BAB 5 RINGKASAN Peranan wanita bagi masyarakat Jepang pada era Meiji adalah sebagai seorang istri yang baik dan seorang ibu yang bijaksana ( ryousaikenbo ). Namun semenjak tahun 1986, setelah dideklarasikan hukum kesetaraan ketenagakerjaan antara pria dan wanita. Para wanita mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria dalam hal pekerjaan. Dengan adanya kesempatan ini, para wanita mempunyai peluang untuk mengembangkan diri mereka. Para wanita yang dulunya hanya berada di rumah, sekarang ini mengecap pendidikan yang tinggi dan bekarir seperti pria. Dengan demikian para pria dan wanita Jepang sekarang ini bersaing untuk mencapai karir yang lebih baik. Hal ini mengakibatkan terjadinya penundaan terhadap pernikahan di Jepang. Dan akhirnya karena alasan pekerjaan para pria dan wanita Jepang sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak menikah. Lama – kelamaan jumlah masyarakat Jepang yang memutuskan untuk tidak menikah semakin banyak, hal ini mempengaruhi jumlah populasi penduduk di Jepang. Karena semakin banyaknya masyarakat yang tidak menikah maka secara otomatis angka kelahiran di Jepang semakin menurun. Angka kelahiran dan angka kematian di Jepang tidak seimbang, angka kelahiran lebih kecil dibandingkan angka kematian. Hal ini dapat menimbulkan masalah besar bagi Jepang di kemudian hari. Jepang akan menjadi negara yang dipenuhi oleh orang yang lanjut usia. Masyarakat Jepang lebih memilih berkarir dibandingkan untuk menikah, oleh karena itulah angka kelahiran di Jepang semakin menurun. Dengan adanya masalah ini maka di 47 dalam skripsi ini, saya akan menganalisis dampak karir terhadap menurunnya angka kelahiran di Jepang. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah mengetahui hubungan karir dengan menurunnya angka kelahiran di Jepang dan memberikan saran terhadap masalah ini. Untuk membuktikan adanya hubungan antara karir dan menurunnya angka kelahiran di Jepang, saya akan menganalisa kasus – kasus pria dan wanita Jepang yang single dan yang memutuskan untuk tidak menikah dan menghubungkannya dengan teori – teori yang saya dapatkan dari berbagai sumber yaitu buku dan internet. Teori yang saya gunakan adalah teori Iwao ( 1993 ), yakni teori mengenai pergeseran makna pernikahan bagi masyarakat Jepang sekarang ini dan teori pria Jepang yang mengutamakan pekerjaan ; teori Lebra ( 1997 ), yakni teori mengenai karir ; teori Hunter ( 1993 ) yakni teori mengenai kesulitan antara menjalani karir secara bersamaan dengan memiliki keluarga. Dalam analisis skripsi ini, saya membahas dampak karir terhadap menurunnya angka kelahiran di Jepang secara umum dengan menampilkan tabel, grafik, mengenai populasi, angka pernikahan dan pendapat masyarakat terhadap keluarga dan anak. Setelah itu saya menganalisis kasus – kasus yang dapat membuktikan bahwa karir mempengaruhi seseorang untuk tidak menikah dan yang berakibat pada semakin sedikitnya jumlah bayi yang lahir tiap tahunnya di Jepang. Kasus – kasus yang diangkat adalah kasus Nishio, Takasu, Yuriko, Shibata, Yahagi, Kumoi. Dalam bab 3 ini, saya juga menganalisis tentang pandangan masyarakat terhadap single di Jepang, analisis seks bagi para single Jepang, analisis masa tua para single di Jepang. Yang tujuannya untuk menjelaskan dampak dari keputusan single yang diambil. 48 Dari hasil analisis ini saya berkesimpulan bahwa para single di Jepang menikmati hidup mereka dengan bekerja, menikmati kebebasan berkarir ( khususnya wanita ) tanpa harus mempunyai beban mengurus dan merawat rumah serta anak, menikmati kebebasan seorang single yang dapat berkumpul dengan teman – temannya serta menikmati penghasilan mereka dengan membeli barang – barang yang mahal dan melakukan liburan ke luar negri. Para single ini tidak ingin menikah karena alasan pekerjaan, ingin mendapatkan penghasilan yang lebh baik seperti yang terjadi pada Nishio. Nishio hanya ingin berkonsentrasi pada perekonomiannya, ia belum memikirkan rencana hidupnya ke depan. Nishio adalah gambaran dari pria Jepang yang sangat mementingkan pekerjaan daripada keluarga. Hal ini juga terus terjadi walaupun mereka sudah menikah dan memiliki anak nantinya. Oleh karena itu para pria Jepang menginginkan seorang istri yang tidak bekerja, hanya berada di rumah untuk mengurus rumah dan merawat anak. Sekarang ini akan sulit sekali menemukan wanita Jepang yang rela meninggalkan pekrjaannya demi keluarga yang nantinya terbentuk sesudah menikah. Dari sebagian para single ini ada yang disebut sebagai parasite single. Parasite single adalah single – single yang sudah memiliki pekerjaan, namun masih tinggal bersama orang tua mereka. Parasite single ini merasa dengan hidup bersama orang tua, maka mereka tidak perlu diberatkan oleh masalah – masalah yang berhubungan dengan rumah karena ayah dan ibu mereka sudah menyelesaikannya. Ketidak mandirinya para parasite single ini menimbulkan kenikmatan tersendiri sehingga menimbulkan semakin meningkatnya parasite single di Jepang. Saat seseorang wanita Jepang memilih untuk mengembangkan karirnya, maka secara otomatis mereka tidak dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik. Hal ini dapat dilihat 49 pada kasus Kuramochi yang mengatakan bahwa ia ingin mengembangkan dirinya melalui pekerjaannya dan kehadiran seorang bayi akan memberatkan pekerjaannya nanti. Dalam kasus yang lain, seorang wanita berusia 35 tahun yang bernama Shibata juga berpendapat sama yaitu akan sulit dalam mengatur pekerjaan jika memiliki seorang anak. Oleh karena itu ia tidak menjadikan pernikahan sebagai prioritas hidupnya. Kasus lainnya yakni terjadi pada Yahagi juga adalah salah satu contoh dari sebagian masyarakat Jepang yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak mempunyai waktu memikirkan pernikahan. Karena hanya terfokus pada pekerjaan maka sebagian besar dari mereka akhirnya mengabaikan pernikahan atau akhirnya memutuskan untuk tidak menikah. Kasus pada Kumoi juga banyak terjadi di kalangan muda Jepang. Kumoi memandang pernikahan sebagai suatu kontrak yang mengikat dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk tidak menikah. Ia merasa nyaman dan gembira dengan semua yang telah ia capai yaitu pekerjaan, kemewahan yang semuanya itu akan tergantikan menjadi hal yang tidak menyenangkan saat ia menikah nanti. Teman – temannya yang telah menikah banyak yang merasa tidak dihargai dalam pekerjaan rumah tangganya dan kecewa menunggu suami yang senantiasa pulang malam dan lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga. Berdasarkan kasus – kasus di atas menurut analisis saya masyarakat muda Jepang lebih mementingkan karir dari pada memiliki keluarga dan anak. Pencapaian karir merupakan simbol kesuksesan bagi mereka. Melihat tanggapan masyarakat Jepang secara umum terhadap banyaknya generasi muda di Jepang yang memutuskan untuk tidak menikah atau menunda pernikahan yakni, dengan tidak memandang buruk keputusan generasi muda Jepang tersebut. Masyarakat 50 Jepang tersebut. sudah dapat menerima keberadaan para single ini, khususnya masyarakat yang berada di kota besar. Sedangkan untuk parasite single, masyarakat Jepang masih belum bisa menerima dengan baik karena mereka sudah memiliki pekerjaan namun masih bergantung pada orang tua mereka. Kebutuhan seks yang dialami setiap manusia dan termasuk yang juga dialami para single di Jepang hal ini tidak begitu dipermasalahkan karena di Jepang tersedia banyak sekali industri seks yang sudah tidak dianggap tabu lagi. Dalam skripsi ini saya juga menganalisis kehidupan para single yang sudah tua. Menurut jejak pendapat yang dilakukan oleh 読売新聞 ( yomiuri shinbun ) menyatakan bahwa semakin tinggi umur seseorang, maka semakin kecil persentase yang mengatakan merasa senang dengan menjadi single. Hal ini dikarenakan kesepian yang dirasakan saat mereka sudah tua dan pensiun nanti. Dari kasus yang ada, saya menyimpulkan bahwa dengan semakin banyaknya single yang disibukkan dengan pekerjaan ataupun yang lebih memilih pekerjaan daripada menikah, karena pernikahan dianggap tidak menyenangkan maka mengakibatkan atau berdampak pada angka kelahiran di Jepang yang setiap tahunnya mengalami penurunan. 51