Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan

advertisement
Sultoni, Suyitno & Rakhmawati
Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan Karakter
Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari/ A Study of the Genetic
Structuralism and Character Values in the Novel Pasung Jiwa by Okky
Madasari
Achmad Sultoni
Universitas Sebelas Maret
Suyitno
Universitas Sebelas Maret
Ani Rakhmawati
Universitas Sebelas Maret
Abstract
This study aims to describe the social structure (social facts) depicted in the novel,
Pasung Jiwa, by Okky Madasari and elucidate the author’s worldview and
educational values contained in the work. Pasung Jiwa can be seen from the
perspective of social humanism and portrays a number of values that are held by
the community in which the story occurs. These include concern for others,
tolerance, and love of one’s native land, which make the novel relevant for inclusion
in school curricula as a part of character education.
Pendahuluan
Karya sastra hakikatnya diciptakan oleh pengarang atau sastrawan bukanlah tanpa
maksud atau tidak berguna. Fungsi karya sastra bagi pembaca, selain sebagai
hiburan adalah sebagai tuntunan. Hal itu berpijak pada fungsi utamanya yakni dulce
et utile atau menghibur sekaligus mendidik.
Latifi (2012) mengatakan bahwa sastra dan sistem nilai adalah dua hal yang
berdampingan. Kehadiran sastra di tengah-tengah pembaca merupakan sebuah
produk budaya yang mengandung sejumlah tawaran sistem nilai dan pemikiranpemikiran. Hal ini terjadi dikarenakan pengarang bukanlah manusia yang turun dari
langit sehingga segala pemikirannya muncul begitu saja tanpa historisitas yang
melatarbelakanginya. Akan tetapi, sebaliknya, sastrawan adalah manusia yang
berada dalam ruang dan waktu, bagian dari makhluk sosial yang terlibat secara
terus-menerus dengan problem-problem sosio-kultural yang dihadapinya.
Karya sastra sebagai produk sosial dan budaya menempatkan fungsinya sebagai
hubungan yang dialektis dengan fenomena kehidupan. Beragam tema dan persoalan
ISSN – 2206-0596 (Online)
28
Aksara, Vol. 2, No.2
July 2017
yang diangkat sastrawan dalam karya sastra merupakan cara pengarang merespon
perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut juga menjadi contoh bahwa
sastrawan sebagai kreator bukan pribadi yang pasif terhadap realitas zaman.
Realitas dan persoalan sosial dalam karya sastra memiliki keterkaitan dengan
internalisasi pendidikan karakter. Melalui realitas dan persoalan sosial yang
ditawarkan, pembaca dapat merenungi dan merefleksikan konteks sosial d
masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Rahmanto (2000:15) bahwa dalam konteks
pendidikan karakter, pengajaran sastra memiliki peran yang sangat penting. Apabila
karya sastra dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan
memahami masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra tidak akan ada
gunanya lagi untuk diadakan.
Berhubungan dengan persoalan sosial dan nilai pendidikan karakter, novel Pasung
Jiwa karya Okky Madasari mengangkat dua tema tersebut. Tema persoalan sosial
diangkat oleh pengarang melalui dua tokoh utama, yaitu Sasana dan Jaka Wani
yang sarat dengan ketidakadilan dan mencerminkan kehidupan masyarakat.
Sementara dalam kaitan nilai pendidikan karakter, dalam novel Pasung Jiwa
terdapat nilai-nilai pendidikan karakter yang ditawarkan oleh pengarang.
Dari latar belakang tersebut di atas, peneliti bermaksud untuk meneliti lebih lanjut
persoalan sosial dan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Pasung
Jiwa. Penelitian ini berjudul “Persoalan Sosial dan Nilai Pendidikan Karakter Novel
Pasung Jiwa Karya Okky Madasari (Kajian Strukturalisme Genetik).
Secara harfiah istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang artinya cerita
pendek dalam bentuk prosa. Kesusastraan Jerman menyebut novel dengan istilah
novelle yang artinya sama dengan novelet, yaitu fiksi yang tidak terlalu panjang
(Wardani, 2009:15).
Stanton (2012:90) berpendapat bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan
karakter dan berbagai peristiwa kompleks yang terjadi beberapa tahun silam secara
lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan cerpen. Hal menarik lain
dari novel adalah kemampuannya menciptakan suatu semesta yang lengkap
sekaligus rumit.
Strukturalisme genetik merupakan gabungan antara strukturalisme dengan
marxisme. Sebagaimana strukturalisme, struktutalisme genetik memahami segala
sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai sebuah struktur. Karena
itu, usaha strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya
terarah pada usaha menemukan struktur karya itu (Faruk, 2014:159). Strukturalisme
genetik tetap mempertahankan tradisi lama yakni analisis struktur karya sastra.
Akan tetapi dalam kajian strukturalisme memperhatikan aspek ektrinsik yang
menjadi asal usul penciptaan karya sastra.
Rosyidi, dkk. (2010:201) menyatakan bahwa teori strukturalisme genetik
menekankan hubungan antara karya dengan lingkungan sosialnya. Junus (dalam
29
Sultoni, Suyitno & Rakhmawati
Sangidu, 2004:29) yang menyatakan bahwa kajian menggunakan pendekatan
strukturalisme genetik memfokuskan perhatian kepada teks sastra dan latar
belakang sosial budaya, serta subjek yang melahirkannya.
Sangidu (2004:29) berpendapat bahwa dalam menerapkan pendekatan
strukturalisme, diperlukan metode dialektik (hubungan timbal-balik) antara struktur
karya sastra dengan materialisme historis dan subjek yang melahirkan karya sastra.
Teknik analisisnya dapat bergerak melalui tiga hal berikut, (1) analisis struktur
karya sastra lewat unsur-unsur yang membangun teksnya dan memahaminya
sebagai suatu keseluruhan strukturnya, (2) analisis struktur sosial historis konkret
(fakta sosial) yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra, (3) analisis kelompok
sosial pengarang dan pandangan dunia (vision du monde).
Soekanto (2000:406-440) mengkategorikan persoalan-persoalan sosial dalam
masyarakat meliputi, (1) kemiskinan, (2) kejahatan, (3) disorganisasi keluarga, (4)
generasi Muda, (5) peperangan/konflik, (6) pelanggaran norma masyarakat.
Nilai dalam konteks kehidupan, nilai dapat diasumsikan sebagai sesuatu yang
berharga, berguna bagi kehidupan manusia. Dalam pembahasan nilai sebagai
bagian penting kehidupan, nilai dapat dimaknai sebagai kualitas yang berbasis
moral (Zakiyah, 2014:14). Sulistyowati (2012:22) mendefinisikan pendidikan
pendidikan karakter sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa pada diri seseorang (siswa), sehingga mereka memiliki dan
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota
masyarakat dan warga negara yang religius, produktif, dan kreatif.
Pembentukan kualitas manusia yang unggul sejatinya senantiasa memerlukan peran
karakter. Posisi karakter bukan jadi pendamping kompetensi atau kemampuan,
melainkan menjadi dasar, roh, atau jiwanya. Tanpa karakter, peningkatan diri dari
kompetensi dapat menjadi liar, berjalan tanpa rambu dan aturan (Sudewo, 2011:13).
Karya sastra dapat menjadi alat didik untuk menanamkan nilai-nilai karakter.
Rahmanto (2000:15) mengatakan bahwa dalam konteks pendidikan karakter,
pengajaran sastra memiliki peran yang sangat penting. Apabila karya sastra
dianggap tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami
masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra tidak akan ada gunanya lagi
untuk diadakan.
Karya sastra dapat digunakan sebagai media pembentuk watak moral seseorang.
Karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun
eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, seseorang
dapat membentuk karakter siswa. Nilai-nilai kejujuran, keiklasan, ketulusan,
kebersamaan, religiusitas, dan sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan
karakter, bisa diinternalisasikan kepada anak didik melalui karya sastra atau sastra
(Wibowo, 2013:129). Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karya
sastra dapat menjadi media efektif dan edukatif dalam menunjang penanaman nilainilai pendidikan karakter.
ISSN – 2206-0596 (Online)
30
Aksara, Vol. 2, No.2
July 2017
Wibowo (2013:15-16) menyebutkan 18 pilar pendidikan karakter yaitu: (1) religius,
(2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)
demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12)
menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar
membaca, (16) peduli lingkungan (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Metode yang digunakan
adalah analisis isi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel
Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Data penelitiannya berupa ungkapan atau
kalimat yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari. Untuk
mendapatkan keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
triangulasi teori. Kemudian, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah model analisis interaktif. Teknik analisis interaktif meliputi empat
komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
simpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Struktur Sosial (Fakta Sosial) dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky
Madasari
Persoalan Kemiskinan
Kemiskinan dalam konteks ekonomi merupakan suatu kondisi di mana seseorang
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sesuai standar yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat. Persoalan kemiskinan yang digambarkan dalam novel
Pasung Jiwa melalui peristiwa krisis ekonomi atau yang disebut krisis moneter.
Krisis moneter yang diacu yakni yang terjadi pada tahun 1998. Pergolakan politik
yang terjadi pada tahun tersebut memberi dampak tidak baik terhadap kondisi
ekonomi. Krisis moneter yang terjadi mengakibatkan harga-harga barang
melambung tinggi. Banyak warga masyarakat menjerit akibat harga-harga barang
pokok naik menjadi dua kali lipat. Secara psikologis krisis moneter menimbulkan
rasa takut masyarakat apabila mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Persoalan Kejahatan
Persoalan kejahatan yang terdapat dalam novel Pasung Jiwa direpresentasikan
dalam bentuk perampasan hak asasi manusia. Hak asasi manusia untuk hidup
dirampas atas nama kesewenang-wenangan. Kekuasaan atas posisi memberikan
yang semestinya diikuti oleh sebuah kebijaksanaan justru sebaliknya. Kekuasaan
menganggap dirinya sebagai panglima yang sekehendak diri merampas hak orang
lain. Karena sikap tersebut akhirnya harus ada korban dan korban tersebut adalah
seseorang yang tidak memiliki kuasa. Kejahatan yang dialami oleh tokoh Marsini,
Kalina, dan Sarti dalam novel Pasung Jiwa merupakan contoh dari akibat sebuah
31
Sultoni, Suyitno & Rakhmawati
kesewenang-wenangan kekuasaan. Kejahatan tersebut dapat digolongkan dengan
istilah white-collar crime. Kejahatan jenis ini merupakan kejahatan yang dilakukan
oleh pejabat atau pengusaha atas dasar kekuasaan modal. Kejahatan-kejahatan yang
melanggar hukum dapat mereka hindari melalui pengendalian posisi dan uang.
Akibatnya, golongan orang demikian akan merasa kebal hukum.
Persoalan Disorganisasi Keluarga
Disorganisasi keluarga merupakan suatu keadaan di mana keluarga tidak dapat lagi
utuh sebagai suatu kesatuan. Penyebab perpecahan tersebut antara lain kurangnya
sikap saling peduli dan komunikasi. Disorganisasi keluarga dalam novel Pasung
Jiwa digambarkan melalui tokoh Memed dan Leman. Dua tokoh tersebut dalam
novel Pasung Jiwa merupakan anak jalanan yang sehari-hari hidup di jalanan. Dari
satu kota ke kota yang lain mereka mengamen. Memed dan Leman sesungguhnya
masih memiliki orang tua, namun karena tidak adanya perhatian dari orang tua,
keduanya lebih memilih meninggalkan rumah. Relevansi kasus Leman dan Memed
jika dikontekskan dengan kehidupan nyata ialah maraknya anak jalanan. Di kotakota besar prosentase tersebut meningkat kasusnya.
Persoalan Konflik Sosial
Konflik merupakan suatu perselisihan atau pertentangan. Konflik dapat terjadi
antarindividu, antarkelompok, atau individu dengan kelompok. Konflik umumnya
disebabkan oleh sebuah perbedaan pandangan, prinsip, serta nilai. Dampak dari
sebuah salah satunya adalah konflik dapat berupa perpecahan. Bahkan pada ranah
yang lebih berbahaya, konflik dapat menyeret korban jiwa. Konflik sosial yang
diangkat dalam novel Pasung Jiwa yakni mengenai perbedaan pandangan. Konflik
tersebut terjadi organisasi keagamaan bernama Laskar Malang dengan kelompok
masyarakat. Laskar Malang yang dipimpin oleh Cak Jek mengusung misi
memberantas berbagai bentuk kemaksiatan. Atas dasar agama Laskar Malang akan
melalukan tindakan apa saja. hal tersebut tidak sedikit kasus menimbulkan
ketegangan-ketegangan di masyarakat. Tempat-tempat yang dianggap sebagai
sumber kemaksiatan seperti kafe, hotel, dan diskotik, tidak lepas dari incaran.
Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Pasung Jiwa
Konteks sosial dan budaya melatarbelakangi pandangan dunia pengarang. Konteks
sosial tersebut kemudian mempengaruhi struktur karya sastra dalam mediasi karya
sastra (Kurniawan, 2012:125-126). Pandangan dunia Okky Madasari dalam novel
Pasung Jiwa adalah humanisme sosial. Pengarang mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan dalam merespon kondisi sosial yang dihadapi pengarang. Atas
pandangan dunia itu maka berbagai persoalan sosial diangkat dalam novel Pasung
Jiwa. Pengarang memiliki misi untuk memberikan cara perspektif baru dalam
menghadapi dan menanggapi suatu kondisi sosial.
ISSN – 2206-0596 (Online)
32
Aksara, Vol. 2, No.2
July 2017
Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari
Karakter Peduli Sosial
Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang senantiasa ingin memberikan
bantuan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tindakan yang
dilakukan semata-mata karena tujuan ingin menolong. Peduli sosial dapat
diwujudkan melalui bantuan berupa sumbangan pikiran, tenaga, maupun materi.
Nilai pendidikan karakter dalam novel Pasung Jiwa dicontohkan melalui tokoh Cak
Jek, Sasana, Memed, dan Leman. Ketiganya memberikan bantuan pada orang yang
mempunyai hajat. Kepada orang yang berhajat ketiga tokoh tidak mempedulikan
honorarium tanggapan dangdut orkestranya. Kegiatan manggung yang akan Cak
Jek, Sasana, Memed, dan Leman dilakukan secara sukarela.
Karakter Toleransi
Karakter toleransi sangat penting dalam kehidupan. Terlebih jika dikontekskan
dengan masyarakat Indonesia yang sangat kaya akan keanergaman hidup. Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku, agama, ras, dan agama dituntut untuk Bhineka
Tunggal Ika atau berbeda-beda tapi tetap satu jua. Toleransi artinya sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan atas dirinya. Karakter toleransi dalam novel
Pasung Jiwa tercermin dalam narasi cerita. Hal yang dicontohkan yakni tidak
memandang sebelah mata dan tetap menghargai profesi oleh orang lain yang tidak
sama dengan dirinya. Sikap toleransi juga tercermin dalam sikap yang dimiliki oleh
anak-anak Marjinal. Anak-anak Marjinal menghargai orang lain yang tidak
sepandangan mengenai bidang politik.
Karakter Cinta Tanah Air
Karakter cinta tanah air berarti sikap dan tindakan yang menunjukkan kesetiaan dan
kepedulian pada negara dan bangsanya. Karakter cinta tanah air dalam novel
Pasung Jiwa ditunjukkan melalui sikap peduli pada bangsa yang dimiliki oleh anakanak Marjinal. Anak-anak Marjinal digambarkan sebagai sekelompok anak muda
yang kritis dan ingin ada perubahan pada bangsanya. Kondisi bangsa yang carut
marut karena korupsi yang mengakar, dipandang persoalan yang mengkhawatirkan.
Anak-anak Marjinal mengajak generasi muda untuk bergerak sesuai dengan
kapasitas yang dimiliki. Acuan yang digunakan adalah masih dalam konteks positif.
Simpulan
33
Sultoni, Suyitno & Rakhmawati
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
Pertama, struktur sosial novel Pasung Jiwa mencakup latar belakang sosial berupa
persoalan sosial, yaitu: (1) kemiskinan akibat krisis moneter pada tahun 1998, (2)
kejahatan berupa perampasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh penguasa
modal, (3) disorganisasi keluarga berupa mencuatnya anak-anak jalanan, dan (4)
konflik sosial berupa penyerangan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat.
Kedua, pandangan dunia Okky Madasari dalam novel Pasung Jiwa yaitu
humanisme sosial. Ketiga, novel Pasung Jiwa mengandung nilai-nilai pendidikan
karakter, yaitu: (1) peduli sosial berupa sikap saling menolong, (2) toleransi berupa
sikap menghormati perbedaan pendapat, dan (3) cinta tanah air berupa peduli
terhadap persoalan bangsa dan negara.
Referensi
Faruk. (2014). Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, H. (2012). Teori Metode, Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Latifi, Y. N. (2012). Cerpen “Alumm Assuwisriyyah Alqatilah” Karya Nawal AsSa’dawi dalam Strukturalisme Genetik Goldmann. Jurnal Sosiologi Islam,
2 (1), 41-60.
Madasari, O. (2015). Pasung Jiwa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rahmanto, B. (2000). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmanto, B. (2000). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rosyidi, dkk. (2010). Analisis Teks Sastra: Mengungkap Makna, Estetika, dan
Ideologi dalam Perspektif Teori Formula, Semiotik, Hermenutik, dan
Struktutalisme Genetik .Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sangidu. (2004). Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode dan Kiat.
Yogyakarta: UGM.
Soekanto, S. (2000). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Stanton, R. (2012). Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudewo, E. (2011). Character Building. Jakarta: Republika.
Sulistyowati, E. (2012). Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter.
Yogyakarta: Citra Adi Parama.
ISSN – 2206-0596 (Online)
34
Aksara, Vol. 2, No.2
July 2017
Wardani, N. E. (2009). Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS
Press.
Wibowo, A. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Zakiyah, Y. Q. & A. Rudiana. (2014). Pendidikan Nilai Kajian Teori dan Praktik
di Sekolah. Bandung: Pustaka Setia.
35
Download