ISSN: 2085-5079 SEXISME BAHASA Zeiburhanus Saleh Abstrak: Bahasa yang dalam fungsinya sebagai penyampai informasi atau maksud, dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan segala tujuan dengan berbagai kepentingan, sehingga sesuai dengan perkembangan zaman bahasapun juga mengalami perkembangan yang sangat pesat di berbagai seginya dan banyak diadakan berbagai diskusi dan seminar tentang kebahasaan yang salah satunya tentang bahasa dan gender “seksisme bahasa” yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara di mana anggota dari kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota kelompok seks lain. Bahasa seksis biasanya menyajikan stereotip- stereotip tentang pria dan wanita yang kadang merugikan salah satu dari keduanya, tapi lebih sering merugikan kaum wanita, seperti perbedaan desain sepeda pancal atau sepeda motor yang dirancang berbeda untuk kaum pria dan wanita, sepeda untuk kaum pria ketika dipakai kaum perempuan akan terlihat tabu dan risih padahal ketika kaum pria yang menggunakan sarung dan memakai sepeda untuk wanita seperti motor bebek misalnya akan terlihat biasa-biasa saja, hal ini secara psikologi sangat merugikan kaum wanita. Untuk itulah, diperlukan usaha perubahan, sekurangkurangnya untuk meminimalisir pengunaan bahasa-bahasa seksis tersebut. Menghimbau semua kalangan, utamanya pada pengajar, penulis, jurnalis, dan lembaga bahasa untuk mengenakan kosakata yang dianggap netral Sexisme Bahasa Kata Kunci: Bahasa, Sexisme A. Pendahuluan Bahasa dan seksisme merupakan wacana yang terus berkembang seiring dengan munculnya gerakan gender maupun feminisme di segala bidang termasuk linguistik yang memunculkan suatu gerakan yang menamakan diri 'anti sexist language' (anti bahasa seksis). Gerakan 'anti sexist language' ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari seruan atas persamaan hak dan kewajiban atas kaum pria dan wanita di dalam berbagai bidang yang selama ini dianggap tidak seimbang. Gerakan ini merupakan gerakan yang menuntut adanya persamaan hak kaum wanita di dalam bidang linguistik. Pada awalnya, gerakan ini menentang adanya dominasi kaum pria di dalam penggunaan unsur-unsur bahasa inggris, baik di dalam gramatikal, ungkapan, maupun peristilahan, khususnya menyangkut nama atau istilah bidang pekerjaan. (Agus Wijayanto, 2006: 133). Munculnya gerakan 'anti sexist language' ini semakin membuktikan bahwa nyata-nyata bahasa itu tidak semata-mata sebagai alat komunikasi tetapi juga senjata ampuh untuk menundukkan seseorang sebagaimana selama ini diteriakkan oleh kaum post-modenis dan post strukturalis yang berpendapat bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan merupakan tempat terjadinya pergolakan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Misalnya saja Chist Weedon, seorang post-strukturalis, berpendapat bahwa bahasa merupakan wilayah di mana rasa tentang diri, subyektivitas, termasuk definisi tentang perempuan dan laki-laki serta apa yang baik dan buruk dari masing-masing jenis ini dibentuk, ini semua terbentuk dikarenakan bahasa adalah kekuatan, pertentangan, dan pergulatan (Mudjia Rahardjo, 2002;215) Zeiburhanus Saleh Untuk itu, penting kiranya kita mendiskusikan lebih jauh seputar wacana keterpautan bahasa dan seksisme ini. B. Pengertian Bahasa Seksis Sebelum pembahasan seputar 'sexist language', kita perlu membicarakan terlebih dahulu perbedaan konsep antara "gender" dan "seks" agar tidak terjadi kerancuan pemahaman. Seks adalah kategori biologis, biasanya terbentuk sejak sebelum seseorang lahir. Dasar perbedaannya adalah perbedaan anatomi fisik pria dan wanita. Sedangkan gender adalah kategori sosial, yaitu pola-pola perilaku tertentu. Hal tersebut merujuk kepada peran, tingkah laku, kecenderungan dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang pria dan wanita dalam kebudayaan yang ada (Gilbert;1999 dalam Robert A.Baron, 2004;187). Secara lebih jelas, Shan Wareing (1999) mencontohkan perbedaan antara seks dan gender pada desain sepeda pancal. Sepeda pancal yang dirancang untuk wanita biasanya diberi sadel yang lebih lebar karena wanita memiliki tulang pinggul yang lebih lebar dari pada pria (ini adalah perbedaan seksual antara pria dan wanita), tapi ketika sepeda untuk wanita tidak diberi palang (bagian dari kerangka sepeda yang menghubungkan antara bagian bawah sadel dengan bagian bawah dari setang sepeda agar memudahkan wanita yang mengenakan rok untuk naik sepeda, itu merupakan perbedaan gender karena secara biologis, tidak ada alasan biologis mengapa wanita harus mengenakan rok dan pria tidak. (Linda Thomas, 2007;106). Di Indonesia, sepeda "wanita" seperti itu malah memudahkan pria yang menggunakan sarung, bahkan sepeda motor yang sering dipakai pria sekarang ini adalah sepeda motor bebek yang notabene dirancang untuk wanita, dan kita tidak tabu melihat Sexisme Bahasa hal itu. Sebaliknya, kita akan merasa tabu dan risih jika melihat wanita memakai sepeda motor pria. Melihat fenomena di atas, berarti bahwa sexist language adalah bahasa yang memuat atau berpihak pada suatu kekuatan gender atas gender yang lain di dalam unsurunsurnya, misalnya di dalam unsur kosakata, gramatika, istilah, dan yang lainnya. Atau yang menurut Miller & Shift sebagai bahasa apapun yang mengungkapkan sikap atau pandangan adanya suatu superioritas suatu gender atas gender lainnya. (Gary Ghosgarian, 1989;164 dalam Agus Wijayanto, 2006 ;134). Rumusan lain dari bahasa seksis adalah bahasa yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara di mana anggota dari kelompok seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hakhaknya daripada anggota kelompok seks lain. Bahasa seksis biasanya menyajikan stereotip- stereotip tentang pria dan wanita yang kadang merugikan salah satu dari keduanya, tapi lebih sering merugikan kaum wanita. Kepedulian terhadap dampak dari bahasa yang bersifat sexist sebenarnya berakar dari hipotesis Sapir-Whorf, yaitu linguistic relativity yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dengan budaya (culture) dari penutur bahasa tersebut. Hipotesis tersebut menyatakan lebih rinci bahwa bahasa secara langsung mempengaruhi perilaku masyarakat budaya yang bersangkutan. Bahasa dan budaya saling berkaitan sehingga makna yang dinyatakan oleh bahasa tersebut mempengaruhi realitas, konsep, dan sudut pandang. Argumentasi dari hipotesis Sapir-Whorf ini pada akhirnya digunakan oleh kaum feminis untuk berkampanye menentang bahasa yang bersifat sexist dan untuk mencari alternatif bahasa yang bersifat lebih netral. ( Agus Wijayanto 2006;133). Zeiburhanus Saleh C. Penanda-penanda Seksis dalam Bahasa Menurut Shan Wareing (1999), Bahasa seksis dapat dipandang dari dua sudut, yaitu: pertama, dari aspek tata bahasanya; kedua, dari aspek di luar tata bahasa yang digunakan untuk menciptakan bahasa seksis.( Linda Thomas;1999; terj. 2007;107). Adapun untuk melihat sejauh mana tata bahasa itu bersifat seksis bisa dilihat dari penanda seksis sebagai berikut; 1. Simetri dan Asimetri*1 Contoh dari simetri dalam penggunaan bahasa adalah sebagaimana berikut Bahasa Indonesia Bahasa Inggris (a). Generik : Generik : horse (kuda) manusia Betina : Mare Jenis kelamin perempuan Jantan : Stallion : Wanita Jenis kelamin laki-laki : Pria Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai berikut: (b). Generik : Polisi : TKI Jenis kelamin perempuan : : TKW Polwan (Polisi Wanita). : TKI Jenis kelamin laki-laki : Polisi (Pada contoh b ini ada ambiguitas pada istilah polisi, di mana secara generik apabila kita menyebut polisi, maka seyogyanya semua polisi dari jenis apapun. Tapi asumsi kita apabila menyebut polisi hanya dalam 1 *Simetri ialah kata yang punya padanan secara seimbang, sedang asimetri ialah kata yang tidak punya padanan secara seimbang. Sexisme Bahasa artian spesifik yaitu hanya merujuk pada laki-laki saja, dan kita menyebut polisi berjenis kelamin perempuan dengan Polwan/polisi wanita tapi kita tidak pernah sekalipun menyebut Polpri/polisi pria. Begitu juga istilah TKI yang merujuk pada tenaga kerja yang kerja di luar negeri, akan tetapi seringkali kita lebih menggunakan istilah TKW untuk yang berjenis kelamin wanita tanpa pernah menyebut Tenaga Kerja Pria/TKP). Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Arab sebagai berikut: (Atabik Ali, 1996; 250). (c). Generik : اإلنسان Jenis kelamin perempuan : اإلنسانة Jenis kelamin laki-laki : اإلنسان Kata اإلنساانtersebut di atas secara generik memiliki makna manusia, baik laki-laki ataupun perempuan (lihat kamus kontemporer;205) Kita pun sering memakainya dalam ungkapan seperti : اإلنساااان محااا لا ااء ااااس ااا سااا ان, dengan maksud bahwa dengan kata al-insan tersebut termasuk di dalamnya lakilaki dan perempuan. Akan tetapi, ketika kita membahas tentang status mudzakkar dan mu'annats dengan jelas Ibnu 'Aqil dan Musthafa al-Ghulayaini memasukkan اإلنسااان sebagai laki-laki/mudzakkar dan sebagai padanannya adalah اإلنساانةsebagai perempuan/mu'annast. ( lihat Ibnu 'Aqil, tt;165. dan Mushthafa al-Ghulayaini,1997;99). Adapun dalam kasus pemakaian kata اإلنساان dalam al- إن اإلنسان افي خسرditafsirkan dengan يع ي باإلنسااااان ااااا اا ااااا, (Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy). ataupun ditafsir dengan إن ( اا ااااا افااااي خساااارانTafsir al-Baidhawiy, Maktabah Quran seperti Zeiburhanus Saleh Syamilah). dari sini dapat dipahami bahwa kata yang lebih umum dari اإلنسانadalah اا ا. Contoh asimetri dalam bahasa Inggris: (d). Generik : man Jenis kelamin perempuan : woman Jenis kelamin laki-laki : man ( Linda Thomas;1999; terj. 2007;108). Secara etimologis, kata man dahulu merupakan kata yang umum atau netral yang berarti ‘manusia’. Kata tersebut sama dengan kata latin homo yang berarti ‘umat manusia’ (a member of the human species). Pada bahasa inggris kuno (old english) kata yang menunjuk pada laki-laki dewasa adalah weapman atau wer, sedang kata yang mengacu pada wanita dewasa adalah wifman atau wif. Dalam perkembangannya kata wifman berevolusi menjadi woman. Adapun kata netral yang digunakan untuk mengacu pada kedua jenis gender laki-laki dan wanita adalah kata man. Dapat disimpulkan bahwa dahulu kata man merupakan kata benda yang dapat mengacu pada laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya sekitar pada abad ke-18, kata man telah mempunyai arti yang lebih menyempit atau spesifik, yaitu manusia laki-laki yang sudah dewasa (adult male human being) yang menggantikan kata weapman dan wer. ( Agus Wijayanto, , Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006;138). Penggunaan man yang sekarang dianggap sexist tersebut terdapat dalam kalimat berikut : (Contoh-contoh di bawah ini diambil oleh Agus Wijayanto & Endang Fauziati dari LKS-LKS Bahasa Inggris SMP yang beredar di Surakarta). Sexisme Bahasa Man yang berarti implisit a person, terdapat pada data berikut: A man who works in a garden is……… A man who drives a car is……… A man who looks for news and writes the news into newspaper is a……… Man yang berarti implisit people/human beings, terdapat pada data berikut: A wise man can differ the bad and the good Food is important for man, animals and plants. Money is one of man’s necessity Contoh lain adalah nama pekerjaan yang bermuatan kekuatan gender laki-laki sebagai berikut: camera man, yang selama ini belum ada istilah yang berbunyi camera woman. Seolah-olah keahlian ini hanya dimiliki oleh kaum laki-laki; delivery man, padahal pekerjaan ini sekarang juga dilakukan oleh kaum perempuan; fire man di beberapa negara bagian di Amerika, pekerjaan ini dilakukan juga oleh wanita; draft man, space man, dan sebagainya. Kalimat-kalimat contoh di atas mengimplikasikan bahwa seolah-olah hanya kaum laki-laki yang ada di muka bumi ini dan kaum wanita seolah-olah tidak ada atau tidak diakui keberadaannya. Jika man atau men itu berarti orang atau manusia, lalu bagaimana dengan kaum wanita, apakah mereka merupakan kelompok dari orang atau manusia atau bagian dari laki-laki (sub-human)? Di sinilah terjadi ambiguitas pada istilah man, apakah ia berarti generik dan spesifik. Karena itu, kaum feminist lebih menyukai istilah person, people atau human being, human beings untuk menggantikan istilah man karena dianggap lebih netral dan non-seksis. Zeiburhanus Saleh 2. Bertanda dan Tak Bertanda (Marked, Unmarked / ال،له العالمة ) عالمة اه Konsep lain yang berguna untuk menganalisis seksisme dalam bahasa adalah konsep bertanda dan tak bertanda.ini adalah bentuk asimetri tapi lebih menekankan adanya tanda yang menunjuk suatu kelamin pada suatu kata. Dalam bahasa Indonesia –sebagaimana diungkapkan Suyanto— kata-kata tertentu yang telah dikonsepsikan masyarakat bahwa kata tersebut adalah identik dengan pria, maka seandainya kata tersebut ditunjukkan untuk perempuan ia harus ditambahkan suatu "kata" yang menunjukkan identitas perempuan di belakang kata tersebut, sebagai contoh polisi wanita, dokter wanita, tentara wanita, hakim wanita, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan kuatnya konsepsi masyarakat bahwa kata-kata tersebut; polisi, dokter, tentara, hakim identik dengan kedudukan laki-laki. Maka dari itu, ketika kita menyebut polisi, tentara, dokter asumsinya adalah laki-laki dan tidak perlu bagi kita menambahkan polisi pria, dokter pria, tentara pria. Sebaliknya kata-kata pembantu, perawat, sekretaris, penari sangat identik dengan wanita dan kitapun tidak perlu menambah kata "wanita" di belakangnya. (Mudjia Rahardjo, 2002;215). Lebih lanjut Suyanto mengungkapkan bahwa selain dengan menambah kata seperti tersebut di atas, untuk menandai perbedaan jenis kelamin dalam Bahasa Indonesia adakalanya dengan menambahkan penanda morfologis. Baik berupa mengganti akhiran pada katakata tertentu seperti akhiran a (yang menunjukkan maskulin) dengan akhiran i (yang menunjukkan feminim), Sexisme Bahasa sebagai contoh kata-kata pemuda, mahasiswa, putra diganti akhiran menjadi pemudi, mahasiswi, putri. Ataupun dengan menambah Akhiran –wan dan –man pada kata-kata tertentu yang digunakan sebagai penanda untuk jenis kelamin laki-laki seperti karyawan, wartawan, seniman, dan lain sebagainya. Sedangkan kalimat tertentu yang diberi imbuhan –wati mengacu pada jenis kelamin perempuan seperti karyawati, wartawati, seniwati, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, ada beberapa kata yang berakhiran –wan seperti ilmuwan, sejarahwan, budayawan yang tidak memiliki padanan atau pasangan feminimnya. Ada yang berpendapat hal itu dikarenakan asumsi bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk menalar dengan baik sehingga ilmu dan budaya adalah hanya tugas laki-laki. (Mudjia Rahardjo, 2002; 216215). Adapun dalam bahasa inggris –sebagaimana diungkapkan Shan Wareing—seringkali untuk merujuk perempuan diberi tanda –ess di akhir kata, seperti waiter/waitress, host/hostess, actor/actress. Namun demikian, ada istilah-istilah yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan seperti surgeon (ahli bedah), professor dan nurse (perawat), tapi kadang istilah tersebut masih digunakan seolah berlaku bagi pria saja, sebab kadang masih menambahkan tanda pada istilah tersebut seperti woman professor (profesor wanita), woman surgeon (ahli bedah wanita), lady doctor (dokter wanita), dll. Contoh-contoh ini merupakan contoh dari bahasa seksis karena penggunaan istilah-istilah bertanda di atas mengimplikasikan bahwa posisi pria dalam profesi itu lebih normal daripada jika profesi itu dipegang wanita. (Linda Thomas,1999; diterj. 2007;112-113). Zeiburhanus Saleh Dalam bahasa arab kita temukan kata yang menunjukkan perempuan/mu'annast dengan tanda-tanda: ta' marbuthoh seperti عااماة, alif maqsuroh seperti سامم, dan alif mamdudah seperti حسا اس. Penanda yang paling sering dipakai untuk menunjuk perempuan adalah ta' marbuthoh –bahkan Musthafa al-Ghulayainiy dan Ibnu Aqil menyatakan ta' marbuthoh ini sebagai daya pembeda antara kata laki-laki/mudzakkar dan perempuan/mu'annats— seperti ،رامااة/ راا،إنسااانة/إنسان امارة/ امرؤ. ( lihat Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil ;165. dan Ghulayaini. 2007; 99). Walaupun begitu dalam kasuskasus kata sifat yang otomatis menunjuk wanita kata-kata tersebut tidak perlu menambah ta' marbuthoh seperti kata: حاما، ث ب، طااق، حائض. Kesetaraan akan terlihat dalam bahasa arab ketika terdapat kata-kata yang di situ sama kedudukan antara kata laki-laki/mudzakkar dan perempuan/mu'annats, yaitu katakata yang mengikuti pola morfologi: ( lihat Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil. tt ;166). POLA CONTOH ِمف َعا مغشم،مقول ِمف َعال مع ار،مقوال فع ا مسك ر،مع ر ِ ِم فعول بمع فاعا غ ور،صبور فع ا بمع مفعول اريح،قت ا فِعا بمع مفعول طحن،ذبح فَ َعا بمع مفعول َسمَب،َازَر مصدر مراد به ااوصف َحق،عَدل Akan tetapi yang menjadi kajian kritik dewasa ini adalah pendapat-pendapat para ahli nahwu –termasuk di dalamnya Imam Sibawaih dan Ibnu Aqiel—yang menyatakan bahwa kata-kata perempuan/mu'annats Sexisme Bahasa merupakan cabang dari kata laki-laki/mudzakkar. Pendapat seperti ini sangat dikitrik dan dikecam oleh Ahmad Sulaiman Yaqut dengan menganggap bahwa pendapat tersebut sangat dipengaruhi unsur-unsur fiqh bukan unsur linguistik. (Ahmad Sulaiman Yaqut,1992;98). Pernyataan kata-kata perempuan/mu'annats merupakan cabang dari kata laki-laki/mudzakkar mengesankan bahwa wanita merupakan sub-ordinat laki-laki. Misal lain, dalam bahasa Arab simbol-simbol keagungan dan kebesaran yang merujuk pada Tuhan digunakan kata ganti laki-laki, bentuk jamak tidak berakal digunakan kata ganti atau sifat yang spesifik untuk perempuan, apakah ini merupakan indikasi kesetaraan wanita dengan benda? ( Syafiyah AF, Seksisme Bahasa, dalam Mudjia Rahardjo, 2002;223). 3. Derogasi Semantik Derogasi semantik adalah proses di mana katakata yang merujuk pada wanita mendapatkan makna yang negatif atau mendapatkan konotasi seksual (derogasi berarti membuat sesuatu tampak lebih rendah, semantik berarti makna). Sebagai contoh dalam bahasa inggris: ( Linda Thomas, 1999. diterj. Sunoto;113). (a) Sir-Madam "Sir" dan "madam" digunakan untuk menyapa orang yang berstatus sosial tinggi, tetapi "madam" juga digunakan untuk menyapa germo di tempat pelacuran, sementara "sir" tidak bisa. (b) Master-Mistress Kalimat "he is my master" (dia adalah majikan saya) berarti bahwa "dia adalah bos daya" atau "dia lebih besar kekuasaannya daripada saya". Tapi "she is Zeiburhanus Saleh my mistress" berarti bahwa "dia (perempuan) adalah kekasih gelap saya". Ini menunjukkan dua hal: pertama bahwa katakata untuk wanita cenderung kehilangan status jika dibandingkan dengan kata-kata untuk laki-laki. Kedua, bahwa kata-kata untuk wanita sering kali merujuk pada kapasitas seksual dari wanita. Ini terjadi pada kata "mistress" di atas. Contoh lain seperti pada frasa "wine, women dan song" (anggur, wanita dan lagu, pomeo untuk menyebut tiga kesenangan hidup). Dalam konteks Indonesia kita juga mengenal ungkapan harta, tahta, wanita sebagai biang keladi malapetaka kehidupan. Padahal wanita dalam ungkapan tersebut bermakna negatif dan memojokkan kaum wanita. Kita juga menemukan kata-kata lain seperti; ayam kampus yang berkonotasi negatif terhadap wanita/mahasiswi, padahal kata "ayam" itu kata generik. Kalaupun kata "ayam" itu kita padankan dengan kata "jago" maka kalau kita gabungkan menjadi kata "jago kampus" bisa dipastikan kata tersebut bermakna positif bagi pria. Selain itu kita juga menemukan banyak istilah yang bermakna negatif bagi wanita dan sedikit bagi pria. Sebagai contoh kata gigolo memiliki padanan yang banyak sekali diantaranya; PSK (kata pekerja di sini sebenarnya laki-laki maupun wanita), WTS, Balon, Senuk (senengane manuk), Kupu-kupu malam, dll. Dalam konteks sosialpun kita juga sering mendapati atribut-atribut yang berkonotasi seksual, seperti genit, bahenol, semox, semlohe, dll. Disamping lewat aspek tata bahasa, masih ada terms ataupun wacana yang seksis di luar tata bahasa yang menunjukkan superioritas laki-laki dan inferioriatas wanita. Misalnya saja, ketika Si Zulfa kawin dengan Si Sexisme Bahasa Burhan, maka ia akan dipanggil orang lain dengan Bu Burhan atau Nyonya Burhan, atau setidaknya nama suaminya ada di belakang namanya sendiri "Zulfa Burhan". Selain itu kadangkala panggilan wanita/istri ini juga mengikut kepada jabatan suami, ketika suaminya jadi rektor maka istrinya akan dipanggil bu rektor, ketika suami jadi lurah maka istri akan dipanggil bu lurah. Hal itu tidak penulis temukan ketika umpama istri yang jadi lurah, kok suaminya tidak dipanggil pak lurah? Atau ketika Megawati jadi presiden, kok suaminya Taufik Kiemas tidak dipanggil "bapak negara" sebagai padanan dari "ibu negara"? Selain dapat diketahui melalui penanda-penanda di atas, bahasa seksis itu dapat dianalisis dengan beberapa teori. Antara lain; (1) teori dominasi; menyatakan bahwa perbedaan wacana antara pria dan wanita disebabkan karena perbedaan kekuasaan. Kalau kita lihat sepanjang sejarah, pria cenderung memiliki kekuasaan yang lebih besar dari wanita baik dalam arti fisik, finansial, maupun hirarki jabatan. Hal ini menyebabkan bahasa lebih memihak pria daripada wanita, (2) teori perbedaan; menyatakan bahwa perbedaan bahasa antara pria dan wanita karena adanya pemisahan pada tahapan-tahapan penting dalam kehidupan mereka. Menurut teori perbedaan kebiasaan-kebiasaan bermain dengan sesama jenis sewaktu kanak-kanak hingga berteman ketika dewasa akan menciptakan suatu sub-budaya. Wanita akan lebih mengutamakan kesalingpahaman, kesetaraan, kedekatan hubungan. Sedangkan pria akan lebih mementingkan status, kebebasan, dan kurang memperhatikan perbedaan dan ketidaksetaraan dalam hubungan, dan (3) teori sosialisasi, yang menyatakan bahwa wanita yang sejak kecil diajari untuk mengalah, Zeiburhanus Saleh sopan, lemah lembut tentu akan berbeda dengan pria yang sedikit memiliki kebebasan dan aktif, dan ini berpengaruh terhadap cara berbahasa dan bahasa yang berkembang. ( Linda Thomas, 1999. diterj. Sunoto. 2007;132-133). D. Upaya Menetralkan Bahasa Seksis Bahasa seksis merupakan realitas kebahasaan yang tak terelakkan yang keberadaannya terdapat dalam setiap bahasa di muka bumi ini. Realitas ini –disadari atau tidakberimplikasi terhadap pemberian treatment yang memarjinalkan, me-subordinat-kan kaum perempuan atas kaum laki-laki. Akibatnya, dalam bidang apapun, peran dan fungsi kaum perempuan di bawah kaum laki-laki baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi salah satunya karena munculnya bahasa seksis. Untuk itulah, diperlukan usaha perubahan, sekurang-kurangnya untuk meminimalisir pengunaan bahasa-bahasa seksis, yaitu melalui; 1) Usaha mensosialisaikan kosakata yang netral. Contoh: untuk menyebut manusia, mereka mensosialisaikan kata people, policeman diganti dengan police officer, chairman diganti chairperson. 2) Pembelajaran bahasa yang netral (bias gender). Jika dulu wanita dibatasi dalam berbicara diruang publik, maka selanjutnya wanita dipersilahkan untuk memasuki wilayah publik. Inipun perlu upaya dari kaum wanita sendiri untuk berani memasuki wilayah publik. 3) Himbauan kepada semua kalangan, utamanya pada pengajar, penulis, jurnalis, dan lembaga bahasa untuk mengenakan kosakata yang dianggap netral. Contoh: siswa (konotasi laki-laki) versi siswi (konotasi perempuan), bisa dinetralkan dengan murid yang berkonotasi netral. Wartawan-wartawati dinetralkan Sexisme Bahasa menjadi jurnalis, reporter atau kuli tinta. Karyawankaryawati dinetralkan menjadi pekerja. Seniman-seniwati dinetralkan menjadi pekerja seni dan lain sebagainya. E. Penutup Setiap bahasa terdapat bahasa seksis. Ini tidak lepas dari persoalan sistem sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Kita sering menemui bahwa ketika masyarakatnya berbudaya patriarki maka bahasa yang muncul dan berlaku dalam masyarakat itupun akan juga menjadi seksis. Maka sebagai penutur dan pembelajar bahasa yang baik, kita pun dituntut untuk melakukan upaya reformulasi kebahasaan melalui penetralan bahasa yang seksis menjadi bahasa yang berkesetaraan gender. DAFTAR PUSTAKA Ali, Atabik & A. Zuhdi Muhdor, 1996. Yogya-karta : Multi Karya Grafika. Kamus Kontemporer, Baron , Robert A., 2004. Psikologi Sosial Jilid I, Jakarta: Erlangga. Husen, Ida Sundari & Rahayu Hidayat, 2001. Meretas Ranah Bahasa, Semiotika dan Budaya, Yogyakarta: Bentang Budaya. Ibnu 'Aqil, Baha'uddin Abdullah, tt. Syarh Alfiyati Ibn Malik, Yogyakarta, Badr el-Ilmi. al-Ghulayaini, Mushthafa, 1997. Jami' al-Durus al-Arabiyyah, (Beirut, Maktabah Ashriah. Rahardjo, Mudjia, 2002. Relung-relung Bahasa, (Yogyakarta: Aditya Media. Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Sya-milah, Ishdar al-Tsaniy. Tafsir al-Baidhawiy, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy. Zeiburhanus Saleh Thomas,Linda & Shan Wareing, 1999. Language, Society and Power, New York: Routledge. diterj. Sunoto dkk., 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijayanto, Agus & Endang Fauziati, 2006. Sexist Language, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2. Yaqut, Ahmad Sulaiman, 1992. Ilmu al-Lughah al-Taqabuliy, Iskanda-riah; Dar al-Ma'rifah al-Jamiiyyah. ISSN: 2085-5079