MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008 RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS DI RUMAH SAKIT PELAMONIA MAKASSAR TAHUN 2006 – 2007 Deviarbi Sakke Tira1 Abstract: Cervical cancer is a primary malignant tumor originated from squamosa epithel cell. This disease is the main cause of death to women in developing countries including Indonesia. Each year about one fourth million women die of the disease. In Indonesia it is estimated that there are 41 cases of new cervical cancer every day and 20 women die of the disease. In 2005 in South Sulawesi the number of cervical cancer was 248 cases with the death 54,4%. The aim of the study was to analyze the risk factors in the incidence of cervical cancer especially number of marriages, abortion history and use of hormonal contraceptive devices at the Pelamonia Hospital in Makassar in 2006-2007. The study was case control. The samples consisted of 58 cases and 58 controls selected by exhaustive sampling. The data were obtained from the obstetric and gynecological department. The data were analyzed by using odds ratio (OR) and logistic regression at α < 0,005. The results of the study indicate that number of marriages (OR=12,048), history of abortion (OR=7,713) and use of hormonal contraceptive devices (OR=1,244) are risk factors in the incidence of cervical cancer. It is recommended for women to have pap smear regularly especially those who got married at the age of < 20 years, married to only one couple, lead a harmonious relation, and avoid abortion without obvious medical indication. Key words: cervical cancer, marriage, abortion, hormonal contraception PENDAHULUAN Kanker seviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS). Sebagian besar penderita kanker serviks datang berobat pada stadium lanjut, karena pada stadium awal penyakit ini tidak menimbulkan gejala. Penyakit ini merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, bahkan tiap tahunnya sekitar seperempat juta wanita meninggal karena penyakit ini (Khasbiyah, 2004). Badan PBB untuk masalah kesehatan (WHO) memperkirakan bahwa pada 10 tahun mendatang sebanyak 9 juta orang akan meninggal dunia setiap tahun akibat 1 penyakit kanker. Di dunia, angka kejadian kanker serviks masih menempati posisi yang kedua terbanyak (setelah kanker payudara) yang diderita oleh wanita. WHO melaporkan 470.606 kasus kanker serviks dengan kematian 49,6%. Di negara berkembang kanker serviks masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif. Hampir 80% kasus berada di negara berkembang dengan jumlah kasus 91.451 orang dan kematian 43,02% ( Hakim, 2005). Setiap tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan lebih dari 250.000 meninggal dunia. Total 2,2 juta perempuan di dunia menderita kanker serviks. Kanker serviks cenderung muncul pada perempuan berusia 35-55 tahun, Staf Pengajar Jurusan Epidemiologi dan Biostatistika FKM Undana RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS namun dapat pula muncul pada perempuan dengan usia yang lebih muda (Yayasan Kanker Indonesia, 2007). Di negara sedang berkembang jumlah kasus kanker serviks 379.153 orang dengan kematian 51,17%. Menurut Yayasan Kanker Indonesia (YKI), di Indonesia diperkirakan setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker serviks dan 20 perempuan meningal dunia karena penyakit tersebut. Jumlah kasus kanker serviks 14.365 orang dengan kematian 50,78%. Di Sulawesi Selatan jumlah kasus kanker serviks yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit di kota Makassar 248 kasus dengan kematian 54,4% (Hakim, 2005). Jumlah penderita kanker leher rahim di Indonesia sekitar 200 ribu setiap tahunnya dan menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara. Namun demikian walaupun penyakit ini merupakan penyakit keganasan yang dapat menyebabkan kematian, kesadaran untuk memeriksakan diri dirasakan sangat rendah, hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan mengenai kanker ini. Indikasinya adalah lebih dari 70% penderita yang datang ke Rumah Sakit sudah pada kondisi lanjut. Menurut Aziz MF (2005), penderita kanker terbanyak di Indonesia adalah serviks dengan jumlah 3.686 (17,85%) dan mammae 2.617 (12,67%). Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks 76,2% diantara kanker ginekologi (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007). RS Dr Sardjito mencatat terjadinya peningkatan kasus kanker serviks. Tahun 1990-an hanya ada 150 kasus baru per tahun. Saat ini, sudah mencapai 250 kasus baru per tahun. Sebanyak 70 sampai 80 persen masuk rumah sakit pada stadium lanjut. Penelisikan Republika, di RS Kanker Dharmais (RSKD), ada 801 kasus baru yang tercatat. Dari Instalasi Radioterapi RSKD, mengungkapkan total kunjungan ke Instalasi Radio Terapi RSKD pada tahun 2005, mencapai 20.529 dan lebih dari 50 persen datang dalam keadaan stadium IV-B (Anonim, 2007). Menurut data dari Depkes (2003) kematian akibat penyakit kanker meningkat dari 3,4% (1980) menjadi 6,0% (2001). Berdasarkan Surveilans Rutin Penyakit Tidak Menular (PTM) yang dilayani di rumah sakit per kabupaten/kota propinsi Sulawesi Selatan, didapatkan jumlah penderita kanker serviks pada tahun 2006 sebanyak 25 orang yang terdiri dari penderita rawat jalan sebanyak 2 orang dan penderita menurut rawat inap sebanyak 23 orang. Soppeng menempati urutan pertama penderita kanker serviks terbanyak yaitu sebanyak 6 orang penderita yang merupakan penderita rawat inap. Makassar menempati urutan ke delapan dengan 1 orang penderita rawat inap. Umur penderita terbanyak pada umur >45 tahun dengan jumlah 13 orang penderita yang terdiri dari 1 orang rawat jalan dan 12 orang rawat inap. Dan diikuti dengan umur 15 – 44 tahun dengan jumlah 12 orang penderita yang terdiri dari 1 orang rawat jalan dan 11 orang rawat inap (Dinkes Propinsi Sul-Sel, 2006). Data dari RS. Pelamonia sendiri kasus rawat inap untuk penderita kanker serviks tahun 2006 sebanyak 27 kasus, dan meningkat pada tahun 2007 sebanyak 31 kasus. Di samping angka kejadian kanker serviks yang tinggi, ternyata sebagian besar penderita datang dalam stadium lanjut yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan seperti peralatan, 21 MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008 radioterapi yang hanya tersedia di beberapa kota besar saja dan sitostatika yang harganya cukup mahal. Di samping mahal, pengobatan kanker serviks stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan angka harapan hidup 5 tahun yang rendah. Penyakit kanker serviks ini belum diketahui penyebabnya secara pasti, sehingga sulit untuk dilakukan pencegahan primer. Penyebabnya diduga antara lain melakukan hubungan seksual pertama kali di bawah umur 20 tahun, pasangan seksual dua orang atau lebih, cerai atau pisah dengan hubungan seksual yang tidak stabil, merokok, higiene perorangan yang rendah, kemiskinan, melahirkan anak pada usia muda, rangsangan terus-menerus pada leher rahim misalnya pada frekuensi koitus yang tinggi, peradangan, paritas lebih dari tiga dan adanya bahan-bahan mutagen yang diduga dapat merubah sel-sel di jaringan rahim secara genetik misalnya sperma yang mengandung komplemen histon, mikoplasma, klamidia, virus herpes simpleks (HSV 2), human papiloma virus tipe 16,18,31 (HPV 16, 18, 31), trikomonas vaginalis (Rauf, 2006). Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang mempunyai jumlah pasangan seksual banyak (> 4 orang). Berdasarkan penelitian, risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila berhubungan seks dengan laki-laki berisiko tinggi (laki-laki yang berhubungan seks dengan banyak wanita) (Dalimartha, 2004). Riwayat abortus merupakan salah satu faktor risiko kanker serviks. Praktek-praktek abortus yang tidak steril memicu terjadinya infeksi sehingga mudah memicu pertumbuhan sel-sel abnormal yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker. Wanita yang pernah melakukan abortus ≥ 1 kali berisiko 22 3,37 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak pernah melakukan abortus (Abbas, 2003). Menurut data Keluarga Berencana (KB) di Indonesia tahun 2000, hanya 54,84% perempuan reproduksi yang memakai kontrasepsi dan metode KB yang terpopuler adalah suntikan (40,88%), pil (28,48%), dan AKDR (13,84%) (Suwiyoga, 2004). Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian (Sjamsuddin, 2001). Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko 1,5 – 2,5 kali bila diminum dalam jangka panjang, yaitu lebih dari 4 tahun (Dalimartha, 2004). Pada dasarnya kanker serviks dapat dicegah atau diobati apabila ditemukan secara dini dan menghindari faktor-faktor risiko. Salah satu usaha yang paling baik dalam penanggulangannya adalah deteksi dini kanker serviks, karena sesungguhnya kanker dapat dicegah dan diobati bila ditemukan secara dini. Atas dasar itulah maka penulis mencoba meneliti besar risiko jumlah perkawinan, riwayat abortus dan pemakaian alat kontrasepsi hormonal sehingga dari hal tersebut dapat diambil langkah pencegahan guna meminimalisir faktor risiko sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besar risiko jumlah perkawinan, riwayat abortus, dan pemakaian alat kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker serviks di Rumah Sakit Pelamonia Makassar tahun 2006 – 2007. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS observasional analitik dengan pendekatan Case Control Study (kasus kontrol), yaitu suatu rancangan pengamatan epidemiologis untuk mempelajari hubungan tingkat keterpaparan dengan berbagai keadaan penyakit atau masalah kesehatan lainnya. Penelitian ini dilakukan di bagian rawat inap bagian kebidanan dan kandungan Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Pemilihan lokasi ini berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu selain dapat dijangkau oleh masyarakat dengan tingkat sosial rendah (adanya program JPS), juga yang penting bahwa rumah sakit tersebut dapat memberikan pengobatan dan perawatan penderita dengan kanker serviks. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat inap pada bagian kebidanan dan kandungan di Rumah Sakit Pelamonia Makassar tahun 2006 – 2007. Sampel dibagi dalam dua kelompok, yaitu kasus adalah semua pasien yang dirawat inap pada bagian kebidanan dan kandungan yang dinyatakan menderita kanker serviks berdasarkan catatan rekam medik sedangkan kontrol adalah semua pasien yang dirawat inap pada bagian kebidanan dan kandungan yang dinyatakan tidak menderita kanker serviks ataupun kanker lainnya berdasarkan catatan rekam medik dan mempunyai data lengkap mengenai variabel yang diteliti. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non random “Exhaustive Sampling” yaitu teknik penentuan sampel dengan menganalisis semua sampel kasus. Sampel kasus yang terpilih dalam penelitian ini adalah mereka yang didiagnosa menderita kanker serviks di Rumah Sakit Pelamonia Makassar tahun 2006 – 2007. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari kartu status pasien yang dirawat inap di bagian kebidanan dan kandungan yang diperoleh pada catatan Medical Record Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer, program/software yang digunakan adalah program SPSS. Analisis data dilakukan dengan pengujian hipotesis. Hipotesis yang diuji adalah hipotesis nol (Ho) yang digunakan untuk membandingkan kasus dan kontrol terhadap faktor-faktor risiko dengan uji Odds Ratio (OR) HASIL Faktor risiko jumlah perkawinan terhadap kejadian kanker serviks Hasil analisis faktor risiko jumlah perkawinan terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR beserta lower limit dan upper limit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Perkawinan Faktor Risiko Jumlah Perkawinan terhadap Kejadian Kanker Serviks di Rumah Sakit Pelamonia Makassar Tahun 2006 – 2007 Kejadian Kanker Serviks Kasus Kontrol n % n % 23 39,7 3 5,2 35 60,3 55 94,8 Jumlah n Risiko tinggi 26 Risiko 90 rendah Jumlah 58 100,0 58 100,0 116 Sumber: Data sekunder yang telah diolah Ket: OR= 12,048 LL – UL = 3,365 – 43,140 ρ value= 0,00 Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 58 orang yang menderita kanker serviks lebih banyak ditemukan pada jumlah perkawinan risiko rendah (hanya satu kali) yaitu 35 orang (60,3%) dibandingkan dengan jumlah perkawinan risiko tinggi (> 1 kali) sebanyak 23 orang (39,7%). Sedangkan dari 58 orang yang tidak menderita kanker serviks lebih banyak 23 % 22,4 77,6 100,0 MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008 ditemukan pada jumlah perkawinan risiko rendah yaitu 55 orang (94,8%). Berdasarkan uji odds ratio dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai OR = 12,048 dengan nilai lower limit = 3,365 dan upper limit = 43,140. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan nilai ρ = 0,000 maka secara statistik dikatakan bermakna sehingga hipotesis penelitian diterima. Interpretasi hasil analisis faktor risiko antara jumlah perkawinan dengan kejadian kanker serviks adalah ibu yang jumlah perkawinan lebih dari satu kali berisiko menderita kanker serviks 12,048 kali lebih besar dibandingkan ibu yang jumlah perkawinan hanya satu kali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah perkawinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian kanker serviks dan memiliki hubungan yang bermakna. Faktor risiko riwayat abortus terhadap kejadian kanker serviks Hasil analisis faktor risiko riwayat abortus terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR beserta lower limit dan upper limit disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Riwayat Abortus Faktor Risiko Riwayat Abortus terhadap Kejadian Kanker Serviks di Rumah Sakit Pelamonia Makassar Tahun 2006 – 2007 Kejadian Kanker Serviks Kasus Kontrol n % n % 49 84,5 24 41,4 Jumlah n % Risiko 73 62,9 tinggi Risiko 9 15,5 34 58,6 43 37,1 rendah Jumlah 58 100,0 58 100,0 116 100,0 Sumber: Data sekunder yang telah diolah OR= 7,713 LL – UL= 3,192 – 18,636 ρ value ρ = 0,000 Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 58 orang yang menderita kanker serviks lebih banyak ditemukan pada riwayat abortus risiko tinggi (≥ 1 kali) yaitu 49 orang (84,5%) dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat 24 abortus (risiko rendah) yaitu 9 orang (15,5%). Sedangkan dari 58 orang yang tidak menderita kanker serviks lebih banyak ditemukan pada ibu yang tidak memiliki riwayat abortus (risiko rendah) yaitu 34 orang (58,6%). Berdasarkan uji odds ratio dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai OR = 7,713 dengan nilai lower limit = 3,192 dan upper limit = 18,636. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan nilai ρ = 0,000 maka secara statistik dikatakan bermakna sehingga hipotesis penelitian diterima. Interpretasi hasil analisis faktor risiko antara riwayat abortus dengan kejadian kanker serviks adalah ibu yang mempunyai riwayat abortus ≥ 1 kali berisiko menderita kanker serviks 7,713 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak pernah abortus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat abortus merupakan faktor risiko terhadap kejadian kanker serviks dan memiliki hubungan yang bermakna. Faktor risiko pemakaian alat kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker serviks Hasil analisis faktor risiko pemakaian alat kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR beserta lower limit dan upper limit disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 58 orang yang menderita kanker serviks lebih banyak ditemukan pada ibu yang memakai alat kontrasepsi hormonal (risiko tinggi) yaitu 37 orang (63,8%) dibandingkan dengan yang tidak memakai alat kontrasepsi hormonal (risiko rendah) yaitu 21 orang (36,2%). Sedangkan dari 58 orang yang tidak menderita kanker serviks lebih banyak ditemukan pada ibu yang memakai alat kontrasepsi hormonal (risiko tinggi) yaitu 34 orang (58,6%). RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS Tabel 3. Faktor Risiko Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal terhadap Kejadian Kanker Serviks di Rumah Sakit Pelamonia Makassar Tahun 2006 – 2007 Pemakaian Kejadian Kanker Serviks Jumlah Alat Kasus Kontrol Kontrasepsi n % n % n % Hormonal Risiko tinggi 37 63,8 34 58,6 71 61,2 Risiko rendah 21 36,2 24 41,4 45 38,8 Jumlah 58 100,0 58 100,0 116 100,0 Sumber: Data sekunder yang telah diolah OR= 1,244 LL – UL=0,589 – 2,628 ρ value = 0,703 Berdasarkan uji odds ratio dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai OR = 1,244 dengan nilai lower limit = 0,589 dan upper limit = 2,628. Karena nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai 1 dan nilai ρ = 0,703 (0,703 > 0,05) maka secara statistik dikatakan tidak bermakna. Interpretasi hasil analisis faktor risiko antara pemakaian alat kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks adalah ibu yang memakai alat kontrasepsi hormonal berisiko menderita kanker serviks 1,244 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak memakai alat kontrasepsi hormonal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemakaian alat kontasepsi hormonal merupakan faktor risiko terhadap kejadian kanker serviks meskipun hubungan diantara keduanya tidak bermakna. PEMBAHASAN Jumlah perkawinan adalah jumlah atau banyaknya perkawinan yang pernah dilakukan oleh seorang ibu selama hidupnya, di mana risiko tinggi jika ibu tersebut kawin lebih dari satu kali dan risiko rendah jika perkawinan dilakukan hanya satu kali. Setiap berhubungan seksual dengan satu pasangan baru, kesempatan untuk terkena penyakit akibat hubungan seksual semakin besar. Faktor yang paling mempengaruhi timbulnya kanker serviks adalah penyakit akibat hubungan seksual seperti Virus Papilloma. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian kanker serviks lebih banyak pada ibu yang jumlah perkawinan hanya satu kali sebesar 60,3% dibandingkan dengan jumlah perkawinan lebih dari satu kali sebesar 39,7%. Hal ini disebabkan karena adanya norma sosial yang mengikat dalam lingkungan masyarakat, yang masih menganggap tabu seseorang wanita untuk kawin lebih dari satu kali. Berdasarkan hasil analisis faktor risiko jumlah perkawinan terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR 12,048 (CI 95%= 3,365 – 43,140) hal ini berarti ibu yang jumlah perkawinan lebih dari satu kali berisiko menderita kanker serviks 12,048 kali lebih besar dibanding ibu yang jumlah perkawinan hanya satu kali dan memiliki hubungan yang bermakna. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arman Abbas di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (2003), bahwa wanita yang menikah > 1 kali berisiko 2,98 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan wanita yang menikah hanya 1 kali. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Jamini di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2002 menemukan bahwa, wanita yang menikah lebih dari satu kali berisiko 2,89 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan wanita yang hanya menikah satu kali. Mereka yang sering bergantiganti pasangan kemungkinan besar bisa terkena penyakit kanker serviks. Berganti-ganti pasangan akan memberi kesempatan untuk terkena penyakit akibat hubungan seksual makin besar. Padahal, faktor yang paling mempengaruhi timbulnya 25 MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008 kanker serviks adalah penyakit akibat hubungan seksual seperti gardnella vaginosis (gejalanya keputihan berwarna abu-abu yang berbau dan sering ditemukan bersama infeksi trikhomoniasis), klamidia, herpes, dan kondiloma akuminata, Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak. Bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan, tentu akan menjadi kanker. Berganti-ganti pasangan ini juga berlaku pada pihak suami. Pasalnya, jika suami suka berkencan, ia akan membawa pulang virus-virus akibat kontak seksual. Dengan kata lain, sperma yang mengandung komplemen histone yang dapat bereaksi dengan DNA sel serviks bisa juga menyebabkan serviks terinfeksi, sehingga terjadi kanker. Cairan sperma (semen) pria yang bersifat alkalis juga dapat menimbulkan perubahan pada sel-sel epitel serviks (neoplasma dan displasia) dan mengakibatkan kanker mulut rahim (Diananda, 2007). Riwayat abortus yaitu jumlah seluruh kejadian abortus yang pernah dialami oleh seorang wanita selama hidupnya. Risiko tinggi jika pernah terjadi abortus baik sengaja maupun tidak disengaja sebanyak lebih atau sama dengan satu kali dan risiko rendah jika tidak pernah terjadi abortus. Ada berbagai alasan orang untuk melakukan abortus antara lain karena faktor sosial (hamil di luar nikah), faktor ekonomi (penghasilan yang terbatas), hamil anak yang tidak dikehendaki, kegagalan program keluarga berencana, dan faktor medis. Apapun alasannya pada dasarnya abortus dilarang karena dengan melakukan abortus berarti mencabut hak asasi manusia untuk hidup. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi kejadian kanker serviks lebih banyak pada ibu yang riwayat abortus ≥ 1 kali sebesar 84,5% dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat abortus 26 sebesar 15,5%. Berdasarkan hasil analisis faktor risiko riwayat abortus terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR sebesar 7,713 (CI 95%= 3,192 – 18,636) hal ini berarti ibu yang mempunyai riwayat abortus ≥ 1 kali berisiko menderita kanker serviks 7,713 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak pernah abortus dan memiliki hubungan yang bermakna. Data hasil penelitian ditemukan bahwa riwayat abortus lebih banyak pada kelompok risiko tinggi yaitu 49 orang, diantaranya ada 33 orang yang kawin < 20 tahun. Usia kehamilan < 20 tahun dapat memperbesar risiko ibu mengalami abortus, akibat dari ketidaksiapan mental dari calon ibu. Abortus juga dapat disebabkan oleh suami yang mempunyai lebih dari satu pasangan dimana wanita yang hamil diperhadapkan dengan problema sosial, disamping itu kesempatan suami untuk terkena penyakit akibat hubungan seksual dengan pasangan lainnya semakin besar. Penyakit akibat hubungan seksual tersebut dapat menyebabkan janin yang ada di dalam kandungan akan mengalami infeksi dan menyebabkan kematian. Abortus yang dilakukan secara sengaja atau secara tradisional mempunyai risiko yang sangat tinggi karena keamanannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sisa jaringan, serta tindakan yang tidak steril serta tidak aman secara medis akan berakibat timbulnya pendarahan dan sepsis. Bila terjadi sepsis, kemungkinan virus tertentu (misalnya virus papilloma) untuk menginfeksi akan semakin besar dan pada kondisi tersebut sel-sel epitel serviks akan membelah menjadi kondisi yang tidak normal yang akan mengarah pada keganasan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arman Abbas di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (2003), bahwa wanita yang pernah melakukan RISIKO JUMLAH PERKAWINAN, RIWAYAT ABORTUS, DAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER SERVIKS abortus ≥ 1 kali berisiko 3,37 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak pernah melakukan abortus. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa proporsi kejadian kanker serviks lebih banyak pada kelompok kasus yang memakai alat kontrasepsi hormonal sebesar 63,8% dibandingkan dengan yang tidak memakai alat kontrasepsi hormonal sebesar 36,2%. Hasil analisis faktor risiko pemakaian alat kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker serviks diperoleh nilai OR sebesar 1,244 (CI 95%= 0,589 – 2,628) hal ini berarti bahwa ibu yang memakai alat kontasepsi hormonal berisiko menderita kanker serviks 1,244 kali lebih besar dibanding ibu yang tidak memakai alat kontrasepsi hormonal meskipun hubungannya tidak bermakna. Hal ini disebabkan karena umumnya wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal khususnya pil lebih sering melakukan pemeriksaan smear serviks, sehingga displasia dan karsinoma in situ tampak lebih frekuen pada kelompok wanita tersebut. Pada alat kontrasepsi hormonal mengandung hormon estrogen dan progesteron yang memiliki sifat yang secara struktural dan sifat kimiawi sangat berbeda walaupun secara fungsional memiliki persamaan hormon endogen yang diproduksi oleh tubuh yang memiliki sifat fisiologis, sedangkan hormon eksogen yang disintesis oleh tumbuh-tumbuhan tidak memberi jaminan sifat fisiologis yang dianggap aman dan kondisi inilah yang diduga memberi risiko terjadinya kanker serviks bagi pemakainya. Dalam penelitian ini penulis tidak mendapatkan keterangan mengenai lama pemakaian alat kontrasepsi yang digunakan karena pemakaian alat kontrasepsi hormonal khususnya pil dan suntik apabila digunakan lebih dari lima tahun dapat memicu risiko kanker serviks karena alat kontrasepsi ini bisa meningkatkan daya pembentukan kanker pada virus. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudmawati (2003) di RSU Labuang Baji Makassar periode 2000 – 2002 yang menyatakan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal bukan merupakan faktor risiko kejadian kanker serviks. SIMPULAN Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa responden yang jumlah perkawinan > 1 kali berisiko 12,048 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks, responden yang mempunyai riwayat abortus berisiko 7,713 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dan responden yang memakai alat kontrasepsi hormonal berisiko 1,244 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks. SARAN Bagi wanita sebaiknya menikah pada usia ≥ 20 tahun dan bagi wanita yang sudah menikah pada usia < 20 tahun agar lebih waspada terhadap munculnya gejala kanker serviks, dengan secara teratur melaksanakan upaya deteksi dini gejala awal yaitu dengan pemeriksaan pap smear setiap tahun. Sebaiknya wanita hanya kawin dengan satu pasangan saja dan mencoba menjalin hubungan yang harmonis dengan pasangannya tersebut agar angka perceraian dan perkawinan lebih dari satu kali dapat ditekan. Memberikan sanksi yang tegas kepada seluruh pelaku aborsi tanpa indikasi medis yang jelas beserta seluruh komponen yang terlibat dalam 27 MKM Vol. 03 No. 01 Juni 2008 proses aborsi tersebut berdasarkan undang-undang yang berlaku. Di samping itu perlu dilakukan berbagai penyuluhan kesehatan khususnya mengenai pentingnya kesehatan reproduksi bagi remaja dan Pasangan Usia Subur (PUS). DAFTAR PUSTAKA Abbas, Arman. 2003. Beberapa Faktor Risiko Kanker Serviks di Perjan RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2002. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: FKM Unhas. Anonim. 2007. Sang pembunuh DiamDiam. Republika Online, (online), (http://www.republika.co.id, diakses 26 September 2007). Azis, M. Farid. 2002. Skrining dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Balai Penerbit FKUI: Jakarta Dalimartha, Setiawan. 2004. Deteksi Dini Kanker dan Simplisia Antikanker. Penebar Swadaya: Jakarta. Diananda, Rama. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Katahati: Yogyakarta. Dinkes. 2006. Profil dan Laporan Tahunan. Sub Dinas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit. Sulsel. Hakim, B.H.A. 2005. Risiko Merokok Terhadap Kejadian Kanker Leher Rahim. MKMI. Vol. 01, No. 03: 161 – 164. Jamini, Ni Wayan. 2002. Faktor Risiko Terjadinya Kanker Serviks di RSUP. Sanglah Denpasar Tahun 2001. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: FKM Unhas. Khasbiyah. 2004. Beberapa Faktor Risiko Kanker Serviks Uteri (Studi Pada Penderita Kanker Serviks Uteri Di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang Pada Bulan AgustusSeptember 2004). Airlangga 28 University Library, (Online). (http://www.fkm-undip.or.id/, diakses 17 September 2007). Rasjidi, I., dan Sulistiyanto, H. 2007. Vaksin Human Papilloma Virus Dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim. Sagung Seto: Jakarta. Rauf, Syarul., 2006. Penanggulangan Kanker Leher Rahim. WIDI Cabang Makassar. Edisi 4: 14-17. Sjamsuddin, S. 2001. Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Cermin Dunia Kedokteran. No. 133: 914. Suwiyogo, IK. 2004. Aborsi dan Kesehatan Reproduksi; dari Ilmu ke Undang-undang. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 54, No.10: 391 - 395. Yayasan Kanker Indonesia. 2007. Kampanye Bantu Cegah kanker Serviks (Online). (http://cegahkankerserviks.org/apa_itu_kanker_serviks .html, diakses 31 Agustus 2007)