Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KEBEBASAN BERAGAMA: PERSPEKTIF ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL Frans Sayogie1 ABSTRACT The implementation of religious freedom in Islam still has unresolved issues. Based on the perspective of the Madinah Charter, Islam can provide protection of freedom of religion and give the rights of non-Muslims. Nowadays, however, in practice, in some Islamic countries, there is actually a variety of aberrations that obscures the meaning and spirit of the Madinah Charter. In some Muslim countries, the formalization and formulation of syariah are still implemented in the public sphere. State does not remain neutral toward all religious doctrines and always strives to apply the principles of syariah as a policy or state legislation. This is also reflected in the Cairo Declaration that gives legitimacy to Muslim countries to maintain and run a syariah-based doctrine that emphasizes the protection of religion rather than the protection of the fundamental rights of freedom of religion. Therefore, the need for the doctrine of separation of religion and state is intended to make state more independent and is expected to provide protection of the organs and institutions of the state against the abuse of power in the name of religion. Right to freedom of religion can only be realized within the framework of the constitutional and democratic state based on the spirit of universal human rights. Key words: right to freedom of religion, state protection, universal human rights 1. Pendahuluan Kebebasan beragama dalam kacamata hak asasi manusia mempunyai posisi yang kompleks. Dalam konfigurasi ketata-negaraan, kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting juga. Sejumlah besar kegiatan manusia dilindungi 1 2 oleh pasal-pasal mengenai kebebasan beragama, kebebasan bereskpresi, dan kebebasan politik.2 Kebebasan beragama muncul sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar dalam instrumen-instrumen politik nasional dan internasional, jauh Frans Sayogie adalah Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN), Email: [email protected] dan [email protected]. Hal ini dikemukakan oleh Adi Sulistiyono dalam makalah yang berjudul “Kebebasan Beragama Dalam Bingkai Hukum” yang disampaikan dalam rangka Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat vs Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum”. Penyelenggara FOSMI Fakultas Hukum UNS, tanggal 8 Mei 2008. 42 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal sebelum berkembangnya pemikiran mengenai perlindungan sistematis untuk hakhak sipil dan politik.3 Namun demikian, kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan” yang utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Di sini muncul perdebatan gugus negara apa yang harus dibentuk supaya kebebasan beragama tidak teraniaya? Sejauh mana legitimasi moral dan hukum bahwa negara boleh “mengelola” (baca: mengatur, membatasi, dan melarang) tindakan-tindakan yang bertolak tarik dengan kebebasan beragama? Bagaimana juga kerangka yang bernurani untuk membaca kebebasan beragama berhadapan dengan kekuasaan dan kepentingan umum dalam tarikan nafas hak asasi manusia?4 Di sisi lain, menguraikan hubungan antara agama dan negara dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah, walaupun dalam konteks Islam, kebebasan beragama adalah sesuatu yang inherent dan intrinsik dan diakui secara verbal dalam al-Qur’an. Kebebasan beragama disebutkan secara tegas dalam al Qur’an, surat al Baqarah, ayat 256, bahwa “tidak ada paksaan dalam 3 4 5 6 agama”.5 Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan kompleks. Pokok soal ini telah cukup lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer. Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling bertentangan, mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara.6 Dalam realitasnya, sebagian negaranegara muslim modern bukan saja telah menerapkan konstitusi modern yang memberikan jaminan hak-hak sipil dan memperlakukan secara sama warga negara di depan hukum, bahkan mereka telah meratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyatakan bahwa hak-hak beragama warga negara diberi jaminan kuat di dalamnya. Alasan berikutnya, realitas kebanyakan negara-negara muslim masih menerapkan sanksi pembekuan hak-hak sipil dan hukuman mati bagi murtad. Hal tersebut menjadi suatu paradoks, karena dalam Islam seluruh hak asasi merupakan Lihat Ifdhal Kasim (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001), hal. 238-239. Hal tersebut kemudian dituangkan dalam DUHAM tentang kebebasan beragama dan keluar dari keimanannya untuk beralih ke iman dan agama lain. Hal itu bisa dibaca dalam pasal 18 Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Lihat juga Piagam Madinah, Pasal 25 (dibuat pada Abad ke-7 oleh Muhammad saw.) yang terjemahannya berbunyi “bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka”. Lihat uraian ini dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1995), hal. 124-130. Hal ini dikemukakan oleh Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali dalam makalah yang berjudul “Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama” yang disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, tanggal 1 – 4 November 2010. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 43 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi tersebut, melainkan juga mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjamin hak-hak tersebut yang melekat pada warga negaranya, baik muslim maupun non-muslim.7 Sementara itu, memang ada perdebatan tentang standar universal hak asasi manusia, di samping ada problematika serius berkaitan dengan penerapannya. Namun ini tidak berarti bahwa tidak ada standar universal yang mengikat, atau upaya penerapannya ditinggalkan. Tetap ada standar universal tertentu tentang hak asasi manusia8 yang mengikat sesuai dengan hukum internasional dan bahwa setiap upaya harus diarahkan pada penerapan dalam praktik. Sehingga prinsip yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia harus ditaati oleh negara manapun. B. Hak Kebebasan Beragama: Hak Asasi Manusia Universal dan Islam 1. Hak Kebebasan Beragama dalam Hak Asasi Manusia Universal Pengaturan mengenai perlindungan 7 8 9 hak kebebasan beragama diartikulasikan secara tegas dalam pasal 18 baik dalam UDHR maupun ICCPR. Dengan masuknya hak kebebasan beragama dalam UDHR, berarti menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak kebebasan beragama tersebut. Dengan demikian hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental. Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam UDHR diatur dalam Pasal 18. Pasal tersebut mengatur sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, memprak-tikkannya, beribadah dan mentaatinya baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun tersendiri.”9 Pasal ini merupakan pasal utama dalam pengaturan mengenai hak kebebasan beragama. Pasal ini memberikan pengertian mengenai hak kebebasan beragama. Hak kebebasan beragama dalam pasal tersebut meliputi hak untuk beragama, hak untuk Lihat uraian kebebasan beragama yang dinyatakan Piagam Madinah dalam Ahmad Sukardja, loc.cit. Dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia PBB dan dokumen regional Eropa (yaitu perjanjian Masyarakat Eropa tentang perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamendal tahun 1950), dokumen Amerika (yang berisi perjanjian Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1969) dan Piagam Afrika (tentang Hakhak Asasi Masyarakat dan Manusia pada tahun 1981), Dokumen Dewan Liga Arab (tentang Hak-hak Asasi Manusia yang disahkan pada September 1987) selururuhnya memiliki premis yang sama, bahwa ada standar universal tentang hak-hak asasi manusia yang harus ditaati oleh seluruh negara di dunia, atau negara-negara regional yang hubungannya dengan dokumen regional. Lihat UDHR, Pasal 18. 44 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal berpindah agama, hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, hak untuk mengajarkan agamanya. Hak-hak tersebut dapat dilaksanakan baik secara individu ataupun kelompok dan pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan baik di tempat umum maupun tempat pribadi. Dengan demikian hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya meliputi dua dimensi individual dan kolektif. Dimensi individual tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah memilih mengganti, mengadopsi dan memeluk agama dan keyakinan. Sedangkan dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang untuk mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di depan publik (forum eksternum). Dengan kata lain Pasal 18 membedakan kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan dari kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Pembedaan ini secara legal sangat penting untuk membedakan di wilayah mana negara diperbolehkan untuk membatasi dan wilayah mana negara dilarang untuk melakukan pembatasan. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya, negara diperbolehkan untuk membatasi hak tertentu dengan dasar beberapa klausul pembatasan. Hak beragama dan berkeyakinan termasuk dalam non-derogable rights, sehingga tidak dapat dikurangi. Namun tidak semua aspek hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan berada dalam wilayah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Negara sebagai entitas berdaulat ruang publik dapat membatasi hanya pada ruang lingkup forum externum. Pembatasan dan juga campur tangan itu dibentuk dalam sebuah peraturan perundang-undangan sebagai norma publik yang memungkinkan publik (orang banyak) berpartisipasi dalam membentuk dan mengawasi pelaksanaannya, dilakukan dengan tetap pula memenuhi asas keperluan (necessity) dan proporsionalitas. Dalam mengartikan ruang lingkup ketentuan pembatasan yang diijinkan, Negara-Negara Pihak harus memulai dari kebutuhan untuk melindungi hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, termasuk hak atas kesetaraan dan nondiskriminasi di bidang apa pun sebagaimana ditentukan di pasal 2, pasal 3, dan pasal 26 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Pembatasan-pembatasan dapat diterapkan hanya untuk tujuan-tujuan sebagaimana yang telah diatur serta harus berhubungan langsung dan sesuai dengan kebutuhan khusus yang sudah ditentukan. Pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan yang diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang diskriminatif. Komentar Umum No. 22 selanjutnya menjelaskan bahwa adanya kenyataan bahwa suatu agama diakui sebagai agama negara, atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai agama resmi atau tradisi, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 45 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, termasuk oleh pasal 18 dan pasal 27 ICCPR, maupun menyebabkan diskriminasi terhadap penganut agama lain atau orang-orang yang tidak beragama atau berkepercayaan.10 Komentar umum No. 22 juga menyatakan bahwa tidak satu pun pengamalan agama atau kepercayaan dapat digunakan sebagai propaganda untuk berperang atau advokasi kebencian nasional, rasial, atau agama, yang dapat mendorong terjadinya diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.11 menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan.14 3. Tanpa dipaksa. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya.15 4. Tanpa diskriminasi. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal-usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.16 5. Hak orang tua dan wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk Dengan demikian, inti normatif dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dielaborasikan menjadi delapan elemen12: 1. 2. 10 11 12 13 14 15 16 Kebebasan internal. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.13 Kebebasan eksternal. Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 9, Tahun 1993. Ibid., Pasal 7. Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?, Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terjemahan Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’I Abduh, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), hal. 20-21. Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 5, Tahun 1993. Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (1) dan ECHR, Pasal 9 ayat (1). Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (2). Lihat ICCPR, Pasal 2 ayat (1). 46 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang.17 6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum. Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri, sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama dengan orang lain.18 7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal. Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar orang lain.19 8. Tidak dapat dikurangi. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.20 Delapan komponen hak kebebasan beragama ini dapat diidentifikasikan dari seperangkat norma-norma hak asasi 17 18 19 20 21 22 23 manusia yang kompleks, yang saling mendukung dan terkodifikasi secara internasional. Saat diterapkan untuk konteks tertentu dan untuk tujuan-tujuan praktis, norma-norma ini mungkin membutuhkan interpretasi dan eleborasi lebih lanjut.21 Jelaslah bahwa memfasilitasi hak kebebasan beragama tidak hanya secara eksklusif terbatas lewat pemberian perlindungan perlindungan hukum bagi delapan komponen pokok yang diidentifikasikan di atas. Lebih lanjut, untuk kebebasan beragama, ada yang lebih sekedar perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlunya konfigurasi institusional dalam hubungan agama-negara merefleksikan kompromi sejarah, budaya dan politis yang beragam. Nilai-nilai pokok yang dilindungi di bawah naungan kebebasan beragama atau berkeyakinan membuka ruang bagi sejumlah besar pilihanpilihan dalam artian bahwa negara-negara yang berbeda menstrukturisasi hubungan dengan agama, komunitas keyakinan, dan para penganut individual.22 Bagaimanapun juga, ada seperangkat pokok nilai-nilai yang membentuk persyaratan-persyaratan minimum untuk sebuah masyarakat yang adil dan untuk perlindungan hak universal bagi kebebasan beragama.23 Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (4); dan Konvensi Hak-Hak Anak , Pasal 14. Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (1). Lihat ICCPR, Pasal 18 ayat (3). Lihat ICCPR, Pasal 4 ayat (2). Tore Lindholm (eds.), op.cit., hal. 21. Lihat Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005, (Jakarta: ELSAM, 2005), hal. 1. Tore Lindholm (eds.), op.cit., hal. 23-24. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 47 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal 2. Hak Kebebasan Beragama dalam Islam Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap kebebasan seseorang untuk memilih suatu agama sudah sudah sejak awal dijelaskan. Bahkan, kebebasan merupakan “slogan” yang menjadi hak setiap individu, karena salah satu pilar dasar dalam yang mewujudkan keselamatan individu dan masyarakat. Kebebasan beragama, berpolitik dan berfikir merupakan bentuk penghargaan al-Qur’an yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Dengan demikian, persoalan kebebasan beragama dalam Islam bukan hal yang baru, akan tetapi sudah berafiliasi dengan pemikiran Islam seiring dinamika zaman. Kebebasan beragama dalam konteks Islam menyiratkan bahwa non-muslim tidak dipaksa untuk masuk Islam, mereka juga tidak dihalangi untuk menjalankan ritus keagamaannya. Baik muslim dan nonmuslim dapat mengembangkan agamanya, di samping melindunginya dari serangan atau fitnah, tak peduli apakah hal ini berasal dari kalangan sendiri atau dari yang lain.24 Peristilahan kebebasan dalam pemikiran Islam, tidak hanya menggunakan terminologi al-hurriyah, namun istilah alihkitiyar juga merupakan terminologi yang sangat identik dengan kebebasan. Karena terminologi al-ikhtiyar sering diposisikan 24 25 26 kontras dengan terminologi al-jabr, yang berarti penafikan terhadap kebebasan dalam diri manusia dan masyarakat. Juga, al-ikhtiyar didefenisikan sebagai “sikap seseorang, jika berkeinginan maka ia kerjakan, jika tidak, maka ia tidak lakukan”. Tidak hanya itu, persoalan kebebasan beragama bahkan telah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai rujukan final umat Islam. Dalam al-Qur’an tertulis banyak sekali ayat yang secara jelas mengungkapkan tentang kebebasan bergama. Juga, tugas dan fungsi seorang Rasul bukan memaksakan seluruh manusia untuk memeluk Islam, akan tetapi hanya sebatas penyampai risalah Tuhan.25 Penegasan al-Qur’an terhadap kebebasan beragama merupakan bukti bahwa pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam tidak dibenarkan. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah SWT, artinya: ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”26. Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, terjemahan Eva Y. Nukman dan Fathiyah Basri, (Bandung: Penerbit Mizan, 19960, hal. 120. Lihat Hermanto Harun dalam makalah yang berjudul “Kebebasan Beragama di Indonesia: Mengurai kusut kebebasan beragama” dipresentasikan dalam acara Diskusi Nasional “Islam dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Problem dan Solusinya” hari Kamis 8 Mei 2008 di Auditorium IAIN STS Jambi, Kampus Telanai Pura. QS:al-Baqarah: 256 48 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal Selain ayat di atas, ayat lain yang secara tegas menegasikan tindakan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah firman Allah SWT, artinya : ”Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orangorang yang beriman semuanya?”27 Persoalan kebebasan beragama dalam Islam bahkan tidak sebatas membiarkan seorang manusia memilih terhadap suatu agama, namun lebih dari itu, memberi kebebasan kepada pemeluk setiap agama untuk melaksanakan ritual ajaran agamanya. Hal ini karena ‘tema’ keyakinan merupakan urusan ukhrawi yang nanti akan diperhitungkan oleh Allah SWT di hari kiamat kelak. Dari itu, tidak seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan keyakinan, kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan kepada setiap orang, maka ada bebarapa konsekuensi logis dari pemberian kebebasan tersebut. Diantaranya: 1). kebebasan melaksanakan ibadah, baik secara terang-terangan atau tersembunyi, individual maupun berkelompok. 2).kebebasan memilih mode yang selaras dengan kecenderungan agamanya, atau kebebasan melakukan praktek keagamaan. 3). Kebebasan 27 28 29 memakai istilah, tanda dan syi’ar yang berbeda. 4). Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah. 5). Kebebasan melaksanakan acara ritual keagamaan. 6). Menghargai tempat yang mereka anggap suci. 7). Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan berpindah keyakinan. 8). Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya.28 Dalam al-Qur’an secara gamblang diungkapkan tentang kebebasan tersebut. Firman Allah SWT yang artinya: ”Katakanlah “hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyambah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”29 Ayat ini dengan sangat tegas mengungkapkan akan adanya perbedaan antara Islam dengan agama yang lainya, bahkan secara global mengungkapkan perbedaan yang tidak akan pernah bertemu, keragaman yang tidak akan pernah serupa, pisah yang tidak akan bersambung dan corak yang tidak akan pernah bercampur. Meskipun demikian, realitas keragaman agama merupakan fakta yang ada dan tidak mungkin untuk dinafikan. Karena, justru keragaman agama merupakan sunnatullah yang sengaja diciptakan Allah SWT sebagai QS: Yunus: 99. Jamaluddin Athiah Muhammad, Nahwa Fiqh Jadid li al-Aqalliyat, dalam Hermanto Harun, op.cit., hal. 10. Q.S. al-Kafirun: 1-6. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 49 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal ujian untuk manusia. Keragaman manusia dalam memilih jalur ‘komunikasi’ menuju tuhannya, juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT, artinya: ”..untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya. Kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamuapa yang telah kamu perselisihkan itu.30 C. Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan Beragama dalam Islam 1. Perspektif Piagam Madinah Perlindungan negara terhadap hak kebebasan dalam Islam dapat mengacu pada konsep politik Islam yang secara historis pernah dipraktikkan pada masa awal pemerintahan Islam di bawah kendali Nabi Muhammad saw. Realitas politik pada masyarakat awal Islam (masa al-salaf alshalih), menurut Nurcholish Madjid, memiliki bangunan kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang menghormati dan menghargai ruang publik, 30 31 32 seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Wujud historis dari sistem sosial politik yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah ini merupakan prinsip-prinsip rumusan kesepakatan mengenai kehidupan bersama secara sosial-politik antara sesama kaum Muslim dan antara kaum Muslim dengan kelompok-kelompok lain di kota Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw.31 Pada periodisasi Madinah tersebut, telah terjalin hubungan yang baik dari beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim. Pemerintahan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad saw menunjukkan toleransi kepada umat-umat beragama lain. Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam dan dapat menjalin hubungan dengan masyarakat Muslim dengan baik dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya. Eksistensi pluralisme masyarakat Madinah menuntut Nabi membangun tatanan hidup bersama yang mencakup semua golongan yang ada. Mula-mula, Nabi mem-persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Selanjutnya, membangun persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah yang tidak terbatas kepada umat Islam saja.32 QS: al-Maidah: 48. Nurcholish Madjid,. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999), hal. 24. Marzuki, “Kerukunan antarumat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Indonesia”, makalah yang tidak diterbitkan (t.t.), hal. 5-9. 50 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal Dalam Piagam33 Madinah dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat, kelompokkelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan ketetapan kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan sebagainya. Insiatif dan usaha Nabi Muhammad saw dalam mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah pimpinan Nabi sendiri merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk mencapai tujuan. prinsip kenegaraan yang diterapkan pada masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Masyarakat Madinah adalah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Islam datang ke Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam suku, konflik, dan perpecahan. 34 Pada saat sebelum terbentuknya Piagam Madinah, Nabi Muhammad memahami benar bahwa masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat majemuk yang 33 34 masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Nabi melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuik mengatur hubungan-hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Karena itu, Nabi melakukan beberapa langkah. Pertama, membangun masjid. Lembaga ini, dari sisi agama berfungsi sebagai tempai ibadah dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah. Kedua, menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang Islam Mekah dan Madinah. Kedua langkah tersebut masih bersifat internal dan hanya ditujukan untuk konsolidasi umat Islam. Karena itu, langkah ketiga ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah. Nabi membuat perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk W. Montgomery Watt menyebutnya dengan “The Constitution of Medina”, R.A. Nicholson “charter”, Majid Khadduri “treaty”, Philip K. Hitti “agreement”, Zainal Abidin Ahmad “piagam”. Kata al-shahifah adalah nama yang disebut di dalam Piagam Madinah. Lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, op.cit., hal. 2. Ibid., hal. 5. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per-janjian masya-rakat Madinah (social contract) ini ada tiga belas kelompok komu-nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 51 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka.35 Dalam Piagam Madinah, kata ummah36 terulang dua kali, yaitu dalam pasal 1 dan pasal 25. Rumusan pengertian ummah oleh Syariati di atas—yang sejalan dengan langkah Nabi untuk mempersatukan umat Islam—sesuai dengan muatan pasal 1 Piagam Madinah, yang isinya innahum ummatun wahidah min duni al-nas (sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain). Ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orangorang mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar, dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat mereka adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain. Ketetapan pada pasal 1 itu tidak berarti menunjukkan bahwa konsep ummah yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain kaum Yahudi dan sekutunya disebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam pasal 25. Pasal 25 misalnya menyatakan: 35 36 37 “Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya” Pasal 25 Piagam Madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan beragama dan beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal 25 juga dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin. Penyebutan demikian, mengandung arti bahwa dilihat dari kesatuan dasar agama orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang parallel dengan komunitas kaum mukminin. Dalam kehidupan bersama tersebut, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka.37 Pasal 24 pada Piagam Madinah itu telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orangorang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama yang erat dengan kaum muslimin dan membuktikan bahwa Islam memiliki sikap toleran terhadap agama lain. J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hal. 64. Ali Syari’ati mengartikan kata ummah dengan “jalan yang lurus”, yakni sekelompok manusia yang bermaksud menuju “jalan” yang tidak lepas dari arti kata akarnya, amma. Kata ini ia artikan menuju dan berniat yang mengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan, dan ketetapan kesadaran. Lihat Ali Syari’ati, Ummah wa al-Umamah, terj. M. Faishol Hasanuddin, (Jakarta: Penerbit Yapi, 1990), hal. 36-38. Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, op.cit., hal. 125. Di sini terlihat bahwa Nabi Muhammad saw tidak memaksa rakyat Madinah untuk mengubah agama. Nabi hanya mendakwahkan Islam dengan seruan untuk mengesakan Allah. Soal konversi ke agama Islam tergantung pada kesadaran dan keinginan masing-masing tanpa adanya paksaan. 52 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal Sementara itu, ketetapan pada pasal 25 sampai pasal 35 itu dapat dikatakan bahwa organisasi umat yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun semua golongan penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini berlaku konsep ummah yang bersifat umum.38 Dengan demikian, penggunaan istilah ummah dapat bersifat khusus, yaitu para penganut agama dan nabi tertentu, dan dapat pula bersifat umum, yaitu setiap generasi manusia adalah umat yang satu tanpa batasan agama.39 Selain itu, dalam Piagam Madinah, juga ditetapkan masalah perlindungan yang disebutkan secara eksplisit yang ditentukan pada pasal 15. “Jaminan Allah adalah satu,” demikian disebutkan pada pasal 15. Kata Allah di sini dimaksudkan untuk menyebut kekuasaan umum atau perlindungan oleh negara, sedang kata satu berarti meliputi semua orang yang harus dilindungi. Jadi, perlindungan negara diberikan kepada semua warga atau rakyat tanpa melihat agama yang dianut.40 Dengan demikian, proses kelahiran dan perkembangan Islam sejak zaman Piagam Madinah sudah menunjukkan kemungkinan kerja sama dan saling 38 39 40 41 menghormati. Apalagi kalau perspektif yang digunakan tidak memisahkan identitas Islam dari jalinan-eratnya dengan agamaagama lain sekalipun. Perspektif inilah yang tetap relevan untuk sekarang, ketika semua umat beragama sudah hidup di dalam negara bangsa yang menerima asas kewarga negaraan, dengan sistem proteksi berbasis konstitusi yang diberikan kepada semua warganegara tanpa membedakan latar belakangnya. Tak ada lagi Nabi yang menjadi hakam, karena hakam sudah mengalami transformasi menjadi berbagai mekanisme dan lembaga di dalam negara dan masyarakat, baik dalam rangka proteksi warganegara, penanganan konflik dan penyelesiaan sengketa, dan lain-lain. Idealnya, dalam istilah Piagam Madinah, negara adalah haram, tempat yang mendorong orang dari berbagai latar belakang berbeda untuk bergaul dan bekerja sama.41 2. Perspektif Deklarasi Kairo Deklarasi Kairo (1990) merupakan istrumen pengaturan hak asasi manusia yang berlandaskan hukum Islam. Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami pengertian mengenai hak Lihat Muhammad Latif Fauzi, “Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan Piagam Jakarta”, dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005, Yogyakarta, hal. 92-93. J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, op.cit., hal. 129. W. Montgomery Watt, “Islamic Political Thought”, dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, op.cit., hal. 69. Rizal Panggabean, ‘Kesepakatan Madinah dan Sesudahnya”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hal. 111. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 53 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo harus melihat bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut: “Wishing to contribute to the efforts of mankind to assert human rights, to protect man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and right to a dignified life in accordance with the Islamic Shari’ah.”42 Prinsip-prinsip Deklarasi Kairo yang dijabarkan dalam 25 pasal menegaskan bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikannya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir. Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya Deklarasi Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI (Organisasi 42 43 Kerjasama Islam), yang merupakan organisasi internasional antarnegara yang beranggotakan negara Islam atau penduduknya mayoritas beragama Islam. Deklarasi Kairo terbentuk dikarenakan adanya satu perdebatan yang mendapatkan perhatian terjadi antara blok Islam dan blok lain tentang pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Blok Islam pada awalnya menentang pasal tersebut karena terdapat klausul “kebebasan berpindah agama” yang bertentangan dengan doktrin Islam tentang murtad (apostasy), meski pada akhirnya hanya Saudi Arabia yang benar-benar menentang pasal itu. Namun pada perkembangannya, Saudi Arabia mampu mempengaruhi opini negara-negara Islam terutama di bawah organisasi OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang berpusat di Jeddah, di mana Saudi Arabia sebagai tuan rumah. Respon terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terus mengalami perkembangan di dunia Islam. Pada tahun 1981 muncul Universal Islamic Declaration of Human Rights oleh beberapa tokoh pemikir Islam terkemuka dari berbagai negara. Pada tahun 1990 lahir Deklarasi Kairo (Cairo Declaration of Human Rights in Islam) oleh negara-negara OKI 43 , yang Lihat Pembukaan Deklarasi Kairo. Dari pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerjasama Islam (IPHRC OIC) 20-24 Februari 2012 di Jakarta diketahui bahwa negara anggota OKI banyak yang belum memiliki standar instrumen dalam konteks hak asasi manusia. Bahkan, beberapa negara tidak memiliki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di negaranya. Pertemuan tersebut memberi rekomendasi kepada dewan Menlu agar negara-negara anggota OKI juga meratifikasi isntrumen internasional hak asasi manusia dan bekerja sama menegakkan hak asasi manusia, dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan tersebut berisi tugas-tugas yang harus dilakukan oleh negara anggota OKI. Lihat Republika co.id, “Negara OKI Harus Ratifikasi Aturan HAM”, Jumat, 24 Pebruari 2012 19:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil Awwal 1433 / 27 Maret 2012 | 20:27. 54 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal ditandatangani 54 negara anggota OKI pada 5 Agustus 1990. Inti dari deklarasi tersebut adalah meskipun Islam menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan dan tafsirnya sendiri dalam hal-hal tertentu, salah satunya adalah tentang kebebasan beragama, khususnya kebebasan berpindah agama.44 Hak Asasi Manusia Islam, menurut Deklarasi Kairo, mengakui otoritas dan peran Tuhan, dan karena itu tidak mentolerir anti-agama, ateisme, dan pindah agama (dari Islam). Misalnya, dalam pasal 1 Deklarasi Kairo, dinyatakan: “all human beings form one family whose members are united by their subordination to Allah and descent from Adam. All men are equal in terms of basic human dignity and basic obligations and responsibilities, without any discrimination on the basis of race, colour, language, belief, sex, religion, political affiliation, social status, or other considerations. True faith is the guarantee for enhancing such dignity along the path to human perfection.” Di sini manusia diposisikan sejajar tapi di bawah Tuhan. Sementara itu, pada pasal 10 Deklarasi Kairo (Islam is the religion of unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another 44 45 46 religion or to atheism) juga memberikan pembatasan tentang kebebasan beragama. Pasal ini memisahkan diri dari Deklarasi Universal 1948 khususnya Pasal 18, bahwa setiap orang memiliki hak berpikir, berkeyakinan, dan beragama, hak yang mencakup kebebasan mengganti agama atau keyakinannya, dan kebebasan, sendiri atau dalam masyarakat, publik dan pribadi, untuk melaksanakan agamanya atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktek, ibadah, dan pengamalan.45 Perlindungan kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo menjadi sangat terbatas bila diimplementasikan di negaranegara “Islam” yang ikut menandatanganinya, karena adanya konsep syariah yang dimasukkan dalam Deklarasi Kairo, dan banyak diformalisasikan pada negara-negara timur tengah. Lebih jauh lagi, Deklarasi Kairo menegaskan bahwa hakhak dasar fundamental dan kebebasan universal di Islam adalah bagian integral yang harus dipatuhi dalam agama Islam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari atau bahkan menghentikan untuk sementara waktu perintah Tuhan. Hal ini dikarenakan semua ajaran agama di dalam Islam bersifat mengikat seperti termaktub di dalam kitab suci (al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepada nabi terakhirNya.46 Ahmad Suaedy (et.al), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, op.cit., hal. 56. Muhammad Ali, “Kebebasan Beragama”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama, op.cit., hal. 317-318. Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Grafika, 2010), hal. 181. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 55 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal D. Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan Beragama dalam Hak Asasi Manusia Universal Hak kebebasan beragama yang merupakan hak sipil, seperti hak-hak lainnya, sangat erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggungjawab negara. Ada beberapa hak sipil yang pada awalnya adalah hak asasi, tetapi kemudian hak tersebut mendapat jaminan dari agen eksternal. Hak beragama misalnya. Pada awalnya, hak model ini dikategorikan sebagai hak dasar (natural rights), tetapi pada perkembangannya tidak hanya menjadi hak yang dilindungi secara pribadi, tetapi juga masuk dalam kategori sipil. Ini berarti bahwa peran negara dalam menjamin dan melindungi hak beragama dan berkeyakinan sangatlah urgen.47 Untuk memenuhi tujuan negara sebagai pelindung hak-hak sipil dan politik, maka negara memiliki kewajiban-kewajiban. Kewajiban yang utama adalah melindungi hak-hak dasar dari warga negara. Terhadap hal itu, maka negara memiliki core obligation (kewajiban inti) atas hak warga negara itu. Hal ini harus disepakati sebagai sebuah kesepakatan yang bersifat universal. Dengan demikian, ada tiga kewajiban negara yang mesti dipenuhi. Pertama, negara mempunyai kewajiban untuk menghormati (to respect) hak asasi manusia. Dengan kata lain, negara harus 47 48 mengakui bahwa setiap orang memiliki hak yang melekat padanya, dan yurisdiksi negara tidak boleh membatasi hak ini. Kedua, negara berkewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia. Secara teknis, kewajiban ini dapat dipenuhi misalnya dengan meratifikasi terhadap perjanjian internasional tentang hak asasi manusia menjadi hukum negara. Di sisi lain, negara juga dapat menghapus aturan yang diskriminatif sebagai perwujudan dari perlindungan negara terhadap hak asasi manusia. Ketiga, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia. Pemenuhan merupakan langkah berikut setelah kehadiran aturan formal. Negara wajib untuk menyelenggarakan pemenuhan ini melalui tanggungjawab yang diembannya.48 Selain memiliki kewajiban, negara juga memiliki kaitan yang erat dengan tanggungjawab yang dimilikinya. Secara sederhana, state responsibility muncul ketika negara mengingkari kewajibannya, yakni menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Kemungkinan akan terjadinya pelanggaran oleh negara itu sangat besar karena dalam negara terdapat kekuasaan. Mekanisme pelanggaran yang dilakukan oleh negara dapat dilakukan dalam tiga bentuk. Pertama, negara melakukan kekerasan dengan tindakan (violence by commission). Kedua, negara Lihat Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), hal. 76. Ibid., hal. 81-82. 56 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal membiarkan terjadinya pelanggaran yang terjadi (violence by omission). Ketiga, negara melakukan pelanggaran dengan membuat produk yang membatasi bahkan melanggar hak asasi manusia (violence by judicial). Terhadap hal tersebut maka mutlak menjadi ranah pertanggungjawaban negara.49 Oleh karena itu, implementasi hak asasi manusia internasional sangat bergantung pada kepatuhan hukum suatu negara. Kepatuhan hukum tersebut sangat penting karena peratifikasian suatu instrumen internasional tentang hak asasi manusia yang bersifat mengikat tidak menjamin berkurangnya atau tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia di wilayah kedaulatan hukumnya. Oleh karena itu harus ada sinergi yang saling melengkapi antara kepatuhan hukum dan moralitas dari suatu negara.50 Pada kenyataannya, belum pernah selama ini hukum internasional dan hukum konstitusi nasional berinteraksi secara kohesif. Karena, mekanisme penegakan antar pemerintahan yang efektif, 49 50 51 52 53 54 perlindungan hak asasi manusia internasional masih harus mengandalkan sistem perlindungan hak asasi manusia nasional yang berfungsi baik. Transformasi standar hak asasi manusia internasional menjadi hukum domestik hampir sepenuhnya diserahkan pada konstitusi masing-masing negara.51 Di dalam hukum internasional52, sebuah negara yang meratifikasi sebuah instrumen internasional harus menunjukkan kepatuhan hukum terhadap ketentuan instrumen yang telah diratifikasinya. Selain itu, negara juga harus memperhatikan aturan hukum yang diatur oleh deklarasi internasional yang telah menjadi normanorma absolut 53 yang tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apapun juga. Norma yang menjadi jus cogens54 tersebut harus dijalankan sebagai bagian dari kepatuhan negara terhadap moralitas yang dikandung di dalam hak tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, produk hukum dan institusi keadilan yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi Ibid., hal. 82-83. Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, op.cit., hal. 210. Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, terjemahan oleh Sri Sulastini, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM Indonesia, 2003), hal. 37. Dalam hal ini menunjukkan bahwa masyarakat internasional secara relatif menerima prinsip intervensi kemanusiaan. Norma-norma yang terkait dengan kebebasan beragama adalah: (1) norma-norma non diskriminasi (lihat Pasal 26 dan Pasal 27 ICCPR); (2) norma-norma yang melarang pengambilan keputusan yang sewenang-wenang (lihat Pasal 18 ayat (3) ICCPR); dan (3) hak atas kompensasi/pemulihan yang efektif (lihat Pasal 2 ayat (3) ICCPR). Menurut Konvensi Vienna, jus cogens merupakan inti sari dari hukum internasional karena diterima dan diakui oleh dunia internasional sebagai norma-norma yang tidak dapat dikurangi atau dibatalkan dengan alasan apapun juga. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 57 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal manusia di suatu negara menjadi faktor kunci penerapan hak asasi manusia.55 Ratifikasi yang dilakukan oleh suatu negara tidak berarti apa-apa jika negara anggota tidak menerapkan aturan hukum di sistem hukum nasional untuk mendukung implementasi hak-hak yang diatur didalamnya. Penerapan hak asasi manusia dapat efektif ketika negara anggota menetapkan “kebijakan-kebijakan khusus” berdasarkan asas proporsionalitas untuk menerapkan aturan hukum di instrumen yang telah diratifikasinya. Oleh karena itu, sangat penting melihat apakah peraturan perundang-undangan di suatu negara sudah sesuai dengan semangat instrumen internasional.56 Khusus untuk kebebasan beragama, penting juga untuk dilihat apakah masih ada pengaruh agama terhadap peraturan perundang-undangan yang ada.57 Dalam dua Komentar Umum No. 3 Pasal 13 Tahun 1991 dan No. 29 Pasal 3 55 56 57 58 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Negara Pihak (State Parties) perlu menempuh sejumlah cara yang mencerminkan implementasi ratifikasi kovenan.58 Cara tersebut antara lain: 1. Suatu inkorporasi sepenuhnya atau sebagian 2. Mengubah atau mengkoreksi peraturan perundang-undangan yang ada agar sesuai dan konsisten dengan konvensi. 3. Mengikat semua cabang pemerintahan baik legislatif, yudikatif dan eksekutif dan di semua tingkat pemerintahan, baik peraturan yang terkait dengan sistem peradilan maupun peraturan lain yang terkait dengan masalah kebebasan dasar, perlindungan kelompok minoritas dan rentan dan terutama masalah diskriminasi. 4. Adanya prosedur yang menjamin peradilan yang fair, persamaan di dan Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, (Colorado: Westview Press, 1999), hal.19. Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional dipandang sebagai hukum nasional yang setara dengan atau lebih tinggi dari konsitusi suatu negara, berdasarkan atas perintah konstitusional negara tersebut, yang cenderung patuh karena bersandar pada teori monism dengan memberi preferensi pada hukum internasional (misalnya Belanda), dengan syarat bahwa negara telah meratifikasi perjanjian tersebut dan telah dirumuskan dengan tepat. Sedangkan, dengan teori dualisme membedakan antara hukum internasional dan hukum nasional (misalnya Inggris), mungkin tidak mentransformasikan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional, kecuali atas perintah langsung dari badan pembuat undangundang nasional. Berkenaan dengan ratifikasi instrumen hak asasi internasional , Indonesia meratifikasi dua kovenan internasional hak asasi manusia pada tahun 2005. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2005, secara resmi Indonesia menjadi Negara Pihak (State Party) pada dua kovenan hak asasi manusia induk yakni ICCPR dan ICESCR. Dengan demikian dua kovenan ini berlaku efektif atau mengikat secara hukum (entry into force) bagi Indonesia. Ratifikasi ini ditetapkan setelah DPR mengesahkan dua kovenan itu menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (ICESCR) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dengan ratifikasi ini, Indonesia menjadi negara ke-161, yang meratifikasi ICCPR dan negara ke-156 untuk ICESCR, dari total 192 negara anggota PBB. Lihat Ahmad Suaedy (et.al), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, op.cit., hal. 29. Ibid. Dalam kaitan kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya dalam Deklarasi Kairo, harus diakui adanya konflik dan ketegangan antara Islam dengan hukum Internasional. Konflik itu pada posisi tertentu bisa dicarikan jalan keluar, tapi pada saat yang lain hampir mustahil kecuali dengan menundukkan satu atas yang lain. Lihat Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Komentar Umum No. 3 Pasal 13 Tahun 1991 dan No. 29 Pasal 3 Tahun 2004. 58 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal depan hukum, perkawinan, keluarga dan hak-hak politik. 5. Tindakan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran di tingkat horizontal, terkait dengan perbudakan, kebencian ras dan agama. 6. Suatu tindakan yang memberi efek langsung bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Hal ini antara lain: a. Pembuatan standar penerapan b. Koreksi atas sistem peradilan baik delik kejahatan maupun prosedur peradilan yang memelihara impunitas. 7. Perlu dikembangkan mekanisme administratif, khususnya yang langsung memberi dampak pada kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran secara cepat, efektif dan mendalam melalui lembaga independen. Untuk ini lembaga hak asasi manusia nasional sepatutnya diberi kewenangan yang cukup untuk mendukung implementasi konvensi ini. 8. 59 Perlunya dibuat kebijakan reparasi bagi korban pelanggaran konvensi ini (effective remedy). Dan jika perlu, dengan menimbang pasal 9 ayat 5 dan pasal 14 ayat 6, dilakukan tindakan restitusi, rehabilitasi, permintaan maaf, jaminan tidak keberulangan, perubahan hukum dan praktek hukum yang relevan. Termasuk di sini membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan. 9. Usaha implementasi ini akan tidak berguna tanpa adanya tindakantindakan yang mencegah keberulangannya. Diperlukan tindakan yang melampaui tindakan pemulihan khususnya pada korban yang meminta perubahan hukum dan praktekpraktek kelembagaanya. 10. Adanya kepastian untuk membawa mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran konvensi ke depan pengadilan.Kegagalan menginvestigasi dan menghukum segera menyeret negara ke dalam pelanggaran atas konvensi ini terutama pasal 6 hak hidup, pasal 7 penyiksaan. 11. Perlunya melakukan langkah langsung jika dipandang mendesak untuk menghentikan terus berlangsungnya pelanggaran dan memulihkan sedapat mungkin. 12. Kegagalan untuk membuat pemulihan yang tepat, sekalipun sudah dijamin secara formal dalam sistem hukum, mungkin karena pelaksanaan tidak berfungsi secara effektif. Kendala implementasi pemulihan ini harus dimasukan dalam laporan periodik.59 Oleh karena itu, tanggung jawab negara dalam konteks kewajiban yang tercakup dalam kovenan yang diratifikasi Agung Putri, “Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari “Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana” di Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 59 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal bersifat mutlak dan harus segera dilaksanakan. Singkatnya, hak-hak yang terdapat dalam kovenan ICCPR dan ICESCR bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang tidak harus dijalankan sepenuhnya, tetapi bisa secara bertahap (progressive realization) dan karena itu bersifat nonjusticiable.60 Selanjutnya, perundang-undangan dan praktek negara berkenaan dengan lembaga keagamaan merupakan alat uji (penilaian) yang penting terhadap kebebasan beragama. Kebebasan beragama bukan sesuatu yang dianugerahkan oleh negara atau rezim negara yang sah, namun merupakan sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok agama sematasemata karena mereka manusia. Secara faktual, intervensi kebebasan beragama dimulai sejak manusia dilahirkan. Oleh karena itu, bahwa legitimasi normatif kebebasan beragama sebagai hak asasi tidak tergantung pada bagaimana hak itu secara faktual diatur susunannya oleh negara. Demikian pula, hak atau status kelembagaan tidak tergantung pada kemungkinan diakuinya status kelembagaan tersebut dalam kenyataannya dalam negara. Dalam dunia modern, suatu negara boleh 60 61 saja membatasi manifestasi agama atau kepercayaan, kalau dianggap berbahaya berdasarkan norma-norma hukum pidana atau bentuk perizinan lainnya. Pembatasan dalam bentuk apa pun hanya dibenarkan sejauh diizinkan berdasarkan ketentuanketentuan yang mengatur pembatasan seperti Pasal 18 ayat (3) ICCPR, Pasal 9 ayat (2) ECHR dan Pasal 12 ayat (3) ACHR.61 Sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan negara terhadap kebebasan beragama masuk dalam dimensi kewajiban dan tanggungjawab negara. Kebebasan untuk memanifestasikan agama baik secara eksternal maupun internal merupakan tatanan yang tidak dapat diintervensi oleh negara kecuali karena berbagai tujuan: kepentingan umum yang sah, perlindungan kebebasan beragama dan hak asasi lainnya dari intervensi orang lain, dan juga untuk perlindungan kepentingan lainnya yang kurang sah, termasuk mempertahankan hak atau kedudukan istimewa negara dan agama mayoritas, diskriminasi agama minoritas atau bahkan pemicuan kebencian dan kekerasan agama. E. Konstruksi Konsep Perlindungan Negara terhadap Kebebasan Beragama Ifdhal Kasim, “Konvensi Hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar” dalam Ahmad Suaedy (et.al), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, op.cit., hal. 35 W. Cole Durham, Jr., “Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-Undangan Asosiasi Keagamaan” dalam Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, op.cit., hal. 339340. 60 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal Konstitusi yang demokratis tidaklah menghalangi ekspresi dari sebuah pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, konstitusi tersebut harus dapat diterima oleh setiap kelompok keagamaan. Jika dalam sebuah konstitusi tidak mengandung prinsip kebebasan dan kesetaraan, maka konstitusi itu belumlah dinamakan sebagai democratic constitution. Konstitusi adalah wilayah publik, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa keagamaan yang universal, dan warga negara dapat menempatkan ranah keagamaan secara universal, bukan partikular.62 Konstitusionalisme dan hak asasi manusia adalah alat yang penting untuk melindungi status dan hak warga negara, tetapi fungsi tersebut dapat efektif justru karena peran warga negara sendiri. Karena itulah, proses klarifikasi terhadap dasar dan implikasi konsep kewarganegaraan menjadi penting. Konsep-konsep tersebut dan institusi yang menyertainya tergantung satu sama lain dan harus saling berinteraksi jika ingin merealisasikan tujuannya masing-masing.63 Dengan kata lain, adalah penting untuk terus menjaga netralitas negara terhadap agama secara tepat karena manusia cenderung mengikuti pandangan pribadinya, termasuk agama. Tujuan pemisahan ini tidak bisa dicapai melalui usaha menempatkan agama dalam ruang privat, karena usaha seperti ini tidak penting, 62 63 64 pun tidak perlu. Malah, upaya pemisahan agama dan negara harus dilakukan dengan tetap mengakui fungsi publik agama dan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan publik dan undang-undang. Ketegangan seperti ini harus terus diselesaikan melalui upaya pemunculan “public reason” dalam kerangka konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan. Perlunya mengklarifikasi pembedaan antara negara dan politik dan hubungannya dengan keharusan adanya “public reason”.64 Hubungan antara kehadiran agama di ruang publik dengan demokrasi juga bisa dijelaskan melalui konstruksi agama di ruang publik yang dinyatakan oleh Habermas. Berbeda dengan kalangan sekuler yang menyingkirkan sama sekali agama dan semua alasan religious dari ruang publik, Habermas mengusulkan model ruang publik pluralistik yang menerima berbagai aspirasi, termasuk aspirasi religious, tanpa harus diblokir. Ia pun tidak menolak agama di ruang publik. Pertama, aspirasi-aspirasi religius, terutama jika hendak dijadikan kebijakan publik, harus dijelaskan secara rasional dan diperlakukan sebagai wilayah rasional, sehingga memiliki status epistemis yang dapat diterima oleh warga yang sekuler atau berkeyakinan berbeda. Status epistemis memunculkan pemahaman meniadakan doktrin religius eksklusif melainkan mengambil bentuk rasional Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama, op.cit., hal. 113. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hal. 145-146. Ibid., hal. 146-147. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 61 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal inklusif. Sikap ini, menurut Habermas, memahami para anggota masyarakat sebagai warga negara bila hendak hidup bersama secara politis di dunia ini.65 Habermas menggunakan logika hukum common law yang mengisyaratkan bahwa sebuah kebijakan publik yang berlaku setelah melewati proses yang membuatnya disepakati berbagai pihak. Kebijakan publik keagamaan dalam hal ini harus terbukti memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut nalar publik. Kalangan pengusung agama yang hendak melakukan formalisasi agama harus melakukan persuasi, bukan koersi atau memaksa. Uji publik terhadap aturan formal yang bersumber dari nilai agama harus melalui nalar, tidak cukup hanya karena suara mayoritas publik menghendakinya. Aturan formal publik yang bersumber dari agama harus memenuhi prinsip inklusi, yang tidak meminggirkan atau melanggar hak minoritas, dan harus mengandung prinsip keadilan sosial bagi semua pihak (memenuhi prinsip pluralitas dan hak asasi manusia). Ini berarti, tidak boleh ada kebijakan apa pun, meski berdasarkan suara mayoritas, jika mengancam dan meminggirkan minoritas.66 Kedua, kepada warga sekuler atau yang warga yang beragama lain, menurut Habermas, perlu membuka diskursus isi 65 66 67 68 69 kebenaran normatif religius yang kerap remang-remang agar mencapai kompromi dalam kontestasi agama di ruang publik. Komponen nilai-nilai harus disetarakan dan dikomunikasikan untuk mencapai pemahaman secara intersubjektif antar kelompok agama dan keyakinan.67 Sebagai aturan utama, negaranya biasanya berwatak sekular dengan memisahkan dirinya dari ruang-ruang spiritual penganut atau organisasi agama. Meskipun negara dan institusinya berbeda dengan masyarakat sipil dan organisasinya, bahkan relatif otonom satu sama lain, namun keduanya tetap saling memberikan dukungan.68 Ketiga, sikap negara harus netral. Netralitas, dalam hal ini, bukan berarti pemihakan atau diidentikkan dengan sekularisme. Menurut Habermas, netralitas kekuasaan negara terhadap pandangan hidup yang menjamin kebebasan etis yang sama bagi setiap warga negara tidak dapat disamakan dengan universalisasi politis sebuah pandangan dunia sekular. Tugas negara adalah melancarkan deliberasi publik dan mendorong terjadinya diskursus rasional, dan menjaga tatanan hukum. Tema-tema diskursus tidak dibatasi, sehingga tidak menindas pluralitas, termasuk dalam keyakinan dan pemikiran keagamaan.69 Pengaturan negara dalam hal Ibid., hal. 113. Lihat juga F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hal. 158-159. Ibid., hal. 114. Ibid., hal. 115-116. Lihat juga F. Budi Hardiman, op.cit., hal. 159-160. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, op.cit., hal. 150. Lihat juga F. Budi Hardiman, loc.cit. 62 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal kehidupan beragama semata-mata dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan. 70 Dengan demikian, intervensi negara atau pihak luar lain dalam kebebasan beragama dapat dikategorikan melanggar prinsip kedaulatan wilayah yang dimiliki negara. Otoritas sentral negara berarti bahwa ia otonom. Hanya negara yang memiliki otoritas untuk membuat aturan yang mengatur cara kerjanya dan menjadi sumber bagi seluruh otoritas politik lain. Meskipun fungsi terakhir ini mungkin diserahkan pada organisasi atau pihak lain. Sentralitas negara juga berarti bahwa negara harus mengkoordinasikan fungsi dan aktifitas organ dan institusinya, karena merekalah yang memapankan kekuasaan negara.71 Keempat, kelompok mayoritas agama, menurut Habermas, dalam demokrasi tidak boleh meniadakan potensi kebenaran argumentasi yang berasal dari kelompok minoritas, karena prosedur demokrasi memiliki kekuatan legitimasinya bukan hanya melalui inklusivitasnya, melainkan juga melalui ciri deliberatifnya. Keterbukaan terhadap revisi dari pihak minoritas lewat deliberasi publik akan menjamin rasionalitas suatu keputusan.72 71 72 73 74 75 Sementara itu, Abdullahi Ahmed AnNa’im menekankan pentingnya peran konstitusionalisme dan hak asasi manusia sebagai kerangka fikir dan jaring pengaman yang berguna untuk menegosisasikan hubungan antara agama (Islam), negara, dan masyarakat dalam konteks masyarakat Islam saat ini. Dengan demikian, mengamankan pemerintahan yang konstitusional dan perlindungan hak asasi manusia tidak saja penting bagi kebebasan beragama umat Islam dan non-muslim yang hidup di sebuah negara.73 Perlunya adanya ketentuan untuk mengakui keragaman fenomena agama yang begitu besar yang dimiliki warga negara, yang harus diperhitungkan dalam melindungi kebebasan beragama. Perundang-undangan asosiasi keagamaan perlu disusun dengan mempertimbangkan realitas pluralisme, yang juga berlaku bagi kelompok minoritas 74 dan tidak terbatas pada perlindungan “agama resmi” yang disukai negara, tetapi semua kelompok agama.75 Hal ini disebabkan, kelompok agama mayoritas seringkali melanggar kebebasan beragama karena mereka mempunyai akses ke pemerintahan yang besar. Status agama resmi pemerintah mengakibatkan kelompok mayoritas mempunyai alasan pembenar Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular, loc.cit. Amelia Fauzia (et.al.), op.cit., hal. 117. Lihat juga F. Budi Hardiman, op.cit., hal. 161. Ibid., hal. 209-210. Menurut Theodorson dan Theodorson, kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka (prejudice) atau diskriminasi. Lihat George A. Theodorson, and Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, (New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books, 1979), hal. 115116 dan 258-259. W. Cole Durham Jr., “Memfasilitasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan melalui Perundang-Undangan Asosiasi Keagamaan” dalam Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan op.cit., hal. 341. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 63 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal untuk menolak agama lainnya yang tidak resmi secara hukum. Keadaan ini menempatkan kelompok agama minoritas ke dalam kelompok yang mengalami diskriminasi.76 Oleh karena itu, konstitusi demokratis dan praktik negara merupakan instrumen penilaian yang penting terhadap kemampuan negara tersebut dalam memfasilitasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam ruang lingkup kewargaan. Negara berkewajiban untuk melindungi kebebasan beragama yang merupakan unsur pokok sistem demokrasi. Perlindungan atas hak kebebasan tersebut merupakan kepentingan umum yang utama dan bukan semata-mata kepentingan individu dan kelompok. Intoleransi berorientasi agama, di mana struktur legal dan konstitusional negara yang dirancang agar sesuai dengan perintah sebuah agama akan menjauhkan negara dari praktik demokrasi dan tidak bisa dikatakan sebagai solusi yang memadai untuk menjamin kebebasan beragama.77 Dalam menjamin dan melindungi hak kebebasan beragama bagi warga negara, perlu adanya validasi publik yang mengambil bentuk justifikasi majemuk. Adanya normanorma dasar dalam kebebasan beragama yang dapat diperdebatkan yang selalu diasumsikan sebagai bentuk yang diapresiasi sebagai kepercayaan publik. Implementasi politik dan hukum bagi norma-norma 76 77 tersebut akan dipahami atau dipandang telah memperoleh legitimasi normatif yang memiliki dasar kuat, tidak dipaksakan dan diterima berbagai kelompok. F. Simpulan Implementasi hak kebebasan beragama dalam Islam masih memiliki permasalahan yang belum tuntas. Dikarenakan, masih adanya perdebatan yang mendasar seputar konsepsi hak kebebasan beragama dalam Islam dan hubungannya dengan konsepsi hak asasi manusia universal serta bentuk perlindungan negara dalam melindungi hak kebebasan beragama. Islam, berdasarkan realitas sejarah, tampak sekali melindungi hak kebebasan beragama dan memberikan hak-hak nonmuslim, seperti dalam Piagam Madinah. Periodisasi Madinah merupakan bukti yang kuat, bahwa Islam sejak lahirnya selalu berkaitan dengan aspek kenegaraan dan kemasyarakatan. Periodisasi Madinah ini juga memperhatikan hubungan pengakuan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia, hak-hak politik, kewargaan yang ditekankan pada persamaan manusia, martabat manusia, dan kebebasan manusia. Namun, dalam praktiknya di beberapa negara negara mayoritas muslim dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, op.cit., hal. 196. Tore Lindholm (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan ,op.cit., hal. 285-291. 64 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan - Frans Sayogie Hak Asasi manusia Universal serta semangat yang dikandung dalam Piagam Madinah itu sendiri. Perlunya doktrin pemisahan agama dan negara yang bertujuan agar negara lebih independen dan diharapkan dapat memberikan perlidungan organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Hak kebebasan beragama hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja negara yang konstitusional dan demokratis sebagai landasan hukum dan politis yang utama dari hak kebebasan beragama pada saat ini yang didasarkan oleh semangat yang dianut hak asasi manusia universal. Setiap negara diharapkan meratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia dan bekerja sama menegakkan hak asasi manusia, khususnya dalam kebebasan beragama. (ARSID - AJIW) DAFTAR PUSTAKA A. Buku Al Khanif. Hukum dan Kebe basan Beragama di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Grafika, 2010. An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Yogyakarta: LKis, 2004. An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Penerbit Mizan, 2007. Kamali, Mohammad Hashim. Kebebasan Berpendapat dalam Islam, terjemahan Eva Y. Nukman dan Fathiyah Basri. Bandung: Penerbit Mizan, 1996. Kasim, Ifdhal (ed.). Hak Sipil dan Politik: EsaiEsai Pilihan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2001. Kasim, Ifdhal. “Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar”, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Jakarta: ELSAM, 2005. Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009. Lindholm, Tore (eds.). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?, Sebuah Referensi tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terjemahan Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’I Abduh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999. Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights Tradition and Politics. Colorado: Westview Press, 1999. Nowak, Manfred. Pengantar pada Rezim HAM Internasional, terjemahan oleh Sri Sulastini. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM Indonesia, 2003 Panggabean, Rizal. ‘Kesepakatan Madinah dan Sesudahnya”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011. Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Suaedy, Ahmad (et.al). Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 65 Frans Sayogie - Perlindungan Negara Terhadap Hak Kebebasan Beragama: Perspektif Islam Dan Hak Asasi manusia Universal Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1995. Syari’ati, Ali. Ummah wa al-Umamah, terj. M. Faishol Hasanuddin. Jakarta: Penerbit Yapi, 1990. Theodorson, George A., and Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books, 1979. Sulistiyono, Adi. “Kebebasan Beragama Dalam Bingkai Hukum”. Makalah disampaikan dalam rangka Seminar Hukum Islam “Kebebasan Berpendapat vs Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum”. Penyelenggara FOSMI Fakultas Hukum UNS, tanggal 8 Mei 2008. Wahid, Marzuki dan Abd Moqsith Ghazali. “Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Nahdlatul Ulama”. Makalah disampaikan dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10 Banjarmasin, tanggal 1 – 4 November 2010. B. Artikel/Makalah C. Surat Kabar Harun, Hermanto. Perdamaian dan Perang Dalam Konsep Islam, Studi Analisis Buku ‘Nizam al-Silm wa al-Harb fi al-Islam’, Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005. Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi”. Makalah disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta. Marzuki. “Kerukunan antarumat Beragama dalam Wacana Masyarakat Madani: Analisis Isi Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Indonesia”. Makalah yang tidak diterbitkan (t.t.) Putri, Agung, “Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari “Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana” di Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007. 66 Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Sihbudi, Riza, “Islam, Radikalisme dan Demokrasi”. Republika, 23 September, 2004, hal. 5. D. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundangundangan Deklarasi Kairo Tahun 1990 Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa Komentar Umum No. 22, Pasal 9, Tahun 1993. ___________. Komentar Umum No. 3 Pasal 13 Tahun 1991 dan No. 29 Pasal 3 Tahun 2004. Mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. E. Internet Republika co.id, “Negara OKI Harus Ratifikasi Aturan HAM”, Jumat, 24 Pebruari 2012 19:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil Awwal 1433 / 27 Maret 2012 | 20:27. 1