PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK

advertisement
PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK
(Macaca nemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE
SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE SUBKUTAN
YUSNIA PURWANINGRUM
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Profil Antibodi IgM dan IgG
pada Beruk (Macaca nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3
(DEN-3) melalui Rute Subkutan adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010
Yusnia Purwaningrum
NIM B04061265
ABSTRACT
YUSNIA PURWANINGRUM. Profile of Immunoglobulin M (IgM) and IgG
Antibodies in Pig-tailed Macaques (Macaca nemestrina) Infected by Virus
Serotype-3 (DEN-3) via Subcutaneous Route. Under direction of JOKO
PAMUNGKAS and RACHMITASARI NOVIANA.
This study was to compare the immune response in pig-tailed macaques
(Macaca nemestrina) induced by the dengue virus serotype-3 (DEN-3) via
subcutaneous route. There are 3 groups of animal in the study. Group 1 (n=6)
were infected by DEN-3 at low dose level of 104 PFU/ml, group 2 (n=6) were
infected by DEN-3 at high dose level of 107-108 PFU/ml, and group 3 (n=4) were
infected by PBS; all groups were innoculated by subcutaneous route. The blood
samples were collected using venesectio method in femoralis vein on day 0 prior
the infection followed by day 1 until day 13 post infection. IgM and IgG antibodies
were detected by Indirect Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dengue
virus induced humoral immune respons producing antibodies. The antibody
profile analyses showed different by individual animals, but similar in general.
The IgM titer started to increase on day 4 or day 5 post infection and reached the
peak on day 9 post infection and decline afterward; The IgG titer started to
increase on day 7 or 8 post infection. In general the increase of IgM titer started
earlier than the IgG and the titer of IgM was higher than the IgG.
Keywords: IgM, IgG, pig-tail macaque, DEN-3, subcutaneous route.
RINGKASAN
YUSNIA PURWANINGRUM. Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca
nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui Rute
Subkutan. Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan RACHMITASARI NOVIANA.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan respon imun pada beruk
(Macaca nemestrina) yang diinduksi oleh virus dengue serotipe-3 (DEN-3)
melalui rute subkutan. Penelitian ini menggunakan 3 kelompok hewan. Kelompok
1 (n=6) diinfeksi dengan virus DEN-3 dosis rendah 104 PFU/ml, kelompok 2 (n=6)
diinfeksi dengan virus DEN-3 dosis tinggi 107-108 PFU/ml, dan kelompok 3 (n=4)
diinfeksi dengan PBS; semua kelompok diinfeksi melalui rute subkutan. Sampel
darah dikoleksi melalui metode venesectio pada vena femoralis pada hari ke-0
sebelum infeksi dan dilanjutkan pada hari ke-1 hingga hari ke-13 setelah infeksi.
Kemudian antibodi IgM dan IgG dideteksi dengan uji ELISA tidak langsung. Virus
dengue menginduksi tanggap kebal humoral dengan pembentukan antibodi.
Gambaran profil antibodi berbeda setiap individu hewan, tetapi secara umum
memiliki kemiripan. Titer antibodi IgM mulai meningkat pada hari ke-4 atau hari
ke-5 pasca infeksi dan mencapai puncak pada hari ke-9 pasca infeksi kemudian
mulai mengalami penurunan. Sementara itu, IgG mulai mengalami peningkatan
titer pada hari ke-7 atau hari ke-8 pasca infeksi. Secara umum, peningkatan titer
IgM lebih awal daripada IgG dan titer titer IgM lebih tinggi daripada IgG.
Kata-kata kunci: IgM, IgG, beruk, DEN-3, rute subkutan.
PROFIL ANTIBODI IgM DAN IgG PADA BERUK
(Macaca nemestrina) SETELAH DIINFEKSI VIRUS DENGUE
SEROTIPE-3 (DEN-3) MELALUI RUTE SUBKUTAN
YUSNIA PURWANINGRUM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Skripsi : Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca nemestrina)
setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) melalui Rute
Subkutan
Nama
: Yusnia Purwaningrum
NIM
: B04061265
Disetujui
Dr. drh. Joko Pamungkas M.Sc.
Pembimbing I
Rachmitasari Noviana, SKH.
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
Skripsi ini saya dedikasikan untuk ibu Umiyati, bapak Lamidi, dan adik
Yusril Fatkhurrozi.
Terima kasih atas kebaikan, kasih sayang, perhatian, kepercayaan,
pengertian, dukungan, pembelajaran, perjuangan, teladan, dan semua hal
yang telah kalian berikan.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada
kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.
Hanya kepada Aku kembalimu”
(QS. Luqman, 31: 14)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Maret 2009 dengan judul Profil Antibodi IgM dan IgG pada Beruk (Macaca
nemestrina) setelah Diinfeksi Virus Dengue Serotipe-3 (DEN-3) Melalui Rute
Subkutan. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Bapak Lamidi dan Ibu
Umiyati, serta adikku Yusril Fatkhurrrozi, yang telah memberikan dorongan moral
dan doanya.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Drh. Joko
Pamungkas M.Sc. selaku pembimbing pertama yang sabar dan memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; Rachmitasari Noviana,
SKH. selaku pembimbing kedua yang mendampingi penulis dalam pelaksaan
penelitian dan penulisan skripsi; Drh. Kusdiantoro Mohammad, M.Si. selaku
dosen pembimbing akademik yang memberikan arahan selama penulis
menjalani perkuliahan; Dr. Drh. Diah Iskandriati selaku Kepala Laboratorium
Mikrobiologi dan Imunologi PSSP dalam membantu memfasilitasi penelitian; staf
laboratorium dan pegawai PSSP LPPM IPB atas bantuan yang telah diberikan;
Drh. Abdul Gani Amri Siregar, MS selaku dosen penilai seminar; Dr. Drh. Umi
Cahyaningsih, MS selaku moderator seminar; Dr. Drs. Bambang Kiranadi, M.Sc
dan Prof. Dr. Drh. Iman Supriatna selaku dosen penguji sidang; dosen FKH IPB
atas semua ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalani perkuliahan; Sri
Nofrianti, Ranti Asryyuni, dan Rahmawati atas kerjasamanya; Senior Resident
Asrama TPB IPB dan Badan Pengelola Asrama TPB IPB atas kekeluargaan,
dukungan, dan pembelajaran yang sangat berharga; teman-teman Aesculapius
FKH 43, LDF An-Nahl FKH IPB, Himpro HKSA, UKM Tae Kwon Do, dan DKM AlHurriyyah dan masih banyak lagi teman-teman yang membantu penyelesaian
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kemudian hari untuk
masyarakat luas.
Bogor, September 2010
Yusnia Purwaningrum
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 18 Desember 1987 dari ayah
Lamidi, S. Pd dan ibu Umiyati. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2006, penulis berhasil menyelesaikan studi pada jenjang SMA di SMA
Negeri 1 Batu dan diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Fakultas Kedokteran Hewan
pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan beasiswa Lembaga
Amil Zakat DKM Al-Hurriyyah, beasiswa Supersemar, beasiswa Korean
Exchange Bank (KEB), dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa dari IPB.
Penulis juga aktif sebagai pengurus Musholla Asrama Putri TPB IPB (20062007), pengurus DPM TPB (2006-2007), pengurus LDK DKM Al-Hurriyyah IPB
(2006-2008), pengurus LDF DKM An-Nahl FKH IPB (2007-2008), anggota
Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik FKH IPB (2007-2010),
anggota UKM Tae Kwon Do (2008-2010), dan Senior Residen Asrama Putri TPB
IPB (2008-2010). Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pengelolaan
Kesehatan Ternak Tropis pada semester genap tahun ajaran 2009-2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xii
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar Belakang ..............................................................................
1
Tujuan ...........................................................................................
2
Manfaat .........................................................................................
2
Hipotesis .......................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Kekebalan Humoral .......................................................................
Imunoglobulin G ..........................................................................
Imunoglobulin M .........................................................................
Virus Dengue ................................................................................
Macaca nemestrina .......................................................................
Uji Serologis ...................................................................................
EIA (Enzyme Immuno Assay)......................................................
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ..........................
3
3
3
4
5
6
7
10
11
BAHAN DAN METODE ............................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
Sampel yang Diuji .........................................................................
Reagen dan Bahan Habis Pakai ....................................................
Alat ...............................................................................................
Metode Penelitian ..........................................................................
13
13
13
13
13
14
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
18
SIMPULAN DAN SARAN .........................................................................
Simpulan .......................................................................................
Saran .............................................................................................
25
24
24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Virus dengue ......................................................................................
5
2. Respon imun infeksi dengue ..............................................................
6
3. Beruk (M. nemestrina) ........................................................................
7
4. Indirect ELISA ....................................................................................
16
5. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk kelompok kontrol .....
18
6. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang
diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah ...........................
19
7. Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang
diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi .............................
19
8. Perbandingan rataan titer antibodi IgM pada setiap kelompok beruk ..
21
9. Perbandingan rataan titer antibodi IgG pada setiap kelompok beruk ..
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Titer antibodi IgM dan IgG........................................................................... 28
2. Profil titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk............................................ 32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam dengue merupakan salah satu penyakit yang endemik dan
menelan banyak korban jiwa di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit viral
terpenting dan memengaruhi manusia. Estimasi 2,5 juta orang yang tinggal di
daerah endemik berisiko terserang penyakit ini (Guzman & Kouri 2002). Oleh
karena itu, sering dilakukan penelitian untuk meningkatkan pencegahan,
pengobatan, dan penanggulangan serangan dengue.
Demam dengue merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
empat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Daya infeksi
keempat virus dengue ini cukup tinggi serta memiliki gejala klinis, epidemiologi
distribusi yang mirip, terutama di daerah tropis dan subtropis di dunia (Gubler
1998). Hingga saat ini masih belum ada terapi maupun vaksin yang dapat
digunakan untuk mengatasi virus dengue pada manusia.
Penyebab penyakit ini ditularkan melalui perantara vektor nyamuk Aedes
aegypti sehingga dimasukkan ke dalam kelompok Arbovirus (arthropod borne
virus). Vektor nyamuk ini masih sulit diberantas karena faktor kepadatan
penduduk dan sanitasi masyarakat yang kurang baik.
Salah satu hewan model yang memiliki kedekatan genetik dengan manusia
dan dilaporkan dapat diinfeksi dengue ialah satwa primata (Bernardo 2008).
Penelitian dengue yang dilakukan seringkali menggunakan hewan coba monyet
rhesus (Macaca mullata) dan simpanse (Pan sp.), akan tetapi satwa primata
tersebut bukan satwa endemik Indonesia, sulit diperoleh karena status
populasinya yang mulai mendekati langka, dan harganya sangat mahal. Oleh
karena itu, dilakukan penelitian terhadap satwa primata endemik Indonesia, yaitu
beruk, untuk pengembangan hewan model alternatif penelitian infeksi virus
dengue.
Demam dengue memiliki gejala dan simptom yang bersifat tidak spesifik.
Diagnosis klinis dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi. Uji serologi ini
sering dilakukan di berbagai laboratorium dengan uji komersial yang tersedia.
Salah satu uji yang sering digunakan ialah ELISA. Uji ELISA mampu menguji
sampel jumlah besar dalam waktu yang singkat. ELISA penangkap IgM dan IgG
dengue memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi
antibodi dengue (Tran et al. 2006).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon kebal beruk (Macaca
nemestrina) yang diinfeksi primer dengan virus dengue serotipe-3 (DEN-3)
melalui rute subkutan dengan mengamati gambaran IgM dan IgG melalui analisis
laboratorium menggunakan metode ELISA. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui respon kebal beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dengan
dosis yang berbeda.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diperolehnya
pengetahuan mengenai gambaran IgM dan IgG pada beruk setelah diinfeksi
primer dengan DEN-3 sehingga memudahkan penelusuran respon kebal
terhadap kasus demam berdarah pada manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Kekebalan Humoral
Antibodi merupakan faktor yang dapat memberikan kekebalan. Antibodi
terdapat dalam semua cairan tubuh, tetapi konsentrasi tertinggi dan termudah
diperoleh dalam jumlah banyak untuk analisis dari serum darah. Sistem antibodi
memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu antigen
sebelumnya. Jika seekor hewan terpapar suatu antigen yang sama dengan
antigen yang pernah menginfeksi sebelumnya, maka sistem kekebalan akan
merespon antigen ini dengan cepat dan antibodi mencapai tingkat yang jauh
lebih tinggi (Tizard 1987).
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
akibat interaksi limfosit B peka-antigen dan antigen khusus. Antibodi ini akan
berikatan
dengan
antigen
serta
mempercepat
penghancuran
dan
penyingkirannya (Tizard 1987).
Karena molekul antibodi adalah globulin maka umumnya dikenal sebagai
imunoglobulin
(disingkat
Ig).
Istilah
imunoglobulin
digunakan
untuk
menggambarkan semua protein yang mempunyai aktivitas antibodi maupun
beberapa protein yang mempunyai struktur imunoglobulin yang khas tetapi tidak
memiliki aktivitas antibodi (Tizard 1987).
Sebagai protein, maka imunoglobulin adalah antigen yang baik sekali jika
disuntikkan pada hewan dari spesies yang berbeda. Akibatnya, dapat dibuat
antiserum yang bereaksi dengan molekul imunoglobulin. Dengan menggunakan
antiserum semacam ini dapat ditunjukkan bahwa imunoglobulin adalah antigenis
heterogen dan terbagi dalam berbagai isotipe yang ternyata terdapat pada
semua hewan menyusui (Tizard 1987).
Imunoglobulin G
Imunoglobulin
G
merupakan
imunoglobulin
yang
terdapat
dalam
konsentrasi tertinggi dalam serum darah sehingga berperan utama dalam
mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi. Zat ini merupakan
imunoglobulin 7 S dengan berat molekul 180.000 dalton dan memiliki determinan
antigen γ pada rantai beratnya. Karena ukuran yang relatif kecil maka zat itu
lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan molekul imunoglobulin
yang lain, sehingga cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme
pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard 1987).
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M adalah imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi
nomor dua tertinggi dalam serum dari kebanyakan hewan. Imunoglobulin M
merupakan molekul 19 S dengan berat molekul 900.000 dalton yang terbentuk
dari lima subunit 7 S. Imunoglobulin M merupakan imunoglobulin utama yang
dihasilkan dalam tanggap kebal primer. Imunoglobulin M juga dihasilkan dalam
tanggap kebal sekunder, tetapi jumlahnya tertutup oleh produksi IgG dalam
jumlah besar. Karena ukurannya yang besar, molekul IgM terutama terbatas
pada pembuluh darah dan kurang penting dalam memberi perlindungan dalam
cairan jaringan atau sekresi tubuh (Tizard 1987).
Konsentrasi IgM dalam serum sekitar 5-10% dari total imunoglobulin
serum. Imunoglobulin M disekresikan oleh sel plasma sebagai pentamer. Lima
monomer unit disatukan oleh ikatan disulfida yang menghubungkan kelima
carboxyl-terminal heavy-chain domains (Cµ4/Cµ4) dan kelima domain Cµ3/Cµ3.
Lima monomer subunit disusun oleh kelima regio Fc pada bagian tengah dari
pentamer dan 10 sisi yang berikatan dengan antigen pada bagian tepi molekul.
Setiap pentamer berisi tambahan polipeptida Fc-linked yang disebut rantai J
(joining chain) yang memiliki ikatan disulfida dengan carboxyl-terminal cystein
residu dari dua rantai. Rantai J tampak dibutuhkan untuk polimerisasi dari
monomer membentuk pentamer IgM sebelum pentamer disekresikan.
Karena IgM memiliki struktur pentamer dengan 10 sisi yang akan berikatan
dengan antigen, IgM memiliki valensi lebih besar daripada isotipe lainnya.
Molekul IgM bisa berikatan dengan 10 molekul hapten kecil. Tetapi, karena
adanya hambatan, hanya lima molekul antigen yang lebih besar yang mampu
berikatan secara bersamaan.
Valensi IgM yang tinggi menyebabkan IgM lebih efisien daripada isotipe
lainnya dalam ikatan antigen dengan beberapa pengulangan epitope seperti
partikel virus dan sel darah merah (RBC). Contoh, ketika RBC diinkubasi dengan
antibodi spesifik, mereka membentuk gumpalan yang disebut aglutinasi.
Dibutuhkan molekul IgG 100 hingga 1000 kali lebih banyak daripada IgM untuk
mendapatkan level aglutinasi yang sama. Fenomena yang mirip juga terjadi
dengan partikel virus. IgM yang dibutuhkan untuk menetralisasi infektivitas virus
lebih sedikit daripada IgG. IgM juga lebih efisien daripada IgG dalam
mengaktivasi komplemen. Aktivasi komplemen membutuhkan sedikitnya dua
regio Fc dan strutur pentamer dari molekul tunggal IgM sudah mencukupi
kebutuhan tersebut (Kindt 2007).
Virus Dengue
Virus dengue termasuk ke dalam famili Flaviviridae dan genus Flavivirus.
Virus ini merupakan virus RNA dengan diameter 45-60 nm, memiliki amplop,
simetri ikosahedral, besar 9,5-12,5 kb, dan secara alami berbentuk single
stranded dan linear (Murphy 2006).
Virus Demam Berdarah Dengue (DBD) juga termasuk dalam Arbovirus.
Arbovirus merupakan singkatan dari arthropod-borne viruses, artinya virus
ditularkan melalui gigitan serangga, seperti nyamuk. Apabila arthropoda
menghisap darah dari vertebrata yang sedang mengalami viremia maka virus
akan masuk ke dalam tubuh arthropoda. Di dalam tubuh arthropoda, virus
mengalami perkembangbiakan. Kemudian arthropoda tersebut akan menularkan
virus ini kepada vertebrata lain yang rentan (Soedarmo 1988). Arthropoda ini
memindahkan virus ke tubuh inang melalui gigitan. Setelah 4-6 hari (masa
inkubasi) terjadilah penyakit pada inang yang bersangkutan (Perdani 2007).
Virus dengue masuk ke dalam sel inang ketika glikoprotein amplop virus
berikatan pada reseptor dan direspon dengan penyusunan konformasi ulang
untuk mengurangi pH dan endosom. Perubahan konformasi menginduksi reaksi
fusi antara virus dengan membran sel inang (Modis 2004).
Gambar 1 Virus dengue
(www.microbiologybites.com 2010)
Di dalam tubuh manusia, virus DBD berkembang biak dalam sistem
retikuloendotelial, dengan target utama adalah Antigen Presenting Cells (APC)
yang berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer. Viremia timbul
pada saat menjelang gejala klinik tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus
bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B,
dan sel limfosit T (Soegijanto 2010).
Akibat infeksi virus ini muncul respon imun humoral maupun selular, seperti
anti netralisasi, anti hemaglutinin, dan anti komplemen. Antibodi yang muncul
pada umumnya adalah IgG dan IgM. Antibodi terbentuk pada infeksi virus primer,
dan kadar antibodi meningkat (booster effect) pada infeksi sekunder (Soegijanto
2010).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, sehingga kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer
dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari
ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke
dua. Karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima. Diagnosis infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.
Gambar 2 Respon imun infeksi dengue
(Suroso dalam Soegijanto 2010)
Beruk (Macaca nemestrina)
Macaca merupakan satwa primata yang tersebar paling luas di dunia dan
terdiri dari 90 spesies yang sudah terklasifikasikan. Macaca nemestrina (beruk)
juga dikenal dengan nama pigtailed macaque. Klasifikasi beruk (Macaca
nemestrina) adalah:
Order
: Primata
Suborder
: Anthropoidea
Infraorder
: Catarrhini
Superfamily
: Cercopithecoidea
Family
: Cercopithecidae
Subfamily
: Cercopithecinae
Genus
: Macaca
Spesies
: Macaca nemestrina (Dolhinow dan Fuentes 1999)
Gambar 3 Beruk (M. nemestrina)
(Sumber: Pusat Studi Satwa Primata – LPPM IPB)
Beruk (Macaca nemestrina) terdistribusi secara luas di daerah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Beruk diklasifikasikan berdasarkan karakter
morfologi yang terdiri atas warna rambut, pola, dan morfologi ekor (Fooden 1975
dalam Rosneblum 1997). Tiga subspesies beruk yang sudah dikenal antara lain
M. n. leonina, M. n. nemestrina, dan M. n. pagensis. M. n. leonina terdapat di
Semenanjung Malaya. M. n. nemestrina ditemukan di sebelah selatan
Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan Borneo. M. n. pagensis terbatas di
kepulauan Mentawai, sebelah Barat pulau Sumatra (Rosenblum 1997).
Rosenblum (1997) melakukan penelitian terhadap mtDNA beruk di daerah
Asia Tenggara. Hasil penelitian ini mendukung studi subspesies beruk
berdasarkan ciri morfologinya. Macaca yang hidup di daerah Mentawai (M. n.
pagensis) merupakan subspesies dari beruk (Macaca nemestrina). M. n.
pagensis secara genetik memiliki kedekatan dengan populasi M. n. nemestrina.
Uji Serologis
Serum hiperimun (sering disebut dengan antiserum) didapatkan dengan
cara imunisasi suatu hewan dengan imunogen yang spesifik untuk mendapatkan
suplai antibodi terhadap imunogen tersebut. Antibodi didapatkan dengan cara
mengumpulkan sampel darah dari hewan yang diimunisasi. Serum merupakan
sumber utama antibodi, bila infeksi virus didiagnosis dengan menggunakan
deteksi antibodi-antivirus (Burgess 1995).
Antibodi yang didapatkan dari hiperimunisasi dikenal sebagai antibodi
poliklonal atau konvesional. Antibodi tersebut digunakan sebagai reagen
diagnostik untuk mendeteksi dan mengukur bahan biologis, memurnikan bahan
biologis, dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Burgess 1995).
Serum hiperimun mengandung campuran kompleks antibodi dengan
spesifisitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Ciri dan keterbatasan antibodi
poliklonal:
1. Berbagai antibodi melawan berbagai antigen
Serum yang diambil dari darah hewan mengandung antibodi yang
beragam. Antibodi yang ada di dalamnya merupakan antibodi untuk
menanggapi antigen yang diimunisasikan dan antigen lain lingkungan lain
yang masuk ke dalam tubuh hewan.
2. Berbagai antibodi melawan antigen yang sama
Antibodi yang diproduksi tubuh untuk melawan suatu antigen yang
diimunisasikan tidak homogen.
3. Reaktivitas dengan determinan berbeda dalam satu antigen
Antibodi poliklonal bereaksi dengan sejumlah antigen determinan yang
berbeda pada antigen. Reaktivitas ini dapat mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang besar.
4. Pengenalan konfigurasi antigen multiple
Serum dapat digunakan untuk mengidentifikasi konfigurasi yang dibentuk
oleh kelompok-kelompok antigen.
5. Spesifisitas versus sensitivitas
Antiserum poliklonal memiliki spesifitas yang luas. Ada beberapa sisi aktif
yang bisa berikatan dengan antigen menyebabkan berkurangnya
spesifisitas namun mempertahankan tingkat sensitivitas.
6. Stabilitas antibodi
Reagen yang berasal serum poliklonal relatif bersifat stabil. Walaupun
komponen antiserum tidak stabil, secara keseluruhan aktivitasnya tidak
terpengaruh walaupun titernya sedikit menurun.
7. Stabilitas antigen
Proses yang dilakukan pada spesimen dapat mengubah atau merusak
epitop pada antigen. Penggunaan antiserum poliklonal memungkinkan
terdeteksinya antigen dengan adanya ikatan antara antibodi dengan
epitop yang tidak rusak.
8. Afinitas
Antiserum poliklonal mengandung berbagai macam antibodi dengan
afinitas yang berbeda. Antibodi dengan afinitas tinggi cenderung
menutupi antibodi dengan afinitas rendah sehingga mendominasi
spesifisitas. Adanya antibodi dengan afinitas yang berbeda menyebabkan
sesudah konjugasi antibodi cenderung mempertahankan kemampuan
pengikatannya sehingga dapat mempertahankan keseluruhan reaktivitas
preparat. Selain itu, keragaman afinitas menyebabkan reaktivitas
antiserum poliklonal relatif tetap stabil dalam kisaran nilai pH dan kadar
ion yang lebar.
9. Reaktivitas silang
Reaktivitas serum hiperimun tidak hanya terhadap antigen yang diteliti
tetapi juga terhadap antigen lain (Burgess 1995).
Uji
serologis
dilakukan
untuk
mengidentifikasi
antibodi
dengan
menggunakan panel dari antigen yang sudah diketahui. Darah dimasukkan ke
dalam tabung tanpa penambahan koagulan. Darah dibiarkan menggumpal
kemudian serum akan terpisah. Prosedur serologis yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi antigen-antibodi antara lain Enzyme Immunoassay (EIA), Radio
Immunoassay
(RIA),
Latex
Particle
Agglutination,
Virus
neutralization,
Hemagglutination fluorescent, Immuno diffusion, dan Complement fixation.
Pemilihan sampel isolasi virus yang akan diamati sangat penting untuk
menunjang proses diagnosis. Salah satu sampel yang bisa dipilih adalah plasma
darah sehingga dapat diperoleh sampel dalam jumlah besar. Plasma ialah cairan
komponen darah yang diambil setelah sentrifugasi sampel darah yang
mengandung antikoagulan. Plasma mengandung 92-95% air dan 5-8% padatan.
Padatan plasma terdiri atas protein (terbanyak), glukosa, urea, elektrolit, dan
kimia lain. Secara umum, komposisi kimia plasma mirip dengan cairan interstitial
dalam jaringan (Stockham & Scott 2008). Metode ini memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan. Manfaat dilakukannya uji serologi adalah:
1. Merupakan teknik non-invasif yang hanya membutuhkan pengumpulan
antibodi dengan mengambil darah dari vena
2. Metode cepat
3. Dalam kadar rendah sangat sensitif terhadap antigen bakteri atau infeksi
yang sangat terlokalisasi, biasanya akan menimbulkan reaksi antibodi
yang nyata, atau antibodi yang jumlahnya sedikit dapat dideteksi melalui
teknik amplifikasi
4. Antibodi mempunyai half life beberapa minggu
5. Serologi dapat digunakan sebagai alat diagnosis infeksi yang sukar untuk
mendeteksi adanya bakteri karena tak menyebar
6. Serologi dapat menggantikan metode proteksi dengan suntikan antigen
dan metode proteksi pasif untuk menentukan efektivitas prosedur
vaksinasi, setelah diketahui hubungan antara banyaknya antibodi dan
pertahanan serta proteksinya
7. Beberapa spesies bakteri sukar dibiakkan in vitro atau memerlukan media
khusus (Burgess, 1995).
Kelemahan metode serologi yang mungkin terjadi adalah:
1. Suatu titer antibodi hanya menunjukkan pendedahan terhadap penyebab
penyakit dan tidak perlu terjadinya infeksi
2. Beberapa penyakit kurang mempu menggertak respon antibodi
3. Mikroorganisme lain dapat mempunyai antigen yang secara imunologis
bereaksi silang dengan penyebab penyakit yang diteliti
4. Titer
antibodi
mungkin
tidak
benar-benar
mencerminkan
tingkat
pertahanan yang ditimbulkan oleh vaksinasi. Hal ini terjadi karena
imunitas dengan perantara sel lebih penting daripada imunitas humoral
dalam melindungi hewan dari penyakit tertentu. Selain itu, hanya
sebagian antibodi spesifik yang mampu memberikan perlindungan
(Burgess 1995).
EIA (Enzym Imuno Assay)
Uji Enzyme Immunoassay (EIA) menggunakan enzim yang diikatkan pada
salah satu reaktan di dalam immunoassay untuk memungkinkan terbentuknya
warna yang beragam setelah penambahan substrat/kromogen. Prinsip uji EIA
adalah antibodi berikatan dengan antigen, anti-Ig yang telah dilabeli enzim
berikatan dengan antibodi, dan substrat yang mengubah warna. Uji ini memiliki
sensitivitas yang sangat tinggi.
Konfigurasi metodologi hampir semuanya tak terbatas meliputi luasnya
varietas yang terdiri dari metode langsung (direct), tidak langsung (indirect), dan
kebalikan (reversed). Kebanyakan adalah fase solid EIAs, penangkapan antibodi
yang berikatan (dengan penyerapan sampel atau dengan ikatan kovalen) pada
substrat solid.
Antigen-antibodi kompleks diketahui memiliki sensitivitas tinggi dengan
ditambahkan avidin, enzim label kemudian substrat. Rangkaian modifikasi EIA
diiringi dengan peningkatan sensitivitas yang lebih jauh. Substrat energi tinggi
didapatkan bersamaan pelepasan fluorescent, chemiluminescent, atau produk
radioaktif yang dapat diidentifikasi dalam jumlah yang sangat kecil.
Uji enzimatik terdiri dari reaksi imunologi dan reaksi indikator enzimatik
untuk menunjukkan ada tidaknya interaksi antigen/antibodi. Spesifisitas EIA
berasal dari sifat inheren penggabungan secara imunologi, sementara
sensitivitasnya terkandung pada penguatan reaksi enzimatik (Burgess 1995).
Uji EIA dapat digolongkan atas EIA histokimiawi dan EIA kuantitatif. Prinsip
EIA histokimiawi yaitu suatu jaringan yang difiksasikan direaksikan secara
langsung atau tidak langsung dengan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim
untuk menghasilkan reaksi yang dapat dideteksi. Uji EIA kuantitatif biasanya
dilakukan dengan menggunakan uji ELISA biasa dan bertujuan untuk
mendapatkan nilai yang akurat (Burgess 1995).
Teknik ELISA (Enzyme Linked Imuno Sorbent Assay)
Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) meliputi langkah-langkah
penambahan dan reaksi reagen dengan fase solid—materi yang menjadi batas,
termasuk inkubasi dan pemisahan materi berlebih dan reagen yang bebas
dengan melakukan pencucian. Semua konfirmasi ELISA yang umum dapat
digunakan untuk diagnosis virus dengan sumber serum. Sumber antibodi yang
banyak digunakan berasal dari darah. Namun, antibodi juga bisa didapatkan dari
susu dan cairan cerebrospinal. Salah satu kelebihan ELISA adalah mampu
melakukan pengenceran serum tunggal dan memperoleh hasil kuantitatif yang
mempunyai korelasi dengan jumlah antibodi atau antigen dalam sampel asli
(Burgess 1995).
Pemilihan komponen antigen yang sesuai sangat diperlukan untuk
mengembangkan sistem serologi dan sistem deteksi antigen. Komponen ini
digunakan sebagai antigen uji dan sebagai imunogen untuk mendapatkan
antibodi pendeteksi yang spesifik dengan titer yang tinggi. Komponen ini harus
memenuhi beberapa kriteria agar efektif sebagai reagen ELISA, yaitu:
1. Antigen harus bersifat imunogenik dan mampu menginduksi respon
antibodi pada inang
2. Preparat uji harus sensitif
3. Antigen harus unik sehingga terjadi respon antibodi-antigen spesifik
4. Organisme mudah dibiakkan
5. Antigen ada dalam jumlah besar
6. Antigen mudah diekstrasi dalam bentuk imunologis aktif (Burgess 1995).
Pada uji bakteri, antigen bakteri yang umum digunakan dalam ELISA adalah:
1. Bakteri utuh
2. Bakteri utuh yang dirusak secara mekanis, fisik, atau kimiawi.
3. Ekstrak kasar bakteri yang dirusak
4. Senyawa kimia murni atau setengah murni (Burgess 1995).
Kelemahan dalam uji serologis dapat dikurangi bila menggunakan ELISA.
ELISA mampu untuk memberikan informasi tentang waktu paparan antigen dan
tempat infeksi, semua kelas dan subkelas antibodi spesifik dapat dideteksi
sehingga meningkatkan sensitivitas, mampu mendeteksi antibodi terhadap
berbagai penyebab penyakit,
reagen dan biaya
tenaga lebih rendah,
penggunaan reagen yang stabil, sistem ELISA yang mudah dibakukan dan
pengujian itu tidak terpengaruh penilaian subyektif, dan sistem ELISA dapat
diotomatisasikan dengan menggunakan peralatan yang tersedia di pasaran dan
meminimkan pengaruh keragaman operator (Burgess 1995).
ELISA yang akan digunakan untuk menguji virus bisa disiapkan sendiri
dengan otomisasi dan bisa menggunakan ELISA kit yang siap digunakan secara
langsung. ELISA yang dibuat dengan acara otomisasi membutuhkan persiapan
dari preparasi antigen hingga pembacaan hasil. Sedangkan ELISA kit dapat
langsung digunakan karena semua bahan dan perlengkapan sudah disiapkan
dari pabrik.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian pemeriksaan IgM dan IgG pada sampel plasma beruk
dilaksanakan pada bulan Maret 2009 di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi
Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengembangan
kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Jalan Lodaya II/5 Bogor. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian pengembangan hewan model untuk infeksi
virus dengue yang dilakukan oleh PSSP LPPM IPB serta telah melalui proses
evaluasi dan disetujui oleh Komisi Pengawas Kesejahteraan dan Penggunaan
Hewan Penelitian (KPKPHP) PSSP LPPM IPB dengan nomor ACUC (Animal
Care and Use Committe): P.09-08-IR.
Sampel
Penelitian ini menggunakan 178 sampel plasma masing-masing sebanyak
100 µl yang dikoleksi selama 14 hari dari 12 ekor beruk kelompok perlakuan dan
56 sampel plasma masing-masing sebanyak 100 µl yang dikoleksi selama 14
hari dari empat ekor beruk kelompok kontrol yang berada pada fasilitas
penangkaran PSSP LPPM IPB.
Reagen dan Bahan Habis Pakai
Reagen dan bahan habis pakai yang digunakan untuk deteksi antibodi
ialah antigen dengue dan KIT ELISA (HUMAN®, Germany) yang terdiri atas
sumuran reaksi (plate) dasar rata dengan antigen virus dengue, antibodi virus
dengue kontrol negatif, antibodi virus dengue kontrol positif, larutan penyangga,
konjugat, larutan pencuci (washing solution), substrat TMB (Tetra Methyl
Benzidine), larutan pemberhenti reaksi (asam sulfat 0,2 mol/l), dan adhesive
strip. Konjugat yang digunakan ialah rabbit anti human IgM/ IgG yang
dikonjugasikan
dengan
enzim
perokidase.
Substrat
yang
digunakan
mengandung target enzim H2O2 (hidroksi peroksida) dan larutan kimia pewarna
3,3’, 5,5’-tetramethylbenzidine (TMB) di dalam larutan penyangga pH 7,2 ± 2.
Alat
Alat-alat yang digunakan ialah ELISA Immunowash Machine (BIO-RAD
model 1575), ELISA Microplate Reader (BIO-RAD model 3550), lemari inkubasi,
mikropipet, dan tip.
Metode Penelitian
Sebelum diinfeksi dengan virus dengue serotipe-3, tiga mililiter darah beruk
dikoleksi melalui vena femoralis. Semua perlakuan dilakukan ketika beruk dalam
keadaan terbius dengan Ketamin HCl dosis 10 mg/ kg bobot badan.
Beruk yang digunakan telah melalui proses penapisan (screening)
sehingga hanya digunakan beruk yang belum pernah terinfeksi virus dengue.
Beruk yang digunakan dalam penelitian infeksi primer virus dengue serotipe-3
(DEN-3) melalui rute subkutan dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama
diinfeksi dengan virus dengue pada dosis 104 PFU/ml (dosis rendah), kelompok
ke-dua diinfeksi dengan virus dengue pada dosis 107-108 PFU/ml (dosis tinggi).
Sementara itu, kelompok ke-tiga yang merupakan kontrol negatif diinokulasi
dengan PBS steril. Pembagian kelompok hewan dan dosis virus pada penelitian
ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan pada beruk (Macaca nemestrina)
Kelompok
Jumlah Hewan
Inokulum
1
6
104 PFU/ml DEN-3
2
6
107-108 PFU/ml DEN-3
3
4
PBS
Sampel yang digunakan berupa plasma darah. Sebanyak 1 ml darah
diambil dengan metode venesectio melalui vena femoralis selama 14 hari.
Sampel darah diambil menggunakan tabung yang mengandung EDTA agar tidak
terjadi penggumpalan. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi sehingga sel-sel darah
mengendap dan cairan pada bagian permukaan endapan (plasma darah)
dikumpulkan. Plasma ini disimpan di dalam freezer dan sebelum digunakan
dalam pemeriksaan antibodi dilakukan thawing terlebih dahulu pada sampel
plasma yang sudah membeku.
ELISA tidak langsung (indirect ELISA) digunakan untuk mendeteksi atau
mengukur kadar antibodi di dalam plasma. Pertama, sampel plasma diencerkan
dengan perbandingan 1:100. Sumuran A1 pada plat mikro ELISA sebagai blank
(tidak diisi larutan apapun). Sumuran B1 dan C1 diisi dengan antibodi virus
dengue kontrol negatif masing-masing 100 µl. Sumuran D1 dan E1 diisi dengan
antibodi virus dengue kontrol positif masing-masing 100 µl. Sumuran F1 hingga
sumuran terakhir diisi dengan berbagai sampel yang sudah diencerkan.
Selanjutnya sumuran ditutup dengan adhesive strip dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 60 menit.
Setelah diinkubasi, adhesive strip dilepaskan dari plat mikro ELISA dan
mulai dilakukan pencucian sumuran dengan menggunakan mesin pencuci
(ELISA plate washer). Pencucian terhadap sumuran dilakukan sebanyak tiga kali
menggunakan larutan pencuci secara otomatis dengan ELISA plate washer yang
dapat diatur proses aspirasi dan ekspirasinya. Mesin ini diprogram untuk dapat
mencuci semua sumuran dengan homogen. Setelah proses pencucian, cairan
yang tertinggal di dalam sumuran dikeluarkan dengan menghentakkan bagian
permukaan sumuran pada kertas tisu.
Langkah ke-dua, dilakukan penambahan konjugat. Sumuran A1 (blank)
tidak diisi larutan apapun. Sumuran B1 hingga sumuran terakhir masing-masing
diisi dengan 100 µl konjugat. Selajutnya plat mikro ELISA ditutup dengan
adhesive strip dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Setelah
diinkubasi, dilakukan pencucian kembali sebanyak tiga kali.
Langkah ke-tiga, larutan substrat dimasukkan ke dalam semua sumuran.
Plat mikro ELISA diinkubasi dalam ruang gelap, selama 15 menit, dengan suhu
17 hingga 25oC. Selanjutnya, dimasukkan 100 µl larutan pemberhenti ke setiap
sumuran dan dicampur secara hati-hati.
ELISA microplate reader (BIO-RAD 3550) dihidupkan sekitar 15 menit
sebelum digunakan. Selanjutnya plat mikro ELISA dimasukkan ke dalamnya.
Nilai nol pada pembacaan menggunakan sumuran A1. Panjang gelombang lensa
filter yang digunakan pada alat ELISA microplate reader ialah 450 nm.
Pembentukan warna dibaca dan disajikan dalam data numerik sebagai nilai
optical density (OD). Angka OD ini akan dikonversi dengan metode ELISA
menjadi konsentrasi U/ml.
Gambar 4 Indirect ELISA
(http://entomology.tfrec.wsu.edu 2010)
Perhitungan Nilai Kontrol dan Cut-off
Nilai rata-rata absorbansi kontrol negatif dalam sumur B1 dan C1 (MNC)
dihitung dengan rumus:
MNC =
Cut-off value (COV) = MNC + 0,35
Tes yang dilakukan valid jika:
1. Substrat blank dalam sumur A1 < 0,100
2. MNC ≤ 0,300
3. Kontrol positif memiliki nilai absorbansi sama atau lebih besar daripada
nilai cut off.
Interpretasi Hasil
Sampel bernilai positif jika nilai absorbansi lebih besar 10% melebihi cutoff. Sampel dengan nilai adsorbansi setara atau lebih rendah dari 10% di atas
atau di bawah cut-off tidak termasuk dalam positif atau negatif (zona abu-abu).
Sampel bernilai negatif jika nilai absorbansi lebih rendah dari 10% di bawah cutoff.
A450 (pasien) ≥ COV + 10%: positif antibodi anti-dengue
A450 (pasien) < COV – 10%: negatif antibodi anti-dengue
Antibodi Unit Anti-Dengue =
Cut-off
: 10
U/ml
Zona abu-abu : 9-11 U/ml
Negatif
:<9
U/ml
Positif
: > 11 U/ml
= U/ml
HASIL DAN PEMBAHASAN
ELISA untuk mendeteksi IgM sudah digunakan secara luas dalam
diagnosis laboratorium untuk mendeteksi infeksi virus dan sesuai untuk tes
serologi. Deteksi IgM dan IgG anti dengue dapat menggunakan ELISA yang
mendeteksi antibodi dalam sampel plasma yang dikoleksi dari pasien yang
menderita penyakit dalam rentang waktu yang beragam (Sa-Ngasang et al.
2005).
Kelompok beruk yang digunakan dalam penelitian ini telah diseleksi dan
dinyatakan belum pernah terinfeksi virus dengue sebelumnya. Dengan demikian,
infeksi virus dengue serotipe-3 yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan
infeksi primer. Gambaran profil antibodi IgM dan IgG diamati selama 14 hari
mulai hari ke-0 sebelum infeksi PBS hingga hari ke-13 pasca infeksi disajikan
pada Grafik 1.
Titer Antibodi (U/ml)
30.00
25.00
20.00
15.00
IgM Control
10.00
IgG Control
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13
Pengamatan Hari ke-
Gambar 5 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk kelompok kontrol.
Beruk kelompok kontrol negatif memperlihatkan titer antibodi yang rendah
dan stabil dari hari ke-0 hingga hari ke-13. Semua beruk pada kelompok kontrol
negatif dalam penelitian ini menunjukkan titer antibodi pada rentang nilai negatif
berdasarkan uji kit ELISA yang dilakukan. Hal ini mendukung keadaan bahwa
kelompok tersebut hanya diinokulais PBS steril yang tidak mengandung virus.
Titer Antibodi (U/ml)
30
25
20
15
IgM LD
10
IgG LD
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Pengamatan Hari ke-
Gambar 6 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang
diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah.
Antibodi IgM dan IgG terdeteksi pada semua hewan yang sudah diinfeksi
virus dengue. Kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis
rendah (K1) menunjukkan gambaran profil antibodi IgM dan IgG yang berbeda.
Antibodi IgM terbentuk lebih dahulu dibandingkan IgG. Titer IgM yang dihasilkan
cenderung datar pada tiga hari pertama, mulai mengalami peningkatan pada hari
ke-4 atau ke-5, dan mencapai puncak pada hari ke-10. Selanjutnya, titer antibodi
IgM cenderung menurun pada hari ke-11. Sementara itu, titer IgG cenderung
datar pada hari ke-0 hingga hari ke-5,
selanjutnya pada hari ke-6 sampai
dengan hari ke-13 titernya cenderung terus mengalami peningkatan.
Titer Antibodi (U/ml)
30
25
20
15
IgM HD
10
IgG HD
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Pengamatan Hari ke-
Gambar 7 Rataan titer antibodi yang dihasilkan oleh kelompok beruk yang
diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi.
Kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi
(K2) juga menjukkan terbentuknya antibodi IgM terlebih dahulu dibandingkan
pembentukan antibodi IgG. Titer IgM cenderung datar selama tiga hari pertama,
selajutnya mengalami peningkatan pada hari ke-4, dan mencapai puncak pada
hari ke-9. Sementara itu, titer IgG yang dihasilkan cenderung terus mengalami
peningkatan sejak hari ke-6 hingga hari ke-13.
Oleh karena itu, untuk kedua kelompok dosis yang diberikan (K1 dan K2)
IgM positif terbentuk pada hari ke-4 dan mencapai puncak pada hari ke-10.
Sementara itu, IgG positif terbentuk pada hari ke-8 hingga hari ke-11 dan
cenderung terus mengalami peningkatan hingga hari ke-13.
Setelah dilakukan infeksi virus dengue pada beruk yang sebelumnya tidak
pernah terpapar, maka dalam beberapa hari pertama tidak terlihat terjadinya
suatu reaksi. Antibodi IgM dan IgG cenderung datar dalam beberapa hari.
Peristiwa ini disebut periode lag (lag phase) atau keterlambatan (Tizard 1987).
Hal ini kemungkinan terjadi karena sistem kebal tubuh tidak langsung mengenali
virus dengue yang menginfeksi ke dalam tubuh. Selain itu, dibutuhkan waktu
bagi virus untuk masuk ke dalam aliran darah (viremia) dari tempat inokulasi
untuk selanjutnya memicu respon imun. Adanya antibodi IgM dan IgG terhadap
virus dengue yang terbentuk membuktikan terjadinya viremia virus dengue.
Menurut Pryor (2001), virus dengue memiliki kemampuan untuk bereplikasi di
dalam monosit yang akan berdiferensiasi menjadi makrofag pada jaringan.
Kedua perlakuan (K1 dan K2) menunjukkan antibodi IgM terbentuk lebih
dahulu dibandingkan IgG. IgM ialah imunoglobulin utama yang dihasilkan dalam
tanggap kebal primer (Tizard 1987) dan memiliki nilai diagnostik untuk infeksi
yang baru terjadi (Fenner 1995). Oleh karena itu, tingginya IgM dapat menjadi
indikator bahwa beruk mengalami infeksi primer. Antibodi IgM akan diproduksi
dalam jumlah besar untuk melakukan netralisasi, opsonisasi, aglutinasi, dan
fagositosis pada virus dengue.
Titer Antibodi (U/ml)
30
25
20
15
IgM LD
10
IgM HD
IgM Control
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Pengamatan Hari ke-
Gambar 8 Perbandingan rataan titer antibodi IgM pada setiap kelompok beruk.
Berdasarkan perbedaan dosis yang diberikan, kelompok beruk yang
diinfeksi
virus
dengue
serotipe-3
pada
dosis
rendah
(K1)
cenderung
menghasilkan titer IgM lebih tinggi dibandingkan kelompok beruk yang diinfeksi
virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2). Gambaran profil antibodi IgM
untuk setiap perlakuan disajikan pada Gambar 8. Keadaan sebaliknya, kelompok
beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 pada dosis rendah (K1) cenderung
menghasilkan titer IgG lebih rendah dibandingkan kelompok beruk yang diinfeksi
virus dengue serotipe-3 pada dosis tinggi (K2). Gambaran profil antibodi IgG
untuk setiap perlakuan disajikan pada Gambar 9.
Titer Antibodi (U/ml)
30
25
20
15
IgG LD
10
IgG HD
IgG Control
5
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Pengamatan Hari ke-
Gambar 9 Perbandingan rataan titer antibodi IgG pada setiap kelompok beruk.
Terjadinya infeksi virus terus menerus memicu tubuh untuk menghasilkan
antibodi. Produksi IgM yang tinggi sangat efisien untuk proses netralisasi virus.
Karena beruk diinfeksi virus
dengue dosis rendah (K1), jumlah IgM yang
berikatan dengan virus relatif kecil sehingga titer IgM bebas dalam darah
cenderung tetap tinggi. Tingginya produksi IgM dapat menyebabkan produksi
IgG relatif rendah. Menurut Fenner (1993), ketika titer IgM dalam darah masih
tinggi, produksi IgG akan ditekan. Penurunan IgM karena proses netralisasi virus
menyebabkan peningkatan jumlah IgG yang cukup tinggi.
Antibodi biasanya memberi umpan balik negatif kepada reaksi kebal.
Misalnya, antibodi IgG khusus dapat menekan produksi IgM atau IgG lebih lanjut
terhadap antigen yang sama, dan tingkat antibodi IgM yang tinggi menekan
pembuatan IgM lebih lanjut. Proses umpan balik ini menjamin bahwa tingkat
imunoglobulin dalam hewan relatif tidak berubah tanpa dipengaruhi oleh derajat
rangsangan virus yang bersangkutan (Tizard 1987).
Titer IgM pada kelompok dosis tinggi (K2) cenderung lebih rendah daripada
kelompok dosis rendah (K1). Diduga, tingginya virus yang menginfeksi
menyebabkan banyaknya IgM yang berikatan dengan virus untuk menetralisasi
virus tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah IgM bebas dalam darah menjadi jauh
berkurang. Oleh karena itu, semakin tinggi dosis virus dengue yang menginfeksi
menyebabkan titer IgM bebas dalam darah menjadi berkurang. Penurunan titer
IgM akan memicu sistem kekebalan segera memproduksi antibodi IgG dalam
jumlah lebih besar untuk membantu menetralisasi virus. Karena itu, produksi IgG
pada kelompok dosis tinggi (K2) cenderung lebih tinggi daripada kelompok dosis
rendah (K1).
Walaupun diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil, IgM lebih efisien
daripada IgG pada proses aktivasi komplemen, opsonisasi, netralisasi virus, dan
aglutinasi. Antibodi IgM secara kualitatif merupakan imunoglobulin yang terbaik
untuk netralisasi virus. Sementara itu, IgG secara kuantitatif merupakan
imunoglobulin
yang
terpenting
untuk
netralisasi
virus
(Tizard
1987).
Perkembangan netralisasi oleh antibodi tergantung pada tingkat replikasi virus
dan waktu maturasi dari antibodi (Janeway 1994).
Setiap beruk yang diinfeksi virus dengue menunjukkan respon yang
beragam terhadap infeksi virus dengue (lihat lampiran). Secara klinis, beruk tidak
menunjukkan gejala seperti pada manusia. Namun, setelah dilakukan diagnosa
terhadap plasma darah, titer antibodi yang terbentuk cukup beragam.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Bernardo (2008), infeksi
virus dengue-2 (DEN-2) pada Macaca fascicularis melalui rute subkutan memiliki
rata-rata durasi viremia setelah infeksi primer ialah 2,6 hari. Antibodi spesifik IgM
terdeteksi mulai hari ke-7 dan mencapai puncak pada hari ke-15 setelah infeksi.
Sementara itu, titer antibodi IgG terdeteksi dalam level tinggi setelah hari ke-15.
Berdasarkan salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Sa-Ngasang
(2005), monyet yang diinfeksi virus dengue tidak menunjukkan gejala penyakit
seperti pada manusia, namun respon kebal humoral pada monyet secara umum
mirip dengan pasien demam dengue pada manusia, dan terjadi viremia setelah
dilakukan infeksi virus dengue yang masih aktif, meskipun titer antibodi dan
durasi viremia pada manusia lebih besar. IgM pada manusia mulai terdeteksi 5-6
hari setelah infeksi primer. Sementara itu, IgG dapat terdeteksi setelah hari ke-7
atau lebih. Jadi, gambaran profil pembentukan antibodi pada beruk mirip dengan
gambaran profil pembentukan antibodi pada manusia.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Infeksi
virus
menginduksi
dengue
respon
serotipe-3
kebal
(DEN-3)
humoral
melalui
yang
rute
ditunjukkan
subkutan
dengan
pembentukan antibodi.
2. Antibodi IgM terbentuk lebih awal dibandingkan antibodi IgG.
3. Antibodi IgM yang terbentuk pada kelompok beruk yang diinfeksi virus
dengue serotipe-3 dosis rendah (K1) cenderung lebih tinggi daripada
kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis tinggi (K2).
4. Antibodi IgG yang terbentuk pada kelompok beruk yang diinfeksi virus
dengue serotipe-3 dosis rendah (K1) cenderung lebih rendah daripada
kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3 dosis tinggi (K2).
Saran
1. Dilakukan deteksi antibodi pada jangka waktu yang lebih lama untuk
melihat respon beruk pada fase kronis.
2. Dilakukan deteksi lebih lanjut mengenai replikasi virus pada setiap rute
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim].
Dengue
Fever.
2010.
www.microbiologybites.com. [24 Maret 2010].
(terhubung
berkala).
[Anonim].
ELISA
Indirect.
2010.
(terhubung
berkala).
http://entomology.tfrec.wsu.edu/VPJ_Lab/Immuno.html [29 Juni 2010]
Burgess WG 1988. Teknologi ELISA Dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama, T.
Wayan, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari : ELISA Technology in Diagnosis and Research.
Bernardo L, Izquierdo, Prado A, Rosario ID, Alvarez M, Santana E, Castro J,
Martinez R, Rodrìguez R, Morier L, Guillèn G, Guzmán MG. 2008. Primary
and secondary infection of Macaca fascicularis monkeys with Asian and
American Genotypes of dengue virus 2. Clinical and Vaccine Immunology 15
(3) : 439-446
Dohinow P, Fuentes A. 1999. The Non Human Primates. California: Mayfield
Publishing Company.
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1995.
Virologi Veteriner. Ed 2. Putra, D.K. Harya, penerjemah. Semarang: IKIP
Semarang Press. Terjemahan dari: Virology Veteriner.
Gubler DJ. 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin. Microbiol. Rev.
11: 480-496.
Guzman MG, Kouri. 2002. Dengue: An update. Lancet Infect. Dis. 2:33-42.
Janeway C, Travers P. 1994. Host Defense Against Infection, Ed 1. United
Kingdom: Blackwell Scientific Publication.
Modis Y et al. 2004. Structure of the Dengue Virus Envelope Protein After
Membrane Fusion. Artikel: Vol 427.
Murphy AF et al. 1999. Veterinary Virology. Ed ke-3. San Diego: Academic Press.
Perdani RRW. Lingkungan Kita Tak Sehat. 2007. (terhubung berkala).
www.lampungpost.com [3 Maret 2010].
Pryor MJ, Carr JM, Hocking H, Davidson AD, Li P, Wright PJ. 2001. Replication
of dengue virus type 2 in human monocyte-derived macrophages: comparison
of isolates and recombinant viruses with substitutions at amino acid 390 in the
envelope glycoprotein. Am. J. Trop. Med. Hyg. 65: 427-434.
Rosenblum LL, Supriatna J, Melnick DJ. 1997. Phylogeographic analysis of
pigtail macaque population (Macaca nemestrina) inferred from mitochondrial
DNA. Am. J. Phys. Anthrop. 104: 35-45.
Soedarmo SSP. 1988. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
2010.
(terhubung
berkala)
pdfpath.com/patogenesa-dan-perubahanpatofisiologi-infeksi-virus-dengue-html [24 Maret 2010].
Sa-Ngasang A, Anantapreecha S, A-Nuegoonpipat A, Chanama S,
Wibulwattanakij S, Pattanakul K, Sawanpanyalert P, Kurane I. 2005. Specific
IgM and IgG responses in primary and secondary dengue virus infections
determinated by Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Epid. Infect. J. 134(4)
: 820-825.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology,
Second Edition. USA: Blackwell Publishing.
Tizard I. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Hardjosworo, Soehardjo,
penerjemah. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. Terjemahan dari:
Veterinary Immunology An Introduction.
Tran TNT, Vries PJ de, Hoang LP, Phan GT, Le HQ, Tran BQ, Vo CMT, Nguyen
NV, Kager PA, Nagelkerke N, Groen J. 2006. Enzym-linked immunoassay for
dengue virus IgM and IgG antibodies in serum and filter paper blood. BMC
Infect. Dis. 6: 13.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Titer antibodi IgM dan IgG
Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis rendah (104 PFU/ml)
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1.3074
6,13
4,13
4,70
4,94
6,20
8,88
10,43
10,93
14,30
15,08
17,86
19,14
1.6387
5,06
5,06
4,82
4,94
6,32
14,58
30,83
42,66
43,14
40,21
37,24
36,08
1.1267
6,39
5,18
4,94
5,13
5,34
6,03
6,51
10,45
13,71
13,90
14,75
13,37
1.5713
6,01
6,65
6,44
6,22
6,60
7,17
10,33
17,93
28,10
35,99
33,49
31,16
1.6354
6,39
5,82
5,58
5,68
6,46
9,14
20,86
34,51
34,42
36,22
34,04
30,50
8455
6,89
8,19
7,86
7,79
11,95
6,13
10,67
12,09
12,85
15,18
19,43
19,50
Rataan
6,15
5,84
5,72
5,78
7,15
8,66
14,94
21,43
24,42
26,10
26,14
24,96
12
19,03
35,06
12,07
31,83
26,01
22,80
24,47
13
20,62
35,27
15,37
35,51
24,54
26,65
26,33
Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis rendah (104 PFU/ml)
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1.3074
0,75
0,51
0,43
0,55
0,53
0,55
0,61
0,76
1,94
6,04
10,57
13,49
1.6387
0,37
0,31
0,27
0,31
0,24
0,45
0,59
1,75
5,12
8,94
11,14
12,84
1.1267
0,31
0,31
0,33
0,35
0,27
0,37
0,29
0,67
2,47
5,41
7,35
8,18
1.5713
0,24
0,39
0,51
0,37
0,39
0,39
0,33
0,59
2,53
7,63
10,16
12,24
1.6354
0,51
0,55
0,49
0,55
0,57
0,75
2,18
4,96
8,51
11,63
14,61
16,90
8455
0,29
0,24
0,22
0,24
0,22
0,27
0,31
0,39
1,27
4,04
8,10
10,90
Rataan
0,41
0,39
0,38
0,40
0,37
0,46
0,72
1,52
3,64
7,28
10,32
12,43
12
13,20
13,78
9,27
12,33
16,92
12,41
12,99
13
13,41
14,71
11,18
12,57
16,94
14,37
13,86
Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis tinggi (107-108 PFU/ml)
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1.5360
4,11
4,79
3,59
3,29
4,27
8,73
15,99
29,01
41,03
44,41
40,85
36,53
1.5434
2,54
2,46
2,51
2,86
4,41
12,68
18,78
24,32
23,83
23,00
21,29
19,51
8872
5,56
5,07
4,98
5,21
7,00
9,88
14,60
21,22
22,91
23,45
23,31
21,92
8880
2,93
3,38
3,45
3,78
4,62
5,52
8,62
15,70
22,75
24,58
20,77
17,98
1.1.3251
2,28
2,21
2,54
2,44
2,98
4,86
8,36
11,06
17,51
21,64
21,76
22,58
9350
3,64
3,59
3,80
3,57
4,77
6,29
6,22
10,77
12,18
15,26
15,35
12,44
Rataan
3,51
3,58
3,48
3,53
4,68
7,99
12,10
18,68
23,37
25,39
23,89
21,83
12
30,07
17,25
20,96
15,96
17,82
11,60
18,94
13
28,64
15,89
19,46
15,87
17,37
13,64
18,48
Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk yang diinfeksi virus DEN-3 dengan dosis tinggi (107-108 PFU/ml)
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1.5360
0,29
0,23
0,19
0,31
0,32
0,38
0,76
2,50
7,01
10,98
14,96
17,10
1.5434
0,25
0,19
0,19
0,15
0,15
0,32
1,05
7,20
13,18
16,89
17,73
18,72
8872
0,52
0,27
0,27
0,23
0,25
0,38
0,94
4,83
11,06
15,21
15,97
17,80
8880
0,10
0,19
0,19
0,19
0,17
0,32
0,67
3,11
10,01
14,38
17,19
18,53
1.1.3251
0,29
0,34
0,32
14,63
0,34
0,34
0,48
1,32
5,39
10,95
16,31
18,28
9350
0,29
0,25
0,21
0,25
0,19
0,32
2,31
0,04
8,40
14,10
16,52
16,94
Rataan
0,29
0,25
0,23
2,63
0,24
0,34
1,04
3,17
9,18
11,36
16,45
17,90
12
17,57
18,19
18,01
17,55
18,61
17,92
17,98
13
19,08
19,16
18,26
18,26
18,85
18,87
18,75
Titer antibodi IgM (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk kontrol negatif setelah diinjeksi PBS steril
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9172
1,4
1,5
1,9
1,7
1,5
1,5
1,6
1,5
1,7
1.5407
1,3
1,2
1,1
0,9
1,0
1,0
1,0
1,0
1,4
9336
1,2
1,2
1,0
1,2
1,1
1,2
1,6
1,1
1,2
2.4192
1,8
2,0
2,0
1,9
2,3
2,1
1,9
1,8
1,9
Rataan
1,4
1,5
1,5
1,4
1,5
1,4
1,5
1,4
1,6
9
1,8
1,1
1,0
1,9
1,4
10
2,5
1,1
1,1
2,0
1,7
11
2,1
0,9
1,0
1,9
1,5
12
1,9
1,0
2,0
2,2
1,8
13
1,8
0,9
0,9
2,3
1,5
Titer antibodi IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk kontrol negatif setelah diinjeksi PBS steril
Pengamatan Hari keID Hewan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9172
0,9
1,1
1,1
0,9
0,9
0,9
0,9
0,9
1,1
1.5407
1,3
1,2
1,2
1,1
1,1
1,1
1,0
1,1
1,3
9336
0,7
0,6
0,7
0,7
0,7
0,7
0,8
0,6
0,7
2.4192
0,6
0,6
0,6
0,6
0,7
0,6
0,6
0,6
0,6
Rataan
0,9
0,9
0,9
0,8
0,9
0,8
0,8
0,8
0,9
9
1,2
1,1
0,6
0,6
0,9
10
1,4
1,0
0,7
0,6
0,9
11
1,8
1,1
0,7
0,7
1,1
12
2,5
0,9
0,8
0,7
1,2
13
2,4
1,0
0,7
0,9
1,3
Rata-rata titer IgM dan IgG (U/ml) yang dihasilkan oleh beruk (Macaca nemestrina)
Pengamatan Hari keInokulasi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
IgM Dosis Rendah
6,15 5,84 5,72 5,78 7,15 8,66 14,94 21,43 24,42
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
neg
pos
IgG Dosis Rendah
0,41 0,39 0,38
0,4
0,37 0,46
0,72
1,52
3,64
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
IgM Dosis Tinggi
3,51 3,58 3,48 3,53 4,68 7,99
12,1
18,68 23,37
neg
neg
neg
neg
neg
neg
pos
pos
pos
IgG Dosis Tinggi
0,29 0,25 0,23 2,63 0,24 0,34
1,04
3,17
9,18
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
gz
IgM Kontrol Negatif
1,4
1,5
1,5
1,4
1,5
1,4
1,5
1,4
1,6
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
IgG Kontrol Negatif
0,9
0,9
0,9
0,8
0,9
0,8
0,8
0,8
0,9
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
neg
9
26,1
pos
7,28
neg
25,39
pos
13,75
pos
1,4
neg
0,9
neg
Keterangan:
Neg : negatif, yaitu menunjukkan tidak terdapat IgM/IgG terhadap virus dengue di dalam sampel
Gz
: grey zone
Pos
: positif, artinya sampel tersebut memiliki antibodi IgM/IgG terhadap virus dengue
10
26,14
pos
10,32
gz
23,89
pos
16,45
pos
1,7
neg
0,9
neg
11
24,96
pos
12,43
pos
21,83
pos
17,9
pos
1,5
neg
1,1
neg
12
24,47
pos
12,99
pos
18,94
pos
17,98
pos
1,8
neg
1,2
neg
13
26,33
pos
13,86
pos
18,48
pos
18,75
pos
1,5
neg
1,3
neg
Lampiran 2 Profil titer antibodi yang dihasilkan oleh beruk
50.00
Titer Antibodi (U/ml)
45.00
40.00
ID Beruk
35.00
1.3074
30.00
1.6387
25.00
20.00
1.1267
15.00
1.5713
10.00
1.6354
5.00
8455
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgM pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3
pada dosis rendah (K1)
50.00
45.00
ID Beruk
Titer Antibodi (U/ml)
40.00
35.00
1.3074
30.00
1.6387
25.00
20.00
1.1267
15.00
1.5713
10.00
1.6354
8455
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgG pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3
pada dosis rendah (K1)
50.00
45.00
Titer Antibodi (U/ml)
40.00
ID Beruk
35.00
1.5360
30.00
1.5434
25.00
20.00
8872
15.00
8880
10.00
1.1.3251
9350
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgM pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3
pada dosis tinggi (K2)
50.00
45.00
Titer Antibodi (U/ml)
40.00
ID Beruk
35.00
1.5360
30.00
1.5434
25.00
20.00
8872
15.00
8880
10.00
1.1.3251
9350
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgG pada kelompok beruk yang diinfeksi virus dengue serotipe-3
pada dosis tinggi (K2)
50.00
45.00
Titer Antibodi (U/ml)
40.00
35.00
ID Beruk
30.00
9172
25.00
20.00
1,5407
15.00
9336
10.00
2,4192
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgM pada kelompok beruk kontrol yang diinfeksi PBS (K3)
50.00
Titer Antibodi (U/ml)
45.00
40.00
35.00
ID Beruk
30.00
9172
25.00
20.00
1,5407
15.00
9336
10.00
2,4192
5.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Hari ke-
Titer antibodi IgG pada kelompok beruk kontrol yang diinfeksi PBS (K3)
Download