BAB II NILAI-NILAI KEISLAMAN DAN TRADISI NYADRAN A. Nilai-nilai Keislaman 1. Pengertian Nilai-nilai Keislaman Nilai berasal dari bahasa Latin vale’rê yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.1 Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Dasar-dasar Agama Islam menyatakan bahwa nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku. 2 Islam sebagai agama wahyu yang memberikan bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek hidup dan kehidupannya, dapat diibaratkan seperti jalan raya yang lurus dan mendaki, memberi peluang kepada manusia yang melaluinya sampai ke tempat yang dituju, tempat tertinggi dan mulia. Jalan raya itu lempang dan lebar, kiri kanannya berpagar al-Quran dan al-Hadis.3 Selama pemikiran, sikap dan perbuatan 1 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 56. 2 Zakiah Daradjat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 260. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 50. 3 19 20 seorang muslim masih berada di dalam batas kedua pagar itu, dalam pengertian tidak ke luar dan tidak bertentangan dengan wahyu yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi yang terekam dalam kitabkitab hadis (sahih), selama itu pula pemikiran, sikap dan perbuatan mereka dapat disebut sebagai Islami.4 Nilai-nilai Keislaman merupakan nilai-nilai yang berasal dari ajaran-ajaran agama Islam yang diberikan Allah SWT kepada hambaNya untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Nilai-nilai itu akan tampak dalam perilaku kehidupan lahiriah sebagai refleksi dari perilaku batiniahnya. Perilaku batiniahnya senantiasa berorientasi kepada norma-norma ajaran Islam yang mengacu ke dalam nilai-nilai islami yang membentuk sikap dan perilakunya sehari-hari. Dengan kata lain, jiwa islami telah menjadi sumber rujukan dari perilaku seorang muslim sejati dalam hidupnya.5 Said Agil Husin Al Munawar dalam bukunya Aktualisasi Nilainilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam mengatakan bahwa umat beragama akan mampu membangun peradaban, apabila mampu mengerahkan segenap potensi budayanya dan mengembangkan nilai-nilai agama sebagai pengarah dan pengendali proses pembentukan peradaban dunia baru.6 4 Ibid., hlm. 51. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 114. 6 Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm. 198. 5 21 Sebagai agama, Islam bukan hanya agama “langit”, melainkan juga agama “bumi”, karena keunikan dan kekhasan dalam Islam menjelma dalam berbagai bentuk ritus dan kehidupan sosial ekonomi, serta kebudayaan masyarakat dengan berbagai pranata dan simbol keagamaan yang memperkaya keberagamaan masyarakat Islam, sekaligus menyatukan tujuan tertinggi dalam beragama.7 Untuk menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut.8 Agama Islam dapat menjadi inti dari sistemsistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan sebagai pendorong, penggerak dan pengontrol bagi tindakan anggotaanggota masyarakatnya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan yang tercakup dalam ajaran agama Islam.9 2. Sumber Nilai-nilai Keislaman Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Quran dan Sunnah Nabi SAW yang 7 Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 7. Ibid., hlm. 92. 9 Ibid., hlm. 88. 8 22 kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. 10 Penjelasan sumber nilai dalam ajaran Islam sebagai berikut: a. Al-Quran Al-Quran adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama. Al-Quran adalah kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah. Tujuannya, untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak. Al-Quran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat: bab), lebih dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (atau lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata kalau dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia).11 Pokok-pokok kandungan dalam al-Quran, antara lain: 1) Tauhid, yaitu kepercayaan keesaan Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya; 2) Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai menifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid; 10 11 Said Agil Husin Al Munawar, op. cit., hlm. 3. Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 93. 23 3) Janji dan Ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mengamalkan isi al-Quran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari; 4) Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dab Rasul dalam menyiarkan syariat Allah SWT dan kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran al-Quran agar dijadikan pembelajaran.12 b. Al-Hadis Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang telah disebut dalam al-Quran dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah dengan sunnah beliau. Karena itu, sunnah Rasul yang kini terdapat dalam al-Hadis merupakan penafsiran serta penjelasan otentik (sah, dapat dipercaya sepenuhnya) tentang alQuran.13 Perkataan hadis menurut pengertian kebahasaan ialah berita atau sesuatu yang baru. Dalam ilmu hadis istilah tersebut berarti segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda setuju (taqrîr). Para ahli hadis, umumnya menyamakan istilah hadis dengan istilah sunnah. Namun, ada sementara ahli hadis mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedang sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqrîriyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja. Dengan demikian, sunnah 12 13 Koko Abdul Kodir, op. cit., hlm. 51. Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 110. 24 lebih luas dan umum dibandingkan dengan hadis. Sebab sunnah, meliputi perkataan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah tanda setuju, sedang hadis hanya mengenai perkataan beliau saja. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-Hadis mempunyai peran penting setelah al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Sebagai utusan Allah Nabi Muhammad mempunyai wewenang menjelaskan dan merinci wahyu Allah yang bersifat umum. Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam, yaitu: 1) Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam alQuran 2) Sebagai penjelasan isi al-Quran 3) Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran.14 c. Rakyu atau Akal Pikiran yang dilaksanakan dengan Ijtihad Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam. Di dalam kepustakaan, sumber ajaran Islam yang ketiga ini 14 Ibid., hlm. 111-113. 25 disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga disebut dengan kata ijtihad.15 Ijtihad berasal dari kata ijtihad, yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Ijtihad juga berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu al-Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan apabila ada suatu maslah yang hukumnya tidak terdapat dalam al-Quran ataupun Hadis, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada al-Quran dan Hadis.16 Macam-macam ijtihad yang dikenal dala syariat Islam, yaitu sebagai berikut: 1) Ijma’ Menurut bahasa, ijma’ artinya sepakat, setuju, atau sependapat, sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum perkara dengan cara musyawarah. 2) Qiyas Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. 15 16 Qiyas Ibid., hlm. 121. Koko Abdul Kodir, op. cit., hlm. 53. dapat diartiksn sebagai upaya 26 membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. 3) Istihsan Istihsan adalah mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. 4) Murshalat murshalah Murshalat murshalah menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Menurut istilah, murshalat murshalah adalah perkaraperkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. 5) Sududz dzariah Sududz dzariah menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah, sududz dzariah adalah tindakan memutuskan sesuatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. 6) Istishab Istishab yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan pada masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. 7) Urf Urf yaitu perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.17 17 Ibid., hlm. 54-56. 27 3. Nilai-nilai dalam Agama Islam Nilai-nilai keislaman termasuk ke dalam kategori nilai Ilahi berdasarkan penggolongan nilai menurut Muhaimin dan Abdul Mujib yang dikutip dari bukunya Abdul Khobir yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis. Nilai Ilahi adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para Rasul-Nya yang berbentuk taqwa, iman, adil yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Agama Islam diturunkan di dunia mengandung implikasi ajaran tentang nilai-nilai dan moralitas yang sesuai dengan kemampuan tabi’i dalam menerima dan menjelaskan syariat Islam yang ada di dalamnya. Dari segi religi, mereka menyebarkan nilai-nilai agar diaktualisasikan dalam kehidupan seharihari, nilai ini bersifat statis dan kebenarannya bersifat mutlak.18 Menurut Mohammad Daud Ali dalam bukunya Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa Agama Islam merupakan satu sistem akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan.19 Dengan demikian secara garis besar nilai-nilai keislaman mencakup: a. Nilai Akidah Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan. Nilai akidah yaitu nilai yang berkaitan dengan keimanan 18 Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm. 40. 19 Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 51. 28 atau keyakinan. Karena itu, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam, yaitu: 1) Keyakinan kepada Allah 2) Keyakinan kepada para Malaikat 3) Keyakinan kepada Kitab Suci 4) Keyakinan kepada Nabi dan Rasul 5) Keyakinan kepada Hari Akhir 6) Keyakinan kepada Qada dan Qadar. 20 Akidah Islam berawal dari keyakinan kepada Zat Mutlak Yang Maha Esa yang disebut Allah. Ketika seseorang telah menerima tauhid sebagai prima causa yakni asal yang pertama, asal dari segala-galanya dalam keyakinan Islam, maka rukun iman yang lain hanyalah akibat logis (masuk akal) penerimaan tauhid tersebut. Ketika seseorang yakin bahwa Allah mempunyai kehendak, sebagai bagian dari sifat-Nya, maka orang yakin pula adanya para Malaikat yang diciptakan Allah untuk melaksanakan dan menyampaikan kehendak Allah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada para Rasul-Nya, yang kini dihimpun dalam Kitab-kitab Suci. Kehendak Allah itu disampaikan kepada manusia melalui manusia pilihan Tuhan yang disebut Rasulullah atau Utusan-Nya. Konsekuensi logisnya adalah kita meyakini pula adanya para Rasul yang menyampaikan dan menjelaskan kehendak Allah kepada umat 20 Ibid., hlm. 134. 29 manusia, untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan. Kehidupan manusia ini suatu ketika akan berakhir sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam Kitab suci. Akibat logisnya kita meyakini adanya hari akhir, tatkala seluruh hidup dan kehidupan seperti sekarang ini akan berakhir. Yakin akan adanya hidup lain selain kehidupan sekarang, dan dimintai pertanggungan jawab manusia kelak, membawa konsekuensi pada keyakinan adanya Qada dan Qadar yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia yang fana ini yang membawa akibat pada kehidupan di alam baka kelak.21 b. Nilai Syari’ah Nilai yang berkaitan dengan sistem norma (kaidah) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Kaidah ibadah atau kaidah ubudiyah Kaidah yang mengatur hubungan langsung manusia dengan Allah. Ibadah menurut bahasa artinya taat, tunduk, turut, ikut dan doa. Dilihat dari pelaksanaannya, ibadah dapat dibagi tiga, yakni (1) ibadah jasmaniah-rohaniah, yaitu ibadah perpaduan jasmani dan rohani seperti salat dan puasa, (2) ibadah rohiah dan 21 Ibid., hlm. 199-201. 30 mâliyah, yaitu ibadah perpaduan rohani dan harta seperti zakat, (3) ibadah jasmaniah, rohiah dan mâliah (harta) sekaligus, contohnya ibadah haji. Dilihat dari bentuk dan sifatnya, ibadah dapat dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: a) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti berdzikir, berdoa, memuji Allah dengan mengucapkan alhamdulillah, dan membaca al-Quran. b) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, mengurus jenazah. c) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujudnya, seperti salat, puasa, zakat dan haji. d) Ibadah yang cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, iktikaf, ihrâm. e) Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti memaafkan orang lain yang telah melakukan kesalahan atau membebaskan orang yang berhutang dari kewajiban membayar.22 2) Kaidah mu’amalah Kaidah yang mengatur hubungan manusia selain dengan Allah (dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungan 22 Ibid., hlm. 245-246. 31 hidup). Hubungan yang diatur syari’ah muamalah adalah hubungan perdata dan hubungan publik. Hubungan perdata adalah hubungan individu dengan individu, hubungan individu dengan benda. Hubungan publik adalah hubungan individu dengan masyarakat (umum) atau negara. Di dalam al-Quran terdapat 288 ayat syari’ah muamalah, ada yang sifatnya zanni, mengandung berbagai kemungkinan arti, dapat dikembangkan melalui ijtihad dan penalaran manusia yang memenuhi syarat dan ada yang qath’i sudah jelas artinya, tidak mungkin diartikan lain selain dari makna yang terdapat dalam ayat itu. Contohnya syari’at yang mengatur soal perkawinan dan kewarisan. 23 c. Nilai Akhlak Akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Nilai Akhlak berkenaan dengan sikap, perbuatan dan tingkah laku manusia. Secara garis besar akhlak dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Akhlak terhadap Allah (Khalik), antara lain adalah (a) mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan mempergunakan firman-Nya dalam al-Quran sebagai pedoman hidup dan kehidupan; (b) Melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya; (c) Mengharapkan dan berusaha 23 Ibid., hlm. 297-298. 32 memperoleh keridhaan Allah; (d) Mensyukuri nikmat dan karunia Allah; (e) Menerima dengan ikhlas semua qada dan qadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal; (f) Memohon ampun hanya kepada Allah; (g) Bertaubat hanya kepada Allah; dan (h) Tawakkal (berserah diri) kepada Allah. 2) Akhlak terhadap makhluk, dibagi menjadi dua, yaitu: (a) Akhlak terhadap sesama manusia yakni: 1. Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad), antara lain: Mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya; Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan kehidupan; Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang dilarangnya. 2. Akhlak terhadap orang tua, antara lain: Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya; Merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang; Mendoakan keselamatan dan ampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telah meninggal dunia. 3. Akhlak terhadap diri sendiri, antara lain: Memelihara kesucian diri; Menutup aurat; Jujur dalam perkataan dan perbuatan; Ikhlas, sabar, rendah hati; Menjauhi dengki; Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain. 33 4. Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat, antara lain: Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga; Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak; Berbakti kepada ibu-bapak; Mendidik anak-anak dengan kasih sayang; Memelihara hubungan silaturrahim dan melanjutkan silaturrahim yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia. 5. Akhlak terhadap tetangga, antara lain: Saling mengunjungi; Saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah; Saling beri-memberi; Saling hormatmenghormati; Saling menghindari pertengkaran dan permusuhan. 6. Akhlak terhadap masyarakat, antara lain: Memuliakan tamu; Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan; Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa; Bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama; Menaati putusan yang telah diambil; Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita. (b) Akhlak terhadap makhluk bukan manusia (lingkungan hidup) antara lain: Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup; Menjaga dan memanfaatkan alam 34 terutama hewani dan nabati, fauna dan flora yang sengaja diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya; Sayang pada sesama makhluk.24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam juga menyebutkan bahwa Al-Quran memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam yang terdiri atas tiga pilar utama, yaitu: a. I’tiqâdiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu. b. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji. c. Amaliyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku seharihari, baik yang berhubungan dengan: 1) Ibadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan nazar, yang bertujuan untuk aktualisasi nilai-nilai ubudiyah. 2) Muamalah, yang memuat hubungan antar-manusia, baik secara individual maupun institusional.25 Dalam pandangan Islam tidak semua nilai yang telah melembaga dalam tatanan kehidupan masyarakat dapat diterima atau ditolak. Sikap 24 25 hlm. 36. Ibid., hlm. 356-359. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), 35 Islam dalam menghadapi tatanan nilai yang ada dalam masyarakat dengan menggunakan lima macam klasifikasi, yaitu: a. Memelihara unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif. b. Menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan tetapi negatif. c. Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma yang belum ada dan dianggap positif. d. Bersikap menerima, memelihara, memilih, mencerna, menggabunggabungkan dalam satu sistem dan menyampaikan pada orang lain terhadap nilai pada umumnya. e. Menyelenggarakan penyucian nilai atau norma agar sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam Islam sendiri. Dengan begitu, diharapkan akan terwujud hubungan yang ideal antara nilai agama Islam dengan nilai yang ada dalam suatu kelompok masyarakat yang dijiwai dengan nilai-nilai Ilahi.26 B. Tradisi Nyadran 1. Pengertian Tradisi Nyadran Tradisi Nyadran atau Sadranan merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan masyarakat Jawa. Tradisi ini berupa menziarahi makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi 26 Abdul Khobir, op. cit., hlm. 41-42. 36 dan budaya para nenek moyang. 27 Bulan pelaksaannya bervariasi menurut daerahnya. Ada yang bulan Muharram (Suro), Safar, dan yang terbanyak bulan Sya’ban (Ruwah). Sadranan secara umum merupakan bentuk ritual melalui doa dan sedekahan (uba rampe makanan), yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah atau orang-orang yang sudah meninggal. 28 Upacara adat ini dahulu diwarnai dengan pemanggilan roh-roh halus, meminta berkah dan restu pada arwah. Islam datang dengan mengubah pola hidup mistik yang ada di adat tersebut, upacara ziarah dan tabur bunga tetap dijalankan, pembacaan doa dilakukan dengan cara Islami, membaca ayat-ayat alQur’an (tahlil). Pemanggilan arwah dan permohonan doa pada ruh dihilangkan, doa diarahkan pada Allah SWT29 Tradisi ini merupakan ritus rohani, di mana orang-orang yang memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal bersama-sama membawa sejumlah jenis makanan ke kompleks pemakaman, untuk kemudian ditukar antara satu dengan yang lain (umumnya di Klaten dan Semarang), atau saling memakan makanan yang dibawa itu (di Boyolali sebelah barat) sebagai upacara sedekahan. Menurut tradisi masyarakat, upacara sedekahan itu didahului dengan prosesi doa bersama (tahlil dan doa bagi arwah) memintakan pengampunan dosa bagi arwah masing- 27 Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya (Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013), hlm. 47. 28 Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 252. 29 Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 69-70. 37 masing. Lalu sedekah dimaksudkan, agar pahala sedekah keluarganya juga dilimpahkan kepada para arwah yang ada di alam barzah. Jadi, inti sadranan itu sendiri adalah sebenarnya kirim doa dan pahala amal untuk si mati. 2. Sejarah Tradisi Nyadran Sadranan atau Nyadran, menurut Slamet Muljana berasal dari bahasa Jawa Kawi çraddha (srada), yang kemudian dijawakan modern nyadran (yang benar semestinya nyradan). Sebagaimana dikemukakan dalam berita karya Kanakamuni yang lebih dikenal dengan nama samaran (paparab) Mpu Prapanca, Nagara Kertagama pupuh 63-67, upacara srada pernah diadakan oleh Prabu Hayam Wuruk, untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Badra tahun jawa 1284 atau 1362 M. Berita upacara srada ini juga dikemukakan dalam Pararaton, walaupun hanya disinggung dalam satu baris. Nagarakertagama sendiri dibuat pada tahun Saka 1281 atau 1359 M. Memang dalam sejarah Majapahit atau Jawa kuno, upacara Srada hanya diberitakan satu kali, pada masa Prabu Hayam Wuruk tersebut. Namun sebagaimana biasa, berita-berita kuno umumnya memang hanya memberitakan orang-orang besar. Tentunya Prabu Hayam Wuruk melaksanakan upacara srada (peringatan kematian) sesuai dengan tradisi Jawa yang saat itu umum berlaku. Jarangnya upacara srada ini dapat dimaklumi, karena dalam tradisi Jawa asli, peringatan kematian yang 38 disebut srada hanya dilaksanakan satu kali untuk satu orang, setelah kematiannya mencapai 12 tahun perhitungan Jawa (sekitar 11,5 tahun Masehi). Maksud utama upacara srada adalah meruwat arwah agar sempurna menghadap Tuhan. Rajapatni yang kematiannya diperingati Hayam Wuruk adalah Putri Gayatri (putri bungsu Raja Kertarajasa Jayawardhana) yang pada masa tuanya menjadi wikun/bhiksuni, dan mangkat pada tahun 1350 M (Nagarakretagama pupuh 2/1), dimakamkan di Kamal Pandak dengan candi makam di Bayalangu dengan nama candi Prajnyaparamita Puri (Nagarakretagama pupuh 69/1). Upacara Sradanya dilaksanakan tahun 1362, yang memang dimaksudkan sebagai peringatan dua belas tahun sesudah Rajapatni mangkat. Upacara Srada dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, yang sebelumnya juga memakan waktu berhari-hari untuk persiapan. Seluruh istana dicat ulang, dan diberi berbagai hiasan yang serba indah. Upacara dihadiri oleh segenap pejabat tinggi kerajaan, yang masing-masing membawa persembahan sesuai dengan kemampuan dan jabatannya. Upacara dipimpin oleh seorang pendeta Stapaka dan dibantu empu dari Paruh. 30 Setelah upacara srada selesai, maka kemudian diadakan perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak. Upacara tersebut, hampir sama dengan upacara Nyadran dewasa ini, walaupun pelaksanaannya lebih sederhana. Pemberian makanan, sedekah, derma, berkirim doa untuk para arwah, dan upacara sedekahan dengan 30 Muhammad Sholikhin, op. cit., hlm. 253-254. 39 melingkari makanan serba enak yang dibawa, memiliki muatan makna yang sama dengan srada. Hanya saja upacara srada tampaknya sudah lama hilang. Nyadran memang bisa dibilang sebagai kelanjutannya, akan tetapi selang waktu dilaksanakan kembali cukup lama. Misalnya di sebuah dukuh Pedut, wilayah Boyolali, upacara nyadran baru dilaksanakan pada tahun 1963. Tampaknya hal tersebut kembali dilaksanakan dengan maksud untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan (sebagai media dakwah), selain untuk kembali menghidupkan tradisi masyarakat lama yang baik.31 Penyebaran agama Islam di Indonesia dalam catatan sejarah, sudah terjalin sejak abad ke XIII M. 32 Di pulau Jawa sendiri, pengislaman terjadi secara damai karena metode yang dipakai oleh para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama itu.33 Umumnya, para pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal, yang dipadukan menjadi bagian dari tradisi yang “islami”, karena berpegang pada suatu kaidah ushuliyyah (kaidah yang menjadi pertimbangan yang perumusan hukum menjadi hukum fiqih), yang cukup terkenal, yakni: 31 Ibid., hlm. 256. Samidi Khalim, hlm. 60. 33 Ridin Sofwan, et al., Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 5. 32 40 ِْ ﻆ ﺻﻠَ ِﺢ ُ َو ْ َاﻻ ْﺣ،ﺼﺎﻟِ ِﺢ اﻟْ ُﻤ َﺤﺎﻓَﻈَﺔُ اﻟْ َﻘ ِﺪ ْﱘُ اﻟ ﱠ ْ اﳉَﺪﻳْ ُﺪ ْ َاﻻ “Menjaga nilai-nilai lama yang bai, sembari mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.” Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan Islami mewarnai dalam berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, sebagai bukti keberhasilan dakwah Islam, yang berwajah rahmatan lil 'alamin.34 Adapun cara-cara yang dipakai para wali dalam menghadapi budaya lama (Hindu) itu adalah: a. Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama, contoh menerima upacara tingkeban, mitoni; b. Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi baru, contoh menambah perkawinan Jawa dengan akad nikah secara Islam; c. Menginterpretasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh wayang di samping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan; d. Menurunkan tingkatan status atau kondidi sesuatu (devaluation) dari budaya lama, contoh status dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah; 34 19-20. Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 41 e. Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi dengan unsur baru, contoh slametan atau kenduren motivasinya diganti; f. Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi baru, contoh sembahyang di kuil diganti dengan sembahyang di masjid sehingga tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid; g. Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsur lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara sekaten; h. Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patungpatung Buddha di candi-candi sebagai penolakan terhadap penyembahan patung.35 Sebagian upacara adat tak dapat dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas asalnya tapi semuanya bernuansa Islam. Aktifitas lainnya mengacu kepada upacara adat yang bukan berasal dari Islam tapi ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses modifikasi Islamisasi dari bentuk aslinya. Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan Islam, bahkan telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan digunakan sebagai syi’ar Islam khas daerah tertentu.36 35 Ridin Sofwan, et al., op. cit., hlm. 11-12. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 165. 36 42 Hampir semua perayaan siklus hidup masyarakat Jawa berciri utama slametan. Esensinya adalah sedekah dan doa. Jadi, adat ini pada dasarnya bersifat Islami, yang sumbernya dapat ditemui baik secara eksplisit maupun implisit di dalam kitab al-Quran maupun Hadis. 37 Ritual slametan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat al-Quran, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut.38 Di samping itu, slametan merupakan bentuk apresiasi atas semangat bersedekah dari ajaran Islam. Slametan dalam tradisi masyarakat Jawa diniatkan sebagai sedekah dalam bentuk makan-makan setelah berdoa dan bersyukur, sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad SAW agar berbagi suka dalam bentuk menghidangkan makanan bagi sesamanya.39 3. Makna Pelaksanaan Tradisi Nyadran Dalam tradisi Nyadran atau Sadranan ada beberapa prosesi di dalamnya. Pertama; bubakan, yakni bersih-bersih pemakaman oleh ahli waris dari orang yang sudah meninggal. Secara esoteris, ini bermakna upaya mikul dhuwur mendhem jero (pembuktian kebaktian) terhadap para orang tua atau leluhur yang sudah tiada. Sementara bagi yang hidup itu menyadarkan dirinya, bahwa orang yang sudah di alam kubur sudah tidak bisa berbuat amal apa-apa kecuali jika yang masih ditinggalkan di 37 Ibid., hlm, 198. Muhammad Sholikhin, op. cit., hlm. 53. 39 Ibid., hlm. 67. 38 43 dunianya mengerjakan sesuatu untuk orang yang sudah meninggal itu. Otomatis ini juga memberikan kesadaran, agar selama hidupnya selalu mencari bekal bagi dirinya sendiri untuk dibawa mati kelak. Bekal itu adalah dengan menghilangkan kotoran (rereged yang disimbolkan rerumputan liar yang tumbuh di sekitar makam) dan hawa nafsu dirinya, untuk menuju kesucian diri, guna menghadap Sang Maha Suci. Jadi makna bubakan itu sendiri adalah renovasi, reformasi, dan proses penyadaran untuk membangun kembali dasar-dasar keimanan kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir sebagai simpul terpokok ketakwaan dan ketawakkalan seseorang kepada Allah. Juga memberikan makna hidup dalam bentuk membersihkan dari segala godaan duniawi yang bisa membelokkan arah orientasi kehidupan dari Allah dan tujuan ukhrawi. Sehingga ia akan selalu berbuat sebaik-baiknya di dunia ini; dengan beribadah kepada Allah (malalui pesan surat al-Ikhlas dan kalimat tahlil), serta selalu berbuat baik kepada sesama (amal shalih yang diwujudkan dalam bentuk sedekah makanan dalam sadranan) untuk bekal menghadapi sakaratul maut. Sebagai rasa komitmen kebersihan diri (setelah bubakan itu), pada sebagian masyarakat diadakan upacara sedekahan; yakni para warga masyarakat suatu kampung berkumpul bersama, dengan membawa nasi tumpeng biasa (bukan tumpeng rangsul yang gurih, juga bukan nasi tumpeng kuning) dengan lauk-pauk dari hasil bumi. Ini memiliki makna, 44 bahwa implikasi bersihnya jiwa seseorang itu, akan nampak pada komitmen sosialnya terhadap sesama manusia dan masyarakat sekitar.40 4. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Nyadran Tradisi Nyadran berupa kegiatan ziarah kubur, mengirim doa (tahlil) dan sedekahan, yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah atau orang-orang yang sudah meninggal. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Rasulullah SAW pernah melarang umatnya berziarah ke kubur, karena pada waktu itu umatnya baru memeluk agama Islam dan keadaan akidahnya masih lemah sehingga dikhawatirkan mereka melakukan perbuatan-perbuatan musyrik seperti yang dilakukan oleh orang-ornag pada zaman Jahiliyah. Tetapi setelah akidah mereka kuat barulah Rasulullah membolehkan mereka berziarah ke kubur itu dengan maksud agar mereka mendoakan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia agar mereka senantiasa ingat akan mati dan ingat adanya hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: ِ ِ ﺖ ﻧَـ َﻬْﻴﺘُ ُﻜ ْﻢ َ َ ﻗ:َﻋ ْﻦ ﺑـَُﺮﻳْ َﺪ َة ُ ﺻﻠَﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠَ َﻢ ﻗَ ْﺪ ُﻛْﻨ َ ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ َﻋ ْﻦ ِزﻳَ َﺎرِةاﻟْ ُﻘﺒُـ ْﻮِرﻓَـ َﻘ ْﺪ اُِذ َن ﻟِ ُﻤ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ِﰱ ِزﻳَ َﺎرِة ﻗَـ ِْﱪ اُﱢﻣ ِﻪ ﻓَـ ُﺰْوُرْوَﻫﺎ ﻓَﺎِﻧـﱠ َﻬﺎ (ﺗُ َﺬ ﱢﻛْﺮﻩُ ا ْ ٓ ِﺧَﺮةَ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ وأﺑﻮداود واﻟﱰﻣﺬى 40 Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009)., hlm. 256-257. 45 ”Dari Buraidah, Rasulullah SAW bersabda: Dahulu saya telah melarang kamu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah mendapat izin untuk berziarah ke kubur ibunya. Oleh karena itu berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan akhirat.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi [Sunan al- Tirmidzi, no. 974]) Dengan adanya hadits ini, maka ziarah kubur itu hukumnya boleh bagi laki-laki dan perempuan. Mahmud Syaltut berpendapat jika ziarah kubur itu memenuhi adab atau tata cara Islam maka hukumnya sunnah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.41 Selain itu, didapatkan atsar dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran bahwa pada setiap hari Jumat, puteri Rasulullah, Sayyidatina Fathimah selalu menziarahi makam Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, bahkan menandai makam hamzah dengan sebuah batu besar. 42 Hari Jumat merupakan hari istimewa dalam Islam, dan juga sebagai “hari raya” mingguan umat Islam. Sehingga pengambilan hari-hari bulan Ramadhan, hari raya, dan hari-hari istimewa bisa diqiyaskan pada hari Jumat ini.43 Adapun tujuan dari tradisi Nyadran, yaitu: a. Menunjukkan bakti seseorang kepada orang tuanya/leluhurnya yang telah meninggal. 41 Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 42 Ibid., hlm. 404. Ibid., hlm. 403. 388-389. 43 46 b. Mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. c. Merupakan bentuk persiapan untuk melaksanakan ibadah puasa. d. Dapat lebih taat menjalani kehidupan yang sesuai dengan tata aturan yang ditetapkan Allah SWT44 e. Upaya melestarikan tradisi mempererat tali hubungan kekerabatan.45 44 Wartamadani. “Nyadran Upacara Kenduri Masyarakat http://www.wartamadani.com/2013/02/nyadran-upacara-kenduri-masyarakat-jawa.html. Februari 2013). Diakses, 23 September 2015. 45 Ridin Sofwan, et al., op. cit., hlm. 13. Jawa”. (8