6 TINJAUAN PUSTAKA Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter suatu kawasan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa ruang terbuka hijau akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain: 1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan. 2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia. Peraturan pada Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH adalah total area atau kawasan yang ditutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun buatan atau budidaya. Menurut Purnomohadi (2006), RTH memiliki fungsi utama yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Komponen ruang terbuka hijau berdasarkan kriteria, sasaran, dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemenya dikategorikan dalam: 7 1. Taman Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. 2. Jalur hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. 3. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan. 4. Hutan Merupakan penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecendrungan menurunnya kualitas lingkungan. 5. Tempat-tempat rekreasi Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH, antara lain: 1. Meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis. 2. Mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial antarpenggunanya. 3. Menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan. 4. Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan pejalan kaki. 5. Mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain: 1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan. 2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan. 8 3. Sebagai pengaman lingkungan hidup. 4. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarkat untuk membentuk kesadaran lingkungan. 5. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. 6. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 7. Sebagai pengatur air. Bahaya Letusan Gunung Api Bahaya letusan gunung api dibagi dua berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu bahaya utama atau bahaya langsung (primer) dan bahaya ikutan atau bahaya tidak langsung (sekunder). Bahaya primer adalah bahaya yang langsung terjadi ketika proses letusan sedang berlangsung sedangkan bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi setelah proses letusan berlangsung. Kedua jenis bahaya tersebut masing-masing mempunyai risiko merusak dan mematikan serta menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa manusia. Bahaya gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan atau kegiatan yang menyemburkan benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam dan cenderung merusak serta menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta dalam tatanan kehidupan manusia. Bahaya langsung (primer) merupakan bahaya yang ditimbulkan secara langsung pada saat terjadi letusan gunung api. Hal ini disebabkan oleh lemparan material yang langsung dihasilkan oleh letusan gunungapi seperti : aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran piroklastika atau awan panas, jatuhan piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material pijar. Selain itu, bahaya primer juga dapat ditimbulkan oleh hembusan gas beracun. Bahaya tidak langsung (sekunder) merupakan bahaya akibat letusan gunung api yang terjadi setelah atau selama letusan gunungapi tersebut terjadi. Bahaya tidak langsung yang umumnya terjadi di Indonesia adalah bahaya lahar, baik lahar dingin maupun lahar panas. Bahaya langsung (primer) letusan gunung api yaitu: a. Leleran lava (lava flow) Lava adalah magma yang mencapai permukaan, berupa cairan kental dan bersuhu tinggi (antara 700–1.200°C). Karena cair, maka lava 9 umumnya mengalir mengikuti lereng/lembah dan membakar apa saja yang dilaluinya. Bila lava tersebut sudah dingin, maka berubah wujud menjadi batu (batuan beku) dan daerah yang dilaluinya menjadi ladang batu. b. Awan panas (piroclastic flow) Awan panas adalah campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitasnya yang tinggi dan merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gulungan awan yang menyusuri lereng. Suhunya sangat tinggi antara 300 - 700°C dan kecepatan luncurnya pun sangat tinggi yaitu > 70 km/jam. c. Hujan abu lebat Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan abu dengan arah yang tergantung pada arah angin. Karena ukurannya halus, maka berbahaya bagi pernafasan dan mata serta dapat mencemari air tanah, merusak tumbuhan (terutama daun), korosif pada atap seng karena mengandung unsur-unsur kimia yang bersifat asam. d. Lontaran material (bom vulkanik) Jatuhnya lontaran bisa mencapai ratusan meter jauhnya, sangat bergantung dari besarnya energi letusan. Suhunya tinggi (> 200°C) dan ukurannya besar (garis tengah >10 cm) sehingga dapat membakar sekaligus melukai bahkan mematikan mahluk hidup. e. Lahar letusan/ lahar primer Lahar letusan/ lahar primer terjadi pada gunung api yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas. f. Gas racun Gas racun yang muncul dari gunung api tidak selalu didahului oleh letusan tetapi dapat keluar dengan sendirinya melalui celah bebatuan yang ada meskipun kerap kali diawali oleh letusan. Gas utama yang 10 biasa muncul adalah CO2, H2S, HCl, SO2 dan CO. Jenis gas yang paling sering dan merupakan penyebab utama kematian adalah CO2. Sifat gas jenis ini lebih berat dari udara sehingga cenderung menyelinap di dasar lembah atau cekungan terutama bila malam hari dan cuaca kabut atau tidak berangin, karena dalam suasana tersebut konsentrasinya akan bertambah besar. g. Tsunami gunung api Umumnya terjadi pada gunung api pulau. Ketika terjadi letusan, materialnya masuk ke dalam laut dan mendorong air laut ke arah pantai sehingga menimbulkan gelombang pasang. Bahaya sekunder yaitu lahar hujan yaitu bila suatu gunung api meletus, akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan yang disebut lahar. Karakteristik Gunung Merapi Tingkat bahaya dari Gunung Merapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Merapi tersebut. Suplai magma Merapi dari kedalaman terkait dengan sistem tektonik yaitu subduksi oleh tumbukan antara lempeng samudera Indo-australia dan lempeng benua Asia. Gunung Merapi merupakan gunung api yang dapat dimasukkan dalam tipe vulkanian lemah dengan ciri khas adanya peranan kubah lava dalam tiap-tiap erupsinya. Erupsi Gunung Merapi bersifat eksplosif dengan tingkat eksplosivitas dari lemah ke katastropik. Magma yang membentuk erupsi tipe vulkanian bersifat antara basa dan asam (dari andesit ke dasit). Erupsi vulkanian terjadi karena lubang kepundan tertutup oleh sumbat lava atau magma yang membeku di pipa magma setelah kejadian erupsi. Erupsi melontarkan material hancuran dari puncak gunung api tapi juga material baru dari magma yang keluar. Salah satu ciri dari erupsi vulkanian yaitu adanya asap erupsi yang membumbung tinggi ke atas dan 11 kemudian asap tersebut melebar menyerupai cendawan. Asap erupsi membawa abu dan pasir yang kemudian akan turun sebagai hujan abu dan pasir. Merapi terdapat dua zona tampungan magma yang menentukan sifat khas Merapi karena letaknya relatif tidak jauh maka kenaikan tekanan di dapur magma akan menyebabkan aliran magma menuju kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya tekanan di sana. Dalam hal ini, kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma yang naik ke permukaan. Waktu tenang antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana terjadi proses peningkatan tekanan magma di dalam kantong magma. Apabila tekanan melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar dalam bentuk erupsi explosive atau efusif berupa pembentukan kubah lava. Awan panas Merapi dibedakan atas awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan. Partikel-partikel terlempar secara vertikal dan horizontal. Kekuatan penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh kandungan gas vulkanik dalam magma. Awan panas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah lava bersuhu sekitar 500-600°C oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi. Awan panas yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan panas guguran. Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh menentukan laju dari awan panas. Semakin besar volume yang runtuh akan semakin cepat laju awan panas dan semakin jauh jarak jangkaunya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan arah awan panas yang akan terjadi. Namun, demikian kubah lava di puncak Merapi tidak tunggal dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan kemudian menjadi bagian dari morfologi puncak Merapi. Mitigasi Bencana Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya yang disebabkan oleh ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui dan 12 proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi. Mitigasi, menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi dan mencegah risiko kehilangan jiwa serta perlindungan terhadap harta benda. Mitigasi merupakan salah satu upaya manajemen bencana yang bertujuan untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini. 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian. 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting. Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta 13 memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir, pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana, menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. 1. Penilaian bahaya (hazard assestment) diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya. 2. Peringatan (warning) diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahuikapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali 14 ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Berapi Deskripsi bahaya vulkanis tentang karakter fisik dari sebuah letusan perlu dilakukan. Ketika erupsi sebuah gunung berapi terjadi dapat menciptakan bahaya yang beragam. Bahkan ketika gunung berapi tidak bererupsi, bahayanya seperti runtuhan batu/ material atau lahar yang masih dapat terjadi. Mitigasi untuk bahaya vulkanis dapat dilakukan selama periode krisis ketika erupsi terjadi. Manajemen dan mitigasi tidak hanya dilakukan saat periode krisis. Memulai untuk melaksanakan manajemen bahaya vulkanis pada periode aman, sebelum erupsi, pra perencanaan yang akan menjamin tindakan mitigasi dapat berjalan dengan sukses. Manajemen Bahaya Gunung Berapi Pengurangan risiko . analisis risiko perencanaan tata guna lahan tindakan mitigasi Persiapan pengamatan aktivitas vulkanik rencana darurat pendidikan masyarakat Manajemen Kondisi Krisis pengamatan aktivitas vulkanik peringatan dan informasi tindakan darurat recovery Gambar 2. Manajemen Bahaya Vulkanis [selama periode non-krisis (preeruption) dan periode krisis (selama erupsi)] 15 A. Mitigasi Pra-erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode non-krisis 1. Studi bidang geologi Hal ini penting untuk menangani investigasi geologi secara ekstensif pada potensi keaktifan gunung berapi selama masa non-aktif. Mempelajari catatan letusan sebelumnya, dari informasi ini dapat dipastikan jenis dan besar bahaya yang ditumbulkan dan seberapa sering gunung berapi tersebut aktif. Informasi ini penting dan merupakan titik awal perencanaan dan persiapan untuk letusan yang akan terjadi. 2. Perencanaan Selama gunung berapi berada pada periode tidak aktif, perlu dilakukan perencanaan untuk menjamin efek erupsi dapat diminimalkan. Perencanan penting dilakukan tingkat nasional, regional, lokal bahkan tingkat individu. Aspek pendukung perlu dipertimbangkan untuk perencanaan terjadinya erupsi. Aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan ketika perencanaan mitigasi, antara lain: • perkembangan penggunaan lahan dan regulasi tata guna lahan untuk mencegah pembangunan di daerah yang berisiko tinggi terhadap bahaya vulkanis, rencana mengenai prosedur selama erupsi harus ditetapkan, dibutuhkan prosedur yang detail untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya letusan, • rencana dan prosedur harus cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi selama letusan gunung berapi, • contoh peraturan darurat harus dipersiapkan sebelumnya, • pembuatan daftar fasilitas yang harus tetap beroperasi, • pertimbangan kebutuhan konseling psikologi untuk masyarakat umum dan para relawan, • pengujian sebelum perencanaan agar para pihak terkait untuk mengetahui peranan yang harus terpenuhi. 3. Evakuasi Evakuasi dibutuhkan saat erupsi terjadi. Daerah yang berada di dekat sumber erupsi sebaiknya di evakuasi sebelum erupsi terjadi terutama pusat aktivitas dengan tujuan untuk keselamatan. 16 4. Kebutuhan untuk merencanakan transportasi, perlindungan (shelter), persediaan makanan, pakaian, kesehatan dan kebersihan sebagai kebutuhan utama setiap pengungsi. Selama letusan terjadi mungkin sejumlah besar pengungsi akan membutuhkan perawatan, dan praperencanaan akan sangat berarti untuk menentukan tempat tinggal mereka. Sebelum terjadinya letusan, perlu mengidentifikasi sumberdaya yang dapat digunakan untuk membantu dalam evakuasi penduduk. 5. Peralatan penting yang mungkin diperlukan selama letusan termasuk filter udara, pembersih peralatan, pakaian pelindung, masker wajah, kendaraan ekstra untuk penggunaan darurat. 6. Pendidikan Pendidikan publik tentang bahaya vulkanik dan cara mengurangi dampak dari sebuah letusan gunung berapi. Pendidikan akan mengurangi dampak psikologis dan fisik. Peringatan lebih dapat dipahami jika masyarakat memahami sifat bahaya. Kemungkinan komunikasi dapat terganggu selama dan setelah letusan terjadi maka perlu untuk menyebarkan informasi sebelum letusan sehingga diharapkan masyarakat mengetahui hal yang harus dilakukan. Masyarakat dapat diberi pengetahuan melalui koran, televisi, internet, radio, pameran, brosur, seminar, sekolah. 7. Media Kebanyakan orang bergantung pada media untuk mendapatkan informasi, survey yang dilakukan menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat selama letusan hampir seluruhnya berasal dari media. Manajemen media yang efektif membutuhkan informasi yang akurat sehingga dapat disampaikan kepada publik selama letusan terjadi. 8. Koneksi Sebelum letusan gunung berapi peran, kewenangan dan tanggung jawab organisasi terkait harus didefinisikan dan dimana tiap individu akan bekerja saat keadaan darurat. Terdapat kebutuhan untuk membentuk jaringan antara organisasi-organisasi yang mungkin terlibat. 17 B. Mitigasi Saat Erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode krisis Beberapa aspek yang penting untuk diprioritaskan saat terjadinya erupsi gunung berapi, yaitu: 1. Manusia Tindakan terbaik untuk menjaga dari kemungkinan terhirupnya partikel abu adalah tetap dalam ruangan. Jika diperlukan untuk meninggalkan tempat penampungan maka tindakan pelindungan terbaik dengan memakai masker wajah ketika keluar dari bangunan. 2. Struktur Bangunan Atap gedung harus segera dibersihkan dari abu sehingga sistem ventilasi dapat diaktifkan kembali. Kemungkinan atap akan runtuh jika terdapat abu yang tersisa di atap. 3. Jaringan Lisrik Untuk mencegah pemadaman listrik luas perlu bahwa semua sistem listrik permukaan sistem harus dibersihkan segera setelah abu jatuh. Abu kering harus dibersihkan oleh atau menyikat permukaan yang terkena. Abu basah lebih sulit untuk dihilangkan. Pembersihan dan perlindungan sistem kelistrikan harus terus menerus sampai ancaman selasai. 4. Mitigasi Guguran Material Balistik Ketika material balistik letusan gunung berapi yang jatuh, tindakan mitigasi terbaik adalah merelokasi penduduk atau membatasi mereka untuk memasuki daerah yang berbahaya. Jika tidak memungkinan untuk meninggalkan daerahnya kemudian dianjurkan tinggal di bawah gedung yang kokoh. Namun, jika diperlukan untuk keluar gedung, lapisan pelindung tubuh harus digunakan khususnya pelindung kepala. 5. Mitigasi Lahar Kecepatan aliran lahar memiliki potensi kerugian besar terhadap kehidupan. Namun, sistem deteksi untuk lahar dapat diletakkan di tempat yang dekat dengan laha runtuk memberikan peringatan dini. Mitigasi lain terhadap lahar adalah pemetaan bahaya karena kebanyakan aliran lahar yang menuruni lembah, daerah yang cenderung berisiko dapat cukup mudah diprediksi dan dipetakan. 18 6. Mitigasi Arus Piroklastik Aliran material piroklastik sangat merusak, perlindungan yang terbaik bagi kehidupan manusia adalah mengevakuasi daerah berbahaya sebelum letusan terjadi. Kebanyakan kematian yang terjadi dari aliran piroklastik dapat dikaitkan dengan sesak napas, luka bakar dan pukulan dari lemparan batu. 7. Langkah-langkah Mitigasi untuk Gas Vulkanik Masker wajah harus dirancang untuk gas beracun serta debu vulkanik yang terespirasi, sehingga orang dapat dilindungi dari bahaya gas vulkanik. Mungkin perlu untuk mengevakuasi penduduk di mana ada potensi munculnya sesak napas, atau gas beracun dalam tingkat tertentu. Evakuasi Bencana Evakuasi merupakan upaya penyelamatan korban atau upaya memindahkan korban secara aman dari lokasi yang tertimpa bencana ke wilayah yang lebih aman untuk mendapatkan pertolongan. Evakuasi membutuhkan suatu ruang untuk relokasi korban melalui tempat penampungan korban baik bersifat sementara maupun bersifat akhir. Tempat penampungan sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana yang digunakan sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA pada saat terjadi peningkatan status aktivitas gunung api dan diutamakan untuk menampung penduduk yang tidak termasuk kelompok risti (kelompok risti sangat dianjurkan untuk segera dievakuasi ke TPA). Tempat Penampungan Aman (TPA) adalah tempat penampungan pengungsi yang berada di luar wilayah rawan bencana yang biasanya lebih luas dan memiliki fasilitas lebih baik daripada TPS. Dalam menentukan lokasi penampungan pengungsi ada beberapa hal yang perlu dinilai yaitu : 1. Tempat tersebut tidak berpotensi dialiri lava atau lahar dan awan panas atau material berbahaya lain akibat bencana gunung api, untuk itu perlu dikoordinasikan dengan sektor terkait seperti pusat vulkanologi dan mitigasi bencana geologi departemen energi sumber daya mineral. 19 2. Terdapat fasilitas jalan dari pemukiman ke tempat penampungan untuk memudahkan evakuasi. koordinasi dengan dinas pekerjaan umum diperlukan untuk memperoleh data mengenai infrastruktur di daerah rawan gunung api. 3. Terdapat fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah, puskesmas dll. koordinasi dengan pemda setempat diperlukan untuk memperoleh data tersebut. 4. Tersedia sarana air bersih, MCK, penerangan/listrik, dll yang mencukupi. Tempat Penampungan Sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana. TPS berfungsi sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA pada saat status aktivitas gunung api meningkatTempat Penampungan Sementara (TPS) sebaiknya tersedia : 1. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi. 2. Pos komunikasi dengan sarana yang mudah digunakan (ht, telepon). 3. Pos keamanan untuk melindungi dan mengatur proses evakuasi pengungsi. 4. Sarana air bersih dan air minum. 5. Sarana sanitasi dan MCK. 6. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum. 7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain. 8. Alat peringatan dini. Tempat Penampungan Aman (TPA) merupakan tempat penampungan pengungsi yang berada diluar wilayah rawan bencana. TPA biasanya lebih luas untuk menampung pengungsi dalam jumlah yang lebih banyak dan memiliki fasilitas lebih baik dari TPS. Tempat penampungan aman sebaiknya tersedia: 1. Pos koordinasi dengan alur komando yang jelas untuk mengkoordinir semua hal yang terkait penanganan pengungsi. 2. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi. 3. Pos komunikasi dengan sarana yang lebih lengkap (radio komunikasi, telepon, satelit). 20 4. Pos keamanan untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi di tempat penampungan. 5. Sarana air bersih dan air minum. 6. Sarana sanitasi dan mck baik yang bersifat temporer maupun permanen. 7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain. 8. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum. 9. Gudang logistik termasuk terdapat bahan dan alat kesehatan lingkungan seperti bahan-bahan disinfektan dan alat vektor kontrol. Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi Menurut Joga (2009), mekanisme pemanfaatan RTH sebagai kawasan evakuasi dapat dilakukan dengan cara sosialisasi kepada masyarakat mengenai ruang-ruang yang telah ditentukan sebagai kawasan untuk evakuasi, penggunaan tanda yang dapat membantu dalam keadaan darurat, dan perencanaan jalur mitigasi bencana. Kawasan waspada bencana atau biasa disebut ruang mitigasi ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: 1. Lokasi 2. Luas lahan 3. Ketinggian tempat 4. Fasilitas (sarana evakuasi) 5. Utilitas (air dan energi) 6. Akses (bagi korban dan bantuan) 7. Pendekatan desain Joga (2009), menyatakan bahwa pemerintah sudah seharusnya menyediakan taman (layang) evakuasi bencana seluas 500 m2 di permukiman padat bangunan dan padat penduduk, yang sering kali paling dirugikan saat bencana melanda. Dalam situasi normal sepanjang tahun, taman memiliki fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, konservasi energi, dan estetis. Ketika bencana tiba, taman menjadi ruang evakuasi bencana. Taman untuk kegiatan evakuasi dilengkapi tiang pancang untuk tenda darurat, tangki air minum, pompa hidran, papan petunjuk, alat komunikasi, fasilitas dapur umum, dan toilet bersama. Atap taman dilengkapi dengan panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik 21 taman, serta sangat bermanfaat saat bencana terjadi aliran listrik mati total. Tangga atau ramp melingkar mengelilingi bangunan taman, jalur jogging, jalur sepeda dan pengadaan berbagai kegiatan anak-anak akan memudahkan proses evakuasi saat terjadi bencana. Departemen PU Cipta Karya tahun 1987 mengeluarkan standar kebutuhan taman yang ditentukan berdasarkan tingkatan wilayah pelayanannya mulai dari tingkat RT, RW sampai dengan tingkat kota. Bentuk urban space yang dimuat dalam standar ini meliputi fasilitas/ sarana olah raga, taman bermain serta kuburan, sebagaimana uraian di bawah ini: 1. Sarana Olah Raga dan Daerah Terbuka Disamping fungsi utama sebagai taman, tempat main anak-anak dan lapangan olah raga juga akan memberikan kesegaran pada kota (cahaya dan udara segar), dan netralisasi polusi udara sebagai paru-paru kota. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka sarana-sarana ini harus benar-benar dijaga, baik dalam besaran maupun kondisinya. 2. Taman untuk 250 Penduduk Setiap 250 penduduk dibutuhkan minimal satu taman dan sekaligus tempat bermain anak-anak dengan luas minimal 250 m², atau dengan standar 1 m²/penduduk. 3. Taman untuk 2.500 Penduduk Untuk setiap kelompok 2.500 penduduk diperlukan sekurangkurangnya satu daerah terbuka di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk. Daerah-daerah terbuka sebaiknya merupakan taman yang dapat digunakan untuk aktivitas olahraga seperti volley, badminton dan sebagainya. Luas area yang diperlukan untuk ini adalah 1.250 m² atau dengan standar 0,5 m²/penduduk. 4. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 30.000 Penduduk Sarana ini sangat diperlukan untuk kelompok 30.000 penduduk (satu lingkungan) yang dapat melayani aktivitas kelompok di area terbuka, misalnya pertandingan olahraga, upacara dan lain-lain. Sebaiknya berbentuk taman yang dilengkapi dengan lapangan olah raga khususnya 22 lapangan sepak bola sehingga berfungsi serba guna dan harus tetap terbuka. Untuk peneduh dapat ditanam pohon-pohon di sekelilingnya. 5. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 120.000 Penduduk Setiap kelompok penduduk 120.000 penduduk sekurang-kurangnya harus memiliki satu lapangan hijau yang terbuka. Sarana ini dilengkapi dengan sarana-sarana olah raga yang diperkeras seperti tennis, bola basket, juga tempat ganti pakaian dan WC umum. Luas area yang diperlukan untuk sarana-sarana ini adalah 2,4 Ha dengan standar 0,2 m²/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat Kecamatan, sebaiknya dikelompokkan dengan sekolah. 6. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 480.000 Penduduk Sarana ini untuk melayani penduduk sejumlah 480.000 penduduk. Berbentuk suatu kompleks yang terdiri dari stadion, tamantaman/tempat bermain, area parkir, dan bangunan-bangunan fungsional lainnya. Luas tanah yang dibutuhkan untuk aktivitas ini adalah 144.000 m² atau 14,4 Ha, dengan standar 0,3 m²/penduduk. 7. Jalur Hijau Disamping taman-taman dan lapangan olahraga terbuka masih harus disediakan jalur-jalur hijau sebagai cadangan kekayaan alam. Besarnya jalur-jalur hijau ini adalah ±15 m²/penduduk. Lokasinya bisa menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan derahdaerah yang berpotensi menimbulkan polusi. 8. Kuburan Sarana lain yang masih dapat dianggap mempunyai fungsi sebagai daerah terbuka adalah kuburan. Besar/luas tanah kuburan ini sangat tergantung dari sistem penyempurnaan yang dianut sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagai patokan perhitungan digunakan (a) angka kematian setempat dan (b) sistem penyempurnaan. 23 Sistem Informasi Geografi (GIS) Sistem Informasi Geografi merupakan suatu sistem yang dapat menangkap, menyimpan, menganalisis, melakukan query, dan menampilkan data geografi. SIG dapat dibagi menjadi empat komponen, yaitu: 1. Sistem komputer Sistem komputer berupa komputer dan sistem operasi yang digunakan untuk mengoperasikan SIG 2. Perangkat lunak SIG Perangkat lunak SIG berupa program dan antarmuka pengguna untuk menjalankan perangkat keras 3. Perangkat pikir Perangkat pikir menunjuk pada tujuan, sasaran, dan alasan penggunaan SIG 4. Infrastruktur Infrastruktur menunjuk pada kebutuhan fisik yang berhubungan dengan ketatausahaan organisasi, dan lingkungan penggunaan SIG SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografi dan pengguna yang disain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisa, menyajikan, dan menjelaskan semua bentuk dan data informasi yang bereferensi geografis. Seperangkat alat yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi data yang bereferensi geografi secara manual, sebagai alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk lainnya. Dengan menggunakan sistem komputer maka data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya persatuan yang lebih rendah daripada cara manual. Demikian pula dalam memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melakukan analisis spasial yang kompleks secara tepat mempunyai keuntungan kualitaif dan kuantitatif, di mana skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan 24 membuat perbaikan secara terus-menerus. SIG dipakai untuk mengecek keakuratan perubahan. Zona yang mana yang terkena dampak dan pada saat bersamaan memperbaiki peta dan data tabel relevan. Dengan cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi terbaru dan dapat memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.