MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY (PENEMUAN) A. Pengertian Model Pembelajaran Penemuan Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund ”discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip”. Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20). Sedangkan menurut Jerome Bruner ”penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu”. Dengan demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan (Markaban, 2006:9). Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru (PPPG, 2004:4) . Model penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru. Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model penemuan terbimbing adalah model pembelajaran yang dimana siswa berpikir sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum yang diinginkan dengan bimbingan dan petunjuk dari guru berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan. ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada. B. Tujuan Pembelajaran Discovery Learning Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut: a. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan. b. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan c. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan. d. Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain. e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsepkonsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna. f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru. C. Macam-macam (discovery) Model penemuan atau pengajaran penemuan dibagi 3 jenis : 1. Penemuan Murni Pada pembelajaran dengan penemuan murni pembelajaran terpusat pada siswa dan tidak terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan, guru hanya memberi masalah dan situasi belajar kepada siswa. Siswa mengkaji fakta atau relasi yang terdapat pada masalah itu dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa temukan. Kegiatan penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru. Penemuan murni biasanya dilakukan pada kelas yang pandai. 2. Penemuan Terbimbing Pada pengajaran dengan penemuan terbimbing guru mengarahkan tentang materi pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau dialog, sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan rancangan guru. Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa harus dirancang secara jelas oleh guru. Pada pengajaran dengan metode penemuan, siswa harus benar-benar aktif belajar menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya. 3. Penemuan Laboratory Penemuan laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek langsung (media konkrit) dengan cara mengkaji, menganalisis, dan menemukan secara induktif, merumuskan dan membuat kesimpulan. Penemuan laboratory dapat diberikan kepada siswa secara individual atau kelompok.Penemuan laboratory dapat meningkatkan keinginan belajar siswa, karena belajar melalui berbuat menyenangkan bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain. D. Tahapan Pembelajaran Penemuan Terbimbing Tahap-tahap penggunaan model belajar penemuan dalam pembelajaran menurut Amien (1987) dapat diuraikan sebagai berikut: a. Tahap pertama adalah diskusi. Pada tahap ini guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk didiskusikan secara bersama-sama sebelum lembaran kerja siswa diberikan kepada siswa. Tahap ini dimaksudkan untuk mengungkap konsep awal siswa tentang materi yang akan dipelajari. b. Tahap kedua adalah proses. Pada tahap ini siswa mengadakan kegiatan laboratorium sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam lembar kerja siswa guna membuktikan sekaligus menemukan konsep yang sesuai dengan konsep yang benar. c. Tahap ketiga merupakan tahap pemecahan masalah. Setelah mengadakan kegiatan laboratorium siswa diminta untuk membandingkan hasil diskusi sebelum kegiatan laboratorium dengan hasil setelah laboratorium sesuai dengan lembaran kerja siswa hingga menemukan konsep yang benar tentang masalah yang ingin dipecahkan. D. Strategi-strategi dalam Pembelajaran Penemuan Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya. a. Strategi Induktif Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau “mungkin”. Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu (Cooney dan Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh pokok-pokok. Perhatikanlah strategi penemuan berikut ini : Guru : sekarang kita akan “menguji” hubungan yang merupakan tantangan matematika. Untuk memulai, mari kita mengikuti pernyataan berikut. 20 = 17 + 3 22 = 19 + 3 24 = 17 + 7 26 = 13 + 13 28 = 17 + 11 Apakah kalian mencatat pola dari pernyataan tersebut? Lala : “Bilangan di sisi kiri semua bilangan dua puluhan.” Guru : “Baik. Bagaimana dengan pertambahan di sebelah kanan?” Vivi : “Semuanya bilangan ganjil.” Guru : “Benar, tapi dapatkah kalian menyatakan yang lain tentangnya, di samping fakta bahwa itu bilangan ganjil?” Vivi : “Baik. Bilangan itu prima.” Guru : “Sangat bagus, dapatkah seseorang dari kalian meringkas pernyataan?” Anis : “Beberapa bilangan dua puluhan merupakan pertambahan dari dua bilangan prima.” Guru : “Apakah kalian berpikir ini akan berlaku untuk bilangan yang lain?” Aldi : “Aku tidak yakin.” Guru : “Mari kita coba untuk beberapa contoh, katakanlah 30 atau 10 atau 52.” Sari : “Tiga puluh sama dengan 27 ditambah 3.” Guru : “Apakah ini mengikuti pola yang sama Dian?” Dian : “Tidak, 27 bukan bilangan prima.” Sari : “Benar, aku lupa. 30 sama dengan 17 ditambah 13” Guru : “Bagaimanakah dengan 10 dan 52?” Vian : ”Sepuluh sama dengan 7 ditambah 3 dan 52 sama dengan 47 ditambah 5.” Guru : ”Baik, setiap siswa ambil tiga contoh bilangan lain dan cobalah. (berhenti). Sudahkah kalian menemukan dan dapatkah kalian mengungkapkannya?” Dude : “Empat sama dengan 2 ditambah 2, tapi 2 bukan bilangan prima yang ganjil.” Guru : “Bagaimana dengan 3 ditambah 1? Ini juga sama dengan 4.” Dude : “Satu bukan bilangan prima.” Guru : “O.K. Bagaimana dengan 6? Apakah ada yang sudah mencobanya?” Ita : “Itu mudah, 3 ditambah 3” Guru : “Apakah kalian sudah menyimpulkan mengenai bilangan genap dan bilangan prima ganjil?” Ida : “Baik, setiap bilangan genap yang lebih dari 4 adalah sama dengan pertambahan dua bilangan prima ganjil.” Guru : “Sangat bagus. Ini statemen yang sangat terkenal yang disebut dugaan Goldbach. Tidak seorangpun yang telah menemukan, meskipun matematikawan tidak mampu membuktikan itu. Untuk alasan ini kita cenderung percaya bahwa statemen ini benar.” b. Strategi deduktif Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Sebagai contoh, untuk menentukan rumus luas lingkaran, siswa dapat diarahkan untuk membagi kertas berbentuk lingkaran menjadi n buah sector yang sama besar, kemudian menyusunnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti persegi panjang dan rumus keliling lingkaran yang sudah diketahui sebelumnya, siswa akan dapat menemukan bahwa luas lingkaran adalah . Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif , kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran. Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan menggunakan determinan koefisien dari dua garis yang sejajar dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata atau intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari matematika. Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran dengan penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah. E. Aplikasi Pembelajaran Discovery Learning di Kelas a. Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning Seorang guru bidang studi, dalam mengaplikasikan metode discovery learning di kelas harus melakukan beberapa persiapan. Berikut ini tahap perencanaan menurut Bruner, yaitu: a) Menentukan tujuan pembelajaran. b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya). c) Memilih materi pelajaran. d) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi). e) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa. f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa (Suciati & Prasetya Irawan dalam Budiningsih, 2005:50). b. prosedur aplikasi discovery learning Adapun menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut: a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan). Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri (Taba dalam Affan, 1990:198). Tahap ini Guru bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah). Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). c) Data collection (pengumpulan data). Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidak hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literature, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya (Djamarah, 2002:22). d) Data processing (pengolahan data). Menurut Syah (2004:244) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis. e) Verification (pentahkikan/pembuktian). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Tahap generalitation/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Atau tahap dimana berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu (Djamarah, 2002:22). Akhirnya dirumuskannya dengan kata-kata prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi (Junimar Affan, 1990:198). F. Langkah-langkah Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Menurut Markaban (2006:16) agar pelaksanaan model pembelajaran penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut : a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah. b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS. c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya. d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya. Disamping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur. f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar. G. Peran Guru dalam Pembelajaran Discovery Learning Peran guru dalam penemuan terbimbing sering diungkapkan dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS ini biasanya digunakan dalam memberikan bimbingan kepada siswa menemukan konsep atau terutama prinsip (rumus, sifat) (PPPG, 2003:4). Perlu diingat bahwa model ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan tetapi hasil belajar yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pemahaman dan ’mengkonstuksi’ sendiri konsep atau pengetahuan tersebut (PPPG, 2004:5). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok- kelompok kecil, siswa berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi ini dapat berupa saling sharingatau siswa yang lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap materi matematika, juga akan dapat meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek penting dalam pembelajaran matematika. Menurut Burscheid dan Struve (Voigt ; 1996) belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu adanya social impuls di sekolah sehingga siswa dapat mengkonstruksikan konsep-konsep teoritis seperti yang diinginkan. Interaksi dapat terjadi antar guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa siswa, atau serentak dengan semua siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu untuk memecahkan masalah. Pembelajaran dengan penemuan, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan siswa juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berfikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi (Slavin, 1994).Namun dalam proses penemuan ini siswa mendapat bantuan atau bimbingan dari guru agar mereka lebih terarah sehingga baik proses pelaksanaan pembelajaran maupun tujuan yang dicapai terlaksana dengan baik. Bimbingan guru yang dimaksud adalah memberikan bantuan agar siswa dapat memahami tujuan kegiatan yang dilakukan dan berupa arahan tentang prosedur kerja yang perlu dilakukan dalam kegiatan pembelajaran (Ratumanan, 2002). Penemuan terbimbing yang dilakukan oleh siswa dapat mengarah pada terbentuknya kemampuan untuk melakukan penemuan bebas di kemudian hari (Carin, 1993b).Kegiatan pembelajaran penemuan terbimbing mempunyai persamaan dengan kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan proses. Kegiatan pembelajaran penemuan terbimbing menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui kegiatan penyelidikan, menemukan konsep dan kemudian menerapkan konsep yang telah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan kegiatan belajar yang berorientasi pada keterampilan proses menekankan pada pengalaman belajar langsung, keterlibatan siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, dan penerapan konsep dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian bahwa penemuan terbimbing dengan keterampilan proses ada hubungan yang erat sebab kegiatan penyelidikan, menemukan konsep harus melalui keterampilan proses. Hal ini didukung oleh Carin (1993b: 105), “Guided discovery incorporates the best of what is known about science processes and product.” Penemuan terbimbing mamadukan yang terbaik dari apa yang diketahui siswa tentang produk dan proses sains. Model pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya. Model discovery (penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode penemuan terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan) terbimbing (guided discovery). H. Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Penemuan Memperhatikan Model Penemuan Terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Kelebihan dari Model Penemuan Terbimbing adalah sebagai berikut (Marzano; 1992): a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan. b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan). c. Mendukung kemampuan problem solving siswa. d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. e. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya. f. Siswa belajar bagaimana belajar (learn how to learn). g. Belajar menghargai diri sendiri. h. Memotivasi diri dan lebih mudah untuk mentransfer. i. Pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat. j. Hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya k. Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas. l. Melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain. Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut : a. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama. b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah. c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing.