ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan 3.1.1 Pengertian Kepailitan Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Bila ditelusuri lebih mendasar, istilah pailit dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda, pailit berasal dari kata "failliet" yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahasa Perancis, pailit berasal dari kata "faillite" yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis dinamakan "lefaili". Kata kerja "failir" berarti gagal. Dalam bahasa Inggris dikenal kata "to fail" dengan arti yang sama, dalam bahasa Latin disebut "faillure". Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata-kata "bankrupt" dan "bankruptcy" (Victor M Sitomorang dan Hendri Soekarso, 1994:18-19 dan Zainal Asikin, 2001:26-27).45 Kepailitan adalah suatu suatu putusan dimana seluruh harta kekayaan debitur disita akibat dari debitur tidak dapat membayar utang-utangnya kepada 45 Rahmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, h.11 Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 52 kreditur, guna untuk membayar seluruh utangnya kepada kreditur. Sedangkan pailit merupakan suatu keadaan debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utangnya dari para kreditur. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.46 Dalam bukunya M. Hadi Subhan berpendapat bahwa, kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur palit tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.47 Sedangkan menurut UU KPKPU pada pasal 1 angka 1 telah dijelaskan mengenai pengertian dari kepailitan yakni: "Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini." Munir Fuady menyamakan istilah "kepailitan" dengan "bangkrut" manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, dari pada pihak debitur ramai-ramai mengeroyok debitor dan saling berebutan harta debitor tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitor dapat dibayar 46 47 Skripsi Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2008, h.1 Ibid., KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 53 secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitor (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1(satu) hutang/kreditor dan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya, sehingga debitor segera membayar hutang-hutangnya tersebut.48 3.1.2 Syarat Mengajukan Permohonan Pailit Di dalam UU KPKPU, persyaratan untuk dapat dipailitkan sangatlah sederhana. Pada ketentuan pasal 1 ayat (1) UU KPKPU menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU KPKPU, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan atau permintaan dua atau lebih kreditornya. Dari paparan tersebut telah jelas bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi syarat sebgai berikut: 1. Memiliki dua kreditor atau lebih; UU KPKPU memberikan syarat setidaknya debitur memiliki dua kreditor untuk dapat diajukan permohonan pernyataan pailit. Syarat tersebut lebih sering dikenal dengan concurus creditorium. Sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata49 mengenai rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor 48 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata BIsnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.75 49 KUH Perdata terjemahan: Prof. R. Subekti, S.H. Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 54 untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian, dilakukan proses penyitaan atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagikan hasil perolehannya kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur oleh undang-undang.50 Pada dasarnya Kepailitan merupakan prosedur manajemen pembagian harta debitor dalam rangka pelunasan utangnya kepada para debitor. Hal tersebut dilakukan agar terhindar dari berebutnya harta debitor oleh masing-masing kreditor yang ingin mendapat pemenuhan prestasi terlebih dahalu. Misalnya debitor hanya memiliki satu kreditor saja maka, kreditor tersebut tidak harus berebut harta debitor sebesar pelunasan piutangnya. Sebab, kreditor tungga tersebut tidak memiliki lawan (kreditor lainnya). Terkait dengan syarat debitor harus memiliki minimal dua kreditor maka, beban pembuktian berada pada pihak pemohon pailit (bisa debitor sendiri atau para kreditornya) harus dapat membuktikan jika debitor telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. 2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan ( UU Kepailitan lama ) tidak memberikan ketentuan mengenai definisi utang, sehingga pada zaman berlakunya Undang-Undang tersebut banyak 50 Ardhita Pramudya, Skripsi: Kepailitan atas Bank Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2014, h.18 Skripsi yang Telah Dicabut Izin Usaha Perbankannya, KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 55 menimbulkan multitafsir terkait pendefinisian utang. Dengan lahirnya UU KPKPU yang baru ( Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004) akhirnya memberikan jawaban atas multitafsir mengenai definisi utang. Dari pengertian utang pada Pasal 1 angka 6 UU KPKPU dapat disimpulkan bahwa definisi utang tersebut harus diartikan dalam arti yang luas. Maksudnya, dikatakan sebagai utang bukan saja kewajiban yang lahir karena suatu perikatan saja melainkan juga lahir karena ketentuan undang-undang. Utang dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, jenis utang yang lahir karena Undang-Undang yakni perbuatan melawan hukum (Pasal 1365-1366 KUH Perdata), znegotiorum gestio atau zaakwaarneming (Pasal 1354-1357 KUH Perdata), dan pembayaran yang tidak diwajibkan (Pasal 1359-1364 KUH Perdata). Dan jenis utang yang lahir karena perjanjian yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.51 M. Hadi Subhan menyatakan terdapat kekurangan dan kelemahan UU KPKPU terakit dengan tidak adanya pembagian jumlah nominal utang dalam permohonan pernyataan pailit. Dikatakan bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi penyimpangan hakikat kepailitan dari kepalitan sebagai pranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada 51 Skripsi Ibid., h.22 KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 56 para kreditor sehingga untuk mencegah terjadi unlawful execution dari para kreditornya, menjadi kepailitan sebagai alat tagih semata (debt collection tool).52 Menurut Sutan Remy, pengertian utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih merupakan suatu hal yang berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh tempo atau utang yang expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagihkan. Sedangkan utang yang yang telah dapat ditagihkan belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Di sisi lain, suatu utang dikatakan jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu apabila utang itu sudah waktunya untuk dibayarkan.53 Kreditor yang tidak dibayar tersebut kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mengajukan permohonan pailit tanpa melihat jumlah piutangnya.54 Dalam kepailitan terdapat tiga jenis kreditor yang terdiri dari:55 1. Kreditor Separatis Hak eksekusi Kreditor Separatis tetap dapat dilaksanakan seperti tidak ada kepailitan atas debitor. Kreditor ini meliputi kreditor pemegang hak tanggungan, gadai, dan hipotek. Hak Kreditor Separatis dapat ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit dikeluarkan. 2. Kreditor Preferen Kreditor preferen disebut juga dengan Kreditor Istimewa adalah kreditor 52 Hadi Shubhan, "Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktek di Pengadilan", Kencana, Jakarta, 2009, h.23 53 Ardhita Pramudya, Op.Cit., h.23 54 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan, Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h.208 55 Ibid., h.212 Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 57 yang memiliki hak istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang sehingga kedudukan kreditor ini menjadi lebih tinggi dari Kreditor biasa. Kreditor Preferen diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. 3. Kreditor Konkuren Kreditor Konkuren adalah seluruh kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen. Kreditor Konkuren menerima pembayaran dari harta pailit setelah Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen menerima pembayaran piutangnya. Kreditor Konkuren akan menerima pembayaran dari hasil penjualan harta pailit sesuai dengan besarnya piutang masing-masing. Setiap kreditor tersebut berhak memailitkan debitornya jika telah memenuhi persyaratan diatas yang telah diatur dalam UU KPKPU. Kecuali jika yang dipailitkan adalah Bank, Perusahaan efek dan perusahaan-perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) (3) (4) dan (5) UU KPKPU, selain kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah: 1. Kejaksaan, apabila permohonan pailit tersebut untuk kepentingan umum. Kepentingan umum menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU KPKPU adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misal: a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 58 yang menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh tempo; atau f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. 2. Bank Indonesia, apabila yang dimohonkan pailit adalah Bank. Hal tersebut berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan Indonesia secara keseluruhan. Peraturan yang mengkhususkan pemohon pernyataan pailit terhadap bank adalah Bank Indonesia karena bank adalah suatu badan hukum yang bergerak dibidang keuangan yang menyerap langsung serta menyalurkan dana masyarakat umum dalam menjalankan usahanya. Oleh sebab itu mekanisme perbankan di masyarakat sangat melekat dan aspek kepercayaan sangat rentan kalau hak khusus tersebut tidak diberikan.56 Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit pada bank dikarenakan peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai Bank Sental. Sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam stabilitas sitem keuangan yang salah satunya adalah memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Sebab, kegagalan dalam sektor perbankan tersebut 56 Skripsi Ardhita Pramudya, Op.Cit., h.23 KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 59 dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian.57 Dalam UU Perbankan, tidak ditentukan secara jelas mengenai kepailitan bank, dengan demikian suatu bank dapat dinyatakan pailit oleh hakim berdasarkan peraturan yang berlaku umum bagi kepailitan yaitu UU KPKPU. 3. Badan Pengawas Pasar Modal, apabila yang dimohonkan pailit adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.; 4. Menteri Keuangan, apabila yang dimohonkan pailit adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergera dibidang publik. Maksud dari BUMN yang bergerang di bidang kepentingan publik adalah BUMN yang berbentuk Perum dengan ciri-ciri seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham. Pasal 36 ayat (1) UU BUMN turut mengatakan bahwa maksud dan tujuan BUMN Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum. 3.2 Kedudukan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU Pasca Terbentuknya OJK Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU KPKPU, yang memiliki wewenang untuk mempailitkan bank hanyalah Bank Indonesia. Jika dilihat dari ketentuan tersebut, Bank Indonesianya memiliki wewenang untuk mempailitkan sebuah bank. Yang dimaksud dengan Bank berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Perbankan 57 Skripsi www.bi.go.id diakses: tgl 20 Januari 2015 KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 60 "Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakkat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak" Namun sejak diundangkannya UU OJK, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK. Hal tersebut terlihat pada aturan ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU OJK yang berbunyi "Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK" Dari ketentuan tersebut telah menimbulkan sebuah pemikiran apakah kewenangan untuk mempailitkan sebuah Bank yang berdasarkan UUKPKU berada di Bank Indonesia berpindah ke OJK. 3.2.1 Kewenangan mengajukan permohonan pailit pada Bank Landasan yuridis dalam permohonan pernyataan pailit bagi bank adalah pasal 2 ayat (3) UU KPKPU yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan dari Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara kesuluruhan. Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa dalam hal debitor adalah bank, maka yang berwenangan mengajukan permohonan pailit adalah Bank Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 61 Indonesia. Namun setelah diundangkannya UU OJK yang telah mengambil alih tugas mengatur dan mengawasi di sektor keuangan, telah menjadikan polemik baru pada siapakah yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit tersebut. Apakah tetap berada pada Bank Indonesia ataukah telah berpindah menjadi kewenangan dari OJK. Tugas dan Kewenangan Bank Indonesia dalam ranah pengaturan dan pengawasan bank secara keseluruhan telah berpindah ke OJK. Namun berdasarkan ketentuan dalam UU OJK, hanya fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia yang tercantum di dalam UU OJK tersebutlah yang berpindah ke OJK. Berikut adalah alasan-alasan pengajuan permohonan pailit Bank tetap pada Bank Indonesia : a. Tidak adanya Pengaturan di UU OJK Berdasarkan ketentuan pada Pasal 70 angka 7 UU OJK juga telah disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU OJK. Sehingga dapat disimpulkan apabila belum ada ketentuan yang berkaitan dengan sektor jasa keuangan belum diganti maka, peraturan tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU OJK. Dan ketentuan mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan Pailit bank masih tetap berlaku dan belum beralih kepada OJK. b. Eksistensi Bank Indonesia Dengan belum dicabutnya UU BI, maka eksistensi dari Bank Indonesia masih diakuin keberadaannya termasuk kewenangannya yang belum dicabut Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 62 oleh peraturan perundang-undangan yang lainnya. Jadi, kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit pada bank masih berada di tangan Bank Indonesia. Namun apabila Bank Indonesia eksistensinya telah dihapuskan, maka kewenangan tersebut secara otomatis akan berpindah kepada OJK sebagai lembaga otoritas yang mengatur dan mengawasi secara langsung lembaga keuangan yang salah satunya adalah disektor perbankan. c. Norma Pembagian Kewenangan Selain itu, tugas dan wewenang OJK dalam hal pengawasan perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro-prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha, dan penilaian tingkat kesehatan. Sementara itu, aspek macro-prudential berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran seperti ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka (OPT), dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang moneter dan sistem pembayaran merupakan kewenangan dari otoritas moneter Bank Indonesia.58 Pada penjelasan Pasal 7 UU OJK juga menjelaskan bahwa: "Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yaksi pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan 58 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, Raih Asas Sukses (Penebar Swadaya Grup), Jakarta, 2014, h.301 Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 63 macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan". Ketentuan penjelasan tersebut sangat jelas merupakan norma pembagian kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia. d. Saling Koordinasi dan Bertukar Informasi UU OJK telah mengamanatkan tatacara koordinasi antara OJK dengan Bank Indonesia. Hal tersebut terlihat pada Pasal 40 dan Pasal 41 UU OJK. Dalam Pasal 40 UU OJK menyatakan bahwa dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap benk tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Dan dalam penjelasannya juga dinyatakan bahwa pada dasarnya kewenangan pemeriksaan terhadap Bank berada ditangan OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential. Selain itu juga dinyatakan bahwa penilaian terhadap tingkat kesehatan bank merupakan kewenangan OJK. Dan pada Pasal 41 UU OJK menyatakan bahwa dalam hal OJK mengindikasi bank tertentu menglami kesulitan likuidasi dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga 64 Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Dengan begitu dalam hal kewenangan untuk megajukan permohonan pailit pada bank tetap berada pada Bank Indonesia, namun dalam hal penilaian kesehatan bank berada di tangan OJK. Sehingga Bank Indonesia dapat melakukan permohonan pailit kepada bank dengan memperoleh informasi dari OJK. Skripsi KEPAILITAN BANK PASCA LAHIRNYA OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) PUTRI SASKY ANGGRAINI