AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH

advertisement
AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI1
Moh. Saleh, SH., MH.2
Abstract
The dissolution of political parties is an authority of the Constitutional Court as the quardian and
the interpreter of the constitution. The dissolution of political parties is based on
inconstitutional problems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political
parties that contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by Constitutional
Court has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from political party
which was dissolved and for members and management in their political rights and for every
privat relationship that has been become the liabilities of political party which was
dissolved. The fundamental legal implication of dissolution of political parties is not
regulated by Act of Constitutional Court and Act of Political Parties. Whereas, legal
implication of dissolution of political parties is very vulnerable polical conflict that can be
dangerous the safety of nation and state.
key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal
Implication of Dissolution of Political Party.
PENDAHULUAN
Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan
berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of
thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan
berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara
demokrasi konstitusional3. Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang
diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara,
untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk
melindungi hak dan kebebasan lain4. Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat
bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk
1
Artikel ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Konstitusi kerjasama antara Mahkamah Konstitusi
dengan Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, Volume I No. 1, November
2011, hal. 7-26.
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010),
hlm. 272.
4
Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, (London-Sydney-Portland, Oregon: Cavendish
Publishing Limited, Fifth Edition, 2004), hal. 589.
1
mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-benar dibutuhkan dan
bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.5
Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era
reformasi Negara Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal
24C ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang bersifat final (legally binding). MK dapat membubarkan partai politik yang telah
terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM apabila
terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Beberapa
bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai politik
diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik).
Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat membubarkan suatu
partai politik yang didasarkan pada alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program,
dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal
40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.
Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum
(rechtspersoon) melalui proses pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM
RI6, sehingga dalam lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama
dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban.
Jika manusia dapat digugat dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka
5
Janusz Symonides, Human Rights: Concept and Standards, (Aldershot-Burlington USASingaporeSydney: UNESCO Publishing, 2000), hal. 91-92.
6
Pasal 3 dan Pasal 4 UU Partai Politik
2
badan hukumpun juga demikian7. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah,
maka pembubaran partai politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada
ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum8, tetapi lebih jauh lagi
adalah pembatalan terhadap status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI9.
Pembatalan atas status badan hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa
partai politik tersebut tidak lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum
dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat
privat. Tindakan hukum yang bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah
dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR,
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang telah
dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan
Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah
untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka dicalonkan oleh Partai
politik yang telah dibubarkan atau “mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang
bersifat privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang
dilakukan oleh partai politik tersebut atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk
membayar utang pajaknya.
Bererapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam
UU MK maupun UU Partai Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang
akan menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak.
7
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30 (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hlm. 20-21.
Baik dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dewan
Perwakilan Rakyat Daerah serta tidak dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden maupun calon
Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah .
9
Pasal 45 UU Partai Politik
8
3
PEMBAHASAN
A. WEWENANG PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945. Pembentukan MK atas dasar
pemikiran bahwa UUD NRI 1945 yang merupakan dasar negara (stategroundgesetz) harus
dijaga dan dikawal secara konsisten, sehingga keberadaan MK di dalam struktur kekuasaan
kehakiman adalah dimaksudkan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the quardian of
the constitution atau waakhond van de grondwet dan the interpreter of the constitution)10.
Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 kepada MK adalah untuk
menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional11.
Beberapa kewenangan MK yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk
menyelasaikan berbagai pelanggaran konstitusional adalah12 :
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (termasuk Perselisihan hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)13.
Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk
memeriksa, mengadili dan memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden14.
10
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : PT.
RadjaGrafindo Persada, 2010), hlm. 99
11
Pasal 51 ayat (1) UU MK
12
Pasal 24C UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 UU MK
13
Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
4
Pembubaran partai politik sebelum amandemen UUD NRI 1945 masih diatur dalam
undang-undang yang mengatur mengenai partai politik, tetapi setelah amademen UUD NRI
1945, pembubaran partai politik diatur dalam UUD NRI karena beberapa alasan yang
menjadi dasar untuk dapat membubarkan partai politik termasuk pelanggaran konstitusional.
Oleh karena inilah, maka wewenang untuk mengadili dan membubarkan partai politik inilah
menjadi wewenag dari MK.
Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik oleh
MK adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2)
dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik, di antaranya :
a. Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang
bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945;
b. Menganut
dan
mengembangkan
serta
menyebarkan
ajaran
atau
paham
komunisme/Marxisme-Leninisme.
c. Melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI 1945
dan peraturan perundang-undangan; atau
d. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sejak lahirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
dalam Pasal 95 dikatakan bahwa masyarakat aceh diperbolehkan untuk membentuk partai
politik local di Aceh sebagai perserta dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini berarti di Indonesia terdapat dua macam partai
politik, yaitu partai politik nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011. Sedangkan macam partai kedua adalah Partai Lokal di Aceh
14
Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945
5
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh dan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh.
Dengan adanya dua macam partai politik di Indonesia ini, apakah MK sama-sama
mempunyai wewenang untuk membubarkan baik partai politik nasional maupun partai politik
local?
UU MK ternyata tidak memberikan pembedaan dan pengertian mengenai partai
politik yang dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam UU MK hanya
mengatur mengenai beberapa alas an yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai
politik beserta hukum acaranya. Sekarang bagaimanakah dengan UU Partai Politik? Dalam
UU Partai Politik ternyata juga tidak memberikan pembedaan mengenai partai nasional dan
partai local, bahkan sebenarnya UU Partai Politik itu hanya mengatur mengenai partai
nasional. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Partai Politik yang
berbunyi :
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila melihat ketentuan dalam UU MK dan UU Partai Politik sebagai paraturan
organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, maka secara normative-legalistic dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik yang dapat dibubarkan oleh
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 hanyalah terhadap partai
poltik nasional. Hal ini berarti MK hanya berwenang membubarkan partai politik nasional.
Akan tetapi benakah demikian? mengingat MK adalah sebagai pengawal konstitusi ((the
quardian of the constitution) dan partai lokal pun mempunyai kecenderungan yang sama
dengan partai politik nasional untuk melakukan pelanggaran konstitusional sebagaimana
6
dijelaskan dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal
48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik.
Secara teoritis konsepual, argumentasi hukum di atas dapat diterima. Oleh karena itu
seharusnya pembedaan partai politik nasional dan partai politik local diatur secara jelas dalam
UU MK dan UU Partai Politik sehingga akan memperjelas apa yang dimaksud dengan partai
politik dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan memperjelas juga bahwa pembubaran
partai politik nasional dan partai politik local sama-sama wewenang MK .
Ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan partai poltik dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945 dan apakah MK berwenang untuk membubarkan partai politik local rupanya
menjadi perhatian khusus dalam pembentukan PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai
Politik Lokal di Aceh dan pembentukan PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai Politik
Lokal di Aceh dikatakan bahwa “Pemberitahuan pembubaran dan penggabungan partai
politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara tertulis dengan
menyertakan putusan Mahkamah Konstitusi apabila partai politik lokal tersebut dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Pengaturan bahwa MK juga berwenang membubarkan partai
local adalah terdapat dalam Pasal 1 angka 3, 4, dan 5 PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, yang memberikan definisi mengenai
partai politik dan membagi partai politik atas partai politik nasional dan partai politik local.
Seharusnya pengaturan mengenai lembaga yang berwenang melakukan pembubaran
terhadap partai politik itu tidak diatur dalam norma yang setingkat Peraturan Pemerintah
maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu merupakan sumber wewenang yang
bersifat atributif yang harus diatur dalam norma yang setingkat Undang-Undang. Apalagi
Pertauran Pemerintah itu merupakan peraturan teknis yang sudah dinormakan dalam sebuah
7
Undang-Undang, bukan kemudian memperluas wewenang yang bersifat atributif. Lebih
parah lagi, MK yang hanya diberi wewenang untuk mengatur lebih lenjut mengenai
pelaksanaan tugas dan wewenangnya15 justru memperluas wewenangnya
B. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK
Pembubaran partai politik terjadi pada era pemerintahan Soekarno, yaitu terhadap
Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) melalui Keppres Nomor 200 Tahun 1960
yang membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang membubarkan PSI
pada 17 Agustus 196016. Pembubaran partai politik juga pernah terjadi pada era orde baru
yaitu terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Keppres Nomor 1/3/1966 oleh
Letjend Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 karena keterliban PKI dalam gerekan 30
September 196517. Sedangkan pada era feformasi tidak terjadi pembubaran partai politik,
tetapi terdapat beberapa gugatan kepada MA agar membekukan atau membubarkan Partai
Golkar18. Sebagai akibat perseteruan politik antara Presiden dan DPR, Presiden Abdurrahkan
Wahid pernah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001 tentang Pembekuan
Partai Golkar.
15
Pasal 86 UU MK
Dalam Konsideran Keppres No. 200 Tahun 1960 dikatakan “bahwa untuk kepentingan keselamatan
Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan
pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan
“Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas
memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan
perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut”. Sesuai dengan Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960 anggota
Masjumi dan PSI yang duduk sebagai anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan
badan tersebut sejak 17 Agustus 1960.
17
Dalam konsideran Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 disebutkan bahwa terdapat dua alasan
pembubaran PKI, yaitu terkait dengan ideologi atau asas, dan terkait dengan kegiatan. Terkait dengan ideologi
atau asas, alasannya adalah karena faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa orang atau
golongan yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya PKI, telah beberapa
kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan.
18
Pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh Partai Golkar oleh para penggugat adalah telah
menerima sumbangan sebesar 15 milyar rupiah dari dana kasus Bank Bali. Selain itu Partai Golkar juga dituduh
melakukan money politic, melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk mempengaruhi pemilih,
menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), mencuri start kampanye, dan pelanggaran lainnya.
16
8
Sejak MK dibentuk tahun 2003 sampai sekarang, MK belum pernah menerima
permohonan mengenai pembubaran partai politik19. Tetapi bukan berarti pengaturan
mengenai pembubaran partai politik tidak diperhatikan. Pembubaran partai politik merupakan
konflik politik dan akan berakibat lebih luas dan besar dari pada kasus hukum biasa dan
bahkan dapat merujung pada Negara dalam keadan darurat. Oleh sebab inilah, maka
pengaturan mengenai pembubaran partai politik harus diatur secara jelas dan tidak
menimbulkan multi tafsir.
Sejak era reformasi berjalan, pengaturan mengenai pembubaran partai politik tidak
lagi hanya diatur melalui undang-undang partai politik, tetapi telah diatur dalam UUD NRI
1945. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yang mendasari pembubaran partai politik
merupakan bentuk-bentuk pelanggaran konstitusional, sehingga dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945 masalah pembubaran partai politik djadikan sebagai salah satu wewenang
MK.
Ketentuan mengenai pembubaran partai politik terdapat UU MK sebagai aturan
organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Partai Politik serta PP Nomor 12
tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Akan tetapi tidak satupun dari ketentuan
UU MK, UU Partai Politik, dan PP Partai Politik Lokal di Aceh mengatur mengenai akibat
hukum yang akan timbul manakala suatu partai politik dibubarkan melalui Putusan MK.
Padahal akibat hukum ini sangat urgen untuk menentukan keputusan politik dan persoalan
hukum lainnya yang dapat dilakukan setelah pembubaran partai politik tersebut.
Pengaturan mengenai pembubaran partai politik dalam UU MK hanya berhenti pada
pelaksanaan dari pada Putusan MK yang telah dibacakan dalam Sidang Pleno yang terbuka
untuk umum. Jika suatu permohonan pembubaran partai politik dikabulkan oleh MK, maka
MK menyatakan membubarkan partai politik tersebut. Palaksanaan dari pada putusan ini
19
Mahkamah Konstitusi, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif, Menguhkan
Integritas Institusi (Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press , 2011), hlm. 11
9
melalui pembatalan pendaftaran partai politik tersebut sebagai badan hukum oleh
Kementerian Hukum dan HAM RI serta putusan MK tersebut harus diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan para wakil rakyat yang
telah terpilih dan duduk dalam lembaga DPR, DPRD, dan bahkan Presiden dan Wakil
Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dicalonkan berasal dari partai
politik yang telah dibubarkan?
Berdasarkan UU Partai Politik bahwa partai politik berbentuk badan hukum yang
disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Oleh karena inilah maka partai
politik dapat melakukan berbagai tindakan hukum baik dalam ranah publik maupun dalam
ranah privat. Pencalonan terhadap sejumlah anggota DPR, DPRD, dan bahkan pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena partai
politik tersebut berbadan hukum yang dapat melakukan segala tindakan hukum layaknya
seperti manusia.
Akibat hukum dari pembubaran partai politik ini dapat dilihat dari beberapa Negara,
misalnya di Turki20, Jerman21 dan Taiwan22 adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti
baik dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan,
program, atau kegiatan yang sama dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu
berarti partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Sedangkan di Pakistan sanksi
khusus diberikan kepada anggota parlemen nasional dan provinsi dari partai yang
20
Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A Party which has been dissolved
permanently cannot be founded under another name.”
21
Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be
accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the
establishment of substitute organization.”
22
Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The political party being dissolved shall cease all
activities and shall not establish any substitute organization to pursue the same goals;…”
10
dibubarkan23. Keanggotaan lembaga perwakilan juga dilarang mengikuti pemilihan umum
selama empat tahun sejak pemberhentiannya.
Akibat hukum tethadap partai politik yang telah dibubarkan tidak hanya terhadap
kegiatan politik atau keterlibatan dalam proses politik, tetapi juga hukum keperdataan partai
politik. Hal ini sebagaimana diterapkan di Negara Jerman bahwa akibat hukum pembubaran
partai politik yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah harta kekayaan
partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik24. Sedangkan di Bulgaria
ditentukan bahwa terhadap harta kekayaan diatur lebih jelas, bahkan juga dinyatakan bahwa
negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan25.
Berdasarkan pengaturan mengenai pembubaran partai politik di beberapa Negara
tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa pembubaran partai politik itu berakibat hukum
terhadap :
a. Tidak dapat didirikan lagi partai politik yang mempunyai idealogi, asas dan tujuan serta
kegiatan yang sama dengan partai politik yang telah dibubarkan;
b. Partai politik yang dibubarkan dinyatakan sebagai partai politik terlarang;
c. Anggota Parlemen yang berasal dari partai politik yang dibubarkan diberhentikan;
d. Pelarangan anggota partai politik yang dibubarkan ikut dalam pemilu selama 4 (empat)
tahun sejak pembubaran partainya;
e. Kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh Negara untuk kepentingan public; dan
23
Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002, menyatakan “A person becoming disqualified
from being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1) shall not participate in
election for any elective office or any legislative body till the expiry of four years from the date of his
disqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, the Provincial Assembly.”
24
Article 6 Paragrap 3 : The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the
independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in
this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent
section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit.
25
Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria : When a party is dissolved under Article 22, Para
4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party
up to the value of the property received.
11
f. Negara bertanggung jawab atas segala hutang maupun kewajiban yang ditanggung oleh
partai politik yang telah dibubarkan.
Pembubaran terhadap partai politik di beberapa Negara tidak berakibat hukum
terhadap kedudukan Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang dicalonkan melalui partai politik yang dibubarkan. Hal ini disebabkan bahwa
peserta pemilu dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah itu bukan partai politik yang mengusungnya, hal ini berdengan
pemilu parlemen dimana yang menjadi peserta pemilu adalah partai politik.
Pengaturan mengenai akibat hukum atas pembubaran partai politik di Indonesia
hanya pernah diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang menentukan bahwa sebagai
akibat pembubaran atau pelarangan suatu partai politik, anggota partai yang duduk sebagai
anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut.
Meskipun Penpres ini dikritik oleh Partai Masyumi dan PSI karena tidak punya landasan
konstitusional sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan Penpres inilah Partai Masyumi dan
PSI dibubarkan. Pengaturan mengenai akibat hukum dalam Penpres Nomor 13 tahun 1960
hanya sebatas pada status keanggotan dalam MPR, DPR, dan DPRD yang berasal dari partai
politik yang telah dibubarkan, tidak mengatur mengenai akibat hukum terhadap anggota
partai politik yang dibubarkan dalam berbagai kegiatan politik maupun terhadap hubungan
keperdataan yang menjadi tanggungan partai politik yang telah dibubarkan.
UU MK dan UU Partai politik yang sedang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2
Tahun 2008 jo. UU Nomor 2 tahun 2011 sama sekali tidak mengatur mengenai akibat hukum
dari pembubaran partai politik ini. Adanya kokosongan hukum dalam pengaturan mengenai
akibat hukum pembubaran partai politik ini, kemudian MK melakukan terobosan dengan
mengaturnya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara dalam Pembubaran Partai Politik. Dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 Tahun
12
2008 tersebut disebutkan bahwa “Terhadap akibat hukum putusan Mahkamah yang
mengabulkan permohonan pembubaran partai politik adalah berkaitan dengan :
a. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia;
b. pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan;
c. pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan
kegiatan politik;
d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
Akibat hukum pembubaran partai politik ini terkait dengan persoalan politik dalam
pengambilan keputusan oleh pimpinan MPR, DPR, dan DPRD sehingga pengaturannya
haruslah melalui kesepakatan politik. Di samping itu pula, akibat hukumnya terhadap
penghalihan tanggungjawab keperdataan dari partai politik kepada pemerintah. Sehingga
pengaturan mengenai pembubaran partai politik melalui PMK dapat dipertanyakan legitimasi
politis dan yuridisnya. Padahal Pasal 86 UU MK hanya memberikan wewenang untuk
mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan tekins dari pada tugas dan wewenang MK,
bukan berarti MK seakan-akan diberi kekuasaan legislasi melalui UU MK layaknya DPR.
Kekosongan hukum mengenai pengaturan akibat hukum atas pembubaran partai
politik ini seharusnya diatur melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga
politik dan mewakili aspirasi rakyat secara keseluruhan. Jika DPR tidak dapat mengaturnya
karena perdebatan politik yang tidak terselesaikan, maka hal ini dapat dibiarkan saja sampai
ada permohonan yang diajukan oleh Pemerintah mengenai pembubaran partai politik. Jika
permohonan tersebut dikabulkan oleh MK karena beralasan dan terbukti melakukan
pelanggaran konstitusional, maka dalam Putusan MK dapat mengaturnya lebih lanjut
mengenai kekosongan hukum tersebut. Singkat kata, rumusan Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor
13
12 Tahun 2008 itu dapat dimasukkan dalam Putusan MK, sehingga hal ini akan menjadi
yurisprudensi dan akan mengakhiri kekosongan hukum mengenai akibat hukum dari
pembubaran partai politik di Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
a. Bahwa pembubaran partai politik di Indonesia didasarkan atas adanya pelanggaran
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK dan Pasal 40 ayat
(2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik. Adanya pelanggaran
konstitusional yang menjadi dasar bahwa pembubaran partai politik marupakan wewenang
MK, karena MK adalah lembaga penjaga dan penafsir konstitusi (the quardian of the
constitution and the interpreter of the constitution) yang bersifat final dan mengikat. UU
MK sebagai norma organik dari Pasal 24C UUD NRI 1945 memang masih tidak bisa
memberikan kejelasan mengenai maksud dari pada partai politik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945. Maksud dari pada partai politik seharusnya
diperjeles dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008
jo. UU Nomor 2 Tahun 2011. Dalam UU Partai Politik itu seharusnya tidak hanya
mengatur mengenai partai politik nasional, tetapi juga mengatur mengenai partai lokal.
Sehingga hal ini memperjelas wewenang MK terkait dengan perkara pembubaran partai
politik, bahwa pembubaran terhadap partai politik local juga menjadi wewenang MK.
b. Bahwa pembubaran partai politik itu pernah terjadi terhadap Partai Masyumi dan PSI
tahun 1960 pada era orde lama dan terhadap PKI tahun 1966 pada era orde baru. Pada era
orde lama, pembubaran mengenai partai politik diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun
1960 yang menentukan bahwa akibat hukum pembubaran atau pelarangan partai politik,
anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti.
Dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang ternyata tidak mengatur mengenai akibat
14
hukum dari pembubaran partai politik. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum ketika
nantinya terdapat partai politik yang dibubarkan melalui putusan MK. Bagaimana
kedudukan dari anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diusung oleh partai politik yang
telah dibubarkan dan bagaimana pula terhadap utang maupun semua kewajiban perdata
yang menjadi tanggungan partai politik tersebut. Kokosongan hukum ini tidak bisa diatur
melalui PMK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 tahun
2008, karena MK tidak punya kekusaan legislasi. Kekosongan hukum ini seharusnya
diatur dalam UU Partai Politik atau dapat juga diatur nanti dalam Putusan MK jika
terdapat permohonan pembubaran partai politik yang dikabulkan oleh MK.
Saran
a. Untuk memperjelas wewenang MK terhadap perkara pembubaran partai politik local,
maka dalam perubahan UU MK semestinya memberikan definisi bahwa yang dimaksud
dengan partai politik adalah terdiri dari partai politik nasional dan partai politik lokal. Di
samping itu juga, UU Partai Politik semestinya tidak hanya mengatur mengenai partai
politik nasional, tetapi mengatur juga terhadap partai politik lokal.
b. Pembubaran partai politik akan berakibat pada lahirnya konflik politik yang
berkepanjangan dan akan berakibat bagi keselamatan dan kesatuan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itulah, seharusnya hal-hal yang terkait dengan akibat hukum dari
pembubaran partai politik itu diatur dalam UU MK atau UU Partai Politik oleh DPR
bersama Presiden sebagai lembaga representasi rakyat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hilaire Barnett, 2004, Constitutional & Administrative Law, Fifth Edition, London-SydneyPortland, Oregon: Cavendish Publishing Limited.
Janusz Symonides, 2000, Human Rights: Concept and Standards, Aldershot-Burlington
USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing.
Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada.
Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada.
Mahkamah Konstitusi, 2011, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif,
Menguhkan Integritas Institusi , Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press .
Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30, Jakarta : PT. Intermasa.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
Indonesia, Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara
Dalam pembubaran Partai Politik.
16
Download