1 Pengetahuan Pengklasifikasi tentang

advertisement
Pengetahuan Pengklasifikasi tentang Pengorganisasian Informasi pada Perpustakaan
Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya
Zainur Rahmah
[email protected]
Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP- Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
Background: The organization of information is an important process in the overall process
of management information in the library. A good organizing information will produce a
good collection retrieval results too. But, there has been a problem in the retrieval
process. Therefore, it is assumed that there has been a problem which occurred in the process
of organizing information as a base process of information retrieval in the library
collection. Objective: The objective of this study is to describe how the knowledge of
classifiers about organizing information is, and to identify the cause of the gaps which is
occured in the organizing information process. Methods: The using of quantitative
descriptive research is aimed to describe the knowledge of classifier about the organizing
information. The sampling technique is census method by making the entire population as a
sample. Results and analysis: There are many things that distinguish the characteristics of
each classifier from the college library, so there are 2 kinds of classifiers at the state
universities in Surabaya, metodis and unmetodis. Metodis classifiers are those who get good
support, but unmetodis is the opposite. Conclusion: Metodis classifiers are classifiers who
know the purpose of the organizing information, but they do not really know the long-term
benefits of organizing information and do not really know how to achieve that
benefits. While unmetodis classifiers are classifiers who do not know the purpose and
benefits of organizing information.
Keywords : Classifier, Knowledge, Organizing information, Organizational behavior
ABSTRAK
Latar belakang: Pengorganisasian informasi merupakan proses yang penting pada
keseluruhan proses pengelolaan informasi di perpustakaan. Pengorganisasian informasi yang
baik akan menghasilkan hasil temu kembali koleksi yang baik pula. Namun telah terjadi
masalah dalam proses temu kembali tersebut. Oleh karenanya diasumsikan telah terjadi
kesalahan pula dalam proses pengorganisasian informasi yang merupakan pangkal dari temu
kembali koleksi di perpustakaan. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pengetahuan pengklasifikasi, sehingga akan dapat diidentifikasi proses
pengorganisasian informasi yang dilakukan, serta bisa diidentifikasi sumber permasalahan
dari kesenjangan dalam pengorganisasiaan informasi itu. Metode: Penelitian kuantitatif
deskriptif ditujukan untuk mengetahui gambaran pengetahuan pengklasifikasi secara umum.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan metode sensus dengan menjadikan
seluruh populasi sebagai sampel. Hasil dan analisis: Terdapat banyak hal yang membedakan
karakteristik pengklasifikasi dari masing-masing perpustakaan perguruan tinggi, sehingga
ditemukan 2 macam pengklasifikasi pada perguruan tinggi negeri di surabaya, yakni metodis
dan unmetodis. Pengklasifikasi metodis adalah mereka yang mendapatkan dukungan yang
baik, sedang unmetodis adalah yang sebaliknya Kesimpulan: Pengklasifikasi metodis adalah
pengklasifikasi yang mengetahui mengetahui tujuan pengorganisasian informasi, namun
1
mereka tidak benar-benar mengetahui manfaat jangka panjang dari pengorganisasian
informasi dan tidak benar-benar mengetahui cara untuk mencapai manfaat itu. Sedangkan
pengklasifikasi unmetodis adalah pengklasifikasi yang tidak mengetahui tujuan dan manfaat
dari pengorganisasian informasi yang sebenarnya.
Kata kunci: Pengklasifikasi, pengetahuan, pengorganisasian informasi, perilaku organisasi
Pendahuluan
Pengelolaan informasi merupakan proses yang penting dalam perpustakaan.
Pengelolaan informasi atau yang disebut juga dengan pengorganisasian informasi ini
dilakukan agar perpustakaan mampu mencapai tujuan utamanya, yakni menyediakan
informasi yang serelevan mungkin dengan kebutuhan pengguna dalam tempo yang sesingkatsingkatnya. Terdapat banyak hal yang dilakukan dalam pengorganisasian informasi,
diantaranya adalah penyeleksian, analisis isi dari koleksi, dan penentuan representasi hasil
analisis yang telah dilakukan. Dimana repreesentasi ini dirupakan dalam bentuk simbolsimbol maupun kosa kata yang berguna dalam proses temu kembali.
Telah banyak sistem temu kembali yang dikembangkan di indonesia. Akan tetapi,
pross temu kembali koleksi bukan hanya sekedar tentang mesin temu kmbali semata. Namun,
sistem temu kembali itu mencakup 3 hal, yakni softwere (perangkat lunak), brainwere
(manusia) dana hardwere (perangkat keras). Dimana hal tersebut telah tercakup dalam skema
pengorganisasian informasi Lancaster (1981).
Bagan. 1.1. Skema pengorganisasian informasi Lancaster (1981)
Dalam bagan 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa representasi analisis konseptual
(tanslasi) menjadi penghubung antara pengguna dengan pengelola perpustakaan. Dimana
representasi ini akan menjadi kata kunci dalam sistem penelusuran informasi (OPAC) di
pepustakaan. Dengan demikian, maka proses temu kembali dengan menggunakan sistem
penelusuran informasi di perpustakaan sangat bergantung terhadap hasil pengorganisasian
informasi. Oleh karenanya, apa yang dihasilkan dari temu kembali tersebut menjadi indikator
gagal atau berhasilnya pengorganisasian informasi di pepustakaan.
Akan tetapi, faktanya yang terjadi justru menunjukkan adanya fenomena kegagalan
dalam dalam penelusuran informasi di perpustakaan. Dimana hal ini diidentifikasi oleh
2
Kusumawardhani (2013) yang meneliti tentang hasil penelusuran informasi di perpustakaan
dengan menggunakan OPAC di perpustakaan. Dimana dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ditemukannya banyak hasil dalam penelusuran informasi dengan
menggunakan query judul dan pengarang pada OPA. Sedangkan hasil yang ditemukan jika
menggunakan query subjek justru terlampau sedikit. Dalam penelitian tersebut juga
teridentifikasi penyebab adanya fenomena itu, yakni karena subjek memang tidak
dimasukkan dalam query penelusuran, dan adanya perbedaan penggunaan bahasa yang
digunakan sebagai query dengan yang subjek yang sebenarnya. Terdapat pula hal lain yang
berkaitan dengan masalah penentuan subjek tersebut, yakni penggunaan bahasa alamiah
untuk kosakata dari subjek koleksi dan tidak digunakannya pedoman dalam menentukan
subjek koleksi. oleh karenanya, sampai di sini dapat dilihat bahwa sebenarnya telah terjadi
human error dalam penentuan subjek. Dari hasil observasi juga ditemukan bahwa terdapat
asumsi dari staff perpustakaan bahwa masalah ini sebenarnya sudah bisa diidentifikasi, tapi
sangat tidak mungkin jika harus mengganti sistem yang telah berjalan. Selain itu pengguna
juga tidak tahu menahu tentang subjek maupun notasi klasifikasi. Sampai di sini dapat dilihat
bahwa masalah yang terjadi bukan bersumber dari sistem penelusuran informasinya, tapi
berasal dari brainwerenya, yakni staff perpustakaan yang bertugas untuk menganalisis isi
koleksi serta menentukan representasinya yang selanjutnya disebut dengan pengklasifikasi.
Hal yang perlu diungkap di sini adalah tentang gambaran pengetahuan pengklasifikasi
terhadap pengorganisasian informasi yang terjadi di perpustakaan yang sebenarnya. Hal ini
disebabkan karena „status‟ dari pngklasifikasi itu sendiri. Dimana pengklasifikasi itu
merupakan orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan yang
seharusnya mengetahui seluk beluk ilmu perpustakaan. Namun faktanya justru sebaliknya,
masalah temu kembali di perpustakaan justru bersumber dari pengklasifikasi. Selain itu,
pengklasifikasi adalah anggota dari suatu organisasi, yakni perpustakaan itu sendiri, dimana
apa yang dilakukannya saat ini akan membawa dampak langsung terhadap berjalannya fungsi
pengelolaan di perpustakaan. Oleh karena hal inilah, maka perlu diketahui gambaran
pengetahuan pengklasifikasi itu sendiri tentang penorganisasian informasi, baik itu tentang
tujuan maupun manfaat pengorganisasian informasi yang sebenarnya.
1. Rumusan masalah
Bagaimana pengetahuan pengklasifikasi terhadap
perpustakaan perguruan tinggi negeri di Surabaya?
pengorganisasian
informasi
di
2. Tinjauan Pustaka
2.1.
Manejemen
Terry dan Rue (2000) menjelaskan bahwa manejemen merupakan suatu proses yang
di dalamnya terlibat sekelompok orang yang diarahkan pada tujuan-tujuan yang nyata.
Senada dengan yang disebutkan oleh Terry dan Rue, herujito juga menyebutkan bahwa
manejemen adalah suatu pengelolaan yang dilakukan terhadap suatu pekerjaan dalam rangka
untuk mencapai tujuan. Oleh karenanya, ia juga menyebutkan bahwa manajemen dapat
terjadi dalam semua lini kehidupan yang dalam proses terjadinya terdapat kerjasama di
dalamnya, yakni dalam berbagai organisasi.
Terry dan Rue (2000) menyatakan bahwa sejak masa abad 20, perhatian manajemen
telah mengarah kepada organisasi, dan selanjutnya pada era 1939 mulailah muncul prinsipprinsip manajeman yang menganggap bahwa manusia adalah komponen yang terpenting
dalam suatu organisasi. Selanjutnya, Terry dan Rue juga mengatakan bahwa manajemen
3
menjadi senantiasa berkembang, hingga muncullah berbagai macam aliran manajemen.
Dimana hal ini disebabkan karena manajemen sendiri merupakan ilmu yang universal yang
kemudian mampu menarik para peneliti dari berbagai macam ilmu yang berbeda. Kemudian,
Terry dan Rue (2000) menjelaskan bahwa terdapat 5 pendekatan utama yang bisa digunakan
perkembangan dari manajemen itu sendiri, yang salah satunya adalah manajemen dengan
pendekatan perilaku manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian yang memandang objek penelitian dengan sudut
pandang bahwa objek penelitian tersebut adalah bagian dari organisasi. Oleh karenanya,
pendekatan dari teori manajemen yang digunakan dalam penellitian ini adalah manajemen
dengan pendekatan perilaku manusia. Terry dan Rue (2000) menyatakan bahwa inti dari
pendekatan ini adalah perilaku manusia, dimana manajemen atau pengelolaan di dalamnya
pasti tidak bisa dilepaskan dari perilaku serta interaksi manusia. Hal ini didukung oleh
Luthans (2006), ia menyatakan bahwa pada manajemen suatu organisasi di dalamnya
terkandung pula sisi manajemen terhadap manusia atau yang selanjutnya disebut dengan
perilaku organisasi.
2.1.1. Perilaku organisasi
Sebagaimana yang telah disebutkan pada poin sebelumnya bahwa manajemen
merupakan ilmu yang universal, hingga kemudian berbagai macam ilmu dapat memasukinya
hingga menimbulkan berbagai macam pendekatan dalam memandangan yang berbeda
tentang manajemen, dimana salah satunya adalah pendekatan perilaku manusia. Oleh
karenanya, dapat dilihat bahwa dalam manajemen organisasi itu sendiri terdapat satu sisi
yang membahas mengenai sisi manajemen manusia (perilaku organisasi). Dimana Luthans
(2006) menyatakan bahwa perilaku organisasi merupakan representasi dari sisi manajemen
manusia dalam lingkup manajemen secara umum. Miftah Thoha (2010) menyatakan bahwa
perilaku organisasi sendiri merupakan suatu studi yang mempelajari aspek manusia dalam
suatu organisasi. Duncan (dalam Thoha, 2010) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam
definisi mengenai perilaku organisasi itu sendiri. Dimana perilaku organisasi itu merupakan
studi yang berupaya untuk memberikan penjelasan-penjelasan mengenai tingkah laku
individu dalam organisasi, serta tentang pandangannya jika tingkah laku individu dipengaruhi
oleh bagaimana pekerjaannya diatur dan siapa yang bertanggung jawab atasnya.Perilaku
organisasi sendiri secara ringkas, disebutkan oleh Robbins dan Judge (2008) bahwa perilaku
organisasi merupakan studi mengenai bagaimana perilaku seseorang dalam organisasi serta
bagaimana dampak dari perilaku tersebut bagi organisasinya.
Luthans (2006) juga menyatakan bahwa perilaku dapat dijelaskan dengan adanya
hubungan berkelanjutan antara faktor kognitif, perilaku dan juga lingkungan. Dimana ia
menyebutkan bahwa orang dan juga lingkungan tidak dapat berdiri sendiri, tapi mereka saling
berhubungan yang nantinya akan menentukan suatu perilaku. Dengan demikian, maka dapat
dikatakan jika proses kognitif dalam diri seseorang akan mempengaruhi perilakunya dalam
suatu organisasi. Hal ini diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Thoha (2010) bahwa
salah satu jenis pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami perilaku organisasi ini
adalah dengan menggunakan hampiran Kognitif. Dimana ia menyatakan bahwa dalam
hampiran ini, teori kognitif dipandang sebagai teori yang bisa digunakan untuk bisa
memaham perilaku individu dalam organisasi.
Dasar dari unit teori kognitif tersebut adalah kognisi. Dimana Luthans (2006)
mengartikan kognisi tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu untuk
mengetahui suatu informasi. Sedangkan Thoha (2010) meyatakan jika kognisi merupakan
4
representasi internal terhadap stimulus yang bisa menghasilkan suatu response. Dimana
Eysenck (2006) menyatakan bahwa response tersebut dapat diartikan sebagai suatu suatu
jawaban atau pun perilaku.Thoha (2010) juga menyebutkan bahwa aktivitas untuk
mengetahui dan memahami sesuatu (cognition) tidak bisa berdiri sendiri dan senantiasa
dihubungkan dengan kognisi-kognisi yang lainnya. oleh karenanya, cognition atau suatu
aktivitas yang dilakukan untuk memahami sesuatu tersebut merupakan suatu proses yang
kompleks, dan akan menimbulkan adanya adanya suatu perilaku. Dimana apabila dikaitkan
dengan konteks perilaku organisasi, maka perilaku tersebut tentu perilaku individu dalam
organisasinya itu sendiri.
Berkaitan dengan adanya hal tersebut dalam diri individu yang memiliki dampak yang
besar dalam menentukan perilaku individu dalam berperilaku, maka dapat diketahui jikahal
tersebut merupakan suatu hal yang kompleks dan memiliki kaitan yang erat dengan
pengalaman-pengalaman masa lalu, motivasi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
kognitif dalam diri manusia. Dimana hal tersebut merupakan satu hal yang saling berkaitan
satu sama lain. Oleh karenanya, Luthans (2006) pun membuat skema yang dapat menjadi
bukti bahwa proses kognitif dalam perilaku organisasi tersebut merupakan suatu proses yang
kompleks serta memberikan dampak terhadap perilaku individu dalam organisasinya. Dimana
ha tersebut dijelaskan dalam skema sub-proses persepsi berikut ini,
Salah satu bentuk skema yang bisa digunakan sebagai acuan untuk mengetahui
gambaran kognisi individu yang berperan sebagai anggota suatu organisasi adalah skema
sub-proses persepsi yang dinyatakan oleh Luthans (2006). Dalam skema sub-proses persepsi
dari Luthans tersebut dapat dilihat bahwa proses kognisi individu dimulai dari adanya
berbagai macam stimulus dari lingkungan luar yang diterima oleh seorang individu.
Selanjutnya proses tersebut terus berjalan hingga sampai pada tahap dimana individu akan
memberikan respon atau berperilaku atas segala macam stimulus yang mampu ditangkap oleh
dirinya tersebut. berikut adalah bagan dari sub-proses persepsi dari Luthans (2006) tersebut :
Bagan 1.2 Sub-proses persepsi Luthans (2006)
Bagan 1.2 tentang skema subproses persepsi tersebut merupakan bagan yang
digambarkan oleh Luthans (2006). Dalam bagan tersebut, subproses persepsi terbagi menjadi
dua kerangka, dimana stimulus atau situasi lingkungan eksternal merupakan bagian pertama.
Sedangkan sisanya merupakan bagian kedua yang terjadi dalam diri seorang individu
(internal). Pada kerangka kedua, proses registrasi, interpretasi, serta umpan balik merupakan
suatu proses yang terjadi dalam diri individu yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.
Sedangkan situasi, perilaku dan konsekuensi merupakan proses yang dapat diamati. Dimana
berdasarkan studi-studi yeng telah dilakukan, secara empiris dapat diketahui bahwa
5
ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan proses internal yag terjadi dalam kognisi
seorang individu.
Pada bagan 1.2 tersebut dapat dilihat bahwa lingkungan eksternal mengandung
berbagai macam stimulus atau rangsangan. Dimana menurut Luthans (2006) lingkungan
eksternal tersebut mencakup,
1.
Lingkungan fisik, seperti : kantor, area pabrik, laboratorium penelitian, bahkan
cuaca sekalipun.
2.
Lingkungan sosial budaya, yakni : gaya managemen, nilai, serta diskriminasi.
Selanjutnya, stimulus yang berasal dari luar itu akan secara langsung berhadapan
dengan manusia yang selanjutnya disebut dengan konfrontasi stimulus. Dalam subproses ini,
sebagaimana yang disebutkan oleh Luthans (2006), bahwa konfrontasi tersebut akan terjadi
antara stimulasi indra langsung dengan lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik. Pada
tahapan ini, kondisi lingkungan fisik serta kondisi sosial budaya sangat memegang peranan
besar bagi seorang individu untuk menginterpretasikan suatu objek. Dimana kondisi sosial
budaya merupakan suatu kondisi yang padanya seorang individu melakukan interaksi sosial
dengan lingkungan tempatnya berada.
Tahapan subproses yang kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh Luthans (2006),
adalah registrasi stimulus seperti berupa mekanisme sensor dan syaraf. Dimana Thoha
(2010) secara lebih spesifik menyatakan bahwa registrasi merupakan tahapan yang
dipengaruhi oleh kemampuan fisik dari seorang individu. Dengan adanya kemampuan fisik
ini, seseorang akan menangkap stimulus-stimulus lalu kemudian memasukkannya dalam
dirinya. Pada tahapan ini, Thoha (2010) juga menyebutkan bahwa kemampuan fisik untuk
mendengar dan melihat sangat mempengaruhi individu. Dalam artian bahwa, kemampuan
mendengar dan melihat ini akan memberikan pengaruh kepada seseorang untuk menangkap
dan mendaftar informasi-informasi yang dikirim kepadanya melalui stimulus-stimulus.
Tahapan yang selanjutnya adalah interpretasi. Luthans (2006) menyebutkan bahwa
interpretasi terhadap stimulus ini dipengaruhi motivasi, pembelajaran, dan kepribadian.
Dimana secara lebih aplikatif, Thoha (2010) menyatakan bahwa tahap interpretasi ini
merupakan lanjutan proses ketika seseorang telah mendata segala informasi yang ia terima.
Dimana interpretasi ini terjadi dalam kognisi dari individu yang malakukan interpretasi.
Luthans (2006) dalam skemanya juga menyebutkan bahwa hal ini bergantung kepada cara
pendalaman (learning) dari seorang individu. Tidak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa
subproses ini juga bergantung kepada motivasi seseorang, serta kepribadiannya. Dimana
motivasi merupakan, menurut Sarwono S.W. (dalam Sunaryo, 2002), adalah suatu proses
gerakan yang menimbulkan suatu perilaku serta tujuan akhir dari seorang individu yang
didorong oleh adanya situasi pendorong yang berasal dari diri individu tersebut. Sedangkan
kepribadian merupakan, menurut kamus besar bahasa indonesia (2008), adalah cara-cara
bertingkah laku yg merupakan ciri khusus seseorang serta hubungannya dengan orang lain di
Lingkungannya.
Tahapan yang selanjutnya adalah umpan balik. Dimana Thoha (2010) mengatatakan
bahwa subproses ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang, pada subproses ini seorang
individu akan mendapatkan hasil dari apa yang dilakukannya. Akan tetapi, proses umpan
balik ini juga melibatkan orang lain. Orang lain akan memberikan tanggapan atas perilaku
seorang individu. Misalnya, sebagaimana contoh yang disebutkan oleh Thoha (2010), yakni
ada bawahan yang menunjukkan hasil kerjanya pada atasan. Namun sang atasan memberikan
6
ekspresi yang tidak menyenangkan. Bawahan pun akan merasa bahwa atasannya tidak
menyukai pekerjaannya. Walau sebenarnya sang atasan menyukai hasil pekerjaan tersebut.
Dalam bagan di atas, Luthans (2006) menyebutkan bahwa setelah seseorang
mendapatkan umpan balik, tahap lanjutan yang merupakan bagian dari subproses tersebut
adalah perilaku serta konsekuensi lingkungan. Luthans mengatakan bahwa perilaku pada
subproses persepsi dimisalkan dengan suatu perilaku terburu-buru atau menyembunyikan
suatu perbuatan sebagai suatu sikap. Dimana olehnya dapat dilihat bahwa perilaku yang
dimaksud adalah perilaku yang muncul setelah seorang individu menerima rangsangan
(stimulus) dan memprosesnya dalam dirinya. Sedangkan dalam penelitian ini, yang dijadikan
acuan untuk melihat perilaku objek penelitian adalah dengan ditinjau dari perilaku
pengorganisasian informasi yang benar sebagaimana yang disebutkan oleh Lancaster (1981),
yang terdapat dalam skema pengorganisasian informasi berikut ini,
Bagan. 1.3. Skema pengorganisasian informasi Lancaster (1981)
Bagan 1.3. tersebut menunjukkan alur proses pengorganisasian informasi yang
melibatkan pengguna dan pengelola perpustakaan. Akan tetapi, penelitian ini hanya
membatasi diri dengan proses pengorganisasian informasi yang dilakukan oleh pengelola
perpustakaan. Yakni mencakup tahap population of ducuments, hingga tahap documents
store.
Sedangkan tahapan subproses persepsi yang terakhir menurut Luthans (2006) adalah
konsekuensi. Dimana ia mengatakan bahwa konsekuensi dimisalkan dengan penguatan
respons stimulus/hukuman atau beberapa hasil organisasi. Dengan demikian, maka dapat
dilihat bahwa konsekuensi yang dimaksud merupakan dampak dari perilaku nyata yang
merupakan hasil dari proses kognitif individu.
3. Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian kuantitatif
deskriptif dipilih karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran dari
pengetahuan pengklasifikasi. Penelitian ini akan dilakukan pada perpustakaan perguruan
tinggi negeri di Surabaya, yakni perpustakaan Universitas Negeri surabaya (unesa),
Univeritas airlangga (UA) institut teknologi sepuluh nopember (ITS), politeknik perkapalan
negeri surabaya (PPNS), dan politeknik elektronika negeri surabaya (PENS). Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel jenuh atau sensus.
Singarimbun (2012) menyebutkan bahwa sampel jenuh atau sensus merupakan tenik
pengambilan sampel non-random sampling yang sampel yang diambil merupakan seluruh
7
popuasi yang akan diteliti, serta ukuran populasi kurang dari 30. Dimana populasi penelitian
ini adalah 12 orang. Metode pengumpulan datanya adalah dengan menggunakan teknik
wawancara, observasi, dan studi literatur.
4. Interpretasi Teoritik
Dalam berjalannya suatu organisasi perpustakaan, terdapat banyak hal yang harus
dikelola. Dimana pengelolaan dalam organisasi ini lebih jamak disebut dengan istilah
manajemen. Terry dan Rue (2000) menjelaskan bahwa manajemen merupakan suatu proses
yang melibatkan sekelompok orang yang di dalamnya mereka diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang nyata. Terry dan Rue (2000) juga menyatakan bahwa manajemen
memiliki 5 pendekatan, dan salah satunya adalah pendekatan perilaku manusia. Inti dari
pendekatan ini adalah manajemen dalam organisasi tidak bisa dilepaskan dari interaksi antar
manusia. Hal ini ditambahkan oleh Luthans (2006) yang menyatakan bahwa salah satu yang
terdapat dari manajemen adalah sisi manajemen manusia atau yang seanjutnya disebut
dengan perilaku organisasi.Penelitian ini merupakan penelitian yang menjadikan studi
mengenai perilaku organisasi sebagai acuan. Dimana relevansi studi tentang perilaku
organisasi tersebut dengan penelitian ini adalah karena pengklasifikasi merupakan bagian dari
suatu organisasi dan menjalan proses penting dari berjalannya perpustakaan, yakni
melakukan pengorganisasian informasi.
Luthans (2006) menyebutkan bahwa terdapat satu aspek yang memberikan dampak
yang besar terhadap seseorang dalam berperilaku. Aspek tersebut disebut dengan aspek
kognitif. Senada dengan Luthans, Thoha (2010) juga menyatakan jika salah satu pendekatan
yang bisa digunakan untuk studi perilaku organisasi adalah hampiran kognitif. Dimana
hampiran ini merupakan pendekatan yang mengacu pada teori kognitif. Sedangkan teori
kognitif sendiri, menurut Thoha (2010) merupakan teori yang percaya bahwa setiap response
(jawaban atau perilaku) seseorang bergantung kepada stimulus atau rangsangan yang
diterimanya. Ia juga menyatakan bahwa di antara stimulus dan response terdapat suatu proses
representasi internal yang disebut dengan cognition atau dalam penelitian ini disebut dengan
pengetahuan.
Relevansi penggunaan pengetahuan untuk istilah cognition dalam penelitian ini
adalah karena pengetahuan diasumsikan sebagai hasil yang dihasilkan oleh proses cognition.
Penggunaan istilah ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Neisser (dalam Thoha,
2010) bahwa cognition merupakan aktivitas untuk mengetahui. Oleh karenanya, istilah yang
dianggap paling tepat untuk menggambarkan hasil proses cognition pengklasifikasi ini adalah
istilah pengetahuan.
Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan pengklasifikasi terhadap pengorganisasian
informasi di perpustakaan, diperlukan adanya suatu identifikasi terhadap proses kognitif
dalam perilaku organisasi itu sendiri. Dimana Luthans (2006) menyebutkan bahwa proses
kognitif dalam perilaku organisasi tersebut dapat digambarkan dalam suatu skema sub-proses
persepsi.
4.1.
Proses kognitif perilaku organisasi
Proses kognitif dari perilaku organisasi menurut Luthans (2006) memiliki beberapa
tahapan, mulai dari tahap konfrontasi stimulus, registrasi, interpretasi, umpan balik, perilaku,
hingga konsekuensi. Namun demikian, yang menjadi bahasan utama dari penelitian ini adalah
tahap konfrontasi stimulus hingga perilaku dari pengklasifikasi. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan oleh Eysenck (2006) bahwa cognition itu dimulai dari diterimanya stimulus dan
8
diakhiri dengan perilaku. Oleh karenanya, menjadikan tahap perilaku sebagai tahap akhir
dinilai sudah mencukupi untuk mengetahui gambaran dari pengetahuan pengklasifikasi
terhadap pengorganisasian informasi. Dimana secara lebiih terperinci, berikut adalah
identifikasi dari masing-masing tahapan tersebut.
4.1.1. Konfrontasi Stimulus
Tahapan ini menurut Luthans (2006) merupakan tahapan dimana individu akan
bertemu dengan beraneka rangsangan dari luar. Ia jua menyatakan jika rangsangan dari luar
itu berasal dari lingkungan eksternal, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
budaya. Dalam penelitian ini, lingkungan fisik diidentifikasi dengan pedoman yang
digunakan untuk mengorganisasikan informasi, dukungan dari institusi induk, serta basis
institusi pendidikan. Sedangkan lingkungan sosial budaya adalah kebijakan perpustakaan,
kebiasaan kerja, kebiasaan pimpinan, serta hubungan antar pengklasifikasi ketika melakukan
pengorganisasian informasi. Berikut adalah identifikasi masing-masing poinnya,
1. Lingkungan fisik
a. Pedoman pengorganisasian informasi
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa masing-masing perpustakaan memiliki
pedoman pengorganisasian informasi yang berbeda. Pedoman ini merupakan pedoman yang
dijadikan acuan ketika menentukan representasi dari analisis subjek yang telah dilkukan oleh
pengklasifikasi, baik itu berupa daftar tajuk subjek maupun skema klasifikasi. Dimana
pedoman tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini,
Tabel 1.3 Ringkasan penggunaan pedoman klasifikasi
No
Perpustakaan
Skema klasifikasi
Daftar tajuk
subjek
1
UA
DDC for windows
(elektronik),
DDC 23
LCSH edisi 34
2
ITS
DDC 23, DDC 22
LCSH ed. 34,
LCSH versi
elektronik
(digitalisasi)
3
PPNS
e-DDC 23 (tanpa
lisensi)
-
4
PENS
Database, DDC 22
-
5
UNESA
DDC 20, DDC edisi
ringkas Towa
hamakonda
Daftar tajuk
subjek PNRI
(terbit 1995)
9
b. Dukungan istitusi induk
Dalam penelitian ini dukungan istitusi induk dilihat dari ketersediaan insfrastruktur
yang mendukung barjalannya proses pengorganisasian informasi. Dimana berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa pengklasifikasi pada perpustakaan PENS, PPNS,
dan UNESA diidentifikasi sebagai perpustakaan yang kurang mendapatkan dukungan dari
institusi induknya. Sebagaimana perpustakaan UNESA yang hanya memiliki pedoman
berupa daftar tajuk subjek yang tidak update lagi. Sedangkan pengklasifikasi perpustakaan
PENS menyatakan jika mereka tidak menggunakan daftar tajuk subjek lagi sebagai acuan
penentuan tajuk subjek karena daftar tajuk subjek yang mereka miliki sudah tidak update lagi
serta mereka tidak punya dana untuk memperbaharui tajuk subjek tersebut. berbeda halnya
dengan perpustakaan PPNS yang sejak awal memang tidak menggunakan daftar tajuk subjek
karena tidak punya daftar tajuk subjek. Dimana hal tersebut berbeda deengan perpustakaan
UA dan ITS yang memiliki skema dan daftar tajuk subjek bahkan yang mereka milii adalah
yang terbaru. Dukungan institusi induk ini juga berkaitan dengan pengembangan diri
pengklasifikasi. Dimana perpustakaan UA, ITS, dan UNESA diidentifikasi sebagai
perpustakaan yang memberikan ruang bagi pustakawanannya untuk melakukan studi lanjut.
Sedangkan perpustakaan PPNS, dan PENS tidak demikian.
c. Basis institusi pendidikan
Basis institusi pendidikan ini bersangkutan dengan pesebaran subjek koleksi pada
masing-masing perpustakaan. Dimana teridentifikasi bahwa masing-masing perpustakaan
tersebut ada di bawah naungan institusidengan basis pendidikan yang berbeda, yakni UA
berkaitan dengan ilmu eksakta murni dan ilmu sosial, ITS ilmu eksakta murni dan terapan,
PPNS dan PENS ilmu eksakta terapan, sedangkan UNESA mencakup ilmu eksakta murni
dan terapan, ilmu sosial, dan kependidikan.
2. Lingkungan sosial budaya
a. Kebijakan perpustakaan
Kebijakan perpustakaan dalam penelitian ini berkaitan dengan kebijakan perpustakaan
mengenai beban kerja bagi pengklasifikasi, pola koordinasi antara pengklasifikasi dengan
pimpinan, kebijakan tentang rolling pegawai, serta tentang program dari perpustakaan yang
bisa menumbuhkan motivasi pengklasifikasi. Dimana dari hasil penelitian yang dilakukan
diketahui bahwa pnegklasifikasi PENS dan PPNS adalah pengklasifikasi yang memiliki
banyak beban kerja, karena mereka tidak hanya menangani masalah penentuan tajuk subjek
dan notasi klasifikasi, tapi juga menangani kegiatan administrasi di perpustakaan. Sedangkan
hal tersebut tidak terjadi pada 3 perpustakaan yang lainnya. Selain itu, perpustakaan PENS
dan PPNS juga memberikan ruang pada pengklasifikasi untuk bisa berkoordinasi langsung
dengan pimpinan perpustakaan, sedang yanng lainnya tidak. Akan tetapi, tentang kebijakan
rolling pegawai pada bidang yang berbeda justru terjadi di perpustakaan UNESA, UA, dan
ITS, sedang 2 sisanya tidak. Namun demikian, terkait dengan kebijakan yang bisa
menunmbuhkan motivasi pegawai hanya ada di perpustakaan ITS dan UA yakni berupa
adanya sharing maupun pemberian motivasi sesama pegawai, yang lainnya tidak. Hanya saja,
di perpustakaan UA boleh membicarakan masalah pekerjaan, sedang di ITS tidak demikian.
b. Kebiasaan kerja
Kebiasaan kerja ini berkaitan dengan adanya kebiasaan yang dilakukan
pengklasifikasi saat melakukan pengorganisasian informasi. Dimana kebiasaan ini
10
diidentifikasi dengan adanya kebiasaan pengklasifikasi dalam pertukaran informasi antar
sesamanya dalam pengorganisasian informasi. Sebagaimana pengklasifikasi ada perpustakaan
ITS dan PPNS yang saling bertukar informasi mengenai cara menentukan tajuk subjek dan
notasi klaisfikasi dengan efisien. Dimana hal ini tidak terjadi di perpustakaan yang lainnya.
c. Kebiasaan pimpinan
Kebiasaan pimpinan ini berkaitan dengan kebiasaan kepala perpustakaan yang
ditunjukka pada pengklasifikasi. Sebagaimana pada perpustakaan PENS, dan PPNS yang
memberikan kebebasan bagi pengklasifikasi untuk mengelola internal perpustakaan kerena
mereka tidak memahami seluk beluk perpustakaan. Sedangkan hal ini tidak terjadi di 3
perpustakaan yang lainnya.
d. Hubungan antar pengklasifikasi
Hal ini berkaitan dengan hubungan antar pengklasifikasi saat mengorganisasikan
informasi, yang diidentifikasi dengan adanya senioritas dalam pengorganisasian informasi.
senioritas ini nampak nyata terjadi pada perpustakaan ITS, PENS, dan PPNS. Dimana
pengklasifikasi di PPNS cenderung menerapkan apa yang dilakukan oleh pengklasifikasi
sebelum mereka. Sedangkan PENS cenderung mengorganisasikan informasi sebagaimana
cara yang ditempuh oleh pengklasifikasi senior yang saat ini masih bekerja di perpustakaan.
Sedangkan pengklasifikasi di perpustakaan ITS juga sama, yakni terbawa oleh cara kerja
figur pengklasifikasi yang menjadi „guru‟ semua pengklasifikasi ITS, tapi sekarang figur itu
sudah pensiun.
4.1.2. Registrasi
Luthans (2006) menytakan bahwa registrasi merupakan subproses yang
menghubungkan stimulus dari luar dengan kognisi pengklasifikasi. Dalam proses ini
kemampuan mendengar memberikan dampak yang besar bagi individu untuk melanjutkan
pada subproses yang selanjutnya. Dimana dari hasil penelitian yang dilakukan tidak terdapat
masalah dari semua pengklasifikasi terkait dengan pendengaran dan penglihatannya. Hanya
saja dari penelitian yang dilakukan menunjukkan jika usia pengklasifikasi memberikan
dampak terhadap motivasi pengklasifikasi untuk bekerja.
4.1.3. Interpretasi
Setiap stimulus dari lingkungan eksternal tersebut masuk ke dalam kognisi
pengklasifikasi dan kemudian diinterpretasikan. Dimana pengklasifikasi pada msing-masing
perpustakaan cenderung memiliki interpretasi yang sama sesuai dengan perpustakaannya.
Dimana interpretasi ini diketahui dengan melihat pendapat pengklasifikasi terhadap stimulus
yang diterimanya, maupun terhadap pengorganisasian informasi itu sendiri. Dimana
pngklasifikasi di perpustakaan PENS dan PPNS menginterretasikan segala stimulus yang
diterimanya sebagai bntuk legalisasi atas pengorganisasian informasi yang mereka lakukan,
walaupun cara yang mereka gunakan untuk mengorganisasikan informasi adalah cara yang
riskan. Hal yang berbeda terjadi dengan pengklasifikasi di perpustakaan UA dimana ia
menginterpretasikan stimulus yang ditrimanya dengan biasa saja, maksudnya adalah
pengorganisasian informasi tetap mengacu ada standar pada umumnya. Sedangkan
pengklasifikasi UNESA menginterpretasikan bahwa stimulus yang diterima tersebut
merupakan bagian dari pekerjaannya, dan ia juga menganggap bahwa yang terpenting dari
pengorganisasian informasi adalah konsistensinya sehingga adanya pedoman yang sudah
tidak updat lagi tidak menjadi masalah. Sedangkan di perpustakaan ITS, pengklasifikasi
menginterpretasikan semua stimulus sebagaimana pengklasifikasi perpustakaan UA. Hanya
11
saja tidak adanya figur yang menjadi panutan pengklasifikasi menjadikan merasa tidak
percaya diri dengan pengorganisasian informasi dilakukan.
Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi interpretasi pengklasifikasi. Dimana menurut
Luthans (2006), faktor tersebut adalah,
1. Pendalaman
Faktor pendalaman ini berkaitan dengan pengalaman dari masing-masing
pengklasifikasi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ivanchevich dan konopaske, dkk
(2006) bahwa interpretasi seseorang akan suatu hal adalah berdasarkan pengalamannya
sendiri. Hal ini dilihat dari pengalaman pengklasifikasi dalam melakukan pengorganisasian
informasi yang dilihat dari jangka waktu mereka bekerja sebagai pengklasifikasi.
2. Motivasi
Motivasi dalam penelitian ini maksudnya adalah adanya latar belakang pribadi
maupun tujuan pribadi dari pengklasifikasi dalam melakukan pengorganisasian informasi.
Dimana berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahu bahwa alasan terbesar
pengklasifikasi melakukan pengorganisasian informasi adalah karena pekerjaan saja.
4.1.4. Umpan balik
Tahapan yang berikutnya adalah tahap umpan balik. Luthans (2006) menyatakan
bahwa tahap umpan balik atau feedback ini diperoleh oleh seorang individu dari orang lain.
Dimana dari hasil penelitian tersebut menunjukkan jika tidak ada respon langsung yang
didapatkan oleh pengklasifikasi terhadap hasil kerjanya, sehingga semua pengklasifikasi
menganggap pekerjaannya baik-baik saja.
4.1.5. Perilaku
Dalam penelitian ini tahapan perilaku akan dianalisis dengan menggunakan skema
pengorganisasian informasi Lancaster (1981). Dimana dari yang diperoleh diketahui bahwa
ternyata pengklasifikasi-pengklasifikasi tersebut ada yang menjalankan pengorganisasian
informasi dengan menggunakan pedoman baku, serta ada yang tidak mengorganisasikan
informasi dengan menggunakan pedoman yang baku. Akan tetapi, di sisi lain, pengklasifikasi
memiliki kesamaan perilaku dalam menganalisis subjek, yakni mereka menggunakan cara
analisis yang tidak mendalam atau klasifikasi sederhana. Padahal sebagaimana skema
pengorganisian informasi Lancaster (1981) penggunaan pedoman baku tersebut diperlukan
pada tahapan translasi. Hal ini dikarenakan pada tahapan ini hasil analisis konseptual akan
diterjemahkan dalam bentuk simbol atau kosakata tertentu. Terkait dengan hal ini diperlukan
adanya suatu authority control. Dimana Zen (2008) menyebutkan bahwa penggunaan
authority control ini diperlukan untuk menjaga konsistensi dari penggunaan istilah yang
dijadikan representasi isi dari koleksi tersebut. Oleh karenanya diperlukan adanya suatu
pedomana baku yang berfungsi sebagai authority contol dalam pengorganisasian informasi.
Tahap inilah yang membedakan pengklasifikasi pada perpustakaan satu dan yang lainnya.
Dimana pengklasifikasi pada perpustakaan PENS dan PPNS diidentifikasi sebagai
perpustakaan yang tidak menggunakan pedoman baku dalam pengorganisasian informasi,
selanjutnya pengklasifikasi ini disebut dengan pengklasifikasi metodis. Sedangkan yang tidak
menggunakan standar baku disebut pengklasifikasi unmetodis.
12
Relevansi adanya pengklasifikasi metodis dan unmetodis ini dengan perilaku
organisasi adalah karena adanya self-fulfilling prophecy yang dinyatakan oleh Ivancevich dan
Konopaske, dkk (2006), dimana ini merupakan suatu kecenderungan seseorang berperilaku
sebagaimana apa yang diekspektasikan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah institusi
induk perpustakaan. Ivanchevich dan konopaske juga menyebutkan bahwa terdapat 2 efek
dalam self-fulfilling prophecy, yakni efek pygmalion dan efek golem. Dimana dalam
penelitian ini efek pygmalion terjadi pada pengklasifikasi metodis. Pengklasifikasi ini
diasumsikan sebagai pengklasifikasi yang menjalankan pengorganisasian informasi
berdasarkan tata aturan yang ada, maka perilaku ini dianggap sebagai perilaku yang positif.
Adanya perilaku yang positif ini disebabkan oleh adanya ekspektasi yang baik yang diikuti
dengan dukungan yang baik dari institusi induk, inilah yang disebut efek pygmalion oleh
Ivancevich dan Konopaske, dkk (2006). Sebaliknya, efek Golem terjadi pada pengklasifikasi
unmetodis dimana pengklasifikasi ini tidak menjalankan pengorganisasian informasi
sebagaimana tata aturan yang sebenarnya. Dimana hal ini disebabkan oleh ekspektasi institusi
induk yang negatif dan diikuti oleh dukungan mereka yang buruk kepada pengklasifikasi,
sehingga perilaku yang ditunjukkan oleh pengklasifikasi unmetodis pun menjadi negatif.
4.2.
Pengetahuan pengklasifikasi terhadap klasifikasi
Dari penelitian yang dilakukukan terdapat perbedaan persepsi dari pengklasifikasi
pada masing-masing perpustakaan perguruan tinggi negeri di surabaya. Dimana jika
digeneralisir pada tingkat populasi maka dapat dilihat bahwa pengetahuan pengklasifikasi
dibedakan berdasarkan 2 jenis pengklasifikasi yang teah disebutkan sebelumnya, yakni
sebagai berikut,
1. Pengklasifikasi metodis
Pengklasifikasi ini diasumsikan sebagai pengklasifikasi yang mengerti tujuan dari
pengorganisasian informasi, yakni untuk proses temu kembali. hanya saja, ternyata
pengklasifikasi metodis pun belum mengetahui tentang manfaat jangka panjang dari
pengorganisasian informasi yang sebenarnya, sedang di sisi lain pengklasifikasi metodis pun
tidak mengetahui implementasi perilaku yang benar dalam rangka mencapai manfaat jangka
panjang pengorganisasian informasi, yakni menjaga hierarki ilmu pengetahuan di
perpustakaan seiring dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan itu sendiri di
perpustakaannya. Dimana hal ini ditunjukkan dengan penggunaan klasifikasi sederhana oleh
pengklasifikasi metodis. Padahal klasifikasi sederhana tersebut dapat memberikan dampak
jangka panjang bagi perpustakaan, seperti adanya pengumpulan koleksi pada satu nomor bsar
saja, dan kacaunya hierarki ilmu pengetahuan yang tersimpan di perpustakaan.
2. Pengklasifikasi unmetodis
Pengklasifikasi unmetodis merupakan pengklasifikasi yang tidak mengetahui
tujuan maupun manfaat dari pengorganisasian informasi yang sebenarnya. Mereka
tidak mengetahui pentingnya konsistensi dan authority control dalam
pengorganisasian informasi di perpustakaan.
5. Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, peneliti memiliki saran yang ditujukan
perpustakaan perguruan tinggi yang diteliti serta untuk penelitian selanjutnya. Yakni sebagai
berikut :
1. Untuk perguruan tinggi yang diteliti :
13

Diperlukan adanya rekrutmen pustakawan baru pada perpustakaan PENS dan
PPNS. Hal ini diperlukan untuk mengurangi beban kerja pada masing-masing
pustakawan, sehingga pustakawan yang memiliki tugas mengklasifikasi akan
terfokus pada proses pengklasfikasian saja.

Diperlukan adanya pergantian pedoman klasifikasi untuk perpustakaan UNESA.
Hal ini dikarenakan pedoman klasifikasi UNESA sudah tidak update lagi,
sedangkan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat.

Diperlukan adanya suatu kebijakan dari perpustakaan yang memberikan ruang
bagi para pengklasifikasi untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini agar
pengklasifikasi memiliki pandangan yang luas mengenai makna sebenarnya dari
suatu proses klasifikasi.

Diperlukan adanya suatu ruang bagi para pengklasifikasi untuk bisa saling
berkomunikasi antara 1 pengklasifikasi perpustakaan satu dengan pengklasifikasi
di perpustakaan lain berkaitan dengan perkembangan dari klasifikasi. Hal ini
mencakup perkembangan pedoman klasifikasi, cara mendapatkannya, dan lain
sebagainya.
2. Saran untuk penelitian selanjutnya,

Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai determinasi teknologi informasi di
kalangan pengklasifikasi dalam mengklasifikasi untuk perpustakaan perguruan tinggi
negeri di surabaya.

Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai konsekuensi, yang bisa dilihat dari
bagaimana pemanfaatan koleksi perpustakaan oleh pengguna maupun efektivitas dari
penelusuran koleksi dari adanya perilaku mengklasifikasi yang dilakukan oleh
pengklasifikasi pada perpustakaan perguruan tinggi negeri di suarbaya..

Diperlukan adanya suatu penelitian menganai perbandingan pemanfaatan koleksi
Tugas Akhir oleh pengguna di 5 perpustakaan perguruan tinggi negeri di surabaya.

Diperlukan adanya penelitian yang lebih rinci mengenai dampak gaya kepemimpinan
dari kepala perpustakaan terhadap kinerja pustakawan pada 5 perpustakaan perguruan
tinggi negeri di Surabaya.
Daftar Pustaka
Batley, Sue. Classification in theory and practic. United Kingdom : Chandos Publishing,
2005.
Doyle, Lauren B. Information Retrieval and Processing. Los Angeles : Melville Publishing
Co., 1975.
Ivancevich, John M, Robert Konopaske, dan Micheal T. Matteson. Perilaku dan manajemen
organisasi jilid 1. Jakarta : Penerbit erlangga, 2007.
14
Kusumawardani, Devita. Temu Kembali Informasi dengan Keyword (Studi Deskriptif tentang
Sistem Temu Kembali Informasi dengan Controlled Vocabulary pada Field Judul,
Subjek, Dan Pengarang di Perpustakaan Universitas Airlangga) “skripsi”. Surabaya,
2013.
Lancaster, F. W. Information Retrieval System : Characteristics, Testing and Evaluation 2nd
ed. New York : Wiley, 1979.
Luthans, Fred. Perilaku organisasi edisi 10. Yogyakarta : Penerbit Andi, 2006.
Robbins, Stephen P. Prinsip-prinsip perilaku organisasi edisi kelima. Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2002.
Robbins, Stephen P., dan Timothy A. Judge. Perilaku organisasi. Jakarta : Penerbit
salemba, 2008, diakses pada 12 Juni 2013; dalam
http://books.google.co.id/books?id=IwrWupB1rC4C&hl=id; internet.
Singarimbun, Masri. Metode penelitian survei. Jakarta : LP3ES, 2012.
Solso, Robert L, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin. Psikologi Kognitif. Jakarta : Penerbit
Erlangga, 2007.
Sunaryo. Psikologi untuk kKeperawatan. Jakarta : EGC, 2002; diakses pada 21 September
2013; dalam
http://books.google.co.id/books?id=6GzU18bHfuAC&pg=PA143&dq=motivasi+sar
wono+S+w&hl=id&sa=X&ei=sW3GUu34KsGJrQfXvYCYBg&ved=0CCsQ6AEw
AA#v=onepage&q=motivasi%20sarwono%20S%20w&f=false; internet.
Thoha, Miftah. Perilaku organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2010
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat bahasa
departemen pendidikan nasional, 2008.
Vanda, Broughton. Essential Classification. London : Facet Publishing, 2004.
Zen, Zulfikar. Materi perkuliahan organisasi informasi program pasca sarjana Ilmu
Informasi dan perpustakaan Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.
15
Download