36 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Prevalensi Gizi Kurang di Indonesia Masalah kekurangan gizi khususnya kurang energi dan protein pada balita di Indonesia pada tahun 1970an hingga akhir Repelita V (1993) disebut sebagai KKP (Kurang Kalori dan Protein) dan istilah ini kemudian mengalami transisi hingga saat ini disebut sebagai gizi kurang. Istilah KEP (Kurang Kalori Protein) digunakan pada awal Repelita VI (1994), sedangkan istilah gizi kurang mulai digunakan sejak periode Propenas (1999) hingga saat ini. Kurang energi Protein (KEP) dikenal sebagai salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia yang dianggap utama dari sejak permulaan dikenal yaitu pada tahun 1959 hingga saat ini. Gejala KEP mencakup semua manifestasi kekurangan gizi yang sering dijumpai, dimana pada anak sebagai akibatnya adalah terhambatnya perkembangan fisik dan mental mereka. Penderita KEP umumnya adalah anak-anak berumur di bawah lima tahun (Balita). terutama pada masa mulai atau baru saja disapih (Suhardjo 1989b). Menurut Aritonang (2004), masalah kekurangan pangan dan kelaparan di Indonesia merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO (Honger Oedeem) dan kematian di beberapa daerah. Oleh karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Besar dan luas masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui Susenas modul kesehatan dan gizi. Selain itu terdapat perbedaan dalam standar/ baku acuan yang digunakan pada data status gizi yang tersedia sejak tahun 1978-2010. Data status gizi balita berdasarkan data Susenas tahun 1978, 1986, dan 1987 menggunakan baku Havard 1959. Berdasarkan baku Havard 1959, status gizi dibagi menjadi empat, yaitu (1) gizi baik untuk well nourished (≥ 80% baku median Havard); (2) gizi sedang mencakup mild PCM (70% s/d 79.9% median baku Havard); (3) gizi kurang untuk underweight mencakup moderate PCM (60 - 69.9% baku median Havard); dan (4) gizi buruk untuk severe PCM (<60% median baku Havard), termasuk marasmus, marasmik-kwashiorkor dan kwashiorkor. 37 Sedangkan data status gizi balita berdasarkan data Susenas 1989-2005, Riskesdas 2007, dan Riskesdas 2010 menggunakan standar baku WHO NCHS yang telah disepakati secara nasional. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tentang klasifikasi status gizi anak balita menyebutkan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan hasil temuan pakar gizi Indonesia Mei 2000 di Semarang, standar baku antropometri yang digunakan secara nasional disepakati menggunakan standar baku WHO-NCHS 1983. Status gizi balita diukur berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB, dan IMT/U (Depkes 2010a). Berdasarkan median baku WHO-NCHS 2005, angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score). Prevalensi gizi kurang pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi kurang (moderate malnutrition) dan gizi buruk (severe malnutrition). Sehingga gizi kurang dalam penelitian ini bila berat badan menurut umur (BB/U) berada dibawah minus 2 standar deviasi (Z-score < -2) dari angka median berat badan baku WHO-NCHS dan sudah termasuk gizi buruk. Gizi buruk bila berat badan menurut umur (BB/U) berada di bawah minus 3 standar deviasi (Z-score < -3) dari angka median berat badan baku WHONCHS. (Bappenas 2009a). Prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase bayi di bawah usia lima tahun (balita) yang menderita gizi buruk di Indonesia tiap tahun berdasarkan hasil Susenas dan Riskesdas. Analisis masalah KEP pada balita berdasarkan data Susenas menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 54.7% tahun 1978 menjadi 20.7% pada tahun 1998. KEP total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat. Sedangkan KEP nyata adalah menghitung strata KEP sedang dan KEP berat. (Depkes 1997) Perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total pada balita di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 12. 38 Tabel 12 Trend perkembangan KEP dan gizi kurang pada balita di Indonesia periode Repelita III-RPJMN Laju Laju penurunan penurunan Tahun % Balita KEP % Gizi Periode (r) KEP total (r) Gizi Kurang per tahun kurang per Nyata Total (%) tahun Repelita III 1978 18.95 54.70 NA NA NA Repelita IV 1989 NA 47.80 -1.1 37.47 NA Repelita V 1992 13.05 44.70 -2.1 35.57 -1.7 Repelita VI 1994 7.10 29.00 -17.6 NA NA 1995 7.30 28.60 -1.3 31.58 -3.7 1996 5.50 26.30 -8.0 NA NA 1997 5.10 23.10 -12.2 NA NA 1998 4.30 20.70 -10.3 29.51 -2.2 Propenas 1999 NA NA NA 26.36 -10.7 2000 NA NA NA 24.66 -6.4 2001 NA NA NA 26.10 5.8 2002 NA NA NA 26.82 2.75 2003 NA NA NA 28.17 5.0 RPJMN 2004 NA NA NA 27.5 -2.4 2005 NA NA NA 28.04 1.9 2007 NA NA NA 18.30 -17.4 2010 NA NA NA 17.9 -0.7 Rata-rata laju penurunan (r) per tahun -3.1 -1.5 Sumber: Pembangunan Kesehatan, 50 tahun Indonesia Merdeka; Dit. Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000 Berdasarkan data trend perkembangan KEP dan gizi kurang di atas, terjadi kecenderungan penurunan prevalensi KEP (KEP nyata dan KEP total) dan gizi kurang pada balita di Indonesia. Rata-rata laju penurunan KEP total dari periode Repelita III sampai periode Repelita VI adalah 3.1% per tahun, sedangkan rata-rata laju penurunan gizi kurang per tahun dari Repelita IV sampai RPJMN adalah 1.5%. Pada akhir Repelita VI tahun 1998, KEP total balita adalah 20.7%. Dengan trend ini target penurunan KEP total pada akhir Repelita VI sebesar 30% telah tercapai dan target penurunan gizi kurang pada akhir RPJMN 2004-2009 sebesar 20% juga telah tercapai. Laju penurunan KEP total tertinggi terjadi pada awal periode Repelita IV yaitu tahun 1994 sebesar 17.6%, sedangkan laju penurunan gizi kurang yang paling tinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 17.4%. Hal ini diduga berhubungan dengan adanya beberapa perubahan kebijakan dan program yang dirumuskan pemerintah dalam bidang pangan dan perbaikan gizi saat periode Repelita V (1989-1992) dibanding dengan periode Repelita sebelumnya dan kebijakan pada masa RPJMN 2004-2009. Kebijakan dan program bidang pangan dan perbaikan gizi pada Repelita V adalah peningkatan dan penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan serta peningkatan usaha perbaikan gizi seperti, UPGK, 39 UPGI, penanggulangan gondok endemik, pengembangan SKPG, dan penelitian gizi. Selain itu, terlihat bahwa pada akhir RPJMN yaitu tahun 2010, terlihat bahwa prevalensi gizi kurang sudah mencapai 17.9%. Kebijakan ketahan pangan dan perbaikan gizi pada masa RPJMN 2004-2009 bersifat lebih makro dengan adanya “Revitalisasi Pertanian” dan adanya program perbaikan gizi pada kebijakan bidang Kesehatan. Selain dengan melihat perkembangan prevalensi KEP nyata dan KEP total, manifestasi KEP pada anak balita dalam jangka panjang dan pendek dapat berupa gizi buruk dan gizi kurang. Besarnya prevalensi gizi buruk pada balita adalah persentase jumlah balita yang mengalami gizi buruk terhadap jumlah seluruh balita Indonesia. Prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia mengalami perkembangan selama tiga puluh tahun terakhir yaitu dari tahun 1986-2010. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010, besarnya prevalensi gizi buruk (Z-score < -3.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 4.9% dan prevalensi gizi kurang (Z-score <-2.00) dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional adalah 17.9%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Depkes tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk di Indonesia adalah sebesar 6.3% dan prevalensi gizi kurang adalah sebesar 37.5%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan kesehatan dari beberapa tahun sebelumnya yang terlihat dari penurunan prevalensi gizi buruk dari 6.3% menjadi 4.9% dan penurunan prevalensi gizi kurang dari 37.5% menjadi 17.9%. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama, jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Departemen Kesehatan 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan per umur (BB/U) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 2. 5.0 Target MDGS 2015 18.5 17.9 4.9 20.0 18.3 5.4 8.8 8.3 8.6 7.5 6.3 7.5 8.1 7.2 15.0 10.5 11.6 20.0 10.0 Target RPJMN 2009 28.0 27.5 28.2 26.8 26.1 24.7 25.0 6.3 Prevalensi (%) 30.0 26.4 29.5 35.0 31.6 35.6 40.0 37.5 40 3.6 0.0 Prevalensi gizi buruk (%) Prevalensi gizi kurang (%) Sumber: BPS. Susenas 1989-2003; Depkes. Riskesdas 2007 dan Riskesdas 2010 menggunakan standar WHO (2005) Gambar 2 Perkembangan prevalensi gizi kurang menurut indeks BB/U WHO-NCHS pada balita di Indonesia tahun 1989-2010 beserta Target MDGs dan RPJMN 2009 Berdasarkan pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa keadaan gizi masyarakat telah menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang (Z-score <-2 SD WHONCHS) dan gizi buruk (Z-score <-3 SD WHO-NCHS) pada anak balita. Prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar 37.5% dan prevalensi gizi buruk tertinggi terdapat pada tahun 1995, yaitu sebesar 11.6%. Prevalensi gizi buruk terendah terdapat pada tahun 2010, yaitu 4.9%, artinya terdapat 4.9% balita yang menderita gizi buruk di Indonesia pada tahun 2010. Sampai saat ini, Indonesia telah membuat kemajuan yang bermakna dalam upaya perbaikan gizi selama tiga puluh tahun terakhir ini yang ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 24.7% pada tahun 2000. Angka prevalensi tersebut meningkat kembali menjadi 28.0% pada tahun 2005, namun pada tahun 2007 angka prevalensi anak balita dengan gizi kurang kembali menurun menjadi 18.3% (Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2010 menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 17.9%. Berikut ini disajikan data nasional dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 disertai dengan cut off point status masalah kesehatan masyarakat berdasarkan WHO tahun 1999 (Tabel 13). 41 Tabel 13 Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia tahun 1989-2010 menurut indeks BB/U dengan status masalah kesehatan secara nasional Gizi Buruk Gizi Kurang Status No Tahun (%) (%) Masalah Kesehatan 1. 1989 6.30 37.47 sangat tinggi 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1992 1995 1998 1999 2000 2001 7.23 11.56 10.51 8.11 7.53 6.30 35.57 31.58 29.51 26.36 24.66 26.10 sangat tinggi sangat tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi 8. 9. 10. 11. 12. 13. 2002 2003 2004 2005 2007 2010 7.47 8.55 8.3 8.80 5.40 4.9 26.82 28.17 27.5 28.04 18.30 17.9 tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang Sumber: BPS. Susenas, SKRT; Depkes. RISKESDAS 2007 dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Tinggi : 20-29.9% Sedang : 10-19.9% Sangat tinggi : ≥30% Berdasarkan cut off point WHO (1999) pada Tabel 13 di atas terlihat bahwa pada tahun 1989, 1992, dan 1995, secara nasional Indonesia memiliki masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi. Berdasarkan data Susenas 1989, jumlah balita yang mengalami gizi kurang adalah sebanyak 7.9 juta jiwa dari 21.3 juta jiwa balita di Indonesia. Sedangkan pada tahun 1995, jumlah balita yang mengalami gizi menurun menjadi 6.8 juta jiwa dari 21.5 juta balita. Status gizi buruk pada balita di Indonesia yang sangat tinggi pada saat itu mencerminkan bahwa penanganan masalah gizi buruk maupun gizi kurang di Indonesia pada tahun 1989-1995 belum berjalan dengan baik. Sejak tahun 1998-2005 terlihat bahwa status masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi gizi kurang pada saat itu termasuk tinggi. Selama tahun 2003, prevalensi gizi buruk di Indonesia mencapai 8.5% atau sekitar 1.5 juta anak, sedangkan gizi kurang mencapai 28.17%. Walaupun prevalensi gizi buruk ini lebih sedikit dibandingkan gizi kurang, namun kasus ini lebih cepat mendapat perhatian publik karena tanda-tandanya terlihat nyata. Berbeda halnya dengan gizi kurang yang lebih banyak namun tidak mendapat perhatian karena tanda-tandanya yang belum diketahui (Soekirman 2005). 42 Martianto dan Soekirman (2006) menyebutkan bahwa selama periode 1989-2000 telah terjadi penurunan prevalensi gizi kurang yang sangat relatif lebih tajam dari 37.5% menjadi 24.7%, dibanding periode setelahnya (2000-2003). Diantara faktor yang menjadi pendorong turunnya prevalensi ini adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada periode sebelum krisis dan adanya upaya penanggulangan masalah gizi yang intensif melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada periode krisis (1998-2000). Seiring dengan selesainya Program JPS dan implementasi otonomi daerah yang berimplikasi bahwa program gizi menjadi kewenangan daerah, padahal tidak semua pemimpin di Kabupaten/Kota memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah gizi, maka prevalensi gizi kurang terlihat meningkat kembali pada periode 20002003. Angka prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal. Soekirman (2005) menyatakan bahwa prevalensi gizi kurang pada balita yang tinggi selama tahun 2003 (19.6%) merupakan penyebab kasus gizi buruk makin tinggi. Kelompok balita gizi kurang merupakan kandidat penderita gizi buruk, khususnya jika kelompok tersebut tidak mendapatkan penanganan yang baik. Salah satu cara penanganan ini adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju sehat (KMS) di posyandu yang masih melakukan fungsi utamanya. yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar. Kasus gizi buruk yang semakin tinggi juga disebabkan karena balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, yaitu air susu ibu dan jika sudah lebih dari enam bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang baik. MPASI yang baik adalah yang cukup mengandung energi, protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain itu. pola pengasuhan anak juga turut mempengaruhi kasus gizi buruk pada balita. Pola pengasuhan anak yang baik yaitu pengasuhan yang dilakukan oleh ibunya sendiri dengan kasih sayang. berpendidikan dan mengerti soal pentingnya ASI. posyandu. kebersihan. walaupun berada dalam kondisi ekonomi yang miskin akan menghasilkan anak yang sehat (Soekirman 2006). Melihat kondisi masih banyaknya balita yang mengalami kekurangan gizi maka pemerintah mempunyai kewajiban untuk menanggulangi permasalahan tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan pembagunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, maka sesuai amanat Undang-Undang 43 Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 (Bappenas 2009a). Dalam RPJMN 2004-2009, salah satu misinya adalah mewujudkan Indonesia yang sejahtera melalui agenda meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sasaran dari kegiatan ini adalah menurunkan angka prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 20.0% dari jumlah balita pada tahun 2009. Selain RPJMN 2004-2009, Indonesia juga sedang berusaha untuk mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Salah satu tujuan MDGs adalah menanggulangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan. Salah satu target dari tujuan tersebut adalah menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu (1990-2015). Salah satu indikator yang digunakan adalah persentase balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas 2010). Sesuai target MDGs tersebut. maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 18.5% prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Pada tahun 2010, angka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia telah mencapai 17.9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di 33 provinsi. Untuk itu. Perlu perencanaan pangan dan gizi yang lebih efektif dengan memanfaatkan potensi ekonomi daerah dan bantuan dana pemerintah pusat untuk wilayah-wilayah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah guna penanggulangan gizi buruk di masa yang akan datang. Dalam RPJMN 2004-2009, program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi, dan anak balita. Kegiatan pokok yang dilaksanakan dan berkaitan dengan KEP antara lain meliputi: (1) Peningkatan pendidikan gizi; (2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), (3) Penanggulangan gizi lebih; (4) Peningkatan surveilens gizi; dan (5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi (Bappenas 2009a). 44 Prevalensi gizi buruk di Indonesia yang masih tinggi selama tiga puluh tahun terakhir merupakan salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia. Tantangan dalam penanganan masalah gizi buruk mengandung tiga masalah mendasar, yaitu masalah pelaksanaan,masalah sasaran, dan masalah lokasi. Pelaksanaan penanganan masalah gizi buruk mengharuskan adanya kerjasama lintas pelaku mengingat masalah kelaparan dan khususnya masalah gizi merupakan masalah yang sangat krusial. Hilangnya perhatian terhadap masalah kelaparan dapat menyebabkan hilangnya perhatian terhadap perbaikan gizi masyarakat. Apabila perhatian terhadap gizi masyarakat khususnya kepada balita kurang, maka hal ini akan mengakibatkan pengaruh pada penurunan kualitas penduduk berusia muda. Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan di tingkat masyarakat adalah keterbatasan tenaga (kualitas dan kuantitas) untuk menjangkau kelompok sasaran (Bappenas 2010). Banyaknya jumlah balita yang masih menderita gizi buruk selama tiga puluh tahun terakhir (1986-2010) memerlukan penanganan yang cepat dan tepat melalui program-program perbaikan gizi. Martianto dan Soekirman (2006) menyatakan bahwa program-program yang diadakan untuk penanganan masalah gizi makro (KEP) di Indonesia adalah UPGK/Posyandu, program Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan program peningkatan ketahanan pangan masyarakat. UPGK (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga) dan Posyandu merupakan program yang secara khusus dilaksanakan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk (KEP). Peningkatan kedua program ini berdampak positif menurunkan prevalensi gizi buruk. Kegiatan utama program UPGK (dari aspek gizi) yang dilaksanakan sampai saat ini berupa penimbangan balita. penyuluhan gizi (KIE), peningkatan pemanfaatan pekarangan, pemberian makanan, pemberian oralit, pemberian kapsul vitamin A takaran tinggi, dan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Kegiatan ini melibatkan beberapa lembaga terkait yang mempunyai tugas dan tanggungjawab saling menopang untuk keberhasilan program. Pelaksanaan di tingkat desa atau di tingkat yang lebih kecil dikoordinasikan dalam bentuk Posyandu (Aritonang 2004). Pada Posyandu, cara pencegahan terjadinya gizi kurang adalah dengan memantau pertambahan berat badan anak dengan kartu menuju sehat (KMS), dengan syarat posyandu masih melakukan fungsi utamanya, yaitu melakukan pemantauan berat badan anak dengan baik dan benar (Soekirman 2005). 45 Penyebab langsung tingginya kasus gizi buruk di Indonesia ini adalah balita tidak mendapat makanan yang bergizi seimbang. yaitu ASI (Air Susu Ibu) dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) setelah anak berusia lebih dari 6 bulan. MP-ASI yang baik mengandung cukup energi dan protein, zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B, vitamin dan mineral lainnya. Selain makanan yang seimbang. pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan juga berpengaruh terhadap munculnya kasus gizi buruk. Pola pengasuhan anak yang baik adalah apabila anak tersebut diasuh oleh ibunya sendiri yang berpendidikan dan mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan tanpa melihat kondisi ekonominya. Program pemberian makanan tambahan (PMT) ditujukan kepada anak balita, anak sekolah, dan wanita usia subur (WUS). Program ini mendapat cukup banyak kritikan. karena terbukti tidak efisien, salah sasaran dan berbiaya tinggi. Untuk itu, kedepannya program ini hanya akan diperuntukkan untuk mengatasi kondisi darurat seperti bencana alam, konflik sosial, dan lain sebagainya. Adapun untuk program peningkatan ketahanan pangan masyarakat yang telah dikembangkan antara lain Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), dan Desa Mandiri Pangan (Desa MAPAN). Desa MAPAN bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya. kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan (Martianto dan Soekirman 2006). 46 Kebijakan dan Program Pemerintah dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi di Indonesia Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Suryana (2004) menyebutkan bahwa kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut diarahkan untuk mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan, yaitu menjamin pasokan pangan yang stabil bagi seluruh penduduk dalam jumlah, mutu, keragaman, kandungan gizi, dan keamanan yang cukup; serta menjamin akses masyarakat terhadap dalam arti fisik maupun ekonomi. Sejak periode Repelita III hingga RPJMN 2004-2009, pembangunan di bidang pertanian dalam arti luas ( pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) serta pembangunan di bidang kesehatan dan gizi selalu menjadi agenda setiap pemerintahan di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor tersebut pada hakekatnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Ketahanan pangan dan perbaikan gizi selalu menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional, bahkan pada Repelita III pembangunan di bidang pangan dan gizi dituangkan dalam satu bab tersendiri. Pada saat perencanaan dan implementasi pembangunan bidang pangan dan gizi dilakukan secara terintegrasi seperti sat itu, indonesi mencapai beberapa kemajuan berarti, antara lain mencapai swasembada beras dan kuatnya kelembagaan untuk pemantauan dan perbaikan status gizi seperti Posyandu, PKK, dan dasawisma. Kebijakan dan strategi pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi terus berkembang dari waktu ke waktu seiring perubahan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh setiap pemerintahan. Di sektor penyediaan pangan, 47 dalam 50 tahun terakhir setidaknya terdapat dua paradigma, yaitu: a) paradigma produksi (supply side) termasuk pada penekanan peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan areal (ekstensifikasi); pada paradigma ini kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan didasarkan pada kemampuan produksi, dan semua aspek, khususnya kelembagaan ditujukan untuk mendukung proses produksi seperti yang ditunjukkan antara lain oleh Program Bimas dan Inmas, b) paradigma sistem usaha agribisnis yang mengkaitkan kegiatan produksi bahan baku dengan kegiatan industri dan jasa dalam perspektif ekonomi makro. Implementasi kedua paradigma tersebut dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah menunjukkan tingkat keberhasilan dan permasalahan masing-masing, Pelajaran utama yang dapat dipetik dari berbagai pengalaman tersebut adalah bahwa kebijakan dan strategi untuk pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam hal produksi, penyediaan dan distribusi pangan harus bersifat integratif. Artinya pembangunan di bidang ini (khususnya sektor pertanian dan perikanan/kelautan) atau yang diarahkan untuk bidang ini (pembangunan di sektor lain yang mempengaruhi sektor pertanian dan perikanan) harus terintegrasi, harus memadukan kebijakan yang bersifat jangka Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia sejak Repelita III (1979-1983) sampai RPJMN 2004-2009 dibagi per sepuluh tahun dan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 14 sampai Tabel 16. 48 Tabel 14 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita III sampai Repelita IV Orde Orde Baru (Periode Menuju Pencapaian Swasembada Beras) Rezim Pemerintahan Soeharto (Repelita III 1979-1983) Soeharto (Repelita IV 1984-1988) Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Mengusahakan penyediaan pangan meningkat dan merata dan pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat Mengusahakan penganekaragaman pola konsumsi pangan rakyat dan mengurangi ketergantungan pada beras Meningkatkan keadaan atau status gizi rakyat dan usahausaha pencegahan serta penanggulangan masalah kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A, anemia gizi besi dan gondok endemik dengan peran-serta aktif masyarakat. Mengusahakan agar persediaan dan konsumsi bahan makanan dalam masyarakat terus meningkat dan semakin beraneka ragam Secara berkala akan ditentukan harga dasar untuk bahan-bahan pangan yang terpenting Meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pemasaran pangan Penanggulangan masalah gizi Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik Pemerataan persediaan/cadangan pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Menuju tercapainya penyediaan pangan yang memadai, merata dan sesuai dengan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau oleh daya beli rakyat Meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan meningkatkan mutu gizinya Menunjang pemantapan pembentukan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera dengan menurunkan angka kematian bayi dan anak balita melalui peningkatan keadaan gizi mereka Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak pada pengurangan penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Indikator KEP Penderita kurang kalori dan protein (KKP) pada anak balita berkurang dari 30% menjadi 22% Catatan 1978: Kepres 39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai pengontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir, dll 1984: Medali FAO atas tercapainya swasembada pangan Kebijakan pangan pada masa ini hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar 49 Tabel 15 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Repelita V sampai Repelita VI Orde Orde Baru (Era Stabilisasi Orde Baru) Rezim Pemerintahan Soeharto (Repelita V 1989-1993) Soeharto (Repelita VI 1994-1998) Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus meningkatkan mutu pangan dan gizi rakyat dengan tetap memperhatikan po- la konsumsi masyarakat setempat Meningkatkan keadaan gizi bayi, balita dan ibu hamil Melanjutkan upaya peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah yang berdampak mengurangi penyakit KKP, kekurangan vitamin A, Gondok Endemik dan Anemia Gizi Besi Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan Terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan Terwujudnya kesadaran gizi yang tinggi di masyarakat yang antara lain tercermin dari pola konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang Tercapainya penurunan prevalensi penyakit bukan infeksi akibat gizi lebih seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker sampai pada tingkat yang serendah mungkin Turunnya secara bermakna berbagai jenis penyakit gizi kurang terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat Peningkatan dan Penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan angan Stabilisasi harga pangan Peningkatan usaha perbaikan gizi Peningkatan Ketahanan Pangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Gizi Masyarakat Penanggulangan masalah gizi kurang Pengelolaan Upaya Perbaikan Gizi Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan Program penunjang : pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pangan; penelitian dan pengembangan pangan; pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi Indikator KEP Penderita kurang kalori protein (KKP) nyata pada balita berkurang dari 10.8% menjadi 9.5% Prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30% Catatan Kebijakan yang penting: stabilisasi harga beras Berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi 1997: Perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga beras dan gula pasir 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja Pada periode ini harga beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi Keberhasilan upaya ini ternyata memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun 50 Tabel 16 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode Propenas sampai RPJMN 2004-2009 Orde Reformasi Rezim Pemerintahan Habibie : Sebelum Desentralisasi (1998/1999) A. Wahid: Setelah Desentralisasi (1999/2000) Megawati (2000/2004) (Propenas 1999-2004) S. Bambang Yudoyono (RPJMN 2004-2009) Arah Kebijakan Kebijakan dan Program Mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan Peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat, peningkatan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan, pengembangan sistem jaminan sosial tenaga kerja, pengembangan ketahanan sosial, peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia dan veteran, peningkatan kepedulian terhadap penyandang masalah sosial, peningkatan kualitas penduduk, pemberantasan perdagangan dan penyalahgunaan narkotik dan obat terlarang, dan peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi penyandang cacat Penyediaan kebutuhan pokok untuk keluarga miskin Peningkatan Ketahanan Pangan Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat Upaya Kesehatan Perbaikan Gizi Masyarakat Sumber Daya Kesehatan Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar Program peningkatan ketahanan pangan Program pengembangan agribisnis Program peningkatan kesejahteraan petani Program peningkatan sumberdaya perikanan Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat Program lingkungan sehat Program upaya kesehatan masyarakat dan perorangan Program pencegahan dan pemberantasan penyakit Program perbaikan gizi masyarakat Program sumberdaya kesehatan Program penelitian dan pengembangan kesehatan Indikator KEP Menurunkan prevalensi kurang gizi pada balita menjadi 20 % Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak balita dari 25.8 persen menjadi 20% Catataan Perubahan yang signifikan pada era ini: Pemerintah lebih membuka ekonomi Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi dan otonomi daerah Sebelum desentralisasi : Unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras dihilangkan 1998/1999: penjualan pesawat IPTN ditukar dengan beras Thailand 2000: Penugasan tugas Bulog untuk managemen logistik beras ( penyediaan, distribusi, dan kontrol harga) Setelah desentralisasi: Implementasi otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi sejalan dengan paradigma pembangunan ketahanan pangan yang lebih terarah pada tingkat rumah tangga 2003: Privatisasi Bulog 2004: No-Option Strategy kecualu Swasembada Beras 2005: “Revitalisasi Pertanian” komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija 51 Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi selama periode Repelita III sampai RPJMN 2004-2009 di Indonesia memperlihatkan adanya pola tertentu yang semakin berkembang pada tiap masa pemerintahan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan disesuaikan dengan masalah dan tantangan setiap periode pemerintahan. Pada periode Repelita III hingga Repelita IV menunjukkan bahwa pembangunan pangan lebih berorientasi pada produksi pangan yang tercermin dari arah kebijakan ketahanan pangan dan gizi yang lebih banyak diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada periode ini masih berfokus pada program penguatan produksi pangan untuk mencapai swasembada pangan. Selain itu terlihat bahwa pada periode Repelita III, pemerintah belum menetapkan suatu indikator spesifik dalam pencapaian target penurunan prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) yang banyak diderita oleh anak balita. Pada periode Repelita V sampai periode Repelita VI terlihat bahwa kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai diarahkan pada sub sistem ketahanan pangan lainnya yaitu, distribusi dan konsumsi pangan. Hal ini tercermin dari arah kebijakan seperti, peningkatan penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dan pemantapan kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan. Akan tetapi arah kebijakan juga tetap diarahkan untuk memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV. Selain itu, pada sub sistem status gizi, kebijakan mulai diarahkan untuk menurunkan berbagai penyakit kurang gizi terutama pada bayi, anak balita, ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat. Disamping itu, kebijakan juga tetap diarahkan untuk melanjutkan usaha peningkatan keadaan gizi rakyat dengan langkah-langkah untuk mengurangi KKP, kekurangan vitamin A, gondok endemik dan anemia gizi besi yang telah dimulai sejak Repelita III. Selain itu terlihat pula pada mas Repelita VI, pemerintah mulai peduli dengan masalah keamanan pangan, hal ini dicirikan dengan adanya program peningkatan kemananan pangan pada periode tersebut. Pada tahun 1970an sampai awal tahun 1990, Indonesia telah mengembangkan suatu pendekatan yang terintegrasi untuk meningkatkan akses pangan dan perbaikan gizi masyarakat melalui kegiatan Usaha Perbaikan Gizi 52 Keluarga (UPGK). Dalam implementasinya kegiatan ini melibatkan berbagai instansi teknis, khususnya pertanian, kesehatan, BKKBN, Departemen dalam Negeri dan lembaga kemasyarakatan yang tumbuh di pedesaan seperti PKK dan Dasawisma. Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk memantau pertumbuhan status gizi anak balita sekaligus memperoleh informasi dan kemampuan praktis dalam tata kelola pekarangan untuk menunjang perbaikan gizi keluarga, penyiapan makanan dan pengasuhan anak,pentingnya penganekaragaman/diversifikasi pangan, serta pada saat bersamaan memperoleh pelayanan imunisasi, suplementasi dan pelayanan rujukan bagi yang mengalami gizi kurang tingkat berat. Pada masa ini Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) berkembang pesat dan cukup memiliki daya cegah terhdap munculnya masalah gizi buruk ke permukaan karena penapisan dan penanganan gizi buruk dapat dilakukan secara lebih dini. Pembangunan nasional pada periode berikutnya tertuang dalam Propenas dan RPJMN 2004-2009. Propenas sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2004 dirumuskan secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak baik kalangan pemerintah, dunia usaha, dunia pendidikan, LSM, maupun para pakar baik di pusat maupun di daerah. Pada masa ini era reformasi dimulai dan terjadi perubahan besar di berbagai bidang yang telah membawa pula perubahan di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, beberapa prioritas pembangunan pada periode Propenas adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan serta membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya. Berbagai kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada periode Propenas mulai berorientasi pada pengamanan ketersediaan pangan, peningkatan diversifikasi pangan, meningkatkan distribusi pangan, dan mengembangkan kemandirian pangan. Selain itu, pada periode ini, terlihat bahwa pemerintah mulai mengarahlan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizinya pada peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan dengan paradigma sehat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya program lingkungan sehat perilaku sehat, dan pemberdayaan masyarakat. Pada periode RPJMN 2004-2009, pemerintah mempromosikan “Revitalisasi Pertanian” dengan upaya mencapai swasembada beras maupun non beras melalui pangan alternatif seperti jagung dan singkong, disamping 53 beras. Revitalisasi pertanian termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan hak atas pangan yang lebih baik. Hal ini terlihat dari kebijakan ketahanan pangan yang banyak diarahkan untuk mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan. Selain itu, pembangunan bidang kesehatan semakin diperluas untuk menunjang perbaikan gizi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan yang diarahkan untuk peningkatan kualitas kesehatan dasar dan pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Selain perubahan tersebut, ternyata pada periode RPJMN 2004-2009 seperti yang terlihat pada Tabel 16, program perbaikan gizi mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah jika dibandingkan dengan periode-periode pembangunan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pada masa ini yang diarahkan kepada hal-hal yang bersifat makro seperti mempertahankan produksi, meningkatkan ketersediaan pangan hewani, diversifikasi pangan, dan beberapa kebijakan di bidang kesehatan. Program pembangunan bertambah banyak dan program perbaikan gizi terlihat menjadi semakin “kabur” dengan disejajarkannya program gizi beberapa program di bidang kesehatan seperti program promosi kesehatan, lingkungan sehat, pencegahan dan pemberantasan penyakit dan program-program lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah pada periode ini kembali menggunakan paradigma input untuk mengukur kesejahteraan rakyat seperti yang terjadi pada masa Repelita III dan Repelita IV dengan mengakomodir hal-hal yang lebih makro pada pembangunan ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia. Beberapa perubahan yang terjadi pada era reformasi berdampak pula pada situasi ketahanan pangan dan gizi di Indonesia. Lembaga pedesaan yang selama ini berfungsi dalam perbaikan pangan dan gizi (PKK, posyandu, Dasawisma) rumahtangga mulai melemah dan kasus gizi buruk menjadi sering muncul di permukaan karena tidak terdeteksi dan tertangani secara dini. Desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan tidak meratanya pemahaman, langkah, upaya dan penempatan prioritas pembangunan ketahanan pangan dan gizi sehingga di beberapa daerah ketahanan pangan dapat dibangun dengan kokoh sementara di daerah lainnya terjadi kerapuhan. Selain itu, pada akhir periode RPJMN, terlihat bahwa revitalisasi pertanian hanya menyentuh aspek produksi dan tidak banyak menjawab persoalan seperti soal akses atas pangan 54 yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini terlihat dari adanya kenaikan harga BBM yang mempengaruhi akses penduduk dalam memperoleh pangan dengan harga yang terjangkau. Bebagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang telah ditetapkan pemerintah sejak periode Repelita III hingga RPJMN 2004-2009 mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Kaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi dengan perkembangan masalah KEP pada balita di Indonesia dapat diihat lebih rinci pada Lampiran 1. Pada Lampiran tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1983 atau akhir Repelita III, prevalensi KKP (Kurang Kalori dan Protein) pada balita adalah 29.1%. Jumlah ini menurun pada periode Repelita IV yaitu tahun 1998 menjadi 10.8%. Hal ini diduga karena pada periode Repelita IV, pemerintah telah menetapkan target penurunan prevalensi penderita KKP balita menjadi 22% yang belum ditetapkan pada periode Repelita III. Selain itu, kebijakan ketahanan pangan dan gizi pada Repelita III dan Repelita IV diduga turut mempengaruhi terjadinya penurunan prevalensi KKP pada anak balita. Disamping itu, pada periode Repelita III pemerintah mencanangkan program utama di bidang ketahanan pangan yaitu swasembada pangan dan tercapai pada tahun 1984 atau pada periode Repelita IV. Selain itu, pada akhir periode Repelita VI terlihat bahwa prevalensi KEP total adalah 20.7% dengan kebijakan dan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi pada saat itu berorientasi pada diversifikasi konsumsi pangan dan peningkatan distribusi pangan. Jumlah ini telah melampaui target yang ditetapkan pemerintah yaitu prevalensi KEP total pada balita sekurangkurangnya 30%. Pada akhir Repelita VI atau pada awal Propenas, istilah Kurang Energi Protein (KEP) pada balita sudah jarang digunakan dan istilah masalah gizi pada balita disebut sebagai kekurangan gizi balita. Hal ini dikarenakan masalah gizi pada anak balita juga disebabkan oleh kurangnya zat gizi mikro. Pada akhir periode Propenas, prevalensi kekurangan gizi pada balita adalah 27.5% dan jumlah ini menurun menjadi 17.9% pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Hal ini diduga terjadi karena pemerintah menetapkan kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi yang berbeda dengan periode sebelumnya. Pada periode Propenas, pemerintah mengarahkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan 55 ekonomi dan peningkatan SDM dan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat dan pelayanan kesehatan. Sedangkan pada periode RPJMN 2004-2009, pemerintah banyak mengarahkan kebijakan di bidang pangan dan perbaikan gizi untuk mencapai swasembada beras dan non-beras, melakukan diversifikasi pangan dan memperluas pembangunan kesehatan dengan berbagai program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki keadaan gizi masyarakat tetapi juga mendukung terwujudnya keadaan gizi yang lebih baik dan merata. Berbagai hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan yang telah ditempuh pemerintah melalui program pembangunan nasional sejak tahun 1980 hingga 2010 khususnya dalam bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia mempengaruhi perkembangan masalah gizi KEP pada balita. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5%, maka secara nasional targettarget tersebut sudah terlampaui. Menurut Aritonang (2004) kecenderungan perubahan keadaan gizi masyarakat mencerminkan adanya kebijakan pembangunan yang berbeda pula. Terwujudnya ketahanan pangan akan berdampak kepada perbaikan status gizi (Azwar 2004). 56 Hubungan Parameter Pembangunan Ekonomi dan Sosial dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan ekonomi dan sosial diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 17 menunjukkan parameter ekonomi dan sosial yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 17 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia tahun 1989-2010 Rata-rata lama Tingkat kemiskinan PDB per kapita Variabel sekolah (%) (Rp) (tahun) Prevalensi Gizi Berhubungan Tidak Berhubungan Buruk (%) signifikan berhubungan signifikan (p = 0.046 < 0.05; (p = 0.904 > 0.05) (p = 0.005 < 0.01; r = 0.641) r = -0.774) Prevalensi Gizi Tidak berhubungan Berhubungan Berhubungan Kurang (%) (p = 0.1 > 0.05) signifikan signifikan (p = 0.001 < 0.01; (p = 0.005 < 0.02; r = -0.821) r = -0.774) Kemiskinan Kemiskinan merupakan faktor penghambat sebuah keluarga dalam memperoleh akses makanan yang seimbang, pola pengasuhan, dan pelayanan kesehatan yang baik. Apabila ketiga faktor tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan munculnya kasus gizi buruk (Soekirman 2005). Menurut beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penderita gizi buruk (KEP) cenderung lebih banyak dan parah di lingkungan keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Masalah gizi yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan suatu lingkaran setan yang sulit dipecahkan sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan (Suhardjo 1989b). Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab masalah gizi yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan meyebakan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran 57 untuk berobat (Bappenas 2007). Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Perkembangan tingkat kemiskinan dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Periode Tahun Prevalensi Gizi Buruk Prevalensi Gizi Kurang Tingkat Kemiskinan Repelita IV Repelita V 1989 1990 1992 1993 1996a 1996b 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (%) 6.30 NA 7.23 NA NA NA 10.51 8.11 7.53 6.30 7.47 8.55 8.3 8.80 NA 5.40 NA NA 4.9 (%) 37.47 NA 35.57 NA NA NA 29.51 26.36 24.66 26.1 26.82 28.17 27.5 28.04 NA 18.3 NA NA 17.9 (%) NA 15.1 NA 13.7 11.34 17.47 24.23 23.43 19.14 18.41 18.2 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58 15.42 14.15 13.33 Repelita VI Propenas RPJMN Sumber : BPS. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Ket: Tingkat kemiskinan : tahun 1989 s.d. 1996a : menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) tahun 1996b s.d. 2010 : berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Status gizi menggunakan indeks BB/U menurut standar baku WHO-NCHS Mengacu pada garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin) menunjukkan kecenderungan menurun selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 1990, tingkat kemiskinan mencapai 15.1%, kemudian turun menjadi 11.34% pada tahun 1996 (a). Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengakibatkan persentase penduduk miskin meningkat kembali menjadi 24.2% pada tahun 1998. Pemulihan ekonomi dalam 5 tahun terakhir berhasil menurunkan tingkat kemiskinan menjadi 15.97% tahun 1995. Akan tetapu pada tahun 2006 tingkat kemiskinan menungkat lagi menjadi 17.75%. Hal ini diduga terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17.95% (BPS 58 2009). Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali, persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 16.6% atau sebesar 37.2%. Pada periode tahun 2006-2010, jumlah penduduk miskin telah berhasil dikurangi secara signifikan dari periode sebelumnya. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dimana tahun 2010 menjadi 31.0 juta jiwa (13.3%) atau berkurang 8.3 juta jiwa orang dibandingkan tahun 2006. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi moneter tahun 1998 sebesar 34.01 juta jiwa (17.5%). Selain berupaya untuk mengurangi jumlah kurang gizi, Indonesia juga berupaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Sesuai dengan jumlah MDGs yaitu mengurangi kelaparan ekstrim dan kemiskinan, maka target yang harus dicapai oleh Indonesia adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015. Tingkat kemiskinan yang menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 adalah 7.5% (Bappenas 2007). Di sisi lain, Indonesia juga berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui RPJMN 2004-2009 yaitu penanggulangan kemiskinan dengan sasaran menurunkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8.2% pada tahun 2009 (Bappenas 2009a). Berdasarkan hasil evaluasi RPJMN 2004-2009, faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia antara lain: 1) belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar pulau Jawa, daerah terpencil dan daerah perbatasan; 2) kemiskinan sangat terkait dengan dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; 3) masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi maupun kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial; 4) bencana alam dan sosial menciptakan penduduk miskin baru, sehingga tingkat kemiskinan juga mengalami peningkatan; 5) kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan pokok yang berdampak pada daya beli masyarakat miskin (Bappenas 2007). Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin belum memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan 59 yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin. Keseluruhan faktor ini dapat menyebabkan kekurangan gizi pada setiap anggota rumah tangga miskin yang dapat berakibat pada: (i) menurunnya produktivitas individu karena kondisi fisik yang buruk serta tingkat kecerdasan dan pendidikan yang rendah; (ii) tingginya pengeluaran untuk memelihara kesehatan karena sering sakit. Sebaliknya, kedua hal ini pun menyebabkan kemiskinan pada individu tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah KEP tidak hanya disebabkan oleh masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial ekonomi terutama kemiskinan. Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 1989- Prevalensi gizi buruk (%) 2010 (Gambar 3). 12 11 10 9 8 7 6 5 4 y = 0.325x + 1.624 R² = 0.411 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Tingkat Kemiskinan (%) Gambar 3 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.046 < 0.05, r = 0.641) antara prevalensi gizi buruk dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi gizi buruk akan semakin meningkat. Nilai koefisien determinasi (R 2) adalah 0.411 yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 41.1% terhadap prevalensi gizi buruk, 60 sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = 0.325x + 1.624. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0.325, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan 0.325 kali prevalensi gizi buruk. Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesbilitas pangan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini, maka akan berdampak pada peningkatan kemiskinan/kerawanan pangan dan status gizi yang rendah (DKP 2006). Sementara itu, analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p = 0.1 > 0.05) antara prevalensi gizi kurang pada balita dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gizi kurang tidak hanya terjadi karena masalah ekonomi seperti kemiskinan, akan tetapi dapat disebabkan oleh faktor lain. Pada laporan Riskesdas 2010 disajikan prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menurut beberapa karakteristik responden. Salah satu karakteristik responden yang digunakan yaitu tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita. Tingkat pengeluaran rumahtangga per kapita dibagi menjadi kuintil 1 sampai kuintil 5 yang mengindikasikan keadaan ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi kuintil, semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga dan sebaliknya semakin rendah kuintil semakin rendah keadaan ekonomi rumahtangga. Pada kuintil 5, terlihat bahwa prevalensi gizi buruk balita adalah 2.5% dan prevalensi gizi kurang sebesar 7.9%. Hasil ini mengindikasikan bahwa masalah gizi buruk tidak hanya terjadi pada keluarga yang status ekonominya rendah, namun juga terjadi pada keluarga yang baik kondisi perekonomiannya. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Angka laju pertumbuhan ekonomi dihitung dengan menggunakan PDB atas dasar harga konstan. Jika PDB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun diperoleh rata-rata produk yang dihasilkan atau pendapatan yang dibayarkan per penduduk negara tersebut disebut sebagai nilai PDB per kapita (BPS 2005a). PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB atas dasar harga konstan per tahun. Perkembangan PDB per kapita di 61 Indonesia selama dua puluh tahun (1989-2010) secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perkembangan PDB per kapita di Indonesia tahun 1989-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional Status Gizi Buruk Gizi Kurang No Tahun PDB/kapita (rupiah) Masalah (%) (%) Kesehatan 1. 1989 4 908 329 6.30 37.47 sangat tinggi 2. 1992 5 770 766 7.23 35.57 sangat tinggi 3. 1995 6 833 940 11.56 31.58 sangat tinggi 4. 1998 6 403 538 10.51 29.51 tinggi 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1999 2000 2001 2002 2003 2004 6 359 468 6 775 003 6 927 442 7 142 654 7 385 472 7 655 534 8.11 7.53 6.30 7.47 8.55 8.3 26.36 24.66 26.10 26.82 28.17 27.5 tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi 11. 2005 7 963 608 8.80 28.04 tinggi 12. 13. 2007 2010 8 705 504 9 858 846 5.40 4.9 18.30 17.9 sedang sedang *Atas dasar harga konstan Sumber: IMF, BPS (Susenas), RISKESDAS 2007, dan RISKESDAS 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : 10-19.9% Tinggi : 20-29.9% Sangat tinggi : ≥30% Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa selama dua puluh tahun terakhir, nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1989-1997, nilai PDB per kapita terus mengalami peningkatan, namun terjadi penurunan pada rentang tahun 1998-1999. Penurunan ini disebabkan karena krisis ekonomi yang terjadi pada masa tersebut (BPS 2005a). Selanjutnya PDB terus mengalami peningkatan hingga tahun 2010. Pada tahun 1989-1995 dengan nilai PDB yang meningkat, status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Perbedaan status permasalahan gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 19861987 dengan tahun 1989 disebabkan penggunaan standar yang berbeda. Pada tahun 1998-2005, Indonesia memiliki nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan yang cenderung meningkat walaupun terjadi penurunan dari tahun 19981999, status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang termasuk dalam 62 kategori tinggi. Selain itu pada tahun 2007-2010, permasalahan gizi buruk dan gizi kurang termasuk pada kategori sedang. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita dengan PDB per kapita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini diduga terjadi karena walaupun PDB cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun investasi pembangunan di bidang gizi tidak mudah dan tidak cepat sebagaimana membangun gedung dan prasarana fisik. Perbaikan gizi memerlukan konsistensi dan kesinambungan program dalam jangka pendek dan jangka panjang (Bappenas 2007). Sejalan dengan kerangka pikir UNICEF (1998), PDB per kapita merupakan indikator daya beli yang berpengaruh langsung terhadap konsumsi pangan. Oleh karena itu apabila PDB per kapita rendah, maka daya beli pun menjadi rendah sehingga mengakibatkan kemampuan untuk membeli dan mengkonsumsi pangan akan berkurang. Selanjutnya, pengaruh PDB per kapita terhadap gizi kurang dapat Prevalensi gizi kurang (%) dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 4). 45 40 y = -4E-06x + 56.56 R² = 0.674 35 30 25 20 15 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 PDB per kapita (rupiah) 8.5 9.5 Millions Gambar 4 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan PDB per kapita Indonesia selama dua puluh tahun terakhir (1989-2010) di Analisis korelasi dengan metode Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.001 < 0.01; r = -0.821) antara prevalensi gizi kurang dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi tingkat PDB per kapita maka prevalensi gizi kurang akan semakin menurun. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0.674 yang berarti tingkat kemiskinan berpengaruh sebesar 67.4.% terhadap prevalensi gizi buruk, sisanya dijelaskan faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -4.106 x + 56.56. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah -4.106, artinya 63 setiap kenaikan PDB per kapita sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 4.106 kali. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (1986) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan menjadi lebih baik. Berikut ini disajikan data pendidikan berupa rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun 1994-2010 pada Tabel 20. Tabel 20 Perkembangan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia tahun 1995-2010 dan status masalah kesehatan secara nasional Rata-rata Lama Status Gizi Buruk Gizi Buruk + Tahun Sekolah Masalah No (%) Gizi Kurang (%) (tahun) Kesehatan sangat tinggi 1. 1995 6.02 11.56 31.58 tinggi 2. 1998 6.57 10.51 29.51 tinggi 3. 1999 6.71 8.11 26.36 tinggi 4. 2000 6.79 7.53 24.66 tinggi 5. 2001 6.74 6.30 26.10 tinggi 6. 2002 7.05 7.47 26.82 tinggi 7. 2003 7.08 8.55 28.17 tinggi 8. 2004 7.24 8.3 27.5 tinggi 9. 2005 7.30 8.80 28.04 sedang 10. 2007 7.47 5.40 18.30 sedang 11. 2010 7.92 4.9 17.9 Sumber: BPS Keterangan: Cut off point pengelompokkan masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut WHO (1999) adalah Rendah : <10% Sedang : 10-19.9% Tinggi : 20-29.9% Sangat tinggi : ≥30% Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia pada Tabel 20 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat 64 dari tahun 1995-2010. walaupun terjadi penurunan rata-rata lama sekolah penduduk pada tahun pada tahun 2000-2001. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk tertinggi yaitu pada tahun 2010 memiliki status permasalahan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang tergolong sedang dan hanya pada tahun 1995 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Menurut Soekirman (2005), proporsi anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk maka akan semakin tinggi persentase anak yang mengalami kekurangan gizi juga akan semakin kecil. Untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi buruk (%) dengan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk Indonesia dapat dilihat pada Prevalensi gizi buruk (%) Gambar 5. 12 11 10 9 8 7 6 5 4 y = -3.046x + 29.24 R² = 0.598 6 6.5 7 7.5 8 Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas(tahun) Gambar 5 Hubungan antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.005 < 0.05, r = -0.774) antara prevalensi gizi buruk dengan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas. Arah hubungan yang negatif berarti terdapat hubungan berbanding terbalik antara rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas dengan prevalensi gizi buruk. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas penduduk suatu wilayah maka prevalensi gizi buruk di wilayah tersebut akan cenderung menurun Koefisien determinasi yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.598, artinya ratarata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas berpengaruh 59.8% terhadap prevalensi gizi buruk. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -3.046x + 29.24. Koefisien persamaan regresi persaman tersebut bernilai negatif yaitu 3.046, artinya setiap kenaikan satu satuan rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas akan menurunkan 3.046 kali prevalensi gizi buruk. 65 Menurut Khomsan A et al (2007), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang, maka diharapkan akan lebih baik juga keadaan gizinya. Selanjutnya, pengaruh lama sekolah terhadap gizi kurang Prevalensi gizi kurang (%) dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini (Gambar 6). 32 30 28 26 24 22 20 18 y = -6.522x + 71.49 R² = 0.599 6 6.5 7 7.5 8 Rata-rata lama sekolah (tahun) Gambar 6 Hubungan antara rata-rata lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang (%) di Indonesia pada tahun 1995-2010 Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.005 < 0.02; r = -0.774) antara lama sekolah dengan prevalensi gizi kurang dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi lama sekolah maka prevalensi gizi kurang semakin rendah. Begitupula sebalinya, semakin rendah lama sekolah per kapita maka prevalensi gizi kurang semnakin tinggi. Koefisien determinasi (R2) pada hubungan di atas adalah 0.599, artinya lama sekolah berpengaruh sekitar 59.9% terhadap porevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y = -6.522x + 71.49. Koefisien regresi persamaan bernilai negatif yaitu -6.522, artinya setiap kenaikan lama sekolah sebesar 1 satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 6.522 kali. Cicely William dalam Sukandar (2009) melaporkan studi di Afrika Barat bahwa gizi kurang tidak terjadi karena kemiskinan harta, akan tetapi oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gizi keluarga khususnya gizi pada anak-anak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrition Assesment Educational Project di Washington 1999 menyatakan bahwa rendahnya perhatian terhadap masalah gizi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pengetahuan atau pemahaman tentang gizi yang baik dalam penelitian ini dapat dilihat dari rata-rata lamanya sekolah penduduk. 66 Hubungan Parameter Pembangunan Kesehatan Lingkungan dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan kesehatan lingkungan diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 21 menunjukkan parameter pembangunan kesehatan lingkungan yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 21 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan kesehatan lingkungan di Indonesia tahun 1989-2010 Akses air minum layak Akses sanitasi layak Variabel (%) (%) Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan Berhubungan signifikan (p = 0.098 > 0.05) (p = 0.004 < 0.01; r = -0.813) Prevalensi Gizi Kurang (%) Tidak berhubungan Berhubungan signifikan (p = 0.375) (p = 0.016 < 0.05; r = -0.732) Akses Air Minum Layak Menurut Susenas, air minum yang terlindung dan berkelanjutan (air minum layak) berasal dari sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 m dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010. Kriteria akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air minum berupa perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung dan mata air terlindung dengan jarak dari sumber pencemaran lebih dari 10 m. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan adalah perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh (Bappenas 2009a). Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia disajikan pada Tabel 22. 67 Tabel 22 Perkembangan akses air minum layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Buruk + Akses Air Gizi Buruk Gizi Kurang Periode Tahun Gizi Kurang MinumLayak (%) (%) (%) (%) 1989 6.30 31.17 37.47 NA Repelita V 1992 7.23 28.34 35.57 NA 1993 NA NA NA 37.7 1994 NA NA NA 37.7 Repelita VI 1995 11.56 20.02 31.58 38.0 1996 NA NA NA 41.3 1997 NA NA NA 42.7 1998 10.51 19.00 29.51 42.0 1999 8.11 18.25 26.36 42.2 Propenas 2000 7.53 17.13 24.66 37.5 2001 6.30 19.80 26.10 48.7 2002 7.47 19.35 26.82 48.3 2003 8.55 19.62 28.17 47.7 2004 8.3 19.2 27.5 48.8 RPJMN 2005 8.80 19.24 28.04 47.6 2006 NA NA NA 47.8 2007 5.40 12.90 18.30 48.3 2008 NA NA NA 46.5 2009 NA NA NA 47.7 2010 4.9 13.0 17.9 NA Sumber: BPS. SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, Susenas 1993-2009. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: Akses air minum layak: *Tahun 1980, 1985, dan 1986 : air minum layak didefinisikan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan *Tahun 1993-2009 : sumber air minum layak didefinisikan sebagai sumber air sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan. Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Tabel 22 menunjukkan bahwa akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan, akses air minum layak meningkat dari 37.73% pada tahun 1993 menjadi 47.71% pada tahun 2009. Adapun laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Akses air minum layak cenderung lebih tinggi pada rumah tangga di perkotaan daripada di pedesaan, Bappenas (2010) menyebutkan bahwa masih relatif rendahnya akses air minum layak mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum, terutama di perkotaan, belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, disamping itu banyak sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya tidak berkelanjutan. 68 Di samping kemajuan yang telah dicapai, masih terdapat gap dengan target MDGs dalam hal akses terhadap air minum yang layak. Target MDGs untuk akses air minum layak di Indonesia adalah 68.9% pada tahun 2015 dan pada tahun 2009 akses air minum layak di Indonesia baru mencapai 47.7% seperti yang ditunjukkan pada Tabel diatas. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015. Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan pedesaan. Sesuai dengan target MDGs tersebut, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 68.8% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak (Bappenas 2010). Menurut Soekirman (2001), pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, akan tetapi program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang pada balita dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di Indonesia. Hal ini diduga karena sepanjang tahun 1980-2010, akses rumah tangga terhadap sumber air minum layak cenderung meningkat dengan laju peningkatan per tahunnya hanya 1.3%. Bappenas (2010a) menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi individu adalah ketersediaan air minum bersih. Air minum merupakan salah satu sarana masyarakat untuk hidup sehat. Balita dengan daya tahan tubuh yang lemah memiliki kerentanan terhadap penyakit yang tinggi, ketika air minum yang dikonsumsi tidak layak maka akan meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi termasuk diare dan ISPA. Kedua penyakit tersebut dapat mengakibatkan balita lebih mudah mengalami gizi buruk karena balita mengalami kurang nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Apalagi jika penyakit tersebut dialami balita yang telah mengalami gizi buruk/kurang, maka masalah gizi tersebut akan menjadi lebih serius. Selain itu Bappenas (2007) menyebutkan bahwa infeksi yang berkaitan dengan tingginya 69 prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Akses Sanitasi Layak Menurut definisi dari Susenas, sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset dengan leher angsa yang terhubung dengan sistem pipa saluran atau tangki septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a). Untuk menilai akses terhadap sanitasi layak, dalam penelitian ini menggunakan kriteria yang digunakan pemerintah dalam laporan Millenium Development Goals (MDGs) 2010. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi yang layak didefinisikan sebagai perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan penduduk seluruhnya, dan dinyatakan dalam persen. Indikator ini menunjukkan tingkat pencapaian perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh, terkait dengan kelestarian lingkungan hidup dalam hal akses terhadap sanitasi yang layak. Pada Tabel 23 disajikan perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita selama tiga puluh tahun terakhir di Indonesia. 70 Tabel 23 Perkembangan akses sanitasi layak dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Buruk Gizi Kurang Akses Sanitasi Layak Periode Tahun (%) (%) (%) 1989 6.30 37.47 NA Repelita V 1992 7.23 35.57 30.9 1995 11.56 31.58 21.9 Repelita VI 1998 10.51 29.51 28.9 1999 8.11 26.36 32.6 Propenas 2000 7.53 24.66 32.7 2001 6.30 26.10 34.3 2002 7.47 26.82 35.6 2003 8.55 28.17 35.6 2004 8.3 27.5 38.1 RPJMN 2005 8.80 28.04 NA 2007 5.40 18.30 44.2 2010 4.9 17.9 NA Sumber: BPS, SKRT 1980, SKRT 1986, Susenas 1992-2009. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: *Tahun 1992 : sanitasi layak didefinisikan sebagai proporsi rumah tangga yang menggunakan septik tank dan lubang pembuangan tinja *Tahun 1993-2009 : definisi Sanitasi layak menurut Susenas Status gizi menggunakan standar baku WHO-NCHS Tabel 23 di atas menunjukkan trend perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak tahun 1989-2010. Data Susenas menunjukkan peningkatan akses sanitasi layak dari 24.8% pada tahun 1993 menjadi 51.2% pada tahun 2009. Menurut Bappenas (2010), laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan cakupan sanitasi layak. Dengan memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus, termasuk peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, guna mencapai target MDGs pada tahun 2015. Sementara itu target MDGs untuk akses terhadap sanitasi yang layak di Indonesia pada tahun 2015 adalah 62.41%, terlihat bahwa masih terdapat gap sebesar 10.8% pada tahun 2009 dengan target yang telah ditetapkan oleh MDGs. Salah satu tujuan MDGs adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan salah satu targetnya yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak hingga tahun 2015. Adapun indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak, perkotaan dan pedesaan. 71 Menurut Bappenas (2010), upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Berdasarkan dengan target MDGs, maka Indonesia diharapkan pada tahun 2015 dapat mencapai 62.41% proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi yang layak (Bappenas 2010). Berikut disajikan gambaran hubungan antara prevalensi gizi buruk dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun 1980- Prevalensi gizi buruk (%) 2010 (Gambar 7). 11 9 y = -0.253x + 16.57 R² = 0.660 7 5 3 20 25 30 35 40 45 50 55 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) Gambar 7 Hubungan antara prevalensi gizi buruk (%)dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (19892010) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan (p = 0.004 < 0.05, r = 0.813) antara prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak. Koefisien determinasi (R 2) yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0.660. artinya proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak berpengaruh 66% terhadap prevalensi gizi buruk. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.253x + 16.57. Koefisien regresi persamaan tersebut adalah -0.253, artinya setiap kenaikan proporsi rumah tangga dengan 72 akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi buruk sebesar 0.253 kali. Depkes (2007) menyebutkan bahwa faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam proses timbulnya gangguan kesehatan baik secara individual maupun masyarakat umum. Upaya pembinaan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar pada prinsipnya dimaksudkan untuk memperkecil atau meniadakan faktor risiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan akibat lingkungan yang kurang sehat. Sanitasi yang buruk akan memudahkan seseorang terkena penyakit infeksi (diare). Penyakit infeksi meningkatkan risiko terjadinya gizi kurang/gizi buruk (Permanasari et al 2009). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di Indonesia dapat Prevalensi gizi kurang (%) dilihat pada Gambar 8. 40 35 30 25 20 15 10 y = -0.562x + 46.29 R² = 0.535 20 25 30 35 40 45 50 55 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) Gambar 8 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak (%) di Indonesia (19892010) Analis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.016 < 0.05; r = -0.732) antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak dan dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak maka prevalensi gizi kurang akan semakin rendah. Kofisien determinai (R 2) pada hubungan di atas adalah 0.535, artinya proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak berpengaruh sebesar 53.5% terhadap prevalensi gizi kurang. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.562x + 46.29 . Koefisien persamaan regresi bernilai negatif yaitu -0.562, artinya setiap kenaikan proporsi 73 rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 0.562 kali. Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik, lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat. Akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu indikator yang menggambarkan keadaan lingkungan. Oleh karena itu akses terhadap sanitasi layak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap situasi derajat kesehatan masyarakat yang tercermin melalui status gizi balita (Depkes 2010b). Bappenas (2007) menyebutkan bahwa masih tingginya angka penyakit infeksi pada balita yang menyebabkan penurunan status gizi, terutama berkaitan dengan status air minum dan sanitasi lingkungan yang masih memprihatinkan, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Hubungan Perkembangan Parameter Pembangunan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan Masalah Gizi Kurang Beberapa parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir. Tabel 24 menunjukkan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar yang berpengaruh terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 24 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan parameter pembangunan pelayanan kesehatan dasar di Indonesia tahun 1989-2010 Cakupan imunisasi Variabel Jumlah posyandu per balita lengkap (%) Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan Tidak berhubungan (p = 0.990 > 0.05) (p = 0.247 > 0.05) Prevalensi Gizi Kurang (%) Tidak berhubungan Tidak berhubungan (p = 0.174 > 0.05) (p = 0.129 > 0.05) Posyandu Posyandu menjadi wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan angka kematian. Jumlah posyandu merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana pelayanan kesehatan sarana Upaya 74 Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a). Menurut Depkes (2007), upaya pemantauan status gizi pada kelompok balita difokuskan melalui pemantauan terhadap pertumbuhan berat badan yang dilakukan melalui kegiatan penimbangan di Posyandu secara rutin setiap bulan, serta pengamatan langsung terhadap penampilan fisik balita yang berkunjung di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Posyandu memiliki peran terhadap pemantauan status gizi balita. Berikut disajikan perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita selama dua puluh tahun terakhir di Indonesia pada Tabel 25. Tabel 25 Perkembangan jumlah posyandu dan status gizi balita di Indonesia tahun 19892010 Total balita Jumlah Gizi Buruk Gizi Kurang Jumlah Periode Tahun posyandu (%) (%) posyandu per balita 21 313 796 0.0097 1989 6.30 37.47 206 162 Repelita V 22 238 815 0.0110 1992 7.23 35.57 245 255 21 544 699 0.0113 11.56 31.58 244 591 Repelita VI 1995 20 639 834 0.0121 1998 10.51 29.51 249 516 19 941 528 0.0090 1999 8.11 26.36 178 757 Propenas 17 904 128 0.0137 2000 7.53 24.66 245 758 18 134 208 0.0130 2001 6.30 26.10 234 843 18 369 952 0.0120 2002 7.47 26.82 220 198 18 608 762 0.0130 2003 8.55 28.17 242 221 18 810 633 0.0127 2004 8.3 27.5 238 699 RPJMN 19 095 151 0.0165 2005 8.80 28.04 315 921 19 668 425 0.0137 2007 5.40 18.30 269 202 21 805 008 0.0122 2010 4.9 17.9 266 827 Sumber: Depkes. Profil Kesehatan Indonesia, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Keterangan: Status gizi menurut indeks BB/U standar baku WHO-NCHS Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia dengan jumlah posyandu per balita selama dua puluh tahun terakhir. Hal ini diduga berhubungan dengan masih rendahnya pemanfaatan posyandu oleh masyarakat dan keaktifan posyandu. Selain itu adanya pertambahan jumlah balita yang cenderung lebih besar dari bertambahnya jumlah posyandu setiap tahunnya akan mempengaruhi cakupan posyandu per balita, sehingga dapat mempengaruhi pelayanan pada posyandu. Depkes (2009) menyebutkan bahwa pencapaian target cakupan kunjungan bayi sangat dipengaruhi oleh keaktifan posyandu tiap bulannya dan partisipasi keluarga untuk membawa bayi ke posyandu, sehingga provinsi yang 75 memiliki wilayah sulit dijangkau mempunyai cakupan yang relatif rendah. Posyandu sebagai pelayanan kesehatan masyarakat, salah satu fungsinya adalah memantau pertumbuhan balita. Dengan memanfaatkan pelayanan posyandu tersebut, memudahkan orang tua untuk mengetahui jika ada masalah pertumbuhan pada balita sejak dini, sehingga masalah kekurangan gizi dapat segera diatasi. Menurut Depkes (2010b), masalah yang berkaitan dengan kunjungan posyandu antara lain: dana operasional dan sarana prasarana untuk menggerakkan kegiatan posyandu, tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling, tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat posyandu, serta pelaksanaan pembinaan kader. Peran kader posyandu juga menentukan status kesehatan dan gizi anak. Kader di posyandu tidak hanya bertugas menimbang anak, namun mempunyai peran untuk memberikan penyuluhan / arahan kepada ibu dalam memberikan pengasuhan terhadap balitanya,baik itu pola pengasuhan gizi maupun kesehatan (Depkes 2010b). Cakupan Imunisasi Lengkap Imunisasi berfungsi untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit, khususnya penyakit infeksi. Cakupan imunisasi lengkap adalah besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Berikut disajikan data cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia pada Gambar 9. 60 58 56 54 52 50 48 46 Cakupan Imunisasi Lengkap (%) 1991 1994 1997 2002 2003 2007 2010 48 50 55 51 51 59 54 Sumber : SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia) 1991, 1994, 2002-2003, 2007, dan Riskesdas 2010 Gambar 9 Perkembangan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia tahun 1991-2010 Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia cenderung naik turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 76 1991 cakupan imunisasi lengkap adalah 48% dan jumlah ini meningkat hingga 55% pada tahun 1997. Akan tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan menjadi 51%. Jumlah ini kemudian naik turun hingga tahun 2010 dengan cakupan imunisasi lengkap pada balita di Indonesia mencapai 54%. Setiap balita wajib mendapatkan imunisasi dasar untuk membentuk kekebalan tubuhnya terhadap penyakit. Jika imunisasi dasar tersebut tidak terpenuhi maka balita akan memiliki kekebalan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit. Balita yang sering terkena penyakit akan memiliki nafsu makan yang kurang, sehingga peluang terjadi masalah gizi (gizi buruk) lebih besar akibat asupan gizi berkurang. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk maupun prevalensi gizi kurang dengan cakupan imunisasi lengkap dengan pada balita di Indonesia. Hal ini diduga karena cakupan imunisasi lengkap pada balita secara nasional di Indonesia sepanjang tahun 1991-2010 cenderung fluktuatif seperti ditunjukkan oleh Gambar 9. Namun hal ini bukan berarti bahwa imunisasi tidak berpengaruh terhadap status gizi balita, beberapa penelitian meyebutkan bahwa imunisasi berpengaruh terhadap status gizi balita. Ulfani (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara imunisasi dengan prevalensi underweight sesuai hasil pengolahan terhadap data Riskesdas 2007. Bayi dan anak-anak memiliki risiko yang lebih tinggi terserang penyakit menular yang dapat mematikan, seperti: Difteri, Tetanus, Hepatitis B, Typhus, radang selaput otak, radang paru-paru, dan masih banyak penyakit lainnya. Untuk itu salah satu pencegahan yang terbaik dan sangat vital agar kelompok berisiko ini terlindungi adalah melalui imunisasi (Depkes 2010b). Selain itu cakupan imunisasi lengkap diduga berkaitan dengan faktor pendidikan dan pengeluaran perkapita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pendidikan dan pengeluaran per kapita berhubungan dengan persentase anak umur 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar termasuk juga campak. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi pula anak mendapat imunisasi. Begitu pula dengan pengeluaran per kapita, bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita maka semakin banyak anak mendapat imunisasi dasar. 77 Hubungan Perkembangan Anggaran Program Perbaikan Gizi dengan Masalah Gizi Kurang Besarnya anggaran program perbaikan gizi di Indonesia diduga berhubungan dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir. Tabel 26 menunjukkan hubungan anggaran program perbaikan gizi terhadap prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia berdasarkan uji korelasi Pearson. Tabel 26 Hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita dengan perkembangan anggaran program perbaikan gizi tahun 1989-2010 % Anggaran perbaikan gizi terhadap Variabel anggaran Depkes Prevalensi Gizi Buruk (%) Tidak berhubungan (p = 0.068 > 0.05) Prevalensi Gizi Kurang (%) Berhubungan signifikan (p = 0.001 > 0.05; r = -0.789) Pembiayaan Kesehatan Depkes (2009) menyebutkan bahwa sumber daya kesehatan merupakan salah satu faktor pendukung dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yang diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu komponen sumber daya yang diperlukan dalam menjalankan pembangunan kesehatan adalah pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kesehatan ada yang bersumber dari pemerintah dan ada yang bersumber dari masyarakat. Pada tahun 2009, anggaran Kementerian Kesehatan dibagi berdasarkan program/kegiatan kesehatan yang berjumlah 14 program/kegiatan, yang dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu program/kegiatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan preventif. Program/kegiatan yang bersifat preventif antara lain penerapan kepemerintahan yang baik, program obat dan perbekalan kesehatan, program pencegahan dan pemberantasan penyakit, penelitian dan pengembangan kesehatan, program sumber daya kesehatan, kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dan program pendidikan kedinasan. Program/kegiatan yang bersifat promotif yaitu promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Program/kegiatan yang bersifat kuratif yaitu program upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Sedangkan program/kegiatan yang bersifat rehabilitatif yaitu perbaikan gizi masyarakat. Kementerian Kesehatan pada tahun 2009 mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20.535.418.220.000 dengan jumlah realisasi sebesar Rp 78 16.438.689.737.629 (80.05%). Distribusi anggaran menurut program/kegiatan menunjukkan bahwa alokasi terbesar untuk program yang bersifat kuratif dengan jumlah Rp 12.412.403.407.000 (60.44%), sedangkan alokasi terkecil untuk program yang bersifat promotif sebesar Rp 117.494.400.000 (2.6%) (Depkes 2009). Berikut disajikan trend persentase anggaran untuk Program Perbaikan Gizi terhadap anggaran Departemen Kesehatan dan status gizi balita selama dua puluh tahun terakhir di Indonesia pada Tabel 27. Tabel 27 Perkembangan persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran Depkes dan status gizi balita di Indonesia tahun 1989-2010 Gizi Anggaran Anggaran Gizi Kurang Periode Tahun Buruk Gizi Total balita Gizi per (%) (%) (juta rupiah) balita 3 500 21 313 796 0.164 1989 6.30 37.47 Repelita V 12 600 22 238 815 0.567 1992 7.23 35.57 Repelita VI 1995 1998 11.56 10.51 31.58 29.51 17 854 47 903.2 21 544 699 20 639 834 0.829 2.321 Propenas 1999 2000 2001 2002 2003 8.11 7.53 6.30 7.47 8.55 26.36 24.66 26.10 26.82 28.17 158 305 19 941 528 7.938 71 438 54 625 83 318 50 000 17 904 128 18 134 208 18 369 952 18 608 762 3.990 3.012 4.536 2.687 2004 2005 8.3 8.80 27.5 28.04 172 967 178 500 18 810 633 19 095 151 9.195 9.348 2007 2010 5.40 4.9 18.30 17.9 667 519 393 196 19 668 425 21 805 008 33.939 18.032 RPJMN Sumber: Departemen Keuangan RI, RAPBN 1980-2010. Depkes, Susenas, dan Riskesdas 2007 dan 2010 Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa perkembangan persentase anggaran Program Perbaikan Gizi di Indonesia terhadap total Anggaran Departemen Kesehatan setiap tahunnya cenderung fluktuatif dari tahun 19802010. Persentase tertinggi terjadi pada tahun 1988 yaitu sebesar 7.2% dengan besar anggaran Program Perbaikan Gizi pada saat itu adalah 3.5 milyar rupiah dari total 48.4 milyar rupiah Anggaran Departemen Kesehatan. Sedangkan persentase tersendah selama periode 30 tahun terakhir yaitu pada tahun 2000 yaitu 0.9%. Adapun besar anggaran Program Perbaikan Gizi pada saat itu adalah 71.4 milyar rupiah dari total 7.9 triliyun rupiah Anggaran Departemen Kesehatan. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p > 0.05) antara prevalensi gizi buruk pada balita di Indonesia 79 dengan anggaran perbaikan gizi per balita selama 20 tahun terakhir (1989-2010). Hal ini diduga karena walaupun anggaran perbaikan gizi cenderung meningkat setiap tahun namun gizi buruk tidak dengan cepat dapat diatasi, perlu penanganan lebih lanjut dalam jangka waktu yang lebih lama dari penanganan masalah gizi kurang. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara prevalensi gizi kurang Prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran perbaikan gizi per balita dapat dilihat pada Gambar 10. 40 35 30 y = -0.470x + 31.02 R² = 0.622 25 20 15 0 5 10 15 20 25 30 35 Anggaran perbaikan gizi per balita (Rp) Gambar 10 Hubungan antara prevalensi gizi kurang (%) dengan anggaran perbaikan gizi per balita di Indonesia (1989-2010) Analis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan (p = 0.001 > 0.05; r = -0.789) antara prevalensi gizi kurang dengan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak dan dengan arah hubungan yang negatif. Semakin tinggi jumlah anggaran gizi per balita maka prevalensi gizi kurang akan semakin rendah. Kofisien determinai (R2) pada hubungan di atas adalah 0.622, artinya anggaran gizi per balita berpengaruh sebesar 62.2% terhadap prevalensi gizi kurang. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0.470x + 31.02. Koefisien persamaan regresi bernilai negatif yaitu -0.470, artinya setiap kenaikan anggaran perbaikan gizi sebesar satu satuan maka akan menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar 0.47 kali. Menurut Aritonang (2004), kecenderungan perubahan keadaan gizi masyarakat di negara berkembang yang berbeda-beda mencerminkan adanya kebijakan pembangunan yang berbeda pula. Derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan pelayanan sosial lainnya. Memadai atau tidaknya pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin tergantung pada anggaran pemerintah yang disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dalam keadaan ekonomi sulit, 80 pemerintah cenderung mengadakan penghematan yang tidak jarang mempengaruhi penyediaan anggaran untuk bidang sosial. Soekirman (2001) menyebutkan bahwa kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk ada kaitannya dengan kebijakan program gizi yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masingmasing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini disebut sebagai kebijakan dengan paradigma input. Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Oleh karena itu, indikator pertumbuhan dan status gizi anak perlu dijadikan salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yaitu paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal yaitu penanganan masalah gizi makro seperti KEP, pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita, revitalisasi Posyandu, dan “perombakan” kurikulum di lembaga pendidikan tenaga gizi untuk memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dari program memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi . Derajat kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya pelayanan kesehatan. air bersih, sanitasi, dan pelayanan sosial lainnya. Memadai atau tidaknya pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin tergantung pada anggaran pemerintah yang disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Dalam keadaan ekonomi sulit. pemerintah cenderung mengadakan penghematan yang tidak jarang mempengaruhi penyediaan anggaran untuk bidang sosial. 81 Tren Masalah Gizi Terkini dan Kaitannya dengan Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi Selain gizi kurang, beberapa permasalahan gizi lain yang saat ini mulai bermunculan adalah adanya balita stunting dan masalah gizi lebih seperti yang ditunjukkan pada Tabel 27. Kekurangan gizi pada waktu yang lama menyebabkan tingginya prevalensi anak balita yang pendek. Disamping itu, status gizi ibu hamil yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Sementara itu, keadaan gizi lebih menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Tabel 28 Permasalahan gizi masyarakat lainnya tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Indikator Prevalensi anak balita yang pendek (stunting) Prevalensi anak balita yang kurus dan sangat kurus (wasting) Perempuan usia subur (15-45 tahun) mengalami kurang energi kronis (KEK) Prevalensi bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR) Prevalensi balita mengalami gizi lebih Prevalensi penduduk usia diatas 15 tahun mengalami obesitas (kelebihan berat badan) Status (%) 36.8 13.6 13.6 11.5 4.3 10.3 Sumber : Riskesdas 2007 Dalam penanganan masalah gizi, beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain adalah masih tingginya angka kemiskinan, rendahnya kesehatan lingkungan, belum optimalnya kerjasama lintas sektor dan lintas program, melemahnya partisipasi masyarakat, terbatasnya akesbilitas pangan pada tingkat keluarga terutama pada keluarga miskin, tingginya penyakit infeksi, belum memadainya pola asuh ibu, dan rendahnya akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan dasar (Bappenas 2010c). Beberapa upaya perbaikan gizi yang telah dilaksanakan antara lain, pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), pemberian ASI eksklusif, pemberian kapsul vitamin A pada balita, dan pemberian tablet besi (Fe) pada ibu hamil, dengan cakupan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 28. 82 No. 1. 2. 3. 4. 5. Tabel 29 Cakupan upaya perbaikan gizi masyarakat tahun 2007 Status Indikator (%) Bayi usia 6-9 bulan mendapat MP-ASI 75.0 Bayi yang mendpaat ASI eksklusif selama 6 bulan 32.4 Anak usia 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A 71.5 Ibu hamil menerima tablet besi (Fe) 77.3 Cakupan rumah tangga yang mengkonsumsi garam 62.3 beryodium Sumber: SDKI 2007 dan Riskesdas 2007 Berdasarkan adanya permasalahan gizi masyarakat seperti pada Tabel 27, maka tantangan ke depan adalah meningkatkan status gizi masyarakat dengan fokus pada ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun, meningkatkan pola hidup sehat, menjamin kecukupan zat gizi dengan memperkuat kerjasama lintas sektor, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dan meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan. Hal ini mengandung makna bahwa pemerintah harus mulai menetapkan langkah-langkah untuk mencegah dan menanggulangi masalah gizi masyarakat tersebut. Efektivitas upaya ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi mulai dari periode RPJMN 2010-2014 dan didukung dengan adanya RANPG (Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi) 2011-2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 merupakan penjabaran dari visi, misi dan program aksi pembangunan nasional dari pasangan Presiden/Wakil Presiden Susilo Bambang YudhoyonoBoediono. Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya melibatkan kabupaten dan kota. Rencana Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu perbaikan gizi masyarakat, peningkatan aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Berbagai kebijakan dan program yang mendukung ketahanan pangan dan perbaikan gizi di Indonesia pada periode RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015 secara lebih rinci disajikan pada Tabel 29. 83 Tabel 30 Kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014 dan RANPG 2011-2015 Rezim Pemerintahan S. Bambang YudoyonoBoediono Arah Kebijakan RPJMN 2010-2014 mendukung pembangunan perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mewujudkan daya saing ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; serta meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. tercapainya sasaran peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG) yang didukung oleh tercapainya penduduk tumbuh seimbang; serta makin kuatnya jati diri dan karakter bangsa RANPG 2011-2015 Peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan. Kebijakan dan Program Peningkatan produksi dan produktivitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan terus dilakukan untuk endukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku industri Peningkatan efisiensi distribusi pangan untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau Peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan menjadi kebijakan dan strategi pembangunan ketahanan pangan yang perlu memperoleh perhatian yang memadai agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan pemasaran produk pertanian Peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan, dan kehutanan Peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita Perbaikan status gizi masyarakat Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti dengan penyehatan lingkungan Pengembangan SDM kesehatan Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan Pengembangan sistem jaminan pembiayaan kesehatan Pemberdayaan masyarakat dan penanggulanagn bencana dan krisis kesehatan Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier Perbaikan gizi masyarakat Peningkatan aksesibilitas pangan Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat Penguatan kelembagaan pangan dan gizi Indikator Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi <15% Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek/stunting menjadi <32% Menurunnya prevalensi gizi kurang anak balita menjadi 15.5% Menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32% 84 Hasil analisis isi terhadap kebijakan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode RPJMN 2010-2014 menunjukkan bahwa pemerintah memposisikan kebijakan dan program ketahanan pangan pada bidang pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sedangkan kebijakan dan program perbaikan gizi diposisikan dalam bidang pembangunan sosial budaya dan kehidupan beragama. Pada periode ini terlihat bahwa pembangunan ketahanan pangan selain berorientasi pada peningkatan produksi pangan, efisiensi distribusi pangan, pemenuhan kebutuhan konsumsi, juga mulai berorientasi pada peningkatan nilai tambah, Kebijakan ketahanan daya saing, dan pemasaran produk pertanian. pangan tersebut diarahkan untuk mendukung pembangunan perekonomian. Sedangkan kebijakan dan program perbaikan gizi pada periode diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, RANPG 2011-2015 disusun sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan bidang pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten dan kota, baik bagi institusi pemerintah maupun masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait dalam perbaikan pangan dan gizi. Sehingga kebijakan ketahan pangan dan perbaikan diarahkan menjadi lebih spesifik yaitu peningkatan status gizi masyarakat terutama ibu dan anak melalui ketersediaan, akses, konsumsi dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, sejalan dengan penguatan mekanisme koordinasi lintas bidang dan lintas program serta kemitraan. Adapun indikator/target dalam mengatasi permasalahan gizi masyarakat dalam RANPG 2011-2015 mengacu pada target yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2015. Beberapa target tersebut yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 15.5% dan menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32%. Adanya indikator ini memperlihatkan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk mengatasi masalah gizi terkini seperti stunting yang masih dijumpai pada anak balita, namun pemerintah belum menetapkan suatu target untuk menangani masalah gizi lain seperti masalah gizi lebih yang mulai banyak terjadi pada anak balita maupun pada penduduk usia 15 tahun ke atas. . .