1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses integrasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses integrasi Kawasan Uni Eropa kini tengah diuji. Pandangan skeptis
terhadap integrasi Uni Eropa (Euroscepticism) semakin meluas dan populer di
kalangan masyarakat negara anggota Uni Eropa. Data survey Eurobarometer dari
tahun 1990 hingga 2011 menunjukkan adanya peningkatan persepsi publik yang
mengatakan bahwa unifikasi negara terhadap Uni Eropa adalah hal yang buruk
(European Commission, n.d. a). Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi
pandangan skeptis terhadap Uni Eropa diantaranya adalah ketidakpuasan terhadap
kinerja
pemerintah,
ketidakpercayaan
terhadap
institusi
supranasional,
kekhawatiran terhadap hilangnya identitas nasional, dan refleksi terhadap
kepentingan pribadi (McLaren, 2007). Euroscepticism didorong oleh kebijakan Uni
Eropa yang dianggap merugikan (McLaren, 2007). Kebijakan Schengen yang
memberikan peluang untuk bergerak secara bebas dalam Area Schengen dan
kemajuan pesat ekonomi Uni Eropa telah menarik minat imigran dari negara nonUni Eropa untuk bermigrasi menuju Uni Eropa (Kasimis, 2012). Akibatnya, angka
imigran di Uni Eropa meningkat pesat sejak 1990-an (Triandafyllidou & Gropas,
2007b).
Awalnya imigrasi dianggap bermanfaat bagi ketersediaan tenaga kerja
(labor supply) di negara penerima migran di Uni Eropa. Namun, seiring
perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara penerima migran, imigrasi
dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi
1
2
(McLaren, 2003). Krisis ekonomi Eropa di tahun 2010 mengakibatkan tingginya
tingkat pengangguran di berbagai negara Uni-Eropa, terutama di Spanyol dan
Yunani yang tingkat penganggurannya mencapai lebih dari 20% (Eurostat, 2014).
Selain itu, jumlah imigran yang besar juga dapat menjadi ancaman terhadap nilainilai budaya yang menjadi identitas nasional masyarakat lokal negara anggota Uni
Eropa (Jozwiak, 2012). Ancaman ekonomi dan budaya ini kemudian memicu
ketegangan antara masyarakat lokal dengan penduduk imigran yang cenderung
berujung pada tindak kekerasan terhadap imigran. Tindak kekerasan yang muncul
seperti pelecehan, pemukulan, penikaman, bahkan pembunuhan. Penyerangan
terhadap imigran di Yunani mencapai 900 kasus sejak tahun 2010 (Kotsoni, 2013).
Berbagai
tindakan
kekerasan
tersebut
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengintimidasi para imigran untuk kembali ke negara asalnya.
Alih-alih mendeportasi para imigran, pemerintah negara-negara penerima
migran di Uni Eropa justru memberlakukan kebijakan regularisasi dan reunifikasi
yang memberikan kesempatan bagi imigran untuk tetap berada di negara tersebut.
Bahkan, kebijakan untuk membatasi jumlah imigran yang masuk dinilai tidak
efektif, sebab masuknya imigran tercatat tetap tinggi di berbagai negara Uni-Eropa
(McLaren, 2003). Keinginan masyarakat lokal untuk memulangkan penduduk
imigran dari negara mereka tidak dapat terakomodasi dengan baik oleh partai
politik mainstream yang mendominasi pemerintahan. Akibatnya, masyarakat lokal
memilih untuk memberi dukungan pada partai politik radikal kanan yang
menawarkan agenda politik anti-imigrasi. Sejak tahun 1980-an, dukungan terhadap
partai radikal kanan di Eropa mengalami peningkatan (Mudde, 2014). Terdapat 14
3
dari 27 negara anggota Uni Eropa yang memiliki anggota dewan parlemen dari
partai radikal kanan (Red Pepper, 2009). Salah satu partai radikal kanan yang sukses
meraih dukungan suara adalah Partai Golden Dawn di Yunani pada tahun 2012.
Peningkatan dukungan terhadap partai radikal kanan di Yunani ditunjukkan
dengan meningkatnya elektabilitas partai radikal kanan Golden Dawn dalam pemilu
parlemen Yunani tahun 2012. Hasil pemilihan umum Parlemen Yunani
menunjukkan hasil yang menarik. Dua partai mainstream Yunani yaitu Partai New
Democracy (ND) dan Partai Pan Hellenic Socialist Movement (PASOK)
mengalami penurunan perolehan suara yang cukup tinggi dibandingkan hasil
pemilu sebelumnya. Sementara, partai radikal kanan Golden Dawn berhasil
memperoleh peningkatan perolehan suara secara drastis sehingga berhasil
menduduki 18 kursi di parlemen Yunani (Igraphics, 2012). Padahal, Partai Golden
Dawn tidak pernah memperoleh dukungan suara lebih dari 1% pada pemilu
sebelumnya (Hellenic Republic Ministry of Interior, 2014). Perolehan ini
merupakan keberhasilan terbesar sejak partai tersebut berdiri pada tahun 1985.
Peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen
Yunani tahun 2012 menjadi menarik sebab Golden Dawn tidak pernah meraih
perolehan suara yang tinggi sebelumnya. Selain itu, ideologi yang diadopsi oleh
Partai Golden Dawn mirip dengan ideologi partai radikal kanan lainnya di Eropa.
Ideologi tersebut ialah fasisme atau nasionalisme. Ideologi ini sebenarnya tidak
populer di Yunani pasca berakhirnya pemerintahan junta militer tahun 1974.
Peningkatan perolehan suara Partai Golden Dawn yang tinggi dipengaruhi
oleh berbagai agenda politik yang ditawarkan oleh partai tersebut. Salah satu
4
agenda politik yang ditawarkan adalah kebijakan anti-imigrasi yang bertujuan
untuk mengurangi imigran di Yunani. Agenda politik anti-imigrasi tersebut berbeda
dengan kebijakan imigrasi yang diimplementasikan oleh Pemerintah Yunani.
Kebijakan imigrasi Pemerintah Yunani sejak tahun 1997 menunjukkan bahwa
pemerintah masih mentolerir keberadaan penduduk migran ilegal di Yunani
(Kiprianos, et al., 2003). Penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik antiimigrasi partai radikal kanan di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus
kemenangan partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani
tahun 2012.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, penelitian
ini menjelaskan mengapa agenda politik anti-imigrasi Partai Golden Dawn dapat
mempengaruhi perolehan suara partai tersebut pada pemilu Parlemen Yunani tahun
2012.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh agenda politik
anti-imigrasi Partai Golden Dawn terhadap perolehan suara partai tersebut dalam
pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai
pengaruh agenda politik anti-imigrasi pada perubahan dukungan publik terhadap
partai politik sayap kanan dalam suatu negara. Penelitian ini juga diharapkan
mampu menjelaskan peningkatan peran kawasan dalam isu imigrasi yang
mempengaruhi pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat domestik yang tidak lagi
mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Ini dapat memberikan manfaat
praktis bagi pengambil kebijakan suatu negara bahwa kebijakan domestik yang
diambil sebagai hasil dari perjanjian integrasi suatu kawasan harus tetap
mencerminkan kepentingan nasionalnya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi
akademisi Ilmu Hubungan Internasional yang menekuni kajian kawasan bahwa
kebijakan di tingkat kawasan dapat memunculkan dukungan terhadap partai politik
radikal kanan di tingkat domestik.
1.5 Kajian Pustaka
Penelitian ini menggunakan beberapa literatur sebagai kajian yang menurut
Peneliti relevan dengan fokus penelitian ini. Literatur pertama yang digunakan oleh
Peneliti adalah tulisan karya Antonis A. Ellinas (2013) yang berjudul The Rise of
Golden Dawn: The New Face of the Far Right in Greece. Tulisan ini membahas
secara umum beberapa faktor yang menjadi penyebab peningkatan elektabilitias
Partai Golden Dawn pada pemilu 2012. Faktor-faktor tersebut antara lain; sistem
politik Yunani yang korup dan sarat dengan praktik patronase, dampak dari krisis
ekonomi Yunani, peningkatan perhatian publik pada isu imigrasi dan persepsi
6
publik tentang kegagalan kinerja pemerintah dalam menangani isu imigran ilegal,
posisi Partai Golden Dawn di tengah masyarakat Yunani sebagai partai yang
mengusung nasionalisme ekstrim, konsistensi Partai Golden Dawn sebagai partai
anti-imigrasi yang terwujud dalam agenda politik partai dan aksi kekerasan
terhadap penduduk migran, dan pemberitaan mengenai Partai Golden Dawn oleh
media.
Ellinas (2013) menggunakan teori Critical Elections oleh Valdimer Orlando
Key, Jr. dalam menganalisis peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada
pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Teori Critical Elections menjelaskan salah
satu tipe pemilu yang memiliki ciri adanya perubahan besar yang terjadi pada pola
dukungan publik terhadap partai politik mainstream. Teori ini juga menjelaskan
bahwa perubahan pola dukungan masyarakat tersebut dapat bertahan dengan stabil
hingga beberapa pemilu yang akan datang. Critical Elections terjadi bila intensitas
dukungan publik dalam pemilu sangat tinggi, terdapat perubahan yang besar pada
pola hubungan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, dan munculnya kelompok
pendukung baru (electorate grouping) dalam kehidupan politik masyarakat. Pemilu
Parlemen Yunani tahun 2012 merupakan Critical Election di Yunani (Ellinas,
2013). Pemilu tersebut telah memunculkan kelompok pendukung (electoral
grouping) baru yang suportif terhadap kebijakan anti-imigrasi yang ditawarkan oleh
Partai Golden Dawn. Hal ini menurut Ellinas (2013) dipengaruhi oleh keadaan
ekonomi Yunani sejak tahun 2008 yang terus memburuk. Pendekatan ekonomi
menjadi fokus utama dalam tulisan Ellinas (2013) untuk menjelaskan perubahan
pola dukungan masyarakat Yunani pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
7
Penjelasan Ellinas (2013) mengenai berbagai faktor yang mendukung
peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn memberikan gambaran kepada
Peneliti mengenai penyebab perubahan pola dukungan publik terhadap partai
politik mainstream di Yunani pada tahun 2012. Penelitian ini juga menganalisis
peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun
2012. Namun, penelitian ini menganalisis pengaruh agenda politik anti-imigrasi
sebagai faktor yang mendukung peningkatan elektabilitas Partai Golden Dawn. Ini
berbeda dengan tulisan Ellinas (2013) yang menggunakan teori Critical Election
dan berfokus pada aspek ekonomi dalam menjelaskan fenomena tersebut.
Tulisan kedua yang digunakan oleh Peneliti sebagai referensi adalah tulisan
karya Andrew Geddes (2005) yang berjudul Europe’s Border Relationships and
International Migration Relations. Geddes (2005) menjelaskan bahwa keterkaitan
antara pola hubungan perbatasan (border relations) negara anggota Uni Eropa dan
migrasi internasional merupakan faktor penentu dimensi eksternal dari kebijakan
suaka dan migrasi Uni Eropa yang menjadi semakin penting pasca Perang Dunia II.
Pola perbatasan yang dimaksud Geddes (2005) tersebut terbagi atas tiga tipe;
perbatasan teritori (territorial), organisasi (organizational), dan konseptual
(conceptual).
Perkembangan isu imigrasi yang semakin kompleks di Eropa pasca Perang
Dunia II dalam tulisan Geddes (2005) menunjukkan bahwa isu imigrasi menjadi isu
yang sentral bagi Uni Eropa. Ini terlihat dari arah kebijakan imigrasi Uni Eropa
yang mencoba menekan jumlah imigran yang masuk ke Uni Eropa dengan berbagai
kebijakan, baik berupa kebijakan kontrol arus masuk imigran, maupun kebijakan
8
preventif yang dilakukan pada negara asal para imigran. Kebijakan preventif yang
merupakan dimensi eksternal dari kebijakan migrasi Uni Eropa ini menunjukkan
bahwa peran Uni Eropa dalam isu imigrasi mengalami peningkatan sebab dalam
kebijakan tersebut Uni Eropa mengintegrasikan isu imigrasi ke dalam isu keamanan
dan isu sentral lainnya yang menjadi perhatian utama seluruh negara anggota Uni
Eropa. Ini berarti, isu imigrasi tidak lagi menjadi isu yang hanya dikelola oleh
pemerintah negara anggota Uni Eropa saja. Isu imigrasi menjadi sebuah isu sentral
yang menjadi pilar berbagai aspek kebijakan Uni Eropa yang meliputi kebijakan
luar negeri dan keamanan (foreign and security policy), keadilan dan urusan dalam
negeri (justice and home affairs), dan perdagangan dan pembangunan (trade and
development).
Sejak tahun 2004 usaha untuk mengintegrasikan berbagai aturan (acquis)
mengenai suaka dan migrasi Uni Eropa kepada negara anggota Uni Eropa telah
dilakukan secara intensif. Geddes (2005) juga mengungkapkan bahwa terjadi
perubahan yang besar pada definisi batas teritori negara anggota Uni Eropa. Ini
berdampak pada perubahan proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat
nasional. Perjanjian Schengen menyebabkan batas teritori negara anggota Uni
Eropa tidak lagi menjadi tanggung jawab negara tersebut secara penuh, melainkan
menjadi tanggung jawab bersama. Hal ini terlihat pada Program The Hague yang
mengkonsolidasi berbagai aturan mengenai migrasi dan suaka seperti sistem suaka
Eropa bersama (Common European Asylum System), aturan bersama mengenai
imigrasi legal (common measures on legal immigration), sistem informasi
9
Schengen (the Schengen information system), dan aturan visa bersama (common
visa rules).
Tulisan Andrew Geddes (2005) berkontribusi dalam menjelaskan hubungan
antara regionalisme Uni Eropa dengan kebijakan imigrasi yang berlaku di negara
anggota Uni Eropa. Geddes (2005) menjelaskan bahwa isu imigrasi yang semakin
meluas pasca Perang Dunia II menyebabkan peran Uni Eropa menjadi semakin aktif
dalam mengatur arus imigrasi. Uni Eropa kemudian melakukan berbagai langkah
konsolidasi batas teritori melalui berbagai inisiatif dan program untuk mengatur
imigrasi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan integrasi Uni Eropa memiliki pengaruh
yang besar terhadap pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat nasional.
Tulisan ketiga yang digunakan Peneliti adalah tulisan karya Scott H.
Corroon (1989) yang berjudul The Re-emergence of Europe’s Far-Right. Corroon
(1989) menjelaskan dalam tulisannya bahwa sejak tahun 1980-an, partai sayap
kanan ekstrim (far-right party) memperoleh peningkatan dukungan publik secara
drastis (Corroon, 1989). Tulisan Corroon (1989) mendeskripsikan fenomena
peningkatan dukungan publik terhadap partai sayap kanan ekstrim Republican
Citizens Party (RCP) dan National Democratic Party (NDP) di Jerman Barat dan
Partai National Front di Perancis. Peningkatan dukungan publik ini menurut
Corroon (1989) disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap partai politik
mainstream untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat Jerman
Barat dan Perancis pada saat itu (Corroon, 1989).
Kegagalan partai politik mainstream dalam menanggulangi persoalan
publik di Jerman dan Perancis seperti jumlah penduduk migran yang tinggi, tingkat
10
pengangguran yang tinggi, dan pengurangan anggaran jaminan sosial, telah
mendorong masyarakat di Jerman dan Perancis untuk melakukan aksi protes
dengan memberikan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim dalam
pemilu (Corroon, 1989). Isu imigrasi merupakan faktor utama yang mendorong
masyarakat Jerman dan Perancis untuk mendukung Partai RCP, NDP, dan National
Front (Corroon, 1989).
Tulisan Corroon (1989) memberikan kontribusi bagi Peneliti dalam melihat
fenomena peningkatan dukungan terhadap partai politik sayap kanan ekstrim di
Eropa sejak tahun 1980-an. Ini membantu peneliti dalam mendeskripsikan
kebangkitan partai sayap kanan ekstrim di Eropa, terutama Eropa bagian barat dan
utara. Corroon (1989) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
isu imigrasi dan dukungan terhadap partai sayap kanan ekstrim. Peneliti
mengembangkan argumen Corroon (1989) mengenai fenomena tersebut. Peneliti
menganalisis pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap perolehan suara
Partai Golden Dawn dalam pemilu Parlemen Yunani tahun 2012. Ini akan
mengembangkan argumen Corroon (1989) bahwa peningkatan dukungan terhadap
partai sayap kanan juga dapat terjadi pada negara anggota Uni Eropa bagian selatan
seperti Yunani.
1.6 Kerangka Pemikiran
Analisis mengenai pengaruh kebijakan integrasi Uni Eropa terhadap
perolehan suara partai radikal kanan Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani
11
tahun 2012 dilakukan dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang disusun
Peneliti.
1.6.1 EU Issue Voting dan Integrasi
Peneliti menggunakan sebuah teori EU Issue Voting yang diungkapkan oleh
Catherine E. De Vries (2007). Vries (2007) menganalisis penyebab pengaruh
integrasi Uni Eropa terhadap elektabilitas partai politik pada pemilu nasional negara
anggota Uni Eropa dengan membandingkan hasil pemilu Negara Inggris, Denmark,
Belanda, dan Jerman dari tahun 1992 hingga 2002. Proses integrasi Uni Eropa yang
semakin erat menyebabkan peran Uni Eropa yang semakin tinggi. Ini terlihat dari
meningkatnya otoritas yuridis Uni Eropa pada berbagai aspek kebijakan. Aspek
kebijakan tersebut antara lain integrasi pasar, kebijakan imigrasi dan luar negeri,
kebijakan mata uang tunggal, dan sebagainya. Namun, tidak semua masyarakat
Eropa setuju dengan hal ini sehingga Vries (2007) mengungkapkan bahwa terdapat
opini publik yang skeptis terhadap integrasi Uni Eropa. Opini publik yang skeptis
ini dirasakan secara meluas namun belum diekspresikan secara jelas karena
minimnya partai politik yang menawarkan agenda politik anti-Uni Eropa. Vries
(2007), meminjam istilah dari Van der Eijk dan Franklin (2004), menyebut
fenomena ini sebagai ‘Raksasa Tidur’ (Sleeping Giant) yang dapat sewaktu-waktu
dibangunkan oleh partai politik yang diuntungkan dengan menawarkan agenda
politik anti-Uni Eropa. Bila hal ini terjadi, Vries (2007) mengungkapkan bahwa
pola hasil pemilu nasional negara anggota Uni Eropa dapat terpengaruhi.
Integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi hasil pemilu di tingkat nasional sebab
isu integrasi Uni Eropa merupakan agenda alternatif yang dapat dieksploitasi oleh
12
partai politik radikal kiri atau kanan untuk memobilisasi massa agar mendukung
partai politik tersebut seperti yang telah diungkapkan oleh Vries (2007):
Extreme, Eurosceptic parties, have an electoral incentive to play up the
EU issue…far left and far right political entrepreneurs have strategic
incentive to mobilize the EU issue in order to reap electoral gains.
Partai politik radikal kiri dan kanan cenderung skeptis terhadap integrasi Uni
Eropa (Eurosceptic) sebab berlawanan dengan landasan ideologi ekstrim partai
mereka. Partai radikal kiri cenderung menolak integrasi Uni Eropa sebab integrasi
tersebut mengarah pada paradigma neo-liberalisme yang berlawanan dengan
paradigma Marxisme yang diusung partai radikal kiri. Integrasi Uni Eropa juga
cenderung ditentang oleh partai radikal kanan sebab integrasi Uni Eropa dinilai
mengikis kedaulatan negara dan identitas nasional. Ini sesuai dengan pernyataan
Vries (2007):
Eurocepticism is rooted in the partisan ideology of far left and far right
parties… radical right parties oppose European integration because it
erodes national sovereignty and national identity; the radical left resists
further integration in Europe owing to its neo-liberal character.
Perbedaan tersebut kemudian menyebabkan partai radikal kiri dan radikal
kanan melakukan kampanye secara masif dan berperan aktif untuk menolak
integrasi Uni Eropa lebih jauh lagi. Ini terlihat dari berbagai agenda politik mereka
yang tidak suportif terhadap kebijakan integrasi Uni Eropa. Teori Vries (2007) juga
mengungkapkan bahwa perubahan pola dukungan publik terhadap partai radikal
kanan dapat terjadi bila isu mengenai integrasi Uni Eropa merupakan isu yang
dominan (high EU issue salience) dalam sebuah negara dan tingkat konflik antar
partai mengenai isu integrasi Uni Eropa tinggi (high partisan conflict).
13
Teori yang diungkapkan oleh Vries (2007) ini digunakan Peneliti untuk
menganalisis bagaimana respon masyarakat Yunani terhadap integrasi Uni Eropa,
khususnya dalam isu imigrasi dan kaitannya dengan usaha Partai Golden Dawn
mendapatkan dukungan publik dengan menawarkan agenda politik anti-imigrasi.
Agenda politik anti-imigrasi yang ditawarkan Partai Golden Dawn merupakan
agenda politik yang tidak suportif terhadap integrasi Uni Eropa, sebab agenda
tersebut berbeda dengan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang berlandaskan pada
nilai-nilai kemanusiaan dan suportif terhadap imigran. Integrasi Uni Eropa yang
semakin kuat menyebabkan kebijakan imigrasi model Uni Eropa harus diterapkan
pada kebijakan imigrasi di tingkat nasional. Kesenjangan antara kebijakan imigrasi
model Uni Eropa dan kebijakan imigrasi yang dikehendaki masyarakat Eropa dapat
memicu pandangan skeptis yang lebih besar terhadap integrasi Uni Eropa seperti
yang diungkapkan oleh Vries (2007). Peneliti menggunakan konsep integrasi Uni
Eropa untuk lebih memahami bagaimana integrasi Uni Eropa dapat mempengaruhi
kebijakan imigrasi di Yunani.
Integrasi Uni Eropa berkaitan dengan konsep regionalisme. Fawcett (2004)
mendefinisikan regionalisme sebagai sebuah kebijakan ketika aktor negara dan
non-negara saling bekerja sama dan mengkoordinasikan strategi untuk berbagai isu
dalam sebuah kawasan (region). Regionalisme tercipta akibat munculnya
permasalahan bersama (common concern) yang menuntut adanya sebuah
mekanisme kerja sama lintas batas kedaulatan negara-negara yang mampu
menyelesaikan permasalahan tersebut. Misalnya, permasalahan ekonomi yang
dialami negara-negara Eropa pasca Perang Dunia I dan II telah mendorong
14
terciptanya kerja sama kawasan. Alasannya, kerja sama ekonomi dan perang
merupakan dua hal yang saling bertentangan sebab tidak mungkin kerja sama
ekonomi antara dua pihak dapat terjalin bila kedua pihak sedang terlibat perang.
Begitu juga sebaliknya, bila kerja sama ekonomi antara kedua pihak terjalin erat
dan saling menguntungkan, maka kemungkinan terjadinya perang antar kedua
pihak semakin minim terjadi. Kedua pihak akan senantiasa mengusahakan
pendekatan damai dalam menyelesaikan konflik demi menghindari perang dan
rusaknya kerja sama ekonomi yang terjalin. Hal ini kemudian menjadi dasar
pemikiran bahwa demi menjaga perdamaian, kerja sama antar negara Eropa harus
ditingkatkan.
Studi regionalisme menjelaskan bahwa kerja sama di tingkat kawasan dapat
ditingkatkan melalui proses integrasi kawasan. Louise Fawcett & Andrew Hurrell
(1995) menjelaskan mengenai proses integrasi sebuah organisasi kawasan dapat
dimulai dengan tahapan kerjasama ekonomi, kemudian berlanjut ke tahapan politik
dan identitas seperti yang dapat dilihat pada model integrasi Uni Eropa. Integrasi
sebuah kawasan dapat dipahami sebagai bentuk peningkatan peran dan fungsi
sebuah organisasi kawasan dalam mengatur hubungan antar negara anggotanya dan
negara di luar kawasan dan berbagai kebijakan yang berlaku di tingkat kawasan.
Uni Eropa merupakan entitas supranasional yang memiliki pengaruh besar
pada pembuatan kebijakan sosial dan ekonomi negara anggotanya. Melalui Piagam
Maastricht tahun 1992, Uni Eropa (pada saat itu disebut European Community)
sebagai entitas supranasional memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan
berbagai aturan yang berlaku di kawasan Uni Eropa sekaligus memiliki pengaruh
15
langsung terhadap proses pembuatan kebijakan domestik negara anggotanya. Peran
Uni Eropa yang semakin kuat ini ditunjukkan dengan penetapan tiga pilar Uni
Eropa melalui Piagam Maastricht. Ketiga pilar tersebut meliputi Komunitas Eropa
(European Communities), Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Terintegrasi
(Common Foreign and Security Policy), dan Kerja Sama Kepolisian dan Peradilan
dalam Isu Kriminal (Police and Judicial Cooperation in Criminal Matters) (EURLex, 2010). Peneliti menggunakan pilar Komunitas Eropa dalam menjelaskan
integrasi Uni Eropa yang semakin kuat sehingga mengaburkan identitas nasional
masyarakat Eropa dengan menguatkan identitas Komunitas Eropa yang sama.
Pilar Komunitas Eropa terdiri dari Treaty of Rome yang telah di revisi
berdasarkan Single European Act, Pasar Tunggal (Single Market), Demokratisasi
Institusi (Democratization of the Institutions), Kewarganegaraan Eropa (European
Citizenship), dan Uni Ekonomi dan Moneter (Economic and Monetary Union)
(ILSP, 2000). Melalui pilar ini, Uni Eropa menegaskan bahwa tiap individu yang
merupakan warga negara anggota Uni Eropa adalah masyarakat Uni Eropa. Hakhak yang dimiliki oleh masyarakat Uni Eropa diantaranya (European Council,
1992); (1) berhak berpindah dan menetap di negara Uni Eropa manapun, (2) Berhak
memilih dan dipilih sebagai anggota dewan Parlemen Uni Eropa mewakili negara
tempat ia tinggal, (3) berhak memilih dan dipilih sebagai anggota dewan perwakilan
tingkat daerah di negara tempat ia tinggal, (4) berhak mendapatkan perlindungan
diplomatik dari negara anggota Uni Eropa manapun di negara ketiga (non-Uni
Eropa) ketika negara asal individu tersebut tidak memiliki perwakilan diplomatik
di negara ketiga tersebut, dan sebagainya. Hak-hak tersebut telah mengaburkan
16
batas negara anggota Uni Eropa. Masyarakat Uni Eropa tidak lagi hanya menjadi
bagian dari negara asalnya, namun juga bagian dari sebuah organisasi kawasan
supranasional.
Pilar Komunitas Eropa telah menciptakan sebuah identitas Komunitas
Eropa yang berada di atas identitas nasional masyarakat Uni Eropa (EUR-Lex,
2010). Alasannya, pilar Komunitas Eropa menyebabkan peran Dewan Uni Eropa
(European Council) semakin kuat melalui penetapan mekanisme pengambilan
keputusan co-decision procedure yang diatur dalam Pasal 189 Piagam Maastricht.
Mekanisme co-decision procedure adalah suatu mekanisme yang memperbolehkan
Dewan Uni Eropa bersama dengan Parlemen Uni Eropa menetapkan berbagai
aturan (regulations), keputusan (decision), dan instruksi (directive) yang bersifat
mengikat (European Council, 1992). Proses pengambilan keputusan melalui
mekanisme ini menunjukkan bahwa masyarakat Uni Eropa harus tunduk pada
kebijakan yang telah disepakati bersama tanpa menghiraukan posisi pemerintah
negara asalnya terhadap kebijakan tersebut. Berdasarkan hal ini, identitas
masyarakat Uni Eropa sebagai bagian dari sebuah Komunitas Eropa memiliki posisi
lebih tinggi daripada identitas nasionalnya.
Penguatan peran regionalisme menimbulkan setidaknya dua reaksi.
Pertama, regionalisme dapat mendorong peningkatan jumlah imigran. Kedua, peran
organisasi kawasan sebagai wujud regionalisme yang semakin kuat dapat menuai
reaksi negatif dari masyarakat lokal negara anggotanya (Betts, 2009, hal. 170 &
Ash, 1998).
17
1.6.2 Imigrasi
Pengertian imigrasi merujuk pada perpindahan lintas batas negara yang
dilakukan oleh individu dengan identitas kebangsaan (nationality) yang berbeda.
Imigrasi mencakup peran negara dalam mengontrol arus keluar-masuk imigrasi
dalam wilayah kedaulatan negara (Torpey, 2000). Ini meliputi berbagai kebijakan
tentang imigrasi yang pada proses pembuatannya dipengaruhi oleh berbagai hal,
termasuk rezim supranasional yang mengatur tentang imigrasi. Imigrasi juga
mencakup identifikasi individu terhadap negara (Guild, 2009). Istilah imigrasi
hanya akan memiliki makna apabila individu yang berpindah-pindah memiliki
identitas yang diakui. Elspeth Guild (2009) kemudian menyebutkan bahwa imigrasi
melibatkan kedaulatan negara dalam mendefinisikan warga negara (citizen) dan
warga asing (foreigner). Dengan kata lain, imigrasi tidak hanya mencakup
perpindahan individu ke negara lain, namun juga mencakup perbedaan hak yang
dimiliki seorang imigran dengan seorang warga negara.
Motivasi seorang individu untuk melakukan migrasi ke wilayah negara lain
sangat beragam. Menurut data laporan Eurostat (2000), motivasi atau alasan
tersebut terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Alasan Ekonomi: meliputi ketersediaan lapangan pekerjaan, keadaan
atau perlakuan dalam bekerja, potensi karir yang lebih baik, upah yang
lebih baik, dan standar kehidupan yang lebih baik.
2. Alasan Keluarga: meliputi reunifikasi dengan anggota keluarga dan
pernikahan.
18
3. Alasan Lainnya: meliputi pendidikan, ketakutan terhadap perang atau
perlakuan buruk (persecution), pensiun, habis kontrak, keinginan untuk
kembali ke daerah asal (homesickness), pengusiran (expulsion), dan
sebagainya.
Imigran yang berpindah ke sebuah negara untuk mencari pekerjaan
cenderung menempati sektor ekonomi informal dengan upah yang rendah. Ini
menciptakan preferensi terhadap pekerja imigran dibandingkan pekerja lokal bagi
para pengusaha, sehingga persaingan lapangan kerja pada sektor informal dan
peningkatan upah minimum pekerja informal yang rendah sangat mungkin terjadi
(Keeton, 2005). Imigrasi juga memiliki hubungan yang berbanding lurus terhadap
peningkatan kriminalitas. Ini semakin jelas terlihat apabila keadaan ekonomi di
negara penerima imigran sedang berada pada situasi krisis (Hadjimatheou, 2012).
Tingginya jumlah imigran di sebuah negara menyebabkan semakin tinggi pula
beban anggaran pemerintah dalam penyediaan layanan publik. Selain itu, kinerja
pemerintah dalam menyediakan layanan publik secara optimal pun kian menurun
akibat jumlah imigran yang tinggi (Congressional Budget Office, 2007). Bentuk
lain dari ancaman yang dapat timbul akibat adanya arus masuk imigran adalah
jumlah imigran yang tinggi dapat memodifikasi komposisi etnis sebuah negarabangsa. Ini tentu saja akan mengancam kestabilan kontrak sosial antara warga
negara dan negara yang juga nantinya akan mengancam legitimasi negara tersebut
(Hollifield, 2004).
19
1.6.3 Politico-Territorial Identity
Politico-territorial identity adalah sebuah konsep yang menjelaskan
identitas individu yang terbentuk dari latar belakang politik seseorang dalam sebuah
wilayah teritori (Knight, 1982). Identitas individu menurut konsep ini terbentuk
karena individu tersebut tinggal dan berada dalam sebuah wilayah teritori entitas
politik yang sama sehingga definisi politico-territorial identity sebuah kelompok
masyarakat bergantung pada abstraksi identitas mereka terhadap legitimasi entitas
politik pada berbagai tingkatan dalam wilayah tersebut. Abstraksi identitas seorang
individu berbeda-beda pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Hirarki
organisasi politik yang dimaksud Knight (1982, hal. 515) adalah ruang lingkup
organisasi politik tersebut dimulai dari organisasi politik di tingkat lokal atau daerah
yang memiliki ruang lingkup kecil hingga organisasi di tingkat supranasional yang
ruang lingkupnya sangat luas dan terdiri dari berbagai organsisasi politik lainnya.
Abstraksi identitas yang berbeda-beda ini menyebabkan keterikatan individu yang
berbeda pula pada tiap tingkatan hirarki organisasi politik. Meskipun demikian,
abstraksi identitas tiap individu, menurut Knight (1982), sangatlah kuat di tingkat
nasional bila dibandingkan di tingkat yang lebih luas seperti kawasan dan global.
Ini disebabkan karena individu yang tergabung dalam sebuah komunitas bangsa
memiliki hubungan keterikatan yang kuat terhadap teritori yang sama (common
territory).
Reaksi terhadap unifikasi sebuah negara ke dalam sebuah organisasi
kawasan yang lebih luas dapat berupa reaksi positif dan negatif. Reaksi negatif
adalah reaksi yang mengidentifikasi tiap individu secara unik eksklusif sehingga
20
menciptakan antagonisme dengan individu lain yang identitasnya berbeda. Knight
menyatakan bahwa keterikatan individu pada komunitas yang lebih kecil
disebabkan oleh adanya penolakan terhadap unifikasi identitas pada komunitas
yang lebih luas dan adanya keinginan untuk menentukan nasib sendiri.
Konsep politico-territorial identity kemudian menjelaskan reaksi negatif
terhadap unifikasi negara pada sebuah organisasi kawasan. Proses integrasi Uni
Eropa melalui penguatan peran Uni Eropa dalam kebijakan imigrasi kawasan
memicu reaksi negatif dari masyarakat yang menolak untuk meleburkan identitas
mereka menjadi sebuah identitas Eropa yang sama. Identitas Eropa yang dimaksud
adalah nilai-nilai yang disepakati oleh Uni Eropa seperti menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan kebebasan individu untuk berpindah ke mana saja. Reaksi negatif
juga ditunjukkan oleh masyarakat yang resisten terhadap pengaruh Uni Eropa yang
semakin meningkat dalam proses pembuatan kebijakan imigrasi di tingkat
domestik. Reaksi ini diekspresikan melalui dukungan publik terhadap partai radikal
kanan di berbagai negara anggota Uni Eropa yang menawarkan agenda politik antiimigrasi sebagai alternatif dari kebijakan imigrasi Uni Eropa.
1.6.4 Partai Radikal Kanan
Partai radikal kanan merupakan tipe partai politik yang menganut ideologi
sayap kanan ekstrim dalam spektrum ideologi politik. Spektrum ideologi politik
menjelaskan perspektif politik kiri dan kanan. Norberto Bobbio (1996)
menyebutkan bahwa perspektif dalam spektrum ideologi politik dibedakan
berdasarkan prinsip kesetaraan (equality) dan ketidaksetaraan (inequality).
21
Semakin mengarah ke kiri, maka semakin kental pula suatu perspektif politik
terhadap prinsip kesataraan (equality). Maksudnya, semakin mengarah ke kiri
(semakin ekstrim kiri), maka semakin tinggi pula kepercayaan dalam sebuah
perspektif politik bahwa seluruh manusia adalah sama dan oleh sebab itu memiliki
hak yang sama. Perspektif politik kiri akan menghasilkan berbagai bentuk
kebijakan politik yang bertujuan untuk mendistribusikan manfaat atau
kesejahteraan secara seimbang (sama rata) kepada sebagian, bila tidak seluruh,
masyarakat. Sebaliknya, semakin mengarah ke kanan (semakin ekstrim kanan),
maka semakin kental suatu perspektif politik terhadap prinsip ketidaksetaraan
(inequality). Maksudnya, semakin mengarah ke kanan, maka semakin tinggi pula
kepercayaan dalam sebuah perspektif politik bahwa seluruh manusia sejatinya
tidaklah sama dan oleh sebab itu memiliki hak yang tidak sama pula. Perspektif
politik kanan percaya bahwa ketidaksetaraan justru dapat menciptakan komunitas
masyarakat yang lebih baik (Bobbio, 1996). Perspektif politik kanan akan
menghasilkan berbagai kebijakan politik yang mengarah pada penjaminan
kebebasan tiap individu dalam memenuhi kebutuhannya dan mengusahakan
kesejahteraannya tanpa harus dibatasi oleh negara (libertan). Berbagai perspektif
politik (kiri dan kanan) ini kemudian mempengaruhi ideologi politik yang diadopsi
oleh partai politik yang tampak dari berbagai karakteristik partai, termasuk agenda
politiknya. Partai politik sayap kiri lebih egaliter daripada partai sayap kanan (nonegaliter) (Bobbio, 1996).
Partai sayap kanan ekstrim adalah partai yang percaya bahwa negara dapat
menjadi lebih kuat dengan cara homogenisasi (satu negara satu kultur) (Rydgren,
22
2007). Partai ini juga bercermin pada nilai-nilai tradisional di masa lalu yang
kemudian dijadikan acuan dalam kehidupan bernegara (konservatif). Pengakuan
terhadap hak individu warga negara secara universal merupakan tujuan sekunder
sebuah negara menurut perspektif partai kanan ekstrim. Tujuan utamanya adalah
memperkuat posisi negara dengan cara homogenisasi etnis warga negara dan
berpedoman pada nilai-nilai tradisional.
Partai radikal kanan adalah partai politik yang mengadopsi paham radikal
kanan sebagai landasan ideologis partainya. Paham radikal kanan merupakan varian
yang berbeda dengan paham kanan ekstrim (right-wing extremist). Menurut Cas
Mudde (2000), paham kanan ekstrim merupakan sebuah paham yang menolak
dengan tegas segala prosedur dan nilai demokrasi. Partai yang berpaham kanan
ekstrim cenderung menjadi sebuah partai politik yang mencoba merombak tatanan
pemerintahan demokrasi di suatu negara, bila tidak hingga merombak sistem
konstitusi negara tersebut. Ini menunjukkan bahwa partai kanan ekstrim tidak
mendukung adanya sistem pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme
pemilihan umum. Sedangkan, paham radikal kanan merupakan paham oposisi dari
paham politik kiri dan mainstream (sentral), tetapi masih berjalan dalam prosedur
dan tatanan demokrasi. Partai radikal kanan akan menyasar berbagai isu dan
permasalahan politik berdasarkan perspektif politik kanan tanpa harus merombak
tatanan demokrasi suatu negara, termasuk mekanisme pemilihan umum.
Partai radikal kanan secara umum memiliki agenda politik yang bergerak
dalam aspek sosio-kultural yang mencakup berbagai isu seperti imigrasi, peraturan
hukum, identitas nasional, aborsi, dan lain sebagainya (Rydgren, 2007). Partai
23
radikal kanan yang non-egaliter percaya bahwa identitas nasional yang berbeda
merujuk pada perbedaan pengakuan hak dalam negara. Sesuai dengan perspektif
politik kanan yang dijelaskan oleh Norberto Bobbio (1996) yang menyatakan
bahwa ketidaksetaraan (inequality) akan merujuk pada komunitas masyarakat yang
lebih baik, maka partai radikal kanan percaya bahwa pemisahan berbagai identitas
kebangsaan dalam kelompok masyarakat suatu negara akan menjadikan negara
tersebut lebih baik. Partai radikal kanan percaya bahwa sebuah negara akan menjadi
lebih baik bila memiliki identitas nasional (kebangsaan) yang homogen. Atas dasar
inilah sebagian besar partai radikal kanan, terutama di Eropa, merupakan partai
yang mengadopsi agenda politik anti-imigrasi.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif
yang mendeskripsikan sebuah fenomena sosial. Menurut Hadari Nawawi (2012),
metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktafakta yang ada. Selanjutnya, Nawawi menyatakan bahwa metode deskriptif juga
dapat meliputi analisa dan interpretasi data. Dalam penelitian kualitatif deskriptif,
hasil penelitian berupa hasil analisis kata maupun angka yang menggambarkan
sebuah fenomena. Penelitian ini akan meneliti pengaruh agenda politik antiimigrasi di Kawasan Uni Eropa dengan melihat contoh kasus kemenangan Partai
Golden Dawn pada pemilu Parlemen Yunani tahun 2012.
24
Sumber data yang digunakan dalam Penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang diperoleh melalui berbagai pustaka seperti buku, jurnal, artikel
ilmiah, surat kabar, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan imigrasi,
partai radikal kanan, dan kemenangan partai Golden Dawn.
Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library
research). Pengumpulan data lebih berfokus kepada data-data dari berbagai
literatur baik dari buku-buku, media online (internet) seperti artikel-artikel jurnal
ilmiah, ataupun berbagai website berita dan website resmi Pemerintah Yunani.
Semua data disajikan oleh Peneliti melalui langkah-langkah pengolahan
data seperti pengumpulan informasi dari berbagai sumber data, reduksi data dengan
memilih informasi yang sesuai dengan ruang lingkup penelitian, penyajian data
penelitian baik dalam bentuk uraian penjelasan lewat kata-kata, tabel ataupun
grafik, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan.
1.8 Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian ini akan disusun dalam empat bab. Bab pertama berisi
pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian beserta pendekatan metodologis,
termasuk kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisis pengaruh agenda
politik anti-imigrasi Golden Dawn. Selanjutnya, Bab kedua akan membahas
mengenai hubungan antara proses integrasi Uni Eropa dan imigrasi Yunani,
perkembangan imigrasi di Yunani, kebijakan imigrasi Yunani, dan sentimen negatif
terhadap imigran di Yunani. Bab ketiga akan membahas mengenai latar belakang,
25
agenda politik, dan peningkatan dukungan suara Partai Golden Dawn. Penelitian
ini kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang ditulis pada Bab keempat.
Download