Partisipasi Islam Tradisional dalam Mengawal Kebijakan Reformasi Birokrasi di Kabupaten Bolaang Mongondow Oleh: Rahmat Machmud Abstrak Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif dengan analisa kualitatif. Metode deskriptif yaitu metode penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah ataupun fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau pada masalah yang bersifat actual, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi yang rasional dan akurat. Penelitian deskriptif bertujuan membuat pencenderaan, lukisan, deskripsi mengenai faktafakta dan sifat-sifat suatu populasi atau daerah tertentu secara sistematik, faktual dan teliti. Berdasarkan hasil penelitian pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Partisipasi Islam Tradisional (NU) di Bolaang Mongondow belum menunjukkan hasil yang efektif, hal ini ditandai dengan lemahnya dukungan warga NU itu sendiri dalam memberikan dukungan kepada mesin politik NU yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, dimana hanya memperoleh dua kursi dari tigapuluh kursi yang diperebutkan di lembaga legislatif Kabupaten Bolaang Mongondow. Secara kelembagaan NU bergerak sebagai kekuatan kemasyarakatan islami, sehingga domain politik NU lebih dititik beratkan pada Partai Kebangkitan Bangsa. Partisipasi Islam Tradisional (NU) dalam mengawal kebijakan reformasi birokrasi di Bolaang Mongondow terbatas pada mempersiapkan para kader NU agar nantinya disaat duduk dalam lembaga eksekutif, dapat mempertahankan Aqidah, nilai-nilai luhur islami, sehingga kualitas kader NU akan berbeda dengan kader lainnya. Kekuatan Islam Tradisional (NU) di Kabupaten Bolaang Mongondow belum mendapat perhatian lebih oleh penguasa daerah, sehingga belum dapat memberikan pengaruh dalam penyelenggaraan pemerintahan, terlebih kebijakan reformasi birokrasi yang dilakukan di kabupaten Bolaang Mongondow. Top Eksekutif Kabupaten Bolaang Mongondow, tidak menempatkan Islam Tradisonal (NU) sebagai kekuatan kemasyarakatan yang besar di Bolaang Mongondow, sehingga saran pemikiran, gagasan, yang disampaikan oleh pengurus cabang NU Bolaang Mongondow bekum mendapat prioritas utama bagi penguasa. Kata Kunci : Partisipasi,Islam,Kebijakan,Birokrasi LATAR BELAKANG Hubungan antara agama dan proses demokratisasi saat ini tampak begitu erat. Banyak gerakan-gerakan agama yang secara aktif mendorong upaya penegakan demokrasi. Seperti yang dilakukan oleh Dom Helder Camaraseorang uskup agung di Brazilmenggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan tahun, dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada komunisme. Ia bahkan dikenal dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat. Vinoba Bhaveorang suci Hindu di India yang berjuang untuk membangun demokrasi ekonomi dengan meminta kerelaan kepada kaum bertanah untuk membagikan tanah mereka kepada kaum miskin. Kemudian, Sulak Sivaraksa pemimpin awam kaum Budha di Thailand yang diancam hukuman mati karena memperjuangkan kebebasan berbicara, termasuk mengkritik dan mempertanyakan kedudukan raja (Abdurrahman Wahid, 2007: 281-282). Begitu pula dengan Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam membuat hubungan Islam dan demokrasi begitu kental. Selain karena sebagai agama mayoritas, Islam dalam ajarannya juga memberikan poin-poin penting terkait masalah politik (siyasah). Dalam perspektif Islam, demokrasi merupakan sebuah sistem yang sudah terbentuk secara praktek pada masa Rosulullah, yaitu ketika dicetuskannya Piagam Madinah yang mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan dari pelbagai kelompok masyarakat yang hidup di Madinah ketika itu. Secara historis, Piagam Madinah menunjukkan pola kepemimpinan Rosulullah yang demokratis ketika ia harus berhadapan dengan kompleksitas masyarakat yang berbeda dengan Mekkah. Piagam ini pula yang mampu mengatur kesepakatan bersama antar suku yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Perjanjian ini dianggap sebagai sebuah upaya yang sangat revolusioner dalam menciptakan tatanan kehidupan yang aman dan damai meski dalam perbedaan. Bagi masyarakat Islam yang pro terhadap demokrasi, maka peristiwa bersejarah tentang Piagam Madinah ini diyakini sebagai proses demokrasi yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Meskipun secara istilah Rosul tidak menyebutkan dengan spesifik, namun prakteknya Rosulullah telah melakukan upaya demokratisasi. Di sisi lain, demokrasi merupakan sebuah konsep yang lahir di Yunani sedangkan Islam merupakan peradaban yang lahir di Arab. Sehingga pertemuan antara Islam dan demokrasi adalah sebuah pertemuan peradaban, ideologi, dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda. Namun, Indonesia sebagai negara yang mengadopsi sistem demokrasi tidak saja mengambil secara mutlak sistem demokrasi yang berkembang di barat, akan tetapi menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan Marxis di dalamnya. Pendapat itu dikemukakan oleh Under Uhlin (dalam Eko Tranggono, 1993:23-24) yang melakukan penelitian tentang demokrasi di Indonesia. Dalam kesimpulannya, demokrasi dalam konteks modern bukan sekadar idebarat melainkan sesuai dengan kondisi negara di mana demokrasi itu berkembang. Sementara itu agama dan demokrasi adalah dua hal yang tidak saling berhubungan. Sehingga agama dan demokrasi bisa berjalan secara bersama-sama. Ia mengambil contoh di Eropa yang pada masa lalu ada tiga pemerintahan diktator bahkan fasis yang sangat kejam; Nazi Hitler di Jerman, Franco di Spanyol, dan Fasis Mussolini di Italia. Namun pada kenyataannya, negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Kristen itu pun sekarang bisa menjalankan sistem demokrasi. Begitu pula dengan negara-negara dengan mayoritas penduduknya yang memeluk Islam juga banyak yang menggunakan sistem demokrasi. Sehingga, menurutnya tidak ada hubungan apapun antara agama dan demokrasi. Keduanya akan bisa berjalan bersama-sama karena memiliki tujuan dan fungsinya masing-masing. Di Kabupaten Bolaang Mongondow sendiri, partispasi Islam Tradsional (NU) dalam mengawal kebijakan reformasi birokrasi masih dirasa lemah, walaupun sejak pasca reformasi Islam Tradisional telah bersepakat untuk mengambil bagian dalam kekuatan partai politik (Partai Kesatuan Bangsa) sebagai pilar dari demokrasi, yang mengutamakan asas nasionalis yaitu pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, namun tidak semua warga NU menjadi simpatisan bahkan menjadi kader partai kesatuan bangsa ini. Pengurus teras NU yang kebanyakan terlibat dalam kepengurusan Partai. Hal inilah yang menjadi dilema dalam perjuangan NU menegakkan demokrasi di Indonesia khususnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, dari jumlah perwakilan partai sendiripun masih sangat kurang, walaupun NU merupakan mayoritas di Kabupaten Bolaang Mongondow. 1. Indikasi dari masalah tersebut diatas dapat diinventarisir sebagai berikut: Kurangnya partispasi NU untuk menyampaikan pesan-pesan moral oleh jajaran pengurus NU untuk memberikan motivasi kepada warga NU agar dapat menjadi warga Negara yang baik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. 2. Dukungan warga NU untuk dapat menunjuk bahkan memilih perwakilannya agar dapat duduk dilembaga politik (legislatif) yang masih rendah, hal ini dapat dibuktikan dengan masih kurangnya warga NU dalam memberikan suaranya kepada partai politik yang bernaung di bawah NU yaitu PKB. 3. Masih lemahnya perwakilan NU yang duduk di legislatif untuk mengawal dan menyuarakan kepentingan warga NU, hal ini di dasari masih lemahnya political will dari pengurus NU sendiri. 4. Kader-kader NU belum maksimal mengawal kebijakan reformasi birokrasi, khususnya penempatan/posisi strategis dalam pemerintahan daerah. 5. Masih kurangnya kepekaan kader NU dalam memandang jauh kedepan dengan mengedepankan prinsip kemajuan bersama. Indikasi permasalahan seperti yang disebutkan diatas, masih dalam batasan penilaian yang dilakukan berdasarkan observasi oleh peneliti, oleh karena itu perlu dilakukan suatu pengkajian dalam suatu penelitian ilmiah untuk mendapatkan hasil yang benar-benar diharapkan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai partisipasi islam tradisional dalam mengawal kebijakan reformasi birokrasi khususnya di Kabupaten Bolaang Mongondow. KONSEP 1. Konsep Partisipasi Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999:29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama. Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak).Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usahausaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. 2. Konsep Islam Tradisional Dalam kajian tentang Islam di Indonesia, sudah sering kita mendengarkan kategorisasi atau tipologi dalam bentuk oposisi biner antara modernisme Islam dan tradisionalisme Islam; antara golongan Muslim modernis dan yang tradisionalis (Noer, 1991:35).Kelompok atau organisasi yang digolongkan sebagai kaum modernis adalah Muhammadiyah atau Persatuan Islam (Persis) sementara kaum tradisionalis adalah Nahdlatul Ulama. Pilihan yang kedua inilah yang diterapkan hingga akhirnya demokrasi menjadi sistem di Indonesia dan Islam dapat menginternalisasikan hukumhukumnya dalam konteks hukum positif. Semangat perjuangan hak-hak minoritas yang plural inilah yang menjiwai NU untuk sepakat dengan demokrasi. Sesuai dengan prinsipnya, demokrasi akan memungkinkan adanya kebebasan berekpresi dan tumbuh suburnya khazanah Islam tradisional di Indonesia.Pertama, kebebasan berbicara. Faktor ini dapat terwujud dengan jalan warga negara dapat menyatakan pendapat-pendapat mereka secara terbuka mengenai persoalanpersoalan publik tanpa dihantui rasa takut,baik pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah. Kedua, sistem pemerintahan yang bebas. Faktor ini menurut rakyat secara teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih orang-orang yang mereka percayai untk menangani urusan-urusan pemerintahan. Ketiga, pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas dan hak-hak minoritas. 3. Konsep Kebijakan Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh pembuat kebijakan bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Banyak variable yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya pembuat kebijakan untuk mempengaruhi perilaku birokrat sebagai pelaksana kebijakan. Birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah berfungsi sebagai pelaksana kebijakan. Birokrasi melaksanakan tugas maupun fungsi pemerintah dari hari ke hari tentunya membawa dampak pada warga negaranya. Peranan birokrasi sangat menentukan keberhasilan dari program yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sinergitas antara pembuat kebijakan dengan birokrasi atau dengan kata lain dinas sebagai implementator sangat penting guna pencapaian tujuan kebijakan. 4. Konsep Reformasi Birokrasi Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180).Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan normanormanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur” Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pengurus NU Sulut dan pengurus cabang NU Kabupaten Bolaang Mongondow Anggota DPRD Kabupaten Bolaaang Mongondow yang berasal dari NU Tokoh-tokoh NU Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh berdasarkan sumbernya dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dengan pengamatan secara langsung.Sedangkan data sekunder adalah data yang bersumber dari dokumendokumen atau arsip resmi yang berhubungan dengan penelitian. METODE Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data deskriptif kualitatif di mana jenis data yang berbentuk informasi baik lisan maupun tulisan yang sifatnya bukan angka.Data dikelompokkan agar lebih mudah dalam menyaring mana data yang dibutuhkan dan mana yang tidak.Setelah dikelompokkan, data tersebut penulis jabarkan dengan bentuk teks agar lebih dimengerti.Setelah itu, penulis menarik kesimpulan dari data tersebut, sehingga dapat menjawab pokok masalah penelitian. Untuk menganalisa berbagai fenomena di lapangan, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan informasi melalui wawancara, observasi langsung dan dokumentasi; 2. Reduksi data, proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. Langkah ini bertujuan untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian. 3. Penyajian data, setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah penyajian (display) data. Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian naratif. Pada langkah ini, peneliti berusaha menyusun data yang relevan, sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan dan membuat hubungan antarfenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Display data yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal. Tahap akhir adalah menarik kesimpulan yang dilakukan secara cermat dengan melakukan verifiksi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, sehingga data-data yang ada teruji validitasnya. HASIL Partisipasi politik dipahami sebagai suatu kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan bersama. Partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Miriam Budiarjo, 1998:3). Dengan kata lain,penguatan politik rakyat mutlak diperlukan. Oleh karenanya, perbaikan sistem politik dan penegakan hukum menjadi syarat utama dalam membangun Indonesia baru yang lebih beradab, adil dan sejahtera. Sebagai salah organisasi terbesar di Indonesia, partisipasi Nahdlatul Ulama tidak dapat dipandang sebelah mata. Keberadaan NU dari zaman ke zaman tidak pernah alpa dalam memperbaiki sistem perpolitikan yang ada. Reorientasi politik yang lebih memfokuskan kepada partisipasi politik masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka chek and balances untuk mewujudkan welfare state (negara kesejahteraan). Dalam perjalanan organiasasi NU selama ini, tidaklah sederhana. Banyak lika liku perjuangan yang luput dari perhatian masayarakat luas. Dari sejak lahirnya, NU sudah memperkenalkan visi dan misi dalam membangun bangsa dan negara yang moderat dan sesuai dengan kondisi sosial masyakat (Shalihun Likulli Zaman Wal Makan). Dalam perkembangan politik di Indonesia, terlihat semakin semaraknya partisipasi politik masyarakat. Realitas ini hal wajar, mengingat setelah runtuhnya otoritarianisme Orde Baru dan lahirnya reformasi, kran demokrasi pun terbuka lebar, ekspresi politik rakyat kemudian bukan hanya melahirkan isu demokrasi an sich, tetapi membawa wacana-wacana baru dalam perspektif berbeda. Secara teoritis, partisipasi warga negara, setidaknya terdapat empat faktor utama partisipasi, Pertama, sejauh mana orang menerima perangsang politik. Seseorang yang aktif, peka dan terbuka akan memacu untuk aktif dalam kegiatan politik. Kedua, karakteristik pribadi seseorang, kepribadian yang terbuka, sosiabel, ekstrovert cenderung melakukan kegiatan politik dibandingkan kepribadian yang introvert.Ketiga, karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial, ekonomi, kelompok ras, jenis kelamin dan termasuk dalam organisasi akan mempengaruhi partisipasi politik seseorang. Keempat, keadaan politik atau lingkungan politik tempat seseorang dapat menemukan dirinya. Abad ke-19, di Dunia Islam terjadi pembaruan pola pikir strategi perjuangandan pemahaman keagamaan yang mencoba menjawab tantangan zaman.Pemikiran-pemikirantersebut dimunculkan oleh orang-orang yang disebut sebagai mujadid atauorang yang memperbarui pemahaman agama (Mujamil, 2002:8). Maraknya konsep pembaruan iniditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir dan pembaru seperti Rifa’ah BadawiRafi’ al-Tahtawi dengan konsep Tahrîr al-mar’ah (emansipasi wanita) danpatriotisme, Jamaludin al-Afghani dengan Pan-Islamisme, Muhammad Abduh denganseruan ijtihad dan liberalisme pemikiran, Rasyid Ridha yang mengemukakan bahwapandangan salaf membawa dampak positif bagi kebangkitan Islam, serta MaulanaIlyas Kandahlawi dengan konsep pemisahan politik dari kehidupan beragama. Gagasan-gagasan pembaruan yang muncul mulai abad ke-19 itu terusberkembang dan mengantarkan kondisi awal abad ke-20 yang dapat dikatakansebagai kesadaran mewujudkan pemikiran-pemikiran yang masih abstrak ke dalambentuk usaha yang konkret.Penyebaran pemikiran dan gagasan baru ini pun sampaike Indonesia termasuk di Bolaang Mongondow. Aktivitas Haji, forum ilmiah, dan surat kabar menjadi perantara yangmembawa gagasan tersebut. Dari beberapa gagasan pembaruan tersebut terdapatbeberapa konsep yang menumbuhkan semangat kesadaran politik Islam, namun dilain pihak muncul juga golongan tradisional yang berkhidmat pada madzhab tertentudan cenderung menutup pintu ijtihad. Penetrasi pemikiran dari luar wilayah Indonesiamasuk melalui interaksi yang dilakukan oleh orang-orang dari Indonesia melaluiaktivitas ibadah Haji. Melalui proses perjalanan ibadah haji ini fungsifungsilegitimasi, politik, ilmu, dan fungsi sosial muncul. Selanjutnya berbagai pemikirantersebut ada yang diterima dan mengalami penyesuaian dengan kondisi kulturalmasyarakat setempat.Menurut Pengiat Muda NU Bolaang Mongondow, Bpk. Yusrah Al Habsi, SE: “pergerakan dunia Islam, terbagi empat kelompok pergerakan dalam dunia Islam, yaitu: fundamentalis, modernis, tradisionalis, dan mahdiis, kelompok-kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap kekuatan non-Islam terhadap kekuatan-kekuatan yang ada dalam Islam. Setelah Perang Dunia II selama beberapa waktu, Islam adalah agama yang tidak terlalu diperhitungkan oleh dunia di luarnya.Hal ini memicu reaksi-reaksi terhadap perlakuan dunia barat tersebut”. Dari hasil wawancara dengan informan diatas, penulis mengambildua gerakan yang berkembang di Indonesia yakni, gerakan tradisional dan modern.Gerakan Islam tradisional adalah gerakan yang membangkitkan tradisi Islamsebagai suatu realitas spiritual ditengah modernisme. Aktivitas yang dilakukankelompok ini bukan lagi pada tataran pertemuan politis melainkan hati dan pikiranindividu yang terkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok gerakan ini beranggapan bahwa kebangkitan dunia Islam harus bersamaan dengan kebangkitanumat Islam itu sendiri.Gagasan mengenai perubahan bukan merupakan gagasan dariluar yang ingin mengubah dunia namun tidak mengubah manusia itu sendiri.Penekanan gerakan Islam tradisional adalah pada perubahan batin masyarakat Islamsecara keseluruhan. Gambaran mengenai Islam tradisional sendiri dapat dipahami melalui jalanpikirannya terhadap berbagai bidang dalam Islam.Islam tradisional menerima al-Quran sebagai perkataan Tuhan dalam bentuk isi secara utuh dan sebagai bentukpenjelmaan perkataan abadi Tuhan yang tanpa permulaan waktu.Islam tradisionalmelindungi syari’ah seutuhnya sebagai hukum Tuhan, dan Islam tradisionalmenganggap sufisme sebagai sebuah dimensi terdalam dari titik kebangkitan Islam. Aktivitas gerakan Islam tradisional dapat dijumpai di berbagai daerah, termasuk di Bolaang Mongondow, ada kelompok muslim tradisional menentang kaum modernis dan nasionalis dalambidang politik. Agar lebih memperkokoh sosialisasi tradisionalis yang ada padagerakannya maka kelompok tradisional ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan pengetahuan agama. Karakteristik yang telah dijelaskan di atas adalah aspek-aspek yang menjadiciri dari gerakan Islam tradisional di dunia Islam secara umum. Pada gerakan Islamtradisional di daerah-daerah juga muncul beberapa karakteristik seperti aktivitas gerakanyang terfokus pada perbaikan individu, aspek kebatinan yang berhubungan dengansufisme, dan kesinambungan pola pendidikan tradisional pada masa kontemporer. Konsep Islam tradisional menurut informan Bpk Ir. Suwarno Tuiyo, Sekretaris Wilayah NU Sulut adalah: “kelompok Islam yang masih mempertahankan tradisi sebagai bagian dari aktivitas keagamaannya, dimana segala aspek kehidupannya dipenuhi dengan pengamalan nilai-nilai agama, baik dia sebagai masyarakat biasa, maupun sebagai pejabat pemerintahan, kemasyarakatan, dan kerohanian”. Dalam konteks gerakan Islam yang dikaji pada bab ini di antaranya adalah mengenai penolakan pembaruan dan mempertahankan tradisi pada kondisi kebudayaan tertentu,yang telah terakulturasi dengan nilai-nilai daerah dan dianggap sebagaibagian dari konsep keagamaan. Selain itu juga mengenai tertutupnya pintu ijtihadbagi umat Islam yang menurut golongan tradisional sebagai konsekuensi dari tidakadanya sosok pembaru yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad (mujtahid). Menurut kaum tradisional, purifikasi Islam kepada ideologi dasarnya yang berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah bukan berarti meninggalkan tarekat atau tasawuf, karena menurut mereka ada dalil-dalil yang menjadi landasan bagi perilaku keagamaannya. Tasawuf menjadi bagian yang penting dalam praktek agama, karena dapatmensucikan hati dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pelaksanaan tasawuf melalui apa yang dikenal dengan nama tarikat. Dalam lingkungan pesantren istilahtersebut diartikan sebagai suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturansyari’at Islam dan mengamalkannya, baik yang bersifat ritual maupun sosial. Madzhab juga menjadi salah satu ciri dari konsep Islam tradisional. Penerapan madzhab memiliki posisi penting karena implementasinya tidak hanya di tataranideologi (faham) namun juga pada tingkatan praksis.Madzhab adalah panutan yangharus diikuti dalam masalah agama.Muslim tradisional di Indonesia kebanyakanmenganut Madzhab Syafi’i dalam bidang fikih, dan menganut aliran Asy’ari dalambidang akidah. Terdapat sebuah keharusan untuk mengikuti apa saja yang dikatakanoleh pendiri madzhab yang dianutnya tanpa meneliti kebenarannya. Kondisi inidikenal juga dengan taqlid.Taqlid berarti mengikuti suatu perbuatan orang yangdianggap mengerti seperti kiai atau ulama dengan tidak mengetahui alasannya. Perbuatan seperti ini menjadi tradisi pada masyarakat Islam tradisional.Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakanbersifat sinkretik. Hal ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur denganpraktik keagamaan masyarakat di daerah tersebut. Gerakan Islam tradisional di Bolaang Mongondow secara umum ada dalam batasan-batasan tatanan ketatanegaraan yang telah disepakati bersama. Hal ini dapat membuat proses asimilasi antara pemerintah daerah dengan kebudayaan lokal, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sulit terjadi, dikarenakan setiap kebijakan dalam reformasi birokrasi di bolaang mongondow secara structural mengacu kepada kebijakan agenda reformasi nasional. Kebijakan reformasi birokrasi di bolaang mongondow pada dasarnya mengacu kepada system yang telah ditetapkan dalam tata main penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana penempatan posisi birokrat berdasarkan penilaian dari badan pertimbangan pangkat dan jabatan daerah yang diketuai oleh sekretaris daerah. Menurut salah satu informan tokoh NU Bolaang Mongondow, Bpk. Yusra Alhabsyi, SE mengatakan: Kebijakan reformasi birokrasi yang ada di bolaang mongondow sepenuhnya kewenangan dari pada top eksekutif yang ada di daerah ini, sebagai warga NU, partisipasinya hanyalah dalam penyampaian gagasan/ide semata, tanpa bisa untuk melakukan penetrasi lebih mendalam terhadap kebijakan tersebut. Namun ada hal yang patut dibanggakan adalah banyak para birokrat yang merupakan warga NU, namun sepak terjangnya belum mencerminkan warga NU dalam bertindak. Hal ini merupakan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan tokoh NU yang duduk sebagai anggota DPRD Bolaang Mongondow dari Partai Kebangkitan Bangsa: “banyak kader NU yang duduk di lembaga eksekutif pemerintah daerah, yang tidak mampu mempertahankan idealismenya sebagai seorang kader NU, hal ini dibuktikan dengan rendahnya kualitas kerja yang dihasilkan kader tersebut, demi mempertahankan posisinya sebagai seorang yang menjabat di pemerintahan, sehingga hal tersebut memberikan kesan bahwa kader NU belum mampu diberikan tanggungjawab yang lebih disaat diberikan kepercayaan duduk dilembaga pemerintahan”. Suatu hal yang manusiawi disaat seseorang berkuasa baik dari apapun latar belakangnya tidak mampu mempertahankan jati dirinya sebagai seorang tokoh, kebanyakan mereka ikut terjerumus dalam praktek-praktek yang sesungguhnya penistaan terhadap iman dan keyakinan sebagai seorang muslim. Disaat peneliti menggali lebih jauh lagi mengenai bentuk konkrit partisipasi NU dalam mengawal kebijakan reformasi birokrasi di bolaang mongondow, Ketua Cabang NU Bolaang Mongondow, Bpk. Abdul Haris Bambela mengatakan: “sampai sejauh ini NU Bolaang Mongondow tidak lebih jauh masuk dalam domain politik, termasuk mengawal dan mengawasi serta mengkritik kebijakan yang dikeluarkan khususnya dalam penempatan posisi pejabat di lingkungan pemerintah daerah, secara lembaga NU itu sendiri. Hal ini dilakukan mengingat NU sebagai basis organisasi kemasyarakatan yang lebih fokus kepada penguatan mental spiritual kemasyarakatan. Dalam ranah politik NU ada kendaraan sendiri yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, namun garis hirarki antara NU dan PKB khususnya yang ada di Bolaang mongondow itu terputus, sehingga pengurus NU tidak dapat serta merta memberikan instruksi kepada PKB untuk melakukan apa yang dikehendaki NU, melainkan melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh organisasi masing-masing”. Partisipasi NU lebih condong untuk mempersiapkan kader-kader NU dari segi akhlak, mental, dan spiritualnya ketika masuk dan dipercayakan sebagai pejabat pemerintahan, NU tidak dapat dengan seenaknya memberikan kritik kepada pemerintah daerah dalam melakukan kebijakan reformasi birokrasi. Dalam ranah tersebut, NU memiliki kekuatan politik dalam organisasi tersendiri yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, namun ironisnya mesin politik NU ini terbilang sedikit mendapat dukungan dari warga NU itu sendiri, dimana hasil Pemilihan Umum Legislatif yang diselenggarakan tahun 2014 silam, Partai Kebangkitan Bangsa harus puas meraih dua kursi di legislatif dari tigapuluh kursi yang tersedia, hal ini mengindikasikan bahwa warga NU tidak sepenuhnya sadar secara ideologis dan fundamentalis untuk mendukung dan memberikan kesempatan kepada NU agar lebih berkiprah lagi dikancah politik dan pemerintahan, sehingga kepentingan-kepentingan agenda reformasi yang dikeluarkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten bolaang mongondow, dapat diawasi dan dikawal oleh NU itu sendiri, dengan perkataan lain, Pengusrus Cabang NU Bolaang Mongondow harus lebih lagi mempersiapkan kader yang militan. Selanjutnya peneliti mencoba untuk mengetahui apa penyebab rendahnya partisipasi warga NU dalam menentukan pilihan bagi mesin politik NU yaitu PKB, Bpk. Amri Modeong, seorang tokoh masyarakat NU mengatakan: “secara statistik keberadaan warga NU di Bolaaang Mongondow merupakan cerminan dari perolehan suara di legislatif tahun 2014. Memang apabila ingin dipetakan bahwa keberadaan NU di Bolmong itu tidak lebih banyak dari muhamadiyah, hal ini dapat dilihat dari perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) yang dapat menghentarkan kadernya di DPRD Bolmong sebanyak 5 kursi, dibandingkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang hanya meraih 2 kursi. Solidaritas dikalangan warga NU itu sendiri banyak terpecah belah, sehingga dukungan warga NU memperoleh hasil yang sangat minim”. Berdasarkan pernyataan diatas, bahwa jiwa kebersamaan dalam warga NU masih dikatakan kurang, sehingga berimbas kepada hasil perolehan suara untuk NU, dengan demikian kekuatan NU akhirnya akan dipandang sebelah mata oleh penguasa, NU sendiripun tidak dapat memberikan lebih untuk mengkritisi, bahkan mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah, hal ini seperti yang diungkapkan oleh ketua cabang NU Bolaang Mongondow, Bpk. Bpk. Abdul Haris Bambela: “suatu hal yang sangat memiriskan bahwa kekuatan NU di Bolaang Mongondow dipandang sebelah mata oleh penguasa. Indikator utamanya adalah perolehan suara PKB yang sangat jauh dibawah harapan, tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh partisipasi warga NU itu sendiri. Namun walaupun demikian yang terjadi, NU sebagai kekuatan kemasyarakatan tetap berupaya untuk ikut berpartisipasi mempersiapkan para kader NU untuk moderat, selaras, toleran, menghargai perbedaan, dan maslahat sesuai dengan aqidah-aqidah islam,ahlussunnah wal jama'ah agar nantinya partisipasi dari warga NU ini dapat berimbas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik lagi”. SARAN DAN KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Partisipasi Islam Tradisional (NU) di Bolaang Mongondow belum menunjukkan hasil yang efektif, hal ini ditandai dengan lemahnya dukungan warga NU itu sendiri dalam memberikan dukungan kepada mesin politik NU yaitu Partai Kebangkitan Bangsa, dimana hanya memperoleh dua kursi dari tigapuluh kursi yang diperebutkan di lembaga legislatif Kabupaten Bolaang Mongondow. 2. Secara kelembagaan NU bergerak sebagai kekuatan kemasyarakatan islami, sehingga domain politik NU lebih dititik beratkan pada Partai Kebangkitan Bangsa. Partisipasi Islam Tradisional (NU) dalam mengawal kebijakan reformasi birokrasi di Bolaang Mongondow terbatas pada mempersiapkan para kader NU agar nantinya disaat duduk dalam lembaga eksekutif, dapat mempertahankan Aqidah, nilai-nilai luhur islami, sehingga kualitas kader NU akan berbeda dengan kader lainnya. 3. Kekuatan Islam Tradisional (NU) di Kabupaten Bolaang Mongondow belum mendapat perhatian lebih oleh penguasa daerah, sehingga belum dapat memberikan pengaruh dalam penyelenggaraan pemerintahan, terlebih kebijakan reformasi birokrasi yang dilakukan di kabupaten Bolaang Mongondow. 4. Top Eksekutif Kabupaten Bolaang Mongondow, tidak menempatkan Islam Tradisonal (NU) sebagai kekuatan kemasyarakatan yang besar di Bolaang Mongondow, sehingga saran pemikiran, gagasan, yang disampaikan oleh pengurus cabang NU Bolaang Mongondow bekum mendapat prioritas utama bagi penguasa. B. Saran Saran-saran yang dapat peniliti berikan dalam penelitian ini adalah: 1. Perlunya konsolidasi yang lebih intens antara Pengurus Cabang NU dan Partai Kebangkitan Bangsa Bolaang Mongondow, serta lebih menambah frekuensi pertemuan-pertemuan antar pengurus Cabang NU dengan warga NU, agar warga NU dapat memberikan dukungan. 2. Perlunya meningkatkan peran politik Partai Kebangkitan Bangsa melalui kader yang duduk di lembaga legislatif Bolaang Mongondow untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah daerah khususnya kebijakan reformasi birokrasi. 3. Peningkatan peran dan partisipasi NU yang lebih dititikberatkan kepada pembinaan ahklak dan mental warga NU harus lebih dioptimalkan, agar nantinya tercipta kader NU yang militan, yang mampu mempertahankan idialisme, dan profesionalisme, dalam melaksanakan pemerintahan, disaat duduk sebagai pejabat birokrasi. tugas-tugas 4. Diperlukan usaha dan kerja keras dari pengurus cabang NU Bolaang Mongondow untuk menjadikan NU sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang besar, kuat dan solid, agar nantinya dapat diperhitungkan dalam kancah politik, dan pemerintahan di Kabupaten Bolaang Mongondow. DAFTAR PUSTAKA Ach. Wazir Ws., et al., ed. Panduan Penguatan Menejemen Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project. 1999 Amin, M. Masyhur,NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya,cet,Yogyakarta: AlAmin Press, 1996. Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia: Rhineka Cipta, Jakarta, 2002. Benveniste, Guy. Birokrasi.Jakarta: PT Raja GrafindoPersada. 1997. Conyers, Diana..Perencanaan Sosial di Dunia ketiga. Yogyakarta: UGM Press. 1991 C. Gould, Carol,Demokrasi Ditinjau Kembali,(terj) Samodera Wibawa, Jogjakarta: Tria Wacana, 1993. Muhtadi, Asep Saeful,Komunikasi Politik Indonesia; Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008. Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Esposito, John L.,Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek, (terj) Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1999. Karim, A. Gafar,Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Mikkelsen, Britha. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999. Muzadi, Hasyim,Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta: Logos, 1999. Noer, Deliar. 1991. Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Pramusinto Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan PublikSusanto, Heri, “Ditjen Pajak Juara Kena Sanksi Pelanggaran” Rahardjo, Muhammad Dawam,Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial,Jakarta: LP3ES, 1999. Ridwan, Nur Kholiq,NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Salim, Abdul Mun’im,Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Quran,Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002. Sam, Wawan, “Statmen Nusron Wahid: Perang NU terhadap Terorisme, NII atau?” dalamKompasiana, 18 Juli 2011. Sufyanto,Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid,Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LP2IF, 2001. Taranggono, Eko, “Islam dan Demokrasi: Upaya Mencari Titik Temu”,Jurnal al Afkar, Edisi VI, Tahun ke-5, Juli-Desember 2002. Tebba, Sudirman,Islam Pasca Orde Baru,Jogjakarta: Tiara Wacana Jogja, 2001. Wahid, Abdurrahman,Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,Jakarta: The Wahid Institute, 2007. Marzuki Wahid, dkk,Dinamika NU; Perjalanan Sosial dari Muktamar Cipasung (1994) ke Muktamar Kediri (1999),Jakarta: Penerbit Kompas bekerjasama dengan Lakpedsdam-NU, 1999. Walid, Muhammad,Teologi Politik: Mengkonstruksi Agama Anti Teror,Malang: UIN Malang Press, 2009.