sengkala mitos temporer

advertisement
SENGKALA MITOS TEMPORER
Seputar Seni Rupa Kita
Oleh: I Gede Arya Sucitra
Tidak bisa dipungkiri, keseharian kita selalu dibekap dan dibayangi
kesan-kesan mitos hingga pemaknaan kita menjadi ambivalen, pemahaman
mendua. Lebih dekatnya lagi, dalam ranah sosial budaya kesenirupaan kita,
mitos menjadi semacam kode ideologi yang mampu membawa materi seni rupa
menjadi wilayah “misterius” yang sangat subjektif dan unik.
Tulisan ini mengisahkan tentang bagaimana persentuhan personal saya
selaku perupa selama 9 tahun semenjak menjadi mahasiswa FSR ISI Jogjakarta
tahun 1999. Ketika memulai berkarya seni dengan serius dan menjatuhkan
pilihan untuk menjadi perupa yang mandiri, disinilah dimulai persentuhan
dengan berbagai kode mitos yang menempeli proses berkarya maupun
memasarkan. Mari kita lihat sejenak pengertian Mitos menurut Kamus Bahasa
Indonesia Edisi ke dua (BalaiPustaka) menjelaskan bahwa ; Mitos adalah cerita
suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung
penafsiran tentang asal usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri
yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan secara gaib. Sedangkan
Memitoskan adalah pengamatan, pengangungan secara berlebih-lebihan
tentang pahlawan, benda,dan sebagainya.
Apakah mitos ini menguntungkan atau malah menyesatkan? ”Sesuatu” ini
kemungkinan bisa mendatangkan sengkala temporer, artinya hanya sesaat jika
kita sadar namun bisa fatal jika kita terjerumus.Dalam bahasa jawa, Sengkala
berarti mara bahaya, halangan atau rintangan.
Mitos yang kerap beredar seputar seni rupa kontemporer kita, seringkali
menjadi kurir pasar, yang berusaha melakukan penetrasi ke dalam ruang-ruang
ekspresi seniman. Pelaku pasar seni rupa seperti kolektor, art dealer, kolekdol,
art broker, pengamat seni, curator pun pula seniman sendiri seringkali
mencampuradukan muatan ekspresi seni dengan nilai-nilai mitos serta
petandanya. Dari lukisan biasa menjadi laris, dari pelukis pinggiran menjadi
gedongan. Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral;
melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh
jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Komunikasi mitos ini menjadi
begitu kuat dan seakan menjadi sebuah pembenaran karena pemahaman
penetrasinya melibatkan banyak pihak, kalangan pebisnis dan intelektual.
Komunikasi mitos apa yang telah kualami dan kujalani? Produksi mitos dalam
fenomena seni rupa merupakan realitas subjektif yang lentur, cair dan siap
berubah-ubah sesuai konteks keberadaan dan kebutuhannya. Pada pengenalan
awal, penting perupa muda menjajagi berbagai kemungkinan, berbagai media,
berbagai ekspresi demikian
pula dengan varian berbagai teknis pemasaran.
Sengkala mitos pertama: Jika ingin Payu ikuti tren setter.Jika mengikuti
bagaimana perkembangan booming pasar seni lukis di Indonesia hingga jilid IV,
dengan mudah kita bisa memetakan hal-hal yang mendongkrak kredibilitasnya.
Secara urutan random, booming seni rupa memiliki acuan akan gaya perupaan
seperti surelistik, abstrak ekspresionostik, figuratif hingga minimalistik. Jika
tidak berada pada frame tren yang segaris atau sejalan maka konon disarankan
siap-siap hidup kere, terlempar dari hiruk pikuk pasar. Ungkap yang sering
kudengar:” coba mas Arya karyanya mengandung warna X, dengan figur seperti
si X dan juga tema-tema X, pasti bakal payu dan dilirik pasar”. Tapi benarkah?
Ah, menurutku dia tidak selalu benar atau bisa menjamin bakal payu.
Permainan pasar menurutku bukanlah kuasa ekspresi estetika pelukis namun
itikad sang pemilik modal untuk menanam saham lukisan sebagai investasi.
Sebagus, seartistik dan sepasar minded apapun, jika tidak ada pemodal kuat
yang berminat, karya itu hanya sebagai sebuah citra idealitas ekspresi yang
langgeng tersimpan pada ruang-ruang studio. Seringkali kita menjadi goyah,
stres dan tekanan batin ekspresi jika sudah tersentuh mitos dogrin di atas.
Perupa mudalah yang menjadi sasaran empuk para kolekdol,kolektor dengardengar ini.
Mitos berikutnya,”Biar mudah terjual dan dipajang, pake ukuran karya
seperti si X dan karya yang elegan untuk ruang interior”. Ada masa dalam ruang
pasar seni rupa kita, ukuran lukisan menjadi acuan bagaimana karya menjadi
menarik dan mudah dijual. Jika melihat ukuran yang elegan dan menjadi
golden size suatu karya seni yaitu seperti ukuran papan tulis ketika kita SD
maupun ukuran-ukuran layar TV ( tentu kini bertambah dengan perbandingan
layar wide screen). Mitos ukuran menjadi pemicu memang kerap menjadi bahan
sandaran para kolektor dan kolekdol dalam hunting lukisan. Ada masa suatu
gerombolan
kolektor yang suka lukisan yang besar-besar, artinya lukisan
dengan media ekspresi yang besar akan mengandung ide yang besar, bahan
yang besar dan tentunya nilai investasi yang besar. Namun ada pula yang
melirik Small is beautiful. Lukisan kecil dipandang lebih karena tetap memiliki
kerumitannya sendiri dan mengandung nilai artistik yang tinggi, mudah dibawa,
disimpan dan cepat dijual ( karena nilainya juga lebih murah’kan). Sering pula
aku mengalami masalah ukuran ini dalam pemasaran, ujar mereka:” Lukisan
mas Arya bagus, temanya menarik dan teknisnya tinggi, namun kok ukurannya
nga seperti ukuran umum (ada karyaku ukurannya 150x70cm atau 200x60cm)
dan juga bingung mo saya taruh dimana!”…ah, mo beli aja pake embel-embel
macam macam,klo nga bs beli atau takut nga bisa jual balik ya udah, nga usah
salahkan ukuran.
Mitos lainnya, harus diakui bahwa banyak buyer, peminat lukisan kita
dari kalangan Tionghua/Cina, sesuai dengan tradisi mereka, Fengshui menjadi
salah satu patokan dalam berbisnis, menata rumah dan membeli karya seni.
Jika menyangkut permasalahan Fengshui ini..ampun deh, bikin pusing. Harus
dengan warna ini, objek ini, ukuran ini, bentuk ini, waktu penciptaan hingga
posisi peletakan. Sungguh berat kini rasanya menjadi perupa kontemporer yang
juga harus mendalami budaya Fengshui. Disinilah terkadang kedekatan
komunikasi buyer dan perupa menjadi pendalaman budaya sebagai “interaksi
sosial melalui pesan”. Pesan lukisan seperti ini, pesan lukisan kayak itu.
Seiring perjalanan waktu dan proses kreatif yang meningkat dan
berkembang, sebuah karya seni yang terdedikasi dan berkualitas akan
menemukamn muaranya sendiri. Bukankah sering kita mendapat slogan bijak
dari para sesepuh yang telah sukses menjadi primadona pasar yang juga bisa
menjadi mitosnya sendiri “Sabarlah, berkaryalah terus, buat karya yang
hebat dan menarik, semuanya nanti ada waktunya, tunggu saja!” Abstrak
memang, namun apa daya, kita memang harus tetap berkarya dan berserah diri
( baik kepada Tuhan maupun para kolektor nyasar yang tiba-tiba memborong
lukisan kita, amien).
Pemaknaan mitos ini memang memiliki representasi yang misterius. Pada
dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara
waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai
mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan
menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Produksi mitos dalam teks ini berusaha membantu pembaca untuk
menggambarkan situasi sosial budaya seni rupa kontemporer, mungkin juga
politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi
tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk
akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa
yang lain. Oleh sebab itu, apapun mitos seni yang berkembang disekitar proses
kreatifmu, pilihlah dengan bijaksana agar tidak menjadi korban injak sanainjak sini. Semua ini mitos temporer di era kontemporer kita, ada kalanya
berlaku saat ini namun belum tentu esok hari. Percayalah… Selamat berkarya.
Yogyakarta, Agustus 2008
Download