TASAWUF DAN KECERDASAN SPIRITUAL Abdul Basith1 ABSTRAK Kehidupan tasawwuf bukan mengajak manusia untuk menjauhi dunia apalagi bermalas-malasan yang waktunya habis dengan obat terlarang, minuman keras dan dugem dengan lainnya hilang, mereka menyibukkan diri dengan aktivitas ibadah. Tetapi sebaliknya, dunia dijadikan alat untuk memperoleh hidup seoptimal mungkin. Sebaiknya kita benar-benar di Indonesia mampu membuka diri kotanya dipenuhi oleh para pelaku hidup sufi. Sebab ini mrupakans alah satu upaya peningkatan sumber daya manusia yang komplit. Pola hidup konsumtif, sela jabatan, korupsi, tidak disiplin dapat dikikis secara lambat laun yang pada akhirnya menghasilkan manusia yang berakhlakul karimah. KATA KUNCI: Sufisme perkotaan, kecerdasan spiritual,Tasawuf PENDAHULUAN Sebagai agama yang sempurna Islam bukan saja mengatur urusan ibadah. Tetapi Islam juga mengatur bagaimana urusan dunia yang erat hubungannya dengan antar manusia berjalan dan tertata dengan baik. Setiap urusan apapun bentuk dan aspeknya, agama dapat menjawab semua itu. Oleh karena itu al-Quran dan al-Hadits merupakan jawaban yang selalu tepat pada zaman dan masa apupun. Persoalannya adalah apa yang ada pada kedua pedoman dan sumber tersebut, mampukah kita mencerna, dan memahami dengan baik dan benar. Jika ada persoalan yang belum terjawab dan teratasi mestinya kita berintrospeksi kedalam diri kita sendiri. Bukan meninggalkan dalil naqli yang ada pada keduanya. Dengan kata lain penyelesaian kebutuhan hidup hendaknya didasari oleh ajaran Islam yang optimal. Jangan sekedar mengambil, bisa jadi salah penerapan atau bisa saja menjadi salah pemahaman sehingga hasilnya justru menambah masalah. Banyak ibadah dilakukan bukan karena merupakan kebutuhan hidup, melainkan lebih kepada pribadi yang tidak menutup kemungkinan cuma jasmani saja terpenuhi. Kemajuan teknologi, budaya, sosial ekonomi dan pendidikan menyebabkan kebutuhan manusia semakin kompleks, kebutuhan hidup baik yang menyangkut 1 Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta. 1 masalah pribadi ataupun kelompok tidak bisa dihindari. Akhirnya manusia sebagai pelakunya dituntut untuk meladeni dan mengimbangi persaingan yang gagal. Tentu saja timbul rasa pesimis, frustasi, mungkin gelisah dan tidak mengerti kemana hidup ini akan berakhir. Sebenarnya banyak manusia merasa puas jika urusan jasmaninya terpenuhi, dianggap persoalan hidup selesai sudah. Ternyata baik yang gagal atau yang sukses mempunyai kadar yang didasarkan pola penilaian tersirat material namun lahiriah mentalnya tidak siap. Emosional rohaniah harus dihidupkan kcerdasan spiritualnya terus ditajamkan. Jadi semuanya harus berjalan seiring, tidak ada yang lebih penting, semuanya diperlukan. Tidak ada dikotomi ilmu seperti teori barat yang memisahkan spiritual, dengan dunia. Antara dzikir dan piker. Sebab jika rohani rapuh, maka sendi sosial budaya dan ekonomi menjadi rapuh. Harus ada integrasi secara menyeluruh dan komprehensif bagi seluruh masalah terlebih kepuasan batin. Semuanya dengan satu tujuan bagaimana rohani mereka tidak kering, selalu segar dan memiliki kemauan besar membangun kembali potensi rohani yang ada di dalam diri setiap orang. Potensi jasmani dibangun dengan cara bersifat material. Tetapi kebutuhan rohani dengan cara pendalaman, pemahaman dan sekaligus pengamalannya. Inilah yang sekarang menjamur di perkotaan yaitu kajian tasawwuf dan dzikir yang persertanya berasal dari kalangan menengah ke atas. ASAL-USUL KATA TASAWUF Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawwuf. Dari segi linguistik (bahasa) ini segera dapat dipahami bahwa tasawwuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Adapun pengertian tasawwuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawwuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus selalu berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. 2 Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawwuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT2. Selanjutnya jika sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawwuf dapat didefinisikan dengan upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT3. Pembahasan mengenai tasawwuf pada intinya adalah pembahasan mengenai masalah perpecahan dan perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan caraetimologis arti tasawwuf itu sendiri masih diperselisihkan oleh banyak ahli baik dari kalangan ulama sufi, salaf, ataupun ahli bahasa. Secara garis besar pendapat-pendapat tersebut dapat diterangkan sebagai berikut. Tasawwuf berasal dari kata shaff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan sealu memilih shaf terdepan dalam salat berjamaah4. Dalam buku Tasawwuf Modern Hamka menyatakan arti tasawwuf dan asal katanya yang menjadi pertikaian para ahli bahasa. Setengahnya berkata bahwa perkataan itu diambil dari perkataan shafa’ yang artinya suci dan bersih. Sebagian lagi mengatakan bearasal dari kata shaf artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawwuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci mereka pada pakaian yang indah-indah, pakaian ’orang dunia’ ini. Dan kata sebagian lagi diambil dari kata shuffah, ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Kemudian ada juga dari perkataan shufanah, ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa perkataan shufi itu bukanlah berasal dari bahasa Arab, melainkan bahasa Yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya theofisme, artinya Ilmu Ketuhanan, kemudian diarabkan dan diucapkan dnegan lidah orang Arab sehingga bertransformasi menjadi tasawwuf. 5 2 Definisi tersebut dirangkum dari sejumlah definisi tasawwuf yang dikemukakan para ahli seperti ma’ruf al-Karkhy (w. 200 H), Abu Turab al-Nakhsaty (w. 245 H), Sahl ibn Abd Allah al-tusary (w. 283 H). Lihat Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sunatera Utara, Pengantas Ilmu Tasawwuf, 1981/1982, hal. 3 - 4 3 Definisi tersebut dirangkum dari sejumlah pendapat para ahli, di antaranya al-Qusyairi, al-kanany, annury dan Sam nun. lih, ibid, hal. 5 4 DR. Abdurrahman Abdul Khaliq Ctc, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzah, hal. 11 5 Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Panji Mas, hal. 12 3 Walupun pengambilan perkataan itu tidak seragam, bahasa Arab atau Yunani, namun dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan kaum Tasawwuf, atau shufi itu ialah kumpulan yang menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkanhati, memakai pakaian yang sederhana, hidup kurus kering bagaikan kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk dan Khalik. Tasawwuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri bangsa lain, banyak sedikitknya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain ke dalamnya. Karena tasawwuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut dengan tidak diingat. Ibnu Khaldun berkata: ”Tasawwuf itu adalah semacam ilmu syariah yang timbul kemudian di dalam agama, aslanya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah saja. Menolak hiasanhiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu mendaya orang-orang, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah6. Demikianlah kalua kita dengarkan kupasan Ibnu Khaldun, yang meneropong suatu perkara dari segi ilmu pengetahuan. tetapi ahli-ahli tasawwuf yang terbesar mempunyai pula kaidah tersendiri tentang arti tasawwuf itu. Ada yang berkata: ”Tasawwuf ialah putus hubungan dengan makhluk dan kuatnya hubungan dengan Khalik”. Al-Junaid berkata: ”Tasawwuf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi, perangai yang terpuji”7. Jika diperhatikan dari berbagai pandangan atau definisi yang dibuat para pakar tasawwuf di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawwuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia sehingga tecermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. dengan kata lain, tasawwuf adalah bidang 6 7 Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 13 Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 13 4 kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. inilah esensi atau hakikat tasawwuf. MENGENAL AJARAN SUFI Para pakar tasawwuf banyak berbeda pendapat dalam memberikan definisi sufi. karena memang aspek, pandangan serta tinjauannya yang berbeda. namun sebagai perbandingan, ada beberapa definisi yang dapat Penulis temukan. Kata shufi atau shufiyah, diartikan diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawwuf dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya rumusan definisinya telah dikemukakakn oleh para ulama tasawwuf, antar lain: a. Asy-Syeikh Muhamamd Amin al-Kurdy Sufi adalah orang yang hatinya jernih dari kehidupan yang buruk dan terisi pengajaran (dari Tuhan) serta kemurnian bagaikan emas dan tanah liat8. b. al-Qusyairi Sufi adalah orang yang tidak pernah merasakan letih (bila) mencari (keridhaan Allah), dan tidak pernah susah (bila) ditimpa suatu sebab (cobaan)9 c. Imam al-Ghazaly Sufiyah adalah ahli ibadah yang telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) ihsan (perbuatan mulia)10. Setalah Nabi resmi mdiangkat menjadi Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya, dan menanamkan keimanan dan akhlak mulia kepada masyarakat Quraisy. Meskipun Nabi sebagai kepala pemerintahan, ia masih tetap memilih kehidupan yang sederhana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para sahabatnya, bahwa di rumah beliau hanya terdapat selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dna kadang-kadang juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya. Selanjutnya dituturkan dalam riwayat Imam Bukhary, bahwa pada suatu hari Aisyah mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan mengatakan: ”Lihatlah hai urwah, kadang-kadang dapurku setiap hari tidak pernah berfungsi (tidak 8 Kuliah Akhlaq Tasawwuf, drs. Mahjuddin, Jakarta, Kalam Mulia, 1991, hal. 49 Drs. Mahjuddin, Op. Cit, hal. 50 10 Drs. Mahjuddin, Op. Cit, hal. 50 9 5 pernah masak), sehingga aku sering bingung. Maka Urwah belaik bertanya; ’Apakah yang engkau makan setiap hari ?’ jawab Aisyah, paling untung kalau kami mandapatkan beberapa buah kurma dan air biasa; kecuali bila ada tetangga yang mengantarkans esuatu kepada Rasulullah, baru kami bisa merasakan makanan atau minuman susu segar”11. Apabila Rasulullah SAW mendapatkan rezeki, ia malah cepat-cepat membagikannya kepada fakir-miskin. Dan pada suatu ketika, beliau hendak menunaikan salat di masjid, tiba-tiba teringat bahwa masih ada pundi-pundi emas dan perak yang tersimpan di rumahnya. maka beliau mempercepat salatnya, lalu pulang ke rumahnya dan mengambil benda tersebut, kemudian dibagikan kepada fakir-miskin yang bermukim di sekitar rumahnya. Ketika beliau sakit keras, beliau memerintahkan kepada keluarganya agar uang yang senilai tujuh dirham yang masih tersimpan padanya, segera dibagi-bagikan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya. Sehinga diriwayatkan bahwa ketika Nabi wafat, ia tidak mewariskan harta benda kepada keluarganya. hal in menggambarkan bahwa pertumbuhan tasawwuf berasal dari sikap dan amalan rasulullah SAW yang dituntun oleh wahyu Ilahi12. Demikian juga para sahabat, terutama para khulafaturrasyidin, mereka mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka menjadi guru bagi pendatang dari luar kota Madinah yang tertarik pada kehidupan sufi. Islam telah mencapai tujuannya yang sebenar-benarnya dalam masa yang gilang-gemilang itu. Kaum muslimin telah berjaya oleh kejayaan dalam segala bidang, bidang agama, siasat perang, politik dan pemerintahan, sosial dan budi pekerti, dan dalam bidang ilmu pengetahuan sebagai hasil dari ajaran Islam yang murni itu. Kesejahteraan dan keamanan masyarakat Islam pada abad pertama hijriah ini berakhir dengan pembunuhan Usman ibn Affan. Usman termasuk sahabat Nabi dan pejuang yang pertama, seorang yang sudah dijelaskan di masa hidupnya sebagai ahli surga, seorang yang berjasa dalam mengumpulkan wahyu-wahyu Tuhan serupakan sebuah kitab suci bagi ummat Islam, orang yang sudah mengorbankan seluruh kekayaannya untuk Islam, membiayai seluruh peperangan. 11 12 Mahjuddin, Op. Cit, hal. 60 Mahjuddin, Op, Cit, hal. 61 6 Terutama dalam abad kedua hijriah bagian pertama, timbul pulalah ajaranajaran baru yang penuh dengan hikmah. Katanya orang tidak puas lagi dengan hukum fiqh yang kering. Orang lalu memakai istilah-istilah yang pelik mengenai kebersihan jiwa. thaharatunnafsi, kemurnian hati, naqaul qalbi, hidup ikhlas, menolah pemberian orang, bekerja mencari makan dengan tangan sendiri, berdiam diri, seperti yang dianjurnkan oleh Ali Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karakhi, menyedikitkan makan, memerangi hawa nafsu dengan khalwat, malakukan perjalanan dan safar, puasa, mengurangi tidur atau sahar, serta memperbanyak zikir dan riadhah seperti yang dianjurkan oleh Ibrahim ibn Adham13. MENGENAL TASAWUF DI INDONESIA Kita ketahui bahwa agama Islam masuk ke Indonesia tidak langsung dari tanah Arab tetapi melalui negeri Persia dan India, dibawa oleh para pedagang atau orang-orang yang memang datang khusus untuk menyebarkan Islam. Sekitar abad keempat atau kelima hijriah. Pada masa itu paham sufi dan tasawwuf sedang tersiar luas dan mendapat perhatian umum dari negara-negara Islam, termasuk pula Indonesia. Dalam sejarah Wali Songo kita dapati Syeikh Sitti Jenar yang mempertahankan pendirian fana dan kesatuan antara Khalik dengan makhluk, yang dinamakan ittihad, di samping Sunan Kali Jaga yang mempertahankan Ahli Sunnah bersama dengan para wali yang lain, lalu mengambil tindakan terhadapa Syeikh Sitti Jenar itu. Di Aceh Hamzah Fansuri menyiarkan paham bersatu dengan Tuhan itu, di samping Abdur Rauf Singkil yang menyiarkan paham Islam yang sebenarnya untuk memberantas paham ittihad dalam ketuhanann itu, yang dianggapnya sesat dan menyesatkan. Oleh karena itu di Indoensia pun sejak ketika itu sebenarnya sudah terdapat pertentangan paham gerakan ilmu lahir dan ilmu batin, golongan yang dinamakan syariat dan golongan yang dinamakan hakikat. Keberadaan para tokoh sufi memang mempunyai latar belakang yang berbeda. Di antara mereka mempunyai status sosial yang berbeda-beda. Taraf hidup keberagamaan. keilmuan, keturunan yang lebih istimewa, tidak semua dari mereka 13 Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 57 7 berangkat dari orang-orang yang menekuni agama secara baik. Dengan kata lain tingkat ibadahnya belum mencerminkan sebagai pengamal tasawwuf. Ada di antara mereka menjadi atau berkelakuan sufi disebabkan karena peristiwa atau musibah berat khususnya penyakit, tetapi mereka bisa terhindar dan lolos ayng secara logika kecil kemungkinannya untuk selamat. Sebagai contoh, Ust. Arifin Ilham, seorang tokoh kegiatan Dzikir (sudah dibahas) pernha mengalami peristiwa hebat yang membuatnya mati suri. Peristiwa tersebut membawa perubaha besar pada dirinya, di antaranya sebagaia rasa syukur atas pertolongan Allah SWT. Sering melakukan dzikir dan ibadah sunnah lainnya. Terus memperdalam agama, b ukan saja untuk dirinya tetapi mengajak orang lain dengan membuat Jama’ah Dzikir. Dalam waktu yang tidak lama, jama’ahnya bertambah banyak dan berkembang sampai sekarang. Contoh lainnya, seperti Alm. Gito Rolies yang akhir hidupnya diisi dengan da’wah islamiyah dan gaya hidupnya yang berubah total menjadi seorang muslim yang kuat dengan menjalani hiudp sufi, baik perbuatan atau ucapannya serta cara berpakaiannya. Sebagai perbandingan bila kita melihat dan memperlajari kehidupan para sahabat Nabi, atau dari kelompok tabi’in, mereka diawali oleh kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, atau bahkan menentangnya. Tetapi karena ada pengalaman atau peristiwa yang menimpanya, akhirnya mereka sadar dan berbalik menjadi manusia pilihan dan banyak yang meneladani mereka, baik kata atau perbuatan. Pola hidup mereka bergitu teratur, sesuai dengan ajaran agama, perhatian hidupnya benar-benar dicurahkan untuk kepentingan agama. Sikap kedermawanannya yang hebat, ibadah merke seakan tidak mengenal lelah, jujur, amanah dan mempunyai akhlakul karimah dalam bermasyarakat. Terutama di Jawa, paham-paham ilmu batin, pikiran-pikiran sufi yang disiarkan oleh Wali Songo itu sangat mempengaruhi kehidupan Islam di Jawa, dan sampai sekarang masih kelihatan gemanya dalam gerakan-gerakan batin yang banyak muncul. 8 FENOMENA SUFISME PERKOTAAN Perkataan sufi berasal dari Ibnu Shaufi yang sudah dikenal sejak sebelum Islam sebgai gelar dari seorang anak Arab yang saleh yang selalu mengasingkan diri di dekat ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.14 Kata sufi itu berasal dari kata shaffa atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya menyatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan kepada Abu Shuffah, sekelompok kaum Muhajirin dna Anshar yang miskin, yang tinggal dalam suatu ruangan di sisi masjid Nabawi. Mereka yang tinggal di dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah.15 Menurut sejarah, orang yang memakai kata ”sufi” adalah seorang zahid bernama Abu Hasyim al-Kufi di Iraq (w. 150 H). Sedangkan arti kata sufi sendiri memiliki beberapa rumusan, di antaranya ahl ash-shuffah, yaitu mereka para sahabat yang miskin, yang tinggal di suatu ruangan di masjid Nabawi, mereka berbaik hati dan mulia; shaf, ialah orang-orang yang melakukan salat di barisan pertama; shufi juga bermakna suci; sophos, asal kata Yunani yang berarti hikmat; sedangkan shufi bermakna kain yang dibuat dari bulu domba, yaitu wol kasar yang biasa dipakai orang-orang miskin.16 Sementara itu dari data yang terungkap bahwa oirang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim (w. 761 H) dari Kuffah, bukan dari Mekkah atau Madinah dan ia adalah dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu. Akhirnya, jika istilah ”sufi” itu juga dianggap serasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata sophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syiria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. 17 14 Aboebakr Atceh, engantar Sejarah Sufi dan Tasauf, (Solo: 1989), hal. 25 -26 Abu al-Wafa al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. (Bandung: 1985), hal. 21 16 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: 1992) hal. 56 - 57 17 Drs. H. Abdul Qadir Djaelani, Korelasi Terhadap Ajaran Tasawwuf, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 15 15 9 Dari beberapa penjelasan yang diambil dari berbagai sumber, secara sepintas sulit bagi kita untuk memperoleh kepastian tentang asal kata istilah ”tasawwuf” (sufi) tersebut. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, akan diperoleh kejelasan yang lebih mendekati kebenaran. Jika istilah ”sufi’ berasal dari nama Ibnu Shauf, maka berarti pada zaman jahiliyah kehidupan kaum sufi telah ada di Mekkah. Padahal tidak ditemui fakta sejarah yang menyebutkan bahwa di mekkah – sejak Nabi SAW dilahirkan sampai hijrah ke madinah – ada nama dan kegiatan kaum sufi. Bahkan pada saat nabi SAW melakukan tahannuts di Gua Hira sampai turunnya wahyu yang pertama, tidak ada keterangan sedikitpun yang menyatakan bahwa ia melakukan hal itu karena meniru pola mengasingkan diri Ibnu Shauf adalah tidak wajar. Sementara kata perkotaan berasal dari kata ”kota” dengan menyertakan awalan ”per” dan akhiran ”an”, adalah daerah atau kawasan kota atau kelompok pemukiman yang terdiri dari tempat tinggal dan tempat kerja pertanian18. Dengan demikian sufi perkotaan adalah kehidupan sekelompok orang (komunitas) yang dilakukan dengan penuh berbagai macam aktivitas ibadah di tengah keramaian kota. Dapat dipahami bahwa sufi perkotaan sebuah gerakan positif oleh penduduk kota di tengah corak dan gaya hidup kota yang penuh dengan gaya metropolisnya. Seperti individualistis, hedonisme, westernisme, modisme dan materialisme yang membuat mereka menjadi jauh dari nilai dan kehidupan beragama sehingga rohaninya kosong dan gersang memasuki tahun 2000-an, karena pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan politik dan semakin menjamurnya rumahrumah mewah, pusat-pusat perbelanjaan di samping penduduk yang memiliki latar belakang sosial berbeda pasti sedikit banyak mempengaruhi pola dan gaya hidup penduduk kota. Di antaranya adalah mereka banyak yang menderita penyakit kejiwaan karena tidak adanya porsi yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohaninya. Akhirnya menjadi mudah stress dan cepat mengambil keputusan hidup yang merugikan baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Pemandangan ini sangat sering dijumpai dan diberitakan baik melalui media cetak maupun elektronik dari panorama yang berbagai dinamikanya tersebut banyak penduduk kota yang mulai menaruh perhatian tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan rohani di antaranya adalah pertama kajian Shahih Bukhari yang dimotori oleh para habaib dan Arab keturunan yang langsung dipimpin oleh habib Mundzir Mustawa, seorang tokoh muda 18 Departemen Pendidika, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1996, hal. 528 10 yang mempunyai perhatian khusus terhadap pembinaan rohani (mental). Di samping kajian yang sifatnya teoritis tersebut. Pada saat tertentu mereka, kelompok yang menamakan diri dengan Majelis Rasulullah SAW mengadakan dzikir dengan melantunkan kalimat thayyibah (tahmid, takbir, tasbih, istighfar dan salawat) dalam jumlah tertentu (ribuan) dengan tempat yang berpindah-pindah. Jamaah majelis tersebut datang dari sekitar Jabodetabek dengan ragam dan unsur status sosial. Biasanya kegiatan rutinnya dilaksanakan pada minggu keempat setiap malam jumat. Suasana kota terutama di sekitar jalan Kebayoran Lama menjadi menarik sekali. Di samping aneka ragam umbul-umbul, ditambah dengan beliho besar yang penuh dengan foto, dipenuhi oleh ribuan jamaah dengan berbagai macam jenis kendaraan, pemandangan menarik lainnya adalah kedatangan dan kepulangan mereka ke tempat tinggal masing-masing. Membuat Jakarta kota metropolitan, berubah dengan nuansa kota santri seperti pakaian dan peci berwarna putih (peci haji dan baju kokoh) di samping kain sarung serta bendera yang dibawa oleh mereka terus berkibar. Kelompok kedua adalah pengajian dzikir yang dipimpin oleh Ust. Arifin Ilham yang dipusatkan di masjid At-Tien Taman Mini Indonesia Indah. Acara ini disiarkan langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia (TPI). Umumnya jamaah diajak berdzikir dengan jumlah tertentu penuh dengan kekhusyu’an sehingga banyak yang meneteskan air mata. Jama’ah diajak untuk mengenali dirinya siapa sebenarnya manusia itu, apa tujuan hidupnya di dunia, memperbanyak mensyukuri nikmat Allah SWT dan cinta Rasulullah SAW, banyak bertaubat (istighfar) yang pada akhirnya jiwa mereka menjadi tentram, senang dan penuh tawaddhu. Sebab apapun fungsi mereka dengan status sosial yang beraneka ragam akan menjumpai mati dan yang berat adalah dimintai pertanggungjawabannya atas semua perbuatan yang telah dilakukan. Salah satu simbolnya adalah mereka berpakaian serba putih, baik dari jama’ah perempuan maupun laki-laki. Pada momenmomen tertentu, mereka mengundan pejabat dan para tokoh negeri ini dengan melakukan dzikir bersama yang biasanya dilakukan ketika ada bencana alam yang terjadi di negeri ini. Ketiga adalah pengajian Jama’ah dilaksanakan oleh Habaib baik dari keturunan Arab atau dari keturunan Arab Betawi. Organisasi ini dikenal dengan nama FUHAB (Forum Ulama dan habaib Betawi), kebetulan penulis berada di dalam kepengurusan. Anggota FUHAB tersebar di seluruh Jabodetabek. Pengajian yang dilakukan berbeda dengan sufi perkotaan lainnya. Mereka mempunyai kitab kajian 11 (referensi) yang kebanyakan mengkaji ktab tasawuuf klasik terutama krangan Imam al-Ghazali. para pengasuh diambil dari Kyai Sepuh yang sudah memasuki dunia sufi dalam hidup kesehariannya. Tawadhu dan karismatiknya begitu nampak ketika menyampaikan materi. Sebelum pengajian dimulai dibacakan riwayat Nabi Muhammad SAW seperti rawi barzanji, rawi Azab, rawi Simtu Durar, rawi Syaraful Anam dll. Diawali dengan pembacaan qasidah dan diakhiri dengen pembacaan tahlil sedcara bersama, terkadang dilengkapi dengan makan nasi kebuli bersama-sama. Peserta pengajian umumnya para assatidzah dari berbagai majelis ta’lim. Usia jamaah pengajian habaib biasanya mayoritas orang tua, jarang ada anak muda yang bergabung. Hal ini menunjukkan keseriusan mereka dalam memperdalam kehidupan sufi yang sudah menjauhi hidup duniawi, tingkat kezuhudan mereka nampak dari cara berpakaian, tetapi tidak mengurangi keidahan dan kebersihan. Dari ketiga fenomena sufi perkotaan tersebut berbeda satu dan lainnya. ada karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Tetapi mempunyai muara yang sama yaitu dalam rangka meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dan menghidupkan sunnah-sunnah rasul-Nya. Dengan memperbanyak atau paling tidak seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani salam menjalani sisa hidup di dunia. Tidak bisa memang mereka disatukan karena berangkat dari materi kajian yang berbeda di samping juga kominutas dan sasaran gerakan yang berbeda pula. Namun demikian keberadaan mereka sebagai gerakan sufi perkotaan yang berada di tengah kota seperti Jakarta ini merupakan fenomena tersendiri bagi kota Jakarta sebagai ibu kota negara yang penuh hingar-bingar, aneka gaya hidup, budaya serta kemodernan masyarakatnya. Kecendurungan hidup bahagia bagi setiap manusia merupakan fitrah. Apalagi seorang muslim pasti menjadi keharusan, bahkan doa ini setiap saat dibaca, seperti: Ya Tuhan kami, Berilah kami kebaikan dunia dan akhirat dan serta selamatkanlah kami dari api neraka. Bahagia mempunyai ukuran yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Ada yang berkata bahagia itu diukur dari banyaknnya materi yang didapatkan, yang lain mengukurnya dari keberhasilan karir, ilmuan dan seterusnya. Ukuranukuran tersebut bisa jadi benar jika diukur dari segi material, namun banyak orang sukses tetapi mengakhiri hidupnya denga bunuh diri. Merusak dan membunuh karakter kepribadiannnya dengan cara melakukan perbuatan yang tidak terpuji, seperti tindakan-tindakan asosial. Faktor utamanya adalah jiwa mereka yang kosong dari 12 nilai-nilai rohaniah. Sementara nilai tersebut hanya terdapat dalam ku\omunitas dan tempat tertentu saja yaitu masjid, psantren dan majlis ta’lim, kelompok zikir atau kajian-kajian tasawwuf. Pada kelompok-kelompok zikir dan kijan tasawwuf ini banyak terdapat para eksekutif, konsultan, ahli profesi, cendikiawan, politikus, ekonom, budayawan dan lain-lain. Mereka sangat sukses dalam kehidupan duniawinya, namun merasa kurang bahgia secara batiniah. Merasakan kegelisahan batin, ada kegelisahan dalam dirinya mereka yang menuruti nafsu lawwamah dengan mengambil jalan yang justru menambah kegersangan diri. Seperti ke diskotik, pub, dari satu hotel ke hotel lain. Tetapi tidak sedikit juga yang menempuh jalan yang benar dengan merapatkan diri kepada agama, yaitu melalui pendalaman ibadah. baik berupa ibadah mahdhah ataupun pendalaman zikir melalui dengan berbagai m,acam kegiatan. Sekarang ini banyak sekali kegiatan keagamaan baik melalui perorangan atau lembaga seperti kajian Shahih Bukhari, Zikir Akbar setiap malam jumat. Bahkan terkadang dilakukan ditempat terbuka, seperti: - Kajian kitab Hikam yang sangan mnekankan hidup dekat dengan tasawwuf - Kajian zikir dan salawat - Majelis Maulid - Istighatsah - Qiyamul Lail - Ziarah makam para wali dan sufi Kegiatan kerohanian dalam bentuk zikir semakin hari semakin menambah dan peningkatan intensitas, baik pertemuan kajian kitab atau pemahaman dan penghayatan zikir. Baik secara pribadi kajian dengan jumlah tertentu atau dilakukan secara berjamaah dengan jumlah yang lebih besar. Lambat laun namun pasti mereka yang istiqamah mengikuti kegiatan rohani bertambah mantap keimanan dan ketaqwaan, serta qanaah dalam menjalani kenyataan hidup. Jika mereka kaya tidak membuat mereka angkuh dan lupa diri, jika jatuh usaha dan karir mereka tidak menjadikan mereka lemah dan putus asa. Mereka memahami kesemua itu kecil dan tidak mempunyai nilai apa-apa jika dibandingkan dengan rahmat Allah. Ternyata kekayaan materi yang mereka punyai tidaklah dapat menjaga diri dan mendatangkan ketentraman hati. Pola dan cara pandang mereka menghadapi kehidupan bukan saja didasari oleh teori yang bersifat eksak, namun juga sudah lebih banyak pada pola pikir yang didasari oleh nilai-nilai ilahiyyah (spiritual). 13 Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada dan sudi menerima walaupun berlipat ganda beratus ribu milyard, sebab Dia nikmat Tuhan, dan tidaklah jumlahnya berkurang, sebab Dia datang dari sana akan kembali ke sana.19 Sikap seperti ini tidaklah mudah didapat dengan serta-merta. Tetapi mebutuhkan latihan yang lama dan banyak pengorbanan yang dibutuhkan, waktu bahkan perasaan terutama hawa nafsu. jadi ketentraman hati dan ketangan jiwaitulah yang mereka cari para peserta kajian tasawwuf dan zikir perkotaan. Sunggunnya hati yang tentram dan pikiran yang hening memberi bekas yang nyata untuk kebahgiaan manusia, bahkan inilah kebahagian sejati.20 Kebersihan jiwa memang harus dipelihara, jiwa adalah harta yang tidak ternilai harganya kesucian jiwa menyebabkan kebersihan diri, lahir dan batin. Manusia makhluk yang lengkap dengan potensi baik dan buruk jadi dinamika salah benar adalah bagian hidup manusia. Tidak ada yang salah terus-menerus tetapi tidak ada juga yang berbuat kebaikan tanpa cacat. Di sinilah menggosok kesucian batin mempunyai peranan kebahagiaan baru didapat setelah melalui susah payah yang berkepanjanganan, jadi bahagia itu ada di dalam diri, bukan dari luar. Dengan berjamurnya pertumbuhan pengajian model sufi di jakarta khussunya membawa fenomena tersendiri dalam masyarakat baik politik, ekonomi, sosialbudaya fenomena ini sidah pasti mempengaruhi pola hidup sikap dan karakter masyarakat. Seperti sikap individualistis, berpacu dengan waktu, persaingan hidup, ketidakamanan, rasa mementingkan diri yang tinggi. Kebutuhan hidup yang tidak menentu. Semua itu membuat orang mudah pesimis, tidak tenang hidupnya dan stress yang berkepanjangan. Penyakit ini bukan saja menimpa orang yang lamah secara finansial, dan sosial saja, mereka sudah terbiasa akan hal itu. Melainkan yang ironis justr menimpa para orang sukses dalam karirnya kenapa bisa seperti itu karena jasmani mereka basah tetapi rohaninya kering. Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan stereoptipe,dikotomisasi antara dunai dan akhirat, antara unsur-unsur kebendaan dan agama, kasat mada dan tidak, metrialisme dan orientasi nilai-nilai Ilahiyyah semata. Mereka yang memilih keberhasilan secara vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia adalah sesuatu yang bisa dinisbikan, atau sesuatu yang tidak sedemikian mudahnya dimarginalkan. Hasilnya mereka unggul dalam kakuasaan zikir dan kekhitaman berkontemplasi namun 19 20 Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Porujas, 1987, hal. 190 Prof. DR. Hamka, Op. Cit, hal. 193 14 menjadi kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perkembangan alam secara horizontal.21 Begitupun sebaliknya yang berpijak hanya pada kebandaan kekuatan berpikirnya tidak pernah diimbangi oleh kekuatan zikir, rialitas kebendaannya masih membelenggu hati tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya yang hidup perkotaan berada di tengah. Artinya meninggalkan pikir, banyak zikir atau banyak zikir tetapi melupakan pikir tidak boleh dipisahkan harus ada perpaduan harmonis. Sehingga membawa hidup menjadi benar. Sufi perkotaan tidak ada dikotomi antar kebutuhan materi dengan spiritual yang menyebabkan peserta jamiyyah menjadi kerasan. Bahkan terus meningkat jumlah zikir yang dibacanya. Semakin banyak itu dilakukan betambah kuat nilai spritual inilah yang melekat pada dirinya. Tidak heran jika mereka kerasan mengikuti semua yang menjadi petunjuk dan arahan guru yang menjadi idola. Meskipun harus mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Terkadang harus berhadapan dengan kondisi iklim. Semua itu terkonpensasi dengan ketenangan datin karena jiwanya penuh dengan nilai spiritual. KARAKTERISTIK SUFISME PERKOTAAN Jika diperhatikan ada beberpa yang menjadi ciri khas sufi perkotaan, artinya mereka tampil bebrbeda dengan para sifi konvensional yang berangkat dari pesantren, majlis ta’lim atau aliran/tarekat tertentu. Diantaranya adalah; - Peserta - Materi Kajian - Pakaian - Tempat a. Pola peserta sufi perkotaan tidak sama seperti lazimnya pengajian tasawwuf di pesantren atau majelis ta’lim pada umumnya datang dari masyarakat yang sifatnya heterogen bukan dari kalangan tertentu. tetapi sufisme perkotaan mempunyai jamaah yang datang dari kalangan tertentu. Mereka datang dari berbagai daerah di Jabodetabek, dengan mengendarai kendaraan sendiri. Penampilan mereka begitu rapi dan trendy lengkap dengan gaya kehidupan perkotaan. Karena memang mereka kelompok orang yang berpunya (the 21 Ary Ginanjar, ESQ, Arga, hal. 13 15 Have). Bisa jadi akomodasi yang digunakan dengan fasilitas hotel atau gedung pertemuan berkelas. Walaupun demikian banyak mereka yang sudah terbiasa hidup dengan model sufi banyak seperti zikir, salat malam, puasa sunnah, membantu sarana pendidikan Islam, bahkan tidak sedikit yang mempunyai anak asuh. Yaitu membiayai anak yatim-piatu/fakir miksin sampai selesai pendidikan formalnya. Secara lahiriah bisa jadi penampilan mereka mewah tetapi akhlak dan perhatiannya terhadap agama begitu besar.bahkan bisa mengalahkan mereka yang secara formal mempunyai kemampuan keagamaan yang baik.. b. Dalam Materi Kajian, kitab yang mereka gunakan kebanyakan kitab yang mengajarkan serta membangun rasa spiritual yang tinggi, gemar ibadah, banyak zikir dan membaca sejarah rasul dan sahabat. Diantaranya adalah Minhajul Abidin, Hazinul Asrar, Ihya Ulumuddin atau Kitab Kifayatul Atqiya, kajian Shahih Bukhari. Mereka bukan saja mempelajari tetapi juga mengkaji secara mendalam agar dampak positif paham dan nilai tasawwuf pada zaman modern seperti ini dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada banyak sektor, terutama yang menyangkut karir mereka yang dominan memperebutkan dan memburu sesuatu yang sersifat materialistis saja. Karena segala persoalan rutin mereka yang terkadang begitu mencari penyelesainnya tidak bisa ditemui jawaban dan penyelesaiannya kecuali melalui kajian sperti ini. Tidak jarang mereka melakukan qiyamul lail secara berjamaah dilanjutkan dengan zikir tertentu dengan jumlah yang ditentukan pula. Dengan demikian pertahanan spiritual mereka semkain mengakar sehingga pola dan penampilan mereka bisa menjadi manusia yang mampu mangaplikasikan doa bahagia hidup dunia dan akhirat. c. Pakaian adalah salah satu identitas sufi perkotaan. Cara berpakaian seringkali yang serba putih lengkap dengan simbol guna mengetahui dari kelompok mana mereka berasal bahkan dilengkapi bendera. Ternyata pakaian ini sangat membantu keberadaan mereka seperti menambah popularitas rasa kebersamaan dan persatuan yang pada akhirnya akan bertambah jamaahnya. Ada satu hal yang menarik dari pakaian yaitu secara filosofis warna putih di samping memang sunnah Rasul. Tetapi mengajak mereka untuk lebih banyak mengingta mati, bahkan kematian tidak mengenal waktu, tepmat dan usia. 16 Kematian sangat misterius. Di sinilah betapa besar pengaruh warna puthi terhadap eksistensi mereka dalam melakuka kegiatan. d. Salah satu mereka tampil beda dari keoompok kajian tasawwuf lain adalah tempat mereka lebih representatif. jauh dari keramaian, banyak di perumahan pribadi atau terkadang di hotel berbintang. Sekali-kali mengambil tempat di masjid bahkan di lapangan terbuka. Tetapi tetap saja mereka membaur dengan komnutas lain. Perbedaan yang ada pada mereka tidak mendatangkan kecurigaan, atau ada rasa sentimen klelompok. Mereka saling menjaga nama baik. Mereka tidak ingin berpindah, para guru, kyai, mursyid tetap membimbing jamaaahnya dengan rasa istiqamah yang merupakan bagian yang terpenting. Baik dalam mengamalkan dan menjalankan kajian tasawwuf, atau pada menjaga rasa memiliki jamaahnya. Jika akan diadakah acara memperingati kelahiran tokoh (haul) atau hari-hari besar Islam, semakin ramai jamaah yang datang. Bukan saja yang berada di wilayah sekitar Ibu Kota melainkan juga dari luar kota. Lokasi dihias seindah mungkin, penuh dengan atribut, bendera, umbul-umbul, spandunk. Pengelolaan tempat memang tertata seallu rapi, baik pada pengajian biasa teristimewa pada acara khusus. Ternyata tempat mereka juga sering dikunjungi oleh pejabat, politisi, sipil atau militer. Tempat yang istimewa merupakan kelebihan mereka. Bahkan menjadi karakteristik tersendiri yang bila dibandingkan dengan kajian sufi pada umumnya masa lalu khususnya yang berangkat dari pesantren yang lebih berkesan apa adanya. PENUTUP Munculnya fenomena sufi perkotaan mempunyai dampak positif dan kesan tersendiri bagi masyarakat Jakarta sebagai ibukota negara. Diantaranya adalah mengurangi kesan negatif walaupun tidak secara menyeluruh. Jakarta sebagai ibukota yang berpenduduk individualistis, hedonis, materialistis, huru-hara kurang memperhatikan hidup bernuansa agamis. Betapa tidak, dengan banyak munculnya berbagai pengajian (majelis ta’lim) yang menghantarkan para jamaahnya kepada hidup yang berpolakan sufisme, sangat membantu pemerintah khususnya Pemda DKI Jakartamenjadi kota yang sejuk dan bernuansa santri. Terutama pada malam hari, hingar-bingar kota dapat terminimalisasi, paling tidak ada fenomena lain yang bersifat religi. banyak kalngan muda dari anak sekolah, mahasiswa, pengusaha, entertainer, 17 politikus, budayawan, yangmengaktifkan diri dalam meningkatkan kehidupan rohani mereka. Semula mereka merasa gersang menghadapi hidup ini, karena jiwa mereka kering dengan wawasan agama. Setelah tidak terlalu lama, perubahan religiusnya berbeda jauh. Inilah yang membuat para pencari ketenangan jiwa memburu dan aktif mengikuti pengajian yang menghantarkan mereka menjadi manusia paripurna dalam pengertian kebutuhan jasmani yang seimbang dengan kebutuhan rohani. Dan itulah tujuan hidup seorang muslim. Tidak bisa ada perbedaan yang fantastis walaupun begitu memasuki hari tua intensitas kehidupan ukhrawi harus jauh lebih banyak prestasinya. Inilah yang dapat Penulis cermati, bahwa kalangan tua lebih menaruh perhatian khusus pada hal-hal yang bersifat ukhrawi karena memang sudah waktunya. Jika diperhatikan mereka yang sudah terikat jauh dengan kehidupan sufi, waktu yang ada mereka tidak ada yang terbuang secara percuma. Di rumah, di tempat usaha atau kerja, di jalan, sendiri atau keadaan ramai tidak menghilangkan rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Banyak sikapnya yang ditunjukkan mempunyai nilai ibadah. Seperti berdzikir, membaca al-Quran, salawat dan istighfar walaupun secara fisik tidak terlihat secara jelas. tetapi hati dan mulut mereka keuar kalimat-kalimat thayyibah, yang pada akhirnya akan membentuk manusia optimis dan cerdik karena segala apa yang diperbuat akan membawa hasil baik di dunia maupun akhirat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Khaliq DR, Abdurrahman Ctc, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzah, 1998. Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Panji Mas, 1987. Prof. DR. Hamka, Tasawwuf dan Sufi, Jakarta, Panji Mas, 1983. Ary Ginanjar, ESQ, Arga, 2003. Mahjuddin, Kuliah Akhlaq Tasawwuf, Jakarta, Ilmu Kalam, 1991. Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi dan tasauf, Solo, 1989. Mahmud, Abd Halim, Hal Ihwal Tasawwuf, Jakarta, terjemahan. Ghamini at-Tafzani, Abu al-Wafa, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, Jakarta, 1992. 18 Qadir Djaelani, Abdul, Kereksi Terhadap Ajaran tasawwuf, Jakarta, Gema Insani Press, 1996. Nata, Abudin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1996. 19