kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KAJIAN TERMOREGULASI SAPI PERAH PERIODE
LAKTASI DENGAN INTRODUKSI TEKNOLOGI
PENINGKATAN KUALITAS PAKAN
(Thermoregulation in Dairy Cattle During Lactation Period by
Introducing Improved Feed Quality)
B. UTOMO, D.P. MIRANTI dan G.C. INTAN
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran 50501
ABSTRACT
The environment may affect productivity and livelihood of dairy cattle. The purposes of this study were
to investigate the effects of improved feed quality on thermoregulation of dairy cattle during lactation period.
The study used 8 heads of Friesian Holstein crossbred of postpartum and second period of lactation. The
animals were divided into two groups including 4 heads fed on a diet containing 10% protein (introduction
pattern). The ration is containing concentrate and Elephant grass. The assessment was carried out following a
participatory approach involving farmers in “Kembang Manunggal” Farmer Group in Kembang Village,
Ampel Subdistrict of Boyolali District. Observation was conducted every week for 4 weeks and data
including: blood pulse, respiration rate, rectal temperature, room temperature and humidity. The variable was
measured from 06.00 to 08.00 with an interval of 2 hours. The data were analysed using the mean value and
standard deviation using T-test. The results showed that room temperature and humidity were 23.94 ± 1.21°C
and 84.13 ± 2.22% respectively. The pulse and respiration rate of dairy cattle was significantly higher in
introduction pattern than farmers pattern. The pulse rate of introduction pattern was 79.49 ± 0.56 per minute
and farmers pattern was 70.54 ± 3.02 per minute, while the respiration rates were 31.29 ± 0.62 per minute and
26.82 ± 1.70 per minute respectively. The rectal temperatures were 36.33 ± 0.77°C (farmers) and 37.09 ±
0.19°C (introduction). It is concluded that ration containing 12% protein did not lead to an excessive heat and
thermoregulation in dairy cattle of lactation period was not affected.
Key Words: Dairy Cattle, Lactation, Thermoregulation, Ration
ABSTRAK
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penampilan produksi dan kelangsungan hidup sapi perah
adalah lingkungan (iklim), dimana iklim yang nyaman bagi kehidupan ternak akan menampilkan produksi
yang optimal. Tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui pengaruh peningkatan kualitas ransum terhadap
perubahan termoregulasi sapi perah periode laktasi. Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) post partus
periode laktasi kedua sebanyak 8 ekor digunakan sebagai materi kegiatan kajian dan dialokasikan kedalam
dua perlakuan yaitu 4 ekor diberi ransum dengan kandungan protein 10% (pola petani) dan 4 ekor diberi
ransum dengan kandungan protein 12% (pola intoduksi). Ransum yang diberikan berupa konsentrat dan
rumput gajah. Kegiatan kajian melibatkan secara partisipatif anggota kelompok tani yang tergabung dalam
Gabungan Kelompok Tani ”Kembang Manunggal” Desa Kembang Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali selama 4 minggu dan data yang diambil meliputi: frekuensi denyut
nadi, pernafasan, suhu rektal sapi perah dan suhu udara serta kelembaban di dalam kandang. Variabel tersebut
diukur mulai pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB dengan interval waktu pengukuran 2 jam sekali. Data
yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan nilai rataan dan simpangan baku dan selanjutnya
diuji dengan uji t. Hasil kajian yang diperoleh yaitu suhu udara dan kelembaban adalah 23,94 ± 1,21°C dan
84,13 ± 2,22%. Frekuensi denyut nadi dan pernafasan sapi perah nyata lebih tinggi pada pola intoduksi
dibandingkan dengan pola petani. Frekuensi denyut nadi sapi perah pada pola intoduksi yaitu 79,49 ± 0,56
kali per menit dan pola petani sebanyak 70,54 ± 3,02 kali per menit, sedangkan pada pernafasan sapi perah
31,29 ± 0,62 kali per menit dan 26,82 ± 1,70 kali per menit. Suhu rektal pola petani dan pola intoduksi adalah
36,33 ± 0,77°C dan 37,09 ± 0,19°C. Hasil kajian dapat disimpulkan bahwa ransum yang diberikan
263
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dengan kandungan protein 12% tidak menimbulkan beban panas berlebih dan termoregulasi pada sapi perah
periode laktasi tidak mengalami gangguan.
Kata Kunci: Sapi Perah Laktasi, Termoregulasi, Ransum
PENDAHULUAN
Kegiatan budidaya sapi perah ditujukan
terutama untuk mencapai produksi susu dalam
jumlah yang tinggi. Produksi susu sendiri
merupakan hasil resultan antara faktor genetik
dan lingkungan serta interaksi antara keduanya
(MASON dan BUVANENDRAN, 1982). Faktor
lingkungan diantaranya adalah suhu dan
kelembaban ruang kandang sapi yang dapat
mempengaruhi status faali dan berlanjut
terhadap performans tubuh. Dilaporkan oleh
SINURAT et al (1991), bahwa untuk
mengurangi pengaruh negatif suhu udara panas
dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu
dilakukan seleksi pada suhu lingkungan yang
panas, penyesuaian tatalaksana pemeliharaan,
memanipulasi gizi pakan dan memodifikasi
mikroklimat. Lingkungan yang baik yaitu iklim
yang nyaman untuk kehidupan ternak,
sehingga penampilan produktivitas sapi perah
dapat optimal. Faktor iklim utama yang
berpengaruh terhadap produksi antara lain suhu
udara, kelembaban dan radiasi matahari.
Iklim tropik khususnya di daerah
lingkungan lahan kering merupakan salah satu
masalah didalam upaya optimalisasi produksi
ternak. Tingginya intensitas matahari di
wilayah Indonesia menyebabkan suhu udara
meningkat, hal ini dapat mengakibatkan sapi
perah yang dipelihara akan terkena cekaman
panas dan cekaman panas yang ditimbulkan
akan berpengaruh negatif terhadap proses faali,
produksi maupun reproduksi (YOUSEF, 1982).
Cekaman panas pada sapi perah ditandai
dengan
meningkatnya
denyut
jantung,
pernafasan, suhu tubuh, konsumsi air minum
dan menurunnya konsumsi pakan. Kondisi
normal sapi perah dapat tercipta apabila terjadi
keseimbangan panas antara produksi dan
pelepasan panas. Suhu lingkungan yang tinggi
dapat menambah beban panas pada ternak
selain panas yang berasal dari proses
metabolisme pakan. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan ternak mengalami kesulitan
dalam pelepasan panas (SANTOSO, 1996).
Upaya untuk mengurangi cekaman panas
dengan cara memanipulasi pakan dan
264
lingkungan. Manipulasi pakan dapat dilakukan
dengan memperbaiki tatalaksana pemberian
pakan. Pemberian pakan dengan mengatur
komposisi pakan yang tepat sehingga kualitas
gizi yang terkandung didalamnya tinggi dan
dapat meningkatkan produktivitas ternak
secara optimal. Pemberian pakan dengan
peningkatan protein dapat menghasilkan energi
yang lebih baik dan yang akan berperan dalam
proses metabolisme tubuh untuk proses
pertumbuhan, produksi dan menjaga kondisi
tubuh agar sesuai dengan panas lingkungan
sekitar (TILLMAN et al., 1989). Berdasarkan hal
tersebut maka dilakukan kegiatan kajian
introduksi teknologi peningkatan kualitas
pakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
perubahan termoregulasi sapi perah periode
laktasi.
MATERI DAN METODE
Sapi perah Peranakan Friesian Holstein
(PFH) post partus periode laktasi kedua
sebanyak 8 ekor digunakan sebagai materi
kegiatan kajian dan dialokasikan kedalam dua
perlakuan yaitu 4 ekor diberi ransum dengan
kandungan protein 10% (pola petani) dan 4
ekor diberi ransum dengan kandungan protein
12% (pola introduksi). Ransum yang diberikan
berupa konsentrat dan rumput gajah.
Pemberian dilakukan dua kali sehari yaitu pada
pagi dan sore hari. Air minum diberikan secara
ad libitum. Kandang sapi perah model setengah
terbuka, tipe sejajar, lantai semen, atap genting
dan dilengkapi tempat pakan serta minum
secara terpisah. Pengamatan dilakukan setiap 7
hari sekali selama 4 minggu dan data yang
diambil meliputi: frekuensi denyut nadi,
pernafasan, suhu rektal sapi perah dan suhu
udara serta kelembaban di dalam kandang.
Variabel tersebut diukur mulai pukul 06.00
sampai dengan 18.00 WIB dengan interval
waktu pengukuran 2 jam sekali. Data yang
diperoleh
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan nilai rataan dan simpangan baku
dan selanjutnya diuji dengan uji t (SOEPENO,
1997). Kegiatan kajian melibatkan secara
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
partisipatif anggota kelompok tani yang
tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani
”Kembang Manunggal” Desa Kembang
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.
Ketinggian Desa kembang sekitar 900 m dpl.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi lingkungan kajian
Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh
faktor lingkungan karena menyebabkan
perubahan keseimbangan panas, keseimbangan
energi, keseimbangan air dan tingkah laku.
Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh
pada ternak adalah suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi
(WILLIAMSON dan PAYNE, 1993). Hasil kajian
yang diperoleh terlihat bahwa perubahan suhu
udara di dalam kandang selama pengamatan
menunjukkan peningkatan dan mencapai
puncak pada waktu pukul 12.00 WIB,
kemudian menurun waktu pukul 14.00 WIB.
Keadaan ini menunjukkan bahwa beban panas
yang terjadi pada waktu siang hari karena
adanya peningkatan suhu udara. Suhu
lingkungan yang lebih tinggi dari suhu tubuh
ternak, maka panas akan dialirkan dari
lingkungan ke dalam tubuh ternak (GUYTON,
1990).
Tabel 1. Rataan suhu udara dan kelembaban dalam
kandang
Uraian
Hasil pengamatan
Suhu udara (°C)
23,94 ± 1,21
Kelembaban (%)
84,13 ± 2,22
Rataan suhu udara dalam kandang adalah
23,94 ± 1,21°C, seperti terlihat pada Tabel 1.
Hasil yang diperoleh ini lebih tinggi dari suhu
udara netral bagi kehidupan sapi perah. Suhu
udara yang sesuai untuk pemeliharaan sapi
perah didaerah tropis berkisar antara 18 – 21°C
dan di Indonesia lingkungan tersebut terdapat
diwilayah dengan ketinggian serendahrendahnya 500 m dpl (SUTARDI, 1981). Hal ini
menyebabkan ternak menerima tambahan
panas, sehingga ternak berusaha melepaskan
beban panas melalui proses termoregulasi.
Menurut COLLIER et al (1982), bahwa ternak
homeoterm dalam kondisi suhu udara yang
tinggi
akan
mengadakan
penyesuaian
metabolisme sehingga dicapai kondisi yang
seimbang. Ternak mempunyai daerah nyaman
yang berbeda-beda tergantung pada spesies dan
tingkat produktivitasnya, dimana ternak
banyak menggunakan energinya untuk
mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan
reproduksi (JOHNSON, 1985). Pertumbuhan dan
produktivitas ternak yang hidup didaerah
nyaman dapat maksimal serta tidak banyak
energi yang dikeluarkan untuk mengatur
keseimbangan panas tubuhnya, sedangkan bila
diluar
daerah
nyaman
maka
ternak
memerlukan
energi
untuk
memelihara
keseimbangan panas tubuh yang lebih besar
sehingga energi yang dihasilkan metabolisme
pakan tidak mencukupi untuk produksi dan
reproduksi (YOUSEF, 1985).
Rataan hasil pengamatan kelembaban
dalam kandang adalah 84,13 + 2,22% (Tabel
1), lebih tinggi dari kelembaban udara ideal
untuk lingkungan hidup sapi perah.
Penampilan produktivitas sapi perah akan
optimal, apabila dipelihara pada suhu berkisar
antara 18 – 21°C dan kelembaban udara 55%
(SUTARDI, 1981). Hal ini akan menambah
beban panas, karena proses penguapan dari
tubuh ternak terganggu dengan adanya
kejenuhan udara oleh kandungan air.
Perubahan kelembaban mulai menurun sampai
titik kelembaban terendah yaitu waktu pukul
14.00 WIB dan kemudian terjadi peningkatan
lagi pada pukul 16.00 WIB. Rendahnya
kelembaban udara di waktu siang hari,
kemungkinan disebabkan semakin tingginya
radiasi matahari dan suhu udara sehingga
penguapan air semakin banyak. Kelembaban
udara akan mengakibatkan peningkatan
penambahan panas dan pengurangan jumlah
panas yang dikeluarkan melalui jalur evaporasi
dari permukan kulit dan saluran pernafasan
(PURWANTO et al., 1995).
Frekuensi denyut nadi sapi perah
Rataan hasil frekuensi denyut nadi sapi
perah periode laktasi yang diperoleh adalah
70,54 ± 3,02 kali per menit dan 79,49 ± 0,56
kali per menit, masing-masing untuk pola
petani dan pola introduksi, seperti terlihat pada
Tabel 2. Hasil frekuensi denyut nadi lebih
tinggi apabila dibandingkan hasil yang
265
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
dilaporkan PURWANTO et al. (1995) yaitu 64
dan 67 kali per menit pada suhu 18°C dan
32°C. Tingginya frekuensi denyut nadi,
kemungkinan disebabkan tingginya beban
panas dari dalam dan luar tubuh. Pakan dengan
kualitas
rendah
menyebabkan
proses
fermentasi didalam rumen lebih lambat,
sehingga panas yang dihasilkan dari energi
untuk proses metabolisme tubuh lebih kecil,
sedangkan pemberian pakan dengan kualitas
baik akan terjadi sebaliknya. Hal ini akan
berpengaruh terhadap peningkatan denyut nadi,
mengingat salah satu fungsi protein adalah
untuk menyediakan energi bagi proses
metabolisme tubuh (SUDONO, 1999).
Tabel 2. Rataan denyut nadi sapi perah laktasi
selama 4 minggu post partus
Uraian
Frekuensi denyut nadi
(kali/menit)
Pola petani
70,54 ± 3,02
Pola introduksi
79,49 ± 0,56
Pembuangan beban panas sapi perah
laktasi, terlihat pada peningkatan frekuensi
denyut nadi yang merupakan usaha ternak
untuk menyeimbangkan produksi panas. Panas
yang tinggi akan dilepaskan ke lingkungan
dengan cara melakukan peningkatan denyut
nadi dalam upaya pengangkutan aliran darah
yang membawa panas dari dalam keluar tubuh
sehingga jantung bekerja lebih cepat. Hal ini
sesuai dengan pendapat PARAKKASI (1995),
bahwa peningkatan denyut jantung merupakan
upaya penyebaran panas ke seluruh tubuh dan
pada akhirnya dibuang melalui jalur evaporasi.
Perubahan denyut nadi sapi perah periode
laktasi, terjadi peningkatan dan mencapai
puncak pada pukul 12.00 WIB kemudian
berangsur menurun setelah pukul 14.00 WIB.
Peningkatan denyut nadi seiring dengan
meningkatnya suhu udara, hal ini akan
berdampak terhadap naiknya produksi panas
didalam tubuh ternak sehingga ternak berusaha
mempercepat frekuensi denyut nadi untuk
membuang panas. Peningkatan suhu udara
dengan
diikuti peningkatn denyut nadi
merupakan mekanisme fisiologis ternak
(PURWANTO et al., 1995). Peningkatan tersebut
juga merupakan peningkatan fungsi jantung
untuk
melakukan
aktivitas
makan,
mendistribusikan hasil metabolisme pakan dan
266
upaya menjaga keseimbangan panas tubuh
(GANONG, 1983).
Frekuensi pernafasan sapi perah
Rataan hasil pengamatan frekuensi
pernafasan sapi perah 26,82 ± 1,70 kali per
menit dan 31,29 ± 0,62 kali per menit, masingmasing untuk pola petani dan pola introduksi
(Tabel 3). Menurut SUBRONTO (1995), bahwa
pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar
antara 10 sampai 30 kali tiap menit. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa pada pola
introduksi, frekuensi pernafasan sapi perah
lebih tinggi bila dibanding pola petani. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
kualitas pakan yang diberikan. Pada pola
introduksi diduga proses fermentasi didalam
rumen menyebabkan panas dari hasil
metabolisme dalam tubuh lebih tinggi bila
dibandingkan pola petani, sehingga ternak
menerima beban panas tinggi. Metabolisme
pakan akan menghasilkan energi yang
dipergunakan oleh ternak untuk menjalankan
fungsi fisiologis seperti pernafasan dan
pengaturan keseimbangan tubuh, dimana hal
tersebut akan menghasilkan panas tambahan
bagi tubuh. Beban panas yang besar pada tubuh
ternak akan dipindahkan oleh aliran darah
kepermukaan tubuh yang menyebabkan tingkat
evaporasi melalui pernafasan meningkat,
sehingga frekuensi pernafasan meningkat pula
(JOHNSON, 1985).
Perubahan frekuensi pernafasan mulai
meningkat setelah pukul 06.00 WIB dan
mencapai puncak pukul 12.00, kemudian
mengalami penurunan setelah pukul 14.00
WIB. Perubahan frekuensi pernafasan sejalan
dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut
menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi
pernafasan
untuk
melepaskan
panas.
Disamping itu, ada perbedaan frekuensi
pernafasan dengan pemberian ransum dengan
kualitas yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan peningkatan kualitas ransum
yang diberikan pada ternak menambah beban
panas. Keadaan ini kemungkinan disebabkan
adanya aktivitas ternak dalam mencerna pakan,
karena proses pencernaan menghasilkan energi
yang diubah menjadi panas. Aktivitas dalam
tubuh yang semakin besar membutuhkan
oksigen lebih banyak dan kebutuhan oksigen
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
didapat dari luar tubuh dengan jalan
peningkatan frekuensi pernafasan (GUYTON,
1983).
Tabel 3. Rataan frekuensi pernafasan sapi perah
laktasi selama 4 minggu post partus
Uraian
Frekuensi pernafasan
(kali/menit)
Pola petani
26,82 ± 1,70
Pola introduksi
31,29 ± 0,62
Suhu rektal sapi perah
Hasil suhu rektal yang diperoleh adalah
36,33 ± 0,77°C dan 37,09 ± 0,19°C, untuk pola
petani dan pola introduksi (Tabel 4). Subronto
(1995), melaporkan bahwa suhu rektal sapi
dalam kondisi normal adalah 38,5°C dan suhu
kritis 39,5°C. Suhu rektal sapi perah dengan
pemberian ransum yang berbeda, tidak
menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini
kemungkinan disebabkan ternak berhasil
melakukan proses termoregulasi melalui
mekanisme homeostatis di dalam tubuh.
Respon yang menunjukkan adanya cekaman
panas pada tubuh ternak ditandai dengan
peningkatan suhu rektal dan apabila
peningkatan denyut nadi serta frekuensi
pernafasan mampu mengatasi cekaman panas
maka suhu rektal sedikit sekali mengalami
peningkatan. Menurut PURWANTO et al.
(1995), bahwa pengaturan keseimbangan panas
merupakan upaya ternak mempertahankan
suhu tubuhnya relatif konstan terhadap
perubahan suhu lingkungan yang merupakan
perwujudan kerja organ-organ tubuh untuk
mempertahankan proses homeostatis.
Tabel 4. Rataan suhu rektal sapi perah laktasi
selama 4 minggu post partus
Uraian
Suhu rektal (°C)
Pola petani
36,33 ± 0,77
Pola introduksi
37,09 ± 0,19
Perubahan suhu rektal mulai menunjukkan
peningkatan setelah pukul 06.00 WIB dan
mencapai puncak setelah pukul 12.00 WIB,
kemudian
berangsur-angsur
menurun.
Perubahan suhu rektal tersebut sejalan dengan
perubahan suhu udara yang semakin
meningkat. Tingginya suhu rektal ternak pada
siang hari kemungkinan juga disebabkan panas
hasil metabolisme di dalam tubuh. Produksi
panas pada ternak dipengaruhi oleh tingkah
laku, jumlah konsumsi pakan dan suhu
lingkungan (SUDARMOYO, 1995). Perubahan
suhu rektal juga sama perubahan denyut nadi
dan frekuensi pernafasan. Menurut SARIKIN
(1998), bahwa ternak yang diberi pakan
dengan kualitas tinggi pada siang hari maka
ternak akan mengalami beban panas tubuh
yang tinggi, tetapi suhu rektalnya stabil. Hal ini
disebabkan ternak
berhasil
melakukan
pembuangan panas melalui peningkatan
frekuensi denyut nadi dan pernafasan.
KESIMPULAN
Hasil kajian yang diperoleh dapat diambil
kesimpulan bahwa pola introduksi peningkatan
kualitas pakan dengan kandungan protein 12%
tidak menimbulkan beban panas yang berlebih
dan tidak terjadi gangguan termoregulasi pada
sapi perah periode laktasi.
DAFTAR PUSTAKA
COLLIER, R.J., D.K. BEEDE, W.W. THATCHER, L.A.
ISRAEL dan C.J. WILCOX. 1982. Influences of
environmental and its modofication on dairy
animal health production. J. Dairy Sci. 65:
2213 – 2227.
GUYTON, A.C. 1990. Fisiologi Kedokteran II. Edisi
Ke-5. E.G.C. Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta.
JOHNSON, H.D. 1985. Physiological responses and
productivity of cattle. Dalam: YOUSEF, M.K.
(Ed). Stress Physiology of Livestock. Vol II.
CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.
KOMARUDIN, M., MARIYONO, U. UMIYASIH, L.
AFFANDHY dan ARYOGI. 1992. Evaluasi
perkandangan sapi perah : Perkandangan sapi
perah rakyat pada beberapa daerah dataran
rendah dan tinggi di Jawa Timur. Lap
Penyelesaian DIP. Sub Balitnak Grati.
MASON, L.L. and BUVANENDRAN. 1982. Breeding
Plans foe Ruminant Livestock in Tropis. FAO
Animal Production and Health Paper No. 34
Rome.
PARAKKASI, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak Ruminan. Penerbit Aneka Ilmu,
Semarang.
267
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PURWANTO, B.P., A.B. SANTOSO dan A. MURFI.
1995.
Fisiologi
Lingkungan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
SUDARMOYO, B. 1995. Ilmu Lingkungan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Semarang (unpublished).
SANTOSO, A.B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro
Terhadap respon Fisiologis Sapi Dara
Peranakan Fries Holand. Tesis Magister Sains.
Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
SUDONO, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah.
Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan
Institut
Pertanian
Bogor
(unpublished).
SARIKIN. 1998. Perubahan Respon Termoregulasi
Sapi Dara Peranakan Friesian Holstein Akibat
Pemberian Pakan dengan Tingkat Energi
Berbeda. Skripsi. Sarjana Peternakan. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
SINURAT, A.P., E. KUSNADI, R. WIJAYAKESUMA dan
D. SASTRAPRADJA. 1991. Pengaruh cekaman
suhu dingin dan panas terhadap respons
pertumbuhan dan fisiologis kelinci Rex. Proc
Seminar Nasional. Usaha Peningkatan
Produktivitas Peternakan dan Perikanan.
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
Semarang.
268
SUTARDI, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian
Makanannya. Departemen Ilmu Makanan
Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian
Bogor (unpublished).
TILLMAN, A.D., H. HARTADI., S. REKSOHADIPROJO.,
S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO.
1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
WILLIAMSON, G. dan W.J.A. PAYNE. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
YOUSEF, M.K. 1982. Animal Production in the
Tropics. Praeger Publish, New York.
Download