46 46 BAB V PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan terdapat

advertisement
46
BAB V
PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara
tingkat kematangan sosial bayi yang diberikan ASI eksklusif dan tingkat
kematangan sosial bayi yang tidak diberi ASI eksklusif. Peneliti menganalisis
karakteristik kedua kelompok subjek penelitian untuk mengetahui kedua
kelompok sebanding atau tidak.
Tabel 4.1 menunjukkan perbedaan kelompok ASI eksklusif dan noneksklusif berdasarkan usia subjek penelitian. Peneliti menggunakan usia 6 bulan
sebagai batas usia minimal untuk memisahkan sampel yang diberi ASI eksklusif
dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif merupakan
pemberian ASI tanpa tambahan makanan dan minuman lain selama 6 bulan
pertama kehidupan bayi (IDAI, 2010). Usia 12 bulan digunakan sebagai batas usia
maksimal sampel karena instrumen pengukuran tingkat kematangan sosial yang
digunakan (VSMS) dikategorikan berdasarkan periode usia. Rerata usia seluruh
subjek penelitian adalah 8,93 bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi
usia tidak normal pada kelompok ASI eksklusif (p=0,001) dan kelompok ASI
non-eksklusif (p=0,001). Terdapat perbedaan rerata usia pada kedua kelompok.
Kelompok ASI eksklusif memiliki rerata usia 8,37 bulan sedangkan kelompok
ASI non-eksklusif memiliki rerata usia 9,49 bulan. Sebagian besar ibu dari subjek
penelitian dengan ASI non-eksklusif menyebutkan alasan tidak memberikan ASI
46
47
eksklusif karena takut bayi mereka tidak kenyang apabila hanya mendapatkan ASI
saja.
Tingkat kematangan sosial tidak dipengaruhi oleh usia bayi. Setiap
tahapan usia memiliki tolok ukur kemampuan tersendiri (Doll, 1953). Karena
kedua kelompok tidak sebanding menurut umur, peneliti menganalisis perbedaan
tingkat kematangan sosial subjek penelitian berdasarkan umur. Analisis perbedaan
tingkat kematangan sosial berdasarkan usia bayi akan disajikan setelah
pembahasan masing-masing karakteristik subjek penelitian.
Tabel 4.2 menunjukkan perbandingan karakteristik subjek penelitian
berdasarkan jenis kelamin. Nilai p yang didapatkan berdasarkan analisis adalah
0,473 yang artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok subjek
penelitian yang diberi ASI eksklusif dan kelompok subjek penelitian yang tidak
diberi ASI secara eksklusif menurut jenis kelamin. Temuan pada penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novita et al. (2008) yaitu jenis
kelamin bayi tidak mempengaruhi pemberian ASI eksklusif oleh ibu.
Menurut Hurlock (2013) jenis kelamin individu mempengaruhi tingkat
kematangan sosial. Anak dengan jenis kelamin laki-laki cenderung memiliki
kematangan sosial yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Hasil analisis
statistik pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jenis
kelamin
kedua
kelompok
subjek
penelitian.
Hasil
statistik
ini
dapat
meminimalkan faktor perancu pada penelitian ini.
Seluruh subjek penelitian memiliki status gizi yang baik sehingga tidak
ada perbedaan yang bermakna antara bayi dengan ASI eksklusif dan non-eksklusif
48
berdasarkan status gizi bayi. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Fitri et al. (2014), yaitu hubungan pemberian ASI eksklusif
tidak signifikan dengan status gizi bayi. Temuan pada penelitian ini tidak sesuai
dengan hasil dari penelitian Lastini ED (2001), Aziezah dan Adriani (2013), dan
Giri et al. (2013) yang menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif
mempengaruhi status gizi bayi. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam jumlah subjek, metode dan lokasi penelitian. Bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif umumnya memiliki status gizi yang lebih baik
dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pada penelitian ini
didapatkan hasil tidak ada perbedaan status gizi yang signifikan antara subjek
dengan ASI eksklusif dan subjek dengan ASI non-eksklusif kemungkinan
disebabkan oleh kuantitas dan kualitas ASI yang diberikan ibu kelompok ASI
eksklusif masih kurang dan perbedaan asupan gizi pada ibu saat menyusui. Selain
itu, kemungkinan kelompok subjek penelitian dengan ASI non-eksklusif
mendapatkan makanan pendamping ASI yang bergizi dan memenuhi kebutuhan
bayi.
Status gizi mempengaruhi tingkat kematangan sosial individu (Mangal,
2007). Individu yang sehat akan mempunyai kepercayaan diri, menghargai diri
sendiri dan dapat memelihara hubungan sosial di lingkungannya dengan baik.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan status gizi yang bermakna antara
kedua kelompok subjek penelitian sehingga peneliti tidak melakukan analisis
perbedaan tingkat kematangan sosial menurut status gizi.
49
Tabel 4.3 menunjukkan perbandingan karakteristik subjek penelitian
berdasarkan pekerjaan ibu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai p=0,454, yang
artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dilihat dari
status pekerjaan ibu. Pemberian ASI eksklusif tidak dipengaruhi oleh pekerjaan
ibu. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Lestari et al. (2013) di
Lampung Barat, Novita et al. (2008) di Bandung dan penelitian Purnamawati
(2003) berdasarkan analisis data SUSENAS 2001, yaitu status pekerjaan ibu tidak
mempengaruhi pola pemberian ASI. Sementara hasil penelitian Juliastuti (2011)
menyebutkan bahwa status pekerjaan ibu mempengaruhi pola pemberian ASI
eksklusif. Ibu yang tidak bekerja lebih cenderung memberikan ASI eksklusif.
Perbedaan temuan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
subjek dan lokasi penelitian. Status pekerjaan ibu bukan penghambat bagi ibu
untuk memberikan ASI eksklusif. Beberapa upaya yang dilakukan ibu bekerja
untuk tetap memberikan ASI eksklusif yaitu meninggalkan ASI di rumah dengan
menyimpan ASI di dalam kulkas, berusaha pulang pada jam istirahat dan tetap
mengeluarkan ASI di tempat kerja yang nantinya disimpan. Pemberian ASI
eksklusif oleh ibu bekerja didukung oleh Pemerintah melalui PP No.33/2012 yang
menyebutkan ketentuan penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah
ASI pada tempat kerja dan sarana umum.
Status pekerjaan ibu mempengaruhi tingkat kematangan sosial bayi
(Djojohusodo et al., 2009). Bayi yang memiliki ibu tidak bekerja cenderung
memiliki tingkat kematangan sosial yang lebih baik. Pada ibu tidak bekerja,
pengasuhan bayi dilakukan oleh ibu sendiri sehingga hubungan yang terjalin
50
antara ibu dan anak menjadi lebih dekat. Hubungan yang dekat ini berperan dalam
perkembangan psikososial bayi yang bisa diukur melalui tingkat kematangan
sosialnya. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis perbedaan tingkat
kematangan sosial menurut status pekerjaan ibu karena karakteristik status
pekerjaan ibu pada kedua kelompok subjek penelitian sebanding.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis perbandingan kedua kelompok
subjek penelitian menurut tingkat pendidikan formal ibu. Hasil analisis
menunjukkan nilai p=0,072 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kedua kelompok subjek penelitian dilihat dari tingkat pendidikan
formal yang telah ditempuh oleh ibu dari subjek penelitian. Hasil penelitian ini
serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mudapati (1992) di
Yogyakarta, Ria (2004) di Semarang, Novita et al. (2008) di Bandung, Sartono
dan Utaminingrum (2012) di Semarang dan hasil analisis data SUSENAS 2001
oleh Purnamawati (2003) yaitu pemberian ASI eksklusif tidak dipengaruhi oleh
lamanya pendidikan formal yang ditempuh orang tua. Pemberian ASI eksklusif
lebih ditentukan pada tingkat pengetahuan dan kesadaran ibu akan pentingnya
ASI eksklusif. Sebagian besar ibu pada kelompok ASI non-eksklusif tidak
mengetahui arti ASI eksklusif yang benar.
Hasil penelitian Djojohusodo et al. (2009) dan Hastui et al. (2011)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu mempengaruhi tingkat kematangan
sosial bayi. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi memiliki anak dengan
tingkat kematangan sosial yang lebih tinggi pula. Pada penelitian ini tidak
dilakukan analisis perbedaan tingkat kematangan sosial bayi menurut tingkat
51
pendidikan ibu karena kedua kelompok subjek penelitian sebanding menurut
tingkat pendidikan ibu.
Tabel 4.5
menunjukkan perbandingan kedua kelompok menurut
penghasilan rumah tangga. Peneliti mengkategorikan penghasilan rumah tangga
subjek penelitian berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Kota Surakarta,
yaitu Rp1.244.000,00 (SK Gubernur Jateng No. 560/85 2014). Hasil analisis
menunjukkan nilai p=0,027 yang artinya terdapat perbedaan yang bermakna
antara kedua kelompok jika dilihat dari penghasilan rumah tangga. Keluarga
dengan penghasilan setara atau di atas UMR lebih memilih memberikan ASI
eksklusif, sedangkan keluarga yang berpenghasilan di bawah UMR lebih memilih
memberikan ASI non-eksklusif. Temuan pada penelitian ini serupa dengan hasil
penelitian Novita et al. (2008) di Bandung yang menyebutkan bahwa keluarga
dengan penghasilan rendah lebih memilih memberikan ASI non-eksklusif. Hasil
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnamawati (2003)
berdasarkan hasil analisis data SUSENAS 2001 yang menyebutkan bahwa orang
tua dengan status ekonomi rendah lebih cenderung memberikan ASI eksklusif
dibandingkan dengan orang tua dengan status ekonomi tinggi. Keluarga dengan
penghasilan rendah umumnya lebih memilih untuk memberikan ASI eksklusif
karena keterbatasan untuk membeli susu formula atau makanan pendamping ASI.
Sementara hasil penelitian Yefrida (1997) di Depok, Soeparmanto dan Pranata
(2005) berdasarkan hasil analisis data SUSENAS 2001 dan Ria (2004) di
Semarang menyebutkan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan pola
pemberian ASI. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan karena teradapat
52
perbedaan dalam jumlah subjek, lokasi dan metode penelitian. Sebagian besar
subjek penelitian dari kelompok penghasilan tinggi memiliki kesadaran
pentingnya ASI sehingga lebih cenderung memberikan ASI eksklusif.
Penghasilan rumah tangga secara tidak langsung memberikan pengaruh
terhadap tingkat kematangan sosial bayi. Keluarga dengan penghasilan tinggi bisa
menyediakan sarana seperti mainan edukatif untuk menstimulasi perkembangan
anak. Djojohusodo et al. (2009) menyebutkan bahwa semakin banyak mainan
edukatif yang disediakan orang tua semakin tinggi tingkat kematangan sosial bayi.
Namun penghasilan rumah tangga tidak menjamin jumlah tersedianya mainan
untuk anak. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis perbedaan tingkat
kematangan sosial bayi berdasarkan penghasilan rumah tangga karena pengaruh
penghasilan rumah tangga terhadap kematangan sosial bayi tidak terjadi secara
langsung.
Tabel 4.6 menunjukkan perbandingan kedua kelompok menurut jumlah
anak dalam keluarga. Hasil analisis menunjukkan nilai p=0,255. Hasil analisis ini
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok
menurut jumlah anak dalam keluarga. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
Widodo et al. (2003), Soeparmanto dan Pranata (2005) serta Novita et al. (2008)
yang menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak dipengaruhi oleh
banyaknya jumlah anak dalam keluarga.
Lingkungan keluarga mempengaruhi tingkat kematangan sosial bayi
(Papalia et al., 2014). Seorang anak belajar sosialisasi pertama kali melalui
lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang harmonis dan penuh kasih
53
sayang akan membuat bayi merasa tenang dan nyaman. Jumlah anak dalam
keluarga tidak mempengaruhi tingkat kematangan sosial bayi. Perilaku dan
hubungan dalam keluarga lebih memberikan pengaruh pada perkembangan
kematangan sosial anak. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis perbedaan
kematangan sosial subjek penelitian berdasarkan jumlah anak dalam keluarga
karena tidak ada pengaruh antara kedua hal tersebut serta kedua kelompok
sebanding menurut karakteristik jumlah anak dalam keluarga.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan peneliti, karakteristik kelompok
ASI eksklusif dan kelompok ASI non-eksklusif sebanding pada jenis kelamin,
status gizi, pekerjaan ibu, tingkat pendidikan formal ibu, dan jumlah anak dalam
keluarga. Namun terdapat perbedaan bermakna pada usia subjek penelitian
(p=0,027) dan jumlah penghasilan rumah tangga subjek penelitian (p=0,027).
Tabel 4.7 menunjukkan distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan
tingkat kematangan sosial. Sebagian besar subjek penelitian yaitu sejumlah 26
(37,1%) subjek memiliki tingkat kematangan sosial sedang. Hasil ini tidak
sepadan dengan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti sebelum memulai
penelitian ini. Studi pendahuluan menunjukkan didapatkan 5 bayi (50%) memiliki
kematangan sosial yang kurang, 3 bayi (30%) memiliki kematangan sosial baik,
dan 2 bayi (20%) memiliki kematangan sosial sedang dari total 10 bayi.
Persentase tingkat kematangan sosial pada hasil studi pendahuluan dan hasil
penelitian berbeda karena peneliti tidak mencakup semua wilayah kerja
Puskesmas Ngoresan dalam mengambil data ketika melakukan studi pendahuluan.
54
Tabel 4.8 menunjukkan perbedaan tingkat kematangan sosial pada kedua
kelompok subjek penelitian. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang
bermakna antara kedua kelompok menurut tingkat kematangan sosial (p=0,001).
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki tingkat kematangan sosial yang
lebih baik. Temuan pada penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sumirat et al. (2009), yaitu riwayat pemberian ASI eksklusif
membentuk kematangan sosial dan emosi yang lebih baik dan menurunkan faktor
risiko perilaku nakal pada anak usia SD. Hasil penelitian ini didukung oleh
pendapat Kennell dan Klaus (1998) yang mengatakan bahwa pemberian ASI
berperan pada perkembangan psikososial bayi melalui kontak fisik dengan ibunya
yang mengarah pada aspek pembentukan bonding, attachment dan perkembangan
kognitif anak. Kelekatan antara ibu dan bayi terjadi mulai dari awal kehidupan
terutama bila bayi menyusu pada ibunya. Kelekatan ini akan membentuk ikatan
emosional yang lebih kuat dan membangun perkembangan psikososial bayi lebih
optimal.
Tabel 4.9 menunjukkan perbedaan tingkat kematangan sosial berdasarkan
usia subjek penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna pada tingkat kematangan sosial subjek penelitian berdasarkan usia
subjek penelitian (p=0,002). Subjek penelitian yang memiliki perbedaan tingkat
kematangan sosial adalah subjek kelompok usia 6 bulan dan 11 bulan (p=0,020),
6 bulan dan 12 bulan (p=0,014), 7 bulan dan 11 bulan (p=0,003), 7 bulan dan 12
bulan (p=0,014), 8 bulan dan 11 bulan (p=0,001), 8 bulan dan 12 bulan (p=0,007)
serta 9 bulan dan 11 bulan (p=0,024). Terdapat perbedaan tingkat kematangan
55
sosial yang bermakna pada kelompok usia ≤ 8 bulan dan > 8 bulan (p=0,001).
Subjek dari kelompok usia ≤ 8 bulan cenderung memiliki tingkat kematangan
sosial yang baik sedangkan subjek dari kelompok usia > 8 bulan cenderung
memiliki tingkat kematangan sosial yang kurang. Temuan pada penelitian ini
selaras dengan hasil penelitian Hastuti et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat kematangan sosial bayi.
Sementara hasil penelitian ini tidak sebanding dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Djojohusodo et al. (2009) di Surabaya yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat kematangan
seseorang. Menurut Doll (1953) tingkat kematangan sosial individu tidak
dipengaruhi usia karena setiap tahapan usia memiliki tolok ukur kemampuan
tersendiri. Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
jumlah subjek, lokasi penelitian, metode penelitian dan adanya variasi
perkembangan setiap individu. Kelompok usia rendah yang mendapatkan ASI
eksklusif cenderung memiliki tingkat kematangan sosial yang lebih baik dan
sebaliknya. Kelompok usia tinggi cenderung memiliki kematangan sosial yang
kurang karena sebagian besar kelompok usia tinggi tidak mendapatkan ASI
eksklusif. Tingkat kematangan sosial subjek lebih ditentukan oleh pola pemberian
ASI eksklusif dibandingkan oleh usia.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam pengendalian
variabel perancu dan proses pengambilan data. Variabel perancu yang
dikendalikan antara lain kecacatan yang meliputi cacat fisik maupun cacat mental.
Variabel tersebut dikendalikan dengan observasi dan tidak memasukkan individu
56
dengan cacat fisik maupun cacat mental ke dalam subjek penelitian. Variabel
perancu yang tidak dikendalikan meliputi jenis kelamin dan status gizi.
Keterbatasan ini dapat diminimalkan dengan analisis statistik dan terbukti bahwa
tidak ada perbedaan yang bermakna pada jenis kelamin dan status gizi kedua
kelompok subjek penelitian. Keterbatasan pada proses pengambilan data meliputi
ketidakjujuran subjek penelitian pada saat wawancara. Peneliti tidak bisa
mengamati secara langsung apakah subjek penelitian benar-benar mendapatkan
ASI eksklusif selama 6 bulan dikarenakan keterbatasan waktu. Keterbatasan
penelitian ini diminimalkan dengan cara memberi penjelasan subjek penelitian
untuk menjawab secara jujur pada saat proses wawancara. Keterbatasan lain
dalam penelitian ini adalah peneliti tidak bisa mengendalikan variasi
perkembangan setiap anak. Gunarsa dan Gunarsa (2008) menyebutkan bahwa
setiap individu memiliki tingkat perkembangan yang khas dan berbeda dengan
yang lain. Tidak ada individu yang memiliki perkembangan yang tepat sama
meskipun berasal dari orang tua yang sama.
Download