perceraian karena salah satu pihak murtad skripsi

advertisement
PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK
MURTAD
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR
0356/pdt.G/2011/PA.SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
NASTANGIN
NIM : 21108016
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2012
PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK
MURTAD
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR
0356/pdt.G/2011/PA.SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
NASTANGIN
NIM : 21108016
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2012
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama
: Nastangin
NIM
: 21108016
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Judul
: PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK
MURTAD (STUDI PUTUSAN DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA NOMOR 0356 /PDT.G /2011
/ PA .SAL)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 29 juli 2012
Pembimbing
Evi Ariyani MH
NIP. 197311172000032002
KEMENTRIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. 323706 Fax. 323433 Kode Pos. 50721 Salatiga
http//www.salatiga.ac.id e-mail:[email protected]
SKRIPSI
PERCERAIAN KERENA SALAH SATU PIHAK MURTAD
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR
0356/pdt.G/2011/PA.SAL)
DISUSUN OLEH
NASTANGIN
NIM: 21108016
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari‟ah,
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 31 Agustus
2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1
Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M. Ag
Sekretaris Penguji
: Abdul Azis,N.P MM
Penguji I
: Lutfiana Zahriyani, MH
Penguji II
: Ilya Muchsin, MSI
Penguji III
: Evi Ariyani, MH
Salatiga, 11 September 2012
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag.
NIP. 195808271983031002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nastangin
NIM
: 21108016
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
yang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 29 Juli 2012
Yang menyatakan,
Nastangin
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi
manusia yang berguna.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan ibu tercinta, yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa
memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada
habis kepada mereka berdua.
Para dosen, terimakasih atas ilmu yang telah bapak dan ibu berikan kepada saya,
semoga menjadi ilmu yang berfanfaat. Amin
Adik-adikku tercinta dan sepupu-sepupuku, belajar yang sungguh-sungguh dan
gapailah cita-citamu setinggi mungkin.
Om Budi dan Mas fahrodin. Terimakasih atas motifasi, masukan dan sarannya.
Sahabat-sahabat AS angkatan 2008, semoga sukses selalu.
Teman-teman kontrakan, carilah ilmu dan pengalaman yang sebanyak-banyaknya
jangan merasa puas.
Teman spesialku yang selalu setia menemani, memberi motifasi dan selalu
mendoakanku.
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulilah, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNya, sehingga
sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan islam.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi agung
Muhammad Saw yang senantias kita ikuti sunah-sunahnya dan semoga kita selalu
mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat. Amin.
Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1.
Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga
2.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
3.
Ketua Pengadilan Agama Salatiga
4.
Bapak Ilya Muchsin SHI. MSI. selaku kepala program studi AS
5.
Ibu Evi Ariyani MH, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan fikirannya guna memberikan bimbingan serta arahan
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
6.
Bapak Noerhadi MH selaku hakim pembimbing
7.
Segenap dosen jurusan syari‟ah
8.
Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga
9.
Kedua orang tuaku yang saya sayangi dan cintai, yang selalu mendoakan
saya, mendukung serta memberi bantuan baik materiil maupun non materiil.
10. Untuk Someone yang selalu dihatiku, terimaksih atas semua yang telah kamu
berikan kepadaku, memberikan semangat dan selalu mendoakanku.
11. Arif Maslah, Azis, Abu, Malik,Ustadzun, Anas, Ghozali, terimaksih atas
semangat dan masukan-masukannya.
12. Om budi, Bpk Suyitno, Bpk Mujiono, Mas fahrodin, yang selalu
mendoakan,memberi dukungan dan masukan dalam hidup.
13. Teman-teman kontrakan, Mas Abu, Mas Ghozali, Abi, ipul, Muzun, Sinang
kamu semua adalah sahabat yang terbaik.
14. Keluarga besar Formatas jangan sampai putus ditengah jalan, semangat dan
maju terus.
15. Sahabat-sahabat PMII Kota Salatiga, Ustadzun, Arif Maslah dan Anas dan
tidak bisa saya sebutkan semuanya yang telah memberi pelajaran banyak
tengtang bagaimana berorganisasi dan hal-hal yang lain.
16. SEMA 2010-2011 yang memberi pengetahuan bagaimana caranya mengurus
sebuah tatanan suatu negara dikampus. Semoga sukses terus
17. Teman-teman KKN Cebongan, dulu sampai sekarang kita adalah keluarga.
Kenangan kita tidak akan pernahku lupakan samapi tua nanti.
18. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2008
19. Teman-teman futsal sapu angin
20. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya, sehingga kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi inibermanfaat bagi kita semua.
Amin
Salatiga, 29 Juli2012
Penulis
Nastangin
NIM: 21108016
ABSTRAK
Nastangin. 2012. Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan di
Pengadilan Agama Salatiga), Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi
Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Evi Ariyani MH
Kata Kunci: perceraian dan murtad
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui
penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam
memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2) apa akibat
hukum perceraian karena salah satu pihak murtad?
Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini yang akan
di cari perihal tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Jenis
penelitian ini secara spesifik lebih bersifat yurisprudensi, metode ini di
maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan
data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk
menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad.
Dari penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus
perkara perceraian karena salah satu pihak murtad yaitu keluarga penggugat dan
tergugat tidak harmonis karena tergugat keluar dari agama Islam dan sebelumnya
mediasi telah dilakukan akan tetapi hasilnya gagal kemudian dasar hukum hakim
dalam memutus perkara cerai gugat karena salah satu pihak murtad ialah pasal
116 KHI pada huruf h dan mengambil pendapat ahli yang dijadikan pendapat
sendiri yang termuat dalam kitab At-Thalak hal 39. Bahwa akibat hukum
perceraian karena salah satu pihak murtad ini akibat hukumnya sama dengan
akibat hukum perceraian secara umum, yakni menjadikannya putus tali
perkawinan, masih berlaku masa iddah bagi bekas istri, suami masih diberi
tanggungan kewajiban yang harus dipenuhi setelah terjadinya perceraian
diantaranya: masih menanggung hadhanah, memberi nafkah kepada anak sampai
dewasa (usia 21 tahun).
DAFTAR ISI
SAMPUL .........................................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO .................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................ vi
MOTTO PERSEMBAHAN .............................................................................. vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 10
E. Metode Penelitian ................................................................... 11
F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 16
G. Penegasan Istilah .................................................................... .. 18
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan ........................................................................... 21
1.
Pengertian Perkawinan .................................................. 21
2.
Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ................................. 24
3.
Dasar Hukum Nikah ...................................................... 26
4.
Tujuan dan Hikmah Nikah ............................................. 29
B. Perceraian Menurut Hukum Islam ........................................ 34
1.
Pengertian Perceraian ....................................................... 34
2.
Hukum Perceraian ............................................................ 36
3.
Rukun dan Syarat Perceraian ........................................... 38
4.
Bentuk-Bentuk Perceraian ................................................ 40
5.
Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ................................. 44
6.
Akibat Perceraian ............................................................. 47
C. Perceraian Menurut Perundang-undangan
di Indonesia ............................................................................ . 48
1. Pengertian Perceraian ...................................................... 48
2. Tata cara perceraian ......................................................... 48
3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ................................ 50
4. Akibat Perceraian ............................................................. 51
D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ......................................... 52
BAB III
1.
Pengertian Murtad ........................................................... 52
2.
Hukum Murtad ................................................................ 55
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Agama Salatiga ........ 58
1.
Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Salatiga .............. 58
2.
Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga......................... 61
3.
Administrasi Berperkara di pengadilan
Agama Salatiga ................................................................ 64
4.
Visi dan Misi ................................................................... 67
5.
Struktur Organisasi .......................................................... 68
B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Cerai Gugat
di Pengadilan Agama Salatiga ............................................... 69
C. Putusan Hakim dalam Perkara Perceraian karena Salah Satu
Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0356/pdt.G/2011/ PA.SAL...................................................... 73
D. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim dalam Kasus
Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad Pengadilan Agama
Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ........................... 74
E. Akibat Hukum Putusan Perceraian karena Salah Satu
Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ..................................................... 76
BAB IV
ANALISA DATA
A. Analisis Hasil Putusan Hakim Terhadap Perkara
Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ........................... 79
B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Putusan Hakim
Terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ........... 82
C. Analisis Akibat Hukum terhadap Perceraian
karena Salah Satu Pihak Murtad ............................................. 86
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 89
B. Saran ....................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 92
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 94
DAFTAR LAMPIRAN
SALINAN PUTUSAN
NOTA PEMBIMBING
SURAT IZIN PENELITIAN
LEMBAR KONSULTASI PEMBIMBING
LAPORAN SKK
SURAT BUKTI PENELITIAN DARI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang
sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya
dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama
dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan
kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan
yang baik. Karena itu, maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri
adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang
lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu,
lain daripada Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami
isteri dengan “mitsaqun-ghalidhun” (perjanjian yang kokoh) (Sabiq, 1980: 7).
Jika ikatan antara suami istri sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak
sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekannya
dibenci oleh Islam, karena dianggap merusak kebaikan dan menghilangkan
kemasalahatan antara suami istri (Wasman dkk, 2011: 84).
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna (Rasyid,1986:374). Pengertian
perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut undang-undang perkawinan
Nomor. 1 Tahun 1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Dari pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan
Nomor. 1 Tahun 1994 diatas, jelas bahwa tujuan pekawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan yang
bahagia, itulah cita-cita dan idaman semua manusia baik laki-laki dan
perempuan di dunia. Namun kebahagian itu tidak bisa ditebak, kadang datang
dan pergi begitu saja tidak bisa diketahui oleh manusia.
Di dalam Agama Islam juga ditegaskan lagi dalam kompilasi hukum
Islam Pasal 44 yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang wanita Islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam”.
Sebenarnya suami istri itu mempunyai kewajiban untuk selalu
memelihara hubungan perkawinan dengan baik. Dalam pada itu bahwa
pergaulan suami istri adalah pergaulan yang yang paling rapat dan erat.
Waktu untuk ketemu tidak dibatasi dengan waktu dan jam. Siang dan malam
keduanya berkumpul dan bergaul di dalam rumah atau di luar rumah. Mereka
hidup serumah, sesumur, sedapur, sebilik, dan sepebaringan. Tentu saja
pergaulan yang seerat dan serapat itu membutuhkan kasih sayang,
persesuaian pendapat, serasa dan sekemauan, dan berlapang dada (Supriatna
dkk, 2009: 3).
Tetapi dari sisi yang lain, suami istri itu tidak seayah dan seibu, belum
tentu juga sesuku dan sekampung. Perbedaan karakter dan pandangan hidup
mungkin saja terdapat pada suami istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin
saja pertentangan yang prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah.
Perbedaan pandangan hidup dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis
merubah rasa cinta dan kasih sayang menjadi benci. Tidak selamnya
keimanan dan lapang dada dapat mempertahankan hubungan suami istri bila
timbul pertentangan yang sangat memuncak. Permasalahannya, kalau suami
istri yang berbeda prinsip hidupnya dan pertentangannya sudah memuncak,
telah merubah rasa cinta menjadi benci, persesuaian menjadi pertikaian, yang
tidak memungkinkan lagi untuk berpadu menjadi satu, apakah tidak terlalu
aniaya kalau keduanya dipaksa harus tetap bersatu (Supriatna dkk, 2009: 3).
Hal ini akan semakin bertambah parah, jika salah satu di antara
mereka menjadi murtad, secara otomatis disadari maupun tidak perjalanan
hidup rumah tangga tersebut tidak akan lagi terasa harmonis seperti dulu lagi
di saat rasa cinta dan kasih sayang masih terjaga dalam hati mereka berdua.
Karena di antara mereka berdua mempunyai keyakinan yang berbeda yang
tentunya tidak bisa di satukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan
tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang
terdapat pada bab II KHI, yaitu: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yan sakinah, mawadah, dan rahmah”. Jadi di dalam
kondisi seperti ini maka perceraian yang akan menjadi obat bagi mereka
berdua karena tidak ada jalan lain lagi untuk mengatasi keadaan.
Dengan melihat hal tersebut, bahwa perceraian itu walaupun
diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir (darurat) yang ditempuh oleh
suami istri, yaitu apabila terjadi persengketaan antara keduanya dan telah
diusahakan jalan perdamaian sebelumnya, tetapi tetap tidak dapat
mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga tersebut (Wasman dkk,
2011: 84).
Perceraian dalam istilah Fiqh disebut “talaq atau furqah”, adapun arti
dari pada talaq adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian sedangkan
furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu
dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara
suami istri. Istilah talaq dalam Fiqh mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan
arti khusus. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk perceraian
baik yang dijatuhkan oleh suami, dijatuhkan oleh hakim, maupun perceraian
yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah
seorang dari suami atau istri. Sedangkam talaq dalam arti yang khusus ialah
perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami saja. Karena salah satu bentuk
dari perceraian antara suami istri itu ada yang disebabkan karena talaq, maka
untuk selanjutnya istilah talaq di sini dimaksudkan sebagai talaq dalam arti
khusus (Wasman dkk, 2011: 83).
Dalam Islam bercerai pada dasarnya “terlarang” atau tidak
diperbolehkan kecuali karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara‟. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hanafi dan Hambali, mereka beralasan bahwa
bercerai merupakan kufur nikmat, karena perkawinan adalah suatu nikmat,
sedangkan kufur terhadap nikmat Allah hukumnya haram, sehingga bercerai
hukumnya adalah haram kecuali darurat. Madzhab Hambali lebih lanjut
menjelaskannya secara terperinci mengenai hukum bercerai. Menurut mereka
bercerai itu hukumnya yaitu: wajib, haram, dan sunnah (Wasman dkk, 2011:
85).
Syariat Islam adalah syariat yang riil dan idiil. Riil artinya mengakui
realitas kehidupan dan idill artinya mempunyai prinsip dan cita-cita yang
mulia untuk kemaslahatan hidup manusia sepanjang masa. Syariat Islam tidak
menjadikan realitas semata sebagai asas hukum dan tidak menafikan realitas
demi untuk mempertahankan cita-cita mulia. Syariat Islam berusaha
merealisir cita-cita mulia dan mengobati realita yang dijiwai oleh kemudahan
dan mewujudkan kemaslahatan. Oleh karena itu sekalipun syariat Islam
menghendaki agar akad nikah itu untuk selama hayat dikandung badan, akan
tetapi kalau dalam realitanya antara suami istri itu sudah tidak mungkin untuk
disatukan lagi, Islam memperbolehkan keduanya bercerai. Apabila hubungan
pernikahan tetap dipertahankan, memaksa suami istri untuk tetap bersatu,
justru kemadharatan yang terjadi. Sekalipun sedemikian, bahwa perceraian
hanya sebagai pintu darurat yang baru dibuka apabila keadaan memang
sangat mendesak dan berbagai upaya untuk mempertahankan ikatan
perkawinan sudah ditempuh tetapi tidak berhasil. Dengan demikian,
perceraian adalah suatu jalan keluar yang paling baik (Supriatna dkk,2009 :
4).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
َ ِ ُ َ َْ َ ُ َ ‫ُ ََْ ِ َ َ ّ َ َْْب‬
ِ
ّ
َ
َ
.) ‫مق ج‬
ُ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬: َ َ‫َ ِ ْ ِ ُ َ َ ق‬
‫د‬
‫ ( ه أ د‬. ُ َ َّ‫ُ لط‬
“Dari ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Telah
bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”
Dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jelas bahwa perceraian itu
hukumnya adalah makruh.
Al-Qur‟an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami
istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat
berujung dalam perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga tersebut
bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan
suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah
pihak. Al-Qur‟an menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan
mengahadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan
demikian Al-Qur‟an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan
menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin
dihindarkan (Supriatna dkk, 2009: 5).
Dalam undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 pasal 39
ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas
kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak
perlu adanya campur tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan
tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan akan banyak
terjadinya perceraian liar, juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus
melalui saluran Lembaga Pengadilan (Wasman dkk, 2011: 156).
Sehubungan dengan adanya ketentuan-ketentuan bahwa perceraian
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga
bagi masyarakat yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum
Islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan, namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi
kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib
mengikuti ketentuan tersebut, sebagaimana dijelaskan di dalam kaidah Fiqh
dan didalam Al-Qur‟an bahwa mentaati Pemerintah/Ulil Amri dianggap
seperti taat kepada Rasul dan taat kepada Allah SWT (Wasman dkk, 2011:
156).
Disamping melihat atas ketentuan-ketentuan perceraian di atas,
perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Dari sini dapat
disimpulkan, bahwa pada dasarnya walaupun perceraian dalam perkawinan
itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan
hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Untuk mewujudkan tujuan dari
pada perkawinan yaitu untuk selama-lamanya, oleh karenanya UUP
No.1/1974 mempersulit terjadinya perceraian (Wasman dkk, 2011: 158).
Berkaitan dengan berbagai hal yang disebutkan di atas, yang akan
dibicarakan adalah mengenai perceraian suatu perkawinan karena murtad,
khususnya pembahasan disini adalah mengenai putusan tentang perceraian
karena
murtad
dari
Pengadilan
Agama
Salatiga
Nomor.0356/pdt.G/2011/PA.SAL.
Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai
gugatan istri yang muslimah terhadap suami yang murtad, kemudian putusan
yang dijatuhkan oleh hakim Pengadialan Agama mengenai perkara cerai
gugat tersebut.
Istri yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14
sampai dengan 18 peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu ( Ramulyo, 1996: 131).
Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk
menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara
tersebut. Namun kadang Hakim dari Pengadilan memiliki pertimbangan
tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama
persis sesuai dengan peraturan yang ada, karena hakim memang mempunyai
wewenang seperti itu.
Perceraian yang dilakukan di muka sidang Pengadilan lebih menjamin
persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian. Sebab sebelum
ada keputusan, terlebih dahulu diadakan penelitian tentang apakah alasanalasannya cukup kuat untuk terjadinya perceraian antara suami isrti, kecuali
dimungkinkan Pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil
keputusan bercerai antara suami istri. Dengan proses Pengadilan yang
mempersulit dan memperketat alasan-alasan perceraian, maka perceraian
yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dapat juga memperkecil jumlah
perceraian. Di sisi lain, perceraian yang dilakukan dimuka sidang Pengadilan
sering dirasakan ada beberapa kendalanya, terutama dalam dua hal:
pembongkaran rahasia rumah tangga di muka orang banyak dan kelambatan
proses yang sering kali dirasakan sebagai memperpanjang suasana
perselisihan (Wasman dkk, 2011: 153).
Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut lagi tentang pengajuan gugat cerai istri kepada suaminya yang
sudah murtad ke Pengadilan Agama. Kemudian mengenai kasus tersebut istri
(Islam) yang mengajukan gugat cerai atas suaminya dakarenakan suaminya
telah
murtad,
sebagaimana
dalam
putusan
Nomor.
0356/pdt/.G/2011/PA.SAL. atas gugatan dari “SP” terhadap suaminya yang
telah murtad berinisial “PB” dan pada akhirnya akan dibahas mengenai
putusan dari Pengadilan Agama atas pengajuan dari gugat cerai tersebut
karena suami murtad. Untuk itu penulis mengambil judul : “PERCERAIAN
KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD”(Studi Putusan Pengadilan
Agama Salatiga Nomor. 0356/pdt/.G/2011/PA.SAL).
B. Rumusan Masalah
Dari tema diatas, penulis memperinci permasalahan-permasalahan
yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara
permasalahannya adalah sebagai berikut:
1.
Apa pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga
dalam memutuskan perceraian karena salah satu pihak murtad?
2.
Bagaimana akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad?
C. Tujuan Penelitian
Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan
Agama Salatiga dalam memutus perkara perceraian karena salah satu
pihak murtad.
2.
Untuk mengetahui akibat hukum perceraian karena salah satu pihak
murtad.
D. Kegunaan Penelitian
Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini
mempunyai kegunaan atau kemanfaatan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir
kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran
hukum perdata islam dalam bidang hukum kekeluargaan.
2.
Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang
berkaitan dengan hukum perdata di lingkungan Peradilan Agama yang
menyangkut dalam bidang perkawinan khususnya perkara perceraian.
3.
Untuk menambah khasanah pengetahuan tentang pentingnya keutuhan,
keharmonisan dalam berkeluarga.
E. Metode Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
a.
Metode Pendekatan
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan normatif.
Penelitian
pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada
suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di
lapangan. Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang
perkara perceraian karena salah satu pihak murtad.
Jenis
penelitian
ini
secara
spesifik
lebih
bersifat
yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti
mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk
menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu
pihak murtad.
b.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang
beralamat di jl.Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt. 14. Rw 05
Cebongan Salatiga. Telp (0298) 322853 Fax (0298) 325243.
c.
Sumber Data
1) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumbersumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau
data tersebut (Amirin,1990:132). Macam-macam data primer
sebagai berikut:
a) Informan
Informan adalah orang yang di manfaatkan untuk
memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar
belakang
penelitian.
Jadi
seorang
informan
harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar belakang
penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka rela
menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat
informal. Sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan
dengan kesukarelaannya ia dapat memberikan pandangan
dari segi orang dalam, tentang nilai-nilai, sikap, bangunan,
proses dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian
setempat (Moleong, 2002: 90). Dalam penelitian ini adalah
Hakim Pengadilan Agama Salatiga.
b) Dokumen
Adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng,
2002: 161). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber buku
dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi (Moloeng, 2002: 113). Dalam penelitian ini
setiap bahan tertulis berupa data-data yang ada di
Pengadilan Agama Salatiga berkaitan dengan penelitian
seperti : buku register perkara perceraian, berita acara
perceraian dan putusan perceraian.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
yag
bukan
asli
memuat
informasi
atau
data tersebut
(Amirin,1990: 132). Sebagai data sekunder dari penilitian ini
adalah sebagai berikut:
a) Undang-undang yang mengatur tentang perceraian
b) Buku-buku yang terkait dengan penulisan penelitian ini
c) Arsip-arsip yang mendukung
2.
Prosedur Pengumpulan Data
a.
Wawancara (interview)
Wawancara ( interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998: 145).
Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan ketua
Pengadilan Agama Salatiga yaitu Bapak Noerhadi MH untuk
mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan
masalah.
b.
Observasi
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling
efektif adalah melengkapinya dengan format
atau blangko
pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi itemitem tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan
terjadi ( Arikunto, 2006: 229).
Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa
mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga
mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke
dalam suatu skala bertingkat. Misalnya kita memperhatikan reaksi
penonton televisi, bukan hanya mencatat bagaimana reaksi itu, dan
berapa kali muncul, tetapi juga menilai reaksi tersebut sangat,
kurang,
atau
tidak
sesuai
dengan
yang
kita
kehendaki
(Arikunto,2006:229).
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan
pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini
penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi
subyek penelitian.
Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu Pengadilan
Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama
Salatiga.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto,
1998: 236).
Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah
pengambilan beberapa data tentang perceraian suatu perkawinan
oleh majlis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan alasan
karena salah satu pihak murtad yakni dalam putusan Nomor.
0356/Pdt.G/2011/PA.SAL.
3.
Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam
penganalisaan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu
analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan
dalam bentuk uraian ( Moleong, 2011:288).
4.
Pengecekan Keabsahan Temuan
Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian
sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik
untuk memeriksa keabsahan suatu data.
Keabsahan suatu data dalam penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi sumber, menurut patton berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong,
2002: 178).
5.
Tahap-Tahap Penelitian
Setelah peneliti menentukan tema yag akan diteliti maka penulis
melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga
dengan bertanya kepada panitera tentang perkara perceraian, sidang
kasus tentang perceraaian di Pengadilan Agama Salatiga secara praktek.
F. Tinjauan Pustaka
Perceraian (Studi Kasus Tentang Perceraian karena Salah Satu
Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2011) belum pernah
diangkat menjadi skripsi. Meskipun demikian peneliti menemukan skripsi
yang memiliki tema sama yang dijadikan alasan perceraian yaitu:
1.
Siti Nakiyah, Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga sebagai
Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun
1999-2001), dengan fokus penelitian bagaimana bentuk kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian, bagaimana motif tindakan kekerasan suami terhadap istri
dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001
dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam penyelesaian
proses perkara perceraian dengan alasan kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya yaitu: bentuk kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik dan psikis,
motifnya dikarenakan masalah ekonomi, nilai budaya dan pemahaman
agama yang kurang dan sikap hakim sangat bijaksana dan memberi
keadilan kepada kedua belah pihak. Penelitian ini jelas berbeda
dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil
penelitiannya.
2.
Mutabi‟in, Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Pergi Keluar Negeri
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2002), dengan
fokus penelitian bagaimana perceraian menurut pandangan islam,
bagaimana penanganan kasus perceraian di Pengadilan Agama
Ambarawa dengan alasan pergi keluar negeri dan bagaimana analisis
terhadap putusan Pengadilan Agama Ambarawa. Hasil penelitian ini
yaitu perceraian menurut hukum Islam halal, akan tetapi merupakan
perbuatan yang dibenci Allah, hakim sangat bijaksana dalam
menangani dan memutus perkara tersebut mulai dari tahap
pemeriksaan, persidangan, perdamaian sampai dengan putusan hakim
dan anlisa putusan ini sudah tepat dari tahapan pemanggilan,
persidangan dan putusan, akan tetapi dalam hal alasan kurang
sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik
dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.
3.
Mustagfiroh, Cacat Biologis sebagai Salah Satu Alasan Peceraian
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2001), dengan
fokus penelitian bagaimana pengaruh cacat boilogis yang diderita
salah satu pihak baik suami maupun istri dalam menjaga
keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat biologis yang
dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan
bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan
proses perkara perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian
ini yaitu cacat biologis dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan
ketegangan suami istri dalam rumah tangga sehingga dapat
menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi bagi istri
dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang,
sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika
gugatannya kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian
penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.
G. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran kata-kata dalam judul, antara
penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat
dalam judul, yaitu “PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK
MURTAD ( Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga)”.
1.
Perceraian
Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai,
atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali
pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan
(Supriatna, 2009: 19).
Secara istilah, ada beberapa rumusan yang dikemukakan para
ulama, antara lain:
Menurut as-sayyid sabiq (2009:19) “Melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri”.
Menurut Abdur Rahman al-Jaziri “Menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi ikatan pelepasannya dengan menggunakan
lafadz khusus” (Supriatna dkk, 2009: 19-20).
2.
Murtad
Riddah atau murtad ialah kembali ke jalan asal. Di sini yang
dikehendaki dengan murtad ialah kembalinya orang Islam yang berakal
dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan
orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq, 1984: 168).
H. Sistematika Penulisan
Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini mencakup
akan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, penegasan istilah dan di
akhiri dengan sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini penulis mengemukakan dasar teori yang
meliputi: Perkawinan, Konsep perceraian dalam hukum Islam, konsep
perceraian menurut Perundang-undanganan di Indonesia, dan murtad sebagai
alasan perceraian.
BAB III, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai gambaran
umum Pengadilan Agama Salatiga, prosedur dan proses penyelesaian perkara
cerai gugat di pengadilan Agama Salatiga, hasil putusan hakim terhadap
perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga,
pertimbangan dan dasar putusan hakim dalam memutus perkara perceraian
karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga, akibat hukum
putusan perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama
Salatiga.
BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian skripsi
yang berisikan pembahasan tentang analisis hasil putusan hakim terhadap
perceraian karena salah satu pihak murtad, analisis pertimbangan dan dasar
putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad
Pengadilan Agama Salatiga, analisis akibat hukum terhadap perceraian
karena salah satu pihak murtad.
BAB V, berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang
penulis lakukan, diteruskan dengan saran-saran dan diakhiri dengan penutup.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan
1.
Pengertian Perkawinan
Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan
seorang perempuan yang bukan mahram.
Perkawinan adalah merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh
tindak laku Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu bagi pengikut Nabi
Muhammad yang baik maka mereka harus kawin. Selain itu perkawinan
juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani
(Sosroatmojo, 1975 :33).
Firman Allah SWT:
ِ
ِ
ُ‫قا فَِ ْ ِ ْ ُ ْ أَال تَْب ْع ِدل‬
َ ُ َ َ ‫قا لَ ُك ْ ِم َ للِّ َ قا َم ْْب‬
َ َُ َ ‫ال‬
َ َ ‫فَقنْك ُح َمق‬
.‫فَْب َ ِح َدة‬
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.(QS An-Nisa:3).
Perkawinan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua
mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan
(Sabiq, 1980: 7).
Firman Allah SWT:
. َ ُ َّ َ َ‫َ ِم ْ ُ ِّ َ ْ ٍا َ َ ْقلَق َ ْ َج ْ ِ لَ َعَّ ُك ْ ت‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah”.(Adz-Dzariat: 49).
Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagi jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya,
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat:1 yang berbunyi:
‫َّقا تْب َُّق ََّ ُك ُ لَّ ِي َ َ َق ُك ْ ِم ْ نَْب ْ ٍ َ ِح َدةٍ َ َ َ َ ِمْلْب َهق َ ْ َج َهق‬
ُ ‫يَق أَيُّْب َهق لل‬
ِ
ِِ
ِ ِ
ِ
ِ
َ‫َ َ َّ مْلْب ُه َ ق ِ َجقال َ ًري َ ن َ قاً َ تْب َُّق َّاَ لَّ ي تَ َ قاَلُ َ َ ا ْ َح َقا َّ َّا‬
.‫َ ق َ ََْ ُك ْ َِ بًق‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Berdasarkan ayat di atas bahwa Tuhan tidak mau menjadikan
manusia itu seperti mahluk lainnya, yang bebas hidup mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki,
dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan
kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai martabatnya. Sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhomat dan
berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang
dari adanya rasa ridha meridhai, dan dihadiri dengan para saksi yang
menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling
terikat. Peraturan perkawinan seperti inilah yang diridhai Allah dan
diabadikan Islam untuk selamanya.
Kemudian selain itu perkawinan juga dapat diartikan merupakan
suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk membentuk keluarga bahagia (Harjono,1968: 221). Dari definisi
itu jelas bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian, ia mengandung
pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling mau
berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka. jadi ia jauh sekali dari
segala yang dapat diartikan sebagai mengandung suatu paksaan. Oleh
karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mau mengikat
janji
dalam
perkawinan,
mempunyai
kebebasan
penuh
untuk
menyatakan, apakah mereka bersedia atau tidak.
Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan kabul yang harus
diucapkan dalam satu majelis, baik langsung oleh mereka yang
bersangkutan, yakni calon suami dan calon isteri, jika kedua-duanya
sepenuhnya berhak atas dirinya menurut hukum atau oleh mereka yang
dikuasakan untuk itu.
Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum
asal perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat
ulama Syafi‟iyah. Sedang menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hambaliyah, hukum melangsungkan perkawinan itu hukumnya sunnat.
Terlepas dari pendapat Imam Madzhab, berdasar nash-nash, baik
Al-Qur‟an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum
muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun
demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta
tujuan melaksanakannya, maka perkawinan itu dapat dikenakannya,
maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat,
haram, makruh maupun mubah (DEPAG, 1985: 59).
2.
Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Perkawinan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad
lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang
mengadakan akad.
a.
Rukun nikah
1) Mempelai laki-laki
2) Mempelai perempuan
3) Wali
4) Dua orang saksi
5) Shigat ijab kabul
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah ijab
kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat
yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat bagi
calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.
b.
Syarat Nikah
1) Syarat Suami
a)
Bukan mahram dari calon istri
b) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri
c)
Orangnya tertentu, jelas orangnya
d) Tidak sedang ihram
2) Syarat Istri
a)
Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram, tidak sedang dalam iddah
b) Merdeka, atas kemauan sendiri
c)
Jelas orangnya
d) Tidak sedang dalam ihram
3) Syarat Wali
a)
Laki-laki
b) Baligh
c)
Sehat akalnya
d) Tidak dipaksa
e)
Adil
f)
Tidak sedang dalam ihram
4) Syarat Saksi
a)
Laki-laki
b) Baligh
c)
Sehat akalnya
d) Adil
e)
Dapat melihat dan mendengar
f)
Bebas, tidak dipaksa
g) Tidak sedang dalam mengerjakan ihram
h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul.
Adapun syarat-syarat sighat (bentuk akad) hendaknya dilakukan
dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad,
penerima akad, dan saksi. Sighat itu hendaknya terikat dengan batasan
tertentu supaya akad itu bisa berlaku. Misalnya, dengan ucapan “saya
nikahkan engkau dengan anak perempuan saya”. Kemudian pihak lakilaki menjawab “ya saya terima” akad ini sah dan berlaku.
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau
perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadikan
perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum.
3.
Dasar Hukum Nikah
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang
berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani,
2010: 8).
Di dalam undang-undang perkawinan Nomor.1 Tahun 1974 pasal
2 ayat 1 juga dijelaskan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
itu”.
Perkawinan adalah sunatullah, yang merupakan sunatullah pada
dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Oleh
karena itu, Imam Izzudin Abdussalam membagi maslahat menjadi tiga
bagian yaitu:
a.
Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hambanya. Maslahat
wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal
(paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang
paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung
kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat
mendatngkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis
ini wajib dikerjakan.
b.
Maslahat yang disunahkan oleh syar‟i kepada hamba-Nya demi
untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di
bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke
bawah, maslahat sunnah akan samapai pada tingkat maslahat yang
ringan yang mendekati maslahat mubah.
c.
Maslahat mubah, bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari
kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam
Izzudin berkata “maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung”.
Sebagian
di
antaranya
lebih
bermanfaat
dan
lebih
besar
kemaslahatannya dari sebagian yang lain, maslahat mubah ini tidak
berpahala.
Oleh karena itu, meskipun perkawinan pada asalnya mubah,
namun dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima)
menurut perubahan keadaan, yaitu:
1) Nikah Wajib.
nikah wajib yaitu nikah yang diwajibkan bagi orang yang
telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi
orang yang telah mampu,
yang akan menjaga
jiwa dan
menyelamatkannya perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan
terlaksana kecuali dengan nikah.
2) Nikah Haram
Nikah haram yaitu nikah yang diharamkan bagi orang yang
tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah
tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberikan nafkah,
pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri
istri.
3) Nikah Sunnah
Nikah sunnah yaitu nikah yang disunnahkan bagi orangorang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan
dirinya dari perbuatan yang haram, dalam hal seperti ini maka nikah
lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan
oleh Islam.
4) Nikah Mubah
Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk
nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia
belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.
5) Nikah Makruh
Nikah makruh yaitu bagi yang belum membutuhkannya dan
khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar
perkawinan menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram,
sunnah, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau
mafsadatnya.
4.
Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a.
Tujuan Perkawinan
Menurut undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dapat disimpulkan, bahwa tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga
artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri suami,
istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk
kesatuan hubungan suami istri dalam suatu wadah yang disebut
rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan hubungan
antara suami dan istri, atau antara suami istri, dan anak-anak dalam
rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur
hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan
menurut
kehendak
pihak-pihak.
Perkawainan
berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan tidak terjadi begitu
saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia
Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu
perkawinan dilakukan dengan berkeadaban pula, sesuai ajaran
agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia (Muhammad, 1993:
75).
Perkawinan menurut undang-undang tersebut, ternyata bahwa
konsep undang-undang perkawinan nasional tidak ada yang
bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut konsep hukum
Islam, bahkan dapat dikatakan bahwasanya ketentuan-ketentuan
didalam undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 dapat menunjang
terlaksananya tujuan perkawinan menurut hukum Islam. Beberapa
ahli dalam hukum Islam yang mencoba merumuskan tujuan
perkawinan menurut hukum Islam, antara lain: Drs. Masdar Hilmi,
menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus
untuk membentuk keluarga serta meneruskan dan memelihara
keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia, juga untuk mencegah
perzinaan, dan juga agar terciptanya ketenangan dan ketentraman
jiwa
bagi
yang
bersangkutan,
keluarga
dan
masyarakat
(Wasman,2011: 37).
Ny. Soemiyati, SH menyebutkan bahwa tujuan perkawinan
dalam Islam adalah untuk memenuhi hajat tabi‟at kemanusiaan,
yaitu berhubungan laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan
suatu keluarga yang bahagia, dengan dasar kasih sayang, untuk
memperoleh keturunan dalam masyarakat dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari‟ah. Sedangkan Mahmud
Yunus, merumuskan secara singkat tujuan perkawinan menurut
Pemerintah yaitu untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur
(Wasman,2011: 38).
Pada dasarnya seluruh tujuan perkawinan diatas, bermuara
pada satu tujuan yaitu bertujuan untuk membina rasa cinta dan kasih
sayang antara pasangan suami istri sehingga terwujud ketentraman
dalam keluarga, Al-Qur‟an menyebutnya dengan konsep sakinah,
mawadah, wa rahmah.
Allah SWT berfirman:
ِ
ِ
ِ
ِ
ْ ‫م ْ أَنْْب ُ ُك ْ أَْ َ ًجق لَ ْ ُكلُ لَْْب َهق َ َج َع َ َْبْْبلَ ُك‬
ٍ ‫ي‬
. َ ُ ‫قا لَِق ْ ٍا يَْبَْب َ َّك‬
َ
ِِ ِ
ْ ‫َ م ْ يَقت أَ ْ َ َ َ لَ ُك‬
ِ
َ ‫َم َ َّد ًة َ َ ْ َ ً ِ َّ ِ َل‬
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir. (QS Arrum:21).
Zakiyah Darajat dkk mengemukakan lima tujuan dalam
perkawinan, yaitu:
1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
2) Memenuhi hajat
manusia
menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
4) Menumbuhkan
kesungguhan
untuk
bertanggung
jawab
menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta yang kekayaan halal
5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
b.
Hikmah Perkawinan
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh
umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:
1) Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang
haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga.
2) Nikah jalan yang terbaik untuk membuat anak-anak menjdi
mulia, memperbanyak keturunan, melesterikan hidup manusia,
serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan
sekali.
3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan
sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan
sikap
rajin
dan
sungguh-sungguh
dalam
memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan
bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul
kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari
penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan
memperbanyak
produksi.
Juga
dapat
mendorong
usaha
mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi
kepentingan hidup manusia.
5) Pembagian tugas di mana yang satu mengurusi rumah tangga,
sedangkanyang lain bekerja di luar sesuai dengan batas-batas
tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugastugasnya.
6) Perkawinan dapat
membuahkan
diantaranya
adalah tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat yang memang
oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat
yang saling menunjang dan menyayangi merupakan masyarakat
yang kuat serta bahagia.
B. Perceraian dalam Hukum Islam
1.
Pengertian Perceraian
Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai,
atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali
pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan
(Supriatna, 2009: 19).
Menurut istilah syarak talak ialah:
.ِ َّ‫َح ٌّل َ ِطَِ َّلل ْ ِ َ ِ نْْب َهق اُ ْ َلع َ َِ َّللْ ِج‬
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Adapun perceraian dalam istilah Ahli Fiqh disebut talak atau
furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian,
sedangkan furqah berarti bercerai. Kemudian dua kata ini sering
digunakan oleh ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian
antara suami dan isteri. Perkataan talak atau furqah dalam istilah Ahli
Fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti umumnya
adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, perceraian
yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian alamiah seperti kematiam
salah satu diantara suami atau isteri. Adapun arti khususnya adalah
perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.
Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam
pengertian yang sama dengan talak dalam istilah Fiqh yang berarti
bubarnya nikah (Harjono,1987: 234).
Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum
Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak
mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan
perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup.
Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi
alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu
kesatuan sebagai suami istri (Harjono,1987: 235).
Dengan demikian perceraian tidak dapat lain kecuali harus
dianggap sebagai suatu bencana. Tetapi pada waktu-waktu tertentu, ia
adalah satu bencana yang diperlukan. Dengan itu, ia memberikan
kebebasan
sepenuhnya
kepada
kedua
belah
pihak
untuk
mempertimbangkan segala sesuatunya dengan semasak-masaknya dalam
batas-batas yang dapat
dipertanggung jawabkan. Karena disamping
banyaknya bencana yang dapat dibayangkan dari sesuatu perceraian yang
menyangkut kehidupan kedua belah pihak dan terutama yang
menyangkut anak-anak mereka, maka dapat pula dibayangkan betapa
tersiksanya seseorang, terutama pihak wanita, yang kedamaian rumah
tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi jalan perceraian
tidak dibuka. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami isteri
dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan
serta mempunyai akibat bagi suami isteri tersebut.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ُ َ َْ َ ُ َ ‫ُ ََْ ِ َ َ ّ َ َْْب‬
.) ‫مق ج‬
ِ
ّ
َ
َ
‫د‬
ُ ْ ُ َ َ َ‫ ق‬: َ َ‫َ ِ ْ ِ ُ َ َ ق‬
‫ ( ه أ د‬.ُ َ
َّ‫ُ لط‬
َِ
“Dari ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Telah
bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”.
2.
Hukum Perceraian
Tentang hukum cerai ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar adalah
pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu terlarang. Mereka yang
berpendapat begini ialah golongan Hanafi dan Hambali. Dilarangnya
perceraian, karena perceraian merupakan salah satu bentuk kekufuran
terhadap nikmat Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat
yang diberikan Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat.
kategori darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami
meragukan kebersihan tingkah laku isteri atau kerena sudah tidak saling
mencintai lagi. Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai
beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang
dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh, dan
haram (Sabiq,1980: 9).
Oleh
karena
itu,
dengan
menilik
kemaslahatan
dan
kemudaratannya, maka hukum talak dalam Islam ada empat yaitu:
a.
Wajib
Yaitu jika suami telah bersumpah tidak akan lagi menggauli
istrinya hingga masa tertentu, sedangkan ia juga tidak mau
membayar kafarah, sehingga pihak istri teraniaya karenanya
(Saleh,2008: 320).
b.
Sunnat
Yaitu apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak
menjaga kehormatan dirinya (Rasjid, 1994: 402).
c.
Haram
Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan,
sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci, padahal sebelumnya
telah ia gauli (Saleh,2008: 320).
d.
Makruh
Yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang saleh
dan berakhlak yang baik, karena hal demikian bisa mengakibatkan
isteri dan anaknya terlantar dan akan menimbulkan kemudaratan.
3.
Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun perceraian (talak) ialah unsur pokok yang harus ada dalam
talak dan terwujudnya talak tergantung adanya dan lengkapnya unsurunsur dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi
persyaratan. Syarat talak ada yang disepakati oleh para ulama tetapi ada
pula yang diperselisihkan (Supriatna,2009:26-29).
Rukun dan syarat talak tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami
dalam keadaan:
1) Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah
dilakukan oleh orang yang belum baligh
2) Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan
isterinya juga harus mempunyai akal yang sehat, maka dari itu
orang gila tidaklah sah untuk menjatuhkan talak kepada
isterinya.
3) Atas kemauan sendiri, perceraian yang dilakukan karena adanya
paksaan dari orang lain bukan atas dasar atas kemauan dan
kesadarannya sendiri adalah perceraian yang tidak sah .
b.
Istri, unsur yang kedua dari perceraian ialah istri. Untuk sahnya talak
istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum pernah
ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah.
c.
Shigat perceraian, yang dimaksud dalam hal ini adalah lafal yang
diucapkan oleh suami atau wakilnya diwaktu menjatuhkan cerai
kepada isterinya. Semua lafal yang artinya memutuskan ikatan
perkawinan dapat dipakai untuk perceraian. Sighat perceraian ada
diucapkan dengan menunjukan kepada makna yang jelas, disamping
itu ada pula shigat yang diucapkan dengan kata-kata sindiran, baik
sindiran itu dengan lisan, tulisan, isyarat (bagi suami tuna wicara),
ataupun dengan suruhan orang lain. Kesemuanya ini dapat dianggap
sah kalau suami dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri.
Shigat cerai dalam penjelasan tersebut dihukumi sah apabila:
1.
Ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai dengan
isterinya.
2.
Suami harus menyatakan kepada hakim, bahwa maksud
ucapannya itu untuk menyatakan keinginannya menjatuhkan
cerai kepada istrinya. Apabila ternyata tujuan suami dengan
perkataanya
itu,
bukan
untuk
menyatakan
keinginan
menjatuhkan cerai kepada istrinya, maka shigat talak yang
demikian tidak sah dan cerainya tidak jatuh.
4.
Bentuk-Bentuk Perceraian
Perceraian (talak) dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan
melihat kepada waktu menjatuhkannya, kemungkinan suami kembali ke
istrinya, cara menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan
lain-lain (Supriatna, 2009: 31). Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak)
ialah sebagai berikut:
a.
Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju‟
kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua
bentuk, yaitu:
1) Talak Raj‟i
Adalah talak yang si suami diberi hak untuk kembali
kepada istri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah
yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak Raj‟i
tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang
termasuk kedalam talak raj‟i ialah talak satu atau talak dua.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Talak
ayat 1 yang berbunyi:
ِِ ِ ِ
ِ
ِ
‫ص لْعِ َّدةَ َ تْب َُّق‬
ْ ‫يَق أَيْبُّ َهق للَِّ ُّ ِ َ ََّ ْقُ ُ للّ َ قاَ فَطَّ ُق ُو َّ لع َّد َّ َأ‬
ُ ‫َح‬
ٍ َ ‫قح‬
ِ َِ ِ‫َّا َّ ُك ال ُْ ِج و َّ ِم ْب ِِ َّ ال َْ ج ِال أَ ْ ي ْت‬
َ َ
ْ ََ
َ ْ ُ َ ُُ ْ ُ ُ
‫ُمبَِّلَ ٍ َ تِْ َ ُح ُد ُد َّاِ َ َم ْ يَْبَْب َع َّد ُح ُد َد َّاِ فَْب َق ْد ََ َ نَْب ْ َ ُ ال تَ ْد ِي‬
ِ
. ً‫ال َْب ْع َد َلِ َ أ َْم‬
ُ ‫لَ َع َّ َّاَ ُْد‬
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istriistrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukumhukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.
2) Talak Ba‟in
Adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk
rujuk kepada istrinya. Apabila suami ingin kembali kepada
mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru
yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in ini
menghilangkan tali ikatan suami istri. Talak ba‟in ini dibagi
menjadi dua macam yaitu talak ba‟in sughra dan talak ba‟in
kubra.
a)
Talaq Ba‟in Sughra ialah talak yang tidak memberikan hak
rujuk kepada suami tetapi suami bisa menikah kembali
kepada istrinya dengan tidak disyaratkan istri harus menikah
dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak bain
sughra ialah talak satu dan talak dua.
b) Talak Ba‟in Kubra ialah talak apabila suami ingin kembali
kepada mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad
nikah yang baru, disyaratkan istri harus terlebih dahulu harus
menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang
termasuk talak ba‟in kubra ialah talak yang ketiga kalinya.
Allah SWT berfirman:
‫فَِ ْ ََّ َق َهق فَ َِ ُّ لَ ُ ِم ْ َْب ْع ُد َح َّ تَْبْل ِك َ َ ْ ًجق َْْبَهُ فَِ ْ ََّ َق َهق‬
ِ
ِ
َ ِْ‫قا ََْ ِه َ ق أَ ْ يَْبَْبَ َج َعق ِ ْ َلَّق أَ ْ يُق َ ق ُح ُد َد َّا َ ت‬
َ َ‫فَ ُجل‬
. َ ُ َ‫ُح ُد ُد َّاِ يْبُبَِّلُْب َهق لَِق ْ ٍا يَْب ْع‬
“Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum
Allah.
Itulah
hukum-hukum
Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS
Al-baqarah ayat 230).
b.
Adapun bentuk-bentuk perceraian yang ditinjau dari segi siapa yang
berkehendak untuk melakukan perceraian ialah:
1) Talak, yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan
mengunakan kata-kata talak kepada isteri (Wasman,2011: 86).
2) Khulu‟, yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri
dengan
membayar
iwad
atau
tebusan
kepada
suami
(Wasman,2011: 100).
3) Illa‟ dalam hukum islam ialah sumpah suami dengan menyebut
nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk
tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi
dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau
lebih.
4) Dhihar, dhihar berasal dari kata zhahr, artinya punggung,
maksudnya suami berkata kepada istri; “engkau dan aku seperti
punggung ibuku”. Bahwa dhihar menurut istilah yaitu ucapan
kasar
yang
dikatakan
suami
kepada
istrinya
dengan
menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan
ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami.
c.
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya,
dalam hal ini talak ada beberapa bentuk, baik dinyatakan dengan
kata-kata atau ucapan, dengan surat atau tulisan kepada istrinya,
dengan isyarat oleh orang yang bisu atau dengan mengirimkan
seoarang utusan (Sabiq,1980: 27).
Diantara bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:
1) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya
mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.
2) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya dan isteri
memahami isi dan maksudnya. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah
talak secara tertulis, bahwa tulisan harus tegas, jelas dan nyata
ditunjukkan oleh suami terhadap isteri secara khusus.
3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami
yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya
sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang
isyarat itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan
bahwa isyarat itu sah bagi tuna wicara.
4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai utusan.
Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang
menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.
5.
Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Dalam Islam sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan,
setidaknya ada sembilan macam, yaitu; talak, khuluk, syiqaq, fasakh,
taklik talak, illa‟, zhihar, li‟an, dan kematian (Wasman,2011: 86). Sebabsebab tersebut masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
a.
Thalaq
Yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan
mengunakan kata-kata talak kepada isteri.
b.
Khuluk
Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan
membayar „iwad atau tebusan kepada suami.
c.
Syiqaq
Menurut istilah Fiqh, Syiqaq adalah: perselisihan suami istri
yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari seorang pihak istri.
d.
Fasakh
Yaitu merusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh
dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad ( sah atau tidaknya)
atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.
e.
Takli‟ talaq
Yaitu suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan terlebih dahulu.
f.
Illa‟
Arti illa‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan. Di dalam Islam illa‟ adalah sumpah dengan nama Allah
untuk tidak menggauli istrinya.
g.
Dhihar
Zhihar dari kata zhahr, artinya punggung, maksudnya suami
berkata kepada istri; “engkau dan aku seperti punggung ibuku”.
Bahwa dhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang dikatakan
suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau
mahram
suami,
dengan
ucapan
mengharamkan istri bagi suami.
itu
dimaksudkan
untuk
h.
Li‟an
Li‟an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk.
Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh istrinya
berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka dia
harus bersumpah dengan memakai nama Allah sebanyak empat kali
bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah dengan
bersumpah satu kali lagi bahwa dia akan terkena laknat Allah jika
dalam tuduhannya dia berdusta.
i.
Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka hak lain
mempunya hak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian, hubungan suami dan istri tidak
dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yang suaminya telah
meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru
dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya habis, yaitu selama
empat bulan sepuluh hari.
Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan
mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum
dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan :
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
6.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Suami melanggar taklik talak.
Peralihan agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Akibat perceraian
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan
karena perceraian di atur dalam pasal 156 dan pasal 157 yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhonah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),
(b), (c) dan (d).
f.
Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya.
Dalam KHI pasal 157 “harta bersama dibagi menurut ketentuan
sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97, yaitu:
1) Pasal 96
a.
b.
Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama.
Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
2) Pasal 97 yang berbunyi “janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
C. Perceraian dalam Perundang-Undangan di Indonesia
1.
Pengertian Perceraian
Mengenai pengertian perceraian secara jelas di dalam undangundang perkawinan Nomor. 1 tahun 1974 tidak dijelaskan dengan
terperinci, namun di dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pada pasal
117 yaitu:
talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
2.
Tata Cara Perceraian
Tata cara perceraian menurut Perundang-undangan di Indonesia,
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga diatur dalam undangundang perkawinan di Indonesia Nomor.1 tahun 1974.
a.
Tata cara perceraian dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam
pasal 129,130, dan 131 yaitu:
1) Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada
istrinya harus mengajukan permohonan baik lisan maupun
tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
2) Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat
diminta upaya hukum banding dan kasasi.
3) Pasal 131
a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan damaksud pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak
b) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasehati kedua
belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan
talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan
keputusannya tentang izin bagi suami untuk menikrarkan
talak.
c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap
suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan
Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
d) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo
enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama
tentang izin ikrar talak bagiya mempunyai kekuatan hukm
yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur
dan ikatan perkawinan yang telah utuh.
e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat
yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan
istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada
Pegawai Pencat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga
masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai
empat disimpan oleh Pengadilan Agama.
b.
Tata cara perceraian di dalam undang-undang perkawinan No.1
tahun 1974 dalam pasal 39 telah dijelaskan bahwa:
1.
2.
3.
c.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami
istri.
Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Perceraian menurut UUP Nomor 1 tahun 1974 pasal 14, 15, 16, 17,
dan pasal 19 mengenai penjelasan atas undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai tata
cara perceraian bahwa, seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang
berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya
dengan disertai alasan-alasanya serta meminta kepada Pengadilan
Agama agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
3.
Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan, harus
disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan alasan-alasan
yang telah ditentukan dalam UUP No.1 tahun 1974, dalam hal ini
dijelaskan dalam pasal 39 ayat 2 dan dipertegas dalam PP No.9 tahun
1975 pasal 19 yaitu sebagai berikut:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan sebagainya yang sekiranya sulit disembuhkan.
b.
c.
d.
e.
f.
4.
Salah satu piha meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun
brturut-turut, tanpa izin pasangannya, dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang
membahayakan pasangannya.
Salah satu pihak medapat cacat badan atau penyakit dengan akibaat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Akibat Peceraian
Setelah perceraian terjadi ada beberapa hal yang perlu dilakukan
baik oleh pihak suami maupun pihak istri, sebagaimana diatur dalam
pasal 41 UUP No 1 tahun 1974 sebagai berikut:
a.
b.
c.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarka kepentingan anak. Apabila
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan
memberi keputusannya.
Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung
jawab pihak napak, kecuali dalam kenyataanya bapa dalam keadaa
tidak mampu, sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut,
maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban
bagi bekas istri.
D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian
1.
Pengertian Murtad
a.
Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Islam
Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti ruju‟ (kembali). Menurut
istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya
disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman.
Murtad (riddah) adalah kembali ke jalan asal. Disini yang
dikehendaki dengan murtad adalah kembalinya orang Islam yang berakal
dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan
dari orang lain. Baik yang kembali itu orang lelaki maupun orang
perempuan (Sabiq,1984: 168).
Allah berfirman dalam QS Ali-Imran ayat 85 yang berbunyi:
. َ ‫ِ َِة ِم َ ْاَق ِ ِي‬
ِ ‫َم ْ يَْبْبَ ِ َْْب ا ْ ِا ِديلًق فَْبَ ْ يْبُ ْقبَ ِمْل ُ ُو‬
َ
َ َ َ
َ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekalikali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”.
Dalam hal ini Imam Syafi‟i mempunyai dua pendapat yaitu
pendapat yang pertama mengatakan bahwa bila ada orang kafir pindah
ke agama lainnya yang juga kafir, maka ia tidak dapat diterima kecuali
masuk Islam atau ia dibunuh. Kemudian pendapat yang kedua
mengatakan bahwa bila apabila ada orang kafir pindah ke agama lainnya
yang juga kafir tetapi sepadan kualitasnya lebih tinggi, maka menurut
pendapat Imam Syafi‟i ini setuju terhadap hal seperti itu.
Jika orang Islam bertindak murtad atau berpindah agama maka
terdapatlah perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah yaitu
ada tiga:
1) Hubungan Perkawinan
Jika suami atau istri murtad, maka putuslah hubungan
perkawinan mereka. Karena riddahnya salah satu dari suami istri
merupakan suatu hal yang mengharuskan pisahnya mereka. Dan bila
salah satu dari suami istri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi
ke dalam Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan
seperti semula, mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan
mahar.
2) Hak Waris
Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan
kerabat-kerabat muslimnya. Karena orang murtad itu adalah orang
yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, maka tentu saja ia
tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya.
Dan bila ia mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya diambil
alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam.
3) Hak Kewaliannya
Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap
orang lain, ia tidak boleh menjadi wali dalam akad nikah anak
perempuannya.
b.
Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang di
Indonesia.
Murtad dijadikan alasan perceraian artinya jika salah pihak
keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan
permohonan cerai kepada Pengadilan ( Nuruddin,2006: 222).
Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan
mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum
dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Suami melanggar taklik talak.
Peralihan agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Jadi sudah jelas bahwa apabila salah satu pihak murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sesuai
dalam pasal tersebut di atas, maka murtad bisa dijadikan alasan suatu
perceraian.
Sedangkan akibat hukum perceraian dengan alasan pindah agama
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sama halnya dengan
perceraian dengan alasan yang lain. Perkawinan yang telah putus dengan
alasan pindah Agama atau murtad mempunyai beberapa akibat hukum
sebagai berikut : Terhadap status perkawinan, terhadap hak dan
kewajiban pemeliharaan anak, terhadap harta yang diperoleh selama
masa perkawinan berlangsung.
2.
Hukum Murtad
Riddah (murtad) adalah merupakan dosa besar yang dapat
menghapus amal-amal shaleh sebelumnya. Dan dosa ini dibalas dengan
hukuman yang pedih diakhirat.
Allah SWT berfirman:
‫َ َم ْ يَْب ْتَ ِد ْد ِمْل ُك ْ َ ْ ِديلِ ِ فَْبَ ُ ْ َ ُو َ َ قفٌِ فَُ لَِ َ َحبِطَ ْ أَ ْ َ ق ُاُ ْ ِ ُّلدنْْبَق‬
ِ
ِ
. َ ‫قا للَّق ِ ُو ْ فِ َهق َ قلِ ُد‬
ُ ‫َ َةِ َأُ لَ َ أَ ْ َح‬
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
di dalamnya”.(QS Al-Baqarah ayat 217).
Banyak terjadi murtad ditimbulkan oleh suatu keragu-raguan
dalam jiwa sehingga mendesak iman untuk keluar. Bila demikian, maka
haruslah orang yang berbuat murtad itu diberi kesempatan untuk
menghilangkan keraguan itu. Ia harus diberi dalil-dalil dan bukti-bukti
yang dapat mengembalikan iman di dalam hatinya sehingga ia yakin.
Dengan demikian, maka menganjurkan kepadanya bertaubat dan kembali
lagi ke dalam Islam adalah termasuk hal yang wajib.
Para ulama beragam dalam membuat batasan tentang perbuatan
murtad. Murtad dapat dilakukan dengan perbuatan (atau meninggalan
perbuatan), dengan ucapan, dan dengan i‟tikad. Yang dimaksud dengan
murtad dengan perbuatan ialah melakukan perbuatan yang haram yang
dianggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan
menganggapnya tidak wajib, misalnya menganggap zina bukan suatu
perbuatan yang haram. Murtad dengan ucapan ialah ucapan yang
menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah mempunyai
anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang. Adapun
murtad dengan i‟tikad ialah i‟tikad langgengnya alam, Allah sama
dengan makhluk. Tetapi semata-mata i‟tikad tidak menyebabkan
seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau
perbuatan.
Adapun ketentuan di antara para ahli hukum bahwa tindak pidana
ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang. Karena pernyataan
Nabi ketika orang yang mengganti Agama harus dihukum mati, hal itu
terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang
berjiwa munafik bertindak disersi (pengkhianat negara), maka orang
yang melakukan disersi diperintahkan untuk dibunuh. Itupun diawali
dengan upaya untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada
Islam.
Firman Allah SWT:
ُ َّ‫ُ ْ لَِّ ِي َ َ َ ُ ِ ْ يَْبْلَْب ُه يْبُ ْ َ ْ َاُ ْ َمق َ ْد َ َ َ َ ِ ْ يَْب ُع ُد فَْب َق ْد َم َ ْ ُ ل‬
. َ ِ‫ا َّ ل‬
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap)
orang-orang dahulu”. (QS Al-Anfal: 38).
Seharusnya konseptualisasi perbuatan murtad yang ada di dalam
Al-qur‟an
maupun
As-sunnah dipertemukan
dengan pendekatan
komplementatif dan kontradiktif. Artinya kalau perbuatan murtad hanya
ditujukan kepada keyakinan dirinya sendiri, tanpa mempengaruhi dan
mengajak orang lain untuk murtad, kondisi negara sedang damai, serta
orang lain tidak terganggu dengan kemmurtadan orang tersebut. Maka
baginya tidak ada sanksi di dunia, melainkan hanya ada sanksi yang
bersifat ukhrawi (Munajat,2009: 163).
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga
1.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga
a.
Batas Wilayah Pengadilan Agama Salatiga
1) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan
Kabupaten Semarang
2) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Semarang
3) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Boyolali
4) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan
Kabupaten Magelang
b.
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga:
1) Staatsblaad Tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
2) Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 Tahun 1983
tanggal 10 November 1983 tentang penetapan perubahan
wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‟ah.
c.
Sejarah Pembentukan Pengadian Agama Salatiga
1) Masa Sebelum Penjajah
Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita
kenal saekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam
masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama
dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama
Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam
dan di Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu
sengketa, mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodhi
(hakim)
yang
diangkat
oleh
Sultan
atau
Raja,
yang
kekeuasaanya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yakni
penguasa tertinggi. Qodhi (hakim) yang diangkat oleh Sultan
adalah alim ulama‟ yang ahli di bidang Agama Islam.
2) Masa Penjajahan Belanda Sampai Dengan Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya
di Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan
dan menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang
peradilan umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya
menyerahkan keputusannya kepada para hakim sehingga sulit
bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini.
Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda
menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah
mendarah daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di
Salatiga,
maka
kemudian pemerintah
Kolonial
Belanda
menerbitkan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische Staatsregaling )
sebagai
landasan
formil
untuk
mengawasi
kehidupan
masyarakat Islam di bidang Peradian yaitu berdirinya Raad
Agama,
disamping
itu
pemerintah
Kolonial
Belanda
menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam
Staatblad tahun 1820 No. 22 yang menyatakan bahwa
perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat
hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan
sampai
tahun
1940,
kantor
yang
ditempatinya
masih
menggunakan serambi Masjid Kauman Salatiga dengan Ketua
dan Hakim anggotanya diambil dari alumnus Pondok Pesantren.
Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang yaitu K. Salim sebagai
Ketua dan K. Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Sidiq
sebagai sekretaris merangkap bendahara dan seorang pesuruh.
Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan.
Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara
waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada
waktu penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga
atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang
berarti yaitu pada tahun 1942 sampai dengan 1945 karena
pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang dihadapkan
dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga
masih sama.
3) Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945,
Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa.
Kemudian pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang
dibantu 7 pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan
serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga dan bersebelahan
dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang samasama mengunakan serambi Masjid sebagai kantor. Kemudian
kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid
Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga sampai
tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor
Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal
1 Mei 2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan,
Argomulyo, Salatiga sampai pada sekarang ini. Kemudian
kantor lama digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas.
2.
Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga
Pengadilan Agama Salatiga mempunyai dua kewenangan yaitu:
a.
Kewenangan Absolut
Kewenangan Absolut yaitu kewenangan Pengadilan untuk
mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil) yang boleh
ditanganinya. Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang
yang terbatas bila dibandingkan dengan tugas dan wewenang
Peradilan Umum. Lembaga Peradilan diseluruh Indonesia dengan
Direktorat Peradilan Agama, departemen Agama hanya ada
hubungan administratif saja sedangkan secara yudisial ada dibawah
naungan Mahkamah Agung sebagai badan Peradilan tertinggi dan
terakhir.
Sejak keluarnya hukum Agama sebagai dasar dari salah satu
empat lembaga peradilan di Indonesia semakin teguh dan mantap
dalam menjalankan fungsinya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2
undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang berbunyi “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagai mana dimaksud dalam
undang-undang ini”.
Perkara perdata tertentu yang dimaksud pasal 2 di atas
dijelaskan dalam pasal 49 undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006
yang berbunyi: Peradilan Agama bertugas dan berwenag memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1) Perkawinan
2) Waris
3) Wasiat
4) Hibah
5) Wakaf
6) Zakat
7) Infaq
8) Shodaqah
9) Ekonomi syari‟ah
b.
Kewenangan Relatif
Kewenangan Relatif adalah kewenangan dari lembaga
Peradilan sejenis yang mana berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara, antara lain:
1) Pasal 118 HIR yang menjelaskan tentang gugatan diajukan
diPengadilan Agama dimana tergugat tinggal.
2) Jika tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan di salah
satu Pengadilan tempat tergugagat.
3) Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka gugatan
diajukan diPengadilan dimana tempat tinggal penggugat.
4) Jika tempat tinggal dipilih dengan akta maka gugatan diajukan
ditempat/Pengadilan yang dipilih.
Berdasarkan
keputusan
Mahkamah
Agung
RI
No.KMA/010/SK/III/1996 taggal 6 Maret 1996 wilayah hukum
Salatiga menjadi:
a) Kota Madya Salatiga yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaitu:
(a) Kecamatan Sidorejo
(b) Kecamatan Tingkir
(c) Kecamatan Argomulyo
(d) Kecamatan Sidomukti
b) Kabupaten Semarang yang terdiri dari 9 Kecamatan, yaitu:
(a) Kecamatan Bringin
(b) Kecamatan Bancak
(c) Kecamatan Tuntang
(d) Kecamatan Pabelan
(e) Kecamatan Suruh
(f) Kecamatan Getasan
(g) Kecamatan Susukan
(h) Kecamatan Tengaran
(i) Kecamatan Kaliwungu
3.
Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga
Tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal
49 Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 perubahan dari undangundang Nomor. 7 Tahun 1989 yaitu menerima, memeriksa, mengadili
serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepada Pengadilan, supaya
tugas pokok tersebut tercapai.
Dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku maka semua aparat peradilan Agama
harus melaksanakan tertib administrasi perkara yang merupakan bagian
dari Court Of Lau. Agar administrasi dapat tercapai maka semua aparat
peradilan Agama harus mengerti apa yang dimaksud dengan administrasi
yang dimaksud dalam perkara di Pengadilan Agama.
Dalam peradilan Agama administrai yang dimaksud adalah suatu
proses penyelenggaraan secara teratur dan diatur guna melakukan
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan guna tercapainya tugas pokok
yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh seorang administratur.
Penggugat/pemohon yang belum bisa membuat surat gugatan
atau permohonan diterima oleh petugas di bagian prameja untuk dibantu
membuat surat gugatan/permohonan, bagi yang sudah memiliki surat
gugatan sesuai dengan ketentuan tidak perlu melewati prameja surat
gugatan/permohonan
yang
sudah
ditandatangani
oleh
penggugat/pemohon diserahkan ke meja pertama untuk ditaksir biaya
perkaranya dan dibuatkan SKUM, kemudian dikembalikan kepada
penggugat/pemohon.
Penggugat/pemohon membayar panjar biaya perkara dibagian
kasir dan menyerahkan berkas gugatan/permohonan yang sudah
dilengkapi SKUM bagian kasir menerakan nomor perkara sesuai nomor
SKUM,
menandatangani
SKUM,
memberi
cap
pembayaran,
memasukkan perkara kedalam jurnal dan menyerahkan kepada meja
kedua. Bagian meja kedua memasukkan berkas perkara ke buku register,
memberikan salinan berkas kepada penggugat/pemohon dan Wakil
Panitera Wakil Panitera mencatat berkas ke buku pantauan dan
menyerahkan kepada Panitera.
Panitera
menyampaikan
berkas
perkara
kepada
Ketua
Pengadilan, Ketua Pengadilan menunjuk Hakim Ketua Majlis dan
anggotanya untuk menangani perkara tersebut dan mengembalikan
berkas kepada Panitera lalu Panitera menunjuk Panitera Pengganti dan
menyerahkan berkas kepada Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk Ketua
Pengadilan. Kemudian Hakim Ketua Majelis menetapkan hari sidang,
memberitahu hakim anggotanya dan memerintahkan juru sita untuk
memanggil para pihak yang dipanggil oleh juru Sita. Pemanggilan
dilakukan sekurang-kurangnya tiga hari sebelum hari sidang. Pada hari
yang telah ditentukan dilaksanakan persidangan dengan terlebih dahulu
menganjurkan upaya damai dan/mediasi, jika gagal sidang dilanjutkan
hingga selesai.
Keterangan:
a.
Meja: menerima gugatan, permohonan, permohonan banding, kasasi,
PK dan eksekusi, membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM),
dan menaksir biaya perkara
b.
Kasir: pemegang kas yang merupakan bagian dari meja 1
c.
Meja II: mendaftarkan gugatan dalam register, memberikan nomor
perkara dan menyelesaikan berkas perkara ke wakil panitera
d.
Wakil Panitera: menyerahkan berkas perkara ke panitera
e.
Panitera: menyerahkan berkas perkara ke ketua Pengadilan Agama
f.
Ketua PA: merujuk majlis hakim
g.
Majlis Hakim: menetapkan PHS (penetapan hari sidang) dan
memerintahkan juru sita memanggil para pihak
h.
Juru Sita: memanggil para pihak dan membuat relas panggilan
4.
Visi dan Misi
a.
Visi
Mewujudkan pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu
pelaku
kehakiman
yang
mandiri,
bersih,
bermartabat,
dan
berwibawa.
b.
Misi
1) Mewujudkan rasa keadilan mayarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati
nurani
2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas
campur tangan dari pihak lain
3) Meningkatkan pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan
4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga
dapat
melakukan tugas
dan kwajiban
secara
profesional dan proporsional
5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, dan bermartabat
dalam melaksanakan tugas.
5.
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Salatiga
a.
Prosedur
1) Langkah-langkah yang harus dilakukan pemohon (istri) atau
kuasanya ialah:
a) Mengajukan permohona secara tertulis ataupun lisan kepada
Pengadila Agama Salatiga (Pasal 118 HIR, 142 R. Bg.jo. pasal
66 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU
Nomor. 3 Tahun 2006).
b) Penggugat
dianjurkan
untuk
meminta
petunjuk
kepada
Pengadilan Agama Salatiga tentang tata cara membuat surat
gugatan (Pasal 118 HIR, 143 R.Bg.jo Pasal 58 UU Nomor. 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun
2006).
c) Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita
dan petitum. Jika tergugat telah menjawab surat gugatan
ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas
persetujuan tergugat.
2) Gugatan tersebut harus diajukan kepada pengadilan Agama Salatiga:
c) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat
(Pasal 73 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006).
d) Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa
izin tergugat, maka guagatan diajukan kepada Pengadilan
Agama Salatiga yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006 jo pasal 32
ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974).
e) Bila penggugat bertempat kediaman di luar Negeri, maka
guagatan diajukan kepada Pengadilan Agama Salatiga yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73
ayat (2) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
UU Nomor. 3 Tahun 2006).
3) Bila penggugat dan tergugat berkediaman di luar Negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agma Salatiga yang daerah
hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan. Gugatan
tersebut memuat:
a) Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman penggugat
dan tergugat.
b) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)
c) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian
atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap
(Pasal 86 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan
UU Nomor. 3 Tahun 2006).
5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4)
R.Bg.jo. Pasal 89 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6) Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama Salatiga (Pasal 121, 124,
dan 125 HIR, 145 R.Bg).
Menurut hakim Pengadilan Agama Salatiga Drs. H. Noerhadi MH
yang mengatakan bahwa prosedur beracara cerai gugat yang disebabkan
karena salah satu pihak murtad itu sama dengan prosedur beracara cerai
gugat yang lainnya.
b.
Proses
1) Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama
Salatiga.
2) Penggugat dan tergugat dipanggil oleh pengadilan Agama Salatiga
untuk menghadiri persidangan.
3) Tahapan persidangan
a) Tahapan-tahapan persidangan tersebut ialah:
(1) Pada
pemeriksaan sidang
pertama,
hakim
berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus
datang secara pribadi (Pasal 82 UU Nomor. 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006).
(2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada
kedua beah pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi
sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2008.
Dalam hal permohonan gugatan cerai karena murtad
diwajibkan juga untuk menempuh mediasi terlebih dahulu
seperti gugatan cerai yang lain, meskipun pada dasarnya
cerai
karena
murtad
sudah
otomatis
putus
ikatan
perkawinannya, karena apabila mediasi tidak dilaksanakan
maka permohonan tersebut batal demi hukum. Dalam upaya
damai ini bahwa mediator bertanya kepada suami yang
murtad untuk memeluk agama Islam lagi, akan tetapi suami
tersebut tidak mau masuk Islam lagi akhirnya dengan hal
tersebut maka mediasi gagal.
(3) Apabila
mediasi
tidak
berhasil,
maka
pemeriksaan
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan
rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg).
b) Putusan Pengadilan Agama Salatiga atas cerai gugat sebagai
berikut:
(1) Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat
mengajukan banding melalui Pengadilan Agama Salatiga
tersebut.
(2) Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Agama Salatiga tersebut.
(3) Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan
permohonan baru.
(4) Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka
panitera Pengadilan Agama Salatiga memberikan akta cerai
sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambatlambatnya
7
(tujuh)
hari
setelah
putusan
tersebut
diberitahukan kepada kedua belah pihak.
C. Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak
Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/
PA.SAL.
Setelah mendengarkan keterangan dan fakta-fakta hukum dalam
persidangan, maka hasil putusan sidang perceraian yaitu: bahwa semua
gugatan/permohonan yang diajukan dalam perkara perceraian karena salah
satu pihak murtad telah dikabulkan.
Atas dasar pertimbangan dan dasar hukum Islam serta hukum positif
yang berlaku di Indonesia Hakim memutus perceraian karena salah satu pihak
murtad sebagai berikut:
1.
Mengabulkan gugatan penggugat
2.
Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat
3.
Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan
salinan putusan ke Kantor urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten
Semarang dan Kantor urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang serta Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
4.
Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah).
D. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian
Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara
Nomor. 0356/pdt.G/2011/PA.SAL.
1. Pertimbangan
Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu
Pihak
Murtad
di
Pengadilan
Agama
Salatiga
Perkara
Nomor.
0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai berbagai pertimbangan:
a.
Karena adanya gugatan perceraian dari penggugat dengan dalih rumah
tangganya tidak harmonis mulai goyah dan sering terjadi pertengkaran
serta perselisihan sebab Mei 2001 sebab tergugat kembali ke Agama
Nasrani, dan keluar dari Agama Islam.
b.
Karena setelah Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak
melalui mediasi dan ternyata hasilnya gagal, maka pemeriksaan
perkara ini telah memenuhi ketentuan pasal 130 HIR dan PERMA
Nomor 1 Tahun 2008.
c.
Bahwa seperti dalam bukti akta nikah telah dapat dibuktikan adanya
pernikahan antara penggugat dengan tergugat maka gugatan
penggugat mempunyai alas hak.
d.
Bahwa tergugat mengakui dalil gugatan sebagai suami penggugat,
terjadi pertengkaran karena keluar dari Agama Islam, maka
pengakuan tergugat di persidangan seperti diatur dalam pasal 174 HIR
merupakan bukti sempurna.
e.
Bahwa saksi-saksi di persidangan, terdiri dari keluarga penggugat dan
orang yang dekat dengan tergugat telah menguatkan dalil gugatan dan
tidak sanggup untuk merukunkan penggugat dengan tergugat.
2. Dasar Hukum
Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu
Pihak
Murtad
di
Pengadilan
Agama
Salatiga
Perkara
Nomor.
0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai dua dasar hukum yaitu:
a.
Sesuai dengan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam, yang
berbunyi “peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”.
b.
Bahwa hakim perlu mengetengahkan pendapat ahli yang diambil
sebagai pendapat sendiri seperti termuat dalam kitab Ath Thalaq hal
39:
ََ‫ِ َ َ َد َ ِ َلل ْ َج ِ َ ََبَ ِ ْ ُلقَل يْ ِ َْبْْبلَْب َهق َ َْب ْ َ َ ْ َج َهق ِا‬
ٍ ‫ْ لَ ّ ُه‬
ْ َ
ََ ٍ‫لَ ِ َ فقَ َ ِ ْْببََ ِ ْ لَ ِ َ َ لُْ َمَ ةٍ َ ِح َد ة‬
ِ َ‫ِجهق ََ َق ِ ق ِل‬
ِ ِ ِ
َ ْ َ ْ ‫ََ َق َهق ل َقق ض م‬
َ
Artinya: Jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari
suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan
(madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut
pendapat yang masyhur, Hakim dapat menceraikan istri
dari suaminya dengan jatuh talaq ba’in sughra.
E. Akibat Hukum Putusan Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di
Pengadilan Agama Salatiga Nomor . 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL.
Pada hakekatnya suatu perceraian itu memang mengharuskan
berhentinya hubungan antara suami dan istri. Dari hasil wawancara peneliti
dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga Drs. H. Noerhadi MH yang
menangani perkara ini, mengatakan bahwa akibat hukum dari kasus
perceraian karena salah satu pihak murtad adalah perceraian atau penjatuhan
talak, sebagaimana dijelaskan pada pasal 156 dan pasal 157 Kompilasi
Hukum Islam yang dijelaskan sebagai berikut:
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, kemudian anak yang sudah
mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau
ibunya. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipin biaya nafkah dan hadhanah
telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri(21 tahun). Bilamana terjadi
perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan Agama
memberikan putusannya dan Pengadilan dapat pula dengan mengingat
kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Kemudian dalam KHI pasal 157 “harta bersama dibagi menurut
ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97, yaitu: Apabila terjadi
cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Sedangkan pasal 97 yang berbunyi “janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan. Di dalam pasal 41 UUP No 1 tahun 1974
menegaskan: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarka kepentingan anak. Apabila
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi
tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataanya bapak dalam
keadaan tidak mampu, sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut,
maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka setelah hubungan antara
pihak penggugat dan tergugat tersebut selesai hak-hak istri dan anak terjamin
atau dapat terpenuhi. Dengan berdampak pada adanya perlindungan terhadap
anak yang dilahirkan, anak tetap mendapatkan hak mewaris dari ibu
bapaknya. Lain hal bila putusan yang dijatuhkan adalah putusan pembatalan
perkawinan. pembatalan berarti mengembalikan kepada kondisi semula yaitu
kembali kepada keadaan dimana perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi.
BAB IV
ANALISA DATA
D. Analisis Hasil Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian Karena
Salah Satu Pihak Murtad
Suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan harus berakhir dengan
adanya suatu putusan hakim atau Pengadilan, putusan hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim, diucapkan di persidangan yang bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antar pihak. Dan akhirnya
Pengadilan
Agama
Salatiga
mengadili
perkara
Nomor:
0356/pdt.G/2011/PA.SAL dengan putusan :
1.
Mengabulkan gugatan penggugat
2.
Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat
3.
Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan
salinan putusan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten
Semarang dan Kantor urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang serta Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
4.
Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah).
Menurut Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004
menyebutkan bahwa : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”
artinya bahwa Hakim mengetahui hukum (objektif),
artinya bahwa Hakim karena jabatannya bertugas menemukan dan
menentukan titik apa yang berlaku terhadap perkara yang sedang
diperiksa.
Selain itu berdasarkan Pasal 20 undang-undang No.3 Tahun 2006
tentang Kekuasaan Kehakiman “semua putusan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum” .
Mengenai isi putusan Pengadilan menurut Pasal 25 UndangUndang No.3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa :
a. Segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang di
jadikan dasar untuk mengadili.
b. Setiap putusan Pungadilan ditandatangani oleh hakim yang memutus
dan panitera yang ikut serta bersidang.
c. Penetapan, ikhtisar rapat permusyawarahan, dan berita acara
pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan
panitera sidang.
Penulis berpendapat bahwa berdasarkan alasan-alasan yang
dimaksudkan diatas adalah bentuk pertanggung jawaban dari putusannya
terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif,
Putusan
Hakim
Pengadilan
Agama
Salatiga
Nomor:
0356/pdt.G/2011/PA.SAL dirasakan sangat objektif untuk memutuskan
suatu perceraian yang di akibatkan oleh peralihan agama atau murtad.
Di dalam gugatan penggugat yaitu pada bagian petitum memohon
kepada Majelis Hakim untuk memutuskan dan menetapkan hal-hal sebagai
berikut :
1) Mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.
2) Menetapkan syarat taklik talak tergugat telah terpenuhi
3) Menetapkan jatuh talak satu khul‟i tergugat kepada
penggugat dengan iwad berupa uang sebesar Rp. 10.000,4) Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga telah mengadili dan
memberi putusan atas apa yang digugat atau dituntut oleh penggugat, yang
menjadi pertimbangan hakim adalah bukti-bukti tertulis yang diajukan
penggugat, keterangan saksi dari orang yang masih ada
hubungan
keluarga dengan penggugat serta keterangan dari penggugat dan tergugat
sendiri bahwa suami istri antara penggugat dengan tergugat pada awalnya
rumah tangganya hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dengan
baik, telah berhubungan badan (ba‟da dukhul) dan keduanya bertempat
tinggal bersama di rumah orang tua tergugat selama 1 tahun, kemudian
tinggal dirumah kontrakan selama 1 tahun, terakhir bertempat tinggal di
tempat rumah kediaman selama 11 tahun 8 bulan dan dikaruniai seorang
anak yang bernama “SW”, sekarang anak tersebut dalam pemeliharaan
penggugat. Dan akhirnya kebahagiaannya dan keharmonisannya itu luntur
dikarenakan tergugat kembali ke agamanya tersebut.
Dengan pertimbangan tersebut, maka hakim mengadili dan
memutuskan bahwa:
a)
Mengabulkan gugatan penggugat
b) Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat
c)
Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk
mengirimkan salinan putusan ke Kantor urusan Agama
Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan Kantor urusan
Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang serta
Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga
d) Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah).
E. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim Terhadap Perceraian
karena Salah Satu Pihak Murtad
Dalam kasus ini penggugat beragama Islam dan tergugat beragama
Kristen. Perkawinan keduanya telah dilangsungkan di KUA kecamatan
Susukan, Kabupaten Semarang sebagaimana dalam kutipan akta nikah
Nomor 183/25/VII/95 tertanggal 21 Juli 1995. Dalam Undang-Undang
Nomor.1 Tahun 1974 Pasal 2 dikatakan bahwa “perkawinan adalah sah
apabila
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu”. Pasal ini mengandung asas bahwa suatu perkawinan
adalah sah apabila dilakukan sesuai hukum agamanya atau kepercayaannya,
disini terlihat terdapat adanya penundukan terhadap suatu hukum.
Apabila suatu perkawinan antara laki-laki dan seorang wanita maka
haruslah dilihat berdasarkan hukum apa mereka tunduk pada saat
melangsungkan
perkawinan.
Apabila
perkawinan
ini
dilangsungkan
berdasarkan hukum Islam dan dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah
(PPN), maka segala hal yang terjadi setelah perkawinan itu berlangsung maka
semua permasalahan tersebut haruslah diselesaikan sesuai hukum Islam dan
hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama. Karena Pengadilan Agama
adalah suatu Pengadilan
yang diperuntukkan bagi umat Islam dalam
memecahkan suatu persoalan atau masalah. Begitu juga jika terjadi
perkawinan secara Islam (perkawinan dilangsungkan di KUA), namun
adakalanya perkawinan yang telah berlangsung lamanya kemudian salah
seorang baik suami atau istri pindah agama/murtad, maka kewenangan untuk
menangani permasalahan tersebut menjadi wewenang Pengadilan Agama
(berdasarkan penundukan hukum pertama kali melangsungkan perkawinan).
Murtadnya salah satu pihak ini baik suami atau istri maka harus dapat
dibuktikan di depan Pengadilan Agama. Suatu perkara perceraian karena
murtadnya salah satu pihak baik istri maupun suami tentunya berakibat pada
jatuhnya putusan pengadilan terhadap adanya tuntutan baik gugatan cerai dari
pihak istri terhadap suami yang murtad ataupun permohonan talak dari suami
akibat murtad si istri. Putusan Hakim Pengadilan (dictum) tentunya
berdasarkan apa yang di tuntut. Namun putusan tersebut kadang tidak
seluruhnya dapat dikabulkan, karena kadang putusan tersebut hanya
mengabulkan sebagian.
Namun inti dari suatu dictum adalah apakah hakim dapat
memutuskan suatu perkawinan itu oleh karena adanya perceraian atau talak
serta memutuskan perkawinan oleh karena dibatalkan dan masalah
pemeliharaan anak (kedudukan anak) ataupun masalah pembagian harta
(harta
benda dalam perkawinan), perwalian ataupun masalah hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak.
Dalam hal ini perkara perceraian yang disebabkan salah satu pihak
beralih Agama (murtad), maka hakim dalam memutuskan perkara ini
berdasrkan dalil gugatan penggugat yang telah terbukti dan telah memenuhi
ketentuan Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan salah
satu alasan suatu perceraian disebabkan karena ada salah satu pihak murtad
yang apabila menimbulkan ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dan hakim
dalam pertimbangannya juga berdasarkan kitab Ath Thalaq hal 39 yang
berbunyi:
َ ِ َ‫ل‬
ََ‫ِ َ َ َد َ ِ َلل ْ َج ِ َ ََبَ ِ ْ ل ُقَل يْ ِ َْبْْبلَْب َهق َ َْب ْ َ َ ْ َج َهق ِا‬
‫ْ لَ َ ّ ُه ْ ٍ ََ َق َهق لَِقق ِض‬
ََ ٍ‫فقَ َ ِ ْْببََ ِ ْ لَ ِ َ َ لُْ َمَ ةٍ َ ِح َد ة‬
ِ َ‫ِجهق ََ َق ِ ق ِل‬
ِ
َ َْ ْ ‫م‬
َ
Artinya: Jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami,
karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu
terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur,
Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talaq
ba’in sughra.
Dalam kasus murtadnya seseorang baik dari pihak suami ataupun istri
yang mana perkawinannya telah berlangsung lama dan telah dikaruniai
keturunan, maka putusan yang paling tepat adalah perceraian atau penjatuhan
talak, menurut penulis putusan ini lebih tepat karena berdampak pada adanya
perlindungan terhadap anak yang dilahirkan, anak tetap mendapatkan hak
mewaris dari ibu bapaknya. Lain hal bila putusan yang dijatuhkan adalah
putusan pembatalan perkawinan. pembatalan berarti mengembalikan kepada
kondisi semula yaitu kembali kepada keadaan dimana perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam hal pertimbangan hukum dan hakim dalam putusannya Nomor
0356/pdt.G/2011/PA.SAL sudah tepat dimana hakim dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa penggugat “SP” menggugat
“PB” untuk
menceraikan perkawinan antara penggugat dengan tergugat dan menyatakan
perkawinannya putus karena perceraian. Salah satu pihak yang dapat menjadi
penyebab putusnya atau berakhirnya suatu perkawinan adalah apabila salah
seseorang dari pasangan suami istri itu telah keluar dari agama Islam atau
dengan
kata lain telah murtad. Adapun untuk memutuskan hubungan
perkawinan itu maka hakim Pengadilan Agama Salatiga, mengabulkan
gugatan penggugat dengan menyatakan talak satu ba‟in tergugat kepada
penggugat.
F. Analisis Akibat Hukum Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/PA.SAL
Berdasarkan dari hasil wawancara penulis dengan hakim yang
menangani perkara ini Drs. H. Noerhadi MH bahwa akibat hukum perceraian
karena salah satu pihak murtad sama halnya dengan akibat hukum perceraian
yang lain, karena sebenarnya murtad hanya menjadi alasan perceraian saja,
menurut pendapat penulis itu benar, karena setelah putusnya hubungan
perkawinan antara penggugat dan tergugat tersebut hak-hak istri dan anak
terjamin atau dapat terpenuhi.
Maka dari itu bahwa seorang suami masih mempunyai kewajibankewajiban yang harus dipenuhi setelah terjadinya perceraian tersebut. Maka
perceraian ini dapat menimbulkan beberapa akibat hukum sebagai berikut:
a.
Putusnya Ikatan Perkawinan
Putusnya perkawinan di Pengadilan dapat diakibatkan oleh dua
hal yaitu cerai talak dan cerai gugat yang keduanya sudah dijelaskan
dalam bab II. Dalam kasus ini putusnya perkawinan kedua pasangan
disebabkan cerai gugat yaitu cerai yang diajukan oleh pihak istri.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 114 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat tejadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.
b.
Berlakunya Masa Iddah bagi Perempuan
Setiap peceraian mengakibatkan adanya iddah bagi seorang istri,
menurut KHI ada beberapa ketentuan. Dalam pasal 153 ayat 2 “waktu
tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla dukhul,
waktu tunggu ditetapkan seratus tiga puluh hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 (kali) suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu ditetapkan sampai melahirkan.
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Dari pasal tersebut di atas sudah jelas bahwa dalam perkara ini
pihak tergugat masa iddahnya sudah sesuai pada masa iddah huruf (b).
c.
Hak Asuh Anak
Dari pernikahan tersebut antara pihak penggugat dan tergugat
dalam perkara ini sudah memiliki satu oarang anak yang berusia 16
tahun. Setelah adanya perceraian ini anak tersebut dalam pemeliharaan
ibunya. Hal ini sesuai dengan pasal 98 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.
d.
Nafkah Anak
Di dalam perkara ini, semenjak berpisahnya kedua belah pihak
antara penggugat dan tergugat suami tidak pernah memberi nafkah
kepada istri dan anaknya. Kemudian, setelah adanya perceraian ini suami
berkewajiban memberikan nafkah atau biaya hidup untuk anaknya yang
masih berusia 16 tahun. Pemberian nafkah ini masih wajib bagi suami
tersebut karena anak belum dewasa (berusia 21 tahun), hal ini dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 pada huruf (d) yang berbunyi :
semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
Adapun akibat hukum talak ba‟in sughra ialah sebagai berikut:
1.
Putusnya ikatan perkawinan
2.
Antara suami dan istri tidak dapat hidup bersama selayaknya masih
ada ikatan perkawinan seperti dahulu
3.
Salah satu pihak tidak lagi menjadi ahli waris lainnya apabila salah
satu pihak meninggal dunia
4.
Istri dapat menuntut sisa pembayaran maskawin yang belum dibayar
suami
5.
Suami dapat mengawini isrti yang dulu tersebut dengan akad nikah
yang baru tanpa harus si perempuan kawin dulu dengan laki-laki lain
6.
Apabila suami merujuknya ia masih memiliki sisa hak talak.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1.
Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak
Murtad
di
Pengadilan
Agama
Salatiga
Perkara
Nomor.
0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai beberapa pertimbangan
dan dasar hukum, yaitu:
a. Pertimbangan
Keluarga penggugat dan tergugat tidak harmonis karena
tergugat keluar dari agama Islam dan sebelumnya mediasi telah
dilakukan akan tetapi hasilnya gagal.
b. Dasar hukum
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tentang alasan perceraian.
Sebagai salah satu alasan perceraian disebut dalam pasal tersebut
huruf (h) yang menyatakan bahwa peralihan agama yang
menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Kemudian
Hakim mengambil pendapat ahli yang dijadikan pendapat sendiri
yang termuat dalam kitab At-Thalak hal 39.
2.
Akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad sama halnya
dengan akibat perceraian yang lain, oleh karena itu perceraian tersebut
dapat
menimbulkan
mengakibatkan
beberapa
putusnya
akibat
hubungan
hukum
perkawinan.
yaitu:
Pertama,
Kedua,
masih
berlakunya masa iddah bagi bekas istri. Ketiga, mengenai masalah
pemeliharaan anak. Keempat, seorang ayah masih berkewajiban
memberikan nafkah kepada anaknya sampai dewasa (usia 21 tahun).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas,
selanjutnya penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut:
1.
Pengadilan Agama dan Lembaga yang Terkait
Bagi para hakim di Pengadilan Agama Salatiga harus tetap
berpegang teguh kepada sumber hukum Islam dan hukum acara peradilan
yang sudah ada, agar dalam memutuskan suatu perkara tidak merugikan
salah satu pihak. Kemudian bagi para hakim Pengadilan Agama serta
petugas pencatat nikah perlu untuk memberikan sosialisasi kepada
masyarakat umum paling tidak di dekat tempat tinggal masing-masing
untuk masalah murtad, yakni bahwa murtadnya salah satu pihak baik istri
maupun suami yang sudah diajukan ke Pengadilan Agama maupun
belum secara otomatis perkawinan tersebut sudah batal. Artinya jika
pasangan tersebut tetap hidup bersama dan melakukan hubungan suami
istri maka hukumnya haram. Oleh karena itu perlu sekali hakim
memberikan dakwah tersebut agar masyarakat mengetahui tentang ajaran
agama yang lebih mendalam.
2.
Masyarakat Umum
Bagi seseorang non muslim yang ingin masuk Islam, jangan
hanya sekedar untuk memenuhi syarat untuk bisa melangsungkan suatu
perkawinan dengan orang Islam, hendaknya didasari karena rasa cinta
terhadap pasangannya.
Selanjutnya setelah masuk Islam hendaknya para
tersebut mau untuk menambah pengetahuanya
mu‟allaf
tentang ajaran Islam,
tidak hanya menjadikan Islam sebagai simbol tanpa mengerti dan
mendalami ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam yang sebenarnya,
sehingga bisa membangun
pondasi-pondasi agama Islam.
rumah tangganya dengan di dasarkan
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta : CV Rajawali.
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : PT Pineka Cipta.
Arso, & Wasit. 1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1983. Ilmu Fiqh jilid
Dua. Jakarta: departemen Agama.
Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta : PT
Bulan Bintang.
Moleong, Leksi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Muhammad Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Munajad, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
Ramulyo, Muh.Idrus. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UUP
Tahun 1974 dan KHI. Jakarta: Bumi Aksara
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam : Bandung : CV Sinar Baru.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6. Bandung: PT Al-Ma‟Arif
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah Jilid 8. Bandung : PT Al-Ma‟Arif.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah Jilid 9. Bandung : PT Al-Ma‟Arif.
Saleh, Hasan. 2008. Kajian fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sosroatmodjo & Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintag.
Supriatna, Fatma Amilia, & Yasin Baidi. 2009. Fiqh Munakaht II. Yogyakarta:
Teras.
Tihami & Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara.
Wasman, Wardah Nuroniyah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Teras.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Nastangin
Nim
: 211 08 016
Tempat/tgl.lahir
: Temanggung, 27 Februari 1990
Alamat
: Kedopokan RT 06/01 Kel. Tlogopucang.
Kec. Kandangan. Kab. Temanggung
Pendidikan
:
1. MI Ma‟arif Karang Tengah Lulus Tahun 2002
2. MTS Mu‟alimn Rawaseneng Lulus Tahun 2005
3. MA Mu‟alimin Rawaseneng Lulus Tahun 2008
Demikian riwayat hidup penulis dibuat dengan sebenar-benarnya, kemudian bagi
yang berkepentingan harap maklum adanya.
Salatiga, 28 juli 2012
Penulis
Nastangin
21108016
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Nastangin
NIM
: 211 08 016
Jurusan
: Syari‟ah
Progdi
: Al-ahwal Al-Syakhsiyyah (AS)
Dosen PA
: Lutfiana Zahriani SH. MH
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Nama Kegiatan
Opspek “Implementasi Nilainilai Kemahasiswaan melalui
Totalitas gerakan menuju
Masyarakat Madani”
Sarasehan Keagamaan
“Aktualisasi Nilai-nilai
Spiritual Puasa di Bulan
Ramadhan” (DEMA)
Masa Penerimaan Anggota
Baru (MAPABA) PMII
Seminar dan Bedah Buku
“Kaum Muda Menanatap
Masa Depan
Indonesia”(DEMA)
Seminar dan Silaturrahmi
Nasional Forum Mahasiswa
Syari‟ah Se-Indonesia
Seminar Pembiayaan
Pendidikan Kota Salatiga
“DEMA”
Konsolidasi Internal dan
Semalam Sehati Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia
(MAPABA)
Sarasehan Keagamaan
“Optimalisasi Peran Badan
Amil Zakat dalam
Pelaksanaan
25-27 Agustus
2008
Keterangan
Peserta
Nilai
3
05 September
2008
Peserta
3
14-16 November
2008
27 November
2008
Peserta
3
Peserta
2
15-17 Desember
2008
Peserta
6
25 Maret 2009
Peserta
3
12-13 September
2009
Panitia
3
14 September
2009
Peserta
3
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Pengelolaan Zakat sebagai
Upaya Pengentasan
Kemiskinan ”
Seminar Kebangsaan
“Memperkokoh Kepeloporan
Mahasiswa dalam
Pembangunan Menuju
Kejayaan Indonesia di Pentas
Global”
Seminar Regional “Peran
Lembaga Publik sebagai Alat
kontrol Pemerintah Demi
Terciptanya Good
Governance”
Public Hearing “Membangun
Demokrasi Kampus yang
Harmonis”
Seminar Nasional Pendidikan
“Aktualisasi Nilai-nilai
Pendidikan dalm Upaya
membenruk Karakter dan
Budaya Bangsa”
SK Pengangkatan Pengurus
Senat Mahasiswa (SEMA)
2010-2011 STAIN
SALATIGA
Praktikum Pelatihan TOEFL
“UPB”
SK Pengangkatan Pemantau
OPAK 2010
Praktikum Pelatihan ILAIK
(Ikhtibar al-Lughah alArabiyah Ka Lughah
Ajnabiyah “UPB”
Bakti Sosial V “Sadar
Pendidikan Desa Berkembang
Masa Penerimaan Anggota
Baru (MAPABA) PMII
02 Desember
2009
Peserta
3
22 Maret 2010
Peserta
4
15 Mei 2010
Peserta
3
2 Juni 2010
Peserta
6
29 Juni 2010
Pengurus
3
31 Juli-22
Agustus 2010
Peserta
19 Agustus 2010
Panitia
3
3
31 Juli-22
Agustus 2010.
Peserta
3
16-18 Oktober
2010
22 Novenber
2011
Panitia
3
Panitia
3
19
20
21
Seminar Keperempuanan
17 Mei 2011
“Menumbuhkan kembali Jiwa
Kekartinian dalam Ranah
Kampus”
Seminar Radikalisme
23 Juni 2011
Keagamaan di Indonesia
Seminar Ekonomi Islam
14 Januari 2012
“Peran Ekonomi Islam dalam
Mengatasi Ekonomo Global”
Panitia
3
Peserta
3
Peserta
3
Total
69
Salatiga, 30 Juli 2012
Mengetahui,
Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan
Drs. Agus Waluyo M.Ag
NIP: 19750211 200003 1 001
Download