AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI1 Moh. Saleh, SH., MH.2 Abstract The dissolution of political parties is an authority of the Constitutional Court as the quardian and the interpreter of the constitution. The dissolution of political parties is based on inconstitutional problems, namely ideology, principles, purposes, and activities of political parties that contrary to UUD NRI 1945. The dissolution of political parties by Constitutional Court has a legal implication for member of MPR, DPR, and DPRD from political party which was dissolved and for members and management in their political rights and for every privat relationship that has been become the liabilities of political party which was dissolved. The fundamental legal implication of dissolution of political parties is not regulated by Act of Constitutional Court and Act of Political Parties. Whereas, legal implication of dissolution of political parties is very vulnerable polical conflict that can be dangerous the safety of nation and state. key words : Authority of the Constitutional Court, Dissolution of Political Party, Legal Implication of Dissolution of Political Party. PENDAHULUAN Partai politik merupakan cermin kebebasan berserikat (freedom of association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai wujud adanya kemerdekaan berfikir (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu kebebasan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi melalui konstitusi dalam negara demokrasi konstitusional3. Meskipun demikian, kebebasan berserikat memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain4. Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk 1 Artikel ini telah dipublikasikan melalui Jurnal Konstitusi kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, Volume I No. 1, November 2011, hal. 7-26. 2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 3 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 272. 4 Hilaire Barnett, Constitutional & Administrative Law, (London-Sydney-Portland, Oregon: Cavendish Publishing Limited, Fifth Edition, 2004), hal. 589. 1 mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis; dan harus benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial.5 Sebagai bentuk pelaksanaan dari demokrasi konstitusional inilah, sejak lahirnya era reformasi Negara Indonensia telah mengatur mengenai pembubaran partai politik dalam Pasal 24C ayat (1) bahwa partai politik dapat dibubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final (legally binding). MK dapat membubarkan partai politik yang telah terfadtar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementerian Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan MK melakukan bentuk pelanggaran konstitusional. Beberapa bentuk pelanggaran konstitusional sebagai alasan untuk dapat membubarkan partai politik diatur dalam Unndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik). Dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa MK dapat membubarkan suatu partai politik yang didasarkan pada alasan dan terbukti bahwa ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik. Berdasarkan UU Partai Politik bahwa Partai Politik berbentuk badan hukum (rechtspersoon) melalui proses pendaftaran dan pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM RI6, sehingga dalam lalu lintas hubungan hukum privat dan perbuatan hukum publik sama dengan subjek hukum manusia (natuurlijkepersoon) yang mengemban hak dan kewajiban. Jika manusia dapat digugat dan/atau dituntut di pengadilan maupun di luar pengadilan, maka 5 Janusz Symonides, Human Rights: Concept and Standards, (Aldershot-Burlington USASingaporeSydney: UNESCO Publishing, 2000), hal. 91-92. 6 Pasal 3 dan Pasal 4 UU Partai Politik 2 badan hukumpun juga demikian7. Dengan mendasari pada konsep hukum perdata inilah, maka pembubaran partai politik melalui putusan MK bukan hanya berakibat hukum pada ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum8, tetapi lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap status badan hukum partai politik tersebut dan harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kementerian Hukum dan HAM RI9. Pembatalan atas status badan hukum partai politik tersebut berakibat hukum bahwa partai politik tersebut tidak lagi bisa melakukan atau melanjutkan beberapa tindakan hukum dan hubungan hukum yang telah dilakukan baik yang bersifat public maupun yang bersifat privat. Tindakan hukum yang bersifat publik misalnya bahwa partai politik yang telah dibubarkan tersebut tidak bisa lagi mencalonkan anggotanya untuk duduk di lembaga DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah bagaimana dengan partai politik yang telah dibubarkan dan anggotanya telah terpilih dan duduk di kursi DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah? Apakah mereka tetap sah untuk tetap duduk di lembaga Negara tersebut, mengingat mereka dicalonkan oleh Partai politik yang telah dibubarkan atau “mati”. Sedangkan tindakan hukum partai politik yang bersifat privat misalnya adanya berbagai perjanjian maupun kontrak maupun jual beli yang dilakukan oleh partai politik tersebut atau adanya kewajiban partai politik tersebut untuk membayar utang pajaknya. Bererapa akibat hukum yang sangat mendasar ini tidak diatur secara jelas di dalam UU MK maupun UU Partai Politik, sehingga hal ini akan menjadi persoalan hukum yang akan menimbulkan beberapa persoalan hukum baru yang lebih banyak. 7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30 (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hlm. 20-21. Baik dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta tidak dapat mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden maupun calon Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah . 9 Pasal 45 UU Partai Politik 8 3 PEMBAHASAN A. WEWENANG PEMBUBARAN PARTAI POLITIK OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945. Pembentukan MK atas dasar pemikiran bahwa UUD NRI 1945 yang merupakan dasar negara (stategroundgesetz) harus dijaga dan dikawal secara konsisten, sehingga keberadaan MK di dalam struktur kekuasaan kehakiman adalah dimaksudkan sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the quardian of the constitution atau waakhond van de grondwet dan the interpreter of the constitution)10. Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 kepada MK adalah untuk menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional11. Beberapa kewenangan MK yang diberikan oleh UUD NRI 1945 untuk menyelasaikan berbagai pelanggaran konstitusional adalah12 : 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (termasuk Perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)13. Selain keempat kewenangan tersebut, MK juga mempunyai satu kewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus terhadap pendapat DPR mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden14. 10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada, 2010), hlm. 99 11 Pasal 51 ayat (1) UU MK 12 Pasal 24C UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 UU MK 13 Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 4 Pembubaran partai politik sebelum amandemen UUD NRI 1945 masih diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai partai politik, tetapi setelah amademen UUD NRI 1945, pembubaran partai politik diatur dalam UUD NRI karena beberapa alasan yang menjadi dasar untuk dapat membubarkan partai politik termasuk pelanggaran konstitusional. Oleh karena inilah, maka wewenang untuk mengadili dan membubarkan partai politik inilah menjadi wewenag dari MK. Beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik oleh MK adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik, di antaranya : a. Mempunyai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945; b. Menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme. c. Melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau d. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak lahirnya Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 95 dikatakan bahwa masyarakat aceh diperbolehkan untuk membentuk partai politik local di Aceh sebagai perserta dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hal ini berarti di Indonesia terdapat dua macam partai politik, yaitu partai politik nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Sedangkan macam partai kedua adalah Partai Lokal di Aceh 14 Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 5 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Lokal di Aceh. Dengan adanya dua macam partai politik di Indonesia ini, apakah MK sama-sama mempunyai wewenang untuk membubarkan baik partai politik nasional maupun partai politik local? UU MK ternyata tidak memberikan pembedaan dan pengertian mengenai partai politik yang dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam UU MK hanya mengatur mengenai beberapa alas an yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik beserta hukum acaranya. Sekarang bagaimanakah dengan UU Partai Politik? Dalam UU Partai Politik ternyata juga tidak memberikan pembedaan mengenai partai nasional dan partai local, bahkan sebenarnya UU Partai Politik itu hanya mengatur mengenai partai nasional. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Partai Politik yang berbunyi : Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila melihat ketentuan dalam UU MK dan UU Partai Politik sebagai paraturan organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, maka secara normative-legalistic dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik yang dapat dibubarkan oleh sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 hanyalah terhadap partai poltik nasional. Hal ini berarti MK hanya berwenang membubarkan partai politik nasional. Akan tetapi benakah demikian? mengingat MK adalah sebagai pengawal konstitusi ((the quardian of the constitution) dan partai lokal pun mempunyai kecenderungan yang sama dengan partai politik nasional untuk melakukan pelanggaran konstitusional sebagaimana 6 dijelaskan dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik. Secara teoritis konsepual, argumentasi hukum di atas dapat diterima. Oleh karena itu seharusnya pembedaan partai politik nasional dan partai politik local diatur secara jelas dalam UU MK dan UU Partai Politik sehingga akan memperjelas apa yang dimaksud dengan partai politik dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan memperjelas juga bahwa pembubaran partai politik nasional dan partai politik local sama-sama wewenang MK . Ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan partai poltik dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan apakah MK berwenang untuk membubarkan partai politik local rupanya menjadi perhatian khusus dalam pembentukan PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai Politik Lokal di Aceh dan pembentukan PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik. Dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c PP Nomor 20 Tahun 2011 tentang Partai Politik Lokal di Aceh dikatakan bahwa “Pemberitahuan pembubaran dan penggabungan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara tertulis dengan menyertakan putusan Mahkamah Konstitusi apabila partai politik lokal tersebut dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengaturan bahwa MK juga berwenang membubarkan partai local adalah terdapat dalam Pasal 1 angka 3, 4, dan 5 PMK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, yang memberikan definisi mengenai partai politik dan membagi partai politik atas partai politik nasional dan partai politik local. Seharusnya pengaturan mengenai lembaga yang berwenang melakukan pembubaran terhadap partai politik itu tidak diatur dalam norma yang setingkat Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi, karena hal itu merupakan sumber wewenang yang bersifat atributif yang harus diatur dalam norma yang setingkat Undang-Undang. Apalagi Pertauran Pemerintah itu merupakan peraturan teknis yang sudah dinormakan dalam sebuah 7 Undang-Undang, bukan kemudian memperluas wewenang yang bersifat atributif. Lebih parah lagi, MK yang hanya diberi wewenang untuk mengatur lebih lenjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya15 justru memperluas wewenangnya B. AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK Pembubaran partai politik terjadi pada era pemerintahan Soekarno, yaitu terhadap Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) melalui Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang membubarkan PSI pada 17 Agustus 196016. Pembubaran partai politik juga pernah terjadi pada era orde baru yaitu terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui Keppres Nomor 1/3/1966 oleh Letjend Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966 karena keterliban PKI dalam gerekan 30 September 196517. Sedangkan pada era feformasi tidak terjadi pembubaran partai politik, tetapi terdapat beberapa gugatan kepada MA agar membekukan atau membubarkan Partai Golkar18. Sebagai akibat perseteruan politik antara Presiden dan DPR, Presiden Abdurrahkan Wahid pernah mengeluarkan Maklumat Presiden tanggal 28 Mei 2001 tentang Pembekuan Partai Golkar. 15 Pasal 86 UU MK Dalam Konsideran Keppres No. 200 Tahun 1960 dikatakan “bahwa untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut”. Sesuai dengan Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960 anggota Masjumi dan PSI yang duduk sebagai anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan tersebut sejak 17 Agustus 1960. 17 Dalam konsideran Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 disebutkan bahwa terdapat dua alasan pembubaran PKI, yaitu terkait dengan ideologi atau asas, dan terkait dengan kegiatan. Terkait dengan ideologi atau asas, alasannya adalah karena faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa orang atau golongan yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya PKI, telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan. 18 Pelanggaran yang didalilkan dilakukan oleh Partai Golkar oleh para penggugat adalah telah menerima sumbangan sebesar 15 milyar rupiah dari dana kasus Bank Bali. Selain itu Partai Golkar juga dituduh melakukan money politic, melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk mempengaruhi pemilih, menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), mencuri start kampanye, dan pelanggaran lainnya. 16 8 Sejak MK dibentuk tahun 2003 sampai sekarang, MK belum pernah menerima permohonan mengenai pembubaran partai politik19. Tetapi bukan berarti pengaturan mengenai pembubaran partai politik tidak diperhatikan. Pembubaran partai politik merupakan konflik politik dan akan berakibat lebih luas dan besar dari pada kasus hukum biasa dan bahkan dapat merujung pada Negara dalam keadan darurat. Oleh sebab inilah, maka pengaturan mengenai pembubaran partai politik harus diatur secara jelas dan tidak menimbulkan multi tafsir. Sejak era reformasi berjalan, pengaturan mengenai pembubaran partai politik tidak lagi hanya diatur melalui undang-undang partai politik, tetapi telah diatur dalam UUD NRI 1945. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yang mendasari pembubaran partai politik merupakan bentuk-bentuk pelanggaran konstitusional, sehingga dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 masalah pembubaran partai politik djadikan sebagai salah satu wewenang MK. Ketentuan mengenai pembubaran partai politik terdapat UU MK sebagai aturan organik dari Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan UU Partai Politik serta PP Nomor 12 tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Akan tetapi tidak satupun dari ketentuan UU MK, UU Partai Politik, dan PP Partai Politik Lokal di Aceh mengatur mengenai akibat hukum yang akan timbul manakala suatu partai politik dibubarkan melalui Putusan MK. Padahal akibat hukum ini sangat urgen untuk menentukan keputusan politik dan persoalan hukum lainnya yang dapat dilakukan setelah pembubaran partai politik tersebut. Pengaturan mengenai pembubaran partai politik dalam UU MK hanya berhenti pada pelaksanaan dari pada Putusan MK yang telah dibacakan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum. Jika suatu permohonan pembubaran partai politik dikabulkan oleh MK, maka MK menyatakan membubarkan partai politik tersebut. Palaksanaan dari pada putusan ini 19 Mahkamah Konstitusi, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif, Menguhkan Integritas Institusi (Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press , 2011), hlm. 11 9 melalui pembatalan pendaftaran partai politik tersebut sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM RI serta putusan MK tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan para wakil rakyat yang telah terpilih dan duduk dalam lembaga DPR, DPRD, dan bahkan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dicalonkan berasal dari partai politik yang telah dibubarkan? Berdasarkan UU Partai Politik bahwa partai politik berbentuk badan hukum yang disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Oleh karena inilah maka partai politik dapat melakukan berbagai tindakan hukum baik dalam ranah publik maupun dalam ranah privat. Pencalonan terhadap sejumlah anggota DPR, DPRD, dan bahkan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah karena partai politik tersebut berbadan hukum yang dapat melakukan segala tindakan hukum layaknya seperti manusia. Akibat hukum dari pembubaran partai politik ini dapat dilihat dari beberapa Negara, misalnya di Turki20, Jerman21 dan Taiwan22 adalah tidak dapat didirikan lagi partai pengganti baik dengan nama yang sama maupun nama lain tetapi memiliki ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan yang sama dengan alasan dibubarkannya partai tersebut. Hal itu berarti partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang. Sedangkan di Pakistan sanksi khusus diberikan kepada anggota parlemen nasional dan provinsi dari partai yang 20 Article 69 Para 8 Konstitusi Republik Turki menyatakan “A Party which has been dissolved permanently cannot be founded under another name.” 21 Article 6 Para 3 Bundesverfassungsgerichts-Gesetz menyatakan “The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establishment of substitute organization.” 22 Article 30-I of the Procedure Act menyatakan “The political party being dissolved shall cease all activities and shall not establish any substitute organization to pursue the same goals;…” 10 dibubarkan23. Keanggotaan lembaga perwakilan juga dilarang mengikuti pemilihan umum selama empat tahun sejak pemberhentiannya. Akibat hukum tethadap partai politik yang telah dibubarkan tidak hanya terhadap kegiatan politik atau keterlibatan dalam proses politik, tetapi juga hukum keperdataan partai politik. Hal ini sebagaimana diterapkan di Negara Jerman bahwa akibat hukum pembubaran partai politik yang diatur dalam Bundesverfassungsgerichts-Gesetz adalah harta kekayaan partai politik dapat disita negara untuk kepentingan publik24. Sedangkan di Bulgaria ditentukan bahwa terhadap harta kekayaan diatur lebih jelas, bahkan juga dinyatakan bahwa negara bertanggungjawab atas hutang yang dimiliki oleh partai politik yang dibubarkan25. Berdasarkan pengaturan mengenai pembubaran partai politik di beberapa Negara tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa pembubaran partai politik itu berakibat hukum terhadap : a. Tidak dapat didirikan lagi partai politik yang mempunyai idealogi, asas dan tujuan serta kegiatan yang sama dengan partai politik yang telah dibubarkan; b. Partai politik yang dibubarkan dinyatakan sebagai partai politik terlarang; c. Anggota Parlemen yang berasal dari partai politik yang dibubarkan diberhentikan; d. Pelarangan anggota partai politik yang dibubarkan ikut dalam pemilu selama 4 (empat) tahun sejak pembubaran partainya; e. Kekayaan partai politik yang dibubarkan disita oleh Negara untuk kepentingan public; dan 23 Article 16 Para 2 The Political Parties Order, 2002, menyatakan “A person becoming disqualified from being a member of the Majlis-e-Shoora or Provincial Assembly under clause (1) shall not participate in election for any elective office or any legislative body till the expiry of four years from the date of his disqualification from being member of Majlis-e-Shoora or, as the case may be, the Provincial Assembly.” 24 Article 6 Paragrap 3 : The declaration shall be accompanied by the dissolution of the party or the independent section of the party and the prohibition of the establisment of substitute organization. Morever, in this instance the Federal Constitutional Court may direct that the property of the party or the independent section of the party be confiscated for use by the Federation or the Land for public benefit. 25 Article 24 Para 2 Political Parties Act Bulgaria : When a party is dissolved under Article 22, Para 4, its property is confiscated in favour of the State. The State shall held liable for the debts of the dissolved party up to the value of the property received. 11 f. Negara bertanggung jawab atas segala hutang maupun kewajiban yang ditanggung oleh partai politik yang telah dibubarkan. Pembubaran terhadap partai politik di beberapa Negara tidak berakibat hukum terhadap kedudukan Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dicalonkan melalui partai politik yang dibubarkan. Hal ini disebabkan bahwa peserta pemilu dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden maupun Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah itu bukan partai politik yang mengusungnya, hal ini berdengan pemilu parlemen dimana yang menjadi peserta pemilu adalah partai politik. Pengaturan mengenai akibat hukum atas pembubaran partai politik di Indonesia hanya pernah diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang menentukan bahwa sebagai akibat pembubaran atau pelarangan suatu partai politik, anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut. Meskipun Penpres ini dikritik oleh Partai Masyumi dan PSI karena tidak punya landasan konstitusional sebagai sumber hukum, akan tetapi dengan Penpres inilah Partai Masyumi dan PSI dibubarkan. Pengaturan mengenai akibat hukum dalam Penpres Nomor 13 tahun 1960 hanya sebatas pada status keanggotan dalam MPR, DPR, dan DPRD yang berasal dari partai politik yang telah dibubarkan, tidak mengatur mengenai akibat hukum terhadap anggota partai politik yang dibubarkan dalam berbagai kegiatan politik maupun terhadap hubungan keperdataan yang menjadi tanggungan partai politik yang telah dibubarkan. UU MK dan UU Partai politik yang sedang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 jo. UU Nomor 2 tahun 2011 sama sekali tidak mengatur mengenai akibat hukum dari pembubaran partai politik ini. Adanya kokosongan hukum dalam pengaturan mengenai akibat hukum pembubaran partai politik ini, kemudian MK melakukan terobosan dengan mengaturnya dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik. Dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 Tahun 12 2008 tersebut disebutkan bahwa “Terhadap akibat hukum putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan pembubaran partai politik adalah berkaitan dengan : a. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di seluruh Indonesia; b. pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan; c. pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan politik; d. pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan. Akibat hukum pembubaran partai politik ini terkait dengan persoalan politik dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan MPR, DPR, dan DPRD sehingga pengaturannya haruslah melalui kesepakatan politik. Di samping itu pula, akibat hukumnya terhadap penghalihan tanggungjawab keperdataan dari partai politik kepada pemerintah. Sehingga pengaturan mengenai pembubaran partai politik melalui PMK dapat dipertanyakan legitimasi politis dan yuridisnya. Padahal Pasal 86 UU MK hanya memberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut mengenai pelaksanaan tekins dari pada tugas dan wewenang MK, bukan berarti MK seakan-akan diberi kekuasaan legislasi melalui UU MK layaknya DPR. Kekosongan hukum mengenai pengaturan akibat hukum atas pembubaran partai politik ini seharusnya diatur melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR sebagai lembaga politik dan mewakili aspirasi rakyat secara keseluruhan. Jika DPR tidak dapat mengaturnya karena perdebatan politik yang tidak terselesaikan, maka hal ini dapat dibiarkan saja sampai ada permohonan yang diajukan oleh Pemerintah mengenai pembubaran partai politik. Jika permohonan tersebut dikabulkan oleh MK karena beralasan dan terbukti melakukan pelanggaran konstitusional, maka dalam Putusan MK dapat mengaturnya lebih lanjut mengenai kekosongan hukum tersebut. Singkat kata, rumusan Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 13 12 Tahun 2008 itu dapat dimasukkan dalam Putusan MK, sehingga hal ini akan menjadi yurisprudensi dan akan mengakhiri kekosongan hukum mengenai akibat hukum dari pembubaran partai politik di Indonesia. PENUTUP Kesimpulan a. Bahwa pembubaran partai politik di Indonesia didasarkan atas adanya pelanggaran konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK dan Pasal 40 ayat (2) dan ayat (5) Jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik. Adanya pelanggaran konstitusional yang menjadi dasar bahwa pembubaran partai politik marupakan wewenang MK, karena MK adalah lembaga penjaga dan penafsir konstitusi (the quardian of the constitution and the interpreter of the constitution) yang bersifat final dan mengikat. UU MK sebagai norma organik dari Pasal 24C UUD NRI 1945 memang masih tidak bisa memberikan kejelasan mengenai maksud dari pada partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945. Maksud dari pada partai politik seharusnya diperjeles dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 jo. UU Nomor 2 Tahun 2011. Dalam UU Partai Politik itu seharusnya tidak hanya mengatur mengenai partai politik nasional, tetapi juga mengatur mengenai partai lokal. Sehingga hal ini memperjelas wewenang MK terkait dengan perkara pembubaran partai politik, bahwa pembubaran terhadap partai politik local juga menjadi wewenang MK. b. Bahwa pembubaran partai politik itu pernah terjadi terhadap Partai Masyumi dan PSI tahun 1960 pada era orde lama dan terhadap PKI tahun 1966 pada era orde baru. Pada era orde lama, pembubaran mengenai partai politik diatur melalui Penpres Nomor 13 Tahun 1960 yang menentukan bahwa akibat hukum pembubaran atau pelarangan partai politik, anggota partai yang duduk sebagai anggota MPR, DPR, atau DPRD dianggap berhenti. Dalam UU Partai Politik yang berlaku sekarang ternyata tidak mengatur mengenai akibat 14 hukum dari pembubaran partai politik. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum ketika nantinya terdapat partai politik yang dibubarkan melalui putusan MK. Bagaimana kedudukan dari anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diusung oleh partai politik yang telah dibubarkan dan bagaimana pula terhadap utang maupun semua kewajiban perdata yang menjadi tanggungan partai politik tersebut. Kokosongan hukum ini tidak bisa diatur melalui PMK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 12 tahun 2008, karena MK tidak punya kekusaan legislasi. Kekosongan hukum ini seharusnya diatur dalam UU Partai Politik atau dapat juga diatur nanti dalam Putusan MK jika terdapat permohonan pembubaran partai politik yang dikabulkan oleh MK. Saran a. Untuk memperjelas wewenang MK terhadap perkara pembubaran partai politik local, maka dalam perubahan UU MK semestinya memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah terdiri dari partai politik nasional dan partai politik lokal. Di samping itu juga, UU Partai Politik semestinya tidak hanya mengatur mengenai partai politik nasional, tetapi mengatur juga terhadap partai politik lokal. b. Pembubaran partai politik akan berakibat pada lahirnya konflik politik yang berkepanjangan dan akan berakibat bagi keselamatan dan kesatuan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itulah, seharusnya hal-hal yang terkait dengan akibat hukum dari pembubaran partai politik itu diatur dalam UU MK atau UU Partai Politik oleh DPR bersama Presiden sebagai lembaga representasi rakyat. 15 DAFTAR PUSTAKA Hilaire Barnett, 2004, Constitutional & Administrative Law, Fifth Edition, London-SydneyPortland, Oregon: Cavendish Publishing Limited. Janusz Symonides, 2000, Human Rights: Concept and Standards, Aldershot-Burlington USASingapore-Sydney: UNESCO Publishing. Jimly Asshiddiqie, 2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : PT. RadjaGrafindo Persada. Mahkamah Konstitusi, 2011, Laporan tahunan 2010 : Membangun Demokrasi Substantif, Menguhkan Integritas Institusi , Jakarta : Mahkamah Konstitusi Press . Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-30, Jakarta : PT. Intermasa. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah Indonesia, Undang-Undang No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam pembubaran Partai Politik. 16