BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengarang selalu hadir dalam karya yang diciptakan dengan seluruh kemanusiannya, baik suka dan dukanya, impian dan batu tarungnya, maupun sukses dan kegagalannya. Meski menurut Teeuw (1997:2) rahasia perpaduan antara pencipta dan ciptaannya tidak dapat diterangkan dalam analisis paling teliti dan canggih sekalipun, pengetahuan tentang fakta hidup tidak hanya akan menjadikan pembaca lebih sadar adanya peraduan itu, tetapi juga tentang rahasianya yang tidak terbongkar. Hal ini akan meningkatkan ketegangan yang merupakan unsur hakiki dalam kenikmatan membaca. Pengarang dianggap memiliki sejarah perkembangannya yang sangat panjang. Partisipasinya dipertimbangkan dalam setiap periode, aliran, zaman, kelas, dan berbagai kategori sosial lainnya. Pengalaman tersebut akan terasa apabila membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Hampir semua karya sastra Pramoedya mempunyai latar kenyataan yang cukup mantap, baik tentang kenyataan hidupnya sendiri, kenyataan orang di sekitarnya, kenyataan masyarakat Indonesia sezaman, maupun kenyataan sejarah. Salah satunya, ia menulis cerita dengan latar belakang masa kependudukan Jepang di Indonesia melalui roman Perburuan (1950). Karya besarnya yang berupa Tetralogi Buru yang meliputi Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) ditulis dengan latar belakang pergerakan nasional Indonesia 1 2 pada 1898—1918 (Kurniawan, 1999:9—10). Selain itu, dalam satu fase, Pram menerbitkan karya-karya ideologis yang sarat dengan muatan politis, seperti Gulat di Djakarta (1953), Korupsi (1954), Midah, Simanis Bergigi Emas (1955), Tjerita dari Djakarta (1957), dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958) (Kurniawan, 1999:125). Novel Midah, Simanis Bergigi Emas menggambarkan Hadji Abdul dan Hadji Terbus sebagai sosok haji yang sukses secara ekonomi dan religi. Kedua tokoh itu hidup sebagai pengusaha yang berhasil dan mampu menjalankan perintah agama dengan baik. Setiap tindak-tuturnya haruslah sesuai dengan ajaran agama yang menurut pandangan mereka adalah kebaikan. Hal tersebut menjadi gaya hidup dan gaya mendidik Hadji Abdul terhadap anak sulung perempuannya, Midah. Tokoh protagonis dalam novel ini hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih. Midah adalah seorang perempuan belia yang hidup dalam dunia patriarki yang kuat dan dibesarkan di lingkungan serba kecukupan sehingga keadaan seperti ini telah membentuk pemahaman-pemahaman ideal tentang sekelilingnya. Akan tetapi, perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap Midah malah semakin berkurang seiring dengan semakin bertambahnya jumlah adik Midah. Waktu-waktu yang biasa ia habiskan bersama ayahnya dengan mendengarkan lagu Umi Kalsum—biduan Mesir yang menawan hati para penduduk Jakarta—lama-lama hilang dan membentuk kebiasaan baru bagi Midah untuk memutar gramapun sendiri. 3 Hubungan antara orang tua dan anak yang semakin jauh ini menyebabkan anak tersebut tidak lagi senang tinggal di rumah. Begitu pula dengan Midah. Ia tidak mendapat sesuatu lagi dari ibu dan bapaknya—sesuatu yang dahulu indah dan nikmat. Ia mencari yang indah dan nikmat itu di luar rumahnya (hlm. 16). Kesukaannya pada lagu Mesir itu juga mengalami perubahan. Dalam pengembaraannya di sekitar Kampung Duri, Jakarta—tempat ia tinggal sejak dilahirkan—ia menemukan satu rombongan pengamen kroncong. Kian lama ia memperhatikan dan menikmati kroncong dengan bahasa yang ia mengerti, lagu itu sampai ke hatinya. Berkilo-kilo meter ia mengikuti rombongan pengamen itu, ia mendapatkan pemahaman baru tentang kehidupan yang berbeda dengan yang ia dapat dari didikan orang tuanya. Namun, ketika Hadji Abdul mendapati Midah sedang menikmati kroncong, marahlah ia kepada Midah karena menganggap kroncong adalah sesuatu yang haram (hlm.18). Hadji Abdul membentak dan menampar pipi Midah. Peristiwa tersebut menggoncangkan anggapannya selama ini terhadap orang tuanya. Situasi demikian menandakan perbedaan pandangan atau pemahaman antara Hadji Abdul dan Midah. Perbedaan itu kemudian menunjukkan adanya kekuasaan atas kelompok yang dianggap lemah. Hadji Abdul tampak melakukan dominasi dengan melakukan tindakan kekerasan, namun perlu dicurigai bahwa di dalamnya juga ada bentuk-bentuk kepemimpinan moral dan intelektual atas kelas yang dianggap lemah, yang kemudian disebut hegemoni. Menurut Faruk (2012:136), hegemoni menyangkut cara-cara serangkaian kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, ideologis yang 4 bekerja untuk ‘menyemen’ masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif. Yang dimaksud dengan ‘menyemen’ adalah mengikat kelas-kelas yang sebenarnya bersifat antagonistik menjadi suatu kesatuan yang seakan-akan rukun dan harmonis. Namun, ketika pihak yang dianggap lemah itu menyadari posisinya, terjadilah suatu sikap sebagai tanggapan menghadapi suatu keadaan hegemoni, seperti yang dialami Midah pada saat ia mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh bapaknya ataupun menghadapi kenyataan bahwa suaminya sudah memiliki banyak istri (hlm. 21). Oleh sebab itu, stratifikasi masyarakat dalam novel ini menghadirkan ideologi-ideologi yang muncul melalui pemikiran, ucapan, ataupun tingkah laku lewat karakter para tokoh. Setiap tokoh bertindak-tutur sesuai dengan perannya dan saling berinteraksi. Interaksi-interaksi inilah yang menandakan kepentingankepentingan tertentu, sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Antara satu ideologi dengan yang lain berusaha untuk saling memimpin dan memengaruhi dengan melakukan segala cara untuk mempertahankan kedudukan. Namun, ketika suatu ideologi menyadari kedudukannya, ia akan mengungkapkan berbagai kesadaran kritis untuk menandingi hegemoni yang telah lama berlangsung. Gramsci berpendapat bahwa hegemoni dari kelas dominan dijalankan dalam masyarakat sipil dengan mengajak kelas-kelas yang berada di bawah (kelas subordinasi) untuk menerima nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang telah diambil oleh kelas yang dominan tersebut (Simon, 2004:13). Selain menunjukkan stratifikasi sosial yang saling bertentangan, sebagai tanggapan atas konflik, novel ini diduga juga menampilkan tokoh-tokoh yang 5 bersikap dan berpikir kritis terhadap kepemimpinan sebagai bentuk hegemoni tandingan dengan cara menyuarakan konsep pemikiran yang lain—menjadi sebuah alternatif yang ditawarkan. Teori Gramsci merupakan teori yang memahami bentuk-bentuk praktik politik dan hegemonis, serta menunjukkan pembaruan pemikiran yang harus diperjuangkan oleh kelas yang dipimpin. Dengan demikian, beberapa alasan dipilihnya novel MSBE sebagai data penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, novel ini diduga mengandung bentuk kekuasaan yang dilapisi dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak dominan. Kedua, ada dugaan bahwa novel ini menunjukkan praktik-praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh pihak dominan dengan menyebarluaskan nilai-nilai. Nilainilai tersebut kemudian menjadi stereotipe yang telah berkembang di masyarakat. Ketiga, novel ini juga mengungkapkan pandangan-pandangan baru yang mengkritisi stereotipe yang telah berkembang di masyarakat tersebut. Selain itu, yang teristimewa dari novel MSBE untuk dijadikan data penelitian adalah kritik Pram tentang cinta bahwa cinta merupakan pengorbanan seseorang dalam kehidupan, terutama pada perempuan. Hal ini terungkap melalui penggunaan bahasa yang sederhana dan tidak bertele-tele sebagaimana ciri khas karya-karya Pramoedya Ananta Toer sebagai pencipta karya sastra. Dengan menyadari permasalahan yang ada, novel MSBE dapat ditelaah melalui kajian sosiologi sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosial. Ratna (2009:26) memandang bahwa pemahaman aspek-aspek sosial dalam sosiologi sastra, di satu pihak, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan 6 dengan kenyataan. Di lain pihak, sosiologi sastra juga menjelaskan eksistensi karya sastra bukan semata-mata gejala individual, melainkan juga gejala sosial. Dalam hubungan-hubungan produksi sastra, penulis memiliki posisi yang sangat menentukan. Pengarang dianggap memiliki kompetensi ganda dalam merekonstruksi struktur bahasa dan struktur fiksi, sekaligus kapasitas untuk menopang stabilitas sosial (Ratna, 2009:194). Karya-karya Pram mampu membawa para pembacanya ke berbagai persoalan yang perlu disadari secara kritis, seperti konflik kebudayaan, sosial, politik, dan ideologi yang hampir dialami oleh setiap umat. Hasil ciptaannya itu diduga menggambarkan tokohtokoh tertentu yang dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan kritik atas hegemoni dan mengupas masalah-masalah sosial dengan gaya bahasa yang dapat membuat pembaca merasakan persoalan-persoalan tersebut. Oleh sebab itu, selain menganalisis novel Midah, Simanis Bergigi Emas, perlu dan penting juga mengadakan penelitian mengenai proses kreatif dengan menggambarkan riwayat hidup pengarang sebagai konteks sosial dan pandangan pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel ini. Dengan demikian, novel MSBE, dalam penelitian ini dianggap sebuah karya yang diasumsikan dapat menunjukkan adanya keterkaitan berupa formasi ideologi, tanggapan atas hegemoni berupa hegemoni tandingan, dan konteks sosial dan ideologi pengarang sebagai proses kreatif penciptaan karya ini. Oleh sebab itu, teori hegemoni Gramsci dipandang tepat untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer ini. 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut. a. Bagaimana formasi ideologi dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer? b. Bagaimana hegemoni tandingan dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer? c. Bagaimana konteks biografi pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel MSBE? 1.3 Tujuan Penelitian Ada dua tujuan penelitian ini, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini dilakukan untuk menguraikan formasi ideologi dalam novel MSBE, mendeskripsikan hegemoni tandingan yang ada dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer, serta mengungkapkan konteks sosial Pramoedya Ananta Toer sebagai pencipta novel MSBE. Secara praktis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan mengenai studi sosiologi sastra dengan memperhatikan konteks sosial dan berbagai permasalahan yang terjadi di dalam karya sastra. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi tentang deskripsi ideologi dan hegemoni tandingan yang hadir melalui karya sastra. Penelitian ini diharapkan pula dapat menambah ketajaman pembaca sastra dalam menghadapi fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya sehingga kontrol sosial dari masyarakat dapat terwujud dengan baik. 8 1.4 Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek penelitian tetapi diteliti dengan pendekatan yang berbeda. Terdapat skripsi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Novel Midah Si Manis Begigi Emas: Kajian Feminis Sastra” oleh Thariq Asadi (2006). Skripsi ini menggunakan teori kritik sastra feminis dengan cara mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan, kemudian ditelaah dengan mempertimbangkan stereotipe untuk memperoleh gambaran tentang perempuan. Linda Wati (2007) dari Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta menulis skripsi dengan judul “Konflik Batin Tokoh Midah dalam Novel Midah, Simanis Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Pendekatan Psikologi Sastra)”. Skripsi ini menjawab dua rumusan masalah, yaitu mendeskripsikan hubungan unsur tokoh dan latar dalam novel Midah, Simanis Bergigi Emas untuk membentuk konflik batin dan mendeskripsikan konflik batin yang terjadi pada tokoh Midah dengan menggunakan teori psikologi kebutuhan dasar Abraham Maslow. Analisis terhadap novel Midah Simanis Bergigi Emas juga pernah diteliti oleh Ari Kurnia (2009) dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Skripsi yang berjudul “Novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer: Pendekatan Struktural” ini menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur novel, seperti fakta-fakta cerita yang meliputi alur/plot dalam novel, 9 sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, serta tema yang ada dalam novel tersebut. Adapun penelitian yang menggunakan teori hegemoni Gramsci sebagai alat analisis karya sastra ialah tesis yang ditulis oleh Harjito (2002) untuk menyelesaikan Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Tesis yang berjudul “Student Hijo Karya Marco Kartodikromo: Analisis Hegemoni Gramscian” ini menjelaskan formasi ideologi dalam novel Student Hijo, mendeskripsikan hubungan persamaan antara formasi ideologi Student Hijo dan formasi ideologi yang ada dalam masyarakat, serta menganalisis hubungan historis Student Hijo sebagai bagian dari negosiasi ideologi yang terjadi dalam masyarakat. Pitra Despina (2008) telah menyusun skripsi berjudul “Analisis Hegemoni Gramsci Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi ini menjawab tiga rumusan masalah, yaitu hubungan Pram dengan situasi historis novel Gadis Pantai, bentuk formasi ideologi dalam Gadis Pantai, dan negoisasi antarideologi dalam novel Gadis Pantai. Dari Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatra Utara, Prinsi Rigitta (2011) telah menyusun tesis yang berjudul “Formasi Ideologi dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari”. Tesis ini menjawab berbagai rumusan masalah. Pertama, menjelaskan formasi ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam novel Entrok karya Okky Madasari. Kedua, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi dalam novel Entrok. Ketiga, 10 menjelaskan pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi terhadap tokoh-tokoh dalam novel Entrok. Terdapat sebuah tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada yang disusun oleh Amrin (2011) yang berjudul “Resistensi Perempuan: Kajian Hegemoni Gramsci dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira”. Tesis ini menjawab empat masalah. Pertama, mendeskripsikan kondisi sosial, budaya, dan pendidikan perempuan dalam novel Sintren. Kedua, menjelaskan identifikasi konstruksi ideologi dalam novel Sintren. Ketiga, mengungkap manifestasi ketidakadilan gender dalam novel Sintren. Keempat, mendeskripsikan adanya resistensi dan negosiasi perempuan dalam novel Sintren. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, tampak bahwa novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer belum pernah dianalisis dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci. Keaslian penelitian ini terletak pada konsep penelitian yang mengupas tentang hegemoni tandingan sehingga perlu diadakan penelitian untuk memperluas pemikiran tentang fenomena sosial yang ada di lingkungan masyarakat. 1.5 Landasan Teori Hegemoni berasal dari kata hegeisthai (Yunani) yang berarti memimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain (Ratna, 2007:175). Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi (Simon, 2004:19). Kelas 11 hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Teori hegemoni Gramscian memberikan sumbangan bagi pemikiran Marxian yang berkembang sebelumnya, yaitu Gramsci menerapkan konsep tersebut bukan hanya dalam konteks hubungan buruh dan majikan, melainkan juga pada setiap relasi sosial. Selain itu, hegemoni merupakan pengaruh kultural, bukan kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi sebagaimana dipahami Marxis 1. Secara leksikal, ideologi berarti kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat untuk memberikan arah dan tujuan demi kelangsungan hidup. Ideologi juga dapat dipahami sebagai cara berpikir seseorang atau suatu golongan (KBBI, 2008:517). Pada umumnya, definisi ideologi meliputi (1) ilmu pengetahuan mengenai cita-cita, (2) cara berpikir seseorang atau kelompok, dan (3) paham yang dikaitkan dengan kelompok tertentu (Ratna, 2007:176). Lebih dalam lagi, Turner (2010:268) merujuk ideologi pada keyakinan tertentu yang meliputi segala hal, mulai dari pengetahuan ilmiah, agama, hingga keyakinan sehari-hari yang berkenaan dengan perilaku yang pantas, terlepas dari benar atau salah. Dalam perkembangannya, ideologi sering hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide, misalnya ketika orang berbicara tentang ideologi liberalis, komunis, ataupun sosialis. Namun, bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide. 1 Keatt, Joan. 2011. “Teori Hegemoni Antonio Gramsci”, dalam http://id.shvoong.com. 12 Ideologi dapat mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran tentang posisinya, dan perjuangan mereka. Ideologi bukanlah fantasi perorangan, tetapi terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat (Simon, 2004:83). Oleh sebab itu, ideologi bukanlah sesuatu yang berada di luar aktivitas praktis manusia, melainkan mempunyai eksistensi dalam berbagai aktivitas praktis tersebut (Simon, 2004:84). Terkait dengan ideologi, dengan memakai istilah dari Salamini (Harjito, 2002:33), ideologi menurut Gramsci mengandung empat elemen, yaitu elemen kesadaran, elemen material, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Elemen kesadaran menandakan bahwa ideologi memberi tempat manusia untuk bergerak dan mendapatkan kesadaran tentang posisi mereka, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, maupun perjuangan untuk menjadi kelas hegemoni. Titik awal kesadaran adalah pemikiran awal (common sense). Pemikiran awam berasal dari berbagai sumber dan kejadian masa lalu yang membuat masyarakat menerima kebiasaan, kekuasaan, ketidakadilan, dan penindasan sebagai hal yang alamiah, produk hukum alam, kehendak Tuhan, dan tidak dapat diubah (Harjito, 2002:33). Simon (2004:27) mengutarakan bahwa Gramsi menggunakan istilah pendapat umum (common sense) untuk menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Pemikiran ini merupakan tempat dibangunnya ideologi dan menjadi tempat perlawanan ideologi itu. Elemen material adalah wujud eksistensi material dalam berbagai aktivitas praktis dan menjelma dengan cara hidup kolektif masyarakat. Ideologi bukanlah 13 fantasi atau angan-angan seseorang, tetapi menjelma dalam kehidupan keseharian masyarakat, lembaga, ataupun organisasi di tempat praktik sosial berlangsung, misalnya dalam partai politik, serikat dagang, masyarakat sipil, aparat negara, perusahaan komersial, atau lembaga keuangan (Simon, 2004:83-86). Elemen solidaritas-identitas merupakan tanda bahwa ideologi mampu mengikat sebagai pondasi penyatuan sosial berbagai kelompok yang berbeda ke dalam satu wadah. Dengan demikian, kelompok-kelompok lain diikutsertakan, termasuk ideologinya, guna mendapatkan dukungan. Pernyataan tersebut secara tidak langsung mengakui adanya pluralitas ideologi di masyarakat karena terdapat berbagai kelompok sosial. Untuk merangkul berbagai kelompok sosial, dalam menyusun ideologi baru tidak harus menyingkirkan semua sistem ideologi yang berbeda, tetapi justru melakukan transformasi ideologi dengan mempertahankan dan menyusun kembali beberapa unsur yang paling tangguh. Istilah untuk menggambarkan keadaan ini disebut negosiasi (Harjito, 2002:35). Elemen kebebasan menjelaskan bahwa ideologi menghasilkan kebebasan maksimal kepada individu untuk merealisasikan dirinya. Kebebasan memberi peluang kepada masyarakat untuk menyadari ketertindasan dan mengarahkan aksi masyarakat demi menghilangkan penindasan tersebut (Harjito, 2002:36). Formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elemen tidak harus muncul bersamaan. Namun, elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, 14 cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung. Persoalan kultural dan formasi ideologi menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Harjito (2002:25) menyatakan bahwa formasi merupakan suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya membahas berbagai macam ideologi yang terdapat dalam teks, tetapi juga membahas bagaimana relasi antarideologi tersebut. Salah satu cara untuk membentuk gagasan adalah melalui bahasa dan folklor. Bahasa merupakan sarana utama dan berpengaruh besar terhadap penyebaran konsep dunia tertentu. Makin luas dan makin banyak bahasa yang dipahami, maka makin mudah penyebaran ideologi (Ratna, 2007:183). Folklor, umumnya, meliputi sistem kepercayaan, opini, dan takhayul. Folklor berperan dalam menopang hegemoni dan sebagai kekuatan yang berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan. Dengan demikian, gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan punya pusat informasi, penyebaran, dan persuasi (Faruk, 2012:131—132). Dalam sebuah hegemoni, kelompok yang memimpin berhasil memengaruhi kelompok yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya dari kelompok dominan. Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar sehingga ideologi kelompok pemimpin itu dapat menyebar dan dipraktikkan. Nilai-nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak 15 pemimpin sedemikian rupa sehingga pihak lainnya tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Dengan demikian, mekanisme penguasaan suatu kelas sebagai berikut. Kelas pemimpin melakukan pengarahan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya terdapat sebuah konsep atau ide mengenai kenyataan yang disebarluaskan dalam masyarakat, baik secara institusional maupun perorangan (Hatmoko, 2013:3). Ideologi mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Oleh karena itu, ideologi berperan sebagai ‘semen’ atau kekuatan perekat yang mengikat berbagai kelas dan strata yang berbeda-beda (Simon, 2004:37). Terkait dengan ideologi, Gramsci menggunakan istilah pemikiran awam (common sense) untuk menunjukkan cara orang awam yang tidak kritis dan tidak sadar dalam memahami dunia. Pemikiran awam merupakan tempat dibangunnya ideologi. Pihak dominan seolah-olah berpihak kepada rakyat, misalnya dengan mengumbar janji mengenai kesejahteraan. Hal ini menjadi corong penguasa untuk menjerat hati rakyat. Janji bisa saja menjadi alat yang sangat ampuh untuk memperoleh legitimasi dari rakyat. Kekuasaan yang diwartakan lewat para penguasa selalu bertegangan dengan janji, kemakmuran, dan slogan politik. 16 Dalam kacamata Gramsci, ketegangan semacam itu bisa menjadi kepercayaan-kepercayaan populer atau pemikiran awam (common sense) yang selalu berkembang antara pemimpin dan rakyat (Kristanto, 2001:63). Common sense adalah tempat ideologi dominan dibangun dan sekaligus menjadi tempat perlawanan dan tantangan bagi ideologi tersebut (Simon, 2004:92). Sementara itu, Turner (2010:253) menjelaskan bahwa Gramsci menggunakan hegemoni untuk menggambarkan suatu kepemimpinan satu kelas atas kelas lain secara ideologis dan politis. Ideologi pemimpin memperoleh persetujuan melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil. Semakin menonjol suatu masyarakat sipil, semakin kuat kemungkinan hegemoni melalui sarana ideologi. Gramsci juga mengenalkan konsep masyarakat politik dan masyarakat sipil. Masyarakat politik merupakan dunia kekerasan, pemaksaan, dan intervensi. Gramsci memakai istilah ini untuk hubungan koersif yang terwujud dalam berbagai lembaga negara, sedangkan masyarakat sipil merupakan wilayah kesetujuan. Masyarakat sipil juga dapat dijadikan sebagai suatu wadah perjuangan kelas. Gramsci juga menambahkan bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat etika atau moral. Di dalamnya terjelma berbagai organisasi dan lembaga, seperti gereja, partai politik, serikat dagang, media massa, lembaga kebudayaan, dan lembaga sukarela, kecuali institusi negara karena institusi ini menguasai monopoli kekerasan (Simon, 2003:28). Dengan demikian, Simon (2004:103) menjelaskan bahwa masyarakat sipil juga mencakup keluarga. Akan tetapi, jangan sampai memahami perbedaan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik seolah-olah keduanya terpisah secara fisik dan menjadi 17 wilayah yang tersendiri dengan batas-batas yang tegas. Pada dasarnya keduanya terbentuk dari berbagai hubungan sosial yang bersifat koersif sekaligus menjelma dalam berbagai organisasi. Konsep ini membentuk sebuah negara integral yang merupakan perpaduan antara sumber koersi dalam masyarakat dan tempat kepemimpinan hegemonik. Negara integral adalah hegemoni yang dilapisi dengan kekuasaan koersi karena dalam praktiknya, hegemoni dan dominasi atau koersi dapat terus berjalan secara berdampingan. Bagi Gramsci, suatu kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu dominasi atau paksaan (coercion) dan melalui kepemimpinan intelektual dan moral (Patria, 2003:119). Gramsci mengembangkan konsep hegemoni untuk menggambarkan suatu kondisi supremasi kelompok sosial dicapai tidak hanya oleh kekuatan fisik—yang disebut Gramsci dominasi atau perintah—, tetapi juga melalui penyampaian konsensus dari kelompok yang dipimpin. Mengenai fenomena ini, Gramsci secara bervariasi menyebutnya dengan kepemimpinan, arah, ataupun hegemoni (Litowitz, 2000:518). Untuk menggambarkan sebuah kepemimpinan, Gramsci juga menggunakan simbol centaur, mitologi Yunani, yaitu setengah binatang dan setengah manusia, sebagai simbol dari perspektif ganda suatu tindakan politik, seperti kekerasan dan kesopanan, kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni (Simon, 2004:19). Menurut Gramsci, hanya pada tingkat-tingkat tertentu, kemanusiaan memperoleh kesadaran akan nilainya. Kesadaran itu merupakan hasil dari refleksi yang berkembang menjadi gagasan. Kesadaran ini menjadi kesadaran kritis yang 18 menyadari adanya struktur sosial serta hak dan kewajibannya, baik sebagai individu maupun kelompok. Bahkan, Kristanto (2001:60) mengungkapkan bahwa ketika kesadaran kritis individu terbentuk, kekuasaan tidak lagi menjadi sesuatu yang menyeramkan dan harus disembah. Saat individu mencapai tahap kesadaran kritis, individu bisa mengambil jarak dari belit kekuasaan. Yang berperan penting untuk menggugat jerat-jerat ideologi itu adalah para intelektual. Gramsci membedakan intelektual menjadi dua macam, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai intelektual otonom dan merdeka dari kelompok sosial dominan. Mereka biasanya hanya mengamati serta memperlajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan sering bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Kelompok ini memisahkan intelegensi dari tatanan borjuis, seperti golongan rohaniawan, sastra, filsuf, dan artis (Patria dan Arief, 2003:165). Adapun intelektual organik biasanya meliputi orang-orang yang menanamkan kesadaran baru yang menyikapi kebobrokan sistem lama dan dapat mengorganisasi masyarakat. Dengan begitu, ide tentang pemberontakan dapat diterima oleh masyarakat. Gramsci mencontohkan intelektual organik sebagai intelektual organisator politik, bos-bos perusahaan, petani-petani kaya, manajer perumahan, penguasa komersial dan industri, dan sebagainya (Simon, 2004:144). Harjito (2002:23-24) menjelaskan bahwa ada empat hal penting dalam teori Gramsci. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik bisa terjadi tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan yang 19 bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan kepentingannya dengan kepentingan- kepentingan umum kelompok sublatern. Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Hegemoni tidak hanya menundukkan kelas sublatern, tetapi juga berjuang untuk meneruskan kepemimpinannya. Perjuangan tersebut dilakukan dengan cara menundukkan satu per satu agen-agen masyarakat sipil, seperti keluarga, agama, komunitas, dan sebagainya. Akan tetapi, untuk mengupayakan keseimbangan pengaruh sosial, digunakan hegemoni tandingan (counter hegemony), namun hal ini memerlukan proses moral dan ideologi yang panjang. Ideologi tersebut merupakan wujud hegemoni tandingan (counter hegemony) sebagai ideologi alternatif yang diupayakan oleh kelas sublatern atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Simon (2004:xvii) mengatakan bahwa pemikiran Gramsci menyumbangkan perubahan yang besar yang menekankan pada pembangkitan 20 kesadaran kritis. Setiap upaya bagi mereka selalu ada peluang untuk senantiasa mengembalikan fungsinya sebagai proses independensi dan transformasi sosial. Artinya, pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap tabu dan menantang secara kritis hegemoni dominan. Dalam proses melakukan transformasi sosial, haruslah dilakukan transformasi atas diri sendiri dahulu, yakni membongkar struktur yang tidak adil dengan cara meembangkitkan pikiranpikiran kritis. Artinya, dalam hegemoni tandingan, peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pikiran mengenai hegemoni tandingan sebagai suatu titik individu menyadari ketaatannya dan berusaha melakukan sesuai mengenai hal tersebut (West, 2008:71) Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi, tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan. Pengarang mengembangkan peran masyarakat sipil dalam karyanya menjadi wadah kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah untuk menyusun perlawanan dan membangun sebuah hegemoni alternatif—hegemoni tandingan. Dengan demikian, karya sastra tidak hanya menunjukkan bahwa karya itu menjelaskan masyarakat secara umum, tetapi juga mengandung muatan ideologi yang bermaksud mendukung atau menandingi kekuasaan yang ada. Oleh sebab itu, skripsi ini menggunakan perpektif hegemoni Gramscian dengan menggunakan beberapa terminologi Gramsci, antara lain ideologi, masyarakat sipil, dan 21 hegemoni tandingan. Hal tersebut cukup sesuai untuk diterapkan dalam novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer karena di dalam novel itu terdapat fakta-fakta yang menunjukkan bahwa publik menjadi terpengaruh karena adanya persetujuan yang tidak kentara. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis karya sastra. Artinya, penelitian ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta dalam karya sastra, setelah itu disusul dengan melakukan analisis (Ratna, 2008:53). Metode ini memberikan pemahaman dan penjelasan terkait rumusan masalah yang sudah diungkapkan, yaitu tentang, formasi ideologi dalam novel MSBE, hegemoni tandingan yang terjadi di dalamnya, dan konteks sosial Pram sebagai pengarang novel MSBE. Data dalam penelitian ini berupa teks yang terdapat dalam novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek material dan teori ideologi hegemoni Gramsci sebagai objek formalnya. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan membaca berulang-ulang novel MSBE karya Pramoedya Ananta Toer. Berikutnya, tahap analisis data dilakukan dengan mengolah data yang telah terkumpul berdasarkan perspektif hegemoni Gramsci. Setelah itu, analisis data disajikan berupa laporan penelitian. Berikut langkah-langkah penelitian yang dilakukan: 22 1. Menetapkan objek penelitian, yaitu novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek material dan teori hegemoni Gramsci sebagai objek formalnya. 2. Menentukan masalah pokok penelitian, yaitu, formasi ideologi yang terdapat dalam novel tersebut, hegemoni tandingan yang ada dalam novel, dan konteks sosial Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang novel Midah, Simanis Bergigi Emas. 3. Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel Midah, Simanis Bergigi Emas untuk mendapatkan data yang diperlukan dan pemahaman yang menyeluruh. 4. Melakukan studi pustaka dengan mencari, mengumpulkan, dan mempelajari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. 5. Menentukan dan mendeskripsikan formasi ideologi yang ada dalam novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer. 6. Mendeskripsikan hegemoni tandingan yang terjadi dalam novel tersebut. 7. Mendeskripsikan konteks sosial Pramoedya Ananta Toer melatarbelakangi penulisan novel Midah, Simanis Bergigi Emas. 8. Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan hasil analisis. yang 23 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahulan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II adalah analisis formasi ideologi yang ada dalam novel MSBE. Bab ini terdiri atas berbagai ideologi yang diduga ada dalam novel tersebut, seperti feodalisme, materialisme, konsumerisme, teisme, patriarki, humanisme, liberalisme, dan feminisme. Bab III adalah analisis hegemoni tandingan dalam novel MSBE. Bab ini mengungkap hegemoni tandingan berdasarkan kelompok sosial yang saling bertentangan, seperti antara masyarakat kelas elite dan masyarakat kelas bawah, konflik antarseniman, serta antara laki-laki dan perempuan. Bab IV berisi deskripsi konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi novel MSBE. Bab ini akan mengupas latar belakang keluarga Pramoedya Ananta Toer dan hubungan latar belakang tersebut dengan kepengarangan novel MSBE. Terakhir, Bab V ialah kesimpulan.