INSTRUCTIONAL LEADERSHIP KEPALA SEKOLAH DALAM MODAL EFEKTIFITAS PROGRAM PENDIDIKAN Oleh: Moh. Khusnuridlo1 Abstrak Sekolah merupakan lembaga sosial yang memberi bantuan kepada masyarakat. Ketika kebutuhan masyarakat berkembang dan berubah, maka berubahlah kehidupan di sekolah, yang diikuti oleh perubahan peran sekolah dan pemimpinnya. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan instructional leadership menurut perspektif teoretik, legalistik, dan praktik. Melalui tulisan ini para pemimpin pendidikan dapat menambah wawasan dan kesadaran profesional dalam menjalankan tugasnya. Kata Kuncis: Instructional Leadership, Efektifitas Program PENDAHULUAN Sekolah merupakan lembaga sosial yang memberi bantuan kepada masyarakat. Maka, ketika kebutuhan masyarakat berkembang dan berubah berubahlah kehidupan di sekolah, yang diikuti oleh perubahan peran sekolah dan pemimpinnya. Sampai detik ini kita menjadi saksi bahwa arus globalisasi telah, sedang dan terus menghampiri segala aspek kehidupan umat manusia, tidak terkecuali dunia pendidikan Indonesia. Untuk merespon tuntutan global ini berbagai pihakpemerintah dan masyarakat pendidikanmelakukan reformasi di segala bidang untuk meningkatkan daya saing gloal (global competitiveness). Selama satu setengah dasa warsa terakhir, reformasi tersebut ditempuh melalui restrukturisasi institusional dan rekulturisasi kinerja sumberdaya manusia. Hal ini, diisyaratkan adanya sejumlah kebijakan afirmatif untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional; seperti UU Guru dan Dosen, Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah, profesionalisasi guru melalui sertifikasi, dan pemberlakuan K-13. Pada tataran praktis, apapun bentuk reformasi yang dilakukan di sekolah, 1 Professor of Educational Management IAIN Jember. e-mail: [email protected] 2 maka kepala sekolah harus sanggup menjadi penanggungjawab sekaligus top manager di lembaga yang dipimpinnya. Menyadari tanggungjawab yang besar di pundaknya, ia seyogyanya memiliki kapasitas dan kualitas yang memadai untuk mensukseskan program yang telah digariskannya. Diantara tugas penting kepala sekolah adalah memberdayakan guru melalui restrukturisasi program dan mengimplementasikan keputusan sekolah secara partisipatif (school-based shared decision making),jauh dari pengawasan birokratik menuju profesionalisasi pembelajaran.2Sekolah-sekolah di negara maju (developed countries), guru diberi kebebasan mengembangkan pembelajaran kolaboratif yang berupa coaching, reflecting, group investigation of data, studyteams, dan risk-laden explorations untuk memecahkan masalah3. Eksistensi guru profesional, dengan demikian, senantiasa memberi layanan akademik dan moral kepada siswa. Tulisan ini bermaksud memberi cakrawala kepada para pemimpin pendidikan, khususnya kepala sekolah untuk mengembangkan kepemimpinan pendidikan (instructional leadership) secara efektif. Untuk memenuhi harapan tersebut, dibahas sejumlah subtopik substantif, yang meliputi: (1) kepemimpian pendidikan dan karakteristiknya, (2) standar kepemimpinan pendidikan, (3) keterampilan kepemimpinan pendidikan, dan (4) sifat-sifat kepemimpinan pendidikan. KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN YANG EFEKTIF Kepemimpinan pendidikan berakar dari “instructional Leadership” berarti instruction,the process or act of teaching: education; sedang leadership berarti a person who rules, guides, or inspires others (Collins Dictionary). Dalam konteks ini, “kepemimpinan pendidikan” yang berakar dari terma “Instructional Leadership” dapat dimengerti sebagai tindakan kepala sekolah, atau pelimpahan 2 Louis, K.S., Marks, H.M. and Kruse, S. 1996. ``Teachers' professional community in restructuring schools'', American Educational Research Journal, Vol. 33 No.4, pp. 757-89. 3 Dowling, G. and Sheppard, K. 1976. ``Teacher training: a counseling focus'', paper presented at the national convention of Teachers of English to Speakers of Other Languages, New York, NY. 3 kepada pihak lain, untuk mendukung pertumbuhan belajar siswa4. Sementara Greenfield5, memandang kepemimpinan pendidikan sebagai tindakah kepala sekolah yang bertujuan mengembangkan lingkungan kerja yang produktif dan memuaskan bagi guru dan kondisi belajar yang diinginkan serta hasil-hasil (prestasi) bagi siswa. Ia menambahkan efektifitas kepemimpinan ditentukan sejauhmana tujuan tersebut dicapai. Sejalan dengan Manase6, ia mendeskripsikan kepala sekolah (instuctional leader) yang efektif ke dalam tiga kriteria, yaitu: (1) kepala sekolah efektif memiliki citra (an image) atau visi tentang apa saja yang dilakukan; (2) visi tersebut menjadi pedoman dalam mengelola dan memimpin sekolah; dan (3) kepala sekolah efektif memfokuskan aktifitasnya pada pembelajaran dan kinerja guru di kelas. Mengapa guru? Ingat, guru merupakan a central player yang menentukan. Tidak salah bahwa untuk merubah pendidikan dimulai dari guru. Secara umum, konseptualisasi kepemimpinan pendidikan dapat dikategori ke dalam empat bidang besar. Pertama, model preskriptif (prescriptive models), yang memandang kepemimpinan pendidikan sebagai: keseluruhan tugas untuk memberi bantuan guru secara langsung, pengembangan kelompok, pengembangan staf, pengembangan kurikulum, dan penelitian tindakah7;aktifitas demokratik, pengembangan, dan transformasionalberdasarkan keadilan dan pertumbuhan; usaha inkuiri (an inquiry-oriented endeavor)yang mendorong kemampuan guru; dan studi kritis terhadap interaksi di kelas untuk mencapai keadilan sosial.8 Kedua, studi tentang kepemimpinan pendidikan, termasuk studi eksploratoris tentang pengaruh tidak langsung rapat dan perilaku kepala sekolahguru dalam pembelajaran, seperti dampak monitoring kemajuan belajar siswa 4 DeBovoise, W. 1984. Sythesis of research on the prinscipal as instructional leader. Educational Leadership, 42(2), 14-20. 5 Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. 6 Manasse, A. L. 1985. Improving conditions for principal effectiveness: Policy implications of research. Elementary School Journal 85(3), 439-463. 7 Glickman, C.D., Gordon, S.P. and Ross-Gordon, J.M. 1995. Supervision of Instruction: A Developmental Approach, 3rd ed. Boston, MA: Allyn and Bacon. 8 Smyth, J. 1997. ``Is supervision more than the surveillance of instruction?'', in Glanz, J. and Neville, R.F. (Eds), Educational Supervision: Perspectives, Issues, and Controversies, Christopher-Gordon, Norwood, MA, pp. 286-95. 4 (student progress)9. Ketiga, studi tentang dampak langsung perilaku kepala sekolah terhadap guru dan pembelajaran di kelas. Sheppard10menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa ada hubungan antara perilaku kepala sekolah tertentu dengan komitmen, keterlibatan, dan inovasi guru. Keempat, studi tentang dampak langsung dan tidak langsung terhadap prestasi siswa. Hallinger &Heck melakukan review tentang peranan kepala sekolah dalam penggunaan kepemimpinan partisipatif dan pembuatan keputusan desentralistik dalam hubungannya dengan keefektifan sekolah.11 Merujuk kepada deskripsi di atas, nampaknya patut dikembangkan risetriset tentang hubungan antara kepemimpinan pendidikan,pembelajaran, dan prestasi siswa. Begitu pula, riset tentang dampak perilaku pemimpin pendidikan terhadap perilaku guru, hubungan antara kepemimpinan pendidikan dengan pembelajaran, karakteristik pemimpin pendidikan, dan kondisi-kondisi yang esensial bagi kepemimpinan pendidikan yang efektif sangat dibutuhkan. Usaha ini diharapkan dapat mendorong akselerasi reformasi pendidikan pada satuan pendidikan secara mandiri dan kontekstual. Profil seorang kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang efektif tidak dapat dipisahkan dari sikap, ekspektasi, dan perilaku nyata setiap waktu; khususnya perilaku yang terkait dengan penciptaan iklim akademik (an academic climate) di sekolah. Terkait dengan deskripsi tentang kepala sekolah efektif, para pakar menwawarkan pandangan-pandangan mereka. Rutherford mencatat sejumlah kualitas-kualitas esensial sebagai ciri efektifitas pemimpin pendidikan. Pertama, kepala sekolah efektif memiliki visi yang jelas dan terbuka tentang gambaran 9 Blase, J.R. and Blase, J. 1996. ` Micropolitical strategies used by administrators and teachers in instructional conferences', Alberta Journal of Educational Research, Vol. 42 No. 4, pp. 345-60.Lihat juga Reitzug, U.C. and Cross, B. 1993. ``Deconstructing principal instructional leadership: from `super' vision to critical collaboration'', paper presented at the annual conference of the University Council for Educational Administration, Houston, TX. 10 Sheppard, B. 1996. ``Exploring the transformational nature of instructional leadership'', The Alberta Journal of Educational Research, Vol. 42 No. 4, pp. 325-44. 11 Hallinger, P. and Heck, R.H. 1996a. ``The principal's role in school effectiveness: an assessment of methodological progress, 1980-1995'', in Leithwood, K., Chapman, J., Corson, D., Hallinger, P. and Hart, A. (Eds), International Handbook of Educational Leadership and Administration, Kluwer, Dordrecht, pp. 723-83. 5 lembaga yang mereka cita-citakan. Visi mereka memfokus kepada siswa dan kebutuhan belajar mereka. Lalu, kepala sekolah menterjemahkan visi mereka ke dalam tujuan-tujuan operasional sekolah dan sesuai harapan guru, siswa, dan staf administrasi. Bersamaan dengan itu, kepala sekolah memantapkan iklim sekolah yang mendukung kemajuan pembelajaran menuju pencapaian tujuan dan harapan tersebut. Indikator ini ditunjukkan oleh minimnya kekacauan akibat stres dan konflik di dalamnya. Kepala sekolah yang efektif juga memantau progres pembelajaran melalui pengamatan terhadap guru ketika mereka mengajar di kelas dan memberi balikan (feedback) setelah pengamatan. Hal ini, berbeda dari kepala sekolah yang tidak efektif, yang senang melakukan klaim-klaim subyektif dengan mengatakan,”Guru saya semua profesional, sehingga saya biarkan mereka bekerja di kelas.” Kalau kepala sekolah dituntut untuk mengamati dan mengevaluasi guru, maka kepadanya dituntut memiliki dan mampu mengaplikasikan teori-teori evaluasi secara baik. Rutherford juga menjelaskan bahwa kepala sekolah yang efektif menjembatani para guru dengan cara suportif dan positif, misalnya melalui pemberian hadiah atas karya dan konrtibusi yang positif. Atau, begitu muncul masalah pembelajaran kepala sekolah segera memberi bantuan secara suportif yang menghasilkan perbaikan; bukan sebaliknya. STANDAR KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN Berbasis kepada teori tentang mutu, maka dikatakan bahwa sebagai instuctionalleader, kepala sekolah yang bermutu adalah kepala sekolah yang mampu melaksanakan tugasnya sesuai standar yang telah digariskan. Standar kompetensi kepala sekolah menurut Permendiknas No. 13 Tahun 2007 dapat dijadikan standar mutu kepala sekolah di Indonesia secara nasional. Permen ini menggariskan bahwa sebagai pemimpin pendidikan seorang kepala sekolah harus memenuhi lima kompetensi utama agar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Kelima kompetensi tersebut, meliputi: kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetenasi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. 6 Kompetensi kepribadian mencakup subkompetensi-subkompetensi: (1) memilikitanggung jawab sebagai pengawas satuan pendidikan, (2) memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin, (3) memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah/madrasah, (4) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (5) mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah/madrasah, dan (6) memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.Dengan bekal kompetensi ini kepala sekolah akan dihormati dan disegani oleh masyarakat. Kompetensi manajerial, terdiri dari: (1) menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan; (2) mengembangkan organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan; (3) memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal; (4) mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif; (5) menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik; (6) mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; (7) mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; (8) mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah; (9) mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik; (10) mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional; (11) mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel,transparan, dan efisien; (12) mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/madrasah; (13) mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah; (14) mengelola sistem informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; (15) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah; dan (16) melakukan monitoring, 7 evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. Kompetensi kewirausahaan, terdiri dari: (1) menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah; (2) bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; (3) memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah; (4) memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik; dan (5) pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah. Di era perubahan ini kompetensi ini sangat dibutuhkan. Kompetensi supervisi, meliputi: (1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru; (2) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat; dan (3) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Adapun kompetensi sosial mencakup indikator-indikator: (1) bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah; (2) berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; dan (3) memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain. Di sisi lain, dalam perspektif global standar mutu dapat dikembangkan sesuai kebutuhan global. Salah satu standar kepemimpinan pendidikan pada level internasional adalah Leadership Standards Professional Learning and Training dari The Interstate School Leader Licensure Consortium (ISLLC) yang mendeskripsiakn sebanyak 6 standar yang harus dipenuhi oleh kepala sekolah/pemimpin pendidikan yang efektif. Keenam standar ini, meliputi: Standard 1: Vision and Goals, Standard 2:Teaching and Learning, Standard 3:Managing Organizational Systems and Safety, Standard 4:Collaborating with Key Stakeolders, Standard 5:Ethics and Integrity, dan Standard 6:The Education System. Masing-masing diuraikan sebagai berikut: Standard 1:Vision and Goals. Pemimpin pendidikan mendukung 8 kesuksesan setiap siswa melalui fasilitasi terhadap pengembangan, artikulasi, implementasi, dan pengembangan visi belajar yang telah dibagi dan didukung oleh masyarakat.Dalam hal ini, kegiatan utama kepala sekolah berupa: (1) mengembangkan visi dan misi sekolah; (2) menggunakan data untuk mengidentifikasi tujuan, menilai efektifitas organisasi, dan mendorong belajar di sekolah; (3) menciptakan rencana untuk mencapai tujuan; (4) mengimplementasi rencana untuk mencapai tujuan; (5) memantau dan mengevaluasi kemajuan belajar siswa dan merevisi rencana; dan (6) mendorong perbaikan secara kontinyu dan lestari (continuous and sustainable improvement). Standard 2:Teaching and Learning. Pemimpin pendidikan mendukung kesuksesan setiap siswa dengan mempertahankan, memberi pendampingan dan melestarikan budaya sekolah dan program pembelajaran yang kondusif bagi kegiatan belajar siswa dan pertumbuhan profesional. Standar ini dapat implementasikan dengan cara: (1) memelihara dan melestarikan budaya saling percaya (a culture of trust), belajar, dan harapan berprestasi yang tinggi; (2) menciptakan program kurikuler yang tepat dan terpadu; (3) menciptakan lingkungan yang mendukung kepribadian dan memotivasi belajar bagi siswa; (4) melaksanakan supervisi dan evaluasi pembelajaran; (5) mengembangkan sistem asesmen dan akuntabilitas untu memantau kemajuan belajar siswa; (6) mengembangkan kapasitas instruksional staf; (7) memaksimalkan penggunaan waktu untuk pembelejaran yang bermutu; dan (8) mendorong penggunaan teknologi yang secara efektif dan tepat untuk mendukung pembelajaran. Untuk mendorong pertumbuhan profesional (professional growth), kepala sekolah dapat menggunakan strategi yang tepat. Diantara strategi yang patut dipertimbangkan adalah: (1) memantapkan kajian tentang pembelajaran; (2) mendukung upaya kolaboratif antar tenaga pendidik; (3) mengembangkan pelatihan hubungan antar tenaga pendidik;(4) mendorong dan mendukung redesign program;(5) mengaplikasikan prinsip-prinsip belajar orang dewasa (adult learning), pertumbuhan, dan pengembangan ke dalam semua fase pengembangan staf; dan (6) mengimplementasikan action researchuntuk memberi informasi dalam pembuatan keputusan instruksional. 9 Standard 3:Managing Organizational Systems and Safety. Pemimpin pendidikan mendorong kesuksesan siswa dengan menjamin pengelolaan organisasi, operasi, dan sumber-sumber untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, efisien, dan efektif. Dalam mengelola sistem dan keselamatan organisasi, kepala sekolah melakukan serangkaian kegiatan, yaitu: (1) mengelola, memonitor, dan mengevaluasi sistem operasional; (2) mencari, mengalokasi, dan mengembangkan sumber daya manusia, uang, dan teknologi; (3) mempromosikan dan melindungi kesejahteraan dan keselamatan siswa dan staf; (4) mengembangkan kapasitas kepemimpinan pada warga sekolah dan mendorong pola-pola distribusi epemimpinan yang produktif; dan (5) melindungi guru dan waktu serta memfokus untuk mendukung pembelajaran yang bermutu. Standard 4:Collaborating with Key Stakeholders. Pemimpin pendidikan mendukung kesuksesan siswa melalui kerjasama dengan guru dan anggota masyarakat dalam rangka merespon kepentingan dan kebutuhan masyarakat, serta memobilisasi sumber daya masyarakat. Tugas ini dilakukan kepala sekolah dengan: (1) menganalisis lingkungan pendidikan; (2) mendorong staf, siswa, keluarga, dan pihak terkait lain terhadap pemahaman, apresiasi, dan pemanfaatan sumber daya kultural, sosial, dan intelektual yang beragam, (3) membangun dan memelihara hubungan dengan keluarga; dan (4) membangun dan memelihara hubungan dengan mitra masyarakat. Standard 5:Ethics and Integrity. Pemimpin pendidikan mendorong kesuksesan belajar siswa melalui tindakan-tindakan yang penuh dengan inttegritas, keterbukaan, dan dengan cara yang etis. Hal ini, dapat ditempuh dengan cara: (1) menjamin akuntabilitas bagi setiap kesuksesan siswa secara akademik dan sosial; (2) memberi teladan terhadap prinsip-prinsip kesadaran diri (self-awareness), praktik reflektif, dan perilaku etis; (3) menjaga nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, tranpransi, dan kemajemukan; (4) mengevaluasi konsekuensi moral dalam pembuatan keputusan, (5) menjamin bahwa keadilan sosial dan belajar siswa secara individual menyampaikan semua aspek persekolahan. Standard 6:The Education System. Pemimpin pendidikan memdorong 10 kesuksesan setiap siswa dengan memahami, tanggap kepada, dan mempengaruhi konteks politik, sosial, ekonomi, hukum, dan kultural. Untuk mewujudkannya, kepala sekolah: (1) membela anak dan keluarganya; (2) memberi pengaruh kepada keputusan lokal, regional, dan nasional tentang kegiatan belajar siswa; (3) mengantisipasi dan memberi pengaruh terhadap tren, inisiatif, dan tekanan di luar organisasi; dan (4) mengasesmen dan menganalisis tren yang muncul untuk mengadaptasi strategi kepemimpinan dan prioritas dalam masyarakat demkrasi. KETERAMPILAN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN Menyadari besarnya tanggungjawab kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, padanya membutuhkan seperangkat keterampilan yang memadai. Fullan (2005), menyatakan: “A highly effective school leader can have a dramatic influence on the overall academic achievement of students.”(pemimpin sekolah yang efektif dapat memiliki pengaruh luar biasa/dramatik terhadap keseluruhan prestasi akademik siswa). Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa untuk memiliki pengaruh yang signifikan kepala sekolah harus memiliki keterampilan yang memadai. Secara umum, terdapat tiga macam keterampilan yang harus dimiliki kepala sekolah, yakni: keterampilan konseptual (conceptual skill), keterampilan manajerial (mangerial skill), dan keterampilan manusiawi (human skill). Secara lebih rinci, Stogdil (1974) berdasar hasil risetnya mengidentifikasi keterampilan kepemimpinan ke dalam: pintar (clever/intelligent), terampial membuat konsep (conceptually skilled), kreatif, diplomatik dan taktik, lancar berbicara, menguasai tugas kelompok, tertib administrasi (organised/administrative ability), persuasif (persuasive), dan pandai bergaul (socially skilled). Selain sifat-sifat ini, ia memasukkan ke dalam keterampilan kepemimpinan itegritas, kejujuran, kesabaran, dan keramahan. SIFAT-SIFAT KEPEMIMPINAN Sebagai public figure kepala sekolah akan selalu menjadi pusat perhatian 11 masyarakat, tidak saja di sekolah namun juga di masyarakat luas. Menyadari hal ini, padanya dituntut untuk memiliki dan mengembangkan sifat-sifat yang mulia untuk diteladani oleh mereka. Stogdill (1974) memerinci sifat-sifat seorang pemimpin ke dalam: situasi yang fleksibel (adaptable to situations), peka terhadap lingkungan sosial, berambisi dan berorientasi prestasi, tegas, kooperatif, bijak, terbuka, dominan, enerjik, tepat (persistent), percaya diri (self-confident), toleran terhadap stres, dan bertanggungjawab. Mempertimbangkan bahwa kepemimpinan merupakan faktor determinan bagi efektifitas sekolah, maka seorang kepala sekolah harus memiliki seperangkat sifat-sifat produktif. Para ahli menaruh perhatiannya tentang hal ini secara serius, dengan mengemukakan pandangan-pandangan mereka. Little & Bird12 memandang kepala sekolah efektif memiliki keinginan memimpin dan kemauan bertindak dengan penuh semangat dalam situasi yang sulit. Memiliki inisiatif yang tinggi dan orisinal13. Begitu pula, menurut keduanya, berorietnasi pada tujuan dan merasa jelas terhadap tujuan instruksional dan organisasional. Kepala sekolah juga harus menata tauladan yang baik melalui kerja keras 14. Kepala sekolah efektif juga harus mengenali kekhasan guru dalam gaya, sikap, dan orientasi mereka, serta mendukung gaya mengajar mereka yang berbeda. Ia juga mampu menyesuaikan keterampilan mengajarnya dengan penataan pembelajaran dan penugasan. Akhirnya, ia juga memberi kesempatan kepada guru untuk muncul atau tampil sebagai pemimpin15. KESIMPULAN Sejalan dengan perubahan lingkungan global, tuntutan masyarakat terhadap sekolah semakin kompleks. Para kepala sekolah harus menyadari bahwa perubahan struktural sekolah mengharuskan perubahan peran dalam dirinya. Little, J. W., & Bird, T. D. 1987. Instructional leadership “close to classroom” in secondary school. Dalam Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. 13 Blumberg, A. 1987. The work of principals: A touch of craft. Dalam Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. 14 Ubben, G. C., & Hughes, L. W. 1987. The principal: Creative leadership for effective schools. Newton, MA: Allyn & Bacon. 15 Ubben, G. C., & Hughes, L. W. 1987. The principal. 12 12 Untuk menghadapi perubahan global secara sukses, kepala sekolah perlu mengkaji kembali esensi instructionalleadership, karakteristik, skil, dan sifat kepemimpinan yang harus dipelihara dan kembangkan. Secara komprehensif, Sergiovanni16 menggariskan bahwa kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu menjadikian sekolahnya efektif. Kriteria sekolah efektif, ditandai oleh: skor tes yang meningkat; kehadiran meningkat; karya tulis dan tugas meningkat; waktu belajar efektif; partisipasi masyarakat dan orang tua; partisipasi siswa dalam akatifitas ekstra kurikuler; hadiah dan penghargaan bagi siswa dan guru; serta mutu dukungan bagi siswa berkebutuhan khusus. REFERENCES Blase, J.R. and Blase, J. 1996. ` Micropolitical strategies used by administrators and teachers in instructional conferences',Alberta Journal of Educational Research, Vol. 42 No. 4,pp. Blumberg, A. 1987. The work of principals: A touch of craft. Dalam Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. DeBovoise, W. 1984. Sythesis of research on the prinscipal as instructional leader. Educational Leadership, 42(2). Dowling, G. and Sheppard, K. 1976. ``Teacher training: a counseling focus'', paper presented atthe national convention of Teachers of English to Speakers of Other Languages, New York,NY. Glanz, J. and Neville, R.F. 1997. Educational Supervision: Perspectives, Issues, andControversies.Norwood, MA:Christopher-Gordon. Glickman, C.D., Gordon, S.P. and Ross-Gordon, J.M. 1995. Supervision of Instruction: A Developmental Approach, 3rd ed. Boston, MA: Allyn and Bacon. Gordon, S.P. 1997.``Has the field of supervision evolved to a point that it should be calledsomething else?'', in Glanz, J. and Neville, R.F. (Eds), Educational Supervision: Perspectives,Issues, and Controversies.Norwood, MA:Christopher-Gordon, pp. Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. 16 Sergiovanni, T. J. 1987. The principalship: A reflective practice perspective. Boston: Allyn & Bacon. 13 Hallinger, P. and Heck, R.H. 1996a. ``The principal's role in school effectiveness: an assessmentof methodological progress, 1980-1995'', in Leithwood, K., Chapman, J., Corson, D.,Hallinger, P. and Hart, A. (Eds), International Handbook of Educational Leadership and Administration, Kluwer, Dordrecht, pp. Hallinger, P. and Heck, R.H. 1996b. ``Reassessing the principal's role in school effectiveness: areview of empirical research, 1980-1995'', Educational Administration Quarterly, Vol. 32No. 1, pp. Little, J. W., & Bird, T. D. 1987. Instructional leadership “close to classroom” in secondary school. Dalam Greenfield, W. D. 1987. Instructional leadership: Concepts, issues, and controvesies. Boston: Allyn & Bacon. Louis, K.S., Marks, H.M. and Kruse, S. 1996. ``Teachers' professional community inrestructuring schools'', American Educational Research Journal, Vol. 33 No.4, pp. Manasse, A. L. 1985. Improving conditions for principal effectiveness: Policy implications of research. Elementary School Journal 85(3). Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 Reitzug, U.C. and Cross, B. 1993. ``Deconstructing principal instructional leadership: from`super' vision to critical collaboration'', paper presented at the annual conference of theUniversity Council for Educational Administration, Houston, TX. Sergiovanni, T. J. 1987. The principalship: A reflective practice perspective. Boston: Allyn & Bacon. Sheppard, B. 1996. ``Exploring the transformational nature of instructional leadership'',The Alberta Journal of Educational Research, Vol. 42 No. 4. Smyth, J. 1997. ``Is supervision more than the surveillance of instruction?'', in Glanz, J. andNeville, R.F. (Eds),Educational Supervision: Perspectives, Issues, and Controversies,Christopher-Gordon, Norwood, MA, pp. 286-95. Ubben, G. C., & Hughes, L. W. 1987. The principal: Creative leadership for effective schools. Newton, MA: Allyn & Bacon.