PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356/pdt.G/2011/PA.SAL) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh NASTANGIN NIM : 21108016 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2012 PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356/pdt.G/2011/PA.SAL) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh NASTANGIN NIM : 21108016 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2012 PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama : Nastangin NIM : 21108016 Jurusan : Syari‟ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul : PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356 /PDT.G /2011 / PA .SAL) Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Salatiga, 29 juli 2012 Pembimbing Evi Ariyani MH NIP. 197311172000032002 KEMENTRIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. 323706 Fax. 323433 Kode Pos. 50721 Salatiga http//www.salatiga.ac.id e-mail:[email protected] SKRIPSI PERCERAIAN KERENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356/pdt.G/2011/PA.SAL) DISUSUN OLEH NASTANGIN NIM: 21108016 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari‟ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 31 Agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag Sekretaris Penguji : Abdul Azis,N.P MM Penguji I : Lutfiana Zahriyani, MH Penguji II : Ilya Muchsin, MSI Penguji III : Evi Ariyani, MH Salatiga, 11 September 2012 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag. NIP. 195808271983031002 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nastangin NIM : 21108016 Jurusan : Syari‟ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan yang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, 29 Juli 2012 Yang menyatakan, Nastangin MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna. PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapak dan ibu tercinta, yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis kepada mereka berdua. Para dosen, terimakasih atas ilmu yang telah bapak dan ibu berikan kepada saya, semoga menjadi ilmu yang berfanfaat. Amin Adik-adikku tercinta dan sepupu-sepupuku, belajar yang sungguh-sungguh dan gapailah cita-citamu setinggi mungkin. Om Budi dan Mas fahrodin. Terimakasih atas motifasi, masukan dan sarannya. Sahabat-sahabat AS angkatan 2008, semoga sukses selalu. Teman-teman kontrakan, carilah ilmu dan pengalaman yang sebanyak-banyaknya jangan merasa puas. Teman spesialku yang selalu setia menemani, memberi motifasi dan selalu mendoakanku. KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdulilah, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNya, sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan islam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi agung Muhammad Saw yang senantias kita ikuti sunah-sunahnya dan semoga kita selalu mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat. Amin. Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 2. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 3. Ketua Pengadilan Agama Salatiga 4. Bapak Ilya Muchsin SHI. MSI. selaku kepala program studi AS 5. Ibu Evi Ariyani MH, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya guna memberikan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. 6. Bapak Noerhadi MH selaku hakim pembimbing 7. Segenap dosen jurusan syari‟ah 8. Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga 9. Kedua orang tuaku yang saya sayangi dan cintai, yang selalu mendoakan saya, mendukung serta memberi bantuan baik materiil maupun non materiil. 10. Untuk Someone yang selalu dihatiku, terimaksih atas semua yang telah kamu berikan kepadaku, memberikan semangat dan selalu mendoakanku. 11. Arif Maslah, Azis, Abu, Malik,Ustadzun, Anas, Ghozali, terimaksih atas semangat dan masukan-masukannya. 12. Om budi, Bpk Suyitno, Bpk Mujiono, Mas fahrodin, yang selalu mendoakan,memberi dukungan dan masukan dalam hidup. 13. Teman-teman kontrakan, Mas Abu, Mas Ghozali, Abi, ipul, Muzun, Sinang kamu semua adalah sahabat yang terbaik. 14. Keluarga besar Formatas jangan sampai putus ditengah jalan, semangat dan maju terus. 15. Sahabat-sahabat PMII Kota Salatiga, Ustadzun, Arif Maslah dan Anas dan tidak bisa saya sebutkan semuanya yang telah memberi pelajaran banyak tengtang bagaimana berorganisasi dan hal-hal yang lain. 16. SEMA 2010-2011 yang memberi pengetahuan bagaimana caranya mengurus sebuah tatanan suatu negara dikampus. Semoga sukses terus 17. Teman-teman KKN Cebongan, dulu sampai sekarang kita adalah keluarga. Kenangan kita tidak akan pernahku lupakan samapi tua nanti. 18. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2008 19. Teman-teman futsal sapu angin 20. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya, sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi inibermanfaat bagi kita semua. Amin Salatiga, 29 Juli2012 Penulis Nastangin NIM: 21108016 ABSTRAK Nastangin. 2012. Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan di Pengadilan Agama Salatiga), Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani MH Kata Kunci: perceraian dan murtad Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2) apa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad? Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Jenis penelitian ini secara spesifik lebih bersifat yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad yaitu keluarga penggugat dan tergugat tidak harmonis karena tergugat keluar dari agama Islam dan sebelumnya mediasi telah dilakukan akan tetapi hasilnya gagal kemudian dasar hukum hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena salah satu pihak murtad ialah pasal 116 KHI pada huruf h dan mengambil pendapat ahli yang dijadikan pendapat sendiri yang termuat dalam kitab At-Thalak hal 39. Bahwa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad ini akibat hukumnya sama dengan akibat hukum perceraian secara umum, yakni menjadikannya putus tali perkawinan, masih berlaku masa iddah bagi bekas istri, suami masih diberi tanggungan kewajiban yang harus dipenuhi setelah terjadinya perceraian diantaranya: masih menanggung hadhanah, memberi nafkah kepada anak sampai dewasa (usia 21 tahun). DAFTAR ISI SAMPUL ......................................................................................................... i LEMBAR BERLOGO .................................................................................... ii JUDUL ............................................................................................................ iii PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................ vi MOTTO PERSEMBAHAN .............................................................................. vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii ABSTRAK ...................................................................................................... x DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah................................................................... 10 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 10 D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 10 E. Metode Penelitian ................................................................... 11 F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 16 G. Penegasan Istilah .................................................................... .. 18 H. Sistematika Penulisan ............................................................. 19 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkawinan ........................................................................... 21 1. Pengertian Perkawinan .................................................. 21 2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ................................. 24 3. Dasar Hukum Nikah ...................................................... 26 4. Tujuan dan Hikmah Nikah ............................................. 29 B. Perceraian Menurut Hukum Islam ........................................ 34 1. Pengertian Perceraian ....................................................... 34 2. Hukum Perceraian ............................................................ 36 3. Rukun dan Syarat Perceraian ........................................... 38 4. Bentuk-Bentuk Perceraian ................................................ 40 5. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ................................. 44 6. Akibat Perceraian ............................................................. 47 C. Perceraian Menurut Perundang-undangan di Indonesia ............................................................................ . 48 1. Pengertian Perceraian ...................................................... 48 2. Tata cara perceraian ......................................................... 48 3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ................................ 50 4. Akibat Perceraian ............................................................. 51 D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ......................................... 52 BAB III 1. Pengertian Murtad ........................................................... 52 2. Hukum Murtad ................................................................ 55 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Agama Salatiga ........ 58 1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Salatiga .............. 58 2. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga......................... 61 3. Administrasi Berperkara di pengadilan Agama Salatiga ................................................................ 64 4. Visi dan Misi ................................................................... 67 5. Struktur Organisasi .......................................................... 68 B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga ............................................... 69 C. Putusan Hakim dalam Perkara Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL...................................................... 73 D. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ........................... 74 E. Akibat Hukum Putusan Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ..................................................... 76 BAB IV ANALISA DATA A. Analisis Hasil Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ........................... 79 B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Putusan Hakim Terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ........... 82 C. Analisis Akibat Hukum terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ............................................. 86 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 89 B. Saran ....................................................................................... 90 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 94 DAFTAR LAMPIRAN SALINAN PUTUSAN NOTA PEMBIMBING SURAT IZIN PENELITIAN LEMBAR KONSULTASI PEMBIMBING LAPORAN SKK SURAT BUKTI PENELITIAN DARI PENGADILAN AGAMA SALATIGA DAFTAR RIWAYAT HIDUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu, maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain daripada Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan “mitsaqun-ghalidhun” (perjanjian yang kokoh) (Sabiq, 1980: 7). Jika ikatan antara suami istri sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekannya dibenci oleh Islam, karena dianggap merusak kebaikan dan menghilangkan kemasalahatan antara suami istri (Wasman dkk, 2011: 84). Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna (Rasyid,1986:374). Pengertian perkawinan yang lainnya, diantaranya menurut undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1994 diatas, jelas bahwa tujuan pekawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan yang bahagia, itulah cita-cita dan idaman semua manusia baik laki-laki dan perempuan di dunia. Namun kebahagian itu tidak bisa ditebak, kadang datang dan pergi begitu saja tidak bisa diketahui oleh manusia. Di dalam Agama Islam juga ditegaskan lagi dalam kompilasi hukum Islam Pasal 44 yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Sebenarnya suami istri itu mempunyai kewajiban untuk selalu memelihara hubungan perkawinan dengan baik. Dalam pada itu bahwa pergaulan suami istri adalah pergaulan yang yang paling rapat dan erat. Waktu untuk ketemu tidak dibatasi dengan waktu dan jam. Siang dan malam keduanya berkumpul dan bergaul di dalam rumah atau di luar rumah. Mereka hidup serumah, sesumur, sedapur, sebilik, dan sepebaringan. Tentu saja pergaulan yang seerat dan serapat itu membutuhkan kasih sayang, persesuaian pendapat, serasa dan sekemauan, dan berlapang dada (Supriatna dkk, 2009: 3). Tetapi dari sisi yang lain, suami istri itu tidak seayah dan seibu, belum tentu juga sesuku dan sekampung. Perbedaan karakter dan pandangan hidup mungkin saja terdapat pada suami istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin saja pertentangan yang prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah. Perbedaan pandangan hidup dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis merubah rasa cinta dan kasih sayang menjadi benci. Tidak selamnya keimanan dan lapang dada dapat mempertahankan hubungan suami istri bila timbul pertentangan yang sangat memuncak. Permasalahannya, kalau suami istri yang berbeda prinsip hidupnya dan pertentangannya sudah memuncak, telah merubah rasa cinta menjadi benci, persesuaian menjadi pertikaian, yang tidak memungkinkan lagi untuk berpadu menjadi satu, apakah tidak terlalu aniaya kalau keduanya dipaksa harus tetap bersatu (Supriatna dkk, 2009: 3). Hal ini akan semakin bertambah parah, jika salah satu di antara mereka menjadi murtad, secara otomatis disadari maupun tidak perjalanan hidup rumah tangga tersebut tidak akan lagi terasa harmonis seperti dulu lagi di saat rasa cinta dan kasih sayang masih terjaga dalam hati mereka berdua. Karena di antara mereka berdua mempunyai keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak bisa di satukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada bab II KHI, yaitu: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yan sakinah, mawadah, dan rahmah”. Jadi di dalam kondisi seperti ini maka perceraian yang akan menjadi obat bagi mereka berdua karena tidak ada jalan lain lagi untuk mengatasi keadaan. Dengan melihat hal tersebut, bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir (darurat) yang ditempuh oleh suami istri, yaitu apabila terjadi persengketaan antara keduanya dan telah diusahakan jalan perdamaian sebelumnya, tetapi tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga tersebut (Wasman dkk, 2011: 84). Perceraian dalam istilah Fiqh disebut “talaq atau furqah”, adapun arti dari pada talaq adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian sedangkan furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. Istilah talaq dalam Fiqh mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, dijatuhkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Sedangkam talaq dalam arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami saja. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami istri itu ada yang disebabkan karena talaq, maka untuk selanjutnya istilah talaq di sini dimaksudkan sebagai talaq dalam arti khusus (Wasman dkk, 2011: 83). Dalam Islam bercerai pada dasarnya “terlarang” atau tidak diperbolehkan kecuali karena ada alasan yang dibenarkan oleh syara‟. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanafi dan Hambali, mereka beralasan bahwa bercerai merupakan kufur nikmat, karena perkawinan adalah suatu nikmat, sedangkan kufur terhadap nikmat Allah hukumnya haram, sehingga bercerai hukumnya adalah haram kecuali darurat. Madzhab Hambali lebih lanjut menjelaskannya secara terperinci mengenai hukum bercerai. Menurut mereka bercerai itu hukumnya yaitu: wajib, haram, dan sunnah (Wasman dkk, 2011: 85). Syariat Islam adalah syariat yang riil dan idiil. Riil artinya mengakui realitas kehidupan dan idill artinya mempunyai prinsip dan cita-cita yang mulia untuk kemaslahatan hidup manusia sepanjang masa. Syariat Islam tidak menjadikan realitas semata sebagai asas hukum dan tidak menafikan realitas demi untuk mempertahankan cita-cita mulia. Syariat Islam berusaha merealisir cita-cita mulia dan mengobati realita yang dijiwai oleh kemudahan dan mewujudkan kemaslahatan. Oleh karena itu sekalipun syariat Islam menghendaki agar akad nikah itu untuk selama hayat dikandung badan, akan tetapi kalau dalam realitanya antara suami istri itu sudah tidak mungkin untuk disatukan lagi, Islam memperbolehkan keduanya bercerai. Apabila hubungan pernikahan tetap dipertahankan, memaksa suami istri untuk tetap bersatu, justru kemadharatan yang terjadi. Sekalipun sedemikian, bahwa perceraian hanya sebagai pintu darurat yang baru dibuka apabila keadaan memang sangat mendesak dan berbagai upaya untuk mempertahankan ikatan perkawinan sudah ditempuh tetapi tidak berhasil. Dengan demikian, perceraian adalah suatu jalan keluar yang paling baik (Supriatna dkk,2009 : 4). Nabi Muhammad SAW bersabda: َ ِ ُ َ َْ َ ُ َ ُ ََْ ِ َ َ ّ َ َْْب ِ ّ َ َ .) مق ج ُ ْ ُ َ َ َ ق: َ ََ ِ ْ ِ ُ َ َ ق د ( ه أ د. ُ َ َُّ لط “Dari ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak” Dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jelas bahwa perceraian itu hukumnya adalah makruh. Al-Qur‟an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung dalam perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga tersebut bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Al-Qur‟an menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan mengahadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan demikian Al-Qur‟an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan (Supriatna dkk, 2009: 5). Dalam undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan akan banyak terjadinya perceraian liar, juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran Lembaga Pengadilan (Wasman dkk, 2011: 156). Sehubungan dengan adanya ketentuan-ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi masyarakat yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan tersebut, sebagaimana dijelaskan di dalam kaidah Fiqh dan didalam Al-Qur‟an bahwa mentaati Pemerintah/Ulil Amri dianggap seperti taat kepada Rasul dan taat kepada Allah SWT (Wasman dkk, 2011: 156). Disamping melihat atas ketentuan-ketentuan perceraian di atas, perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Untuk mewujudkan tujuan dari pada perkawinan yaitu untuk selama-lamanya, oleh karenanya UUP No.1/1974 mempersulit terjadinya perceraian (Wasman dkk, 2011: 158). Berkaitan dengan berbagai hal yang disebutkan di atas, yang akan dibicarakan adalah mengenai perceraian suatu perkawinan karena murtad, khususnya pembahasan disini adalah mengenai putusan tentang perceraian karena murtad dari Pengadilan Agama Salatiga Nomor.0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai gugatan istri yang muslimah terhadap suami yang murtad, kemudian putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadialan Agama mengenai perkara cerai gugat tersebut. Istri yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu ( Ramulyo, 1996: 131). Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang Hakim dari Pengadilan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, karena hakim memang mempunyai wewenang seperti itu. Perceraian yang dilakukan di muka sidang Pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian. Sebab sebelum ada keputusan, terlebih dahulu diadakan penelitian tentang apakah alasanalasannya cukup kuat untuk terjadinya perceraian antara suami isrti, kecuali dimungkinkan Pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan bercerai antara suami istri. Dengan proses Pengadilan yang mempersulit dan memperketat alasan-alasan perceraian, maka perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dapat juga memperkecil jumlah perceraian. Di sisi lain, perceraian yang dilakukan dimuka sidang Pengadilan sering dirasakan ada beberapa kendalanya, terutama dalam dua hal: pembongkaran rahasia rumah tangga di muka orang banyak dan kelambatan proses yang sering kali dirasakan sebagai memperpanjang suasana perselisihan (Wasman dkk, 2011: 153). Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan gugat cerai istri kepada suaminya yang sudah murtad ke Pengadilan Agama. Kemudian mengenai kasus tersebut istri (Islam) yang mengajukan gugat cerai atas suaminya dakarenakan suaminya telah murtad, sebagaimana dalam putusan Nomor. 0356/pdt/.G/2011/PA.SAL. atas gugatan dari “SP” terhadap suaminya yang telah murtad berinisial “PB” dan pada akhirnya akan dibahas mengenai putusan dari Pengadilan Agama atas pengajuan dari gugat cerai tersebut karena suami murtad. Untuk itu penulis mengambil judul : “PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD”(Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor. 0356/pdt/.G/2011/PA.SAL). B. Rumusan Masalah Dari tema diatas, penulis memperinci permasalahan-permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutuskan perceraian karena salah satu pihak murtad? 2. Bagaimana akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad? C. Tujuan Penelitian Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. 2. Untuk mengetahui akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad. D. Kegunaan Penelitian Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini mempunyai kegunaan atau kemanfaatan, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran hukum perdata islam dalam bidang hukum kekeluargaan. 2. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan hukum perdata di lingkungan Peradilan Agama yang menyangkut dalam bidang perkawinan khususnya perkara perceraian. 3. Untuk menambah khasanah pengetahuan tentang pentingnya keutuhan, keharmonisan dalam berkeluarga. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Metode Pendekatan Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Jenis penelitian ini secara spesifik lebih bersifat yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad. b. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang beralamat di jl.Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt. 14. Rw 05 Cebongan Salatiga. Telp (0298) 322853 Fax (0298) 325243. c. Sumber Data 1) Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari sumbersumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut (Amirin,1990:132). Macam-macam data primer sebagai berikut: a) Informan Informan adalah orang yang di manfaatkan untuk memberikan informasinya tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian. Jadi seorang informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar belakang penelitian. Seorang informan berkewajiban secara suka rela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informal. Sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan dengan kesukarelaannya ia dapat memberikan pandangan dari segi orang dalam, tentang nilai-nilai, sikap, bangunan, proses dan kebudayaan yang menjadi latar penelitian setempat (Moleong, 2002: 90). Dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Salatiga. b) Dokumen Adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng, 2002: 161). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moloeng, 2002: 113). Dalam penelitian ini setiap bahan tertulis berupa data-data yang ada di Pengadilan Agama Salatiga berkaitan dengan penelitian seperti : buku register perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian. 2) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yag bukan asli memuat informasi atau data tersebut (Amirin,1990: 132). Sebagai data sekunder dari penilitian ini adalah sebagai berikut: a) Undang-undang yang mengatur tentang perceraian b) Buku-buku yang terkait dengan penulisan penelitian ini c) Arsip-arsip yang mendukung 2. Prosedur Pengumpulan Data a. Wawancara (interview) Wawancara ( interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998: 145). Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan ketua Pengadilan Agama Salatiga yaitu Bapak Noerhadi MH untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan masalah. b. Observasi Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi itemitem tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi ( Arikunto, 2006: 229). Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat. Misalnya kita memperhatikan reaksi penonton televisi, bukan hanya mencatat bagaimana reaksi itu, dan berapa kali muncul, tetapi juga menilai reaksi tersebut sangat, kurang, atau tidak sesuai dengan yang kita kehendaki (Arikunto,2006:229). Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi subyek penelitian. Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama Salatiga. c. Dokumentasi Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236). Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah pengambilan beberapa data tentang perceraian suatu perkawinan oleh majlis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan alasan karena salah satu pihak murtad yakni dalam putusan Nomor. 0356/Pdt.G/2011/PA.SAL. 3. Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam penganalisaan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk uraian ( Moleong, 2011:288). 4. Pengecekan Keabsahan Temuan Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan suatu data. Keabsahan suatu data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, menurut patton berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 2002: 178). 5. Tahap-Tahap Penelitian Setelah peneliti menentukan tema yag akan diteliti maka penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga dengan bertanya kepada panitera tentang perkara perceraian, sidang kasus tentang perceraaian di Pengadilan Agama Salatiga secara praktek. F. Tinjauan Pustaka Perceraian (Studi Kasus Tentang Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2011) belum pernah diangkat menjadi skripsi. Meskipun demikian peneliti menemukan skripsi yang memiliki tema sama yang dijadikan alasan perceraian yaitu: 1. Siti Nakiyah, Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001), dengan fokus penelitian bagaimana bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, bagaimana motif tindakan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001 dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam penyelesaian proses perkara perceraian dengan alasan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya yaitu: bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik dan psikis, motifnya dikarenakan masalah ekonomi, nilai budaya dan pemahaman agama yang kurang dan sikap hakim sangat bijaksana dan memberi keadilan kepada kedua belah pihak. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya. 2. Mutabi‟in, Perceraian Akibat Salah Satu Pihak Pergi Keluar Negeri (Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa tahun 2002), dengan fokus penelitian bagaimana perceraian menurut pandangan islam, bagaimana penanganan kasus perceraian di Pengadilan Agama Ambarawa dengan alasan pergi keluar negeri dan bagaimana analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Ambarawa. Hasil penelitian ini yaitu perceraian menurut hukum Islam halal, akan tetapi merupakan perbuatan yang dibenci Allah, hakim sangat bijaksana dalam menangani dan memutus perkara tersebut mulai dari tahap pemeriksaan, persidangan, perdamaian sampai dengan putusan hakim dan anlisa putusan ini sudah tepat dari tahapan pemanggilan, persidangan dan putusan, akan tetapi dalam hal alasan kurang sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya. 3. Mustagfiroh, Cacat Biologis sebagai Salah Satu Alasan Peceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2001), dengan fokus penelitian bagaimana pengaruh cacat boilogis yang diderita salah satu pihak baik suami maupun istri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat biologis yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan proses perkara perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian ini yaitu cacat biologis dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan ketegangan suami istri dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi bagi istri dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang, sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika gugatannya kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya. G. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran kata-kata dalam judul, antara penulis dan pembaca, maka penulis perlu menjelaskan istilah yang terdapat dalam judul, yaitu “PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD ( Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga)”. 1. Perceraian Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009: 19). Secara istilah, ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama, antara lain: Menurut as-sayyid sabiq (2009:19) “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”. Menurut Abdur Rahman al-Jaziri “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi ikatan pelepasannya dengan menggunakan lafadz khusus” (Supriatna dkk, 2009: 19-20). 2. Murtad Riddah atau murtad ialah kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki dengan murtad ialah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq, 1984: 168). H. Sistematika Penulisan Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini mencakup akan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, penegasan istilah dan di akhiri dengan sistematika penulisan. Bab II, dalam bab ini penulis mengemukakan dasar teori yang meliputi: Perkawinan, Konsep perceraian dalam hukum Islam, konsep perceraian menurut Perundang-undanganan di Indonesia, dan murtad sebagai alasan perceraian. BAB III, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga, prosedur dan proses penyelesaian perkara cerai gugat di pengadilan Agama Salatiga, hasil putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga, pertimbangan dan dasar putusan hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga, akibat hukum putusan perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga. BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian skripsi yang berisikan pembahasan tentang analisis hasil putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad, analisis pertimbangan dan dasar putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad Pengadilan Agama Salatiga, analisis akibat hukum terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad. BAB V, berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan, diteruskan dengan saran-saran dan diakhiri dengan penutup. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Perkawinan adalah merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad yang baik maka mereka harus kawin. Selain itu perkawinan juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani (Sosroatmojo, 1975 :33). Firman Allah SWT: ِ ِ ُقا فَِ ْ ِ ْ ُ ْ أَال تَْب ْع ِدل َ ُ َ َ قا لَ ُك ْ ِم َ للِّ َ قا َم ْْب َ َُ َ ال َ َ فَقنْك ُح َمق .فَْب َ ِح َدة Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.(QS An-Nisa:3). Perkawinan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan (Sabiq, 1980: 7). Firman Allah SWT: . َ ُ َّ َ ََ ِم ْ ُ ِّ َ ْ ٍا َ َ ْقلَق َ ْ َج ْ ِ لَ َعَّ ُك ْ ت “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.(Adz-Dzariat: 49). Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagi jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat:1 yang berbunyi: َّقا تْب َُّق ََّ ُك ُ لَّ ِي َ َ َق ُك ْ ِم ْ نَْب ْ ٍ َ ِح َدةٍ َ َ َ َ ِمْلْب َهق َ ْ َج َهق ُ يَق أَيُّْب َهق لل ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ََ َ َّ مْلْب ُه َ ق ِ َجقال َ ًري َ ن َ قاً َ تْب َُّق َّاَ لَّ ي تَ َ قاَلُ َ َ ا ْ َح َقا َّ َّا .َ ق َ ََْ ُك ْ َِ بًق “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Berdasarkan ayat di atas bahwa Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti mahluk lainnya, yang bebas hidup mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhomat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai, dan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Peraturan perkawinan seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya. Kemudian selain itu perkawinan juga dapat diartikan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia (Harjono,1968: 221). Dari definisi itu jelas bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling mau berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka. jadi ia jauh sekali dari segala yang dapat diartikan sebagai mengandung suatu paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mau mengikat janji dalam perkawinan, mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah mereka bersedia atau tidak. Perjanjian itu dinyatakan dalam bentuk ijab dan kabul yang harus diucapkan dalam satu majelis, baik langsung oleh mereka yang bersangkutan, yakni calon suami dan calon isteri, jika kedua-duanya sepenuhnya berhak atas dirinya menurut hukum atau oleh mereka yang dikuasakan untuk itu. Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi‟iyah. Sedang menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah, hukum melangsungkan perkawinan itu hukumnya sunnat. Terlepas dari pendapat Imam Madzhab, berdasar nash-nash, baik Al-Qur‟an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka perkawinan itu dapat dikenakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh maupun mubah (DEPAG, 1985: 59). 2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan Perkawinan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. a. Rukun nikah 1) Mempelai laki-laki 2) Mempelai perempuan 3) Wali 4) Dua orang saksi 5) Shigat ijab kabul Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah ijab kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. b. Syarat Nikah 1) Syarat Suami a) Bukan mahram dari calon istri b) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri c) Orangnya tertentu, jelas orangnya d) Tidak sedang ihram 2) Syarat Istri a) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah b) Merdeka, atas kemauan sendiri c) Jelas orangnya d) Tidak sedang dalam ihram 3) Syarat Wali a) Laki-laki b) Baligh c) Sehat akalnya d) Tidak dipaksa e) Adil f) Tidak sedang dalam ihram 4) Syarat Saksi a) Laki-laki b) Baligh c) Sehat akalnya d) Adil e) Dapat melihat dan mendengar f) Bebas, tidak dipaksa g) Tidak sedang dalam mengerjakan ihram h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul. Adapun syarat-syarat sighat (bentuk akad) hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. Sighat itu hendaknya terikat dengan batasan tertentu supaya akad itu bisa berlaku. Misalnya, dengan ucapan “saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya”. Kemudian pihak lakilaki menjawab “ya saya terima” akad ini sah dan berlaku. Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum. 3. Dasar Hukum Nikah Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2010: 8). Di dalam undang-undang perkawinan Nomor.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga dijelaskan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Perkawinan adalah sunatullah, yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, Imam Izzudin Abdussalam membagi maslahat menjadi tiga bagian yaitu: a. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hambanya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatngkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan. b. Maslahat yang disunahkan oleh syar‟i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan samapai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah. c. Maslahat mubah, bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata “maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung”. Sebagian di antaranya lebih bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya dari sebagian yang lain, maslahat mubah ini tidak berpahala. Oleh karena itu, meskipun perkawinan pada asalnya mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan, yaitu: 1) Nikah Wajib. nikah wajib yaitu nikah yang diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah. 2) Nikah Haram Nikah haram yaitu nikah yang diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberikan nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. 3) Nikah Sunnah Nikah sunnah yaitu nikah yang disunnahkan bagi orangorang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan yang haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam. 4) Nikah Mubah Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 5) Nikah Makruh Nikah makruh yaitu bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai. Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya. 4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan Menurut undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat disimpulkan, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam suatu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan hubungan antara suami dan istri, atau antara suami istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak. Perkawainan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan dengan berkeadaban pula, sesuai ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia (Muhammad, 1993: 75). Perkawinan menurut undang-undang tersebut, ternyata bahwa konsep undang-undang perkawinan nasional tidak ada yang bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut konsep hukum Islam, bahkan dapat dikatakan bahwasanya ketentuan-ketentuan didalam undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 dapat menunjang terlaksananya tujuan perkawinan menurut hukum Islam. Beberapa ahli dalam hukum Islam yang mencoba merumuskan tujuan perkawinan menurut hukum Islam, antara lain: Drs. Masdar Hilmi, menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga serta meneruskan dan memelihara keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia, juga untuk mencegah perzinaan, dan juga agar terciptanya ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat (Wasman,2011: 37). Ny. Soemiyati, SH menyebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi hajat tabi‟at kemanusiaan, yaitu berhubungan laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan suatu keluarga yang bahagia, dengan dasar kasih sayang, untuk memperoleh keturunan dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari‟ah. Sedangkan Mahmud Yunus, merumuskan secara singkat tujuan perkawinan menurut Pemerintah yaitu untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur (Wasman,2011: 38). Pada dasarnya seluruh tujuan perkawinan diatas, bermuara pada satu tujuan yaitu bertujuan untuk membina rasa cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri sehingga terwujud ketentraman dalam keluarga, Al-Qur‟an menyebutnya dengan konsep sakinah, mawadah, wa rahmah. Allah SWT berfirman: ِ ِ ِ ِ ْ م ْ أَنْْب ُ ُك ْ أَْ َ ًجق لَ ْ ُكلُ لَْْب َهق َ َج َع َ َْبْْبلَ ُك ٍ ي . َ ُ قا لَِق ْ ٍا يَْبَْب َ َّك َ ِِ ِ ْ َ م ْ يَقت أَ ْ َ َ َ لَ ُك ِ َ َم َ َّد ًة َ َ ْ َ ً ِ َّ ِ َل Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Arrum:21). Zakiyah Darajat dkk mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu: 1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan 2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya 3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan 4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta yang kekayaan halal 5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang. b. Hikmah Perkawinan Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah: 1) Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Nikah jalan yang terbaik untuk membuat anak-anak menjdi mulia, memperbanyak keturunan, melesterikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. 3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia. 5) Pembagian tugas di mana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkanyang lain bekerja di luar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugastugasnya. 6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya adalah tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang dan menyayangi merupakan masyarakat yang kuat serta bahagia. B. Perceraian dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perceraian Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009: 19). Menurut istilah syarak talak ialah: .ِ ََّح ٌّل َ ِطَِ َّلل ْ ِ َ ِ نْْب َهق اُ ْ َلع َ َِ َّللْ ِج “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri” Adapun perceraian dalam istilah Ahli Fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, sedangkan furqah berarti bercerai. Kemudian dua kata ini sering digunakan oleh ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami dan isteri. Perkataan talak atau furqah dalam istilah Ahli Fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti umumnya adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, perceraian yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian alamiah seperti kematiam salah satu diantara suami atau isteri. Adapun arti khususnya adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah Fiqh yang berarti bubarnya nikah (Harjono,1987: 234). Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup. Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami istri (Harjono,1987: 235). Dengan demikian perceraian tidak dapat lain kecuali harus dianggap sebagai suatu bencana. Tetapi pada waktu-waktu tertentu, ia adalah satu bencana yang diperlukan. Dengan itu, ia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan semasak-masaknya dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena disamping banyaknya bencana yang dapat dibayangkan dari sesuatu perceraian yang menyangkut kehidupan kedua belah pihak dan terutama yang menyangkut anak-anak mereka, maka dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang, terutama pihak wanita, yang kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi jalan perceraian tidak dibuka. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami isteri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami isteri tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda: ُ َ َْ َ ُ َ ُ ََْ ِ َ َ ّ َ َْْب .) مق ج ِ ّ َ َ د ُ ْ ُ َ َ َ ق: َ ََ ِ ْ ِ ُ َ َ ق ( ه أ د.ُ َ َُّ لط َِ “Dari ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”. 2. Hukum Perceraian Tentang hukum cerai ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu terlarang. Mereka yang berpendapat begini ialah golongan Hanafi dan Hambali. Dilarangnya perceraian, karena perceraian merupakan salah satu bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat yang diberikan Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat. kategori darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku isteri atau kerena sudah tidak saling mencintai lagi. Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh, dan haram (Sabiq,1980: 9). Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan dan kemudaratannya, maka hukum talak dalam Islam ada empat yaitu: a. Wajib Yaitu jika suami telah bersumpah tidak akan lagi menggauli istrinya hingga masa tertentu, sedangkan ia juga tidak mau membayar kafarah, sehingga pihak istri teraniaya karenanya (Saleh,2008: 320). b. Sunnat Yaitu apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya (Rasjid, 1994: 402). c. Haram Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci, padahal sebelumnya telah ia gauli (Saleh,2008: 320). d. Makruh Yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang saleh dan berakhlak yang baik, karena hal demikian bisa mengakibatkan isteri dan anaknya terlantar dan akan menimbulkan kemudaratan. 3. Rukun dan Syarat Perceraian Rukun perceraian (talak) ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung adanya dan lengkapnya unsurunsur dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan. Syarat talak ada yang disepakati oleh para ulama tetapi ada pula yang diperselisihkan (Supriatna,2009:26-29). Rukun dan syarat talak tersebut adalah sebagai berikut: a. Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami dalam keadaan: 1) Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah dilakukan oleh orang yang belum baligh 2) Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan isterinya juga harus mempunyai akal yang sehat, maka dari itu orang gila tidaklah sah untuk menjatuhkan talak kepada isterinya. 3) Atas kemauan sendiri, perceraian yang dilakukan karena adanya paksaan dari orang lain bukan atas dasar atas kemauan dan kesadarannya sendiri adalah perceraian yang tidak sah . b. Istri, unsur yang kedua dari perceraian ialah istri. Untuk sahnya talak istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah. c. Shigat perceraian, yang dimaksud dalam hal ini adalah lafal yang diucapkan oleh suami atau wakilnya diwaktu menjatuhkan cerai kepada isterinya. Semua lafal yang artinya memutuskan ikatan perkawinan dapat dipakai untuk perceraian. Sighat perceraian ada diucapkan dengan menunjukan kepada makna yang jelas, disamping itu ada pula shigat yang diucapkan dengan kata-kata sindiran, baik sindiran itu dengan lisan, tulisan, isyarat (bagi suami tuna wicara), ataupun dengan suruhan orang lain. Kesemuanya ini dapat dianggap sah kalau suami dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri. Shigat cerai dalam penjelasan tersebut dihukumi sah apabila: 1. Ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai dengan isterinya. 2. Suami harus menyatakan kepada hakim, bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan keinginannya menjatuhkan cerai kepada istrinya. Apabila ternyata tujuan suami dengan perkataanya itu, bukan untuk menyatakan keinginan menjatuhkan cerai kepada istrinya, maka shigat talak yang demikian tidak sah dan cerainya tidak jatuh. 4. Bentuk-Bentuk Perceraian Perceraian (talak) dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan melihat kepada waktu menjatuhkannya, kemungkinan suami kembali ke istrinya, cara menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan lain-lain (Supriatna, 2009: 31). Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak) ialah sebagai berikut: a. Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju‟ kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua bentuk, yaitu: 1) Talak Raj‟i Adalah talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak Raj‟i tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang termasuk kedalam talak raj‟i ialah talak satu atau talak dua. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Talak ayat 1 yang berbunyi: ِِ ِ ِ ِ ِ ص لْعِ َّدةَ َ تْب َُّق ْ يَق أَيْبُّ َهق للَِّ ُّ ِ َ ََّ ْقُ ُ للّ َ قاَ فَطَّ ُق ُو َّ لع َّد َّ َأ ُ َح ٍ َ قح ِ َِ َِّا َّ ُك ال ُْ ِج و َّ ِم ْب ِِ َّ ال َْ ج ِال أَ ْ ي ْت َ َ ْ ََ َ ْ ُ َ ُُ ْ ُ ُ ُمبَِّلَ ٍ َ تِْ َ ُح ُد ُد َّاِ َ َم ْ يَْبَْب َع َّد ُح ُد َد َّاِ فَْب َق ْد ََ َ نَْب ْ َ ُ ال تَ ْد ِي ِ . ًال َْب ْع َد َلِ َ أ َْم ُ لَ َع َّ َّاَ ُْد Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istriistrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukumhukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. 2) Talak Ba‟in Adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk kepada istrinya. Apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in ini menghilangkan tali ikatan suami istri. Talak ba‟in ini dibagi menjadi dua macam yaitu talak ba‟in sughra dan talak ba‟in kubra. a) Talaq Ba‟in Sughra ialah talak yang tidak memberikan hak rujuk kepada suami tetapi suami bisa menikah kembali kepada istrinya dengan tidak disyaratkan istri harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak bain sughra ialah talak satu dan talak dua. b) Talak Ba‟in Kubra ialah talak apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, disyaratkan istri harus terlebih dahulu harus menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba‟in kubra ialah talak yang ketiga kalinya. Allah SWT berfirman: فَِ ْ ََّ َق َهق فَ َِ ُّ لَ ُ ِم ْ َْب ْع ُد َح َّ تَْبْل ِك َ َ ْ ًجق َْْبَهُ فَِ ْ ََّ َق َهق ِ ِ َ ِْقا ََْ ِه َ ق أَ ْ يَْبَْبَ َج َعق ِ ْ َلَّق أَ ْ يُق َ ق ُح ُد َد َّا َ ت َ َفَ ُجل . َ ُ َُح ُد ُد َّاِ يْبُبَِّلُْب َهق لَِق ْ ٍا يَْب ْع “Kemudian jika si suami menlalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS Al-baqarah ayat 230). b. Adapun bentuk-bentuk perceraian yang ditinjau dari segi siapa yang berkehendak untuk melakukan perceraian ialah: 1) Talak, yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan mengunakan kata-kata talak kepada isteri (Wasman,2011: 86). 2) Khulu‟, yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan membayar iwad atau tebusan kepada suami (Wasman,2011: 100). 3) Illa‟ dalam hukum islam ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih. 4) Dhihar, dhihar berasal dari kata zhahr, artinya punggung, maksudnya suami berkata kepada istri; “engkau dan aku seperti punggung ibuku”. Bahwa dhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang dikatakan suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami. c. Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya, dalam hal ini talak ada beberapa bentuk, baik dinyatakan dengan kata-kata atau ucapan, dengan surat atau tulisan kepada istrinya, dengan isyarat oleh orang yang bisu atau dengan mengirimkan seoarang utusan (Sabiq,1980: 27). Diantara bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut: 1) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu. 2) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya dan isteri memahami isi dan maksudnya. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah talak secara tertulis, bahwa tulisan harus tegas, jelas dan nyata ditunjukkan oleh suami terhadap isteri secara khusus. 3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat itu sah bagi tuna wicara. 4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu. 5. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian Dalam Islam sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan, setidaknya ada sembilan macam, yaitu; talak, khuluk, syiqaq, fasakh, taklik talak, illa‟, zhihar, li‟an, dan kematian (Wasman,2011: 86). Sebabsebab tersebut masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut: a. Thalaq Yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan mengunakan kata-kata talak kepada isteri. b. Khuluk Yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan membayar „iwad atau tebusan kepada suami. c. Syiqaq Menurut istilah Fiqh, Syiqaq adalah: perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari seorang pihak istri. d. Fasakh Yaitu merusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad ( sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad. e. Takli‟ talaq Yaitu suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. f. Illa‟ Arti illa‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Di dalam Islam illa‟ adalah sumpah dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya. g. Dhihar Zhihar dari kata zhahr, artinya punggung, maksudnya suami berkata kepada istri; “engkau dan aku seperti punggung ibuku”. Bahwa dhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang dikatakan suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan mengharamkan istri bagi suami. itu dimaksudkan untuk h. Li‟an Li‟an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka dia harus bersumpah dengan memakai nama Allah sebanyak empat kali bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah dengan bersumpah satu kali lagi bahwa dia akan terkena laknat Allah jika dalam tuduhannya dia berdusta. i. Kematian Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka hak lain mempunya hak waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian, hubungan suami dan istri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yang suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya habis, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. c. d. e. f. g. h. 6. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Suami melanggar taklik talak. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Akibat perceraian Di dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan karena perceraian di atur dalam pasal 156 dan pasal 157 yaitu: a. b. c. d. e. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhonah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya. Dalam KHI pasal 157 “harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97, yaitu: 1) Pasal 96 a. b. Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. 2) Pasal 97 yang berbunyi “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. C. Perceraian dalam Perundang-Undangan di Indonesia 1. Pengertian Perceraian Mengenai pengertian perceraian secara jelas di dalam undangundang perkawinan Nomor. 1 tahun 1974 tidak dijelaskan dengan terperinci, namun di dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pada pasal 117 yaitu: talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. 2. Tata Cara Perceraian Tata cara perceraian menurut Perundang-undangan di Indonesia, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga diatur dalam undangundang perkawinan di Indonesia Nomor.1 tahun 1974. a. Tata cara perceraian dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam pasal 129,130, dan 131 yaitu: 1) Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 2) Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. 3) Pasal 131 a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan damaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak b) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk menikrarkan talak. c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya. d) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak bagiya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh. e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai empat disimpan oleh Pengadilan Agama. b. Tata cara perceraian di dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 dalam pasal 39 telah dijelaskan bahwa: 1. 2. 3. c. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Perceraian menurut UUP Nomor 1 tahun 1974 pasal 14, 15, 16, 17, dan pasal 19 mengenai penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai tata cara perceraian bahwa, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan disertai alasan-alasanya serta meminta kepada Pengadilan Agama agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan, harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam UUP No.1 tahun 1974, dalam hal ini dijelaskan dalam pasal 39 ayat 2 dan dipertegas dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 19 yaitu sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sekiranya sulit disembuhkan. b. c. d. e. f. 4. Salah satu piha meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun brturut-turut, tanpa izin pasangannya, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang membahayakan pasangannya. Salah satu pihak medapat cacat badan atau penyakit dengan akibaat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Akibat Peceraian Setelah perceraian terjadi ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik oleh pihak suami maupun pihak istri, sebagaimana diatur dalam pasal 41 UUP No 1 tahun 1974 sebagai berikut: a. b. c. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarka kepentingan anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak napak, kecuali dalam kenyataanya bapa dalam keadaa tidak mampu, sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian 1. Pengertian Murtad a. Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Islam Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti ruju‟ (kembali). Menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman. Murtad (riddah) adalah kembali ke jalan asal. Disini yang dikehendaki dengan murtad adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Baik yang kembali itu orang lelaki maupun orang perempuan (Sabiq,1984: 168). Allah berfirman dalam QS Ali-Imran ayat 85 yang berbunyi: . َ ِ َِة ِم َ ْاَق ِ ِي ِ َم ْ يَْبْبَ ِ َْْب ا ْ ِا ِديلًق فَْبَ ْ يْبُ ْقبَ ِمْل ُ ُو َ َ َ َ َ “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekalikali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Dalam hal ini Imam Syafi‟i mempunyai dua pendapat yaitu pendapat yang pertama mengatakan bahwa bila ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir, maka ia tidak dapat diterima kecuali masuk Islam atau ia dibunuh. Kemudian pendapat yang kedua mengatakan bahwa bila apabila ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir tetapi sepadan kualitasnya lebih tinggi, maka menurut pendapat Imam Syafi‟i ini setuju terhadap hal seperti itu. Jika orang Islam bertindak murtad atau berpindah agama maka terdapatlah perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah yaitu ada tiga: 1) Hubungan Perkawinan Jika suami atau istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. Karena riddahnya salah satu dari suami istri merupakan suatu hal yang mengharuskan pisahnya mereka. Dan bila salah satu dari suami istri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar. 2) Hak Waris Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Karena orang murtad itu adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, maka tentu saja ia tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Dan bila ia mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya diambil alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam. 3) Hak Kewaliannya Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap orang lain, ia tidak boleh menjadi wali dalam akad nikah anak perempuannya. b. Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang di Indonesia. Murtad dijadikan alasan perceraian artinya jika salah pihak keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan ( Nuruddin,2006: 222). Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : a. b. c. d. e. f. g. h. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Suami melanggar taklik talak. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Jadi sudah jelas bahwa apabila salah satu pihak murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sesuai dalam pasal tersebut di atas, maka murtad bisa dijadikan alasan suatu perceraian. Sedangkan akibat hukum perceraian dengan alasan pindah agama menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sama halnya dengan perceraian dengan alasan yang lain. Perkawinan yang telah putus dengan alasan pindah Agama atau murtad mempunyai beberapa akibat hukum sebagai berikut : Terhadap status perkawinan, terhadap hak dan kewajiban pemeliharaan anak, terhadap harta yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung. 2. Hukum Murtad Riddah (murtad) adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal shaleh sebelumnya. Dan dosa ini dibalas dengan hukuman yang pedih diakhirat. Allah SWT berfirman: َ َم ْ يَْب ْتَ ِد ْد ِمْل ُك ْ َ ْ ِديلِ ِ فَْبَ ُ ْ َ ُو َ َ قفٌِ فَُ لَِ َ َحبِطَ ْ أَ ْ َ ق ُاُ ْ ِ ُّلدنْْبَق ِ ِ . َ قا للَّق ِ ُو ْ فِ َهق َ قلِ ُد ُ َ َةِ َأُ لَ َ أَ ْ َح “Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.(QS Al-Baqarah ayat 217). Banyak terjadi murtad ditimbulkan oleh suatu keragu-raguan dalam jiwa sehingga mendesak iman untuk keluar. Bila demikian, maka haruslah orang yang berbuat murtad itu diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguan itu. Ia harus diberi dalil-dalil dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan iman di dalam hatinya sehingga ia yakin. Dengan demikian, maka menganjurkan kepadanya bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam adalah termasuk hal yang wajib. Para ulama beragam dalam membuat batasan tentang perbuatan murtad. Murtad dapat dilakukan dengan perbuatan (atau meninggalan perbuatan), dengan ucapan, dan dengan i‟tikad. Yang dimaksud dengan murtad dengan perbuatan ialah melakukan perbuatan yang haram yang dianggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya tidak wajib, misalnya menganggap zina bukan suatu perbuatan yang haram. Murtad dengan ucapan ialah ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah mempunyai anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang. Adapun murtad dengan i‟tikad ialah i‟tikad langgengnya alam, Allah sama dengan makhluk. Tetapi semata-mata i‟tikad tidak menyebabkan seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Adapun ketentuan di antara para ahli hukum bahwa tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang. Karena pernyataan Nabi ketika orang yang mengganti Agama harus dihukum mati, hal itu terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik bertindak disersi (pengkhianat negara), maka orang yang melakukan disersi diperintahkan untuk dibunuh. Itupun diawali dengan upaya untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam. Firman Allah SWT: ُ َُّ ْ لَِّ ِي َ َ َ ُ ِ ْ يَْبْلَْب ُه يْبُ ْ َ ْ َاُ ْ َمق َ ْد َ َ َ َ ِ ْ يَْب ُع ُد فَْب َق ْد َم َ ْ ُ ل . َ ِا َّ ل “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu, dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”. (QS Al-Anfal: 38). Seharusnya konseptualisasi perbuatan murtad yang ada di dalam Al-qur‟an maupun As-sunnah dipertemukan dengan pendekatan komplementatif dan kontradiktif. Artinya kalau perbuatan murtad hanya ditujukan kepada keyakinan dirinya sendiri, tanpa mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk murtad, kondisi negara sedang damai, serta orang lain tidak terganggu dengan kemmurtadan orang tersebut. Maka baginya tidak ada sanksi di dunia, melainkan hanya ada sanksi yang bersifat ukhrawi (Munajat,2009: 163). BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga 1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga a. Batas Wilayah Pengadilan Agama Salatiga 1) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang 2) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Semarang 3) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali 4) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang b. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga: 1) Staatsblaad Tahun 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura 2) Keputusan Menteri Agama RI KMA Nomor 76 Tahun 1983 tanggal 10 November 1983 tentang penetapan perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‟ah. c. Sejarah Pembentukan Pengadian Agama Salatiga 1) Masa Sebelum Penjajah Pengadilan Agama Salatiga dalam bentuk yang kita kenal saekarang ini embrionya sudah ada sejak Agama Islam masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul bersama dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam dan di Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa, mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodhi (hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja, yang kekeuasaanya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yakni penguasa tertinggi. Qodhi (hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama‟ yang ahli di bidang Agama Islam. 2) Masa Penjajahan Belanda Sampai Dengan Jepang Ketika penjajah Belanda masuk Pulau Jawa khususnya di Salatiga, dijumpainya masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan menjalankan syari'at Islam, demikian pula dalam bidang peradilan umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkaranya menyerahkan keputusannya kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan kenyataan ini. Oleh karena kesulitan pemerintah Kolonial Belanda menghapus pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan pasal 134 ayat 2 IS ( Indische Staatsregaling ) sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang Peradian yaitu berdirinya Raad Agama, disamping itu pemerintah Kolonial Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staatblad tahun 1820 No. 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih menggunakan serambi Masjid Kauman Salatiga dengan Ketua dan Hakim anggotanya diambil dari alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu 4 orang yaitu K. Salim sebagai Ketua dan K. Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Sidiq sebagai sekretaris merangkap bendahara dan seorang pesuruh. Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang terdiri dari 14 Kecamatan. Adapun Perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Pada waktu penjajahan Jepang keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang berarti yaitu pada tahun 1942 sampai dengan 1945 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran dan Ketua beserta stafnya juga masih sama. 3) Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan Agama Salatiga berjalan sebagaimana biasa. Kemudian pada tahun 1949 Ketua dijabat oleh K. Irsyam yang dibantu 7 pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan Salatiga yang samasama mengunakan serambi Masjid sebagai kantor. Kemudian kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga sampai tanggal 30 April 2009 dan setelah sekian lama kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah ke gedung baru pada tanggal 1 Mei 2009 di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga sampai pada sekarang ini. Kemudian kantor lama digunakan sebagai arsip-arsip dan rumah dinas. 2. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga Pengadilan Agama Salatiga mempunyai dua kewenangan yaitu: a. Kewenangan Absolut Kewenangan Absolut yaitu kewenangan Pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil) yang boleh ditanganinya. Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang yang terbatas bila dibandingkan dengan tugas dan wewenang Peradilan Umum. Lembaga Peradilan diseluruh Indonesia dengan Direktorat Peradilan Agama, departemen Agama hanya ada hubungan administratif saja sedangkan secara yudisial ada dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai badan Peradilan tertinggi dan terakhir. Sejak keluarnya hukum Agama sebagai dasar dari salah satu empat lembaga peradilan di Indonesia semakin teguh dan mantap dalam menjalankan fungsinya. Hal ini ditegaskan dalam pasal 2 undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagai mana dimaksud dalam undang-undang ini”. Perkara perdata tertentu yang dimaksud pasal 2 di atas dijelaskan dalam pasal 49 undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 yang berbunyi: Peradilan Agama bertugas dan berwenag memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1) Perkawinan 2) Waris 3) Wasiat 4) Hibah 5) Wakaf 6) Zakat 7) Infaq 8) Shodaqah 9) Ekonomi syari‟ah b. Kewenangan Relatif Kewenangan Relatif adalah kewenangan dari lembaga Peradilan sejenis yang mana berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, antara lain: 1) Pasal 118 HIR yang menjelaskan tentang gugatan diajukan diPengadilan Agama dimana tergugat tinggal. 2) Jika tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan di salah satu Pengadilan tempat tergugagat. 3) Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka gugatan diajukan diPengadilan dimana tempat tinggal penggugat. 4) Jika tempat tinggal dipilih dengan akta maka gugatan diajukan ditempat/Pengadilan yang dipilih. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI No.KMA/010/SK/III/1996 taggal 6 Maret 1996 wilayah hukum Salatiga menjadi: a) Kota Madya Salatiga yang terdiri dari 4 Kecamatan, yaitu: (a) Kecamatan Sidorejo (b) Kecamatan Tingkir (c) Kecamatan Argomulyo (d) Kecamatan Sidomukti b) Kabupaten Semarang yang terdiri dari 9 Kecamatan, yaitu: (a) Kecamatan Bringin (b) Kecamatan Bancak (c) Kecamatan Tuntang (d) Kecamatan Pabelan (e) Kecamatan Suruh (f) Kecamatan Getasan (g) Kecamatan Susukan (h) Kecamatan Tengaran (i) Kecamatan Kaliwungu 3. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga Tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 perubahan dari undangundang Nomor. 7 Tahun 1989 yaitu menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepada Pengadilan, supaya tugas pokok tersebut tercapai. Dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri dan sesuai dengan peraturan yang berlaku maka semua aparat peradilan Agama harus melaksanakan tertib administrasi perkara yang merupakan bagian dari Court Of Lau. Agar administrasi dapat tercapai maka semua aparat peradilan Agama harus mengerti apa yang dimaksud dengan administrasi yang dimaksud dalam perkara di Pengadilan Agama. Dalam peradilan Agama administrai yang dimaksud adalah suatu proses penyelenggaraan secara teratur dan diatur guna melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan guna tercapainya tugas pokok yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh seorang administratur. Penggugat/pemohon yang belum bisa membuat surat gugatan atau permohonan diterima oleh petugas di bagian prameja untuk dibantu membuat surat gugatan/permohonan, bagi yang sudah memiliki surat gugatan sesuai dengan ketentuan tidak perlu melewati prameja surat gugatan/permohonan yang sudah ditandatangani oleh penggugat/pemohon diserahkan ke meja pertama untuk ditaksir biaya perkaranya dan dibuatkan SKUM, kemudian dikembalikan kepada penggugat/pemohon. Penggugat/pemohon membayar panjar biaya perkara dibagian kasir dan menyerahkan berkas gugatan/permohonan yang sudah dilengkapi SKUM bagian kasir menerakan nomor perkara sesuai nomor SKUM, menandatangani SKUM, memberi cap pembayaran, memasukkan perkara kedalam jurnal dan menyerahkan kepada meja kedua. Bagian meja kedua memasukkan berkas perkara ke buku register, memberikan salinan berkas kepada penggugat/pemohon dan Wakil Panitera Wakil Panitera mencatat berkas ke buku pantauan dan menyerahkan kepada Panitera. Panitera menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan, Ketua Pengadilan menunjuk Hakim Ketua Majlis dan anggotanya untuk menangani perkara tersebut dan mengembalikan berkas kepada Panitera lalu Panitera menunjuk Panitera Pengganti dan menyerahkan berkas kepada Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk Ketua Pengadilan. Kemudian Hakim Ketua Majelis menetapkan hari sidang, memberitahu hakim anggotanya dan memerintahkan juru sita untuk memanggil para pihak yang dipanggil oleh juru Sita. Pemanggilan dilakukan sekurang-kurangnya tiga hari sebelum hari sidang. Pada hari yang telah ditentukan dilaksanakan persidangan dengan terlebih dahulu menganjurkan upaya damai dan/mediasi, jika gagal sidang dilanjutkan hingga selesai. Keterangan: a. Meja: menerima gugatan, permohonan, permohonan banding, kasasi, PK dan eksekusi, membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM), dan menaksir biaya perkara b. Kasir: pemegang kas yang merupakan bagian dari meja 1 c. Meja II: mendaftarkan gugatan dalam register, memberikan nomor perkara dan menyelesaikan berkas perkara ke wakil panitera d. Wakil Panitera: menyerahkan berkas perkara ke panitera e. Panitera: menyerahkan berkas perkara ke ketua Pengadilan Agama f. Ketua PA: merujuk majlis hakim g. Majlis Hakim: menetapkan PHS (penetapan hari sidang) dan memerintahkan juru sita memanggil para pihak h. Juru Sita: memanggil para pihak dan membuat relas panggilan 4. Visi dan Misi a. Visi Mewujudkan pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan berwibawa. b. Misi 1) Mewujudkan rasa keadilan mayarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati nurani 2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas campur tangan dari pihak lain 3) Meningkatkan pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan 4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kwajiban secara profesional dan proporsional 5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, dan bermartabat dalam melaksanakan tugas. 5. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga a. Prosedur 1) Langkah-langkah yang harus dilakukan pemohon (istri) atau kuasanya ialah: a) Mengajukan permohona secara tertulis ataupun lisan kepada Pengadila Agama Salatiga (Pasal 118 HIR, 142 R. Bg.jo. pasal 66 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006). b) Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama Salatiga tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 143 R.Bg.jo Pasal 58 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006). c) Surat gugatan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan tergugat. 2) Gugatan tersebut harus diajukan kepada pengadilan Agama Salatiga: c) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (Pasal 73 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006). d) Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka guagatan diajukan kepada Pengadilan Agama Salatiga yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006 jo pasal 32 ayat (2) UU Nomor. 1 Tahun 1974). e) Bila penggugat bertempat kediaman di luar Negeri, maka guagatan diajukan kepada Pengadilan Agama Salatiga yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006). 3) Bila penggugat dan tergugat berkediaman di luar Negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agma Salatiga yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan. Gugatan tersebut memuat: a) Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman penggugat dan tergugat. b) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum) c) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). 4) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006). 5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg.jo. Pasal 89 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg). 6) Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama Salatiga (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg). Menurut hakim Pengadilan Agama Salatiga Drs. H. Noerhadi MH yang mengatakan bahwa prosedur beracara cerai gugat yang disebabkan karena salah satu pihak murtad itu sama dengan prosedur beracara cerai gugat yang lainnya. b. Proses 1) Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama Salatiga. 2) Penggugat dan tergugat dipanggil oleh pengadilan Agama Salatiga untuk menghadiri persidangan. 3) Tahapan persidangan a) Tahapan-tahapan persidangan tersebut ialah: (1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU Nomor. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU Nomor. 3 Tahun 2006). (2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua beah pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi sesuai PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Dalam hal permohonan gugatan cerai karena murtad diwajibkan juga untuk menempuh mediasi terlebih dahulu seperti gugatan cerai yang lain, meskipun pada dasarnya cerai karena murtad sudah otomatis putus ikatan perkawinannya, karena apabila mediasi tidak dilaksanakan maka permohonan tersebut batal demi hukum. Dalam upaya damai ini bahwa mediator bertanya kepada suami yang murtad untuk memeluk agama Islam lagi, akan tetapi suami tersebut tidak mau masuk Islam lagi akhirnya dengan hal tersebut maka mediasi gagal. (3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIR, 158 R.Bg). b) Putusan Pengadilan Agama Salatiga atas cerai gugat sebagai berikut: (1) Gugatan dikabulkan. Apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama Salatiga tersebut. (2) Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama Salatiga tersebut. (3) Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan permohonan baru. (4) Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera Pengadilan Agama Salatiga memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambatlambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada kedua belah pihak. C. Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL. Setelah mendengarkan keterangan dan fakta-fakta hukum dalam persidangan, maka hasil putusan sidang perceraian yaitu: bahwa semua gugatan/permohonan yang diajukan dalam perkara perceraian karena salah satu pihak murtad telah dikabulkan. Atas dasar pertimbangan dan dasar hukum Islam serta hukum positif yang berlaku di Indonesia Hakim memutus perceraian karena salah satu pihak murtad sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat 3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan salinan putusan ke Kantor urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan Kantor urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang serta Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga 4. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah). D. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/PA.SAL. 1. Pertimbangan Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai berbagai pertimbangan: a. Karena adanya gugatan perceraian dari penggugat dengan dalih rumah tangganya tidak harmonis mulai goyah dan sering terjadi pertengkaran serta perselisihan sebab Mei 2001 sebab tergugat kembali ke Agama Nasrani, dan keluar dari Agama Islam. b. Karena setelah Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak melalui mediasi dan ternyata hasilnya gagal, maka pemeriksaan perkara ini telah memenuhi ketentuan pasal 130 HIR dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. c. Bahwa seperti dalam bukti akta nikah telah dapat dibuktikan adanya pernikahan antara penggugat dengan tergugat maka gugatan penggugat mempunyai alas hak. d. Bahwa tergugat mengakui dalil gugatan sebagai suami penggugat, terjadi pertengkaran karena keluar dari Agama Islam, maka pengakuan tergugat di persidangan seperti diatur dalam pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna. e. Bahwa saksi-saksi di persidangan, terdiri dari keluarga penggugat dan orang yang dekat dengan tergugat telah menguatkan dalil gugatan dan tidak sanggup untuk merukunkan penggugat dengan tergugat. 2. Dasar Hukum Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai dua dasar hukum yaitu: a. Sesuai dengan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi “peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga”. b. Bahwa hakim perlu mengetengahkan pendapat ahli yang diambil sebagai pendapat sendiri seperti termuat dalam kitab Ath Thalaq hal 39: ََِ َ َ َد َ ِ َلل ْ َج ِ َ ََبَ ِ ْ ُلقَل يْ ِ َْبْْبلَْب َهق َ َْب ْ َ َ ْ َج َهق ِا ٍ ْ لَ ّ ُه ْ َ ََ ٍلَ ِ َ فقَ َ ِ ْْببََ ِ ْ لَ ِ َ َ لُْ َمَ ةٍ َ ِح َد ة ِ َِجهق ََ َق ِ ق ِل ِ ِ ِ َ ْ َ ْ ََ َق َهق ل َقق ض م َ Artinya: Jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur, Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talaq ba’in sughra. E. Akibat Hukum Putusan Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor . 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL. Pada hakekatnya suatu perceraian itu memang mengharuskan berhentinya hubungan antara suami dan istri. Dari hasil wawancara peneliti dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga Drs. H. Noerhadi MH yang menangani perkara ini, mengatakan bahwa akibat hukum dari kasus perceraian karena salah satu pihak murtad adalah perceraian atau penjatuhan talak, sebagaimana dijelaskan pada pasal 156 dan pasal 157 Kompilasi Hukum Islam yang dijelaskan sebagai berikut: Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, kemudian anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipin biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri(21 tahun). Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan Agama memberikan putusannya dan Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Kemudian dalam KHI pasal 157 “harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97, yaitu: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Sedangkan pasal 97 yang berbunyi “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Di dalam pasal 41 UUP No 1 tahun 1974 menegaskan: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarka kepentingan anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataanya bapak dalam keadaan tidak mampu, sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka setelah hubungan antara pihak penggugat dan tergugat tersebut selesai hak-hak istri dan anak terjamin atau dapat terpenuhi. Dengan berdampak pada adanya perlindungan terhadap anak yang dilahirkan, anak tetap mendapatkan hak mewaris dari ibu bapaknya. Lain hal bila putusan yang dijatuhkan adalah putusan pembatalan perkawinan. pembatalan berarti mengembalikan kepada kondisi semula yaitu kembali kepada keadaan dimana perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. BAB IV ANALISA DATA D. Analisis Hasil Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad Suatu perkara yang diajukan ke Pengadilan harus berakhir dengan adanya suatu putusan hakim atau Pengadilan, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, diucapkan di persidangan yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antar pihak. Dan akhirnya Pengadilan Agama Salatiga mengadili perkara Nomor: 0356/pdt.G/2011/PA.SAL dengan putusan : 1. Mengabulkan gugatan penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat 3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan salinan putusan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan Kantor urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang serta Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga 4. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah). Menurut Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” artinya bahwa Hakim mengetahui hukum (objektif), artinya bahwa Hakim karena jabatannya bertugas menemukan dan menentukan titik apa yang berlaku terhadap perkara yang sedang diperiksa. Selain itu berdasarkan Pasal 20 undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Kekuasaan Kehakiman “semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” . Mengenai isi putusan Pengadilan menurut Pasal 25 UndangUndang No.3 Tahun 2006 menyebutkan bahwa : a. Segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang di jadikan dasar untuk mengadili. b. Setiap putusan Pungadilan ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. c. Penetapan, ikhtisar rapat permusyawarahan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang. Penulis berpendapat bahwa berdasarkan alasan-alasan yang dimaksudkan diatas adalah bentuk pertanggung jawaban dari putusannya terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif, Putusan Hakim Pengadilan Agama Salatiga Nomor: 0356/pdt.G/2011/PA.SAL dirasakan sangat objektif untuk memutuskan suatu perceraian yang di akibatkan oleh peralihan agama atau murtad. Di dalam gugatan penggugat yaitu pada bagian petitum memohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan dan menetapkan hal-hal sebagai berikut : 1) Mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. 2) Menetapkan syarat taklik talak tergugat telah terpenuhi 3) Menetapkan jatuh talak satu khul‟i tergugat kepada penggugat dengan iwad berupa uang sebesar Rp. 10.000,4) Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga telah mengadili dan memberi putusan atas apa yang digugat atau dituntut oleh penggugat, yang menjadi pertimbangan hakim adalah bukti-bukti tertulis yang diajukan penggugat, keterangan saksi dari orang yang masih ada hubungan keluarga dengan penggugat serta keterangan dari penggugat dan tergugat sendiri bahwa suami istri antara penggugat dengan tergugat pada awalnya rumah tangganya hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dengan baik, telah berhubungan badan (ba‟da dukhul) dan keduanya bertempat tinggal bersama di rumah orang tua tergugat selama 1 tahun, kemudian tinggal dirumah kontrakan selama 1 tahun, terakhir bertempat tinggal di tempat rumah kediaman selama 11 tahun 8 bulan dan dikaruniai seorang anak yang bernama “SW”, sekarang anak tersebut dalam pemeliharaan penggugat. Dan akhirnya kebahagiaannya dan keharmonisannya itu luntur dikarenakan tergugat kembali ke agamanya tersebut. Dengan pertimbangan tersebut, maka hakim mengadili dan memutuskan bahwa: a) Mengabulkan gugatan penggugat b) Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra tergugat c) Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan salinan putusan ke Kantor urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan Kantor urusan Agama Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang serta Kantor urusan Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga d) Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.211.000 (dua ratus sebelas ribu rupiah). E. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim Terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad Dalam kasus ini penggugat beragama Islam dan tergugat beragama Kristen. Perkawinan keduanya telah dilangsungkan di KUA kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang sebagaimana dalam kutipan akta nikah Nomor 183/25/VII/95 tertanggal 21 Juli 1995. Dalam Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 Pasal 2 dikatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal ini mengandung asas bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai hukum agamanya atau kepercayaannya, disini terlihat terdapat adanya penundukan terhadap suatu hukum. Apabila suatu perkawinan antara laki-laki dan seorang wanita maka haruslah dilihat berdasarkan hukum apa mereka tunduk pada saat melangsungkan perkawinan. Apabila perkawinan ini dilangsungkan berdasarkan hukum Islam dan dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah (PPN), maka segala hal yang terjadi setelah perkawinan itu berlangsung maka semua permasalahan tersebut haruslah diselesaikan sesuai hukum Islam dan hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama. Karena Pengadilan Agama adalah suatu Pengadilan yang diperuntukkan bagi umat Islam dalam memecahkan suatu persoalan atau masalah. Begitu juga jika terjadi perkawinan secara Islam (perkawinan dilangsungkan di KUA), namun adakalanya perkawinan yang telah berlangsung lamanya kemudian salah seorang baik suami atau istri pindah agama/murtad, maka kewenangan untuk menangani permasalahan tersebut menjadi wewenang Pengadilan Agama (berdasarkan penundukan hukum pertama kali melangsungkan perkawinan). Murtadnya salah satu pihak ini baik suami atau istri maka harus dapat dibuktikan di depan Pengadilan Agama. Suatu perkara perceraian karena murtadnya salah satu pihak baik istri maupun suami tentunya berakibat pada jatuhnya putusan pengadilan terhadap adanya tuntutan baik gugatan cerai dari pihak istri terhadap suami yang murtad ataupun permohonan talak dari suami akibat murtad si istri. Putusan Hakim Pengadilan (dictum) tentunya berdasarkan apa yang di tuntut. Namun putusan tersebut kadang tidak seluruhnya dapat dikabulkan, karena kadang putusan tersebut hanya mengabulkan sebagian. Namun inti dari suatu dictum adalah apakah hakim dapat memutuskan suatu perkawinan itu oleh karena adanya perceraian atau talak serta memutuskan perkawinan oleh karena dibatalkan dan masalah pemeliharaan anak (kedudukan anak) ataupun masalah pembagian harta (harta benda dalam perkawinan), perwalian ataupun masalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Dalam hal ini perkara perceraian yang disebabkan salah satu pihak beralih Agama (murtad), maka hakim dalam memutuskan perkara ini berdasrkan dalil gugatan penggugat yang telah terbukti dan telah memenuhi ketentuan Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan salah satu alasan suatu perceraian disebabkan karena ada salah satu pihak murtad yang apabila menimbulkan ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dan hakim dalam pertimbangannya juga berdasarkan kitab Ath Thalaq hal 39 yang berbunyi: َ ِ َل ََِ َ َ َد َ ِ َلل ْ َج ِ َ ََبَ ِ ْ ل ُقَل يْ ِ َْبْْبلَْب َهق َ َْب ْ َ َ ْ َج َهق ِا ْ لَ َ ّ ُه ْ ٍ ََ َق َهق لَِقق ِض ََ ٍفقَ َ ِ ْْببََ ِ ْ لَ ِ َ َ لُْ َمَ ةٍ َ ِح َد ة ِ َِجهق ََ َق ِ ق ِل ِ َ َْ ْ م َ Artinya: Jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur, Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talaq ba’in sughra. Dalam kasus murtadnya seseorang baik dari pihak suami ataupun istri yang mana perkawinannya telah berlangsung lama dan telah dikaruniai keturunan, maka putusan yang paling tepat adalah perceraian atau penjatuhan talak, menurut penulis putusan ini lebih tepat karena berdampak pada adanya perlindungan terhadap anak yang dilahirkan, anak tetap mendapatkan hak mewaris dari ibu bapaknya. Lain hal bila putusan yang dijatuhkan adalah putusan pembatalan perkawinan. pembatalan berarti mengembalikan kepada kondisi semula yaitu kembali kepada keadaan dimana perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Dalam hal pertimbangan hukum dan hakim dalam putusannya Nomor 0356/pdt.G/2011/PA.SAL sudah tepat dimana hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa penggugat “SP” menggugat “PB” untuk menceraikan perkawinan antara penggugat dengan tergugat dan menyatakan perkawinannya putus karena perceraian. Salah satu pihak yang dapat menjadi penyebab putusnya atau berakhirnya suatu perkawinan adalah apabila salah seseorang dari pasangan suami istri itu telah keluar dari agama Islam atau dengan kata lain telah murtad. Adapun untuk memutuskan hubungan perkawinan itu maka hakim Pengadilan Agama Salatiga, mengabulkan gugatan penggugat dengan menyatakan talak satu ba‟in tergugat kepada penggugat. F. Analisis Akibat Hukum Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/PA.SAL Berdasarkan dari hasil wawancara penulis dengan hakim yang menangani perkara ini Drs. H. Noerhadi MH bahwa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad sama halnya dengan akibat hukum perceraian yang lain, karena sebenarnya murtad hanya menjadi alasan perceraian saja, menurut pendapat penulis itu benar, karena setelah putusnya hubungan perkawinan antara penggugat dan tergugat tersebut hak-hak istri dan anak terjamin atau dapat terpenuhi. Maka dari itu bahwa seorang suami masih mempunyai kewajibankewajiban yang harus dipenuhi setelah terjadinya perceraian tersebut. Maka perceraian ini dapat menimbulkan beberapa akibat hukum sebagai berikut: a. Putusnya Ikatan Perkawinan Putusnya perkawinan di Pengadilan dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu cerai talak dan cerai gugat yang keduanya sudah dijelaskan dalam bab II. Dalam kasus ini putusnya perkawinan kedua pasangan disebabkan cerai gugat yaitu cerai yang diajukan oleh pihak istri. Hal ini dijelaskan dalam pasal 114 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat tejadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. b. Berlakunya Masa Iddah bagi Perempuan Setiap peceraian mengakibatkan adanya iddah bagi seorang istri, menurut KHI ada beberapa ketentuan. Dalam pasal 153 ayat 2 “waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. b. c. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla dukhul, waktu tunggu ditetapkan seratus tiga puluh hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (kali) suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu ditetapkan sampai melahirkan. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Dari pasal tersebut di atas sudah jelas bahwa dalam perkara ini pihak tergugat masa iddahnya sudah sesuai pada masa iddah huruf (b). c. Hak Asuh Anak Dari pernikahan tersebut antara pihak penggugat dan tergugat dalam perkara ini sudah memiliki satu oarang anak yang berusia 16 tahun. Setelah adanya perceraian ini anak tersebut dalam pemeliharaan ibunya. Hal ini sesuai dengan pasal 98 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: 1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. 3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. d. Nafkah Anak Di dalam perkara ini, semenjak berpisahnya kedua belah pihak antara penggugat dan tergugat suami tidak pernah memberi nafkah kepada istri dan anaknya. Kemudian, setelah adanya perceraian ini suami berkewajiban memberikan nafkah atau biaya hidup untuk anaknya yang masih berusia 16 tahun. Pemberian nafkah ini masih wajib bagi suami tersebut karena anak belum dewasa (berusia 21 tahun), hal ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 pada huruf (d) yang berbunyi : semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Adapun akibat hukum talak ba‟in sughra ialah sebagai berikut: 1. Putusnya ikatan perkawinan 2. Antara suami dan istri tidak dapat hidup bersama selayaknya masih ada ikatan perkawinan seperti dahulu 3. Salah satu pihak tidak lagi menjadi ahli waris lainnya apabila salah satu pihak meninggal dunia 4. Istri dapat menuntut sisa pembayaran maskawin yang belum dibayar suami 5. Suami dapat mengawini isrti yang dulu tersebut dengan akad nikah yang baru tanpa harus si perempuan kawin dulu dengan laki-laki lain 6. Apabila suami merujuknya ia masih memiliki sisa hak talak. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam memutus perkara Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Perkara Nomor. 0356/pdt.G/2011/PA.SAL. Hakim mempunyai beberapa pertimbangan dan dasar hukum, yaitu: a. Pertimbangan Keluarga penggugat dan tergugat tidak harmonis karena tergugat keluar dari agama Islam dan sebelumnya mediasi telah dilakukan akan tetapi hasilnya gagal. b. Dasar hukum Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tentang alasan perceraian. Sebagai salah satu alasan perceraian disebut dalam pasal tersebut huruf (h) yang menyatakan bahwa peralihan agama yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Kemudian Hakim mengambil pendapat ahli yang dijadikan pendapat sendiri yang termuat dalam kitab At-Thalak hal 39. 2. Akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad sama halnya dengan akibat perceraian yang lain, oleh karena itu perceraian tersebut dapat menimbulkan mengakibatkan beberapa putusnya akibat hubungan hukum perkawinan. yaitu: Pertama, Kedua, masih berlakunya masa iddah bagi bekas istri. Ketiga, mengenai masalah pemeliharaan anak. Keempat, seorang ayah masih berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya sampai dewasa (usia 21 tahun). B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas, selanjutnya penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Pengadilan Agama dan Lembaga yang Terkait Bagi para hakim di Pengadilan Agama Salatiga harus tetap berpegang teguh kepada sumber hukum Islam dan hukum acara peradilan yang sudah ada, agar dalam memutuskan suatu perkara tidak merugikan salah satu pihak. Kemudian bagi para hakim Pengadilan Agama serta petugas pencatat nikah perlu untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat umum paling tidak di dekat tempat tinggal masing-masing untuk masalah murtad, yakni bahwa murtadnya salah satu pihak baik istri maupun suami yang sudah diajukan ke Pengadilan Agama maupun belum secara otomatis perkawinan tersebut sudah batal. Artinya jika pasangan tersebut tetap hidup bersama dan melakukan hubungan suami istri maka hukumnya haram. Oleh karena itu perlu sekali hakim memberikan dakwah tersebut agar masyarakat mengetahui tentang ajaran agama yang lebih mendalam. 2. Masyarakat Umum Bagi seseorang non muslim yang ingin masuk Islam, jangan hanya sekedar untuk memenuhi syarat untuk bisa melangsungkan suatu perkawinan dengan orang Islam, hendaknya didasari karena rasa cinta terhadap pasangannya. Selanjutnya setelah masuk Islam hendaknya para tersebut mau untuk menambah pengetahuanya mu‟allaf tentang ajaran Islam, tidak hanya menjadikan Islam sebagai simbol tanpa mengerti dan mendalami ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam yang sebenarnya, sehingga bisa membangun pondasi-pondasi agama Islam. rumah tangganya dengan di dasarkan DAFTAR PUSTAKA Amirin, Tatang. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Pineka Cipta. Arso, & Wasit. 1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1983. Ilmu Fiqh jilid Dua. Jakarta: departemen Agama. Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta : PT Bulan Bintang. Moleong, Leksi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset. Muhammad Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Munajad, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras. Ramulyo, Muh.Idrus. 1996. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UUP Tahun 1974 dan KHI. Jakarta: Bumi Aksara Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam : Bandung : CV Sinar Baru. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6. Bandung: PT Al-Ma‟Arif Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah Jilid 8. Bandung : PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah Jilid 9. Bandung : PT Al-Ma‟Arif. Saleh, Hasan. 2008. Kajian fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sosroatmodjo & Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintag. Supriatna, Fatma Amilia, & Yasin Baidi. 2009. Fiqh Munakaht II. Yogyakarta: Teras. Tihami & Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung : Citra Umbara. Wasman, Wardah Nuroniyah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras. DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Nastangin Nim : 211 08 016 Tempat/tgl.lahir : Temanggung, 27 Februari 1990 Alamat : Kedopokan RT 06/01 Kel. Tlogopucang. Kec. Kandangan. Kab. Temanggung Pendidikan : 1. MI Ma‟arif Karang Tengah Lulus Tahun 2002 2. MTS Mu‟alimn Rawaseneng Lulus Tahun 2005 3. MA Mu‟alimin Rawaseneng Lulus Tahun 2008 Demikian riwayat hidup penulis dibuat dengan sebenar-benarnya, kemudian bagi yang berkepentingan harap maklum adanya. Salatiga, 28 juli 2012 Penulis Nastangin 21108016 DAFTAR NILAI SKK Nama : Nastangin NIM : 211 08 016 Jurusan : Syari‟ah Progdi : Al-ahwal Al-Syakhsiyyah (AS) Dosen PA : Lutfiana Zahriani SH. MH No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Kegiatan Opspek “Implementasi Nilainilai Kemahasiswaan melalui Totalitas gerakan menuju Masyarakat Madani” Sarasehan Keagamaan “Aktualisasi Nilai-nilai Spiritual Puasa di Bulan Ramadhan” (DEMA) Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII Seminar dan Bedah Buku “Kaum Muda Menanatap Masa Depan Indonesia”(DEMA) Seminar dan Silaturrahmi Nasional Forum Mahasiswa Syari‟ah Se-Indonesia Seminar Pembiayaan Pendidikan Kota Salatiga “DEMA” Konsolidasi Internal dan Semalam Sehati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (MAPABA) Sarasehan Keagamaan “Optimalisasi Peran Badan Amil Zakat dalam Pelaksanaan 25-27 Agustus 2008 Keterangan Peserta Nilai 3 05 September 2008 Peserta 3 14-16 November 2008 27 November 2008 Peserta 3 Peserta 2 15-17 Desember 2008 Peserta 6 25 Maret 2009 Peserta 3 12-13 September 2009 Panitia 3 14 September 2009 Peserta 3 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Pengelolaan Zakat sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan ” Seminar Kebangsaan “Memperkokoh Kepeloporan Mahasiswa dalam Pembangunan Menuju Kejayaan Indonesia di Pentas Global” Seminar Regional “Peran Lembaga Publik sebagai Alat kontrol Pemerintah Demi Terciptanya Good Governance” Public Hearing “Membangun Demokrasi Kampus yang Harmonis” Seminar Nasional Pendidikan “Aktualisasi Nilai-nilai Pendidikan dalm Upaya membenruk Karakter dan Budaya Bangsa” SK Pengangkatan Pengurus Senat Mahasiswa (SEMA) 2010-2011 STAIN SALATIGA Praktikum Pelatihan TOEFL “UPB” SK Pengangkatan Pemantau OPAK 2010 Praktikum Pelatihan ILAIK (Ikhtibar al-Lughah alArabiyah Ka Lughah Ajnabiyah “UPB” Bakti Sosial V “Sadar Pendidikan Desa Berkembang Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) PMII 02 Desember 2009 Peserta 3 22 Maret 2010 Peserta 4 15 Mei 2010 Peserta 3 2 Juni 2010 Peserta 6 29 Juni 2010 Pengurus 3 31 Juli-22 Agustus 2010 Peserta 19 Agustus 2010 Panitia 3 3 31 Juli-22 Agustus 2010. Peserta 3 16-18 Oktober 2010 22 Novenber 2011 Panitia 3 Panitia 3 19 20 21 Seminar Keperempuanan 17 Mei 2011 “Menumbuhkan kembali Jiwa Kekartinian dalam Ranah Kampus” Seminar Radikalisme 23 Juni 2011 Keagamaan di Indonesia Seminar Ekonomi Islam 14 Januari 2012 “Peran Ekonomi Islam dalam Mengatasi Ekonomo Global” Panitia 3 Peserta 3 Peserta 3 Total 69 Salatiga, 30 Juli 2012 Mengetahui, Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan Drs. Agus Waluyo M.Ag NIP: 19750211 200003 1 001