1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Pengarang selalu hadir dalam karya yang diciptakan dengan seluruh
kemanusiannya, baik suka dan dukanya, impian dan batu tarungnya, maupun
sukses dan kegagalannya. Meski menurut Teeuw (1997:2) rahasia perpaduan
antara pencipta dan ciptaannya tidak dapat diterangkan dalam analisis paling teliti
dan canggih sekalipun, pengetahuan tentang fakta hidup tidak hanya akan
menjadikan pembaca lebih sadar adanya peraduan itu, tetapi juga tentang
rahasianya yang tidak terbongkar. Hal ini akan meningkatkan ketegangan yang
merupakan unsur hakiki dalam kenikmatan membaca.
Pengarang dianggap memiliki sejarah perkembangannya yang sangat
panjang. Partisipasinya dipertimbangkan dalam setiap periode, aliran, zaman,
kelas, dan berbagai kategori sosial lainnya. Pengalaman tersebut akan terasa
apabila membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Hampir semua karya
sastra Pramoedya mempunyai latar kenyataan yang cukup mantap, baik tentang
kenyataan hidupnya sendiri, kenyataan orang di sekitarnya, kenyataan masyarakat
Indonesia sezaman, maupun kenyataan sejarah. Salah satunya, ia menulis cerita
dengan latar belakang masa kependudukan Jepang di Indonesia melalui roman
Perburuan (1950). Karya besarnya yang berupa Tetralogi Buru yang meliputi
Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan
Rumah Kaca (1988) ditulis dengan latar belakang pergerakan nasional Indonesia
1
2
pada 1898—1918 (Kurniawan, 1999:9—10). Selain itu, dalam satu fase, Pram
menerbitkan karya-karya ideologis yang sarat dengan muatan politis, seperti Gulat
di Djakarta (1953), Korupsi (1954), Midah, Simanis Bergigi Emas (1955), Tjerita
dari Djakarta (1957), dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958) (Kurniawan,
1999:125).
Novel Midah, Simanis Bergigi Emas menggambarkan Hadji Abdul dan
Hadji Terbus sebagai sosok haji yang sukses secara ekonomi dan religi. Kedua
tokoh itu hidup sebagai pengusaha yang berhasil dan mampu menjalankan
perintah agama dengan baik. Setiap tindak-tuturnya haruslah sesuai dengan ajaran
agama yang menurut pandangan mereka adalah kebaikan. Hal tersebut menjadi
gaya hidup dan gaya mendidik Hadji Abdul terhadap anak sulung perempuannya,
Midah.
Tokoh protagonis dalam novel ini hadir untuk berjuang demi cita-citanya
secara gigih. Midah adalah seorang perempuan belia yang hidup dalam dunia
patriarki yang kuat dan dibesarkan di lingkungan serba kecukupan sehingga
keadaan seperti ini telah membentuk pemahaman-pemahaman ideal tentang
sekelilingnya. Akan tetapi, perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap Midah
malah semakin berkurang seiring dengan semakin bertambahnya jumlah adik
Midah. Waktu-waktu yang biasa ia habiskan bersama ayahnya dengan
mendengarkan lagu Umi Kalsum—biduan Mesir yang menawan hati para
penduduk Jakarta—lama-lama hilang dan membentuk kebiasaan baru bagi Midah
untuk memutar gramapun sendiri.
3
Hubungan antara orang tua dan anak yang semakin jauh ini menyebabkan
anak tersebut tidak lagi senang tinggal di rumah. Begitu pula dengan Midah. Ia
tidak mendapat sesuatu lagi dari ibu dan bapaknya—sesuatu yang dahulu indah
dan nikmat. Ia mencari yang indah dan nikmat itu di luar rumahnya (hlm. 16).
Kesukaannya pada lagu Mesir itu juga mengalami perubahan. Dalam
pengembaraannya di sekitar Kampung Duri, Jakarta—tempat ia tinggal sejak
dilahirkan—ia menemukan satu rombongan pengamen kroncong. Kian lama ia
memperhatikan dan menikmati kroncong dengan bahasa yang ia mengerti, lagu
itu sampai ke hatinya. Berkilo-kilo meter ia mengikuti rombongan pengamen itu,
ia mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan yang berbeda dengan yang ia
dapat dari didikan orang tuanya. Namun, ketika Hadji Abdul mendapati Midah
sedang menikmati kroncong, marahlah ia kepada Midah karena menganggap
kroncong adalah sesuatu yang haram (hlm.18). Hadji Abdul membentak dan
menampar pipi Midah. Peristiwa tersebut menggoncangkan anggapannya selama
ini terhadap orang tuanya.
Situasi demikian menandakan perbedaan pandangan atau pemahaman
antara Hadji Abdul dan Midah. Perbedaan itu kemudian menunjukkan adanya
kekuasaan atas kelompok yang dianggap lemah. Hadji Abdul tampak melakukan
dominasi dengan melakukan tindakan kekerasan, namun perlu dicurigai bahwa di
dalamnya juga ada bentuk-bentuk kepemimpinan moral dan intelektual atas kelas
yang dianggap lemah, yang kemudian disebut hegemoni.
Menurut Faruk (2012:136), hegemoni menyangkut cara-cara serangkaian
kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, ideologis yang
4
bekerja untuk ‘menyemen’ masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif. Yang
dimaksud dengan ‘menyemen’ adalah mengikat kelas-kelas yang sebenarnya
bersifat antagonistik menjadi suatu kesatuan yang seakan-akan rukun dan
harmonis. Namun, ketika pihak yang dianggap lemah itu menyadari posisinya,
terjadilah suatu sikap sebagai tanggapan menghadapi suatu keadaan hegemoni,
seperti yang dialami Midah pada saat ia mengalami tindak kekerasan yang
dilakukan oleh bapaknya ataupun menghadapi kenyataan bahwa suaminya sudah
memiliki banyak istri (hlm. 21).
Oleh sebab itu, stratifikasi masyarakat dalam novel ini menghadirkan
ideologi-ideologi yang muncul melalui pemikiran, ucapan, ataupun tingkah laku
lewat karakter para tokoh. Setiap tokoh bertindak-tutur sesuai dengan perannya
dan saling berinteraksi. Interaksi-interaksi inilah yang menandakan kepentingankepentingan tertentu, sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Antara satu ideologi dengan yang lain berusaha untuk saling memimpin
dan memengaruhi dengan melakukan segala cara untuk mempertahankan
kedudukan. Namun, ketika suatu ideologi menyadari kedudukannya, ia akan
mengungkapkan berbagai kesadaran kritis untuk menandingi hegemoni yang telah
lama berlangsung. Gramsci berpendapat bahwa hegemoni dari kelas dominan
dijalankan dalam masyarakat sipil dengan mengajak kelas-kelas yang berada di
bawah (kelas subordinasi) untuk menerima nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang
telah diambil oleh kelas yang dominan tersebut (Simon, 2004:13).
Selain menunjukkan stratifikasi sosial yang saling bertentangan, sebagai
tanggapan atas konflik, novel ini diduga juga menampilkan tokoh-tokoh yang
5
bersikap dan berpikir kritis terhadap kepemimpinan sebagai bentuk hegemoni
tandingan dengan cara menyuarakan konsep pemikiran yang lain—menjadi
sebuah alternatif yang ditawarkan. Teori Gramsci merupakan teori yang
memahami bentuk-bentuk praktik politik dan hegemonis, serta menunjukkan
pembaruan pemikiran yang harus diperjuangkan oleh kelas yang dipimpin.
Dengan demikian, beberapa alasan dipilihnya novel MSBE sebagai data
penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, novel ini diduga mengandung bentuk
kekuasaan yang dilapisi dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak dominan.
Kedua, ada dugaan bahwa novel ini menunjukkan praktik-praktik kepemimpinan
yang dilakukan oleh pihak dominan dengan menyebarluaskan nilai-nilai. Nilainilai tersebut kemudian menjadi stereotipe yang telah berkembang di masyarakat.
Ketiga, novel ini juga mengungkapkan pandangan-pandangan baru yang
mengkritisi stereotipe yang telah berkembang di masyarakat tersebut. Selain itu,
yang teristimewa dari novel MSBE untuk dijadikan data penelitian adalah kritik
Pram tentang cinta bahwa cinta merupakan pengorbanan seseorang dalam
kehidupan, terutama pada perempuan. Hal ini terungkap melalui penggunaan
bahasa yang sederhana dan tidak bertele-tele sebagaimana ciri khas karya-karya
Pramoedya Ananta Toer sebagai pencipta karya sastra.
Dengan menyadari permasalahan yang ada, novel MSBE dapat ditelaah
melalui kajian sosiologi sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur
sosial. Ratna (2009:26) memandang bahwa pemahaman aspek-aspek sosial dalam
sosiologi sastra, di satu pihak, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan
6
dengan kenyataan. Di lain pihak, sosiologi sastra juga menjelaskan eksistensi
karya sastra bukan semata-mata gejala individual, melainkan juga gejala sosial.
Dalam hubungan-hubungan produksi sastra, penulis memiliki posisi yang
sangat menentukan. Pengarang dianggap memiliki kompetensi ganda dalam
merekonstruksi struktur bahasa dan struktur fiksi, sekaligus kapasitas untuk
menopang stabilitas sosial (Ratna, 2009:194). Karya-karya Pram mampu
membawa para pembacanya ke berbagai persoalan yang perlu disadari secara
kritis, seperti konflik kebudayaan, sosial, politik, dan ideologi yang hampir
dialami oleh setiap umat. Hasil ciptaannya itu diduga menggambarkan tokohtokoh tertentu yang dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan kritik atas
hegemoni dan mengupas masalah-masalah sosial dengan gaya bahasa yang dapat
membuat pembaca merasakan persoalan-persoalan tersebut. Oleh sebab itu, selain
menganalisis novel Midah, Simanis Bergigi Emas,
perlu dan penting juga
mengadakan penelitian mengenai proses kreatif dengan menggambarkan riwayat
hidup pengarang sebagai konteks sosial dan pandangan pengarang yang
melatarbelakangi penciptaan novel ini.
Dengan demikian, novel MSBE, dalam penelitian ini dianggap sebuah
karya yang diasumsikan dapat menunjukkan adanya keterkaitan berupa formasi
ideologi, tanggapan atas hegemoni berupa hegemoni tandingan, dan konteks
sosial dan ideologi pengarang sebagai proses kreatif penciptaan karya ini. Oleh
sebab itu, teori hegemoni Gramsci dipandang tepat untuk menjawab permasalahan
yang muncul dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer ini.
7
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
a.
Bagaimana formasi ideologi dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta
Toer?
b.
Bagaimana hegemoni tandingan dalam novel MSBE karya Pramoedya
Ananta Toer?
c.
Bagaimana konteks biografi pengarang yang melatarbelakangi penciptaan
novel MSBE?
1.3
Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan penelitian ini, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Secara teoretis, penelitian ini dilakukan untuk menguraikan formasi ideologi
dalam novel MSBE, mendeskripsikan hegemoni tandingan yang ada dalam novel
MSBE karya Pramoedya Ananta Toer, serta mengungkapkan konteks sosial
Pramoedya Ananta Toer sebagai pencipta novel MSBE.
Secara praktis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan
mengenai studi sosiologi sastra dengan memperhatikan konteks sosial dan
berbagai permasalahan yang terjadi di dalam karya sastra. Penelitian ini juga
dapat dijadikan referensi tentang deskripsi ideologi dan hegemoni tandingan yang
hadir melalui karya sastra. Penelitian ini diharapkan pula dapat menambah
ketajaman pembaca sastra dalam menghadapi fenomena sosial yang terjadi di
sekitarnya sehingga kontrol sosial dari masyarakat dapat terwujud dengan baik.
8
1.4
Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan novel Midah,
Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek penelitian
tetapi diteliti dengan pendekatan yang berbeda. Terdapat skripsi Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, yang berjudul
“Novel Midah Si Manis Begigi Emas: Kajian Feminis Sastra” oleh Thariq Asadi
(2006). Skripsi ini menggunakan teori kritik sastra feminis dengan cara
mengidentifikasi
tokoh-tokoh
perempuan,
kemudian
ditelaah
dengan
mempertimbangkan stereotipe untuk memperoleh gambaran tentang perempuan.
Linda Wati (2007) dari Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta menulis skripsi dengan judul “Konflik
Batin Tokoh Midah dalam Novel Midah, Simanis Bergigi Emas Karya Pramoedya
Ananta Toer (Suatu Pendekatan Psikologi Sastra)”. Skripsi ini menjawab dua
rumusan masalah, yaitu mendeskripsikan hubungan unsur tokoh dan latar dalam
novel Midah, Simanis Bergigi Emas untuk membentuk konflik batin dan
mendeskripsikan konflik batin yang terjadi pada tokoh Midah dengan
menggunakan teori psikologi kebutuhan dasar Abraham Maslow.
Analisis terhadap novel Midah Simanis Bergigi Emas juga pernah diteliti
oleh Ari Kurnia (2009) dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Skripsi yang
berjudul “Novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer:
Pendekatan Struktural” ini menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan
struktur novel, seperti fakta-fakta cerita yang meliputi alur/plot dalam novel,
9
sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, serta tema
yang ada dalam novel tersebut.
Adapun penelitian yang menggunakan teori hegemoni Gramsci sebagai
alat analisis karya sastra ialah tesis yang ditulis oleh Harjito (2002) untuk
menyelesaikan Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tesis yang
berjudul “Student Hijo Karya Marco Kartodikromo: Analisis Hegemoni
Gramscian” ini menjelaskan formasi ideologi dalam novel Student Hijo,
mendeskripsikan hubungan persamaan antara formasi ideologi Student Hijo dan
formasi ideologi yang ada dalam masyarakat, serta menganalisis hubungan
historis Student Hijo sebagai bagian dari negosiasi ideologi yang terjadi dalam
masyarakat.
Pitra Despina (2008) telah menyusun skripsi berjudul “Analisis Hegemoni
Gramsci Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi ini
menjawab tiga rumusan masalah, yaitu hubungan Pram dengan situasi historis
novel Gadis Pantai, bentuk formasi ideologi dalam Gadis Pantai, dan negoisasi
antarideologi dalam novel Gadis Pantai.
Dari Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatra Utara, Prinsi Rigitta
(2011) telah menyusun tesis yang berjudul “Formasi Ideologi dalam Novel Entrok
Karya Okky Madasari”. Tesis ini menjawab berbagai rumusan masalah. Pertama,
menjelaskan formasi ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam
novel Entrok karya Okky Madasari. Kedua, mendeskripsikan politik dan
kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok. Ketiga,
10
menjelaskan pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi
terhadap tokoh-tokoh dalam novel Entrok.
Terdapat sebuah tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
yang disusun oleh Amrin (2011) yang berjudul “Resistensi Perempuan: Kajian
Hegemoni Gramsci dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira”. Tesis
ini menjawab empat masalah. Pertama, mendeskripsikan kondisi sosial, budaya,
dan pendidikan perempuan dalam novel Sintren. Kedua, menjelaskan identifikasi
konstruksi ideologi dalam novel Sintren. Ketiga, mengungkap manifestasi
ketidakadilan gender dalam novel Sintren. Keempat, mendeskripsikan adanya
resistensi dan negosiasi perempuan dalam novel Sintren.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, tampak bahwa novel Midah, Simanis
Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer belum pernah dianalisis dengan
menggunakan teori hegemoni Gramsci. Keaslian penelitian ini terletak pada
konsep penelitian yang mengupas tentang hegemoni tandingan sehingga perlu
diadakan penelitian untuk memperluas pemikiran tentang fenomena sosial yang
ada di lingkungan masyarakat.
1.5
Landasan Teori
Hegemoni berasal dari kata hegeisthai (Yunani) yang berarti memimpin,
kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain (Ratna, 2007:175).
Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni bukanlah hubungan dominasi
dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi (Simon, 2004:19). Kelas
11
hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas
sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui
perjuangan politik dan ideologis.
Teori hegemoni Gramscian memberikan sumbangan bagi pemikiran
Marxian yang berkembang sebelumnya, yaitu Gramsci menerapkan konsep
tersebut bukan hanya dalam konteks hubungan buruh dan majikan, melainkan
juga pada setiap relasi sosial. Selain itu, hegemoni merupakan pengaruh kultural,
bukan kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi sebagaimana dipahami
Marxis 1.
Secara leksikal, ideologi berarti kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat untuk memberikan arah dan tujuan demi kelangsungan
hidup. Ideologi juga dapat dipahami sebagai cara berpikir seseorang atau suatu
golongan (KBBI, 2008:517). Pada umumnya, definisi ideologi meliputi (1) ilmu
pengetahuan mengenai cita-cita, (2) cara berpikir seseorang atau kelompok, dan
(3) paham yang dikaitkan dengan kelompok tertentu (Ratna, 2007:176). Lebih
dalam lagi, Turner (2010:268) merujuk ideologi pada keyakinan tertentu yang
meliputi segala hal, mulai dari pengetahuan ilmiah, agama, hingga keyakinan
sehari-hari yang berkenaan dengan perilaku yang pantas, terlepas dari benar atau
salah.
Dalam perkembangannya, ideologi sering hanya diartikan sebagai sebuah
sistem ide, misalnya ketika orang berbicara tentang ideologi liberalis, komunis,
ataupun sosialis. Namun, bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide.
1
Keatt, Joan. 2011. “Teori Hegemoni Antonio Gramsci”, dalam http://id.shvoong.com.
12
Ideologi dapat mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk
bergerak, mendapatkan kesadaran tentang posisinya, dan perjuangan mereka.
Ideologi bukanlah fantasi perorangan, tetapi terjelma dalam cara hidup kolektif
masyarakat (Simon, 2004:83). Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sesuatu yang
berada di luar aktivitas praktis manusia, melainkan mempunyai eksistensi dalam
berbagai aktivitas praktis tersebut (Simon, 2004:84).
Terkait dengan ideologi, dengan memakai istilah dari Salamini (Harjito,
2002:33), ideologi menurut Gramsci mengandung empat elemen, yaitu elemen
kesadaran, elemen material, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan.
Elemen kesadaran menandakan bahwa ideologi memberi tempat manusia
untuk bergerak dan mendapatkan kesadaran tentang posisi mereka, baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial, maupun perjuangan untuk menjadi kelas
hegemoni. Titik awal kesadaran adalah pemikiran awal (common sense).
Pemikiran awam berasal dari berbagai sumber dan kejadian masa lalu yang
membuat masyarakat menerima kebiasaan, kekuasaan, ketidakadilan, dan
penindasan sebagai hal yang alamiah, produk hukum alam, kehendak Tuhan, dan
tidak dapat diubah (Harjito, 2002:33). Simon (2004:27) mengutarakan bahwa
Gramsi
menggunakan
istilah
pendapat
umum
(common
sense)
untuk
menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami
dunia. Pemikiran ini merupakan tempat dibangunnya ideologi dan menjadi tempat
perlawanan ideologi itu.
Elemen material adalah wujud eksistensi material dalam berbagai aktivitas
praktis dan menjelma dengan cara hidup kolektif masyarakat. Ideologi bukanlah
13
fantasi atau angan-angan seseorang, tetapi menjelma dalam kehidupan keseharian
masyarakat, lembaga, ataupun organisasi di tempat praktik sosial berlangsung,
misalnya dalam partai politik, serikat dagang, masyarakat sipil, aparat negara,
perusahaan komersial, atau lembaga keuangan (Simon, 2004:83-86).
Elemen solidaritas-identitas merupakan tanda bahwa ideologi mampu
mengikat sebagai pondasi penyatuan sosial berbagai kelompok yang berbeda ke
dalam satu wadah. Dengan demikian, kelompok-kelompok lain diikutsertakan,
termasuk ideologinya, guna mendapatkan dukungan. Pernyataan tersebut secara
tidak langsung mengakui adanya pluralitas ideologi di masyarakat karena terdapat
berbagai kelompok sosial. Untuk merangkul berbagai kelompok sosial, dalam
menyusun ideologi baru tidak harus menyingkirkan semua sistem ideologi yang
berbeda, tetapi justru melakukan transformasi ideologi dengan mempertahankan
dan menyusun kembali beberapa unsur yang paling tangguh. Istilah untuk
menggambarkan keadaan ini disebut negosiasi (Harjito, 2002:35).
Elemen kebebasan menjelaskan bahwa ideologi menghasilkan kebebasan
maksimal kepada individu untuk merealisasikan dirinya. Kebebasan memberi
peluang kepada masyarakat untuk menyadari ketertindasan dan mengarahkan aksi
masyarakat demi menghilangkan penindasan tersebut (Harjito, 2002:36).
Formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian
dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen
solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elemen tidak harus muncul
bersamaan. Namun, elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang
berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian,
14
cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial
berlangsung.
Persoalan kultural dan formasi ideologi menjadi penting bagi Gramsci
karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Harjito (2002:25) menyatakan
bahwa formasi merupakan suatu susunan dengan hubungan yang bersifat
bertentangan, korelatif, dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya membahas
berbagai macam ideologi yang terdapat dalam teks, tetapi juga membahas
bagaimana relasi antarideologi tersebut.
Salah satu cara untuk membentuk gagasan adalah melalui bahasa dan
folklor. Bahasa merupakan sarana utama dan berpengaruh besar terhadap
penyebaran konsep dunia tertentu. Makin luas dan makin banyak bahasa yang
dipahami, maka makin mudah penyebaran ideologi (Ratna, 2007:183). Folklor,
umumnya, meliputi sistem kepercayaan, opini, dan takhayul. Folklor berperan
dalam menopang hegemoni dan sebagai kekuatan yang berfungsi untuk mengikat
masyarakat tanpa kekerasan. Dengan demikian, gagasan-gagasan dan opini-opini
tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya pusat informasi,
penyebaran, dan persuasi (Faruk, 2012:131—132).
Dalam
sebuah
hegemoni,
kelompok
yang
memimpin
berhasil
memengaruhi kelompok yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan
budaya dari kelompok dominan. Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar
sehingga ideologi kelompok pemimpin itu dapat menyebar dan dipraktikkan.
Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak
15
pemimpin sedemikian rupa sehingga pihak lainnya tetap diam dan taat terhadap
kepemimpinan kelompok penguasa.
Dengan demikian, mekanisme penguasaan suatu kelas sebagai berikut.
Kelas pemimpin melakukan pengarahan kepada kelas bawah menggunakan
ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas
bawah sehingga tanpa disadari mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas
dominan. Hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup
dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya terdapat sebuah konsep atau
ide mengenai kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat, baik secara
institusional maupun perorangan (Hatmoko, 2013:3). Ideologi mendiktekan
seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta
seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan
moral. Oleh karena itu, ideologi berperan sebagai ‘semen’ atau kekuatan perekat
yang mengikat berbagai kelas dan strata yang berbeda-beda (Simon, 2004:37).
Terkait dengan ideologi, Gramsci menggunakan istilah pemikiran awam
(common sense) untuk menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak
sadar dalam memahami dunia. Pemikiran awam merupakan tempat dibangunnya
ideologi. Pihak dominan seolah-olah berpihak kepada rakyat, misalnya dengan
mengumbar janji mengenai kesejahteraan. Hal ini menjadi corong penguasa untuk
menjerat hati rakyat. Janji bisa saja menjadi alat yang sangat ampuh untuk
memperoleh legitimasi dari rakyat. Kekuasaan yang diwartakan lewat para
penguasa selalu bertegangan dengan janji, kemakmuran, dan slogan politik.
16
Dalam kacamata Gramsci, ketegangan semacam itu bisa menjadi
kepercayaan-kepercayaan populer atau pemikiran awam (common sense) yang
selalu berkembang antara pemimpin dan rakyat (Kristanto, 2001:63). Common
sense adalah tempat ideologi dominan dibangun dan sekaligus menjadi tempat
perlawanan dan tantangan bagi ideologi tersebut (Simon, 2004:92).
Sementara
itu,
Turner
(2010:253)
menjelaskan
bahwa
Gramsci
menggunakan hegemoni untuk menggambarkan suatu kepemimpinan satu kelas
atas kelas lain secara ideologis dan politis. Ideologi pemimpin memperoleh
persetujuan melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil. Semakin menonjol suatu
masyarakat sipil, semakin kuat kemungkinan hegemoni melalui sarana ideologi.
Gramsci juga mengenalkan konsep masyarakat politik dan masyarakat
sipil. Masyarakat politik merupakan dunia kekerasan, pemaksaan, dan intervensi.
Gramsci memakai istilah ini untuk hubungan koersif yang terwujud dalam
berbagai lembaga negara, sedangkan masyarakat sipil merupakan wilayah
kesetujuan. Masyarakat sipil juga dapat dijadikan sebagai suatu wadah perjuangan
kelas. Gramsci juga menambahkan bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat
etika atau moral. Di dalamnya terjelma berbagai organisasi dan lembaga, seperti
gereja, partai politik, serikat dagang, media massa, lembaga kebudayaan, dan
lembaga sukarela, kecuali institusi negara karena institusi ini menguasai monopoli
kekerasan (Simon, 2003:28). Dengan demikian, Simon (2004:103) menjelaskan
bahwa masyarakat sipil juga mencakup keluarga.
Akan tetapi, jangan sampai memahami perbedaan antara masyarakat sipil
dan masyarakat politik seolah-olah keduanya terpisah secara fisik dan menjadi
17
wilayah yang tersendiri dengan batas-batas yang tegas. Pada dasarnya keduanya
terbentuk dari berbagai hubungan sosial yang bersifat koersif sekaligus menjelma
dalam berbagai organisasi. Konsep ini membentuk sebuah negara integral yang
merupakan perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat
kepemimpinan hegemonik. Negara integral adalah hegemoni yang dilapisi dengan
kekuasaan koersi karena dalam praktiknya, hegemoni dan dominasi atau koersi
dapat terus berjalan secara berdampingan.
Bagi Gramsci, suatu kelas sosial akan memperoleh keunggulan
(supremasi) melalui dua cara, yaitu dominasi atau paksaan (coercion) dan melalui
kepemimpinan
intelektual
dan
moral
(Patria,
2003:119).
Gramsci
mengembangkan konsep hegemoni untuk menggambarkan suatu kondisi
supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya oleh kekuatan fisik—yang disebut
Gramsci dominasi atau perintah—, tetapi juga melalui penyampaian konsensus
dari kelompok yang dipimpin. Mengenai fenomena ini, Gramsci secara bervariasi
menyebutnya dengan kepemimpinan, arah, ataupun hegemoni (Litowitz,
2000:518). Untuk menggambarkan sebuah kepemimpinan, Gramsci juga
menggunakan simbol centaur, mitologi Yunani, yaitu setengah binatang dan
setengah manusia, sebagai simbol dari perspektif ganda suatu tindakan politik,
seperti kekerasan dan kesopanan, kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni
(Simon, 2004:19).
Menurut Gramsci, hanya pada tingkat-tingkat tertentu, kemanusiaan
memperoleh kesadaran akan nilainya. Kesadaran itu merupakan hasil dari refleksi
yang berkembang menjadi gagasan. Kesadaran ini menjadi kesadaran kritis yang
18
menyadari adanya struktur sosial serta hak dan kewajibannya, baik sebagai
individu maupun kelompok. Bahkan, Kristanto (2001:60) mengungkapkan bahwa
ketika kesadaran kritis individu terbentuk, kekuasaan tidak lagi menjadi sesuatu
yang menyeramkan dan harus disembah. Saat individu mencapai tahap kesadaran
kritis, individu bisa mengambil jarak dari belit kekuasaan.
Yang berperan penting untuk menggugat jerat-jerat ideologi itu adalah
para intelektual. Gramsci membedakan intelektual menjadi dua macam, yaitu
intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah
orang-orang yang dikategorikan sebagai intelektual otonom dan merdeka dari
kelompok sosial dominan. Mereka biasanya hanya mengamati serta memperlajari
kehidupan masyarakat dari kejauhan dan sering bersifat konservatif (anti terhadap
perubahan). Kelompok ini memisahkan intelegensi dari tatanan borjuis, seperti
golongan rohaniawan, sastra, filsuf, dan artis (Patria dan Arief, 2003:165).
Adapun
intelektual
organik
biasanya
meliputi
orang-orang
yang
menanamkan kesadaran baru yang menyikapi kebobrokan sistem lama dan dapat
mengorganisasi masyarakat. Dengan begitu, ide tentang pemberontakan dapat
diterima oleh masyarakat. Gramsci mencontohkan intelektual organik sebagai
intelektual organisator politik, bos-bos perusahaan, petani-petani kaya, manajer
perumahan, penguasa komersial dan industri, dan sebagainya (Simon, 2004:144).
Harjito (2002:23-24) menjelaskan bahwa ada empat hal penting dalam
teori Gramsci. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu
terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik bisa terjadi tidak hanya antarkelas,
tetapi konflik antara kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan yang
19
bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap
masyarakat.
Ketiga, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan,
kelompok harus mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi,
memperluas,
dan
mengembangkan kepentingannya
dengan
kepentingan-
kepentingan umum kelompok sublatern. Kata kunci dalam pemahaman teori
hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus
semua kelompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada
dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan
budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya
dijamin kelompok dominan.
Hegemoni tidak hanya menundukkan kelas sublatern, tetapi juga berjuang
untuk meneruskan kepemimpinannya. Perjuangan tersebut dilakukan dengan cara
menundukkan satu per satu agen-agen masyarakat sipil, seperti keluarga, agama,
komunitas, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk mengupayakan keseimbangan
pengaruh sosial, digunakan hegemoni tandingan (counter hegemony), namun hal
ini memerlukan proses moral dan ideologi yang panjang. Ideologi tersebut
merupakan wujud hegemoni tandingan (counter hegemony) sebagai ideologi
alternatif yang diupayakan oleh kelas sublatern atas hegemoni kelas penguasa
yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan
penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam.
Simon
(2004:xvii)
mengatakan
bahwa
pemikiran
Gramsci
menyumbangkan perubahan yang besar yang menekankan pada pembangkitan
20
kesadaran kritis. Setiap upaya bagi mereka selalu ada peluang untuk senantiasa
mengembalikan fungsinya sebagai proses independensi dan transformasi sosial.
Artinya, pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap tabu dan
menantang secara kritis hegemoni dominan. Dalam proses melakukan
transformasi sosial, haruslah dilakukan transformasi atas diri sendiri dahulu, yakni
membongkar struktur yang tidak adil dengan cara meembangkitkan pikiranpikiran kritis. Artinya, dalam hegemoni tandingan, peneliti berusaha untuk
memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pikiran mengenai
hegemoni tandingan sebagai suatu titik individu menyadari ketaatannya dan
berusaha melakukan sesuai mengenai hal tersebut (West, 2008:71)
Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas
melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan
merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak hanya melihat
karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi
pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang
bersangkutan. Pengarang mengembangkan peran masyarakat sipil dalam karyanya
menjadi wadah kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah untuk menyusun
perlawanan dan membangun sebuah hegemoni alternatif—hegemoni tandingan.
Dengan demikian, karya sastra tidak hanya menunjukkan bahwa karya itu
menjelaskan masyarakat secara umum, tetapi juga mengandung muatan ideologi
yang bermaksud mendukung atau menandingi kekuasaan yang ada. Oleh sebab
itu, skripsi ini menggunakan perpektif hegemoni Gramscian dengan menggunakan
beberapa terminologi Gramsci, antara lain ideologi, masyarakat sipil, dan
21
hegemoni tandingan. Hal tersebut cukup sesuai untuk diterapkan dalam novel
Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer karena di dalam
novel itu terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa publik menjadi
terpengaruh karena adanya persetujuan yang tidak kentara.
1.6
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis karya sastra.
Artinya, penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dalam
karya sastra, setelah itu disusul dengan melakukan analisis (Ratna, 2008:53).
Metode ini memberikan pemahaman dan penjelasan terkait rumusan masalah
yang sudah diungkapkan, yaitu tentang, formasi ideologi dalam novel MSBE,
hegemoni tandingan yang terjadi di dalamnya, dan konteks sosial Pram sebagai
pengarang novel MSBE. Data dalam penelitian ini berupa teks yang terdapat
dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek material dan
teori ideologi hegemoni Gramsci sebagai objek formalnya.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data,
analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Tahap pengumpulan data
dilakukan dengan membaca berulang-ulang novel MSBE karya Pramoedya
Ananta Toer. Berikutnya, tahap analisis data dilakukan dengan mengolah data
yang telah terkumpul berdasarkan perspektif hegemoni Gramsci. Setelah itu,
analisis data disajikan berupa laporan penelitian. Berikut langkah-langkah
penelitian yang dilakukan:
22
1.
Menetapkan objek penelitian, yaitu novel Midah, Simanis Bergigi Emas
karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek material dan teori hegemoni
Gramsci sebagai objek formalnya.
2.
Menentukan masalah pokok penelitian, yaitu, formasi ideologi yang
terdapat dalam novel tersebut, hegemoni tandingan yang ada dalam novel,
dan konteks sosial Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang novel
Midah, Simanis Bergigi Emas.
3.
Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel Midah, Simanis
Bergigi Emas untuk mendapatkan data yang diperlukan dan pemahaman
yang menyeluruh.
4.
Melakukan
studi
pustaka
dengan
mencari,
mengumpulkan,
dan
mempelajari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan
dalam penelitian ini.
5.
Menentukan dan mendeskripsikan formasi ideologi yang ada dalam novel
Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer.
6.
Mendeskripsikan hegemoni tandingan yang terjadi dalam novel tersebut.
7.
Mendeskripsikan
konteks
sosial
Pramoedya
Ananta
Toer
melatarbelakangi penulisan novel Midah, Simanis Bergigi Emas.
8.
Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan hasil analisis.
yang
23
1.7
Sistematika Laporan Penelitian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahulan yang
berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab
II adalah analisis formasi ideologi yang ada dalam novel MSBE. Bab ini terdiri
atas berbagai ideologi yang diduga ada dalam novel tersebut, seperti feodalisme,
materialisme, konsumerisme, teisme, patriarki, humanisme, liberalisme, dan
feminisme. Bab III adalah analisis hegemoni tandingan dalam novel MSBE. Bab
ini mengungkap hegemoni tandingan berdasarkan kelompok sosial yang saling
bertentangan, seperti antara masyarakat kelas elite dan masyarakat kelas bawah,
konflik antarseniman, serta antara laki-laki dan perempuan. Bab IV berisi
deskripsi konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi novel MSBE. Bab ini
akan mengupas latar belakang keluarga Pramoedya Ananta Toer dan hubungan
latar belakang tersebut dengan kepengarangan novel MSBE. Terakhir, Bab V ialah
kesimpulan.
Download