audit forensik oleh akuntan publik sebagai salah satu bukti perkara

advertisement
EKUITAS
Akreditasi No.395/DIKTI/Kep/2000
ISSN 1411 – 0393
AUDIT FORENSIK OLEH AKUNTAN PUBLIK
SEBAGAI SALAH SATU BUKTI PERKARA
DI PENGADILAN
Sutjipto Ngumar*)
ABSTRACT
Audit Forensic is a falseness auditing, connected with criminal case and an audited with
falseness connected with governmental financial and other object including corruption
as a special criminal result. As the most cases corruption in the world, cleaning in the
whole level of corruption, collutin and Nepotism (KKN), the goverment of Indonesia
ask for assistance to Public Accountant to take Forensic Auditing for falseness done by
government and private apparatures.
This paper presented to know how far the special audit (Forensic) for financial can be
used as a falseness evidence in the law court. Forensic Audit Report presented by Public
Accountant, the audit procedures have been conformed with auditing standard and
investigate’s procedures arranged with Law Articles (KUHAP). By Joint Venture
between Public Accountant and investigator the falseness action which can not been
detected by auditing standard procedures the falseness like Collutions, and Nepotisme
can be broken – up.
Public Accountant as an expert witness has been executed his job, prepared in Forensic
Audit Statement, which content with unlawful actions by the Accused, it can be used as
an evidence’s tools in the law – court.
Key world
: Public Accountant, Falseness, Financial Statement, Audit Forensic.
1. PENDAHULUAN
Pada saat ini, hampir setiap hari selalu kita saksikan atau kita baca di beberapa media
elektronik dan media cetak berita tentang maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme, yang
sering disebut dengan KKN. Persepsi yang timbul di masyarakat adalah bahwa KKN itu
hanya terjadi pada instansi pemerintah dan perusahaan–perusahaan pemerintah yang
disebut dengan Badan Usaha Milik Negara / Daerah (BUMN / BUMD). Pertanyaan yang
*)
Drs.Sutjipto Ngumar, PhD.,Ak. Adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA)
Surabaya.

200
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
timbul di masyarakat apakah betul para penyelenggara negara kita, baik pejabat maupun
non pejabat mental atau imannya sudah rusak, ataukah karena rendahnya gaji pegawai
negeri sehingga untuk menutupi kebutuhannya mereka terpaksa melakukan korupsi. Namun jarang kita dengar adanya KKN khususnya korupsi terjadi pada perusahaan swasta.
Pertanyaann adalah apakah mental dan iman pejabat atau pegawai swasta sudah baik atau
apakah gaji atau pendapatan mereka sudah memadai sehingga tidak perlu korupsi.
Demikian pula sering kita baca di koran atau kita lihat / dengar di televisi atau radio,
bahwa negara Indonesia termasuk negara yang paling korup di dunia. Soejono Karni
(2000) mengutip majalah Gatra No. 37 tahun I bulan juli 1995, bahwa hasil penelitian
majalah Jerman Der Spiegel menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat
korupsi paling tinggi. Singapore dan Malaysia karena pemerintahannya maupun perusahaannya menggaji pegawai negeri dan pegawai swasta cukup tinggi, disana relatif tidak
ada korupsi. Dilihat dari segi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Budaya, Sumber
Daya Manusia Indonesia cukup prospektip, SDA cukup tersedia, SDB yang cukup bervariasi dan SDM yang cukup andal, seharusnya tidak ada korupsi namun karena kesalahan
pengelolaan dan pemanfaatannya barangkali menyebabkan Indonesia terpuruk seperti sekarang ini.
Tanpa mempertanyakan apakah yang melakukan KKN khususnya korupsi pegawai negeri
atau pegawai swasta, dampak perbuatan korupsi sangat luas. Praktek korupsi mengakibatkan kemiskinan masyarakat. Di lain pihak kemiskinan masyarakat merupakan salah
satu sebab timbulnya korupsi. Sebab lain timbulnya korupsi adalah karena kemampuan
pemerintah untuk menggaji pegawai negeri belum ada. Pemerintah belum mampu memberi gaji pegawai negeri cukup, disebabkan mungkin banyak penerimaan negara yang dikorup atau belum digalinya secara maksimal sumber–sumber penerimaan negara, serta di
pihak lain adanya praktek–praktek korupsi atau pemborosan dalam pengeluaran negara
(Soejono Karni, 2000).
Praktek–praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri maupun swasta, mulai dari
pembuatan kwitansi aspal, kwitansi fiktif atas pembelian, penerimaan dan pemakaian
barang sampai dengan adanya manipulasi proyek dan anggaran. Korupsi yang terjadi disebabkan rusaknya mental dan iman serta rendahnya pendapatan pegawai. Di lingkungan
perusahaan korupsi terjadi karena adanya kecurangan (Fraud) pejabat atau manajemen.
Kecurangan berarti manajemen secara sengaja mengemukakan hal–hal yang tidak benar
dalam laporannya yang mengakibatkan adanya penyimpangan dari laporan keuangan.
Manajemen disini menyangkut pegawai atau pemilik perusahaan yang mampu membuat
penyimpangan (distorsi) laporan keuangan karena tidak adanya pengawasan internal, atau
karena memang mereka merusak fungsi pengawasan internal.
Penyimpangan laporan keuangan berarti bahwa laporan keuangan itu tidak menunjukkan
secara wajar sesuai dengan prnsip–prinsip akuntansi yang berlaku umum dan dilaksana
Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
201
kan secara konsisten dengan tahun–tahun sebelumnya. Dengan ditemukan banyak kecurangan, maka untuk menemukan kecurangan itu, perusahaan menunjuk pemeriksa independen dalam hal ini Akuntan Publik untuk mengaudit adanya kecurangan tersebut. Namun demikian meskipun adanya audit atas kecurangan yang ada di perusahaan sudah dapat ditemukan, tidak menjamin tertutupnya kerugian yang diderita karena kekayaan yang
dicurangi itu sudah tidak ada lagi di tangan pelaku, dengan demikian kerugian atas kecurangan itu tetap menjadi beban perusahaan. Demikian pula walaupun Akuntan Publik
telah menemukan kecurangan atas auditnya, tidak akan menjamin dapat menghilangkan
kecurangan itu kalau peluang untuk berbuat kecurangan masih ada.
Di samping audit atas laporan keuangan akibat kecurangan yang dilakukan oleh manajemen, ada juga beberapa praktek kecurangan dan kejahatan yang terjadi di Indonesia
misalnya : (1) Manipulasi di sektor keuangan dan perbankan. (2) Kecurangan / kejahatan
pemakaian kartu kredit. (3) Penggelapan pajak oleh wajib pajak (Fiskus). (4) Pencucian
uang. (5) Dan lain–lain. Mengingat negara Indonesia termasuk salah satu kelompok
negara yang penuh dengan korupsi dan hampir 90 % korupsi di Indonesia melawan
hukum (Soejono Karni, 2000). Untuk mengatasi masalah korupsi itu maka bagi Akuntan
Publik selaku auditor, di masa reformasi ini merupakan harapan dan tantangan. Audit
yang dilaksanakan untuk mendeteksi kecurangan yang merupakan tindakan melanggar
hukum merupakan pekerjaan baru bagi Akuntan Publik yang disebut audit forensik yaitu
audit yang berhubungan dengan hukum di Indonesia, yang meliputi audit terhadap
kecurangan yang menyangkut swasta dan audit kecurangan negara dan bidang lain yang
termasuk obyek korupsi.
2. KECURANGAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN
Perkembangan ekonomi di abad millenium dewasa ini, sebagai akibat dari proses pembangunan menuju globalisasi, telah membuat dunia semakin terbuka. Peningkatan keterbukaan ekonomi global ini memicu dan memacu perkembangan teknologi yang pesat di
bidang transportasi, telekomunikasi dan travel, sehingga peristiwa ini oleh Dorodjatun
Kuntjoro Jakti (1995) dijuluki sebagai ”Triple T Revolution” dan dampaknya terasa
disemua bidang, baik bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan militer, serta melibatkan banyak negara dan masyarakat dunia.
Akibat ”Triple T Revolution” tersebut disadari atau tidak, persaingan usaha semakin tajam. Tiap–tiap perusahaan / lembaga / organisasi berupaya dengan kuat untuk menggali
semua potensi yang ada agar tetap survive dan dapat memenuhi semua kebutuhan dan
keinginan masyarakat yang semakin meningkat. Berkaitan dengan perkembangan perekonomian yang cukup prospektip tersebut, berbagai masalah mulai muncul di permukaan,
antara lain timbulnya berbagai bentuk penipuan, penggelapan, manipulasi, korupsi serta
kejahatan dan kecurangan baru baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial.

202
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
Berkaitan dengan maraknya kecurangan penyajian laporan keuangan, para pelaku kecurangan berusaha mencari dan memanfaatkan berbagai kelemahan yang ada pada prosedur, tata kerja, perangkat hukum, kelemahan para pegawai maupun pengawasan yang belum sempat dibenahi (Ummu Hani at ; al, 1993). Pada dasarnya kecurangan atau fraud
menurut (Aren & Loebbecke, 1996) adalah suatu ketidakberesan dari tindakan ilegal
yang bercirikan penipuan dengan sengaja. Kecurangan dapat dilakukan untuk manfaat
dan atau kerugian organisasi oleh orang di luar atau di dalam organisasi. Beberapa contoh
bentuk kecurangan bermuara pada keuntungan pribadi atau golongan / kelompok
(organisasi) diantaranya adalah : (1) Adanya penjualan assets perusahaan tanpa otorisasi.
(2) Pembayaran ilegal kepada pihak–pihak yang tidak berhak menerima, bisa berbentuk
penyuapan, perjanjian negatif antara pegawai, penjual atau pembeli. (3) Menyajikan atau
menilai transaksi yang tidak benar, sehingga berakibat merugikan asset, hutang ataupun
laba perusahaan. (4). Menyembunyikan atau tidak melaporkan suatu kejadian atau data
yang cukup material bagi perusahaan. (5) Tidak mencantumkan catatan atas beberapa
informasi yang material dengan maksud untuk memanipulasi angka laporan keuangan,
sehingga laporan keuangan itu terkesan ”Window Dressing”. (6) Melakukan transaksi
related party, sehingga ada kick back karena adanya arm’s length transactions. (7)
Melaksanakan transaksi yang melanggar standar, peraturan–peraturan maupun ketentuan–
ketentuan yang ada dalam perusahaan.
Dalam lingkungan perusahaan kecurangan yang dilakukan manajemen adalah dengan
sengaja membuat laporan keuangan yang tidak benar dan menyesatkan, untuk tujuan
audit kesengajaan penyajian laporan keuangan yang menyesatkan ini perlu disimak. Ada
dua jenis kesengajaan membuat laporan yang tidak benar yaitu :
1.
Manajemen menyajikan laporan keuangan yang diajukan kepada Akuntan Publik
membuat pos–pos atau hal–hal yang tidak benar, yang jumlahnya atau nilainya
cukup material, sehingga laporan keuangan merugikan stakeholder. Misalkan
manajemen menyajikan laporan transaksi pembelian yang tidak benar. Kecurangan
pembelian biasanya dilakukan dengan jalan mark–up harga yang dituliskan dalam
faktur. Kecurangan pembelian hampir selalu terdapat dalam pengkreditan yang salah
dalam rekening kreditur, apalagi itu bila terjadi pada pembelian fiktif. Utang yang
timbul dilunasi perusahaan bukan kepada supplier tetapi kepada pelaku kecurangan.
Dalam transaksi ini walaupun rekening dapat dibukukan tetapi pelaku kecurangan
tidak mampu menyiapkan bukti–bukti pendukung yang lenyap, kecuali kalau ada
kolusi dalam perusahaan. Dalam pembelian fiktif seperti tersebut diatas, rekening
utang fiktif akan ketahuan setelah ada rotasi pejabat baru yang menangani
pembelian.
Sebagai contoh dapat digambarkan pada tabel berikut ini :

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
203
Hubungan Antara Penunjukkan Kabag. Pembelian
dengan Penunjukkan Supplier
Supplier
Amir
Budi
Chandra
Denny
Tanggal Transaksi
Pembelian
(Pertama Kali)
12 April 1999
1 Januari 1993
12 Pebruari !983
1 Januari 1996
Kabag. Pembelian yang
Berwenang Melakukan
Pembelian
Philipus
Philipus
Philipus
Zainal
Tanggal
Penunjukkan
Kabag. Pembelian
1 Maret 1999
12 Sptember 1996
Berdasarkan tabel diatas timbul pertanyaan apakah para supplier yang ditunjuk oleh
Kabag. Pembelian tersebut syah atau tidak. Dari tabel diatas auditor perlu meyakinkan keabsahan supplier. Misalkan auditor dapat membandingkan alamat dan nomor
telepon para supplier dengan data karyawan perusahaan, untuk memastikan apakah
karyawan (bagian pembelian) menggunakan supplier fiktif dengan menggunakan
data (alamat, nomor telepon, SIUP) saudaranya atau teman dekat bagian pembelian.
Persoalan yang ada adalah setelah Kabag. Pembelian yang baru ditunjuk (Zainal),
mungkin ada rekening utang yang kemudian muncul. Karena kemungkinan supplier
yang lama (Philipus) memilih supplier yang telah dikenal (karena KKN). Yang perlu
diwaspadai atas transaksi pembelian adalah adanya : (1) Rekening–rekening yang
dihapus. (2) Rekening–rekening yang baru timbul. (3) Trend yang tidak wajar atas
suatu rekening. (4) Pengkreditan atas suatu rekening selain dari barang diterima pendebetan rekening selain kas, rekening–rekening tersebut diatas perlu membandingkan rekening pembelian tahun berjalan dengan tahun sebelumnya.
2.
Manajemen mengajukan laporan keuangan kepada Akuntan Publik dengan hal–hal
yang tidak benar, sehingga auditor membuat beberapa koreksi sebelum laporan
keuangan langganan diterbitkan. Dengan demikian setelah diadakan koreksi atas
beberapa transaksi tidak ada catatan tentang hal–hal yang dinyatakan tidak benar.
Manajemen misalnya menyajikan laporan penjualan dengan angka–angka yang tidak
benar. Kecurangan penjualan berupa manipulasi penjualan yang diikuti dengan
pengiriman barang, tetapi tanpa pendebetan pada rekening debitur. Verifikasi atas
penjualan dilakukan melalui penelitian atas sumber–sumber dokumen. Akuntan
harus dapat meyakinkan bahwa transaksi tersebut telah dibukukan dengan rekening
yang tepat. Sumber–sumber dokumen yang menyangkut penjualan misalnya : bukti–
bukti transaksi kredit, bukti–bukti pembayaran PPN, laporan penjualan dan catatan
piutang. Dalam penjualan fiktif, pemeriksaan dilakukan atas kewajaran pencatatan
dalam buku besar dan menyangkut perbandingan dengan data sejenis.

204
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
Contoh dapat digambarkan pada tabel berikut :
Dampak Kecurangan Laporan Penjualan
dalam Analisis Trend
Uraian
Penjualan
PPN
Piutang
1996
100
100
100
1997
125
115
110
Tahun
1998
140
130
105
1999
140
110
180
2000
160
130
230
Dalam analisis trend penyajian dilakukan atas rekening–rekening penjualan, PPN dan
piutang pada tiap–tiap periode. Data yang digunakan untuk pengujian berupa : (1)
Rekening Buku Besar. (2) Neraca dan (3) Anggaran.
Dalam laporan penjualan, kecurangan terjadi adanya pemberian potongan yang cukup
besar pada pembeli dengan harga yang paling rendah. Untuk hal diatas atas perbedaan
harga dan potongan yang terlalu besar tersebut harus dikoreksi sehingga laporan piutang
dan potongan penjualan setelah dikoreksi akan menunjukkan harga yang benar. Koreksi–
koreksi juga dilakukan atas (1) Saldo–saldo piutang yang melampaui plafond kredit. (2)
Pembayaran piutang yang melampaui limit waktu pembayaran. (3) Pengiriman barang
sample ke cabang atau pengiriman barang kepada langganan tanpa pendebetan rekening
pelanggan tersebut.
Dalam contoh tabel diatas yang menjadi pusat perhatian auditor adalah pada rekening
piutang, untuk mendeteksi adanya : (1) Lapping atas pembayaran piutang. (2) Munculnya
kreditur fiktif. (3) Munculnya kreditur yang bangkrut. Dampak atas kecurangan penjualan
adalah adanya rasio dan kinerja rekening–rekening yang terbaik dan kebijaksanaan
penjualan, penagihan piutang dan diskon yang diberikan kepada pelanggan. Seorang
pelaku kecurangan penjualan / penagihan piutang tidak dapat menjamin bahwa
perbuatannya dalam jangka waktu tertentu tidak akan terdeteksi oleh perusahaan. Karena
tidak terdeteksi pelaku kecurangan cenderung lupa diri, tetapi jika ada pengendalian
intern yang memadai dan pengawasan yang diintensifkan, pelaku kecurangan penjualan
tidak punya kesempatan yang luas untuk mengulangi perbuatannya. Pelaku kecurangan
penjualan / penagihan piutang menentukan waktu dan usaha untuk menciptakan
kesempatan baru. Ketidak teraturan kesempatan memberi dampak yang tidak konsisten
kepada pelaku dalam melakukan kecurangan. Tabel diatas menunjukkan akibat perbuatan
kecurangan bagian penjualan / penagihan piutang dalam laporan keuangan perusahaan.
Kecurangan–kecurangan manajemen dalam menyajikan laporan keuangan, meliputi
manipulasi, pemalsuan atau penghapusan dari catatan pembukuan atau dokumen, penghapusan informasi yang penting dari catatan / dokumen, mencatat transaksi pembukuan tanpa bukti transaksi. Tindakan–tindakan tersebut diatas biasanya disertai dengan penggunaan catatan yang palsu, dokumen yang menyesatkan, melibatkan beberapa anggota ma
Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
205
najemen atau pihak lain untuk melancarkan perbuatan kecurangan. Ada dua klasifikasi
tindakan manajemen yaitu : (1) Fungsi dari laporan keuangan dalam melaksanakan suatu
tindakan kecurangan. (2) Apakah perusahaan atau si pelaku kecurangan (manajemen)
menerima keuntungan yang langsung dari akibat yang timbulatas tindakan itu (Satrio
Pandito, 1999). Sistem klasifikasi kecurangan manajemen dapat digambarkan pada tabel
berikut :
Klasifikasi Tindakan yang Meliputi Kecurangan Manajemen
Fungsi dari Laporan
Keuangan dalam
Kecurangan
I. Sengaja distosi laporan
keuangan sebagai alat untuk
bertindak curang dengan
mengecoh pemakai atau
kelompoknya tentang hasil
usaha / posisi perusahaan
Penerima Keuntungan
Langsung
a.
Perusahaan
Tujuan Khusus Tindakan
1.
2.
3.
II.Sengaja distorsi laporan
keuangan untuk penyamaran
tindakan kecurangan. Bila
para pemakai, atau
kelompok disesatkan
terhadap posisi / hasilnya,
ini bisa insidentil terhadap
tujuan tindakan awal atau
bentuk tindakan terpisah
dari tindakan kecurangan.
Mendapatkan kredit, modal
jangka panjang atau
tambahan modal investasi
berdasarkan informasi
keuangan yang didistorsi
atau dihapus dari laporan
keuangan menurut GAAP.
Menyembunyikan kinerja
tidak baik dari perusahaan.
Menghapus hutang pajak.
b.
Pelaku kejahatan.
1.
2.
Manipulasi harga saham.
Menyembunyikan kinerja
tidak baik oleh manajemen.
a.
Perusahaan
1.
Menyembunyikan
penjualan / penempatan
fiktif atau harta milik
dipalsukan.
Menyembunyikan aktvitas
bisnis yang terlarang.
Menyembunyikan
pembayaran yang tidak
benar / beres.
2.
3.
b.
Pelaku Kejahatan
1.
Menyembunyikan
kejahatan penyelewengan
dari dana atau harta.
Sumber : Satrio Pandito (1999 – VIII)

206
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
Dalam tabel seperti disebutkan diatas fungsi laporan keuangan yang didistorsi dan bermacam–macam keuntungan menjadi 4 kategori sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Laporan keuangan disajikan dengan tidak benar, sehingga menyesatkan pengguna
laporan keuangan. Kecurangan yang dibuat oleh manajemen (misalnya dengan mengubah metode penilaian persediaan, menyajikan beban dalam aktiva), akan membawa perusahaan menerima keuntungan langsung atas kecurangan penyajian laporan
keuangan tersebut.
Kecurangan atas penyajian laporan keuangan, yang pada gilirannya akan merugikan
stakeholder, misalkan adanya uang komisi pembelian, potongan pembelian yang tidak disetor ke perusahaan, yang menerima keuntungan langsung atas kerugian perusahaan itu adalah pelaku kecurangan.
Laporan keuangan disajikan tidak benar, dengan cara (secara tersamar) oleh manajemen, seolah–olah perusahaan mempunya suatu asset atau utang modal misalnya
dengan mendebet asset pribadi sebagai asset perusahaan, barang konsinyasi sebagai
aktiva untuk perusahaan. Atas tindakan mendistorsi laporan keuangan semacam ini
yang menerima keuntungan langsung adalah perusahaan.
Laporan keuangan disajikan secara tidak benar dengan cara secara sengaja menutupi
kejahatan, misalnya menyajikan laporan pembelian persediaan lebih besar dari yang
seharusnya, melaporkan penerimaan dana sumbangan lebih kecil, Atas tindakan
mendistorsi laporan keuangan semacam ini yang memperoleh keuntungan langsung
adalah pelaku kecurangan.
Akibat kecurangan klasifikasi pertama bila kinerja perusahaan sudah mulai menurun, maka beban yang telah disajikan sebagai aktiva dan didepresiasi (padahal beban itu seharusnya sudah dikeluarkan tahun–tahun yang lalu) akan mengurangi laba perusahaan, demikian pula mengubah metode penilaian persediaan dari FIFO ke LIFO akan mengurangi laba
perusahaan, akibatnya pemegang saham atau fiskus dirugikan. Akibat kecurangan klasifikasi kedua, kalau tindakan itu berlangsung cukup lama, ada kecenderungan harga pokok
barang penjualan menjadi tinggi (karena korupsi dan potongan harga tidak dilaporkan).
Akibatnya perusahaan tidak dapat bersaing dalam menentukan harga jual, yang pada
akhirnya omzet penjualan semakin menurun, stakeholder menderita kerugian, pelaku kecurangan memperoleh keuntungan / pendapatan yang tidak wajar.
Pada Kecurangan klasifikasi ketiga menggambarkan keadaan perusahaan seakan–akan
cukup baik keadaannya (Window Dressing). Aktiva milik pribadi atau milik orang lain
disajikan sebagai milik perusahaan. Akibatnya solvabilitas atau rentabilitas menjadi lebih
tinggi seolah–olah kinerja perusahaan cukup baik, para stakeholder sementara terkecoh
oleh Window Dressing perusahaan. Kecurangan klasifikasi keempat, karena pembelian
dilaporkan lebih besar dari yang seharusnya dan dana sumbangan dilaporkan lebih kecil,
membawa efek harga harga pokok barang meenjadi lebih tinggi, aliran dana ke
perusahaan menjadi berkurang, kelancaran perusahaan menjadi terganggu karena laporan
laba cenderung menurun, perolehan deviden pemegang saham semakin mengecil.

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
207
Kesimpulannya adalah bahwa tindakan kecurangan seperti empat klasifikasi diatas
mempunyai pengaruh pada perusahaan. Bagi auditor ini merupakan hal yang penting
untuk mendeteksi setiap metode klasifikasi kecurangan diatas. Manajemen mungkin akan
terlibat dalam setiap macam kecurangan, misalnya kecurangan dengan sengaja membuat
laporan yang tidak benar akhirnya dapat menjurus kepada jumlah angka yang palsu atau
penghapusan suatu rekening tertentu dalam laporan keuangan.
3. MENDETEKSI KECURANGAN
Kecurangan atas laporan keuangan dengan membuat laporan keuangan lebih baik, lama–
kelamaan akan dapat terdeteksi. Mengapa ? karena performance suatu perusahaan tidak
hanya ditentukan oleh laporan keuangan saja, tetapi juga dilihat prospek bussines,
manajemen dan SDM yang terlibat dalam perusahaan. Perlu dikaji apakah benar semua
SDM mulai dari top sampai lower manajemen sudah merasakan keuntungan perusahaan
atau yang merasa diuntungkan top dan middle manajemen saja, sedangkan bawahan
menjadi tumbal perusahaan saja, dengan alasan demi efisiensi mereka dibayar dengan
gaji kecil maksimal sebesar UMR, tidak ada pensiun, rekreasi dan bonus tahunan.
Memang karena ada efisiensi laba menjadi besar tetapi besarnya laba itu bukan karena
meningkatnya revenues akibat afisiensi expenses, tetapi karena adanya penekanan
beban–beban SDM, adanya pengorbanan yang tidak seharusnya terhadap SDM tertentu.
Perusahaan karena labanya tinggi dapat memberikan deviden yang tinggi bagi pemegang
saham dan bonus serta tantiem yang tinggi kepada para manajer, tetapi kehidupan bawahan tetap, bawahan hanya jadi permainan saja, dalam organisasi atau perusahaan semacam itu antara top, middle dan lower saling memainkan bawahannya mulai komisaris,
direksi, manajer. Pola saling mempermainkan mulai level komisaris sampai manajer terhadap para bawahannya dapat dilihat seperti gambar berikut ini :
1
komisaris
2
direksi
3
manajer
4
lower manajer
5
Pegawai
bawahan
Sumber : D. Muhammad 1999 – IX (diolah penulis)

208
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
Keterangan :
1. Komisaris yang kerjanya hanya main – main.
2. Direksi yang bukan main kuasanya terhadap perusahaan.
3. Manajer yang ikut main dalam perusahaan.
4. Lower manajer yang biasa memainkan bawahan.
5. Pegawai bawahan yang selalu menjadi sasaran permainan atasannya.
Dalam piramida permainan tersebut diatas pegawai bawahan berada pada posisi yang
paling tidak enak, mereka hanya menjadi permainan kecurangan atasannya saja yaitu
lower manajer, mereka kerja keras tetapi hasilnya sebagian dicurangi oleh lower manajer
dengan berbagai alasan. Lower manajer juga akan dipermainkan oleh middle manajer,
middle manajer juga dipermainkan oleh manajer, manajer juga dipermainkan oleh direksi
dan para direktur yang ikut mengelola perusahaan. Middle manajer mencurangi lower
manajer dengan menciptakan biaya–biaya fiktif dan mau tidak mau lower manajer harus
menyetujui anggaran biaya perjalanan manajer dari 3 hari menjadi 5 hari.
Manajer yang ikut main dalam perusahaan dicurangi oleh direksi yang kekuasaannya
bukan main dalam perusahaan, misalnya direktur menerima komisi dari supplier, ikut
menentukan supplier dan besarnya anggaran perusahaan. Di lain pihak direksi dicurangi
oleh komisaris yang kerjanya hanya main–main saja, karena dia menghayati tugas selaku
pengawas dan wakil pemegang saham. Datang ke kantor sebulan sekali atau kalau ada
rapat, Kalau ke kantor ngobrol dengan direksi–direksi, kalau rapat hanya diam saja
(karena tidak mengerti persoalan perusahaan). Seperti kerjanya DPR kita (dulu ?) yang
kalau ada rapat kiatnya 5 D yaitu : datang, duduk, dengar, diam dan duit. Oleh karena
kecurangan–kecurangan yang ada seperti disebutkan diatas menjadi tugas Akuntan Publik
untuk mendeteksi adanya kecurangan–kecurangan tersebut secara dini, sehingga semua
nuansa Window Dressing yang dibuat oleh perusahaan dapat dicegah. Tujuan mendeteksi
kecurangan adalah : (1) Untuk menciptakan iklim yang sehat dan menguntungkan
perusahaan dengan mencegah terjadinya kerugian perusahaan akibat adanya kecurangan.
(2) Pengembalian kerugian kepada perusahaan akibat adanya kecurangan.
Dalam pendeteksian kecurangan Akuntan Publik perlu memperhatikan hal–hal sebagai
berikut (Soejatno Soenarsoebroto, 1993) diantaranya adalah :
1. Jangan meninggalkan hal–hal yang jelas karena penyelidikan atas kecurangan tidak
selamanya komplek, serta kebanyakan kecurangan meninggalkan jejak yang jelas.
2. Selalu memperhatikan penyimpangan yang terjadi dan tidak mencari penyelesaian
yang komplek, pendeteksian selalu dimulai dengan kasus yang paling sederhana.
3. Berkonsentrasi pada titik yang paling lemah dan sederhana di dalam kecurangan.
4. Kegiatan mendeteksi dan mencegah kecurangan bersifat routine, bukan insidentil.
5. Tujuan utama mendeteksi kecurangan adalah mencegah terjadinya kecurangan,
bukan mendeteksi seluruh kecurangan.

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
209
6.
Adapun kecurangan–kecurangan yang perlu dideteksi karena efeknya cukup besar
dalam kerugian perusahaan meliputi :
a. Pembelian.
Kecurangan di bidang ini terjadi biasanya dilakukan dengan menambah atau
meninggikan nilai dalam faktur pembelian, dengan mengkredit (K) rekening utang
dagang lebih besar atau dapat pula kecurangan dilakukan dengan pembelian secara
fiktif. Cara mengatasi perlu dilihat prosedur pembelian, persyaratan tertentu, data
supplier perusahaan dan penggunaan barang. Untuk faktur pembelian apakah unsur–
unsur faktur pembelian seperti alamat dan nomor telepon supplier ada atau tidak ada,
kalau tidak ada perlu diteliti lebih lanjut. Demikian pula yang perlu diwaspadai oleh
auditor bilamana tagihan utang itu bukan faktur asli, faktur dikirim tidak melalui
pos, serta rincian barang yang dibeli tidak jelas kode, kuantitas dan harganya.
b. Penjualan dan Pemasaran.
Penjualan dan pemasaran merupakan jantungnya perusahaan. Kecurangan di bidang
ini biasanya pengiriman barang kepada langganan tetapi tidak didebet pada rekening
piutang dagang. Oleh karena itu auditor perlu mewaspadai kelengkapan dokumen–
dokumen penjualan, untuk meyakinkan memang terjadi penjualan kepada langganan
tertentu dan transaksi tersebut telah dibukukan secara benar, baik jumlah, harga,
syarat pembayaran, potongan–potongan yang diberikan. Untuk menghindari
kemungkinan kecurangan pengiriman barang contoh (sampel) perlu diteliti prosedur
pengiriman barang contoh ke gudang, serta pengiriman barang pada pihak ketiga,
apakah barang yang sudah dikirim tersebut didebet pada rekening pihak ketiga.
Untuk mendeteksi kecurangan lapping and tax perlu meneliti nota kredit dengan
membandingkan apakah ada penerimaan barang yang disetor tersebut ke gudang.
Demikian pula perlu diteliti surat–menyurat dengan pembeli misalnya adanya klaim
dari konsumen (pembeli), kalau hal tersebut terjadi auditor perlu mentrasir surat
pesanan pengiriman barang dan faktur penjualan. Untuk meyakinkan adanya
pelunasanan piutang sudah dicatat ke rekening piutang, perlu ditrasir piutang
tersebut ke buku kas dan bukti pembayaran, nama pembayar serta tanggal
pembayaran. Apakah ada pembayaran dari debitur (A) dibukukan ke debitur lain (B)
untuk menutupi kecurangan dari lapping.
c. Persediaan.
Persediaan barang merupakan salah satu elemen untuk menentukan laba–rugi
perusahaan melalui penjualan barang. Karena merupakan usaha pokok perusahaan,
catatan–catatan tentang persediaan perlu dideteksi secara teliti, catatan atas
persediaan (produk) yang mempunyai turn over cukup lama. Adanya jenis produk
yang ada dalam persediaan (produk A) padahal produk tersebut tidak tercatat pada
persediaan tahun sebelumnya, demikian pula sebaliknya produk B ada dalam
persediaan tahun yang lalu, tetapi tidak tercatat dalam rekening persediaan tahun

210
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
berjalan. Perlu diteliti adanya koreksi atas catatan persediaan, karena adanya
perbedaan harga dan jumlah pada waktu inventory taking akhir tahun. Dalam hal
pelaksanaan inventory taking perlu kiranya diperhatikan mutasi barang terhadap
kewajaran persediaan perputaran serta ruang / gudang yang tersedia. Perlu diteliti
catatan kerja bagian persediaan pada saat inventory taking, serta meneliti kebenaran
barang dalam perjalanan (goods in transit).
Ketiga rekening dalam laporan keuangan yang telah disebutkan diatas merupakan titik
rawan yang sering digunakan untuk berbuat kecurangan. Dalam hal–hal tertentu
keberhasilan perbuatan kecurangan disebabkan kepandaian pelaku untuk menghilangkan
jejak atas ketidak benaran transaksi–transaksi yang dia lakukan. Dengan melakukan
deteksi atas catatan pembukuan perusahaan gejala adanya manipulasi dapat diidentifikasi,
sehingga dapat diketahui kemungkinan terjadinya kecurangan yang akhirnya bisa
dilakukan kepada penyelidikan (LID) dan penyidikan (DIK) terhadap suatu kasus yang
terjadi dalam transaksi perusahaan.
4. LAPORAN AUDIT FORENSIK SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN
Hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Akuntan Publik, merupakan alat komunikasi
auditor dengan para pengguna laporan keuangan. Dalam laporan tersebut Akuntan Publik
sebagai auditor menyatakan pendapatnya atas kewajaran laporan keuangan yang
diperiksanya. Audit atas laporan keuangan timbul karena adanya dua kepentingan
berbeda untuk mengambil keputusan ekonomi atas kepentingannya terhadap perusahaan,
maka stakeholder memerlukan informasi perusahaan yang salah satunya informasi
laporan keuangan. Pimpinan perusahaan berkewajiban menyampaikan informasi
pertanggungjawaban dana yang berasal dari pihak luar, sedangkan pihak luar perusahaan
membutuhkan informasi yang dapat dipercaya dari pimpinan perusahaan mengenai
pertanggungjawaban dana yang berasal dari pihak luar, sedangkan pihak luar perusahaan
membutuhkan informasi yang dapat dipercaya dari pimpinan perusahaan mengenai
pertanggungjawaban atas dana yang telah diinvestasikan pihak luar perusahaan. Adanya
dua kepentingan yang berlawanan di atas menyebabkan timbulnya pekerjaan audit yang
dilakukan oleh Akuntan Publik. Hubungan antara auditor perusahaan dan shareholder
dapat digambarkan sebagai berikut :

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
211
Shareholder
Manajemen
Perusahaan
Laporan
Keuangan
Auditor
Dari gambar di atas, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Manajemen perusahaan memerlukan jasa auditor (Akuntan Publik) agar supaya pertanggungjawaban keuangan (dalam bentuk laporan keuangan) yang disajikan kepada pihak
luar (Shareholder) dapat dipercaya. Shareholder (pihak) luar perusahaan memerlukan jasa
pihak ketiga (auditor) untuk memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan yang
disajikan oleh manajemen perusahaan dapat dipercaya dalam rangka untuk mengambil
keputusan ekonomi. Dengan demikian baik manajemen perusahaan, ataupun shareholder
memerlukan jasa auditor (Akuntan Publik), dan auditor sebagai pihak yang dipercaya
harus dapat meyakinkan atas auditrnya apakah laporan keuangan itu meyakinkan atau
tidak, melalui opini atas hasil pemeriksaan apakah laporan keuangan itu wajar atau tidak
wajar.
Di Indonesia perusahaan–perusahaan swasta baru memerlukan jasa auditing jika stake
holder (kreditur) mewajibkan perusahaan menyerahkan laporan keuangannya yang telah
diperiksa oleh Akuntan Publik (Mulyadi, 1995). Dengan demikian audit akan dilaksanakan hanya karena terpaksa bukan merupakan suatu kebutuhan. Audit dapat dikelompokkan menjadi general audit dan special audit (Halmus 1996). General Audit merupakan
pemeriksaan atas laporan keuangan, special audit pemeriksaan khusus, seperti pemeriksaan kas, pemeriksaan utang piutang dan sebagainya. Soejono Karni (2000) mengelompokkan audit dalam : (a) Compliance Audit. (b) Recommendating Audit. (c) Quality
Assurance.
Compliance Audit dikelompokkan menjadi (1) Financial Audit. dan (2) Legal Auditing,
Fraud Auditing dan Forensik Auditing.
Audit Kecurangan (Fraud Auditing) adalah audit yang bertujuan untuk menentukan kecurangan, sedangkan audit forensik (Forensik Auditing) adalah audit yang berhubungan
dengan hukum. (Soejono Karni, 1999). Hukum yang dimaksud adalah hukum yang ber
212
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
laku di suatu negara, termasuk Indonesia, maka hukum dan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Audit forensik timbul sejak timbulnya kasus Andi. M. Ghalib, di
mana auditnya harus dilakukan dengan special audit, bukan financial audit dengan
melibatkan Akuntan Publik, dalam special audit yang berbau KKN berarti hasil auditnya
nanti akan menjadi salah satu bukti di pengadilan, kalau kasus KKN itu disidangkan.
Bagi Akuntan Publik yang memperoleh penugasan audit yang berkasus KKN berarti
Akuntan Publik harus mendalami audit forensik, di samping memahami auditing, dan
akunting harus mengerti pula masalah hukum, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sampai sekarang belum memberikan definisi tentang
audit forensik. Audit forensik diperlukan adanya berbagai kasus, yang menjurus ke
pelanggaran pidana yang akan memerlukan kesaksian akuntan. Kasus–kasus yang
memerlukan kesaksian akuntan tersebut misalnya : (1) Penggelapan pajak. (2) Kredit
macet, mark-up investasi. (3) Penggelapan keuangan oleh manajemen perusahaan.
(4) Pelanggaran peraturan pasar modal. (5) Sengketa hutang piutang dan (6) Sengketa
antar pemegang saham, keenam kasus tersebut di atas ada kecenderungan diajukan ke
pengadilan karena adanya unsur pidana.
Perbedaan dengan audit khusus, kalau audit khusus dilakukan karena adanya permintaan
dari dewan komisaris atau manajer atau atas kewenangan lembaga audit. Audit forensik
dilakukan atas permintaan penyidik kepada Akuntan Publik didasarkan pada pasal 120
ayat (1) KUHAP (Soejono Karni, 2000) yang menyebutkan “ Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus “. Penyidik dimaksud disini pihak kepolisian atau kejaksaan. Permintaan bantuan
tenaga ahli kepada auditor dapat dikelompokkan (1) Auditor dianggap sebagai tenaga
ahli. (2) Untuk menghitung kerugian negara. Sebagai tenaga ahli bilamana auditor sulit
atau bahkan tidak mungkin menghitung kerugian negara, misalnya auditor tidak dapat
menghitung kerugian akibat pembuatan jalan yang sudah berjalan 3–5 tahun. Kalau
auditor sesuai keahliannya dapat menyimpulkan dan menghitung kerugian negara, maka
ia akan menerima penugasan sebagai Akuntan Forensik. Akuntan forensik dalam
melaksanakan tugasnya perlu mengumpulkan bukti-bukti audit di antaranya : bukti
dokumen, bukti fisik, konfirmasi observasi, interview, prosedure analitis. Bukti-bukti
tersebut harus merupakan bukti yang kompeten dan andal, karena bukti–bukti tersebut
merupakan bukti pendukung, apabila laporan audit dipakai dalam sidang pengadilan pada
perkara pidana, sistem pembuktian dalam audit forensik dikategorikan sebagai berikut
(M. Yahya Harahap, 1993) :
a. Convection – in time, bahwa bukti keterlibatan terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim.
b. Convection–raisance, bahwa keterlibatan terdakwa selain ditentukan oleh keyakinan
hakim, tetapi faktor keyakinan itu dibatasi / didasari dengan alasan-alasan yang jelas.

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
213
c.
d.
Pembuktian menurut Undang–undang secara positip, bahwa kesalahan terdakwa
didasarkan pada alat bukti yang sah. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian
dengan alat–alat yang ditentukan oleh Undang–undang.
Pembuktian menurut Undang- undang secara negatif, bahwa keterlibatan terdakwa
didasarkan atas keyakinan hukum dan pembuktian menurut Undang undang.
Dalam persidangan di pengadilan alat bukti sah di samping (1) Keterangan saksi dan
(2) Bukti surat, keterangan ahli (Akuntan publik) juga merupakan bukti yang sah (Soejono Karni, 2000). Sebagai tenaga ahli auditor bertugas (a) Mengumpulkan bukti–bukti
surat untuk dasar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai tenaga ahli. (b) membantu
penyidik dengan mengumpulkan bukti-bukti yang ada di BAP untuk kepentingan saksi
dan terdakwa. Dalam mengumpulkan bukti audit untuk keperluan persidangan, prosedur
yang dilakukan oleh auditor forensik dengan bahan bukti pertama kali diperoleh dari
Kejaksaan pada tahap penyidikan (DIK) perkara. Untuk kasus manipulasi keuangan
negara melalui manipulasi pembukuan, auditor forensik harus menyiapkan bukti buku
besar dan laporan keuangan terlebih dulu, bila kedua laporan tersebut belum dibuat.
Prosedur pengumpulan bukti audit forensik sampai sekarang IAI belum menentukan
polanya. Berpijak pada prosedur audit secara umum, maka prosedur audit forensik dapat
juga dimulai dari timbulnya transaksi, pelaksanaan transaksi, penggunaan barang atau
uang dan transaksi tersebut. Prosedure audit kredit macet non bisnis yang menjurus ke
tindakan pidana misalnya yang perlu diamati auditor forensik adalah sebagai berikut :
 Audit sejak dimulainya permohonan kredit, kemudian disetujuinya permohonan kredit oleh pimpinan bank dan pemrosesan yang lebih lanjut dari permohonan kredit tersebut.
 Audit atas permintaan 5 C (Character , Capital , Capacity , Collateral , Condition)
atas kredit yang disetujui.
 Audit atas proses kesesuaian pencairan dan penggunaan kredit yang diberikan.
 Audit atas penggunaan kredit sampai terjadi kemacetan.
Bukti audit forensik yang perolehannya dilakukan melalui prosedure yang telah diutarakan di atas bisa dijadikan salah satu bukti hukum di pengadilan berdasarkan putusan
hakim, tetapi itu bukan putusan akuntan forensik karena akuntan forensik hanya memberikan pendapat saja, apakah hasil audit itu menyatakan adanya penyuapan, penggelapan,
atau pencurian, itu urusan peradilan yang menentukan. Bukti–bukti audit itu prosedur
mendapatkannya cukup valid dan syah, karena kasus–kasus yang terjadi telah diteliti dan
dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan. Misalnya pemakaian barang secara tidak
prosedural sudah terbukti diakui oleh yang melakukan. Utang Piutang yang menjurus ke
pidana telah diakui juga oleh yang bersangkutan melalui prosedur konfirmasi. Mengingat
keberadaan akuntan publik di Indonesia telah diakui berdasarkan UU No. 35 thn 1954
SK Menkeu No. 056 thn 1999, UU Pasar Modal, UUPT, UU Perbankan, PP No. 24
dan PP No. 64, UU PARPOL berarti secara syah telah terjadi sengketa pidana maupun
perdata. Laporan audit forensik dapat dipakai bukti audit di pengadilan.

214
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
5. SIMPULAN
Perkembangan ekonomi dewasa ini yang merupakan hasil reformasi telah membuat perekonomian Indonesia semakin semarak, komplek, bervariasi, dan sangat dinamis.
Persaingan usaha menjadi semakin tajam dan terbuka. Setiap perusahaan / organisasi
berusaha menggali segala potensi agar tetap bisa survive dan dapat mengisi kebutuhan
permintaan yang semakin meningkat dengan berbagai kemampuan daya beli yang ada.
Paralel dengan perkembangan ekonomi yang semakin meningkat tersebut, timbul
berbagai masalah di antaranya munculnya bentuk-bentuk kejahatan dan kecurangan baru
di semua bidang usaha.
Pelaku kecurangan berusaha memanfaatkan berbagai kelemahan yang ada dalam prosedur, tata kerja, peraturan dan perundang-undangan, serta kelemahan karyawan maupun
kelemahan pengawasan yang ada. Kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau manjemen perusahaan adalah menyajikan hal- hal yang tidak benar dalam laporan keuangan,
yang meliputi rekening-rekening assets, liabilities, dan equities, revenues , dan expenses,
sehingga terdapat distorsi dalam penyajiannya. Kecurangan dapat dilakukan oleh orang
di luar atau di dalam organisasi, untuk keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Modus
operandi kecurangan yang dilakukan oleh manajemen paling dominan di dalam transaksi
pembelian, penjualan, persediaan, piutang dan beban-beban operasional, dengan jalan
membuat transaksi fiktif yang pada gilirannya akan merugikan perusahaan.
Akuntan Publik sebagai auditor forensik mendeteksi kecurangan tidak hanya berdasarkan
data yang ada pada laporan keuangan saja, tetapi kecurangan dapat dideteksi dari prospek business perusahaan, serta suasana kerja yang ada di dalam perusahaan, di mana terdapat perbedaan yang terlalu jauh, kesejahteraan antara manajemen dan bawahan. Tujuan mendeteksi kecurangan adalah untuk menciptakan iklim yang sehat dan menguntungkan bagi perusahaan serta mengurangi kerugian negara akibat adanya kecurangan. Deteksi kecurangan di bidang pembelian diketahui dengan adanya kuitansi pembelian fiktif,
dengan menaikkan harga pembelian dan si pelaku kecurangan mengambil selisih harga
pembelian atau menerima uang dari pembelian fiktif. Deteksi kecurangan di bidang
penjualan diketahui melalui pemeriksaan atas kelengkapan dokumen penjualan, mengenai
syarat penjualan, syarat pemberian retur dan potongan penjualan kepada langganan. Untuk mendeteksi adanya lapping, auditor forensik perlu memperhatikan adanya nota kredit,
dengan bukti pegnembalian barang ke gudang, dan klaim yang diajukan konsumen ke
perusahaan untuk mengetahui apakah memang benar ada potongan atau retur penjualan.
Deteksi lapping piutang dapat diketahui, yaitu : catatan pembayaran piutang oleh para
pelanggan kemungkinan terjadi saling menutup pembayaran piutang di antara pelanggan.
Deteksi kecurangan dalam persediaan untuk mengetahui persediaan yang turn overnya
rendah, akibat adanya pembelian barang persediaan yang tidak dapat dipakai untuk pro-

Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
215
duksi, atau persediaan barang dagangan / bahan baku yang harga belinya di atas standar
perusahaan.
Laporan keuangan yang dibuat oleh auditor forensik merupakan salah satu informasi
bukti di pengadilan berupa dokumen (surat) di samping keterangan terdakwa, keterangan
saksi, keterangan ahli, dan lain-lain. Laporan audit forensik, karena kualitasnya didukung
oleh bukti–bukti yang telah ditetapkan dalam Standar Auditing seperti halnya audit
khusus, berarti cukup valid dan andal karena keterkaitan dengan prosedure audit yang
dipilih, sumber bukti sudah melalui telaah dokumen dan konfirmasi, maka dapat dijadikan sebagai salah satu bukti di pengadilan untuk kasus-kasus pidana. Keberadaan
Akuntan Publik berdasarkan Undang–undang dan peraturan–peraturan dan ketentuan–
ketentuan pemerintah sudah sejajar dengan profesi lain seperti dokter, pengacara, ahli
forensik, sehingga hasil kerja Akuntan Publik atas kecurangan suatu perusahaan yang
ditemukan melalui audit forensik dapat merupakan bukti sah di pengadilan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Aren & Loebbecke, Auditing Pendekattan Terpadu, Adaptasi oleh Amir Abadi Yusuf,
Penerbit Salemba, Jakarta 1996.
D. Mohammad, Analisa MM dan GW Ratio, Majalah Akuntansi Edisi 03 / September,
Jakarta 1999.
Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Perencanaan Ekonomi Nasional Menghadapi Tantangan
Globalisasi, Makalah Pidato Pengukuham Jabatan Guru Besar Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 17 Juni 1995.
Mulyadi, Pemeriksaan Akuntan, Penerbit STIE YKPN Jogyakarta,1995.
Satrio Pandito, Klasifikasi Tindakan Kecurangan, Majalah Akuntansi Edisi 03 /
September, Jakarta 1999.
Soeyatno Soenarsoebroto, Pemeriksaan Kecurangan, Paper pada Seminar oleh Centre for
Management Teknology, Jakarta 12 – 13 Mei 1993.
Soejono Karni, Auditing, Audit Khusus dan Audit Forensik dalam Praktek, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 2000.
Ummu Hani at ; al, Pemeriksaan Kecurangan, Paper pada Seminar oleh Centre for
Management Teknology, Jakarta 12 – 13 Mei 1993.

216
Ekuitas Vol.5 No.2 Juni 2001 : 200 - 217
Undang – undang Otonomi Daerah 1999, UU No. 22 / 1999, UU No. 25 / 1999, UU No.
28 / 1999, Penerbit Arkola , Surabaya 2000.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Cetakan 3, Penerbit
Pustaka Kartini, Jakarta 1993.


Audit Foreksik Oleh Akuntan Publik (Sutjipto Ngumar)
217
Download