BAB II NILAI-NILAI KEISLAMAN DAN TRADISI NYADRAN A. Nilai

advertisement
BAB II
NILAI-NILAI KEISLAMAN DAN TRADISI NYADRAN
A. Nilai-nilai Keislaman
1.
Pengertian Nilai-nilai Keislaman
Nilai berasal dari bahasa Latin vale’rê yang artinya berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu
yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan
seseorang atau sekelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan
dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.1
Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Dasar-dasar Agama
Islam menyatakan bahwa nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun
perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak
yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun
perilaku. 2 Islam sebagai agama wahyu yang memberikan bimbingan
kepada manusia mengenai semua aspek hidup dan kehidupannya, dapat
diibaratkan seperti jalan raya yang lurus dan mendaki, memberi peluang
kepada manusia yang melaluinya sampai ke tempat yang dituju, tempat
tertinggi dan mulia. Jalan raya itu lempang dan lebar, kiri kanannya
berpagar al-Quran dan al-Hadis.3 Selama pemikiran, sikap dan perbuatan
1
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm.
56.
2
Zakiah Daradjat, Dasar-dasar Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 260.
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 50.
3
19
20
seorang muslim masih berada di dalam batas kedua pagar itu, dalam
pengertian tidak ke luar dan tidak bertentangan dengan wahyu yang
terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi yang terekam dalam kitabkitab hadis (sahih), selama itu pula pemikiran, sikap dan perbuatan
mereka dapat disebut sebagai Islami.4
Nilai-nilai Keislaman merupakan nilai-nilai yang berasal dari
ajaran-ajaran agama Islam yang diberikan Allah SWT kepada hambaNya untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan
hidup di akhirat. Nilai-nilai itu akan tampak dalam perilaku kehidupan
lahiriah sebagai refleksi dari perilaku batiniahnya. Perilaku batiniahnya
senantiasa berorientasi kepada norma-norma ajaran Islam yang mengacu
ke dalam nilai-nilai islami yang membentuk sikap dan perilakunya
sehari-hari. Dengan kata lain, jiwa islami telah menjadi sumber rujukan
dari perilaku seorang muslim sejati dalam hidupnya.5
Said Agil Husin Al Munawar dalam bukunya Aktualisasi Nilainilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam mengatakan bahwa umat
beragama akan mampu membangun peradaban, apabila mampu
mengerahkan segenap potensi budayanya dan mengembangkan nilai-nilai
agama sebagai pengarah dan pengendali proses pembentukan peradaban
dunia baru.6
4
Ibid., hlm. 51.
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2009), hlm. 114.
6
Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm. 198.
5
21
Sebagai agama, Islam bukan hanya agama “langit”, melainkan juga
agama “bumi”, karena keunikan dan kekhasan dalam Islam menjelma
dalam berbagai bentuk ritus dan kehidupan sosial ekonomi, serta
kebudayaan masyarakat dengan berbagai pranata dan simbol keagamaan
yang
memperkaya
keberagamaan
masyarakat
Islam,
sekaligus
menyatukan tujuan tertinggi dalam beragama.7
Untuk menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang
bersangkutan, agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam
meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan
hakiki dari agama tersebut.8 Agama Islam dapat menjadi inti dari sistemsistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan
sebagai pendorong, penggerak dan pengontrol bagi tindakan anggotaanggota masyarakatnya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan yang tercakup dalam ajaran agama Islam.9
2.
Sumber Nilai-nilai Keislaman
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika
juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral
sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek
kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil
pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam
konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai
yang paling shahih adalah al-Quran dan Sunnah Nabi SAW yang
7
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 7.
Ibid., hlm. 92.
9
Ibid., hlm. 88.
8
22
kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. 10 Penjelasan
sumber nilai dalam ajaran Islam sebagai berikut:
a.
Al-Quran
Al-Quran adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama
dan utama. Al-Quran adalah kitab suci yang memuat firman-firman
(wahyu) Allah, yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22
tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah.
Tujuannya, untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat
manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di
dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Al-Quran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam
itu terbagi ke dalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat: bab), lebih
dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (atau lebih tepat
dikatakan 325.345 suku kata kalau dilihat dari sudut pandang bahasa
Indonesia).11
Pokok-pokok kandungan dalam al-Quran, antara lain:
1) Tauhid, yaitu kepercayaan keesaan Allah SWT dan semua
kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya;
2) Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai menifestasi dari
kepercayaan ajaran tauhid;
10
11
Said Agil Husin Al Munawar, op. cit., hlm. 3.
Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 93.
23
3) Janji dan Ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya
dan mengamalkan isi al-Quran dan ancaman siksa bagi orang
yang mengingkari;
4) Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dab Rasul dalam
menyiarkan syariat Allah SWT dan kisah orang-orang saleh
ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran al-Quran agar
dijadikan pembelajaran.12
b.
Al-Hadis
Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa
yang telah disebut dalam al-Quran dijelaskan atau dirinci lebih lanjut
oleh Rasulullah dengan sunnah beliau. Karena itu, sunnah Rasul
yang kini terdapat dalam al-Hadis merupakan penafsiran serta
penjelasan otentik (sah, dapat dipercaya sepenuhnya) tentang alQuran.13
Perkataan hadis menurut pengertian kebahasaan ialah berita
atau sesuatu yang baru. Dalam ilmu hadis istilah tersebut berarti
segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda setuju
(taqrîr). Para ahli hadis, umumnya menyamakan istilah hadis dengan
istilah sunnah. Namun, ada sementara ahli hadis mengatakan bahwa
istilah hadis dipergunakan khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan
Nabi), sedang sunnah fi’liyah (perbuatan) dan sunnah taqrîriyah
tidak disebut hadis, tetapi sunnah saja. Dengan demikian, sunnah
12
13
Koko Abdul Kodir, op. cit., hlm. 51.
Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 110.
24
lebih luas dan umum dibandingkan dengan hadis. Sebab sunnah,
meliputi perkataan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah tanda
setuju, sedang hadis hanya mengenai perkataan beliau saja.
Sebagai
sumber
agama
dan
ajaran
Islam,
al-Hadis
mempunyai peran penting setelah al-Quran. Al-Quran sebagai kitab
suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya
dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar
dapat dipahami dan diamalkan. Sebagai utusan Allah Nabi
Muhammad mempunyai wewenang menjelaskan dan merinci wahyu
Allah yang bersifat umum.
Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai
sumber agama dan ajaran Islam, yaitu:
1) Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam alQuran
2) Sebagai penjelasan isi al-Quran
3) Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada
atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran.14
c.
Rakyu atau Akal Pikiran yang dilaksanakan dengan Ijtihad
Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran
Islam. Di dalam kepustakaan, sumber ajaran Islam yang ketiga ini
14
Ibid., hlm. 111-113.
25
disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga disebut dengan kata
ijtihad.15
Ijtihad berasal dari kata ijtihad, yang berarti mencurahkan
tenaga dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Ijtihad juga
berarti
mencurahkan
segala
kemampuan
berpikir
untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara, yaitu al-Quran dan
Hadis. Ijtihad dilakukan apabila ada suatu maslah yang hukumnya
tidak terdapat dalam al-Quran ataupun Hadis, dilakukan dengan
menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada al-Quran dan
Hadis.16
Macam-macam ijtihad yang dikenal dala syariat Islam, yaitu
sebagai berikut:
1) Ijma’
Menurut bahasa, ijma’ artinya sepakat, setuju, atau sependapat,
sedangkan menurut istilah ijma’ adalah kebulatan pendapat ahli
ijtihad umat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat pada
suatu masa, tentang hukum perkara dengan cara musyawarah.
2) Qiyas
Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan
menyamakannya.
15
16
Qiyas
Ibid., hlm. 121.
Koko Abdul Kodir, op. cit., hlm. 53.
dapat
diartiksn
sebagai
upaya
26
membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
3) Istihsan
Istihsan adalah mengganti argumen dengan fakta yang dapat
diterima untuk mencegah kemudharatan atau menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
4) Murshalat murshalah
Murshalat murshalah menurut bahasa berarti kesejahteraan
umum. Menurut istilah, murshalat murshalah adalah perkaraperkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia.
5) Sududz dzariah
Sududz dzariah menurut bahasa berarti menutup jalan,
sedangkan menurut istilah, sududz dzariah adalah tindakan
memutuskan sesuatu yang mubah menjadi makruh atau haram
demi kepentingan umat.
6) Istishab
Istishab yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada
dan telah ditetapkan pada masa lalu hingga ada dalil yang
mengubah kedudukan hukum tersebut.
7) Urf
Urf yaitu perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik
berupa perkataan maupun perbuatan.17
17
Ibid., hlm. 54-56.
27
3.
Nilai-nilai dalam Agama Islam
Nilai-nilai keislaman termasuk ke dalam kategori nilai Ilahi
berdasarkan penggolongan nilai menurut Muhaimin dan Abdul Mujib
yang dikutip dari bukunya Abdul Khobir yang berjudul Filsafat
Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis. Nilai Ilahi adalah nilai
yang dititahkan Tuhan melalui para Rasul-Nya yang berbentuk taqwa,
iman, adil yang diabadikan dalam wahyu ilahi. Agama Islam diturunkan
di dunia mengandung implikasi ajaran tentang nilai-nilai dan moralitas
yang sesuai dengan kemampuan tabi’i dalam menerima dan menjelaskan
syariat Islam yang ada di dalamnya. Dari segi religi, mereka
menyebarkan nilai-nilai agar diaktualisasikan dalam kehidupan seharihari, nilai ini bersifat statis dan kebenarannya bersifat mutlak.18
Menurut Mohammad Daud Ali dalam bukunya Pendidikan
Agama Islam menyatakan bahwa Agama Islam merupakan satu sistem
akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan
manusia dalam berbagai hubungan.19 Dengan demikian secara garis besar
nilai-nilai keislaman mencakup:
a.
Nilai Akidah
Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut
demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan
segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau
keyakinan. Nilai akidah yaitu nilai yang berkaitan dengan keimanan
18
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis, (Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm. 40.
19
Mohammad Daud Ali, op. cit., hlm. 51.
28
atau keyakinan. Karena itu, akidah selalu ditautkan dengan Rukun
Iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam, yaitu:
1) Keyakinan kepada Allah
2) Keyakinan kepada para Malaikat
3) Keyakinan kepada Kitab Suci
4) Keyakinan kepada Nabi dan Rasul
5) Keyakinan kepada Hari Akhir
6) Keyakinan kepada Qada dan Qadar. 20
Akidah Islam berawal dari keyakinan kepada Zat Mutlak
Yang Maha Esa yang disebut Allah. Ketika seseorang telah
menerima tauhid sebagai prima causa yakni asal yang pertama, asal
dari segala-galanya dalam keyakinan Islam, maka rukun iman yang
lain hanyalah akibat logis (masuk akal) penerimaan tauhid tersebut.
Ketika seseorang yakin bahwa Allah mempunyai kehendak, sebagai
bagian dari sifat-Nya, maka orang yakin pula adanya para Malaikat
yang diciptakan Allah untuk melaksanakan dan menyampaikan
kehendak Allah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada para
Rasul-Nya, yang kini dihimpun dalam Kitab-kitab Suci. Kehendak
Allah itu disampaikan kepada manusia melalui manusia pilihan
Tuhan yang disebut Rasulullah atau Utusan-Nya. Konsekuensi
logisnya adalah kita meyakini pula adanya para Rasul yang
menyampaikan dan menjelaskan kehendak Allah kepada umat
20
Ibid., hlm. 134.
29
manusia, untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan. Kehidupan
manusia ini suatu ketika akan berakhir sebagaimana dinyatakan
dengan tegas dalam Kitab suci. Akibat logisnya kita meyakini
adanya hari akhir, tatkala seluruh hidup dan kehidupan seperti
sekarang ini akan berakhir. Yakin akan adanya hidup lain selain
kehidupan sekarang, dan dimintai pertanggungan jawab manusia
kelak, membawa konsekuensi pada keyakinan adanya Qada dan
Qadar yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia di dunia
yang fana ini yang membawa akibat pada kehidupan di alam baka
kelak.21
b.
Nilai Syari’ah
Nilai yang berkaitan dengan sistem norma (kaidah) Ilahi
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia
dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubungan manusia
dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
1) Kaidah ibadah atau kaidah ubudiyah
Kaidah yang mengatur hubungan langsung manusia dengan
Allah. Ibadah menurut bahasa artinya taat, tunduk, turut, ikut
dan doa. Dilihat dari pelaksanaannya, ibadah dapat dibagi tiga,
yakni (1) ibadah jasmaniah-rohaniah, yaitu ibadah perpaduan
jasmani dan rohani seperti salat dan puasa, (2) ibadah rohiah dan
21
Ibid., hlm. 199-201.
30
mâliyah, yaitu ibadah perpaduan rohani dan harta seperti zakat,
(3) ibadah jasmaniah, rohiah dan mâliah (harta) sekaligus,
contohnya ibadah haji.
Dilihat dari bentuk dan sifatnya, ibadah dapat dibagi ke
dalam lima kategori, yaitu:
a) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti berdzikir,
berdoa, memuji Allah dengan mengucapkan alhamdulillah,
dan membaca al-Quran.
b) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan
bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain,
mengurus jenazah.
c) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan
wujudnya, seperti salat, puasa, zakat dan haji.
d) Ibadah yang cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan
diri, seperti puasa, iktikaf, ihrâm.
e) Ibadah
yang
sifatnya
menggugurkan
hak,
seperti
memaafkan orang lain yang telah melakukan kesalahan atau
membebaskan orang yang berhutang dari kewajiban
membayar.22
2) Kaidah mu’amalah
Kaidah yang mengatur hubungan manusia selain dengan
Allah (dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungan
22
Ibid., hlm. 245-246.
31
hidup). Hubungan yang diatur syari’ah muamalah adalah
hubungan perdata dan hubungan publik. Hubungan perdata
adalah hubungan individu dengan individu, hubungan individu
dengan benda. Hubungan publik adalah hubungan individu
dengan masyarakat (umum) atau negara.
Di dalam al-Quran terdapat 288 ayat syari’ah muamalah,
ada yang sifatnya zanni, mengandung berbagai kemungkinan
arti, dapat dikembangkan melalui ijtihad dan penalaran manusia
yang memenuhi syarat dan ada yang qath’i sudah jelas artinya,
tidak mungkin diartikan lain selain dari makna yang terdapat
dalam ayat itu. Contohnya syari’at yang mengatur soal
perkawinan dan kewarisan. 23
c.
Nilai Akhlak
Akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap,
perilaku, watak, budi pekerti. Nilai Akhlak berkenaan dengan sikap,
perbuatan dan tingkah laku manusia. Secara garis besar akhlak
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Akhlak terhadap Allah (Khalik), antara lain adalah (a) mencintai
Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan
mempergunakan firman-Nya dalam al-Quran sebagai pedoman
hidup dan kehidupan; (b) Melaksanakan segala perintah dan
menjauhi segala larangan-Nya; (c) Mengharapkan dan berusaha
23
Ibid., hlm. 297-298.
32
memperoleh keridhaan Allah; (d) Mensyukuri nikmat dan
karunia Allah; (e) Menerima dengan ikhlas semua qada dan
qadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal; (f) Memohon ampun
hanya kepada Allah; (g) Bertaubat hanya kepada Allah; dan (h)
Tawakkal (berserah diri) kepada Allah.
2) Akhlak terhadap makhluk, dibagi menjadi dua, yaitu:
(a) Akhlak terhadap sesama manusia yakni:
1. Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad), antara
lain: Mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti
semua sunnahnya; Menjadikan Rasulullah sebagai idola,
suri tauladan dalam hidup dan kehidupan; Menjalankan
apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang
dilarangnya.
2. Akhlak terhadap orang tua, antara lain: Mencintai
mereka
melebihi
cinta
kepada
kerabat
lainnya;
Merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan
kasih sayang; Mendoakan keselamatan dan ampunan
bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telah
meninggal dunia.
3. Akhlak terhadap diri sendiri, antara lain: Memelihara
kesucian diri; Menutup aurat; Jujur dalam perkataan dan
perbuatan; Ikhlas, sabar, rendah hati; Menjauhi dengki;
Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.
33
4. Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat, antara lain:
Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam
kehidupan keluarga; Saling menunaikan kewajiban untuk
memperoleh hak; Berbakti kepada ibu-bapak; Mendidik
anak-anak dengan kasih sayang; Memelihara hubungan
silaturrahim dan melanjutkan silaturrahim yang dibina
orang tua yang telah meninggal dunia.
5. Akhlak
terhadap
tetangga,
antara
lain:
Saling
mengunjungi; Saling bantu di waktu senang lebih-lebih
tatkala susah; Saling beri-memberi; Saling hormatmenghormati; Saling menghindari pertengkaran dan
permusuhan.
6. Akhlak terhadap masyarakat, antara lain: Memuliakan
tamu; Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat bersangkutan; Saling menolong dalam
melakukan kebajikan dan takwa; Bermusyawarah dalam
segala urusan mengenai kepentingan bersama; Menaati
putusan yang telah diambil; Menunaikan amanah dengan
jalan
melaksanakan
kepercayaan
yang
diberikan
seseorang atau masyarakat kepada kita.
(b) Akhlak terhadap makhluk bukan manusia (lingkungan
hidup) antara lain: Sadar dan memelihara kelestarian
lingkungan hidup; Menjaga dan memanfaatkan alam
34
terutama hewani dan nabati, fauna dan flora yang sengaja
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk
lainnya; Sayang pada sesama makhluk.24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam bukunya Ilmu
Pendidikan Islam juga menyebutkan bahwa Al-Quran memuat nilai
normatif yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam yang terdiri atas
tiga pilar utama, yaitu:
a. I’tiqâdiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti
percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir,
yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
b. Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan
untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri
dengan perilaku terpuji.
c. Amaliyyah, yang berkaitan dengan pendidikan tingkah laku seharihari, baik yang berhubungan dengan:
1) Ibadah, yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan nazar, yang bertujuan untuk
aktualisasi nilai-nilai ubudiyah.
2) Muamalah, yang memuat hubungan antar-manusia, baik secara
individual maupun institusional.25
Dalam pandangan Islam tidak semua nilai yang telah melembaga
dalam tatanan kehidupan masyarakat dapat diterima atau ditolak. Sikap
24
25
hlm. 36.
Ibid., hlm. 356-359.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006),
35
Islam dalam menghadapi tatanan nilai yang ada dalam masyarakat
dengan menggunakan lima macam klasifikasi, yaitu:
a.
Memelihara unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan
positif.
b.
Menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma yang sudah mapan
tetapi negatif.
c.
Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma yang belum ada dan
dianggap positif.
d.
Bersikap menerima, memelihara, memilih, mencerna, menggabunggabungkan dalam satu sistem dan menyampaikan pada orang lain
terhadap nilai pada umumnya.
e.
Menyelenggarakan penyucian nilai atau norma agar sesuai dan
sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam Islam sendiri.
Dengan begitu, diharapkan akan terwujud hubungan yang ideal
antara nilai agama Islam dengan nilai yang ada dalam suatu
kelompok masyarakat yang dijiwai dengan nilai-nilai Ilahi.26
B. Tradisi Nyadran
1.
Pengertian Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran atau Sadranan merupakan kegiatan tahunan yang
dilakukan masyarakat Jawa. Tradisi ini berupa menziarahi makam para
leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi
26
Abdul Khobir, op. cit., hlm. 41-42.
36
dan budaya para nenek moyang.
27
Bulan pelaksaannya bervariasi
menurut daerahnya. Ada yang bulan Muharram (Suro), Safar, dan yang
terbanyak bulan Sya’ban (Ruwah).
Sadranan secara umum merupakan bentuk ritual melalui doa dan
sedekahan (uba rampe makanan), yang dimaksudkan untuk mendoakan
arwah atau orang-orang yang sudah meninggal.
28
Upacara adat ini
dahulu diwarnai dengan pemanggilan roh-roh halus, meminta berkah dan
restu pada arwah. Islam datang dengan mengubah pola hidup mistik yang
ada di adat tersebut, upacara ziarah dan tabur bunga tetap dijalankan,
pembacaan doa dilakukan dengan cara Islami, membaca ayat-ayat alQur’an (tahlil). Pemanggilan arwah dan permohonan doa pada ruh
dihilangkan, doa diarahkan pada Allah SWT29
Tradisi ini merupakan ritus rohani, di mana orang-orang yang
memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal bersama-sama
membawa sejumlah jenis makanan ke kompleks pemakaman, untuk
kemudian ditukar antara satu dengan yang lain (umumnya di Klaten dan
Semarang), atau saling memakan makanan yang dibawa itu (di Boyolali
sebelah barat) sebagai upacara sedekahan. Menurut tradisi masyarakat,
upacara sedekahan itu didahului dengan prosesi doa bersama (tahlil dan
doa bagi arwah) memintakan pengampunan dosa bagi arwah masing-
27
Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya (Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013), hlm.
47.
28
Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi,
2009), hlm. 252.
29
Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008),
hlm. 69-70.
37
masing. Lalu sedekah dimaksudkan, agar pahala sedekah keluarganya
juga dilimpahkan kepada para arwah yang ada di alam barzah. Jadi, inti
sadranan itu sendiri adalah sebenarnya kirim doa dan pahala amal untuk
si mati.
2.
Sejarah Tradisi Nyadran
Sadranan atau Nyadran, menurut Slamet Muljana berasal dari
bahasa Jawa Kawi çraddha (srada), yang kemudian dijawakan modern
nyadran (yang benar semestinya nyradan). Sebagaimana dikemukakan
dalam berita karya Kanakamuni yang lebih dikenal dengan nama
samaran (paparab) Mpu Prapanca, Nagara Kertagama pupuh 63-67,
upacara srada pernah diadakan oleh Prabu Hayam Wuruk, untuk
memperingati wafatnya Rajapatni. Upacara ini dilaksanakan pada bulan
Badra tahun jawa 1284 atau 1362 M. Berita upacara srada ini juga
dikemukakan dalam Pararaton, walaupun hanya disinggung dalam satu
baris. Nagarakertagama sendiri dibuat pada tahun Saka 1281 atau 1359
M.
Memang dalam sejarah Majapahit atau Jawa kuno, upacara Srada
hanya diberitakan satu kali, pada masa Prabu Hayam Wuruk tersebut.
Namun sebagaimana biasa, berita-berita kuno umumnya memang hanya
memberitakan orang-orang besar. Tentunya Prabu Hayam Wuruk
melaksanakan upacara srada (peringatan kematian) sesuai dengan tradisi
Jawa yang saat itu umum berlaku. Jarangnya upacara srada ini dapat
dimaklumi, karena dalam tradisi Jawa asli, peringatan kematian yang
38
disebut srada hanya dilaksanakan satu kali untuk satu orang, setelah
kematiannya mencapai 12 tahun perhitungan Jawa (sekitar 11,5 tahun
Masehi). Maksud utama upacara srada adalah meruwat arwah agar
sempurna menghadap Tuhan. Rajapatni yang kematiannya diperingati
Hayam Wuruk adalah Putri Gayatri (putri bungsu Raja Kertarajasa
Jayawardhana) yang pada masa tuanya menjadi wikun/bhiksuni, dan
mangkat pada tahun 1350 M (Nagarakretagama pupuh 2/1), dimakamkan
di Kamal Pandak dengan candi makam di Bayalangu dengan nama candi
Prajnyaparamita Puri (Nagarakretagama pupuh 69/1). Upacara Sradanya
dilaksanakan tahun 1362, yang memang dimaksudkan sebagai peringatan
dua belas tahun sesudah Rajapatni mangkat.
Upacara Srada dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, yang
sebelumnya juga memakan waktu berhari-hari untuk persiapan. Seluruh
istana dicat ulang, dan diberi berbagai hiasan yang serba indah. Upacara
dihadiri oleh segenap pejabat tinggi kerajaan, yang masing-masing
membawa persembahan sesuai dengan kemampuan dan jabatannya.
Upacara dipimpin oleh seorang pendeta Stapaka dan dibantu empu dari
Paruh.
30
Setelah upacara srada selesai, maka kemudian diadakan
perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak.
Upacara tersebut, hampir sama dengan upacara Nyadran dewasa ini,
walaupun pelaksanaannya lebih sederhana. Pemberian makanan, sedekah,
derma, berkirim doa untuk para arwah, dan upacara sedekahan dengan
30
Muhammad Sholikhin, op. cit., hlm. 253-254.
39
melingkari makanan serba enak yang dibawa, memiliki muatan makna
yang sama dengan srada. Hanya saja upacara srada tampaknya sudah
lama hilang. Nyadran memang bisa dibilang sebagai kelanjutannya, akan
tetapi selang waktu dilaksanakan kembali cukup lama. Misalnya di
sebuah dukuh Pedut, wilayah Boyolali, upacara nyadran baru
dilaksanakan pada tahun 1963. Tampaknya hal tersebut kembali
dilaksanakan dengan maksud untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan
(sebagai media dakwah), selain untuk kembali menghidupkan tradisi
masyarakat lama yang baik.31
Penyebaran agama Islam di Indonesia dalam catatan sejarah, sudah
terjalin sejak abad ke XIII M. 32 Di pulau Jawa sendiri, pengislaman
terjadi secara damai karena metode yang dipakai oleh para wali dalam
berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur,
yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan
Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam
ke dalam unsur-unsur lama itu.33
Umumnya, para pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal,
yang dipadukan menjadi bagian dari tradisi yang “islami”, karena
berpegang pada suatu kaidah ushuliyyah (kaidah yang menjadi
pertimbangan yang perumusan hukum menjadi hukum fiqih), yang cukup
terkenal, yakni:
31
Ibid., hlm. 256.
Samidi Khalim, hlm. 60.
33
Ridin Sofwan, et al., Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), hlm. 5.
32
40
ِْ ‫ﻆ‬
‫ﺻﻠَ ِﺢ‬
ُ ‫ َو ْ َاﻻ ْﺣ‬،‫ﺼﺎﻟِ ِﺢ‬
‫اﻟْ ُﻤ َﺤﺎﻓَﻈَﺔُ اﻟْ َﻘ ِﺪ ْﱘُ اﻟ ﱠ‬
ْ ‫اﳉَﺪﻳْ ُﺪ ْ َاﻻ‬
“Menjaga nilai-nilai lama yang bai, sembari mengambil nilai-nilai baru
yang lebih baik.”
Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan Islami mewarnai dalam
berbagai ritual dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia,
sebagai bukti keberhasilan dakwah Islam, yang berwajah rahmatan lil
'alamin.34
Adapun cara-cara yang dipakai para wali dalam menghadapi
budaya lama (Hindu) itu adalah:
a.
Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama,
contoh menerima upacara tingkeban, mitoni;
b.
Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan
tradisi baru, contoh menambah perkawinan Jawa dengan akad nikah
secara Islam;
c.
Menginterpretasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau
menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh
wayang di samping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana
pendidikan;
d.
Menurunkan tingkatan status atau kondidi sesuatu (devaluation) dari
budaya lama, contoh status dewa dalam wayang diturunkan
derajatnya dan diganti dengan Allah;
34
19-20.
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm.
41
e.
Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi
dengan unsur baru, contoh slametan atau kenduren motivasinya
diganti;
f.
Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan
tradisi baru, contoh sembahyang di kuil diganti dengan sembahyang
di masjid sehingga tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid;
g.
Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan
menggunakan unsur lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara
sekaten;
h.
Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patungpatung Buddha di candi-candi sebagai penolakan terhadap
penyembahan patung.35
Sebagian upacara adat tak dapat dipungkiri merupakan hasil
kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara
sebagian lain tidak jelas asalnya tapi semuanya bernuansa Islam.
Aktifitas lainnya mengacu kepada upacara adat yang bukan berasal dari
Islam tapi ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses
modifikasi Islamisasi dari bentuk aslinya. Ritual-ritual adat dalam
bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan Islam, bahkan
telah digolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan
digunakan sebagai syi’ar Islam khas daerah tertentu.36
35
Ridin Sofwan, et al., op. cit., hlm. 11-12.
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 165.
36
42
Hampir semua perayaan siklus hidup masyarakat Jawa berciri
utama slametan. Esensinya adalah sedekah dan doa. Jadi, adat ini pada
dasarnya bersifat Islami, yang sumbernya dapat ditemui baik secara
eksplisit maupun implisit di dalam kitab al-Quran maupun Hadis. 37
Ritual slametan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai
pembacaan ayat-ayat al-Quran, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab
maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait
dengan tujuan ritual tersebut.38
Di samping itu, slametan merupakan bentuk apresiasi atas
semangat bersedekah dari ajaran Islam. Slametan dalam tradisi
masyarakat Jawa diniatkan sebagai sedekah dalam bentuk makan-makan
setelah berdoa dan bersyukur, sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad
SAW agar berbagi suka dalam bentuk menghidangkan makanan bagi
sesamanya.39
3.
Makna Pelaksanaan Tradisi Nyadran
Dalam tradisi Nyadran atau Sadranan ada beberapa prosesi di
dalamnya. Pertama; bubakan, yakni bersih-bersih pemakaman oleh ahli
waris dari orang yang sudah meninggal. Secara esoteris, ini bermakna
upaya mikul dhuwur mendhem jero (pembuktian kebaktian) terhadap
para orang tua atau leluhur yang sudah tiada. Sementara bagi yang hidup
itu menyadarkan dirinya, bahwa orang yang sudah di alam kubur sudah
tidak bisa berbuat amal apa-apa kecuali jika yang masih ditinggalkan di
37
Ibid., hlm, 198.
Muhammad Sholikhin, op. cit., hlm. 53.
39
Ibid., hlm. 67.
38
43
dunianya mengerjakan sesuatu untuk orang yang sudah meninggal itu.
Otomatis ini juga memberikan kesadaran, agar selama hidupnya selalu
mencari bekal bagi dirinya sendiri untuk dibawa mati kelak. Bekal itu
adalah dengan menghilangkan kotoran (rereged yang disimbolkan
rerumputan liar yang tumbuh di sekitar makam) dan hawa nafsu dirinya,
untuk menuju kesucian diri, guna menghadap Sang Maha Suci.
Jadi makna bubakan itu sendiri adalah renovasi, reformasi, dan
proses penyadaran untuk membangun kembali dasar-dasar keimanan
kepada Allah dan keimanan kepada hari akhir sebagai simpul terpokok
ketakwaan dan ketawakkalan seseorang kepada Allah. Juga memberikan
makna hidup dalam bentuk membersihkan dari segala godaan duniawi
yang bisa membelokkan arah orientasi kehidupan dari Allah dan tujuan
ukhrawi. Sehingga ia akan selalu berbuat sebaik-baiknya di dunia ini;
dengan beribadah kepada Allah (malalui pesan surat al-Ikhlas dan
kalimat tahlil), serta selalu berbuat baik kepada sesama (amal shalih yang
diwujudkan dalam bentuk sedekah makanan dalam sadranan) untuk bekal
menghadapi sakaratul maut.
Sebagai rasa komitmen kebersihan diri (setelah bubakan itu), pada
sebagian masyarakat diadakan upacara sedekahan; yakni para warga
masyarakat suatu kampung berkumpul bersama, dengan membawa nasi
tumpeng biasa (bukan tumpeng rangsul yang gurih, juga bukan nasi
tumpeng kuning) dengan lauk-pauk dari hasil bumi. Ini memiliki makna,
44
bahwa implikasi bersihnya jiwa seseorang itu, akan nampak pada
komitmen sosialnya terhadap sesama manusia dan masyarakat sekitar.40
4.
Tujuan Pelaksanaan Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran berupa kegiatan ziarah kubur, mengirim doa
(tahlil) dan sedekahan, yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah atau
orang-orang yang sudah meninggal. Ritual ini dipahami sebagai bentuk
pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang.
Rasulullah SAW pernah melarang umatnya berziarah ke kubur,
karena pada waktu itu umatnya baru memeluk agama Islam dan keadaan
akidahnya masih lemah sehingga dikhawatirkan mereka melakukan
perbuatan-perbuatan musyrik seperti yang dilakukan oleh orang-ornag
pada zaman Jahiliyah. Tetapi setelah akidah mereka kuat barulah
Rasulullah membolehkan mereka berziarah ke kubur itu dengan maksud
agar mereka mendoakan kepada orang-orang yang telah meninggal dunia
agar mereka senantiasa ingat akan mati dan ingat adanya hari kiamat.
Rasulullah SAW bersabda:
ِ
ِ
‫ﺖ ﻧَـ َﻬْﻴﺘُ ُﻜ ْﻢ‬
َ َ‫ ﻗ‬:‫َﻋ ْﻦ ﺑـَُﺮﻳْ َﺪ َة‬
ُ ‫ﺻﻠَﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠَ َﻢ ﻗَ ْﺪ ُﻛْﻨ‬
َ ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲ‬
‫َﻋ ْﻦ ِزﻳَ َﺎرِةاﻟْ ُﻘﺒُـ ْﻮِرﻓَـ َﻘ ْﺪ اُِذ َن ﻟِ ُﻤ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ِﰱ ِزﻳَ َﺎرِة ﻗَـ ِْﱪ اُﱢﻣ ِﻪ ﻓَـ ُﺰْوُرْوَﻫﺎ ﻓَﺎِﻧـﱠ َﻬﺎ‬
(‫ﺗُ َﺬ ﱢﻛْﺮﻩُ ا ْ ٓ ِﺧَﺮةَ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ وأﺑﻮداود واﻟﱰﻣﺬى‬
40
Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi,
2009)., hlm. 256-257.
45
”Dari Buraidah, Rasulullah SAW bersabda: Dahulu saya telah
melarang kamu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah
mendapat izin untuk berziarah ke kubur ibunya. Oleh karena itu
berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan
akhirat.” (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi [Sunan al- Tirmidzi, no.
974])
Dengan adanya hadits ini, maka ziarah kubur itu hukumnya boleh
bagi laki-laki dan perempuan. Mahmud Syaltut berpendapat jika ziarah
kubur itu memenuhi adab atau tata cara Islam maka hukumnya sunnah
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.41
Selain itu, didapatkan atsar dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran
bahwa pada setiap hari Jumat, puteri Rasulullah, Sayyidatina Fathimah
selalu menziarahi makam Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, bahkan
menandai makam hamzah dengan sebuah batu besar. 42 Hari Jumat
merupakan hari istimewa dalam Islam, dan juga sebagai “hari raya”
mingguan umat Islam. Sehingga pengambilan hari-hari bulan Ramadhan,
hari raya, dan hari-hari istimewa bisa diqiyaskan pada hari Jumat ini.43
Adapun tujuan dari tradisi Nyadran, yaitu:
a.
Menunjukkan bakti seseorang kepada orang tuanya/leluhurnya yang
telah meninggal.
41
Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm.
42
Ibid., hlm. 404.
Ibid., hlm. 403.
388-389.
43
46
b.
Mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan
mengalami kematian.
c.
Merupakan bentuk persiapan untuk melaksanakan ibadah puasa.
d.
Dapat lebih taat menjalani kehidupan yang sesuai dengan tata aturan
yang ditetapkan Allah SWT44
e.
Upaya melestarikan tradisi mempererat tali hubungan kekerabatan.45
44
Wartamadani.
“Nyadran
Upacara
Kenduri
Masyarakat
http://www.wartamadani.com/2013/02/nyadran-upacara-kenduri-masyarakat-jawa.html.
Februari 2013). Diakses, 23 September 2015.
45
Ridin Sofwan, et al., op. cit., hlm. 13.
Jawa”.
(8
Download