KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG DJUANDA I LANTAI 4, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR I, JAKARTA 10710, KOTAK POS 21 TELEPON (021) 3849605, FAKSIMILE (021) 3500847; SITUS www.kemenkeu.go.id KETERANGAN PERS Perkembangan Perekonomian Terkini Jakarta, 10 Maret 2015 - Kondisi perekonomian global saat ini masih berada pada fase yang penuh ketidakpastian, antara lain ditunjukan oleh koreksi proyeksi pertumbuhan perekomian dunia oleh lembaga-lembaga internasional. Belum kondusifnya perkembangan perekonomian di dunia antara lain diakibatkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan berkembang, penurunan harga komoditas, serta perbedaan arah kebijakan moneter dan fiskal di berbagai kawasan. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS berada pada level Rp13.047 pada penutupan perdagangan hari Senin tanggal 9 Maret 2015. Sehingga selama tahun 2015 Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dollar AS sebesar 4,81% (ytd). Depresiasi nilai tukar Rupiah tersebut seiring dengan tren depresiasi mata uang yang dialami oleh negara-negara lain, yang lebih disebabkan oleh faktor eksternal antara lain penguatan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang negara-negara lain sejalan dengan perbaikan perekonomian AS serta kebijakan normalisasi moneter yang diambil oleh the US Fed. Ditinjau dari indikator Real Effective Exchange Rate (REER), yang mengukur kondisi perekonomian suatu negara dengan memperhatikan pergerakan nilai tukar, pergerakan REER Indonesia masih sejalan dengan arah pergerakan negara emerging markets lainnya. Posisi REER Indonesia juga masih berada level yang cukup kompetitif, khususnya dibandingkan dengan negara ASEAN-5. Secara historis, berdasarkan data perekonomian Indonesia beberapa tahun terakhir pada saat terjadi depresiasi rupiah seperti: krisis global 2008/2009 serta isu tapering off mulai bergulir, arus FDI masih tetap masuk ke Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena aktivitas investasi di Indonesia, baik asing maupun domestik, banyak yang dikategorikan investasi mendukung konsumsi domestik. Perlu digarisbawahi bahwa tren depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia kali ini berbeda dengan kondisi pada saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan krisis 20082009. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan beberapa indikator lain seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) dan posisi cadangan devisa menunjukan tren peningkatan, berbeda dibandingkan dengan kondisi pada saat dua krisis terdahulu terjadi. Di samping itu untuk memitigasi risiko eksternal yang berasal dari dinamika sektor keuangan global seperti rencana kenaikan suku bunga The Fed, Pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah-langkah antisipasi sebagai berikut: 1. Membentuk protokol managemen krisis nasional di dalam wadah FKSSK yang beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan. 1/3 2. Menyiapkan implementasi Bond Stabilization Framework (BSF) dengan beberapa lapisan pencegahan (lines of defense), di antaranya pembelian kembali (buyback) sekuritas utang, penggunaan dana investasi BUMN, termasuk BPJS serta Saldo Anggaran Lebih/SAL. 3. Membentuk beberapa currency swap line, antara lain di level bilateral (non-USD denominated), di antaranya dengan China, Jepang, dan Korea Selatan, dan di level regional ASEAN+3 (non-USD denominated) melalui CMIM disertai perjanjian pengumpulan cadangan devisa secara kolektif (pooled FX reserve). 4. Menyiapkan Deferred Draw Down Option (DDO) bekerja sama dengan World Bank, Asian Development Bank, Australia serta Jepang (JBIC) senilai total USD 5 miliar yang diperuntukan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian global terhadap perekonomian Indonesia khususnya pembiayaan APBN. Namun demikian, Pemerintah memahami bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS akan membawa dampak pada pelaksanaan APBN-P 2015. Utamanya, pengaruh depresiasi akan menyebabkan penurunan defisit pada postur APBN-P 2015. Seiring dengan depresiasi Rupiah, penerimaan negara akan lebih tinggi dibandingkan dengan tambahan belanja yang harus dikeluarkan. Reformasi kebijakan subsidi energi yang telah dilakukan oleh pemerintah membuat tekanan belanja subsidi akibat pergerakan kurs menjadi berkurang. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang lebih mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri serta penerapan negative net flow untuk utang luar negeri membuat tambahan belanja pembayaran bunga utang relatif terkendali. Pemerintah juga menyadari tambahan kebijakan belanja infrastruktur yang secara signifikan dilalokasikan di APBN-P 2015 berpotensi meningkatkan risiko bagi current acccount melalui peningkatan impor, namun Pemerintah memperkirakan defisit current account masih akan managable dan sustainable pada level sekitar 3%. Yang lebih penting lagi defisit current account yang terjadi sekarang diakibatkan oleh kegiatan yang produktif, yaitu pembangunan infrastruktur. Di samping itu di dalam jangka menengah panjang kebijakan peningkatan belaja infrastruktur ini akan meningkatkan daya saing perekonomian sehingga akan memberikan kontribusi bagi perbaikan current account. Beberapa upaya yang akan dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan antara lain: 1. Dalam rangka meningkatkan daya saing produk dalam negeri, Pemerintah juga akan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur fleksibilitas Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS), sebagai respon jika terdapat lonjakan impor barang tertentu, serta penyederhanaan prosedur dan mekanisme pengembalian. 2. Dalam rangka mendorong peningkatan investasi langsung baik dari penanaman modal asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN), Pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan Revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 yang biasa dikenal dengan tax allowance. Fasilitas ini juga akan diberikan kepada dividen yang direinvestasi di dalam negeri. Selain itu, prosedur pemberian tax allowance juga dipermudah yaitu 2/3 melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan sebagian besar proses akan dilakukan di PTSP tersebut sehingga diharapkan proses akan lebih cepat. 3. Mendorong kebijakan peningkatan penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10% menjadi lebih tinggi lagi, tentunya dengan memperhatikan ketersediaan supply serta kebijakan harga yang kompetitif. 4. Kebijakan lain yang juga akan dikeluarkan adalah skema perpajakan khususnya PPN untuk industri pelayaran dalam negeri agar bisa lebih kompetitif. 5. Mendorong terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa khususnya asuransi. 6. Meningkatkan Law Enforcement untuk mendorong implementasi UU Mata uang yang mewajibkan penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri. 7. Mendukung kewajiban penggunaan LC untuk transaksi empat komoditas utama. 8. Memperbaiki sistem remitansi untuk memudahkan arus masuk pendapatan orang Indonesia yang bekerja di luar negeri ke dalam sistem perbankan dalam negeri. Pemerintah telah melakukan langkah perbaikan penyehatan APBN untuk mendukung stabilitas makroekonomi antara lain melalui defisit APBN yang dijaga pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja APBN dibuat lebih produktif. Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB berada pada kisaran 24% yang merupakan tingkat yang aman dan rendah dibandingkan dengan negara lain. Informasi lebih lanjut hubungi: Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Gd. R.M. Notohamiprodjo Lt. 8 Jl. Dr. Wahidin Raya, Jakarta 10710 Telp. (021) 344.1463, Fax. (021) 381.0181 3/3