TESIS KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH KAPLING I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI NIM. 1192461028 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 i KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH KAPLING Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI NIM. 1192461028 PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii Lembar Persetujuan Pembimbing TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH NIP. 1955126 198511 1 001 Dr. I Gede Yusa, SH.,MH NIP.19610720 198609 1 001 Mengetahui : Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Prof.Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.H NIP. 19650221 199003 1 005 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K). NIP. 19590215 198510 2 001 iii Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 09 Mei 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1279/UN14.4/HK/2014 Ketua : Prof . Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH. Anggota : 1. Dr. I Gede Yusa, SH., MH 2. Prof. Dr. I Made Arya Utama., SH., MH 3. Dr. I Made Sarjana, SH., MH 4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI NIM : 1192461028 Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis : Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Kapling Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 29 April 2014 Yang Membuat Pernyataan, I GUSTI AGUNG MIRAH CHRISMA SANTHI NIM. 1192461028 v UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Kapling”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Yohanes Usfunan, Drs., SH., MH., selaku Pembimbing Pertama dan terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. I Gede Yusa, SH., MH selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PDKEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staf atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk vi mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis. Terimakasih kepada Dr. I Made Sarjana, SH., MH selaku penguji II, beserta Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH selaku penguji III, yang telah memberikan informasi serta masukan yang berkaitan dengan penulisan tesis ini, serta Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terimakasih juga penulis tujukan kepada Ayah tercinta I Gusti Putu Adi Wibawa, SH., dan Ibu Dra. Ni Luh Putu Diana, MM., serta adik-adik tersayang I Gusti Agung Dwi Satya Permana, dan I Gusti Agung Yudha Prasetya, beserta seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya selama ini Terimakasih kepada I Gusti Agung Gede Gifta Pridana, SE., yang selalu sabar dan tetap memberikan semangat selama proses penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada sahabat Putu Helena Evie OS, SH., Kadek Dwi Tusidhi Cesaryanthi, SH., Ketut Mita Arishanti, SH., Ida Ayu Ngurah Putri Widyantari, SH., Ni Luh Putu Swandewi, SH., I Gusti Ngurah Budi Wardhiana, SH., Anak Agung Ade Jaya Wibawa ,SH., Kadek Oka Widiantara, SH., serta seluruh teman-teman Angkatan II Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. vii Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 29 April 2014 Penulis viii ABSTRAK KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH KAPLING Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara atau metode penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik modal dengan motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Di masyarakat berkembang suatu teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan tanah, namun UUPA Pasal 19 mengenai pendaftaran tanah tidak mengenal pengkaplingan tanah, kemudian dalam peraturan pelaksananya yakni PP Nomor 24 Tahun 1997 dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah hanya mengenal dua karakter peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni diatur dalam Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1), tidak menyebutkan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional tidak mengenal pengkaplingan tanah. Demikian juga Kantor Badan Pertanahan hanya menerima pendaftaran tanah dengan pemecahan dan pemisahan. Oleh karena belum diaturnya model atau sistem pengkaplingan, maka terjadi norma kosong atau dengan lain perkataan tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Dengan belum adanya aturan khusus yang mengatur pengkaplingan tanah tentunya akan menimbulkan pertanyaan pengaturan pengkaplingan tanah di Indonesia serta bagaimana kepastian hukum kepemilikan tanah kapling. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni terdapat kekosongan norma. UUPA serta PP Nomor 24 Tahun 1997, belum mengenal teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan. Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai pengkaplingan bidang tanah sudah pasti tidak memberikan kepastian hukum bagi pihakpihak yang terlibat dalam pengkaplingan bidang tanah tersebut. Bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenyataannya di masyarakat ada suatu kebutuhan yang nyata dan mendesak dalam bidang pertanahan yakni pengkaplingan tanah, namun belum adanya pengaturan yang jelas yang mengatur tanah kapling di Indonesia, sehingga jaminan kepastian hukum terhadap tanah kapling juga belum jelas. Kepastian hukum lahir setelah tanah tersebut didaftarkan, walaupun demikian tetap harus segera dilakukan pembaharuan dalam bidang hukum agraria yakni UUPA sebagai induk peraturan dalam hukum agraria, atau dibuatkan Undang-undang ataupun Peraturan Pelaksana yang mengatur secara jelas dan pasti mengenai pengkaplingan tanah. Dengan peraturan hukum yang jelas dan pasti tersebut sudah pasti akan menjamin kepastian hukum. Akhirnya, hukum harus dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci: kepastian hukum, tanah kapling, kepemilikan. ix ABSTRACT LEGAL CERTAINTY OF PLOT OF LAND OWNERSHIP Division into ploting of land is essentially a way or method of land sale by capital owners with economic motives for profits. A technique selling a land by dividing into lots is developing in the society, which they namely plotting of land, however Article 19 of UUPA on land registration does not include division into ploting of land, then in its implementation regulations, namely Government Regulation Number 24 of 1997 in its relation about registration of land, it is only recognized two characters of transfer of land rights which can be registered, namely regulated in Article 48 paragraph (1) and Article 49 paragraph (1); None of the regulations mentions the term about plot of land, or in other words, the National Land Law does not recognize divisions into ploting of land. Land Office only accepts registration of land with splitting and separation. As the model or the system of division into ploting of land has not been governed, then there is an empty norm or in other words there are no specific rules on this subject. Since there are no specific rules governing land divisions, it will certainly raise a question on divisions into ploting of land in Indonesia and how the legal certainty of ownership about plot of land. The type of this research is a normative legal research, namely, there is a vacant of norm. UUPA as well as Government Regulation Number 24 of 1997 do not recognize sale technique through divisions into plot of land. As there are no regulations governing land divisions, it certainly does not provide any legal certainty for the parties involved in the divisions into plot of land. The legal materials applied are primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The results of this research indicates that there is a real and urgent needs in the society in the field of land, namely, divisions into ploting of land, but there is no clear regulation governing plot o0f land in Indonesia, so the legal guarantee of the plot of land is not clear either. Legal certainty born after the land is registered, however then, it is necessary to have law reform in the field of agrarian law, namely, UUPA as the main rule in the agrarian law, or the Law or Implementing Regulations are made which clearly and definitely govern the division into ploting of land. Under the clear and definite rule of law will certainly ensure legal certainty. Finally, the law must be able to create peace and prosperity for all people of Indonesia. Keywords : legal certainty, plot of land, ownership. x RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai kepastian hukum kepemilikan tanah kapling yang saat ini marak dan digemari sebagai salah satu cara penjualan bidang tanah di Indonesia, namun ternyata baik dalam UUPA maupun PP No.24 Tahun 1997 tidak mengatur mengenai model atau sistem pengkaplingan tanah. Oleh karena belum diaturnya model atau sistem pengkaplingan, maka terjadi norma kosong atau dengan lain perkataan tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah adanya kekosongan norma, oleh karena belum diaturnya model atau sistem pengkaplingan tanah tersebut. Tujuan diundangkannya UUPA ialah memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan tidak diaturnya pengkaplingan tanah berarti tidak ada kepastian hukum. UUPA melalui peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 dalam hubungannya dengan pendaftaran Kantor Badan Pertanahan hanya mengenal 2 (dua) peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) mengenai pemecahan dan Pasal 49 ayat (1) mengenai pemisahan, dan tidak menyebutkan istilah pengkaplingan. Dengan kata lain pengkaplingan bukanlah suatu teknik atau tata cara yang diatur dalam UUPA maupun PP No. 24 Tahun 1997. Dalam hal ini berarti adanya suatu norma kosong, yang tentunya akan berakibat pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis, serta metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai teori dan konsep hak milik, pengkaplingan bidang tanah dan jual beli hak milik atas tanah, yang diuraikan menjadi 3 (tiga) sub bab. Sub bab pertama menguraikan hak milik atas bidang tanah, yang di bagi menjadi 2 (dua) sub sub bab yakni: sifat dan ciri hak milik atas tanah; dan subyek hak milik atas tanah. Sub bab kedua mengenai pengkaplingan bidang tanah, dan sub bab ketiga mengenai jual beli hak milik atas tanah. Bab III menguraikan pembahasan terhadap rumusan permasalahan pertama yang diuraikan dalam 4 (empat) sub bab, sub bab pertama menguraikan pengaturan tanah kapling di Indonesia serta mengenai kepemilikan bidang tanah kapling, sub bab kedua menguraikan tentang prosedur pengkaplingan bidang tanah, sub bab ketiga menguraikan jual beli hak atas tanah dalam hubungannya dengan pengkaplingan, yang dibagi menjadi 2 (dua) sub sub bab yakni jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah, dan jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah, sub bab keempat menguraikan mengenai pengkaplingan tanah yang dilakukan oleh badan hukum. Bab IV menguraikan pembahasan rumusan permasalahan kedua yang diuraikan dalam 2 (dua) sub bab. Sub bab pertama ialah menguraikan mengenai pendaftaran tanah xi sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sub bab kedua menguraikan mengenai tata cara pendaftaran peralihan hak tanah kapling. Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan pembahasan diatas adalah : belum adanya pengaturan yang jelas yang mengatur tanah kapling di Indonesia. UUPA yang dibentuk pada tahun 1960 tampaknya pada saat itu belum mengenal sistem dan tata cara pengkaplingan tanah, yang saat ini menjadi suatu yang digemari dalam hal jual beli bidang tanah di masyarakat. UUPA (Pasal 19) melalui peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 mengatur mengenai pemecahan dan Pasal 49 mengatur mengenai pemisahan. Jika dilihat sistem pengkaplingan tanah lahir dari pemikiran Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pemecahan, dan Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 mengenai pemisahan. Namun walaupun demikian, dengan Pasal 48 dan Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 saja tidak cukup memberikan kejelasan mengenai pengkaplingan tanah. Oleh sebab itu kiranya perlu adanya aturan yang jelas mengenai pengkaplingan bidang tanah di Indonesia. Kepastian hukum terhadap tanah kapling lahir setelah didaftarkan tanah tersebut. Namun walapun demikian dengan belum adanya pengaturan yang jelas mengatur tentang pengkaplingan tanah, kepastian hukum terhadap tanah kapling juga belum jelas, maka menimbulkan kevakuman hukum atau norma kosong. Oleh sebab itu secepatnya perlu diterbitkan Peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum mengenai tanah kapling. Adanya kepastian hukum maka akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD RI 1945. xii DAFTAR ISI JUDUL HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................................... i PERSYARATAN GELAR ............................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. vi ABSTRAK ........................................................................................................ ix ABSTRACT ...................................................................................................... x RINGKASAN ................................................................................................... xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 16 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 16 a. Tujuan Umum ..................................................................... 16 b. Tujuan Khusus ..................................................................... 16 Manfaat Penelitian .................................................................... 17 a. Manfaat Teoritis ................................................................. 17 b. Manfaat Praktis ................................................................... 18 Landasan Teoritis ...................................................................... 19 1.4. 1.5. xiii 1.6. Metode Penelitian ...................................................................... 58 a. Jenis Penelitian .................................................................... 58 b. Jenis Pendekatan ................................................................. 60 c. Sumber Bahan Hukum ....................................................... 62 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................. 63 e. Teknik Analisis Bahan Hukum .......................................... 63 BAB II TEORI DAN KONSEP HAK MILIK, PENGKAPLINGAN BIDANG TANAH DAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH ................................................................................................ 65 2.1. Hak Milik Atas Bidang Tanah ................................................... 65 2.1.1. Sifat dan Ciri Hak Milik Atas Tanah ............................. 78 2.1.2. Subyek Hak Milik Atas Tanah ....................................... 82 2.2. Pengkaplingan Bidang Tanah ................................................... 84 2.3. Jual Beli Hak Milik Atas Tanah ................................................. 92 BAB III PENGATURAN TANAH KAPLING DI INDONESIA ................ 106 3.1 Pengaturan Tanah Kapling di Indonesia ................................... 106 3.2 Prosedur Pengkaplingan Bidang Tanah .................................... 119 3.3 Jual Beli Hak Atas Bidang Tanah Dalam Hubungannya Dengan Pengkaplingan ............................................................... 132 3.4 3.3.1 Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya Pemecahan Bidang Tanah ........................... 141 3.3.2 Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya Pemisahan Bidang Tanah ............................ 143 Pengkaplingan Bidang Tanah Yang Dilakukan Oleh Badan Hukum ...................................................................................... 144 xiv BAB IV PENDAFTARAN TANAH SEBAGAI BENTUK JAMINAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP TANAH KAPLING .......... 151 4.1. Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah .................. 151 4.2. Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling .............. 165 BAB V PENUTUP ............................................................................................ 178 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 178 5.2. Saran-saran ................................................................................ 178 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 180 xv 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2034. Undang-Undang ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) sudah berlaku sejak tahun 1960, namun ternyata di dalam UUPA tersebut tidak mengatur mengenai model atau sistem pengkaplingan tanah. Oleh karena belum diaturnya model atau sistem pengkaplingan tersebut, maka terjadi norma kosong atau dengan lain perkataan tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Salah satu tujuan dari diundangkannya UUPA yang termuat dalam Penjelasan Umum yakni meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dengan tidak diaturnya mengenai pengkaplingan berarti tidak ada kepastian hukum terhadap orang-orang yang membeli tanah dengan cara mengkapling. Oleh sebab itu dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian serta berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum. Adanya keragaman kepentingan antar individu maupun kelompok seringkali menimbulkan terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat. Sebagian dari konflik tersebut berkembang menjadi sengketa, terutama apabila pihak yang merasa haknya telah dilanggar menyatakan rasa tidak puas kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Politik 2 hukum agraria dalam hal ini harus membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengkaplingan bidang tanah. Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik modal dengan motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Sebagai akibat derasnya pembangunan dan besarnya kebutuhan akan lahan untuk hunian. Meningkatnya kebutuhan akan lahan hunian dimasyarakat mengakibatkan meningkat pula nilai serta harga tanah. Atas dasar itu semakin tinggi nilai harga tanah tersebut mengakibatkan semakin meningkat transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Salah satu akibat dari semakin meningkatnya transaksi tanah tersebut adalah kurangnya kemampuan pembeli untuk membeli bidang tanah dalam ukuran yang luas untuk tempat tinggalnya. Akibat berkurangnya daya beli masyarakat untuk membeli lahan yang luas tersebut, sehingga pemegang hak atas tanah dan/atau penjual akan sulit menemukan pembeli tanahnya. Hal ini dikarenakan luas tanah yang akan ditransaksikan sangat luas maka harga jual dari tanah tersebut tentunya akan tinggi sekali, maka kemungkinan mendapatkan pembeli sangatlah sulit, dan apabila ada yang berminat membeli tanah tersebut tentunya penawaran yang dilakukan akan berada di bawah harga pasar atau harga sesungguhnya. Sesuai dengan perkembangan jaman, penjualan bidang tanah oleh pemegang hak dan/atau pemilik modal ialah untuk mendapatan keuntungan yang lebih maka dipergunakanlah teknik-teknik atau cara-cara marketing modern, sehingga pembeli yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal ataupun 3 kepentingan bisnis dengan mudah mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhannya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan cara penjualan yang disebut pengkaplingan tanah. Bisnis jual beli tanah yang banyak dilakukan oleh para pemodal dan/atau pemegang hak atas tanah adalah dengan cara melakukan pengkaplingan bidang tanah. Pengkaplingan tanah pada dasarnya adalah cara atau metode penjualan tanah yang dilakukan oleh pemilik modal dengan motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan lebih yang diharapkan. Penjualan bidang tanah dengan teknis atau cara melakukan pengkaplingan dalam bentuk mempetak-petakkan bidang tanah semakin menjadi trend tersendiri dalam bisnis jual beli tanah. Tanah kapling ini sering disebut dengan tanah matang atau tanah siap bangun, yakni pemegang hak atas tanah atau pengembang telah menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual sehingga tampak menarik dengan berbagai fasilitas yang dijanjikan. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Pasal 1 angka 17 disebutkan : “Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.” Pengertian pangkaplingan dapat dilihat dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah dimuat dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 10 (selanjutnya disebut Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005). Pasal 1 angka 7 4 Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 menyebutkan: “Pengkaplingan adalah pemecahan tanah menjadi bidang tanah yang telah dipersiapkan yang dilakukan di kawasan permukiman, kawasan Ruang Terbuka Hijau Kota (RTHK) dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 30%, kawasan prasarana perdagangan dan jasa yang dimaksudkan untuk pembangunan perumahan/permukiman, pertokoan, perdagangan dan jasa.” Keterkaitan antara Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 dengan kapling apabila dilihat dari istilah tanah kapling yang semakin populer di masyarakat memberikan pengertian bahwa suatu bidang tanah dapat dibeli sebagian atau dengan ukuran sesuai dengan kehendak dari pembeli. Secara umum suatu bidang tanah dapat dipisah-pisah dan/atau dipecah-pecah hak yang melekat padanya menandakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah dengan peruntukan perumahan yang berada dalam kawasan permukiman. Hal ini selaras dengan bagian menimbang dalam Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 huruf b yaitu bahwa peruntukan lahan untuk kepentingan perumahan dan pemukiman, perdagangan dan jasa yang dilaksanakan melalui pengkaplingan tanah perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian agar lebih berdaya guna dan berhasil guna melalui pengaturan Perijinan Peruntukan Penggunaan Tanah. Selain dapat peraturan perundang-undangan, istilah kapling juga dapat ditemui Kamus Lengkap Bahas Indonesia. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, istilah kapling diartikan sebagai: “Bagian tanah yang dipetak-petakkan 5 dengan ukuran tertentu (biasanya dipersiapkan untuk bangunan; kapling siang bangun: petakan-petakan tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan.”1 Selanjutnya menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition memberikan pengertian mengenai kapling dan kapling tanah matang. Pengertian kapling dan kapling tanah matang sebagaimana disebutkan dalam Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition bahwa : Kaveling adalah kapling; persil; sebidang tanah; sebidang tanah dengan ukuran tertentu yang telah dikonversikan oleh kantor agraria (H. Perdata) plot of land (ing). Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pebakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan (H. Agraria).2 Peralihan hak atas tanah baik melalui jual beli maupun dengan perbuatan hukum perdata atas tanah lainnya, pada umumnya telah diatur dalam undangundang, yang dalam hal ini adalah UUPA dan peraturan pelaksananya. UUPA memberikan kewenangan atau hak kepada pemilik tanah untuk memanfaatkan tanah miliknya semaksimal mungkin, termasuk di dalamnya melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Kewenangan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemegang hak atas tanah untuk melakukan peralihan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang memerlukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang diharapkan. Sebagaimana dipahami dalam UUPA Pasal 21 bahwa status subyek menentukan status tanah yang boleh dikuasai seperti misalnya untuk Warga 1 R. Sutoyo Bakir, 2009, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), Karisma Publishing Group, Tangerang, hal. 257. 2 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, hal. 326. 6 Negara Indonesia dapat memegang hak milik atas tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, serta hak pengelolaan, sedangkan untuk badan hukum Indonesia dapat memiliki hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai serta hak pengelolaan. Dengan beralas hak yang dimiliki tersebut pemegang hak dapat memanfaatkan haknya semaksimal mungkin sesuai dengan peruntukannya. Setiap pemegang hak atas tanah yang merupakan subyek hukum berhak untuk melakukan perbuatan hukum atas tanahnya, asalkan perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang diperbolehkan. Demikian pula adalah merupakan hak dari pemilik tanah untuk mengalihkan haknya kepada pihak lain, asalkan subyek hukumnya baik yang melepaskan haknya maupun yang akan menerima hak oleh undang-undang dianggap cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, dan objek peralihan tersebut dibenarkan oleh undang-undang serta dapat dialihkan kepemilikannya. Seperti yang telah disebutkan di atas, pada umumnya pengkaplingan ialah suatu cara menjual bidang tanah atau cara mempromosikan benda, dalam hal ini benda tidak bergerak, sehingga dari cara ini diharapkan dapat mendongkrak harga atau nilai jual tanah tersebut. Selain itu pula tanah kapling sering juga disebut sebagai tanah matang atau tanah siap bangun. Pemilik tanah atau pengembang telah menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual dengan dilengkapi dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dijanjikan menjadi tampak menarik, sehingga mampu menaikkan harga jual tanah tersebut. Pengkaplingan bukanlah suatu teknik atau tata cara yang diatur di dalam UUPA. Dari sini maka akan 7 timbul pertanyaan di Kantor Badan Pertanahan Nasional, apakah definisi dari kapling bidang tanah, adakah kapling bidang tanah tersebut di dalam UUPA. Guna menjamin kepastian hukum mengenai kepemilikan bidang tanah, UUPA sendiri memerintahkan pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan haknya. Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA Pasal 19, yang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28, dan kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59. Kedua peraturan ini ialah merupakan pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam rangka Recht Kadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli ialah memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai objek perbuatan hukum yang dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan. Kantor Badan Pertanahan dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah hanya mengenal 2 (dua) jenis peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) mengenai Pendaftaran Tanah : (1) Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah 8 (2) Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah. Kedua karakter tersebut memiliki unsur-unsur dan sifat yang berbeda baik dalam persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum itu sendiri. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa Kantor Badan Pertanahan selain mempunyai tugas dan kewenangan untuk melakukan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun perundangundangan lainnya, juga bertugas untuk menerima pendaftaran peralihan hak atas tanah dan selanjutnya menerbitkan sertipikat haknya hanya menerima permohonan pendaftaran penerbitan sertipikat hak atas tanah baik yang dilakukan dengan cara pemecahan maupun pemisahan bidang tanah sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997, dan tidak menyebutkan perbuatan hukum tersebut dengan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan pengkaplingan tanah. Dalam hal ini berarti adanya suatu norma kosong, yang tentunya akan berakibat pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling. Sebagai contoh Pemerintah Kota Denpasar dalam rangka melakukan penataan pembangunan perumahan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan, termasuk didalamnya menata dan mengatur tentang peruntukan dan pemanfaatan tanah telah menerbitkan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 396 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Pengkaplingan Tanah di Kota Denpasar. Keputusan Walikota ini mengatur tentang ijin pengkaplingan yang harus dipenuhi oleh orang-perorangan maupun badan usaha sebelum melakukan pengkaplingan 9 tanah di wilayah Kota Denpasar. Selanjutnya dibuatlah Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005. Dalam Perda Kota Denpasar No. 6 Tahun 2005 lebih lengkap dijelaskan pengaturan mengenai pengkaplingan sampai pada sanksi-sanksi pidananya. Padahal apabila diurut dalam UUPA Pasal 19 yang mengatur tentang pendaftaran tanah, kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961, yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan pada kantor Badan Pertanahan ialah dengan pemecahan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dan/atau dengan pemisahan Pasal 49, tidak disebutkan istilah kapling. Lantas bagaimana kapling menjadi suatu tren dalam bisnis jual beli hak atas tanah di masyarakat. Selain itu banyaknya pelaku pengkaplingan bidang tanah menimbulkan problem tersendiri, permasalahan yang sering terjadi di masyarakat, dalam beberapa kasus banyak pembeli yang membeli tanah kapling, yang telah beritikad baik dengan membeli sesuai prosedur yang berlaku, namun tidak dapat menerima sertipikat tanda bukti haknya, sehingga berakibat tidak dapat membangun di atas tanah yang dibelinya karena tidak mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan dari instansi yang berwenang. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan peralihan hak atas tanah dengan cara pengkaplingan banyak menimbulkan konflik atau masalah, dan seringkali konflik atau masalah tersebut lebih banyak merugikan masyarakat pembeli tanah kapling. Dari pemaparan di atas nampaknya banyak yang terjadi akibat dilakukannya pengkaplingan tanah. Tanah bagi orang Indonesia merupakan masalah yang pokok. UUPA yang diundangkan pada masa masyarakat agraris, 10 yang kini telah berusia 54 (lima puluh empat tahun) dan telah diundangkan peraturan-peraturan pelaksana sebagai pelaksanaan UUPA, tetapi tampaknya pelaksanaanya masih banyak mengandung kekurangan dan kelemahan- kelemahan. Seiring dengan perkembangan jaman dengan adanya perubahan pola agraris beralih pada pola pembangunan ekonomi industri, bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, namun keberadaan tanah tidak bertambah, hal dengan otomatis akan berpengaruh pada usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal sebagai salah satu kebutuhan pokok. Meningkatnya transaksi jual beli tanah sebagai usaha pemenuhan kebutuan tempat tinggal, tetapi keberadaan tanah statis, mengakibatkan harga tanah terus meninggi, kemudian dengan perkembangan jaman dipergunakanlah teknik-teknik yang disebut pengkaplingan tanah, di mana pembeli akan lebih mudah mendapatkan tanah dengan harga yang sesuai, dan dengan luas yang diinginkan. Pengkaplingan tanah yang marak terjadi saat ini ialah sebagai suatu pemikiran penjual dengan cara-cara marketing untuk memudahkannya mendapatkan pembeli yang akan membeli tanahnya. Tentunya pada masa 1960 belum dikenal teknik pengkaplingan tanah. Perlu diingat falsafah UUPA ialah Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun harus dikaitkan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD RI 1945 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu dirasakan perlu diadakan pemikiran-pemikiran kearah pembaharuan dalam bidang agraria atau masih perlu diterbitkan lagi peraturan pemerintah pelaksana undang- 11 undang dalam bidang Agraria, khususnya dalam hal ini ialah yang mengatur mengenai pengkaplingan tanah dan juga mengenai hak milik. Berangkat dari permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya peralihan hak atas tanah dengan cara pengkaplingan dan semakin banyaknya pelaku bisnis pengkaplingan tanah, maka penelitian ini dirasakan perlu untuk dilakukan. Persoalan menarik dapat dijumpai dalam hal ini yang berkaitan dengan proses pendaftaran peralihan hak milik atas tanahnya, yang dilanjutkan dengan penerbitan tanda bukti hak atas tanah yang terlebih dahulu dilakukan proses pengkaplingan. Kiranya kepastian hukum kepemilikan tanah kapling merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan objek penelitian. Melalui penelitian ini nantinya diharapkan dapat diketahui apa sebenarnya pengkaplingan bidang tanah itu, serta ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang peralihan hak milik atas tanah yang dilakukan dengan cara pengkaplingan. Persoalan lain yang dapat dijumpai adalah berkaitan dengan konflik-konflik serta masalah yang ditimbulkan dari adanya penjualan tanah kapling, dan bagaimana proses pemegang hak atas tanah dan/atau pemodal dalam melakukan bisnis pengkaplingan bidang tanah. Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Setelah ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang 12 menyangkut tanah kapling. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Pertama, tesis yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Kapling Siap Bangun di Perumahan Bukit Semarang Baru di Kota Semarang”, penelitian dilakukan tahun 2006 oleh Ika Afla Emalia, SH, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan rumusan masalah sebagai berikut: pertama, bagaimana pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli kapling siap bangun di perumahan Bukit Semarang Baru di Kota Semarang; kedua, bagaimana jika terjadi pengalihan hak kepihak lain; ketiga, bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak bila kedudukannya dirugikan. Simpulannya ialah: pertama, pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli kapling siap bangun di perumahan Bukit Semarang Baru di kota Semarang dibuat dengan perjanjian baku yang diberi titel Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Disain Mandiri, perjanjian ini dibuat di bawah tangan dan terdapat syaratsyarat yang memberatkan pembeli. Kedua, jika pembeli tidak dapat memenuhi menyelesaikan kewajibannya membangun rumah dalam waktu 51 (lima puluh satu) bulan maka penjual dapat membatalkan atau memutuskan perjanjian secara sepihak atau memberi kesempatan penjual untuk mengalihkan sendiri kepada pihak lain, tetapi jika pembeli sulit mencari pembeli lain, maka dalam praktek yang mengalihkan bukan pembeli tetapi penjual/pengembang sendiri, hal tersebut dituangkan dalam Perjanjian dengan Addendum. Ketiga, Perlindungan Hukum Apabila apabila terjadi wanprestasi: rescluding, reconditioning, restructuring dan mengalihkan Rumah Disain Mandiri. 13 b) Kedua, tesis yang berjudul “Perolehan Tanah Titisara Untuk Penyediaan Kapling Siap Bangun Melalui Tukar Guling Di Desa Jungjang Wetan Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon”, penelitian dilakukan tahun 2010 oleh Ana Widanarti, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan rumusan masalah: pertama, proses perolehan tanah titisara hingga statusnya berubah sebagai akibat dari tukar guling; kedua, hambatan pelaksanaan tukar guling apabila ada salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya; ketiga, upaya-upaya yang dilakukan agar tujuan dari pembukaan kapling siap bangun dapat tercapai. Simpulannya yakni: pertama, proses tukar guling atas tanah ”titisara” di Desa Jungjang Wetan mengakibatkan perubahan, penggunaan dan peruntukkan hak atas tanah ”titisara” (Tanah Kas Desa). Proses tukar guling dimulai dari tingkat desa yaitu dengan mengadakan musyawarah desa. Adanya musyawarah desa menunjukkan bahwa ditingkat desa tidak berkeberatan dan menyetujui adanya tukar guling. Setelah dilakukannya musyawarah desa maka proses selanjutnya adalah mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati dan Gubernur. Pemindahtanganan tanah ”titisara” kepada pihak swasta, mengakibatkan pengalihan fungsi tanah ”titisara” yang merubah fungsi publik atas negara menjadi kapling-kapling yang bersifat privat. Tukar guling atas tanah ”titisara” menyebabkan perubahan status tanah ”titisara”, maka setiap terjadi perubahan terhadap status tanah tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. Kedua, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka hambatan yang terjadi ialah dalam hal perolehan tanah titisara untuk penyediaan kapling siap bangun melalui 14 tukar guling ini, adalah belum disertipikatkannya tanah pengganti untuk tanah desa milik Desa Jungjang Wetan. Hal tersebut jelas membawa kerugian yang besar bagi pihak desa. Ketiga, upaya yang dilakukan agar tujuan dari pembukaan kapling siap bangun dapat tercapai ialah melakukan kerjasama dengan investor lain, sehingga diharapkan dapat membantu dalam hal pendanaan. Pensertipikatan tanah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat kewajiban pemohon (pihak pengembang), harus mensertipikatkan tanah yang menjadi tanah kas desa dan tanah untuk kapling tersebut. c) Ketiga, tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kepemilikan Kapling Tanah Makam Modern di Kabupaten Semarang”, penelitian dilakukan tahun 2007 oleh RR. Hindrati Dwiwisudyani, SH, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, dengan rumusan masalah yang diangkat ialah: pertama, hak dan kewajiban apakah yang timbul dari perjanjian kepemilikan kapling tanah makam modern; kedua, hambatan apa sajakah yang timbul dari perjanjian kepemilikan kapling tanah makam modern; ketiga, bagaimanakah upaya untuk mengatasi hambatan yang timbul dari perjanjian kepemilikan kapling tanah modern. Simpulan yakni: pertama, hak dan kewajiban konsumen kapling tanah makam konsumen selaku pembeli mempunyai hak memperoleh Seripikat Kepemilikan Tanah Makam (selanjutnya disebut SKTM) dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, memperpanjang SKTM dengan perjanjian baru, memindahtangankan SKTM, memperoleh fasilitas pemeliharaan taman, sedangkan kewajiban konsumen, membayar harga tanah sesuai dengan tipe makam yang dibeli dan membayar dana perawatan. Hak dan kewajiban 15 Pengembang dalam hal ini selaku pengelola. Hak dari pengembang adalah menerima pembayaran atas pembelian kapling tanah makam sesuai dengan tipe makam yang ditawarkan. Sedangkan kewajibannya adalah mengeluarkan SKTM untuk menjamin kepastian hukum atas tanah makam yang dibeli oleh konsumen, perawatan taman, serta keamanan tanah makam. Kedua, hambatan yang timbul, yakni belum dikeluarkannya ijin operasional pengelolaan makam oleh Pemerintah Kabupaten Semarang, yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara aturan yang berlaku dengan kegiatan yang ditawarkan pengembang makam dalam pengelolaan makam kepada konsumen, sehingga realisasi pemberian kepastian hukum berupa SKTM belum dapat dilaksanakan. Ketiga, upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut, dari pihak Pemerintah hendaknya segera menerbitkan ijin operasional bagi Pengembang, agar dalam melakukan operasional pengelolaan makam, pengembang memiliki kepastian hukum. Sedangkan bagi pihak pengembang dapat melakukan upaya melengkapi dan menyesuaikan berkas permohonan ijin operasional, agar supaya ijin operasional dapat disahkan secepatnya. Bahwa tesis-tesis yang telah penulis uraikan di atas sangat berbeda dengan penulisan tesis ini yang menyangkut kajian yuridis normatif. Walaupun pernah dilakukan oleh penulis-penulis lainnya, tetapi lokasi dan cakupan penelitiannya berbeda. Sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 16 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana disampaikan di atas, dalam penulisan ini akan dibatasi pada permasalah, sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan pengkaplingan tanah di Indonesia? 2. Bagaimana jaminan kepastian hukum kepemilikan terhadap tanah kapling tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penulisan tesis ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Agraria dengan keterkaitannya dengan Hukum Kenotariatan mengenai pemahaman terhadap kepastian hukum kepemilikan tanah kapling. 1.3.2 Tujuan Khusus Sebagaimana telah dipaparkan di atas tujuan penulisan tesis ini secara umum, maka secara khusus, penulisan tesis ini bertujuan sebagai berikut: (1). Untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan hukum mengenai pengaturan pengkaplingan tanah di Indonesia. 17 (2). Untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan hukum mengenai jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah kapling tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan dibidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Agraria dan Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis berkaitan dengan pengkaplingan merupakan pemecahan tanah dan/atau pemisahan tanah, sedangkan dalam UUPA Pasal 19 dan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) tidak diatur mengenai pendaftaran peralihan hak dengan pengkaplingan, dalam hal untuk mengetahui mengenai peraturan perundang-undangan mengatur pengkaplingan tanah di Indonesia dan jaminan kepastian hukum terhadap tanah kapling, sehingga memberikan pengaruh terhadap kepemilikan tanah kapling tersebut. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu pengembangan teori-teori mengenai pemecahan dan pemisahan yang kemudian merefleksikan bisnis pengkaplingan. 18 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak yang melakukan kegiatan bisnis pengkaplingan bidang tanah, baik itu pihak penjual, pembeli, Notaris/PPAT maupun bagi penulis sendiri, serta bagi pembuat kebijakan. Lebih lanjut dapat diuraikan manfaat-manfaat seperti di bawah ini: (1). Bagi pihak penjual baik pemegang hak atas tanah maupun pemodal, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman berkenaan teknik pengkaplingan merupakan pemecahan tanah atau pemisahan tanah dan prosedurprosedur yang wajib dipenuhi dalam melakukan pengkaplingan bidang tanah. (2). Bagi pihak pembeli, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas mengenai bisnis pengkaplingan. (3). Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan dibidang Hukum Agraria, Hukum Tata Negara dan Hukum Kenotariatan mengenai kepastian hukum kepemilikan tanah kapling di Indonesia. 19 (4). Bagi Notaris/PPAT, hasil penulisan ini diharapkan menambah pemahaman peranan Notaris/PPAT dalam jual beli tanah kapling. (5). Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan perlunya dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengkaplingan tanah, agar menjadi jelas dan pasti agar terciptanya kepastian bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. 1.5 Landasan Teoritis Dalam bagian ini ditekankan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum dan pendapat para sarjana berpengaruh yang dipergunakan sebagai landasan dari dasar titik tolak fenomena yang dihadapi. Ini penting untuk memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa kajian yang dilakukan ini ilmiah atau paling tidak memberikan gambaran bahwa kajian tersebut sudah memenuhi standar teoritis sesuai dengan bidang ilmu yang menjadi objek kajian. Teori-teori, konsep-konsep hukum dan asas-asas dipergunakan adalah: 1.5.1 Teori Kepemilikan 1.5.2 Teori Penemuan Hukum 1.5.3 Konsep Negara Hukum 1.5.4 Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum 1.5.5 Asas Kebebasan Berkontrak hukum yang 20 1.5.1 Teori Kepemilikan Menurut John Locke (1632-1704) dalam konsep hukum kodrat bahwa Tuhan telah menganugrahkan kepada manusia kemampuan rasional, oleh karena itu sebagai makhluk ciptaan-Nya mempunyai sifat rasional, yang mampu menemukan hukum kodrat dalam akal budi. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia terikat dengan perintah dan sekaligus kehendak Tuhan. Perintah dan kehendak Tuhan inilah disebut hukum Kodrat.3 Manusia lahir dipandang sebagai 2 (dua) aspek, disatu pihak dikehendaki atau merupakan kebijaksanaan dari Tuhan, dilain pihak kodrat manusia sebagai makhluk insani. Pengetahuan manusia akan hukum kodrat bermula dari pengetahuan terhadap adanya Tuhan, karena manusia secara kodrati bersifat rasional, oleh karena itu dipandang adanya keselarasan antara hukum kodrat dan hakikat manusia yang rasional, karena itu hukum kodrat tidak ditemukan di manapun kecuali dalam akal budi manusia (God on Nature has not anywhere, that I know placed such jurisdiction in the first-born, nor can reason find any such natural superiority amongst brethren).4 Inti utama hukum kodrat menurut John Locke ialah bahwa manusia sekali dilahirkan mempunyai hak untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, semua makhluk yang sederajat dan mandiri tidak boleh merugikan dalam hal hidup, kesehatan, kebebasan atau miliknya dan apa saja dapat dilakukan yang dianggap cocok bagi kelangsungan hidup setiap orang, sejauh ia dapat mempertahankan hidupnya dan tidak 3 Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Berbangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, hal. 24. 4 John Locke, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent & Sons Ltd, London, hal. 77. 21 meninggalkan tempatnya secara sukarela. Mengutip pendapat Mariam Darus Badrulzaman5, dari uraian mengenai hukum kodrat tersebut di atas, bahwa teori hukum kodrat mengilhami lahirnya konsepsi hak milik sebagai hak kebendaan yang sempurna, turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai semua orang, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia secara kodrati serta dianugerahkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Keberadaan manusia akan tumbuh dan berkembang membawa konsekuensi logis terhadap tuntutan kebutuhan manusia akan tanah sebagai tempat tinggalnya, akan tetapi di sisi lain keadaan tanah statis tidak bertambah, bahkan dimungkinkan terjadi pengurangan karena proses alam. Kondisi kebutuhan dan tersedianya tanah yang tidak seimbang ini terus berlanjut dan akan menimbulkan masalah-masalah dalam penggunaan tanah, antara lain: berkurangnya luas tanah pertanian subur menjadi pemukiman, industri dan keperluan non pertanian lainnya, terjadinya pembenturan kepentingan berbagai sektor pembangunan misalnya antara kehutanan dan transmigrasi, perkebunan, dan menurunnya kualitas lingkungan pemukiman. Tanah merupakan faktor utama pendukung kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga teori hak kepemilikan menentukan susunan kehidupan dalam suatu negara. Hal yang sama dikatakan oleh A.P. Parlindungan6, bahwa dari tanah tersebut akan didirikan bangunan tempat tinggal yang merupakan salah 5 Mariam Darus Badrulzaman, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, hal. 43. 6 A.P. Parlindungan, 2001, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, hal. 1. 22 satu dari kebutuhan dasar dari manusia. Terkait dengan kebutuhan pokok akan tanah, manusia cenderung akan mencari dan memiliki tanah kosong sebagai tempat tinggal. Lambat laun, dengan demikian kebutuhan sesama individu individu yang memerlukan tanah tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan jika tidak diatur oleh hukum. Pengertian tanah dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUPA adalah permukaan bumi, berarti hak atas tanah adalah hak yang dapat dibebankan di atas permukaan bumi. Dalam hubungan manusia atau badan hukum (subyek hukum) dengan tanah memunculkan hak privat bagi manusia atau badan hukum itu sendiri, dan tercakup dalam lingkungan hukum keperdataan7, dalam UUPA hak atas tanah : (1). Hak publik adalah hak atas tanah yang dikuasai oleh negara (Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 jo Pasal 2 ayat (2) UUPA). Dalam hal ini hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan negara yang bersifat publik untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan mengendalikan (toezichthouden) hak-hak privat dari manusia atau badan hukum. (2). Hak privat/perdata (Pasal 16 UUPA).8 Bidang Tanah dalam suatu Negara tidak bisa dimiliki atau dikuasai dan digunakan secara bebas oleh manusia, akan tetapi terikat dengan ketentuan yang ditetapkan oleh negara selaku penguasa hak secara umum yang diatur negara dalam UUPA. Oleh karena itu negara memiliki hak untuk mengatur keberadaaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Di Negara Republik Indonesia pada awalnya hak milik atas tanah berdasarkan Hukum Adat, kemudian pada masa penjajahan 7 R. Roestandi Ardiwilaga, 1962, Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Masa Baru, Jakarta, hal. 7. 8 Aslan Noor, 2006, Op.cit., hal. 9. 23 dikenal adanya hak milik atas tanah disebut hak eigendom (eigendomrecht) yang tunduk pada hukum barat, yakni hukum Eropa yang diberlakukan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945) yang menyatakan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Apabila dilihat Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 terdapat 2 (dua) kata yang menentukan, yakni “dikuasai” dan “dipergunakan”. Perkataan dikuasai ialah sebagai dasar wewenang kepada negara untuk tingkatan tertinggi: a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan; b) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9 Mengenai perkataan “dipergunakan” mengandung suatu perintah kepada negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.10 Segala sesuatunya ialah dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Di dalam UUPA sebagaimana mengingat ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 mempertimbangkan bahwa negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, hanya terbatas sebagai pihak yang menguasai tanah sebagaimana diatur di dalam 9 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandangan Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 201. 10 Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal. 3. 24 Pasal 2 UUPA. Hak menguasai negara atas tanah memperoleh legitimasi dikarenakan status negara sebagai pencerminan dari organisasi kekuasaan bangsa yang mengemban tugas yang sama berupa hak dan kewajiban yang berasal dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula legitimasi hak menguasai negara diperoleh dari sifat organisme negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat serta eksistensinya sebagai negara berdasarkan kedaulatan negara.11 Dalam rangka hak menguasai dari negara dimungkinkan adanya hak-hak perorangan atas tanah. Bentuk-bentuk hak atas tanah yang diberikan oleh negara kepada perorangan, sebagimana tercantum dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, serta hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53. Salah satu hak yang dapat dimiliki secara perorangan seperti yang telah disebutkan di atas adalah hak milik. Hak milik, khususnya hak milik atas tanah sebagai bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam konteks kebutuhan akan tanah, erat kaitannya dengan legalitas alas kepemilikan, yang sering menimbulkan persoalan dalam praktik. Oleh sebab itu dengan hak milik, subyek hukum dapat menikmati haknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau orang lain, sejauh tidak menghalangi kepentingan umum dalam mendapatkan sesuatu demi kebutuhan hidupnya. 11 Ibid, hal. 42. 25 Teori kepemilikan dalam hukum Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental yang merupakan konkordan dari Burgerlijk Wetboek Belanda, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa: Hak Milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasasi benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu, asal tidak mengganggu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum dengan pembayaran penggantian kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang. Konsepsi Hak atas tanah dalam UUPA berbeda dengan konsepsi mengenai hak kebendaan atas tanah yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam KUH Perdata, jika tanah tidak dimiliki oleh orang perorangan atau badan kesatuan, maka tanah tersebut adalah milik dari negara. Sedangkan dalam konsep UUPA, tanah di wilayah Indonesia bukanlah milik Negara Republik Indonesia, melainkan adalah milik seluruh bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (2) UUPA) dan pada tingkatan yang paling tinggi dikuasi oleh Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Relevansinya dengan penulisan ini ialah teori kepemilikan sangat erat kaitannya dengan penguasaan suatu bidang tanah. Kepemilikan tanah sebagai hakhak individual yang bersifat pribadi kemudian telah disatukan dalam hak bangsa selanjutnya negara dimungkinkan memberikan kembali kepada individu yang ikut mempunyai hak bersama tersebut untuk menguasai dan mempergunakan sebagai hak pribadi. Kemudian hak pribadi tersebut menunjukkan kepada pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi dirinya dan keluarganya 26 sebagaimana ditegakan dalam Pasal 9 UUPA. Penggunaan tanah tersebut harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya, hingga memberikan manfaat baik bagi kesejahteraan dalam usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal dan kebahagiaan yang mempunyainya, maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara tersebut dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, dan penggunaan yang dalam hal ini adalah tanah sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan negara. Menurut R. Roestandi Ardiwilaga12, pada dasarnya hak milik tidak boleh diganggu gugat, akan tetapi negara mempunyai wewenang untuk mencabut hak privat dari seseorang yang berlawanan dengan kemauannya untuk kepentingan umum, atau hak-hak tersebut diberikan kepada pihak lain. Hak milik atas tanah dalam UUPA sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) adalah turun temurun, terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai orangperorangan atas suatu bidang tanah, dengan mengingat fungsi sosialnya (ketentuan dalam Pasal 6 UUPA). Namun pemberian sifat terkuat, dan terpenuh tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Arti terkuat dan terpenuh hanya untuk membedakan dengan hakhak lainnya. Hak milik adalah turun temurun artinya hak tersebut dapat diwariskan terus menerus, dapat dialihkan dan dapat diturunkan haknya, dan salah satu kekhususannya ialah tidak adanya pembatasan waktu kepemilikannya, selama hak itu masih dipergunakan. 12 R. Roestandi Ardiwilaga, Op.cit., hal. 275. 27 Sejalan dengan hal itu selain dikenal jenis-jenis hak atas tanah juga ditetapkan bukti kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah secara sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dalam memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah, karena itu bagi penguasaan tanah yang telah didaftarkan akan diterbitkan surat tanda bukti hak berupa sertipikat hak atas tanah. 1.5.2 Teori Penemuan Hukum Sistem hukum Indonesia berasal dari Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia, sehingga sistem hukum Belanda pun diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Hukum Belanda ialah sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), maka sistem hukum Indonesia juga termasuk dalam sistem hukum civil law, sehingga hakim Indonesia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, termasuk pula di dalamnya mengenai masalah penemuan hukum dipengaruhi oleh sistem civil law. Karakteristik sistem hukkum civil law ditandai dengan adanya suatu kodifikasi atau pembukuan hukum atau undang-undang dalam suatu kitab (code). Dalam suatu kodifikasi dihimpun sebanyak-banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang disusun secara sistematis. Dalam sistem hukum di Indonesia mengenal adanya penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom 28 yang kuat, karena seringkali hakim harus menjelaskan atau melengkapi undangundang menurut pandangannya sendiri.13 Penemuan hukum lazimnya adalah proses penemuan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit-konkrit atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Menurut Paul Scholten bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan analogi ataupun dengan penghalusan/pengkonkretan hukum (rechvervijning).14 Penemuan hukum menurut Mauwissen15, merupakan pengembangan hukum yakni kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan mengajarkan hukum. Dari pendapat para ahli hukum di atas, penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak 13 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal.21. 14 Ibid, hal. 22. 15 Ibid, hal. 23. 29 hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat), dosen, notaris dan lainnya.16 Akan tetapi, problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum umumnya dipusatkan pada hakim yang setiap harinya selalu dihadapkan dengan peristiwa konkret atau konflik yang harus diselesaikan, dan pembentuk undang-undang. Sehingga dapat dilihat hakim pada hakikatnya melengkapi ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum (rechtvinding) yang mengarah kepada penciptaan hukum baru (creation of new law). Fungsi menemukan hukum tersebut diartikan sebagai mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan hukumnya (tertulis) tidak jelas atau tidak ada.17 Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan,yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin.18 Kehidupan manusia selalu bergerak dinamis, selalu ada hal-hal, penemuan baru seiring berjalannya waktu, dengan demikian tidak mungkin satu peraturan perundang-undangan mengatur sejelas-jelasnya dan mencakup selengkaplengkapnya seluruh kegiatan manusia. Sehingga wajar apabila suatu peraturan dianggap ketinggalan jaman, sehingga perlu dipikirkan kearah pembaharuan peraturan tersebut. Jangan sampai, hakim menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang jelas mengatur. Relevansi teori penemuan hukum terhadap penulisan ini ialah dalam kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga 16 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, hal. 51. 17 Mochtar Kusumaatmaja, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, hal. 99. 18 Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 48. 30 tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia secara lengkap dan jelas sejelas-jelasnya, oleh sebab itu karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan diketemukan. UUPA yang dibentuk tahun 1960, di mana pada saat itu Indonesia adalah sebagai negara yang bersifat agraris. Mengingat istilah agraria berasal dari kata akker (bahasa Belanda), agros (bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agrarius (bahasa Latin) berarti tanah untuk perladangan, persawahan, pertanian. UUPA yang sudah berumur 54 (lima puluh empat) tahun tampaknya kurang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang. Adanya pertambahan penduduk, pergeseran-pergeseran kehidupan mulai terlihat, adanya perubahan pola perekonomian nasional dari pola agraris beralih kepada pola yang memberi peran yang lebih besar kepada perindustrian sehingga akan menuntut perubahan filsafah ekonomi dan pendayagunaan tanah yang lebih efisien, di lain pihak masyarakat tentunya menginginkan kehidupan yang lebih baik, tercapainya kebutuhan pokok salah satunya ialah papan atau kebutuhan tempat tinggal, tetapi di lain pihak keberadaan tanah tidak bertambah (statis). Sehingga adanya usaha-usaha agar masyarakat dapat memperoleh tanah untuk tempat tinggalnya. UUPA tentunya pada saat itu belum atau tidak mengenal teknik pengkaplingan, sehingga diperlukan payung hukum yang jelas mengatur tentang pengkaplingan tanah. Di sinilah sekiranya perlu dibahas tentang pembaharuan dalam bidang hukum agraria, dengan tidak menghilangkan nilainilai hukum adat yang sudah ada. 31 1.5.3 Konsep Negara Hukum Konsep yang dipergunakan adalah konsep negara hukum. Pengertian dan hakikat negara hukum tidak dapat begitu saja dirumuskan dengan mudah dan sederhana sebab pengertian negara hukum tidak semata-mata dapat dirumuskan dari penggabungan kata negara dan hukum. Istilah negara hukum bukan berasal dari kosa kata bahasa Indonesia, tetapi bahasa asing yang meresap ke dalam kosa kata bahasa Indonesia. Istilah negara hukum berasal dari bahasa Jerman, yaitu rechtsstaat dan masuk ke dalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa Belanda, rechtsstaat.19 Menurut Padmo Wahjono20, dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat, yang sasaran utamanya yakni pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Relevansi konsep negara hukum dengan penulisan ini ialah dalam rangka melaksanakan kebijakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat guna kepemilikan perumahan yang baik bagi rakyat, tentunya ada usaha-usaha negara untuk memberikan perlindungan terhadap kepemilikan atas tanah, dalam hal ini khususnya tanah kapling. Perlindungan diberikan untuk menjamin hak-hak dari pemilik kapling, karena sesuai dengan kebutuhan hunian perumahan yang selalu bergerak dinamis. Penegasan Indonesia adalah negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD RI 1945, dalam UUD RI 1945 Pasal 1 ayat 3 yakni Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekuensi dari ketentuan ini bahwa setiap 19 Hotma P. Sibuea, 2010, Asas-Negara Hukum, Peraturan Kebiajakan & Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlagga, Jakarta, hal. 46-47. 20 Padmo Wahjono, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan Teori Ilmu Negara dari Jellijek, Melati Study Group, Jakarta, hal. 30. 32 sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Bahkan ketentuan ini ialah sebagai upaya pencegahan terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk. Sehingga dalam konsep negara hukum yang demikian, harus dibuat jaminan bahwa hukum itu dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.21 Begitu cepatnya pertumbuhan pembangunan sehingga mengakibatkan meningkatnya pemenuhan kebutuhan tempat tinggal. Usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal tersebut merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya perubahan komposisi kepemilikan melalui peralihan hak atas tanah serta perubahan peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan. Adanya teknik-teknik baru yakni pengkaplingan, diharapkan mampu memenuhi daya beli masyarakat dengan kemampuan financial yang beragam. Namun tampaknya UUPA yang dibentuk pada tahun 1960 belum cukup mampu untuk mengimbangi kemajuan yang pesat dalam bidang pertanahan. Maka sesuai dengan konsep negara hukum, untuk mencegah kesewenang-wenangan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk, diperlukan suatu perundang-undang yang pasti yang mengatur dalam bidang pertanahan, khususnya dalam hal kepemilikan tanah kapling. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat akan hunian tempat tinggal merupakan kebutuhan primer, yang wajib untuk dilindungi, dituangkan dalam perundang-undangan yang jelas mengatur untuk itu, sedangkan hukum pertanahan nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan 21 Ni’Matul Huda, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88. 33 pengkaplingan bidang tanah. Dengan tidak jelasnya diatur didalam perundangundangan, tidak terwujudlah kepastian hukum dan perlindungan yang selama ini dicita-citakan dalam negara hukum. Oleh sebab itu diperlukan pengaturan yang jelas, sehingga akan terwujud suatu bentuk kepastian dan perlindungan hukum yang nantinya akan melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara Hukum dipelopori oleh Julius Stahl. Menurut Julius Stahl22 ada 4 (empat) unsur Negara hukum formal yaitu: (1). Perlindungan terhadap hak asasi manusia (2). Pemisahan kekuasaan (3). Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundangundangan (Asas Legalitas) (4). Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri Dari keempat unsur di atas yang paling relevan dengan penelitian ini ialah unsur perlindungan terhadap hak asasi manusia serta unsur Asas Legalitas. Perlindungan terhadap hak asasi manusia berkaitan erat dengan proses pendaftaran peralihan hak milik atas tanah, dilanjutkan dengan penerbitan tanda bukti hak atas tanah yang dalam hal ini terlebih dahulu dilakukan proses pengkaplingan, yang nantinya akan berdampak pada hak-hak kepemilikan tanah kapling tersebut dalam rangka pemenuhan kebutuhan hunian tempat tinggal (kebutuhan primer). Asas Legalitas relevansinya dengan penulisan ini ialah bahwa untuk mewujudkan segala tindakan Negara/pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undang, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan supaya terwujud perlindungan hak-hak individu dalam kenyataan. 22 Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta, hal. 112. 34 Dalam hal Negara diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warga negaranya, kewenangan tersebut diatur dalam undangundang, tanpa kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, campur tangan Negara dianggap suatu pelanggaran terhadap hak-hak individu. Dalam hukum pertanahan nasional tidak mengenal istilah pengkaplingan tanah, dan dalam peraturan pelaksananya yakni dalam hal peralihan hak atas tanah yang akan dilakukan pendaftaran untuk penerbitan sertipikat tanda bukti hak tanahpun yakni PP No. 24 Tahun 1997 hanya mengenal pemisahan dan pemecahan, tidak disebutkan pengkaplingan tanah. Hal ini akan berdampak pada kepemilikan tanah kapling, banyak yang terjadi dimasyarakat pembeli tanah kapling tidak dapat membangun tempat tinggal di atas tanah yang sudah dibelinya tersebut karena peruntukan penggunaan tanahnya bukan untuk kawasan pemukiman dan perumahan. Hal ini dalam kenyataannya tentu merugikan pembeli tanah sebagai individu yang harus dilindungi hak-haknya. Oleh sebab itu tentunya harus ditindak lanjuti dengan adanya kewenangan negara yang diberikan oleh undang-undang, agar negara diberikan kewenangan untuk mengaturnya, negara pun tidak dianggap melakukan perbuatan sewenang-wenang, dan tentunya kepastian serta jaminan perlindungan terhadap kepemilikan tanah kapling pun akan menjadi jelas, tidak kabur. Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan unsur yang diilhami John Locke. John Locke mengemukakan bahwa manusia memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang melekat pada manusia sejak manusia lahir. Hak-hak 35 kodrat itu tidak mungkin dapat dinikmati masing-masing individu, jika manusia hidup dalam keadaan alamiah.23 Untuk kepentingan itu, masing-masing individu kemudian mengadakan perjanjian sosial yang bertujuan mendirikan suatu negara. Dalam perjanjian sosial, masing-masing individu menyerahkan sebagian dari hak-haknya kepada negara supaya negara memiliki hak untuk mengatur kehidupan bersama yang dibentuk berdasarkan perjanjian sosial tersebut. Setelah negara berdiri, hak-hak kodrat tetap melekat pada individu-individu, dan juga hak kodrat tersebut diakui oleh penguasa. Bahkan untuk memberikan kedudukan yang lebih kuat, dilakukan pengaturan mengenai hak kodrat tersebut ke dalam konstitusi yang kemudian disebut sebagai hak-hak asasi manusia. Unsur negara hukum yakni asas legalitas, diilhami oleh pemikiran untuk membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Salah satu hal penting dalam konsep negara hukum adalah legalitas. Asas legalitas dalam konsep Rechsstaat mensyaratkan bahwa segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Hal tersebut membawa konsekuensi terhadap politik hukum, khususnya politik perundang-undangan (legislasi). Sehingga terwujud pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme serta penyalahgunaan wewenang maupun pelanggaran hak asasi manusia. Namun banyaknya undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya semisal peraturan daerah gagal diterapkan atau tidak efektif. 23 Hotma P. Sibuea, Op.cit,, hal. 30. 36 Ketidakefektifan peraturan perundang-undangan tersebut, karena norma hukumnya kabur “unclear norm”, memberikan deligasi wewenang yang kabur, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang maupun kesewenang-wenangan pemerintah. Maka hal itu akan dapat diatasi manakala pengaturan dalam perundang-undangan berkharakteristik responsif yang memenuhi rasa keadilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, sehingga perancang harus terlebih dahulu melakukan penelitian. Penelitian dilakukan untuk mengetahui harapan dan dukungan masyarakat serta persoalan-persoalan substansi lain yang dipandang perlu untuk diatur. Hal ini agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.24 Persoalan-persoalan dalam bidang pertanahan tidak dapat disepelekan. Seperti yang selama ini diketahui, manusia memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Kebutuhan primer salah satunya ialah kebutuhan hunian tempat tinggal. Tidak dapat dipungkiri pertumbuhan ekonomi yang pesat berakibat meningkatkan pendapat financial masyarakat. Meningkatnya kemampuan financial masing-masing individu memberikan dampak meningkatnya taraf hidup dan hal ini tentunya berimbas pada usaha untuk menyiapkan kebutuhan tempat tinggal yang representatif dan aman. Sementara itu begitu cepatnya nilai atau harga tanah meningkat menyebabkan bisnis jual beli tanah dianggap menjadi investasi yang mengguntungkan. Semakin tingginya tuntutan memiliki hunian tempat tinggal, kemudian menggerakkan pihak 24 Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004, hal.2. 37 pengembang atau pemilik hak atas tanah yang memiliki modal menyediakan sarana tempat tinggal tersebut, disisi lain penyediaan lahan yang terbatas mengakibatkan tanah menjadi benda yang sangat berharga. Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan akan hunian yang semakin meningkat, timbullah teknik pengkaplingan yakni pemilik tanah tersebut dan/atau pengembang yang memiliki modal mendesign tanah dengan cara mempetak-petakkan kemudian langsung dijual kepada beberapa calon pembeli, atau bisa juga mempetak-petakkan dengan luas yang telah ditentukan kemudian membangun hunian tempat tinggal ditanah tersebut dengan berbagai fasilitas, di mana hal ini akan meningkatkan nilai dari harga tanah tersebut. Inilah yang masyarakat sebut dengan tanah kapling, suatu bidang tanah dengan luas tertentu dalam sertipikat dapat dibeli sebagian atau dengan sesuai kehendak dari calon pembeli. Namun tampaknya hukum pertanahan nasional yang dibentuk pada tahun 1960 belum mengenal teknik-teknik atau cara penjualan dengan motif ekonomi tersebut. UUPA juga belum memerintahkan peraturan pelaksana yang mengatur mengenai tanah kapling. Dalam PP No. 24 Tahun 1997 hanya mengenal pemecahan dan pemisahan, tidak disebutkan pengkaplingan. Berarti dengan hal ini bahwa ketentuan pengkaplingan tidak jelas sehingga menimbulkan keraguraguan dan berakibat pada ketidakpastian perlindungan hukum kepemilikannya. Unsur-unsur negara hukum yang telah disebutkan diatas menunjukkan bahwa ide sentral dari Negara hukum adalah pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Adanya pembagian kekuasaan ialah mencegah 38 kemungkinan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang dikhawatirkan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga untuk membatasi kekuasaan penguasa (negara), segala kewenangan penguasa diatur di dalam undang-undang. Undang-undang merupakan landasan keabsahan campur tangan penguasa dalam kehidupan pribadi individu. Kemudian negara sebagai subyek hukum apabila melakukan perbuatan yang merugikan subyek hukum lain, negara dapat dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan. Dengan demikian kekuasaan negara dalam membuat undang-undang dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat ialah berdasarkan kehendak rakyat, sehingga tidak akan memperkosa hak-hak asasi rakyatnya. Negara hukum berkembang diberbagai belahan dunia terutama di Negara Eropa Kontinental sistem hukum sipil (Civil Law) dengan konsep Rechtsstaat. Sedangkan di Inggris dan Amerika (Anglo Saxon) sistem hukum Common Law dengan konsepsi Rule of Law. Mengutip pendapat Yohanes Usfunan25 pada pidato Pengukuhan Guru Besar, sistem Eropa Kontinental mengedepankan hukum tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama. Hal ini berdasarkan pemikiran suatu rumusan hukum agar dapat menjamin kepastian hukum, maka rumusan hukum tersebut harus dituangkan ke dalam ketentuan-ketentuan tertulis. Atas dasar itu negara-negara yang berada dalam sistem hukum Eropa Kontinental selalu merancang hukumnya dalam bentuk tertulis yang dikenal dengan sistem kodifikasi. Berbeda halnya dengan sistem hukum Anglo Saxon yang menjadikan putusan hakim “Jurisprudensi” sebagai 25 Ibid, hal. 9. 39 pegangan sehingga sistem hukum ini dikembangkan dari kasus (case law system). Dari sistem tersebut akan berpengaruh pada penyusunan peraturan perundangundangan. Pola Eropa Kontinental mengutamakan penalaran deduktif, apa yang dipikirkan kemudian langsung dirumuskan dalam pasal-pasal suatu rancangan kemudian diperdebatkan. Konsekuensinya banyak undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang begitu diundangkan menimbulkan masalah karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal tersebut dapat disebabkan karena: Pertama, tidak terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara normatif. Sehingga tidak diketahui apakah peraturan perundang-undangan tersebut telah harmonis dan sinkron dengan peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal; Kedua, tidak melakukan pengamatan lapangan. Sedangkan Anglo Saxon menggunakan penalaran induktif dalam merancang peraturan perundang-undangan. Para perancang terlebih dahulu melakukan penelitian sebelum menyusun norma-norma hukum dalam pasal-pasal suatu rancangan. Pendekatan ini lebih baik karena undang-undang atau peraturan daerah yang dihasilkan akan lebih mungkin menjawab persoalan yang ada di lapangan. Mengutip pendapat A.V Dicey26 bahwa ada 3 (tiga) unsur dari the Rule of Law di Negara-negara Anglo Saxon, yakni: (1). Supremasi aturan hukum; (2). Persamaan dihadapan hukum; 26 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 80. 40 (3). Terjaminnya hak-hak asasi tiap-tiap individu. Konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan. Perbedaan yang jelas terlihat dalam Rechtsstaat dan The Rule of Law ialah dalam The Rule of Law tidak terdapat peradilan administrasi negara, hal ini dikarenakan bahwa keberadaan peradilan administrasi negara bukanlah keharusan. Prinsip persamaan kedudukan dimuka hukum (Equality Before the Law) lebih ditonjolkan. Prinsip ini menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara tercermin pula dalam lapangan peradilan. Artinya dalam rangka melindungi rakyat dari tindakan pemerintah, tidak diperlukan badan peradilan khusus (peradilan administrasi) yang berwenang mengadili sengketa tata usaha negara. Sedangkan negara yang menganut konsepsi negara hukum Rechtstaat, menganggap bahwa kehadiran peradilan administrasi negara adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara atas tindakan atau perbuatan pemerintah yang melanggar hak asasi warganya dalam lapangan hukum administrasi, termasuk memberikan perlindungan bagi pejabat asministrasi negara yang telah bertindak benar (sesuai aturan hukum). Meskipun terdapat perbedaan mengenai konsep Rule of Law dengan Rechtsstaat, pada dasarnya kedua konsep ini berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, yang mengarah pada sasaran yang sama yakni membatasi kekuasaan agar tercapai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Baik konsep Rule of Law maupun konsep Rechtsstaat menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 41 Legislasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum. Ruang lingkup peraturan perundang-undangan telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah merupakan suatu hierarki daripada hukum, yakni suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan lainnya yang lebih tinggi. Dikaitkan dengan UUPA, UUPA merupakan produk kekuasaan tertinggi negara Indonesia sebagai undang-undang yang mengatur tentang agraria di Indonesia. Di dalam Pasal 5 UUPA ditegakan bahwa UUPA dibentuk didasarkan hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD RI 1945 sebagaimana hierarki sistem hukum di Indonesia. 42 Relevansi pemaparan di atas dengan penulisan ini, seperti yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian, UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, dan air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan Hukum Agraria Nasional. Makna dalam Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 yakni berisi perintah kepada Negara agar bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. PP No. 24 Tahun 1997 merupakan pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA yang mengatur mengenai pendaftaran tanah. Apabila merujuk pada PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1) menyebutkan : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.” Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 mengatur mengenai pemecahan bidang tanah. Selanjutnya PP No. 24 Tahun 1997 43 Pasal 49 ayat (1) mengatur mengenai pemisahan bidang tanah, yang menyebutkan bahwa : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipisah sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya merupakan suatu bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.” Dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum pertanahan mengenal adanya 2 (dua) karakter peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan. Kedua karakter peralihan hak yang dapat didaftarkan tersebut yaitu: 1) Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah; dan 2) Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah. Kedua karakter tersebut memiliki unsur-unsur dan sifat yang berbeda baik dalam persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum itu sendiri. Pemegang hak atas suatu bidang tanah hanya dapat mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah baik dengan cara pemecahan bidang tanah maupun pemisahan bidang tanah dalam hubungannya dengan peristiwa hukum perdata yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah yang terjadi karena: 1) Terjadinya suatu peristiwa hukum tertentu pada diri seseorang. Secara teoritis berdasarkan ketentuan dalam hukum kebendaan suatu hak atas 44 kebendaan dikatakan “beralih” yaitu suatu proses berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia. Peralihan hak atas tanah ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya seorang pemegang hak atas tanah, maka secara otomatis hak atas tanah tersebut beralih kepada ahli warisnya. Proses seperti ini disebut dengan pewarisan atau turun waris. 2) Terjadinya suatu perbuatan hukum yang disengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain memperoleh hak atas tanah yang dialihkan. Dalam artian, suatu hak atas tanah dialihkan atau diperalihkan apabila hak atas tanah tersebut dipindahkan atau dipindahtangankan dari/oleh pemegang hak selaku subyek hukum kepada pihak lain, jadi peralihan hak atas tanah ini terjadi karena memang disengaja melalui suatu perbuatan hukum antara pemegang hak lama dengan calon penerima hak dan sekaligus nantinya adalah sebagai pemegang hak baru. Perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan hak atas tanah dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan (inbreng), pemberian dengan wasiat, dan lelang.27 Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa Kantor Pertanahan Nasional selain mempunyai tugas wewenang untuk melakukan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun perundangundangan lainnya, juga bertugas untuk menerima pendaftaran peralihan hak atas 27 J. Andy Hartanto, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Laksabang Mediatama, Yogyakarta, hal. 41. 45 tanah dan selanjutnya menerbitkan sertipikat haknya, permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diterima yakni dilakukan dengan cara pemisahan dan pemecahan sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 dan tidak menyebutkan perbuatan hukum dengan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan pengkaplingan bidang tanah. Dalam hal ini terjadi kekosongan hukum, kenyataannya dimasyarakat sudah banyak dilakukan teknik jual beli tanah dengan pengkaplingan, namun tampaknya belum ada payung hukum yang mengatur secara jelas, sehingga hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling tersebut. 1.5.4 Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Asas yang berkaitan dengan penelitian ini ialah Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo28 ialah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, dan ratio legisnya peraturan hukum. Menurut Urip Santoso29, dalam UUPA dimuat 11 (sebelas) asas dari Hukum agraria nasional. Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Asas yang menjadi pegangan dalam penulisan ini ialah asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum adalah asas untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang dikehendaki daripadanya. Dalam kamus Fockema 28 Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 153. 29 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 53-65. 46 Anderea ditemukan kata Rechtszekerheid yang diartikan sebagai jaminan bagi anggota masyarakat bahwa ia akan diperlakukan oleh Negara atau penguasa berdasarkan aturan hukum dan tidak sewenang-wenang, dengan pula diartikan mengenai isi dari aturan itu.30 Dalam Negara hukum asas kepastian hukum, peran asas kepastian hukum (principle of legal security) mendapat prioritas utama. Bahkan, jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan, asas kepastian hukum mendapat tempat yang layak untuk mendukung sikap administrasi pemerintahan. Sejalan dengan konsep Negara hukum tersebut, sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, yang kemudian telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, disebutkan bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib. Relevansi penjelasan umum tersebut menurut penulis di sini ialah, dalam rangka mewujudkan tata kehidupan yang demikian diamanatkan dalam cita-cita negara hukum, maka harus adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dalam negara hukum yakni mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, 30 S.F. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia dalam Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, hal. 216. 47 kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Sehingga apabila kepastian hukum tersebut terwujud, maka akan menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Dalam hubungannya dengan bidang pertanahan, menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, bahwa setiap penguasaan dan pemanfaatan tanah termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum serta tetap berpijak pada landasan konstitusi yakni Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 yang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan tanah dalam konteks sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah di Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum.31 Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa asas kepastian hukum sangat menentukan eksistensi hukum sebagai pedoman tingkah laku dalam masyarakat. Hukum harus memberikan jaminan kepastian tidak adanya kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Selain itu kepastian hukum secara normatif ialah ketika peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir), dan kekosongan norma, sedangkan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. 31 Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, hal.4. 48 Asas jaminan kepastian hukum dalam UUPA ditemukan dalam uraian Pasal 19 yaitu: (1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (2). Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi: a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3). Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4). Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. UUPA juga mengatur kewajiban bagi pemegang Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya. Hal ini agar terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah yang dimilikinya. Jaminan kepastian hukum merupakan salah satu tujuan diundangkannya UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA dan isinya tidak bertentangan dengan UUPA. Selain itu, dilakukan melalui pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat rechtscadaster.32 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA diatur dengan Peraturan Pemerintah. Seperti yang telah diterangkan di 32 Urip Santoso, Op.cit., hal. 64-65. 49 atas, Peraturan Pemerintah yang diperintahkan disini sudah dibuat, semula adalah PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Kemudian PP No. 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan disahkannya PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka Rechtscadaster (pendaftaran tanah). Bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.33 Mengutip pendapat Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa terbitnya PP No. 24 Tahun 1997 dilatarbelakangi oleh kesadaran akan semakin pentingnya peran tanah dalam pembangunan yang semakin memerlukan dukungan kepastian hukum dibidang pertanahan. Secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia yang mendukungnya.34 Asas perlindungan hukum ditemui dalam rumusan Pasal 18 UUPA yaitu meskipun hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, tidak berarti kepentingan 33 Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 81. 34 Urip Santoso, Op.cit, hal. 282, dikutip dari Maria S.W. Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah”, Makalah, Seminar Nasional Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-pajak yang terkait: Suatu Proses Sosialisasi dan Tantangannya, kerja sama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Tanggal 13 September 1997, hal. 1. 50 pemegang hak atas tanah diabaikan begitu saja. Dalam rangka memberikan penghormatan dan perlindungan hukum, hak atas tanah tidak dapat begitu saja diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan umum. Kepada pemegang hak atas tanah diberikan ganti rugi yang layak, artinya kehidupan pemegang hak atas tanah harus lebih baik setelah hak atas tanah diambil oleh pihak lain.35 PP No. 24 Tahun 1997 tidak hanya sebagai sekedar peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu PP No. 24 Tahun 1997 menjadi tulang punggung yang mendukung berjalannya tertib administrasi pertanahan di Kantor Pertanahan. Latar belakang dibuatnya PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan dalam Kosiderannya di bawah perkataan menimbang, yaitu: a. Bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan; b. Bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan; c. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan. Meskipun UUPA mengatur pendaftaran tanah, namun tidak disebutkan memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah, begitu pula halnya dengan PP No. 10 Tahun 1961. Menurut A.P. Parlindungan36, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis 35 Urip Santoso, Op.cit., hal. 65. A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 18-19. 36 51 untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Pengertian pendaftaran tanah baru dimulai dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.37 Prinsip pendaftaran hak atas tanah adalah untuk memfasilitasi jaminan keamanan atas pemilikan tanah dan pemindahan haknya, misalnya pembeli yang akan memiliki tanah dengan tidak ada gangguan dari pihak lain. Selain itu, pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menemukan apakah ada hak-hak pihak ketiga. Di dalam pendaftaran tanah harus mencerminkan suatu ketelitian mengenai kepemilikan dari tanah dan hak-hak pihak ketiga yang mempengaruhinya. Oleh karena itu prinsip jaminan pendaftaran ialah status hak memberikan jaminan dari ketelitian suatu daftar, bahkan seharusnya memberikan ganti kerugian kepada siapapun yang menderita kerugian.38 37 Urip Santoso, Op.cit., hal. 13. Mark P. Thompson, 2001, Modern Land Law, First Published, Oxford University Press, New York, hal. 88. 38 52 1.5.5 Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1). Membuat atau tidak membuat perjanjian (2). Mengadakan perjanjian dengan siapapun (3). Menentukan isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya (4). Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis Selaras dengan asas kebebasan berkontark yang dijelaskan di atas, Charles P. Nemeth dalam bukunya yang berjudul The Paralegal Resource Manual menyebutkan : “Contract means the total obligation that result from the parties’ agreement as determined by as supplemented by any other applicable laws. A contract can be defined in a various ways, contracts can be formal or informal but essentially reflect the promises between individuals and institutions”.39 Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah paham individualisme pada zaman Yunani, kemudian diteruskan melalui ajaran John Locke dan Rosseau, di mana menurut Beliau paham individualisme berarti setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, dan dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Seiring dengan perjalanan waktu, setelah berakhirnya Perang Dunia II, paham ini dirasa tidak mencerminkan 39 Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, The Mc Graw Hill Companies, United States, hal. 169. 53 keadilan. Oleh karena itu, kehendak bebas diberi arti relatif yang dikaitkan dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, namun perlu diawasi.40 Bila dicermati Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, ada 3 (tiga) pokok asas yang terkandung di dalamnya, yakni: Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan a) asas kebebasan berkontrak. Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas b) kekuatan mengikat atau Asas Pacta Sunt Servanda, yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas c) personalitas. Selain Pasal 1338 KUH Perdata sebagai landasan hukum dari asas kebebasan berkontrak, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata juga harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat: (1). (2). (3). (4). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu hal tertentu Suatu sebab yang halal Syarat tersebut di atas mengenai pihak yang membuat perjanjian disebut syarat subjektif, sedangkan mengenai isi perjanjian disebut syarat objektif. Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini ialah persesuaian kehendak antara pihak yaitu bertemunya penawaran dan penerimaan. Sementara iu kecakapan 40 H. Salim, dkk., 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2. 54 adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Mengenai hal tertentu, yakni harus ada objek perjanjian yang jelas, suatu perjanjian tidak dapat dilakukan tanpa objek yang tertentu. Syarat terakhir ialah mengenai suatu sebab yang halal, yang berarti bahwa isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.41 Relevansi asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian dengan tulisan ini ialah setiap individu pada dasarnya pemegang hak atas tanah sebagaimana manusia biasa selalu berkeinginan untuk mengadakan perubahan terhadap hakhak yang dimiliki. Apabila perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya berpindahnya hak kepada individu lainnya baik dengan pamrih ataupun tidak, maka sejak itu mulailah individu tersebut berhadapan dengan apa yang disebut dengan peralihan hak. Peralihan hak berasal dari kata “alih”, yang berarti perpindahan. Jadi dengan peralihan dimaksudkan adanya perpindahan atau pergantian. 42 Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak itu adalah perpindahan hak dari pemilik awal kepada pemilik berikutnya. Salah satu jenis peralihan hak adalah jual beli. Jual beli termasuk jenis perjanjian timbal balik yakni perjanjian yang menimbulkan masing-masing kewajiban dan hak secara timbal balik. Dalam KUH Perdata Pasal 1457 disebutkan: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu 41 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 67. 42 Roberto Kratovil, 1974, Real Estate Law, Prentice Hall New Jersey, hal. 5. 55 mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah pihak-pihak yang terlibat didalamnya mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dengan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar, hal ini diatur dalam Pasal 1458 KUH Perdata. Berkenaan dengan pengertian jual beli tanah, Boedi Harsono43 menyatakan bahwa pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah. Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, jual-beli diajukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual-beli dihadapan PPAT maka dipenuhilah syarat terang tersebut. Hal ini dipertegas dengan digantinya PP No. 10 Tahun 1961 menjadi PP No. 24 Tahun 1997, yaitu pendaftaran tanah hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai bukti terjadinya peralihan hak, dan mereka yang melakukan peralihan hak dengan tanpa menggunakan akta yang 43 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.135. 56 dibuat oleh dan dihadapan PPAT tidak dapat melakukan pendaftaran sebagaimana seharusnya dan berakibat tidak terselesaikannya sertipikat tanda bukti hak.44 Akta jual-beli yang ditandatangani atau dibubuhkan cap jempol oleh para pihak memberikan bukti otentik terhadap peralihan hak milik atas tanah. Hal ini menegaskan bahwa jual-beli telah terjadi dan pembayaran telah dilakukan dan diterima oleh pihak yang mengalihkan. Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa salah satu cara melakukan peralihan hak atas tanah adalah dengan melakukan jual beli. Secara umum terdapat beberapa jenis jual-beli antara lain: (1). Jual beli hak atas tanah murni/keseluruhan adalah jual beli hak atas tanah secara keseluruhan sebagaimana luas yang ada dalam tanda bukti hak oleh penjual kepada pembeli yang dalam praktek disebut dengan jualbeli hak atas tanah murni. (2). Jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah, diatur dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Konsekwensi dari pemecahan bidang tanah ini adalah dilakukannya pemecahan suatu bidang tanah yang mengakibatkan dihapusnya status hak atas tanah yang lama dan menghasilkan hak baru secara keseluruhan, namun status hak atas tanah yang baru nantinya adalah sama dengan status hak atas tanah yang telah dihapus. (3). Jual beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah, yakni diatur dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 44 Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 77. 57 1997. Dipisah disini dimaksudkan dilahirkan hak atas tanah baru disamping hak atas tanah sebelumnya yang telah ada, status hak atas tanah baru ini adalah sama dengan status hak atas tanah sebelum pemisahan dilakukan. Ketiga jenis peralihan tanah tersebut memiliki unsur-unsur yang berbeda baik dalam persyaratan yang harus dipenuhi maupun hasil dari perbuatan hukum itu sendiri. Namun tidak disebutkan adanya pendaftaran peralihan hak atas tanah kapling. Lantas mengapa jual beli hak dengan cara pengkaplingan tanah sangat lumrah dimasyarakat? Tampaknya dalam hal ini terjadi suatu kekosongan norma, sehingga dikawatirkan akan berakibat dengan status kepastian hukum kepemilikan tanah kapling. Menurut Fockema Andreae, istilah kapling mempunyai arti bagian atau pecahan dan dalam hubungannya dengan tanah adalah sebidang tanah yang dibatasi oleh pematang yang dikeringkan dan berarti pula tanah perpetakan yang dipertukarkan (ruilverkaveling).45 Jadi pengkaplingan tanah adalah bidang tanah dalam petak-petak dengan ukuran luas tertentu yang telah dipersiapkan untuk itu oleh pemiliknya untuk dipertukarkan. Bila dilihat bisnis pengkaplingan memberikan keuntungan kepada pihak pemilik tanah, ia dapat menjual tanahnya secara mudah dengan cara mempetakpetakkan tanahnya yang luas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Selain itu juga memberi kemudahan bagi pembeli untuk membeli tanah dengan ukuran yang 45 Fockema Andreae, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum, Binacipta, Bandung, hal. 236. 58 dapat disesuaikan. Sedangkan dampak negatifnya dapat menimbulkan kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Pengertian tanah sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) UUPA : “Permukaan bumi, yang berarti hak atas tanah adalah yang dapat dibebankan di atas permukaan bumi. Hubungan manusia atau badan hukum dengan tanah memunculkan hak privat bagi manusia atau badan hukum itu sendiri, dan tercakup dalam lingkup keperdataan.” Menurut Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, yang dimaksud hak atas tanah adalah hak atas sebidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA: (1). Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. hak milik b. hak guna usaha c. hak guna bangunan d. hak pakai e. hak sewa f. hak membuka tanah g. hak memungut hasil hutan h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.46 1.6 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif yaitu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Kegunaan metode penelitian normatif adalah untuk melakukan 46 Binoto Nadapdap, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala, Jakarta, hal. 48. 59 penelitian dasar (basic research) dibidang hukum, khususnya bila peneliti mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan hukum dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum baru dan sistem hukum nasional.47 Dalam penelitian ini terdapat kekosongan norma yakni dalam kenyataannya di masyarakat berkembang suatu teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan tanah, namun UUPA yang dibentuk tahun 1960 Pasal 19 mengenai pendaftaran tanah tidak mengenal pengkaplingan tanah, kemudian dalam peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 dalam hubungannya dengan pendaftaran bidang tanah hanya mengenal dua karakter peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (2), tidak menyebutkan perbuatan hukum tersebut dengan istilah kapling atau dengan kata lain hukum pertanahan nasional tidak mengenal perbuatan hukum atas tanah yang disebut dengan pengkaplingan tanah, demikian juga Kantor Badan Pertanahan hanya menerima pendaftaran tanah dengan pemecahan dan pemisahan. Sehingga hal ini tentunya akan berakibat pada kepastian hukum kepemilikan tanah kapling, karena kerap kali pembeli yang sudah membeli bidang tanah kapling dengan itikad baik tidak dapat membangun diatas tanah yang dibelinya, bahkan kerap kali tidak dapat memiliki tanah yang dibelinya tersebut. Penelitian ini lebih memfokuskan pada hukum Agraria nasional melalui Peraturan Pelaksananya mengenai Pendaftaran Tanah yang mengatur tentang pemecahan dan pemisahan bidang tanah oleh pemegang hak atas tanah, yang 47 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, hal. 141. 60 kemudian direfleksikan menjadi bisnis pengkaplingan tanah, termasuk di dalamnya pengaturan yang sekiranya memiliki relevansi mengenai tanah kapling, kemudian mengenai jaminan kepastian hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan dengan adanya pengkaplingan tanah, yang terakhir mengenai tata cara atau prosedur pengkaplingan tanah yang dilakukan di masyarakat. b. Jenis Pendekatan Menurut Peter Mahmud Marzuki48 pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Tetapi untuk membahas permasalah dalam tesis ini pendekatan yang diterapkan sebagai berikut: 1. Pendekatan Undang-undang (statue approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah suatu Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasahan yang dibahas. Pendekatan undangundang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-undang dengan Undang-undang lainnya atau antara Undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Penekanan dalam tesis ini bagaimana hukum agraria nasional mengatur perbuatan hukum atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan dan pemisahan tanah oleh pemegang hak 48 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93. 61 atas tanah, dan kemudian timbul suatu tata cara pengkaplingan. Dalam tesis ini Undang-undang yang ditelaah ialah UUPA, serta PP No. 24 Tahun 1997. 2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) Dalam pendekatan konseptual, peneliti merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum yang dalam hal ini tentang pengkaplingan tanah. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undangundang. 3. Pendekatan historis (historical approach) Penelitian dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ini sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Melalui pendekatan ini juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang nantinya melandasi lahirnya aturan hukum baru. Relevansi dengan tesis ini seiring dengan perkembangan waktu dalam rangka kebutuhan akan tanah yang terus meningkat dan perlunya pengaturan pembangunan perumahan dan pemukiman, ternyata timbul suatu cara untuk memudahkan pemilik hak atas tanah menjual tanah dan meningkatkan nilai jual tanahnya yakni dengan teknik pengkaplingan, namun UUPA yang dibentuk tahun 1960 belum mengenal teknik pengkaplingan, begitu pula PP No. 24 Tahun 1997. 62 c. Sumber Bahan Hukum Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier (sebagai penunjang bahan hukum primer dan sekunder).49 1. Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Burgelijk Wetboek (B.W), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang berasal dari literatur-literatur, buku-buku (text book) yang berkaitan dengan hukum agraria, Hukum Tata Negara serta Hukum Kenotariatan, dan sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian dari kalangan hukum, dan seminar. 49 Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 33. 63 3. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum ini yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia.50 Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang dimaksud antara lain berupa Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kamus Istilah Hukum, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, dan Black’s Law Dictionary. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum ialah terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan dan akan digunakan dalam penelitian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card system). Kartukartu disusun berdasarkan pokok masalah dalam penelitian dan penulisan ini berdasarkan langkah-langkah yang telah disusun. Disamping itu ditelaah dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan pokok masalah. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, dilakukan dengan langkah-langkah deskriptif dan interpretasi. Teknik deskriptif dipergunakan dalam menganalisa, karena teknik deskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum atau non hukum, sehingga dalam penelitian ini diungkapkan apa adanya, bagaimana hukum agraria nasional mengatur tentang perbuatan hukum atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan dan pemisahan hak atas 50 Ibid, hal. 13. 64 tanah oleh pemegang hak atas tanah serta keterkaitannya dengan bisnis pengkaplingan tanah yang kini ada di masyarakat, namun belum ada peraturan yang mengatur secara jelas dan pasti. Teknik interpretasi (penafsiran) yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi gramatikal (tata bahasa) dan interpretasi sistematis. Interpretasi gramatikal disebut juga penafsiran tata bahasa. Bahasa merupakan sarana yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata yang jelas dan tidak dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Sehingga disebut interpetasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan Undang-Undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi gramatikal ini digunakan kamus bahasa atau keterangan ahli bahasa sebagai narasumber. Penafsiran sistematis ialah dengan melihat hubungan diantara aturan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling bergantungan.51 Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum lain. Dengan interpretasi sistematis dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan. Menghubungkan suatu perundang-undangan dengan peraturan lain dalam sistem hukum agraria yang berkaitan dengan penulisan tesis ini. 51 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hal. 112. 65 BAB II TEORI DAN KONSEP HAK MILIK, PENGKAPLINGAN BIDANG TANAH DAN JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH Pembahasan dalam Bab II ini meliputi 3 (tiga) sub bahasan. Adapun pemaparannya dalam bab ini meliputi :  Hak Milik Atas Bidang Tanah  Pengkaplingan Bidang Tanah  Jual Beli Hak Milik Atas Tanah 2.1 Hak Milik Atas Bidang Tanah Teori yang dipergunakan ialah Teori Hak Milik Atas Bidang Tanah (Kepemilikan). Awalnya diilhami oleh Teori hukum Kodrat oleh John Locke yang berpendapat manusia sejak dilahirkan mempunyai hak untuk mempertahankan hidupnya.52 Kemudian dari hukum kodrat ini mengilhami lahirnya konsep hak sebagai hak kebendaan yang sempurna, turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai semua orang, dan merupakan bagian dari hak asasi manusia secara kodrati serta dianugerahkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Pada awalnya hak milik atas tanah berdasarkan Hukum Adat, kemudian pada masa penjajahan dikenal adanya hak milik atas tanah disebut hak eigendom (eigendomrecht) yang tunduk pada hukum Eropa yang diberlakukan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh Negara, dengan lahirnya UUPA yang dilandasi oleh Hukum Adat. Diundangkannya UUPA mengakibatkan adanya individualisasi, yang memberikan pengakuan khusus terhadap hak-hak perorangan. Hak-hak milik perseorangan ini 52 John Locke, Op.cit., hal 77. 66 diberikan perlindungan hukum oleh pemerintah dengan suatu teknis pendaftaran tanah. Dengan kata lain, tanah yang dulunya dalam hukum adat tidak didaftarkan, tetapi setelah UUPA, untuk memperoleh kepastian hukum kepemilikan tanah, maka tanah tersebut harus didaftarkan oleh pemiliknya. Apabila hak atas tanah sudah didaftarkan, maka akan memperoleh sertipikat tanda bukti kepemilikan tanah. Tidak hanya itu, bahwa pensertipikatan tanah memberikan dampak positif terhadap pelestarian tanah, selain memberikan kepastian hukum, dapat memberikan informasi mengenai tanah tersebut, serta pentingnya hak-hak atas tanah dan pendaftarannya, juga meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrariaan. Sebelum mengetahui pengertian hak milik atas tanah, terlebih dahulu penulis memaparkan pengertian hak. Pengertian hak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah : “1) kepunyaan; (2) milik; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dan sebagainya); (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat.”53 Lebih lanjut pengertian hak dapat dilihat dalam Black’s Law Dictionary. Dalam Black’s Law Dictionary, dijelaskan bahwa hak ialah : Right. N (bef 12c) 1. That which is proper under law, morality, or etchics (know right from right); 2. Something that is due to a person by just claim, legal guarantee, or moral principle (the right of liberty); 3. A power, privilege, or immunity secured to a person by law (the right to dispose of one’s estate); 4. A legally enforceable claim that another will do or will not do a given act; a recognized and protected interestthe violation of which is a wrong (a breach of duty that infringes one’s right); 5. (often pl) The interest, 53 Tim Penyusun Pusat Kamus, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 502. 67 claim or ownership that one has in tangible or intangible property (a debitor’s rights in collateral) (publishing rights).54 Dari rumusan bahasa Inggris ini dapat diterjemahkan secara bebas. sebagai Secara garis besar hak dapat diartikan 1. Sebagai yang benar menurut hukum, moralitas, atau etika; 2. Sesuatu yang disebabkab oleh seseorang dengan hanya mengklaim, jaminan hukum, atau prinsip moral (hak kebebasan); 3. Kekuatan, penghormatan, atau perlindungan dijamin seseorang oleh hukum; 4. Keabsahan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang diberikan, penghormatan untuk diakui dan dilindungi dalam terjadinya pelanggaran hukum sekalipun (melanggar hak seseorang); 5. Kepentingan, klaim atau kepemilikan yang dimiliki seseorang atas harta berwujud maupun tidak berwujud (hak-hak debitur dalam agunan) (penerbitan hak). Selain itu, hak juga diartikan sebagai korelatif dari kewajiban, dimana tidak ada kewajiban maka tidak ada hak. Namun hal ini belum tentu selalu benar, bisa saja ada kewajiban tanpa hak. Pada umumnya dari kewajiban akan selalu menimbulkan hak. Pertumbuhan penduduk yang kian meningkat sejalan dengan kebutuhan akan lahan atau tanah sebagai sarana pembangunan tempat tinggal. Negara menjamin setiap warga negaranya untuk pemenuhan kebutuhan dan penghidupan yang layak, serta memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hakhak warga negaranya. Prinsip penghormatan terhadap hak milik pribadi kemudian 54 Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United States of America, hal. 1436. 68 dicantumkan dalam UUD RI 1945 yakni dalam Pasal 28 A, 28 H ayat 4, dan Pasal 28 J ayat 2. Pengaturan tanah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kesadaran akan arti pentingnya fungsi tanah terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886 (selanjutnya disebut UU HAM), arti penting hak untuk hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) yakni : Mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Oleh karena itu setiap orang memerlukan ketersediaan tanah untuk pemenuhan hak atas kesejahteraan berupa milik, yang dapat dipunyai bagi dirinya sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain yang berguna untuk pengembangan dirinya sendiri maupun dengan orang lain dan masyarakat. Selanjutnya penjelasan hak atas tanah dapat dilihat dalam ketentuan UUPA. Mengenai pengaturan hak atas tanah, diatur dalam ketentuan UUPA Pasal 4 yakni: (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang serta badan-badan hukum. (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UndangUndang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. (3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksudkan dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa. 69 Dari Pasal 4 UUPA tersebut di atas dapat disimpulkan hak atas tanah dapat dipunyai oleh orang-orang atau badan hukum baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagai hak atas permukaan bumi (tanah) yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya. Hal ini mengandung arti bahwa hak atas tanah itu di samping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya. Namun wewenang yang dimaksud di sini terbatas pada mempergunakan permukaan bumi (tanah), tidak mencakup pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pendapat penulis tersebut di atas diperkuat dengan pendapat Maria S. W. Sumardjono. Beliau berpendapat pengertian hak atas tanah pada pokoknya meliputi permukaan bumi saja, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Angka II (1). Kalaupun diperkenankan penggunaan ruang angkasa yang meliputi tubuh bumi dan ruang udara, maka penambahan itu merupakan kriteria pembatasan yang fleksibel dan adil, sebagaimana tampak dalam kata-kata “sekedar diperlukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pembatasan pengertian hak atas tanah dengan permukaan bumi tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penguasaan seseorang terhadap tanah hanyalah terbatas pada bagian atas dari bumi, sehingga dengan demikian 70 memberikan hak kepada negara untuk menguasai bahan-bahan tambang yang berada di tubuh bumi.55 Selanjutnya pengertian hak milik ditemui dalam ketentuan Pasal 570 KUH Perdata. Adapun pengertian hak milik ialah: Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan cara bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak menggangu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Mengutip pendapat R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum. Hak pemilikan (eigendomsrecht) terdiri dari 2 (dua) hak atau kewenangan yang penting, yakni: ï€ Yang mempunyai (eigenaar) berwenang/berhak memungut kenikmatan dari kepunyaannya. ï€ Yang mempunyai juga berwenang/berhak memindah-tangankan (vervreemden) kepunyaan itu. Dalam istilah Belanda, hak tersebut dinamakan “beschikken” yang meliputi hak/kewajiban untuk menjual, memberi, menukar, mewariskan secara legal. Beschikken meliputi segala kewenangan untuk memindah-tangankan dari tangan yang satu ketangan yang lain.56 Dari ketentuan Pasal 570 KUH Perdata serta pendapat R. Soeroso tersebut di atas dapat simpulkan bahwa : Pertama, hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan misalnya dengan itu memungut kenikmatan dari benda tersebut. Kedua, pemilik hak dapat memindah-tangankan dan/atau mengalihkan kepunyaannya kepada orang lain sepanjang tidak melebihi hak miliknya atau apa 55 Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, hal. 128. 56 R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 273. 71 yang dia punyai, dengan cara bagaimanapun asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Maksud beschikken yang meliputi kewenangan untuk memindah-tangankan dari tangan satu ketangan yang lain ialah perbuatan hukum peralihan hak dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Ketentuan mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA, yang secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang, namun Undang-undang yang diperintahkan sampai saat ini belum terbentuk, sehingga diberlakukanlah ketentuan Pasal 56 UUPA yakni selama Undang-undang tentang hak milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan Hukum Adat setempat dan peraturan-peraturan lain sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.57 Pengertian hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA : “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Pengertian turun-temurun adalah hak milik atas tanah dapat berlangsung terus menerus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan 57 Soejono, dan H. Abdurrahman, 2003, Prosedur Pendaftaran Tanah (Tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna, dan Hak Guna Bangunan), Rineka Cipta, Jakarta, hal. 4. 72 pihak lain, dan tidak mudah dihapus. Terpenuh berarti hak milik atas tanah memberi wewenang paling luas kepada pemiliknya bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dan dapat menjadi induk hak bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, serta penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA tersebut diartikan sifat hak milik yang membedakan dengan hak-hak atas tanah lainnya ialah “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu, karena sifat yang demikian bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Pengertian “terkuat dan terpenuh” ialah bermaksud untuk membedakan hak milik dengan hak-hak atas tanah lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan terpenuh. Hal ini berarti UUPA telah menjamin hak milik atas tanah kepada perorangan. Hak milik atas tanah hanya dapat dipunyai Warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Adapun, khusus untuk badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 61 (selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 1963). 73 Ketentuan Pasal 6 UUPA menentukan : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini artinya dalam menggunakan hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsi sosial atas tanah, yakni dalam penggunaannya tidak boleh sampai menimbulkan kerugian bagi orang lain. Maka penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaaan dan sifat haknya, harus diperhatikan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Selanjutnya Pasal 56 disebutkan bahwa selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA. Jadi sepanjang ketentuan mengenai hak milik belum ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum adat setempat.58 Maksud dari Pasal 56 jo Pasal 50 ayat (1) jo Pasal 20 UUPA menurut penulis ialah bahwa pada awalnya hukum tanah di Indonesia, sebelum berlakunya UUPA ialah bersifat dualisme, artinya selain diakuinya hukum tanah adat yang bersumber dari hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas hukum barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak 58 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 3. 74 milik atas tanah, yaitu hak milik menurut hukum Adat dan hak milik menurut Hukum Perdata Barat yang dinamakan hak eigendom. Kedua macam hak tersebut sesuai dengan ketentuan konversi dalam UUPA telah dikonversikan atau diubah menjadi hak milik. Konversi hak-hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA sehingga sekarang hanya ada satu macam hak milik atas tanah. Terhadap tanah-tanah tersebut menurut ketentuan Pasal 19 UUPA jo PP No. 24 Tahun 1997, harus didaftarkan, apabila sudah didaftarkan tidak banyak mengalami hambatan dalam hal adanya peralihan hak atas tanah tersebut, beda halnya apabila tanah tersebut tidak didaftarkan, maka akan menemukan banyak hambatan dalam hal peralihan hak atas tanah tersebut. Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUPA yaitu: “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Lebih lanjut ketentuan dalam Pasal ini menguraikan bahwa ada 2 (dua) bentuk peralihan hak milik atas tanah, yakni : beralih dan dialihkan/pemindahan hak. 1. Beralih Beralih berarti berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu peristiwa hukum. Misalnya dengan meninggalnya pemilik hak atas tanah, sehingga secara hukum kepemilikan haknya berpindah kepada ahli warisnya, sepanjang ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai subyek hukum. 75 Beralihnya hak milik atas tanah yang telah bersertipikat harus didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten ditempat tanah tersebut berada dengan melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, silsilah keluarga, surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat pejabat yang berwenang, identitas ahli waris, dan asli sertipikat tanah yang bersangkutan. Maksud dari pendaftaran peralihan hak milik ini ialah untuk dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah awal kepada ahli warisnya. 2. Dialihkan atau pemindahan hak Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik awal kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum dalam hal ini yakni jual beli, tukarmenukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang. Berpindahnya hak milik atas tanah dengan cara dialihkan atau pemidahan hak harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), sedangkan dalam lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat Kantor Lelang. Kemudian barulah dapat dilakukan perubahan nama dalam sertipikat hak atas tanah dari pemilik yang lama kepada pemilik hak atas tanah yang baru. 76 Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris tranfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorang pun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorang pun dapat mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objek miliknya.59 Komentar penulis mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik tersebut di atas ialah : Pertama, pemilik hak dapat mengalihkan atau memberikan haknya kepada orang lain, dengan batasan yakni: tidak melebihi apa yang dimilikinya, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak merugikan kepentingan orang lain. Kedua, kepemilikan hak atas tanah memberikan manfaat serta kegunaan bagi pemiliknya, misalnya tanah dapat dimanfaatkan untuk pertanian, perkebuan, dapat dijadikan sarana pembangunan, tanah dapat dijaminkan atau dijadikan agunan (hak tanggungan), disewakan. Hak milik sangat penting bagi manusia untuk dapat melaksanakan hidupnya di dunia. Semakin tinggi nilai hak milik atas suatu benda, semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan terhadap benda tersebut. Dalam membicarakan hak milik tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang benda, karena hak milik merupakan hal yang selalu berkaitan dengan benda. Menurut W.M Kleyn di Eropa, hak milik merupakan pengertian yang sentral dan netral, 59 Ridwan Halim, 2001, Bendera Mimbar Filsafat Hukum Indonesia dan Pragmatisasinya Suatu Analisis Yuridis Empiris, Angky Pelita Studyways, Jakarta, hal. 170. 77 hak kebendaan yang terpenting adalah hak milik dan ditafsirkan sebagai hak yang absolut. Berkaitan dengan itu Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan Mahadi60, mengatakan bahwa sifat absolut hak kebendaan yang mengharuskan setiap orang untuk menghormati hak tersebut. Tanah ialah benda tidak bergerak yang merupakan salah satu milik yang sangat berharga bagi umat manusia. Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun kearah perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi, tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain: (1). Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi; (2). Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dengan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya; (3). Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, dan pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi; (4). Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir bathin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.61 Bagi orang Indonesia tanah merupakan salah satu masalah yang paling pokok, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan berkisar sengketa mengenai tanah. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat dilihat bahwa tanah memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 60 61 Aslan Noor, Op.cit., hal.26. Adrian Sutedi, Op.cit., hal 1. 78 Pemilikan atas tanah harus memberi manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek kehidupan kepada pemiliknya, baik itu dalam aspek sosial, aspek ekonomi, termasuk hubungannya dengan pembangunan. Dalam aspek sosial tanah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kegiatan keagamaan dan sejenisnya. Sedangkan bila dilihat dari aspek ekonomi, tanah dapat dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, perkantoran sebagai tempat usaha, dapat dijadikan agunan (hak tanggungan), dijual dan disewakan untuk kepentingan ekonomi pemiliknya. 2.1.1 Sifat dan Ciri Hak Milik Atas Tanah Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA disebutkan: “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Turun temurun berarti hak milik tidak hanya berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli waris apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan bahwa jangka waktu hak milik tidak terbatas. Sehingga berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan yang mempunyai jangka waktu tertentu. Selain itu hak milik juga dikatakan terkuat karena didaftarkan dan pemiliknya diberikan tanda bukti hak, yang berarti mudah dipertahankan terhadap pihak lain.62 Hal ini berarti, hak milik merupakan hak yang kuat dan tidak mudah dihapus, terkuat dalam hal ini ialah hak yang paling kuat di antara hak-hak atas tanah lainnya. Hak milik merupakan mempunyai sifat terkuat, dengan perkataan lain hak milik mudah dipertahankan dari gangguan 62 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 237. 79 pihak lain. Hak milik memiliki sifat terkuat seketika setelah hak milik tersebut didaftarkan. Terpenuh artinya hak milik merupakan induk daripada hak-hak lainnya, artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik, misalnya: menyewakan, membagihasilkan, menggadai, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Namun pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Pengertian terkuat dan terpenuh dimaksudkan untuk membedakan hak milik dengan hak-hak atas tanah lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan terpenuh. Pembatasan mengenai hak milik secara umum berlaku terhadap seluruh masyarakat, diantaranya dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA yaitu : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pembatasan secara khusus, yaitu terhadap pemilik tanah yang berdampingan harus saling menghormati tidak boleh merugikan yang lain, dan tidak menimbulkan penyalahgunaan hak.63 Fungsi sosial yang dimaksudkan dalam Pasal 6 UUPA menurut penulis ialah pada hakikatnya pemilikan tanah tidak boleh merugikan kepentingan umum. Sebidang tanah harus dipergunakan sedemikian rupa, sehingga dapat memberi manfaat bagi pemiliknya dan masyarakat sekitarnya. Tanah tidak semata-mata untuk kepentingan si pemilik saja, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. 63 Effendi Perangin, Loc.cit. 80 Kepentingan perorangan dan masyarakat harus saling mengimbangi, sehingga akan tercapai tujuan pokok UUPA yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Tidak saja pemilik bidang tanah tersebut, tetapi orang lain yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah, misalnya penyewa juga mempunyai kewajiban melaksakan fungsi sosial, oleh sebab itu diperlukan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang ditetapkan oleh Pemerintah. Menurut R. Roestandi Ardiwilaga, pada asasnya hak milik tidak boleh diganggu gugat, akan tetapi Negara mempunyai wewenang untuk mencabut hak privat dari seseorang yang berlawanan dengan kemauannya untuk kepentingan umum, atau hak-hak tersebut diberikan kepada pihak lain.64 Menurut penulis, pendapat R. Roestandi tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUPA yang isinya: “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur oleh Undang-Undang”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kepentingan umum ialah kepentingan orang banyak, misalnya pembangunan jalan, pembangunan waduk, kepentingan bersama dari rakyat misalnya pembangunan pasar, pembangunan perumahan rakyat. Pencabutan hak atas tanah dalam UUPA ialah dalam arti pengambilan tanah kepunyaan subyek hukum oleh negara secara paksa, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukumnya, yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut hapus. Pencabutan hak atas tanah 64 yang bersangkutan dilakukan R. Roestandi Ardiwilaga, Op. cit., hal. 275. oleh Pemerintah dengan 81 mempertimbangkan dan menetapkan apakah benar demi kepentingan umum di kawasan tersebut diharuskan dilakukannya pencabutan hak. Apabila memang harus dilakukan pencabutan hak, maka Pemerintah menetapkan besarnya ganti rugi. Bila pemilik tanah tidak menyetujui besarnya ganti rugi, ia dapat mengajukan gugatan di pengadilan. Berkaitan dengan pasal-pasal mengenai hak milik atas tanah dalam UUPA yang telah dipaparkan di atas. Notonagoro menyebutkan ciri-ciri hak milik sebagai berikut: (1) Dapat dijadikan hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak bagi hasil. (2) Dapat dijadikan sebagai jaminan utang, dengan cara pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan. (3) Hak milik dapat digadaikan. Tanah yang digadaikan itu tidak dijadikan jaminan utang, meskipun ada utang. Tanah diserahkan kepada kekuasaan pemegang gadai dan si pemegang gadai berwenang mengusahakan tanah itu dan mengambil hasilnya. (4) Hak milik dapat dialihkan kepada orang lain dengan cara jual beli, hibah wasiat, tukar menukar, dan cara lainnya. (5) Hak milik dapat dilepaskan dengan suka rela. Maksud dari dilepaskan itu ialah supaya pihak lain yang membutuhkan tanah dapat memohonkan hak yang sesuai baginya. Pelepasan hak dan permohonan itu ditujukan kepada Pemerintah. (6) Hak milik dapat diwakafkan. (7) Pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali terhadap orang yang memegang benda tersebut.65 Berdasarkan pemikiran Notonagoro mengenai ciri-ciri hak milik tersebut maka penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya. Hak milik dapat dijadikan induk dari hak-hak atas tanah lainnya, dan memiliki sifat turun-temurun, terkuat, dan terpenuh. Sifat ini ialah sebagai ciri khusus untuk membedakan dengan hak-hak atas tanah lain seperti Hak Guna Usaha (HGU), 65 Aslan Noor, Op.cit., hal. 83. 82 Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) dan Hak Sewa. Selain itu salah satu kekhususan hak milik adalah tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih berlaku dan selama subyek hukumnya masih diakui. 2.1.2 Subyek Hak Milik Atas Tanah Terjadinya hak milik atas tanah merupakan dasar timbulnya hubungan hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek hak. Subyek hukum yang boleh mempunyai hak milik diatur dalam Pasal 21 UUPA. Pada prinsipnya hanya Warga Negara Indonesia tunggal yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik (Pasal 21 ayat (1) jo ayat (4) UUPA). Sesuai dengan asas kebangsaan dalam Pasal 1 UUPA maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat (2)).66 Hal ini sesuai dengan asas nasionalitas yang tercermin dalam UUPA. Asas nasionalitas ini memiliki konsekuensi yang jauh terhadap pemilikan atau pemegang hak milik atas tanah di Indonesia, yaitu yang diperbolehkan mempunyai hak milik adalah hanya Warga Negara Indonesia. Hak milik hanya boleh dipunyai orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan orang lain. Badan hukum tidak boleh mempunyai tanah dengan hak milik (Pasal 21 ayat (2) UUPA), kecuali yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah. Badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik 66 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 62. 83 sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 21 ayat (2) ditentukan dalam PP No. 38 Tahun 1963 Pasal 1 ialah: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara). b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 1390. c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agama, setelah mendengar Menteri Agraria. d. Badan-Badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Hak milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sebelum berlakunya UUPA, sedangkan sesudah berlakunya UUPA diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. Dari uraian di atas jelas bahwa hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik sangat penting bagi masyarakat Indonesia sebagai negara agraris yang sedang membangun kearah perkembangan pembangunan. Perkembangan pembangunan secara langsung memberikan pengaruh terhadap usaha pemenuhan tempat tinggal. Pengaturan tanah sebagai sarana pemenuhan tempat tinggal (rumah) diatur di dalam UUD RI 1945, UUPA dan juga UU HAM. Setiap orang memerlukan ketersediaan tanah untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Salah satu hak atas tanah ialah hak milik atas tanah, yang dapat dipunyai orang perorangan maupun badan hukum maupun bersama-sama dengan orang lain yang berguna untuk kesejahteraan hidupnya. Dengan adanya hak milik memberi wewenang kepada pemilik hak seluas-luasnya mempergunakan tanahnya demi peningkatan taraf hidupnya, namun dengan memberi batasan adanya kepentingan sosial. 84 Berdasarkan pemaparan di atas, maka hak milik menurut UUPA adalah hak induk bagi hak-hak atas tanah lainnya, maksudnya di sini ialah dengan hak milik, pemegang hak milik diberikan wewenang paling luas menggunakan haknya dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya. Sedemikan sebagaimana dengan sifat hak milik yakni terkuat, terpenuh, dan turun-temurun. 2.2 Pengkaplingan Bidang Tanah Dalam pembahasan sub bab ini dipergunakan Konsep Penatagunaan Tanah, konsep ini ialah untuk melengkapi landasan teoritis yang ada pada bab I. Konsep Penatagunaan tanah menyatakan bahwa penggunaan tanah bersifat dinamis sesuai dengan dinamika masyarakat yang menggunakan tanah. Disadari bahwa tanah yang menjadi objek perencanaan sebagian besar telah dilekati bermacam-macam hak, oleh sebab itu dilakukan penatagunaan tanah yang didahului dengan melakukan survei baru kemudian alokasi tanah. Kemudian dilakukan pembangunan penggunaan tanah secara berencana. Pembangunan penggunaan tanah secara berencana maksudnya ialah berusaha mencarikan tempat yang tepat berdasarkan tata guna tanah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah digariskan bagi kepentingan masyarakat luas atau kegiatan usaha perseorangan.67 Penatagunaan tanah dapat dipersamakan dengan pola pengelolaan Tata Guna Tanah (TGT) yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah yang kesemuanya itu 67 Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 46-56. 85 bermuara pada satu kepentingan, yakni kepentingan masyarakat secara adil.68 Dari pendapat Hasni dan Yudhi Setiawan tersebut, menurut hemat penulis, bahwa Konsep Penatagunaan Tanah berarti suatu tatanan berupa penguasaan, perencanaan, penggunaan serta pemanfaatan tanah pada suatu kawasan tertentu, yang didahului dengan melakukan survei kemudian alokasi lahan dengan wujud konsolidasi tanah (Land Consolidation/L.C), yaitu tanah dimanfaatkan secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan penggunaanya, yang hasilnya diharapkan mampu mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur. Dampak luasnya ialah terciptanya terhadap Rencana Tata Ruang yang baik di wilayah tersebut. Fenomena yang terjadi sekarang ini ialah apa yang disebut tanah kapling. Pada mulanya orang menguasai tanah kapling berdasarkan Surat Penunjukan Kapling yang dikeluarkan oleh instansi yang mengelola kawasan setempat. Dengan surat penunjukan kapling saja, hak atas tanah belum ada. Surat penunjukan kapling adalah salah satu dasar untuk memohon hak atas tanah, setelah proses permohonan hak atas tanah selesai yaitu dengan didaftarkannya hak yang telah diberikan Pemerintah, seketika itu juga hak atas tanah akan lahir.69 Masyarakat pada umumnya mengartikan tanah kapling ialah sebidang dengan luas tertentu tanah yang telah dipetak-petakkan menjadi tanah siap bangun untuk pembangunan perumahan, yang dilengkapi dengan fasilitas jalan menuju akses tanah tersebut. Pengertian kapling dapat dilihat dalam Kamus Istilah Hukum 68 Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek, Bayumedia, Malang, hal. 105. 69 Effendi Perangin, 1987, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 7. 86 Agraria Indonesia yakni bahwa : “Kapling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan”.70 Konsep diatas selaras tujuan penggunaan tanah secara berencana seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 UUPA yakni : “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiaptiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”. Hal ini berarti agar tanah tersebut harus diwujudkan keseimbangan dan keserasiannya untuk berbagai macam keperluan, dengan cara : direncanakan, dimanfaatkan dan dipelihara kegunaannya sesuai dengan kemampuan dan fungsinya dan mencegah kerusakan tanah, sehingga diharapkan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat baik secara nasional maupun secara lokal bagi masyarakat sekitarnya. Pengertian tanah dipersiapkan artinya sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan peruntukannya, misalnya apabila peruntukannya sebidang tanah perumahan, maka diatas tanah tersebut dapat dibangun rumah sebagai tempat tinggal. Hal ini dapat berarti tanah dipersiapkan sesuai dengan tata guna tanah yang berarti tanah dipersiapkan dengan pola penggunaan tanah yang meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta meliputi pula pemeliharaannya. 70 Binoto Nadapdap, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala, Jakarta, hal. 87. 87 Pemilikan adalah hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dibidang pertanahan, seperti misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.71 Pemilikan hak atas tanah terjadi dikarenakan adanya hubungan hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek hak, misalnya hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai. Pengertian rencana tata ruang, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, di dalam Pasal 1 angka 2 menyebutkan : “Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan : “Penataan ruang adalah suatu sistem, proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Hal ini berarti penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus dilakukan sesuai dengan kaidah penaataan ruang sehingga diharapakan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil dan berdaya guna, dan tidak menyebabkan penurunan kualitas ruang. Hal ini berarti perlu adanya suatu kebijakan nasional tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai kebijakan pemanfaatan ruang. Sehingga seiring dengan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 71 Ibid, hal. 159. 88 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota disebut juga sebagai Urban Planning atau Urban Land use Plan yakni rencana yang ditetapkan dan disahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.72 Tata ruang (Land use) adalah wujud struktur ruang dan pola ruang yang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kemudian dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), lalu perlu dijabarkan lagi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK). Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luasnya tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berkepentingan terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial budaya dan teknologi menghendaki pula tersedianya tanah yang banyak, umpamanya untuk perkebunan, peternakan, pembangunan pabrik, perkantoran, tempat hiburan. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu, sehingga menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat. 72 Ibid, hal 219. 89 Tanah berfungsi strategis dalam memenuhi kebutuhan Negara dan rakyat yang semakin beragam dan meningkat.73 Tingkat pertumbuhan masyarakat yang tinggi memberikan dampak terhadap besarnya permintaan tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Saat ini kebutuhan akan lahan hunian semakin meningkat, hal ini mengakibatkan meningkat pula nilai serta harga tanah. Semakin tinggi harga atau nilai dari tanah tersebut mengkibatkan semakin meningkat pula transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Salah satu akibat dari semakin meningkatnya transaksi tanah tersebut adalah berkurangnya kemampuan pembeli untuk membeli bidang tanah dalam ukuran yang luas untuk tempat tinggalnya. Akibat berkurangnya daya beli masyarakat untuk memperoleh lahan yang luas maka pemilik tanah atau penjual akan sulit menemukan pembeli tanahnya, hal ini diakibatkan karena luas tanah yang akan ditransaksikan sangat luas maka harga jual dari tanah tersebut tentunya akan tinggi sekali, maka kemungkinan mendapatkan pembeli sangatlah sulit, dan apabila ada yang berminat membeli tanah tersebut tentunya penawaran yang dilakukan akan berada di bawah harga pasar atau harga sesungguhnya. Pemilik tanah menjual tanahnya disebabkan karena kebutuhan uang dan biasanya dalam kondisi tertentu hanya menjual sebagian bidang tanahnya untuk sekedar memenuhi kebutuhan uang tersebut. Pembeli bidang tanah itu pun biasanya tidak hanya satu orang, tetapi beberapa orang sehingga pemilik dapat menjual tanahnya sesuai dengan harga pasar atau seluas yang diinginkan oleh pembeli. 73 Boedi Harsono, 1988, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Trisakti, Jakarta, hal. 3. 90 Menurut hemat penulis, seiring dengan perkembangan zaman, penjualan bidang tanah oleh pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih maka dipergunakanlah teknik-teknik atau cara marketing yang modern, sehingga mereka yang membutuhkan lahan untuk kepentingan tempat tinggal ataupun kepentingan bisnis dengan mudah mendapatkannya sesuai dengan kebutuhannya. Berbagai macam cara dan teknis penjualan dilakukan oleh para pemilik tanah maupun para pemilik modal untuk menjual barang dagangannya. Salah satunya adalah dengan cara penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan yang akhir-akhir ini marak dipergunakan. Tanah kapling sering disebut juga dengan tanah matang atau tanah siap bangun. Dimana pemilk tanah atau pengembang telah menata sedemikian rupa tanah yang akan dijual sehingga nampak menarik dengan berbagai fasilitas yang dijanjikan. Keuntungan yang diperoleh oleh pemilik tanah ataupun pengembang dan pelaku pengkaplingan pada kenyataannya lebih banyak diandalkan pada kenaikan harga lahan. Lahan yang begitu murah dibeli oleh pemilik modal dapat langsung melonjak dan melambung tinggi setelah diadakan sedikit perombakan dan dilakukan pengkaplingan. Menurut hemat penulis, bisnis penjualan tanah kapling biasanya dilakukan oleh: 1. Pemilik tanah itu sendiri (pemegang hak); 2. Pemodal (investor) atau mereka yang berstatus sebagai makelar/perantara yang memiliki hak atas tanah; 3. Badan usaha atau pengembang yang berusaha dalam bidang pengadaan rumah. 91 Demikian juga dalam teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan awalnya dilakukan untuk memudahkan penjual menjual tanah yang cukup luas kepada pihak pembeli yang membutuhkan lahan, yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti jalan dan sarana-sarana umum lainnya untuk menarik minat pembeli. Oleh karena itu, unsur-unsur utama dari penjualan bidang tanah kapling menurut hemat penulis ialah sebagai berikut: 1. Adanya bidang tanah yang telah dipersiapkan untuk dipecah dan/atau dipisah dalam petak-petak dengan ukuran serta luas tertentu. 2. Adanya subyek hukum yaitu pemilik atau pemegang hak atas tanah yang berwenang untuk melakukan peralihan hak, dan adanya calon penerima hak yang oleh undang-undang dapat menerima pengalihan hak atas tanah. 3. Adanya jual beli sebagai suatu dasar peralihan hak. 4. Adanya keuntungan yang diharapkan oleh pemilik tanah atau mereka yang melakukan jual beli bidang tanah dengan cara pengkaplingan. Sehingga bertambah banyaknya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk dibangun rumah, sedangkan jumlah luas tanah yang tidak berubah atau tidak bertambah, mengakibatkan munculnya ide-ide pikiran untuk menjual bidang tanah yang telah dipetak-petakkan dengan luas tertentu dan dipersiapkan dengan berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diperjanjikan, yang umumnya di masyarakat disebut tanah kapling. Tanah kapling ialah tanah matang atau tanah siap bangun, pemilik tanah atau pengembang telah menata sedemikian rupa tanah yang hendak dijual sehingga lebih menarik dan diharapkan dapat menaikkan 92 harga jual. Sedangkan bagi pembeli, pembeli yang membutuhkan tanah atau lahan untuk kebutuhan tempat tinggal atau keperluan bisnis dengan mudah mendapatkan tanah sesuai dengan kebutuhannya ditambah lagi dengan tersedianya fasilitas umum maupun fasilitas sosial yang diperjanjikan oleh pemegang hak atas tanah maupun pihak pengembang. 2.3 Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Dalam pembahasan sub bab ini ilhami oleh Asas kebebasan berkontrak. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1). Membuat atau tidak membuat perjanjian (2). Mengadakan perjanjian dengan siapapun (3). Menentukan isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya (4). Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis Tidak hanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana Pasal 1338 KUH Perdata, di dalam merumuskan perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian jual beli hak milik atas tanah dibedakan menjadi 3 (tiga). Selanjutnya dalam sub bab ini akan dijelaskan jual beli hak milik atas tanah yakni: (1). Jual beli hak milik atas tanah menurut hukum adat (2). Jual beli hak milik atas tanah menurut UUPA (3). Jual beli hak milik atas tanah menurut KUH Perdata 93 Sebelum mengetahui pengertian jual beli menurut hukum adat, perlu diingat bahwa di dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional adalah hukum adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem Hukum adat. Hukum adat yang dimaksud tentunya hukum adat yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut hukum adat. Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang artinya perbuatan pemindahan tersebut dilakukan dihadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harga dilakukan secara serentak. Maka tunai berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi dasar hukum utang piutang.74 Menurut penulis, dipakainya hukum utang piutang, karena terkadang pembeli tanah dalam pelaksaan jual beli belum tentu memiliki uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Sehingga dalam hal yang demikian, pada saat jual beli berlangsung, uang pembayaran tanah belum sepenuhnya dibayar lunas, hanya sebagian saja yang dibayar, kemudian sisanya inilah yang memakai dasar hukum 74 hal.211. Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 94 utang piutang yang akan dibayar dikemudian hari misalnya dengan pembayaran bertahap dengan ketentuan yang telah disepakati sebelumnya antara pihak penjual dan pihak pembeli. Lebih lanjut Adrian Sutedi dalam bukunya Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya menyatakan belum lunasnya pembayaran harga tanah yang telah ditetapkan oleh penjual dan pembeli tidak menghalangi pemindahan hak atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli dianggap telah selesai. Sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli setelah selesainya jual beli.75 Pengertian sisa uang yang harus dibayarkan oleh pembeli kepada penjual berkenaan dengan transaksi jual beli tanah dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual (hubungan hutang piutang diantara pembeli dengan penjual). Dalam hubungannya dengan hak atas tanah yang ditransaksikan, hak atas tanah yang ditransaksikan tetap telah berpindah dari penjual kepada pembeli, meskipun pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan belum lunasnya harga tanah yang dibayar pembeli kepada penjual. Prosedur jual beli tanah diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai obyek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya, yang diikuti dengan ikrar atau pembuatan kontrak jual beli dihadapan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan Hukum) yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli kemudian disambut 75 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 72. 95 kesediaan penjual memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan demikian terjadilah jual beli tersebut, karena hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan.76 Dengan demikian dapat dipahami dari pemaparan prosedur jual beli tanah, sudah tercapainya ciri-ciri yang menandai jual beli tanah tersebut yakni: Pertama, jual beli tersebut diawali dengan tercapainya persesuaian kehendak atau sepakat dari pihak penjual dan pembeli. Kedua, ialah tunai, setelah pihak penjual dan pembeli sepakat mengenai harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi diikuti dengan pemberian panjer berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanahnya. Panjer ialah berfungsi sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli, dengan adanya panjer para pihak akan mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Ketiga, ialah terang, setelah itu dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanah, penjual dan pembeli menghadap Kepala Desa (Adat atau Persekutuan) untuk menyatakan maksud mereka. Peranan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan) sebagai penanggung bahwa perbuatan itu sudah terlaksana dengan tertib dan sah menurut hukumnya. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar telah menyerahkan tanah miliknya untuk selamalamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga yang telah disepakati. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan hukum jual beli tanah telah selesai, akibat hukumnya pembeli menjadi 76 Adrian Sutedi, Loc.cit. 96 pemegang hak atas tanah yang baru dan sebagai buktinya ialah surat jual beli tersebut. Umumnya dari jual beli tanah itu dibuatkan suatu akta berupa pernyataan dari pihak penjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli dan telah menerima harga yang ditentukan. Hal tersebut berarti bahwa sejak saat itu ia bukan pemilik lagi dari tanah yang bersangkutan karena sudah beralih menjadi milik pembeli. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata, disebutkan jual beli adalah : “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu benda dan pihak yang lain (pembeli) membayar dengan harga yang telah dijanjikan”. Definisi dari Pasal 1457 KUH Perdata maksudnya ialah dengan adanya jual beli menimbulkan kewajiban pada kedua belah pihak, yakni pihak penjual dan pihak pembeli. Pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harganya sesuai dengan yang telah disepakati. Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang diperjualbelikan itu serta harganya, biarpun benda tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum dibayar”. Hal ini berarti dengan terjadinya jual beli itu saja hak milik atas tanah yang bersangkutan belumlah beralih kepada pembeli, sungguhpun misalnya harganya sudah dibayar dan tanahnya sudah diserahkan kedalam kekuasaan yang membeli. 97 Selaras dengan pendapat Hartono Soerjopratiknjo yakni, sepakat berasal dari kata “consensus”. Konsensualitas ialah bahwa pada dasarnya perjanjian itu timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan karena itu tidak diperlukan suatu formalitas. Barang (zaak) dan harga merupakan unsur pokok (esssentialia) dari jual beli. Kemudian untuk menjelaskan hubungan antara jual beli dan penyerahan (levering) maka pembuat undangundang menegaskan: penyerahan (levering) terjadi menurut peraturan hukum benda; perjanjian jual beli saja tidak menyebabkan beralihnya hak milik.77 Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan apa yang disebut penyerahan yuridis (juridische levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta oleh dan dihadapan Notaris/PPAT, sebagai bukti bahwa telah diadakannya peralihan hak atas tanah dari pihak penjual atau pemegang hak kepala pihak pembeli, yang kemudian akta peralihan hak tersebut bersama warkah-warkah pendukung lainnya didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah setempat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1459 KUH Perdata. Jual beli dan penyerahan hak merupakan dua perbuatan hukum yang berlainan. Jual beli tanah karena melibatkan uang yang biasanya tidak sedikit, lazimnya dilakukan dengan akta Notaris/PPAT. Penyerahan yuridis wajib dilakukan dengan akta. Beralihnya hak milik atas tanah yang dibeli itu hanya 77 Hartono Soerjopratiknjo, 1982, Aneka Perjanjian Jual-Beli, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 3. 98 dapat dibuktikan dengan akta tersebut. Perbuatan hukum itu lazim disebut balik nama, dan aktanya disebut akta balik nama. Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu, baik pembeli maupun penjual kedua-duanya wajib hadir. Biasanya penjual setelah perjanjian jual beli dilakukan memberi kuasa kepada pembeli untuk hadir dan melaksanakan penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika harganya sudah dibayar lunas, dibuatkan akta kuasa menjualkan kemudian akta jual beli oleh Notaris/PPAT. Sehingga sebelum dilakukan penyerahan yuridis walaupun ada janji dari pihak penjual akan menyerahkan haknya kepada pembeli, maka disana belum terjadi peralihan hak, karena janji belum tentu akan dilaksanakan, selama itu bukan pembeli melainkan penjual yang masih merupakan pemilik dari tanah yang bersangkutan, biarpun tanah tersebut sudah dikuasai pembeli. Berikutnya, di dalam UUPA tidak diterangkan secara jelas apa yang dimaksud dengan jual beli, istilah jual beli disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal lainnya tidak menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang sengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.78 Apa yang dimaksud jual beli dalam UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria mengakui hukum adat 78 216. Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Jakarta, hal. 99 selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan lainnya. Hukum adat yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPA tersebut ialah hukum adat yang telah dihilangkan dari cacat-cacatnya atau hukum adat yang telah disempurnakan, yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional. Maka pengertian jual beli tanah yang dimaksud dalam Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Hukum Adat. Seperti yang telah dipaparkan pada sub bab di atas, bahwa pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan pemindahan hak yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang bersamaan, walaupun uang yang dibayarkan belum lunas. Sifat riil, bahwa kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan yang nyata yang menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual dan dibuatkan perjanjian dihadapan Kepala Desa (Adat atau Persekutuan), hal ini dikuatkan dengan Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 84/K/Sip/1971. Terakhir adalah sifat terang, yakni jual beli disaksikan oleh Kepala Desa (Adat atau Persekutuan), yang dianggap mengetahui hukumnya dan mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang. Akta jual beli yang ditandatangani atau dibubuhkan cap jempol oleh para pihak memberikan bukti otentik terhadap peralihan hak atas tanah yang menegaskan 100 bahwa jual beli telah terjadi pembayaran telah dilakukan dan diterima oleh pihak yang mengalihkan. Dalam perbuatan hukum jual beli hak atas tanah terdapat 2 (dua) syarat utama yang harus dipenuhi : 1. Syarat Materiil, ialah syarat yang sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut antara lain : a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maksudnya pembeli harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Berhak atau tidaknya calon pembeli memperoleh hak atas tanah tergantung pada status kewarganegaraan atau status badan hukum calon pembeli hal ini berkaitan dengan status hak tanah yang akan dialihkan misalnya hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut Pasal 21 UUPA yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan, maksudnya yang berhak menjual bidang tanah adalah si pemegang yang sah dari tanah tersebut yang disebut pemilik (orang yang namanya tercantum dalam sertipikat atau alat bukti lain selain sertipikat). Apabila pemegang hak atas tanah adalah 1 (satu) orang maka yang berhak mengalihkan adalah satu orang itu, namun apabila pemegang haknya 2 (dua) orang maka yang berhak mengalihkan adalah kedua orang itu secara bersama-sama. c. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan, terbebas dari sitaan pengadilan, tidak sedang menjadi jaminan utang, tidak dalam sengketa. Jika salah satu syarat materiil tidak terpenuhi, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah sehingga dikatakan batal demi hukum, yang artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.79 Oleh sebab itu maka ketentuan syarat materiil haruslah dipenuhi. Jika salah satu syarat materiil belum atau tidak terpenuhi, misalnya pembeli bukan subyek yang oleh Undang-undang diberikan hak untuk menerima hak atas tanah, penjual bukan merupakan subyek yang berhak menjual hak atas tanah tersebut, dan jika objek jual beli (tanah) masih menjadi sitaan atau merupakan objek sengketa, ataupun tanahnya masih menjadi jaminan suatu utang, maka jual beli yang dilakukan adalah tidak sah. Jual beli yang dilakukan oleh subyek hukum 79 Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 2. 101 yang tidak berhak serta objeknya berada dalam sitaan pengadilan, dijaminkan utang, serta masih dalam sengketa adalah batal demi hukum. 2. Syarat Formal, adalah apabila semua persyaratan materiil telah terpenuhi maka PPAT atas permintaan para pihak akan membuat akta jual beli sebagai bukti telah terjadinya peralihan hak. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997, akta jual beli harus dibuat dihadapan PPAT. Jual beli yang tidak dilakukan dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA).80 Kendatipun demikian untuk mewujudkan adanya kepastian hukum dalam peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA menentukan setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Dari hasil uraian membandingkan jual beli hak atas tanah menurut hukum adat, KUH Perdata maupun UUPA dapat dipahami adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah prosedur jual beli diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual beli yaitu dalam hal ini ialah tanah hak milik dan harganya. Setelah itu disambut kesediaan penjual memindahkan hak milik atas tanahnya kepada pembeli, dan pembeli membayar harganya. 80 Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, hal. 23. 102 Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat perbedaan jual beli hak atas tanah sebagaimana diatur dalam hukum adat, KUH Perdata maupun UUPA ialah : a) Hukum Adat, jual beli telah terjadi jika terpenuhinya syarat terang, tunai, dan riil, dengan demikian terjadilah jual beli tersebut karena hak milik telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan. b) KUH Perdata, dicermati Pasal 1458 yakni, jual beli dianggap telah terjadi dengan dicapainya kata sepakat mengenai objeknya serta harganya, walaupun objeknya belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Namun dengan jual beli saja hak milik atas tanah tersebut belum beralih dari penjual ke pembeli, tanpa adanya penyerahan yuridis (juridische levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta jual beli oleh Notaris/PPAT yang kemudian akta tersebut digunakan sebagai bukti sudah beralihnya hak milik atas tanah, yang selanjutnya didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah tersebut berada, kemudian dilakukan balik nama pada sertipikat hak atas tanah. c) Jual beli menurut UUPA, perlu diingat bahwa UUPA mengakui hukum adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Hukum adat di sini ialah hukum adat yang telah di-saneer atau dihilangkan cacat-cacat sifat kedaerahannya. Sehingga sebagaimana dalam hukum adat yakni jual beli merupakan perbuatan pemindahan hak dengan sifat tunai, riil dan terang. Penambahannya dalam UUPA ialah adanya 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli yakni syarat materiil dan 103 syarat formal. Syarat materiil menyangkut subjek dan objek dalam jual beli, sedangkan syarat formal mengenai pembuatan akta jual beli di hadapan dan/atau oleh Notaris/PPAT demi terwujudnya kepastian hukum sebagaimana diamanatkan PP No. 24 Tahun 1997. Akta jual beli inilah yang dipakai sebagai bukti bahwa telah terjadinya pemindahan hak, untuk selanjutnya didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah berada, untuk selanjutnya dilakukan balik nama, yang akhirnya akan terbit sertipikat hak atas tanah dengan nama pembeli (dilakukan pencoretan dari pemilik semula menjadi pemilik yang baru). Berdasarkan pemaparan Bab II tersebut di atas ciri kekhususan Hak milik yakni turun-temurun, terkuat dan terpenuh dimaksudkan bahwa Hak Milik itu dapat terus-menerus diturunkan kepada ahli waris setiap pemegangnya. Selanjutnya, istilah terkuat dan terpenuh dalam UUPA dimaksudkan untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang Hak Miliklah yang ter-(artinya paling), paling kuat dan paling penuh. Akan tetapi kedudukan tingkat “paling”, tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagaimana Hak Eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Hal ini bertentangan dengan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan usaha-usaha masyarakat untuk pemenuhan tanah sebagai sarana tempat tinggal, maka akan selalu selaras dengan transaksi-transaksi dalam bidang pertanahan, salah satunya ialah jual beli hak atas tanah. 104 Jual beli hak atas tanah dalam UUPA yang menggunakan sistem hukum adat. Peralihan hak dengan jual beli memiliki karakteristik tunai, riil dan terang. Setelah berlakunya PP No. 10 Tahun 1961, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum peralihan hak untuk selamalamanya dan mengenai pembayaran harganya. Fungsi akta ialah sebagai tanda bukti, untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa dikemudian hari. Setelah PP No. 10 Tahun 1961 diganti menjadi PP No. 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya dilakukan dengan akta PPAT, dengan disertai penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas Undang-undang meliputi pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan, serta menggunakan dokumen yang dibuat oleh dan/atau di hadapan PPAT. Hak milik atas tanah baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan penyerahan yuridis (juridische lavering), yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta tanah dihadapan dan/atau Kepala Kantor Pendaftaran Tanah. Kemudian terbitlah sertipikat hak atas tanah dengan nama pemilik yang baru (pembeli), sehingga memiliki penguasaan tanah sebagaimana diakui oleh hukum. Penguasaan tanah yang diakui oleh hukum adalah penguasaan tanah yang legal baik secara fisik maupun yuridis. Setiap penguasaan tanah yang legal memberikan hak kepada subyek hukumnya untuk menggunakan tanah tersebut dengan semaksimal mungkin sesuai dengan keperluannya dengan dibatasi oleh 105 peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu usaha pemegang hak atas tanah menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk keperluannya ialah dengan jual beli bidang tanah. Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan hunian yang representatif semakin meningkat, dampak positifnya ialah hal ini tentunya mempengaruhi meningkatnya nilai harga tanah. Sedangkan dampak negatifnya yakni tanah menjadi sedikit sehingga harga tanah terus naik, mengakibatkan kurangnya kemampuan pembeli untuk membeli bidang tanah dalam ukuran yang luas sebagaimana tertera dalam sertipikat hak atas tanah. Seiring dengan hal itu dengan adanya kemajuan pemikiran manusia dipergunakanlah cara marketing modern sehingga mereka yang membutuhkan lahan untuk keperluan tempat tinggal dan usaha dengan mudah dapat memperoleh tanah sesuai dengan kebutuhannya. Cara penjualan bidang tanah yang akhir-akhir ini menjadi tren di masyarakat adalah menjual tanah dengan cara melakukan pengkaplingan. Dilihat dari artinya kapling memiliki arti petak atau perpetakan dalam hubungannya dengan sebidang tanah yang dibatasi oleh pematang yang dikeringkan dan (ruilverkaveling). berarti pula tanah perpetakan yang dipertukarkan 106 BAB III PENGATURAN TANAH KAPLING DI INDONESIA Pembahasan dalam Bab III ini meliputi 4 (empat) sub bahasan. Adapun bahasan dalam bab ini dapat disimak pada pembahasan di bawah ini:  Pengaturan tanah kapling di Indonesia  Prosedur pengkaplingan bidang tanah  Jual beli bidang tanah dalam hubungannya dengan pengkaplingan  Pengkaplingan bidang tanah yang dilakukan oleh badan hukum 3.1 Pengaturan Tanah Kapling di Indonesia Dalam sub bab ini disesuaikan dengan latar belakang yang telah dipaparkan, pengkaplingan tanah belum diatur dalam suatu peraturan perundangundangan, sehingga terjadilah norma kosong. Norma kosong dalam artian belum adanya peraturan yang jelas mengatur hal itu. Dengan belum adanya pengaturan yang mengatur, maka digunakan legislasi yakni proses pembuatan Undangundang atau penyempurnaan perangkat hukum yang sudah ada oleh badan yang mempunyai kekuatan legislatif.81 Badan legislatif di Indonesia ialah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat 1 UUD RI 1945 yakni : “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Pasal 20 ayat 2 UUD RI 1945 menyebutkan bahwa : “Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk 81 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Djaya Pirusa, Jakarta, hal 73. 107 mendapatkan persetujuan bersama”. Jadi berdasarkan Pasal 2 ayat 1 dan 2 UUD RI 1945 Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) mempunyai kekuasaan membentuk Undang-undang, namun demikian di dalam proses pembentukan rancangan Undang-undang tersbut dibahas oleh DPR dengan Presiden (sebagai badan eksekutif) untuk mencapai persetujuan bersama. Belum adanya peraturan yang mengatur mengenai pengkaplingan bidang tanah sudah pasti tidak memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengkaplingan bidang tanah tersebut. Oleh karena itu dalam sub bab ini dipertajam dengan Teori Kepastian Hukum. Analisis dalam sub bab ini menggunakan Teori Kepastian Hukum, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab latar belakang, yakni dengan adanya kepastian hukum, maka hukum harus memberikan jaminan (pasti) tidak adanya kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Lebih lanjut, kepastian hukum secara normatif ialah seketika pada saat peraturan dibuat dan diundangkan, peraturan tersebut sudah pasti mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir), dan kekosongan norma, sedangkan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbentukan atau menimbulkan konflik norma. Hubungannya dengan pengkaplingan bidang tanah dalam tesis ini digunakan konsep penatagunaan tanah yakni pembangunan penggunaan tanah secara berencana, yang bermaksud agar tanah dalam kawasan tersebut dibangun secara tepat berdasarkan tata guna tanah sesuai yang telah direncanakan/digariskan, sehingga memudahkan masyarakat, baik itu dalam 108 perumahan/permukiman, kegiatan usaha maupun kawasan pertanian/perkebunan. Pembangunan penggunaan tanah secara berencana didahului dengan melakukan survei kemudian alokasi tanah, baru kemudian dilakukan pembangunan secara berencana. Pembangunan tanah harus sesuai dengan konsep penatagunaan tanah, pemilik hak atas tanah maupun pemodal tidak boleh asal kapling-mengapling. Pengkaplingan terjadi salah satunya disebabkan karena pesatnya pertumbuhan pembangunan sehingga menyebabkan meningkatnya usaha pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, khususnya perumahan atau permukiman. Salah satu akibatnya ialah terjadinya perubahan komposisi kepemilikan melalui peralihan hak atas tanah serta perubahan peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan bidang tanah. Banyak tanah pertanian berubah peruntukannya menjadi tanah dengan peruntukan perumahan atau permukiman. Di sinilah yang menjadi akibat buruk, yakni tanah dengan peruntukan pertanian selalu terdesak oleh pemenuhan kepentingan pembangunan fisik termasuk di dalamnya pembangunan perumahan untuk masyarakat yang selalu bergerak dinamis. Banyak tanah pertanian yang kemudian dikapling, padahal sebenarnya tanah dengan KDB 0% (nol persen) tidak boleh dikapling, dan tidak boleh dibangun perumahan di atasnya. Ini berarti pembeli yang sudah membeli sesuai dengan prosedur yang berlaku tidak dapat membangun rumah di atas tanah yang dibelinya karena tidak mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan dari instansi yang berwenang. Kondisi seperti ini di masyarakat yang menyebabkan 109 peralihan hak atas tanah dengan cara pengkaplingan menimbulkan konflik, yang lebih merugikan masyarakat pembeli tanah kapling. UUPA sendiri pun serta peraturan pelaksananya yakni PP No. 24 Tahun 1997 belum mengatur mengenai model atau sistem pengkaplingan tanah. Oleh karena itu dalam hal ini terjadi norma kosong atau tidak ada aturan khusus mengenai hal ini. Padahal salah satu tujuan dari diundangkannya UUPA yakni meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Sehingga dengan tidak diaturnya mengenai pengkaplingan berarti tidak ada kepastian hukum terhadap orang-orang yang membeli tanah dengan cara mengkapling. Oleh sebab itu menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum. Untuk menjamin kepastian hukum, setiap peristiwa hukum maupun perbuatan hukum yang mengakibatkan peralihan hak harus didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 19 UUPA yakni : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sehubungan dengan itu, maka diundangkanlah PP No. 10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan menjadi PP No. 24 Tahun 1997 yang mengatur mengenai Pendaftaran Tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah selain memberikan kepastian hukum kepada pemilik hak atas tanah untuk membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, juga memberi kemudahan bagi pihak lain yang berkepentingan seperti calon pembeli maupun calon kreditur untuk 110 memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum yang akan dilakukan, selain itu bagi Pemerintah sendiri ialah untuk melaksanakan kebijakan dalam hal tertib pertanahan. Apabila merujuk pada ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1) menyebutkan : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Penjelasan Umum yang tertuang dari Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yakni: “Pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya ketentuan landreform”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa : “Atas permintaan pemegang tanah yang bersangkutan, dari satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Penjelasan Umum Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan : Dalam pemisahan bidang tanah menurut ayat ini bidang tanah yang luas diambil sebagian yang menjadi satuan bidang baru. Dalam hal ini bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya. Istilah yang digunakan adalah pemisahan, untuk membedakannya dengan apa yang dilakukan menurut Pasal 48. Sehingga dari ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut di atas, penulis berkesimpulan, dalam hubungannya dengan 111 pendaftaran bidang tanah dikenal 2 (dua) karakter peralihan hak atas tanah yang dapat didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan, yakni : a) Pertama, peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan. Akibat yang ditimbulkan yakni pemecahan dilakukan terhadap pada 1 (satu) bidang tanah (hak atas tanah) akan menghasilkan hak baru secara keseluruhan dengan dihapuskannya status hak atas tanah yang lama. Namun status hak atas tanah yang baru adalah sama dengan status hak atas tanah yang lama yang telah dihapus. b) Kedua, Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan. Akibat yang ditimbulkan yakni pemisahan yang dilakukan terhadap 1 (satu) bidang tanah (hak atas tanah), akan menghasilkan lahirnya hak atas tanah yang baru disamping hak atas tanah sebelumnya yang telah ada. Status hak atas tanah yang baru adalah sama dengan status hak atas tanah sebelum pemisahan dilakukan. Penjelasan pemisahan berarti bidang tanah yang luas diambil atau dipisah sebagian atau beberapa bagian yang menjadi satuan bidang baru. Dalam hal ini bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya sebagaimana tertera dalam surat ukur yang baru. Sehingga istilah yang digunakan ialah pemisahan untuk membedakan dengan apa yang dilakukan pada pemecahan. 112 Kedua karakter tersebut memiliki sifat yang berbeda dari hasil perbuatan hukum itu sendiri, dan tidak disebutkan mengenai pengkaplingan. Tampaknya pada saat dibuatnya UUPA serta PP No. 24 Tahun 1997, belum mengenal teknik penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan, serta kemudian didaftarkan. Namun seiring dengan perkembangan jaman, dan perkembangan pemikiran manusia kearah yang modern dan praktis, serta karena tuntutan akan hunian yang meningkat serta adanya motif-motif ekonomi untuk memperoleh keuntungan lebih, berkembanglah teknik atau cara-cara marketing modern dalam hal jual beli bidang tanah, yakni dengan cara pengkaplingan bidang tanah. Melalui tabel di bawah ini, penulis akan mengklasifikasi perbandingan antara pemecahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997, pemisahan sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24 Tahun 1997, dan pengkaplingan tanah. PERBEDAAN PEMECAHAN PEMISAHAN PENGKAPLINGAN PENGERTIAN Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, 1 bidang tanah yang sudah didaftarkan dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masingmasing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan dari 1 bidang tanah yang sudah didaftarkan dapat dipisahkan sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula (PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 49 Belum ada suatu perundang-undangan nasional yang jelas dan pasti yang terfokus mengatur mengenai pengkaplingan tanah. Pendapat penulis ialah pengkaplingan adalah mempetakpetakkan tanah menjadi bidang tanah baru yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, 113 tanah semula (PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 48 ayat (1)) MENGENAI IZIN Pemegang hak dan/atau subyek hukum yang hendak melakukan pemecahan harus menyertakan surat pernyataan untuk kepentingan apa pemecahan dilakukan AKIBATNYA TERHADAP SERTIPIKAT BIDANG TANAH INDUK Sertipikat bidang tanah induk yang sudah dipecah dan masingmasing tanah dibuatkan sertipikat yang baru sesuai dengan luas tanah (SU, buku tanah). Hal ini untuk menggantikan sertipikat induknya / asalnya. ayat (1)) pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal / lingkungan hunian yang dimaksudkan untuk membangun bangunan perumahan (Tafsiran menurut UU No. 1 Tahun 2011, dan Kamus Hk. Agraria) Pemegang hak Pemegang hak dan/atau subyek dan/atau subyek hukum yang hukum yang hendak hendak melakukan melakukan pengkaplingan, pemisahan harus terlebih dahulu harus menyertakan surat mempunyai izin pernyataan untuk pengkaplingan atau kepentingan apa izin peruntukan pemisahan penggunaan tanah dilakukan pada dinas terkait. Tanpa adanya izin kapling, maka tidak dapat dilakukannya pengkaplingan bidang tanah. Bidang tanah - Paling sedikit yang luas diambil menghasilkan / dipisah sebagian 10 kapling atau beberapa - Di luas tanah bagian yang minimal 2500 menjadi satuan M2 bidang baru. Dalam hal ini sertipikat bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya. Sehingga istilah yang digunakan 114 ialah pemisahan, untuk membedakan dengan apa yang dilakukan pada pemecahan . PERSAMAAN PEMECAHAN PEMISAHAN PENGKAPLINGAN Pemecahan, pemisahan, maupun pengkaplingan sama-sama menghasilkan atau melahirkan sertipikat bidang tanah baru. Oleh karena dengan belum diaturnya pengkaplingan secara pasti dalam peraturan perundang-undangan. Serta apabila tida ada pengaturan jelas, dikhawatirkan menimbulkan penafsiran yang berbeda, apakah pengkaplingan itu termasuk pemecahan bidang tanah, atau pengkaplingan itu termasuk pemisahan bidang tanah, ataukah pengkaplingan bisa diartikan sebagai keduanya, baik itu pemecahan maupun pemisahan bidang tanah. Tentunya dalam hal ini tidak ada kepastian hukum. Sehingga diharapkan adanya suatu peraturan perundangundangan yang jelas yang mengatur mengatur mengenai pengkaplingan, apa yang disebut dengan pengkaplingan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bila melakukan pengkaplingan, sampai dengan sanksinya, misalnya apabila pengkaplingan dilakukan pada bidang tanah dengan peruntukan pertanian (KDB 0%). Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa pada dasarnya pengkaplingan bidang tanah adalah salah satu usaha atau cara pedagang yang dalam hal ini adalah pemegang hak atas tanah atau investor untuk meningkatkan harga jual tanah miliknya dan untuk mempermudah mendapatkan pembeli. Dengan melakukan pengkaplingan maka diharapkan harga tanah menjadi lebih 115 mahal dan pembeli dengan modal terjangkau dapat membeli bidang tanah tersebut. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan penjualan bidang tanah dengan cara pengkaplingan mengakibatkan banyak pemilik tanah dan pemilik modal melakukan jual beli bidang tanah dengan cara mengkapling. Dengan demikian menurut penulis, hal-hal yang perlu diidentifikasi sebagai subyek hukum pelaku pengkaplingan adalah sebagai berikut: 1. Pemilik tanah sebagai pemegang haknya sendiri. Pengkaplingan yang langsung dilakukan oleh pemilik tanah biasanya disebabkan karena: a. Sulitnya mencari pembeli atau investor yang berkehendak untuk membeli tanah miliknya secara utuh atau keseluruhan, hal ini disebabkan karena luas bidang tanah yang akan dijual menyebabkan harga tanah menjadi mahal apabila dijual sekaligus. b. Pemilik tanah hanya menjual tanah sebagian dari bidang tanah miliknya, dan masih mengharapkan bidang tanah sisa untuk kepentingan pribadinya. 2. Investor yang dalam hal ini dapat berupa badan hukum dalam bentuk perseroan ataupun orang-perorangan pemilik modal (bukan pemegang hak atas tanah) yang seringkali disebut makelar. Alasan utama investor atau pemilik modal melakukan pengkaplingan bidang tanah adalah sebagai berikut: a. Lebih mudah mendapatkan pembeli atas bidang-bidang tanah yang hendak dijual. 116 b. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dan cepat. Keuntungan yang diharapkan biasanya lebih banyak dan lebih cepat diterima apabila dibandingkan dengan penjualan rumah atau bangunan siap huni. c. Para pembeli dapat membangun atau memanfaatkan bidang tanahnya sesuai dengan kehendak mereka. Dalam kondisi tertentu, pengembang dapat menawarkan pembangunan rumah kepada para pembeli kaplingan tersebut. Sehinga dalam hal ini pengembang secara tidak langsung mendapat 2 (dua) keuntungan secara bersamaan yaitu dari penjualan tanah dan dari pembangunan rumah. 3. Pembeli bidang tanah kapling. Tanah kapling yang kini digemari di masyarakat, lebih cepat menarik minat masyarakat untuk membeli dikarenakan: a. Pembeli dengan mudah dapat memperoleh bidang tanah dengan harga yang tidak terlalu mahal. b. Pembeli dapat dengan langsung menempati rumahnya. Hal ini apabila pembeli membeli bidang tanah kapling yang telah dibangun rumah di atasnya. c. Adanya fasilitas-fasilitas menarik pada kawasan tanah kapling tersebut, sebagaimana yang dijanjikan oleh pengembang. Setiap peralihan hak baik itu terjadi karena beralih maupun dialihkan atau pemindahan hak akan selalu diikuti dengan proses pendaftaran hak atas tanah yang dilakukan di Kantor Tanah Kota/Kabupaten ditempat tanah tersebut berada. 117 Pendaftaran Tanah dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu : “Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun”. Dalam hubungannya pendaftaran hak atas bidang tanah yang terjadi diakibatkan adanya peralihan, sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, Kantor Pertanahan hanya mengenal 2 (dua) jenis peralihan hak yang dapat didaftarkan sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 yakni dalam pasal 48 mengenai pemecahan bidang tanah dan Pasal 49 mengenai pemisahan bidang tanah. Pasal 48 ayat (1) menyebutkan: “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Selanjutnya hasil dari pemecahan tersebut sertipikat lama digantikan kemudian melahirkan beberapa sertipikat baru sesuai dengan berapa pemecahan yang dimohonkan, dengan luas baru setelah dilakukannya pengukuran. Hal tersebut dilihat dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan : “Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tiap bidang dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya”. Di dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang 118 tanah yang sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Selanjutnya ketentuan Pasal 49 ayat (2) menyebutkan yakni : Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk satuan bidang baru yang dipisahkan dibuatkan surat ukur, tanah dan sertipikat sebagai satuan bidang tanah baru dan pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertipikat bidang tanah semula dibubuhkan catatan mengenai telah diadakannya pemisahan tersebut. Dari pemaparan ketentuan tersebut, pengkaplingan bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hukum dalam hubungannya dengan pendaftaran peralihan hak dapat dilakukan dalam 2 (dua) prosedur umum: 1. Apabila tanah yang akan dialihkan atau dilakukan penjualan dengan cara pengkaplingan habis dengan tidak memberikan sisa kepada pemegang hak yang lama maka penjual atau pemegang hak atas tanah dapat melakukan pemecahan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan pemecahan diatur dalam Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997. 2. Apabila tanah yang akan dialihkan atau dilakukan penjualan dengan cara pengkaplingan masih terdapat sisa yang tetap menjadi bagian hak dari pemilik semula maka penjual atau pemegang hak atas tanah dapat melakukan pemisahan hak atas tanah. Peralihan hak yang mengakibatkan terjadinya pemisahan diatur dalam diatur dalam Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997. 119 Individu atau investor yang melakukan penjualan tanah dengan cara pengkaplingan dapat melakukan langkah-langkah: a. Melakukan pemecahan hak atas nama sendiri, sebelum dilakukan peralihan hak kepada pihak pembeli; b. Langsung melakukan jual beli kepada seluruh pihak pembeli secara bersama-sama dihadapan PPAT ditempat dimana obyek hak atas tanah itu berada. Dan apabila tanah atau obyek jual beli habis dijual kepada para pembeli maka PPAT dapat membuat akta peralihan hak yang sekaligus melakukan pemecahan hak atas tanah. Namun apabila tanah yang menjadi obyek peralihan masih terdapat sisa yang tetap menjadi hak pemilik tanah semula maka PPAT akan membuat akta peralihan hak atas tanah sebagian dengan sisa hak atas tanah nantinya dikembalikan kepada pemilik asal. Dengan demikian jual beli bidang tanah baik dengan pemecahan yaitu pemecahan atas nama diri sendiri, pemecahan langsung melalui jual beli maupun pemisahan hak pada akhirnya akan menghasilkan bidang-bidang baru dengan ukuran luas lebih kecil dari luas semula. 3.2 Prosedur Pengkaplingan Bidang Tanah Dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan mengenai 2 (dua) prosedur umum pengkaplingan bidang tanah yang terjadi di masyarakat yakni: Pertama, pengkaplingan bidang tanah melalu prosedur pemecahan hak atas nama diri sendiri, dan kedua, pengkaplingan bidang tanah secara langsung melalui jual beli hak atas tanah. 120 A. Pengkaplingan Bidang Tanah Melalui Prosedur Pemecahan Hak Atas Nama Diri Sendiri Sertipikat hak atas tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah oleh Undang-Undang dapat dipecah menjadi beberapa bagian sesuai luas yang dikehendaki oleh pemegang hak dengan status hak yang sama dengan status hak semula. Pemecahan atas nama diri sendiri ini sesuai dengan apa yang digariskan dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997. Dengan melakukan pemecahan untuk dan atas nama diri sendiri, karena belum terjadi peralihan hak maka tidak diperlukan akta PPAT. Pendaftaran pemecahan oleh pemohon atau pemilik tanah dapat dilakukan dengan melakukan pendaftaran pada Kantor Badan Pertanahan ditempat dimana tanah tersebut berada. Setiap permohonan yang bertujuan untuk melakukan pemecahan hak atas tanah menjadi beberapa bidang sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, haruslah memenuhi beberapa persyaratan seperti misalnya tanah yang akan dilakukan pemecahan haruslah merupakan tanah dengan peruntukan perumahan (bukan merupakan tanah pertanian dan atau tanah dengan peruntukan sebagai jalur hijau kota RTHK KDB 0%). Oleh karenanya diisyaratkan pula adanya jalan akses menuju ke lokasi tanah yang bersangkutan. Apabila segala persyaratan untuk melakukan pemecahan menjadi atas nama diri sendiri telah dipenuhi dan pendaftaran permohonan pemecahan telah dilakukan pada Kantor Badan Pertanahan sehingga penyelesaian dan pemberesan serta pengukuran bidang tanah dapat dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan, maka selanjutnya Kantor Badan 121 Pertanahan akan menerbitkan sertipikat hak atas tanah dengan ukuran sebagaimana dimohonkan oleh pemohon dan dengan status hak yang sama dengan sertipikat bidang tanah semula. Sertipikat-sertipikat sebagai hasil dari permohonan pemecahan untuk diri sendiri yang telah diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan tersebut kemudian oleh pemilik dapat dialihkan satu persatu kepada para calon pembeli. Peralihan hak yang terjadi adalah peralihan hak murni atau peralihan hak habis untuk 1 (satu) bidang tanah sebagaimana luas yang tertera dalam sertipikat. Langkah atau metode dengan melakukan pemecahan untuk diri sendiri akan memberikan keuntungan bagi pemilik tanah atau investor pengkaplingan maupun para pembeli kapling karena : a. Penjual akan lebih mudah melakukan pemasaran terhadap kaplingan yang mereka buat karena masing-masing bidang tanah telah bersertipikat sesuai dengan luasnya sehingga penjual lebih mudah meyakinkan pihak pembeli kaplingan. b. Penyelesaian balik nama sertipikat dalam melakukan peralihan hak murni akan lebih cepat. c. Pemilik tanah jelas tertera dalam sertipikat tanda bukti hak karena seringkali antara penjual tanah kapling dengan pemilik tanah yang sebenarnya berbeda (apabila penjualan menggunakan jasa perantara). d. Pembeli bidang tanah kapling dengan segera mendapatkan sertipikat tanda bukti haknya. 122 e. Ukuran dan luas tanah yang dibeli sudah pasti, dan dalam sertipikat tanda bukti hak atas tanah yang akan dibeli status peruntukan tanah dan fasilitas jalan yang disediakan telah tercantum. f. Pembeli dapat langsung melakukan pengikatan dengan lembaga pembiayaan atau kreditur (bank) apabila pembeli hak atas tanah tersebut dilakukan dengan mencicil. Sebagaimana tercantum dalam map (blangko) Permohonan Pendaftaran Pemecahan Bidang Tanah pada Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran pemecahan bidang tanah atas nama diri sendiri harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratanpersyaratan sebagai berikut : (1) Surat permohonan pemecahan dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan. (2) Asli sertipikat hak atas tanah yang akan dipecah. (3) Surat kuasa tertulis apabila pemohon diajukan bukan oleh pemegang hak. (4) Fotocopy bukti identitas pemohon atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). (5) Bukti pembayaran pajak terakhir. (6) Persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan, bagi permohonan pemecahan. (7) Izin kapling dari instansi Pemerintah yang berwenang. Dalam hal pemecahan bidang tanah diharuskan untuk dilakukan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan dan sebagaimana tercantum dalam 123 map (blangko) permohonan pengukuran dan penetapan bidang tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran permohonan pengukuran di Kantor Badan Pertanahan harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratan sebagai berikut: (1) Surat permohonan. (2) Tanda Bukti Hak Atas Tanah (Pipil/Surat Keterangan Ipeda SPPT, Padol/Surat Jual Beli Tanah Sebelum tahun 1962). (3) Tanda Bukti pelunasan PBB Tahun terakhir. (4) Fotocopy KTP/bukti kewarganegaraan. (5) Surat persetujuan penyanding. (6) Sketsa tanah. (7) Surat kuasa yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang bermaterai Rp. 6.000,- bila diurus oleh pihak lain disertakan fotocopy KTP penerima kuasa. Setelah segala persyaratan untuk melakukan pemecahan terpenuhi dan berkas diterima untuk didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan, maka selanjutnya oleh Kantor Badan Pertanahan akan diproses dan setelah selesai dan tidak terdapat masalah, maka akan diterbitkan sertipikat hak atas tanah masing-masing bidang tanah tersebut. Apabila masing-masing bidang tanah terbit sertipikat haknya, maka penjual atau pengkapling dapat menjual bidang tanahnya kepada pembeli kaplingan, karena setiap bidang tanah sudah bersertipikat, maka peralihan haknya dilakukan dengan peralihan hak murni. 124 Sebagaimana tercantum dalam map (blangko) Permohonan Pendaftaran Hak yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, untuk pendaftaran peralihan hak murni di Kantor Badan Pertanahan harus dipenuhi terlebih dahulu persyaratanpersyaratan sebagai berikut : (1) Asli sertipikat hak atas tanah. (2) Fotocopy bukti identitas pihak yang mengalihkan hak. Apabila yang melakukan pengalihan hak adalah badan hukum maka diperlukan anggaran dasar badan hukum tersebut. (3) Fotocopy bukti identitas penerima hak. Apabila penerima hak adalah badan hukum, maka diperlukan anggaran dasar dari perseroan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. (4) Akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang telah memenuhi syarat tata cara pembuatan dan pengisiannya. (5) Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya. (6) Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan peralihan hak bukan penerima hak. (7) Izin Pemindahan Hak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) PMNA / KBPN Nomor 3 Tahun 1997. (8) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 125 (selanjutnya disebut UU No. 28 Tahun 2009). Pasal 1 angka 41 menyebutkan : “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.” Dalam hal ini yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah peristiwa dan/atau perbuatan hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi maupun badan hukum.82 (9) Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133. Pajak Penghasilan (PPh)83 adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan hukum atas penghasilan yang diterimanya atau diperolehnya dalam suatu Tahun Pajak. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008, objek yang dikenakan PPh final menurut Pasal 4 ayat (2) salah satunya ialah penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan. (10) Apabila pihak yang mengalihkan adalah ahli waris dari pemegang hak yang tertulis dalam sertipikat maka ditambah syarat : 82 Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah & Retribusi daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Press, Jakarta, hal. 579. 83 Arisanti Widyaningsih, 2011, Hukum Pajak dan Perpajakan, Alfabeta, Bandung, hal. 28. 126 a. Surat Kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam bukti hak dari Kepala Desa dan/atau Lurah, tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang. b. Surat tanda bukti ahli waris yang dapat berupa : ï€ Wasiat dari pewaris ï€ Putusan pengadilan ï€ Penetapan hakim/Ketua pengadilan. c. Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris yang dibuat ahli waris dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat tempat tinggal pada saat meninggal dunia. d. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Akta keterangan hak mewarisi dari Notaris. e. Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan (BHP). f. Akta pembagian warisan yang berupa akta Notaris atau akta dibawah tangan dengan 2 (dua) orang saksi. B. Pengkaplingan Bidang Tanah Secara Langsung Melalui Jual Beli Hak Atas Tanah Telah diuraikan diatas bahwa pemecahan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan oleh pengkapling sebelum diadakannya peralihan hak adalah merupakan salah satu alternatif yang biasa dipergunakan oleh pengkapling dalam 127 rangka peralihan hak atas tanah yang dikaplingnya. Walaupun melakukan pengkaplingan bidang tanah dengan cara tersebut memberikan keuntungan bagi penjual maupun pembeli namun dalam beberapa kasus pelaku pengkaplingan dapat menggunakan alternatif lain dalam melaksanakan pengkaplingan, antara lain adalah dengan melakukan penjualan bidang tanah yang akan dikapling secara langsung yaitu melakukan peralihan hak kepada pihak pembeli dan dengan tanpa terlebih dahulu melakukan pemecahan atas bidang tanah tersebut. Penjualan bidang tanah dengan cara pengkapling tanah yang dilakukan secara langsung dengan tanpa terlebih dahulu melakukan pemecahan atas bidang tanah. Hal tersebut dilakukan dikarenakan : (1) Pemegang hak atas tanah atau penjual tidak memiliki biaya atau modal untuk melakukan pemecahan sertipikat hak atas tanah terlebih dahulu. (2) Pemecahan hak atas tanah untuk dan atas nama diri sendiri memerlukan waktu yang cukup lama. (3) Pemegang hak atas tanah dan pelaku pengkaplingan (perantara, investor, makelar) adalah berbeda subyek hukumnya, sehingga pengkaplingan tidak dapat melakukan pemecahan untuk dan atas nama diri sendiri dan biasanya pengkapling ingin segera mendapatkan keuntungan atas penjualan tanah kapling tersebut. Peralihan hak yakni jual beli tidak hanya dapat dilakukan dengan cara jual beli murni. Dalam hal yang diperjualbelikan ialah tanah kapling, maka dalam melakukan peralihan hak langsung kepada para pembeli kapling, prosedur yang dipergunakan antara lain : 128 (1) Dengan melakukan peralihan hak sebagian. Peralihan hak sebagian demi sebagian kepada para pembeli dilakukan apabila : a) Masih terdapat tanah sisa yang tetap menjadi hak dari pemilik tanah semula. b) Apabila tanah yang dikapling belum habis terjual seluruhnya, sehingga tanah yang belum terjual tersebut akan kembali menjadi milik pemegang hak yang lama. (2) Melakukan peralihan hak dengan disertai pemecahan. Prosedur ini dilakukan apabila : a) Tanah yang dikapling telah habis terjual dan tidak ada lagi sisa atas tanah tersebut. b) Untuk langkah pemecahan langsung kepada para pembeli kapling, para pembeli kapling dan penjual harus datang menghadap PPAT secara bersama-sama dalam pada saat yang sama untuk menandatangani akta peralihan hak yakni akta jual beli. Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan maupun dalam pemisahan bidang tanah pada saat dibuatnya akta peralihan hak secara prosedural belum dilakukan pengukuran oleh Kantor Badan Pertanahan oleh karenanya luas tanah obyek jual beli pada saat itu seringkali berbeda dengan apa yang terbit dalam sertipikat hak. Pengukuran resmi dari Kantor Badan Pertanahan baru dilakukan setelah akta yang dibuat dihadapan PPAT didaftarkan. Kondisi ini yang menyebabkan peralihan hak langsung yang mengakibatkan terjadinya pemecahan maupun pemisahan seringkali menimbulkan konflik. 129 Apabila tanah telah dijual habis oleh penjual, dan para pembeli kapling telah membayar lunas harga tanah sesuai dengan luas perkiraan awal yang telah disepakati. Bila ternyata setelah dilakukan pengukuran resmi oleh Kantor Badan Pertanahan terdapat kekurangan luas, maka para pembeli kapling akan sulit untuk mendapatkan sisa pengembalian uang yang telah dibayar kepada penjual pada saat penandatanganan akta jual beli. PP No. 24 Tahun 1997 berusaha untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan menerbitkan sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. Kepastian hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah kepastian hukum yang menyangkut bidang keagrariaan khususnya mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah, yang meliputi : 1) Kepastian hukum mengenai orang dan/badan hukum yang menjadi pemegang hak yang disebut juga kepastian mengenai subyek hak. 2) Kepastian mengenai letak, batas-batasnya serta luas bidang-bidang tanah yang disebut juga kepastian mengenai obyek hak. Oleh karenanya sebelum para pihak baik penjual maupun pembeli melaksanakan proses pembayaran dan membuat akta peralihan hak dihadapan Notaris/PPAT, kepastian mengenai luas bidang tanah yang akan dialihkan adalah merupakan hal yang terpenting dan harus benar-benar pasti. Sehingga tidak akan terjadi sengketa dikemudian hari, karena tidak dapat dipungkiri adanya kepentingan-kepentingan masing-masing pihak dalam peralihan hak kadangkala saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Oleh sebab itu dengan adanya 130 hukum, maka hukum mengatur sedemikian rupa agar pertentangan atau konflikkonflik tersebut dapat ditekan sekecil-kecilnya. Pemaparan di atas yakni mengenai harus adanya hukum yang jelas dimaksudkan untuk membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan para pihak yang terlibat. Kemudian dalam hubungannya dengan peralihan hak atas tanah kapling, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : 1) Peralihan hak milik atas tanah yang terjadi karena jual beli telah diatur dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA yang menegaskan bahwa jual beli, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dan ayat (2) yang memberikan batasan bahwa mereka yang memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat (1), dan ayat (2) UUPA sajalah yang dapat menjadi pemegang hak milik. 2) Ketentuan dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang menegaskan tentang izin yang diperlukan terhadap peralihan hak atas tanah tertentu sebagaimana tercantum dalam sertipikat hak atas tanah yang akan dialihkan. 3) Ketentuan Pasal 4, Pasal 9 ayat (1), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 56/Prp/Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 174, bertujuan untuk 131 mengoptimalkan pemanfaatan tanah dan sebagai pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 10 UUPA. 4) Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997, menegaskan bahwa hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang baru dapat diakui apabila telah didaftarkan (Pasal 23 dan Pasal 24), yang sekaligus memberikan bukti ekstensi hak kepada pihak ketiga. Dari uraian tersebut diatas, maka untuk setiap perbuatan hukum berupa peralihan hak atas tanah yang penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah mengenai status subyek hukum baik yang mengalihkan maupun yang akan menerima pengalihan karena tidak setiap subyek hukum dapat mengalihkan hak atas tanahnya dan tidak setiap subyek hukum dapat menerima pengalihan hak tersebut. Setelah subyek hukum antara yang mengalihkan maupun yang menerima pengalihan oleh undang-undang diperbolehkan maka selanjutnya adalah mengenai obyek hak yang akan dialihkan, apakah untuk pengalihan haknya diperlukan izin tertentu dari pejabat yang berwenang. Demikian pula halnya apakah peruntukan bidang tanah yang akan dialihkan memungkinkan untuk dapat dialihkan, sehubungan dengan luas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertanian, hal mana bertujuan agar pemanfaatan bidang tanah yang akan dialihkan dapat dilakukan oleh pemilik lahan dengan semaksimal mungkin. Terakhir, setelah seluruh persyaratan tersebut diatas terpenuhi, maka peralihan hak tersebut dapat didaftarkan kepada Kantor Badan Pertanahan setempat di wilayah tanah tersebut berada. Ketentuan-ketentuan mengenai 132 pendaftaran bidang tanah diatur dalam Pasal 37 hingga Pasal 46 PP No. 24 Tahun 1997. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa agar suatu peralihan hak atas atas terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat akta peralihan hak harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah tersebut serta mengenai kecakapan serta mengenai kewenangan bertindak dari mereka yang mengalihkan serta mereka yang akan menerima pengalihak hak atas tanah tersebut. Setelah akta peralihan hak diresmikan maka PPAT harus melengkapi dokumen-dokumen pendukung peralihan tersebut untuk dapat didaftarkan. 3.3 Jual Beli Hak Atas Bidang Tanah Dalam Hubungannya Dengan Pengkaplingan Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab II di atas bahwa jual beli tanah tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA, akan tetapi mengingat ketentuan Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah nasional adalah hukum adat yang telah disaneer dihilangkan cacat-cacatnya dan disempurnakan atau telah terbebas dari sifat kedaerahannya dan diberi sifat kenasionalan, maka pengertian, konsep, asas-asas dan lembaga hukum dan sistem hukum adat dapat dipergunakan sebagai dasar berpijak dalam jual beli tanah tersebut. Dalam halnya peralihan hak dengan jual beli dapat dilakukan dengan 3 (tiga) jenis. Secara umum terdapat 3 (tiga) jenis jual beli yang dapat dilakukan oleh para pihak, antara lain: (1) Jual beli atas tanah murni/keseluruhan Jual beli atas tanah secara keseluruhan sebagaimana luas tanah yang tertera pada tanda bukti hak oleh penjual kepada pembeli, dalam praktek disebut dengan 133 jual beli hak atas tanah murni. Dalam jual beli hak atas tanah murni seluruh hak yang melekat pada satu bidang tanah (secara keseluruhan) dialihkan oleh penjual kepada pembeli, yang dalam hal mana pihak penjual maupun pembeli telah benarbenar mengetahui luas tanah yang dialihkan dan hal tersebut telah pula tercantum dalam tanda bukti hak (sertipikat hak atas tanah), sehingga untuk peralihan hak murni seperti ini biasanya tidak lagi dilakukan pengukuran. Persyaratan suatu jual beli hak atas tanah dapat disebut dengan jual beli hak atas tanah murni ialah: a. Terdapat 1 (satu) subyek hukum dalam kedudukannya sebagai penjual dan 1 (satu) atau lebih subyek hukum dalam kedudukannya sebagai pembeli, dengan ketentuan 1 (satu) subyek hukum atau lebih yang berkedudukan sebagai pembeli nantinya akan tercantum dalam 1 (satu) sertipikat hak atas tanah. b. Terdapat 1 (satu) sertipikat hak atas tanah yang secara penuh atau utuh akan dijual sehingga tidak terdapat sisa dari jual beli hak atas bidang tanah tersebut. c. Dalam penyelesaian sertipikat hak atas tanah, Kantor Badan Pertanahan tidak lagi melakukan pengukuran atau pemetaan bidang tanah. Kantor Badan Pertanahan hanya melakukan pencatatan peralihan tersebut pada buku tanah yang tersimpan di Kantor Badan Pertanahan. (2) Jual Beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah Dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah 134 didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masingmasing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Pemecahan yang dilakukan terhadap suatu hak atas tanah akan mengakibatkan dihapusnya status hak atas tanah yang lama, menghasilkan status tanah dengan hak baru secara keseluruhan, namun status hak atas tanah yang baru nantinya adalah sama dengan status hak atas tanah yang telah dihapus. (3) Jual Beli hak atas tanah yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah Di dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa : “Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipisah sebagian atau beberapa bagian yang selanjutnya merupakan suatu bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula”. Berbeda dengan pemecahan, dipisah di sini maksudnya ialah dilahirkan hak atas tanah baru di samping hak atas tanah sebelumnya yang telah ada. Jadi hak atas tanah yang lama masih ada, tetapi dengan luas yang baru, kemudian selain hak atas tanah yang sebelumnya telah ada, lahir hak atas tanah yang baru dengan luas setelah dilakukan pemisahan. Status hak atas tanah yang baru ini adalah sama dengan status hak atas tanah yang lama atau yang sebelumnya dilakukan pemisahan. Dalam hubungannya PPAT sebagi pejabat yang berwenang membuat akta peralihan hak atas tanah, dalam setiap peralihan hak harus telah ada Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) pada sertipikat hak atas tanah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 135 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 54 ayat (5) menyebutkan bahwa: “Dalam pembuatan akta PPAT wajib mencantumkan Nomor Identifikasi Bidang Tanah dan atau nomor hak atas tanah, nomor surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT PBB), penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan di lapangan”. Merujuk pada penjelasan Pasal tersebut, maka ketentuan pasal tersebut di atas memberikan larangan bagi PPAT untuk membuat akta apabila Nomor Identifikasi Bidang tanah (selanjutnya disebut NIB) terhadap tanah yang akan dialihkan tersebut tidak ada. Sehingga hal tersebut berarti subyek hukum pemegang hak atas tanah harus terlebih dahulu memiliki NIB terhadap tanah yang akan dialihkannya sebelum melakukan peralihan hak, baik itu peralihan hak atas tanah secara murni, maupun peralihan hak atas tanah sebagian maupun yang menyebabkan terjadinya pemecahan. NIB dimohonkan pada Kantor Badan Pertanahan setempat, dan PPAT berkewajiban membantu pemegang hak untuk memohonkan NIB agar peralihan hak dapat diproses. Prosesnya ialah sebagai berikut: 136 (1) Permohonan pendaftaran pemecahan NIB dilakukan sebelum transaksi jual beli resmi dilakukan, dalam arti bahwa belum ada pembayaran kepada pihak pemilik tanah karena akta PPAT belum dibuat. (2) Segala proses yang berhubungan dengan pemecahan maupun pemisahan bidang tanah di lapangan, termasuk di dalamnya pengukuran dilakukan pada saat permohonan pendaftaran NIB. (3) Setelah proses permohonan pendaftaran NIB selesai, maka oleh Kantor Badan Pertanahan menerbitkan peta bidang tanah yang didalamnya tertera NIB bidang tanah yang bersangkutan. Dengan diterbitkannya peta bidang tanah yang didalamnya tercantum NIB, barulah transaksi jual beli tanah dapat dilakukan. (4) PPAT membuatkan akta peralihan hak atas tanah dalam hal ini didahului dengan akta Pengikatan Jual Beli, akta Kuasa Menjualk, akta Jual Beli. Akta PPAT ini sebagai bukti bahwa telah resmi terjadi perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Kemudian akta, asli sertipikat hak atas tanah, dan segala warkah-warkah pendukungnya didaftarakan di Kantor Badan Pertanahan untuk keperluan peralihan hak atas tanah. Dalam prakteknya tata cara pembayaran jual beli bidang tanah ada yang dilakukan dengan pembayaran bertahap dan ada yang dilakukan dengan pembayaran lunas. Apabila dilakukan dengan pembayaran bertahap, maka pihak penjual dan pembeli datang menghadap Notaris dengan menerangkan kehendaknya untuk menjual tanah dengan pembayaran bertahap, kemudian Notaris membuatkan akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap. Notaris 137 membuatkan akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap, oleh karena beberapa persyaratan belum dapat dipenuhi dalam jual beli, maka pihak pembeli dan pihak penjual belum dapat melaksanakan jual beli atas tanah tersebut dihadapan PPAT. Klausa yang diatur dalam akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap ialah mengenai harga yang telah disepakati, dan mengenai tata cara pembayaran bertahap, yakni nominal harga yang telah dibayar atau diterima oleh pihak pembeli secara tunai dan untuk pembayaran tersebut kedua belah pihak menyatakan perjanjian ini merupakan kwitansi yang sah menurut hukum. Diatur mengenai tata cara pembayaran kedua, dan seterusnya yang akan dibayar pihak pembeli sebagai pelunasan sisa pembayaran yang belum dilakukan, dan diatur mengenai tanggal jadwal pembayaran, alat bantu pembayaran misalnya penggunaan cek atau bilyet giro dapat diakui apabila cek atau bilyet giro tersebut telah dapat dicairkan oleh pihak penjual, dan mengenai wanprestasi terhadap pembayaran, yang terakhir ialah akibat dari wanprestasi yakni pihak pembeli dianggap batal atau tidak jadi membeli, sehingga disepakati pihak pertama diwajibkan mengembalikan 50% (lima puluh persen) dari uang pembayaran yang telah dibayarkan. Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap kemudian diikuti dengan pembuatan Akta Pelunasan yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris. Akta Pelunasan ini mengatur mengenai bahwa harga tanah beserta turunannya tersebut sebagaimana telah disepakati pada Akta Perjanjian Jual Beli bertahap, telah dibayar lunas oleh pihak pembeli kepada pihak penjual sebelum ditandatanganinya Akta Pelunasan ini dan pihak penjual dengan ini menyatakan 138 telah menerima pembayaran tersebut secara penuh, dan bilamana perlu menyatakan akta ini sebagai kwitansi yang sah menurut hukum. Berdasarkan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli bertahap dan Akta Pelunasan tersebut, dan berkasberkas telah dianggap lengkap, maka PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat Akta Jual Beli. Akta Jual Beli ini setelah dilakukan penomeran akta wajib didaftarkan beserta warkah-warkah pendukung lainnya oleh PPAT paling lambat 7 (tujuh) hari di Kantor Badan Pertanahan setempat, untuk proses balik nama sertipikat. Nantinya akan terbit sertipikat atas nama pemegang hak yang baru yakni pembeli. Jual Beli bidang tanah yang dilakukan dengan cara pembayaran lunas ialah pertama-tama dibuatkan akta Perikatan Jual Beli yang umumnya mengatur bahwa pihak penjual menyatakan dengan sebenarnya dan sesungguhnya adalah pemilik dari sebidang tanah kosong sebagaimana tertera dalam sertipikat hak milik. Pihak penjual hendak menjual dan menyerahkan kepada pihak pembeli, yang hendak membeli dan menerima penyerahan dari pihak penjual yaitu tanah beserta turunannya tersebut. Sejak ditandatanganinya akta Perikatan Jual Beli tersebut, maka pihak penjual berjanji mengikatkan diri dan wajib untuk menjual dan menyerahkan kepada pihak pembeli, sebagaimana pihak pembeli berjanji mengikatkan diri dan wajib untuk membeli dan menerima penyerahan dari pihak pertama atas tanah beserta turunannya tersebut, beserta kesepakatan harga mengenai tanah beserta turunannya tersebut. Akta Perikatan Jual Beli dibuat apabila berkas masih dirasa kurang, sertipikat tanda bukti hak lama yang artinya 139 harus dilakukan penggantian sertipikat, sertipikat belum ada NIB, sertipikat masih dijadikan Hak Tanggungan sehingga harus dilakukan peroyaan terlebih dahulu. Dalam Perikatan Jual Beli terdapat klausula yang memberikan kuasa substitusi dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Kuasa substitusi ini ialah untuk menjamin kedudukan pihak pembeli dalam perjanjian Perikatan Jual Beli, dengan akta ini dan/atau dengan akta tersendiri bilamana diperlukan, sekarang dan untuk pada waktunya nanti, bilamana pihak penjual berhalangan untuk melaksanakan sendiri penjualan tanah beserta turunanannya tersebut atau oleh sebab apapun juga ijin tidak dapat diperoleh dari yang berwenang maka pihak pertama dengan ini memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada pihak pembeli. Kuasa dengan hak substitusi diberikan untuk dan atas nama pihak penjual guna kepentingan pihak pembeli dalam hal menjual tanah beserta turunannya tersebut berikut segala sesuatu yang didirikan dan/atau tertanam diatasnya yang karena sifatnya, peruntukannya atau menurut hukum dianggap sebagai benda tetap, baik kepada pihak pembeli sendiri atau kepada pihal lain yang dikehendaki oleh pihak pmebeli dengan harga yang akan ditetapkan sendiri oleh pihak pembeli. Pemberian kuasa dengan hak substitusi dalam akta Perikatan Jual Beli merupakan hal yang terpenting dan syarat mutlak serta merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dari perjanjian Perikatan Jual Beli, karena tanpa adanya kuasa tersebut maka perjanjian Perikatan Jual Beli tidak akan dibuat serta tidak akan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu dalam hal akta Perikatan Jual Beli selalu diiringi dengan pembuatan akta Kuasa Menjual. 140 Dalam akta Kuasa Menjual memuat mengenai pemberian kuasa dengan hak substitusi atau kuasa dengan hak khusus dari pihak penjual kepada pihak pembeli untuk dan atas nama pemberi kuasa dengan cara apapun menjual atau mengalihkan dan/atau melepaskan haknya sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain maupun kepada yang diberi kuasa sendiri, dengan harga, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang dianggap baik oleh penerima kuasa atas sebidang tanah sebagaimana yang telah diperjanjikan berikut segala sesuatu yang telah maupun kelak didirikan dan/atau tertanam di atasnya yang karena sifatnya, peruntukannya atau menurut hukum dianggap sebagai benda tetap. Adanya akta Kuasa Menjual, dengan akta ini pemegang kuasa dapat melakukan segala tindakan yang perlu dan berguna demi tercapainya hal-hal yang berhubungan dengan proses balik nama sertipikat. Untuk keperluan pemegang kuasa, maka pemegang kuasa berhak untuk menghadap kepada pihak siapapun dan dimanapun juga termasuk kepada instansi dan/atau Notaris/PPAT yang berwenang, memberi dan meminta keterangan-keterangan, membuat, menandatangani dan mengajukan surat-surat dan/atau permohonan-permohonan. Membuat, turut menyelesaikan dan menandatangani surat-surat atau akta jual beli atau peralihan hak yang diperlukan. Selanjutnya apabila berkas sudah lengkap dan objek jual beli yakni tanah tersebut telah lunas dibayar, maka selanjutnya akan dibuatkan Akta Jual Beli. Dibuatnya Akta Jual Beli, maka telah terjadi peralihan hak atas tanah, segala berkas telah lengkap dan harga tanah telah dibayar lunas. Dalam Akta Jual Beli pihak pembeli dalam melakukan perbuatan hukum bertindak berdasarkan Akta Kuasa Menjual dan Akta Perikatan Jual, dan bertindak untuk dan atasnama 141 pihak penjual. Sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli ini, objek jual beli yang telah diuraikan dalam akta ini telah menjadi milik pihak pembeli dan karenanya segala keuntungan yang didapat dari, dan segala kerugian/beban atas objek Jual Beli tersebut menjadi hak/beban pihak pembeli. Akta Jual Beli sejak setelah dilakukan penomeran akta dan beserta warkah-warkah pendukung lainnya oleh PPAT wajib didaftarkan paling lambat 7 (tujuh), pada Kantor Badan Pertanahan setempat, untuk proses balik nama sertipikat. Nantinya akan terbit sertipikat atas nama pemegang hak yang baru yakni pembeli. Uraian lebih lanjut mengenai jual beli hak atas tanah dan akibat-akibatnya yang ditimbulkan sehubungan dengan proses penyelesaian sertipikat hak atas tanah dan jual beli tanah dengan cara melakukan pengkaplingan bidang tanah akan lebih difokuskan pada pemecahan dan pemisahan bidang tanah. 3.3.1 Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya Pemecahan Bidang Tanah Perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dengan melakukan jual beli, dalam hal ini obyek tanah yang dialihkan adalah keseluruhan atas bidang tanah sebagaimana dibuktikan dengan sertipikat tanda bukti hak, disebut peralihan hak yang bersifat pemecahan apabila subyek hukum yang berkedudukan sebagai pembeli ternyata lebih dari satu, sehingga terhadap tanah yang dimaksud akan dilakukan pemecahan sesuai dengan luas masingmasing yang hendak dibeli oleh pihak pembeli. Dalam kondisi demikian pihak penjual tidak lagi menerima sisa atas tanah yang dialihkan dan hak atas tanah sepenuhnya jatuh ketangan para pembeli. Adapun ciri-ciri perbuatan hukum 142 perdata dalam bentuk jual beli atas hak yang mengakibatkan terjadinya pemecahan bidang tanah adalah: (1). Seluruh bidang tanah sebagaimana tercantum dalam sertipikat tanda bukti hak dialihkan kepada pihak lain, dengan tidak memberikan sisa sama sekali atau sering disebut juga habis terjual. (2). Penerima hak atas tanah yang akan dialihkan adalah lebih dari satu subyek hukum, dan masing-masing berkehendak untuk mendapatkan sertipikat tanda bukti hak sesuai dengan luas tanah yang akan diterimanya. (3). Dalam penyelesaian sertipikat di Kantor Badan Pertanahan, tiap bidang tanah dilakukan pengukuran, dibuatkan surat ukur, buku tanah baru serta dilakukan penggantian peta bidang tanah dengan penghapusan peta tanah bidang yang lama. (4). Terdapat dua atau lebih sertipikat hak atas tanah baru sebagai hasil dari pemecahan bidang tanah asal. Peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan pemecahan diatur dalam Pasal 48 PP No. 24 Tahun 1997. Dalam proses penyelesaian jual beli yang berhubungan dengan pemecahan hak atas tanah maka terlebih dahulu para pihak melakukan pengukuran terhadap obyek jual beli sehingga nantinya dapat diketahui dengan pasti bagian masing-masing pembeli, karena pembeli hanya membayar kepada pemegang hak sejumlah bagian tanah yang akan dibeli saja. Bila pengukuran telah dilakukan, penjual tanah dan para pihak pembeli dapat membuat akta peralihan hak dihadapan pejabat yang berwenang atau PPAT 143 dimana obyek tanah tersebut berada. Pada saat akta jual beli disahkan para pihak pembeli harus menyelesaikan pembayaran kepada penjual, hal ini mencerminkan sifat tunainya jual beli tanah. Setelah melalui proses pendaftaran hak di Kantor Badan Pertanahan ditempat obyek jual beli itu berada maka penerbitan sertipikat hak atas tanah akan langsung menjadi atas nama masing-masing pihak pembeli sesuai luas yang telah dibayarkan. 3.3.2 Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Mengakibatkan Terjadinya Pemisahan Bidang Tanah Dalam hal peralihan hak atas tanah dengan jual beli yang mengakibatkan terjadinya pemisahan hak atas tanah dapat terjadi apabila pemegang hak hanya mengalihkan sebagian dari haknya kepada pihak lain. Peralihan hak yang mengakibatkan terjadinya pemisahan dalam bentuk jual beli yang diatur dalam diatur dalam Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 sering disebut dengan peralihan hak atas tanah sebagian. Hal ini disebabkan pemegang hak yang lama masih tetap mendapatkan bagian sisa haknya setelah dikurangi bagian yang dibeli oleh pihak pembeli. Ciri-ciri perbuatan hukum perdata dalam bentuk jual beli yang mengakibatkan terjadinya pemisahan bidang tanah adalah: 1) Tidak seluruh bidang tanah sebagaimana tercantum dalam sertipikat tanda bukti hak dialihkan kepada pihak lain, melainkan masih terdapat sisa bidang tanah yang tetap merupakan hak dari pemegang hak yang lama. 2) Penerima hak atas tanah yang akan dialihkan adalah satu atau lebih subyek hukum, dan masing-masing berkehendak untuk mendapatkan 144 sertipikat tanda bukti hak sesuai dengan luas tanah yang akan diterimanya. 3) Dalam penyelesaian sertipikat di Kantor Badan Pertanahan, tiap bidang tanah dilakukan pengukuran, dibuatkan surat ukur, buku tanah baru serta dilakukan penggantian peta bidang tanah dan penghapusan peta bidang yang lama. 4) Terdapat dua atau lebih sertipikat hak atas tanah baru sebagai hasil dari pemisahan bidang tanah asal. Dalam pemisahan karena tanah yang dialihkan tidak habis keseluruhan dibeli oleh pembeli sehingga masih ada sisa yang tetap menjadi hak dari pemegang hak yang lama. Berbeda dengan pemecahan, dalam peralihan hak yang mengakibatkan terjadinya pemisahan setelah kelengkapan berkas jual beli lengkap dan didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan maka penerbitan sertipikat akan terbit atas nama pembeli dan sisanya terbit atas nama pemegang hak yang lama. 3.4 Pengkaplingan Bidang Tanah Yang Dilakukan Oleh Badan Hukum Perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah perkotaan menumbuhkan berkembangnya kebutuhan terhadap rumah tinggal dengan berbagai fasilitas yang mendukung, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, taman bermain, dan akses jalan yang baik. Bersamaan dengan berkembangnya jenis rumah tinggal, berkembang pula pembangunan pusat perbelanjaan, hotel , pusat perkantoran. Kondisi yang sedemikian pesat kemudian merangsang banyak orang untuk menjadi pengembang atau investor dengan menjalankan usaha sebagai badan usaha perumahan dan permukiman. 145 Badan usaha yang biasanya melakukan pengkaplingan bidang tanah adalah badan usaha dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Pihak pengembang membeli beberapa ratus meter tanah, kemudian di atas tanah tersebut dibangun beberapa rumah tinggal yang kemudian dipasarkan kepada masyarakat yang membutuhkan hunian tempat tinggal. Hal ini dilakukan dengan berpindahpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, yang umumnya memilih lokasi tanah yang dekat dengan akses jalan maupun permukiman yang sudah berkembang. Perseroan Terbatas yang akan mengembangkan sebuah kawasan menjadi kawasan perumahan dan permukiman terlebih dahulu melakukan survey atau pengamatan atas lokasi yang akan dibangun kawasan perumahan, dicermati kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah kawasan tersebut. Pengecekan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi, apakah tanah di kawasan tersebut dapat dibangun perumahan dan permukiman atau justru dilarang mengingat kawasan tersebut termasuk kawasan pertanian, atau hutan lindung atau bisa jadi Ruang Terbuka Hijau Kota dengan KDB 0% (nol persen). Hal ini bisa dicek di sertipikat hak atas tanah tersebut, dilihat pada peruntukan bidang tanah tersebut apakah peruntukannya sudah perumahan/permukiman. Pengertian perumahan dan kawasan permukiman dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 2011), yakni : Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan. 146 Selanjutnya mengenai pengertian kawasan permukiman dimuat dalam Pasal 1 angka 3 yakni : “Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan”. Setelah dilihat peruntukan tanahnya pada sertipikat hak atas tanah bahwa memang benar tanah tersebut berada pada kawasan perumahan/permukiman, kemudian dilakukan tindakan dibidang yuridis berupa pembelian atau perolehan hak atas tanah serta kegiatan fisik berupa pengembangan tanah dengan melakukan penataan tanah berdasarkan rencana yang diinginkan, dengan terlebih dahulu mengurus izin lokasi pada instansi terkait. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi menegaskan bahwa ijin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku sebagai izin permohonan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modal.84 Apabila dikaitkan dengan ketentuan UUPA Bab V Pasal 36 mengatur mengenai Hak Guna Bangunan (HGB), untuk badan hukum hak yang dapat diberikan ialah Hak Guna Bangunan. Badan usaha yang telah memperoleh izin lokasi selanjutnya dapat melakukan kegiatan perolehan hak atas tanah melalui tindakan pembebasan tanah. Kemudian perolehan hak atas tanah oleh badan usaha atau badan hukum tersebut dari masyarakat pemilik tanah dilakukan dengan 84 Sahat HMT Sibaga, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 37. 147 membuat akta pelepasan hak. Setelah itu, dengan akta pelepasan hak serta izin lokasi yang dimiliki oleh perseroan maka perseroan kemudian dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB). Dengan diperolehnya akta pelepasan hak serta izin lokasi maka Perseroan Terbatas kemudian dapat mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam Pasal 35 UUPA ayat (1) menyebutkan bahwa : “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atau tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Penjelasan atas Pasal 35 yakni, berlainan dengan Hak Guna Usaha (HGU) maka Hak Guna Bangunan (HGB) tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula diberikan tanah milik seseorang. Mengacu pada ketentuan Pasal 36 UUPA, untuk keperluan pembangunan perumahan dan permukiman kepada badan usaha pengembang perumahan dan permukiman yang berbadan hukum Perseroan Terbatas, oleh Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten diberikan hak atas tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) yang dibuktikan dengan Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah dengan status Hak Guna Bangunan atas nama Perseroan Terbatas yang menjadi pemohon. Selanjutnya surat keputusan pemberian hak atas tanah dimaksud menjadi dasar penerbitan sertipikat induk. Sertipikat induk ini nantinya akan tercantum nama pemegang hak atas tanah yakni Perseroan Terbatas pengembang perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah. Sertipikat induk nantinya akan dilakukan 148 pengkaplingan dalam ukuran serta bentuk tertentu sesuai dengan perencanaan/rencana tapak (site plan) yang telah disetujui oleh instansi terkait.85 Permohonan pemecahan sertipikat Hak Guna Bangunan Induk dilakukan di Kantor Badan Pertanahan Kota/Kabupaten ditempat tanah tersebut. Setelah berkas permohonan dilengkapi maka oleh Kantor Badan Pertanahan diterbitkanlah sertipikat atas tanah Hak Guna Bangunan perbidang kapling tanah matang atas nama Perseroan Terbatas pengembang perumahan dan permukiman. Setelah dilakukan pembangunan perumahan oleh pihak pengembang maka terhadap perumahan tersebut siap dialihkan kepada para pembeli melalui proses jual beli. Kegiatan Perseroan Terbatas pengembang perumahan dan permukiman dalam mengembangkan satu kawasan menjadi perumahan dan permukiman dilandasi oleh perijinan yang telah diterimanya dari Pemerintah. Sehingga oleh karenanya sebelum mengajukan permohonan izin, Perseroan Terbatas ini harus dengan cermat merencanakan hendak membangun apa dan mengembangkan apa di areal yang direncanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan untuk itu. Hal ini dikaitkan dengan mengingat ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1 jo Pasal 139, bahwa pembangunan perumahan yang dilakukan badan hukum dibidang pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan yang khusus diperuntukan bagi perumahan dan permukiman. Mengutip pendapat dari Sahat HMT Sibaga86, dalam 85 86 Ibid, hal. 44. Ibid, hal. 44. 149 melaksanakan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman, Perseroan Terbatas usaha pembangunan perumahan wajib: a) b) c) d) e) f) g) h) Melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kapling tanah matang. Membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah. Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan fasilitas umum. Membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah. Melakukan penghijauan lingkungan. Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti yang telah diperjanjikan. Membangun rumah. Badan hukum yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kapling tanah matang tanpa rumah. Jadi Perseroan Terbatas sebagai badan usaha pengembang perumahan dan permukiman dalam melakukan kegiatan usahanya harus menjual bidang tanah kapling matang beserta bangunan yang telah berdiri diatasnya. Sehingga dengan demikian dapat dicermati bahwa pembangunan perumahan dan permukiman dilakukan secara terkonsentrasi di kawasan siap bangun atau lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri sehingga memudahkan penyediaan prasarana dan sarana lingkungan. Pembangunan rumah atau perumahan oleh perseroan atau badan hukum pengembang dapat dilakukan di kawasan siap bangun, di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri atau diluarnya sejauh sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 136 UU No. 1 Tahun 2011 bahwa : “Setiap orang dilarang menyelenggarakan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba”. Pasal 137 UU No. 1 Tahun 2011 150 menyebutkan : “Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya”. Perlu diketahui, bahwa ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 1 Tahun 2011 menyebutkan : “Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang”. Selanjutnya pengertian Lingkungan Siap Bangun disebutkan dalam Pasal 1 angka 16 UU No. 1 Tahun 2011 : Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut Lisiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahandengan batas-batas kapling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Dari uraian tersebut diatas, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seharusnya tidak menerima peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh pengembang apabila di atas tanah tersebut belum terdapat bangunan sesuai dengan perencanaan atau site plan. Apabila peralihan hak atas tanah tetap dilakukan, maka Kantor Badan Pertanahan berdasarkan kewenangan yang diberikan, berkewajiban untuk menolak pendaftarannya peralihan hak atas tanah tersebut. 151 BAB IV PENDAFTARAN TANAH KAPLING SEBAGAI BENTUK JAMINAN KEPASTIAN HUKUM Pembahasan dalam Bab IV ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun bahasan dalam bab ini dapat disimak pada pembahasan di bawah ini:  Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah  Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling 4.1 Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebagai Bentuk Jaminan Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang bahwa kebutuhan akan tanah semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, serta kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah, dimana tanah tidak saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani/berkebun, dapat dipindahtangankan oleh pemiliknya kepada calon pembeli, serta dapat dijadikan jaminan di bank untuk mendapatkan pinjaman. Begitu pentingnya manfaat tanah bagi pemiliknya, sehingga menuntut adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut. Pemberian jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya merupakan salah satu tujuan pokok UUPA. Hal tersebut dapat tercapai melalui pendaftaran tanah. Oleh karena itu dalam sub bab ini dipertajam dengan Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Analisis dalam sub bab ini menggunakan Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab latar belakang, bahwa dengan didaftarkannya tanah kapling tersebut 152 akan memperoleh kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan adanya kepastian hukum berarti adanya suatu jaminan bagi pemegang hak atas tanah tersebut untuk melakukan kegiatan seluas-luasnya yang berhubungan dengan tanahnya sehingga bermanfaat bagi dirinya serta bagi orang lain, namun tetap tidak melanggar norma-norma yang ada. Individu pemegang hak atas tanah tentunya akan berkeinginan untuk mengadakan perubahan terhadap hak-hak yang dimiliki. Apabila perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya berpindahnya hak kepada individu lainnya, maka sejak itu mulailah individu tersebut berhadapan dengan apa yang disebut dengan peralihan hak. Peralihan hak itu adalah perpindahan hak dari pemilik awal kepada pemilik berikutnya. Salah satu jenis peralihan hak adalah jual beli. Jual beli termasuk jenis perjanjian timbal balik yakni perjanjian yang menimbulkan masing-masing kewajiban dan hak secara timbal balik. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Sehingga kewajiban dan hak yang ditimbulkan dalam jual beli bagi kedua belah pihak yakni, pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, kemudian menerima harga atau pembayarannya, sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harganya sesuai dengan yang telah disepakati, kemudian menerima barangnya. Peralihan hak yang dalam hal ini ialah jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah pihak-pihak yang terlibat didalamnya mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dengan harganya, meskipun 153 kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa jual beli merupakan perbuatan pemindahan hak dengan sifat tunai, riil dan terang. Oleh sebab itu, jual beli saja hak milik atas tanah tersebut belum beralih dari penjual ke pembeli, tanpa adanya penyerahan yuridis (juridische levering) yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta jual beli oleh PPAT. Akta peralihan hak yang dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT merupakan syarat formal dalam proses terjadinya jual beli. Pembuatan akta jual beli di hadapan dan/atau oleh PPAT merupakan salah satu prosedur yang wajib dilakukan dalam peralihan hak demi terwujudnya kepastian hukum sebagaimana diamanatkan PP No. 24 Tahun 1997. Akta jual beli inilah yang dipakai sebagai bukti bahwa telah terjadinya pemindahan hak, untuk selanjutnya didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah berada, untuk selanjutnya dilakukan balik nama, yang akhirnya akan terbit sertipikat hak atas tanah dengan nama pembeli (dilakukan pencoretan dari pemilik semula menjadi pemilik yang baru). PPAT membuatkan akta peralihan hak atas tanah dalam hal ini didahului dengan Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa Menjualkan, yang terakhir ialah Akta Jual Beli sebagai bukti bahwa tanah yang dijadikan objek jual beli tersebut sudah lunas dibayarkan oleh pembeli. Akta PPAT ini sebagai bukti bahwa telah resmi terjadi perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Kemudian akta, asli sertipikat hak atas tanah, dan segala warkah-warkah pendukungnya didaftarakan di Kantor Badan Pertanahan untuk keperluan peralihan hak atas tanah. 154 Apabila segala persyaratan warkah pendukung telah didaftarkan, maka akan terbitlah sertipikat hak atas tanah dengan nama pemilik yang baru (pembeli), sehingga memiliki penguasaan tanah sebagaimana diakui oleh hukum. Penguasaan tanah yang diakui oleh hukum adalah penguasaan tanah yang legal baik secara fisik maupun yuridis. Setiap penguasaan tanah yang legal memberikan hak kepada subyek hukumnya untuk menggunakan tanah tersebut dengan semaksimal mungkin sesuai dengan keperluannya dengan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya itu, bahwa pensertipikatan tanah memberikan dampak positif terhadap pelestarian tanah, selain memberikan kepastian hukum, dapat memberikan informasi mengenai tanah tersebut, serta pentingnya hak-hak atas tanah dan pendaftarannya, juga meningkatkan ketertiban dalam bidang agraria. Sehingga berdasarkan pemaparan singkat tersebut di atas peralihan hak terjadi setelah adanya kata sepakat dari pihak penjual dan pembeli. Akan tetapi dengan sepakat itu saja, tidak terjadi serta merta terjadi penyerahan yuridis, mengingat sifat jual beli yakni terang, tunai dan riil, maka setiap peralihan hak yakni jual beli harus dilakukan dihadapan PPAT yang berwenang membuatkan Akta Jual Beli. Akta tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak sebagai bukti sebagai bukti bahwa memang benar telah terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli. Kemudian PPAT berkewajiban mendaftarkan akta peralihan hak beserta warkah-wakah pendukung untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak di Kantor Badan Pertanahan setempat. 155 Hasil dari pendaftaran ini nantinya akan lahir sertipikat hak atas tanah sesuai nama pemegang hak yang baru yakni pembeli. Jaminan kepastian hukum kepemilikan bidang tanah lahir ketika pembeli atau pemegang hak yang baru telah memperoleh sertipikatnya. Sertipikat hak atas tanah inilah yang dipakai sebagai bukti kepemilikan oleh pemegang hak yang bersangkutan. Adanya kepastian hukum tentunya akan melahirkan perlindungan hukum, tidak hanya mengenai subyek, tetapi juga mengenai objek hukum. Sebagaimana telah dikutip pendapat Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis pada Bab I tesis ini, masalah pertanahan harus didasarkan dan diselesaikan secara hukum serta berpijak pada landasan konstutusi yakni Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan tanah termasuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah di Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum. Dari pendapat tersebut di atas, konstruksi pemikiran penulis dalam hal pendaftaran tanah ialah pertama-tama berpijak pada landasan konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD RI 1945 kemudian di dalam UUPA diatur dalam Pasal 19, yang dilaksanakan dengan PP No. 10 Tahun 1961 dan kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1997 sampai sekarang. Kedua Peraturan Pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka Recht Kadaster yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum meliputi kepastian status hak yang didaftarkan, kepastian subyek hak dan kepastian mengenai objek hak. Pendaftaran tanah pada akhirnya akan menghasilkan alat bukti berupa Buku Tanah dan 156 Sertipikat Hak Atas Tanah yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur. Pendaftaran tanah secara tegas diatur dalam Pasal 19 UUPA, yang menyebutkan bahwa: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi: a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Menurut penulis dengan didaftarkannya hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 19 UUPA. Ketentuan tersebut secara tegas mengamanatkan kepada Pemerintah dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan: Pertama, memberikan jaminan kepastian hukum bagi subyek hak (pemegang hak atas tanah) dalam hal kepemilikan dan penggunaan tanah tersebut. Telah didaftarkannya tanah tersebut dan telah diperolehnya sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, maka subyek hak mempunyai wewenang untuk memanfaaatkan tanah sesuai dengan peruntukannya. Kedua, tercapai perlindungan hukum bagi subyek hak (pemegang hak atas tanah). Maksudnya ialah pemegang hak atas tanah sebagaimana nama yang tertera dalam sertipikat hak atas tanah dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 157 Ketiga, mendapatkan informasi mengenai objek hak tersebut (tanah). Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan berkesinambungan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, serta identitas mengenai bidang tanah tersebut, termasuk hak-hak tertentu yang membebaninya. Hal ini memberikan kemudahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai tanah yang sudah terdaftar. Keempat, yang terakhir ialah sebagai bentuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Selanjutnya oleh Pasal 23 ayat (2) UUPA yakni : “Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut”. Pasal 32 ayat (2) UUPA yang berbunyi : “Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir”. Yang terakhir ialah ketentuan Pasal 38 ayat (2) UUPA menyebutkan : “Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir”. Melihat ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas dan mengutip pendapat para sarjana, menurut hemat penulis, adalah suatu keharusan bagi pemegang hak baik 158 itu hak milik, hak guna usaha maupun hak guna bangunan untuk mendaftarkan haknya. Dengan mendaftarkan haknya subyek hak dijamin oleh hukum untuk menggunakan hak kepemilikan tanah tersebut untuk apa saja asal penggunaanya sesuai dengan peruntukan tanahnya dan menurut hukum yang berlaku. Idealnya secara yuridis telah ada jaminan kepastian hukum terhadap bidang tanah yang telah didaftarkan, dan diharapkan mencegah terjadinya permasalahan pertanahan khususnya yang menyangkut penggunaaan dan pemanfatan serta mempertahankan haknya termasuk kebendaan yang melekat padanya. Perlu diingat bahwa sistem Pendaftaran Tanah yang dianut di Indonesia adalah sistem publikasi negatif bertendensi positif. Untuk mengetahui apa itu sistem publikasi negatif bertendensi positif yang dianut di Indonesia, pertamatama harus diketahui dahulu pengertian dari 2 (dua) sistem pendaftaran tanah, yakni: Pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif dan sistem pendaftaran tanah dengan publikasi positif. Pertama, sistem pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif yakni Negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu sewaktu-waktu dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh tanah dari orang yang sudah terdaftar tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah dengan itikad baik. Sifat pembuktian dalam sistem publikasi negatif ialah keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima 159 sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Kedua, sistem pendaftaran tanah dengan sistem publikasi positif yakni Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan, oleh sebab itu dalam proses pendaftarannya harus benar-benar diteliti bahwa orang yang memohonkan pendaftarannya memang berhak atas tanah yang didaftarkan tersebut, dalam artian dia memperoleh tanah dengan sah dan batas-batas tanah tersebut adalah benar adanya. Sehingga dari hal tersebut sifat pembuktiannya ialah orang yang telah terdaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Apabila pemegang hak atas tanah kehilangan haknya, maka ia dapat menuntut haknya. Apabila pendaftaran terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia dapat menuntut pemberian ganti kerugian berupa uang. Sistem publikasi negatif bertendensi positif yang dianut di Indonesia yakni dilakukan pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta peralihannya sampai akhirnya terbit sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Walaupun sistem sistem publikasinya negatif, tetapi kegiatan yang bersangkutan dengan pendaftaran hak dilakukan dengan seksama, agar data yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bertendensi positif artinya adanya jaminan kebenaran data yang didaftarkan (Negara menjamin), dan untuk itu Pemerintah meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan. Sehingga dapat disimpulkan dalam sistem publikasi negatif 160 yang mengandung unsur positif, negara tidak mutlak menjamin kebenaran data yang disajikan, penggunaannya merupakan resiko pihak yang menggunakan sendiri. Namun, dengan sudah didaftarkannya hak atas tanah tersebut oleh pemegang hak yang bersangkutan, hal ini telah memberikan suatu perlindungan hukum bagi pemegang hak untuk mempertahankan apa yang dimilikinya, pemegang hak sebagaimana yang tertera dalam sertipikat hak atas tanah adalah sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan status seseorang sebagai pemegang hak atas tanah tersebut, selama dan sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya. Demikian kiranya benar bahwa pendaftaran hak atas tanah memberikan suatu kepastian hukum bagi pemegang hak untuk memiliki tanahnya. Selain itu juga dalam hal mempertahankan tanahnya dan seluas-luasnya mempergunakan tanahnya untuk kebutuhannya sesuai dengan peruntukan dan hukum yang berlaku. Sehingga sistem publiksi di Indonesia adalah sistem publikasi negatif tetapi bukan negatif murni, melainkan sistem negatif yang mengandung unsur positif, hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA, Pasal 23 ayat (2) UUPA, Pasal 32 ayat (2) UUPA, Pasal 38 ayat (2) UUPA yang menyatakan pendaftaran meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kuat dalam hal ini tidak berarti mutlak, namun lebih kepada menguatkan pemegang hak sebagai pemilik hak atas tanah tersebut (dalam hal pembuktian), akan tetapi pemegang hak bisa saja sewaktu-waktu digugat apabila ada subyek hukum lain yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut dengan menyertakan bukti-bukti kuat seperti misalnya surat bukti hak, akta di 161 bawah tangan yang dibuat pada masa lampau atau surat keputusan pemberian hak, balik nama. Dari pemaparan di atas, dapatlah direnungkan bahwa kepastian hukum dalam bidang pertanahan adalah mutlak dan tidak dapat dielakkan lagi di tengah kebutuhan masyarakat akan tanah yang semikin meningkat. Selanjutnya, mengutip pendapat Maria S.W. Sumardjono, mengenai latarbelakang terbitnya PP No. 24 Tahun 1997 yang telah dipaparkan pada Babi I tesis ini. Penulis merelevansikan dengan pengkaplingan bidang tanah yang yang kini marak di masyarakat. Menurut hemat penulis, bahwa tidak dapat dipungkiri ada kebutuhan nyata mengenai pengkaplingan tanah yang terjadi di masyarakat. Bahwa pengkaplingan belum diatur secara jelas didalam UUPA maupun peraturan perundangan di bawahnya. Kemudian seharusnya kebutuhan yang nyata dan urgensi ini diatur dengan jelas dalam UUPA maupun peraturan pelaksananya. UUPA mengatur secara singkat mengenai pemecahan (Pasal 48) dan pemisahan (Pasal 49), namun tidak sama sekali mengatur maupun menyebutkan mengenai pengkaplingan. Apakah pengkaplingan termasuk pemecahan ataukah pengkaplingan termasuk pemisahan, atau pengkaplingan dapat dikategorikan pemecahan dan pemisahan ataukah pengkaplingan tidak dapat diketegorikan sebagai pemecahan maupun pemisahan. Dari pemikiran tersebut di atas dapat dilihat bahwa problem hukum tidak selalu timbul karena adanya problem hukum di dalamnya, tetapi kerapkali karena ada kekeliruan penggunaan istilah. Dari sinilah adanya norma kosong, bahwa ada 162 kebutuhan dimasyarakat tetapa pengaturan yang jelas belum ada, harus segera ditindak lanjuti, dibuatkan hukumnya, karena hukum itu ada untuk memenuhi kebutuhan dan memastikan keamanan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pengkaplingan bidang tanah baik secara langsung maupun tidak langsung terdapat 5 (lima) lembaga atau instansi yang terkait di dalamnya, yakni: Pertama, Badan Pertanahan Kabupaten/Kota tempat tanah tersebut berada. Badan pertanahan berperan dalam proses pendaftaran peralihan hak dan penerbitan sertipikat hak atas tanah. Kedua, Kantor Dinas Perijinan. Sebelum melakukan pengkaplingan, terlebih dahulu pemilik hak ataupun pengembang harus memperoleh izin kapling. Izin kapling yakni permohonan ijin peruntukan bidang tanah dimohonkan pada Kantor Dinas Perijinan setempat dimana tanah tersebut berada. Ketiga, Kantor Dinas Pendapatan Daerah ditempat tanah tersebut berada, yang bertugas dalam hubungannya dengan pajak penghasilan (PPh) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harus dibayar oleh pihak penjual maupun pihak pembeli. Keempat, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berkedudukan ditempat tanah sebagai obyek peralihan tersebut berada. Wewenang PPAT adalah dalam hubungannya dengan penyelesaian serta pemberesan segala warkahwarkah yang diperlukan dalam proses peralihan hak. Kelima, Pemerintah, pada dasarnya Pemerintah tidak terkait langsung dengan pengkaplingan maupun dengan peralihan tanah kapling. Namun kebijakan 163 mengenai pertanahan utamanya dalam hal ini yang belum jelas pengaturan mengenai tanah kapling, haruslah segera dibentuk oleh Pemerintah. Hal ini selain agar tidak menimbulkan kekosongan hukum yang dikhawatirkan merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam pengkaplingan, juga agar tidak terjadi multitafsir mengenai apa itu pengkaplingan sejatinya, supaya tidak terjadi penyelundupan hukum oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan sendiri. Kelima lembaga atau instansi tersebut di atas haruslah salin bekerja sama dan membangun komunikasi yang baik yang dalam hal ini menyangkut pengkaplingan bidang tanah. Misalnya saja tidak terjadi benturan kewenangan diantara instansi tersebut. Kantor Badan Pertanahan sebagai badan yang berwenang dalam hal pertanahan, secara yuridis berkewajiban untuk melaksanakan pendaftaran tanah dan sekaligus melakukan penerbitan tanda bukti hak atas tanah serta menentukan aspek tata guna tanah (peruntukan tanah) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 UUPA yakni mengenai suatu rencana umum dalam hal persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan rencana umum tersebut perlu diingat peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal itu, juga Pemerintah Daerah mempunyai andil untuk mengatur persedian, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Merujuk ketentuan Pasal 14 UUPA tersebut, berarti Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur persedian, peruntukan dan penggunaan 164 bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya. Salah satunya ialah dalam mengatur Rencana Umum Tata Ruang Wilayahnya. Sehingga di sini ada dualisme kepentingan yaitu antara Kantor Badan Pertanahan selaku penerbit sertipikat sebagai tanda bukti hak dan penentu peruntukan penggunaan tanah sebagaimana yang tercantum dalam sertipikat, dengan kepentingan Pemerintah Daerah dalam kewenangannya mengatur Rencana Tata Ruang. Rencana Tata Ruang haruslah diperhatikan, akibat buruk apabila tidak terjalinnya komunikasi yang baik diantara Kantor Badan pertanahan dan Pemerintah Daerah dalam hal peruntukan bidang tanah salah satunya mengakibatkan persoalan pengkaplingan tanah semakin banyak. Contohnya semakin banyaknya tanah dengan peruntukan pertanian yang beralih fungsi menjadi tanah perumahan. Selain itu dengan banyaknya pelaku pengkaplingan yang memecah tanah pertanian kemudian dijual kepada para pembeli dengan harga yang dirasa cukup murah, hal ini kemudian hari akan menimbulkan persoalan yakni pembeli tidak dapat membangun bangunan rumah di atas tanah tersebut karena peruntukan tanahnya pertanian dengan KDB 0% (nol persen). Lambat laun akan semakin banyak pelaku pengkaplingan yang mencari keuntungan dengan tanpa mempertimbangkan peruntukan penggunaan tanah. Akibatnya tidak hanya pembeli yang dirugikan, namun juga akan memberikan dampak buruk bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di daerah tersebut. Hal inilah yang menurut penulis harus diantisipasi dengan cara disusun Undang-Undang yang jelas mengenai pengkaplingan tanah, yang kemudian 165 diamanatkan kedalam peratutan-peraturan pelaksananya. Atau diadakan pembaharuan dalam UUPA yang dirasa kurang mengikuti perkembangan jaman, karena hukum itu dinamis tidak statis, kemudian mengenai pengkaplingan tanah diamanatkan dalam peraturan-peraturan di bawahnya. 4.2 Tata Cara Pendaftaran Peralihan Hak Tanah Kapling Dalam menganalisis sub bab ini digunakan Teori Kepemilikan dan Asas Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum. Seperti yang telah dipaparkan pada Bab I, relevansi Teori Kepemilikan dengan tesis ini ialah dalam rangka hak menguasai dari negara dimungkinkan adanya hak-hak perorangan atas tanah, salah satu bentuk hak perorangan ialah hak milik. Hak milik atas tanah sebagai bagian dari hak asasi manusia berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, sehingga berkaitan erat dengan legalitas alas kepemilikan. Dengan legalitas kepemilikan hak milik, subyek hukum dapat menikmati haknya. Oleh karena itu Teori kepemilikan sangat erat kaitannya dengan penguasaan suatu bidang tanah yang dijamin oleh undang-undang. Undang-undang dalam hal ini menurut hemat penulis ialah UUPA serta PP No. 24 Tahun 1997. Didaftarkannya penguasaan suatu bidang tanah oleh subyek hukum pemegang hak, akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak (subyeknya) dan bagi tanah tersebut (objeknya). Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka subyek hukum dapat memanfaatkan tanahnya, sehingga dalam kegiatannya tersebut telah mendapat perlindungan hukum. Pemaparan singkat di atas merupakan pemikiran penulisan dalam hal relevansi Teori Kepemilikan dengan Asas Kepastian Hukum untuk membahas sub bab ini. 166 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa setiap bentuk perbuatan hukum perdata yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah, harus didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan di tempat tanah tersebut berada. Ketentuan pendaftaran tersebut berlaku pula terhadap peralihan hak atas bidang tanah kapling. Pendaftaran peralihan hak tersebut baru dapat dilaksanakan apabila seluruh bukti-bukti, persyaratan-persyaratan peralihan hak serta dokumendokumen pendukungnya lengkap. Setiap pemohon yang bertujuan melakukan pengkaplingan hak atas tanah menjadi beberapa bidang, haruslah terlebih dahulu mengantongi izin kapling dari Instansi Pemerintah yang berwenang untuk itu, dalam hal ini ialah Kantor Dinas Perizinan di tempat tanah tersebut berada. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengantongi izin kapling ialah: Pertama, asli sertipikat hak atas tanah, dalam sertipikat sudah diterangkan mengenai peruntukan bidang tanahnya. Pengkaplingan bidang tanah dilakukan pada tanah dengan peruntukan perumahan/permukiman (tidak pada tanah pertanian dan/atau tanah dengan peruntukan sebagai jalur hijau kota RTHK KDB 0 % (nol persen)) Kedua, foto copy KTP / Keterangan Domisili Ketiga, fotocopy pembayaran PBB terakhir Kempat, formulir permohonan bermaterai Rp.6000 (enam ribu rupiah) Kelima, surat pernyataan penyanding Keenam, surat kuasa bermaterai Rp.6000 (enam ribu rupiah) (apabila diurus bukan pemegang hak) 167 Ketujuh, sosialisasi masyarakat dan rekaman proses Kedelapan, denah lokasi Kesembilan, blok plan kapling Kesepuluh, keterangan gambar kapling, mengenai : luas tanah, luas tanah yang dikapling, jumlah kaplingan, setiap subyek hukum yang melakukan pengkaplingan wajib menyerahkan fasilitas sosial (fasos) seperti tempat bermain, tempat ibadah, dan juga wajib menyerahkan fasilitas umum (fasum) yaitu jalan dengan lebar 6 (enam) meter. Apabila sudah ada jalan 6 (enam) meter, tidak perlu lagi, tetapi apabila kurang dari 6 (enam) meter wajib menyesuaikan menjadi 6 (enam) meter. Kesebelas, gambar potongan jalan Keduabelas, fotocopy akta pendirian perusahaan (bagi yang berbadan hukum) yang telah disahkan Menteri Hukum dan HAM (PT) atau akta Notaris yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri (CV, Fa). Apabila warkah-warkah sudah terpenuhi dalam izin kapling sudah diperoleh, maka selanjutnya dilakukan permohonan pendaftaran pemecahan bidang tanah. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses pendaftaran bidang tanah kapling telah dipaparkan pada Bab III di atas. Setelah segala persyaratan untuk melakukan pemecahan terpenuhi dan berkas diterima untuk didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan, maka selanjutnya oleh kantor Badan Pertanahan akan diproses hingga diterbitkannya sertipikat. Setelah itu apabila sertipikat masing-masing bidang tanah telah terbit, selanjutnya dilakukan jual beli hak atas tanah secara murni. Untuk pendaftaran 168 peralihan hak murni, hingga terbitnya sertifikat hak atas tanah haruslah melalui prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut : Pertama, permohonan yang diajukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan dengan disertai bukti-bukti peralihan seperti akta yang dibuat dihadapan PPAT, serta dokumen-dokumen pendukung lainnya sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, yang ditempatkan dalam suatu map (blangko). Permohonan peralihan hak (tanah sudah terdaftar) yang diterbitkan Kantor Badan Pertanahan. Kedua, pendaftaran peralihan hak dilakukan pada loket pendaftaran yang telah disediakan untuk itu di Kantor Badan Pertanahan. Ketiga, setelah loket menerima permohonan pendaftaran peralihan maka berkas tersebut akan diperiksa dan diteliti terlebih dahulu oleh petugas pemeriksa, dan apabila masih terdapat kekeliruan atau masih dirasakan kurang, maka berkas permohonan akan dikembalikan kepada pemohon dengan disertai alasan-alasan pengembalian namun apabila berkas permohonan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur oleh undang-undang maka data berkas tersebut akan dilanjutkan dan dimasukkan ke dalam komputer dan database Kantor Badan Pertanahan. Keempat, apabila berkas telah dimasukkan kedalam komputer database maka selanjutnya akan diterbitkan Surat Perintah Setor (SPS) yang berisikan jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sebagai biaya pendaftaran berkas. 169 Kelima, sebelum Surat Perintah Setor (SPS) tersebut diserahkan kepada pihak pemohon, berkas dan seluruh warkah pendukung beserta Surat Perintah Setor (SPS) tersebut terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Kepala Sub Bagian Seksi Pendaftaran Hak. Keenam, apabila Kepala Sub Bagian Seksi Pendaftaran Hak telah membubuhkan paraf persetujuan pada berkas permohonan maka berkas diserahkan kepada bagian Bendahara Khusus Pembayaran (BKP) yang akan memerintahkan pemohon untuk membayar sejumlah uang sebagaimana tertulis dalam Surat Perintah Setor (SPS). Ketujuh, setelah permohonan melunasi setoran tersebut pada Bendahara Khusus Pembayaran (BKP) maka petugas akan mencatat pendaftaran tersebut pada buku daftar isian 301 (tanda terima berkas), daftar isian 305 (uang pemasukan), dan 306 (penerbitan kwitansi tanda terima pembayaran) hal ini berarti bahwa permohonan pendaftaran peralihan hak telah resmi diterima oleh Kantor Badan Pertanahan. Kedelapan, dari Bendahara Khusus Pembayaran (BKP) setelah seluruh prosedur dilakukan maka berkas tersebut diserahkan kepada Kepala Sub Bagian Seksi Peralihan Pembebanan dan PPAT. Pada bagian ini permohonan akan digabungkan dengan buku tanah yang telah ada di Kantor Badan Pertanahan, yang selanjutnya diadakan pemeriksaan, pencocokan, penulisan (pengetikan), dan pencetakan pada buku tanah. Kesembilan, apabila pencatatan pada buku tanah telah selesai dilakukan dan pencetakan serta pengetikan pada sertipikat tanda bukti hak juga telah 170 dilakukan maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan sertipikat tanda bukti hak oleh Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah. Kesepuluh, setelah sertipikat tanda bukti hak ditandatangani maka dilanjutkan dengan pengisian daftar isian (DI) 301 A yaitu tentang uang pemasukan serta daftar isian (DI) 208 tentang penyelesaian proses pendaftaran peralihan hak atas tanah. Kesebelas, dengan selesainya pengisian daftar isian (DI) 208 maka selesailah seluruh proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah dilakukan, dan sertipikat dikirim ke loket penyerahan sertipikat hak atas tanah dengan terlebih dahulu mengisi buku daftar isian (DI) 301 A. Keduabelas, setelah daftar isian (DI) 301 A selesai diisi, maka pemohon atau kuasanya dapat mengambil sertipikat tanda bukti hak yang didalamnya telah tercantum nama serta tanggal lahir pemegang hak yang baru. Dalam Standar Pelayanan Operasional Pertanahan (SPOP) maka seluruh proses penyelesaian sertipikat hak tersebut diatas diselesaikan oleh Kantor Badan Pertanahan dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah berkas lengkap dan diterima yaitu setelah buku daftar isian (DI) 301 terpenuhi dengan ketentuan terhadap permohonan tersebut tidak ada permasalahan-permasalahan atau tidak tersangkut kasus. Setelah buku daftar isian (DI) 301 dilengkapi maka pemohon telah menerima tanda terima berkas yang didaftarkan. Pada uraian sebelumnya telah disampaikan bahwa terdapat perbedaan perlakuan terhadap berkas pendaftaran permohonan peralihan hak atas tanah murni, sebagaimana disampaikan diatas dengan pendaftaran berkas permohonan 171 peralihan hak dalam hal terjadi pemecahan atau pemisahan bidang tanah. Penerbitan tanda bukti hak atas tanah sehubungan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang mengakibatkan pemecahan dan pemisahan bidang tanah dilakukan dengan prosedur sebagai berikut : Pertama, permohonan yang diajukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan dengan disertai berkas-berkas peralihan seperti akta yang dibuat dihadapan PPAT, serta dokumen-dokumen pendukung lainnya sebagaimana diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, yang ditempatkan dalam 3 (tiga) jenis map (blangko) sesuai dengan peruntukannya yaitu : a. 1 (satu) map Permohonan Pemisahan Atas Nama Sendiri / Penggabungan (berwarna hijau muda) dengan satu set berkas kelengkapan untuk permohonan peralihan hak sehubungan dengan dilakukannya pemecahan atau pemisahan bidang tanah. b. Beberapa map Permohonan Peralihan Hak Sebagian (Tanah Sudah Terdaftar) sesuai dengan jumlah pemisahan/pemecahan yang dimohonkan/direncanakan (berwarna merah muda), yang masingmasing dilengkapi pula dengan satu set berkas permohonan. c. 1 (satu) map Permohonan Pengukuran (berwarna coklat muda) dengan disertai dengan kelengkapannya, sehubungan dengan permohonan pengukuran bidang tanah yang akan dipecah atau dipisahkan. Kedua, pendaftaran peralihan hak dilakukan pada loket pendaftaran di Kantor Badan Pertanahan. Selanjutnya berkas peralihan hak tersebut diperiksa dan 172 diteliti terlebih dahulu oleh petugas pemeriksa, apabila terdapat kekeliruan atau berkas belum lengkap, maka berkas permohonan akan dikembalikan kepada pemohon dengan disertai alasan-alasan pengembalian sebagaimana diatur dalam Pasal 45 PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak permohonan pendaftaran peralihan hak. Ketiga, bila ternyata berkas permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang maka berkas tersebut akan dilanjutkan dan dimasukkan ke data komputer, yang selanjutnya diterbitkan Surat Perintah Setor (SPS) yang berisikan jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sebagai biaya pendaftaran berkas. Keempat, sebelum surat perintah setor (SPS) tersebut diserahkan kepada pihak pemohon, berkas dan seluruh warkah pendukung beserta surat perintah setor (SPS) tersebut terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Kepala Subagian Seksi Pendaftaran Hak. Kelima, bila Kepala Subbagian Seksi Pendaftaran Hak telah memberikan persetujuan, kemudian berkas diserahkan kepada bagian bendahara khusus pembayaran yang akan memerintahkan permohonan untuk membayar sejumlah uang sebagaimana tertulis dalam surat perintah setor (SPS). Keenam, setelah pemohon melunasi biaya tersebut pada bendahara khusus pembayaran maka petugas akan mencatat pendaftaran tersebut pada buku daftar isian 301 (tanda terima berkas), daftar isian 305 (uang pemasukan) dan 306 (penerbitan kwitansi tanda terima pembayaran, hal ini berarti 173 bahwa permohonan pendaftaran peralihan hak telah resmi diterima oleh Kantor Badan Pertanahan. Ketujuh, dari bendahara khusus pembayaran setelah seluruh prosedur tersebut diatas dilakukan maka berkas permohonan dipisahkan dimana : a. Berkas dengan map Permohonan Pemisahan Atas Nama Sendiri/ Penggabungan (berwarna hijau muda) dengan satu set berkas kelengkapan untuk permohonan peralihan diserahkan kepada Kepala Subbagian Seksi Peralihan Pembebanan dan PPAT. Pada bagian ini permohonan akan menunggu hasil dari proses pengukuran yang dilakukan oleh seksi pengukuran. b. Map Permohonan Peralihan Hak Sebagian (tanah sudah terdaftar) sesuai dengan jumlah pemecahan/pemisahan yang dimohonkan/direncanakan (berwarna merah muda), yang masingmasing dilengkapi dengan satu set berkas permohonan dan Map Permohonan Pengukuran (berwarna coklat muda) didaftarkan pada daftar isian (DI) 302 yaitu diteritkannya jadwal pengukuran ke lapangan dan surat tugas bagi petugas ukur untuk melakukan pengukuran. Kedelapan, setelah seluruh proses pengukuran dilakukan dan diperoleh hasil pengukuran maka hasil pengukuran tersebut dibuatkan draf surat ukur. Kemudian dimohonkan persetujuan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Peta Bidang. Apabila draf surat ukur tersebut telah disetujui, maka hasil pengukuran di masukkan ke dalam data base pengukuran dan diterbitkan dalam bentuk surat ukur. 174 Kesembilan, surat ukur yang telah ditandatangani oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Peta bidang maka berkas tersebut dilanjutkan untuk digabungkan dengan berkas yang disimpan oleh Kepala Subbagian Seksi Peralihan pembebanan dan PPAT. Kesepuluh, seluruh kelengkapan berkas peralihan hak atas tanah (seluruh map) yang telah terkumpul kembali tersebut kemudian disusun untuk digabungkan dan dicatat dalam buku tanah yang telah ada di Kantor Badan Pertanahan, yang selanjutnya diadakan pemeriksaan, pencocokan, penulisan (pengetikan), dan pencetakan sertipikat hak atas tanah yang baru. Pada saat yang bersamaan dibuatkan berita acara penghapusan sertipikat tanda bukti hak yang lama. Kesebelas, apabila pencatatan pada buku tanah telah selesai dilakukan dan pencetakan serta pengetikan pada sertipikat tanda bukti hak juga telah dilakukan, maka akan dilanjutkan dengan penandatanganan sertipikat tanda bukti hak oleh Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah. Keduabelas, setelah sertipikat tanda bukti hak ditandatangani maka dilanjutkan dengan pengisian daftar isian (DI) 301 A yaitu tentang uang pemasukan serta daftar isian (DI) 208 tentang penyelesaian proses pendaftaran peralihan hak atas tanah. Ketigabelas, dengan selesainya pengisian daftar isian (DI) 208 maka selesailah seluruh proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah 175 dilakukan, dan sertipikat dikirim ke loket penyerahan sertipikat hak atas tanah dengan terlebih dahulu mengisi buku daftar isian (DI) 301 A. Keempatbelas, setelah daftar isian (DI) 301 A selesai disi maka pemohon atau kuasanya dapat mengambil sertipikat tanda bukti hak yang didalamnya telah tercantum nama serta tanggal lahir pemegang hak yang baru. Pengkaplingan bidang tanah tidak dimungkinkan diadakan pada lokasi tanah dengan peruntukan pertanian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dengan tidak dimungkinnya pengkaplingan pada tanah peruntukan pertanian, maka tidak dimungkinkan juga untuk dilakukan pembangunan diatasnya. Namun dalam kenyataannya pemilik bidang tanah dapat mengajukan permohonan aspek Tata Guna Tanah kepada Kantor Badan Pertanahan. Permohonan aspek tersebut sebenarnya untuk mengetahui keadaan tanah apakah dapat dilakukan pengkaplingan atau tidak. Dalam hal ternyata setelah dicek dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan, tanah tersebut berada dalam kawasan perumahan, namun dalam sertipikat masih tertera dengan peruntukan pertanian, maka dalam hal inilah dapat dimohonkan aspek atau Tata Guna Tanah (TGT). Tetapi bila ternyata tanah tersebut jelas-jelas berada dalam kawasan pertanian atau jalur hijau, maka sama sekali tidak dapat dilakukan baik itu pemecahan, pemisahan maupun pengkaplingan. Kerapkali terjadi di masyarakat apabila permohonan aspek disetujui maka tanah dengan peruntukan pertanian tersebut dapat beralih menjadi tanah dengan 176 KDB 30 % (tiga puluh persen) atau dengan peruntukan perumahan. Dengan perubahan peruntukan tersebut, jadilah tanah tersebut dapat dikapling. Padahal seharusnya pada tanah pertanian dengan KDB 0% (nol persen) tidak bisa dilakukan pengkaplingan, dan apabila dipaksakan dilakukan pengkaplingan, Dinas Perijinan nantinya tidak akan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), dan bila dibangun bangunan diatas tanah tersebut maka akan dilakukan penindakan berupa pembongkaran paksa oleh Dinas Tata Kota dan Bangunan yang dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP). Pemaparan di atas kiranya sebagai renungan agar tidak terjadi celah-celah hukum bagi pihak-pihak memiliki kepentingan nakal. Sehingga hukumnya harus tegas, sayangnya pengaturan pengkaplingan tanah belum diatur secara jelas dan pasti dalam perundang-undangan. Melihat begitu kompleknya permasalahan yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengkaplingan bidang tanah, dapat dipetik pelajaran yang dapat dipergunakan sebagai upaya penyempurnaan ketentuan atau peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanahan. Seperti yang telah diketahui bahwa UUPA sudah berlaku sejak tahun 1960, nampaknya 54 (lima puluh empat) tahun lalu pada saat dibentuknya UUPA belum mengenal model atau sistem pengkaplingan tanah, yang sampai saaat ini pun belum diadakan pembaharuan dalam UUPA, atau setidaknya dibentuk Peraturan Pelaksana yang mengatur mengenai pengakaplingan tanah yang menjadi tren cara jual beli dengan teknik marketing modern di masyarakat Indonesia. Oleh karena belum ada aturan hukum yang mengatur secara jelas, tidak dipungkiri bisa tejadi penyelundupan-penyelndupan hukum maupun adanya celah- 177 celah untuk mempermudah segala proses pengkaplingan demi kepentingan ekonomi tertentu. Penelitian tesis ini, penulis bermaksud membuka pandangan bahwa ini saat ini ada suatu kebutuhan yang nyata dan semakin mendesak dalam bidang pertanahan mengenai pengkaplingan tanah, dan Pemerintah tidak boleh tutup mata akan kebutuhan masyarakat ini. Maka harus segera dilakukan pembaharuan dalam bidang hukum agraria yakni UUPA sebagai induk peraturan dalam hukum agraria, atau dibuatkan Undang-Undang ataupun Peraturan Pelaksana yang mengatur secara jelas dan pasti mengenai pengkaplingan tanah. Dengan peraturan hukum yang jelas dan pasti tersebut sudah pasti akan menjamin kepastian hukum. Akhirnya, hukum harus dapat menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 178 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pokok permasalah serta pembahasan pada bab-bab yang telah diuraikan dalam tesis ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan yakni: 1. Pengkaplingan tanah di Indonesia belum diatur secara jelas dan pasti dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pasal 48 dan Pasal 49 PP No. 24 Tahun 1997 yang mengatur mengenai pemecahan dan pemisahan belum mampu memberikan kepastian hukum terhadap proses pengkaplingan tanah di Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuat atau ditetapkan peraturan pelaksana yang mengatur mengenai pengkaplingan tanah. 2. Kepemilikan tanah kapling dijamin kepastian hukumnya apabila telah dilakukannya pendaftaran tanah. Hasil dari pendaftaran tanah ialah lahirnya sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti kepemilikan hak. Sertipikat tersebut akan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai suatu bidang tanah, dan suatu perlindungan hukum terhadap subyek yang berhak atas tanah tersebut. 5.2 Saran-saran Berdasarkan kesimpulan dari pokok permasalah tersebut di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut : 1. Pemerintah perlu segera melakukan penegasan mengenai pengkaplingan tanah. Penegasan yang penulis maksud ialah diadakan pembaharuan dalam 179 PP No. 24 Tahun 1997 atau dibuatkan suatu peraturan yang mengatur proses pengkaplingan tanah secara jelas dan pasti, semisal Peraturan Menteri Agraria. Adanya peraturan yang jelas dan pasti tentunya akan melahirkan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. 2. Masyarakat yang terlibat dalam proses peralihan hak atas tanah melalui pengkaplingan tanah, agar terlebih dahulu mengecek kejelasan tanah, Notaris/PPAT berkewajiban mengecek sertipikat tanah tersebut sebelum dilakukannya peralihan hak pada Kantor Badan Pertanahan setempat. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian terhadap subyek dan objek hukum. Apabila telah siap dilakukan peralihan hak, maka tanah kapling tersebut harus didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan ditempat tanah tersebut berada untuk proses balik nama pada sertipikat. Sertipikat hak atas tanah inilah sebagai bukti sah kepemilikan hak atas tanah. 180 DAFTAR PUSTAKA BUKU Andreae, Fockema, dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum, Binacipta, Bandung. Ardiwilaga, R. Roestandi, 1962, Hukum Agraria Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Masa Baru, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1997, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung. Bakir , R. Sutoyo, 2009, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), Karisma Publishing Group, Tangerang. Effendi, Bachtiar, 1993, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung. Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta. Garner, Bryan A., 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United States of America. Hadjon, Philipus M. 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. Halim, Ridwan, 2001, Bendera Mimbar Filsafat Hukum Indoneisa dan Pragmatisasinya Suatu Analisis Yuridis Empiris, Angky Pelita Studyways, Jakarta. Hamidi, Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta. Hartanto, J. Andy, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Laksabang Mediatama, Yogyakarta. Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung. Harsono, Boedi, 1988, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Trisakti, Jakarta. 181 _______, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Rajawali Pers, Jakarta. Huda, Ni’Matul, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hutagalung, Arie S., 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Pertanahan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. Kratovil, Roberto, 1974, Real Estate Law, Prentice Hall New Jersey. Kusnardi, Moh., dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Djaya Pirusa, Jakarta. Kusnardi, Moh., dan Ibrahim Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta. Kusumaatmaja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. Locke, John, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent & Sons Ltd, London. Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung. Marbun, S.F., 2001, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia dalam Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta. Marwan, M. dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2009, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta. Nadapdap, Binoto, 2007, Kamus Istilah Hukum Agraria Indonesia, Jala, Jakarta. 182 Nemeth, Charles P., 2008, The Paralegal Resource Manual, The Mc Graw Hill Companies, United States. Noor, Aslan, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Berbangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. Parlindungan, A. P., 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. _______, 2001, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung. Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandangan Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta. _______, 1987, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers, Jakarta. Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. Salim, H., dkk., 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta. Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Setiawan, Yudhi, 2010, Hukum Pertanahan Teori dan Praktek, Bayumedia, Malang. Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Pajak Daerah & Retribusi daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Press, Jakarta. Sibaga, Sahat HMT, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka Sutra, Bandung. Sibuea, Hotma P., 2010, Asas-Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlagga, Jakarta. Soejono, dan H. Abdurrahman, 2003, Prosedur Pendaftaran Tanah (Tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna, dan Hak Guna Bangunan), Rineka Cipta, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta. Seokanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 183 Soerjopratiknjo, Hartono, 1982, Aneka Perjanjian Jual-Beli, Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeroso, R., 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sudiyat, Iman, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W., 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta. Syahrani, Riduan 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Tim Penyusun Pusat Kamus, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Thompson, Mark P., 2001, Modern Land Law, First Published, Oxford University Press, New York. Wahjono, Padmo, 1977, Ilmu Negara Suatu Sistematik dan Penjelasan Teori Ilmu Negara dari Jellijek, Melati Study Group, Jakarta. Widyaningsih, Arisanti, 2011, Hukum Pajak dan Perpajakan, Alfabeta, Bandung. _______, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta. MAKALAH Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Tanggal 1 Mei 2004. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Negara Republik Indonsia 2034. 184 Undang-Undang Nomor 56/Prp/Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 174. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1989 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan 185 Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Retribusi Peruntukan Penggunaan Tanah dimuat dalam Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 10.