Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua variabel,
yaitu pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pemberian
Reward dan motivasi belajar siswa.
2.1.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share
Pembahasan variabel model pembelajaran kooperatif tipe Think-PairShare mencakup pengertian pembelajaran kooperatif, unsur-unsur pembelajaran
kooperatif, ciri-ciri pembelajaran kooperatif, tujuan pembelajaran kooperatif,
langkah-langkah pembelajaran kooperatif, pengertian dari model pembelajaran
Kooperatif tipe Think-Pair-Share, karakteristik model pembelajaran Kooperatif
tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran
Kooperatif tipe Think-Pair-Share yang akan diuraikan sebagai berikut:.
2.1.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pengajaran kooperatif (Cooperatif Learning) memerlukan pendekatan
pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Houlobec, 2001).
Dalam pembelajaran kooperatif ini berlangsung suasana keterbukaan dan
demokratis, sehingga akan memberikan kesempatan optimal pada anak untuk
bekerja sama dan berinteraksi dengan baik.
Terdapat beberapa pengertian mengenai pembelajaran kooperatif yang
dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Slavin (2009:4) mendefinisikan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah strategi mengajr dimana para siswa bekerja dalam
8
9
kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam
mempelajari materi pelajaran.
Menurut Lie, A (2007: 12) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik
untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur
disebut juga sebagai sistem pembelajaran gotong royong. Menurut Asma N
(Juwita, 2008: 30) pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan yang
mencakup kelompok kecil dari siswa yang bekerjasama sebagai suatu tim untuk
memecahkan masalah, menyelesaikan suatu tugas atau menyelesaikan suatu
tujuan bersama. Senada dengan pernyataan tersebut, Johnson dan Johnson
(Muharromi,
2009:
31)
mengartikan
pembelajaran
kooperatif
sebagai
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan
menyelesaikan tugas dalam kelompok kecil dan meyakinkan bahwa setiap
anggota kelompok terlibat dalam menyelesaikan tugas.
Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran kooperatif
sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga
dinamakan “belajar teman sebaya.”
Dahlan (Juwita, 2008: 30) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan aktivitas dimana anggota kelompok biasa saling berbagi pengetahuan
dan saling mengoreksi bila terdapat kekeliruan pada kelompok tersebut.
Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan dengan membentuk kelompokkelompok kecil, dimana setiap anggota kelompok dapat saling membantu, berbagi
pengetahuan dan bekerjasama untuk menyelesaikan lembar kegiatan siswa.
Beberapa ahli menyatakan bahwa model ini tidak hanya unggul dalam
membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama dan membantu teman.
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran
10
sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi
yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi
belajarnya.
2.1.1.2 Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam
kelompok. Lie (2005: 30) menyatakan bahwa terdapat lima unsur dasar
pembelajaraan kooperatif yang membedakannya dengan belajar kelompok pada
umumnya. Kelima unsur model pembelajaran kooperatif tersebut adalah:
1. Saling Ketergantungan Positif
Saling ketergantungan positif memperlihatkan situasi dimana para siswa: 1)
Melihat pekerjaannya bermanfaat bagi kelompoknya dan pekerjaan kelompok
bermanfaat bagi kelompoknya dan pekerjaan kelompok bermanfaat bagi
dirinya.
2)
Bekerja
bersama
dalam
kelompok
yang
kecil
untuk
memaksimalkan pembelajaran kepada setiap anggota kelompok, dengan
membagikan pengetahuan masing-masing demi keberhasilan bersama dalam
kelompok.
2. Tanggung Jawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat dari saling ketergantungan positif. Jika tugas dan
pola penilaian dibuat sesuai prosedur pembelajaran kooperatif, maka setiap
siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Dengan
demikian, keberhasilan metoda kerja kerja kelompok bergantung pada
persiapan guru dalam penyusunan tugasnya.
3. Tatap Muka
Dalam interaksi ini, setiap anggota kelompok saling bertemu muka dan
berdiskusi. Interaksi ini bertujuan untuk mendorong dan memberikan fasilitas
kepada usaha-usaha setiap anggota kelompok dalam menyelesaikan tugasnya.
11
4. Komunikasi Antar Anggota
Untuk dapat menyelesaikan tugas dalam kelompok, siswa harus: 1) Saling
memepercayai, 2) Komunikasi secara akurat, 3) saling menerima dan
menunjang, dan 4) menyelesaikan masalah secara konstruktif. Dengan
demikian, suatu kelompok akan berhasil jika para anggotanya dapat saling
mendengarkan dan saling mengutarakan pendapat mereka.
5. Evaluasi Proses Kelompok
Pada saat pembelajaran kooperatif, guru mengamati kelompok, menganalisa
masalah-masalah yang dibahas kelompok tentang cara kerja mereka.
2.1.1.3 Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif ditandai oleh struktur tugas, tujuan dan
penghargaan. Siswa bekerja dalam situasi semangat pembelajaran kooperatif atau
membutuhkan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan mereka harus
mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas.
Menurut Ibrahim (2005:67), adapun ciri-ciri pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut :
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan suatu
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang,
rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan
jenis kelamin yang berbeda.
d. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.
12
2.1.1.4 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Ibrahim (2005:7), pembelajaran kooperatif memiliki tiga tujuan,
yaitu hasil belajar akademik, penerimaan tehadap perbedaan individu dan
pengembangan keterampilan sosial.
1) Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif ini bertujuan untuk meningkatkan kegiatan atau
aktivitas siswa dalam tugas-tugas akademik dan meningkatkan penilaian siswa
pada belajar akademik yang berhubungan dengan hasil belajar.
2) Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan pembelajaran kooperatif disini adalah memberikan kesempatan kepada
siswa untuk saling bekerja sama tanpa membedakan kemampuan/keahlian
sehingga tercipta saling ketergantungan satu sama lain dan belajar untuk
menghargai pendapat orang lain.
3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan pembelajaran kooperatif disini adalah mengajarkan kepada siswa
keterampilan bekerja sama dan kolaborasi juga berguna untuk menumbuhkan
kemampuan kerja sama, berpikir kritis dan membantu teman.
13
2.1.1.5 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah itu ditunjukkan pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase-1
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
Menyampaikan tujuan dan ingin
memotivasi siswa
Fese-2
Menyajikan informasi
Fase-3
Mengorganisasikan siswa
ke dalam kelompok
kooperatif
Fase-4
Membimbing kelompok
dicapai
pada
pelajaran
tersebut
dan
memotivasi siswa belajar
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan
jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Guru
menjelaskan
caranya
kepada
membentuk
siswa
kelompok
bagaimana
belajar
dan
membantu setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
bekerja dan belajar
Fase-5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang meteri
yang
telah
dipelajari
atau
masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase-6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik
upaya
maupun
hasil
belajar
individu
dan
kelompok.
Sumber: Ibrahim, dkk. (2000: 10)
14
2.1.1.6 Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share (TPS)
Model pembelajaran kooperatif Think-Pair-Share (TPS) merupakan
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekannya di
Maryland pada tahun 1981 (Lie, 2005: 57). Strategi Think-Pair-Share (TPS) atau
berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Menurut Lie (2002:57)
Think-Pair-Share adalah pembelajaran yang memberi siswa kesempatan untuk
bekerja sendiri dan bekerjasama dengan orang lain. Dalam hal ini, guru sangat
berperan penting untuk membimbing siswa melakukan diskusi, sehingga
terciptanya suasana belajar yang lebih hidup, aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja
sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Strategi ini dikembangkan untuk
meningkatkan partisipasi siswa di dalam kelas, sehingga lebih unggul
dibandingkan pembelajaran ceramah yang menggunakan metoda hafalan dasar,
yaitu guru mengajukan pertanyaan dan satu orang siswa memberikan jawaban.
Teknik ini mendorong jawaban siswa setingkat lebih tinggi dan membantu siswa
mengerjakan tugas.
Berikut pendekatan dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
(TPS) yang disajikan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2
Pendekatan Dalam Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share
Aspek
Tujuan
Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS)
Informasi akademik sederhana
Kognitif
Tujuan
Keterampilam kelompok dan keterampilan sosial
Sosial
Struktur
Bervariasi, berdua, bertiga, kelompok dengan 4-5 orang
Tim
anggota
15
Pemilihan
Guru
Topik
Tugas
Siswa mengerjakan tugas-tugas yang diberikan secara sosial
Utama
dan kognitif
Penilaian
Bervariasi
Pengakuan
Bervariasi
Sumber: Ibrahim, dkk. (2000:29)
Menurut Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa teknik belajar
mengajar Think-Pair-Share mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
pembelajaran
pencurahan
TPS
waktu
menuntut
pada
siswa
tugas.
Penggunaan
menggunakan
waktunya
metode
untuk
mengerjakan tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan oleh guru di awal
pertemuan sehingga diharapkan siswa mampu memahami materi dengan baik
sebelum guru menyampaikannya pada pertemuan selanjutnya.
2. Memperbaiki kehadiran. Tugas yang diberikan oleh guru pada setiap
pertemuan selain untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran juga dimaksudkan agar siswa dapat selalu berusaha hadir pada
setiap pertemuan. Sebab bagi siswa yang sekali tidak hadir maka siswa
tersebut tidak mengerjakan tugas dan hal ini akan mempengaruhi hasil belajar
mereka.
3. Angka putus sekolah berkurang. Model pembelajaran TPS diharapkan dapat
memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat
lebih baik daripada pembelajaran dengan model konvensional.
4. Sikap apatis berkurang. Sebelum pembelajaran dimulai, kencenderungan
siswa merasa malas karena proses belajar di kelas hanya mendengarkan apa
yang disampaikan guru dan menjawab semua yang ditanyakan oleh guru.
Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar, metode
16
pembelajaran TPS akan lebih menarik dan tidak monoton dibandingkan
metode konvensional.
5. Penerimaan terhadap individu lebih besar. Dalam model pembelajaran
konvensional, siswa yang aktif di dalam kelas hanyalah siswa tertentu yang
benar-benar rajin dan cepat dalam menerima materi yang disampaikan oleh
guru sedangkan siswa lain hanyalah “pendengar” materi yang disampaikan
oleh guru. Dengan pembelajaran TPS hal ini dapat diminimalisir sebab semua
siswa akan terlibat dengan permasalahan yang diberikan oleh guru.
6. Hasil belajar lebih mendalam. Parameter dalam PBM adalah hasil belajar
yang diraih oleh siswa. Dengan pembelajaran TPS perkembangan hasil belajar
siswa dapat diidentifikasi secara bertahap. Sehingga pada akhir pembelajaran
hasil yang diperoleh siswa dapat lebih optimal.
7. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem kerjasama yang
diterapkan dalam model pembelajaran TPS menuntut siswa untuk dapat
bekerja sama dalam tim, sehingga siswa dituntut untuk dapat belajar
berempati, menerima pendapat orang lain atau mengakui secara sportif jika
pendapatnya tidak diterima.
Model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) juga mempunyai kelemahan.
Kelemahannya adalah:
1. Metode pembelajaran Think-Pair-Share belum banyak diterapkan di sekolah.
2. Sangat memerlukan kemampuan dan ketrampilan guru, waktu pembelajaran
berlangsung guru melakukan intervensi secara maksimal.
3. Menyusun bahan ajar setiap pertemuan dengan tingkat kesulitan yang sesuai
dengan taraf berfikir anak dan
4. Mengubah kebiasaan siswa belajar dari yang dengan cara mendengarkan
ceramah diganti dengan belajar berfikir memecahkan masalah secara
kelompok, hal ini merupakan kesulitan sendiri bagi siswa (Lie : 2004).
17
Kelemahan lain dari metode TPS adalah pembelajaran yang baru
diketahui, kemungkinan yang dapat timbul adalah sejumlah siswa bingung,
sebagian kehilangan rasa percaya diri, saling mengganggu antar siswa.
Secara umum, tahapan-tahapan dalam pembelajaran ini adalah guru
mengajukan masalah atau pertanyaan bagi siswa untuk diselesaikan. Kemudian,
siswa memikirkan penyelesaianya secara individu lalu berpasangan untuk
mendiskusikan hasil pemikiran mereka. Dua pasang siswa bergabung dalam satu
kelompok berempat dan mendiskusikan permasalahan tersebut kembali. Pasangan
yang terpilih berbagi kesimpulan dengan seluruh kelas.
Dalam model pembelajaran ini, langkah guru yang menyajikan masalah
untuk diselesaikan oleh siswa menunjukkan bahwa guru bertindak tidak hanya
sebagai penyampai informasi, akan tetapi guru juga bertindak sebagai fasilitator.
Dengan demikian, siswa diharapkan berperan aktif dalam memecahkan
permasalahan.
2.1.1.7 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS)
Dinamakan TPS berdasarkan tahap utama dalam langkah-langkah yang
ada pada saat pelaksanaannya (National Science Institute for Education, 1997),
yaitu tiga langkah utamanya yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran, yaitu
langkah Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi).
Think (berpikir). Pada langkah ini, pertama-tama guru memancing siswa
melalui suatu pertanyaan permasalahan. Di sini, guru mengajak siswa untuk
berpikir mengenai permasalahan tersebut untuk beberapa saat.
Pair (berpasangan). Pada langkah ini, siswa dapat mencari teman
berpasangan untuk memecahkan permasalahan yang diberikan tadi. Siswa
dapat berpasangan dengan teman sebangkunya untuk lebih mengefektifkan
waktu selama pembelajaran. Di sini, pasangan dapat saling bertukar ide atau
18
pendapat guna memperoleh pemecahan masalah yang terbaik menurut
keduanya.
Share (berbagi). Pada langkah ini, tiap-tiap pasangan dapat membagikan
hasil pemikiran mereka kepada teman lain dan kelas. Teknisnya, guru dapat
memanggil tiap pasangan ke depan kelas untuk berbagi solusi, mendatangi
tiap pasangan, atau mempersilahkan tiap pasangan yang mengajukan diri,
dan lainnya.
Think Pair Share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa
waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain
(Ibrahim dalam Estiti, 2007:10). Pada tahap Think, terdapat “wait or think time”
yakni waktu berpikir. Maksudnya, siswa diberi waktu terlebih dahulu untuk
memikirkan dan memahami permasalahan yang diberikan. Waktu tersebut
diharapkan dapat dapat digunakan oleh siswa untuk mencari solusi permasalahan
yang diberikan berdasarkan pemikiran mereka sendiri. Dengan adanya waktu
berpikir ini tentu saja dapat meningkatkan kreatifitas siswa dalam berpikir dan
mengungkapkan pendapatnya. Namun perlu diingat, waktu berpikir ini sebaiknya
diberikan dengan batasan yang tidak terlalu lama agar siswa dapat lebih cekatan
dalam berpikir dan dapat segera bertukar pikiran dengan sesama siswa lain seperti
yang terdapat pada langkah berikutnya dari model ini.
Setelah siswa memperoleh solusi versi mereka masing-masing dalam
waktu berpikir tersebut, mereka akan dipasangkan dengan siswa lainnya pada
tahap pair. Di sini, mereka dapat saling bertukar pikiran dan pendapat guna
memperoleh solusi terbaik dari keduanya.
Selanjutnya, guru akan kembali membimbing siswa untuk memasuki
diskusi kelas pada tahap Share. Tiap pasangan akan mempresentasikan solusi
yang telah mereka peroleh pada saat berpasangan. Dengan adanya “pasangan”,
siswa tidak akan merasa malu lagi dalam mengungkapkan pendapatnya ketika
jawaban dari solusi permasalahan yang mereka utarakan dirasa belum memenuhi.
19
Mereka tidak akan takut salah karena mereka merasa dapat berbagi “rasa malu”
yang mungkin timbul. Pada tahap Share ini juga dapat menyadarkan siswa bahwa
seringkali pendapat mereka yang pada awalnya mereka anggap salah, ternyata
tidak salah sama sekali. Dengan kata lain, secara tidak langsung dapat
menumbuhkan keberanian siswa dalam berkomunikasi di depan kelas.
dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling
membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara
kooperatif. Keunggulan dan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa, yaitu
memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk
dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Isjoni, 2006).
2.1.1.8 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share
(TPS)
Adapun
langkah-langkah
atau
alur
pembelajaran
dalam
Model
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) adalah :
Langkah 1 : Pendahuluan
Pada tahap ini, guru menyampaikan pertanyaan yang merupakan permasalahan.
Tahap ini dimulai dengan guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi
yang akan disampaikan.
Langkah 2 : Think
Pada tahap ini, siswa dituntut berpikir secara individual. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang
disampaikan guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk
menuliskan hasil pemikirannya masing-masing. Siswa membutuhkan penjelasan
bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
20
Langkah 3 : Pair
Selanjutnya, setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan
pasangan. Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka
paling benar atau paling meyakinkan. Interaksi selama waktu yang disediakan
dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan
gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Guru memotivasi siswa
untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi
dengan LKS berupa kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan
secara kelompok.
Langkah 4 : Share
Pada langkah ini, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan
keseluruhan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk
berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar
sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan hasil kelompoknya.
Areans, (1997) disandur Tjokrodihardjo, (2003).
Langkah 5 : Evaluasi
Langkah akhirnya yaitu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan evaluasi dan penguatan
terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan.
Dalam hal peran guru dalam mengajar dapat dilihat dari aktivitas yang
dilakukan oleh guru selama model diterapkan. Langkah-langkah penyelenggaraan
model diskusi Think-Pair-Share dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.
21
Tabel 2.3
Langkah-langkah penyelenggaraan model diskusi Think-Pair-Share
Tahap
Kegiatan Guru
Tahap 1 menyampaikan tujuan (1) Menyampaikan pendahuluan,
dan mengatur siswa
(a) motivasi,
(b) menyampaikan tujuan dasar diskusi
(c) apersepsi;
(2) Menjelaskan tujuan diskusi,
Tahap 2 mengarahkan diskusi
(1) Mengajukan pertanyaan
awal/permasalahan;
(2) Modeling,
Tahap 3 menyelenggarakan
diskusi
(1) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
mengerjakan LKS secara mandiri (think);
(2) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
berpasangan (pair);
(3) Membimbing/mengarahkan siswa dalam
berbagi (share);
(4) Menerapkan waktu tunggu;
(5) Membimbing kegiatan siswa,
Tahap 4 mengakhiri diskusi
Tahap 5 melakukan
Menutup diskusi.
Tanya Membantu
siswa
membuat
rangkuman
jawab singkat tentang proses diskusi dengan Tanya jawab singkat
diskusi
Sumber: Tjokrodihardjo, (2003)
Kegiatan “berpikir-berpasangan-berbagi” dalam Model Pembelajaran
Think Pair Share (TPS) memberikan banyak keutungan. Siswa secara individu
dapat mengembangkan pemikirannya masing-masing karena adanya waktu
berpikir (wait or think time), sehingga kualitas jawaban juga dapat meningkat.
22
Menurut Jones (2006), akuntabilitas berkembang karena siswa harus saling
melaporkan hasil pemikiran masing-masing dan berbagi (berdiskusi) dengan
pasangannya, kemudian pasangan-pasangan tersebut harus berbagi dengan
seluruh kelas. Jumlah kelompok yang kecil mendorong setiap anggota untuk
terlibat secara aktif, sehingga siswa jarang atau bahkan tidak pernah berbicara di
depan kelas paling tidak memberikan ide atau jawaban karena pasangannya.
Selain itu, menurut Spencer Kagan manfaat Think Pair Share antara lain :
Para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan
tugasnya dan untuk mendengarkan satu sma lain ketika mereka terlibat dalam
kegiatan Think Pair Share lebih banyak siswa yang mengangkat tangan
mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa
mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan
kualitas jawaban mungkin menjadi lebih banyak.
Para guru juga mungkin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir
ketika menggunakan Think Pair Share. Mereka dapat berkonsentrasi
mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan
pertanyaan tingkat tinggi.
Keunggulan dari Think-Pair-Share ini adalah optimalisasi partisipasi
siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan
membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, model Think-Pair-Share ini
memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi
mereka kepada orang lain. Model ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran
dan untuk semua tingkatan anak didik.
2.1.2
Kajian Tentang Reward
Pembahasan variabel pemberian reward mencakup pengertian reward,
komponen-komponen penerapan reward, syarat-syarat reward dan tujuan reward
yang akan diuraikan sebagai berikut:
23
2.1.2.1 Pengertian Reward
Reward merupakan suatu bentuk teori reward positif yang bersumber dari
aliran Behavioristik yang dikemukakan oleh Watson, Ivan Padlow dan kawankawan dengan teori S-R nya. Reward adalah suatu bentuk perlakuan positif
subyek. Reward atau penghargaan merupakan respon terhadap suatu tingkah laku
yang dapat peningkatan kemungkinan terulang kembalinya tingkah laku tersebut
(Mulyasa, 2007 : 77).
Reward menurut bahasa, berasal dari bahasa inggris Reward yang berarti
penghargaan atau hadiah (John M, Echols, 1996 : 485).
Sedangkan menurut istilah, banyak sekali pendapat yang mengemukakan,
diantaranya, reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan, dalam
konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan
motivasi para pegawai. Metode ini bisa mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan
seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka
melakuakan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi,
reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk
memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dapat dicapainya.
Reward adalah salah satu alat pendidikan. Jadi dengan sendirinya maksud
ganjaran itu ialah sebagai alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat
merasa senang, karena perbuatannya atau pekerjaannya mendapat penghargaan.
Selanjutnya yang dimaksud pendidik memberikan reward supaya anak lebih giat
lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi dari pada yang telah
dapat dicapainya. Dengan kata lain, anak menjadi lebih keras kemauannya untuk
bekerja atau berbuat yang lebih baik lagi (Ngalim purwanto, 1984 : 231).
Reward adalah penghargaan yang diberikan oleh seseorang ataupun suatu
institusi. Reward berhubungan dengan antusias yang menyala-nyala orang yang
memilikinya mempunyai keyakinan yang sangat besar terhadap kesuksesan orang
akan mengejar apapun yang mereka inginkan. Pencapaian-pencapaian itulah yang
24
disebut reward, arti reward bukan hanya sekedar hadiah melainkan ada sebuah
pencapaian yang telah dilaluinya.
Reward merupakan sesuatu yang disenangi atau digemari oleh anak-anak
yang diberikan kepada siapa saja yang dapat memenuhi harapan yakni mencapai
tujuan yang ditentukan, atau bahkan mampu melebihinya. Besar kecilnya reward
yang diberikan kepada yang berhak tergantung kepada banyak hal, terutama
ditentukan oleh tingkat pencapaian yang diraih. Tentang bagaimana wujudnya,
banyak ditentukan oleh jenis atau wujud pencapaian yang diraih serta kepada
siapa reward tersebut diberikan. (Suharsimi, 1993 : 160)
Jadi dapat disimpulkan bahwa reward adalah suatu cara yang digunakan
oleh seseorang untuk memberikan suatu penghargaan kepada seseorang karena
sudah mengerjakan suatu hal yang yang benar, sehingga seseorang itu bisa
semangat lagi dalam mengerjakan tugas tersebut. Contohnya seorang guru telah
memberikan penghargaan, atau pujian kepada siswanya yang telah menjawab
pertanyaan dengan baik, atau prestasinya baik, maka siswa itu semangat lagi
dalam mengerjakan tugas itu.
Peranan reward dalam proses mengajar cukup penting terutama sebagai
faktor eksternal dalam mempengaruhi dan mengarahkan perilaku siswa. Hal ini
berdasarkan atas berbagai pertimbangan logis, diantaranya reward biasanya dapat
menimbulkan motivasi belajar siswa, dan reward juga memiliki pengaruh positif
dalam kehidupan siswa. Manusia selalu mempunyai cita-cita, harapan dan
keinginan. Inilah yang dimanfaatkan oleh reward. Maka dengan metode ini,
seseorang mengerjakan perbuatan baik atau mencapai suatu prestasi yang tertentu
diberikan suatu reward yang menarik sebagai imbalan. Dengan demikian dengan
melakukan sesuatu perbuatan atau mencapai suatu prestasi.(Mahfudh, 1987 : 81)
Reward merupakan alat pendidikan yang mudah dilaksanakan dan sangat
menyenangkan bagi siswa, untuk itu reward dalam suatu proses pendidikan
sangat dibutuhkan keberadaannya demi meningkatkan motivasi belajar. Maksud
dari para pendidik memberi reward kepada siswa adalah supaya siswa siswa
25
menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi prestasi
yang akan dicapainya, dengan kata lain siswa menjadi lebih keras kemauannya
untuk belajar lebih baik. (Ngalim Purwanto, 1985 : 231)
2.1.2.2 Komponen-Komponen Penerapan Reward
Keterampilan dasar penerapan reward terdiri atas beberapa komponen
yaitu:
a.
Reward Verbal (pujian):
1) Kata-kata : bagus, ya benar, tepat, bagus sekali, dan lain-lain;
2) Kalimat : pekerjaan anda baik sakali, saya gembira dengan hasil pekerjaan
anda.
b.
Reward non Verbal:
1) Reward berupa mimik dan gerakan badan lain: senyuman, angguan, acungan
ibu jari, tepuk tangan dan lain-lain,
2) Reward dengan cara mendekati, guru mendekati siswa untuk menunjukkan
perhatian, hal ini dapat dilaksanakan dengan cara berdiri disamping siswa,
berjalan menuju kearah siswa, duduk dekat seorang atau kelompok siswa,
berjalan disisi siswa. Guru dapat mengira-ngira berapa lama ia berada didekat
seorang atau kelompok siswa, sebab bila terlalu lama akan menimbulkan
suasana yang tidak baik di kelas.
3) Reward dengan cara sentuhan,
Guru dapat menyatakan persetujuan dan penghargaan terhadap siswa atas
usaha dan penampilannya dengan cara menepuk pundak, menjabat tangan.
4) Reward berupa symbol atau benda,
Reward simbolis ini dapat berupa surat-surat tanda jasa, bisa berupa
sertifikat-sertifikat. Sedangkan yang berupa benda dapat berupa kartu
bergambar, peralatan sekolah, pin, plastic dan lain sebagainya.
26
5) Kegiatan yang menyenangkan,
Guru dapat menggunakan kegiatan-kegiatan atau tugas-tugas yang
disenangi oleh siswa yang memperlihatkan kemajuan dalam pelajaran musik
ditunjuk untuk menjadi pemimpin paduan suara sekolah atau diperbolehkan
menggunakan alat-alat musik pada jam-jam bebas (Uzer Usman, 1991 : 7374)
6) Reward dengan memberikan penghormatan,
Reward yang berupa penghormatan tersebut juga dibagi lagi menjadi dua
macam yaitu
Pertama berbentuk semacam penobatan. Yaitu anak yang mendapat
penghormatan diumumkan dan ditampilkan dihadapan temen-temannya,
temen-teman sekolah, atau mungkin juga dihadapkan para teman dan orang
tua murid. Misalnya saja pada malam perpisahan yang akan diadakan pada
akhir tahun, kemudian ditampilkan murid-murid yang telah berhasil menjadi
bintang-bintang kelas. Penobatan dan penampilan bintang-bintang pelajar
untuk semua kota dan daerah, biasanya dilakukan dimuka umum. Misalnya
pada rangkaian upacara hari proklamasi kemerdekaan.
Kedua, penghormatan yang berbentuk pemberian kekuasaan untuk
melakukan
sesuatu. Misalnya, kepada anak yang berhasil menyelesaikan
suatu soal sulit, disuruh mengerjakan di papan tulis untuk di contoh tementemannya (Amir, 1973 : 159).
7) Reward dengan memberikan perhatian tak penuh.
Diberikan kepada siswa yang memberikan jawaban yang kurang
sempurna. Umpamanya, bila seorang siswa hanya memberikan jawaban
sebagian besar, sebaiknya guru menyatakan, “ya, jawabanmu sudah baik,
tetapi masih perlu disempurnakan,” dengan begitu siswa tersebut mengetahui
bahwa jawabannya tidak seluruhnya salah, dan ia mendapat dorongan untuk
menyempurnakannya.
27
Dari banyak macam reward diatas, maka dari itu seorang guru dapat
memilih reward yang relevan dengan siswa disesuiakan dengan situasi dan
kondisi siswa atau situasi dan kondisi keuangan, bila hal itu menyangkut masalah
keuangan.
2.1.2.3 Syarat-Syarat Reward
Dalam memberikan reward seorang guru hendaknya dapat mengetahui
siapa yang berhak mendapat reward, seorang guru harus selalu ingat akan maksud
dari pemberian reward itu. Seorang siswa yang pada suatu ketika menunjukkan
hasil lebih baik dari biasanya, mungkin sangat baik diberikan reward. Dalam hal
ini seorang guru hendaknya bijaksana, jangan sampai reward menimbulkan iri
hati pada siswa yang lain yang merasa diriya lebih pandai, tetapi tidak mendapat
reward.
Kalu kita perhatikan apa yang diuraikan tentang maksud ganjaran,
bilamana dan siapa yang perlu mendapat reward, serta reward apakah yang baik
untuk diberikan kepada seseorang. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan
oleh pendidik:
a. Untuk memberi ganjaran yang pedagogis perlu sekali guru mengenal betulbetul murid-muridnya dan tahu menghargai dengan tepat. Reward yang tidak
tepat dapat membawa akibat yang tidak diinginkan;
b. Ganjaran yang diberikan kepada seorang anak janganlah menimbulkan rasa
cemburu atau iri hati bagi anak yang lain yang merasa pekerjaannya juga lebih
baik, tetapi tidak mendapat reward;
c. Memberikan reward hendaknya hemat, terlalu kerap atau terus menerus
memberikan reward akan menjadi hilang arti reward tersebut sebagai alat
pendidikan;
d. Janganlah memberikan reward dengan menjanjikan dahulu sebelum anakanak menunjukkan prestasi kerjanya, reward yang telah dijanjikan dahulu
akan membawa kesukaran-kesukaran bagi beberapa anak yang kurang pandai;
28
e. Pendidik harus berhati-hati memberikan reward, jangan sampai reward yang
diberikan kepada anak-anak diterimanya bagi upah dari pada jerih payah yang
telah dilakukannya (Ngalim Purwanto, 1985 : 233).
Ada beberapa pendapat para ahli pendidikan terhadap reward sebagai alat
pendidikan yang berbeda-beda. Sebagian menyetujui dan menganggap penting
dipakai sebagai alat untuk membentuk kata hati siswa. Sebaliknya ada pula para
ahli-ahli pendidikan yang tidak suka sama sekali. Mereka berpendapat bahwa
reward itu dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat pada siswa. Menurut
pendapat mereka, seorang guru hendaklah mendidik siswa supaya mengerjakan
dan berbuat yang baik dengan tidak mengharapakan imbalan, pujian, tetapi
semata-mata karena pekerjaan atau perbuatan itu memang kewajibannya.
Sedangkan pendapat yang terakhir terletak diantara keduanya, sebagai
seorang pendidik hendaklah menginsafi bahwa yang dididik adalah siswa yang
masih lemah kemauannya dan belum mempunyai kata hati seperti orang dewasa.
Dari mereka belumlah dapat dituntut supaya mereka mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk atas kemauan dan keinsafannya sendiri. Perasaan
kewajiban mereka masih belum sempurna, bahkan pada siswa yang masih kecil
boleh dikatakan belum ada. Untuk itu, maka reward sangat diperlukan pula bagi
siswa dan berguna bagi pembentukan kata hati dan kemauan (Ibid, hlm 234).
2.1.2.4 Tujuan Reward
Mengenai masalah reward, perlu peneliti bahas tentang tujuan yang harus
dicapai dalam pemberian reward. Hal ini dimaksudkan, agar dalam berbuat
sesuatu bukan karena perbuatan semata-mata, namun ada sesuatu yang harus
dicapai dengan perbuatannya, karena dengan adanya tujuan akan member arah
dalam melangkah.
Tujuan yang harus dicapai dalam pemberian reward adalah untuk lebih
mengembangkan motivasi yang bersifat instrinsik dari motivasi ekstrinsik, dalam
artian siswa melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan itu timbul dari
29
kesadaran siswa itu sendiri. Dan dengan reward itu, juga diharapakan dapat
membangun suatu hubungan yang positif antara guru dan siswa, karena reward
itu adalah bagian dari pada penjelmaan dari rasa cinta kasih sayang seorang guru
kepada siswa.
Jadi, maksud dari reward itu yang paling terpenting bukanlah hasil yang
dicapai seorang siswa, tetapi dengan hasil yang dicapai siswa, guru bertujuan
membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik da lebih keras kepada siswa.
Seperti halnya telah disinggung diatas, bahwa reward disamping merupakan alat
pemdidikan reprensif yang menyenangkan, reward juga dapat menjadi pendorong
atau motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik (Umi Masrurah, 2007 : 21).
2.1.3
Kajian Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share
(TPS) Dengan Pemberian Reward
Think Pair Share (TPS) merupakan suatu teknik sederhana dengan
keuntungan besar. Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengingat suatu informasi dan seorang siswa juga dapat belajar dari
siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum
disampaikan di depan kelas. Selain itu, Think Pair Share (TPS) juga dapat
memperbaiki rasa percaya diri dan semua siswa diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kelas. Think Pair Share (TPS) sebagai salah satu metode
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu thinking, pairing, dan
sharing. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pembelajaran (teacher
oriented), tetapi justru siswa dituntut untuk dapat menemukan dan memahami
konsep-konsep baru (student oriented).
Hambatan yang ditemukan selama proses pembelajaran antara lain berasal
dari segi siswa, yakni: siswa-siswa yang pasif, dengan metode ini mereka akan
ramai dan mengganggu teman-temannnya. Tahap pair siswa yang seharusnya
menyelesaikan soal dengan berdiskusi bersama pasangan satu bangku dengannya
tetapi masih suka memanfaatkan kegiatan ini untuk berbicara di luar materi
30
pelajaran, menggantungkan pada pasangan dan kurang berperan aktif dalam
menemukan penyelesaian serta menanyakan jawaban dari soal tersebut pada
pasangan yang lain.
Jumlah siswa di kelas juga berpengaruh terhadap pelaksanaan metode
think pair share ini. Jumlah siswa yang ganjil berdampak pada saat pembentukan
kelompok. Akibatnya terdapat kelompok yang beranggotakan lebih dari 2 (dua)
siswa. Hal ini akan memperlambat proses diskusi pada tahap pair, karena
pasangan lain telah menyelesaikan sementara satu siswa tidak mempunyai
pasangan. Hambatan lain yang ditemukan yaitu dari segi waktu.
Kelemahan lain yang terjadi pada tahap think adalah ketidaksesuaian
antara waktu yang direncanakan dengan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan
siswa yang suka mengulur-ulur waktu dengan alasan pekerjaan belum
diselesaikan. Hal ini berdampak pada hasil belajar ranah kognitif, yaitu siswa
kurang menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. Metode ini membutuhkan
banyak waktu karena terdiri dari 3 (tiga) langkah yang harus dilaksanakan oleh
seluruh siswa yang meliputi tahap think, pair, share.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka diberikan reward yang berarti
penghargaan atau hadiah. Peranan reward dalam proses mengajar cukup penting
terutama sebagai faktor eksternal dalam mempengaruhi dan mengarahkan
perilaku siswa. Diantaranya reward biasanya dapat menimbulkan motivasi belajar
siswa, dan reward juga memiliki pengaruh positif dalam kehidupan siswa.
Maksud dari para pendidik memberi reward kepada siswa adalah supaya siswa
siswa menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau mempertinggi
prestasi yang akan dicapainya, dengan kata lain siswa menjadi lebih keras
kemauannya untuk belajar lebih baik dan lebih bersemangat. (Ngalim Purwanto,
1985 : 231)
Dalam pembelajaran dengan tipe TPS, untuk menghindari hambatanhambatan yang sering ditemui saat pembelajaran berlangsung maka peneliti
menggunakan pemberian reward sebagai upaya untuk mengatasi hal-hal tersebut.
31
Reward ini diberikan karena reward merupakan alat yang sesuai diberikan untuk
mengatasi situasi belajar siswa yang tidak kondusif saat pelajaran kelompok
diterapkan karena saat pelajaran kelompok diterapkan, kecenderungan siswa yang
ramai dan tidak serius dalam belajar akan mudah ditemukan, hal ini akan
berdampak pada proses belajar yang tidak sesuai dengan rencana. Oleh sebab itu
reward diberikan agar pada saat pembelajaran TPS berlangsung, kecenderungan
siswa yang pasif akan teratasi, maka akan terjadi situasi belajar yang
menyenangkan dan siswa termotivasi untuk serius dalam pembelajaran karena
pada akhir perbuatannya atau pekerjaannya, siswa akan mendapatkan
penghargaan. Hal ini juga akan memudahkan peneliti dalam menerapkan
pembelajaran TPS.
Dalam penggunaannya, reward terdiri dari beberapa komponen seperti
reward verbal (pujian) dan reward non verbal. Dari komponen reward tersebut,
guru dapat memilih reward yang relevan dengan siswa dan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi siswa atau situasi dan kondisi keuangan, agar disaat
pembelajaran, semua dapat berjalan dengan lancar. Bila proses belajar siswa
berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka tentunya penerapan pembelajaran
TPS akan mudah diterapkan.
Adapun
langkah-langkah
atau
alur
pembelajaran
dalam
Model
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan pemberian Reward adalah :
Langkah 1 : Pendahuluan
Pada tahap ini, guru menyampaikan pertanyaan yang merupakan permasalahan.
Tahap ini dimulai dengan guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan
pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi
yang akan disampaikan.
Langkah 2 : Think
Pada tahap ini, siswa dituntut berpikir secara individual. Guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang
32
disampaikan guru. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk
menuliskan hasil pemikirannya masing-masing. Siswa membutuhkan penjelasan
bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
Langkah 3 : Pair
Selanjutnya, setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan
pasangan. Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka
paling benar atau paling meyakinkan. Interaksi selama waktu yang disediakan
dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan
gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Guru memotivasi siswa
untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi
dengan LKS berupa kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan
secara kelompok.
Langkah 4 : Share
Pada langkah ini, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan
keseluruhan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk
berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar
sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan hasil kelompoknya.
Areans, (1997) disandur Tjokrodihardjo, (2003).
Langkah 5 : Reward
Pada langkah ini, guru memberi sertifikat/hadiah pada kelompok yang telah
berpatisipasi dalam diskusi kelas. Pemberian penghargaan lebih berorientasi pada
kelompok daripada individu. Hal ini dilakukan agar kelompok siswa lebih
kompak dan bersemangat dalam setiap pembelajaran kelompok yang diterapkan.
Langkah 6 : Evaluasi
Langkah akhirnya yaitu menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan
masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan evaluasi dan penguatan
terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan.
33
2.1.4
Kajian Motivasi Belajar
Pembahasan variabel motivasi belajar mencakup pengertian motivasi
belajar, aspek aspek motivasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
belajar, fungsi motivasi dan tujuan motivasi yang akan diuraikan sebagai berikut
2.1.4.1 Pengertian Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti
bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan
sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan
untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas
perilaku
(usaha,
berkelanjutan),
dan
penyelesaian
atau
prestasi
yang
sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah,
dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku
yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan
belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di
dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 2000).
Sejalan dengan pernyataan Santrock di atas, Brophy (2004) menyatakan
bahwa
motivasi
belajar
lebih
mengutamakan
respon
kognitif,
yaitu
kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna dan
bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut.
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang
disampaikan, membaca materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan
strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki
keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang
34
tinggi, mencari bahan-bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan.
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah
aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan.
Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang
berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut (Brophy, 2004).
2.1.4.2 Aspek-Aspek Motivasi Belajar
Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yang dikemukakan oleh
Santrock (2007), yaitu:
a. Motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu
yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi ekstrinsik sering
dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman.
Misalnya,
murid
belajar
keras
dalam
menghadapi
ujian
untuk
mendapatkan nilai yang baik. Terdapat dua kegunaan dari hadiah, yaitu
sebagai insentif agar mau mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah
mengontrol
perilaku
siswa,
dan
mengandung
informasi
tentang
penguasaan keahlian.
b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid belajar
menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan
itu. Murid termotivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang
menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan
mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan
dipakai untuk kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa.
Terdapat dua jenis motivasi intrinsik, yaitu:
1) Motivasi intrinsik berdasarkan determinasi diri dan pilihan
personal. Dalam pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka
melakukan sesuatu karena kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau
35
imbalan eksternal. Minat intrinsik siswa akan meningkat jika mereka
mempunyai pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab
personal atas pembelajaran mereka.
2) Motivasi intrinsik berdasarkan pengalaman optimal. Pengalaman
optimal
kebanyakan
terjadi
ketika
orang
merasa
mampu
dan
berkonsentrasi penuh saat melakukan suatu aktivitas serta terlibat dalam
tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu
mudah.
2.1.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Menurut Brophy (2004), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
motivasi belajar siwa, yaitu:
a. Harapan guru
b. Instruksi langsung
c. Umpanbalik (feedback) yang tepat
d. Penguatan dan hadiah
e. Hukuman
Sebagai pendukung kelima faktor di atas, Sardiman (2000) menyatakan
bahwa bentuk dan cara yang dapat digunakan untuk menumbuhkan motivasi
dalam kegiatan belajar adalah:
a. Pemberian angka, hal ini disebabkan karena banyak siswa belajar dengan
tujuan utama yaitu untuk mencapai angka/nilai yang baik.
b. Persaingan/kompetisi
c. Ego-involvement, yaitu menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar
merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga
bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri.
d. Memberi ulangan, hal ini disebabkan karena para siswa akan menjadi giat
belajar kalau mengetahui akan ada ulangan.
36
e. Memberitahukan hasil, hal ini akan mendorong siswa untuk lebih giat
belajar terutama kalau terjadi kemajuan.
f. Pujian, jika ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, hal
ini merupakan bentuk penguatan positif
2.1.4.4 Fungsi Motivasi
Dari uraian diatas jelaslah bahwa motivasi mendorong timbulnya kelakuan
dan mempengaruhi serta mengubah kelakuan.
Jadi fungsi motivasi itu ialah:
a. Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi tidak
akan timbul perbuatan seperti belajar.
b. Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian tujuan
yang diinginkan
c. Sebagai penggerak, ia berfungsi sebagai mesin bagi mobil. Besar kecilnya
motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan (Oemar
Hamalik, 1991 : 175)
d. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatanperbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang
akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan
kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu
atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan (Sadirman, 1991 : 84).
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Kajian hasil penelitian yang relevan membahas hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, yaitu :
1. Nurlaili (2010) meneliti tentang Keefektifan Model Pembelejaran Koopetarif
Think-Pair-Share (TPS) Dengan Bantuan CD Pembelajaran Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Peserta Didik Kelas VIII
37
Semester II SMP Negeri 4 Pati menyatakan kemampuan pemecahan masalah
peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif Think-PairShare (TPS) dengan bantuan CD Pembelajaran lebih efektif daripada
kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang menggunakan model
pembelajaran ekspositori dengan bantuan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan
menggunakan uji t dari materi sebelumnya diperoleh data kedua kelas tersebut
berada pada kondisi awal yang sama. Berdasarkan hasil penelitian,
perhitungan uji normalitas kelas eksperimen diperoleh X2 hitung = 5,500 dan
kelas kontrol didapat X2 hitung = 7,669 dengan X2 tabel = 7,81 dapat
disimpulkan data bersifat normal. Perhitungan uji homogenitasnya diperoleh
Fhitung = 1,032 dan Ftabel = 2,074 dapat disimpulkan data bersifat homogen.
Untuk menguji hipotesis digunakan uji t diperoleh thitung = 1,790 dan t tabel
= 1,671 dapat disimpulkan Ho ditolak, artinya hipotesis diterima.
2. Hening Susena Nugrahani (2011) meneliti tentang Penerapan Strategi
Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Dengan Penggunaan Media Mind Map
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Sejarah
Kelas VII B SMP Negeri 4 Satu Atep Sale Rembang menunjukkan ada
peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil belajar sejarah
siswa pada pra siklus nilai rata- rata siswa 52,85 dengan ketuntasan belajar
klasikal siswa 32,14 % terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata siswa 62,32
dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 64,28 % pada siklus I dan nilai ratarata siswa 69,10 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 82,14 % pada siklus
II. Perilaku negatif yang ditunjukkan siswa pun berubah setelah diberikan
tindakan.
Siswa
lebih
antusias
mengikuti
pembelajaran,
berani
mengemukakan pendapat di depan kelas, dan semakin percaya diri tampil
dalam presentasi.
3. Kinanti Rejeki (2010) meneliti tentang Keefektifan Metode Pembelajaran
Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS) dan Student Team Achievement
Division (STAD) Ditinjau Dari Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII
38
SMP N 5 Sleman menyatakan pada Hasil penelitian menunjukkan bahwa ratarata posttest kelas eksperimen STAD sebesar 68,47 (simpangan baku =
28,58), untuk kelas eksperimen TPS sebesar 70,14 (simpangan baku =
28,92),dan untuk kelas kontrol yaitu 60 (simpangan baku = 16,72), dari skor
maksimal yang mungkin dicapai yaitu 100 dan skor minimal yang mungkin
dicapai yaitu 0. Dari uji hipotesis , diperoleh hasil yaitu: (1) dengan uji
ANAVA diketahui bahwa ada perbedaan keefektifan dari ketiga metode
pembelajaran ditinjau dari prestasi belajar siswa ( p = 0,221 dan ∝= 5%); (2)
dengan uji lanjutan yaitu uji Tukey disimpulkan bahwa ada perbedaan
keefektifan dari ketiga metode pembelajaran yang diteliti (metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD dibandingkan metode pembelajaran
kooperatif TPS, p = 0,959; ∝=5%; pada metode pembelajaran kooperatif tipe
TPS dibandingkan metode pembelajaran ekspositori, p = 0,232; ∝= 5%; dan
pada metode pembelajaran ekspositori dibandingkan metode pembelajaran
kooperatif tipe STAD, p = 0,359; ∝= 5%). Artinya metode pembelajaran yang
berbeda keefektifannya adalah metode pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan metode pembelajaran kooperatif TPS ; (3) menurut hasil uji-t, diperoleh
hasil bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe TPS dan metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD efektif digunakan, sedangkan metode
pembelajaran ekspositori belum efektif digunakan (pTPS = 0,977; pSTAD =
0,750; pekspositori = 0,002; _ = 5%). (4) pada penelitian ini, metode
pembelajaran yang paling efektif digunakan adalah metode pembelajaran
kooperatif tipe TPS, diikuti metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dan
metode pembelajaran ekspositori
39
2.3
Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori dan kajian berbagai penelitian yang telah
diuraikan pada bagian sebelumnya, penulis cenderung berpendapat bahwa
penerapan metode kooperatif model Think Pair Share (TPS) dengan pemberian
reward berpengaruh positif signifikan terhadap motivasi belajar siswa. Think Pair
Share adalah model pembelajaran kooperatif memiliki prosedur secara eksplisit
dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling
membantu satu sama lain. Dengan cara ini diharapkan siswa mampu bekerja
sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil
secara kooperatif. Strategi ini dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi
siswa di dalam kelas, sehingga lebih unggul dibandingkan pembelajaran ceramah
yang menggunakan metoda hafalan dasar, yaitu guru mengajukan pertanyaan dan
satu orang siswa memberikan jawaban. Teknik ini juga mempunyai keunggulan
yaitu optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan
hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, model
Think-Pair-Share ini memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk
menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. Model ini bisa digunakan
dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan anak didik.
Sedangkan reward adalah suatu bentuk perlakuan positif subyek. Reward
atau penghargaan merupakan respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat
peningkatan kemungkinan terulang kembalinya tingkah laku. Reward atau
ganjaran merupakan salah satu alat pendidikan. Jadi dengan sendirinya maksud
ganjaran itu ialah sebagai alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat
merasa senang, karena perbuatannya atau pekerjaannya mendapat penghargaan.
Dengan diberikannya reward pada pelaksanaan pembelajarannya, dipastikan akan
menumbuhkan minat dan semangat dalam pembelajarannya.
Jadi untuk mengatasi hambatan-hambatan yang sering ditemui saat
pembelajaran TPS berlangsung maka peneliti menggunakan pemberian reward
sebagai upaya mengatasi kecenderungan siswa yang pasif , maka akan terjadi
40
situasi belajar yang menyenangkan dan siswa termotivasi untuk serius dalam
pembelajaran karena pada akhir perbuatannya atau pekerjaannya, siswa akan
mendapatkan penghargaan. Hal ini juga akan memudahkan peneliti dalam
menerapkan pembelajaran TPS.
Sedangkan motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan
seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
proses pembelajaran, harus ada dorongan mental yang muncul dari dalam dan luar
siswa untuk melaksanakan proses pembelajaran yang diharapkan. Karena dalam
belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat
lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan motif tersebut.
Untuk mengetahui motivasi siswa selama pembelajaran Maka dari itu
peneliti menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
(TPS) dengan pemberian reward. Karena kebanyakan motivasi belajar siswa pada
suatu pembelajaran sangat rendah. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran yang
berasal dari guru yang menggunakan metode pembelajaran konvensional, hal ini
membuat siswa merasa bosan, sehingga proses pembelajaran tidak seperti yang
diharapakan. Untuk itu peneliti akan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe
Think-Pair-Share dengan pemberian reward untuk melihat motivasi belajar siswa
setelah pembelajaran dilakukan di kelas
41
Untuk kerangka berpikirnya dapat dilihat dalam gambar dibawah ini
Kelas
eksperiment
Pembelajaran biasa yang dilakukan guru
kelas (konvesional)
Pengukuran awal
Pembelajaran dengan model Think Pair
Share (TPS) dengan pemberian Reward
Pengukuran akhir
Pengaruh dari pembelajaran konvesional dan
pembelajaran model Think Pair Share (TPS) dengan
pemberian Reward terhadap motivasi belajar
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian
Pada penelitian ini, Peneliti hanya menggunakan satu kelas, yaitu kelas
eksperimen. Hal ini dilakukan karena peneliti dalam penelitian ini menggunakan
desain one group pre test-post test desaign. Pada pertemuan pertama, peneliti
menerapkan pembelajaran konvensional. Untuk melihat motivasi siswa pada saat
42
pembelajaran konvensional dilakukan, diakhir pembelajaran peneliti memberi
pengukuran awal yang berupa angket. Data awal diambil sebagai pembanding
dengan data akhir yang diperoleh dari pembelajaran dengan perlakuan diterapkan.
Selanjutnya pada pertemuan kedua peneliti menerapkan pembelajaran kooperatif
tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward. Untuk melihat motivasi
siswa setelah pembelajaran dengan model Think-Pair-Share (TPS) dengan
pemberian reward diterapkan, peneliti memberi pengukuran akhir yang berupa
angket. Setelah data diperoleh maka peneliti membandingkan hasil pengukuran
awal dengan hasil pengukuran akhir. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada
pengaruh antara pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dengan
pemberian reward dengan pembelajaran konvensional yang diterapkan pada
pertemuan pertama.
2.4
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang akan dikemukakan
oleh penulis adalah :
Hipotesis
: Ada pengaruh positif signifikan antara model pembelajaran tipe
Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward terhadap motivasi belajar IPA
(Studi di kalangan siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga).
Ho : b ≤ 0 : Tidak ada pengaruh positif signifikan model pembelajaran tipe
Think- Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward terhadap
motivasi belajar IPA (Studi di kalangan siswa kelas V Sekolah
Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga).
Ha : b > 0
: Ada pengaruh positif signifikan antara model pembelajaran tipe
Think-Pair-Share (TPS) dengan pemberian reward terhadap
motivasi belajar IPA (Studi di kalangan siswa kelas V Sekolah
Dasar Negeri Bugel 02 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)
Download