PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK (Macaca nemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE SUBKUTAN YUSNIA PURWANINGRUM FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui Rute Subkutan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2010 Yusnia Purwaningrum NIM B04061265 ABSTRACT YUSNIA PURWANINGRUM. Profile of Immunoglobulin M (IgM) and IgG Antibodies in Pig-tailed Macaques (Macaca nemestrina) Infected by Virus Serotype-3 (DEN-3) via Subcutaneous Route. Under direction of JOKO PAMUNGKAS and RACHMITASARI NOVIANA. This study was to compare the immune response in pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) induced by the dengue virus serotype-3 (DEN-3) via subcutaneous route. There are 3 groups of animal in the study. Group 1 (n=6) were infected by DEN-3 at low dose level of 104 PFU/ml, group 2 (n=6) were infected by DEN-3 at high dose level of 107-108 PFU/ml, and group 3 (n=4) were infected by PBS; all groups were innoculated by subcutaneous route. The blood samples were collected using venesectio method in femoralis vein on day 0 prior the infection followed by day 1 until day 13 post infection. IgM and IgG antibodies were detected by Indirect Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dengue virus induced humoral immune respons producing antibodies. The antibody profile analyses showed different by individual animals, but similar in general. The IgM titer started to increase on day 4 or day 5 post infection and reached the peak on day 9 post infection and decline afterward; The IgG titer started to increase on day 7 or 8 post infection. In general the increase of IgM titer started earlier than the IgG and the titer of IgM was higher than the IgG. Keywords: IgM, IgG, pig-tail macaque, DEN-3, subcutaneous route. RINGKASAN YUSNIA PURWANINGRUM. Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui Rute Subkutan. Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan RACHMITASARI NOVIANA. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan respon imun pada beruk (Macaca nemestrina) yang diinduksi oleh virus dengue serotipe-3 (DEN-3) melalui rute subkutan. Penelitian ini menggunakan 3 kelompok hewan. Kelompok 1 (n=6) diinfeksi dengan virus DEN-3 dosis rendah 104 PFU/ml, kelompok 2 (n=6) diinfeksi dengan virus DEN-3 dosis tinggi 107-108 PFU/ml, dan kelompok 3 (n=4) diinfeksi dengan PBS; semua kelompok diinfeksi melalui rute subkutan. Sampel darah dikoleksi melalui metode venesectio pada vena femoralis pada hari ke-0 sebelum infeksi dan dilanjutkan pada hari ke-1 hingga hari ke-13 setelah infeksi. Kemudian antibodi IgM dan IgG dideteksi dengan uji ELISA tidak langsung. Virus dengue menginduksi tanggap kebal humoral dengan pembentukan antibodi. Gambaran profil antibodi berbeda setiap individu hewan, tetapi secara umum memiliki kemiripan. Titer antibodi IgM mulai meningkat pada hari ke-4 atau hari ke-5 pasca infeksi dan mencapai puncak pada hari ke-9 pasca infeksi kemudian mulai mengalami penurunan. Sementara itu, IgG mulai mengalami peningkatan titer pada hari ke-7 atau hari ke-8 pasca infeksi. Secara umum, peningkatan titer IgM lebih awal daripada IgG dan titer titer IgM lebih tinggi daripada IgG. Kata-kata kunci: IgM, IgG, beruk, DEN-3, rute subkutan. PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK (Macaca nemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE SUBKUTAN YUSNIA PURWANINGRUM Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. Judul Skripsi : Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui Rute Subkutan Nama : Yusnia Purwaningrum NIM : B04061265 Disetujui Dr. drh. Joko Pamungkas M.Sc. Pembimbing I Rachmitasari Noviana, SKH. Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus : Skripsi ini saya dedikasikan untuk ibu Umiyati, bapak Lamidi, dan adik Yusril Fatkhurrozi. Terima kasih atas kebaikan, kasih sayang, perhatian, kepercayaan, pengertian, dukungan, pembelajaran, perjuangan, teladan, dan semua hal yang telah kalian berikan. “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (QS. Luqman, 31: 14) PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 dengan judul Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) Melalui Rute Subkutan. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Bapak Lamidi dan Ibu Umiyati, serta adikku Yusril Fatkhurrrozi, yang telah memberikan dorongan moral dan doanya. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Joko Pamungkas M.Sc. selaku pembimbing pertama yang sabar dan memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; Rachmitasari Noviana, SKH. selaku pembimbing kedua yang mendampingi penulis dalam pelaksaan penelitian dan penulisan skripsi; Drh. Kusdiantoro Mohammad, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang memberikan arahan selama penulis menjalani perkuliahan; Dr. Drh. Diah Iskandriati selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP dalam membantu memfasilitasi penelitian; staf laboratorium dan pegawai PSSP LPPM IPB atas bantuan yang telah diberikan; Drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS selaku dosen penilai seminar; Dr. Drh. Umi Cahyaningsih, MS selaku moderator seminar; Dr. Drs. Bambang Kiranadi, M.Sc dan Prof. Dr. Drh. Iman Supriatna selaku dosen penguji sidang; dosen FKH IPB atas semua ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalani perkuliahan; Sri Nofrianti, Ranti Asryyuni, dan Rahmawati atas kerjasamanya; Senior Resident Asrama TPB IPB dan Badan Pengelola Asrama TPB IPB atas kekeluargaan, dukungan, dan pembelajaran yang sangat berharga; teman-teman Aesculapius FKH 43, LDF An-Nahl FKH IPB, Himpro HKSA, UKM Tae Kwon Do, dan DKM AlHurriyyah dan masih banyak lagi teman-teman yang membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kemudian hari untuk masyarakat luas. Bogor, September 2010 Yusnia Purwaningrum RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 18 Desember 1987 dari ayah Lamidi, S. Pd dan ibu Umiyati. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2006, penulis berhasil menyelesaikan studi pada jenjang SMA di SMA Negeri 1 Batu dan diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Lembaga Amil Zakat DKM Al-Hurriyyah, beasiswa Supersemar, beasiswa Korean Exchange Bank (KEB), dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa dari IPB. Penulis juga aktif sebagai pengurus Musholla Asrama Putri TPB IPB (20062007), pengurus DPM TPB (2006-2007), pengurus LDK DKM Al-Hurriyyah IPB (2006-2008), pengurus LDF DKM An-Nahl FKH IPB (2007-2008), anggota Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik FKH IPB (2007-2010), anggota UKM Tae Kwon Do (2008-2010), dan Senior Residen Asrama Putri TPB IPB (2008-2010). Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis pada semester genap tahun ajaran 2009-2010. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................. 1 Tujuan ........................................................................................... 2 Manfaat ......................................................................................... 2 Hipotesis ....................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. Kekebalan Humoral ....................................................................... Imunoglobulin G .......................................................................... Imunoglobulin M ......................................................................... Virus Dengue ................................................................................ Macaca nemestrina ....................................................................... Uji Serologis ................................................................................... EIA (Enzyme Immuno Assay)...................................................... ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) .......................... 3 3 3 4 5 6 7 10 11 BAHAN DAN METODE ............................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Sampel yang Diuji ......................................................................... Reagen dan Bahan Habis Pakai .................................................... Alat ............................................................................................... Metode Penelitian .......................................................................... 13 13 13 13 13 14 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 18 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... Simpulan ....................................................................................... Saran ............................................................................................. 25 24 24 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 25 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Virus dengue ...................................................................................... 5 2. Respon imun infeksi dengue .............................................................. 6 3. Beruk (M. nemestrina) ........................................................................ 7 4. Indirect ELISA .................................................................................... 16 5. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk kelompok kontrol ..... 18 6. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah ........................... 19 7. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi ............................. 19 8. Perbandingan rataan titer antibodi IgM pada setiap kelompok beruk .. 21 9. Perbandingan rataan titer antibodi IgG pada setiap kelompok beruk .. 21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Titer antibodi IgM dan IgG........................................................................... 28 2. Profil titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk............................................ 32 PENDAHULUAN Latar Belakang Demam dengue merupakan salah satu penyakit yang endemik dan menelan banyak korban jiwa di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit viral terpenting dan memengaruhi manusia. Estimasi 2,5 juta orang yang tinggal di daerah endemik berisiko terserang penyakit ini (Guzman & Kouri 2002). Oleh karena itu, sering dilakukan penelitian untuk meningkatkan pencegahan, pengobatan, dan penanggulangan serangan dengue. Demam dengue merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Daya infeksi keempat virus dengue ini cukup tinggi serta memiliki gejala klinis, epidemiologi distribusi yang mirip, terutama di daerah tropis dan subtropis di dunia (Gubler 1998). Hingga saat ini masih belum ada terapi maupun vaksin yang dapat digunakan untuk mengatasi virus dengue pada manusia. Penyebab penyakit ini ditularkan melalui perantara vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dimasukkan ke dalam kelompok Arbovirus (arthropod borne virus). Vektor nyamuk ini masih sulit diberantas karena faktor kepadatan penduduk dan sanitasi masyarakat yang kurang baik. Salah satu hewan model yang memiliki kedekatan genetik dengan manusia dan dilaporkan dapat diinfeksi dengue ialah satwa primata (Bernardo 2008). Penelitian dengue yang dilakukan seringkali menggunakan hewan coba monyet rhesus (Macaca mullata) dan simpanse (Pan sp.), akan tetapi satwa primata tersebut bukan satwa endemik Indonesia, sulit diperoleh karena status populasinya yang mulai mendekati langka, dan harganya sangat mahal. Oleh karena itu, dilakukan penelitian terhadap satwa primata endemik Indonesia, yaitu beruk, untuk pengembangan hewan model alternatif penelitian infeksi virus dengue. Demam dengue memiliki gejala dan simptom yang bersifat tidak spesifik. Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi. Uji serologi ini sering dilakukan di berbagai laboratorium dengan uji komersial yang tersedia. Salah satu uji yang sering digunakan ialah ELISA. Uji ELISA mampu menguji sampel jumlah besar dalam waktu yang singkat. ELISA penangkap IgM dan IgG dengue memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi antibodi dengue (Tran et al. 2006). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kebal beruk (Macaca nemestrina) yang diinfeksi primer dengan virus dengue serotipe-3 (DEN-3) melalui rute subkutan dengan mengamati gambaran IgM dan IgG melalui analisis laboratorium menggunakan metode ELISA. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui respon kebal beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dengan dosis yang berbeda. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diperolehnya pengetahuan mengenai gambaran IgM dan IgG pada beruk setelah diinfeksi primer dengan DEN-3 sehingga memudahkan penelusuran respon kebal terhadap kasus demam berdarah pada manusia. TINJAUAN PUSTAKA Kekebalan Humoral Antibodi merupakan faktor yang dapat memberikan kekebalan. Antibodi terdapat dalam semua cairan tubuh, tetapi konsentrasi tertinggi dan termudah diperoleh dalam jumlah banyak untuk analisis dari serum darah. Sistem antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen sebelumnya. Jika seekor hewan terpapar suatu antigen yang sama dengan antigen yang pernah menginfeksi sebelumnya, maka sistem kekebalan akan merespon antigen ini dengan cepat dan antibodi mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi (Tizard 1987). Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi limfosit B peka-antigen dan antigen khusus. Antibodi ini akan berikatan dengan antigen serta mempercepat penghancuran dan penyingkirannya (Tizard 1987). Karena molekul antibodi adalah globulin maka umumnya dikenal sebagai imunoglobulin (disingkat Ig). Istilah imunoglobulin digunakan untuk menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi maupun beberapa protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tidak memiliki aktivitas antibodi (Tizard 1987). Sebagai protein, maka imunoglobulin adalah antigen yang baik sekali jika disuntikkan pada hewan dari spesies yang berbeda. Akibatnya, dapat dibuat antiserum yang bereaksi dengan molekul imunoglobulin. Dengan menggunakan antiserum semacam ini dapat ditunjukkan bahwa imunoglobulin adalah antigenis heterogen dan terbagi dalam berbagai isotipe yang ternyata terdapat pada semua hewan menyusui (Tizard 1987). Imunoglobulin G Imunoglobulin G merupakan imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah sehingga berperan utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi. Zat ini merupakan imunoglobulin 7 S dengan berat molekul 180.000 dalton dan memiliki determinan antigen γ pada rantai beratnya. Karena ukuran yang relatif kecil maka zat itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan molekul imunoglobulin yang lain, sehingga cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard 1987). Imunoglobulin M Imunoglobulin M adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi nomor dua tertinggi dalam serum dari kebanyakan hewan. Imunoglobulin M merupakan molekul 19 S dengan berat molekul 900.000 dalton yang terbentuk dari lima subunit 7 S. Imunoglobulin M merupakan imunoglobulin utama yang dihasilkan dalam tanggap kebal primer. Imunoglobulin M juga dihasilkan dalam tanggap kebal sekunder, tetapi jumlahnya tertutup oleh produksi IgG dalam jumlah besar. Karena ukurannya yang besar, molekul IgM terutama terbatas pada pembuluh darah dan kurang penting dalam memberi perlindungan dalam cairan jaringan atau sekresi tubuh (Tizard 1987). Konsentrasi IgM dalam serum sekitar 5-10% dari total imunoglobulin serum. Imunoglobulin M disekresikan oleh sel plasma sebagai pentamer. Lima monomer unit disatukan oleh ikatan disulfida yang menghubungkan kelima carboxyl-terminal heavy-chain domains (Cµ4/Cµ4) dan kelima domain Cµ3/Cµ3. Lima monomer subunit disusun oleh kelima regio Fc pada bagian tengah dari pentamer dan 10 sisi yang berikatan dengan antigen pada bagian tepi molekul. Setiap pentamer berisi tambahan polipeptida Fc-linked yang disebut rantai J (joining chain) yang memiliki ikatan disulfida dengan carboxyl-terminal cystein residu dari dua rantai. Rantai J tampak dibutuhkan untuk polimerisasi dari monomer membentuk pentamer IgM sebelum pentamer disekresikan. Karena IgM memiliki struktur pentamer dengan 10 sisi yang akan berikatan dengan antigen, IgM memiliki valensi lebih besar daripada isotipe lainnya. Molekul IgM bisa berikatan dengan 10 molekul hapten kecil. Tetapi, karena adanya hambatan, hanya lima molekul antigen yang lebih besar yang mampu berikatan secara bersamaan. Valensi IgM yang tinggi menyebabkan IgM lebih efisien daripada isotipe lainnya dalam ikatan antigen dengan beberapa pengulangan epitope seperti partikel virus dan sel darah merah (RBC). Contoh, ketika RBC diinkubasi dengan antibodi spesifik, mereka membentuk gumpalan yang disebut aglutinasi. Dibutuhkan molekul IgG 100 hingga 1000 kali lebih banyak daripada IgM untuk mendapatkan level aglutinasi yang sama. Fenomena yang mirip juga terjadi dengan partikel virus. IgM yang dibutuhkan untuk menetralisasi infektivitas virus lebih sedikit daripada IgG. IgM juga lebih efisien daripada IgG dalam mengaktivasi komplemen. Aktivasi komplemen membutuhkan sedikitnya dua regio Fc dan strutur pentamer dari molekul tunggal IgM sudah mencukupi kebutuhan tersebut (Kindt 2007). Virus Dengue Virus dengue termasuk ke dalam famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus ini merupakan virus RNA dengan diameter 45-60 nm, memiliki amplop, simetri ikosahedral, besar 9,5-12,5 kb, dan secara alami berbentuk single stranded dan linear (Murphy 2006). Virus Demam Berdarah Dengue (DBD) juga termasuk dalam Arbovirus. Arbovirus merupakan singkatan dari arthropod-borne viruses, artinya virus ditularkan melalui gigitan serangga, seperti nyamuk. Apabila arthropoda menghisap darah dari vertebrata yang sedang mengalami viremia maka virus akan masuk ke dalam tubuh arthropoda. Di dalam tubuh arthropoda, virus mengalami perkembangbiakan. Kemudian arthropoda tersebut akan menularkan virus ini kepada vertebrata lain yang rentan (Soedarmo 1988). Arthropoda ini memindahkan virus ke tubuh inang melalui gigitan. Setelah 4-6 hari (masa inkubasi) terjadilah penyakit pada inang yang bersangkutan (Perdani 2007). Virus dengue masuk ke dalam sel inang ketika glikoprotein amplop virus berikatan pada reseptor dan direspon dengan penyusunan konformasi ulang untuk mengurangi pH dan endosom. Perubahan konformasi menginduksi reaksi fusi antara virus dengan membran sel inang (Modis 2004). Gambar 1 Virus dengue (www.microbiologybites.com 2010) Di dalam tubuh manusia, virus DBD berkembang biak dalam sistem retikuloendotelial, dengan target utama adalah Antigen Presenting Cells (APC) yang berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B, dan sel limfosit T (Soegijanto 2010). Akibat infeksi virus ini muncul respon imun humoral maupun selular, seperti anti netralisasi, anti hemaglutinin, dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Antibodi terbentuk pada infeksi virus primer, dan kadar antibodi meningkat (booster effect) pada infeksi sekunder (Soegijanto 2010). Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, sehingga kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke dua. Karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima. Diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat. Gambar 2 Respon imun infeksi dengue (Suroso dalam Soegijanto 2010) Beruk (Macaca nemestrina) Macaca merupakan satwa primata yang tersebar paling luas di dunia dan terdiri dari 90 spesies yang sudah terklasifikasikan. Macaca nemestrina (beruk) juga dikenal dengan nama pigtailed macaque. Klasifikasi beruk (Macaca nemestrina) adalah: Order : Primata Suborder : Anthropoidea Infraorder : Catarrhini Superfamily : Cercopithecoidea Family : Cercopithecidae Subfamily : Cercopithecinae Genus : Macaca Spesies : Macaca nemestrina (Dolhinow dan Fuentes 1999) Gambar 3 Beruk (M. nemestrina) (Sumber: Pusat Studi Satwa Primata – LPPM IPB) Beruk (Macaca nemestrina) terdistribusi secara luas di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Beruk diklasifikasikan berdasarkan karakter morfologi yang terdiri atas warna rambut, pola, dan morfologi ekor (Fooden 1975 dalam Rosneblum 1997). Tiga subspesies beruk yang sudah dikenal antara lain M. n. leonina, M. n. nemestrina, dan M. n. pagensis. M. n. leonina terdapat di Semenanjung Malaya. M. n. nemestrina ditemukan di sebelah selatan Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan Borneo. M. n. pagensis terbatas di kepulauan Mentawai, sebelah Barat pulau Sumatra (Rosenblum 1997). Rosenblum (1997) melakukan penelitian terhadap mtDNA beruk di daerah Asia Tenggara. Hasil penelitian ini mendukung studi subspesies beruk berdasarkan ciri morfologinya. Macaca yang hidup di daerah Mentawai (M. n. pagensis) merupakan subspesies dari beruk (Macaca nemestrina). M. n. pagensis secara genetik memiliki kedekatan dengan populasi M. n. nemestrina. Uji Serologis Serum hiperimun (sering disebut dengan antiserum) didapatkan dengan cara imunisasi suatu hewan dengan imunogen yang spesifik untuk mendapatkan suplai antibodi terhadap imunogen tersebut. Antibodi didapatkan dengan cara mengumpulkan sampel darah dari hewan yang diimunisasi. Serum merupakan sumber utama antibodi, bila infeksi virus didiagnosis dengan menggunakan deteksi antibodi-antivirus (Burgess 1995). Antibodi yang didapatkan dari hiperimunisasi dikenal sebagai antibodi poliklonal atau konvesional. Antibodi tersebut digunakan sebagai reagen diagnostik untuk mendeteksi dan mengukur bahan biologis, memurnikan bahan biologis, dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Burgess 1995). Serum hiperimun mengandung campuran kompleks antibodi dengan spesifisitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Ciri dan keterbatasan antibodi poliklonal: 1. Berbagai antibodi melawan berbagai antigen Serum yang diambil dari darah hewan mengandung antibodi yang beragam. Antibodi yang ada di dalamnya merupakan antibodi untuk menanggapi antigen yang diimunisasikan dan antigen lain lingkungan lain yang masuk ke dalam tubuh hewan. 2. Berbagai antibodi melawan antigen yang sama Antibodi yang diproduksi tubuh untuk melawan suatu antigen yang diimunisasikan tidak homogen. 3. Reaktivitas dengan determinan berbeda dalam satu antigen Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang berbeda pada antigen. Reaktivitas ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang besar. 4. Pengenalan konfigurasi antigen multiple Serum dapat digunakan untuk mengidentifikasi konfigurasi yang dibentuk oleh kelompok-kelompok antigen. 5. Spesifisitas versus sensitivitas Antiserum poliklonal memiliki spesifitas yang luas. Ada beberapa sisi aktif yang bisa berikatan dengan antigen menyebabkan berkurangnya spesifisitas namun mempertahankan tingkat sensitivitas. 6. Stabilitas antibodi Reagen yang berasal serum poliklonal relatif bersifat stabil. Walaupun komponen antiserum tidak stabil, secara keseluruhan aktivitasnya tidak terpengaruh walaupun titernya sedikit menurun. 7. Stabilitas antigen Proses yang dilakukan pada spesimen dapat mengubah atau merusak epitop pada antigen. Penggunaan antiserum poliklonal memungkinkan terdeteksinya antigen dengan adanya ikatan antara antibodi dengan epitop yang tidak rusak. 8. Afinitas Antiserum poliklonal mengandung berbagai macam antibodi dengan afinitas yang berbeda. Antibodi dengan afinitas tinggi cenderung menutupi antibodi dengan afinitas rendah sehingga mendominasi spesifisitas. Adanya antibodi dengan afinitas yang berbeda menyebabkan sesudah konjugasi antibodi cenderung mempertahankan kemampuan pengikatannya sehingga dapat mempertahankan keseluruhan reaktivitas preparat. Selain itu, keragaman afinitas menyebabkan reaktivitas antiserum poliklonal relatif tetap stabil dalam kisaran nilai pH dan kadar ion yang lebar. 9. Reaktivitas silang Reaktivitas serum hiperimun tidak hanya terhadap antigen yang diteliti tetapi juga terhadap antigen lain (Burgess 1995). Uji serologis dilakukan untuk mengidentifikasi antibodi dengan menggunakan panel dari antigen yang sudah diketahui. Darah dimasukkan ke dalam tabung tanpa penambahan koagulan. Darah dibiarkan menggumpal kemudian serum akan terpisah. Prosedur serologis yang dapat dilakukan untuk mendeteksi antigen-antibodi antara lain Enzyme Immunoassay (EIA), Radio Immunoassay (RIA), Latex Particle Agglutination, Virus neutralization, Hemagglutination fluorescent, Immuno diffusion, dan Complement fixation. Pemilihan sampel isolasi virus yang akan diamati sangat penting untuk menunjang proses diagnosis. Salah satu sampel yang bisa dipilih adalah plasma darah sehingga dapat diperoleh sampel dalam jumlah besar. Plasma ialah cairan komponen darah yang diambil setelah sentrifugasi sampel darah yang mengandung antikoagulan. Plasma mengandung 92-95% air dan 5-8% padatan. Padatan plasma terdiri atas protein (terbanyak), glukosa, urea, elektrolit, dan kimia lain. Secara umum, komposisi kimia plasma mirip dengan cairan interstitial dalam jaringan (Stockham & Scott 2008). Metode ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Manfaat dilakukannya uji serologi adalah: 1. Merupakan teknik non-invasif yang hanya membutuhkan pengumpulan antibodi dengan mengambil darah dari vena 2. Metode cepat 3. Dalam kadar rendah sangat sensitif terhadap antigen bakteri atau infeksi yang sangat terlokalisasi, biasanya akan menimbulkan reaksi antibodi yang nyata, atau antibodi yang jumlahnya sedikit dapat dideteksi melalui teknik amplifikasi 4. Antibodi mempunyai half life beberapa minggu 5. Serologi dapat digunakan sebagai alat diagnosis infeksi yang sukar untuk mendeteksi adanya bakteri karena tak menyebar 6. Serologi dapat menggantikan metode proteksi dengan suntikan antigen dan metode proteksi pasif untuk menentukan efektivitas prosedur vaksinasi, setelah diketahui hubungan antara banyaknya antibodi dan pertahanan serta proteksinya 7. Beberapa spesies bakteri sukar dibiakkan in vitro atau memerlukan media khusus (Burgess, 1995). Kelemahan metode serologi yang mungkin terjadi adalah: 1. Suatu titer antibodi hanya menunjukkan pendedahan terhadap penyebab penyakit dan tidak perlu terjadinya infeksi 2. Beberapa penyakit kurang mempu menggertak respon antibodi 3. Mikroorganisme lain dapat mempunyai antigen yang secara imunologis bereaksi silang dengan penyebab penyakit yang diteliti 4. Titer antibodi mungkin tidak benar-benar mencerminkan tingkat pertahanan yang ditimbulkan oleh vaksinasi. Hal ini terjadi karena imunitas dengan perantara sel lebih penting daripada imunitas humoral dalam melindungi hewan dari penyakit tertentu. Selain itu, hanya sebagian antibodi spesifik yang mampu memberikan perlindungan (Burgess 1995). EIA (Enzym Imuno Assay) Uji Enzyme Immunoassay (EIA) menggunakan enzim yang diikatkan pada salah satu reaktan di dalam immunoassay untuk memungkinkan terbentuknya warna yang beragam setelah penambahan substrat/kromogen. Prinsip uji EIA adalah antibodi berikatan dengan antigen, anti-Ig yang telah dilabeli enzim berikatan dengan antibodi, dan substrat yang mengubah warna. Uji ini memiliki sensitivitas yang sangat tinggi. Konfigurasi metodologi hampir semuanya tak terbatas meliputi luasnya varietas yang terdiri dari metode langsung (direct), tidak langsung (indirect), dan kebalikan (reversed). Kebanyakan adalah fase solid EIAs, penangkapan antibodi yang berikatan (dengan penyerapan sampel atau dengan ikatan kovalen) pada substrat solid. Antigen-antibodi kompleks diketahui memiliki sensitivitas tinggi dengan ditambahkan avidin, enzim label kemudian substrat. Rangkaian modifikasi EIA diiringi dengan peningkatan sensitivitas yang lebih jauh. Substrat energi tinggi didapatkan bersamaan pelepasan fluorescent, chemiluminescent, atau produk radioaktif yang dapat diidentifikasi dalam jumlah yang sangat kecil. Uji enzimatik terdiri dari reaksi imunologi dan reaksi indikator enzimatik untuk menunjukkan ada tidaknya interaksi antigen/antibodi. Spesifisitas EIA berasal dari sifat inheren penggabungan secara imunologi, sementara sensitivitasnya terkandung pada penguatan reaksi enzimatik (Burgess 1995). Uji EIA dapat digolongkan atas EIA histokimiawi dan EIA kuantitatif. Prinsip EIA histokimiawi yaitu suatu jaringan yang difiksasikan direaksikan secara langsung atau tidak langsung dengan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim untuk menghasilkan reaksi yang dapat dideteksi. Uji EIA kuantitatif biasanya dilakukan dengan menggunakan uji ELISA biasa dan bertujuan untuk mendapatkan nilai yang akurat (Burgess 1995). Teknik ELISA (Enzyme Linked Imuno Sorbent Assay) Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) meliputi langkah-langkah penambahan dan reaksi reagen dengan fase solid—materi yang menjadi batas, termasuk inkubasi dan pemisahan materi berlebih dan reagen yang bebas dengan melakukan pencucian. Semua konfirmasi ELISA yang umum dapat digunakan untuk diagnosis virus dengan sumber serum. Sumber antibodi yang banyak digunakan berasal dari darah. Namun, antibodi juga bisa didapatkan dari susu dan cairan cerebrospinal. Salah satu kelebihan ELISA adalah mampu melakukan pengenceran serum tunggal dan memperoleh hasil kuantitatif yang mempunyai korelasi dengan jumlah antibodi atau antigen dalam sampel asli (Burgess 1995). Pemilihan komponen antigen yang sesuai sangat diperlukan untuk mengembangkan sistem serologi dan sistem deteksi antigen. Komponen ini digunakan sebagai antigen uji dan sebagai imunogen untuk mendapatkan antibodi pendeteksi yang spesifik dengan titer yang tinggi. Komponen ini harus memenuhi beberapa kriteria agar efektif sebagai reagen ELISA, yaitu: 1. Antigen harus bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon antibodi pada inang 2. Preparat uji harus sensitif 3. Antigen harus unik sehingga terjadi respon antibodi-antigen spesifik 4. Organisme mudah dibiakkan 5. Antigen ada dalam jumlah besar 6. Antigen mudah diekstrasi dalam bentuk imunologis aktif (Burgess 1995). Pada uji bakteri, antigen bakteri yang umum digunakan dalam ELISA adalah: 1. Bakteri utuh 2. Bakteri utuh yang dirusak secara mekanis, fisik, atau kimiawi. 3. Ekstrak kasar bakteri yang dirusak 4. Senyawa kimia murni atau setengah murni (Burgess 1995). Kelemahan dalam uji serologis dapat dikurangi bila menggunakan ELISA. ELISA mampu untuk memberikan informasi tentang waktu paparan antigen dan tempat infeksi, semua kelas dan subkelas antibodi spesifik dapat dideteksi sehingga meningkatkan sensitivitas, mampu mendeteksi antibodi terhadap berbagai penyebab penyakit, reagen dan biaya tenaga lebih rendah, penggunaan reagen yang stabil, sistem ELISA yang mudah dibakukan dan pengujian itu tidak terpengaruh penilaian subyektif, dan sistem ELISA dapat diotomatisasikan dengan menggunakan peralatan yang tersedia di pasaran dan meminimkan pengaruh keragaman operator (Burgess 1995). ELISA yang akan digunakan untuk menguji virus bisa disiapkan sendiri dengan otomisasi dan bisa menggunakan ELISA kit yang siap digunakan secara langsung. ELISA yang dibuat dengan acara otomisasi membutuhkan persiapan dari preparasi antigen hingga pembacaan hasil. Sedangkan ELISA kit dapat langsung digunakan karena semua bahan dan perlengkapan sudah disiapkan dari pabrik. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pemeriksaan IgM dan IgG pada sampel plasma beruk dilaksanakan pada bulan Maret 2009 di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Jalan Lodaya II/5 Bogor. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan hewan model untuk infeksi virus dengue yang dilakukan oleh PSSP LPPM IPB serta telah melalui proses evaluasi dan disetujui oleh Komisi Pengawas Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Penelitian (KPKPHP) PSSP LPPM IPB dengan nomor ACUC (Animal Care and Use Committe): P.09-08-IR. Sampel Penelitian ini menggunakan 178 sampel plasma masing-masing sebanyak 100 µl yang dikoleksi selama 14 hari dari 12 ekor beruk kelompok perlakuan dan 56 sampel plasma masing-masing sebanyak 100 µl yang dikoleksi selama 14 hari dari empat ekor beruk kelompok kontrol yang berada pada fasilitas penangkaran PSSP LPPM IPB. Reagen dan Bahan Habis Pakai Reagen dan bahan habis pakai yang digunakan untuk deteksi antibodi ialah antigen dengue dan KIT ELISA (HUMAN®, Germany) yang terdiri atas sumuran reaksi (plate) dasar rata dengan antigen virus dengue, antibodi virus dengue kontrol negatif, antibodi virus dengue kontrol positif, larutan penyangga, konjugat, larutan pencuci (washing solution), substrat TMB (Tetra Methyl Benzidine), larutan pemberhenti reaksi (asam sulfat 0,2 mol/l), dan adhesive strip. Konjugat yang digunakan ialah rabbit anti human IgM/ IgG yang dikonjugasikan dengan enzim perokidase. Substrat yang digunakan mengandung target enzim H2O2 (hidroksi peroksida) dan larutan kimia pewarna 3,3’, 5,5’-tetramethylbenzidine (TMB) di dalam larutan penyangga pH 7,2 ± 2. Alat Alat-alat yang digunakan ialah ELISA Immunowash Machine (BIO-RAD model 1575), ELISA Microplate Reader (BIO-RAD model 3550), lemari inkubasi, mikropipet, dan tip. Metode Penelitian Sebelum diinfeksi dengan virus dengue serotipe-3, tiga mililiter darah beruk dikoleksi melalui vena femoralis. Semua perlakuan dilakukan ketika beruk dalam keadaan terbius dengan Ketamin HCl dosis 10 mg/ kg bobot badan. Beruk yang digunakan telah melalui proses penapisan (screening) sehingga hanya digunakan beruk yang belum pernah terinfeksi virus dengue. Beruk yang digunakan dalam penelitian infeksi primer virus dengue serotipe-3 (DEN-3) melalui rute subkutan dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama diinfeksi dengan virus dengue pada dosis 104 PFU/ml (dosis rendah), kelompok ke-dua diinfeksi dengan virus dengue pada dosis 107-108 PFU/ml (dosis tinggi). Sementara itu, kelompok ke-tiga yang merupakan kontrol negatif diinokulasi dengan PBS steril. Pembagian kelompok hewan dan dosis virus pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan pada beruk (Macaca nemestrina) Kelompok Jumlah Hewan Inokulum 1 6 104 PFU/ml DEN-3 2 6 107-108 PFU/ml DEN-3 3 4 PBS Sampel yang digunakan berupa plasma darah. Sebanyak 1 ml darah diambil dengan metode venesectio melalui vena femoralis selama 14 hari. Sampel darah diambil menggunakan tabung yang mengandung EDTA agar tidak terjadi penggumpalan. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi sehingga sel-sel darah mengendap dan cairan pada bagian permukaan endapan (plasma darah) dikumpulkan. Plasma ini disimpan di dalam freezer dan sebelum digunakan dalam pemeriksaan antibodi dilakukan thawing terlebih dahulu pada sampel plasma yang sudah membeku. ELISA tidak langsung (indirect ELISA) digunakan untuk mendeteksi atau mengukur kadar antibodi di dalam plasma. Pertama, sampel plasma diencerkan dengan perbandingan 1:100. Sumuran A1 pada plat mikro ELISA sebagai blank (tidak diisi larutan apapun). Sumuran B1 dan C1 diisi dengan antibodi virus dengue kontrol negatif masing-masing 100 µl. Sumuran D1 dan E1 diisi dengan antibodi virus dengue kontrol positif masing-masing 100 µl. Sumuran F1 hingga sumuran terakhir diisi dengan berbagai sampel yang sudah diencerkan. Selanjutnya sumuran ditutup dengan adhesive strip dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit. Setelah diinkubasi, adhesive strip dilepaskan dari plat mikro ELISA dan mulai dilakukan pencucian sumuran dengan menggunakan mesin pencuci (ELISA plate washer). Pencucian terhadap sumuran dilakukan sebanyak tiga kali menggunakan larutan pencuci secara otomatis dengan ELISA plate washer yang dapat diatur proses aspirasi dan ekspirasinya. Mesin ini diprogram untuk dapat mencuci semua sumuran dengan homogen. Setelah proses pencucian, cairan yang tertinggal di dalam sumuran dikeluarkan dengan menghentakkan bagian permukaan sumuran pada kertas tisu. Langkah ke-dua, dilakukan penambahan konjugat. Sumuran A1 (blank) tidak diisi larutan apapun. Sumuran B1 hingga sumuran terakhir masing-masing diisi dengan 100 µl konjugat. Selajutnya plat mikro ELISA ditutup dengan adhesive strip dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah diinkubasi, dilakukan pencucian kembali sebanyak tiga kali. Langkah ke-tiga, larutan substrat dimasukkan ke dalam semua sumuran. Plat mikro ELISA diinkubasi dalam ruang gelap, selama 15 menit, dengan suhu 17 hingga 25oC. Selanjutnya, dimasukkan 100 µl larutan pemberhenti ke setiap sumuran dan dicampur secara hati-hati. ELISA microplate reader (BIO-RAD 3550) dihidupkan sekitar 15 menit sebelum digunakan. Selanjutnya plat mikro ELISA dimasukkan ke dalamnya. Nilai nol pada pembacaan menggunakan sumuran A1. Panjang gelombang lensa filter yang digunakan pada alat ELISA microplate reader ialah 450 nm. Pembentukan warna dibaca dan disajikan dalam data numerik sebagai nilai optical density (OD). Angka OD ini akan dikonversi dengan metode ELISA menjadi konsentrasi U/ml. Gambar 4 Indirect ELISA (http://entomology.tfrec.wsu.edu 2010) Perhitungan Nilai Kontrol dan Cut-off Nilai rata-rata absorbansi kontrol negatif dalam sumur B1 dan C1 (MNC) dihitung dengan rumus: MNC = Cut-off value (COV) = MNC + 0,35 Tes yang dilakukan valid jika: 1. Substrat blank dalam sumur A1 < 0,100 2. MNC ≤ 0,300 3. Kontrol positif memiliki nilai absorbansi sama atau lebih besar daripada nilai cut off. Interpretasi Hasil Sampel bernilai positif jika nilai absorbansi lebih besar 10% melebihi cutoff. Sampel dengan nilai adsorbansi setara atau lebih rendah dari 10% di atas atau di bawah cut-off tidak termasuk dalam positif atau negatif (zona abu-abu). Sampel bernilai negatif jika nilai absorbansi lebih rendah dari 10% di bawah cutoff. A450 (pasien) ≥ COV + 10%: positif antibodi anti-dengue A450 (pasien) < COV – 10%: negatif antibodi anti-dengue Antibodi Unit Anti-Dengue = Cut-off : 10 U/ml Zona abu-abu : 9-11 U/ml Negatif :<9 U/ml Positif : > 11 U/ml = U/ml HASIL DAN PEMBAHASAN ELISA untuk mendeteksi IgM sudah digunakan secara luas dalam diagnosis laboratorium untuk mendeteksi infeksi virus dan sesuai untuk tes serologi. Deteksi IgM dan IgG anti dengue dapat menggunakan ELISA yang mendeteksi antibodi dalam sampel plasma yang dikoleksi dari pasien yang menderita penyakit dalam rentang waktu yang beragam (Sa-Ngasang et al. 2005). Kelompok beruk yang digunakan dalam penelitian ini telah diseleksi dan dinyatakan belum pernah terinfeksi virus dengue sebelumnya. Dengan demikian, infeksi virus dengue serotipe-3 yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan infeksi primer. Gambaran profil antibodi IgM dan IgG diamati selama 14 hari mulai hari ke-0 sebelum infeksi PBS hingga hari ke-13 pasca infeksi disajikan pada Grafik 1. Titer Antibodi (U/ml) 30.00 25.00 20.00 15.00 IgM Control 10.00 IgG Control 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pengamatan Hari ke- Gambar 5 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk kelompok kontrol. Beruk kelompok kontrol negatif memperlihatkan titer antibodi yang rendah dan stabil dari hari ke-0 hingga hari ke-13. Semua beruk pada kelompok kontrol negatif dalam penelitian ini menunjukkan titer antibodi pada rentang nilai negatif berdasarkan uji kit ELISA yang dilakukan. Hal ini mendukung keadaan bahwa kelompok tersebut hanya diinokulais PBS steril yang tidak mengandung virus. Titer Antibodi (U/ml) 30 25 20 15 IgM LD 10 IgG LD 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pengamatan Hari ke- Gambar 6 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah. Antibodi IgM dan IgG terdeteksi pada semua hewan yang sudah diinfeksi virus dengue. Kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) menunjukkan gambaran profil antibodi IgM dan IgG yang berbeda. Antibodi IgM terbentuk lebih dahulu dibandingkan IgG. Titer IgM yang dihasilkan cenderung datar pada tiga hari pertama, mulai mengalami peningkatan pada hari ke-4 atau ke-5, dan mencapai puncak pada hari ke-10. Selanjutnya, titer antibodi IgM cenderung menurun pada hari ke-11. Sementara itu, titer IgG cenderung datar pada hari ke-0 hingga hari ke-5, selanjutnya pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-13 titernya cenderung terus mengalami peningkatan. Titer Antibodi (U/ml) 30 25 20 15 IgM HD 10 IgG HD 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pengamatan Hari ke- Gambar 7 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi. Kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2) juga menjukkan terbentuknya antibodi IgM terlebih dahulu dibandingkan pembentukan antibodi IgG. Titer IgM cenderung datar selama tiga hari pertama, selajutnya mengalami peningkatan pada hari ke-4, dan mencapai puncak pada hari ke-9. Sementara itu, titer IgG yang dihasilkan cenderung terus mengalami peningkatan sejak hari ke-6 hingga hari ke-13. Oleh karena itu, untuk kedua kelompok dosis yang diberikan (K1 dan K2) IgM positif terbentuk pada hari ke-4 dan mencapai puncak pada hari ke-10. Sementara itu, IgG positif terbentuk pada hari ke-8 hingga hari ke-11 dan cenderung terus mengalami peningkatan hingga hari ke-13. Setelah dilakukan infeksi virus dengue pada beruk yang sebelumnya tidak pernah terpapar, maka dalam beberapa hari pertama tidak terlihat terjadinya suatu reaksi. Antibodi IgM dan IgG cenderung datar dalam beberapa hari. Peristiwa ini disebut periode lag (lag phase) atau keterlambatan (Tizard 1987). Hal ini kemungkinan terjadi karena sistem kebal tubuh tidak langsung mengenali virus dengue yang menginfeksi ke dalam tubuh. Selain itu, dibutuhkan waktu bagi virus untuk masuk ke dalam aliran darah (viremia) dari tempat inokulasi untuk selanjutnya memicu respon imun. Adanya antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue yang terbentuk membuktikan terjadinya viremia virus dengue. Menurut Pryor (2001), virus dengue memiliki kemampuan untuk bereplikasi di dalam monosit yang akan berdiferensiasi menjadi makrofag pada jaringan. Kedua perlakuan (K1 dan K2) menunjukkan antibodi IgM terbentuk lebih dahulu dibandingkan IgG. IgM ialah imunoglobulin utama yang dihasilkan dalam tanggap kebal primer (Tizard 1987) dan memiliki nilai diagnostik untuk infeksi yang baru terjadi (Fenner 1995). Oleh karena itu, tingginya IgM dapat menjadi indikator bahwa beruk mengalami infeksi primer. Antibodi IgM akan diproduksi dalam jumlah besar untuk melakukan netralisasi, opsonisasi, aglutinasi, dan fagositosis pada virus dengue. Titer Antibodi (U/ml) 30 25 20 15 IgM LD 10 IgM HD IgM Control 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pengamatan Hari ke- Gambar 8 Perbandingan rataan titer antibodi IgM pada setiap kelompok beruk. Berdasarkan perbedaan dosis yang diberikan, kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) cenderung menghasilkan titer IgM lebih tinggi dibandingkan kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2). Gambaran profil antibodi IgM untuk setiap perlakuan disajikan pada Gambar 8. Keadaan sebaliknya, kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) cenderung menghasilkan titer IgG lebih rendah dibandingkan kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2). Gambaran profil antibodi IgG untuk setiap perlakuan disajikan pada Gambar 9. Titer Antibodi (U/ml) 30 25 20 15 IgG LD 10 IgG HD IgG Control 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Pengamatan Hari ke- Gambar 9 Perbandingan rataan titer antibodi IgG pada setiap kelompok beruk. Terjadinya infeksi virus terus menerus memicu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Produksi IgM yang tinggi sangat efisien untuk proses netralisasi virus. Karena beruk diinfeksi virus dengue dosis rendah (K1), jumlah IgM yang berikatan dengan virus relatif kecil sehingga titer IgM bebas dalam darah cenderung tetap tinggi. Tingginya produksi IgM dapat menyebabkan produksi IgG relatif rendah. Menurut Fenner (1993), ketika titer IgM dalam darah masih tinggi, produksi IgG akan ditekan. Penurunan IgM karena proses netralisasi virus menyebabkan peningkatan jumlah IgG yang cukup tinggi. Antibodi biasanya memberi umpan balik negatif kepada reaksi kebal. Misalnya, antibodi IgG khusus dapat menekan produksi IgM atau IgG lebih lanjut terhadap antigen yang sama, dan tingkat antibodi IgM yang tinggi menekan pembuatan IgM lebih lanjut. Proses umpan balik ini menjamin bahwa tingkat imunoglobulin dalam hewan relatif tidak berubah tanpa dipengaruhi oleh derajat rangsangan virus yang bersangkutan (Tizard 1987). Titer IgM pada kelompok dosis tinggi (K2) cenderung lebih rendah daripada kelompok dosis rendah (K1). Diduga, tingginya virus yang menginfeksi menyebabkan banyaknya IgM yang berikatan dengan virus untuk menetralisasi virus tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah IgM bebas dalam darah menjadi jauh berkurang. Oleh karena itu, semakin tinggi dosis virus dengue yang menginfeksi menyebabkan titer IgM bebas dalam darah menjadi berkurang. Penurunan titer IgM akan memicu sistem kekebalan segera memproduksi antibodi IgG dalam jumlah lebih besar untuk membantu menetralisasi virus. Karena itu, produksi IgG pada kelompok dosis tinggi (K2) cenderung lebih tinggi daripada kelompok dosis rendah (K1). Walaupun diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil, IgM lebih efisien daripada IgG pada proses aktivasi komplemen, opsonisasi, netralisasi virus, dan aglutinasi. Antibodi IgM secara kualitatif merupakan imunoglobulin yang terbaik untuk netralisasi virus. Sementara itu, IgG secara kuantitatif merupakan imunoglobulin yang terpenting untuk netralisasi virus (Tizard 1987). Perkembangan netralisasi oleh antibodi tergantung pada tingkat replikasi virus dan waktu maturasi dari antibodi (Janeway 1994). Setiap beruk yang diinfeksi virus dengue menunjukkan respon yang beragam terhadap infeksi virus dengue (lihat lampiran). Secara klinis, beruk tidak menunjukkan gejala seperti pada manusia. Namun, setelah dilakukan diagnosa terhadap plasma darah, titer antibodi yang terbentuk cukup beragam. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Bernardo (2008), infeksi virus dengue-2 (DEN-2) pada Macaca fascicularis melalui rute subkutan memiliki rata-rata durasi viremia setelah infeksi primer ialah 2,6 hari. Antibodi spesifik IgM terdeteksi mulai hari ke-7 dan mencapai puncak pada hari ke-15 setelah infeksi. Sementara itu, titer antibodi IgG terdeteksi dalam level tinggi setelah hari ke-15. Berdasarkan salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Sa-Ngasang (2005), monyet yang diinfeksi virus dengue tidak menunjukkan gejala penyakit seperti pada manusia, namun respon kebal humoral pada monyet secara umum mirip dengan pasien demam dengue pada manusia, dan terjadi viremia setelah dilakukan infeksi virus dengue yang masih aktif, meskipun titer antibodi dan durasi viremia pada manusia lebih besar. IgM pada manusia mulai terdeteksi 5-6 hari setelah infeksi primer. Sementara itu, IgG dapat terdeteksi setelah hari ke-7 atau lebih. Jadi, gambaran profil pembentukan antibodi pada beruk mirip dengan gambaran profil pembentukan antibodi pada manusia. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Infeksi virus menginduksi dengue respon serotipe-3 kebal (DEN-3) humoral melalui yang rute ditunjukkan subkutan dengan pembentukan antibodi. 2. Antibodi IgM terbentuk lebih awal dibandingkan antibodi IgG. 3. Antibodi IgM yang terbentuk pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis rendah (K1) cenderung lebih tinggi daripada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis tinggi (K2). 4. Antibodi IgG yang terbentuk pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis rendah (K1) cenderung lebih rendah daripada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis tinggi (K2). Saran 1. Dilakukan deteksi antibodi pada jangka waktu yang lebih lama untuk melihat respon beruk pada fase kronis. 2. Dilakukan deteksi lebih lanjut mengenai replikasi virus pada setiap rute infeksi. DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. Dengue Fever. 2010. www.microbiologybites.com. [24 Maret 2010]. (terhubung berkala). [Anonim]. ELISA Indirect. 2010. (terhubung berkala). http://entomology.tfrec.wsu.edu/VPJ_Lab/Immuno.html [29 Juni 2010] Burgess WG 1988. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama, T. Wayan, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : ELISA Technology in Diagnosis and Research. Bernardo L, Izquierdo, Prado A, Rosario ID, Alvarez M, Santana E, Castro J, Martinez R, Rodrìguez R, Morier L, Guillèn G, Guzmán MG. 2008. Primary and secondary infection of Macaca fascicularis monkeys with Asian and American Genotypes of dengue virus 2. Clinical and Vaccine Immunology 15 (3) : 439-446 Dohinow P, Fuentes A. 1999. The Non Human Primates. California: Mayfield Publishing Company. Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1995. Virologi Veteriner. Ed 2. Putra, D.K. Harya, penerjemah. Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Virology Veteriner. Gubler DJ. 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin. Microbiol. Rev. 11: 480-496. Guzman MG, Kouri. 2002. Dengue: An update. Lancet Infect. Dis. 2:33-42. Janeway C, Travers P. 1994. Host Defense Against Infection, Ed 1. United Kingdom: Blackwell Scientific Publication. Modis Y et al. 2004. Structure of the Dengue Virus Envelope Protein After Membrane Fusion. Artikel: Vol 427. Murphy AF et al. 1999. Veterinary Virology. Ed ke-3. San Diego: Academic Press. Perdani RRW. Lingkungan Kita Tak Sehat. 2007. (terhubung berkala). www.lampungpost.com [3 Maret 2010]. Pryor MJ, Carr JM, Hocking H, Davidson AD, Li P, Wright PJ. 2001. Replication of dengue virus type 2 in human monocyte-derived macrophages: comparison of isolates and recombinant viruses with substitutions at amino acid 390 in the envelope glycoprotein. Am. J. Trop. Med. Hyg. 65: 427-434. Rosenblum LL, Supriatna J, Melnick DJ. 1997. Phylogeographic analysis of pigtail macaque population (Macaca nemestrina) inferred from mitochondrial DNA. Am. J. Phys. Anthrop. 104: 35-45. Soedarmo SSP. 1988. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. 2010. (terhubung berkala) pdfpath.com/patogenesa-dan-perubahanpatofisiologi-infeksi-virus-dengue-html [24 Maret 2010]. Sa-Ngasang A, Anantapreecha S, A-Nuegoonpipat A, Chanama S, Wibulwattanakij S, Pattanakul K, Sawanpanyalert P, Kurane I. 2005. Specific IgM and IgG responses in primary and secondary dengue virus infections determinated by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Epid. Infect. J. 134(4) : 820-825. Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology, Second Edition. USA: Blackwell Publishing. Tizard I. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Hardjosworo, Soehardjo, penerjemah. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. Terjemahan dari: Veterinary Immunology An Introduction. Tran TNT, Vries PJ de, Hoang LP, Phan GT, Le HQ, Tran BQ, Vo CMT, Nguyen NV, Kager PA, Nagelkerke N, Groen J. 2006. Enzym-linked immunoassay for dengue virus IgM and IgG antibodies in serum and filter paper blood. BMC Infect. Dis. 6: 13. LAMPIRAN Lampiran 1 Titer antibodi IgM dan IgG Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis rendah (104 PFU/ml) Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1.3074 6,13 4,13 4,70 4,94 6,20 8,88 10,43 10,93 14,30 15,08 17,86 19,14 1.6387 5,06 5,06 4,82 4,94 6,32 14,58 30,83 42,66 43,14 40,21 37,24 36,08 1.1267 6,39 5,18 4,94 5,13 5,34 6,03 6,51 10,45 13,71 13,90 14,75 13,37 1.5713 6,01 6,65 6,44 6,22 6,60 7,17 10,33 17,93 28,10 35,99 33,49 31,16 1.6354 6,39 5,82 5,58 5,68 6,46 9,14 20,86 34,51 34,42 36,22 34,04 30,50 8455 6,89 8,19 7,86 7,79 11,95 6,13 10,67 12,09 12,85 15,18 19,43 19,50 Rataan 6,15 5,84 5,72 5,78 7,15 8,66 14,94 21,43 24,42 26,10 26,14 24,96 12 19,03 35,06 12,07 31,83 26,01 22,80 24,47 13 20,62 35,27 15,37 35,51 24,54 26,65 26,33 Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis rendah (104 PFU/ml) Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1.3074 0,75 0,51 0,43 0,55 0,53 0,55 0,61 0,76 1,94 6,04 10,57 13,49 1.6387 0,37 0,31 0,27 0,31 0,24 0,45 0,59 1,75 5,12 8,94 11,14 12,84 1.1267 0,31 0,31 0,33 0,35 0,27 0,37 0,29 0,67 2,47 5,41 7,35 8,18 1.5713 0,24 0,39 0,51 0,37 0,39 0,39 0,33 0,59 2,53 7,63 10,16 12,24 1.6354 0,51 0,55 0,49 0,55 0,57 0,75 2,18 4,96 8,51 11,63 14,61 16,90 8455 0,29 0,24 0,22 0,24 0,22 0,27 0,31 0,39 1,27 4,04 8,10 10,90 Rataan 0,41 0,39 0,38 0,40 0,37 0,46 0,72 1,52 3,64 7,28 10,32 12,43 12 13,20 13,78 9,27 12,33 16,92 12,41 12,99 13 13,41 14,71 11,18 12,57 16,94 14,37 13,86 Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis tinggi (107-108 PFU/ml) Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1.5360 4,11 4,79 3,59 3,29 4,27 8,73 15,99 29,01 41,03 44,41 40,85 36,53 1.5434 2,54 2,46 2,51 2,86 4,41 12,68 18,78 24,32 23,83 23,00 21,29 19,51 8872 5,56 5,07 4,98 5,21 7,00 9,88 14,60 21,22 22,91 23,45 23,31 21,92 8880 2,93 3,38 3,45 3,78 4,62 5,52 8,62 15,70 22,75 24,58 20,77 17,98 1.1.3251 2,28 2,21 2,54 2,44 2,98 4,86 8,36 11,06 17,51 21,64 21,76 22,58 9350 3,64 3,59 3,80 3,57 4,77 6,29 6,22 10,77 12,18 15,26 15,35 12,44 Rataan 3,51 3,58 3,48 3,53 4,68 7,99 12,10 18,68 23,37 25,39 23,89 21,83 12 30,07 17,25 20,96 15,96 17,82 11,60 18,94 13 28,64 15,89 19,46 15,87 17,37 13,64 18,48 Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis tinggi (107-108 PFU/ml) Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1.5360 0,29 0,23 0,19 0,31 0,32 0,38 0,76 2,50 7,01 10,98 14,96 17,10 1.5434 0,25 0,19 0,19 0,15 0,15 0,32 1,05 7,20 13,18 16,89 17,73 18,72 8872 0,52 0,27 0,27 0,23 0,25 0,38 0,94 4,83 11,06 15,21 15,97 17,80 8880 0,10 0,19 0,19 0,19 0,17 0,32 0,67 3,11 10,01 14,38 17,19 18,53 1.1.3251 0,29 0,34 0,32 14,63 0,34 0,34 0,48 1,32 5,39 10,95 16,31 18,28 9350 0,29 0,25 0,21 0,25 0,19 0,32 2,31 0,04 8,40 14,10 16,52 16,94 Rataan 0,29 0,25 0,23 2,63 0,24 0,34 1,04 3,17 9,18 11,36 16,45 17,90 12 17,57 18,19 18,01 17,55 18,61 17,92 17,98 13 19,08 19,16 18,26 18,26 18,85 18,87 18,75 Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk kontrol negatif setelah diinjeksi PBS steril Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9172 1,4 1,5 1,9 1,7 1,5 1,5 1,6 1,5 1,7 1.5407 1,3 1,2 1,1 0,9 1,0 1,0 1,0 1,0 1,4 9336 1,2 1,2 1,0 1,2 1,1 1,2 1,6 1,1 1,2 2.4192 1,8 2,0 2,0 1,9 2,3 2,1 1,9 1,8 1,9 Rataan 1,4 1,5 1,5 1,4 1,5 1,4 1,5 1,4 1,6 9 1,8 1,1 1,0 1,9 1,4 10 2,5 1,1 1,1 2,0 1,7 11 2,1 0,9 1,0 1,9 1,5 12 1,9 1,0 2,0 2,2 1,8 13 1,8 0,9 0,9 2,3 1,5 Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk kontrol negatif setelah diinjeksi PBS steril Pengamatan Hari keID Hewan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9172 0,9 1,1 1,1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 1,1 1.5407 1,3 1,2 1,2 1,1 1,1 1,1 1,0 1,1 1,3 9336 0,7 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7 0,8 0,6 0,7 2.4192 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7 0,6 0,6 0,6 0,6 Rataan 0,9 0,9 0,9 0,8 0,9 0,8 0,8 0,8 0,9 9 1,2 1,1 0,6 0,6 0,9 10 1,4 1,0 0,7 0,6 0,9 11 1,8 1,1 0,7 0,7 1,1 12 2,5 0,9 0,8 0,7 1,2 13 2,4 1,0 0,7 0,9 1,3 Rata-rata titer IgM dan IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk (Macaca nemestrina) Pengamatan Hari keInokulasi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 IgM Dosis Rendah 6,15 5,84 5,72 5,78 7,15 8,66 14,94 21,43 24,42 neg neg neg neg neg pos pos neg pos IgG Dosis Rendah 0,41 0,39 0,38 0,4 0,37 0,46 0,72 1,52 3,64 neg neg neg neg neg neg neg neg neg IgM Dosis Tinggi 3,51 3,58 3,48 3,53 4,68 7,99 12,1 18,68 23,37 neg neg neg neg neg neg pos pos pos IgG Dosis Tinggi 0,29 0,25 0,23 2,63 0,24 0,34 1,04 3,17 9,18 neg neg neg neg neg neg neg neg gz IgM Kontrol Negatif 1,4 1,5 1,5 1,4 1,5 1,4 1,5 1,4 1,6 neg neg neg neg neg neg neg neg neg IgG Kontrol Negatif 0,9 0,9 0,9 0,8 0,9 0,8 0,8 0,8 0,9 neg neg neg neg neg neg neg neg neg 9 26,1 pos 7,28 neg 25,39 pos 13,75 pos 1,4 neg 0,9 neg Keterangan: Neg : negatif, yaitu menunjukkan tidak terdapat IgM/IgG terhadap virus dengue di dalam sampel Gz : grey zone Pos : positif, artinya sampel tersebut memiliki antibodi IgM/IgG terhadap virus dengue 10 26,14 pos 10,32 gz 23,89 pos 16,45 pos 1,7 neg 0,9 neg 11 24,96 pos 12,43 pos 21,83 pos 17,9 pos 1,5 neg 1,1 neg 12 24,47 pos 12,99 pos 18,94 pos 17,98 pos 1,8 neg 1,2 neg 13 26,33 pos 13,86 pos 18,48 pos 18,75 pos 1,5 neg 1,3 neg Lampiran 2 Profil titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk 50.00 Titer Antibodi (U/ml) 45.00 40.00 ID Beruk 35.00 1.3074 30.00 1.6387 25.00 20.00 1.1267 15.00 1.5713 10.00 1.6354 5.00 8455 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgM pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) 50.00 45.00 ID Beruk Titer Antibodi (U/ml) 40.00 35.00 1.3074 30.00 1.6387 25.00 20.00 1.1267 15.00 1.5713 10.00 1.6354 8455 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgG pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) 50.00 45.00 Titer Antibodi (U/ml) 40.00 ID Beruk 35.00 1.5360 30.00 1.5434 25.00 20.00 8872 15.00 8880 10.00 1.1.3251 9350 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgM pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2) 50.00 45.00 Titer Antibodi (U/ml) 40.00 ID Beruk 35.00 1.5360 30.00 1.5434 25.00 20.00 8872 15.00 8880 10.00 1.1.3251 9350 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgG pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2) 50.00 45.00 Titer Antibodi (U/ml) 40.00 35.00 ID Beruk 30.00 9172 25.00 20.00 1,5407 15.00 9336 10.00 2,4192 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgM pada kelompok beruk kontrol yang diinfeksi PBS (K3) 50.00 Titer Antibodi (U/ml) 45.00 40.00 35.00 ID Beruk 30.00 9172 25.00 20.00 1,5407 15.00 9336 10.00 2,4192 5.00 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hari ke- Titer antibodi IgG pada kelompok beruk kontrol yang diinfeksi PBS (K3)