kepastian hukum kepemilikan tanah kapling

advertisement
TESIS
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN
TANAH KAPLING
I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI
NIM. 1192461028
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN
TANAH KAPLING
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI
NIM. 1192461028
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA
TANGGAL :
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH
NIP. 1955126 198511 1 001
Dr. I Gede Yusa, SH.,MH
NIP.19610720 198609 1 001
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H
NIP. 19650221 199003 1 005
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K).
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal : 09 Mei 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1279/UN14.4/HK/2014
Ketua
: Prof . Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH.
Anggota
:
1. Dr. I Gede Yusa, SH., MH
2. Prof. Dr. I Made Arya Utama., SH., MH
3. Dr. I Made Sarjana, SH., MH
4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
: I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI
NIM
: 1192461028
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Kapling
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat.
Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 29 April 2014
Yang Membuat Pernyataan,
I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI
NIM. 1192461028
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Adapun judul tesis ini adalah “Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Kapling”. Dalam
penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan
penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar
Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH.,
selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. I Gede Yusa,
SH., MH selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan semangat, bimbingan dan
saran selama penulis menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PDKEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas kesempatan yang diberikan
untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)
selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH selaku dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk
vi
mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH selaku
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang
telah memberikan ilmu kepada penulis. Terimakasih kepada Dr. I Made Sarjana, SH., MH
selaku penguji II, beserta Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH selaku penguji III, yang telah
memberikan informasi serta masukan yang berkaitan dengan penulisan tesis ini, serta
Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas
Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga
penulis tujukan kepada Ayah tercinta I Gusti Putu Adi Wibawa, SH., dan Ibu Dra. Ni Luh
Putu Diana, MM., serta adik-adik tersayang I Gusti Agung Dwi Satya Permana, dan I Gusti
Agung Yudha Prasetya, beserta seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya
selama ini
Terimakasih kepada I Gusti Agung Gede Gifta Pridana, SE., yang selalu sabar dan
tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada
sahabat Putu Helena Evie OS, SH., Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanthi, SH., Ketut Mita
Arishanti, SH., Ida Ayu Ngurah Putri Widyantari, SH., Ni Luh Putu Swandewi, SH., I
Gusti Ngurah Budi Wardhiana, SH., Anak Agung Ade Jaya Wibawa ,SH., Kadek Oka
Widiantara, SH., serta seluruh teman-teman Angkatan II Magister Kenotariatan Universitas
Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis
ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua.
vii
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah
kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 29 April 2014
Penulis
viii
ABSTRAK
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH KAPLING
Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara atau metode penjualan tanah yang
dilakukan oleh pemilik modal dengan motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Di
masyarakat berkembang suatu teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan
tanah, namun UUPA Pasal 19 mengenai pendaftaran tanah tidak mengenal pengkaplingan
tanah, kemudian dalam peraturan pelaksananya yakni PP Nomor 24 Tahun 1997 dalam
hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah hanya mengenal dua karakter peralihan hak
atas tanah yang dapat didaftarkan yakni diatur dalam Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat
(1), tidak menyebutkan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional
tidak mengenal pengkaplingan tanah. Demikian juga Kantor Badan Pertanahan hanya
menerima pendaftaran tanah dengan pemecahan dan pemisahan. Oleh karena belum
diaturnya model atau sistem pengkaplingan, maka terjadi norma kosong atau dengan lain
perkataan tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Dengan belum adanya aturan khusus
yang mengatur pengkaplingan tanah tentunya akan menimbulkan pertanyaan pengaturan
pengkaplingan tanah di Indonesia serta bagaimana kepastian hukum kepemilikan tanah
kapling.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni terdapat kekosongan
norma. UUPA serta PP Nomor 24 Tahun 1997, belum mengenal teknik penjualan bidang
tanah dengan cara pengkaplingan. Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai
pengkaplingan bidang tanah sudah pasti tidak memberikan kepastian hukum bagi pihakpihak yang terlibat dalam pengkaplingan bidang tanah tersebut. Bahan hukum yang
digunakan ialah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenyataannya di masyarakat ada suatu
kebutuhan yang nyata dan mendesak dalam bidang pertanahan yakni pengkaplingan tanah,
namun belum adanya pengaturan yang jelas yang mengatur tanah kapling di Indonesia,
sehingga jaminan kepastian hukum terhadap tanah kapling juga belum jelas. Kepastian
hukum lahir setelah tanah tersebut didaftarkan, walaupun demikian tetap harus segera
dilakukan pembaharuan dalam bidang hukum agraria yakni UUPA sebagai induk peraturan
dalam hukum agraria, atau dibuatkan Undang-undang ataupun Peraturan Pelaksana yang
mengatur secara jelas dan pasti mengenai pengkaplingan tanah. Dengan peraturan hukum
yang jelas dan pasti tersebut sudah pasti akan menjamin kepastian hukum. Akhirnya,
hukum harus dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Kata kunci: kepastian hukum, tanah kapling, kepemilikan.
ix
ABSTRACT
LEGAL CERTAINTY OF PLOT OF LAND OWNERSHIP
Division into ploting of land is essentially a way or method of land sale by capital
owners with economic motives for profits. A technique selling a land by dividing into lots is
developing in the society, which they namely plotting of land, however Article 19 of UUPA
on land registration does not include division into ploting of land, then in its
implementation regulations, namely Government Regulation Number 24 of 1997 in its
relation about registration of land, it is only recognized two characters of transfer of land
rights which can be registered, namely regulated in Article 48 paragraph (1) and Article
49 paragraph (1); None of the regulations mentions the term about plot of land, or in
other words, the National Land Law does not recognize divisions into ploting of land. Land
Office only accepts registration of land with splitting and separation. As the model or the
system of division into ploting of land has not been governed, then there is an empty norm
or in other words there are no specific rules on this subject. Since there are no specific
rules governing land divisions, it will certainly raise a question on divisions into ploting of
land in Indonesia and how the legal certainty of ownership about plot of land.
The type of this research is a normative legal research, namely, there is a vacant of
norm. UUPA as well as Government Regulation Number 24 of 1997 do not recognize sale
technique through divisions into plot of land. As there are no regulations governing land
divisions, it certainly does not provide any legal certainty for the parties involved in the
divisions into plot of land. The legal materials applied are primary legal materials,
secondary legal materials and tertiary legal materials.
The results of this research indicates that there is a real and urgent needs in the
society in the field of land, namely, divisions into ploting of land, but there is no clear
regulation governing plot o0f land in Indonesia, so the legal guarantee of the plot of land
is not clear either. Legal certainty born after the land is registered, however then, it is
necessary to have law reform in the field of agrarian law, namely, UUPA as the main rule
in the agrarian law, or the Law or Implementing Regulations are made which clearly and
definitely govern the division into ploting of land. Under the clear and definite rule of law
will certainly ensure legal certainty. Finally, the law must be able to create peace and
prosperity for all people of Indonesia.
Keywords : legal certainty, plot of land, ownership.
x
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai kepastian hukum kepemilikan tanah kapling yang
saat ini marak dan digemari sebagai salah satu cara penjualan bidang tanah di Indonesia,
namun ternyata baik dalam UUPA maupun PP No.24 Tahun 1997 tidak mengatur
mengenai model atau sistem pengkaplingan tanah. Oleh karena belum diaturnya model
atau sistem pengkaplingan, maka terjadi norma kosong atau dengan lain perkataan tidak
ada aturan khusus mengenai hal ini.
Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah adanya kekosongan norma, oleh
karena belum diaturnya model atau sistem pengkaplingan tanah tersebut. Tujuan
diundangkannya UUPA ialah memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan tidak diaturnya pengkaplingan tanah berarti tidak
ada kepastian hukum. UUPA melalui peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997
dalam hubungannya dengan pendaftaran Kantor Badan Pertanahan hanya mengenal 2 (dua)
peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 48
ayat (1) mengenai pemecahan dan Pasal 49 ayat (1) mengenai pemisahan, dan tidak
menyebutkan istilah pengkaplingan. Dengan kata lain pengkaplingan bukanlah suatu
teknik atau tata cara yang diatur dalam UUPA maupun PP No. 24 Tahun 1997. Dalam hal
ini berarti adanya suatu norma kosong, yang tentunya akan berakibat pada kepastian
hukum kepemilikan tanah kapling. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pada
sub bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian yang digunakan.
Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai teori dan konsep hak milik,
pengkaplingan bidang tanah dan jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan menjadi 3
(tiga) sub bab. Sub bab pertama menguraikan hak milik atas bidang tanah, yang di bagi
menjadi 2 (dua) sub sub bab yakni: sifat dan ciri hak milik atas tanah; dan subyek hak
milik atas tanah. Sub bab kedua mengenai pengkaplingan bidang tanah, dan sub bab ketiga
mengenai jual beli hak milik atas tanah.
Bab III menguraikan pembahasan terhadap rumusan permasalahan pertama yang
diuraikan dalam 4 (empat) sub bab, sub bab pertama menguraikan pengaturan tanah
kapling di Indonesia serta mengenai kepemilikan bidang tanah kapling, sub bab kedua
menguraikan tentang prosedur pengkaplingan bidang tanah, sub bab ketiga menguraikan
jual beli hak atas tanah dalam hubungannya dengan pengkaplingan, yang dibagi menjadi 2
(dua) sub sub bab yakni jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan
bidang tanah, dan jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan
bidang tanah, sub bab keempat menguraikan mengenai pengkaplingan tanah yang
dilakukan oleh badan hukum.
Bab IV menguraikan pembahasan rumusan permasalahan kedua yang diuraikan
dalam 2 (dua) sub bab. Sub bab pertama ialah menguraikan mengenai pendaftaran tanah
xi
sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sub bab kedua
menguraikan mengenai tata cara pendaftaran peralihan hak tanah kapling.
Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran.
Adapun kesimpulan pembahasan diatas adalah : belum adanya pengaturan yang jelas yang
mengatur tanah kapling di Indonesia. UUPA yang dibentuk pada tahun 1960 tampaknya
pada saat itu belum mengenal sistem dan tata cara pengkaplingan tanah, yang saat ini
menjadi suatu yang digemari dalam hal jual beli bidang tanah di masyarakat. UUPA (Pasal
19) melalui peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 mengatur
mengenai pemecahan dan Pasal 49 mengatur mengenai pemisahan. Jika dilihat sistem
pengkaplingan tanah lahir dari pemikiran Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997 mengenai
pemecahan, dan Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pemisahan. Namun walaupun
demikian, dengan Pasal 48 dan Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 saja tidak cukup
memberikan kejelasan mengenai pengkaplingan tanah. Oleh sebab itu kiranya perlu adanya
aturan yang jelas mengenai pengkaplingan bidang tanah di Indonesia. Kepastian hukum
terhadap tanah kapling lahir setelah didaftarkan tanah tersebut. Namun walapun demikian
dengan belum adanya pengaturan yang jelas mengatur tentang pengkaplingan tanah,
kepastian hukum terhadap tanah kapling juga belum jelas, maka menimbulkan kevakuman
hukum atau norma kosong. Oleh sebab itu secepatnya perlu diterbitkan Peraturan
perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum mengenai tanah kapling. Adanya
kepastian hukum maka akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI 1945.
xii
DAFTAR ISI
JUDUL
HALAMAN
SAMPUL DALAM ...........................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR ...............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................
vi
ABSTRAK ........................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN ...................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang Masalah .............................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah .....................................................................
16
1.3.
Tujuan Penelitian ......................................................................
16
a. Tujuan Umum .....................................................................
16
b. Tujuan Khusus .....................................................................
16
Manfaat Penelitian ....................................................................
17
a. Manfaat Teoritis .................................................................
17
b. Manfaat Praktis ...................................................................
18
Landasan Teoritis ......................................................................
19
1.4.
1.5.
xiii
1.6.
Metode Penelitian ......................................................................
58
a. Jenis Penelitian ....................................................................
58
b. Jenis Pendekatan .................................................................
60
c. Sumber Bahan Hukum .......................................................
62
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..................................
63
e. Teknik Analisis Bahan Hukum ..........................................
63
BAB II TEORI DAN KONSEP HAK MILIK, PENGKAPLINGAN
BIDANG TANAH DAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS
TANAH ................................................................................................
65
2.1.
Hak Milik Atas Bidang Tanah ...................................................
65
2.1.1. Sifat dan Ciri Hak Milik Atas Tanah .............................
78
2.1.2. Subyek Hak Milik Atas Tanah .......................................
82
2.2.
Pengkaplingan Bidang Tanah ...................................................
84
2.3.
Jual Beli Hak Milik Atas Tanah .................................................
92
BAB III PENGATURAN TANAH KAPLING DI INDONESIA ................ 106
3.1
Pengaturan Tanah Kapling di Indonesia ................................... 106
3.2
Prosedur Pengkaplingan Bidang Tanah .................................... 119
3.3
Jual Beli Hak Atas Bidang Tanah Dalam Hubungannya
Dengan Pengkaplingan ............................................................... 132
3.4
3.3.1
Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan
Terjadinya Pemecahan Bidang Tanah ........................... 141
3.3.2
Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan
Terjadinya Pemisahan Bidang Tanah ............................ 143
Pengkaplingan Bidang Tanah Yang Dilakukan Oleh Badan
Hukum ...................................................................................... 144
xiv
BAB IV PENDAFTARAN TANAH SEBAGAI BENTUK JAMINAN
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TANAH KAPLING .......... 151
4.1.
Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan
Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah .................. 151
4.2.
Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling .............. 165
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 178
5.1.
Kesimpulan ................................................................................ 178
5.2.
Saran-saran ................................................................................ 178
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 180
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2034.
Undang-Undang ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang
Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) sudah berlaku sejak tahun 1960,
namun ternyata di dalam UUPA tersebut tidak mengatur mengenai model atau
sistem pengkaplingan tanah. Oleh karena belum diaturnya model atau sistem
pengkaplingan tersebut, maka terjadi norma kosong atau dengan lain perkataan
tidak ada aturan khusus mengenai hal ini.
Salah satu tujuan dari diundangkannya UUPA yang termuat dalam
Penjelasan Umum yakni meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dengan tidak
diaturnya mengenai pengkaplingan berarti tidak ada kepastian hukum terhadap
orang-orang yang membeli tanah dengan cara mengkapling. Oleh sebab itu
dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian serta berpotensi menimbulkan
pelanggaran hukum. Adanya keragaman kepentingan antar individu maupun
kelompok seringkali menimbulkan terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat.
Sebagian dari konflik tersebut berkembang menjadi sengketa, terutama apabila
pihak yang merasa haknya telah dilanggar menyatakan rasa tidak puas kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Politik
2
hukum agraria dalam hal ini harus membuat peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pengkaplingan bidang tanah.
Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara penjualan tanah yang
dilakukan oleh pemilik modal dengan motif ekonomi untuk mendapatkan
keuntungan yang diharapkan. Sebagai akibat derasnya pembangunan dan besarnya
kebutuhan akan lahan untuk hunian.
Meningkatnya kebutuhan akan lahan hunian dimasyarakat mengakibatkan
meningkat pula nilai serta harga tanah. Atas dasar itu semakin tinggi nilai harga
tanah tersebut mengakibatkan semakin meningkat transaksi-transaksi yang
berhubungan dengan tanah. Salah satu akibat dari semakin meningkatnya
transaksi tanah tersebut adalah kurangnya kemampuan pembeli untuk membeli
bidang tanah dalam ukuran yang luas untuk tempat tinggalnya. Akibat
berkurangnya daya beli masyarakat untuk membeli lahan yang luas tersebut,
sehingga pemegang hak atas tanah dan/atau penjual akan sulit menemukan
pembeli tanahnya. Hal ini dikarenakan luas tanah yang akan ditransaksikan sangat
luas maka harga jual dari tanah tersebut tentunya akan tinggi sekali, maka
kemungkinan mendapatkan pembeli sangatlah sulit, dan apabila ada yang
berminat membeli tanah tersebut tentunya penawaran yang dilakukan akan berada
di bawah harga pasar atau harga sesungguhnya.
Sesuai dengan perkembangan jaman, penjualan bidang tanah oleh
pemegang hak dan/atau pemilik modal ialah untuk mendapatan keuntungan yang
lebih maka dipergunakanlah teknik-teknik atau cara-cara marketing modern,
sehingga pembeli yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal ataupun
3
kepentingan
bisnis
dengan
mudah
mendapatkan
tanah
sesuai
dengan
kebutuhannya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan cara penjualan yang
disebut pengkaplingan tanah. Bisnis jual beli tanah yang banyak dilakukan oleh
para pemodal dan/atau pemegang hak atas tanah adalah dengan cara melakukan
pengkaplingan bidang tanah. Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara atau
metode penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik modal dengan motif
ekonomi untuk mendapatkan keuntungan lebih yang diharapkan.
Penjualan bidang tanah dengan teknis atau cara melakukan pengkaplingan
dalam bentuk mempetak-petakkan bidang tanah semakin menjadi trend tersendiri
dalam bisnis jual beli tanah. Tanah kapling ini sering disebut dengan tanah matang
atau tanah siap bangun, yakni pemegang hak atas tanah atau pengembang telah
menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual sehingga tampak menarik dengan
berbagai fasilitas yang dijanjikan. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Pasal 1 angka 17
disebutkan : “Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah
dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan,
penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan
dan lingkungan.”
Pengertian pangkaplingan dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan
Tanah dimuat dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 10
(selanjutnya disebut Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005). Pasal 1 angka 7
4
Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 menyebutkan: “Pengkaplingan adalah
pemecahan tanah menjadi bidang tanah yang telah dipersiapkan yang dilakukan di
kawasan permukiman, kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dengan
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 30%, kawasan prasarana perdagangan dan jasa
yang dimaksudkan untuk pembangunan perumahan/permukiman, pertokoan,
perdagangan dan jasa.”
Keterkaitan antara Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 dengan kapling
apabila dilihat dari istilah tanah kapling yang semakin populer di masyarakat
memberikan pengertian bahwa suatu bidang tanah dapat dibeli sebagian atau
dengan ukuran sesuai dengan kehendak dari pembeli. Secara umum suatu bidang
tanah dapat dipisah-pisah dan/atau dipecah-pecah hak yang melekat padanya
menandakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah dengan peruntukan
perumahan yang berada dalam kawasan permukiman. Hal ini selaras dengan
bagian menimbang dalam Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 huruf b yaitu
bahwa peruntukan lahan untuk kepentingan perumahan dan pemukiman,
perdagangan dan jasa yang dilaksanakan melalui pengkaplingan tanah perlu
dilakukan pengawasan dan pengendalian agar lebih berdaya guna dan berhasil
guna melalui pengaturan Perijinan Peruntukan Penggunaan Tanah.
Selain dapat peraturan perundang-undangan, istilah kapling juga dapat
ditemui Kamus Lengkap Bahas Indonesia. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, istilah kapling diartikan sebagai: “Bagian tanah yang dipetak-petakkan
5
dengan ukuran tertentu (biasanya dipersiapkan untuk bangunan; kapling siang
bangun: petakan-petakan tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan.”1
Selanjutnya menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition
memberikan pengertian mengenai kapling dan kapling tanah matang. Pengertian
kapling dan kapling tanah matang sebagaimana disebutkan dalam Kamus Hukum
Dictionary of Law Complete Edition bahwa :
Kaveling adalah kapling; persil; sebidang tanah; sebidang tanah dengan
ukuran tertentu yang telah dikonversikan oleh kantor agraria (H. Perdata) plot
of land (ing).
Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai
dengan persyaratan pebakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan
tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian untuk membangun bangunan (H. Agraria).2
Peralihan hak atas tanah baik melalui jual beli maupun dengan perbuatan
hukum perdata atas tanah lainnya, pada umumnya telah diatur dalam undangundang, yang dalam hal ini adalah UUPA dan peraturan pelaksananya. UUPA
memberikan kewenangan atau hak kepada pemilik tanah untuk memanfaatkan
tanah miliknya semaksimal mungkin, termasuk di dalamnya melakukan perbuatan
hukum peralihan hak atas tanah. Kewenangan inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh pemegang hak atas tanah untuk melakukan peralihan hak atas tanahnya
kepada pihak lain yang memerlukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis
yang diharapkan.
Sebagaimana dipahami dalam UUPA Pasal 21 bahwa status subyek
menentukan status tanah yang boleh dikuasai seperti misalnya untuk Warga
1
R. Sutoyo Bakir, 2009, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Edisi
Terbaru), Karisma Publishing Group, Tangerang, hal. 257.
2
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law
Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, hal. 326.
6
Negara Indonesia dapat memegang hak milik atas tanah, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, serta hak pengelolaan, sedangkan untuk badan hukum
Indonesia dapat memiliki hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai serta hak pengelolaan. Dengan beralas hak yang dimiliki
tersebut pemegang hak dapat memanfaatkan haknya semaksimal mungkin sesuai
dengan peruntukannya. Setiap pemegang hak atas tanah yang merupakan subyek
hukum berhak untuk melakukan perbuatan hukum atas tanahnya, asalkan
perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang diperbolehkan. Demikian pula
adalah merupakan hak dari pemilik tanah untuk mengalihkan haknya kepada
pihak lain, asalkan subyek hukumnya baik yang melepaskan haknya maupun yang
akan menerima hak oleh undang-undang dianggap cakap dan berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum tersebut, dan objek peralihan tersebut dibenarkan
oleh undang-undang serta dapat dialihkan kepemilikannya.
Seperti yang telah disebutkan di atas, pada umumnya pengkaplingan ialah
suatu cara menjual bidang tanah atau cara mempromosikan benda, dalam hal ini
benda tidak bergerak, sehingga dari cara ini diharapkan dapat mendongkrak harga
atau nilai jual tanah tersebut. Selain itu pula tanah kapling sering juga disebut
sebagai tanah matang atau tanah siap bangun. Pemilik tanah atau pengembang
telah menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual dengan dilengkapi dengan
fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dijanjikan menjadi tampak menarik,
sehingga mampu menaikkan harga jual tanah tersebut. Pengkaplingan bukanlah
suatu teknik atau tata cara yang diatur di dalam UUPA. Dari sini maka akan
7
timbul pertanyaan di Kantor Badan Pertanahan Nasional, apakah definisi dari
kapling bidang tanah, adakah kapling bidang tanah tersebut di dalam UUPA.
Guna menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan bidang tanah,
UUPA sendiri memerintahkan pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan
haknya. Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA Pasal 19, yang dilaksanakan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah
yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28,
dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 59. Kedua peraturan ini ialah merupakan pelaksanaan
Pendaftaran Tanah dalam rangka Recht Kadaster yang bertujuan memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah untuk
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli
ialah memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai objek perbuatan hukum
yang dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.
Kantor Badan Pertanahan dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang
tanah hanya mengenal 2 (dua) jenis peralihan hak atas tanah yang dapat
didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut PP No. 24
Tahun 1997) mengenai Pendaftaran Tanah :
(1)
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan
bidang tanah
8
(2)
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan
bidang tanah.
Kedua karakter tersebut memiliki unsur-unsur dan sifat yang berbeda baik dalam
persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum itu sendiri.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa Kantor Badan Pertanahan selain
mempunyai tugas dan kewenangan untuk melakukan perumusan kebijakan yang
berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun perundangundangan lainnya, juga bertugas untuk menerima pendaftaran peralihan hak atas
tanah dan selanjutnya menerbitkan sertipikat haknya hanya menerima
permohonan pendaftaran penerbitan sertipikat hak atas tanah baik yang dilakukan
dengan cara pemecahan maupun pemisahan bidang tanah sebagaimana diatur
dalam PP No. 24 Tahun 1997, dan tidak menyebutkan perbuatan hukum tersebut
dengan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional tidak
mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan pengkaplingan tanah.
Dalam hal ini berarti adanya suatu norma kosong, yang tentunya akan berakibat
pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling.
Sebagai contoh Pemerintah Kota Denpasar dalam rangka melakukan
penataan
pembangunan
perumahan
dan
pemukiman
yang
berwawasan
lingkungan, termasuk didalamnya menata dan mengatur tentang peruntukan dan
pemanfaatan tanah telah menerbitkan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 396
Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Pengkaplingan Tanah di Kota Denpasar.
Keputusan Walikota ini mengatur tentang ijin pengkaplingan yang harus dipenuhi
oleh orang-perorangan maupun badan usaha sebelum melakukan pengkaplingan
9
tanah di wilayah Kota Denpasar. Selanjutnya dibuatlah Perda Kota Denpasar No.
6 Tahun 2005. Dalam Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 lebih lengkap
dijelaskan pengaturan mengenai pengkaplingan sampai pada sanksi-sanksi
pidananya. Padahal apabila diurut dalam UUPA Pasal 19 yang mengatur tentang
pendaftaran tanah, kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961,
yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan pada kantor Badan
Pertanahan ialah dengan pemecahan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dan/atau
dengan pemisahan Pasal 49, tidak disebutkan istilah kapling. Lantas bagaimana
kapling menjadi suatu tren dalam bisnis jual beli hak atas tanah di masyarakat.
Selain itu banyaknya pelaku pengkaplingan bidang tanah menimbulkan
problem tersendiri, permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, dalam
beberapa kasus banyak pembeli yang membeli tanah kapling, yang telah beritikad
baik dengan membeli sesuai prosedur yang berlaku, namun tidak dapat menerima
sertipikat tanda bukti haknya, sehingga berakibat tidak dapat membangun di atas
tanah yang dibelinya karena tidak mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan
dari instansi yang berwenang. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan peralihan
hak atas tanah dengan cara pengkaplingan banyak menimbulkan konflik atau
masalah, dan seringkali konflik atau masalah tersebut lebih banyak merugikan
masyarakat pembeli tanah kapling.
Dari pemaparan di atas nampaknya banyak yang terjadi akibat
dilakukannya pengkaplingan tanah. Tanah bagi orang Indonesia merupakan
masalah yang pokok. UUPA yang diundangkan pada masa masyarakat agraris,
10
yang kini telah berusia 54 (lima puluh empat tahun) dan telah diundangkan
peraturan-peraturan pelaksana sebagai pelaksanaan UUPA, tetapi tampaknya
pelaksanaanya
masih
banyak
mengandung kekurangan
dan
kelemahan-
kelemahan. Seiring dengan perkembangan jaman dengan adanya perubahan pola
agraris beralih pada pola pembangunan ekonomi industri, bertambahnya jumlah
penduduk di Indonesia, namun keberadaan tanah tidak bertambah, hal dengan
otomatis akan berpengaruh pada usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal
sebagai salah satu kebutuhan pokok. Meningkatnya transaksi jual beli tanah
sebagai usaha pemenuhan kebutuan tempat tinggal, tetapi keberadaan tanah statis,
mengakibatkan harga tanah terus meninggi, kemudian dengan perkembangan
jaman dipergunakanlah teknik-teknik yang disebut pengkaplingan tanah, di mana
pembeli akan lebih mudah mendapatkan tanah dengan harga yang sesuai, dan
dengan luas yang diinginkan.
Pengkaplingan tanah yang marak terjadi saat ini ialah sebagai suatu
pemikiran
penjual
dengan
cara-cara
marketing
untuk
memudahkannya
mendapatkan pembeli yang akan membeli tanahnya. Tentunya pada masa 1960
belum dikenal teknik pengkaplingan tanah. Perlu diingat falsafah UUPA ialah
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun harus
dikaitkan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD RI 1945 : “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu
dirasakan perlu diadakan pemikiran-pemikiran kearah pembaharuan dalam bidang
agraria atau masih perlu diterbitkan lagi peraturan pemerintah pelaksana undang-
11
undang dalam bidang Agraria, khususnya dalam hal ini ialah yang mengatur
mengenai pengkaplingan tanah dan juga mengenai hak milik.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya
peralihan hak atas tanah dengan cara pengkaplingan dan semakin banyaknya
pelaku bisnis pengkaplingan tanah, maka penelitian ini dirasakan perlu untuk
dilakukan. Persoalan menarik dapat dijumpai dalam hal ini yang berkaitan dengan
proses pendaftaran peralihan hak milik atas tanahnya, yang dilanjutkan dengan
penerbitan tanda bukti hak atas tanah yang terlebih dahulu dilakukan proses
pengkaplingan.
Kiranya kepastian hukum kepemilikan tanah kapling merupakan
permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan objek penelitian.
Melalui penelitian ini nantinya diharapkan dapat diketahui apa sebenarnya
pengkaplingan bidang tanah itu, serta ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
peralihan hak milik atas tanah yang dilakukan dengan cara pengkaplingan.
Persoalan lain yang dapat dijumpai adalah berkaitan dengan konflik-konflik serta
masalah yang ditimbulkan dari adanya penjualan tanah kapling, dan bagaimana
proses pemegang hak atas tanah dan/atau pemodal dalam melakukan bisnis
pengkaplingan bidang tanah.
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena
belum ada penelitian secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun
demikian ada sejumlah tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial.
Setelah ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui
penelusuran dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang
12
menyangkut tanah kapling. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain
yang tidak sama dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Pertama, tesis yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Kapling Siap Bangun di Perumahan Bukit Semarang Baru di Kota
Semarang”, penelitian dilakukan tahun 2006 oleh Ika Afla Emalia, SH, Tesis
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan
rumusan masalah sebagai berikut: pertama, bagaimana pelaksanaan perjanjian
pengikatan jual beli kapling siap bangun di perumahan Bukit Semarang Baru di
Kota Semarang; kedua, bagaimana jika terjadi pengalihan hak kepihak lain;
ketiga, bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak bila kedudukannya
dirugikan. Simpulannya ialah: pertama, pelaksanaan perjanjian pengikatan jual
beli kapling siap bangun di perumahan Bukit Semarang Baru di kota Semarang
dibuat dengan perjanjian baku yang diberi titel Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Rumah Disain Mandiri, perjanjian ini dibuat di bawah tangan dan terdapat syaratsyarat yang memberatkan pembeli. Kedua, jika pembeli tidak dapat memenuhi
menyelesaikan kewajibannya membangun rumah dalam waktu 51 (lima puluh
satu) bulan maka penjual dapat membatalkan atau memutuskan perjanjian secara
sepihak atau memberi kesempatan penjual untuk mengalihkan sendiri kepada
pihak lain, tetapi jika pembeli sulit mencari pembeli lain, maka dalam praktek
yang mengalihkan bukan pembeli tetapi penjual/pengembang sendiri, hal tersebut
dituangkan dalam Perjanjian dengan Addendum. Ketiga, Perlindungan Hukum
Apabila apabila terjadi wanprestasi: rescluding, reconditioning, restructuring dan
mengalihkan Rumah Disain Mandiri.
13
b) Kedua, tesis yang berjudul “Perolehan Tanah Titisara Untuk
Penyediaan Kapling Siap Bangun Melalui Tukar Guling Di Desa Jungjang Wetan
Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon”, penelitian dilakukan tahun 2010
oleh Ana Widanarti, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro Semarang, dengan rumusan masalah: pertama, proses perolehan tanah
titisara hingga statusnya berubah sebagai akibat dari tukar guling; kedua,
hambatan pelaksanaan tukar guling apabila ada salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya; ketiga, upaya-upaya yang dilakukan agar tujuan dari pembukaan
kapling siap bangun dapat tercapai. Simpulannya yakni: pertama, proses tukar
guling atas tanah ”titisara” di Desa Jungjang Wetan mengakibatkan perubahan,
penggunaan dan peruntukkan hak atas tanah ”titisara” (Tanah Kas Desa). Proses
tukar guling dimulai dari tingkat desa yaitu dengan mengadakan musyawarah
desa. Adanya musyawarah desa menunjukkan bahwa ditingkat desa tidak
berkeberatan dan menyetujui adanya tukar guling. Setelah dilakukannya
musyawarah desa maka proses selanjutnya adalah mendapatkan persetujuan
tertulis dari Bupati dan Gubernur.
Pemindahtanganan tanah ”titisara” kepada pihak swasta, mengakibatkan
pengalihan fungsi tanah ”titisara” yang merubah fungsi publik atas negara
menjadi kapling-kapling yang bersifat privat. Tukar guling atas tanah ”titisara”
menyebabkan perubahan status tanah ”titisara”, maka setiap terjadi perubahan
terhadap status tanah tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. Kedua, jika
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka hambatan yang terjadi ialah
dalam hal perolehan tanah titisara untuk penyediaan kapling siap bangun melalui
14
tukar guling ini, adalah belum disertipikatkannya tanah pengganti untuk tanah
desa milik Desa Jungjang Wetan. Hal tersebut jelas membawa kerugian yang
besar bagi pihak desa. Ketiga, upaya yang dilakukan agar tujuan dari pembukaan
kapling siap bangun dapat tercapai ialah melakukan kerjasama dengan investor
lain, sehingga diharapkan dapat membantu dalam hal pendanaan. Pensertipikatan
tanah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat kewajiban pemohon
(pihak pengembang), harus mensertipikatkan tanah yang menjadi tanah kas desa
dan tanah untuk kapling tersebut.
c) Ketiga, tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kepemilikan
Kapling Tanah Makam Modern di Kabupaten Semarang”, penelitian dilakukan
tahun 2007 oleh RR. Hindrati Dwiwisudyani, SH, Tesis Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan rumusan masalah yang
diangkat ialah: pertama, hak dan kewajiban apakah yang timbul dari perjanjian
kepemilikan kapling tanah makam modern; kedua, hambatan apa sajakah yang
timbul dari perjanjian kepemilikan kapling tanah makam modern; ketiga,
bagaimanakah upaya untuk mengatasi hambatan yang timbul dari perjanjian
kepemilikan kapling tanah modern. Simpulan yakni: pertama, hak dan kewajiban
konsumen kapling tanah makam konsumen selaku pembeli mempunyai hak
memperoleh Seripikat Kepemilikan Tanah Makam (selanjutnya disebut SKTM)
dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, memperpanjang SKTM dengan
perjanjian baru, memindahtangankan SKTM, memperoleh fasilitas pemeliharaan
taman, sedangkan kewajiban konsumen, membayar harga tanah sesuai dengan tipe
makam yang dibeli dan membayar dana perawatan. Hak dan kewajiban
15
Pengembang dalam hal ini selaku pengelola. Hak dari pengembang adalah
menerima pembayaran atas pembelian kapling tanah makam sesuai dengan tipe
makam yang ditawarkan. Sedangkan kewajibannya adalah mengeluarkan SKTM
untuk menjamin kepastian hukum atas tanah makam yang dibeli oleh konsumen,
perawatan taman, serta keamanan tanah makam.
Kedua, hambatan yang timbul, yakni belum dikeluarkannya ijin
operasional pengelolaan makam oleh Pemerintah Kabupaten Semarang, yang
disebabkan adanya ketidaksesuaian antara aturan yang berlaku dengan kegiatan
yang ditawarkan pengembang makam dalam pengelolaan makam kepada
konsumen, sehingga realisasi pemberian kepastian hukum berupa SKTM belum
dapat dilaksanakan. Ketiga, upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan
tersebut, dari pihak Pemerintah hendaknya segera menerbitkan ijin operasional
bagi Pengembang, agar dalam melakukan operasional pengelolaan makam,
pengembang memiliki kepastian hukum. Sedangkan bagi pihak pengembang
dapat melakukan upaya melengkapi dan menyesuaikan berkas permohonan ijin
operasional, agar supaya ijin operasional dapat disahkan secepatnya.
Bahwa tesis-tesis yang telah penulis uraikan di atas sangat berbeda dengan
penulisan tesis ini yang menyangkut kajian yuridis normatif. Walaupun pernah
dilakukan oleh penulis-penulis lainnya, tetapi lokasi dan cakupan penelitiannya
berbeda. Sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
16
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana disampaikan di atas,
dalam penulisan ini akan dibatasi pada permasalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan pengkaplingan tanah di Indonesia?
2. Bagaimana jaminan kepastian hukum kepemilikan terhadap tanah
kapling tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan
ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Agraria dengan
keterkaitannya dengan Hukum Kenotariatan mengenai pemahaman
terhadap kepastian hukum kepemilikan tanah kapling.
1.3.2
Tujuan Khusus
Sebagaimana telah dipaparkan di atas tujuan penulisan tesis ini
secara umum, maka secara khusus, penulisan tesis ini bertujuan
sebagai berikut:
(1).
Untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan hukum
mengenai pengaturan pengkaplingan tanah di Indonesia.
17
(2).
Untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan hukum
mengenai jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan
tanah kapling tersebut.
1.4
Manfaat Penelitian
Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
1.4.1
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah
khazanah pengetahuan dibidang Ilmu Hukum khususnya bidang
Hukum Agraria dan Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan
yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta
kajian teoritis berkaitan dengan pengkaplingan merupakan
pemecahan tanah dan/atau pemisahan tanah, sedangkan dalam
UUPA Pasal 19 dan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1) dan
Pasal 49 ayat (1) tidak diatur mengenai pendaftaran peralihan hak
dengan pengkaplingan, dalam hal untuk mengetahui mengenai
peraturan perundang-undangan mengatur pengkaplingan tanah di
Indonesia dan jaminan kepastian hukum terhadap tanah kapling,
sehingga memberikan pengaruh terhadap kepemilikan tanah
kapling tersebut. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat
membantu pengembangan teori-teori mengenai pemecahan dan
pemisahan yang kemudian merefleksikan bisnis pengkaplingan.
18
1.4.2
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan
manfaat kepada para pihak yang melakukan kegiatan bisnis
pengkaplingan bidang tanah, baik itu pihak penjual, pembeli,
Notaris/PPAT maupun bagi penulis sendiri, serta bagi pembuat
kebijakan. Lebih lanjut dapat diuraikan manfaat-manfaat seperti di
bawah ini:
(1). Bagi pihak penjual baik pemegang hak atas tanah maupun
pemodal, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman berkenaan teknik pengkaplingan merupakan
pemecahan tanah atau pemisahan tanah dan prosedurprosedur
yang
wajib
dipenuhi
dalam
melakukan
pengkaplingan bidang tanah.
(2). Bagi pihak pembeli, hasil penulisan ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan yang lebih luas mengenai bisnis
pengkaplingan.
(3). Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi
pada program Magister Kenotariatan, juga untuk menambah
wawasan dibidang Hukum Agraria, Hukum Tata Negara dan
Hukum Kenotariatan mengenai kepastian hukum kepemilikan
tanah kapling di Indonesia.
19
(4). Bagi
Notaris/PPAT,
hasil
penulisan
ini
diharapkan
menambah pemahaman peranan Notaris/PPAT dalam jual
beli tanah kapling.
(5). Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan perlunya dibentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
pengkaplingan tanah, agar menjadi jelas dan pasti agar
terciptanya kepastian bagi pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya.
1.5
Landasan Teoritis
Dalam bagian ini ditekankan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum
dan pendapat para sarjana berpengaruh yang dipergunakan sebagai landasan dari
dasar titik tolak fenomena yang dihadapi. Ini penting untuk memberikan
argumentasi yang meyakinkan bahwa kajian yang dilakukan ini ilmiah atau paling
tidak memberikan gambaran bahwa kajian tersebut sudah memenuhi standar
teoritis sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi objek kajian.
Teori-teori,
konsep-konsep
hukum
dan
asas-asas
dipergunakan adalah:
1.5.1
Teori Kepemilikan
1.5.2
Teori Penemuan Hukum
1.5.3
Konsep Negara Hukum
1.5.4
Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
1.5.5
Asas Kebebasan Berkontrak
hukum
yang
20
1.5.1
Teori Kepemilikan
Menurut John Locke (1632-1704) dalam konsep hukum kodrat bahwa
Tuhan telah menganugrahkan kepada manusia kemampuan rasional, oleh karena
itu sebagai makhluk ciptaan-Nya mempunyai sifat rasional, yang mampu
menemukan hukum kodrat dalam akal budi. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
manusia terikat dengan perintah dan sekaligus kehendak Tuhan. Perintah dan
kehendak Tuhan inilah disebut hukum Kodrat.3
Manusia lahir dipandang sebagai 2 (dua) aspek, disatu pihak dikehendaki
atau merupakan kebijaksanaan dari Tuhan, dilain pihak kodrat manusia sebagai
makhluk insani. Pengetahuan manusia akan hukum kodrat bermula dari
pengetahuan terhadap adanya Tuhan, karena manusia secara kodrati bersifat
rasional, oleh karena itu dipandang adanya keselarasan antara hukum kodrat dan
hakikat manusia yang rasional, karena itu hukum kodrat tidak ditemukan di
manapun kecuali dalam akal budi manusia (God on Nature has not anywhere, that
I know placed such jurisdiction in the first-born, nor can reason find any such
natural superiority amongst brethren).4 Inti utama hukum kodrat menurut John
Locke ialah bahwa manusia sekali dilahirkan mempunyai hak untuk
mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, semua makhluk yang sederajat dan
mandiri tidak boleh merugikan dalam hal hidup, kesehatan, kebebasan atau
miliknya dan apa saja dapat dilakukan yang dianggap cocok bagi kelangsungan
hidup setiap orang, sejauh ia dapat mempertahankan hidupnya dan tidak
3
Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Berbangsa Indonesia
Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, hal. 24.
4
John Locke, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent &
Sons Ltd, London, hal. 77.
21
meninggalkan tempatnya secara sukarela. Mengutip pendapat Mariam Darus
Badrulzaman5, dari uraian mengenai hukum kodrat tersebut di atas, bahwa teori
hukum kodrat mengilhami lahirnya konsepsi hak milik sebagai hak kebendaan
yang sempurna, turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai semua
orang, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia secara kodrati serta
dianugerahkan oleh Tuhan kepada umat manusia.
Keberadaan
manusia
akan
tumbuh
dan
berkembang
membawa
konsekuensi logis terhadap tuntutan kebutuhan manusia akan tanah sebagai
tempat tinggalnya, akan tetapi di sisi lain keadaan tanah statis tidak bertambah,
bahkan dimungkinkan terjadi pengurangan karena proses alam. Kondisi
kebutuhan dan tersedianya tanah yang tidak seimbang ini terus berlanjut dan akan
menimbulkan
masalah-masalah
dalam
penggunaan
tanah,
antara
lain:
berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi pemukiman, industri dan
keperluan non pertanian lainnya, terjadinya pembenturan kepentingan berbagai
sektor pembangunan misalnya antara kehutanan dan transmigrasi, perkebunan,
dan menurunnya kualitas lingkungan pemukiman.
Tanah merupakan faktor utama pendukung kehidupan dan kesejahteraan
bagi masyarakat, sehingga teori hak kepemilikan menentukan susunan kehidupan
dalam suatu negara. Hal yang sama dikatakan oleh A.P. Parlindungan6, bahwa
dari tanah tersebut akan didirikan bangunan tempat tinggal yang merupakan salah
5
Mariam Darus Badrulzaman, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Alumni, Bandung, hal. 43.
6
A.P. Parlindungan, 2001, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan
dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, hal.
1.
22
satu dari kebutuhan dasar dari manusia. Terkait dengan kebutuhan pokok akan
tanah, manusia cenderung akan mencari dan memiliki tanah kosong sebagai
tempat tinggal. Lambat laun, dengan demikian kebutuhan sesama individu individu yang memerlukan tanah tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan
jika tidak diatur oleh hukum.
Pengertian tanah dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUPA adalah
permukaan bumi, berarti hak atas tanah adalah hak yang dapat dibebankan di atas
permukaan bumi. Dalam hubungan manusia atau badan hukum (subyek hukum)
dengan tanah memunculkan hak privat bagi manusia atau badan hukum itu
sendiri, dan tercakup dalam lingkungan hukum keperdataan7, dalam UUPA hak
atas tanah :
(1). Hak publik adalah hak atas tanah yang dikuasai oleh negara (Pasal 33
ayat 3 UUD RI 1945 jo Pasal 2 ayat (2) UUPA). Dalam hal ini
hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan negara yang
bersifat publik untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan
mengendalikan (toezichthouden) hak-hak privat dari manusia atau
badan hukum.
(2). Hak privat/perdata (Pasal 16 UUPA).8
Bidang Tanah dalam suatu Negara tidak bisa dimiliki atau dikuasai dan
digunakan secara bebas oleh manusia, akan tetapi terikat dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh negara selaku penguasa hak secara umum yang diatur negara
dalam UUPA. Oleh karena itu negara memiliki hak untuk mengatur keberadaaan,
kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Di Negara Republik Indonesia pada awalnya
hak milik atas tanah berdasarkan Hukum Adat, kemudian pada masa penjajahan
7
R. Roestandi Ardiwilaga, 1962, Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori
dan Praktek, Masa Baru, Jakarta, hal. 7.
8
Aslan Noor, 2006, Op.cit., hal. 9.
23
dikenal adanya hak milik atas tanah disebut hak eigendom (eigendomrecht) yang
tunduk pada hukum barat, yakni hukum Eropa yang diberlakukan di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh
Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945) yang
menyatakan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Apabila dilihat Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 terdapat 2
(dua) kata yang menentukan, yakni “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan
dikuasai ialah sebagai dasar wewenang kepada negara untuk tingkatan tertinggi:
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan;
b) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.9
Mengenai perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada
negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.10
Segala sesuatunya ialah dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Di dalam UUPA sebagaimana mengingat ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD
RI 1945 mempertimbangkan bahwa negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah,
hanya terbatas sebagai pihak yang menguasai tanah sebagaimana diatur di dalam
9
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari
Sudut Pandangan Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 201.
10
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total
Media, Yogyakarta, hal. 3.
24
Pasal 2 UUPA. Hak menguasai negara atas tanah memperoleh legitimasi
dikarenakan status negara sebagai pencerminan dari organisasi kekuasaan bangsa
yang mengemban tugas yang sama berupa hak dan kewajiban yang berasal dari
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula legitimasi hak menguasai
negara diperoleh dari sifat organisme negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat serta eksistensinya sebagai negara berdasarkan kedaulatan negara.11
Dalam rangka hak menguasai dari negara dimungkinkan adanya hak-hak
perorangan atas tanah. Bentuk-bentuk hak atas tanah yang diberikan oleh negara
kepada perorangan, sebagimana tercantum dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1)
UUPA yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa,
hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, serta hak lainnya yang tidak
termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang
serta hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53.
Salah satu hak yang dapat dimiliki secara perorangan seperti yang telah
disebutkan di atas adalah hak milik. Hak milik, khususnya hak milik atas tanah
sebagai bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan
dasar. Dalam konteks kebutuhan akan tanah, erat kaitannya dengan legalitas alas
kepemilikan, yang sering menimbulkan persoalan dalam praktik. Oleh sebab itu
dengan hak milik, subyek hukum dapat menikmati haknya untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri atau orang lain, sejauh tidak menghalangi kepentingan
umum dalam mendapatkan sesuatu demi kebutuhan hidupnya.
11
Ibid, hal. 42.
25
Teori kepemilikan dalam hukum Indonesia menganut sistem Eropa
Kontinental yang merupakan konkordan dari Burgerlijk Wetboek Belanda,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa:
Hak Milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan
untuk menguasasi benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan
oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu, asal tidak
mengganggu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum dengan
pembayaran penggantian kerugian yang layak dan menurut ketentuan
undang-undang.
Konsepsi Hak atas tanah dalam UUPA berbeda dengan konsepsi mengenai
hak kebendaan atas tanah yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata,
jika tanah tidak dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan, maka tanah
tersebut adalah milik dari negara. Sedangkan dalam konsep UUPA, tanah di
wilayah Indonesia bukanlah milik Negara Republik Indonesia, melainkan adalah
milik seluruh bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (2) UUPA) dan pada tingkatan yang
paling tinggi dikuasi oleh Negara Republik Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Relevansinya dengan penulisan ini ialah teori kepemilikan sangat erat
kaitannya dengan penguasaan suatu bidang tanah. Kepemilikan tanah sebagai hakhak individual yang bersifat pribadi kemudian telah disatukan dalam hak bangsa
selanjutnya negara dimungkinkan memberikan kembali kepada individu yang ikut
mempunyai hak bersama tersebut untuk menguasai dan mempergunakan sebagai
hak pribadi. Kemudian hak pribadi tersebut menunjukkan kepada pemegang hak
untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi dirinya dan keluarganya
26
sebagaimana ditegakan dalam Pasal 9 UUPA. Penggunaan tanah tersebut harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga memberikan
manfaat baik bagi kesejahteraan dalam usaha pemenuhan kebutuhan tempat
tinggal dan kebahagiaan yang mempunyainya, maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan negara.
Untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara tersebut dalam bidang agraria
perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, dan penggunaan yang dalam
hal ini adalah tanah sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya
bagi rakyat dan negara. Menurut R. Roestandi Ardiwilaga12, pada dasarnya hak
milik tidak boleh diganggu gugat, akan tetapi negara mempunyai wewenang untuk
mencabut hak privat dari seseorang yang berlawanan dengan kemauannya untuk
kepentingan umum, atau hak-hak tersebut diberikan kepada pihak lain.
Hak milik atas tanah dalam UUPA sebagaimana diatur dalam Pasal 20
ayat (1) adalah turun temurun, terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai orangperorangan atas suatu bidang tanah, dengan mengingat fungsi sosialnya
(ketentuan dalam Pasal 6 UUPA). Namun pemberian sifat terkuat, dan terpenuh
tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak mutlak tak terbatas dan tidak dapat
diganggu gugat. Arti terkuat dan terpenuh hanya untuk membedakan dengan hakhak lainnya. Hak milik adalah turun temurun artinya hak tersebut dapat
diwariskan terus menerus, dapat dialihkan dan dapat diturunkan haknya, dan salah
satu kekhususannya ialah tidak adanya pembatasan waktu kepemilikannya, selama
hak itu masih dipergunakan.
12
R. Roestandi Ardiwilaga, Op.cit., hal. 275.
27
Sejalan dengan hal itu selain dikenal jenis-jenis hak atas tanah juga
ditetapkan bukti kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah secara sah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa: “Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah”. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi
masyarakat dalam memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah, karena itu bagi
penguasaan tanah yang telah didaftarkan akan diterbitkan surat tanda bukti hak
berupa sertipikat hak atas tanah.
1.5.2
Teori Penemuan Hukum
Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda sebagai negara yang pernah
menjajah Indonesia, sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi. Hukum Belanda ialah sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law), maka sistem hukum Indonesia juga termasuk dalam
sistem hukum civil law, sehingga hakim Indonesia dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara, termasuk pula di dalamnya mengenai masalah
penemuan hukum dipengaruhi oleh sistem civil law.
Karakteristik sistem hukkum civil law ditandai dengan adanya suatu
kodifikasi atau pembukuan hukum atau undang-undang dalam suatu kitab (code).
Dalam suatu kodifikasi dihimpun sebanyak-banyaknya ketentuan-ketentuan
hukum yang disusun secara sistematis. Dalam sistem hukum di Indonesia
mengenal adanya penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada
undang-undang, tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom
28
yang kuat, karena seringkali hakim harus menjelaskan atau melengkapi undangundang menurut pandangannya sendiri.13
Penemuan hukum lazimnya adalah proses penemuan hukum oleh hakim,
atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum
umum pada peristiwa hukum konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa
konkrit-konkrit atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk
itu perlu dicarikan hukumnya.
Menurut Paul Scholten bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum
adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa
peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan
analogi ataupun dengan penghalusan/pengkonkretan hukum (rechvervijning).14
Penemuan hukum menurut Mauwissen15, merupakan pengembangan
hukum yakni kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum
di masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan,
menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan mengajarkan
hukum. Dari pendapat para ahli hukum di atas, penemuan hukum mempunyai
cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena dapat dilakukan oleh siapa
saja, baik itu perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak
13
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal.21.
14
Ibid, hal. 22.
15
Ibid, hal. 23.
29
hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat), dosen, notaris dan lainnya.16 Akan tetapi,
problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum umumnya dipusatkan
pada hakim yang setiap harinya selalu dihadapkan dengan peristiwa konkret atau
konflik yang harus diselesaikan, dan pembentuk undang-undang. Sehingga dapat
dilihat hakim pada hakikatnya melengkapi ketentuan hukum tertulis melalui
penemuan hukum (rechtvinding) yang mengarah kepada penciptaan hukum baru
(creation of new law). Fungsi menemukan hukum tersebut diartikan sebagai
mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya
suatu perkara dengan alasan hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.17
Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan,
kemudian hukum kebiasaan,yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.18
Kehidupan manusia selalu bergerak dinamis, selalu ada hal-hal, penemuan baru
seiring berjalannya waktu, dengan demikian tidak mungkin satu peraturan
perundang-undangan mengatur sejelas-jelasnya dan mencakup selengkaplengkapnya seluruh kegiatan manusia. Sehingga wajar apabila suatu peraturan
dianggap ketinggalan jaman, sehingga perlu dipikirkan kearah pembaharuan
peraturan tersebut. Jangan sampai, hakim menolak suatu perkara dengan alasan
tidak ada hukum yang jelas mengatur.
Relevansi teori penemuan hukum terhadap penulisan ini ialah dalam
kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga
16
Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum
Baru dengan Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, hal. 51.
17
Mochtar Kusumaatmaja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung, hal. 99.
18
Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, hal. 48.
30
tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas
dan jelas. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup
keseluruhan kehidupan manusia secara lengkap dan jelas sejelas-jelasnya, oleh
sebab itu karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan
diketemukan. UUPA yang dibentuk tahun 1960, di mana pada saat itu Indonesia
adalah sebagai negara yang bersifat agraris. Mengingat istilah agraria berasal dari
kata akker (bahasa Belanda), agros (bahasa Yunani) berarti tanah pertanian,
agrarius (bahasa Latin) berarti tanah untuk perladangan, persawahan, pertanian.
UUPA yang sudah berumur 54 (lima puluh empat) tahun tampaknya
kurang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang.
Adanya pertambahan penduduk, pergeseran-pergeseran kehidupan mulai terlihat,
adanya perubahan pola perekonomian nasional dari pola agraris beralih kepada
pola yang memberi peran yang lebih besar kepada perindustrian sehingga akan
menuntut perubahan filsafah ekonomi dan pendayagunaan tanah yang lebih
efisien, di lain pihak masyarakat tentunya menginginkan kehidupan yang lebih
baik, tercapainya kebutuhan pokok salah satunya ialah papan atau kebutuhan
tempat tinggal, tetapi di lain pihak keberadaan tanah tidak bertambah (statis).
Sehingga adanya usaha-usaha agar masyarakat dapat memperoleh tanah untuk
tempat tinggalnya. UUPA tentunya pada saat itu belum atau tidak mengenal
teknik pengkaplingan, sehingga diperlukan payung hukum yang jelas mengatur
tentang pengkaplingan tanah. Di sinilah sekiranya perlu dibahas tentang
pembaharuan dalam bidang hukum agraria, dengan tidak menghilangkan nilainilai hukum adat yang sudah ada.
31
1.5.3
Konsep Negara Hukum
Konsep yang dipergunakan adalah konsep negara hukum. Pengertian dan
hakikat negara hukum tidak dapat begitu saja dirumuskan dengan mudah dan
sederhana sebab pengertian negara hukum tidak semata-mata dapat dirumuskan
dari penggabungan kata negara dan hukum. Istilah negara hukum bukan berasal
dari kosa kata bahasa Indonesia, tetapi bahasa asing yang meresap ke dalam kosa
kata bahasa Indonesia. Istilah negara hukum berasal dari bahasa Jerman, yaitu
rechtsstaat dan masuk ke dalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa Belanda,
rechtsstaat.19 Menurut Padmo Wahjono20, dalam kepustakaan Indonesia, istilah
negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat, yang sasaran
utamanya yakni pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Relevansi konsep negara hukum dengan penulisan ini ialah dalam rangka
melaksanakan kebijakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat guna
kepemilikan perumahan yang baik bagi rakyat, tentunya ada usaha-usaha negara
untuk memberikan perlindungan terhadap kepemilikan atas tanah, dalam hal ini
khususnya tanah kapling. Perlindungan diberikan untuk menjamin hak-hak dari
pemilik kapling, karena sesuai dengan kebutuhan hunian perumahan yang selalu
bergerak dinamis.
Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam
Penjelasan UUD RI 1945, dalam UUD RI 1945 Pasal 1 ayat 3 yakni Negara
Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa setiap
19
Hotma P. Sibuea, 2010, Asas-Negara Hukum, Peraturan Kebiajakan &
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlagga, Jakarta, hal. 46-47.
20
Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan
Teori Ilmu Negara dari Jellijek, Melati Study Group, Jakarta, hal. 30.
32
sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasarkan dan
sesuai dengan hukum. Bahkan ketentuan ini ialah sebagai upaya pencegahan
terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan
oleh alat negara maupun penduduk. Sehingga dalam konsep negara hukum yang
demikian, harus dibuat jaminan bahwa hukum itu dibangun dan ditegakkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.21
Begitu cepatnya pertumbuhan pembangunan sehingga mengakibatkan
meningkatnya pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Usaha pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung
terjadinya perubahan komposisi kepemilikan melalui peralihan hak atas tanah
serta perubahan peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan. Adanya teknik-teknik
baru yakni pengkaplingan, diharapkan mampu memenuhi daya beli masyarakat
dengan kemampuan financial yang beragam. Namun tampaknya UUPA yang
dibentuk pada tahun 1960 belum cukup mampu untuk mengimbangi kemajuan
yang pesat dalam bidang pertanahan. Maka sesuai dengan konsep negara hukum,
untuk mencegah kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh alat negara
maupun penduduk, diperlukan suatu perundang-undang yang pasti yang mengatur
dalam bidang pertanahan, khususnya dalam hal kepemilikan tanah kapling.
Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat akan hunian tempat tinggal
merupakan kebutuhan primer, yang wajib untuk dilindungi, dituangkan dalam
perundang-undangan yang jelas mengatur untuk itu, sedangkan hukum pertanahan
nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan
21
Ni’Matul Huda, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88.
33
pengkaplingan bidang tanah. Dengan tidak jelasnya diatur didalam perundangundangan, tidak terwujudlah kepastian hukum dan perlindungan yang selama ini
dicita-citakan dalam negara hukum. Oleh sebab itu diperlukan pengaturan yang
jelas, sehingga akan terwujud suatu bentuk kepastian dan perlindungan hukum
yang nantinya akan melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara Hukum dipelopori oleh Julius Stahl. Menurut Julius Stahl22 ada 4
(empat) unsur Negara hukum formal yaitu:
(1). Perlindungan terhadap hak asasi manusia
(2). Pemisahan kekuasaan
(3). Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundangundangan (Asas Legalitas)
(4). Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri
Dari keempat unsur di atas yang paling relevan dengan penelitian ini ialah
unsur perlindungan terhadap hak asasi manusia serta unsur Asas Legalitas.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia berkaitan erat dengan proses
pendaftaran peralihan hak milik atas tanah, dilanjutkan dengan penerbitan tanda
bukti hak atas tanah yang dalam hal ini terlebih dahulu dilakukan proses
pengkaplingan, yang nantinya akan berdampak pada hak-hak kepemilikan tanah
kapling tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan hunian tempat tinggal
(kebutuhan primer). Asas Legalitas relevansinya dengan penulisan ini ialah bahwa
untuk mewujudkan segala tindakan Negara/pemerintahan harus berdasarkan
peraturan perundang-undang, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan supaya
terwujud perlindungan hak-hak individu dalam kenyataan.
22
Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta, hal. 112.
34
Dalam hal Negara diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam
kehidupan pribadi warga negaranya, kewenangan tersebut diatur dalam undangundang, tanpa kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, campur tangan
Negara dianggap suatu pelanggaran terhadap hak-hak individu. Dalam hukum
pertanahan nasional tidak mengenal istilah pengkaplingan tanah, dan dalam
peraturan pelaksananya yakni dalam hal peralihan hak atas tanah yang akan
dilakukan pendaftaran untuk penerbitan sertipikat tanda bukti hak tanahpun yakni
PP No. 24 Tahun 1997 hanya mengenal pemisahan dan pemecahan, tidak
disebutkan pengkaplingan tanah.
Hal ini akan berdampak pada kepemilikan tanah kapling, banyak yang
terjadi dimasyarakat pembeli tanah kapling tidak dapat membangun tempat
tinggal di atas tanah yang sudah dibelinya tersebut karena peruntukan penggunaan
tanahnya bukan untuk kawasan pemukiman dan perumahan. Hal ini dalam
kenyataannya tentu merugikan pembeli tanah sebagai individu yang harus
dilindungi hak-haknya. Oleh sebab itu tentunya harus ditindak lanjuti dengan
adanya kewenangan negara yang diberikan oleh undang-undang, agar negara
diberikan kewenangan untuk mengaturnya, negara pun tidak dianggap melakukan
perbuatan sewenang-wenang, dan tentunya kepastian serta jaminan perlindungan
terhadap kepemilikan tanah kapling pun akan menjadi jelas, tidak kabur.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan unsur yang diilhami
John Locke. John Locke mengemukakan bahwa manusia memiliki hak-hak
alamiah (natural rights) yang melekat pada manusia sejak manusia lahir. Hak-hak
35
kodrat itu tidak mungkin dapat dinikmati masing-masing individu, jika manusia
hidup dalam keadaan alamiah.23
Untuk kepentingan itu, masing-masing individu kemudian mengadakan
perjanjian sosial yang bertujuan mendirikan suatu negara. Dalam perjanjian sosial,
masing-masing individu menyerahkan sebagian dari hak-haknya kepada negara
supaya negara memiliki hak untuk mengatur kehidupan bersama yang dibentuk
berdasarkan perjanjian sosial tersebut. Setelah negara berdiri, hak-hak kodrat tetap
melekat pada individu-individu, dan juga hak kodrat tersebut diakui oleh
penguasa. Bahkan untuk memberikan kedudukan yang lebih kuat, dilakukan
pengaturan mengenai hak kodrat tersebut ke dalam konstitusi yang kemudian
disebut sebagai hak-hak asasi manusia.
Unsur negara hukum yakni asas legalitas, diilhami oleh pemikiran untuk
membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Salah satu hal
penting dalam konsep negara hukum adalah legalitas. Asas legalitas dalam konsep
Rechsstaat mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus berdasarkan
hukum. Hal tersebut membawa konsekuensi terhadap politik hukum, khususnya
politik perundang-undangan (legislasi). Sehingga terwujud pemerintahan yang
bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme serta penyalahgunaan wewenang maupun
pelanggaran hak asasi manusia. Namun banyaknya undang-undang ataupun
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya semisal peraturan
daerah gagal diterapkan atau tidak efektif.
23
Hotma P. Sibuea, Op.cit,, hal. 30.
36
Ketidakefektifan peraturan perundang-undangan tersebut, karena norma
hukumnya kabur “unclear norm”, memberikan deligasi wewenang yang kabur,
kolusi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang maupun kesewenang-wenangan
pemerintah. Maka hal itu akan dapat diatasi manakala pengaturan dalam
perundang-undangan berkharakteristik responsif yang memenuhi rasa keadilan
sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, sehingga perancang harus
terlebih dahulu melakukan penelitian. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
harapan dan dukungan masyarakat serta persoalan-persoalan substansi lain yang
dipandang perlu untuk diatur. Hal ini agar peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.24
Persoalan-persoalan dalam bidang pertanahan tidak dapat disepelekan.
Seperti yang selama ini diketahui, manusia memiliki hak untuk memenuhi
kebutuhan primer dan sekundernya. Kebutuhan primer salah satunya ialah
kebutuhan hunian tempat tinggal. Tidak dapat dipungkiri pertumbuhan ekonomi
yang pesat berakibat meningkatkan pendapat financial masyarakat.
Meningkatnya kemampuan financial masing-masing individu memberikan
dampak meningkatnya taraf hidup dan hal ini tentunya berimbas pada usaha untuk
menyiapkan kebutuhan tempat tinggal yang representatif dan aman. Sementara itu
begitu cepatnya nilai atau harga tanah meningkat menyebabkan bisnis jual beli
tanah dianggap menjadi investasi yang mengguntungkan. Semakin tingginya
tuntutan memiliki hunian tempat tinggal, kemudian menggerakkan pihak
24
Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan
Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004, hal.2.
37
pengembang atau pemilik hak atas tanah yang memiliki modal menyediakan
sarana tempat tinggal tersebut, disisi lain penyediaan lahan yang terbatas
mengakibatkan tanah menjadi benda yang sangat berharga.
Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan akan hunian yang
semakin meningkat, timbullah teknik pengkaplingan yakni pemilik tanah tersebut
dan/atau pengembang yang memiliki modal mendesign tanah dengan cara
mempetak-petakkan kemudian langsung dijual kepada beberapa calon pembeli,
atau bisa juga mempetak-petakkan dengan luas yang telah ditentukan kemudian
membangun hunian tempat tinggal ditanah tersebut dengan berbagai fasilitas, di
mana hal ini akan meningkatkan nilai dari harga tanah tersebut. Inilah yang
masyarakat sebut dengan tanah kapling, suatu bidang tanah dengan luas tertentu
dalam sertipikat dapat dibeli sebagian atau dengan sesuai kehendak dari calon
pembeli. Namun tampaknya hukum pertanahan nasional yang dibentuk pada
tahun 1960 belum mengenal teknik-teknik atau cara penjualan dengan motif
ekonomi tersebut.
UUPA juga belum memerintahkan peraturan pelaksana yang mengatur
mengenai tanah kapling. Dalam PP No. 24 Tahun 1997 hanya mengenal
pemecahan dan pemisahan, tidak disebutkan pengkaplingan. Berarti dengan hal
ini bahwa ketentuan pengkaplingan tidak jelas sehingga menimbulkan keraguraguan dan berakibat pada ketidakpastian perlindungan hukum kepemilikannya.
Unsur-unsur negara hukum yang telah disebutkan diatas menunjukkan
bahwa ide sentral dari Negara hukum adalah pengakuan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Adanya pembagian kekuasaan ialah mencegah
38
kemungkinan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang dikhawatirkan
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga untuk membatasi kekuasaan
penguasa (negara), segala kewenangan penguasa diatur di dalam undang-undang.
Undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan penguasa
dalam kehidupan pribadi individu. Kemudian negara sebagai subyek hukum
apabila melakukan perbuatan yang merugikan subyek hukum lain, negara dapat
dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan. Dengan demikian kekuasaan
negara dalam membuat undang-undang dimaksudkan untuk menjamin bahwa
hukum yang dibuat ialah berdasarkan kehendak rakyat, sehingga tidak akan
memperkosa hak-hak asasi rakyatnya.
Negara hukum berkembang diberbagai belahan dunia terutama di Negara
Eropa Kontinental sistem hukum sipil (Civil Law) dengan konsep Rechtsstaat.
Sedangkan di Inggris dan Amerika (Anglo Saxon) sistem hukum Common Law
dengan konsepsi Rule of Law. Mengutip pendapat Yohanes Usfunan25 pada pidato
Pengukuhan Guru Besar, sistem Eropa Kontinental mengedepankan hukum
tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama.
Hal ini berdasarkan pemikiran suatu rumusan hukum agar dapat menjamin
kepastian hukum, maka rumusan hukum tersebut harus dituangkan ke dalam
ketentuan-ketentuan tertulis. Atas dasar itu negara-negara yang berada dalam
sistem hukum Eropa Kontinental selalu merancang hukumnya dalam bentuk
tertulis yang dikenal dengan sistem kodifikasi. Berbeda halnya dengan sistem
hukum Anglo Saxon yang menjadikan putusan hakim “Jurisprudensi” sebagai
25
Ibid, hal. 9.
39
pegangan sehingga sistem hukum ini dikembangkan dari kasus (case law system).
Dari sistem tersebut akan berpengaruh pada penyusunan peraturan perundangundangan.
Pola Eropa Kontinental mengutamakan penalaran deduktif, apa yang
dipikirkan kemudian langsung dirumuskan dalam pasal-pasal suatu rancangan
kemudian diperdebatkan. Konsekuensinya banyak undang-undang ataupun
peraturan di bawah undang-undang begitu diundangkan menimbulkan masalah
karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal tersebut dapat disebabkan karena:
Pertama, tidak terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara normatif. Sehingga
tidak diketahui apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah harmonis dan
sinkron dengan peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal;
Kedua, tidak melakukan pengamatan lapangan.
Sedangkan Anglo Saxon menggunakan penalaran induktif dalam
merancang peraturan perundang-undangan. Para perancang terlebih dahulu
melakukan penelitian sebelum menyusun norma-norma hukum dalam pasal-pasal
suatu rancangan. Pendekatan ini lebih baik karena undang-undang atau peraturan
daerah yang dihasilkan akan lebih mungkin menjawab persoalan yang ada di
lapangan.
Mengutip pendapat A.V Dicey26 bahwa ada 3 (tiga) unsur dari the Rule of
Law di Negara-negara Anglo Saxon, yakni:
(1). Supremasi aturan hukum;
(2). Persamaan dihadapan hukum;
26
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 80.
40
(3). Terjaminnya hak-hak asasi tiap-tiap individu. Konstitusi bukanlah
sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang
dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Perbedaan yang jelas terlihat dalam Rechtsstaat dan The Rule of Law ialah
dalam The Rule of Law tidak terdapat peradilan administrasi negara, hal ini
dikarenakan bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan.
Prinsip persamaan kedudukan dimuka hukum (Equality Before the Law) lebih
ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan
pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan. Artinya
dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan
peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata
usaha negara. Sedangkan negara yang menganut konsepsi negara hukum
Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah
untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan atau
perbuatan pemerintah yang melanggar hak asasi warganya dalam lapangan hukum
administrasi, termasuk memberikan perlindungan bagi pejabat asministrasi negara
yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum).
Meskipun terdapat perbedaan mengenai konsep Rule of Law dengan
Rechtsstaat, pada dasarnya kedua konsep ini berkenaan dengan perlindungan
terhadap hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, yang mengarah pada sasaran
yang sama yakni membatasi kekuasaan agar tercapai pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Baik konsep Rule of Law maupun konsep
Rechtsstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.
41
Legislasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa
peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan
suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang, dan mengikat umum. Ruang lingkup peraturan perundang-undangan
telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa sistem hukum yang berlaku di
Indonesia adalah merupakan suatu hierarki daripada hukum, yakni suatu
ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan lainnya yang lebih tinggi.
Dikaitkan dengan UUPA, UUPA merupakan produk kekuasaan tertinggi negara
Indonesia sebagai undang-undang yang mengatur tentang agraria di Indonesia. Di
dalam Pasal 5 UUPA ditegakan bahwa UUPA dibentuk didasarkan hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan UUD RI 1945 sebagaimana hierarki sistem
hukum di Indonesia.
42
Relevansi pemaparan di atas dengan penulisan ini, seperti yang ditentukan
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat”.
Kemudian,
UUPA
merupakan
pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2
ayat (1) UUPA, yaitu: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, dan air, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 merupakan landasan konstitusional bagi
pembentukan politik dan Hukum Agraria Nasional. Makna dalam Pasal 33 ayat 3
UUD RI 1945 yakni berisi perintah kepada Negara agar bumi, dan air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan
Negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia.
PP No. 24 Tahun 1997 merupakan pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA yang
mengatur mengenai pendaftaran tanah. Apabila merujuk pada PP No. 24 Tahun
1997 Pasal 48 ayat (1) menyebutkan : “Atas permintaan pemegang hak yang
bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara
sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan
bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.”
Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
mengatur mengenai pemecahan bidang tanah. Selanjutnya PP No. 24 Tahun 1997
43
Pasal 49 ayat (1) mengatur mengenai pemisahan bidang tanah, yang menyebutkan
bahwa : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang
tanah yang sudah didaftar dapat dipisah sebagian atau beberapa bagian yang
selanjutnya merupakan suatu bidang baru dengan status hukum yang sama dengan
bidang tanah semula.”
Dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah sebagaimana diatur
dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa hukum pertanahan mengenal adanya 2 (dua) karakter peralihan hak atas
tanah yang dapat didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan. Kedua karakter
peralihan hak yang dapat didaftarkan tersebut yaitu:
1)
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan
bidang tanah; dan
2)
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan
bidang tanah.
Kedua karakter tersebut memiliki unsur-unsur dan sifat yang berbeda baik dalam
persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum itu sendiri.
Pemegang hak atas suatu bidang tanah hanya dapat mengajukan
permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah baik dengan cara pemecahan
bidang tanah maupun pemisahan bidang tanah dalam hubungannya dengan
peristiwa hukum perdata yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah yang
terjadi karena:
1)
Terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu pada diri seseorang. Secara
teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak atas
44
kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas
tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena
pemegang haknya meninggal dunia. Peralihan hak atas tanah ini terjadi
karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak
atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih kepada
ahli warisnya. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan atau turun
waris.
2)
Terjadinya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan dengan
tujuan agar pihak lain memperoleh hak atas tanah yang dialihkan.
Dalam artian, suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila
hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh
pemegang hak selaku subyek hukum kepada pihak lain, jadi peralihan
hak atas tanah ini terjadi karena memang disengaja melalui suatu
perbuatan hukum antara pemegang hak lama dengan calon penerima
hak dan sekaligus nantinya adalah sebagai pemegang hak baru.
Perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan hak atas tanah dapat
berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal
perusahaan (inbreng), pemberian dengan wasiat, dan lelang.27
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa Kantor Pertanahan Nasional
selain mempunyai tugas wewenang untuk melakukan perumusan kebijakan yang
berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun perundangundangan lainnya, juga bertugas untuk menerima pendaftaran peralihan hak atas
27
J. Andy Hartanto, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum
Bersertifikat, Laksabang Mediatama, Yogyakarta, hal. 41.
45
tanah dan selanjutnya menerbitkan sertipikat haknya, permohonan pendaftaran
peralihan hak atas tanah yang diterima yakni dilakukan dengan cara pemisahan
dan pemecahan sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 dan tidak
menyebutkan perbuatan hukum dengan istilah kapling atau dengan kata lain
hukum pertanahan nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang
disebut dengan pengkaplingan bidang tanah. Dalam hal ini terjadi kekosongan
hukum, kenyataannya dimasyarakat sudah banyak dilakukan teknik jual beli tanah
dengan pengkaplingan, namun tampaknya belum ada payung hukum yang
mengatur secara jelas, sehingga hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada
kepastian hukum kepemilikan tanah kapling tersebut.
1.5.4
Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum
Asas yang berkaitan dengan penelitian ini ialah Asas Kepastian Hukum
dan Perlindungan Hukum. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo28 ialah jiwanya
peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, dan ratio
legisnya peraturan hukum.
Menurut Urip Santoso29, dalam UUPA dimuat 11 (sebelas) asas dari
Hukum agraria nasional. Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya
harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya.
Asas yang menjadi pegangan dalam penulisan ini ialah asas kepastian hukum.
Asas kepastian hukum adalah asas untuk mengetahui dengan tepat aturan
apa yang berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Dalam kamus Fockema
28
Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 153.
29
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 53-65.
46
Anderea ditemukan kata Rechtszekerheid yang diartikan sebagai jaminan bagi
anggota masyarakat bahwa ia akan diperlakukan oleh Negara atau penguasa
berdasarkan aturan hukum dan tidak sewenang-wenang, dengan pula diartikan
mengenai isi dari aturan itu.30
Dalam Negara hukum asas kepastian hukum, peran asas kepastian hukum
(principle of legal security) mendapat prioritas utama. Bahkan, jika dikaitkan
dengan penyelenggaraan pemerintahan, asas kepastian hukum mendapat tempat
yang layak untuk mendukung sikap administrasi pemerintahan. Sejalan dengan
konsep Negara hukum tersebut, sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, yang kemudian
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 160, disebutkan bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib.
Relevansi penjelasan umum tersebut menurut penulis di sini ialah, dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan yang demikian diamanatkan dalam cita-cita
negara hukum, maka harus adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dalam
negara hukum yakni mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
30
S.F. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik di Indonesia dalam Dimensi Hukum Administrasi
Negara, UII Pres, Yogyakarta, hal. 216.
47
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Sehingga
apabila kepastian hukum tersebut terwujud, maka akan menjamin persamaan
kedudukan warga masyarakat dalam hukum.
Dalam hubungannya dengan bidang pertanahan, menurut Mhd. Yamin
Lubis dan Abd. Rahim Lubis, bahwa setiap penguasaan dan pemanfaatan tanah
termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus didasarkan pada hukum
dan diselesaikan secara hukum serta tetap berpijak pada landasan konstitusi yakni
Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk
melakukan pengaturan dan pemanfaatan tanah dalam konteks sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat termasuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
di Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum.31
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa asas kepastian hukum sangat
menentukan eksistensi hukum sebagai pedoman tingkah laku dalam masyarakat.
Hukum harus memberikan jaminan kepastian tidak adanya kesewenang-wenangan
dalam masyarakat. Selain itu kepastian hukum secara normatif ialah ketika
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam arti tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan
(multitafsir), dan kekosongan norma, sedangkan logis dalam artian menjadi suatu
sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma.
31
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran
Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal.4.
48
Asas jaminan kepastian hukum dalam UUPA ditemukan dalam uraian
Pasal 19 yaitu:
(1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah
(2). Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
(4). Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
UUPA juga mengatur kewajiban bagi pemegang Hak Milik, Hak Guna
Usaha, dan Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Hal ini
agar terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah yang
dimilikinya.
Jaminan
kepastian
hukum
merupakan
salah
satu
tujuan
diundangkannya UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Untuk
mewujudkan jaminan kepastian hukum dilakukan melalui pembuatan peraturan
perundang-undangan
yang diperintahkan oleh UUPA dan isinya tidak
bertentangan dengan UUPA. Selain itu, dilakukan melalui pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat rechtscadaster.32
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat
(1) UUPA diatur dengan Peraturan Pemerintah. Seperti yang telah diterangkan di
32
Urip Santoso, Op.cit., hal. 64-65.
49
atas, Peraturan Pemerintah yang diperintahkan disini sudah dibuat, semula adalah
PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Kemudian PP No. 10 Tahun
1961 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan disahkannya PP No. 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah.
PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 merupakan bentuk
pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka Rechtscadaster (pendaftaran tanah).
Bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses
pendaftaran tanah tersebut berupa Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.33
Mengutip pendapat Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa terbitnya
PP No. 24 Tahun 1997 dilatarbelakangi oleh kesadaran akan semakin pentingnya
peran tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan dukungan kepastian
hukum dibidang pertanahan. Secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan
tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional
mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaaan peraturan
perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh
sumber daya manusia yang mendukungnya.34
Asas perlindungan hukum ditemui dalam rumusan Pasal 18 UUPA yaitu
meskipun hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tidak berarti kepentingan
33
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum
Pertanahan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 81.
34
Urip Santoso, Op.cit, hal. 282, dikutip dari Maria S.W. Sumardjono,
1997, “Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah”,
Makalah, Seminar Nasional Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-pajak
yang terkait: Suatu Proses Sosialisasi dan Tantangannya, kerja sama Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada dan Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta,
Tanggal 13 September 1997, hal. 1.
50
pemegang hak atas tanah diabaikan begitu saja. Dalam rangka memberikan
penghormatan dan perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat begitu saja
diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum. Kepada
pemegang hak atas tanah diberikan ganti rugi yang layak, artinya kehidupan
pemegang hak atas tanah harus lebih baik setelah hak atas tanah diambil oleh
pihak lain.35
PP No. 24 Tahun 1997 tidak hanya sebagai sekedar peraturan pelaksana
dari ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu PP No. 24 Tahun 1997
menjadi tulang punggung yang mendukung berjalannya tertib administrasi
pertanahan di Kantor Pertanahan. Latar belakang dibuatnya PP No. 24 Tahun
1997 dinyatakan dalam Kosiderannya di bawah perkataan menimbang, yaitu:
a. Bahwa peningkatan pembangunan nasional
yang berkelanjutan
memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan;
b. Bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan
jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan;
c. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya
hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu
dilakukan penyempurnaan.
Meskipun UUPA mengatur pendaftaran tanah, namun tidak disebutkan
memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, begitu pula
halnya dengan PP No. 10 Tahun 1961. Menurut A.P. Parlindungan36, pendaftaran
tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis
35
Urip Santoso, Op.cit., hal. 65.
A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hal. 18-19.
36
51
untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan
terhadap suatu bidang tanah.
Pengertian pendaftaran tanah baru dimulai dalam Pasal 1 angka 1 PP No.
24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.37 Prinsip pendaftaran hak atas tanah adalah untuk
memfasilitasi jaminan keamanan atas pemilikan tanah dan pemindahan haknya,
misalnya pembeli yang akan memiliki tanah dengan tidak ada gangguan dari
pihak lain. Selain itu, pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menemukan apakah
ada hak-hak pihak ketiga.
Di dalam pendaftaran tanah harus mencerminkan suatu ketelitian
mengenai
kepemilikan
dari
tanah
dan
hak-hak
pihak
ketiga
yang
mempengaruhinya. Oleh karena itu prinsip jaminan pendaftaran ialah status hak
memberikan jaminan dari ketelitian suatu daftar, bahkan seharusnya memberikan
ganti kerugian kepada siapapun yang menderita kerugian.38
37
Urip Santoso, Op.cit., hal. 13.
Mark P. Thompson, 2001, Modern Land Law, First Published, Oxford
University Press, New York, hal. 88.
38
52
1.5.5
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
(1).
Membuat atau tidak membuat perjanjian
(2).
Mengadakan perjanjian dengan siapapun
(3).
Menentukan isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
(4).
Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis
Selaras dengan asas kebebasan berkontark yang dijelaskan di atas, Charles
P. Nemeth dalam bukunya yang berjudul The Paralegal Resource Manual
menyebutkan : “Contract means the total obligation that result from the parties’
agreement as determined by as supplemented by any other applicable laws. A
contract can be defined in a various ways, contracts can be formal or informal
but essentially reflect the promises between individuals and institutions”.39
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah paham
individualisme pada zaman Yunani, kemudian diteruskan melalui ajaran John
Locke dan Rosseau, di mana menurut Beliau paham individualisme berarti setiap
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, dan dalam hukum kontrak
asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Seiring dengan perjalanan
waktu, setelah berakhirnya Perang Dunia II, paham ini dirasa tidak mencerminkan
39
Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, The Mc
Graw Hill Companies, United States, hal. 169.
53
keadilan. Oleh karena itu, kehendak bebas diberi arti relatif yang dikaitkan dengan
kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan
kepada para pihak, namun perlu diawasi.40 Bila dicermati Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, ada 3 (tiga) pokok asas yang terkandung di dalamnya, yakni:
Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan
a)
asas kebebasan berkontrak.
Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas
b)
kekuatan mengikat atau Asas Pacta Sunt Servanda, yang berhubungan
dengan akibat perjanjian.
Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
c)
personalitas.
Selain Pasal 1338 KUH Perdata sebagai landasan hukum dari asas
kebebasan berkontrak, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang termuat dalam
Pasal 1320 KUH Perdata juga harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian.
Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat:
(1).
(2).
(3).
(4).
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal
Syarat tersebut di atas mengenai pihak yang membuat perjanjian disebut
syarat subjektif, sedangkan mengenai isi perjanjian disebut syarat objektif.
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini ialah persesuaian kehendak antara
pihak yaitu bertemunya penawaran dan penerimaan. Sementara iu kecakapan
40
H. Salim, dkk., 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of
Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2.
54
adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum
(perjanjian). Mengenai hal tertentu, yakni harus ada objek perjanjian yang jelas,
suatu perjanjian tidak dapat dilakukan tanpa objek yang tertentu. Syarat terakhir
ialah mengenai suatu sebab yang halal, yang berarti bahwa isi perjanjian tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.41
Relevansi asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian dengan tulisan ini
ialah setiap individu pada dasarnya pemegang hak atas tanah sebagaimana
manusia biasa selalu berkeinginan untuk mengadakan perubahan terhadap hakhak yang dimiliki. Apabila perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya
berpindahnya hak kepada individu lainnya baik dengan pamrih ataupun tidak,
maka sejak itu mulailah individu tersebut berhadapan dengan apa yang disebut
dengan peralihan hak.
Peralihan hak berasal dari kata “alih”, yang berarti perpindahan. Jadi
dengan peralihan dimaksudkan adanya perpindahan atau pergantian. 42 Jadi dapat
dikatakan bahwa peralihan hak itu adalah perpindahan hak dari pemilik awal
kepada pemilik berikutnya.
Salah satu jenis peralihan hak adalah jual beli. Jual beli termasuk jenis
perjanjian timbal balik yakni perjanjian yang menimbulkan masing-masing
kewajiban dan hak secara timbal balik. Dalam KUH Perdata Pasal 1457
disebutkan: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
41
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan
Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 67.
42
Roberto Kratovil, 1974, Real Estate Law, Prentice Hall New Jersey, hal.
5.
55
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah
pihak-pihak yang terlibat didalamnya mencapai kata sepakat tentang kebendaan
tersebut dengan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun
harganya belum dibayar, hal ini diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata. Berkenaan
dengan pengertian jual beli tanah, Boedi Harsono43 menyatakan bahwa pengertian
jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik
(penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang
pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang
mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu
termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah.
Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, jual-beli diajukan oleh para
pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang
bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual-beli dihadapan PPAT maka
dipenuhilah syarat terang tersebut. Hal ini dipertegas dengan digantinya PP No.
10 Tahun 1961 menjadi PP No. 24 Tahun 1997, yaitu pendaftaran tanah hanya
dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai bukti terjadinya peralihan hak, dan
mereka yang melakukan peralihan hak dengan tanpa menggunakan akta yang
43
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
hal.135.
56
dibuat oleh dan dihadapan PPAT tidak dapat melakukan pendaftaran sebagaimana
seharusnya dan berakibat tidak terselesaikannya sertipikat tanda bukti hak.44
Akta jual-beli yang ditandatangani atau dibubuhkan cap jempol oleh para
pihak memberikan bukti otentik terhadap peralihan hak milik atas tanah. Hal ini
menegaskan bahwa jual-beli telah terjadi dan pembayaran telah dilakukan dan
diterima oleh pihak yang mengalihkan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa salah satu cara
melakukan peralihan hak atas tanah adalah dengan melakukan jual beli. Secara
umum terdapat beberapa jenis jual-beli antara lain:
(1). Jual beli hak atas tanah murni/keseluruhan adalah jual beli hak atas tanah
secara keseluruhan sebagaimana luas yang ada dalam tanda bukti hak
oleh penjual kepada pembeli yang dalam praktek disebut dengan jualbeli hak atas tanah murni.
(2). Jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan
bidang tanah, diatur dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.
Konsekwensi dari pemecahan bidang tanah ini adalah dilakukannya
pemecahan suatu bidang tanah yang mengakibatkan dihapusnya status
hak atas tanah yang lama dan menghasilkan hak baru secara
keseluruhan, namun status hak atas tanah yang baru nantinya adalah
sama dengan status hak atas tanah yang telah dihapus.
(3). Jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan
bidang tanah, yakni diatur dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun
44
Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 77.
57
1997. Dipisah disini dimaksudkan dilahirkan hak atas tanah baru
disamping hak atas tanah sebelumnya yang telah ada, status hak atas
tanah baru ini adalah sama dengan status hak atas tanah sebelum
pemisahan dilakukan.
Ketiga jenis peralihan tanah tersebut memiliki unsur-unsur yang berbeda
baik dalam persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum
itu sendiri. Namun tidak disebutkan adanya pendaftaran peralihan hak atas tanah
kapling. Lantas mengapa jual beli hak dengan cara pengkaplingan tanah sangat
lumrah dimasyarakat? Tampaknya dalam hal ini terjadi suatu kekosongan norma,
sehingga dikawatirkan akan berakibat dengan status kepastian hukum kepemilikan
tanah kapling.
Menurut Fockema Andreae, istilah kapling mempunyai arti bagian atau
pecahan dan dalam hubungannya dengan tanah adalah sebidang tanah yang
dibatasi oleh pematang yang dikeringkan dan berarti pula tanah perpetakan yang
dipertukarkan (ruilverkaveling).45 Jadi pengkaplingan tanah adalah bidang tanah
dalam petak-petak dengan ukuran luas tertentu yang telah dipersiapkan untuk itu
oleh pemiliknya untuk dipertukarkan.
Bila dilihat bisnis pengkaplingan memberikan keuntungan kepada pihak
pemilik tanah, ia dapat menjual tanahnya secara mudah dengan cara mempetakpetakkan tanahnya yang luas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Selain itu
juga memberi kemudahan bagi pembeli untuk membeli tanah dengan ukuran yang
45
Fockema Andreae, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum, Binacipta,
Bandung, hal. 236.
58
dapat disesuaikan. Sedangkan dampak negatifnya dapat menimbulkan kepadatan
penduduk di wilayah tersebut.
Pengertian tanah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 ayat
(3) UUPA : “Permukaan bumi, yang berarti hak atas tanah adalah yang dapat
dibebankan di atas permukaan bumi. Hubungan manusia atau badan hukum
dengan tanah memunculkan hak privat bagi manusia atau badan hukum itu
sendiri, dan tercakup dalam lingkup keperdataan.”
Menurut Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, yang dimaksud hak atas
tanah adalah hak atas sebidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA:
(1). Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah:
a. hak milik
b. hak guna usaha
c. hak guna bangunan
d. hak pakai
e. hak sewa
f. hak membuka tanah
g. hak memungut hasil hutan
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.46
1.6
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif yaitu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini. Kegunaan metode penelitian normatif adalah untuk melakukan
46
Binoto Nadapdap, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala,
Jakarta, hal. 48.
59
penelitian dasar (basic research) dibidang hukum, khususnya bila peneliti mencari
asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan
hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan
sistem hukum nasional.47 Dalam penelitian ini terdapat kekosongan norma yakni
dalam kenyataannya di masyarakat berkembang suatu teknik penjualan bidang
tanah dengan cara pengkaplingan tanah, namun UUPA yang dibentuk tahun 1960
Pasal 19 mengenai pendaftaran tanah tidak mengenal pengkaplingan tanah,
kemudian dalam peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 dalam
hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah hanya mengenal dua karakter
peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (2), tidak menyebutkan perbuatan hukum
tersebut dengan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional
tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan pengkaplingan
tanah, demikian juga Kantor Badan Pertanahan hanya menerima pendaftaran
tanah dengan pemecahan dan pemisahan. Sehingga hal ini tentunya akan berakibat
pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling, karena kerap kali pembeli yang
sudah membeli bidang tanah kapling dengan itikad baik tidak dapat membangun
diatas tanah yang dibelinya, bahkan kerap kali tidak dapat memiliki tanah yang
dibelinya tersebut.
Penelitian ini lebih memfokuskan pada hukum Agraria nasional melalui
Peraturan Pelaksananya mengenai Pendaftaran Tanah yang mengatur tentang
pemecahan dan pemisahan bidang tanah oleh pemegang hak atas tanah, yang
47
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir
Abad ke-20, Alumni, Bandung, hal. 141.
60
kemudian direfleksikan menjadi bisnis pengkaplingan tanah, termasuk di
dalamnya pengaturan yang sekiranya memiliki relevansi mengenai tanah kapling,
kemudian mengenai jaminan kepastian hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan
dengan adanya pengkaplingan tanah, yang terakhir mengenai tata cara atau
prosedur pengkaplingan tanah yang dilakukan di masyarakat.
b.
Jenis Pendekatan
Menurut
Peter
Mahmud
Marzuki48
pendekatan-pendekatan
yang
digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang,
pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan
konseptual. Tetapi untuk membahas permasalah dalam tesis ini pendekatan yang
diterapkan sebagai berikut:
1. Pendekatan Undang-undang (statue approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah suatu Undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan permasahan yang dibahas. Pendekatan undangundang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-undang dengan Undang-undang
lainnya atau antara Undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara
regulasi dan Undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen
untuk memecahkan isu yang dihadapi. Penekanan dalam tesis ini bagaimana
hukum
agraria nasional
mengatur
perbuatan hukum
atas tanah
yang
mengakibatkan terjadinya pemecahan dan pemisahan tanah oleh pemegang hak
48
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 93.
61
atas tanah, dan kemudian timbul suatu tata cara pengkaplingan. Dalam tesis ini
Undang-undang yang ditelaah ialah UUPA, serta PP No. 24 Tahun 1997.
2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Dalam pendekatan konseptual, peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum.
Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum yang dalam hal ini tentang pengkaplingan tanah. Meskipun
tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undangundang.
3. Pendekatan historis (historical approach)
Penelitian dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini
sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke
waktu. Melalui pendekatan ini juga dapat memahami perubahan dan
perkembangan filosofi yang nantinya melandasi lahirnya aturan hukum baru.
Relevansi dengan tesis ini seiring dengan perkembangan waktu dalam rangka
kebutuhan akan tanah yang terus meningkat dan perlunya pengaturan
pembangunan perumahan dan pemukiman, ternyata timbul suatu cara untuk
memudahkan pemilik hak atas tanah menjual tanah dan meningkatkan nilai jual
tanahnya yakni dengan teknik pengkaplingan, namun UUPA yang dibentuk tahun
1960 belum mengenal teknik pengkaplingan, begitu pula PP No. 24 Tahun 1997.
62
c. Sumber Bahan Hukum
Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier (sebagai
penunjang bahan hukum primer dan sekunder).49
1. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesai 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Burgelijk Wetboek (B.W), Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang berasal dari literatur-literatur, buku-buku (text book) yang
berkaitan dengan hukum agraria, Hukum Tata Negara serta Hukum Kenotariatan,
dan sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil penelitian dari kalangan hukum, dan seminar.
49
Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 33.
63
3. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum ini yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus,
ensiklopedia.50 Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang dimaksud antara
lain berupa Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kamus Istilah Hukum, Kamus
Istilah Hukum Agraria Indonesia, dan Black’s Law Dictionary.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum ialah
terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam
penelitian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Kartukartu disusun berdasarkan pokok masalah dalam penelitian dan penulisan ini
berdasarkan langkah-langkah yang telah disusun. Disamping itu ditelaah
dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan pokok masalah.
e.
Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah
terkumpul, dilakukan dengan langkah-langkah deskriptif dan interpretasi. Teknik
deskriptif dipergunakan dalam menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik
dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti
menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum atau non hukum, sehingga dalam penelitian ini diungkapkan apa
adanya, bagaimana hukum agraria nasional mengatur tentang perbuatan hukum
atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan dan pemisahan hak atas
50
Ibid, hal. 13.
64
tanah oleh pemegang hak atas tanah serta keterkaitannya dengan bisnis
pengkaplingan tanah yang kini ada di masyarakat, namun belum ada peraturan
yang mengatur secara jelas dan pasti.
Teknik interpretasi (penafsiran) yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah interpretasi gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis. Interpretasi
gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa. Bahasa merupakan sarana yang
dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu
pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda.
Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari.
Sehingga disebut interpetasi gramatikal karena untuk mengetahui makna
ketentuan Undang-Undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan
kata atau bunyinya. Dalam interpretasi gramatikal ini digunakan kamus bahasa
atau keterangan ahli bahasa sebagai narasumber.
Penafsiran sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan
dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.51 Suatu
peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan
hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan undang-undang
tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan. Menghubungkan suatu
perundang-undangan dengan peraturan lain dalam sistem hukum agraria yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini.
51
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hal. 112.
65
BAB II
TEORI DAN KONSEP HAK MILIK, PENGKAPLINGAN BIDANG
TANAH DAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH
Pembahasan dalam Bab II ini meliputi 3 (tiga) sub bahasan. Adapun
pemaparannya dalam bab ini meliputi :
 Hak Milik Atas Bidang Tanah
 Pengkaplingan Bidang Tanah
 Jual Beli Hak Milik Atas Tanah
2.1
Hak Milik Atas Bidang Tanah
Teori yang dipergunakan ialah Teori Hak Milik Atas Bidang Tanah
(Kepemilikan). Awalnya diilhami oleh Teori hukum Kodrat oleh John Locke yang
berpendapat manusia sejak dilahirkan mempunyai hak untuk mempertahankan
hidupnya.52 Kemudian dari hukum kodrat ini mengilhami lahirnya konsep hak
sebagai hak kebendaan yang sempurna, turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai semua orang, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia secara
kodrati serta dianugerahkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Pada awalnya hak
milik atas tanah berdasarkan Hukum Adat, kemudian pada masa penjajahan
dikenal adanya hak milik atas tanah disebut hak eigendom (eigendomrecht) yang
tunduk pada hukum Eropa yang diberlakukan di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh
Negara,
dengan
lahirnya
UUPA
yang
dilandasi
oleh
Hukum
Adat.
Diundangkannya UUPA mengakibatkan adanya individualisasi, yang memberikan
pengakuan khusus terhadap hak-hak perorangan. Hak-hak milik perseorangan ini
52
John Locke, Op.cit., hal 77.
66
diberikan perlindungan hukum oleh pemerintah dengan suatu teknis pendaftaran
tanah. Dengan kata lain, tanah yang dulunya dalam hukum adat tidak didaftarkan,
tetapi setelah UUPA, untuk memperoleh kepastian hukum kepemilikan tanah,
maka tanah tersebut harus didaftarkan oleh pemiliknya.
Apabila hak atas tanah sudah didaftarkan, maka akan memperoleh
sertipikat tanda bukti kepemilikan tanah. Tidak hanya itu, bahwa pensertipikatan
tanah memberikan dampak positif terhadap pelestarian tanah, selain memberikan
kepastian hukum, dapat memberikan informasi mengenai tanah tersebut, serta
pentingnya hak-hak atas tanah dan pendaftarannya, juga meningkatkan ketertiban
dalam bidang keagrariaan.
Sebelum mengetahui pengertian hak milik atas tanah, terlebih dahulu
penulis memaparkan pengertian hak. Pengertian hak dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah : “1) kepunyaan; (2) milik; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk
berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dan
sebagainya); (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu;
(6) derajat atau martabat.”53
Lebih lanjut pengertian hak dapat dilihat dalam Black’s Law Dictionary.
Dalam Black’s Law Dictionary, dijelaskan bahwa hak ialah :
Right. N (bef 12c) 1. That which is proper under law, morality, or etchics
(know right from right); 2. Something that is due to a person by just claim,
legal guarantee, or moral principle (the right of liberty); 3. A power,
privilege, or immunity secured to a person by law (the right to dispose of
one’s estate); 4. A legally enforceable claim that another will do or will not
do a given act; a recognized and protected interestthe violation of which is a
wrong (a breach of duty that infringes one’s right); 5. (often pl) The interest,
53
Tim Penyusun Pusat Kamus, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 502.
67
claim or ownership that one has in tangible or intangible property (a
debitor’s rights in collateral) (publishing rights).54
Dari rumusan bahasa Inggris ini dapat diterjemahkan secara bebas. sebagai
Secara garis besar hak dapat diartikan 1. Sebagai yang benar menurut hukum,
moralitas, atau etika; 2. Sesuatu yang disebabkab oleh seseorang dengan hanya
mengklaim, jaminan hukum, atau prinsip moral (hak kebebasan); 3. Kekuatan,
penghormatan, atau perlindungan dijamin seseorang oleh hukum; 4. Keabsahan
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang diberikan, penghormatan
untuk diakui dan dilindungi dalam terjadinya pelanggaran hukum sekalipun
(melanggar hak seseorang); 5. Kepentingan, klaim atau kepemilikan yang dimiliki
seseorang atas harta berwujud maupun tidak berwujud (hak-hak debitur dalam
agunan) (penerbitan hak).
Selain itu, hak juga diartikan sebagai korelatif dari kewajiban, dimana
tidak ada kewajiban maka tidak ada hak. Namun hal ini belum tentu selalu benar,
bisa saja ada kewajiban tanpa hak. Pada umumnya dari kewajiban akan selalu
menimbulkan hak.
Pertumbuhan penduduk yang kian meningkat sejalan dengan kebutuhan
akan lahan atau tanah sebagai sarana pembangunan tempat tinggal. Negara
menjamin setiap warga negaranya untuk pemenuhan kebutuhan dan penghidupan
yang layak, serta memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hakhak warga negaranya. Prinsip penghormatan terhadap hak milik pribadi kemudian
54
Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co,
United States of America, hal. 1436.
68
dicantumkan dalam UUD RI 1945 yakni dalam Pasal 28 A, 28 H ayat 4, dan Pasal
28 J ayat 2.
Pengaturan tanah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kesadaran
akan arti pentingnya fungsi tanah terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886 (selanjutnya disebut UU HAM), arti penting hak untuk
hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) yakni :
Mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Oleh karena itu
setiap orang memerlukan ketersediaan tanah untuk pemenuhan hak atas
kesejahteraan berupa milik, yang dapat dipunyai bagi dirinya sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain yang berguna untuk pengembangan dirinya
sendiri maupun dengan orang lain dan masyarakat.
Selanjutnya penjelasan hak atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan
UUPA. Mengenai pengaturan hak atas tanah, diatur dalam ketentuan UUPA Pasal
4 yakni:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UndangUndang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksudkan dalam ayat (1)
Pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
69
Dari Pasal 4 UUPA tersebut di atas dapat disimpulkan hak atas tanah dapat
dipunyai oleh orang-orang atau badan hukum baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain. Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan
sebagai hak atas permukaan bumi (tanah) yang memberi wewenang kepada
pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi
dan air serta ruang udara di atasnya. Hal ini mengandung arti bahwa hak atas
tanah itu di samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban
kepada pemegang haknya. Namun wewenang yang dimaksud di sini terbatas pada
mempergunakan permukaan bumi (tanah), tidak mencakup pengambilan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Pendapat penulis tersebut di atas diperkuat dengan pendapat Maria S. W.
Sumardjono. Beliau berpendapat pengertian hak atas tanah pada pokoknya
meliputi permukaan bumi saja, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum
Angka II (1). Kalaupun diperkenankan penggunaan ruang angkasa yang meliputi
tubuh bumi dan ruang udara, maka penambahan itu merupakan kriteria
pembatasan yang fleksibel dan adil, sebagaimana tampak dalam kata-kata
“sekedar diperlukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Pembatasan pengertian hak atas tanah dengan permukaan bumi tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penguasaan seseorang terhadap tanah
hanyalah terbatas pada bagian atas dari bumi, sehingga dengan demikian
70
memberikan hak kepada negara untuk menguasai bahan-bahan tambang yang
berada di tubuh bumi.55
Selanjutnya pengertian hak milik ditemui dalam ketentuan Pasal 570 KUH
Perdata. Adapun pengertian hak milik ialah:
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan cara
bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau
peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak
menetapkannya, dan tidak menggangu hak-hak orang lain, kesemuanya itu
dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-undang dan dengan
pembayaran ganti rugi.
Mengutip pendapat R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum.
Hak pemilikan (eigendomsrecht) terdiri dari 2 (dua) hak atau kewenangan yang
penting, yakni:
 Yang mempunyai (eigenaar) berwenang/berhak memungut kenikmatan
dari kepunyaannya.
 Yang mempunyai juga berwenang/berhak memindah-tangankan
(vervreemden) kepunyaan itu.
Dalam istilah Belanda, hak tersebut dinamakan “beschikken” yang meliputi
hak/kewajiban untuk menjual, memberi, menukar, mewariskan secara legal.
Beschikken meliputi segala kewenangan untuk memindah-tangankan dari
tangan yang satu ketangan yang lain.56
Dari ketentuan Pasal 570 KUH Perdata serta pendapat R. Soeroso tersebut di atas
dapat simpulkan bahwa : Pertama, hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan suatu kebendaan misalnya dengan itu memungut kenikmatan dari benda
tersebut. Kedua, pemilik hak dapat memindah-tangankan dan/atau mengalihkan
kepunyaannya kepada orang lain sepanjang tidak melebihi hak miliknya atau apa
55
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, hal. 128.
56
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
273.
71
yang dia punyai, dengan cara bagaimanapun asal tidak bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Maksud beschikken yang meliputi kewenangan untuk memindah-tangankan dari
tangan satu ketangan yang lain ialah perbuatan hukum peralihan hak dari pihak
penjual kepada pihak pembeli.
Ketentuan mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUPA, yang secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 27 UUPA.
Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik
diatur dengan Undang-undang, namun Undang-undang yang diperintahkan
sampai saat ini belum terbentuk, sehingga diberlakukanlah ketentuan Pasal 56
UUPA yakni selama Undang-undang tentang hak milik belum terbentuk, maka
yang berlaku adalah ketentuan Hukum Adat setempat dan peraturan-peraturan lain
sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.57
Pengertian hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA : “Hak milik adalah
hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Pengertian turun-temurun adalah
hak milik atas tanah dapat berlangsung terus menerus selama pemiliknya masih
hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat
artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain, tidak mempunyai batas tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan
57
Soejono, dan H. Abdurrahman, 2003, Prosedur Pendaftaran Tanah
(Tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna, dan Hak Guna Bangunan), Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 4.
72
pihak lain, dan tidak mudah dihapus. Terpenuh berarti hak milik atas tanah
memberi wewenang paling luas kepada pemiliknya bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dan dapat menjadi induk hak bagi hak atas tanah yang lain,
tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, serta penggunaan tanahnya lebih
luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA tersebut diartikan sifat hak milik
yang membedakan dengan hak-hak atas tanah lainnya ialah “terkuat dan
terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti
bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat
diganggu gugat sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli
dulu, karena sifat yang demikian bertentangan dengan hukum adat dan fungsi
sosial dari tiap-tiap hak. Pengertian “terkuat dan terpenuh” ialah bermaksud untuk
membedakan hak milik dengan hak-hak atas tanah lainnya, yaitu untuk
menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak
miliklah yang paling kuat dan terpenuh. Hal ini berarti UUPA telah menjamin hak
milik atas tanah kepada perorangan.
Hak milik atas tanah hanya dapat dipunyai Warga Negara Indonesia dan
badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun, khusus untuk badan
hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum
Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah yang dimuat dalam Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 61 (selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 1963).
73
Ketentuan Pasal 6 UUPA menentukan : “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Ini artinya dalam menggunakan hak milik atas tanah
harus memperhatikan fungsi sosial atas tanah, yakni dalam penggunaannya tidak
boleh sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain. Maka penggunaan tanah
harus disesuaikan dengan keadaaan dan sifat haknya, harus diperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.
Selanjutnya Pasal 56 disebutkan bahwa selama Undang-undang mengenai
hak milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka
yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA. Jadi
sepanjang ketentuan mengenai hak milik belum ada, maka yang berlaku adalah
ketentuan hukum adat setempat.58
Maksud dari Pasal 56 jo Pasal 50 ayat (1) jo Pasal 20 UUPA menurut
penulis ialah bahwa pada awalnya hukum tanah di Indonesia, sebelum berlakunya
UUPA ialah bersifat dualisme, artinya selain diakuinya hukum tanah adat yang
bersumber dari hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang
didasarkan atas hukum barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24
September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di
Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai suatu lembaga
hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA
maupun dalam UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak
58
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 3.
74
milik atas tanah, yaitu hak milik menurut hukum Adat dan hak milik menurut
Hukum Perdata Barat yang dinamakan hak eigendom.
Kedua macam hak tersebut sesuai dengan ketentuan konversi dalam
UUPA telah dikonversikan atau diubah menjadi hak milik. Konversi hak-hak atas
tanah adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA.
Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak
atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA sehingga sekarang hanya ada satu
macam hak milik atas tanah. Terhadap tanah-tanah tersebut menurut ketentuan
Pasal 19 UUPA jo PP No. 24 Tahun 1997, harus didaftarkan, apabila sudah
didaftarkan tidak banyak mengalami hambatan dalam hal adanya peralihan hak
atas tanah tersebut, beda halnya apabila tanah tersebut tidak didaftarkan, maka
akan menemukan banyak hambatan dalam hal peralihan hak atas tanah tersebut.
Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2)
UUPA yaitu: “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Lebih
lanjut ketentuan dalam Pasal ini menguraikan bahwa ada 2 (dua) bentuk peralihan
hak milik atas tanah, yakni : beralih dan dialihkan/pemindahan hak.
1. Beralih
Beralih berarti berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya
kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu peristiwa hukum. Misalnya
dengan meninggalnya pemilik hak atas tanah, sehingga secara hukum
kepemilikan haknya berpindah kepada ahli warisnya, sepanjang ahli
waris tersebut memenuhi syarat sebagai subyek hukum.
75
Beralihnya hak milik atas tanah yang telah bersertipikat harus
didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten ditempat
tanah tersebut berada dengan melampirkan surat keterangan kematian
pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, silsilah
keluarga, surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat pejabat yang
berwenang, identitas ahli waris, dan asli sertipikat tanah yang
bersangkutan. Maksud dari pendaftaran peralihan hak milik ini ialah
untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama
pemegang hak dari pemilik tanah awal kepada ahli warisnya.
2. Dialihkan atau pemindahan hak
Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas
tanah dari pemilik awal kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu
perbuatan hukum. Perbuatan hukum dalam hal ini yakni jual beli, tukarmenukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan,
lelang.
Berpindahnya hak milik atas tanah dengan cara dialihkan atau
pemidahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT),
sedangkan dalam lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau
Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat Kantor Lelang. Kemudian
barulah dapat dilakukan perubahan nama dalam sertipikat hak atas
tanah dari pemilik yang lama kepada pemilik hak atas tanah yang baru.
76
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas,
pertama asas “Nemo plus juris tranfere potest quam ipse habel”, artinya tidak
seorang pun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain
melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse
causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorang pun dapat mengubah
bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objek
miliknya.59
Komentar penulis mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik tersebut di
atas ialah : Pertama, pemilik hak dapat mengalihkan atau memberikan haknya
kepada orang lain, dengan batasan yakni: tidak melebihi apa yang dimilikinya,
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak merugikan
kepentingan orang lain. Kedua, kepemilikan hak atas tanah memberikan manfaat
serta kegunaan bagi pemiliknya, misalnya tanah dapat dimanfaatkan untuk
pertanian, perkebuan, dapat dijadikan sarana pembangunan, tanah dapat
dijaminkan atau dijadikan agunan (hak tanggungan), disewakan.
Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat melaksanakan
hidupnya di dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin
tinggi pula penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Dalam
membicarakan hak milik tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang benda,
karena hak milik merupakan hal yang selalu berkaitan dengan benda. Menurut
W.M Kleyn di Eropa, hak milik merupakan pengertian yang sentral dan netral,
59
Ridwan Halim, 2001, Bendera Mimbar Filsafat Hukum Indonesia dan
Pragmatisasinya Suatu Analisis Yuridis Empiris, Angky Pelita Studyways,
Jakarta, hal. 170.
77
hak kebendaan yang terpenting adalah hak milik dan ditafsirkan sebagai hak yang
absolut. Berkaitan dengan itu Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan Mahadi60,
mengatakan bahwa sifat absolut hak kebendaan yang mengharuskan setiap orang
untuk menghormati hak tersebut. Tanah ialah benda tidak bergerak yang
merupakan salah satu milik yang sangat berharga bagi umat manusia.
Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting
bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang
membangun kearah perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi, tanah yang
merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal,
antara lain:
(1). Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding
dengan kebutuhan yang harus dipenuhi;
(2). Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dengan tanah sebagai
akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan
dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya;
(3). Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, dan pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan
objek spekulasi;
(4). Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir bathin, adil dan merata,
sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.61
Bagi orang Indonesia tanah merupakan salah satu masalah yang paling
pokok, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan
berkisar sengketa mengenai tanah. Berdasarkan banyaknya perkara yang
menyangkut tanah, dapat dilihat bahwa tanah memegang peranan yang penting
dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
60
61
Aslan Noor, Op.cit., hal.26.
Adrian Sutedi, Op.cit., hal 1.
78
Pemilikan atas tanah harus memberi manfaat dan kegunaan dalam
berbagai aspek kehidupan kepada pemiliknya, baik itu dalam aspek sosial, aspek
ekonomi, termasuk hubungannya dengan pembangunan. Dalam aspek sosial tanah
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan keagamaan dan sejenisnya.
Sedangkan bila dilihat dari aspek ekonomi, tanah dapat dimanfaatkan untuk
pertanian, perkebunan, perkantoran sebagai tempat usaha, dapat dijadikan agunan
(hak tanggungan), dijual dan disewakan untuk kepentingan ekonomi pemiliknya.
2.1.1
Sifat dan Ciri Hak Milik Atas Tanah
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA disebutkan: “Hak Milik adalah
hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Turun temurun berarti hak milik tidak
hanya berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan
oleh ahli waris apabila pemiliknya meninggal dunia.
Terkuat menunjukkan bahwa jangka waktu hak milik tidak terbatas.
Sehingga berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan yang
mempunyai jangka waktu tertentu. Selain itu hak milik juga dikatakan terkuat
karena didaftarkan dan pemiliknya diberikan tanda bukti hak, yang berarti mudah
dipertahankan terhadap pihak lain.62 Hal ini berarti, hak milik merupakan hak
yang kuat dan tidak mudah dihapus, terkuat dalam hal ini ialah hak yang paling
kuat di antara hak-hak atas tanah lainnya. Hak milik merupakan mempunyai sifat
terkuat, dengan perkataan lain hak milik mudah dipertahankan dari gangguan
62
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 237.
79
pihak lain. Hak milik memiliki sifat terkuat seketika setelah hak milik tersebut
didaftarkan.
Terpenuh artinya hak milik merupakan induk daripada hak-hak lainnya,
artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan
hak-hak
yang
kurang
daripada
hak
milik,
misalnya:
menyewakan,
membagihasilkan, menggadai, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan
hak guna bangunan atau hak pakai. Namun pemberian sifat ini tidak berarti bahwa
hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu
gugat. Pengertian terkuat dan terpenuh dimaksudkan untuk membedakan hak
milik dengan hak-hak atas tanah lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa
diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang paling
kuat dan terpenuh.
Pembatasan mengenai hak milik secara umum berlaku terhadap seluruh
masyarakat, diantaranya dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA yaitu : “Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pembatasan secara khusus, yaitu terhadap
pemilik tanah yang berdampingan harus saling menghormati tidak boleh
merugikan yang lain, dan tidak menimbulkan penyalahgunaan hak.63
Fungsi sosial yang dimaksudkan dalam Pasal 6 UUPA menurut penulis
ialah pada hakikatnya pemilikan tanah tidak boleh merugikan kepentingan umum.
Sebidang tanah harus dipergunakan sedemikian rupa, sehingga dapat memberi
manfaat bagi pemiliknya dan masyarakat sekitarnya. Tanah tidak semata-mata
untuk kepentingan si pemilik saja, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
63
Effendi Perangin, Loc.cit.
80
Kepentingan perorangan dan masyarakat harus saling mengimbangi, sehingga
akan tercapai tujuan pokok UUPA yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan
bagi seluruh rakyat. Tidak saja pemilik bidang tanah tersebut, tetapi orang lain
yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah, misalnya penyewa juga
mempunyai kewajiban melaksakan fungsi sosial, oleh sebab itu diperlukan
rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Menurut R. Roestandi Ardiwilaga, pada asasnya hak milik tidak boleh
diganggu gugat, akan tetapi Negara mempunyai wewenang untuk mencabut hak
privat dari seseorang yang berlawanan dengan kemauannya untuk kepentingan
umum, atau hak-hak tersebut diberikan kepada pihak lain.64 Menurut penulis,
pendapat R. Roestandi tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPA yang
isinya: “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang”.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kepentingan umum ialah kepentingan orang
banyak, misalnya pembangunan jalan, pembangunan waduk, kepentingan bersama
dari rakyat misalnya pembangunan pasar, pembangunan perumahan rakyat.
Pencabutan hak atas tanah dalam UUPA ialah dalam arti pengambilan
tanah kepunyaan subyek hukum oleh negara secara paksa, tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban
hukumnya, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut hapus. Pencabutan hak
atas
tanah
64
yang
bersangkutan
dilakukan
R. Roestandi Ardiwilaga, Op. cit., hal. 275.
oleh
Pemerintah
dengan
81
mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar demi kepentingan umum di
kawasan tersebut diharuskan dilakukannya pencabutan hak. Apabila memang
harus dilakukan pencabutan hak, maka Pemerintah menetapkan besarnya ganti
rugi. Bila pemilik tanah tidak menyetujui besarnya ganti rugi, ia dapat
mengajukan gugatan di pengadilan.
Berkaitan dengan pasal-pasal mengenai hak milik atas tanah dalam UUPA
yang telah dipaparkan di atas. Notonagoro menyebutkan ciri-ciri hak milik
sebagai berikut:
(1) Dapat dijadikan hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada hak-hak atas
tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak gadai, hak bagi hasil.
(2) Dapat dijadikan sebagai jaminan utang, dengan cara pembebanan hak
atas tanah dengan hak tanggungan.
(3) Hak milik dapat digadaikan. Tanah yang digadaikan itu tidak dijadikan
jaminan utang, meskipun ada utang. Tanah diserahkan kepada kekuasaan
pemegang gadai dan si pemegang gadai berwenang mengusahakan tanah
itu dan mengambil hasilnya.
(4) Hak milik dapat dialihkan kepada orang lain dengan cara jual beli, hibah
wasiat, tukar menukar, dan cara lainnya.
(5) Hak milik dapat dilepaskan dengan suka rela. Maksud dari dilepaskan itu
ialah supaya pihak lain yang membutuhkan tanah dapat memohonkan
hak yang sesuai baginya. Pelepasan hak dan permohonan itu ditujukan
kepada Pemerintah.
(6) Hak milik dapat diwakafkan.
(7) Pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali terhadap orang yang
memegang benda tersebut.65
Berdasarkan pemikiran Notonagoro mengenai ciri-ciri hak milik tersebut
maka penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya.
Hak milik dapat dijadikan induk dari hak-hak atas tanah lainnya, dan memiliki
sifat turun-temurun, terkuat, dan terpenuh. Sifat ini ialah sebagai ciri khusus untuk
membedakan dengan hak-hak atas tanah lain seperti Hak Guna Usaha (HGU),
65
Aslan Noor, Op.cit., hal. 83.
82
Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak Sewa. Selain itu salah satu
kekhususan hak milik adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu
yang tidak terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih berlaku dan selama
subyek hukumnya masih diakui.
2.1.2
Subyek Hak Milik Atas Tanah
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan dasar timbulnya hubungan
hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek hak. Subyek hukum yang boleh
mempunyai hak milik diatur dalam Pasal 21 UUPA. Pada prinsipnya hanya
Warga Negara Indonesia tunggal yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik
(Pasal 21 ayat (1) jo ayat (4) UUPA).
Sesuai dengan asas kebangsaan dalam Pasal 1 UUPA maka menurut Pasal
9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya Warga Negara Indonesia saja yang
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26
ayat (2)).66 Hal ini sesuai dengan asas nasionalitas yang tercermin dalam UUPA.
Asas nasionalitas ini memiliki konsekuensi yang jauh terhadap pemilikan atau
pemegang hak milik atas tanah di Indonesia, yaitu yang diperbolehkan
mempunyai hak milik adalah hanya Warga Negara Indonesia.
Hak milik hanya boleh dipunyai orang, baik sendiri-sendiri maupun
bersama dengan orang lain. Badan hukum tidak boleh mempunyai tanah dengan
hak milik (Pasal 21 ayat (2) UUPA), kecuali yang ditunjuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik
66
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 62.
83
sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 21 ayat (2) ditentukan dalam PP No. 38
Tahun 1963 Pasal 1 ialah:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara).
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun
1958 Nomor 1390.
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agama,
setelah mendengar Menteri Agraria.
d. Badan-Badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang
sudah dipunyai sebelum berlakunya UUPA, sedangkan sesudah berlakunya
UUPA diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. Dari uraian di atas jelas
bahwa hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik sangat penting bagi
masyarakat Indonesia sebagai negara agraris yang sedang membangun kearah
perkembangan pembangunan.
Perkembangan pembangunan secara langsung memberikan pengaruh
terhadap usaha pemenuhan tempat tinggal. Pengaturan tanah sebagai sarana
pemenuhan tempat tinggal (rumah) diatur di dalam UUD RI 1945, UUPA dan
juga
UU
HAM.
Setiap
orang
memerlukan
ketersediaan
tanah
untuk
mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Salah satu hak atas tanah
ialah hak milik atas tanah, yang dapat dipunyai orang perorangan maupun badan
hukum maupun bersama-sama dengan orang lain yang berguna untuk
kesejahteraan hidupnya. Dengan adanya hak milik memberi wewenang kepada
pemilik hak seluas-luasnya mempergunakan tanahnya demi peningkatan taraf
hidupnya, namun dengan memberi batasan adanya kepentingan sosial.
84
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hak milik menurut UUPA adalah
hak induk bagi hak-hak atas tanah lainnya, maksudnya di sini ialah dengan hak
milik, pemegang hak milik diberikan wewenang paling luas menggunakan haknya
dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya. Sedemikan sebagaimana dengan
sifat hak milik yakni terkuat, terpenuh, dan turun-temurun.
2.2
Pengkaplingan Bidang Tanah
Dalam pembahasan sub bab ini dipergunakan Konsep Penatagunaan
Tanah, konsep ini ialah untuk melengkapi landasan teoritis yang ada pada bab I.
Konsep Penatagunaan tanah menyatakan bahwa penggunaan tanah bersifat
dinamis sesuai dengan dinamika masyarakat yang menggunakan tanah. Disadari
bahwa tanah yang menjadi objek perencanaan sebagian besar telah dilekati
bermacam-macam hak, oleh sebab itu dilakukan penatagunaan tanah yang
didahului dengan melakukan survei baru kemudian alokasi tanah. Kemudian
dilakukan pembangunan penggunaan tanah secara berencana. Pembangunan
penggunaan tanah secara berencana maksudnya ialah berusaha mencarikan tempat
yang tepat berdasarkan tata guna tanah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
telah digariskan bagi kepentingan masyarakat luas atau kegiatan usaha
perseorangan.67
Penatagunaan tanah dapat dipersamakan dengan pola pengelolaan Tata
Guna Tanah (TGT) yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah yang kesemuanya itu
67
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 46-56.
85
bermuara pada satu kepentingan, yakni kepentingan masyarakat secara adil.68 Dari
pendapat Hasni dan Yudhi Setiawan tersebut, menurut hemat penulis, bahwa
Konsep Penatagunaan Tanah berarti suatu tatanan berupa penguasaan,
perencanaan, penggunaan serta pemanfaatan tanah pada suatu kawasan tertentu,
yang didahului dengan melakukan survei kemudian alokasi lahan dengan wujud
konsolidasi tanah (Land Consolidation/L.C), yaitu tanah dimanfaatkan secara
optimal melalui peningkatan efisiensi dan penggunaanya, yang hasilnya
diharapkan mampu mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah
yang tertib dan teratur. Dampak luasnya ialah terciptanya terhadap Rencana Tata
Ruang yang baik di wilayah tersebut.
Fenomena yang terjadi sekarang ini ialah apa yang disebut tanah kapling.
Pada mulanya orang menguasai tanah kapling berdasarkan Surat Penunjukan
Kapling yang dikeluarkan oleh instansi yang mengelola kawasan setempat.
Dengan surat penunjukan kapling saja, hak atas tanah belum ada. Surat
penunjukan kapling adalah salah satu dasar untuk memohon hak atas tanah,
setelah proses permohonan hak atas tanah selesai yaitu dengan didaftarkannya hak
yang telah diberikan Pemerintah, seketika itu juga hak atas tanah akan lahir.69
Masyarakat pada umumnya mengartikan tanah kapling ialah sebidang
dengan luas tertentu tanah yang telah dipetak-petakkan menjadi tanah siap bangun
untuk pembangunan perumahan, yang dilengkapi dengan fasilitas jalan menuju
akses tanah tersebut. Pengertian kapling dapat dilihat dalam Kamus Istilah Hukum
68
Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek,
Bayumedia, Malang, hal. 105.
69
Effendi Perangin, 1987, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan
Kredit, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 7.
86
Agraria Indonesia yakni bahwa : “Kapling tanah matang adalah sebidang tanah
yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan,
penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan”.70
Konsep diatas selaras tujuan penggunaan tanah secara berencana seperti
yang ditentukan dalam Pasal 15 UUPA yakni : “Memelihara tanah, termasuk
menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiaptiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan
tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”. Hal ini berarti
agar tanah tersebut harus diwujudkan keseimbangan dan keserasiannya untuk
berbagai macam keperluan, dengan cara : direncanakan, dimanfaatkan dan
dipelihara kegunaannya sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dan mencegah
kerusakan tanah, sehingga diharapkan memberikan dampak positif bagi
kesejahteraan masyarakat baik secara nasional maupun secara lokal bagi
masyarakat sekitarnya.
Pengertian tanah dipersiapkan artinya sebidang tanah yang telah
dipersiapkan sesuai dengan peruntukannya, misalnya apabila peruntukannya
sebidang tanah perumahan, maka diatas tanah tersebut dapat dibangun rumah
sebagai tempat tinggal. Hal ini dapat berarti tanah dipersiapkan sesuai dengan tata
guna tanah yang berarti tanah dipersiapkan dengan pola penggunaan tanah yang
meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta meliputi pula
pemeliharaannya.
70
Binoto Nadapdap, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala,
Jakarta, hal. 87.
87
Pemilikan adalah hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dibidang pertanahan, seperti misalnya hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.71 Pemilikan hak atas tanah terjadi
dikarenakan adanya hubungan hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek
hak, misalnya hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai.
Pengertian rencana tata ruang, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, di dalam Pasal 1 angka 2
menyebutkan : “Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang”. Lebih
lanjut dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan : “Penataan ruang adalah suatu sistem,
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang”.
Hal ini berarti penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus
dilakukan sesuai dengan kaidah penaataan ruang sehingga diharapakan dapat
mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil dan berdaya guna, dan tidak
menyebabkan penurunan kualitas ruang. Hal ini berarti perlu adanya suatu
kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai
kebijakan pemanfaatan ruang. Sehingga seiring dengan tujuan tersebut,
pelaksanaan pembangunan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
71
Ibid, hal. 159.
88
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota disebut juga sebagai Urban Planning
atau Urban Land use Plan yakni rencana yang ditetapkan dan disahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.72 Tata ruang
(Land use) adalah wujud struktur ruang dan pola ruang yang disusun secara
nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional, kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), lalu perlu dijabarkan lagi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK).
Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap
orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk
mati pun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luasnya tanah yang dapat
dikuasai oleh manusia terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berkepentingan
terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah
manusia yang memerlukan tanah untuk perumahan, juga kemajuan dan
perkembangan ekonomi, sosial budaya dan teknologi menghendaki pula
tersedianya tanah yang banyak, umpamanya untuk perkebunan, peternakan,
pembangunan pabrik, perkantoran, tempat hiburan.
Berhubungan dengan hal tersebut di atas, bertambah lama dirasakan
seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu
bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah meningkat tinggi. Tidak
seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, sehingga
menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat.
72
Ibid, hal 219.
89
Tanah berfungsi strategis dalam memenuhi kebutuhan Negara dan rakyat
yang semakin beragam dan meningkat.73 Tingkat pertumbuhan masyarakat yang
tinggi memberikan dampak terhadap besarnya permintaan tanah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Saat ini kebutuhan akan lahan hunian semakin meningkat,
hal ini mengakibatkan meningkat pula nilai serta harga tanah. Semakin tinggi
harga atau nilai dari tanah tersebut mengkibatkan semakin meningkat pula
transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.
Salah satu akibat dari semakin meningkatnya transaksi tanah tersebut
adalah berkurangnya kemampuan pembeli untuk membeli bidang tanah dalam
ukuran yang luas untuk tempat tinggalnya. Akibat berkurangnya daya beli
masyarakat untuk memperoleh lahan yang luas maka pemilik tanah atau penjual
akan sulit menemukan pembeli tanahnya, hal ini diakibatkan karena luas tanah
yang akan ditransaksikan sangat luas maka harga jual dari tanah tersebut tentunya
akan tinggi sekali, maka kemungkinan mendapatkan pembeli sangatlah sulit, dan
apabila ada yang berminat membeli tanah tersebut tentunya penawaran yang
dilakukan akan berada di bawah harga pasar atau harga sesungguhnya.
Pemilik tanah menjual tanahnya disebabkan karena kebutuhan uang dan
biasanya dalam kondisi tertentu hanya menjual sebagian bidang tanahnya untuk
sekedar memenuhi kebutuhan uang tersebut. Pembeli bidang tanah itu pun
biasanya tidak hanya satu orang, tetapi beberapa orang sehingga pemilik dapat
menjual tanahnya sesuai dengan harga pasar atau seluas yang diinginkan oleh
pembeli.
73
Boedi Harsono, 1988, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,
Trisakti, Jakarta, hal. 3.
90
Menurut hemat penulis, seiring dengan perkembangan zaman, penjualan
bidang tanah oleh pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih maka
dipergunakanlah teknik-teknik atau cara marketing yang modern, sehingga
mereka yang membutuhkan lahan untuk kepentingan tempat tinggal ataupun
kepentingan bisnis dengan mudah mendapatkannya sesuai dengan kebutuhannya.
Berbagai macam cara dan teknis penjualan dilakukan oleh para pemilik tanah
maupun para pemilik modal untuk menjual barang dagangannya. Salah satunya
adalah dengan cara penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan yang
akhir-akhir ini marak dipergunakan. Tanah kapling sering disebut juga dengan
tanah matang atau tanah siap bangun. Dimana pemilk tanah atau pengembang
telah menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual sehingga nampak menarik
dengan berbagai fasilitas yang dijanjikan.
Keuntungan yang diperoleh oleh pemilik tanah ataupun pengembang dan
pelaku pengkaplingan pada kenyataannya lebih banyak diandalkan pada kenaikan
harga lahan. Lahan yang begitu murah dibeli oleh pemilik modal dapat langsung
melonjak dan melambung tinggi setelah diadakan sedikit perombakan dan
dilakukan pengkaplingan. Menurut hemat penulis, bisnis penjualan tanah kapling
biasanya dilakukan oleh:
1.
Pemilik tanah itu sendiri (pemegang hak);
2.
Pemodal (investor) atau mereka yang berstatus sebagai makelar/perantara
yang memiliki hak atas tanah;
3.
Badan usaha atau pengembang yang berusaha dalam bidang pengadaan
rumah.
91
Demikian juga dalam teknik penjualan bidang tanah dengan cara
pengkaplingan awalnya dilakukan untuk memudahkan penjual menjual tanah
yang cukup luas kepada pihak pembeli yang membutuhkan lahan, yang sudah
dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti jalan dan sarana-sarana
umum lainnya untuk menarik minat pembeli. Oleh karena itu, unsur-unsur utama
dari penjualan bidang tanah kapling menurut hemat penulis ialah sebagai berikut:
1. Adanya bidang tanah yang telah dipersiapkan untuk dipecah dan/atau
dipisah dalam petak-petak dengan ukuran serta luas tertentu.
2. Adanya subyek hukum yaitu pemilik atau pemegang hak atas tanah
yang berwenang untuk melakukan peralihan hak, dan adanya calon
penerima hak yang oleh undang-undang dapat menerima pengalihan
hak atas tanah.
3. Adanya jual beli sebagai suatu dasar peralihan hak.
4. Adanya keuntungan yang diharapkan oleh pemilik tanah atau mereka
yang melakukan jual beli bidang tanah dengan cara pengkaplingan.
Sehingga bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah
untuk dibangun rumah, sedangkan jumlah luas tanah yang tidak berubah atau
tidak bertambah, mengakibatkan munculnya ide-ide pikiran untuk menjual bidang
tanah yang telah dipetak-petakkan dengan luas tertentu dan dipersiapkan dengan
berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diperjanjikan, yang umumnya di
masyarakat disebut tanah kapling. Tanah kapling ialah tanah matang atau tanah
siap bangun, pemilik tanah atau pengembang telah menata sedemikian rupa tanah
yang hendak dijual sehingga lebih menarik dan diharapkan dapat menaikkan
92
harga jual. Sedangkan bagi pembeli, pembeli yang membutuhkan tanah atau lahan
untuk kebutuhan tempat tinggal atau keperluan bisnis dengan mudah mendapatkan
tanah sesuai dengan kebutuhannya ditambah lagi dengan tersedianya fasilitas
umum maupun fasilitas sosial yang diperjanjikan oleh pemegang hak atas tanah
maupun pihak pengembang.
2.3
Jual Beli Hak Milik Atas Tanah
Dalam pembahasan sub bab ini ilhami oleh Asas kebebasan berkontrak.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan : “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
(1). Membuat atau tidak membuat perjanjian
(2). Mengadakan perjanjian dengan siapapun
(3). Menentukan isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
(4). Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis
Tidak hanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana Pasal 1338 KUH Perdata, di
dalam merumuskan perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Pengertian jual beli hak milik atas tanah dibedakan menjadi 3 (tiga).
Selanjutnya dalam sub bab ini akan dijelaskan jual beli hak milik atas tanah yakni:
(1). Jual beli hak milik atas tanah menurut hukum adat
(2). Jual beli hak milik atas tanah menurut UUPA
(3). Jual beli hak milik atas tanah menurut KUH Perdata
93
Sebelum mengetahui pengertian jual beli menurut hukum adat, perlu
diingat bahwa di dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah
Nasional adalah hukum adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas,
lembaga hukum dan sistem Hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya
hukum adat
yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi
pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian
jual beli tanah menurut hukum adat.
Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan
hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang artinya perbuatan
pemindahan tersebut dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai
pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak
tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum.
Tunai maksudnya bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran
harga dilakukan secara serentak. Maka tunai berarti harga tanah dibayar secara
kontan, atau baru dibayar sebagian. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya,
maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan
tetapi dasar hukum utang piutang.74
Menurut penulis, dipakainya hukum utang piutang, karena terkadang
pembeli tanah dalam pelaksaan jual beli belum tentu memiliki uang tunai sebesar
harga tanah yang ditetapkan. Sehingga dalam hal yang demikian, pada saat jual
beli berlangsung, uang pembayaran tanah belum sepenuhnya dibayar lunas, hanya
sebagian saja yang dibayar, kemudian sisanya inilah yang memakai dasar hukum
74
hal.211.
Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,
94
utang piutang yang akan dibayar dikemudian hari misalnya dengan pembayaran
bertahap dengan ketentuan yang telah disepakati sebelumnya antara pihak penjual
dan pihak pembeli.
Lebih lanjut Adrian Sutedi dalam bukunya Peralihan Hak Atas Tanah dan
Pendaftarannya menyatakan belum lunasnya pembayaran harga tanah yang telah
ditetapkan oleh penjual dan pembeli tidak menghalangi pemindahan hak atas
tanah, artinya pelaksanaan jual beli dianggap telah selesai. Sisa uang yang harus
dibayar oleh pembeli dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual berkenaan
dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari
penjual kepada pembeli setelah selesainya jual beli.75
Pengertian sisa uang yang harus dibayarkan oleh pembeli kepada penjual
berkenaan dengan transaksi jual beli tanah dianggap sebagai utang pembeli
kepada penjual (hubungan hutang piutang diantara pembeli dengan penjual).
Dalam hubungannya dengan hak atas tanah yang ditransaksikan, hak atas tanah
yang ditransaksikan tetap telah berpindah dari penjual kepada pembeli, meskipun
pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan belum
lunasnya harga tanah yang dibayar pembeli kepada penjual.
Prosedur jual beli tanah diawali dengan kata sepakat antara calon penjual
dengan calon pembeli mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang
akan dijual dan harganya, yang diikuti dengan ikrar atau pembuatan kontrak jual
beli dihadapan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan Hukum) yang berwenang,
dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli kemudian disambut
75
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 72.
95
kesediaan penjual memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan demikian
terjadilah jual beli tersebut, karena hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun
formalitas balik nama belum terselesaikan.76
Dengan demikian dapat dipahami dari pemaparan prosedur jual beli tanah,
sudah tercapainya ciri-ciri yang menandai jual beli tanah tersebut yakni: Pertama,
jual beli tersebut diawali dengan tercapainya persesuaian kehendak atau sepakat
dari pihak penjual dan pembeli. Kedua, ialah tunai, setelah pihak penjual dan
pembeli sepakat mengenai harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi diikuti
dengan pemberian panjer berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli
diserahkan kepada pemilik tanahnya. Panjer ialah berfungsi sebagai tanda jadi
akan dilaksanakannya jual beli, dengan adanya panjer para pihak akan mempunyai
ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut.
Ketiga, ialah terang, setelah itu dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual
beli tanah, penjual dan pembeli menghadap Kepala Desa (Adat atau Persekutuan)
untuk menyatakan maksud mereka. Peranan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan)
sebagai penanggung bahwa perbuatan itu sudah terlaksana dengan tertib dan sah
menurut hukumnya. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang
menyatakan bahwa benar telah menyerahkan tanah miliknya untuk selamalamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga yang telah
disepakati. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa
(Adat atau Persekutuan). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka
perbuatan hukum jual beli tanah telah selesai, akibat hukumnya pembeli menjadi
76
Adrian Sutedi, Loc.cit.
96
pemegang hak atas tanah yang baru dan sebagai buktinya ialah surat jual beli
tersebut.
Umumnya dari jual beli tanah itu dibuatkan suatu akta berupa pernyataan
dari pihak penjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli dan telah
menerima harga yang ditentukan. Hal tersebut berarti bahwa sejak saat itu ia
bukan pemilik lagi dari tanah yang bersangkutan karena sudah beralih menjadi
milik pembeli.
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata, disebutkan jual
beli adalah : “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual)
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu benda dan pihak
yang lain (pembeli) membayar dengan harga yang telah dijanjikan”. Definisi dari
Pasal 1457 KUH Perdata maksudnya ialah dengan adanya jual beli menimbulkan
kewajiban pada kedua belah pihak, yakni pihak penjual dan pihak pembeli. Pihak
penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan pihak pembeli berkewajiban
untuk membayar harganya sesuai dengan yang telah disepakati.
Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Jual beli itu dianggap telah
terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat
mengenai benda yang diperjualbelikan itu serta harganya, biarpun benda tersebut
belum diserahkan dan harganya pun belum dibayar”. Hal ini berarti dengan
terjadinya jual beli itu saja hak milik atas tanah yang bersangkutan belumlah
beralih kepada pembeli, sungguhpun misalnya harganya sudah dibayar dan
tanahnya sudah diserahkan kedalam kekuasaan yang membeli.
97
Selaras dengan pendapat Hartono Soerjopratiknjo yakni, sepakat berasal
dari kata “consensus”. Konsensualitas ialah bahwa pada dasarnya perjanjian itu
timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapainya kata sepakat. Dengan
kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai hal-hal
pokok dan karena itu tidak diperlukan suatu formalitas. Barang (zaak) dan harga
merupakan unsur pokok (esssentialia) dari jual beli. Kemudian untuk menjelaskan
hubungan antara jual beli dan penyerahan (levering) maka pembuat undangundang menegaskan: penyerahan (levering) terjadi menurut peraturan hukum
benda; perjanjian jual beli saja tidak menyebabkan beralihnya hak milik.77
Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembeli jika telah
dilakukan apa yang disebut penyerahan yuridis (juridische levering) yang wajib
diselenggarakan dengan pembuatan akta oleh dan dihadapan Notaris/PPAT,
sebagai bukti bahwa telah diadakannya peralihan hak atas tanah dari pihak penjual
atau pemegang hak kepala pihak pembeli, yang kemudian akta peralihan hak
tersebut bersama warkah-warkah pendukung lainnya didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Tanah setempat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1459 KUH
Perdata.
Jual beli dan penyerahan hak merupakan dua perbuatan hukum yang
berlainan. Jual beli tanah karena melibatkan uang yang biasanya tidak sedikit,
lazimnya dilakukan dengan akta Notaris/PPAT. Penyerahan yuridis wajib
dilakukan dengan akta. Beralihnya hak milik atas tanah yang dibeli itu hanya
77
Hartono Soerjopratiknjo, 1982, Aneka Perjanjian Jual-Beli, Seksi
Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 3.
98
dapat dibuktikan dengan akta tersebut. Perbuatan hukum itu lazim disebut balik
nama, dan aktanya disebut akta balik nama.
Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu, baik pembeli maupun
penjual kedua-duanya wajib hadir. Biasanya penjual setelah perjanjian jual beli
dilakukan memberi kuasa kepada pembeli untuk hadir dan melaksanakan
penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika harganya sudah
dibayar lunas, dibuatkan akta kuasa menjualkan kemudian akta jual beli oleh
Notaris/PPAT. Sehingga sebelum dilakukan penyerahan yuridis walaupun ada
janji dari pihak penjual akan menyerahkan haknya kepada pembeli, maka disana
belum terjadi peralihan hak, karena janji belum tentu akan dilaksanakan, selama
itu bukan pembeli melainkan penjual yang masih merupakan pemilik dari tanah
yang bersangkutan, biarpun tanah tersebut sudah dikuasai pembeli.
Berikutnya, di dalam UUPA tidak diterangkan secara jelas apa yang
dimaksud dengan jual beli, istilah jual beli disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal lainnya tidak
menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan
menunjukkan suatu perbuatan hukum yang sengaja untuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat.
Jadi meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya
adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.78
Apa yang dimaksud jual beli dalam UUPA tidak diterangkan secara jelas,
akan tetapi mengingat Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria mengakui hukum adat
78
216.
Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Jakarta, hal.
99
selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, serta
peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan lainnya. Hukum
adat yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPA tersebut ialah hukum adat yang telah
dihilangkan dari cacat-cacatnya atau hukum adat yang telah disempurnakan, yang
telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional. Maka pengertian
jual beli tanah yang dimaksud dalam Hukum Tanah Nasional adalah pengertian
jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Hukum Adat. Seperti yang telah
dipaparkan pada sub bab di atas, bahwa pengertian jual beli tanah menurut hukum
adat merupakan perbuatan pemindahan hak yang sifatnya tunai, riil dan terang.
Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya
dilakukan pada saat yang bersamaan, walaupun uang yang dibayarkan belum
lunas. Sifat riil, bahwa kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan yang nyata yang menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya
dengan diterimanya uang oleh penjual dan dibuatkan perjanjian dihadapan Kepala
Desa (Adat atau Persekutuan), hal ini dikuatkan dengan Putusan MA No.
271/K/Sip/1956 dan No. 84/K/Sip/1971. Terakhir adalah sifat terang, yakni jual
beli disaksikan oleh Kepala Desa (Adat atau Persekutuan), yang dianggap
mengetahui hukumnya dan mewakili warga masyarakat desa tersebut.
Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, jual
beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.
Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang. Akta
jual beli yang ditandatangani atau dibubuhkan cap jempol oleh para pihak
memberikan bukti otentik terhadap peralihan hak atas tanah yang menegaskan
100
bahwa jual beli telah terjadi pembayaran telah dilakukan dan diterima oleh pihak
yang mengalihkan. Dalam perbuatan hukum jual beli hak atas tanah terdapat 2
(dua) syarat utama yang harus dipenuhi :
1. Syarat Materiil, ialah syarat yang sangat menentukan sahnya jual beli
tanah tersebut antara lain :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maksudnya pembeli
harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Berhak
atau tidaknya calon pembeli memperoleh hak atas tanah tergantung pada
status kewarganegaraan atau status badan hukum calon pembeli hal ini
berkaitan dengan status hak tanah yang akan dialihkan misalnya hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut Pasal 21 UUPA yang dapat
memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia dan
badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan, maksudnya yang berhak
menjual bidang tanah adalah si pemegang yang sah dari tanah tersebut
yang disebut pemilik (orang yang namanya tercantum dalam sertipikat
atau alat bukti lain selain sertipikat). Apabila pemegang hak atas tanah
adalah 1 (satu) orang maka yang berhak mengalihkan adalah satu orang
itu, namun apabila pemegang haknya 2 (dua) orang maka yang berhak
mengalihkan adalah kedua orang itu secara bersama-sama.
c. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan, terbebas dari sitaan
pengadilan, tidak sedang menjadi jaminan utang, tidak dalam sengketa.
Jika salah satu syarat materiil tidak terpenuhi, maka jual beli tanah tersebut
adalah tidak sah sehingga dikatakan batal demi hukum, yang artinya sejak
semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.79
Oleh sebab itu maka ketentuan syarat materiil haruslah dipenuhi. Jika
salah satu syarat materiil belum atau tidak terpenuhi, misalnya pembeli bukan
subyek yang oleh Undang-undang diberikan hak untuk menerima hak atas tanah,
penjual bukan merupakan subyek yang berhak menjual hak atas tanah tersebut,
dan jika objek jual beli (tanah) masih menjadi sitaan atau merupakan objek
sengketa, ataupun tanahnya masih menjadi jaminan suatu utang, maka jual beli
yang dilakukan adalah tidak sah. Jual beli yang dilakukan oleh subyek hukum
79
Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 2.
101
yang tidak berhak serta objeknya berada dalam sitaan pengadilan, dijaminkan
utang, serta masih dalam sengketa adalah batal demi hukum.
2. Syarat Formal, adalah apabila semua persyaratan materiil telah terpenuhi
maka PPAT atas permintaan para pihak akan membuat akta jual beli
sebagai bukti telah terjadinya peralihan hak. Sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, akta jual beli harus dibuat
dihadapan PPAT. Jual beli yang tidak dilakukan dihadapan PPAT tetap
sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA).80
Kendatipun demikian untuk mewujudkan adanya kepastian hukum dalam
peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan
pelaksana dari UUPA menentukan setiap perjanjian yang bermaksud
memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan dihadapan PPAT.
Dari hasil uraian membandingkan jual beli hak atas tanah menurut hukum
adat, KUH Perdata maupun UUPA dapat dipahami adanya persamaan dan
perbedaan. Persamaannya ialah prosedur jual beli diawali dengan kata sepakat
antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual beli yaitu dalam
hal ini ialah tanah hak milik dan harganya. Setelah itu disambut kesediaan
penjual memindahkan hak milik atas tanahnya kepada pembeli, dan pembeli
membayar harganya.
80
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah,
Alumni, Bandung, hal. 23.
102
Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat perbedaan
jual beli hak atas tanah sebagaimana diatur dalam hukum adat, KUH Perdata
maupun UUPA ialah :
a) Hukum Adat, jual beli telah terjadi jika terpenuhinya syarat terang, tunai,
dan riil, dengan demikian terjadilah jual beli tersebut karena hak milik
telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan.
b) KUH Perdata, dicermati Pasal 1458 yakni, jual beli dianggap telah terjadi
dengan dicapainya kata sepakat mengenai objeknya serta harganya,
walaupun objeknya belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Namun dengan jual beli saja hak milik atas tanah tersebut belum beralih
dari penjual ke pembeli, tanpa adanya penyerahan yuridis (juridische
levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta jual beli
oleh Notaris/PPAT yang kemudian akta tersebut digunakan sebagai bukti
sudah beralihnya hak milik atas tanah, yang selanjutnya didaftarkan di
Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah tersebut berada, kemudian
dilakukan balik nama pada sertipikat hak atas tanah.
c) Jual beli menurut UUPA, perlu diingat bahwa UUPA mengakui hukum
adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Hukum adat di sini ialah hukum adat yang telah di-saneer atau
dihilangkan cacat-cacat sifat kedaerahannya. Sehingga sebagaimana dalam
hukum adat yakni jual beli merupakan perbuatan pemindahan hak dengan
sifat tunai, riil dan terang. Penambahannya dalam UUPA ialah adanya 2
(dua) syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli yakni syarat materiil dan
103
syarat formal. Syarat materiil menyangkut subjek dan objek dalam jual
beli, sedangkan syarat formal mengenai pembuatan akta jual beli di
hadapan dan/atau oleh Notaris/PPAT demi terwujudnya kepastian hukum
sebagaimana diamanatkan PP No. 24 Tahun 1997. Akta jual beli inilah
yang dipakai sebagai bukti bahwa telah terjadinya pemindahan hak, untuk
selanjutnya didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah
berada, untuk selanjutnya dilakukan balik nama, yang akhirnya akan terbit
sertipikat hak atas tanah dengan nama pembeli (dilakukan pencoretan dari
pemilik semula menjadi pemilik yang baru).
Berdasarkan pemaparan Bab II tersebut di atas ciri kekhususan Hak milik
yakni turun-temurun, terkuat dan terpenuh dimaksudkan bahwa Hak Milik itu
dapat terus-menerus diturunkan kepada ahli waris setiap pemegangnya.
Selanjutnya, istilah terkuat dan terpenuh dalam UUPA dimaksudkan untuk
membedakannya dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Pakai dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas
tanah yang dapat dipunyai orang Hak Miliklah yang ter-(artinya paling), paling
kuat dan paling penuh. Akan tetapi kedudukan tingkat “paling”, tidak berarti
bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu
gugat sebagaimana Hak Eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Hal ini
bertentangan dengan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kemudian seiring dengan
berjalannya waktu dan usaha-usaha masyarakat untuk pemenuhan tanah sebagai
sarana tempat tinggal, maka akan selalu selaras dengan transaksi-transaksi dalam
bidang pertanahan, salah satunya ialah jual beli hak atas tanah.
104
Jual beli hak atas tanah dalam UUPA yang menggunakan sistem hukum
adat. Peralihan hak dengan jual beli memiliki karakteristik tunai, riil dan terang.
Setelah berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, jual beli dilakukan oleh para pihak di
hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Akta tersebut membuktikan
bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum peralihan hak untuk selamalamanya dan mengenai pembayaran harganya. Fungsi akta ialah sebagai tanda
bukti, untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan
sengketa dikemudian hari.
Setelah PP No. 10 Tahun 1961 diganti menjadi PP No. 24 Tahun 1997,
peralihan hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya dilakukan
dengan akta PPAT, dengan disertai penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu
penyerahan
yang
harus
memenuhi
formalitas
Undang-undang
meliputi
pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, serta
menggunakan dokumen yang dibuat oleh dan/atau di hadapan PPAT. Hak milik
atas tanah baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan penyerahan yuridis
(juridische lavering), yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta tanah
dihadapan dan/atau Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Kemudian terbitlah
sertipikat hak atas tanah dengan nama pemilik yang baru (pembeli), sehingga
memiliki penguasaan tanah sebagaimana diakui oleh hukum.
Penguasaan tanah yang diakui oleh hukum adalah penguasaan tanah yang
legal baik secara fisik maupun yuridis. Setiap penguasaan tanah yang legal
memberikan hak kepada subyek hukumnya untuk menggunakan tanah tersebut
dengan semaksimal mungkin sesuai dengan keperluannya dengan dibatasi oleh
105
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu usaha pemegang hak atas
tanah menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk keperluannya ialah dengan
jual beli bidang tanah. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan hunian yang
representatif semakin meningkat, dampak positifnya ialah hal ini tentunya
mempengaruhi meningkatnya nilai harga tanah. Sedangkan dampak negatifnya
yakni tanah menjadi sedikit sehingga harga tanah terus naik, mengakibatkan
kurangnya kemampuan pembeli untuk membeli bidang tanah dalam ukuran yang
luas sebagaimana tertera dalam sertipikat hak atas tanah.
Seiring dengan hal itu dengan adanya kemajuan pemikiran manusia
dipergunakanlah cara marketing modern sehingga mereka yang membutuhkan
lahan untuk keperluan tempat tinggal dan usaha dengan mudah dapat memperoleh
tanah sesuai dengan kebutuhannya. Cara penjualan bidang tanah yang akhir-akhir
ini menjadi tren di masyarakat adalah menjual tanah dengan cara melakukan
pengkaplingan. Dilihat dari artinya kapling memiliki arti petak atau perpetakan
dalam hubungannya dengan sebidang tanah yang dibatasi oleh pematang yang
dikeringkan
dan
(ruilverkaveling).
berarti
pula
tanah
perpetakan
yang
dipertukarkan
106
BAB III
PENGATURAN TANAH KAPLING DI INDONESIA
Pembahasan dalam Bab III ini meliputi 4 (empat) sub bahasan. Adapun
bahasan dalam bab ini dapat disimak pada pembahasan di bawah ini:
 Pengaturan tanah kapling di Indonesia
 Prosedur pengkaplingan bidang tanah
 Jual beli bidang tanah dalam hubungannya dengan pengkaplingan
 Pengkaplingan bidang tanah yang dilakukan oleh badan hukum
3.1
Pengaturan Tanah Kapling di Indonesia
Dalam sub bab ini disesuaikan dengan latar belakang yang telah
dipaparkan, pengkaplingan tanah belum diatur dalam suatu peraturan perundangundangan, sehingga terjadilah norma kosong. Norma kosong dalam artian belum
adanya peraturan yang jelas mengatur hal itu. Dengan belum adanya pengaturan
yang mengatur, maka digunakan legislasi yakni proses pembuatan Undangundang atau penyempurnaan perangkat hukum yang sudah ada oleh badan yang
mempunyai kekuatan legislatif.81 Badan legislatif di Indonesia ialah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat 1 UUD
RI 1945 yakni : “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang”.
Pasal 20 ayat 2 UUD RI 1945 menyebutkan bahwa : “Setiap rancangan
Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
81
Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Djaya Pirusa, Jakarta,
hal 73.
107
mendapatkan persetujuan bersama”. Jadi berdasarkan Pasal 2 ayat 1 dan 2 UUD
RI 1945 Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) mempunyai
kekuasaan membentuk Undang-undang, namun demikian di dalam proses
pembentukan rancangan Undang-undang tersbut dibahas oleh DPR dengan
Presiden (sebagai badan eksekutif) untuk mencapai persetujuan bersama.
Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai pengkaplingan bidang
tanah sudah pasti tidak memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
terlibat dalam pengkaplingan bidang tanah tersebut. Oleh karena itu dalam sub
bab ini dipertajam dengan Teori Kepastian Hukum. Analisis dalam sub bab ini
menggunakan Teori Kepastian Hukum, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam
bab latar belakang, yakni dengan adanya kepastian hukum, maka hukum harus
memberikan jaminan (pasti) tidak adanya kesewenang-wenangan dalam
masyarakat. Lebih lanjut, kepastian hukum secara normatif ialah seketika pada
saat peraturan dibuat dan diundangkan, peraturan tersebut sudah pasti mengatur
secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau
keragu-raguan (multitafsir), dan kekosongan norma, sedangkan logis dalam artian
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbentukan atau
menimbulkan konflik norma.
Hubungannya dengan pengkaplingan bidang tanah dalam tesis ini
digunakan konsep penatagunaan tanah yakni pembangunan penggunaan tanah
secara berencana, yang bermaksud agar tanah dalam kawasan tersebut dibangun
secara
tepat
berdasarkan
tata
guna
tanah
sesuai
yang
telah
direncanakan/digariskan, sehingga memudahkan masyarakat, baik itu dalam
108
perumahan/permukiman, kegiatan usaha maupun kawasan pertanian/perkebunan.
Pembangunan penggunaan tanah secara berencana didahului dengan melakukan
survei kemudian alokasi tanah, baru kemudian dilakukan pembangunan secara
berencana.
Pembangunan tanah harus sesuai dengan konsep penatagunaan tanah,
pemilik hak atas tanah maupun pemodal tidak boleh asal kapling-mengapling.
Pengkaplingan terjadi salah satunya disebabkan karena pesatnya pertumbuhan
pembangunan sehingga menyebabkan meningkatnya usaha pemenuhan kebutuhan
tempat tinggal, khususnya perumahan atau permukiman. Salah satu akibatnya
ialah terjadinya perubahan komposisi kepemilikan melalui peralihan hak atas
tanah serta perubahan peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan bidang tanah.
Banyak tanah pertanian berubah peruntukannya menjadi tanah dengan peruntukan
perumahan atau permukiman.
Di sinilah yang menjadi akibat buruk, yakni tanah dengan peruntukan
pertanian selalu terdesak oleh pemenuhan kepentingan pembangunan fisik
termasuk di dalamnya pembangunan perumahan untuk masyarakat yang selalu
bergerak dinamis. Banyak tanah pertanian yang kemudian dikapling, padahal
sebenarnya tanah dengan KDB 0% (nol persen) tidak boleh dikapling, dan tidak
boleh dibangun perumahan di atasnya. Ini berarti pembeli yang sudah membeli
sesuai dengan prosedur yang berlaku tidak dapat membangun rumah di atas tanah
yang dibelinya karena tidak mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan dari
instansi yang berwenang. Kondisi seperti ini di masyarakat yang menyebabkan
109
peralihan hak atas tanah dengan cara pengkaplingan menimbulkan konflik, yang
lebih merugikan masyarakat pembeli tanah kapling.
UUPA sendiri pun serta peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun
1997 belum mengatur mengenai model atau sistem pengkaplingan tanah. Oleh
karena itu dalam hal ini terjadi norma kosong atau tidak ada aturan khusus
mengenai hal ini. Padahal salah satu tujuan dari diundangkannya UUPA yakni
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sehingga dengan tidak diaturnya mengenai
pengkaplingan berarti tidak ada kepastian hukum terhadap orang-orang yang
membeli tanah dengan cara mengkapling. Oleh sebab itu menimbulkan
ketidakpastian hukum serta berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum.
Untuk menjamin kepastian hukum, setiap peristiwa hukum maupun
perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak harus didaftarkan di Kantor
Badan Pertanahan. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA
yakni : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Sehubungan dengan itu, maka diundangkanlah PP No. 10 Tahun 1961
yang kemudian disempurnakan menjadi PP No. 24 Tahun 1997 yang mengatur
mengenai Pendaftaran Tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah selain
memberikan kepastian hukum kepada pemilik hak atas tanah untuk membuktikan
haknya atas tanah yang dikuasainya, juga memberi kemudahan bagi pihak lain
yang berkepentingan seperti calon pembeli maupun calon kreditur untuk
110
memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek
perbuatan hukum yang akan dilakukan, selain itu bagi Pemerintah sendiri ialah
untuk melaksanakan kebijakan dalam hal tertib pertanahan.
Apabila merujuk pada ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1)
menyebutkan : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang
tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa
bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum
yang sama dengan bidang tanah semula”. Penjelasan Umum yang tertuang dari
Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yakni: “Pemecahan bidang tanah harus
sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan
tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
misalnya ketentuan landreform”.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa : “Atas permintaan pemegang tanah yang bersangkutan, dari
satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian atau beberapa
bagian yang selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang
sama dengan bidang tanah semula”. Penjelasan Umum Pasal 49 ayat (1) PP No.
24 Tahun 1997 menyebutkan :
Dalam pemisahan bidang tanah menurut ayat ini bidang tanah yang luas
diambil sebagian yang menjadi satuan bidang baru. Dalam hal ini bidang
tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai
luas dan batasnya. Istilah yang digunakan adalah pemisahan, untuk
membedakannya dengan apa yang dilakukan menurut Pasal 48.
Sehingga dari ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun
1997 tersebut di atas, penulis berkesimpulan, dalam hubungannya dengan
111
pendaftaran bidang tanah dikenal 2 (dua) karakter peralihan hak atas tanah yang
dapat didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan, yakni :
a) Pertama, peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya
pemecahan. Akibat yang ditimbulkan yakni pemecahan dilakukan
terhadap pada 1 (satu) bidang tanah (hak atas tanah) akan
menghasilkan hak baru secara keseluruhan dengan dihapuskannya
status hak atas tanah yang lama. Namun status hak atas tanah yang
baru adalah sama dengan status hak atas tanah yang lama yang telah
dihapus.
b) Kedua, Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya
pemisahan. Akibat yang ditimbulkan yakni pemisahan yang dilakukan
terhadap 1 (satu) bidang tanah (hak atas tanah), akan menghasilkan
lahirnya hak atas tanah yang baru disamping hak atas tanah
sebelumnya yang telah ada. Status hak atas tanah yang baru adalah
sama dengan status hak atas tanah sebelum pemisahan dilakukan.
Penjelasan pemisahan berarti bidang tanah yang luas diambil atau
dipisah sebagian atau beberapa bagian yang menjadi satuan bidang
baru. Dalam hal ini bidang tanah induknya masih ada dan tidak
berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya sebagaimana
tertera dalam surat ukur yang baru. Sehingga istilah yang digunakan
ialah pemisahan untuk membedakan dengan apa yang dilakukan pada
pemecahan.
112
Kedua karakter tersebut memiliki sifat yang berbeda dari hasil perbuatan
hukum itu sendiri, dan tidak disebutkan mengenai pengkaplingan. Tampaknya
pada saat dibuatnya UUPA serta PP No. 24 Tahun 1997, belum mengenal teknik
penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan, serta kemudian didaftarkan.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, dan perkembangan pemikiran
manusia kearah yang modern dan praktis, serta karena tuntutan akan hunian yang
meningkat serta adanya motif-motif ekonomi untuk memperoleh keuntungan
lebih, berkembanglah teknik atau cara-cara marketing modern dalam hal jual beli
bidang tanah, yakni dengan cara pengkaplingan bidang tanah. Melalui tabel di
bawah ini, penulis akan mengklasifikasi perbandingan antara pemecahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997, pemisahan
sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 Tahun 1997, dan pengkaplingan tanah.
PERBEDAAN
PEMECAHAN
PEMISAHAN
PENGKAPLINGAN
PENGERTIAN
Atas permintaan
pemegang hak
yang
bersangkutan, 1
bidang tanah
yang sudah
didaftarkan
dapat dipecah
secara sempurna
menjadi
beberapa bagian,
yang masingmasing
merupakan
satuan bidang
baru dengan
status hukum
yang sama
dengan bidang
Atas permintaan
pemegang hak
yang
bersangkutan dari
1 bidang tanah
yang sudah
didaftarkan dapat
dipisahkan
sebagian atau
beberapa bagian
yang selanjutnya
merupakan satuan
bidang baru
dengan status
hukum yang sama
dengan bidang
tanah semula (PP
No. 24 Tahun
1997 Pasal 49
Belum ada suatu
perundang-undangan
nasional yang jelas
dan pasti yang
terfokus mengatur
mengenai
pengkaplingan
tanah. Pendapat
penulis ialah
pengkaplingan
adalah mempetakpetakkan tanah
menjadi bidang
tanah baru yang
telah dipersiapkan
sesuai dengan
persyaratan dalam
penggunaan,
penguasaan,
113
tanah semula
(PP No. 24
Tahun 1997
Pasal 48 ayat
(1))
MENGENAI
IZIN
Pemegang hak
dan/atau subyek
hukum yang
hendak
melakukan
pemecahan
harus
menyertakan
surat pernyataan
untuk
kepentingan apa
pemecahan
dilakukan
AKIBATNYA
TERHADAP
SERTIPIKAT
BIDANG
TANAH
INDUK
Sertipikat
bidang tanah
induk yang
sudah dipecah
dan masingmasing tanah
dibuatkan
sertipikat yang
baru sesuai
dengan luas
tanah (SU, buku
tanah). Hal ini
untuk
menggantikan
sertipikat
induknya /
asalnya.
ayat (1))
pemilikan tanah dan
rencana tata ruang
lingkungan tempat
tinggal / lingkungan
hunian yang
dimaksudkan untuk
membangun
bangunan
perumahan (Tafsiran
menurut UU No. 1
Tahun 2011, dan
Kamus Hk. Agraria)
Pemegang hak
Pemegang hak
dan/atau subyek
dan/atau subyek
hukum yang
hukum yang hendak
hendak
melakukan
melakukan
pengkaplingan,
pemisahan harus
terlebih dahulu harus
menyertakan surat mempunyai izin
pernyataan untuk pengkaplingan atau
kepentingan apa
izin peruntukan
pemisahan
penggunaan tanah
dilakukan
pada dinas terkait.
Tanpa adanya izin
kapling, maka tidak
dapat dilakukannya
pengkaplingan
bidang tanah.
Bidang tanah
- Paling sedikit
yang luas diambil
menghasilkan
/ dipisah sebagian
10 kapling
atau beberapa
- Di luas tanah
bagian yang
minimal 2500
menjadi satuan
M2
bidang baru.
Dalam hal ini
sertipikat bidang
tanah induknya
masih ada dan
tidak berubah
identitasnya,
kecuali mengenai
luas dan batasnya.
Sehingga istilah
yang digunakan
114
ialah pemisahan,
untuk
membedakan
dengan apa yang
dilakukan pada
pemecahan .
PERSAMAAN
PEMECAHAN
PEMISAHAN
PENGKAPLINGAN
Pemecahan, pemisahan, maupun pengkaplingan sama-sama menghasilkan atau
melahirkan sertipikat bidang tanah baru.
Oleh karena dengan belum diaturnya pengkaplingan secara pasti dalam
peraturan perundang-undangan. Serta apabila tida ada pengaturan jelas,
dikhawatirkan menimbulkan penafsiran yang berbeda, apakah pengkaplingan itu
termasuk pemecahan bidang tanah, atau pengkaplingan itu termasuk pemisahan
bidang tanah, ataukah pengkaplingan bisa diartikan sebagai keduanya, baik itu
pemecahan maupun pemisahan bidang tanah. Tentunya dalam hal ini tidak ada
kepastian hukum. Sehingga diharapkan adanya suatu peraturan perundangundangan yang jelas yang mengatur mengatur mengenai pengkaplingan, apa yang
disebut dengan pengkaplingan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bila melakukan
pengkaplingan, sampai dengan sanksinya, misalnya apabila pengkaplingan
dilakukan pada bidang tanah dengan peruntukan pertanian (KDB 0%).
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa pada dasarnya
pengkaplingan bidang tanah adalah salah satu usaha atau cara pedagang yang
dalam hal ini adalah pemegang hak atas tanah atau investor untuk meningkatkan
harga jual tanah miliknya dan untuk mempermudah mendapatkan pembeli.
Dengan melakukan pengkaplingan maka diharapkan harga tanah menjadi lebih
115
mahal dan pembeli dengan modal terjangkau dapat membeli bidang tanah
tersebut.
Keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan penjualan bidang
tanah dengan cara pengkaplingan mengakibatkan banyak pemilik tanah dan
pemilik modal melakukan jual beli bidang tanah dengan cara mengkapling.
Dengan demikian menurut penulis, hal-hal yang perlu diidentifikasi sebagai
subyek hukum pelaku pengkaplingan adalah sebagai berikut:
1. Pemilik tanah sebagai pemegang haknya sendiri. Pengkaplingan yang
langsung dilakukan oleh pemilik tanah biasanya disebabkan karena:
a. Sulitnya mencari pembeli atau investor yang berkehendak untuk
membeli tanah miliknya secara utuh atau keseluruhan, hal ini
disebabkan karena luas bidang tanah yang akan dijual menyebabkan
harga tanah menjadi mahal apabila dijual sekaligus.
b. Pemilik tanah hanya menjual tanah sebagian dari bidang tanah
miliknya, dan masih mengharapkan bidang tanah sisa untuk
kepentingan pribadinya.
2. Investor yang dalam hal ini dapat berupa badan hukum dalam bentuk
perseroan ataupun orang-perorangan pemilik modal (bukan pemegang hak
atas tanah) yang seringkali disebut makelar. Alasan utama investor atau
pemilik modal melakukan pengkaplingan bidang tanah adalah sebagai
berikut:
a. Lebih mudah mendapatkan pembeli atas bidang-bidang tanah yang
hendak dijual.
116
b. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dan cepat. Keuntungan
yang diharapkan biasanya lebih banyak dan lebih cepat diterima
apabila dibandingkan dengan penjualan rumah atau bangunan siap
huni.
c. Para pembeli dapat membangun atau memanfaatkan bidang tanahnya
sesuai dengan kehendak mereka. Dalam kondisi tertentu, pengembang
dapat menawarkan pembangunan rumah kepada para pembeli
kaplingan tersebut. Sehinga dalam hal ini pengembang secara tidak
langsung mendapat 2 (dua) keuntungan secara bersamaan yaitu dari
penjualan tanah dan dari pembangunan rumah.
3.
Pembeli bidang tanah kapling. Tanah kapling yang kini digemari di
masyarakat, lebih cepat menarik minat masyarakat untuk membeli
dikarenakan:
a. Pembeli dengan mudah dapat memperoleh bidang tanah dengan harga
yang tidak terlalu mahal.
b. Pembeli dapat dengan langsung menempati rumahnya. Hal ini apabila
pembeli membeli bidang tanah kapling yang telah dibangun rumah di
atasnya.
c. Adanya fasilitas-fasilitas menarik pada kawasan tanah kapling
tersebut, sebagaimana yang dijanjikan oleh pengembang.
Setiap peralihan hak baik itu terjadi karena beralih maupun dialihkan atau
pemindahan hak akan selalu diikuti dengan proses pendaftaran hak atas tanah
yang dilakukan di Kantor Tanah Kota/Kabupaten ditempat tanah tersebut berada.
117
Pendaftaran Tanah dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun
1997 yaitu : “Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun”.
Dalam hubungannya pendaftaran hak atas bidang tanah yang terjadi
diakibatkan adanya peralihan, sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya,
Kantor Pertanahan hanya mengenal 2 (dua) jenis peralihan hak yang dapat
didaftarkan sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yakni dalam pasal
48 mengenai pemecahan bidang tanah dan Pasal 49 mengenai pemisahan bidang
tanah. Pasal 48 ayat (1) menyebutkan: “Atas permintaan pemegang hak yang
bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara
sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan
bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”.
Selanjutnya hasil dari pemecahan tersebut sertipikat lama digantikan
kemudian melahirkan beberapa sertipikat baru sesuai dengan berapa pemecahan
yang dimohonkan, dengan luas baru setelah dilakukannya pengukuran. Hal
tersebut dilihat dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997
menyebutkan : “Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tiap
bidang dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat
ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya”.
Di dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan
bahwa : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang
118
tanah yang sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian atau beberapa bagian yang
selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama
dengan bidang tanah semula”. Selanjutnya ketentuan Pasal 49 ayat (2)
menyebutkan yakni :
Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk satuan bidang baru
yang dipisahkan dibuatkan surat ukur, tanah dan sertipikat sebagai satuan
bidang tanah baru dan pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku
tanah dan sertipikat bidang tanah semula dibubuhkan catatan mengenai telah
diadakannya pemisahan tersebut.
Dari pemaparan ketentuan tersebut, pengkaplingan bidang tanah yang
dilakukan oleh subyek hukum dalam hubungannya dengan pendaftaran peralihan
hak dapat dilakukan dalam 2 (dua) prosedur umum:
1. Apabila tanah yang akan dialihkan atau dilakukan penjualan dengan
cara pengkaplingan habis dengan tidak memberikan sisa kepada
pemegang hak yang lama maka penjual atau pemegang hak atas tanah
dapat melakukan pemecahan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah
yang mengakibatkan pemecahan diatur dalam Pasal 48 PP No. 24
Tahun 1997.
2. Apabila tanah yang akan dialihkan atau dilakukan penjualan dengan
cara pengkaplingan masih terdapat sisa yang tetap menjadi bagian hak
dari pemilik semula maka penjual atau pemegang hak atas tanah dapat
melakukan
pemisahan
hak
atas
tanah.
Peralihan
hak
yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan diatur dalam diatur dalam Pasal
49 PP No. 24 Tahun 1997.
119
Individu atau investor yang melakukan penjualan tanah dengan cara
pengkaplingan dapat melakukan langkah-langkah:
a. Melakukan pemecahan hak atas nama sendiri, sebelum dilakukan
peralihan hak kepada pihak pembeli;
b. Langsung melakukan jual beli kepada seluruh pihak pembeli secara
bersama-sama dihadapan PPAT ditempat dimana obyek hak atas tanah
itu berada. Dan apabila tanah atau obyek jual beli habis dijual kepada
para pembeli maka PPAT dapat membuat akta peralihan hak yang
sekaligus melakukan pemecahan hak atas tanah. Namun apabila tanah
yang menjadi obyek peralihan masih terdapat sisa yang tetap menjadi
hak pemilik tanah semula maka PPAT akan membuat akta peralihan
hak atas tanah sebagian dengan sisa hak atas tanah nantinya
dikembalikan kepada pemilik asal.
Dengan demikian jual beli bidang tanah baik dengan pemecahan yaitu
pemecahan atas nama diri sendiri, pemecahan langsung melalui jual beli maupun
pemisahan hak pada akhirnya akan menghasilkan bidang-bidang baru dengan
ukuran luas lebih kecil dari luas semula.
3.2
Prosedur Pengkaplingan Bidang Tanah
Dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan mengenai 2 (dua) prosedur
umum pengkaplingan bidang tanah yang terjadi di masyarakat yakni: Pertama,
pengkaplingan bidang tanah melalu prosedur pemecahan hak atas nama diri
sendiri, dan kedua, pengkaplingan bidang tanah secara langsung melalui jual beli
hak atas tanah.
120
A.
Pengkaplingan Bidang Tanah Melalui Prosedur Pemecahan Hak Atas
Nama Diri Sendiri
Sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah oleh
Undang-Undang dapat dipecah menjadi beberapa bagian sesuai luas yang
dikehendaki oleh pemegang hak dengan status hak yang sama dengan status hak
semula. Pemecahan atas nama diri sendiri ini sesuai dengan apa yang digariskan
dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.
Dengan melakukan pemecahan untuk dan atas nama diri sendiri, karena
belum terjadi peralihan hak maka tidak diperlukan akta PPAT. Pendaftaran
pemecahan oleh pemohon atau pemilik tanah dapat dilakukan dengan melakukan
pendaftaran pada Kantor Badan Pertanahan ditempat dimana tanah tersebut
berada.
Setiap permohonan yang bertujuan untuk melakukan pemecahan hak atas
tanah menjadi beberapa bidang sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,
haruslah memenuhi beberapa persyaratan seperti misalnya tanah yang akan
dilakukan pemecahan haruslah merupakan tanah dengan peruntukan perumahan
(bukan merupakan tanah pertanian dan atau tanah dengan peruntukan sebagai
jalur hijau kota RTHK KDB 0%). Oleh karenanya diisyaratkan pula adanya jalan
akses menuju ke lokasi tanah yang bersangkutan. Apabila segala persyaratan
untuk melakukan pemecahan menjadi atas nama diri sendiri telah dipenuhi dan
pendaftaran permohonan pemecahan telah dilakukan pada Kantor Badan
Pertanahan sehingga penyelesaian dan pemberesan serta pengukuran bidang tanah
dapat dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan, maka selanjutnya Kantor Badan
121
Pertanahan akan menerbitkan sertipikat hak atas tanah dengan ukuran
sebagaimana dimohonkan oleh pemohon dan dengan status hak yang sama dengan
sertipikat bidang tanah semula.
Sertipikat-sertipikat sebagai hasil dari permohonan pemecahan untuk diri
sendiri yang telah diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan tersebut kemudian
oleh pemilik dapat dialihkan satu persatu kepada para calon pembeli. Peralihan
hak yang terjadi adalah peralihan hak murni atau peralihan hak habis untuk 1
(satu) bidang tanah sebagaimana luas yang tertera dalam sertipikat. Langkah atau
metode dengan melakukan pemecahan untuk diri sendiri akan memberikan
keuntungan bagi pemilik tanah atau investor pengkaplingan maupun para pembeli
kapling karena :
a. Penjual akan lebih mudah melakukan pemasaran terhadap kaplingan yang
mereka buat karena masing-masing bidang tanah telah bersertipikat
sesuai dengan luasnya sehingga penjual lebih mudah meyakinkan pihak
pembeli kaplingan.
b. Penyelesaian balik nama sertipikat dalam melakukan peralihan hak murni
akan lebih cepat.
c. Pemilik tanah jelas tertera dalam sertipikat tanda bukti hak karena
seringkali antara penjual tanah kapling dengan pemilik tanah yang
sebenarnya berbeda (apabila penjualan menggunakan jasa perantara).
d. Pembeli bidang tanah kapling dengan segera mendapatkan sertipikat
tanda bukti haknya.
122
e. Ukuran dan luas tanah yang dibeli sudah pasti, dan dalam sertipikat tanda
bukti hak atas tanah yang akan dibeli status peruntukan tanah dan fasilitas
jalan yang disediakan telah tercantum.
f. Pembeli dapat langsung melakukan pengikatan dengan lembaga
pembiayaan atau kreditur (bank) apabila pembeli hak atas tanah tersebut
dilakukan dengan mencicil.
Sebagaimana tercantum dalam map (blangko) Permohonan Pendaftaran
Pemecahan Bidang Tanah pada Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran pemecahan
bidang tanah atas nama diri sendiri harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratanpersyaratan sebagai berikut :
(1) Surat permohonan pemecahan dengan menyebutkan untuk kepentingan
apa pemecahan tersebut dilakukan.
(2) Asli sertipikat hak atas tanah yang akan dipecah.
(3) Surat kuasa tertulis apabila pemohon diajukan bukan oleh pemegang
hak.
(4) Fotocopy bukti identitas pemohon atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).
(5) Bukti pembayaran pajak terakhir.
(6) Persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan apabila hak atas
tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan, bagi permohonan
pemecahan.
(7) Izin kapling dari instansi Pemerintah yang berwenang.
Dalam hal pemecahan bidang tanah diharuskan untuk dilakukan
pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan dan sebagaimana tercantum dalam
123
map (blangko) permohonan pengukuran dan penetapan bidang tanah yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran permohonan pengukuran di
Kantor Badan Pertanahan harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratan sebagai
berikut:
(1) Surat permohonan.
(2) Tanda Bukti Hak Atas Tanah (Pipil/Surat Keterangan Ipeda SPPT,
Padol/Surat Jual Beli Tanah Sebelum tahun 1962).
(3) Tanda Bukti pelunasan PBB Tahun terakhir.
(4) Fotocopy KTP/bukti kewarganegaraan.
(5) Surat persetujuan penyanding.
(6) Sketsa tanah.
(7) Surat kuasa yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang
bermaterai Rp. 6.000,- bila diurus oleh pihak lain disertakan fotocopy
KTP penerima kuasa.
Setelah segala persyaratan untuk melakukan pemecahan terpenuhi dan
berkas diterima untuk didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan, maka selanjutnya
oleh Kantor Badan Pertanahan akan diproses dan setelah selesai dan tidak terdapat
masalah, maka akan diterbitkan sertipikat hak atas tanah masing-masing bidang
tanah tersebut. Apabila masing-masing bidang tanah terbit sertipikat haknya,
maka penjual atau pengkapling dapat menjual bidang tanahnya kepada pembeli
kaplingan, karena setiap bidang tanah sudah bersertipikat, maka peralihan haknya
dilakukan dengan peralihan hak murni.
124
Sebagaimana tercantum dalam map (blangko) Permohonan Pendaftaran
Hak yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran peralihan hak
murni di Kantor Badan Pertanahan harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratanpersyaratan sebagai berikut :
(1) Asli sertipikat hak atas tanah.
(2) Fotocopy bukti identitas pihak yang mengalihkan hak. Apabila yang
melakukan pengalihan hak adalah badan hukum maka diperlukan
anggaran dasar badan hukum tersebut.
(3) Fotocopy bukti identitas penerima hak. Apabila penerima hak adalah
badan hukum, maka diperlukan anggaran dasar dari perseroan yang
telah disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(4) Akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang telah
memenuhi syarat tata cara pembuatan dan pengisiannya.
(5) Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani
oleh penerima hak atau kuasanya.
(6) Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan
permohonan peralihan hak bukan penerima hak.
(7) Izin Pemindahan Hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) PMNA / KBPN Nomor 3 Tahun 1997.
(8) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130
125
(selanjutnya disebut UU No. 28 Tahun 2009). Pasal 1 angka 41
menyebutkan : “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan.”
Dalam hal ini yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan adalah peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi maupun badan hukum.82
(9) Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133. Pajak Penghasilan (PPh)83 adalah
pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan hukum atas
penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam suatu Tahun
Pajak. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, objek yang dikenakan
PPh final menurut Pasal 4 ayat (2) salah satunya ialah penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
(10) Apabila pihak yang mengalihkan adalah ahli waris dari pemegang hak
yang tertulis dalam sertipikat maka ditambah syarat :
82
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah & Retribusi daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan
Retribusi Daerah, Rajawali Press, Jakarta, hal. 579.
83
Arisanti Widyaningsih, 2011, Hukum Pajak dan Perpajakan, Alfabeta,
Bandung, hal. 28.
126
a. Surat Kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam
bukti hak dari Kepala Desa dan/atau Lurah, tempat tinggal
pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan,
atau instansi lain yang berwenang.
b. Surat tanda bukti ahli waris yang dapat berupa :

Wasiat dari pewaris

Putusan pengadilan

Penetapan hakim/Ketua pengadilan.
c. Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan
ahli waris yang dibuat ahli waris dengan disaksikan 2 (dua) orang
saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat tempat
tinggal pada saat meninggal dunia.
d. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Akta
keterangan hak mewarisi dari Notaris.
e. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya,
surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan (BHP).
f. Akta pembagian warisan yang berupa akta Notaris atau akta
dibawah tangan dengan 2 (dua) orang saksi.
B.
Pengkaplingan Bidang Tanah Secara Langsung Melalui Jual Beli Hak
Atas Tanah
Telah diuraikan diatas bahwa pemecahan sertipikat hak atas tanah yang
dilakukan oleh pengkapling sebelum diadakannya peralihan hak adalah
merupakan salah satu alternatif yang biasa dipergunakan oleh pengkapling dalam
127
rangka peralihan hak atas tanah yang dikaplingnya. Walaupun melakukan
pengkaplingan bidang tanah dengan cara tersebut memberikan keuntungan bagi
penjual maupun pembeli namun dalam beberapa kasus pelaku pengkaplingan
dapat menggunakan alternatif lain dalam melaksanakan pengkaplingan, antara lain
adalah dengan melakukan penjualan bidang tanah yang akan dikapling secara
langsung yaitu melakukan peralihan hak kepada pihak pembeli dan dengan tanpa
terlebih dahulu melakukan pemecahan atas bidang tanah tersebut.
Penjualan bidang tanah dengan cara pengkapling tanah yang dilakukan
secara langsung dengan tanpa terlebih dahulu melakukan pemecahan atas bidang
tanah. Hal tersebut dilakukan dikarenakan :
(1) Pemegang hak atas tanah atau penjual tidak memiliki biaya atau modal
untuk melakukan pemecahan sertipikat hak atas tanah terlebih dahulu.
(2) Pemecahan hak atas tanah untuk dan atas nama diri sendiri memerlukan
waktu yang cukup lama.
(3) Pemegang hak atas tanah dan pelaku pengkaplingan (perantara, investor,
makelar) adalah berbeda subyek hukumnya, sehingga pengkaplingan
tidak dapat melakukan pemecahan untuk dan atas nama diri sendiri dan
biasanya pengkapling ingin segera mendapatkan keuntungan atas
penjualan tanah kapling tersebut.
Peralihan hak yakni jual beli tidak hanya dapat dilakukan dengan cara
jual beli murni. Dalam hal yang diperjualbelikan ialah tanah kapling, maka dalam
melakukan peralihan hak langsung kepada para pembeli kapling, prosedur yang
dipergunakan antara lain :
128
(1) Dengan melakukan peralihan hak sebagian. Peralihan hak sebagian demi
sebagian kepada para pembeli dilakukan apabila :
a) Masih terdapat tanah sisa yang tetap menjadi hak dari pemilik tanah
semula.
b) Apabila tanah yang dikapling belum habis terjual seluruhnya,
sehingga tanah yang belum terjual tersebut akan kembali menjadi
milik pemegang hak yang lama.
(2) Melakukan peralihan hak dengan disertai pemecahan. Prosedur ini
dilakukan apabila :
a) Tanah yang dikapling telah habis terjual dan tidak ada lagi sisa atas
tanah tersebut.
b) Untuk langkah pemecahan langsung kepada para pembeli kapling,
para pembeli kapling dan penjual harus datang menghadap PPAT
secara
bersama-sama
dalam
pada
saat
yang
sama
untuk
menandatangani akta peralihan hak yakni akta jual beli.
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan
maupun dalam pemisahan bidang tanah pada saat dibuatnya akta peralihan hak
secara prosedural belum dilakukan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan
oleh karenanya luas tanah obyek jual beli pada saat itu seringkali berbeda dengan
apa yang terbit dalam sertipikat hak. Pengukuran resmi dari Kantor Badan
Pertanahan baru dilakukan setelah akta yang dibuat dihadapan PPAT didaftarkan.
Kondisi ini yang menyebabkan peralihan hak langsung yang mengakibatkan
terjadinya pemecahan maupun pemisahan seringkali menimbulkan konflik.
129
Apabila tanah telah dijual habis oleh penjual, dan para pembeli kapling
telah membayar lunas harga tanah sesuai dengan luas perkiraan awal yang telah
disepakati. Bila ternyata setelah dilakukan pengukuran resmi oleh Kantor Badan
Pertanahan terdapat kekurangan luas, maka para pembeli kapling akan sulit untuk
mendapatkan sisa pengembalian uang yang telah dibayar kepada penjual pada saat
penandatanganan akta jual beli.
PP No. 24 Tahun 1997 berusaha untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan menerbitkan
sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Kepastian
hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah kepastian hukum yang menyangkut
bidang keagrariaan khususnya mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah, yang
meliputi :
1) Kepastian hukum mengenai orang dan/badan hukum yang menjadi
pemegang hak yang disebut juga kepastian mengenai subyek hak.
2) Kepastian mengenai letak, batas-batasnya serta luas bidang-bidang tanah
yang disebut juga kepastian mengenai obyek hak.
Oleh karenanya sebelum para pihak baik penjual maupun pembeli
melaksanakan proses pembayaran dan membuat akta peralihan hak dihadapan
Notaris/PPAT, kepastian mengenai luas bidang tanah yang akan dialihkan adalah
merupakan hal yang terpenting dan harus benar-benar pasti. Sehingga tidak akan
terjadi sengketa dikemudian hari, karena tidak dapat dipungkiri adanya
kepentingan-kepentingan masing-masing pihak dalam peralihan hak kadangkala
saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu dengan adanya
130
hukum, maka hukum mengatur sedemikian rupa agar pertentangan atau konflikkonflik tersebut dapat ditekan sekecil-kecilnya.
Pemaparan di atas yakni mengenai harus adanya hukum yang jelas
dimaksudkan untuk membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan para
pihak yang terlibat. Kemudian dalam hubungannya dengan peralihan hak atas
tanah kapling, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
1) Peralihan hak milik atas tanah yang terjadi karena jual beli telah diatur
dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa jual
beli, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan
hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dan
ayat (2) yang memberikan batasan bahwa mereka yang memenuhi
ketentuan Pasal 21 ayat (1), dan ayat (2) UUPA sajalah yang dapat
menjadi pemegang hak milik.
2) Ketentuan dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang
menegaskan tentang izin yang diperlukan terhadap peralihan hak atas
tanah tertentu sebagaimana tercantum dalam sertipikat hak atas tanah yang
akan dialihkan.
3) Ketentuan Pasal 4, Pasal 9 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
56/Prp/Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dimuat
dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 174, bertujuan untuk
131
mengoptimalkan pemanfaatan tanah dan sebagai pelaksanaan dari
ketentuan dalam Pasal 10 UUPA.
4) Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti
dengan PP No. 24 Tahun 1997, menegaskan bahwa hak atas tanah yang
dimiliki oleh seseorang baru dapat diakui apabila telah didaftarkan (Pasal
23 dan Pasal 24), yang sekaligus memberikan bukti ekstensi hak kepada
pihak ketiga.
Dari uraian tersebut diatas, maka untuk setiap perbuatan hukum berupa
peralihan hak atas tanah yang penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah
mengenai status subyek hukum baik yang mengalihkan maupun yang akan
menerima pengalihan karena tidak setiap subyek hukum dapat mengalihkan hak
atas tanahnya dan tidak setiap subyek hukum dapat menerima pengalihan hak
tersebut. Setelah subyek hukum antara yang mengalihkan maupun yang menerima
pengalihan oleh undang-undang diperbolehkan maka selanjutnya adalah mengenai
obyek hak yang akan dialihkan, apakah untuk pengalihan haknya diperlukan izin
tertentu dari pejabat yang berwenang. Demikian pula halnya apakah peruntukan
bidang tanah yang akan dialihkan memungkinkan untuk dapat dialihkan,
sehubungan dengan luas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertanian, hal
mana bertujuan agar pemanfaatan bidang tanah yang akan dialihkan dapat
dilakukan oleh pemilik lahan dengan semaksimal mungkin.
Terakhir, setelah seluruh persyaratan tersebut diatas terpenuhi, maka
peralihan hak tersebut dapat didaftarkan kepada Kantor Badan Pertanahan
setempat di wilayah tanah tersebut berada. Ketentuan-ketentuan mengenai
132
pendaftaran bidang tanah diatur dalam Pasal 37 hingga Pasal 46 PP No. 24 Tahun
1997.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa agar suatu peralihan hak
atas atas terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat
akta peralihan hak harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah tersebut
serta mengenai kecakapan serta mengenai kewenangan bertindak dari mereka
yang mengalihkan serta mereka yang akan menerima pengalihak hak atas tanah
tersebut. Setelah akta peralihan hak diresmikan maka PPAT harus melengkapi
dokumen-dokumen pendukung peralihan tersebut untuk dapat didaftarkan.
3.3
Jual Beli Hak Atas Bidang Tanah Dalam Hubungannya Dengan
Pengkaplingan
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab II di atas bahwa jual beli
tanah tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA, akan tetapi mengingat
ketentuan Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah nasional adalah hukum
adat yang telah disaneer dihilangkan cacat-cacatnya dan disempurnakan atau telah
terbebas dari sifat kedaerahannya dan diberi sifat kenasionalan, maka pengertian,
konsep, asas-asas dan lembaga hukum dan sistem hukum adat dapat dipergunakan
sebagai dasar berpijak dalam jual beli tanah tersebut. Dalam halnya peralihan hak
dengan jual beli dapat dilakukan dengan 3 (tiga) jenis. Secara umum terdapat 3
(tiga) jenis jual beli yang dapat dilakukan oleh para pihak, antara lain:
(1) Jual beli atas tanah murni/keseluruhan
Jual beli atas tanah secara keseluruhan sebagaimana luas tanah yang tertera
pada tanda bukti hak oleh penjual kepada pembeli, dalam praktek disebut dengan
133
jual beli hak atas tanah murni. Dalam jual beli hak atas tanah murni seluruh hak
yang melekat pada satu bidang tanah (secara keseluruhan) dialihkan oleh penjual
kepada pembeli, yang dalam hal mana pihak penjual maupun pembeli telah benarbenar mengetahui luas tanah yang dialihkan dan hal tersebut telah pula tercantum
dalam tanda bukti hak (sertipikat hak atas tanah), sehingga untuk peralihan hak
murni seperti ini biasanya tidak lagi dilakukan pengukuran. Persyaratan suatu jual
beli hak atas tanah dapat disebut dengan jual beli hak atas tanah murni ialah:
a.
Terdapat 1 (satu) subyek hukum dalam kedudukannya sebagai penjual
dan 1 (satu) atau lebih subyek hukum dalam kedudukannya sebagai
pembeli, dengan ketentuan 1 (satu) subyek hukum atau lebih yang
berkedudukan sebagai pembeli nantinya akan tercantum dalam 1 (satu)
sertipikat hak atas tanah.
b.
Terdapat 1 (satu) sertipikat hak atas tanah yang secara penuh atau utuh
akan dijual sehingga tidak terdapat sisa dari jual beli hak atas bidang
tanah tersebut.
c.
Dalam penyelesaian sertipikat hak atas tanah, Kantor Badan Pertanahan
tidak lagi melakukan pengukuran atau pemetaan bidang tanah. Kantor
Badan Pertanahan hanya melakukan pencatatan peralihan tersebut pada
buku tanah yang tersimpan di Kantor Badan Pertanahan.
(2) Jual Beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang
tanah
Dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: “Atas
permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah
134
didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masingmasing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan
bidang tanah semula”. Pemecahan yang dilakukan terhadap suatu hak atas tanah
akan mengakibatkan dihapusnya status hak atas tanah yang lama, menghasilkan
status tanah dengan hak baru secara keseluruhan, namun status hak atas tanah
yang baru nantinya adalah sama dengan status hak atas tanah yang telah dihapus.
(3) Jual Beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang
tanah
Di dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa :
“Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang tanah yang
sudah didaftar dapat dipisah sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya
merupakan suatu bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang
tanah semula”. Berbeda dengan pemecahan, dipisah di sini maksudnya ialah
dilahirkan hak atas tanah baru di samping hak atas tanah sebelumnya yang telah
ada. Jadi hak atas tanah yang lama masih ada, tetapi dengan luas yang baru,
kemudian selain hak atas tanah yang sebelumnya telah ada, lahir hak atas tanah
yang baru dengan luas setelah dilakukan pemisahan. Status hak atas tanah yang
baru ini adalah sama dengan status hak atas tanah yang lama atau yang
sebelumnya dilakukan pemisahan.
Dalam hubungannya PPAT sebagi pejabat yang berwenang membuat akta
peralihan hak atas tanah, dalam setiap peralihan hak harus telah ada Nomor
Identifikasi Bidang Tanah (NIB) pada sertipikat hak atas tanah. Hal ini ditegaskan
dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1
135
Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 54 ayat (5) menyebutkan
bahwa: “Dalam pembuatan akta PPAT wajib mencantumkan Nomor Identifikasi
Bidang Tanah dan atau nomor hak atas tanah, nomor surat pemberitahuan pajak
terhutang bumi dan bangunan (SPPT PBB), penggunaan dan pemanfaatan tanah
sesuai dengan keadaan di lapangan”.
Merujuk pada penjelasan Pasal tersebut, maka ketentuan pasal tersebut di
atas memberikan larangan bagi PPAT untuk membuat akta apabila Nomor
Identifikasi Bidang tanah (selanjutnya disebut NIB) terhadap tanah yang akan
dialihkan tersebut tidak ada. Sehingga hal tersebut berarti subyek hukum
pemegang hak atas tanah harus terlebih dahulu memiliki NIB terhadap tanah yang
akan dialihkannya sebelum melakukan peralihan hak, baik itu peralihan hak atas
tanah secara murni, maupun peralihan hak atas tanah sebagian maupun yang
menyebabkan terjadinya pemecahan. NIB dimohonkan pada Kantor Badan
Pertanahan setempat, dan PPAT berkewajiban membantu pemegang hak untuk
memohonkan NIB agar peralihan hak dapat diproses. Prosesnya ialah sebagai
berikut:
136
(1) Permohonan pendaftaran pemecahan NIB dilakukan sebelum transaksi jual
beli resmi dilakukan, dalam arti bahwa belum ada pembayaran kepada
pihak pemilik tanah karena akta PPAT belum dibuat.
(2) Segala proses yang berhubungan dengan pemecahan maupun pemisahan
bidang tanah di lapangan, termasuk di dalamnya pengukuran dilakukan
pada saat permohonan pendaftaran NIB.
(3) Setelah proses permohonan pendaftaran NIB selesai, maka oleh Kantor
Badan Pertanahan menerbitkan peta bidang tanah yang didalamnya tertera
NIB bidang tanah yang bersangkutan. Dengan diterbitkannya peta bidang
tanah yang didalamnya tercantum NIB, barulah transaksi jual beli tanah
dapat dilakukan.
(4) PPAT membuatkan akta peralihan hak atas tanah dalam hal ini didahului
dengan akta Pengikatan Jual Beli, akta Kuasa Menjualk, akta Jual Beli.
Akta PPAT ini sebagai bukti bahwa telah resmi terjadi perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah. Kemudian akta, asli sertipikat hak atas tanah, dan
segala warkah-warkah pendukungnya didaftarakan di Kantor Badan
Pertanahan untuk keperluan peralihan hak atas tanah.
Dalam prakteknya tata cara pembayaran jual beli bidang tanah ada yang
dilakukan dengan pembayaran bertahap dan ada yang dilakukan dengan
pembayaran lunas. Apabila dilakukan dengan pembayaran bertahap, maka pihak
penjual dan pembeli
datang menghadap
Notaris dengan menerangkan
kehendaknya untuk menjual tanah dengan pembayaran bertahap, kemudian
Notaris membuatkan akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap. Notaris
137
membuatkan akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap, oleh karena beberapa
persyaratan belum dapat dipenuhi dalam jual beli, maka pihak pembeli dan pihak
penjual belum dapat melaksanakan jual beli atas tanah tersebut dihadapan PPAT.
Klausa yang diatur dalam akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap
ialah mengenai harga yang telah disepakati, dan mengenai tata cara pembayaran
bertahap, yakni nominal harga yang telah dibayar atau diterima oleh pihak
pembeli secara tunai dan untuk pembayaran tersebut kedua belah pihak
menyatakan perjanjian ini merupakan kwitansi yang sah menurut hukum. Diatur
mengenai tata cara pembayaran kedua, dan seterusnya yang akan dibayar pihak
pembeli sebagai pelunasan sisa pembayaran yang belum dilakukan, dan diatur
mengenai tanggal jadwal pembayaran, alat bantu pembayaran misalnya
penggunaan cek atau bilyet giro dapat diakui apabila cek atau bilyet giro tersebut
telah dapat dicairkan oleh pihak penjual, dan mengenai wanprestasi terhadap
pembayaran, yang terakhir ialah akibat dari wanprestasi yakni pihak pembeli
dianggap batal atau tidak jadi membeli, sehingga disepakati pihak pertama
diwajibkan mengembalikan 50% (lima puluh persen) dari uang pembayaran yang
telah dibayarkan.
Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap kemudian diikuti dengan
pembuatan Akta Pelunasan yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris. Akta
Pelunasan ini mengatur mengenai bahwa harga tanah beserta turunannya tersebut
sebagaimana telah disepakati pada Akta Perjanjian Jual Beli bertahap, telah
dibayar
lunas
oleh
pihak
pembeli
kepada
pihak
penjual
sebelum
ditandatanganinya Akta Pelunasan ini dan pihak penjual dengan ini menyatakan
138
telah menerima pembayaran tersebut secara penuh, dan bilamana perlu
menyatakan akta ini sebagai kwitansi yang sah menurut hukum. Berdasarkan Akta
Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap dan Akta Pelunasan tersebut, dan berkasberkas telah dianggap lengkap, maka PPAT mempunyai kewenangan untuk
membuat Akta Jual Beli. Akta Jual Beli ini setelah dilakukan penomeran akta
wajib didaftarkan beserta warkah-warkah pendukung lainnya oleh PPAT paling
lambat 7 (tujuh) hari di Kantor Badan Pertanahan setempat, untuk proses balik
nama sertipikat. Nantinya akan terbit sertipikat atas nama pemegang hak yang
baru yakni pembeli.
Jual Beli bidang tanah yang dilakukan dengan cara pembayaran lunas ialah
pertama-tama dibuatkan akta Perikatan Jual Beli yang umumnya mengatur bahwa
pihak penjual menyatakan dengan sebenarnya dan sesungguhnya adalah pemilik
dari sebidang tanah kosong sebagaimana tertera dalam sertipikat hak milik. Pihak
penjual hendak menjual dan menyerahkan kepada pihak pembeli, yang hendak
membeli dan menerima penyerahan dari pihak penjual yaitu tanah beserta
turunannya tersebut. Sejak ditandatanganinya akta Perikatan Jual Beli tersebut,
maka pihak penjual berjanji mengikatkan diri dan wajib untuk menjual dan
menyerahkan kepada pihak pembeli, sebagaimana pihak pembeli berjanji
mengikatkan diri dan wajib untuk membeli dan menerima penyerahan dari pihak
pertama atas tanah beserta turunannya tersebut, beserta kesepakatan harga
mengenai tanah beserta turunannya tersebut. Akta Perikatan Jual Beli dibuat
apabila berkas masih dirasa kurang, sertipikat tanda bukti hak lama yang artinya
139
harus dilakukan penggantian sertipikat, sertipikat belum ada NIB, sertipikat masih
dijadikan Hak Tanggungan sehingga harus dilakukan peroyaan terlebih dahulu.
Dalam Perikatan Jual Beli terdapat klausula yang memberikan kuasa
substitusi dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Kuasa substitusi ini ialah
untuk menjamin kedudukan pihak pembeli dalam perjanjian Perikatan Jual Beli,
dengan akta ini dan/atau dengan akta tersendiri bilamana diperlukan, sekarang dan
untuk pada waktunya nanti, bilamana pihak penjual berhalangan untuk
melaksanakan sendiri penjualan tanah beserta turunanannya tersebut atau oleh
sebab apapun juga ijin tidak dapat diperoleh dari yang berwenang maka pihak
pertama dengan ini memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada pihak
pembeli.
Kuasa dengan hak substitusi diberikan untuk dan atas nama pihak penjual
guna kepentingan pihak pembeli dalam hal menjual tanah beserta turunannya
tersebut berikut segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya yang
karena sifatnya, peruntukannya atau menurut hukum dianggap sebagai benda
tetap, baik kepada pihak pembeli sendiri atau kepada pihal lain yang dikehendaki
oleh pihak pmebeli dengan harga yang akan ditetapkan sendiri oleh pihak
pembeli. Pemberian kuasa dengan hak substitusi dalam akta Perikatan Jual Beli
merupakan hal yang terpenting dan syarat mutlak serta merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa terpisahkan dari perjanjian Perikatan Jual Beli, karena tanpa
adanya kuasa tersebut maka perjanjian Perikatan Jual Beli tidak akan dibuat serta
tidak akan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu dalam hal akta
Perikatan Jual Beli selalu diiringi dengan pembuatan akta Kuasa Menjual.
140
Dalam akta Kuasa Menjual memuat mengenai pemberian kuasa dengan
hak substitusi atau kuasa dengan hak khusus dari pihak penjual kepada pihak
pembeli untuk dan atas nama pemberi kuasa dengan cara apapun menjual atau
mengalihkan dan/atau melepaskan haknya sebagian maupun seluruhnya kepada
pihak lain maupun kepada yang diberi kuasa sendiri, dengan harga, syarat-syarat
dan perjanjian-perjanjian yang dianggap baik oleh penerima kuasa atas sebidang
tanah sebagaimana yang telah diperjanjikan berikut segala sesuatu yang telah
maupun kelak didirikan dan/atau tertanam di atasnya yang karena sifatnya,
peruntukannya atau menurut hukum dianggap sebagai benda tetap. Adanya akta
Kuasa Menjual, dengan akta ini pemegang kuasa dapat melakukan segala tindakan
yang perlu dan berguna demi tercapainya hal-hal yang berhubungan dengan
proses balik nama sertipikat. Untuk keperluan pemegang kuasa, maka pemegang
kuasa berhak untuk menghadap kepada pihak siapapun dan dimanapun juga
termasuk kepada instansi dan/atau Notaris/PPAT yang berwenang, memberi dan
meminta keterangan-keterangan, membuat, menandatangani dan mengajukan
surat-surat dan/atau permohonan-permohonan. Membuat, turut menyelesaikan dan
menandatangani surat-surat atau akta jual beli atau peralihan hak yang diperlukan.
Selanjutnya apabila berkas sudah lengkap dan objek jual beli yakni tanah tersebut
telah lunas dibayar, maka selanjutnya akan dibuatkan Akta Jual Beli.
Dibuatnya Akta Jual Beli, maka telah terjadi peralihan hak atas tanah,
segala berkas telah lengkap dan harga tanah telah dibayar lunas. Dalam Akta Jual
Beli pihak pembeli dalam melakukan perbuatan hukum bertindak berdasarkan
Akta Kuasa Menjual dan Akta Perikatan Jual, dan bertindak untuk dan atasnama
141
pihak penjual. Sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli ini, objek jual beli yang
telah diuraikan dalam akta ini telah menjadi milik pihak pembeli dan karenanya
segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas objek Jual
Beli tersebut menjadi hak/beban pihak pembeli. Akta Jual Beli sejak setelah
dilakukan penomeran akta dan beserta warkah-warkah pendukung lainnya oleh
PPAT wajib didaftarkan paling lambat 7 (tujuh), pada Kantor Badan Pertanahan
setempat, untuk proses balik nama sertipikat. Nantinya akan terbit sertipikat atas
nama pemegang hak yang baru yakni pembeli.
Uraian lebih lanjut mengenai jual beli hak atas tanah dan akibat-akibatnya
yang ditimbulkan sehubungan dengan proses penyelesaian sertipikat hak atas
tanah dan jual beli tanah dengan cara melakukan pengkaplingan bidang tanah
akan lebih difokuskan pada pemecahan dan pemisahan bidang tanah.
3.3.1
Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya
Pemecahan Bidang Tanah
Perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah
dengan melakukan jual beli, dalam hal ini obyek tanah yang dialihkan adalah
keseluruhan atas bidang tanah sebagaimana dibuktikan dengan sertipikat tanda
bukti hak, disebut peralihan hak yang bersifat pemecahan apabila subyek hukum
yang berkedudukan sebagai pembeli ternyata lebih dari satu, sehingga terhadap
tanah yang dimaksud akan dilakukan pemecahan sesuai dengan luas masingmasing yang hendak dibeli oleh pihak pembeli. Dalam kondisi demikian pihak
penjual tidak lagi menerima sisa atas tanah yang dialihkan dan hak atas tanah
sepenuhnya jatuh ketangan para pembeli. Adapun ciri-ciri perbuatan hukum
142
perdata dalam bentuk jual beli atas hak yang mengakibatkan terjadinya
pemecahan bidang tanah adalah:
(1). Seluruh bidang tanah sebagaimana tercantum dalam sertipikat tanda
bukti hak dialihkan kepada pihak lain, dengan tidak memberikan sisa
sama sekali atau sering disebut juga habis terjual.
(2). Penerima hak atas tanah yang akan dialihkan adalah lebih dari satu
subyek hukum, dan masing-masing berkehendak untuk mendapatkan
sertipikat tanda bukti hak sesuai dengan luas tanah yang akan
diterimanya.
(3). Dalam penyelesaian sertipikat di Kantor Badan Pertanahan, tiap bidang
tanah dilakukan pengukuran, dibuatkan surat ukur, buku tanah baru serta
dilakukan penggantian peta bidang tanah dengan penghapusan peta tanah
bidang yang lama.
(4). Terdapat dua atau lebih sertipikat hak atas tanah baru sebagai hasil dari
pemecahan bidang tanah asal.
Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan pemecahan diatur dalam
Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997. Dalam proses penyelesaian jual beli yang
berhubungan dengan pemecahan hak atas tanah maka terlebih dahulu para pihak
melakukan pengukuran terhadap obyek jual beli sehingga nantinya dapat
diketahui dengan pasti bagian masing-masing pembeli, karena pembeli hanya
membayar kepada pemegang hak sejumlah bagian tanah yang akan dibeli saja.
Bila pengukuran telah dilakukan, penjual tanah dan para pihak pembeli
dapat membuat akta peralihan hak dihadapan pejabat yang berwenang atau PPAT
143
dimana obyek tanah tersebut berada. Pada saat akta jual beli disahkan para pihak
pembeli harus menyelesaikan pembayaran kepada penjual, hal ini mencerminkan
sifat tunainya jual beli tanah. Setelah melalui proses pendaftaran hak di Kantor
Badan Pertanahan ditempat obyek jual beli itu berada maka penerbitan sertipikat
hak atas tanah akan langsung menjadi atas nama masing-masing pihak pembeli
sesuai luas yang telah dibayarkan.
3.3.2
Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya
Pemisahan Bidang Tanah
Dalam hal peralihan hak atas tanah dengan jual beli yang mengakibatkan
terjadinya pemisahan hak atas tanah dapat terjadi apabila pemegang hak hanya
mengalihkan sebagian dari haknya kepada pihak lain. Peralihan hak yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan dalam bentuk jual beli yang diatur dalam
diatur dalam Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 sering disebut dengan peralihan hak
atas tanah sebagian. Hal ini disebabkan pemegang hak yang lama masih tetap
mendapatkan bagian sisa haknya setelah dikurangi bagian yang dibeli oleh pihak
pembeli. Ciri-ciri perbuatan hukum perdata dalam bentuk jual beli yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah adalah:
1) Tidak seluruh bidang tanah sebagaimana tercantum dalam sertipikat tanda
bukti hak dialihkan kepada pihak lain, melainkan masih terdapat sisa
bidang tanah yang tetap merupakan hak dari pemegang hak yang lama.
2) Penerima hak atas tanah yang akan dialihkan adalah satu atau lebih
subyek hukum, dan masing-masing berkehendak untuk mendapatkan
144
sertipikat tanda bukti hak sesuai dengan luas tanah yang akan
diterimanya.
3) Dalam penyelesaian sertipikat di Kantor Badan Pertanahan, tiap bidang
tanah dilakukan pengukuran, dibuatkan surat ukur, buku tanah baru serta
dilakukan penggantian peta bidang tanah dan penghapusan peta bidang
yang lama.
4) Terdapat dua atau lebih sertipikat hak atas tanah baru sebagai hasil dari
pemisahan bidang tanah asal.
Dalam pemisahan karena tanah yang dialihkan tidak habis keseluruhan
dibeli oleh pembeli sehingga masih ada sisa yang tetap menjadi hak dari
pemegang hak yang lama. Berbeda dengan pemecahan, dalam peralihan hak yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan setelah kelengkapan berkas jual beli lengkap
dan didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan maka penerbitan sertipikat akan
terbit atas nama pembeli dan sisanya terbit atas nama pemegang hak yang lama.
3.4
Pengkaplingan Bidang Tanah Yang Dilakukan Oleh Badan Hukum
Perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah perkotaan
menumbuhkan berkembangnya kebutuhan terhadap rumah tinggal dengan
berbagai fasilitas yang mendukung, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, taman
bermain, dan akses jalan yang baik. Bersamaan dengan berkembangnya jenis
rumah tinggal, berkembang pula pembangunan pusat perbelanjaan, hotel , pusat
perkantoran. Kondisi yang sedemikian pesat kemudian merangsang banyak orang
untuk menjadi pengembang atau investor dengan menjalankan usaha sebagai
badan usaha perumahan dan permukiman.
145
Badan usaha yang biasanya melakukan pengkaplingan bidang tanah adalah
badan usaha dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Pihak
pengembang membeli beberapa ratus meter tanah, kemudian di atas tanah tersebut
dibangun beberapa rumah tinggal yang kemudian dipasarkan kepada masyarakat
yang membutuhkan hunian tempat tinggal. Hal ini dilakukan dengan berpindahpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, yang umumnya memilih lokasi tanah yang
dekat dengan akses jalan maupun permukiman yang sudah berkembang.
Perseroan Terbatas yang akan mengembangkan sebuah kawasan menjadi
kawasan perumahan dan permukiman terlebih dahulu melakukan survey atau
pengamatan atas lokasi yang akan dibangun kawasan perumahan, dicermati
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah kawasan tersebut. Pengecekan
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi, apakah tanah di kawasan tersebut
dapat dibangun perumahan dan permukiman atau justru dilarang mengingat
kawasan tersebut termasuk kawasan pertanian, atau hutan lindung atau bisa jadi
Ruang Terbuka Hijau Kota dengan KDB 0% (nol persen). Hal ini bisa dicek di
sertipikat hak atas tanah tersebut, dilihat pada peruntukan bidang tanah tersebut
apakah peruntukannya sudah perumahan/permukiman.
Pengertian perumahan dan kawasan permukiman dalam Pasal 1 angka 1
UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
(selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 2011), yakni :
Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan
kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh,
penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan.
146
Selanjutnya mengenai pengertian kawasan permukiman dimuat dalam Pasal 1
angka 3 yakni : “Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan”.
Setelah dilihat peruntukan tanahnya pada sertipikat hak atas tanah bahwa
memang benar tanah tersebut berada pada kawasan perumahan/permukiman,
kemudian dilakukan tindakan dibidang yuridis berupa pembelian atau perolehan
hak atas tanah serta kegiatan fisik berupa pengembangan tanah dengan melakukan
penataan tanah berdasarkan rencana yang diinginkan, dengan terlebih dahulu
mengurus izin lokasi pada instansi terkait. Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi
menegaskan bahwa ijin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan
untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang
berlaku sebagai izin permohonan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna
keperluan usaha penanaman modal.84
Apabila dikaitkan dengan ketentuan UUPA Bab V Pasal 36 mengatur
mengenai Hak Guna Bangunan (HGB), untuk badan hukum hak yang dapat
diberikan ialah Hak Guna Bangunan. Badan usaha yang telah memperoleh izin
lokasi selanjutnya dapat melakukan kegiatan perolehan hak atas tanah melalui
tindakan pembebasan tanah. Kemudian perolehan hak atas tanah oleh badan
usaha atau badan hukum tersebut dari masyarakat pemilik tanah dilakukan dengan
84
Sahat HMT Sibaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan
Hak, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 37.
147
membuat akta pelepasan hak. Setelah itu, dengan akta pelepasan hak serta izin
lokasi yang dimiliki oleh perseroan maka perseroan kemudian dapat mengajukan
permohonan Hak Guna Bangunan (HGB).
Dengan diperolehnya akta pelepasan hak serta izin lokasi maka Perseroan
Terbatas kemudian dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam
Pasal 35 UUPA ayat (1) menyebutkan bahwa : “Hak Guna Bangunan adalah hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atau tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Penjelasan atas
Pasal 35 yakni, berlainan dengan Hak Guna Usaha (HGU) maka Hak Guna
Bangunan (HGB) tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas
tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan tanah milik seseorang.
Mengacu pada ketentuan Pasal 36 UUPA, untuk keperluan pembangunan
perumahan dan permukiman kepada badan usaha pengembang perumahan dan
permukiman yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, oleh Kantor Badan
Pertanahan Kota/Kabupaten diberikan hak atas tanah dengan status Hak Guna
Bangunan (HGB) yang dibuktikan dengan Surat Keputusan Pemberian hak atas
tanah dengan status Hak Guna Bangunan atas nama Perseroan Terbatas yang
menjadi pemohon. Selanjutnya surat keputusan pemberian hak atas tanah
dimaksud menjadi dasar penerbitan sertipikat induk. Sertipikat induk ini nantinya
akan tercantum nama pemegang hak atas tanah yakni Perseroan Terbatas
pengembang perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam surat
keputusan pemberian hak atas tanah. Sertipikat induk nantinya akan dilakukan
148
pengkaplingan
dalam
ukuran
serta
bentuk
tertentu
sesuai
dengan
perencanaan/rencana tapak (site plan) yang telah disetujui oleh instansi terkait.85
Permohonan pemecahan sertipikat Hak Guna Bangunan Induk dilakukan
di Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten ditempat tanah tersebut. Setelah
berkas permohonan dilengkapi maka oleh Kantor Badan Pertanahan diterbitkanlah
sertipikat atas tanah Hak Guna Bangunan perbidang kapling tanah matang atas
nama Perseroan Terbatas pengembang perumahan dan permukiman. Setelah
dilakukan pembangunan perumahan oleh pihak pengembang maka terhadap
perumahan tersebut siap dialihkan kepada para pembeli melalui proses jual beli.
Kegiatan Perseroan Terbatas pengembang perumahan dan permukiman
dalam mengembangkan satu kawasan menjadi perumahan dan permukiman
dilandasi oleh perijinan yang telah diterimanya dari Pemerintah. Sehingga oleh
karenanya sebelum mengajukan permohonan izin, Perseroan Terbatas ini harus
dengan cermat merencanakan hendak membangun apa dan mengembangkan apa
di areal yang direncanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
telah ditetapkan untuk itu.
Hal ini dikaitkan dengan mengingat ketentuan dalam UU No. 1 Tahun
2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1 jo Pasal 139, bahwa
pembangunan perumahan yang dilakukan badan hukum dibidang pembangunan
perumahan dilakukan hanya di kawasan yang khusus diperuntukan bagi
perumahan dan permukiman. Mengutip pendapat dari Sahat HMT Sibaga86, dalam
85
86
Ibid, hal. 44.
Ibid, hal. 44.
149
melaksanakan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman, Perseroan
Terbatas usaha pembangunan perumahan wajib:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
Melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan
penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka
penyediaan kapling tanah matang.
Membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan
membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan
pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah.
Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan fasilitas umum.
Membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan
melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam
melakukan konsolidasi tanah.
Melakukan penghijauan lingkungan.
Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan
Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti yang telah
diperjanjikan.
Membangun rumah. Badan hukum yang bergerak dalam bidang
pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun
dilarang menjual kapling tanah matang tanpa rumah. Jadi Perseroan
Terbatas sebagai badan usaha pengembang perumahan dan permukiman
dalam melakukan kegiatan usahanya harus menjual bidang tanah
kapling matang beserta bangunan yang telah berdiri diatasnya.
Sehingga dengan demikian dapat dicermati bahwa pembangunan
perumahan dan permukiman dilakukan secara terkonsentrasi di kawasan siap
bangun atau lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri sehingga memudahkan
penyediaan prasarana dan sarana lingkungan. Pembangunan rumah atau
perumahan oleh perseroan atau badan hukum pengembang dapat dilakukan di
kawasan siap bangun, di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri atau
diluarnya sejauh sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 136 UU No. 1 Tahun
2011 bahwa : “Setiap orang dilarang menyelenggarakan lingkungan hunian atau
Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan
lingkungan perumahan atau Lisiba”. Pasal 137 UU No. 1 Tahun 2011
150
menyebutkan : “Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau
Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya”.
Perlu diketahui, bahwa ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 1 Tahun 2011
menyebutkan : “Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah
sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah
dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan
rencana tata ruang”. Selanjutnya pengertian Lingkungan Siap Bangun disebutkan
dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 1 Tahun 2011 :
Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut Lisiba adalah sebidang
tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahandengan batas-batas kapling
yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan
rencana rinci tata ruang.
Dari uraian tersebut diatas, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seharusnya tidak
menerima peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pengembang apabila di
atas tanah tersebut belum terdapat bangunan sesuai dengan perencanaan atau site
plan. Apabila peralihan hak atas tanah tetap dilakukan, maka Kantor Badan
Pertanahan berdasarkan kewenangan yang diberikan, berkewajiban untuk
menolak pendaftarannya peralihan hak atas tanah tersebut.
151
BAB IV
PENDAFTARAN TANAH KAPLING SEBAGAI BENTUK
JAMINAN KEPASTIAN HUKUM
Pembahasan dalam Bab IV ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun
bahasan dalam bab ini dapat disimak pada pembahasan di bawah ini:
 Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan Kepastian Hukum
Bagi Pemegang Hak Atas Tanah
 Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling
4.1
Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan Kepastian
Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang bahwa kebutuhan
akan tanah semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk,
serta kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah, dimana tanah tidak
saja
sebagai
tempat
bermukim,
tempat
untuk
bertani/berkebun,
dapat
dipindahtangankan oleh pemiliknya kepada calon pembeli, serta dapat dijadikan
jaminan di bank untuk mendapatkan pinjaman. Begitu pentingnya manfaat tanah
bagi pemiliknya, sehingga menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah
tersebut. Pemberian jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya merupakan salah satu tujuan pokok UUPA. Hal tersebut dapat
tercapai melalui pendaftaran tanah.
Oleh karena itu dalam sub bab ini dipertajam dengan Asas Kepastian
Hukum dan Perlindungan Hukum. Analisis dalam sub bab ini menggunakan Asas
Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Sebagaimana yang telah dipaparkan
dalam bab latar belakang, bahwa dengan didaftarkannya tanah kapling tersebut
152
akan memperoleh kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut.
Dengan adanya kepastian hukum berarti adanya suatu jaminan bagi pemegang hak
atas tanah tersebut untuk melakukan kegiatan seluas-luasnya yang berhubungan
dengan tanahnya sehingga bermanfaat bagi dirinya serta bagi orang lain, namun
tetap tidak melanggar norma-norma yang ada.
Individu pemegang hak atas tanah tentunya akan berkeinginan untuk
mengadakan perubahan terhadap hak-hak yang dimiliki. Apabila perubahan
tersebut mengakibatkan terjadinya berpindahnya hak kepada individu lainnya,
maka sejak itu mulailah individu tersebut berhadapan dengan apa yang disebut
dengan peralihan hak. Peralihan hak itu adalah perpindahan hak dari pemilik awal
kepada pemilik berikutnya. Salah satu jenis peralihan hak adalah jual beli.
Jual beli termasuk jenis perjanjian timbal balik yakni perjanjian yang
menimbulkan masing-masing kewajiban dan hak secara timbal balik. Jual beli
tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan
tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu
juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Sehingga kewajiban dan hak
yang ditimbulkan dalam jual beli bagi kedua belah pihak yakni, pihak penjual
berkewajiban untuk menyerahkan barang, kemudian menerima harga atau
pembayarannya, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk membayar
harganya sesuai dengan yang telah disepakati, kemudian menerima barangnya.
Peralihan hak yang dalam hal ini ialah jual beli dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelah pihak-pihak yang terlibat didalamnya
mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dengan harganya, meskipun
153
kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Seperti yang
telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa jual beli merupakan perbuatan
pemindahan hak dengan sifat tunai, riil dan terang. Oleh sebab itu, jual beli saja
hak milik atas tanah tersebut belum beralih dari penjual ke pembeli, tanpa adanya
penyerahan yuridis (juridische levering) yang wajib diselenggarakan dengan
pembuatan akta jual beli oleh PPAT.
Akta peralihan hak yang dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT merupakan
syarat formal dalam proses terjadinya jual beli. Pembuatan akta jual beli di
hadapan dan/atau oleh PPAT merupakan salah satu prosedur yang wajib
dilakukan dalam peralihan hak demi terwujudnya kepastian hukum sebagaimana
diamanatkan PP No. 24 Tahun 1997. Akta jual beli inilah yang dipakai sebagai
bukti bahwa telah terjadinya pemindahan hak, untuk selanjutnya didaftarkan di
Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah berada, untuk selanjutnya dilakukan
balik nama, yang akhirnya akan terbit sertipikat hak atas tanah dengan nama
pembeli (dilakukan pencoretan dari pemilik semula menjadi pemilik yang baru).
PPAT membuatkan akta peralihan hak atas tanah dalam hal ini didahului
dengan Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa Menjualkan, yang terakhir ialah
Akta Jual Beli sebagai bukti bahwa tanah yang dijadikan objek jual beli tersebut
sudah lunas dibayarkan oleh pembeli. Akta PPAT ini sebagai bukti bahwa telah
resmi terjadi perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Kemudian akta, asli
sertipikat hak atas tanah, dan segala warkah-warkah pendukungnya didaftarakan
di Kantor Badan Pertanahan untuk keperluan peralihan hak atas tanah.
154
Apabila segala persyaratan warkah pendukung telah didaftarkan, maka
akan terbitlah sertipikat hak atas tanah dengan nama pemilik yang baru (pembeli),
sehingga memiliki penguasaan tanah sebagaimana diakui oleh hukum.
Penguasaan tanah yang diakui oleh hukum adalah penguasaan tanah yang legal
baik secara fisik maupun yuridis. Setiap penguasaan tanah yang legal memberikan
hak kepada subyek hukumnya untuk menggunakan tanah tersebut dengan
semaksimal mungkin sesuai dengan keperluannya dengan dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya itu, bahwa pensertipikatan tanah
memberikan dampak positif terhadap pelestarian tanah, selain memberikan
kepastian hukum, dapat memberikan informasi mengenai tanah tersebut, serta
pentingnya hak-hak atas tanah dan pendaftarannya, juga meningkatkan ketertiban
dalam bidang agraria.
Sehingga berdasarkan pemaparan singkat tersebut di atas peralihan hak
terjadi setelah adanya kata sepakat dari pihak penjual dan pembeli. Akan tetapi
dengan sepakat itu saja, tidak terjadi serta merta terjadi penyerahan yuridis,
mengingat sifat jual beli yakni terang, tunai dan riil, maka setiap peralihan hak
yakni jual beli harus dilakukan dihadapan PPAT yang berwenang membuatkan
Akta Jual Beli. Akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak sebagai bukti
sebagai bukti bahwa memang benar telah terjadi peralihan hak dari penjual kepada
pembeli. Kemudian PPAT berkewajiban mendaftarkan akta peralihan hak beserta
warkah-wakah pendukung untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak di Kantor
Badan Pertanahan setempat.
155
Hasil dari pendaftaran ini nantinya akan lahir sertipikat hak atas tanah
sesuai nama pemegang hak yang baru yakni pembeli. Jaminan kepastian hukum
kepemilikan bidang tanah lahir ketika pembeli atau pemegang hak yang baru telah
memperoleh sertipikatnya. Sertipikat hak atas tanah inilah yang dipakai sebagai
bukti kepemilikan oleh pemegang hak yang bersangkutan. Adanya kepastian
hukum tentunya akan melahirkan perlindungan hukum, tidak hanya mengenai
subyek, tetapi juga mengenai objek hukum.
Sebagaimana telah dikutip pendapat Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim
Lubis pada Bab I tesis ini, masalah pertanahan harus didasarkan dan diselesaikan
secara hukum serta berpijak pada landasan konstutusi yakni Pasal 33 ayat 3 UUD
RI 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan dan
pemanfaatan tanah termasuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
di Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum. Dari pendapat
tersebut di atas, konstruksi pemikiran penulis dalam hal pendaftaran tanah ialah
pertama-tama berpijak pada landasan konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945
kemudian di dalam UUPA diatur dalam Pasal 19, yang dilaksanakan dengan PP
No. 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 yang
berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1997 sampai sekarang.
Kedua Peraturan Pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan
pendaftaran tanah dalam rangka Recht Kadaster yang bertujuan memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum meliputi kepastian status hak yang
didaftarkan, kepastian subyek hak dan kepastian mengenai objek hak. Pendaftaran
tanah pada akhirnya akan menghasilkan alat bukti berupa Buku Tanah dan
156
Sertipikat Hak Atas Tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.
Pendaftaran tanah secara tegas diatur dalam Pasal 19 UUPA, yang menyebutkan
bahwa:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara
dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan
bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
Menurut penulis dengan didaftarkannya hak-hak atas tanah sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 19 UUPA. Ketentuan tersebut secara tegas
mengamanatkan kepada Pemerintah dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan:
Pertama, memberikan jaminan kepastian hukum bagi subyek hak (pemegang
hak atas tanah) dalam hal kepemilikan dan penggunaan tanah tersebut.
Telah didaftarkannya tanah tersebut dan telah diperolehnya sertipikat
sebagai tanda bukti hak atas tanah, maka subyek hak mempunyai
wewenang untuk memanfaaatkan tanah sesuai dengan peruntukannya.
Kedua, tercapai perlindungan hukum bagi subyek hak (pemegang hak atas
tanah). Maksudnya ialah pemegang hak atas tanah sebagaimana nama
yang tertera dalam sertipikat hak atas tanah dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
157
Ketiga, mendapatkan informasi mengenai objek hak tersebut (tanah).
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan berkesinambungan yang
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar,
serta identitas mengenai bidang tanah tersebut, termasuk hak-hak tertentu
yang membebaninya. Hal ini memberikan kemudahan informasi bagi
pihak-pihak yang berkepentingan agar mudah memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai tanah yang
sudah terdaftar.
Keempat, yang terakhir ialah sebagai bentuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan.
Selanjutnya oleh Pasal 23 ayat (2) UUPA yakni : “Pendaftaran termasuk
dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak
milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut”. Pasal 32 ayat (2)
UUPA yang berbunyi : “Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir”. Yang terakhir ialah
ketentuan Pasal 38 ayat (2) UUPA menyebutkan : “Pendaftaran termasuk dalam
ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna
bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhir”.
Melihat ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas dan mengutip pendapat para
sarjana, menurut hemat penulis, adalah suatu keharusan bagi pemegang hak baik
158
itu hak milik, hak guna usaha maupun hak guna bangunan untuk mendaftarkan
haknya. Dengan mendaftarkan haknya subyek hak dijamin oleh hukum untuk
menggunakan hak kepemilikan tanah tersebut untuk apa saja asal penggunaanya
sesuai dengan peruntukan tanahnya dan menurut hukum yang berlaku. Idealnya
secara yuridis telah ada jaminan kepastian hukum terhadap bidang tanah yang
telah didaftarkan, dan diharapkan mencegah terjadinya permasalahan pertanahan
khususnya yang menyangkut penggunaaan dan pemanfatan serta mempertahankan
haknya termasuk kebendaan yang melekat padanya.
Perlu diingat bahwa sistem Pendaftaran Tanah yang dianut di Indonesia
adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif. Untuk mengetahui apa itu
sistem publikasi negatif bertendensi positif yang dianut di Indonesia, pertamatama harus diketahui dahulu pengertian dari 2 (dua) sistem pendaftaran tanah,
yakni: Pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif dan sistem pendaftaran
tanah dengan publikasi positif.
Pertama, sistem pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif yakni
Negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak
yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu sewaktu-waktu dapat digugat
oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang
memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar tidak dijamin,
walaupun dia memperoleh tanah dengan itikad baik. Sifat pembuktian
dalam sistem publikasi negatif ialah keterangan-keterangan yang
tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima
159
sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada alat pembuktian yang
membuktikan sebaliknya.
Kedua, sistem pendaftaran tanah dengan sistem publikasi positif yakni
Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah
dilakukan adalah benar. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan,
oleh sebab itu dalam proses pendaftarannya harus benar-benar diteliti
bahwa orang yang memohonkan pendaftarannya memang berhak atas
tanah yang didaftarkan tersebut, dalam artian dia memperoleh tanah
dengan sah dan batas-batas tanah tersebut adalah benar adanya. Sehingga
dari hal tersebut sifat pembuktiannya ialah orang yang telah terdaftar
sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya.
Apabila pemegang hak atas tanah kehilangan haknya, maka ia dapat
menuntut haknya. Apabila pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat
pendaftaran, ia dapat menuntut pemberian ganti kerugian berupa uang.
Sistem publikasi negatif bertendensi positif yang dianut di Indonesia yakni
dilakukan pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang
diperlukan serta peralihannya sampai akhirnya terbit sertipikat hak atas tanah
yang bersangkutan. Walaupun sistem sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan
yang bersangkutan dengan pendaftaran hak dilakukan dengan seksama, agar data
yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bertendensi positif
artinya adanya jaminan kebenaran data yang didaftarkan (Negara menjamin), dan
untuk itu Pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan
untuk didaftarkan. Sehingga dapat disimpulkan dalam sistem publikasi negatif
160
yang mengandung unsur positif, negara tidak mutlak menjamin kebenaran data
yang disajikan, penggunaannya merupakan resiko pihak yang menggunakan
sendiri. Namun, dengan sudah didaftarkannya hak atas tanah tersebut oleh
pemegang hak yang bersangkutan, hal ini telah memberikan suatu perlindungan
hukum bagi pemegang hak untuk mempertahankan apa yang dimilikinya,
pemegang hak sebagaimana yang tertera dalam sertipikat hak atas tanah adalah
sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan status seseorang
sebagai pemegang hak atas tanah tersebut, selama dan sepanjang tidak ada
pembuktian sebaliknya.
Demikian kiranya benar bahwa pendaftaran hak atas tanah memberikan
suatu kepastian hukum bagi pemegang hak untuk memiliki tanahnya. Selain itu
juga dalam hal mempertahankan tanahnya dan seluas-luasnya mempergunakan
tanahnya untuk kebutuhannya sesuai dengan peruntukan dan hukum yang berlaku.
Sehingga sistem publiksi di Indonesia adalah sistem publikasi negatif tetapi
bukan negatif murni, melainkan sistem negatif yang mengandung unsur positif,
hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA, Pasal 23 ayat (2)
UUPA, Pasal 32 ayat (2) UUPA, Pasal 38 ayat (2) UUPA yang menyatakan
pendaftaran meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Kuat dalam hal ini tidak berarti mutlak, namun lebih
kepada menguatkan pemegang hak sebagai pemilik hak atas tanah tersebut (dalam
hal pembuktian), akan tetapi pemegang hak bisa saja sewaktu-waktu digugat
apabila ada subyek hukum lain yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut
dengan menyertakan bukti-bukti kuat seperti misalnya surat bukti hak, akta di
161
bawah tangan yang dibuat pada masa lampau atau surat keputusan pemberian hak,
balik nama.
Dari pemaparan di atas, dapatlah direnungkan bahwa kepastian hukum
dalam bidang pertanahan adalah mutlak dan tidak dapat dielakkan lagi di tengah
kebutuhan masyarakat akan tanah yang semikin meningkat. Selanjutnya,
mengutip pendapat Maria S.W. Sumardjono, mengenai latarbelakang terbitnya
PP No. 24 Tahun 1997 yang telah dipaparkan pada Babi I tesis ini. Penulis
merelevansikan dengan pengkaplingan bidang tanah yang yang kini marak di
masyarakat.
Menurut hemat penulis, bahwa tidak dapat dipungkiri ada kebutuhan nyata
mengenai pengkaplingan tanah yang terjadi di masyarakat. Bahwa pengkaplingan
belum diatur secara jelas didalam UUPA maupun peraturan perundangan di
bawahnya. Kemudian seharusnya kebutuhan yang nyata dan urgensi ini diatur
dengan jelas dalam UUPA maupun peraturan pelaksananya. UUPA mengatur
secara singkat mengenai pemecahan (Pasal 48) dan pemisahan (Pasal 49), namun
tidak sama sekali mengatur maupun menyebutkan mengenai pengkaplingan.
Apakah pengkaplingan termasuk pemecahan ataukah pengkaplingan termasuk
pemisahan, atau pengkaplingan dapat dikategorikan pemecahan dan pemisahan
ataukah pengkaplingan tidak dapat diketegorikan sebagai pemecahan maupun
pemisahan.
Dari pemikiran tersebut di atas dapat dilihat bahwa problem hukum tidak
selalu timbul karena adanya problem hukum di dalamnya, tetapi kerapkali karena
ada kekeliruan penggunaan istilah. Dari sinilah adanya norma kosong, bahwa ada
162
kebutuhan dimasyarakat tetapa pengaturan yang jelas belum ada, harus segera
ditindak lanjuti, dibuatkan hukumnya, karena hukum itu ada untuk memenuhi
kebutuhan dan memastikan keamanan masyarakat.
Dalam hubungannya dengan pengkaplingan bidang tanah baik secara
langsung maupun tidak langsung terdapat 5 (lima) lembaga atau instansi yang
terkait di dalamnya, yakni:
Pertama, Badan Pertanahan Kabupaten/Kota tempat tanah tersebut berada.
Badan pertanahan berperan dalam proses pendaftaran peralihan hak dan
penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Kedua, Kantor Dinas Perijinan. Sebelum melakukan pengkaplingan, terlebih
dahulu pemilik hak ataupun pengembang harus memperoleh izin kapling.
Izin kapling yakni permohonan ijin peruntukan bidang tanah dimohonkan
pada Kantor Dinas Perijinan setempat dimana tanah tersebut berada.
Ketiga, Kantor Dinas Pendapatan Daerah ditempat tanah tersebut berada,
yang bertugas dalam hubungannya dengan pajak penghasilan (PPh) serta
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus
dibayar oleh pihak penjual maupun pihak pembeli.
Keempat, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berkedudukan ditempat
tanah sebagai obyek peralihan tersebut berada. Wewenang PPAT adalah
dalam hubungannya dengan penyelesaian serta pemberesan segala warkahwarkah yang diperlukan dalam proses peralihan hak.
Kelima, Pemerintah, pada dasarnya Pemerintah tidak terkait langsung dengan
pengkaplingan maupun dengan peralihan tanah kapling. Namun kebijakan
163
mengenai pertanahan utamanya dalam hal ini yang belum jelas pengaturan
mengenai tanah kapling, haruslah segera dibentuk oleh Pemerintah. Hal ini
selain agar tidak menimbulkan kekosongan hukum yang dikhawatirkan
merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam pengkaplingan, juga agar tidak
terjadi multitafsir mengenai apa itu pengkaplingan sejatinya, supaya tidak
terjadi
penyelundupan
hukum
oleh
pihak-pihak
yang
memiliki
kepentingan sendiri.
Kelima lembaga atau instansi tersebut di atas haruslah salin bekerja sama
dan membangun komunikasi yang baik yang dalam hal ini menyangkut
pengkaplingan bidang tanah. Misalnya saja tidak terjadi benturan kewenangan
diantara instansi tersebut. Kantor Badan Pertanahan sebagai badan yang
berwenang
dalam
hal
pertanahan,
secara
yuridis
berkewajiban
untuk
melaksanakan pendaftaran tanah dan sekaligus melakukan penerbitan tanda bukti
hak atas tanah serta menentukan aspek tata guna tanah (peruntukan tanah)
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 UUPA yakni mengenai suatu rencana
umum dalam hal persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan rencana
umum tersebut perlu diingat peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal
itu, juga Pemerintah Daerah mempunyai andil untuk mengatur persedian,
peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing.
Merujuk ketentuan Pasal 14 UUPA tersebut, berarti Pemerintah Daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur persedian, peruntukan dan penggunaan
164
bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya. Salah satunya ialah dalam
mengatur Rencana Umum Tata Ruang Wilayahnya. Sehingga di sini ada dualisme
kepentingan yaitu antara Kantor Badan Pertanahan selaku penerbit sertipikat
sebagai tanda bukti hak dan penentu peruntukan penggunaan tanah sebagaimana
yang tercantum dalam sertipikat, dengan kepentingan Pemerintah Daerah dalam
kewenangannya mengatur Rencana Tata Ruang.
Rencana Tata Ruang haruslah diperhatikan, akibat buruk apabila tidak
terjalinnya komunikasi yang baik diantara Kantor Badan pertanahan dan
Pemerintah Daerah dalam hal peruntukan bidang tanah salah satunya
mengakibatkan persoalan pengkaplingan tanah semakin banyak. Contohnya
semakin banyaknya tanah dengan peruntukan pertanian yang beralih fungsi
menjadi tanah perumahan.
Selain itu dengan banyaknya pelaku pengkaplingan yang memecah tanah
pertanian kemudian dijual kepada para pembeli dengan harga yang dirasa cukup
murah, hal ini kemudian hari akan menimbulkan persoalan yakni pembeli tidak
dapat membangun bangunan rumah di atas tanah tersebut karena peruntukan
tanahnya pertanian dengan KDB 0% (nol persen). Lambat laun akan semakin
banyak pelaku pengkaplingan yang mencari keuntungan dengan tanpa
mempertimbangkan peruntukan penggunaan tanah. Akibatnya tidak hanya
pembeli yang dirugikan, namun juga akan memberikan dampak buruk bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di daerah tersebut.
Hal inilah yang menurut penulis harus diantisipasi dengan cara disusun
Undang-Undang yang jelas mengenai pengkaplingan tanah, yang kemudian
165
diamanatkan
kedalam
peratutan-peraturan
pelaksananya.
Atau
diadakan
pembaharuan dalam UUPA yang dirasa kurang mengikuti perkembangan jaman,
karena hukum itu dinamis tidak statis, kemudian mengenai pengkaplingan tanah
diamanatkan dalam peraturan-peraturan di bawahnya.
4.2
Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling
Dalam menganalisis sub bab ini digunakan Teori Kepemilikan dan Asas
Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Seperti yang telah dipaparkan pada
Bab I, relevansi Teori Kepemilikan dengan tesis ini ialah dalam rangka hak
menguasai dari negara dimungkinkan adanya hak-hak perorangan atas tanah,
salah satu bentuk hak perorangan ialah hak milik. Hak milik atas tanah sebagai
bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar,
sehingga berkaitan erat dengan legalitas alas kepemilikan. Dengan legalitas
kepemilikan hak milik, subyek hukum dapat menikmati haknya. Oleh karena itu
Teori kepemilikan sangat erat kaitannya dengan penguasaan suatu bidang tanah
yang dijamin oleh undang-undang.
Undang-undang dalam hal ini menurut hemat penulis ialah UUPA serta PP
No. 24 Tahun 1997. Didaftarkannya penguasaan suatu bidang tanah oleh subyek
hukum pemegang hak, akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak
(subyeknya) dan bagi tanah tersebut (objeknya). Dengan adanya kepastian hukum
tersebut, maka subyek hukum dapat memanfaatkan tanahnya, sehingga dalam
kegiatannya tersebut telah mendapat perlindungan hukum. Pemaparan singkat di
atas merupakan pemikiran penulisan dalam hal relevansi Teori Kepemilikan
dengan Asas Kepastian Hukum untuk membahas sub bab ini.
166
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa setiap bentuk
perbuatan hukum perdata yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah, harus
didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan di tempat tanah tersebut berada.
Ketentuan pendaftaran tersebut berlaku pula terhadap peralihan hak atas bidang
tanah kapling. Pendaftaran peralihan hak tersebut baru dapat dilaksanakan apabila
seluruh bukti-bukti, persyaratan-persyaratan peralihan hak serta dokumendokumen pendukungnya lengkap.
Setiap pemohon yang bertujuan melakukan pengkaplingan hak atas tanah
menjadi beberapa bidang, haruslah terlebih dahulu mengantongi izin kapling dari
Instansi Pemerintah yang berwenang untuk itu, dalam hal ini ialah Kantor Dinas
Perizinan di tempat tanah tersebut berada. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk
mengantongi izin kapling ialah:
Pertama, asli sertipikat hak atas tanah, dalam sertipikat sudah diterangkan
mengenai peruntukan bidang tanahnya. Pengkaplingan bidang tanah
dilakukan pada tanah dengan peruntukan perumahan/permukiman (tidak
pada tanah pertanian dan/atau tanah dengan peruntukan sebagai jalur hijau
kota RTHK KDB 0 % (nol persen))
Kedua, foto copy KTP / Keterangan Domisili
Ketiga, fotocopy pembayaran PBB terakhir
Kempat, formulir permohonan bermaterai Rp.6000 (enam ribu rupiah)
Kelima, surat pernyataan penyanding
Keenam, surat kuasa bermaterai Rp.6000 (enam ribu rupiah) (apabila diurus
bukan pemegang hak)
167
Ketujuh, sosialisasi masyarakat dan rekaman proses
Kedelapan, denah lokasi
Kesembilan, blok plan kapling
Kesepuluh, keterangan gambar kapling, mengenai : luas tanah, luas tanah
yang dikapling, jumlah kaplingan, setiap subyek hukum yang melakukan
pengkaplingan wajib menyerahkan fasilitas sosial (fasos) seperti tempat
bermain, tempat ibadah, dan juga wajib menyerahkan fasilitas umum
(fasum) yaitu jalan dengan lebar 6 (enam) meter. Apabila sudah ada jalan
6 (enam) meter, tidak perlu lagi, tetapi apabila kurang dari 6 (enam) meter
wajib menyesuaikan menjadi 6 (enam) meter.
Kesebelas, gambar potongan jalan
Keduabelas, fotocopy akta pendirian perusahaan (bagi yang berbadan hukum)
yang telah disahkan Menteri Hukum dan HAM (PT) atau akta Notaris
yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri (CV, Fa).
Apabila warkah-warkah sudah terpenuhi dalam izin kapling sudah diperoleh,
maka selanjutnya dilakukan permohonan pendaftaran pemecahan bidang tanah.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses pendaftaran bidang tanah
kapling telah dipaparkan pada Bab III di atas. Setelah segala persyaratan untuk
melakukan pemecahan terpenuhi dan berkas diterima untuk didaftarkan di Kantor
Badan Pertanahan, maka selanjutnya oleh kantor Badan Pertanahan akan diproses
hingga diterbitkannya sertipikat.
Setelah itu apabila sertipikat masing-masing bidang tanah telah terbit,
selanjutnya dilakukan jual beli hak atas tanah secara murni. Untuk pendaftaran
168
peralihan hak murni, hingga terbitnya sertifikat hak atas tanah haruslah melalui
prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut :
Pertama, permohonan yang diajukan kepada Kepala Kantor Badan
Pertanahan dengan disertai bukti-bukti peralihan seperti akta yang dibuat
dihadapan
PPAT,
serta
dokumen-dokumen
pendukung
lainnya
sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, yang
ditempatkan dalam suatu map (blangko). Permohonan peralihan hak (tanah
sudah terdaftar) yang diterbitkan Kantor Badan Pertanahan.
Kedua, pendaftaran peralihan hak dilakukan pada loket pendaftaran yang
telah disediakan untuk itu di Kantor Badan Pertanahan.
Ketiga, setelah loket menerima permohonan pendaftaran peralihan maka
berkas tersebut akan diperiksa dan diteliti terlebih dahulu oleh petugas
pemeriksa, dan apabila masih terdapat kekeliruan atau masih dirasakan
kurang, maka berkas permohonan akan dikembalikan kepada pemohon
dengan disertai alasan-alasan pengembalian namun apabila berkas
permohonan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur oleh
undang-undang maka data berkas tersebut akan dilanjutkan dan
dimasukkan ke dalam komputer dan database Kantor Badan Pertanahan.
Keempat, apabila berkas telah dimasukkan kedalam komputer database maka
selanjutnya akan diterbitkan Surat Perintah Setor (SPS) yang berisikan
jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sebagai biaya pendaftaran
berkas.
169
Kelima, sebelum Surat Perintah Setor (SPS) tersebut diserahkan kepada
pihak pemohon, berkas dan seluruh warkah pendukung beserta Surat
Perintah Setor (SPS) tersebut terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
dari Kepala Sub Bagian Seksi Pendaftaran Hak.
Keenam, apabila Kepala Sub Bagian Seksi Pendaftaran Hak telah
membubuhkan paraf persetujuan pada berkas permohonan maka berkas
diserahkan kepada bagian Bendahara Khusus Pembayaran (BKP) yang
akan
memerintahkan
pemohon
untuk
membayar
sejumlah
uang
sebagaimana tertulis dalam Surat Perintah Setor (SPS).
Ketujuh, setelah permohonan melunasi setoran tersebut pada Bendahara
Khusus Pembayaran (BKP) maka petugas akan mencatat pendaftaran
tersebut pada buku daftar isian 301 (tanda terima berkas), daftar isian 305
(uang
pemasukan),
dan
306
(penerbitan
kwitansi
tanda
terima
pembayaran) hal ini berarti bahwa permohonan pendaftaran peralihan hak
telah resmi diterima oleh Kantor Badan Pertanahan.
Kedelapan, dari Bendahara Khusus Pembayaran (BKP) setelah seluruh
prosedur dilakukan maka berkas tersebut diserahkan kepada Kepala Sub
Bagian Seksi Peralihan Pembebanan dan PPAT. Pada bagian ini
permohonan akan digabungkan dengan buku tanah yang telah ada di
Kantor Badan Pertanahan, yang selanjutnya diadakan pemeriksaan,
pencocokan, penulisan (pengetikan), dan pencetakan pada buku tanah.
Kesembilan, apabila pencatatan pada buku tanah telah selesai dilakukan dan
pencetakan serta pengetikan pada sertipikat tanda bukti hak juga telah
170
dilakukan maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan sertipikat tanda
bukti hak oleh Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah.
Kesepuluh, setelah sertipikat tanda bukti hak ditandatangani maka
dilanjutkan dengan pengisian daftar isian (DI) 301 A yaitu tentang uang
pemasukan serta daftar isian (DI) 208 tentang penyelesaian proses
pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Kesebelas, dengan selesainya pengisian daftar isian (DI) 208 maka selesailah
seluruh proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah dilakukan,
dan sertipikat dikirim ke loket penyerahan sertipikat hak atas tanah dengan
terlebih dahulu mengisi buku daftar isian (DI) 301 A.
Keduabelas, setelah daftar isian (DI) 301 A selesai diisi, maka pemohon atau
kuasanya dapat mengambil sertipikat tanda bukti hak yang didalamnya
telah tercantum nama serta tanggal lahir pemegang hak yang baru.
Dalam Standar Pelayanan Operasional Pertanahan (SPOP) maka seluruh
proses penyelesaian sertipikat hak tersebut diatas diselesaikan oleh Kantor Badan
Pertanahan dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah berkas lengkap dan
diterima yaitu setelah buku daftar isian (DI) 301 terpenuhi dengan ketentuan
terhadap permohonan tersebut tidak ada permasalahan-permasalahan atau tidak
tersangkut kasus. Setelah buku daftar isian (DI) 301 dilengkapi maka pemohon
telah menerima tanda terima berkas yang didaftarkan.
Pada uraian sebelumnya telah disampaikan bahwa terdapat perbedaan
perlakuan terhadap berkas pendaftaran permohonan peralihan hak atas tanah
murni, sebagaimana disampaikan diatas dengan pendaftaran berkas permohonan
171
peralihan hak dalam hal terjadi pemecahan atau pemisahan bidang tanah.
Penerbitan tanda bukti hak atas tanah sehubungan dengan pendaftaran peralihan
hak atas tanah yang mengakibatkan pemecahan dan pemisahan bidang tanah
dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Pertama, permohonan yang diajukan kepada Kepala Kantor Badan
Pertanahan dengan disertai berkas-berkas peralihan seperti akta yang
dibuat dihadapan PPAT, serta dokumen-dokumen pendukung lainnya
sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, yang
ditempatkan dalam 3 (tiga) jenis map (blangko) sesuai dengan
peruntukannya yaitu :
a. 1 (satu) map Permohonan Pemisahan Atas Nama Sendiri /
Penggabungan (berwarna hijau muda) dengan satu set berkas
kelengkapan untuk permohonan peralihan hak sehubungan dengan
dilakukannya pemecahan atau pemisahan bidang tanah.
b. Beberapa map Permohonan Peralihan Hak Sebagian (Tanah Sudah
Terdaftar)
sesuai
dengan
jumlah
pemisahan/pemecahan
yang
dimohonkan/direncanakan (berwarna merah muda), yang masingmasing dilengkapi pula dengan satu set berkas permohonan.
c. 1 (satu) map Permohonan Pengukuran (berwarna coklat muda) dengan
disertai dengan kelengkapannya, sehubungan dengan permohonan
pengukuran bidang tanah yang akan dipecah atau dipisahkan.
Kedua, pendaftaran peralihan hak dilakukan pada loket pendaftaran di Kantor
Badan Pertanahan. Selanjutnya berkas peralihan hak tersebut diperiksa dan
172
diteliti terlebih dahulu oleh petugas pemeriksa, apabila terdapat kekeliruan
atau berkas belum lengkap, maka berkas permohonan akan dikembalikan
kepada pemohon dengan disertai alasan-alasan pengembalian sebagaimana
diatur dalam Pasal 45 PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa
Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak permohonan pendaftaran
peralihan hak.
Ketiga, bila ternyata berkas permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana
diatur oleh Undang-Undang maka berkas tersebut akan dilanjutkan dan
dimasukkan ke data komputer, yang selanjutnya diterbitkan Surat Perintah
Setor (SPS) yang berisikan jumlah yang harus dibayar oleh pemohon
sebagai biaya pendaftaran berkas.
Keempat, sebelum surat perintah setor (SPS) tersebut diserahkan kepada
pihak pemohon, berkas dan seluruh warkah pendukung beserta surat
perintah setor (SPS) tersebut terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
dari Kepala Subagian Seksi Pendaftaran Hak.
Kelima, bila Kepala Subbagian Seksi Pendaftaran Hak telah memberikan
persetujuan, kemudian berkas diserahkan kepada bagian bendahara khusus
pembayaran yang akan memerintahkan permohonan untuk membayar
sejumlah uang sebagaimana tertulis dalam surat perintah setor (SPS).
Keenam, setelah pemohon melunasi biaya tersebut pada bendahara khusus
pembayaran maka petugas akan mencatat pendaftaran tersebut pada buku
daftar isian 301 (tanda terima berkas), daftar isian 305 (uang pemasukan)
dan 306 (penerbitan kwitansi tanda terima pembayaran, hal ini berarti
173
bahwa permohonan pendaftaran peralihan hak telah resmi diterima oleh
Kantor Badan Pertanahan.
Ketujuh, dari bendahara khusus pembayaran setelah seluruh prosedur tersebut
diatas dilakukan maka berkas permohonan dipisahkan dimana :
a. Berkas dengan map Permohonan Pemisahan Atas Nama Sendiri/
Penggabungan (berwarna hijau muda) dengan satu set berkas
kelengkapan untuk permohonan peralihan diserahkan kepada Kepala
Subbagian Seksi Peralihan Pembebanan dan PPAT. Pada bagian ini
permohonan akan menunggu hasil dari proses pengukuran yang
dilakukan oleh seksi pengukuran.
b. Map Permohonan Peralihan Hak Sebagian (tanah sudah terdaftar)
sesuai
dengan
jumlah
pemecahan/pemisahan
yang
dimohonkan/direncanakan (berwarna merah muda), yang masingmasing dilengkapi dengan satu set berkas permohonan dan Map
Permohonan Pengukuran (berwarna coklat muda) didaftarkan pada
daftar isian (DI) 302 yaitu diteritkannya jadwal pengukuran ke lapangan
dan surat tugas bagi petugas ukur untuk melakukan pengukuran.
Kedelapan, setelah seluruh proses pengukuran dilakukan dan diperoleh hasil
pengukuran maka hasil pengukuran tersebut dibuatkan draf surat ukur.
Kemudian dimohonkan persetujuan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan
Peta Bidang. Apabila draf surat ukur tersebut telah disetujui, maka hasil
pengukuran di masukkan ke dalam data base pengukuran dan diterbitkan
dalam bentuk surat ukur.
174
Kesembilan, surat ukur yang telah ditandatangani oleh Kepala Seksi
Pengukuran dan Peta bidang maka berkas tersebut dilanjutkan untuk
digabungkan dengan berkas yang disimpan oleh Kepala Subbagian Seksi
Peralihan pembebanan dan PPAT.
Kesepuluh, seluruh kelengkapan berkas peralihan hak atas tanah (seluruh
map) yang telah terkumpul kembali tersebut kemudian disusun untuk
digabungkan dan dicatat dalam buku tanah yang telah ada di Kantor Badan
Pertanahan,
yang selanjutnya diadakan pemeriksaan, pencocokan,
penulisan (pengetikan), dan pencetakan sertipikat hak atas tanah yang
baru. Pada saat yang bersamaan dibuatkan berita acara penghapusan
sertipikat tanda bukti hak yang lama.
Kesebelas, apabila pencatatan pada buku tanah telah selesai dilakukan dan
pencetakan serta pengetikan pada sertipikat tanda bukti hak juga telah
dilakukan, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan sertipikat
tanda bukti hak oleh Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran
Tanah.
Keduabelas, setelah sertipikat tanda bukti hak ditandatangani maka
dilanjutkan dengan pengisian daftar isian (DI) 301 A yaitu tentang uang
pemasukan serta daftar isian (DI) 208 tentang penyelesaian proses
pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Ketigabelas, dengan selesainya pengisian daftar isian (DI) 208 maka
selesailah seluruh proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah
175
dilakukan, dan sertipikat dikirim ke loket penyerahan sertipikat hak atas
tanah dengan terlebih dahulu mengisi buku daftar isian (DI) 301 A.
Keempatbelas, setelah daftar isian (DI) 301 A selesai disi maka pemohon
atau kuasanya dapat mengambil sertipikat tanda bukti hak yang
didalamnya telah tercantum nama serta tanggal lahir pemegang hak yang
baru.
Pengkaplingan bidang tanah tidak dimungkinkan diadakan pada lokasi
tanah dengan peruntukan pertanian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dengan tidak
dimungkinnya pengkaplingan pada tanah peruntukan pertanian, maka tidak
dimungkinkan juga untuk dilakukan pembangunan diatasnya. Namun dalam
kenyataannya pemilik bidang tanah dapat mengajukan permohonan aspek Tata
Guna Tanah kepada Kantor Badan Pertanahan.
Permohonan aspek tersebut sebenarnya untuk mengetahui keadaan tanah
apakah dapat dilakukan pengkaplingan atau tidak. Dalam hal ternyata setelah
dicek dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan, tanah tersebut
berada dalam kawasan perumahan, namun dalam sertipikat masih tertera dengan
peruntukan pertanian, maka dalam hal inilah dapat dimohonkan aspek atau Tata
Guna Tanah (TGT). Tetapi bila ternyata tanah tersebut jelas-jelas berada dalam
kawasan pertanian atau jalur hijau, maka sama sekali tidak dapat dilakukan baik
itu pemecahan, pemisahan maupun pengkaplingan.
Kerapkali terjadi di masyarakat apabila permohonan aspek disetujui maka
tanah dengan peruntukan pertanian tersebut dapat beralih menjadi tanah dengan
176
KDB 30 % (tiga puluh persen) atau dengan peruntukan perumahan. Dengan
perubahan peruntukan tersebut, jadilah tanah tersebut dapat dikapling. Padahal
seharusnya pada tanah pertanian dengan KDB 0% (nol persen) tidak bisa
dilakukan pengkaplingan, dan apabila dipaksakan dilakukan pengkaplingan, Dinas
Perijinan nantinya tidak akan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),
dan bila dibangun bangunan diatas tanah tersebut maka akan dilakukan
penindakan berupa pembongkaran paksa oleh Dinas Tata Kota dan Bangunan
yang dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP).
Pemaparan di atas kiranya sebagai renungan agar tidak terjadi celah-celah
hukum bagi pihak-pihak memiliki kepentingan nakal. Sehingga hukumnya harus
tegas, sayangnya pengaturan pengkaplingan tanah belum diatur secara jelas dan
pasti dalam perundang-undangan. Melihat begitu kompleknya permasalahan yang
ditimbulkan sebagai akibat dari pengkaplingan bidang tanah, dapat dipetik
pelajaran yang dapat dipergunakan sebagai upaya penyempurnaan ketentuan atau
peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanahan.
Seperti yang telah diketahui bahwa UUPA sudah berlaku sejak tahun
1960, nampaknya 54 (lima puluh empat) tahun lalu pada saat dibentuknya UUPA
belum mengenal model atau sistem pengkaplingan tanah, yang sampai saaat ini
pun belum diadakan pembaharuan dalam UUPA, atau setidaknya dibentuk
Peraturan Pelaksana yang mengatur mengenai pengakaplingan tanah yang
menjadi tren cara jual beli dengan teknik marketing modern di masyarakat
Indonesia. Oleh karena belum ada aturan hukum yang mengatur secara jelas, tidak
dipungkiri bisa tejadi penyelundupan-penyelndupan hukum maupun adanya celah-
177
celah untuk mempermudah segala proses pengkaplingan demi kepentingan
ekonomi tertentu.
Penelitian tesis ini, penulis bermaksud membuka pandangan bahwa ini
saat ini ada suatu kebutuhan yang nyata dan semakin mendesak dalam bidang
pertanahan mengenai pengkaplingan tanah, dan Pemerintah tidak boleh tutup mata
akan kebutuhan masyarakat ini. Maka harus segera dilakukan pembaharuan dalam
bidang hukum agraria yakni UUPA sebagai induk peraturan dalam hukum agraria,
atau dibuatkan Undang-Undang ataupun Peraturan Pelaksana yang mengatur
secara jelas dan pasti mengenai pengkaplingan tanah. Dengan peraturan hukum
yang jelas dan pasti tersebut sudah pasti akan menjamin kepastian hukum.
Akhirnya, hukum harus dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
178
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalah serta pembahasan pada bab-bab yang telah
diuraikan dalam tesis ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan yakni:
1.
Pengkaplingan tanah di Indonesia belum diatur secara jelas dan pasti
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pasal 48 dan Pasal 49 PP No.
24 Tahun 1997 yang mengatur mengenai pemecahan dan pemisahan
belum
mampu
memberikan
kepastian
hukum
terhadap
proses
pengkaplingan tanah di Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat atau
ditetapkan peraturan pelaksana yang mengatur mengenai pengkaplingan
tanah.
2.
Kepemilikan tanah kapling dijamin kepastian hukumnya apabila telah
dilakukannya pendaftaran tanah. Hasil dari pendaftaran tanah ialah
lahirnya sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti kepemilikan hak.
Sertipikat tersebut akan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai
suatu bidang tanah, dan suatu perlindungan hukum terhadap subyek yang
berhak atas tanah tersebut.
5.2
Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dari pokok permasalah tersebut di atas, maka
dapat disarankan sebagai berikut :
1.
Pemerintah perlu segera melakukan penegasan mengenai pengkaplingan
tanah. Penegasan yang penulis maksud ialah diadakan pembaharuan dalam
179
PP No. 24 Tahun 1997 atau dibuatkan suatu peraturan yang mengatur
proses pengkaplingan tanah secara jelas dan pasti, semisal Peraturan
Menteri Agraria. Adanya peraturan yang jelas dan pasti tentunya akan
melahirkan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.
Masyarakat yang terlibat dalam proses peralihan hak atas tanah melalui
pengkaplingan tanah, agar terlebih dahulu mengecek kejelasan tanah,
Notaris/PPAT berkewajiban mengecek sertipikat tanah tersebut sebelum
dilakukannya peralihan hak pada Kantor Badan Pertanahan setempat. Hal
ini dilakukan untuk menjamin kepastian terhadap subyek dan objek
hukum. Apabila telah siap dilakukan peralihan hak, maka tanah kapling
tersebut harus didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah
tersebut berada untuk proses balik nama pada sertipikat. Sertipikat hak atas
tanah inilah sebagai bukti sah kepemilikan hak atas tanah.
180
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andreae, Fockema, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum, Binacipta, Bandung.
Ardiwilaga, R. Roestandi, 1962, Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan
Praktek, Masa Baru, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
Alumni, Bandung.
Bakir , R. Sutoyo, 2009, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru),
Karisma Publishing Group, Tangerang.
Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni,
Bandung.
Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,
Yogyakarta.
Garner, Bryan A., 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United
States of America.
Hadjon, Philipus M. 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya.
Halim, Ridwan, 2001, Bendera Mimbar Filsafat Hukum Indoneisa dan
Pragmatisasinya Suatu Analisis Yuridis Empiris, Angky Pelita Studyways,
Jakarta.
Hamidi, Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru
dengan Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta.
Hartanto, J. Andy, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum
Bersertifikat, Laksabang Mediatama, Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Alumni, Bandung.
Harsono, Boedi, 1988, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Trisakti,
Jakarta.
181
_______, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Rajawali Pers,
Jakarta.
Huda, Ni’Matul, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hutagalung, Arie S., 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum
Pertanahan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.
Kratovil, Roberto, 1974, Real Estate Law, Prentice Hall New Jersey.
Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Djaya Pirusa, Jakarta.
Kusnardi, Moh., dan Ibrahim Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta.
Kusumaatmaja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung.
Locke, John, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent & Sons Ltd,
London.
Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah,
Mandar Maju, Bandung.
Marbun, S.F., 2001, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik di Indonesia dalam Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII
Pres, Yogyakarta.
Marwan, M. dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete
Edition, Reality Publisher, Surabaya.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta.
Nadapdap, Binoto, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala, Jakarta.
182
Nemeth, Charles P., 2008, The Paralegal Resource Manual, The Mc Graw Hill
Companies, United States.
Noor, Aslan, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Berbangsa Indonesia Ditinjau
Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung.
Parlindungan, A. P., 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
_______, 2001, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan
Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung.
Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut
Pandangan Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta.
_______, 1987, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali
Pers, Jakarta.
Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim, H., dkk., 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding
(MoU), Sinar Grafika, Jakarta.
Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Setiawan, Yudhi, 2010, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek, Bayumedia,
Malang.
Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Pajak Daerah & Retribusi daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi
Daerah, Rajawali Press, Jakarta.
Sibaga, Sahat HMT, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka
Sutra, Bandung.
Sibuea, Hotma P., 2010, Asas-Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik, Erlagga, Jakarta.
Soejono, dan H. Abdurrahman, 2003, Prosedur Pendaftaran Tanah (Tentang Hak
Milik, Hak Sewa Guna, dan Hak Guna Bangunan), Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Seokanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
183
Soerjopratiknjo, Hartono, 1982, Aneka Perjanjian Jual-Beli, Seksi Notariat
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Soeroso, R., 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sudiyat, Iman, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, Kompas, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.
Syahrani, Riduan 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Tim Penyusun Pusat Kamus, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Thompson, Mark P., 2001, Modern Land Law, First Published, Oxford University
Press, New York.
Wahjono, Padmo, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan Teori Ilmu
Negara dari Jellijek, Melati Study Group, Jakarta.
Widyaningsih, Arisanti, 2011, Hukum Pajak dan Perpajakan, Alfabeta, Bandung.
_______, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
MAKALAH
Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104 – Tambahan Negara Republik Indonsia 2034.
184
Undang-Undang Nomor 56/Prp/Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 174.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 77.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 7.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan
185
Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Retribusi
Peruntukan Penggunaan Tanah dimuat dalam Lembaran Daerah Kota
Denpasar Tahun 2006 Nomor 10.
Download