Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Aspek Sosioyuridis Lahan Budidaya Rumput Laut sebagai Mahar Perkawinan di Kabupaten Bantaeng-Sulawesi Selatan Sri Susyanti Nur dan Abrar Saleng1 1 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar [email protected] Abstract Sri Susyanti Nur, dan Abrar Saleng. 2013. Socio-juridical Aspect of Seaweed Cultivation Site As a Marriage Dowry in Bantaeng Regency, South Sulawesi. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Seaweed cultivation in coastal waters of Bantaeng regency, South Sulawesi has impacts not only on economical but also on social and legal aspects. The objective of this study was to find out the socio-juridical aspect of seaweed cultivation site in Bantaeng regency which was used as marriage dowry. This study involved observation, primary and secondary data collection, data processing, and data analysis. Primary data were obtained from interview with seaweed farmers, the giver and receiver of the dowry, and other stakeholders. Whereas the secondary data were obtained from Religion Department of Bantaeng regency, Statistical Office, and reviewing various rules related to marriage and seaweed cultivation as well as other sources. Study results indicated that viewed from formal juridical aspect, the seaweed cultivation site could not be a marriage dowry because the sea as the seaweed cultivation site is not a private but public property. Viewed from socio-cultural aspect, the seaweed cultivation site was valid to be used as marriage dowry in Bantaeng society. Keywords: Marriage dowry; Seaweed culture site; Socio-yuridical Abstrak Budidaya rumput laut di perairan pantai Kabupaten Bantaeng-Sulawesi Selatan tidak saja berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga pada aspek sosia, budaya dan hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek sosioyuridis lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng yang dijadikan sebagai mahar perkawinan. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah observasi, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan analisis data. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pembudidaya rumput laut, pemberi-penerima mahar perkawinan, dan pemangku kepentingan lainnya, sedangkan data sekunder diperoleh Kantor Departemen Agama Kabupaten Bantaeng, Kantor Statistik, dan menelaah berbagai peraturan-peraturan yang berkaitan dengan mahar perkawinan dan budidaya rumput laut serta sumber lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa ditinjau dari aspek yuridis formal, lahan budidaya rumput laut tidak bisa dijadikan mahar perkawinan karena laut yang dijadikan sebagai lahan budidaya bukan milik pribadi tetapi milik umum. Sedangkan ditinjau dari aspek sosial budaya, lahan budidaya rumput laut sah digunakan sebagai mahar perkawinan bagi masyarakat Bantaeng. Kata kunci: Mahar perkawinan; Lahan budidaya rumput laut; Sosioyuridis Pendahuluan Usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng mulai dilakukan oleh masyarakat sekitar tahun 1999 hingga kini. Pembudidayaan rumput laut dilakukan pada saat itu dengan menggunakan metode long line dengan mengambil bibit dari Maumere. Rumput laut yang berasal dari Maumere hingga kini dikenal dengan sebutan rumput laut Maumere (berjenis Gracillaria). Pada umumnya masyarakat pesisir di Kabupaten Bantaeng menjadi nelayan tangkap, namun lambat laun menjadi nelayan budidaya rumput laut, dikarenakan beberapa hal, antara lain: 1) budidaya rumput laut tidak memerlukan modal yang besar; 2) masa panen cepat (sekitar 40 hari); 3) pemeliharaan rumput laut sangat praktis sehingga tidak perlu sering melaut. Adapun kondisi perikanan dan kelautan Kabupaten Bantaeng terdiri dari kegiatan penangkapan dan pembudidaya. Data menunjukan aktivitas usaha penangkapan dilakoni oleh 802 Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang terbagi dalam 3( tiga) kecamatan, yakni kecamatan Bisappu sebanyak 162 RTP, Kecamatan Bantaeng sebanyak 280 RTP dan kecamatan Pa’jukukang sebanyak 360 RTP. Selanjutnya untuk 343 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 menunjang usaha perikanan terdapat 791 unit armada penangkapan berupa perahu tanpa motor sebanyak 352 buah, motor temple sebanyak 282 buah dan kapal motor sebanyak 157 buah. Penggunaan alat tangkap berupa jaring, pancing, dan perangkap lainnya menjadi berkurang dengan semakin berkembangkan usaha budidaya rumput laut, hal ini dikarenakan lokasi < 2 mil menjadi areal usaha budidaya rumput laut, sehingga wilayah tangkapan menjadi lebih jauh dibandingkan sebelumnya (2-4 mil dari garis pantai). Usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng semakin berkembang dan menjadi usaha yang turun temurun, dapat di wariskan, di perjual-belikan, bahkan dapat dijadikan sebagai mahar untuk perkawinan, tentunya hal ini terkait dengan aspek ekonomi, social budaya serta aspek hokum. Usaha budidaya rumput laut yang dilakukan dengan cara menguasai lahan berkisar 1 ha yang dapat menampung sebanyak 600 bibit rumput laut , menyebabkan pengkaplingan wilayah pesisir oleh masyarakat sekalipun belum ada penetapan batas lahan. Pengkaplingan dan penguasaan atas lahan budidaya rumput laut oleh seseorang/pribadi atau secara bersama-sama/keluarga menimbulkan presepsi kepemilikan terhadap lahan budidaya, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik lahan antar nelayan pembudidaya, dan antara nelayan pembudidaya dengan nelayan tangkap yang menggunakannya sebagai jalur transportasi. Hak milik adalah sebutan yang menggambarkan hubungan hokum antara orang dengan benda/obyek yang menjadi sasaran kepemilikan, yakni terdiri atas kompleks hak-hak yang dapat digolongkan ke dalam ius in rem, karena berlaku terhadap semua orang, dan ius personam yang berlaku terhadap orang tertentu saja. Hak milik merupakan hak utama, utuh, lengkap, tetap, tidak pernah lenyap menurut Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) bahwa hak milik adalah “hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dengan penggantian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan”. Selanjutnya pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di singkat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disebutkan sebagai hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh. Kepemilikan yang berdasarkan penguasaan fisik oleh masyarakat pesisir terhadap lahan budidaya rumput laut tentunya menimbulkan implikasi hokum, baik dari aspek hokum keperdataan, hokum keagrarian, hokum administrasi Negara maupun hokum islam terkait dengan rumput laut sebagai mahar perkawinan. Indonesia sebagai Negara hokum, berdasarkan ketentuan dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 mengatur bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aturan ini menjadi dasar konstitusi menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang terkait dengan “dikuasai oleh Negara” yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA menentukan bahwa: Pada ayat (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pada ayat (2) dikemukakan bahwa hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya Pasal 4 UUPA menentukan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 tersebut di atas, ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hokum. 344 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Penguasaan wilayah pantai yang disebut pula sebagai sempadan pantai menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sehingga wilayah pantai sebagai sempadan pantai termasuk dalam kawasan lindung, yang dapat diakui penguasaannya namun penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi kawasan dan juga ketentuan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat. Kabupaten Bantaeng telah melakukan usaha penataan dengan menetapkan acuan teknis dalam usaha budidaya rumput laut melalui pendataan jumlah RTP, luas areal pembudidaya rumput laut di 16 Desa/Kelurahan pantai, mengatur jarak areal pembudidaya rumput laut dari pinggir pantai, jarak lokasi terjauh, lebar jalanan masuk kapal/perahu ke daratan serta jarak antara petakan/kapling dan mewajibkan nelayan pembudidaya membuat tanda batas lahan usahanya. Selanjutnya berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan dan Kelautan yang mewajibkan setiap orang atau badan hokum yang melakukan usaha perikanan dan kelautan untuk memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Bantaeng menata kegiatan budidaya rumput laut dengan dasar penataan, bahwa: laut tidak dapat dimiliki dan hanya bisa dimanfaatkan, maka sudah sepatutnya masyarakat/nelayan pembudidaya rumput laut menetapkan tanda batas pengkaplingan serta mempunyai SIUP sebagai dasar penguasaan dan pengunaan wilayah pantai untuk usaha budidaya rumput laut. Utntuk itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui “Status penguasaan lahan pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Bantaeng, dan bagaimana pemberian lahan usaha budidaya rumput laut sebagai mahar dalam perkawinan”. Materi dan Metode Penelitian Budidaya rumput laut di perairan pantai Kabupateng Bantaeng- Sulawesi Selatan, yang dilakukan dengan cara menguasai dan mengkapling wilayah perairan menimbulkan pengakuan kepemilikan atas lahan pembudidaya oleh masyarakat sekitarnya. Batas lahan/areal pembudidaya yang tidak jelas kemudian tidak mengantongi SIUP menjadikan menguasaan dan pemanfaatan wilayah laut dari yang bersifat open acces bergeser menjadi privat property (kepemilikan pribadi) yang ditandai dengan penguasaan fisik, perbuatan jual-beli, hibah, wasiat dan mahar perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian sosioyuridis, yakni mengkaji hokum dalam bentuk law in book (segi aturan –aturan yang terkait) dengan law in action (hokum yang berlaku dalam masyarakat) sekaligus menggali aturan lokal/kebiasaan yang berlaku pada masyarakat dalam usaha budidaya rumput laut. Tahapan penelitian yang dilakukan dengan cara observasi, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan analisis data. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para nara sumber, yakni Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Bantaeng dan tokoh agama serta tokoh masyarakat. Wawancara dilakukan pula terhadap pembudidaya rumput laut, pemberi-penerima mahar perkawinan, dan masyarakat pesisir/nelayan di Kecamatan Bisappu, Kecamatan Bantaeng, Kecamatan Pa’jukukang. Data sekunder diperoleh dari Departemen Agama, Kantor Statistik serta Kantor Kecamatan Bisappu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian 1. Status penguasaan lahan pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Bantaeng Bromley menyebutkan paling tidak ada empat rezim kepemilikan terhadap sumberdaya alam, yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private proverty) dan masyarakat (communal proverty). Pada masyarakat pesisir di Kabupaten Bantaeng, berpresepsi laut tidak bertuan (open access) sehingga bebas melakukan penangkapan ikan, selanjutnya mengakui pula bahwa laut milik bersama (common property) sehingga masyarakat pesisir dapat 345 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 secara bersama-sama memanfaatkan wilayah laut. Tradisi yang ada jika seseorang telah melakukan usaha budidaya rumput laut untuk pertama kali di areal tersebut maka telah lahir hak terdahulu yang senantiasa dihormati oleh nelayan lainnya untuk tidak melakukan usaha di lahan/areal budidaya tersebut, hal inilah yang menjadi dasar pengkaplingan dan pemilikan atas lahan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan budidaya rumput laut di sepanjang pantai kecamatan Bantaeng, diperoleh data asal lahan pembudidaya dengan cara: Tabel 1. Asal lahan pembudidaya rumput laut No. Asal lahan 1. Membuka sendiri 2. Frekuensi Persentase(%) 13 52 Jual-Beli 7 28 3. Pewarisan 3 12 4. Mahar 2 8 jumlah 25 100 Berdasarkan table tersebut di atas, maka kegiatan membuka lahan pembudidayaan rumput laut dilakukan oleh masyarakat (52%) tanpa izin terlebih dahulu karena menganggap perairan pesisir dan laut dapat dimanfaatkan oleh setiap orang (open access), dan tidak ada teguran dari pemerintah setempat. Selanjutnya ada memperoleh dengan cara melalui perbuatan hukum, misalnya jual-beli yang dilakukan dalam bentuk lisan hanya cukup menunjukan batas lahan yang beralih kepada pembeli (28%), demikian pula yang memperoleh melalui pemberian mahar perkawinan (8%) dengan cara menyebutkan batas lahan dan jumlah bentangan rumput laut. Adapun data luas lahan/areal yang dikuasai oleh Responden: Tabel 2. Luas lahan pembudidayaan rumput laut. No. Luas lahan (ha) Frekuensi Persentase(%) 1. 0-0,25 4 16 2. 0,26-0,50 7 28 3. 0,51-1,00 9 36 4. >1 5 20 25 100 jumlah Berdasarkan tabel 2 tersebut di atas, maka frekuensi terbesar adalah memiliki lahan pembudidaya sekitar 0,51-1,00 ha, dengan kondisi penguasaan/pengkaplingan wilayah perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut menimbulkan dampak positip bagi perekonomian masyarakat pesisir namun tidak jarang menimbulkan konflik antar nelayan pula. Upaya pemerintah dalam mengatasi konflik yang pernah terjadi adalah dengan membuat kesepakatan dengan masyarakat pesisir dan pembudidaya rumput laut, yaitu: a. Jarak yang paling baik untuk melakukan budidaya rumput laut adalah 100 m -150 m dari garis pantai. b. Jarak terjauh adalah 3-4 mil dari garis pantai. c. Dalam bidang perhubungan jalur pelayaran yang disediakan adalah 100 m-150 m, khusus untuk tempat pelelangan ikan jalur pelayaran adalah 500 m. d. Para nelayan budidaya diwajibkan untuk membuat tanda batas lahan pembudidayaan. 2. Lahan usaha rumput laut sebagai mahar perkawinan Pemberian mahar perkawinan dalam hukum Islam adalah wajib bagi laki-laki akan tetapi tidak menjadi rukun nikah. Pemberian mahar biasanya disebutkan dan diserahkan oleh mempelai laki-laki pada saat akad nikah dilangsungkan, hal ini menjadi tradisi yang berlaku bagi umat Islam 346 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 di Indonesia. Pemberian mahar berupa rumput laut dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Bantaeng pada saat ijab qabul sama halnya dengan perkawinan biasa, yakni mengucapkan mahar yang berupa rumput laut, menyebutkan tempat pembudidayaannya, berapa bentangannya dan berapa m dalam bentangannya atau berapa kilogram (kg) rumput laut kering atau rumput laut basah. Ijab dari pihak wali perempuan mengucapkan: “Saya kawinkan anak saya yang bernama X kepadamu dengan mahar rumput laut sepanjang sepuluh bentangan (170 m)”. Lalu jawaban calon suami (Qabul) adalah: “Saya terima mengawini anak bapak yang bernama X dengan mahar rumput laut sepuluh bentangan (170 m)”. Pendapat Masyarakat terhadap pemberian rumput laut sebagai mahar perkawinan, sangat berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa yang diberikan adalah: 1) usaha budidaya milik calon suami selanjutnya menjadi milik isteri namun usaha budidaya tetap dijalankan oleh suami; 2) hasil dari budidaya rumput laut dalam bentuk kering atau basah; 3) lahan budidaya yang telah dikuasai bertahun-tahun oleh keluarga kemudian diberikan kepada menantu (isteri) dan selanjutnya usaha rumput laut dijalankan oleh suami. Pemberian lahan budidaya rumput laut yang dijadikan mahar perkawinan diperhitungkan dalam bentuk materi yang dapat dinilai dengan uang sehingga luas lahan pembudidayaan rumput laut menjadi syarat dalam pemberian mahar. Luas lahan pembudidayaan rumput laut dapat mengganti sejumlah uang yang nilainya sebagai mas kawin/sundrang bagi pihak keluarga perempuan. Mahar perkawinan boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa dan harta perdagangan, atau benda-benda lain yang mempunyai harga . Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail. Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat islam. Pembahasan 1. Status penguasaan lahan pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Bantaeng Hak Menguasai Negara disebutkan dalam Pasal 2 UUPA merupakan hak penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Air sebagai salahsatu sumberdaya alam yang dikuasai Negara, dalam pengertiannya menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA meliputi air yang berada di pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Kewenangan Negara atas air, dalam Pasal 16 ayat (2) UUPA disebutkan Hak Pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak ini berupa hak pemanfaatan dan bukan hak pengelolaan, sehingga hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan untuk usaha kelautan dan perikanan serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut. Hingga kini belum ada suatu kepastian hukum pemberian hak pesisir (pasca penghapusan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) oleh MK pada 16 Juni 2011. HP3 yang tercantum dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), terutama yang memberikan prioritas kepada komunitas local atau masyarakat adat yang telah menguasai dan memanfaatkan perairan pesisir secara turun-temurun yang bernuansa religi dan cultural. Status penguasaan wilayah pesisir dan laut oleh pembudidaya rumput laut di Kabupaten Bantaeng dapat diakui dan diberikan perlindungan hukum melalui penegakan hukum dengan menetapkan Perda Tata Ruang Wilayah Laut yang menjadi dasar penataan dan pemetaan usaha budidaya rumput laut serta mewajibkan setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan dan kelautan untuk memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan). 2. Syarat sahnya perkawinan yang menggunakan mahar rumput laut Pemberian mahar kepada mempelai wanita berupa rumput laut diakui dan dibenarkan secara adat oleh masyarakat di Kabupaten Bantaeng. Rumput laut yang dijadikan sebagai mahar/sundrang adalah berupa: 1) usaha budidaya rumput laut, atau 2) hasil dari pembudidayaan, dan 3) adapula yang menjadikan lahan pembudidayaannya sebagai mahar. Menurut hukum Islam itu sah jika usaha pembudidayaan rumput laut menjadi mahar karena usaha budidaya adalah milik calon suami, demikian pula dengan hasil usaha budidaya laut karena memiliki nilai yang tinggi sama seperti tanah ataupun emas. Jika yang dijadikan mahar adalah 347 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 lahan pembudidayaannya, maka dasar hukumnya kurang jelas karena lahan pembudidayaannya hanya dikusai dan dimanfaatkan dan bukan merupakan hak milik suami. Sebagaimana diketahui bahwa mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila maharnya sedikit tapi bernilai maka tetap sah. b. Barang suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah. d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. Beberapa Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat berpendapat bahwa menurutnya tidak menyutujui apabila maharnya itu berupa rumput laut karena dasar hukumnya tidak jelas sehingga ia menyuruh calon pengantin pria untuk menggantikan maharnya berupa uang dan seperangkat alat sholat. Kaimuddin seorang tokoh agama “pemberian mahar yang berupa rumput laut tidak dicatat dalam buku nikah, karena jika dicatat akan sulit untuk dipertanggungjawabkan, dalam artian bentangan pembudidayaan tersebut dapat berpindah tempat dan lagi pula ada beberapa warga masyarakat yang tempat bentangannya tidak tetap di wilayah tersebut sehingga ditakutkan terjadi kekeliruan, sehingga mahar yang berupa rumput laut tersebut tidak di catat oleh pegawai KUA (Kantor Urusan Agama) dalam buku nikah” katanya. Pendapat yang berbeda menurut Minhajuddin seorang tokoh masyarakat berkaitan dengan perkawinan yang menggunakan rumput laut sebagai mahar, bahwa rumput laut yang dijadikan sebagai mahar itu tetap sah apabila calon suami menyebutkan tempat pembudidayaannya jika dilaut, banyak atau jumlah rumput laut yang dijadikan sebagai mahar secara jelas seperti, berapa bentangan dan berapa m dalam satu bentangan atau berapa kilogram (kg) rumput laut kering atau rumput laut yang basah. Dasar hukumnya tidak jelas apabila calon suami itu hanya menyebutkan rumput laut yang dibudidayakan saja atau rumput laut yang berada dilaut yang telah dibudidayakan. Dasar hukum Islam minimal mahar itu yang punya nilai, tidak mutlak batas maksimalnya, tapi batas minimalnya ada misalkan, cincin besi atau sandal jepit, karena hanya itu kemampuannya, kalau batas maksimalnya bisa sampai milyaran. Haji Tuo seorang tokoh agama mengatakan bahwa mahar yang menggunakan mahar rumput laut tetap sah karena rumput laut itu adalah milik calon suami yang telah dibudidayakan dan diperoleh secara halal meskipun pembudidayaannya bertempat di lautan milik pemerintah, namun tidak ada larangan dari pemerintah untuk membudidayakan rumput laut di wilayah tersebut. Meskipun lautan tersebut milik pemerintah namun masyarakat juga punya hak untuk menggunakan dan memanfaatkan sumber daya lautan selama tidak merusak ekosistem. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir di Kabupaten Bantaeng, yakni di Kecamatan Bisappu, Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang, bahwa pemberian mahar perkawinan berupa usaha, hasil atau lahan budidaya rumput laut dilakukan sebagai suatu kebiasaan/tradisi dan dapat diterima oleh masyarakat. Kesimpulan Status penguasaan lahan budidaya rumput laut oleh masyarakat pesisir tidak dapat dijadikan sebagai alas hak kepemilikan terhadap wilayah pesisir dan laut yang dikapling sebagai bukti penguasaan fisik secara turun-temurun yang dapat diperjual-belikan, diwariskan, dihibahkan, bahkan dijadikan mahar perkawinan. Masyarakat pembudidaya rumput laut dapat diakui penguasaannya atas lahan pembudidayaan rumput laut, dengan syarat menetapkan batas lahan dan mempunyai SIUP serta penggunaan dan pemanfaatannya lahan di pesisir dan laut harus disesuaikan dengan fungsi kawasan dan juga ketentuan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT, RW) setempat. Selanjutnya pemberian mahar perkawinan berupa usaha dan hasil pembudidayaan rumput laut dapat diterima sesuai dengan syarat mahar dalam hukum islam karena mempunyai nilai dan dapat 348 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 menjadi milik isteri. Namun untuk pemberian mahar perkawinan berupa lahan usaha pembudidayaan rumput laut kurang dapat dipertanggung-jawabkan karena lahan pembudidayaan bukan milik pribadi selanjutnya tidak dicatatkan dalam buku nikah. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapakan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng atas kesedian dan waktunya untuk memberikan saran-saran kepada penulis. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Nur Qalbi., SH., Asti Dwiyanti, SH., dan Sri Endang Lestari, SH., yang telah memberikan data dari penulisan Skripsi untuk menunjang penulisan makalah ini. Daftar Pustaka Amir S. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munahakat dan Undang-Undang Perkawinan. Kencana, Jakarta. Arif S. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press, Bogor Asti D. 2010.Analisis Hukum Atas Mahar Perkawinan dalam Bentuk Rumput Laut. Universitas Hasanuddin, Makassar. Nur Q. 2008. Analisis Hukum terhadap Hak-Hak Masyarakat Pesisir dalam Usaha Budidaya Rumput laut di Kabupaten Bantaeng. Universitas Hasanuddin, Makassar. Satjipto R. 1982. Ilmu Hukum. Alumni, Bandung. Sri E.L. 2012. Aspek Hukum Penguasaan Tanah Pantai Lumpue oleh Masyarakat di Kota Pare-Pare. Universitas Hasanuddin, Makassar. 349