat-Sjarat dan Penjederhanaan Kepartaian”. 1049 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 menyatakan secara tegas bahwa yang dimaksud dengan organisasi kekuatan sosial politik terdiri atas PPP, PDI, dan Golkar. Hal itu berarti membatasi organisasi politik hanya pada tiga organisasi tersebut. Apalagi dalam undang-undang tidak ada ketentuan yang mengatur pembentukan partai baru. 1050 Pada tataran normatif, hal itu dapat dilihat dari mekanisme pengakuan dan pembubaran partai politik periode Orde Lama yang wewenangnya ada pada Presiden. Demikian pula halnya dengan pembekuan Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 299 pengangkatan sebagian anggota lembaga perwakilan tanpa melalui pemilihan umum.1051 Pada masa reformasi, paradigma pengaturan partai politik mengalami pergeseran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, paradigma yang menguat adalah political markets.1052 Partai politik lebih ditempatkan sebagai bentuk kebebasan berserikat yang diakui dan diperlukan di alam demokrasi.1053 Kebebasan tersebut menempatkan partai politik pada awalnya sebagai organisasi privat individu walaupun aktivitas dan tujuannya bersifat publik.1054 Adanya kebebasan tersebut juga mengarah pada sistem multi partai1055 serta pengakuan kemandirian1056 partai politik sesuai dengan tujuan dan aspirasi politik yang berbeda-beda agar dapat menawarkan pilihan politik kepada masyarakat. Partai politik juga memiliki peran besar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.1057 Paradigma political markets dalam perkembangannya diimbangi dengan paradigma manajerial berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang memberikan persyaratan lebih ketat untuk pendirian partai politik yang diarahkan pengurus partai politik pada masa Orde Baru yang juga dimiliki oleh Presiden, bahkan meliputi juga wewenang pengawasan dan pembinaan. Sedangkan pada tingkat praktik pada masa Orde Lama terlihat dari pembekuan Partindo tanpa memiliki dasar hukum. Pada masa Orde Baru intervensi dapat dilihat pada proses pembentukan Parmusi dan PNI yang harus dilakukan sesuai kehendak Presiden, serta proses fusi partai politik yang dipaksakan. 1051 Untuk mengimbangi kekuatan partai politik pada masa Orde Lama, disamping pengangkatan anggota DPRGR dan MPRS dari unsur kekaryaan, juga dibentuk Dewan Nasional. Sedangkan pada masa Orde Baru untuk membatasi kekuatan partai politik, sebagian anggota DPR dan MPR diangkat dari unsur golongan kekaryaan ABRI dan non ABRI. 1052 Persily and Cain, Op Cit., hal. 6-8. 1053 Lihat konsideran “Menimbang” huruf c, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1054 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan “Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggota maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.” 1055 Partai politik bebas didirikan setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Bahkan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk partai politik. 1056 Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota. Sedangkan Ayat (4)-nya menyatakan bahwa partai politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya. Selain itu, syarat pembekuan dan pembubaran partai politik juga diatur lebih mendetail dengan kewenangan pada MA setelah adanya keputusan hukum yang tetap dan MA telah memberikan peringatan tertulis sebanya tiga kali. 1057 Semua anggota DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat dari calon yang diajukan oleh partai politik. Selain itu calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, pemilihan kepala daerah dilakukan berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 oleh DPRD sehingga peran partai politik pun sangat besar. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 300 untuk membentuk sistem multi partai sederhana.1058 Selain itu, juga terdapat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur mekanisme pembubaran partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian kebebasan pembentukan partai politik tetap dijamin, bahkan dapat dibentuk partai politik lokal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 20011059 dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006,1060 sehingga unsur paradigma political markets masih tetap ada. Di sisi lain pada periode tersebut juga mulai terlihat unsur-unsur paradigma progressive berupa pengaturan yang lebih komprehensif untuk memastikan berjalannya demokrasi hingga pada tataran internal partai politik.1061 Unsur paradigma progressive juga dapat dilihat dari reformasi demokrasi dengan menerapkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan anggota DPD dari calon perseorangan, dan dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah.1062 Lima paradigma pengaturan partai politik memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga kurang tepat apabila hanya dipilih salah satu paradigma saja untuk diterapkan dalam pengaturan partai politik di masa mendatang.1063 Untuk mewujudkan pengaturan partai politik sesui dengan tujuan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan hukum, unsur-unsur dari setiap paradigma dapat diakomodasikan. 1058 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multi partai sederhana. 1059 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang memberikan hak bagi penduduk Papua membentuk Partai politik, namun belum dapat dilaksanakan karena tidak ada ketentuan lebih lanjut tentang partai politik lokal di Papua 1060 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang juga memberikan hak masyarakat Aceh membentuk partai politik lokal dengan pengaturan yang lebih lengkap dan telah ada Peraturan Pemerintah pelaksananya (PP No. 20 Tahun 2007). 1061 Selain fungsi, hak, dan kewajiban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur kedaulatan partai dan kepengurusan partai politik yang harus dipilih secara demokratis. 1062 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diucapkan pada Sidang Pleno yang terbuka untuk umum pada Senin, 23 Juli 2007. Perkembangan terbaru dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemilu terkait reformasi sistem pemilihan adalah dianutnya sistem pemilihan proporsional daftar terbuka yang mempertimbangkan perolehan suara calon minimal 30% dalam penentuan perolehan kursi. 1063 Kelebihan dan kekurangan masing-masing paradigma pengaturan telah diuraikan pada Bab Kedua. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 301 Tabel 6.2. Paradigma Pengaturan Partai Politik di Masa Mendatang Paradigma Libertarian Political Markets Managerial Progressive Pluralist Unsur Kebebasan berserikat dan perlakuan yang sama Menawarkan pilihan kepada para pemilih Perlunya stabilitas pemerintahan Demokratisasi internal dan adanya kekuatan penyeimbang partai politik Demokratisasi internal dengan jumlah dan luas dukungan partai politik yang memadai Sebagai dasar acuan pengaturan partai politik adalah bahwa partai politik merupakan organisasi kelompok kepentingan yang harus dijamin sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat, berpendapat, dan bebas dari diskriminasi negara.1064 Hal itu merupakan pandangan dasar paradigma libertarian. Hal itu sejalan pula dengan pandangan political markets, bahwa tujuan partai politik adalah menawarkan pilihan kepada pemilih.1065 Sukses tidaknya suatu partai politik bergantung kepada keberhasilan memberikan pilihan kepada konsumen pemilih. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pengaturan agar prosedur demokrasi yang kompetitif dapat berjalan. Pengaturan negara, yang menurut paradigma libertarian harus dihindari untuk mencegah intervensi negara, tetap dibutuhkan agar pemerintahan yang terwujud dapat berjalan stabil seperti yang menjadi pandangan paradigma managerial.1066 Namun, pengaturan itu harus dilakukan secara terukur agar tidak menjadi intervensi yang berlebihan seperti pengistimewaan pada partai politik tertentu ataupun pembatasan pembentukan partai politik.1067 Pengaturan juga diarahkan untuk mendorong proses demokratisasi partai politik. Hal itu diperlukan untuk mencegah munculnya kepentingan minoritas yang memanipulasi suara pemilih dan timbulnya oligarki baik internal partai politik maupun dalam sistem politik seperti yang dikhawatirkan oleh pandangan progressive dan pluralist. Untuk itu pengaturan partai politik diimbangi oleh 1064 Percily and Cain, Op Cit., hal. 5 footnote no. 27. Ibid., hal. 7. 1066 Ibid., hal. 4. 1065 1067 Pengistimewaan partai politik tertentu atau pembatasan pembentukan partai politik adalah salah satu ciri negara otokratis. Lihat, Kelsen, General Theory, Op. Cit., hal. 265. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 302 pengaturan prosedur pemilihan umum yang dapat mengontrol dan mengimbangi kekuasaan partai politik. Salah satunya adalah adanya calon perseorangan, sistem pemilihan yang mengedepankan calon dan prosedur pemilihan langsung.1068 Partai politik juga harus memiliki mekanisme demokrasi internal dengan dukungan jumlah yang mencukupi serta sebaran yang luas.1069 Arah pengaturan partai politik juga patut mempertimbangkan pedoman dari Venice Commission yang telah dikemukakan pada Bab Kedua. Jika diadopsikan di Indonesia pedoman tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.1070 1. Negara harus mengakui bahwa setiap orang mempunyai hak berorganisasi secara bebas dalam partai politik. Persyaratan pendaftaran partai politik tidak dimaksudkan untuk melanggar hak-hak tersebut.1071 2. Jika ada pembatasan terhadap pelaksanaan hak dasar melalui partai politik tersebut harus tetap konsisten dan relevan dengan ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan instrumen hak asasi manusia lainnya baik nasional maupun internasional.1072 3. Persyaratan terkait dengan pendaftaran harus merupakan sesuatu yang memang diperlukan dalam masyarakat demokratis dan secara obyektif proporsional antara tujuan yang hendak dicapai dan persyaratannya. Prosedur pendaftaran partai politik harus tidak berlebihan (excessive) baik terkait dengan keterwakilan teritorial maupun keanggotaan minimal. 1068 Percily and Cain, Op Cit., hal. 6. Ibid., hal. 9; bandingkan dengan Lijphart, Op. Cit., hal. 243-257. 1070 European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. hal. 130-134. 1071 Hal ini merupakan konsekuensi jaminan kebebasan berserikan dalam Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Jaminan terhadap kebebasan berserikat merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Oleh karena itu dalam konstitusi demokrasi selalu terdapat jaminan kebebasan berserikat. Misalnya Article 6 Para 1 Konstitusi Georgia menyatakan “Everyone shall have the right to form and join public associations, including trade union”; Article 21 Konstitusi Jepang menyatakan, “Freedom of assembly and association as well as speech, press and all other forms of expression are guaranted”; dan Article 18 Konstitusi Afrika Selatan menyatakan, “Everyone has the right to freedom of association.” 1072 Berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 pembatasan dapat dilakukan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang asil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Pembatasan tersebut juga terdapat dalam Article 29 Para 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Di negara-negara lain pembatasan tersebut juga diatur, misalnya Section 32 Para 2 Konstitusi Fiji menyatakan, “A law may limit, or may authorise the limitation of the right to freedom of association: (a) in the interests of national security, public safety, public order, public morality or public health; (b) for the purpose of imposing reasonable restrictions on the holders of public offices in order to secure their impartial service; but only to the extent that the limitation is reasonable and justifiable in a free and democratic society.” 1069 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 303 4. Negara harus selalu netral dalam proses pembentukan, pendaftaran dan aktivitas partai politik, serta tidak memberikan keistimewaan pada partai politik tertentu. Semua partai politik harus diberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.1073 5. Pelarangan atau pembubaran partai politik dibenarkan dalam kasus partai politik melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945.1074 6. Sebelum meminta lembaga yudisial yang berkompeten untuk melarang atau membubarkan partai, pemerintah atau organ negara lain harus menilai, dengan memperhatikan situasi negara, apakah partai tersebut benar-benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik yang demokratis atau hak-hak indivudu, atau apakah tidak ada tindakan lain yang kurang radikal untuk mencegah bahaya tersebut.1075 7. Pelarangan atau pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang tidak biasa serta diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas.1076 Upaya-upaya tersebut harus berdasarkan bukti yang cukup bahwa partai politik itu sendiri, tidak hanya individu anggotanya, yang melakukan pelanggaran serta menggunakan cara yang tidak konstitusional. 1073 Hal ini sesuai dengan prinsip non diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 dan sesuai dengan prinsip persamaan dihadapan hukum yang dijamin Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, prinsip ini juga di kemukakan oleh Persily and Cain dengan istilah principles of equal treatment sebagai salah satu prinsip pengaturan partai poltik. Lihat Persily and Cain, Op. Cit., hal. 12. 1074 Sesuai dengan pembatasan berdasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Maksud bertentangan dengan UUD 1945 sudah meliputi bertentangan dengan tujuan dan dasar negara, prinsip negara hukum dan demokrasi, kedaulatan, dan keamanan nasional. Dapat dibandingkan misalnya dengan Article 3 Para 1 Konstitusi Hungaria yang menyatakan, “In the Republic of Hungary, political parties may be freely founded and may act in freedom provided they show respect for the Constitution and the statutes of constitutional law.” 1075 Thomas Ayres menyebut ketentuan ini dengan istilah “party dissolution as a “drastic measure” to be applied “only in the most serious cases”. Lihat, Thomas Ayres, Batasuna Banned: The Dissolution of Political Parties Under the European Convention of Human Rights, www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/ 27_1/02_TXT.htm, 14/03/2007, hal. 3. 1076 Dapat dibandingkan dengan Chapter I Article 5 Para 19 yang menyatakan, “Association may only be compulsorily dissolved or have their activities suspended by court decision, and, in the first case, only if the decision is final and unappealable”; dan Article 12 Para 2 Konstitusi Yunani yang menyatakan, “An association may not be dissolved for violating the laws or a fundamental provision of by-laws without a court decision.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 304 6.2. UU NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK Saat ini telah disahkan dan berlaku UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.1077 Pembuatan UU Partai politik tersebut diarahkan sebagai upaya penguatan sistem dan kelembagaan partai politik yang menyangkut demokratisasi internal partai politik, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik.1078 Beberapa materi muatan baru yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah adanya ketentuan tentang Pengambilan Keputusan, Rekrutmen Politik, Peraturan dan Keputusan Partai Politik, dan Pendidikan Politik. Selain adanya ketentuan dalam bab-bab baru tersebut, juga terdapat perubahan ketentuan-ketentuan tertentu jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Perubahan itu di antaranya adalah mengenai pembentukan partai politik. Di samping harus didirikan oleh sedikitnya 50 orang, juga terdapat ketentuan menyertakan 30% keterwakilan perempuan.1079 Selain itu, akta notaris pendirian ditentukan harus memuat AD dan ART disertai kepengurusan partai politik tingkat pusat. AD partai politik paling tidak memuat materi tentang asas dan ciri partai politik; visi dan misi; nama, lambang, dan tanda gambar; tujuan dan fungsi; organisasi, tempat kedudukan dan pengambilan keputusan; kepengurusan; peraturan dan keputusan partai politik; pendidikan politik; dan keuangan partai politik.1080 Persyaratan yang diperlukan untuk pendaftaran sebagai badan hukum di Departemen Hukum dan HAM terkait dengan jumlah kepengurusan juga semakin berat. Partai politik harus memiliki kepengurusan paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, 1077 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Partai Politik, UU Nomor 2 Tahun 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801. 1078 Paragraf 4 Penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1079 Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Bandingkan dengan persyaratan pendirian partai politik di Eritrea yang mensyaratkan komposisi pendiri harus terdapat 1/3-nya yang beragama berbeda (Islam atau Kristen) untuk menjamin keragaman masyarakat. Lihat Article 6 Act on the Formation of Political Parties and Organization, Eritrea. 1080 Pasal 2 Ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Bandingkan dengan Section II Internal Organization, Article 6 Statutes and Programme, Para 2, Political Parties Act of German (Parteiengesetz), Federal Law Gazette I, Page 773, ammended version published on 31 January 1994. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 305 dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.1081 Perubahan selanjutnya adalah ketentuan tentang tujuan khusus partai politik. Semula, tujuan khusus adalah memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 ditentukan satu tujuan lain, yaitu meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.1082 Penambahan ketentuan lain adalah tentang pemberhentian keanggotaan partai politik, yaitu apabila meninggal dunia; mengundurkan diri secara tertulis dari keanggotaan partai politik; menjadi anggota partai politik lain; atau melanggar AD dan ART. Tata cara pemberhentian keanggotaan partai politik ditentukan harus diatur dalam peraturan partai politik. Jika anggota partai politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian itu diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat.1083 Salah satu bab baru yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 adalah Bab Pengambilan Keputusan. Pengambilan keputusan partai politik pada masingmasing tingkat, dilakukan secara demokratis sesuai dengan AD dan ART Partai Politik.1084 Jika terjadi perselisihan partai politik, diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun jika mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan maupun melalui pengadilan. Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase1085 yang mekanisme diatur dalam AD dan ART.1086 Penyelesaian melalui pengadilan diajukan melalui pengadilan negeri 1081 Pasal 3 Ayat (2) Huruf d, RUU Partai Politik. Persyaratan pendaftaran harus merupakan sesuatu yang memang diperlukan secara proporsional antara persyaratan dan tujuan yang hendak dicapai. Negara harus membatasi dari penerapan persyaratan berlebihan (excessive) yang berkaitan dengan keterwakilan teritorial maupun keanggotaan minimal. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit. 1082 Pasal 10 Ayat (2) Huruf a, UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Bandingkan dengan Section I Article 1 Para 2 Political Parties Act of Germany yang menyatakan, “The parties shall participate in the formation of the political will of people in all fields of public life…”. 1083 Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1084 Pasal 27 dan Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1085 Bandingkan dengan ketentuan penyelesaian perselisihan partai politik di Rumania yang diatur dalam Article 14 Law on Political Parties No. 27 of 1996 sebagai berikut “For the settlement of differences between members of political party, or between them and the leaderships of party’s organizations, arbitrament bodies shall be constituted at party level and at that of its territorial organizations.” 1086 Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 306 yang merupakan pengadilan pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pengadilan negeri harus memutus perkara tersebut dalam waktu paling lama 60 hari. Sedangkan pada tingkat kasasi, harus diputus paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar pada kepaniteraan Mahkamah Agung.1087 Bab baru lainnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 adalah Bab Rekruitmen Politik, Bab Pendidikan Politik, serta Bab Peraturan dan Keputusan Partai Politik. Pada bab mengenai rekruitmen politik ditentukan bahwa partai politik dapat melakukan rekruitmen terhadap warga negara Indonesia guna menjadi anggota partai politik, dan rekruitmen anggota partai untuk menjadi bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon Presiden dan Wakil Presiden serta menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Rekruitmen tersebut dilakukan sesuai dengan AD dan ART dan peraturan perundang-undangan. Pengurus partai politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menetapkan bakal calon anggota DPR/DPRD dengan keputusan partai politik.1088 Pengurus partai politik tingkat pusat dapat membentuk peraturan partai politik dan keputusan partai politik berdasarkan AD dan ART. Peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.1089 Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya. Pendidikan politik bertujuan untuk; (a) meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (b) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan (c) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.1090 Perubahan selanjutnya dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 adalah mengenai batas jumlah sumbangan kepada partai politik. Untuk sumbangan perseorangan, yang ditentukan adalah sumbangan dari perseorangan yang bukan anggota partai politik. Sedangkan sumbangan perseorangan anggota partai politik tidak ditentukan batasnya. Sumbangan perseorangan yang bukan anggota partai politik 1087 Pasal 33 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pasal 24 sampai 28 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1089 Pasal 30 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1090 Pasal 31 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1088 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 307 paling banyak senilai Rp1.000.000.000,00 per orang dalam waktu 1 tahun. Sedangkan sumbangan dari perusahaan paling banyak senilai 1091 Rp4.000.000.000,00 dalam waktu 1 tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 terdapat beberapa bentuk sanksi. Pelanggaran terhadap ketentuan tentang syarat-syarat pembentukan, pendaftaran, dan ketentuan tentang asas dan ciri, sanksi yang ditentukan adalah penolakan pendaftaran sebagai badan hukum. Pelanggaran terhadap kewajiban membuat pembukuan serta memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan partai secara terbuka diancam dengan sanksi administratif berupa teguran dari pemerintah. Pelanggaran terhadap kewajiban memiliki rekening khusus dana kampanye, diancam dengan sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan Umum. Selain itu, terhadap pelanggaran larangan menggunakan fraksi di MPR, DPR, dan DPRD sebagai sumber pendanaan, diancam dengan sanksi administratif oleh badan atau lembaga yang bertugas.1092 Selain sanksi administratif berupa teguran, UU Partai Politik juga memuat sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan selama satu tahun oleh pengadilan negeri. Sanksi tersebut dapat dijatuhkan jika partai politik melanggar larangan terkait dengan nama, lambang, atau tanda gambar.1093 Sanksi pembekuan kepengurusan juga dapat dijatuhkan apabila partai politik melanggar larangan mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.1094 Pembekuan juga dapat dijatuhkan kepada organisasi partai politik jika melanggar larangan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan negara. Pembekuan itu disebut sebagai pembekuan sementara dan dilakukan paling lama satu tahun. Apabila partai yang telah dibekukan tersebut melakukan kembali pelanggaran yang sama, dapat ditindaklanjuti dengan 1091 Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Bandingkan dengan Article 25 Political Parties Act of Germany yang hanya mengatur pembatasan sumbangan dari pihak asing sebanyakbanyaknya DM 1000, sedangkan untuk sumbangan dari perorangan warga negara harus dicatat nama dan alamat penyumbang yang nilainya lebih dari DM 1000, jika tidak akan dinyatakan tidak sah. 1092 Pasal 47, UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1093 Pasal 47 dan Pasal 48 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1094 Pasal 48 Ayat (6) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Larangan ini juga terdapat di negara lain, misalnya di Bulgaria yang dalam Article 12 Para 1 Political Parties Act No. 29/10.04.1990, menyatakan, “The political parties may not establish their own organizations at the enterprises, offices and other organizations, or interfere in their management and activity.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 308 pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi.1095 Selain melalui pembekuan sementara, pembubaran juga dapat dilakukan secara langsung apabila partai politik melakukan pelanggaran terhadap larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.1096 Pembubaran juga diatur terkait dengan sanksi pidana dalam hal pengurus partai politik menggunakan partai politiknya untuk melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999.1097 Jika pengurus menggunakan partai politiknya untuk melakukan kejahatan tersebut, partai politiknya itu dapat dibubarkan. Selain sanksi administratif dan sanksi pembubaran, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juga mengatur sanksi pidana bagi pengurus partai politik. Sanksi pidana diatur terkait dengan pelanggaran larangan menerima dan/atau memberi sumbangan kepada pihak asing yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, menerima sumbangan tanpa identitas yang jelas, menerima sumbangan melebihi batas yang ditentukan, serta menerima atau meminta dana dari badan usaha milik negara, daerah, ataupun desa.1098 6.3. BENTUK-BENTUK PEMBUBARAN Sebagai suatu organisasi, partai politik dibentuk oleh sekelompok individu yang mengikatkan diri berdasarkan aturan tertentu yang dibuat dan disepakati bersama. Partai politik eksistensinya diakui sebagai subyek hukum setelah mendapatkan pengesahan dari hukum negara. Pada saat sudah berstatus badan hukum, sekelompok individu tersebut diperlakukan sebagai satu kesatuan yang memiliki hak dan kewajiban terpisah dari anggotanya.1099 1095 Pasal 48 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pasal 48 Ayat (7) UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1097 Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1098 Pasal 48 Ayat (4) dan Ayat (5) RUU Partai Politik. Di Kamboja, larangan ini lebih luas, yaitu dilarang menerima dana dari institusi negara, asosiasi, organisasi non-pemerintah, badan usaha milik negara, serta perusahaan asing, kecuali dana yang memang diberikan oleh negara berdasarkan aturan hukum. Lihat Article 29 the Law on Ccreation of Political Parties yang menyatakan sebagai berikut “It is prohibited for a Political parties to receive constributions in any form from State institutions, associations, non-governmental organizations, public enterprises, public institutes, or foreign corporations, except in the case stipulated in article 28 of this law.” 1099 Kelsen, General Theory of Law and State, Op. Cit., hal. 96. Kelsen menyatakan bahwa subyek hukum penyandang hak dan kewajiban terdiri dari dua jenis, yaitu pribadi manusia sebagai person in nature dan pribadi hukum korporasi. 1096 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 309 Mengingat keberadaan partai politik sebagai subyek hukum ditentukan oleh hukum negara, maka berakhirnya keberadaannya juga ditentukan oleh hukum negara. Apabila suatu partai politik dinyatakan tidak lagi sebagai badan hukum, maka hilanglah eksistensinya dalam lalu lintas hukum. Hal itu juga berarti hilangnya hubungan hukum antar individu yang menjadi dasar pembentukan partai politik. Peristiwa pembubaran partai politik adalah hilangnya eksistensi partai politik sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban. Black’s Law Dictionary menerjemahkan kata “dissolution” sebagai berakhirnya eksistensi hukum korporasi karena berakhirnya perjanjian pendirian, ketentuan undangundang, pailit, atau dengan cara lain yang mendahului proses likuidasi.1100 Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa partai politik bubar apabila (a) membubarkan diri atas keputusan sendiri; (b) menggabungkan diri dengan partai politik lain; dan (c) dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.1101 Dengan demikian, pembubaran dapat terjadi atas inisiatif partai politik itu sendiri, baik dalam bentuk membubarkan diri maupun bergabung dengan partai politik lain, dan pembubaran berdasarkan keputusan atau kebijakan otoritas negara (enforced dissolution). Pada bagian kerangka teori dan konsep telah dikemukakan bahwa yang menjadi fokus penelitian ini adalah pembubaran yang dilakukan atau disebabkan oleh tindakan negara. 1100 The termination of a corporation’s legal existence by expiration of its charter, by legislative act, by bankruptcy, or other means; the event immediately preceding the liquidation or winding-up process. Lihat, Garner et. All (eds)., Op. Cit., hal. 486. 1101 Ketentuan ini juga dicantumkan kembali dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 pada Pasal 41. Dapat dibandingkan misalnya dengan Article 22 Para 1 Political Parties Act Bulgaria yang menyatakan, “The political party shall be dissolved when: 1. merging with or joining another party; 2. splitting into two or more parties; 3. self-dissolving according to its Statute; 4. at a rulling of the Supreme Court.” Sedangkan di Mongolia mengatur pembubaran dalam dua Article berbeda. Pada Article 10 Law on Political Parties mengatur tentang pembubaran oleh partai sendiri dan penghentian kegiatan sebagai berikut, “A party may voluntary dissolve itself, or terminate its activities, uniting with another party. It shall inform the Supreme Court of Mongolia within 10 days.” Sedangkan pembubaran secara paksa (enforced dissolution) diatur pada Article 11 sebagai berikut. “If it is confirmed that the activities of a party contradict the provisions of the Constitution, this law or other laws of Mongolia, the charter or programme of the party, the Supreme Court of Mongolia shall require the removal of the infringements or the cessation of activities of the party. A party which conducts and activity which is forbidden under paragraph 3 of article 2 of this law may be dissolved in the decision of the Supreme Court of Mongolia.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 310 6.3.1. Bentuk-Bentuk Pembubaran Dalam Peraturan dan Praktik Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik pembubaran yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, pembubaran secara paksa oleh otoritas negara terwujud dalam beberapa macam cara, baik dalam bentuk kebijakan maupun keputusan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi hukum partai politik sehingga dapat dimasukkan dalam kategori pembubaran partai politik.1102 Bentukbentuk pembubaran berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktik pelaksanaannya di Indonesia dapat dilihat pada tabel 6.3. berikut ini. Tabel 6.3. Bentuk-Bentuk Pembubaran Partai Politik Periode Orde Lama Peraturan 1. 2. 3. Orde Baru 1. 2. 3. 1. Reformasi Penpres No. 7 Tahun 1959. Perpres No. 13 Tahun 1960. Perpres No. 25 Tahun 1960. Bentuk 1. 2. 1. Kebijakan Fusi Parpol. Pembekuan Pengurus Parpol oleh Presiden. Fusi Partai Politik menjadi PPP, PDI, dan Golkar (Tap MPR No. IV/MPR/1973 dan UU No. 3 Tahun 1975). Pembubaran oleh MA. Pembekuan sementara oleh pengadilan. 1. Penpres No. 7 Tahun 1959. Perpres No. 13 Tahun 1960. Perpres No. 25 Tahun 1960. UU No. 3 Tahun 19751103 2. PP No. 9 Tahun 1975. 3. UU No. 3 Tahun 1985. 4. PP No. 19 Tahun 1986 UU No. 2 Tahun 1999. 1. 2. 1. 2. Praktik Penyederhanaan melalui proses pengakuan Parpol. Pembubaran oleh Presiden dengan memerintahkan pembubaran diri Parpol. Penolakan pengakuan PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody (Keppres No. 129/1961). 2. Pembubaran Masjumi (Keppres No. 200/1960). 3. Pembubaran PSI (Keppres No. 201/1960). 4. Pembekuan Partai Murba (Keppres No. 21/1965) Pembubaran PKI (Keppres No. 1/3/1966 dasar hukumnya Supersemar, dikuatkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966). Pembekuan Partindo (Keppres Nomor 57 Tahun 1968) 2. Gugatan pembekuan dan/atau pembubaran Partai Golkar (Perkara 01.G/WPP/2000 tidak dapat diterima, Perkara 02.G/WPP/2001 ditolak). Maklumat Presiden 23 Juli 2001, pembekuan Partai Golkar (dinyatakan bertentangan dengan 1102 Hakim Maruarar Siahaan menyatakan bahwa memang terdapat berbagai bentuk hilangnya eksistensi hukum partai politik. Namun semua bentuk tersebut pada kenyataannya adalah pembubaran. Wawancara pada 25 Oktober 2007. 1103 Kebijakan fusi dalam Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Tap MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 yang mengamanatkan penyederhanaan partai politik dan Tap MPR Nomor IV/MPR/1973 yang menegaskan bahwa pemilihan umum berikutnya akan diikuti oleh dua partai politik dan satu golongan karya, padahal saat itu terdapat lebih dari dua partai politik. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 311 hukum oleh Fatwa MA No. KMA 419/7/2001, dan dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum oleh Tap MPR No. I/MPR/2001) 1. 2. 3. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. UU No. 31 Tahun 2002. UU No. 24 Tahun 2003. 1. 2. 3. Pembubaran oleh MK. Pembekuan sementara (1 tahun) oleh pengadilan. Pembatalan status badan hukum oleh pemerintah. Berdasarkan tabel di atas, dilihat dari sisi praktiknya, terdapat peristiwa pembubaran partai politik yang dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun di sisi lain juga terdapat praktik pembubaran yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Praktik pembubaran yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku adalah penolakan pengakuan partai politik pada masa Orde Lama, Pembubaran Masjumi dan PSI, kebijakan fusi partai politik pada masa Orde Baru, serta gugatan pembekuan dan pembubaran Partai Golkar di MA pada masa reformasi. Di antara praktik pembubaran tersebut, gugatan pembekuan dan pembubaran Partai Golkar di MA tidak berakhir dengan pembekuan atau pembubaran Partai Golkar karena putusan MA menyatakan gugatan tidak dapat diterima untuk satu perkara, dan satu perkara lainnya ditolak.1104 Sedangkan praktik pembubaran yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku adalah pembekuan Partai Murba pada masa Orde Lama,1105 pembubaran PKI1106 dan pembekuan Partindo1107 pada masa Orde Baru, serta Pembekuan Partai Golkar1108 melalui Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001 1104 Perkara No. 01.G/WPP/2000 diputus tidak dapat diterima pada tanggal 13 Maret 2000 karena berkaitan dengan Perkara No. 521/PDT.G/1999/PN.JKT.PST yang masih dalam proses persidangan sehingga perkara No. 01.G/WPP/2000 dinilai belum waktunya diajukan ke MA. Sedangkan Perkara 02.G/WPP/2001 diputus ditolak pada 31 Juli 2001 karena tidak cukup bukti yang menunjukkan bahwa Partai Golkar telah melanggar batasan dan aturan pendanaan pemilihan umum. 1105 Berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tidak dikenal adanya pembekuan partai politik. 1106 Ketentuan yang berlaku pada saat itu adalah Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Namun ketentuan hukum sebagai dasar Keppres Nomor 1/3/1966 adalah Supersemar, bukan Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Keppres Nomor 1/3/1966 juga dibuat tanpa ada pertimbangan dari MA seperti disyaratkan oleh Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Keppres Nomor 1/3/1966 ditandatangani oleh Soeharto sebagai pengemban Supersemar, bukan oleh Presiden pada saat itu, yaitu Soekarno. 1107 Dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959, tidak diatur pembekuan partai politik. 1108 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, wewenang pembekuan partai politik ada pada MA. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 312 pada masa reformasi.1109 Pembekuan Partai Golkar melalui Maklumat Presiden 23 Juli 2001 tidak berlaku efektif karena dinyatakan bertentangan dengan hukum oleh Fatwa MA No. KMA 419/7/2001. Fatwa tersebut selanjutnya dikuatkan dengan Tap MPR No. I/MPR/2001 yang menyatakan bahwa Maklumat tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan pembubaran dalam peraturan perundang-undangan dan praktiknya, dapat diklasifikasikan pembubaran partai politik berdasarkan jenis tindakan pembubaran menjadi enam, yaitu tidak diakuinya partai politik yang telah ada, pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan fusi partai politik, perintah membubarkan diri, pembubaran oleh pemerintah, pembubaran berdasarkan putusan pengadilan, dan pembekuan partai politik. Klasifikasi bentuk-bentuk pembubaran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.4. Klasifikasi Jenis Pembubaran dalam Peraturan Klasifikasi Bentuk dalam Peraturan Tidak diakuinya parpol yang telah ada 1. Pengakuan parpol berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959. 2. Pembatalan status badan hukum parpol berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002 Pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan fusi parpol Fusi partai politik yang diamanatkan Tap MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 dan Tap MPR No. IV Tahun 1973, diwujudkan dengan UU No. 3 Tahun 1975. Perintah membubarkan diri Pembubaran berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959. Pembubaran oleh pemerintah - Pembubaran berdasarkan putusan pengadilan 1. Pembubaran berdasarkan putusan MA, berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999. 2. Pembubaran dengan putusan MK berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 (diatur lebih lanjut dalam UU No. 31 Tahun 2002 dan UU No. 24 Tahun 2003). Pembekuan Partai Politik 1. Pembekuan pengurus parpol berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975 dan perubahannya. 2. Pembekuan parpol berdasarkan berdasarkan putusan MA, berdasarkan UU No. 2 Tahun 1999. 3. Pembekuan parpol berdasarkan putusan pengadilan, berdasarkan UU No. 31 Tahun 2002. 1109 Pembekuan Partai Murba baru dicairkan atau direhabilitasi pada awal Orde Baru melalui Keppres Nomor 21 Tahun 1966. Sedangkan pembekuan Partindo hingga saat ini belum direhabilitasi ataupun ditindaklanjuti dengan pembubaran, namun dalam praktinya Partindo telah hilang eksistensinya. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 313 Sedangkan jenis tindakan pembubaran jika dilihat dari praktik yang terjadi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.5. Jenis Pembubaran dalam Praktik Klasifikasi Bentuk dalam Praktik Tidak diakuinya parpol yang telah ada Penolakan pengakuan PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI dan PRN Djody berdasarkan Keppres No. 129 Tahun 1961. Pembubaran sebagai konsekuensi kebijakan fusi parpol Fusi partai politik: 1. Fusi PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik menjadi Partai Indonesia Perjuangan. 2. Fusi NU, Parmusi, PSII, dan Perti menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Perintah membubarkan diri 1. Pembubaran Masjumi dengan Keppres No. 200/1960. 2. Pembubaran PSI dengan Keppres No. 201/1960. Pembubaran oleh pemerintah Pembubaran PKI berdasarkan Keppres Nomor 1/3/1966. Pembubaran pengadilan berdasarkan Pembekuan Partai Politik putusan Gugatan pembubaran Partai Golkar di MA. Perkara 01.G/WPP/2000 tidak dapat diterima, dan Perkara 02.G/WPP/2001 ditolak. 1. Pembekuan Partai Murba melalui Keppres No. 21 Tahun 1965. 2. Pembekuan Partindo melalui Keppres Nomor 57 Tahun 1968. 3. Maklumat Presiden tanggal 23 Juli 2001. 6.3.1.1. Tidak Diakuinya Partai Politik yang Telah Ada Pertama, adalah pembubaran dengan cara tidak mengakui eksistensi partai politik yang sebelumnya telah sah sebagai badan hukum partai politik. Pada masa Orde Lama, pembubaran dengan cara ini diatur dalam Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik yang merupakan pelaksanaan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Partai-partai politik yang telah ada dan sah sebagai badan hukum diharuskan melaporkan kepada Presiden disertai dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.1110 Apabila Presiden menilai bahwa 1110 Persyaratan yang harus dipenuhi untuk diakui sebagai partai politik diatur pada Pasal 5 Penpres Nomor 7 Tahun 1959, yaitu harus mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit seperempat jumlah Daerah Tingkat I dan jumlah cabang-cabang tersebut harus sekurang-kurangnya seperempat dari Daerah Tingkat II seluruh Indonesia. Selain itu, Pasal 3 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 menambahkan persyaratan jumlah Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 314 partai politik yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka tidak akan diakui keberadaannya. Dalam praktiknya, dari proses pengakuan partai politik pada masa Orde Lama berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959, terdapat 4 partai politik yang sebelumnya sah sebagai partai politik, tidak diakui keberadaannya sebagai partai politik, yaitu PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI, dan PRN Djody.1111 Dengan ditolaknya pengakuan tersebut, keempat partai itu tidak lagi memiliki status sebagai badan hukum sehingga kehilangan eksistensi hukumnya. Bentuk pembubaran yang memiliki persamaan dengan pembubaran dengan cara tidak diakuinya suatu partai politik adalah pembatalan status badan hukum partai politik yang telah ada berdasarkan undang-undang lama namun tidak menyesuaikan diri dengan undang-undang baru sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Berdasarkan ketentuan tersebut, partai politik yang sudah sah sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang yang lama1112, diharuskan menyesuaikan diri1113 dalam waktu 9 bulan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Jika tidak menyesuaikan diri, akan dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya.1114 Pengakuan Presiden berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan pembatalan keabsahan badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 merupakan bentuk pengakuan hukum negara sebagai total legal order anggota seluruhnya sekurang-kurangnya 150 ribu orang dan yang dianggap sebagai cabang adalah yang anggotanya minimal 50 orang. 1111 Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1961. 1112 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1113 Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Namun, karena terkait dengan persoalan pengakuan sebagai badan hukum, maka penyesuaian dalam hal ini tentu berkaitan dengan persyaratan pendaftaran partai politik yang memang terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Dalam Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 terdapat syarat tambahan yaitu memiliki kepengurusan sekurang-kurangnya di 50% dari jumlah provinsi, 50% kepengurusan di kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% kepengurusan di kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, persyaratan tambahan lain adalah memiliki kantor tetap. 1114 Ketentuan semacam ini juga terdapat dalam Article 46 Para 1 dan 2 Law on Political Parties Rumania, yang menyatakan “(1) Political parties existing at the date of the coming into force of the present law shall continue to function on the basis of the legal deeds of registration valid at the date of setting up; (2) Within six months after the coming into force of the present law, the existing political parties shall comply with this provisions, following the legal procedure established under Article 17 to 19.” Namun demikian patut dicatat bahwa yang melakukan proses pendaftaran dan memberikan status badan hukum kepada partai politik adalah pengadilan, yaitu Tribunal of the Municipality of Bucharest (Article 17 Law on Political Parties). Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 315 terhadap partai politik sebagai partial legal order.1115 Pengakuan adalah manifestasi dari pemberian status badan hukum sehingga partai politik diakui sebagai subyek hukum (legal personality)1116 yang dapat melakukan tindakan hukum serta menyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan tidak diakuinya suatu partai politik, maka tidak memperoleh status badan hukum sehingga organisasi tersebut dipandang tidak ada dari sisi hukum serta tidak dapat menjadi subyek hukum tersendiri yang berbeda dari para anggotanya. Proses pendaftaran dan pengakuan status badan hukum suatu partai politik lazimnya dilakukan pada saat pertama kali pendirian suatu partai politik.1117 Hal itu merupakan proses yang harus dilalui agar organisasi partai politik yang pada awalnya bukan merupakan subyek hukum menjadi subyek hukum. Pendaftaran dan pengakuan adalah proses hukum negara sebagai total legal order menentukan apakah organisasi tersebut sebagai partial legal order telah memenuhi syarat untuk diakui sebagai badan hukum. Jika suatu partai politik gagal mendapatkan pengakuan negara atau ditolak pendaftarannya pada saat pertama kali berdiri, hal itu bukan merupakan tindakan pembubaran karena partai politik tersebut belum memiliki status badan hukum. Hal itu berbeda dalam kasus pengakuan partai politik berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan pembatalan keabsahan badan hukum partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Partai politik yang diharuskan melaporkan dan menyesuaikan diri adalah partai politik yang telah sah sebagai badan hukum sehingga sudah menjadi subyek hukum. Apabila partai tersebut tidak diakui atau dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum, maka status badan hukum dan eksistensinya sebagai subyek hukum akan hilang. Hal itu berarti terjadi perubahan status hukum dari ada menjadi tidak ada yang sama 1115 Kelsen, General Theory of Law, Op. Cit., hal. 99-100. Ibid., hal. 190-191. Pendaftaran sebagai proses pengakuan sebagai pribadi hukum dapat dilihat misalnya dalam Article 20 Law on Political Parties Rumania yang menyatakan, “The political party acquires legal personality as from the date when the final decision of the court with regard to the admission of the applications of registration was delivered.” Dapat dibandingkan pula dengan Article 6 Para 2 Law on Political Parties of Mongolia yang menyatakan “The party shall become a legal person upon registration.” 1117 Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 ketentuan keharusan penyesuaian diri dengan konsekuensi pembatalan keabsahan sebagai badan hukum ini tidak ada. Pendaftaran hanya pada saat pertama kali pendirian partai politik juga dapat dilihat pada Article 6 Para 1 Law on Political Parties of Mongolia yang menyatakan, “The Supreme Court of Mongolia shall examine the materials for the party’s registration and shall officially place the party into the state register within 21 days if the charter and the programme of the party correspond to the provisions of the Constitution, this law and othe law of Mongolia…” 1116 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 316 halnya dengan tindakan pembubaran. Pembubaran dengan jalan tidak mengakui partai politik yang telah ada seharusnya tidak boleh melanggar hak setiap orang untuk mempunyai organisasi dan menjalankannya secara bebas dalam bentuk partai politik.1118 Dalam praktik, pengakuan oleh otoritas negara mirip dengan putusan pengadilan atas kasus konflik perpecahan partai politik yang putusannya mengakui salah satu pihak sebagai kepengurusan yang sah, dan pihak lain dengan sendirinya tidak sah. Pihak kepengurusan yang sah mendapatkan hak untuk menggunakan nama dan identitas suatu partai politik yang dipersengketakan.1119 Namun demikian, kasus itu tidak dapat dilihat sebagai pembubaran partai politik karena obyek yang dipersengketakan adalah kepengurusan yang sah dari suatu partai politik, bukan partai politiknya itu sendiri. Eksistensi partai politik tetap ada dan diakui terlepas dari pihak mana yang menjadi pengurus partai politik tersebut. 6.3.1.2. Pembubaran Sebagai Konsekuensi Kebijakan Fusi Partai Kedua, adalah pembubaran yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, kebijakan pengaturan partai politik adalah menjadikan partai politik sebagai sarana menjaga stabilitas pemerintahan melalui proses penyederhanaan. Penyederhanaan dilakukan melalui fusi partai politik. Pembubaran ini merupakan bentuk pembubaran yang khas karena dilakukan tanpa adanya keputusan pembubaran oleh pemerintah secara langsung. Namun demikian, tetap dapat dikategorikan sebagai pembubaran karena dua hal. Pertama, kebijakan fusi partai politik merupakan kebijakan yang dipaksakan, sehingga penggabungan partai politik yang terjadi tidak murni dari kehendak partai politik itu sendiri untuk menggabungkan diri. Kedua, fusi partai politik menyebabkan hilangnya eksistensi hukum partai-partai politik yang menggabungkan diri. Kebijakan fusi partai politik sebagai pemaksaan penggabungan partai politik dapat dilihat dengan adanya peraturan yang mengharuskan adanya 1118 European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 2. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 130-134. 1119 Kasus perpecahan partai politik ini misalnya adalah perpecahan dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa antara kubu Matori Abdul Jalil dengan kubu Abdurrahman Wahid, kemudian antara kubu Alwi Sihab dengan kubu Muhaimin Iskandar. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 317 penyederhanaan partai politik sebelum fusi terjadi.1120 Dalam Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum telah ditentukan bahwa pemilu 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu dua Partai Politik dan satu Golongan Karya.1121 Padahal saat itu terdapat 10 partai politik yang sah sebagai badan hukum dan telah mengikuti Pemilu 1971, yaitu Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba. Upaya pemaksaan tersebut juga dilakukan dengan mengadakan pertemuan antara Presiden Soeharto dengan pimpinan partai politik pada 27 Pebruari 1970 yang mendorong pengelompokkan dan penggabungan partai politik.1122 Dengan telah adanya ketentuan dalam Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 yang telah menentukan bahwa pemilu 1977 diikuti oleh dua golongan politik dan satu golongan karya, maka tidak ada pilihan lain bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu selanjutnya, kecuali melakukan fusi menjadi dua partai politik dan satu golongan karya. Akhirnya pada 5 Januari 1973, NU, Parmusi, PSII, dan Perti melakukan fusi atau menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Selanjutnya, pada 10 Januari 1973, PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik melakukan fusi atau menggabungkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Fusi tersebut dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 baik terhadap proses fusi1123 maupun keberadaan dua partai politik dan satu golongan karya sebagai organisasi kekuatan sosial politik.1124 Adanya fusi yang diikuti dengan penutupan kesempatan pembentukan partai politik baru telah memberikan monopoli hanya kepada dua partai politik dan satu golongan karya. Hal itu secara esensial bertentangan dengan demokrasi.1125 Proses fusi partai politik tidak dapat disamakan dengan penggabungan yang dilakukan atas kehendak dari partai politik itu sendiri. Proses fusi pada masa 1120 Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 menyatakan “Pemerintah bersama-sama DPR-GR segera membuat Undang-undang yang mengatur kepartaian, keormasan, dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.” 1121 Pasal 3 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum menyatakan, “Pemilihan Umum yang dimaksud pada pasal 1 Ketetapan ini diikuti oleh dua Golongan Politik dan satu Golongan Karya.” 1122 Pada saat itu penggabungan disarankan berdasarkan pengelompokkan tekanan aspek pembangunan yang menjadi program partai politik, yaitu kelompok materiil-spirituil, kelompok spirituil-materiil, dan golongan karya. Lihat, Ali Moertopo, Op. Cit., hal. 75. 1123 Lihat Konsideran Menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 1124 Lihat Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 1125 It is essential for democracy only that the formation of new parties should not be excluded, and that no party should be given a priveleged position or a monopoly. Lihat, Kelsen, General Theory of Law, Op. Cit., hal. 295. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 318 awal Orde Baru dilakukan sebagai pelaksanaan kebijakan dan ketentuan yang telah dibuat. Sedangkan penggabungan atas kehendak partai politik sendiri tentu akan dilakukan berdasarkan Anggaran Dasar setiap partai politik.1126 Akibat terjadinya fusi, status badan hukum partai politik yang menggabungkan diri berakhir, dan terbentuk badan hukum partai politik baru hasil fusi. Dengan terbentuknya PPP sebagai partai politik yang memiliki status badan hukum, status badan hukum partai politik NU, Parmusi, PSII, dan Perti berakhir. Demikian pula halnya dengan adanya PDI sebagai badan hukum partai politik, status badan hukum partai politik PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik telah berakhir. Namun demikian, dalam kasus fusi partai politik ini, terdapat organisasi yang meskipun telah kehilangan status badan hukumnya sebagai partai politik, tetapi tetap berlanjut eksistensinya sebagai organisasi yaitu berubah menjadi organisasi kemasyarakatan. Organisasi tersebut dalam praktik menjadi salah satu unsur kekuatan dari suatu partai politik walaupun dari sisi hukum keanggotaan partai politik adalah perorangan, bukan organisasi. NU misalnya, tetap eksis sebagai organisasi keagamaan dan menjadi bagian dari PPP sebelum menyatakan keluar pada Muktamar Tahun 1984.1127 Parmusi juga tetap eksis sebagai organisasi dan menjelma menjadi Persaudaraan Muslimin Indonesia. PSII pada masa Orde Baru tetap menjadi salah satu organisasi unsur PPP, namun pada Pemilu 1999 muncul menjadi partai tersendiri yang mengikuti pemilihan umum.1128 Sedangkan dari unsur yang berfusi ke dalam PDI, PNI selama masa Orde Baru menjadi salah satu unsur dari PDI, namun pada pemilu 1999 muncul dua partai dengan nama PNI, yaitu PNI Marhaenisme dan PNI-Supeni.1129 IPKI juga 1126 Dapat dibandingkan dengan Pasal 20 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa partai politik bubar apabila “b. menggabungkan diri dengan partai politik lain.” Dapat dibandingkan pula dengan Article 22 Political Parties Act yang menyatakan “The political party shall be dissolved when: 1. merging with or joining another party”, serta Article 36 Law on the Political Parties Kamboja yang menyatakan “A political party may declare its merging with another party in accordance with its statutes. If the statute does not provide for the merging, the General Assembly shall make a decision.” 1127 Muktamar di PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, 8-12 Desember 1984. http://gp-ansor.org/?p=3542, 7/04/2008. 1128 Pada Pemilu 1999 terdapat dua partai dengan nama PSII, yaitu PSII dengan Ketua Umum Taufiq R. Tjokroaminoto, dan PSII 1905 dengan Ketua Umum Ohan Sudjana. Namun kedua partai ini tidak memperoleh suara yang signifikan dan tidak lolos electoral treshold. 1129 PNI Marhaenisme dengan Ketua Umum Sukmawati Sukarnoputri dan PNI-Supeni dengan Ketua Umum Supeni. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 319 tetap eksis sebagai organisasi kemasyarakatan yang pada masa Orde Baru menyatakan menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar.1130 Pada Pemilu 1999 organisasi tersebut menjadi partai politik sendiri yang mengikuti pemilihan umum. Partai Murba pada masa Orde Baru menjadi salah satu unsur dari PDI. Pada Pemilu 1999 muncul Partai Murba sebagai partai politik peserta pemilu sendiri.1131 Parkindo pada masa Orde Baru menjadi Partisipasi Kristen Indonesia.1132 Pada masa reformasi juga muncul Partai Kristen Indonesia (Parkindo) namun tidak mengikuti pemilihan umum, dan pada Pemilu 2004 bergabung ke PDKB.1133 Adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keormasan sebagai kelanjutan dari partai politik yang melakukan fusi pada awal Orde Baru walaupun statusnya sebagai badan hukum partai politik telah berakhir, menunjukkan kekhasan dari kebijakan fusi tersebut. Namun, kebijakan fusi yang dipaksakan tersebut jelas telah menimbulkan pembubaran suatu partai politik, walaupun tidak selalu diikuti dengan pembubaran sebagai organisasi. Kekhasan tersebut juga dapat dilihat dari salah satu bukti adanya pemaksaan pada saat kebijakan fusi dilaksanakan, apalagi partai-partai yang semula berfusi tersebut ada yang menjadi partai politik sendiri yang memperoleh status badan hukum dan mengikuti pemilu pada masa reformasi. 6.3.1.3. Perintah Membubarkan Diri Ketiga, adalah pembubaran dengan cara memerintahkan kepada partai politik untuk membubarkan diri, jika tidak dilaksanakan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Model pembubaran ini dianut pada masa Orde Lama berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang dilaksanakan dengan Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Keputusan Presiden tentang pembubaran partai politik tidak sekaligus merupakan keputusan pembubaran partai politik, tetapi memerintahkan kepada partai politik untuk membubarkan diri dalam waktu 30 x 24 jam.1134 Jika tidak membubarkan diri maka partai itu dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai 1130 JJ/Rus, Soeprapto Lantik DPW IPKI Kalimantan Barat, Harian Kompas,Senin 21 April 1997. Bahkan, pada 13 Januari 2007 juga dideklarasikan Partai Murba Indonesia dengan Ketua Umum Kusni, yang menyatakan sebagai kelanjutan Partai Murba yang ikut dalam Pemilu 1955. Lihat, Oktamandjaja Wiguna, Partai Murba Indonesia Dideklarasikan, Tempo Interaktif, 13 Januari 2007. 1132 Agus Basri dan Kartoyo Ramelan, PARKINDO, Majalah Gatra, No. 1/II, 18 November 1995. 1133 GCM, Parkindo Bergabung ke Partai PDKB, http://www.glorianet.org/arsip/b4533.html, 07/04/2008. 1134 Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 1131 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 320 terlarang.1135 Dengan demikian pembubaran ini merupakan pembubaran paksa atas perintah negara. Partai politik hanya memiliki dua pilihan, yaitu membubarkan diri atau dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Apabila partai politik membubarkan diri, maka proses pembubarannya dilakukan menurut Anggaran Dasar partai yang bersangkutan, termasuk pengurusan harta kekayaan serta penyelesaian hak dan kewajiban organisasi. Jika partai politik dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang, berarti pembubaran dilakukan secara langsung oleh negara. Dengan demikian tata cara pembubaran dan akibatnya terhadap organisasi diselesaikan menurut hukum negara. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan yang mengatur apakah partai politik yang diperintahkan untuk membubarkan diri juga akan berstatus sebagai partai terlarang dan tidak boleh didirikan lagi. Pembubaran dengan cara memerintahkan kepada partai yang bersangkutan untuk membubarkan diri dalam praktiknya terjadi saat pembubaran Partai Masjumi1136 dan PSI1137. Namun demikian, jika dilihat dari judul diktum menetapkan pada Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang membubarkan Partai Masjumi adalah “Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagianbagian/tjabang-tjabang/ranting-rantingnja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia”. Demikian pula halnya dengan diktum menetapkan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 menyatakan “Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabang-tjabang/ranting-rantingnja diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia”. Dengan demikian Keputusan Presiden tersebut adalah keputusan pembubaran partai politik, hanya saja cara pembubarannya ditentukan dapat dilakukan sendiri oleh partai politik yang bersangkutan dalam waktu 30 kali 24 jam, dan jika tidak dilakukan akan dibubarkan oleh pemerintah dan dinyatakan sebagai partai terlarang sesuai dengan Pasal 9 Ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 8 Ayat (2) Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Pembubaran tersebut tidak berdasarkan putusan pengadilan ataupun setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Peran pengadilan dalam proses pembubaran tersebut hanyalah memberikan 1135 Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Berdasarkan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Partai ini menyatakan pembubaran diri pada 13 September 1960. Lihat, Syaifullah, Op. Cit., hal. 219-221, dan Deliar Noer, Partai Politik, Op Cit., hal. 388. 1137 Berdasarkan Keppres Nomor 201 Tahun 1960. 1136 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 321 pertimbangan walaupun ditentukan bahwa untuk memberikan pertimbangan tersebut MA mengadakan pemeriksaan dengan acara bebas dan dapat mendengarkan saksi dan ahli di bawah sumpah. Namun demikian, pertimbangan hukum MA tersebut bukan merupakan vonis, melainkan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat Presiden. Dalam praktiknya, Masjumi dan PSI memilih membubarkan diri sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindari status sebagai partai terlarang dan agar bisa menyelamatkan harta kekayaan partai serta dapat melakukan upaya hukum. Dalam pandangan pimpinan Masjumi saat itu, apabila menjadi partai terlarang maka tidak dapat mengurus harta kekayaan partai dan tidak dapat melakukan upaya hukum.1138 Dilihat dari sisi Keputusan Presiden yang diktum “menetapkan”-nya menyatakan membubarkan partai politik, serta dari sisi peran MA yang hanya memberikan pertimbangan kepada Presiden, jenis pembubaran ini hampir sama dengan pembubaran oleh pemerintah yang akan dibahas pada sub bahasan selanjutnya.1139 Perbedaannya terletak pada cara pembubaran dan peran lembaga peradilan. Untuk pembubaran oleh pemerintah, pembubaran dilakukan secara langsung dan serta merta melalui keputusan pemerintah, tanpa memberikan kesempatan atau memerintahkan kepada partai politik untuk membubarkan diri. Dari sisi peran pengadilan, pembubaran oleh pemerintah sama sekali tanpa melibatkan peran pengadilan sedangkan perintah membubarkan diri dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan MA, walupun sifatnya tidak mengikat. Kekuasaan pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk membubarkan partai politik sangat membahayakan kehidupan demokrasi. Hal itu karena pada prinsipnya pemerintahan dalam sistem demokrasi adalah pemerintah partai atau koalisi beberapa partai politik. Jika pemerintah memiliki kekuasaan membubarkan partai politik, maka kekuasaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh partai politik yang sedang menguasai pemerintahan untuk membubarkan partai politik 1138 Lihat, Syaifullah, Op. Cit. Masjumi juga mengajukan gugatan atas pembubaran tersebut ke Pengadilan Jakarta. Pengadilan Jakarta memutus tidak berwenang mengadili karena perkara ini terkait dengan kebijakan politik dan masalah konstitusi. Terhadap putusan itu diajukan banding, namun menurut Deliar Noer tidak pernah diputuskan. Lihat, Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit. 1139 Yaitu dalam kasus pembubaran PKI berdasarkan Keppres Nomor 1/3/1966. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 322 saingannya. Hal itu menimbulkan persaingan tidak sehat dalam demokrasi dan mengarah kepada otoritarianisme.1140 Di negara lain, kekuasaan pemerintah yang agak besar dalam proses pembubaran partai politik adalah di Pakistan. Namun demikian, keputusan pemerintah adalah pada tingkat pengumuman bahwa suatu partai politik memperoleh pendanaan asing, atau dibentuk dan melakukan kegiatan yang mengganggu kedaulatan atau integritas negara, atau menggerakan terorisme. Pengumuman tersebut dalam waktu 15 hari harus disampaikan kepada MA. MA Pakistan yang akan menentukan pembubaran partai tersebut.1141 6.3.1.4. Pembubaran oleh Pemerintah Keempat, adalah pembubaran oleh pemerintah tanpa melalui proses hukum bahkan tanpa adanya peran lembaga peradilan sama sekali. Pembubaran model ini terjadi pada saat pembubaran PKI yang dilakukan melalui Keppres Nomor 1/3/1966 yang ditandatangi oleh Letjen Soeharto atas nama Presiden. Keputusan tersebut selanjutnya dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Proses pembubaran PKI dilakukan tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku, yaitu Penpres Nomor 7 Tahun 1959, tetapi berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966. Keputusan pembubaran tersebut dilakukan tanpa adanya pertimbangan dari MA seperti diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Dalam konsiderannya hanya disebutkan memperhatikan putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Pembubaran tersebut tanpa memberikan pertanyaan kepada pimpinan PKI seperti yang pernah dilakukan terhadap Masjumi dan PSI. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa dalam pembubaran tersebut faktor politik lebih berperan. Hal itu dapat dibandingkan dengan pembubaran dalam bentuk perintah membubarkan diri berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang menentukan 1140 Lihat Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat…, Op. Cit., hal. 205 Chapter III Article 15 The Political Parties Order 2002 Pakistan menyatakan “(1) Where the Federal Government is satifistied that a political party is a foreign-aided party or has been formed or is operating in a manner prejudicial to the sovereignty or integrity of Pakistan or is indulging in terorism, it shall make such declaration by a notification in the official Gazette. (2) Within fifteen days of making a declaration under clause (1), the Federal Government shall refer the matter to the Supreme Court whose decision on such reference shall be final. (3) Where the Supreme Court upholds the declaration made against a political party under clause (1), such party shall stand dissolved forthwith.” Adanya kewenangan pada pemerintah juga bertentangan dengan netralitas negara terhadap partai politik. Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 130. 1141 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 323 bahwa Presiden dalam memutuskan pembubaran partai politik dilakukan dengan mendengar pertimbangan MA.1142 Demikian pula dengan pembubaran partai politik di Pakistan yang walaupun pernyataan awalnya dilakukan oleh Pemerintahan Federal, namun kata akhir ada pada MA Pakistan.1143 Pembubaran oleh pemerintah bertentangan dengan prinsip pengaturan pembubaran partai politik di negara hukum dan demokrasi. Salah satu prinsip yang dilanggar adalah bahwa pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional. Putusan pembubaran diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas.1144 6.3.1.5. Pembubaran Berdasarkan Putusan Pengadilan Kelima, adalah pembubaran berdasarkan putusan pengadilan. Bentuk pembubaran ini terdapat pada masa reformasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 yang menjadi wewenang Mahkamah Agung, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Mahkamah Agung dapat membubarkan partai politik yang melakukan pelanggaran tertentu. Pelaksanaan wewenang itu dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik dan setelah melalui proses peradilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.1145 Dengan demikian, proses pembubaran partai politik oleh MA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 harus melalui proses pengadilan untuk membuktikan pelanggaran yang dilakukan. Jika proses pengadilan tersebut telah diputus dan memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat dilanjutkan dengan proses peradilan pembubaran untuk memeriksa keterangan dari pengurus partai pilitik yang bersangkutan1146. Bahkan sebelum proses peradilan pembubaran partai politik, MA harus memberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali berturut-turut selama 3 bulan. 1142 Pasal 6 dan Pasal 7 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Chapter III Article 15 The Political Parties Order 2002 Pakistan. 1144 . Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venise Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 134. 1145 Pasal 17 Ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1146 Negara-negara lain yang memberikan wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Agung diantaranya adalah Eritrea, Mongolia, Pakistan, Yordania, dan Afghanistan. 1143 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 324 Salah satu kelemahan dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah tidak menentukan siapa yang dapat mengajukan gugatan pembubaran partai politik, apakah setiap warga negara atau MA sendiri yang juga memegang fungsi pengawasan partai politik.1147 Pada masa berlakunya undangundang tersebut, pernah terjadi gugatan pembubaran Partai Golkar yang diajukan oleh Pijar Indonesia mewakili sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti Orde Baru. Namun gugatan itu ditolak oleh Mahkamah Agung. Walaupun demikian, dari gugatan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan pembubaran partai politik karena penggugat pada saat itu yang terdiri dari perseorangan, partai politik, dan beberapa organisasi non pemerintah dinyatakan memiliki kedudukan hukum.1148 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 di mana yang memutus pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi sesuai dengan perubahan UUD 1945.1149 Ketentuan tentang pembubaran partai politik melalui proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.1150 Pemohon perkara pembubaran partai politik ke MK adalah pemerintah.1151 Alasan pembubaran partai politik menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ Marxisme-Leninisme sehingga dituntut berdasarkan UndangUndang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.1152 Sedangkan alasan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 adalah ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 1945.1153 1147 Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Lihat Putusan MA Perkara No. 02.G/WPP/2001, 31 Juli 2001. 1149 Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Negara-negara lain yang memberikan wewenang pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi diantaranya adalah Rumania, Azerbaijan, Taiwan, Jerman, Armenia, Bulgaria, Georgia, Korea Selatan, Moldova, Polandia, Slovakia, Slovenia, Turki, Thailand, dan Hungaria. 1150 Lihat Pasal 68 sampai dengan 73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1151 Pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1152 Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 1153 Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1148 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 325 Pembubaran partai politik oleh lembaga peradilan tersebut sesuai dengan salah satu pedoman yang dibuat oleh Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik secara paksa harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial terhadap pelanggaran konstitusional yang tidak biasa dan diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. Selain itu pedoman Venice Commission juga menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan pengadilan yang fair.1154 6.3.1.6. Pembekuan Partai Politik Bentuk pembubaran keenam adalah pembekuan partai politik. Namun demikian patut diingat bahwa pembekuan partai politik tidak selalu dapat dimaknai sebagai pembubaran, walaupun untuk jangka waktu tertentu partai politik yang dibekukan mengalami akibat hukum yang sama dengan pembubaran, yaitu tidak dapat mewujudkan eksistensinya sebagai badan hukum melalui kegiatan-kegiatannya. Jika pembekuan telah dicabut, maka eksistensi partai politik yang bersangkutan pulih kembali, bukan sebagai partai politik baru, tetapi tetap sebagai badan hukum partai politik seperti sebelum dibekukan. Namun, terdapat praktik di mana pembekuan tidak pernah dicabut sehingga partai politik kehilangan eksistensinya hingga saat ini. Pada masa Orde Lama, walaupun berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tidak dikenal istilah pembekuan partai politik, namun dalam praktik terjadi pembekuan partai politik. Partai yang dibekukan adalah Partai Murba berdasarkan Keppres Nomor 21 Tahun 1965. Pembekuan Partai Murba baru dicabut dan direhabilitasi pada 17 Oktober 1966 pada awal kekuasaan Orde Baru.1155 Di awal Orde Baru juga terjadi praktik pembekuan partai politik, yaitu terhadap Partindo. Walaupun saat itu ketentuan yang berlaku, Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960, tidak mengenal pembekuan partai politik. Pembekuan itu diikuti dengan pemberhentian anggota-anggotanya 1154 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit., hal. 130-134. 1155 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 318-319; dan Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, Op. Cit., hal. 10-11. Pembekuan ini dicairkan pada awal Orde Baru melalui Keppres Nomor 21 Tahun 1966. Lihat, Muchtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 81. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 326 yang menjadi anggota DPRGR melalui Keppres Nomor 57 Tahun 1968.1156 Hingga saat ini pembekuan itu tidak pernah dicabut. Pembekuan baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 dengan istilah pembekuan pengurus tingkat pusat partai politik. Pembekuan dilakukan oleh Presiden yang juga memegang kekuasaan pengawasan terhadap partai politik setelah mendengar keterangan dari pengurus partai politik dan mendengar pertimbangan Mahkamah Agung.1157 Dalam praktiknya, sepanjang Orde Baru belum pernah terjadi pembekuan partai politik. Pada masa reformasi, pembekuan partai politik diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999. Pembekuan partai politik menjadi wewenang Mahkamah Agung setelah mendengar keterangan dari Pengurus Pusat partai politik dan melalui proses peradilan.1158 Pembekuan diartikan sebagai menghentikan sementara kepengurusan dan/atau kegiatan partai politik.1159 Walaupun pembekuan diputuskan oleh pengadilan, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tidak ditentukan batas waktu pembekuan dan apakah tindak lanjut dari pembekuan tersebut. Hal itu dapat merugikan partai politik yang bersangkutan karena pencairan kembali partai politik yang dibekukan bergantung kepada batas waktu putusan pembekuan tersebut, atau putusan MA yang mencairkan kembali partai politik yang bersangkutan. Pada masa reformasi pernah terdapat gugatan pembekuan menjadi satu dengan gugatan pembubaran Partai Golkar namun ditolak oleh MA.1160 Selain itu, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan Maklumat yang salah satu isinya membekukan Partai Golkar.1161 Namun Maklumat itu tidak efektif dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum oleh fatwa Mahkamah Agung yang dikukuhkan dengan Ketetapan MPR.1162 Pembekuan partai politik juga dikenal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Namun, dalam undang-undang ini secara tegas dinyatakan sebagai pembekuan sementara paling lama satu tahun. Pembekuan itu merupakan sanksi 1156 Sundhaussen, Op. Cit., hal. 317; dan Muchtar Pakpahan, Op. Cit., hal. 80. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. 1158 Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1159 Penjelasan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 1160 Putusan MA Perkara No. 02.G/WPP/2001, 31 Juli 2001. Lihat, O. C. Kaligis & Associate, Op. Cit., hal. 3-84. 1161 Maklumat Presiden RI Tanggal 22 Juli 2001. 1162 Surat Ketua MA Nomor KMA 419/7/2001. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001. 1157 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 327 yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan jika partai politik melakukan pelanggaran tertentu.1163 Namun demikian tidak terdapat ketentuan yang mengatur tindak lanjut pembekuan tersebut baik jika partai yang bersangkutan tidak lagi melakukan pelanggaran, ataupun dalam hal partai politik melakukan pelanggaran serupa. Tidak adanya ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi partai politik yang dibekukan. Walaupun disebut sebagai pembekuan sementara, namun dapat terjadi setelah jangka waktu pembekuan sementara berakhir tidak dilakukan pencairan kembali. Selain menimbulkan ketidakpastian, hal itu dapat menghambat perkembangan partai politik, apalagi jika pembekuan diajukan menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Di Yordania, pembekuan partai politik ditentukan harus diikuti dengan pengajuan pembubaran partai politik. Pengadilan dapat membekukan suatu partai politik atas permintaan pemerintah, namun dalam waktu delapan hari pemerintah harus mengajukan perkara pembubaran partai politik tersebut.1164 6.3.2. Bentuk Pembubaran di Masa Mendatang Dari berbagai bentuk pembubaran tersebut, terdapat pembubaran yang seharusnya dihindari pada masa yang akan datang karena bertentangan dengan UUD 1945 serta prinsip negara hukum dan demokrasi. Bentuk-bentuk pembubaran tersebut berpeluang melanggar prinsip kebebasan berserikat dan dilakukan tanpa melalui proses peradilan. Bentuk-bentuk pembubaran tersebut adalah tidak diakuinya partai politik yang telah ada, perintah membubarkan diri dengan ancaman akan dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang jika tidak membubarkan diri tanpa melalui putusan pengadilan, pembubaran yang dilakukan oleh pemerintah tanpa ada proses peradilan, kebijakan penyederhanaan partai politik secara paksa, serta pembekuan partai politik tanpa batas waktu dan tanpa kepastian tindakan lebih lanjut dari pembekuan. 1163 Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Article 25 a Political Parties Law Jordania menyatakan “…The Court may decide to suspend the Party if the Minister submits a request therefore. The decision to suspend the Party shall be considered cancelled if, within a period of eigh days from the date of service of that decision, the Minister does not file a case requesting the dissolution of the Party.’ Di Bulgaria, pembekuan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi jika suatu partai politik gagal menempatkan calonnya dalam dua kali pemilihan berturut-turut, atau setidaktidaknya calon di sepuluh daerah pemilihan, atau gagal menyelenggarakan forum nasional pengambilan keputusan dalam waktu lima tahun. Lihat Article 31 Law on Political Parties Rumania. 1164 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 328 Di masa mendatang seharusnya hanya terdapat pembubaran partai politik berdasarkan putusan pengadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Proses pembubaran partai politik yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi sesuai dengan pedoman Venise Commission bahwa pembubaran suatu partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan fair. Selain itu juga ditentukan bahwa pembubaran partai politik harus merupakan konsekuensi temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang tidak biasa dan diputus berdasarkan prinsip proporsionalitas.1165 Pembubaran karena alasan administratif yang selama ini terjadi, yaitu dalam bentuk tidak diakuinya suatu partai politik yang telah sah sebelumnya karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang baru, sudah seharusnya juga dilakukan melalui proses pengadilan karena pada prinsipnya merupakan tindakan pembubaran.1166 Dengan demikian, segala tindakan pembubaran yang pada hakikatnya menghilangkan atau membatasi hak kebebasan berserikat tersebut tidak disalahgunakan dan benarbenar untuk mencegah ancaman bagi kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan tatanan masyarakat yang demokratis.1167 Di sisi lain, kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan partai politik tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan, apalagi dengan memberikan keistimewaan dan monopoli kepada partai politik tertentu yang melanggar esensi demokrasi.1168 Untuk pembekuan partai politik, harus terdapat pembatasan waktu karena pembekuan dimaksudkan sebagai sanksi agar partai politik yang bersangkutan melakukan tindakan penyesuaian atau perbaikan atas pelanggaran yang dilakukan. Jika telah melakukan perbaikan, maka pembekuan harus dicabut. Namun jika tidak dicabut, pembekuan dilanjutkan dengan pembubaran yang juga harus dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. 1165 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. 1166 Pembubaran baik karena alasan pelanggaran konstitusional maupun karena alasan administratif menjadi wewenang pengadilan juga terdapat misalnya di Rumania, Yaman, Yordania, Georgia, Moldova, Polandia, dan Hungari. Lihat Tabel 2.3. pada Bab Dua. 1167 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition, Op. Cit. 1168 Kelsen, General Theory of Law…, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 329 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur keterkaitan antara sanksi pembekuan sementara partai politik yang diberikan oleh pengadilan dengan pembubaran partai politik telah diatur lebih jelas. Partai politik yang telah dibekukan sementara dan melakukan pelanggaran lagi, dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.1169 Hal itu juga berlaku untuk pembubaran partai politik lokal Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Dinyatakan bahwa pengurus partai politik lokal yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lain, serta kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara paling lama satu tahun oleh pengadilan negeri.1170 Partai politik lokal yang telah dibekukan namun kembali melakukan pelanggaran, dapat dibubarkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi.1171 6.4. ALASAN PEMBUBARAN Alasan pembubaran partai politik dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh partai politik, yang apabila dilanggar atau tidak dipenuhi, dapat menjadi dasar alasan partai politik tersebut dibubarkan. Di negara-negara eropa, Commission 1172 berdasarkan hasil survey Venice , terdapat beberapa alasan yang dapat menjadi dasar pembubaran, di antaranya adalah (1) partai politik mempunyai tujuan yang bersifat “unlawful or immoral aims”; (2) kegiatan partai membahayakan hak asasi manusia, bersifat totalitarian, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip “rule of law and democracy”;1173 (3) merupakan partai ekstrem;1174 (4) menyebarkan, mengajarkan, 1169 Pasal 48 Ayat (3) RUU Partai Politik. Pasal 87 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 1171 Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 1172 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit., hal. 135. Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat…, Op. Cit., hal. 135. 1173 Article 5 Proclamation on the Formation of Political Parties and Organization Eritrea mengatur salah satu prinsip dasar partai politik yang harus dipenuhi dan jika dilanggar akan menjadi alasan pembubaran adalah “Adhere to the rule of law and democratic norms, and thereby strive to promote as well as consolidate these objectives.” 1174 Dalam Article 11 Para 4 Konstitusi Bulgaria dinyatakan “There shall be no political parties on ethnic, racial, or religious lines, nor parties which seek the violent usurpation of state power.” 1170 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 330 atau memperjuangkan kebencian, kekerasan, atau diskriminasi;1175 (5) melakukan kegiatan dengan cara kekerasan yang anti demokrasi;1176 (6) mengancam eksistensi dan kemerdekaan negara;1177 (7) mengancam integritas wilayah negara1178; (8) menganjurkan kejahatan;1179 (9) mengambil alih kegiatan negara;1180 (10) melakukan kegiatan yang dilarang;1181 dan (11) melakukan kegiatan “para-militer”.1182 Venice Commission juga merumuskan alasan yang dapat dijadikan dasar pembubaran partai politik, yaitu melakukan tindakan dengan menggunakan kekerasan sebagai alat politik untuk menjatuhkan tatanan demokrasi konstitusional sehingga meruntuhkan hak dan kebebasan yang dijamin konstitusi. Namun demikian, suatu partai politik tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai. Selain itu, sebelum dilakukan pembubaran harus diupayakan tindakan lain yang kurang radikal untuk mencegah bahaya yang diakibatkan oleh partai politik 1175 Section 78 Para 2 Konstitusi Denmark menyatakan “Association employing violence, or aiming at attaining their object by violence, by istigation to violence, or by similar punishable influence on people of other views, shall be dissolved by judgment.” Dapat dibandingkan misalnya dengan Sec I Article 5 Konstitusi Belarusia yang menyatakan “The creation and activities of political parties and other public associations that aim to change the constitutional system by force, or conduct a propaganda of war, social, ethnic, religious and racial hatred, shaal be prohibited.” 1176 Dapat dilihat misalnya dalam Article 13 Konstitusi Polandia yang menyatakan “Political parties and other organizations whose programmes are based upon totalitarian methods and the model of activity of nazims, facism and communism, as well as those whose programmes or activities sanction racial or national hatred, the application of violence for the purpose of obtaining power or to influence the State policy, or provide for the secrecy of their own structure or membership, shall be forbidden.” 1177 Misalnya Article 37 Para 2 Konstitusi Rumania menyatakan “Any political parties or organizations which, by their aims or activity, militate against political pluralism, the principles of a state governed by the rule of law, or against the sovereignty, integrity , or independence of Romania shall be unconstitutional.” Sedangkan Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman menyatakan “Parties which, by reason of their aims or behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal republic of Germany are unconstitutional.” 1178 Article 3 Para 2 Political Parties Act Bulgaria misalnya menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat menjadi alasan pembubaran partai politik adalah “its activities are aimed against the sovereignty or integrity of the country and the unity of the nation, against the rights and the freedoms of the citizens.” 1179 Atikel 32 Parties and Political Organizations Law Yaman misalnya menyatakan salah satu larangan yang jika dilanggar dapat menjadi alasan pembubaran partai politik adalah “Not to disrupt the general order and security, or to be involved in plots or violence or to motivate others in them.” 1180 Bahkan di Azerbaijan partai politik dilarang mencampuri urusan kegiatan negara dan pemerintahan. Article 12 Law on Political Parties Azerbaijan menentukan salah satu kewajiban partai politik adalah “Political parties may not interfere with activities of State bodies and officials.” 1181 Dalam Article 47 Para 4 Konstitusi Estonia dinyatakan “The termination or suspension of the activities of an association, a league or a political party, and its penalization, may only be invoked by a court, in cases where a law has been violated.” 1182 Article 46 Para 4 Konstitusi Portugal yang mengatur Freedom of Association misalnya menyatakan “Armed, military-type, militerized, or para-military associations outside the State and the Armed Forces and organizations which adopt facist ideology are not permitted.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 331 tersebut.1183 Di negara-negara Asia dan Afrika, menurut Weinar dan Lapalombara, pada umumnya alasan pembubaran partai politik terkait dengan dua elemen integrasi nasional, yaitu kontrol terhadap kesatuan wilayah nasional dan loyalitas terhadap negara.1184 Pada umumnya alasan pembubaran partai politik adalah karena pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban partai politik. Hal itu misalnya dapat dilihat di Jerman1185, Turki,1186 Bulgaria,1187 dan negara-negara lain. Namun, selain alasan tersebut, beberapa negara juga menentukan bahwa pembubaran juga dapat terjadi apabila suatu partai politik gagal menjalankan aktivitasnya sebagai partai politik atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai partai politik. Yang dimaksud dengan aktivitas dalam hal ini adalah aktivitas utama, yaitu mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakil di parlemen. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijumpai di Korea Selatan,1188 Hungaria,1189 dan Moldova.1190 6.4.1. Alasan Pembubaran dalam Peraturan dan Praktik Dalam aturan hukum yang pernah berlaku di Indonesia, alasan pembubaran partai politik pada umumnya terkait dengan prinsip demokrasi, konstitusi, dan ideologi tertentu. Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 menentukan alasan-alasan yang dapat menjadi dasar pembubaran, meliputi; (1) partai politik bertentangan dengan asas dan tujuan negara; (2) programnya bermaksud merombak asas dan tujuan negara;1191 (3) sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakanpemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak 1183 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit., hal. 130-134. Alasan-alasan tersebut juga terdapat dalam European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3. 1184 Lapalombara and Weiner (eds.), Op. Cit., hal. 414. 1185 Lihat Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman. 1186 Lihat Article 68 Para 4 Konstitusi Turki. 1187 Lihat Article 3 Political Parties Act Bulgaria 1990. 1188 Lihat Article 44 Para 1 Political Parties Act of South Korea, No. 7683, 2005. 1189 Lihat Article 3 Para 2 Act No. XXXIII of 1989 On the Operation and Financial Function of Political Parties. 1190 Lihat Article 32 Para 1 Law No. 718-XII of 17.09.91, Law of the Republic Moldova on Political Parties and Other Socio-Political Organizations. 1191 Alasan pertama dan kedua ini dapat dibandingkan dengan Article 3 Para 1 angka 2 Political Parties Act Bulgaria yang menyatakan salah satu kegiatan yang dilarang dan menjadi alasan pembubaran adalah “its goal run contrary to the Constitution and Legislation of the Country.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 332 dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;1192 dan (4) tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan. Alasan ke-3 menjadi dasar pembubaran Partai Masjumi dan PSI pada masa Orde Lama, yaitu dinilai ikut melakukan pemberontakan PRRI/Permesta karena beberapa pimpinan Masjumi dan PSI terlibat dalam pemberontakan tersebut.1193 Selain pembubaran tersebut, juga terjadi pembekuan Partai Murba dengan alasan karena dianggap menyelewengkan dan membunuh ajaran Soekarno, serta memecah-belah persatuan Nasakom1194. Tabel 6.6. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Masa Orde Lama Peraturan 1. Penpres No. 7 Tahun 1959 2. Perpres No. 13 Tahun 1960. 3. Perpres 25 Tahun 1960 Alasan dalam Peraturan Alasan dalam Praktik 1. Bertentangan dengan asas dan tujuan negara. 2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan negara. 3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan, dan partai tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggotanya itu. 4. Tidak memenuhi syarat sesuai syarat pengakuan. Pembubaran Masjumi dan PSI dengan alasan keterlibatan pimpinan kedua partai tersebut dalam pemberontakan PRRI/Permesta dan partai politiknya tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggotanya itu. Selain praktik pembubaran dengan memerintahkan pembubaran Masjumi dan PSI, serta pembekuan Partai Murba, pada masa Orde Lama juga terjadi pembubaran partai politik dalam bentuk penolakan pengakuan terhadap partai politik yang sebelumnya telah ada. Partai politik yang tidak diakui dengan alasan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut adalah PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI, 1192 Alasan ini dapat dikategorikan dalam alasan mengancam integritas wilayah negara menurut pedoman yang dibuat oleh Venice Commission. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit., hal. 135. 1193 Konsideran “Menimbang” Keppres Nomor 200 Tahun 1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 menyatakan “bahwa untuk kepentingan keselamatan negara dan bangsa, perlu membubarkan Masjumi dan PSI, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan apa yang disebut dengan ‘Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia’ atau ‘Republik Persatuan Indonesia’, sedangkan organisasi (partai itu) tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinan tersebut.” 1194 Keppres Nomor 21 Tahun 1965. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 333 dan PRN Djody.1195 Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat1196 yang bersifat ideologis,1197 tujuan,1198 program,1199 kegiatan,1200 keanggotaan,1201 pendanaan,1202 serta jumlah kepengurusan1203 dan anggota.1204 Pada awal masa Orde Baru, terjadi pembubaran PKI. Namun hal itu tidak dilakukan berdasarkan alasan yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Dalam Keppres Nomor 1/3/1966, disebutkan alasan pembubaran tersebut adalah karena munculnya kembali aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30 September” PKI. Aksi-aksi tersebut mengakibatkan terganggunya keamanan rakyat dan ketertiban.1205 Namun, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 mempertimbangkan alasan lain untuk mengukuhkan pembubaran PKI. Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme pada hakikatnya bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, para penganut paham tersebut, khususnya PKI, dalam sejarah Indonesia telah terbukti berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.1206 Pada masa awal Orde Baru ini juga terjadi pembekuan terhadap Partindo dengan alasan kedekatannya dengan PKI dan keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965 walaupun tanpa ada putusan pengadilan. 1195 Keppres Nomor 129 Tahun 1961. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 3 Penpres Nomor 7 Tahun 1959. 1197 Menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang memuat dasar Pancasila. 1198 Partai politik bertujuan membangun masyarakat adil dan makmur menurut kepribadian Indonesia. 1199 Mendasarkan program kerjanya pada Manifesto Politik Presiden tanggal 17 Agustus 1959. 1200 Dalam memperjuangkan tujuannya harus menggunakan cara damai dan demokratis. 1201 Tidak memiliki anggota pengurus, atau pengurus kehormatan dari warga negara asing. 1202 Tidak menerima bantuan dari pihak asing tanpa ijin dari pemerintah. Tidak memberi bantuan kepada pihak asing tanpa ijin dari pemerintah. 1203 Jumlah cabang harus sedikitnya ¼ dari jumlah Daerah Tingkat II. Yang dianggap sebagai cabang adalah kesatuan organisasi yang jumlah anggotanya sekurang-kurangnya 50 orang. 1204 Jumlah anggota partai sekurang-kurangnya 150.000 orang. 1205 Jika digunakan pedoman dari Venice Commission, aksi-aksi PKI yang menjadi alasan Kepres Nomor 1/3/1966 masuk dalam kategori melakukan kegiatan dengan cara kekerasan yang anti demokrasi. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 1206 Dalam Law on Political Parties Mongolia, hal ini disebut dengan istilah anticonstitutional seizure of state power. Lihat, Article 2 Law on Political Parties Mongolia. 1196 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 334 Tabel 6.7. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Awal Orde Baru Peraturan Alasan dalam Peraturan 1. Penpres No. 7 Tahun 1959 2. Perpres No. 13 Tahun 1960. 3. Perpres 25 Tahun 1960 1. Bertentangan dengan asas dan tujuan negara. 2. Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan negara. 3. Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan, dan partai tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggotanya itu. 4. Tidak memenuhi syarat sesuai syarat pengakuan. Alasan dalam Praktik Keppres No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI tidak berdasarkan ketentuan yang saat itu berlaku. Keppres tersebut dikuatkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. 1. Alasan dalam Keppres No. 1/3/1966 adalah munculnya aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh G 30 S/PKI yang mengganggu kemanan rakyat dan ketertiban. 2. Alasan dalam Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah bahwa ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme bertentangan dengan Pancasila dan para penganut paham tersebut, khususnya PKI, telah terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan yang sah dengan jalan kekerasan. Pada masa Orde Baru, dilakukan kebijakan penyederhanaan melalui fusi partai politik sebagaimana digariskan dalam Tap MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 dan Tap MPR Nomor VIII/MPR/1973. Kebijakan fusi tersebut didasarkan pada alasan perlunya membina kehidupan politik yang efektif dan efisien bagi pelaksanaan pembangunan. Namun demikian tidak terdapat peraturan perundangundangan yang mengatur bagaimana fusi tersebut harus dilakukan, misalnya syarat-syarat partai politik yang harus melakukan penggabungan.1207 Fusi dilakukan berdasarkan kebijakan tidak tertulis yang dijalankan oleh Presiden Soeharto. Bahkan kriteria pengelompokkan pun ditentukan oleh Presiden 1207 Hal ini berbeda dengan proses penyederhanaan pada masa Orde Lama yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Keppes Nomor 13 Tahun 1960. Kedua aturan tersebut memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mendapatkan pengakuan, walaupun keputusan pengakuan tersebut sepenuhnya ada pada Presiden. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 335 Soeharto.1208 Pada akhirnya kebijakan fusi menghasilkan 3 partai, yaitu PPP, PDI, dan Golkar.1209 Setelah fusi berhasil dilakukan, ketentuan selanjutnya mengenai partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975. Dalam undangundang itu tidak dikenal adanya pembentukan dan pembubaran partai politik. Sanksi paling berat bagi partai politik adalah pembekuan pengurus partai politik. Alasan pembekuan pengurus meliputi pelanggaran terhadap asas, kewajiban, dan larangan. Asas yang wajib dicantumkan adalah Pancasila dan UUD 1945.1210 Kewajiban partai politik adalah melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945.1211 Sedangkan larangan bagi partai politik adalah1212 a. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme serta faham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya; b. Menerima bantuan dari pihak asing; dan c. Memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat kepentingan Bangsa dan Negara. Tabel 6.8. Alasan Pembekuan Pengurus Partai Politik Pada Masa Orde Baru Peraturan Alasan dalam Peraturan 1. UU No. 3 Tahun 1975 2. PP No. 9 Tahun 1975 1. Tidak mencantumkan asas Pancasila dan UUD 1945. 2. Tidak melaksanakan kewajiban Parpol melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. 3. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Alasan dalam Praktik - 1208 Pada pertemuan dengan pimpinan partai politik, 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto menyampaikan gagasan pengelompokkan berdasarkan perhatian partai politik antara aspek materiil dan spirituil dalam pembangunan. Kelompok pertama adalah kelompok materiil-spirituil yang menekankan pada aspek materiil tanpa meninggalkan spirituil. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok spirituil-materiil yang menekankan pada aspek spirituil tanpa meninggalkan aspek materiil. Lihat Daniel Dhakidae, Op. Cit., hal. 33. 1209 PPP merupakan hasil fusi dari kelompok spirituil-materiil yang meliputi NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil fusi dari kelompok materiil spirituil yang meliputi PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo. 1210 Pasal 4 UU Nomor 3 Tahun 1975. 1211 Pasal 7 UU Nomor 3 Tahun 1975. 1212 Pasal 12 UU Nomor 3 Tahun 1975. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 336 4. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya. 5. Menerima bantuan dari pihak asing. 6. Memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat kepentingan bangsa dan negara. 1. UU No. 3 Tahun 1985 2. PP No. 19 Tahun 1986 1. Tidak mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. 2. Mencantumkan istilah atau pengertian lain yang dapat mengurangi atau mengaburkan maksud ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas. 3. Tidak melaksanakan kewajiban Parpol melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila. 4. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. 5. Menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya. 6. Menerima bantuan dari pihak asing. 7. Memberikan bantuan kepada pihak asing yang mengikat kepentingan bangsa dan negara. - Pada masa reformasi, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, alasan pembekuan dan pembubaran partai politik adalah pelanggaran terhadap ketentuan mengenai syarat-syarat pembentukan partai, tujuan, larangan, dan kewajiban partai politik. Syarat-syarat pembentukan partai meliputi;1213 (1) didirikan sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 tahun; (2) mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam anggaran dasar partai politik; (3) asas atau ciri, aspirasi dan program partai politik tidak bertentangan dengan Pancasila; (4) keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Indonesia yang telah mempunyai hak pilih; dan 1213 Syarat-syarat ini sesungguhnya merupakan syarat-syarat pendaftaran partai politik sebagai badan hukum yang dapat dijumpai pada peraturan perundang-undangan periode lain, kecuali pada masa Orde Baru yang memang tidak mengenal pembentukan partai politik baru. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 337 (5) tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Indonesia Sang Merah Putih, bendera negara lain, gambar perorangan dan nama serta lambang partai yang telah ada.1214 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan bahwa pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.1215 Dengan demikian, partai politik tidak boleh memiliki tujuan separatisme dan segala tindakan lain yang berakibat terganggunya persatuan dan kesatuan nasional.1216 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang tujuan partai politik. Tujuan umum partai politik adalah mewujudkan citacita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sedangkan tujuan khusus yang ditentukan adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kewajiban partai politik yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 meliputi; (1) memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; (2) mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa; (4) menyukseskan pembangunan nasional; dan (5) menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung umum, bebas, dan rahasia1217. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 mengatur tentang larangan terhadap partai politik1218, yaitu tidak boleh (1) menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; (2) menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung; (3) memberi 1214 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Bandingkan dengan Article 3 Para 2 Political Parties Act Bulgaria yang memuat salah satu larangan yang dapat menjadi alasan pembubaran partai politik adalah “its activities are aimed against souveregnty or territorial integrity of the country and the unity of the nation, …” 1216 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Larangan ini merupakan alasan pembubaran yang menurut pedoman Venice Commission dapat dikategarikan dalam alasan mengancam eksistensi dan kemerdekaan negara, serta alasan mengancam integritas wilayah negara. Lihat. European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 1217 Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Section 70 Para 1 Konstitusi Timor Leste yang menyatakan “Political parties shall participate in organs of political power in accordance with their democratic representation based on direct and univesal suffrage.” 1218 Larangan-larangan ini dapat dikategorikan sebagai “unlawful or immoral aims”. Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 1215 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 338 sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apapun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan (4) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain. Dalam praktik berlakunya Undang-undang Nomor 2 tahun 1999, pernah terjadi gugatan Pembubaran Partai Golkar dengan alasan menerima sumbangan yang melanggar batas maksimal yang ditentukan sehingga dianggap melanggar kewajiban partai politik menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil. Namun MA menyatakan menolak gugatan tersebut.1219 Selain itu, juga terdapat Maklumat Presiden yang membekukan Partai Golkar dengan alasan untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsurunsur Orde Baru. Namun Maklumat tersebut dinyatakan bertentangan dengan hukum oleh MA1220 dan melalui Tap MPR Nomor I/MPR/2001 dinyatakan bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, alasan pembubaran partai politik adalah jika pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pengurus partai tersebut dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c1221, d1222, dan e1223, dan partainya dapat dibubarkan. 1219 Putusan Perkara No. 02.G/WPP/2001, 23 Juli 2001. Lihat, O. C. Kaligis & Associate, Op. Cit. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA 419/7/2001. Maklumat Presiden tersebut tidak berlaku efektif disamping karena adanya Fatwa MA dan Ketetapan MPR, juga karena tidak adanya dukungan politik dan aparat pertahanan dan keamanan sehingga setelah dimaklumatkan pembekuan MPR, justru MPR melakukan sidang Istimewa. Hal itu berbeda dengan praktik pembekuan Partai Murba pada masa Orde Lama dan Partindo pada masa awal Orde Baru yang dapat dijalankan. 1221 Pasal 107c menyatakan “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”. 1222 Pasal 107d menyatakan “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 1223 Pasal 107e menyatakan: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau 1220 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 339 Ketentuan Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 mengatur sanksi pidana bagi pengurus yang menggunakan partainya, dan pembubaran partai hanya merupakan salah satu bentuk sanksi. Pelanggaran yang dapat menjadi dasar pembubaran partai hanya terkait dengan kejahatan keamanan negara, khususnya terkait dengan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembubaran partai politik didahului dengan pengadilan terhadap pengurus partai politik yang bersangkutan. Apabila pengurus diputus bersalah melakukan kejahatan negara, harus dibuktikan apakah perbuatan tersebut berhubungan dengan partai politik atau tidak, atau bahkan partai politik yang bersangkutan memang sekedar “dimanfaatkan” sebagai alat semata. Jika perbuatan tersebut tidak memiliki hubungan dengan identitas, asas, program, dan kegiatan partai politik, tentu tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembubaran partai politik.1224 Oleh karena itu, dari tiga ketentuan Pasal KUHP yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, yang dapat dijadikan dasar pembubaran partai politik adalah jika pengurusnya terbukti melakukan kejahatan sebagaimana diatur Pasal 107e, yaitu mendirikan atau berhubungan dengan organisasi yang menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Organisasi yang dimaksud harus partai politik itu sendiri, sehingga di pengadilan harus dibuktikan bahwa partai politik tersebut menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.1225 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur sanksi pembekuan selama-lamanya satu tahun bagi partai politik yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.” 1224 Bandingkan dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapat mandat dari partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Op. Cit., hal. 2-3. 1225 Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 340 rangka ikut memelihara ketertiban dunia.1226 Sanksi tersebut diputuskan oleh pengadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie, alasan pembekuan sementara partai politik tersebut dapat juga menjadi alasan pembubaran partai politik.1227 Pendapat tersebut dapat diterima dengan mengingat bahwa alasan-alasan pembekuan sementara tersebut dapat dikategorikan bertentangan dengan UUD 1945 yang merupakan alasan pembubaran partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.1228 Alasan pembubaran partai politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 Ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 mewajibkan pemohon “menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Alasan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak hanya terkait dengan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi meliputi (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; (d) program; serta (c) kegiatan partai yang bertentangan dengan UUD 1945.1229 Bertentangan dengan UUD 1945 memiliki makna yang lebih luas. Partai politik yang tidak bersifat demokratis dan tidak menghormati prinsip negara hukum juga dapat disebut bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 terlihat belum ada kesesuaian. 1226 Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Ketentuan Pasal 19 Ayat (2) tersebut menjadi wilayah pengawasan Departemen Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Dengan demikian seharusnya yang mengajukan perkara pembekuan adalah Departemen Dalam Negeri. 1227 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 113. 1228 Selain itu, jika melihat alasan pembekuan sementara yang diatur dalam Pasal 19 Ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002, memang memenuhi pedoman yang dibuat oleh Venice Commission karena kegiatan yang dilarang tersebut bertentangan dengan prinsip rule of law and democracy dan mengancam integritas wilayah negara. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 1229 Dapat dibandingkan dengan ketentuan 7 Konstitusi Fiji yang menyatakan “… Their activities may not contravene the Constitution and the laws, …”; dan Article 35 Para 1 Konstitusi Lithuania yang menyatakan “Citizens shall be guaranted the right to freely form societies, political parties, and associations, provided that the aims and activities thereof do not contradict the Constitution and the laws.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 341 Tabel 6.9. Alasan Pembubaran Partai Politik Pada Masa Reformasi Peraturan UU No. 2 Tahun 1999. Alasan dalam Peraturan Alasan dalam Praktik 1. Melanggar syarat-syarat pembentukan: a. Didirikan sekurang-kurangnya 50 orang WNI yang telah berusia 21 Tahun. b. Mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dalam AD nya. c. Asas atau ciri, aspirasi dan pogram partai bertentangan dengan Pancasila. d. Keanggotaan bersifat terbuka untuk setiap WNI yang punya hak pilih. e. Tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera merah putih, bendera negara lain, gambar perorangan, dan nama serta lambang partai yang telah ada. 2. Pembentukan partai membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. 3. Tujuannya tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu; a. Mewujudkan cita-cita nasional dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. b. Memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4. Tidak melaksanakan kewajiban berupa: a. Memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. b. Mempertahankan keutuhan NKRI. c. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. d. Menyukseskan pembangunan nasional. e. Menyukseskan penyelenggaraan pemilu secara demokratis, jujur dan adil dengan mengadakan pemberian suara dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan Gugatan Pembubaran Partai Golkar dengan alasan menerima sumbangan yang melanggar batas maksimal yang ditentukan sehingga dianggap kewajiban partai politik menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 342 rahasia. 5. Melanggar larangan partai politik: a. Menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ MarxismeLeninisme. b. Menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila. c. Menerima sumbangan atau bantuan kepada pihak asing. d. Memberi sumbangan kepada pihak asing yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara. e. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah RI dalam memelihara persahabatan dengan negara lain. UU No. 31 Tahun 2002 Pengurus parpol menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme, berupa: a. Di muka umum dengan lisan, tulisan dan/atau melalui media apapun menyebarkan dan/atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau harta benda. b. Di muka umum dengan lisan, tulisan dan/atau melalui media apapun menyebarkan datau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. c. Mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya. d. Mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. - Universitas Indonesia 343 negara atau menggulingkan pemerintah yang sah. UU No. 24 Tahun 2003 Bertentangan dengan UUD 1945 terkait dengan: a. Ideologi; b. Asas; c. Tujuan; d. Program; e. Kegiatan. - Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, suatu partai politik juga dapat kehilangan eksistensinya apabila tidak dapat menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang. Ditentukan bahwa partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 telah disahkan sebagai badan hukum, diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan diri selambat-lambatnya 9 bulan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.1230 Partai politik yang tidak menyesuaikan diri dalam waktu tersebut, dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya.1231 Yang dimaksud dengan penyesuaian tersebut adalah penyesuaian persyaratan untuk dapat didaftar sebagai badan hukum berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, meliputi memiliki akta notaris, jumlah kepengurusan,1232 nama, lambang, dan tanda gambar1233, serta memiliki kantor yang tetap. Dari alasan-alasan pembubaran partai politik yang pernah berlaku, dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu alasan yang bersifat normatif konstitusional, serta alasan yang bersifat administratif. Alasan normatif konstitusional meliputi alasan-alasan terkait dengan ideologi, asas, program, kegiatan, serta kewajiban dan larangan tertentu bagi partai politik. Sedangkan alasan administratif berupa syarat-syarat kepengurusan dan keanggotaan yang harus dipenuhi organisasi. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang paling banyak menentukan alasan pembubaran adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1230 Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu 27 Desember 2002. 1231 Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 1232 Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan. 1233 Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 344 1999.1234 Sedangkan ketentuan yang paling sedikit mengatur alasan pembubaran adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Mengingat bahwa alasan pembubaran partai politik merupakan penentu apakah suatu partai politik akan dibubarkan atau tidak, maka sudah seharusnya diatur lebih jelas.1235 Hal itu penting dilakukan karena alasan-alasan tersebut di satu sisi akan menjadi pedoman bagi partai politik dalam pendirian dan aktivitasnya, pedoman bagi pihak yang akan menjadi pemohon pembubaran partai politik, serta pedoman bagi hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pembubaran partai politik. 6.4.2. Alasan Pembubaran di Masa Mendatang Untuk menentukan alasan pembubaran partai politik, yang harus diperhatikan adalah dasar pemikiran adanya ketentuan pembubaran partai politik itu sendiri. Pembubaran partai politik merupakan salah satu bentuk pembatasan kebebasan berserikat yang diperlukan dalam masyarakat yang demokratis dan semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keamanan nasional, keselamatan publik, mencegah kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta melindungi hak dan kebebasan orang lain.1236 Berdasarkan pembatasan tersebut, pada bagian awal bab ini telah diuraikan bahwa adanya kemungkinan pembubaran partai politik adalah untuk melindungi demokrasi, konstitusi, kedaulatan negara, keamanan nasional, dan ideologi negara. Dari keempat hal yang hendak dilindungi tersebut, dapat dikelompokkan lagi menjadi tiga, yaitu melindungi konstitusi, kedaulatan negara, dan keamanan nasional. Bahkan, ketiga kepentingan tersebut dapat disebut dalam pengertian umum untuk melindungi konstitusi yang di dalamnya mencakup ideologi negara, prinsip demokrasi, kedaulatan negara, dan keamanan nasional.1237 Oleh karena itu, 1234 Dalam undang-undang ini, baik alasan normatif konstitusional maupun alasan administratif dapat menjadi dasar pembubaran partai politik. 1235 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 119. 1236 Barnett, Op. Cit., hal. 589. 1237 Konstitusi sebagai konsensus nasional dibentuk berdasarkan tiga kesepakatan dasar yaitu (1) kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government) yang di dalamnya terkait dengan masalah ideologi, tujuan negara, dan konsep kedaulatan; (2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) yang di dalam termasuk juga prinsip-prinsip demokrasi; dan (3) Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 345 di beberapa negara masalah pembubaran partai politik disebut sebagai masalah konstitusionalitas partai politik. Suatu partai politik yang dibubarkan adalah karena partai politik tersebut unconstitutional.1238 Dengan demikian, proses peradilan memutus pembubaran partai politik adalah proses menentukan konstitusionalitas partai politik. Sandaran utama pembubaran adalah UUD 1945 mengingat keberadaan partai politik sebagai wujud kebebasan berserikat adalah hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Hal-hal yang dapat menjadi alasan pembubaran partai politik dalam peraturan perundang-undangan di masa yang akan datang tentu lebih baik jika ditentukan dengan cara lebih detail, berdasarkan tujuan pengaturan pembubaran partai politik, yaitu untuk melindungi konstitusi, yang di dalamnya termasuk melindungi demokrasi dan ideologi negara, kedaulatan negara, dan keamanan nasional. Pada bab dua telah diuraikan prinsip-prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh partai politik dan jika dilanggar menjadi alasan pembubaran di berbagai negara.1239 Berdasarkan tujuan pengaturan pembubaran partai politik dan perbandingan di beberapa negara, pemikiran tentang alasan pembubaran partai politik di masa yang akan datang adalah sebagai berikut.1240 Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures) yaitu tatanan kenegaraan konstitusional. Lihat, William G. Andrew, Constitution and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: van Nostrand Company, 1968), hal. 9 1238 Dalam Konstitusi Chile pada Article 82 mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi disebutkan salah satunya adalah “To declare the unconstitutionality of organizations, movements or political parties in accordance with provisions of Article 8 of this Constitutions.” Article 8 Konstitusi Kongo menyatakan “Political Associations, Parties, and Groupings of which the goals aim to touch or overthrow the democratic constitutional order or compromise the existence of the Republic of Congo shall be unconstitutional.” Article 89 Konstitusi Georgia menyatakan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah “c. consider constitutionality of formation and activity of political association of citizens.” Dapat dibandingkan pula dengan Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman yang menyatakan “Parties which, by reason of their aims or behavior of their adherents, seek impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality.” 1239 Lihat Bab 2, huruf E, angka 4, huruf a tentang Pembatasan Partai Politik, hal. 132. 1240 Terdapat dua model perumusan alasan pembubaran, yaitu dirumuskan dalam satu kalimat dan dirumuskan dalam bentuk daftar. Perumusan dalam satu kalimat dapat dilihat misalnya pada Article 6 Para 2 Konstitusi Kroasia yang menyatakan “Political parties have to be organized according to a territorial principle. The work of any political party which by its program of activity violently endangers the democratic constitutional order, independence, unity, or territorial integrity of the Republic of Croatia is prohibited”; dan Article 9 The Law of The Republic Armenia on Political Parties yang menyatakan, “Formation and activity of such parties, whose aims or activity are directed at violent overthrow of Constitutional order of the Republic of Armenia and territorial integrity of the Republic of Armenia, impaired of grounds of independece, formation of armed units, instigation of national, racial and religious hatred, incitement to violence and war, is prohibited.” Sedangkan ketentuan dalam bentuk daftar dapat dilihat pada Article 4 Para 2 Konstitusi Angola yang menyatakan, “Political parties shall, in their objectives, program and activity, contribute to: (a) The consolidation of the Angola nation, national independence and strengthened national unity; (b) The safeguarding of territorial integrity; (c) The defense of national sovereignty and democracy; (d) The protection of fundamental freedoms and the rights of the individual; (e) The defense of the republican form Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 346 1. Bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 2. Melanggar nilai dan prinsip dasar konstitusional.1241 3. Hendak mengubah dan/atau mengganti UUD 1945 dengan jalan paksa atau kekerasan. 4. Bermaksud menggantikan tatanan demokrasi berdasarkan UUD 1945 dengan tatanan otoritarianisme atau fasisme. 5. Mengambil alih kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan dengan cara kekerasan. 6. Melanggar kebebasan dasar dan hak asasi manusia. 7. Menerima bantuan pihak asing tanpa seijin pemerintah.1242 8. Memberi bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah. 9. Membahayakan persatuan dan kesatuan serta integritas wilayah nasional. 10. Membahayakan kedaulatan NKRI. 11. Membahayakan eksistensi dan kemerdekaan negara. 12. Mendirikan organisasi yang bersifat militer atau paramiliter, atau organisasi rahasia. 13. Menghasut atau mendukung sentimen rasial, agama, etnis, dan kedaerahan yang dapat menimbulkan konflik sosial. 14. Menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan aktivitasnya. Alasan-alasan pembubaran tersebut meliputi aspek ideologi, asas, tujuan, program, serta kegiatan partai politik. Di antara aspek-aspek pelanggaran tersebut, and unitary and secular nature of the State”, dan pada tingkat undang-undang partai politik dapat dilihat pada Article 3 Para 2 Political Parties Act Bulgaria yang menyatakan “A political party may not be establish when: 1. Its activities are aimed against the souvereignty or territorial integrity of the country and the unity of the nation, against the rights and the freedom of citizens; 2. Its goals run contrary to the Constitution and the legislation of the Country; 3. It is based on a confessional or an ethnic principle or puports to fan up racial, national, ethnic and religious enmity; 4. It proclaims a fascist ideology or is striving to achieve its goals through violence or other legally impermissible means.” 1241 Di dalam nilai dan prinsip dasar konstitusional tercakup dasar dan tujuan negara. 1242 Di beberapa negara terdapat larangan mutlak menerima dan memberikan dana atau sumbangan dalam bentuk apapun. Misalnya dalam Article 17 Parties and Political Organizations Law, Yaman, menyatakan “The party, or, political organization may nor accept from non-Yemeni individuals of parties (even if they acquired Yemeni nationality) any gift, merits, or service.” Namun demikian di era saat ini kerjasama antar partai politik lintas negara juga dimungkinkan. Kerjasama tersebut bersifat timbal-balik sehingga tidak terhindarkan ada proses memberi dan menerima bantuan dalam bentuk tertentu. Oleh karena itu yang terpenting adalah bahwa proses kerjasama dan saling memberi-menerima tersebut dengan ijin pemerintah untuk memastikan bahwa hal itu tidak mengurangi atau merugikan kepentingan negara, terutama kedaulatan dan integritas wilayah nasional. Hal ini dapat dibandingkan dengan Article 9 Law on Political Parties Mongolia yang menyatakan “A Party may receive donation from parties and citizens of foreign countries in accordance with the law of Mongolia. The amounts of such donations shall be made public.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 347 ideologi, asas, tujuan, dan program dapat dilihat dari dokumen tertulis partai politik. Sedangkan aspek kegiatan dapat dilihat dari bentuk dan pelaksanaan kegiatan serta akibat yang dikehendaki dari kegiatan itu sendiri. Alasan yang hanya berada pada wilayah kegiatan adalah menerima dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah; mendirikan organisasi militer, paramiliter atau organisasi rahasia, dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan aktivitasnya. Untuk dapat dibubarkannya suatu partai politik, pelanggaran-pelanggaran yang memenuhi alasan pembubaran di atas tidak hanya merupakan tindakan perseorangan pengurus atau anggota partai politik, tetapi pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik sebagai organisasi.1243 Paling tidak harus dibuktikan bahwa partai politik telah dengan sengaja membiarkan pengurus atau anggota tertentu menggunakan organisasi partai politik untuk melakukan pelanggaran yang dapat mengakibatkan pembubaran.1244 Pembubaran suatu partai politik adalah penghilangan status badan hukum partai politik sebagai organisasi yang utuh, dari pusat hingga daerah. Muncul permasalahan jika pelanggaran tersebut hanya dilakukan oleh pengurus tingkat daerah, apakah dapat diajukan pembubaran untuk daerah tertentu saja atau juga dapat menjadi alasan pembubaran keseluruhan organisasi. Mengingat bahwa badan hukum adalah suatu tata hukum tersendiri (partial legal order)1245 yang mengikat dari pusat hingga satuan terkecil, maka subyek hukum yang berhubungan dengan hukum negara adalah badan hukum yang diwakili oleh pengurus puncaknya, atau pengurus pusat. Sedangkan organisasi partai politik di tingkat daerah adalah bagian dari badan hukum partai politik yang berhubungan secara hierarkis dengan pengurus tingkat pusat. Jika partai politik di tingkat daerah melakukan tindakan hukum tertentu, harus dilihat sebagai organ badan hukum yang mewakili kepentingan partai politik secara keseluruhan. 1243 Pedoman Venice Commission menyatakan bahwa suatu partai politik tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai politik. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. 1244 Dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 hal ini dirumuskan dalam bentuk adanya pengurus yang ikut melakukan atau mendukung pemberontakan dan partai politik itu tidak menyalahkan perbuatan tersebut. Hal ini diterapkan dalam pembubaran Masjumi dan PSI. 1245 Kelsen, Pure Theory of Law, Op. Cit., hal. 190-191. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 348 Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus di tingkat daerah, maka dapat menjadi alasan bagi pembubaran partai politik secara keseluruhan, bukan hanya daerah yang melakukan pelanggaran. Namun demikian dapat terjadi bahwa pelanggaran tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan atau tanpa adanya mandat organ partai politik yang lebih tinggi. Oleh karena itu, terhadap kasus demikian sebaiknya diberikan peringatan terlebih dahulu kepada pengurus pusat partai politik agar melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengurusnya di tingkat daerah, sebelum mengajukan pembubaran partai politik secara keseluruhan kepada MK. Hal itu karena yang berhak melakukan tindakan terhadap pengurus daerah adalah organ partai politik yang diatur berdasarkan AD dan ART partai politik itu sendiri.1246 Jika pengurus tingkat pusat tidak melakukan tindakan apapun terhadap pelanggaran sebagai tindak lanjut peringatan yang disampaikan, tindakan pelanggaran dapat dinilai merupakan kebijakan organisasi, dan dapat menjadi alasan pembubaran partai politik secara keseluruhan. Kemungkinan lain yang terjadi adalah pelanggaran dilakukan oleh organisasi sayap politik.1247 Terhadap pelanggaran tersebut tentu harus dilihat terlebih dahulu hubungan antara organisasi sayap politik dengan partai politik itu sendiri. Prinsipnya, pelanggaran yang dilakukan oleh sayap politik dapat menjadi dasar pembubaran jika dapat dibuktikan bahwa partai politik dimaksud menggunakan organisasi sayap politik, atau walaupun partai politik memiliki hubungan kewenangan yang dapat mencegah dan menghentikan terjadinya pelanggaran, namun membiarkannya. Sebaliknya, pembubaran suatu partai politik selalu diikuti dengan pembubaran organisasi sayap politiknya karena merupakan organisasi yang dibentuk oleh partai politik dimaksud.1248 1246 Ibid., hal. 180-185. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memberikan hak kepada partai politik untuk membentuk organisasi sayap politik. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik. 1248 Hal ini berbeda jika yang dimaksud sayap politik tersebut adalah organisasi yang bersifat mandiri, hanya memiliki afiliasi terhadap partai politik yang tentu harus dibuktikan terlebih dahulu keterlibatannya. Demikian pula jika pelanggaran dilakukan oleh organisasi yang bersifat mandiri dan hanya berafiliasi tidak selalu diikuti dengan pembubaran partai politik. Sebagai perbandingan, lihat Article 46 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz, yang menyatakan “The declaration may be confined to a legally or organisationally independent section of a party.” 1247 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 349 Pengaturan mengenai alasan-alasan pembubaran partai politik di beberapa negara ada yang diatur dalam konstitusi,1249 ada yang diatur dalam UndangUndang Partai Politik saja,1250 namun ada pula yang baik dalam konstitusi maupun dalam undang-undang.1251 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi lebih banyak mengatur mengenai proses persidangan perkara atau hukum acara. Pengaturan di masa yang akan datang sebaiknya ditentukan pinsip dasarnya dalam konstitusi dengan mengingat bahwa memutus perkara pembubaran partai politik adalah memutus konstitusionalitas partai politik. Sedangkan penjabaran prinsip dasar dalam konstitusi di atur lebih lanjut dalam Undang-Undang tetang Partai Politik yang dapat berbentuk larangan atau kewajiban partai politik, serta UndangUndang tentang Mahkamah Konstitusi. Selain pembubaran dengan alasan pelanggaran konstitusional, juga terdapat bentuk pembubaran karena alasan administratif. Hal itu terkait dengan tidak terpenuhinya lagi syarat-syarat pendaftaran partai politik sebagai badan hukum serta tidak dapat menyesuaikan diri berdasarkan undang-undang yang baru. Selain itu suatu partai politik ditentukan tidak dapat mengikuti pemilihan umum baik karena tidak lolos verifikasi oleh KPU, maupun karena tidak memenuhi electoral treshold tetap diberikan hak hidup. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 20081252, ketentuan tentang electoral treshold digantikan dengan ketentuan parliamentary 1249 Misalnya di Jerman ketentuan yang diatur dalam konstitusinya adalah “Parties which, by reason of their aims or behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality.” Sedangkan dalam Sedangkan dalam Article 35 Political Parties Act Jerman hanya menunjuk pada ketentuan dalam Article 21 Para 2 Konstitusi Jerman tersebut. 1250 Konstitusi Kamboja sama sekali tidak mengatur partai politik. Pengaturan tentang pembubaran partai ada dalam Kram Dated October 28, 1997 on The Political Parties. Alasan pembubaran adalah pelanggaran terhadap larangan partai politik yang diatur dalam Article 6 meliputi “1. Creating a secession jeopardizing national unity and territorial integrity of Kingdom of Cambodia; 2. Carrying on subversion against liberal and multiparty democratic regime by using violence to seize power; 3. Setting up armed forces.” 1251 Hal ini dapat di lihat dalam Konstitusi Bulgaria. Article 11 Para 4 menyatakan “(4) There shall be no political parties on ethnic, racial, or religious lines, nor parties which seek the violent usurpation of state power.” Sedangkan dalam Article 23 Para 1 Political Parties Act Bulgaria disebutkan bahwa pembubaran partai politik diajukan oleh Jaksa Agung jika partai melakukan kegiatan yang melanggar Article 3. Article 3 dimaksud sebagai alasan pembubaran meliputi “1. Its activities are aimed against the souvereignty or territorial integrity of the country and the unity of the nation, against the rights and the freedom of citizens; 2. Its goals run contrary to the Constitution and the legislation of the Country; 3. It is based on a confessional or an ethnic principle or puports to fan up racial, national, ethnic and religious enmity; 4. It proclaims a fascist ideology or is striving to achieve its goals through violence or other legally impermissible means.” 1252 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 10 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 350 treshold. Konsekuensinya, suatu partai politik yang tidak memperoleh jumlah suara sekurang-kurangnya 2,5% dari suara sah tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR,1253 walaupun perolehan suara tersebut mencukupi untuk jumlah kursi tertentu. Namun partai politik tersebut tetap dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya.1254 Konsekuensi dari ketentuan tersebut yang menimbulkan permasalahan adalah, pertama, terdapat partai politik yang telah memperoleh status badan hukum dari proses pendaftaran di Departemen Hukum dan HAM1255 namun tidak dapat mengikuti pemilihan umum karena tidak lolos verifikasi KPU1256. Namun, partai politik ini dapat mengikuti verifikasi pada pemilihan umum berikutnya tanpa harus mendaftarkan badan hukumnya kembali. Kedua, terdapat partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum tetapi tidak dapat memperoleh kursi di DPR karena tidak memenuhi parliamentary treshold. Partai politik ini tetap dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya. Terhadap eksistensi kedua jenis partai politik tersebut, dapat dilakukan tindakan pembubaran melalui pengadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi, karena tidak mampu menjalankan fungsi sesuai dengan tujuan pendiriannya. Hal itu juga dimungkinkan menurut penjelasan Venice Commission.1257 Disebutkan dalam penjelasan ke-7 bahwa pada saat legislasi nasional menyatakan partai kehilangan statusnya sebagai partai politik jika tidak berhasil mengikuti pemilihan umum atau memperoleh wakil di lembaga legislatif, mereka harus dibolehkan melanjutkan eksistensi dan aktivitasnya berdasarkan hukum yang mengatur organisasi secara umum. Dengan demikian terdapat dua pilihan bagi partai politik tersebut, yaitu mengubah diri jenis organisasi menjadi non-partai politik atau dibubarkan. Di beberapa negara, pembubaran terhadap partai politik yang tidak dapat mengikuti pemilihan umum atau menempatkan wakilnya di parlemen nasional ditentukan dengan batas tertentu, misalnya dalam dua kali pemilihan umum 1253 Pasal 202 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan “Partai Politik Peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR” 1254 Ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.” 1255 Diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. 1256 Diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 1257 European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 2-3. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 351 berturut-turut. Hal itu dapat dilihat misalnya di Rumania dan Korea Selatan. Di Korea Selatan, partai politik yang gagal berpartisipasi dalam pemilihan umum anggota National Assembly dalam empat tahun terakhir, atau dalam pemilihan kepala daerah, atau gagal memperoleh kursi di National Assembly setelah mengikuti pemilihan umum dan gagal memperoleh 2% dari jumlah suara sah dibatalkan pendaftarannya oleh Komisi Pemilihan Umum.1258 Di Rumania, partai politik yang gagal menempatkan calonnya, baik sendiri maupun bersama partai lain, dalam dua pemilihan legislatif berturut-turut sekurang-kurangnya di sepuluh distrik, atas permintaan pemerintah, pengadilan menetapkan pembubarannya.1259 6.5. PROSEDUR PEMBUBARAN Pembubaran partai politik dapat dilihat sebagai suatu proses yang terdiri dari beberapa peristiwa dan tindakan hingga terjadinya peristiwa pembubaran partai politik. Hal itu terkait erat dengan lembaga-lembaga yang memiliki peran dan wewenang dalam proses pembubaran partai politik. Lembaga-lembaga tersebut bertindak berdasarkan aturan hukum negara yang menentukan berakhirnya eksistensi suatu partai politik sebagai badan hukum.1260 6.5.1. Prosedur Pembubaran dalam Peraturan dan Praktik Di dalam peraturan perundang-undang yang pernah berlaku, terdapat perbedaan prosedur pembubaran partai politik. Namun demikian, di dalam setiap proses pembubaran tersebut selalu melibatkan peran pemerintah dan lembaga peradilan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, yang dapat dikategorikan sebagai periode yang kurang demokratis1261, peran pemerintah lebih besar dibanding lembaga peradilan. Penentu utama pembubaran partai politik adalah pemerintah. Lembaga peradilan hanya memberikan pertimbangan. Sebaliknya, 1258 Article 44 Para 1 Political Parties Act of South Korea, No. 7683, Aug. 4, 2005. Article 31 Law on Political Parties Rumania menyatakan “In case that a political party should fail to designate candidates, alone or in an alliance, in two successive legislative electoral campaigns, in at least ten electoral districts, or should have failed to hold a general assembly over a period of five years, at the request of the Public Ministry, the Tribunal of the Municipality of Bucharest shall establish the cessation of its existence under observation of the procedural rules provided under Article 23.” Negara-negara lain yang menganut model seperti Rumania adalah Yaman, Yordania, Georgia, Moldova, Polandia, dan Hungaria. Lihat Tabel 2.3. 1260 Hal ini berarti hukum negara sebagai total legal order, tidak lagi mengakui atau mencabut status badan hukum (legal personality) yang pernah diberikannya kepada organisasi partai politik. Lihat, Kelsen, Pure Theory of Law, Op. Cit., hal. 190-191. 1261 Lihat, Moh.Mahfud MD, Politik Hukum, Op. Cit. 1259 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 352 pada masa reformasi peran lembaga peradilan lebih besar di banding pemerintah. Lembaga peradilanlah yang memutus pembubaran partai politik.1262 Sedangkan pemerintah berperan sebagai pemohon dan atau sebagai pelaksana putusan pengadilan. Pada masa Orde Lama, prosedur pembubaran partai politik dalam peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Peraturan Tabel 6.10. Prosedur Pembubaran Partai Politik Pada Masa Orde Lama Jenis Prosedur Pengakuan - Partai politik menyampaikan laporan kepada Presiden. - Presiden meneliti apakah syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi oleh partai politik. - Presiden memutuskan dengan Keputusan Presiden partai-partai yang diakui dan yang tidak diakui. - Keputusan disampaikan kepada pimpinan partai politik masing-masing dan diumumkan dalam Berita Negara. - Partai politik yang tidak diakui dengan sendirinya kehilangan status sebagai badan hukum partai politik. Pembubaran - Partai politik menyampaikan laporan kepada Presiden. - Apabila terdapat dugaan bahwa partai politik memenuhi syarat untuk dibubarkan, Presiden menyampaikan hal itu kepada MA. - MA mengadakan pemeriksaan dengan acara bebas. - MA menyampaikan pendapat kepada Presiden. - Presiden memutuskan pembubaran partai politik melalui Keputusan Presiden. - Keputusan disampaikan kepada pimpinan partai politik masing-masing dan diumumkan dalam Berita Negara. - Partai politik harus menyatakan partainya bubar dalam waktu 30X24 jam dengan memberitahukannya kepada Presiden. - Jika tidak membubarkan diri dinyatakan sebagai partai terlarang. 1. Penpres Nomor 7 Tahun 1959 2. Keppres Nomor 13 Tahun 1960 3. Keppres Nomor 25 Tahun 1960 1262 Dapat dibandingkan dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik secara paksa yang legal harus merupakan konsekuensi dari temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang benar-benar tidak biasa serta diambil berdasarkan prinsip proporsionalitas. Pembubaran suatu partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain sesuai dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan prinsip pengadilan yang fair. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 353 Berdasarkan prosedur tersebut, proses pengakuan dan pembubaran partai politik dapat dilihat sebagai satu kesatuan. Partai politik menyampaikan laporan kepada Presiden, yang selanjutnya akan ditentukan apakah suatu partai politik akan diakui, tidak diakui, atau diproses lebih lanjut untuk dibubarkan. Tidak diakuinya partai politik adalah karena alasan yang bersifat administratif1263 sedangkan pembubaran1264 adalah karena pelanggaran. Dalam praktik, prosedur pembubaran Masjumi dan PSI terjadi terpisah dengan proses pengakuan partai politik. Presiden memanggil pimpinan Masjumi dan PSI pada 21 Juli 1960, sedangkan kewajiban partai politik menyampaikan laporan kepada Presiden adalah sampai 31 Desember 19601265 yang selanjutnya diubah sampai 28 Pebruari 1961.1266 Pada pertemuan tersebut Presiden menyampaikan daftar pertanyaan kepada pimpinan Masjumi dan PSI yang harus dijawab secara tertulis dalam waktu satu minggu. Jawaban tersebut dinilai tidak memuaskan sehingga Presiden memutuskan pembubaran Masjumi dan PSI setelah mendengar pendapat MA yang menyatakan bahwa kedua partai tersebut terkena ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Angka 3 Penpres Nomor 7 Tahun 1959.1267 Selain pembubaran dalam bentuk pengakuan dan pembubaran oleh Presiden, pada masa Orde Lama juga terjadi pembekuan Partai Murba yang dituangkan dalam Keppres Nomor 291 Tahun 1965.1268 Proses pembekuan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan dilakukan semata-mata oleh Presiden tanpa peran dan keterlibatan lembaga lain.1269 Pada masa Orde Baru, tidak dikenal adanya pembubaran partai politik. Ketentuan terkait dengan sanksi pelanggaran oleh partai politik adalah pembekuan pengurus partai politik, tanpa ditentukan jangka waktu pembekuan. Sebelum adanya ketentuan pembekuan pengurus partai politik berdasarkan Undang1263 Diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 7 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 serta Pasal 2 sampai Pasal 4 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 1264 Diatur dalam Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 6 sampai Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 1265 Berdasarkan Pasal 2 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. 1266 Perubahan ini diberlakukan melalui Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Bandingkan pula dengan Keputusan Presiden yang menolak pengakuan PSII Abikusno, PRN Bebasa, PRI, dan PRN Djody yang baru dikeluarkan pada 14 April 1961. 1267 Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 384. Lihat pula, Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 181; serta Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Kedua, Op. Cit., hal. 411. 1268 Lihat, A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 72. 1269 Hal ini tentu tidak sesuai dengan pembubaran partai politik di negara hukum dan demokrasi berdasarkan pedoman yang dibuat oleh Venice Commission. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 354 Undang Nomor 3 Tahun 1975 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985, pada masa awal Orde Baru yang berlaku adalah Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Berikut ini adalah prosedur pembekuan pengurus partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 19751270 yang tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 19851271. Sedangkan prosedur berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 telah diuraikan sebelumnya. Peraturan 1. UU No. 3 Tahun 1975 2. PP No. 9 Tahun 1975 3. UU No. 3 Tahun 1985. 4. PP No. 19 Tahun 1986 1270 1271 Tabel 6.11. Prosedur Pembekuan Pengurus Partai Politik Pada Masa Orde Baru Jenis Prosedur Pembekuan Pengurus Partai Politik 1. Presiden memegang kekuasaan pengawasan terhadap partai politik yang dalam pelaksanaannya dibantu Menteri Dalam Negeri. 2. Presiden dapat meminta keterangan kepada Pengurus Tingkat Pusat suatu partai politik. 3. Presiden memberikan peringatan/teguran kepada Pengurus Pusat Partai Politik jika terdapat petunjuk pelanggaran. 4. Apabila peringatan/teguran tidak diindahkan, Presiden memberitahukan adanya pelanggaran kepada MA. 5. MA melakukan penelitian terhadap surat, dokumen dan bukti lain serta bila perlu mendengar keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik. 6. MA menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden. 7. Presiden mengambil keputusan yang menyatakan pembekuan pengurus tingkat pusat suatu partai politik. 8. Keputusan pembekuan pengurus disampaikan kepada pengurus tingkat pusat partai politik dimaksud serta diumumkan dalam berita negara. 9. Jika Presiden mencairkan pembekuan tersebut apabila memandang telah terdapat alasan yang cukup. 10. Keputusan pencairan kembali disampaikan kepada pengurus dimaksud dan diumumkan dalam Berita Negara. Sebagai pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebagai pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1986. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 355 Berdasarkan prosedur tersebut, terdapat kemiripan dengan prosedur yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Perbedaannya hanya pada tindakan akhir, yaitu pembekuan pengurus pusat partai politik. Sedangkan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tindakan akhirnya adalah pembubaran partai politik. Keduanya terdapat peran MA, namun sebatas memberikan pertimbangan atau pendapat.1272 Salah satu hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan-undangan periode lain adalah bahwa pembekuan pengurus partai hanya dilakukan terhadap pengurus pusat. Apabila pelanggaran dilakukan oleh pengurus tingkat daerah, maka pengurus pusat diberikan peringatan untuk melakukan tindakan penertiban. Apabila diabaikan, maka Presiden dapat membekukan pengurus pusatnya. Adanya ketentuan ini menunjukkan bahwa dimungkinkan pelanggaran dilakukan oleh pengurus daerah tertentu. Terhadap pengurus tersebut yang berhak melakukan tindakan adalah pengurus tingkat pusat karena partai politik adalah satu kesatuan organisasi.1273 Jika pengurus pusat tidak melakukan tindakan, hal itu sama halnya dengan mengijinkan atau dapat dipandang bahwa pelanggaran itu adalah kebijakan organisasi sehingga pengurus pusat dapat dibekukan. Namun demikian, pada masa Orde Baru tidak pernah terjadi pembekuan pengurus partai politik. Hal itu karena partai politik yang ada dikontrol secara ketat oleh pemerintah, baik terkait dengan asas dan program maupun terkait dengan kepengurusan partai politik.1274 Praktik pembubaran justru terjadi pada awal Orde Baru yang pada saat itu ketentuan yang berlaku adalah Penpres Nomor 1272 Dapat dibandingkan dengan ketentuan di Pakistan yang melibatkan pemerintah dan pengadilan, namun pengadilan yang pada memberikan kata akhir. Pemerintah berperan mengumumkan bahwa suatu partai politik telah dituduh sebagai partai yang dibiayai pihak asing atau merongrong kedaulatan dan integritas Pakistan atau mendukung terorisme. Pengumuman tersebut harus diajukan kepada MA dalam waktu 25 hari. MA yang memutuskan pembubaran partai politik tersebut. Lihat Chapter III Article 15 The Political Parties Order, 2002, Pakistan. 1273 Di Jerman, pembubaran dapat dilakukan terhadap bagian yang bersifat mandiri (independent section) dari organisasi partai politik. Hal itu berarti organisasi sayap atau bagian yang memiliki struktur tersendiri dari suatu partai politik. Bukan partai politik di tingkat daerah. Lihat, Article 46 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz, yang menyatakan “The declaration may be confined to a legally or organisationally independent section of a party.” 1274 Dari sisi asas, hal itu diwujudkan dalam kewajiban asas tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Kontrol pemerintah juga terdapat pada wewenang pengawasan partai politik yang dimiliki oleh Presiden dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu, selama Orde Baru, intervensi juga dilakukan dalam penyusunan kepengurusan partai politik yang hal ditu dimulai sejak pembentukan kembali Parmusi dan PNI. Lihat Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hal. 219; dan M. Sulaiman, Op. Cit., hal. 34-53. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 356 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960,1275 yaitu pembubaran PKI dan pembekuan Partindo. Kedua hal tersebut tidak dilakukan berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Pembubaran PKI tanpa melalui proses penelitian persyaratan dan alasan pembubaran serta tanpa ada pertimbangan dari MA, demikian pula dengan pembekuan Partindo. Pada masa reformasi, pembubaran partai politik diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999, yang di dalamnya diatur pembekuan dan pembubaran partai politik. Undang-undang tersebut selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 20021276 yang juga mengenal pembekuan sementara dan pembubaran partai politik. Selain itu, ketentuan pembubaran partai politik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagai pelaksanaan Pasal 24C UUD 1945. Prosedur pembubaran partai politik pada masa reformasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6.12. Prosedur Pembubaran Partai Politik Pada Masa Reformasi Peraturan Jenis Prosedur UU No. 2 Tahun 1999 Pembekuan atau Pembubaran 1. MA melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan UU oleh partai politik. 2. Apabila terjadi pelanggaran, MA memberikan peringatan tertulis. 3. Apabila tidak diindahkan peringatan tertulis diberikan sampai 3 kali dalam waktu 3 bulan. 4. Apabila tidak diindahkan, pelanggaran diputus melalui proses peradilan (tidak disebutkan siapa yang mengajukan). 5. Berdasarkan putusan pengadilan, MA memproses pembekuan atau pembubaran dengan mempertimbangkan dari pengurus pusat partai politik. 6. Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran dilakukan setelah ada putusan pengadilan berkekuatan tetap. 7. Menteri kehakiman mengumumkan putusan tersebut dalam Berita Negara. UU No. 31 Tahun 2002 Pembekuan Sementara 1. Pengawasan terhadap kegiatan yang dilarang yang menjadi alasan pembekuan sementara (Pasal 19 Ayat 2 UU No. 31 Tahun 2002) dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri. 1275 Abdul Mukthie Fadjar, Op. Cit., hal. 205. Pada saat undang-undang ini dibentuk telah dilakukan Perubahan UUD 1945 yang salah satunya adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan salah satu wewenangnya memutus pembubaran partai politik. Lihat Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. 1276 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 357 2. Departemen Dalam Negeri melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukan-nya pelanggaran tersebut. 3. Pembekuan diputuskan oleh Pengadilan Negeri. 4. Putusan tersebut adalah putusan terakhir yang hanya dapat diajukan kasasi kepada MA. UU No. 24 Tahun 2003 Pembubaran 1. Pengurus partai politik yang menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut berdasarkan UU No. 27 Tahun 1999 yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf e. 2. Partai politik pengurus tersebut dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatalan Status Badan Hukum Partai politik yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 9 bulan sejak berlakunya undang-undang ini, dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya menurut undangundang ini. Pembubaran 1. Pemohon adalah pemerintah. 2. Permohonan diajukan kepada MK dengan menguraikan dengan jelas ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 3. MK menyampaikan permohonan yang sudah diregistrasi kepada partai politik yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak dilakukan registrasi. 4. MK harus memutus permohonan selambatlambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. 5. Putusan MK disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan. 6. Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik dilakukan dengan membatalkan pendaftaran oleh pemerintah. 7. Putusan MK yang membubarkan partai politik diumumkan dalam Berita Negara oleh Pemerintah paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diterima. Berdasarkan prosedur dalam peraturan perundang-undangan di masa reformasi tersebut, wewenang pembubaran partai politik ada pada pengadilan, yaitu MA dan setelah itu ada pada MK.1277 Bahkan, berdasarkan Undang-Undang 1277 Hal ini sesuai dengan pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa pembubaran partai politik harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial lain yang tepat dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan, dan prinsip pengadilan yang fair. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit., hal. 2-3. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 358 Nomor 2 tahun 1999, MA memiliki peran yang besar karena juga memiliki wewenang pengawasan terhadap partai politik. Dalam ketentuan tersebut tidak diatur peran pemerintah. Berdasarkan praktik yang terjadi, yaitu Gugatan Pembubaran Partai Golkar dalam Perkara No. 02.G/WPP/2001, yang bertindak sebagai pemohon adalah perorangan warga negara dan LSM.1278 Pasca Perubahan UUD 1945, wewenang pembubaran partai politik ada pada Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C Ayat (1).1279 Hal itu selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003. Terkait dengan prosedur, yang lebih banyak mengatur adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, sedangkan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 hanya mengatur alasan dan wewenang pembubaran. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, diatur bahwa pemohon pembubaran partai politik adalah pemerintah, materi permohonan, serta jangka waktu proses pembubaran. Untuk melengkapi prosedur tersebut masih dibutuhkan pengaturan lebih lanjut, misalnya mengenai status partai politik sebagai termohon, apakah pembubaran juga dapat dilakukan terhadap pengurus daerah tertentu, serta proses pembuktiannya. 6.5.2. Prosedur Pembubaran di Masa Mendatang Pada bagian bentuk-bentuk pembubaran telah diuraikan bahwa pembubaran partai politik yang sesuai dengan konstitusi serta sesuai pula prinsip negara hukum dan demokrasi adalah pembubaran oleh pengadilan. UUD 1945 menentukan bahwa memutus pembubaran partai politik menjadi wewenang MK.1280 Saat ini pembubaran dapat dilakukan terhadap partai politik yang melakukan pelanggaran konstitusional. Di masa yang akan datang perlu dipertimbangkan adanya pembubaran berdasarkan alasan partai politik tidak dapat 1278 O. C. Kaligis & Associate, Op. Cit., hal. 3-184. Bandingkan dengan ketentuan dalam Konstitusi Jerman pada Article 21 Para 3 yang menyatakan “Parties which, by reason of their aims of behavior of their adherents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality”, serta Article 69 Para 5 Konstitusi Turki yang menyatakan “The permanent dissolution of a political party shall be decided finally by the Constitutional Court after the filling of a suit by the Office of the Chief Public Prosecutor of the Republic.” 1280 Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang merupakan bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, disahkan pada 9 November 2001. 1279 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 359 mengikuti pemilihan umum atau menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan, seperti telah diuraikan pada sub bab alasan pembubaran. Prosedur pembubaran yang dibahas pada bagian ini adalah pembubaran oleh MK. Prosedur tersebut meliputi pemohon dan permohonan, pemeriksaan persidangan, putusan, dan pelaksanaan putusan. Ketentuan yang lebih banyak mengatur prosedur pembubaran partai politik saat ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 6.5.2.1. Pemohon dan Permohonan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menentukan bahwa pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah pemerintah, yaitu pemerintah pusat.1281 Tidak ditentukan instansi mana yang mewakili pemerintah pusat tersebut.1282 Menurut Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, mengingat Pemerintahan Pusat dipimpin oleh Presiden, maka departemen pemerintahan yang akan mewakili pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik harus dengan penunjukkan atau didasarkan surat kuasa Presiden.1283 Sebagai pemohon, sebaiknya adalah instansi yang di satu sisi memiliki data dan memahami persoalan kepartaian sehingga dapat menentukan saat suatu partai politik telah melakukan pelanggaran yang diancam dengan sanksi pembubaran. Di sisi lain, pemohon juga harus menguasai persoalan hukum dan mekanisme beracara di peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, terdapat tiga instansi yang memiliki hubungan terhadap keberadaan partai politik. Pertama adalah Departemen Dalam negeri yang memiliki wewenang pengawasan terkait dengan 1281 Pasal 68 Ayat (1) dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Negara lain yang hanya menentukan pemerintah sebagai pemohon diantaranya adalah, Kamboja, Azerbaijan, Mongolia, Taiwan, Pakistan, Yordania, Afghanistan, Bulgaria, Korea Selatan, Moldova, Polandia. Lihat Tabel 4.1. 1282 Pemerintah dalam melaksanakan pengajuan permohonan pembubaran partai politik ada yang menentukan dilakukan oleh Presiden, pemerintah pusat atau federal, menteri, menteri kehakiman, menteri dalam negeri, atau oleh Penuntut Umum. Oleh Presiden misalnya dalam. Oleh pemerintah federal misalnya di Pakistan berdasarkan Article 15 Political Parties Order 2002. Oleh Menteri Kehakiman misalnya di Azerbaijan yang dalam Article 4 Para 6 Law on Political Parties of the Republic of Azerbaijan menyatakan “A political party may be liquidated by a court decision if it re-commits the acts referred to in Paragraph 3 of Article 15 this Law.” Ditentukan oleh Menteri saja misalnya di Yordania, yang dalam Article 25 Law Number 32, 1992, menyatakan “The party may be dissolved by decision of the Court, upon a case filed by the Minister, if the Party violates any of the provisions of Paragraphs (2) and (3) of Article (16) of the Constitution…” Yang menentukan oleh Penuntut Umum misalnya adalah di Turki berdasarkan Article 69 Para 5 Konstitusi Turki yang menyatakan “The dissolution of political parties shall be decided finally by the Constitutional Court after the filling of a suit by the office of the Chief Public Prosecutor of the Republic.” 1283 Maruarar Siahaan, op.cit., hal. 199-200. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 360 pelanggaran yang dapat menjadi dasar pembubaran partai politik.1284 Kedua, adalah Departemen Kehakiman yang memberikan pengesahan badan hukum partai politik.1285 Ketiga adalah KPU yang memiliki wewenang verifikasi untuk mengikuti pemilu dan pengawasan dana partai politik.1286 Dari ketiga instansi tersebut, yang keterkaitannya paling erat dengan pembubaran partai politik adalah Departemen Dalam Negeri. Namun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tidak lagi diatur mengenai instansi yang melakukan pengawasan partai politik. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyatakan, Pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang. Ketentuan tersebut tidak menunjukkan lembaga mana yang berwenang melakukan pengawasan. Penjelasan pasal tersebut hanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “sesuai dengan undang-undang” adalah sesuai dengan undangundang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan.1287 Tentu yang dimaksud dengan pengawasan dalam penjelasan tersebut, adalah pengawasan terhadap partai politik, bukan pengawasan secara umum. Dalam lingkup pemerintahan, salah satu lembaga penyelenggara pengawasan adalah Kejaksaan.1288 Salah satu wewenang pengawasan yang dimiliki oleh Kejaksaan adalah pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Walaupun demikian kejaksaan merupakan institusi negara yang memang menjalankan fungsi penuntutan sehingga sudah pada tempatnya apabila menjalankan tugas penuntutan mewakili pemerintah dalam perkara pembubaran partai politik. Di sisi lain, terkait dengan pengawasan partai politik dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 terdapat dua instansi yang disebut, yaitu Departemen Hukum dan HAM, dan Departemen Dalam Negeri. Departemen Hukum dan HAM memiliki wewenang melakukan verifikasi pendaftaran partai 1284 Pasal 23 Huruf f junto Pasal 24 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 1286 Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. 1287 Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. 1288 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 16 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401. 1285 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 361 politik dan verifikasi periodik pemenuhan syarat-syarat pendaftaran partai politik.1289 Sedangkan Departemen Dalam Negeri menerima laporan pemanfaatan dana bantuan partai politik.1290 Di antara kedua instansi tersebut, yang memiliki data lebih banyak adalah Departemen Hukum dan HAM karena salah satu syarat verifikasi adalah menyampaikan AD dan ART partai politik yang di dalamnya berisi mulai dari asas dan ciri hingga keuangan partai politik. Selain itu, Departemen Hukum dan HAM juga melakukan verifikasi faktual terhadap syaratsyarat partai politik. Mengingat yang ditentukan sebagai pemohon adalah pemerintah pusat, maka yang berwenang menentukan siapa yang bertindak sebagai pemohon adalah Presiden. Hanya saja berdasarkan wewenang dan kemampuan hukum instansi pemerintah, sebaiknya yang menjadi pemohon adalah penuntut khusus dari Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM.1291 Pemberian hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik hanya kepada pemerintah adalah untuk mencegah terjadinya saling menuntut pembubaran di antara partai politik yang ada. Namun demikian, permasalahan yang muncul adalah jika yang melakukan pelanggaran adalah partai yang sedang memerintah. Untuk itu di masa yang akan datang perlu dipertimbangkan hak mengajukan permohonan pembubaran partai politik juga diberikan kepada anggota DPR dan atau anggota DPD. Namun harus pula dibatasi dengan mensyaratkan jumlah tertentu sehingga mewakili pendapat banyak kelompok serta berdasarkan bukti-bukti awal yang kuat.1292 1289 Pasal 4 Ayat (1) dan Penjelasannya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Penjelasan Pasal 13 huruf i, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. 1291 Pengajuan permohonan pembubaran partai politik menurut Venice Commission harus berdasarkan penilaian dan memperhatikan situasi negara, apakah partai tersebut benar-benar menjadi ancaman bagi kebebasan dan tatanan politik yang demokratis dan hak-hak individu, atau apakah tidak ada tindakan lain yang lebih lunak untuk mencegah bahaya tersebut. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit., hal. 133. Ukuran ini oleh Thomas Ayres disebut sebagai “party dissolution as ‘a drastic measure’ to be applied “only in the most serious cases”. Lihat Ayres, Op. Cit., hal. 3. 1292 Hal ini diterapkan di beberapa negara lain, diantaranya adalah Rumania, Armenia, Georgia, dan Jerman. Misalnya di Rumania, Article 28 Para 2 Law no. 47 of 18 May 1992 on the Organisation and Operation of the Constitutional Court menyatakan “The challenge regarding constitutionality of a political party may be filled in by the President of either Chamber of Parliament, or by the Government. The President of the Chamber may file a challenge only in the basis of a resolution passed by a majority vote of the Members of that Chamber.” Sedangkan Article 35 Para 1 The Constitutional Court Law of Georgia menyatakan “The President of Georgia, not less than one fifth of members of the Georgian Parliament and the supreme state bodies of Abkhazia and Adjara have the right to introduce a claim at the Constitutional Court on formation of political amalgamations of citizens and on constitutionality of activities.” 1290 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 362 Pemberian hak kepada anggota parlemen tersebut juga dianut oleh beberapa negara, dan merupakan salah satu model pembubaran partai politik dilihat dari pemohonnya. Bahkan di Slovenia setiap orang berhak mengajukan inisiatif permohonan pembubaran partai politik.1293 Namun pemberian hak kepada setiap orang tersebut bertentangan dengan argumentasi diberikannya hak sebagai pemohon terbatas kepada pemerintah dan parlemen, yaitu akan menimbulkan saling menggunggat di antara partai politik dan dapat menggeser kompetisi partai politik dari wilayah politik ke wilayah hukum.1294 Apabila telah ditentukan bahwa wewenang memutus pembubaran partai politik ada pada MK, berarti tidak ada lembaga lain yang memiliki wewenang tersebut. Pembubaran yang tidak dilakukan oleh MK adalah batal demi hukum. Namun demikian, tetap ada kemungkinan pembubaran dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, baik secara jelas berupa keputusan pembubaran ataupun melalui keputusan lain yang dapat mengakibatkan pembubaran, misalnya pembekuan.1295 Terhadap keputusan tersebut, partai politik tidak dapat mengajukannya ke MK karena sudah ditentukan bahwa pemohon adalah pemerintah. Kondisi ini menurut Jimly Asshiddiqie tidak sesuai dengan maksud pendirian MK untuk melindungi hak atas kebebasan berserikat dalam perkara pembubaran partai politik.1296 Partai politik memang dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan asumsi keputusan pembubaran merupakan keputusan pejabat tata usaha negara. Namun proses gugatan itu memerlukan waktu yang lama dan merugikan partai politik, apalagi jika keputusan pembekuan dijatuhkan menjelang pelaksanaan pemilu.1297 1293 Article 68 Para 1 The Constitutional Court Act Slovenia menyatakan “Any person may make an initiative, and the proposers from Article 23 of this Law a demand, for an assessment of the unconstitutionality of particular acts and activities of political parties.” 1294 Selain itu, pemberian hak kepada pemerintah sebagai pemohon adalah terkait dengan tanggungjawab pemerintah untuk menjalankan UUD dan undang-undang yang berlaku, serta mengupayakan tegaknya UUD dan semua undang-undang dengan sebaik-baiknya. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 138. 1295 Misalnya kasus pembekuan Partai Murba pada masa Orde Lama, pembubaran PKI, serta pembekuan Partindo yang tidak memiliki dasar hukum. Kasus ini juga terjadi dalam bentuk Maklumat Presiden Abdurrahman Wahid yang membekukan Partai Golkar. 1296 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 139. 1297 Misalnya, pada kasus pembubaran Masjumi pada masa Orde Lama, diajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta namun diputus bahwa pengadilan tidak berwenang. Terhadap putusan tersebut diajukan banding tetapi menurut Deliar Noer tidak pernah diputuskan pada tingkat banding. Lihat, Deliar Noer, Partai Politik, Op. Cit., hal. 387. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 363 Menurut Jimly Asshiddiqie, hal itu menunjukkan mekanisme yang diskriminatif (unequal treatment under the law).1298 Di beberapa negara, partai politik dapat mengajukan tindakan atau keputusan pemerintah tersebut melalui mekanisme constitutional complaint ke MK.1299 Namun di Indonesia, hal itu belum dimungkinkan karena berdasarkan UUD 1945 MK tidak memiliki wewenang mengadili perkara constitutional complaint. Untuk mengatasi persoalan tersebut, di masa yang akan datang perlu dipertimbangkan adanya wewenang memutus constitusional complaint oleh MK. Apalagi praktik di negara lain, misalnya Jerman dan Austria, perkara yang paling banyak adalah perkara constitusional complaint.1300 Di samping itu, terdapat alternatif lain khusus untuk perlindungan terhadap partai politik dari tindakan sewenang-wenang pembubaran oleh pemerintah, perlu dipertimbangkan partai politik di masa yang akan datang diberikan hak, khusus untuk mengajukan permohonan pembatalan keputusan pemerintah yang membubarkan atau yang mengakibatkan pembubaran suatu partai politik.1301 Dengan demikian obyek permohonannya adalah keputusan pemerintah yang membubarkan atau yang mengakibatkan bubarnya suatu partai politik. Kedudukan sebagai pemohon ini tidak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik lain. Pemberian hak ini tidak bertentangan dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, bahkan mempertegas bahwa setiap pembubaran partai politik harus diputus oleh MK. Sesuai dengan kedudukan pemohon, materi permohonan di masa yang akan datang terdiri atas dua jenis. Permohonan pertama adalah permohonan pembubaran suatu partai politik yang diajukan oleh pemerintah atau oleh anggota parlemen. Dalam permohonan pembubaran partai politik tersebut, harus ditunjuk dengan tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Oleh karena itu Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyatakan bahwa partai politik yang 1298 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 139-142. Misalnya di Jerman dan Austria. Article 93 Para 1 menyebutkan salah satu wewenang MK Jerman adalah “4a. on complaints of unconstitutionality, being filed by any person claiming that one of his basic rights or one of his rights under Article 20 (4) or under Article 33, 38, 101, 103 or 104 has been violated by public authority.” 1300 Jimly Asshiddiqie, Kebebasan Berserikat, Op. Cit., hal. 142. 1301 Hal ini berbeda dengan pemberian hak kepada partai politik untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik lain seperti yang dianut di Slovakia. Article 64 Para 1 Act of the National Council of the Slovak Republic on the Organization of the Constitutional Court of the Slovak Republic, menyatakan “A motion for the review of a decision to dissolve a political party or political movement may be submitted, apart from by the submitters quoted in Art 18 Clause 1 Subsection a) to e), also by a political party or political movement. The motion for the commencement of proceedings shall have suspensive effect. “ 1299 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 364 bersangkutan kedudukannya adalah sebagai termohon, walaupun undang-undang tidak menyatakan hal tersebut secara tegas.1302 Forum pengadilan tersebut juga untuk memberi kesempatan kepada partai politik untuk melakukan pembelaan diri serta mengajukan bukti, saksi, dan ahli untuk melindungi kepentingannya. Sedangkan jenis permohonan kedua, adalah permohonan yang diajukan oleh pemohon partai politik terhadap keputusan pemerintah yang membubarkan atau mengakibatkan bubarnya partai politik. Dengan demikian yang akan diadili adalah keputusan pemerintah dimaksud dan sebagai termohon adalah pemerintah yang mengeluarkan keputusan.1303 Di dalam permohonan pembubaran partai politik, harus diuraikan alasan atau argumentasi yang mendasari permohonan. Untuk permohonan pembubaran partai politik karena alasan konstitusional, yang harus diuraikan adalah ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik yang bertentangan dengan UUD 19451304, dan memenuhi salah satu atau lebih dari 14 alasan pembubaran partai politik yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya.1305 Untuk permohonan karena alasan ketidakmampuan menjalankan fungsi dan aktivitas sebagai partai politik, yang harus diuraikan adalah bahwa partai tersebut tidak mampu mengikuti pemilihan umum untuk jangka waktu tertentu dan/atau tidak mampu menempatkan wakilnya di lembaga parlemen dalam beberapa kali pemilu. Sedangkan untuk permohonan yang diajukan oleh partai politik terhadap keputusan pemerintah yang membubarkan atau mengakibatkan bubarnya partai 1302 Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 200-201. Dapat dibandingkan dengan sengketa tata usaha negara yang menjadi wewenang PTUN. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344. Sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380. 1304 Sesuai dengan Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1305 Bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi; Melanggar nilai dan prinsip dasar konstitusional; Hendak mengubah dan/atau mengganti UUD 1945 dengan jalan paksa atau kekerasan; Bermaksud menggantikan tatanan demokrasi berdasarkan UUD 1945 dengan tatanan otoritarianisme atau fasisme; Mengambil alih kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan dengan cara kekerasan; Melanggar kebebasan dasar dan hak asasi manusia; Menerima bantuan pihak asing tanpa seijin pemerintah; Memberi bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah; membahayakan persatuan dan kesatuan serta integritas wilayah nasional; Membahayakan kedaulatan NKRI; Membahayakan eksistensi dan kemerdekaan negara; Mendirikan organisasi yang bersifat militer atau paramiliter, atau organisasi rahasia; Menghasut atau mendukung sentimen rasial, agama, etnis, dan kedaerahan yang dapat menimbulkan konflik sosial; dan Menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan aktivitasnya. 1303 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 365 politik, harus diuraikan adanya suatu keputusan pemerintah itu sendiri dan argumentasi bahwa keputusan tersebut adalah pembubaran atau mengakibatkan bubarnya partai politik yang mengajukan permohonan. Permohonan perkara pembubaran partai politik yang diterima Mahkamah Konstitusi dicatat dalam Buku Registrasi perkara Konstitusi. Mahkamah konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat tersebut kepada partai politik yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak pencatatan dilakukan. Di masa yang akan datang, batas waktu 7 hari kerja tersebut dapat juga terapkan untuk penyampaian kepada pemerintah dalam kasus permohonan disampaikan oleh partai politik terhadap keputusan pembubaran atau yang mengakibatkan pembubaran yang dibuat pemerintah. 6.5.2.2. Persidangan Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, acara persidangan pembubaran partai politik tidak diatur secara khusus, sehingga proses pemeriksaan persidangan mengikuti hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan putusan.1306 Perkara pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu selambatlambatnya 60 hari kerja sejak permohonan diregistrasi.1307 Batasan waktu ini diperlukan untuk menjamin terselenggaranya prinsip peradilan yang cepat sehingga cepat pula diperoleh kepastian hukum.1308 Proses persidangan, dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Di dalam pemeriksaan pendahuluan yang diperiksa adalah kelengkapan dan kejelasan permohonan. Pemohon diberikan kesempatan untuk memperbaiki permononannya.1309 1306 Sebagaimana diatur dalam Pasal 39 sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Selain itu, tata cara persidangan juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Saat ini Mahkamah Konstitusi tengah menyusun PMK tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pembubaran Partai Politik. Di Azerbaijan waktu yang ditentukan adalah mulainya persidangan pertama sejak permohonan diterima. 1308 Hal ini juga mengingat perkara pembubaran partai politik menyangkut hak anggota partai politik yang banyak jumlahnya. Apalagi jika proses pembubaran tersebut jangka waktunya dekat dengan pelaksanaan pemilihan umum. Di Azerbaijan, batas waktu yang ditentukan adalah persidangan pertama sejak diterimanya permohonan. Article 60 Para 3 The Law of Azerbaijan Republic on the Constitutional Court menyatakan “Consideration of the essence of acecepted request by the Constitutional Court shall commence not later than 15 days since acceptance.” 1309 Lihat, Pasal 39 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1307 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 366 Sedangkan dalam pemeriksaan persidangan akan dilakukan untuk mendengarkan keterangan pemohon, termohon, serta pihak terkait lainnya. Pada proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap alat bukti serta mendengarkan keterangan saksi dan ahli. Pada proses persidangan ini pertanyaan hukum yang harus dijawab adalah kedudukan hukum (legal standing) pemohon, kewenangan MK, serta alasan permohonan. Terkait dengan pemohon harus dibuktikan bahwa pemohon memang memiliki kedudukan hukum. Untuk pemohon pemerintah, harus dibuktikan bahwa pemohon tersebut mewakili pemerintah pusat.1310 Untuk pemohon anggota parlemen harus dibuktikan bahwa pemohon bertindak untuk dan atas nama sejumlah anggota DPR dan/atau DPD sesuai yang dipersyaratkan.1311 Sedangkan untuk pemohon partai politik, yang harus dibuktikan adalah pemohon bertindak atas nama suatu partai politik yang telah sah sebagai badan hukum.1312 Selain itu, yang harus dibuktikan pula adalah adanya keputusan pemerintah yang telah membubarkan atau mengakibatkan bubarnya partai politik itu. Namun hal itu sesungguhnya telah masuk pada pemeriksaan pokok perkara karena obyek permohonan adalah keputusan dimaksud, sehingga pemeriksaan dan pembuktiannya dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pokok perkara. Setelah pemeriksaan legal standing, dilanjutkan dengan pemerikasan pokok perkara. Hal yang utama dalam pemeriksaan pokok perkara ini adalah permohonan dan alasan permohonan. Untuk permohonan pembubaran suatu partai 1310 Menurut Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, hal itu harus dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Presiden. Lihat, Maruarar Siahaan, Op. Cit. 1311 Misalnya surat kuasa yang ditandatangani oleh 1/5 dari jumlah anggota DPR dan DPD. Di Armenia dan Georgia, pengajuan dilakukan oleh sejumlah anggota Parlemen. Di Armenia ditentukan bahwa permohonan dapat diajukan oleh 1/3 wakil rakyat. Article 63 Para 1 Law on the Constitutional Court Armenia menyatakan “With regard to the issues provided by paragraph 9 article 100 of the Constitution, the Constitutional Court may be appealed to by 1) the President of the Republic; 2) at least one third of deputies.” Article 35 Para 1 The Constitutional Court Law of Georgia menyatakan, “The President of Georgia, not less than one fifth of members of te Georgian Parliament and the supreme state bodies of abkhazia and Adjara have the right to introduce a Claim at the Constitutional Court on formation of political amalgamations of citizens and on Constitutionality of activities.” Di Jerman, ditentukan salah satu yang dapat menjadi pemohon pembubaran partai politik adalah parlemen sebagai lembaga, yaitu Bundestag dan Bundesrat. Article 43 Para 1 Bundesverfassungsgerichts-gesetz menyatakan “The application for a decision on wether a party is unconstitutional (Article 21 (2) of the Basic Law) may be made by the Bundestag, the Bundesrat or the Federal Government.” Sedangkan di Rumania, permohonan juga dapat diajukan oleh parlemen yang diputuskan melalui suara terbanyak. Article 28 Para 2 Law no. 47 of 18 May 1992 on the Organisation and Operation of the Constitutional Court Rumania menyatakan, “The challenge regarding the constitutionality of a political party may be filed in by the President of either Chamber of Parliament, or by Government. The President of the Chamber may file a challenge only on the basis of a resolution passed by majority vote of the Members of that Chamber.” 1312 Syarat ini sesuai dengan makna pembubaran yang berarti hilangnya status badan hukum partai politik. Keberadaan partai politik dari sisi hukum adalah pada statusnya sebagai badan hukum. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 367 politik yang diajukan oleh pemerintah atau anggota parlemen, terdapat dua pertanyaan yang harus dijawab dalam persidangan. Pertama, apakah partai politik sebagai termohon memiliki ideologi, asas, tujuan, program dan/atau melakukan kegiatan yang dinilai oleh pemohon memenuhi klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik. Kedua, apakah ideologi, asas, tujuan, program, dan/atau kegiatan dimaksud memang memenuhi klasifikasi sebagai alasan pembubaran partai politik. Proses pembuktian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pembuktian terhadap dokumen dan pembuktian terhadap fakta.1313 Pembubaran terhadap dokumen adalah pembuktian terkait dengan ideologi, asas, tujuan, dan program partai politik. Untuk melihat hal itu, alat bukti utama yang diperlukan adalah statuta pendirian partai politik, AD dan ART, Platform, Program Kerja, serta dokumen dan keputusan-keputusan partai politik lainnya. Partai politik dapat dibubarkan jika dari dokumen partai politik terbukti bahwa ideologi asas, tujuan, dan programnya memenuhi salah satu alasan pembubaran, yaitu, 1. bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi; 2. melanggar nilai dan prinsip dasar konstitusional; 3. hendak mengubah dan/atau mengganti UUD 1945 dengan jalan paksa atau kekerasan; 4. bermaksud menggantikan tatanan demokrasi berdasarkan UUD 1945 dengan tatanan otoritarianisme atau fasisme; 5. mengambil alih kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan dengan cara kekerasan; 6. melanggar kebebasan dasar dan hak asasi manusia; 7. membahayakan persatuan dan kesatuan serta integritas wilayah nasional; 8. membahayakan kedaulatan NKRI; 1313 Di beberapa negara, ditentukan bahwa pembuktian dilakukan dengan menggunakan acara pidana dan beban pembuktian ada pada pemohon. Article 57 The Constitutional Tribunal Act Hungary menyatakan “1. Application concerning the conformity of activities of political parties to the Constitutions shall be examined by the Tribunal by applying the provisions of the Code of Criminal Procedure accordingly. 2. The burden of proving the non-conformity to the Constitution shall rest with the applicant, who therefore shall present or give notice of evidence indicating such non-conformity.” Article 33 Para 1 Law of the Organisation and Trial Procedure of the Constitutional Court Turki menyatakan “In cases concerning the dissolution of political parties being investigated by the Chief Public Prosecutor of the Republic, the case shall be investigated and decided upon files in accordance with the regulations of the Law on Criminal Procedure. In these cases defences brought forward by the general presidency of the political party, the dissolution of which is intended by the Chief Public Prosecutor of the Republic, or by a designated deputy shall be heard.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 368 9. membahayakan eksistensi dan kemerdekaan negara; 10. mendirikan organisasi yang bersifat militer atau paramiliter, atau organisasi rahasia; atau 11. menghasut atau mendukung sentimen rasial, agama, etnis, dan kedaerahan yang dapat menimbulkan konflik sosial; Namun demikian, dapat terjadi bahwa bukti-bukti dari dokumen kurang meyakinkan, atau bahkan tidak terbukti sama sekali, maka proses pembuktian dilanjutkan pada fakta kegiatan yang dilakukan oleh partai politik. Pemohon harus menunjukan dan membuktikan kegiatan-kegiatan partai politik yang memenuhi salah satu atau lebih ke-11 alasan pembubaran. Selain itu, suatu partai politik juga dapat dibubarkan jika telah melakukan kegiatan; (1) memberi bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah; (2) menerima bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah; atau (3) menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan aktivitasnya. Pembuktian fakta kegiatan ini dapat dilakukan dari bentuk dan substansi atau materi kegiatan serta dari dampak atau akibat yang secara obyektif memang diinginkan dari pelaksanaan kegiatan partai politik. Untuk persidangan pembubaran partai politik dengan alasan partai politik tidak dapat mengikuti sejumlah pemilihan umum atau tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan, yang harus dibuktikan pertama adalah bahwa partai politik tersebut telah sah terdaftar sebagai badan hukum. Kedua, bahwa partai politik dimaksud telah tidak dapat atau atas keinginan sendiri tidak mengikuti beberapa kali pemilihan umum secara berturut-turut. Ketiga, partai politik telah mengikuti beberapa pemilu, namun tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan secara berturut-turut.1314 Sedangkan untuk permohonan yang diajukan oleh partai politik yang dibubarkan oleh pemerintah, terdapat tiga hal yang harus dibuktikan. Pertama, adalah adanya keputusan dari pemerintah terkait dengan partai politik yang menjadi pemohon. Kedua, keputusan tersebut adalah membubarkan partai politik dimaksud, dan/atau ketiga, keputusan tersebut mengakibatkan pembubaran partai 1314 Berdasarkan hal-hal yang harus dibuktikan tersebut, maka alat bukti yang sangat berperan adalah alat bukti dokumen, yaitu dokumen status badan hukum, dokumen yang menunjukkan lolos verifikasi untuk mengikuti pemilu, serta dokumen penetapan hasil pemilu dan pembagian kursi lembaga perwakilan dari KPU. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 369 politik dimaksud. Hal itu dapat dilihat dari dokumen dan/atau fakta, yaitu dokumen keputusan pembubaran atau fakta suatu pernyataan pembubaran, atau fakta, paling tidak bersifat potensial, bahwa bahwa keputusan atau pernyataan tersebut memiliki akibat yang sama dengan pembubaran. 6.5.2.3. Putusan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa jika MK berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.1315 Ketentuan ini di masa yang akan datang perlu disesuaikan dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan, meliputi pemerintah, anggota parlemen, dan partai politik (untuk keputusan pembubaran yang dilakukan oleh pemerintah), serta alasan pembubaran yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Apabila subyek pemohon dan obyek permohonan telah sesuai serta MK berpendapat permohonannya beralasan, maka amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.1316 Hal itu berarti terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan/atau kegiatan partai politik memenuhi kriteria alasan pembubaran, atau partai politik tersebut terbukti tidak mengikuti sejumlah pemilu berturut-turut atau tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan untuk beberapa periode secara berturut-turut, dan partai politik tersebut diputus dibubarkan.1317 Sedangkan apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.1318 Untuk putusan atas permohonan yang diajukan oleh partai politik dinyatakan tidak dapat diterima jika pemohon tidak memenuhi syarat, yaitu suatu partai politik dan partai itu terkena suatu keputusan pemerintah. Apabila keputusan atau pernyataan terkait dengan partai politik tersebut ternyata dinilai oleh MK bukan merupakan bentuk pembubaran atau tidak mengakibatkan bubarnya partai politik, maka putusannya adalah menolak permohonan. Sedangkan apabila MK menilai bahwa permohonan itu beralasan dalam arti 1315 Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diatur pada Pasal 70 Ayat (2). 1317 Jika alasan pembubaran bukan alasan pelanggaran konstitusional, maka organisasi ini harus dapat melanjutkan organisasinya dalam bentuk badan hukum lain selain partai politik. Lihat European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline and Explanatory Report, Op. Cit., hal. 3. 1318 Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diatu pada Pasal 70 Ayat (3). 1316 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 370 merupakan bentuk pembubaran partai politik atau mengakibatkan bubarnya suatu partai politik, maka putusannya adalah mengabulkan. Konsekuensi dari dikabulkannya permohonan ini, keputusan yang dimohonkan dinyatakan batal demi hukum1319 karena bertentangan dengan konstitusi serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Keputusan MK bersifat final dan mengikat sejak dibacakan dalam persidangan pengucapan putusan.1320 Hal itu berarti yang membubarkan suatu partai politik, jika permohonan pembubaran dikabulkan, adalah MK. Putusan MK disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.1321 Demikian pula pada kasus pembatalan keputusan pemerintah yang membubarkan partai politik sudah seharusnya disampaikan kepada pemerintah dan pihak lain yang terkait. 6.5.2.4. Pelaksanaan Putusan Pelaksanaan putusan MK yang membubarkan partai politik dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.1322 Namun demikian, eksistensi partai politik yang dibubarkan tersebut sesungguhnya telah berakhir pada saat dibacakan putusan pembubarannya oleh MK. Tindakan pembatalan pendaftaran hanya merupakan tindakan pelaksanaan atau konsekuensi dari adanya putusan MK.1323 Selain itu, Putusan itu juga harus diumumkan oleh pemerintah dalam berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 14 hari kerja harus sejak putusan diterima, sebagai bentuk pengumuman agar diketahui oleh masyarakat.1324 Mengingat yang menangani pendaftaran partai politik adalah Departemen Hukum dan HAM, maka pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi 1319 Hal ini berarti bahwa putusan pembubaran tersebut dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang mengingat yang berwenang memutus pembubaran partai politik berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah MK. 1320 Pada umumnya putusan MK adalah bersifat final dan mengikat. Article 59 The Constitutional Court Act Korea Selatan menyatakan “When a decision ordering dissolution of a political party is pronounced, the political party shall be dissolved.” 1321 Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diatur pada Pasal 72. 1322 Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 1323 Di Korea Selatan, pelaksanaan putusan pembubaran partai politik dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Article 60 The Constitutional Court Act Korea Selatan menyatakan “The decision of the Constitutional Court ordering dissolution of a political party shall be executed by the National Election Commission in accordance with the Political Parties Act.” Di Slovakia, pelaksanaan putusan pembubaran partai politik dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Article 64 Para 4 Act of the National Council of the Slovak Republic on the organisation of the Constitutional Court of the Slovak Republic menyatakan “The decision of the Constitutional Court shall be delivered to the submitter and to the Ministry of Interior of the Slovak Republic.” 1324 Pasal 73 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dapat dibandaingkan dengan Article 153 Para 6 Konstitusi Turki yang menyatakan, “Decisions of the Constitutional Court shall be published immediately in the Official Gazette, and shall be binding on the legislative, executive, and judicial organs, on the administrative authorities, and on persons and corporate bodies.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 371 dalam bentuk pembatalan pendaftaran partai politik tersebut juga dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM.1325 Untuk putusan MK yang menyatakan bahwa keputusan pemerintah yang membubarkan atau mengakibatkan bubarnya partai politik adalah bertentangan dengan konstitusi sehingga batal demi hukum serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, pelaksanaannya dilakukan dengan mengumumkannya dalam Berita Negara agar diketahui oleh semua pihak dan masyarakat umum. Putusan tersebut tidak perlu ditindaklanjuti dengan tindakan pemerintah mencabut keputusan dimaksud. Hal itu karena keputusan itu dianggap tidak pernah ada karena dibuat oleh lembaga yang tidak berwenang.1326 6.6. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN Sebelum dibubarkan, partai politik sebagai badan hukum tentu telah melakukan hubungan dan tindakan hukum. Hal itu menimbulkan hak dan kewajiban, kepemilikan berupa harta benda, serta hubungan dengan anggota partai politik yang menduduki jabatan-jabatan publik. Berakhirnya eksistensi hukum partai politik karena pembubaran tentu berpengaruh terhadap hak dan kewajiban yang telah ada, serta terhadap harta kekayaan dan jabatan-jabatan yang dihasilkan dari hubungan dan tindakan hukum yang dilakukan sebelum dibubarkan. Selain itu, terutama untuk pembubaran karena alasan pelanggaran konstitusional, timbul pertanyaan apakah dapat dijatuhkan sanksi kepada anggota atau pengurus partai politik yang bersangkutan. Berdasarkan pengaturan di beberapa negara, dikenal adanya beberapa akibat hukum pembubaran partai politik. Pertama adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti baik dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang sama dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu berarti partai tersebut dinyatakan sebagai 1325 Maruarar Siahaan, Op. Cit., hal. 201-202. Suatu produk hukum atau perjanjian yang batal demi hukum dikatakan “null and void”. Null dan void sesungguhnya memiliki kesamaan arti. Null adalah ajektif yang menunjukkan sesuatu “having no legal effect” atau “without binding force”. Sedangkan void juga berarti “no legal effect”. Void lebih tepat diartikan untuk “those provisions that are of no effect whatsoever – those that are an absolute nullity.” Sedangkan voidable adalah dapat dibatalkan yang berarti tetap valid hingga dibatalkan (valid until annulled). Lihat, Garner, Op. Cit., hal. 1096 dan 1568. 1326 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 372 partai terlarang. Ketentuan ini di antaranya dapat dijumpai di Turki,1327 Jerman,1328 dan Taiwan.1329 Selain pernyataan sebagai partai terlarang, terdapat pula negara yang memberikan sanksi kepada pengurus dan/atau anggota partai politik yang dibubarkan. Sanksi tersebut pada umumnya berupa larangan menjadi pendiri atau pengurus, bahkan sebagai anggota partai politik. Hal itu di antaranya diatur pada Article 69 Para 9 Konstitusi Turki yang menyatakan, The members, including the founders of a political party whose acts or statements have caused the party to be dissolved permanently cannot be founders, members, directors or supervisors in any other party for period of five years from the date of publication in the official gazette of the Constitutional Court’s final decision and its justification for permanently dissolving the party. Sedangkan di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota parlemen nasional dan provinsi dari partai yang dibubarkan.1330 Di samping berhenti dari keanggotaan lembaga perwakilan, juga dilarang mengikuti pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Dalam praktik pembubaran Partai Thai Rak Thai dan Pattana Chart Thai di Tahiland, sejumlah pengurus dikenakan sanksi tidak boleh melakukan kegiatan berpolitik termasuk memilih dan dipilih selama lima tahun.1331 Akibat hukum pembubaran partai politik selanjutnya yang terdapat di beberapa negara adalah berakhirnya keanggotaan lembaga perwakilan dari partai yang dibubarkan tersebut. Hal itu misalnya diatur dalam Article 30-I Procedur Act Taiwan yang menyatakan, The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately upon the judgment’s becoming effective. 1327 Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A Party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name.” 1328 Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization.” 1329 Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The political party being dissolved shall cease all activities and shall not establish any substitute organization to pursue the same goals;…” 1330 Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002, menyatakan “A person becoming disqualified from being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1) shall not participate in election for any elective office or any legislative body till the expiry of four years from the date of his disqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, the Provincial Assembly.” 1331 Summary of the Decision of the Constitutional Tribunal Case Group 1. Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 373 Di Jerman, walaupun dalam ketentuan konstitusi, undang-undang partai politik, maupun undang-undang Mahkamah Konstitusi tidak terdapat ketentuan akibat hukum terhadap wakil partai politik di lembaga perwakilan, namun dalam praktik pembubaran Partai SRP1332 dan KPD,1333 keduanya otomatis kehilangan kursi di lembaga perwakilan.1334 Akibat hukum selanjutnya adalah terhadap harta kekayaan partai politik. Di Jerman, salah satu akibat hukum pembubaran partai politik yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah harta kekayaan partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik. Hal itu diatur dalam Article 6 Para 3 sebagai berikut. The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit. Ketentuan mengenai akibat hukum terhadap harta kekayaan juga diatur lebih jelas dalam Political Parties Act Bulgaria. Bahkan juga dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan. Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria menyatakan sebagai berikut. When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received. 6.6.1. Akibat Hukum dalam Peraturan dan Praktik Salah satu aspek pembubaran partai politik yang belum diatur adalah akibat hukum dari pembubaran partai politik. Dari berbagai peraturan perundangundangan pembubaran partai politik yang pernah berlaku, hanya ketentuan pada masa Orde Lama, yaitu Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang mengaturnya. Ditentukan bahwa sebagai akibat pembubaran atau pelarangan suatu partai politik, 1332 Socialist Reich Party, Partai Sosialis Jerman. Kommunistische Partei Deutschlands, Partai Komunis Jerman. 1334 Kommers, Op. Cit., hal. 229. 1333 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 374 anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut.1335 Namun, ketentuan tersebut tidak dapat dilihat pelaksanaannya dalam kasus pembubaran Partai Masjumi dan PSI. Hal itu karena kedua partai tersebut sudah tidak memiliki wakil lagi di DPRGR yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Masjumi dan PSI juga tidak lagi masuk dalam kabinet sejak Kabinet Djuanda karena menolak adanya unsur PKI.1336 Terhadap partai-partai yang tidak diakui, akibat hukumnya juga tidak dapat dilihat. Hal itu karena dari 4 partai yang tidak diakui, hanya PRI yang berdasarkan hasil pemilihan umum 1955 memperoleh 2 kursi DPR. Namun, dalam DPRGR yang dibentuk oleh Presiden Soekarno, PRI sudah tidak mendapatkan kursi lagi. Akibat hukum tersebut terjadi dalam praktik pembekuan Partai Murba. Setelah dibekukan, anggota DPRGR dari partai Murba dibekukan dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1965.1337 6.6.2. Akibat Hukum Pembubaran di Masa Mendatang Paling tidak terdapat empat hal terkait dengan akibat hukum pembubaran partai politik, yaitu terkait dengan status partai politik; sanksi terhadap pengurus partai politik yang dibubarkan; status anggota badan perwakilan yang terpilih dari partai politik yang dibubarkan; serta harta kekayaan partai politik. 6.6.2.1. Status Partai Politik sebagai Partai Terlarang Tentang status partai politik, jika pembubaran terjadi dengan alasan partai politik melakukan pelanggaran konstitusional, tentu diikuti dengan sanksi larangan pembentukan kembali partai tersebut atau pembentukan partai pengganti dengan ideologi, platform, asas, program, dan kegiatan yang sama dengan partai yang dibubarkan. Hal itu berarti partai politik yang dibubarkan menjadi partai terlarang. Akibat hukum larangan pendirian partai pengganti yang memiliki kesamaan dengan partai yang dibubarkan dapat dipandang sebagai konsekuensi 1335 Pasal 9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Bandingkan dengan Article 30-I Procedur Act Taiwan yang menyatakan “The members of the elected bodies appointed to the dissolved party in accordance with the proportional representative system shall be deprived of their membership immediately upon the judgment’s becoming effective.” 1336 Deliar Noer, Partai Islam, Op. Cit., hal. 362-363. 1337 A. H. Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, Op. Cit., hal. 35. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 375 logis, karena jika dapat dibentuk partai yang sama atau partai baru dengan identitas yang sama, pembubaran yang dilakukan tidak memiliki arti. Di sisi lain, Jika partai pengganti dapat didirikan, hal itu berarti pelanggaran kostitusi kembali terjadi. Oleh karena itu pendiriannya harus dilarang. Sanksi tersebut juga dianut di Turki,1338 Jerman,1339 dan Korea Selatan.1340 Akibat hukum larangan membentuk partai yang sama atau yang memiliki identitas yang sama tidak dapat diterapkan dalam kasus pembubaran karena alasan partai politik tidak dapat mengikuti pemilu atau menempatkan wakilnya di lembaga parlemen. Dalam kasus tersebut, pendirian partai baru dengan identitas yang sama tidak dapat dilarang asalkan memenuhi persyaratan pembentukan partai baru. 6.6.2.2. Sanksi Terhadap Pengurus dan Anggota Terkait dengan pengurus partai politik yang dibubarkan, terdapat negara yang memberikan sanksi kepada pengurus partai politik yang dibubarkan berupa larangan mendirikan atau menjadi pengurus partai politik, bahkan larangan melakukan aktivitas politik. Penerapan sanksi hukum ini tentunya harus mempertimbangkan bahwa hak berserikat merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi. Di sisi lain, tindakan pembubaran adalah terhadap partai politik sebagai badan hukum, sedangkan terhadap orang-perorang baik anggota, pengurus, maupun pendiri, sanksi yang dikenakan adalah sanksi pidana atau sanksi lain yang harus diputuskan oleh pengadilan.1341 Menurut Jimly Asshiddiqie, pembubaran suatu partai politik harus dibedakan dari persoalan hukum yang menyangkut pertanggungjawaban pribadi 1338 Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name.” 1339 Article 46 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establishment of a substitute organization…” Sedangkan Article 33 Para 1 Parteiengesetz menyatakan “It is prohibited to set up organizations which pursue the unconstitutional aims of a party banned pursuant to Art. 21, Para 2 of the Basic Law in conjunction with Art. 46 of the Law on the Federal Constitutional Court in lieu of the said banned party (subtitute) organizationas, or to continue existing organizations as substitute organizations.” 1340 Article 40 Political Parties Act of South Korea, No. 7683, Aug 4, 2005, menyatakan “When a political party has been dissolved by a rulling of the Constitutional Court, no political party shall be established upon the same or similar platform (or basic policies) as the dissolved political party.” 1341 Hal ini juga merupakan konsekuensi dari salah pedoman Venice Commission yang menyatakan bahwa suatu partai politik secara keseluruhan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan individu anggotanya yang tidak mendapatkan mandat dari partai. Dengan demikian, setiap pengurus atau anggota partai juga tidak secara otomatis dapat dikenai sanksi larangan melakukan aktivitas politik. Sanksi harus diputuskan setelah dibuktikan keterlibatan pengurus atau anggota dimaksud dalam pelanggaran yang menyebabkan pembubaran partai. Lihat, European Commission for Democracy Through Law (Venice Commission), Guideline on Prohibition and Dissolution, Op. Cit. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 376 orang perorang pengurus atau anggota partai yang bersangkutan. Hanya orang yang benar-benar bertanggungjawablah yang harus dipersalahkan. Sanksi hukum tidak dapat dikenakan secara semena-mena terhadap setiap anggota partai yang bersangkutan.1342 Larangan menjadi anggota, pendiri, atau pengurus suatu partai politik merupakan sanksi yang bersifat politis yang dalam sejarah Indonesia telah menimbulkan diskriminasi berkepanjangan terhadap mantan anggota PKI tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan mereka bersalah. Akibatnya, hak dan kebebasan mereka untuk berserikat dan berkumpul telah hilang dalam waktu cukup lama. Mereka juga kehilangan hak memilih sepanjang orde baru1343 dan baru mendapatkan hak dipilih pada tahun 2004 setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi1344. Oleh karena itu, sanksi hukum ini harus diputuskan oleh pengadilan terhadap pengurus atau anggota tertentu yang memang terbukti terlibat dan memiliki peran yang besar atas pelanggaran yang menyebabkan dibubarkannya partai politik. Pertanggungjawaban individual bergantung kepada tingkat kesalahan yang dibuktikan melalui proses peradilan yang adil dan terbuka (due process, open and fair trial).1345 Sanksi terhadap pengurus atau anggota partai politik juga tidak dapat dijatuhkan terhadap partai yang dibubarkan dengan alasan tidak dapat mengikuti pemilu atau tidak dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan. Hal itu karena memang tidak ada pelanggaran hukum dan konstitusi yang dilakukan oleh partai tersebut. 6.6.2.3. Status Wakil Partai di Lembaga Perwakilan Apabila suatu partai politik dibubarkan, tentu menimbulkan permasalahan terhadap anggota lembaga perwakilan yang dipilih dari partai tersebut, apakah ikut berhenti atau tetap menjadi anggota lembaga tersebut. Terdapat pandangan bahwa terpilihnya seorang calon sebagai anggota lembaga perwakilan adalah 1342 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 154. Persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI dan ormasnya untuk memiliki hak memilih baru ditiadakan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999. 1344 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-17/PUU-I/2003 yang menyatakan Pasal 60 huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 1345 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 154. 1343 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 377 karena pencalonannya melalui suatu partai politik dan dipilih oleh konstituen partai politik itu. Dengan dibubarkannya partai politik yang bersangkutan, anggota badan perwakilan yang berasal dari partai politik itu kehilangan legitimasinya. Oleh karena itu, salah satu akibat dibubarkannya partai politik di beberapa negara adalah berakhirnya status anggota partai politik sebagai anggota lembaga perwakilan.1346 Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Hal itu menunjukkan bahwa peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik.1347 Dengan demikian jika partai politiknya sebagai peserta pemilu dbubarkan, tentu akan memiliki pengaruh terhadap status keanggotaan orang-orang yang terpilih dari partai tersebut.1348 Namun hal itu tidak berlaku terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Hal itu menurut Jimly Asshiddiqie menunjukkan bahwa peserta pemilihan adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik hanya merupakan pihak yang mencalonkan. Setelah dinyatakan sebagai calon, pasangan calon itu sendiri yang menjadi subyek hukum dalam proses selanjutnya.1349 Berdasarkan kedudukan tersebut, Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa pada saat terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tidak terdapat lagi hubungan hukumnya dengan partai politik yang bersangkutan. Oleh karena itu apabila partai politik yang mengusulkan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 1346 Hal ini pernah diatur dalam Perpres Nomo 13 Tahun 1960 pada Pasal 9 yang menyatakan “Sebagai akibat pembubaran/pelarangan sesuatu partai, seorang anggota dari partai itu jang duduk sebagai anggota Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Dewan Perwakilan Rakjat atau Dewan Perwakilan Rakjat Daerah dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut.” Bandingkan misalnya dengan Article 16 Para 1 The Political Parties Order, 2002 Pakistan yang menyatakan “Where a political party is dissolved under Article 15, any member of such political party, if he is a member of the Majlis-e-Shoora or a Parliament Assembly, shall be disqualified for the remaining term to be member of the Majlis-e-Shoora or as the case may be, the Provincial Assembly, unless before the final decision of the Supreme Court, he resigns from the membership of the party and publicly announces his disassociation with such political party.” 1347 Sedangkan untuk pemilihan umum anggota DPD pesertanya adalah perseorangan. Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” 1348 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 151. 1349 Ibid., hal. 148. Ketentuan terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden atau jabatan eksekutif lainnya juga tidak dijumpai di negara-negara lain yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik seperti di Pakistan, Taiwan, Jerman, dan Turki. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 378 dibubarkan, tidak menimbulkan akibat terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden.1350 Namun demikian, terhadap status anggota DPR dan DPRD juga patut diingat bahwa dari sisi hukum mereka tidak hanya mewakili partai politiknya, tetapi merupakan wakil rakyat secara keseluruhan. Di sisi lain, setelah terpilih sebagai anggota DPR dan DPRD, seseorang tidak hanya memiliki hubungan hukum dengan partai politiknya, tetapi juga dengan negara, yaitu lembaga DPR dan DPRD. Dengan demikian hilangnya status keanggotaan dari partai politik karena pembubaran tidak dapat dengan sendirinya berakibat hilangnya status keanggotaan dalam lembaga perwakilan. Dalam pandangan Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan, hubungan hukum antara anggota DPR dengan partai politiknya adalah hubungan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk). Sedangkan hubungan antara anggota DPR dengan negara, yaitu lembaga DPR adalah hubungan yang bersifat publik dan tunduk terhadap ketentuan hukum publik. Hilangnya hubungan hukum yang bersifat privat tidak selayaknya sekaligus menghilangkan hubungan hukum publik. Dalam kasus berhentinya seseorang anggota DPR dari keanggotaan partai politik, seyogianya tidak serta merta menjadi dasar berhentinya dia sebagai anggota DPR. Pemberhentian tersebut setidak-tidaknya melalui dua syarat. Pertama adalah pemberhentian di internal partai politik di dasarkan pada prinsip due process of law sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, DPR sendiri sebagai lembaga negara harus berperan menjatuhkan keputusan memberhentikannya dari keanggotaan DPR berdasarkan prinsip due process of law pula sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1351 Dilihat dari sisi sistem pemilihan umum, hubungan hukum antara anggota lembaga perwakilan dengan pemilih dan negara akan semakin kuat dan tidak dapat dikesampingkan oleh hubungannya dengan partai politik pada saat sistem pemilu yang diterapkan lebih mengarahkan pilihan para pemilih kepada calon daripada kepada partai politinya. Dalam pemilu dengan sistem distrik dan sistem proporsional yang dipadu dengan sistem daftar calon terbuka (list system), pemilih 1350 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 149. Lihat Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan pada Putusan MK Nomor 008/PUU-IV/2006. 1351 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 379 dapat memilih langsung pada nama calon. Oleh karena itu hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya sangat kuat. Berdasarkan pemikiran tersebut, pembubaran suatu partai politik juga seharusnya tidak secara otomatis berakibat terhadap berakhirnya keanggotaan seseorang di lembaga perwakilan. Pemberhentian itu harus melalui proses hukum yang membuktikan keterlibatan dan tanggungjawab atas pelanggaran yang mengakibatkan pembubaran partai politik. Proses pemberhentian ini dapat dilakukan melalui dua mekanisme. Pertama, adalah pada saat mengajukan perkara pembubaran partai politik ke MK, juga dimohonkan pemberhentian anggota-anggota lembaga perwakilan dari partai yang dimohonkan pembubarnnya apabila dinilai harus bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh partai politik itu. Kedua, apabila MK membubarkan partai politik namun tidak memberhentikan anggota lembaga perwakilan dari partai tersebut, dapat diajukan pemberhentian kepada lembaga perwakilan berdasarkan putusan MK dan bukti-bukti keterlibatan anggota yang terungkap dalam persidangan MK. Pemberhentian tersebut selanjutnya akan diputus berdasarkan peraturan internal lembaga perwakilan sesuai ketentuan perundang-undangan. 6.6.2.4. Harta Kekayaan Partai Politik Akibat hukum selanjutnya yang perlu ditentukan adalah terkait dengan harta kekayaan partai politik. Salah satu akibat pembubaran partai politik karena pelanggaran konstitusional adalah harta kekayaannya disita oleh negara.1352 Walaupun partai politik bukan merupakan badan hukum keperdataan yang berorientasi keuntungan, bahkan dilarang melakukan usaha komersial, namun dalam aktivitasnya pasti pernah terlibat dalam lalu lintas hukum perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban. Segala hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh partai politik sebelum dibubarkan harus diselesaikan menurut aturan hukum yang berlaku. Jika partai politik memiliki utang, maka kewajiban tersebut tetap harus ditunaikan. Demikian pula halnya jika 1352 Bandingkan dengan Article 46 Para 2 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz Jerman yang menyatakan “… Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.” Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 380 partai politik memiliki hak piutang, harus ditagih sehingga dapat dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.1353 Apabila harta kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh negara, tentu kewajiban atau utang dan hak-hak partai politik juga harus diselesaikan oleh negara. Hal itu juga berlaku dalam hal terjadi masalah antara pengurus yang mewakili partai politik sebelum dibubarkan dengan anggota partai politik itu sendiri. Untuk menangani hal tersebut dapat diserahkan kepada instansi atau dibentuk suatu panitia oleh pemerintah. Apabila terdapat sisa harta kekayaan setelah semua kewajiban ditunaikan, akan menjadi milik negara.1354 Sedangkan terhadap partai politik yang pembubarannya karena tidak dapat mengikuti pemilu atau menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan, harta kekayaan tidak perlu di sita oleh negara. Pengurusan harta kekayaan dan kewajiban partai politik itu diserahkan sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik itu sendiri. Hal itu membutuhan adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengamanatkan agar dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik. Seluruh kekayaan badan hukum partai politik yang dibubarkan harus diselesaikan, baik oleh negara dalam kasus harta kekayaan tersebut disita oleh negara maupun oleh mekanisme internal partai dalam kasus tidak disita oleh negara. Harus dicegah terjadinya pengambilalihan harta kekayaan partai politik menjadi hak milik pribadi pengurusnya atau individu tertentu, baik di pusat maupun daerah. Apabila hal itu terjadi, dapat menimbulkan konflik yang lebih luas.1355 1353 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 147-148. Bandingkan dengan Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria yang menyatakan “When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received.” 1355 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Op. Cit., hal. 155-156. 1354 Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia BAB VII PENUTUP 7.1. KESIMPULAN 1. Pembubaran partai politik pada setiap periode diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali pada masa Orde Baru yang tidak mengenal pembubaran partai politik. Pada masa Orde Baru hanya dikenal pembekuan pengurus pusat partai politik. Alasan pembubaran partai politik pada masa Orde Lama adalah terkait ideologi, dasar dan tujuan negara, serta ancaman terhadap keamanan dan keutuhan wilayah negara. Ideologi pada masa Orde Lama adalah konsepsi nasakom Nasakom. Pada masa Reformasi, alasan pembubaran partai politik adalah jika menganut dan atau menyebarkan paham Komunisme/MarxismeLeninisme. Selain itu, pembubaran partai politik juga dapat dilakukan berdasarkan alasan (a) ideologi; (b) asas; (c) tujuan; (d) program; serta (c) kegiatan partai yang bertentangan dengan UUD 1945. Pada masa Orde Lama, pembubaran partai politik menjadi wewenang Presiden. Pengadilan, yaitu MA, hanya memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal itu hampir sama dengan prosedur pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Lama juga terdapat proses pengakuan partai politik yang mengakibatkan pembubaran partai politik. Partai politik diwajibkan menyampaikan laporan kepada Presiden disertai persyaratan yang diperlukan. Presiden mengeluarkan keputusan menerima atau menolak pengakuan partai politik. Sedangkan pada masa reformasi, pembubaran partai politik menjadi wewenang lembaga peradilan, yaitu MA dan selanjutnya berdasarkan Perubahan UUD 1945 menjadi wewenang MK. Dengan demikian terdapat perbedaan dalam hal peran pemerintah dan pengadilan dalam proses pembubaran partai politik. Pada masa Orde Lama, pembubaran partai politik menjadi wewenang pemerintah, yaitu Presiden. Pengadilan, dalam hal ini MA, hanya memberikan pertimbangan atas 381 Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 382 permintaan Presiden. Hal itu hampir sama dengan mekanisme pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa Orde Baru yang menjadi wewenang Presiden dengan pertimbangan MA. Pada masa Reformasi terjadi pergeseran. Wewenang memutus pembubaran partai politik dimiliki oleh pengadilan, yaitu MA dan selanjutnya MK. Pemerintah hanya berperan sebagai pemohon. Salah satu aspek pembubaran partai politik yang belum diatur adalah akibat hukum dari pembubaran partai politik. Dari berbagai peraturan perundangundangan pembubaran partai politik yang pernah berlaku, hanya pada masa Orde Lama yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik. Apabila suatu partai politik dibubarkan atau dinyatakan sebagai partai terlarang maka anggota partai yang duduk di lembaga perwakilan rakyat dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut. Pada masa Orde Baru dan Reformasi tidak ada ketentuan yang mengatur akibat hukum pembubaran partai politik. 2. Selama kurun waktu 1959 hingga 2004 terdapat beberapa kali praktik pembubaran partai politik. Pada masa Orde Lama praktik pembubaran terjadi dalam bentuk tidak diakuinya 5 (lima) partai politik yang telah ada sebelumnya karena dinilai tidak memenuhi syarat dalam peraturan yang berlaku, pembubaran 2 (dua) partai politik melalui keputusan Presiden dengan alasan terlibat pemberontakan, dan pembekuan 1 (satu) partai politik yang tidak pernah dicairkan kembali selama periode Orde Lama dengan alasan memecah-belah persatuan nasional. Pada awal masa Orde Baru, terdapat 1 (satu) partai politik yang dibubarkan namun tidak menggunakan aturan hukum yang berlaku pada saat itu. Pembubaran dan pelarangan tersebut terjadi dengan alasan ancaman keamanan negara serta ideologi partai yang dibubarkan dinilai bertentangan dengan Pancasila dan para penganutnya telah beberapa kali berupaya merobohkan kekuasaan yang sah. Selain itu, pada awal Orde Baru juga terjadi pembekuan 1 (satu) partai politik dengan alasan memiliki keterkaitan edngan partai yang telah dibubarkan. Tindakan pembekuan ini tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Selain itu, pada masa awal Orde Baru juga terdapat kebijakan penyederhanaan melalui fusi partai politik yang mengakibatkan pembubaran partai-partai politik yang melakukan fusi Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 383 menjadi 2 (dua) partai politik dan satu golongan karya. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan pembatasan dan pengekangan kebebasan partai politik. Sedangkan pada masa reformasi, terdapat praktik dua gugatan pembubaran satu partai politik ke MA yang diajukan oleh beberapa individu dan organisasi non pemerintah. Gugatan tersebut satu diputus tidak dapat diterima karena pelanggaran yang dituduhkan masih dalam proses persidangan di tingkat pengadilan negeri, dan satu gugatan ditolak karena dinilai tidak cukup bukti. Selain praktik tersebut, juga terdapat Maklumat Presiden yang membekukan satu partai politik sambil menunggu putusan pengadilan karena dianggap menghalangi proses reformasi total. Namun maklumat tersebut dinyatakan bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum oleh Fatwa MA dan Ketetapan MPR. Dengan demikian dalam kurun waktu 1959 hingga 2004 telah terjadi 3 (tiga) pembubaran partai politik, 2 (dua) pembekuan partai politik yang berakibat sama dengan pembubaran, dan 3 (tiga) upaya pembubaran partai politik namun tidak berujung pada pembubaran. Tiga pembubaran partai politik terjadi masing-masing 2 (dua) pada masa Orde Lama yang dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku saat itu dan 1 (satu) pada masa Orde Baru yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku saat itu. Pembekuan partai politik terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru tanpa memiliki dasar hukum. Sedangkan 3 (tiga) upaya pembubaran partai politik terjadi pada masa Reformasi, 2 (dua) dilakukan melalui pengadilan sesuai aturan hukum yang berlaku dan 1 (satu) upaya oleh Presiden melalui maklumat. 3. Pengaturan partai politik di masa yang akan datang bertujuan untuk menjamin dan melindungi kebebasan berserikat, sekaligus melindungi kostitusi, kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Pengaturan partai politik sebaiknya dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur dari paradigma libertarian, political market, managerial, progressive, dan pluralist. Pengaturan tersebut diharapkan dapat mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai dengan model demokrasi di Indonesia, yaitu sistem multi partai sederhana dengan beberapa partai dominan. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 384 Dari berbagai bentuk pembubaran yang pernah ada dalam peraturan dan praktik, yang sesuai dengan UUD 1945 serta prinsip negara hukum dan demokrasi, yaitu pembubaran oleh putusan pengadilan berdasarkan prinsip due process of law dan free and fair trial. Berdasarkan UUD 1945, pengadilan yang berwenang membubarkan partai politik adalah MK. Alasan pembubaran partai politik di masa yang akan datang sebaiknya diatur lebih detail berdasarkan tujuan adanya pengaturan pembubaran partai politik yaitu untuk menjamin hak kebebasan berserikat, melindungi konstitusi, kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Berdasarkan hal tersebut alasanalasan pembubaran di masa yang akan datang dapat ditentukan meliputi, bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, melanggar nilai dan prinsip dasar konstitusional, hendak mengubah dan/atau mengganti UUD 1945 dengan jalan paksa atau kekerasan, bermaksud menggantikan tatanan demokrasi berdasarkan UUD 1945 dengan tatanan otoritarianisme atau fasisme, mengambil alih kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan dengan cara kekerasan, melanggar kebebasan dasar dan hak asasi manusia, menerima bantuan pihak asing tanpa seijin pemerintah, memberi bantuan kepada pihak asing tanpa seijin pemerintah, membahayakan persatuan dan kesatuan serta integritas wilayah nasional, membahayakan kedaulatan negara, membahayakan eksistensi dan kemerdekaan negara, mendirikan organisasi yang bersifat militer atau paramiliter, atau organisasi rahasia, menghasut atau mendukung sentimen rasial, agama, etnis, dan kedaerahan yang dapat menimbulkan konflik sosial, menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan aktivitasnya. Permohonan pembubaran partai politik di masa yang akan datang dapat diajukan oleh sejumlah anggota DPR dan/atau DPD selain pemerintah. Selain itu, partai politik dapat menjadi pemohon kepada MK khusus terhadap keputusan pembubaran atau yang mengakibatkan bubarnya partai politik tersebut. Hal itu sebagai wujud perlindungan terhadap kebebasan berserikat terhadap keputusan yang sewenang-wenang sesuai dengan prinsip equal treatment under the law. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 385 Ketentuan lain yang perlu diatur di masa mendatang adalah pemeriksaan persidangan dan akibat hukum pembubaran partai politik. Pemeriksaan persidangan meliputi penentuan dan acara pemeriksaan bukti-bukti yang meliputi bukti dokumen fakta yang dapat dilakukan berdasarkan acara pidana. Sedangkan akibat hukum yang perlu diatur adalah terkait dengan status partai politik, sanksi bagi pengurus dan anggota tertentu yang terlibat dan bertanggungjawab terhadap pelanggaraan, status anggota lembaga perwakilan dan pejabat dari partai politik yang dibubarkan, serta harta kekayaan partai politik. 7.2. SARAN 1. Ketentuan terbaru yang mengatur partai politik, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, tidak banyak mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001. Di masa yang akan datang perlu diatur lebih detail mengenai alasan-alasan pembubaran dan prosedur pembubaran yang meliputi penambahan pemohon anggota DPR dan/atau DPD serta partai politik selain pemerintah, serta akibat hukum pembubaran partai politik. Selain itu juga perlu diatur kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus partai politik tingkat daerah atau oleh organisasi sayap politik. Sedangkan mengenai persidangan pembubaran partai politik, perlu diatur lebih detail mengenai acara pemeriksaan di dalam perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. 2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, diberlakukan ketentuan mengenai parliamentary treshold. Namun, suatu partai politik yang tidak dapat mengikuti pemilihan umum karena tidak lolos verifikasi KPU, ataupun mengikuti pemilihan umum tetapi tidak dapat memenuhi ketentuan parliament treshold, tidak memiliki konsekuensi pembubaran. Di beberapa negara, pembubaran dapat dilakukan terhadap partai politik yang untuk beberapa kali tidak dapat mengikuti pemilu atau tidak dapat menempatkan wakilnya di DPR. Alasan ini dapat diterapkan dengan dasar pemikiran bahwa partai tersebut tidak dapat menjalankan fungsi utamanya dan tidak memperoleh dukungan masyarakat. Namun, pembubaran karena alasan tersebut harus tetap Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 386 memberikan hak bagi anggota partai yang dibubarkan melanjutkan eksistensi organisasinya berdasarkan aturan organisasi yang bersifat umum, bukan partai politik. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai akibat hukum partai politik terutama terkait dengan pertanggungjawaban anggota atau pengurus terhadap pelanggaran partai politik. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian mengenai akibat hukum pembubaran terhadap status anggota lembaga perwakilan dan pejabat publik dari partai yang dibubarkan, terkait dengan cara pemilihan dan hubungan hukum antara partai politik, anggota yang sedang menjabat, serta lembaga-lembaga negara di mana anggota tersebut menjabat. Universitas Indonesia Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. 387 DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. H. Nasution. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I. Djakarta: Seruling Masa, 1967. -------------------. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran II. Djakarta: Seruling Mas, 1967. A. Muhammad Asrun (ed.). 70 Tahun Ismail Suny; Bergelut Dengan Ilmu Berkiprah Dalam Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000. A.A. Oka Mahendra dan Soekedy. Sistem Multi Partai; Prospek Politik Pasca 2004. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004. A.K. Pringgodigdo. Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang dasar Dalam Teori dan Praktek. Djakarta: P.T. Pembangunan, 1956. Aa, H. Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Djilid I. Djakarta – Bandung: Neijenhuis & Co., 1950. Abdul Bari Azed dan Makmur Amir. Pemilu & Partai Politik Di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Abdul Mukthie Fadjar. Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia; Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2001. Afan Gaffar, dkk. Golkar Dan Demokratisasi Di Indonesia. Yogyakarta: PPSK, 1993. Ahmad Syafii Maarif. Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam Dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985. Aisyah Aminy. Pasang Surut Peran DPR – MPR 1945 – 2004. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004. Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. Hampshire-London: Macmillan Education Ltd., 1989. Alfian. Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 388 Alford, Robert R., and Roger Friedland. Power Theory: Capitalism, the state, and democracy. Cambridge-New York-Melbourne: Cambridge University Press, 1985. Ali Moertopo. Strategi Politik Nasional. Jakarta: CSIS, 1974. Almond, Gabriel A., and G. Bingham Powell, Jr. Comparative Politics; A Developmental Approach. Boston: Little, Brown and Company, Inc., 1966. Ananda, Endang Basri dan Sori Siregar (peny.). Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan. Jakarta: LP3ES, 2000. ------------------------------------------------------------. Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 2 Kemerdekaan dan Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2000. Andrew, William G. Constitution and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: van Nostrand Company, 1968. Arif Zulkifli. PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996. Arora, N.D. and S.S. Awasthy. Political Theory. New Delhi: Har-Anand Publication, 1999. Atmadji Sumarkidjo. Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Jakarta: Kasta Hasta Pustaka, 2006. -------------------------. Mendung Di Atas Istana Merdeka: Menyingkap Peran Biro Khusus PKI Dalam Pemberontakan G-30-S. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000. Awaloedin Djamin (peny.). Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda; Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Jakarta: Kompas, 2001. Azhary. Negara Hukum Indonesia; Analisis Yuridis Normatif Tentang UnsurUnsurnya. Jakarta: UI Press, 1995. B.N. Marbun. Demokrasi Jerman; Perkembangan dan Masalahnya. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983. Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Eight Edition. Belmont: Wadsworth Publising Company, 1998. Bacharuddin Jusuf Habibie. Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006. Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2001. ----------------. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2003. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 389 Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan (eds.). Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004 – 2009. Jakarta: Kompas, 2004. Barendt, Eric. An Introduction to Constitutional Law. New York: Oxford University Press, 1998. Barnett, Hilaire. Constitutional & Administrative Law. Fifth Edition. LondonSydney-Portland, Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004. Bell, John. French Constitutional Law. Oxford: Clarendon Press, 1992. Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Cetakan Keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Blaug, Ricardo and John Schwarzmantel. Democracy: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000. Buntaran Sanusi, Ronny Kaloke, dan Kusnandar (eds.). K.H.A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? (Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik). Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985. Burns, James MacGregor, J.W. Petalson, and Thomas E. Cronin. Government by the People. New Jersey: Prentice Hall 1989. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Badan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002. Carnoy, Martin. The State and Political Theory. New Jersey: Princenton University Press, 1984. CESDA. Laporan Seminar Keberadaan UU No. 3/1985 Tentang Parpol Dan Golkar Ditinjau Dari Prospek Demokrasi Di Indonesia, Jakarta, 5 Agustus 1993. Jakarta: LP3ES, 1993. Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1994. Clark, Alistair. Parties And Political Linkage: Towards a Comprehensive Framework for Analysis. Paper prepared for PSA Annual Conference, University of Leicester, 15th – 17th April 2003. Coker, Francis W (eds.). Democracy, Liberty, And Property: Reading in the American Political Tradition. New York: The Macmillan Company, 1942. Creswell, John W. Research Design; Qualitative & Quantitative Approaches. London: Sage Publication, 1994. Croissant, Aurel, Gabriele Bruns, and Marei John (eds.). Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur. Judul Asli: Electoral Politic in Southeast & East Asia. Penerjemah: Hermawan Sulistyo dkk. Jakarta: Pensil-324 dan Friedrich Ebert Stiftung, 2003. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 390 D. Bailey, Kenneth. Methods of Social Research. Second Edition. London: The Free Press, 1982. Dahl, Robert A. Dilema Demokrasi Pluralis Antara Otonomi dan Kontrol. Judul Asli: Dilemmas of Pluralist Democracy; Autonomy vs. Control. Penerjemah: Sahat Simamora. Jakarta: Rajawali Pers, 1985. ------------------. Perihal Demokrasi; Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Judul Asli: On Democracy. Penerjemah: A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Dalton, Russell J. and Martin P. Wattenberg (eds.). Parties Without Partisans: Political Change in Advance Industrial Democracies. New York: Oxford University Press, 2002. Daniel Dhakidae. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Deliar Noer dan Akbarsyah. KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945 – 1950. Jakarta: Yayasan Risalah, 2005. Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980. --------------. Partai-Partai Islam Di Pentas Nasional 1945 -1965. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987. --------------. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan II. .Bandung: Mizan, 1997. Delwit, Pascal, Erol Kűlahci and Cėdric Van de Walle (eds). The European Federation of Political Parties, Organisation and Influence. Brussel: Centre d’ėtude de la vie politique of the Free University of Brussels, 2004. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). Handbook of Qualitative Research, Second edition. London: SAGE Publication Inc., 2000. Departemen Penerangan. Almanak Lembaga2 Negara dan Kepartaian. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1961. Dhory Faraby, S. Satya Dharma, dan M. Nur Purnomosidhi. Pertanggungjawaban Publik Ali Masykur Musa: Aksi & Pemikiran dalam Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: Asosiasi Wartawan Muslim (AWAM) Indonesia, 2005. Dicey, A.V. Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution. Tenth Edition. London: Macmillan Education Ltd., 1959. Duverger, Maurice. Political Parties. London: Metheun & Co., 1964. ------------------------. The Study of Politics. Translated by: Robert Wagoner. New York: Thomas Y. Crowell Company, 1972. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 391 Easton, David. A System Analisys of Political Life. Chicago: John Wiley & Sons, Inc., 1967. Eep Saefulloh Fatah. Catatan Politik 1998 – 1999 Eep Saefuloh Fatah; Menuntaskan Perubahan. Buku Kesatu. Jakarta: Mizan, 2000. ---------------------------. Masalah Dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Eidelberg, Paul. The Philosophy of the American Constitution. New York: The Free Press, 1968. Eko Sugitario. Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Melalui Partai Politik di Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, 2006. Elza Peldi Taher (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1994. European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Guidelines And Explanatory Report On Legislation On Political Parties: Some Specific Issues. Adopted by the Venice Commission at its 58th Plenary Session. Venice, 12-13 March 2004. F.S. Swantoro. Dinamika Politik Dalam Pemilihan Umum Era Orde Baru: 1971 – 1992. Yogyakarta: PPS Ilmu Politik UGM, 1996. Feith, Herbert, dan Lance Castle (eds.). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Judul Asli: Indonesia Political Thinking 1945-1965. Jakarta: LP3ES, 1988. Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1962. Ferejohn, John, Jack N. Rakove and Jonathan Riley (eds.). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001. Ferguson, John H. and Dean E. McHenry. The American Federal Government. New York-Toronto-London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1950. Field, G. Lowell. Governments in Modern Society. New York-Toronto-London: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1951. Finer, S.E., Vernon Bogdanor and Bernard Rudden. Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press, 1995. Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (peny.). Masyarakat Versus Negara. Jakarta: Kompas, 1999. Franz Magnis-Suseno. Etika Politik; Prisip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Cetakan Kelima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 392 Friedrich, Carl J. Constitutional Government And Democracy: Theory and Practice in Europe and America. Fourth Edition. Massachusetts-TorontoLondon: Blaisdell Publishing Company, 1967. Gilissen, John dan Frits Gorlé. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar. Judul Asli: Historische Inleiding tot het Recht. Penyadur: Freddy Tengker. Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Gunther, Richard, Jose Ramon Montero, and Juan J. Linz (eds.). Political Parties, Old Concepts and New Challenges. New York: Oxford University Press, 2002. Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konpress, 2005. Harry Tjan Silalahi. Konsensus Politik Nasional Orde Baru: Ortodoksi Dan Aktualisasinya. Jakarta: CSIS, 1990. Harun Alrasid. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama. Jakarta: UI Press, 2003. ------------------. Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia. Jakarta: YLBHI, 1997. ------------------. Pengisian Jabatan Presiden. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999. Hendarmin Ranadireksa. Visi Politik Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat. Jakarta: Pancur Siwah, 2002. Himawan Soetanto. Madiun: dari Republik ke Republik, Jakarta: Kata, 2006. Holcombe, Arthur N. The Constitutional System. American Government Series. New York: Scott , Foresman and Company, 1964. Huntington, Samuel P. Tertib Politik Di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Judul Asli: Political Order in Changing Societies. Penerjemah: Sahat Simamora. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. I. Wangsa Widjaja, dan Meutia F. Swasono. Mohammad hatta: Kumpulan Pidato II. Jakarta: Idayu Press, 1983. ----------------------------------------------------------. Mohammad hatta: Kumpulan Pidato III. Jakarta: Idayu Press, 1985. I.N. Soebagijo. K.H. Mas Mansur; Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Iman Toto K. Rahardjo, dan Herdianto WK. Bung Karno dan Partai Politik: Kenangan 100 Tahun Bung Karno. Jakarta: PT Grasindo, 2001. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 393 Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan; Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927-1934. Penerjemah: Zamakhsyari Dhofier. Jakarta: LP3ES, 1983. --------------------. Perhimpunan Indonesia Dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993. Internasional IDEA. Penilaian Demokratisasi Di Indonesia. Stockholm: International Idea, 2000. -------------------------. Sistem Pemilu. ACE Project, 2001. Inter-Parlementary Union. Parliaments of the World. A Comparative Reference Compedium. Volume I. Second Edition. New York-Oxford: Fact on File Publications, 1976. JCT Simorangkir. Beberapa Karya Lepas. Jakarta: Kesaint Blanc, 1985. ---------------------. Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1984. Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. -----------------------. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. -----------------------. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Yarsif Watampone, 2003. -----------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. -----------------------. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI Press, 1996. -----------------------. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2007. -----------------------. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1998. Johnny Ibrahim. Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia, 2005. Jones, Charles O. The Presidency In A Separated System. Washington D.C.: The Brookings Institution, 1994. Juniarto. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1984. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 394 Juwono Sudarsono (ed.). Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia, 1985. Kahin, George McTurman. Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia. Judul asli: Nationalism And Revolution In Indonesia. Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto. Jakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995. Katz, Richard S. and Peter Mair (eds.). How Parties Organize: Change and Adaption in Party Organizations in Western Democracie. London: SAGE Publications Ltd., 1994. Kelsen, Hans. General Theory of Law And State. Translated by Anders Wedberg. New York: Russel & Russel, 1961. ------------------. Pure Theory of Law. Translation from the Secong (Revised and Enlarged) German Edition by Max Knight. Barkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1967. Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Kepartaian Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1951. --------------------------------------------------------------. Kepartaian Parlementaria Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1954. Dan King, Gary, Robert o. Keohane, dan Sidney Verba. Designing Social Inquiry: Scientific Inference in Qualitative Research. New Jersey: Princenton University Press, 1994. Klingemann, Hans-Dieter, Richard I. Hofferbert, and Ian Budge. Partai, Kebijakan & Demokrasi. Judul asli: Parties, Politics, and Democracy. Yogyakarta: Jentera 1999. Komisi Pemilihan Umum. Pemilu Legislatif 2004. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2005. Kommers, Donald P. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany. Durham and London: Duke University Press, 1989. Kortmann, Constantijn A.J.M. and Paul P.T. Bovend’Eert. Dutch Constitutional Law. The Hague-London-Boston: Kluwer Law International, 2000. Kranenburg, R, dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Pradnya Paramita, 1989. Lapalombara, Joseph and Myron Weiner (eds.). Political Parties and Political Development. New York: Princeton University Press, 1966. Laski, H.J. A Grammar of Politics. Eleventh Impression. London: George Allen & Unwin Ltd., 1951. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 395 -------------. An Introduction to Politics. New Editin. London: George Allen & Unwin Ltd., 1960. Lasswell, Harold D. The Analysis of Political Behaviour. An Empirical Approach. Third Impression. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1951. Leirissa, R.Z. PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991. Lewis-Beck, Michael S. Alan Bryman, dan Tim Futing Liao (eds.). The SAGE Encyclopedia of Social Science Research Methods. Volume 2. California: SAGE Publication Inc., 2004. Liddle, R. William. Partisipasi & Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992. Lijphart, Arend. Electoral Systems and Party Systems: A Study of Twenty-Seven Democracies, 1945-1990. New York: Oxford University Press, 1994. -------------------. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Haven and London: Yale University Press, 1999. Lipset, Seymour M and Stein Rakkan (eds.). Party Systems and Voter Alignments: Cross-National Perspectives. New York: The Free Press, 1967. Locke, John. Two Treaties of Government. London: McMaster University Archive, 1823. Logeman, J.H.A. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif. Judul Asli: Over de theorie van een stellig staatsrecht. Penerjemah: Makkatutu dan J.C. Pangkerego. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975. M. Rusli Karim. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia; Sebuah potret pasangsurut. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rajawali Press, 1993. MacIver, R.M. The Modern State. First Edition. London: Oxford University Press, 1955. Maor, Moshe. Political Parties and Party Systems; Comparative approaches and the British experience. London and New York: Routledge, 1997. Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Mauch, James E. and Jack W. Birch. Guide to the Successful Thesis and Desertation. Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc., 1993. Mayer, David N. The Constitutional Thought of Thomas Jefferson. Constitutionalism & Democracy Series. Charlottesville and London: University Press of Virginia, 1997. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 396 Meny, Yves and Andrew Knapp. Government and Politic in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany. Third Edition. Oxford: Oxford University Press, 1998. Michels, Robert. Political Parties: a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. London: Jarrold & Sons. 1950. Miriam Budiardjo (peny.). Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. ----------------------. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan Keduapuluh Lima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. ----------------------. Demokrasi di Indonesia; Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Moh. Mahfud MD. Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta; Rineka Cipta, 2001. ------------------------. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998. Mohammad Tolchah Mansoer. Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia. Cetakan ketiga (ditambah dan diperbaiki). Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Muchtar Pakpahan. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Musa Kazhim dan Alfian Hamzah. 5 Partai Dalam Timbangan. Bandung: Pustaka Hidaya, 1999. Nazaruddin Sjamsuddin. PNI Dan Kepolitikannya 1963 – 1969. Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Judul Asli: The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Penerjemah: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. Nugroho Notosusanto (ed.). Tercapainya Konsensus Nasional 1966 – 1969. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985. Nugroho Notosusanto. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991. O.C. Kaligis & Associates. Partai Golkar Digugat. Jakarta: Otto Cornelis Kaligis, 2001. Pembubaran partai ..., Muchamad Ali Safa’at, FH UI., 2009. Universitas Indonesia 397 Osman Raliby. Documenta Historica: Sedjarah Dokumenter Dari Pertumbuhan Dan Perdjuangan Negara Republik Indon