konsep permukiman sehat dan berwawasan

advertisement
KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN
LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR
PROVINSI JAWA BARAT
RACHMAT MULYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konsep Permukiman Sehat
dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten
Cianjur Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2009
Rachmat Mulyana
NIM P062030031
ABSTRACT
Landuse change from paddy field, dryland, mixed garden and forest into
settlement and growth settlement uncontrolled in watershed cause in decreasing
environment quality. The purpose of the research was to (1) analyze the
settlement pattern; (2) analyze the settlement need and lifestyle (3) evaluate land
suitability for settlement, and (4) formulate of health and sustainability settlement
criteria. This research was conducted in June 2006 - Mei 2007 at 12 setllements
in Cianjur watershed, West Java. Standard Statistic, Quality Function Deployment
and GIS was used as a tool to analyze data. The result showed that: (1)
settlements in the upper stream of Cianjur watershed has character the following
as: settlement with medium size, the density of building is dense and included
linear-1 settlement. In the middle stream of Cianjur watershed has character as
follows: size small-medium and medium settlement, density of building is loose
with linear-2 and streetplan settlements. Settlement in the downstream has
character as small-medium and medium size, density of building is loose and
dense with linear-1type; (2) the need of community to settlement product was
strength of building construction, the price of sell, clean water available, and
security system. The lifestyle of community in three zones used septic tank to
manage their domestic sewage. At mostly the upper stream and the down stream
area, respondents manage their garbage by burning, usually by open dumping.
They usually used the piling site to plant crop, that representing sustainable
management practices; (3) land suitability for settlement S1, S2, S3 covered 813
ha (10.9%) ,4 406.1 ha (59%), and 1 184.6 ha (15.9%) respectively. On the other
hand, N1 suitability was found in the area of Mount Gede Pangrango and its
surrounding. N1 area covered 1 063.5 ha (14.2%); and (4) The health and
sustainability settlement criteria are: (a) located on land suitability for settlement
very suitanable; (b) the settlement pattern agree with zone of watershed; (c)
scaffolding construction has air and light circulation of 0.35% and 10% from
floor wide, space wide of individual 9 m2, used the local material, and building
coverage agree with zone of watershed; (d) available clean water, garbage
management system, simple of waste management, and canal of close drainage.
The community in Cianjur watershed has conserve the culture of local
architecture.
Keywords: land suitability, lifestyle, settlement, settlement pattern, watershed
RINGKASAN
RACHMAT MULYANA. Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan
Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa
Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, HADI SUSILO ARIFIN dan
LILIK BUDI PRASETYO.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah
Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang
terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan
salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Bencana longsor, banjir dan kekeringan yang terjadi di wilayah DAS Cianjur
disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan
didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan hutan
menjadi lahan permukiman. Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir
ini secara nasional mengalami peningkatan, namun penyediaan rumah belum
sepenuhnya terpenuhi. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan
mengakibatkan munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola
permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman tumbuh
dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan baik secara
biofisik, sosial maupun ekonomi. Perkembangan kebutuhan akan permukiman
telah mengalami pergeseran menjadi suatu trend gaya hidup. Tujuan penelitian ini
adalah: (1) menganalisis pola sebaran permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir
DAS Cianjur; (2) menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat
terhadap permukiman di wilayah hulu, tengah, hilir DAS Cianjur; (3)
mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di daerah hulu, tengah, dan hilir
DAS Cianjur; dan (4) merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan
lingkungan.
Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman DAS Cianjur yang terletak
di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi berdasarkan pada
perkembangan di zona hulu DAS Cianjur yang telah banyak mengalami
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan ke lahan permukiman.
Zona DAS hulu mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan
merupakan daerah tujuan wisata. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2006
sampai Mei 2007.
Penelitian ini terdiri dari empat kajian. Kajian pertama tentang pola
permukiman. Populasi adalah permukiman di DAS Cianjur. Penentuan sampel
dilakukan dengan metoda multi stage sampling (Adib, 2006). Metode ini
menggunakan dua langkah yaitu membuat daftar dan menentukan sampel. Melalui
skema ini peneliti memilih sampel dalam kelompok area (desa) di masing-masing
zona DAS. Selanjutnya dipilih empat kampung dari setiap cluster utama dalam
area wilayah yang lebih kecil (secara acak), dan menentukan jumlah unsur sampel
dari setiap kampung sebanyak 15 rumah, sehingga jumlah total sampel sebanyak
180 rumah dan rumah tangga penghuni. Data diperoleh survai lapangan dan
wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan berupa data kependudukan
(jumlah penduduk dalam kampung, dan jumlah anggota rumah tangga),
spesifikasi konstruksi bangunan rumah (jenis kontruksi bangunan, elemen ruang,
luas bangunan, dan bahan bangunan), prasarana dan sarana lingkungan
permukiman, ukuran permukiman diukur berdasarkan jumlah rumah dan
penduduk, kepadatan bangunan rumah diukur berdasarkan jarak antara rumahrumah, tipe permukiman dilihat dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah
permukiman. Analisis data kependudukan, spesifikasi konstruksi bangunan, dan
prasarana dan sarana lingkungan permukiman dianalisis dengan SPSS versi 13.
Data ukuran, tingkat kepadatan, dan tipe permukiman akan dianalisis berdasarkan
kriteria dari masing-masing sub variabel pada aspek bentuk permukiman (Vander
Zee, 1986).
Kajian kedua tentang spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat
terhadap permukiman. Kajian ini menggunakan pendekatan Quality Function
Deployment (QFD). Pengumpulan data diawali dengan penentuan atribut-atribut
primer bagi konsumen berdasarkan bentuk, fungsi, dan nilai. Masing-masing
atribut primer ini memiliki beberapa atribut sekunder. Data dikumpulkan
menggunakan dua teknik yaitu: (1) wawancara dengan sales people dan
konsumen ahli; dan (2) focus group ukuran kecil (Gargione, 1999). Focus group
terdiri dari agent real estate, arsitek, engineer, pembeli potensial, dan pemilik.
Kajian ketiga tentang evaluasi kesesuaian lahan permukiman di DAS
Cianjur ditinjau dari aspek bio-fisik, sosial, dan ekonomi. Pengumpulan data
dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait dan survai langsung. Data yang
dikumpulkan meliputi: (1) bio-fisik terdiri atas kemiringan lereng, elevasi, curah
hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah,
penutupan lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung; (2) sosial terdiri atas
besar anggota rumah tangga, dan tingkat pendidikan; dan (3) ekonomi terdiri atas
tingkat pendapatan. Tahapan pengolahan dan analisis data meliputi: (1)
penyiapan Peta Tematik; (2) pengklasifikasian citra; (3) pembangkitan parameterparameter meliputi pembagian setiap parameter kedalam beberapa kelas dan
diberi skor mulai dari kelas yang berpengaruh hingga kelas yang tidak
berpengaruh. Setiap kelas akan memperoleh nilai akhir yang merupakan hasil
perkalian antara skor kelas tersebut dengan bobot dari parameter dimana kelas
tersebut berada. Penentuan kriteria, pemberian bobot dan skor ditentukan
berdasarkan studi kepustakaan. Proses pemberian bobot dan skor dilakukan
melalui pendekatan indeks overlay model untuk memperoleh urutan kelas
kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hasil perkalian
antara bobot dan skor dari masing-masing parameter. Kelas kesesuaian lahan
dibedakan pada 4 kelas yaitu: sangat sesuai, cukup sesuai, sesuai marginal dan
tidak sesuai; dan (4) proses tumpangsusun.
Tahap pertama adalah
menumpangsusunkan dari setiap parameter kesesuaian lahan permukiman
sehingga menghasikan peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1). Peta
KLKim-1 selanjutnya ditumpangsusunkan dengan peta-peta yang menjadi
constrain dalam kesesuaian lahan permukiman sehingga menghasilkan peta
kesesuaian lahan permukiman berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Peta
KLKim-bwl digunakan untuk mengevaluasi kondisi eksisting permukiman yaitu
dengan menumpangsusunkan antara peta penggunaan lahan hasil interprestasi
citra landsat dengan peta KLKim-bwl.
Kajian keempat tentang perumusan kriteria permukiman sehat dan
berwawasan lingkungan. Perumuskan kriteria didasarkan pada hasil tiga kajian
sebelumnya yaitu: pola permukiman, spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap
permukiman, dan kesesuaian lahan permukiman.
Perkembangan permukiman di zona DAS hulu secara umum selalu
mengalami peningkatan dan cenderung berkembang secara memusat disepanjang
jalur jalan regional dengan membentuk kawasan permukiman perdesaan.
Permukiman di zona tengah dan hilir berkembang mengikuti pola jalan yang ada
dan membentuk kawasan perkotaan. Pola permukiman tertata wilayah DAS
Cianjur memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Pola permukiman tidak tertata di
wilayah DAS Cianjur cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang
letaknya tidak jauh dari jalan dan sumber air seperti sungai.
Permukiman di zona hulu DAS Cianjur sebagian besar (75%) memiliki
karakter: permukiman ukuran sedang, kepadatan bangunan padat dan termasuk
tipe linier-1. Di zona tengah memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang
(50%) dan sedang (50%), kepadatan bangunan jarang dengan tipe streetplan dan
linier-2. Di zona hilir memiliki karakter: permukiman ukuran kecil-sedang dan
sedang, kepadatan bangunan jarang dan rapat dengan tipe linier-1. Permukiman
tidak tertata di zona hulu memiliki karakteristik: (1) bangunan rumah terdiri dari
rumah dengan konstruksi panggung (51.7%); (2) rata-rata luas rumah 47.1 m2; (3)
luas rata-rata RTH 32.8 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian besar menggunakan
dinding tembok 46.7%, lantai papan 28.8%, dan plapond bilik 51.7%.
Permukiman tidak tertata di zona tengah memiliki karakteristik: (1) bangunan
rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi permanen (93.3%); (2) rata-rata luas
rumah 69.4 m2; (3) luas rata-rata RTH 21.5 m2; dan (4) bahan bangunan sebagian
besar menggunakan dinding tembok 93.3%, lantai keramik 73.3%, dan plapond
triplek 51.7%. Permukiman tidak tertata di zona hilir memiliki karakteristik: (1)
bangunan rumah terdiri dari rumah dengan konstruksi panggung (53.3%); (2) ratarata luas rumah 40.8 m2; (3) luas rata-rata RTH 19.9 m2; dan (4) bahan bangunan
sebagian besar menggunakan dinding bilik 45%, lantai bilik 33.3%, dan plapond
bilik 55%.
Gaya hidup sebagian besar masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
permukiman adalah: (1) di zona hulu dan hilir dalam pengelolaan sampah masih
bersifat individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan
dibuang ke selokan atau sungai, sedangkan di zona tengah penanganan sampah
dilakukan oleh petugas kebersihan dan diangkut ke TPA; (2) sebagian besar
masyarakat di hulu menggunakan air bersih untuk keperluan minum dan MCK
berasal dari mata air (75%), di tengah PDAM (75%), di hilir sumur gali (100%);
dan (3)masyarakat di hulu, tengah dan hilir sebagian besar membuang limbah
padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke septiktank.
Atribut harapan konsumen sebagai atribut primer terhadap produk
permukiman tertata yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual,
ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan. Aspek teknik produksi permukiman
tertata yang perlu disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli
rumah berturut-turut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi
rumah dan rencana tapak; (2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan
bangunan; (4) sistem kegiatan pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasumfasos; (6) proses pematangan lahan permukiman.
Luas lahan di wilayah DAS Cianjur yang dievaluasi sebesar 7 476.2 ha. Hasil
evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk
permukiman (KLKim-1) didominasi oleh kelas kesesuaian lahan cukup sesuai
sebesar 59%, sesuai marginal 29.7%, sangat sesuai 10.9%, dan tidak sesuai 0.4%.
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan
tumpangsusun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1)
dengan peta-peta yang menjadi constrain menunjukkan bahwa terjadi pergeseran
kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai
marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai) sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas
lahan permukiman yang tidak sesuai sebesar 1 063.4 ha.
Permukiman sehat dan berwawasan lingkungan (SEBERLING) di zona
DAS hulu yang menempati lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai
memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola permukiman memiliki karakteristik
yaitu: ukuran permukiman kecil-sedang, kepadatan bangunan jarang, dan tipe
permukiman plaza; (2) bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: rumah
panggung, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas
lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran
kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan bahan bangunan
lokal; Koefisien dasar bangunan (KDB) sebesar 15%; (3) permukiman memiliki
sarana: air bersih, sistem pengelolaan sampah skala kampung, MCK umum yang
dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak
resapan, dan saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK
umum dan rumah ke selokan atau sungai.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan
pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1)
pola permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang,
kepadatan bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2)
bangunan rumah memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung
atau permanen, memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas
lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, memenuhi ukuran
kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar
bahan bangunan lokal, KDB sebesar 20%; (3) permukiman memiliki: sarana air
bersih, sistem pengelolaan sampah pada skala kampung, sarana MCK yang
dilengkapi dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak
resapan air dan saluran drainase tertutup.
Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada
kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut: (1) pola
permukiman memiliki karakteristik yaitu: ukuran permukiman sedang, kepadatan
bangunan jarang, dan tipe permukiman plaza atau streetplan; (2) bangunan rumah
memiliki karakteristik yaitu: jenis konstruksi rumah panggung atau permanen,
memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan
lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai, luas rumah memenuhi ukuran
kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2, menggunakan sebagian besar
bahan bangunan lokal, dan KDB sebesar 30%; (3) permukiman memiliki sarana:
air bersih, sistem pengelolaan sampah, MCK yang dilengkapi dengan unit
pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan air dan saluran
drainase tertutup.
Konsep permukiman SEBERLING merupakan perwujudan dari tiga aspek
dalam konsep lingkungan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi yang dipadukan
dengan permukiman.
Kata kunci: DAS, gaya hidup, kesesuaian lahan, permukiman, pola permukiman
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KONSEP PERMUKIMAN SEHAT DAN BERWAWASAN
LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
CIANJUR, KABUPATEN CIANJUR
PROVINSI JAWA BARAT
RACHMAT MULYANA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Rinekso Sukmadi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Ruchyat Deni Djaka Permana, M.Eng
2. Dr.Ir. Aris Munandar, MS.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah permukiman dengan
judul “Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan di Daerah Aliran
Sungai Cianjur, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,
M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Bapak Dr. Ir.Lilik Budi
Prasetyo, M.Sc. sebagai pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan beasiswa
BPPS selama tiga tahun dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) angkatan
IV tahun 2006 – 2008 dengan tema ”Harmonisasi Pembangunan Pertanian
Berbasis DAS pada Lanskap Desa - Kota Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
(Bopunjur)” atas dukungan dana penelitian.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Dr.Ir.Soekmana
Soma (Departemen Pekerjaan Umum) dan Prof. Dr.Ir. Wahyu Qamara Munigsjah
yang telah meluangkan waktunya berdiskusi dengan penulis; Bapak Uus selaku
staf Lab Penginderaan Jauh Fakultas Kehutanan yang telah membantu dalam
analisis data spasial. Ucapan terimakasih kepada Tim peneliti HPTP
(Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS., Dr.Ir. Aris Munandar, MS., dan Dr.Ir.
Nurhayati HSA); Tim Peneliti Pekarangan Departemen Arsitektur Lanskap
dengan Rural Development Institute (Prof.Dr.Ir.Hadi Susilo Arifin, MS.,
Prof.Dr.Ir. Wahju Qamara Munigsjah, Dr.Ir. Aris Munandar, MS., Dr.Ir.
Nurhayati HSA, Dr.Ir. Tati Budiarti, MS., Ir. Qodarian Pramukanto, MSc dan Ir.
Kaswanto, MSi) yang telah memberikan pengalaman yang berharga; staf pengajar;
staf administrasi PSL dan pascasarjana IPB serta teman-teman seperjuangan.
Terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Oman Noerdin (alm),
ibunda Suwarsih (almh), Teh Nani, Kang Asep, Teh Euis, Kang Dedi, Teh Doto,
Teh Engkar dan Teh Eti atas kasih sayang, doa dan pengertian yang tulus selama
penulis menyelesaikan disertasi ini. Kepada isteri Dr. Esi Emilia, MSi dan anakanak tercinta Gania, Gyanca, Ghalda, Geraldr terimakasih atas pengorbanan,
pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2009
Rachmat Mulyana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1968 dari pasangan
Oman Noerdin dan Suwarsih. Penulis merupakan putra bungsu dari delapan
bersaudara. Pendidikan Dasar penulis tempuh di SDN Cipayung 2, SMPN Cisarua,
dan STMN Bogor. Tahun 1987 penulis lulus dari STMN dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IKIP Padang pada Fakultas Pendidikan Teknik dan
Kejuruan, Jurusan Teknik Bangunan melalui jalur PMDK. Setahun menjelang
lulus, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dan pada tahun 1993 penulis
ditempatkan di IKIP Medan sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama.
Tahun 1995 sampai 1996 penulis mengikuti program Pra Pasca di IPB dan
pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun
1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan
pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003 dengan beasiswa dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia.
Tahun 2006 sampai 2008 penulis mengikuti Hibah Penelitian Tim
Pascasarjana dengan judul: Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS
pada Lanskap Desa-Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Pada tahun 2006
penulis juga terlibat dalam penelitian pekarangan se Jawa berjudul: Homestead
Plot Sample Survay: Java kerjasama antara Departemen Arsitektur Lanskap IPB
dengan Rural Development Institute (RDI) Seattle, USA.
Karya ilmiah berupa poster berjudul “Karakteristik, bentuk dan perilaku
penghuni permukiman di DAS Cianjur, Jawa Barat” telah disajikan pada
Symposium of JSPS Core University Program in Applied Biosciences 28-29 February 2008,
di University of Tokyo, Jepang. Satu buah artikel telah diterbitkan pada jurnal EMAS
Volume 17 No. 3 periode Agustus 2007 dengan judul “Karakteristik bangunan
rumah dan bentuk permukiman di wilayah DAS Cianjur, Jawa Barat”. Karyakarya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program doktor penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... vii
I
PENDAHULUAN ...............................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................
1.5 Kerangka Pemikiran.......................................................................................
1.6 Novelty...........................................................................................................
1
1
3
4
5
5
8
II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................
2.1 Permukiman ...................................................................................................
2.2 Gaya Hidup Pengelolaan Lingkungan Permukiman......................................
2.3 Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan........................................................
2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) .........................................................................
2.5 Kebijakan .......................................................................................................
2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) .................................................................
10
10
29
30
36
41
45
III BAHAN DAN METODE .....................................................................................
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................
3.2 Bahan dan Alat Penelitian..............................................................................
3.3 Rancangan Penelitian.....................................................................................
3.3.1 Kajian Analisis Pola Sebaran Permukiman di Wilayah DAS Cianjur..
3.3.2 Kajian Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat
terhadap Permukiman di DAS Cianjur .................................................
3.3.3 Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di DAS Cianjur .......
3.3.4 Merumuskan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan
Lingkungan Berbasis DAS ...................................................................
52
52
53
53
53
68
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ...................................................................
4.1.1 Karakteristik Geografi ...........................................................................
4.1.2 Karakteristik Topografi..........................................................................
4.1.3 Karakteristik Iklim .................................................................................
4.1.4 Karakteristik Hidrogeologi ....................................................................
4.1.5 Karakteristik Tanah................................................................................
4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana ...................................................
4.1.7 Penggunaan Lahan Aktual .....................................................................
4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan ................................
4.2 Pola Sebaran Permukiman ..............................................................................
71
71
71
73
73
74
79
79
82
82
84
56
58
4.2.1 Ukuran Permukiman .............................................................................. 84
4.2.2 Kepadatan Bangunan ............................................................................. 85
4.2.3 Tipe Permukiman................................................................................... 87
4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata............................................... 88
4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata ......................................................... 96
4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat terhadap Permukiman . 97
4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan
Lingkungan Permukiman ...................................................................... 97
4.3.2 Gaya Hidup Konsumen dalam Memilih Permukiman .......................... 101
4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata ....................... 107
4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman ...................................................................... 115
4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1) ......................................... 115
4.4.2 Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl) .......... 117
4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman........................ 119
4.4.4 Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan
Permukiman (KLKim-bwl)...................................................................... 122
4.5 Rumusan Kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan ............ 128
4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai............ 129
4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai ............ 135
4.5.3 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal ........ 141
4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan............................. 147
V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 151
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 151
5.2 Saran ............................................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 153
LAMPIRAN................................................................................................................ 163
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk rumah sederhana
sehat (Rs Sehat)....................................................................................................... 16
2 Kelas kesesuaian lahan ........................................................................................... 31
3 Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada metode
evaluasi lahan........................................................................................................... 32
4 Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa ruang bawah tanah........ 33
5 Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk
pembuatan jalan dan pondasi ................................................................................... 34
6 Klasifikasi keberlanjutan untuk permukiman .......................................................... 35
7 Kriteria pada masing-masing subvariabel bentuk permukiman................................. 55
8 Skor parameter kemiringan lereng dalam kesesuaian lahan permukiman............... 61
9 Skor parameter elevasi dalam kesesuaian lahan permukiman .................................. 62
10 Skor parameter curah hujan dalam kesesuaian lahan permukiman .......................... 62
11 Skor parameter kedalaman efektif tanah dalam kesesuaian lahan
permukiman .............................................................................................................. 63
12 Skor parameter kepekaan erosi dalam kesesuaian lahan permukiman ..................... 63
13 Skor parameter kedalaman air tanah dalam kesesuaian lahan permukiman............. 64
14 Skor parameter penutupan lahan dalam kesesuaian lahan permukiman................... 64
15 Skor parameter bahaya letusan gunung merapi dalam kesesuaian lahan
permukiman .............................................................................................................. 65
16 Skor parameter bahaya banjir dalam kesesuaian lahan permukiman ....................... 65
17 Skor parameter pendapatan (PDRB) dalam kesesuaian lahan permukiman............. 66
18 Skor parameter jumlah anggota keluarga dalam kesesuaian lahan
permukiman .............................................................................................................. 67
19 Skor parameter tingkat pendidikan dalam kesesuaian lahan permukiman .............. 67
20 Klasifikasi kesesuaian lahan permukiman ................................................................ 68
21 Pembobotan parameter untuk kesesuian lahan permukiman .................................... 69
22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif ........................ 71
23 Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 - 2007 ........................................................... 74
24 Hidrogeologi DAS Cianjur ..................................................................................... 75
25 Ukuran permukiman ............................................................................................... 85
26 Tipe kepadatan bangunan ....................................................................................... 86
27 Jenis konstruksi rumah responden .......................................................................... 89
28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur..................................... 91
29 Kelengkapan elemen ruang..................................................................................... 92
30 Jumlah rumah menurut luas lantai .......................................................................... 92
31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur ........................................................... 93
32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah ......................................................... 98
33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi dan MCK umum ................................... 99
34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair ........................................................... 100
35 Fasilitas umum di permukiman............................................................................... 100
36 Kegiatan pertemuan warga permukiman ................................................................ 101
37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman ................................................................ 102
38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata......................... 105
39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah................................................ 106
40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata.................................................. 108
41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan .............................................. 114
42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman di wilayah
DAS Cianjur............................................................................................................ 116
43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman(KLKim- bwl) ....................... 120
44 Luas permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman ............................ 123
45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut masyarakat Sunda ......................... 125
46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan ......................................................................... 128
47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan
permukiman sangat sesuai ...................................................................................... 132
48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan
permukiman cukup sesuai....................................................................................... 139
49 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian
lahanpermukiman sesuai marginal........................................................................... 145
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran konsep permukimann sehat dan
berwawasan lingkungan berbasis DAS............................................................... 9
2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah..................... 11
3 Kelompok-kelompok dan Komplek dari rumah-rumah atau
perkarangan rumah.............................................................................................. 11
4 Konsep Recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS......................................... 40
5 Contoh representasi objek titik untuk data posisi rumah .................................... 46
6 Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan dan atributnya ............. 46
7 Contoh representasi objek poligon untuk data landuse ...................................... 47
8 Lokasi penelitian ................................................................................................. 52
9 Lokasi Kecamatan di kawasan DAS Cianjur menurut ketinggian...................... 54
10 Rumah Kualitas................................................................................................... 57
11 Tahapan tumpang susun analisis kesesuaian lahan permukiman........................ 70
12 Peta Batas Kecamatan dalam Wilayah DAS Cianjur.......................................... 72
13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur .......................................................................... 76
14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur ........................................................ 77
15 Peta curah hujan DAS Cianjur ............................................................................ 78
16 Peta jenis tanah DAS Cianjur ............................................................................ 80
17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur ....................................................... 81
18 Peta penggunaan lahan di DAS Cianjur.............................................................. 83
19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur........................................ 87
20 Persentase penggunaan bahan dinding................................................................ 94
21 Persentase penggunaan bahan lantai ................................................................... 95
22 Persentase penggunaan bahan plapond ............................................................... 95
23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah ...................................................... 104
24 Kebutuhan konsumen, prioritas dan analisis competitive benchmaking.......... 109
25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur ....................................... 111
26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1) ............................................... 118
27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl) ............................................. 121
28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan
permukiman (KLKim-bwl) ................................................................................. 124
29 Skema konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan ...................... 147
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Beberapa hasil penelitian permukiman dan DAS ........................................ 163
2 Lahan yang diusulkan dapat dikonversi........................................................ 168
3 Kuesioner kebutuhan dan gaya hidup penghuni permukiman ...................... 170
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka
akibat tingkat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek
keberlanjutan (Wahyudin 2005). Meskipun secara ekonomi dapat meningkatkan
nilai jual, namun di sisi lain menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh
lebih besar, seperti hilangnya lahan, banjir tahunan yang semakin besar dan
meluas, erosi, tanah longsor, sedimentasi sungai dan danau, serta kelangkaan air
(Mawardi 2008). Peningkatan jumlah permukiman merupakan faktor yang
memiliki keterkaitan erat dengan kerusakan lingkungan.
Pertumbuhan permukiman selama tiga tahun terakhir ini secara nasional
mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada angka rata-rata kebutuhan rumah
secara nasional yang masih tinggi pertahunnya yaitu sebesar 800 000 unit. Tahun
2001 tercatat sebesar 1 110 000 unit, tahun 2004 sebanyak 1 150 633 unit dan
tahun 2007 sebesar 1 227 000 unit (Witoelar 2001; Shaphira 2008). Di sisi lain
penyediaan rumah belum terpenuhi, sehingga setiap tahun terjadi kekurangan
rumah. Secara kumulatif rumah yang belum terpenuhi sampai tahun 2001
sebanyak
4.3 juta unit, tahun 2004 sebanyak 5.3 juta unit dan tahun 2007
sebanyak 7.4 juta unit (Sugandhy 2002; Shaphira 2008). Di wilayah Kabupaten
Cianjur backlog sebanyak 122 413 unit (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006).
Kesenjangan
antara
kebutuhan
dan
ketersediaan
permukiman
mengakibatkan: 1) terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian
dan hutan menjadi permukiman, dan 2) munculnya rumah-rumah secara tidak
teratur membentuk pola permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang
tinggi. Pola permukiman yang sporadis menyebabkan menurunnya kualitas
permukiman seperti peningkatan jumlah rumah tidak layak huni mencapai 14.5
juta unit dan kawasan kumuh mencapai 47 500 hektar tersebar di lebih 10 000
lokasi (Kirmanto 2002). Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan
hutan menjadi lahan permukiman di wilayah DAS menyebabkan terjadi degradasi
DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam yang
digunakan untuk pertanian maupun permukiman (Edi 2007).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur merupakan salah satu DAS di wilayah
Bopunjur, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur yang
terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950 m dpl merupakan
salah satu sentra produksi pangan di wilayah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Zona
hulu DAS Cianjur mengalami perkembangan pesat dari segi pembangunan fisik
maupun ekonomi karena merupakan wilayah pengembangan wisata. Hasil
penelitian Syartinilia (2001) menemukan bahwa pertumbuhan pesat permukiman
dan perumahan baru di zona DAS hulu disebabkan oleh kecenderungan tingkat
urbanisasi yang tinggi. Perkembangan tersebut mengakibatkan terjadinya
perubahan penggunaan lahan di zona hulu DAS Cianjur. Perubahan penggunaan
lahan didominasi oleh perubahan lahan sawah, tegalan, kebun campuran dan
hutan menjadi permukiman tipe menengah hingga mewah serta villa. Di sisi lain,
pertumbuhan
permukiman
perdesaan
yang
cenderung
tidak
terkendali
mengakibatkan bentuk, ukuran dan tingkat kepadatan permukiman yang tidak
layak dari segi kesehatan maupun ekologis.
Perubahan penggunaan lahan tersebut juga mengakibatkan berkurangnya
jumlah dan jenis tanaman yang berfungsi sebagai media untuk meresapkan air.
Hasil
penelitian
Arifin
(1998)
menemukan
bahwa
tingkat
urbanisasi
mengakibatkan penurunan ukuran luas pekarangan, penurunan spesies tanaman
non ornamental dan penurunan pada stratifikasi struktur tanaman. Berkuranganya
luas pekarangan dan stratifikasi struktur tanaman mengakibatkan berkuranganya
lahan dan media untuk meresapakan air. Hal ini mengakibatkan terganggunya
sistem tata air berupa meningkatnya aliran permukaan dan menurunnya
permukaan air tanah sebagai akibat meluasnya lahan kedap air (Sabar, 2001).
DAS Cianjur merupakan DAS lokal, secara administratif berada di wilayah
Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur merupakan satu wilayah yang termasuk
kawasan Jabodetabek-Punjur. Kawasan Jabodetabek-Punjur dikategorikan sebagai
“kawasan tertentu” dalam Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang
RTRWN. “Kawasan tertentu” pengelolaannya menjadi satu kesatuan integral,
yang diwujudkan dalam pola pemanfaatan ruang kawasan baik berupa kawasan
lindung maupun kawasan budidaya dan struktur ruang kawasan (Akil 2002;
Haeruman 2002). Berdasarkan hal tersebut menurut Alikodra (2004) sebaiknya
satuan manajemen “kawasan tertentu” harus didasarkan atas pertimbangan satuan
daerah aliran sungai. Sehubungan dengan itu penelitian ini berbasis DAS yang
merupakan satu kesatuan ekosistem hulu, tengah dan hilir.
Berbagai kajian wilayah menyebutkan bahwa penyelamatan DAS dari
bahaya erosi, banjir dan kekeringan menjadi amat penting bagi kesejahteraan
penduduk di sekitarnya (Haeruman 2002). Salah satu bentuk usaha yang
dikembangkan untuk menyelamatkan DAS ke arah pencegahan erosi yaitu
melalui penataan permukiman (Basso et al. 2000). Penataan permukiman skala
DAS diperlukan mengingat satuan DAS memadukan satu kesatuan ekosistem
yang memiliki keterkaitan secara biofisik antara zona hulu, tengah dan hilir. Oleh
karena itu diperlukan suatu penelitian tentang pencegahan kerusakan lingkungan
melalui penataan arahan lokasi pengembangan permukiman sesuai dengan tingkat
kesesuaian lahan untuk permukiman. Sehubungan dengan itu,
penelitian ini
diharapkan akan dapat menjawab permasalahan sebagai berikut: (1) bagaimana
pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur, (2) bagaimana
spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas permukiman
di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur?, (3) bagaimana kesesuaian lahan
permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ?, dan (4) bagaimana
kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan?
1.2 Perumusan Masalah
Kebutuhan rumah sejalan dengan perkembangan pertambahan jumlah
penduduk, yang mana peningkatan jumlah penduduk akan berdampak pada
peningkatan kebutuhan rumah. Pembangunan permukiman merupakan solusi
sekaligus prioritas pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat.
Hal ini berdampak pada alih fungsi lahan yang terus-menerus
dilakukan guna memenuhi kebutuhan lahan untuk lokasi pembangunan
permukiman. Alih fungsi lahan baik dari lahan pertanian, perkebunan maupun
hutan menjadi lahan permukiman akan berdampak negatif terhadap lingkungan,
apalagi proses alih fungsi lahan tersebut tidak memperhatikan tingkat kesesuaian
lahannya.
Perkembangan permukiman yang cenderung tidak memperhatikan tingkat
kesesuaian lahan berdampak pada kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan
yang terjadi diantaranya adalah terganggunya sistem tata air. Ketika turun hujan
akan mudah banjir dan ketika musim kemarau terjadi kekeringan. Kerusakan
lingkungan juga dapat terjadi sebagai akibat pola perkembangan permukiman
yang melebihi daya dukung lingkungan seperti tingkat kepadatan, ukuran dan
bentuk permukiman.
Agenda permukiman yang dicanangkan secara global adalah perumahan
yang layak dan permukiman yang berkelanjutan. Agenda tersebut, sepenuhnya
belum diimplementasikan oleh para stakeholder sehingga pembangunan
permukiman memiliki kecenderungan berdampak negatif terhadap lingkungan.
Oleh sebab itu perlu dibangun kesepahaman antara masyarakat selaku pengguna
dan penghuni permukiman dan para stakeholder, khususnya para developer
sebagai penyedia permukiman.
Pembangunan permukiman seharusnya tidak hanya berorientasi pada aspek
ekonomi, tetapi juga ekologi dan sosial (Camant 2001) dengan demikian akan
terbentuk suatu kawasan permukiman berkelanjutan. Permukiman berkelanjutan
akan memiliki karakter: (1) layak dari segi kesehatan; (2) hubungan sosial
penghuni yang harmonis; (3) dan serasi dengan alam. Masalah dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur
2) Bagaimana spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat
terhadap
kualitas permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur ?
3) Bagaimana kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir DAS
Cianjur ?
4) Bagaimana kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun konsep
permukiman sehat dan berwawasan lingkungan yang berbasis DAS. Secara
khusus bertujuan untuk:
1) Menganalisis pola sebaran permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS
Cianjur
2) Menganalisis spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap
permukiman di zona hulu, tengah, hilir DAS Cianjur
3) Mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman di zona hulu, tengah, dan hilir
DAS Cianjur
4) Merumuskan kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat untuk :
1) Pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam membangun kriteria
permukiman sehat berwawasan lingkungan.
2) Pengembangan akademis bagi peneliti khususnya dan ilmuwan yang konsen
terhadap pengembangan permukiman.
3) Masyarakat, pengembang (developer) dan pemerintah daerah dalam
pengembangan permukiman yang sehat dan berwawasan lingkungan
1.5 Kerangka Pemikiran
Peningkatan kebutuhan rumah sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk. Pertumbuhan kebutuhan rumah terus mengalami kenaikan dan
kebutuhan tersebut setiap tahunnya belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Hal ini
mengakibatkan terjadinya: (1) ketidakteraturan pola permukiman; (2) perubahan
dinamika trend kebutuhan; dan (3) permukiman tumbuh dan berkembang secara
sporadis tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya.
Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang secara sporadis dengan pola
yang tidak teratur di sepanjang sungai atau jalan. Permukiman berkembang tanpa
pola sehingga menimbulkan rumah-rumah tumbuh berhimpitan tanpa pekarangan
dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Permukiman dengan tingkat kepadatan
yang tinggi memiliki kecenderungan tidak memenuhi syarat kesehatan karena
keterbatasan pola sirkulasi udara dan cahaya yang dibutuhkan dan sistem drainase
yang buruk. Kondisi ini memicu terjadinya permukiman kumuh yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dan lingkungan.
Pertumbuhan kebutuhan permukiman juga berpengaruh pada perubahan
dinamika trend kebutuhan dan gaya hidup dari segi desain rumah, pemilihan
lokasi, dan nuansa lingkungan permukiman. Perubahan trend dipengaruhi
gencarnya media elektronik maupun cetak yang mengekspos iklan-iklan tentang
permukiman. Permukiman dengan berbagai nuasa ditawarkan dalam menarik
minat konsumen sehingga pertumbuhan permukiman dengan berbagai desain dan
nuansa arsitekur ke “barat-baratan” menjamur tidak hanya di wilayah perkotaaan,
pinggiran kota, tetapi sudah sampai ke wilayah perdesaan bahkan sampai ke
wilayah perbukitan atau pegunungan. Perubahan trend kebutuhan rumah dengan
nuasa arsitektur ke “barat-baratan”, akan menimbulkan degradasi budaya baik
dari segi arsitektur lokal dan gaya hidup.
Permukiman yang ada tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan pertanian
yang potensial hingga merambah dipinggiran perbukitan dan hutan. Permukiman
tumbuh dan berkembang tanpa memperhatikan tingkat kesesuaian lahan.
Kesesuaian lahan permukiman menunjukkan sesuai tidaknya lahan yang akan
digunakan untuk permukiman baik dari segi keamanan, kenyamanan, dan
kesehatan bagi penghuni berdasarkan beberapa parameter kesesuaian lahan untuk
permukiman. Kesesuaian lahan permukiman berhubungan erat dengan kondisi
lahan yang akan dialihfungsikan. Kondisi lahan yang akan dialihfungsikan
menjadi lahan untuk permukiman memiliki pengaruh yang berbeda untuk masingmasing tata guna lahan, sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda untuk
masing-masing kondisi lahan tersebut. Permukiman yang tidak memperhatikan
tingkat kesesuaian lahan akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Permukiman yang tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan tidak sesuai
dan memiliki kecenderungan tumbuh dan berkembang secara tidak teratur
membentuk permukiman kumuh yang tidak layak dari kesehatan serta terjadinya
perubahan trend kebutuhan rumah yang mengarah pada degradasi budaya,
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang
terjadi dari aspek ekologi yaitu terganggunya sistem tata air di wilayah DAS
berupa terjadinya longsor, banjir dan kekeringan. Kerusakan lingkungan dari
aspek sosial dan budaya berupa perubahan perilaku gaya hidup masyarakat baik
dalam pengelolaan lingkungan maupun dalam hubungannya dengan pemenuhan
kebutuhan permukiman. Guna meminimalkan kerusakan lingkungan yang terjadi
di wilayah DAS diperlukan kajian yang terpadu dari segi pola permukiman, trend
gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan lingkungan permukiman, dan
kesesuaian lahan untuk permukiman.
Kajian pola permukiman ditujukan guna melihat kondisi permukiman
existing di wilayah DAS. Unit permukiman yang ditinjau adalah kampung yang
meliputi aspek ukuran permukiman, kepadatan bangunan, dan tipe permukiman
(Van der Zee 1986) pada masing-masing zona DAS. Ukuran permukiman
mengkaji tentang kapasitas kampung dalam hal jumlah rumah dan penghuninya.
Kepadatan bangunan mengkaji tingkat kepadatan bangunan rumah dalam satu
wilayah kampung. Tipe permukiman mengkaji posisi-posisi rumah dalam satu
wilayah kampung. Berdasarkan kajian ini akan dirumuskan pola permukiman
yang sehat dan berwawasan lingkungan pada masing-masing sub DAS.
Kajian spesifikasi kebutuhan masyarakat terhadap kualitas permukiman
diperlukan guna menganalisis perilaku dan gaya hidup masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan permukiman maupun dalam pemilihan kualitas
permukiman. Perilaku masyarakat dalam pengelolaan lingkungan meliputi
pengelolaan sampah, limbah padat dan cair, serta pemamfaatan sumberdaya alam
berupa air bersih, air sungai, dan bahan bangunan untuk kebutuhan permukiman.
Gaya hidup masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan permukiman
didasarkan pada kajian tentang pemilihan, penampilan dan penataan rumah (Yoga
2007) meliputi: bentuk bangunan, keamanan, dan kebersihan. Analisis yang
digunakan pada kajian ini adalah quality function deployment dan SPSS.
Kajian kesesuaian lahan permukiman dibangun berdasarkan konsep
permukiman berwawasan lingkungan yaitu dengan memperhatikan aspek ekologi,
ekonomi dan sosial (Camant 2001). Aspek ekologi dibangun berdasarkan
beberapa parameter biofisik yaitu: kemiringan lereng, elevasi, curah hujan,
kepekaan tanah terhadap erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan
lahan, bahaya banjir dan bahaya letusan gunung (Van der Zee 1990; Basso et.al
2000; Sugiarti 2000; Kelarestaghi 2003; Sani 2006; Hardjowigeno 2007; dan
Ritung dkk 2007;).
Aspek sosial terdiri atas besar keluarga, dan tingkat
pendidikan (BKKBN 2002; Susanto 1997); dan aspek ekonomi yaitu tingkat
pendapatan berupa PDRB perkapita (Rustiandi 2007). Kajian ini dianalisis
menggunakan GIS untuk memetakan tingkat kesesuaian lahan permukiman
diwilayah DAS.
Berdasarkan ketiga kajian tersebut, selanjutnya dibangun rumusan kriteria
permukiman sehat berwawasan lingkungan untuk masing-masing zona DAS.
Rumusan kriteria ini merupakan bentuk hubungan antara kelas kesesuaian lahan
permukiman pada masing-masing zona DAS dengan pola permukiman dan
perilaku atau gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman. Rumusan
kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan selanjutnya dijadikan dasar
dalam menyusun konsep permukiman sehat berwawasan lingkungan (Gambar 1).
1.6 Novelty
Kajian terhadap permukiman telah banyak dilakukan baik di wilayah
perkotaan maupun perdesaaan. Kajian yang sudah dilakukan tersebut bersifat luas
dalam ruang lingkup wilayah administratif. Penelitian ini mengkaji permukiman
di zona DAS hulu, tengah dan hilir yang merupakan satu kesatuan ekosistem DAS.
Sehubungan dengan itu, pembaharuan (novelty) dalam penelitian ini adalah
konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan berbasis DAS yang
dibangun berdasarkan tools evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman, pola
permukiman, dan spesifikasi kebutuhan serta gaya hidup masyarakat dalam
pengelolaan permukiman.
Van der
Zee &
SPSS
Ketidakteraturan
Pola permukiman
Peningkatan
kebutuhan
rumah
Permukiman
berada pada
lahan tidak
sesuai
Dinamika trend
kebutuhan
Kerusakan
lingkungan
Di wilayah
DAS
GIS
Quality
Function
Devlopment
& SPSS
Pola permukiman
-Ukuran Permukiman
-Kepadatan
Bangunan
-Tipe Permukiman
Kesesuaian lahan
permukiman:
-Biofisik
-Ekonomi
-Sosial
Kriteria
Permukiman
sehat
berwawasan
lingkungan
Konsep
Permukiman
Sehat
Berwawasan
Lingkungan
Spesifikasi kebutuhan
penghuni permukiman
-Gaya Hidup pengelolaan
lingkungan Permukiman
-Gaya Hidup Memilih
Permukiman
Gambar 1 Kerangka pemikiran konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permukiman
2.1.1 Konsep Permukiman
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.4 tahun 1992
adalah sebagai suatu kelompok yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian
yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Menurut Koestoer
(1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan hidup
dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim
manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang
jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman
(Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu
daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak
hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi
juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia
sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari
alam dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut,
selanjutnya dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi:
topografi, geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia
yang meliputi: kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan
persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi:
kepadatan
dan
komposisi
penduduk,
kelompok
sosial,
kebudayaan,
pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan
yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas
rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan
administrasi; dan (5) jaringan (net work) yang meliputi: sistem jaringan air bersih,
sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen
kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik.
2.1.2 Bentuk-bentuk Permukiman
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1)
rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah
beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah (Gambar 2).
Kapling rumah
atau ruang
perkarangan
Kebun
Rumah
Tanah dan
Rumah
a.Tanah kapling rumah atau
ruang perkarangan
b.Rumah dan struktur
lainnya
Kebun
Tanah dan
rumah
c. Perkarangan rumah
Gambar 2 Komponen-komponen dari tapak rumah atau perkarangan rumah
(Sumber: Van der zee 1986)
Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam
kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula
dan susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk
sebuah komplek (Gambar 3). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk
tempat dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh
kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan
rumah.
a. Rumah-rumah tunggal
dan perkarangan rumah
b.Kelompok-kelompok
rumah dan perkarangan
rumah
c. Komplek rumah-rumah
dan perkarangan rumah
Gambar 3 Kelompok-kelompok dan komplek dari rumah-rumah atau
perkarangan rumah (Sumber: Van der zee 1986)
2.1.3 Konsep Perumahan
Budihardjo (1998) membedakan antara rumah dan perumahan. Rumah
adalah suatu
kehidupannya.
bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan
Disamping
itu
juga
rumah
merupakan
tempat
dimana
berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan
kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku didalam suatu masyarakat. Secara
umum rumah memiliki kegunaan sebagai: (1) tempat berlindung yaitu melindungi
penghuninya dari pengaruh luar seperti hujan, sinar matahari, binatang, dan
sebagainya; (2) tempat pembinaan dan kegiatan keluarga sebagai tempat yang
aman dan nyaman untuk melakukan berbagai kegiatan bersama, membina
kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga (Sukamto 2004).
Perumahan merupakan daerah dimana terdapat sekelompok rumah. Setiap
perumahan memiliki sistem nilai dan kebiasaan yang berlaku bagi setiap
warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan
lainnya. Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia adalah
pengejawatahan diri manusia, baik bersifat pribadi maupun dalam satu kesatuan
dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya (Sutrisna 1996). Dalam kaitan ini,
alam dengan unsur utamanya tanah sebagai tempat tinggal dan sekaligus sarana
yang memberikan kehidupan, menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
kelestarian dan pengembangan dirinya setelah melalui pengolahan sesuai dengan
fungsinya bagi manusia. Lebih lanjut Mills (1987) menyatakan bahwa perumahan
tidak hanya sekedar tempat berlindung tetapi juga merupakan sebidang lahan
tempat tinggal dengan pelayanan yang ada di lokasi tersebut (air bersih, listrik,
telepon, tempat sampah dan lain-lain) dan kemudahan yang memungkinkan ke
pelayanan di luar lokasi (pendidikan, pusat kesehatan dan sebagainya) tempat
bekerja dan fasilitas lainnya. Secara luas perumahan adalah elemen penting dari
pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi.
Kaidah perencanaan kawasan perumahan yang harus mendapat perhatian
dan pertimbangan (Silas 2001), yaitu: (1) penggunaan lahan yang efisien – efektif
dan terkait dengan kegiatan ekonomi dalam arti luas; (2) orientasi bangunan perlu
memperhatikan arah angin disamping posisi dan pergerakan matahari. Jalan dan
lorong terutama disearahkan dengan arah aliran angin sebagai koridor angin yang
menjaga kesejukan lingkungan; (3) jalan mobil hanya disediakan sebatas
kebutuhan nyata untuk keamanan dan keadaan darurat. Parkir mobil sebaiknya
terpusat sehingga jalan/lorong dapat dijadikan sebagai taman komunal; (4)
Tersedia fasilitas perumahan yang diadakan dan diselenggarakan secara komunal,
termasuk ruang terbuka hijau serta rekreasi memakai akses utama melalui berjalan
kaki dari perumahan yang ada. Sistem sarana dan prasarana harus terkait dengan
system kota yang lebih besar; dan (5) ada penghijauan dan badan air yang cukup
serta menyebar untuk menjaga mutu dan keajegan iklim mikro yang baik. Ini
perlu sebagai kompensasi dari perumahan warga berpendapatan rendah yang
cenderung dengan kepadatan tinggi.
Lebih lanjut menurut Silas (2001), kaidah yang mendasar yang perlu
diperhatikan dalam perencanaan rumah adalah: (1) ada fleksibilitas penataan
ruang, utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah; 2) memilih bahan
bangunan yang mudah diperoleh di daerah setempat dan sudah akrab digunakan
oleh warga dengan kesulitan konstruksi yang mudah diatasi oleh keahlian
setempat; (3) penataan ruang yang dilakukan fleksibel dan multi guna serta tidak
terkotak-kotak kecil, berguna untuk menjamin kedinamisan gerak dan berbagai
aktivitas lain dari penghuni serta untuk memberi keleluasaan aliran udara dan
cahaya yang tinggi; dan (4) tampilan bangunan harus serasi dengan tampilan
bangunan yang lazim di sekitarnya. Prinsip bangunan tropis dengan teritis yang
lebar, teduh dan angin mudah lewat serta tidak tempias oleh terpaan hujan lebat
merupakan dasar yang harus diperhatikan
secara sungguh-sungguh. Perlu
memberi muatan local yang diambil dari prinsip unsur arsitektur tradisional
setempat.
Batasan mengenai tipe rumah dalam pedoman pembangunan perumahan dan
permukiman sesuai dengan Keputusan Menpera No.4/KPTS/BKP4N/1995 tentang
klasifikasi rumah tidak bersusun terdiri dari karakteristik fisik dan non fisik.
Karakteristik fisik/ bangunan rumah, yaitu sebagai berikut:
1) Rumah sangat sederhana (RSS) adalah rumah tidak bersusun yang pada tahap
awalnya menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhana dan
dilengkapi dengan prasarana lingkungan, fasilitas umum dan fasilitas sosial.
2) Rumah sederhana (RS) adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai
bangunan tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun dengan luas kavling 54 m2
sampai dengan 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari
harga per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah di atas tipe C yang berlaku,
yang meliputi rumah sampai dengan tipe besar, rumah sederhana dan kavling
siap bangun.
3) Rumah menengah adalah bangunan tidak bersusun dengan luas lantai
bangunan diatas 70 m2 sampai dengan 150 m2 dengan luas kavling 200 m2
sampai dengan 600 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 di atas harga
satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas C sampai
kelas A yang berlaku.
4) Rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kavling
antara 600 m2 sampai 2000 m2 dan atau biaya pembangunan per m2 diatas
harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas kelas A
yang berlaku.
Karakteristik non fisik/bangunan pada umumnya meliputi: (1) penyediaan
fasilitas umum (seperti saluran air minum, listrik, telepon, pelayanan kesehatan,
jalan yang memadai); (2) komposisi sosial ekonomi (tingkat pendapatan,
pendidikan, dan sebagainya); dan (3) komposisi demografi (kepadatan penduduk,
kepadatan bangunan).
2.1.4 Pola Penyebaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa
kota menurut Koestoer (1995), pembentukkannya berakar dari pola campuran
antara ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan
permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan
sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara
fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka
jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding
tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata
secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau
lokal.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama
oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung
berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air,
misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak
mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber
kehidupan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah.
Perumahan di tepi kota (desa dekat dengan kota) membentuk pola yang
spesifik di wilayah desa kota. Pada saat pengaruh perumahan kota menjangkau
wilayah ini, pola permukiman cenderung lebih teratur dari pola sebelumnya.
Selanjutnya
pembangunan
jalan
di
wilayah
perbatasan
kota
banyak
mempengaruhi perubahan pola penggunaan lahan dan pada gilirannya
permukiman perdesaan berubah menjadi pola campuran. Ada bagian kelompok
perumahan yang tertata baik menurut kerangka jalan baru yang terbentuk, tetapi
dibagian lain masih ada pula yang tetap berpola seperti sediakala yang tidak
teratur dengan bangunan semi permanen.
2.1.5 Rumah Sehat dan Berwawasan Lingkungan
2.1.5.1 Rumah Sehat
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang vital,
disamping kebutuhan sandang dan pangan. Menurut World Health Organization
(WHO), rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung,
dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan
sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Komisi WHO Mengenai
Kesehatan dan Lingkungan 2001). Sejalan dengan itu, maka rumah sehat
didefinisikan sebagai bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai
sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik,
mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara
produktif. Keberadaan perumahan yang sehat, aman, serasi, teratur sangat
diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik (Keman
2005).
Lebih lanjut menurut Sukamto (2004) rumah harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Memenuhi segi kesehatan
(1) Memiliki penerangan dan peranginan yang cukup
(2) Memiliki sarana penyediaan air bersih
(3) Memiliki sarana pengaturan pembuangan air limbah
(4) Dinding dan lantai tidak lembab
(5) Tidak terpengaruh oleh gangguan pencemaran seperti bau, rembesan air
kotor, udara kotor
2) Memenuhi segi kekuatan bangunan
3) Memenuhi segi kenyamanan
(1) Tersedia ruang yang cukup
(2) Ukuran ruang sesuai dengan kebutuhan, minimal 9 m2 per orang dengan
ketinggian minimal 2,80 m. Salah satu contoh kebutuhan luas minimum
untuk rumah sederhana sehat adalah 27 m2 (Tabel 1).
Tabel 1 Kebutuhan luas minimum bangunan dan lahan untuk
rumah sederhana sehat
Standar
Per jiwa (m2 )
(Ambang batas)
7,2
(Indonesia)
9,0
(Internasional)
12,0
Luas (m2) untuk 3 jiwa
Unit
Rumah
Luas (m2) untuk 4 jiwa
Lahan
Min
Efektif
Ideal
21,6
60
72– 90
200
27,0
60
72-90
36,0
60
-
Unit
Rumah
Luas
Efekti
f
72-90
Ideal
28,8
Mi
n
60
200
36,0
60
72-90
200
-
48,0
60
--
--
200
(Sumber: Kantor Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002)
(3) Penataan ruang yang serasi
(4) Dekorasi dan warna yang sesuai
(5) Penghijauan di pekarangan rumah
4) Dapat terjangkau
Sehubungan dengan itu, standar kebutuhan ruang untuk rumah sehat adalah
2
12 m per orang (18 m 2 untuk dua orang, 27 m2 untuk tiga orang dan seterusnya).
Pada Repelita VI dan PJPT II diharapkan dapat meningkat menjadi 14 m2. Dalam
kaitannya dengan standar rumah sehat, menurut Mangunwijaya (1994) diperlukan
guna memenuhi kenyamanan fisik dan kenyamanan psikologis penghuni.
Kenyamanan fisik dimaksudkan sebagai kenyamanan yang menyangkut segi-segi
fisik biologis manusia yang secara hakiki memerlukan perlindungan terhadap
gangguan alam, cuaca dan makhluk-makhluk lain. Sedangkan kenyamanan
psikologis merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial.
Perumahan sehat merupakan konsep dari perumahan sebagai faktor yang
dapat meningkatkan standar kesehatan penghuninya. Konsep tersebut melibatkan
pendekatan sosiologis dan teknis pengelolaan faktor risiko dan berorientasi pada
lokasi, bangunan, kualifikasi, adaptasi, manajemen, penggunaan dan pemeliharaan
rumah dan lingkungan di sekitarnya, serta mencakup unsur apakah rumah tersebut
memiliki penyediaan air minum dan sarana yang memadai untuk memasak,
mencuci, menyimpan makanan, serta pembuangan kotoran manusia maupun
limbah lainnya (Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan 2001).
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan
sehat apabila : (1) memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih
rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang
nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3)
melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki
penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air
limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran,
seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran
karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas
(Sanropie 1992; Azwar 1996).
Komponen yang harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya 1997)
adalah: (1) fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar
sehingga memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung
antara bangunan dengan tanah; (2) lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi
minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air,
untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu; (3)
memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar
matahari dengan luas minimum 10% luas lantai; (4)dinding rumah kedap air yang
berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan,
melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan ( privacy)
penghuninya; (5) langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari,
minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau
gipsum; serta (6) atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari
serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan
Perumahan sehat harus memenuhi syarat kesehatan lingkungan, ketertiban,
keserasian lingkungan, prasarana dan sarana, serta keamanan. Persyaratan tersebut
di antaranya:
1) Memenuhi segi kesehatan lingkungan
Artinya komponen-komponen perumahan yang mempengaruhi kesehatan
masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, seperti: (1)
penyediaan prasarana lingkungan; (2) penyediaan fasilitas lingkungan; (3)
pengamanan lingkungan terhadap pencemaran.
2) Memenuhi segi ketertiban
Perumahan akan berada pada kondisi aman dan tertib, apabila: (1) mematuhi
peraturan tata letak bangunan dan perumahan agar terhindar dari berbagai
bencana seperti kebakaran dan longsor; dan (2) dilengkapi dengan penerangan
jalan yang cukup dan warga bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya.
3) Memperhatikan keserasian lingkungan
Untuk dapat tinggal dengan aman dan nyaman dalam suatu perumahan, perlu
diusahakan hal-hal sebagai berikut: (1) melestarikan pohon pelindung dan
taman untuk menguatkan tanah dan penyimpanan air dan penyegaran udara
serta memberikan pemandangan indah; (2) memberi penerangan alami dan
buatan yang mencukupi; (3) mengatur tata letak perumahan sehingga cukup
serasi; (4) cukup jauh jaraknya dengan komplek industri yang mengeluarkan
banyak asap kotor dan mengandung racun atau debu atau dapat
menyakibatkan pencemaran udara atau air dan tanah; dan (5) cukup jauh dari
tempat-tempat yang dapat mengganggu kesehatan, kesejahteraan dan moral
masyarakat.
4) Terpenuhi sarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan penduduknya: (1) fasilitas keagamaan; (2) fasilitas kesehatan; (3)
fasilitas ekonomi; (4) fasilitas pendidikan; (5) fasilitas sosial; (6) fasilitas
keamanan; dan (7) fasilitas rekreasi.
5) Terpenuhi prasarana lingkungan yang lengkap sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan penduduknya: (1) jaringan jalan dan jembatan; (2) sistem
pemberian air minum atau air bersih; (3) jaringan listrik; (4) jaringan telepon;
(5) sitem pembuangan air hujan (saluran terbuka atau tertutup dan air kotor
atau limbah rumah tangga); dan (6) sistem pengangkutan dan pembuangan
sampah dan kotoran lainnya.
6) Adanya pengamanan lingkungan terhadap pencemaran seperti pemeliharaan
sumber-sumber air bersih, usaha untuk konservasi air, pencegahan banjir,
pembuangan sampah dan limbah yang mengganggu (Sukamto 2004).
Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999
meliputi parameter sebagai berikut :
1) Lokasi
(1) Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai,
aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan
sebagainya;
(2) Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
atau bekas tambang;
(3) Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti
jalur pendaratan penerbangan.
2) Kualitas udara
Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari gangguan
gas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :
(1) Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi;
(2) Debu dengan diameter kurang dari 10 g/m3 maksimum 150g/m3;
(3) Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;
(4) Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari.
3) Kebisingan dan getaran
(1) Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;
(2) Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik .
4) Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman
(1) Kandungan timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg
(2) Kandungan arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg
(3) Kandungan cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg
(4) Kandungan benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg
5) Prasarana dan sarana lingkungan
(1) Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan
konstruksi yang aman dari kecelakaan;
(2) Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor
penyakit;
(3) Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi jalan tidak
mengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak membahayakan pejalan
kaki dan penyandang cacat, jembatan harus memiliki pagar pengaman,
lampu penerangan jalan tidak menyilaukan mata;
(4) Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang
memenuhi persyaratan kesehatan;
(5) Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus memenuhi
persyaratan kesehatan;
(6) Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi syarat
kesehatan;
(7) Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat
kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya;
(8) Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan penghuninya;
(9) Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadi
kontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
6) Vektor penyakit
(1) Indeks lalat harus memenuhi syarat;
(2) Indeks jentik nyamuk dibawah 5%.
7) Penghijauan
Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan pelindung
dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan kelestarian alam.
2.1.5.2 Rumah Berwawasan Lingkungan
Pergeseran fungsi rumah yang tidak hanya sekedar sebagai tempat
berlindung tetapi juga sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga, istirahat
dengan nuansa kenyamanan, menemukan inspirasi dan berkreasi, dan memperoleh
nuasa alami. Kebutuhan memperoleh nilai dan fungsi lebih dari sebuah rumah,
membuat perkembangan perumahan menuju ke arah pembangunan nuansa
ekologis. Guna mewujudkan pembangunan secara ekologis harus memperhatikan
arsitektur dari tiga tingkatan, yaitu: perencanaan secara ekologis, pembangunan
kesehatan manusia dan lingkungan, dan bahan bangunan yang sehat (Frick dan
Suskiyatno 1998).
Pembangunan secara ekologis berarti pemanfaatan prinsip-prinsip ekologis
pada perencanaan lingkungan buatan. Pada pembangunan biasa seluruh gedung
berfungsi sebagai sistem yang memintas, yang mengurangi kualitas lingkungan.
Akan tetapi, baik rumah maupun pedesaan harus dianggap sebagai ekosistem yang
berhubungan erat pada hukum alam.
Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan
manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya dinamakan
arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. Eko-arsitektur mengandung dimensi
seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, dan teknik bangunan.
Menurut Frick dan Suskiyatno (1998) perencanaan eko-arsitektur berpedoman
pada alam sebagai polanya, sehingga suatu perencanaan harus memenuhi
persyaratan berikut ini:
1) Penyesuaian pada lingkungan alam
2) Menghemat sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan mengirit
penggunaan energi.
3) Memelihara sumber lingkungan (udara, tanah, dan air)
4) Memelihara dan memperbaiki peredaran alam
5) Mengurangi ketergantungan pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah
(air limbah, sampah).
6) Penghuni ikut serta secara aktif pada perencanaan pembangunan dan
pemeliharaan perumahan.
7) Tempat kerja dan permukiman dekat
8) Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhannya sehari-hari
9) Menggunakan teknologi sederhana.
Reintegrasi kebiasaan kehidupan yang makin lama makin terpisah-pisah
(permukiman, produksi, konsumsi, hiburan, dan peristirahatan) pada permukiman
atau daerah perumahan harus ditingkatkan. Akibat reintegrasi tersebut di atas
adalah perkembangan baru, dalam tata kemasyarakatan maupun dalam
perencanaan ruang.
Nuansa ekologis dari sebuah hunian mulai dikembangkan dari mulai unit
desain rumah (ecohousing), kawasan perumahan sampai pada suatu desa
berwawasan lingkungan (ecovillage). Ecohousing atau cohousing merupakan
suatu istilah yang diciptakan oleh dua arsitek Amerika, yaitu Kathryn Mc Camant
dan Charles Durret guna menjelaskan sebuah rencana perumahan yang
dikembangkan di Denmark kurang lebih 30 tahun yang lalu dan sekarang semakin
banyak diadopsi di seluruh Eropa dan Amerika Utara. Pengembangan dan
pengelolaan tempat tinggal dilakukan oleh mereka sendiri yang merupakan
kombinasi anatomi dari rumah tinggal pribadi dengan keuntungan hidup
bermasyarakat.
Gambaran nilai dari sebuah cohousing adalah
rumah tinggal individu
didesain untuk diisi sendiri, namun demikian selain setiap rumah memiliki dapur,
kamar mandi dan area kehidupan sendiri tetapi juga memiliki fasilitas umum luas
dan khusus untuk makan malam boleh memilih pada rumah umum (Mc Camant
and Durret 2001). Cohousing adalah sebuah bentuk perumahan atas dasar
kerjasama atau semi kolektif. Mereka khas terdiri dari 20 -30 kelompok rumah
kota.
Ecovillage pada dasarnya merupakan sebuah usaha modern untuk dapat
hidup dalam suatu keharmonisan dengan alam dan dan dengan lainnya (Gibellini
2001). Ecovillage adalah gambaran dari permukiman manusia seutuhnya yang
mana tidak membahayakan segala aktivitas manusia yang terintegrasi ke dalam
dunia alami, yang didukung oleh pengembangan kesehatan manusia dan dapat
terus berlanjut sampai masa depan yang tak terbatas (Mc Camant dan Durret
2001).
Ecovillage menggunakan teknologi energi terbaharui, bangunan bernuansa
ekologi dan didesain skala manusia untuk mengurangi eksploitasi sumberdaya
alam, fasilitas kepercayaan masyarakat sendiri dan meningkatkan kualitas hidup.
Sebuah ecovillage didesain dalam keharmonisan dengan bioregion sebagai
pengganti teknik landscape untuk mendesain tanaman yang baik. Didasari
pemikiran bioregion, permukiman berkelanjutan direncanakan terdiri dari
ketersediaan air, kemampuan mengolah limbah, generate power dan kemudahan
(akses) ketempat bekerja dan pelayanan (Gibellini 2001).
Ecovillage, apakah di perkotaan atau di perdesaan merupakan suatu usaha
bersama-sama untuk membawa beberapa alat untuk hidup berkelanjutan yang
mana sekarang sebagian besar tersedia untuk kita. Tantangannya adalah
menggabungkan menjadi sebuah keseluruhan, membangun lingkungan daerah,
mata pencaharian, ekologi, proses pengambilan keputusan pribadi dan kelompok.
Ecovillage dalam lingkungan perkotaan merupakan sebuah blok bangunan alami
ke arah eco-cities.
Mc Camant dan Durret (2001) mendeskripsikan sebuah permukiman
berkelanjutan melalui gambaran pada tiga sektor yaitu lingkungan, sosial dan
ekonomi. Gambaran lingkungan dari sebuah permukiman berkelanjutan
merupakan suatu lingkungan ekologi yang berkualitas tinggi dan menarik, yang
dapat dilihat dari penggabungan arsitektur fisik lingkungan berkelanjutan dan
teknologi serta desain lanskap berkelanjutan. Gambaran sosial dari sebuah
permukiman berkelanjutan adalah perencanaan yang melihat kebutuhan dari
kelompok umur muda, menengah dan tua, sehingga tercipta kampung antar
generasi. Mencoba untuk menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
dengan cara membuat keduanya tumbuh subur.
Gambaran sektor ekonomi dari sebuah permukiman berkelanjutan, menurut
Mc Camant dan Durret (2001) merupakan penggunaan karakter perkampungan
perkotaan (urban villages).
Urban villages adalah konsep perencanaan yang
berasal dari kota bebas mobil. Dasar ide ini adalah untuk penambahan kepadatan
di sekitar pusat-pusat trasportasi, dan untuk menggunakan campuran yang
memiliki rumah dekat toko dan kantor. Ini memperbaiki kemudahan untuk
mencapai dan mengurangi penggunaan mobil. Secara umum mendorong berjalan
kaki dan memperbaiki fasilitas pejalan kaki oleh pembangunan jalur hijau.
Terdapat lima prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan yang harus dikembangkan sesuai dengan kondisi awal
yang ada, yaitu: (1) mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada; (2)
penggunaan energi yang minimal; (3) pengendalian limbah dan pencemaran; (4)
menjaga kelanjutan sistem sosial budaya lokal; dan (5) peningkatan pemahaman
konsep lingkungan (Kantor Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Menurut Silas
(2001), rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat
dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang, yaitu:
1) Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara
social, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinpirasi untuk
melakukan tugasnya lebih baik;
2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang
dapat digunakan terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah
efektivitas konsumsi energi;
3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteran penghuninya secara fisik dan
spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik
dan spiritual;
4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas
social ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi
dari keadaan non fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah
tersebut; dan
5)
Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam pengambilan
keputusan terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia
berinteraksi dengan tetangga.
2.1.5.3 Beberapa Hasil Penelitian Permukiman
Beberapa hasil penelitian permukiman dan perumahan yang telah dilakukan
mengenai kepuasaan hunian, model permukiman perkotaan, perkembangan
permukiman,
konsep
dasar
pencegahan
kejahatan
melalui
perancangan
lingkungan perumahan secara umum menemukan bahwa ketersediaan fasilitas
umum dan sosial terutama tempat rekreasi masih terbatas dan masih rendahnya
tingkat keamanan. Hasil-hasil penelitian tentang permukiman dapat dilihat pada
Tabel 7. Hasil penelitian Koebel et al. (1999) pada 8 lokasi perumahan dan
apartemen dengan jumlah responden sebanyak 621 mengenai tingkat kepuasan
penghuni terhadap pemeliharaan dan pengeloaan beberapa fasilitas hunian,
menemukan bahwa yang memiliki rating rendah adalah pengelolaan keamanan,
dan keterbatasan sarana rekreasi di lingkungan perumahan.
Aurelia (2002) melakukan penelitian tentang hubungan antara harga
penjualan dan karakteristik perumahan (living area, jumlah ruangan, umur, jarak
dari daerah lanskap, dan lain-lain) menggunakan bentuk linier, logaritma, dan
timbal balik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variabel utama yang
mempengaruhi harga adalah living area dari tempat tinggal. Variabel lain secara
statistik signifikan adalah ukuran balkon, jumlah kamar mandi, umur bangunan,
keberadaan elevator, dan keberadaan gudang kecil. Model timbal-balik
menunjukkan bahwa living area minimum adalah 48 m2 (sebuah studio, sebuah
kantor atau apartemen kecil perkotaan). Variabel lingkungan yaitu jarak dari
daerah hijau mempengaruhi harga rumah.
Kobayashi (2004) mengembangkan model bentuk permukiman perkotaan
dengan melihat tingkat perkembangan jenis bangunan (rumah, toko, pabrik,
kantor dll.), tahun pembangunan, luas lantai, jenis struktur dan bahan bangunan
untuk menganalisis tingkat emisi yang ditimbulkan dengan menggunakan formula
Life-Cycle-Emission. Hasil penelitian ini memperoleh suatu model permukiman
perkotaaan yang dibangun berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dan pihakpihak terkait tentang pola bentuk permukiman.
Yu Zhou (2004) melakukan penelitian untuk melihat tingkat perkembangan
permukiman dari tahun 1990 – 2000 di empat kota di China yaitu: Beijing, Tianjin,
Shanghai, dan Chongqing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi
perkembangan pesat baik secara fisik (kondisi perumahan, fasilitas, ukuran rumah)
maupun sosial (tata aturan penghunian).
Astuti (2005) meneliti tentang tingkat kriminal atau kejahatan yang terjadi di
lingkungan perumahan di tiga kota besar yaitu: Bandung, Medan dan Jakarta.
Hasil penelitian ini memperoleh
suatu konsep dasar pencegahan kejahatan
melalui perancangan lingkung perumahan.
2.1.6 Konsep Arsitektur dan Konstruksi Bangunan Tradisional Sunda
Pada umumnya konsep arsitektur tradisional menempatkan unsur alam
sebagai konsep dasar rancangannya. Sebaliknya di dalam arsitektur modern aspek
manusia berdiri sebagai pusat segalanya atau sebagai titik sentral. Dalam pikiran
mitologis atau mitis manusia masih menghayati diri tenggelam bersama seluruh
alam dan dunia gaib (Loupias 2005). Sebagian besar konsep dasar bangunan
arsitektur tradisional bersumber dari alam yang digambarkan melalui mitos-mitos,
kepercayaan atau agama. Refleksi kekuatan di luar manusia tersebut acapkali
diwujudkan dalam berbagai hal, misalnya dalam wujud bangunan, penataan
kawasan maupun penggunaan elemen dekorasi. Berdasarkan pengamatan selama
ini bentuk atau gaya arsitektur bangunan di beberapa suku tiada lain sebagai
refleksi terhadap fenomena alam ketimbang aspek fungsional.
Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur tradisional masyarakat
Sunda adalah menyatu dengan alam. Alam merupakan sebuah potensi atau
kekuatan yang mesti dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam
kehidupan sehari-hari. Ungkapan rasa hormat tersebut tercermin pada sebutan
bumi bagi alam yang menunjukan pula bahwa alam adalah tempat tinggal bagi
masyarakat Sunda karena istilah bumi juga digunakan untuk menyebut secara
halus rumah atau tempat tinggal orang Sunda.
Konsep tersebut disiratkan pada kepercayaan masyarakat setempat terhadap
"agama" karuhun urang (nenek moyang kita) yaitu sebuah bentuk sinkretisme
antara agama Hindu dan ajaran Islam. Kepercayaan masyarakat terhadap lima
pamali (lima larangan atau tabu) yang dua diantaranya melarang menambah
jumlah bangunan serta memelihara binatang berkaki empat kecuali kucing
ternyata sangat
efektif
didalam menjaga kelestarian
kompleks
dengan
lingkungannya. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk bangunan yang sederhana.
Sedangkan wujud interaksi dengan alam diperlihatkan pada konsep menempatkan
bangunan-bangunan tersebut yang membujur dari timur ke barat dengan cara
mengikuti pola peredaran Matahari. Tidak berusaha menentang sifat-sifat alam
semesta. Dampaknya sinar tidak langsung menerpa ruangan didalamnya sehingga
sirkulasi suhu dan cahaya di dalam ruangan berubah secara alamiah (Loupias
2005).
Masyarakat Sunda dalam membina lingkungannya cenderung menitikberatkan sisi-sisi ekologis seharusnya dapat menyadarkan kita lebih awal bahwa
arsitektur Sunda memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekedar bentuk atap.
Mungkin ada kelompok budaya yang aspek bentukannya sedemikian menonjol
sehingga melalui satu aspek saja sudah cukup untuk 'berteriak'. Arsitektur di Tatar
Sunda nampaknya lebih condong untuk integratif, paduan dari banyak
unsurnyalah yang akan menampilkan jati dirinya, bukan hanya dari satu unsur saja.
Struktur arsitektural kampung sudah baku, bahkan secara visual mungkin tidak
bisa kita bedakan dengan kampung-kampung agak ke pedalaman masa ini. Unsurunsur terpenting kampung adalah: (1) rumah adat (bumi ageung) yang kemudian
bergeser fungsi menjadi langgar atau mesjid, namun tetap merupakan pusat
kegiatan masyarakatnya; (2) rumah keluarga batih, yaitu kediaman sepasang
suami isteri dengan anak-anak lelaki yang belum aqil-balik dan anak perempuan
yang belum kawin, ditambah beberapa kerabat-darah terdekat; dan (3) bangunan
penyimpanan dan pengolahan padi, yaitu leuit dan saung lisung kolektif (Loupias
2005). Mungkin masih ada bangunan-bangunan lain seperti rumah huma,
bangunan penjagaan dan lain-lain tetapi tidak merupakan unsur yang tipikal.
Mungkin orientasi bangunan masih menaati sisa-sisa pemujaan kesuburan dengan
mengutamakan arahan-arahan Timur-Barat.
Bangunan berdiri di atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat
bertumpu atau penyangga) yang diletakan pada setiap pojok serta bagian
konstruksi yang menahan beban cukup besar. Dengan cara demikian posisi lantai
tidak langsung bersentuhan dengan permukaan tanah sehingga udara lembab dari
tanah maupun debu dapat dihindarkan. Bagian lantai yang dibuat dari palupuh
yakni lembaran bambu hasil cercahan atau tumbukan yang menyatu saling
mengikat. Hasil cercahan tersebut membentuk celah-celah memanjang tidak
beraturan yang berfungsi sebagai ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan
untuk membuang debu di atas lantai.
Dinding terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik berfungsi sebagai
penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut memiliki lubanglubang kecil seperti "pori-pori" yang juga berfungsi sebagai ventilasi untuk
menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau sebaliknya. Dengan
demikian suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai dengan kondisi
cuaca alam di luar. Disamping itu pun tidak perlu mengandalkan cahaya yang
masuk sepenuhnya melalui jendela. Sebenarnya pola bangunan dan penggunaan
bahan-bahan alami merupakan hal yang lazim di kalangan Masyarakat Sunda atau
masyarakat tradisional lainnya. Pada bangunan prototipe suhunan julang ngapak
daun pintunya juga menggunakan anyaman bambu yang disebut sarigsig
(anyaman) sedangkan bangunan lainnya sudah menggunakan daun pintu dari kayu.
Keistimewaan dari teknik sarigsig tersebut bisa melihat dari dalam ke keluar
tetapi yang dari luar tidak dapat menembus ke dalam. Udara segar dari luar pun
masih bisa mengalir melalui celah-celah sarigsig tersebut (Loupias 2005).
Bentuk atap atau suhunan bangunan berupa suhunan jolopong (membujur,
tergolek lurus) dengan atap dari genting atau bentuk suhunan julang ngapak
(burung Julang sedang mengepakan sayap) dengan bahan ijuk (Loupias 2005).
Bentuk suhunan jolopong dianggap sebagai bentuk atap paling tua. Hal ini
dikaitkan dengan bentuk atap bangunan saung (dangau) yang sudah dikenal sejak
lama oleh masyarakat tradisional.
Bentuk suhunan jolopong juga menyiratkan status sosial masyarakatnya
yang berasal dari golongan bawah, sederhana, berpikiran praktis serta
menggambarkan nilai-nilai yang dijunjungnya, antara lain membangun hubungan
secara horizontal sesama manusia. Dalam Ajaran Islam hubungan sesama manusia
termasuk salah satu ajaran utamanya. Coba bandingkan dengan bentuk atap
bangunan arsitektur modern yang bervariatif, kompleks, rumit dan sekaligus
sebagai tanda atau "teks" yang dapat dibaca mengenai status sosial dan citra
pemilik atau penghuninya.
Bentuk suhunan julang ngapak memiliki empat bidang, dua diantaranya
disusun seperti halnya suhunan jolopong. Hanya pada suhunan julang ngapak
terdapat atap tambahan di kedua sisinya, di depan dan di belakang dengan
kemiringan yang lebih landai yang disebut leang-leang. Pada suhunan julang
ngapak atapnya menggunakan anyaman ijuk. Di kedua ujung atasnya diikat
dengan teknik capit hurang (jepitan udang). Menurut arsitek Belanda Maclaine
Pont, suhunan julang ngapak termasuk gaya arsitektur Sunda besar yang
bercirikan bentuk atap yang mencuat di kedua ujungnya dan adanya tamengtameng yang menggantung di depannya (Loupias 2005).
2.2. Gaya Hidup Pengelolaan Lingkungan Permukiman
Gaya hidup merupakan cara hidup atau gaya kehidupan yang direfleksikan
dengan tingkah laku dan nilai-nilai dari individu atau kelompok (Garman 1991).
Menurut Vander Zanden (1984) gaya hidup adalah pola kehidupan sekelompok
orang secara keseluruhan yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan biologis,
sosial dan emosional mereka. Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari
serentetan interaksi sosial, budaya dan lingkungan. Gaya hidup adalah pola atau
cara dimana orng hidup dan menghabiskan waktu serta uang (Engel, Blackwell
dan Miniard 1994). Beberapa hal yang termasuk gaya hidup diantaranya adalah
memilih desain bangunan rumah dan mengelola rumah beserta lingkungannya.
Gaya hidup, rumah, dan lingkungan merupakan tiga kata serangkai yang
saling berkaitan erat dan sangat menentukan dalam pemilihan, penampilan, dan
penataan rumah. Penawaran berbagai gaya rumah sering kali dipengaruhi trend
baik rumah bergaya alami, modern, kontemporer, mediterania, futuristik, maupun
country, yang akan mempengaruhi tampilan suasana permukiman, bentuk rumah,
jenis bahan bangunan, cat, keramik, perabotan, dan bentuk taman.
Perubahan gaya hidup dalam memilih desain rumah selalu sejalan dengan
trend karya arsitektur bangunan yang sedang semaraknya dipromosikan oleh para
pengembang permukiman. Ditengah krisis ekonomi, lingkungan, dan energi saat
ini telah mendorong berbagai kalangan (arsitek, arsitek lanskap, desain interior,
dan produsen bahan bangunan) untuk mengubah desain bangunan rumah ke arah
membangun yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Joga 2007).
Bangunan dirancang dan dibangun hemat energi (minimalisasi listrik untuk
penerangan dan pengondisi udara di siang hari) sesuai iklim tropis. Rumah
dibangun sesuai dengan kebutuhan utama penghuni rumah. Volume bangunan
dijaga agar biaya pembangunan dan perawatan dapat dihemat. Perbandingan
koefisien dasar bangunan (KDB, 50-70 %) dan koefisien dasar hijau (KDH, 30-50
%) yang seimbang diharapkan mampu mewujudkan hunian ideal dan sehat.
Perilaku gaya hidup dalam pengelolaan lingkungan permukiman seperti: (1)
mengoptimalan bahan dan teknologi lokal yang sudah teruji akan menghemat
biaya pelaksanaan dan perawatan; (2) membudayakan pemakaian hemat air dan
memaksimalkan lahan hijau sebagai sumur resapan air (kebutuhan dan suplai air
bersih terjaga seimbang); dan (3) mengolah limbah air kotor, septik tank, dan
sampah secara kolektif, terpadu, dan tuntas.
2.3. Konsep Evaluasi dan Kesesuaian Lahan
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk
tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji
(Ritung et al. 2007). Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau
arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah
tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan
tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah
diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat
biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Kesesuaian lahan potensial
merupakan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha
perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar
atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang
memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila
komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai.
2.3.1 Klasifikasi kesesuaian lahan
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat
dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat ordo, kelas, sub kelas dan unit.
Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian
lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=suitable) dan lahan yang
tidak sesuai (N=not suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam
tingkat ordo. Kelas kesesuaian lahan berdasarkan tingkat detail data yang tersedia
pada masing-masing skala pemetaan dibedakan menjadi:
(1) Pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas,
lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu:
lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3).
Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke
dalam kelas-kelas.
(2) Pemetaan tingkat tinjau (skala
1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas
dibedakan atas kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).
Tabel 2 Kelas kesesuaian lahan
Kesesuaian
Lahan
Kelas S1
(Sangat sesuai)
Kelas S2
(Cukup sesuai)
Kelas S3
(Sesuai
marginal)
Kelas N
(Tidak sesuai)
Deskripsi
Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata
terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas
bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas
lahan secara nyata.
Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan
berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan
masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh
petani sendiri.
Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor
pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya,
memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan
yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3
memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau
intervensi pemerintah atau pihak swasta.
Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau
sulit diatasi.
Sumber: Hardjowigeno (2007)
Sub kelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas
kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub kelas berdasarkan kualitas dan
karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi
faktor pembatas terberat. Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas
kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam
pengelolaannya. Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori
unit ini jarang digunakan. Berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem
penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan
dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman.
2.3.2 Kualitas dan Karakteristik Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat
kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan
(performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan
tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara
langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik
lahan (FAO 1976).
Karakteristik lahan mencakup faktor-faktor lahan yang dapat diukur atau
ditaksir besarnya seperti: lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan
sebagainya (Hardjowigeno 2007). Satu jenis karakteristik lahan dapat berpengaruh
terhadap lebih dari satu jenis kualitas lahan, misalnya tekstur tanah dapat
berpengaruh terhadap tersedianya air, mudah tidaknya tanah diolah, dan kepekaan
erosi. Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan diberikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Hubungan antara kualitas dan karakteristik lahan yang dipakai pada
metode evaluasi lahan
Kualitas Lahan
Temperatur (tc)
Karakteristik Lahan
Temperatur rata -rata (oC)
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan (mm), Kelembaban (%), Lamanya Bulan
kering (bln)
Drainase
Tekstur, Bahan kasar (%), Kedalaman tanah (cm)
Ketersediaan oksigen (oa)
Keadaan media perakaran
(rc)
Gambut
Retensi hara (nr)
Toksisitas (xc)
Sodisitas (xn)
Bahaya sulfidik (xs)
Bahaya erosi (eh)
Bahaya banjir (fh)
Penyiapan lahan (lp)
Ketebalan (cm), Ketebalan (cm) jika ada sisipan bahan
mineral/pengkayaan, Kematangan
KTK liat (cmol/kg), Kejenuhan basa (%), pH COrganik (%)
Salinitas (dS/m)
Alkalinitas/ESP (%)
Kedalaman sulfidik (cm)
Lereng (%), Bahaya erosi
Genangan
Batuan di permukaan (%), Singkapan batuan (%) H2O
Sumber: Djaenudin et al. (2003).
2.3.3 Kesesuaian Lahan untuk Permukiman dan Bangunan
Pekerjaan-pekerjaan untuk permukiman dan bangunan serta dalam bidang
engineering secara umum dilakukan diatas tanah, maka sifat-sifat tanah perlu
mendapat perhatian. Sifat-sifat tanah tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah
berdasarkan atas besar butir dan sifat rheologi, potensi mengembang dan
mengkerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai hamparan batuan,
kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah, potensi terjadinya
korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya
(Hardjowigeno 2007). Hardjowigeno (2007) menyebutkan beberapa parameter
sifat tanah yang menjadi kriteria kesesuaian lahan untuk tempat tinggal dengan
maksimum tiga lantai tanpa ruang bawah tanah (Tabel 4).
Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan untuk pembuatan gedung tanpa
ruang bawah tanah
No
Sifat Tanah
1.
2
3
4
Subsiden total (cm)
Banjir
Air Tanah (cm)
Potensi Kembang Kerut
5
6
7
Kelas Unified*)
Lereng
Kedalaman hamparan batuan (cm)
- Keras
- Lunak
Kedalaman padas keras (cm)
- Tebal
- Tipis
Batu/kerikil (>7.5 cm)**) (% berat)
Longsor
8
9
10
Baik
Tanpa
> 75 cm
Rendah
(<0.03)
< 8%
Kesesuaian Lahan
Sedang
Buruk
> 30
Jarang - sering
Tanpa
< 45 cm
45 - 75 cm
Tinggi
Sedang
(>0.09)
(0.03-0.09)
> 15%
8 - 15%
> 100
> 50
50 - 100
< 50
< 50
-
> 100
> 50
< 25
-
50 - 100
< 50
25 - 50
-
< 50
> 50
Ada
Keterangan: *) Lapisan paling tebal antara 25 – 100 cm dari permukaan tanah
**)Rata-rata yang dibobotkan dari pemukaan sampai kedalaman 100
cm
1) Besar Butir dan Sifat Rheologi
Sifat rheologi yang penting dalam bidang bangunan adalah batas cair atau
batas mengalir (liquid limit) dan indeks plastisitas. Batas cair atau batas mengalir
adalah kadar air terbanyak yang dapat ditahan tanah bila tanah dibuat pasta. Bila
air lebih banyak maka (pasta) tanah akan mengalir bersama air. Bila tanah yang
jenuh air itu dikeringkan maka kadar air terus berkurang sehingga tanah menjadi
tidak plastis lagi. Kadar air dimana tanah mulai tidak plastis lagi disebut batas
plastis. Menurut sistem unified, tanah diklasifikasikan berdasarkan atas sebaran
besar butir fraksi tanah berukuran kurang dari 75 mm, plastisitas, batas cair dan
kandungan bahan organik (Tabel 5).
2) Potensi Mengembang dan Mengkerut
Tanah mengandung mineral liat yang mudah mengembang bila basah dan
mengkerut bila kering disebut vertisol atau grumusol. Tanah ini mengandung
mineral liat tipe 2:1 yang tinggi sehingga dimusim kemarau terjadilah retakan
selebar 25 cm atau lebih. Jenis tanah ini dapat menyebabkan pondasi dan dindingdinding bangunan menjadi retak-retak (Jumikis 1962). Di sisi lain dapat pula
menyebabkan lantai bagian tengah terangkat dan retak pada tembok bangunan.
Tabel 5 Klasifikasi tanah unified dan kesesuaian sebagai subgrade untuk
pembuatan jalan dan pondasi
Simbol
GW
GP
GM
GC
SW
SP
SM
SC
ML
MH
CL
CH
OL
OH
PT
Deskripsi
Kerikil dengan besar butir tersebar rata atau tersusun
baik
Kerikil dengan besar butir tidak tersebar rata atau
tersusun buruk
Kerikil dengan hampir seluruh bahan halus terdiri dari
debu
Kerikil dengan hampir seluruh bahan halus adalah liat
Pasir dengan besar butir tersusun baik
Pasir dengan besar butir tersusun buruk
Pasir dengan hampir seluruh bahan halus adalah debu
Pasir dengan hampir seluruh bahan halus adalah liat
Debu dengan batas cair rendah yaitu > 50% berat
Debu dengan batas cair tinggi yaitu < 50% berat
Liat dengan batas cair rendah (> 50% berat)
Liat dengan batas cair tinggi (< 50% berat)
Liat dan debu berbahan organik cukup tinggi dengan
batas cair kurang dari 50% berat
Liat dan debu berbahan organik cukup tinggi dengan
batas cair lebih dari 50% berat
Tanah gambut
Tingkat Kesesuaian
Sangat baik
Sangat baik
Baik
Baik
Baik
Baik – cukup baik
Cukup baik
Cukup baik – kurang baik
Kurang baik
Cukup baik – kurang baik
Cukup baik – kurang baik
Kurang baik
Kurang baik
Buruk
Tidak sesuai
Sumber: Hardjowigeno 2007
3) Tata Air Tanah
Tata air tanah yang buruk kemungkinan dapat minimbulkan kerusakankerusakan terhadap konstruksi di bawah tanah atau genangan air. Tata air tanah ini
berhubungan dengan drainase tanah, permeabilitas, dan dalamnya air tanah
(Hardjowigeno 2007).
4) Tebal Tanah Sampai ke Hamparan Batuan
Adanya hamparan batuan sampai kedalaman 2 meter atau kurang dapat
dilihat
penyebarannya dalam peta tanah. Hal ini membantu dalam rencana
pembuatan bangunan yang memerlukan penggalian tanah yang tidak terlalu dalam.
Bila tanah menurut geologinya diperkirakan mudah longsor, maka kesesuaian
lahannya untuk rumah menjadi buruk.
5) Kepekaan Erosi
Lereng adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan tanah
terhadap erosi. Disamping itu, sifat-sifat tanah yang mempengaruhi daya kohesi
tanah (kandungan liat, debu, bahan organik, dan sebagainya) juga besar
pengaruhnya terhadap kepekaan erosi.
6) Lereng
Curamnya lereng merupakan faktor yang menentukan dalam kegiatankegiatan yang perlu dilakukan untuk meratakan tanah tersebut. Hal ini akan
menentukan banyaknya tanah yang harus digali diatas lereng dan ditimbunkan ke
bagian bawah lereng.
7) Kemungkinan Terjadinya Korosi
Bangunan dari beton kadang menjadi rusak pada tanah yang sangat masam,
sedang bangunan yang dibuat dari baja mengalami korosi pada tanah yang sangat
banyak mengandung garam ataupun yang sangat masam.
Sehubungan dengan kelayakan lahan permukiman, Van der zee (1990)
membuat klasifikasi kelayakan lokasi permukiman dengan mengacu pada
indikator keberlanjutan untuk permukiman (Tabel 6).
Tabel 6 Klasifikasi keberlanjutan untuk permukiman
Kualitas tempat
Ketersediaan air minum
Kemiringan lereng
Kekuatan tanah
Saluran air
Banjir
S1
1 km
10%
Form
Saluran baik
Tidak banjir
Topografi
Datar
Batu besar dan muncul ke
permukaan
Tidak ada
(Sumber : Van der Zee 1990)
Syarat-syarat Kelas Keberlanjutan
S2
S3
S4
1 – 2 km
2 km
Tidak tersedia
10 -15%
15 -20%
20%
Sedang
Sedang terurai Terurai
Saluran sedang Kurang baik
Rawa
Sedang
KadangRutin banjir
kadang
Sedang
Tidak datar dan
berbukit-bukit
Sedang
Banyak
Berbatu-batu
2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh
pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan
yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan.
Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan
(Manan 1983). Sheng (1968) mendefinisikan DAS sebagai suatu kawasan yang
mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam suatu sistem aliran sungai yang
mengalir dari hulu menuju ke muara atau tempat-tempat tertentu. Tempat tertentu
tersebut antara lain dapat berupa danau atau lautan. Oleh karena itu batas
ekosistem suatu DAS dapat ditentukan berdasarkan perilaku dari aliran airnya.
Kawasan tersebut dipisahkan dengan kawasan lainnya oleh pemisah topografi. Di
Amerika Serikat daerah bersistem sungai-sungai biasa disebut “watershed”
sedangkan di Inggris disebut “cathchment areas of river basin”. Dalam istilah
pembangunan biasanya disebut river basin development apabila berkaitan dengan
pembangunan bendungan dan sistem irigasi, dan watershed apabila berkaitan
dengan pembangunan yang berkaitan dengan penatagunaan tanah, perlindungan
terhadap erosi dan pengelolaan bentang alam (Haeruman 2002).
2.4.1 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem
DAS sebagai suatu ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan
biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat
keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS
terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air,
sehingga perencanaan DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perhatian
mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur
hidrologi (Pasaribu 1999).
Kegiatan perubahan penggunaan lahan dan atau pembuatan bangunan
konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah
hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan tranpor sedimen serta
material terlarut lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah hulu-hilir seperti
tersebut di atas, maka kondisi DAS dapat digunakan sebagai satuan unit
perencanaan sumberdaya alam.
2.4.2 Unsur-unsur DAS
Menurut Soerjono (1978) DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari
berbagai komponen dan unsur, dimana unsur-unsur utamanya adalah vegetasi,
tanah, air dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di daerah tersebut.
Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik dalam ekosistem daerah aliran
sungai yang berfungsi sebagai pelindung bumi terhadap hampasan air hujan,
hembusan angin, dan teriknya sinar matahari. Selain itu, vegetasi juga berfungsi
menahan untuk sementara titik air, pengatur kelembaban dan suhu udara di
sekitarnya dan juga sebagai tempat berlindungnya atau niche jasad-jasad hidup.
Fungsi lain dari vegetasi adalah sebagai penghasil berbagai ragam kebutuhan bagi
kehidupan manusia berupa buah, kayu, akar, daun, getah dan sebagainya.
Menurut Suhara (1991) fungsi utama vegetasi adalah mengatur tata air dan
melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara: (1) melindungi
tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh; (2) melindungi tanah
terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah; dan (3) memperbaiki
kapasitas infiltrasi tanah dan daya absorpsi air.
Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri dari fase padat, cair
dan gas serta mempunyai sifat dinamis. Sebagai produk alami yang heterogen dan
dinamis, maka sifat dan perilaku tanah berbeda dari satu tempat dengan tempat
lain, dan berubah dari waktu ke waktu, bahkan dalam suatu luasan yang relatif
kecilpun. Pada DAS, tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya
vegetasi juga berfungsi sebagai pengatur tata air (Wiersum 1979).
Peranan tanah dalam mengatur tata air tergantung pada tingkat kemampuan
tanah untuk meresapan air yang tergantung pada kapasitas infiltrasi dan
permeabilitas tanah. Makin besar air yang dapat diserap dan masuk ke dalam
profil tanah persatuan waktu, sehingga tata air menjadi lebih baik dan sekaligus
erosi yang mungkin terjadi dapat dikurangi. Sifat-sifat tanah yang paling
menentukan dan berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap
pengaturan tata air dan erosi pada suatu DAS adalah tekstur, struktur, kedalaman
tanah, sifat lapisan bawah, bahan organik dan tingkat kesuburan tanah (Arsyad,
1983).
2.4.3 DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya
Pengelolaan DAS berarti pengelolaan vegetasi, tanah, dan air dalam suatu
DAS dengan tujuan untuk dapat menghasilkan produk air untuk kepentingan
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perindustrian dan masyarakat yaitu
untuk air minum, irigasi dan industri, tenaga listrik dan rekreasi (Manan 1977).
Menurut Sheng (1968) pengelolaan DAS merupakan pengelolaan lahan untuk
produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah
yang maksimum.
Pengelolaan DAS haruslah berorientasi kepada segi-segi konservasi tanah
dan air dengan titik berat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat
dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat (Alrasyid dan Samingan 1980). Hasil
akhir dari pengelolaan DAS adalah kondisi tata air wilayah DAS. Pencerminan
atau ukuran kondisi tata air tersebut adalah penyediaan air yang cukup sepanjang
waktu, baik kuantitas maupun kualitas.
Lebih lanjut menurut Hufschmidt (1985) dengan berorientasi pada hasil fisik
yang ingin dicapai, maka pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem
dengan input manajemen dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa
yang dibutuhkan, baik di tempat maupun di luarnya. Ditinjau dari segi ekonomi,
sistem pengelolaan DAS tidak lain adalah suatu bentuk dari proses produksi
dengan biaya ekonomi untuk penggunaan input manajemen (tenaga, bahan, energi,
peralatan dan keahlian manajemen) dan input alam (tanah, air, ekosistem dan
iklim) serta hasil ekonomi yaitu nilai dari outputnya.
Menurut Pasaribu (1999) dalam pelaksanaan pengelolaan DAS akan
bertumpu pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian
erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian
konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan peraturanperaturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi.
Dimensi sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman
kondisi sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai
pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang
berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih
dalam
kerangka
kerja
yang
mengarah
pada
usaha-usaha
tercapainya
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan
sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka DAS dapat dimanfaatkan secara
penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu dapat dilaksanakan sesuai
dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi (Pasaribu 1999).
Pelaksanaan pengelolaan DAS pada umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu:
(1) pengelolaan tanah melalui usaha konservasi tanah dalam arti luas; (2)
pengelolaan sumberdaya air melalui usaha pengembangan sumberdaya air; (3)
pengelolaan hutan; dan (4) pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan (Syahrir 2002).
(1) Pengelolaan air di Hulu DAS
Konservasi secara natural dan artifisial mutlak dilakukan di seluruh wilayah
permukaan DAS. Terdapat dua tuntutan untuk wilayah hulu dalam hal penyediaan
air yaitu untuk mensuplai kebutuhan pertanian dan untuk memasok air di wilayah
hilir. Masalahnya untuk wilayah ini adalah akses terhadap infrastruktur, teknologi
dan dana yang diterima sangat terbatas, dibandingkan wilayah hilir. Perlu dicari
formula untuk meningkatkan penyediaan air tanah melalui pengembangan panen
hujan dan aliran permukaan dengan teknologi sederhana, murah dan dampaknya
dapat dinikmati langsung oleh orang yang melakukannya sehingga mudah
disosialisasikan kepada masyarakat.
Cara sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air
di DAS adalah dengan pembuatan dam parit linier dalam kaskade dipilih sebagai
model untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air DAS baik yang berasal dari
aliran permukaan maupun aliran dasar. Pengembangan konsep penggunaan
kembali sumberdaya air diperlukan untuk memaksimalkan nilai tambah air
sekaligus meminimalkan resiko pertanian. Pada saluran utama, air yang terdapat
di wilayah hulu akan ditampung oleh “reservoir” (dam parit) di wilayah hulu, air
tersebut digunakan untuk irigasi di petakan di bawahnya. Kemudian air yang
keluar dari “outlet” petakan dan limpasan dari “spillway” dam parit di wilayah
hulu akan ditampung untuk mengisi (recharge) damp parit berikutnya yang
terdapat di saluran utama di hilir untuk kemudian dengan mekanisme yang sama
didistribusikan ke petakan (reuse) di bawahnya dan seterusnya.
Berdasarkan estimasi curah hujan dan aliran permukaan yang dapat dipanen
dan jumlah defisit air untuk kondisi wilayah tersebut, maka dimensi dam parit
ditetapkan berdasarkan volume atau daya tampung sungai dan tinggi genangannya.
Posisi dam parit ditetapkan dengan memperhitungkan tiga hal: (1) kapasitas
tampung air maksimalnya, (2) kemudahan distribusi air untuk suplemen irigasi,
dan (3) biaya yang paling efisien. Berdasarkan informasi luas dan letak derah
irigasi yang direncanakan, maka dapat dihitung total kebutuhan irigasi wilayah
tersebut, sehingga bisa ditentukan luas mikro DAS dan jumlah serta lokasi dam
parit yang akan dibangun (Gambar 4).
Keterangan:
Reservoir
Outlet
Gambar 4 Konsep recharge-reuse sumberdaya air dalam DAS
(Sumber: Irianto 2002)
(2) Pengelolaan air di Hilir DAS
Menekan banjir di wilayah hilir dapat dilakukan melalui dua cara: (1)
mengurangi volume aliran permukaan dari hulu dan tengah melalui panen hujan
dan aliran permukaan; dan (2) membangun saluran drainase yang cukup memadai
di hilir untuk mengalirkan kelebihan aliran permukaan ke laut. Konsep ini
termasuk didalamnya transfer air dari DAS basah ke DAS yang relatif kering.
Sedangkan penanggulangan kekeringan dapat difokuskan melalui peningkatan
penambahan cadangan air tanah pada musim hujan untuk menambah pasokan air
pada musim kemarau melalui irigasi suplemeter.
Penelitian tentang DAS yang terdapat kaitannya dengan permukiman telah
dilakukan oleh Da Costa, dan Cintra (1999), Basso, et al. (2000), Basnyat,F. et al.
(2000), dan Frint, H. et al. (2003) dengan metode overlay menggunakan GIS.
Beberapa penelitian
ini secara umum menunjukkan bahwa: (1) kehadiran
permukiman berdampak pada distribusi dan kelimpahan spesies liar, serta
penyumbang kuat dari konsentrasi nitrat pada aliran sungai; (2) peta-peta
penggunaan lahan; (3) peta drainase; (4) peta erosi; (5) peta kemiringan; dan (6)
peta potensi fisik.
2.5 Kebijakan
2.5.1 Kebijakan Perumahan dan Permukiman
Beberapa landasan awal yang dijadikan pedoman dalam menyusun
kebijakan perumahan dan permukiman adalah Undang-Undang Pokok Agraria
No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, Undang-Undang
No. 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup, Undang-Undang No.24 tahun 1992
tentang penataan ruang dan Undang-Undang No. 4 tahun 1992 tentang perumahan
dan permukiman. Pembangunan perumahan pada dasarnya adalah bagian integral
dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960 menjamin perlindungan
hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah
didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan
pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian
dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah. Aturan tentang
pembangunan perumahan dan permukiman selanjutnya diatur dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1982 yang memberikan landasan bagi kewajiban
melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman,
sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan
pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis,
ekologis, dan administratif.
Guna melaksanakan pembangunan tersebut terdapat tiga isu yang harus
dihadapi, yaitu: (1) isu kesenjangan, baik kesenjangan antar unit perumahan antar
kota, antar kota dan perdesaam, antar pulau, antar kelompok masyarakat, maupun
antar individu; (2) isu lingkungan, terjadi sebagai akibat pembangunan perumahan
yang kurang terencana sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan seperti
banjir, penurunan muka tanah, meningkatnya suhu udara, penyempitan daerah
resapan, hubungan sosial yang tidak harmonis; dan (3) isu manajemen
pembangunan, yaitu adanya kesepakatan dalam agenda 21, hasil KTT bumi Rio
de Janeiro dan rekomendasi serta hasil Konperensi Habitat II tahun 1996 yang
menekankan
perlunya
pertimbangan
keterbatasan
sumberdaya
alam,
pembangunan berkesinambungan, kelestarian lingkungan dan dorongan untuk
menerapkan pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat (Departeman
Kimpraswil 2000).
Kebijakan perumahan yang akan ditetapkan didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Pembangunan perumahan dan permukiman diprioritaskan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar bagi golongan terbesar masyarakat;
2) Perumahan dan permukiman pada dasarnya adalah tanggungjawab masyarakat,
namun pemenuhannya menjadi tanggung jawab bersama antara masyarakat
dan pemerintah; dan
3) Pembangunan perumahan dan permukiman harus mengacu kepada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan, melalui rencana tata ruang wilayah yang
dinamis, responsif dan transparan serta penata-gunaan tanah, air dan udara
untuk mencapai kelayakan sebagai hunian baik diperkotaan maupun perdesaan
(Departeman Kimpraswil, 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat enam kebijakan perumahan dan
permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Departemen
Permukiman dan Pengembangan Wilayah, yaitu: (1) pembangunan perumahan
dan permukiman yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat
dengan mengutamakan masyarakat berpenghasilan rendah; (2) pembangunan
perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
dalam rangka pembangunan perkotaan dan perdesaan yang seimbang menuju
terbentuknya sistem permukiman nasional yang mantap; (3) pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan peran serta para petaruh dalam pembangunan
perumahan permukiman; (4) pemantapan kelembagaan dan pola pengelolaan
pembangunan perumahan dan permukiman secara terpadu; (5) pengembangan
sumber-sumber dan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman; dan 6)
pengembangan
peraturan
per
undang-undangan
bidang
perumahan
dan
permukiman (Departeman Kimpraswil 2000).
Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN-PSR) dilatarbelakangi
oleh keadaan perumahan dan permukiman di Indonesia yang jauh tertinggal baik
dari segi kuantitas maupun kualitas, seperti terjadinya backlog sampai dengan
tahun 2003 sebesar 5.93 juta unit rumah, pertambahan kebutuhan tahunan rumah
sebesar 800.000 unit, rumah tidak layak huni 1 juta unit, dan permukiman kumuh
seluas 47.500 ha yang tersebar di lebih 10.000 lokasi.
Tujuan GN-PSR adalah untuk: (1) menggalang peran dan potensi para
pelaku pembangunan perumahan dan permukiman melalui strategi kemitraan
yang sinergis untuk mempercepat upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang
layak huni; (2) memantapkan sistem nasional dalam penyelenggaraan perumahan
dan permukiman dengan mengedepankan strategi pemampuan (enabling strategy);
dan (3) meningkatkan aksesibilitas masyarkat berpenghasilan rendah terhadap
sumberdaya
pembangunan
perumahan
dan
permukiman
seperti:
tanah,
pembiayaan perumahan, kelembagaan, prasarana dan sarana dasar lingkungan.
Sasaran fisik dari GN-PSR tahun 2004 adalah pembangunan rumah
sebanyak 1.014.480 unit yang meliputi: (1) Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Rumah Sederhana Sehat (RSH) bersubsidi sebanyak 200.000 unit dengan laju
peningkatan 7.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; (2) rumah susun
sederhana sewa atau milik sebanyak 14.480 unit dengan laju peningkatan sebesar
7.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; dan (3) perumahan swadaya sebanyak
600.000 unit dengan 2.5% pertahun sampai dengan tahun 2020; dan perbaikan
rumah tidak layak huni sebanyak 200.000 unit 15% pertahun sampai dengan
tahun 2020 (Shaphira 2008).
2.5.2
Ssa
Kebijakan DAS
Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah
N0. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan. Batasan DAS dalam PP tersebut
adalah suatu daerah tertentu yang dibentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa
sehingga berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan
sumber air lainnya, penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata
berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut
(Syahrir 2002).
Pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini
masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait.
Permasalahan tersebut antara lain terjadinya erosi, banjir, kekeringan, masih
belum adanya keterpaduan antar sektor, antar instansi dan kesadaran masyarakat
yang rendah tentang pelestarian manfaat sumber daya alam.
Kebijakan dasar dalam pengelolaan DAS sebagaimana tercantum dalam
Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pengelolaan DAS adalah sebagai berikut:
1) Pengelolaan DAS dilakukan secara holistik, terencana dan berkelanjutan guna
memenuhi kebutuhan baik untuk kehidupan maupun penghidupan dan
menjaga kelestarian lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (3);
2) Pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi dengan pendekatan DAS
sebagai satuan wilayah pengelolaaan;
3) Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasar prinsip partisipasi dan konsultasi
masyarakat pada tiap tingkat untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama
antar pihak berkepentingan (stakeholders);
4) Pengelolaan DAS memerlukan kondisi yang memungkinkan partisipasi
masyarakat guna mengurangi secara bertahap beban Pemerintah dalam
pengelolaan DAS;
5) Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS secara bertahap
(baik secara langsung maupun tak langsung) wajib menanggung biaya
pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana cost recovery; dan
6) Sasaran wilayah Pengelolaan DAS adalah wilayah DAS secara utuh sebagai
satu kesatuan ekosistem.
DAS dan wilayah sungai tidaklah pernah mempunyai batas yang bertepatan
dengan batas-batas wilayah administrasi. Menurut Keputusan Menteri kehutanan
No. 52/Kpts-II/2001, DAS diklasifikasikan menurut hamparan wilayah dan fungsi
strategisnya sebagai berikut:
1) DAS lokal: terletak secara utuh berada di satu daerah kabupaten atau kota, dan
atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu daerah
kabupaten atau kota;
2) DAS regional: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah
kabupaten atau kota; dan atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh
lebih dari satu daerah kabupaten atau kota; dan atau DAS lokal yang atas
usulan pemerintah kabupaten atau kota yang bersangkutan, dan hasil penilaian
ditetapkan
untuk
didayagunakan
(dikembangkan
dan
dikelola)
oleh
pemerintah provinsi, dan atau DAS yang secara potensial bersifat strategis
bagi pembangunan regional; dan
3) DAS nasional: letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah
propinsi, dan atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari
satu daerah provinsi, dan atau DAS regional yang atas usulan pemerintah
provinsi
yang
bersangkutan,
dan
hasil
penilaian
ditetapkan
untuk
didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah pusat, dan atau
DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan nasional.
2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Geographic information system (GIS) atau sistem informasi geografis (SIG)
adalah suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang mereferensi
pada koordinat geografi atau spasial dan juga non spasial (Star 1990). SIG
merupakan sistem basis data dengan kemampuan spesifik untuk data spasial dan
non spasial, dan juga dapat melakukan operasi data. Sistem informasi geografis
berdasarkan operasinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1) SIG
secara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan),
bersifat data analog, dan (2) SIG secara terkomputer atau SIG otomatis (prinsip
kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya adalah data
digital (Barus dan Wiradisastra 2000).
Pada SIG terdapat dua macam data yaitu data spasial dan data atribut. Data
spasial disajikan dalam bentuk titik, garis dan area. Data atribut sering
diketegorikan sebagai data non spasial, karena peranannya tidak menunjukkan
posisinya akan tetapi lebih menunjukkan penjelasan mengenai objek atau bersifat
identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi empat bentuk yaitu nominal,
ordinal, interval dan ratio. Titik adalah representasi grafis yang paling sederhana
untuk suatu objek. Representasi ini tidak memiliki dimensi tetapi dapat
diidentifikasi di atas peta dan dapat ditampilkan pada layar monitor dengan
menggunakan simbol-simbol. Sudut proverty suatu batas (poligon) juga
merupakan titik, sebagaimana telah umum juga digunakan untuk penggambaran
sudut-sudut persil dan bangunan. Pada skala besar bangunan akan ditampilkan
sebagai poligon, sementara pada skala kecil akan ditampilkan sebagai titik.
•1
3
• 6
•
9
•
•2
•5
•4
Gambar 5 Contoh representasi objek titik untuk data posisi rumah
(Sumber: Prahasta 2007)
Garis adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit dua titik
dan digunakan untuk merepresentasikan objek-objek satu dimensi. Batas-batas
poligon merupakan garis-garis, demikian pula dengan jaringan listrik, komunikasi,
pipa air minum, saluran buangan, dan utiliti lainnya. Di sisi lain, entity jalan dan
sungai dapat direpresentasikan baik sebagai garis maupun poligon, tergantung
skala petanya.
ID
Pos
7
7
2
6
5
8
3
1
4
Nama
4 Jl.Jakarta
2 Jl.Cipaganti
990281
3 Jl.Cinangka
5 Jl.Karang
995733
Kode
990102
992722
Gambar 6 Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan dan atributnya
(Sumber: Prahasta 2007)
Poligon digunakan untuk merepresentasikan objek-objek dua dimensi. Suatu
danau, batas propinsi, batas kota, batas-batas persil tanah milik adalah tipe-tipe
entity yang pada umumnya direpresentasikan sebagai poligon. Tetapi representasi
ini bergantung pada skala tampilan petanya (titik atau poligon). Suatu poligon
paling sedikit dibatasi oleh tiga garis yang saling terhubung diantara ketiga titik
tersebut. Di dalam basis data, semua bentuk area dua dimensi akan
direpresentasikan oleh bentuk poligon.
4
ID
Nama
(Ha)
Luas
1
2
3
2
5
1
100
120
112
121
3
5
Sawah
Kebun
Hutan
Permukiman
Gambar 7 Contoh representasi objek poligon untuk data landuse
(Sumber: Prahasta 2007)
SIG terdiri dari empat komponen dasar, yaitu: (1) masukan data, komponen
pengubah data yang ada menjadi data yang dapat digunakan oleh SIG, kegiatan ini
biasanya membutuhkan waktu dan ketepatan; (2) manajemen data; (3) manipulasi
dan analisis; dan (4) keluaran, bentuk hasil SIG sangat beragam kualitas,
kecepatan dan kemudahannya baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy
(Aronoff, 1991).
Metode SIG, environmental mapping approach menurut Mehta (1998) yang
digunakan saat analisis spasial sangat tergantung pada komponen apa yang dipilih
dalam pemetaan. Sangat penting komponen-komponen yang dipilih tersebut
merupakan parameter yang akan memberikan hasil pada evaluasi tapak. Proses
penentuan parameter tersebutlah yang merupakan bagian penting sehingga hasil
keseluruhan proses yang dihasilkan akan seperti yang diharapkan. Kemampuan
SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya.
Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi analisis spasial dan
fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial meliputi:
(1) Klasifikasi
Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut)
menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Contoh,
dengan menggunakan data spasial topografi, dapat diturunkan data spasial
kemiringan yang dinyatakan dalam persentase nilai-nilai kemiringan. Nilainilai persentase kemiringan ini dapat diklasifikasikan hingga menjadi data
spasial
baru
yang
dapat
digunakan
untuk
merancang
perencanaan
pengembangan wilayah. Sebagai contoh, kriteria yang digunakan adalah 014% untuk permukiman, 15-29% pertanian dan perkebunan, 30-44% hutan,
dan 45% ke atas untuk hutan lindung dan taman nasional.
(2) Network
Fungsi ini merujuk data spasial titik-titk atau garis-garis sebagai suatu jaringan
yang tidak terpisahkan. Fungsi ini sering digunakan didalam bidang-bidang
transportasi dan utility, misalnya aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi
telepon, pipa minyak dan gas, air minum, saluran pembuangan.
(3) Overlay
Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang
menjadi masukkannya.
(4) Buffering
Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone
dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. Data
spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaranlingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya.
(5) Tiga dimensi analisis
Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi
data spasial dalam ruang tiga dimensi. Fungsi analisis spasial ini banyak
menggunakan fungsi interpolasi.
(6) Digital Image Processing
Fungsi ini dimiliki oleh perangkat SIG yang berbasiskan raster. Karena data
spasial permukaan bumi banyak didapat dari perekaman data satelit yang
berformat raster, maka banyak SIG raster yang juga dilengkapi dengan fungsi
analisis ini.
2.6.1 Interprestasi Citra
Menurut Este dan Simonett (1975) interpretasi citra merupakan perbuatan
mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan
menilai arti pentingnya obyek tersebut. Jadi di dalam interpretasi citra, penafsir
mengkaji citra dan berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan, yaitu:
deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat
diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan seperti dalam:
geografi, geologi, lingkungan hidup dan sebagainya.
Deteksi adalah usaha penyadapan data secara global baik yang tampak
maupun yang tidak tampak. Di dalam deteksi ditentukan ada tidaknya suatu
obyek. Identifikasi adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada
citra yang dapat dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat
stereoskop. Terdapat 3 ciri utama dalam mengenali objek (Este dan Simonett
1975) yaitu:
1. Ciri spektral
Ciri spektral adalah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga
elektromagnetik dengan obyek. Ciri spektral dinyatakan dengan rona dan
warna. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra.
Adapun faktor yang mempengaruhi rona adalah:
a. Karakteristik obyek (permukaan kasar atau halus)
b. Bahan yang digunakan (jenis film yang digunakan).
c. Pemrosesan emulsi (diproses dengan hasil redup, setengah redup dan gelap).
d. Keadaan cuaca (cerah/mendung).
e. Letak obyek (pada lintang rendah atau tinggi).
f. Waktu pemotretan (penyinaran pada bulan Juni atau Desember).
2. Ciri spasial
Ciri spasial adalah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi:
a. Tekstur adalah frekwensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan;
kasar,
sedang dan halus. Misalnya hutan bertekstur kasar, belukar
bertekstur sedang dan semak bertekstur halus.
b. Bentuk adalah gambar yang mudah dikenali. Contoh gedung sekolah pada
umumnya berbentuk huruf I, L dan U atau persegi panjang, gunung api
misalnya berbentuk kerucut.
c. Ukuran adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi lereng dan volume.
Ukuran obyek pada citra berupa skala. Contoh lapangan olah raga sepak
bola d icirikan oleh bentuk (segi empat) dan ukuran yang tetap, yakni sekitar
(80 – 100 m).
d. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai banyak obyek
bentukkan manusia dan beberapa obyek alamiah. Contoh pola aliran sungai
menandai struktur biologis. Pola aliran trellis menandai struktur lipatan.
Permukiman transmigrasi dikenali dengan pola yang teratur, yaitu ukuran
rumah yang jaraknya seragam, dan selalu menghadap ke jalan. Kebun karet,
kebun kelapa, kebun kopi mudah dibedakan dengan hutan atau vegetasi
lainnya dengan polanya yang teratur, yaitu dari pola serta jarak tanamnya.
e. Situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Contoh:
permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir beting pantai, tanggul
alam atau sepanjang tepi jalan. Juga persawahan, banyak terdapat di daerah
dataran rendah, dan sebagainya.
f. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di
daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang
penting dari beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi
lebih jelas. Contoh: lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya
bayangan, begitu juga cerobong asap dan menara, tampak lebih jelas dengan
adanya bayangan. Foto-foto yang sangat condong biasanya memperlihatkan
bayangan obyek yang tergambar dengan jelas.
g. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek lainnya.
Contoh stasiun kereta api berasosiasi dengan jalan kereta api yang
jumlahnya lebih dari satu (bercabang).
3. Ciri Temporal
Ciri temporal adalah ciri yang terkait dengan benda pada saat perekaman,
misalnya; rekaman sungai musim hujan tampak cerah, sedang pada musim
kemarau tampak gelap.
Penilaian atas fungsi obyek dan kaitan antar obyek dengan cara
menginterpretasi dan menganalisis citra yang hasilnya berupa klasifikasi yang
menuju ke arah teorisasi dan akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari penilaian
tersebut. Pada tahapan ini interpretasi dilakukan oleh seorang yang sangat ahli
pada bidangnya, karena hasilnya sangat tergantung pada kemampuan menafsir
citra. Menurut Prof. Dr. Sutanto, pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua
kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut
untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan
unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik
atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari:
a. menguraikan atau memisahkan obyek yang rona atau warnanya berbeda;
b. ditarik garis batas atau delineasi bagi obyek yang rona dan warnanya sama
c. setiap obyek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan unsur temporalnya
d. Obyek yang sudah dikenali, diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya
e. Digambarkan ke dalam peta kerja atau peta sementara
f. Guna menjaga ketelitian dan kebenarannya dilakukan pengecekan medan
(lapangan)
g. Interpretasi akhir adalah pengkajian atas pola atau susunan keruangan (obyek);
dan dipergunakan sesuai tujuannya.
Untuk penelitian murni, kajiannya diarahkan pada penyusunan teori, dan
analisisnya digunakan untuk penginderaan jauh, sedangkan untuk penelitian
terapan, data yang diperoleh dari citra digunakan untuk analisis dalam bidang
tertentu. Dalam menginterpretasi citra, pengenalan obyek merupakan bagian yang
sangat penting, karena tanpa pengenalan identitas dan jenis obyek, maka obyek
yang tergambar pada citra tidak mungkin dianalisis. Prinsip pengenalan obyek
pada
citra
didasarkan
pada
penyelidikkan
karakteristiknya
pada
citra.
Karakteristik yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek
disebut unsur interpretasi citra.
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berbasis DAS. Penelitian dilakukan pada wilayah-wilayah yang
berada pada satu daerah aliran sungai. DAS tidak mengenal batas-batas
administrasi oleh karena itu pengelolaannya lebih alami menjadi satu kesatuan
ekosistem mulai dari hulu, tengah dan hilir. Penelitian ini berlokasi di kawasan
permukiman DAS Cianjur di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Gambar 8).
DAS Cianjur yang terletak pada ketinggian antara 265 m dpl sampai dengan 2 950
m dpl telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian
dan hutan ke lahan permukiman. Permukiman tumbuh dan menyebar mulai dari
ketinggian 265 m dpl sampai 1 250 m dpl (Sukri 2004), terutama terjadi di zona
hulu DAS Cianjur yang mengalami perkembangan ekonomi pesat dan merupakan
daerah tujuan wisata. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2006 sampai Mei 2007.
Provinsi
Jawa Barat
DAS Cianjur
Gambar 8 Lokasi penelitian
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah: Peta rupa bumi
Indonesia tahun 1999 lembar Cipanas, Cugenang dan Cianjur skala 1 : 25.000
produksi BAKOSURTANAL, Peta rupa bumi digital tahun 1999 lembar Cipanas,
Cugenang dan Cianjur skala 1 : 25.000 produksi BAKOSURTANAL, citra
landsat ETM tahun 2006 PPLH IPB, peta tanah DAS Cianjur skala 1 : 50.000
produksi Pusat Penelitian Tanah (PPT), peta geologi lembar Cianjur skala 1 :
100.000 produksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG), peta
kawasan kawan bencana Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas Cipta Karya,
peta kepekaan tanah terhadap erosi Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas
Cipta Karya, peta kedalaman efektif Kabupaten Cianjur skala 1 : 225 000 Dinas
Cipta Karya dan data curah hujan tahun 2004.
Alat yang digunakan dalam penelitiaan ini berupa: alat tulis, kamera
digital, global positioning system (GPS), roll meter, scanner, kuesioner. komputer,
software Acr View versi 3.2 dengan full extension dan Map info Profesional 7.0,
dan criterium decision plus versi student.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini meliputi empat kajian, yaitu: (1) pola penyebaran permukiman;
(2) spesifikasi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat terhadap kualitas
permukiman; (3) evaluasi kesesuaian lahan permukiman; dan (4) rumusan kriteria
permukiman sehat dan berwawasan lingkungan.
3.3.1 Kajian analisis pola sebaran permukiman di wilayah DAS Cianjur
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran permukiman di
wilayah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur ditinjau dari aspek: 1) bentuk
permukiman dan 2) tingkat penyebaran permukiman.
1) Metode Pengumpulan Data
Populasi adalah permukiman di DAS Cianjur. DAS Cianjur mencakup 33 desa
yang terletak di enam wilayah kecamatan yaitu Pacet, Cugenang, Cianjur,
Karang Tengah, Sukaluyu, dan Cilaku (Gambar 9). Penentuan sampel
dilakukan dengan metoda multi stage sampling (Adib 2006).
Metode ini mulai dengan menentukan unit yang terbesar dan dilanjutkan
dengan yang lebih kecil. Metode ini menggunakan dua langkah dasar, yaitu
membuat daftar dan menentukan sampel. Melalui skema ini peneliti memilih
sampel dalam kelompok area (desa) di zona DAS, kemudian memilih empat
kampung dari setiap cluster utama dalam area wilayah yang lebih kecil (secara
acak), dan menentukan jumlah unsur sampel dari setiap kampung sebanyak 15
rumah, sehingga jumlah total sampel sebanyak
180 rumah dan keluarga
penghuni. Data diperoleh survai lapangan dan wawancara mendalam.
125
Ketinggian (m)
100
Hul
750
500
Tengah
250
Hili
Sukaluyu
Karang
Tengah
Cilaku
Cianjur
Cugenang
Pacet
24.98 Km
Gambar 9 Lokasi Kecamatan di Kawasan DAS Cianjur Menurut
Ketinggian
2) Jenis Data
Data yang dikumpulkan berupa data kependudukan (jumlah penduduk dalam
kampung, dan jumlah penghuni dalam rumah tangga), spesifikasi konstruksi
bangunan rumah (jenis kontruksi bangunan, elemen ruang, luas bangunan,
dan bahan bangunan), prasarana dan sarana lingkungan permukiman, ukuran
permukiman diukur berdasarkan jumlah rumah dan penduduk, kepadatan
bangunan rumah diukur berdasarkan jarak antara rumah-rumah, tipe
permukiman dilihat
dari susunan tata letak bangunan, dan jumlah
permukiman.
3) Analisis Data
Data kependudukan, spesifikasi konstruksi bangunan, dan prasarana dan
sarana lingkungan permukiman dianalisis dengan SPSS versi 13. Data ukuran,
tingkat kepadatan, dan tipe permukiman akan dianalisis berdasarkan kriteria
dari masing-masing sub variabel pada aspek bentuk permukiman. Kriteria
untuk aspek bentuk permukiman seperti tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7 Kriteria pada masing-masing subvariabel bentuk permukiman
No Subvariabel dari aspek bentuk
Permukiman
1.
2.
Ukuran Permukiman
-Permukiman tunggal
-Permukiman kecil
-Permukiman kecil-sedang
-Permukiman sedang
-Permukiman besar
-Permukiman sangat besar
Kepadatan Bangunan
-Sangat jarang
-Jarang
-Padat
-Sangat padat
-Padat kompak
3.
Tipe Permukiman
-Tipe linear
-Tipe Plaza
-Tipe permukiman dengan pengaturan
area atau streetplan
(Sumber : Van der Zee 1986)
Kriteria
Satu rumah
2 – 20 rumah
Sampai dengan 500 penduduk
Sampai dengan 2000 penduduk
2000 – 5000 penduduk
Lebih dari 5000 penduduk
Pekarangan rumah berjauhan
Pekarangan rumah bersentuhan
tetapi letak rumah tidak
bersentuhan
Jarak antar rumah kecil (0.5 - 1 m)
Rumah kurang lebih menutupi
jalan (lebar jalan 0.5 – 1 m),
dinding-dinding rumah saling
bersentuhan satu sama lain (tidak
ada jarak antar rumah)
Tidak ada ruang terbuka dalam
sebuah blok bangunan
Posisi rumah berjajar linier
Posisi rumah diatur mengelilingi
sebuah ruang bersama
Rumah-rumah diatur dalam posisi
beraturan atau direncanakan
streetplan dalam suatu wilayah.
3.3.2
Kajian Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya hidup Masyarakat terhadap
Permukiman di DAS Cianjur
Kajian mengenai spesifikasi keinginan dan kebutuhan masyarakat
(konsumen permukiman) terhadap bentuk, fungsi dan nilai (Gifford,1997) dari
permukiman yang berada di wilayah hulu, tengah, dan hilir DAS Cianjur
bertujuan untuk mengindentifikasi keinginan dan kebutuhan masyarakat terhadap
kualitas permukiman. Kajian ini menggunakan pendekatan quality function
deployment (QFD). Pendekatan ini, memungkinkan para pengembang untuk
merancang dan mengembangkan produk permukiman sesuai dengan apa yang
diinginkan konsumen dan sekaligus dapat mempertinggi daya saing produk.
1) Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali dengan penentuan atribut-atribut primer bagi
konsumen berdasarkan bentuk, fungsi, dan nilai. Masing-masing atribut
primer
ini
memiliki
beberapa
atribut
sekunder.
Data
dikumpulkan
menggunakan dua teknik. Pertama, melalui wawancara dengan 1) salespeople
(pemasaran real estate) yang memiliki hubungan kuat dengan pembeli dan
pengguna, dan 2) konsumen ahli. Kedua, melalui focus group ukuran kecil
(Gargione 1999) untuk mendapatkan informasi melalui pertanyaan dan
benchmarking antara kawasan permukiman yang berbeda agar ditemukan
kesukaan, ketidaksukaan, trends, dan pendapat tentang kesamaan. Focus
group terdiri dari agent real estate, arsitek, engineer, pembeli potensial, dan
pemilik.
2) Proses QFD dan Analisis Data
Proses QFD secara keseluruhan terdiri atas 4 fase matrik perencanaan yang
saling berhubungan. Matrik pada fase pertama disebut house of quality
(HOQ). HOQ (Gambar 10) adalah matrik perencanaan produk yang
menggambarkan kebutuhan konsumen, target perusahaan dan evaluasi produk
pesaing (Goetsch 2000). Harapan konsumen selanjutnya diterjemahkan ke
dalam karakteristik teknik (technical response) yang didasarkan pada empat
aspek dalam perusahaan: sistem, sarana, sumberdaya manusia, dan aspek lainlain. Selanjutnya menentukan hubungan antara customer requirement dengan
technical response. Hubungan ini dapat dinyatakan dengan menggunakan
lambang-lambang tertentu untuk menyatakan kekuatan hubungan. Lambang
dan nilai atau bobot yang digunakan adalah:
= 10 (melambangkan
hubungan kuat); ³ = 5 (melambangkan hubungan sedang); dan
= 1
(melambangkan hubungan lemah). Untuk menentukan technical response
mana yang harus didahulukan untuk dikembangkan lebih lanjut
Target dan Rasio
PT.C
PT.B
PT. A
Pengelolaan
Pengerjaan konstruksi
Desain arsitektur
Desain Site plan
baku
Pengadaan bahan
Bobot Konversi
: Kuat (10)
³ : Sedang (5)
: Lemah (1)
++ : Kuat positif
+ : positif
-- : Kuat negatif
if
Konst. Bangunan
Bentuk
Luas lahan
Harapan Pelanggan
Bahan Bangunan
Gaya arsitektur
RTH
Terjangkau
Fungsi
Kesehatan
Ekologis
Keamanan
Nilai
Kebersamaan
Estetika
Kawasan Permukiman (PT. A)
Kawasan Permukiman (PT.B)
Kawasan Permukiman (PT.C)
Nilai (Tingkat Kepentingan)
Nilai Relatif
Gambar 10 Rumah kualitas
(Sumber: Goetsch 2000)
(mendapat prioritas utama) sebagai tindakan untuk meningkatkan kepuasan
konsumen, maka dilakukan perhitungan tingkat kepentingan dan kepentingan
relatif. Tingkat kepentingan adalah suatu ukuran yang
menunjukkan
technical response mana yang harus diutamakan dengan melihat hubungan
antara dan tingkat kepentingan konsumen. Kepentingan relatif adalah nilai
dari tingkat kepentingan yang dinyatakan dalam persen kumulatif. Perhitungan
tingkat kepentingan dan kepentingan relatif adalah sebagai berikut (Marimin,
2004):
Nilai tingkat kepentingan = ∑ (tingkat kepentingan yang berhubungan
dengan karakteristik teknik X nilai
hubungan)
Nilai kepentingan relatif = Nilai tingkat kepentingan
Jumlah total nilai tingkat kepentingan
Matrik yang terbentuk dari hubungan keterkaitan ini disebut dengan matrik
korelasi, dan pada matrik HOQ terletak pada bagian atas yang disebut dengan
roof. Hubungan keterkaitan yang ada serta lambang yang digunakan pada
umumnya sebagai berikut: Hubungan kuat positif (++), Hubungan positif (+),
Hubungan negatif (-), dan Hubungan kuat negatif (--). Sesuai dengan bagianbagian dari matrik rumah kualitas, selanjutnya akan tersusun matrik rumah
kualitas secara lengkap.
3.3.3 Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman di DAS Cianjur
Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis kesesuaian lahan
permukiman di DAS Cianjur (hulu, tengah dan hilir) ditinjau dari aspek bio-fisik,
sosial, dan ekonomi.
1) Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui lembaga atau instansi terkait, yaitu :
BAKOSURTANAL, PPT, BMG, PPPG, BAPPEDA, PPLH IPB, Dinas Cipta
Karya, kantor pemda tingkat kecamatan dan desa, Biro Pusat Statistik dan
survai langsung.
2) Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data: (1) bio-fisik yang
terdiri atas kemiringan lereng, elevasi, curah hujan, kepekaan tanah terhadap
erosi, kedalaman efektif, kedalaman air tanah, penutupan lahan, bahaya banjir
dan bahaya letusan gunung; (2) sosial terdiri atas besar anggota rumah tangga,
dan tingkat pendidikan; dan (3) ekonomi yaitu tingkat pendapatan wilayah
berupa PDRB per kapita .
3) Tahapan Pengolahan dan Analisis Data
a. Penyiapan Peta Tematik
Peta-peta yang belum dijitasi disiapkan dengan proyeksi geografis yang
sama, sedangkan peta yang sudah didijitasi tetapi dalam format berbeda
dilakukan konversi, sehingga diperoleh peta tematik dijital dengan
proyeksi peta yang seragam dan siap untuk ditumpangsusunkan.
b. Pengklasifikasian Citra
Peta dijital penggunaan lahan yang digunakan adalah berupa citra landsat
ETM Tahun 2006. Pengklasifikasian diawali dengan persiapan citra
landsat ETM tahun 2006, peta topografi Kabupaten Cianjur. Koreksi
geometrik dilakukan dengan menggunakan arcview extension image
analyst. Citra dikoreksi berdasarkan peta sungai dan jalan Kabupaten
Cianjur. Setelah kesalahan RMS hasil koreksi bernilai < 0.1, citra
kemudian dimasukkan dalam database dengan format erdas image.
Peningkatan tampilan citra melalui warna, kontras, dan tepian dilakukan
secara visual. Citra ditampilkan pada layar monitor komputer dengan
model warna RGB (red green blue) atau kombinasi 5-4-2 karena
merupakan tampilan untuk identifikasi secara visual serta model HIS (hue
intensity saturation). Tampilan RGB sangat baik untuk identifikasi
penutupan lahan, karena tampilan merupakan warna primer yang masingmasing memiliki kisaran nilai 0-255 dan campuran ketiganya (CMY –
cyan magenta yellow). Pada tampilan model HIS, citra ditampilkan pada
nilai optimal. Penajaman kontras dan tepi pada citra dilakukan agar
pengidentifikasian dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tampilan yang
102
sudah mengalami perubahan yang lebih baik dimasukkan dalam database
dengan format erdas image kembali.
Penentuan daerah contoh dalam citra dilakukan berdasarkan nilai warna
pada raster contoh tertentu. Setiap daerah raster contoh memiliki warna
yang khusus (minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi).
Pemilihan dan penentuan daerah contoh diusahakan mencakup seluruh tipe
penggunaan lahan yang ada pada citra, agar tidak terjadi pemaksaan
pengklasifikasian. Pemilihan dan penentuan lokasi daerah contoh juga
memperhatikan pengaruh posisi lereng dan naungan pada citra karena
lokasi berelevasi beragam.
c. Pembangkitan Parameter-parameter
Pada kajian ini, dilakukan analisa data berdasarkan data yang tersedia
dengan memperhatikan faktor ekologi (biofisik), ekonomi dan sosial yang
mempengaruhi kesesuaian lahan permukiman. Kriteria yang digunakan
untuk menetapkan suatu lahan menjadi lahan permukiman adalah
menggunakan beberapa parameter lahan yang dianggap berpengaruh
terhadap tingkat kesesuaian lahan.
Setiap parameter dibagi dalam beberapa kelas (yang disesuaikan dengan
kondisi daerah penelitian) diberi skor mulai dari kelas yang berpengaruh
hingga kelas yang tidak berpengaruh. Setiap kelas akan memperoleh nilai
akhir yang merupakan hasil perkalian antara skor kelas tersebut dengan
bobot dari parameter dimana kelas tersebut berada. Penentuan kriteria,
pemberian bobot dan skor ditentukan berdasarkan studi kepustakaan.
Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan indeks
overlay model untuk memperoleh urutan kelas kesesuaian lahan. Model ini
mengharuskan setiap coverage diberi bobot dan setiap kelas dalam satu
coverage diberi nilai.
Setiap parameter lahan memiliki kelas. Masing-masing kelas tersebut
selanjutnya diberi skor. Kelas-kelas dalam sebuah parameter yang
memberikan berpengaruh buruk terhadap permukiman baik dari segi
kekuatan konstruksi, kenyamanan hunian dan keamanan dari ancaman
bencana alam seperti tanah longsor dan banjir, diberi skor rendah. Berikut
103
ini deskripsi dan skor dari masing-masing kelas pada setiap parameter
kesesuaian lahan.
a) Kemiringan Lereng
Faktor kemiringan lereng merupakan faktor kunci dalam pemicu longsor.
Daerah dengan kemiringan lereng yang curam akan cenderung menjadi
kritis jika tidak dilakukan penanganan yang mengikuti kaidah konservasi
sehingga akan mengancam kestabilan lahan permukiman. Pembangunan
permukiman pada tanah dengan lereng yang curam akan membutuhkan
lebih banyak biaya. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi
hidrologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan semakin
memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap kedalam tanah, hal ini
dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan.
Disamping itu aliran air pada daerah datar, cenderung lebih lambat
dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya
erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar
terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kestabilan lahan permukiman
semakin kecil, sehingga semakin datar kemiringan lereng, maka nilai
skornya semakin besar (Tabel 8).
Tabel 8 Skor parameter kemiringan lereng dalam kesesuaian lahan
permukiman
Kelas
Besaran/Deskripsi
a. Datar
< 10 %
b. Landai
10 – 15 %
c. Agak Curam
16 – 20 %
d. Curam
> 20 %
Sumber: Van der Zee 1990
Skor
4
3
2
1
b) Elevasi
Ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan radiasi matahari.
Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur semakin
menurun (Ritung dkk. 2007). Demikian pula dengan radiasi matahari
cenderung menurun dengan semakin tinggi dari permukaan laut. Oleh
sebab itu ketinggian tempat berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan
104
dari penghuni rumah. Ketinggian tempat dapat dikelaskan sesuai tingkat
kenyamanan dan keamanan penghuni (Tabel 9).
Tabel 9 Skor parameter elevasi dalam kesesuaian lahan permukiman
Kelas
Skor
4
<500 m dpl
3
500-749 m dpl
2
750-1000 m dpl
1
>1000 m dpl
Sumber: Ritung dkk. 2007
c) Curah Hujan
Curah hujan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan permukiman, jika
curah hujan rendah maka akan berpengaruh terhadap ketersediaan air di
wilayah permukiman terutama wilayah yang menggunakan air tanah
sebagai sumber air bersih dan jika curah hujan tinggi maka berpengaruh
terhadap kestabilan lahan permukiman terutama ancaman terhadap bahaya
longsor (Kelarestaghi, 2003; Sani, 2006).
Tabel 10 Skor parameter curah hujan dalam kesesuaian lahan
Permukiman
Kelas
Besaran/Deskripsi
< 1000 mm
Rendah
1000 – 1750 mm
Sedang
1750 – 2500 mm
Tinggi
> 2500 mm
Sangat Tinggi
Sumber: Kelarestaghi (2003); Sani (2006)
Skor
2
3
4
3
d) Kedalaman Efektif Tanah
Kedalaman efektif adalah kedalaman yang diukur dari permukaan tanah
sampai lapisan impermeabel, pasir, kerikil, batu atau plintit (Hardjowigeno,
2007). Kedalaman efektif mempengaruhi drainase dan ciri fisik tanah.
Tanah-tanah dengan kedalaman efektif dalam akan mempunyai aerasi dan
drainase yang baik. Kedalaman efektif juga berpengaruh terhadap jenis
pondasi yang akan digunakan dalam pembuatan bangunan rumah dalam
lingkungan permukiman.
105
Tabel 11 Skor parameter kedalaman efektif tanah dalam kesesuaian
lahan permukiman
Kelas
Besaran/Deskripsi
Skor
4
> 90 cm
Dalam
3
60 – 90 cm
Sedang
2
30 – 60 cm
Dangkal
1
< 30 cm
Sangat dangkal
Sumber: Hardjowigeno, 2007
e) Kepekaan terhadap Erosi
Kepekaan tanah terhadap erosi dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng
dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi daya kohesi tanah seperti
kandungan liat, debu, bahan organik (Hardjowigeno, 2007). Sifat-sifat ini
kadang-kadang berbeda untuk masing-masing horison tanah sehingga
kepekaan erosi dari masing-masing lapisan berbeda. Tingkat kepekaan
tanah terhadap erosi mempengaruhi kestabilan lahan permukiman. Tanah
semakin peka terhadap erosi, maka lahan permukiman semakin tidak
stabil..
Tabel 12 Skor parameter kepekaan erosi dalam kesesuaian lahan
permukiman
Kelas
Tidak peka
Agak peka
Peka
Sangat peka
Besaran/Deskripsi
Tanah tahan terhadap erosi
Tanah cukup tahan terhadap erosi
Tanah tidak tahan terhadap erosi
Tanah sangat tidak tahan terhadap erosi
Skor
4
3
2
1
Sumber: Hardjowigeno, 2007
f) Ketersediaan Air Tanah (Kedalaman Air Tanah)
Fluktuasi air yang baik adalah memiliki kedalaman air tanah yang sedang.
Fluktuasi air berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, jika air tanahnya
dangkal maka keadaan di atasnya lembab dan jika air tanahnya dalam
maka keadaan di atasnya gersang (Sani 2006). Hal ini dapat
mempengaruhi bangunan dan kesehatan penduduk yang tinggal di atas
lahan tersebut.
106
Tabel 13 Skor parameter kedalaman air tanah dalam kesesuaian lahan
permukiman
Kelas
Dangkal
Sedang
Dalam
Sumber: Sani 2006.
Besaran/Deskripsi
< 5m
5 – 10 m
> 10 m
Skor
2
4
2
g) Penutupan Lahan
Faktor kondisi penutupan lahan, sangat berpengaruh terhadap kondisi
hidrologis khususnya dalam DAS. Suatu lahan dengan penutupan lahan
yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga
memperkecil terjadinya erosi percik (splash erosion), memperkecil
koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air
hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal (sponge effect).
Disamping itu kondisi penutupan lahan yang baik juga berpengaruh
terhadap kenyamanan huni dan
ketersediaan air di lingkungan
permukiman.
Tabel 14 Skor parameter penutupan lahan dalam kesesuaian
lahan permukiman
Kelas
Besaran/ Deskripsi
> 30 %
Sangat Baik
20 – 30 %
Baik
10 – 20 %
Sedang
< 10 %
Buruk
Sumber: Ritung dkk., 2007
Skor
4
3
2
1
h) Bahaya Letusan Gunung Merapi
Bahaya atau ancaman letusan gunung merapi mempengaruhi tingkat
kesehatan dan keamanan penghuni permukiman. Lokasi permukiman yang
ideal hendaknya terbebas dari bahaya letusan gunung. Sesuai dengan
kondisi geografis, wilayah DAS Cianjur sangat berpotensi untuk terjadinya
bencana alam yang berkaitan dengan kegeologian seperti bahaya letusan
gunung api yang berasal dari Gunung Gede. Daerah bahaya letusan
diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu: 1) daerah bahaya beradius 5 km
dari pusat erupsinya, yaitu daerah yang dapat terlanda aliran lava panas,
107
lemparan bongkahan atau awan panas; 2) daerah waspada beradius 5-10
km dari pusat erupsinya adalah daerah yang akan terkena abu, pasir dan
kerikil, daerah aliran lahar dan hujan debu; 3) daerah aliran lahar dan
hujan debu dengan jarak kira-kira 10-15 km dari pusat erupsinya, dan 4)
daerah bebas bencana berjarak > 15 km(Bappeda Kabupaten Cianjur,
2006).
Tabel 15 Skor parameter bahaya letusan gunung merapi dalam
kesesuaian lahan permukiman
Kelas
Bebas Bahaya
Bahaya 3
Bahaya 2
Bahaya 1
Besar Deskripsi
Skor
4
Daerah bebas bahaya letusan gunung merapi
3
Daerah aliran lahar dan hujan debu radius 15 km
Daerah yang akan terkena debu, pasir dan kerikil, aliran
2
lahar dan hujan debu radius 10 km
Daerah yang dapat terlanda aliran larva panas, lemparan
bongkahan atau awan panas dalam radius 5 km
1
Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur, 2006
i) Bahaya Banjir
Bahaya banjir merupakan parameter yang penting dalam menentukan
kesesuaian lahan untuk permukiman karena bahaya banjir dapat
mempengaruhi tingkat kenyamanan, kesehatan dan keamanan penghuni
permukiman. Lokasi atau lahan permukiman seharusnya terbebas dari
ancaman banjir. Wilayah DAS Cianjur secara keseluruhan memiliki
kategori wilayah yang terbebas banjir, sehingga parameter bahaya banjir
tidak digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan permukiman.
Tabel 16 Skor parameter bahaya banjir dalam kesesuaian lahan
permukiman
Kelas
Tidak banjir
Jarang
Sering
Rutin banjir
Besaran/ Deskripsi
Dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir
untuk waktu lebih dari 24 jam
Dalam periode kurang dari satu bulan baniir yang terjadi
lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur
Selama waktu 2 – 5 bulan dalam setahun, secara teratur
selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam
Selama waktu enam bulan atau lebih tanah selalu dilanda
banjir secara rutin lamannya lebih dari 24 jam.
Sumber: Hardjowigeno 2007; Van der Zee 1990
Skor
4
3
2
1
108
j) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
Produk domestik regional bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran
produktifitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas
sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara
(Rustiandi, 2007). Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita
dapat memberikan gambaran terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi
masyarakat yaitu dengan mengasumsikan tingkat pendapatan dengan
PDRB per kapita yang diperoleh dari nilai PDRB dibandingkan dengan
jumlah penduduk pertengahan tahun. Jika PDRB
per kapita di suatu
daerah cukup tinggi dapat mencerminkan tingkat pendapatan yang tinggi,
sehingga tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat dikatakan
makmur,
dan
sebaliknya
jika
PDRB
per
kapita
rendah
dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat rendah (BPS, 2005).
Tabel 17 Skor parameter pendapatan (PDRB) per kapita dalam
kesesuaian lahan permukiman
Kelas
Besaran/ Deskripsi
> Rp. 8 juta
Tinggi
Rp. 6 – 8 juta
Menengah
Rp. 4 – 6 juta
Sedang
Rp. < 4 juta
Rendah
Sumber: BPS 2005; Rustiandi 2007
Skor
4
3
2
1
k) Besar Anggota Rumah Tangga
Besar anggota rumah tangga merupakan jumlah anggota rumah tangga
yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Anggota
rumah tangga terdiri dari bapak, ibu, anak dan anggota yang lainnya.
Berdasarkan kriteria norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dibagi
kedalam tiga kelompok yaitu keluarga kecil, keluarga sedang dan keluarga
besar. Keluarga kecil terdiri dari bapak, ibu dan maksimal dua orang anak
(≤ 4), keluarga sedang terdiri dari 5-6 orang dan keluarga besar yang
terdiri dari lebih dari 7 orang. Besar anggota rumah tangga berkaitan
dengan jumlah kebutuhan ruang yang diperlukan pada rumah, sehingga
berpengaruh pada tingkat kenyamanan hunian.
109
Tabel 18 Skor parameter jumlah anggota rumah tangga dalam kesesuaian
lahan permukiman
Kelas
Keluarga kecil
Keluarga sedang
Keluarga besar
Besaran/Deskripsi
≤ 4 Orang
5 – 6 Orang
≥ 7 Orang
Skor
4
3
2
Sumber: BKKBN 2002
l) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan bisa menggambarkan kemampuan kognitif dan
pengetahuan yang dipunyai seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan
formal maka semakin luas tingkat pengetahuan seseorang (Susanto, 1997).
Dengan tingkat pendidikan yang memadai, seseorang dapat melakukan
pengelolaan pemukiman lebih baik.
Tabel 19 Skor parameter tingkat pendidikan dalam kesesuaian lahan
permukiman
Kelas
Tinggi
Menengah Atas
Menengah Pertama
Dasar
Sumber: Susanto 1997
Besaran/ Deskripsi
Perguruan tinggi
SLTA
SLTP
SD
Skor
4
3
2
1
d. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permukiman
Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara
bobot dan skor yang diterima oleh masing-masing parameter. Semakin
tinggi jumlah nilainya maka kesesuaian lahannya juga semakin besar atau
sangat sesuai. Kelas kesesuaian lahan dibedakan pada empat kelas yaitu:
sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak
sesuai (N1). Adapun pengkelasan dari tingkat kesesuaian lahan dapat
dilihat pada Tabel 20.
Kelas kesesuaian lahan pada Tabel 20 dibedakan berdasarkan kisaran nilai
indeks kesesuaiannya. Untuk mendapatkan nilai selang indeks pada setiap
kelas kesesuaian ditentukan dengan cara membagi selang antara empat
110
bagian yang sama dari selisih nilai indeks tumpangsusun tertinggi dengan
nilai indeks tumpangsusun terendah yang diperoleh. Tabel 21 berikut ini
menunjukkan bobot dari masing-masing aspek dan parameter yang
digunakan dalam mengevaluasi kesesuaian lahan permukiman.
Tabel 20 Klasifikasi kesesuaian lahan permukiman
Klasifikasi Kesesuaian Lahan Permukiman
Klasifikasi
Total Nilai
334 – 401
Sangat Sesuai
266 – 333
Cukup Sesuai
198 – 265
Sesuai Marginal
130 - 197
Tidak Sesuai
e. Proses Tumpang Susun (overlay)
Untuk menentukkan pemetaan suatu kawasan yang sesuai dan tidak sesuai
bagi pengembangan lahan permukiman dilakukan operasi tumpangsusun
menggunakan Arc View 3.2. Tumpangsusun pertama adalah menumpang
susunkan dari setiap parameter yang digunakan sebagai kriteria kesesuaian
lahan permukiman sehingga menghasikan peta kesesuaian lahan
permukiman (KLKim-1). Peta KLKim-1 selanjutnya ditumpangsusunkan
dengan peta-peta yang menjadi constrain dalam kesesuaian lahan
permukiman sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan permukiman
berwawasan lingkungan (KLKim-bwl). Peta KLKim-bwl digunakan untuk
mengevaluasi
kondisi
eksisting
permukiman
yaitu
dengan
menumpangsusunkan antara peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra
landsat dan peta KLKim-bwl (Gambar 11).
3.3.4 Rumusan kriteria Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan
Kajian ini bertujuan untuk merumuskan kriteria yang jelas tentang
permukiman sehat dan berwawasan lingkungan. Perumuskan kriteria didasarkan
pada hasil tiga kajian sebelumnya yaitu: pola sebaran permukiman, spesifikasi
kebutuhan masyarakat terhadap permukiman, dan kesesuaian lahan permukiman.
Perumusan kriteria menggunakan matriks yang menggambarkan hubungan antara
kelas kesesuaian lahan, pola permukiman dan spesifikasi kebutuhan dan gaya
hidup masyarakat dalam pengelolaa permukiman pada masing-masing sub DAS.
Tabel 21 Pembobotan parameter untuk kesesuian lahan permukiman
Kemiringan
Lereng
(Bobot 15)
Kelas
Skor
Curah Hujan
(Bobot 10)
Elevasi (Bobot 5 )
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Biofisik (Bobot 85 )
Kedalaman
Kedalaman Air
Efektif
Tanah
(Bobot 10)
(Bobot 15)
Kelas
Skor
Kelas
Skor
Kepekaan Erosi
(Bobot 15)
Kelas
Skor
Penutupan Lahan
(Bobot 5)
Kelas
Skor
Bahaya Letusan
Gunung
(Bobot 10)
Kelas
Skor
< 10
4
<500
4
<1000
2
> 90
4
<5
2
Tidak peka
4
> 30
4
Bebas
4
10 – 15
3
500-749
3
1000-1750
3
61 - 90
3
5 - 10
4
Agak peka
3
20 - 30
3
Bahaya 3
3
16 – 20
2
750-1000
2
1750 -2500
4
30 - 60
2
>10
2
Peka
2
10 – 19
2
Bahaya 2
2
> 20
1
>1000
1
>2500
3
< 30
1
Sangat peka
1
< 10
1
Bahaya 1
1
Sosial (Bobot 10)
Jumlah Anggota
Tingkat Pendidikan
Rumah Tangga
(Bobot 5)
(Bobot 5)
Kelas
Skor
Kelas
Skor
4
<4
4
PT
5–6
>7
3
2
SLTA
SLTP
SD
3
2
1
Ekonomi (Bobot 5)
Tingkat Pendapatan PDRB
(Bobot 5)
Kelas
Skor
> 8 jt
4
3
6,1 – 8 jt
4 – 6 jt
< 4 jt
2
1
Sumber: Modifikasi dari Van der Zee (1990); Susanto (1997); Basso et al. (2000); Sugiarti (2000); BKKBN (2002); Kelarestaghi (2003); Bappeda
Kabupaten Cianjur (2006); Sani (2006); Hardjowigeno (2007); Ritung dkk (2007); Rustiandi (2007).
69
112
Peta Kelas Elevasi (m dpl)
Bobot (5)
Kelas
Skor
<500
4
500-749
3
750-1000
2
>1000
1
Peta Kelas Kemiringan lereng (%)
Bobot ( 15)
Kelas
Besaran (%) Skor
Datar
< 10
4
Landai
10 – 15
3
Agak curam
16 – 20
2
Curam
> 20
1
Peta Curah Hujan
(mm/thn) Bobot (10)
Kelas
Skor
<1000
2
1000-1750
3
1750-2500
4
>2500
3
Peta Kedalaman Air
(m) Bobot (15)
Kelas
Skor
<5
2
5 - 10
4
> 10
2
Peta Kepekaan Erosi
Bobot (15)
Kelas
Skor
Tidak peka
4
Agak peka
3
Peka
2
Sangat peka
1
Peta Bahaya Letusan Gunung (Km)
Bobot (10)
Kelas
Skor
Bebas
4
Bahaya 3
3
Bahaya 2
2
Bahaya 1
1
Peta Landcover (%)
Bobot (5)
Kelas
Skor
> 30
4
20 - 30
3
10 - 20
2
< 10
1
Peta Kedalaman Efektif (cm)
Bobot (10)
Kelas
Skor
> 90
4
60 - 90
3
30 - 60
2
< 30
1
SOSIAL (Bobot
Peta Jumlah Keluarga
(Org) Bobot (5)
Kelas
Skor
<4
4
5–6
3
>7
2
Peta Tingkat Pendidikan
Bobot (5)
Kelas
Skor
PT
4
SLTA
3
SLTP
2
SD
1
Peta
Permukiman
Existing di
DAS Cianjur
Peta Tingkat Pendapatan
(Rp) Bobot (5)
Kelas
Skor
> 8 jt
4
6 – 8 jt
3
4 – 6 jt
2
< 4 jt
1
Peta Kesesuaian Lahan
Permukiman (KLKim-
Peta Konstrain: Lereng,
Elevasi, Kepekaan
erosi, Bahaya Letusan
Gunung
Overlay
EKONOMI (Bobot
BIOFISIK
(Bobot 85)
Peta Evaluasi
Penyebaran permukiman
Berdasarkan Kesesuaian
l h P
ki
Peta Kesesuaian
Lahan Permukiman
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi
Total Nilai
334 – 401
Sangat Sesuai
266 – 333
Cukup Sesuai
198 – 265
Sesuai Marginal
130 - 197
Tidak Sesuai
Gambar 11 Tahapan tumpang susun analisis kesesuaian lahan permukiman
70
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Karakteristik Geografi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur secara geografis terletak diantara
106o25’00” BT – 107o 14’30” BT dan 06 o45’35” LS – 06o50’40” LS (Gambar
12), letaknya berbatasan dengan puncak dan punggungan Gunung Gede
Pangrango di bagian barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung
Geulis dibagian utara, Gunung Puntang di bagian selatan. DAS Cianjur terdiri
dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak sungai (Cigadog,
Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada sungai utama.
Wilayah DAS Cianjur memiliki luas sebesar 7 467.2 ha yang meliputi 6
kecamatan, yang terdiri dari 27 desa dan 6 kelurahan termasuk dalam wilayah
Kabupaten Cianjur dengan deliniasi wilayah seperti tercantum pada Tabel 22.
Secara administratif Kabupaten Cianjur memiliki luas sebesar 350 148.8 ha yang
terbagi dalam 30 kecamatan, yang terdiri dari 342 desa dan 6 kelurahan. Luas
Tabel 22 Persentase luas wilayah DAS Cianjur terhadap luas administratif
Zona
DAS
Desa
Pacet
Cugenang
Hulu
Cianjur
Tengah
Hilir
Total
Karang
Tengah
Cilaku
Sukaluyu
Kecamatan
Ciputri, Ciherang
Galudra,Sukamulya,
Nyalindung, Cibeureum,
Gasol, Mangunkerta,
Cijendil, Sukamanah
Mekarsari, Limbangansari,
Sukamaju, Sawahgede,
Muka, Solok Pandan,
Sayang, Bojong Herang,
Pamoyanan
Sabandar, Sukamanah,
Sindangasih, Langensari,
Sukasari, Maleber,Bojong,
Babakan Caringin,
Hegarmanah
Munjul
Salajambe, Tanjungsari,
Sukasirna, Babakansari
Luas
Administratif
(Ha)
Luas
Wilayah
DAS
(Ha)
4 760.0
1 029.6
Persentase
Luas DAS
terhadap
Administratif
(%)
21.6
7 819.0
2 318.1
29.6
3 177.5
1 085.5
34.2
4 914.0
1 876.0
38.2
5 367.5
356.9
6.6
4 772.5
801.1
16.8
30 810.5
7 467.2
24.2
72
Gambar 12 Peta batas kecamatan dalam wilayah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
wilayah DAS Cianjur sebesar
24.2 % dari luas wilayah adminitratif tingkat
kecamatan (30 810.5 ha) dan hanya 2.1% dari luas total wilayah administrasi
Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur merupakan DAS lokal yang berada di wilayah
Kabupaten Cianjur, sehingga lebih mudahkan bagi pemerintah daerah dalam
pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS.
4.1.2
Karakteristik Topografi
Kawasan hulu DAS Cianjur meliputi areal seluas 3 111.8 ha yang
merupakan daerah pegunungan dan perbukitan terletak pada ketinggian antara 750
m sampai 2 950 m (Gambar 13). Bagian tengah DAS Cianjur meliputi areal seluas
3 245.9 ha dengan variasi ketinggian antara 340 m sampai 750 m dpl. Bagian hilir
DAS Cianjur memiliki areal seluas 1 109.9 ha dengan variasi ketinggian antara
265 m sampai 340 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan ketinggian
wilayah DAS Cianjur sebagian besar (58.3%) memiliki potensi sebagai areal
permukiman.
Kemiringan lereng pada DAS Cianjur secara umum didominasi dengan
kemiringan lereng 0 – 3% yang mencakup luasan sebesar 4 192.1 ha atau 56.1%
dari luas total DAS (Gambar 14). Kemiringan lereng > 45% atau curam sekali
hanya memiliki areal seluas 133 ha atau 1.8% yang terletak pada lereng volkan
atau perbukitan.
Kemiringan lereng 3 – 8% atau agak landai seluas 1 176.4 ha
(15.7%), 8 – 15% atau landai 677.7 ha (9.1%), 15 – 24% agak curam 380 ha
(5.1%) dan 24 – 45% atau curam 907.9 ha (12.2%). Kondisi ini menunjukkan
bahwa berdasarkan kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur sebagian besar
(71.8%) memiliki potensi untuk pembangunan permukiman karena memiliki
kemiringan lereng potensial 3 - 8 % (Masykur 2006).
4.1.3
Karakteristik Iklim
Secara umum berdasarkan klasifikasi iklim Koppen DAS Cianjur termasuk
ke dalam tipe iklim Af, yaitu merupakan daerah iklim hujan tropis, selalu basah,
hujan setiap bulan lebih dari 60 mm (Gambar 15). Kondisi iklim DAS Cianjur
selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini (2005 s/d 2007) secara umum adalah:
1) kelembaban udara rata-rata berkisar antara 84% sampai 87 %; 2) rata - rata
suhu bulanan terdingin adalah 170C, sedangkan rata-rata suhu bulanan terpanas
adalah 25.70C, 3) rata-rata curah hujan bulan berkisar antara 193 mm sampai
275.9 mm, dan 4) hari hujan berkisar antara 164.2 hari/tahun sampai 205
hari/tahun (Tabel 23). Kondisi iklim ini menunjukkan bahwa wilayah DAS
Cianjur memiliki daya tarik sebagai wilayah pembangunan permukiman karena
memiliki tingkat kenyamanan.
Tabel 23 Data iklim DAS Cianjur Tahun 2005 - 2007
Tahun 2005
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Rata-rata
Suhu
(0C)
Kelembaban Udara
(%)
20.2
20.2
20.3
20.3
20.8
20.4
19.9
20.1
19.9
21.1
21.5
20.5
20.4
(Sumber: BMG, 2007)
4.1.4
89
90
89
86
85
87
85
84
85
85
85
91
87
Tahun 2006
Curah
Hujan
(mm)
377.8
583.2
410.2
225.9
231.0
195.7
147.3
113.3
131.7
219.4
365.9
308.8
275.9
Tahun 2007
Suhu
(0C)
Kelembaban Udara
(%)
Curah
Hujan
(mm)
Suhu
(0C)
Kelembaban Udara
(%)
Curah
Hujan
(mm)
20.0
20.1
20.3
20.4
20.7
20.0
19.6
19.4
21.1
21.8
22.2
21.2
20.6
92
92
92
92
91
92
92
89
78
78
83
88
88
414
412
105
319
139
106
44
30
9
109
220
403
193
24.0
20.0
20.1
28.0
20.9
20.4
20.3
20.4
21.0
21.3
21.6
20.8
19.2
86
91
89
88
86
86
81
78
76
81
82
87
84
196
330
338
320
217
145
12
70
108
337
438
417
244
Karakteristik Hidrogeologi
Wilayah DAS Cianjur secara umum didominasi oleh produk-produk bahan
vulkanik muda yaitu formasi qyg, qyl, dan qyc (Tabel 24). Formasi qyg yang
terbentuk dari breksi dan lahar dari Gunung Gede Pangarango menyebar luas
mulai dari puncak gunung sampai ke dataran DAS. Formasi qyl yang dibentuk
oleh lava dijumpai pada sebagian kecil puncak Gunung Gede. Sementara, formasi
qyc yang ditemukan sebagai bukit-bukit kecil di dataran bagian tengah sampai
hilir DAS atau di sekitar daerah Kecamatan Cianjur sampai Sukaluyu, terbentuk
dari batuan aluvial andesit bercampur pasir vulkanik dan tufa. Formasi qot yang
merupakan produk vulkanik tertua mencakup breksi dan lava hanya dijumpai di
bagian utara DAS Cianjur yaitu Pegunungan Geulis. Hal ini menunjukkan bahwa
secara geologi wilayah DAS Cianjur merupakan wilayah rawan bencana letusan
gunung. Pada bagian
hulu
DAS Cianjur terdapat empat sungai, yaitu
Ciherang, Cianjur leutik, Cigadog, dan Cianjur. Keempat sungai tersebut
bergabung menjadi satu (Sungai Cianjur) di Kampung Babakan Pos Kuta wetan
Desa Mangunkerta Kecamatan Cugenang. Di wilayah zona DAS tengah terdapat
Sungai Cikululu yang bergabung dengan sungai Cianjur di Desa Pamoyanan
Kecamatan Cianjur, namun kembali bercabang dua di Kampung Deungkeng Desa
Langensari Kecamatan Karang Tengah menjadi Sungai Cianjur dan Ciheulang.
Selanjutnya pada zona DAS hilir Sungai Cianjur bermuara ke Sungai Cilaku,
sementara Sungai Ciheulang bermuara ke Sungai Cisokan.
Tabel 24 Hidrogeologi DAS Cianjur
Kode
Deskripsi Geologi
Air Permukaan
Air Tanah
Mata Air
Qyg
Breksi dan lahar dari
G. Gede Pangrango.
Tersebar dari puncak
sampai kaki gunung
dan daerah dataran.
Air permukaan pada
badan gunung sulit
dijangkau, terdapat pada
lembah sungai yang
dalam. Pada kaki
gunung, anak-anak
sungai agak mudah
dijangkau. Di bagian
dataran, air sungai
sangat mudah diakses
dan digunakan
Pada badan gunung, air
tanah sangat dalam.
Pada kaki gunung,
muka air tanah bebas
3-4 m, air tanah dalam
tidak diketahui. Pada
bagian dataran, air
tanah bebas bervariasi
dari 0.5-5 m, air tanah
tak bebas > 30 m
Pada badan gunung,
mata air dijumpai di
lereng-lereng. Di
kaki gunung,
beberapa mata air
ditemui di lembah
sungai. Di bagian
dataran, mata air
sangat jarang,
kecuali pada
beberapa lembah
sungai
Qyl
Lava muda dari G.
Gede Pangrango.
Terdapat di bagian
atas gunung.
Air permukaan pada
kawasan gunung sulit
dijangkau, berada pada
lembah-lembah sungai
yang dalam
Air
tanah
dalam.
Mata air-mata air
pada lereng gunung
Qyc
Bongkahan batuan
aluvial andesit
bercampur dengan
pasir vulkanik dan
tufa.
-
Air tanah dalam jarang
ditemui.
-
Qot
Breksi dan lava dari
produk-produk
vulkanik tertua.
Dalam lembah-lembah
sungai kecil yang dalam
Jarang (sangat dalam)
Tidak teramati
sangat
Sumber: Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat 1972.
Peta Geologi Lingkungan Lembar Cianjur, Jawa Barat 1993.
Kondisi air permukaan terkait erat dengan keberadaan sungai-sungai yang
mengalir dan kondisi curah hujan sepanjang tahun. Air sungai dimanfaatkan oleh
masyarakat yang bermukim di sekitar DAS untuk keperluan pertanian, mandi,
Gambar 13 Peta kelas elevasi DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
76
Gambar 14 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
77
Gambar 15 Peta curah hujan DAS Cianjur (Sumber: Dinas Cipta Karya Kabupaten Cianjur 2005)
78
cuci, dan kakus. Mata air umumnya berada pada ketinggian 400 – 1 000 m
dpl,yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat di zona hulu. Masyarakat di
zona tengah dan hilir DAS biasanya memperoleh air bersih dengan memanfaatkan
air tanah dengan kedalaman antara 4 sampai 8 m.
4.1.5
Karakteristik Tanah
Secara umum DAS Cianjur terdiri dari 5 jenis tanah dengan luasan
bervariasi (Gambar 16). Tanah latosol coklat mendominasi luasan yaitu sebesar 3
617.5 ha atau 48.4% dari luas total DAS yang membentang dari hulu hingga
tengah. Bagian tengah dan hilir DAS berturut-turut didominasi oleh tanah latosol
coklat dan aluvial coklat kekelabuan (ACK). Asosiasi aluvial kelabu dan aluvial
coklat kekelabuan (AK-ACK) dan asosiasi andosol coklat dan regosol coklat (ACRC) berturut-turut masing-masing hanya terdapat di hilir (1.9%) dan hulu (22.2%)
DAS Cianjur. Berdasarkan jenis tanah yang ada diwilayah DAS Cianjur yaitu
latosol (memiliki kepekaan erosi agak peka), aluvial (memiliki kepekaan erosi
tidak peka), dan regosol (memiliki kepekaan erosi sangat peka) maka hanya
sebagian kecil wilayah DAS Cianjur potensial untuk pengembangan permukiman.
4.1.6 Karakteristik Daerah Rawan Bencana
Sesuai dengan kondisi geografis, wilayah DAS Cianjur sangat berpotensi
terjadinya bencana alam yang berkaitan dengan kegeologian seperti bahaya
letusan gunung api yang berasal dari Gunung Gede (Bappeda Kabupaten Cianjur
2006). Berdasarkan hal tersebut, dapat diidentifikasi wilayah-wilayah di DAS
Cianjur yang rawan terhadap bencana letusan gunung api yaitu untuk wilayah
yang termasuk kelompok daerah bahaya meliputi Kecamatan Pacet dan
Cugenang dan Cianjur, sedangkan kelompok daerah waspada meliputi Kecamatan
Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu (Gambar 17). Kondisi ini
menunjukkan bahwa wilayah DAS Cianjur terutama sub DAS hulu merupakan
wilayah yang kurang aman untuk pengembangan permukiman.
Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
80
PETA
RAWAN LETUSAN GUNUNG
Daerah Aliran Sungai Cianjur
KABUPATEN CIANJUR
Gambar 17 Peta rawan letusan gunung di DAS Cianjur (Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur 2006)
81
4.1.7
Penggunaan Lahan Aktual
Penggunaan lahan di DAS Cianjur hasil interprestasi citra landsat tahun
2006, secara umum terdiri dari hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman
industri, perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering bercampur semak,
sawah, semak atau belukar, dan tanah terbuka (Gambar 18). Penggunaan lahan
yang mendominasi adalah sawah seluas 2 729.8 ha atau 36.6%, permukiman
seluas 2 058 ha atau 27.6%, dan pertanian lahan kering seluas 1 211.7 ha atau
16.2% sementara itu luas hutan lahan kering hanya 539.5 ha atau 7.2%.
Rendahnya persentase hutan lindung di bagian hulu DAS Cianjur disebabkan
telah terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman.
Pertumbuhan permukiman di wilayah ini bersifat skipping, yaitu memanfaatkan
lahan yang masih baru (dari hutan, pertanian lahan basah dan kering) dengan
bertitik tolak pada pemandangan indah. Hal ini dapat merusak stuktur tata ruang
yang direncanakan dengan menggunakan lahan yang bukan diperuntukan bagi
pengembangan perumahan dan permukiman.
4.1.8 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kependudukan
Secara administratif penduduk Kabupaten Cianjur pada akhir tahun 2005
adalah 2 098 644 jiwa (570 047 KK) yang terdiri dari 1 069 408 jiwa laki-laki dan
1 029 236 jiwa perempuan dengan laju pertumbuhan sebesar 1.96% dari tahun
sebelumnya (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006). Berdasarkan tingkat penyebarannya, penduduk terkosentrasi di wilayah Cianjur utara sebesar 65% dengan
kepadatan antara 594.20 jiwa/km2 sampai 3 073 68 jiwa/km2, Cianjur tengah
19.62% dengan kepadatan antara 253.90 jiwa/km2 sampai 628.95 jiwa/km2 dan
Cianjur selatan 15.38% dengan kepadatan antara 180.75 jiwa/km2 sampai 253.95
jiwa/km2. Wilayah Cianjur utara yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang
tinggi merupakan wilayah DAS Cianjur, oleh karena itu kebutuhan terhadap
permukiman akan tinggi.
Sehubungan dengan program pemerintah Kabupaten Cianjur yang terus
melakukan pengembangan ke wilayah utara Cianjur karena dinilai memiliki
berbagai potensi wisata maka kecenderungan DAS Cianjur bagian hulu akan
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
10 7°0 0 '
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°51'
6°51'
6°48'
6°48'
6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
P E TA
P E N G G U N A AN L A H A N T AH U N 20 06
D AS C IA N JU R
K A B U P AT E N C IAN JU R
N
2
0
2
4 Kilo m e te rs
B ata s D A S
Tu tu p a n L a h an :
H u tan L a ha n K e rin g S ek u n de r
H u tan T a n am a n Ind u s tri (H T I)
P er ke b u na n
P er m u k im an
P er tan ia n la h a n k e rin g b e rc a m p u r d g n s e m a k
S aw ah
S em a k /B e lu k a r
Ta n a h Te rb u k a
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 18 Peta penggunaan lahan DAS Cianjur (Sumber: PPLH IPB 2006)
83
menerima tekanan berupa kebutuhan ruang hunian, villa, sarana prasaran wisata.
Oleh karena itu potensi alih fungsi lahan dari lahan pertanian lahan kering, semak
belukar, dan lahan terbuka menjadi pemukiman, villa, sarana prasaran wisata akan
terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Silas (2007) bahwa pertumbuhan
permukiman
tersebut dipicu oleh suatu proses pergeseran permukiman yang
disebabkan oleh mekanisme pasar, sehingga akan terjadi perpindahan orang yang
semula tinggal dalam kota ke rumahnya di pinggiran atau luar kota.
4.2 Pola Sebaran Permukiman
Pola penyebaran pembangunan permukiman tertata dan permukiman tidak
tertata di wilayah desa dan kota pembentukkannya berakar dari pola campuran
antara ciri perkotaan dan perdesaan. Kawasan permukiman perkotaan di wilayah
DAS Cianjur sebagian besar berada di wilayah bagian tengah DAS Cianjur.
Kawasan permukiman perkotaan merupakan Kecamatan-kecamatan yang pada
saat ini merupakan konsentrasi kegiatan penduduk dengan indikasi jumlah
penduduk yang besar (Bappeda Kabupaten Cianjur, 2005) seperti Kecamatan
Pacet (Zona DAS hulu), Cianjur, dan Karang Tengah (Zona DAS tengah).
Pola permukiman tertata wilayah DAS Cianjur memiliki keteraturan bentuk
secara fisik. Artinya sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah
kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen,
berdinding tembok dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Hal ini sejalan
dengan pendapat Koestoer (1995) yang menyatakan bahwa bangunan rumah di
lingkungan permukiman tertata secara teratur menghadap jalan dengan kerangka
jalan tertata secara bertingkat mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan
lingkungan atau lokal. Pola permukiman tidak tertata di wilayah DAS Cianjur
cenderung berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari
sumber air seperti sungai dan jalan.
4.2.1 Ukuran Permukiman
Tabel 25
menunjukkan bahwa ukuran permukiman yang berada di
wilayah DAS Cianjur sebagian besar tergolong ke dalam permukiman sedang
dengan jumlah penduduk antara 500 sampai dengan 2000 jiwa. Selebihnya
tergolong dalam permukiman kecil-sedang dengan jumlah penduduk kurang dari
500 jiwa dan jumlah rumah lebih dari 20 unit (Van der Zee 1986). Ukuran
permukiman di bagian hulu didominasi oleh permukiman sedang dengan jumlah
rumah rata-rata 196 unit, sedangkan di bagian tengah dan hilir komposisi ukuran
permukiman kecil-sedang dan sedang berimbang dengan jumlah rumah rata-rata
untuk permukiman kecil-sedang 49 unit di bagian tengah dan 53 unit di bagian
hilir, sementara permukiman sedang di bagian tengah dan hilir masing-masing
dengan jumlah rumah rata-rata sebanyak 416 unit dan 193 unit.
Tabel 25 Ukuran permukiman
Zona
DAS
Kampung
Hulu
Tengah
Hilir
Sarongge girang
Cibeureum Kidul
Galudra Tengah
Burangkeng
Perum Buniwangi
Sayang
Perum Maleber
Golebag Dua
Pasir Peucang
Pasir Goong
Kamiran
Cibakung
Kriteria Ukuran
Permukiman
Jumlah
Jumlah
Penduduk Rumah
922
190
928
152
865
245
465
102
260
50
1210
464
1105
368
216
49
142
32
312
74
826
198
600
188
Golongan
ukuran
Permukiman
Sedang
Sedang
Sedang
Kecil-Sedang
Kecil-Sedang
Sedang
Sedang
Kecil-Sedang
Kecil-Sedang
Kecil-Sedang
Sedang
Sedang
Total
Persentase
Sedang
Kecil-Sedang
25
8.32
16.67
16.67
16.67
16.67
58.34
41.66
Tabel 25 menjelaskan bahwa jumlah penduduk rata-rata yang mendiami
permukiman setingkat kampung yang berada di wilayah hulu DAS Cianjur (795
jiwa) lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk rata-rata yang di wilayah
tengah (741 jiwa) maupun hilir (470 jiwa). Hal ini disebabkan zona DAS hulu
memiliki: (1) potensi wisata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang
berada di bagian tengah dan hilir maupun warga yang berasal dari luar kawasan
DAS untuk pindah ke zona DAS hulu, (2) kondisi iklim (suhu) yang memberikan
tingkat kenyamanan yang lebih, (3) kemudahan memperoleh air bersih dan (4)
fasilitas infrastruktur berupa jalan yang menghubungkan antar kampung, desa,
kecamatan hingga ke ibukota kabupaten.
4.2.2 Kepadatan Bangunan
Bangunan rumah di wilayah DAS Cianjur sebagian besar (50%) memiliki
tipe kepadatan bangunan yang padat (Tabel 26). Kepadatan bangunan dicirikan
salah satunya oleh jarak antara bangunan rumah yang kecil yaitu berkisar antara
setengah sampai satu meter. Permukiman di zona DAS hulu didominasi oleh
permukiman dengan tipe kepadatan bangunan yang padat, di zona DAS tengah
didominasi oleh permukiman dengan tipe kepadatan bangunan jarang, dan di zona
DAS hilir terdapat dua tipe kepadatan bangunan yaitu jarang dan padat.
Tabel 26 Tipe kepadatan bangunan
Zona
DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Unit Permukiman
(Kampung)
Sarongge Girang
Cibeureum Kidul
Galudra Tengah
Burangkeng
Perum Buniwangi
Sayang
Perum Maleber
Golebag Dua
Pasir Peucang
Pasir Goong
Kamiran
Cibakung
Tipe
kepadatan
Bangunan
Padat
Sangat padat
Padat
Padat
Jarang
Sangat Padat
Jarang
Padat
Jarang
Jarang
Padat
Padat
Total
Persentase
Sangat Padat
Padat
Jarang
8.3
25
-
8.3
8.3
16.7
-
16.7
16.7
16.6
50
33.4
Dominasi tipe bangunan padat di zona DAS hulu Cianjur disebabkan karena
kepemilikan lahan untuk bangunan rumah diperoleh secara turun-terumun
(warisan) pada satu lokasi lahan dengan luasan terbatas, yang mengakibatkan
lahan warisan seluruhnya digunakan untuk membangun rumah. Faktor lain yang
menyebabkan kepadatan bangunan adalah terjadinya fregmentasi seperti yang
diungkapkan Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan atau
pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau maksimalisasi
penggunaan lahan dengan konstruksi kualitas rendah membuat persil permukiman
terus mengecil dan permukiman pun menjadi padat, sehingga jarak antar
bangunan rumah sangat kecil atau bahkan jarak atap hanya setengah meter.
Kondisi ini mengakibatkan terbatasnya sarana infrastruktur sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa tingginya kepadatan bangunan
mengakibatkan minimnya lahan yang tersedia bagi sarana infrastuktur, yang
menyebabkan rendahnya kualitas suatu lingkungan permukiman.
4.2.3 Tipe Permukiman
Permukiman secara umum memiliki tiga tipe yaitu linier, plaza, dan
streetplan (Van der Zee 1986). Permukiman di wilayah DAS Cianjur memiliki
dua tipe yaitu tipe linier dan streetplan. Tipe permukiman linier dibagi dalam dua
kategori yaitu linier-1 dan linier-2 (Gambar 19). Permukiman tipe linier-1 adalah
permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi rumah
berjajar linier sepanjang jalan setapak dengan lebar setengah sampai satu meter
dan jalan desa dengan lebar tiga sampai empat meter. Permukiman tipe linier-2
adalah permukiman yang memiliki beberapa kelompok rumah dengan posisi
rumah berjajar linier sepanjang jalan lingkungan atau gang dengan lebar satu
meter dan jalan desa dengan lebar lima meter.
Tipe permukiman linier memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah
yang tidak teratur, jarak antar rumah yang kecil, dan pekarangan rumah yang
terbatas. Permukiman streetplan memiliki kecenderungan bentuk susunan rumah
yang teratur menghadap jalan dengan kerangka jalan tertata secara bertingkat
mulai dari jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal (Koestoer
Persentase (%)
1995).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Hulu
Tengah
Linier-1
Linier-2
Hilir
Streetplan
Gambar 19 Persentase tipe permukiman di wilayah DAS Cianjur
Sebagian besar tipe permukiman di zona DAS bagian hulu adalah tipe
linier-1, zona tengah DAS terdiri dua tipe permukiman yaitu tipe streetplan dan
linier-2. Permukiman di zona DAS hilir seluruhnya memiliki tipe permukiman
linier-1. Antar unit permukiman (Kampung) dihubungkan dengan jalan desa,
sedangkan dalam lingkungan kampung itu sendiri mobilitas penghuni hanya
melalui jalan selebar setengah sampai satu meter yang dibangun dengan swadaya
masyarakat. Posisi bangunan rumah yang tidak teratur secara berkelompok
menghadap kearah jalan baik jalan desa maupun jalan lingkungan.
4.2.4 Karakteristik Permukiman Tidak Tertata
Kampung merupakan unit terkecil dari suatu permukiman. Luas kampung
yang menjadi sampel berkisar antara 1.6 ha sampai dengan 20.8 ha dengan luas
rata-rata sebesar sembilan ha. Rata-rata luas kampung di zona DAS hulu lebih
kecil jika dibandingkan dengan luas kampung di tengah dan hilir. Hal ini
disebabkan oleh kondisi topografi wilayah hulu yang berbukit dengan tingkat
kemiringan yang cukup bervariasi, sehingga luasan wilayah kampung terbatas dan
cenderung posisi kampung menyebar dengan luasan kecil.
Komposisi jenis konstruksi rumah responden di lingkungan permukiman
tidak tertata di DAS Cianjur terdiri dari rumah permanen, rumah panggung, dan
rumah semi permanen (Tabel 27). Jenis konstruksi rumah yang banyak digunakan
oleh sebagian besar masyarakat di zona hulu (51.7%) dan hilir (53.3%) adalah
rumah panggung. Persentase jenis konstruksi rumah yang digunakan oleh
masyarakat di wilayah Kabupaten Cianjur adalah : rumah permanen 66.3%; semi
permanen 25.4%; dan rumah panggung 8.3% (Bappeda Kabupaten Cianjur 2006).
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar
masih menggunakan Arsitektur Tradisional Sunda dalam membangun rumah
dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Cianjur.
Tabel 27 Jenis konstruksi rumah responden
Jenis Konstruksi (%)
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Permanen
38.3
93.3
43.3
Semi Permanen
10.0
5.0
3.3
Keterangan: n=60 pada masing-masing lokasi
Panggung
51.7
1.7
53.3
Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda banyak ditemui di
DAS bagian hulu dan hilir. Secara umum konsep dasar rancangan arsitektur
tradisional masyarakat Sunda adalah menyatu dengan alam. Menurut budaya
masyarakat Sunda, alam merupakan sebuah potensi atau kekuatan yang mesti
dihormati serta dimanfaatkan secara tepat di dalam kehidupan sehari-hari
(Loupias 2005). Dominasi keberadaan rumah panggung di wilayah DAS Cianjur
merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Sunda dalam melestarikan budaya.
Rumah panggung dirancang dengan konsep menyatu dengan alam sehingga
dalam penggunaan bahan bangunan menggunakan bahan lokal. Perilaku
masyarakat ini mencerminkan budaya masyarakat yang tidak bergantung pada
sumberdaya berasal dari luar dan kesadaran akan penggunaan energi untuk
transportasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi (2006) bahwa
penggunaan bahan bangunan lokal akan memperpanjang jangka waktu pemakaian
bangunan dan menguntungkan dari segi kalkulasi energi. Di DAS bagian hulu
keberadaan rumah panggung dikarenakan ketersediaan bahan bangunan untuk
konstruksi rumah tersebut cukup banyak, terutama kayu dan bambu.
Rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda memiliki keunggulan
yaitu: 1) rumah panggung memiliki koefisien dasar bangunan yang rendah, artinya
bahwa lahan dibawah rumah panggung dapat berfungsi sebagai areal untuk
meresapkan air; 2) rumah panggung terhindar dari udara lembab dari tanah
maupun debu; dan 3) rumah panggung lebih tahan terhadap bencana alam
terutama gempa bumi.
Bangunan rumah panggung di Jawa Barat dibedakan menurut bentuk atap
dan pintu masuk (Depdikbud 1984). Konstruksi rumah panggung berdasarkan
bentuk atap terdiri dari enam tipe yaitu: suhunan jolopong, tagog anjing, badak
heuay, parahu kumureb, jubleg nangkub, dan julang ngapak. Konstruksi rumah
panggung berdasarkan pintu masuk terdiri dari dua tipe yaitu: rumah buka palayu
dan buka pongpok. Rumah panggung pada zona hulu dan hilir DAS Cianjur
banyak mempergunakan tipe suhunan jolopong, parahu kumureb, dan julang
ngapak.
Rumah panggung pada umumnya memiliki susunan ruangan yaitu: tepas
(teras), pangkeng (kamar), tengah imah (ruang tengah), goah (ruang tempat
menyimpan padi), dan pawon (dapur). Sistem pembagian ruangan didasarkan
pada pandangan masyarakat tentang kedudukan dan fungsi masing-masing
anggota keluarga penghuni. Pembagian didasarkan pada tiga daerah yang terpisah
(daerah wanita, daerah laki-laki, dan daerah netral). Dapur dan goah merupakan
ruangan untuk wanita. Ruangan depan adalah ruangan untuk laki-laki. Tengah
imah merupakan ruangan netral yang digunakan untuk wanita dan laki-laki baik
orang tua maupun anak-anak.
Konstruksi rumah panggung memiliki bagian-bagian menurut fungsinya.
Bagian-bagian rumah terdiri dari: golodog, kolong, tatapakan, tihang, palupuh,
dinding, pintu, jendela jalosi, ampig, lalangit, suhunan, pananggeuy, lincar,
darurung, paneer, saroja, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret.
Golodog merupakan tangga rumah yang terbuat dari kayu atau bambu. Fungsinya
sebagai penghubung lantai dengan tanah. Kolong merupakan ruangan yang
terdapat di bawah lantai rumah, tingginya 0.5 – 0,8 m di atas permukaan tanah.
Konstruksi rumah panggung dengan arsitektur tradisional Sunda berdiri di
atas batu penyangga atau disebut tatapakan (tempat bertumpu atau penyangga)
yang diletakan pada setiap pojok serta bagian konstruksi yang menahan beban
cukup besar. Di atas tatapakan diletakkan tihang yang berfungsi sebagai
penyangga atap bangunan. Tihang dibuat dari kayu ukuran 15 x 15 cm untuk
tihang-tihang utama, sedangkan untuk tihang-tihang tambahan dibuat dengan
ukuran yang lebih kecil.
Bagian lantai dibuat dari papan atau palupuh
(lembaran bambu hasil
cercahan atau tumbukan yang menyatu saling mengikat). Hasil cercahan tersebut
membentuk celah-celah memanjang tidak beraturan yang berfungsi sebagai
ventilasi udara dari bawah serta dapat digunakan untuk membuang debu di atas
lantai. Konstruksi lantai yang tidak langsung bersentuhan dengan permukaan
tanah memberikan fungsi kenyamanan huni yaitu rumah akan terhindar dari udara
lembab yang berasal dari tanah maupun debu.
Dinding sebagian besar terbuat dari anyaman bambu yang disebut bilik
berfungsi sebagai penutup bangunan maupun penyekat ruangan. Bilik tersebut
memiliki lubang-lubang kecil seperti "pori-pori" yang berfungsi sebagai ventilasi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Loupias (2005) bahwa lubang-lubang kecil pada
bilik berfungsi untuk menyalurkan udara maupun cahaya dari luar ruangan atau
sebaliknya, sehingga suhu di dalam ruangan selalu terjaga secara alami sesuai
dengan kondisi cuaca alam di luar. Kondisi ini tidak perlu mengandalkan cahaya
yang masuk sepenuhnya melalui jendela.
Lalangit merupakan bagian konstruksi yang menempel pada dasar rangka
atap. Lalangit terbuat dari bambu yang dianyam atau papan kayu. Selanjutnya
bagian bangunan yang paling atas yaitu atap. Konstruksi atap rumah panggung
terdiri dari: suhunan, balandar, kuda-kuda, usuk, ereng, pamikul, pangheret, dan
sisiku. Pembuatan rumah panggung biasanya dilakukan dengan tradisi gotong
royong oleh masyarakat dilingkungan kampung.
Rata-rata luas rumah di hulu, tengah dan hilir DAS Cianjur masing-masing
berturut-turut adalah 47.1 m2, 69.4 m2 dan 40.8 m2 (Tabel 28). Hasil uji beda
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) rata-rata luas rumah antara
hulu, tengah dan di hilir.
Tabel 28 Rata-rata luas per-orang penghuni rumah di DAS Cianjur
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Rata-rata Luas
Rumah (m2 )
47.1
69.4
40.8
Rata-rata jumlah
penghuni
4.6
4.7
4.9
Rata-rata luas
perjiwa
10.2
14.8
8.3
Berdasarkan tingkat kebutuhan ruang minimum per-orang sesuai dengan
standar ukuran kebutuhan ruang minimum yang dikeluarkan oleh Menteri
Kimpraswil tahun 2002, maka ukuran kebutuhan ruang minimum untuk rumah
yang berada di wilayah hilir (luas rata-rata 40.8 m2) dengan rata-rata jumlah
penghuni sebesar 4.9 jiwa dapat dikategorikan tidak memenuhi standar minimum
ukuran kebutuhan ruang per-orang sebesar 9 m2. Hal tersebut akan mempengaruhi
tingkat kenyamanan dan keleluasan bergerak dari penghuni sebagaimana
diungkapkan oleh Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang yang ada akan
mempengaruhi tingkat kemudahan tingkah laku dari para penghuninya.
Kelengkapan elemen ruang yang dimiliki rumah responden di hulu, tengah
maupun hilir DAS sebagian besar memiliki kelengkapan ruang yang standar yaitu
ruang tamu, kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan WC (Tabel 29). Kelengkapan
elemen ruang dalam rumah akan berpengaruh pada tingkat kenyamanan,
kesehatan dan tingkah laku penghuni yang disebabkan tidak terpenuhinya fungsifungsi ruangan. Hal ini diungkapkan oleh Sastra (2006) bahwa sebuah rumah
harus dapat memungkinkan orang beristirahat, memasak, makan, berkumpul
dengan keluarga dan sebagainya.
Tabel 29 Kelengkapan elemen ruang
Zona DAS
Kelengkapan Ruang
Sangat Lengkap
Standar
Kurang dari standar
%
8.3
16.7
13.3
%
55
61.7
46.7
%
36.7
21.7
40
Hulu
Tengah
Hilir
Hasil uji beda menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata (p<0.05)
kepemilikan ruang tidur, dapur, kamar mandi, dan WC di hulu, tengah dan hilir.
Elemen ruang yang cukup banyak tidak dimiliki baik di hulu maupun hilir DAS
adalah kamar mandi dan WC. Perbedaan tersebut disebabkan oleh status sosial
ekonomi masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Jiaming (2005) di
Shangai bahwa tipe tempat tinggal termasuk kelengkapan elemen ruang
berhubungan dengan tingkat pendapatan perkapita.
Luas lantai rumah di wilayah DAS Cianjur bervariasi dari luasan < 20 m2
sampai > 150 m2. Di bagian hulu, tengah dan hilir didominasi oleh rumah dengan
luas lantai antara 20 – 49 m2 (Tabel 30). Rumah dengan luas lantai > 150 m2
hanya dijumpai di bagian tengah DAS yaitu di lingkungan permukiman tertata.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di hulu dan hilir
lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang berada di sub DAS tengah.
Tabel 30 Jumlah rumah menurut luas lantai
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Total
< 20
%
3.3
1.7
1.7
20-49
%
58.3
60
83.3
67.2
Luas Lantai (m2)
50-99
100-149
%
%
33.3
5.0
23.3
6.7
11.7
3.3
22.8
5.0
>150
%
10.0
3.3
Secara umum occupancy rate (tingkat penghunian) rumah di wilayah DAS
Cianjur sebesar 121.1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan rumah yang
ada belum bisa menampung kebutuhan masyarakat akan rumah (Dinas Cipta
Karya 2005).
Tingkat penghunian yang paling besar terdapat di zona DAS tengah
mencapai 126.7% (Tabel 31). Hal ini disebabkan wilayah zona DAS tengah
merupakan wilayah perkotaan dengan tingkat ketersediaan rumah lebih kecil dari
jumlah kepala keluarga yang ada sehingga berdampak pada tingkat hunian yang
melebihi 100%. Tingkat hunian yang melebihi 100% berdampak pada tingkat
kenyamanan, hubungan sosial dan kecenderungan memicu terjadinya konflik
keluarga sebagaimana diungkapkan Sarwono (1992) bahwa keluasan ruang akan
mempengaruhi tingkat kenyamanan dan perilaku penghuninya.
Tabel 31 Tingkat penghunian rumah di DAS Cianjur
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Jumlah KK dalam Satu Rumah
1
51
49
52
2
12
14
14
3
9
9
4
4
4
Tingkat
Penghunian
%
120
126.7
120
Rumah di wilayah DAS Cianjur separuhnya memiliki RTH berupa taman di
halaman rumah. Luas rata-rata RTH di bagian hulu, tengah dan hilir masingmasing berturut-turut sebesar 32.8 m2, 21.5 m2, dan 19.9 m2. Kecilnya luasan
RTH di bagian hilir disebabkan: (1) lahan untuk rumah rata-rata diperoleh dari
warisan orang tua, sehingga luas areal lahan yang dibagikan terbatas hanya untuk
bangunan rumah, dan (2) jumlah anggota rumah tangga yang cukup besar yaitu
rata-rata 4.9 jiwa/rumah, sehingga diperlukan penambahan ruang. Hal ini sejalan
dengan pendapat Kuswartojo (2005) bahwa pemilikan lahan karena pewarisan
akan terjadi pelepasan hak sedikit demi sedikit untuk keperluan konsumsi atau
maksimalisasi penggunaan lahan dengan konstruksi bangunan rumah. Kondisi
pekarangan yang sempit akan memicu terjadinya ”heat island” (titik-titik panas)
pada kawasan permukiman. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kobayashi
(2006) yang melakukan pengukuran gas emisi CO2 di sektor permukiman
perkotaan di kota Nihonmatsu Jepang dengan melakukan pengukuran emisi CO2
dari bahan bangunan, aktivitas keluarga, dan transportasi.
Berdasarkan jenis bahan bangunan yang digunakan pada bangunan rumah
di wilayah DAS Cianjur, sebagian besar telah memiliki komponen rumah sehat
(Ditjen Ciptakarya 1997). Komponen rumah sehat tersebut seperti pondasi,
dinding, lantai, plapond dan atap. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan
(p<0.05) dalam penggunaan bahan dinding, lantai, plapond di hulu, tengah dan
hilir DAS Cianjur. Bahan dinding yang banyak digunakan oleh sebagian besar
masyarakat di zona hulu (46.7%) dan tengah (93.3%) adalah tembok , sedangkan
5
0
50
40
30
20
10
0
Tengah
Hulu
T embok
Papan-bilik
Papan
Bilik
T embok-bilik
Persentase Penggunaan
100
90
80
70
60
50
45
40
35
30
25
20
15
10
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
di zona hilir sebagian besar (45%) menggunakan bilik. (Gambar 20).
T embok
Papan-bilik
Bilik
T embok-bilik
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Hilir
T embok
Papan-bilik
Bilik
T embok-bilik
Gambar 20 Persentase penggunaan bahan dinding
Penggunaan bahan lantai di zona hulu, tengah, dan hilir masing-masing
secara berturut-turut didominasi oleh adalah papan 28.8%, keramik 73.3% dan
bilik 33.3% (Gambar 21). Sementara itu untuk bahan plapond di zona DAS hulu,
tengah dan hilir masing-masing sebagian besar secara berturut-turut menggunakan
bilik 51.7%, triplek 51.7% dan bilik 55% (Gambar 22). Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat yang tinggal di zona DAS hulu dan hilir masih melestarikan
tradisi penggunaan bahan bangunan lokal dibandingkan dengan masyarakat yang
tinggal di zona DAS tengah.
Bahan untuk penutup atap untuk seluruh wilayah DAS dari hulu hingga
hilir sebagian besar (100%) menggunakan genteng. Dominasi penggunaan bahan
genteng sebagai bahan penutup atap tersebut disebabkan oleh ketersediaan
genteng mudah didapat, harga yang relatif lebih murah dan memberikan
80
25
70
20
15
10
5
0
35
Persentase Penggunaan
30
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
kenyamanan bagi penghuninya. Hal ini sejalan dengan pendapat Frick (1996)
60
50
40
30
20
10
0
25
20
15
10
5
0
Hulu
Keramik
Papan
Bambu dibelah
30
Tengah
Semen
Bilik
Keramik
Papan
Hilir
Semen
Bilik
Keramik
Papan
Bambu dibelah
Semen
Bilik
Gambar 21 Persentase penggunaan bahan lantai
60
50
40
30
20
10
60
50
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
Persentase Penggunaan
60
40
30
20
10
0
0
T riplek
Bambu
40
30
20
10
0
Tengah
Hulu
Enternit
Bilik
50
Enternit
T riplek
Hilir
Bilik
Enternit
T riplek
Bilik
Gambar 22 Persentase penggunaan bahan plapond
bahwa dari segi kenyamanan, atap genteng dapat membuat suhu udara ruangan
lebih sejuk dan tidak menimbulkan kebisinginan di waktu hujan.
Berdasarkan dominasi jenis bahan bangunan yang digunakan pada masingmasing konstruksi bangunan yaitu bahan bangunan dari sumber bahan mentah
lokal, maka hal ini mencerminkan bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur
masih memelihara tradisi lokal dalam pembangunan rumah. Hal ini sejalan
dengan pendapat Frick (1996) bahwa penggunaan bahan bangunan dari sumber
bahan mentah lokal menunjukkan identitas penghuni yang tidak tergantung dari
luar dan kesadaran akan penggunaan energi transportasi yang menyebabkan
pencemaran lingkungan hidup. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian
Kobayashi (2006) tentang emisi CO2 dari bahan bangunan yaitu jika bahan
bangunan yang digunakan sesuai dengan kondisi sumber daya setempat, maka
bangunan akan terpakai dalam jangka waktu yang panjang dan menguntungkan
dari segi kalkulasi energi, karena meminimalkan jarak transportasi dan
ketergantungan atas teknologi tinggi.
4.2.5 Karakteristik Permukiman Tertata
Permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur keberadaannya menyebar
mulai dari wilayah hulu sampai hilir. Di wilayah hulu lebih didominasi oleh
permukiman tertata berkelas mewah berupa villa-villa. Permukiman tertata di
wilayah tengah dan hilir terdiri dari permukiman berkelas menengah ke bawah
mulai dari tipe 22/60 hingga 100/120.
Secara umum permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur tidak berada
pada : 1) kawasan lindung dengan kemiringan > 40 %, 2) daerah rawan banjir
namun berada pada : 1) bantaran sungai atau sempadan sungai terutama di
Kelurahan Sayang, 2) daerah rawan bencana letusan Gunung Gede meliputi
permukiman tertata
di kiri kanan jalan nasional Cianjur-Pacet mulai dari
Kecamatan Cugenang sampai Kecamatan Pacet., dan 3) daerah waspada letusan
gunung api, aliran lava, awan panas dan lahar terutama di sekitar permukiman
tertata yang berada di sekitar alur sungai dan anak sungai mulai dari Kecamatan
Cugenang dan Pacet. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan lokasi permukiman
tertata yang memerlukan pemandangan indah dan nuansa dekat dengan alam
sebagai daya tarik.
Luas lahan yang sudah dikeluarkan izinnya untuk permukiman tertata
selama periode tahun 1988 sampai dengan 2002 di wilayah Kabupaten Cianjur
sebesar 2 653.40 ha atau 62.4 % dari luas lahan total yang dizinkan sebesar
4 249.35 ha (Dinas Cipta Karya 2005). Luas lahan untuk permukiman tertata di
wilayah DAS Cianjur yang sudah dikeluarkan izinnya terbesar terdapat di bagian
hulu yaitu di Kecamatan Pacet sebesar 1 675.84 ha atau 39.4 %.
Luas permukiman tertata di Kabupaten Cianjur yang termasuk dalam
kawasan budidaya adalah 925.65 ha atau 0.9% (BPN Kabupaten Cianjur 2007).
Berdasarkan arahan tata ruang kabupaten Cianjur tahun 2005 - 2015, luas
peruntukan lahan permukiman tertata untuk masing-masing kecamatan yang
termasuk wilayah DAS Cianjur adalah Pacet (2 043 ha), Cugenang (1 703 ha),
Cianjur (2 150 ha), Cilaku (1 693 ha), Karang tengah (1 993 ha), dan Sukaluyu
(1 373 ha). Sehubungan dengan itu diperlukan konversi lahan guna mencukupi
kebutuhan masyarakat akan permukiman tertata. Persediaan lahan untuk wilayah
Pacet adalah tegalan dan kebun campuran, wilayah Cugenang, Cianjur, Cilaku,
Karang Tengah adalah lahan sawah dan kebun campuran, sedangkan untuk
wilayah Sukaluyu tersedia lahan sawah, kebun campuran dan tegalan (BPN
Kabupaten Cianjur 2007). Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan
lahan pertanian yang mengancam ketersediaan pangan di wilayah Kabupaten
Cianjur.
4.3 Spesifikasi Kebutuhan dan Gaya Hidup Masyarakat Terhadap
Permukiman
4.3.1 Karakteristik Gaya Hidup Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan
Permukiman
Gaya hidup merupakan cara hidup atau gaya kehidupan yang direfleksikan
dengan tingkah laku dan nilai-nilai dari individu atau kelompok (Garman 1991).
Gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya
dan lingkungan. Beberapa hal yang termasuk gaya hidup diantaranya adalah
mengelola rumah beserta lingkungannya.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Karena
setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jenis sampah,
sangat tergantung dari jenis material konsumsi. Pengelolaan sampah tidak bisa
lepas dari gaya hidup masyarakat. Jumlah penduduk dan gaya hidup sangat
berpengaruh pada volume sampah. Secara umum di lingkungan permukiman DAS
Cianjur tidak memiliki fasilitas tempat pembuangan sampah, sehingga pola
pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat sebagian besar masih bersifat
individual dengan cara penanganan dibakar di pekarangan rumah dan dibuang ke
selokan atau sungai (Tabel 32). Penanganan semacam ini, dalam jangka waktu
lama akan mengakibatkan tingkat pencemaran udara dan air permukaan akan
semakin tinggi. Sejalan dengan hal tersebut Soma (2007) merekomendasikan
model pengelolaan sampah secara mandiri untuk skala lingkungan terutama di
lingkungan permukiman tidak tertata. Model ini terdesentralisasi
di setiap
lingkungan permukiman (satu RW) dengan jumlah rumah antara 300 – 500.
Unit sampah dari masing-masing rumah terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik. Hal ini didukung pendapat Pahlano (2005)
bahwa sistem pengelolaan sampah ini berhasil membuat lingkungan bersih dan
nyaman, disamping itu sampah baik organik maupun non-organik dapat bernilai
ekonomi, namun dalam hal ini memang gaya hidup seperti disiplin dan
keteraturan masyarakat sangat diperlukan.
Sistem pengelolaan dan penanganan sampah dengan cara dikumpulkan dan
diangkut oleh petugas kebersihan hanya terjadi pada dua kawasan permukiman
tertata dan satu permukiman tidak tertata di zona DAS tengah yang berada di
kawasan perkotaan. Petugas kebersihan dari Dinas Ciptakarya mengangkut
sampah ke TPS atau TPA. TPA berlokasi di Kecamatan Cibeber, yaitu TPA Pasir
Bungur dengan luas areal sebesar 12 Ha dengan sistem open dumping.
Tabel 32 Sistem pengelolaan dan penanganan sampah
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Pengelolaan Sampah
Individual
Petugas
(%)
Kebersihan (%)
100
25
75
100
-
Penanganan Sampah
Dibakar Dibuang ke
Diangkut ke
(%)
selokan (%) TPS/TPA (%)
50
50
25
75
100
-
Keterangan: Total sampel 12 kampung
Sumber air bersih untuk keperluan minum dan Mandi Cuci Kakus (MCK)
diperoleh masyarakat di wilayah DAS Cianjur sebagian besar dari sumur gali
dengan kedalaman bervariasi antara tiga sampai delapan meter, sedangkan sumber
air untuk MCK umum diperoleh sebagian besar dari mata air (Tabel 33). MCK
umum di lingkungan permukiman tidak tertata yang memanfaatkan air selokan
atau sungai sebagai sumber air untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus tidak
memenuhi syarat dari segi kesehatan dan mengurangi tingkat pemanfaatan air di
bagian hilir. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemirat (1996) jika sungai
digunakan untuk mengalirkan air buangan, maka akan terjadi pengurangan
manfaat air untuk di daerah hilirnya. Masyarakat di hilir terkena dampak berupa
keterbatasan dalam memanfaatkan air karena kondisi air sudah tercemar.
Permukiman tidak tertata yang berada di zona hulu DAS sebagian besar
memperoleh air bersih untuk keperluan minum dan MCK dari mata air. Sistem
pengambilan dan pendistribusian air menggunakan bak-bak penampung, antar bak
penampung dihubungkan dengan pipa pvc, sedangkan pendistribusian air dari bak
penampungan ke rumah-rumah menggunakan selang plastik. Sumber air minum
dan MCK pribadi di zona DAS tengah sebagian besar diperoleh dari PDAM
sedangkan untuk MCK umum diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai.
Sumber air minum dan MCK pribadi di zona DAS hilir diperoleh dari sumur gali
sedangkan untuk MCK diperoleh dari mata air dan selokan atau sungai.
Tabel 33 Sumber air minum, kamar mandi pribadi, dan MCK umum
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Sumber Air Minum dan
MCK Pribadi
Mata
Sumur
PDAM
Air
Gali
(%)
(%)
(%)
75
25
25
75
100
-
Sumber Air MCK Umum
Mata
Air
(%)
75
50
50
Sumur
Gali
(%)
25
-
Sungai
(%)
50
50
Tabel 34 menunjukkan sebagian besar permukiman di wilayah DAS
Cianjur membuang limbah padat dan cair yang berasal dari kamar mandi ke
septiktank. Namun sebaliknya untuk limbah yang berasal dari MCK umum dan
dapur sebagian besar dibuang ke selokan. Hasil wawancara lebih lanjut terungkap
bahwa pembuangan limbah padat maupun cair baik yang berasal dari kamar
mandi pribadi, MCK umum maupun dapur ke selokan disebabkan oleh akses
selokan lebih mudah dan dari segi biaya lebih murah. Perilaku masyarakat
membuang limbah padat dan cair ke selokan atau sungai akan mengakibatkan
terjadinya pencemaran air permukaan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Reksohadiprodjo (1992) bahwa dengan semakin padatnya penduduk di suatu
daerah, maka pencemaran air permukaan tidak bisa dihindari.
Perilaku
masyarakat tersebut akan dapat membahayakan kesehatan
seperti timbulnya
penyakit disentri, tipus, dan kolera.
Tabel 34 Tempat pembuangan limbah padat dan cair
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Sumber Limbah
MCK Umum
KM Pribadi
Dapur
Septiktank
%
Selokan
/Sungai
%
Septiktank
%
Selokan/
Sungai
%
Kolam
%
Selokan/
Sungai
%
Saluran Drainase
Terbuka
%
100
50
100
50
-
25
-
75
100
75
25
100
50
100
50
-
Fasilitas umum yang dimiliki permukiman di wilayah DAS Cianjur
berturut-turut sebagai berikut : mesjid dan poskamling, MCK, TPU, posyandu dan
kantor RW. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH), balai pertemuan, dan tempat
rekreasi hanya terdapat pada satu permukiman di zona DAS tengah (Tabel
35).Hal ini menunjukkan bahwa hanya permukiman di zona DAS tengah yang
memiliki fasilitas umum yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan
Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa permukiman sehat harus
memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang lengkap seperti taman bermain,
tempat rekreasi, pengelolaan sampah, dan penghijauan.
Tabel 35 Fasilitas umum di permukiman
Fasilitas Umum
Zona
DAS
Ruang
terbuka
hijau
Balai
pertemuan
Hulu
Tengah
Hilir
%
25
-
%
25
-
Mesjid
Sarana
olahraga
Tempat
pemakam
an umum
Posyandu
MCK
umum
Pos
kamling
Kantor
RW
Tempat
rekreasi
%
100
100
100
%
75
25
%
50
50
50
%
50
-
%
100
50
100
%
100
100
100
%
50
-
%
25
-
Pertemuan warga masyarakat di lingkungan permukiman mencerminkan
budaya kebersamaan dalam membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Masyarakat yang bermukim di wilayah DAS Cianjur sebagian besar melakukan
pertemuan warga secara tidak rutin yaitu jika akan ada kegiatan seperti kegiatan
keagaman dan peringatan hari kemerdekaan. Namun demikian di zona tengah dan
hilir DAS Cianjur terjadi variasi waktu pertemuan warga yaitu : sebulan sekali,
tiga bulan sekali dan enam bulan sekali (Tabel 36). Pertemuan warga di dilakukan
dengan tujuan untuk menjalin silahturahmi dan membangun fasum dan fasos yang
dibutuhkan oleh warga. Kegiatan pertemuan yang dilakukan di mesjid, madrasah,
sekolah, dan balai pertemuan akan membahas prioritas pembangunan fasum atau
fasos dan sistem pendanaannya.
Kelembagaan yang ada di lingkungan permukiman setingkat kampung
tidak terbatas hanya rukun tetangga (RT) dan rukun kampung (RK) atau rukun
warga (RW) akan tetapi ada kelembagaan bersifat non formal yang dibentuk
berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan warga masyarakat. Keberadaan lembaga
non formal tersebut didasari dengan tujuan awal untuk pengadaan fasilitas dan
pembangunan dilingkungan perkampungan seperti : mesjid, mushala, TPU, jalan
lingkungan, sarana olahraga, MCK umum dan pengadaan air bersih.
Tabel 36 Kegiatan pertemuan warga permukiman
Zona DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Sebulan
sekali
%
25
Waktu Pertemuan
Rutin
Tiga Bulan Enam Bulan
sekali
Sekali
%
%
50
25
25
-
Tidak Rutin
Bila ada
kegiatan
%
100
25
50
Jenis lembaga non formal yang dibentuk berupa panitia pembangunan.
Masing-masing panitia pembangunan memiliki cara-cara tertentu dalam
menggalang dana diantaranya melalui pembayaran listrik secara kolektif, zakat
qorim dari hasil pertanian, sumbangan sukarela, dan gotong royong pengadaan
bahan bangunan. Melalui cara-cara tersebut ternyata cukup efektif sehingga
kesinambungan pembangunan fasilitas dilingkungan permukiman terutama
permukiman tidak tertata dapat berjalan.
4.3.2 Gaya Hidup Konsumen Dalam Memilih Permukiman
4.3.2.1 Kebutuhan Konsumen Permukiman
Gaya hidup, rumah, dan lingkungan merupakan tiga kata serangkai yang
saling berkaitan erat dan sangat menentukan dalam pemilihan, penampilan, dan
penataan rumah (Yoga 2007). Penawaran berbagai gaya rumah sering kali
dipengaruhi trend baik rumah bergaya alami, modern, kontemporer, mediterania,
futuristik, maupun country, yang akan mempengaruhi tampilan suasana
perumahan, bentuk rumah, jenis bahan bangunan, cat, keramik, perabotan, dan
bentuk taman.
Kebutuhan masyarakat sebagai konsumen permukiman meliputi bentuk
secara fisik yang terdiri dari: 1) bangunan rumah (konstruksi,luas, bahan
bangunan, desain), 2) pekarangan, 3) keamanan, dan 4) kebersihan. Sehubungan
dengan kebutuhan tersebut, masyarakat sebagai konsumen akan memiliki
kecenderungan untuk mendapatkan yang lebih baik menurut standar yang
dipahaminya.
Bentuk konstruksi rumah yang diinginkan oleh semua responden adalah
bangunan permanen dengan gaya arsitektur modern. Luas tanah atau lahan yang
dianggap ideal untuk rumah oleh sebagian besar responden baik di hulu (73.3%),
tengah (60%), maupun hilir (66.7%) adalah 120 m2 (Tabel 37). Luas tanah
tersebut dianggap cukup ideal dikarenakan: 1) harga jual tanah di lingkungan
permukiman tertata jauh lebih tinggi dibandingkan harga di sekitarnya, 2)
sebahagian besar konsumen permukiman tertata memiliki jumlah anggota rumah
tangga yang kecil yaitu tiga sampai empat orang dengan status ekonomi yang
berada pada level menengah ke bawah. Pada luas tanah 120 m2 sebagian besar
responden
menginginkan luas bangunan minimal 36 m2 dan sisanya untuk
pekarangan. Pekarangan tersebut dibutuhkan untuk difungsikan sebagai ruang
bermain anak, taman, dan jemur pakaian.
Tabel 37 Jenis kebutuhan konsumen permukiman
Zona
Das
Hulu
Tengah
Hilir
Kebutuhan Konsumen (%)
Jenis
Konst.
Permanen
Luas
Tanah
120m2
Luas
Bgn
36m2
Pondasi
Dinding
Lantai
Batukali
Batubata
Keramik
Triplek
Gipsum
Genteng
Tembok
Besi
100
100
100
73.3
60
66.7
86.7
73.3
60
100
100
100
100
100
100
93.3
86.7
100
86.7
53.3
66.7
-
100
60
66.7
80
46.7
46.7
-
Plapond
Atap
Pagar
Penggunaan bahan bangunan yang sesuai dengan lokasi hunian dan tepat
sesuai dengan fungsinya, maka akan dapat memberikan tingkat kenyamanan yang
lebih. Jenis bahan bangunan yang diinginkan responden di wilayah DAS Cianjur
sesuai dengan elemen konstruksi bangunan rumah dapat dilihat pada Tabel 43
Pondasi sebagai salah satu elemen konstruksi bangunan yang berfungsi untuk
menahan
beban
di
atasnya
(lantai,
dinding,
plapond
dan
atap)
dan
menyalurkannya secara merata ke tanah keras di bawahnya. Untuk elemen ini,
seluruh responden menginginkan batu kali sebagai bahannya. Demikian juga
dengan dinding, seluruh responden menginginkan penggunaan batu bata sebagai
bahan pembuat dinding, karena batu bata dinilai lebih kuat dari bahan pembuat
dinding lainnya seperti batako.
Bahan untuk lantai yang diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu
(93.3%), tengah (86.7%) dan hilir (100%) adalah keramik. Pemilihan keramik ini
didasarkan pada pertimbangan yaitu : 1) mudah pemeliharaan, 2) banyak pilihan
warna dan motif, dan 3) lebih tahan lama. Bahan plapond yang diinginkan oleh
sebagian besar responden di hulu (86.7%) dan hilir (53.3%) adalah triplek, dengan
alasan harga lebih murah dan pemasangan lebih mudah. Bahan penutup atap yang
diinginkan oleh sebagian besar responden di hulu (100%), tengah (60%) dan hilir
(66.7%) adalah
genteng. Dominasi penggunaan genteng disebabkan oleh
kemudahan untuk mendapatkanya dan memberikan kenyamanan karena dapat
menyerap panas.
Pagar merupakan aksesoris rumah yang berfungsi selain sebagai pembatas
juga untuk keamanan. Sebagian besar responden menyatakan memerlukan pagar
untuk alasan keamanan. Jenis bahan untuk pagar yang diinginkan oleh sebagian
besar konsumen adalah tembok (Tabel 37). Lebih lanjut dengan alasan keamanan,
sebagian besar responden memerlukan pemasangan teralis untuk rumahnya. Hal
ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan Astuti (2005) tentang
perencanaan dan perancangan untuk pengamanan kawasan perumahan kota dari
tindak kriminal di empat kawasan perumahan di Bandung yang menemukan
bahwa kondisi lingkungan menuntut untuk menciptakan batas-batas kepemilikan
yang jelas dengan cara pembuatan pagar, sehingga orang asing merasa tidak
nyaman berada di lingkungan tersebut, yang dapat mengurangi dan mencegah
terjadinya kegiatan kejahatan.
Seluruh responden menginginkan pihak pengembang untuk melengkapi
sumur resapan air (SRA) pada setiap rumah yang dipasarkan sesuai dengan
tipenya. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Mulyana (1998) di kawasan
Puncak tentang penentuan tipe konstruksi sumur resapan air yang menemukan
konstruksi SRA akan efektif berfungsi apabila sesuai dengan tipe rumah,
karakteristik fisik dan sosial ekonomi masyarakat. SRA sangat diperlukan pada
kawasan permukiman tertata sebagai kompensasi alih fungsi lahan, yang
berfungsi untuk menyeimbangkan kembali sistem tata air. SRA dapat
ditempatkan di pekarangan rumah (Gambar 23).
Gambar 23 Sumur resapan air pada pekarangan rumah
(Sumber: PU Cipta Karya 2003)
4.3.2.2 Tingkat Kepuasan Konsumen Permukiman Tertata
Bentuk arsitektur rumah yang ditawarkan atau dipasarkan oleh pengembang
berskala menengah kebawah di wilayah DAS Cianjur bernuansa modern. Tabel 44
menunjukkan bahwa konsumen di wilayah sub DAS hulu, tengah dan hilir
sebagian besar menyatakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan
pihak pengembang masing-masing 46.7%, 60%, dan 100%.
Ketidakpuasan disebabkan oleh dua hal yaitu: 1) pihak pengembang tidak
memberikan respon yang baik apabila proses akad kredit telah disetujui antara
konsumen, pihak pengembang dan bank pemberi kredit. Artinya bahwa setelah
proses akad kredit, terdapat tenggang waktu 100 hari yang diberikan oleh
pengembang kepada konsumen untuk mengajukan keberatan terhadap kualitas
bangunan seperti kerusakan komponen bangunan dan fasilitas lain. Ketika
keberatan diajukan oleh konsumen, pihak pengembang lambat dalam merespon,
sehingga bagi konsumen yang memerlukan rumahnya untuk cepat dihuni harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk memperbaiki kerusakan; dan 2) pihak
pengembang menaikkan uang muka secara sepihak. Dalam hal ini konsumen
perumahan dirugikan karena ketika konsumen akan membatalkan pembelian
rumah dengan alasan tersebut, konsumen merasa kesulitan untuk menarik kembali
angsuran uang muka pertama sehingga dengan pertimbangan tersebut konsumen
akhirnya menyetujui kenaikkan yang diajukan pihak pengembang.
Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Yoeti (2000) bahwa
ketidakpuasaan konsumen disebabkan oleh: 1) performance lebih kecil
expectation, yang berarti bentuk pelayanan yang diterima kurang baik karena
harapan konsumen tidak terpenuhi, dan 2) performance sama dengan expectation,
yang berarti pelayanan yang diterima biasa saja. Berdasarkan kedua kategori
tersebut, maka ketidakpuasan konsumen dapat disebabkan oleh tingkat pelayanan
yang diberikan oleh pihak pengembang tidak bisa memenuhi keinginan dan
harapan konsumen.
Tabel 38 Persentase tingkat kepuasan terhadap bentuk permukiman tertata
Zona
DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Atribut Kepuasan
Permukiman tertata
Gaya Arsitektur
Tata ruang
Site plan
Fasilitas
Keamanan
Pelayanan
Gaya Arsitektur
Tata ruang
Site plan
Fasilitas
Keamanan
Pelayanan
Gaya Arsitektur
Tata ruang
Site plan
Fasilitas
Keamanan
Pelayanan
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
Ragu-ragu
(%)
(%)
(%)
(%)
66.7
100
100
100
100
20
73.3
46.7
66.7
-
100
33.3
100
20
6.7
26.7
53.3
33.3
80
-
100
46.7
93.3
13.3
60
20
100
100
33.3
66.7
40
-
Keterangan: n = 45
Terdapat beberapa faktor yang dianggap sangat penting bagi konsumen
permukiman tertata dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah, yaitu:
1) lokasi, 2) fasilitas air, listrik, dan telepon, 3) harga terjangkau dan 4) sistem
keamanan (Tabel 39). Sebagian besar responden di zona hulu (73.3%), zona
tengah (86.7%), dan zona hilir (73.3%) menyatakan bahwa lokasi merupakan
indikator yang sangat penting dalam memilih permukiman tertata. Lokasi rumah
yang strategis, kemudahan aksesibilitas dan transportasi dari dan ke tempat tujuan
akan sangat membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Demikian juga
dengan faktor harga sebagian besar responden di hulu (73.3%), tengah (86.7%),
dan hilir (73.3%) menyatakan sangat penting sebagai faktor yang menjadi
pertimbangan utama dalam memilih dan memutuskan untuk membeli rumah.
Keamanan merupakan faktor yang dianggap sangat penting oleh sebagian
besar responden di hulu (60%), tengah (73.3%), dan hilir (60%) dalam memilih
suatu kawasan permukiman. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Paccione
(1999) bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat
dalam suatu kawasan permukiman. Pendapat Paccione (1999) tersebut lebih
dispesifikkan lagi oleh Sastra (2006) bahwa faktor keamanan meliputi rancangan
rumah yang harus memenuhi persyaratan keamanan yaitu kokoh, kuat ,dan
mampu melindungi aktivitas penghuni didalamnya.
Tabel 39 Persentase faktor terpenting dalam memilih rumah
Zona
DAS
Hulu
Tengah
Hilir
Tingkat
Kepentingan
(%)
Sangat tidak
penting
Tidak penting
Penting
Sangat
penting
Sangat tidak
penting
Tidak penting
Penting
Sangat
penting
Sangat tidak
penting
Tidak penting
Penting
Sangat
penting
Lokasi
Desain
Ruang
Terbuka
Hijau
Balai
pertemuan
Fasilitas
air dan
listrik
Pengelolaan
lingkungan
Sistem
keamanan
Tempat
rekreasi
Harga
Terjangkau
26.7
6.7
26.7
66.7
13.3
86.7
20.0
26.7
53.3
13.3
93.3
40.0
26.7
40.0
33.3
26.7
73.3
-
-
-
86.7
6.7
60.0
-
73.3
13.3
6.7
33.3
60.0
20.0
80.0
6.7
66.7
26.7
26.7
73.3
26.7
13.3
46.7
40.0
13.3
86.7
-
-
-
73.3
26.7
73.3
26.7
26.7
26.7
46.7
6.7
93.3
26.7
66.7
6.7
26.7
93.3
40.0
26.7
40.0
33.3
26.7
73.3
-
-
-
73.3
6.7
60.0
-
73.3
86.7
Faktor yang dianggap penting oleh responden dalam pemilihan rumah
diantaranya adalah ruang terbuka hijau (RTH) dan pengelolaan lingkungan. RTH
dan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) merupakan bagian penting yang
menjadi bahan pertimbangan bagi sebagian besar konsumen di hulu (86.7%),
tengah (80%), dan hilir (93.3%) dalam memilih dan membeli rumah dalam suatu
kawasan permukiman tertata. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Aurelia (2002) yang meneliti tentang hubungan antara harga penjualan dengan
karakteristik perumahan dengan responden konsumen real estate sebanyak 810,
yang menemukan bahwa faktor lingkungan yaitu kedekatan ke daerah hijau,
ukuran dan keberadaan atau ketidakadaan pemandangan kebun atau taman publik
mempengaruhi minat konsumen walaupun berbanding lurus dengan harga. Hal
tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Bolitzer et al. (2000) di Portland yang
menemukan bahwa keberadaan ruang terbuka hijau dilingkungan perumahan akan
berpengaruh terhadap nilai jual perumahan.
Sebagian besar responden di hulu (93.3%), tengah (73.3%) maupun hilir
(93.3%) menganggap penting terhadap pengelolaan lingkungan yaitu pengelolaan
air limbah dan sampah. Sistem saluran air di lingkungan permukiman tertata telah
direncanakan sejak dari awal sebelum pengerjaan konstruksi bangunan rumah.
Namun tidak memperhatikan aspek lingkungan, karena air limbah bekas mandi
dan cuci dibuang langsung ke saluran air, sehingga saluran air akan tercemar yang
dapat membahayakan penghuni. Hal ini sejalan dengan pendapat Esti (1991)
bahwa air bekas limbah dari kamar mandi dan tempat cuci seharusnya tidak
langsung dibuang ke saluran air tetapi terlebih dahulu disalurkan ke bak
penampung untuk proses pengolahan.
4.3.3 Penilaian Kinerja Kualitas Produk Permukiman Tertata
Green consumer pada akhir-akhir ini muncul sebagai upaya perlindungan
terhadap kondisi lingkungan yang semakin lama semakin menurun kualitasnya.
Hal tersebut mendorong pihak industri untuk mempertimbangkan dampak
lingkungan yang diakibatkan oleh setiap aktifitasnya (Puji dkk. 2004). Produk
yang sukses adalah produk yang mampu memberi manfaat sesuai dengan yang
dipersepsikan oleh konsumen, sehingga perlu untuk mempertimbangkan kualitas
produk berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen yang sekarang mulai
mengarah pada produk yang ramah lingkungan.
4.3.3.1 Kebutuhan Konsumen dan Prioritas Kebutuhan
Kebutuhan dan harapan konsumen dijabarkan melalui atribut-atribut
kualitas berdasarkan
tiga parameter utama sebagaimana yang dikembangkan
Dammann (2004) dalam enviromental indicator for building (EIFOB) yaitu:
konstruksi, fungsi dan estetika. Berdasarkan hasil brainstorming dengan
salespeople dan konsumen ahli telah diidentifikasi sebanyak 11 atribut harapan
konsumen sebagai atribut primer terhadap produk permukiman tertata yaitu : 1)
konstruksi bangunan, 2) bahan bangunan, 3) luas lahan, 4) terjangkau, 5)
kesehatan, 6) keamanan, 7) fasum-fasos, 8) ekologis, 9) gaya arsitektur, 10)
desain siteplan, dan 11) desain ruang terbuka hijau pekarangan. Selanjutnya dari
11 atribut primer, dalam focus group discussion (FGD) berkembang sehingga
diperoleh 21 atribut sekunder (Tabel 40) yang menjadi kebutuhan dan keinginan
konsumen permukiman tertata dalam memilih produk permukiman tertata yang
sehat dan berwawasan lingkungan (Kimseberling).
Tabel 40 Atribut kebutuhan konsumen permukiman tertata
Primer
Konstruksi bangunan
Bahan bangunan
Luas lahan
Terjangkau
Kesehatan
Keamanan
Fasum-fasos
Ekologis
Gaya arsitektur
Desain siteplan
Desan RTHP
Sekunder
Kokoh dan kuat
Sesuai SNI
Sesuai standar min untuk setiap tipe
> Standar min untuk setiap tipe
Harga kredit atau tunai
Aksesibilitas (Angkutan umum)
Air bersih
Ventilasi udara dan cahaya
Sistem keamanan bersama
Sistem cluster + satpam
Taman dan tempat bermain anak
Sarana olahraga
Sarana beribadah
Bale pertemuan
Jalan
Pengelolaan sampah
Pengelolaan limbah KM/dapur
Sumur resapan air
Gaya arsitektur
Siteplan kawasan
Desain RTHP
Selanjutnya fokus grup di wawancarai setelah mendapat informasi tentang
kondisi proyek permukiman tertata yang meliputi: spesifikasi bahan bangunan,
siteplan, desain arsitektur, harga, sistem kepemilikan, fasum-fasos, dan bank
pemberi kredit. Setelah benchmarking antara proyek saat ini dan proyek pesaing,
memungkinkan untuk membuat penilaian tingkat kepentingan dari masing-masing
atribut (Gambar 24). Fokus grup dapat mengevaluasi perbedaan aspek dari desain
saat ini dan membandingkannya dengan proyek-proyek pesaing atau berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Untuk tujuan ini, nilai yang digunakan antara 1 sampai 5
(terburuk – terbaik). Gambar 24 merupakan bagian dari matriks rumah kualitas
yang memberikan kejelasan mengenai hubungan antara persyaratan konsumen,
penilaian konsumen, dan tingkat kepuasaan konsumen.
Perumahan
Mekarsari
Regency
Perumahan
Panorama
Cianjur
Perumahan
Gading Asri
Tingkat
Kepentingan
Atribut Persyaratan Konsumen
Perbandingan antar
Pesaing
Consumen Rating
1
2
Kons.Bgn
Kokoh dan kuat
5
3
4
3
●
Bhn. Bgn
Sesuai SNI
4
3
3
3
●
Luas
Lahan
Sesuai std.min untuk setiap tipe
2
3
3
3
> std.min untuk setiap tipe
4
0
0
0
Terjangkau
Kesehatan
Keamanan
Fasumfasos
Ekologis
Estetika
Harga kredit atau tunai
5
3
3
2
Aksesibilitas (Angkutan umum)
4
3
3
3
Air bersih
5
4
3
2
Ventilasi udara dan cahaya
4
2
2
2
Sistem keamanan bersama
2
2
2
2
Sistem cluster + satpam
5
2
4
3
3
4
5
●
●
●
●
●
●
●
Taman dan tempat bermain anak
4
1
3
2
●
Sarana olahraga
4
3
3
4
●
Sarana beribadah
4
2
3
2
Bale pertemuan
3
0
0
0
Jalan
5
3
3
3
Pengelolaan sampah
4
1
2
2
Pengelolaan limbah KM/dapur
3
1
1
1
Sumur resapan air
2
0
0
0
Gaya arsitektur
4
4
4
4
Siteplan kawasan
3
4
3
4
Desain RTH
3
2
3
2
●
●
●
●
●
●
●
Gambar 24 Kebutuhan konsumen dan analisis competitive benchmarking
4.3.3.2 Persyaratan Konsumen (Customer Requirement)
Berdasarkan rumah kualitas (Gambar 25) diketahui bahwa dari beberapa
atribut harapan pelanggan yakni kekokohan konstruksi bangunan, sistem
keamanan, taman bermain, sarana ibadah, dan desain RTH ternyata nilai atribut
Permukiman Mekarsari Regensi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
Permukiman Gading Asri dan Graha Panorama Cianjur. Hal ini menunjukkan
bahwa
permukiman
tertata
Mekarsari
Regensi
kualitasnya
lebih
baik
dibandingkan dengan dua permukiman tertata pesaingnya. Walaupun demikian,
dari atribut kualitas bahan bangunan, luas lahan, keterjangkauan angkutan umum,
ventilasi udara dan cahaya, jalan, dan gaya arsitektur, ketiga kawasan
permukiman tertata tersebut memiliki kualitas yang sudah sama.
Selanjutnya berdasarkan atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan
yang tinggi yaitu: kekokohan konstruksi bangunan, harga jual, ketersediaan air
bersih, dan sistem keamanan, ternyata harga jual rumah di permukiman tertata
Graha Panorama jauh lebih tinggi dibandingkan harga jual rumah di dua
permukiman tertata lainnya untuk tipe 30/72 (luas bangunan 30 m2 dengan luas
tanah sebesar 72 m2). Tingginya harga jual rumah di Graha Panorama Cianjur
disebabkan harga lahan di lokasi Graha Panorama Cianjur lebih tinggi jika
dibandingkan dengan harga lahan di kedua lokasi pesaingnya.
Atribut dengan tingkat kepentingan yang menempati urutan kedua adalah
terdiri dari: bahan bangunan, keterjangkauan angkutan umum, ventilasi udara dan
cahaya, taman dan tempat bermain, sarana olahraga, sarana ibadah, pengelolaan
sampah, dan gaya arsitektur. Berdasarkan bobot terpenting urutan kedua ini,
permukiman tertata Mekarsari Regensi memiliki keunggulan dari segi
kelengkapan fasilitas umum dan fasilitas sosial yaitu berupa taman bermain dan
sarana ibadah dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh dua permukiman
tertata lainnya. Namun dari segi fasilitas olahraga sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Graha Panorama Cianjur. Pada bobot
atribut terpenting urutan kedua yang memiliki kualitas yang sama antara ketiga
kawasan permukiman tertata tersebut adalah: kualitas bahan bangunan, ventilasi
udara dan cahaya, dan aksesibilitas angkutan umum.
Kualitas ventilasi udara dan cahaya mencerminkan tingkat kesehatan dan
kenyamanan rumah sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu ventilasi udara dan
cahaya harus memenuhi syarat minimum sebagaimana yang disebutkan dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006. Udara akan sangat
berpengaruh dalam menentukan kenyamanan pada bangunan rumah. Kenyamanan
akan memberikan kesegaran terhadap penghuni dan terciptanya rumah yang sehat,
++
+
Sesuai SNI
Sesuai std.min untuk setiap
tipe
>std.min untuk setiap tipe
4
LLN
TJK
KES
KEA
EKO
EST
2
Harga kredit atau tunai
Aksesibilitas (Angkutan
umum)
Air bersih
4
Ventilasi udara dan cahaya
Sistem keamanan bersama
4
2
Sistem cluster + satpam
5
Taman dan tempat bermain
anak
Sarana olahraga
FNF
2
4
4
Sarana beribadah
4
Bale pertemuan
4
Jalan
3
Pengelolaan sampah
4
Pengelolaan limbah KM/dapur
3
Sumur resapan air
2
Gaya arsitektur
4
Siteplan kawasan
3
Pengerjaan
infrastuktur, fasum
Pengadaan bahan
³
³
³
³
³
5
5
Pematangan lahan
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
³
Rasio
BBG
+
Target
5
+
Perum Panorama C.
Kokoh dan kuat
+
+
Perum Mekarsari R.
KBG
Desain Site plan &
Konstruksi
Tingkat Kepentingan
+
++
Perum Gading Asri
++
Kegiatan Pemasaran
++
+
Pengerjaan
Konstruksi
++
+
3
4
3
5
1.2
3
3
3
4
1.3
3
3
3
5
1.7
0
0
0
4
0
3
3
2
4
1.3
3
3
3
5
1.7
4
3
2
5
1.2
3
1
3
1
3
2
4
3
1.3
1.5
2
4
3
5
1.2
1
3
2
4
1.3
3
3
4
4
1.3
2
3
2
4
1.3
0
0
0
3
0
1.7
3
3
3
5
1
2
2
4
2
2
2
1
4
2
0
0
0
3
0
4
4
4
5
1.2
4
3
4
4
Desain RTH
3
2
3
2
4
Kawasan Permukiman Gading Asri
5
4
4
3
4
4
Kawasan Permukiman Mekarsari Regency
5
4
4
3
4
4
Kawasan Permukiman Panorama Cianjur
5
4
4
4
4
3
Nilai (Tingkat Kepentingan)
496
55
129
101
151
114
Nilai Relatif
0.47
0.05
0.12
0.10
0.15
0.11
Keterangan : KBG=Konstruksi bangunan; BBG=Bahan bangunan; LLN=Luas lahan; TJK=Terjangkau; KES=Kesehatan;
KEA=Keamanan; FNF=Fasum dan Fasos; EKO=Ekologis; EST=Estetika
= Kuat (10); ³ = Sedang (5);
= Lemah (1); ++ = Kuat positip; + = Positip
Gambar 25 Rumah kualitas permukiman tertata di DAS Cianjur
1
1.3
apabila terjadi pengaliran atau penggantian udara secara kontinyu melalui ruangan
dan lubang-lubang pada bidang pembatas dinding atau partisi sebagai ventilasi.
Guna memperoleh kesegaran udara dalam ruangan dengan cara penghawaan
alami, maka dapat dilakukan dengan memberikan atau membuat ventilasi silang
dengan ketentuan yaitu: 1) lubang penghawaan minimal 5% dari luas lantai
ruangan, 2) udara yang masuk tidak berasal dari asap dapur atau bau kamar
mandi/WC. Ventilasi cahaya juga harus memenuhi persyaratan minimum
diantaranya yaitu: 1) lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai
ruangan, dan 2) sinar matahari langsung dapat masuk dalam ruangan minimum 1
jam setiap hari.
4.3.3.3 Persyaratan Teknik
Beberapa aspek teknik produksi permukiman tertata yang perlu
disempurnakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pembeli rumah berturutturut mulai dari prioritas pertama adalah: (1) desain konstruksi rumah dan siteplan;
(2) pengerjaan konstruksi; (3) pengadaan bahan bangunan; (4) sistem kegiatan
pemasaran; (5) pengerjaan infrastruktur dan fasum-fasos; (6) proses pematangan
lahan. Peningkatan kualitas menurut Gasperz (1997) akan memberikan dampak
positif kepada perusahaan yaitu: (1) dampak terhadap biaya produksi; dan (2)
dampak terhadap pendapatan.
Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses pembuatan produk
yang memiliki derajat kesesuaian yang tinggi terhadap standar-standar sehingga
bebas dari kemungkinan kerusakan atau cacat. Dengan demikian proses produksi
yang memperhatikan kualitas akan menghasilkan produk berkualitas yang bebas
dari kerusakan. Hal ini akan menghindarkan terjadinya pemborosan
dan
inefisiensi sehingga ongkos produksi per unit akan menjadi rendah yang pada
gilirannya akan membuat harga produk menjadi lebih kompetitif.
Dampak terhadap peningkatan pendapatan terjadi melalui peningkatan
penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif. Produk-produk
permukiman tertata berkualitas yang dibuat melalui suatu proses yang berkualitas
akan memiliki sejumlah keistimewaan yang mampu meningkatkan kepuasan
konsumen
atas
penggunaan
produk tersebut.
Setiap
konsumen akan
memaksimumkan kepuasan dalam betuk pembeliaan produk, sehingga hanya
produk-produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif yang akan
dipilih oleh konsumen. Keadaan tersebut mampu meningkatkan penjualan dari
produk-produk, yang akan meningkatkan pangsa pasar, sehingga pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan perusahaan.
Pembahasan selanjutnya difokuskan pada upaya peningkatan desain
konstruksi rumah dan siteplan, pengerjaan konstruksi, dan pengadaan bahan
bangunan sebagai program penyempurnaan proses produksi yang menempati
prioritas pertama hingga ketiga berdasarkan nilai tingkat kepentingan. Desain
konstruksi rumah dan siteplan memiliki tingkat kepentingan yang paling tinggi
dengan nilai 496 dan nilai relatif 0.47 (Gambar 25). Dalam kaitannya dengan
perbaikan mutu desain konstruksi rumah dan siteplan tidak terlepas target pasar
atau konsumen yang menjadi sasaran pasar, karena berhubungan dengan harga
jual.
Pengerjaan konstruksi memiliki nilai tingkat kepentingan sebesar 151 dan
nilai relatif 0.15 menempati prioritas kedua dalam upaya penyempurnaan teknis
produksi permukiman tertata. Pengerjaan permukiman tertata mulai dari tahapan
pematangan lahan (cut and fill), pengerjaan sarana dan prasarana lingkungan
(jalan, saluran drainase, RTH dan lainnya), sampai tahap pengerjaan konstruksi
rumah dilakukan melalui proses tender atau penunjukkan langsung oleh developer
terhadap kontraktor sebagai rekanan kerja. Masing-masing sub pekerjaan
dikerjakan oleh satu kontraktor. Jadi kualitas rumah beserta sarana dan
prasarananya sangat tergantung pada kualitas kontraktor, namun tidak terlepas
dari peran developer sebagai pemberi proyek dan sekaligus dalam hal ini sebagai
konsultan. Sehubungan dengan itu, yang perlu diperbaiki adalah manajemen
pengawasan yang dilakukan pihak pengembang dalam hal ini devisi teknik
terhadap kualitas pekerjaan kontraktor.
Pengadaan bahan merupakan prioritas ketiga untuk disempurnakan dalam
proses produksi permukiman tertata dengan nilai tingkat kepentingan sebesar 129
dan nilai relatif sebesar 0.12. Pengadaan bahan menyangkut jenis bahan, kualitas
bahan, dan transportasi pengangkutan. Bahan bangunan sebagai material
sebaiknya mempergunakan bahan bangunan lokal yang terdapat disekitar proyek
permukiman tertata.
4.3.3.4 Prioritas Teknik, Benchmarks dan Target
Di antara berbagai atribut harapan pelanggan, angka rasio antara target
dengan kinerja permukiman tertata di wilayah DAS Cianjur yang tertinggi
mencapai angka rasio 2 (Gambar 25) yaitu terdapat pada atribut pengelolaan
sampah
dan pengelola limbah kamar mandi dan dapur. Guna memenuhi
kebutuhan pasar maka diperlukan upaya perbaikan dengan skala prioritas utama
terhadap kualitas pengelolaan sampah dan pengelola limbah kamar mandi dan
dapur yang dilakukan oleh masing-masing pengembang di wilayah DAS Cianjur
yaitu melalui pengadaan dan pembangunan fasilitas pengelolaan sampah sejalan
dan unit pengolahan limbah dari kakus berupa septiktank dan bidang resapannya.
Ukuran septiktank dapat dibuat sesuai dengan jumlah penghuni dan frekuensi
pengurasan (Tabel 41).
Tabel 41 Ukuran tangki septiktank dan frekuensi pengurasan
No
1
2
3
4
5
Jumlah
pemakai
(orang)
5
10
15
20
25
Ukuran Septiktank dan Frekuensi Pengurasan
2 tahun
3 tahun
Panjang
(m)
Lebar
(m)
Tinggi
(m)
Panjang
(m)
Lebar
(m)
Tinggi
(m)
1.6
2.2
2.6
3
3.25
0.8
1.1
1.3
1.5
1.65
1.3
1.4
1.5
1.5
1.6
1.7
2.3
2.75
3.25
3.50
0.85
1.15
1.35
1.60
1.75
1.3
1.4
1.4
1.5
1.6
Sumber: Sukamto 2004
4.3.3.5 Matrik Teknik Korelasi
Matrik teknik korelasi digunakan untuk mengidentifikasi dimana technical
requirement saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan yang lainnya
(Marimin 2004). Matrik ini merupakan atap dari rumah kualitas yang
menggambarkan keterkaitan antara karakteristik proses produksi yang satu dengan
yang lainnya. Keterkaitan itu dapat berupa hubungan kuat positip (++) dan kuat
(+).
Atribut-atribut technical requirement yang memiliki hubungan kuat positif
adalah : 1) desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengadaan bahan, 2)
desain konstruksi rumah dan siteplan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan
fasos, 3) desain konstruksi rumah dan rencana tapak siteplan dengan kegiatan
pemasaran, 4) pematangan lahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos,
5) pengadaan bahan bangunan dengan pengerjaan konstruksi (Gambar 25).
Hubungan tersebut menunjukkan bahwa apabila salah satu atribut mengalami
perubahan (naik atau turun) maka akan berdampak kuat pada proses perubahan
(kenaikan atau penurunan) yang berkaitan tersebut.
Selanjutnya
atribut-atribut
technical
requirement
yang
mempunyai
hubungan positif yaitu : 1) desain konstruksi dan siteplan dengan pematangan
lahan, 2) desain konstruksi dan siteplan dengan
pengerjaan konstruksi, 3)
pematangan lahan pengerjaan konstruksi, 4) pematangan lahan dengan kegiatan
pemasaran, 5) pengadaan bahan dengan pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos,
6) pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos, dengan pengerjaan konstruksi, 7)
pengerjaan infrastruktur, fasum dan fasos dengan kegiatan pemasaran, 8)
pengerjaan konstruksi dengan kegiatan pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa
antara proses atribut satu dengan proses lain yang berkaitan memiliki keterkaitan
yang saling berpengaruh kuat.
4.4 Kesesuaian Lahan Permukiman
4.4.1 Kesesuaian Lahan Permukiman (KLKim-1)
Wilayah DAS Cianjur yang dievaluasi seluas 7 476. 2 ha. Hasil evaluasi
kesesuaian lahan untuk permukiman menunjukkan bahwa kesesuaian lahan untuk
permukiman (KLKim-1) penduduk di wilayah DAS Cianjur didominasi oleh kelas
kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) seluas 4 406.1 ha atau 59% selebihnya adalah
kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal) 2 217.7 ha atau 29.7%, kelas kesesuaian S1
(sangat sesuai) seluas 813 ha atau 10.9%, dan kelas kesesuaian N1 (tidak sesuai)
seluas 30.4 ha atau 0.4% (Tabel 42). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil
(10.9%) wilayah DAS Cianjur berpotensi untuk pengembangan permukiman.
Tabel 42 Luas lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan permukiman
di wilayah DAS Cianjur
Zona
DAS
Kecamatan
Pacet
Hulu
(3111.1
ha)
Cugenang
Sub Total
Cugenang
Cianjur
Tengah
(3219
ha)
Karang tengah
Cilaku
Karang tengah
Karang tengah
Sub Total
Sukaluyu
Hilir
(1137.1
ha)
Karang tengah
Sukaluyu
Sub Total
Total
Nama Desa
Ciputri
Ciherang
Galudra
Sukamulya
Nyalindung
Cibeureum
Mangunkerta
Cijendil
Sukamanah
Gasol
Mekarsari
Limbangansari
Sawah Gede
Bojong Herang
Pamoyanan
Solok Pandan
Sayang
Sukamaju
Muka
Sabandar
Munjul
Sukamanah
Bojong
Sindang Asih
Maleber
Langen Sari
Sukasari
Babakan Sari
Babakan
Caringin
Tanjung Sari
Selajambe
Sukasirna
Hegarmanah
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha)
Sangat
Cukup
Sesuai
Tidak
Sesuai
Sesuai
Marginal
Sesuai
95.5
625.6
10.5
44.6
253.1
0.5
223.6
163.3
0.2
46.3
386.5
6.2
15.5
402.2
13.0
257.0
123.3
2.0
269.7
53.5
0.5
16.1
0.0
20.2
82.2
22.7
1050.6
2007.4
30.4
140.2
96.3
87.0
34.1
27.7
122.9
31.5
21.7
138.2
118.7
28.1
82.7
73.6
282.7
31.8
4.8
3.3
21.4
335.5
431.4
0.0
33.1
198.4
58.9
693.4
-
279.7
13.6
280.3
225.8
2510.0
8.1
15.1
0.4
15.6
189.3
96.9
96.9
813.0
211.1
329.4
266.1
3.4
27.3
845.5
4406.1
0.7
1.1
3.6
194.7
2217.7
30.4
Kesesuaian lahan permukiman di zona DAS hulu, tengah dan hilir masingmasing secara berturut-turut didominasi oleh kelas sesuai marginal seluas 2 007.4
ha, cukup sesuai seluas 2 510 ha, dan cukup sesuai seluas 845.5 ha. Adapun
penyebaran kelas kesesuaian lahan untuk permukiman disajikan pada Gambar 26.
Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman secara administratif berada di lima
desa di wilayah Kecamatan Pacet dan Cugenang dan secara ekologis berada di
wilayah DAS Cianjur bagian hulu. Dominasi kelas tidak sesuai pada sebagian
besar desa di zona DAS hulu disebabkan kondisi topografi wilayah yang berada
pada kemiringan lereng > 20%, ketinggian > 1000 m dpl dan curah hujan > 2000
mm/tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sekeon (2005) tentang
kesesuaian lahan bangunan dengan pendekatan geo-environmental evaluation di
Kabupaten Bogor, bahwa kesesuaian lahan bangunan berada di daerah-daerah
yang memiliki kemiringan lahan relatif datar.
Kondisi lahan tersebut termasuk lahan yang kritis untuk permukiman
sebagaimana yang diungkapkan oleh Sani (2006) bahwa salah satu ciri-ciri lahan
kritis untuk permukiman adalah memiliki kemiringan lereng curam sehingga tidak
layak dari segi kenyamanan hunian dan keamanan penghuni permukiman, karena
akan rentan terhadap gerakan longsor. Hal ini sejalan dengan pendapat Edi (2007)
bahwa telah terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada
lereng-lereng curam yang digunakan untuk permukiman. Hasil ini didukung oleh
hasil penelitian Esmali (2003) dan Kelarestaghi (2003) di Iran bahwa faktorfaktor yang memicu gerakan longsor adalah faktor litologi, kelerengan,
penggunaan lahan, faktor jalan, presipitasi, ketinggian di atas permukaan laut,
arah lereng (aspect), presipitasi, jarak dari jalan, dan jarak dari patahan atau sesar.
4.4.2
Kesesuaian Lahan Permukiman dengan Constrain (KLKim-bwl)
Permukiman merupakan area tanah yang digunakan sebagai lingkungan
tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan, sehingga
kondisi permukiman tidak hanya dapat memberikan nuasa kenyamanan penghuni
tetapi juga keamanan penghuni dari bahaya atau ancaman bencana alam sesuai
dengan pendapat Sani (2006). Oleh karena itu kesesuaian lahan untuk
permukiman perlu mempertimbangkan faktor-faktor fisik yang lebih spesifik dan
dominan berpengaruh pada kestabilan dan keberlanjutan lahan permukiman.
Sehubungan dengan itu, diperlukan parameter-parameter constrain sebagai
pembatas utama dalam menentukan kesesuaian lahan permukiman.
10 7°0 0 '
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°45'
6°45'
C ih e ra ng
C ip utri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
Suk a m uly a
M a ng un ke r ta
6°48'
Suk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin
H eg ar m a na h
Sela ja m be
Ga s ol
M e k ar sa ri Lim b ar
Mu ka
B uh er an g
Sab a nd ar
S olo k P a n da n
B ojon g
Ma leb e r
Suk a sa ri
Pam oy an a n
Saw ah ge de
Ta njun g S a r i
Say a ng
Suk a m a na h
S ind an ga s ih
B ab ak a n S a r i
La ng en Sa ri
Mu njul
6°51'
6°51'
S uk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA
K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN
D AS C IAN JU R
K AB U P AT E N C IAN JU R
N
10 7°6 '
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°1 2 '
K ete ra n g an :
S un g a i
K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n :
Ja la n
S an g a t S e su a i
B ata s D e s a
C u ku p S e s ua i
B ata s D A S
2
10 7°9 '
S es u a i M a rg ina l
Tid a k S e su a i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 26 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-1)
118
Parameter constrain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
kemiringan lereng > 15% (Esmali 2003; Hadiwigeno 2007; Kelarestaghi
2003; Sani 2006; dan Van der Zee 1990), elevasi > 1000 (Esmali 2003 dan
Kelarestaghi 2003), kepekaaan tanah terhadap erosi sangat peka
(Hadiwigeno 2007 dan Sani 2006) dan bahaya terhadap letusan Gunung
Gede. Melalui parameter constrain ini, akan terwujud kesesuaian lahan
permukiman yang berwawasan lingkungan (KLKim-bwl).
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk permukiman setelah dilakukan
tumpang susun antara peta kesesuaian lahan untuk permukiman (KLKim-1)
dengan peta-peta yang menjadi constrain (peta kemiringan lereng, elevasi,
kepekaan tanah terhadap erosi dan bahaya letusan gunung) menunjukkan
bahwa terjadi pergeseran kelas kesesuaian lahan di zona DAS hulu yaitu
kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) menjadi kelas N1 (tidak sesuai)
sebesar 1 033.1 ha sehingga total luas lahan permukiman yang tidak sesuai
sebesar 1 063.5 ha (Tabel 43).
Lahan yang tidak sesuai untuk permukiman seluas 1 063.5 ha berada
di wilayah Desa Ciputri, Ciherang, Galudra, Sukamulya, Nyalindung,
Cibeureum, dan Mangunkerta (Gambar 27). Posisi wilayah tersebut berada
pada elevasi lebih dari 1000 m dpl dengan kemiringan lereng > 15%, dan
curah hujan yang tinggi > 2500 – 3000 mm/tahun, maka seharusnya lahan
tersebut diperuntukan untuk fungsi konservasi yaitu
sebagai
kawasan
lindung. Hal ini sejalan dengan konsep Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) bahwa daerah pegunungan yang curam dan memiliki
curah hujan yang tinggi dijadikan kawasan dengan fungsi lindung. Hal
tersebut didukung Keputusan Presiden No. 54 tahun 2008 yang menyatakan
bahwa zona hulu DAS Cianjur terutama wilayah Kecamatan Pacet dan
Cugenang merupakan kawasan kritis lingkungan, sehingga diperlukan
upaya konservasi.
4.4.3 Penyediaan Lahan dan Kesesuaian Lahan Permukiman
Kebutuhan lahan untuk permukiman sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk sehingga konversi lahan untuk permukiman akan terus terjadi.
Wilayah DAS Cianjur sebagian besar berpotensi untuk dikonversi menjadi
lahan permukiman sesuai dengan kelas kesesuaian lahan untuk permukiman
yaitu sangat sesuai seluas 813 ha dan cukup sesuai seluas 4 406.1 ha.
Tabel 43 Luas lahan pada kelas kesesuaian lahan permukiman
(KLKim- bwl)
Zona
DAS
Kecamatan
Pacet
Hulu
(3111.1
ha)
Cugenang
Sub Total
Cugenang
Cianjur
Tengah
(3219
ha)
Karang Tengah
Cilaku
Karang tengah
Sub Total
Sukaluyu
Karang tengah
Hilir
(1137.1
ha)
Sukaluyu
Sub Total
Total
Nama Desa
Ciputri
Ciherang
Galudra
Sukamulya
Nyalindung
Cibeureum
Mangunkerta
Cijendil
Sukamanah
Gasol
Mekarsari
Limbangansari
Sawah Gede
Bojong
Herang
Pamoyanan
Solok Pandan
Sayang
Sukamaju
Muka
Sabandar
Munjul
Sukamanah
Bojong
Sindang Asih
Maleber
Langen Sari
Sukasari
Babakan Sari
Babakan
Caringin
Tanjung Sari
Selajambe
Sukasirna
Hegarmanah
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha)
Sangat Cukup
Sesuai
Tidak
Sesuai
Sesuai Marginal Sesuai
95.5
474.6
161.4
44.6
228.9
24.7
223.6
45.1
118.4
46.3
20.4
372.3
15.5
39.6
375.6
257.0
123.1
0.1
2.0
269.7
42.6
11.0
0.5
16.1
0.0
20.2
82.2
22.7 1050.6
974.3 1063.5
140.2
96.3
87.0
34.1
27.7
122.9
31.5
21.7
28.1
73.6
3.3
21.4
0.0
33.1
198.4
58.9
693.4
96.9
96.9
813.0
138.2
118.7
82.7
282.7
31.8
4.8
335.5
431.4
279.7
13.6
280.3
225.8
2510.0
8.1
211.1
329.4
266.1
3.4
27.3
845.5
4406.1
15.1
0.4
15.6
189.3
0.7
1.1
3.6
194.7
1184.6
1063.5
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
C ih e ra ng
C ip ut ri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
S uk a m uly a
M a ng un ke r ta
6°48'
S uk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin
H eg ar m a na h
Sela ja m be
Ga s ol
M e k ar sa ri Lim b ar
M u ka
B uh er an g
S ab a nd ar
S olo k P a n da n
B ojon g
M a leb e r
S uk a sa ri
Pam oy an a n
S aw ah ge de
Ta njun g S a r i
S ay a ng
Suk a m a na h
S ind an ga s ih
B ab ak a n Sa r i
La ng en S a ri
M u njul
6°51'
6°51'
S uk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA
K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN
D AS C IAN JU R
K AB U P AT E N C IAN JU R
N
10 7°6 '
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°1 2 '
K ete ra n g an :
S un g a i
K es e s u aia n La h a n P er m u k im a n :
Ja la n
S an g a t S e su a i
B ata s D e s a
C u ku p S e s ua i
B ata s D A S
2
10 7°9 '
S es u a i M a rg ina l
Tid a k S e su a i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 27 Peta kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl)
121
Konversi lahan untuk permukiman perlu mempertimbangkan aspek luas
hutan dan ketersediaan ruang terbuka hijau. Undang-undang No 41 tahun 1999
tentang Kehutanan mensyaratkan bahwa dalam satu wilayah minimal 30 persen
dialokasikan untuk hutan, selanjutnya dalam Undang-undang Penataan Ruang No
26 tahun 2007 pasal 29 mensyaratkan ketersediaan RTH minimal 30 persen.
Berdasarkan pertimbangan kedua aspek diatas, maka lahan-lahan yang dapat
dikonversi menjadi lahan permukiman di wilayah DAS Cianjur adalah lahan
semak belukar, tanah terbuka, pertanian lahan kering bercampur semak dan
sebagian kecil sawah.
Luas lahan yang dapat dikonversi berjumlah 916.3 ha (Lampiran 2). Lahan
yang dapat dikonversi menjadi permukiman sebagian besar (92.6%) berada di
zona DAS tengah, selebihnya berturut-turut di zona hilir dan zona hulu sebesar
7.3% dan 0.1%. Berdasarkan luas lahan yang dapat dikonversi tersebut, wilayah
DAS Cianjur akan tetap memiliki hutan seluas 842.2 ha dan sawah seluas 2 318
ha.
4.4.4
Penyebaran Permukiman Existing pada Kesesuaian Lahan
Permukiman (KLKim-bwl)
Wilayah DAS Cianjur yang memiliki luas sebesar 7 476. 2 ha. Berdasarkan
Peta penggunaan lahan hasil interprestasi citra landsat tahun 2006 menunjukkan
bahwa lahan yang dipergunakan untuk permukiman memiliki luasan pada urutan
kedua yaitu sebesar 2 058.1 ha setelah lahan sawah seluas 2 729.6 ha. Hal ini
akan mengakibatkan kecilnya tingkat resapan air hujan dan memperbesar aliran
permukaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa luasan
permukiman berkontribusi besar terhadap kemungkinan timbulnya bahaya banjir,
seperti yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung yang mana berdasarkan luas
permukiman dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang
terbesar memberikan kontribusi terhadap banjir Ciliwung.
Hasil tumpangsusun penyebaran permukiman eksisting dengan kesesuaian
lahan permukiman (KLKim-bwl) menunjukkan bahwa penyebaran lokasi
permukiman eksisting mendominasi kesesuaian lahan permukiman kelas S2
(cukup sesuai) seluas 1 644 ha atau 79.9 % yaitu berada hampir di seluruh desa
di wilayah DAS Cianjur (Tabel 44). Lokasi permukiman eksisting yang berada
pada lahan dengan kelas kesesuaian lahan N1 (tidak sesuai) seluas 8.3 ha atau
0.4% dari luas total permukiman yang berada di wilayah DAS Cianjur.
Permukiman tersebut berada pada zona DAS hulu
yaitu di Desa Ciputri dan
Ciherang Kecamatan Pacet serta Desa Galudra dan Nyalindung Kecamatan
Cugenang (Gambar 28).
Tabel 44 Luas permukiman eksisting pada kesesuaian lahan permukiman
Zona
DAS
Kecamatan
Pacet
Hulu
Cugenang
Sub Total
Cugenang
Cianjur
Tengah
Karang Tengah
Cilaku
Karang tengah
Karang tengah
Sub Total
Sukaluyu
Karang tengah
Hilir
Sukaluyu
Sub Total
Total
Nama Desa
Ciputri
Ciherang
Galudra
Sukamulya
Nyalindung
Cibeureum
Mangunkerta
Cijendil
Sukamanah
Gasol
Mekarsari
Limbangansari
Sawah Gede
Bojong Herang
Pamoyanan
Solok Pandan
Sayang
Sukamaju
Muka
Sabandar
Munjul
Sukamanah
Bojong
Sindang Asih
Maleber
Langen Sari
Sukasari
Kesesuaian Lahan Permukiman (Ha)
Sangat
Cukup
Sesuai
Tidak
Sesuai
Sesuai
Marginal
Sesuai
32.8
41.1
4.1
10.0
58.0
2.0
19.0
0.3
0.9
1.3
1.1
0.8
2.0
51.3
0.3
0.2
18.3
0.2
0.2
0.4
5.1
5.9
13.9
18.1
28.1
40.6
2.6
5.6
0.0
22.0
48.9
34.1
225.1
Babakan Sari
Babakan Caringin
48.7
Tanjung Sari
Selajambe
Sukasirna
Hegarmanah
48.7
274.2
16.8
150.2
2.7
3.2
31.7
30.8
99.3
70.5
82.7
210.9
7.3
4.4
101.8
8.3
122.3
139.1
101.0
3.2
70.9
59.8
1039.9
1.4
77.6
156.8
203.0
1.1
13.9
453.9
1644.0
2.4
0.2
2.7
24.0
0.0
0.1
3.0
27.1
131.6
8.3
10 7°3 '
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
6°45'
6°45'
10 7°0 0 '
C ih e ra ng
C ip utri
N ya lin du ng
Ga lud ra
C ib e ur eu m
S uk a m uly a
Ma ng un ke r ta
6°48'
Suk a sir na
6°48'
C ije dil
B ab ak a n C a rin gin
H eg ar m a na h
Sela ja m be
Ga s ol
Me k ar sa ri Lim b ar
Mu ka
B uh er an g
Sab a nd ar
S olo k Pa n da n
B ojon g
M a leb e r
Suk a sa ri
Pam oy an a n
S aw ah ge de
Ta njun g S a r i
Say a ng
Suk a m a na h
Sind an ga s ih
B ab ak a n Sa r i
La ng en Sa ri
Mu njul
6°51'
6°51'
Suk a m a ju
10 7°0 0 '
10 7°3 '
P E TA
K E S E S U AIAN L AH AN P E R M U K IM AN
D AN P E R M U K IM AN E X IS T IN G
D AS C IAN JU R
K AB UP AT E N C IAN JU R
N
2
0
2
4 Kilo m e te rs
10 7°6 '
10 7°9 '
10 7°1 2 '
Ke te ra n ga n :
Su n g a i
J ala n
Ba ta s D e s a
Ba ta s D A S
Tu tu p a n L a h a n:
H u ta n L ah a n K erin g S e k un d e r
H u ta n T an a m a n In d u s tri (H TI)
Pe rk e b u na n
Pe rm u k im an
Ke s e s u a ian L a h an P e rm uk im a n :
Pe rta n ia n la h a n k erin g b e rc am p u r d gn s e m a k
Sa n g a t Se s u a i
Sa w a h
Cu k u p S es u a i
Se m a k /B elu k a r
Se s u a i M a rg in a l
Ta n a h Te rb u k a
Tid a k S e s ua i
Lo k a s i P e n elitian
Gambar 28 Peta penyebaran permukiman existing pada kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl)
124
Keempat
lokasi
permukiman
tersebut
berada
pada
lahan dengan
kemiringan lereng > 15%, elevasi antara 1000 – 1200 m dpl dengan sifat tanah
yang sangat peka terhadap erosi dan berada pada ring I bahaya letusan Gunung
Gede, sehingga permukiman tersebut sangat rentan terhadap bahaya longsor dan
bencana alam. Oleh karena itu keberadaan permukiman tersebut tidak memenuhi
persyaratan kesehatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) No. 829/ Menkes/ SK /VII /1999 bahwa salah satu syarat kesehatan
perumahan dan lingkungan pemukiman adalah lokasinya tidak terletak pada
daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor,
gelombang tsunami, dan daerah gempa.
Sehubungan dengan penggunaan lahan untuk permukiman, sebenarnya
masyarakat Sunda memiliki kearifan lokal berupa larangan membangun pada
lahan-lahan tertentu (Tabel 45). Menurut budaya Masyarakat Sunda terdapat
sepuluh jenis lahan yang dilarang untuk dijadikan tempat permukiman. Lahanlahan tersebut dilarang untuk dibangun diantaranya dengan alasan teknologi
konstruksi dan sanitasi. Lahan yang dilarang dibangun dengan alasan teknologi
konstruksi adalah: 1) catang nonggeng; 2) garenggengan; 3) dangdang wariyan;
dan 4) lemah laki. Selanjutnya karena alasan sanitasi adalah: 1)hunyur; dan 2)
jaryan.
Tabel 45 Lahan-lahan yang dilarang dibangun menurut Masyarakat Sunda
1
Lahan Larangan
(tidak layak huni)
Lebak atau lurah
2
3
Rancak
Catang nunggang
4
5
6
7
8
9
10
Catang nonggeng
Garunggungan
Garengggengan
Dangdang wariyan
Hunyur
Lemah laki
Jaryan
No
Karakteristik Lahan
Lantai jurang atau tanah rendah, terlindung dari pandangan dan
sinar matahari.
Lahan yang dikurung oleh batu-batu besar sehingga sulit dihampiri
Sepetak lahan yang di tengahnya dipisahkan oleh suatu selokan
atau ngarai namun dihubungkan melalui suatu jembatan alami dari
cadas atau karang
Lahan yang keletakannya pada lereng yang curam
Lahan membukit kecil
Lahan yang kering permukaannya tetapi dibawahnya berlumpur
Lahan yang legok di tengah dan kedap air sehingga menggenang
Bukit kecil
Lahan berbentuk dinding curam
Lahan tempat pembuangan sampah
Sumber: Atja dan Danasasmita 1981
Sejalan dengan larangan tersebut, menurut Atja dan Danasasmita (1981)
terdapat
beberapa
alasan
berkenan
secara
teknologi
konstruksi
tidak
memungkinkan dibangun yaitu: 1) masyarakat Sunda sebagai masyarakat agraris
dan demokratis, lahan-lahan sempit semacam itu tidak memungkinkan adanya
keadilan dalam pengkaplingannya. Sebagian akan memperoleh keuntungan jauh
lebih besar daripada sebagian besar kelompoknya. Sehingga mengakibatkan
pertikaian yang sangat dihindari oleh masyarakat agaris dan menimbulkan
kecemburuan sosial; 2) memerlukan tenaga, bahan dan waktu jauh lebih besar
untuk dapat membangun pada lahan-lahan semacam itu, sehingga akan terjadi
pemborosan. Pemborosan untuk satu pribadi atau kelompok atas tanggungan
banyak pribadi lain dalam suatu masyarakat yang demokratis adalah dosa; dan 3)
tidak mungkin diperoleh dalam luasan yang cukup untuk permukiman atau
kampung pada lahan berbukit.
Keberadaan permukiman penduduk pada saat ini di lahan yang tidak sesuai
untuk permukiman terutama di wilayah zona DAS hulu memerlukan perhatian
dan pengelolaan sesuai dengan fungsi zona DAS hulu sebagai fungsi konservasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sinukaban (2001) bahwa di kawasan permukiman
perlu ditekan nilai koefisien limpasan menjadi serendah mungkin. Penurunan
koefisien limpasan dapat dilakukan dengan membuat pedoman dalam menerapkan
agar air hujan di setiap rumah atau bangunan tidak dialirkan ke selokan, tetapi
diresap ke dalam tanah atau ke dalam sumur resapan. Masyarakat penghuni
permukiman secara khusus perlu didorong untuk menerapan sistem insentif
rehabilitasi lahan dalam melakukan upaya memperbaiki atau mengembalikan
fungsi lahan sesuai peruntukkannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Putro et
al. (2003) bahwa insentif rehabilitasi lahan diperlukan untuk memotivasi
masyarakat untuk melakukan tindakan yang bertujuan memperbaiki pengelolaan
DAS melalui rehabilitasi lahan.
Sistem insentif rehabilitasi lahan harus didukung dengan upaya pembatasan
pertumbuhan permukiman diwilayah yang tidak sesuai peruntukannya melalui
pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana pemanfaatan ruang untuk permukiman
menurut RTRW Kabupaten Cianjur tahun 2005 -2015 adalah seluas 48 437 ha
yang dikembangkan pada kawasan dengan kriteria sebagai berikut: 1) kemiringan
lahan < 15%; 2) ketersediaan air terjamin; 3) aksesibilitas baik; 4) tidak berada
pada wilayah rawan bencana; 5) dekat dengan pusat kegiatan. Wilayah DAS
Cianjur yang memiliki kriteria seperti disebutkan dalam RTRW berada diwilayah
sub DAS tengah dan hilir. Sehubungan dengan itu, Jika Pemda Kabupaten Cianjur
konsisten terhadap arahan pengembangan permukiman sesuai dengan RTRW,
maka tidak akan terjadi konversi lahan pada zona DAS hulu. Karena wilayah DAS
Cianjur menurut hasil pemetaaan kesesuaian lahan permukiman (KLKim-bwl)
sebagian besar atau seluas 1 899.1 ha (61%) tidak direkomendasikan sebagai
lahan untuk pengembangan permukiman.
Undang-undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui pemberian insentif dan
disinsentif.
Bentuk
pemberian
insentif
perlu
mempertimbangkan
aspek
kepemilikan lahan dan bangunan, karena permukiman eksisting yang berada pada
lahan tidak sesuai terdiri dari bangunan rumah penduduk asli dan bangunan villa
yang dimiliki oleh bukan penduduk asli. Sehubungan dengan itu, terdapat dua
langkah dapat ditempuh yaitu :
1. Bagi masyarakat pemilik bangunan dan lahan yang merupakan penduduk asli
dapat diberikan insentif berbasis pemberdayaan untuk mengadopsi teknikteknik pengelolaan permukiman ramah lingkungan.
2. Bagi pemilik bangunan dan lahan yang bukan penduduk asli perlu ditegakkan
peraturan tentang: 1) pajak lingkungan atas manfaat yang diperolehnya, dan 2)
keharusan untuk melakukan upaya rehabilitasi sebagai mengkompensasi atas
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam penggunaan
lahan.
Beberapa bentuk insentif dan disinsentif yang diusulkan untuk diterapkan
sebagai usaha untuk meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat
penggunaan lahan tidak sesuai untuk permukiman, yang sudah terlanjur
digunakan dapat direhabilitasi. Bentuk insentif yang diberikan berupa penyuluhan
berbasis pemberdayaan masyarakat sebagai penghuni permukiman. Melalui jalur
ini penghuni permukiman diberikan pengetahuan tentang-teknik konservasi tanah
dan air dengan skala pengelolaan pada unit permukiman yaitu berupa
pemanfaatan ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim), ruang terbuka hijau
pekarangan (RTHP), dan pengelolaan limbah (Tabel 46).
Tabel 46 Bentuk rehabilitasi yang diusulkan
Bentuk Rehabilitasi Berbasis Pemberdayaan Penghuni Permukiman
Teknik
Fungsi/Manfaat
Pengelolaan/konservasi
1
Insentif
Penyuluhan:
ƒ Konservasi dan sosial
ƒ RTHKim
ƒ Konservasi dan ekonomi
ƒ Pemanfaatan
ƒ Mengurangi bahaya erosi
pekarangan (RTHP)
ƒ Mengurangi aliran air permukaan
dengan tanaman
ƒ Meresapkan air
multistrata
ƒ Mengurangi dampak pencemaran
ƒ Pengolahan limbah
lingkungan
2
Disinsentif
Pajak lingkungan
Kompensasi penyimpangan
penggunaan lahan
Sumber: Modifikasi dari Putro et al. 2003; dan UU RI No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
No
Jenis
Ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim) dalam wilayah DAS
dirancang multifungsi untuk fungsi konservasi dan sosial. Keberadaan RTHKim
pada setiap unit perkampungan di wilayah DAS akan sangat membantu fungsi
konservasi terutama di zona DAS hulu sebagai daerah tangkapan air dan sebagai
tempat bersosialisasi antara warga. Ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP)
diarahkan untuk memiliki multifungsi yaitu fungsi konservasi dan ekonomi.
Sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1998), luas pekarangan minimum yang bisa
ditanami berbagai serata tanaman adalah 100 m2. Pekarangan dengan luas 100 m2
akan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan konservasi dan memberikan
kontribusi bagi pemilik atau masyarakat dari segi ekonomi.
4.5
Rumusan Kriteria Permukiman Sehat Berwawasan Lingkungan
Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan dibangun berdasarkan
hasil tiga kajian dalam penelitian ini yaitu pola permukiman, spesifikasi
kebutuhan dan gaya hidup masyarakat dalam pengelolaan permukiman, serta
kesesuaian lahan permukiman. Kriteria ini dibangun dengan mempertimbangkan
aspek teknis meliputi kenyamanan, keamanan penghuni permukiman dan
keselarasan antara permukiman dan fungsi dari masing-masing zona DAS.
Permukiman yang berada di wilayah DAS harus mampu mengkompensasi
fungsi-fungsi DAS dari hulu hingga hilir, sehingga keberadaan permukiman tidak
mengganggu terhadap fungsi DAS. DAS bagian hulu mempunyai fungsi
perlindungan terhadap keseluruhan DAS yaitu perlindungan dari segi fungsi tata
air. DAS bagian tengah dan hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai
yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi.
Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan (SEBERLING) terdiri
dari: 1) pola permukiman pada masing-masing kelas kesesuaian lahan
permukiman yang meliputi ukuran, tingkat kepadatan dan tipe permukiman; dan 2)
spesifikasi bangunan rumah sehat secara teknis, ekologis dan ekonomis pada
masing-masing kelas kesesuaian lahan permukiman yang meliputi jenis konstruksi
rumah, pengelolaan sampah, limbah cair dan padat, dan pemanfaatan pekarangan.
Matrik hubungan antara kelas kesesuaian lahan permukiman (sangat sesuai, cukup
sesuai dan sesuai marginal) dengan pola permukiman dan spesifikasi bangunan
rumah yang selanjutnya menjadi kriteria permukiman SEBERLING untuk
masing-masing zona DAS.
4.5.1 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sangat Sesuai
Kriteria
permukiman
SEBERLING
pada
kelas
kesesuaian
lahan
permukiman sangat sesuai untuk masing-masing zona DAS dapat dilihat pada
Tabel 47. Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai
berikut:
1. Ukuran permukiman kecil-sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah
penduduk maksimal 500 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 100 unit .
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi lingkungan yang dapat
dimanfaatkan berupa sinar matahari, vegetasi, aliran angin dengan baik
sehingga bangunan memenuhi syarat kesehatan dan ekologis.
3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi
mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim).
RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan
tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman.
4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Penggunaan konstruksi
rumah panggung berdasarkan pertimbangan secara teknis dan ekologis bahwa
rumah panggung memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage
yang rendah, tahan terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan
lokal, sehingga fungsi konservasi di wilayah hulu dapat terpenuhi.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar 0.35%
dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna
memenuhi kesegaran udara dan kenyamanan bagi penghuni.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan
penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga
kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik.
8. Penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 10% dan 90%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih
merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya.
Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi
melalui mata air.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan
pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah
penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit,
yang dilengkapi dengan RTH Kim.
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah
dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara
beraturan.
4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen
atau permanen.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi
pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah sebagian besar menggunakan bahan bangunan lokal guna
meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 20% dan 80%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan
memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau
sumur gali.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
Tabel 47 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sangat sesuai
Kesesuaian Lahan
Permukiman
Kelas
Zona
Kesesuaian
DAS
Lahan
Hulu
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Kecil-sedang
Jarang
Linier & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 10%
Mata air, sumur gali
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
Sangat Sesuai
Tengah
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Sedang
Jarang
Linier & Streetplan
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
-Resapan
Panggung dan semi permanen
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 20%
Mata air dan sumur gali
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
132
Lanjutan Tabel 47
Kesesuaian Lahan
Permukiman
Kelas
Zona
Kesesuaian
DAS
Lahan
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Sangat Sesuai
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Sedang
Jarang
Linier & Streetplan
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
-Resapan
Kriteria
Panggung, semi permanen dan Permanen
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 30%
Sumur gali
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
133
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke sungai
atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada
kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman sedang artinya bahwa dalam satu kampung jumlah
penduduk maksimal 2000 orang atau jumlah rumah tidak lebih dari 400 unit,
yang dilengkapi dengan RTH Kim.
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan artinya bangunan rumah
dalam posisi mengelilingi ruang bersama atau posisi rumah ditata secara
beraturan.
4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung, semi permanen
atau permanen.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi
pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal guna
meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 30% dan 70%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman cukup tersedia dan
memenuhi kebutuhan penghuni. Sumber air bersih berasal dari sumur gali atau
PDAM.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
4.5.2 Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Cukup Sesuai
Tabel 48 menunjukkan kriteria permukiman SEBERLING yang menempati
lahan pada kelas kesesuaian cukup sesuai. Permukiman SEBERLING di zona
DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah
tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni
dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok
membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya.
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi
mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim).
RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan
tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman.
4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung. Konstruksi rumah
panggung digunakan pada lahan dengan kelas kesesuaian cukup sesuai dengan
pertimbangan untuk keamanan penghuni dan memperbesar fungsi resapan air.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi
pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah/permukiman menggunakan bahan bangunan lokal guna
meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan
dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu, dan bilik.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih
merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya.
Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hulu terpenuhi
melalui mata air.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan
pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah
tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni
dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok
membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya.
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi
mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim).
RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan
tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman.
4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen.
Konstruksi rumah panggung dan semi permanen digunakan pada lahan dengan
kelas kesesuaian cukup sesuai dengan pertimbangan untuk keamanan
penghuni dan memperbesar fungsi resapan air.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi
pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan
penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga
kelestarian bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih
merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya.
Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah tengah terpenuhi
melalui sumur gali atau mata air.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada
kelas kesesuaian lahan cukup sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu kampung jumlah rumah
tidak lebih dari 20 unit yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni
dalam bekerja di lahan pertanian dengan tipe permukiman berkelompok
membentuk plaza yang dilengkapi RTH kim di pusatnya.
2. Kepadatan bangunan jarang artinya bangunan rumah memiliki pekarangan dan
setiap rumah letaknya dipisahkan atau dibatasi oleh pekarangan.
3. Permukiman memiliki tipe plaza artinya bangunan rumah dalam posisi
mengelilingi ruang bersama atau ruang terbuka hijau permukiman (RTHKim).
RTHKim berfungsi untuk konservasi terutama sebagai areal tangkapan air dan
tempat bersosialisasi antara warga penghuni permukiman.
4. Bangunan rumah dengan konstruksi rumah panggung atau semi permanen.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai guna memenuhi
pola pertukaran udara dan cahaya pada ruangan rumah.
6. Bangunan rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2 guna memenuhi tingkat kenyaman dan keleluasan bergerak bagi
penghuninya.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal guna meminimalkan
penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan bahan dan menjaga
kelestarian bahan bangunan lokal.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan Permukiman. Ketersediaan air bersih
merupakan salah satu persyaratan kesehatan permukiman dan lingkungannya.
Tabel 48 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman cukup sesuai
Kesesuaian Lahan
Permukiman
Kelas
Zona
Kesesuaian
DAS
Lahan
Hulu
Cukup Sesuai
Tengah
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Kecil
Jarang
Streetplan & Plaza
Kecil - Sedang
Jarang
Streetplan & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 10%
Mata air, sumur gali
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
Panggung dan semi permanen
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 15%
Mata air dan sumur gali
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
139
Lanjutan Tabel 48
Kesesuaian Lahan
Permukiman
Kelas
Kesesuaian
Lahan
Zona
DAS
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Cukup Sesuai
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Kecil - Sedang
Jarang
Streetplan & Plaza
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung dan semi permanen
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 20%
Sumur gali dan PDAM
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
140
Kebutuhan air bersih di lingkungan permukiman di wilayah hilir terpenuhi
melalui sumur gali atau PDAM.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
4.5.3
Kriteria Permukiman SEBERLING pada Lahan Sesuai Marginal
Tabel 49 menunjukkan beberapa kriteria permukiman SEBERLING yang
berada pada lahan dengan kelas kesesuaian sesuai marginal. Permukiman
SEBERLING di zona DAS hulu memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari
20 unit rumah yang ditujukan guna mendukung kemudahan penghuni dalam
bekerja di lahan pertanian.
2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan
pekarangan satu dengan lainnya berjauhan. Diantara pekarangan rumah yang
satu dengan lainnya terdapat kebun.
3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier.
4. Bangunan rumah dengan jenis konstruksi rumah panggung. Rumah panggung
merupakan arsitektur tradisional sunda yang secara teknis dan ekologis
memiliki beberapa keunggulan seperti: building converage yang rendah, tahan
terhadap gempa bumi, dan menggunakan bahan bangunan lokal.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai
6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik
guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan
bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 5% dan 95%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan
penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan
pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari
20 unit rumah.
2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan
pekarangan satu dengan lainnya berjauhan.
3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier.
4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai.
6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 10% dan 90%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan
penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari mata air
atau sumur gali.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada
kelas kesesuaian lahan sesuai marginal memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Ukuran permukiman kecil artinya bahwa dalam satu permukiman terdiri dari
20 unit rumah.
2. Kepadatan bangunan sangat jarang artinya letak bangunan rumah dan
pekarangan satu dengan lainnya berjauhan.
3. Permukiman memiliki tipe linier artinya posisi bangunan rumah berjajar linier.
4. Bangunan rumah memiliki jenis konstruksi rumah panggung.
5. Bangunan rumah memiliki lubang sirkulasi udara dan cahaya minimum
sebesar 0.35% dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai
6. Bangunan rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2.
7. Bangunan rumah menggunakan bahan bangunan lokal seperti bambu dan bilik
guna meminimalkan penggunaan energi akibat transportasi pengangkutan
bahan dan menjaga kelestarian bahan bangunan lokal.
8. Bangunan rumah memiliki luas bangunan maksimal sebesar 15% dan 85%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP). RTHP berfungsi
untuk areal konservasi dan menambah pendapatan masyarakat.
9. Ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman memenuhi kebutuhan
penghuni. Sumber air bersih di lingkungan permukiman berasal dari sumur
gali atau PDAM.
10. Permukiman memiliki sarana pengelolaan sampah, limbah padat dan cair dari
MCK umum, dan saluran drainase.
a. Pengelolaan sampah diarahkan pada pengelolaan skala lingkungan
kampung atau RW. Sampah dari terlebih dahulu dilakukan pemilahan
antara sampah organik dan non organik Model pengelolaan ini akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat dari hasil produksi kompos.
b. MCK umum dilengkapi dengan sarana pengolahan limbah yaitu (1)
limbah padat diolah melalui septiktank dan resapan; (2) limbah cair diolah
melalui unit pengolahan limbah sederhana.
c. Air hasil pengolahan disalurkan melalui saluran drainase tertutup ke
sungai atau selokan.
4.6 Konsep Permukiman Sehat dan Berwawasan Lingkungan
Konsep permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dibangun
menggunakan pendekatan teori ilmu lingkungan (Soerjani 1987) dan permukiman
berkelanjutan (Camant 2001; Silas 2001). Teori ilmu lingkungan memadukan tiga
aspek
yaitu
ekologi,
ekonomi,
dan
sosial.
Pembangunan
permukiman
berkelanjutan merupakan penggabungan arsitektur fisik lingkungan, teknologi dan
desain lanskap berkelanjutan berupa efisiensi penggunaan energi, efisiensi
penggunaan lahan, efisisensi penggunaan material, penggunaan teknologi dan
material baru, dan manajemen limbah.
Tabel 49 Kriteria permukiman sehat berwawasan lingkungan pada kesesuaian lahan permukiman sesuai marginal
Kelayakan Lahan
Permukiman
Kelas
Zona
Kesesuaian
DAS
Lahan
Hulu
Sesuai Marginal
Tengah
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Kecil
Sangat Jarang
Linier
Kecil
Sangat Jarang
Linier
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 5%
Mata air
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
Panggung
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 10%
Sumur gali dan PDAM
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
145
Lanjutan Tabel 49
Kesesuaian Lahan
Permukiman
Kelas
Zona
Kesesuaian
DAS
Lahan
Pola Permukiman
Bentuk Permukiman
1.Ukuran Permukiman
2.Kepadatan Bangunan
3.Tipe Permukiman
Sesuai Marginal
Hilir
Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat
Kriteria
Kecil
Sangat Jarang
Linier
Elemen Rumah/Permukiman
1.Bangunan Rumah:
- Jenis konstruksi
- Sirkulasi udara&cahaya
- Luas minimum
- Bahan bangunan
- Luas Bangunan/Pekarangan
2. Permukiman/Kampung
-Ketersedian air bersih
-Pengelolaan lingkungan
-Sampah
-Limbah KM+dapur
Kriteria
Panggung
Minimal luas 0.35% dan 10% luas lantai
9 m2 perpenghuni
Bahan lokal
KDB maksimum 15%
Sumur gali dan PDAM
Pengelolaan skala Kampung
Unit pengolahan limbah sederhana
(Septik tank dan bidang resapan)
146
Konsep permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara aspek
ekologi, ekonomi, sosial dalam bidang permukiman (Gambar 29). Aspek ekologi
dari permukiman SEBERLING merupakan perpaduan antara: (1) kesesuaian
lahan permukiman berwawasan lingkungan yang dibangun berdasarkan parameter
ekologi, ekonomi, dan sosial; (2) pola permukiman berwawasan lingkungan
terdiri dari ukuran, tipe kepadatan bangunan, dan tipe permukiman; (3) elemen
rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan dan lingkungan ; dan (4) sarana
pengelolaan permukiman yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya aspek
ekologi dalam konsep permukiman SEBERLING dijabarkan dalam bentuk
kriteria pada masing-masing zona DAS, dengan demikian konsep permukiman
SEBERLING ini merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki keterkaitan
secara biofisik.
Konsep
Permukiman
SEBERLING
Ekonomi
Ekologi
Konsep
Sosial
Gambar 29 Skema konsep permukiman sehat dan berwawasan
lingkungan
Konsep Permukiman SEBERLING di zona DAS hulu yang menempati
lahan pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Pola permukiman di zona DAS hulu harus memiliki karakteristik sebagai
berikut: 1) Ukuran permukiman kecil-sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang;
3) tipe permukiman plaza.
2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi
rumah panggung; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara minimum sebesar
0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari luas lantai; 3)
rumah memiliki ukuran kebutuhan ruang minimum perorang sebesar 9 m2; 4)
rumah menggunakan bahan bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk
bangunan rumah maksimal seluas 15% dan 85% digunakan untuk ruang
terbuka hijau pekarangan.
3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1)
ketersediaan air bersih di lingkungan permukiman terpenuhi melalui mata air;
2) sarana pengelolaan sampah; 3) sarana MCK umum yang dilengkapi dengan
unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan; dan 4)
saluran drainase tertutup untuk menyalurkan air buangan MCK umum dan
rumah ke selokan atau sungai.
Permukiman SEBERLING di zona DAS tengah yang menempati lahan
pada kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Pola permukiman di zona DAS tengah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)Ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3) tipe
permukiman memiliki tipe plaza atau streetplan;
2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) jenis konstruksi
rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara
minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari
luas lantai; 3) rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum perorang
sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan bangunan lokal; 5)
penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimal seluas 20% dan 80%
digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan;
3. Permukiman harus memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1)
air bersih di lingkungan permukiman cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan
penghuni. Sumber air bersih berasal dari mata air atau sumur gali; 2)
pengelolaan sampah pada skala kampung; 3) sarana MCK yang dilengkapi
dengan unit pengolahan limbah sederhana berupa septiktank dan bak resapan
air; 4) saluran drainase tertutup.
Permukiman SEBERLING di zona DAS hilir yang menempati lahan pada
kelas kesesuaian lahan sangat sesuai memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Pola permukiman di zona DAS hilir memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)
ukuran permukiman sedang; 2) Kepadatan bangunan jarang; 3)
tipe
permukiman plaza atau streetplan.
2. Bangunan rumah memiliki karakteristik sebagai berikut: 1)jenis konstruksi
rumah panggung atau permanen; 2) rumah memiliki lubang sirkulasi udara
minimum sebesar 0.35% dari luas lantai dan lubang cahaya sebesar 10% dari
luas lantai; 3) luas rumah memenuhi ukuran kebutuhan ruang minimum
perorang sebesar 9 m2; 4) rumah menggunakan sebagian besar bahan
bangunan lokal; 5) penggunaan lahan untuk bangunan rumah maksimum
seluas 40% dan 60% digunakan untuk ruang terbuka hijau pekarangan.
3. Permukiman memiliki sarana pengelolaan lingkungan yang meliputi: 1)
ketersediaan air bersih cukup tersedia dan memenuhi kebutuhan penghuni,
sumber air bersih berasal dari sumur gali atau PDAM; 2) sarana pengelolaan
sampah; 3) sarana MCK yang dilengkapi dengan unit pengolahan limbah
sederhana berupa septiktank dan bak resapan air; 4) saluran drainase tertutup.
Aspek sosial dari permukiman SEBERLING adalah berupa kelembagaan
masyarakat dalam mengelola lingkungan di wilayah DAS Kelembagaan
komunitas dibangun berdasarkan kondisi masyarakat yang tinggal di wilayah
DAS. Kelembagaan bisa bersifat formal atau informal tergantung pada kebutuhan
dan ruang lingkupnya. Kelembagaan ini berada pada setiap unit permukiman
terkecil yaitu kampung untuk masing-masing zona DAS. Lembaga ini yang akan
merencanakan pembangunan fasilitas umum dan sosial dilingkungan permukiman
yang bertumpu pada karakter dari masing-masing wilayahnya, sehingga lembaga
ini dapat menjadi sarana dalam mengimplementasikan aturan pembangunan yang
berbasis DAS. Selain itu lembaga ini salah satu fungsinya adalah mengelola dana
subsidi keberlanjutan (SKL).
Aspek ekonomi dari permukiman SEBERLING adalah berupa subsidi
keberlanjutan yaitu pemanfaatan dan pengelolaan dana kompensasi dalam
penggunaan lahan. Subsidi Keberlanjutan (SKL) merupakan dana kompensasi
pemanfaatan lahan untuk permukiman dari masyarakat yang berada pada satu
DAS. Secara ekosistem zona DAS memiliki keterkaitan secara biofisik sehingga
segala bentuk pengelolaan permukiman pada satu zona akan berpengaruh pada
zona lainnya.
Perilaku pengelolaan dan pemanfaatan lahan untuk permukiman perlu
diberikan kompensasi. Bentuk kompensasi pengelolaan dapat didasarkan pada
prinsip user pays principle atau polluter pays principle. Melalui kedua prinsip
tersebut diharapkan keterkaitan zona hulu, tengah, dan hilir menjadi satu kesatuan
perilaku yang saling menjaga, memelihara, dan melestarikan fungsi DAS.
Perilaku pengelolaan lingkungan permukiman yang positif di zona hulu akan
didukung oleh zona tengah dan hilir, begitu juga sebaliknya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pola permukiman di zona DAS hulu dan hilir berkembang mengikuti pola
jalan
dan
membentuk
kawasan
permukiman
perdesaan,
sedangkan
permukiman di zona tengah berkembang mengikuti pola jalan yang
membentuk kawasan perkotaan.
2. Dominasi keberadaan rumah panggung di zona hulu dan hilir menunjukkan
bahwa masyarakat di wilayah DAS Cianjur
masih melestarikan budaya
arsitektur lokal.
3. Atribut primer harapan konsumen terhadap produk permukiman tertata yang
memiliki tingkat kepentingan tinggi yaitu: kekokohan konstruksi bangunan,
harga jual, ketersediaan air bersih, dan sistem keamanan.
4. Kesesuaian lahan permukiman di zona DAS hulu didominasi kelas tidak
sesuai seluas 1 063.5 ha. Zona DAS tengah dan hilir didominasi kelas cukup
sesuai masing-masing seluas 2 510 ha dan 845.5 ha. Zona DAS tengah dan
hilir memungkinkan untuk pengembangan permukiman namun perlu
dibarengi dengan penataan lingkungan permukiman.
5. Penyebaran lokasi permukiman eksisting pada lahan yang tidak sesuai seluas
8.3 ha atau 0.4% seluruhnya berada pada empat desa di zona DAS hulu.
Permukiman eksisting tersebut sebagian besar merupakan permukiman tertata
yang memanfaatkan pemandangan sebagai daya tarik.
6. Rumusan kriteria permukiman sehat dan berwawasan lingkungan dibangun
berdasarkan pola permukiman, spesifikasi kebutuhan masyarakat, dan
kesesuaian lahan permukiman.
7. Konsep permukiman SEBERLING merupakan perwujudan dari tiga aspek
dalam konsep lingkungan yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi yang dipadukan
dengan permukiman.
5.2 Saran
Agar konsep yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diimplementasikan
maka disarankan:
1. Bagi pemerintah
daerah dan pengembang permukiman dalam pengadaan
permukiman hendaknya menggunakan rumah panggung dengan desain
arsitektur tradisional tipe suhunan jolopong, parahu kumureb, dan julang
ngapak karena memiliki keunggulan dari segi kenyamanan, keamanan, ramah
lingkungan dan kelestarian budaya lokal.
2. Bagi pemerintah daerah dalam penataan ruang khususnya untuk penataan
lahan permukiman hendaknya mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan
untuk permukiman dengan memperhatikan aspek biofisik, ekonomi dan sosial.
3. Arah pengembangan permukiman di wilayah DAS Cianjur hendaknya
diarahkan untuk pembangunan dengan kepadatan rendah ke arah timur tepat di
zona DAS hilir yang disertai upaya untuk mempertahankan fungsi resapan air.
4. Bagi
pemerintah
dan
pengembang
permukiman
dalam
penyediaan
permukiman hendaknya memperhatikan rumusan kriteria permukiman sehat
dan berwawasan lingkungan agar keberadaan permukiman serasi dengan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Adib A,A. 2006. Problematika Penentuan Sampel Dalam Penelitian Bidang
Perumahan dan Permukiman. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol.34,
No.2 Desember 2006: 138-146
Akil, S. 2002. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregion sebagai Dasar
Pengelolaan Kawasan Secara Berkelanjutan; Caringin-Bogor,4-5
Nopember 2002.
Alikodra, H.S. 2004. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas: Menyibak Tragedi
Kehancuran Hutan. Bandung: Nuansa.
Alrasyid, H. dan Samingan, T. 1980. Pendekatan Pemecahan Masalah
kerusakan Sumberdaya Tanah dan Air Daerah Aliran Sungai Dipandang
dari Segi Ekologi. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.
Amril, S. 1994. Data Arsitek . Jakarta: Erlangga.
Anonim. 1997. Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat . Jakarta : Ditjen Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum R.I.
Arifin, H.S. 1998. Effects of Urbanization on the Vegetation Structure of the
Home Gardens in West Java, Indonesia. Japan J.Trop.Agric. 42(2): 94-102.
Aronoff, S. 1991. Geographic Information Systems: A Management Perspective.
Otawa: WDL Publications.
Arsyad, S. 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu
Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Astuti. 2005. Perencanaan dan Perancangan untuk Pengamanan Kawasan
Perumahan Kota dari Tindak Kriminal. Makalah pada Kolokium dan Open
House: Meningkatkan Kualitas Infrastruktur Bidang Permukiman Melalui
Pengembangan Teknologi Tepat Guna ; Bandung,8-9 Desember 2005.
Atja dan Danasasmita. 1981. Klasifikasi Lahan pada Masyarakat Sunda kuno.
http:// www.iis. u-tokyo.ac.jp/~fujimori/lsai/ssk0001.html [10 September
2008]
Bappeda Kabupaten Cianjur. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cianjur 2005-2015. Cianjur: Bappeda.
Bappeda Kabupaten Cianjur. 2006. Monografi Regional Kabupaten Cianjur 20012005. Cianjur: Bappeda.
Basnyat, P., L.D. Tecter, B.G. Lockaby, and K.M. Flynn. 2000. The use of remote
Sensing and GIS in Watershed level Analyses of non-point Source Pollution
Problems. J Forest Ecology and Management 128: 65-73.
Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis: Sarana
Manajemen Sumberdaya. Bogor: Lab Penginderaan Jauh dan Kartografi,
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Basso, F., E. Bove, S. Dumontet, A. Ferrara, M. Pisante, G. Quaranta, and M.
Taberner. 2000. Evaluating environmental sensitivity at the basin scale
through the use of geographic information system and remotely sensed data:
an example covering the Agri basin (Southern Italy). J Catena 40: 19-35.
Bolitzer, B., Netusil, NR. 2000. The impact of open spaces on property values in
Portland, Oregon. J Environmental Management 59 (3): 185 -193.
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Data Curah Hujan.Bogor:
Stasiun Darmaga
[BPN] Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Cianjur. 2007. Data Potensi
Wilayah Kabupaten Cianjur. Cianjur: Kantor Pertanahan Kabupaten Cianjur
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 2005. Produk Domestik Regional
Bruto Kabupaten Cianjur Per Kecamatan Tahun 2001-2005. Cianjur:
Bappeda dan BPS.
Budihardjo.1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Jakarta: PT. Alumni.
Camant, K., dan C. Durret. 2001. Principles of Cohousing. East Bay Express.
http://www.eastbayexpress.com/issue/feature.html.[15 Agustus 2005].
Da Costa, S.M.F dan J.P Cintra. 1999. Environmental analysis of metropolitan
areas in Brazil. J Photogrammetry & Remote Sensing 54: 41- 49.
Dammann, S. 2004. Environmetal Indicators for Buildings.Denmark: By Og
Byg, Statens Byggeforskningsinstitut dbur, Danish Building and Urban
Research.
Dardak, H. 2007. Pembangunan Infrastruktur Secara Terpadu dan Berkelanjutan
Berbasis Penataan Ruang. Jakarta: Direktur Jenderal penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2000. Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Permukiman. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengembangan
Permukiman.
Dinas Cipta Karya. 2005. Rencana Pengembangan dan Pembangunan
Perumahan Permukiman Daerah (RP4D) Wilayah Pengembangan Utara
Kabupaten Cianjur. Cianjur: Dinas Cipta Karya Kabupaten Cianjur.
Ditjen Ciptakarya. 1997. Pedoman Rumah Sederhana Sehat. Jakarta:
Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
untuk Komoditas Pertanian Edisi Pertama tahun 2003, ISBN 979-9474-256. Bogor: Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Edi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu.
Jakarta: Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air.
Esmali, A. dan H. Ahmadi. 2003. Using GIS and Remote Sensing in Mass
Movement Hazard Zonation – A Case Study in Germichay Watershed,
Ardebil, Iran. Map Asia Conference 2003
Esti, H.S. 1991. Panduan Air dan Sanitasi. Jakarta: Pusat Informasi Wanita
dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development
Cooperation
[FAO] Food Agriculture Organization. 1976. A Framework for land Evaluation.
Rome: Soil Bull
Frick, H. dan Suskiyatno. 1998. Dasar-dasar Eko-Arsitektur, Konsep arsitektur
berwawasan lingkungan serta kualitas konstruksi dan bahan bangunan
untuk rumah sehat dan dampaknya atas kesehatan manusia. Yogyakarta:
Kanisius.
Gargione. 1999.Using Quality Function Deployment (QFD) in the Design phase
of an Apartement Construction Project. Proceeding IGLC-7; 26-28 July
1999. USA: Universitas of California, Berkeley, CA.
Garman, E.T.1991. Consumer Economic Issues In America. Boston: Houghton
Miffin Company.
Gaspersz, V. 2001. Analisa Unit Peningkatan Kualitas. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Gaspersz, V. 1997. Manajemen Kualitas. Penerapan Konsep-konsep Kualitas
dalam Manajemen Bisnis Total. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gibellini, L. 2001. The Challenge of Sustainability DZHB44 Subdivision For
People & Environmet : Subdivision Based on the Concepts of Ecovillage &
Cohousing. Paper presented to the 14 th Annual Ingenium Conference 14-17
June 2001. Rotorua.
Gifford. R. 1997. Environmental Psychology. USA : Allyn and Bacon.
Haeruman, H. 2002. Pengelolaan Ekosistem Kawasan Pegunungan Sebagai suatu
Bioregion yang penting. Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep
Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan Secara Berkelanjutan;
Caringin-Bogor,4-5 Nopember 2002.
Hardjowigeno, S. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna
Lahan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Harimurti. 1999. Interprestasi Foto Udara Digital pada Layar Monitor. [skripsi].
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Haryadi, R. 5 Juni 2005. Mari Menyelamatkan Air Tanah di Pekarangan.
Kompas:11.
Hollander, E. 2001. Community under Construction The Triumph and Trial of
the
Cohousing
Movement.http://www.eastbayexpress.com/issue/
feature.html. [15 Agustus 2005].
Hufschmidt, M. 1985. A Conceptual Framework for Analysis of Watershed
Management Activities. Environment and Policy Institute. Honolulu: East
West Center.
Irianto, G. 2002. Karakteristik Pola Jaringan DAS Cilliwung dan Modifikasinya
dalam Mendukung Pengelolaan Bopunjur. Makalah pada Workshop
Pengembangan Konsep Bioregion sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan
Secara Berkelanjutan; Caringin-Bogor, 4-5 Nopember 2002.
Jiaming, S., and X. Chen. 2005. Personal Global Connection and Differensiasi
New Resident in Shangai. J International 3(2): 301 – 319.
Joga, N. 2003. Memilih Rumah Sehat Sederhana. http:www.kompas.com/kompas
-cetak/0307/25/rumah/439645.htm
Joga, N. 2007. Memilih Rumah Sehat Lingkungan. http://123design. wordpress
com /2007/08/25/memilih-rumah-sesuai-gaya-hidup/ [10 September 2008]
Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat RI. 1987. Pembangunan Perumahan.
Jakarta: Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Menpera.
Kelarestaghi, A. 2003. Landslide hazard zonation in Shirin Rood Drainage Basin
with using GIS, Sari, Iran. Map Asia Conference 2003
Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman. J
Kesehatan Lingkungan, 2 (1):29-42.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Panduan Penyusunan Amdal Kegiatan
Pembangunan Permukiman Terpadu. Jakarta: Kantor KLH.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Informasi Banjir dan Tanah longsor.
http://www.menlh.go.id/banjir/longsor/tabellongsor.html [15 Februari 2006]
[Kepmenhut] Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 52/Kpts-II/2001 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta :
Departemen Kehutanan R.I.
[Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta : Departemen Kesehatan
R.I.
[Kepmenkes] Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta :
Departemen Kesehatan R.I.
Kirmanto, J.2002. Pembangunan Perumahan dan Permukiman Yang Berwawasan
Lingkungan Strategis dalam Pencegahan Banjir di Perkotaan. Makalah
disampaikan pada Seminar Peduli Banjir “Forest”; Jakarta Tanggal 25
Maret 2002.
Kobayashi, H. 2006. Pengukuran Emisi CO2 di Sektor Permukiman Perkotaan
(Pendekatan secara Makro). National Institute for Land and Infrastructure
Management. http://sim.nilim.go.jp/GE [26 Nopember 2007].
Koebel, C.T., M.S. Cavell, E. Etuk, and M. Bradshaw. 1999. Resident
Satisfaction Survey - Roanoke Housing Authority. Virginia: Center for
Housing Research Virginia Tech.
Koestoer, R.H. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan Kasus.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman.
Yayasan Real Estate Indonesia. Jakarta: PT. Rakasindo.
Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan . 2001. Di dalam : Kusnanto
H, Editor. Planet Kita Kesehatan Kita.. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, p. 279.
Krieger J and Higgins DL. 2002. Housing and Health : Time Again for Public
Action. Am J Public Health 92:5, 758-759.
Kuswartojo, T 2005. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: ITB.
Loupias. 2005. Kampung Pulo Wujud Arsitektur Tradisional
http://www.pikiran rakyat.com/cetak [15 Agustus 2005].
Sunda.
Manan, S. 1983. Pengaruh Hutan dan Management Daerah Aliran Sungai. Bogor:
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Mangunwijaya, Y.B. 1994. Fisika Bangunan. Jakarta: Djambatan.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: PT.Grasindo
Masykur. 2006. Karakteristik Permukiman Dualistik dan Tingkat Keberhasilan
Penghunian. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Mawardi, M. 2008. Kerusakan Lingkungan dan Cara Pandang Manusia tentang
Alam.http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&ta
sk=view&id=1009&Itemid=9 [23 Januari 2009].
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pedoman Teknis
Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT). Jakarta: Kantor
Kimpraswil.
Mills, Edwin S. 1987. Handbook of Regional and Urban Economics. Netherland:
Elsevier Science Publishers.
Mukono HJ.(2000). Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan . Surabaya : Airlangga
University Press.
Mulyana, R., H.S.Alikodra, H.S. Arifin, dan L.B. Prasetyo. 2007. Karakteristik
Bangunan Rumah dan Bentuk Permukiman di Wilayah DAS Cianjur,
Jawa Barat. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Vol. 17 (3): 213-225.
Mulyana, R., H.S. Alikodra, H.S. Arifin, dan L.B. Prasetyo. 2008.
Characterisctics, Forms and Behaviors of Settlement Inhabitant in Cianjur
Watershed, West Java. Poster Presentation Prosceeding of the final
Seminar on Toward Harmonization between Development and
Environment Conservation in Biological Production, 28-29 February
2008 The University of Tokyo, Japan.
Mulyana, R. 1998. Penentuan Tipe Konstruksi Sumur Resapan Air Berdasarkan
Sifat-sifat Fisik Tanah dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan
Puncak. .[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Muslim, E. 2003. Quality Function Deployment (QFD) Peningkatan kualitas
penanganan surat PT. Pos Indonesia. J Teknologi 2(17) : 100 -107.
Paccione, M.1990. Urban Liveability: A Review. Urban Geography 11(1): 1-30
Pahlano, D. 2005. Pengelolaan Sampah Ramah Lingkungan. http: // pahlano .
multiply. com/reviews /item/12 [10 September 2008].
Panudju, B. 1999. Pengadaan Rumah Kota dengan Peran Serta Masyarakat
Berpenghasilan Rendah . Bandung : PenerbitAlumni.
Pasaribu, H.S. 1999. DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam
Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral
Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air. Seminar Sehari PERSAKI ”DAS
sebagai Satuan Perencaaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”;
Jakarta: 21 Desember 1999.
[Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan
No. 416/Menkes/SK/VIII/1990
tentang Pemantauan Kualitas Air Minum, Air Bersih, Air Kolam Renang
dan Air Pemandian Umum. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Prahasta, E. 2007. Tutorial ArcView. Bandung: Informatika
[PU] Departemen Pekerjaan Umum Cipta Karya. 2003. Sumur Resapan Air.
http://www.pu.go.id/publik/ ciptakarya/html/ind/resapan-htm
Puji A.S., Udisubakti C., M..Suef. 2004. Evaluasi Konsep Produk dengan
Pendekatan Green Quality Function Deployment II. J Teknik Industri 6(2):
156 – 168.
Putro, H. R., M. B. Saleh, Hendrayanto, I. Ichwandi, Sudaryanto. 2003. Sistem
Insentif Rehabilitasi Lahan dalam Kerangka Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Reksohadiprodjo, S. 1992. Ekonomi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE.
Ritung, S., Wahyunto, Agus F dan Hidayat H. 2007. Panduan Kesesuaian Lahan
dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh
Barat.Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre.
Rustiandi, E., Saefulhakim S dan Panuju, D. 2007. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sabar, A. 2001. Kajian Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Debit Aliran di
DAS Ciliwung-Kawasan Bopunjur dengan Pendekatan indeks Konservasi.
http://digilib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-grey-2001-arwin-1252-das.
[12 Nopember 2005].
Saaty, T.L. 1999. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin : Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.
Jakarta: PT. Pustaka Binaman Presindo.
Sani, M. 2006. Penyebab Terjadinya Tanah Longsor. http://bumiindonesia. Word
press. com/2006/10/15/mengetahui-longsor [26 Januari 2007]
Sanropie D. 1992. Pedoman Bidang Studi Perencanaan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
Sarwono. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo
Sastra, M.S. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta:
Andi.
Sebayang, M. 2002. Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Data Citra Landsat
Thematic Mapper (Studi Kasus di Kotamadya Surabaya). Jurnal Natur
Indonesia 5(1): 41-49
Sekeon, E.A. 2005. Studi Kesesuaian Lahan Bangunan dengan Pendekatan GeoEnvironmental Evaluation di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Senn CL. 1980. Housing and The Residential Environment in Environmental
Health, 2nd Ed, Purdom PW (Ed ). New York: Academic Press, pp 521-550
Shaphira. 2008. Rumah untuk Rakyat. http://shaphira.multiply.com/journal
/item/98.[10 Juni 2008].
Sheng, T.C. 1968. Concepts of Watershed Management. Lecture Notes for Forest
Training Course in Watershed Management and Soil Conservation. Jamaica:
UNDP/FAO.
Silas, J. 2001. Perjalanan Panjang Perumahan di Indonesia dalam dan Sekitar
Abad XX. http://www.indie-indonesia.nI/content/documents/papers-urban
%20 history/johan%20silas.pdf. [6 Nopember 2005].
Sinukaban, N. 2001. Menjinakkan Ciliwung untuk Mengamankan Jakarta. http: //
64.203.71.11/ kompas - cetak/ 0501/ 29/ metro/ 1526575.htm.[10 September
2008]
Soegiyanto. 1998. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis ditinjau dari
Aspek Fisik Bangunan. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soemirat, S.J. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soerjani, M. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: UI Press.
Soerjono, R. 1978. Kegiatan dan Masalah Kehutanan dalam DAS. Prosiding
Pertemuan Diskusi Pengelolaan DAS DITSI, Jakarta.
Soma, S. 2007. Analisis Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: IPB Press.
Soma, S. 2004. Utang Lingkungan. Bogor: IPB Press.
Srilestari, N.R.2005. Permukiman Liar? Arsitektur Permukiman Spontan Studi
Kasus: Permukiman Liar di Malang dan Sumenep Jawa Timur. J Dimensi
Teknik Arsitektur 33(1): 125 – 130.
Star, J. and J. Estes. 1990. Geographic Information Systems an Introduction. New
Jersey: Prentice Hall.
Sugandhy, A. 2002. Upaya Pemantapan Kebijakan dan Strategi Nasional
Perumahan dan Permukiman. Makalah pada Lokakarya Nasional
Perumahan dan Permukiman; Jakarta, 29 Oktober 2002.
Sugiarti, D.G. Bengen, dan R. Dahuri. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan
Ruang Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan Jawa Timur. J Pesisir & Lautan
6(2): 1-18.
Suhara, O. 1991. Studi Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian Terpadu dan
Kaitannya dengan Upaya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. [disertasi].
Bogor: Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sukri. 2004. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Mempelajari Pola
Sebaran Permukiman, Studi Kasus di DAS Cianjur Kabupaten Cianjur Jawa
Barat.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sukamto. 2004. Rumah dan Lingkungan Sehat : Pegangan untuk kader dan
pendamping masyarakat. Yogyakarta: Yayasan Griya Mandiri.
Susanto, D. 1997. Dinamika Perilaku dan Kebiasaan Makan. Jakarta: Pra
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Sutopo. 2003. Menguak Kerusakan DAS di Indonesia. http://www.kompas.co.id/
Kompas-cetak/0308/24/fokus/503619.htm [6 Nopember 2005].
Sutrisna, D. 1996. Struktur Sosial Rekayasa Di Lingkungan Perumahan, Pola
Hunian Berimbang.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Syahrir. 2002. Pendekatan Pengelolaan DAS untuk Pengamanan Sumber Air
Jabotabek. Makalah pada Workshop Pengembangan Konsep Bioregional
sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan; Caringin Bogor,
4-5 Nopermber 2002.
Syartinilia. 2001. Karakteristik Pemukiman di DAS Ciliwung Bagian Tengah,
Kota Bogor Jawa Barat.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Jakarta : Departemen
Kesehatan R.I.
Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta :
Menteri Hukum dan HAM R.I.
Van der Zee. 1986. Human Settlement Analysis. Enshede Netherlands:
International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC).
Van der Zee. 1990. Aspects of Settlement, Infratructure and Population in Land
Evaluation. Enshede Netherlands: International Institute for Aerospace
Survey and Earth Science (ITC).
Wahyudin Y. 2005. Pelibatan Masyarakat Menanggulangi Kerusakan Pesisir dan
Laut. WARTA Pesisir dan Laut Edisi Nomor 01/Th.VI/2005.
WHO SEARO .1986. Environmental Health Aspects of Industrial and Residential
Area. Regional Health Papers No. 11 . New Delhi : WHO Regional Office
for South East Asia.
Wiersum, E.F. 1979. Introduction to Principles of Forest Hydrology and Erosion
with Special Reference to Indonesia. Bandung: Institute of Ecology,
Padjadjaran University.
Witoelar, E. 2001. Visi Perumahan dan Permukiman ditengah Krisis Ekonomi.
Jakarta: Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Yu, Z. 2004. Heterogeneity and dynamics in China’s emerging urban housing
market: two sides of a success story from the late 1990s. J Habitat
International. www.elsevier.com/locate/habitatint
LAMPIRAN
Lampiran 1 Beberapa Hasil Penelitian Permukiman dan DAS
No
(1)
Nama Peneliti
(2)
1
Koebel et al.
(1999)
2
Aurelia,
(2002)
3
Kobayashi
(2004)
BM.
Metode
Hasil
(6)
Sampel
Lokasi: 8 perumahan
Sampel: 621
responden
Parameter dan Analisis Data
-Pemeliharaan fasilitas fisik (tempat mencuci, rekreasi, parkir)
-Pemeliharaan pelayanan utilitas (listrik, air panas, AC)
-Pemeliharaan apartemen, Manajemen pelayanan konsumen
-Pengumpulan data: kuesioner didesain menggunakan kode data 1
(buruk) dan 2 (baik)
-Analisis: Excel (frekuensi, rata-rata, kelas tingkat kepuasan
konsumen
Sampel: konsumen
real estate sebanyak
810 tempat tinggal.
-Parameter: Faktor konvensional yang menentukan harga
perumahan (ukuran, jumlah ruangan, umur, dan lain-lain), dan
faktor lingkungan kedekatan ke daerah hijau, ukuran dan
keberadaan atau ketidakadaan pemandangan kebun atau taman
publik.
-Hubungan antara harga penjualan dan karakteristik perumahan
(living area, jumlah ruangan, umur, jarak dari daerah lanskap, dan
lain-lain) menggunakan bentuk linier, logaritma, dan timbal balik.
-Variabel utama yang mempengaruhi harga adalah
living area dari tempat tinggal. Variabel lain
secara statistik signifikan adalah ukuran balkon,
jumlah kamar mandi, umur bangunan, keberadaan
elevator, dan keberadaan gudang kecil.
-Model timbal-balik menunjukkan bahwa living
area minimum adalah 48 m2 (sebuah studio,
sebuah kantor atau apartemen kecil perkotaan).
-Variabel lingkungan, hanya jarak dari daerah
hijau yang signifikan (setiap 100 m lebih jauh dari
sebuah daerah hijau berarti sebuah penurunan
kira-kira sebesar 300,000 pesetas (€1800) pada
harga perumahan.
Lokasi: kota
Nihonmatsu
-Jenis bangunan (rumah, toko, pabrik, kantor dll.)
-Tahun pembangunan
- Luas lantai, jenis struktur dan bahan bangunan
-Analisis: formula Life-Cycle-Emission
Model bentuk permukiman perkotaan:
-Bentuk permukiman perkotaan
- Sistem Perbaikan/penggantian bangunan
- Kesepakatan antara masyarakat dan pihak-pihak
terkait tentang pola bentuk permukiman
Tingkat kepuasan konsumen perumahan atau
apartemen
Rating parameter dari masing-masing variabel:
-Rating tertinggi: air panas (pemeliharaan utilitas)
-Rating terendah: keamanan dan pemeliharaan
fasilitas umum milik bersama, dan ketersediaan
fasilitas rekreasi.
No
(1)
Nama Peneliti
(2)
4
Zhou You
(2004)
5
Astuti (2005)
6
Sun Jiaming
dan
Xiangming
Chen (2005)
Metode
Sampel
Lokasi: Beijing,
Tianjin, Shangha,
dan Chongqing
Municipality,
Parameter dan Analisis Data
-Parameter: Bahan bangunan, metode pembangunan, fasilitas
perumahan, tata aturan penghunian, kepadatan rumah, dan kepemilikan
rumah
-Teknik pengumpulan data: survai
Lokasi: Perumahan
di kota Bandung,
Medan dan Jakarta
Sampel sebanyak
100 rumah / KK
yang disebar pada
3 lokasi.
Lokasi 1 = 40 KK,
lokasi 2 = 30 KK,
lokasi 3 = 30 KK.
Parameter: komponen bangunan dan lingkungan
Jenis data: data sekunder dalam bentuk statistik, peta,
Teknik survei: behavioral mapping (pemetaan perilaku) yang
dikembangkan oleh Juelson (1970).
Pengumpulan data: observasi, kuesioner dan wawancara.
Metoda analisa data:
-Studi generik, yaitu mengetahui bentuk dasar melalui tapak, denah,
tampak, peletakan.
-Content analysis mencakup tahap identifikasi, tahap induksi, tahap
interpretasi, dan tahap
-Personal global connection
Hasil
(6)
-Terdapat perbedaan kualitas bangunan pada
keempat kota. Tiga bahan bangunan yang
umum digunakan di China: (1) beton dan baja,
(2) batu dan bata merah,dan (3) kayu, bambu,
dan kaca
-Pembangunan rumah dilakukan sendiri
-Terdapat perbedaan signifikan tentang
ketersediaan failitas perumahan.
-Peningkatan secara signifikan pada kondisi
perumahan, fasilitas, tata aturan penghunian,
ukuran rumah pada dekade 1990 – 2000.
Konsep dasar pencegahan kejahatan melalui
perancangan lingkung perumahan.
-Faktor globalisasi memberikan kontribusi
terhadap differensiasi tempat tinggal
-Pendapatan perkapita berhubungan dengan
tipe tempat tinggal
-Terdapat korelasi signifikan antara umur,
tingkat pendidikan, pendapatan dan personal
global connection dengan differensiasi tempat
tinggal
No
(1)
Nama Peneliti
(2)
7
Niniek
Srilestari
(2005)
8
Da Costa, dan
Cintra (1999)
9
Basso,
(2000)
10
Basnyat,F.
Et.all (2000)
et.all
Metode
Sampel
Permukiman liar di
Malang
dan
Sumenep
Parameter dan Analisis Data
-Parameter: Arsitektur permukiman spontan
-Peta elevasi dan kemiringan (peta topograpi dibagi dalam sel
500x500m.
-Elaborasi peta erosi tanah (peta tanah dibagi dalam sel dan kelas)
-Peta drainase dan kesesuaian lahan untuk perkotaan
-Peta potensi fisik (overlay dengan peraturan yang ada)
-Peta penggunaan lahan perkotaan (dioverlaykan dgn potensi
fisik)
-Parameter: kualitas tanah (kedalaman tanah, rocks fragment
cover, drainase, kemiringan); kualitas iklim( aspek, curah hujan,
aridity indek); kualitas vegetasi (resiko kebakaran, pencegahan
erosi, daya tahan thd kemarau); kualitas pengelolan(indek
ketuaan, indek penggunaan, illiteracy indek, indek kemuduran)
-Environmental Sensitive (ES) ditaksir dengan kumpulan lapisanlapisan tematik digunakan GIS
-Penskoran untuk parameter (skor 1:kondisi baik; skor 2: kondisi
buruk)
-Tahap 1 (analisis kualitas air.Data satelit digital, foto, data digital
tanah, data digital elevation model (DEM) dan data digital
geologi dibuat dan dianalisis; delineasi sungai; dan klasifikasi
penggunaan /penutupan lahan).
-Tahap 2 (Delineasi zona penyangga: Riparian buffer delineation
equation/RBDE, Philips (1989a);seleksi zona referensi; zona
penyumbang; hubungan kualitas air dan penggunaan/penutupan
lahan)
-Model sederhana dikembangkan untuk menaksir potensi aliran
nutrien dari ekosistem pinggir sungai
Hasil
(6)
-Bentuk permukiman spontan lebih beradaptasi
lingkungan dan memiliki karakter berorentasi ke
dalam/interior.
-Peta drainase 161 km2,
-Peta erosi (Klasifikasi erosi tinggi 398.3 km2,
erosi sedang139.2 km2, tidak beresiko erosi 6.7
km2 ).
-Peta kemiringan
-Peta potensi fisik
-menilai tingkat perbedaan ES pada skala DAS
dapat dinilai oleh analisis hubungan antara
indikator lapangan dan ES.
-Pengurangan tingkat respirasi dan microbial C
biomass, microbial biomass N, berisi bahan
organik tanah serupa dengan peningkatan
ES.(r:0.69 biomass C; r:0.82 biomass N; r: 0.84
bahan organik tanah; dan r:0.73 aktivitas respirasi)
-Kualitas air (kandungan bahan kimia) berbeda
untuk setiap sungai
-Hubungan yang sangat signifikan antara
penggunaan lahan dan tingkat nitrat.
-Tempat
tinggal/perkotaan/daerah
terbangun
diidentifikasi sebagai penyumbang kuat dari
konsentrasi nitrat, yang kedua adalah kebun buahbuahan.
No
(1)
Nama Peneliti
(2)
Metode
11
Frint, H. Et.all
(2003)
12
Erwin Hardika
Putra (2006)
Lokasi: DAS
Tondano Sulawesi
Utara.
- Estimasi daerah rawan longsor
Analisis: teknik overlay dan skoring dengan bantuan software GIS.
-Model perhitungan dalam estimasi daerah rawan longsor
dilakukan dengan menggunakan raster based processing pada
software ArcView 3.3, dengan ekstension 3d Analyst, Spatial
Analyst, Grid Analyst.
-Model estimasi daerah rawan longsor
dibangun dengan Model Builder menggunakan metode Arithmatic
Overlay Analysis
Peta estimasi daerah rawan
longsor
13
Gargione,
1999
Lokasi: Apartemen
di wilayah Kota
Brazil
Sampel:
Salespeople,
konsumen ahli
Pengumpulan data:
-interview
-FGD
Analisis Data: QFD
Desain konstruksi apartemen
Sampel
Parameter dan Analisis Data
-Pengumpulan data (selama musim kemarau;di sungai
Angwa,Manyame, Kadzi; metode: pendekatan lintasan dan jejak
kaki dicatat). Kategori jejak kaki (< 48 jam: baru; < 7 hari: sedang;
dan > hari lama).
-Analisis spasial menggunakan GIS Arc view 3.2 termasuk modul
vektor dan raster)
-Analisis statistik model logistik: (hubungan karakteristik lahan
pertanian dan kehadiran spesies), analisis regresi (pengaruh
karakteristik lahan produksi terhadap jumlah individu spesies)
Hasil
(6)
-Spesies yang muncul pada masing-masing sungai:
Angwa 22, Kadzi 18, dan Manyame 15.
- Semua karakteristik lahan produksi mempunyai
dampak pada distribusi dan kelimpahan spesies
liar. Kelimpahan spesies, log (keragaman biologi)
berkurang dengan pening-katan daerah lahan
produksi di tiga sungai (Manyame: n = 60; R2 =
0.72; p < 0.0001; F = 97.585, Angwa: n = 144; R2
= 0.88; p < 0.0001; F = 1220.237 dan Kadzi: n =
96; R2 = 0.91; p < 0.0001; F = 605.421)
No
(1)
Nama Peneliti
(2)
Metode
14
Boy,N.M.,
Sunaryo dan
Joice, R.M.
(2003)
15
Erlida,M dan
Gunawan,S.(2
003)
Sampel 242
pelanggan
16
Puji Astuti S,
et all. (2004)
Sampel : 2 jenis
merk lampu
Sampel
Parameter dan Analisis Data
-Penentuan kriteria melalui jurnal,artikel,hasil seminar, wawancara.
-Kriteria terdiri dari kualitas, harga, pe-ngiriman, pelayanan,
kemampuan keuangan, kemampuan teknik, dan kemampuan
manajemen
-Penyusunan hirarki menggunakan metode AHP
-Pembobotan parsial dihitung menggunakan Expert choice dari
Decision Software, inc.
-Penentuan atribut berdasarkan 4P(Product, Price, Place, dan
Promotion)
-Pengumpulan data dengan kuesioner untuk mengidentifikasi harapan
pelanggan.
-Harapan pelanggan diterjemahkan ke dalam karakteristik teknik
(sistem, sarana, SDM dan aspek lain)
-Menentukan hubungan antara customer requirement dengan
technical response menggunakan nilai atau bobot (1,3,9)
-Perhitungan absolute dan relative importance
-Pembentukan matrik korelasi
Analisis data: metode Analitic Hierarchy Process, Green QFD II dan
untuk mengevaluasi konsep produk digunakan matriks Concept
Comparison House (CCH)
Hasil
(6)
-Bobot masing-masing kriteria adalah kualitas
0.364, pengiriman 0.205, kemampuan teknik
0.103, sedangkan harga, pelayanan, kemampuan
mana-jemen memiliki bobot kurang dari 0.1
-Hirarki penilaian kinerja pemasok
-Pelanggan
menghendaki
perbaikan
dan
peningkatan kualitas pelayanan PT.Pos Indonesia
dalam segi kecepatan, keamanan, ketepatan waktu,
komunikasi
petugas,
kecepatan
pelayanan,kombinasi harga kemudahan mencapai
tempat pelayanan dan jangkauan lokasi tujuan
pengiriman.
konsep lampu terbaik dan karakteristik lampu
yang berkualitas, ramah lingkungan dan biaya
rendah
Lampiran 2 Lahan yang dapat dikonversi untuk penyediaan permukiman
Zona
DAS
Kecamatan
Pacet
Cugenang
Hulu
Sub Total
Cugenang
Cianjur
Tengah
Karang Tengah
Nama Desa
Dapat
Konversi
Ciputri
Ciherang
Galudra
Sukamulya
Nyalindung
Cibeureum
Mangunkerta
Cijendil
Sukamanah
Gasol
Mekarsari
Limbangansari
Sawah Gede
Bojong
Herang
Pamoyanan
Solok Pandan
Sayang
Sukamaju
Muka
Sabandar
12.9
Sangat Sesuai
Tidak
DiKonversi
1.9
0.5
20.0
22.4
122.2
81.1
13.8
Permukiman
Existing
Dapat
Konversi
1.3
0.2
0.2
0.4
5.1
5.9
13.9
3.6
18.1
32.9
28.1
40.6
0.7
2.6
1.3
14.4
30.9
91.2
0.7
Cukup Sesuai
Tidak
DiKonversi
61.4
34.6
204.6
45.4
14.5
205.7
251.4
16.1
65.4
899.0
81.9
38.9
48.2
71.8
24.6
0.4
Permukiman
Existing
32.8
10.0
19.0
0.9
1.1
51.3
18.3
16.8
150.2
2.7
3.2
31.7
30.8
99.3
70.5
82.7
210.9
7.3
4.4
Sangat Sesuai
Zona
DAS
Kecamatan
Cilaku
Karang tengah
Nama Desa
Munjul
Sukamanah
Bojong
Sindang
Asih
Maleber
Langen Sari
Sukasari
Sub Total
Sukaluyu
Karang tengah
Sukaluyu
Hilir
Sub Total
Total
Babakan
Sari
Babakan
Caringin
Tanjung Sari
Selajambe
Sukasirna
Hegarmanah
Dapat
Konversi
15.9
Tidak
DiKonversi
0.0
11.0
149.5
24.8
251.2
Permukiman
Existing
5.6
Dapat
Konversi
12.3
264.3
Tidak
DiKonversi
200.9
27.9
Permukiman
Existing
122.3
139.1
597.3
178.7
10.4
209.4
166.0
875.7
101.0
3.2
70.9
59.8
1039.9
6.7
1.4
133.5
172.6
59.7
0.6
77.6
156.8
203.0
1.1
13.9
453.9
1644.0
0.0
22.0
48.9
217.1
48.2
48.2
299.4
Cukup Sesuai
34.1
225.1
48.7
239.5
48.7
274.2
3.4
1.7
13.4
18.4
617.0
373.1
2145.2
NOMOR RESPONDEN
Lampiran 3 Kuesioner kebutuhan dan kepuasan penghuni perumahan
KUESIONER KEBUTUHAN
DAN GAYA HIDUP
PENGHUNI PERMUKIMAN
Bagian I. Posisi Responden
1. Nomor Responden
2. Kecamatan
3. Desa
4. Kampung/Perumahan
5. Posisi dari DAS Cianjur
Hulu
Tengah
Hilir
2
6. Ukuran luas bangunan rumah
........................... m
7. Ukuran luas rumah dan pekarangan (Luas Tanah) ........................... m2
8. Koordinat GPS
Timur :
Selatan:
Bagian II. Identitas Responden
Nama Responden
Jumlah
anggota
keluarga*
Usia
1= Satu
2= Dua
3= Tiga
4= Empat
5= Lainnya
8
9
Agama
1= Islam
2= Kristen
3= Hindu
4= Budha
5= Lainnya
10
11
Pendidikan
1= SD
2= SMP
3= SMU
4= PT
5= Lainnya
12
Pekerjaan
Pendapatan
1= Petani
2= Buruh
3= Pedagang
4= PNS
5= Karyawan Swasta
6= Lainnya
Utama
13
Sampingan
14
Suami
15
Istri
16
*Petunjuk pengisian : isikan angka 1 sampai 4 sesuai dengan pilihan saudara pada setiap kolom pertanyaan, kecuali jika pilihan pada kode 5 sebutkan.
Bagian III. Kebutuhan Penghuni Perumahan
A. Bentuk (FORM)
17. Dalam memilih rumah, apa yang menjadi patokan utama anda:
1=Desain bangunan, 2=Konstruksi bangunan, 3=Luas lahan,
4=Lokasi rumah
5=Lainnya ....................
18. Bagaimana bentuk konstruksi rumah yang Anda inginkan?
1=Semi permanen, 2=Permanen
19. Menurut anda berapa luas lahan yang ideal untuk suatu rumah?
1=60 m2, 2=90 m2, 3=100 m2, 4=120 m2, 5=Lainnya ..........
20. Menurut anda, apakah keberadaan halaman rumah (didepan/belakang/samping rumah) diperlukan?
21. Menurut anda, apakah keberadaan halaman depan rumah diperlukan?
1=Ya, 2=Tidak
1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.22, jika tidak ke 23
22. Menurut anda berapa ukuran halaman depan rumah yang dibutuhkan baik untuk taman maupun tempat bermain anak?
a. 1=2 x 2 m, 2=3 x 3 m, 3=3 x 5 m, 4=Lainnya .................
23. Halaman depan rumah, anda butuhkan untuk keperluaan apa? (pilihan bisa lebih dari satu)
3=Penyimpanan kendaraan, 4=Jemur pakaian, 5=Berternak, 6=Lainnya ............
24. Menurut anda, apakah kualitas bahan bangunan perlu diperhatikan dalam membangun rumah?
25. Bahan bangunan apa yang Anda inginkan untuk masing-masing konstruksi bangunan rumah:
Pondasi
Plapond
Dinding
Lantai
1=Batu kali
2=Beton
3=Batu bata
4=Lainnya
1=Batu bata
2=Bambu/bilik
3=Batako
4=Kayu, 5=Lainnya
25a
1=Tanah
2=Semen
3=Keramik
4=Kayu, 5=Lainnya
25b
26. Bahan bangunan yang Anda gunakan berasal darimana?
25c
1=Triplek
2=Asbes/enternit
3=Gipsum
4=Kayu, 5=Lainnya
25d
1=Taman, 2=Bermain anak,
1=Ya, 2=Tidak
Penutup Atap
1=Genteng
2=Seng
3=Asbes
4= Sirap, 5=Lainnya
25e
1=Produk lokal, 2=Produk pabrik dalam negeri,
3=Produk luar negeri, 4=Lainnya .......................................
27. Gaya arsitektur apa yang Anda inginkan untuk rumah anda?
1=Tradisional, 2= Modern, 3=Barat, 4=Lainnya …………………..
28. Jika yang Anda inginkan gaya arsitektur tradisional, dari daerah/suku mana gaya arsitektur tersebut?
3=Bali, 4=Batak, 5=Minang, 6=Lainnya ……………………..
29.Jika yang Anda inginkan gaya arsitektur barat, dari negara mana gaya arsitektur tersebut?
4=Lainnya ...........................
30. Apakah menurut Anda di rumah perlu ada tempat sampah ?
1=Sunda, 2=Jawa,
1=Jepang, 2=Amerika, 3=Eropa,
1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.31, jika tidak ke no.32
31. Dimana menurut Anda sebaiknya diletakkan?
1=Di halaman depan, 2=Di halaman belakang, 3=Di dapur,
4=Di dapur dan di halaman depan, 5=Di dapur dan di halaman belakang
32. Apakah menurut Anda, sebuah rumah perlu dipagar ? 1=Ya, 2=Tidak. Jika Ya, lanjut ke no.33, jika tidak ke no.34
Alasan : ......................................................................................................
33. Pagar yang Anda inginkan terbuat dari bahan apa ?
1=Tembok, 2=Kayu, 3=Tanaman, 4=Lainnya ...................
34. Apakah menurut Anda, rumah terutama jendela perlu diberi teralis besi?
Alasan : ......................................................................................................
35. Menurut Anda, apakah setiap rumah perlu sumur resapan?
1=Ya, 2=Tidak
1=Ya, 2=Tidak
Bagian IV. Kepuasan Tempat Tinggal dan Lingkungan Perumahan
A. Personal (Faktor Demografi)
37. Bagaimana penglibatan peran sosial penghuni dalam pemeliharaan dan perbaikan lingkungan perumahan oleh Developer?
Peran sosial Penghuni*
Baik sekali
Baik
Kurang baik
Penglibatan penghuni dalam pegelolaan lingkungan perumahan
Penglibatan penghuni dalam penyediaan fasilitas umum dan sosial
*Berikan tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu/Saudara
Buruk
B. Fisik Perumahan
38. Seberapa penting faktor-faktor berikut ini bagi anda dalam memilih atau membeli rumah?
Faktor Yang dipertimbangkan dalam Memilih atau Membeli Rumah
Lokasi
strategis
Desain
Rumah
Ruang
Terbuka
Hijau
Balai
Pertemuan
(Club house)
Fasilitas air,
listrik,telep
on
Pengelolaan
Lingkungan
(Sampah,Saluran air,
Sumur resapan air)
Sistem
Keamanan
Tempat
Rekreasi
Harga
Terjangkau
Sangat tidak penting
Tidak penting
Penting
Sangat penting
39.Bagaimana dengan kualitas dari masing-masing fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ada di perumahan anda?
Kualitas Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial
Jalan
Sistem
Keamanan
Ruang Terbuka
Hijau (taman)
Tempat
Rekreasi
Air
Telepon
Listrik
Pembuangan
Sampah
Balai Pertemuan (Club
house)
Tempat Beribadah
Mesjid
Gereja
Baik sekali
Baik
Kurang baik
Buruk
40.Nyatakan tingkat kepuasaan anda pada masing-masing pernyataan berikut ini:
Setuju
Saya merasa puas dengan penampilan gaya arsitektur di perumahan ini
Saya merasa puas dengan tata ruang di lingkungan perumahan ini
Saya merasa puas dengan desain penataan ruang rumahnya
Saya merasa puas dengan fasilitas yang ada di lingkungan perumahan ini
Saya merasa puas dengan pelayanan yang diberikan pengelola perumahan ini
Saya merasa puas dengan sistem keamanan di lingkungan perumahan ini
Kurang setuju
Tidak setuju
Ragu-ragu
C. Sosial dan Budaya
41. Bagaimana kondisi hubungan sosial dan budaya antar sesama penghuni dilingkungan Bapak/Ibu/Saudara ?
Kondisi Hubungan Sosial dan Budaya
Baik Sekali
Hubungan dan Interaksi sosial Penghuni
Hubungan ketetanggaan antar penghuni di lingkungan perumahan ini?
Interaksi penghuni antar blok di lingkungan perumahan ini?
Hubungan penghuni antar penganut agama lain?
Hubungan penghuni antar tipe rumah
Hubungan antar penghuni dengan warga di sekitar atau di luar perumahan
Baik
Kurang Baik
42. Bagaimana peran para stakeholder dalam segala bentuk kegiatan guna memajukan lingkungan perumahan Bapak/Ibu/Saudara?
Peran Stakeholder
Sangat
Cukup
Kurang
Berperan
Berperan
Berperan
Peran tokoh masyarakat
Peran Ketua RT dan RW
Peran Developer
Peran warga
Peran Dinas/Instansi terkait
Buruk
Tidak
Berperan
Terima Kasih
Rachmat Mulyana Mhs.Pascasarjana IPB HP. 085216705180
Perumahan Griya Darmaga Asri Blok C1-9 Ciampea Bogor
Download