Risiko Jumlah Perkawinan, Riwayat Abortus, Dan Pemakaian Alat

advertisement
MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008
RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN
ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS
DI RUMAH SAKIT PELAMONIA MAKASSAR TAHUN 2006 – 2007
Deviarbi Sakke Tira1
Abstract: Cervical cancer is a primary malignant tumor originated from squamosa
epithel cell. This disease is the main cause of death to women in developing
countries including Indonesia. Each year about one fourth million women die of the
disease. In Indonesia it is estimated that there are 41 cases of new cervical cancer
every day and 20 women die of the disease. In 2005 in South Sulawesi the number
of cervical cancer was 248 cases with the death 54,4%. The aim of the study was to
analyze the risk factors in the incidence of cervical cancer especially number of
marriages, abortion history and use of hormonal contraceptive devices at the
Pelamonia Hospital in Makassar in 2006-2007. The study was case control. The
samples consisted of 58 cases and 58 controls selected by exhaustive sampling.
The data were obtained from the obstetric and gynecological department. The data
were analyzed by using odds ratio (OR) and logistic regression at α < 0,005. The
results of the study indicate that number of marriages (OR=12,048), history of
abortion (OR=7,713) and use of hormonal contraceptive devices (OR=1,244) are
risk factors in the incidence of cervical cancer. It is recommended for women to
have pap smear regularly especially those who got married at the age of < 20 years,
married to only one couple, lead a harmonious relation, and avoid abortion without
obvious medical indication.
Key words: cervical cancer, marriage, abortion, hormonal contraception
PENDAHULUAN
Kanker seviks adalah tumor
ganas primer yang berasal dari sel
epitel skuamosa. Sebelum terjadinya
kanker, akan didahului oleh keadaan
yang disebut lesi prakanker atau
neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Sebagian besar penderita kanker
serviks datang berobat pada stadium
lanjut, karena pada stadium awal
penyakit ini tidak menimbulkan gejala.
Penyakit ini merupakan penyebab
kematian utama kanker pada wanita
di
negara-negara
berkembang
termasuk Indonesia, bahkan tiap
tahunnya sekitar seperempat juta
wanita meninggal karena penyakit ini
(Khasbiyah, 2004).
Badan PBB untuk masalah
kesehatan (WHO) memperkirakan
bahwa pada 10 tahun mendatang
sebanyak 9 juta orang akan
meninggal dunia setiap tahun akibat
1
penyakit kanker. Di dunia, angka
kejadian
kanker
serviks
masih
menempati
posisi
yang
kedua
terbanyak (setelah kanker payudara)
yang diderita oleh wanita. WHO
melaporkan 470.606 kasus kanker
serviks dengan kematian 49,6%. Di
negara berkembang kanker serviks
masih menempati urutan teratas
sebagai penyebab kematian akibat
kanker di usia reproduktif. Hampir
80% kasus berada di negara
berkembang dengan jumlah kasus
91.451 orang dan kematian 43,02% (
Hakim, 2005).
Setiap
tahunnya
sekitar
500.000
perempuan
didiagnosa
menderita kanker serviks dan lebih
dari 250.000 meninggal dunia. Total
2,2 juta perempuan di dunia
menderita kanker serviks.
Kanker
serviks cenderung muncul pada
perempuan berusia 35-55 tahun,
Staf Pengajar Jurusan Epidemiologi dan Biostatistika FKM Undana
RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS
namun dapat pula muncul pada
perempuan dengan usia yang lebih
muda (Yayasan Kanker Indonesia,
2007).
Di negara sedang berkembang
jumlah kasus kanker serviks 379.153
orang dengan kematian 51,17%.
Menurut Yayasan Kanker Indonesia
(YKI), di Indonesia diperkirakan setiap
harinya terjadi 41 kasus baru kanker
serviks dan 20 perempuan meningal
dunia karena penyakit tersebut.
Jumlah kasus kanker serviks 14.365
orang dengan kematian 50,78%. Di
Sulawesi Selatan jumlah kasus kanker
serviks yang
dikumpulkan dari
beberapa rumah sakit di kota
Makassar
248
kasus
dengan
kematian 54,4% (Hakim, 2005).
Jumlah penderita kanker leher
rahim di Indonesia sekitar 200 ribu
setiap tahunnya dan menduduki
peringkat kedua setelah kanker
payudara. Namun demikian walaupun
penyakit ini merupakan penyakit
keganasan yang dapat menyebabkan
kematian,
kesadaran
untuk
memeriksakan diri dirasakan sangat
rendah, hal ini tidak terlepas dari
kurangnya pengetahuan mengenai
kanker ini. Indikasinya adalah lebih
dari 70% penderita yang datang ke
Rumah Sakit sudah pada kondisi
lanjut. Menurut Aziz MF (2005),
penderita
kanker
terbanyak
di
Indonesia adalah serviks dengan
jumlah 3.686 (17,85%) dan mammae
2.617 (12,67%). Di Rumah Sakit Dr.
Cipto
Mangunkusumo,
frekuensi
kanker serviks 76,2% diantara kanker
ginekologi (Rasjidi dan Sulistiyanto,
2007).
RS Dr Sardjito mencatat
terjadinya peningkatan kasus kanker
serviks. Tahun 1990-an hanya ada
150 kasus baru per tahun. Saat ini,
sudah mencapai 250 kasus baru per
tahun. Sebanyak 70 sampai 80
persen masuk rumah sakit pada
stadium lanjut. Penelisikan Republika,
di RS Kanker Dharmais (RSKD), ada
801 kasus baru yang tercatat. Dari
Instalasi
Radioterapi
RSKD,
mengungkapkan total kunjungan ke
Instalasi Radio Terapi RSKD pada
tahun 2005, mencapai 20.529 dan
lebih dari 50 persen datang dalam
keadaan stadium IV-B (Anonim,
2007).
Menurut data dari Depkes
(2003) kematian akibat penyakit
kanker meningkat dari 3,4% (1980)
menjadi 6,0% (2001). Berdasarkan
Surveilans Rutin Penyakit Tidak
Menular (PTM) yang dilayani di rumah
sakit per kabupaten/kota propinsi
Sulawesi Selatan, didapatkan jumlah
penderita kanker serviks pada tahun
2006 sebanyak 25 orang yang terdiri
dari penderita rawat jalan sebanyak 2
orang dan penderita menurut rawat
inap sebanyak 23 orang. Soppeng
menempati urutan pertama penderita
kanker serviks terbanyak yaitu
sebanyak 6 orang penderita yang
merupakan penderita rawat inap.
Makassar menempati urutan ke
delapan dengan 1 orang penderita
rawat inap. Umur penderita terbanyak
pada umur >45 tahun dengan jumlah
13 orang penderita yang terdiri dari 1
orang rawat jalan dan 12 orang rawat
inap. Dan diikuti dengan umur 15 – 44
tahun dengan jumlah 12 orang
penderita yang terdiri dari 1 orang
rawat jalan dan 11 orang rawat inap
(Dinkes Propinsi Sul-Sel, 2006). Data
dari RS. Pelamonia sendiri kasus
rawat inap untuk penderita kanker
serviks tahun 2006 sebanyak 27
kasus, dan meningkat pada tahun
2007 sebanyak 31 kasus.
Di samping angka kejadian
kanker serviks yang tinggi, ternyata
sebagian besar penderita datang
dalam
stadium
lanjut
yang
memerlukan fasilitas khusus untuk
pengobatan
seperti
peralatan,
21
MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008
radioterapi yang hanya tersedia di
beberapa kota besar saja dan
sitostatika yang harganya cukup
mahal.
Di
samping
mahal,
pengobatan kanker serviks stadium
lanjut memberikan hasil yang tidak
memuaskan dengan angka harapan
hidup 5 tahun yang rendah.
Penyakit kanker serviks ini
belum diketahui penyebabnya secara
pasti, sehingga sulit untuk dilakukan
pencegahan primer. Penyebabnya
diduga
antara
lain
melakukan
hubungan seksual pertama kali di
bawah umur 20 tahun, pasangan
seksual dua orang atau lebih, cerai
atau pisah dengan hubungan seksual
yang tidak stabil, merokok, higiene
perorangan yang rendah, kemiskinan,
melahirkan anak pada usia muda,
rangsangan terus-menerus pada leher
rahim misalnya pada frekuensi koitus
yang tinggi, peradangan, paritas lebih
dari tiga dan adanya bahan-bahan
mutagen yang diduga dapat merubah
sel-sel di jaringan rahim secara
genetik misalnya sperma yang
mengandung
komplemen
histon,
mikoplasma, klamidia, virus herpes
simpleks (HSV 2), human papiloma
virus tipe 16,18,31 (HPV 16, 18, 31),
trikomonas vaginalis (Rauf, 2006).
Kanker
serviks
banyak
dijumpai
pada
wanita
yang
mempunyai jumlah pasangan seksual
banyak (> 4 orang). Berdasarkan
penelitian, risiko kanker serviks
meningkat lebih dari 10 kali bila
berhubungan dengan 6 atau lebih
mitra seks, atau bila berhubungan
seks dengan laki-laki berisiko tinggi
(laki-laki yang berhubungan seks
dengan banyak wanita) (Dalimartha,
2004).
Riwayat abortus merupakan
salah satu faktor risiko kanker serviks.
Praktek-praktek abortus yang tidak
steril memicu terjadinya infeksi
sehingga
mudah
memicu
pertumbuhan sel-sel abnormal yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya
kanker.
Wanita
yang
pernah
melakukan abortus ≥ 1 kali berisiko
22
3,37 kali lebih besar untuk menderita
kanker serviks dibandingkan wanita
yang tidak pernah melakukan abortus
(Abbas, 2003).
Menurut
data
Keluarga
Berencana (KB) di Indonesia tahun
2000, hanya 54,84% perempuan
reproduksi yang memakai kontrasepsi
dan metode KB yang terpopuler
adalah
suntikan
(40,88%),
pil
(28,48%), dan AKDR (13,84%)
(Suwiyoga, 2004). Kontrasepsi oral
yang dipakai dalam jangka panjang
yaitu lebih dari 5 tahun dapat
meningkatkan risiko relatif 1,53 kali.
WHO melaporkan risiko relatif pada
pemakaian kontrasepsi oral sebesar
1,19 kali dan meningkat sesuai
dengan
lamanya
pemakaian
(Sjamsuddin, 2001). Kontrasepsi oral
dapat meningkatkan risiko 1,5 – 2,5
kali bila diminum dalam jangka
panjang, yaitu lebih dari 4 tahun
(Dalimartha, 2004).
Pada dasarnya kanker serviks
dapat dicegah atau diobati apabila
ditemukan
secara
dini
dan
menghindari faktor-faktor risiko. Salah
satu usaha yang paling baik dalam
penanggulangannya adalah deteksi
dini
kanker
serviks,
karena
sesungguhnya kanker dapat dicegah
dan diobati bila ditemukan secara dini.
Atas dasar itulah maka penulis
mencoba meneliti besar risiko jumlah
perkawinan, riwayat abortus dan
pemakaian alat kontrasepsi hormonal
sehingga dari hal tersebut dapat
diambil langkah pencegahan guna
meminimalisir faktor risiko sehingga
angka morbiditas dan mortalitas dapat
ditekan.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis besar risiko jumlah
perkawinan, riwayat abortus, dan
pemakaian alat kontrasepsi hormonal
terhadap kejadian kanker serviks di
Rumah Sakit Pelamonia Makassar
tahun 2006 – 2007.
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
yang
digunakan
adalah
penelitian
RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS
observasional
analitik
dengan
pendekatan Case Control Study
(kasus kontrol), yaitu suatu rancangan
pengamatan epidemiologis untuk
mempelajari
hubungan
tingkat
keterpaparan
dengan
berbagai
keadaan penyakit atau masalah
kesehatan lainnya. Penelitian ini
dilakukan di bagian rawat inap bagian
kebidanan dan kandungan Rumah
Sakit Pelamonia Makassar. Pemilihan
lokasi ini berdasarkan beberapa
pertimbangan yaitu selain dapat
dijangkau oleh masyarakat dengan
tingkat sosial rendah (adanya program
JPS), juga yang penting bahwa rumah
sakit tersebut dapat memberikan
pengobatan dan perawatan penderita
dengan kanker serviks.
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien yang dirawat
inap pada bagian kebidanan dan
kandungan di Rumah Sakit Pelamonia
Makassar tahun 2006 – 2007. Sampel
dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kasus adalah semua pasien yang
dirawat inap pada bagian kebidanan
dan kandungan yang dinyatakan
menderita kanker serviks berdasarkan
catatan rekam medik sedangkan
kontrol adalah semua pasien yang
dirawat inap pada bagian kebidanan
dan kandungan yang dinyatakan tidak
menderita kanker serviks ataupun
kanker lainnya berdasarkan catatan
rekam medik dan mempunyai data
lengkap mengenai variabel yang
diteliti.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan
teknik
non
random
“Exhaustive Sampling” yaitu teknik
penentuan
sampel
dengan
menganalisis semua sampel kasus.
Sampel kasus yang terpilih dalam
penelitian ini adalah mereka yang
didiagnosa menderita kanker serviks
di Rumah Sakit Pelamonia Makassar
tahun 2006 – 2007. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang
diambil dari kartu status pasien yang
dirawat inap di bagian kebidanan dan
kandungan yang diperoleh pada
catatan Medical Record Rumah Sakit
Pelamonia Makassar.
Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan komputer,
program/software yang digunakan
adalah program SPSS. Analisis data
dilakukan dengan pengujian hipotesis.
Hipotesis yang diuji adalah hipotesis
nol (Ho) yang digunakan untuk
membandingkan kasus dan kontrol
terhadap faktor-faktor risiko dengan uji
Odds Ratio (OR)
HASIL
Faktor risiko jumlah perkawinan
terhadap kejadian kanker serviks
Hasil analisis faktor risiko
jumlah perkawinan terhadap kejadian
kanker serviks diperoleh nilai OR
beserta lower limit dan upper limit
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.
Jumlah
Perkawinan
Faktor Risiko Jumlah
Perkawinan
terhadap Kejadian Kanker Serviks di
Rumah
Sakit Pelamonia Makassar
Tahun 2006 – 2007
Kejadian Kanker Serviks
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
23
39,7 3
5,2
35
60,3 55
94,8
Jumlah
n
Risiko tinggi
26
Risiko
90
rendah
Jumlah
58 100,0 58 100,0 116
Sumber: Data sekunder yang telah diolah
Ket: OR= 12,048 LL – UL = 3,365 – 43,140
ρ value= 0,00
Tabel 1 menunjukkan bahwa
dari 58 orang yang menderita kanker
serviks lebih banyak ditemukan pada
jumlah perkawinan risiko rendah
(hanya satu kali) yaitu 35 orang
(60,3%) dibandingkan dengan jumlah
perkawinan risiko tinggi (> 1 kali)
sebanyak
23
orang
(39,7%).
Sedangkan dari 58 orang yang tidak
menderita kanker serviks lebih banyak
23
%
22,4
77,6
100,0
MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008
ditemukan pada jumlah perkawinan
risiko rendah yaitu 55 orang (94,8%).
Berdasarkan uji odds ratio
dengan tingkat kepercayaan 95%
diperoleh nilai
OR = 12,048
dengan nilai lower limit = 3,365 dan
upper limit = 43,140. Karena nilai
lower limit dan upper limit tidak
mencakup nilai 1 dan nilai ρ = 0,000
maka secara statistik dikatakan
bermakna
sehingga
hipotesis
penelitian diterima.
Interpretasi hasil analisis faktor
risiko antara jumlah perkawinan
dengan kejadian kanker serviks
adalah ibu yang jumlah perkawinan
lebih dari satu kali berisiko menderita
kanker serviks 12,048 kali lebih besar
dibandingkan
ibu
yang
jumlah
perkawinan hanya satu kali. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa jumlah
perkawinan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian kanker serviks dan
memiliki hubungan yang bermakna.
Faktor risiko riwayat abortus
terhadap kejadian kanker serviks
Hasil analisis faktor risiko
riwayat abortus terhadap kejadian
kanker serviks diperoleh nilai OR
beserta lower limit dan upper limit
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Riwayat
Abortus
Faktor
Risiko
Riwayat
Abortus
terhadap Kejadian Kanker Serviks di
Rumah Sakit Pelamonia
Makassar
Tahun 2006 – 2007
Kejadian Kanker Serviks
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
49
84,5
24
41,4
Jumlah
n
%
Risiko
73
62,9
tinggi
Risiko
9
15,5
34
58,6
43
37,1
rendah
Jumlah
58 100,0
58 100,0
116
100,0
Sumber: Data sekunder yang telah diolah
OR= 7,713 LL – UL= 3,192 – 18,636 ρ value ρ = 0,000
Tabel 2 menunjukkan bahwa
dari 58 orang yang menderita kanker
serviks lebih banyak ditemukan pada
riwayat abortus risiko tinggi (≥ 1 kali)
yaitu 49 orang (84,5%) dibandingkan
dengan yang tidak memiliki riwayat
24
abortus (risiko rendah) yaitu 9 orang
(15,5%). Sedangkan dari 58 orang
yang tidak menderita kanker serviks
lebih banyak ditemukan pada ibu yang
tidak memiliki riwayat abortus (risiko
rendah) yaitu 34 orang (58,6%).
Berdasarkan uji odds ratio
dengan tingkat kepercayaan 95%
diperoleh nilai
OR = 7,713
dengan nilai lower limit = 3,192 dan
upper limit = 18,636. Karena nilai
lower limit dan upper limit tidak
mencakup nilai 1 dan nilai ρ = 0,000
maka secara statistik dikatakan
bermakna
sehingga
hipotesis
penelitian diterima.
Interpretasi hasil analisis faktor
risiko antara riwayat abortus dengan
kejadian kanker serviks adalah ibu
yang mempunyai riwayat abortus ≥ 1
kali berisiko menderita kanker serviks
7,713 kali lebih besar dibandingkan
ibu yang tidak pernah abortus.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
riwayat abortus merupakan faktor
risiko terhadap kejadian kanker
serviks dan memiliki hubungan yang
bermakna.
Faktor risiko pemakaian alat
kontrasepsi hormonal terhadap
kejadian kanker serviks
Hasil analisis faktor risiko
pemakaian alat kontrasepsi hormonal
terhadap kejadian kanker serviks
diperoleh nilai OR beserta lower limit
dan upper limit disajikan pada Tabel
3. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari
58 orang yang menderita kanker
serviks lebih banyak ditemukan pada
ibu yang memakai alat kontrasepsi
hormonal (risiko tinggi) yaitu 37 orang
(63,8%) dibandingkan dengan yang
tidak memakai alat kontrasepsi
hormonal (risiko rendah) yaitu 21
orang (36,2%). Sedangkan dari 58
orang yang tidak menderita kanker
serviks lebih banyak ditemukan pada
ibu yang memakai alat kontrasepsi
hormonal (risiko tinggi) yaitu 34 orang
(58,6%).
RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS
Tabel 3.
Faktor Risiko Pemakaian Alat Kontrasepsi
Hormonal terhadap Kejadian Kanker Serviks di
Rumah Sakit Pelamonia Makassar Tahun 2006
– 2007
Pemakaian
Kejadian Kanker Serviks
Jumlah
Alat
Kasus
Kontrol
Kontrasepsi
n
%
n
%
n
%
Hormonal
Risiko tinggi
37
63,8 34
58,6 71
61,2
Risiko rendah
21
36,2 24
41,4 45
38,8
Jumlah
58 100,0 58 100,0 116 100,0
Sumber: Data sekunder yang telah diolah
OR= 1,244 LL – UL=0,589 – 2,628
ρ value = 0,703
Berdasarkan uji odds ratio
dengan tingkat kepercayaan 95%
diperoleh nilai
OR = 1,244
dengan nilai lower limit = 0,589 dan
upper limit = 2,628. Karena nilai lower
limit dan upper limit mencakup nilai 1
dan nilai ρ = 0,703 (0,703 > 0,05)
maka secara statistik dikatakan tidak
bermakna.
Interpretasi hasil analisis faktor
risiko
antara
pemakaian
alat
kontrasepsi
hormonal
dengan
kejadian kanker serviks adalah ibu
yang memakai alat kontrasepsi
hormonal berisiko menderita kanker
serviks 1,244 kali lebih besar
dibandingkan ibu yang tidak memakai
alat kontrasepsi hormonal. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pemakaian
alat kontasepsi hormonal merupakan
faktor risiko terhadap kejadian kanker
serviks meskipun hubungan diantara
keduanya tidak bermakna.
PEMBAHASAN
Jumlah perkawinan adalah
jumlah atau banyaknya perkawinan
yang pernah dilakukan oleh seorang
ibu selama hidupnya, di mana risiko
tinggi jika ibu tersebut kawin lebih dari
satu kali dan risiko rendah jika
perkawinan dilakukan hanya satu kali.
Setiap berhubungan seksual dengan
satu pasangan baru, kesempatan
untuk
terkena
penyakit
akibat
hubungan seksual semakin besar.
Faktor yang paling mempengaruhi
timbulnya kanker serviks adalah
penyakit akibat hubungan seksual
seperti Virus Papilloma.
Berdasarkan hasil analisis
menunjukkan bahwa proporsi kejadian
kanker serviks lebih banyak pada ibu
yang jumlah perkawinan hanya satu
kali sebesar 60,3% dibandingkan
dengan jumlah perkawinan lebih dari
satu kali sebesar 39,7%. Hal ini
disebabkan karena adanya norma
sosial
yang
mengikat
dalam
lingkungan masyarakat, yang masih
menganggap tabu seseorang wanita
untuk kawin lebih dari satu kali.
Berdasarkan hasil analisis
faktor risiko jumlah perkawinan
terhadap kejadian kanker serviks
diperoleh nilai OR 12,048 (CI 95%=
3,365 – 43,140) hal ini berarti ibu yang
jumlah perkawinan lebih dari satu kali
berisiko menderita kanker serviks
12,048 kali lebih besar dibanding ibu
yang jumlah perkawinan hanya satu
kali dan memiliki hubungan yang
bermakna.
Penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Arman
Abbas di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo
Makassar
(2003),
bahwa wanita yang menikah > 1 kali
berisiko 2,98 kali lebih besar untuk
menderita
kanker
serviks
dibandingkan wanita yang menikah
hanya 1 kali. Penelitian yang
dilakukan oleh Ni Wayan Jamini di
RSUP Sanglah Denpasar tahun 2002
menemukan bahwa, wanita yang
menikah lebih dari satu kali berisiko
2,89 kali lebih besar untuk menderita
kanker serviks dibandingkan wanita
yang hanya menikah satu kali.
Mereka yang sering bergantiganti pasangan kemungkinan besar
bisa terkena penyakit kanker serviks.
Berganti-ganti
pasangan
akan
memberi kesempatan untuk terkena
penyakit akibat hubungan seksual
makin besar. Padahal, faktor yang
paling
mempengaruhi
timbulnya
25
MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008
kanker serviks adalah penyakit akibat
hubungan seksual seperti gardnella
vaginosis
(gejalanya
keputihan
berwarna abu-abu yang berbau dan
sering ditemukan bersama infeksi
trikhomoniasis), klamidia, herpes, dan
kondiloma
akuminata,
Human
Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan
mukosa hingga membelah menjadi
lebih banyak. Bila terlalu banyak dan
tidak sesuai dengan kebutuhan, tentu
akan menjadi kanker. Berganti-ganti
pasangan ini juga berlaku pada pihak
suami. Pasalnya, jika suami suka
berkencan, ia akan membawa pulang
virus-virus akibat kontak seksual.
Dengan kata lain, sperma yang
mengandung komplemen histone
yang dapat bereaksi dengan DNA sel
serviks bisa juga menyebabkan
serviks terinfeksi, sehingga terjadi
kanker. Cairan sperma (semen) pria
yang bersifat alkalis juga dapat
menimbulkan perubahan pada sel-sel
epitel
serviks
(neoplasma
dan
displasia) dan mengakibatkan kanker
mulut rahim (Diananda, 2007).
Riwayat abortus yaitu jumlah
seluruh kejadian abortus yang pernah
dialami oleh seorang wanita selama
hidupnya. Risiko tinggi jika pernah
terjadi abortus baik sengaja maupun
tidak disengaja sebanyak lebih atau
sama dengan satu kali dan risiko
rendah jika tidak pernah terjadi
abortus. Ada berbagai alasan orang
untuk melakukan abortus antara lain
karena faktor sosial (hamil di luar
nikah), faktor ekonomi (penghasilan
yang terbatas), hamil anak yang tidak
dikehendaki,
kegagalan
program
keluarga berencana, dan faktor medis.
Apapun alasannya pada dasarnya
abortus dilarang karena dengan
melakukan abortus berarti mencabut
hak asasi manusia untuk hidup.
Berdasarkan hasil analisis
menunjukkan bahwa proporsi kejadian
kanker serviks lebih banyak pada ibu
yang riwayat abortus ≥ 1 kali sebesar
84,5% dibandingkan dengan yang
tidak mempunyai riwayat abortus
26
sebesar 15,5%. Berdasarkan hasil
analisis faktor risiko riwayat abortus
terhadap kejadian kanker serviks
diperoleh nilai OR sebesar 7,713 (CI
95%= 3,192 – 18,636) hal ini berarti
ibu yang mempunyai riwayat abortus
≥ 1 kali berisiko menderita kanker
serviks 7,713 kali lebih besar
dibandingkan ibu yang tidak pernah
abortus dan memiliki hubungan yang
bermakna.
Data
hasil
penelitian
ditemukan bahwa riwayat abortus
lebih banyak pada kelompok risiko
tinggi yaitu 49 orang, diantaranya ada
33 orang yang kawin < 20 tahun. Usia
kehamilan < 20 tahun dapat
memperbesar risiko ibu mengalami
abortus, akibat dari ketidaksiapan
mental dari calon ibu. Abortus juga
dapat disebabkan oleh suami yang
mempunyai lebih dari satu pasangan
dimana
wanita
yang
hamil
diperhadapkan dengan problema
sosial, disamping itu kesempatan
suami untuk terkena penyakit akibat
hubungan seksual dengan pasangan
lainnya semakin besar. Penyakit
akibat hubungan seksual tersebut
dapat menyebabkan janin yang ada di
dalam kandungan akan mengalami
infeksi dan menyebabkan kematian.
Abortus yang dilakukan secara
sengaja atau secara tradisional
mempunyai risiko yang sangat tinggi
karena keamanannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Sisa
jaringan, serta tindakan yang tidak
steril serta tidak aman secara medis
akan berakibat timbulnya pendarahan
dan sepsis. Bila terjadi sepsis,
kemungkinan virus tertentu (misalnya
virus papilloma) untuk menginfeksi
akan semakin besar dan pada kondisi
tersebut sel-sel epitel serviks akan
membelah menjadi kondisi yang tidak
normal yang akan mengarah pada
keganasan.
Penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Arman
Abbas di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo
Makassar
(2003),
bahwa wanita yang pernah melakukan
RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS
abortus ≥ 1 kali berisiko 3,37 kali lebih
besar untuk menderita kanker serviks
dibandingkan wanita yang tidak
pernah melakukan abortus.
Dari hasil penelitian diperoleh
bahwa proporsi kejadian kanker
serviks lebih banyak pada kelompok
kasus yang memakai alat kontrasepsi
hormonal
sebesar
63,8%
dibandingkan dengan yang tidak
memakai alat kontrasepsi hormonal
sebesar 36,2%. Hasil analisis faktor
risiko pemakaian alat kontrasepsi
hormonal terhadap kejadian kanker
serviks diperoleh nilai OR sebesar
1,244 (CI 95%= 0,589 – 2,628) hal ini
berarti bahwa ibu yang memakai alat
kontasepsi
hormonal
berisiko
menderita kanker serviks 1,244 kali
lebih besar dibanding ibu yang tidak
memakai alat kontrasepsi hormonal
meskipun
hubungannya
tidak
bermakna.
Hal ini disebabkan karena
umumnya wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal khususnya pil
lebih sering melakukan pemeriksaan
smear serviks, sehingga displasia dan
karsinoma in situ tampak lebih frekuen
pada kelompok wanita tersebut. Pada
alat
kontrasepsi
hormonal
mengandung hormon estrogen dan
progesteron yang memiliki sifat yang
secara struktural dan sifat kimiawi
sangat berbeda walaupun secara
fungsional
memiliki
persamaan
hormon endogen yang diproduksi oleh
tubuh yang memiliki sifat fisiologis,
sedangkan hormon eksogen yang
disintesis oleh tumbuh-tumbuhan tidak
memberi jaminan sifat fisiologis yang
dianggap aman dan kondisi inilah
yang diduga memberi risiko terjadinya
kanker serviks bagi pemakainya.
Dalam penelitian ini penulis
tidak
mendapatkan
keterangan
mengenai lama pemakaian alat
kontrasepsi yang digunakan karena
pemakaian alat kontrasepsi hormonal
khususnya pil dan suntik apabila
digunakan lebih dari lima tahun dapat
memicu risiko kanker serviks karena
alat kontrasepsi ini bisa meningkatkan
daya pembentukan kanker pada virus.
Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang
dilakukan oleh
Sudmawati (2003) di
RSU
Labuang Baji Makassar periode 2000
– 2002 yang menyatakan bahwa
penggunaan kontrasepsi hormonal
bukan merupakan faktor risiko
kejadian kanker serviks.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat
disimpulkan bahwa responden yang
jumlah perkawinan > 1 kali berisiko
12,048 kali lebih besar untuk
menderita kanker serviks, responden
yang mempunyai riwayat abortus
berisiko 7,713 kali lebih besar untuk
menderita
kanker
serviks
dan
responden yang memakai alat
kontrasepsi hormonal berisiko 1,244
kali lebih besar untuk menderita
kanker serviks.
SARAN
Bagi
wanita
sebaiknya
menikah pada usia ≥ 20 tahun dan
bagi wanita yang sudah menikah pada
usia < 20 tahun agar lebih waspada
terhadap munculnya gejala kanker
serviks, dengan secara teratur
melaksanakan upaya deteksi dini
gejala awal yaitu dengan pemeriksaan
pap smear setiap tahun.
Sebaiknya wanita hanya kawin
dengan satu pasangan saja dan
mencoba menjalin hubungan yang
harmonis
dengan
pasangannya
tersebut agar angka perceraian dan
perkawinan lebih dari satu kali dapat
ditekan.
Memberikan sanksi yang tegas
kepada seluruh pelaku aborsi tanpa
indikasi medis yang jelas beserta
seluruh komponen yang terlibat dalam
27
MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008
proses aborsi tersebut berdasarkan
undang-undang yang berlaku. Di
samping itu perlu dilakukan berbagai
penyuluhan kesehatan khususnya
mengenai
pentingnya
kesehatan
reproduksi bagi remaja dan Pasangan
Usia Subur (PUS).
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Arman. 2003. Beberapa
Faktor Risiko Kanker Serviks di Perjan
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar Tahun 2002. Skripsi tidak
diterbitkan. Makassar: FKM Unhas.
Anonim. 2007. Sang pembunuh DiamDiam. Republika Online, (online),
(http://www.republika.co.id, diakses 26
September 2007).
Azis, M. Farid. 2002. Skrining dan
Deteksi Dini Kanker Serviks. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
Dalimartha, Setiawan. 2004. Deteksi
Dini Kanker dan Simplisia Antikanker.
Penebar Swadaya: Jakarta.
Diananda, Rama. 2007. Mengenal
Seluk
Beluk
Kanker.
Katahati:
Yogyakarta.
Dinkes. 2006. Profil dan Laporan
Tahunan. Sub Dinas Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit. Sulsel.
Hakim, B.H.A. 2005. Risiko Merokok
Terhadap Kejadian Kanker Leher
Rahim. MKMI. Vol. 01, No. 03: 161 –
164.
Jamini, Ni Wayan. 2002. Faktor Risiko
Terjadinya Kanker Serviks di RSUP.
Sanglah Denpasar Tahun 2001.
Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:
FKM Unhas.
Khasbiyah. 2004. Beberapa Faktor
Risiko Kanker Serviks Uteri (Studi
Pada Penderita Kanker Serviks Uteri
Di Rumah Sakit Dokter Kariadi
Semarang Pada Bulan AgustusSeptember
2004).
Airlangga
28
University
Library,
(Online).
(http://www.fkm-undip.or.id/, diakses
17 September 2007).
Rasjidi, I., dan Sulistiyanto, H. 2007.
Vaksin Human Papilloma Virus Dan
Eradikasi Kanker Mulut Rahim.
Sagung Seto: Jakarta.
Rauf, Syarul., 2006. Penanggulangan
Kanker Leher Rahim. WIDI Cabang
Makassar. Edisi 4: 14-17.
Sjamsuddin, S. 2001. Pencegahan
dan Deteksi Dini Kanker Serviks.
Cermin Dunia Kedokteran. No. 133: 914.
Suwiyogo, IK. 2004. Aborsi dan
Kesehatan Reproduksi; dari Ilmu ke
Undang-undang. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol. 54, No.10: 391 - 395.
Yayasan Kanker Indonesia. 2007.
Kampanye Bantu Cegah kanker
Serviks (Online). (http://cegahkankerserviks.org/apa_itu_kanker_serviks
.html, diakses 31 Agustus 2007)
Download