BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan (Aging) 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan (Aging)
2.1.1 Definisi Penuaan
Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Anti Aging Medicine (AAM)
telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan
sebagai penyakit sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan
dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih
panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila,
2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat
dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti
pada usia yang lebih muda, padahal usia sebenarnya bertambah. Dengan demikian
penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia
sebenarnya (Pangkahila, 2007).
Konsep dan definisi ilmu AAM pada awalnya diperkenalkan oleh
American Academy of Anti Aging Medicine (AAAM) pada tahun 1993,
definisinya adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,
pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi,
kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk
memperpanjang hidup dalam keadaan sehat”. Berbagai upaya dilakukan untuk
kaitannya dengan anti aging, diantaranya terapi sulih hormon, olah raga, nutrisi
dan estetika, bahkan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran yang
baru, dikembangkan pula cell therapy dan stem cell therapy untuk upaya anti
aging (Pangkahila, 2007).
Penuaan berkaitan dengan ketidakmampuan akibat penurunan kapasitas
baik fisik maupun mental. Penurunan tersebut mengenai berbagai sistem dalam
tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot, pendengaran, penglihatan,
perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta berbagai disfungsi biologis
lainnya. Seiring dengan penuaan maka muncul pula berbagai penyakit seperti
penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, kanker, osteoarthritis dan
demensia. Penyakit ini sering kali merupakan penyebab kematian utama di
berbagai negara hingga merupakan fokus perhatian yang sangat tinggi di bidang
kedokteran terutama cara pencegahan dan penanganannya (Goldsmith, 2008).
Usia harapan hidup manusia semakin meningkat berkat kemajuan yang
pesat di bidang kesehatan. Peningkatan usia kronologis (pertambahan umur
berdasarkan tahun kelahiran) tersebut tidak selalu diikuti oleh usia biologis,
sehingga masalah – masalah kesehatan yang berkaitan dengan penuaan juga
cenderung meningkat. Usia biologis yang mencerminkan perfoma fisiologis inilah
yang menjadi pusat perhatian pada Anti Aging Medicine. Bidang ini memiliki
konsep bahwa penuaan dianggap sebagai suatu penyakit, yang artinya dapat
dicegah, diobati bahkan dikembalikan lagi seperti semula. Konsep ini
mencerminkan adanya suatu paradigma baru yang sangat berkebalikan dengan
pandangan umum yang telah ada sebelumnya, yaitu menjadi tua adalah takdir
manusia yang sudah digariskan dan karenanya tidak dapat ditolak (Goldman dan
Klatz, 2007; Pangkahila, 2007).
2.1.2 Tanda – tanda Penuaan
Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi
berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan
gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu (Pangkahila,
2007) :
1) Tanda fisik, antara lain massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit
berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan
kerja menurun dan sakit tulang.
2) Tanda psikis, antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah
cemas, mudah tersinggung dan merasa tidak berarti lagi.
Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung
terlihat pada perubahan fisik dan psikis seperti di atas, melainkan terjadi secara
perlahan – lahan dan dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain
(Pangkahila, 2011):
1) Tahap Subklinik (Usia 25 – 35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,
yaitu hormon testosteron, GH dan estrogen. Pembentukan radikal bebas yang
dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya
tidak tampak dari luar. Karena itu, pada tahap ini orang merasa dan tampak
normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Pada umumnya, rentang usia
ini dianggap usia muda dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai terjadi
proses penuaan.
2) Tahap Transisi (Usia 35 – 45 tahun)
Selama tahap ini level hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak 1kg setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan kekuatan
terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini
menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung pembuluh
darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan
pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi
kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini
orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal
bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan penyakit, seperti
kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan
diabetes.
3) Tahap Klinik (Usia 45 tahun ke atas)
Pada tahap ini penurunan level hormon terus berlanjut, yang meliputi
DHEA, melatonin, GH, testosteron, estrogen dan hormon tiroid. Terjadi juga
penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin
dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1kg setiap 3
tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya
lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ
tubuh mulai mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama
sehingga mengganggu aktivitas sehari – hari. Disfungsi seksual merupakan
keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.
Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu
harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses
penuaan. Lebih jauh, ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses
penuaan jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata
(Pangkahila, 2011).
2.1.3 Mekanisme Penuaan
Proses yang melatarbelakangi terjadinya penuaan sampai saat ini masih
menjadi topik perdebatan, merupakan proses fisiologis atau patologis, proses
terprogram atau peristiwa acak yang dipengaruhi lingkungan eksternal, kegagalan
biologis semata atau kontribusi akumulasi kimiawi patologis. Oleh karena itu
banyak teori mengenai penuaan bermunculan (Goldman dan Klatz, 2007).
Ada 4 teori pokok dari aging, yaitu:
1) Teori “wear and tear”
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung,
ginjal, kulit dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan
dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan
nikotin, karena sinar ultraviolet dan stress fisik dan emosional. Tetapi
kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat
sel (Goldman dan Klatz, 2007).
2) Teori neuroendokrin
Teori ini menunjukkan keterlibatan hormon dan sistem saraf dalam proses
penuaan. Hormon berfungsi untuk mengatur fungsi – fungsi organ tubuh.
Satu hormon dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu fungsi dan satu
fungsi dapat dikontrol oleh lebih dari satu hormon. Produksi hormon
diatur oleh hipotalamus yang membentuk poros dengan hipofise dan organ
tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. (Djuanda, 2005). Pada
usia muda kadar hormon berada dalam kondisi optimal sehingga tercapai
performa biologis yang prima dan berbagai organ tubuh dapat bekerja
dengan baik. Secara umum dirasakan kemampuan kognitif, motorik,
sensorik, mental dan seksual berada dalam keadaaan puncak sehingga
dirasakan adanya kualitas hidup yang tinggi (Pangkahila, 2011). Produksi
hormon mengalami perubahan ketika penuaan terjadi. Hormon tertentu
mengalami penurunan seperti GH, Triiodothyronine (T3), testosteron,
estrogen, renin, aldosteron, Dehydroepiandrosterone (DHEA) dan
Dehydroepiandrosteronesulphate (DHEAS). Peningkatan kadar hormon
juga terjadi pada penuaan seperti FSH, LH, vasopressin, insulin, Para
Thyroid Hormone (PTH), Atrial Natriuretic Hormone (ANH) dan leptin.
Ketidakseimbangan produksi hormon tersebut berpengaruh terhadap
regulasi fungsi – fungsi tubuh dalam rangka pertumbuhan, pemeliharaan
dan perbaikan. Sehingga timbul berbagai keluhan yang dianggap sebagai
gejala penuaan. Hubungan antara penuaan dan perubahan hormon terjadi
timbal balik, yaitu proses penuaan mempengaruhi produksi hormon begitu
pula sebaliknya penurunan hormon yang menyebabkan timbulnya keluhan
– keluhan penuaan (Djuanda, 2005; Pangkahila, 2007)
3) Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang Deoxyribo
Nucleic Acid (DNA), dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang
unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan
penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua
dan berapa lama kita hidup (Goldman dan Klatz, 2007).
4) Teori Radikal Bebas
Teori lain yang mempercayai bahwa penuaan terjadi karena pengaruh
eksternal dan bukan terprogram adalah teori radikal bebas. Penganut teori
ini percaya bahwa penuaan berhubungan dengan akumulasi radikal bebas
yang
meningkat seiring dengan penuaan. Peningkatan radikal bebas
menimbulkan kerusakan terhadap molekul – molekul organik seperti
protein, DNA dan lemak. Kerusakan molekul tubuh lama – kelamaan akan
bermanifestasi pada penyakit – penyakit berkaitan dengan usia tua seperti
Alzheimer, aterosklerosis, kanker, Parkinson dan penurunan fungsi imun
(Pangkahila, 2007).
2.2 Nitric Oxide (NO)
2.2.1 Definisi NO
NO adalah merupakan mediator penting pada proses fisiologis dan
patologi tubuh. NO merupakan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
untuk relaksasi otot polos pembuluh darah, mengakibatkan vasodilatasi dan
meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008).
Gambar 2.1 Molekul NO (Hala et al., 2011)
2.2.2 Sintesis NO
NO disintesis oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) yang mengubah L –
Arginine menjadi L – Citruline dan NO. Reaksi pembentukan NO adalah sebagai
berikut : L – Arginine + 3/2 NADH + H+ + 2 O2  L – Citruline + NO + /
NADP+. Tiga isoform mayor NOS yaitu (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011) :
1. neuronal NOS (nNOS)
2. endothelial NOS (eNOS)
3. inducible NOS (iNOS)
eNOS dan nNOS berperan penting pada kondisi normal. eNOS berperan
pada relaksasi otot polos pembuluh darah dan nNOS mempunyai fungsi pada
neurotrasmiter. Kedua isoform ini terdapat di dalam sel dan secara cepat
diaktivasi oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan menghasilkan NO dalam jumlah
yang kecil. iNOS tidak diekspresikan pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh
sitokin dan atau endotoksin selama proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO
yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama (Hala et al., 2001; Zhang et al.,
2011).
Gambar 2.2 Skema Proses Sintesis NO (Hala et al., 2001; Zhang et al., 2011)
Di dalam jaringan, NO dibentuk L – Arginine oleh eNOS dengan kofaktor
NADPH, oksigen (O2) dan Tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L –
Citrulline serta nitrat dan nitrit sebagai metabolit antara NO yang tidak digunakan
akan dioksidasi menjadi nitrit. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam
jaringan akan direduksi menjadi NO dikatalisis oleh enzim Xanthine Oxidase
(XO) (Lundberg dan Weitzberg, 2005).
2.2.3 Pengukuran NO
Dalam serum, waktu paruh NO sangat singkat karena cepat dipakai oleh
sel endotel pembuluh darah sebagai vasodilator. Waktu paruh nitrit lebih pendek
daripada nitrat karena nitrat dapat direduksi menjadi nitrit kemudian cepat
direduksi menjadi NO pada keadaan hipoksia. Kadar nitrat, nitrit dan NO dalam
serum berbanding lurus dengan waktu paruhnya. NO yang disekresi oleh sel
endotel dengan cepat dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan
hemoglobin membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah,
sehingga total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator
sintesis NO tubuh (Lundberg dan Weitzberg, 2005).
Tabel 2.1
Waktu Paruh NO dan Produknya (Lundberg dan Weitzberg, 2005)
NO dan Produknya
Kadar Serum (nmol/L)
Waktu Paruh (T1/2)
Nitrat
20.000-50.000
5-8 Jam
Nitrit
100-500
1-5 Menit
NO
<1
1-2 Milidetik
HbNO
<1-200
15 Menit
Pemeriksaan kadar NO secara langsung sangat sulit dilakukan karena
senyawa NO berupa gas, bersifat polar dan memiliki waktu paruh yang sangat
singkat. Senyawa nitrat dan nitrit merupakan metabolit antara NO yang memiliki
waktu paruh yang lebih lama sehingga relatif stabil. Beberapa metoda
pemeriksaan kadar NO yang sering dilakukan antara lain metoda oksidasi
hemoglobin, chemiluminescent, reaksi Griess dan konversi Arginin Citrulin.
Metoda pemeriksaan tersebut hanya menggambarkan bioavailabilitas NO tubuh,
sedangkan bioaktivitas NO dapat diketahui dari perubahan ekspresi gen enzim
eNOS yang mengkatalisis arginine menjadi NO (Tarpey dan Fridovich, 2001).
Gambar 2.3 Pembentukan NO Dalam Darah dan Jaringan
(Lundberg dan Weitzberg, 2005)
Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh
endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS
juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO.
-
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge,
2002).
Apabila bioaktivitas NO dalam sel endotel pembuluh darah menurun
akibat rendahnya bioavailabilitas NO, menimbulkan gangguan endothelium
dependent vasorelaxation sebagai disfungsi endotel. Rendahnya bioavailabilitas
NO disebabkan berkurangnya pembentukan enzim eNOS dan oksigen serta
rendahnya asupan nitrat anorganik. Walaupun sintesis NO normal, namun
bioaktivitasnya dapat berkurang akibat tingginya oksidasi NO oleh radikal
superoksida yang berakibat menurunnya efek vasodilator endogen (Deanfield et
al., 2007).
Peningkatan jumlah radikal bebas dan penurunan bioavailabilitas NO
memperberat disfungsi endotel. Selain itu, menurunnya pembentukan NO tubuh
berhubungan dengan rendahnya asupan bahan makanan sumber NO. Bahan
makanan sumber NO mengandung antioksidan yang dapat meredam efek radikal
bebas, sehingga bioavailabilitas NO dapat dipertahankan (Deanfield et al., 2007).
Perubahan ekspresi eNOS dapat mengakibatkan gangguan sintesis NO.
Aktivitas eNOS tergantung dari protein kinase Akt pada residu serin 1177 dan
defosforilasi treonin 495. Beberapa inhibitor eNOS endogen, seperti Asymmetric
Di Methyl Arginine (ADMA), L – Mono Methyl Arginine (LNMA) dan
Tetrahydrobiopterin (BH4) dapat mengubah aktivitas eNOS. Apabila tidak
tersedia arginin atau BH4, eNOS dapat menjadi uncoupled dan menghasilkan
radikal superoksida dan radikal hidrogen peroksida. Radikal superoksida bereaksi
dengan NO membentuk peroksinitrit yang dapat mengoksidasi BH4 sehingga
BH4 menurun. Dalam keadaan defisiensi BH4, eNOS dapat meningkatkan stres
oksidatif dan disfungsi endotel (Endemann, 2004).
Stres oksidatif merupakan pemicu aktivasi disfungsi endotel, yang ditandai
dengan penurunan kadar NO. Endotel mempunyai banyak fungsi penting antara
lain mengatur tekanan darah melalui pelepasan bahan vasokonstriktor dan
vasodilator,
mengatur
(Endemann, 2004).
fungsi
antikoagulan,
antiplatelet
dan
fibrinolisis
2.2.4 Pengaruh NO Pada Korpus Kavernosum
Ereksi penis adalah manifestasi bangkitan seksual yang terjadi bila pria
normal menerima rangsangan seksual yang cukup. Proses ereksi juga tergantung
pada keseimbangan antara aliran darah yang masuk dan keluar dari korpus
kavernosum. Bila terjadi keseimbangan antara aliran darah masuk dan keluar,
maka penis menjadi flaccid (lemas). Bila aliran masuk ke arteri korpus
kavernosum meningkat, sedangkan aliran keluar vena terhambat, maka penis
mengalami tumescence (membesar dan memanjang) (Pangkahila, 2005).
Penis memiliki dua korpus kavernosum yang memiliki banyak sinus yang
saling berhubungan yang terisi darah untuk menghasilkan ereksi. Penis juga
memiliki satu korpus spongiosum yang mengelilingi uretra dan yang membentuk
glans penis. Asetilkolin bekerja dengan neurotransmiter lain cyclic Guanylate
Mono Phosphate (cGMP), cyclic Adenosin Mono Phosphate (cAMP) dan
polipeptida intestinal vasoaktif untuk menghasilkan vasodilatasi arteri penis yang
dapat menyebabkan terjadinya ereksi (Susanto, 2011).
Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali dengan adanya stimulasi
seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa NO, dari bagian penis
yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan enzim guanylyl cyclase
yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP, selanjutnya menyebabkan
pelebaran pembuluh darah disekitar korpus kavernosum, sehingga darah mengalir
ke penis dan menyebabkan pembesaran penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan
atau didegradasi oleh enzim yang bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang
menyebabkan penis kembali pada ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto,
2011).
Saat ereksi terjadi, aliran darah arteri dan vena yang awalnya berjalan
seimbang dari corpus, kemudian aliran arteri meningkat akibat adanya asetilkolin
sebagai mediator vasodilatasi dan mengisi sinusoid dalam korpus yang
menyebabkan penis mengalami pembengkakan dan pemanjangan. Pada umumnya
asetilkolin bekerja dengan dua jalur yang berbeda untuk menimbulkan ereksi.
1) Dengan adanya rangsangan seksual dari jaringan genital, asetilkolin
melalui jalur utama meningkatkan produksi NO oleh sel endotel dan
neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC). NO meningkatkan
aktivitas guanylyl cyclase, yang meningkatkan senyawa cGMP. Senyawa
cGMP menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler dalam sel otot halus
arteri penis dan sinus kavernosum. Akibatnya terjadi relaksasi otot halus
yang meningkatkan aliran darah arteri korpus.
2) Sedangkan pada jalur alternatif, asetilkolin menstimulasi otot halus pada
reseptor membran sel untuk meningkatkan aktivitas adenylyl cyclase.
Adenylyl cyclase menyebabkan peningkatan senyawa senyawa cAMP.
Seperti halnya cGMP, cAMP menurunkan konsentrasi kalsium intraselular
untuk menghasilkan relaksasi otot halus dalam sel pembuluh darah dan
sinus karvernosum. (Dipiro et al, 2005).
Faktor saraf yang mempengaruhi mekanisme ereksi adalah stimulasi saraf
parasimpatetik S2 – S4 yang menimbulkan dilatasi arteriol dan relaksasi otot
polos trabekula penis. Di pihak lain, stimulasi saraf simpatetik Th12 – L2
mengakibatkan konstriksi arteriol dan otot polos korpus kavernosum yang
menimbulkan detumesensi dan fleksid penis. Ketika mengalami rangsangan
seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan NO dari neuron NANC dan sel
endotel korpus kavernosum. NO merupakan mediator kimia yang terpenting untuk
menimbulkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Susanto, 2011).
Gambar 2.4 Mekanisme Ereksi (Burnett, 2002)
Disfungsi Ereksi (DE) didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang
menetap dan atau rekuren (setidaknya tiga bulan) untuk mencapai dan
mempertahankan ereksi yang cukup untuk memungkinkan terjadinya hubungan
seksual yang memuaskan. Tingkat keparahan dan prevalensi disfungsi ereksi
meningkat seiring dengn peningkatan usia. Kejadian disfungsi ereksi lebih rendah
pada pria dengan usia < 40 tahun, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia.
Hasil studi Health Professional Follow Up terbaru, pada lebih dari 31.000 pria
sehat profesional berusia 53 – 90 tahun, prevalensi terjadinya disfungsi ereksi
sebesar 33% (Dipiro et al., 2005).
2.3 Hormon Testosteron
2.3.1 Deskripsi Testosteron
Hormon-hormon steroid seks yang terpenting dalam reproduksi pada lakilaki adalah : testosteron, dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Hormon seks
pada laki-laki adalah androgen. Hormon testosteron merupakan hormon androgen
utama. Testosteron merupakan sebuah hormon steroid dari kelompok androgen
yang dapat ditemukan pada mamalia, reptil, burung dan vertebrata yang lain
(Braunstein, 2011).
Istilah
androgen
berarti
hormon steroid
yang mempunyai
efek
maskulinisasi, terdiri atas testosteron, dihidrotestosteron dan androstenedion.
Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting diantara ketiganya,
sedangkan dihidrotestosteron dan androstenedion adalah bentuk androgen yang
lemah. Semua androgen merupakan senyawa steroid. Baik dalam testis maupun
dalam adrenal, androgen dapat dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil
koenzim A (Guyton dan Hall, 2002).
Seperti hormon steroid lain, testosteron juga berasal dari derivat kolesterol
mempunyai sifat khusus dengan struktur steroid empat cincin dengan nama
sistematik (memakai sistem IUPAC) : (8R,9S,10R,13S,14S,17S) –17 – hydroxy –
10,13 – dimethyl – 1, 2, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 16, 17 dodecahydrocyclopenta
[a]phenanthren – 3 – one (Sherwood, 2007).
Gambar 2.5 Struktur testosteron (Sherwood, 2007)
2.3.2 Testosteron Pada Sirkulasi
Terdapat tiga fraksi testosteron pada serum, yaitu 98% berikatan dengan
protein plasma yaitu Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) (50%) dan albumin
(48%). 2 % sisanya tidak berikatan dalam plasma dan bebas untuk masuk dalam
sel dan mempunyai efek metabolik (testosteron bebas atau free testosterone).
SHBG disintesis di dalam hepar. Kadarnya dapat meningkat oleh pengaruh
estrogen, tamoxifen, fenitoin, hormon tiroid, keadaan hipertiroidism ndan sirosis,
sedangkan kadarnya menurun apabila terdapat pengaruh androgen eksogen,
glukokortikoid, Growth Hormone (GH), keadaan hipotiroidism, akromegali,
obesitas dan hiperinsulinemia (Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
Testosteron bebas mempunyai half life yang pendek, kira – kira 10 menit,
dimetabolisme
dengan
cepat
oleh
hepar
menjadi
androsteron
dan
dehidroepiandrosteron dan secara serempak dikonjugasikan sebagai glukoronida
dan sulfat, lalu diekskresikan baik ke usus dalam empedu atau ke dalam urine
melalui ginjal (Jones, 2008).
Testosteron bebas dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut
bioavailable testosterone. Bioavailable testosterone diyakini akan lebih mudah
masuk ke dalam sel – sel yang membutuhkan testosteron untuk melaksanakan
fungsi fisiologis karena ukuran dan afinitas spesifik bioavailable testosterone
terhadap sel targetnya (Giton, 2006).
Gambar 2.6 Skematik Testosteron Total (Giton, 2006)
Testis hanya mengsekresikan 25% estradiol. Estradiol terutama dihasilkan
dari konversi perifer dari testosteron dan androstenedione. Dihidrotestosteron dan
estradiol bukan hanya dihasilkan dari testis, tetapi juga dapat dihasilkan dari
konversi di jaringan perifer dari androgen dan prekursor estrogen yang disekresi
baik oleh testis maupun adrenal. Estrogen membantu mengatur sekresi
Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH) dan LH. Konversi perifer dari
testosteron oleh 5-alfa-reduktase menghasilkan DHT, suatu hormon androgen
yang juga poten, bekerja pada jaringan spesifik. Kebanyakan testosteron yang
tidak terikat pada jaringan, akan diubah terutama oleh hepar menjadi bermacammacam metabolit, seperti androsteron dan etiocholanolon, yang setelah
berkonjungasi dengan glukoronid dan sulfat dikeluarkan melalui urin dalam
bentuk 17-ketosteroid. Namun, hanya 20-30% dari 17-ketosteroid urin berasal dari
metabolisme testosteron, sisanya berasal dari metabolisme steroid adrenal,
sehingga hal ini tidak dapat dipakai untuk mengukur sekresi steroid dari testis
(McCance dan Huether, 2006; Braunstein, 2011; Pangkahila, 2011).
Pada sel target androgen, testosteron secara enzimatik dikonversi menjadi
DHT oleh isoenzim mikrosomal 5α-reduktase-2 pada pH ± 5,5, sedangkan
isoenzim lain 5α-reduktase-1 bekerja pada kulit dengan sekitar pH 8,0, tetapi tidak
aktif pada traktus urogenital. Setelah itu, DHT dan testosteron akan berikatan
dengan reseptor protein spesifik di intraseluler. Gen yang mengkode protein ini
berada pada kromosom X. Ketika testosteron atau DHT berikatan dengan
reseptor, terjadi perubahan sehingga dapat terjadi translokasi ke dalam nukleus
berikatan dengan importins (Rn). Di dalam nukleus, kompleks reseptor androgen
berikatan dengan elemen respon androgen di DNA sehingga mengaktivasi proses
transkripsi. Hasil ini kemudian disintesis oleh messenger RNA (mRNA),
kemudian di transport ke sitoplasma, dimana terjadi sintesis protein baru dan
terjadi respon androgen (Braunstein, 2011).
2.3.3 Sekresi Testosteron
Hormon testosteron 95% dihasilkan oleh sel Leydig dalam testis dan 5%
dihasilkan oleh zona retikularis kortex adrenal pada laki-laki. Testis juga
mengsekresi sebagian kecil dari DHT yang merupakan androgen poten dan
dehidroepiandrosteron (DHEA) yang merupakan androgen lemah. Kemudian
secara serempak dikonfigurasikan sebagai glukoromida dan sulfat kemudian
diekskresikan ke usus melalui empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal
(Guyton dan Hall, 2005). Selain itu, sel Leydig juga mengsekresi sebagian kecil
dari estradiol, estrone, pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksipregnenolon, dan
17α-hidroksiprogesteron (Braunstein, 2011).
Pelepasan testosteron mempunyai ritme sirkadian dengan levelnya pada
sirkulasi mencapai puncaknya dalam darah pada pagi hari (08.00 – 10.00) dan
terendah pada malam hari (18.00 – 20.00) (Kapoor et al., 2005).
Testosteron terutama disekresikan oleh testis. Kecepatan sekresi
testosteron 4 – 9 mg/hari (13,9 – 31,2 nmol/hari) dengan kadar testosteron serum
berkisar antara 300 – 1000 ng/dL (rata – rata 611±186 ng/dL), testosteron bebas
50-210 pg/ml (1,7 – 7,28 pmol/L) (Guyton dan Hall, 2005).
2.3.4 Sintesis Testosteron
LH merangsang sel Leydig melalui peningkatan pembentukan cyclic
Adenosin Mono Phosphat (cAMP). cAMP meningkatkan pembentukan kolesterol
dan ester – ester kolestrol. Sintesis ini dimulai dengan pengangkutan kolesterol ke
membran interna mitokondria oleh protein pengangkut
Steroidogenic Acute
Regulatory Protein (StAR). Setelah berada pada posisi yang tepat, kolesterol akan
bereaksi dengan enzim pemutus rantai samping P450scc
dan menjadi
pregnenolon. Konversi pregnenolon menjadi testosteron dapat terjadi dalam 2
lintasan, yaitu (Sherwood, 2007):
-
lintasan progesteron atau lintasan ∆4 (jalur ini dapat dilihat pada sisi kanan
gambar 2.2).
-
lintasan dehidroepiandosteron atau lintasan ∆5 (dapat diliat pada sisi
sebelah kiri gambar 2.2).
Gambar 2.7 Jalur Biosintesis Testosteron (Brinkman, 2009)
2.3.5 Kontrol Fungsi Testosteron
Regulasi dari produksi androgen dan spermatogenesis diatur oleh sistem
kompleks mekanisme umpan balik, dimana terlibat sistem saraf pusat
ekstrahipothalamus, hipothalamus, hipofise anterior, testis, dan androgensenstive
ends organs. Terlibatnya sistem saraf pusat ekstrahipothalamus dapat berupa stres
fisiologik dan psikologis. Dalam hipothalamus, neurotransmiter akan meregulasi
sintesis dan pelepasan pulsasi GnRH, yang dilakukan setiap 3 jam masuk dalam
vena portal hipofise. Setelah mencapai hipofise anterior, maka GnRH akan
merangsang sekresi LH dan FSH. LH mempengaruhi sel Leydig yang berikatan
dengan reseptor spesifik membran dan menyebabkan sekresi testosteron. Sebagai
inhibisi, peningkatan kadar androgen akan menghambat sekresi LH dari hipofise
anterior melalui efek langsung pada hipofise dan hipothalamus. Hipothalamus dan
hipofise mempunyai reseptor androgen dan estrogen. Efek inhibisi terutama yang
diperantarai oleh estradiol yang dihasilkan dari aromatisasi testosteron. FSH
berikatan dengan reseptor spesifik pada sel-sel Sertoli di tubulus seminiferus dan
merangsang pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). FSH mempengaruhi
tubulus seminiferus sel Sertoli untuk merangsang terjadinya spermatogenesis.
Sekresi FSH dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Begitu juga
yang terjadi pada LH, sekresi LH akan dihambat oleh inhibin yang dihasilkan oleh
sel Leydig (McCance dan Huether, 2006; Pangkahila, 2011).
Fungsi testis dikontrol oleh 2 hormon gonadotropik yang disekresikan oleh
hipofisis anterior yaitu: LH dan FSH. Kedua hormon ini bekerja pada bagian testis
yang berbeda. LH bekerja pada sel Leydig (intersisial) untuk mensekresi
testosteron sedangkan FSH bekerja pada tubulus seminiferus sel Sertoli yang
berpengaruh terhadap spermatogenesis (Sherwood, 2011).
2.3.6 Pengukuran Hormon Steroid pada Laki-laki
Semua pengukuran steroid gonadal harus dilakukan dengan pemeriksaan
khusus. Pada individu normal, terjadi peningkatan serum testosteron pada pagi
hari, karena itu sebaiknya pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan tiga
kali dengan interval 20 – 40 menit pada pagi hari. Pada laki-laki, produksi hormon
seks tergantung dari variasi diurnal (Hess et al., 2003; Braunstein, 2011;
Pangkahila, 2011; Sherwood, 2013).
Kadar testosteron puncak terlihat pada pagi hari, sekitar 20-30% lebih
tinggi kadarnya dari pada malam hari (Kumar, 2013). Pengukuran immunoassays
testosteron dan estrogen mengukur konsentrasi kadar total serum. Metode yang
dipercaya adalah dengan immunoassays spesifik diikuti ekstraksi dari serum atau
gas chromatography (GC) atau dengan liquid chromatography (LC) digabung
dengan spektroskopi (Braunstein, 2011).
Tabel 2.2
Kadar Hormon Normal pada Laki-laki Dewasa (Braunstein, 2011)
Hormon
Testosteron, total
Testosteron, free
Dihidrostenedione
Androstenedione
Estradiol
Estrone
Batas Normal
260 – 1000 ng/dL
50 – 210 pg/mL
27 – 75 ng/dL
50 – 250 ng/dL
10 – 50 pg/mL
15 – 65 pg/mL
Nilai normal kadar hormon tetosteron total pada laki-laki berviariasi antara
241 – 827 ng/dl, yang diukur pada pagi hari. Apabila terjadi penurunan dibawah
500 ng/dl sudah menimbulkan gejala defisiensi. Pada anak-anak, baik anak lakilaki maupun anak permpuan kadar testosteron berkisar antara 5 ng/dl, yang akan
meningkat sesuai dengan umurnya. Anak perempuan bila mencapai usia 10 – 15,
kadar testosteronya dapat mencapai kira-kira 15 – 35 ng/dl. Pada saat anak
perempuan berusia mencapai 17 tahun meningkat sedikit menjadi 20 – 38 ng/dl,
dan pada awal usia 20 tahun normal kadar testosteron total terendah antara 6 – 24
ng/dl dan batas tertinggi 47 – 86 ng/dl (Braunstein, 2011).
2.3.7 Efek dan Fungsi Testosteron
Hormon testosteron merupakan hormon androgen utama di dalam sirkulasi
darah. Testosteron penting dalam kehidupan seksual dan reproduksi serta
pertumbuhan dan perkembangan normal organ kelamin dan reproduksi baik pria
maupun wanita, selain fungsinya yang berpengaruh besar terhadap kehidupan
seksual juga memiliki efek biologik yang penting diantaranya pada metabolisme,
integritas tulang, otot, sistem kardiovaskular dan otak. Pada keadaan
berkurangnya hormon testosteron berpengaruh terhadap berkurangnya sensitivitas
insulin, kelemahan otot, gangguan metabolisme karbohidrat, gangguan fungsi
kognitif, berkurangnya dorongan motivasi, lelah dan letargi, peningkatan lemak
tubuh serta penurunan dorongan dan kemampuan seksual (Pangkahila, 2011).
Fungsi fisiologis testosteron di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal
(Morgentaler, 2009) :
1) Sekresi primer dari testis.
2) Peningkatan SHBG seperti keadaan patologis : sirosis hepatis,
tirotoksikosis, pemberian preparat estrogen dan anti konvulsan.
3) Aktivitas enzim aromatase yang akan mengubah testosteron menjadi
estradiol.
4) Jumlah reseptor CAG repeats yang berfungsi normal.
Secara sistematis fungsi testosteron diantaranya adalah :
1) Efek pada sistem reproduksi pada saat sebelum lahir.
-
Sebelum lahir, sekresi testosteron pada janin akan mengakibatkan
penurunan testis ke dalam skrotum, maskulinisasi sistem reproduksi, dan
genitalia eksternal.
-
Pada saat janin, testosteron yang berasal dari plasenta menginisiasi
pembentukan duktus Wolffian dan membentuk organ genitalia interna pria
(epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis).
-
Testosteron diubah menjadi dehidrotestosteron sehingga menstimulasi
pembentukan genitalia eksterna seperti skrotum dan penis. Selain itu
pembentukan kelenjar prostat juga dipengaruhi oleh hormon testosteron
(Gilbert, 2000; Guyton dan Hall, 2010).
2) Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir.
-
Masa pubertas adalah masa dimana terjadi maturasi dari sistem reproduktif
yang sebelumnya non fungsional untuk mencapai puncaknya dan
mempunyai kemampuan untuk bereproduksi.
-
Biasanya dimulai pada usia 10 – 14 tahun. Pada masa puber, terjadi
peningkatan sekresi GnRH oleh hipotalamus. Dengan ini terjadi
peningkatan sekresi FSH dan LH oleh hipofisis. Testis membesar dan LH
menstimulasi sel Leydig memproduksi testosteron dan sel Sertoli dalam
menjaga spermatogenesis (Solfikitis et al., 2008).
-
Testosteron inilah yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan
perkembangan seluruh sistem reproduksi pria. Di bawah pengaruh sekresi
testosteron, terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma
untuk pertama kalinya, terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris dan
pembesaran penis serta skrotum.
-
Setelah masa pubertas, sekresi testosteron dan spermatogenesis terjadi
secara terus – menerus seumur hidup seorang pria, meskipun produksinya
akan berkurang secara bertahap. Penurunan sekresi testosteron pada pria
dewasa dimulai sejak memasuki usia 40 tahun yang sebelumnya telah
mengalami perkembangan normal. Perubahan aktivitas dari poros
hipotalamus hipofisis gonadal pada pria terjadi lebih lambat.
-
Seiring dengan penuaan, kadar serum total dan free testosterone tampak
menurun. Kadar free testosterone juga menurun sehubungan dengan
peningkatan SHBG. Sehingga untuk mengatasi hal ini dikembangkanlah
terapi sulih testosteron. Hipogonadisme mempengaruhi sekitar 40% dari
pria berusia 45 tahun atau lebih tua, meskipun kurang dari 5% dari orang
– orang yang benar – benar didiagnosis dan diobati untuk kondisi tersebut.
Meskipun terdapat beberapa kontroversi, terapi sulih testosteron telah
ditetapkan sebagai pengobatan utama yang aman dan efektif untuk
hipogonadisme (Bebb, 2011).
3) Efek yang berkaitan dengan reproduksi
-
Testosteron mengatur perkembangan libido dan mempertahankan libido
pada seorang pria dewasa.Tetapi pada manusia libido juga dipengaruhi
oleh interaksi sosial dan faktor emosional.
-
Testosteron juga berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk mengontrol
produksi hormon gonadotropin dari hipofisis anterior.
4) Efek pada perkembangan seksual sekunder
Perkembangan dan pemeliharaan seksual sekunder pria bergantung pada
testosteron, hal ini termasuk pada:
-
pertumbuhan rambut (contoh: janggut, rambut dada).
-
suara yang lebih rendah akibat dari pembesaran laring dan penebalan pita
suara, kulit yang lebih tebal.
-
konfigurasi tubuh pria, contohnya: bahu yang lebar, tangan yang besar,
dan kaki yang lebih berotot sebagai akibat dari penyimpanan protein.
5) Efek non reproduksi
Testosteron juga mempunyai efek anabolik protein dan pertumbuhan
tulang yang akan mengarah pada pembentukan fisik pria yang lebih
berotot dan pertumbuhan yang cepat selama masa puber. Testosteron juga
menstimulasi sekresi pada kelenjar minyak. Pada hewan testosteron akan
mengakibatkan terjadinya perilaku agresif.
2.3.8 Hubungan Testosteron dan NO Pada Disfungsi Ereksi
Mekanisme kerja dari testosteron terhadap fungsi ereksi pada studi yang
dilakukan pada tikus adalah melalui stimulasi sintesis NO dan sebagai vasodilator
pada penis (Isidori, 2014).
Relaksasi dari jaringan erektil pada korpus kavernosum memerlukan NO
dari neuron Non Adrenergic Non Cholinergic (NANC) dan sel endotel.
Testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan adanya reseptor androgen dan
enzim – enzim metabolisme testosteron pada sel endotel, antara lain 5alfa –
reduktase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron
dan aromatase yang mengkatalisis perubahan testosteron menjadi estradiol.
Estradiol akan berikatan dengan Estrogen Receptor (ER) pada sel endotel. Neuron
NANC dan sel endotel melepaskan NO, yang pada gilirannya meningkatkan kadar
cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah
menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran
darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis
terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi
peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi.
Proses ini dibalikkan oleh aktivitas type 5 Phosphodiesterase (PDE5), yang
memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi (Sakka dan Yassin, 2010).
Gambar 2.8 Mekanisme Testosteron pada Ereksi Penis (Isidori, 2014)
2.4 Terapi Sulih Testosteron (Testosterone Replacement Therapy)
2.4.1 Definisi Terapi Sulih Testosteron
Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme
yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala – gejala
hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Beberapa pilihan baru dalam
terapi sulih testosteron telah tersedia sejak pertengahan tahun 1990. Ambang batas
level testosteron yang menimbulkan gejala – gejala hipogonad bervariasi
tergantung jenis gejala dan individu (Arver dan Mueller, 2008).
Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu
menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang
fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu: estradiol dan DHT. Jenis – jenis ester yang
telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat isokaproat, enanthat, dekanoat,
undekanoat (Arver dan Mueller, 2008).
Pengobatan terapi sulih untuk hipogonadisme dapat diberikan melalui
beberapa sediaan preparat, antara lain : injeksi testosteron ester, testosteron
transdermal (gel atau patch), atau testosteron oral dalam bentuk testosteron
undekanoat. Semua sediaan preparat tersebut diberikan dalam dosis yang tepat
sehingga memungkinkan pasien memperoleh manfaat dan memiliki berbagai
pilihan untuk dipergunakan (Bebb, 2011).
Beberapa
jenis
sediaan
preparat
pemberian
testosteron
yang
direkomendasikan untuk terapi penggantian / sulih testosteron adalah sebagai
berikut :
1. Gel
: 5 sampai 10 gram gel testosteron diterapkan setiap hari.
2. Tablet : 40 mg testosteron undekanoat diminum dua kali sehari dengan
makanan (Bebb, 2011).
3. Injeksi 1000 mg testosteron undekanoat intramuskular yang diberikan
pada minggu ke 0 , 6 , 18 , 30 dan 42 dapat meningkatkan komponen
kesehatan mental dan kualitas hidup pada pria hipogonad, khususnya
vitalitas (mencerminkan tingkat energi ), fungsi sosial dan peran fungsi
fisik. Meskipun skor komposit kesehatan fisik tidak menunjukkan
peningkatan signifikan secara statistik, akan tetapi ada kecenderungan
peningkatan yang ditunjukkan pada minggu ke 30, hingga minggu ke 48
menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan dalam kekuatan fisik (Tong
et al.,2012).
2.4.2
Testosteron Undekanoat
Gambar 2.9 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (Ilyas, 2008)
Rumus molekul
: C30H48O3
Bobot molekul
: 456,70
Testosteron undekanoat (TU) dengan nama kimia 17 hydroxyl 4 androsten
3 one 17 undekanoat adalah suatu hormon yang bersifat hidrofobik karena
mempunyai nilai log (P) sebesar 7,24. TU merupakan suatu bentuk ester dari
testosteron alami. Bentuk aktif testosteron dihasilkan dari hidrolisis esternya. Efek
utama dari testosteron hasil hidrolisis TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan
testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk kompleks homon –
reseptor. Komplek hormon reseptor tersebut masuk ke dalam inti sel dimana ia
akan memodulasi transkripsi gen – gen tertentu setelah terikat dengan DNA.
Formulasi untuk TU saat ini berupa larutan dalam minyak castor. Sediaan dengan
pembawa minyak mempunyai kelemahan yaitu mudah tengik, viskositas
sediaannya menjadi tinggi (Ilyas, 2008).
Testosteron undekanoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria
digunakan dalam bentuk liquid (injeksi) dan bentuk bubuk yang dibungkus
dengan kapsul. Tujuan utama dari pemberian TU adalah mempertahankan
tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam
kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga
terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama
namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel. Konsentrasi testosteron
serum stabil dalam rentang fisiologi minggu pertama setelah pemberian pertama
kali. Kandungan testosteron melebihi rentang fisiologis dari testosteron enantat
dan sipionat. Pola metabolisme TU mengikuti pola testosteron yang menghasilkan
dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Pemberian TU dapat meningkatkan
konsentrasi testosteron plasma dan menurunkan konsentrasi gonadotropin (Ilyas,
2008).
Testosteron undekanoat (TU) merupakan suatu alifatik, ester asam lemak
testosteron yang sebagian diabsorpsi lewat usus dan melalui sistem limfatikus
setelah pemberian secara oral (Ilyas, 2008). TU juga memiliki efek samping yaitu
efek ringan pada penggunaan oral, seperti adakalanya mual, tetapi juga dapat
menimbulkan efek serius di antaranya (Tjay , 2002) :
1) Efek virilisasi pada wanita, dengan gejala seperti acne, tumbuhnya rambut
di muka, suara menjadi rendah dan gangguan haid.
2) Menekan spermatogenesis dan degenerasi tubulus seminiferus. Bila
digunakan dalam waktu lama akan menyebabkan azoospermia.
3) Efek feminisasi (gynecomastia) terutama pada anak – anak.
4) Edema dan naiknya berat badan akibat retensi garam dan air, khususnya
pada dosis tinggi.
5) Hiperplasia prostat.
-
Pada pria usia lanjut, testosteron dapat merangsang pembesaran prostat
karena hiperplasia, hal ini menyebabkan obstruksi.
6) Gangguan pertumbuhan.
-
Hati – hati memberikan testosteron pada anak prapubertas, sebab dapat
terjadi pubertas prekoks. Testosteron mempercepat pernutupan epifisis
sehingga mungkin anak tidak akan mencapai tinggi badan yang
seharusnya.
7) Hiperkalsemia.
-
Hiperkalsemia dapat muncul pada wanita penderita karsinoma payudara
yang diobati dengan testosteron.
TU berinteraksi obat antara lain :
1) Insulin
2) Propranolol
3) Kortikosteroid: Pemakaian bersamaan testosteron dengan ACTH atau
kortikosteroid dapat meningkatkan pembentukan edema, sehingga obat ini
harus diberikan dengan hati – hati terutama pada pasien dengan penyakit
jantung, ginjal atau hati.
4) Antikoagulan: Dosis dari antikoagulan mungkin memerlukan pengurangan
untuk mempertahankan terapi yang memuaskan hypoprothrombinemia.
5) Siklosporin:
Terapi
penggantian
testosteron
dapat
siklosporin dan meningkatkan risiko nefrotoksisitas.
mempotensiasi
2.5 L – Arginin
2.5.1 Deskripsi L – Arginin
Asam amino merupakan unit monomer untuk membangun rantai
polipeptida protein. Sebagian besar protein mengandung asam amino L – α yang
sama dalam proporsi yang bervariasi. Asam amino L – α merupakan asam amino
dengan konfigurasi absolut L – gliseraldehid, dimana gugus amino dan
karbohidrat melekat pada atom karbon yang sama dan mempunyai aktivitas optis
(kesanggupan memutar bidang cahaya yang terpolarisasi) ke kiri / levorotaric
(Srivastava et al., 2006).
Dalam bentuk protein, asam amino akan mendasari berbagai fungsi antara
lain, struktural, hormonal dan katalitik yang esensial bagi kehidupan. Asam amino
dan derivatnya turut serta dalam berbagai macam fungsi intraseluler seperti
transmisi syaraf (neurotransmitter), pengaturan pertumbuhan sel dan biosintesis
porfirin, purin, pirimidin serta ureum. Dalam peptida yang berbobot molekul
rendah juga berfungsi sebagai prekursor hormon (Srivastava et al., 2006).
Berdasarkan kepentingan nutrisi, asam amino dapat dibedakan menjadi
asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino
yang tidak dapat disintesis tubuh oleh karena itu harus dipenuhi dari diet.
Sedangkan asam amino non esensial dibedakan menjadi dua berdasarkan
sintesisnya dalam tubuh, yaitu (Srivastava et al., 2006) :
1) Asam amino yang disintesis dari pemindahan nitrogen ke kerangka karbon
yang berasal dari siklus TCA (Tri Carboxylic Acid) atau dari glikolisis
glukosa.
2) Asam amino yang disintesis dari asam amino yang lain.
Kelompok ini sangat tergantung pada ketersediaan asam amino spesifik.
Dengan demikian sangat mungkin menjadi esensial jika diet sebagai
sumber asam amino berkurang atau terbatas, misalnya dalam keadaan
infeksi, trauma, luka bakar atau dalam keadaan katabolik lainnya.
Arginin termasuk asam amino non esensial yang kelompok kedua atau
kadang disebut asam amino semi esensial dengan rumus kimia C6H1402N4 .
Gambar 2.10 Struktur Kimia L – Arginin (Srivastava et al., 2006)
Arginin merupakan asam amino semi esensial yang artinya tubuh dapat
memproduksi asam amino ini dalam jumlah kecil, sehingga asupan dari luar
masih diperlukan. L – Arginin (2-amino-5-guanidinovaleric acid) merupakan
asam amino dasar yang terdapat dalam cairan fisiologis tubuh. L – Arginin banyak
terdapat dalam seafood, semangka, kacang – kacangan, daging, konsentrat
proteinasi dan isolasi protein kedelai, namun rendah dalam susu mamalia (Wu et
al., 2009).
2.5.2 Metabolisme L – Arginin
Gambar 2.11 Metabolisme L – Arginin (Maurice, 2015)
Tahap akhir hidrolisis protein menjadi dipeptida dan asam amino serta
absorbsinya berlangsung di jejunum dan ileum. Selanjutnya dipeptida dan
tripeptida akan ditranspor ke dalam sel dengan proses transport aktif seperti
transpor glukosa. Di dalam tubuh, arginin memiliki peranan penting dalam
metabolisme nitrogen sebagai perantara dalam siklus urea dan diperlukan dalam
detoksifikasi amonia. Di dalam sitoplasma, arginin dihidrolisis oleh arginase
menjadi urea dan ornitin. Ornitin ditranspor ke dalam mitokondria oleh ornitin
carbamoyltransferase dan bersama karbomil fosfat (amonia) akan membentuk
sitrulin. Kemudian sitrulin disintesis oleh arginosuccinate synthase menjadi
arginosuccinate. Dan oleh arginosuccinate lysase diubah kembali menjadi arginin
(Maurice, 2015).
Disamping berfungsi dalam sintesis protein dan perantara siklus urea,
arginine merupakan substrat pembentukan NO dan sintesis fosfokreatin, juga
sebagai prekursor glutamat, prolin dan putresin melalui pembentukan ornitin.
Ornitin digunakan dalam pembentukan poliamin yang diperlukan dalam
proliferasi sel. Arginin dapat pula bertindak sebagai produk perantara berbagai
proses metabolik (Maurice, 2015).
L – Arginin merupakan salah satu substansi yang meregulasi sintesis NO,
produksi antibodi dan perkembangan sel B, ekspresi reseptor sel T yang
menyebabkan L – Arginin penting dalam sistem kekebalan bawaan (innate
immune system) dan sistem kekebalan dapatan (adaptive immune system). L –
Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh Nitric Oxide
Synthase (NOS). NO merupakan molekul pengirim sinyal terhadap setiap jenis sel
yang meregulasi jalur metabolisme, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap
nutrisi arginine. Kekurangan L – Arginin dalam diet akan menyebabkan gangguan
sistesis NO (Wu et al., 2009).
Dalam keadaan katabolik, kebutuhan arginin menjadi esensial. Hal ini
dapat terjadi pada kondisi dimana laju degradasi arginin meningkat, intake yang
kurang, gangguan absorbsi di usus serta sintesis sitrulin di usus yang menurun.
Dalam kondisi normal, kebutuhan arginin pada orang dewasa dapat dipenuhi
secara endogen tetapi dalam keadaan stress dan sakit khususnya penyakit –
penyakit kritis dan sepsis maka kebutuhan arginin harus dipenuhi dari luar
(Maurice, 2015).
2.6 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO
Syarat terjadinya efek dari hormon testosteron pada organ sasaran adalah
keberadaan serta berfungsinya Androgen Receptor (AR) serta efektor intrasel.
Gen AR sendiri merupakan gen yang berperan penting dalam proses pembentukan
dan perkembangan fenotip pria melalui kerjanya dalam memperantarai efek
biologis dari hormon androgen. Hormon androgen sendiri merupakan suatu
hormon yang amat terlibat dalam proses normal perkembangan genital eksternal
maupun internal pria selama periode embriogenesis melalui kerja hormon
testosteron dan 5α – dihidrotestosteron (DHT) (Leung et al., 2007).
Secara sitogenetika gen AR terletak pada kromosom Xq11-12. Gen AR
memiliki 8 buah ekson dengan 2757 pasangan basa open reading frame, dimana
jumlah pasangan basa ini bervariasi, tergantung pada jumlah CAG repeat yang
terletak pada ekson pertama (Rajender et al., 2007).
Protein yang dihasilkan oleh gen AR termasuk kedalam keluarga Steroid
Receptor (SR), yang mana merupakan bagian dari kelompok Nuclear Receptor
(NR) superfamily. Kelompok NR superfamily sendiri termasuk merupakan salah
satu kelompok gen pengatur transkripsi (transcriptional regulator) terbesar yang
nantinya akan menghasilkan protein yang berfungsi sebagai faktor transkripsi
yang dipercayai berperan penting dalam banyak proses seperti homeostasis,
reproduksi, perkembangan dan metabolisme. Protein – protein semacam ini
nantinya akan berikatan dengan DNA dan kemudian mengatur transkripsi gen.
Adapun AR merupakan salah satu protein yang berkerja sebagai faktor transkripsi
(Heinlen et al., 2002).
Ada beberapa karakteristik yang membuat gen AR unik, diantaranya
adalah terdapatnya 2 regio polimorfisme yang sama-sama terletak pada ekson
pertama. Dua regio polimorfisme ini pun sama-sama merupakan polimorfisme
trinucleotide repeat, yaitu CAG repeat yang mengkode pembentukan asam amino
poliglutamin dan GGN repeat yang mengkode pembentukan poliglisin. Kedua
area ini terletak cukup berdekatan, dimana hanya dipisahkan oleh 248 asam amino
dari suatu urutan yang tidak polimorfik (Rajender et al., 2007).
Seperti gen – gen lainnnya yang termasuk kedalam kelompol NR
superfamily, secara struktural gen AR terbagi menjadi empat regio seperti yang
tergambar pada gambar 3, yaitu N-Terminal Domain (NTD), DNA Binding
Domain (DBD), regio Hinge dan Ligand Binding Domain (LBD). Dari keempat
regio tersebut NTD merupakan regio yang paling banyak berperan dalam aktivitas
transkripsi dan merupakan regio terbesar dari protein AR yang terbentang dari pb
1-537. NTD atau yang juga biasa disebut sebagai transactivating domain adalah
suatu regio yang berperan dalam perekrutan protein-protein lain yang dapat
mempengaruhi aktivitas transkripsi dari protein AR (Nenonnen, 2011).
Seperti pada protein kecil kemungkinan terjadinya kerusakan di DNA
menjadi suatu reaksi berantai, biasanya kerusakan terjadi bila ada lesi pada
susunan molekul, apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi maka
akan terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika terbentuk
disekitar DNA seperti pada radiasi biologis. Radikal bebas dapat menimbulkan
berbagai perubahan pada DNA yang antara lain berupa : hidroksilasi basa timin
dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta terputusnya rantai
fosfodiester DNA. Bila kerusakan tak terlalu parah, maka masih bisa diperbaiki
oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system ). Namun apabila kerusakan
terlalu parah, misalnya rantai DNA terputus – putus di berbagai tempat, maka
kerusakan tersebut tak dapat diperbaiki dan replikasi sel akan terganggu.
Susahnya, perbaikan DNA ini sering justru menimbulkan mutasi, karena dalam
memperbaiki DNA tersebut sistem perbaikan DNA cenderung membuat
kesalahan (error prone) dan apabila mutasi ini mengenai gen – gen tertentu yang
disebut onkogen, maka mutasi tersebut dapat menimbulkan kanker (Rajender et
al., 2007).
Pada pembuluh darah, dalam keadaan normal NO dihasilkan oleh
endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), tetapi jika terjadi peradangan NOS
juga terdapat pada makrofag dan sel otot polos yang kemudian menghasilkan NO.
-
Sedangkan O2 dan H2O2 dapat dihasilkan oleh semua sel pembuluh darah (Droge,
2002).
L – Arginin merupakan prekursor dalam sintesis NO yang dilakukan oleh
Nitric Oxide Synthase (NOS). Mekanisme fisiologis ereksi pada penis diawali
dengan adanya stimulasi seksual yang akan melibatkan pelepasan suatu senyawa
NO, dari bagian penis yang disebut korpus kavernosum. NO akan mengaktifkan
enzim guanylyl cyclase yang menyebabkan peningkatan senyawa cGMP,
selanjutnya
menyebabkan
pelebaran
pembuluh
darah
disekitar
korpus
kavernosum, sehingga darah mengalir ke penis dan menyebabkan pembesaran
penis (ereksi). Senyawa cGMP diuraikan atau didegradasi oleh enzim yang
bernama Phospho Di Esterase – 5 (PDE5) yang menyebabkan penis kembali pada
ukuran semula (relaksasi penis) (Susanto, 2011).
Gambar 2.12 Hubungan Testosteron dan L – Arginin dengan NO
(Srivastava et al., 2006)
2.7 Orchidectomy
Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat atau
menghilangkan testis (jantan) atau ovarium (betina). Pada hewan jantan
dinamakan kastrasi / orchidectomy, sedangkan pada hewan betina dinamakan
Ovario Hysterectomy (OH). Sterilisasi pada hewan jantan ataupun betina berguna
untuk mengendalikan (mengontrol) populasi hewan dengan mencegah kesuburan
(Isidori et al., 2014).
Keuntungan orchidectomy adalah menyebabkan penurunan kadar hormon
testosteron pada hewan jantan sangat bermanfaat untuk (Isidori et al., 2014) :
-
Menghilangkan libido. Hewan menjadi lebih tenang (tidak gelisah)
sehingga tidak terjadi perkelahian selama musim kawin.
-
Mengurangi resiko penyakit yang berhubungan dengan hormon androgen
seperti gangguan prostate, tumor serta perianal hernia.
-
Menghindari sifat abnormal yang diturunkan dari induk ke anak.
-
Menghindari gangguan testis, epididimis, tumor scrotum, trauma dan
abses.
-
Dapat mengurangi gangguan endokrin.
Metode orchidectomy dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Metode terbuka
-
Sayatan dilakukan sampai tunika vaginalis communis, sehingga testis dan
epididimis tidak lagi terbungkus.
2. Metode tertutup
-
Sayatan hanya sampai pada tunika dartos, sehingga testis masih
terbungkus oleh tunika vaginalis communis. Peningkatan dan penyayatan
pada funiculus spermaticus. Hewan yang akan dikebiri harus dalam
keadaan sehat.
Dengan hilangnya testis akibat dari orchidectomy maka sel Leydig tidak
dapat memproduksi hormon testosteron secara optimal. Berkurangnya kadar
testosteron menyebabkan neuron NANC dan sel endotel pun tidak dapat
memproduksi NO. Defisiensi testosteron mempengaruhi fungsi endotel dengan
Androgen Receptor (AR) diantaranya enzim metabolisme testosteron pada sel
endotel, antara lain 5alfa – reduktase tidak dapat mengkatalisis testosteron
menjadi dihidrotestosteron dan aromatase tidak dapat mengkatalisis testosteron
menjadi estradiol. Sehingga estradiol tidak akan berikatan dengan Estrogen
Receptor (ER) pada sel endotel. Serta neuron NANC dan sel endotel tidak dapat
melepaskan NO yang akan meningkatkan kadar cyclic Guanosine Mono
Phosphate (cGMP) dan tidak menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan
kavernosa, serta tidak meningkatkan aliran darah penis. Dengan demikian menjadi
tidak berfungsinya NO sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot
polos korpus kavernosum. Hal ini menyebabkan keadaan disfungsi ereksi (Isidori
et al., 2014).
Download