BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Kemiskinan menjadi isu penting dalam pembangunan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Selama ini, berbagai strategi pembangunan digalakkan untuk mengentaskan isu kemiskinan tersebut. Hal yang menjadi indikator kesuksesan negara di dalam melaksanakan pembangunan adalah pertumbuhan (growth). Semakin tinggi tingkat pertumbuhan sebuah negara maka negara tersebut dianggap sukses melaksanakan pembangunan. Paradigma pembangunan pada awalnya cenderung diarahkan dari atas ke bawah (top-down) dimana pertumbuhan di dalam sebuah negara akan mengalir dari lapisan atas ke lapisan bawah. Di dalam paradigma pembangunan top down masyarakat tidak pernah dilibatkan secara langsung (berpartisipasi) dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan sampai evaluasi. Meskipun dilibatkan, seringkali hanya dalam proses pelaksanaan, itu pun hanya terbatas pada elit lokal (tokoh-tokoh setempat) atau masyarakat tertentu. Proses pembangunan lebih melibatkan pihak yang “berkepentingan” (pemerintah dan lembaga lain) dan mengabaikan kebutuhan masyarakat sasaran. Masyarakat hanya dijadikan objek pembangunan, tetapi tidak diberi kesempatan untuk memberdayakan atau mengembangkan kapasitas mereka. 1 Dalam pernyataan di atas tersirat bahwa pembangunan hanyalah semata mengenai pemenuhan sarana-prasarana, tetapi tidak pernah membangun manusianya. Ketergantungan dengan pihak luar (Dunia Pertama) adalah implikasi dari luputnya esensi pembangunan manusia yang sesungguhnya. Hal inilah yang mendorong lahirnya paradigma baru sebagai antitesis dari paradigma pembangunan yang dianggap gagal sebelumnya. Pembangunan tidak lagi digerakkan atas dasar pertumbuhan ekonomi semata, namun lebih cenderung kepada pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Dalam paradigma tersebut terdapat asumsi bahwa ketika masyarakat berdaya sebagai subyek pembangunan maka pada akhirnya mereka akan berdaya secara ekonomi. Asumsi tersebut juga didukung adanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sehingga masyarakat dapat lepas dari belenggu ketergantungan. Salah satu implementasi pembangunan berkelanjutan adalah adanya Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan atau P2KP yang merupakan cikal bakal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM. P2KP menyiapkan lembaga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka. Lembaga kepemimpinan masyarakat tersebut adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). BKM adalah salah satu program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan cara memperkuat 2 institusi lokal. Program ini mengusung sistem pembangunan bottom up, program pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan. Program tersebut memiliki acuan untuk mencapai masyarakat yang berdaya. Kondisi yang diharapkan tersebut tidak lantas mudah didapatkan, perlu sebuah proses/tahapan dan waktu yang cukup panjang untuk mewujudkannya. Diawali dengan pembelajaran masyarakat melalui identifikasi masalah, perumusan pemecahan masalah dan pelaksanaan kegiatan. Proses tersebutlah yang digunakan untuk mencapai masyarakat yang berdaya Program BKM ini menarik untuk diteliti, karena BKM merupakan salah satu program pembangunan dari PNPM Mandiri yang hingga saat ini masih berjalan di Indonesia. BKM merupakan salah satu implementasi dari strategi pembangunan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan peran serta aktif dari masyarakat. BKM adalah salah satu program yang tidak lagi menggunakan strategi top down melainkan menggunakan strategi botom up yang saat ini sedang menjadi mainstream pembangunan di Indonesia. 2. Orisinalitas Penelitian yang membahas mengenai pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan BKM belum pernah dilakukan di Desa Sukorejo. Namun sebagai 3 acuan telah ada pihak yang sebelumnya melakukan kajian yang berkaitan dengan program Pemerintah khususnya pemberdayaan melalui PNPM, diantaranya yaitu: Pemberdayaan Industri Kecil (Studi Kasus di Sentra Kerajinan Mebel Bambu Sendari, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman ). Disusun oleh Betiana Dwi Saraswati mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada, yang dilakukan tahun 2006. Menjelaskan tentang kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pemberdayaan sektor industri kecil. Dinamika PNPM Mandiri dalam Pengembangan Industri Kecil Kerajinan Gerabah di Desa Melikan, Klaten. Disusun oleh Agus Cahyo Pamungkas, 2012, Yogyakarta. Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Menjelaskan bahwa Program PNPM Mandiri memegang peranan penting dalam pemberdayaan kelompok gerabah, namun pada kenyataannya program ini mengalami beberapa hambatan dan belum berjalan efektif. Pemberdayaan Perempuan Melalui Usaha Produktif (Studi mengenai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Dusun Pelemadu, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul Tahun 2010). Disusun oleh Sulistiyani, seorang mahasiswa Jurusan Pembangunan Soaial dan Kesejahteraan, Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada. Menjelaskan mengenai seberapa jauh partisipasi perempuan kelompok Sekar Melati dalam proses pemberdayaan melalui kegiatan Simpan Pinjam untuk Perempuan PNPM Mandiri Perdesaan dan untuk mengetahui dampak atas adanya kegiatan Simpan Pinjam untuk Perempuan PNPM 4 Mandiri Perdesaan terhadap pemberdayaan usaha perempuan kelompok Sekar Melati Dusun Pelemadu, Desa Sriharjo Imogiri. Ketiga penelitian diatas memiliki fokus penelitian terhadap dampak pemberdayaan secara umum kepada masyarakat. Sedangkan di dalam penelitian ini lebih fokus pada proses pemberdayaan dan kegiatan yang dilakukan oleh BKM. 3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Topik ini diajukan karena ada kaitan antara objek studi yang peneliti pelajari selama menempuh pendidikan di Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Ilmu yang telah dikembangkan dalam Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, mencakup tiga konsentrasi yaitu Kebijakan Sosial, Tanggungjawab Sosial Korporasi dan Pemberdayaan Masyarakat (Materi Kuliah Pengantar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, 2011). Penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji tentang pembangunan masyarakat yang berbasis pada proses pemberdayaan masyarakat, sehingga penelitian ini memiliki relevansi dengan fokus dalam kajian ilmu pembangunan kesejahteraan terutama pada bidang community empowerment. Pemberdayaan masyarakat disini adalah pemberdayaan masyarakat melalui program-program yang dilakukan oleh BKM. Masyarakat dilibatkan langsung melalui pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang diharapkan sebagai wujud nyata proses pemberdayaan 5 masyarakat yang langsung menjadikan masyarakat lapisan akar rumput sebagai sasarannya. B. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang bersifat multidimensional, tidak hanya bersifat individual yang melihat kemiskinan sebatas ketidakmampuan individu atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhannya, namun terkait sejumlah faktor sehingga membutuhkan penanganan yang serius. Di Indonesia upaya penanggulangan kemiskinan telah menjadi prioritas utama sejak awal pembangunan dilaksanakan. Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan yang diterapkan untuk menanggulangi isu kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Ahmad Erani dalam bukunya berjudul Industrialisasi Pinggiran (2000: 60-61), mengungkapkan industrialisasi yang dianggap dapat meningkatkan kondisi perekonomian rakyat ini kemudian diadopsi oleh negara-negara dunia ketiga. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang membangun atau sedang berkembang juga mengadopsi strategi industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana pada tahun 1969, sesungguhnya strategi yang digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi. Pada Era Orde Baru dampak dari dominasi Industrialisasi sangat terasa bagi pembangunan di Indonesia. Proses pembangunan dititikberatkan pada pengembangan 6 sektor industri, sedangkan strategi pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah pada saat itu adalah strategi top down. Penerapan strategi pembangunan ini cenderung didorong oleh kepentingan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang setinggi tingginya namun agaknya telah mengabaikan kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan top down banyak mendapatkan kritik karena mematikan inisiatif dan kreatif masyarakat. Bentuk penyeragaman kegiatan melalui pendekatan pembangunan ini juga menimbulkan banyak masalah. Cara pandang yang kaku telah mengakibatkan kekhususan wilayah dan masyarakat. Dengan demikian pendekatan ini tidak memperhatikan aspek sosial budaya, pendekatan potensi wilayah, kemampuan sumberdaya manusia, sehingga program pembangunan sampai dengan bentuk kegiatan dibuat seragam atau sama untuk semua wilayah. Akibatnya pembangunan kurang mencapai sasaran, dan tidak efektif dan kadang-kadang produkproduk pembangunan tidak bermanfaat bagi masyarakat (Teguh, 2004). Pasca runtuhnya orde baru, strategi pembangunan mulai beralih pada pembangunan yang mengedepankan pada sektor sumber daya manusia. Pembangunan SDM diperoleh melalui proses pembangunan yang kita kenal dengan pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan tidak dapat dilepaskan dari hadirnya paradigma baru pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development). Pendekatan ini menuntut untuk menempatkan masyarakat sebagai sasaran sekaligus pelaku utama dalam pembangunan. Untuk itu 7 segala upaya pembangunan harus selalu diarahkan pada penciptaan kondisi dan kesempatan yang memungkinkan masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia yang sanggup untuk mengelola dan memberdayakan potensi yang ada sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat dituntut untuk terlibat dalam segala proses pembangunan, baik dalam hal perencanaan sampai pada tahap pengawasan. Masyarakat melakukan perannya sebagai partisipan aktif, dikatakan partisipan aktif karena masyarakat merancang, menjalankan serta menjadi pengawas dalam pembangunan. Inti dari pemberdayaan adalah pengembangan, memperkuat potensi atau daya dan terciptanya kemandirian masyarakat. Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Melalui pemberdayaan terjadi peningkatan kapasitas masyarakat, dengan adanya peningkatan kapsitas masyarakat ini, maka salah satu masalah utama pembangunan di Indonesia yang terletak pada lemahnya sumber daya manusia dapat teratasi, sehingga melalui peningkatan kapasitas ini, maka akan tercipta kemandiriaan masyarakat. Salah satu program pembangunan dari pemerintah yang menggunakan proses pemberdayaan dalam pelaksanaanya adalah Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang sekarang ini telah berganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pelaksanaan P2KP sebagai program 8 penanggulangan kemiskinan mempunyai sasaran perorangan ataupun keluarga miskin yang berada dalam satu wilayah administrasi tertentu. P2KP sangat memperhatikan proses perencanaan dari masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai mekanisme bottom up dibandingkan yang bersifat top down. Di samping itu, P2KP juga memberikan perhatian bagi tumbuhnya institusi lokal yang diharapkan dapat memfasilitasi mekanisme perencanaan dan pengelolaan oleh masyarakat. Dengan tumbuhnya institusi lokal diharapkan keberlanjutan usaha pengentasan kemiskinan pasca program dapat lebih dijamin (Soetomo, 2006) P2KP menyiapkan lembaga yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin, yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhan mereka. Badan yang dibentuk ini adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, warga serta perwakilan kelompok swadaya masyarakat. BKM diharapkan bisa mewakili proses pelayanan pemberdayaan yang ada dalam masyarakat untuk lebih bisa maju dan berkembang. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) adalah sebuah nama generik atau umum untuk suatu institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai pimpinan kolektif dari suatu organisasi masyarakat ditingkat desa. BKM ini merupakan suatu kelembagaan yang dirancang untuk dapat menjadi penggerak pembangunan masyarakat yang mandiri yang mampu mengatasi kemiskinannya. Lembaga ini 9 mengemban misi menumbuhkan kembali ikatan sosial sesama warga untuk bekerjasama dalam rangka mencapai kebaikan bersama pula. Desa Sukorejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang merupakan salah satu wilayah yang menjadi sasaran program P2KP. Dalam pelaksanaan P2KP di Desa Sukorejo dibentuk suatu badan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, yang bertugas memfasilitasi partisipasi masyarakat sehingga dalam program ini diharapkan masyarakat miskin bisa berpartisipasi aktif dengan membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat. Badan yang dibentuk ini adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mandiri. BKM merupakan badan yang terdiri dari perwakilan setiap pedukuhan dan mewakili setiap golongan yang ada. Dalam BKM tidak ada ketua, yang ada adalah koordinator kolektif sehingga diharapkan keputusan yang diambil adalah keputusan yang lebih mengedepankan nilai-nilai kebersamaan yang tidak mengacu pada kepentingan seseorang ataupun kepentingan golongan tertentu. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di Desa Sukorejo mempunyai nama “Mandiri” yang mempunyai arti bahwa harus bisa membangun secara bersama-sama guna meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kearah masyarakat Mandiri. Masyarakat di Desa Sukorejo menyambut baik keberadaan BKM Madiri ini. BKM sendiri dibentuk melalui prosedur yang dilakukan secara demokratis. Hal ini terlihat dari proses pemilihan langsung dalam pemilihan anggotanya. Asas dalam pemilu seperti langsung, bebas, dan rahasia dijamin dalam setiap pelaksanaan pemilihan. BKM beranggotakan kumpulan dari perwakilan masyarakat yang dibentuk 10 dan dipilih oleh warga masyarakat. Latar belakang perwakilan dari masyarakat ini beragam dari berbagai kalangan dan tentunya harus mengetahui potensi yang dimiliki masyarakat dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan masyarakat. BKM sebenarnya adalah wadah strategis bagi masyarakat untuk belajar bersama dalam mengatasi masalah bersama, karena BKM ini adalah wujud demokrasi dalam pengelolaan P2KP dan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat tingkat paling bawah. BKM dipercaya dalam mengelola dana P2KP secara partisipatif, transparan dan akuntabel. BKM yang dibangun dari, oleh dan untuk masyarakat dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengorganisir dan mensinergikan potensi demi kepentingan dan kebutuhan bersama, serta akhirnya akan memperkuat kemandirian masyarakat (Yuwono, 2006: 47) Dengan adanya BKM diharapkan bisa mewadahi proses pelayanan pemberdayaan yang ada dalam masyarakat merupakan peluang bagi masyarakat atau KSM untuk lebih bisa maju dan berkembang sesuai dengan fungsi BKM yang tertuang dalam Anggaran Dasar yaitu sebagai pusat penggerak tumbuhnya kesadaran kritis dan kebutuhan bersinergi masyarakat untuk mengorganisir diri dan menggalang berbagai potensi serta kekuatan masyarakat agar mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi di wilayahnya secara mandiri. Lembaga lokal kemasyarakatan sebenarnya menjadi pilihan yang cukup kredibel sebagai agen pembangunan. Hanya saja, ada persoalan umum dimana keberadaan BKM ini atas dasar inisiatif pemerintah, sehingga tidak murni ide dari masyarakat itu sendiri. Meskipun BKM ini dapat mendorong aktivitas lokal, namun 11 disadari bahwa pelaksanaan program ini merupakan hal yang tidak mudah. Untuk menjadi lembaga yang mampu menjadi motor penggerak masyarakat agar dapat berdaya diperlukan sebuah pendekatan proses. Urgensi keberadaan lembaga kemasyarakatan disini diharapkan akan menjadi wadah sekaligus agen penggerak dalam pemberdayaan masyarakat, sehingga lembaga ini harus mampu mengakar, representative dan dapat dipercaya oleh masyarakat. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka peneliti membuat suatu rumusan masalah yang juga merupakan fokus penelitian yang nantinya akan digunakan oleh peneliti untuk memandu dalam melakukan penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mandiri dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah Desa Sukorejo? D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis proses dan kegiatan pemberdayaan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mandiri, serta sejauh mana peran BKM dalam memenuhi tujuannya untuk memberdayaakan masyarakat. 12 b. Untuk mengetahui sejauh mana kegiatan tersebut mampu memberikan dampak bagi masyarakat Desa Sukorejo. 2. Manfaat penelitian a. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi solusi serta kontribusi informasi bagi pihak yang terkait, khususnya BKM Mandiri sehingga diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang positif untuk dapat tercapainya tujuan BKM yakni memberdayakan masyarakat. b. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan literatur pendukung karena menyajikan sebuah kerangka penelitian mengenai Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu yang berharga bagi peneliti E. Tinjauan Pustaka 1. Organisasi Masyarakat Lokal sebagai Agen Perubahan Sosial Soekanto (1982) mengartikan lembaga masyarakat sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu; “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku social dimana inti kajiannya adalah tentang nilai (value), norma (norm), custom, mores, folkways, usage, 13 kepercayaan, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur social dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran (role) (Materi Kuliah Institusi Sosial, 2009) Mubyarto (1997: 249) menyatakan bahwa jika lembaga adalah aturan main, maka organisasi adalah pemain, yaitu kelompok-kelompok masyarakat dan perorangan warga masyarakat yang terikat dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Secara sederhana Supardi (2002: 4) mendefinisikan organisasi sebagai tata hubungan antara orang-orang untuk dapat memungkinkan tercapainya tujuan bersama dengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab. Slamet (2003) menyatakan bahwa organisasi terbentuk atau terdiri atas beberapa kelompok dimana terjadi proses interaksi di antara mereka yang mengikuti suatu struktur tertentu dalam rangka mencapai tujuan bersama. Timbulnya organisasi atau institusi lokal menurut Cheema (dikutip Musrifah,2009: 62), ada yang karena diprakarsai atau disponsori oleh pemerintah dengan tujuan yang sudah dirumuskan secara jelas, dan ada pula institusi atau organisasi yang murni inisiatif masyarakat dengan tujuan yang biasanya bersifat dinamis dan tidak tersusun secara jelas, tapi lebih bersifat evolutif sesuai dengan perkembangan institusi yang bersangkutan. Sedangkan organisasi lokal oleh Korten (1993) diartikan sebagai suatu organisasi rakyat yaitu suatu organisasi yang muncul dari rakyat, yang dikelola oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. 14 Eksistensi dan peran lembaga lokal sangat erat kaitannya dengan upaya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat agar lepas dari kungkungan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Dengan adanya organisasi lokal, masyarakat mampu membentuk kekuatan sehingga memungkinkan untuk melakukan kegiatan yang lebih terorganisir dan berhasil dengan baik (Kartasasmita; Materi Kuliah Insitusi Sosial 2009). Melalui organisasi lokal dapat dirumuskan kembali mekanisme upaya program-program pembangunan yang melibatkan unsur masyarakat. Selama ini program-program yang dicetuskan pemerintah sering menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek dari pembangunan. Masyarakat dianggap tidak tahu sehingga bisa dikendalikan dan dikontrol tanpa mengindahkan potensi masyarakat itu sendiri. Masyarakat sering kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan. Masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar sehingga kurang bertanggungjawab terhadap keberlanjutan program. Program penanganan kemiskinan di Indonesia bukan hal baru yang mulai dicanangkan, akan tetapi berbagai daya upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik lembaga pemerintah, swasta, LSM dan bahkan individu-individu pemerhati kemiskinan. Banyak program telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut, mulai Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Padat Karya hingga Program Pemulihan Masyarakat, dan program-program lainnya. 15 Berbagai program pengentasan kemiskinan dari pemerintah tersebut tak ubahnya seperti ungkapan gugur asem. Gugur asem merupakan kata ungkapan masyarakat Jawa yang ditujukan untuk menggambarkan sebuah aktivitas atau kegiatan yang identic dengan gugurnya buah asem. Diawali dengan menggebu-gebu namun setelah berjalan sekian waktu, semangat, minat, dan keberlanjutannya tidak terlihat. Menjadi usang ditelan roda zaman, keadaan, dan berbagai kepentingan yang mewarnainya (Nugroho, 2005: 31). Segala bentuk program bantuan dari pemerintah tidak akan bermanfaat apabila pihak pemerintah tidak memahami masyarakat, begitu juga masyarakat tidak akan mendapatkan proses pembelajaran ketika masyarakat itu sendiri juga tidak mengembangkan kapasitas dalam proses pembelajaran itu sendiri. Pemerintah diharapkan untuk tidak memberikan bantuan yang hanya berupa penyaluran bantuan social, bukan untuk memberdayakan sehingga memperburuk moral, menimbulkan perilaku ketergantungan, serta korupsi dalam penyalurannya (Sriharni, 2007: 92). Untuk menindaklanjuti program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan maka berdasarkan Instruksi Presiden No. 21 tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, pada bulan Juli 1998 Pemerintah Indonesia melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) meluncurkan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dirancang untuk melakukan pemberdayaan masyarakat miskin. Proyek ini menganut pendekatan 16 pemberdayaan (empowerment) sebagai suatu syarat untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Soetomo (2006: 218) menyatakan bahwa P2KP sangat memperhatikan proses perencanaan dari masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai mekanisme bottom up dibandingkan yang bersifat top down. Di samping itu, P2KP juga memberikan perhatian bagi tumbuhnya institusi lokal yang diharapkan dapat memfasilitasi mekanisme perencanaan dan pengelolaan oleh masyarakat. Dengan tumbuhnya institusi lokal diharapkan keberlanjutan usaha pengentasan kemiskinan pasca program dapat lebih dijamin. Hal itu disebabkan oleh karena institusionalisasi merupakan prasarat bagi usaha dan aktivitas yang berkelanjutan. Apabila proses institusionalisasi telah terjadi, maka pola aktivitas dan mekanisme tersebut mampu mendorong tindakan bersama, dan sebagai institusi yang sudah mengakar akan mampu bertahan dalam jangka panjang sehingga lebih memungkinkan kesinambungan dan kemandirian proses pengelolaan pembangunan. Institusi yang dimaksud bukan hanya berupa kehadiran suatu organisasi atau lembaga formal, melainkan lebih sebagai suatu pola aktivitas yang sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat. Keberadaaan pola aktivitas bersama yang teraktualisasi dalam mekanisme baru tentang proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan, agar cukup mapan dan mengakar membutuhkan proses yang cukup panjang melalui institusionalisasi. Apabila proses institusionalisasi telah terjadi, maka pola aktivitas dan mekanisme tersebut memiliki kapasitas untuk mendorong tindakan bersama, dan sebagai institusi yang sudah mengakar akan 17 mampu bertahan dalam jangka panjang, sehingga lebih memungkinkan kesinambungan dan kemandirian dalam proses pembangunan (Soetomo, 2004: 13). Berdasarkan desain programnya, Soetomo (2006: 221) mengemukakan bahwa visi P2KP adalah masyarakat yang mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif, dan berkelanjutan. Sementara untuk mewujudkan visi tersebut dirumuskan misi P2KP yaitu memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan membudayakan kemitraan strategis antara masyarakat dan pelaku-pelaku pembangunan lokal lainnya. Untuk mewujudkan visi misi tersebut, maka dalam pelaksanaan P2KP dibentuk lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat. Badan Keswadayaan Masyarakat adalah sebuah nama umum untuk suatu institusi/lembaga masyarakat dengan kedudukan sebagai pimpinan kolektif dari suatu organisasi masyarakat ditingkat desa. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia yang sanggup untuk mengelola dan memberdayakan potensi yang ada sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengertian tentang BKM sebagaimana diuraikan dalam pedoman P2KP adalah dewan pimpinan kolektif masyarakat warga penduduk kelurahan, dan sebagai lembaga BKM dapat bertindak sebagai representasi masyarakat warga penduduk kelurahan. 18 BKM sebagai organisasi lokal diharapkan mampu menjadi media penyuluhan dan pemberdayaan, yang memfasilitasi dan mampu membangun pemahaman terhadap pentingnya partisipasi aktif dalam pembangunan. Selanjutnya berdasarkan pemahaman yang dimiliki tersebut diharapkan masyarakat dapat ditumbuh kembangkan sehingga mereka bukan hanya sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian kelembagaan lokal memiliki pengaruh dalam proses perubahan perilaku masyarakat. 2. Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya menawarkan suatu proses perencanaan pembangunan dengan memusatkan pada pasrtisipasi, kemampuan dan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, maka masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pelaksanaan, dan evaluasi program yang mereka lakukan. Hal ini berarti, menempatkan masyarakat sebagai actor (subyek) pembangunan dan tidak sekedar menjadikan mereka sebagai penerima pasif pelayanan saja (Suparjan dan Hempri Suyatna, 2003: 24). Pemberdayaan secara subtansial merupakan proses memutus atau breakdown dari hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mementingkan pengakuan subyek akan kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya daya dari subyek ke obyek. Hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi 19 subyek (yang baru) sehingga realisasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan realisasi antarsubyek dengan subyek yang lain (Vidhyandika 1996: 135). Pemberdayaan pada intinya adalah pemanusiaan. Menurut Tjandraningsih(1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Sumodinigrat (1999: 44) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan Senada dengan itu Margono (2000: 123) mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa hingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa adanya kesan bahwa perkembangan itu adalah hasil kekuatan eskternal, masyarakat harus dijadikan subyek bukan obyek. Sedangkan menurut Sulistiyani (2004: 77) pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya atau kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Istilah pemberdayaan merupakan penerjemahan dari istilah empowerment yang berasal dari kata dasar power. Korten (1987) merumuskan pengertian power sebagai kemampuan untuk mengubah kondisi masa depan melalui tindakan dan 20 pengambilan keputusan. Dengan demikian, power dalam proses pembangunan dapat diartikan sebagai penguasaan atau kontrol terhadap sumber daya, pengelolaan sumber daya dan hasil serta manfaat yang diperoleh (Soetomo, 2006: 404). Kutut Suwondo (2002: 74) mengemukakan bahwa dalam pemberdayaan atau empowerment terdapat tujuan, yaitu: Pertama, meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat dalam penguatan kelembagaan, organisasi sosial ekonomi melalui sosialisasi, pembinaan, pelatihan keterampilan. Kedua, mewujudkan masyarakat dengan peran keswadayaan dari masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi masyarakat miskin dengan mengembangkan sistem perlindungan sosial dan dukungan bantuan sebagai upaya stimulan Sumodiningrat (1999) juga mengemukakan indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang mencakup : 1. Berkurangnya jumlah penduduk miskin 2. Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia 3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesejahteraan keluarga miskin dilingkungannya upaya peningkatan 4. Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin luasnya interaksi sosial dengan kelompok lain Meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai dengan peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya. 21 Inti dari pemberdayaan meliputi 3 hal yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowerment), terciptanya kemandirian (Winarni, 1998: 75). Konsep ini mencerminkan proses paradigma baru pembangunan yang bersifat people centered (terfokus pada tujuan kesejahteraan penduduk), participatory (dukungan secara aktif dari masyarakat), empowering (pemberdayaan secara lebih kontinyu) dan sustainanble (dilaksanakan secara berkelanjutan bukan temporer) (Chambers, 1995). Disamping itu, pemberdayaan hendaknya jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaiknya harus mengantarkan pada proses kemandirian (Sulistiyani, 2004: 79). Konsep pemberdayaan pada wacana pembangunan masyarakat selalu di hubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat, 2001:3). Dalam pemberdayaan peningkatan partisipasi dan kapasitas dari masyarakat sangat diperlukan dalam menentukan berjalannya proses pemberdayaan tersebut. Berjalannya proses pemberdayaan tersebut ditandai dengan peningkatan partisipasi dan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat berkembang. Lebih lanjut menurut Tjandraningsih (1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Oleh karena itu pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan. Pemberdayaan masyarakat Desa Sukorejo melalui BKM juga meliputi kegiatan penguatan kapasitas dari masyarakat itu sendiri. Pada pemberdayan terdapat penguatan kapasitas masyarakat dimana penguatan kapasitas masyarakat menurut 22 Totok (2003: 88 ) didefinisikan sebagai proses peningkatan kemampuan individu, kelompok, organisasi dan kelembagaan yang lain untuk memahami dan melaksanakan pembangunan dalam arti luas secara berkelanjutan. Dari definisi tersebut maka penguatan kapasitas memiliki keterkaitan dengan penambahan kemampuan sumberdaya manusia. Penguatan kapasitas pembangunan yang membangun sumber daya manusianya. berfungsi sebagai Penguatan kapasitas dilakukan melalui pemberian pelatihan-pelatihan Dalam pemberdayaan masyarakat Desa Sukorejo upaya peningkatan kapasitas dapat dilihat melalui kegiatan-kegiatan pelatihan yang diberikan oleh BKM seperti pelatihan keterampilan, pelatihan menjahit, pengelolan keuangan. Pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas yang di berikan oleh BKM ini pun beragam, sesuai dengan kemampuan dan permintaan dari masyarakat. Pemberdayaan merupakan sebuah proses pembangunan, dalam melaksanakan pembangunan tersebut, maka pembangunan melalui proses pemberdayaan memiliki tahapan- tahapan dalam prosesnya. Tahapan-tahapan tersebut antara lain (Sulistyani, 2004:8) : 1. Tahapan penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan , keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peranan di dalam pembangunan. 23 3. Tahapan peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahapan pemberdayaan tersebut merupakan sebuah proses dimana proses awal diawali oleh penyadaran pada potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat dikembangkan, dan pada tahapan selanjutnya merupakan proses dimana masyarakat belajar untuk mengembangkan potensi yang dimiliki melalui usaha mereka sendiri, dan pada proses yang ketiga merupakan proses dimana masyarakat telah menyadari dan mampu untuk mengembangkan potensi mereka sehingga mewujudkan masyarakat yang mandiri. Dalam pelaksanaan pemberdayaan di Desa Sukorejo ini, para stakeholder seharusnya melalui proses-proses dalam pemberdayaan seperti yang di ungkapkan oleh Sulistyani tersebut. Tahapan dari proses pemberdayaan tersebut penting karena dalam proses pemberdayaan, memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk menciptakan kesejateraan. Sehingga tahapan-tahapan pemberdayaan tersebut penting untuk dilalui, agar masyarakat desa Sukorejo sadar akan potensi yang mereka miliki, sehingga nantinya meraka dapat memaksimalkan potensi yang mereka miliki dan mendapatkan output masyarakat yang berdaya. Sumodiningrat (1999: 196) mengungkapkan beberapa strategi yang dapat diambil dalam proses pemberdayaan masyarakat di daerah perdesaan yaitu, : a. Peningkatan akses bantuan modal usaha bagi masyarakat di daerah perdesaan secara menyeluruh. Adanya program pinjaman dana bergulir melalui BKM Mandiri agaknya dapat merealisasikan aspek ini. Bantuan pinjaman modal 24 melalui dana bergulir ini dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah. Program dana bergulir memberikan kemudahan di dalam mengajukan pinjaman modal. Kemudahan ini ditunjukkan dengan tidak adanya jaminan atau agunan. b. Peningkatan akses pengembangan Sumber Daya Manusia bagi masyarakat agar masyarakat dapat melaksanakan proses pembangunan yang bersumber dari masyarakat sendiri, sementara bantuan pemerintah diarahkan ke stimulan. Peningkatan kualitas SDM diimplementasikan BKM Mandiri melalui pelatihan-pelatihan yang dapat menunjang kreatifitas masyarakat di dalam mengembangkan usahanya. c. Peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal. Bantuan sarana dan prasarana dari BKM Mandiri merupakan program yang sifatnya hibah, namun masyarakat tetap dilibatkan dalam kegiatan ini dengan jalan dana swadaya masyarakat. Masyarakat dapat menikmati kebermanfaatan sarana dan prasarana yang diberikan, serta dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestariannya. Dalam program pemberdayaan yang dijalankan, keseluruhan proses mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan tidak hanya dikontrol dan dimonopoli oleh pihak BKM, namun partisipasi masyarakat lebih diutamakan dalam program pemberdayaan ini. Bentuk partisipasi masyarakat ini bisa dilakukan dengan turut serta memberikan masukan dan juga mengontrol progam bahkan turut serta mengevaluasi semua 25 kegiatan karena pada dasarnya BKM ini adalah pengejawantahan dari masyarakat itu sendiri dan pada akhirnya masyarakatlah yang akan melanjutkan semua proses pembangunan yang ada. 3. Partisipasi Masyarakat Pembangunan yang baik merupakan pembangunan yang dapat menunjukkan keterlibatan stakeholder dalam sebuah pembangunan. Selama ini persoalan partisipasi sering dilupakan karena penguasa elit lebih mengidentifikasi bahwa persoalan kemiskinan terutama di negara berkembang adalah persoalan mengenai ketidaktahuan teknologi dan mengenai permasalahan sumber daya alam. Masyarakat dianggap tidak tahu sehingga bisa dikendalikan dan dikontrol oleh para penguasa elit. Hubungan antara penguasa elit dengan masyarakat lebih bersifat top down (atas bawah) tidak saling memahami dan mendukung satu sama lain sehingga terjadi ketimpangan dalam sebuah proses pembangunanan itu sendiri. Dalam konteks pembangunan yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemasyarakatan inilah pendekatan partisipatif sangat penting untuk dijalankan. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (Suparjan dan Hempri, 2003: 58) mengungkapan kaitan partisipasi dengan sebuah proses pembangunan sebagai berikut: a. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terutama 26 berlangsung dalam proses politik tetapi juga dalam proses social hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. b. Keterlibatan aktif dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam mobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan social atas jalannya pembangunan dan lain-lain. c. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalaui perluasan kesempatan-kesempatan dan pembinaan tertentu. Karena pembangunan semakin berkembang sehingga sangat mungkin terjadi penafsiran yang berbeda tentang partisipasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Ginanjar Kartasasmita (dikutip Yuwono, 2006: 69) dimana partisipasi masyarakat disesuaikan dengan kondisinya, yaitu bahwa partisipasi melibatkan warga masyarakat khususnya kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Slamet Margono (dikutip Yuwono, 2006:70) bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan dan ikut serta 27 memanfaatkan serta menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi merupakan suatu bentuk dari interaksi komunikasi yang berkaitan dengan pembagian wewenang, tanggungjawab dan manfaat Partisipasi masyarakat merupakan bentuk keberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam keterlibatan mental dan emosional orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan kelompok. Mubyarto (1997: 35) mengartikan partisipasi sebagai ketersediaan membentuk berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi menurut Hoofsteede (dikutip Khairuddin, 2000:124) didefinisikan sebagai “The taking of part in one or more phases of the process”. Menurut Keith davis dalam Khairuddin (2000: 124) parisipasi erat kaitannya dengan keterikatan antar anggota dalam sebuah kelompok terutama dalam mencapai tujuan dari kelompok tersebut. Sehingga dalam sebuah kelompok persamaan tujuan merupakan komponen dalam menentukan besarnya keterikatan antar anggota dalam sebuah kelompok. Menurut Hoofsteede, dalam Kharuddin (2004: 125) partisipasi di bagi dalam beberapa tingkatan : a. Partisipasi inisiasi (Inisiation Participation) adalah partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu proyek yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan dari masyarakat. 28 b. Partisipasi legitimasi (Legitimatian Participation) adalah partisipasi pada tingkatan pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut. c. Partisipasi eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada tingkatan pelaksanaan. Pada tingkatan tersebut tingkatan partisipasi tertinggi terletak pada partisipasi inisiasi, dalam partisipasi tersebut masyarakat tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan saja, tetapi masyarakat juga mampu menjadi perencana dari pembangunan Substansi mengenai partisipasi masyarakat juga merupakan hal yang mendapat perhatian penuh dalam pemberdayaan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang bersifat pada rakyat (Hikmat, 2006: 4). Jamasy (2004: 5) menyatakan bahwa pemberdayaan sarat dengan adanya keterlibatan aktif (partisipasi aktif) dari masyarakat dan adanya pengakuan dari semua pemangku kepentingan bahwa jikapun mereka miskin, sekecil apapun, akan tetapi mempunyai potensi. Horton (1987) menyatakan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Partisipasi masyarakat merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat miskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri. 29