BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi ancaman terhadap kawasan pesisir pantai di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ancaman ini lebih disebabkan karena semakin meningkatnya suhu bumi yang menyebabkan mencairnya es di kutub dan pada akhirnya meningkatkan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut tersebut menyebabkan berbagai bencana di kawasan pesisir pantai seperti banjir rob, abrasi dan gelombang besar yang bisa merusak harta, benda bahkan jiwa. Bukan hanya itu saja ancaman terbesar di pesisir pantai adalah gelombang besar tsunami yang bisa meluluhlantahkan daratan. Kawasan Bantul Selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang setiap tahun terjadi bencana gelombang besar dan abrasi. Gelombang tsunami yang pernah terjadi di kawasan ini terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 sedangkan abrasi terjadi setiap tahun. Ancaman bencana tersebut telah mengikis sebagian besar daratan di pinggir pantai. Kejadian itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali saja tetapi bencana abrasi selalu terjadi setiap tahun dengan menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakatnya termasuk di Masyarakat Samas. Abrasi adalah pengikisan tanah yang disebabkan oleh gelombang air laut. Pengikisan ini biasanya disebabkan oleh angin besar dan naiknya permukaan air laut. Abrasi di kawasan Pantai Samas termasuk yang paling parah dibandingkan dengan pantai-pantai di kawasan Bantul Selatan karena 1 lebih disebabkan tersendatnya laguna atau kawasan muara Sungai Opak di sekitar pantai. Keadaan ini menyebabkan air sungai tidak bisa masuk ke laut. Ketika air laut tidak bisa bertemu dengan air Sungai Opak maka muara Sungai Opak berpindah ke kawasan pemukiman sehingga air laut mudah masuk ke daratan. Hal ini diperparah dengan saat air laut pasang waktu bulan purnama. Abrasi yang terjadi di kawasan pantai ini terjadi mulai sekitar tahun 2000-an, ketika dunia menyoroti efek dari rumah kaca dan mulai berdampak parah pada lima tahun terakhir ini di Pantai Samas. Dampak umum dari sebuah bencana dan berpengaruh di antaranya adanya kematian, korban luka-luka, kerusakan, dan kehancuran harta benda. Dampak parah lainnya akibat bencana alam adalah kerusakan dan kehancuran sumber mata pencaharian dan hasil-hasil pertanian, gangguan pelayanan khusus, kerusakan infrastuktur, gangguan sistem, pemerintahan, kerugian ekonomi. Akibat lain dari bencana yang sulit untuk dihilangkan adalah dampak sosiologi dan psikologi. Abrasi yang terjadi di kawasan pantai selatan saat ini telah membawa dampak yang besar berupa kerugian materi yakni rumah rusak dan terbawa arus ke laut. Kerugian akibat bencana abrasi tersebut antara lain adalah dengan rusak dan hilangnya bangunan rumah karena terseret arus abrasi. Ada sekitar 21 bangunan milik pemerintah dan warga yang hilang dan rusak terkena abrasi pantai tersebut. Bangunan rumah milik warga ada sekitar 19 rumah hilang dan terancam sedangkan dua milik pemerintah yakni bangunan tempat pelelangan ikan dan balai konservasi perlindungan penyu laut. Rumah milik warga yang hilang dan terseret abrasi sebagian besar adalah warung kelontong dan tempat tinggal sehingga warga 2 masyarakat yang terkena efek abrasi tersebut harus mengungsi ke tempat saudara ataupun pindah ke daerah lain. Jumlah warga yang mengungsi karena bencana abrasi tersebut ada sekitar 50 an orang.1 Semua bangunan yang terkena abrasi tersebut terseret arus ke tengah laut dan hilang. Selain itu ada beberapa rumah warga yang terancam akibat abrasi tersebut. Dampak lain dari terjadinya bencana abrasi ini adalah daratan bergeser dan berubah menjadi laut sekitar 500 meter dari bibir pantai awal sehingga mengancam rumah warga yang lain. Bergesernya daratan itu juga ada dampak dalam bidang pertanian yakni menyebabkan terendamnya lahan pertanian yang biasanya ditanami padi seluas sekitar empat hektar di sekitar timur pemukiman penduduk Samas. Akibatnya masyarakat tidak bisa bertani di lahan pertanian biasa dan terpaksa mereka berladang di lahan pasir yang kurang subur dan produktif. Abrasi juga telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Pantai Samas yang mayoritas mata pencahariannya sebagai nelayan. Sebagai daerah yang mayoritas sebagai nelayan mereka juga tidak bisa pergi mencari ikan di pantai dikarenakan kapal pencari ikan juga rusak terkena dampak abrasi tersebut. Kalaupun dipaksakan untuk melaut hasilnya pun juga sedikit dan tidak maksimal. Dalam hal ini para nelayan di kawasan Pantai Samas ketika terjadi abrasi dan ingin pergi mencari ikan maka melakukan adaptasi seperti mengatur waktu yang tepat saat melaut dan disesuaikan dengan perhitungan musim ikan sesuai dengan kepercayaan dan kebudayaan setempat. Dan apabila terpaksa tidak melaut maka 1 Data abrasi Pantai Samas oleh BPBD Kabupaten Bantul per September 2013 3 mereka beralih kembali ke pekerjaan lain seperti bertani atau berladang. Nelayan yang tidak bisa melaut karena abrasi pantai ini mencapai 40 orang dan mereka semua adalah kepala keluarga atau tulang punggung ekonomi keluarga. Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa jika mereka tidak bisa melaut maka berdampak pada ekonomi keluarga dan pada akhirnya ke ekonomi masyarakat. Selain itu abrasi juga menimbulkan dampak sosial yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat tidak jarang berakibat juga pada struktur sosial. Dampak tersebut antara lain adalah terganggunya kehidupan mereka seperti kegitan sosial, ekonomi dan budaya karena hilang dan rusaknya rumah mereka, sehingga mereka terpaksa mengungsi dan menumpang di rumah saudara atau tetangga bahkan pergi merantau atau berpindah ke daerah lain. Mereka juga harus hidup dengan meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang tinggi. Nilai dan norma sosial yang ada dalam masyarakat juga terpengaruh dan harus disesuaikan dengan kondisi alam sehingga mengakibatkan perubahan sosial di dalam masyarakat. Bencana abrasi juga berpengaruh terhadap sistem sosial seperti terganggunya aktivitas sosial dan jaringan sosial baik itu dalam Masyarakat Samas sendiri maupun dengan masyarakat luar. Pantai Samas yang terkenal pula dengan kawasan wisata keindahan pantai, dengan adanya abrasi tersebut juga mengakibatkan pada menurunnya pendapatan warga-warga sekitar sebagai pedagang warung dalam berjualan karena minimnya pengunjung dan terpaksa mereka juga harus mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Bencana abrasi juga menimbulkan adanya disorganisasi sosial , disintegrasi sosial dan bisa mengarah pada konflik terkait dengan bantuan 4 bencana dan ketidakjelasan status tanah yang ditempati karena merupakan sultan ground dan warga hanya mempunyai hak untuk menempatinya bukan hak milik. Situasi dalam bencana tersebut disebabkan karena dalam keadaan bencana alam sering terjadi situasi kepanikan dan individualisme antar warga yang terkena bencana yang mengarah pada situasi chaos atau kekacauan. Kondisi ini disebabkan karena adanya sikap-sikap asosial dari masyarakat yang langsung terdampak dan tidak bisa beradaptasi dengan bencana ini. Sikap asosial tersebut mengarahkan masyarakat kepada konflik sosial karena adanya kesenjangan sosial antara korban terdampak langsung dengan korban tidak terdampak langsung. Kesenjangan sosial tersebut pada akhirnya akan menghilangkan budaya asli masyarakat yakni sikap sosial dan gotong royong. Memang bencana alam adalah sebuah kejadian yang tidak bisa ditolak kedatangannya tetapi bisa diantisipasi dan diminimalisir dampaknya. Kawasan Pantai Samas sebagai daerah terparah terkena abrasi atau erosi oleh air laut di antara daerah pantai lainnya di kawasan Pantai Selatan Bantul. Sebagai masyarakat yang cukup lama mendiami kawasan pantai tersebut tentunya banyak cara yang dilakukan untuk bisa hidup berdampingan dengan abrasi tersebut. Setiap komunitas masyarakat mempunyai macam kebudayaan tersendiri termasuk masyarakat di kawasan ini. Kebudayaan memberikan apa saja yang menjadi atribut seseorang tanpa pilihan aktif dan sadar dari yang bersangkutan. individuindividu berkumpul membentuk komun-komun yang merupakan bentuk awal dari sebuah masyarakat. Selanjutnya masyarakat ini berinteraksi, bekerja dan mencipta atau yang disebut sebagai proses belajar dan melahirkan apa yang dinamakan 5 kebudayaan dalam berbagai wujudnya.2 Kebudayaan yang ada dalam masyarakat tersebut akan menyebabkan munculnya pola perilaku masyarakat untuk bisa hidup berdampingan dan beradaptasi dengan bencana alam di sekitarnya termasuk yang dilakukan oleh warga masyarakat pesisir Pantai Samas dalam menghadapi abrasi yang setiap tahun melanda wilayahnya. Setiap komunitas masyarakat mampu mengembangkan budayanya masingmasing sebagai modal sosial masyarakat tersebut dalam mensiasati kondisi yang melingkupinya. Budaya yang dikembangkan dalam Masyarakat Samas adalah budaya melaut. Budaya melaut identik dengan budaya larung sesaji tanda syukur terhadap Tuhan atas hasil yang didapatkan di laut. Budaya ini sebenarnya pada awalnya tidak ada dikarenakan adanya mitos dari penguasa pantai selatan. Masyarakat Samas pada awalnya seperti kebanyakan budaya masyarakat lain di perdesaan yakni budaya tani. Namun karena semakin menyempitnya lahan pertanian dan hasil yang didapatkan dari budaya tani sangatlah sedikit maka Masyarakat Samas beralih ke budaya melaut. Tetapi dengan terjadinya abrasi di kawasan pantai ini membuat masyarakat tidak bisa melaut lagi dan harus beralih ke pekerjaan lain yang hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan beradaptasi dengan kondisi alam saat terjadi bencana. Setiap masyarakat mempunyai budaya sendiri dalam “bergaul” dengan lingkungan alamnya. Manusia dan alam akan menjadi sebuah kesatuan yang saling mempengaruhi. Masalah menjadi muncul ketika ada perubahan besar (seperti bencana alam) yang terjadi pada lingkungan alam sekitar manusia dan 2 Wianti KF. “Manusia, Budaya dan Lingkungan” (Handout Lab Pelestarian Alam Jurusan Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM, 2006) Halaman 4 6 kehidupannya. Dalam hal ini Giddens juga melakukan eksplorasi mengenai hubungan-hubungan antara perseorangan dengan tatanan sosial melalui situasisituasi kritis (termasuk bencana) dimana kehidupan sehari-hari terganggu secara dramatis.3 Masyarakat sebenarnya mempunyai cara berpikir dan bertindak sendiri dalam “bergaul” dengan alam. Cara tersendiri tersebut didukung oleh pengamatan, pengalaman dan pengendapan masyarakat dalam mensiasati lingkungan dimana mereka hidup. Tidak banyak diungkap dalam sejarah bahwa masyarakat tertentu mempunyai “cara” tersendiri dalam memandang gejala dan tanda alam di dekatnya. Kalaupun ada, atau pernah ada, tentunya perlu dicari keotentikannya dan perlu diidentifikasi bentuk maupun status pemberlakuannya. Bencana abrasi memang sudah terjadi rutin dan dalam waktu yang lama sehingga masyarakat di sana sudah mulai bisa beradaptasi dengan bencana tersebut. Adaptasi mata pencaharian saat terjadi abrasi adalah dengan cara memanfaatkan laguna muara sungai yang menyebabkan abrasi dengan menjadikannya sebagai tempat rekreasi kapal dan memancing sehingga bisa menarik wisatawan lebih banyak. Selain itu di lahan yang terkena abrasi mereka juga bergotong royong untuk membuat tambak ikan dan bahkan dengan fasilitas dari pemerintah mereka membuat garam yang sebelumya belum pernah ada. Adaptasi mata pencaharian masyarakat ketika tidak bisa melaut adalah dengan cara kembali lagi kepada budaya lama yakni budaya bertani. Walaupun bertani hasilnya tidak sebesar saat melaut, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pola adaptasi yang dilakukan masyarakat pantai 3 Syamsul Maarif, “Bencana dan Penanggulangannya Tinjauan dari Aspek Sosiologis” (Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana Vol 1 No.1, 2010) Halaman 3 7 selatan seperti penanaman pohon cemara udang kemudian membiarkan gumuk pasir sebagai pencegah abrasi ternyata tidak cukup karena abrasi yang terjadi cukup besar dan dampaknya juga besar terhadap masyarakat. Abrasi telah memaksa warga masyarakat agar terseleksi secara alami untuk bisa bertahan hidup dengan alam. Masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau bertahan dengan adaptasi tersebut akan keluar dari sistem sosial tersebut dan kebanyakan dari mereka adalah melakukan migrasi atau merantau ke daerah lain yang lebih aman dan nyaman. Lebih lanjut perlu dibuktikan bahwa cara adaptasi tersebut menjadi pengetahuan yang tetap ditransfer pada generasi lebih lanjut dari masyarakat tersebut. Menurut Durkheim bahwa adaptasi ekologis masyarakat terhadap perubahan iklim dan bencana merupakan bentuk dari fakta sosial. Fakta sosial adalah istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya.4 Sedangkan menurut Weber bahwa setiap individu melakukan tindakan sosial sendiri-sendiri. Weber membagi tindakan sosial tersebut menjadi empat yakni tindakan sosial tradisional, tindakan afektif, tindakan rasional instrumental 4 http://web.unair.ac.id/admin/download.php?id=file/f_3285_EmileDurkheimTokohBesarPemikirT eoriSosiologiKlasik.pdf Halaman 11 diakses tanggal 07 Februari 2014 Pukul 22.00 WIB 8 dan tindakan rasional berorientasi pada nilai.5 Dari kedua tokoh besar sosiologi tersebut jika diterapkan dalam adaptasi Warga Samas terhadap abrasi maka tidak sepenuhnya benar dikarenakan dalam Masyarakat Samas ada kategori-kategori yang ditemukan dan tidak sepenuhnya merujuk pada satu kelompok Warga Samas secara keseluruhan sehingga ada perilaku adaptasi kelompok dan ada pula perilaku adaptasi individual seperti yang diungkapkan oleh Weber. Adaptasi diperlukan agar masyarakat mampu bertahan hidup baik dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Hal ini sangat penting karena bencana alam termasuk abrasi mempengaruhi keadaan struktur sosial di dalam masyarakat seperti mata pencaharian dan sistem kemasyarakatan lainnya. Dari sudut pandang sosiologi perhatian tentang bencana akan mengarah kepada bagaimana celah empiris menilai proses pembangunan yang dapat menimbulkan bencana, terjadinya disorganisasi sosial, struktur ketidaksetaraan dan jaringan, aktualisasi kerentanan sistem sosial, interaksi sosial yang mengarah kepada konflik, sistem kepercayaan/ agama dan local wisdom terhadap kehadiran bencana dan lain-lain termasuk cara beradaptasi masyarakat terhadap bencana alam itu sendiri.6 Abrasi memang membawa dampak terhadap struktur sosial masyarakat, oleh sebab itu diperlukan tindakan nyata dari seluruh komponen masyarakat di dalamnya. Pemerintah juga terkesan lambat dalam penanganan masalah tersebut 5 Anthony Giddens, “Kapitalisme dan Teori Sosial Modern”. (Universitas Indonesia Press, 2009) halaman 188. 6 Syamsul Maarif. Op. cit. Halaman 2 9 dikarenakan status kepemilikan tanah yang ditempati oleh masyarakat tersebut milik kraton yang memang butuh perijinan kraton untuk relokasi tanah. Abrasi tersebut jika dibiarkan akan semakin menggerus garis pantai dan menghilangkan bibir pantai sehingga bisa mengancam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lainnya. Pola adaptasi masyarakat masih sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana itu sendiri. Masalah lain dalam adaptasi ini adalah pengetahuan atau knowledge masyarakat tentang adanya bencana abrasi sehingga dalam beradaptasi masyarakat hanya tergantung pada budaya lokal yang dimiliki. Untuk mengatasi masalah tersebut harus ada lembaga sosial yang memberikan sosialisasi tentang adaptasi dan mitigasi bencana abrasi di Pantai Samas. Fokus peneliti dalam penelitian ini adalah memahami pola adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap bencana dan dibagi menjadi tiga yakni pra bencana, saat terjadi bencana dan pasca bencana abrasi. Pola adaptasi tersebut menyangkut kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang ada di kawasan pantai tersebut. B. Pertanyaan Penelitian Dari uraian latar belakang di atas maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta ? 10 C. Tujuan Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Untuk mengidentifikasi aspek dan mekanisme masyarakat dalam melakukan pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta D. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah teori adaptasi penanggulangannya yang berkaitan seperti teori dengan adaptasi abrasi ekologis dan Emile Durkheim dan teori tindakan rasional Mark Weber yang sepenuhnya tidak benar jika diterapkan bagi Masyarakat Samas. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan dan bagi pengembangan ilmu sosiologi terutama mengenai kajian kehidupan sosial dalam masyarakat. c. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian yang relevan selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Universitas Gadjah Mada 11 Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah bagi mahasiswa mengenai pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta b. Bagi Peneliti 1) Memberikan bekal pengalaman untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan selama di bangku kuliah ke dalam karya nyata. 2) Mengetahui pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta c. Bagi Masyarakat Umum Diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan mengaplikasikan pola adaptasi masyarakat terhadap abrasi pantai di kawasan Pesisir Samas Bantul Yogyakarta sehingga bisa hidup berdampingan dengan bencana alam. E. Teorisasi Adaptasi Tentang adaptasi, Hardesty mengemukakan bahwa: “Adaptation is the process through which beneficial relationships are established and maintained between an organism and its environment”.7 Sehingga dapat diartikan bahwa adaptasi adalah sebuah proses menguntungkan yang dibangun dan dipelihara antara organisme dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Ini berarti bahwa adaptasi harus selalu dijaga dan terus menerus dibangun serta ditingkatkan 7 Budi Gunawan. “Kenaikan Muka Air Laut dan Adaptasi Masyarakat” (Handout Disajikan dalam “Seminar Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global, Dampak Kenaikan Muka Air Laut Pada Kota-Kota Pantai di Indonesia” halaman 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman –Indonesia dan Building Research Institute-Jepang. Bandung, 19-20 Maret 2001. 12 kemampuannya. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) mendefinisikan bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahanperubahan lingkungan dan sosial.8 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan tersebut terkadang bukan atas kehendak dari organisme tetapi adalah kehendak alam yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi di mana adaptabilitas berlangsung/terjadi. Ekosistem merupakan tempat dimana organisme hidup dan tinggal dalam wilayah tertentu termasuk keberadaan populasi manusia. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas akan sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan (mungkin) membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Sahlins menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan populasi manusia berubah terus.9 Proses adaptasi juga sangat dipengaruhi oleh faktor internal masyarakat itu sendiri dan faktor eksternal masyarakat. Faktor internal berasal dari dalam diri sendiri seperti pengetahuan dan pengalaman sedangkan faktor eksternal berasal dari bantuan atau fasilitas yang disediakan masyarakat lain. 8 Loc. cit 9 Loc.cit 13 Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya interrelasi antara manusia dan lingkungan. Hubungan ini menyebabkan bahwa manusia harus senantiasa memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks ini, pendekatan human ecology menekankan/menunjukan adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingkungan fisik dan sistem-sistem sosial/budaya. Model sistem human ecology memperlihatkan keterkaitan antara sistem sosial (masyarakat/budaya) dan sistem ekologi yang mencakup perpindahan energi, materi, dan informasi, dari satu sistem ke sistem lain dan di antara komponen dari masing-masing sistem. Dalam hubungan yang saling terkait ini, perubahan pada satu komponen akan menyebabkan perubahan pada komponen lain dan sebaliknya.10 Komponen-komponen tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan sistem sosial di masyarakat termasuk adaptasi terhadap terjadinya bencana alam. Uraian di atas menunjukkan pula bahwa dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar, manusia menggunakan kebudayaan. Kebudayaan menjadi penentu masyarakat dalam menentukan ke arah mana lingkungan akan dibawa. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, kebudayaan didefinisikan secara beragam, tergantung dari perspektif yang digunakan. Namun demikian, secara keseluruhan terdapat beberapa perspektif dalam melihat kebudayaan, misalnya kebudayaan dilihat sebagai sistem yang saling berkaitan secara fungsional, sebagai sistem simbol, sebagai sistem kognitif, atau sebagai sistem adaptif, dan sebagainya. Sistem-sistem tersebut digunakan 10 Loc.cit 14 masyarakat untuk menjaga diri agar bisa bertahan hidup termasuk dari ancaman bencana alam yang bisa menimbulkan kerusakan alam. Dalam konteks interaksi dengan lingkungan, sebagaimana diindikasikan di atas, perspektif yang tampaknya sesuai untuk dipakai dalam mengartikan kebudayaan adalah perspektif yang melihat kebudayaan sebagai sistem adaptif (culture as adaptive system). Sistem adaptasi berkembang melalui kebudayaankebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Dalam perspektif ini, kebudayaan (budaya) didefinisikan/diartikan sebagai ekspresi adaptasi manusia terhadap setting lingkungannya. Berkaitan dengan perspektif ini, secara umum ada empat gagasan yang terkandung tentang bagaimana kebudayaan berkembang dan mengapa berubah.11 1. Kebudayaan adalah sistem yang menghubungkan kelompok manusia terhadap setting lingkungan mereka. 2. Perubahan kebudayaan adalah suatu cara adaptasi, suatu proses yang dilakukan individu-individu dalam merespon kondisi yang berubah. 3. Pusat/sentral dari adaptasi budaya adalah teknologi, aktifitas-aktifitas subsistensi, dan cara-cara mengorganisasikan masyarakat untuk kegiatan produksi. 4. Gagasan-gagasan yang mendikte perilaku budaya, seperti kepercayaankepercayaan yang berkaitan dengan keagamaan, dapat memiliki kegunaankegunaan adaptif. 11 Loc. cit 15 Gagasan tentang bagaimana kebudayaan berkembang dan mengapa berubah seperti di atas, tampak jelas misalnya dalam pandangan cultural materialis (materialisme budaya)12, yang melihat bahwa struktur universal dari kebudayaan terbagi menjadi tiga: infrastruktur, struktur, dan suprastruktur. Struktur universal yang pertama adalah infrastruktur. Aspek yang termasuk ke dalam kategori infrastruktur adalah aspek mode produksi (mode of production), yang mencakup di antaranya sistem teknologi dan praktik-praktik yang diterapkan untuk memperluas atau membatasi sistem produksi subsisten (mata pencaharian) yang mendasar, khususnya tentang bagaimana masyarakat memproduksi makanan dan bentuk-bentuk energi lainnya, yang sesuai dengan kendala dan oportunitas yang disediakan oleh sistem teknologi produksi yang dimiliki dalam interaksinya dengan suatu habitat tertentu. Sistem produksi di wilayah perdesaan terutama di kawasan pesisir tentunya berbeda dengan kawasan perkotaan. Perbedaan tersebut antara lain bahwa cenderung mode produksi di kawasan perdesaan terkesan lebih sederhana daripada di kawasan perkotaan seperti jalan, jembatan, sistem mata pencaharian dan sebagainya. Sistem mata pencaharian dan teknologi produksi yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat dalam interaksinya dengan habitat tertentu memperlihatkan bahwa setiap masyarakat dapat memiliki sistem yang berbeda dari masyarakat lainnya yang hidup di suatu habitat/ekosistem yang berbeda, misalnya masyarakat dengan sistem mata pencaharian nelayan, berburu dan meramu, peladang berpindah, petani sawah, petani lahan kering, dan sebagainya. 12 Harris Marvin, “Cultural Materialism” (Thomas Y. Crowell, 1980) Halaman 54 16 Sesuai dengan sistem mata pencaharian yang dikembangkan, maka teknologi produksi yang dimilikipun akan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Teknologi tersebut biasanya disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya misal di kawasan pantai maka teknologi yang digunakan adalah kapal, jaring, tempat ikan dan sebagainya. Hal ini berbeda jika teknologi yang digunakan di wilayah perkotaan atau industri biasanya mereka menggunakan alat-alat mesin yang tentunya menghasilkan lebih banyak produksi. Selain mode produksi, dalam kategori ini, tercakup juga aspek mode reproduksi (mode of reproduction), yaitu teknologi dan praktik yang diterapkan untuk mengembangkan, membatasi, atau memelihara jumlah penduduk (aspek kependudukan). Dalam adaptasinya terhadap lingkungan, masyarakat akan mengembangkan cara-cara tentang bagaimana mereka mengontrol jumlah penduduk agar kelangsungan hidupnya dapat terjamin. Dalam masyarakat yang semakin kompleks, jumlah penduduk seringkali tidak terkontrol dengan mekanisme yang ada sementara kemajuan teknologi produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan survival masyarakat yang makin beragam. Dalam kondisi seperti ini, faktor kependudukan menjadi sangat berpengaruh terhadap kondisi/kelangsungan lingkungan/habitat tempat tinggal manusia/masyarakat yang bersangkutan. Struktur sosial, yang termasuk ke dalam kategori adaptasi struktur sosial adalah sistem ekonomi domestik (domestic economy), yaitu cara-cara pengorganisasian aspek produksi dan reproduksi, konsumsi, dan lain-lain di lingkungan rumah tangga atau setting domestik lainnya. Dalam masyarakat 17 nelayan, misalnya, akan terdapat sistem-sistem pembagian kerja di antara mereka dalam usaha penangkapan ikan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Misalnya antara Juragan pemilik perahu, juru mudi, dan para awak perahu. Pembagian kerja ini memiliki implikasi pada sistem pembagian hasil, dan sebagainya. Pembagian kerja ini biasanya disebut dengan stratifikasi sosial sehingga ada juga pembagian kelas sosial yang berbeda-beda. Pembagian kelas sosial dalam masyarakat perdesaan lebih cenderung tidak ada karena memang dalam masyarakat perdesaan ketimpangan dan kesenjangan sosial antara satu penduduk dengan penduduk lainnya tidak jauh mencolok. Struktur universal yang ketiga adalah suprastruktur, yang termasuk ke dalam kategori adaptasi suprastruktur adalah seni, musik, sastra, upacara/sistem nilai atau norma, pengetahuan, dan sebagainya. Kategori ini menonjolkan aspek kognitif yang berkembang/ada di masyarakat. Sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge), misalnya, adalah aspek yang menunjukkan kognisi masyarakat tentang sesuatu yang di antaranya berkaitan dengan setting lingkungan/habitat tempat tinggal manusia/masyarakat. Contoh lain misalnya adalah sistem kepercayaan masyarakat nelayan terhadap “penguasa” laut yang diwujudkan dalam upacara-upacara persembahan sesaji seperti upacara petik laut. Suprastruktur inilah yang mempengaruhi kemampuan adaptasi warga masyarakat Samas dari dalam masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan pengertian bahwa kebudayaan adalah ekspresi adaptasi manusia terhadap lingkungannya, dalam perspektif ini, khususnya perspektif materialisme budaya, variabel infrastruktur (sistem subsistensi/sistem mata 18 pencaharian dan teknologi) merupakan faktor penyebab utama terjadinya perkembangan dan perubahan kebudayaan secara keseluruhan. Contoh: pada masyarakat nelayan, sistem mata pencaharian menangkap ikan (infrastruktur) akan mempengaruhi cara-cara masyarakat melakukan pembagian kerja di lingkungan keluarga maupun di masyarakat yang lebih luas (struktur), dan akan mempengaruhi sistem nilai/norma atau pengetahuan yang berlaku di masyarakat (suprastruktur). Berdasarkan contoh ini, upacara-upacara memberikan sesaji kepada ‘penguasa’ laut seperti Ratu Kidul atau yang lebih dikenal sebagai Nyi Roro Kidul oleh masyarakat pantai selatan atau cara pembagian kerja di antara nelayan seperti antara juragan perahu dan buruh nelayan, berkembang disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan di laut. Apabila sistem mata pencaharian nelayan atau sistem teknologinya berubah, misalnya dari cara dan teknologi yang sederhana ke cara dan teknologi yang maju dengan digunakannya alat-alat penangkapan ikan yang canggih atau apabila sistem mata pencaharian berubah total menjadi bukan kegiatan nelayan karena terjadi perubahan lingkungan, maka perubahan yang terjadi seperti ini akan menyebabkan perubahan pada aspek struktur dan suprastruktur berupa perubahan pada cara-cara pembagian kerja atau sistem kepercayaan yang berlaku. Berdasarkan contoh di atas, diperlihatkan bahwa bila lingkungan, misalnya kawasan pantai, berubah maka kebudayaan masyarakat akan mengalami perubahan; masyarakat akan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan yang berubah sebagai upaya mengadaptasikan diri. Akan ada 19 penyesuaian budaya (cultural adjustment) yang memungkinkan manusia merespon secara cepat kepada perubahan-perubahan di lingkungannya.13 Sebaliknya, bila terjadi perubahan dalam kebudayaan, misalnya karena terjadi perubahan pada peralatan teknologi penangkapan ikan, perubahan ini akan mempengaruhi keberadaan lingkungan di sekitarnya. Gambaran-gambaran seperti ini, menunjukkan bagaimana hubungan saling terkait (interplay) antara komponen sosial/budaya dan lingkungan berlangsung/terjadi. Adaptasi dapat diartikan sebagai upaya menyesuaikan sistem-sistem ekologi, sosial, dan ekonomi terhadap perubahan karakteristik lingkungan yang muncul sebagai dampak atau konsekuensi dalam perubahan iklim.14 Perubahan iklim telah membawa banyak perubahan pada sistem fisik masyarakat dan pada akhirnya membawa perubahan pada sistem sosial kemasyarakatan itu sendiri. Adaptasi terhadap bencana alam biasanya dilakukan oleh masyarakat yang terikat dalam sebuah sistem sosial, ekonomi dan lingkungan. Adaptasi masyarakat adalah kompleks, karena bukan hanya melibatkan nilai-nilai dan norma-norma sosial serta pengetahuan lokal tetapi juga membutuhkan pengetahuan ilmiah dan seringkali membutuhkan intervensi luar.15 Pengelolaan bencana merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk dapat meningkatkan atau menciptakan suatu kondisi yang lebih stabil dari sebelumnya ketika bencana terjadi, pengelolaan didefinisikan sebagai suatu 13 Moran Emilio Fi, “Human adaptability An Introduction to Ecological Anthropology” (Westview Press, 1982) Halaman 44 14 Sunyoto Usman. 2013. Adaptasi Perubahan Iklim. Yogyakarta: Diktat Mata Kuliah Teori Sosiologi I (Klasik dan Modern) halaman 1 15 Loc.cit 20 aktivitas, seni, cara, gaya, mengorganisasikan, kepemimpinan, pengendalian dalam mengendalikan atau mengelola kegiatan yang bersifat berkelanjutan.16 Suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management circle) ada dua kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/ emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan dissaster mitigation (mengurangi dampak bencana) ada juga yang menyebut istilah dissaster reduction sebagai perpaduan disaster mitigation dan dissaster preparedness. 17 Tindakan adaptasi bisa bersifat spontan, tanpa direncanakan (utomomous) dan dapat pula berupa tindakan yang dibingkai oleh pertimbangan atau nalar tertentu (planned). Adaptasi yang tanpa direncanakan lazim mengandalkan aset dan kapabilitas yang dimiliki sendiri.18 Adaptasi ini lazim bereferensi pada pengetahuan lokal atau yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Adaptasi yang tanpa direncanakan oleh masyarakat antara lain adalah kemampuan membaca tanda-tanda bencana alam dengan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (local knowledge). Tindakan adaptasi berkategori spontan yang sering juga dilakukan oleh masyarakat Pantai Samas adalah tindakan menjauhi bibir pantai karena abrasi 16 Rony Purnomo. “Manajemen Bencana, Respon Dan Tindakan Terhadap Bencana”. (Media Presindo:2010) halaman 23 17 Pribadi dan Gde Widyadinyara Melati. “Mitigasi Bencana”. (ITB:1996) halaman 45 18 Sunyoto Usman. Op. cit. halaman 3 21 yang besar. Respon ini dilakukan karena sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki (autonous adaptations). Respon ini biasanya tidak sistematis dan tidak tuntas karena meninggalkan dan menyisakan masalah (residual or net impacts) dikarenakan pengetahuan yang tidak cukup dan tidak cukup untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Tindakan adaptasi spontan yang lain adalah seringkali masyarakat karena rasa penasaran nya seringkali mendekati daerah yang menjadi sumber bahaya besar. Oleh karena itu diperlukan respon kebijakan bagi pemangku kepentingan yakni dengan cara memberikan mitigasi secara terencana dan terarah kepada masyarakat. Sedangkan adaptasi yang direncanakan (planned) lazim dilandasi oleh pertimbangan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada saat ini sekaligus yang diperkiran muncul di depan. Pertimbangan semacam itu diharapkan dapat memberi kepastian. Jalan pikiran tersebut juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi respon kebijakan dan mitigasi dari segi atribut-atribut yang lain.19 F. Review Studi-Studi Terdahulu Terkait Adaptasi Studi tentang adaptasi yang pertama adalah studi tentang adaptasi masyarakat kawasan pesisir terhadap banjir rob di kawasan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Propinsi Jawa Tengah. Studi adaptasi ini dilakukan oleh Bayu Trisna Desmawan dan Drs. Sukamdi, M.Sc. dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Penelitian ini untuk mengetahui adaptasi masyarakat kawasan pesisir di Kecamatan Sayung terhadap banjir rob. Dari data yang dikumpulkan 19 Loc.cit 22 serta dianalisis secara deskriptif diketahui bahwa daerah pesisir di Kecamatan Sayung yang terkena banjir rob pada ketinggian 0,25 meter adalah Desa Sriwulan, Desa Surodadi, Desa Bedono dan Desa Timbulsloko. Banjir rob memberikan dampak besar bagi masyarakat pesisir Pantai Demak. Dampak banjir rob terhadap masyarakat antara lain kerusakan bangunan tempat tinggal, salinitas air tanah, kerusakan lahan tambak, dan, kehilangan lahan, serta kerusakan pada kendaraan atau peralatan kerja. Respon masyarakat terhadap banjir rob yang terjadi yakni masyarakat tetap tinggal dan pindah atau mengungsi. Adaptasi dilakukan pada bangunan tempat tinggal, ketersediaan air bersih dan pada lahan tambak. Adaptasi pada bangunan tempat tinggal yaitu meninggikan lantai rumah, meninggikan rumah dan atapnya, membuat tanggul, membuat saluran air. Adaptasi pada ketersediaan air bersih yaitu menggunakan air bersih yang dipasok dari daerah lain, sedangkan adaptasi pada lahan tambak yaitu meninggikan tanggul, memasang jaring/waring dan penanaman bakau. Adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir Demak baru dilakukan secara swadaya dan belum ada bantuan dari pemerintah terutama Pemerintah Daerah Demak Propinsi Jawa Tengah. Sebagian besar adaptasi yang dilakukan oleh warga pesisir Demak adalah adaptasi fisik. Dari penelitian tersebut tidak disebutkan dan ditemukan adaptasi secara sosial. Adaptasi yang dilakukan lebih ke adaptasi fisik misalnya membangun tanggul. Kelemahan penelitian ini adalah lebih memfokuskan pada adaptasi secara fisik dan tidak berfokus pada adaptasi secara sosial sedangkan kelebihannya adalah fokus adaptasi fisik sudah mencakup banyak segi dan hal di dalam masyarakat pesisir Demak. Selain itu 23 penelitian ini hanya menggunakan studi deskriptif dan hanya menggambarkan adaptasi yang dilakukan masyarakat pesisir sehingga penelitian ini kurang mendalam dan hanya terlihat pada permukaan di masyarakat saja. Studi yang relevan kedua adalah Devita Elfira dari Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FIS Universitas Negeri Padang. Judul Penelitiannya adalah Strategi Adaptasi Transmigran Jawa Di Sungai Beremas (Studi Etnosains Sistem Pengetahuan Bertahan Hidup). Studi adaptasi ini antara lain alasan transmigran Jawa masih bertahan di Sungai Beremas adalah karena mereka yakin dengan masa depan mereka di daerah baru itu akan lebih baik dari pada kondisi yang mereka alami di daerah asal. Prinsip “sinten ingkang ndamel ngangge, sinten ingkang nanem ngunduh”.20 merupakan keyakinan untuk selalu berusaha dan tekun mengolah lahan di Sungai Beremas, karena mereka merasa yakin bahwa masa depan petani di Sungai Beremas akan lebih baik dari pada sekarang. Sistem pengetahuan dan strategi adaptasi lingkungan alam yang dikembangkan transmigran Jawa di Sungai Beremas adalah sebagai berikut: pertama, menanam tanaman yang bisa dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran terhadap kebutuhan makanan, merekonstruksi lahan tidak subur menjadi lahan produktif, membuka lahan datar menjadi sawah dengan tujuan agar mereka tidak membeli beras, dan menjadikan jagung sebagai makan pokok di samping beras. Kesemua itu bertujuan untuk mengurangi konsumsi beras. Kedua, memelihara binatang ternak 20 Filosofi Jawa yang berarti bahwa siapa yang menanam pasti akan memanen begitu juga siapa yang berbuat kebaikan maka kebaikan itu akan kembali pada diri nya sendiri 24 sapi milik orang dusun (orang Siulak) dan memelihara ayam milik sendiri secara tradisional. Ketiga, menjadi kuli kebun upahan pada masyarakat Jawa yang tinggal di Kayu Aro dan menjadi kuli sawah bagi masyarakat Siulak, serta merantau ke Muaro Bungo, Tebo, Bangko dengan menjadi kuli sawit pada masyarakat Jawa yang tinggal di sana. Temuan ini sangat penting dipahami sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti strategi adaptasi lingkungan sosial yang dilakukan transmigran Jawa di Sungai Beremas. Karena alasan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti maka penelitian ini hanya mengungkap strategi adaptasi transmigran Jawa dengan lingkungan alam Sungai Beremas saja. Selain itu temuan ini juga bisa digunakan oleh lembaga yang terkait dengan pengelolaan transmigrasi. Guna menemukan solusi berbagai permasalahan transmigrasi penduduk untuk mencapai tujuan transmigrasi yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat transmigran. Kelebihan dari penelitian ini sudah berfokus pada adaptasi masyarakat secara sosial masyarakat transmigran tetapi kelemahan penelitian ini masih kurang mendalam karena hanya menyangkut pada aspek sosial saja dan belum menyangkut pada budaya-budaya masyarakat yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Penelitian ini berfokus untuk mencari dan memahami mengenai pola adaptasi masyarakat Samas terhadap abrasi yang terjadi di kawasan pesisir pantai. Adaptasi tersebut berupa adaptasi ekologis dan adaptasi sosial. Adaptasi tersebut mencakup tiga hal yakni adaptasi pra abrasi, adaptasi saat terjadi abrasi dan adaptasi pasca abrasi. Proposisi yang terdapat dalam penelitian ini adalah adaptasi 25 yang dilakukan oleh warga masyarakat kawasan pesisir Pantai Samas dipengaruhi oleh kebudayaan lokal setempat, dengan kata lain bahwa budaya yang mereka miliki mempengaruhi pengetahuan mereka terhadap cara beradaptasi di kawasan pantai selatan tersebut. Selain itu cara mereka beradaptasi juga sangat dipengaruhi oleh adanya kearifan lokal (local wisdom) penduduk lokal setempat. G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif Etnografi. Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan terkait dengan nilai-nilai material maupun immaterial. Tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami nilai-nilai atas pandangan hidup dari sudut pandang penduduk yang berdiam di suatu sistem sosial tertentu. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara yang berbeda.21 Inti dari Etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa dan di antara makna yang diterima, banyak yang disampaikan hanya secara tidak langsung melalui kata-kata dan perbuatan22. Menurut Creswell, para ahli banyak menyatakan mengenai beragam jenis penelitian etnografi, namun Creswell sendiri membedakannya menjadi dua bentuk 21 Denzin dan Yvonna, “Handbook of Qualitative Research (Pustaka Pelajar, 2009) Halaman 328 22 James P.Spradley, “Metode Etnografi” (Tiara Wacana, 2007) Halaman 4-5 26 yang paling popular yaitu etnografi realis dan etnografi kritis. Penjelasannya sebagai berikut :23 1. Etnografi realis Etnografi realis mengemukakan suatu kondisi objektif suatu kelompok dan laporannya biasa ditulis dalam bentuk sudut pandang sebagai orang ketiga. Seorang etnografi realis menggambarkan fakta detail dan melaporkan apa yang diamati dan didengar dari partisipan kelompok dengan mempertahankan obyektivitas peneliti. 2. Etnografi kritis Dewasa ini populer juga etnografi kritis. Pendekatan etnografi kritis ini penelitian yang mencoba merespon isu-isu sosial yang sedang berlangsung misalnya dalam masalah gender/emansipasi, kekuasaan, status quo, ketidaksamaan hak, pemerataan dan lain sebagainya. Penelitian ini menggunakan Metode Etnografi jenis Etnografi Realis karena adaptasi yang dilakukan masyarakat Pantai Samas menggunakan konsep kebudayaan setempat dan menggunakan sudut pandang orang ketiga menggambarkan secara detail fakta apa yang diamati dan didengar partisipan kelompok dalam mempertahankan obyektifitas peneliti. Konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu seperti “adat” (custom) atau “cara hidup masyarakat”.24 23 John W Creswell., “Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five Approch “ (California: Sage Publications, 2007) halaman 69-70 24 Marvin Harris dalam James P spradley. Op. cit. Halaman 5 27 Peneliti dalam etnografi menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Pantai Samas adalah sebuah kebiasaan dan cara hidup yang membentuk pola. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai sebuah proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, sehingga peneliti memahami betul bagaimana kehidupan keseharian subjek penelitian tersebut (Participant observation, life history), yang kemudian diperdalam dengan indepth interview terhadap masing-masing individu dalam kelompok tersebut. Dengan demikian penelitian etnografi menghendaki etnografer /peneliti : (1) mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok dalam situasi budaya tertentu, (2) memahami budaya atau aspek budaya dengan memaksimalkan observasi dan interpretasi perilaku manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya, (3) menangkap secara penuh makna realitas budaya berdasarkan perspektif subjek penelitian ketika menggunakan simbol-simbol tertentu dalam konteks budaya yang spesifik.25 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Samas Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta karena dekat dengan tempat tinggal peneliti. Selain itu daerah ini sangat rawan dengan terjadinya bencana abrasi karena dekat dengan garis pantai yang membujur di selatan desa tersebut. Alasan lain peneliti memilih lokasi 25 Loc.cit 28 penelitian ini dikarenakan karena daerah wisata pantai ini merupakan daerah yang parah terkena dampak abrasi pantai di kawasan Bantul. 2. Kebutuhan dan Jenis Data Sumber data merupakan obyek dimana data-data diperoleh. Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.26 Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber Data Primer Sumber data primer merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti dari sumbernya tanpa ada perantara, dengan cara menggali sumber asli secara langsung melalui responden. Data-data tersebut diperoleh peneliti melalui wawancara maupun pengamatan langsung di lapangan. Data-data tersebut diperoleh dari tindakan dan kata-kata dari orang yang diwawancarai. Sumber data primer adalah kepala desa, ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), tokoh masyarakat, kepala desa, aparat desa dan warga masyarakat Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data tidak langsung yang mampu memberikan data tambahan serta penguatan terhadap 26 Norman Blaikie, “Designing Social Research” (Polity Press, 2000) Halaman 183 29 data penelitian. Sumber data sekunder ini diperoleh melalui dokumentasi dan studi kepustakaan dari buku-buku, internet yang relevan dengan studi adaptasi masyarakat serta catatan lapangan. Seorang peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan instrumen utama penelitian, sehingga ia dapat melakukan penyesuaian sejalan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif sangat tergantung pada ketelitian dan kelengkapan catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti. c. Informan Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah masyarakat Pantai Samas, Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul, dalam hal ini adalah perangkat desa, Pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) dan masyarakat umum. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sesuai dengan obyek penelitian sehingga data yang diperoleh mampu menjelaskan kebenaran obyek yang diteliti. Beberapa informan tersebut diharapkan dapat memberikan data yang akurat sehingga diperoleh data dari berbagai segi sesuai dengan kebutuhan. Peneliti memilih informan seperti Kepala Desa, Ketua RT, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk diwawancarai karena mereka selama ini yang menjadi pengayom, sesepuh atau pimpinan masyarakat yang mengetahui seluk beluk, asalusul, sebab-akibat adanya Pantai Samas dan abrasi yang terjadi di sana. 30 3. Prosedur Penelitian Menurut Spradley penelitian etnografi bersifat siklus, bukan bersifat urutan linear dalam penelitian ilmu sosial. Prosedur siklus penelitian etnografi mencakup enam langkah: (1) pemilihan suatu proyek etnografi, (2) pengajuan pertanyaan etnografi, (3) pengumpulan data etnografi, (4) pembuatan suatu rekaman etnografi, (5) analisis data etnografi, dan (6) penulisan sebuah etnografi.27 Uraian langkah tersebut antara lain : a. Pemilihan Suatu Proyek Penelitian Siklus dimulai dengan pemilihan suatu obyek etnografi. Langkah pertama peneliti etnografi adalah mempertimbangkan ruang lingkup dari penyelidikan mereka. Peneliti memilih Pantai Samas karena kawasan pantai yang terkena dampak parah abrasi dengan jumlah penduduk sekitar 150 orang. Ruang lingkup penelitian dapat berjarak berkelanjutan dari etnografi makro ke etnografi mikro. b. Pengajuan Pertanyaan Penelitian Pekerjaan lapangan etnografi dimulai ketika peneliti mulai mengajukan pertanyaan etnografi. Itu memperlihatkan bukti yang cukup ketika pelaksanaan wawancara, tetapi observasi yang sangat sederhana dan entri catatan lapangan pun melibatkan pengajuan pertanyaan. Dalam hal ini peneliti akan mengajukan pertanyaan etnografi ke masyarakat Pantai Samas 27 James P Spradley, Op cit halaman 8 31 1) Siapa yang terkena abrasi Pantai Samas ? 2) Apa dampak abrasi terhadap masyarakat ? 3) Apa yang mereka lakukan setelah terjadinya abrasi ? 4) Di mana mereka mengungsi ? 5) Bagaimana strategi adaptasi masyarakat terhadap abrasi ? Pertanyaan ini menuntun dan berkembang ke arah entri yang berbeda dalam catatan lapangan peneliti. Dalam format penelitian sosial yang paling umum, pertanyaan yang diajukan oleh peneliti cenderung datang dari luar pemandangan budaya. Para peneliti dari suatu pandangan budaya tertentu (ilmu sosial profesional) menggambarkan pada kerangka referensi. Peneliti untuk merumuskan pertanyaan kemudian memandang budaya yang lain untuk melakukan wawancara atau observasi. Tanpa merealisasikannya peneliti cenderung berasumsi bahwa pertanyaan dan jawaban merupakan unsur-unsur yang terpisah dalam pemikiran manusia. Pertanyaan selalu mengimplikasikan jawaban. Pertanyaan dari jenis apa pun selalu mengimplikasikan pertanyaan. Ini benar, bahkan ketika pertanyaan atau jawaban tidak dinyatakan. Dalam melakukan observasi partisipan untuk tujuan etnografi, sebaik mungkin, kedua pertanyaan dan jawaban harus ditemukan dalam situasi sosial yang terjadi di Pantai Samas. Terdapat tiga jenis utama pertanyaan etnografi, masing-masing mengarah pada jenis observasi yang berbeda di lapangan. Kemudian, setelah penggunaan jenis pertanyaan ini untuk menuntun observasi peneliti tentang keadaan Pantai Samas, dan setelah analisis data awal, Peneliti akan menggunakan “pertanyaan 32 struktural” dan “pertanyaan kontras” untuk penemuan. Ini akan membimbing peneliti membuat observasi lebih terfokus. Dalam sebuah etnografi, peneliti dapat mengajukan sub-sub pertanyaan yang berhubungan dengan (a) suatu deskripsi tentang konteks seperti deskripsi tentang adaptasi di Pantai Samas (b) analisis tentang tema-tema utama seperti adaptasi, dan (c) interpretasi perilaku cultural.28. Sebagai alternatif sub pertanyaan topikal ini dapat mencerminkan 12 langkah Spradley dalam Decision Research Sequencenya sebagai berikut29: 1) Apa situasi sosial yang akan diteliti? (Memilah suatu situasi sosial). Dalam hal ini situasi yang akan diteliti adalah situasi abrasi di Pantai Samas dan setelahnya serta dampak yang ditimbulkan. 2) Bagaimana seseorang melakukan observasi terhadap situasi abrasi tersebut? (Melakukan observasi partisipan) 3) Apakah yang sudah terekam tentang situasi abrasi tersebut? (Membuat rekaman etnografi tentang adaptasi di Pantai Samas) 4) Apakah yang sudah teramati tentang situasi tersebut? (Melakukan observasi deskriptif) 5) Apakah domain cultural yang muncul dari studi situasi tersebut? (Melakukan analisi domain) 6) Apakah lebih spesifik, observasi terfokus dapat dibuat? (Melakukan analisis taksonomi) 28 John W Creswell. “Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five Approach”. (Sage Publications:2007) halaman 104 29 James P Spradley, Op cit halaman 8 33 7) Melihat secara lebih selektif, observasi apa yang dapat dilakukan? (Melakukan observasi selektif) 8) Apa komponen-komponen yang muncul dari observasi tersebut? (Melakukan analisis komponen) 9) Apa tema-tema yang tampak? (Melakukan observasi selektif) 10) Apa inventori cultural yang tampak? (Mengambil inventori cultural) 11) Bagaimana seseorang dapat menulis etnografi? (Menulis sebuah etnografi).30 c. Pengumpulan Data Tugas utama kedua dalam siklus penelitian etnografi adalah pengumpulan data etnografi. Dengan cara observasi partisipan, peneliti dapat mengamati aktivitas orang, karakteristik fisik situasi sosial di kawasan Pantai Samas, dan apa yang menjadi bagian dari tempat kejadian. Peneliti dapat mulai dengan melakukan observasi deskriptif secara umum, mencoba memperoleh suatu tinjauan terhadap situasi sosial dan yang terjadi di sana. Kemudian setelah perekaman dan analisis data awal tentang abrasi di Pantai Samas, Peneliti dapat mempersempit penelitian abrasi Pantai Samas dan mulai melakukan observasi ulang di lapangan, peneliti mempu mempersempit penyelidikan untuk melakukan observasi selektif. Walaupun observasi peneliti semakin terfokus, peneliti selalu melakukan observasi deskriptif umum hingga akhir studi lapangan di Pantai Samas. Tiga 30 John W Creswell, Op cit halaman 104 dan James P Spradley, Op cit halaman 103 34 jenis observasi ini berhubungan dengan tiga jenis pertanyaan etnografi Pantai Samas. Sebagaimana layaknya penelitian kualitatif yang mengedepankan naturalistik dalam mendapatkan data yang sifat deskriptif, maka penelitian etnografi ini juga memafaatkan teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian kualitatif pada umumnya, namun ada beberapa teknik yang khas. Adapun instrumen pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai berikut: 1) Pertama, wawancara mendalam (indepth interview) merupakan serangkaian pertanyaan yang diajukan peneliti kepada subjek penelitian. Mengingat karakter etnografi yang naturalistik maka bentuk pertanyaan atau wawancara yang dilakukan merupakan pertanyaan terbuka dan sifatnya mengalir, meski demikian untuk menjaga fokus penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki panduan wawancara yang sifatnya fleksibel. Setiap wawancara yang dilakukan, peneliti harus memperdalamnya dengan cara membuat catatan hasil wawancara dan observasi. Karena itu, kegiatan wawancara akan selalu menghasilkan pertanyaan baru yang sifatnya memperdalam apa yang telah diterima dari subjek penelitan. Dalam konteks memperdalam data, proses wawancara dapat dilakukan secara spontan/tidak terstruktural maupun terencana/ terstruktural terhadap informan mengenai abrasi di kawasan Pantai Samas. 35 2) Kedua, Observasi partisipan (participant observation). Untuk mengetahui secara detail langsung bagaimana budaya yang dimiliki individu atau sekelompok masyarakat maka peneliti akan menjadi “orang dalam”. Menjadi “orang dalam” akan memberi keuntungan peneliti dalam menghasilkan data yang sifatnya natural. Peneliti akan mengetahui dan memahami apa saja yang dilakukan subjek penelitian, perilaku keseharian, kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbolsimbol kehidupan subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa sebenarnya simbol itu. Menjadi orang dalam memberikan akses yang luar biasa bagi peneliti untuk “menguak”semua hal tanpa sedikitpun halangan, karena subjek penelitian akan merasa kehadiran peneliti tak ubahnya sebagai bagian dari keluarganya, sehingga tidak ada keraguan dan hambatan bagi subjek untuk berperilaku alami, sebagaimana layaknya dia hidup dalam keseharian. Dalam hal ini karena domisili peneliti dekat dengan kawasan Pantai Samas maka mudah bagi peneliti untuk masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat Pantai Samas. Namun demikian, menjadi orang dalam melalui kegiatan observasi partisipan tidak menjadikan peneliti larut hingga tidak bisa membedakan dirinya dengan diri subjek penelitian. Posisi inilah yang harus benar-benar dijaga dalam melakukan riset etnografi adaptasi di kawasan Pantai Samas. 36 3) Ketiga, Diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion), merupakan kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah. Dalam konteks ini sebenarnya kemampuan peneliti untuk menyajikan isu atau tema utama, mengemasnya dan kemudian mendiskusikan serta mengelola diskusi itu menjadi terarah dalam arti proses diskusi tetap berada dalam wilayah tema dan tidak terlalu melebar apalagi sampai menyertakan emosi subjek secara berlebihan menjadi kata kunci dari proses FGD yang baik. Diskusi kelompok terarah ini bisa diawali dengan pemilihan anggota diskusi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti, ataupun dapat saja dilakukan dengan secara acak, namun tetap memperhatikan “kekuatan” masing-masing peserta diskusi, mulai dari tingkat pendidikan, intelektualitas, pengalaman bahkan keseimbangan gender. Dengan penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau dominannya satu kelompok atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian, dilanjutkan dengan tema yang telah diusung peneliti dan diskusikan secara bersama. Proses inilah yang kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk kemudian dijadikan dasar pijak untuk memperdalam dan memperkaya data etnografi. Dalam FGD ini peneliti bisa memanfaatkan pertemuan-pertemuan kelompok nelayan atau pertanian di kawasan Pantai Samas dengan 37 begitu data yang diperoleh bisa sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti. 4) Keempat, Sejarah hidup (Life history), merupakan catatan panjang dan rinci sejarah hidup subjek penelitian. Melalui catatan sejarah hidup ini peneliti etnografi akan memahami secara detail apa saja yang menjadi kehidupan subjek penelitian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya termasuk budaya yang ada di lingkungannya. Catatan sejarah hidup, menghendaki kemampuan peneliti untuk jeli dalam melihat setiap detail kehidupan seseorang, sehingga tergambar dengan jelas bagaimana “jalan” kehidupan subjek penelitian dari lahir hingga dewasa sehingga terketemukan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi titik balik (turning point) dalam sejarah kehidupan subjek penelitian. Meski hampir sama dengan pola autobiografi, namun terdapat perbedaan terutama pada upaya yang lebih kuat dalam penulisan untuk menghindari subjektivitas penulis. Catatan sejarah tentang Pantai Samas maupun abrasi yang terjadi bisa ditelusuri lewat data-data sekunder. 5) Kelima, analisis dokumen (Document analysis). Analisis dokumen diperlukan untuk menjawab pertanyaan menjadi terarah, disamping menambah pemahaman dan informasi penelitian. Mengingat di lokasi penelitian tidak semua memiliki dokumen yang tersedia, maka ada baiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan tentang informan-informan yang dapat membantu untuk memutuskan apa 38 jenis dokumen yang mungkin tersedia. Dengan kata lain kebutuhan dokumen bergantung peneliti, namun peneliti harus menyadari keterbatasan dokumen, dan bisa jadi peneliti mencoba memahami dokumen yang tersedia, yang mungkin dapat membantu pemahaman. Berbagai dokumen ini bisa peneliti dapatkan melalui Kantor Desa Srigading, Kantor Kecamatan Sanden, Perpustakaan Pemerintah Kabupaten Bantul, Kantor Arsip Kabupaten Bantul, Kantor BPBD Bantul dan lain sebagainya. Berbagai teknik pengumpulan data yang terpapar tersebut bisa digunakan peneliti secara bersamaan atau dipilih peneliti berdasarkan kebutuhan dan juga bergantung peneliti dalam memaksimalkan instrument tersebut. Upaya peneliti yang jelas dalam mendapatkan dan menghasilkan data etnografi adaptasi Pantai Samas yang rinci dan utuh. Setelah melakukan proses penggalian data dan menganalisisnya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan peneliti adalah membuat laporan etnografi. 1) Ada enam bentuk laporan etnografi yang dapat disajikan peneliti, yaitu : Ethnocentric descriptions adalah studi yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang ada. Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikkan secara stereotype. 2) Social science descriptions digunakan untuk studi yang terfokus secara teoritis pada uji hipotesis. 39 3) Standard ethnographies menggambarkan variasi luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli. Studi ini juga menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain 4) Monolingual ethnographies, seorang anggota masyarakat yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer secara hati-hati membawa sistem semantis bahasanya dan menterjemahkan ke dalam bahasanya 5) Life histories adalah salah satu bentuk deskripsi yang menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang melakukan studi ini akan mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan bagian penting dari budaya tersebut. Semua dicatat dalam bahasa asli, kemudian diterjemahkan dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai dengan pencatatan serta 6) Ethnographicnovel.31 d. Pembuatan Rekaman Penelitian Langkah berikutnya dalam siklus penelitian etnografi adalah membuat rekaman atau catatan etnografi lapangan di Pantai Samas mengenai adaptasi. Tahap ini mencakup pengambilan catatan lapangan. Pengambilan foto, perekaman suara informan, pembuatan peta, dan penggunaan cara-cara lain untuk merekam observasi adaptasi terhadap abrasi di kawasan Pantai Samas. Rekaman etnografi ini membangun sebuah jembatan antara 31 James P.Spradley. Op. cit Halaman 296 40 observasi dan analisis sehingga tidak menyulitkan peneliti. Memang, sebagian besar analisis peneliti akan sangat tergantung pada apa yang telah peneliti rekam dan observasi di kawasan Pantai Samas. e. Analisis Data Penelitian Langkah berikutnya dalam siklus tidak dapat menunggu hingga terkumpul banyak data penelitian Pantai Samas. Dalam penelitian etnografi di Pantai Samas ini, analisis merupakan suatu proses penemuan pertanyaan. Sebagai pengganti datang ke lapangan dengan pertanyaan spesifik, peneliti etnografi menganalisis data lapangan yang dikumpulkan dari observasi partisipan untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan. Peneliti menganalisis catatan-catatan lapangan dan rekaman peneliti di Pantai Samas setelah setiap periode pekerjaan lapangan untuk mengetahui apa yang telah dicari dalam periode berikutnya dari obsevasi partisipan yakni peneliti ikut terlibat langsung dalam kegiatan di pantai Samas. Terdapat empat jenis analisis, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen, dan analisis tema. Analisis domain, yaitu memperoleh gambaran umum dan menyeluruh dari objek penelitian atau situasi social.32 Melalui pertanyaan umum dan pertanyaan rinci peneliti menemukan 32 Ibid halaman 198 41 berbagai kategori atau domain tertentu sebagai pijakan penelitian selanjutnya. Semakin banyak domain yang dipilih, semakin banyak waktu yang diperlukan untuk penelitian. Analisis taksonomi, yaitu menjabarkan domain-domain yang dipilih menjadi lebih rinci untuk mengetahui struktur internalnya. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengamatan yang lebih terfokus terhadap abrasi di kawasan Pantai Samas. Analisis komponensial, yaitu mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengontraskan antar elemen.33 Hal ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terseleksi melalui pertanyaan yang mengontraskan.Analisis tema budaya, yaitu mencari hubungan di antara domain dan hubungan dengan keseluruhan, yang selanjutnya dinyatakan ke dalam tema-tema sesuai dengan fokus dan sub fokus penelitian. Seorang peneliti etnografi berpengalaman dapat melakukan bentuk-bentuk analisis berbeda ini secara simultan selama periode penelitian. Peneliti dapat melakukannya dalam urutan, belajar melakukan masing-masing dalam putaran sebelum bergerak ke analisis berikutnya. Observasi partispan dan perekaman catatan lapangan di Pantai Samas, selalu diikuti oleh pengumpulan data, yang mengarah pada penemuan pertanyaan etnografi baru, pengumpulan data, catatan lapangan, dan analisis data lebih lanjut. 33 Ibid halaman 247 42 Demikianlah siklus berlanjut hingga penelitian mendekati sempurna. f. Penulisan Sebuah Penelitian Etnografi Tugas utama terakhir dalam siklus penelitian etnografi mengenai nilai-nilai muncul ke arah akhir dari penelitian. Walaupun demikian, itu dapat pula mengarah pada pertanyaanpertanyaan baru dan observasi-observasi lebih lanjut. Penulisan sebuah etnografi memaksa penyelidik ke dalam suatu jenis analisis yang lebih intensif termasuk menulis pola adaptasi Samas terhadap abrasi pantai ini. Penelitian etnografi melibatkan suatu open-ended inquiry, memerlukan umpan balik yang konstan untuk memberikan arah penelitian. Umpan balik ini biasanya diperoleh dari diskusi dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Peneliti etnografi hanya dapat merencanakan dari awal perjalanan penyelidikan mereka dalam pengertian yang paling umum. Setiap tugas utama dalam tindakan siklus penelitian sebagai sebuah kompas untuk memelihara peneliti di perjalanan. Jika peneliti mengacaukan etnografi dengan pola penelitian linier yang lebih tipikal dalam ilmu sosial, peneliti akan berhadapan dengan masalah yang tidak diperlukan. Orang yang berpikir tentang etnografi sebagai urutan linier cenderung mengumpulkan catatan lapangan hari demi hari dan segera menjadi berlimpah dengan kumpulan data yang tidak tersusun. Dengan 43 banyaknya kumpulan catatan lapangan tersebut peneliti sulit sekali untuk menganalisis hasil penelitian adaptasi abrasi pantai di Samas tersebut. Peneliti sulit mengetahui kapan mereka memiliki informasi yang cukup pada suatu topik. Dan bahkan masalah yang lebih besar muncul ketika mereka menunggu semua data terkumpul sebelum mulai menganalisis secara intensif. Pertanyaan baru muncul dari data, seseorang tidak dapat mengajukan pertanyaan ini karena sulit atau tidak mungkin kembali ke lapangan Pantai Samas. Jurang dalam informasi muncul tanpa jalan untuk mengisi data yang hilang. Untuk itulah dalam penelitian etnografi ini peneliti akan segera membuat laporan penelitian setiap pulang dari lapangan Pantai Samas. Kesadaran terhadap siklus penelitian etnografi dapat memelihara peneliti dari kehilangan jalan bahkan dalam penelitian yang sangat kecil. Peneliti melakukan observasi partisipan secara cepat menceburkan peneliti dalam suatu data primer yang luas. Itu tidak umum bagi peneliti yang melaksanakan hanya beberapa waktu dalam satu minggu untuk mengumpulkan sampai sepuluh halaman catatan lapangan. Peneliti etnografi yang menghabiskan beberapa jam sehari melakukan observasi partisipan di Pantai Samas secara proporsional akan memiliki sejumlah besar data lapangan sehingga harus membuat laporan. 44