PENGGUNAAN STRATEGI RELAKSASI UNTUK MEMBANTU SISWA MENGURANGI PERASAAN CEMAS DALAM SITUASI KOMUNIKASI INTERPERSONAL Fitri Rochaini1 dan Titin Indah Pratiwi2 Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perubahan yang signifikan pada kecemasan komunikasi interpersonal antara sebelum dan sesudah diberikan strategi relaksasi. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan one group pre-test and post-test design.. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket untuk mengukur tingkat kecemasan komunikasi interpersonal. Hasil analisis membuktikan adanya perbedaan yang signifikan pada ukuran tingkat kecemasan komunikasi interpersonal siswa pada taraf α = 0,05. Kecemasan komunikasi interpersonal cenderung berubah dari tinggi menjadi rendah setelah diberi bantuan melalui penerapan strategi relaksasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengurangan skor kecemasan komunikasi interpersonal antara sebelum dan sesudah diberikan strategi relaksasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi relaksasi dapat mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal. Kata Kunci : Kecemasan Komunikasi Interpersonal, Strategi Relaksasi Pendahuluan Perasaan cemas dapat dialami siapa saja, baik anak-anak, remaja, dan orang tua. Perasaan cemas dapat muncul pada saat kita menghadapi sesuatu yang kita anggap penting, memasuki situasi yang baru dan cemas terhadap tanggapan mengenai hasil tindakan kita. Menurut Atkinson (1991),“ Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai istilah kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut-yang kadang-kadang kita dalam tingkat yang berbeda-beda”. Perasaan cemas juga sering muncul di lingkungan sekolah. Perasaan tersebut menyebabkan siswa merasa tidak nyaman dan tidak tenang. Kecemasan yang dialami siswa secara wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila sudah tidak wajar dan berlebihan, bisa mengganggu aktivitas yang seharusnya dilakukan di lingkungan sekolah. Pada umumnya kecemasan yang muncul di lingkungan sekolah antara lain, kecemasan dalam menyampaikan pendapat dan pertanyaan di kelas, kecemasan saat diskusi, kecemasan saat berkomunikasi dengan guru, kecemasan saat menghadapi ujian, dan lain-lain. Disamping itu, komunikasi interpersonal merupakan modal utama dalam berinteraksi atau bersosialisasi dimanapun kita berada. Komunikasi adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi terjadi dalam berbagai tempat dan situasi. Tidak ada kegiatan yang dilakukan manusia tanpa disertai dengan proses komunikasi. Komunikasi merupakan sarana yang tidak bisa ditinggalkan dalam berhubungan”. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung antara pribadi satu dengan pribadi yang lain, dalam penyampaian dan penerimaan pesan secara nyata”, 1 2 Alumni prodi BK FIP Unesa Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa Effendy (dalam Liliwery, 1997). Sedangkan menurut Liliwery (1997), ”Komunikasi interpersonal pada hakikatnya adalah komunikasi seorang komunikator dengan komunikan yang sangat efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan dengan arus balik yang bersifat langsung dimana komunikasi pada suatu komunikasi dilakukan”. Dari pengertian tersebut, komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan interpersonal. Jika rasa cemas muncul dalam berkomunikasi, maka proses komunikasi interpersonal akan terganggu dan pesan yang disampaikan belum bisa sempurna diterima oleh penerima pesan. Siswa yang mengalami kecemasan dalam komunikasi cenderung mengalami beberapa gangguan fisik maupun psikis. Gejala-gejala dalam gangguan fisik meliputi jantung berdebardebar, gemetar, gugup, pernafasan tidak teratur, gangguan perut dan sebagainya. Sedangkan gangguan psikis meliputi perasaan takut, sulit konsentrasi, panik, tegang dan sebagainya. Melihat beberapa dampak yang muncul akibat kecemasan yang dialami siswa, maka peran Bimbingan dan Konseling sangat dibutuhkan untuk membantu siswa yang mengalami kecemasan komunikasi interpersonal tersebut. Dalam hal ini diperlukan sebuah strategi khusus yang dapat membantu mengurangi kecemasan tersebut. Salah satu strategi yang dapat mengurangi kecemasan adalah strategi relaksasi. Menurut Hillenberg dan Collins (dalam Cormier, 1985) ”Relaxation training has been used with clients who have sleep disturbance, headache, hypertension, test anxiety, speech anxiety, asthma, excessive drinking, hyperactivity, and problems with anger control.” Yang dapat diartikan sebagai berikut. Relaksasi telah digunakan untuk membantu konseli yang mengalami gangguan tidur, sakit kepala, hipertensi, kegelisahan sebelum mengikuti tes, kegelisahan saat berbicara di depan publik (berkomunikasi), asma, berlebihan dalam minum, hiperaktif, dan masalah yang berkaitan dengan pengendalian kemarahan. Menurut Markman dalam Kanfer dan Godstein (dalam Sudrajat, 2008), “Modifikasi perilaku kognitif efektif untuk mengatasi individu yang mengalami kecemasan komunikasi antar pribadi”. Macam-macam modifikasi perilaku kognitif adalah teknik relaksasi, teknik pemantauan diri dan teknik kognitif. Seperti yang disampaikan oleh Berntein dan Borkovec dkk.(dalam Nursalim, 2005) relaksasi otot bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan cara melepaskan otot-otot badan. Untuk membuktikan pernyataan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal dengan menggunakan strategi relaksasi. Kecemasan Kecemasan merupakan masalah yang bisa terjadi pada setiap manusia dan dalam segala sesuatu. Banyak tokoh mendefinisikan pengertian kecemasan. Menurut Atkinson (1991), “Kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda- beda”. Menurut Gunarsa (1990) “Kecemasan adalah suatu keadaan emosi yang dipakai untuk menunjukkan respon emosional yang tidak sesuai dengan keadaan yang menimbulkan rasa takut”. Kartono (1989) berpendapat, “Cemas adalah rasa ragu atau tidak berani terhadap hal-hal yang konkret yang riil dan semu atau khayali, hal-hal yang tidak jelas”. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai adanya perasaan takut, gelisah dan tegang, serta rasa ragu atau tidak berani terhadap hal-hal yang konkret dan hal-hal yang tidak jelas. Kartono (1991) membagi kecemasan menjadi dua yaitu : 1)Kecemasan yang wajar. Artinya kecemasan yang dialami seseorang dalam tingkat yang wajar, sifatnya tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan. Hal ini dapat berguna untuk perkembangan kepribadiannya. 2) Kecemasan yang terlalu berat dan berakar secara mendalam dalam diri seseorang. Bila seseorang mengalami kecemasan ini, biasanya ia tidak mampu mengatasi. Menurut Freud (dalam Corey, 2003), terdapat tiga jenis kecemasan yaitu kecemasan nyata, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral. 1) Kecemasan nyata (Reality Anxiety) adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada, 2) Kecemasan neurotik (Neurotic Anxiety) adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya, 3) Kecemasan moral (Moral Anxiety) adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri. Orang yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya. Atkinson (2002) membagi kecemasan sebagai berikut : 1) Kecemasan umum: Terjadi jika orang merasa tidak mampu mengatasi banyak situasi kehidupan sehari-hari dan dengan demikian merasa takut pada sebagian besar waktunya, 2) Kecemasan fobia: Dipandang sebagai respon menghindar yang mungkin dipelajari baik secara langsung dari pengalaman menakutkan atau seolah mengalami sendiri saat melihat respon ketakutan pada orang lain. Menurut beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan ada beberapa macam, yaitu kecemasan nyata, kecemasan neurotik, kecemasan moral, kecemasan sebagai suatu sifat, kecemasan sebagai suatu keadaan, kecemasan umum dan kecemasan fobia. Sedangkan kecemasan komunikasi interpersonal termasuk kecemasan umum karena sering muncul di kehidupan sehari-hari. Catell (dalam Alwisol, 2004) mengemukakan “Orang yang cemas secara kronis, perasaan cemasnya mudah terangsang oleh perasaan curiga pada orang lain, khawatir mendapat celaan, tidak mampu membentuk konsep diri, tegang dan kegembiraan berlebihan”. Beberapa gejala kecemasan juga dikemukakan oleh Gunarsa (2004). Gejala-gejala kecemasan dapat dilihat dari perubahan ekspresi muka, tiba-tiba muka menjadi merah, membesarnya pupil mata, gerakangerakan otot muka, perubahan gerak-gerik tubuh seperti kakunya otot-otot, kegelisahan, interupsi gerakan yang tiba-tiba, aktivitas yang berlebih-lebihan, mengunyah benda-benda atau bagian dari tubuhnya, menggigit diri sendiri atau orang lain, dan macam-macam tingkah laku yang kompulsi. Lebih lanjut, Gunarsa (2004) mengemukakan “Gejala lain sebagai gejala tambahan mungkin juga timbul, misalnya ngompol, muntah, kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, tingkah laku agresif, menangis dan ketergantungan yang berlebih-lebihan”. Adapun beberapa gejala seseorang yang mengalami kecemasan berdasarkan uraian di atas adalah adanya perasaan takut, panik, gangguan perut, sesak nafas, perubahan ekspresi muka, gelisah, gangguan tidur, detak jantung agak keras, nafas yang memburu, keluarnya keringat, pingsan, sulit konsentrasi, nafsu makan hilang, gelisah, tingkah laku agresif dan sebagainya. Menurut Catell (dalam Alwisol, 2004), “Orang dapat mengalami berbagai tingkat kecemasan sebagai dampak keadaan yang mengancam atau menekan.” Daradjat (1989) mengemukakan “Dengan ringkas, dapat dikatakan bahwa cemas itu timbul karena orang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dirinya, dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.” Menurut Rogers yang dikutip oleh Alwisol (2004) berpendapat bahwa “Kecemasan dan ancaman muncul akibat dari orang yang sangat sadar dengan ketidak sesuaian dalam dirinya.” Menurut Gunarsa (2004), “Anak yang mengalami kecemasan, biasanya mengalami kesulitan dalam pergaulan dan mengalami suatu perasaan takut yang hebat sebelum mulainya serangan tersebut.” Sobur (2003) mengemukakan bahwa pada saat pikiran dijangkiti rasa cemas, sistem saraf otonom menyebabkan tubuh bereaksi secara mendalam. Jantung berdetak lebih keras, nadi dan nafas bergerak meningkat, biji mata membesar, proses pencernaan dan yang berhubungan dengan usus berhenti, pembuluh darah mengerut, tekanan darah meningkat, dan kelenjar adrenal melepas adrenalin ke dalam darah. Hal serupa juga dikemukakan oleh Alwisol (2004) yang menyatakan bahwa kecemasan juga menimbulkan dampak yang buruk kepada orang dewasa, bahkan kecemasan menjadi ketakutan perusak yang terpenting yang menghambat perkembangan hubungan interpersonal. Kecemasan bisa membuat orang membentur-benturkan kepalanya, membuat diri tidak bisa belajar, merusak ingatan, mempersempit persepsi, bahkan menimbulkan amnesia. Komunikasi nterpersonal Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicar” yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan. Kata “comunis” berarti milik bersama atau berlaku dimana – mana. Secara istilah, banyak beberapa tokoh yang mendefinisikan komunikasi, salah satunya adalah menurut Johnson (dalam Supratiknya, 2005), komunikasi adalah sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima. Dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-lambang yang memiliki makna tertentu. Lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal berupa kata-kata, atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan tertentu dan gerak tubuh. Interpersonal mengandung arti melingkupi semua manusia atau antara personal atau pribadi, sehingga komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai “the process of sending and receiving messages between two person or among a small group of person with some effect and some immediate feedback”. Devito (dalam Liliwery, 1997). Yang artinya, proses pengiriman dan penerimaan pesan diantara dua orang atau beberapa orang dalam kelompok kecil dengan beberapa efek dan timbal balik. Menurut Devito yang diterjemahkan oleh Maulana (1997),”Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung antara 2 (dua) orang yang menyampaikan hubungan yang mantap dan jelas”. Menurut Liliwery (1997), “Komunikasi interpersonal pada hakekatnya adalah komunikasi seorang komunikator dengan komunikan yang sangat efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan dengan arus balik yang bersifat langsung dimana komunikasi pada suatu komunikasi tertentu”. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak dapat bertindak sebagai komunikator sekaligus komunikan yang di dalamnya terjadi proses penyampaian dan penerimaan pesan secara nyata dalam mengubah sikap, pendapat dan pesan seseorang. Barnlund (dalam Liliweri, 1991) ada beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu komunikasi antarpribadi selalu: terjadi secara spontan, tidak mempunyai struktur yang teratur atau datar, terjadi secara kebetulan, tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu, dilakukan oleh orang-orang yang identitas keanggotaan yang kadang-kadang kurang jelas, bisa terjadi sambil lalu.Rogers (dalam Depari, 1988) menyebutkan beberapa ciri komunikasi menyebutkan antarpribadi, yaitu ; arus pesan cenderung dua arah, konteks komunikasi adalah tatap muka, tingkat umpan balik yang tinggi, kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas sangat tinggi, kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lambat, efek yang terjadi antara lain perubahan sikap.Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan beberapa ciri komunikasi antarpribadi, yaitu ciri; spontanitas, terjadi sambil lalu dengan media utama adalah tatap muka, tidak mempunyai tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu, terjadi secara kebetulan di antara peserta yang identitasnya kurang jelas, mengakibatkan dampak yang disengaja dan tidak disengaja, kerapkali berbalas – balasan, mempersyaratkan hubungan paling sedikit dua orang dengan hubungan yang bebas dan bervariasi, ada keterpengaruhan, harus membuahkan hasil, menggunakan lambang – lambang bermakna. Kecemasan komunikasi Interpersonal Dalam berkomunikasi diperlukan suatu proses timbal balik yang aktif antara dua individu atau lebih dalam memberi dan menerima informasi sehingga terjadinya saling pengertian. Burgoon dan Ruffner (dalam Anwar, 2008), menjelaskan hambatan komunikasi sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi umum atau komunikasi massa. Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk mengantisipasi perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari berkomunikasi. Jadi, istilah hambatan komunikasi (communication apprehension) mencakup kondisi yang lebih luas, baik kecemasan komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa. Dalam penelitian ini yang akan ditekankan adalah pada kecemasan komunikasi antar pribadi. Menurut Spielberger (dalam Post.dkk,1978), Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas ketika berkomunikasi antar pribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang sama sekali tidak menyenangkan. Lazarus (dalam Nursalim.dkk, 2005) menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan cemas sebenarnya merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan adanya perasaan tidak berdaya. Sifat kecemasan dikatakan subjekif, artinya bahwa kejadian yang menjadi penyebab dan reaksi yang dialami tiap individu berbeda. Pada umumnya tanda-tanda yang menyertai kecemasan pada tiap orang adalah sama, yaitu ditandai dengan perubahan psikologis seperti perasaan tegang, takut, khawatir, perubahan fisiologis seperti denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah yang meningkat. Lazarus (dalam Post. dkk, 1978). Burgoon dan Ruffner (dalam Anwar, 2008) mengemukakan tentang beberapa ciri kecemasan komunikasi antar pribadi, yaitu : a. Unwilingnes atau ketidaksediaan untuk berkomunikasi yang ditandai oleh kecemasan, intoversi, rendahnya frekuensi partisipasi dalam berbagai situasi komunikasi. b. Avoiding atau penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan, dengan indikasi : kecemasan, kurangnya pengenalan situasi komunikasi yang mempengaruhi intimasi dan empati. c. Control atau rendahnya pengendalian terhadap situasi komunikasi, yang terjadi karena : faktor lingkungan, ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan individu yang berbeda, reaksi lawan bicara. Relaksasi Relaksasi adalah salah satu teknik dalam terapi perilaku. Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot skeletal, sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot Beech dkk,1982 (dalam Nur Salim, 2005). Sedangkan menurut Bertein dan Borkorec,1973.et.all (dalam Nursalim, 2005) relaksasi otot bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan. Dalam latihan relaksasi otot, individu diminta untuk menegangkan otot dengan ketegangan tertentu dan kemudian diminta mengendurkannya. Sebelum dikendurkan, penting dirasakan ketegangan tersebut sehingga individu dapat membedakan antara otot yang tegang dan yang lemas. Menurut Santoso (2001) “Latihan relaksasi pada dasarnya merupakan pemberian kesempatan pada tubuh untuk melakukan “pekerjaan rumah” sebelum pekerjaan itu diambil alih oleh pikiran rasional dan kognitif seseorang demi sebuah ego yang tidak mampu dikendalikan”. Menurut berbagai pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa relaksasi adalah salah satu strategi dalam konseling yang merupakan suatu proses pembebasan mental dan fisik dari berbagai teknik sehingga dihasilkan keadaan yang lebih tenang. Dalam hal ini berhubungan dengan ketegangan dalam berkomunikasi interpersonal. Burn (dalam Subandi.dkk, 2003) melaporkan beberapa keuntungan dari relaksasi, antara lain : a. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menhindari reaksi yang berlebihan karena adanya stressor. b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan stressor seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi. c. Mengurangi tingkat kecemasan. d. Mengurangi kemungkinan gangguan yang berhubungan dengan stres, dan mengontrol anticipatory anxiety sebelum situasi yang menimbulkan kecemasan, seperti pada pertemuan penting, wawancara dan sebagainya. e. Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan ketrampilan fisik. f. Kelelahan, aktivitas mental dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih cepat dengan menggunakan ketrampilan relaksasi. g. Kesadaran diri tentang kesadaran fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil latihan relaksasi, sehingga memungkinkan individu untuk menggunakan ketrampilan relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis. h. Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit tertentu dan operasi. i. Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil kontrol yang meningkat terhadap reaksi stress. j. Meningkatkan hubungan interpersonal. Orang yang rileks dalam situasi interpersonal yang sulit akan lebih berfikir rasional. Ada beberapa macam bentuk relaksasi, antara lain relaksasi otot, relaksasi kesadaran indra dan relaksasi, hipnosa, yoga dan meditasi : a. Relaksasi otot Relaksasi otot bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan. Bertein dan Borkovac,1973.et.all (dalam Nur Salim, 2005) interaksi relaksasi otot dapat diberikan melalui tape recorder, dengan demikian individu dapat mempraktekkannya sendiri di rumah. Menurut Bernstein dan Borkovec,1973.et.all (dalam Subandi dkk, 20025) ada tiga macam relaksasi otot, yaitu tension relaxation, letting go, dan difrential relaxation. 1. Tension relaxation Dalam metode ini individu diminta untuk menegangkan dan melemaskan masingmasing otot, kemudian diminta untuk merasakan dan menikmati perbedaan antara ketika otot tegang dan ketika otot lemas. Disini individu diberi tahu bahwa pada fase menegangkan akan membantu dia lebih menyadari sensasi yang berhubungan dengan kecemasan, dan sensasi-sensasi tersebut bertindak sebagai isyarat atau tanda untuk melemaskan ketegangan. Individu dilatih untuk melemaskan otot-otot yang tegang dengan cepat, seolah -olah mengeluarkan ketegangan dari badan, sehingga individu akan merasakan rileks. Pada mulanya prosedur pelemasan otot-otot dengan cepat ini dikenalkan oleh Lazarus dan Paul dikutip oleh Goldfried dan Davison(dalam Subandi, 2003). Otot yang dilatih adalah otot lengan, tangan, bisep, bahu, leher, wajah, perut dan kaki. Menurut Bernstein & Borcovec (dalam Cormier, 1985), terdapat beberapa kelompok otot dalam latihan relaksasi yang akan dilemaskan. Diantaranya adalah sebagai berikut: Menahan lengan dominan dengan menekuk siku dan membentuk sudut 45 derajat dengan membuat kepalan (tangan, lengan bagian bawah, dan otot biseps), Gerakan yang sama pada lengan non dominan, Beberapa otot wajah. Mengerutkan dahi, mata, memoncongkan atau menekan lidah pada mulut bagian atas, menekan bibir atau menarinya ke sudut mulut bagian dalam, Menekan atau membenamkan dagu di dada, Dada, bahu, punggung bagian atas, dan daerah perut, Paha ,betis, dan kaki. 1. Letting go Bertujuan memperdalam relaksasi. Pada fase ini individu dilatih untuk lebih menyadari ketegangannya dan berusaha sedapat mungkin untuk mengurangi serta menghilangkan ketegangan tersebut menurut Goldfried dan Davidson,1979 (dalam Subandi.dkk, 2002). 2. Differentioan Relaxation Digunakan untuk merilekskan otot yang ketegangannya berlebihan dan untuk merilekskan otot – otot yang tidak perlu tegang pada waktu individu melakukan aktivitas itu, menurut Berkin dan Borkanc,1973.et.all(dalam Subandi.dkk, 2002). b. Relaksasi kesadaran indra Relaksasi ini dikembangkan oleh Goldfried,1976(dalam Subandi dkk, 2003). Dalam teknik ini individu diberi satu pertanyaan yang tidak untuk dijawab secara lisan, tetapi untuk dirasakan sesuai dengan apa yang dapat atau tidak dapat dialami individu pada waktu instruksi diberikan. Instruksi relaksasi kesadaran indra juga dapat diberikan melalui tape recorder, sehingga dapat digunakan untuk latihan dirumah. c. Relaksasi melalui Hipnosa, Yoga dan Meditasi Metode ini merupakan suatu teknik latihan yang digunakan untuk meningkatkan kesadaran yang selanjutnya dapat membawa proses mental lebih terkontrol secara dasar. Tujuan : Agar seseorang dapat memiliki perkembangan insight yang paling dalam tentang proses mental di dalam dirinya. Seseorang memperoleh perkembangan kesejahteraan psikologis dan kesadaran identitas dan realitas yang optimal. Sebelum latihan relaksasi dilakukan, perlu diperhatikan mengenai lingkungan fisik (physical setting), sehingga individu dapat berlatih dengan tenang Bernstein dan Borkovic,1973:Goldfried.et.all(dalam Subandi dkk, 2002). Lingkungan fisik tersebut antara lain : a. Kondisi ruangan Ruangan yang digunakan untuk latihan relaksasi harus tenang, segar dan nyaman. Untuk mengurangi cahaya dan suara dari luar, jendela dan pintu sebaiknya ditutup. Penerang ruangan sebaiknya remang-remang saja, dan dihindari adanya sinar langsung yang mengenai mata individu, sehingga memudahkan mereka untuk berkonsentrasi. b. Kursi Dalam latihan relaksasi perlu digunakan kursi yang dapat memudahkan individu untuk menggerakkan otot dengan konsentrasi penuh. Berdasarkan pengalaman menggunakan kursi malas, sofa, atau kursi yang ada sandarannya akan mempermudah individu dalam melakukan relaksasi. Latihan relaksasi juga dapat dilakukan dengan berbaring di tempat tidur. c. Pakaian Pada waktu latihan relaksasi sebaiknya digunakan pakaian yang longgar, dan halhal yang mengganggu jalannya relaksasi (kacamata, jam tangan, gelang, sepatu, ikat pinggang) dilepas dulu. Selain lingkungan fisik yang harus dipersiapkan, dalam latihan relaksasi juga dipersiapkan individu yang akan dilatih relaksasi. Oleh karena itu terapis/pelatih harus memberitahukan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh individu dalam latihan relaksasi. Menurut Bernstein dan Borkovic,1973,et.all(dalam Subandi.dkk, 2002) hal-hal yang perlu diperhatikan oleh individu dalam latihan relaksasi antara lain : a. Latihan relaksasi merupakan suatu ketrampilan yang harus dipelajari, yaitu belajar untuk rileks. Individu tidak dapat mengharapkan untuk dapat melakukan dalam waktu yang cepat. Oleh karena itu melakukan praktek dengan disiplin dan teratur merupakan hal yang penting. b. Selama fase permulaan latihan relaksasi dapat dilakukan paling sedikit 30 (tiga puluh) menit setiap hari, selama fase tengah dan lanjut dapat dilakukan dua atau tiga kali setiap minggu. Jumlah sesi tergantung pada keadaan individu dan stressor yang dialami dalam kehidupannya. c. Ketika latihan relaksasi, maka harus diobservasi bahwa bermacam-macam kelompok otot secara sistematis tegang dan rileks. Ketegangan harus dikendorkan dengan segera, dan tidak boleh dihilangkan secara pelan-pelan. d. Dalam melakukan proses latihan relaksasi, yang penting individu dapat membedakan perasaan tegang dan rileks pada otot-ototnya. Selama otot- ototnya ditegangkan atau dirilekskan, perasaan-perasaannya harus dimonitor. e. Setelah suatu kelompok otot rileks penuh, apabila individu mengalami ketidaknyamanan sebaiknya kelompok otot tersebut tidak digerakkan meskipun individu mungkin merasa bebas bergerak posisinya. f. Pada waktu belajar relaksasi, mungkin individu mengalami perasaan yang tidak umum, misalnya gatal pada jari-jari, sensasi yang mengambang di udara, perasaan berat pada bagian-bagian badan, kontraksi yang tiba-tiba dan sebagainya. Apabila sensasi-sensasi seperti itu dialami, maka tidak perlu takut, karena sensasi tersebut merupakan petunjuk adanya relaksasi. Akan tetapi seandainya perasaan-perasaan tersebut masih mengganggu proses relaksasi, maka perasaan-perasaan itu dapat diatasi dengan membuka mata, bernafas sedikit lebih dalam dan pelan-pelan, mengkontraksikan seluruh badan. Kemudian latihan relaksasi dapat diulangi lagi. g. Pada waktu relaksasi individu tidak perlu takut kehilangan kontrol karena ia tetap berada dalam kontrol yang dasar. Untuk memperoleh kontrol terhadap diri sendiri dapat dilakukan dengan cara membiarkan segala sesuatunya terjadi. h. Dianjurkan latihan relaksasi tidak dilakukan dalam waktu satu jam sebelum tidur karena dalam latihan relaksasi kadang-kadang ada kecenderungan untuk tertidur. Hal ini harus dihindari, tujuan latihan adalah rileks sementara tetap terjaga. i. Perlu dimengerti bahwa kemampuan untuk rileks dapat bervariasi dari hari ke hari. Mungkin pada suatu hari dapat dicapai relaksasi yang dalam, tetapi pada hari lain tidak. Hal tersebut sangat tergantung pada keadaan fisiologis dan psikologis saat itu. j. Relaksasi akan menjadi efektif apabila relaksasi dilakukan sebagai metode kontrol diri. Beberapa bukti menyarankan bahwa peningkatan yang nyata akan terjadi jika individu merealisasikan relaksasi ketrampilan coping yang aktif untuk dipraktekkan dan diaplikasikan pada kehidupan sehari-sehari. Oleh karena itu penerapan relaksasi diharapkan adanya partisipasi aktif individu dalam memodifikasikan respon-respon terhadap peristiwa yang menekan. Dengan demikian diharapkan individu mempunyai tanggung jawab terhadap pengelolaannya sendiri. 5. Tahap-tahap relaksasi Cormier & Cormier (1985) mengemukakan bahwa strategi relaksasi terdiri atas 7 (tujuh) tahapan sebagai berikut: Rasional, Petunjuk tentang berpakaian, Menciptakan suasana yang nyaman, Pemodelan oleh konselor, Petunjuk untuk melakukan relaksasi, Penilaian pasca relaksasi, Pekerjaan rumah dan tindak lanjut. Berdasarkan pengamatan Burnstein & Borkovic (dalam Nelson, 1982), bahwa latihan relaksasi dengan memusatkan pada sekelompok otot terdiri atas 5 ( lima) unsur; focus (Pemusatan perhatian), yang berarti memusatkan perhatian pada sekelompok otot, Tense (tegang), yaitu merasakan ketegangan pada sekelompok otot, Hold (tahan), yaitu mempertahankan ketegangan antara 5 sampai 7 detik, Release (Lepas), yaitu melepaskan tegangan pada sekelompok otot, Relax (Rileks), yaitu memusatkan perhatian pada pelepasan ketegangan dan lebih lanjut merasakan keadaan rileks pada sekelompok otot. Berdasarkan tahapan relaksasi diatas, maka langkah-langkah relaksasi adalah sebagai berikut : Rasional, Petunjuk tentang berpakaian, Menciptakan suasana yang nyaman, Pemodelan oleh konselor. Petunjuk untuk melakukan relaksasi; menutup mata sampai relaksasi selesai, menggenggam tangan, menekuk kedua lengan ke belakang, menggerakkan bahu, mengerutkan dahi dan alis, menutup mata keras-keras, mengatupkan rahang, memoncongkan bibir, menekan kepala, melengkungkan punggung, membusungkan dada dan perut, mengambil nafas panjang, mengencangkan otot perut, meluruskan kedua telapak kaki, menekuk kaki di bagian pergelangan kaki, mengulangi gerakan berbagai kelompok otot, membuka mata, Penilaian setelah relaksasi, Pekerjaan rumah dan tindak lanjut. Metode Dalam penelitian ini menggunakan rancangan peneliti-an eksperimen dengan pretestposttest group design. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X yang memiliki kecemasan komunikasi tinggi. Pemilihan subyek penelitian dengan purposive sampling. Siswa yang menjadi subyek penelitian sebanyak 7 orang mendapat perlakuan bimbingan kelompok dengan topik tugas. Instrument pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket kecemasan komunikasi interpersonal. Eksperimen dilakukan peneliti dalam enam kali pertemuan. Setiap pertemuan kurang lebih 45-60 menit. Pertemuan pertama berisi pembinaan hubungan dan rasional serta penentuan kesepakatan waktu berikutnya dan kegiatan berikutnya. Pada pertemuan berikutnya mulai dikenalkan gerakan-gerakan relaksasi, latihan relaksasi yang dilaksanakan 4 kali agar siswa menguasai gerakan relaksasi, sehingga latihan relaksasi tersebut bisa membantu siswa untuk mengurangi kecemasan komunikasi yang dialami mereka. Mereka juga diberi tugas rumah untuk melakukan relaksasi di rumah agar lebih terlatih dalam melakukan relaksasi .Data dianalisis dengan tehnik analisis statistik deskriptif dan analisis uji jenjang Wilcoxon. Hasil dan Pembahasan Setelah data terkumpul melalui metode yang telah ditentukan tahap berikutnya adalah menganalisis data. Analisis data harus dilakukan dengan cermat dan teliti agar dapat dilakukan penarikan kesimpulan dengan benar. Analisis data dimaksudkan untuk menganalisis data yang terkumpul dengan menggunakan tehnik analisis tertentu. Melalui tehnik analisis ini akan diuji hipotesis yang diajukan, yang pada giliranya dapat diambil kesimpulan terhadap hasil penelitian tersebut. Dibawah ini disajikan data kecemasan komunikasi interpersonal yang dialami ke- 7 siswa tersebut. Hasil Analisis Pre test dan Post test (Uji Wilcoxon) No. 1 2 3 4 5 6 7 Nama WI SM IW NQ NR HP MS Pretest Xi Post-test Beda Yi (Yi-Xi) Pering kat (Yi-Xi) 141 144 137 141 141 149 169 89 119 119 95 125 106 97 - 52 -25 -18 -46 -16 -43 -72 2 5 6 3 7 4 1 Tanda Peringkat (+) (-) -2 -5 -6 -3 -7 -4 -1 0 Jumlah -28 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nomor urut yang bertanda positif=“ 0 “ sedangkan jumlah nomor urut yang bertanda negatif = - 28. Dengan demikian nomor urut dengan jumlah terkecil atau T=0. Berdasarkan tabel nilai kritis T untuk uji jenjang Wilcoxon dengan taraf signifikan 5 % dan N = 7 diperoleh Ttabel = 2 sehingga Thitung lebih kecil Ttabel (0 < 2) berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Hipotesis yang diajukan dapat diterima yaitu terdapat perbedaan skor tingkat kecemasan komunikasi interpersonal sebelum dan sesudah diberikan strategi relaksasi. Dengan demikian strategi relaksasi efektif atau dapat digunakan untuk membantu siswa mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal. Dari hasil pre-test dan post-test pada tabel di atas dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut: Kategori hasil Pre-Test Post Test 180 160 140 120 100 Pre test 80 Post test 60 40 20 0 WI SM IW NQ NR HP MS Pembahasan Berdasarkan hasil post-test diperoleh bahwa terdapat perubahan kecemasan komunikasi interpersonal siswa, yaitu berkurangnya kecemasan komunikasi yang dialami siswa. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis non parametrik yaitu uji Wilcoxon untuk membandingkan pre test dan post test diperoleh J hitung = 0 yaitu jumlah harga mutlak yang paling kecil. Dengan taraf signifikan 5% apabila N= 7 dari tabel didapat J tabel= 2. Dari sini dapat diketahui bahwa J hitung lebih kecil dari pada J tabel (Jh < Jt). Maka dapat diketahui perbedaan tingkat kecemasan komunikasi interpersonal siswa kelas X antara sebelum dan sesudah mendapat strategi relaksasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan terhadap kecemasan komunikasi interpersonal sebelum dan sesudah mendapat strategi relaksasi pada siswa. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan statistik non parametrik yaitu uji Wilcoxon untuk membandingkan Pre-Test dan Post-Test, diperoleh Jh=0, dengan taraf signifikansi 5% N=7 diketahui J tabel=2. Jadi J hitung lebih kecil dari pada J tabel (Jh < Jt). Sehingga dapat diketahui terdapat perbedaan tingkat kecemasan komunikasi interpersonal yang dialami siswa kelas X antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yaitu strategi relaksasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan skor antara Pre-Test dan Post-Test. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi relaksasi dapat digunakan untuk membantu mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal siswa kelas. Berdasarkan simpulan tersebut, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : Pertama,Bagi Konselor agar konselor sekolah dapat menerapkan strategi relaksasi sebagai metode untuk membantu mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal siswa. Kedua, bagi Peneliti lain yNG tertarik untuk meneliti tentang penggunaan strategi relaksasi untuk mengurangi kecemasan komunikasi interpersonal siswa, perlu adanya penambahan kelompok kontrol yang tidak dikenai eksperimen dan ikut dalam pengamatan DAFTAR RUJUKAN Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press Anwar, Syaifuddin.2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Atkinson, Rita.et.al.2002. Pengantar Psikologi. Jakarta : Interaksara Atkinson, Rita. 1991.Pengantar Psikologi. Jakarta : Interaksara Corey, Gerald. 2007. Konseling dan Psikoterapi. E-Koeswara : penerjemah. Bandung : Refika aditama Cormier,W.H & Cormier,L.S. 1985. Interviewing Strategies For Helpers. Monterey California: Brooks/Cole Publishing. Daradjat,Zakiah.1989.Kesehatan Mental.Jakarta:CV.Haji Masagung Goliszek, Andrew.2005.Manajemen stress; cara tercepat untuk menghilangkan rasa cemas.Sulistyo penyunting. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Gunarsa, Y. Singgih.1990. Psikologi Untuk Membimbing. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hakim, Thursan.2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta : Arcan. Kartini, Kartono.1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung : Mandar Maju Liliweri, Alo.1991. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung : Cipta Aditya Bakti Mahidin, Sambas Ali & Maman Abdurraan.2007. Analisis Korelasi Regresi & Jalur Penelitian. Bandung : Pustaka Setia Nursalim, Muhammad. 2005. Strategi Konseling. Surabaya : UNESA University Press. Rahmad Jalaludin. 1993. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosda Karya. Santoso, AM Rukky. 2001. Mengembangkan Otak Kanan. Jakarta: Pustaka Gramedia. Sobur, Alex.2003. Psikologi Umum. Bandung. Pustaka Setia. Subandi dkk. 2003. Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontempor Yogyakarta : Pustaka Belajar. Sudrajat. Akhmad.2008.Upaya Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah.( http akhmad sudrajat.wordpress.com / 2008 / 01 / 01 / diakses 25 maret 2009. Supratiknya. 1995. Komunikasi Antarpribadi.Yokyakarta:Kanisius.