ISSN: 2085-5079 - eJournal IAIN Jember

advertisement
ISSN: 2085-5079
SEXISME BAHASA
Zeiburhanus Saleh
Abstrak:
Bahasa yang dalam fungsinya sebagai penyampai
informasi atau maksud, dijadikan sebagai sarana untuk
menyampaikan segala tujuan dengan berbagai kepentingan,
sehingga sesuai dengan perkembangan zaman bahasapun
juga mengalami perkembangan yang sangat pesat di berbagai
seginya dan banyak diadakan berbagai diskusi dan seminar
tentang kebahasaan yang salah satunya tentang bahasa dan
gender “seksisme bahasa” yang merepresentasikan pria dan
wanita secara tidak setara di mana anggota dari kelompok
seks yang satu dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih
sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota
kelompok seks lain. Bahasa seksis biasanya menyajikan
stereotip- stereotip tentang pria dan wanita yang kadang
merugikan salah satu dari keduanya, tapi lebih sering
merugikan kaum wanita, seperti perbedaan desain sepeda
pancal atau sepeda motor yang dirancang berbeda untuk
kaum pria dan wanita, sepeda untuk kaum pria ketika
dipakai kaum perempuan akan terlihat tabu dan risih padahal
ketika kaum pria yang menggunakan sarung dan memakai
sepeda untuk wanita seperti motor bebek misalnya akan
terlihat biasa-biasa saja, hal ini secara psikologi sangat
merugikan kaum wanita.
Untuk itulah, diperlukan usaha perubahan, sekurangkurangnya untuk meminimalisir pengunaan bahasa-bahasa
seksis tersebut. Menghimbau semua kalangan, utamanya
pada pengajar, penulis, jurnalis, dan lembaga bahasa untuk
mengenakan kosakata yang dianggap netral
Sexisme Bahasa
Kata Kunci: Bahasa, Sexisme
A. Pendahuluan
Bahasa dan seksisme merupakan wacana yang terus
berkembang seiring dengan munculnya gerakan gender
maupun feminisme di segala bidang termasuk linguistik yang
memunculkan suatu gerakan yang menamakan diri 'anti sexist
language' (anti bahasa seksis). Gerakan 'anti sexist language' ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari seruan atas persamaan
hak dan kewajiban atas kaum pria dan wanita di dalam
berbagai bidang yang selama ini dianggap tidak seimbang.
Gerakan ini merupakan gerakan yang menuntut adanya
persamaan hak kaum wanita di dalam bidang linguistik.
Pada awalnya, gerakan ini menentang adanya dominasi
kaum pria di dalam penggunaan unsur-unsur bahasa inggris,
baik di dalam gramatikal, ungkapan, maupun peristilahan,
khususnya menyangkut nama atau istilah bidang pekerjaan.
(Agus Wijayanto, 2006: 133).
Munculnya gerakan 'anti sexist language' ini semakin
membuktikan bahwa nyata-nyata bahasa itu tidak semata-mata
sebagai alat komunikasi tetapi juga senjata ampuh untuk
menundukkan seseorang sebagaimana selama ini diteriakkan
oleh kaum post-modenis dan post strukturalis yang
berpendapat bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi,
melainkan merupakan tempat terjadinya pergolakan berbagai
kepentingan dan kekuasaan. Misalnya saja Chist Weedon,
seorang post-strukturalis, berpendapat bahwa bahasa
merupakan wilayah di mana rasa tentang diri, subyektivitas,
termasuk definisi tentang perempuan dan laki-laki serta apa
yang baik dan buruk dari masing-masing jenis ini dibentuk, ini
semua terbentuk dikarenakan bahasa adalah kekuatan,
pertentangan, dan pergulatan (Mudjia Rahardjo, 2002;215)
Zeiburhanus Saleh
Untuk itu, penting kiranya kita mendiskusikan lebih
jauh seputar wacana keterpautan bahasa dan seksisme ini.
B. Pengertian Bahasa Seksis
Sebelum pembahasan seputar 'sexist language', kita
perlu membicarakan terlebih dahulu perbedaan konsep antara
"gender" dan "seks" agar tidak terjadi kerancuan pemahaman.
Seks adalah kategori biologis, biasanya terbentuk sejak
sebelum seseorang lahir. Dasar perbedaannya adalah
perbedaan anatomi fisik pria dan wanita. Sedangkan gender
adalah kategori sosial, yaitu pola-pola perilaku tertentu. Hal
tersebut merujuk kepada peran, tingkah laku, kecenderungan
dan atribut lain yang mendefinisikan arti menjadi seorang
pria dan wanita dalam kebudayaan yang ada (Gilbert;1999
dalam Robert A.Baron, 2004;187).
Secara lebih jelas, Shan Wareing (1999) mencontohkan
perbedaan antara seks dan gender pada desain sepeda pancal.
Sepeda pancal yang dirancang untuk wanita biasanya diberi
sadel yang lebih lebar karena wanita memiliki tulang pinggul
yang lebih lebar dari pada pria (ini adalah perbedaan seksual
antara pria dan wanita), tapi ketika sepeda untuk wanita tidak
diberi palang (bagian dari kerangka sepeda yang
menghubungkan antara bagian bawah sadel dengan bagian
bawah dari setang sepeda agar memudahkan wanita yang
mengenakan rok untuk naik sepeda, itu merupakan
perbedaan gender karena secara biologis, tidak ada alasan
biologis mengapa wanita harus mengenakan rok dan pria
tidak. (Linda Thomas, 2007;106). Di Indonesia, sepeda
"wanita" seperti itu malah memudahkan pria yang
menggunakan sarung, bahkan sepeda motor yang sering
dipakai pria sekarang ini adalah sepeda motor bebek yang
notabene dirancang untuk wanita, dan kita tidak tabu melihat
Sexisme Bahasa
hal itu. Sebaliknya, kita akan merasa tabu dan risih jika
melihat wanita memakai sepeda motor pria.
Melihat fenomena di atas, berarti bahwa sexist
language adalah bahasa yang memuat atau berpihak pada
suatu kekuatan gender atas gender yang lain di dalam unsurunsurnya, misalnya di dalam unsur kosakata, gramatika,
istilah, dan yang lainnya. Atau yang menurut Miller & Shift
sebagai bahasa apapun yang mengungkapkan sikap atau
pandangan adanya suatu superioritas suatu gender atas gender
lainnya. (Gary Ghosgarian, 1989;164 dalam Agus Wijayanto,
2006 ;134).
Rumusan lain dari bahasa seksis adalah bahasa yang
merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara di
mana anggota dari kelompok seks yang satu dianggap lebih
rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hakhaknya daripada anggota kelompok seks lain. Bahasa seksis
biasanya menyajikan stereotip- stereotip tentang pria dan
wanita yang kadang merugikan salah satu dari keduanya, tapi
lebih sering merugikan kaum wanita.
Kepedulian terhadap dampak dari bahasa yang
bersifat sexist sebenarnya berakar dari hipotesis Sapir-Whorf,
yaitu linguistic relativity yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara bahasa dengan budaya (culture)
dari penutur bahasa tersebut. Hipotesis tersebut menyatakan
lebih rinci bahwa bahasa secara langsung mempengaruhi
perilaku masyarakat budaya yang bersangkutan. Bahasa dan
budaya saling berkaitan sehingga makna yang dinyatakan
oleh bahasa tersebut mempengaruhi realitas, konsep, dan
sudut pandang. Argumentasi dari hipotesis Sapir-Whorf ini
pada akhirnya digunakan oleh kaum feminis
untuk
berkampanye menentang bahasa yang bersifat sexist dan
untuk mencari alternatif bahasa yang bersifat lebih netral. (
Agus Wijayanto 2006;133).
Zeiburhanus Saleh
C. Penanda-penanda Seksis dalam Bahasa
Menurut Shan Wareing (1999), Bahasa seksis dapat
dipandang dari dua sudut, yaitu: pertama, dari aspek tata
bahasanya; kedua, dari aspek di luar tata bahasa yang
digunakan untuk menciptakan bahasa seksis.( Linda Thomas;1999; terj. 2007;107).
Adapun untuk melihat sejauh mana tata bahasa itu
bersifat seksis bisa dilihat dari penanda seksis sebagai berikut;
1. Simetri dan Asimetri*1
Contoh dari simetri dalam penggunaan bahasa adalah sebagaimana berikut
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
(a). Generik
: Generik : horse (kuda)
manusia
Betina
: Mare
Jenis kelamin perempuan
Jantan
: Stallion
: Wanita
Jenis kelamin laki-laki
:
Pria
Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Indonesia
sebagai berikut:
(b). Generik
: Polisi
: TKI
Jenis kelamin perempuan :
: TKW
Polwan (Polisi Wanita).
: TKI
Jenis kelamin laki-laki
: Polisi
(Pada contoh b ini ada ambiguitas pada istilah
polisi, di mana secara generik apabila kita menyebut
polisi, maka seyogyanya semua polisi dari jenis apapun.
Tapi asumsi kita apabila menyebut polisi hanya dalam
1
*Simetri ialah kata yang punya padanan secara seimbang, sedang asimetri ialah kata yang tidak punya padanan secara seimbang.
Sexisme Bahasa
artian spesifik yaitu hanya merujuk pada laki-laki saja,
dan kita menyebut polisi berjenis kelamin perempuan
dengan Polwan/polisi wanita tapi kita tidak pernah
sekalipun menyebut Polpri/polisi pria. Begitu juga istilah
TKI yang merujuk pada tenaga kerja yang kerja di luar
negeri, akan tetapi seringkali kita lebih menggunakan
istilah TKW untuk yang berjenis kelamin wanita tanpa
pernah menyebut Tenaga Kerja Pria/TKP).
Contoh dari asimetri dalam penggunaan bahasa Arab
sebagai berikut: (Atabik Ali, 1996; 250).
(c). Generik
: ‫اإلنسان‬
Jenis kelamin perempuan : ‫اإلنسانة‬
Jenis kelamin laki-laki
: ‫اإلنسان‬
Kata ‫ اإلنساان‬tersebut di atas secara generik memiliki
makna manusia, baik laki-laki ataupun perempuan
(lihat kamus kontemporer;205)
Kita pun sering memakainya dalam ungkapan seperti :
‫اإلنساااان محااا لا ااء ااااس ااا سااا ان‬,
dengan maksud bahwa
dengan kata al-insan tersebut termasuk di dalamnya lakilaki dan perempuan. Akan tetapi, ketika kita membahas
tentang status mudzakkar dan mu'annats dengan jelas Ibnu
'Aqil dan Musthafa al-Ghulayaini memasukkan ‫اإلنسااان‬
sebagai laki-laki/mudzakkar dan sebagai padanannya
adalah ‫ اإلنساانة‬sebagai perempuan/mu'annast. ( lihat Ibnu
'Aqil, tt;165. dan Mushthafa al-Ghulayaini,1997;99).
Adapun dalam kasus pemakaian kata
‫اإلنساان‬
dalam al-
‫ إن اإلنسان افي خسر‬ditafsirkan dengan ‫يع ي‬
‫باإلنسااااان ااااا اا ااااا‬, (Tafsir al-Qurthubi, Maktabah
Syamilah, Ishdar al-Tsaniy). ataupun ditafsir dengan ‫إن‬
‫( اا ااااا افااااي خسااااران‬Tafsir al-Baidhawiy, Maktabah
Quran seperti
Zeiburhanus Saleh
Syamilah). dari sini dapat dipahami bahwa kata yang
lebih umum dari ‫ اإلنسان‬adalah ‫اا ا‬.
Contoh asimetri dalam bahasa Inggris:
(d). Generik
: man
Jenis kelamin perempuan : woman
Jenis kelamin laki-laki
: man ( Linda Thomas;1999;
terj. 2007;108).
Secara
etimologis,
kata
man
dahulu
merupakan kata yang umum atau netral yang berarti
‘manusia’. Kata tersebut sama dengan kata latin homo
yang berarti ‘umat manusia’ (a member of the human
species). Pada bahasa inggris kuno (old english) kata
yang menunjuk pada laki-laki dewasa adalah weapman
atau wer, sedang kata yang mengacu pada wanita
dewasa
adalah
wifman
atau
wif.
Dalam
perkembangannya kata wifman berevolusi menjadi
woman. Adapun kata netral yang digunakan untuk
mengacu pada kedua jenis gender laki-laki dan wanita
adalah kata man. Dapat disimpulkan bahwa dahulu
kata man merupakan kata benda yang dapat mengacu
pada laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya sekitar pada abad ke-18,
kata man telah mempunyai arti yang lebih menyempit
atau spesifik, yaitu manusia laki-laki yang sudah
dewasa (adult male human being) yang menggantikan
kata weapman dan wer. ( Agus Wijayanto, , Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006;138).
Penggunaan man yang sekarang dianggap
sexist tersebut terdapat dalam kalimat berikut :
(Contoh-contoh di bawah ini diambil oleh Agus
Wijayanto & Endang Fauziati dari LKS-LKS Bahasa
Inggris SMP yang beredar di Surakarta).
Sexisme Bahasa
Man yang berarti implisit a person, terdapat pada data
berikut:
 A man who works in a garden is………
 A man who drives a car is………
 A man who looks for news and writes the news into
newspaper is a………
Man yang berarti implisit people/human beings, terdapat
pada data berikut:
 A wise man can differ the bad and the good
 Food is important for man, animals and plants.
 Money is one of man’s necessity
Contoh lain adalah nama pekerjaan yang bermuatan kekuatan gender laki-laki sebagai berikut:
camera man, yang selama ini belum ada istilah yang
berbunyi camera woman. Seolah-olah keahlian ini hanya dimiliki oleh kaum laki-laki; delivery man, padahal
pekerjaan ini sekarang juga dilakukan oleh kaum perempuan; fire man di beberapa negara bagian di Amerika, pekerjaan ini dilakukan juga oleh wanita; draft
man, space man, dan sebagainya.
Kalimat-kalimat contoh di atas mengimplikasikan
bahwa seolah-olah hanya kaum laki-laki yang ada di
muka bumi ini dan kaum wanita seolah-olah tidak ada
atau tidak diakui keberadaannya. Jika man atau men itu
berarti orang atau manusia, lalu bagaimana dengan kaum
wanita, apakah mereka merupakan kelompok dari orang
atau manusia atau bagian dari laki-laki (sub-human)? Di
sinilah terjadi ambiguitas pada istilah man, apakah ia
berarti generik dan spesifik.
Karena itu, kaum feminist lebih menyukai istilah
person, people atau human being, human beings untuk
menggantikan istilah man karena dianggap lebih netral
dan non-seksis.
Zeiburhanus Saleh
2. Bertanda dan Tak Bertanda (Marked, Unmarked / ‫ ال‬،‫له العالمة‬
‫) عالمة اه‬
Konsep lain yang berguna untuk menganalisis
seksisme dalam bahasa adalah konsep bertanda dan tak
bertanda.ini adalah bentuk asimetri tapi lebih
menekankan adanya tanda yang menunjuk suatu kelamin
pada suatu kata.
Dalam
bahasa
Indonesia
–sebagaimana
diungkapkan Suyanto— kata-kata tertentu yang telah
dikonsepsikan masyarakat bahwa kata tersebut adalah
identik dengan pria, maka seandainya kata tersebut
ditunjukkan untuk perempuan ia harus ditambahkan
suatu "kata" yang menunjukkan identitas perempuan di
belakang kata tersebut, sebagai contoh polisi wanita,
dokter wanita, tentara wanita, hakim wanita, dan lain
sebagainya.
Hal ini disebabkan kuatnya konsepsi masyarakat
bahwa kata-kata tersebut; polisi, dokter, tentara, hakim
identik dengan kedudukan laki-laki. Maka dari itu, ketika
kita menyebut polisi, tentara, dokter asumsinya adalah
laki-laki dan tidak perlu bagi kita menambahkan polisi
pria, dokter pria, tentara pria. Sebaliknya kata-kata
pembantu, perawat, sekretaris, penari sangat identik
dengan wanita dan kitapun tidak perlu menambah kata
"wanita" di belakangnya. (Mudjia Rahardjo, 2002;215).
Lebih lanjut Suyanto mengungkapkan bahwa
selain dengan menambah kata seperti tersebut di atas,
untuk menandai perbedaan jenis kelamin dalam Bahasa
Indonesia adakalanya dengan menambahkan penanda
morfologis. Baik berupa mengganti akhiran pada katakata tertentu seperti akhiran a (yang menunjukkan
maskulin) dengan akhiran i (yang menunjukkan feminim),
Sexisme Bahasa
sebagai contoh kata-kata pemuda, mahasiswa, putra
diganti akhiran menjadi pemudi, mahasiswi, putri.
Ataupun dengan menambah Akhiran –wan dan –man
pada kata-kata tertentu yang digunakan sebagai penanda
untuk jenis kelamin laki-laki seperti karyawan, wartawan,
seniman, dan lain sebagainya. Sedangkan kalimat tertentu
yang diberi imbuhan –wati mengacu pada jenis kelamin
perempuan seperti karyawati, wartawati, seniwati, dan lain
sebagainya. Walaupun begitu, ada beberapa kata yang
berakhiran
–wan
seperti
ilmuwan,
sejarahwan,
budayawan yang tidak memiliki padanan atau pasangan
feminimnya. Ada yang berpendapat hal itu dikarenakan
asumsi bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan
untuk menalar dengan baik sehingga ilmu dan budaya
adalah hanya tugas laki-laki. (Mudjia Rahardjo, 2002; 216215).
Adapun dalam bahasa inggris –sebagaimana
diungkapkan Shan Wareing—seringkali untuk merujuk
perempuan diberi tanda –ess di akhir kata, seperti
waiter/waitress, host/hostess, actor/actress. Namun
demikian, ada istilah-istilah yang tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan seperti surgeon (ahli
bedah), professor dan nurse (perawat), tapi kadang istilah
tersebut masih digunakan seolah berlaku bagi pria saja,
sebab kadang masih menambahkan tanda pada istilah
tersebut seperti woman professor (profesor wanita), woman
surgeon (ahli bedah wanita), lady doctor (dokter wanita),
dll. Contoh-contoh ini merupakan contoh dari bahasa
seksis karena penggunaan istilah-istilah bertanda di atas
mengimplikasikan bahwa posisi pria dalam profesi itu
lebih normal daripada jika profesi itu dipegang wanita.
(Linda Thomas,1999; diterj. 2007;112-113).
Zeiburhanus Saleh
Dalam bahasa arab kita temukan kata yang
menunjukkan perempuan/mu'annast dengan tanda-tanda:
ta' marbuthoh seperti ‫عااماة‬, alif maqsuroh seperti
‫سامم‬, dan
alif mamdudah seperti ‫ حسا اس‬. Penanda yang paling sering
dipakai untuk menunjuk perempuan adalah ta' marbuthoh
–bahkan Musthafa al-Ghulayainiy dan Ibnu Aqil
menyatakan ta' marbuthoh ini sebagai daya pembeda
antara
kata
laki-laki/mudzakkar
dan
perempuan/mu'annats— seperti ،‫رامااة‬/‫ راا‬،‫إنسااانة‬/‫إنسان‬
‫امارة‬/‫ امرؤ‬. ( lihat Baha'uddin Abdullah Ibnu 'Aqil ;165.
dan Ghulayaini. 2007; 99). Walaupun begitu dalam kasuskasus kata sifat yang otomatis menunjuk wanita kata-kata
tersebut tidak perlu menambah ta' marbuthoh seperti kata:
‫ حاما‬،‫ ث ب‬،‫ طااق‬،‫ حائض‬.
Kesetaraan akan terlihat dalam bahasa arab ketika
terdapat kata-kata yang di situ sama kedudukan antara
kata laki-laki/mudzakkar dan perempuan/mu'annats, yaitu
katakata yang mengikuti pola morfologi: ( lihat Baha'uddin
Abdullah Ibnu 'Aqil. tt ;166).
POLA
CONTOH
‫ِمف َعا‬
‫ مغشم‬،‫مقول‬
‫ِمف َعال‬
‫ مع ار‬،‫مقوال‬
‫فع ا‬
‫ مسك ر‬،‫مع ر‬
ِ ‫ِم‬
‫فعول بمع فاعا‬
‫ غ ور‬،‫صبور‬
‫فع ا بمع مفعول‬
‫ اريح‬،‫قت ا‬
‫فِعا بمع مفعول‬
‫ طحن‬،‫ذبح‬
‫فَ َعا بمع مفعول‬
‫ َسمَب‬،‫َازَر‬
‫مصدر مراد به ااوصف‬
‫ َحق‬،‫عَدل‬
Akan tetapi yang menjadi kajian kritik dewasa ini
adalah pendapat-pendapat para ahli nahwu –termasuk di
dalamnya Imam Sibawaih dan Ibnu Aqiel—yang
menyatakan bahwa kata-kata perempuan/mu'annats
Sexisme Bahasa
merupakan cabang dari kata laki-laki/mudzakkar. Pendapat
seperti ini sangat dikitrik dan dikecam oleh Ahmad
Sulaiman Yaqut dengan menganggap bahwa pendapat
tersebut sangat dipengaruhi unsur-unsur fiqh bukan
unsur linguistik. (Ahmad Sulaiman Yaqut,1992;98).
Pernyataan kata-kata perempuan/mu'annats merupakan
cabang dari kata laki-laki/mudzakkar mengesankan bahwa
wanita merupakan sub-ordinat laki-laki. Misal lain, dalam
bahasa Arab simbol-simbol keagungan dan kebesaran
yang merujuk pada Tuhan digunakan kata ganti laki-laki,
bentuk jamak tidak berakal digunakan kata ganti atau
sifat yang spesifik untuk perempuan, apakah ini
merupakan indikasi kesetaraan wanita dengan benda? (
Syafiyah AF, Seksisme Bahasa, dalam Mudjia Rahardjo,
2002;223).
3. Derogasi Semantik
Derogasi semantik adalah proses di mana katakata yang merujuk pada wanita mendapatkan makna
yang negatif atau mendapatkan konotasi seksual (derogasi
berarti membuat sesuatu tampak lebih rendah, semantik
berarti makna). Sebagai contoh dalam bahasa inggris: (
Linda Thomas, 1999. diterj. Sunoto;113).
(a) Sir-Madam
"Sir" dan "madam" digunakan untuk menyapa
orang yang berstatus sosial tinggi, tetapi "madam"
juga digunakan untuk menyapa germo di tempat
pelacuran, sementara "sir" tidak bisa.
(b) Master-Mistress
Kalimat "he is my master" (dia adalah majikan
saya) berarti bahwa "dia adalah bos daya" atau "dia
lebih besar kekuasaannya daripada saya". Tapi "she is
Zeiburhanus Saleh
my mistress" berarti bahwa "dia (perempuan) adalah
kekasih gelap saya".
Ini menunjukkan dua hal: pertama bahwa katakata untuk wanita cenderung kehilangan status jika
dibandingkan dengan kata-kata untuk laki-laki. Kedua,
bahwa kata-kata untuk wanita sering kali merujuk pada
kapasitas seksual dari wanita. Ini terjadi pada kata
"mistress" di atas. Contoh lain seperti pada frasa "wine,
women dan song" (anggur, wanita dan lagu, pomeo untuk
menyebut tiga kesenangan hidup). Dalam konteks
Indonesia kita juga mengenal ungkapan harta, tahta,
wanita sebagai biang keladi malapetaka kehidupan.
Padahal wanita dalam ungkapan tersebut bermakna
negatif dan memojokkan kaum wanita.
Kita juga menemukan kata-kata lain seperti; ayam
kampus
yang
berkonotasi
negatif
terhadap
wanita/mahasiswi, padahal kata "ayam" itu kata generik.
Kalaupun kata "ayam" itu kita padankan dengan kata
"jago" maka kalau kita gabungkan menjadi kata "jago
kampus" bisa dipastikan kata tersebut bermakna positif
bagi pria. Selain itu kita juga menemukan banyak istilah
yang bermakna negatif bagi wanita dan sedikit bagi pria.
Sebagai contoh kata gigolo memiliki padanan yang banyak
sekali diantaranya; PSK (kata pekerja di sini sebenarnya
laki-laki maupun wanita), WTS, Balon, Senuk (senengane
manuk), Kupu-kupu malam, dll. Dalam konteks sosialpun
kita juga sering mendapati atribut-atribut yang
berkonotasi seksual, seperti genit, bahenol, semox, semlohe,
dll.
Disamping lewat aspek tata bahasa, masih ada
terms ataupun wacana yang seksis di luar tata bahasa yang
menunjukkan superioritas laki-laki dan inferioriatas
wanita. Misalnya saja, ketika Si Zulfa kawin dengan Si
Sexisme Bahasa
Burhan, maka ia akan dipanggil orang lain dengan Bu
Burhan atau Nyonya Burhan, atau setidaknya nama
suaminya ada di belakang namanya sendiri "Zulfa
Burhan". Selain itu kadangkala panggilan wanita/istri ini
juga mengikut kepada jabatan suami, ketika suaminya jadi
rektor maka istrinya akan dipanggil bu rektor, ketika
suami jadi lurah maka istri akan dipanggil bu lurah. Hal
itu tidak penulis temukan ketika umpama istri yang jadi
lurah, kok suaminya tidak dipanggil pak lurah? Atau
ketika Megawati jadi presiden, kok suaminya Taufik
Kiemas tidak dipanggil "bapak negara" sebagai padanan
dari "ibu negara"?
Selain dapat diketahui melalui penanda-penanda
di atas, bahasa seksis itu dapat dianalisis dengan beberapa
teori. Antara lain; (1) teori dominasi; menyatakan bahwa
perbedaan wacana antara pria dan wanita disebabkan
karena perbedaan kekuasaan. Kalau kita lihat sepanjang
sejarah, pria cenderung memiliki kekuasaan yang lebih
besar dari wanita baik dalam arti fisik, finansial, maupun
hirarki jabatan. Hal ini menyebabkan bahasa lebih
memihak pria daripada wanita, (2) teori perbedaan;
menyatakan bahwa perbedaan bahasa antara pria dan
wanita karena adanya pemisahan pada tahapan-tahapan
penting dalam kehidupan mereka. Menurut teori
perbedaan kebiasaan-kebiasaan bermain dengan sesama
jenis sewaktu kanak-kanak hingga berteman ketika
dewasa akan menciptakan suatu sub-budaya. Wanita
akan lebih mengutamakan kesalingpahaman, kesetaraan,
kedekatan hubungan. Sedangkan pria akan lebih
mementingkan
status,
kebebasan,
dan
kurang
memperhatikan perbedaan dan ketidaksetaraan dalam
hubungan, dan (3) teori sosialisasi, yang menyatakan
bahwa wanita yang sejak kecil diajari untuk mengalah,
Zeiburhanus Saleh
sopan, lemah lembut tentu akan berbeda dengan pria
yang sedikit memiliki kebebasan dan aktif, dan ini
berpengaruh terhadap cara berbahasa dan bahasa yang
berkembang. ( Linda Thomas, 1999. diterj. Sunoto.
2007;132-133).
D. Upaya Menetralkan Bahasa Seksis
Bahasa seksis merupakan realitas kebahasaan yang tak
terelakkan yang keberadaannya terdapat dalam setiap bahasa
di muka bumi ini. Realitas ini –disadari atau tidakberimplikasi
terhadap
pemberian
treatment
yang
memarjinalkan, me-subordinat-kan kaum perempuan atas
kaum laki-laki. Akibatnya, dalam bidang apapun, peran dan
fungsi kaum perempuan di bawah kaum laki-laki baik secara
kuantitas maupun kualitas. Hal ini terjadi salah satunya
karena munculnya bahasa seksis. Untuk itulah, diperlukan
usaha perubahan, sekurang-kurangnya untuk meminimalisir
pengunaan bahasa-bahasa seksis, yaitu melalui;
1) Usaha mensosialisaikan kosakata yang netral. Contoh:
untuk menyebut manusia, mereka mensosialisaikan kata
people, policeman diganti dengan police officer, chairman
diganti chairperson.
2) Pembelajaran bahasa yang netral (bias gender). Jika dulu
wanita dibatasi dalam berbicara diruang publik, maka
selanjutnya wanita dipersilahkan untuk memasuki
wilayah publik. Inipun perlu upaya dari kaum wanita
sendiri untuk berani memasuki wilayah publik.
3) Himbauan kepada semua kalangan, utamanya pada
pengajar, penulis, jurnalis, dan lembaga bahasa untuk
mengenakan kosakata yang dianggap netral. Contoh:
siswa (konotasi laki-laki) versi siswi (konotasi
perempuan), bisa dinetralkan dengan murid yang
berkonotasi netral. Wartawan-wartawati dinetralkan
Sexisme Bahasa
menjadi jurnalis, reporter atau kuli tinta. Karyawankaryawati dinetralkan menjadi pekerja. Seniman-seniwati
dinetralkan menjadi pekerja seni dan lain sebagainya.
E. Penutup
Setiap bahasa terdapat bahasa seksis. Ini tidak lepas
dari persoalan sistem sosial budaya yang berlaku dalam
masyarakat.
Kita
sering
menemui
bahwa
ketika
masyarakatnya berbudaya patriarki maka bahasa yang muncul
dan berlaku dalam masyarakat itupun akan juga menjadi
seksis. Maka sebagai penutur dan pembelajar bahasa yang
baik, kita pun dituntut untuk melakukan upaya reformulasi
kebahasaan melalui penetralan bahasa yang seksis menjadi
bahasa yang berkesetaraan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik & A. Zuhdi Muhdor, 1996.
Yogya-karta : Multi Karya Grafika.
Kamus Kontemporer,
Baron , Robert A., 2004. Psikologi Sosial Jilid I, Jakarta: Erlangga.
Husen, Ida Sundari & Rahayu Hidayat, 2001. Meretas Ranah
Bahasa, Semiotika dan Budaya, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ibnu 'Aqil, Baha'uddin Abdullah, tt. Syarh Alfiyati Ibn Malik,
Yogyakarta, Badr el-Ilmi.
al-Ghulayaini, Mushthafa, 1997. Jami' al-Durus al-Arabiyyah,
(Beirut, Maktabah Ashriah.
Rahardjo, Mudjia, 2002. Relung-relung Bahasa, (Yogyakarta: Aditya
Media.
Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Sya-milah, Ishdar al-Tsaniy.
Tafsir al-Baidhawiy, Maktabah Syamilah, Ishdar al-Tsaniy.
Zeiburhanus Saleh
Thomas,Linda & Shan Wareing, 1999. Language, Society and Power,
New York: Routledge. diterj. Sunoto dkk., 2007. Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijayanto, Agus & Endang Fauziati, 2006. Sexist Language, Jurnal
Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2.
Yaqut, Ahmad Sulaiman, 1992. Ilmu al-Lughah al-Taqabuliy,
Iskanda-riah; Dar al-Ma'rifah al-Jamiiyyah.
ISSN: 2085-5079
Download