Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai

advertisement
Tradisi Nyadran dalam Pusaran
Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Imam Muhsin
Dosen Sejarah Islam Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract: This article discussed about Islamic values in the
Javanese culture. One of the values found was nyadran.
In the Javanese culture, nyadran was not only containing
about theology, but also containing about social values and
culture such as gotong royong, guyub rukun, and willingness
to sacrifice. Nyadran was the expression of social faith in
which gotong royong, solidarity and togetherness became
the main pattern in this tradition. Economic values also
existed in this nyadran tradition, especially before its ritual
process to fulfil some oborampe.
Keywords: Nyadran, Culture, Islam.
A. Pendahuluan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang unik. Keunikan
manusia ini disebabkan oleh potensi akal budi yang dimilikinya, yang
tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Dengan akal budi
itu, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang berbudaya atau
berkebudayaan. Yaitu, makhluk yang memiliki keinginan dan hasrat
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
97
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
untuk mencapai hidup yang serba senang, baik lahir maupun batin.1
Sebagai makhluk sosial, manusia membentuk kesatuan hidup
antara satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah masyarakat.
Kesatuan hidup manusia itu (masyarakat) pada gilirannya akan
melahirkan kebudayaan sendiri-sendiri yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Keragaman tampilan budaya masyarakat itu terjadi karena adanya perbedaan keinginan dan hasrat manusia, serta
lingkungan dan tantangan yang dihadapi. Itu sebabnya setiap masyarakat memiliki tampilan budaya yang khas dan berbeda dengan
masyarakat yang lain.
Salah satu masyarakat yang memiliki kekayaan budaya sangat
tinggi adalah masyarakat Jawa yang melahirkan kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Kebudayaan
Jawa adalah penjelmaan atau pengejawantahan budidaya manusia
Jawa yang merangkum dasar pemikirannya, cita-citanya, semangatnya, fantasinya, kemauannya hingga kesanggupannya untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup lahir dan
batin.2 Hakikat kebudayaan Jawa, dalam segala perkembangannya,
paling tidak memuat empat elemen dasar, yaitu: 1. kepercayaan kepada Sang Pencipta, Dzat Mahatinggi, Penyebab segala kehidupan,
Penyebab adanya dunia dan seluruh alam semesta, Yang Awal dan
Yang Akhir; 2. keyakinan bahwa manusia adalah bagian dari kodrat
alam yang saling memengaruhi untuk mewujudkan keselamatan
dan kesejahteraan hidup lahir dan batin; 3. menjunjung tinggi sikap
rukun dan damai yang terangkum dalam semboyan mamayu hayun-
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 192
1
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 193
2
98
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
ing bawana (memelihara kesejahteraan dunia); dan 4. memelihara
keseimbangan hidup lahir dan batin.3
Bagi kebanyakan masyarakat Jawa, kebudayaan Jawa begitu
menjiwai kehidupan mereka, dan menjadi bagian dari naluri maupun
insting yang berakar kuat dalam jiwanya. Karena itu, tidak heran jika
orang Jawa, baik yang awam, cendekia, maupun agamis pada suatu
ketika akan menampakkan tingkah laku atau buah pemikirannya
yang nJawani (bersifat Jawa).
Dalam hal tradisi, masyarakat Jawa juga memiliki keyakinan
dan tradisi yang berakar kuat. Keyakinan dan tradisi lama yang telah
mengakar kuat di masyarakat biasanya sangat sulit dihilangkan atau
diubah.4 Ketika terjadi kontak budaya, pada umumnya masyarakat cenderung mempertahankan keyakinan dan tradisi lamanya
itu, meskipun mereka tidak menolak masuknya budaya luar. Sikap
demikian inilah yang kemudian melahirkan perpaduan budaya, baik
melalui proses assimilasi maupun akulturasi.
Salah satu tradisi yang mengakar kuat di masyarakat Jawa dan
masih dipertahankan hingga sekarang adalah nyadran. Tradisi ini
dilaksanakan oleh hampir semua lapisan masyarakat yang memiliki
latar belakang budaya Jawa. Bahkan tidak hanya di Jawa, tradisi ini
juga dilaksanakan oleh masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, dan
lain-lain.
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 194
3
Koenjtaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 3
4
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
99
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
B. Nyadran dan Berbagai Variannya
Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo, nyadran dalam
masyarakat Jawa berarti melaksanakan tradisi sadran. Istilah sadran
sendiri berasal dari bahasa Sanskrit, yaitu sradda, yang mengalami
proses metatetis, yaitu pergantian tempat bunyi (huruf) sebuah
kata.5 Pada kasus kata sradda, terjadi pergantian tempat bunyi
(huruf) “r” pada suku kata pertama (srad) ke suku kata kedua (da)
sehingga menjadi sad-dra. Untuk memudahkan pengucapan bunyi
huruf “d” kemudian dilebur sehingga menjadi sadra. Berdasarkan
proses perubahan ini, arti kata nyadran yang tepat barangkali adalah
melaksanakan tradisi sadra, bukan sadran. Pergantian huruf “s” pada
awal kata menjadi “ny” dan tambahan akhiran huruf “n” di akhir
kata dalam bahasa Jawa sering dilakukan untuk memberikan makna
perbuatan yang dilakukann secara rutin. Seperti kata seba menjadi
nyeban yang berarti melaksanakan kegiatan seba (menghadap raja)
secara rutin.
Kata sradda dalam buku Old Javanese-English Dictionary diartikan sebagai a ceremony ini honour and for the benefit of death relatives
(suatu tradisi menghormat dan untuk kebaikan keluarga yang sudah meninggal). Tradisi penghormatan kepada arwah leluhur telah
dikenal dan dilaksanakan oleh orang Jawa sejak ribuan tahun yang
lampau, bahkan sejak sebelum masuknya pengaruh Hindu ke pulau
Jawa. Tradisi sradda sendiri dapat diketahui dari kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca. Dalam kitab tersebut dijelaskan
bahwa pada 1362 diadakan perayaan sradda untuk memperingati
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 249
5
100
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Tribhuwana, ibu suri (Rajapatni) yang meninggal duabelas tahun
sebelumnya.6
Tradisi memperingati roh leluhur yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sesungguhnya tidak hanya dalam bentuk nyadran. Sejak
awal pasca kematian, masyarakat Jawa telah melaksanakan berbagai
tradisi dalam bentuk selamatan (Jawa: slametan), yaitu mulai hari
ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Bagi orang Jawa yang memegang teguh tradisi, seluruh rangkaian tradisi ini dilaksanakan
dengan penuh kepatuhan. Namun demikian, banyak orang Jawa
yang melaksanakan tradisi tersebut tidak memiliki pemahaman yang
lengkap mengenai maksud dan tujuannya, kecuali hanya mengikuti
tradisi yang ada di masyarakat atau melanjutkan kebiasaan yang
dilaksanakan oleh orang tua mereka.
Selamatan kematian di atas, sebagaimana tersebut dalam Serat Kadilangu dan Serat Wali Sanga, dikaitkan dengan keberadaan
manusia yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani
(selira) hidup dan bergerak karena adanya atma (semangat, energi),
kama (keinginan), dan prana (nafsu). Tetapi lebih dari itu, manusia
juga memiliki manas (akal), menasa (kecerdasan), dan jiwa. Selamatan hari ke-3 kematian dimaksudkan untuk mengawal atma,
kama, prana, manas, dan jiwa yang meninggalkan jasmani. Pada hari
ke-7 dilaksanakan selamatan lagi untuk mengawal roh yang masih
memiliki keinginan dibimbing oleh malaikat menuju ke kamaloka
melewati jembatan siratal mustakim. Roh berada di kamaloka sampai
hari ke-40, dan untuk menandainya dilaksanakan selamatan 40 hari.
Selamatan kematian berikutnya dilaksanakan pada heri ke-100 sebagai bentuk peringatan masuknya roh ke dewaka (surga pertama).
Pada hari ke-1000, kemudian roh akan masuk ke surga kedua, dan
6
Ibid., 248-249
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
101
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
untuk memperingatinya dilaksanakan selamatan 1000 hari. Proses
demikian berlangsung berulang-ulang sehingga roh masuk ke surga
ketujuh (swarga) dan mencapai moksa (kesempurnaan).7
Nyadran merupakan bagian tak terpisahkan dari berbagai tradisi
untuk memperingati kematian seseorang. Tradisi ini dilaksanakan
setelah seluruh siklus selamatan kematian hingga 1000 hari selesai.
Seperti selamatan pasca kematian, tradisi ini dikenal oleh sebagian
besar masyarakat Jawa. Meski secara umum pelaksanaan tradisi
nyadran di berbagai daerah memiliki kesamaan, tetapi antara daerah
satu dengan lainnya memiliki beberapa perbedaan. Persamaannya
berkaitan dengan hakikat nyadran, yaitu sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap arwah leluhur. Dinyatakan atau tidak, hal tersebut tampaknya tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan
tradisi nyadran meskipun telah mengalami proses islamisasi. Hal ini
dimungkinkan karena Islam memberikan toleransi, atau minimal
tidak ada larangan, tentang penghormatan dan pengagungan arwah
leluhur tersebut. Tentu toleransi Islam terhadap penghormatan dan
pengagungan arwah leluhur itu diberikan selama hal itu dilakukan
dalam batas-batas kewajaran dan tidak sampai melampaui batasbatas yang dilarang, seperti menjurus ke arah kemusyrikan.
Perbedaan dalam pelaksanaan tradisi nyadran terjadi berkaitan
dengan maksud dan tujuannya secara khusus serta waktu
pelaksanaannya. Munculnya perbedaan itu disebabkan adanya
berbagai kepentingan dari para pendukungnya dan masuknya
pengaruh budaya asing. Dengan adanya perbedaan maksud dan
tujuan nyadran yang dilaksanakan oleh masyarakat tersebut pada
gilirannya muncul perbedaan pula mengenai waktu pelaksanaannya.
Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
hlm. 336-338
7
102
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Di daerah Ngijo Tasikmadu Karanganyar Jawa Tengah, misalnya,
tradisi nyadran dilaksanakan terkait dengan adanya hajat pernikahan
yang akan dilangsungkan oleh seorang warga. Tujuannya adalah
untuk meminta doa restu kepada leluhur agar prosesi pernikahan
yang akan dilaksanakan dapat berjalan lancar. Di samping itu, tradisi
nyadran ini juga dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur atas
segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah Swt, sekaligus
sebagai bentuk permohonan ijin kepada makhluk Allah swt yang
lain agar tidak mengganggu pelaksanaan hajat pernikahannya.8
Karena tradisi ini dikaitkan dengan adanya hajat pernikahan, maka
tentu waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan rencana waktu
pernikahan sehingga antara satu warga dengan warga lainnya tidak
dapat disamakan dan tidak pula dapat ditetapkan pada bulan-bulan
tertentu.
Hal yang hampir sama terjadi di daerah Ngadimulyo Kampak
Trenggalek Jawa Timur. Di daerah ini tidak setiap warga masyarakat
mengadakan tradisi nyadran. Hal ini bukan berarti masyarakat tidak
mendukung tradisi ini, melainkan adanya kaitan antara nyadran
dengan hajat seseorang. Menurut keterangan tokoh masyarakat
setempat yang juga mantan modin (Kaur Kesra), tradisi nyadran
biasanya dilaksanakan oleh warga yang memiliki hajat tertentu.
Warga yang punya hajat ini sekaligus sebagai sponsor tunggal yang
bertanggungjawab menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan
(uborampe) untuk suksesnya tradisi, berupa: sekul anget (nasi gurih)
dengan lauk lada / ingkung (ayam kampung panggang yang dimasak
utuh) dan tikar pandan. Tradisi nyadran yang dilaksanakan di daerah
Nurul Hidayah, “Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh Desa Ngijo Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.” Skripsi. Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta, 2009), hlm.
36-37
8
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
103
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Ngadimulyo ini tidak melibatkan seluruh warga masyarakat. Warga
yang terlibat dalam tradisi ini hanya keluarga dekat atau kenalan
yang punya hajat dan beberapa orang warga yang ditokohkan.
Maksud dan tujuannya adalah agar segala harapan dan keinginan
yang punya hajat dapat terkabul. Tradisi nyadran juga dilaksanakan
oleh warga dengan maksud menunaikan nadzar (istilah masyarakat
setempat: ngluwari ujar).9
Tradisi nyadran yang dilaksanakan di dua daerah yang telah
dikemukakan di atas sama-sama menjadikan makam sebagai
pusat prosesi budaya. Persamaan yang lain menyangkut rangkaian
acaranya yang di dalamnya terdapat pembacaan doa dan bagi-bagi
makanan di akhir tradisi, baik dimakan langsung di lokasi maupun
di bawa pulang. Di sini tampak adanya dua tradisi yang berbeda
yang dilaksanakan dalam satu rangkaian tradisi nyadran. Pertama,
tradisi nenek moyang menyangkut penghormatan dan pengagungan
terhadap arwah leluhur. Tradisi ini tampaknya mengakar kuat di
masyarakat Jawa secara turun temurun sehingga sulit ditinggalkan.10
Kedua, tradisi Islam berupa pembacaan doa secara Islam yang
dilakukan oleh tokoh agama setempat.
Adanya unsur tradisi lokal dalam tradisi nyadran yang tidak
sesuai dengan tradisi Islam makin mempertegas bahwa tradisi ini
lahir dari keyakinan lokal Jawa dan sedikit pengaruh dari ajaran
Hindu-Budha. Kedatangan Islam ke pulau Jawa tidak menghilangkan
pelaksanaan tradisi ini, tetapi melanjutkannya dengan beberapa
modifikasi. Karena kearifan para pendakwah Islam, modifikasi
atas tradisi ini pun dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu
9
Wawancara, Djumair, 25 Desember 2011.
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 252
10
104
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
wajar jika hingga saat ini ada beberapa masyarakat di Jawa yang
melaksanakan tradisi nyadran masih mengandung unsur keyakinan
lokal, sebagaimana dua contoh di atas.
Barangkali terkait dengan upaya modifikasi, atau lebih tepatnya
islamisasi budaya lokal, di atas sehingga tradisi nyadran saat ini
dilaksanakan sesudah tanggal 15 pada bulan Ruwah (Jawa) atau
Sya’ban (H) hingga menjelang dilaksanakannya ibadah puasa pada
bulan Ramadhan. Demikian pula yang dijelaskan oleh sebagian
ahli.11 Tradisi nyadran dalam pengertian ini terutama banyak di­
laksanakan oleh masyarakat Jawa di wilayah sekitar Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Sedangkan di wilayah Trenggalek Jawa Timur, tradisi
serupa diberi nama megengan.
Tradisi nyadran yang dilaksanakan menjelang datangnya bulan
Ramadhan ini menjadikannya lebih dapat diterima masyarakat luas
daripada sebelumnya. Tradisi nyadran yang asli hanya dilaksanakan
oleh orang Jawa yang beragama Islam tetapi masih memegang teguh
tradisi Jawa kuno atau Hindu-Budha yang disebut agama Jawi12
(Koenjtaraningrat, 1994: 311) atau abangan (Geertz, 1986: 103).
Orang Jawa yang keislamannya kuat yang disebut “kaum santri”
tidak melaksanakan tradisi nyadran versi lama ini. Kalaupun mereka
ter­libat hanya sebatas sebagai undangan, dan biasanya diberi tugas
sebagai pembaca doa.13 Kondisi ini berbeda dengan tradisi nyadran
yang dilaksanakan menjelang datangnya bulan Ramadhan. Orang
Jawa yang beragama Islam, baik abangan maupun santri (khususnya
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam, (Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995), hlm. 246
11
Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
hlm. 311
12
13
Djumair, wawancara 25 Desember 2011
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
105
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
kaum santri tradisional yang berbasis pesantren), banyak yang
melaksanakan tradisi ini. Dukungan kaum santri terhadap tradisi
nyadran ini dikarenakan adanya perubahan orientasi dan makna
dari isi nyadran itu sendiri yang telah mengalami islamisasi.
Pelaksanaan nyadran yang dikaitkan dengan datangnya bulan
suci umat Islam ini tentu tidak pernah ada pada masa-masa sebelumnya. Memang tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tradisi
nyadran dikaitkan dengan datangnya bulan penuh berkah tersebut.
Warga masyarakat yang mendukung tradisi ini pun tidak mengetahuinya, kecuali bahwa mereka melaksanakan apa yang dulu dilaksanakan oleh nenek moyang mereka. Tetapi dapat diduga bahwa
pengaitan waktu pelaksanaan tradisi nyadran dengan datangnya
bulan Ramadhan tersebut ada hubungannya dengan modifikasi
tradisi ini oleh para pendakwah Islam. Jika dirunut dari munculnya
kalender Jawa, maka dugaan kuat pengaitan tradisi nyadran dengan
datangnya bulan Ramadhan terjadi sejak masa Sultan Agung. Sebab
dialah yang menciptakan kalender Jawa hasil perpaduan dengan
kalender Islam. Beberapa nama bulan dalam kalender ciptaan Sultan
Agung itu diadopsi dari nama-nama bulan dalam kalender Hijriyah
atau paling tidak keistimewaan yang ada dalam bulan tersebut.
Misalnya, bulan ke-9 dalam kalender Jawa diberi nama Pasa sebagai
ganti nama bulan Ramadhan dalam kalender Hijriyah yang pada
bulan itu umat Islam diwajibkan melaksanakan puasa (Jawa: pasa).
Yang menarik, nama bulan ke-8 dalam kalender Hijriyah, yaitu
Sya’ban, diganti dengan nama Ruwah yang menurut sebagian pakar
diambil dari kata Arab arwah (bentuk plural dari ruh, Jawa: roh).
Jika demikian sangat mungkin pelaksanaan tradisi nyadran yang hakikatnya penghormatan terhadap arwah leluhur pada bulan Ruwah
terjadi sejak masa Sultan Agung atau masa setelahnya.
106
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Maksud dan tujuan serta tempat pelaksanaan tradisi nyadran
yang telah bersentuhan dengan Islam berbeda dengan versi sebelumnya (aslinya). Unsur penghormatan dan pengagungan terhadap
arwah leluhur memang tetap ada, tetapi diberi makna baru sesuai
dengan ajaran Islam, yaitu sebagai bentuk birr al-walidain (berbakti
kepada orang tua). Tujuannya pun tidak untuk memohon doa kepada arwah leluhur agar harapan dan keinginannya tercapai, tetapi
justru mendoakan arwah leluhur agar segala dosanya diampuni oleh
Allah swt dan ditempatkan di tempat yang layak di sisi-Nya sesuai
amal kebaikannya selama hidup di dunia. Kalau pun dilakukan
doa permohonan untuk tercapainya harapan dan keinginan, maka
doa tersebut dipanjatkan kepada Allah swt, bukan kepada arwah
leluhur yang sudah meninggal. Tempat pelaksanaannya juga tidak
“harus” di makam, meskipun sebagian masyarakat Jawa di beberapa
daerah masih menjadikan makam sebagai tempat favorit. Oleh karena itu, seringkali pelaksanaan tradisi nyadran dapat dijumpai di
masjid, mushalla, atau tempat-tempat umum lainnya yang mampu
menampung banyak warga.
Bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, tradisi nyadran sudah sangat populer dan membudaya, terutama di daerah pedesaan.
Tradisi ini hampir menjadi milik semua warga pedesaan di bekas
wilayah kerajaan Mataram Islam tersebut. Setiap kali memasuki
paruh kedua bulan Ruwah (Jawa) atau Sya’ban (H), seluruh warga
desa di wilayah ini sibuk dengan kegiatan tahunan ini. Pasar-pasar
tradisional pun ikut terpengaruh suasana nyadranan. Di beberapa
sudut pasar tampak para pedagang menjajakan dagangan yang khusus dijual pada musim nyadranan, yaitu bunga lavenda (?) sebagai
pelengkap ziarah kubur dalam tradisi nyadran. Dahulu tradisi nyadran memang identik dengan ziarah kubur atau datang mengunjungi
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
107
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
makam. Tetapi sekarang tidak semua masyarakat yang melaksanakan
tradisi nyadran dilanjutkan dengan ziarah kubur.
C. Tantangan Kelangsungan Tradisi Nyadran
Keberadaan nyadran sebagai tradisi Jawa kuno tidak diragukan
lagi, karena ia diwarisi dari nenek moyang sejak masa lampau. Dan
sebagaimana tradisi Jawa yang lain, bahkan tradisi-tradisi manapun,
tradisi nyadran tidak terlepas dari adanya tantangan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Tantangan utama yang berasal dari
dalam adalah menyangkut ciri budaya Jawa yang bersifat terbuka
dan akomodatif terhadap gelombang-gelombang kebudayaan yang
datang dari luar. Kesadaran kebudayaan Jawa, kata Franz MagnisSuseno (2001: 1)14 justru tidak menemukan diri dan berkembang
kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam menerima masukanmasukan dari luar. Ciri khas demikian di satu sisi tentu bernilai positif, terutama bagi pengembangan kebudayaan Jawa sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan jaman. Tetapi di sisi lain, hal itu dapat
menjadi masalah jika sifat terbuka dan akomodatif di atas tidak
dibarengi dengan sikap kritis dan selektif. Tanpa sikap ini boleh jadi
budaya Jawa yang dikenal mengandung nilai-nilai adiluhung akan
tergerus oleh pusaran budaya asing yang menjadikannya tidak lagi
eksis di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Tantangan dari dalam
berikutnya adalah menyangkut dukungan dan apresiasi masyarakat
Jawa yang lambat laun semakin berkurang terhadap warisan budayanya sendiri, termasuk nyadran. Kondisi ini tentu tidak berdiri
sendiri. Banyak faktor yang dapat memengaruhinya, dan sebagian
besar sekaligus merupakan tantangan yang berasal dari luar bagi
eksistensi tradisi nyadran itu sendiri.
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001)
14
108
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Di antara tantangan yang berasal dari luar adalah masuknya
budaya populer melalui media massa dan elektronik. Budaya ini
berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan derasnya arus globalisasi. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan generasi muda, tampilan budaya populer tentu lebih
menarik dan menggiurkan dari pada budaya asli masyarakatnya yang
dikemas dalam tradisi, seperti halnya nyadran. Mereka cenderung
acuh dan tidak peduli dengan tradisi yang berkembang di masyarakatnya itu. Hal ini paling tidak tampak pada minimnya keterlibatan generasi muda di setiap acara nyadran yang diselenggarakan di
kampung-kampung. Kebanyakan peserta nyadran adalah generasi
tua. Karena sifatnya yang instan dan cenderung materialistik-kapitalistik-hedonistik, budaya populer memang menawarkan kesenangan
dan kepuasan langsung yang dapat dinikmati bagi pendukungnya.
Berbeda dengan tradisi lokal, seperti nyadran, karena wujudnya
yang lebih bersifat mistis-teologis kesenangan dan kepuasan baru
dapat dirasakan ketika dilakukan penghayatan terhadap makna dari
seluruh prosesinya, itupun bersifat ruhaniyah (batin).
Pengalaman peneliti barangkali dapat menjadi contoh konkrit
mengenai tantangan budaya populer bagi kelangsungan tradisi lokal
ini. Pada saat kampung tempat tinggal peneliti mengadakan kegiatan
nyadranan, pada jam yang sama di layar kaca (televisi) sedang
berlangsung pertandingan sepakbola antara klub-klub ternama dunia
yang banyak difavoritkan oleh para penggemar bola. Sebelumnya
beberapa warga sudah menduga bahwa masyarakat yang hadir dalam
kegiatan nyadranan bakal berkurang. Peneliti tadinya tidak percaya
dengan dugaan beberapa warga itu. Tetapi setelah acara nyadranan
dimulai dan ternyata masyarakat yang hadir berkurang dari biasanya,
terutama dari kalangan generasi muda, peneliti baru menyadari
bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian warga tersebut benar
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
109
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
adanya. Budaya populer telah menyihir sebagian masyarakat sehingga
larut dan hanyut dalam iramanya.
Tantangan lain yang tidak kalah besarnya terhadap kelangsungan
tradisi nyadran adalah paham tentang kemodernan (modernisme).
Modernisme yang lahir sebagai anak kandung rasionalisme seringkali
dibenturkan dengan tradisionalisme. Padahal sejatinya antara
modernisme dan tradisionalisme tidak mesti harus berbenturan,
justru keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Sebab,
tidak jarang di dalam tradisi terdapat sisi-sisi kemodernannya, dan
sebaliknya di dalam modernisme terdapat pula sisi-sisi tradisionalnya.
Tantangan modernisme bagi kelangsungan tradisi muncul akibat
kurangnya pemahaman tentang makna modernitas. Seringkali
kemodernan dipahami sebagai rasionalitas sempit. Segala sesuatu
yang berasal dari tradisi dan tidak dapat dijelaskan secara rasional
dianggap bertentangan dengan modernitas, dan oleh karena itu
harus dimusnahkan dari muka bumi. Padahal, di samping terdapat
sisi-sisi modernitasnya, dalam tradisonalisme juga terdapat sisisisi rasionalitasnya tersendiri, paling tidak menurut masyarakat
pendukungnya.
Sebagai salah satu tradisi, nyadran tidak luput dari pandangan
miring karena dianggap tidak sejalan dengan modernisme. Hal ini
karena dalam pelaksanaan tradisi nyadran dianggap berbau mistis (tidak rasional), pemborosan ekonomi, dan buang-buang waktu. Dari
sudut pandang materialisme-historis, anggapan tersebut barangkali
dapat dibenarkan. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain,
misalnya spiritualisme-relegius, anggapan di atas tentu jauh dari
kebenaran. Sebab dalam masalah seperti ini kebenaran memang
tidak bersifat tunggal, melainkan beragam tergantung pada siapa
dan dari sisi mana melihatnya.
110
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Dalam pelaksanaan tradisi nyadran, terutama di masyarakat
yang proses islamisasinya belum sempurna, memang masih dapat
dijumpai hal-hal yang berbau mistis. Biasanya hal tersebut berkaitan
dengan kelengkapan prosesi tradisi yang mengharuskan adanya sesaji
dan aneka makanan berupa ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis
makanan ini hampir dapat dipastikan selalu ada dalam kegiatan
nyadran, bahkan dalam berbagai selamatan lainnya. Dengan adanya
berbagai uborampe ini, khususnya sesaji yang kadang-kadang
dilengkapi dengan kembang setaman dan pembakaran kemenyan,
menjadikan tradisi nyadran memiliki nuansa mistis atau keramat.15
Sesuatu yang dianggap mistis sesungguhnya tidak selalu
ber­­tentangan dengan rasio atau akal sehat. Ketidakrasionalan
sesuatu yang dianggap mistis kadang-kadang lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan akal untuk menjangkau makna batin yang di­
kandungnya. Apalagi jika dipahami bahwa masyarakat Jawa suka
membungkus sisi “rasionalitas” suatu tindakan di balik simbol-simbol.
Demikian juga dengan sesaji dalam tradisi nyadran, sesungguhnya
merupakan simbol yang menyimpan sisi rasionalitas pemikiran orang
Jawa tentang harmoni dan keselarasan. Bagi orang Jawa, harmoni
dan keselarasan harus diwujudkan bukan hanya dalam hubungan
antar manusia, tetapi juga dengan alam semesta bahkan roh-roh
gaib. Sesaji dalam tradisi nyadran dimaksudkan untuk menciptakan
keselarasan dengan seluruh alam itu, bukan untuk “menyembahnya.”
Sisi rasionalitas yang sama juga dapat ditemukan dalam simbolsimbol yang lain, seperti ketan, kolak, dan apem.
Hampir sama dengan modernisme, fundamentalisme Islam juga
menjadi tantangan cukup besar bagi kelangsungan tradisi Islam
Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
hlm. 347
15
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
111
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Jawa, khususnya nyadran. Jika modernisme berpijak pada nilainilai rasionalitas modern, maka fundamentalisme berpijak pada
nilai-nilai dasar sebuah ajaran (baca: Islam). Ancamannya secara
umum juga hampir sama, yaitu penafian eksistensi tradisi yang tidak
sejalan dengan ajaran dasar keyakinan agamanya. Dalam melihat
sesuatu yang bertentangan atau menyimpang dari apa yang diyakini
sebagai yang mendasar dari ajaran agama, kaum fundamentalis tidak
memberikan ruang bagi pertimbangan nalar dan hati nurani.16
Singkat kata, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam ajaran
Islam berarti hal tersebut bukan Islam, dan oleh karena itu harus
ditinggalkan bahkan dimusnahkan.
Pemikiran picik dan sempit seperti ini sungguh menjadi tan­
tangan besar bagi keberadaan tradisi Islam Jawa yang banyak meng­
adopsi unsur-unsur budaya lokal. Nyadran yang secara formal me­
rupakan kelanjutan tradisi Jawa yang telah ada sejak masa lampau
tentu menjadi salah satu sasaran perlawanan kaum fundamentalis.
Melaksanakan nyadran dapat dianggap sebagai sebuah “penodaan”
ajaran agama. Identifikasi keislaman cenderung dipahami secara
sangat simbolis. Saking simbolisnya seringkali mereka lupa atau
mungkin tidak mau tahu untuk membedakan antara mana yang
termasuk ajaran agama murni (baca: Islam) dan mana yang
merupakan tradisi atau budaya. Dalam konteks keislaman, tidak
jarang ajaran Islam disamakan begitu saja dengan budaya Arab,
dan sebaliknya. Misalnya, dalam hal berpakaian dengan model baju
gamis dan calana congklang (celana panjang di atas tumit). Menurut
kaum fundamentalis model berpakaian demikianlah yang islami,
sedangkan yang lain tidak. Padahal model berpakaian pada dasarnya
adalah masalah budaya sebagai hasil kreasi manusia yang dipengaruhi
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis. peny. Abdul Wahid Hasan,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), hlm. 291
16
112
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
lingkungan alam dan lingkungan sosial yang mengitarinya. Nilai
keislaman dalam berpakaian bukan terletak pada tampilan luarnya
semata, melainkan yang lebih hakiki nilai kesopanan sesuai ajaran
Islam yang melekat di dalamnya.
Nyadran adalah kreasi budaya manusia (Jawa), sama dengan
pakaian gamis dan celana congklang. Karena itu, dalam melihat
nyadran mestinya tidak terbatas pada tampilan luarnya semata, tetapi
harus memahami isi di balik tampilan luarnya itu. Dengan demikian,
tentu tidak cukup menilai sesuatu sebagai yang islami dan tidak
islami berdasarkan apa yang tampak.
D. Kontribusi Tradisi Nyadran
Nyadran merupakan tradisi lama yang banyak mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Jawa, baik di desa maupun
di kota. Bentuk pelaksanaannya antara satu daerah dengan daerah
lain kadang-kadang ada perbedaan, meskipun hakikatnya sama. Bagi
masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan yang sulit ditinggalkan.
Pelaksanaan nyadran biasanya dirangkai dengan kegiatan ziarah ke makam leluhur, meskipun di beberapa daerah tidak mesti
demikian. Nyadran dan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan objek, yakni arwah para
leluhur. Perbedaannya terletak pada pelaksanaannya, kalau nyadran
biasanya waktu dan tempat ditentukan oleh pihak yang memiliki
otoritas di daerah dan dilakukan secara kolektif, sedangkan ziarah
kubur dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda serta
bersifat individual.
Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan
para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa. Nyadran merupakan
sebuah pola ritual yang mencampurkan antara budaya lokal dan
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
113
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
nilai-nilai Islam, namun warna lokalnya lebih menonjol dari pada
warna Islamnya. Bagi masyarakat Jawa nyadran menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Karena itu, nilai-nilai luhur
yang ada dalam tradisi itu sangat dijunjung tinggi. Bahkan bagi sebagian masyarakat Jawa nyadran dipandang lebih penting dari pada
tradisi-tradisi yang lain, seperti mudik pada hari lebaran. Manghadiri
tradisi nyadran merupakan “kewajiban” yang harus dilaksanakan.
Oleh karena itu, seseorang yang tidak dapat menghadiri tradisi ini
akan merasakan adanya sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Paling tidak ada tiga nilai manfaat yang dapat digali dari
palaksanakan tradisi nyadran, yaitu: 1. membentuk kesalehan indi­
vidual, 2. membentuk kesalehan sosial, dan 3. membentuk karaker
bangsa.
1. Nyadran Membentuk Kesalehan Individual.
Sebagaimana telah disinggung di muka, pelaksanaan tradisi
nyadran sejak awal munculnya hingga bersentuhan dengan Islam
tidak dapat dilepaskan dari adanya unsur penghormatan dan
pengagungan terhadap arwah leluhur oleh generasi yang masih hidup,
namun tentu dengan makna yang berbeda. Dalam pelaksanaan
tradisi ini, pelaku budaya (warga masyarakat) menempatkan diri
sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai makhluk sosial. Melalui
tradisi ini pada gilirannya akan menghasilkan sebuah tata hubungan
vertikal-horizontal yang lebih intim.
Dalam konteks hubungan vertikal, warga masyarakat yang
mengikuti tradisi nyadran akan dapat meningkatkan intensitas
kesadaran tertingginya tentang hakikat hidup dan kewajibannya
kepada Tuhan. Nyadran yang merupakan salah satu bentuk
peringatan kematian, dapat mengingatkan seseorang terhadap
adanya kematian yang pasti dialami oleh semua orang. Tidak hanya
114
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
itu, nyadran juga dapat mendorong seseorang mengarahkan orientasi
hidupnya di dunia ini menuju hidup hakiki setelah mati.
Pembacaan dzikir dan doa yang dilaksanakan selama prosesi
tradisi nyadran menjadi faktor lain yang dapat membentuk kesalehan
individual. Dengan membaca dzikir dan doa, mata batin seseorang
akan terasah menjadi lebih cerdas ketika hal itu dibarengi dengan
sikap pasrah dan tunduk secara total di hadapan Allah swt. Dalam
sebuah hadis, Nabi saw pernah bersabda: al-kayyisu man dâna nafsahu
wa ‘amila limâ ba’da al-maut, yang artinya “orang yang cerdas adalah
orang yang dapat menundukkan hawa nafsunya dan berbuat untuk
kehidupan setelah mati”.17
Nyadran juga dapat menjadi sarana efektif untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt. Apalagi di era modern seperti sekarang ketika
kehidupan masyarakat telah terpengaruh budaya materialistik yang
cenderung mengesampingkan aspek-aspek religius. Bagi warga
masyarakat yang tingkat kesibukannya tinggi, membaca dzkir dan
doa barangkali merupakan sesuatu yang jarang dilakukan meskipun
ia seorang muslim taat (santri). Hal ini karena membaca dzkir dan
doa dalam ajaran Islam status hukumnya bukan sebuah keharusan
(wâjib), melainkan sebatas anjuran saja (sunnah). Orang Islam
diberi kebebasan untuk membacanya atau tidak membacanya,
tergantung kepentingan pribadi masing-masing. Dalam tradisi
nyadran setiap warga yang hadir “terpaksa” membaca dzikir dan
doa, karena dua bacaan itu merupakan bagian penting dari prosesi
nyadran itu sendiri. Apalagi tradisi nyadran dalam pengkategorian
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad: fi Nashîhah al-Muta’allimin wa
Maw’idhatihim liya’lamû wa yumayyizu ‘Ilman Nâfi’an min Ghairih, (Kediri:
Muhammad ‘Utsman, tanpa tahun), hlm. 6
17
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
115
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Koentjaraningrat18 (1994: 348) dapat dikelompokkan ke dalam jenis
tradisi keramat (tetapi untuk saat ini barangkali lebih tepat disebut
tradisi keagamaan). Tradisi semacam ini dapat menimbulkan getaran
emosi keagamaan pada orang-orang yang hadir, terutama pada
saat pembacaan dzikir dan doa. Pada saat demikianlah seseorang
akan merasakan ketenangan dan kedamaian hati, sehingga pada
gilirannya dapat menjadi pribadi yang lebih baik.
Di samping itu, sebagaimana telah disinggung, tradisi nyadran
dapat dijadikan sebagai sarana berbakti kepada orang tua (birr alwalidain) yang sudah meninggal. Lebih dari itu, tradisi nyadran
sekaligus dapat dipandang sebagai simbolisasi dan pembuktian dari
sikap berbakti seseorang kepada orang tuanya. Hal ini terutama
berkaitan dengan adanya pembacaan dzikir dan doa yang berisi
permohonan ampun dan kenikmatan surgawi atas arwah para
leluhur. Secara normatif, hal ini memiliki landasan dalam hadis Nabi
saw yang menjelaskan bahwa jika seseorang telah meninggal dunia
semua amalnya akan terputus kecuali tiga hal, salah satunya adalah
anak sholeh yang mau mendoakan orang tuanya.19 Berdasarkan
hadis ini tidak salah jika muncul pemahaman yang bersifat tekstual
simbolis bahwa nyadran merupakan salah satu bentuk aktualisasi
“anak sholeh” sebagaimana maksud bunyi hadis di atas.
Tentu sikap berbakti yang sejati tidak cukup hanya dilakukan
melalui keikutsertaan seseorang dalam tradisi nyadran. Ada banyak
cara yang dapat dilakukan seseorang untuk menunjukkan baktinya
kepada orang tua. Simbolisasi ketaatan dan bakti seseorang kepada
orang tua (leluhur) yang diwujudkan melalui keikutsertaannya
Koenjtaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),
hlm. 348
18
Al-Suyuti, Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr. Juz 2. Beirut:
Dâr al-Fikr, (tanpa tahun), hlm. 15
19
116
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
dalam tradisi nyadran merupakan bentuk pemahaman kultural dan
keberagamaan orang Jawa dalam konteks keislaman.
2. Nyadran Membentuk Kesalehan Sosial.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak
hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan
(kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur
sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang
silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi sarana transformasi
sosial, budaya, dan keagamaan.
Di beberapa daerah prosesi ritual nyadran biasanya dimulai
dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Ketiga jenis makanan
tersebut dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat
dari daun pisang bagian kanan dan kiri ditusuk dengan lidi (Jawa:
biting). Kue-kue tersebut selain dipakai untuk munjung atau ater-ater
(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi
ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan
bagian dari kue-kue tadi. Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan
solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Kenduri menjadi rangkaian terakhir dari prosesi tradisi nyadran.
Jika dalam tradisi itu dilaksanakan pembersihan makam, maka
kenduri digelar setelah itu. Tempat pelaksanaan kenduri tidak sama
antara satu daerah dengan yang lain, tergantung kesepakatan warga
dengan tokoh masyarakat setempat. Pada saat acara kenduri seluruh
warga yang hadir berkumpul, biasanya dengan posisi duduk bersila,
membuat lingkaran dalam suasana kekeluargaan dan keakraban.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya
dan beragam jenis. Setelah seluruh warga siap di tempat duduknya
masing-masing, kemudian orang yang ditokohkan (biasanya mbah
modin atau mbah kaum) membuka acara, isinya bermaksud untuk
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
117
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah
bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk
waktunya. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan doa yang
isinya memohon maaf dan ampunan kepada Allah swt atas dosa
para leluhur dan semua kaum muslimin khususnya semua warga
yang hadir. Ketika doa dibacakan, yang menggunakan tata cara
agama Islam, semua warga yang hadir mengamini. Suasana akrab
dan semangat kekeluargaan tergambar dalam melafalkan amin yang
diucapkan secara bersamaan dan dengan nada tinggi. Selesai berdoa,
semua yang hadir kemudian makan bersama.
Pada saat makan bersama ada yang saling menukar makanan
atau lauk-pauknya, tetapi ada juga yang hanya berbincang-bincang
dengan orang di sebelahnya. Hal ini dapat dimakumi karena pada
saat tradisi nyadran dilaksanakan banyak warga di perantauan
menyempatkan diri pulang kampung sehingga banyak di antara
mereka yang jarang bertemu. Oleh karena itu, tradisi nyadran juga
dapat menjadi sarana silaturrahim dan melepas kangen antara warga
atau saudara yang lama berpisah.
Setelah acara makan bersama selesai, biasanya Mbah Kaum
diberi uang amplop berisi uang tip yang tidak terlalu besar, bahkan
cenderung sekedarnya, dan makanan secukupnya. Sedangkan warga
yang tidak hadir hadir diberi gandhulan atau berkatan, yaitu makanan
(nasi atau kue) yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah
yang bersangkutan oleh warga yang berdekatan. Kebiasaan ini
menunjukkan adanya penghargaan dan penghormatan kepada orang
yang dituakan serta rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi
antar warga. Ketidakhadiran wujud fisik seseorang di tempat tradisi
bukan berarti ketidakhadiran wujud non-fisik dalam kesadaran
komunal masyarakat. Dengan kata lain, meskipun seseorang tidak
dapat hadir secara fisik dalam tradisi, tetapi ia hadir dalam alam
118
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
bawah sadar seluruh warga. Keberadaannya sebagai bagian dari
pendukung tradisi dan anggota masyarakat tidak hilang dan lenyap
karena ketidakhadirannya itu. Ini merupakan salah satu bentuk
aktualisasi ajaran tentang persaudaraan Islam yang dipahami dan
dilaksanakan oleh orang Jawa sehingga membentuk Islam Jawa.
Dengan demikian, sebagaimana telah disinggung di muka,
jelas dalam tradisi nyadran tidak hanya bermuatan teologis semata,
tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial dan budaya, seperti gotongroyong, guyub-rukun, dan kerelaan berkorban. Nyadran merupakan
ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa
gotong-royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama
dari tradisi ini. Nilai ekonomi juga tampak dalam tradisi nyadran,
terutama menjelang pelaksanaannya untuk memenuhi berbagai
uborampe. Biasanya pada masa-masa pelaksanaan nyadran pasarpasar tradisional menjadi tambah ramai dengan munculnya barang
dagangan khusus untuk kebutuhan nyadran serta bertambahnya
penjual dan pembeli.
3. Nyadran Membentuk Karakter Bangsa
Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan
sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun
jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam prosesi
ritual atau tradisi nyadran semua warga akan berkumpul bersama
tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa
ada perbedaan golongan ataupun partai bahkan perbedaan agama
dan keyakinan.
Hal ini sebagaimana tampak dalam tradisi nyadran di masjid
Agung Demak. Dalam pelaksanaan tradisi tersebut menunjukkan
adanya kerukunan dan akulturasi budaya antara Islam, Hindu,
dan Tiong Hoa. Keberadaan orang-orang Tiong Hoa ini karena
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
119
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Raja Demak pertama, Raden Fattah, dipercaya masyarakat sebagai
keturunan China. Dengan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap,
ratusan warga yang dipimpin bupati atau kepala daerah berjalan
beriringan menuju lokasi upacara. Rute yang dilalui dimulai dari
Pendopo Kabupaten menuju Masjid Agung yang menjadi kompleks
pemakaman raja-raja Demak. Selain diiringi musik rebana dan
bacaan sholawat, selama dalam perjalanan mereka juga diiringi
pertunjukan Leong Sai yang merupakan kebudayaan yang berasal
Tiong Hoa.
Di samping itu, dalam tradisi nyadran juga mencerminkan
ada­nya hubungan kekerabatan, kebersamaan, serta kasih sayang
di antara warga atau anggota trah. Melalui tradisi nya­dran juga
terjadi trans­formasi nilai, baik sosial, budaya, mau­pun agama, dari
yang orang tua kepada generasi muda. Nya­dran menjadi ajang
berbaurnya masyarakat dari segala lapisan. Mereka di­­satukan dalam
sebuah tradisi sehingga mereka dapat saling meng­­asihi dan saling
menyayangi satu sama lain. Nuansa keda­mai­an, hu­manitas dan
familiar sangat kental terasa pelaksanaan tradisi nyadran. Pada
tataran inilah nyadran dapat menjadi sarana mening­kat­kan kualitas
jalinan sosial antar warga sehingga dapat tercipta ke­hidupan guyuprukun, ayom-ayem, tenteram, dan damai.
Nyadran dalam konteks ke-Indonesia-an telah menjelma
sebagai refleksi sosial, budaya, dan agama. Bagi kelompok masya­
rakat tertentu, nyadran dapat menjadi wahana wisata rohani
untuk menghilangkan kepenatan dari rutinitas hidup sehari-hari.
Ketika masyarakat disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak
menyedot tenaga dan pikiran, terkadang sampai mengabaikan sisisisi religiusitas. Melalui nyadran, mereka dapat mengembalikan
kesadaran hati nuraninya tentang nilai-nilai religius dan kultural yang
ada gilirannya dapat menjadi manusia Indonesia yang berkarakter. []
120
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Imam Muhsin
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. Ayyuhal Walad: fi Nashîhah al-Muta’allimin wa
Maw’idhatihim liya’lamû wa yumayyizu ‘Ilman Nâfi’an min
Ghairih. Kediri: Muhammad ‘Utsman, tt.
al-Hasanî, Muhammad bin `Alawî al-Mâlikî. Al-Bayân wa-l-Ta`rîf
fî Dzikrâ al-Maulid al-Nabawiyy al-Syarîf. Ttp.: tp., 1995.
Al-Suyuti. Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr. juz 2.
Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Brockelmann, Carl. Geschichte der Arabischen Litteratur. Leiden: E.
J. Brill, 1938-42.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, cet. III, 1999.
Hidayah, Nurul. “Tradisi Nyadran di Dusun Pokoh Desa Ngijo
Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.” Skripsi.
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam: Conscience and History
in a World Civilization. Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1974.
Kaptein, Nico. Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad Saw.: AsalUsul dan Penyebaran Awalnya; Sejarah di Magrib dan Spanyol
Muslim sampai Abad Ke-10/Ke-16, ter. Lillian D. Tedjasudhana. Jakarta: INIS, 1994.
Koenjtaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
__________. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
121
Tradisi Nyadran dalam Pusaran Nilai-nilai Budaya Islam Jawa
Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. peny. Abdul Wahid Hasan.
Yogyakarta: LKiS, 2011.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2001.
Majmû`ah al-Mawalid wa Ad`iyah. Pekalongan: Raja Murah, tth.
“Mausû`ah al-Hadîts al-Syarîf.” CD ROM Shakhr. Edisi 1,2, 1995.
Partokusumo, Karkono Kamajaya. Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam. Yogyakarta: Ikapi DIY, 1995.
122
Vol. 1, No. 1, Januari - Juni 2016
Download