KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT RACHMAT MULYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2009 Rachmat Mulyana NIM P062030031 ABSTRACT Landuse change from paddy field, dryland, mixed garden and forest into settlement and growth settlement uncontrolled in watershed cause in decreasing environment quality. The purpose of the research was to (1) analyze the settlement pattern; (2) analyze the settlement need and lifestyle (3) evaluate land suitability for settlement, and (4) formulate of health and sustainability settlement criteria. This research was conducted in June 2006 - Mei 2007 at 12 setllements in Cianjur watershed, West Java. Standard Statistic, Quality Function Deployment and GIS was used as a tool to analyze data. The result showed that: (1) settlements in the upper stream of Cianjur watershed has character the following as: settlement with medium size, the density of building is dense and included linear-1 settlement. In the middle stream of Cianjur watershed has character as follows: size small-medium and medium settlement, density of building is loose with linear-2 and streetplan settlements. Settlement in the downstream has character as small-medium and medium size, density of building is loose and dense with linear-1type; (2) the need of community to settlement product was strength of building construction, the price of sell, clean water available, and security system. The lifestyle of community in three zones used septic tank to manage their domestic sewage. At mostly the upper stream and the down stream area, respondents manage their garbage by burning, usually by open dumping. They usually used the piling site to plant crop, that representing sustainable management practices; (3) land suitability for settlement S1, S2, S3 covered 813 ha (10.9%) ,4 406.1 ha (59%), and 1 184.6 ha (15.9%) respectively. On the other hand, N1 suitability was found in the area of Mount Gede Pangrango and its surrounding. N1 area covered 1 063.5 ha (14.2%); and (4) The health and sustainability settlement criteria are: (a) located on land suitability for settlement very suitanable; (b) the settlement pattern agree with zone of watershed; (c) scaffolding construction has air and light circulation of 0.35% and 10% from floor wide, space wide of individual 9 m2, used the local material, and building coverage agree with zone of watershed; (d) available clean water, garbage management system, simple of waste management, and canal of close drainage. The community in Cianjur watershed has conserve the culture of local architecture. Keywords: land suitability, lifestyle, settlement, settlement pattern, watershed RINGKASAN RACHMAT MULYANA. Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, HADI SUSILO ARIFIN dan LILIK BUDI PRASETYO. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Bencana longsor, banjir dan kekeringan yang terjadi di wilayah DAS Cianjur disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan hutan menjadi lahan permukiman. Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir ini secara nasional mengalami peningkatan, namun penyediaan rumah belum sepenuhnya terpenuhi. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan mengakibatkan munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman tumbuh dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan baik secara biofisik, sosial maupun ekonomi. Perkembangan kebutuhan akan permukiman telah mengalami pergeseran menjadi suatu trend gaya hidup. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pola sebaran permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir DAS Cianjur; (2) menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir DAS Cianjur; (3) mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di daerah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur; dan (4) merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan. Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman DAS Cianjur yang terletak di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi berdasarkan pada perkembangan di zona hulu DAS Cianjur yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan ke lahan permukiman. Zona DAS hulu mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan merupakan daerah tujuan wisata. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2006 sampai Mei 2007. Penelitian ini terdiri dari empat kajian. Kajian pertama tentang pola permukiman. Populasi adalah permukiman di DAS Cianjur. Penentuan sampel dilakukan dengan metoda multi stage sampling (Adib, 2006). Metode ini menggunakan dua langkah yaitu membuat daftar dan menentukan sampel. Melalui skema ini peneliti memilih sampel dalam kelompok area (desa) di masing-masing zona DAS. Selanjutnya dipilih empat kampung dari setiap cluster utama dalam area wilayah yang lebih kecil (secara acak), dan menentukan jumlah unsur sampel dari setiap kampung sebanyak 15 rumah, sehingga jumlah total sampel sebanyak 180 rumah dan rumah tangga penghuni. Data diperoleh survai lapangan dan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan berupa data kependudukan (jumlah penduduk dalam kampung, dan jumlah anggota rumah tangga), spesifikasi konstruksi bangunan rumah (jenis kontruksi bangunan, elemen ruang, luas bangunan, dan bahan bangunan), prasarana dan sarana lingkungan permukiman, ukuran permukiman diukur berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan bangunan rumah diukur berdasarkan jarak antara rumahrumah, tipe permukiman dilihat dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah permukiman. Analisis data kependudukan, spesifikasi konstruksi bangunan, dan prasarana dan sarana lingkungan permukiman dianalisis dengan SPSS versi 13. Data ukuran, tingkat kepadatan, dan tipe permukiman akan dianalisis berdasarkan kriteria dari masing-masing sub variabel pada aspek bentuk permukiman (Vander Zee, 1986). Kajian kedua tentang spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap permukiman. Kajian ini menggunakan pendekatan Quality Function Deployment (QFD). Pengumpulan data diawali dengan penentuan atribut-atribut primer bagi konsumen berdasarkan bentuk, fungsi, dan nilai. Masing-masing atribut primer ini memiliki beberapa atribut sekunder. Data dikumpulkan menggunakan dua teknik yaitu: (1) wawancara dengan sales people dan konsumen ahli; dan (2) focus group ukuran kecil (Gargione, 1999). Focus group terdiri dari agent real estate, arsitek, engineer, pembeli potensial, dan pemilik. Kajian ketiga tentang evaluasi kesesuaian lahan permukiman di DAS Cianjur ditinjau dari aspek bio-fisik, sosial, dan ekonomi. Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait dan survai langsung. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) bio-fisik terdiri atas kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung; (2) sosial terdiri atas besar anggota rumah tangga, dan tingkat pendidikan; dan (3) ekonomi terdiri atas tingkat pendapatan. Tahapan pengolahan dan analisis data meliputi: (1) penyiapan Peta Tematik; (2) pengklasifikasian citra; (3) pembangkitan parameterparameter meliputi pembagian setiap parameter kedalam beberapa kelas dan diberi skor mulai dari kelas yang berpengaruh hingga kelas yang tidak berpengaruh. Setiap kelas akan memperoleh nilai akhir yang merupakan hasil perkalian antara skor kelas tersebut dengan bobot dari parameter dimana kelas tersebut berada. Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan studi kepustakaan. Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan indeks overlay model untuk memperoleh urutan kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara bobot dan skor dari masing-masing parameter. Kelas kesesuaian lahan dibedakan pada 4 kelas yaitu: sangat sesuai, cukup sesuai, sesuai marginal dan tidak sesuai; dan (4) proses tumpangsusun. Tahap pertama adalah menumpangsusunkan dari setiap parameter kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasikan peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1). Peta KLKim-1 selanjutnya ditumpangsusunkan dengan peta-peta yang menjadi constrain dalam kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Peta KLKim-bwl digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting permukiman yaitu dengan menumpangsusunkan antara peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat dengan peta KLKim-bwl. Kajian keempat tentang perumusan kriteria permukiman sehat dan berwawasan lingkungan. Perumuskan kriteria didasarkan pada hasil tiga kajian sebelumnya yaitu: pola permukiman, spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap permukiman, dan kesesuaian lahan permukiman. Perkembangan permukiman di zona DAS hulu secara umum selalu mengalami peningkatan dan cenderung berkembang secara memusat disepanjang jalur jalan regional dengan membentuk kawasan permukiman perdesaan. Permukiman di zona tengah dan hilir berkembang mengikuti pola jalan yang ada dan membentuk kawasan perkotaan. Pola permukiman tertata wilayah DAS Cianjur memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Pola permukiman tidak tertata di wilayah DAS Cianjur cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari jalan dan sumber air seperti sungai. Permukiman di zona hulu DAS Cianjur sebagian besar (75%) memiliki karakter: permukiman ukuran sedang, kepadatan bangunan padat dan termasuk tipe linier-1. Di zona tengah memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang (50%) dan sedang (50%), kepadatan bangunan jarang dengan tipe streetplan dan linier-2. Di zona hilir memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang dan sedang, kepadatan bangunan jarang dan rapat dengan tipe linier-1. Permukiman tidak tertata di zona hulu memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi panggung (51.7%); (2) rata-rata luas rumah 47.1 m2; (3) luas rata-rata RTH 32.8 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding tembok 46.7%, lantai papan 28.8%, dan plapond bilik 51.7%. Permukiman tidak tertata di zona tengah memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi permanen (93.3%); (2) rata-rata luas rumah 69.4 m2; (3) luas rata-rata RTH 21.5 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding tembok 93.3%, lantai keramik 73.3%, dan plapond triplek 51.7%. Permukiman tidak tertata di zona hilir memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi panggung (53.3%); (2) ratarata luas rumah 40.8 m2; (3) luas rata-rata RTH 19.9 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan dinding bilik 45%, lantai bilik 33.3%, dan plapond bilik 55%. Gaya hidup sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman adalah: (1) di zona hulu dan hilir dalam pengelolaan sampah masih bersifat individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke selokan atau sungai, sedangkan di zona tengah penanganan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dan diangkut ke TPA; (2) sebagian besar masyarakat di hulu menggunakan air bersih untuk keperluan minum dan MCK berasal dari mata air (75%), di tengah PDAM (75%), di hilir sumur gali (100%); dan (3)masyarakat di hulu, tengah dan hilir sebagian besar membuang limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke septiktank. Atribut harapan konsumen sebagai atribut primer terhadap produk permukiman tertata yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan. Aspek teknik produksi permukiman tertata yang perlu disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli rumah berturut-turut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi rumah dan rencana tapak; (2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan bangunan; (4) sistem kegiatan pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasumfasos; (6) proses pematangan lahan permukiman. Luas lahan di wilayah DAS Cianjur yang dievaluasi sebesar 7 476.2 ha. Hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) didominasi oleh kelas kesesuaian lahan cukup sesuai sebesar 59%, sesuai marginal 29.7%, sangat sesuai 10.9%, dan tidak sesuai 0.4%. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan tumpangsusun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) dengan peta-peta yang menjadi constrain menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai) sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas lahan permukiman yang tidak sesuai sebesar 1 063.4 ha. Permukiman sehat dan berwawasan lingkungan (SEBERLING) di zona DAS hulu yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman kecil-sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: rumah panggung, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan bahan bangunan lokal; Koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 15%; (3) permukiman memiliki sarana: air bersih, sistem pengelolaan sampah skala kampung, MCK umum yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan, dan saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK umum dan rumah ke selokan atau sungai. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung atau permanen, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal, KDB sebesar 20%; (3) permukiman memiliki: sarana air bersih, sistem pengelolaan sampah pada skala kampung, sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air dan saluran drainase tertutup. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung atau permanen, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, luas rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal, dan KDB sebesar 30%; (3) permukiman memiliki sarana: air bersih, sistem pengelolaan sampah, MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air dan saluran drainase tertutup. Konsep permukiman SEBERLING merupakan perwujudan dari tiga aspek dalam konsep lingkungan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi yang dipadukan dengan permukiman. Kata kunci: DAS, gaya hidup, kesesuaian lahan, permukiman, pola permukiman @ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR PROVINSI JAWA BARAT RACHMAT MULYANA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Rinekso Sukmadi Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djaka Permana, M.Eng 2. Dr.Ir. Aris Munandar, MS. PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah permukiman dengan judul “Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Bapak Dr. Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan beasiswa BPPS selama tiga tahun dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) angkatan IV tahun 2006 – 2008 dengan tema ”Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa - Kota Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)” atas dukungan dana penelitian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Dr.Ir.Soekmana Soma (Departemen Pekerjaan Umum) dan Prof. Dr.Ir. Wahyu Qamara Munigsjah yang telah meluangkan waktunya berdiskusi dengan penulis; Bapak Uus selaku staf Lab Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan yang telah membantu dalam analisis data spasial. Ucapan terimakasih kepada Tim peneliti HPTP (Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS., Dr.Ir. Aris Munandar, MS., dan Dr.Ir. Nurhayati HSA); Tim Peneliti Pekarangan Departemen Arsitektur Lanskap dengan Rural Development Institute (Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS., Prof.Dr.Ir. Wahju Qamara Munigsjah, Dr.Ir. Aris Munandar, MS., Dr.Ir. Nurhayati HSA, Dr.Ir. Tati Budiarti, MS., Ir. Qodarian Pramukanto, MSc dan Ir. Kaswanto, MSi) yang telah memberikan pengalaman yang berharga; staf pengajar; staf administrasi PSL dan pascasarjana IPB serta teman-teman seperjuangan. Terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Oman Noerdin (alm), ibunda Suwarsih (almh), Teh Nani, Kang Asep, Teh Euis, Kang Dedi, Teh Doto, Teh Engkar dan Teh Eti atas kasih sayang, doa dan pengertian yang tulus selama penulis menyelesaikan disertasi ini. Kepada isteri Dr. Esi Emilia, MSi dan anakanak tercinta Gania, Gyanca, Ghalda, Geraldr terimakasih atas pengorbanan, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2009 Rachmat Mulyana RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1968 dari pasangan Oman Noerdin dan Suwarsih. Penulis merupakan putra bungsu dari delapan bersaudara. Pendidikan Dasar penulis tempuh di SDN Cipayung 2, SMPN Cisarua, dan STMN Bogor. Tahun 1987 penulis lulus dari STMN dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IKIP Padang pada Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Jurusan Teknik Bangunan melalui jalur PMDK. Setahun menjelang lulus, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan pada tahun 1993 penulis ditempatkan di IKIP Medan sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama. Tahun 1995 sampai 1996 penulis mengikuti program Pra Pasca di IPB dan pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003 dengan beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Tahun 2006 sampai 2008 penulis mengikuti Hibah Penelitian Tim Pascasarjana dengan judul: Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Pada tahun 2006 penulis juga terlibat dalam penelitian pekarangan se Jawa berjudul: Homestead Plot Sample Survay: Java kerjasama antara Departemen Arsitektur Lanskap IPB dengan Rural Development Institute (RDI) Seattle, USA. Karya ilmiah berupa poster berjudul “Karakteristik, bentuk dan perilaku penghuni permukiman di DAS Cianjur, Jawa Barat” telah disajikan pada Symposium of JSPS Core University Program in Applied Biosciences 28-29 February 2008, di University of Tokyo, Jepang. Satu buah artikel telah diterbitkan pada jurnal EMAS Volume 17 No. 3 periode Agustus 2007 dengan judul “Karakteristik bangunan rumah dan bentuk permukiman di wilayah DAS Cianjur, Jawa Barat”. Karyakarya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program doktor penulis. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... vii I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran....................................................................................... 1.6 Novelty........................................................................................................... 1 1 3 4 5 5 8 II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 2.1 Permukiman ................................................................................................... 2.2 Gaya Hidup Pengelolaan Lingkungan Permukiman...................................... 2.3 Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan........................................................ 2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) ......................................................................... 2.5 Kebijakan ....................................................................................................... 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ................................................................. 10 10 29 30 36 41 45 III BAHAN DAN METODE ..................................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 3.2 Bahan dan Alat Penelitian.............................................................................. 3.3 Rancangan Penelitian..................................................................................... 3.3.1 Kajian Analisis Pola Sebaran Permukiman di Wilayah DAS Cianjur.. 3.3.2 Kajian Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat terhadap Permukiman di DAS Cianjur ................................................. 3.3.3 Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di DAS Cianjur ....... 3.3.4 Merumuskan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan Berbasis DAS ................................................................... 52 52 53 53 53 68 IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................................... 4.1.1 Karakteristik Geografi ........................................................................... 4.1.2 Karakteristik Topografi.......................................................................... 4.1.3 Karakteristik Iklim ................................................................................. 4.1.4 Karakteristik Hidrogeologi .................................................................... 4.1.5 Karakteristik Tanah................................................................................ 4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana ................................................... 4.1.7 Penggunaan Lahan Aktual ..................................................................... 4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan ................................ 4.2 Pola Sebaran Permukiman .............................................................................. 71 71 71 73 73 74 79 79 82 82 84 56 58 4.2.1 Ukuran Permukiman .............................................................................. 84 4.2.2 Kepadatan Bangunan ............................................................................. 85 4.2.3 Tipe Permukiman................................................................................... 87 4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata............................................... 88 4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata ......................................................... 96 4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat terhadap Permukiman . 97 4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Permukiman ...................................................................... 97 4.3.2 Gaya Hidup Konsumen dalam Memilih Permukiman .......................... 101 4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata ....................... 107 4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman ...................................................................... 115 4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1) ......................................... 115 4.4.2 Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl) .......... 117 4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman........................ 119 4.4.4 Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-bwl)...................................................................... 122 4.5 Rumusan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan ............ 128 4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai............ 129 4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai ............ 135 4.5.3 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal ........ 141 4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan............................. 147 V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 151 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 151 5.2 Saran ............................................................................................................... 152 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 153 LAMPIRAN................................................................................................................ 163 DAFTAR TABEL Halaman 1 Kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk rumah sederhana sehat (Rs Sehat)....................................................................................................... 16 2 Kelas kesesuaian lahan ........................................................................................... 31 3 Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada metode evaluasi lahan........................................................................................................... 32 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa ruang bawah tanah........ 33 5 Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk pembuatan jalan dan pondasi ................................................................................... 34 6 Klasifikasi keberlanjutan untuk permukiman .......................................................... 35 7 Kriteria pada masing-masing subvariabel bentuk permukiman................................. 55 8 Skor parameter kemiringan lereng dalam kesesuaian lahan permukiman............... 61 9 Skor parameter elevasi dalam kesesuaian lahan permukiman .................................. 62 10 Skor parameter curah hujan dalam kesesuaian lahan permukiman .......................... 62 11 Skor parameter kedalaman efektif tanah dalam kesesuaian lahan permukiman .............................................................................................................. 63 12 Skor parameter kepekaan erosi dalam kesesuaian lahan permukiman ..................... 63 13 Skor parameter kedalaman air tanah dalam kesesuaian lahan permukiman............. 64 14 Skor parameter penutupan lahan dalam kesesuaian lahan permukiman................... 64 15 Skor parameter bahaya letusan gunung merapi dalam kesesuaian lahan permukiman .............................................................................................................. 65 16 Skor parameter bahaya banjir dalam kesesuaian lahan permukiman ....................... 65 17 Skor parameter pendapatan (PDRB) dalam kesesuaian lahan permukiman............. 66 18 Skor parameter jumlah anggota keluarga dalam kesesuaian lahan permukiman .............................................................................................................. 67 19 Skor parameter tingkat pendidikan dalam kesesuaian lahan permukiman .............. 67 20 Klasifikasi kesesuaian lahan permukiman ................................................................ 68 21 Pembobotan parameter untuk kesesuian lahan permukiman .................................... 69 22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif ........................ 71 23 Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 - 2007 ........................................................... 74 24 Hidrogeologi DAS Cianjur ..................................................................................... 75 25 Ukuran permukiman ............................................................................................... 85 26 Tipe kepadatan bangunan ....................................................................................... 86 27 Jenis konstruksi rumah responden .......................................................................... 89 28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur..................................... 91 29 Kelengkapan elemen ruang..................................................................................... 92 30 Jumlah rumah menurut luas lantai .......................................................................... 92 31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur ........................................................... 93 32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah ......................................................... 98 33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi dan MCK umum ................................... 99 34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair ........................................................... 100 35 Fasilitas umum di permukiman............................................................................... 100 36 Kegiatan pertemuan warga permukiman ................................................................ 101 37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman ................................................................ 102 38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata......................... 105 39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah................................................ 106 40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata.................................................. 108 41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan .............................................. 114 42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur............................................................................................................ 116 43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman(KLKim- bwl) ....................... 120 44 Luas permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman ............................ 123 45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut masyarakat Sunda ......................... 125 46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan ......................................................................... 128 47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai ...................................................................................... 132 48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman cukup sesuai....................................................................................... 139 49 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahanpermukiman sesuai marginal........................................................................... 145 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran konsep permukimann sehat dan berwawasan lingkungan berbasis DAS............................................................... 9 2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah..................... 11 3 Kelompok-kelompok dan Komplek dari rumah-rumah atau perkarangan rumah.............................................................................................. 11 4 Konsep Recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS......................................... 40 5 Contoh representasi objek titik untuk data posisi rumah .................................... 46 6 Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan dan atributnya ............. 46 7 Contoh representasi objek poligon untuk data landuse ...................................... 47 8 Lokasi penelitian ................................................................................................. 52 9 Lokasi Kecamatan di kawasan DAS Cianjur menurut ketinggian...................... 54 10 Rumah Kualitas................................................................................................... 57 11 Tahapan tumpang susun analisis kesesuaian lahan permukiman........................ 70 12 Peta Batas Kecamatan dalam Wilayah DAS Cianjur.......................................... 72 13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur .......................................................................... 76 14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur ........................................................ 77 15 Peta curah hujan DAS Cianjur ............................................................................ 78 16 Peta jenis tanah DAS Cianjur ............................................................................ 80 17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur ....................................................... 81 18 Peta penggunaan lahan di DAS Cianjur.............................................................. 83 19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur........................................ 87 20 Persentase penggunaan bahan dinding................................................................ 94 21 Persentase penggunaan bahan lantai ................................................................... 95 22 Persentase penggunaan bahan plapond ............................................................... 95 23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah ...................................................... 104 24 Kebutuhan konsumen, prioritas dan analisis competitive benchmaking.......... 109 25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur ....................................... 111 26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1) ............................................... 118 27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) ............................................. 121 28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) ................................................................................. 124 29 Skema konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan ...................... 147 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Beberapa hasil penelitian permukiman dan DAS ........................................ 163 2 Lahan yang diusulkan dapat dikonversi........................................................ 168 3 Kuesioner kebutuhan dan gaya hidup penghuni permukiman ...................... 170 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (Wahyudin 2005). Meskipun secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi, tanah longsor, sedimentasi sungai dan danau, serta kelangkaan air (Mawardi 2008). Peningkatan jumlah permukiman merupakan faktor yang memiliki keterkaitan erat dengan kerusakan lingkungan. Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir ini secara nasional mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada angka rata-rata kebutuhan rumah secara nasional yang masih tinggi pertahunnya yaitu sebesar 800 000 unit. Tahun 2001 tercatat sebesar 1 110 000 unit, tahun 2004 sebanyak 1 150 633 unit dan tahun 2007 sebesar 1 227 000 unit (Witoelar 2001; Shaphira 2008). Di sisi lain penyediaan rumah belum terpenuhi, sehingga setiap tahun terjadi kekurangan rumah. Secara kumulatif rumah yang belum terpenuhi sampai tahun 2001 sebanyak 4.3 juta unit, tahun 2004 sebanyak 5.3 juta unit dan tahun 2007 sebanyak 7.4 juta unit (Sugandhy 2002; Shaphira 2008). Di wilayah Kabupaten Cianjur backlog sebanyak 122 413 unit (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan permukiman mengakibatkan: 1) terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan menjadi permukiman, dan 2) munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Pola permukiman yang sporadis menyebabkan menurunnya kualitas permukiman seperti peningkatan jumlah rumah tidak layak huni mencapai 14.5 juta unit dan kawasan kumuh mencapai 47 500 hektar tersebar di lebih 10 000 lokasi (Kirmanto 2002). Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan menjadi lahan permukiman di wilayah DAS menyebabkan terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam yang digunakan untuk pertanian maupun permukiman (Edi 2007). Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Zona hulu DAS Cianjur mengalami perkembangan pesat dari segi pembangunan fisik maupun ekonomi karena merupakan wilayah pengembangan wisata. Hasil penelitian Syartinilia (2001) menemukan bahwa pertumbuhan pesat permukiman dan perumahan baru di zona DAS hulu disebabkan oleh kecenderungan tingkat urbanisasi yang tinggi. Perkembangan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di zona hulu DAS Cianjur. Perubahan penggunaan lahan didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan hutan menjadi permukiman tipe menengah hingga mewah serta villa. Di sisi lain, pertumbuhan permukiman perdesaan yang cenderung tidak terkendali mengakibatkan bentuk, ukuran dan tingkat kepadatan permukiman yang tidak layak dari segi kesehatan maupun ekologis. Perubahan penggunaan lahan tersebut juga mengakibatkan berkurangnya jumlah dan jenis tanaman yang berfungsi sebagai media untuk meresapkan air. Hasil penelitian Arifin (1998) menemukan bahwa tingkat urbanisasi mengakibatkan penurunan ukuran luas pekarangan, penurunan spesies tanaman non ornamental dan penurunan pada stratifikasi struktur tanaman. Berkuranganya luas pekarangan dan stratifikasi struktur tanaman mengakibatkan berkuranganya lahan dan media untuk meresapakan air. Hal ini mengakibatkan terganggunya sistem tata air berupa meningkatnya aliran permukaan dan menurunnya permukaan air tanah sebagai akibat meluasnya lahan kedap air (Sabar, 2001). DAS Cianjur merupakan DAS lokal, secara administratif berada di wilayah Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur merupakan satu wilayah yang termasuk kawasan Jabodetabek-Punjur. Kawasan Jabodetabek-Punjur dikategorikan sebagai “kawasan tertentu” dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN. “Kawasan tertentu” pengelolaannya menjadi satu kesatuan integral, yang diwujudkan dalam pola pemanfaatan ruang kawasan baik berupa kawasan lindung maupun kawasan budidaya dan struktur ruang kawasan (Akil 2002; Haeruman 2002). Berdasarkan hal tersebut menurut Alikodra (2004) sebaiknya satuan manajemen “kawasan tertentu” harus didasarkan atas pertimbangan satuan daerah aliran sungai. Sehubungan dengan itu penelitian ini berbasis DAS yang merupakan satu kesatuan ekosistem hulu, tengah dan hilir. Berbagai kajian wilayah menyebutkan bahwa penyelamatan DAS dari bahaya erosi, banjir dan kekeringan menjadi amat penting bagi kesejahteraan penduduk di sekitarnya (Haeruman 2002). Salah satu bentuk usaha yang dikembangkan untuk menyelamatkan DAS ke arah pencegahan erosi yaitu melalui penataan permukiman (Basso et al. 2000). Penataan permukiman skala DAS diperlukan mengingat satuan DAS memadukan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan secara biofisik antara zona hulu, tengah dan hilir. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang pencegahan kerusakan lingkungan melalui penataan arahan lokasi pengembangan permukiman sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan untuk permukiman. Sehubungan dengan itu, penelitian ini diharapkan akan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut: (1) bagaimana pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur, (2) bagaimana spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur?, (3) bagaimana kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ?, dan (4) bagaimana kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan? 1.2 Perumusan Masalah Kebutuhan rumah sejalan dengan perkembangan pertambahan jumlah penduduk, yang mana peningkatan jumlah penduduk akan berdampak pada peningkatan kebutuhan rumah. Pembangunan permukiman merupakan solusi sekaligus prioritas pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Hal ini berdampak pada alih fungsi lahan yang terus-menerus dilakukan guna memenuhi kebutuhan lahan untuk lokasi pembangunan permukiman. Alih fungsi lahan baik dari lahan pertanian, perkebunan maupun hutan menjadi lahan permukiman akan berdampak negatif terhadap lingkungan, apalagi proses alih fungsi lahan tersebut tidak memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya. Perkembangan permukiman yang cenderung tidak memperhatikan tingkat kesesuaian lahan berdampak pada kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi diantaranya adalah terganggunya sistem tata air. Ketika turun hujan akan mudah banjir dan ketika musim kemarau terjadi kekeringan. Kerusakan lingkungan juga dapat terjadi sebagai akibat pola perkembangan permukiman yang melebihi daya dukung lingkungan seperti tingkat kepadatan, ukuran dan bentuk permukiman. Agenda permukiman yang dicanangkan secara global adalah perumahan yang layak dan permukiman yang berkelanjutan. Agenda tersebut, sepenuhnya belum diimplementasikan oleh para stakeholder sehingga pembangunan permukiman memiliki kecenderungan berdampak negatif terhadap lingkungan. Oleh sebab itu perlu dibangun kesepahaman antara masyarakat selaku pengguna dan penghuni permukiman dan para stakeholder, khususnya para developer sebagai penyedia permukiman. Pembangunan permukiman seharusnya tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial (Camant 2001) dengan demikian akan terbentuk suatu kawasan permukiman berkelanjutan. Permukiman berkelanjutan akan memiliki karakter: (1) layak dari segi kesehatan; (2) hubungan sosial penghuni yang harmonis; (3) dan serasi dengan alam. Masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur 2) Bagaimana spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur ? 3) Bagaimana kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ? 4) Bagaimana kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan yang berbasis DAS. Secara khusus bertujuan untuk: 1) Menganalisis pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur 2) Menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur 3) Mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur 4) Merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat untuk : 1) Pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam membangun kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan. 2) Pengembangan akademis bagi peneliti khususnya dan ilmuwan yang konsen terhadap pengembangan permukiman. 3) Masyarakat, pengembang (developer) dan pemerintah daerah dalam pengembangan permukiman yang sehat dan berwawasan lingkungan 1.5 Kerangka Pemikiran Peningkatan kebutuhan rumah sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Pertumbuhan kebutuhan rumah terus mengalami kenaikan dan kebutuhan tersebut setiap tahunnya belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Hal ini mengakibatkan terjadinya: (1) ketidakteraturan pola permukiman; (2) perubahan dinamika trend kebutuhan; dan (3) permukiman tumbuh dan berkembang secara sporadis tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya. Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang secara sporadis dengan pola yang tidak teratur di sepanjang sungai atau jalan. Permukiman berkembang tanpa pola sehingga menimbulkan rumah-rumah tumbuh berhimpitan tanpa pekarangan dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman dengan tingkat kepadatan yang tinggi memiliki kecenderungan tidak memenuhi syarat kesehatan karena keterbatasan pola sirkulasi udara dan cahaya yang dibutuhkan dan sistem drainase yang buruk. Kondisi ini memicu terjadinya permukiman kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan lingkungan. Pertumbuhan kebutuhan permukiman juga berpengaruh pada perubahan dinamika trend kebutuhan dan gaya hidup dari segi desain rumah, pemilihan lokasi, dan nuansa lingkungan permukiman. Perubahan trend dipengaruhi gencarnya media elektronik maupun cetak yang mengekspos iklan-iklan tentang permukiman. Permukiman dengan berbagai nuasa ditawarkan dalam menarik minat konsumen sehingga pertumbuhan permukiman dengan berbagai desain dan nuansa arsitekur ke “barat-baratan” menjamur tidak hanya di wilayah perkotaaan, pinggiran kota, tetapi sudah sampai ke wilayah perdesaan bahkan sampai ke wilayah perbukitan atau pegunungan. Perubahan trend kebutuhan rumah dengan nuasa arsitektur ke “barat-baratan”, akan menimbulkan degradasi budaya baik dari segi arsitektur lokal dan gaya hidup. Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan pertanian yang potensial hingga merambah dipinggiran perbukitan dan hutan. Permukiman tumbuh dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan permukiman menunjukkan sesuai tidaknya lahan yang akan digunakan untuk permukiman baik dari segi keamanan, kenyamanan, dan kesehatan bagi penghuni berdasarkan beberapa parameter kesesuaian lahan untuk permukiman. Kesesuaian lahan permukiman berhubungan erat dengan kondisi lahan yang akan dialihfungsikan. Kondisi lahan yang akan dialihfungsikan menjadi lahan untuk permukiman memiliki pengaruh yang berbeda untuk masingmasing tata guna lahan, sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda untuk masing-masing kondisi lahan tersebut. Permukiman yang tidak memperhatikan tingkat kesesuaian lahan akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Permukiman yang tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan tidak sesuai dan memiliki kecenderungan tumbuh dan berkembang secara tidak teratur membentuk permukiman kumuh yang tidak layak dari kesehatan serta terjadinya perubahan trend kebutuhan rumah yang mengarah pada degradasi budaya, mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dari aspek ekologi yaitu terganggunya sistem tata air di wilayah DAS berupa terjadinya longsor, banjir dan kekeringan. Kerusakan lingkungan dari aspek sosial dan budaya berupa perubahan perilaku gaya hidup masyarakat baik dalam pengelolaan lingkungan maupun dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan permukiman. Guna meminimalkan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah DAS diperlukan kajian yang terpadu dari segi pola permukiman, trend gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, dan kesesuaian lahan untuk permukiman. Kajian pola permukiman ditujukan guna melihat kondisi permukiman existing di wilayah DAS. Unit permukiman yang ditinjau adalah kampung yang meliputi aspek ukuran permukiman, kepadatan bangunan, dan tipe permukiman (Van der Zee 1986) pada masing-masing zona DAS. Ukuran permukiman mengkaji tentang kapasitas kampung dalam hal jumlah rumah dan penghuninya. Kepadatan bangunan mengkaji tingkat kepadatan bangunan rumah dalam satu wilayah kampung. Tipe permukiman mengkaji posisi-posisi rumah dalam satu wilayah kampung. Berdasarkan kajian ini akan dirumuskan pola permukiman yang sehat dan berwawasan lingkungan pada masing-masing sub DAS. Kajian spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap kualitas permukiman diperlukan guna menganalisis perilaku dan gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman maupun dalam pemilihan kualitas permukiman. Perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan meliputi pengelolaan sampah, limbah padat dan cair, serta pemamfaatan sumberdaya alam berupa air bersih, air sungai, dan bahan bangunan untuk kebutuhan permukiman. Gaya hidup masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan permukiman didasarkan pada kajian tentang pemilihan, penampilan dan penataan rumah (Yoga 2007) meliputi: bentuk bangunan, keamanan, dan kebersihan. Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah quality function deployment dan SPSS. Kajian kesesuaian lahan permukiman dibangun berdasarkan konsep permukiman berwawasan lingkungan yaitu dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial (Camant 2001). Aspek ekologi dibangun berdasarkan beberapa parameter biofisik yaitu: kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung (Van der Zee 1990; Basso et.al 2000; Sugiarti 2000; Kelarestaghi 2003; Sani 2006; Hardjowigeno 2007; dan Ritung dkk 2007;). Aspek sosial terdiri atas besar keluarga, dan tingkat pendidikan (BKKBN 2002; Susanto 1997); dan aspek ekonomi yaitu tingkat pendapatan berupa PDRB perkapita (Rustiandi 2007). Kajian ini dianalisis menggunakan GIS untuk memetakan tingkat kesesuaian lahan permukiman diwilayah DAS. Berdasarkan ketiga kajian tersebut, selanjutnya dibangun rumusan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan untuk masing-masing zona DAS. Rumusan kriteria ini merupakan bentuk hubungan antara kelas kesesuaian lahan permukiman pada masing-masing zona DAS dengan pola permukiman dan perilaku atau gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman. Rumusan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan selanjutnya dijadikan dasar dalam menyusun konsep permukiman sehat berwawasan lingkungan (Gambar 1). 1.6 Novelty Kajian terhadap permukiman telah banyak dilakukan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaaan. Kajian yang sudah dilakukan tersebut bersifat luas dalam ruang lingkup wilayah administratif. Penelitian ini mengkaji permukiman di zona DAS hulu, tengah dan hilir yang merupakan satu kesatuan ekosistem DAS. Sehubungan dengan itu, pembaharuan (novelty) dalam penelitian ini adalah konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan berbasis DAS yang dibangun berdasarkan tools evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman, pola permukiman, dan spesifikasi kebutuhan serta gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman. Van der Zee & SPSS Ketidakteraturan Pola permukiman Peningkatan kebutuhan rumah Permukiman berada pada lahan tidak sesuai Dinamika trend kebutuhan Kerusakan lingkungan Di wilayah DAS GIS Quality Function Devlopment & SPSS Pola permukiman -Ukuran Permukiman -Kepadatan Bangunan -Tipe Permukiman Kesesuaian lahan permukiman: -Biofisik -Ekonomi -Sosial Kriteria Permukiman sehat berwawasan lingkungan Konsep Permukiman Sehat Berwawasan Lingkungan Spesifikasi kebutuhan penghuni permukiman -Gaya Hidup pengelolaan lingkungan Permukiman -Gaya Hidup Memilih Permukiman Gambar 1 Kerangka pemikiran konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permukiman 2.1.1 Konsep Permukiman Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.4 tahun 1992 adalah sebagai suatu kelompok yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi. Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net work) yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik. 2.1.2 Bentuk-bentuk Permukiman Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1) rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah (Gambar 2). Kapling rumah atau ruang perkarangan Kebun Rumah Tanah dan Rumah a.Tanah kapling rumah atau ruang perkarangan b.Rumah dan struktur lainnya Kebun Tanah dan rumah c. Perkarangan rumah Gambar 2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah (Sumber: Van der zee 1986) Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek (Gambar 3). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah. a. Rumah-rumah tunggal dan perkarangan rumah b.Kelompok-kelompok rumah dan perkarangan rumah c. Komplek rumah-rumah dan perkarangan rumah Gambar 3 Kelompok-kelompok dan komplek dari rumah-rumah atau perkarangan rumah (Sumber: Van der zee 1986) 2.1.3 Konsep Perumahan Budihardjo (1998) membedakan antara rumah dan perumahan. Rumah adalah suatu kehidupannya. bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan Disamping itu juga rumah merupakan tempat dimana berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku didalam suatu masyarakat. Secara umum rumah memiliki kegunaan sebagai: (1) tempat berlindung yaitu melindungi penghuninya dari pengaruh luar seperti hujan, sinar matahari, binatang, dan sebagainya; (2) tempat pembinaan dan kegiatan keluarga sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan berbagai kegiatan bersama, membina kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga (Sukamto 2004). Perumahan merupakan daerah dimana terdapat sekelompok rumah. Setiap perumahan memiliki sistem nilai dan kebiasaan yang berlaku bagi setiap warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan lainnya. Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia adalah pengejawatahan diri manusia, baik bersifat pribadi maupun dalam satu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya (Sutrisna 1996). Dalam kaitan ini, alam dengan unsur utamanya tanah sebagai tempat tinggal dan sekaligus sarana yang memberikan kehidupan, menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kelestarian dan pengembangan dirinya setelah melalui pengolahan sesuai dengan fungsinya bagi manusia. Lebih lanjut Mills (1987) menyatakan bahwa perumahan tidak hanya sekedar tempat berlindung tetapi juga merupakan sebidang lahan tempat tinggal dengan pelayanan yang ada di lokasi tersebut (air bersih, listrik, telepon, tempat sampah dan lain-lain) dan kemudahan yang memungkinkan ke pelayanan di luar lokasi (pendidikan, pusat kesehatan dan sebagainya) tempat bekerja dan fasilitas lainnya. Secara luas perumahan adalah elemen penting dari pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi. Kaidah perencanaan kawasan perumahan yang harus mendapat perhatian dan pertimbangan (Silas 2001), yaitu: (1) penggunaan lahan yang efisien – efektif dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (2) orientasi bangunan perlu memperhatikan arah angin disamping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan lorong terutama disearahkan dengan arah aliran angin sebagai koridor angin yang menjaga kesejukan lingkungan; (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan sebagai taman komunal; (4) Tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal, termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan system kota yang lebih besar; dan (5) ada penghijauan dan badan air yang cukup serta menyebar untuk menjaga mutu dan keajegan iklim mikro yang baik. Ini perlu sebagai kompensasi dari perumahan warga berpendapatan rendah yang cenderung dengan kepadatan tinggi. Lebih lanjut menurut Silas (2001), kaidah yang mendasar yang perlu diperhatikan dalam perencanaan rumah adalah: (1) ada fleksibilitas penataan ruang, utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah; 2) memilih bahan bangunan yang mudah diperoleh di daerah setempat dan sudah akrab digunakan oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian setempat; (3) penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak terkotak-kotak kecil, berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan cahaya yang tinggi; dan (4) tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan bangunan yang lazim di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang lebar, teduh dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat merupakan dasar yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Perlu memberi muatan local yang diambil dari prinsip unsur arsitektur tradisional setempat. Batasan mengenai tipe rumah dalam pedoman pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan Keputusan Menpera No.4/KPTS/BKP4N/1995 tentang klasifikasi rumah tidak bersusun terdiri dari karakteristik fisik dan non fisik. Karakteristik fisik/ bangunan rumah, yaitu sebagai berikut: 1) Rumah sangat sederhana (RSS) adalah rumah tidak bersusun yang pada tahap awalnya menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhana dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial. 2) Rumah sederhana (RS) adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun dengan luas kavling 54 m2 sampai dengan 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah di atas tipe C yang berlaku, yang meliputi rumah sampai dengan tipe besar, rumah sederhana dan kavling siap bangun. 3) Rumah menengah adalah bangunan tidak bersusun dengan luas lantai bangunan diatas 70 m2 sampai dengan 150 m2 dengan luas kavling 200 m2 sampai dengan 600 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 di atas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas C sampai kelas A yang berlaku. 4) Rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling antara 600 m2 sampai 2000 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas A yang berlaku. Karakteristik non fisik/bangunan pada umumnya meliputi: (1) penyediaan fasilitas umum (seperti saluran air minum, listrik, telepon, pelayanan kesehatan, jalan yang memadai); (2) komposisi sosial ekonomi (tingkat pendapatan, pendidikan, dan sebagainya); dan (3) komposisi demografi (kepadatan penduduk, kepadatan bangunan). 2.1.4 Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa kota menurut Koestoer (1995), pembentukkannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air, misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah. Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota) membentuk pola yang spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan kota menjangkau wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya. Selanjutnya pembangunan jalan di wilayah perbatasan kota banyak mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti sediakala yang tidak teratur dengan bangunan semi permanen. 2.1.5 Rumah Sehat dan Berwawasan Lingkungan 2.1.5.1 Rumah Sehat Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang vital, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Menurut World Health Organization (WHO), rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan 2001). Sejalan dengan itu, maka rumah sehat didefinisikan sebagai bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif. Keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik (Keman 2005). Lebih lanjut menurut Sukamto (2004) rumah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Memenuhi segi kesehatan (1) Memiliki penerangan dan peranginan yang cukup (2) Memiliki sarana penyediaan air bersih (3) Memiliki sarana pengaturan pembuangan air limbah (4) Dinding dan lantai tidak lembab (5) Tidak terpengaruh oleh gangguan pencemaran seperti bau, rembesan air kotor, udara kotor 2) Memenuhi segi kekuatan bangunan 3) Memenuhi segi kenyamanan (1) Tersedia ruang yang cukup (2) Ukuran ruang sesuai dengan kebutuhan, minimal 9 m2 per orang dengan ketinggian minimal 2,80 m. Salah satu contoh kebutuhan luas minimum untuk rumah sederhana sehat adalah 27 m2 (Tabel 1). Tabel 1 Kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk rumah sederhana sehat Standar Per jiwa (m2 ) (Ambang batas) 7,2 (Indonesia) 9,0 (Internasional) 12,0 Luas (m2) untuk 3 jiwa Unit Rumah Luas (m2) untuk 4 jiwa Lahan Min Efektif Ideal 21,6 60 72– 90 200 27,0 60 72-90 36,0 60 - Unit Rumah Luas Efekti f 72-90 Ideal 28,8 Mi n 60 200 36,0 60 72-90 200 - 48,0 60 -- -- 200 (Sumber: Kantor Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002) (3) Penataan ruang yang serasi (4) Dekorasi dan warna yang sesuai (5) Penghijauan di pekarangan rumah 4) Dapat terjangkau Sehubungan dengan itu, standar kebutuhan ruang untuk rumah sehat adalah 2 12 m per orang (18 m 2 untuk dua orang, 27 m2 untuk tiga orang dan seterusnya). Pada Repelita VI dan PJPT II diharapkan dapat meningkat menjadi 14 m2. Dalam kaitannya dengan standar rumah sehat, menurut Mangunwijaya (1994) diperlukan guna memenuhi kenyamanan fisik dan kenyamanan psikologis penghuni. Kenyamanan fisik dimaksudkan sebagai kenyamanan yang menyangkut segi-segi fisik biologis manusia yang secara hakiki memerlukan perlindungan terhadap gangguan alam, cuaca dan makhluk-makhluk lain. Sedangkan kenyamanan psikologis merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial. Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan berorientasi pada lokasi, bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak, mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun limbah lainnya (Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan 2001). Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Sanropie 1992; Azwar 1996). Komponen yang harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya 1997) adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar sehingga memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3) memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4)dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan ( privacy) penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari, minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau gipsum; serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan Perumahan sehat harus memenuhi syarat kesehatan lingkungan, ketertiban, keserasian lingkungan, prasarana dan sarana, serta keamanan. Persyaratan tersebut di antaranya: 1) Memenuhi segi kesehatan lingkungan Artinya komponen-komponen perumahan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, seperti: (1) penyediaan prasarana lingkungan; (2) penyediaan fasilitas lingkungan; (3) pengamanan lingkungan terhadap pencemaran. 2) Memenuhi segi ketertiban Perumahan akan berada pada kondisi aman dan tertib, apabila: (1) mematuhi peraturan tata letak bangunan dan perumahan agar terhindar dari berbagai bencana seperti kebakaran dan longsor; dan (2) dilengkapi dengan penerangan jalan yang cukup dan warga bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya. 3) Memperhatikan keserasian lingkungan Untuk dapat tinggal dengan aman dan nyaman dalam suatu perumahan, perlu diusahakan hal-hal sebagai berikut: (1) melestarikan pohon pelindung dan taman untuk menguatkan tanah dan penyimpanan air dan penyegaran udara serta memberikan pemandangan indah; (2) memberi penerangan alami dan buatan yang mencukupi; (3) mengatur tata letak perumahan sehingga cukup serasi; (4) cukup jauh jaraknya dengan komplek industri yang mengeluarkan banyak asap kotor dan mengandung racun atau debu atau dapat menyakibatkan pencemaran udara atau air dan tanah; dan (5) cukup jauh dari tempat-tempat yang dapat mengganggu kesehatan, kesejahteraan dan moral masyarakat. 4) Terpenuhi sarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan kebutuhan penduduknya: (1) fasilitas keagamaan; (2) fasilitas kesehatan; (3) fasilitas ekonomi; (4) fasilitas pendidikan; (5) fasilitas sosial; (6) fasilitas keamanan; dan (7) fasilitas rekreasi. 5) Terpenuhi prasarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan kebutuhan penduduknya: (1) jaringan jalan dan jembatan; (2) sistem pemberian air minum atau air bersih; (3) jaringan listrik; (4) jaringan telepon; (5) sitem pembuangan air hujan (saluran terbuka atau tertutup dan air kotor atau limbah rumah tangga); dan (6) sistem pengangkutan dan pembuangan sampah dan kotoran lainnya. 6) Adanya pengamanan lingkungan terhadap pencemaran seperti pemeliharaan sumber-sumber air bersih, usaha untuk konservasi air, pencegahan banjir, pembuangan sampah dan limbah yang mengganggu (Sukamto 2004). Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999 meliputi parameter sebagai berikut : 1) Lokasi (1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya; (2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang; (3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. 2) Kualitas udara Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut : (1) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi; (2) Debu dengan diameter kurang dari 10 g/m3 maksimum 150g/m3; (3) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm; (4) Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari. 3) Kebisingan dan getaran (1) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A; (2) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik . 4) Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman (1) Kandungan timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg (2) Kandungan arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg (3) Kandungan cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg (4) Kandungan benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg 5) Prasarana dan sarana lingkungan (1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan; (2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit; (3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata; (4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan; (5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan; (6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat kesehatan; (7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya; (8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya; (9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan. 6) Vektor penyakit (1) Indeks lalat harus memenuhi syarat; (2) Indeks jentik nyamuk dibawah 5%. 7) Penghijauan Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam. 2.1.5.2 Rumah Berwawasan Lingkungan Pergeseran fungsi rumah yang tidak hanya sekedar sebagai tempat berlindung tetapi juga sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga, istirahat dengan nuansa kenyamanan, menemukan inspirasi dan berkreasi, dan memperoleh nuasa alami. Kebutuhan memperoleh nilai dan fungsi lebih dari sebuah rumah, membuat perkembangan perumahan menuju ke arah pembangunan nuansa ekologis. Guna mewujudkan pembangunan secara ekologis harus memperhatikan arsitektur dari tiga tingkatan, yaitu: perencanaan secara ekologis, pembangunan kesehatan manusia dan lingkungan, dan bahan bangunan yang sehat (Frick dan Suskiyatno 1998). Pembangunan secara ekologis berarti pemanfaatan prinsip-prinsip ekologis pada perencanaan lingkungan buatan. Pada pembangunan biasa seluruh gedung berfungsi sebagai sistem yang memintas, yang mengurangi kualitas lingkungan. Akan tetapi, baik rumah maupun pedesaan harus dianggap sebagai ekosistem yang berhubungan erat pada hukum alam. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya dinamakan arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. Eko-arsitektur mengandung dimensi seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, dan teknik bangunan. Menurut Frick dan Suskiyatno (1998) perencanaan eko-arsitektur berpedoman pada alam sebagai polanya, sehingga suatu perencanaan harus memenuhi persyaratan berikut ini: 1) Penyesuaian pada lingkungan alam 2) Menghemat sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan mengirit penggunaan energi. 3) Memelihara sumber lingkungan (udara, tanah, dan air) 4) Memelihara dan memperbaiki peredaran alam 5) Mengurangi ketergantungan pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah). 6) Penghuni ikut serta secara aktif pada perencanaan pembangunan dan pemeliharaan perumahan. 7) Tempat kerja dan permukiman dekat 8) Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhannya sehari-hari 9) Menggunakan teknologi sederhana. Reintegrasi kebiasaan kehidupan yang makin lama makin terpisah-pisah (permukiman, produksi, konsumsi, hiburan, dan peristirahatan) pada permukiman atau daerah perumahan harus ditingkatkan. Akibat reintegrasi tersebut di atas adalah perkembangan baru, dalam tata kemasyarakatan maupun dalam perencanaan ruang. Nuansa ekologis dari sebuah hunian mulai dikembangkan dari mulai unit desain rumah (ecohousing), kawasan perumahan sampai pada suatu desa berwawasan lingkungan (ecovillage). Ecohousing atau cohousing merupakan suatu istilah yang diciptakan oleh dua arsitek Amerika, yaitu Kathryn Mc Camant dan Charles Durret guna menjelaskan sebuah rencana perumahan yang dikembangkan di Denmark kurang lebih 30 tahun yang lalu dan sekarang semakin banyak diadopsi di seluruh Eropa dan Amerika Utara. Pengembangan dan pengelolaan tempat tinggal dilakukan oleh mereka sendiri yang merupakan kombinasi anatomi dari rumah tinggal pribadi dengan keuntungan hidup bermasyarakat. Gambaran nilai dari sebuah cohousing adalah rumah tinggal individu didesain untuk diisi sendiri, namun demikian selain setiap rumah memiliki dapur, kamar mandi dan area kehidupan sendiri tetapi juga memiliki fasilitas umum luas dan khusus untuk makan malam boleh memilih pada rumah umum (Mc Camant and Durret 2001). Cohousing adalah sebuah bentuk perumahan atas dasar kerjasama atau semi kolektif. Mereka khas terdiri dari 20 -30 kelompok rumah kota. Ecovillage pada dasarnya merupakan sebuah usaha modern untuk dapat hidup dalam suatu keharmonisan dengan alam dan dan dengan lainnya (Gibellini 2001). Ecovillage adalah gambaran dari permukiman manusia seutuhnya yang mana tidak membahayakan segala aktivitas manusia yang terintegrasi ke dalam dunia alami, yang didukung oleh pengembangan kesehatan manusia dan dapat terus berlanjut sampai masa depan yang tak terbatas (Mc Camant dan Durret 2001). Ecovillage menggunakan teknologi energi terbaharui, bangunan bernuansa ekologi dan didesain skala manusia untuk mengurangi eksploitasi sumberdaya alam, fasilitas kepercayaan masyarakat sendiri dan meningkatkan kualitas hidup. Sebuah ecovillage didesain dalam keharmonisan dengan bioregion sebagai pengganti teknik landscape untuk mendesain tanaman yang baik. Didasari pemikiran bioregion, permukiman berkelanjutan direncanakan terdiri dari ketersediaan air, kemampuan mengolah limbah, generate power dan kemudahan (akses) ketempat bekerja dan pelayanan (Gibellini 2001). Ecovillage, apakah di perkotaan atau di perdesaan merupakan suatu usaha bersama-sama untuk membawa beberapa alat untuk hidup berkelanjutan yang mana sekarang sebagian besar tersedia untuk kita. Tantangannya adalah menggabungkan menjadi sebuah keseluruhan, membangun lingkungan daerah, mata pencaharian, ekologi, proses pengambilan keputusan pribadi dan kelompok. Ecovillage dalam lingkungan perkotaan merupakan sebuah blok bangunan alami ke arah eco-cities. Mc Camant dan Durret (2001) mendeskripsikan sebuah permukiman berkelanjutan melalui gambaran pada tiga sektor yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi. Gambaran lingkungan dari sebuah permukiman berkelanjutan merupakan suatu lingkungan ekologi yang berkualitas tinggi dan menarik, yang dapat dilihat dari penggabungan arsitektur fisik lingkungan berkelanjutan dan teknologi serta desain lanskap berkelanjutan. Gambaran sosial dari sebuah permukiman berkelanjutan adalah perencanaan yang melihat kebutuhan dari kelompok umur muda, menengah dan tua, sehingga tercipta kampung antar generasi. Mencoba untuk menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat dengan cara membuat keduanya tumbuh subur. Gambaran sektor ekonomi dari sebuah permukiman berkelanjutan, menurut Mc Camant dan Durret (2001) merupakan penggunaan karakter perkampungan perkotaan (urban villages). Urban villages adalah konsep perencanaan yang berasal dari kota bebas mobil. Dasar ide ini adalah untuk penambahan kepadatan di sekitar pusat-pusat trasportasi, dan untuk menggunakan campuran yang memiliki rumah dekat toko dan kantor. Ini memperbaiki kemudahan untuk mencapai dan mengurangi penggunaan mobil. Secara umum mendorong berjalan kaki dan memperbaiki fasilitas pejalan kaki oleh pembangunan jalur hijau. Terdapat lima prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan yang harus dikembangkan sesuai dengan kondisi awal yang ada, yaitu: (1) mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada; (2) penggunaan energi yang minimal; (3) pengendalian limbah dan pencemaran; (4) menjaga kelanjutan sistem sosial budaya lokal; dan (5) peningkatan pemahaman konsep lingkungan (Kantor Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Menurut Silas (2001), rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang, yaitu: 1) Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara social, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinpirasi untuk melakukan tugasnya lebih baik; 2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang dapat digunakan terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah efektivitas konsumsi energi; 3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteran penghuninya secara fisik dan spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan spiritual; 4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas social ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi dari keadaan non fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut; dan 5) Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi dengan tetangga. 2.1.5.3 Beberapa Hasil Penelitian Permukiman Beberapa hasil penelitian permukiman dan perumahan yang telah dilakukan mengenai kepuasaan hunian, model permukiman perkotaan, perkembangan permukiman, konsep dasar pencegahan kejahatan melalui perancangan lingkungan perumahan secara umum menemukan bahwa ketersediaan fasilitas umum dan sosial terutama tempat rekreasi masih terbatas dan masih rendahnya tingkat keamanan. Hasil-hasil penelitian tentang permukiman dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil penelitian Koebel et al. (1999) pada 8 lokasi perumahan dan apartemen dengan jumlah responden sebanyak 621 mengenai tingkat kepuasan penghuni terhadap pemeliharaan dan pengeloaan beberapa fasilitas hunian, menemukan bahwa yang memiliki rating rendah adalah pengelolaan keamanan, dan keterbatasan sarana rekreasi di lingkungan perumahan. Aurelia (2002) melakukan penelitian tentang hubungan antara harga penjualan dan karakteristik perumahan (living area, jumlah ruangan, umur, jarak dari daerah lanskap, dan lain-lain) menggunakan bentuk linier, logaritma, dan timbal balik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel utama yang mempengaruhi harga adalah living area dari tempat tinggal. Variabel lain secara statistik signifikan adalah ukuran balkon, jumlah kamar mandi, umur bangunan, keberadaan elevator, dan keberadaan gudang kecil. Model timbal-balik menunjukkan bahwa living area minimum adalah 48 m2 (sebuah studio, sebuah kantor atau apartemen kecil perkotaan). Variabel lingkungan yaitu jarak dari daerah hijau mempengaruhi harga rumah. Kobayashi (2004) mengembangkan model bentuk permukiman perkotaan dengan melihat tingkat perkembangan jenis bangunan (rumah, toko, pabrik, kantor dll.), tahun pembangunan, luas lantai, jenis struktur dan bahan bangunan untuk menganalisis tingkat emisi yang ditimbulkan dengan menggunakan formula Life-Cycle-Emission. Hasil penelitian ini memperoleh suatu model permukiman perkotaaan yang dibangun berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dan pihakpihak terkait tentang pola bentuk permukiman. Yu Zhou (2004) melakukan penelitian untuk melihat tingkat perkembangan permukiman dari tahun 1990 – 2000 di empat kota di China yaitu: Beijing, Tianjin, Shanghai, dan Chongqing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perkembangan pesat baik secara fisik (kondisi perumahan, fasilitas, ukuran rumah) maupun sosial (tata aturan penghunian). Astuti (2005) meneliti tentang tingkat kriminal atau kejahatan yang terjadi di lingkungan perumahan di tiga kota besar yaitu: Bandung, Medan dan Jakarta. Hasil penelitian ini memperoleh suatu konsep dasar pencegahan kejahatan melalui perancangan lingkung perumahan. 2.1.6 Konsep Arsitektur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Sunda Pada umumnya konsep arsitektur tradisional menempatkan unsur alam sebagai konsep dasar rancangannya. Sebaliknya di dalam arsitektur modern aspek manusia berdiri sebagai pusat segalanya atau sebagai titik sentral. Dalam pikiran mitologis atau mitis manusia masih menghayati diri tenggelam bersama seluruh alam dan dunia gaib (Loupias 2005). Sebagian besar konsep dasar bangunan arsitektur tradisional bersumber dari alam yang digambarkan melalui mitos-mitos, kepercayaan atau agama. Refleksi kekuatan di luar manusia tersebut acapkali diwujudkan dalam berbagai hal, misalnya dalam wujud bangunan, penataan kawasan maupun penggunaan elemen dekorasi. Berdasarkan pengamatan selama ini bentuk atau gaya arsitektur bangunan di beberapa suku tiada lain sebagai refleksi terhadap fenomena alam ketimbang aspek fungsional. Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut tercermin pada sebutan bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat tinggal bagi masyarakat Sunda karena istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara halus rumah atau tempat tinggal orang Sunda. Konsep tersebut disiratkan pada kepercayaan masyarakat setempat terhadap "agama" karuhun urang (nenek moyang kita) yaitu sebuah bentuk sinkretisme antara agama Hindu dan ajaran Islam. Kepercayaan masyarakat terhadap lima pamali (lima larangan atau tabu) yang dua diantaranya melarang menambah jumlah bangunan serta memelihara binatang berkaki empat kecuali kucing ternyata sangat efektif didalam menjaga kelestarian kompleks dengan lingkungannya. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk bangunan yang sederhana. Sedangkan wujud interaksi dengan alam diperlihatkan pada konsep menempatkan bangunan-bangunan tersebut yang membujur dari timur ke barat dengan cara mengikuti pola peredaran Matahari. Tidak berusaha menentang sifat-sifat alam semesta. Dampaknya sinar tidak langsung menerpa ruangan didalamnya sehingga sirkulasi suhu dan cahaya di dalam ruangan berubah secara alamiah (Loupias 2005). Masyarakat Sunda dalam membina lingkungannya cenderung menitikberatkan sisi-sisi ekologis seharusnya dapat menyadarkan kita lebih awal bahwa arsitektur Sunda memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekedar bentuk atap. Mungkin ada kelompok budaya yang aspek bentukannya sedemikian menonjol sehingga melalui satu aspek saja sudah cukup untuk 'berteriak'. Arsitektur di Tatar Sunda nampaknya lebih condong untuk integratif, paduan dari banyak unsurnyalah yang akan menampilkan jati dirinya, bukan hanya dari satu unsur saja. Struktur arsitektural kampung sudah baku, bahkan secara visual mungkin tidak bisa kita bedakan dengan kampung-kampung agak ke pedalaman masa ini. Unsurunsur terpenting kampung adalah: (1) rumah adat (bumi ageung) yang kemudian bergeser fungsi menjadi langgar atau mesjid, namun tetap merupakan pusat kegiatan masyarakatnya; (2) rumah keluarga batih, yaitu kediaman sepasang suami isteri dengan anak-anak lelaki yang belum aqil-balik dan anak perempuan yang belum kawin, ditambah beberapa kerabat-darah terdekat; dan (3) bangunan penyimpanan dan pengolahan padi, yaitu leuit dan saung lisung kolektif (Loupias 2005). Mungkin masih ada bangunan-bangunan lain seperti rumah huma, bangunan penjagaan dan lain-lain tetapi tidak merupakan unsur yang tipikal. Mungkin orientasi bangunan masih menaati sisa-sisa pemujaan kesuburan dengan mengutamakan arahan-arahan Timur-Barat. Bangunan berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban cukup besar. Dengan cara demikian posisi lantai tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah sehingga udara lembab dari tanah maupun debu dapat dihindarkan. Bagian lantai yang dibuat dari palupuh yakni lembaran bambu hasil cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat. Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas lantai. Dinding terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubanglubang kecil seperti "pori-pori" yang juga berfungsi sebagai ventilasi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya. Dengan demikian suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi cuaca alam di luar. Disamping itu pun tidak perlu mengandalkan cahaya yang masuk sepenuhnya melalui jendela. Sebenarnya pola bangunan dan penggunaan bahan-bahan alami merupakan hal yang lazim di kalangan Masyarakat Sunda atau masyarakat tradisional lainnya. Pada bangunan prototipe suhunan julang ngapak daun pintunya juga menggunakan anyaman bambu yang disebut sarigsig (anyaman) sedangkan bangunan lainnya sudah menggunakan daun pintu dari kayu. Keistimewaan dari teknik sarigsig tersebut bisa melihat dari dalam ke keluar tetapi yang dari luar tidak dapat menembus ke dalam. Udara segar dari luar pun masih bisa mengalir melalui celah-celah sarigsig tersebut (Loupias 2005). Bentuk atap atau suhunan bangunan berupa suhunan jolopong (membujur, tergolek lurus) dengan atap dari genting atau bentuk suhunan julang ngapak (burung Julang sedang mengepakan sayap) dengan bahan ijuk (Loupias 2005). Bentuk suhunan jolopong dianggap sebagai bentuk atap paling tua. Hal ini dikaitkan dengan bentuk atap bangunan saung (dangau) yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat tradisional. Bentuk suhunan jolopong juga menyiratkan status sosial masyarakatnya yang berasal dari golongan bawah, sederhana, berpikiran praktis serta menggambarkan nilai-nilai yang dijunjungnya, antara lain membangun hubungan secara horizontal sesama manusia. Dalam Ajaran Islam hubungan sesama manusia termasuk salah satu ajaran utamanya. Coba bandingkan dengan bentuk atap bangunan arsitektur modern yang bervariatif, kompleks, rumit dan sekaligus sebagai tanda atau "teks" yang dapat dibaca mengenai status sosial dan citra pemilik atau penghuninya. Bentuk suhunan julang ngapak memiliki empat bidang, dua diantaranya disusun seperti halnya suhunan jolopong. Hanya pada suhunan julang ngapak terdapat atap tambahan di kedua sisinya, di depan dan di belakang dengan kemiringan yang lebih landai yang disebut leang-leang. Pada suhunan julang ngapak atapnya menggunakan anyaman ijuk. Di kedua ujung atasnya diikat dengan teknik capit hurang (jepitan udang). Menurut arsitek Belanda Maclaine Pont, suhunan julang ngapak termasuk gaya arsitektur Sunda besar yang bercirikan bentuk atap yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tamengtameng yang menggantung di depannya (Loupias 2005). 2.2. Gaya Hidup Pengelolaan Lingkungan Permukiman Gaya hidup merupakan cara hidup atau gaya kehidupan yang direfleksikan dengan tingkah laku dan nilai-nilai dari individu atau kelompok (Garman 1991). Menurut Vander Zanden (1984) gaya hidup adalah pola kehidupan sekelompok orang secara keseluruhan yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosial dan emosional mereka. Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan lingkungan. Gaya hidup adalah pola atau cara dimana orng hidup dan menghabiskan waktu serta uang (Engel, Blackwell dan Miniard 1994). Beberapa hal yang termasuk gaya hidup diantaranya adalah memilih desain bangunan rumah dan mengelola rumah beserta lingkungannya. Gaya hidup, rumah, dan lingkungan merupakan tiga kata serangkai yang saling berkaitan erat dan sangat menentukan dalam pemilihan, penampilan, dan penataan rumah. Penawaran berbagai gaya rumah sering kali dipengaruhi trend baik rumah bergaya alami, modern, kontemporer, mediterania, futuristik, maupun country, yang akan mempengaruhi tampilan suasana permukiman, bentuk rumah, jenis bahan bangunan, cat, keramik, perabotan, dan bentuk taman. Perubahan gaya hidup dalam memilih desain rumah selalu sejalan dengan trend karya arsitektur bangunan yang sedang semaraknya dipromosikan oleh para pengembang permukiman. Ditengah krisis ekonomi, lingkungan, dan energi saat ini telah mendorong berbagai kalangan (arsitek, arsitek lanskap, desain interior, dan produsen bahan bangunan) untuk mengubah desain bangunan rumah ke arah membangun yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Joga 2007). Bangunan dirancang dan dibangun hemat energi (minimalisasi listrik untuk penerangan dan pengondisi udara di siang hari) sesuai iklim tropis. Rumah dibangun sesuai dengan kebutuhan utama penghuni rumah. Volume bangunan dijaga agar biaya pembangunan dan perawatan dapat dihemat. Perbandingan koefisien dasar bangunan (KDB, 50-70 %) dan koefisien dasar hijau (KDH, 30-50 %) yang seimbang diharapkan mampu mewujudkan hunian ideal dan sehat. Perilaku gaya hidup dalam pengelolaan lingkungan permukiman seperti: (1) mengoptimalan bahan dan teknologi lokal yang sudah teruji akan menghemat biaya pelaksanaan dan perawatan; (2) membudayakan pemakaian hemat air dan memaksimalkan lahan hijau sebagai sumur resapan air (kebutuhan dan suplai air bersih terjaga seimbang); dan (3) mengolah limbah air kotor, septik tank, dan sampah secara kolektif, terpadu, dan tuntas. 2.3. Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji (Ritung et al. 2007). Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. 2.3.1 Klasifikasi kesesuaian lahan Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat ordo, kelas, sub kelas dan unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=not suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Kelas kesesuaian lahan berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan dibedakan menjadi: (1) Pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N). Tabel 2 Kelas kesesuaian lahan Kesesuaian Lahan Kelas S1 (Sangat sesuai) Kelas S2 (Cukup sesuai) Kelas S3 (Sesuai marginal) Kelas N (Tidak sesuai) Deskripsi Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau intervensi pemerintah atau pihak swasta. Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi. Sumber: Hardjowigeno (2007) Sub kelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. Berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. 2.3.2 Kualitas dan Karakteristik Lahan Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan (FAO 1976). Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau ditaksir besarnya seperti: lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya (Hardjowigeno 2007). Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidaknya tanah diolah, dan kepekaan erosi. Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan diberikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada metode evaluasi lahan Kualitas Lahan Temperatur (tc) Karakteristik Lahan Temperatur rata -rata (oC) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm), Kelembaban (%), Lamanya Bulan kering (bln) Drainase Tekstur, Bahan kasar (%), Kedalaman tanah (cm) Ketersediaan oksigen (oa) Keadaan media perakaran (rc) Gambut Retensi hara (nr) Toksisitas (xc) Sodisitas (xn) Bahaya sulfidik (xs) Bahaya erosi (eh) Bahaya banjir (fh) Penyiapan lahan (lp) Ketebalan (cm), Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan, Kematangan KTK liat (cmol/kg), Kejenuhan basa (%), pH COrganik (%) Salinitas (dS/m) Alkalinitas/ESP (%) Kedalaman sulfidik (cm) Lereng (%), Bahaya erosi Genangan Batuan di permukaan (%), Singkapan batuan (%) H2O Sumber: Djaenudin et al. (2003). 2.3.3 Kesesuaian Lahan untuk Permukiman dan Bangunan Pekerjaan-pekerjaan untuk permukiman dan bangunan serta dalam bidang engineering secara umum dilakukan diatas tanah, maka sifat-sifat tanah perlu mendapat perhatian. Sifat-sifat tanah tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah berdasarkan atas besar butir dan sifat rheologi, potensi mengembang dan mengkerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai hamparan batuan, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah, potensi terjadinya korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya (Hardjowigeno 2007). Hardjowigeno (2007) menyebutkan beberapa parameter sifat tanah yang menjadi kriteria kesesuaian lahan untuk tempat tinggal dengan maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah tanah (Tabel 4). Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa ruang bawah tanah No Sifat Tanah 1. 2 3 4 Subsiden total (cm) Banjir Air Tanah (cm) Potensi Kembang Kerut 5 6 7 Kelas Unified*) Lereng Kedalaman hamparan batuan (cm) - Keras - Lunak Kedalaman padas keras (cm) - Tebal - Tipis Batu/kerikil (>7.5 cm)**) (% berat) Longsor 8 9 10 Baik Tanpa > 75 cm Rendah (<0.03) < 8% Kesesuaian Lahan Sedang Buruk > 30 Jarang - sering Tanpa < 45 cm 45 - 75 cm Tinggi Sedang (>0.09) (0.03-0.09) > 15% 8 - 15% > 100 > 50 50 - 100 < 50 < 50 - > 100 > 50 < 25 - 50 - 100 < 50 25 - 50 - < 50 > 50 Ada Keterangan: *) Lapisan paling tebal antara 25 – 100 cm dari permukaan tanah **)Rata-rata yang dibobotkan dari pemukaan sampai kedalaman 100 cm 1) Besar Butir dan Sifat Rheologi Sifat rheologi yang penting dalam bidang bangunan adalah batas cair atau batas mengalir (liquid limit) dan indeks plastisitas. Batas cair atau batas mengalir adalah kadar air terbanyak yang dapat ditahan tanah bila tanah dibuat pasta. Bila air lebih banyak maka (pasta) tanah akan mengalir bersama air. Bila tanah yang jenuh air itu dikeringkan maka kadar air terus berkurang sehingga tanah menjadi tidak plastis lagi. Kadar air dimana tanah mulai tidak plastis lagi disebut batas plastis. Menurut sistem unified, tanah diklasifikasikan berdasarkan atas sebaran besar butir fraksi tanah berukuran kurang dari 75 mm, plastisitas, batas cair dan kandungan bahan organik (Tabel 5). 2) Potensi Mengembang dan Mengkerut Tanah mengandung mineral liat yang mudah mengembang bila basah dan mengkerut bila kering disebut vertisol atau grumusol. Tanah ini mengandung mineral liat tipe 2:1 yang tinggi sehingga dimusim kemarau terjadilah retakan selebar 25 cm atau lebih. Jenis tanah ini dapat menyebabkan pondasi dan dindingdinding bangunan menjadi retak-retak (Jumikis 1962). Di sisi lain dapat pula menyebabkan lantai bagian tengah terangkat dan retak pada tembok bangunan. Tabel 5 Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk pembuatan jalan dan pondasi Simbol GW GP GM GC SW SP SM SC ML MH CL CH OL OH PT Deskripsi Kerikil dengan besar butir tersebar rata atau tersusun baik Kerikil dengan besar butir tidak tersebar rata atau tersusun buruk Kerikil dengan hampir seluruh bahan halus terdiri dari debu Kerikil dengan hampir seluruh bahan halus adalah liat Pasir dengan besar butir tersusun baik Pasir dengan besar butir tersusun buruk Pasir dengan hampir seluruh bahan halus adalah debu Pasir dengan hampir seluruh bahan halus adalah liat Debu dengan batas cair rendah yaitu > 50% berat Debu dengan batas cair tinggi yaitu < 50% berat Liat dengan batas cair rendah (> 50% berat) Liat dengan batas cair tinggi (< 50% berat) Liat dan debu berbahan organik cukup tinggi dengan batas cair kurang dari 50% berat Liat dan debu berbahan organik cukup tinggi dengan batas cair lebih dari 50% berat Tanah gambut Tingkat Kesesuaian Sangat baik Sangat baik Baik Baik Baik Baik – cukup baik Cukup baik Cukup baik – kurang baik Kurang baik Cukup baik – kurang baik Cukup baik – kurang baik Kurang baik Kurang baik Buruk Tidak sesuai Sumber: Hardjowigeno 2007 3) Tata Air Tanah Tata air tanah yang buruk kemungkinan dapat minimbulkan kerusakankerusakan terhadap konstruksi di bawah tanah atau genangan air. Tata air tanah ini berhubungan dengan drainase tanah, permeabilitas, dan dalamnya air tanah (Hardjowigeno 2007). 4) Tebal Tanah Sampai ke Hamparan Batuan Adanya hamparan batuan sampai kedalaman 2 meter atau kurang dapat dilihat penyebarannya dalam peta tanah. Hal ini membantu dalam rencana pembuatan bangunan yang memerlukan penggalian tanah yang tidak terlalu dalam. Bila tanah menurut geologinya diperkirakan mudah longsor, maka kesesuaian lahannya untuk rumah menjadi buruk. 5) Kepekaan Erosi Lereng adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi. Disamping itu, sifat-sifat tanah yang mempengaruhi daya kohesi tanah (kandungan liat, debu, bahan organik, dan sebagainya) juga besar pengaruhnya terhadap kepekaan erosi. 6) Lereng Curamnya lereng merupakan faktor yang menentukan dalam kegiatankegiatan yang perlu dilakukan untuk meratakan tanah tersebut. Hal ini akan menentukan banyaknya tanah yang harus digali diatas lereng dan ditimbunkan ke bagian bawah lereng. 7) Kemungkinan Terjadinya Korosi Bangunan dari beton kadang menjadi rusak pada tanah yang sangat masam, sedang bangunan yang dibuat dari baja mengalami korosi pada tanah yang sangat banyak mengandung garam ataupun yang sangat masam. Sehubungan dengan kelayakan lahan permukiman, Van der zee (1990) membuat klasifikasi kelayakan lokasi permukiman dengan mengacu pada indikator keberlanjutan untuk permukiman (Tabel 6). Tabel 6 Klasifikasi keberlanjutan untuk permukiman Kualitas tempat Ketersediaan air minum Kemiringan lereng Kekuatan tanah Saluran air Banjir S1 1 km 10% Form Saluran baik Tidak banjir Topografi Datar Batu besar dan muncul ke permukaan Tidak ada (Sumber : Van der Zee 1990) Syarat-syarat Kelas Keberlanjutan S2 S3 S4 1 – 2 km 2 km Tidak tersedia 10 -15% 15 -20% 20% Sedang Sedang terurai Terurai Saluran sedang Kurang baik Rawa Sedang KadangRutin banjir kadang Sedang Tidak datar dan berbukit-bukit Sedang Banyak Berbatu-batu 2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan 1983). Sheng (1968) mendefinisikan DAS sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu menuju ke muara atau tempat-tempat tertentu. Tempat tertentu tersebut antara lain dapat berupa danau atau lautan. Oleh karena itu batas ekosistem suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari aliran airnya. Kawasan tersebut dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografi. Di Amerika Serikat daerah bersistem sungai-sungai biasa disebut “watershed” sedangkan di Inggris disebut “cathchment areas of river basin”. Dalam istilah pembangunan biasanya disebut river basin development apabila berkaitan dengan pembangunan bendungan dan sistem irigasi, dan watershed apabila berkaitan dengan pembangunan yang berkaitan dengan penatagunaan tanah, perlindungan terhadap erosi dan pengelolaan bentang alam (Haeruman 2002). 2.4.1 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem DAS sebagai suatu ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu 1999). Kegiatan perubahan penggunaan lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan tranpor sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu-hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam. 2.4.2 Unsur-unsur DAS Menurut Soerjono (1978) DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, dimana unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di daerah tersebut. Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik dalam ekosistem daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai pelindung bumi terhadap hampasan air hujan, hembusan angin, dan teriknya sinar matahari. Selain itu, vegetasi juga berfungsi menahan untuk sementara titik air, pengatur kelembaban dan suhu udara di sekitarnya dan juga sebagai tempat berlindungnya atau niche jasad-jasad hidup. Fungsi lain dari vegetasi adalah sebagai penghasil berbagai ragam kebutuhan bagi kehidupan manusia berupa buah, kayu, akar, daun, getah dan sebagainya. Menurut Suhara (1991) fungsi utama vegetasi adalah mengatur tata air dan melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara: (1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh; (2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah; dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan daya absorpsi air. Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri dari fase padat, cair dan gas serta mempunyai sifat dinamis. Sebagai produk alami yang heterogen dan dinamis, maka sifat dan perilaku tanah berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, dan berubah dari waktu ke waktu, bahkan dalam suatu luasan yang relatif kecilpun. Pada DAS, tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air (Wiersum 1979). Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapan air yang tergantung pada kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar air yang dapat diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga tata air menjadi lebih baik dan sekaligus erosi yang mungkin terjadi dapat dikurangi. Sifat-sifat tanah yang paling menentukan dan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap pengaturan tata air dan erosi pada suatu DAS adalah tekstur, struktur, kedalaman tanah, sifat lapisan bawah, bahan organik dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad, 1983). 2.4.3 DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Pengelolaan DAS berarti pengelolaan vegetasi, tanah, dan air dalam suatu DAS dengan tujuan untuk dapat menghasilkan produk air untuk kepentingan pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat yaitu untuk air minum, irigasi dan industri, tenaga listrik dan rekreasi (Manan 1977). Menurut Sheng (1968) pengelolaan DAS merupakan pengelolaan lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum. Pengelolaan DAS haruslah berorientasi kepada segi-segi konservasi tanah dan air dengan titik berat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat (Alrasyid dan Samingan 1980). Hasil akhir dari pengelolaan DAS adalah kondisi tata air wilayah DAS. Pencerminan atau ukuran kondisi tata air tersebut adalah penyediaan air yang cukup sepanjang waktu, baik kuantitas maupun kualitas. Lebih lanjut menurut Hufschmidt (1985) dengan berorientasi pada hasil fisik yang ingin dicapai, maka pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan, baik di tempat maupun di luarnya. Ditinjau dari segi ekonomi, sistem pengelolaan DAS tidak lain adalah suatu bentuk dari proses produksi dengan biaya ekonomi untuk penggunaan input manajemen (tenaga, bahan, energi, peralatan dan keahlian manajemen) dan input alam (tanah, air, ekosistem dan iklim) serta hasil ekonomi yaitu nilai dari outputnya. Menurut Pasaribu (1999) dalam pelaksanaan pengelolaan DAS akan bertumpu pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan peraturanperaturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi (Pasaribu 1999). Pelaksanaan pengelolaan DAS pada umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu: (1) pengelolaan tanah melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas; (2) pengelolaan sumberdaya air melalui usaha pengembangan sumberdaya air; (3) pengelolaan hutan; dan (4) pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan (Syahrir 2002). (1) Pengelolaan air di Hulu DAS Konservasi secara natural dan artifisial mutlak dilakukan di seluruh wilayah permukaan DAS. Terdapat dua tuntutan untuk wilayah hulu dalam hal penyediaan air yaitu untuk mensuplai kebutuhan pertanian dan untuk memasok air di wilayah hilir. Masalahnya untuk wilayah ini adalah akses terhadap infrastruktur, teknologi dan dana yang diterima sangat terbatas, dibandingkan wilayah hilir. Perlu dicari formula untuk meningkatkan penyediaan air tanah melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan dengan teknologi sederhana, murah dan dampaknya dapat dinikmati langsung oleh orang yang melakukannya sehingga mudah disosialisasikan kepada masyarakat. Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air di DAS adalah dengan pembuatan dam parit linier dalam kaskade dipilih sebagai model untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air DAS baik yang berasal dari aliran permukaan maupun aliran dasar. Pengembangan konsep penggunaan kembali sumberdaya air diperlukan untuk memaksimalkan nilai tambah air sekaligus meminimalkan resiko pertanian. Pada saluran utama, air yang terdapat di wilayah hulu akan ditampung oleh “reservoir” (dam parit) di wilayah hulu, air tersebut digunakan untuk irigasi di petakan di bawahnya. Kemudian air yang keluar dari “outlet” petakan dan limpasan dari “spillway” dam parit di wilayah hulu akan ditampung untuk mengisi (recharge) damp parit berikutnya yang terdapat di saluran utama di hilir untuk kemudian dengan mekanisme yang sama didistribusikan ke petakan (reuse) di bawahnya dan seterusnya. Berdasarkan estimasi curah hujan dan aliran permukaan yang dapat dipanen dan jumlah defisit air untuk kondisi wilayah tersebut, maka dimensi dam parit ditetapkan berdasarkan volume atau daya tampung sungai dan tinggi genangannya. Posisi dam parit ditetapkan dengan memperhitungkan tiga hal: (1) kapasitas tampung air maksimalnya, (2) kemudahan distribusi air untuk suplemen irigasi, dan (3) biaya yang paling efisien. Berdasarkan informasi luas dan letak derah irigasi yang direncanakan, maka dapat dihitung total kebutuhan irigasi wilayah tersebut, sehingga bisa ditentukan luas mikro DAS dan jumlah serta lokasi dam parit yang akan dibangun (Gambar 4). Keterangan: Reservoir Outlet Gambar 4 Konsep recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS (Sumber: Irianto 2002) (2) Pengelolaan air di Hilir DAS Menekan banjir di wilayah hilir dapat dilakukan melalui dua cara: (1) mengurangi volume aliran permukaan dari hulu dan tengah melalui panen hujan dan aliran permukaan; dan (2) membangun saluran drainase yang cukup memadai di hilir untuk mengalirkan kelebihan aliran permukaan ke laut. Konsep ini termasuk didalamnya transfer air dari DAS basah ke DAS yang relatif kering. Sedangkan penanggulangan kekeringan dapat difokuskan melalui peningkatan penambahan cadangan air tanah pada musim hujan untuk menambah pasokan air pada musim kemarau melalui irigasi suplemeter. Penelitian tentang DAS yang terdapat kaitannya dengan permukiman telah dilakukan oleh Da Costa, dan Cintra (1999), Basso, et al. (2000), Basnyat,F. et al. (2000), dan Frint, H. et al. (2003) dengan metode overlay menggunakan GIS. Beberapa penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa: (1) kehadiran permukiman berdampak pada distribusi dan kelimpahan spesies liar, serta penyumbang kuat dari konsentrasi nitrat pada aliran sungai; (2) peta-peta penggunaan lahan; (3) peta drainase; (4) peta erosi; (5) peta kemiringan; dan (6) peta potensi fisik. 2.5 Kebijakan 2.5.1 Kebijakan Perumahan dan Permukiman Beberapa landasan awal yang dijadikan pedoman dalam menyusun kebijakan perumahan dan permukiman adalah Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup, Undang-Undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang dan Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan pada dasarnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah. Aturan tentang pembangunan perumahan dan permukiman selanjutnya diatur dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1982 yang memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman, sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis, ekologis, dan administratif. Guna melaksanakan pembangunan tersebut terdapat tiga isu yang harus dihadapi, yaitu: (1) isu kesenjangan, baik kesenjangan antar unit perumahan antar kota, antar kota dan perdesaam, antar pulau, antar kelompok masyarakat, maupun antar individu; (2) isu lingkungan, terjadi sebagai akibat pembangunan perumahan yang kurang terencana sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan seperti banjir, penurunan muka tanah, meningkatnya suhu udara, penyempitan daerah resapan, hubungan sosial yang tidak harmonis; dan (3) isu manajemen pembangunan, yaitu adanya kesepakatan dalam agenda 21, hasil KTT bumi Rio de Janeiro dan rekomendasi serta hasil Konperensi Habitat II tahun 1996 yang menekankan perlunya pertimbangan keterbatasan sumberdaya alam, pembangunan berkesinambungan, kelestarian lingkungan dan dorongan untuk menerapkan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat (Departeman Kimpraswil 2000). Kebijakan perumahan yang akan ditetapkan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Pembangunan perumahan dan permukiman diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi golongan terbesar masyarakat; 2) Perumahan dan permukiman pada dasarnya adalah tanggungjawab masyarakat, namun pemenuhannya menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah; dan 3) Pembangunan perumahan dan permukiman harus mengacu kepada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, melalui rencana tata ruang wilayah yang dinamis, responsif dan transparan serta penata-gunaan tanah, air dan udara untuk mencapai kelayakan sebagai hunian baik diperkotaan maupun perdesaan (Departeman Kimpraswil, 2000). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat enam kebijakan perumahan dan permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, yaitu: (1) pembangunan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat dengan mengutamakan masyarakat berpenghasilan rendah; (2) pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dalam rangka pembangunan perkotaan dan perdesaan yang seimbang menuju terbentuknya sistem permukiman nasional yang mantap; (3) pemberdayaan masyarakat dan peningkatan peran serta para petaruh dalam pembangunan perumahan permukiman; (4) pemantapan kelembagaan dan pola pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman secara terpadu; (5) pengembangan sumber-sumber dan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman; dan 6) pengembangan peraturan per undang-undangan bidang perumahan dan permukiman (Departeman Kimpraswil 2000). Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN-PSR) dilatarbelakangi oleh keadaan perumahan dan permukiman di Indonesia yang jauh tertinggal baik dari segi kuantitas maupun kualitas, seperti terjadinya backlog sampai dengan tahun 2003 sebesar 5.93 juta unit rumah, pertambahan kebutuhan tahunan rumah sebesar 800.000 unit, rumah tidak layak huni 1 juta unit, dan permukiman kumuh seluas 47.500 ha yang tersebar di lebih 10.000 lokasi. Tujuan GN-PSR adalah untuk: (1) menggalang peran dan potensi para pelaku pembangunan perumahan dan permukiman melalui strategi kemitraan yang sinergis untuk mempercepat upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni; (2) memantapkan sistem nasional dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan mengedepankan strategi pemampuan (enabling strategy); dan (3) meningkatkan aksesibilitas masyarkat berpenghasilan rendah terhadap sumberdaya pembangunan perumahan dan permukiman seperti: tanah, pembiayaan perumahan, kelembagaan, prasarana dan sarana dasar lingkungan. Sasaran fisik dari GN-PSR tahun 2004 adalah pembangunan rumah sebanyak 1.014.480 unit yang meliputi: (1) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Rumah Sederhana Sehat (RSH) bersubsidi sebanyak 200.000 unit dengan laju peningkatan 7.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; (2) rumah susun sederhana sewa atau milik sebanyak 14.480 unit dengan laju peningkatan sebesar 7.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; dan (3) perumahan swadaya sebanyak 600.000 unit dengan 2.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; dan perbaikan rumah tidak layak huni sebanyak 200.000 unit 15% pertahun sampai dengan tahun 2020 (Shaphira 2008). 2.5.2 Ssa Kebijakan DAS Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah N0. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Batasan DAS dalam PP tersebut adalah suatu daerah tertentu yang dibentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut (Syahrir 2002). Pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Permasalahan tersebut antara lain terjadinya erosi, banjir, kekeringan, masih belum adanya keterpaduan antar sektor, antar instansi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang pelestarian manfaat sumber daya alam. Kebijakan dasar dalam pengelolaan DAS sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS adalah sebagai berikut: 1) Pengelolaan DAS dilakukan secara holistik, terencana dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan baik untuk kehidupan maupun penghidupan dan menjaga kelestarian lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (3); 2) Pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi dengan pendekatan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaaan; 3) Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasar prinsip partisipasi dan konsultasi masyarakat pada tiap tingkat untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak berkepentingan (stakeholders); 4) Pengelolaan DAS memerlukan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat guna mengurangi secara bertahap beban Pemerintah dalam pengelolaan DAS; 5) Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS secara bertahap (baik secara langsung maupun tak langsung) wajib menanggung biaya pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana cost recovery; dan 6) Sasaran wilayah Pengelolaan DAS adalah wilayah DAS secara utuh sebagai satu kesatuan ekosistem. DAS dan wilayah sungai tidaklah pernah mempunyai batas yang bertepatan dengan batas-batas wilayah administrasi. Menurut Keputusan Menteri kehutanan No. 52/Kpts-II/2001, DAS diklasifikasikan menurut hamparan wilayah dan fungsi strategisnya sebagai berikut: 1) DAS lokal: terletak secara utuh berada di satu daerah kabupaten atau kota, dan atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu daerah kabupaten atau kota; 2) DAS regional: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah kabupaten atau kota; dan atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu daerah kabupaten atau kota; dan atau DAS lokal yang atas usulan pemerintah kabupaten atau kota yang bersangkutan, dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah provinsi, dan atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan regional; dan 3) DAS nasional: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah propinsi, dan atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu daerah provinsi, dan atau DAS regional yang atas usulan pemerintah provinsi yang bersangkutan, dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah pusat, dan atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan nasional. 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial dan juga non spasial (Star 1990). SIG merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan non spasial, dan juga dapat melakukan operasi data. Sistem informasi geografis berdasarkan operasinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1) SIG secara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, dan (2) SIG secara terkomputer atau SIG otomatis (prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya adalah data digital (Barus dan Wiradisastra 2000). Pada SIG terdapat dua macam data yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial disajikan dalam bentuk titik, garis dan area. Data atribut sering diketegorikan sebagai data non spasial, karena peranannya tidak menunjukkan posisinya akan tetapi lebih menunjukkan penjelasan mengenai objek atau bersifat identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi empat bentuk yaitu nominal, ordinal, interval dan ratio. Titik adalah representasi grafis yang paling sederhana untuk suatu objek. Representasi ini tidak memiliki dimensi tetapi dapat diidentifikasi di atas peta dan dapat ditampilkan pada layar monitor dengan menggunakan simbol-simbol. Sudut proverty suatu batas (poligon) juga merupakan titik, sebagaimana telah umum juga digunakan untuk penggambaran sudut-sudut persil dan bangunan. Pada skala besar bangunan akan ditampilkan sebagai poligon, sementara pada skala kecil akan ditampilkan sebagai titik. •1 3 • 6 • 9 • •2 •5 •4 Gambar 5 Contoh representasi objek titik untuk data posisi rumah (Sumber: Prahasta 2007) Garis adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit dua titik dan digunakan untuk merepresentasikan objek-objek satu dimensi. Batas-batas poligon merupakan garis-garis, demikian pula dengan jaringan listrik, komunikasi, pipa air minum, saluran buangan, dan utiliti lainnya. Di sisi lain, entity jalan dan sungai dapat direpresentasikan baik sebagai garis maupun poligon, tergantung skala petanya. ID Pos 7 7 2 6 5 8 3 1 4 Nama 4 Jl.Jakarta 2 Jl.Cipaganti 990281 3 Jl.Cinangka 5 Jl.Karang 995733 Kode 990102 992722 Gambar 6 Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan dan atributnya (Sumber: Prahasta 2007) Poligon digunakan untuk merepresentasikan objek-objek dua dimensi. Suatu danau, batas propinsi, batas kota, batas-batas persil tanah milik adalah tipe-tipe entity yang pada umumnya direpresentasikan sebagai poligon. Tetapi representasi ini bergantung pada skala tampilan petanya (titik atau poligon). Suatu poligon paling sedikit dibatasi oleh tiga garis yang saling terhubung diantara ketiga titik tersebut. Di dalam basis data, semua bentuk area dua dimensi akan direpresentasikan oleh bentuk poligon. 4 ID Nama (Ha) Luas 1 2 3 2 5 1 100 120 112 121 3 5 Sawah Kebun Hutan Permukiman Gambar 7 Contoh representasi objek poligon untuk data landuse (Sumber: Prahasta 2007) SIG terdiri dari empat komponen dasar, yaitu: (1) masukan data, komponen pengubah data yang ada menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; (2) manajemen data; (3) manipulasi dan analisis; dan (4) keluaran, bentuk hasil SIG sangat beragam kualitas, kecepatan dan kemudahannya baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy (Aronoff, 1991). Metode SIG, environmental mapping approach menurut Mehta (1998) yang digunakan saat analisis spasial sangat tergantung pada komponen apa yang dipilih dalam pemetaan. Sangat penting komponen-komponen yang dipilih tersebut merupakan parameter yang akan memberikan hasil pada evaluasi tapak. Proses penentuan parameter tersebutlah yang merupakan bagian penting sehingga hasil keseluruhan proses yang dihasilkan akan seperti yang diharapkan. Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial meliputi: (1) Klasifikasi Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Contoh, dengan menggunakan data spasial topografi, dapat diturunkan data spasial kemiringan yang dinyatakan dalam persentase nilai-nilai kemiringan. Nilainilai persentase kemiringan ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data spasial baru yang dapat digunakan untuk merancang perencanaan pengembangan wilayah. Sebagai contoh, kriteria yang digunakan adalah 014% untuk permukiman, 15-29% pertanian dan perkebunan, 30-44% hutan, dan 45% ke atas untuk hutan lindung dan taman nasional. (2) Network Fungsi ini merujuk data spasial titik-titk atau garis-garis sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan didalam bidang-bidang transportasi dan utility, misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi telepon, pipa minyak dan gas, air minum, saluran pembuangan. (3) Overlay Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. (4) Buffering Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaranlingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya. (5) Tiga dimensi analisis Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang tiga dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. (6) Digital Image Processing Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. Karena data spasial permukaan bumi banyak didapat dari perekaman data satelit yang berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengan fungsi analisis ini. 2.6.1 Interprestasi Citra Menurut Este dan Simonett (1975) interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Jadi di dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan, yaitu: deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan seperti dalam: geografi, geologi, lingkungan hidup dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data secara global baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Di dalam deteksi ditentukan ada tidaknya suatu obyek. Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop. Terdapat 3 ciri utama dalam mengenali objek (Este dan Simonett 1975) yaitu: 1. Ciri spektral Ciri spektral adalah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga elektromagnetik dengan obyek. Ciri spektral dinyatakan dengan rona dan warna. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Adapun faktor yang mempengaruhi rona adalah: a. Karakteristik obyek (permukaan kasar atau halus) b. Bahan yang digunakan (jenis film yang digunakan). c. Pemrosesan emulsi (diproses dengan hasil redup, setengah redup dan gelap). d. Keadaan cuaca (cerah/mendung). e. Letak obyek (pada lintang rendah atau tinggi). f. Waktu pemotretan (penyinaran pada bulan Juni atau Desember). 2. Ciri spasial Ciri spasial adalah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi: a. Tekstur adalah frekwensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan; kasar, sedang dan halus. Misalnya hutan bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang dan semak bertekstur halus. b. Bentuk adalah gambar yang mudah dikenali. Contoh gedung sekolah pada umumnya berbentuk huruf I, L dan U atau persegi panjang, gunung api misalnya berbentuk kerucut. c. Ukuran adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi lereng dan volume. Ukuran obyek pada citra berupa skala. Contoh lapangan olah raga sepak bola d icirikan oleh bentuk (segi empat) dan ukuran yang tetap, yakni sekitar (80 – 100 m). d. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai banyak obyek bentukkan manusia dan beberapa obyek alamiah. Contoh pola aliran sungai menandai struktur biologis. Pola aliran trellis menandai struktur lipatan. Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu ukuran rumah yang jaraknya seragam, dan selalu menghadap ke jalan. Kebun karet, kebun kelapa, kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi lainnya dengan polanya yang teratur, yaitu dari pola serta jarak tanamnya. e. Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Contoh: permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir beting pantai, tanggul alam atau sepanjang tepi jalan. Juga persawahan, banyak terdapat di daerah dataran rendah, dan sebagainya. f. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Contoh: lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan, begitu juga cerobong asap dan menara, tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang tergambar dengan jelas. g. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Contoh stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang). 3. Ciri Temporal Ciri temporal adalah ciri yang terkait dengan benda pada saat perekaman, misalnya; rekaman sungai musim hujan tampak cerah, sedang pada musim kemarau tampak gelap. Penilaian atas fungsi obyek dan kaitan antar obyek dengan cara menginterpretasi dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang menuju ke arah teorisasi dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian tersebut. Pada tahapan ini interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli pada bidangnya, karena hasilnya sangat tergantung pada kemampuan menafsir citra. Menurut Prof. Dr. Sutanto, pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari: a. menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda; b. ditarik garis batas atau delineasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama c. setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya d. Obyek yang sudah dikenali, diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya e. Digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara f. Guna menjaga ketelitian dan kebenarannya dilakukan pengecekan medan (lapangan) g. Interpretasi akhir adalah pengkajian atas pola atau susunan keruangan (obyek); dan dipergunakan sesuai tujuannya. Untuk penelitian murni, kajiannya diarahkan pada penyusunan teori, dan analisisnya digunakan untuk penginderaan jauh, sedangkan untuk penelitian terapan, data yang diperoleh dari citra digunakan untuk analisis dalam bidang tertentu. Dalam menginterpretasi citra, pengenalan obyek merupakan bagian yang sangat penting, karena tanpa pengenalan identitas dan jenis obyek, maka obyek yang tergambar pada citra tidak mungkin dianalisis. Prinsip pengenalan obyek pada citra didasarkan pada penyelidikkan karakteristiknya pada citra. Karakteristik yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek disebut unsur interpretasi citra. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berbasis DAS. Penelitian dilakukan pada wilayah-wilayah yang berada pada satu daerah aliran sungai. DAS tidak mengenal batas-batas administrasi oleh karena itu pengelolaannya lebih alami menjadi satu kesatuan ekosistem mulai dari hulu, tengah dan hilir. Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman DAS Cianjur di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Gambar 8). DAS Cianjur yang terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan ke lahan permukiman. Permukiman tumbuh dan menyebar mulai dari ketinggian 265 m dpl sampai 1 250 m dpl (Sukri 2004), terutama terjadi di zona hulu DAS Cianjur yang mengalami perkembangan ekonomi pesat dan merupakan daerah tujuan wisata. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2006 sampai Mei 2007. Provinsi Jawa Barat DAS Cianjur Gambar 8 Lokasi penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: Peta rupa bumi Indonesia tahun 1999 lembar Cipanas, Cugenang dan Cianjur skala 1 : 25.000 produksi BAKOSURTANAL, Peta rupa bumi digital tahun 1999 lembar Cipanas, Cugenang dan Cianjur skala 1 : 25.000 produksi BAKOSURTANAL, citra landsat ETM tahun 2006 PPLH IPB, peta tanah DAS Cianjur skala 1 : 50.000 produksi Pusat Penelitian Tanah (PPT), peta geologi lembar Cianjur skala 1 : 100.000 produksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG), peta kawasan kawan bencana Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas Cipta Karya, peta kepekaan tanah terhadap erosi Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas Cipta Karya, peta kedalaman efektif Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas Cipta Karya dan data curah hujan tahun 2004. Alat yang digunakan dalam penelitiaan ini berupa: alat tulis, kamera digital, global positioning system (GPS), roll meter, scanner, kuesioner. komputer, software Acr View versi 3.2 dengan full extension dan Map info Profesional 7.0, dan criterium decision plus versi student. 3.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini meliputi empat kajian, yaitu: (1) pola penyebaran permukiman; (2) spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas permukiman; (3) evaluasi kesesuaian lahan permukiman; dan (4) rumusan kriteria permukiman sehat dan berwawasan lingkungan. 3.3.1 Kajian analisis pola sebaran permukiman di wilayah DAS Cianjur Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran permukiman di wilayah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ditinjau dari aspek: 1) bentuk permukiman dan 2) tingkat penyebaran permukiman. 1) Metode Pengumpulan Data Populasi adalah permukiman di DAS Cianjur. DAS Cianjur mencakup 33 desa yang terletak di enam wilayah kecamatan yaitu Pacet, Cugenang, Cianjur, Karang Tengah, Sukaluyu, dan Cilaku (Gambar 9). Penentuan sampel dilakukan dengan metoda multi stage sampling (Adib 2006). Metode ini mulai dengan menentukan unit yang terbesar dan dilanjutkan dengan yang lebih kecil. Metode ini menggunakan dua langkah dasar, yaitu membuat daftar dan menentukan sampel. Melalui skema ini peneliti memilih sampel dalam kelompok area (desa) di zona DAS, kemudian memilih empat kampung dari setiap cluster utama dalam area wilayah yang lebih kecil (secara acak), dan menentukan jumlah unsur sampel dari setiap kampung sebanyak 15 rumah, sehingga jumlah total sampel sebanyak 180 rumah dan keluarga penghuni. Data diperoleh survai lapangan dan wawancara mendalam. 125 Ketinggian (m) 100 Hul 750 500 Tengah 250 Hili Sukaluyu Karang Tengah Cilaku Cianjur Cugenang Pacet 24.98 Km Gambar 9 Lokasi Kecamatan di Kawasan DAS Cianjur Menurut Ketinggian 2) Jenis Data Data yang dikumpulkan berupa data kependudukan (jumlah penduduk dalam kampung, dan jumlah penghuni dalam rumah tangga), spesifikasi konstruksi bangunan rumah (jenis kontruksi bangunan, elemen ruang, luas bangunan, dan bahan bangunan), prasarana dan sarana lingkungan permukiman, ukuran permukiman diukur berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan bangunan rumah diukur berdasarkan jarak antara rumah-rumah, tipe permukiman dilihat dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah permukiman. 3) Analisis Data Data kependudukan, spesifikasi konstruksi bangunan, dan prasarana dan sarana lingkungan permukiman dianalisis dengan SPSS versi 13. Data ukuran, tingkat kepadatan, dan tipe permukiman akan dianalisis berdasarkan kriteria dari masing-masing sub variabel pada aspek bentuk permukiman. Kriteria untuk aspek bentuk permukiman seperti tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Kriteria pada masing-masing subvariabel bentuk permukiman No Subvariabel dari aspek bentuk Permukiman 1. 2. Ukuran Permukiman -Permukiman tunggal -Permukiman kecil -Permukiman kecil-sedang -Permukiman sedang -Permukiman besar -Permukiman sangat besar Kepadatan Bangunan -Sangat jarang -Jarang -Padat -Sangat padat -Padat kompak 3. Tipe Permukiman -Tipe linear -Tipe Plaza -Tipe permukiman dengan pengaturan area atau streetplan (Sumber : Van der Zee 1986) Kriteria Satu rumah 2 – 20 rumah Sampai dengan 500 penduduk Sampai dengan 2000 penduduk 2000 – 5000 penduduk Lebih dari 5000 penduduk Pekarangan rumah berjauhan Pekarangan rumah bersentuhan tetapi letak rumah tidak bersentuhan Jarak antar rumah kecil (0.5 - 1 m) Rumah kurang lebih menutupi jalan (lebar jalan 0.5 – 1 m), dinding-dinding rumah saling bersentuhan satu sama lain (tidak ada jarak antar rumah) Tidak ada ruang terbuka dalam sebuah blok bangunan Posisi rumah berjajar linier Posisi rumah diatur mengelilingi sebuah ruang bersama Rumah-rumah diatur dalam posisi beraturan atau direncanakan streetplan dalam suatu wilayah. 3.3.2 Kajian Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya hidup Masyarakat terhadap Permukiman di DAS Cianjur Kajian mengenai spesifikasi keinginan dan kebutuhan masyarakat (konsumen permukiman) terhadap bentuk, fungsi dan nilai (Gifford,1997) dari permukiman yang berada di wilayah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur bertujuan untuk mengindentifikasi keinginan dan kebutuhan masyarakat terhadap kualitas permukiman. Kajian ini menggunakan pendekatan quality function deployment (QFD). Pendekatan ini, memungkinkan para pengembang untuk merancang dan mengembangkan produk permukiman sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen dan sekaligus dapat mempertinggi daya saing produk. 1) Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data diawali dengan penentuan atribut-atribut primer bagi konsumen berdasarkan bentuk, fungsi, dan nilai. Masing-masing atribut primer ini memiliki beberapa atribut sekunder. Data dikumpulkan menggunakan dua teknik. Pertama, melalui wawancara dengan 1) salespeople (pemasaran real estate) yang memiliki hubungan kuat dengan pembeli dan pengguna, dan 2) konsumen ahli. Kedua, melalui focus group ukuran kecil (Gargione 1999) untuk mendapatkan informasi melalui pertanyaan dan benchmarking antara kawasan permukiman yang berbeda agar ditemukan kesukaan, ketidaksukaan, trends, dan pendapat tentang kesamaan. Focus group terdiri dari agent real estate, arsitek, engineer, pembeli potensial, dan pemilik. 2) Proses QFD dan Analisis Data Proses QFD secara keseluruhan terdiri atas 4 fase matrik perencanaan yang saling berhubungan. Matrik pada fase pertama disebut house of quality (HOQ). HOQ (Gambar 10) adalah matrik perencanaan produk yang menggambarkan kebutuhan konsumen, target perusahaan dan evaluasi produk pesaing (Goetsch 2000). Harapan konsumen selanjutnya diterjemahkan ke dalam karakteristik teknik (technical response) yang didasarkan pada empat aspek dalam perusahaan: sistem, sarana, sumberdaya manusia, dan aspek lainlain. Selanjutnya menentukan hubungan antara customer requirement dengan technical response. Hubungan ini dapat dinyatakan dengan menggunakan lambang-lambang tertentu untuk menyatakan kekuatan hubungan. Lambang dan nilai atau bobot yang digunakan adalah: = 10 (melambangkan hubungan kuat); ³ = 5 (melambangkan hubungan sedang); dan = 1 (melambangkan hubungan lemah). Untuk menentukan technical response mana yang harus didahulukan untuk dikembangkan lebih lanjut Target dan Rasio PT.C PT.B PT. A Pengelolaan Pengerjaan konstruksi Desain arsitektur Desain Site plan baku Pengadaan bahan Bobot Konversi : Kuat (10) ³ : Sedang (5) : Lemah (1) ++ : Kuat positif + : positif -- : Kuat negatif if Konst. Bangunan Bentuk Luas lahan Harapan Pelanggan Bahan Bangunan Gaya arsitektur RTH Terjangkau Fungsi Kesehatan Ekologis Keamanan Nilai Kebersamaan Estetika Kawasan Permukiman (PT. A) Kawasan Permukiman (PT.B) Kawasan Permukiman (PT.C) Nilai (Tingkat Kepentingan) Nilai Relatif Gambar 10 Rumah kualitas (Sumber: Goetsch 2000) (mendapat prioritas utama) sebagai tindakan untuk meningkatkan kepuasan konsumen, maka dilakukan perhitungan tingkat kepentingan dan kepentingan relatif. Tingkat kepentingan adalah suatu ukuran yang menunjukkan technical response mana yang harus diutamakan dengan melihat hubungan antara dan tingkat kepentingan konsumen. Kepentingan relatif adalah nilai dari tingkat kepentingan yang dinyatakan dalam persen kumulatif. Perhitungan tingkat kepentingan dan kepentingan relatif adalah sebagai berikut (Marimin, 2004): Nilai tingkat kepentingan = ∑ (tingkat kepentingan yang berhubungan dengan karakteristik teknik X nilai hubungan) Nilai kepentingan relatif = Nilai tingkat kepentingan Jumlah total nilai tingkat kepentingan Matrik yang terbentuk dari hubungan keterkaitan ini disebut dengan matrik korelasi, dan pada matrik HOQ terletak pada bagian atas yang disebut dengan roof. Hubungan keterkaitan yang ada serta lambang yang digunakan pada umumnya sebagai berikut: Hubungan kuat positif (++), Hubungan positif (+), Hubungan negatif (-), dan Hubungan kuat negatif (--). Sesuai dengan bagianbagian dari matrik rumah kualitas, selanjutnya akan tersusun matrik rumah kualitas secara lengkap. 3.3.3 Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di DAS Cianjur Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis kesesuaian lahan permukiman di DAS Cianjur (hulu, tengah dan hilir) ditinjau dari aspek bio-fisik, sosial, dan ekonomi. 1) Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait, yaitu : BAKOSURTANAL, PPT, BMG, PPPG, BAPPEDA, PPLH IPB, Dinas Cipta Karya, kantor pemda tingkat kecamatan dan desa, Biro Pusat Statistik dan survai langsung. 2) Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data: (1) bio-fisik yang terdiri atas kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung; (2) sosial terdiri atas besar anggota rumah tangga, dan tingkat pendidikan; dan (3) ekonomi yaitu tingkat pendapatan wilayah berupa PDRB per kapita . 3) Tahapan Pengolahan dan Analisis Data a. Penyiapan Peta Tematik Peta-peta yang belum dijitasi disiapkan dengan proyeksi geografis yang sama, sedangkan peta yang sudah didijitasi tetapi dalam format berbeda dilakukan konversi, sehingga diperoleh peta tematik dijital dengan proyeksi peta yang seragam dan siap untuk ditumpangsusunkan. b. Pengklasifikasian Citra Peta dijital penggunaan lahan yang digunakan adalah berupa citra landsat ETM Tahun 2006. Pengklasifikasian diawali dengan persiapan citra landsat ETM tahun 2006, peta topografi Kabupaten Cianjur. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan arcview extension image analyst. Citra dikoreksi berdasarkan peta sungai dan jalan Kabupaten Cianjur. Setelah kesalahan RMS hasil koreksi bernilai < 0.1, citra kemudian dimasukkan dalam database dengan format erdas image. Peningkatan tampilan citra melalui warna, kontras, dan tepian dilakukan secara visual. Citra ditampilkan pada layar monitor komputer dengan model warna RGB (red green blue) atau kombinasi 5-4-2 karena merupakan tampilan untuk identifikasi secara visual serta model HIS (hue intensity saturation). Tampilan RGB sangat baik untuk identifikasi penutupan lahan, karena tampilan merupakan warna primer yang masingmasing memiliki kisaran nilai 0-255 dan campuran ketiganya (CMY – cyan magenta yellow). Pada tampilan model HIS, citra ditampilkan pada nilai optimal. Penajaman kontras dan tepi pada citra dilakukan agar pengidentifikasian dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tampilan yang 102 sudah mengalami perubahan yang lebih baik dimasukkan dalam database dengan format erdas image kembali. Penentuan daerah contoh dalam citra dilakukan berdasarkan nilai warna pada raster contoh tertentu. Setiap daerah raster contoh memiliki warna yang khusus (minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi). Pemilihan dan penentuan daerah contoh diusahakan mencakup seluruh tipe penggunaan lahan yang ada pada citra, agar tidak terjadi pemaksaan pengklasifikasian. Pemilihan dan penentuan lokasi daerah contoh juga memperhatikan pengaruh posisi lereng dan naungan pada citra karena lokasi berelevasi beragam. c. Pembangkitan Parameter-parameter Pada kajian ini, dilakukan analisa data berdasarkan data yang tersedia dengan memperhatikan faktor ekologi (biofisik), ekonomi dan sosial yang mempengaruhi kesesuaian lahan permukiman. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan suatu lahan menjadi lahan permukiman adalah menggunakan beberapa parameter lahan yang dianggap berpengaruh terhadap tingkat kesesuaian lahan. Setiap parameter dibagi dalam beberapa kelas (yang disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian) diberi skor mulai dari kelas yang berpengaruh hingga kelas yang tidak berpengaruh. Setiap kelas akan memperoleh nilai akhir yang merupakan hasil perkalian antara skor kelas tersebut dengan bobot dari parameter dimana kelas tersebut berada. Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan studi kepustakaan. Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan indeks overlay model untuk memperoleh urutan kelas kesesuaian lahan. Model ini mengharuskan setiap coverage diberi bobot dan setiap kelas dalam satu coverage diberi nilai. Setiap parameter lahan memiliki kelas. Masing-masing kelas tersebut selanjutnya diberi skor. Kelas-kelas dalam sebuah parameter yang memberikan berpengaruh buruk terhadap permukiman baik dari segi kekuatan konstruksi, kenyamanan hunian dan keamanan dari ancaman bencana alam seperti tanah longsor dan banjir, diberi skor rendah. Berikut 103 ini deskripsi dan skor dari masing-masing kelas pada setiap parameter kesesuaian lahan. a) Kemiringan Lereng Faktor kemiringan lereng merupakan faktor kunci dalam pemicu longsor. Daerah dengan kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi kritis jika tidak dilakukan penanganan yang mengikuti kaidah konservasi sehingga akan mengancam kestabilan lahan permukiman. Pembangunan permukiman pada tanah dengan lereng yang curam akan membutuhkan lebih banyak biaya. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidrologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap kedalam tanah, hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air pada daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan permukiman semakin kecil, sehingga semakin datar kemiringan lereng, maka nilai skornya semakin besar (Tabel 8). Tabel 8 Skor parameter kemiringan lereng dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Besaran/Deskripsi a. Datar < 10 % b. Landai 10 – 15 % c. Agak Curam 16 – 20 % d. Curam > 20 % Sumber: Van der Zee 1990 Skor 4 3 2 1 b) Elevasi Ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur semakin menurun (Ritung dkk. 2007). Demikian pula dengan radiasi matahari cenderung menurun dengan semakin tinggi dari permukaan laut. Oleh sebab itu ketinggian tempat berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan 104 dari penghuni rumah. Ketinggian tempat dapat dikelaskan sesuai tingkat kenyamanan dan keamanan penghuni (Tabel 9). Tabel 9 Skor parameter elevasi dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Skor 4 <500 m dpl 3 500-749 m dpl 2 750-1000 m dpl 1 >1000 m dpl Sumber: Ritung dkk. 2007 c) Curah Hujan Curah hujan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan permukiman, jika curah hujan rendah maka akan berpengaruh terhadap ketersediaan air di wilayah permukiman terutama wilayah yang menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih dan jika curah hujan tinggi maka berpengaruh terhadap kestabilan lahan permukiman terutama ancaman terhadap bahaya longsor (Kelarestaghi, 2003; Sani, 2006). Tabel 10 Skor parameter curah hujan dalam kesesuaian lahan Permukiman Kelas Besaran/Deskripsi < 1000 mm Rendah 1000 – 1750 mm Sedang 1750 – 2500 mm Tinggi > 2500 mm Sangat Tinggi Sumber: Kelarestaghi (2003); Sani (2006) Skor 2 3 4 3 d) Kedalaman Efektif Tanah Kedalaman efektif adalah kedalaman yang diukur dari permukaan tanah sampai lapisan impermeabel, pasir, kerikil, batu atau plintit (Hardjowigeno, 2007). Kedalaman efektif mempengaruhi drainase dan ciri fisik tanah. Tanah-tanah dengan kedalaman efektif dalam akan mempunyai aerasi dan drainase yang baik. Kedalaman efektif juga berpengaruh terhadap jenis pondasi yang akan digunakan dalam pembuatan bangunan rumah dalam lingkungan permukiman. 105 Tabel 11 Skor parameter kedalaman efektif tanah dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Besaran/Deskripsi Skor 4 > 90 cm Dalam 3 60 – 90 cm Sedang 2 30 – 60 cm Dangkal 1 < 30 cm Sangat dangkal Sumber: Hardjowigeno, 2007 e) Kepekaan terhadap Erosi Kepekaan tanah terhadap erosi dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi daya kohesi tanah seperti kandungan liat, debu, bahan organik (Hardjowigeno, 2007). Sifat-sifat ini kadang-kadang berbeda untuk masing-masing horison tanah sehingga kepekaan erosi dari masing-masing lapisan berbeda. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi mempengaruhi kestabilan lahan permukiman. Tanah semakin peka terhadap erosi, maka lahan permukiman semakin tidak stabil.. Tabel 12 Skor parameter kepekaan erosi dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Tidak peka Agak peka Peka Sangat peka Besaran/Deskripsi Tanah tahan terhadap erosi Tanah cukup tahan terhadap erosi Tanah tidak tahan terhadap erosi Tanah sangat tidak tahan terhadap erosi Skor 4 3 2 1 Sumber: Hardjowigeno, 2007 f) Ketersediaan Air Tanah (Kedalaman Air Tanah) Fluktuasi air yang baik adalah memiliki kedalaman air tanah yang sedang. Fluktuasi air berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, jika air tanahnya dangkal maka keadaan di atasnya lembab dan jika air tanahnya dalam maka keadaan di atasnya gersang (Sani 2006). Hal ini dapat mempengaruhi bangunan dan kesehatan penduduk yang tinggal di atas lahan tersebut. 106 Tabel 13 Skor parameter kedalaman air tanah dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Dangkal Sedang Dalam Sumber: Sani 2006. Besaran/Deskripsi < 5m 5 – 10 m > 10 m Skor 2 4 2 g) Penutupan Lahan Faktor kondisi penutupan lahan, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis khususnya dalam DAS. Suatu lahan dengan penutupan lahan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik (splash erosion), memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal (sponge effect). Disamping itu kondisi penutupan lahan yang baik juga berpengaruh terhadap kenyamanan huni dan ketersediaan air di lingkungan permukiman. Tabel 14 Skor parameter penutupan lahan dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Besaran/ Deskripsi > 30 % Sangat Baik 20 – 30 % Baik 10 – 20 % Sedang < 10 % Buruk Sumber: Ritung dkk., 2007 Skor 4 3 2 1 h) Bahaya Letusan Gunung Merapi Bahaya atau ancaman letusan gunung merapi mempengaruhi tingkat kesehatan dan keamanan penghuni permukiman. Lokasi permukiman yang ideal hendaknya terbebas dari bahaya letusan gunung. Sesuai dengan kondisi geografis, wilayah DAS Cianjur sangat berpotensi untuk terjadinya bencana alam yang berkaitan dengan kegeologian seperti bahaya letusan gunung api yang berasal dari Gunung Gede. Daerah bahaya letusan diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu: 1) daerah bahaya beradius 5 km dari pusat erupsinya, yaitu daerah yang dapat terlanda aliran lava panas, 107 lemparan bongkahan atau awan panas; 2) daerah waspada beradius 5-10 km dari pusat erupsinya adalah daerah yang akan terkena abu, pasir dan kerikil, daerah aliran lahar dan hujan debu; 3) daerah aliran lahar dan hujan debu dengan jarak kira-kira 10-15 km dari pusat erupsinya, dan 4) daerah bebas bencana berjarak > 15 km(Bappeda Kabupaten Cianjur, 2006). Tabel 15 Skor parameter bahaya letusan gunung merapi dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Bebas Bahaya Bahaya 3 Bahaya 2 Bahaya 1 Besar Deskripsi Skor 4 Daerah bebas bahaya letusan gunung merapi 3 Daerah aliran lahar dan hujan debu radius 15 km Daerah yang akan terkena debu, pasir dan kerikil, aliran 2 lahar dan hujan debu radius 10 km Daerah yang dapat terlanda aliran larva panas, lemparan bongkahan atau awan panas dalam radius 5 km 1 Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur, 2006 i) Bahaya Banjir Bahaya banjir merupakan parameter yang penting dalam menentukan kesesuaian lahan untuk permukiman karena bahaya banjir dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan, kesehatan dan keamanan penghuni permukiman. Lokasi atau lahan permukiman seharusnya terbebas dari ancaman banjir. Wilayah DAS Cianjur secara keseluruhan memiliki kategori wilayah yang terbebas banjir, sehingga parameter bahaya banjir tidak digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan permukiman. Tabel 16 Skor parameter bahaya banjir dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Tidak banjir Jarang Sering Rutin banjir Besaran/ Deskripsi Dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam Dalam periode kurang dari satu bulan baniir yang terjadi lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur Selama waktu 2 – 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam Selama waktu enam bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara rutin lamannya lebih dari 24 jam. Sumber: Hardjowigeno 2007; Van der Zee 1990 Skor 4 3 2 1 108 j) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Produk domestik regional bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran produktifitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara (Rustiandi, 2007). Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita dapat memberikan gambaran terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yaitu dengan mengasumsikan tingkat pendapatan dengan PDRB per kapita yang diperoleh dari nilai PDRB dibandingkan dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Jika PDRB per kapita di suatu daerah cukup tinggi dapat mencerminkan tingkat pendapatan yang tinggi, sehingga tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dikatakan makmur, dan sebaliknya jika PDRB per kapita rendah dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat rendah (BPS, 2005). Tabel 17 Skor parameter pendapatan (PDRB) per kapita dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Besaran/ Deskripsi > Rp. 8 juta Tinggi Rp. 6 – 8 juta Menengah Rp. 4 – 6 juta Sedang Rp. < 4 juta Rendah Sumber: BPS 2005; Rustiandi 2007 Skor 4 3 2 1 k) Besar Anggota Rumah Tangga Besar anggota rumah tangga merupakan jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Anggota rumah tangga terdiri dari bapak, ibu, anak dan anggota yang lainnya. Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dibagi kedalam tiga kelompok yaitu keluarga kecil, keluarga sedang dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari bapak, ibu dan maksimal dua orang anak (≤ 4), keluarga sedang terdiri dari 5-6 orang dan keluarga besar yang terdiri dari lebih dari 7 orang. Besar anggota rumah tangga berkaitan dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan pada rumah, sehingga berpengaruh pada tingkat kenyamanan hunian. 109 Tabel 18 Skor parameter jumlah anggota rumah tangga dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Keluarga kecil Keluarga sedang Keluarga besar Besaran/Deskripsi ≤ 4 Orang 5 – 6 Orang ≥ 7 Orang Skor 4 3 2 Sumber: BKKBN 2002 l) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan bisa menggambarkan kemampuan kognitif dan pengetahuan yang dipunyai seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka semakin luas tingkat pengetahuan seseorang (Susanto, 1997). Dengan tingkat pendidikan yang memadai, seseorang dapat melakukan pengelolaan pemukiman lebih baik. Tabel 19 Skor parameter tingkat pendidikan dalam kesesuaian lahan permukiman Kelas Tinggi Menengah Atas Menengah Pertama Dasar Sumber: Susanto 1997 Besaran/ Deskripsi Perguruan tinggi SLTA SLTP SD Skor 4 3 2 1 d. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing parameter. Semakin tinggi jumlah nilainya maka kesesuaian lahannya juga semakin besar atau sangat sesuai. Kelas kesesuaian lahan dibedakan pada empat kelas yaitu: sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N1). Adapun pengkelasan dari tingkat kesesuaian lahan dapat dilihat pada Tabel 20. Kelas kesesuaian lahan pada Tabel 20 dibedakan berdasarkan kisaran nilai indeks kesesuaiannya. Untuk mendapatkan nilai selang indeks pada setiap kelas kesesuaian ditentukan dengan cara membagi selang antara empat 110 bagian yang sama dari selisih nilai indeks tumpangsusun tertinggi dengan nilai indeks tumpangsusun terendah yang diperoleh. Tabel 21 berikut ini menunjukkan bobot dari masing-masing aspek dan parameter yang digunakan dalam mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman. Tabel 20 Klasifikasi kesesuaian lahan permukiman Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permukiman Klasifikasi Total Nilai 334 – 401 Sangat Sesuai 266 – 333 Cukup Sesuai 198 – 265 Sesuai Marginal 130 - 197 Tidak Sesuai e. Proses Tumpang Susun (overlay) Untuk menentukkan pemetaan suatu kawasan yang sesuai dan tidak sesuai bagi pengembangan lahan permukiman dilakukan operasi tumpangsusun menggunakan Arc View 3.2. Tumpangsusun pertama adalah menumpang susunkan dari setiap parameter yang digunakan sebagai kriteria kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasikan peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1). Peta KLKim-1 selanjutnya ditumpangsusunkan dengan peta-peta yang menjadi constrain dalam kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Peta KLKim-bwl digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting permukiman yaitu dengan menumpangsusunkan antara peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat dan peta KLKim-bwl (Gambar 11). 3.3.4 Rumusan kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan Kajian ini bertujuan untuk merumuskan kriteria yang jelas tentang permukiman sehat dan berwawasan lingkungan. Perumuskan kriteria didasarkan pada hasil tiga kajian sebelumnya yaitu: pola sebaran permukiman, spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap permukiman, dan kesesuaian lahan permukiman. Perumusan kriteria menggunakan matriks yang menggambarkan hubungan antara kelas kesesuaian lahan, pola permukiman dan spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat dalam pengelolaa permukiman pada masing-masing sub DAS. Tabel 21 Pembobotan parameter untuk kesesuian lahan permukiman Kemiringan Lereng (Bobot 15) Kelas Skor Curah Hujan (Bobot 10) Elevasi (Bobot 5 ) Kelas Skor Kelas Skor Biofisik (Bobot 85 ) Kedalaman Kedalaman Air Efektif Tanah (Bobot 10) (Bobot 15) Kelas Skor Kelas Skor Kepekaan Erosi (Bobot 15) Kelas Skor Penutupan Lahan (Bobot 5) Kelas Skor Bahaya Letusan Gunung (Bobot 10) Kelas Skor < 10 4 <500 4 <1000 2 > 90 4 <5 2 Tidak peka 4 > 30 4 Bebas 4 10 – 15 3 500-749 3 1000-1750 3 61 - 90 3 5 - 10 4 Agak peka 3 20 - 30 3 Bahaya 3 3 16 – 20 2 750-1000 2 1750 -2500 4 30 - 60 2 >10 2 Peka 2 10 – 19 2 Bahaya 2 2 > 20 1 >1000 1 >2500 3 < 30 1 Sangat peka 1 < 10 1 Bahaya 1 1 Sosial (Bobot 10) Jumlah Anggota Tingkat Pendidikan Rumah Tangga (Bobot 5) (Bobot 5) Kelas Skor Kelas Skor 4 <4 4 PT 5–6 >7 3 2 SLTA SLTP SD 3 2 1 Ekonomi (Bobot 5) Tingkat Pendapatan PDRB (Bobot 5) Kelas Skor > 8 jt 4 3 6,1 – 8 jt 4 – 6 jt < 4 jt 2 1 Sumber: Modifikasi dari Van der Zee (1990); Susanto (1997); Basso et al. (2000); Sugiarti (2000); BKKBN (2002); Kelarestaghi (2003); Bappeda Kabupaten Cianjur (2006); Sani (2006); Hardjowigeno (2007); Ritung dkk (2007); Rustiandi (2007). 69 112 Peta Kelas Elevasi (m dpl) Bobot (5) Kelas Skor <500 4 500-749 3 750-1000 2 >1000 1 Peta Kelas Kemiringan lereng (%) Bobot ( 15) Kelas Besaran (%) Skor Datar < 10 4 Landai 10 – 15 3 Agak curam 16 – 20 2 Curam > 20 1 Peta Curah Hujan (mm/thn) Bobot (10) Kelas Skor <1000 2 1000-1750 3 1750-2500 4 >2500 3 Peta Kedalaman Air (m) Bobot (15) Kelas Skor <5 2 5 - 10 4 > 10 2 Peta Kepekaan Erosi Bobot (15) Kelas Skor Tidak peka 4 Agak peka 3 Peka 2 Sangat peka 1 Peta Bahaya Letusan Gunung (Km) Bobot (10) Kelas Skor Bebas 4 Bahaya 3 3 Bahaya 2 2 Bahaya 1 1 Peta Landcover (%) Bobot (5) Kelas Skor > 30 4 20 - 30 3 10 - 20 2 < 10 1 Peta Kedalaman Efektif (cm) Bobot (10) Kelas Skor > 90 4 60 - 90 3 30 - 60 2 < 30 1 SOSIAL (Bobot Peta Jumlah Keluarga (Org) Bobot (5) Kelas Skor <4 4 5–6 3 >7 2 Peta Tingkat Pendidikan Bobot (5) Kelas Skor PT 4 SLTA 3 SLTP 2 SD 1 Peta Permukiman Existing di DAS Cianjur Peta Tingkat Pendapatan (Rp) Bobot (5) Kelas Skor > 8 jt 4 6 – 8 jt 3 4 – 6 jt 2 < 4 jt 1 Peta Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim- Peta Konstrain: Lereng, Elevasi, Kepekaan erosi, Bahaya Letusan Gunung Overlay EKONOMI (Bobot BIOFISIK (Bobot 85) Peta Evaluasi Penyebaran permukiman Berdasarkan Kesesuaian l h P ki Peta Kesesuaian Lahan Permukiman Klasifikasi Kesesuaian Lahan Klasifikasi Total Nilai 334 – 401 Sangat Sesuai 266 – 333 Cukup Sesuai 198 – 265 Sesuai Marginal 130 - 197 Tidak Sesuai Gambar 11 Tahapan tumpang susun analisis kesesuaian lahan permukiman 70 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Karakteristik Geografi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur secara geografis terletak diantara 106o25’00” BT – 107o 14’30” BT dan 06 o45’35” LS – 06o50’40” LS (Gambar 12), letaknya berbatasan dengan puncak dan punggungan Gunung Gede Pangrango di bagian barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung Geulis dibagian utara, Gunung Puntang di bagian selatan. DAS Cianjur terdiri dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak sungai (Cigadog, Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada sungai utama. Wilayah DAS Cianjur memiliki luas sebesar 7 467.2 ha yang meliputi 6 kecamatan, yang terdiri dari 27 desa dan 6 kelurahan termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur dengan deliniasi wilayah seperti tercantum pada Tabel 22. Secara administratif Kabupaten Cianjur memiliki luas sebesar 350 148.8 ha yang terbagi dalam 30 kecamatan, yang terdiri dari 342 desa dan 6 kelurahan. Luas Tabel 22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif Zona DAS Desa Pacet Cugenang Hulu Cianjur Tengah Hilir Total Karang Tengah Cilaku Sukaluyu Kecamatan Ciputri, Ciherang Galudra,Sukamulya, Nyalindung, Cibeureum, Gasol, Mangunkerta, Cijendil, Sukamanah Mekarsari, Limbangansari, Sukamaju, Sawahgede, Muka, Solok Pandan, Sayang, Bojong Herang, Pamoyanan Sabandar, Sukamanah, Sindangasih, Langensari, Sukasari, Maleber,Bojong, Babakan Caringin, Hegarmanah Munjul Salajambe, Tanjungsari, Sukasirna, Babakansari Luas Administratif (Ha) Luas Wilayah DAS (Ha) 4 760.0 1 029.6 Persentase Luas DAS terhadap Administratif (%) 21.6 7 819.0 2 318.1 29.6 3 177.5 1 085.5 34.2 4 914.0 1 876.0 38.2 5 367.5 356.9 6.6 4 772.5 801.1 16.8 30 810.5 7 467.2 24.2 72 Gambar 12 Peta batas kecamatan dalam wilayah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) wilayah DAS Cianjur sebesar 24.2 % dari luas wilayah adminitratif tingkat kecamatan (30 810.5 ha) dan hanya 2.1% dari luas total wilayah administrasi Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur merupakan DAS lokal yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga lebih mudahkan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS. 4.1.2 Karakteristik Topografi Kawasan hulu DAS Cianjur meliputi areal seluas 3 111.8 ha yang merupakan daerah pegunungan dan perbukitan terletak pada ketinggian antara 750 m sampai 2 950 m (Gambar 13). Bagian tengah DAS Cianjur meliputi areal seluas 3 245.9 ha dengan variasi ketinggian antara 340 m sampai 750 m dpl. Bagian hilir DAS Cianjur memiliki areal seluas 1 109.9 ha dengan variasi ketinggian antara 265 m sampai 340 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan ketinggian wilayah DAS Cianjur sebagian besar (58.3%) memiliki potensi sebagai areal permukiman. Kemiringan lereng pada DAS Cianjur secara umum didominasi dengan kemiringan lereng 0 – 3% yang mencakup luasan sebesar 4 192.1 ha atau 56.1% dari luas total DAS (Gambar 14). Kemiringan lereng > 45% atau curam sekali hanya memiliki areal seluas 133 ha atau 1.8% yang terletak pada lereng volkan atau perbukitan. Kemiringan lereng 3 – 8% atau agak landai seluas 1 176.4 ha (15.7%), 8 – 15% atau landai 677.7 ha (9.1%), 15 – 24% agak curam 380 ha (5.1%) dan 24 – 45% atau curam 907.9 ha (12.2%). Kondisi ini menunjukkan bahwa berdasarkan kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur sebagian besar (71.8%) memiliki potensi untuk pembangunan permukiman karena memiliki kemiringan lereng potensial 3 - 8 % (Masykur 2006). 4.1.3 Karakteristik Iklim Secara umum berdasarkan klasifikasi iklim Koppen DAS Cianjur termasuk ke dalam tipe iklim Af, yaitu merupakan daerah iklim hujan tropis, selalu basah, hujan setiap bulan lebih dari 60 mm (Gambar 15). Kondisi iklim DAS Cianjur selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini (2005 s/d 2007) secara umum adalah: 1) kelembaban udara rata-rata berkisar antara 84% sampai 87 %; 2) rata - rata suhu bulanan terdingin adalah 170C, sedangkan rata-rata suhu bulanan terpanas adalah 25.70C, 3) rata-rata curah hujan bulan berkisar antara 193 mm sampai 275.9 mm, dan 4) hari hujan berkisar antara 164.2 hari/tahun sampai 205 hari/tahun (Tabel 23). Kondisi iklim ini menunjukkan bahwa wilayah DAS Cianjur memiliki daya tarik sebagai wilayah pembangunan permukiman karena memiliki tingkat kenyamanan. Tabel 23 Data iklim DAS Cianjur Tahun 2005 - 2007 Tahun 2005 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata Suhu (0C) Kelembaban Udara (%) 20.2 20.2 20.3 20.3 20.8 20.4 19.9 20.1 19.9 21.1 21.5 20.5 20.4 (Sumber: BMG, 2007) 4.1.4 89 90 89 86 85 87 85 84 85 85 85 91 87 Tahun 2006 Curah Hujan (mm) 377.8 583.2 410.2 225.9 231.0 195.7 147.3 113.3 131.7 219.4 365.9 308.8 275.9 Tahun 2007 Suhu (0C) Kelembaban Udara (%) Curah Hujan (mm) Suhu (0C) Kelembaban Udara (%) Curah Hujan (mm) 20.0 20.1 20.3 20.4 20.7 20.0 19.6 19.4 21.1 21.8 22.2 21.2 20.6 92 92 92 92 91 92 92 89 78 78 83 88 88 414 412 105 319 139 106 44 30 9 109 220 403 193 24.0 20.0 20.1 28.0 20.9 20.4 20.3 20.4 21.0 21.3 21.6 20.8 19.2 86 91 89 88 86 86 81 78 76 81 82 87 84 196 330 338 320 217 145 12 70 108 337 438 417 244 Karakteristik Hidrogeologi Wilayah DAS Cianjur secara umum didominasi oleh produk-produk bahan vulkanik muda yaitu formasi qyg, qyl, dan qyc (Tabel 24). Formasi qyg yang terbentuk dari breksi dan lahar dari Gunung Gede Pangarango menyebar luas mulai dari puncak gunung sampai ke dataran DAS. Formasi qyl yang dibentuk oleh lava dijumpai pada sebagian kecil puncak Gunung Gede. Sementara, formasi qyc yang ditemukan sebagai bukit-bukit kecil di dataran bagian tengah sampai hilir DAS atau di sekitar daerah Kecamatan Cianjur sampai Sukaluyu, terbentuk dari batuan aluvial andesit bercampur pasir vulkanik dan tufa. Formasi qot yang merupakan produk vulkanik tertua mencakup breksi dan lava hanya dijumpai di bagian utara DAS Cianjur yaitu Pegunungan Geulis. Hal ini menunjukkan bahwa secara geologi wilayah DAS Cianjur merupakan wilayah rawan bencana letusan gunung. Pada bagian hulu DAS Cianjur terdapat empat sungai, yaitu Ciherang, Cianjur leutik, Cigadog, dan Cianjur. Keempat sungai tersebut bergabung menjadi satu (Sungai Cianjur) di Kampung Babakan Pos Kuta wetan Desa Mangunkerta Kecamatan Cugenang. Di wilayah zona DAS tengah terdapat Sungai Cikululu yang bergabung dengan sungai Cianjur di Desa Pamoyanan Kecamatan Cianjur, namun kembali bercabang dua di Kampung Deungkeng Desa Langensari Kecamatan Karang Tengah menjadi Sungai Cianjur dan Ciheulang. Selanjutnya pada zona DAS hilir Sungai Cianjur bermuara ke Sungai Cilaku, sementara Sungai Ciheulang bermuara ke Sungai Cisokan. Tabel 24 Hidrogeologi DAS Cianjur Kode Deskripsi Geologi Air Permukaan Air Tanah Mata Air Qyg Breksi dan lahar dari G. Gede Pangrango. Tersebar dari puncak sampai kaki gunung dan daerah dataran. Air permukaan pada badan gunung sulit dijangkau, terdapat pada lembah sungai yang dalam. Pada kaki gunung, anak-anak sungai agak mudah dijangkau. Di bagian dataran, air sungai sangat mudah diakses dan digunakan Pada badan gunung, air tanah sangat dalam. Pada kaki gunung, muka air tanah bebas 3-4 m, air tanah dalam tidak diketahui. Pada bagian dataran, air tanah bebas bervariasi dari 0.5-5 m, air tanah tak bebas > 30 m Pada badan gunung, mata air dijumpai di lereng-lereng. Di kaki gunung, beberapa mata air ditemui di lembah sungai. Di bagian dataran, mata air sangat jarang, kecuali pada beberapa lembah sungai Qyl Lava muda dari G. Gede Pangrango. Terdapat di bagian atas gunung. Air permukaan pada kawasan gunung sulit dijangkau, berada pada lembah-lembah sungai yang dalam Air tanah dalam. Mata air-mata air pada lereng gunung Qyc Bongkahan batuan aluvial andesit bercampur dengan pasir vulkanik dan tufa. - Air tanah dalam jarang ditemui. - Qot Breksi dan lava dari produk-produk vulkanik tertua. Dalam lembah-lembah sungai kecil yang dalam Jarang (sangat dalam) Tidak teramati sangat Sumber: Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat 1972. Peta Geologi Lingkungan Lembar Cianjur, Jawa Barat 1993. Kondisi air permukaan terkait erat dengan keberadaan sungai-sungai yang mengalir dan kondisi curah hujan sepanjang tahun. Air sungai dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar DAS untuk keperluan pertanian, mandi, Gambar 13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 76 Gambar 14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 77 Gambar 15 Peta curah hujan DAS Cianjur (Sumber: Dinas Cipta Karya Kabupaten Cianjur 2005) 78 cuci, dan kakus. Mata air umumnya berada pada ketinggian 400 – 1 000 m dpl,yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat di zona hulu. Masyarakat di zona tengah dan hilir DAS biasanya memperoleh air bersih dengan memanfaatkan air tanah dengan kedalaman antara 4 sampai 8 m. 4.1.5 Karakteristik Tanah Secara umum DAS Cianjur terdiri dari 5 jenis tanah dengan luasan bervariasi (Gambar 16). Tanah latosol coklat mendominasi luasan yaitu sebesar 3 617.5 ha atau 48.4% dari luas total DAS yang membentang dari hulu hingga tengah. Bagian tengah dan hilir DAS berturut-turut didominasi oleh tanah latosol coklat dan aluvial coklat kekelabuan (ACK). Asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan (AK-ACK) dan asosiasi andosol coklat dan regosol coklat (ACRC) berturut-turut masing-masing hanya terdapat di hilir (1.9%) dan hulu (22.2%) DAS Cianjur. Berdasarkan jenis tanah yang ada diwilayah DAS Cianjur yaitu latosol (memiliki kepekaan erosi agak peka), aluvial (memiliki kepekaan erosi tidak peka), dan regosol (memiliki kepekaan erosi sangat peka) maka hanya sebagian kecil wilayah DAS Cianjur potensial untuk pengembangan permukiman. 4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana Sesuai dengan kondisi geografis, wilayah DAS Cianjur sangat berpotensi terjadinya bencana alam yang berkaitan dengan kegeologian seperti bahaya letusan gunung api yang berasal dari Gunung Gede (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Berdasarkan hal tersebut, dapat diidentifikasi wilayah-wilayah di DAS Cianjur yang rawan terhadap bencana letusan gunung api yaitu untuk wilayah yang termasuk kelompok daerah bahaya meliputi Kecamatan Pacet dan Cugenang dan Cianjur, sedangkan kelompok daerah waspada meliputi Kecamatan Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu (Gambar 17). Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah DAS Cianjur terutama sub DAS hulu merupakan wilayah yang kurang aman untuk pengembangan permukiman. Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 80 PETA RAWAN LETUSAN GUNUNG Daerah Aliran Sungai Cianjur KABUPATEN CIANJUR Gambar 17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur (Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur 2006) 81 4.1.7 Penggunaan Lahan Aktual Penggunaan lahan di DAS Cianjur hasil interprestasi citra landsat tahun 2006, secara umum terdiri dari hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman industri, perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering bercampur semak, sawah, semak atau belukar, dan tanah terbuka (Gambar 18). Penggunaan lahan yang mendominasi adalah sawah seluas 2 729.8 ha atau 36.6%, permukiman seluas 2 058 ha atau 27.6%, dan pertanian lahan kering seluas 1 211.7 ha atau 16.2% sementara itu luas hutan lahan kering hanya 539.5 ha atau 7.2%. Rendahnya persentase hutan lindung di bagian hulu DAS Cianjur disebabkan telah terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman. Pertumbuhan permukiman di wilayah ini bersifat skipping, yaitu memanfaatkan lahan yang masih baru (dari hutan, pertanian lahan basah dan kering) dengan bertitik tolak pada pemandangan indah. Hal ini dapat merusak stuktur tata ruang yang direncanakan dengan menggunakan lahan yang bukan diperuntukan bagi pengembangan perumahan dan permukiman. 4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan Secara administratif penduduk Kabupaten Cianjur pada akhir tahun 2005 adalah 2 098 644 jiwa (570 047 KK) yang terdiri dari 1 069 408 jiwa laki-laki dan 1 029 236 jiwa perempuan dengan laju pertumbuhan sebesar 1.96% dari tahun sebelumnya (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Berdasarkan tingkat penyebarannya, penduduk terkosentrasi di wilayah Cianjur utara sebesar 65% dengan kepadatan antara 594.20 jiwa/km2 sampai 3 073 68 jiwa/km2, Cianjur tengah 19.62% dengan kepadatan antara 253.90 jiwa/km2 sampai 628.95 jiwa/km2 dan Cianjur selatan 15.38% dengan kepadatan antara 180.75 jiwa/km2 sampai 253.95 jiwa/km2. Wilayah Cianjur utara yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi merupakan wilayah DAS Cianjur, oleh karena itu kebutuhan terhadap permukiman akan tinggi. Sehubungan dengan program pemerintah Kabupaten Cianjur yang terus melakukan pengembangan ke wilayah utara Cianjur karena dinilai memiliki berbagai potensi wisata maka kecenderungan DAS Cianjur bagian hulu akan 10 7°3 ' 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' 10 7°0 0 ' 10 7°3 ' 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' 6°51' 6°51' 6°48' 6°48' 6°45' 6°45' 10 7°0 0 ' P E TA P E N G G U N A AN L A H A N T AH U N 20 06 D AS C IA N JU R K A B U P AT E N C IAN JU R N 2 0 2 4 Kilo m e te rs B ata s D A S Tu tu p a n L a h an : H u tan L a ha n K e rin g S ek u n de r H u tan T a n am a n Ind u s tri (H T I) P er ke b u na n P er m u k im an P er tan ia n la h a n k e rin g b e rc a m p u r d g n s e m a k S aw ah S em a k /B e lu k a r Ta n a h Te rb u k a Lo k a s i P e n elitian Gambar 18 Peta penggunaan lahan DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006) 83 menerima tekanan berupa kebutuhan ruang hunian, villa, sarana prasaran wisata. Oleh karena itu potensi alih fungsi lahan dari lahan pertanian lahan kering, semak belukar, dan lahan terbuka menjadi pemukiman, villa, sarana prasaran wisata akan terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Silas (2007) bahwa pertumbuhan permukiman tersebut dipicu oleh suatu proses pergeseran permukiman yang disebabkan oleh mekanisme pasar, sehingga akan terjadi perpindahan orang yang semula tinggal dalam kota ke rumahnya di pinggiran atau luar kota. 4.2 Pola Sebaran Permukiman Pola penyebaran pembangunan permukiman tertata dan permukiman tidak tertata di wilayah desa dan kota pembentukkannya berakar dari pola campuran antara ciri perkotaan dan perdesaan. Kawasan permukiman perkotaan di wilayah DAS Cianjur sebagian besar berada di wilayah bagian tengah DAS Cianjur. Kawasan permukiman perkotaan merupakan Kecamatan-kecamatan yang pada saat ini merupakan konsentrasi kegiatan penduduk dengan indikasi jumlah penduduk yang besar (Bappeda Kabupaten Cianjur, 2005) seperti Kecamatan Pacet (Zona DAS hulu), Cianjur, dan Karang Tengah (Zona DAS tengah). Pola permukiman tertata wilayah DAS Cianjur memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Hal ini sejalan dengan pendapat Koestoer (1995) yang menyatakan bahwa bangunan rumah di lingkungan permukiman tertata secara teratur menghadap jalan dengan kerangka jalan tertata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Pola permukiman tidak tertata di wilayah DAS Cianjur cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air seperti sungai dan jalan. 4.2.1 Ukuran Permukiman Tabel 25 menunjukkan bahwa ukuran permukiman yang berada di wilayah DAS Cianjur sebagian besar tergolong ke dalam permukiman sedang dengan jumlah penduduk antara 500 sampai dengan 2000 jiwa. Selebihnya tergolong dalam permukiman kecil-sedang dengan jumlah penduduk kurang dari 500 jiwa dan jumlah rumah lebih dari 20 unit (Van der Zee 1986). Ukuran permukiman di bagian hulu didominasi oleh permukiman sedang dengan jumlah rumah rata-rata 196 unit, sedangkan di bagian tengah dan hilir komposisi ukuran permukiman kecil-sedang dan sedang berimbang dengan jumlah rumah rata-rata untuk permukiman kecil-sedang 49 unit di bagian tengah dan 53 unit di bagian hilir, sementara permukiman sedang di bagian tengah dan hilir masing-masing dengan jumlah rumah rata-rata sebanyak 416 unit dan 193 unit. Tabel 25 Ukuran permukiman Zona DAS Kampung Hulu Tengah Hilir Sarongge girang Cibeureum Kidul Galudra Tengah Burangkeng Perum Buniwangi Sayang Perum Maleber Golebag Dua Pasir Peucang Pasir Goong Kamiran Cibakung Kriteria Ukuran Permukiman Jumlah Jumlah Penduduk Rumah 922 190 928 152 865 245 465 102 260 50 1210 464 1105 368 216 49 142 32 312 74 826 198 600 188 Golongan ukuran Permukiman Sedang Sedang Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Sedang Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Kecil-Sedang Sedang Sedang Total Persentase Sedang Kecil-Sedang 25 8.32 16.67 16.67 16.67 16.67 58.34 41.66 Tabel 25 menjelaskan bahwa jumlah penduduk rata-rata yang mendiami permukiman setingkat kampung yang berada di wilayah hulu DAS Cianjur (795 jiwa) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk rata-rata yang di wilayah tengah (741 jiwa) maupun hilir (470 jiwa). Hal ini disebabkan zona DAS hulu memiliki: (1) potensi wisata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berada di bagian tengah dan hilir maupun warga yang berasal dari luar kawasan DAS untuk pindah ke zona DAS hulu, (2) kondisi iklim (suhu) yang memberikan tingkat kenyamanan yang lebih, (3) kemudahan memperoleh air bersih dan (4) fasilitas infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antar kampung, desa, kecamatan hingga ke ibukota kabupaten. 4.2.2 Kepadatan Bangunan Bangunan rumah di wilayah DAS Cianjur sebagian besar (50%) memiliki tipe kepadatan bangunan yang padat (Tabel 26). Kepadatan bangunan dicirikan salah satunya oleh jarak antara bangunan rumah yang kecil yaitu berkisar antara setengah sampai satu meter. Permukiman di zona DAS hulu didominasi oleh permukiman dengan tipe kepadatan bangunan yang padat, di zona DAS tengah didominasi oleh permukiman dengan tipe kepadatan bangunan jarang, dan di zona DAS hilir terdapat dua tipe kepadatan bangunan yaitu jarang dan padat. Tabel 26 Tipe kepadatan bangunan Zona DAS Hulu Tengah Hilir Unit Permukiman (Kampung) Sarongge Girang Cibeureum Kidul Galudra Tengah Burangkeng Perum Buniwangi Sayang Perum Maleber Golebag Dua Pasir Peucang Pasir Goong Kamiran Cibakung Tipe kepadatan Bangunan Padat Sangat padat Padat Padat Jarang Sangat Padat Jarang Padat Jarang Jarang Padat Padat Total Persentase Sangat Padat Padat Jarang 8.3 25 - 8.3 8.3 16.7 - 16.7 16.7 16.6 50 33.4 Dominasi tipe bangunan padat di zona DAS hulu Cianjur disebabkan karena kepemilikan lahan untuk bangunan rumah diperoleh secara turun-terumun (warisan) pada satu lokasi lahan dengan luasan terbatas, yang mengakibatkan lahan warisan seluruhnya digunakan untuk membangun rumah. Faktor lain yang menyebabkan kepadatan bangunan adalah terjadinya fregmentasi seperti yang diungkapkan Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan atau pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau maksimalisasi penggunaan lahan dengan konstruksi kualitas rendah membuat persil permukiman terus mengecil dan permukiman pun menjadi padat, sehingga jarak antar bangunan rumah sangat kecil atau bahkan jarak atap hanya setengah meter. Kondisi ini mengakibatkan terbatasnya sarana infrastruktur sebagaimana yang diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa tingginya kepadatan bangunan mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastuktur, yang menyebabkan rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman. 4.2.3 Tipe Permukiman Permukiman secara umum memiliki tiga tipe yaitu linier, plaza, dan streetplan (Van der Zee 1986). Permukiman di wilayah DAS Cianjur memiliki dua tipe yaitu tipe linier dan streetplan. Tipe permukiman linier dibagi dalam dua kategori yaitu linier-1 dan linier-2 (Gambar 19). Permukiman tipe linier-1 adalah permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi rumah berjajar linier sepanjang jalan setapak dengan lebar setengah sampai satu meter dan jalan desa dengan lebar tiga sampai empat meter. Permukiman tipe linier-2 adalah permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi rumah berjajar linier sepanjang jalan lingkungan atau gang dengan lebar satu meter dan jalan desa dengan lebar lima meter. Tipe permukiman linier memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah yang tidak teratur, jarak antar rumah yang kecil, dan pekarangan rumah yang terbatas. Permukiman streetplan memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah yang teratur menghadap jalan dengan kerangka jalan tertata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal (Koestoer Persentase (%) 1995). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Hulu Tengah Linier-1 Linier-2 Hilir Streetplan Gambar 19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur Sebagian besar tipe permukiman di zona DAS bagian hulu adalah tipe linier-1, zona tengah DAS terdiri dua tipe permukiman yaitu tipe streetplan dan linier-2. Permukiman di zona DAS hilir seluruhnya memiliki tipe permukiman linier-1. Antar unit permukiman (Kampung) dihubungkan dengan jalan desa, sedangkan dalam lingkungan kampung itu sendiri mobilitas penghuni hanya melalui jalan selebar setengah sampai satu meter yang dibangun dengan swadaya masyarakat. Posisi bangunan rumah yang tidak teratur secara berkelompok menghadap kearah jalan baik jalan desa maupun jalan lingkungan. 4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata Kampung merupakan unit terkecil dari suatu permukiman. Luas kampung yang menjadi sampel berkisar antara 1.6 ha sampai dengan 20.8 ha dengan luas rata-rata sebesar sembilan ha. Rata-rata luas kampung di zona DAS hulu lebih kecil jika dibandingkan dengan luas kampung di tengah dan hilir. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi wilayah hulu yang berbukit dengan tingkat kemiringan yang cukup bervariasi, sehingga luasan wilayah kampung terbatas dan cenderung posisi kampung menyebar dengan luasan kecil. Komposisi jenis konstruksi rumah responden di lingkungan permukiman tidak tertata di DAS Cianjur terdiri dari rumah permanen, rumah panggung, dan rumah semi permanen (Tabel 27). Jenis konstruksi rumah yang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat di zona hulu (51.7%) dan hilir (53.3%) adalah rumah panggung. Persentase jenis konstruksi rumah yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Cianjur adalah : rumah permanen 66.3%; semi permanen 25.4%; dan rumah panggung 8.3% (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar masih menggunakan Arsitektur Tradisional Sunda dalam membangun rumah dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Cianjur. Tabel 27 Jenis konstruksi rumah responden Jenis Konstruksi (%) Zona DAS Hulu Tengah Hilir Permanen 38.3 93.3 43.3 Semi Permanen 10.0 5.0 3.3 Keterangan: n=60 pada masing-masing lokasi Panggung 51.7 1.7 53.3 Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda banyak ditemui di DAS bagian hulu dan hilir. Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Menurut budaya masyarakat Sunda, alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari (Loupias 2005). Dominasi keberadaan rumah panggung di wilayah DAS Cianjur merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Sunda dalam melestarikan budaya. Rumah panggung dirancang dengan konsep menyatu dengan alam sehingga dalam penggunaan bahan bangunan menggunakan bahan lokal. Perilaku masyarakat ini mencerminkan budaya masyarakat yang tidak bergantung pada sumberdaya berasal dari luar dan kesadaran akan penggunaan energi untuk transportasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi (2006) bahwa penggunaan bahan bangunan lokal akan memperpanjang jangka waktu pemakaian bangunan dan menguntungkan dari segi kalkulasi energi. Di DAS bagian hulu keberadaan rumah panggung dikarenakan ketersediaan bahan bangunan untuk konstruksi rumah tersebut cukup banyak, terutama kayu dan bambu. Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda memiliki keunggulan yaitu: 1) rumah panggung memiliki koefisien dasar bangunan yang rendah, artinya bahwa lahan dibawah rumah panggung dapat berfungsi sebagai areal untuk meresapkan air; 2) rumah panggung terhindar dari udara lembab dari tanah maupun debu; dan 3) rumah panggung lebih tahan terhadap bencana alam terutama gempa bumi. Bangunan rumah panggung di Jawa Barat dibedakan menurut bentuk atap dan pintu masuk (Depdikbud 1984). Konstruksi rumah panggung berdasarkan bentuk atap terdiri dari enam tipe yaitu: suhunan jolopong, tagog anjing, badak heuay, parahu kumureb, jubleg nangkub, dan julang ngapak. Konstruksi rumah panggung berdasarkan pintu masuk terdiri dari dua tipe yaitu: rumah buka palayu dan buka pongpok. Rumah panggung pada zona hulu dan hilir DAS Cianjur banyak mempergunakan tipe suhunan jolopong, parahu kumureb, dan julang ngapak. Rumah panggung pada umumnya memiliki susunan ruangan yaitu: tepas (teras), pangkeng (kamar), tengah imah (ruang tengah), goah (ruang tempat menyimpan padi), dan pawon (dapur). Sistem pembagian ruangan didasarkan pada pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing anggota keluarga penghuni. Pembagian didasarkan pada tiga daerah yang terpisah (daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral). Dapur dan goah merupakan ruangan untuk wanita. Ruangan depan adalah ruangan untuk laki-laki. Tengah imah merupakan ruangan netral yang digunakan untuk wanita dan laki-laki baik orang tua maupun anak-anak. Konstruksi rumah panggung memiliki bagian-bagian menurut fungsinya. Bagian-bagian rumah terdiri dari: golodog, kolong, tatapakan, tihang, palupuh, dinding, pintu, jendela jalosi, ampig, lalangit, suhunan, pananggeuy, lincar, darurung, paneer, saroja, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret. Golodog merupakan tangga rumah yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsinya sebagai penghubung lantai dengan tanah. Kolong merupakan ruangan yang terdapat di bawah lantai rumah, tingginya 0.5 – 0,8 m di atas permukaan tanah. Konstruksi rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban cukup besar. Di atas tatapakan diletakkan tihang yang berfungsi sebagai penyangga atap bangunan. Tihang dibuat dari kayu ukuran 15 x 15 cm untuk tihang-tihang utama, sedangkan untuk tihang-tihang tambahan dibuat dengan ukuran yang lebih kecil. Bagian lantai dibuat dari papan atau palupuh (lembaran bambu hasil cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat). Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas lantai. Konstruksi lantai yang tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah memberikan fungsi kenyamanan huni yaitu rumah akan terhindar dari udara lembab yang berasal dari tanah maupun debu. Dinding sebagian besar terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubang-lubang kecil seperti "pori-pori" yang berfungsi sebagai ventilasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Loupias (2005) bahwa lubang-lubang kecil pada bilik berfungsi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya, sehingga suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi cuaca alam di luar. Kondisi ini tidak perlu mengandalkan cahaya yang masuk sepenuhnya melalui jendela. Lalangit merupakan bagian konstruksi yang menempel pada dasar rangka atap. Lalangit terbuat dari bambu yang dianyam atau papan kayu. Selanjutnya bagian bangunan yang paling atas yaitu atap. Konstruksi atap rumah panggung terdiri dari: suhunan, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret, dan sisiku. Pembuatan rumah panggung biasanya dilakukan dengan tradisi gotong royong oleh masyarakat dilingkungan kampung. Rata-rata luas rumah di hulu, tengah dan hilir DAS Cianjur masing-masing berturut-turut adalah 47.1 m2, 69.4 m2 dan 40.8 m2 (Tabel 28). Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) rata-rata luas rumah antara hulu, tengah dan di hilir. Tabel 28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur Zona DAS Hulu Tengah Hilir Rata-rata Luas Rumah (m2 ) 47.1 69.4 40.8 Rata-rata jumlah penghuni 4.6 4.7 4.9 Rata-rata luas perjiwa 10.2 14.8 8.3 Berdasarkan tingkat kebutuhan ruang minimum per-orang sesuai dengan standar ukuran kebutuhan ruang minimum yang dikeluarkan oleh Menteri Kimpraswil tahun 2002, maka ukuran kebutuhan ruang minimum untuk rumah yang berada di wilayah hilir (luas rata-rata 40.8 m2) dengan rata-rata jumlah penghuni sebesar 4.9 jiwa dapat dikategorikan tidak memenuhi standar minimum ukuran kebutuhan ruang per-orang sebesar 9 m2. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kenyamanan dan keleluasan bergerak dari penghuni sebagaimana diungkapkan oleh Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang yang ada akan mempengaruhi tingkat kemudahan tingkah laku dari para penghuninya. Kelengkapan elemen ruang yang dimiliki rumah responden di hulu, tengah maupun hilir DAS sebagian besar memiliki kelengkapan ruang yang standar yaitu ruang tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan WC (Tabel 29). Kelengkapan elemen ruang dalam rumah akan berpengaruh pada tingkat kenyamanan, kesehatan dan tingkah laku penghuni yang disebabkan tidak terpenuhinya fungsifungsi ruangan. Hal ini diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa sebuah rumah harus dapat memungkinkan orang beristirahat, memasak, makan, berkumpul dengan keluarga dan sebagainya. Tabel 29 Kelengkapan elemen ruang Zona DAS Kelengkapan Ruang Sangat Lengkap Standar Kurang dari standar % 8.3 16.7 13.3 % 55 61.7 46.7 % 36.7 21.7 40 Hulu Tengah Hilir Hasil uji beda menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) kepemilikan ruang tidur, dapur, kamar mandi, dan WC di hulu, tengah dan hilir. Elemen ruang yang cukup banyak tidak dimiliki baik di hulu maupun hilir DAS adalah kamar mandi dan WC. Perbedaan tersebut disebabkan oleh status sosial ekonomi masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Jiaming (2005) di Shangai bahwa tipe tempat tinggal termasuk kelengkapan elemen ruang berhubungan dengan tingkat pendapatan perkapita. Luas lantai rumah di wilayah DAS Cianjur bervariasi dari luasan < 20 m2 sampai > 150 m2. Di bagian hulu, tengah dan hilir didominasi oleh rumah dengan luas lantai antara 20 – 49 m2 (Tabel 30). Rumah dengan luas lantai > 150 m2 hanya dijumpai di bagian tengah DAS yaitu di lingkungan permukiman tertata. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di hulu dan hilir lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang berada di sub DAS tengah. Tabel 30 Jumlah rumah menurut luas lantai Zona DAS Hulu Tengah Hilir Total < 20 % 3.3 1.7 1.7 20-49 % 58.3 60 83.3 67.2 Luas Lantai (m2) 50-99 100-149 % % 33.3 5.0 23.3 6.7 11.7 3.3 22.8 5.0 >150 % 10.0 3.3 Secara umum occupancy rate (tingkat penghunian) rumah di wilayah DAS Cianjur sebesar 121.1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan rumah yang ada belum bisa menampung kebutuhan masyarakat akan rumah (Dinas Cipta Karya 2005). Tingkat penghunian yang paling besar terdapat di zona DAS tengah mencapai 126.7% (Tabel 31). Hal ini disebabkan wilayah zona DAS tengah merupakan wilayah perkotaan dengan tingkat ketersediaan rumah lebih kecil dari jumlah kepala keluarga yang ada sehingga berdampak pada tingkat hunian yang melebihi 100%. Tingkat hunian yang melebihi 100% berdampak pada tingkat kenyamanan, hubungan sosial dan kecenderungan memicu terjadinya konflik keluarga sebagaimana diungkapkan Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang akan mempengaruhi tingkat kenyamanan dan perilaku penghuninya. Tabel 31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur Zona DAS Hulu Tengah Hilir Jumlah KK dalam Satu Rumah 1 51 49 52 2 12 14 14 3 9 9 4 4 4 Tingkat Penghunian % 120 126.7 120 Rumah di wilayah DAS Cianjur separuhnya memiliki RTH berupa taman di halaman rumah. Luas rata-rata RTH di bagian hulu, tengah dan hilir masingmasing berturut-turut sebesar 32.8 m2, 21.5 m2, dan 19.9 m2. Kecilnya luasan RTH di bagian hilir disebabkan: (1) lahan untuk rumah rata-rata diperoleh dari warisan orang tua, sehingga luas areal lahan yang dibagikan terbatas hanya untuk bangunan rumah, dan (2) jumlah anggota rumah tangga yang cukup besar yaitu rata-rata 4.9 jiwa/rumah, sehingga diperlukan penambahan ruang. Hal ini sejalan dengan pendapat Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan akan terjadi pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau maksimalisasi penggunaan lahan dengan konstruksi bangunan rumah. Kondisi pekarangan yang sempit akan memicu terjadinya ”heat island” (titik-titik panas) pada kawasan permukiman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi (2006) yang melakukan pengukuran gas emisi CO2 di sektor permukiman perkotaan di kota Nihonmatsu Jepang dengan melakukan pengukuran emisi CO2 dari bahan bangunan, aktivitas keluarga, dan transportasi. Berdasarkan jenis bahan bangunan yang digunakan pada bangunan rumah di wilayah DAS Cianjur, sebagian besar telah memiliki komponen rumah sehat (Ditjen Ciptakarya 1997). Komponen rumah sehat tersebut seperti pondasi, dinding, lantai, plapond dan atap. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan (p<0.05) dalam penggunaan bahan dinding, lantai, plapond di hulu, tengah dan hilir DAS Cianjur. Bahan dinding yang banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat di zona hulu (46.7%) dan tengah (93.3%) adalah tembok , sedangkan 5 0 50 40 30 20 10 0 Tengah Hulu T embok Papan-bilik Papan Bilik T embok-bilik Persentase Penggunaan 100 90 80 70 60 50 45 40 35 30 25 20 15 10 Persentase Penggunaan Persentase Penggunaan di zona hilir sebagian besar (45%) menggunakan bilik. (Gambar 20). T embok Papan-bilik Bilik T embok-bilik 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Hilir T embok Papan-bilik Bilik T embok-bilik Gambar 20 Persentase penggunaan bahan dinding Penggunaan bahan lantai di zona hulu, tengah, dan hilir masing-masing secara berturut-turut didominasi oleh adalah papan 28.8%, keramik 73.3% dan bilik 33.3% (Gambar 21). Sementara itu untuk bahan plapond di zona DAS hulu, tengah dan hilir masing-masing sebagian besar secara berturut-turut menggunakan bilik 51.7%, triplek 51.7% dan bilik 55% (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di zona DAS hulu dan hilir masih melestarikan tradisi penggunaan bahan bangunan lokal dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di zona DAS tengah. Bahan untuk penutup atap untuk seluruh wilayah DAS dari hulu hingga hilir sebagian besar (100%) menggunakan genteng. Dominasi penggunaan bahan genteng sebagai bahan penutup atap tersebut disebabkan oleh ketersediaan genteng mudah didapat, harga yang relatif lebih murah dan memberikan 80 25 70 20 15 10 5 0 35 Persentase Penggunaan 30 Persentase Penggunaan Persentase Penggunaan kenyamanan bagi penghuninya. Hal ini sejalan dengan pendapat Frick (1996) 60 50 40 30 20 10 0 25 20 15 10 5 0 Hulu Keramik Papan Bambu dibelah 30 Tengah Semen Bilik Keramik Papan Hilir Semen Bilik Keramik Papan Bambu dibelah Semen Bilik Gambar 21 Persentase penggunaan bahan lantai 60 50 40 30 20 10 60 50 Persentase Penggunaan Persentase Penggunaan Persentase Penggunaan 60 40 30 20 10 0 0 T riplek Bambu 40 30 20 10 0 Tengah Hulu Enternit Bilik 50 Enternit T riplek Hilir Bilik Enternit T riplek Bilik Gambar 22 Persentase penggunaan bahan plapond bahwa dari segi kenyamanan, atap genteng dapat membuat suhu udara ruangan lebih sejuk dan tidak menimbulkan kebisinginan di waktu hujan. Berdasarkan dominasi jenis bahan bangunan yang digunakan pada masingmasing konstruksi bangunan yaitu bahan bangunan dari sumber bahan mentah lokal, maka hal ini mencerminkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur masih memelihara tradisi lokal dalam pembangunan rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat Frick (1996) bahwa penggunaan bahan bangunan dari sumber bahan mentah lokal menunjukkan identitas penghuni yang tidak tergantung dari luar dan kesadaran akan penggunaan energi transportasi yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Kobayashi (2006) tentang emisi CO2 dari bahan bangunan yaitu jika bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan kondisi sumber daya setempat, maka bangunan akan terpakai dalam jangka waktu yang panjang dan menguntungkan dari segi kalkulasi energi, karena meminimalkan jarak transportasi dan ketergantungan atas teknologi tinggi. 4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata Permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur keberadaannya menyebar mulai dari wilayah hulu sampai hilir. Di wilayah hulu lebih didominasi oleh permukiman tertata berkelas mewah berupa villa-villa. Permukiman tertata di wilayah tengah dan hilir terdiri dari permukiman berkelas menengah ke bawah mulai dari tipe 22/60 hingga 100/120. Secara umum permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur tidak berada pada : 1) kawasan lindung dengan kemiringan > 40 %, 2) daerah rawan banjir namun berada pada : 1) bantaran sungai atau sempadan sungai terutama di Kelurahan Sayang, 2) daerah rawan bencana letusan Gunung Gede meliputi permukiman tertata di kiri kanan jalan nasional Cianjur-Pacet mulai dari Kecamatan Cugenang sampai Kecamatan Pacet., dan 3) daerah waspada letusan gunung api, aliran lava, awan panas dan lahar terutama di sekitar permukiman tertata yang berada di sekitar alur sungai dan anak sungai mulai dari Kecamatan Cugenang dan Pacet. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan lokasi permukiman tertata yang memerlukan pemandangan indah dan nuansa dekat dengan alam sebagai daya tarik. Luas lahan yang sudah dikeluarkan izinnya untuk permukiman tertata selama periode tahun 1988 sampai dengan 2002 di wilayah Kabupaten Cianjur sebesar 2 653.40 ha atau 62.4 % dari luas lahan total yang dizinkan sebesar 4 249.35 ha (Dinas Cipta Karya 2005). Luas lahan untuk permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur yang sudah dikeluarkan izinnya terbesar terdapat di bagian hulu yaitu di Kecamatan Pacet sebesar 1 675.84 ha atau 39.4 %. Luas permukiman tertata di Kabupaten Cianjur yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah 925.65 ha atau 0.9% (BPN Kabupaten Cianjur 2007). Berdasarkan arahan tata ruang kabupaten Cianjur tahun 2005 - 2015, luas peruntukan lahan permukiman tertata untuk masing-masing kecamatan yang termasuk wilayah DAS Cianjur adalah Pacet (2 043 ha), Cugenang (1 703 ha), Cianjur (2 150 ha), Cilaku (1 693 ha), Karang tengah (1 993 ha), dan Sukaluyu (1 373 ha). Sehubungan dengan itu diperlukan konversi lahan guna mencukupi kebutuhan masyarakat akan permukiman tertata. Persediaan lahan untuk wilayah Pacet adalah tegalan dan kebun campuran, wilayah Cugenang, Cianjur, Cilaku, Karang Tengah adalah lahan sawah dan kebun campuran, sedangkan untuk wilayah Sukaluyu tersedia lahan sawah, kebun campuran dan tegalan (BPN Kabupaten Cianjur 2007). Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan lahan pertanian yang mengancam ketersediaan pangan di wilayah Kabupaten Cianjur. 4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat Terhadap Permukiman 4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Permukiman Gaya hidup merupakan cara hidup atau gaya kehidupan yang direfleksikan dengan tingkah laku dan nilai-nilai dari individu atau kelompok (Garman 1991). Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya dan lingkungan. Beberapa hal yang termasuk gaya hidup diantaranya adalah mengelola rumah beserta lingkungannya. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material konsumsi. Pengelolaan sampah tidak bisa lepas dari gaya hidup masyarakat. Jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Secara umum di lingkungan permukiman DAS Cianjur tidak memiliki fasilitas tempat pembuangan sampah, sehingga pola pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat sebagian besar masih bersifat individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke selokan atau sungai (Tabel 32). Penanganan semacam ini, dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan tingkat pencemaran udara dan air permukaan akan semakin tinggi. Sejalan dengan hal tersebut Soma (2007) merekomendasikan model pengelolaan sampah secara mandiri untuk skala lingkungan terutama di lingkungan permukiman tidak tertata. Model ini terdesentralisasi di setiap lingkungan permukiman (satu RW) dengan jumlah rumah antara 300 – 500. Unit sampah dari masing-masing rumah terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik. Hal ini didukung pendapat Pahlano (2005) bahwa sistem pengelolaan sampah ini berhasil membuat lingkungan bersih dan nyaman, disamping itu sampah baik organik maupun non-organik dapat bernilai ekonomi, namun dalam hal ini memang gaya hidup seperti disiplin dan keteraturan masyarakat sangat diperlukan. Sistem pengelolaan dan penanganan sampah dengan cara dikumpulkan dan diangkut oleh petugas kebersihan hanya terjadi pada dua kawasan permukiman tertata dan satu permukiman tidak tertata di zona DAS tengah yang berada di kawasan perkotaan. Petugas kebersihan dari Dinas Ciptakarya mengangkut sampah ke TPS atau TPA. TPA berlokasi di Kecamatan Cibeber, yaitu TPA Pasir Bungur dengan luas areal sebesar 12 Ha dengan sistem open dumping. Tabel 32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah Zona DAS Hulu Tengah Hilir Pengelolaan Sampah Individual Petugas (%) Kebersihan (%) 100 25 75 100 - Penanganan Sampah Dibakar Dibuang ke Diangkut ke (%) selokan (%) TPS/TPA (%) 50 50 25 75 100 - Keterangan: Total sampel 12 kampung Sumber air bersih untuk keperluan minum dan Mandi Cuci Kakus (MCK) diperoleh masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar dari sumur gali dengan kedalaman bervariasi antara tiga sampai delapan meter, sedangkan sumber air untuk MCK umum diperoleh sebagian besar dari mata air (Tabel 33). MCK umum di lingkungan permukiman tidak tertata yang memanfaatkan air selokan atau sungai sebagai sumber air untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus tidak memenuhi syarat dari segi kesehatan dan mengurangi tingkat pemanfaatan air di bagian hilir. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemirat (1996) jika sungai digunakan untuk mengalirkan air buangan, maka akan terjadi pengurangan manfaat air untuk di daerah hilirnya. Masyarakat di hilir terkena dampak berupa keterbatasan dalam memanfaatkan air karena kondisi air sudah tercemar. Permukiman tidak tertata yang berada di zona hulu DAS sebagian besar memperoleh air bersih untuk keperluan minum dan MCK dari mata air. Sistem pengambilan dan pendistribusian air menggunakan bak-bak penampung, antar bak penampung dihubungkan dengan pipa pvc, sedangkan pendistribusian air dari bak penampungan ke rumah-rumah menggunakan selang plastik. Sumber air minum dan MCK pribadi di zona DAS tengah sebagian besar diperoleh dari PDAM sedangkan untuk MCK umum diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai. Sumber air minum dan MCK pribadi di zona DAS hilir diperoleh dari sumur gali sedangkan untuk MCK diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai. Tabel 33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi, dan MCK umum Zona DAS Hulu Tengah Hilir Sumber Air Minum dan MCK Pribadi Mata Sumur PDAM Air Gali (%) (%) (%) 75 25 25 75 100 - Sumber Air MCK Umum Mata Air (%) 75 50 50 Sumur Gali (%) 25 - Sungai (%) 50 50 Tabel 34 menunjukkan sebagian besar permukiman di wilayah DAS Cianjur membuang limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke septiktank. Namun sebaliknya untuk limbah yang berasal dari MCK umum dan dapur sebagian besar dibuang ke selokan. Hasil wawancara lebih lanjut terungkap bahwa pembuangan limbah padat maupun cair baik yang berasal dari kamar mandi pribadi, MCK umum maupun dapur ke selokan disebabkan oleh akses selokan lebih mudah dan dari segi biaya lebih murah. Perilaku masyarakat membuang limbah padat dan cair ke selokan atau sungai akan mengakibatkan terjadinya pencemaran air permukaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Reksohadiprodjo (1992) bahwa dengan semakin padatnya penduduk di suatu daerah, maka pencemaran air permukaan tidak bisa dihindari. Perilaku masyarakat tersebut akan dapat membahayakan kesehatan seperti timbulnya penyakit disentri, tipus, dan kolera. Tabel 34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair Zona DAS Hulu Tengah Hilir Sumber Limbah MCK Umum KM Pribadi Dapur Septiktank % Selokan /Sungai % Septiktank % Selokan/ Sungai % Kolam % Selokan/ Sungai % Saluran Drainase Terbuka % 100 50 100 50 - 25 - 75 100 75 25 100 50 100 50 - Fasilitas umum yang dimiliki permukiman di wilayah DAS Cianjur berturut-turut sebagai berikut : mesjid dan poskamling, MCK, TPU, posyandu dan kantor RW. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH), balai pertemuan, dan tempat rekreasi hanya terdapat pada satu permukiman di zona DAS tengah (Tabel 35).Hal ini menunjukkan bahwa hanya permukiman di zona DAS tengah yang memiliki fasilitas umum yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa permukiman sehat harus memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang lengkap seperti taman bermain, tempat rekreasi, pengelolaan sampah, dan penghijauan. Tabel 35 Fasilitas umum di permukiman Fasilitas Umum Zona DAS Ruang terbuka hijau Balai pertemuan Hulu Tengah Hilir % 25 - % 25 - Mesjid Sarana olahraga Tempat pemakam an umum Posyandu MCK umum Pos kamling Kantor RW Tempat rekreasi % 100 100 100 % 75 25 % 50 50 50 % 50 - % 100 50 100 % 100 100 100 % 50 - % 25 - Pertemuan warga masyarakat di lingkungan permukiman mencerminkan budaya kebersamaan dalam membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial. Masyarakat yang bermukim di wilayah DAS Cianjur sebagian besar melakukan pertemuan warga secara tidak rutin yaitu jika akan ada kegiatan seperti kegiatan keagaman dan peringatan hari kemerdekaan. Namun demikian di zona tengah dan hilir DAS Cianjur terjadi variasi waktu pertemuan warga yaitu : sebulan sekali, tiga bulan sekali dan enam bulan sekali (Tabel 36). Pertemuan warga di dilakukan dengan tujuan untuk menjalin silahturahmi dan membangun fasum dan fasos yang dibutuhkan oleh warga. Kegiatan pertemuan yang dilakukan di mesjid, madrasah, sekolah, dan balai pertemuan akan membahas prioritas pembangunan fasum atau fasos dan sistem pendanaannya. Kelembagaan yang ada di lingkungan permukiman setingkat kampung tidak terbatas hanya rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK) atau rukun warga (RW) akan tetapi ada kelembagaan bersifat non formal yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan warga masyarakat. Keberadaan lembaga non formal tersebut didasari dengan tujuan awal untuk pengadaan fasilitas dan pembangunan dilingkungan perkampungan seperti : mesjid, mushala, TPU, jalan lingkungan, sarana olahraga, MCK umum dan pengadaan air bersih. Tabel 36 Kegiatan pertemuan warga permukiman Zona DAS Hulu Tengah Hilir Sebulan sekali % 25 Waktu Pertemuan Rutin Tiga Bulan Enam Bulan sekali Sekali % % 50 25 25 - Tidak Rutin Bila ada kegiatan % 100 25 50 Jenis lembaga non formal yang dibentuk berupa panitia pembangunan. Masing-masing panitia pembangunan memiliki cara-cara tertentu dalam menggalang dana diantaranya melalui pembayaran listrik secara kolektif, zakat qorim dari hasil pertanian, sumbangan sukarela, dan gotong royong pengadaan bahan bangunan. Melalui cara-cara tersebut ternyata cukup efektif sehingga kesinambungan pembangunan fasilitas dilingkungan permukiman terutama permukiman tidak tertata dapat berjalan. 4.3.2 Gaya Hidup Konsumen Dalam Memilih Permukiman 4.3.2.1 Kebutuhan Konsumen Permukiman Gaya hidup, rumah, dan lingkungan merupakan tiga kata serangkai yang saling berkaitan erat dan sangat menentukan dalam pemilihan, penampilan, dan penataan rumah (Yoga 2007). Penawaran berbagai gaya rumah sering kali dipengaruhi trend baik rumah bergaya alami, modern, kontemporer, mediterania, futuristik, maupun country, yang akan mempengaruhi tampilan suasana perumahan, bentuk rumah, jenis bahan bangunan, cat, keramik, perabotan, dan bentuk taman. Kebutuhan masyarakat sebagai konsumen permukiman meliputi bentuk secara fisik yang terdiri dari: 1) bangunan rumah (konstruksi,luas, bahan bangunan, desain), 2) pekarangan, 3) keamanan, dan 4) kebersihan. Sehubungan dengan kebutuhan tersebut, masyarakat sebagai konsumen akan memiliki kecenderungan untuk mendapatkan yang lebih baik menurut standar yang dipahaminya. Bentuk konstruksi rumah yang diinginkan oleh semua responden adalah bangunan permanen dengan gaya arsitektur modern. Luas tanah atau lahan yang dianggap ideal untuk rumah oleh sebagian besar responden baik di hulu (73.3%), tengah (60%), maupun hilir (66.7%) adalah 120 m2 (Tabel 37). Luas tanah tersebut dianggap cukup ideal dikarenakan: 1) harga jual tanah di lingkungan permukiman tertata jauh lebih tinggi dibandingkan harga di sekitarnya, 2) sebahagian besar konsumen permukiman tertata memiliki jumlah anggota rumah tangga yang kecil yaitu tiga sampai empat orang dengan status ekonomi yang berada pada level menengah ke bawah. Pada luas tanah 120 m2 sebagian besar responden menginginkan luas bangunan minimal 36 m2 dan sisanya untuk pekarangan. Pekarangan tersebut dibutuhkan untuk difungsikan sebagai ruang bermain anak, taman, dan jemur pakaian. Tabel 37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman Zona Das Hulu Tengah Hilir Kebutuhan Konsumen (%) Jenis Konst. Permanen Luas Tanah 120m2 Luas Bgn 36m2 Pondasi Dinding Lantai Batukali Batubata Keramik Triplek Gipsum Genteng Tembok Besi 100 100 100 73.3 60 66.7 86.7 73.3 60 100 100 100 100 100 100 93.3 86.7 100 86.7 53.3 66.7 - 100 60 66.7 80 46.7 46.7 - Plapond Atap Pagar Penggunaan bahan bangunan yang sesuai dengan lokasi hunian dan tepat sesuai dengan fungsinya, maka akan dapat memberikan tingkat kenyamanan yang lebih. Jenis bahan bangunan yang diinginkan responden di wilayah DAS Cianjur sesuai dengan elemen konstruksi bangunan rumah dapat dilihat pada Tabel 43 Pondasi sebagai salah satu elemen konstruksi bangunan yang berfungsi untuk menahan beban di atasnya (lantai, dinding, plapond dan atap) dan menyalurkannya secara merata ke tanah keras di bawahnya. Untuk elemen ini, seluruh responden menginginkan batu kali sebagai bahannya. Demikian juga dengan dinding, seluruh responden menginginkan penggunaan batu bata sebagai bahan pembuat dinding, karena batu bata dinilai lebih kuat dari bahan pembuat dinding lainnya seperti batako. Bahan untuk lantai yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (93.3%), tengah (86.7%) dan hilir (100%) adalah keramik. Pemilihan keramik ini didasarkan pada pertimbangan yaitu : 1) mudah pemeliharaan, 2) banyak pilihan warna dan motif, dan 3) lebih tahan lama. Bahan plapond yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (86.7%) dan hilir (53.3%) adalah triplek, dengan alasan harga lebih murah dan pemasangan lebih mudah. Bahan penutup atap yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (100%), tengah (60%) dan hilir (66.7%) adalah genteng. Dominasi penggunaan genteng disebabkan oleh kemudahan untuk mendapatkanya dan memberikan kenyamanan karena dapat menyerap panas. Pagar merupakan aksesoris rumah yang berfungsi selain sebagai pembatas juga untuk keamanan. Sebagian besar responden menyatakan memerlukan pagar untuk alasan keamanan. Jenis bahan untuk pagar yang diinginkan oleh sebagian besar konsumen adalah tembok (Tabel 37). Lebih lanjut dengan alasan keamanan, sebagian besar responden memerlukan pemasangan teralis untuk rumahnya. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan Astuti (2005) tentang perencanaan dan perancangan untuk pengamanan kawasan perumahan kota dari tindak kriminal di empat kawasan perumahan di Bandung yang menemukan bahwa kondisi lingkungan menuntut untuk menciptakan batas-batas kepemilikan yang jelas dengan cara pembuatan pagar, sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut, yang dapat mengurangi dan mencegah terjadinya kegiatan kejahatan. Seluruh responden menginginkan pihak pengembang untuk melengkapi sumur resapan air (SRA) pada setiap rumah yang dipasarkan sesuai dengan tipenya. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Mulyana (1998) di kawasan Puncak tentang penentuan tipe konstruksi sumur resapan air yang menemukan konstruksi SRA akan efektif berfungsi apabila sesuai dengan tipe rumah, karakteristik fisik dan sosial ekonomi masyarakat. SRA sangat diperlukan pada kawasan permukiman tertata sebagai kompensasi alih fungsi lahan, yang berfungsi untuk menyeimbangkan kembali sistem tata air. SRA dapat ditempatkan di pekarangan rumah (Gambar 23). Gambar 23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah (Sumber: PU Cipta Karya 2003) 4.3.2.2 Tingkat Kepuasan Konsumen Permukiman Tertata Bentuk arsitektur rumah yang ditawarkan atau dipasarkan oleh pengembang berskala menengah kebawah di wilayah DAS Cianjur bernuansa modern. Tabel 44 menunjukkan bahwa konsumen di wilayah sub DAS hulu, tengah dan hilir sebagian besar menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan pihak pengembang masing-masing 46.7%, 60%, dan 100%. Ketidakpuasan disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) pihak pengembang tidak memberikan respon yang baik apabila proses akad kredit telah disetujui antara konsumen, pihak pengembang dan bank pemberi kredit. Artinya bahwa setelah proses akad kredit, terdapat tenggang waktu 100 hari yang diberikan oleh pengembang kepada konsumen untuk mengajukan keberatan terhadap kualitas bangunan seperti kerusakan komponen bangunan dan fasilitas lain. Ketika keberatan diajukan oleh konsumen, pihak pengembang lambat dalam merespon, sehingga bagi konsumen yang memerlukan rumahnya untuk cepat dihuni harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaiki kerusakan; dan 2) pihak pengembang menaikkan uang muka secara sepihak. Dalam hal ini konsumen perumahan dirugikan karena ketika konsumen akan membatalkan pembelian rumah dengan alasan tersebut, konsumen merasa kesulitan untuk menarik kembali angsuran uang muka pertama sehingga dengan pertimbangan tersebut konsumen akhirnya menyetujui kenaikkan yang diajukan pihak pengembang. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Yoeti (2000) bahwa ketidakpuasaan konsumen disebabkan oleh: 1) performance lebih kecil expectation, yang berarti bentuk pelayanan yang diterima kurang baik karena harapan konsumen tidak terpenuhi, dan 2) performance sama dengan expectation, yang berarti pelayanan yang diterima biasa saja. Berdasarkan kedua kategori tersebut, maka ketidakpuasan konsumen dapat disebabkan oleh tingkat pelayanan yang diberikan oleh pihak pengembang tidak bisa memenuhi keinginan dan harapan konsumen. Tabel 38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata Zona DAS Hulu Tengah Hilir Atribut Kepuasan Permukiman tertata Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan Gaya Arsitektur Tata ruang Site plan Fasilitas Keamanan Pelayanan Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju Ragu-ragu (%) (%) (%) (%) 66.7 100 100 100 100 20 73.3 46.7 66.7 - 100 33.3 100 20 6.7 26.7 53.3 33.3 80 - 100 46.7 93.3 13.3 60 20 100 100 33.3 66.7 40 - Keterangan: n = 45 Terdapat beberapa faktor yang dianggap sangat penting bagi konsumen permukiman tertata dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah, yaitu: 1) lokasi, 2) fasilitas air, listrik, dan telepon, 3) harga terjangkau dan 4) sistem keamanan (Tabel 39). Sebagian besar responden di zona hulu (73.3%), zona tengah (86.7%), dan zona hilir (73.3%) menyatakan bahwa lokasi merupakan indikator yang sangat penting dalam memilih permukiman tertata. Lokasi rumah yang strategis, kemudahan aksesibilitas dan transportasi dari dan ke tempat tujuan akan sangat membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Demikian juga dengan faktor harga sebagian besar responden di hulu (73.3%), tengah (86.7%), dan hilir (73.3%) menyatakan sangat penting sebagai faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah. Keamanan merupakan faktor yang dianggap sangat penting oleh sebagian besar responden di hulu (60%), tengah (73.3%), dan hilir (60%) dalam memilih suatu kawasan permukiman. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Paccione (1999) bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dalam suatu kawasan permukiman. Pendapat Paccione (1999) tersebut lebih dispesifikkan lagi oleh Sastra (2006) bahwa faktor keamanan meliputi rancangan rumah yang harus memenuhi persyaratan keamanan yaitu kokoh, kuat ,dan mampu melindungi aktivitas penghuni didalamnya. Tabel 39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah Zona DAS Hulu Tengah Hilir Tingkat Kepentingan (%) Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting Lokasi Desain Ruang Terbuka Hijau Balai pertemuan Fasilitas air dan listrik Pengelolaan lingkungan Sistem keamanan Tempat rekreasi Harga Terjangkau 26.7 6.7 26.7 66.7 13.3 86.7 20.0 26.7 53.3 13.3 93.3 40.0 26.7 40.0 33.3 26.7 73.3 - - - 86.7 6.7 60.0 - 73.3 13.3 6.7 33.3 60.0 20.0 80.0 6.7 66.7 26.7 26.7 73.3 26.7 13.3 46.7 40.0 13.3 86.7 - - - 73.3 26.7 73.3 26.7 26.7 26.7 46.7 6.7 93.3 26.7 66.7 6.7 26.7 93.3 40.0 26.7 40.0 33.3 26.7 73.3 - - - 73.3 6.7 60.0 - 73.3 86.7 Faktor yang dianggap penting oleh responden dalam pemilihan rumah diantaranya adalah ruang terbuka hijau (RTH) dan pengelolaan lingkungan. RTH dan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) merupakan bagian penting yang menjadi bahan pertimbangan bagi sebagian besar konsumen di hulu (86.7%), tengah (80%), dan hilir (93.3%) dalam memilih dan membeli rumah dalam suatu kawasan permukiman tertata. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aurelia (2002) yang meneliti tentang hubungan antara harga penjualan dengan karakteristik perumahan dengan responden konsumen real estate sebanyak 810, yang menemukan bahwa faktor lingkungan yaitu kedekatan ke daerah hijau, ukuran dan keberadaan atau ketidakadaan pemandangan kebun atau taman publik mempengaruhi minat konsumen walaupun berbanding lurus dengan harga. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Bolitzer et al. (2000) di Portland yang menemukan bahwa keberadaan ruang terbuka hijau dilingkungan perumahan akan berpengaruh terhadap nilai jual perumahan. Sebagian besar responden di hulu (93.3%), tengah (73.3%) maupun hilir (93.3%) menganggap penting terhadap pengelolaan lingkungan yaitu pengelolaan air limbah dan sampah. Sistem saluran air di lingkungan permukiman tertata telah direncanakan sejak dari awal sebelum pengerjaan konstruksi bangunan rumah. Namun tidak memperhatikan aspek lingkungan, karena air limbah bekas mandi dan cuci dibuang langsung ke saluran air, sehingga saluran air akan tercemar yang dapat membahayakan penghuni. Hal ini sejalan dengan pendapat Esti (1991) bahwa air bekas limbah dari kamar mandi dan tempat cuci seharusnya tidak langsung dibuang ke saluran air tetapi terlebih dahulu disalurkan ke bak penampung untuk proses pengolahan. 4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata Green consumer pada akhir-akhir ini muncul sebagai upaya perlindungan terhadap kondisi lingkungan yang semakin lama semakin menurun kualitasnya. Hal tersebut mendorong pihak industri untuk mempertimbangkan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh setiap aktifitasnya (Puji dkk. 2004). Produk yang sukses adalah produk yang mampu memberi manfaat sesuai dengan yang dipersepsikan oleh konsumen, sehingga perlu untuk mempertimbangkan kualitas produk berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang sekarang mulai mengarah pada produk yang ramah lingkungan. 4.3.3.1 Kebutuhan Konsumen dan Prioritas Kebutuhan Kebutuhan dan harapan konsumen dijabarkan melalui atribut-atribut kualitas berdasarkan tiga parameter utama sebagaimana yang dikembangkan Dammann (2004) dalam enviromental indicator for building (EIFOB) yaitu: konstruksi, fungsi dan estetika. Berdasarkan hasil brainstorming dengan salespeople dan konsumen ahli telah diidentifikasi sebanyak 11 atribut harapan konsumen sebagai atribut primer terhadap produk permukiman tertata yaitu : 1) konstruksi bangunan, 2) bahan bangunan, 3) luas lahan, 4) terjangkau, 5) kesehatan, 6) keamanan, 7) fasum-fasos, 8) ekologis, 9) gaya arsitektur, 10) desain siteplan, dan 11) desain ruang terbuka hijau pekarangan. Selanjutnya dari 11 atribut primer, dalam focus group discussion (FGD) berkembang sehingga diperoleh 21 atribut sekunder (Tabel 40) yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen permukiman tertata dalam memilih produk permukiman tertata yang sehat dan berwawasan lingkungan (Kimseberling). Tabel 40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata Primer Konstruksi bangunan Bahan bangunan Luas lahan Terjangkau Kesehatan Keamanan Fasum-fasos Ekologis Gaya arsitektur Desain siteplan Desan RTHP Sekunder Kokoh dan kuat Sesuai SNI Sesuai standar min untuk setiap tipe > Standar min untuk setiap tipe Harga kredit atau tunai Aksesibilitas (Angkutan umum) Air bersih Ventilasi udara dan cahaya Sistem keamanan bersama Sistem cluster + satpam Taman dan tempat bermain anak Sarana olahraga Sarana beribadah Bale pertemuan Jalan Pengelolaan sampah Pengelolaan limbah KM/dapur Sumur resapan air Gaya arsitektur Siteplan kawasan Desain RTHP Selanjutnya fokus grup di wawancarai setelah mendapat informasi tentang kondisi proyek permukiman tertata yang meliputi: spesifikasi bahan bangunan, siteplan, desain arsitektur, harga, sistem kepemilikan, fasum-fasos, dan bank pemberi kredit. Setelah benchmarking antara proyek saat ini dan proyek pesaing, memungkinkan untuk membuat penilaian tingkat kepentingan dari masing-masing atribut (Gambar 24). Fokus grup dapat mengevaluasi perbedaan aspek dari desain saat ini dan membandingkannya dengan proyek-proyek pesaing atau berdasarkan pengalaman sebelumnya. Untuk tujuan ini, nilai yang digunakan antara 1 sampai 5 (terburuk – terbaik). Gambar 24 merupakan bagian dari matriks rumah kualitas yang memberikan kejelasan mengenai hubungan antara persyaratan konsumen, penilaian konsumen, dan tingkat kepuasaan konsumen. Perumahan Mekarsari Regency Perumahan Panorama Cianjur Perumahan Gading Asri Tingkat Kepentingan Atribut Persyaratan Konsumen Perbandingan antar Pesaing Consumen Rating 1 2 Kons.Bgn Kokoh dan kuat 5 3 4 3 ● Bhn. Bgn Sesuai SNI 4 3 3 3 ● Luas Lahan Sesuai std.min untuk setiap tipe 2 3 3 3 > std.min untuk setiap tipe 4 0 0 0 Terjangkau Kesehatan Keamanan Fasumfasos Ekologis Estetika Harga kredit atau tunai 5 3 3 2 Aksesibilitas (Angkutan umum) 4 3 3 3 Air bersih 5 4 3 2 Ventilasi udara dan cahaya 4 2 2 2 Sistem keamanan bersama 2 2 2 2 Sistem cluster + satpam 5 2 4 3 3 4 5 ● ● ● ● ● ● ● Taman dan tempat bermain anak 4 1 3 2 ● Sarana olahraga 4 3 3 4 ● Sarana beribadah 4 2 3 2 Bale pertemuan 3 0 0 0 Jalan 5 3 3 3 Pengelolaan sampah 4 1 2 2 Pengelolaan limbah KM/dapur 3 1 1 1 Sumur resapan air 2 0 0 0 Gaya arsitektur 4 4 4 4 Siteplan kawasan 3 4 3 4 Desain RTH 3 2 3 2 ● ● ● ● ● ● ● Gambar 24 Kebutuhan konsumen dan analisis competitive benchmarking 4.3.3.2 Persyaratan Konsumen (Customer Requirement) Berdasarkan rumah kualitas (Gambar 25) diketahui bahwa dari beberapa atribut harapan pelanggan yakni kekokohan konstruksi bangunan, sistem keamanan, taman bermain, sarana ibadah, dan desain RTH ternyata nilai atribut Permukiman Mekarsari Regensi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Permukiman Gading Asri dan Graha Panorama Cianjur. Hal ini menunjukkan bahwa permukiman tertata Mekarsari Regensi kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan dua permukiman tertata pesaingnya. Walaupun demikian, dari atribut kualitas bahan bangunan, luas lahan, keterjangkauan angkutan umum, ventilasi udara dan cahaya, jalan, dan gaya arsitektur, ketiga kawasan permukiman tertata tersebut memiliki kualitas yang sudah sama. Selanjutnya berdasarkan atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan, ternyata harga jual rumah di permukiman tertata Graha Panorama jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual rumah di dua permukiman tertata lainnya untuk tipe 30/72 (luas bangunan 30 m2 dengan luas tanah sebesar 72 m2). Tingginya harga jual rumah di Graha Panorama Cianjur disebabkan harga lahan di lokasi Graha Panorama Cianjur lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga lahan di kedua lokasi pesaingnya. Atribut dengan tingkat kepentingan yang menempati urutan kedua adalah terdiri dari: bahan bangunan, keterjangkauan angkutan umum, ventilasi udara dan cahaya, taman dan tempat bermain, sarana olahraga, sarana ibadah, pengelolaan sampah, dan gaya arsitektur. Berdasarkan bobot terpenting urutan kedua ini, permukiman tertata Mekarsari Regensi memiliki keunggulan dari segi kelengkapan fasilitas umum dan fasilitas sosial yaitu berupa taman bermain dan sarana ibadah dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh dua permukiman tertata lainnya. Namun dari segi fasilitas olahraga sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Graha Panorama Cianjur. Pada bobot atribut terpenting urutan kedua yang memiliki kualitas yang sama antara ketiga kawasan permukiman tertata tersebut adalah: kualitas bahan bangunan, ventilasi udara dan cahaya, dan aksesibilitas angkutan umum. Kualitas ventilasi udara dan cahaya mencerminkan tingkat kesehatan dan kenyamanan rumah sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu ventilasi udara dan cahaya harus memenuhi syarat minimum sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006. Udara akan sangat berpengaruh dalam menentukan kenyamanan pada bangunan rumah. Kenyamanan akan memberikan kesegaran terhadap penghuni dan terciptanya rumah yang sehat, ++ + Sesuai SNI Sesuai std.min untuk setiap tipe >std.min untuk setiap tipe 4 LLN TJK KES KEA EKO EST 2 Harga kredit atau tunai Aksesibilitas (Angkutan umum) Air bersih 4 Ventilasi udara dan cahaya Sistem keamanan bersama 4 2 Sistem cluster + satpam 5 Taman dan tempat bermain anak Sarana olahraga FNF 2 4 4 Sarana beribadah 4 Bale pertemuan 4 Jalan 3 Pengelolaan sampah 4 Pengelolaan limbah KM/dapur 3 Sumur resapan air 2 Gaya arsitektur 4 Siteplan kawasan 3 Pengerjaan infrastuktur, fasum Pengadaan bahan ³ ³ ³ ³ ³ 5 5 Pematangan lahan ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ ³ Rasio BBG + Target 5 + Perum Panorama C. Kokoh dan kuat + + Perum Mekarsari R. KBG Desain Site plan & Konstruksi Tingkat Kepentingan + ++ Perum Gading Asri ++ Kegiatan Pemasaran ++ + Pengerjaan Konstruksi ++ + 3 4 3 5 1.2 3 3 3 4 1.3 3 3 3 5 1.7 0 0 0 4 0 3 3 2 4 1.3 3 3 3 5 1.7 4 3 2 5 1.2 3 1 3 1 3 2 4 3 1.3 1.5 2 4 3 5 1.2 1 3 2 4 1.3 3 3 4 4 1.3 2 3 2 4 1.3 0 0 0 3 0 1.7 3 3 3 5 1 2 2 4 2 2 2 1 4 2 0 0 0 3 0 4 4 4 5 1.2 4 3 4 4 Desain RTH 3 2 3 2 4 Kawasan Permukiman Gading Asri 5 4 4 3 4 4 Kawasan Permukiman Mekarsari Regency 5 4 4 3 4 4 Kawasan Permukiman Panorama Cianjur 5 4 4 4 4 3 Nilai (Tingkat Kepentingan) 496 55 129 101 151 114 Nilai Relatif 0.47 0.05 0.12 0.10 0.15 0.11 Keterangan : KBG=Konstruksi bangunan; BBG=Bahan bangunan; LLN=Luas lahan; TJK=Terjangkau; KES=Kesehatan; KEA=Keamanan; FNF=Fasum dan Fasos; EKO=Ekologis; EST=Estetika = Kuat (10); ³ = Sedang (5); = Lemah (1); ++ = Kuat positip; + = Positip Gambar 25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur 1 1.3 apabila terjadi pengaliran atau penggantian udara secara kontinyu melalui ruangan dan lubang-lubang pada bidang pembatas dinding atau partisi sebagai ventilasi. Guna memperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau membuat ventilasi silang dengan ketentuan yaitu: 1) lubang penghawaan minimal 5% dari luas lantai ruangan, 2) udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar mandi/WC. Ventilasi cahaya juga harus memenuhi persyaratan minimum diantaranya yaitu: 1) lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai ruangan, dan 2) sinar matahari langsung dapat masuk dalam ruangan minimum 1 jam setiap hari. 4.3.3.3 Persyaratan Teknik Beberapa aspek teknik produksi permukiman tertata yang perlu disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli rumah berturutturut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi rumah dan siteplan; (2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan bangunan; (4) sistem kegiatan pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasum-fasos; (6) proses pematangan lahan. Peningkatan kualitas menurut Gasperz (1997) akan memberikan dampak positif kepada perusahaan yaitu: (1) dampak terhadap biaya produksi; dan (2) dampak terhadap pendapatan. Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses pembuatan produk yang memiliki derajat kesesuaian yang tinggi terhadap standar-standar sehingga bebas dari kemungkinan kerusakan atau cacat. Dengan demikian proses produksi yang memperhatikan kualitas akan menghasilkan produk berkualitas yang bebas dari kerusakan. Hal ini akan menghindarkan terjadinya pemborosan dan inefisiensi sehingga ongkos produksi per unit akan menjadi rendah yang pada gilirannya akan membuat harga produk menjadi lebih kompetitif. Dampak terhadap peningkatan pendapatan terjadi melalui peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif. Produk-produk permukiman tertata berkualitas yang dibuat melalui suatu proses yang berkualitas akan memiliki sejumlah keistimewaan yang mampu meningkatkan kepuasan konsumen atas penggunaan produk tersebut. Setiap konsumen akan memaksimumkan kepuasan dalam betuk pembeliaan produk, sehingga hanya produk-produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif yang akan dipilih oleh konsumen. Keadaan tersebut mampu meningkatkan penjualan dari produk-produk, yang akan meningkatkan pangsa pasar, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan perusahaan. Pembahasan selanjutnya difokuskan pada upaya peningkatan desain konstruksi rumah dan siteplan, pengerjaan konstruksi, dan pengadaan bahan bangunan sebagai program penyempurnaan proses produksi yang menempati prioritas pertama hingga ketiga berdasarkan nilai tingkat kepentingan. Desain konstruksi rumah dan siteplan memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi dengan nilai 496 dan nilai relatif 0.47 (Gambar 25). Dalam kaitannya dengan perbaikan mutu desain konstruksi rumah dan siteplan tidak terlepas target pasar atau konsumen yang menjadi sasaran pasar, karena berhubungan dengan harga jual. Pengerjaan konstruksi memiliki nilai tingkat kepentingan sebesar 151 dan nilai relatif 0.15 menempati prioritas kedua dalam upaya penyempurnaan teknis produksi permukiman tertata. Pengerjaan permukiman tertata mulai dari tahapan pematangan lahan (cut and fill), pengerjaan sarana dan prasarana lingkungan (jalan, saluran drainase, RTH dan lainnya), sampai tahap pengerjaan konstruksi rumah dilakukan melalui proses tender atau penunjukkan langsung oleh developer terhadap kontraktor sebagai rekanan kerja. Masing-masing sub pekerjaan dikerjakan oleh satu kontraktor. Jadi kualitas rumah beserta sarana dan prasarananya sangat tergantung pada kualitas kontraktor, namun tidak terlepas dari peran developer sebagai pemberi proyek dan sekaligus dalam hal ini sebagai konsultan. Sehubungan dengan itu, yang perlu diperbaiki adalah manajemen pengawasan yang dilakukan pihak pengembang dalam hal ini devisi teknik terhadap kualitas pekerjaan kontraktor. Pengadaan bahan merupakan prioritas ketiga untuk disempurnakan dalam proses produksi permukiman tertata dengan nilai tingkat kepentingan sebesar 129 dan nilai relatif sebesar 0.12. Pengadaan bahan menyangkut jenis bahan, kualitas bahan, dan transportasi pengangkutan. Bahan bangunan sebagai material sebaiknya mempergunakan bahan bangunan lokal yang terdapat disekitar proyek permukiman tertata. 4.3.3.4 Prioritas Teknik, Benchmarks dan Target Di antara berbagai atribut harapan pelanggan, angka rasio antara target dengan kinerja permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur yang tertinggi mencapai angka rasio 2 (Gambar 25) yaitu terdapat pada atribut pengelolaan sampah dan pengelola limbah kamar mandi dan dapur. Guna memenuhi kebutuhan pasar maka diperlukan upaya perbaikan dengan skala prioritas utama terhadap kualitas pengelolaan sampah dan pengelola limbah kamar mandi dan dapur yang dilakukan oleh masing-masing pengembang di wilayah DAS Cianjur yaitu melalui pengadaan dan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah sejalan dan unit pengolahan limbah dari kakus berupa septiktank dan bidang resapannya. Ukuran septiktank dapat dibuat sesuai dengan jumlah penghuni dan frekuensi pengurasan (Tabel 41). Tabel 41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan No 1 2 3 4 5 Jumlah pemakai (orang) 5 10 15 20 25 Ukuran Septiktank dan Frekuensi Pengurasan 2 tahun 3 tahun Panjang (m) Lebar (m) Tinggi (m) Panjang (m) Lebar (m) Tinggi (m) 1.6 2.2 2.6 3 3.25 0.8 1.1 1.3 1.5 1.65 1.3 1.4 1.5 1.5 1.6 1.7 2.3 2.75 3.25 3.50 0.85 1.15 1.35 1.60 1.75 1.3 1.4 1.4 1.5 1.6 Sumber: Sukamto 2004 4.3.3.5 Matrik Teknik Korelasi Matrik teknik korelasi digunakan untuk mengidentifikasi dimana technical requirement saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan yang lainnya (Marimin 2004). Matrik ini merupakan atap dari rumah kualitas yang menggambarkan keterkaitan antara karakteristik proses produksi yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan itu dapat berupa hubungan kuat positip (++) dan kuat (+). Atribut-atribut technical requirement yang memiliki hubungan kuat positif adalah : 1) desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengadaan bahan, 2) desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 3) desain konstruksi rumah dan rencana tapak siteplan dengan kegiatan pemasaran, 4) pematangan lahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 5) pengadaan bahan bangunan dengan pengerjaan konstruksi (Gambar 25). Hubungan tersebut menunjukkan bahwa apabila salah satu atribut mengalami perubahan (naik atau turun) maka akan berdampak kuat pada proses perubahan (kenaikan atau penurunan) yang berkaitan tersebut. Selanjutnya atribut-atribut technical requirement yang mempunyai hubungan positif yaitu : 1) desain konstruksi dan siteplan dengan pematangan lahan, 2) desain konstruksi dan siteplan dengan pengerjaan konstruksi, 3) pematangan lahan pengerjaan konstruksi, 4) pematangan lahan dengan kegiatan pemasaran, 5) pengadaan bahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, 6) pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, dengan pengerjaan konstruksi, 7) pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos dengan kegiatan pemasaran, 8) pengerjaan konstruksi dengan kegiatan pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa antara proses atribut satu dengan proses lain yang berkaitan memiliki keterkaitan yang saling berpengaruh kuat. 4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman 4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1) Wilayah DAS Cianjur yang dievaluasi seluas 7 476. 2 ha. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) penduduk di wilayah DAS Cianjur didominasi oleh kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) seluas 4 406.1 ha atau 59% selebihnya adalah kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal) 2 217.7 ha atau 29.7%, kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai) seluas 813 ha atau 10.9%, dan kelas kesesuaian N1 (tidak sesuai) seluas 30.4 ha atau 0.4% (Tabel 42). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil (10.9%) wilayah DAS Cianjur berpotensi untuk pengembangan permukiman. Tabel 42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur Zona DAS Kecamatan Pacet Hulu (3111.1 ha) Cugenang Sub Total Cugenang Cianjur Tengah (3219 ha) Karang tengah Cilaku Karang tengah Karang tengah Sub Total Sukaluyu Hilir (1137.1 ha) Karang tengah Sukaluyu Sub Total Total Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Babakan Sari Babakan Caringin Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 95.5 625.6 10.5 44.6 253.1 0.5 223.6 163.3 0.2 46.3 386.5 6.2 15.5 402.2 13.0 257.0 123.3 2.0 269.7 53.5 0.5 16.1 0.0 20.2 82.2 22.7 1050.6 2007.4 30.4 140.2 96.3 87.0 34.1 27.7 122.9 31.5 21.7 138.2 118.7 28.1 82.7 73.6 282.7 31.8 4.8 3.3 21.4 335.5 431.4 0.0 33.1 198.4 58.9 693.4 - 279.7 13.6 280.3 225.8 2510.0 8.1 15.1 0.4 15.6 189.3 96.9 96.9 813.0 211.1 329.4 266.1 3.4 27.3 845.5 4406.1 0.7 1.1 3.6 194.7 2217.7 30.4 Kesesuaian lahan permukiman di zona DAS hulu, tengah dan hilir masingmasing secara berturut-turut didominasi oleh kelas sesuai marginal seluas 2 007.4 ha, cukup sesuai seluas 2 510 ha, dan cukup sesuai seluas 845.5 ha. Adapun penyebaran kelas kesesuaian lahan untuk permukiman disajikan pada Gambar 26. Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman secara administratif berada di lima desa di wilayah Kecamatan Pacet dan Cugenang dan secara ekologis berada di wilayah DAS Cianjur bagian hulu. Dominasi kelas tidak sesuai pada sebagian besar desa di zona DAS hulu disebabkan kondisi topografi wilayah yang berada pada kemiringan lereng > 20%, ketinggian > 1000 m dpl dan curah hujan > 2000 mm/tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sekeon (2005) tentang kesesuaian lahan bangunan dengan pendekatan geo-environmental evaluation di Kabupaten Bogor, bahwa kesesuaian lahan bangunan berada di daerah-daerah yang memiliki kemiringan lahan relatif datar. Kondisi lahan tersebut termasuk lahan yang kritis untuk permukiman sebagaimana yang diungkapkan oleh Sani (2006) bahwa salah satu ciri-ciri lahan kritis untuk permukiman adalah memiliki kemiringan lereng curam sehingga tidak layak dari segi kenyamanan hunian dan keamanan penghuni permukiman, karena akan rentan terhadap gerakan longsor. Hal ini sejalan dengan pendapat Edi (2007) bahwa telah terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam yang digunakan untuk permukiman. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Esmali (2003) dan Kelarestaghi (2003) di Iran bahwa faktorfaktor yang memicu gerakan longsor adalah faktor litologi, kelerengan, penggunaan lahan, faktor jalan, presipitasi, ketinggian di atas permukaan laut, arah lereng (aspect), presipitasi, jarak dari jalan, dan jarak dari patahan atau sesar. 4.4.2 Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl) Permukiman merupakan area tanah yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan, sehingga kondisi permukiman tidak hanya dapat memberikan nuasa kenyamanan penghuni tetapi juga keamanan penghuni dari bahaya atau ancaman bencana alam sesuai dengan pendapat Sani (2006). Oleh karena itu kesesuaian lahan untuk permukiman perlu mempertimbangkan faktor-faktor fisik yang lebih spesifik dan dominan berpengaruh pada kestabilan dan keberlanjutan lahan permukiman. Sehubungan dengan itu, diperlukan parameter-parameter constrain sebagai pembatas utama dalam menentukan kesesuaian lahan permukiman. 10 7°0 0 ' 10 7°3 ' 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' 6°45' 6°45' C ih e ra ng C ip utri N ya lin du ng Ga lud ra C ib e ur eu m Suk a m uly a M a ng un ke r ta 6°48' Suk a sir na 6°48' C ije dil B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be Ga s ol M e k ar sa ri Lim b ar Mu ka B uh er an g Sab a nd ar S olo k P a n da n B ojon g Ma leb e r Suk a sa ri Pam oy an a n Saw ah ge de Ta njun g S a r i Say a ng Suk a m a na h S ind an ga s ih B ab ak a n S a r i La ng en Sa ri Mu njul 6°51' 6°51' S uk a m a ju 10 7°0 0 ' 10 7°3 ' P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AS C IAN JU R K AB U P AT E N C IAN JU R N 10 7°6 ' 0 2 4 Kilo m e te rs 10 7°1 2 ' K ete ra n g an : S un g a i K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n : Ja la n S an g a t S e su a i B ata s D e s a C u ku p S e s ua i B ata s D A S 2 10 7°9 ' S es u a i M a rg ina l Tid a k S e su a i Lo k a s i P e n elitian Gambar 26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1) 118 Parameter constrain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kemiringan lereng > 15% (Esmali 2003; Hadiwigeno 2007; Kelarestaghi 2003; Sani 2006; dan Van der Zee 1990), elevasi > 1000 (Esmali 2003 dan Kelarestaghi 2003), kepekaaan tanah terhadap erosi sangat peka (Hadiwigeno 2007 dan Sani 2006) dan bahaya terhadap letusan Gunung Gede. Melalui parameter constrain ini, akan terwujud kesesuaian lahan permukiman yang berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan tumpang susun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1) dengan peta-peta yang menjadi constrain (peta kemiringan lereng, elevasi, kepekaan tanah terhadap erosi dan bahaya letusan gunung) menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai) sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas lahan permukiman yang tidak sesuai sebesar 1 063.5 ha (Tabel 43). Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman seluas 1 063.5 ha berada di wilayah Desa Ciputri, Ciherang, Galudra, Sukamulya, Nyalindung, Cibeureum, dan Mangunkerta (Gambar 27). Posisi wilayah tersebut berada pada elevasi lebih dari 1000 m dpl dengan kemiringan lereng > 15%, dan curah hujan yang tinggi > 2500 – 3000 mm/tahun, maka seharusnya lahan tersebut diperuntukan untuk fungsi konservasi yaitu sebagai kawasan lindung. Hal ini sejalan dengan konsep Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) bahwa daerah pegunungan yang curam dan memiliki curah hujan yang tinggi dijadikan kawasan dengan fungsi lindung. Hal tersebut didukung Keputusan Presiden No. 54 tahun 2008 yang menyatakan bahwa zona hulu DAS Cianjur terutama wilayah Kecamatan Pacet dan Cugenang merupakan kawasan kritis lingkungan, sehingga diperlukan upaya konservasi. 4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman Kebutuhan lahan untuk permukiman sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga konversi lahan untuk permukiman akan terus terjadi. Wilayah DAS Cianjur sebagian besar berpotensi untuk dikonversi menjadi lahan permukiman sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu sangat sesuai seluas 813 ha dan cukup sesuai seluas 4 406.1 ha. Tabel 43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman (KLKim- bwl) Zona DAS Kecamatan Pacet Hulu (3111.1 ha) Cugenang Sub Total Cugenang Cianjur Tengah (3219 ha) Karang Tengah Cilaku Karang tengah Sub Total Sukaluyu Karang tengah Hilir (1137.1 ha) Sukaluyu Sub Total Total Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Babakan Sari Babakan Caringin Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 95.5 474.6 161.4 44.6 228.9 24.7 223.6 45.1 118.4 46.3 20.4 372.3 15.5 39.6 375.6 257.0 123.1 0.1 2.0 269.7 42.6 11.0 0.5 16.1 0.0 20.2 82.2 22.7 1050.6 974.3 1063.5 140.2 96.3 87.0 34.1 27.7 122.9 31.5 21.7 28.1 73.6 3.3 21.4 0.0 33.1 198.4 58.9 693.4 96.9 96.9 813.0 138.2 118.7 82.7 282.7 31.8 4.8 335.5 431.4 279.7 13.6 280.3 225.8 2510.0 8.1 211.1 329.4 266.1 3.4 27.3 845.5 4406.1 15.1 0.4 15.6 189.3 0.7 1.1 3.6 194.7 1184.6 1063.5 10 7°3 ' 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' 6°45' 6°45' 10 7°0 0 ' C ih e ra ng C ip ut ri N ya lin du ng Ga lud ra C ib e ur eu m S uk a m uly a M a ng un ke r ta 6°48' S uk a sir na 6°48' C ije dil B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be Ga s ol M e k ar sa ri Lim b ar M u ka B uh er an g S ab a nd ar S olo k P a n da n B ojon g M a leb e r S uk a sa ri Pam oy an a n S aw ah ge de Ta njun g S a r i S ay a ng Suk a m a na h S ind an ga s ih B ab ak a n Sa r i La ng en S a ri M u njul 6°51' 6°51' S uk a m a ju 10 7°0 0 ' 10 7°3 ' P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AS C IAN JU R K AB U P AT E N C IAN JU R N 10 7°6 ' 0 2 4 Kilo m e te rs 10 7°1 2 ' K ete ra n g an : S un g a i K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n : Ja la n S an g a t S e su a i B ata s D e s a C u ku p S e s ua i B ata s D A S 2 10 7°9 ' S es u a i M a rg ina l Tid a k S e su a i Lo k a s i P e n elitian Gambar 27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) 121 Konversi lahan untuk permukiman perlu mempertimbangkan aspek luas hutan dan ketersediaan ruang terbuka hijau. Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mensyaratkan bahwa dalam satu wilayah minimal 30 persen dialokasikan untuk hutan, selanjutnya dalam Undang-undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 pasal 29 mensyaratkan ketersediaan RTH minimal 30 persen. Berdasarkan pertimbangan kedua aspek diatas, maka lahan-lahan yang dapat dikonversi menjadi lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur adalah lahan semak belukar, tanah terbuka, pertanian lahan kering bercampur semak dan sebagian kecil sawah. Luas lahan yang dapat dikonversi berjumlah 916.3 ha (Lampiran 2). Lahan yang dapat dikonversi menjadi permukiman sebagian besar (92.6%) berada di zona DAS tengah, selebihnya berturut-turut di zona hilir dan zona hulu sebesar 7.3% dan 0.1%. Berdasarkan luas lahan yang dapat dikonversi tersebut, wilayah DAS Cianjur akan tetap memiliki hutan seluas 842.2 ha dan sawah seluas 2 318 ha. 4.4.4 Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-bwl) Wilayah DAS Cianjur yang memiliki luas sebesar 7 476. 2 ha. Berdasarkan Peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat tahun 2006 menunjukkan bahwa lahan yang dipergunakan untuk permukiman memiliki luasan pada urutan kedua yaitu sebesar 2 058.1 ha setelah lahan sawah seluas 2 729.6 ha. Hal ini akan mengakibatkan kecilnya tingkat resapan air hujan dan memperbesar aliran permukaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa luasan permukiman berkontribusi besar terhadap kemungkinan timbulnya bahaya banjir, seperti yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung yang mana berdasarkan luas permukiman dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar memberikan kontribusi terhadap banjir Ciliwung. Hasil tumpangsusun penyebaran permukiman eksisting dengan kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) menunjukkan bahwa penyebaran lokasi permukiman eksisting mendominasi kesesuaian lahan permukiman kelas S2 (cukup sesuai) seluas 1 644 ha atau 79.9 % yaitu berada hampir di seluruh desa di wilayah DAS Cianjur (Tabel 44). Lokasi permukiman eksisting yang berada pada lahan dengan kelas kesesuaian lahan N1 (tidak sesuai) seluas 8.3 ha atau 0.4% dari luas total permukiman yang berada di wilayah DAS Cianjur. Permukiman tersebut berada pada zona DAS hulu yaitu di Desa Ciputri dan Ciherang Kecamatan Pacet serta Desa Galudra dan Nyalindung Kecamatan Cugenang (Gambar 28). Tabel 44 Luas permukiman eksisting pada kesesuaian lahan permukiman Zona DAS Kecamatan Pacet Hulu Cugenang Sub Total Cugenang Cianjur Tengah Karang Tengah Cilaku Karang tengah Karang tengah Sub Total Sukaluyu Karang tengah Hilir Sukaluyu Sub Total Total Nama Desa Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha) Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Marginal Sesuai 32.8 41.1 4.1 10.0 58.0 2.0 19.0 0.3 0.9 1.3 1.1 0.8 2.0 51.3 0.3 0.2 18.3 0.2 0.2 0.4 5.1 5.9 13.9 18.1 28.1 40.6 2.6 5.6 0.0 22.0 48.9 34.1 225.1 Babakan Sari Babakan Caringin 48.7 Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah 48.7 274.2 16.8 150.2 2.7 3.2 31.7 30.8 99.3 70.5 82.7 210.9 7.3 4.4 101.8 8.3 122.3 139.1 101.0 3.2 70.9 59.8 1039.9 1.4 77.6 156.8 203.0 1.1 13.9 453.9 1644.0 2.4 0.2 2.7 24.0 0.0 0.1 3.0 27.1 131.6 8.3 10 7°3 ' 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' 6°45' 6°45' 10 7°0 0 ' C ih e ra ng C ip utri N ya lin du ng Ga lud ra C ib e ur eu m S uk a m uly a Ma ng un ke r ta 6°48' Suk a sir na 6°48' C ije dil B ab ak a n C a rin gin H eg ar m a na h Sela ja m be Ga s ol Me k ar sa ri Lim b ar Mu ka B uh er an g Sab a nd ar S olo k Pa n da n B ojon g M a leb e r Suk a sa ri Pam oy an a n S aw ah ge de Ta njun g S a r i Say a ng Suk a m a na h Sind an ga s ih B ab ak a n Sa r i La ng en Sa ri Mu njul 6°51' 6°51' Suk a m a ju 10 7°0 0 ' 10 7°3 ' P E TA K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN D AN P E R M U K IM AN E X IS T IN G D AS C IAN JU R K AB UP AT E N C IAN JU R N 2 0 2 4 Kilo m e te rs 10 7°6 ' 10 7°9 ' 10 7°1 2 ' Ke te ra n ga n : Su n g a i J ala n Ba ta s D e s a Ba ta s D A S Tu tu p a n L a h a n: H u ta n L ah a n K erin g S e k un d e r H u ta n T an a m a n In d u s tri (H TI) Pe rk e b u na n Pe rm u k im an Ke s e s u a ian L a h an P e rm uk im a n : Pe rta n ia n la h a n k erin g b e rc am p u r d gn s e m a k Sa n g a t Se s u a i Sa w a h Cu k u p S es u a i Se m a k /B elu k a r Se s u a i M a rg in a l Ta n a h Te rb u k a Tid a k S e s ua i Lo k a s i P e n elitian Gambar 28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) 124 Keempat lokasi permukiman tersebut berada pada lahan dengan kemiringan lereng > 15%, elevasi antara 1000 – 1200 m dpl dengan sifat tanah yang sangat peka terhadap erosi dan berada pada ring I bahaya letusan Gunung Gede, sehingga permukiman tersebut sangat rentan terhadap bahaya longsor dan bencana alam. Oleh karena itu keberadaan permukiman tersebut tidak memenuhi persyaratan kesehatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/ Menkes/ SK /VII /1999 bahwa salah satu syarat kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman adalah lokasinya tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, dan daerah gempa. Sehubungan dengan penggunaan lahan untuk permukiman, sebenarnya masyarakat Sunda memiliki kearifan lokal berupa larangan membangun pada lahan-lahan tertentu (Tabel 45). Menurut budaya Masyarakat Sunda terdapat sepuluh jenis lahan yang dilarang untuk dijadikan tempat permukiman. Lahanlahan tersebut dilarang untuk dibangun diantaranya dengan alasan teknologi konstruksi dan sanitasi. Lahan yang dilarang dibangun dengan alasan teknologi konstruksi adalah: 1) catang nonggeng; 2) garenggengan; 3) dangdang wariyan; dan 4) lemah laki. Selanjutnya karena alasan sanitasi adalah: 1)hunyur; dan 2) jaryan. Tabel 45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut Masyarakat Sunda 1 Lahan Larangan (tidak layak huni) Lebak atau lurah 2 3 Rancak Catang nunggang 4 5 6 7 8 9 10 Catang nonggeng Garunggungan Garengggengan Dangdang wariyan Hunyur Lemah laki Jaryan No Karakteristik Lahan Lantai jurang atau tanah rendah, terlindung dari pandangan dan sinar matahari. Lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri Sepetak lahan yang di tengahnya dipisahkan oleh suatu selokan atau ngarai namun dihubungkan melalui suatu jembatan alami dari cadas atau karang Lahan yang keletakannya pada lereng yang curam Lahan membukit kecil Lahan yang kering permukaannya tetapi dibawahnya berlumpur Lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang Bukit kecil Lahan berbentuk dinding curam Lahan tempat pembuangan sampah Sumber: Atja dan Danasasmita 1981 Sejalan dengan larangan tersebut, menurut Atja dan Danasasmita (1981) terdapat beberapa alasan berkenan secara teknologi konstruksi tidak memungkinkan dibangun yaitu: 1) masyarakat Sunda sebagai masyarakat agraris dan demokratis, lahan-lahan sempit semacam itu tidak memungkinkan adanya keadilan dalam pengkaplingannya. Sebagian akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar daripada sebagian besar kelompoknya. Sehingga mengakibatkan pertikaian yang sangat dihindari oleh masyarakat agaris dan menimbulkan kecemburuan sosial; 2) memerlukan tenaga, bahan dan waktu jauh lebih besar untuk dapat membangun pada lahan-lahan semacam itu, sehingga akan terjadi pemborosan. Pemborosan untuk satu pribadi atau kelompok atas tanggungan banyak pribadi lain dalam suatu masyarakat yang demokratis adalah dosa; dan 3) tidak mungkin diperoleh dalam luasan yang cukup untuk permukiman atau kampung pada lahan berbukit. Keberadaan permukiman penduduk pada saat ini di lahan yang tidak sesuai untuk permukiman terutama di wilayah zona DAS hulu memerlukan perhatian dan pengelolaan sesuai dengan fungsi zona DAS hulu sebagai fungsi konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa di kawasan permukiman perlu ditekan nilai koefisien limpasan menjadi serendah mungkin. Penurunan koefisien limpasan dapat dilakukan dengan membuat pedoman dalam menerapkan agar air hujan di setiap rumah atau bangunan tidak dialirkan ke selokan, tetapi diresap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan. Masyarakat penghuni permukiman secara khusus perlu didorong untuk menerapan sistem insentif rehabilitasi lahan dalam melakukan upaya memperbaiki atau mengembalikan fungsi lahan sesuai peruntukkannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Putro et al. (2003) bahwa insentif rehabilitasi lahan diperlukan untuk memotivasi masyarakat untuk melakukan tindakan yang bertujuan memperbaiki pengelolaan DAS melalui rehabilitasi lahan. Sistem insentif rehabilitasi lahan harus didukung dengan upaya pembatasan pertumbuhan permukiman diwilayah yang tidak sesuai peruntukannya melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana pemanfaatan ruang untuk permukiman menurut RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2005 -2015 adalah seluas 48 437 ha yang dikembangkan pada kawasan dengan kriteria sebagai berikut: 1) kemiringan lahan < 15%; 2) ketersediaan air terjamin; 3) aksesibilitas baik; 4) tidak berada pada wilayah rawan bencana; 5) dekat dengan pusat kegiatan. Wilayah DAS Cianjur yang memiliki kriteria seperti disebutkan dalam RTRW berada diwilayah sub DAS tengah dan hilir. Sehubungan dengan itu, Jika Pemda Kabupaten Cianjur konsisten terhadap arahan pengembangan permukiman sesuai dengan RTRW, maka tidak akan terjadi konversi lahan pada zona DAS hulu. Karena wilayah DAS Cianjur menurut hasil pemetaaan kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) sebagian besar atau seluas 1 899.1 ha (61%) tidak direkomendasikan sebagai lahan untuk pengembangan permukiman. Undang-undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui pemberian insentif dan disinsentif. Bentuk pemberian insentif perlu mempertimbangkan aspek kepemilikan lahan dan bangunan, karena permukiman eksisting yang berada pada lahan tidak sesuai terdiri dari bangunan rumah penduduk asli dan bangunan villa yang dimiliki oleh bukan penduduk asli. Sehubungan dengan itu, terdapat dua langkah dapat ditempuh yaitu : 1. Bagi masyarakat pemilik bangunan dan lahan yang merupakan penduduk asli dapat diberikan insentif berbasis pemberdayaan untuk mengadopsi teknikteknik pengelolaan permukiman ramah lingkungan. 2. Bagi pemilik bangunan dan lahan yang bukan penduduk asli perlu ditegakkan peraturan tentang: 1) pajak lingkungan atas manfaat yang diperolehnya, dan 2) keharusan untuk melakukan upaya rehabilitasi sebagai mengkompensasi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam penggunaan lahan. Beberapa bentuk insentif dan disinsentif yang diusulkan untuk diterapkan sebagai usaha untuk meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan lahan tidak sesuai untuk permukiman, yang sudah terlanjur digunakan dapat direhabilitasi. Bentuk insentif yang diberikan berupa penyuluhan berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai penghuni permukiman. Melalui jalur ini penghuni permukiman diberikan pengetahuan tentang-teknik konservasi tanah dan air dengan skala pengelolaan pada unit permukiman yaitu berupa pemanfaatan ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim), ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP), dan pengelolaan limbah (Tabel 46). Tabel 46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan Bentuk Rehabilitasi Berbasis Pemberdayaan Penghuni Permukiman Teknik Fungsi/Manfaat Pengelolaan/konservasi 1 Insentif Penyuluhan: Konservasi dan sosial RTHKim Konservasi dan ekonomi Pemanfaatan Mengurangi bahaya erosi pekarangan (RTHP) Mengurangi aliran air permukaan dengan tanaman Meresapkan air multistrata Mengurangi dampak pencemaran Pengolahan limbah lingkungan 2 Disinsentif Pajak lingkungan Kompensasi penyimpangan penggunaan lahan Sumber: Modifikasi dari Putro et al. 2003; dan UU RI No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang No Jenis Ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim) dalam wilayah DAS dirancang multifungsi untuk fungsi konservasi dan sosial. Keberadaan RTHKim pada setiap unit perkampungan di wilayah DAS akan sangat membantu fungsi konservasi terutama di zona DAS hulu sebagai daerah tangkapan air dan sebagai tempat bersosialisasi antara warga. Ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) diarahkan untuk memiliki multifungsi yaitu fungsi konservasi dan ekonomi. Sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1998), luas pekarangan minimum yang bisa ditanami berbagai serata tanaman adalah 100 m2. Pekarangan dengan luas 100 m2 akan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan konservasi dan memberikan kontribusi bagi pemilik atau masyarakat dari segi ekonomi. 4.5 Rumusan Kriteria Permukiman Sehat Berwawasan Lingkungan Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan dibangun berdasarkan hasil tiga kajian dalam penelitian ini yaitu pola permukiman, spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman, serta kesesuaian lahan permukiman. Kriteria ini dibangun dengan mempertimbangkan aspek teknis meliputi kenyamanan, keamanan penghuni permukiman dan keselarasan antara permukiman dan fungsi dari masing-masing zona DAS. Permukiman yang berada di wilayah DAS harus mampu mengkompensasi fungsi-fungsi DAS dari hulu hingga hilir, sehingga keberadaan permukiman tidak mengganggu terhadap fungsi DAS. DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS yaitu perlindungan dari segi fungsi tata air. DAS bagian tengah dan hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi. Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan (SEBERLING) terdiri dari: 1) pola permukiman pada masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman yang meliputi ukuran, tingkat kepadatan dan tipe permukiman; dan 2) spesifikasi bangunan rumah sehat secara teknis, ekologis dan ekonomis pada masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman yang meliputi jenis konstruksi rumah, pengelolaan sampah, limbah cair dan padat, dan pemanfaatan pekarangan. Matrik hubungan antara kelas kesesuaian lahan permukiman (sangat sesuai, cukup sesuai dan sesuai marginal) dengan pola permukiman dan spesifikasi bangunan rumah yang selanjutnya menjadi kriteria permukiman SEBERLING untuk masing-masing zona DAS. 4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai Kriteria permukiman SEBERLING pada kelas kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai untuk masing-masing zona DAS dapat dilihat pada Tabel 47. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil-sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 500 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 100 unit . 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi lingkungan yang dapat dimanfaatkan berupa sinar matahari, vegetasi, aliran angin dengan baik sehingga bangunan memenuhi syarat kesehatan dan ekologis. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Penggunaan konstruksi rumah panggung berdasarkan pertimbangan secara teknis dan ekologis bahwa rumah panggung memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage yang rendah, tahan terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan lokal, sehingga fungsi konservasi di wilayah hulu dapat terpenuhi. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi kesegaran udara dan kenyamanan bagi penghuni. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik. 8. Penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 10% dan 90% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi melalui mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit, yang dilengkapi dengan RTH Kim. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara beraturan. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen atau permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah sebagian besar menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 20% dan 80% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau sumur gali. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. Tabel 47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Kecil-sedang Jarang Linier & Plaza Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Mata air, sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) Sangat Sesuai Tengah 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Sedang Jarang Linier & Streetplan 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur -Resapan Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 20% Mata air dan sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 132 Lanjutan Tabel 47 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Sangat Sesuai Hilir Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Sedang Jarang Linier & Streetplan Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur -Resapan Kriteria Panggung, semi permanen dan Permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 30% Sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 133 b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit, yang dilengkapi dengan RTH Kim. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara beraturan. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen atau permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 30% dan 70% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari sumur gali atau PDAM. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. 4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai Tabel 48 menunjukkan kriteria permukiman SEBERLING yang menempati lahan pada kelas kesesuaian cukup sesuai. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Konstruksi rumah panggung digunakan pada lahan dengan kelas kesesuaian cukup sesuai dengan pertimbangan untuk keamanan penghuni dan memperbesar fungsi resapan air. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah/permukiman menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi melalui mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen. Konstruksi rumah panggung dan semi permanen digunakan pada lahan dengan kelas kesesuaian cukup sesuai dengan pertimbangan untuk keamanan penghuni dan memperbesar fungsi resapan air. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah tengah terpenuhi melalui sumur gali atau mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya. 2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. 3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim). RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman. 4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah. 6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi penghuninya. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya. Tabel 48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman cukup sesuai Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu Cukup Sesuai Tengah Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Kecil Jarang Streetplan & Plaza Kecil - Sedang Jarang Streetplan & Plaza Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Mata air, sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 15% Mata air dan sumur gali Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 139 Lanjutan Tabel 48 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Kesesuaian Lahan Zona DAS Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Cukup Sesuai Hilir Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Kecil - Sedang Jarang Streetplan & Plaza Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur Kriteria Panggung dan semi permanen Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 20% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 140 Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hilir terpenuhi melalui sumur gali atau PDAM. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. 4.5.3 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal Tabel 49 menunjukkan beberapa kriteria permukiman SEBERLING yang berada pada lahan dengan kelas kesesuaian sesuai marginal. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam bekerja di lahan pertanian. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. Diantara pekarangan rumah yang satu dengan lainnya terdapat kebun. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah dengan jenis konstruksi rumah panggung. Rumah panggung merupakan arsitektur tradisional sunda yang secara teknis dan ekologis memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage yang rendah, tahan terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan lokal. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai 6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 5% dan 95% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai. 6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 10% dan 90% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air atau sumur gali. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari 20 unit rumah. 2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. 3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier. 4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung. 5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai 6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2. 7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal. 8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat. 9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari sumur gali atau PDAM. 10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari MCK umum, dan saluran drainase. a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos. b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1) limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah melalui unit pengolahan limbah sederhana. c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai atau selokan. 4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan Konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dibangun menggunakan pendekatan teori ilmu lingkungan (Soerjani 1987) dan permukiman berkelanjutan (Camant 2001; Silas 2001). Teori ilmu lingkungan memadukan tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Pembangunan permukiman berkelanjutan merupakan penggabungan arsitektur fisik lingkungan, teknologi dan desain lanskap berkelanjutan berupa efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan lahan, efisisensi penggunaan material, penggunaan teknologi dan material baru, dan manajemen limbah. Tabel 49 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sesuai marginal Kelayakan Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Hulu Sesuai Marginal Tengah Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Kecil Sangat Jarang Linier Kecil Sangat Jarang Linier Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 5% Mata air Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 10% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 145 Lanjutan Tabel 49 Kesesuaian Lahan Permukiman Kelas Zona Kesesuaian DAS Lahan Pola Permukiman Bentuk Permukiman 1.Ukuran Permukiman 2.Kepadatan Bangunan 3.Tipe Permukiman Sesuai Marginal Hilir Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kriteria Kecil Sangat Jarang Linier Elemen Rumah/Permukiman 1.Bangunan Rumah: - Jenis konstruksi - Sirkulasi udara&cahaya - Luas minimum - Bahan bangunan - Luas Bangunan/Pekarangan 2. Permukiman/Kampung -Ketersedian air bersih -Pengelolaan lingkungan -Sampah -Limbah KM+dapur Kriteria Panggung Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai 9 m2 perpenghuni Bahan lokal KDB maksimum 15% Sumur gali dan PDAM Pengelolaan skala Kampung Unit pengolahan limbah sederhana (Septik tank dan bidang resapan) 146 Konsep permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara aspek ekologi, ekonomi, sosial dalam bidang permukiman (Gambar 29). Aspek ekologi dari permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara: (1) kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan yang dibangun berdasarkan parameter ekologi, ekonomi, dan sosial; (2) pola permukiman berwawasan lingkungan terdiri dari ukuran, tipe kepadatan bangunan, dan tipe permukiman; (3) elemen rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan dan lingkungan ; dan (4) sarana pengelolaan permukiman yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya aspek ekologi dalam konsep permukiman SEBERLING dijabarkan dalam bentuk kriteria pada masing-masing zona DAS, dengan demikian konsep permukiman SEBERLING ini merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan secara biofisik. Konsep Permukiman SEBERLING Ekonomi Ekologi Konsep Sosial Gambar 29 Skema konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan Konsep Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Pola permukiman di zona DAS hulu harus memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Ukuran permukiman kecil-sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe permukiman plaza. 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi rumah panggung; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 15% dan 85% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan. 3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman terpenuhi melalui mata air; 2) sarana pengelolaan sampah; 3) sarana MCK umum yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan; dan 4) saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK umum dan rumah ke selokan atau sungai. Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Pola permukiman di zona DAS tengah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)Ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan; 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 20% dan 80% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan; 3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) air bersih di lingkungan permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau sumur gali; 2) pengelolaan sampah pada skala kampung; 3) sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air; 4) saluran drainase tertutup. Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: 1. Pola permukiman di zona DAS hilir memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe permukiman plaza atau streetplan. 2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)jenis konstruksi rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3) luas rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimum seluas 40% dan 60% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan. 3. Permukiman memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1) ketersediaan air bersih cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni, sumber air bersih berasal dari sumur gali atau PDAM; 2) sarana pengelolaan sampah; 3) sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air; 4) saluran drainase tertutup. Aspek sosial dari permukiman SEBERLING adalah berupa kelembagaan masyarakat dalam mengelola lingkungan di wilayah DAS Kelembagaan komunitas dibangun berdasarkan kondisi masyarakat yang tinggal di wilayah DAS. Kelembagaan bisa bersifat formal atau informal tergantung pada kebutuhan dan ruang lingkupnya. Kelembagaan ini berada pada setiap unit permukiman terkecil yaitu kampung untuk masing-masing zona DAS. Lembaga ini yang akan merencanakan pembangunan fasilitas umum dan sosial dilingkungan permukiman yang bertumpu pada karakter dari masing-masing wilayahnya, sehingga lembaga ini dapat menjadi sarana dalam mengimplementasikan aturan pembangunan yang berbasis DAS. Selain itu lembaga ini salah satu fungsinya adalah mengelola dana subsidi keberlanjutan (SKL). Aspek ekonomi dari permukiman SEBERLING adalah berupa subsidi keberlanjutan yaitu pemanfaatan dan pengelolaan dana kompensasi dalam penggunaan lahan. Subsidi Keberlanjutan (SKL) merupakan dana kompensasi pemanfaatan lahan untuk permukiman dari masyarakat yang berada pada satu DAS. Secara ekosistem zona DAS memiliki keterkaitan secara biofisik sehingga segala bentuk pengelolaan permukiman pada satu zona akan berpengaruh pada zona lainnya. Perilaku pengelolaan dan pemanfaatan lahan untuk permukiman perlu diberikan kompensasi. Bentuk kompensasi pengelolaan dapat didasarkan pada prinsip user pays principle atau polluter pays principle. Melalui kedua prinsip tersebut diharapkan keterkaitan zona hulu, tengah, dan hilir menjadi satu kesatuan perilaku yang saling menjaga, memelihara, dan melestarikan fungsi DAS. Perilaku pengelolaan lingkungan permukiman yang positif di zona hulu akan didukung oleh zona tengah dan hilir, begitu juga sebaliknya. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Pola permukiman di zona DAS hulu dan hilir berkembang mengikuti pola jalan dan membentuk kawasan permukiman perdesaan, sedangkan permukiman di zona tengah berkembang mengikuti pola jalan yang membentuk kawasan perkotaan. 2. Dominasi keberadaan rumah panggung di zona hulu dan hilir menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur masih melestarikan budaya arsitektur lokal. 3. Atribut primer harapan konsumen terhadap produk permukiman tertata yang memiliki tingkat kepentingan tinggi yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan. 4. Kesesuaian lahan permukiman di zona DAS hulu didominasi kelas tidak sesuai seluas 1 063.5 ha. Zona DAS tengah dan hilir didominasi kelas cukup sesuai masing-masing seluas 2 510 ha dan 845.5 ha. Zona DAS tengah dan hilir memungkinkan untuk pengembangan permukiman namun perlu dibarengi dengan penataan lingkungan permukiman. 5. Penyebaran lokasi permukiman eksisting pada lahan yang tidak sesuai seluas 8.3 ha atau 0.4% seluruhnya berada pada empat desa di zona DAS hulu. Permukiman eksisting tersebut sebagian besar merupakan permukiman tertata yang memanfaatkan pemandangan sebagai daya tarik. 6. Rumusan kriteria permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dibangun berdasarkan pola permukiman, spesifikasi kebutuhan masyarakat, dan kesesuaian lahan permukiman. 7. Konsep permukiman SEBERLING merupakan perwujudan dari tiga aspek dalam konsep lingkungan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi yang dipadukan dengan permukiman. 5.2 Saran Agar konsep yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diimplementasikan maka disarankan: 1. Bagi pemerintah daerah dan pengembang permukiman dalam pengadaan permukiman hendaknya menggunakan rumah panggung dengan desain arsitektur tradisional tipe suhunan jolopong, parahu kumureb, dan julang ngapak karena memiliki keunggulan dari segi kenyamanan, keamanan, ramah lingkungan dan kelestarian budaya lokal. 2. Bagi pemerintah daerah dalam penataan ruang khususnya untuk penataan lahan permukiman hendaknya mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan untuk permukiman dengan memperhatikan aspek biofisik, ekonomi dan sosial. 3. Arah pengembangan permukiman di wilayah DAS Cianjur hendaknya diarahkan untuk pembangunan dengan kepadatan rendah ke arah timur tepat di zona DAS hilir yang disertai upaya untuk mempertahankan fungsi resapan air. 4. Bagi pemerintah dan pengembang permukiman dalam penyediaan permukiman hendaknya memperhatikan rumusan kriteria permukiman sehat dan berwawasan lingkungan agar keberadaan permukiman serasi dengan alam. DAFTAR PUSTAKA Adib A,A. 2006. Problematika Penentuan Sampel Dalam Penelitian Bidang Perumahan dan Permukiman. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.34, No.2 Desember 2006: 138-146 Akil, S. 2002. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Secara Berkelanjutan; Caringin-Bogor,4-5 Nopember 2002. Alikodra, H.S. 2004. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas: Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Bandung: Nuansa. Alrasyid, H. dan Samingan, T. 1980. Pendekatan Pemecahan Masalah kerusakan Sumberdaya Tanah dan Air Daerah Aliran Sungai Dipandang dari Segi Ekologi. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. Amril, S. 1994. Data Arsitek . Jakarta: Erlangga. Anonim. 1997. Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat . Jakarta : Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum R.I. Arifin, H.S. 1998. Effects of Urbanization on the Vegetation Structure of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japan J.Trop.Agric. 42(2): 94-102. Aronoff, S. 1991. Geographic Information Systems: A Management Perspective. Otawa: WDL Publications. Arsyad, S. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Astuti. 2005. Perencanaan dan Perancangan untuk Pengamanan Kawasan Perumahan Kota dari Tindak Kriminal. Makalah pada Kolokium dan Open House: Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Bidang Permukiman Melalui Pengembangan Teknologi Tepat Guna ; Bandung,8-9 Desember 2005. Atja dan Danasasmita. 1981. Klasifikasi Lahan pada Masyarakat Sunda kuno. http:// www.iis. u-tokyo.ac.jp/~fujimori/lsai/ssk0001.html [10 September 2008] Bappeda Kabupaten Cianjur. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur 2005-2015. Cianjur: Bappeda. Bappeda Kabupaten Cianjur. 2006. Monografi Regional Kabupaten Cianjur 20012005. Cianjur: Bappeda. Basnyat, P., L.D. Tecter, B.G. Lockaby, and K.M. Flynn. 2000. The use of remote Sensing and GIS in Watershed level Analyses of non-point Source Pollution Problems. J Forest Ecology and Management 128: 65-73. Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis: Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor: Lab Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Basso, F., E. Bove, S. Dumontet, A. Ferrara, M. Pisante, G. Quaranta, and M. Taberner. 2000. Evaluating environmental sensitivity at the basin scale through the use of geographic information system and remotely sensed data: an example covering the Agri basin (Southern Italy). J Catena 40: 19-35. Bolitzer, B., Netusil, NR. 2000. The impact of open spaces on property values in Portland, Oregon. J Environmental Management 59 (3): 185 -193. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Data Curah Hujan.Bogor: Stasiun Darmaga [BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Cianjur. 2007. Data Potensi Wilayah Kabupaten Cianjur. Cianjur: Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Cianjur Per Kecamatan Tahun 2001-2005. Cianjur: Bappeda dan BPS. Budihardjo.1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Jakarta: PT. Alumni. Camant, K., dan C. Durret. 2001. Principles of Cohousing. East Bay Express. http://www.eastbayexpress.com/issue/feature.html.[15 Agustus 2005]. Da Costa, S.M.F dan J.P Cintra. 1999. Environmental analysis of metropolitan areas in Brazil. J Photogrammetry & Remote Sensing 54: 41- 49. Dammann, S. 2004. Environmetal Indicators for Buildings.Denmark: By Og Byg, Statens Byggeforskningsinstitut dbur, Danish Building and Urban Research. Dardak, H. 2007. Pembangunan Infrastruktur Secara Terpadu dan Berkelanjutan Berbasis Penataan Ruang. Jakarta: Direktur Jenderal penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Permukiman. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengembangan Permukiman. Dinas Cipta Karya. 2005. Rencana Pengembangan dan Pembangunan Perumahan Permukiman Daerah (RP4D) Wilayah Pengembangan Utara Kabupaten Cianjur. Cianjur: Dinas Cipta Karya Kabupaten Cianjur. Ditjen Ciptakarya. 1997. Pedoman Rumah Sederhana Sehat. Jakarta: Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-9474-256. Bogor: Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Edi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta: Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. Esmali, A. dan H. Ahmadi. 2003. Using GIS and Remote Sensing in Mass Movement Hazard Zonation – A Case Study in Germichay Watershed, Ardebil, Iran. Map Asia Conference 2003 Esti, H.S. 1991. Panduan Air dan Sanitasi. Jakarta: Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation [FAO] Food Agriculture Organization. 1976. A Framework for land Evaluation. Rome: Soil Bull Frick, H. dan Suskiyatno. 1998. Dasar-dasar Eko-Arsitektur, Konsep arsitektur berwawasan lingkungan serta kualitas konstruksi dan bahan bangunan untuk rumah sehat dan dampaknya atas kesehatan manusia. Yogyakarta: Kanisius. Gargione. 1999.Using Quality Function Deployment (QFD) in the Design phase of an Apartement Construction Project. Proceeding IGLC-7; 26-28 July 1999. USA: Universitas of California, Berkeley, CA. Garman, E.T.1991. Consumer Economic Issues In America. Boston: Houghton Miffin Company. Gaspersz, V. 2001. Analisa Unit Peningkatan Kualitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gaspersz, V. 1997. Manajemen Kualitas. Penerapan Konsep-konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gibellini, L. 2001. The Challenge of Sustainability DZHB44 Subdivision For People & Environmet : Subdivision Based on the Concepts of Ecovillage & Cohousing. Paper presented to the 14 th Annual Ingenium Conference 14-17 June 2001. Rotorua. Gifford. R. 1997. Environmental Psychology. USA : Allyn and Bacon. Haeruman, H. 2002. Pengelolaan Ekosistem Kawasan Pegunungan Sebagai suatu Bioregion yang penting. Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Secara Berkelanjutan; Caringin-Bogor,4-5 Nopember 2002. Hardjowigeno, S. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Harimurti. 1999. Interprestasi Foto Udara Digital pada Layar Monitor. [skripsi]. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Haryadi, R. 5 Juni 2005. Mari Menyelamatkan Air Tanah di Pekarangan. Kompas:11. Hollander, E. 2001. Community under Construction The Triumph and Trial of the Cohousing Movement.http://www.eastbayexpress.com/issue/ feature.html. [15 Agustus 2005]. Hufschmidt, M. 1985. A Conceptual Framework for Analysis of Watershed Management Activities. Environment and Policy Institute. Honolulu: East West Center. Irianto, G. 2002. Karakteristik Pola Jaringan DAS Cilliwung dan Modifikasinya dalam Mendukung Pengelolaan Bopunjur. Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Secara Berkelanjutan; Caringin-Bogor, 4-5 Nopember 2002. Jiaming, S., and X. Chen. 2005. Personal Global Connection and Differensiasi New Resident in Shangai. J International 3(2): 301 – 319. Joga, N. 2003. Memilih Rumah Sehat Sederhana. http:www.kompas.com/kompas -cetak/0307/25/rumah/439645.htm Joga, N. 2007. Memilih Rumah Sehat Lingkungan. http://123design. wordpress com /2007/08/25/memilih-rumah-sesuai-gaya-hidup/ [10 September 2008] Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat RI. 1987. Pembangunan Perumahan. Jakarta: Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Menpera. Kelarestaghi, A. 2003. Landslide hazard zonation in Shirin Rood Drainage Basin with using GIS, Sari, Iran. Map Asia Conference 2003 Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman. J Kesehatan Lingkungan, 2 (1):29-42. Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu. Jakarta: Kantor KLH. Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Informasi Banjir dan Tanah longsor. http://www.menlh.go.id/banjir/longsor/tabellongsor.html [15 Februari 2006] [Kepmenhut] Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta : Departemen Kehutanan R.I. [Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. [Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Kirmanto, J.2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan. Makalah disampaikan pada Seminar Peduli Banjir “Forest”; Jakarta Tanggal 25 Maret 2002. Kobayashi, H. 2006. Pengukuran Emisi CO2 di Sektor Permukiman Perkotaan (Pendekatan secara Makro). National Institute for Land and Infrastructure Management. http://sim.nilim.go.jp/GE [26 Nopember 2007]. Koebel, C.T., M.S. Cavell, E. Etuk, and M. Bradshaw. 1999. Resident Satisfaction Survey - Roanoke Housing Authority. Virginia: Center for Housing Research Virginia Tech. Koestoer, R.H. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Yayasan Real Estate Indonesia. Jakarta: PT. Rakasindo. Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan . 2001. Di dalam : Kusnanto H, Editor. Planet Kita Kesehatan Kita.. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, p. 279. Krieger J and Higgins DL. 2002. Housing and Health : Time Again for Public Action. Am J Public Health 92:5, 758-759. Kuswartojo, T 2005. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: ITB. Loupias. 2005. Kampung Pulo Wujud Arsitektur Tradisional http://www.pikiran rakyat.com/cetak [15 Agustus 2005]. Sunda. Manan, S. 1983. Pengaruh Hutan dan Management Daerah Aliran Sungai. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Mangunwijaya, Y.B. 1994. Fisika Bangunan. Jakarta: Djambatan. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT.Grasindo Masykur. 2006. Karakteristik Permukiman Dualistik dan Tingkat Keberhasilan Penghunian. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mawardi, M. 2008. Kerusakan Lingkungan dan Cara Pandang Manusia tentang Alam.http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&ta sk=view&id=1009&Itemid=9 [23 Januari 2009]. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT). Jakarta: Kantor Kimpraswil. Mills, Edwin S. 1987. Handbook of Regional and Urban Economics. Netherland: Elsevier Science Publishers. Mukono HJ.(2000). Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan . Surabaya : Airlangga University Press. Mulyana, R., H.S.Alikodra, H.S. Arifin, dan L.B. Prasetyo. 2007. Karakteristik Bangunan Rumah dan Bentuk Permukiman di Wilayah DAS Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Vol. 17 (3): 213-225. Mulyana, R., H.S. Alikodra, H.S. Arifin, dan L.B. Prasetyo. 2008. Characterisctics, Forms and Behaviors of Settlement Inhabitant in Cianjur Watershed, West Java. Poster Presentation Prosceeding of the final Seminar on Toward Harmonization between Development and Environment Conservation in Biological Production, 28-29 February 2008 The University of Tokyo, Japan. Mulyana, R. 1998. Penentuan Tipe Konstruksi Sumur Resapan Air Berdasarkan Sifat-sifat Fisik Tanah dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Puncak. .[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Muslim, E. 2003. Quality Function Deployment (QFD) Peningkatan kualitas penanganan surat PT. Pos Indonesia. J Teknologi 2(17) : 100 -107. Paccione, M.1990. Urban Liveability: A Review. Urban Geography 11(1): 1-30 Pahlano, D. 2005. Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan. http: // pahlano . multiply. com/reviews /item/12 [10 September 2008]. Panudju, B. 1999. Pengadaan Rumah Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah . Bandung : PenerbitAlumni. Pasaribu, H.S. 1999. DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air. Seminar Sehari PERSAKI ”DAS sebagai Satuan Perencaaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”; Jakarta: 21 Desember 1999. [Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/SK/VIII/1990 tentang Pemantauan Kualitas Air Minum, Air Bersih, Air Kolam Renang dan Air Pemandian Umum. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Prahasta, E. 2007. Tutorial ArcView. Bandung: Informatika [PU] Departemen Pekerjaan Umum Cipta Karya. 2003. Sumur Resapan Air. http://www.pu.go.id/publik/ ciptakarya/html/ind/resapan-htm Puji A.S., Udisubakti C., M..Suef. 2004. Evaluasi Konsep Produk dengan Pendekatan Green Quality Function Deployment II. J Teknik Industri 6(2): 156 – 168. Putro, H. R., M. B. Saleh, Hendrayanto, I. Ichwandi, Sudaryanto. 2003. Sistem Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Kerangka Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Reksohadiprodjo, S. 1992. Ekonomi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE. Ritung, S., Wahyunto, Agus F dan Hidayat H. 2007. Panduan Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat.Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre. Rustiandi, E., Saefulhakim S dan Panuju, D. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sabar, A. 2001. Kajian Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Debit Aliran di DAS Ciliwung-Kawasan Bopunjur dengan Pendekatan indeks Konservasi. http://digilib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-grey-2001-arwin-1252-das. [12 Nopember 2005]. Saaty, T.L. 1999. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin : Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Presindo. Sani, M. 2006. Penyebab Terjadinya Tanah Longsor. http://bumiindonesia. Word press. com/2006/10/15/mengetahui-longsor [26 Januari 2007] Sanropie D. 1992. Pedoman Bidang Studi Perencanaan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Sarwono. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo Sastra, M.S. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: Andi. Sebayang, M. 2002. Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat Thematic Mapper (Studi Kasus di Kotamadya Surabaya). Jurnal Natur Indonesia 5(1): 41-49 Sekeon, E.A. 2005. Studi Kesesuaian Lahan Bangunan dengan Pendekatan GeoEnvironmental Evaluation di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Senn CL. 1980. Housing and The Residential Environment in Environmental Health, 2nd Ed, Purdom PW (Ed ). New York: Academic Press, pp 521-550 Shaphira. 2008. Rumah untuk Rakyat. http://shaphira.multiply.com/journal /item/98.[10 Juni 2008]. Sheng, T.C. 1968. Concepts of Watershed Management. Lecture Notes for Forest Training Course in Watershed Management and Soil Conservation. Jamaica: UNDP/FAO. Silas, J. 2001. Perjalanan Panjang Perumahan di Indonesia dalam dan Sekitar Abad XX. http://www.indie-indonesia.nI/content/documents/papers-urban %20 history/johan%20silas.pdf. [6 Nopember 2005]. Sinukaban, N. 2001. Menjinakkan Ciliwung untuk Mengamankan Jakarta. http: // 64.203.71.11/ kompas - cetak/ 0501/ 29/ metro/ 1526575.htm.[10 September 2008] Soegiyanto. 1998. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis ditinjau dari Aspek Fisik Bangunan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soemirat, S.J. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soerjani, M. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI Press. Soerjono, R. 1978. Kegiatan dan Masalah Kehutanan dalam DAS. Prosiding Pertemuan Diskusi Pengelolaan DAS DITSI, Jakarta. Soma, S. 2007. Analisis Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: IPB Press. Soma, S. 2004. Utang Lingkungan. Bogor: IPB Press. Srilestari, N.R.2005. Permukiman Liar? Arsitektur Permukiman Spontan Studi Kasus: Permukiman Liar di Malang dan Sumenep Jawa Timur. J Dimensi Teknik Arsitektur 33(1): 125 – 130. Star, J. and J. Estes. 1990. Geographic Information Systems an Introduction. New Jersey: Prentice Hall. Sugandhy, A. 2002. Upaya Pemantapan Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman. Makalah pada Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman; Jakarta, 29 Oktober 2002. Sugiarti, D.G. Bengen, dan R. Dahuri. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan Jawa Timur. J Pesisir & Lautan 6(2): 1-18. Suhara, O. 1991. Studi Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian Terpadu dan Kaitannya dengan Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sukri. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Mempelajari Pola Sebaran Permukiman, Studi Kasus di DAS Cianjur Kabupaten Cianjur Jawa Barat.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukamto. 2004. Rumah dan Lingkungan Sehat : Pegangan untuk kader dan pendamping masyarakat. Yogyakarta: Yayasan Griya Mandiri. Susanto, D. 1997. Dinamika Perilaku dan Kebiasaan Makan. Jakarta: Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Sutopo. 2003. Menguak Kerusakan DAS di Indonesia. http://www.kompas.co.id/ Kompas-cetak/0308/24/fokus/503619.htm [6 Nopember 2005]. Sutrisna, D. 1996. Struktur Sosial Rekayasa Di Lingkungan Perumahan, Pola Hunian Berimbang.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syahrir. 2002. Pendekatan Pengelolaan DAS untuk Pengamanan Sumber Air Jabotabek. Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregional sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan; Caringin Bogor, 4-5 Nopermber 2002. Syartinilia. 2001. Karakteristik Pemukiman di DAS Ciliwung Bagian Tengah, Kota Bogor Jawa Barat.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta : Menteri Hukum dan HAM R.I. Van der Zee. 1986. Human Settlement Analysis. Enshede Netherlands: International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). Van der Zee. 1990. Aspects of Settlement, Infratructure and Population in Land Evaluation. Enshede Netherlands: International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). Wahyudin Y. 2005. Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan Pesisir dan Laut. WARTA Pesisir dan Laut Edisi Nomor 01/Th.VI/2005. WHO SEARO .1986. Environmental Health Aspects of Industrial and Residential Area. Regional Health Papers No. 11 . New Delhi : WHO Regional Office for South East Asia. Wiersum, E.F. 1979. Introduction to Principles of Forest Hydrology and Erosion with Special Reference to Indonesia. Bandung: Institute of Ecology, Padjadjaran University. Witoelar, E. 2001. Visi Perumahan dan Permukiman ditengah Krisis Ekonomi. Jakarta: Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah. Yu, Z. 2004. Heterogeneity and dynamics in China’s emerging urban housing market: two sides of a success story from the late 1990s. J Habitat International. www.elsevier.com/locate/habitatint LAMPIRAN Lampiran 1 Beberapa Hasil Penelitian Permukiman dan DAS No (1) Nama Peneliti (2) 1 Koebel et al. (1999) 2 Aurelia, (2002) 3 Kobayashi (2004) BM. Metode Hasil (6) Sampel Lokasi: 8 perumahan Sampel: 621 responden Parameter dan Analisis Data -Pemeliharaan fasilitas fisik (tempat mencuci, rekreasi, parkir) -Pemeliharaan pelayanan utilitas (listrik, air panas, AC) -Pemeliharaan apartemen, Manajemen pelayanan konsumen -Pengumpulan data: kuesioner didesain menggunakan kode data 1 (buruk) dan 2 (baik) -Analisis: Excel (frekuensi, rata-rata, kelas tingkat kepuasan konsumen Sampel: konsumen real estate sebanyak 810 tempat tinggal. -Parameter: Faktor konvensional yang menentukan harga perumahan (ukuran, jumlah ruangan, umur, dan lain-lain), dan faktor lingkungan kedekatan ke daerah hijau, ukuran dan keberadaan atau ketidakadaan pemandangan kebun atau taman publik. -Hubungan antara harga penjualan dan karakteristik perumahan (living area, jumlah ruangan, umur, jarak dari daerah lanskap, dan lain-lain) menggunakan bentuk linier, logaritma, dan timbal balik. -Variabel utama yang mempengaruhi harga adalah living area dari tempat tinggal. Variabel lain secara statistik signifikan adalah ukuran balkon, jumlah kamar mandi, umur bangunan, keberadaan elevator, dan keberadaan gudang kecil. -Model timbal-balik menunjukkan bahwa living area minimum adalah 48 m2 (sebuah studio, sebuah kantor atau apartemen kecil perkotaan). -Variabel lingkungan, hanya jarak dari daerah hijau yang signifikan (setiap 100 m lebih jauh dari sebuah daerah hijau berarti sebuah penurunan kira-kira sebesar 300,000 pesetas (€1800) pada harga perumahan. Lokasi: kota Nihonmatsu -Jenis bangunan (rumah, toko, pabrik, kantor dll.) -Tahun pembangunan - Luas lantai, jenis struktur dan bahan bangunan -Analisis: formula Life-Cycle-Emission Model bentuk permukiman perkotaan: -Bentuk permukiman perkotaan - Sistem Perbaikan/penggantian bangunan - Kesepakatan antara masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang pola bentuk permukiman Tingkat kepuasan konsumen perumahan atau apartemen Rating parameter dari masing-masing variabel: -Rating tertinggi: air panas (pemeliharaan utilitas) -Rating terendah: keamanan dan pemeliharaan fasilitas umum milik bersama, dan ketersediaan fasilitas rekreasi. No (1) Nama Peneliti (2) 4 Zhou You (2004) 5 Astuti (2005) 6 Sun Jiaming dan Xiangming Chen (2005) Metode Sampel Lokasi: Beijing, Tianjin, Shangha, dan Chongqing Municipality, Parameter dan Analisis Data -Parameter: Bahan bangunan, metode pembangunan, fasilitas perumahan, tata aturan penghunian, kepadatan rumah, dan kepemilikan rumah -Teknik pengumpulan data: survai Lokasi: Perumahan di kota Bandung, Medan dan Jakarta Sampel sebanyak 100 rumah / KK yang disebar pada 3 lokasi. Lokasi 1 = 40 KK, lokasi 2 = 30 KK, lokasi 3 = 30 KK. Parameter: komponen bangunan dan lingkungan Jenis data: data sekunder dalam bentuk statistik, peta, Teknik survei: behavioral mapping (pemetaan perilaku) yang dikembangkan oleh Juelson (1970). Pengumpulan data: observasi, kuesioner dan wawancara. Metoda analisa data: -Studi generik, yaitu mengetahui bentuk dasar melalui tapak, denah, tampak, peletakan. -Content analysis mencakup tahap identifikasi, tahap induksi, tahap interpretasi, dan tahap -Personal global connection Hasil (6) -Terdapat perbedaan kualitas bangunan pada keempat kota. Tiga bahan bangunan yang umum digunakan di China: (1) beton dan baja, (2) batu dan bata merah,dan (3) kayu, bambu, dan kaca -Pembangunan rumah dilakukan sendiri -Terdapat perbedaan signifikan tentang ketersediaan failitas perumahan. -Peningkatan secara signifikan pada kondisi perumahan, fasilitas, tata aturan penghunian, ukuran rumah pada dekade 1990 – 2000. Konsep dasar pencegahan kejahatan melalui perancangan lingkung perumahan. -Faktor globalisasi memberikan kontribusi terhadap differensiasi tempat tinggal -Pendapatan perkapita berhubungan dengan tipe tempat tinggal -Terdapat korelasi signifikan antara umur, tingkat pendidikan, pendapatan dan personal global connection dengan differensiasi tempat tinggal No (1) Nama Peneliti (2) 7 Niniek Srilestari (2005) 8 Da Costa, dan Cintra (1999) 9 Basso, (2000) 10 Basnyat,F. Et.all (2000) et.all Metode Sampel Permukiman liar di Malang dan Sumenep Parameter dan Analisis Data -Parameter: Arsitektur permukiman spontan -Peta elevasi dan kemiringan (peta topograpi dibagi dalam sel 500x500m. -Elaborasi peta erosi tanah (peta tanah dibagi dalam sel dan kelas) -Peta drainase dan kesesuaian lahan untuk perkotaan -Peta potensi fisik (overlay dengan peraturan yang ada) -Peta penggunaan lahan perkotaan (dioverlaykan dgn potensi fisik) -Parameter: kualitas tanah (kedalaman tanah, rocks fragment cover, drainase, kemiringan); kualitas iklim( aspek, curah hujan, aridity indek); kualitas vegetasi (resiko kebakaran, pencegahan erosi, daya tahan thd kemarau); kualitas pengelolan(indek ketuaan, indek penggunaan, illiteracy indek, indek kemuduran) -Environmental Sensitive (ES) ditaksir dengan kumpulan lapisanlapisan tematik digunakan GIS -Penskoran untuk parameter (skor 1:kondisi baik; skor 2: kondisi buruk) -Tahap 1 (analisis kualitas air.Data satelit digital, foto, data digital tanah, data digital elevation model (DEM) dan data digital geologi dibuat dan dianalisis; delineasi sungai; dan klasifikasi penggunaan /penutupan lahan). -Tahap 2 (Delineasi zona penyangga: Riparian buffer delineation equation/RBDE, Philips (1989a);seleksi zona referensi; zona penyumbang; hubungan kualitas air dan penggunaan/penutupan lahan) -Model sederhana dikembangkan untuk menaksir potensi aliran nutrien dari ekosistem pinggir sungai Hasil (6) -Bentuk permukiman spontan lebih beradaptasi lingkungan dan memiliki karakter berorentasi ke dalam/interior. -Peta drainase 161 km2, -Peta erosi (Klasifikasi erosi tinggi 398.3 km2, erosi sedang139.2 km2, tidak beresiko erosi 6.7 km2 ). -Peta kemiringan -Peta potensi fisik -menilai tingkat perbedaan ES pada skala DAS dapat dinilai oleh analisis hubungan antara indikator lapangan dan ES. -Pengurangan tingkat respirasi dan microbial C biomass, microbial biomass N, berisi bahan organik tanah serupa dengan peningkatan ES.(r:0.69 biomass C; r:0.82 biomass N; r: 0.84 bahan organik tanah; dan r:0.73 aktivitas respirasi) -Kualitas air (kandungan bahan kimia) berbeda untuk setiap sungai -Hubungan yang sangat signifikan antara penggunaan lahan dan tingkat nitrat. -Tempat tinggal/perkotaan/daerah terbangun diidentifikasi sebagai penyumbang kuat dari konsentrasi nitrat, yang kedua adalah kebun buahbuahan. No (1) Nama Peneliti (2) Metode 11 Frint, H. Et.all (2003) 12 Erwin Hardika Putra (2006) Lokasi: DAS Tondano Sulawesi Utara. - Estimasi daerah rawan longsor Analisis: teknik overlay dan skoring dengan bantuan software GIS. -Model perhitungan dalam estimasi daerah rawan longsor dilakukan dengan menggunakan raster based processing pada software ArcView 3.3, dengan ekstension 3d Analyst, Spatial Analyst, Grid Analyst. -Model estimasi daerah rawan longsor dibangun dengan Model Builder menggunakan metode Arithmatic Overlay Analysis Peta estimasi daerah rawan longsor 13 Gargione, 1999 Lokasi: Apartemen di wilayah Kota Brazil Sampel: Salespeople, konsumen ahli Pengumpulan data: -interview -FGD Analisis Data: QFD Desain konstruksi apartemen Sampel Parameter dan Analisis Data -Pengumpulan data (selama musim kemarau;di sungai Angwa,Manyame, Kadzi; metode: pendekatan lintasan dan jejak kaki dicatat). Kategori jejak kaki (< 48 jam: baru; < 7 hari: sedang; dan > hari lama). -Analisis spasial menggunakan GIS Arc view 3.2 termasuk modul vektor dan raster) -Analisis statistik model logistik: (hubungan karakteristik lahan pertanian dan kehadiran spesies), analisis regresi (pengaruh karakteristik lahan produksi terhadap jumlah individu spesies) Hasil (6) -Spesies yang muncul pada masing-masing sungai: Angwa 22, Kadzi 18, dan Manyame 15. - Semua karakteristik lahan produksi mempunyai dampak pada distribusi dan kelimpahan spesies liar. Kelimpahan spesies, log (keragaman biologi) berkurang dengan pening-katan daerah lahan produksi di tiga sungai (Manyame: n = 60; R2 = 0.72; p < 0.0001; F = 97.585, Angwa: n = 144; R2 = 0.88; p < 0.0001; F = 1220.237 dan Kadzi: n = 96; R2 = 0.91; p < 0.0001; F = 605.421) No (1) Nama Peneliti (2) Metode 14 Boy,N.M., Sunaryo dan Joice, R.M. (2003) 15 Erlida,M dan Gunawan,S.(2 003) Sampel 242 pelanggan 16 Puji Astuti S, et all. (2004) Sampel : 2 jenis merk lampu Sampel Parameter dan Analisis Data -Penentuan kriteria melalui jurnal,artikel,hasil seminar, wawancara. -Kriteria terdiri dari kualitas, harga, pe-ngiriman, pelayanan, kemampuan keuangan, kemampuan teknik, dan kemampuan manajemen -Penyusunan hirarki menggunakan metode AHP -Pembobotan parsial dihitung menggunakan Expert choice dari Decision Software, inc. -Penentuan atribut berdasarkan 4P(Product, Price, Place, dan Promotion) -Pengumpulan data dengan kuesioner untuk mengidentifikasi harapan pelanggan. -Harapan pelanggan diterjemahkan ke dalam karakteristik teknik (sistem, sarana, SDM dan aspek lain) -Menentukan hubungan antara customer requirement dengan technical response menggunakan nilai atau bobot (1,3,9) -Perhitungan absolute dan relative importance -Pembentukan matrik korelasi Analisis data: metode Analitic Hierarchy Process, Green QFD II dan untuk mengevaluasi konsep produk digunakan matriks Concept Comparison House (CCH) Hasil (6) -Bobot masing-masing kriteria adalah kualitas 0.364, pengiriman 0.205, kemampuan teknik 0.103, sedangkan harga, pelayanan, kemampuan mana-jemen memiliki bobot kurang dari 0.1 -Hirarki penilaian kinerja pemasok -Pelanggan menghendaki perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan PT.Pos Indonesia dalam segi kecepatan, keamanan, ketepatan waktu, komunikasi petugas, kecepatan pelayanan,kombinasi harga kemudahan mencapai tempat pelayanan dan jangkauan lokasi tujuan pengiriman. konsep lampu terbaik dan karakteristik lampu yang berkualitas, ramah lingkungan dan biaya rendah Lampiran 2 Lahan yang dapat dikonversi untuk penyediaan permukiman Zona DAS Kecamatan Pacet Cugenang Hulu Sub Total Cugenang Cianjur Tengah Karang Tengah Nama Desa Dapat Konversi Ciputri Ciherang Galudra Sukamulya Nyalindung Cibeureum Mangunkerta Cijendil Sukamanah Gasol Mekarsari Limbangansari Sawah Gede Bojong Herang Pamoyanan Solok Pandan Sayang Sukamaju Muka Sabandar 12.9 Sangat Sesuai Tidak DiKonversi 1.9 0.5 20.0 22.4 122.2 81.1 13.8 Permukiman Existing Dapat Konversi 1.3 0.2 0.2 0.4 5.1 5.9 13.9 3.6 18.1 32.9 28.1 40.6 0.7 2.6 1.3 14.4 30.9 91.2 0.7 Cukup Sesuai Tidak DiKonversi 61.4 34.6 204.6 45.4 14.5 205.7 251.4 16.1 65.4 899.0 81.9 38.9 48.2 71.8 24.6 0.4 Permukiman Existing 32.8 10.0 19.0 0.9 1.1 51.3 18.3 16.8 150.2 2.7 3.2 31.7 30.8 99.3 70.5 82.7 210.9 7.3 4.4 Sangat Sesuai Zona DAS Kecamatan Cilaku Karang tengah Nama Desa Munjul Sukamanah Bojong Sindang Asih Maleber Langen Sari Sukasari Sub Total Sukaluyu Karang tengah Sukaluyu Hilir Sub Total Total Babakan Sari Babakan Caringin Tanjung Sari Selajambe Sukasirna Hegarmanah Dapat Konversi 15.9 Tidak DiKonversi 0.0 11.0 149.5 24.8 251.2 Permukiman Existing 5.6 Dapat Konversi 12.3 264.3 Tidak DiKonversi 200.9 27.9 Permukiman Existing 122.3 139.1 597.3 178.7 10.4 209.4 166.0 875.7 101.0 3.2 70.9 59.8 1039.9 6.7 1.4 133.5 172.6 59.7 0.6 77.6 156.8 203.0 1.1 13.9 453.9 1644.0 0.0 22.0 48.9 217.1 48.2 48.2 299.4 Cukup Sesuai 34.1 225.1 48.7 239.5 48.7 274.2 3.4 1.7 13.4 18.4 617.0 373.1 2145.2 NOMOR RESPONDEN Lampiran 3 Kuesioner kebutuhan dan kepuasan penghuni perumahan KUESIONER KEBUTUHAN DAN GAYA HIDUP PENGHUNI PERMUKIMAN Bagian I. Posisi Responden 1. Nomor Responden 2. Kecamatan 3. Desa 4. Kampung/Perumahan 5. Posisi dari DAS Cianjur Hulu Tengah Hilir 2 6. Ukuran luas bangunan rumah ........................... m 7. Ukuran luas rumah dan pekarangan (Luas Tanah) ........................... m2 8. Koordinat GPS Timur : Selatan: Bagian II. Identitas Responden Nama Responden Jumlah anggota keluarga* Usia 1= Satu 2= Dua 3= Tiga 4= Empat 5= Lainnya 8 9 Agama 1= Islam 2= Kristen 3= Hindu 4= Budha 5= Lainnya 10 11 Pendidikan 1= SD 2= SMP 3= SMU 4= PT 5= Lainnya 12 Pekerjaan Pendapatan 1= Petani 2= Buruh 3= Pedagang 4= PNS 5= Karyawan Swasta 6= Lainnya Utama 13 Sampingan 14 Suami 15 Istri 16 *Petunjuk pengisian : isikan angka 1 sampai 4 sesuai dengan pilihan saudara pada setiap kolom pertanyaan, kecuali jika pilihan pada kode 5 sebutkan. Bagian III. Kebutuhan Penghuni Perumahan A. Bentuk (FORM) 17. Dalam memilih rumah, apa yang menjadi patokan utama anda: 1=Desain bangunan, 2=Konstruksi bangunan, 3=Luas lahan, 4=Lokasi rumah 5=Lainnya .................... 18. Bagaimana bentuk konstruksi rumah yang Anda inginkan? 1=Semi permanen, 2=Permanen 19. Menurut anda berapa luas lahan yang ideal untuk suatu rumah? 1=60 m2, 2=90 m2, 3=100 m2, 4=120 m2, 5=Lainnya .......... 20. Menurut anda, apakah keberadaan halaman rumah (didepan/belakang/samping rumah) diperlukan? 21. Menurut anda, apakah keberadaan halaman depan rumah diperlukan? 1=Ya, 2=Tidak 1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.22, jika tidak ke 23 22. Menurut anda berapa ukuran halaman depan rumah yang dibutuhkan baik untuk taman maupun tempat bermain anak? a. 1=2 x 2 m, 2=3 x 3 m, 3=3 x 5 m, 4=Lainnya ................. 23. Halaman depan rumah, anda butuhkan untuk keperluaan apa? (pilihan bisa lebih dari satu) 3=Penyimpanan kendaraan, 4=Jemur pakaian, 5=Berternak, 6=Lainnya ............ 24. Menurut anda, apakah kualitas bahan bangunan perlu diperhatikan dalam membangun rumah? 25. Bahan bangunan apa yang Anda inginkan untuk masing-masing konstruksi bangunan rumah: Pondasi Plapond Dinding Lantai 1=Batu kali 2=Beton 3=Batu bata 4=Lainnya 1=Batu bata 2=Bambu/bilik 3=Batako 4=Kayu, 5=Lainnya 25a 1=Tanah 2=Semen 3=Keramik 4=Kayu, 5=Lainnya 25b 26. Bahan bangunan yang Anda gunakan berasal darimana? 25c 1=Triplek 2=Asbes/enternit 3=Gipsum 4=Kayu, 5=Lainnya 25d 1=Taman, 2=Bermain anak, 1=Ya, 2=Tidak Penutup Atap 1=Genteng 2=Seng 3=Asbes 4= Sirap, 5=Lainnya 25e 1=Produk lokal, 2=Produk pabrik dalam negeri, 3=Produk luar negeri, 4=Lainnya ....................................... 27. Gaya arsitektur apa yang Anda inginkan untuk rumah anda? 1=Tradisional, 2= Modern, 3=Barat, 4=Lainnya ………………….. 28. Jika yang Anda inginkan gaya arsitektur tradisional, dari daerah/suku mana gaya arsitektur tersebut? 3=Bali, 4=Batak, 5=Minang, 6=Lainnya …………………….. 29.Jika yang Anda inginkan gaya arsitektur barat, dari negara mana gaya arsitektur tersebut? 4=Lainnya ........................... 30. Apakah menurut Anda di rumah perlu ada tempat sampah ? 1=Sunda, 2=Jawa, 1=Jepang, 2=Amerika, 3=Eropa, 1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.31, jika tidak ke no.32 31. Dimana menurut Anda sebaiknya diletakkan? 1=Di halaman depan, 2=Di halaman belakang, 3=Di dapur, 4=Di dapur dan di halaman depan, 5=Di dapur dan di halaman belakang 32. Apakah menurut Anda, sebuah rumah perlu dipagar ? 1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.33, jika tidak ke no.34 Alasan : ...................................................................................................... 33. Pagar yang Anda inginkan terbuat dari bahan apa ? 1=Tembok, 2=Kayu, 3=Tanaman, 4=Lainnya ................... 34. Apakah menurut Anda, rumah terutama jendela perlu diberi teralis besi? Alasan : ...................................................................................................... 35. Menurut Anda, apakah setiap rumah perlu sumur resapan? 1=Ya, 2=Tidak 1=Ya, 2=Tidak Bagian IV. Kepuasan Tempat Tinggal dan Lingkungan Perumahan A. Personal (Faktor Demografi) 37. Bagaimana penglibatan peran sosial penghuni dalam pemeliharaan dan perbaikan lingkungan perumahan oleh Developer? Peran sosial Penghuni* Baik sekali Baik Kurang baik Penglibatan penghuni dalam pegelolaan lingkungan perumahan Penglibatan penghuni dalam penyediaan fasilitas umum dan sosial *Berikan tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu/Saudara Buruk B. Fisik Perumahan 38. Seberapa penting faktor-faktor berikut ini bagi anda dalam memilih atau membeli rumah? Faktor Yang dipertimbangkan dalam Memilih atau Membeli Rumah Lokasi strategis Desain Rumah Ruang Terbuka Hijau Balai Pertemuan (Club house) Fasilitas air, listrik,telep on Pengelolaan Lingkungan (Sampah,Saluran air, Sumur resapan air) Sistem Keamanan Tempat Rekreasi Harga Terjangkau Sangat tidak penting Tidak penting Penting Sangat penting 39.Bagaimana dengan kualitas dari masing-masing fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ada di perumahan anda? Kualitas Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial Jalan Sistem Keamanan Ruang Terbuka Hijau (taman) Tempat Rekreasi Air Telepon Listrik Pembuangan Sampah Balai Pertemuan (Club house) Tempat Beribadah Mesjid Gereja Baik sekali Baik Kurang baik Buruk 40.Nyatakan tingkat kepuasaan anda pada masing-masing pernyataan berikut ini: Setuju Saya merasa puas dengan penampilan gaya arsitektur di perumahan ini Saya merasa puas dengan tata ruang di lingkungan perumahan ini Saya merasa puas dengan desain penataan ruang rumahnya Saya merasa puas dengan fasilitas yang ada di lingkungan perumahan ini Saya merasa puas dengan pelayanan yang diberikan pengelola perumahan ini Saya merasa puas dengan sistem keamanan di lingkungan perumahan ini Kurang setuju Tidak setuju Ragu-ragu C. Sosial dan Budaya 41. Bagaimana kondisi hubungan sosial dan budaya antar sesama penghuni dilingkungan Bapak/Ibu/Saudara ? Kondisi Hubungan Sosial dan Budaya Baik Sekali Hubungan dan Interaksi sosial Penghuni Hubungan ketetanggaan antar penghuni di lingkungan perumahan ini? Interaksi penghuni antar blok di lingkungan perumahan ini? Hubungan penghuni antar penganut agama lain? Hubungan penghuni antar tipe rumah Hubungan antar penghuni dengan warga di sekitar atau di luar perumahan Baik Kurang Baik 42. Bagaimana peran para stakeholder dalam segala bentuk kegiatan guna memajukan lingkungan perumahan Bapak/Ibu/Saudara? Peran Stakeholder Sangat Cukup Kurang Berperan Berperan Berperan Peran tokoh masyarakat Peran Ketua RT dan RW Peran Developer Peran warga Peran Dinas/Instansi terkait Buruk Tidak Berperan Terima Kasih Rachmat Mulyana Mhs.Pascasarjana IPB HP. 085216705180 Perumahan Griya Darmaga Asri Blok C1-9 Ciampea Bogor